ANALISIS KAJIAN LANDASAN PENDIDIKAN: “Pro-Kontra Full Day School” Dosen: Arie Rakhmat Riyadi, M.Pd.
OLEH:
FARADISSA NURUL FAIDAH
(1608145)
DEPARTEMEN PENDIDIKAN ILMU KOMPUTER FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2017
Pro-Kontra Full Day School Kamis, 01 Jan 1970 (Kamis 28 Sept 2016 sesuai tertera pada link)
Seorang pelajar kelas II SDN di daerah Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Ariq, gelisah mendengar adanya rencana sekolah seharian penuh (full day school). Dia takut waktu bermain dan belajar di rumahnya tersita. "Kelamaan," kata dia kepada Republika awal pekan ini. Setiap Senin sampai Kamis, Ariq belajar di sekolah selama 3,5 jam. Pada Jumat hingga Sabtu, selama 2,5 jam. Setelah pulang sekolah, Ariq menghabiskan waktunya dengan bermain, seperti bersepeda, mengaji, main puzzle, menonton televisi, bermain gim. Pada Ahad, Ariq juga mengikuti didikan Subuh. "Nanti kalau sampai sore, gimana ngajinya," ujar dia. Seorang ibu dua anak yang tinggal di Kota Padang, Sumatra Barat, Febrianti, mengaku kurang setuju dengan kebijakan sekolah seharian. Alasannya, banyak sarana-prasarana sekolah yang tidak mendukung, seperti toilet, air bersih, serta tempat istirahat yang layak. Selain itu, ia khawatir anak-anak akan jenuh selama di sekolah. Ia membandingkan pendidikan di Finlandia, salah satu negara yang mempunyai kualitas pendidikan terbaik di dunia. Negara tersebut hanya mempunyai jam belajar-mengajar selama empat hingga lima jam. Sementara, Indonesia dengan jam belajar yang lebih lama justru masih amburadul. "Kebijakan menterinya ngawur, harus dihentikan. Full day juga juga bikin anak jauh dari keluarga. datang pagi, pulang sore," ujar dia. Untuk jenjang sekolah dasar, menurut dia, daya tahan anak tidak sanggup menjalani sekolah seharian. Sedangkan, dari kalangan guru, Liliana, yang bertugas di Padang, mengaku setuju pemerintah menerapkan kebijakan sekolah seharian. Namun, selama ini ia belum pernah mendengar penjelasan secara resmi dari Dinas Pendidikan Kota Padang. Selama
ini, Liliana mengaku mengetahui wacana sekolah seharian dari informasi yang beredar di media masa. Meski menyatakan kesiapannya, Liliana dan rekan guru lainnya butuh pelatihan pengajaran sekolah seharian. "Kalau tidak ada pelatihan, gimana cara penerapannya? Salah arah nanti," kata dia.
Dari artikel yang telah saya baca dan pahami, menurut saya full day school ini memiliki kelebihan dan kekurangan dalam waktu yang bersamaan baik untuk guru maupun peserta didik. Manusia dan Pendidikan (Pendidikan sebagai humanisasi) Telah kita pahami bahawa manusia adalah makhluk yang perlu dididik dan dapat dididik. Di pihak lain telah kita pahami pula bahwa eksistensi manusia adalah untuk menjadi manusia. Inilah seharusnya , sebagaimana diyatakan Karl Japers bahwa: “to be a man is to become a man” / ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973). Adapun manusia akan dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan. Implikasinya maka pendidikan tiada lain adalah humanisasi (upaya memanusiakan manusia). Prinsip sosialitas meingimplikasi bahwa pendidik mempunyai kemungkinan untuk dapat mempengaruhi peserta didik. Namun demikian, humanisasi bukanlah pembentukan peserta didik atas dasar kehendak sepihak dari pendidik. Peserta didik bukanlah objek yang harus dibentuk pendidik. Alasannya, bahwa peserta didik hakikatnya adalah subjek yang otonom. Kita harus menyadari prinsip individualitas/personalitas ini. Sesuai dengan prinsip ini bahwa yang berupaya mewujudkan potensi kemanusiaan itu adalah peserta didik sendiri. Sedangkan dari artikel yang saya baca kementrian pendidikan dan kebudayaan beserta presiden menerapkan full day school ini agar membentuk karakter peserta didik itu tersendiri, tetapi menurut saya itu tidak sepenuhnya berlaku dikarenakan setiap individu memiliki karakter yang berbeda. Terutama bagi peserta didik Sekolah Dasar yang seharusnya memiliki waktu istirahat dirumah bersama orangtua dan waktu bersosial dengan lingkungan rumahnya menjadi berkurang. Bisa saja full day school ini menjauhkan anak dari orangtua atau lingkungan rumah. Karna dari yang kita ketahui bahwa pendidikan tidak hanya terdapat pada sekolah saja, tetapi ada pendidikan keluarga, pendidikan di bimbingan belajar dan lain lain. Proses pendidikan berlangsung diberbagai lingkungan/lembaga yang bersifat formal, informal dan non formal.
