TUGAS AKHIR – MO 091336
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE FPSO BELANAK TERHADAP BEBAN EKSTREM FAHMY ARDHIANSYAH NRP. 4306 100 037
Dosen Pembimbing Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D. Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
JURUSAN TEKNIK KELAUTAN Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2010
ii
FINAL PROJECT – MO 091336
RELIABILITY ANALYSIS OF SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE BELANAK FPSO DUE TO EXTREM LOAD FAHMY ARDHIANSYAH NRP. 4306 100 037
Supervisors Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D. Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
OCEAN ENGINEERING DEPARTMENT Faculty of Marine Technology Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya 2010
iii
iv
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE FPSO BELANAK TERHADAP BEBAN EKSTREM
TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik pada Progran Studi S-1 Jurusan Teknik Kelautan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Oleh : FAHMY ARDHIANSYAH NRP. 4306 100 037
Disetujui oleh Pembimbing Tugas Akhir :
1.
2.
Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D. (Pembimbing 1)
Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
SURABAYA,
(Pembimbing 2)
AGUSTUS 2010
v
vi
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE FPSO BELANAK TERHADAP BEBAN EKSTREM Nama Mahasiswa
:
Fahmy Ardhiansyah
NRP
:
4306 100 037
Jurusan
:
Teknik Kelautan FTK – ITS
Dosen Pembimbing
:
Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D. Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
ABSTRAK FPSO (Floating Production Storage and Offloading) dalam operasinya mendapatkan pengaruh signifikan dari beban lingkungan dan operasionalnya. Hal demikian juga akan mempengaruhi komponen-komponen struktur yang ada di atasnya, termasuk struktur module dan supportnya yang berfungsi sebagai pemrosesan minyak dan gas. Konstruksi support module beserta scantlingnya yang tersambung ke geladak FPSO haruslah kuat menahan beban-beban yang terjadi sampai dengan pada kondisi ekstrem. Sehubungan dengan ini kita harus dapat menentukan kekuatan puncak atau ultimate strength dari scantling support module sehingga dapat memprediksi kegagalan akhirnya atau ultimate failure. Dalam penelitian ini kekuatan puncak scantling support module telah dikaji dengan metode deterministik dan metode probabilistik atau keandalan. Pada pengkajian dengan metode deterministik digunakan perangkat lunak ANSYS, sedangkan pengkajian keandalan menggunakan simulasi Monte Carlo. Pemodelan beban dinamis FPSO akibat gelombang diselesaikan dengan perangkat lunak MOSES. Penelitian dilakukan pada scantling support structure system gas processing module pada FPSO Belanak yang mempunyai massa 2361 ton, dan terbuat dari baja berkekuatan puncak UTS=400 MPa. Beban ekstrem yang dikenakan adalah merupakan efek dari gelombang Hs=5.3 m, angin Vavg=2.51 m/s, dan beban operasional 2361 ton. Dari hasil analisa deterministik didapat nilai tegangan maksimum yang timbul akibat kombinasi ketiga beban ekstrem tersebut adalah 96 MPa. Dengan simulasi Monte Carlo pada kondisi ini ternyata diperoleh keandalan struktur sebesar K=1.0. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur akan tetap aman dalam kondisi ekstrem di lokasi operasinya. Untuk memperoleh indikasi kegagalan akhir beban ekstrem dinaikkan secara gradual sampai dengan batas kriteria basic utilization factor dari ABS sebesar 0.8UTS (=320 MPa) serta sampai dengan 1.0UTS (=400 MPa). Hasil masing-masing menunjukkan keandalan scantling pada daerah kritis K=0.3057 dengan peluang kegagalan Pf=0.6943, dan K=0.0064 dengan Pf=0.9936. Khusus pada daerah global, mengacu pada kriteria ABS, keandalan sebesar K=1.0. Kata kunci: scantling support module, FPSO, kekuatan puncak, keandalan
vii
viii
RELIABILITY ANALYSIS OF SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE BELANAK FPSO DUE TO EXTREM LOAD Nama Mahasiswa
:
Fahmy Ardhiansyah
NRP
:
4306 100 037
Jurusan
:
Teknik Kelautan FTK – ITS
Dosen Pembimbing
:
Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D. Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
ABSTRACT FPSO (Floating Production Storage and Offloading) in its operation is signi¬ficantly affected by the environmental as well as operational loads. Similarly this would also affect the structural components onboard of the FPSO, including the module and its aupoorts structures which are preserved as oil and gas processing. The support structure module together with the scantlings that extend to the FPSO hulls should be sufficiently strong to endure the loads up onto the extreme conditions. In this regards one should be able to determine the ultimate strength of the scantling support module and in turn to predict the level of its ulti-mate failure. In this investigation the ultimate strength of scantling support module has been evaluated through the implementation of deterministic and probablistic or reliability methods. The deterministic evaluation is performed by utilizing ANSYS software, whereas the reliability evaluation is accomplished by means of Monte Carlo simulation. The modelling of dynamic loads due to waves on the FPSO was accomplished by using the MOSES software. Investigation has been carried out on the scantling support structure system gas processing module attached to the Belanak FPSO having a total mass of 2361 tons, and fabricated out of a high strength steel of UTS=400 MPa. The extreme loads are considered due to the wave of Hs=5.3 m, wind of Vavg=2.51 m/s, and operational load 2361 tons. From the deterministic analysis it is found that the combination of those extreme loads yield a peculiar maximum stress of 96 MPa on the structure. By way of Monte Carlo simulation this condition eventually exhibits the reliability level of K=1.0. Therefore it could be concluded that the structure would be safe under any predicted extreme condition in its operational site. In order to obtain a specific indication of the ultimate failure the load has been gradually increased up to the ABS criteria of basic utilization factor in the order of 0.8UTS (=320 MPa) and further as high as 1.0UTS (=400 MPa). Respectively, the simulation shows the critical structure reliability decreases to K=0.3057 or the corresponding probability of failure Pf=0.6943, and K=0.0064 or Pf=0.9936. In particular to the global area, referring to the ABS criteria, the reliability can only be attained as much as K=1.0. Keywords: scantling support module, FPSO, ultimate strength, reliability
ix
x
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat,
hidayah
dan
karunia-Nya,
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan dengan baik dan lancar. Tugas Akhir ini berjudul “Analisis Keandalan Scantling Support Structure System Gas Processing Module FPSO Belanak Terhadap Beban Ekstrem”. Tugas Akhir ini disusun guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Studi Kesarjanaan (S-1) di Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan (FTK), Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Tugas Akhir ini menitikberatkan pada keandalan scantling support structure module terhadap beban ekstrem. Kami menyadari dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan sebagai bahan penyempurnaan laporan selanjutnya. Penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi perkembangan teknologi di bidang rekayasa kelautan, bagi pembaca umumnya dan penulis pada khususnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surabaya,
Juli 2010
Fahmy Ardhiansyah
xi
xii
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdullilah, dalam pengerjaan Tugas Akhir ini kami tidak terlepas dari bantuan serta dorongan moral maupun material dari banyak pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung. Kami sangat bersyukur dan berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Perbuatan baik pasti akan menuai kebaikan pula, semoga Allah membalas segala kebaikan setiap hamba-Nya. Sehingga pada kesempatan kali ini kami ingin mengucapkan terima kasih serta penghormatan kepada : 1. Keluarga terindah; bapak, ibuk, serta adik yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan. Terima kasih atas segala kasih dan sayang yang engkau curahkan. Terima kasih untuk segalanya. 2. Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D. dan Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D. selaku dosen pembimbing Tugas Akhir. Terima kasih atas ilmu dan bimbingan yang Bapak berikan. 3. Bpk. Murdjito dan Bpk Mustain selaku kajur dan sekjur T. Kelautan serta keluarga besar dosen dan karyawan T.Kelautan. Terima kasih atas bimbingan selama masa perkuliahan. 4. Bpk. Sujantoko selaku dosen wali. Terima kasih atas bimbingan serta nasehatnasehat yang telah diberikan. 5. Rekan-rekan seperjuangan TA di flum, opres, dinstruk, hidro, labkom. Terima kasih telah berbagi cerita, pengalaman, dan keceriaan. 6. Teman-teman sak topik TA, yang membuat TA tersasa lebih dimudahkan karena kalian; andri, adit, similikiti. 7. Keluarga besar D’Admiral 2006, kakak senior yang telah rela berbagi ilmu, pengalaman, dan banyak hal lainnya. 8. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebut satu per satu.
Semoga seluruh bimbingan, arahan, bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Amiin.
-Penulisxiii
xiv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................................ i COVER .................................................................................................................. iii LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................v ABSTRAK ............................................................................................................ vii ABSTRACT ........................................................................................................... ix KATA PENGANTAR ........................................................................................... xi UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................ xiii DAFTAR ISI ......................................................................................................... xv DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xix BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1.
LATAR BELAKANG ............................................................................ 1
1.2.
PERUMUSAN MASALAH ................................................................... 7
1.3.
TUJUAN ................................................................................................. 7
1.4.
MANFAAT ............................................................................................. 7
1.5.
BATASAN MASALAH ......................................................................... 8
1.6.
SISTEMATIKA PENULISAN ............................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI ...................................... 11 2.1.
UMUM .................................................................................................. 11
2.2.
FPSO ..................................................................................................... 12
2.3.
SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM ............................ 13
2.4.
PEMBEBANAN ................................................................................... 15
2.4.1.
Beban Gelombang ......................................................................... 17
2.4.2.
Beban Angin.................................................................................. 21
2.4.3.
Beban Operasional ........................................................................ 24
2.5.
RESPONS STRUKTUR (FPSO) .......................................................... 25
2.6.
ULTIMATE STRENGTH .................................................................... 26
2.6.1.
Local Plastic Deformation............................................................. 30
2.6.2.
Bifurcation Buckling ..................................................................... 30
2.6.3.
Fracture Statis................................................................................ 30 xv
2.6.4. 2.7.
Analisa Ultimate Strength (ABS, 2004) ........................................ 30
KEANDALAN STRUKTUR ................................................................ 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 37 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ......................................................... 43 4.1.
DATA .................................................................................................... 43
4.1.1.
Data Struktur.................................................................................. 43
4.1.2.
Data Mooring................................................................................. 45
4.1.3.
Data Lingkungan ........................................................................... 46
4.1.4.
Data Gerakan FPSO....................................................................... 47
4.1.5.
Data Material ................................................................................. 48
4.2.
PEMODELAN....................................................................................... 48
4.2.1.
Pemodelan Menggunakan CAD .................................................... 48
4.2.2.
Pemodelan Menggunakan Maxsurf ............................................... 49
4.2.3.
Pemodelan Menggunakan MOSES ............................................... 49
4.2.4.
Pemodelan Menggunakan ANSYS ............................................... 50
4.3.
PERHITUNGAN ................................................................................... 53
4.3.1.
Perhitungan Beban Gelombang (LTWA) ...................................... 53
4.3.2.
Perhitungan Motion FPSO............................................................. 57
4.3.3.
Perhitungan Gaya Inersia............................................................... 62
4.3.4.
Perhitungan Beban Angin .............................................................. 68
Untuk mengetahui beban angin yang bekerja pada struktur penyangga module, maka dilakukan perhitungan kecepatan angin, gaya angin, dan momen angin. ................................................................................................ 68 4.3.5.
Perhitungan Beban Operasional .................................................... 80
4.3.6.
Perhitungan Ultimate Strength ...................................................... 81
4.3.7.
Perhitungan Keandalan .................................................................. 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 89 5.1.
KESIMPULAN ..................................................................................... 89
5.2.
SARAN .................................................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 91
xvi
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Ukuran Utama FPSO Belanak .............................................................. 13 Tabel 2.2 Periode Ulang Gelombang Perairan Natuna (Conoco Phlips, 2002) .... 17 Tabel 2.3 Nilai Koefisien Bentuk Efektif (DnV,2007) ......................................... 23 Tabel 2.4 Shielding Factor (DnV,2007) ................................................................ 23 Tabel 2.5 Height Coefficient (ABS, 2001) ........................................................... 24 Tabel 2.6 Shape Coefficient (ABS,2001) ............................................................. 24 Tabel 4.1 Data Module FPSO Belanak (PT. McDermott, 2002) .......................... 44 Tabel 4.2 Data Gelombang Return Period (Conoco, 2002).................................. 46 Tabel 4.3 Intensitas Kejadian Angin Tahun 2006 & 2007 (Wahyudi, 2009) ....... 46 Tabel 4.4 Data Gelombang Metocean (Wahyudi, 2009) ...................................... 47 Tabel 4.5 Data Percepatan Gerakan FPSO pada Kondisi Badai (Conoco, 2002) . 47 Tabel 4.6 Data Material Properties (Conoco, 2002) ............................................. 48 Tabel 4.7 MSA ...................................................................................................... 52 Tabel 4.8 Distribusi Gelombang ........................................................................... 54 Tabel 4.9 Perhitungan Periode Ulang ................................................................... 55 Tabel 4.10 Periode Ulang (Conoco, 2002)............................................................ 56 Tabel 4.11 Periode Ulang (Wahyudi, 2009) ......................................................... 56 Tabel 4.12 Validasi ............................................................................................... 57 Tabel 4.13 Output Maximum Single Amplitude Accelerations w/ mooring ........ 58 Tabel 4.14 Perbandingan Percepatan FPSO.......................................................... 58 Tabel 4.15 Gaya Inersia Akibat Gerakan Translasi .............................................. 63 Tabel 4.16 Gaya Inersia Akibat Gerakan Rotasional ............................................ 65 Tabel 4.17 Perbandingan Perhitungan COG FPSO dan COG module ................. 65 Tabel 4.18 Beban Pada Sturktur Penyangga ......................................................... 66 Tabel 4.19 Intensitas Kejadian Angin 2 Tahun ..................................................... 68 Tabel 4.20 Kecepatan Angin pada Tiap Elevasi ................................................... 70 Tabel 4.21 Nilai q Pada Tiap Elevasi .................................................................... 72 Tabel 4.22 Nilai Re pada Tiap Elevasi.................................................................. 72 Tabel 4.23 Nilai Koefisien Bentuk Untuk Efektif Tiap Elevasi ........................... 73 Tabel 4.24 Luas Area Terkena Beban Angin ........................................................ 73 xvii
Tabel 4.25 Besarnya Gaya Angin Untuk Tiap Elevasi .......................................... 74 Tabel 4.26 Nilai Ch pada Tiap Elevasi .................................................................. 77 Tabel 4.27 Nilai Cs pada Tiap Elevasi .................................................................. 77 Tabel 4.28 Luasan pada Tiap Elevasi .................................................................... 78 Tabel 4.29 Beban Angin pada Tiap Elevasi .......................................................... 78 Tabel 4.30 Basic Utilization Factors (ABS, 2005) ............................................... 81 Tabel 4.31 Load Factor ......................................................................................... 82 Tabel 4.32 Parameter Ketidakpastian Pemodelan FEM ........................................ 87 Tabel 4.33 Nilai Keandalan ................................................................................... 87
xviii
DAFTAR GAMBAR Gambar I.1 FPSO .................................................................................................... 1 Gambar I.2 Topside Module.................................................................................... 2 Gambar I.3. Module Support ................................................................................... 3 Gambar I.4 Collapse Akibat Badai pada Topside Bangunan Lepas Pantai ............ 4 Gambar I.5. Lokasi Operasi FPSO Belanak............................................................ 5 Gambar I.6. FPSO Belanak dan Penempatan Topside Module............................... 6 Gambar 2.1 FPSO Belanak ................................................................................... 12 Gambar 2.2 Topside Hull Interface FPSO Belanak .............................................. 14 Gambar 2.3 Kecepatan dan Koordinat Sistem ...................................................... 19 Gambar 2.4 Ilustrasi Beban Module Pada FPSO .................................................. 20 Gambar 2.5 Six Degree Of Freedom (SDOF) pada FPSO .................................... 21 Gambar 2.6 Beban Operasional ............................................................................ 25 Gambar 2.7 Struktur Dikenai Beban Aksial ......................................................... 27 Gambar 2.8 Struktur Terkena Torsi ...................................................................... 28 Gambar 2.9 Beban Merata Pada Balok Tumpuan Sederhana ............................... 28 Gambar 2.10 Kurva Strees-Strain Untuk Spesimen Tarik dari Structural Steel ... 28 Gambar 2.11 Necking Pada Spesimen Uji Tarik .................................................. 29 Gambar 2.12 Moda Kegagalan Stiffened Pada Geladak ....................................... 32 Gambar 2.13 Fungsi Kerapatan Peluang (fkp) dari Kapasitas X dan Tuntutan Y 35 Gambar 3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian ................................................. 38 Gambar 3.2 Pemodelan ACAD ............................................................................. 39 Gambar 3.3 Pemodelan Maxurf ............................................................................ 40 Gambar 3.4 Pemodelan Moses.............................................................................. 40 Gambar 3.5 Pemodelan ANSYS ........................................................................... 41 Gambar 4.1 Drawing FPSO Belanak .................................................................... 43 Gambar 4.2 Detail Drawing Scantling Module Support ....................................... 45 Gambar 4.3 Pemodelan Lines Plan FPSO Belanak dengan AutoCAD ................ 48 Gambar 4.4 Pemodelan FPSO Belanak dengan Maxsurf ..................................... 49 Gambar 4.5 Pemodelan FPSO dengan MOSES Tampak Depan, Samping, dan Atas ............................................................................................................... 50 xix
Gambar 4.6 Pemodelan FPSO dengan MOSES dengan Mooring......................... 50 Gambar 4.7 Model Module Support dengan Geladak FPSO ................................ 51 Gambar 4.8 Grafik MSA ....................................................................................... 52 Gambar 4.9 Penentuan Syarat Batas...................................................................... 53 Gambar 4.10 Weibull Distribution ........................................................................ 54 Gambar 4.11 Perbandingan Peridoe Ulang ........................................................... 56 Gambar 4.12 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Surge ...................................... 59 Gambar 4.13 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Sway ...................................... 60 Gambar 4.14 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Heave ..................................... 60 Gambar 4.15 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Roll ........................................ 61 Gambar 4.16 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Pitch ....................................... 61 Gambar 4.17 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Yaw ....................................... 62 Gambar 4.18 Posisi Module dari COG FPSO ....................................................... 64 Gambar 4.19 Konfigurasi Struktur Penyangga...................................................... 66 Gambar 4.20 Beban Pada Sturktur Penyangga ...................................................... 67 Gambar 4.21 Wind Rose Perairan Natuna............................................................. 69 Gambar 4.22 Posisi FPSO Belanak Terhadap Mata Angin ................................... 69 Gambar 4.23 Beban Operasional ........................................................................... 80 Gambar 4.24 Grafik Pushover ............................................................................... 82 Gambar 4.25 Hasil Running ANSYS11 ................................................................ 83 Gambar 4.26 Lokasi Tegangan Maksimum Saat Beban Ultimate ........................ 84 Gambar 4.27 Lokasi Tegangan Maksimum Saat Beban Ekstrem ......................... 84 Gambar 4.28 Deformasi Plastis ............................................................................. 85
xx
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
LATAR BELAKANG
Floating Production Storage and Offloading (FPSO) pada dasarnya adalah kapal dengan lambung tunggal yang difungsikan sebagai wahana untuk mengakomodasi fasilitas di atas geladak guna memproses produk migas dan sekaligus menyimpannya di dalam tangki-tangki pada lambungnya sebelum produk tersebut ditransfer ke kapal-kapal tangki pengangkut untuk didistribusikan ke pasaran.
Gambar 1.1 FPSO (Murdjito, 2009)
Pada Gambar 1.1 ditunjukkan beberapa jenis FPSO yang sudah beroperasi di lepas pantai maupun FPSO dalam masa docking di tempat fabrikasi. FPSO dipilih karena memiliki kapasitas penyimpanan dengan jumlah besar dan juga mempunyai area bangunan atas yang cukup luas. Di atas geladak FPSO terdapat berbagai jenis bangunan atas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2, terdapat topside module berada di yard untuk difabrikasi dan selanjutnya akan dipasang di atas 1
FPSO. Beberapa contoh bagunan atas untuk mendukung proses produksi misalnya gas processing module dan flare boom digunakan untuk pembungan gas-gas yang berbahaya. Berat dari topside module tersebut sangat mempengaruhi dari kekuatan geladak yang menyangga pada FPSO. Sehingga topside module tersebut harus disangga dengan support yang kuat sehingga dapat mencegah terjadinya failure pada geladak FPSO.
Gambar 1.2 Topside Module (McDermott, 2004)
Dalam suatu module bisa terdapat peralatan yang meletak pada module tersebut. Ketika FPSO beroperasi dan proses produksi minyak dan gas juga berlangsung, maka beban yang diterima module sangatlah besar. Pada fasilitas produksi biasanya terletak pada production deck dan pada umumnya diposisikan 2,5 m di atas main deck. (UKOOA, 2002). Hal ini bertujuan untuk meminimalisir efek dari green water dan meminimalisir terjadi ledakan atau api yang mengenai module tidak banyak mempengaruhi lambung. FPSO sebagai salah satu bangunan apung yang memiliki ukuran besar, mendapatkan pengaruh signifikan dari beban gelombang dan beban angin. Seperti penelitian Barltrop dan Okan (2000) yang menggunakan struktur FPSO Schiehallion sebagai objek, pada haluan FPSO rentan kerusakan akibat oleh gelombang curam.
