ANALISIS JARINGAN SOSIAL ANTAR ANGGOTA KELOMPOK TANI DALAM DIFUSI INOVASI TEKNOLOGI DI LAHAN PASIR PANTAI KULON PROGO Alia Bihrajihant Raya, Dyah Woro Untari, M.Syukron, Fitria Azis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian UGM Jl. Flora 1 Bulaksumur Yogyakarta
[email protected]
RINGKASAN Kelompok tani merupakan lembaga yang mempunyai peran penting dalam menunjang keberhasilan usahatani. Kelompok tani yang mampu berkembang adalah kelompok tani yang aktif untuk mencari dan menyebarluaskan ide baru untuk kemajuan anggotanya. Salah satu kunci keberhasilan kelompok tani adalah peran beberapa tokoh kunci dan keaktifan anggota dalam menjalin hubungan di dalam kelompok tani. Akan tetapi, mayoritas kelompok tani belum mampu mengembangkan kelompoknya secara mandiri dikarenakan beberapa faktor penghambat seperti tidak adanya tokoh kunci yang inovatif, tidak adanya kegiatan yang membuat petani mampu berperan aktif, dan beberapa faktor lain. Oleh karena itu, kelompok tani memerlukan partner yang dapat bekerja sama dalam menumbuhkan keaktifan kelompok. Partner tersebut dapat berupa asistensi dari pihak penyuluh ataupun sesama kelompok tani. Namun demikian, kerjasama antar kelompok tani dalam satu wilayah dengan komoditas yang sama dirasa lebih efektif dan efisien untuk menumbuhkembangkan keaktifan kelompok. Untuk mengetahui sejauhmana kerjasama antar kelompok tani maka dapat dilihat melalui analisis jaringan sosial. Menggunakan analisis jaringan sosial, dapat ditemukan alur dan tipe komunikasi antar kedua kelompok tani dan mampu menemukan tokoh-tokoh penting dalam penyebaran informasi teknologi. Penemuan tokoh penting dan tipe jaringan sosial dapat membantu kelompok tani untuk menentukan cara yang tepat dalam penyebaran informasi kepada para anggotanya. Jaringan sosial antar anggota kelompok tani di lahan pasir pantai masih terkendala dengan adanya dyadic constraint yang terlihat bahwa density dari jaringan sosial usahatani cabe hanya 4,9% dengan ratarata hubungan antar aktor hanya sebanyak 7 hubungan. Begitu juga dengan jaringan sosial dalam difusi inovasi pemasaran cabe, density jaringan yang terbentuk hanya sebesar 4,6% yang menunjukkan bahwa masih lemahnya hubungan anggota antar kelompok tani. Hubungan yang terjadi antar kelompok tani hanya terjadi pada aras ketua atau pengurus kelompok dan atau pada aras kepala dusun atau perangkat desa. Dalam hal ini, aktor yang bertanggungjawab sebagai ketua atau pengurus kelompok dan atau kepala dusun atau perangkat desa telah menjalankan perannya sebagai gatekeeper dalam difusi inovasi usahatani dan pemasaran cabe di lahan pasir pantai Kulon Progo.
1
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan pembentukan kelompok tani telah ada sejak tahun 1948. Setiap tahun, jumlah kelompok tani terus meningkat sesuai dengan program yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Berdasarkan data pada tahun 2013 dari Kementerian Pertanian, lebih dari 6000 kelompok tani baru telah dibentuk dalam selang waktu 2011 sampai dengan 2013. Namun demikian, peningkatan jumlah kelompok tani belum diimbangi dengan peningkatan kualitas kinerja kelompok tani. Kelompok tani dibentuk sebagai wahana untuk belajar, bekerja sama dan produksi hasil pertanian. Untuk mencapai peningkatan produksi, petani membutuhkan teknologi yang sesuai dengan komoditas dan kondisi wilayahnya. Pentingnya implementasi teknologi yang tepat tidak bisa dilepaskan dari fungsi penyedia teknologi dan proses penyampaian teknologi dari penyedia teknologi kepada petani. Dalam hal ini, kelompok tani merupakan institusi terpenting dalam difusi informasi bagi petani. Efektivitas dan efisiensi penyampaian informasi dalam kelompok tani tergantung dari keeratan hubungan antar anggota kelompok tani. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat adopsi teknologi berkaitan positif dengan tingkat keeratan hubungan antar anggota kelompok tani. Namun demikian, adanya aktor penentu seperti aktor sentral, penghubung (bridge), liason juga mempengaruhi proses difusi informasi teknologi. Selain itu, Raya (2015) menemukan bahwa kelompok tani memerlukan kelompok tani lain untuk menguatkan proses pengambilan keputusan adopsi inovasi. Kelompok tani juga masih memerlukan pengaruh kelompok tani lain dalam proses difusi dan adopsi teknologi dan kelembagaan. Penelitian ini dilakukan di Kelompok Tani yang ada di sepanjang lahan pasir pantai, Panjatan, Kulon Progo. Dalam penelitian sebelumnya telah diperoleh paparan mengenai sejarah pemanfaatan atau berusahatani cabe di lahan pasir pantai serta telah ditemukan tipe jaringan sosial di Kelompok Tani Desa Garongan dan Kelompok Tani Desa Bugel. Namun, belum diketahui tipe jaringan sosial antar kelompok tani ketika terjadi difusi informasi teknologi antar keduanya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan pemetaan jaringan sosial dalam kelompok tani.