Landasan sosiologi dan antropologis pendidikan (Pendidikan informal dan formal) Pendidikan informal adalah pendidikan yang berlangsung atau terselenggara secara wajar (alamiah) didalam lingkungan sehari –hari. Pendidikan informal antara lain berlangsung di dalam keluarga, pergaulan anak sebaya, pergaulan tempat bekerja, kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, pelaksanaan adat kebiasaan oleh masyarakat, dsb. Pengetahuan, sikap, nilai-nilai, norma-norma, adat kebiasaan, dan keterampilan-keterampilan tertentu diwariskan masyarakat dan diperoleh anak atau individu anggota masyrakat antara lain melalui pendidikan yang bersifat informal itu. Keluarga adalah lingkungan pendidikan yang bersifat informal karena suatu keluarga dibangun bukan pertama-tama sebagai pranata pendidikan, namun demikian, pada kenyataannya secara wajar didalam keluarga berlangsung pendidikan yang diselenggarakan orang tua kepada anak-anaknya. Pendidikan dalam keluarga terselenggara atas dasar tanggung jawab kodrati dan atas dasar kasih sayang yang secara naluriah ada pada diri orang tua. Di samping itu, cara-cara pelaksanaan pendidikan dalam keluarga berlangsung tidak dengan caracara yang formal dan artificial, melainkan melalui cara-cara dan dalam suasana yang wajar. Pendidikan informal dalam masyarakat antara lain dapat berlangsung melalui adat kebiasaan, pergaulan anak sebaya, upacara adat, pergaulan, di lingkungan kerja, permainan, pagelaran kesenian, dan bahkan melalui percakapan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kita analisis, semuanya itu tentunya mengandung muatan pengetahuan, nilai-nilai, normanorma, sikap, keterampilan, dst. yang dengan cara-cara yang wajar/informal dalam kehidupan sehari-hari (tidak dirasakan sebagai pendidikan oleh individu) diwariskan oleh masyarakat kepada generasi mudanya. Dalam koteks ini pendidikan merupakan pewarisan sosial yang berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat. Fungsi pendidikan sekolah dapat dikemukakan fungsi-fungsi sebagai berkut: 1. Fungsi transmisi kebudayaan masyarakat. 2. Fungsi sosialisasi (memilih dan mengajarkan peranan sosial). 3. Fungsi integrasi sosial.