2
Gambar 1.3. Module Support (McDermott, 2004)
Struktur penyangga topside module, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.3. Pada struktur penyangga terdapat komponen-komponen yang disebut scantling. Scantling antara lain meliputi plat, gading-gading, penegar, bracket, dan lain-lain. Scantling harus mampu menahan beban akibat module dan beban lingkunagan selama FPSO beroperasi. Pada bangunan lepas pantai baik yang terpancang maupun terapung analisa ultimate strength penting untuk dipertimbangkan. Ha et al (1991) menyebutkan desain tubular joint pada bangunan lepas pantai, fatigue strength dan ultimate strength capacity telah lama dikenal. Sementara itu, Ueda (1995) menyatakan pengembangan hugungan interaksi dari buckling dan ultimate strength dalam bentuk persamaan atau grafik untuk plat dan penguat plat sangat menarik perhatian internasional dalam waktu lama. Struktur akan mengalami platis collapse jika mendapatkan beban ekstrem, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.4. Salah satu penyebab terjadinya ultimate strength failure pada suatu struktur kapal umumnya adalah disebabkan oleh beban ekstrem dan/atau kurangnya daya tahan struktur terhadap degradasi material. misalnya, korosi yang terjadi secara menerus akan mengurangi dimensi scantling, sehingga girder penopang pada lambung kapal akan rawan mengalami buckling ataupun retak ketika ditimpa beban ekstrem. Untuk itu, perlu suatu pertimbangan jangka
3
panjang untuk mengantisipasi adanya degradasi material ketika mendesain sebuah struktur. (Ayyub, 2001). Untuk menghindari terjadinya ultimate strength failure maka desain stiffener haruslah mampu menahan ultimate load yang bekerja pada sturktur. Bonello (1993) menyebutkan bahwa dibutuhkan syarat yang lebih pada stiffener agar tegangan yang terjadi tidak melebihi tegangan yield, mungkin mengakibatkan failure akibat ultimate load pada stiffener.
Gambar 1.4 Collapse Akibat Badai pada Topside Bangunan Lepas Pantai
(http://noladishu.blogspot.com/2007/06/mars-oil-and-engineering.html) FPSO sebagai salah satu bangunan apung yang memiliki ukuran besar, mendapatkan pengaruh yang sangat signifikan dari beban gelombang dan angin (Djatmiko, 2003). Beban signifikan dari angin dan gelombang yang bekerja pada struktur dapat menyebabkan kegagalan pada struktur tersebut. Pada analisis beban ekstrem, beban lingkungan yang ditinjau adalah beban kondisi ekstrem 100 tahunan. Berat topside module itu sendiri juga harus diperhitungkan dalam melakukan analisis tersebut. Keandalan dari struktur scantling penyangga bangunan atas dapat dipengaruhi beberapa variabel ketidakpastian, di antaranya beban dari bangunan atas itu sendiri dan beban lingkungan selama struktur tersebut beroperasi. Rosyid (2007) menyatakan bahwa dalam suatu sistem rekayasa, sesungguhnya tidak ada parameter perancangan dan kinerja operasi yang dapat diketahui secara pasti. Hal 4
ini karena tidak seorangpun mampu memprediksi kepastian atau ketidakpastian atas suatu kejadian tertentu. Secara garis besar, ketidakpastian dapat dikelompokkan menjadi tiga: a) variabilitas fisik, yaitu fenomena alami yang sifatnya acak atau bervariasi, b) ketidakpastian statistik dalam perkiraan nilai suatu parameter atau pemilihan distribusi, dan c) ketidakpastian dalam pemodelan didasarkan pada idealisasi atau pengambilan asumsi (Ang dan Tang, 1975). Oleh karena itu, perancangan atau analisis atas suatu sistem rekayasa selalu mengandung ketidakpastian, yang pada gilirannya, menyebabkan ketidakandalan dalam tingkat tertentu. Ketidakpastian – ketidakpastian tersebut menyebabkan adanya peluang kegagalan (disamping itu, tentu saja, peluang keberhasilan). Persoalan ketidakpastian telah diakomodasi melalui konsep Angka Keamanan (Safety Factor) yang secara prinsip biasanya hanya memperhatikan harga rata-rata besaran desain. Pendekatan Angka Keamanan, walaupun sejauh ini cukup memadai, tidak secara eksplisit memperhitungkan faktor ketidakpastian atau variabilitas pada besaran-besaran desain.
Pertimbangan-pertimbangan
dalam
kerangka
rekayasa
keandalan
memberikan basis yang lebih rasional untuk mengakomodasi ketidakpastian ini (Rosyid, 2007) 104°E
108°E
106°E
110°E
LOCATION MAP PREMIER NW NATUNA I BLOCK
6°N
CONOCO NW NATUNA II BLOCK
GULF KAKAP BLOCK Anoa Field
PREMIER BLOCK A UNASSIGNED ANAMBAS BLOCK
LASMO CUMI CUMI BLOCK
Hiu Belut
Buntal
4°N
Kerisi
B awal Tembang
Belida
CONOCO BLOCK B (WEST)
Belanak
Sembilang
TOTAL WEST NATUNA BLOCK
CONOCO TOBONG BLOCK
M ALAYSIA
D Alpha
UNASSIGNED TAREMPA BLOCK
Kakap Field
Natuna
Natuna Sea
CONOCO BLOCK B (EAST)
Anambas Natuna Selatan 28 INCH PIPELINE TO SINGAPORE
CONOCO SOUTH SOKANG
SI NGAP ORE 0
50 Miles
KAL IM ANT AN
Bintan IH-13/OCT/98/IHZ-1
Gambar 1.5. Lokasi Operasi FPSO Belanak (McDermott, 2004)
Tugas akhir ini mengambil studi kasus FPSO Belanak yang beroperasi di perairan Natuna Indonesia tepatnya berada di Eastern Area of Conoco Blok B seperti 5
ditunjukkan pada Gambar 1.5. Floating Production Storage and Offloading (FPSO) Belanak merupakan FPSO milik Conoco Philips. FPSO Belanak dibangun di Dalian, Republik Rakyat China (RRC), sedangkan topside-nya dibangun di galangan PT. McDermott Indonesia di Batam. Berat dari FPSO tersebut yaitu 255.000 ton dengan panjang 285 m. memilki kapasitas penyimpanan minyak sebesar 1,0 juta barrel. Badan FPSO Belanak dibangun dengan bentuk double side. Konfigurasi single bottom tanpa self propulsion. FPSO Belanak didesain 30 tahun tanpa dry docking.
Gambar 1.6. FPSO Belanak dan Penempatan Topside Module (McDermott, 2004)
Pada Gambar 1.6 ditunjukkan gambaran umum dari FPSO Belanak berserta perletakan dari tiap topside module-nya. McDermott (2004) menyatakan total jumlah topside module FPSO Belanak adalah 23 dengan berat total 26801 MT. Dari 23 topside module tersebut Gas Processing Train “A” memiliki berat paling besar yaitu 2361. Oleh karena itu dalam tugas akhir ini sistem struktur penyangga yang dianalisa keandalannya adalah sistem struktur penyangga pada topside module Gas Processing Train “A”. Analisa keandalan berdasarkan beban ekstrem yang bekerja pada sistem penyangga topside module di Gas Processing Train “A”. Keandalan struktur secara umum dapat dihitung dengan metode Monte Carlo. Pada metode tersebut, keandalan struktur dinilai berdasarkan indeks keandalan yang didapatkan dari peluang terjadinya kegagalan. Peluang kegagalan dianggap
6
sebagai ukuran yang rasional untuk menentukan keamanan struktur. Berdasarkan analisis keandalan, perhitungan ultimate strength dapat dianalisis untuk hasil penelitian yang lebih akurat. Berdasarkan uraian di atas, tugas akhir ini akan dilakukan analisis ultimate strength dengan metode pushover dengan memperhatikan acuan pada ABS 2005 Buckling and Ultimste Strength Assessemnt for Offshore Structure. Sedangkan analisis keandalan struktur menggunakan metode Monte Carlo.
1.2.
PERUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang akan dibahas dalam tugas akhir ini adalah : 1.
Bagaimana respon dan keandalan pada scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak akibat kondisi ekstrem?
2.
Berapakah keandalan scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak terhadap ultimate load?
3.
Bagaimana mekanisme dan moda keruntuhan scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak?
4.
Berapakah ultimate failure akibat respon ekstrem pada scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak?
1.3.
TUJUAN
Tujuan dari tugas akhir ini adalah : 1.
Mengetahui respon scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak terhadap beban kondisi ekstrem.
2.
Mengetahui keandalan scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak terhadap ultimate load.
3.
Memahami mekanisme dan moda kegagalan puncak/keruntuhan scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak.
4.
Mengetahui ultimate failure akibat respon ekstrem pada pada scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak.
1.4.
MANFAAT
Manfaat yang ingin dicapai pada tugas akhir ini antara lain:
7
1.
Memahami mekanisme dan mode keruntuhan, khususnya pada scantling support structure system gas processing module.
2.
Memberikan pemahaman tentang prosedur perhitungan beban ultimate strength untuk bisa dijadikan kegiatan preinspection.
3.
Memberikan pemahaman prosedur dan analisis perhitungan untuk dijadikan dasar dalam merancang support structure system gas processing module dengan pertimbangan beban-beban ekstrem yang berpengaruh.
4.
Memberikan pemahaman tentang pengkajian keandalan struktur berdasarkan ultimate strength.
1.5. 1.
BATASAN MASALAH Scantling support structure system gas processing module yang ditinjau dalam tugas akhir ini adalah scantling support structure system gas processing module Train ”A” pada FPSO Belanak yang dioperasikan di perairan Natuna.
2.
Pemodelan lokal dilakukan sebatas scantling support structure system gas processing module serta geladak yang menyangga.
3.
Analisis struktur global menggunakan software MOSES untuk mendapatkan beban lingkungan, sedangkan analisis struktur lokal menggunakan software ANSYS 11 untuk mendapatkan respon struktur.
4.
Riser dan bangunan atas pada FPSO Belanak tidak ikut dimodelkan pada MOSES.
5.
Pada pemodelan FEM, jenis pengelasan sambungan diabaikan dan diasumsikan tidak terjadi cacat las.
6.
Beban lingkungan yang ditinjau adalah beban ekstrem 100 tahunan yang meliputi beban angin dan beban gelombang.
7.
Tidak dilakukan analisa pada beban akibat kecelakaan.
8.
Perhitungan ultimate strength dilakukan dengan metode pushover dengan memperimbangkan rules Buckling and Ultimste Strength Assessemnt for Offshore Structure pada ABS tahun 2005.
9.
8
Analisis keandalan struktur menggunakan metode Monte Carlo Simmulation.
1.6.
SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut: Pada bab pendahuluan, diterangkan berbagai hal mengenai penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir. Antara lain; latar belakang sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan, masalah dan perlu diselesaikan, tujuan yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diangkat, manfaat yang didapat dari dilakukannya penelitian tugas akhir, batasan dari penelitian tugas akhir, dan penjelasan dari sistematika laporan yang digunakan dalam tugas akhir. Bab tinjauan pustaka berisi tinjauan pustaka apa saja yang menjadi acuan dari penelitian tugas akhir ini. Sehingga dasar-dasar teori, rumus-rumus, codes yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini dicantumkan dalam bab ini. Bab metodologi penelitian menerangkan tentang metodologi yang digunakan untuk mengerjakan tugas akhir. Analisis dan pembahasan berisi data yang digunakan dalam tugas akhir, penjelasan pemodelan yang dilakukan dalam penelitian tugas akhir, analisis, pengolahan, dan pembahasan data hasil dari output pemodelan harus dilakukan pada bab ini. Bab kesimpulan dan saran berisi kesimpulan dari tugas akhir, hasil dari analisis, pembahasan yang dilakukan serta saran-saran yang perlu diberikan untuk penelitian lebih lanjut.
9
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1.
UMUM
Konsep FPSO (Floating Production Storage and Offloading) pada dasarnya diperkenalkan untuk menggantikan sistem kombinasi anjungan produksi dengan fasilitas penyimpanan terapung atau Floating Storage Offloading (FSO). Perlu dicatat, untuk perairan dangkal anjungan produksi dapat berupa jacket atau jackup, sedangkan di perairan dalam dapat berupa Semisubmersible atau TLP. FSO sendiri adalah wahana yang berfungsi sebagai terminal, didekasikan untuk melayani penyimpanan migas hasil olahan dari anjungan produksi di ladang operasinya, dan mentransfernya ke kapal-kapal tanki pengangkut yang secara periodik mendatanginya. Berikut adalah sejumlah persyaratan fungsional yang harus dipenuhi FPSO dalam melakukan operasinya, yaitu : 1.
Sistem harus tetap mampu berproduksi dan beroperasi normal pada kondisi operasional 1tahunan.
2.
Mampu menahan efek beban maksimum akibat badai 100tahunan.
3.
Harus mempunyai fleksibilitas untuk operasi pemuatan dan pengeluaran produk migas, inpeksi dan perawatan dari tanki-tanki tanpa mengganggu proses produksi.
4.
Setiap saat harus mampu menjaga kondisi mengapung rata (even keel) baik untuk mode trim ataupun oleng, dengan toleransi tidak lebih dari ±0,25°.
5.
Gerakan roll dan pitch maksimum tidak lebih dari 1,75° untuk selama 99% periode operasi.
6.
Sistem penambatan harus mampu menjaga FPSO tetap di posisinya pada saat badai 100tahunan dengan satu tali penambat putus dan perubahan posisi maksimum tidak melebihi 20% kedalaman perairan.
11
Dalam ISOSC 2006, disebutkan bahwa Yanagihara et al (2002) mengembangkan sebuah metode sederhana untuk menghitung ultimate strength dari stiffened plates berdasarkan perilaku kolaps struktur dengan menggunakan finite element method.
2.2.
FPSO
Dalam tugas akhir ini, obyek yang digunakan adalah Floating Production Storage and Offloading (FPSO) milik Conoco Philips yang bernama Belanak seperti ditunjukkan Gambar 2.1. FPSO Belanak dibangun di Dalian, Republik Rakyat China (RRC), sedangkan topside-nya dibangun di galangan PT. McDermott Indonesia di Batam. FPSO Belanak ditempatkan di blok Natuna. Berat dari FPSO tersebut yaitu 255.000ton dengan panjang 285m. memilki kapasitas penyimpanan minyak sebesar 1,0juta barrel.
Gambar 2.1 FPSO Belanak (http://www.jrayMcDermott.com/projects/BelanakFPSO__90.asp)
Badan FPSO Belanak dibangun dengan bentuk double side. Konfigurasi single bottom tanpa self propulsion. FPSO Belanak didesain 30tahun tanpa dry docking. Ukuran utama FPSO terdapat pada Tabel 2.1.
12
Tabel 2.1 Ukuran Utama FPSO Belanak
2.3.
1.
LOA
285 m
2.
Depth
26 m
3.
Beam
58 m
4.
Vessel Draft Full
16.2 m
5.
Vessel Draft Medium
14.6 m
6.
Vessel Draft Light
13.9 m
7.
Displacement
8.
Service Life
255,000 ton 30 years
SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM
Di atas geladak FPSO terdapat topside facilities yang disangga oleh support. Bunce (1977) menyatakan satu atau dua perusahaan akan mempertimbangkan desain deck, perusahaan lain mungkin mendesain struktur bawah laut dan mungkin juga perusahaan ke empat menghadapi dengan fasilitas topside dan module. Pada umumnya topside tidak hanya terpadat di atas FPSO, namun juga pada bangunan lepas pantai lainnya seperti jacket maupun jack up. O'Brein (1993) menyebutkan topside pada drilling rig, tidak banyak menghabiskan area. Dikarenakan layout dari struktur dan peralatan pengeboran, penempatan pada deck sedikit membingungkan meskipun di bawah kondisi terbaik. Keberadaan module di atas geladak FPSO akan menimbulkan resiko kecelakaan yang diakibatkan oleh kemungkinan – kemungkinan yang bias terjadi. Resiko kecelakaan terbesar bergantung pada jumlah dari keutamaan platform seperti tipe proses, volume dari inventaris, layout topside, jumlah personel, dll. Dan ini sangat sulit untuk memberikan standar sistem keselamatan dan prosedur dari setiap instalasi. (Shetty, 1998). Untuk mengurangi resiko kecelakaan yang mungkin terjadi, penempatan module harus diperhatikan sebisa mungkin. Palmer (1997) menyebutkan topside pada platform antara level 87 ft dan 107 mempunyai empat module. Penelitian yang dilakuakan oleh Windergen (1994) pada offshore module dengan peralatan proses,
13
lidah api yang timbul akibat ledakan mungkin memiliki kecepatan hingga ratusan meter per detik. Al Obaid (1994) juga menjelaskan beban kejut akibat objek jatuh dapat mengakibatkan pengaruh buruk pada integritas dari offshore platforms. Beberapa bagian struktur seperti striger, girder, dan kolom utama dapat terjadi kerusakan. Pemilihan desain beban kejut didasarkan pada hasil survei dari peralatan pengeboran yang disangga pada platform dan seperti peralatan yang kemungkinan terjatuh di pada topside platform. Dalam suatu module bisa terdapat peralatan yang meletak pada module tersebut. Ketika FPSO beroperasi dan proses produksi minyak dan gas juga berlangsung, maka beban yang diterima module sangatlah besar. Pada fasilitas produksi biasanya terletak pada production deck dan pada umumnya terletak 2,5m di atas main deck. (UKOOA, 2002). Hal ini bertujuan untuk meminimalisir efek dari green water dan meminimalisir terjadi ledakan atau api yang mengenai module. Scantling pada kapal merupakan masalah utama bagi pendesain. Bangunan apung sungguh komplek, umumnya terdiri dari plat penguat, plat dek, plat dasar, dan kadang-kadang dek intermediate, frame, bulkhead, dan lain-lain. (Nguyen, 2009). Beban-beban yang bekerja di atas geladak FPSO berupa peralatan dan berat struktur meliputi module supports, perpipaan, elektrik, kontrol, dan instrumentasi.. Sedangkan posisi setiap module ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Topside Hull Interface FPSO Belanak (McDermott, 2004)
Stiffeners memanjang memperkuat plat, menjaga agar tetap stabil sehingga dapat menerima beban in-plane. Pada stiffeners memanjang juga terdapat supports sesuai keperluan sehingga mampu menerima beban lateral. (Cameron et all, 1997) 14
ABS (2004) menyatakan perencanaan suatu kapal haruslah menunjukkan scantling, rencana awal dan detail daripada geladak suatu kapal sebelum perencanaan tersebut disetujui untuk dikerjakan. Perencanaan tersebut harus menunjukkan scantlings, sambungan, dan las-lasan dengan jelas, atau metode penyambungan lainnya.
2.4.
PEMBEBANAN
Dalam proses perancangan struktur lepas pantai (offshore structure), penentuan kemampuan kerja struktur dipengaruhi oleh beban yang bekerja pada struktur tersebut. Perancang harus menentukan akurasi beban yang akan dipakai dalam perancangan offshore structure terlebih dahulu. Beban-beban yang harus dipertimbangkan oleh perancang dalam perancangan offshore structure adalah sebagai berikut: a.
Beban mati (dead load).
Beban mati adalah beban dari semua komponen kering serta peralatan, perlengkapan dan permesinan yang tidak berubah dari mode operasi pada suatu struktur, meliputi : berat struktur, berat peralatan dan berat permesinan yang digunakan dalam proses pengeboran ketika sedang tidak dioperasikan. Pada gas processing module, yang termasuk beban mati adalah beban struktur topside itu sendiri, beban-beban equipment pada topside. b.
Beban hidup (live load).
Beban hidup adalah beban yang terjadi pada struktur selama dipakai/berfungsi dan berubah dari mode operasi satu ke mode operasi yang lain. Contoh beban yang termasuk kedalam beban hidup ini adalah beban yang diakibatkan oleh pengoperasian mesin atau peralatan lainnya pada suatu struktur. Contoh beban hidup pada gas processing module adalah beban perpipaan yang berubah setiap mode operasi. c.
Beban akibat kecelakaan (accidental load).
Beban kecelakaan merupakan beban yang tidak dapat diduga sebelumnya yang terjadi pada struktur, misalnya tabrakan dengan kapal pemandu operasi, putusnya tali tambat (mooring) dan kebakaran. Pada gas processing module, yang termasuk 15
beban kecelakaan yang mungkin terjadi adalah kebakaran pada module, module tertimpa benda dari atas (misalnya dari crane atau struktur lain yang menimpa modul). Namun pada kajian tugas akhir ini, tidak dilakukan analisa terhadap beban kecelakaan. d.
Beban lingkungan (environmental load).
Beban lingkungan adalah beban yang terjadi karena dipengaruhi oleh lingkungan dimana suatu struktur lepas pantai dioperasikan atau bekerja. Beban lingkungan yang digunakan dalam perancangan adalah beban angin, arus dan gelombang. Gregersen (1989) menyebutkan bangunan lepas pantai dipengaruhi oleh beban lingkungan berkelanjutan yang diakibatkan oleh angin, gelombang dan arus. Pada Zachharya (1998) juga menyebutkan pembebanan pada struktur diperkirakan fungsi dari beberapa variabel, misalnya tinggi gelombang, periode gelombang, kecepatan angin, arah angin dan arus. Akibat dari beban yang bekerja pada struktur, maka struktur menghasilkan respon terhadap beban tersebut. Apabila beban yang bekerja bersifat ekstrem, struktur juga mengalami respon ekstrem. Hegenmeijer (1990) menyatakan respon ekstrem pada bangunan lepas pantai didominasi oleh ketidaklinearan proses gaya fluida. Beban lingkungan yang bekerja pada FPSO akan mempengaruhi pola gerakan yang terjadi. Dalam hal ini beban gelombang merupakan beban yang paling mempengaruhi pola gerakan FPSO. Model gelombang laut, ditetapkan pertama pada tahun 1950-an, di mana permukaan air laut dideskripsikan dengan superposisi dari jumlah yang sangat banyak dari gelombang sinusoidal, setiap komponen mempunyai frekuensi, ampitudo, arah, dan phase tertentu. Model ini telah digunakan oleh ahli bangunan kapal dalam menghadapi respon kapal dan beban pada gelombang irregular. (Ewing, 1990). Selanjutnya pada Brynjoifsson (1987) dikarenakan beban gelombang bersifat acak, lebih tepat untuk menggunakan analisa frekuensi-domain untuk menentukan respon dari struktur lepas pantai.