2
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis tipe jaringan sosial dalam difusi inovasi antar kelompok tani 2. Memetakan aktor sentral dan penghubung dalam difusi inovasi teknologi pertanian antar kelompok tani 3. Menganalisis fungsi aktor dalam difusi inovasi teknologi pertanian antar kelompok
Manfaat penelitian ini adalah: 1. Mampu menentukan tipe jaringan sosial dalam difusi inovasi teknologi antar kelompok tani 2. Mampu mengkaji aktor yang berperan dalam difusi inovasi teknologi antar kelompok tani 3. Mampu memetakan latar belakang aktor sentral dan penghubung dalam difusi inovasi teknologi antar kelompok tani
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Inovasi Teknologi Menurut Rogers (2003), sebuah inovasi adalah ide, praktik, atau objek yang dianggap baru oleh seorang individu atau populasi. Sebagian besar ide-ide baru telah diakui sebagai inovasi teknologi. Kebaruan inovasi harus dinyatakan dalam bentuk pengetahuan, persuasi, atau keputusan untuk mengadopsi. Reader (2003) mendefinisikan inovasi sebagai perilaku yang baru dipelajari atau diubah yang sebelumnya tidak ditemukan dalam masyarakat. Dalam pengertian ini, inovasi juga merupakan perubahan perilaku untuk mengatur perilaku baru termodifikasi. Dalam definisi terakhir dari inovasi, pembelajaran sosial memainkan peran penting dalam inovasi dan juga menyebarkan dengan cepat. Hal ini dilakukan melalui dialog berkelanjutan antara aktor dan eksplorasi perspektif dan pengalaman (Kroma, 2008) alternatif. Pembelajaran sosial dapat terjadi dalam lingkungan jaringan sosial. Kilpatrick dan Falk (2006) mengungkapkan bahwa pembelajaran sosial dalam kelompok tani tidak hanya pemahaman dan komunikasi antar petani, tetapi meningkatkan kapasitas dan tindakan petani untuk mengubah ke arah yang lebih berkelanjutan secara ekologi dan sosial. Pusat untuk pembelajaran sosial dalam kelompok adalah belajar bagaimana anggota kelompok berperilaku, apa proses untuk mengikuti, dan apa sikap dan nilai-nilai untuk terus dikembangkan.
B. Jaringan Sosial dan Analisis Jaringan Sosial Analisis jaringan sosial mendeteksi dan menafsirkan pola hubungan sosial di antara anggota jaringan (Nooy et al., 2011). Menurut Monge dan Contractor (2003) struktur jaringan dapat diukur dengan empat tingkat analisis seperti analisis tingkat individu, analisis tingkat diad, analisis tingkat triadic dan tingkat analisis global network. Pertama, tingkat analisis individu, jaringan dapat diamati melalui ukuran jaringan (size) dan komunikasi yang diterima (in-degree), komunikasi yang dikeluarkan (out-degree) dan all-degree. In-degree adalah jumlah baris langsung ke sebuah node dari node lain, out-degree adalah jumlah baris langsung dari sebuah node ke node lain dan all-degree adalah jumlah link langsung dengan aktor lain. Kedua, tingkat diad analisis mengamati jarak antara node. Jarak adalah jumlah baris antara dua node yang dilambangkan sebagai dij, jarak dari satu simpul (i) ke node lain (j). Node yang terhubung langsung didefinisikan sebagai jarak 1 tetapi node yang terhubung dengan node ketiga dipisahkan oleh jarak 2. Ketiga, tingkat triadic analisis mengamati kelompok sebagai jumlah maksimum node dalam jaringan yang semua langsung terhubung ke satu sama lain. Keempat, tingkat jaringan global analisis adalah mengamati kepadatan jaringan sebagai sebuah konsep kelengkapan hubungan dalam jaringan. Kepadatan jaringan diukur tergantung dengan kerapatan jaringan (size). Sentralitas dan prestise mengacu pada aktor penting dalam jaringan sosial. Seorang disebut sebagai 4
aktor sentral ketika ia terlibat dalam banyak hubungan dengan aktor lain dalam jaringan. Aktor sentral mungkin akan memberikan informasi yang diperlukan atau link ke orang lain dalam jaringan. Di ujung lain dari skala sentralitas adalah isolated, seorang aktor tanpa ada koneksi dengan aktor lain dalam jaringan tertentu (tingkat 0). Isolated hanya dapat menerima informasi dari sumber impersonal (tidak langsung) dan tidak memiliki peluang untuk mengirimkan informasi dalam jaringan. Dalam organisasi atau kelompok ada dua jenis jaringan: jaringan saran (advice network) dan jaringan pertemanan (friendship network) (Bartol dan Zhang, 2007). Jaringan saran yang antarpribadi; anggota datang ke penasihat mencari informasi penting. Jaringan persahabatan dibentuk oleh / hubungan timbal balik saling menguntungkan di antara para anggota. Menurut Nebus (2006), jaringan saran berasal ketika seorang aktor memilih orang tertentu bahwa ia akan menghubungi untuk meminta nasihat. Dalam hal ini, hubungan dalam jaringan saran cenderung asimetris atau non-reciprocating (Carley & Krackhardt, 1996). Transfer pengetahuan tertanam dalam hubungan sosial jaringan saran sedangkan hasil dari jaringan pertemanan memberikan penampilan hubungan timbal balik.
