Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016 The Profile of UPI Students’ Consciousness of Educational Phenomena (A Phenomenological Study of Paulo Freire Pedagogy)
Babang Robandi ªʼ¹ Dharma Kesumaª, Arie Rakhmat Riyadi ª, Teguh Ibrahimª ªPedagogik Department, Indonesia University of Education, Jl. Dr. Setiabudhi 227, Bandung 40154, West Java, Indonesia ¹Brobandi.upi@edu
Abstract- Today the middle technocratic mindset prevails at the college level, the way of thinking of students in solving a problem is suspected tend to be very promote efficiency and mechanistic so consciousness of students drowned in a shallow life orientation. This condition is certainly not in line with the discourse of "mental revolution" declared by the Indonesian government. On the basis of the factual conditions of this study to try to uncover the phenomenon of student consciousness will UPI existence in the world of education through critical consciousness pedagogy (conscientization) applied to subjects Education Platform. This study uses a phenomenological approach, the goal is obtain profiles consciousness of students who represented descriptively. The results of this study are three profiles of UPI student’s consciousness that is magical, naive, and critical consciousness. The long term goal of this research is to obtain a draft wake critical consciousness pedagogy that can be applied to pursue higher education to produce students who are aware of its existence as young people who have the mentality of a strong nation. Keywords: Critical Consciousness, Conscientization, Phenomenology, Foundation of Educatioan 1. Pendahuluan Krisis yang menimpa pendidikan dewasa ini adalah alienasi terhadap tujuan
pendidikan sebagai proses humanisasi sehingga menimbulkan beberapa fenomena kontradiktif yang membiaskan humanitas manusia. Salah satu fenomena yang menggejala adalah mindset teknokrasi. Menurut Snijder (2006:79) “teknokrasi merupakan cara berpikir yang mengutamakan prestasi, efisiensi, penghasilan dan konsumsi”. Mindset seperti ini akan menghasilkan “manusia satu dimensi” (Marcuse:2002), yaitu manusia yang kesadarannya telah dirasuki oleh modernitas, teknologi komunikasi, konsumerisme sehingga mematikan suarasuara kritis dalam diri yang berujung pada krisis identitas (Tilaar, 2012:218). Keadaan ini justu kontradiktif dengan tujuan pendidikan secara filosofis yaitu membangun kesadaran humanitas manusia, seperti yang dikemukakan oleh Muhmidayeli (2013:73) “Kesadaran erat kaitannya dengan fungsionalitas akal dan hati manusia dalam memandang suatu realitas, upaya penyadaran ini adalah tugas esensial bagi dunia pendidikan, karena memang eksistensinya bersentuhan langsung dengan pemanusiaan itu sendiri”. Berfungisnya akal dan hati merupakan tujuan dari humanisasi. Realitas yang dihayati dengan penuh kesadaran akan terlihat dan terasa secara jelas, sehingga fenomena yang kontradiktif dengan akal dan hati manusia akan disikapi dengan kritis.
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016
Fenomena mindset teknokrasi diduga mulai menggejala di tingkat perguruan tinggi dan mahasiswa UPI menjadi salah satu pengidapnya. Eksistensi mahasiswa UPI seharusnya ditunjukkan melalui dialogdialog kritis pada mata kuliah dasar umum, salah satunya adalah Landasan Pendidikan. Adapun tujuan dari mata kuliah Landasan Pendidikan adalah ‘mahasiswa memiliki berbagai wawasan tentang asumsi pendidikan baik yang bersifat filosofis, ilmiah, seni dan yuridis, serta mampu mengaplikasikannya dalam rangka praktek maupun studi pendidikan lebih lanjut’’. (Tim MKDP UPI, 2014:vi) Mata kuliah Landasan Pendidikan memberikan gambaran mengenai realitas pendidikan secara komprehensif ditunjang oleh disiplin ilmu filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, dan kewarganegaraan. Melalui mata kuliah landasan pendidikan diharapkan mahasiswa UPI mampu memaknai pendidikan secara komprehensif sebagai suatu upaya humanisasi, bukan suatu proses yang mekanistis dalam memperoleh nilai akademik. Mahasiswa UPI diharapkan mampu menyadari akan eksistensinya sebagai subjek otonom yang menjadi ujung tombak pendidikan. Akan tetapi eksistensi mahasiswa UPI mulai memudar di era modern ini, mereka terjerambab pada orientasi hidup yang mekanistis, setelah lulus kemudian bekerja. Orientasi mereka hanya survival untuk mengkonsumsi pengetahuan yang berujung pada test, tidak menyadari akan eksistensinya sebagai mahasiswa yang kritis, pemuda yang tangguh, dan calon guru yang berkarakter. Bertemali dengan fenomena yang menggejala pada mahasiswa UPI di atas, penelitian yang dilakukan oleh Suyitno (2009) mengenai peta pemahaman mahasiswa UPI berkaitan dengan hakikat manusia diperoleh persentase sebagai berikut : 80 % jawaban mahasiswa UPI berbasis lingkungan social, budaya, dan