16
2.4.1. Beban Gelombang Battacharyya (1978) menyatakan gelombang laut terbentuk karena permukaan laut terkena hembusan angin terus menerus. Besarnya gelombang tergantung dari intensitas, jangka waktu, dan jarak angin berhembus (fetch length). Gelombang menyerap energi dari angin, dan sebaliknya mengeluarkan energi untuk penyebaran. Nilai tinggi gelombang signifikan Hs dan periode gelombang signifikan Ts ditunjukkan pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Periode Ulang Gelombang Perairan Natuna (Conoco Phlips, 2002)
Deskripsi
Hs ( m)
Tp (s)
1tahunan
2.9
9.1
10tahunan
4.1
10.3
100tahunan
5.3
11.1
Gelombang
Dalam perhitungan beban gelombang, gelombang yang digunakan adalah gelombang return period untuk 1tahunan, 10tahunan, dan 100tahunan. Periode ulang gelombang atau gelombang return period dapat dicari dengan analisis gelombang kurun waktu panjang [LTWA (long-term wave analysis)]. LTWA adalah analisis yang dilakukan terhadap kumpulan data-data gelombang yang telah diperoleh dalam kurun waktu tahunan (minimal 1tahun). Distribusi gelombang dalam kurun waktu panjang dapat didekati dengan distribusi kontinyu dari Weibull. Persamaan linier dari fungsi kepadatan peluang [PDF (probability density function)] diberikan dalam bentuk sebagai berikut: (2.1) dengan: P(H)
= peluang terjadinya gelombang
= parameter bentuk dengan harga umum antara 0,75 s.d. 2,0; sedangkan untuk gelombang laut umumnya berkisar antara 0,9 s.d. 1,1 (Naess: 0,7 s.d. 1,3) 17
= parameter skala yang harganya tergantung dari harga ekstrim variabel x;
atau untuk gelombang laut adalah harga tinggi ekstremnya, yakni yang terjadi sekali dalam kurun waktu panjang (m)
x
= intensitas obyek/parameter yang ditinjau; misalnya tinggi gelombang, sehingga x = H
Distribusi Weibull dapat diaproksimasi dengan kurva berbentuk garis lurus bila variabel x pada ruas kanan persamaan di atas diganti dengan (H – a). Variabel a disini adalah ukuran ambang tinggi gelombang (threshold wave height), yaitu tinggi gelombang terkecil yang terjadi di suatu perairan. Untuk perairan tertutup a dapat mempunyai harga sangat kecil (0), sedangkan untuk perairan terbuka dapat mempunyai harga antara 0,5 s.d. 2,0m. Kurva distribusi Weibull akan mempunyai bentuk garis lurus jika digambarkan pada grafik yang mengkorelasikan ln{ln[1/1P(H)]} sebagai ordinat dan ln(H –a) sebagai sebagai absisnya. Tinggi gelombang yang digunakan adalah tinggi gelombang signifikan (HS), jika gelombang yang diketahui adalah tinggi gelombang maksimum (Hmax), maka HS dapat dicari dengan: (2.2) Faktor lain yang berpengaruh terhadap kekuatan scantling module support system pada FPSO adalah gerakan dari FPSO. Gerakan FPSO mempengaruhi scantling dalam bentuk beban inersia. Gerakan FPSO perlu ditransformasikan terhadap gerakan dari scantling module. Dari transformasi gerakan maka akan didapatkan percepatan yang terjadi, mengingat beban inersia diakibatkan oleh benda yang mengalami percepatan. Dikarenakan bangunan FPSO mengalami gerak kopel, maka peralatan-peralatan di atas FPSO juga mengalami hal yang sama. Struktur module di atas FPSO juga mengalami gaya inersia yang diakibatkan beban gelombang. Martins (2007) menyatakan bahwa dengan menggunakan hukum Newton kedua, gaya luar yang bekerja pada pusat gravitasi didapatkan persamaan: (2.3) 18
Seperti tampak pada ilustrasi Gambar 2.4, jika FPSO bergerak translasi searah “a” maka terjadi gaya inersia pada sambungan geladak dengan kaki modul akibat beban gelombang. Bhattacharyya (1978) menyebutkan pada gerakan heaving, gerakan dari kapal adalah linear oleh karena itu beban inersia dapat diberikan pada persamaan berikut: (2.4)
Gambar 2.3 Kecepatan dan Koordinat Sistem (Martins, 2007)
Beban inersia dipengaruhi oleh arah percepatan, bekerja pada arah vertikal ke atas dan kebawah. Gambar 2.3 menunjukkan arah gerakan kecepatan yang bekerja pada kapal. Pada gerakan rotasional, percepatan linear atau tangensial didapatkan dengan persamaan: (2.5) (2.6) Dengan r adalah jarak antara komponen ditinjau dengan COG bangunan apung. Jari-jari girasi r ini digunakan sebagai tranformasi percepatan bangunan atas terhadap percepatan bangunan apung. Pada Gambar 2.4 dapat diketahui module yang berada di atas FPSO. Saat terjadi gerakan translasi, baik surge, sway, maupun heave pada FPSO, module juga ikut
19
bergerak searah gerakan FPSO. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi kekuatan dari struktur penyangga module tersebut.
a
a translasi translasi
Wmodule Deck
CL Gambar 2.4 Ilustrasi Beban Module Pada FPSO
Mengingat pentingnya faktor pengaruh gerak FPSO terhadap timbulnya beban inersia pada scantling, maka perlu dipahami terlebih dahulu karakteristik gerakan FPSO. Pada dasarnya benda yang mengapung mempunyai enam mode gerakan bebas [SDOF (Six Degree Of Freedom)] yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu tiga mode gerakan translasional dan tiga mode gerakan rotasional (Battacharyya, 1978). Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5. Berikut adalah keenam mode gerakan tersebut: i.
Mode gerak translasional - Surge, gerakan transversal arah sumbu x. - Sway, gerakan transversal arah sumbu y. - Heave, gerakan transversal arah sumbu z.
ii.
Mode gerak rotasional. - Roll, gerakan rotasional arah sumbu x. - Pitch, gerakan rotasional arah sumbu y. - Yaw, gerakan rotasional arah sumbu z.
20
Gambar II.5 Six Degree Of Freedom (SDOF) pada FPSO (Wahyudi, 2009)
2.4.2. Beban Angin Untuk mendapatkan nilai ekstrem dilakukan perhitungan beban angin mengacu pada DnV-RP-C205 dan ABS MODU. Kemudian dibandingkan hasil perhitungan dari kedua acuan tersebut. Pada DNV RP-C-205 (2007) gaya angin pada yang mengenai struktur dapat dihitung dengan persamaan: (2.7) dengan: Fw
= gaya angin (N)
C
= koefisien bentuk
q
= tekanan angin
S
= area yang terkena gaya angin
α
= sudut antara arah angin dengan sumbu aksial dari member.
Jika beberapa bagian struktur terletak searah normal arah angin, seagai contoh plane truss atau beberapa rangkaian kolom, maka solidification effect harus dipertimbangkan. Maka beban angin dapat dihitung dengan persamaan: (2.8) dengan: Ce
= Koefisien bentuk efektif
q
= tekanan angin 21
S
= area yang terkena gaya angin
Φ
= solidity ratio
α
= sudut antara arah angin dengan sumbu aksial dari member.
Solidity ratio Φ adalah perbandingan antara luasan area solid yang terkena beban angin dengan luasan frame searah dengan arah datangnya angin. Dimana untuk tekanan angin q didapatkan dengan persamaan: (2.9) dengan: ρa
= massa jenis udara (1.226 kg/m3)
UT,Z
= kecepatan angin pada ketinggian Z meter dari MWL (m/s)
Kecepatan angin tiap elevasi dapat dihitung dengan persamaan berikut: (2.10) dengan: Vh
= kecepatan angin pada elevasi (m/s)
V10
= kecepatan angin pada elevasi 10m (m/s)
h10
= ketinggian referensi (10 m)
Nilai Reynolds Number Re didapatkan dengan persamaan: (2.11) dengan: D
= diameter (m)
UT,z
= kecepatan angin pada elevasi z (m/s)
va
= viskositas kinematis udara
22
Nilai koefisien bentuk efektif didapatkan dengan mengacu pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Nilai Koefisien Bentuk Efektif (DnV,2007)
Solidity Ratio Φ 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.75 1.00
Efficient shape coefficient Ce Circular sections Re < 4.2 x 105 Re ≥ 4.2 x 105 1.2 0.7 1.2 0.8 1.2 0.8 1.1 0.8 1.1 0.8 1.5 1.4 2.0 2.0
Flat-side members 1.9 1.8 1.7 1.7 1.6 1.6 2.0
Jika dua atau lebih frame paralel satu sama lain berada dibelakang arah angin, maka perlu diperhatikan nilai shielding effect. Beban angin pada shield frame dapat dihitung dengan persamaan: (2.12) Nilai shielding factor η didapatkan dari Tabel 2.4. Tabel 2.4 Shielding Factor (DnV,2007)
Β α < 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 > 6.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
0.96 0.97 0.97 0.98 0.98 0.99
0.90 0.91 0.92 0.93 0.94 0.95
0.80 0.82 0.84 0.86 0.88 0.90
0.68 0.71 0.74 0.77 0.80 0.83
0.54 0.58 0.63 0.67 0.71 0.75
0.44 0.49 0.54 0.59 0.64 0.69
0.37 0.43 0.48 0.54 0.60 0.66
dengan, α
= spacing ratio, perbandingan antara jarak frame ke frame dengan dimensi keseluruhan dari frame terakhir searah dengan arah angin.
β
= aerodynamic solidity ratio, β = Φ x a
a
= konstanta (1.6 untuk flat-sided member , 1.2 untuk circular subcritical range, 0.6 untuk circular supercritical range)
Pada ABS MODU (2001) gaya angin pada yang mengenai struktur dapat dihitung dengan persamaan: 23
F = 0.5 ρ Vk2 Ch Cs A
(2.13)
dengan, ρ
=
berat jenis udara (1.22 kg/m3)
Vk
=
kecepatan angin (m/s)
Ch
=
height coefficient
Cs
=
shape coefficient
A
=
Luas permukaan yang terkena beban angin
Nilai Ch untuk tiap cerobong didapatkan dengan menggunakan Tabel 2.5 Tabel 2.5 Height Coefficient (ABS, 2001)
Height (m) 0-15.3 15.3-30.5 30.5-46.0 46.0-61.0 61.0-76.0 76.0-91.5 91.5-106.5
Height (ft) 0-50 50-100 100-150 150-200 200-250 250-300 300-350
Ch 1.0 1.1 1.2 1.3 1.37 1.43 1.48
Nilai Cs untuk tiap cerobong didapatkan dengan menggunakan Tabel 2.6 Tabel 2.6 Shape Coefficient (ABS,2001)
Shape of Structure Spherical Cylindrical Shapes (all sizes) used for crane pedestals, booms, helidecks, etc Hull, based on block projected area Deck houses Clusters of deck houses and other structures, based on block projected area Isolated structural shapes (e.g. cranes, angle chanel beams, etc) Under deck areas (smooth) Under deck surface (exposed beams and girders) Rig derrick, each face, assuming fabricated from angle
Cs 0.4 0.5 1.0 1.0 1.1 1.5 1.0 1.3 1.25
2.4.3. Beban Operasional Pada module terdapat equipment yang memiliki berat sendiri. Selain berat sendiri dari tiap equipment serta berat konstruksi module, pada equipment terdapat berat dari fluida-fluida yang mengalir di dalamnya. Pada Gambar 2.6 ditunjukkan massa module beserta equipment di atasnya yang dipengaruhi oleh gravitasi sehingga menyebabkan struktur penyangga module menerima beban dari atas. 24
W=mxg Gambar 2.6 Beban Operasional
Dari data yang ada diketahui bahwa massa total dari gas processing module adalah 2361MT. Untuk mendapatkan berat operasional digunakan persamaan berikut: W=mxg
(2.14)
dengan, m
= massa module (MT)
g
= gravitasi (m/s2)
2.5.
RESPONS STRUKTUR (FPSO)
Respon pada struktur akibat gelombang reguler dalam setiap frekuensi, dapat diketahui dengan menggunakan metode spectra. Nilai amplitudo pada suatu response secara umum hampir sama dengan amplitudo gelombang. Bentuk normal suatu response dari sistem linier tidak berbeda dengan bentuk amplitudo gelombang dalam fungsi frekuensi. Response amplitude operator (RAO) atau sering disebut sebagai transfer function adalah fungsi response yang terjadi akibat gelombang dalam rentang frekuensi yang mengenai struktur offshore. RAO disebut sebagai transfer function karena RAO merupakan alat untuk mentransfer beban luar (gelombang) dalam bentuk response pada suatu struktur. Bentuk umum dari persamaan RAO dalam fungsi frekuensi (Chakrabarti, 2005) adalah sebagai berikut: Response (w) = (RAO) h(w)
(2.15)
dengan: h
= amplitudo gelombang (m)
25
RAO merupakan fungsi respon gerakan dinamis struktur yang disebabkan akibat gelombang dengan rentang frekuensi tertentu. RAO merupakan alat untuk mentransfer gaya gelombang menjadi respon gerakan dinamis struktur. Menurut Chakrabarti (2005), persamaan RAO dapat dicari dengan rumus sebagai berikut: RAOω
Xp ω ηω
(2.16)
dengan:
X p
= amplitudo struktur
= amplitudo gelombang
2.6.
ULTIMATE STRENGTH
Hughes(1983) menyatakan kondisi limit state adalah di mana struktur atau bagian dari struktur mengalami ketidaktepatan dalam menjalankan fungsinya akibat beban atau efek beban. Ada dua jenis limit state, yaitu ultimate limit states dan serviceability limit states. Ultimate limit states sering dijadikan acuan sebagai eltimate strength dari struktur. Pada dasarnya ada tiga tipe kegagalan struktur; plastic deformation, instability, dan fracture. Untuk struktur baja tiga tipe dasar kegagalan struktur adalah: 1. Large local plasticity 2. Instability a. Bifurcation b. Nonbifurfaction 3. Fracture a. Direct b. Fatigue c. Brittle Pada prakteknya kegagalan struktur individu, dipengaruhi oleh kombinasi kegagalan pertama dan kedua yaitu large local plasticity dan instability. Salah satu penyebab terjadinya ultimate strength failure pada suatu struktur kapal umumnya adalah disebabkan oleh beban ekstrem dan/atau kurangnya daya tahan struktur terhadap degradasi material. misalnya, korosi yang terjadi secara menerus akan mengurangi dimensi scantling, sehingga girder penopang pada lambung
26
kapal akan rawan mengalami buckling ekstrem.
Untuk itu,
perlu
ataupun retak ketika ditimpa beban
suatu pertimbangan
jangka
panjang untuk
mengantisipasi adanya degradasi material ketika mendesain sebuah struktur. (Ayyub, 2001) Pada beberapa dekade terakhir desain ultimate strength merupakan pendekatan yang dapat diandalkan untuk analisa struktur baru maupun dugaan untuk struktur yang telah ada. (Rosati et all, 2007). Faktor keamanan merupakan hal yang sangat penting pada suatu bangunan apung dalam melakukan operasi. Chakrabarti (2005) menyatakan bahwa keamanan merupakan ketidakanaan dari kegagalan dan kerusakan serta menjamin dalam memenuhi ketentuan untuk stabilitas keseluruhan dan ultimate strength serta kegagalan fatigue akibat beban yang berulang untuk menghindari kegagalan puncak seperti fatalitas, kerusakan lingkungan atau kerusakan properti. Pada dasar mekanika bahan, dipelajari struktur yang dikenai pembebanan aksial, momen bending, dan gaya torsi. Formula sederhana untuk tegangan dan defleksi dari struktur telah dikembangkan (Gere, 2001).
Gambar 2.7 Struktur Dikenai Beban Aksial (Boresi&Schmidt, 2003)
Pada pembebanan aksial seperti ditunjukkan pada Gambar 2.7 memiliki batasan – batasan sebagai berikut: 1. Struktur harus bersifat prismatik. 2. Material struktur harus homogen. 3. Beban P harus searah arah aksial pada pusat aksis dari struktur. 4. Tegangan dan regangan pada daerah elastis.
27
Gambar 2.8 Struktur Terkena Torsi (Boresi&Schmidt, 2003)
Pada pembebanan torsi seperti Gambar 2.8 juga memiliki beberapa batasan: 1. Struktur harus bersifat prismatik. 2. Material struktur harus homogen. 3. Torsi terjadi pada ujung batang dan tidak ada torsi tambahan pada titik A dan B. 4. Sudut puntir pada penampang melintang adalah kecil. Brockenbrough&Merritt (1999) menyatakan bahwa balok yang diberi beban lateral (Gambar 2.9 )akan meneyebabkan bending. Balok yang terbebani tersebut menghasilkan gaya internal dan momen serta menyebabkan deformasi.
Gambar 2.9 Beban Merata Pada Balok Tumpuan Sederhana (Brockenbrough&Merritt,1999)
Gambar 2.10 Kurva Strees-Strain Untuk Spesimen Tarik dari Structural Steel (Boresi&Schmidt, 2003)
Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.10, hubungan antara tegangan dan regangan dari sebuah spesimen tarik. Jika material diberi beban sampai batas plastis maka material baja tersebut akan kembali ke bentuk semula. Akan tetapi jika material
28
baja diberi beban melebihi batas elastis maka tidak bisa kembali ke bentuknya semula, dengan kata lain material baja mengalami deformasi plastis.
Gambar 2.11 Necking Pada Spesimen Uji Tarik (Boresi&Schmidt, 2003)
Secara fisik, setelah mencapai tegangan ultimate, muncul necking pada spesimen Gambar 2.11. Hal ini mengakibatkan pengurangan luas penampang melintang dari specimen secara drastis di mana timbul kegagalan puncak. Saat sebuah struktur dikenai beban, struktur tersebut memiliki respon yang tidak hanya bergantung pada tipe material akan tetapi juga kondisi lingkungan dan pembebanan pada struktur. (Boresi&Schmidt, 2003). Secara terperinci moda kegagalan dari sebuah struktur adalah: 1. Kegagalan akibat defleksi berlebih a. Defleksi elastis b. Defleksi akibat rayapan 2. Kegagalan akibat tegangan yield (deformasi plastis) 3. Kegagalan akibat kepecahan a. Kepecahan tiba-tiba dari material bersifat getas b. Kepecahan dari crack atau cacat c. Kepecahan progresip (fatigue) 4. Kegagalan akibat ketidakstabilan (buckling)
29
2.6.1. Local Plastic Deformation Pertama kita memperhatikan struktur yang mudah terkena ketidakstabilan, salah satunya semua beban kompresi aksial dianggap kecil serta struktur sangat kokoh lengkap dengan brace dan penyangga. Deformasi plastis muncul secara progresif pada daerah kurva elasto-plastis, kemudian menurun secara perlahan pada kurva plastis. Beban kegagalan (atau beban collapse atau ultimate strength) diambil pada beban saat permulaan dari kurva plastis.
2.6.2. Bifurcation Buckling Ketidakstabilan atau buckling, dapat muncul pada member atau bagian dari member yang dikenai beban aksial atau beban in-plane compressive. Ada dua jenis buckling; bifurcation dan nonbifurcation. Contoh bifurcation buckling adalah buckling pada kolom sederhana. Sebuah kolom diberi beban aksial secara menerus maka akan mengakibatkan kolom mengalami defleksi lateral. Pada pembebanan low level, efek beban diabaikan. Akan tetapi saat beban dinaikkan, defleksi lateral meningkat dengan signifikan mengakibatkan terjadinya bending. Hasilnya kekakuan kolom hilang secara cepat. Jika beban tidak turun, kekakuan kolom menjadi nol. Defleksi meningkat ke nilai yang sangat besar, mengakibatkan kolom mengalami collapse.
2.6.3. Fracture Statis Istilah brile fracture mengacu pada fakta bahwa dibawah kondisi temperature tertentu nilai ultimate tensile strength dari baja menurun drastis. Nilai transisi dari temperature ini dipengaruhi oleh kandungan komposisi kimia baja dan proses metalurgi saat baja dibuat. Untuk bangunan kapal baja kualitas terbaik sangat dibutuhkan untuk menghindari brittle fracture. Pada kajian tugas akhir ini tidak dilakukan analisa kegagalan struktur pada akibat fracture.
2.6.4. Analisa Ultimate Strength (ABS, 2004) ABS Buckling and Ultimate Strength Assesment for Offshore Structure (2004) menyediakan beberapa kriteria yang bisa digunakan untuk menghitung ultimate strength, kriteria tersebut adalah:
30
a.
Individual structural member.
b.
Plates, stiffened panels and corrugated panels.
c.
Stiffened cylindrical shells.
d.
Tubular joints
Pada ABS juga terdapat tambahan pertimbangan untuk meninjau ulang analisa menggunakan metode elemen hingga untuk menetapkan kapasitas buckling. Pada tugas akhir ini digunakan kriteria individual structural member untuk menganalisa ultimate strength pada module support. Sedangkan analisa ultimate strength pada geladak yang menyangga serta penguat di bawah geladak digunakan kriteria plates, stiffened panels and corrugated panels. Moda kegagalan pada kriteria structural member menurut ABS (2004) adalah: 1. Flexural buckling. Bending pada daerah aksis pada resistan akhir. 2. Torsional buckling. Puntir pada lugitudinal aksis 3. Lateral-torsional buckling. Bersamaan bending dan puntir (twisting) 4. Local buckling. Buckling pada plat atau elemen shell pada daerah lokal struktur.