5
BAB III. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dipilih secara purposif yaitu di Lahan Pasir Pantai Kecamatan Panjatan Kabupaten Kulon Progo. Responden penelitian adalah kelompok tani cabe yang berada di sepanjang lahan pasir pantai yaitu di Desa Karangsewu, Desa Bugel, Desa Pleret dan Desa Garongan. Metode penelitian yang digunakan adalah roster method pada ego centered-network dengan menggunakan wawancara individu dengan petani pioneer usahatani cabe pada masing-masing kelompok tani. Masing-masing responden diminta untuk menyebutkan nama-nama mengenai kepada siapa mereka mencari dan memberikan informasi teknologi usahatani dan pemasaran cabe. Setelah itu, data yang diperoleh dibuat menjadi sosiogram menggunakan software Pajek 3.15 (de Nooy et al., 2011). Variable yang akan dianalisis adalah a. Size is n jumlah aktor (nodes) dalam jaringan b. All-degrees, CD = d (𝑛𝑖) c. Density, rasio dari aktual lines dengan possible lines d. Distance, jarak antara aktor i dan j e. Brokerage Roles: Itinerant Brokers dan Gatekeepers
6
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Lahan Pasir Pantai di Kulon Progo Penelitian ini telah dilakukan di bagian barat Provinsi D.I. Yogyakarta (Gambar 2.1). Di daerah tersebut, terdapat tiga kategori daerah yaitu dataran tinggi, perbukitan dan dataran rendah. Daerah dataran rendah merupakan lahan pasir pantai dengan panjang 22 km, lebar 1.8 km dan luas 3000 ha. Petani telah memulai membudidayakan tanaman di lahan pasir sejak tahun 1970. Namun, mereka hanya dapat menanam singkong, kacang tanah dan jagung pada musim hujan (MH). Sejak tahun 1985, petani mulai menanam cabe dan semangka di lahan pasir tersebut. Kelompok Tani di Desa Bugel dan Garongan telah menjadi pionir dalam pembudidayaa n cabe dan kegiatan pemasaran kelompok. Selanjutnya diikuti oleh petani yang tinggal di Desa Karangsewu dan Pleret. Walaupun memiliki panjang garis pantai 22 km dan lebar 1.8 km, daerah tersebut berada di antara dua sungai Bogowonto dan Progo sehingga menguntungkan bagi petani untuk memperoleh sumber irigasi dengan membuat sumur yang dalamnya sekitar 5-8 m. Desa Bugel, Garongan, Karangsewu dan Pleret berlokasi di daerah pasir pantai dan sebagian merupakan lahan basah. Desa Bugel memiliki lahan basah dengan luas 115.51 ha sedangkan di desa Garongan hanya 69.77 ha. Sementara itu, Desa Garongan memiliki lahan pasir pantai sekitar 373.03 ha sedangkan di Desa Bugel sekitar 359.99 ha.
7
Gambar 4.1 Peta Daerah Penelitian
B. Sejarah Usahatani dan Pemasaran Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo
Lahan pasir pantai telah ditinggalkan selama beberapa tahun. Sebelum tahun 1942 beberapa petani telah membudidayakan singkong di lahan pasir pantai secara subsisten, tetapi pada tahun 1942 di bawah kekuasaan Jepang, tantara Jepang telah membuat kolam penguapan untuk memproduksi garam sehingga petani tidak diizinkan untuk melakukan kegiatan penanaman di lahan pasir. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia
pada tahun 1948, Presiden Pertama RI
mengunjungi lahan pasir pantai dan mengizinkanwarga lokal untuk menggunakan lahan tersebut. Sebelum tahun 1970, petani yang memiliki lahan pasir dan memanfaatkan lahan pasir untuk budidaya masih terbatas karena mereka hanya meggunakan lahan di yang berada daerah lembah dari gumuk pasir yang dapat menampung air hujan. Mereka hanya dapat membudidayaka n komoditas dengan nilai ekonomi rendah seperti singkong, kacang tanah dan jagung untuk konsumsi mereka sendiri selama musim hujan (Mei-September). Pada tahun 1970, pemerinta h telah menyediakan tanaman akasisa untuk revitalisasi area lahan pasir swapraja. Pohon akasia ditanam degan tujuan untuk mencegah badai pasir selama periode angin kencang dari Samudera India. Badai pasir dapat membahayakan mata pada warga di sekitar garis pantai Samudera India 8
Sekitar tahun 1980, petani Desa Bugel menyadari bahwa cabe dapat ditanam di lahan pasir selama musim hujan dengan kondisi air yang tersedia. Dia mencoba menanam cabe di lahan miliknya pada musim hujan (November -Maret), tetapi hujan lebat menyebabkan tanaman cabe di lahan pasir tidak dapat tahan terhadap aliran hujan. Setelah menghadapi masalah, pada akhir tahun 1981 dia mencoba membudidayakan cabe di musim emarau (Juni-Oktober). Sementara mencari solusi untuk menemukan air bersih dari lahan pasir 15m x 15 m, dia mencoba memanen cabe untuk pertama kalinya walaupun hanya memperoleh 0.25 kg. Selanjutnya, dia juga menemukan air bersih dengan menggali lahan pasir. Dia dapat menemukan air bersih setelah menggali lubang sedalam 5 m dari permukaan lahan pasir karena terdapat dua sungai yang melintasi area tersebut. Sebagai hasilnya, pada musim kemarau tahun 1983, dengan luas lahan sekitar 300 m2 , dia dapat memanen sebanyak 17 kg cabe. Dari periode tersebut, dia percaya bahwa cabe dapat dihasilkan di lahan pasir. Menurut teori Diffusion of Innovations yang dikemukakan oleh Everett M. Rogers pada tahun 1962, terdapat empat kelas pengadopsi: inovator, pengikut dini, pengetrap awal, pengetrap akhir, dan kaum kolot/tradisional (Rogers, 2003). Inovator merupakan orang yang memiliki hasrat banyak, keberanian dan mampu mengambil risiko dimana syarat menjadi inovator yaitu memilik i kemampuan untuk mengontrol sumber daya finansial yang kuat, kemampuan untuk memaha mi dan menerapkan pengetahuan teknologi yang kompleks dan kemampuan untuk mengatas i ketidakpastian inovasi pada waktu adopsi inoivasi. Inovator teknologi budidaya cabe di Desa Bugel merupakan seorang petani yang memilik i lahan sawah, dan memiliki pengalaman bekerja di luar desa. Pengalaman bekerja di luar desa membuat inovator mempunyai wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan yang selalu ada di desa.