teknologi ,11,285 % jawaban berbasis religi dan 8,6 % jawaban berbasis pada kajian filsafiah. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep tentang manusia yang dipahami oleh mahasiswa UPI cenderung mengesampingkan dimensi yang fundamental pada manusia yaitu telaah yang bersifat religious dan filsafiah. Kedua dimensi tersebut merupakan sumber nilainilai pendidikan yang menjadi landasan filosofis mahasiswa UPI dalam memandang realitas pendidikan secara normative dan bukan teknikalitis. Selanjutnya diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Ilfiandra (2006) mengenai fenomena Prokrastinasi yaitu penundaan untuk melakukan hal-hal yang terkait dengan urusan akademik pada mahasiswa FIP tahun akademik 2006/2007. Diperoleh temuan sebagai berikut ‘’intensitas prokrastinasi akademik mahasiswa berada pada kategori sedang (53,55) menuju tinggi (44,08). Urutan area prokrastinasi akademik mahasiswa adalah: persiapan ujian (10,81), membaca referensi (10,71), menulis makalah/laporan (10,61), konsultasi akademik (8,82), administrasi akademik, (8,62), dan menghadiri perkuliahan (8,23). Alasan utama prokrastinasi akademik mahasiswa adalah pengaruh teman sebaya, takut terhadap tugas dan toleransi yang rendah terhadap frustrasi, merasa bersalah, manajemen waktu yang buruk, dan takut mengambil resiko’’. Berdasarkan kedua penelitian terdahulu di atas penulis menarik kesimpulan bahwa krisis yang menggejala pada mahasiswa UPI harus disikapi secara serius dan perlu solusi cerdas yang mampu menyentuh kesadaran mereka secara kritis. Penulis terinspirasi dengan Pedagogi Paulo Freire pada pendidikan literasi kaum tertindas di Brazil, konsep pedagogi Freire yaitu bukan hanya reading the word tapi reading the world. Pedagogi Freire pada proyek literasi
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016
bertujuan untuk mengembangkan kesadaran kritis demi pembebasan kaum tertindas dari dehumanisasi. Pengembangan kesadaran kritis membuat orang-orang mempertanyakan hakikat dari situasi historis dan sosial mereka – membaca the world mereka – dengan tujuan bertindak sebagai subjek-subjek otonom berdaya transformative menuju masyarakat yang demokratis. Pedagogi kritis Paulo Freire selaras dengan wacana mengenai ‘’Revolusi Mental yang dicanangkan oleh pemerintah Jokowi. Pendidikan merupakan kunci utama dalam upaya merevolusi mental masyarakat Indonesia yang mulai menjauh dari nilainilai karakter bangsa Indonesia. Bertemali dengan paparan di atas, peneliti berencana merancang sebuah penelitian fundamental yang berjudul “Rancang Bangun Pedagogik Kesadaran Kritis pada Jenjang Perguruan Tinggi(Studi Fenomenologi pada Mata Kuliah Landasan Pendidikan). Penelitian ini diawali dengan meng-uji telusur profil kesadaran mahasiswa UPI pada fenomena pendidikan dewasa ini melalui pertanyaan-pertanyaan berbasis Conscientization. Adapun kajian mengenai profil kesadaran mahasiswa UPI pada penelitian ini mengacu pada konsep levellevel kesadaran menurut Paulo Freire yang dimulai dari kesadaran magis, naïf, dan kritis. Pasca beroleh profil kesadaran mahasiswa UPI, penelitian pada tahun berikutnya adalah merancang bangun pedagogik kesadaran kritis pada mata kuliah landasan pendidikan. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah fenomenologi.Menurut Cresswell (2014, hlm.105) “studi fenomenologi adalah studi penelitian yang berusaha mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep atau fenomena”. Pengalaman
tersebut dalam hemat Van Mannen (1990) harus bersifat sadar, karena pada hakikatnya kesadaran manusia selalu bersifat intensional (tertuju pada sesuatu), sebagaimana dikemukakan oleh Husserl :“We understand under Intentionality the unique peculiarity of experiences “to be the consciousness of something” (1931, hlm.223). Kesadaran selalu tertuju pada objek, memiliki titik referensi yang menjadi refleksi subjek yang menyadarinya.Intensionalitas juga dapat dimaknai sebagai tindakan dari pikiran untuk mengarahkan diri kepada suatu objek sehingga dapat menerjemahkannya menjadi pengalaman yang bermakna.(Subandi, 2009, hlm 62).Sedangkan tujuan utama dari fenomenologi adalah untuk mereduksi pengalaman individu pada fenomena menjadi deskripsi tentang esensi atau makna universal.(Creswell, 2014, hlm 105). Secara garis besar, langkah-langkah penelitian fenomenologi dapat dilihat pada poin-poin berikut : a. Menetapkan Lingkup Fenomena yang Akan Diteliti. Fenomena yang akan diteliti pada penelitian ini adalah Kesadaran Mahasiswa UPI pada Fenomena Pendidikan, b. Epoche Mengurung segala bentuk prasangka mengenai profil kesadaran mahasiswa UPI c. Menyusun Daftar Pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan umum yang mendorong bangkitnya kesadaran (Conscientization) biasanya melalui tahap menanyakan sesuatu (what is the problem), tahap ini bertujuan untuk membentuk kepekaan terhadap realitas sosialyang terjadi disekitar. Kemudian dilanjutkan dengan tahap
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016
menanyakan pertanyaan mendasar untuk mencari persoalan utama (why is ithappening), tahap ini dimaksudkan agar peserta didik dibiasakan untuk berpikir kritis dan reflektif. Selanjutnya tahap tahap pencarian solusi atau alternatif pemecahan masalah (what can be done to change the situation?). Terakhir pertanyaan mengenai tujuan atau alasan moral dari tindakan sosial yang dilakukan (what is the reason or purpose of the actions that you do?)
