ANALISIS HUKUM PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING DI SUMATERA UTARA (IMPLEMENTASI UNDANGUNDANG KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003)
TESIS
Oleh SWARY NATALIA TARIGAN 077011070 / MKn
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Swary Natalia Tarigan : Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003), 2009
Di Sumatera
Utara
ANALISIS HUKUM PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING DI SUMATERA UTARA (IMPLEMENTASI UNDANGUNDANG KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh SWARY NATALIA TARIGAN 077011070 / MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Judul Penelitian :
ANALISIS HUKUM PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING DI SUMATERA UTARA (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003)
Nama Mahasiswa : Nomor Pokok : Program Studi :
Swary Natalia Tarigan 077011070 Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Abduh, S.H) Ketua
(Prof. H.T. Syamsul Bahri, S.H) Anggota
(Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi
Direktur
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N)
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Tanggal Lulus: 31 Agustus 2009
Telah Diuji Pada Tanggal:
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Muhammad Abduh, S.H.
Anggota
:
1. Prof. H.T. Syamsul Bahri, S.H. 2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. 3. Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH.,M.S.,C.N 4. Dr.T.Keizerina Devi Azwar,SH.,C.N.,M.Hum
ABSTRAK Penggunaan karyawan outsourcing sesuai UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibatasi hanya untuk pekerjaan yang sifatnya sebagai pekerjaan penunjang, namun klasifikasi pekerjaan penunjang dan pekerjaan utama sebagai dasar pekerjaan outsourcing pengaturannya masih sangat terbatas dalam undang-undang tersebut. Selain itu, pelanggaran peraturan perusahaan di tempat kerja oleh karyawan outsourcing, maka penyelesaian perselisihan menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan outsourcing. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan, hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dan penyelesaian sengketa terhadap karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada perusahaan pemberi kerja. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang terkait dengan hukum ketenagakerjaan dalam perjanjian kerja outsourcing, yang didukung wawancara kepada narasumber yang telah ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan, klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan sebagai dasar outsourcing terlihat dari kegiatan perusahaan, di mana pekejaan utama adalah kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, sedangkan pekerjaan penunjang antara lain: pelayanan kebersihan, penyediaan makanan bagi karyawan, satuan pengamanan. Akan tetapi klasifikasi ini sulit untuk diberikan batasan karena bentuk pengelolaan usaha yang bervariasi, misalnya perusahaan di bidang komputer yang pemasangan komponennya dilakukan secara outsourcing, sementara pekerjaan itu adalah termasuk pekerjaan utama dari perusahaan. Hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan di tempat kerja terjadi atas dasar perjanjian kerja antara perusahaan di tempat kerja dengan perusahaan penyedia karyawan outsourcing, sehingga tidak ada perjanjian kerja karyawan outsourcing dengan perusahaan di tempat kerja. Akibatnya hak-hak normatif karyawan outsourcing di tempat kerja menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan oursourcing. Penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran peraturan perusahaan di tempat kerja oleh karyawan outsourcing adalah tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan outsourcing, sehingga karyawan outsourcing yang melakukan pelanggaran berat menurut peraturan perusahaan akan di-PHK, walaupun pelanggaran berat tersebut tidak termasuk pelanggaran berat dalam Pasal 150 UU Ketenagakerjaan, karena sejak diterbitkannya Putusan MK maka dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang digunakan adalah peraturan perusahaan yang disepakati bersama oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh di dalam Perjanjian Kerja Bersama di tingkat perusahaan. Disarankan kepada pemerintah meninjau kembali UU Ketenagakerjaan dalam kaitan batasan pekerjaan bagi karyawan outsourcing. Kepada perusahaan pengguna outsourcing harus menseleksi perusahaan karyawan outsourcing yang telah memenuhi persyaratan untuk memenuhi hak normatif karyawan yang terlihat dari perjanjian kerja karyawan outsourcing dengan perusahaan penyedia karyawan itu. Kemudian, juga kepada perusahaan penyedia karyawan tetap melakukan pemantauan dan respons terhadap keluhan karyawan atas peraturan perusahaan yang tidak sesuai ataupun jenis pelanggaran berat yang dapat mengakibatkan PHK di tempat kerja. Kata kunci: Perjanjian kerja; Karyawan outsourcing.