Kriteria kekuatan buckling untuk plat dan stiffened berdasarkan pada asumsi dan batas yang diijinkan dari desain stiffened, dimana ABS (2004) memberikan ketetapan: 1. Kekuatan buckling setiap stiffeners umumnya lebih besar dari plat pada supports. 2. Stiffeners dengan plat yang efektif harus mempunyai momen inersia tidak kurang dari io 3. Plat dan flange dari girders dan stiffeners yang berpotongan sebaiknya dihindari. 4. Webs dari girders dan stiffeners yang berpotongan sebaiknya didindari. Gambar 2.12 menunjukkan moda kegagalan pada kriteria plates, stiffened panels and corrugated panels yaitu:
31
1. Plate level. 2. Stiffened panel level. 3. Deep supporting member level.
Gambar 2.12 Moda Kegagalan Stiffened Pada Geladak (ABS, 2004)
Das dan Parmentier (2006) menyatakan bahwa pada papan stiffened plat, stiffeners memanjang mempunyai fungsi utama untuk mendukung plat geladak agar mampu menahan sesuai kekuatannya. Untuk mencapai tujuan ini, stiffeners harus cukup kuat dan jarak antar stiffeners harus dipilih sesuai dengan karakteristik dari plat geladak, ketebalan dan tegangan yield-nya. Kerampingan dari plat harus di desain sesuai tegangan ultimate mendekati tegangan yield sebisa mungkin.
2.7.
KEANDALAN STRUKTUR
Menurut Karamchandan (1991) secara tradisional, fokus analisa keandalan telah ditaksirkan pada keandalan akibat beban kelelahan maupun beban lingkungan ekstrem. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Olufsen (1989) yang menyatakan keandalan struktur dari sebagian besar bangunan lepas pantai dikontrol dengan ketidakpastian yang berhubungan dengan beban lingkungan. Pada kondisi ekstrem Harland (1998) menyatakan dengan tujuan untuk melakukan analisa keandalan, perkiraan dari ketidakpastian fisik pada beban gelombang ekstrem juga diperlukan. Oleh karena itu dalam mendesain sebuah struktur perlu juga dipertimbangkan keandalannya, menurut Sigbjornsson(1980) masalah utama pada 32
perhatian desain struktur yang pertama adalah kegagalan penyimpangan dan syarat tradisional yaitu informasi yang memperhatikan karakteristik respon ekstrem dan dalam pendekatan modern nilai distribusi ekstrem. Keandalan sebuah komponen atau sistem adalah peluang komponen atau sistem tersebut untuk memenuhi tugas yang telah ditetapkan tanpa mengalami kegagalan selama kurun waktu tertentu apabila dioperasikan dengan benar dalam lingkungan tertentu. Rosyid, D.M, (2007). Dalam konsep keandalan, suatu masalah akan didefinisikan dalam hubungan permintaan dan penyediaan, yang keduanya merupakan variabel-variabel acak. Peluang
terjadinya
kegagalan
suatu
rancangan, dimana penyediaan (ketahanan atau kekuatan sistem) tidak dapat memenuhi permintaan (beban yang bekerja pada sistem). Ang, H.S dan Tang, W.H (1985). Pemakaian konsep analisis keandalan yang didasarkan pada metode probabilistik telah berkembang dan semakin penting peranannya terutama untuk memecahkan masalah- masalah dalam perancangan praktis Baker dan Wyatt (1979). Kecenderungan ini salah satunya dikarenakan adanya kerusakan yang terjadi pada sistem rekayasa yang disebabkan oleh intraksi panas, beban statis maupun beban dinamis dapat dijelaskan secara lebih baik dengan konsep ini. Dalam konsep ini perancang dapat menggambarkan suatu sistem dengan segala hal yang mempengaruhi atau mengakibatkan kerusakan pada sistem tersebut misalnya kondisi pembebanan, ketahanan struktur, kondisi lingkungan yang lebih mendekati keadaan yang sebenarnya karena melibatkan aspek ketidakpastian dalam analisisnya. Dalam analisis keandalan sistem struktural maka perlu untuk mendefinisikan ketidakpastian yang diterima oleh struktur. Ketidakpastian dalam 3 kelompok yaitu : 1. Ketidakpastian fisik, adalah ketidakpastian yang berhubungan dengan keragaman (variability) fisik seperti : beban, sifat material, dan ukuran material. Keragaman fisik ini hanya bisa dinyatakan dalam data sampel, dengan pertimbangan praktis dan ekonomis.
33
2. Ketidakpastian statistical, adalah ketidakpastian yang berhubungan dengan data yang dibuat untuk membuat model secara probabilistik dari berbagai macam keragaman fisik diatas. 3. Ketidakpastian model, yaitu ketidakpastian yang berhubungan dengan tanggapan dari jenis struktur yang dimodelkan secara matematis dalam bentuk deterministik atau
probabilistik.
Ketidakpastian
yang
terjadi
disini
merupakan hasil dari penyederhanaan dengan memakai bermacam-macam asumsi, kondisi batas yang tidak diketahui, dan sebagai hasil dari pengaruh interaksi ketidakpastian yang tidak tercakup dalam model. Sistem dari keandalan pada dasarnya dapat ditunjukkan sebagai problematika antara Demand (tuntutan atau beban) dan Capacity (kapasitas atau kekuatan). Secara tradisional didasarkan atas safety factor (angka keamanan) yang diperkenankan. Ukuran konvensional untuk angka keamanan adalah perbandingan antara asumsi nilai nominal kapasitas, X*, dan beban, Y*, yang dirumuskan sebagai berikut: (2.17) Mengingat nilai nominal dari kapasitas, x* dan beban, y* tidak dapat ditentukan dengan pasti, fungsi-fungsi kapasitas dan beban perlu dinyatakan sebagai peluang sebagimana ditunjukkan pada gambar di bawah. Dengan demikian, angka keamanan dinyatakan dengan perbandingan Z = X / Y dari dua variabel acak X dan Y. Indeks keandalan β, didefinisikan sebagai perbandingan antara nilai rata-rata dan nilai simpangan baku dari margin keselamatan, S, yaitu : (2.18) Jika menggunakan nilai kristis margin keselamatan, S = 0, dan jaraknya dengan nilai rata-rata margin keamanan μs , maka indeks keandalan ini dapat diinterprestasikan sebagai jumlah kelipatan simpangan baku σs pada jarak ini. Artinya, jarak antara S = 0 dengan μs ini dapat dibagi menjadi beberapa simpangan baku. Semakin panjangnya, relatif terhadap simpangan baku, maka
34
semakin besar indeks keandalannya. Selanjutnya, indeks keandalan juga berbanding terbalik dengan koefisien variasi margin keselamatan, atau dapat dituliskan β = 1/Vs .
Gambar 2.13 Fungsi Kerapatan Peluang (fkp) dari Kapasitas X dan Tuntutan Y
Menurut Rosyid (2007) keandalan sebuah komponen atau sistem adalah peluang komponen atau sistem tersebut untuk memenuhi tugas yang telah ditetapkan tanpa mengalami kegagalan selama kurun waktu tertentu apabila dioperasikan dengan benar dalam kurun waktu tertentu. Sistem dari keandalan pada dasarnya dapat ditunjukkan sebagai hubungan antara Demand (tuntutan atau beban) dan Capacity (kapasitas atau kekuatan). Hubungan tersebut dapat digambarkan melalui diagram inteferensi. Peluang kegagalan terdapat pada daerah perpotongan antara Demand (x) dan Capacity (y). Metode Monte Carlo merupakan salah satu metode yang digunakan untuk medapatka nilai keandalan suatu struktur. Perhitungan keandalan berdasarkan ultimate strength juga bisa dilakukan dengan mengguanakan metode tersebut. Nilai keandalan didapatkan dengan cara sebagai berikut: K = 1- Pf
(2.19)
dengan: K
: keandalan
Pf
: peluang kegagalan
35
Halaman Kosong
36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi yang digunakan dalam tugas akhir ini dalam bentuk diagram alir (flowchart) sebagai berikut: Mulai
Studi literatur dan pengumpulan data
Pemodelan geometri dengan software AutoCAD
Mengkonversi model CAD ke software Maxurf
Mengkonversi model Maxurf ke software MOSES
Tidak
Validasi Ya Input data lingkungan pada MOSES Running MOSES untuk mendapatkan respon FPSO akibat beban lingkungan
Tidak Validasi Ya
Perhitungan gaya -gaya yang bekerja pada module support
A
37
A
Pemodelan scantling module support system dengan software ANSYS11
Analisis ultimate strength
Menghitung keandalan struktur
Kesimpulan
Selesai Gambar 3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian
38
Tugas akhir ini berupa penelitian keandalan scantling support structure system gas processing module terhadap beban ekstrem. Dilakukan ultimate strength analysis untuk mendapatkan nilai ultimate strength. Nilai ultimate strength yang didapatkan dianalisis berdasarkan nilai keandalannya. Adapun langkah-langkah untuk pengerjaan tugas akhir ini sebagai berikut:
Studi literatur dan pengumpulan data meliputi mencari serta mempelajari buku, diktat, jurnal, ataupun laporan tugas akhir terdahulu yang membahas pokok permasalahan yang sama atau mirip dengan tugas akhir ini. Literatur tersebut digunakan sebagai acuan ataupun referensi tugas akhir ini. Selain itu, juga dilakukan pencarian mengenai data-data FPSO Belanak sebagai objek tugas akhir.
Pemodelan FPSO dengan AutoCAD, berupa lines plan seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Pemodelan ACAD
Untuk FPSO, yang dimodelkan adalah lines plan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam penentuan koordinat, pengukuran dimensi dan lain-lain.
Pemodelan FPSO dengan Maxsurf untuk mendapatkan koordinat-koordinat dari struktur FPSO seperti ditunjukkan pada Gambar 3.3.
39
Gambar 3.3 Pemodelan Maxurf
Pemodelan dengan Maxsurf, memodelkan struktur FPSO secara lebih detail dan spesifik.
Mengkonversi pemodelan yang dilakukan di Maxurf ke MOSES (Multi Operational Structural Engineering Simulator) seperti pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Pemodelan Moses
Selanjutnya FPSO Belanak dimodelkan dengan software MOSES (Multi Operational Structural Engineering Simulator). Koordinat struktur dari FPSO Belanak diambil dari Maxsurf
Validasi parameter hidorstatis pada MOSES dan Maxurf dengan data hidrostatis dari Conoco Philips.
Running MOSES untuk mendapatkan beban inersia pada FPSO Belanak.
Validasi hasil running dengan data penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
40
Perhtiungan gaya-gaya yang bekerja akibat beban lingkungan dan beban module itu sendiri pada module support.
Memodelkan secara lokal scantling module support system dengan ANSYS 11 untuk mendapatkan respon scantling module support system akibat beban ekstrem seperti ditunjukkan pada Gambar 3.5. 1 ELEMENTS JUL 4 2010 03:42:56
Y Z
X
MODULE_SUPPORT
Gambar 3.5 Pemodelan ANSYS
Pemodelan dengan menggunakan ANSYS 11.0 seperti ditunjukkan pada Gambar 3.5 pada struktur penyangga module, geladak FPSO serta struktur penguat di bawah geladak yaitu stiffener dan bracket. Jenis pemodelan dan perhitungan yang akan dilakukan adalah jenis structural.
Setelah mendapatkan beban keruntuhan scantling module support system FPSO, maka dilakukan perhitungan capacity check (ultimate strength) dengan metode pushover dengan memperhatikan rules pada ABS Buckling and Ultimate Strength Assesent for Offshore Structure.
Perhitungan keandalan scantling support structure system gas processing module terhadap beban ekstrem dengan metode simulasi Monte Carlo.
41
Halaman Kosong
42
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1.
DATA
Data digunakan untuk mendukung analisa yang akan dilakukan dalam menghitung nilai keandalan scantling gas processing module FPSO Belanak terhadap beban ekstrem. Data yang dibutuhkkan antara lain data struktur, mooring, lingkungan, gerakan FPSO, dan data material.
4.1.1. Data Struktur Data struktur meliputi struktur FPSO, topside module, dan scantling gas processing module. 4.1.1.1. Struktur FPSO Dalam tugas akhir ini, obyek yang digunakan adalah Floating Production Storage and Offloading (FPSO) milik Conoco Philips yang bernama Belanak. Berat dari FPSO tersebut yaitu 255.000ton dengan panjang 285m seperti pada Gambar 4.1. memilki kapasitas penyimpanan minyak sebesar 1,0juta barrel. Badan FPSO Belanak dibangun dengan bentuk double side. Konfigurasi single bottom tanpa self propulsion. FPSO Belanak didesain 30tahun tanpa dry docking.
Gambar 4.1 Drawing FPSO Belanak (Conoco, 2002)
43
4.1.1.2. Topside Module Pada FPSO Belanak terdapat beberapa fasilitas topside structure yang biasanya disebut module untuk membantu proses produksi hidrokarbon. Module yang terdapat pada FPSO Belanak seperti ditunjukkan pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Data Module FPSO Belanak (PT. McDermott, 2002) Module P1 Chemical Injection S1 Gas Injection & Metering P2 Export Compressors Train “B” S2 Export Compressors Train “A” P3 Gas Cooling & Treating S3 Gas Regeneration P4 Gas Processing Train ‘A’ S4 Gas Processing Train ‘B’ P5 Oil Separation S5 Oil Import/Export S6 Utility & Sea Water Lift P7 Main Power Gen. Train ‘A’ S7 Main Power Gen. Train ‘B’ C1 Piperack C2 Piperack C3 Piperack C09 Power Control Bldg CFR Flare Boom R1 FWD Riser Porch C08 Workshop R2 Mid-ship Riser Porch T6 Temporary Mis-Misc. Items on Hull TOTAL (including misc. modules):
MT 773 942 1515 1448 1913 1671 2285 2361 1690 1686 1403 1340 1964 832 892 697 951 268 181 340 241 447 964 26,801
Dari data tiap module yang terdapat pada FPSO Belanak, dari berat terkecil yaitu module R1 sebesar 181MT sampai module terberat yaitu module S4 sebesar 2361MT. 4.1.1.3. Scantling Gas Processing Module Gas processing module FPSO Belanak terletak pada train P4 dan S4. Berat module pada train P4 adalah 2285 MT, sedangkan pada train S4 adalah 2361 MT. Oleh karena itu pada tugas akhir ini dilakukan analisa terhadap module terberat yaitu 2361 MT.
44
- Scantling Scantling pada gas processing module terdiri dari support, stiffener, bracket, dan geladak FPSO seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Detail Drawing Scantling Module Support (Conoco, 2002)
- Gas Processing Module Gas processing module disangga oleh delapan struktur penyangga dengan konfigurasi 2x4 pada bagian dasar module seperti ditunjukkan Gambar 4.2. Module ini juga memiliki cerobong yang berbentuk silinder untuk membantu proses produksi dengan elevasi yang cukup tinggi. Ada tiga buah cerobong dengan masing-masing ketinggian adalah 38m, 50m, 53m. Cerobong berbentuk silinder dengan diameter luar OD 7.5m.
4.1.2. Data Mooring Sistem tambat FPSO Belanak digunakan sistem tambat spread mooring dengan jumlah mooring line sebanyak 14. Masing – masing 4-4 at stern dan 3-3 at bow. Dengan spesifikasi mooring sebagai berikut: Type
: 14 Suction Piled Anchor Chains
Size
: 132 mm (5”) VGW R3 Chain
Total Installed Length
: 10,750 m
Max Chain Line pull
: 358 Te (398 Te 2 stall)
45
Fairlead to Chain Burial
: 639 to 755 m
4.1.3. Data Lingkungan FPSO Belanak ditempatkan di blok Natuna dengan kedalaman perairan sebesar 90m. Adapun data gelombang return period untuk 1tahun, 10tahun, dan 100tahun seperti ditunjukkan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Data Gelombang Return Period (Conoco, 2002)
Deskripsi Gelombang 1tahunan 10tahunan 100tahunan
Hs ( m) 2.9 4.1 5.3
Tp (s) 9.1 10.3 11.1
Dari Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa besarnya Hs dan Tp cenderung naik dari kondisi 1tahunan sampai 100tahunan. Data intensitas kejadian angin pada daerah Natuna selama kurun waktu sepuluh tahun, yaitu tahun 2006-2007 seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Intensitas Kejadian Angin Tahun 2006 & 2007 (Wahyudi, 2009) ARAH N NW W SW S SE E NE
CALM 406 0 0 0 0 0 0 0 0 406
1-3
KECEPATAN ANGIN (knots) (nominal) 4-6 7-9 10 - 12 13 - 15 0 0 0 0 0 0 8 30 37 20 0 1 5 1 0 1 7 15 5 0 3 2 13 7 2 0 7 26 19 3 0 3 10 3 0 1 13 14 1 0 0 20 31 6 4 5 61 144 79 29
Jumlah
>16 0 5 0 0 0 1 0 0 0 6
406 100 7 28 27 56 16 29 61 730
Persntase 55.62% 13.70% 0.96% 3.84% 3.70% 7.67% 2.19% 3.97% 8.36% 100%
Kecepatan angin paling dominan adalah adalah dengan kecepatan calm atau tenang sebesar 55.62%. Dari 8 arah mata angin, intensitas paling besar adalah dari arah utara sebesar 13.70%. Sedangkan intensitas terkecil adalah arah angin dari barat laut sebesar 0.96%. Data gelombang metocean untuk wilayah Natuna adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 4.4.
46
Tabel 4.4 Data Gelombang Metocean (Wahyudi, 2009) Wave Class 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
H max
Th max
(m) 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.25
(s) 5.25 6.25 7.37 8.64 9.57 10.18 10.79 11.31 11.69 11.97 12.23 12.47 12.67
Surface Current (m/s) 0.5 0.5 0.5 0.5 0.6 0.6 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8
Mid-Depth Near Bottom Current Current (m/s) (m/s) 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.6 0.6
Number of Cycles 93,350,538 71,519,354 31,774,805 13,717,908 6,707,238 3,461,658 2,802,540 772,997 197,245 45,165 9,160 1,643 281
Dari data gelombang metocean dapat diketahui bahwa gelombang dengan Hmax kecil mempunyai jumlah kejadian yang lebih sering dibandingkan dengan gelombang dengan Hmax besar.
4.1.4. Data Gerakan FPSO Data gerakan FPSO yang diketahui adalah data percepatan FPSO tanpa mooring (free floating) pada kondisi badai. Pada kondisi badai, FPSO akan mendapatkan pengaruh beban yang paling besar (maximum): Tabel 4.5 Data Percepatan Gerakan FPSO pada Kondisi Badai (Conoco, 2002)
Derajad Kebebasan Max. Surge Acc
Percepatan 0.656 m/s2 2
Max. Sway Acc
2.180
m/s
Max. Heave Acc
1.054
m/s2
Roll Acc
3.023
rad/s2
Pitch Acc
0.679
rad/s
Yaw Acc
0.193
rad/s2
2
Percepatan gerakan FPSO pada kondisi badai yang terbesar adalah moda gerakan roll sebesar 3.023 m/s2. Moda gerakan paling kecil terdapat pada gerakan yaw sebesar 0.913 rad/s2.
47
4.1.5. Data Material Material yang digunakan adalah material rolled profile dengan properti seperti ditunjukkan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Data Material Properties (Conoco, 2002)
Material Type Steel Grade Thickness Range (mm) Minimum Yield Stress (N/mm2) Minimum UTS (N/mm2) Modulus Young (E) (N/mm2) Shear Modulus (G) (N/mm2) Poison’s Ratio (υ) Density (ρ) (kg/m3) Coef of Thermal Expansion (α) (/Co)
4 A36 <51 250 400 210,000 80,000 0.3 7,850 12 x 10-6
Material properties yang digunakan pada pemodelan lokal, diperlukan untuk mengetahui perilaku material terhadap beban yang bekerja.
4.2.
PEMODELAN
Pemodelan dilakukan dengan bantuan beberapa software, diantaranya adalah AutoCAD, Maxurf, MOSES, dan ANSYS.
4.2.1. Pemodelan Menggunakan CAD Untuk memudahkan pemodelan FPSO digambarkan dengan bantuan software ACAD seperti disajikan pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Pemodelan Lines Plan FPSO Belanak dengan AutoCAD
48
Untuk FPSO, yang dimodelkan adalah lines plan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam penentuan koordinat, pengukuran dimensi dan lain-lain. Pemodelan dengan AutoCAD juga mempermudah untuk memahami bentuk dari struktur secara visual.
4.2.2. Pemodelan Menggunakan Maxsurf Pemodelan dengan Maxsurf, memodelkan struktur FPSO secara lebih detail dan spesifik. Dimensi-dimensi utama yang didapat dari gambar lines plan pada AutoCAD di-generate ke dalam Maxsurf. Kemudian pada Maxsurf, didetailkan section, buttock, serta waterline dari FPSO Belanak. Serta, dimensi FPSO Belanak untuk tiap section di masukkan, karena dimensi-dimensi per-section tersebut yang akan dikonversi ke software MOSES seperti disajikan pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Pemodelan FPSO Belanak dengan Maxsurf
Pada Gambar 4.4 FPSO dimodelkan tampak depan, samping, atas, dan tampak isometric.
4.2.3. Pemodelan Menggunakan MOSES Selanjutnya FPSO Belanak dimodelkan dengan software MOSES (Multi Operational Structural Engineering Simulator). Koordinat struktur dari FPSO Belanak diambil dari Maxsurf. Untuk pemodelan dan perhitungan hidrostatis, dilakukan dengan MOSES 7.0 seperti pada Gambar 4.5, sedangkan untuk perhitungan hidrodinamis, digunakan MOSES 6.0. Hasil pemodelan dari MOSES 7.0 ditunjukkan pada Gambar 4.6.
49
Gambar 4.5 Pemodelan FPSO dengan MOSES Tampak Depan, Samping, dan Atas
Pemodelan FPSO dilakukan pada MOSES dengan memasukkan dimensi utama dari data yang ada, dengan memasukkan koordinat yang telah didapatkan sebelumnya dari Maxurf. Selanjutnya pemodelan hidrodinamis FPSO, dilakukan pemodelan dengan mooring line agar mendekati keadaan sebenarnya yaitu pada saat FPSO mengalami kondisi ekstrem (badai).