d. Pengumpulan Data. Proses pengumpulan data dimulai dengan melakukan problematisasi pada perkuliahan landasan pendidikan. kemudian secara purposive memilih partisipan untuk diwawancarai lebih dalam lagi. e. Analisis Data Ada beberapa tahap analisis data dalam penelitian fenomenologi. 1) Membaca Transkipsi Wawancara 2) Tahap Horizonalisasi (mensejajarkan semua pernyataan, dan mencari pernyataan penting yang relevan dengan penelitian) 3) Tahap Cluster of Meaning (menyusun pernyataan penting menjadi unit-unit makna atau tema sesuai dengan level kesadaran f. Mengembangkan Deskripsi Tekstural dan Sturktural Deskripsi tektural dan struktural pada penelitian ini adalah deskripsi mengenai pengalaman partisipan terkait dengan fenomena pendidikan yang kemudian mencerminkan profil kesadarannya. g. Mendeskripsikan Esensi (Komposit dari Deskripsi Tekstrual dan Struktural) 3. Hasil dan Diskusi Kesadaran merupakan manifestasi jiwa manusia yang sangat penting. Melalui
kesadaran, manusia akan mampu menyempurnakan perjalanan eksistensialnya di dunia dengan penuh makna, dan sebaliknya tanpa kesadaran manusia hanya akan mematung, adaptif, berpangku tangan, serta hanyut dalam realitas yang sejatinya terus berubah. Kesadaran erat kaitanya dengan proses memanusia, oleh karena itu membangkitkan kesadaran humanitas manusia merupakan tugas utama dari pendidikan. Senada dengan pendapat Freire (2005, hlm.14) ‘’kesadaran merupakan inti atau hakikat dari proses pendidikan, karena dengan tumbuhnya kesadaran akan menjauhkan seseorang dari Fear of Freedom”. Ketakutan akan kebebasan merupakan gejala alienasi terhadap realitas, manusia tidak mampu menjadi subjek yang otonom dan bertanggung jawab atas jalan kehidupan yang ia pilih. Oleh karena itu Freire menggagas pedagogi pembebasan yang bertujuan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan yang mengalienasi humanitas manusia, sehingga manusia mampu beranjak dari kebodohan, kemiskinan, ketundukan, dan ketidakberdayaan. Pedagogi Freire melibatkan tidak hanya reading the word, tetapi juga reading the world. Ini melibatkan pengembangan kesadaran kritis (sebagai sebuah proses yang dikenal dalam bahasa Portugis sebagai conscientização, dalam bahasa Inggris conscientization). Menurut Kesuma (2013, hlm.35) “Pengembangan kesadaran kritis membuat orang-orang mempertanyakan hakikat dari situasi historis dan sosial mereka – membaca the world mereka – dengan tujuan bertindak sebagai subjeksubjek dalam penciptaan masyarakat yang lebih demokratis”. Berdasarkan hemat Kesuma dapat ditarik kesimpulan bahwa Conscientization merupakan sebuah upaya menghidupkan fungsionalitas akal, hati dan tindakan manusia melalui penghadapan terhadap masalah-masalah sosio-historis
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016
yang menggejala dan mengancam humanitas manusia. Conscientization merupakan upaya membangkitkan kesadaran kritis manusia untuk senantiasa tajam dalam mencari the reason of being dari realitas social yang menyapa mereka, dan mengasah kemampuan manusia untuk melakukan refleksi yang membidani tindakan-tindakan berdaya transformatif. Freire mengkontraskan kesadaran kritis seseorang dengan dua tingkat kesadaran lainnya yang lebih rendah yaitu kesadaran magis dan kesadaran naïf. Freire menginginkan setiap manusia dapat membangkitkan kesadarannya agar dapat menjadi manusia yang lebih utuh. Proses perkembangan bangkitnya kesadaran dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu : kesadaran magis, naïf dan kritis. Penelitian ini berusaha untuk menyadarkan (conscientization) para partisipan mengenai fenomena pendidikan yang problematis. Berdasarkan pada data transkripsi wawancara yang terkumpul, diperoleh beragam ekspresi verbal dari para partisipan yang merepresentasikan level kesadaran mereka mulai dari kesadaran magis, naïf, dan kritis. Pernyataanpernyataan penting para partisipan akan disajikan berdasarkan sturktur pembangun kesadaran kritis. Adapun stuktur pembangun kesadaran kritis adalah 1) pemahaman akan pengalaman sosial (what), 2) penalaran kausalitas (why), 3) tindakan sosial (how), 4) penalaran moral (should). Deskripsi pernyataan-pernyataan penting para partisipan akan dikorelasikan dengan teoriteori kesadaran kritis Paulo Freire (1974), Smith (1980), Mustakova (1998), dan Kohlberg (1978).
berubah. Mahasiswa yang berada pada level kesadaran magis akan menunjukkan sikap fatalistik terhadap masalah-masalah pendidikan yang sedang menggejala. Sikap fatalistik ini memang tidak ditunjukkan secara verbal, akan tetapi sikap bertahan dalam kebisuan merupakan sikap fatalistik yang terlihat menasional dalam tiga kali simulasi perkuliahan berbasis conscientization dilaksanakan. Kebisuaan yang menasional dalam kelas merupakan bentuk survival yang dilakukan oleh para mahasiswa berkesadaran magis. Berdasarkan catatan lapangan, hampir sebagaian besar mahasiswa memilih untuk diam dan tidak berkomentar ketika peneliti melakukan probelmatisasi mengenai masalah-masalah yang menggejala di dunia pendidikan.
a. Profil Kesadaran Magis Kesadaran magis adalah level kesadaran paling rendah dari seorang manusia. Kesadaran ini dituntun oleh kebutuhan biologis dalam rangka survival terhadap realitas yang sejatinya terus
Pada penelitian di kelas PGSD 2C Fakultas Ilmu Pendidikan yang berjumlah 46 mahasiswa, terdapat 27 mahasiswa yang memilih untuk tidak berkomentar. Ketika peneliti berusaha bertanya pada
Tabel 1 Hasil Observasi Keaktifan Mahasiswa Ketika Proses Problematisasi N o
1 2 3
Kelas
PGSD 2C P.Kimia B D3 Teknik Mesin
Jumlah mahasis wa yang aktif terlibat 19
Jumlah mahasis wa yang pasif 27
15
27
9
25
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016
mahasiswa yang memilih pasif ini ada fenomena “ketergantungan negatif dari mahasiswa” yang peneliti temukan. Pada moment ini, peneliti menemukan profil mahasiswa berkesadaran magis, ketika peneliti bertanya masalah apa yang tengah menimpa pendidikan di Indonesia. Mahasiswa ini tiba-tiba merengek pada teman-teman disampingnya dan memohon untuk membantunya dalam merumuskan jawaban. Peneliti
Mahasiswa
:”Anda mengapa memilih untuk diam, coba saya ingin bertanya, menurut anda masalah apa yang tengah menggejala dalam pendidikan di Indoneisa?” : : “apa donk, aku bingung, tolongin lah (merengek pada teman yang disamping kanannya)”