ABSTRACT The use of outsourcing employee by Law No.13/2003 about the labour is limited only for supportive work, but classification of supportive job and main job as basis of outsourcing work is limited of regulation in that law. Beside that, the breaking of company rule in work place by outsourcing workers, the solution of conflict becomes the responsibility of company as provider of outsourcing worker. Therefore it becomes the problem about the classification of main work and the supportive one of organization the relation of law between outsourcing worker with service use of outsourcing, and solution of conflict against the outsourcing workers breaking the work rule in the company. This research is analytic descriptive in nature conducted through juridical normative approach, namely the library research in written regulations or law related to labour law in the work contract of outsourcing supported with interview to determined responders. The research result indicates classification of main work and supportive work company as basis of outsourcing is seen from the activity of company in which the main work is activity related directly with process of production while the supportive work including the service of cleaness, supply of food for workers, security unit. But this classificationis difficult to be given about the limitation because the form of business management varies for example the company in field of computer whose the installation of component is made by outsourcing, mean while the work is included as main work from company.the relation of law between outsourcing workers with company in work place occurs in basis of work contract between company in work place with company as outsourcing worker provider, there is no contract outsourcing workers with the company in work place. This normative rights of outsourcing workers in work place becomes the responbility of company as provider of outsourcing workers. The solution of conflict against the breaking of company rules in work place by outsourcing workers is the responbility of the company as outsourcing worker provider, outsourcing workers who do break the heavy according rule of company will be disconnected from job, although the heavy breaking is not included in heavy breaking in chapter 150 of Law of Labour because since estabilishing the MK decision so in solution of the conflict of industrial relation used as rule of company aporoved by businessman and work labor union in mutual work contract in company level. It is recommended for government to review the Labor Law again in relation to the work limit for outsourcing workers. To company of outsourcing user must select the worker company of outsourcing that is already to meet the requirements to satisfy the normative rights of the workers seen from the contract of outsourcing workers with the company as worker provider. And than also to company as worker provider will do the monitoring and responses against the complaints of the workers for te company rule that is not suitable or the type of heavy breaking to cause the disconnection of the work in work place.
Keywords : Work Contract, Outsourcing Employess.
KATA PENGANTAR Pertama dan terutama dengan segala kerendahan hati terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan anugrah-Nya telah menambah keyakinan dan kekuatan penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul “ANALISIS HUKUM
PERJANJIAN
KERJA
OUTSOURCING
DI
SUMATERA
UTARA (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003)”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada dosen komisi pembimbing, yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, S.H., Bapak Prof. H. T. Syamsul Bahri, S.H., dan Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku dosen pembimbing, juga kepada dosen penguji Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH.,M.S.,C.N. dan Ibu Dr.T.Keizerina Devi Azwar.,SH.,C.N.,M.Hum atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Wakil Direktur serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf yang memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara. 5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu
kelancaran
dalam
hal
manajemen
administrasi
yang
dibutuhkan. 6. Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu mengasihi, Ayahanda Ir.Semion Tarigan dan
Ibunda Sempa Malem Baru, demikian juga kepada Imelda, Grace, Jimmy, Abram dan Vidella. 7. Kepada Dhany Marthen N terima kasih. 8. Sahabat-sahabat terhebat saya Melisa, Emma Titin,Dina, Pak Edy,Pak Agam, Pak Umri, Pak Anca, Bu Heny, Bu Fitri, terimakasih. 9. Kepada teman teman seangkatan yang telah bersama-sama dalam sekian waktu terima kasih. Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amen.
Medan, Agustus 2009 Penulis,
Swary Natalia Tarigan,SH
RIWAYAT HIDUP
I.
II.
Identitas Pribadi Nama
:
Swary Natalia Tarigan,Sarjana Hukum
Tempat/ Tgl. Lahir
:
Medan, 12 Desember 1983
Alamat
:
Karya Jaya Nomor 37 Medan
Agama
:
Kristen Protestan
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Status
:
Belum Menikah
Ayah
:
Ir.Semion Tarigan
Ibu
:
Sempa Malem Barus
Orang Tua Nama
III. Pendidikan 1. SD Swasta St.Yoseph Medan
Tahun 1990 – 1996
2. SMP Swasta St.Thomas I Medan
Tahun 1996 – 1999
3. SMU Swasta St.Thomas I Medan
Tahun 1999 – 2002
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Tahun
2002
2006 5. S-2 Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Tahun 2007 – 2009.