Gambar 4.6 Pemodelan FPSO dengan MOSES dengan Mooring
4.2.4. Pemodelan Menggunakan ANSYS Pemodelan dengan menggunakan ANSYS 11.0 seperti ditunjukkan pada Gambar 4.7 pada struktur penyangga module, geladak FPSO serta struktur penguat di 50
bawah geladak yaitu stiffener dan bracket. Jenis pemodelan dan perhitungan yang akan dilakukan adalah jenis structural. Pada pemodelan ANSYS material properties yang digunakan adalah SHELL93 dengan pertimbangan jenis material ini memiliki 6 DoF. Selain itu jenis material ini juga lebih ringan pada saat dilakukan running model. 1 ELEMENTS JUL 4 2010 03:42:56
Y Z
X
MODULE_SUPPORT
Gambar 4.7 Model Module Support dengan Geladak FPSO
Untuk penentuan ukuran meshing dalam pemodelan ANSYS, terlebih dahulu dilakukan mesh sensitivity analysis. Ukuran meshing divariasikan hingga didapatkan nilai respon struktur cenderung konstan. Sedangkan nilai beban sebagai input adalah nilai yang tetap. Hasil dari mesh sensitivity analysis dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan Gambar 4.8. Pada Tabel 4.7 dan Gambar 4.8 dapat diketahui bahwa jumlah node 9704 nilai tegangan maksimal adalah 1.67 MPa, kemudian jumlah node diperbanyak dari 9722 sampai dengan 9944. Nilai tegangan maksimum yang terjadi masih belum konstan, sehingga perlu jumlah node ditambahkan kembali. Pada jumlah node 24237, nilai tegangan maksimum yang terjadi cenderung konstan pada nilai 1.8 MPa.
51
Tabel 4.7 MSA Jumlah node 9704 9722 9944 10056 12568 13134 16282 24237
σmax 1.67 MPa 1.65 MPa 1.84 MPa 1.8 MPa 1.72 MPa 1.78 MPa 1.8 MPa 1.81 MPa
σmax (MPa)
Mesh Sensitivity Analysis 2.1 1.9 1.7 1.5 1.3 1.1 0.9 0.7 0.5 0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
Jumlah Node
Gambar 4.8 Grafik MSA
Langkah selanjutnya setelah meshing model adalah penentuan syarat batas. Pada pemodelan ini, syarat batas dipilih on line dengan pertimbangan geladak tidak mengalami deformasi pada 6 moda gerakan. Penentuan syarat dapat dilihat pada Gambar 4.9. Setelah penentuan syarat batas, maka dilakukan input pembebanan pada model. Nilai input yang dimasukkan adalah dari hasil perhitungan beban gelombang, angin, dan beban operasional. Input dimasukkan per node, artinya nilai yang kita dapatkan dari hasil perhitungan dibagi dengan jumlah node di mana beban tersebut bekerja.
52
1 AREAS JUL 9 2010 13:04:27
TYPE NUM U ROT
Y Z
X
MODULE_SUPPORT
Gambar 4.9 Penentuan Syarat Batas
4.3.
PERHITUNGAN
Perhitungan yang akan dilakukan adalah perhitungan beban yang akan mengakibatkan keruntuhan pada scantling support structure gas processing module. Beban-beban yang ditinjau adalah beban gelombang, beban angin, dan beban operasional gas processing module.
4.3.1. Perhitungan Beban Gelombang (LTWA) Dalam perhitungan beban gelombang, gelombang yang digunakan adalah gelombang return period untuk 1tahunan, 10tahunan dan 100tahunan. Periode ulang gelombang atau gelombang return period dapat dicari dengan analisis gelombang kurun waktu panjang [LTWA (long-term wave analysis)]. LTWA adalah analisis yang dilakukan terhadap kumpulan data-data gelombang yang telah diperoleh dalam kurun waktu tahunan (minimal 1tahun). Distribusi gelombang dalam kurun waktu panjang dapat didekati dengan distribusi kontinyu dari Weibull pada Persamaan 2.1. Sedangkan Hs dari Hmax digunakan Persamaan 2.2. Untuk perhitungan P(HS), jumlah gelombang total yang terjadi sebesar 224.360.532 kali ditambahkan dengan 0,5kali kejadian gelombang. Nilai 0,5
53
jumlah gelombang adalah untuk mengantisipasi ketaktentuan karena kemungkinan adanya gelombang dengan intensitas di atas Hmax terbesar dari data yang ada. Nilai P(HS) didapat dari pembagian antara kumulatif dari kejadian gelombang dibagi dengan jumlah total kejadian gelombang. Hasil yang didapat dari perhitungan untuk mencari nilai dari semua P(Hs), ln(Ha), dan ln[ln(1- P(Hs))-1] seperti ditunjukkan pada Tabel 4.8 Tabel 4.8 Distribusi Gelombang Wave Class 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
H max (m) 0.5 1 1.5 2 2.5 3 4 5 6 7 8 9 10.25
HS Number of Cycles (m) 0.268817204 93350538 0.537634409 71519354 0.806451613 31774805 1.075268817 13717908 1.344086022 6707238 1.612903226 3461658 2.150537634 2802540 2.688172043 772997 3.225806452 197245 3.76344086 45165 4.301075269 9160 4.838709677 1643 5.510752688 281 Σ= 224360532.5
Cumulative Σ 93350538 164869892 196644697 210362605 217069843 220531501 223334041 224107038 224304283 224349448 224358608 224360251 224360532
P(HS) 0.416073794 0.734843558 0.87646742 0.937609671 0.967504581 0.982933578 0.995424813 0.998870147 0.99974929 0.999950595 0.999991422 0.999998745 0.999999998
ln(HS-a) -1.313723668 -0.620576488 -0.21511138 0.072570693 0.295714244 0.478035801 0.765717873 0.988861425 1.171182982 1.325333661 1.458865054 1.57664809 1.706701218
ln[ln(1-P(HS))-1] -0.61993266 0.28324872 0.73776214 1.020414682 1.231584904 1.40380082 1.684008618 1.914812657 2.115196208 2.294095339 2.456708061 2.609233589 2.991820231
Dari tabulasi perhitungan jumlah gelombang dapat diketahui bahwa jumlah kejadian gelombang sebanyak 224,360,532.5 kali. Gelombang dengan nilai Hmax kecil lebih sering muncul dari pada gelombang dengan Hmax besar. Dari hasil Tabel 4.8 di atas, didapat grafik distribusi seperti ditunjukkan pada Gambar 4.10.
Gambar 4.10 Weibull Distribution
Dari grafik di atas, didapat persamaan trend line yang diperkirakan sesuai dengan sebaran data, yaitu: 54
y 1,102x 0,8956
(4.1)
Persamaan trend line tersebut digunakan untuk mencari nilai ln(H-a) pada saat mencari periode ulang gelombang. Nilai P(Hs) dihitung dengan memasukan durasi terjadinya badai yang menyebabkan timbulnya gelombang. Durasi terjadinya badai yang menyebabkan timbulnya gelombang diasumsikan kurang lebih 3jam. Jadi peluang terjadinya gelombang ekstrem kurun waktu panjang atau PLT(H) adalah sama artinya dengan menghitung peluang terjadinya semua gelombang yang mempunyai intensitas lebih kecil dari gelombang ekstrem tersebut. Hal ini dilakukan dengan mengurangi peluang pasti terjadi, yaitu 1.0, dengan harga perbandingan antara durasi badai Tbadai dan kurun waktu panjang TLT terhadap H, seperti dalam Persamaan 4.2.
PLT ( H ) PH H LT 1
Tbadai ( jam) TLT (tahun) 365 (hari) 24 ( jam)
(4.2)
Contoh perhitungan untuk mengetahui peluang terjadinya gelombang 100tahunan P100(H), adalah:
P100 ( H ) PH H 100 1
3 0.999 996 58 100 365 24
1 1 ln ln 2.533 ln ln 1 0.99999658 1 P( H ) Jika P(HS) sudah didapat, maka dengan persamaan 4.1, didapat nilai ln(H-a). Nilai HS diperoleh dengan meng-inverse nilai dari ln(H-a). Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Perhitungan Periode Ulang Return Period year(s)
P(HS)
1 0.999658 10 0.999966 100 0.999997
ln[ln(1-P(Hs))-1] 2.076855563 2.330387401 2.532466620
ln(Hs-a) 1.074414148 1.304897637 1.488606018
HS (m) 2.93 3.69 4.43
Dari hasil perhtiungan periode ulang gelombang didapatkan nilai Hs untuk 1tahunan, 10 tahunan, dan 100 tahunan. Nilai Hs semakin naik dari 1tahunan sampai 100tahunan.
55
Hasil perhitungan beban gelombang kemudian dibandingkan dengan nilai periode ulang yang sudah ada sebelumnya, yaitu dari data Conoco Philips dan kajian Tugas Akhir sebelumnya. Nilai periode ulang dapat ditunjukkan seperti pada Tabel 4.10 dan Tabel 4.11. Tabel 4.10 Periode Ulang (Conoco, 2002) Return Period year(s) 1 10 100
Hs (m)
Tp (s) 2.9 4.1 5.3
9.1 10.3 11.1
Tabel 4.11 Periode Ulang (Wahyudi, 2009) Return Period year(s) 1 10 100
Hs (m) 2.919 3.674 4.413
Gambar 4.11 Perbandingan Peridoe Ulang
Hasil perhitungan dan data yang ada sebelumnya kemudian dibandingkan, dan apabila diplot pada grafik seperti ditunjukkan pada Gambar 4.11 dapat dilihat bahwa terjadi selisih antara data periode ulang Conoco Philips dengan perhitungan dan kajian Tugas Akhir sebelumnya. Untuk kajian Tugas Akhir ini, data periode ulang gelombang yang digunakan untuk analisa selanjutnya
56
digunakan data periode ulang dari Conoco Philips. Dengan tujuan kesesuaian data di mana struktur tersebut dioperasikan.
4.3.2. Perhitungan Motion FPSO Perhitungan beban gelombang dilakukan untuk mendapatkan, single amplitude accelerations, wave drift force, dan Response Amplitude Operator (RAO) motion dari FPSO untuk lima arah heading gelombang, yaitu arah 0o, 45o, 90o, 135o dan 180o dalam gerak surge, heave, sway, roll, pitch dan yaw. Perhitungan dilakukan pada kondisi Vessel Draft Light yaitu dengan draft 16m, dengan software MOSES 6.0. Kondisi gelombang yang digunakan adalah gelombang 100tahunan. Untuk meyakinkan bahwa pemodelan yang kita lakukan sudah benar maka dilakukan validasi beberapa parameter seperti pada Tabel 4.12. Tabel 4.12 Validasi Parameter T KG Displacement VCB LCB LCF KMT KML
unit m m ton m m m m m
Validasi Conoco Phillips 16.2 12.96 247000 8.185 142.499 142.53 25.581 386.395
Maxsurf 16.2 12.96 246970.64 8.193 142.585 142.542 25.543 385.211
MOSES 16.2 12.96 246247.39 8.22 142.57 142.52 25.63 387.89
% error max-dat mos-dat 0.000 0.000 0.000 0.000 0.012 0.305 0.098 0.428 0.060 0.050 0.008 0.007 0.149 0.192 0.306 0.387
Dari hasil validasi pemodelan dapat diketahui bahwa pemodelan sudah valid, hal ini dapat dilihat dengan membandingkan nilai tiap parameter dari hasil pemodelan sofware Maxurf dan MOSES dengan data asli dari Conoco Philips tidak ada selisih yang besar. Input data untuk perhitungan dengan MOSES 6.0. adalah: - KG (keel to gravity) - Jari-jari girasi - kedalaman perairan di lokasi FPSO beroperasi - tipe spektrum gelombang yang digunakan, yaitu spektrum JONSWAP - arah datang gelombang (heading) - tinggi gelombang 57
- periode gelombang - kecepatan arus Command input file dan output pada MOSES dapat dilihat pada Lampiran B dan Lampiran C di bagian belakang laporan Tugas Akhir ini. Hasil dari perhitungan maximum single amplitude accelerations dengan MOSES 6.0. disajikan pada Tabel 4.13 Tabel 4.13 Output Maximum Single Amplitude Accelerations w/ mooring Heading 0 45 90 135 180
Surge 0.216 0.257 0.000 0.257 0.215
Single Amplitude Acceleration Sway Heave Roll Pitch 0.000 0.232 0.000 0.430 0.250 0.431 0.596 0.572 0.779 1.230 2.455 0.005 0.249 0.426 0.597 0.575 0.000 0.231 0.000 0.430
Yaw 0.000 0.271 0.002 0.271 0.000
Percepatan maksimum FPSO dengan mooring terjadi pada gerakan rotasional roll yaitu sebesar 2.782 rad/s2 dengan arah datang gelombang 90º. Sedangkan pada gerakan translasi, percepatan terbesar pada gerakan heave sebesar 1.230 m/s2 dengan arah datang gelombang 90º. Perbandingan data percepatan free floating dari Conoco Philips serta kajian Tugas Akhir sebelumnya dalam Wahyudi (2009) dengan perhitungan di mana percepatan pada kondisi mooringed disajikan dalam Tabel 4.14. Tabel 4.14 Perbandingan Percepatan FPSO
Dapat diketahui nilai percepatan FPSO dengan mooring cenderung lebih kecil dari pada kondisi FPSO free floating hampir pada setiap moda gerakan.
58
Percepatan hasil perhitungan MOSES 6.0. di atas akan dijadikan input pada ANSYS 11.0. sebagai inertia load. Response Amplitude Operator (RAO) hasil dari MOSES 6.0. untuk gerakan surge, sway, heave, roll, pitch dan yaw dapat dilihat pada Gambar 4.12 s/d Gambar 4.17. Pada software MOSES, output yang dihasilkan sudah dalam bentuk gerakan couple dari bangunan apung. Jadi RAO output sudah dalam bentuk gerakan couple.
RAO
RAO Surge 1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0 deg 45 deg 90 deg 135 deg 180 deg 0
0.5
1
1.5
2
2.5
frekwensi (ω) Gambar 4.12 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Surge
Gerakan surge cenderung besar untuk heading arah head seas (μ = 0°) dan following seas (μ = 180°).Untuk atau quartering seas (μ = 45° dan 135°) nilai amplitude respon menurun dibandingkan arah head seas. Sedangkan untuk arah beam seas (μ = 90°) gerakan surge sangat kecil bahkan tidak terjadi sama sekali.
59
RAO Sway 1.2 1
RAO
0.8
0 deg
0.6
45 deg
0.4
90 deg 135 deg
0.2
180 deg 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
frekwensi (ω) Gambar 4.13 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Sway
Gerakan sway besar untuk heading arah beam seas. Sedangkan untuk arah quartering seas gerakan sway juga terjadi namun tidak sebesar heading arah beam seas. Dan gerakan sway hampir tidak terjadi untuk arah 0° dan 180°.
RAO Heave 1.6 1.4 1.2
RAO
1
0 deg
0.8
45 deg
0.6
90 deg
0.4
135 deg
0.2
180 deg
0 -0.2 0
0.5
1
1.5
2
2.5
frekwensi (ω) Gambar 4.14 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Heave
Gerakan heave cenderung tinggi untuk semua arah heading, pembebanan beam seas mengakibatkan heave paling tinggi.
60
RAO Roll 3 2.5
RAO
2
0 deg
1.5
45 deg 90 deg
1
135 deg 0.5
180 deg
0 -0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
frekwensi (ω) Gambar 4.15 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Roll
Gerakan roll besar untuk heading arah beam seas 90º. Sedangkan untuk arah quartering seas gerakan roll juga terjadi namun tidak sebesar heading arah beam seas. Dan gerakan roll hampir tidak terjadi untuk arah 0° dan 180°.
RAO Pitch 0.6 0.5
RAO
0.4
0 deg
0.3
45 deg 90 deg
0.2
135 deg 0.1
180 deg
0 -0.1
0
0.5
1
1.5
2
2.5
frekwensi (ω) Gambar 4.16 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Pitch
Gerakan picth cenderung besar untuk heading arah head seas (μ = 0°) dan following seas (μ = 180°). Untuk atau quartering seas (μ = 45° dan 135°) nilai 61
amplitude respon menurun dibandingkan arah head seas. Sedangkan untuk arah beam seas (μ = 90°) gerakan pitch sangat kecil bahkan tidak terjadi sama sekali.
RAO Yaw 0.45
0.4 0.35 0.3
0 deg
RAO
0.25
45 deg
0.2
90 deg
0.15 0.1
135 deg
0.05
180 deg
0 -0.05 0
0.5
1
1.5
2
2.5
frekwensi (ω)
Gambar 4.17 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Yaw
Gerakan yaw besar untuk heading arah quartening seas 45º dan 135º. Dan yaw sway hampir tidak terjadi untuk arah datang gelombang lainnya.
4.3.3. Perhitungan Gaya Inersia FPSO yang terkena beban gelombang akan mengalami percepatan pada setiap gerakannya. Fasilitas module yang terdapat di atas FPSO juga mengalami percepatan akibat gerakan FPSO, maka sesuai hukum Newton benda yang mengalami percepatan memiliki gaya. FPSO mengalami gerak translasi dan rotasi akibat beban gelombang. Untuk gerakan translasi, gaya inersia didapatkan dengan persamaan 2.3. F=mxa
(2.3)
Dengan m adalah massa module yaitu 2361 MT. Contoh perhitungan untuk percepatan pada gerakan surge: F = 2361 MT x 0.254 m/s2 = 599.694 KN 62
Untuk gerakan heave ada pengaruh dari gravitasi, maka gaya pada gerakan ini didapatkan dengan menambahkan faktor gravitasi tersebut. F = m (a+g)
(4.3)
= 2361 MT (1.23 m/s2 + 9.81 m/s2) = 26065.44 KN Maka didapatkan gaya untuk tiap gerakan translasi seperti ditunjukkan pada Tabel 4.15. Tabel 4.15 Gaya Inersia Akibat Gerakan Translasi DoF Surge Sway Heave
Inertia Force 606.78 kN 1,839.22 kN 26,065.44 kN
Gaya inersia terbesar untuk gerakan translasi adalah untuk moda gerak heave sebesar 26,065.44 KN, sedangkan gaya inersia terkecil terdapat pada moda gerak surge sebesar 599.69 KN. Sedangkan untuk gerakan rotasional, gaya inersia didapatkan dengan persamaan: I = mr2
(4.4)
dengan, I
= Gaya Inersia (MT.m2)
m
= Massa Module (MT)
r
= Jari-jari girasi (m) F = Iα
(4.5)
dengan, F
= Momen Gaya (KN.m.rad)
I
= Gaya Inersia (MT.m2)
r
= Jari – jari girasi (m)
Jari-jari girasi r pada momen inersia digunakan untuk mentransformasi gerakan rotasional FPSO terhadap module, r adalah jarak COG FPSO terhadap titik berat module.
63
r roll z
x y
r yaw
CL Tampak Depan
CL y
Tampak Atas x z r pitch
Tampak Samping
Gambar 4.18 Posisi Module dari COG FPSO
Gambar 4.18 digunakan untuk menentukan harga jari-jari girasi pada tiap moda gerakan rotasional. Dengan mengetahui posisi COG dari FPSO dan COG module, maka dapat ditentukan transformasi gaya dari COG FPSO ke COG module. Dari Gambar 4.18, diketahui: LCG
=
142.5 m
VCG
=
12.96 m
massa module =
2361
MT
x
=
22.5
m
y
=
16
m
z
=
18.04 m
r roll
=
24.61 m
r pitch
=
29.26 m
r yaw
=
27.61 m
64
Dengan menggunakan Persamaan 4.6 dan Persamaan 4.7, contoh perhitungan untuk percepatan pada gerakan roll: Gaya inersia I = mr2 = (2361/8) MT x 24.612 = 171,597.95 MT.m2 Momen Gaya F = Iα = 171,597.95 MT.m2 x 2.782 rad/s2 = 421,272.97 KN.m.rad Maka nilai beban inersia untuk gerakan rotasional seperti pada Tabel 4.16. Tabel 4.16 Gaya Inersia Akibat Gerakan Rotasional DoF Roll Pitch Yaw
Inertia Force 2 171,597.95 MT.m 2 245,452.98 MT.m 2 224,959.03 MT.m
Momen of Force 421,272.97 kN.m.rad 141,135.47 kN.m.rad 60,963.90 kN.m.rad
Momen gaya terbesar untuk gerakan rotasional adalah untuk moda gerak roll sebesar 3,979,091.86 KN.m.rad, sedangkan momen gaya terkecil terdapat pada moda gerak yaw sebesar 601,090.53 KN.m.rad. Pada pemodelan hidrodinamis dengan bantuan software MOSES selain dapat dicari percepatan pada COG FPSO juga dapat dicari percepatan relatif dari COG FPSO tersebut. Apabila dibandingkan antara hasil perhitungan percepatan pada COG FPSO dan COG module didapatkan hasil dan selisih seperti pada Tabel 4.17. Tabel 4.17 Perbandingan Perhitungan COG FPSO dan COG module DoF surge sway heave
Inertia Force in Translasional Motion (kN) cog fpso cog module % selisih 606.78 547.75 9.73% 1,839.22 1,690.48 8.09% 26,065.44 26,379.45 1.20%
Dari hasil perhitungan antara COG FPSO dan COG module terdapat selisih antara 1% sampai dengan 9% pada gerakan rotasional. 65
Gambar 4.19 Konfigurasi Struktur Penyangga
Gas processing module FPSO Belanak memiliki 8 buah struktur penyangga dengan konfigurasi seperti pada Gambar 4.19. Jarak stuktur penyangga paling dekat dengan centre line FPSO adalah 5 m. Sedangkan ukuran dari gas processing module sendiri adalah 22 x 30 m. Struktur penyangga terdapat pada frame 30 dan 33 dari FPSO. Dengan jarak titik massa antara COG FPSO dengan titik massa tiap struktur penyangga berbeda satu sama lain. Antara leg 1 sampai dengan leg 8 akan mempunyai reaksi yang berbeda dalam menerima beban akibat gerakan FPSO itu sendiri. Oleh karena itu dilakukan perhitungan respon beban pada tiap kaki untuk mengetahui sturktur penyangga yang menerima beban paling kritis. Tabel 4.18 Beban Pada Sturktur Penyangga
leg1 leg2 leg3 leg4 leg5 leg6 leg7 leg8
66
Gaya Aksial (kN) Fz 21200.75 19045.12 15734.20 14810.96 21736.54 19649.86 16496.24 15636.78
Gaya Geser (kN) Momen Geser (kN.m) Resultan Fx Fy Mx My F resultan M resultan 5421.57 21200.75 53001.87 13553.94 31840.33 54707.47 5157.39 19045.12 47612.79 12893.47 28988.62 49327.68 4710.30 15734.20 39335.50 11775.74 24644.24 41060.32 4569.00 14810.96 37027.39 11422.50 23445.76 38749.21 7101.60 21736.54 54341.34 17754.00 33348.01 57168.05 6906.37 19649.86 49124.64 17265.92 30573.69 52070.55 6616.57 16496.24 41240.60 16496.24 26397.88 44417.48 6539.06 15636.78 39091.94 16347.65 25264.58 42372.46
Perhitungan nilai beban yang bekerja pada tiap struktur penyangga terdapat pada Tabel 4.18. Perhitungan digunakan dengan bantuan software MOSES untuk mendapatkan percepatan yang terjadi pada tiap struktur penyangga. Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa struktur penyangga yang menerima beban paling besar adalah pada leg 5 seperti pada Gambar 4.20.