4. Fungsi mengembangkan kepribadian individu/anak. 5. Fungsi mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan. 6. Fungsi inovasi/men-transformasi masyarakat dan kebudayaan. Perbedaan sosialisasi di Sekolah dan di dalam keluarga, jika menurut George Herbert Mead, manusia yag baru lahir belum mempunyai diri (self) manusia. Diri manusia berkembang melalui interaksi dengan anggota masyarakatnya. Adapun perkembangan diri manusia berlangsung tahapan: play stage, game stage, dan generalized other. Pada tahap play stage anak kecil mulai mengambil peranan orang-orang yang berada di sekitarnya melalui cara meniru peranan orang tuanya atau orang dewasa lain yang sering berinteraksi dengannya dikala mereka bermain. Pada tahap game stage anak bukan hanya telah mengetahui peranan yang harus dijalakannya, tetapi telah pula mengetahui pernana yang harus dilakukan orang lain dengan siapa anak berinteraksi. Pada tahap generalized, anak telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa berinteraksi. Anak telah mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain di masyarakat. Selaku anak ia telah memahami peranan yang dilakukan orang tua; selaku peserta didik ia telah memahami peranan yang dilakukan oleh guru, dsb. Menurut Mead, jika seseorang telah mencapai tahap ini maka orang tersebut telah mempunyai suatu diri. Pandangan Mead, menunjukkan bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain (Kamanto Sunato,(1993). Menurut Kamanto Sunarto (1993) pemikiran Dreeben dipengaruhi oleh dikhotomi Talcott Parsons – misalnya anatara ascriptions dan achievement, particularism dan universalism, diffusinnes dan specifity. Keempat perbedaan itu adalah: 1. Kemandirian (independence) Di sekolah anak mulai belajar hidup lepas dari orang tuanya. Kalau dirumah anak dapat mengharapkan bantuan orang tuanya dalam mengerjakan sesuatu, sebalikanya di sekolah ia belajar menyelesaikannya sendiri.
2. Prestasi (achievement) Kalau dirumah anak lebih banyak terkait dengan status yang diterimanya (ascribed status) dan perananan-peranan yang diterimanya; dalam hal tertentu disekolah anak dituntut belajar dengan apa yang diraihnya. 3. Universalisme (universalism) Kalau di rumah anak mendapat perlakuan khusus dari orang tuanya karena ia memang anak mereka, di sekolah setiap anak memperoleh perlakuan yang relatif sama. 4. Specifity (spesifity) Di sekolah kegiatan peserta didik serta penilaian terhadap kelakuan mereka dibatasi secara spesifik. Misal: kekeliruan peserta didik dalam mata pelajaran Matematika tidak mempengaruhi penilaian gurunya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Peserta didik dapat memperoleh kegagalan serta kritik dalam jam pelajaran tertentu, tetapi ia pun dapat meraih keberhasilan dan pujian pada jam pelajaran lainnya.
Landasan Psikologis Pendidikan (Situasi Pergaulan Pendidikan) Pergaulan pendidikan adalah hubungan antara dua pihak yang mempunyai maksud yang disengaja untuk mempengaruhi anak didik, sehingga anak didik tersebut berkembang menuju kedewasaan. Setiap anak memiliki potensi untuk berkembang, dan oleh karena itu pendidik mempunyai tugas untuk memahami potensi yang dimiliki oleh setiap individu anak untuk mengarahkan perkembangannya sesuai dengan cita-cita dan tujuan hidupnya. Secara umum perkembangan kehidupan anak dapat dibagi ke dalam periodisasi sebagai berikut:
1. Anak bayi (0 – 1 tahun) 2. Kanak-kanak ( 1 – 5 tahun) 3. Anak sekolah ( 5 – 12 tahun) 4. Remaja atau adolesensi ( 12 – 18 tahun) Pada setiap periode perkembangan, memiliki kekhasannya sendiri, karena ada dimensidimensi tertentu yang menonjol, sehingga kita dapat memahami terhadap karakteristik profil perilaku anak pada tiap-tiap periodenya. Tapi disini saya akan menjabarkan dari periode anak sekolah sampai remaja dikarenakan pada periode berikut lah sistem full day school ditujukan. Pada periode anak sekolah, oleh Kohnstamm disebut periode “intelektual”, karena sebagian besar waktu dipergunakan untuk pengembangan kemampuan intelektualnya. Perhatian anak sebagian besar ditunjukan kepada dunia ilmu pengetahuan tentang alam dan sekitarnya, dimana anak senang membaca tentang cerita-cerita petualangan yang menambah dunia pengalamannya. Anak pada usia ini berada pada sekolah dasar, yang mulai belajar tentang alam dan masyarakat. Minat pada periode ini disebut periode obyektif, yang dianalisis dan disintesakan, serta memahami adanya hukum sebab akibat. Pada masa remaja, pubertas, dan adolensi ( 12 – 18 tahun), Kohnstamm menyebut periode ini dengan periode sosial, karena dalam masa ini mempunyai minat terhadap hal-hal kemasyarakatan, dan senang hidup dalam ikatan organisasi atau berbagai klub olahraga atau klub-klub lainnya. Dalam perkembangan moralnya, pada masa ini anak mulai mengenal nilainilai rohani, seperti nilai kebenaran, keadilan kebaikan, keindahan, dan ketuhanan. Anak mencari identitas dirinya, ingin tahu bagaimana orang lain menilai dirinya, memperhatikan soalsoal kemasyarakatan, politik serta kebidayaan. Pada periode ini anak mulai menunjukkan sifatsifat kedewasaan, lebih stabil, lebih besar tanggung jawabnya, tertarik pada pekerjaan dan citacitanya yang mantap.