9
Tabel 4.1. Sejarah Inovasi Teknologi Budidaya Cabe di Desa Bugel
1. Seorang petani menemukan fakta bahwa cabe dapat ditanam di lahan pasir. 2. Petani tersebut mencoba untuk menanam cabe di lahan pasir selama musim hujan, tetapi gagal. 3. Petani tersebut menemukan cara untuk menyuplai air bersih di lahan pasir: a. Dia menggali lahan pasir dengan kedalaman 5 m untuk menemukan air bersih. b. Dia menempatkan alat penyangga di lubang tersebut untuk membuat sumur. Alat penyangga tersebut dibuat dari anyaman bambu yang dikenal dengan nama bronjong. Bronjong telah digunakan sejak tahun 1985. c. Pada tahun 1995, petani mengganti bronjong dengan batu bata sebagai alat penyangga di sumur tersebut. d. Memiliki pengalaman sebagai pekerja di luar sektor pertanian, petani tersebut dapat menemukan teknologi untuk memperoleh air dengan mesin. Pada tahun 2009, petani membuat
pantek, mesin
pemompa
untuk
meningkatkan
jumlah
air tanpa
menggunakan sumur.
Diambil dari Raya, 2015.
C. Difusi Inovasi Usahatani dan Pemasaran Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo Usahatani cabe di lahan pasir pantai mulai diujicoba oleh seorang petani yang menemuka n potensi lahan pasir tersebut untuk ditanami cabe. Adanya penemuan teknologi sumur bronjong pada tahun 1985 mempengaruhi kecepatan difusi inovasi usahatani cabe di lahan pasir pantai Kulon Progo. Di sisi lain, inovasi pemasaran cabe melalui pasar lelang muncul pada tahun 2000 saat permainan harga cabe oleh tengkulak mulai disadari oleh masyarakat dan menimbulka n keresahan di antara anggota masyarakat.
a. Difusi Inovasi Usahatani Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo Difusi adalah proses pengkomunikasikan inovasi melalui media tertentu pada suatu sistem sosial dalam jangka waktu tertentu. Usahatani cabe di lahan pasir pantai merupakan inovasi
10
teknologi yang muncul dari masyarakat pesisir itu sendiri karena inovator muncul berasal dari salah satu penduduk pada masyarakat tersebut. Terlihat pada gambar 4.1. seorang inovator usahatani cabe muncul mulai tahun 1980, yang pada saat itu, mayoritas masyarakat menganggap inovator tersebut melakukan hal yang tidak lazim karena membudidayakan cabe di lahan pasir yang biasanya dibudidayakan di lahan sawah. Inovator tersebut hanya berkomunikasi dengan anggota keluarganya sendiri untuk melakukan pengujian pembuatan sumur, dikarenakan inovator tersebut juga kurang mampu untuk mengajak anggota masyarakat yang lain. Hal ini dimungkinkan, inovator juga masih ragu akan keberhasila n usahatani cabe di lahan pasir pantai. Dari gambar 4.1. juga dapat terlihat karakteristik adopter yang terdiri atas pelopor pada tahun 1980-1983, pengikut dini pada tahun 1984-1985, pengetrap awal pada tahun 1986-1990, pengetrap akhir 1991-1999 dan mulai tahun 2000-2015 adalah generasi kedua dari para pengetrap awal. Generasi kedua ini merupakan generasi muda yang mulai tertarik berusahatani di lahan pasir pantai karena melihat potensi ekonomi yang cukup menjanjikan bagi mereka.