Berdasarkan kutipan percakapan tersebut dapat disimpulkan bahwa mahasiswa yang berada pada level kesadaran magis tidak mampu menangkap masalah, ia hanya menjadi penonton disaat kelas tengah sibuk diskusi mengenai masalah pendidikan, ini merupakan sikap pertahan diri atau survival terhadap realitas yang sesungguhnya butuh konstribusi nyata dari mahasiswa. Selaras dengan pendapat Freire (1973, hlm.17) “Orang-orang yang memiliki kesadaran semi-intransitif (magis) tidak dapat menangkap masalahmasalah yang disebabkan oleh selain kebutuhan biologis mereka. Kepentingan mereka hampir sepenuhnya berkisar pada cara bertahan hidup, dan mereka tidak memiliki sense of life yang lebih bersifat historis”. Selanjutnya Kesuma dan Ibrahim mempertegas bahwa : “individu berkesadaran magis hidupnya dikondisikan oleh kebutuhan biologis, diluar itu ia tidak mau terlibat diatasnya… ia hampir mati menjadi
manusia, layaknya zombie, ia berjalan diatas dunia tapi tidak terlibat dalam laku penciptaannya… pengidap kesadaran magis tidak menyadari kemampuan dan atribut yang melengkapi diri mereka sebagai manusia seperti halnya kesadaran akan dirinya, akalnya, hatinya, dan tujuan hidupnya. Sehingga kehidupan yang timpang pun mereka anggap sebagai takdir tidak perlu pertanyakan, tidak perlu ditentang”.(Kesuma & Ibrahim, 2016, hlm. 131-132). b. Profil Kesadaran Naif Level kesadaran selanjutnya adalah kesadaran naïf. Freire mengungkapkan bahwa : “kesadaran naif ditandai dengan penyederhanaan masalah, penjelasan yang sifatnya umum, dan argumentasi yang rapuh” (Freire, 1973, hlm. 18). Dipertegas oleh Smith yang mengatakan bahwa : “Orang-orang yang menyederhanakan masalah dengan cara menimpakkan penyebabnya pada individu-individu bukan pada sistem itu sendiri. Argumentasi-argumentasi mereka rapuh ketika menjelaskan bahwa individu terpisah dari sistem dimana mereka hidup dan pada puncaknya mengarah pada argumentasi yang larut dengan realitas”. (Smith, 2008, hlm. 69). Berdasarkan hemat Freire dan Smith ciri yang pertama dari mahasiswa yang berkesadaran naïf adalah penyederhanaan masalah pendidikan, mahasiswa memandang masalah pendidikan disebabkan oleh individu atau kelompok seperti guru, orang tua, atau lingkungan. Mahasiswa pada level kesadaran naïf tidak mampu berpikir dengan pendekatan sistem, jika masalah pendidikan dipandang dengan pendekatan sistem, maka masalah yang akan disebutkan oleh mahasiswa memiliki keterkaitan antara komponen dalam sistem pendidikan. Akan tetapi mahasiswa yang berada pada level kesadaran naïf hanya mampu menangkap
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016
kausalitas yang sifatnya statis, sehingga masalah pendidikan mereka timpakan pada individu. Untuk memperjelas profil mahasiswa berkesadaran naïf, penulis memilih seorang partisipan yang memiliki ciri khusus kesadaran naïf. Mahasiswa PGSD ini berinisial NL, menurut partisipan masalah pendidikan adalah kekerasan yang dilakukan oleh guru. “Kekerasan guru kalau sekarang sedikit lebih kacau dari dulu. Bahkan ada beritanya, guru sampai dipenjara gara-gara mencubit. Tapi memang dari guru itu sendiri, kadang dalam menghadapi masalah sama siswa ada yang menggunakan kekerasan juga. Contohnya seperti yang dialami saya sendiri”. (NL) “Dulu saya waktu pertama masuk di kelas V main peta arah angin. Waktu saya main arah angin guru masuk dan saya masih serius “jongjon” karena saat itu lagi debat dengan teman saya tentang arah barat. Saat itu saya masih ngobrol dengan teman saya tiba-tiba guru saya marah. Nah, terus saya dan teman saya ditampar”. (NL) Ya! terus teh ada teman saya, dia tuh lambat berhitung. Nah, dia itu menjadi bahan olokan gurunya sendiri. Olok-oloknya gini “coba tanya si Azam!, Azam bisa gak?, Ah, si Azam mah, ceunah! uh maneh teh meuni bodo-bodo teuing!” (NL) SMP, SMA paling suka diusir dari kelas Pak. Diusir dari kelas itu biasanya kalau ngobrol “ngobrol wae, keluar!”, atau teman saya tidur terus disuruh keluar dan gak boleh ikutan lagi. Cara menjelaskannya bikin jenuh Pak. Terus gurunya juga maksa “kamu teh harus bisa!”. Kan waktu pelajaran SMK kelas 2. Sekelas itu sering kabur ke kantin. Nah, gurunya teh ngejar ke kantin, kita kabur ke bengkel. Di bengkel dikejar lagi dan seterusnya. Guru kalau menjelaskan itu jenuh dan memaksa juga “harus bisa!” Kan di sana teh ada kurikulumnya, jadi disetiap pertemuan hari itu harus bisa ini itu. (NL)
Berdasarakan kutipan wawancara partisipan NL, pemahaman partisipan terkait masalah pendidikan tertuju pada
kekerasan simbolik yang dilakukan oleh guru. Partisipan pada intinya memahami adanya situasi penindasan dalam pendidikan, dimana kekerasan simbolik cenderung menempatkan guru sebagai penguasa dalam kelas sehingga bebas melakukan kekerasan fisik dan psikis pada muridnya. Akan tapi jawabanjawaban yang dilontarkan oleh partisipan tidak menyinggung masalah pendidikan dalam pendekatan sistem. Artinya ketika kesalahan ditimpakan pada guru, tidak ada keterakaitan dengan komponen lainnya seperti kebijakan pemerintah mengenai kriteria guru ideal. Selain kekerasan fisik dan psikis, dosa guru yang diungkapkan oleh partisipan adalah cara mengajar yang menjenuhkan. Ketika menemui masalah tersebut, partisipan justru melakukan tindakan pemangkiran dan lari dari masalah yang sesungguhnya membutuhkan tindakan solutif. Bahkan partisipan mengaku bahwa selama belajar di SMK, ia dan teman-temannya memiliki semboyan belajar yang fatalistik, menurut partisipan : “Kan kalau moto atau katakata di SMK mah “datang, ulangan, kerjakan, lupakan”(NL). Bertemali dengan penamanaan masalah (what) yang dituturkan oleh partisipan NL, peneliti berusaha menggali penyebab (why) dari masalah yang dikemukakan. Adapun ringkasan percakapan antara peneliti dan partisipan adalah sebagai berikut : :“Nah, menurut anda mengapa masalah ini bisa terjadi?” Partisipan : “Mungkin dari gurunya kurang memahami”. Peneliti :“Memahami apa?” Partisipan :“Kalau yang pernah saya belajar, kan ada psikologi anak, terus teh ada cara memahami daya tangkap setiap anak berbeda. Kan tidak semua orang sama. Jadi, dia mah disamaratakan. Kalau ada yang bisa, ya sudah satu kelas itu dianggap bisa. Lanjut lagi ke berikutnya. Kan yang lainnya gak Peneliti
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016 pada bisa, otomatis mereka akan tertinggal”. Peneliti :”Jadi, guru kurang memahami karakteristik peserta didiknya atau tahap perkembangannya ya. Ada yang lainnya gak? Penyebabnya menurut Nuval, mengapa guru-guru itu begini?” Partisipan :”Ya, mungkin kaya tadi Pak. Setiap pertemuan harus menguasai ini itu”.