Medan,
Agustus 2009 Penulis,
Swary Natalia Tarigan,SH
–
DAFTAR ISI ABSTRAK ......................................................................................
Halaman i
ABSTRACT .....................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ....................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................
vi
DAFTAR ISI...................................................................................
vii
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN ...........................................................
1
A. Latar Belakang ...........................................................
1
B. Permasalahan .............................................................
10
C. Tujuan Penelitian ......................................................
10
D. Manfaat Penelitian .....................................................
11
E. Keaslian Penelitian ....................................................
11
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ...................................
12
1. Kerangka Teori ....................................................
12
2. Konsepsi...............................................................
23
G. Metode Penelitian ......................................................
25
KLASIFIKASI PEKERJAAN UTAMA DAN PEKERJAAN PENUNJANG PERUSAHAAN YANG MERUPAKAN DASAR PELAKSANAAN OUTSOURCING ..............................................................
29
A. Perjanjian Kerja.........................................................
29
B. Outsourcing Tenaga Kerja dalam Perusahaan ............
46
1. Sejarah Outsourcing ..............................................
46
2. Makna dan Hakikat Penyediaan Tenaga Kerja dengan Sistem Outsourcing ...................................
47
3. Sumber Hukum Outsourcing .................................
51
C. Perlindungan Hukum dalam Outsourcing ...................
54
D. Klasifikasi Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Penunjang Perusahaan Yang Merupakan Dasar Pelaksanaan Outsourcing...............................................................
57
BAB III. HUBUNGAN HUKUM ANTARA KARYAWAN OUTSOURCING DENGAN PERUSAHAAN PENGGUNA JASA OUTSOURCING ...............................
64
A. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing Dengan Perusahaan Penyedia Jasa Karyawan ............
64
B. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing dengan Perusahaan Pengguna Jasa ............................
68
C. Karakteristik Hukum Hubungan Kerja Karyawan Outsourcing...............................................................
79
BAB IV. PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KARYAWAN OUTSOURCING YANG MELANGGAR ATURAN KERJA PADA PERUSAHAAN PEMBERI KERJA ............................................................................
85
A. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Di Luar Jalur Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) .......................
85
B. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Melalui Jalur Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) .......................
103
C. Penyelesaian Sengketa Terhadap Karyawan Outsourcing Yang Melanggar Aturan Kerja Pada Perusahaan Pemberi Kerja .........................................
110
KESIMPULAN DAN SARAN .........................................
125
A. Kesimpulan ...............................................................
125
B. Saran ........................................................................
126
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
128
BAB V.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kehidupan dan pekerjaan adalah dua sisi dari satu mata uang, agar orang dapat hidup maka orang harus bekerja. Sebenarnya bukan hanya manusia saja yang harus bekerja akan tetapi semua makhluk hidup yang dengan caranya sendiri-sendiri bekerja untuk mencari makan sepanjang hidupnya. Kehidupan bagi manusia tentu saja mempunyai arti yang lebih luas sehingga keperluannya juga lebih luas dari sekedar kebutuhan badannya. Sebagaimana dikemukakan Gunarto Suhardi: Dahulu di masa manusia masih bebas untuk mengambil kebutuhan hidupnya dari alam raya orang dapat memenuhi kebutuhannya tanpa harus bekerja pada orang lain, namun perkembangan zaman dengan munculnya para penguasa hal ini telah berubah. Untuk kebutuhan proteinnya dan pakaiannya orang masih bisa berburu binatang di hutan atau di padang perburuan yang luas, untuk kebutuhan karbohidrat dia masih dapat memetik tanaman dan buah-buahan di hutan tanpa batas. Baru setelah muncul para penguasa yang karena kedigdayaannya mengaku memiliki hutan, padang-padang rumput dan ladang-ladang beserta isinya maka orang terpaksa bekerja untuk penguasa ini dengan kata lain ia menjadi karyawan, hamba sekaligus budak bagi penguasa tersebut. 1 “Di jaman modern ini nampaknya situasi yang menyedihkan itu akan terulang kembali, histoire est repete kata orang Perancis, sebab melalui hubungan kerja dalam hal ini alih daya pekerja (outsourcing) dapat ditekan sedemikian rupa tanpa bisa menuntut hak normatif yang wajar” 2 , dalam hubungan kerja outsourcing merupakan penyerahan pekerjaan tertentu oleh suatu perusahaan kepada pihak ketiga, sehingga 1
Gunarto Suhardi, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing, (Cetakan Pertama, Universitas Atma Jaya,Yogyakarta, 2006), hal. 1. 2 Ibid., hal. 1.