Gambar 4.1. Proses Difusi Inovasi Usahatani Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo
11
Pengikut dini yang bisa dikatakan juga sebagai generasi pelopor karena dari para pengikut dini yaitu node nomor 20 dan node nomor 41 yang selanjutnya mengedukasi, mengajak dan menggerakkan masyarakat di lahan pasir pantai untuk berusahatani cabe. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bronjong dibuat dari bambu sehingga petani harus mengayam bambu tersebut. Untuk menemukan alat penyangga yang kuat, pada tahun 1995 petani di Desa Bugel membuat sumur bis namun penyiraman masih menggunakan ember. Penemuan teknologi sumur bis yang memudahkan dalam penyiraman pada tahun 1995, juga mulai memantapkan masyarakat untuk menekuni usahatani cabe. Anggota kelompok tani di Desa Bugel (node nomor 68) merupakan inovator dalam hal pembuatan sumur pantek (sumur pipa tanpa perlu bis beton). Pengalamannya sebagai buruh bangunan membantu penemuan sumur pipa di lahan pasir pantai.
b. Difusi Inovasi Pemasaran Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo Inovasi pemasaran cabe mulai terbentuk pada tahun 2001, yang berupa pasar lelang cabe dengan mengundang para pedagang untuk memberikan penawaran pada produk cabe petani yang dikumpulkan secara bersama-sama.
Gambar 4.2. Proses Difusi Inovasi Pemasaran Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo
12
Inovasi pemasaran secara berkelompok diinisiasi oleh kelompok tani di Desa Garongan, tepatnya kelompok tani Bangun Karyo. Pada gambar 4.2. node nomor 31, 35, 36, 37, 38, 39 dan 41 adalah anggota kelompok tani Bangun Karyo sedangkan node nomor 40 adalah ketua kelompok tani tersebut. Sedangkan pada tahun 2004, kelompok tani di Desa Bugel juga telah menerapkan pemasaran cabe secara berkelompok dengan penjualan melalui sistem pasar lelang, mengadopsi inovasi dari kelompok tani di Desa Garongan. Selanjutnya pada tahun 2007, kelompok tani di Desa Karangsewu juga mengadopsi sistem pasar lelang dan diikuti oleh kelompok tani di Desa Pleret pada tahun 2010.
Tabel 4.2. Proses Inovasi Pemasaran Cabe secara berkelompok 1. Penjualan cabe secara individual akan menimbulkan perbedaan harga cabe yang besar di antara petani. 2. Perbedaan harga dari penjualan secara individu menyebabkan konflik fisik di antara petani Desa Garongan yang lebih megutamakan pemasaran kelompok. 3. Pada tahun 2000, ketua kelompok tani di Desa Garongan bersepakat untuk mengumpulkan cabe dari petani di rumah miliknya dan setelah itu mengundang pedagang pengepul untuk melakukan tawar-menawar terhadap cabe yang telah terkumpul. 4. Sebagai mekanisme dalam tawar-menawar cabe yang telah terkumpul, kelompom tani Desa Garongan mengenalkan sistem lelang meskipun hanya satu pedagang pengumpul yang memonopoli lelang tersebut. 5. Pada tahun 2001, ketua kelompok tani Desa Garongan tidak hanya mengundang pedagang pengumpul, tetapi juga pedagang menengah dari louar Desa Garongan untuk bergabung dalam sistem lelang. Pada tahun 2002, sistem lelang tersebut sudah menjadi sistem yang kuat. 6. Pada tahun 2002, beberapa pedagang pengumpul dan pedagang menengah dari luar Kabupaten Kulonprogo dan Provinsi DIY meminta untuk bergabung dalam sistem lelang tersebut. 7. Pada tahun 2004, pasar lelang dilaksanakan secara resmi sebagai bentuk dari pemasaran cabe secara berkelompok.
Diambil dari Raya, 2015
13
D. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo Usahatani cabe mampu meningkatkan kesejahteraan petani di lahan pasir pantai. Dalam tabel 4.3.
dapat dilihat penghasilan usahatani serta perbandingan penghasilan usahatani dengan
penghasilan luar usahatani.
Tabel 4.3. Penghasilan Petani Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo Penghasilan A Penghasilan Usahani Cabe Semangka Lain-lain Ternak B
C
Penghasilan Luar Usahatani Buruh Bangunan Buruh Tani Nelayan Pedagang Penyewaan Traktor Tambak Udang dan Lele Pengusaha Kayu Service AC Penghasilan Total
KK
Rupiah
40 31 27 20
26.520.357 10.161.167 4.420.815 8.931.579 50.033.918 61.500.000
9 1 1 1 1 1 2 1 1
% Penghasilan UT
% thd Penghasilan Total
53,00 20,31 8,84 17,85 44,86 55,14
111.533.918
Sumber: Analisis Data Primer, 2015
Hanya 21% petani di lahan pasir yang mempunyai penghasilan di luar usahatani, sedangkan lebih dari 75% mempunyai pekerjaan tetap sebagai petani. Dilihat dari penghasilan usahataninya, usahatani cabe menjadi kontributor penghasilan utama. Lebih dari 50% penghasilan usahatani diperoleh dari usahatani cabe dan 20,31% dari usahatani semangka. Oleh karena itu, cabe merupakan komoditas yang strategis bagi petani di lahan pasir pantai. Peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan pendapatan mulai terlihat setelahnya munculnya tatanan penjualan cabe secara berkelompok dengan sistem lelang.