60,000 Respon Beban
50,000 40,000 30,000
F resultan
20,000
M resultan
10,000 0 leg1 leg2 leg3 leg4
leg5
leg6
leg7
leg8
Gambar 4.20 Beban Pada Sturktur Penyangga
Pada Gambar 4.20 diketahui nilai beban yang bekerja pada tiap struktur penyangga akibat rotational motion dari FPSO. Respon akibat gerakan roll memiliki pengaruh paling besar dari pada respon gerakan rotasional lainnya. Leg 5 memiliki respon paling besar dikarenakan memiliki jarak dari COG FPSO lebih jauh dari pada leg yang lainnya. Pada respon gerakan translasi pada tiap struktur penyangga mempunyai percepatan yang sama, sehingga respon beban juga memiliki nilai yang identik. Dikarenakan struktur penyangga pada leg 5 mempunyai respon beban paling kritis diantara struktur penyangga yang lain maka analisa dilakukan pada struktur penyangga terkritis tersebut. Dengan asumsi apabila struktur penyangga terkritis sudah aman dari beban yang bekerja, maka struktur penyangga lainnya diangga aman dari beban.
67
4.3.4. Perhitungan Beban Angin Untuk mengetahui beban angin yang bekerja pada struktur penyangga module, maka dilakukan perhitungan kecepatan angin, gaya angin, dan momen angin. 4.3.4.1. Kecepatan Angin Data kecepatan angin yang diketahui yaitu data kecepatan angin awal (V o) dari 16mata angin pada ketinggian 10m di wilayah Natuna untuk kondisi operasi dan kondisi badai, yaitu kecepatan angin 1 tahunan dan 10 tahunan untuk kondisi operasi, dan 100 tahunan untuk kondisi badai, serta intensitas kecepatan angin selama sepuluh tahun untuk 8 mata angin pada elevasi 2 m. Tabel 4.19 Intensitas Kejadian Angin 2 Tahun ARAH N NW W SW S SE E NE
CALM 406 0 0 0 0 0 0 0 0 406
1-3
KECEPATAN ANGIN (knots) (nominal) 4-6 7-9 10 - 12 13 - 15 0 0 0 0 0 0 8 30 37 20 0 1 5 1 0 1 7 15 5 0 3 2 13 7 2 0 7 26 19 3 0 3 10 3 0 1 13 14 1 0 0 20 31 6 4 5 61 144 79 29
Jumlah
>16 0 5 0 0 0 1 0 0 0 6
406 100 7 28 27 56 16 29 61 730
Persntase 55.62% 13.70% 0.96% 3.84% 3.70% 7.67% 2.19% 3.97% 8.36% 100%
Dari Tabel 4.19 di atas, didapatkan kecepatan angin rata-ratanya yaitu 2.15 m/s. Angin dominan berhembus dari arah N dengan presentase sebesar 13.70%. Data angin tersebut dapat digambarkan pada diagram mawar angin atau wind rose seperti pada Gambar 4.21 Dari wind rose dapat diketahui bahwa arah angin dominan dari arah utara. Dan apabila kita lihat posisi FPSO sebenarnya seperti ditunjukkan pada Gambar 4.22, maka arah datangnya angin berada pada arah 45o FPSO.
68
Gambar 4.21 Wind Rose Perairan Natuna
Gambar 4.22 Posisi FPSO Belanak Terhadap Mata Angin
69
Kecepatan angin (V) pada elevasi y dihitung dengan persamaan:
y V V10 10
1
7
(4.6)
Karena data kecepatan angin awal (Vo) yang diketahui ialah kecepatan angin pada elevasi 2 m, maka kecepatan angin pada elevasi 10 m dapat diketahui dengan persamaan:
V 10
Vh h h 10
1
7
(4.7)
Maka untuk menghitung nilsi kecepatan angin pada elevasi 10 m digunakan Persamaan 4.9.
V 10
2.15
210
1
7
V10 = 2.70 m/s Kecepatan angin yang akan dicari adalah, kecepatan angin pada elevasi 38 m, 50 m, dan 53 m dari geladak pada kondisi Vessel Draft Light yaitu dengan draft 16.2 m dan freeboard 9.8 m. Dengan menggunakan Persamaan 4.8, contoh perhitungan V pada elevasi 28.8 m dari SWL:
28.8 V 2.70 10 V 2.70 2.88
1
1
7
7
3.14 m
s
Hasil yang didapat dari perhitungan kecepatan angin pada elevasi y seperti pada Tabel 4.20 Tabel 4.20 Kecepatan Angin pada Tiap Elevasi
velocity
Velocity on elevation (m/s) Height (m) 28.80 34.80 3.14 3.23
36.30 3.25
Nilai kecepatan angin berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi elevasi maka kecepatan angin juga semakin besar. Dari hasil perhitungan didapatkan 70
kecepatan angin terbesar didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi. Besarnya kecepatan angin pada elevasi 36.30 m adalah 3.25 m/s. 4.3.4.2. Gaya Angin Setelah didapat kecepatan angin untuk semua arah untuk ketinggian yang ditentukan, kemudian dilakukan perhitungan gaya angin. Perhitungan dilakukan pada cerobong module dengan pertimbangan struktur tersebut memiliki ketinggian lebih di mana menyebabkan gaya angin menjadi besar. Selain dilakukan perhitungan pada cerobong, juga dilakukan perhitungan pada frame module yang terdapat equipment di dalamnya. Perhitungan beban angin mengacu pada DnVRP-C205 dan ABS MODU. 1. Beban Angin Pada Cerobong Silinder (DnV, 2007) Pada gass processing module terdapat tiga buah cerobong dengan ketinggian masing-masing 38m, 50m, 53m. Perhitungan beban angin menggunakan Persamaan 2.7
Fw C q S sin
(2.7)
dengan: Fw
=
gaya angin (N)
C
=
koefisien bentuk
q
=
tekanan angin (kg/m2.s2)
S
=
area yang terkena angin (m2)
α
=
sudut antara arah angin dengan sumbu aksial dari member. (deg)
Untuk mendapatkan tekanan angin q, digunakan Persamaan 2.9:
q
1 aU T , z 2 2
(2.9)
Dengan menggunakan Persamaan 2.9, contoh perhitungan untuk nilai tekanan angin q pada elevasi 28.8 m: q = ½ x 1.226 kg/m3 x 3.142 m/s2 = 6.06 kg/m2.s2 Maka, nilai q pada tiap elevasi disajikan pada Tabel 4.21.
71
Tabel 4.21 Nilai q Pada Tiap Elevasi
q
28.80 6.06
nilai q Height (m) 34.80 6.39
36.30 6.47
Nilai tekanan angin “q” berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi elevasi maka tekanan angin “q” juga semakin besar. Dari hasil perhitungan didapatkan tekanan angin “q” terbesar didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi. Besarnya tekanan angin pada elevasi 36.30 m adalah 6.47 kg/m 2.s2. Untuk mendapatkan nilai koefisien bentuk, terlebih daahulu dilakukan perhitungan nilai Reynold Number Re dengan Persamaan 2.8.
DU T , z
Re
a
(2.11)
Dengan: D
=
diameter (m)
UTz
=
kecepatan angin (m/s)
va
=
viskositas kinematis udara (1.55 x 10-5 pada suhu 25o C)
Dengan menggunakan Persamaan 2.11, contoh perhitungan untuk nilai Reynold Number Re pada elevasi 36.3 m:
Re
7.5m 3.14m / s 1.55x10 5 m 2 / s
= 1.57 x 106 Maka, nilai Re pada tiap elevasi dengan diameter cerobong 7.5 m seperti pada Tabel 4.22. Tabel 4.22 Nilai Re pada Tiap Elevasi
Re
28.80 1.52E+06
nilai Re Height (m) 34.80 1.56E+06
36.30 1.57E+06
Nilai Re berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi elevasi maka Re juga semakin besar. Dari hasil perhitungan didapatkan kecepatan angin terbesar didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi. Besarnya Re pada elevasi 36.30 m adalah 1.57 x 106.
72
DnV-RP-C205 memberikan nilai koefisien bentuk efektif berdasarkan nilai Reynold Number seperti Tabel 2.3. Pada gas processing module, nilai kerapatan (solidity ratio) dipilih 0.75 dengan pertimbangan pada module tersebut terdapat banyak equipment sehingga angin masih bisa melewati module. Setelah didapatkan nilai Re dan solidity ratio, maka didapatkan nilai koefisien bentuk pada tiap cerobong seperti pada Tabel 4.23. Tabel 4.23 Nilai Koefisien Bentuk Untuk Efektif Tiap Elevasi
Ce
28.80 1.4
nilai Ce Height (m) 34.80 1.4
36.30 1.4
Nilai koefisien bentuk adalah sama yaitu 1.4, karena memiliki bentuk yang sama dan nilai Re yang sama pula. Ada 3 buah cerobong dengan elevasi berbeda. Besarnya area yang terkena angin untuk tiap cerobong dapat digunakan Persamaan 4.10. S=DxL
(4.8)
dengan: S
= Luas area terkena angin (m2)
D
= Diameter Silinder (m)
L
= Tinggi Silinder (m)
Maka besarnya area tiap silinder seperti pada Tabel 4.24. Tabel.24 Luas Area Terkena Beban Angin
S
Luasan Terkena Beban Angin (m2) Height (m) 28.80 34.80 36.30 210 300 322.5
Besarnya area yang terkena angin berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi elevasi maka besarnya area yang terkena angin juga semakin besar. Dari hasil perhitungan didapatkan besarnya area yang terkena angin terbesar didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi. besarnya area yang terkena angin pada elevasi 36.30 m adalah 322.5 m2. 73
Setelah didapat area dari masing-masing silinder yang terkena angin, dapat dilakukan perhitungan gaya angin. Dengan sudut datang angin adalah 45 o, maka besarnya gaya angin untuk tiap elevasi seperti pada Tabel 4.25. Tabel 4.25 Besarnya Gaya Angin Untuk Tiap Elevasi
wind force
wind force on elevation (N) Height (m) 28.80 34.80 36.30 1259.01 1898.51 2065.66
Besarnya gaya angin berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi elevasi maka besarnya gaya angin juga semakin besar. Dari hasil perhitungan didapatkan besarnya gaya angin terbesar didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi. Besarnya gaya angin pada elevasi 36.30 m adalah 2065.66 N. 2. Beban Angin Pada Frame Module (DnV, 2007) Pada module frame dipengaruhi oleh solidification effect Φ, maka untuk mencari gaya angin digunakan Persamaan 2.8.
dengan, Fw,sol = Gaya angin (N) Ce
= Koefisien bentuk efektif
q
= tekanan angin
S
= area yang terkena gaya angin (m2)
Φ
= solidity ratio
α
= sudut antara arah angin dengan sumbu aksial dari member. (deg)
Dimensi gas processing module, diketahui: L module
= 22 m
B module
= 30 m
H module
= 10 m
Pengertian dari solidification effect Φ adalah perbandingan antara luasan area solid yang terkena beban angin dengan luasan frame searah dengan arah datangnya angin. Untuk mendapatkan beban ekstrem maka kerapatan equipment pada module dianggap flat, sehingga nilai solidification effect Φ adalah: 74
A module
= 22 x 10 = 220 m2
A equipment = 22 x 10 = 220 m2 maka, Φ
= 220/220 =1
Dengan memasukkan nilai Φ pada Tabel 2.3 didapatkan nilai koefisien efektif Ce, yaitu: Ce
= 2.0
Untuk mendapatkan tekanan angin q, digunakan Persamaan 2.9:
q
1 aU T , z 2
(2.9)
Ketinggian module terdapat pada elevasi 14.8 dari SWL, dengan Persamaan 4.8 maka kecepatan angin pada elevasi tersebut adalah:
14.8 V 2.70 10 V 2.70 1.48
1
1
7
7
2.86 m
s
Maka nilai tekanan angin q adalah: q = ½ x 1.226 kg/m3 x 2.86 m/s2 = 5.01 Besarnya area yang terkena beban angin (S) adalah: A = 22 x 10 = 220 m2 Maka besarnya beban angin pada module, dengan Persamaan 2.8 dan sudut datang angin 45o adalah: Fw,sol = 2.0 x 5.61 x 220 x 1 x sin 45o = 2124.34 N Hembusan angin dominan dari arah NE atau bagian depan FPSO. Gas Processing Module terletak di dekat bagian tengah FPSO, dengan kata lain angin tidak langsung mengenai frame module tersebut. Karena frame gas processing module berada pada dua atau lebih frame paralel satu sama lain berada dibelakang arah
75
angin, maka perlu diperhakikan nilai shielding effect. Untuk mencari beban angin digunakan Persamaan 2.12.
Nilai shielding factor η didapatkan dari Tabel 2.4 diketahui, Φ
= 0.75
centre-centre of frame
= 15 m
frame dimension
= 30 m
a
= 1.6 (dianggap flat untuk mendapatkan beban ekstrem)
maka, α
= 15/30 = 0.5
β
= Φ x β = 0.75 x 1.6 = 1.2
jadi nilai shielding factor η adalah: η
= 0.71
Jadi nilai beban angin yang bekerja pada Gas Processing Module dengan mempertimbangkan shielding factor adalah: Fw,SHI = 2124.34 x 0.71 = 1508.28 N 3. Beban Angin Pada Cerobong Silinder (ABS, 2001) Pada gass processing module terdapat tiga buah cerobong dengan ketinggian masing-masing 38m, 50m, 53m. Freeboard FPSO adalah 12.1m, maka elevasi tiap cerobong dari SWL secara berurutan adalah 31.1m, 37.1m, 38.6m. F = 0.5 ρ Vk2 Ch Cs A dengan, ρ
=
berat jenis udara (1.22 kg/m3)
Vk
=
kecepatan angin (m/s)
Ch
=
height coefficient
Cs
=
shape coefficient
A
=
Luas permukaan yang terkena beban angin (m2)
76
Nilai Ch untuk tiap cerobong didapatkan dengan menggunakan Tabel 2.5. Maka didapatkan nilai Ch untuk tiap elevasi seperti pada Tabel 4.26. Tabel 4.26 Nilai Ch pada Tiap Elevasi
Ch
28.80 1.3
Ch Height (m) 34.80 1.37
36.30 1.37
Nilai Ch pada elevasi 28.80 adalah 1.3, sedangkan pada elevasi 34.80 dan 36.30 mempunyai nilai Ch yang sama yaitu 1.37 karena terdapat dalam satu range ketinggian yang telah ditentukan oleh ABS (2001). Nilai Cs untuk tiap cerobong didapatkan dengan menggunakan Tabel 2.6. Maka didapatkan nilai Cs untuk tiap elevasi seperti pada Tabel 4.26 Tabel 4.27 Nilai Cs pada Tiap Elevasi
Cs
28.80 0.5
Cs Height (m) 34.80 0.5
36.30 0.5
Nilai Cs pada tiap elevasi adalah sama karena memiliki bentuk yang sejenis pada tiap cerobong. Luasan permukaan terkena beban angin (A) didapatkan dengan: A=DxL
(4.9)
Untuk cerobong pada elevasi 28.8, panjang cerobong silinder yang terkena angin didapatkan dengan Persamaan 4.12. L = Hcyl – Hmodule
(4.10)
= 38 – 10 = 28 m Jadi dengan menggunakan Persamaan 4.11 didapatkan luas permukaan terkena beban angin (A) untuk cerobong silinder elevasi 28.8 adalah: A = 7.5 x 28 = 210 m2 Luasan untuk tiap elevasi seperti pada Tabel 4.28.
77
Tabel 4.28 Luasan pada Tiap Elevasi
A
28.80 210.0
A Height (m) 34.80 300.0
36.30 322.5
Besarnya area yang terkena angin berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi elevasi maka besarnya area yang terkena angin juga semakin besar. Dari hasil perhitungan didapatkan besarnya area yang terkena angin terbesar didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi. besarnya area yang terkena angin pada elevasi 36.30 m dari SWL adalah 322.5 m 2. Jadi beban angin untuk tiap elevasi seperti pada Tabel 4.29. Tabel 4.29 Beban Angin pada Tiap Elevasi
F
28.80 822.6
F Height (m) 34.80 1307.3
36.30 1422.3
Besarnya gaya angin berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi elevasi maka besarnya gaya angin juga semakin besar. Dari hasil perhitungan didapatkan besarnya gaya angin terbesar didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi. Besarnya gaya angin pada elevasi 36.30 m adalah 1422.30 N. 4. Beban Angin Pada Frame Module (ABS, 2001) Beban angin didapatkan dengan menggunakan Persamaan (2.13) F = 0.5 ρ Vk2 Ch Cs A diketahui, L module
= 22
m
B module
= 30
m
H module
= 10
m
maka luasan terkena angin (A) A
= 220 m2
Elevasi module = (Hmodule / 2 )+ Freeboard FPSO = 10/2 + 9.8
78
= 14.8 m Kecepatan angin pada elevasi 14.8 m dari SWL adalah
14.8 V 2.70 10 V 2.70 1.48
1
1
7
7
2.86 m
s
Nilai Ch dan Cs dapat diperoleh dengan Tebel 2.5 dan 2.6 Ch = 1 Cs = 1 Jadi nilai beban angin pada module frame adalah: F = 0.5 x 1.22 x 2.862 x 1 x 1 x 220 = 1494.79 N 5. Perbandingan Beban Angin DnV dan ABS Dari hasil perhitungan diatas didapatkan hasil sebagai berikut: DnV Fw cyl
= 2065.66 N
Fw module
= 1508.28 N
ABS F cyl
= 1422.30 N
F module
= 1494.79 N
Dari hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa dengan menggunakan metode yang diberikan oleh DnV didapatkan beban lebih besar dari pada ABS. Oleh karena itu pada kajian Tugas Akhir ini digunakan hasil perhitungan menggunakan metode DnV. 4.3.4.3. Momen Angin Dari gaya angin dapat dicari momen yang terjadi pada sambungan module dengan geladak akibat gaya angin. Momen dicari dengan cara mengalikan gaya dengan panjang lengan. Panjang lengan adalah jarak antara titik pada elevasi tertentu yang terkena gaya angin dengan titik pada module didekat sambungan dengan geladak dimana dilakukan perhitungan.
79
Pada gas processing module gaya angin bekerja pada dua bagian, yaitu cerobong silinder dan frame module. Maka momen angin diidapatkan dengan menggunakan Persamaan 4.13. M = (F x l)cyl + (F x l)mod
(4.11)
Untuk silinder panjang lengannya antara lain 38 m, 50 m, dan 53 m. Perhitungan untuk momen pada lengan terpanjang yaitu 53 m dikarenakan memiliki momen paling besar. M = (2440.83 x 53) + (1240.33 x 10) = 129363.75 + 12403.27 = 141767.02 N.m Hasil yang didapat kemudian digunakan sebagai input untuk software ANSYS 11.0.
4.3.5. Perhitungan Beban Operasional Dengan asumsi titik berat module tepat berada di tengah seperti ditunjukkan pada Gambar 4.23, maka perhitungan beban operasional dapat dilakukan. Titik berat diambil tepat ditengah karena keterbatasan data dari Gas Processing Module itu sendiri.
W=mxg Gambar 4.23 Beban Operasional
Massa total dari gas processing module adalah 2361MT. Untuk mendapatkan berat operasional digunakan persamaan 2.14 W=mxg W = 2361 MT x 9.81 m/s2 = 23161.41 kN
80
(2.12)
4.3.6. Perhitungan Ultimate Strength Untuk mengetahui kekuatan ultimate struktur terhadap beban yang bekerja maka dilakukan analisa pushover yaitu pembebanan dinaikkan sampai struktur tersebut mengalami tegangan melewati nilai UTS, yaitu 400 MPa. ABS (2005) menyatakan nilai basic utilization factor untuk kondisi lingkungan ekstrem 100 tahunan adalah 0.8. Seperti ditunjukkan pada Tabel 4.30.