hubungan pekerja bukan dengan perusahaan pemberi kerja tetapi dengan perusahaan penyalur tenaga kerja, sebagaimana dikemukakan Libertus Jehani: Outsourcing adalah penyerahan pekerjaan tertentu suatu perusahaan kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan untuk membagi risiko dan mengurangi beban perusahaan tersebut. Penyerahan pekerjaan tersebut dilakukan atas dasar perjanjian kerjasama operasional antara perusahaan pemberi kerja (principal) dengan perusahaan penerima pekerjaan (perusahaan outsourcing). Dalam praktik, perusahaan principal menetapkan kualifikasi dan syarat-svarat kerja, dan atas dasar itu perusahaan outsourcing merekrut calon tenaga kerja. Hubungan hukum pekerja bukan dengan perusahaan principal tetapi dengan perusahaan outsourcing. Dalam kaitannya dengan ini, ada tiga pihak dalam sistem outsourcing yaitu: perusahaan principal (pemberi kerja), perusahaan jasa outsourcing (penyedia tenaga kerja), tenaga kerja. 3 Menggunakan jasa perusahaan outsourcing dilakukan oleh perusahaan penyedia pekerjaan adalah untuk efisiensi karena sumber daya perusahaan telah diarahkan pada pekerjaan akan memberikan keuntungan: “Pertama, perusahaan principal dapat membagi beban/risiko usaha. Kedua, tercapai efisiensi karena segala sumber daya perusahaan tersebut diarahkan pada pekerjaan-pekerjaan yang merupakan bisnis inti perusahaan. Jadi, penyerahan pekerjaan-pekerjaan tertentu kepada pihak lain sesungguhnya tidak dilakukan dalam rangka menekan biaya produksi.” 4 Memperkerjakan karyawan dalam ikatan kerja outsourcing nampaknya sedang menjadi trend atau model bagi pemilik, atau pemimpin perusahaan, baik itu perusahaan milik negara maupun perusahaan milik swasta. Banyak perusahaan outsourcing yakni perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja, maka perusahaan yang 3 4
Libertus Jehani, Hak-Hak Karyawan Kontrak, (Forum Sahabat, 2008,Jakarta), hal. 1. Ibid., hal. 3.
memerlukan tenaga tidak perlu susah-susah mencari, melakukan seleksi dan melatih tenaga kerja yang dibutuhkan. Oleh karena itu, tidak ada hubungan organisatoris antara organisasi dengan pekerja karena secara resmi pekerja adalah karyawan dari perusahaan outsourcing. Gaji dibayar oleh perusahaan outsourcing setelah pihaknya memperoleh pembayaran dari perusahaan pemakai tenaga kerja. Gaji diberikan sesuai dengan ketentuan perusahaan outsourcing. Perintah kerja walaupun sejatinya diberikan oleh perusahaan pemakai tenaga akan tetapi resminya juga diberikan oleh perusahaan outsourcing dan biasanya perintah itu diberikan dalam bentuk paket. Cara seperti ini melindungi perusahaan pemakai tenaga kerja dari kerepotan dalam hubungan karyawan dan majikan. “Perusahaan tidak perlu memikirkan berbagai kesulitan tentang kenaikan upah (UMR), tidak menanggung biaya kesehatan, biaya pemutusan hubungan kerja dengan karyawan outsourcing, dan lain-lain yang sepatutnya menjadi beban majikan.” 5 Secara normatif sebelum diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), sistem outsoucing ini sebenarnya sudah ada dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang mengatur tentang pemborongan pekerjaan. Disebutkan bahwa pemborongan pekerjaan adalah suatu kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga. Menurut pakar hukum perburuhan Iman Soepomo, bahwa “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk 5
Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 2.