14
E. Peran Aktor Sentral dalam Difusi Inovasi Usahatani dan Pemasaran Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo Difusi inovasi dapat terjadi dengan cepat jika aktor yang ada dalam jaringan berperan secara optimal dalam menyebarkannya. Penyebaran inovasi dalam jaringan ditandai dengan adanya tanda panah keluar dari sebuah node. Selain aktor penting dalam jaringan, peran gatekepeer dan itinerant brokers juga mampu mempengaruhi laju difusi inovasi.
a. Peran Aktor Sentral dalam Difusi Inovasi Usahatani Cabe Aktor sentral dalam difusi adalah aktor yang memegang peranan dalam penyebaran inovasi. Aktor tersebut juga berfungsi sebagai tempat tujuan dalam mendapatkan informasi. Oleh karenanya, peran aktor sentral dapat dilihat dari banyaknya out-degree dari sebuah node dalam jaringan.
Gambar 4.3. Aktor Sentral dalam Difusi Inovasi Usahatani Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo Gambar 4.3. menggambarkan keseluruhan jaringan yang dideskripsikan berdasarkan banyaknya outdegree yang dikeluarkan oleh sebuah node atau seorang aktor dalam jaringan. Pada gambar 4.3. terlihat bahwa node nomor 20 merupakan orang penting dalam penyebaran inovasi usahatani cabe di lahan pasir pantai. Tabel 4.4. menyatakan bahwa out-degree tertinggi sebanyak 12 out-degree yang dilakukan oleh node nomor 20 dan diikuti oleh node nomor 41 sebanyak 10 out-degree. Out-degree adalah banyaknya hubungan keluar dalam hal ini adalah informasi, yang disampaikan dari aktor tertentu kepada aktor lain dalam
15
jaringan. Node nomor 20 dan 41 berturut-turut adalah ketua kelompok tani di Desa Bugel dan Desa Garongan. Adanya aktivitas penyebaran inovasi dari kedua aktor inilah yang menjadikan lahan pasir pantai mengembangkan usahatani cabe. Node nomor 20 merupakan aktor sentral yang menyebarkan inovasi ke dusun-dusun yang ada di Bugel dan sebelah utaranya yaitu Desa Karangsewu sedangkan node nomor 41 menyebarkan inovasi ke dusun-dusun yang ada di Desa Garongan, Pleret dan Karangwuni. Untuk node nomor 9, aktor ini dikenal sebagai perintis pembudidayaan cabe di lahan pasir pantai namun hanya menyebarkan inovasi terbatas pada orang-orang terdekatnya saja (keluarganya). Meskipun sejatinya aktor nomor 9 ini tidak menolak untuk membagikan pengalamannya dalam berusahatani cabe namun sifat penyebaran infomasinya pasif dengan cara menunggu petani lain datang untuk bertanya. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh node nomor 20 dan 41 yang cenderung untuk menyampaikan terlebih dahulu pengalamannya dalam ujicoba/usahatani cabe di lahan pasir pantai. Sebagai tambahan, aktor sentral dalam jaringan sosial antar kelompok tani juga diperankan oleh node nomor 6, 7, 11, 12, 23, 24, dan 36. Node nomor 23 berperan sebagai aktor sentral karena di dalam masyarakat, node 23 ini adalah seorang kepala dusun. Peran aktor nomor 23 dalam sistem sosial sebagai kepala dusun ternyata juga dapat terlihat dalam analisis jaringan sosial. Begitu juga node nomor 36 yang mempunyai kedudukan sebagai ketua kelompok tani. Oleh karena kedudukannya di masyarakat, membuat node tersebut ikutserta mendorong anggota masyarakat untuk berusahatani cabe yang akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tabel 4.4. Jumlah out-degree dalam jaringan sosial Out-degree 0 1 2 3 4 7 9 10 12
Frekuensi
12 32 13 6 8 1 1 1 1 75 Total Sumber: Analisis Data Primer, 2015
% Frek 16 42,67 17,33 8 10,67 1,33 1,33 1,33 1,33 100
Node/Aktor Representatif 4 10 2 1 6 29 9 41 20
Dalam jaringan sosial dikenal dengan adanya weak ties yang memunculkan structural holes dalam jaringan. Weak ties artinya hubungan yang terjalin dalam jaringan sosial sangat lemah. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya hubungan timbal balik antar aktor dalam jaringan. Lemahnya hubungan 16
ini dapat menyebabkan adopsi inovasi menjadi lambat. Structural holes adalah hambatan dalam jaringan akibat adanya hubungan (ties) yang terpisah karena tidak adanya hubungan langsung (direct ties). Adanya hambatan dalam jaringan sosial antar node satu dengan lainnya membutuhkan peran dari perantara (brokerage roles), terdapat beberapa peran dari perantara seperti liason, gatekeeper, representatives, coordinator dan itinerant brokers. Itinerant brokers atau biasa disebut konsultan adalah node yang berfungsi untuk menyampaikan informasi kepada dua node yang tidak saling berhubungan atau tidak terjadi hubungan langsung antar node tersebut walaupun node tersebut berada dalam satu kelompok.