Partisipan
Peneliti
Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa penalaran kausalitas partisipan pada masalah pendidikan masih sebatas kesalahan guru dan guru lagi. Ketika menyatakan penyebabnya adalah guru, terlihat argumentasi partisipan juga terkesan rapuh, sehingga tidak menyentuh esensi masalah yang sedang ia ungkapkan. Selaras dengan temuan Smith yang menyimpulkan bahwa : “Mereka (kesadaran naïf) dapat mengidentifikasi sejumlah ketidakadilan dan mengaitkannya dengan kisah panjang bagaimana mereka dieksploitasi akan tetapi, mereka belum bisa melampaui batas dari sekedar individu-individu”. (Smith, 2008, hlm. 76). Bertemali dengan pendapat Smith, individu berkesadaran naïf pada dasarnya membenci masalah yang mencekik mereka, akan tetapi tindakan mereka hanya pada sebatas kecaman, dan bersifat polemik. Selaras dengan pendapat Freire : “kesadaran naif ada kecenderungan kuat untuk berkelompok, berpolemik daripada berdialog.(Freire, 1973, hlm. 18). Mahasiswa berkesadaran naïf cenderung merasa rendah diri, pernah suatu ketika dalam ujian lisan, peneliti mengajukan pertanyaan mengenai fenomena pendidikan kepada partisipan, dan jawaban partisipan penuh keluh kesah, ia tidak mampu menjawab dengan baik. Peneliti
:Tapi kenapa waktu kemarin saya tanya test lisan, anda jawabnya “duka atuh pak, lieur pak!” kenapa
Partisipan
itu? Kan katanya harus memahami, bukan menghafal. :Ya, Pak! Kan waktu itu saya kebagian soal akhir. Ya, jujur kalau pemahaman saya sih agak lambat. Jadi, kalau orang lain sudah memahami beberapa nomor, saya baru satu-dua nomor. Jadi, kemarin saya dapat nomor akhir, padahal belum semua saya pahami. :Apa gak cukup waktu atau gimana? :Kalau waktu memang kurang sih! Terus dari sayanya juga kurang cepat.
Bertemali dengan kutipan wawancara di atas, pada intinya partisipan menghindar dari kesalahan yang ia lakukan, partisipan membuat alibi yang kurang rasional, ketika tes lisan, partisipan mendapat bagian yang terakhir, seharusnya ia lebih siap untuk menjawab pertanyaan, akan tetapi ia lari dari tantangan, ia pasrah, dan menyerah. Selaras dengan pendapat Smith :“Orangorang yang berkesadaran naïf juga akan berusaha menghindari penindas, berusaha mempertahankan diri dari tekanantekanan mereka”. (Smith, 2008, hlm.80). Pada dasarnya partisipan NL masih melanggengkan moto belajarnya ketika SMK yaitu “datang, ulangan, kerjakan, lupakan”, terbukti dengan adanya test lisan ia tidak mampu menjawab satu nomer pun, karena belajar baginya hanya aktivitas teknikalitis, hapalkan, test, dan lupakan. Selaras dengan pendapat Kesuma & Ibrahim : “Orang yang berkesadaran naif kurang memiliki daya kritis untuk mengubah keadaan yang timpang kehidupan dimaknai sebagai pelanggengan status quo, nyamannyaman saja dengan keadaan hari ini karena hari esok hanya cerminan dari norma yang berlaku hari ini”(Kesuma & Ibrahim, 2016, hlm. 134).
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016
c. Profil KesadaranKritis Level kesaran setelah naïf adalah kesadaran kritis. Profil individu yang memiliki kesadaran kritis ditandai oleh beberapa indikator atau struktur pembangun yaitu diantaranya :(a) understanding of one's social experience (b), reasoning about causality, (c) ways in which the self relates to social experience, and (d) moral reasoning.’’ (Mustakova, 1998, hlm.17). Struktur pembangun kesadaran kritis yang dirumuskan oleh Mustakova mengacu pada definisi mengenai kesadaran kritis yang dicetuskan oleh Freire : Critical consciousness represents "things and facts as they exist empirically, in their causal and circumstantial correlations . . . Critical consciousness is integrated with reality. (Understanding of Social Experience) The critically transitive consciousness is characterized by depth in the interpretation of problems; by the substitution of causal principles for magical explanations; by the testing of one's "findings" and by openness to revision; by the attempt to avoid distortion when perceiving problems and to avoid preconceived notions when analyzing them; (Reasoning About Causality) by refusing to transfer responsibility; by rejecting passive positions; by soundness of argumentation; by the practice of dialogue rather than polemics;(Ways in Which the Self relates to social experience / Social Action) by receptivity to the new for reasons beyond mere novelty and by the good sense not to reject the old just because it is old—by accepting what is valid in both old and new. (Moral Reasoning) (Freire, 1974, hlm.14)
Berdasarkan paparan Freire di atas, penulis menyimpulkan bahwa manusia yang memiliki kesadaran kritis memiliki kemampuan untuk berpikir dalam mengamati fakta secara empiris, ia terintegrasi dengan realitas, sehingga