mengerjakan buruh itu dengan membayar upah”. 6 Perumusan UU Ketenagakerjaan yang paling dekat dengan penyediaan tenaga kerja outsourcing adalah pada Pasal 35 ayat (1) dinyatakan bahwa pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari: 1. “Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan 2. Lembaga swasta berbadan hukum yang telah memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.” 7 “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui
perjanjian
pemborongan
pekerjaan
atau
penyediaan
jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. 8 Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. ”Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; 2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; 3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan 4. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.” 9 Pengusaha wajib memberitahukan kepada pekerja akan jenis dan sifat pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu (musiman). Pekerjaan yang dapat menggunakan pekerja kontrak adalah pekerjaan-pekerjaan sebagai berikut: 6
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan bagian Pertama Hubungan Kerja, (PPAKRI Bhayangkara, 1968,Jakarta), hal. 57. 7 Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 12. 8 Pasal 64 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 9 Pasal 65 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiananya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. Pekerjaan yang bersifat musiman; d. Pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. 10 Sesuai Pasal 56 UU Ketenagakerjaan, maka perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak tertentu. Untuk waktu tidak tertentu dapat juga disebut sebagai pekerja tetap. Sedangkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas: jangka waktu tertentu, dan selesainya suatu pekerjaan tertentu. Kebanyakan dari para pekerja outsourcing adalah termasuk dalam perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dan dimaksudkan untuk menutup kesulitan menentukan jenis pekerjaan tertentu yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu misalnya mengenai pemborongan pekerjaan yang merupakan peluang bagi perusahaan penyedia tenaga kerja dan para pemberi kerja agar mendapat tenaga murah dan berkualitas. Pekerja outsourcing semestinya mengetahui tentang hak-hak dasar pekerja, salah satunya hak non-diskriminasi dalam Pasal 6. Hak-hak dasar ini dipertegas lagi dalam berbagai pasal berikut ini: a. Pasal 35 ayat (2) menyatakan bahwa pelaksana penempatan kerja (PJPT) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja. b. Pasal 35 ayat (3) dari UU No.13 Tahun 2003 ini menyebutkan pemberi kerja dalam memperkerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan, baik mental maupun fisik tenaga kerja. 11
10 11
Libertus Jehani, op. cit., hal. 7. Lihat, juga Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 16.
Formulasi kedua ayat ini memberikan pengertian luas akan arti perlindungan karena prinsip hukum adalah bahwa makin pendek suatu formulasi hukum maka makin luas pula pengertian dan pelaksanaannya. ”Hal ini dipertegas lagi dengan kata-kata mencakup kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan. Kata mencakup berarti meliputi akan tetapi tidak terbatas pada apa yang disebutkan dalam kata meliputi tersebut, jadi masih ada hal yang di luarnya.” 12 Pengertian ini bilamana dihubungkan dengan pengertian
non-diskriminasi
dengan
pekerja
tetap
dalam
Pasal
6
UU
Ketenagakerjaan, maka secara substantif tidak ada perbedaan antara pekerja tetap dengan pekerja untuk waktu tertentu, tipe outsourcing termasuk dalam hak-hak normatif apabila pekerja diberhentikan dari kerja oleh pemberi kerja. Dari ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, pekerja outsourcing termasuk di dalam katagori perjanjian kerja waktu tertentu, maka para pekerja harus diberikan pekerjaan yang sesuai sifatnya dengan apa yang disebut dalam ayat (1) dan (2) pasal. Jika tidak sesuai dengan pekerja tetap maka demi hukum pekerja outsourcing harus diakui oleh pemberi kerja sebagai pekerja tetap dan tidak dapat didiskriminasi. Hal ini dipertegas dalam Pasal 65 ayat (4) dan ayat (8) sehingga hak-haknya harus dipulihkan dan disamakan dengan pekerja tetap termasuk dalam hal jangka waktu kerja. Penggunaan tenaga kerja outsourcing dalam kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan bahwa yang dimaksud dengan
12
Ibid., hal. 16.
kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Dari ketentuan tersebut, tampak bahwa pengaturan tentang syarat-syarat memperkerjakan pekerja kontrak sangat dibatasi (limatitif). Pekerjaan yang bersifat permanen sekalipun, juga menggunakan pekerja kontrak. Bentuk penyiasatan yang dilakukan adalah dengan melibatkan perusahaan outsourcing untuk memperkerjakan beberapa bagian pekerjaan perusahaa. ”Berdasarkan kerjasama operasional tersebut, perusahaan outsourcing merekrut pekerja-pekerja kontrak. Di tengah terbatasnya kesempatan kerja, maka pekerja outsourcing ini tidak punya banyak pilihan selain menerima syarat-syarat kerja yang ditawarkan.” 13 Walaupun adanya batasan dalam UU Ketenagakerjaan untuk memperkerjakan pekerja outsourcing, namun tetap berpotensi menimbulkan masalah, sebagaimana dikemukakan R. Djokopranoto: Dalam teks UU No 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan
13
Libertus Jehani, op. cit., hal. 7-8
industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut. 14 Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dibolehkan jika tidak menyangkut usaha pokok (core business), namun
interpretasi
yang
diberikan
undang-undang
masih
sangat
terbatas
dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing semakin meluas ke berbagai bidang kegiatan perusahaan. Dengan kata lain, ”konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis”. 15 Demikian serikat pekerja menolak sistem outsourcing, karena tidak terjamin kelangsungan kerja bagi pekerja kontrak. Setiap saat pekerja dapat diberhentikan dan perusahaan tidak diharuskan membayar kompensasi PHK. Alasan penolakan lain, karena pada kenyataannya banyak sekali terjadi penyimpangan dalam kontrak. Penyimpangan yang sering terjadi antara lain: a. Upah pekerja kontrak di bawah ketentuan UMR/UMP; b. Pekerja kontrak tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek; c. Para pekerja kontrak dan perusahaan outsourcing bekerja pada bidang-bidang yang bersifat terus-menerus; d. Perusahaan outsourcing nakal baik langsung maupun tidak memungut uang dari calon pekerja; e. Perusahaan outsourcing memotong upah para pekerjanya sendiri; f. Para pekerja kontrak tidak mendapat THR. 16
14
R. Djokopranoto, “Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha)”, Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, (World Trade Center, Jakarta,13-14 Oktober 2005,Yogyakarta), hal. 5. 15 Ibid., hal. 6. 16 Libertus Jehani, op. cit., hal. 4.
Dari kasus yang disidangkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, pelanggaran dalam pelaksanaan outsourcing tersebut, antara lain: kasus outsourcing di Rumah Sakit Pusat Pertamina, terjadi pelanggaran pelaksanaan outsourcing karena tidak adanya perjanjian tertulis antara pihak rumah sakit sebagai pengguna dengan koperasi pegawai rumah sakit selaku agen. Kemudian juga kasus penyimpangan outsourcing terjadi di pintu jalan tol Lingkar luar Jakarta, dimana sebagian besar petugas tiket di pintu tol berstatus sebagai pegawai outsourcing. ”Padahal masyarakat awam pasti bisa menilai bahwa pekerjaan menjaga pintu jalan tol adalah bisnis inti dari perusahaan penyelenggara jalan tol. Artinya tak layak kalau pekerjanya berstatus karyawan kontrak apalagi outsourcing.” 17 Selain itu, dalam pelaksanaan outsourcing berbagai potensi perselisihan dapat timbul, misalnya berupa pelanggaran-pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya, menurut ”Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.” 18 Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing di Sumatera Utara (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003). 17
“Serba-Serbi Praktik Outsourcing di Sekitar Kita”, http:/www.hukumonline.com, hal. 1. Selanjutnya dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, mensyaratkan gugatan dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Jika tidak disertakan, hakim wajib mengembalikan gugatan penggugat. 18
B. Permasalahan Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan yang merupakan dasar pelaksanaan outsourcing? 2. Bagaimana
hubungan
hukum
antara
karyawan
outsourcing
dengan
perusahaan pengguna jasa outsourcing? 3. Bagaimana penyelesaian sengketa terhadap karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada perusahaan pemberi kerja?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan yang merupakan dasar pelaksanaan outsourcing. 2. Untuk mengetahui hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. 3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa terhadap karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada perusahaan pemberi kerja.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis, yaitu: 1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum ketenagakerjaan khususnya di bidang pelaksanaan perjanjian kerja outsourcing pada suatu perusahaan. 2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari tentang perjanjian kerja outsourcing pada suatu perusahaan khususnya bagi para akademisi, mahasiswa, pelaku usaha outsourcing dan juga masyarakat pekerja outsourcing pada umumnya.