Gambar 4.4. Itinerant Brokers dalam Difusi Inovasi Usahatani Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo
Gambar 4.4. mendeskripsikan banyaknya node yang berperan sebagai konsultan. Terlihat node atau aktor nomor 41 memainkan peran sebagai konsultan yang paling besar. Hal ini menjelaskan bahwa aktor nomor 41 memberikan informasi mengenai usahatani cabe mencakup seluruh masyarakat di lahan pasir pantai. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa tipe jaringan sosial antar kelompok tani yang terbentuk tidaklah kohesif dengan munculnya klik, namun tipe jaringan sosialnya adalah membentuk tipe konsultatif. Anggota masyarakat dalam jaringan sosial ini akan mencari sumber informasi untuk mendapatkan informasi secara langsung. Informasi belum didapatkan secara menyebar kepada seluruh anggota
17
masyarakat yang ada dalam jaringan yang ditandai dengan terbentuknya hubungan timbal balik yang kohesif. Gatekeeper adalah fungsi sebuah node untuk mengkontrol aliran informasi dari sebuah node kepada node yang lain.
Gambar 4.5. Gatekeeper dalam Difusi Inovasi Usahatani Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo Gambar 4.5. menjelaskan bahwa terdapat beberapa aktor yang berfungsi sebagai gatekeeper inovasi usahatani cabe di lahan pasir pantai Kulon Progo. Aktor nomor 4, 7 dan 10 merupakan pengkontrol aliran informasi yang muncul dari aktor sentral 9 dan 20. Aktor 4, 7 dan 10 bertanggungjawab dalam aliran informasi di kelompok tani dusun Bugel 1 sedangkan aktor nomor 14, 15, 23 dan 27 merupakan gatekeeper aliran informasi dari aktor sentral 9 dan 41 kepada kelompok tani di Desa Pleret. Untuk aktor nomor 29 dan 36 merupakan pengkontrol aliran informasi yang mereka dapatkan dari aktor sentral nomor 41 dan informasi tersebut kemudian mereka teruskan kepada kelompok tani di dusun-dusun yang terletak di Desa Garongan.
b. Peran Aktor Sentral dalam Difusi Inovasi Pemasaran Cabe Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa inovasi pemasaran cabe menggunakan sistem pasar lelang diinisiasi oleh kelompok tani Bangun Karyo dengan inisiator aktor nomor 40 (ketua kelompok tani).
18
Ketua kelompok tani Bangun Karyo bernegosiasi dengan pedagang cabe yang tinggal dalam wilayah desa Garongan untuk membeli cabe yang telah dikumpulkan dalam jumlah yang cukup besar. Jumlah cabe yang cukup besar menyebabkan beberapa pedagang cabe lain tertarik untuk ikut membeli. Hal ini dikarenakan juga pedagang tersebut merasa kesulitan mendapatkan barang dari petani secara langsung sejak cabe tersebut dikumpulkan di kelompok tani. Adanya beberapa pedagang yang menawar cabe tersebut sehingga sistem lelang tertutup mulai ditetapkan, untuk menghindari konflik jika menggunakan sistem lelang terbuka dan langsung. Sistem lelang ini kemudian menarik minat kelompok tani di Desa Bugel untuk mengadopsi sistem lelang dalam pemasaran cabe. Oleh karena itu, aktor sentral nomor 40 mendifusikan inovasi pemasaran kepada aktor nomor 43. Informasi yang tersebar melalui aktor nomor 43 kemudian menyebar kepada para anggota kelompok tani di Desa Bugel. Selain itu, untuk wilayah Desa Karangsewu dan dusun-dusun yang ada di Bugel, aktor nomor 43 yang memberikan informasi mengenai pasar lelang sedangkan untuk wilayah dusun-dusun yang ada di Desa Garongan dan Desa Pleret, difusi inovasi diperoleh atau dilakukan oleh aktor sentral nomor 40.
Gambar 4.6. Aktor Sentral dalam Difusi Inovasi Pemasaran Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo Selain tokoh sentral dalam difusi inovasi, dapat dilihat pula aktor yang berfungsi sebagai itinerant brokers atau konsultan dalam proses penyebaran inovasi pemasaran cabe. Dalam hal ini, peran konsultan 19
masih tetap sama dilakukan oleh aktor nomor 40 dan nomor 43. Dalam pelaksanaan pasar lelang, membutuhkan peran manajerial yang baik sehingga dari kelompok-kelompok tani langsung berkonsultasi dengan yang memahami secara jelas sistem pasar lelang ini. Selain itu, kerjasama dengan pedagang juga diperlukan untuk keberlanjutan pelaksanaan pasar lelang. Terlihat pada gambar 4.7. bahwa aktor nomor 17 menjadi konsultan dalam jaringan, aktor tersebut selain sebagai petani juga sebagai pedagang yang seringkali ikut membeli barang di pasar lelang.
Gambar 4.7. Itinerant Brokers dalam Difusi Inovasi Pemasaran Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo Gambar 4.8. menunjukkan peran aktor dalam jaringan yang berfungsi sebagai gatekeeper atau pengkontrol aliran informasi yang diperoleh dari aktor sentral. Aktor nomor 4 merupakan ketua kelompok tani di dusun Bugel dan aktor nomor 7 adalah pengurus pada kelompok tani tersebut. Oleh karena itu, kedua aktor ini menjalankan fungsinya untuk menyaring informasi tentang pasar lelang dan kemudian mengadopsi pasar lelang untuk kelompok taninya. Begitu pula yang terjadi pada kelompok tani di desa Garongan dan Pleret, ketua atau pengurus kelompok tani memainkan perannya sebagai gatekeeper dalam difusi inovasi pemasaran cabe. Peran dari para pengurus kelompok tani inilah yang membantu kecepatan difusi dan adopsi inovasi pemasaran cabe di lahan pasir pantai.