segala fenomena selalu membanjiri kesadarannya secara empiris. Kesadaran kritis juga mampu menafsirkan masalah dengan penjelasan prinsip kausalitas yang dalam, penjelasannya tidak bersumber pada hal-hal yang bersifat magis. Pemilik kesadaran kritis teliti dalam menguji suatu temuan, menghindari praduga dalam menganalisis masalah, ia sangat terbuka dan menghindari pemutarbalikan fakta. Kemampuannya dalam menganalisis masalah membuatnya menolak untuk pasif, ia sadar akan perannya yang wajib terlibat dalam setiap laku penciptaan dan penamaan dunia melalui dialog dengan argumentasi yang sehat, kemudian ia juga memiliki identitas diri yang membuatnya senantiasa melakukan refleksi atas segala tindakannya yang bermuara pada perubahan sosial masyarakat yang lebih demokratis. Mahasiswa yang berada pada level kesadaran kritis memiliki ciri khusus yaitu kemampuan kausalitas yang tajam, mampu berpikir radikal dalam menganalisis masalah pendidikan dengan pendekatan sistem, tidak hanya tertuju pada kesalahan individu, selain itu mahasiswa berkesadaran kritis menolak untuk pasif, dan ingin melibatkan diri dengan tindakan-tindakan solutif dan berdaya transformatif. Peneliti akan menyajikan contoh profil mahasiswa yang memiliki kesadaran kritis yaitu SN. Ketika peneliti bertanya mengenai masalah yang menerpa pendidikan Indonesia, partisipan menjawab dengan berpikir radikal dan pendekatan sistem. Masalah pendidikan bagi partisipan adalah sumber daya manusia Indonesia yang seperti robot, dan penyebabnya adalah sistem pendidikan seperti kurikulum, guru, dan cara belajar dari individu-individu. Berikut potongan pernyataan pentingnya :
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016 Peneliti
Partisipan
Peneliti
Partisipan Peneliti
Partisipan Peneliti Partisipan
Peneliti SN Peneliti SN
:“Ada gak fenomena yang lain? Seperti yang diceritakan oleh Arni kemarin, katanya SN pernah marah di kelas, terkait dengan tindakan SN, bahwa kemarin temen-temen sekelas bahwa kalian itu seperti robot. Nah, kenapa SN bisa melihat temanteman tuh seperti robot? :“Saya kan gak ngikut perkuliahan. Dosen masuk terus kasih tugas, terus dosen tuh ngilang gak ada kabarnya. Terus anak-anak itu cuma ngerjain doang, taunya ngerjain terus ngumpulin. Pas ditanya “apa sih yang kamu kerjain?”, “Teuing ah lieur?”, mereka malah bilang gitu Pak. “terus kalian buat apa ngerjain sesuatu yang tidak ada gunanya, sesuatu yang tidak dapat kalian pahami?”, “ah nu penting nilai masuk!”, ngomong gitu lagi”. :”Banyak teman-teman yang memiliki pemikiran seperti itu ya?” :“Ya!” :“Ya, berarti paradigma seperti apa ini pemuda-pemuda yang seperti ini?” : “Seperti apa ya?” : “Seperti robot tadi ya! Robot itu seperti apa si Ndi, maksudnya?” :“Jadi mereka itu cuma diprogram untuk menyelesaikan sesuatu yang sistematis”. : “Ari SN ngerjakan tidak?” : “Saya kerjakan, tapi saya ngerti apa yang dimaksud dosen”. : “Gitu ya?” :“Tapi ketika ditanya yang lain “ah nu penting asup kuliah, nu penting ngerjaken tugas, rek ngerti henteuna mah kumaha engke.”
Berdasarakan kutipan wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa partisipan SN memaparkan masalah pendidikan yang sifatnya radikal. Partisipan SN menjelaskan bahwa masalah yang sedang menggejala dalam pendidikan di Indonesia adalah sumber daya manusia yang
berprilaku seperti robot. Dalam hemat partisipan, teman-teman yang ia jumpai dalam lingkungan akademis UPI banyak yang memaknai proses perkuliahan sebagai aktivitas mekanistis dengan muara nilai akademis. Berdasarkan pengakuan partisipan, pernah suatu ketika pada moment diskusi kelompok , ia memberikan sindiran pada teman-temannya yang belajar seperti robot. Istilah ini partisipan maknai dari fenomena belajar teman-temannya yang manut pada perintah dosen tanpa menggali esensi dari materi yang dibahas. Jadi bagi partisipan, mahasiswa jaman sekarang seperti robot yang telah diprogram untuk melakukan tugas yang sistematis, praktis, mekanistis. Setelah partisipan menamai masalah, peneliti berusaha menggali the reason of being dari fenomena yang dipaparkan oleh partisipan. Peneliti
SN Peneliti SN Peneliti SN
Peneliti SN
Peneliti
:“Nah, ini kan terkait dengan manusia pasti ini merupakan produk pendidikan. Teman-teman SN yang perilakunya mekanistis, itu berarti produk pendidikan selama SD, SMP, SMA-nya. Nah, manusia-manusia Indonesia yang mudah dibodohi, yang banyaknya pekerja sebagai kuli. Sebagai pekerja, itu boleh dikatakan sama “output pendidikan”. Menurut SN penyebabnya apa ini? Mangga silahkan!” :“Secara lebih luas lagi ya Pak?” :“Silahkan!” :“Penunjang pendidikannya itu berasal dari kurikulum”. :“Kurikulum! Kenapa SN jawabannya kurikulum?” :“Karena setiap pergantian pemerintah, kurikulum pasti diganti. Tidak ada kurikulum yang tetap” :“Ya”. :“Soalnya, identitasnya juga seperti mengikuti zaman lagi. Mengikuti rezim itu. Setiap rezim ganti, ya sudah! identitasnya juga ganti”. :“Rezim yah! Jadi, terdapat dalam kurikulum. Nah, coba! Kalau
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016
SN
Peneliti SN
Peneliti
SN Peneliti SN
Peneliti SN
Peneliti SN
misalnya memang penyebabnya adalah kurikulum, bagaimana SN merasakan kurikulum yang berubah-ubah itu?” :“Setiap kurikulum berubah! Kan kaya kemarin, KTSP diganti oleh kurikulum 2013. Disana sangat jelas bahwasanya kurikulum 2013 adalah penyempurnaan dari kurikulum KTSP. Tapi kebanyakan guru ataupun pelaksana pendidikan yang ada di Indonesia itu belum siap. Entah apa alasannya belum siap. Padahal secara tertulis atau secara nyata bahwa kurikulum 2013 itu sangat meringankan beban guru”. :“Contoh meringankan beban gurunya gimana?” :“Misalkan kalau kaya tahun KTSP itu. Kurikulum KTSP sangat jelas standar isi segala macam. Harus sesuai mengikuti dengan acuan pendidikan yang sudah ada. Kalau 2013 itu lebih kepada kebebasan daripada si guru tersebut, sebenarnya! Kurang lebih ada kebebasan yang diberikan oleh kurikulum untuk si guru untuk menerangkan bagaimana mengembangkan potensi yang ada pada siswanya. Ya, terserah pada guru itu sendiri ya Pak”. :”Nah, sekarang mah berdasarkan pengalaman SN. Kalau memang SN menyebutkannya itu kurikulum! bagaimana SN mengalaminya? Kenapa itu disebut masalah gitu? bisa gak SN memaparkan?” :”Bisa! Sebenarnya, misalkan dari bahan ajar”. :”Ya, bahan ajar!” :”Bahan ajar dari…misalkan saya itu dulu SMK. Jadi, saya itu belajar apa yang tidak saya butuhkan Pak”. :”Contohnya?” :”Misalkan Kimia. Saya belajar Kimia. Padahal SMK itu SMK Instrumentasi”. :Instrumensasi “elektro”? :Ya, kaya elektro gitu. Saya berpikir, untuk apa saya belajar Kimia? Hehe…