Dari paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa saya lebih memberatkan sistem full day school ini untuk peserta didik Sekolah Dasar dikarenakan peserta didik pada usia/periode ini masih membutuhkan aspek keluarga yang sangat besar untuk membentuk dirinya. Jika tujuan full day school adalah membentuk karakter peserta didik, tetapi membentuk karakter adalah tanggung jawab besar lingkungan keluarga. Dikarenakan full day school ini sebagian waktunya adalah ekstrakurikuler, saat sampai dirumah anak akan merasa lelah dan langsung bersitirahat. Menjadi sedikit menjauh dari keluarga karena mereka sudah menghabiskan waktu mereka di sekolah. Selain itu anak juga menjadi tidak memiliki waktu untuk bersosial dengan sekitar, seperti bermain dengan teman lingkungan rumahnya, mengaji pada sore hari, membantu orang tua, mengobrol dengan orang tua, tambahan bimbingan belajar untuk menambah wawasan, dan lain-lain. Selain pada anak, pada guru juga terdapat dampak yang lumayan besar, guru jadi lebih banyak disekolah dibandingkan dirumah untuk mengurus keluarga atau anak nya. Memang keputusan ia untuk menjadi seorang guru dan harus mengikuti peraturan yang ada. Tetapi guru pun butuh istirahat, belum lagi saat pulang ia harus mengolah nilai atau mempersiapkan apa yang akan di ajarkan kepada peserta didiknya pada esok harinya, jika sedang ujian mereka harus megolah nilai pula, dan jika setengah hari penuh di sekolah kesehatan guru pun bisa menurun, dan juga menjauhkan nya dari keluarga. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa full day school ini juga memiliki dampak positif, salah satunya sangat membantu orang tua yang bekerja dan baru pulang saat sore hari. Seharusnya orang tua tidak egois dan tidak membiarkan anaknya berkegiatan disekolah hingga sore hari. Karena tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang layak untuk anak-anak peserta didiknya. Dampak positif lainnya adalah peserta didik (khusus nya SMP dan SMA) memiliki waktu lebih untuk belajar akan pembelajaran yang masih belum ia pahami dan mereka bisa saling berdiskusi satu sama lain kepada temannya maupun langsung kepada guru. Peserta didik juga menjadi lebih dekat dengan teman sekolahnya karena saling mengenal satu sama lain dan bisa menyesuaikan dirinya diluar zona nyaman nya (lingkungan rumah/keluarga). Tetapi peserta
didik tidak hanya membutuhkan sosial di sekolahnya, melainkan di sekitar lingkungan rumah pun di butuhkan sosial. Apalagi di jaman seperti saat ini, lingkungan sosial di sekitar rumah sangat penting karna hampir jarang terlihat anak-anak bermain dengan teman sebaya nya di lingkungan rumah, orang tua pun jarang bersilaturahmi kepada tetangganya karena kesibukan masing-masing, dan lain lain. Sebaiknya sistem full day school ini perlu dimantapkan lagi dan dilihat dari seluruh aspek. Perhatikan sosialnya, perhatikan psikologi nya. Jika mereka (peserta didik) merasa tertekan maka mereka tidak akan nyaman dan menolak untuk melakukan sesuatu. Jangan sampai sistem full day school ini menjadikan anak depresi, belum lagi atas tugas yang diberikan oleh guru di setiap harinya yang bisa membuat peserta didik merasa tertekan.