20
Gambar 4.8. Gatekeeper dalam Difusi Inovasi Pemasaran Cabe di Lahan Pasir Pantai Kulon Progo
Jaringan sosial antar anggota kelompok tani di lahan pasir pantai masih terkendala dengan adanya dyadic constraint yang terlihat bahwa density dari jaringan sosial usahatani cabe hanya 4,9% dengan ratarata hubungan antar aktor hanya sebanyak 7 hubungan. Begitu juga dengan jaringan sosial dalam difusi inovasi pemasaran cabe, density jaringan yang terbentuk hanya sebesar 4,6% yang menunjukkan bahwa masih lemahnya hubungan anggota antar kelompok tani. Hubungan yang terjadi antar kelompok tani hanya terjadi pada aras ketua atau pengurus kelompok dan atau pada aras kepala dusun atau perangkat desa. Dalam hal ini, aktor yang bertanggungjawab sebagai ketua atau pengurus kelompok dan atau kepala dusun atau perangkat desa telah menjalankan perannya sebagai gatekeeper dalam difusi inovasi usahatani dan pemasaran cabe di lahan pasir pantai Kulon Progo.
21
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Inovasi usahatani cabe di lahan pasir pantai mulai ditemukan pada tahun 1980 dan mulai dibudidayakan oleh beberapa orang pengetrap dini pada tahun 1985. 2. Usahatani cabe di lahan pasir pantai telah mampu meningkatkan penghasilan petani dan juga kesejahteraannya. 3. Penyebaran inovasi usahatani cabe dilakukan oleh beberapa orang yang telah mengadopsi inovasi tersebut. 4. Tipe jaringan sosial antar kelompok tani di lahan pasir pantai adalah tipe konsultatif. 5. Hubungan antar anggota dari satu kelompok tani dengan kelompok tani yang lain dalam kaitannya dengan usahatani cabe tidak kohesif sehingga tidak terbentuk hubungan yang kuat antar mereka. 6. Karakteristik orang yang menyebarkan inovasi tersebut adalah orang yang menjabat sebagai ketua kelompok tani ataupun kepala dusun. 7. Inovasi pemasaran cabe di lahan pasir pantai dengan menggunakan sistem lelang dimulai tahun 2001, yang dipelopori oleh kelompok tani di Desa Garongan. 8. Ketua kelompok tani di Desa Garongan berfungsi sebagai konsultan dalam penyebaran inovasi pasar lelang kepada seluruh kelompok tani dan anggotanya di wilayah lahan pasir pantai. 9. Para pengurus kelompok tani telah memainkan perannya sebagai gatekeeper dalam proses difusi inovasi pemasaran cabe sehingga proses adopsi inovasi dapat berlangsung secara kontinyu.
B. Saran 1. Komunikasi yang terjalin antar anggota kelompok tani dengan kelompok tani yang lain belum kohesif sehingga perlu adanya penguatan kelembagaan dalam usahatani cabe di hamparan lahan pasir pantai sehingga penyebaran informasi dapat berlangsung lebih cepat. 2. Peran aktor sentral masih dipegang oleh orang tertentu saja sehingga memungkinkan adanya miskomunikasi antara aktor sentral dengan anggota dalam jaringan sosial. Oleh karenanya, perlu ada mekanisme difusi inovasi antar anggota kelompok tani.
22
DAFTAR PUSTAKA
Bartol, K.M. and Zhang, X. (2007). Networks and leadership development: Building linkages for capacity acquisition and capital accrual Human Resource Management Review, 17, 388401. Carley, K.M. and Krackhardt, D. (1996). Cognitive inconsistencies and non-symmetr ic friendship. Social Networks, 18, 1-27. Kilpatrick, S., Bell, R., and Falk, I. (2006). The role of group learning in building social capital. Journal of Vocational Education & Training. 51:1, 129-144. http://dx.doi.org .10.1080/13636829900200074. Kroma, M.M. (2008). Organic farmer networks: Facilitating learning and innovation for sustainable agriculture. Journal of Sustainable Agriculture. 28:4, 5-28. http://dx.doi.org/10.1300/J064v28n04_03. Monge, P.R. and Contractor, N.S. (2003). Theories of Communication Networks. OXFORD University Press. ISBN 978-0-19-516037-6 Nebus, J. (2006). Building collegial information networks: A theory of advice network generation. Acadedemy of Management Review, 31(3), 615-637. Nooy, W., Mvrar, A. and Batagelj, V. (2011). Exploratory Social Network Analysis with Pajek: Revised and expanded second edition. New York: Cambridge University. Raya, A.B. 2015. The Performance of Farmer Groups in Yogyakarta Special Region, Indonesia : Organizational Structure and the Role of Leadership. Dissertation. UT-library. Readers, S.M. (2003). Innovation and social learning: individual variation and brain evolutio n. Animal Biology. Vol.53:2 (147-158). Rogers, E.M. (2003). Diffusion of Innovations. Free Press. New York
23