Peneliti SN
Peneliti SN
Peneliti SN
Peneliti
SN
Peneliti SN
Peneliti SN Peneliti
SN
:Gitu yah! :Ya, seperti “ah, apa-apaan nih! ini belajar kaya yang gak penting untuk masa depan saya” :Gitu yah! :Terus yang di UN-kan. Misalkan yang di UN-kan saja, misalkan kaya Matematika, Indonesia sama Inggris sama Kejurusan. Kan yang Kejurusan itu di saya masih ada delapan mata pelajaran yang di jurusan. Yang diulangkan kan itu cuma satu dan itu juga cuma dasarnya saja. Terus untuk apa saya belajar ilmu yang lebih tingginya yang saya pelajari selama empat tahun. :Dalam pembelajarannya sendiri bagaimana? :Dalam pembelajarannya sendiri misalkan, kan ini diskusi? Selain diskusi? :Ya, ini mah khusus yah. Bukan dalam rangka mencari borok yah. Jadi, di jurusan SN sendiri gitu. Bagaimana dosen-dosen mengelola perkuliahan? :Ya, seperti dosen pada umumnya Pak, yang dari jurusan lain. Kita cuma belajar disuruh bagi kelompok, bagiin tugas, pelajari yang kebagian kelompok, terus presentasi. Kan kalau dipikirpikir, toh untuk apa. Padahal otomatis setiap mahasiswa pasti akan mementingkan materinya. :Materi yang memang itu sudah menjadi bagiannya yah! :Ya, otomatis akan melupakan materi yang lain. Ya, dia akan ingat saja pada materinya. Dan itu juga kemarin waktu UTS, contohnya seperti itu. Kebanyakan ngisi-ngisi cuma pada materi bagiannya. Sekitar materi yang lain mereka juga gak tahu. :Waktu UTS itu? :Ya, sama UAS kemarin! Terus untuk apa…? :Haha…untuk apa ya! Ok, sebenarnya kronis yah. Jadi, LPTK-LPTK yang mau mencetak calon ujung tombak pendidikannya saja… :Masih gini!
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016 Peneliti
SN Peneliti SN Peneliti SN Peneliti SN
Peneliti SN
Peneliti
SN
:Gitu ya, kalau perkuliahannya yah! Jadi, menurut SN “untuk apa gitu presentasi kelompok seperti itu yah!” :Ya :Pas tanya jawab sendiri itu gimana Ndi? :Tanya jawab! : Cenderung apa itu? :Haha… commonsense! :Commonsense yah. :Jadi, mereka tidak sesuai materi. Mereka bertanya itu sesuai dengan apa yang nyangkut di pikiran. :Yang nyangkut di pikiran saja ya! :Dari realitasnya saja, pengalamannya. Padahal kalau diungkap dari sisi teori sama sekali tidak nyambung Pak. haha… :Oh, jadi pengalaman ya! “pengalaman saya, menurut saya” begini gitu ya. Kebanyakan mahasiswa gitu kan. :Ya.
Berdasarkan kutipan wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa partisipan SN memaknai penyebab dari masalah pendidikan adalah kurikulum yang kerap berubah, rezim pemerintahan, guru yang mangkir, bahan ajar yang kurang relevan dengan potensi siswa, serta proses pembelajaran yang kurang ideal. Freire menegaskan bahwa “Kesadaran kritis menganggap semua fakta sebagaimana adanya secara empiris dalam korelasikorelasi kausalitas dan lingkungan”. (Freire, 1973, hlm. 44). Menurut Freire dalam (Kesuma, 2013, hlm.124) “Pemahaman kritis, tidak berhenti pada pengetahuan kamus (dictionary) yang hanya berisi deskripsi fenomena, tetapi berupaya menangkap the reason of being/raisond’etre dari fenomena tersebut, tidak beralih ke mind-narrowing proceses (technicalities) “. Berdasarkan hemat Freire, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa yang berada
pada level kesadaran kritis memiliki kemampuan pemahaman yang kritis dan mampu menangkap the reason of being (makna kemengapaan) dari sebuah fenomena yang dialami. Selanjutnya, mereka (kesadaran kritis) terfokus pada sistem mereka menganggap peraturan, peristiwa, hubungan, dan prosedur tertentu sekedar sebagai contoh dari ketidak adilan sistematis yang dilembagakan. (Smith, 2008, hlm. 83). Setelah partisipan mampu memahami secara reflektif fenomenafenomena pendidikan yang timpang, langkah selanjutnya adalah melakukan tindakan berdaya transformatif. Partisipan mengakui bahwa ketika ia kecewa terhadap proses perkuliahan, ia memutuskan untuk membangun kelompok yang ia bentuk secara persuatif, tujuannya adalah mendiskusikan materi perkuliahan yang dirasa kurang ia pahami ketika presentasi kelompok di kelas. Peneliti : Ada tidak bentuk protes SN kepada Dosen atau negosiasi sama temanteman yang memang sepaham dengan SN, ada tidak? SN :Kemarin saya sudah bikin kelompok Pak. Kelompok untuk bahan diskusi sama Amel, kemarin. Terus kita bikin kelompok “kalau memang waktu pas pelajaran kuliah tidak mendukung. Ya sudah kita diskusi saja bareng-bareng, bahas barengbareng.” Kemarin seperti itu. Peneliti : Gitu ya! Jadi, SN memilih untuk mencari teman-temannya yang sepaham. Kalau kuliah tidak paham, sudah saja. Kenapa itu SN bertindak seperti itu? SN :Karena saya juga punya pemikiran berbeda dari tujuan mereka Pak. Mereka kan berpikiran untuk nilai. Kalau saya berpikir lebih ke anarkis. Misalkan kaya demo atau sebagainya. Kenapa kita gak ngikutin aturan yang ada, tapi dengan cara kita sendiri.