Tabel 4.30 Basic Utilization Factors (ABS, 2005) Load Conditions
Enviromental Events
Basic Utilization Factors
Loadout
Calm
0.60
Ocean Transit
10-year-return storm for the selected
0.8
route condition (Owner specified) Field Transit
1-year-return storm for selected route
0.8
condition (Owner specified) Deck Installation
Calm
0.6
In-place Design Operating
1-year-return storm (minimum)
0.60
In-place Design Enviromental
100-year-return storm at specific site
0.8
In-place Damaged
1-year return storm
0.80
Oleh karena itu, struktur dianggap pada kondisi aman apabila tegangan yang terjadi tidak melebihi 0.8 x UTS = 320 MPa. Pada pembebanan ekstrem aktual combine load meliputi beban gelombang, angin, dan operasional, didapatkan nilai tegangan maksimum yang terjadi adalah 96 MPa. Pada saat beban dinaikkan 2 kali dari nilai ekstrem aktual combine load, tegangan maksimum yang dialami struktur adalah 192 MPa atau dengan kata lain masih belum mencapai nilai UTS. Tegangan maksimum baru melewati nilai UTS pada saat pembebanan dinaikkan 7 kali dari ekstrem aktual combine load , nilai tegangan maksimum yang terjadi adalah 424 MPa. Nilai peningkatan beban dan tegangan maksimum yang terjadi dapat kita lihat pada Tabel 4.31. 81
Tabel 4.31 Load Factor
increment factor 1 2 3 3.5 4 5 6 7
σmax (Mpa) 96 192 289 337 326 369 401 424
Gambar 4.24 Grafik Pushover
Dari Gambar 4.24 dapat dilihat pada kenaikan beban sampai 3.5 kali, tegangan maksimum yang terjadi sudah melewati batas tegangan ijin. Tegangan maksimum yang terjadi adalah 337 MPa. Jenis kegagalan yang terjadi adalah kegagalan plastis, hal ini dapat diketahui dari sifat material baja A36 di mana material ini memiliki σy 250 MPa. Ketidak linearan kurva menunjukkan sifat material yang tidak linear.
82
1
NODAL SOLUTION JUN 27 2010 22:14:55
STEP=1 SUB =9 TIME=1 SEQV (AVG) DMX =.010707 SMN =102916 SMX =.424E+09
MX Y
Z
X
MN
102916
.472E+08
.944E+08
.142E+09
.189E+09
.236E+09
.283E+09
.330E+09
.377E+09
.424E+09
MODULE_SUPPORT
Gambar 4.25 Hasil Running ANSYS11
Hasil pemodelan dengan software ANSYS seperti pada Gambar 4.25, sebaran tegangan terjadi pada sistem penyangga module. Tegangan terdistribusi pada masing-masing bagian struktur, mulai dari geladak, stifner, bracket, sampai struktur penyangga itu sendiri. Diantara distribusi tegangan yang terjadi pada sistem penyangga module, terdapat tegangan maksimum yang nilainya paling besar diantara tegangan lainnya. Dari hasil pemodelan, diketahui bahwa lokasi tegangan maksimum pada saat kondisi pembebanan ekstrem dan pada saat kondisi kegagalan puncak adalah berbeda seperti ditunjukkan pada Gambar 4.26 dan Gambar 4.27.
83
1 NODAL SOLUTION JUN 30 2010 13:05:00
STEP=1 SUB =9 TIME=1 SEQV (AVG) DMX =.010707 SMN =102916 SMX =.424E+09 MX
Y Z
102916
.472E+08
.944E+08
.142E+09
.189E+09
.236E+09
.283E+09
.330E+09
X
.377E+09
.424E+09
MODULE_SUPPORT
Gambar 4.26 Lokasi Tegangan Maksimum Saat Beban Ultimate
Pada saat struktur diberi pembebanan puncak, tegangan maksimum yang terjadi sebesar 424 MPa. Tegangan maksimum yang terjadi sudah melebihi nilai σult dari material sebesar 400 MPa, maka struktur tersebut mengalami deformasi plastis. 1 NODAL SOLUTION JUL 5 2010 08:53:23
STEP=1 SUB =1 TIME=1 SEQV (AVG) DMX =.705E-03 SMN =25933 SMX =.961E+08
MX
Y Z 25933
X
.107E+08
.214E+08
.321E+08
.427E+08
.534E+08
.641E+08
.748E+08
.854E+08
.961E+08
MODULE_SUPPORT
Gambar 4.27 Lokasi Tegangan Maksimum Saat Beban Ekstrem
Tegangan yang terjadi pada struktur saat terjadi kondisi pembebanan ekstrem adalah sebesar 96 MPa. Lokasi tegangan maksimum terjadi di tempat yang 84
berbeda pada saat terjadinya kegagalan ultimate. Perbedaan lokasi tegangan maksimum yang terjadi diakibatkan oleh bentuk geometri dari struktur penyangga serta material properties struktur tersebut. Dengan mempertimbangkan nilai basic utilization factor yang diberikan oleh ABS rules, maka dalam kondisi aman karena pada kondisi ekstrem tegangan yang terjadi adalah 96 MPa. Sementara tegangan ijin adalah 0.8 x UTS = 320 MPa. Dari hasil analisa pushover dan bantuan software ANSYS11 dapat diketahui bahwa struktur mengalami kegagalan ultimate jenis plastis deformation akibat beban ekstrem yang bekerja pada penegar di atas geladak FPSO seperti ditunjukkan pada Gambar 4.28.
Gambar 4.28 Deformasi Plastis
Bentuk deformasi platis seperti ditunjukkan pada Gambar 4.28 terjadi deformasi kearah samping dari FPSO. Apabila dilihat lebih seksama, desain dari sistem struktur penyangga sudah tepat. Dapat dilihat bahwa struktur penyangga diletakkan pada bulkhead sehingga dapat menambah kekakuan dari struktur penyangga tersebut. Kemudian stiffner di atas geladak juaga diberi penguat tambahan, hal ini dimaksudkan agar mampu menahan beban yang bekerja. 85
4.3.7. Perhitungan Keandalan Analisa keandalan dilakukan dua kali, pertama dilakukan pada lokasi tegangan ekstrem (lokal) dan yang kedua pada struktur sistem pondasi (global). Keandalan pada kondisi ekstrem dihitung pada tiap increment beban pushover, sehingga akan diketahui keandalan pada kondisi ultimate failure. Perhitungan keandalan dilakukan dengan menggunakan metode simulasi monte carlo dengan moda kegagalan: MK = σult – σext
(4.12)
dengan: MK
= Moda Kegagalan
σult
= tegangan ultimate
σext
= tegangan ekstrem
Struktur akan gagal jika nilai MK < 0, sebaliknya struktur dikatakan sukses apabila MK > 0. Nilai L (Load) yang bekerja adalah tegangan ekstrem. Sedangkan nilai R (Resistance) merupakan UTS dikalikan utilization factor yang diberikan oleh ABS (2005). Dalam konsep ini perancang dapat menggambarkan suatu sistem dengan segala hal yang mempengaruhi atau mengakibatkan kerusakan pada sistem tersebut misalnya kondisi pembebanan, ketahanan struktur, kondisi lingkungan yang lebih mendekati keadaan yang sebenarnya karena melibatkan aspek ketidakpastian dalam analisanya. Dalam analisa keandalan sistem struktural maka perlu untuk mendefinisikan ketidakpastian yang diterima oleh struktur. Pada analisa keandalan dalam studi kasus ini, ketidakpastian pemodelan perlu dipertimbangkan. Pemodelan dilakukan dengan metode elemen hingga, oleh karena itu parameter ketidakpastian yang dipertimbagkan antara lain area meshing dan panjang meshing, hal ini mempengaruhi jarak node dari sumbu acuan seperti ditunjukkan pada Tabel 4.32.
86
Tabel 4.32 Parameter Ketidakpastian Pemodelan FEM
parameter area lines
distribusi lognormal weibull
mean 0.33708 0.48144
std dev 0.17051 0.30188
cov 50.59 62.7
Dengan mengetahui parameter ketidakpastian maka kita dapat menentukan random variable pada persamaan moda kegagalan. Random variable yang digunakan adalah nilai σmax dari output pemodelan. Simulasi Monte Carlo dilakukan dengan tabulasi agar lebih mudah seperti terdapat pada Lampiran E. Untuk memperoleh hasil yang akurat, maka simulasi delakukan sebanyak 10,000 kali. Untuk menentukan akurasi dari jumlah simulasi, maka dilakukan pencatatan nilai Pof pada setiap jumlah tertentu sehingga didapatkan nilai keandalan yang cenderung konstan. Setelah dilakukan simulasi monte carlo didapatkan nilai keandalan load increment factor beban seperti pada Tabel 4.33. Pada kenaikan beban 2 kali nilai keandalan adalah 1.0. Sedangkan pada kenaikan beban 3 kali ke atas, nilai keandalan menurun, pada kenaikan beban 3 kali nilai keandalan 0.8482. Pada kenaikan beban 7 kali, nilai keandalan mendekati nilai nol yaitu 0.0074. Tabel 4.33 Nilai Keandalan
load factor 1 2 3 3.5 4 5 6 7
σmax
Pof
K
(Mpa) 96 192 289 337 326 369 401 424
0 0 0.151 0.6943 0.5617 0.9131 0.9795 0.9936
1 1 0.849 0.3057 0.4383 0.0869 0.0205 0.0064
Dengan menggunakan metode yang sama keandalan pada sistem struktur penyangga, dilakukan perhitungan keandalan. Dari 10,000 kali simulasi didapatkan hasil sebagai berikut: Σsucces
= 10,000
Σfail
=0
87
Pof
=0
K
=1
Jadi keandalan sistem pondasi (global) K = 1.0
88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
KESIMPULAN
Dari hasil analisa yang telah dilakukan terhadap scantling gas processing module FPSO Belanak dengan berat module 2361 MT didapatkan kesimpulan: 1. Pada kondisi lingkungan ekstrem, yang dipengaruhi oleh beban angin, gelombang, dan operasional respon maksimum pada struktur yang sebenarnya terjadi adalah σmax = 96 MPa, artinya struktur tidak mengalami kegagalan. Harga maksimal ini masih jauh di bawah kekuatan ultimate struktur yang sebesar 400 MPa. 2. Sehubungan hasil pada butir 1), dan setelah dilakukan analisis keandalan dengan metode Monte Carlo diperoleh keandalan scantling support structure system FPSO Belanak terhadap beban ekstrem adalah K=1.0. 3. Untuk memperoleh indikasi tingkat kegagalan maka dilakukan analisis pushover dengan peningkatan interval beban sampai dengan 0.8 x σ ult material (kriteria ABS) yaitu 320 MPa. Kegagalan terjadi pada sekitar 3 kali pembebanan kondisi ekstrem lingkungan. Dengan demikian kegagalan yang terjadi adalah kegagalan plastis dengan keandalan K=0.8482. Oleh karena itu, moda kegagalan yang terjadi pada struktur adalah deformasi plastis. 4. Untuk memperoleh indikasi tingkat kegagalan yang lebih tinggi lagi maka dilanjutkan analisis pushover dengan peningkatan interval beban sampai dengan σult material yaitu 400 MPa. Kegagalan terjadi pada sekitar 7 kali pembebanan kondisi ektrem lingkungan, kegagalan yang terjadi adalah kegagalan plastis dengan keandalan K=0.0074. Oleh karena itu, moda kegagalan yang terjadi pada struktur adalah deformasi plastis.
5.2.
SARAN
Saran yang dapat diberikan dari kajian Tugas Akhir ini adalah: 1. Daerah paling kritis pada kondisi ekstrem terdapat pada struktur penegar support structure di atas geladak, sehingga daerah tersebut perlu mendapatkan perhatian lebih pada saat inspeksi.
89
2. Untuk kajian tugas akhir selanjutnya, struktur module juga perlu dimodelkan sehingga didapatkan hasil lebih akurat. Sehingga dapat dibandingkan hasil dari pendekatan pemodelan secara lokal pada dengan pemodelan keseluruhan.
90
DAFTAR PUSTAKA ABS Rules For Building And Classing Mobile Offshore Drilling Units. 2001. Part 3 – Hull Construction & Equipment. Houston. ABS. 2005. Commentary on the Guide – Buckling and Ultinmate Strength Assessment for Offshore Structures. Houston. ABS. 2004. Guide For - Buckling and Ultinmate Strength Assessment for Offshore Structures. Houston Al-Obaid, Y. F. 1994. Automated Analysis of Topside Platform Hatch Covers Subject To Drill Collar Impact. PAAET. Kuwait. Ang, H. S. dan Tang, W. H. 1985. Probability Concepts In Engineering Planning And Design. New York : John Wiley. Ayyub, B.M. dan Gilberto F.M.S. 2001. Reliability-Based Methodology for Life Prediction of Ship Structures. Baker M.J. dan Wyatt,T.A, 1979. ”Methods of Reliability Analysis for Jacket Platform”. Journal of Behaviour of Offshore Structures. London. Battacharyya, R. 1978. Dynamic of Marine Vehicles. John Wiley and Sons Inc., New York. Barltrop, N. dan Okan, N., 200. FPSO Bow Damage in steep waves. John Wiley and Sons Inc. New York. Brockenbrough, R. L. dan Merrit, F.S. 1978. Structural Steel Designer’s Handbook. McGraw-Hill Inc., Pennsylvania. Brynjoifsson, S and Leonard, J. W. 1987. Response of Guyed Offshore Towers to Stochastic Loads: Time Domain vs. Frequency Domain. Oregon State University. USA Bunce, J. W. 1977. Analysis of The Interaction Between The Module Structures and The Deck of an Offshore Oil Production Platform.Pergamon Ltd., Great Britain. Cameron, J et all. 1997. Ultimate Strength Analysis of Inland Tank Barges. USCG Marine Safety Center. Chakrabarti S. K. 2005. Handbook of Offshore Engineering Volume I. Offshore Structure Analysis Inc. Planfield, Illinois, USA.
91
Das I. A. Khan, P. K. and Parmentier G. 2006, Ultimate Strength and Reliability Analysis of a VLCC, 3rd International ASRANet Colloquium, Glasgow. Djatmiko, E. B., 2003, Fatigue Analysis, Kursus Singkat Offshore Structure Design And Modelling, Surabaya. DnV Recommended Practice C205. 2007. Enviromental Loads and Enviromental Conditions. Norway. Ewing, J. A. 1990. Wind, Wave and Current Data for the Design of Ships and Offshore Structures. Elsevier Science Publishers Ltd. England. Gregersen, E. M and Hagen O. 1989. Uncertain in Data For The Offshore Environment. A.S Veritas Research. Norway. Hagemeijer, P.M. 1990. Estimation of Drag/Inertia Parameters Using TimeDomain Simulations and The Prediction of Extreme Response. Shell Exploratie en Produktie Labolatorium. Nehterlands. http://noladishu.blogspot.com/2007/06/mars-oil-and-engineering.html http://www.jrayMcDermott.com/projects/Belanak-FPSO__90.asp ISOSC. 2006. Ultimate strength. Nagasaki. Japan. Martins, M.R. 2007. Inertial and hydrodynamic inertial loads on floating units. University of Sao Paulo. Sao Paulo McDermott, J. 2004. Belanak Natuna FPSO Technical Data. Jray McDermott. Indonesia. Murdjito, 2009. Presentasi Mata Kuliah Olah Gerak Bangunan Apung. Teknik Kelautan ITS. Surabaya. Naess, A., 1985, Fatigue Handbook Offshore Steel Structure, Trondheim. Nguyen, T. D. 2009. Scantling Optimazition Ropax Ship. University of Liege. O’Brein, D. P et all. 1993. Recent Developments in Offshore Rig/Platform Evacuation. Memorial University of Newfoundland. Canada. Palmer, A. C. 1997. Breakup of Firewall Between The B and C Modules of Piper Alpha Platform-I. Analysis by Hand Calculation. University of Cambridge. UK. Philips, Conoco. 2002. Belanak Special Structures Module Supports Detail of Support Type 1. Conoco Indonesia Inc. Ltd., Indonesia.
92
Rosati, L et all. 2007. Enchanced Solution Strategis for Ultimate Strength Analysis of Composite Steel-Concentrate Sections Subject to Axial Force and Biaxial Bending. University di Napoli Faderico II. Italy. Rosyid, D.M. 2007. Pengantar Rekayasa Keandalan. Airlangga University Press. Surabaya. Shetty, N. K et all. 1998. Fire Safety Assessment and Optimal Design of Passive Fire Protection for Offshore Structures. Elsevier Science Limited. Northern Ireland. UKOOA. 2002. Buckling and Ultinmate Strength Assessment for Offshore Structures. Glasgow. Wahyudi, Y. A. N., 2009, Analisis Fatigue dengan Spectral Analysis pada Crane Pedestal Floating Production Storage and Offloading (FPSO) Belanak. Jurusan Teknik Kelautan ITS. Surabaya. Windergen, K V. 1994. Course and Strength of Accidental Explosions on Offshore Installations. Christian Michelsen Research. Norway. Zachary, S et all. 1998. Multivariance Extrapolation in the Offshore Environment. Elsevier Science Ltd. England.
93
94
FPSO BELANAK
95
SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM
96
&dimen -save -dimen meters k-nts &device -cecho y -mecho n -prim screen -secondary device &title Belanak $ &set demo = .false. &MACRO CETAK NAMES &SELEC :N -SEL %NAMES &IF %DEMO &THEN &DEVICE -PRIMARY SCREEN &SUBTITLE %SUBT TAMPAK ISOMETRI &PICT ISO -parent :N &LOCAL DUM = &GET(YES/NO ) &IF &STRING(MATCH %DUM% YES) &THEN &ENDIF &SUBTITLE %SUBT TAMPAK ATAS &PICT TOP &LOCAL DUM = &GET(YES/NO ) &IF &STRING(MATCH %DUM% YES) &THEN &ENDIF &SUBTITLE %SUBT TAMPAK DEPAN &PICT BOW &LOCAL DUM = &GET(YES/NO ) &IF &STRING(MATCH %DUM% YES) &THEN &ENDIF &SUBTITLE %SUBT TAMPAK SAMPING &PICT STARB &LOCAL DUM = &GET(YES/NO ) &IF &STRING(MATCH %DUM% YES) &THEN &ENDIF &ELSE &DEVICE -PRIMARY DEVICE &SUBTITLE %SUBT TAMPAK ISOMETRI &PICT ISO -parent :N &SUBTITLE %SUBT TAMPAK ATAS &PICT TOP &SUBTITLE %SUBT TAMPAK DEPAN &PICT BOW &SUBTITLE %SUBT TAMPAK SAMPING &PICT STARB &ENDIF &ENDMACRO $ &surface &set lft = 1. &set bft = 1. &set hft = 1. block Belanak -location 0 0 0 PLANE 0.000*%lft% -cart 0.000*%bft% 27.000*%hft% \ 4.750*%bft% 27.000*%hft% \ 14.000*%bft% 26.619*%hft% PLANE 4.833*%lft% -cart 0.000*%bft% 18.000*%hft% \ 14.000*%bft% 18.000*%hft% \ 18.603*%bft% 26.429*%hft% PLANE 14.500*%lft% -cart 0.000*%bft% 0.000*%hft% \ 14.000*%bft% 0.000*%hft% \ 28.228*%bft% 26.032*%hft% PLANE 15.287*%lft% -cart 0.000*%bft% 0.000*%hft% \ 14.801*%bft% 0.000*%hft% \ 29.000*%bft% 26.000*%hft% PLANE 29.250*%lft% 75.000*%lft% 142.500*%lft% 210.000*%lft% 255.750*%lft% \ -cart 0.000*%bft% 0.000*%hft% \ 26.470*%bft% 0.000*%hft% \ 27.125*%bft% 0.086*%hft% \ 27.735*%bft% 0.339*%hft% \ 28.259*%bft% 0.741*%hft% \ 28.661*%bft% 1.265*%hft% \ 28.914*%bft% 1.875*%hft% \ 29.000*%bft% 2.530*%hft% \ 29.000*%bft% 26.000*%hft% PLANE 269.713*%lft% -cart 0.000*%bft% 0.000*%hft% \ 14.801*%bft% 0.000*%hft% \ 29.000*%bft% 26.000*%hft% PLANE 270.500*%lft% -cart 0.000*%bft% 0.000*%hft% \
97
PLANE
280.167*%lft%
-cart
PLANE
285.000*%lft%
-cart
14.000*%bft% 28.228*%bft% 0.000*%bft% 14.000*%bft% 18.603*%bft% 0.000*%bft% 4.750*%bft% 14.000*%bft%
0.000*%hft% 26.032*%hft% 18.000*%hft% 18.000*%hft% 26.429*%hft% 27.000*%hft% 27.000*%hft% 26.619*%hft%
\ \ \ \ \
end &set subt = Belanak cetak Belanak rename Belanak emit Belanak -body Belanak emit Belanak -piece ' -diftyp 3ddif' &dimen -remember end &finish
$@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@ @@@@@@$ $ $ $ Response Amplitude Operators (RAOs) $ $ $ $@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@ @@@@@@$ $***************************************************************** *** set basic parameter &DIMEN -DIMEN METERS M-TONS &DEVICE -OECHO NO -QUERY NO -PRIMARY DEVICE -AUXIN FPSO.Belanak.dat &TITLE Response Amplitude Operators and Wave Drift Force $ $***************************************************************** *** Read model $ &set arah = 180 &set iterasi = 1e3 $ INMODEL $ $***************************************************************** *** set initial condition $ &INSTATE -CONDITION 16.2 $ $***************************************************************** *** plot model $ &PLTMODEL VESSEL PIC ISO PIC SIDE PIC TOP END $ $***************************************************************** *** compute weight for cond. $
98
&WEIGHT -COMPUTE FPSO 12.96 0.32*38 0.29*285 0.29*285 $ $ &EQUI -iter_max %iterasi% &status b_w hard &status F_connect &status force &dcptime Time for Equilibrium $ $********************************************* DEFINE MOORING LINES $ MEDIT *MLA 270 29 27 *MLB 270 -29 27 *MLC 15 29 27 *MLD 15 -29 27 ~CHAIN ALINE 90 -DEP 90 -LEN 770.0 -BUOY 0 -WTPL 0.237 B_TENSION 690.00 CONNECTOR 1 -ANC 45 50 ~CHAIN *MLA CONNECTOR 2 -ANC 60 50 ~CHAIN *MLA CONNECTOR 3 -ANC 75 50 ~CHAIN *MLA CONNECTOR 4 -ANC -45 50 ~CHAIN *MLB CONNECTOR 5 -ANC -60 50 ~CHAIN *MLB CONNECTOR 6 -ANC -75 50 ~CHAIN *MLB CONNECTOR 7 -ANC 105 50 ~CHAIN *MLC CONNECTOR 8 -ANC 120 50 ~CHAIN *MLC CONNECTOR 9 -ANC 135 50 ~CHAIN *MLC CONNECTOR 10 -ANC 150 50 ~CHAIN *MLC CONNECTOR 11 -ANC -105 50 ~CHAIN *MLD CONNECTOR 12 -ANC -120 50 ~CHAIN *MLD CONNECTOR 13 -ANC -135 50 ~CHAIN *MLD CONNECTOR 14 -ANC -150 50 ~CHAIN *MLD END $ $********************************************* MOVE ANCHORS $ &CONNECTOR @ -A_TENSION 690.00 &DCPTIME TIME TO CONNECT $ $********************************************* MOORING TABLES $ CONN_DESIGN TABLE 1 REPORT END MOVE TKR -LINE 0.0 REPORT VLIST PLOT 1 5 -NO REPORT END END &DCPTIME TIME TO END MOORING DESIGN $ $***************************************************************** *** hydrodynamics menu
99
$ HYDRODYNAMICS g_pressure FPSO -heading %arah% V_MDRIFT REPORT END $ &set gma = 2.5 $gamma $ &env sea_100 -depth 90 -sea jonswap %arah% 5.30 -current 0.90 %arah% \ -wind 4.15 %arah%
11.10 %gma% \
$ end_&data &set post_env = sea_100 $ $***************************************************************** **** frequency respons FREQ_RESP RAO $***************************************************************** *** std post processing &loop env %post_env &describe body FPSO FR_POINT &BODY(CG FPSO) report END st_point %env REPORT END &endloop END_FREQ_RESP $ $***************************************************************** ***** all done $ &FINISH
100
Page
5
Licensee - My Company Rev 6.00.025 *************************************************************************************************************** * *** MOSES *** * * ---------------June 9, 2010 * * Response Amplitude Operators and Wave Drift Force * * * * Draft = 16.2 Meters Trim Angle = 0.00 Deg. GMT = 12.63 Meters * * Roll Gy. Radius = 12.2 Meters Pitch Gy. Radius = 82.6 Meters Yaw Gy. Radius = 82.6 Meters * * Heading = 90.00 Deg. Forward Speed = 0.00 Knots Linearization Based on 1/ 20 * * * ***************************************************************************************************************
Ser562
+++ M O T I O N R E S P O N S E O P E R A T O R S +++ ========================================================= Of Point X =
142.5 Y =
0.0 Z =
13.0 on Body FPSO
Process is DEFAULT: Units Are Degrees, Meters, and M-Tons Unless Specified E N C O U N T E R -------------------Frequency Period -(Rad/Sec)- -(Sec)0.2513 0.3142 0.3307 0.3491 0.3696 0.3927 0.4189 0.4333 0.4488 0.4654 0.4833 0.5027 0.5236 0.5464 0.5712 0.5984 0.6283 0.6614
25.00 20.00 19.00 18.00 17.00 16.00 15.00 14.50 14.00 13.50 13.00 12.50 12.00 11.50 11.00 10.50 10.00 9.50
Surge / Sway / Heave / Roll / Pitch / Yaw / Wave Ampl. Wave Ampl. Wave Ampl. Wave Ampl. Wave Ampl. Wave Ampl. /--------------/ /--------------/ /--------------/ /--------------/ /--------------/ /--------------/ Ampl. Phase Ampl. Phase Ampl. Phase Ampl. Phase Ampl. Phase Ampl. Phase 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0.