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016
Refleksi tanpa tindakan adalah verbalisme belaka, oleh karena itu mahasiswa yang berada pada level kesadaran kritis tentunya ia pernah melakukan tindakan sosial yang membawa perubahan. Selaras dengan pendapat Kesuma (2013, hlm.35) “Pengembangan kesadaran kritis membuat orang-orang mempertanyakan hakikat dari situasi historis dan sosial mereka – membaca the world mereka – dengan tujuan bertindak sebagai subjek-subjek dalam penciptaan masyarakat yang lebih demokratis”.Selaras dengan pendapat Leistyna, (2004, hlm.17) bahwa: “Conscientization (i.e., critical consciousness, or what I refer to as “presence of mind”) is the ability to analyze, problematize (pose questions), and affect the sociopolitical, economic, and cultural realities that shape our lives”.
Bertemali dengan pendapat Kesuma dan Leistyna dapat disimpulkan bahwa mahasiswa yang memiliki kesadaran kritis mampu melakukan praksis dalam kehidupan. Ia mampu berpikir reflektif mengenai fenomena sosial yang timpang, mempermasalahkannya sebagai suatu tantangan yang harus diselesaikan dengan tindakan-tindakan emansipatoris berdaya transformatif. 4. Kesimpulan Kesadaran adalah manifestasi jiwa dari manusia yang sangat berharga, melalui kesadaran maka fungsionalitas akal, hati dan tindakan dalam memandang realitas akan senantiasa aktif, reflektif, dan transformatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada umumnya mahasiswa UPI masih berada pada level kesadaran magis dan naïf. Hal ini ditunjukkan dari budaya bisu di dalam kelas dan penyederhanaan masalah-masalah pendidikan yang sedang didiskusikan. Mahasiswa berkesadaran kritis hanya sebagian kecil. Berdasarkan temuan
tersebut, peneliti akan berusaha membuat rancang bangun pedagogic kesadaran kritis pada mata kuliah landasan pendidikan. Cakupan rancang bangun pedagogik kesadaran kritis yaitu :sintaks model pembelajaran berbasis conscientization, bahan ajar, serta sistem penilaian. Penelitian mengenai model pendidikan kesadaran kritis harus terus dikembangkan agar generasi penerus bangsa menyadari secara kritis fenomena-fenomena yang problematis, sehingga memicu lahirnya praksis pendidikan secara konsisten dan signifikan kedepannya. Ucapan Terima Kasih Peneliti beserta tim mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkonstribusi pada proses penelitian ini. Semoga penelitian ini mampu menebar manfaat bagi para pembaca. Daftar Pustaka [1] Beilke, J. (2005). Whose World This ?.Journal of Multicultral Education. Vol.5 N0.5. Indiana : Ball State University [2] Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset (Memilih di Antara Lima Pendekatan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar [3] Freire, P. (1967). Pedagogy of freedom : ethics, democracy, and civic courage Critical perspectives series. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers. [4] Freire, P. (2001). Pedagogi Hati. Yogyakarta : Kanisius [5] Freire, P. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : LP3ES [6] Freire, P. (1985). The Politics of Education : culture, power, and liberation. South Hadley, Mass.: Bergin & Garvey. [7] Freire, P (1973). Education for Critical Consiousness. ed. baru: 2004.
Lifelong Learning Conference (LLC) Departemen Pendidikan Luar Sekolah FIP UPI 2016
Translated and edited by Myra Bergman Ramos. London: Continum [8] Freire, P & Macedo, D. (2005). Literacy : Reading The Word and The World. London : Routledge [9] Husserl, E. (1931). Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology. Translated by Boyce Gibson: Unwin Brothers [10] Kesuma, D. (2013). Struktur Fundamental Pedagogy Paulo Freire. Bandung : Disertasi UPI [11] Kesuma, D & Ibrahim, T. (2016). Struktur Fundamental Pedagogik (Membedah Pemikiran Paulo Freire). Bandung : Refika Aditama [12] Leistyna, P. (2004). Presence of Mind: Education and the Politics of Deception, Boulder. CO: Westview Press [13] Marcuse, H. (2002). One Dimensional Man : Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society. London : Routledge Classics [14] Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. Thousand Oaks, CA : Sage [15] Mustakova, E. (1998). Critical Consciousness: An Alternative Pathway for Positive Personal and Social Development. Bulgaria : Journal of Adult Development, Vol. 5, No. 1 [16] Reynolds. F (2007). The “Pedagogy of the Oppressed”: The Necessity of Dealing with Problems in Students’ Lives. Jounal of Educational Horizons. Penn State University [17] Shor, Ira and Freire, P. (1987). A Pedagogy of Liberation Dialogues on Transforming Education. Massachusetts: Bergin & Garvey Publishers, Inc. [18] Smith, W. (1975). Conscientizacao: An Operational Definition (Doctoral dissertation, University of Massachusetts, Amherst, 1975).
Dissertation Abstracts International, 37, 01A:0205. [19] Smith, W. (2008). Conscientizacao (Tujuan Pendidikan Paulo Freire). Yogyakarta : Pustaka Pelajar [20] Snijder. A. (2006). Antropologi Filsafat : Paradoks dan Seruan. Yogyakarta : Pustaka Filsafat [21] Tilaar, H. (2012). Perubahan Sosial dan Pendidikan. (Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia). Jakarta : Rineka Cipta