1.178 1.000 0.967 0.932 0.896 0.858 0.815 0.792 0.767 0.740 0.711 0.679 0.645 0.604 0.558 0.504 0.436 0.349
91. 91. 91. 91. 92. 92. 92. 92. 93. 93. 93. 94. 94. 95. 95. 96. 98. 104.
0.945 0.967 0.977 0.992 1.014 1.046 1.096 1.130 1.174 1.227 1.290 1.355 1.395 1.355 1.183 0.923 0.668 0.466
1. 1. 1. 1. 1. 0. -1. -2. -4. -7. -11. -18. -28. -41. -55. -68. -76. -79.
0.503 0.649 0.694 0.747 0.810 0.885 0.977 1.030 1.090 1.159 1.240 1.336 1.455 1.594 1.779 2.035 2.386 2.749
91. 90. 90. 90. 90. 90. 90. 90. 90. 90. 90. 90. 90. 87. 84. 79. 70. 52.
0.002 0.002 0.003 0.003 0.003 0.003 0.004 0.004 0.005 0.005 0.006 0.007 0.007 0.007 0.006 0.004 0.002 0.001
166. 159. 157. 154. 150. 145. 138. 133. 126. 117. 104. 86. 63. 33. 1. -27. -46. -58.
0.019 0.007 0.006 0.005 0.004 0.003 0.002 0.002 0.002 0.002 0.001 0.001 0.001 0.001 0.000 0.000 0.001 0.001
-83. -79. -77. -75. -73. -71. -68. -66. -65. -63. -61. -59. -56. -46. 0. 0. 50. 46.
101
0.6981 0.7392 0.7854 0.8378 0.8976 0.9666 1.0472 1.1424 1.2566 1.3963 1.5708 2.0944 Page
6
9.00 8.50 8.00 7.50 7.00 6.50 6.00 5.50 5.00 4.50 4.00 3.00
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0.
0.287 0.308 0.299 0.256 0.211 0.168 0.117 0.098 0.067 0.040 0.028 0.011
120. 136. 139. 147. 158. 175. -173. -127. -87. -36. 63. 63.
0.320 0.217 0.143 0.087 0.070 0.039 0.022 0.009 0.021 0.004 0.001 0.000
-78. -73. -66. -55. -38. -23. 3. 33. -119. 143. 76. 0.
2.830 2.213 1.150 0.576 0.289 0.125 0.079 0.037 0.008 0.018 0.006 0.001
22. -17. -37. -33. -23. -9. -169. 44. 1. -16. 112. 52.
0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
-63. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0.
Licensee - My Company Rev 6.00.025 *************************************************************************************************************** * *** MOSES *** * * ---------------June 9, 2010 * * Response Amplitude Operators and Wave Drift Force * * * * Draft = 16.2 Meters Trim Angle = 0.00 Deg. GMT = 12.63 Meters * * Roll Gy. Radius = 12.2 Meters Pitch Gy. Radius = 82.6 Meters Yaw Gy. Radius = 82.6 Meters * * JONSWAP Height = 5.3 Meters Period = 11.1 Sec. M. Heading = 90.0 Deg. * * S. Coef.=200.0 Gamma = 2.50 * * * *************************************************************************************************************** +++ M O T I O N S T A T I S T I C S +++ =========================================== Of Point X =
142.5 Y =
0.0 Z =
13.0 on Body FPSO
Maximum Responses Based on a Multiplier of
3.720
Process is DEFAULT: Units Are Degrees, Meters, and M-Tons Unless Specified Single Amplitude Motions ------------------------
Root Mean Square Ave of 1/3 Highest
102
0.002 0.001 0.001 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Surge ----0.348 0.695
Sway ---0.000 0.000
Heave ----0.358 0.717
Roll ---0.000 0.000
Pitch ----0.603 1.207
Yaw --0.000 0.000
Mag --0.499 0.999
25. -4. -18. -15. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. Ser562
Ave of 1/10 Highest Maximum
0.886 1.293
0.000 0.000
0.914 1.333
0.000 0.000
1.539 2.245
0.000 0.000
1.273 1.857
Pitch ----0.261 0.523 0.667 0.972
Yaw --0.000 0.000 0.000 0.000
Mag --0.198 0.397 0.506 0.738
Single Amplitude Velocities ---------------------------
Root Mean Square Ave of 1/3 Highest Ave of 1/10 Highest Maximum
Surge ----0.137 0.274 0.349 0.509
Sway ---0.000 0.000 0.000 0.000
Heave ----0.144 0.287 0.366 0.534
Roll ---0.000 0.000 0.000 0.000
Single Amplitude Accelerations -----------------------------Surge ----0.058 0.116 0.148 0.215
Page
7
Sway ---0.000 0.000 0.000 0.000
Heave ----0.062 0.124 0.158 0.231
Roll ---0.000 0.000 0.000 0.000
Pitch Yaw Mag --------Root Mean Square 0.116 0.000 0.085 Ave of 1/3 Highest 0.231 0.000 0.170 Ave of 1/10 Highest 0.295 0.000 0.217 Maximum 0.430 0.000 0.316 Licensee - My Company Rev 6.00.025 *************************************************************************************************************** * *** MOSES *** * * ---------------June 9, 2010 * * Response Amplitude Operators and Wave Drift Force * * * * * ***************************************************************************************************************
Ser562
+++ I N D E X O F O U T P U T +++ ===================================== PROPERTIES OF LINE 1 . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
RESTORING FORCE VS EXCURSION OF FPSO . . . . . . . . .
2
MEAN WAVE DRIFT FORCES FOR FPSO
. . . . . . . . . . .
4
. . . . . . . . . . . . . .
5
STATISTICS . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
MOTION RESPONSE OPERATORS MOTION
103
INDEX OF OUTPUT
Page
5
. . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
Licensee - Minimal MOSES Rev 7.00.044 *************************************************************************************************************** * *** MOSES *** * * ---------------4 June, 2010 * * Hydrostatics of Belanak Natuna FPSO * * ENGINEER : fahmy * * * ***************************************************************************************************************
Ser501
+++ H Y D R O S T A T I C P R O P E R T I E S +++ =================================================== For Body FPSO Process is DEFAULT: Units Are Degrees, Meters, and M-Tons Unless Specified /--- Condition ---//- Displac-/ /-- Center Of Buoyancy --// W.P. / /C. Flotation / /---Draft Trim Roll ---X--- ---Y--- ---Z--- Area ---X--- ---Y--- -KMT18.20 18.30 18.40 18.50 18.60 18.70 18.80 18.90
104
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
278343.44 279936.41 281530.13 283124.41 284719.50 286315.13 287911.44 289508.31
142.50 142.50 142.50 142.50 142.50 142.50 142.50 142.50
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
9.24 9.29 9.34 9.39 9.44 9.50 9.55 9.60
15536. 15542. 15548. 15555. 15561. 15567. 15574. 15580.
142.50 142.50 142.50 142.50 142.50 142.50 142.50 142.50
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
24.77 24.74 24.71 24.68 24.65 24.63 24.60 24.58
Metacentric Heights ----/ -KML-BMT-BML352.69 351.21 349.74 348.28 346.85 345.43 344.02 342.63
15.53 15.45 15.37 15.29 15.21 15.13 15.05 14.98
343.46 341.92 340.40 338.89 337.40 335.93 334.47 333.03
OUTPUT ANSYS PADA KONDISI EKSTREM LINGKUNGAN PRINT S NODAL SOLUTION PER NODE
***** POST1 NODAL STRESS LISTING *****
LOAD STEP=
1 SUBSTEP=
TIME= 1.0000
1
LOAD CASE= 0
SHELL NODAL RESULTS ARE AT TOP
NODE S1
S2
S3
SINT
SEQV
1 0.29327E+07-0.70496E+07-0.15805E+08 0.18738E+08 0.16239E+08 2 -0.82664E+06-0.19109E+07-0.14981E+08 0.14154E+08 0.13644E+08 4 0.20596E+07 0.19061E+06-0.90028E+07 0.11062E+08 0.10256E+08 6 0.22974E+07 98063. -0.71881E+07 0.94855E+07 0.85994E+07 8 0.20311E+07 -8250.7 -0.51197E+07 0.71509E+07 0.63805E+07 10 0.22508E+07-0.30713E+06-0.50824E+07 0.73332E+07 0.64468E+07 12 0.21151E+07-0.43690E+06-0.52780E+07 0.73930E+07 0.65041E+07 14 0.14472E+07-0.58584E+06-0.56562E+07 0.71034E+07 0.63364E+07 16 0.15747E+07-0.70469E+06-0.81653E+07 0.97401E+07 0.88240E+07 18 0.45976E+07 37091. -0.26492E+08 0.31089E+08 0.29078E+08 20 0.52961E+07 -6248.7 -0.25249E+08 0.30545E+08 0.28269E+08 22 0.53271E+07 16943. -0.24717E+08 0.30044E+08 0.27773E+08 24 0.54343E+07 6398.5 -0.25581E+08 0.31015E+08 0.28689E+08 26 0.48307E+07 10715. -0.28496E+08 0.33327E+08 0.31197E+08 28 0.34875E+07 2848.2 -0.34790E+08 0.38278E+08 0.36660E+08 30 36350. -0.41758E+06-0.25218E+08 0.25254E+08 0.25030E+08 32 0.37065E+07 16108. -0.26504E+08 0.30211E+08 0.28545E+08
105
34 0.13219E+07-0.12463E+06-0.26540E+08 0.27862E+08 0.27167E+08 36 0.13987E+06-0.18136E+07-0.26576E+08 0.26716E+08 0.25794E+08 38 50987. -0.36634E+07-0.26591E+08 0.26642E+08 0.24993E+08 40 26819. -0.39937E+07-0.26581E+08 0.26608E+08 0.24843E+08 42 25495. -0.29918E+07-0.26556E+08 0.26581E+08 0.25209E+08 44 33353. -0.15465E+07-0.26531E+08 0.26564E+08 0.25811E+08 47 0.28590E+06 -15711. -0.25350E+08 0.25636E+08 0.25487E+08 49 0.62385E+06 7892.6 -0.25725E+08 0.26349E+08 0.26047E+08 51 0.10462E+07 -2012.4 -0.26404E+08 0.27450E+08 0.26941E+08 53 0.10039E+07 2485.8 -0.27598E+08 0.28602E+08 0.28115E+08 55 0.34915E+06 -4687.9 -0.30149E+08 0.30499E+08 0.30323E+08 63 9022.2 -0.21275E+07-0.30656E+08 0.30665E+08 0.29655E+08
***** POST1 NODAL STRESS LISTING *****
LOAD STEP=
1 SUBSTEP=
TIME= 1.0000
1
LOAD CASE= 0
SHELL NODAL RESULTS ARE AT TOP
NODE S1
S2
S3
SINT
SEQV
95 -6394.3 -0.35893E+07-0.26785E+08 0.26779E+08 0.25179E+08 97 -1407.5 -0.19506E+07-0.26181E+08 0.26180E+08 0.25261E+08 99 -4005.6 -0.15552E+07-0.25306E+08 0.25302E+08 0.24563E+08 101 5027.1 -0.18028E+07-0.25396E+08 0.25401E+08 0.24547E+08 103 -20005. -0.25021E+07-0.26213E+08 0.26193E+08 0.25044E+08 111 -5677.6 -0.33969E+07-0.26566E+08 0.26560E+08 0.25038E+08 113 -2337.6 -0.19858E+07-0.25845E+08 0.25843E+08 0.24910E+08 115 -4173.6 -0.16169E+07-0.25010E+08 0.25006E+08 0.24240E+08
106
117 6564.9 -0.16834E+07-0.25170E+08 0.25176E+08 0.24375E+08 119 -19470. -0.21710E+07-0.26089E+08 0.26069E+08 0.25063E+08 127 -5997.0 -0.32549E+07-0.27084E+08 0.27078E+08 0.25608E+08
***** POST1 NODAL STRESS LISTING *****
LOAD STEP=
1 SUBSTEP=
TIME= 1.0000
1
LOAD CASE= 0
SHELL NODAL RESULTS ARE AT TOP
NODE
1826
3078
9781
5707
5707
VALUE -0.10624E+08-0.38676E+08-0.98429E+08 35453.
30704.
MAXIMUM VALUES NODE
9837
849
6216
9781
9781
VALUE 0.39247E+08 0.91478E+07 0.20054E+07 0.98429E+08 0.91362E+08
107
Halaman Kosong
108
Keandalan pada saat kondisi ekstrem lingkungan Σdata 10 100 500 1000 2000 3000 4000 5000 10000
Σsucces 10 100 500 1000 2000 3000 4000 5000 9999
Σfail
Pof 0 0 0 0 0 0 0 0 1
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
K 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Keandalan pada saat 2 kali kondisi ekstrem lingkungan Σdata 10 100 500 1000 2000 3000 4000 5000 10000
Σsucces 10 100 500 1000 2000 3000 4000 5000 9999
Σfail
Pof 0 0 0 0 0 0 0 0 1
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
K 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
109
Keandalan pada saat 3 kali kondisi ekstrem lingkungan Σdata 10 100 500 1000 2000 3000 4000 5000 10000
110
Σsucces 8 83 425 855 1695 2543 3397 4238 8489
Σfail 2 17 75 145 305 457 603 762 1511
Pof 0.200 0.170 0.150 0.145 0.153 0.152 0.151 0.152 0.151
K 0.800 0.830 0.850 0.855 0.848 0.848 0.849 0.848 0.849
Keandalan pada saat 3.5 kali kondisi ekstrem lingkungan Σdata 10 100 500 1000 2000 3000 4000 5000 10000
Σsucces 4 30 148 305 613 908 1186 1518 3057
Σfail 6 70 352 695 1387 2092 2814 3482 6943
Pof 0.600 0.700 0.704 0.695 0.694 0.697 0.704 0.696 0.694
K 0.400 0.300 0.296 0.305 0.307 0.303 0.297 0.304 0.306
Keandalan pada saat 4 kali kondisi ekstrem lingkungan Σdata 10 100 500 1000 2000 3000 4000 5000 10000
Σsucces 6 48 230 447 861 1312 1743 2207 4383
Σfail 4 52 270 553 1139 1688 2257 2793 5617
Pof 0.400 0.520 0.540 0.553 0.570 0.563 0.564 0.559 0.562
K 0.600 0.480 0.460 0.447 0.431 0.437 0.436 0.441 0.438
Keandalan pada saat 5 kali kondisi ekstrem lingkungan Σdata 10 100 500 1000 2000 3000 4000 5000 10000
Σsucces 1 7 41 80 157 253 343 438 869
Σfail 9 93 459 920 1843 2747 3657 4562 9131
Pof 0.900 0.930 0.918 0.920 0.922 0.916 0.914 0.912 0.913
K 0.100 0.070 0.082 0.080 0.079 0.084 0.086 0.088 0.087
111
Keandalan pada saat 6 kali kondisi ekstrem lingkungan Σdata 10 100 500 1000 2000 3000 4000 5000 10000
112
Σsucces 1 5 9 16 37 52 76 99 205
Σfail 9 95 491 984 1963 2948 3924 4901 9795
Pof 0.900 0.950 0.982 0.984 0.982 0.983 0.981 0.980 0.980
K 0.100 0.050 0.018 0.016 0.019 0.017 0.019 0.020 0.021
Keandalan pada saaAt 7 kali kondisi ekstrem lingkungan Σdata 10 100 500 1000 2000 3000 4000 5000 10000
Σsucces 0 0 4 6 14 19 24 30 64
Σfail 10 100 496 994 1986 2981 3976 4970 9936
Pof 1.000 1.000 0.992 0.994 0.993 0.994 0.994 0.994 0.994
K 0.000 0.000 0.008 0.006 0.007 0.006 0.006 0.006 0.006
Keandalan tiap kenaikan beban load factor 1 2 3 3.5 4 5 6 7
σmax
Pof
K
(Mpa) 96 192 289 337 326 369 401 424
0 0 0.151 0.6943 0.5617 0.9131 0.9795 0.9936
1 1 0.849 0.3057 0.4383 0.0869 0.0205 0.0064
Keandalan sistem pada saat kondisi ekstrem lingkungan
Σdata Σsucces 10 10 100 100 500 500 1000 1000 2000 2000 3000 3000 4000 4000 5000 5000 10000 9999
Σfail 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Pof 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
K 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
113
BIODATA PENULIS Fahmy Ardhiansyah dilahirkan di kota Ponorogo tepatnya pada tanggal 22 Juni 1987. Anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Munardji dan Nur Aini. Penulis menempuh pendidikan formal dari TK sampai SMA di kota Ponorogo. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Mangkujayan 1 pada tahun 2000, kemudian melanjuktak ke SMPN 1 Ponorogo (2000-2003), SMAN 2 Ponorogo (2003-2006). Setelah lulus sekolah, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di Jurusan Teknik Kelautan FTK – ITS melalui jalur PMDK Reguler dan terdaftar dengan NRP. 4306100037. Selema kuliah penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, seminar,
penelitian
bersama
dosen.
Organisasi
kemahasiswaan
seperti
HIMATEKLA, KAMMI 1011, BAHRUL ILMI, dan Legislatif Mahasiswa ITS telah diikuti dalam rangka untuk pengembangan dirinya. Pada masa kuliah penulis juga menjadi asisten dosen dalam mata kuliah Sistem dan Operasi Kelautan, selain itu juga melakukan penelitian tentang aplikasi pemecah gelombang terapung. Saat ini penulis penulis tengah menekuni salah satu bidang keahlian di Jurusan Teknik Kelautan, yaitu bidang Hidrodinamika dan Struktur Bangunan Lepas Pantai. Tugas Akhir dengan judul Analisis Keandalan Scantling Support Structure System Gas Processing Module FPSO Belanak Terhadap Beban Ekstrem dapat diselesaikan dalam waktu satu semester oleh penulis.
Contact Person: Email:
[email protected] [email protected]
115