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitar Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing di Sumatera Utara (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003)” belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat saya pertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori “Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,” 19 dan “satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.” 20 “Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis.” 21 Kerangka teori yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah teori Perlindungan hukum yang dikemukakan oleh J. van Kan, ”bahwa hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan orang dalam masyarakat”. 22 Demikian juga halnya dalam ketenagakerjaan khususnya dalam perjanjian kerja outsourcing. Dalam kepustakaan hukum mengenai outsourcing selalu dikaitkan atau disebutkan dalam hukum perburuhan. Dalam bukunya Imam Soepomo, “disebutkan mengenai definisi hukum perburuhan, antara lain menurut Moleenar, hukum perusahaan adalah bagian dari hukum yang berlaku, yang pada pokoknya mengatur
19
J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas,(FE UI, 1996,Jakarta), hal. 203. 20 Ibid, hal. 16. 21 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (CV. Mandar Maju, 1994,Bandung), hal. 80. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 22 J. van Kan, dalam Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (edisi revisi, Raja Grafindo Persada, 2008,Jakarta), hal. 21.
hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh, dan antara buruh dengan penguasa.” 23 “Pengertian hukum perburuhan sebagai himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.” 24 Selanjutnya, Arnol M. Rose sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “kalau ingin melihat peranan hukum dalam perubahan sosial, maka hal itu hendaknya dilihat dalam kemampuannya untuk melakukan initial pust”. 25 Satjipto Rahardjo sendiri berpendapat: Dalam menggunakan hukum sebagai sarana, tidak boleh berpikir seperti dalam ilmuilmu alam. Proses itu berlangsung cukup panjang dan efek yang ditimbulkannya bisa merupakan efek yang sifatnya berantai. Dalam keadaan yang demikian ini, maka hukum bisa digolongkan ke dalam faktor “penggerak mula”, yaitu yang memberikan dorongan pertama secara sistematis. Dalam hal ini, hukum bekerja untuk mengantarkan masyarakat dalam transformasi sosial. Kata “mengantarkan” di sini bahwa tugas hukum adalah untuk memberikan dukungan konseptual dan struktural terhadap proses perubahan dalam masyarakat. 26 Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern banyak disebut-disebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum ketenagakerjaan.
Dalam
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) telah mengatur Perlindungan terhadap hakhak pekerja, antara lain: Perlindungan PHK, Jamsostek, upah yang layak dan
23
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Djambatan, 1983,Jakarta), hal. 2 Ibid., hal. 2. 25 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial-Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman di Indonesia, (Penerbit Alumni, 1983,Bandung), hal. 157. 26 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Proyek Penulisan Karya Ilmiah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia Bekerjasama dengan Penerbit CV. Sinar Baru, 1985,Bandung), hal. 18. 24
tabungan pensiun. Namun dalam praktek outsourcing, hak-hak tersebut merupakan sesuatu yang mahal untuk didapat oleh para pekerja outsourcing, karena status pekerja outsourcing adalah pekerja dari suatu perusahaan penyalur tenaga kerja, tetapi harus bekerja pada perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing dengan waktu kerja tertentu. Dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan disebutkan, bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut: Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Undang Undang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni: Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Selain pengertian normatif seperti tersebut di atas, Iman Soepomo berpendapat, bahwa “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang
mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah”. 27 Kemudian menurut Subekti perjanjian kerja adalah: ”Perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri, adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak lain”. 28 Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai Perjanjian Kerja, khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601a KUHPerdata tersebut, ada dikemukakan perkataan di bawah perintah, maka perkataan inilah yang merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan di bawah ini mengandung arti bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk pada pihak lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain, berarti ada unsur wenang perintah dan dengan adanya unsur wenang perintah berarti antara kedua pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut subordinasi. Jadi ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah. Maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk pada dan di bawah perintah dari pihak majikan. 29 Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada umumnya seperti yang ditentukan pada Pasal 1313 KUHPerdata, jelas bahwa kedudukan antara para pihak yang membuat penjanjian adalah sama dan seimbang, karena di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Oleh karena itu pengertian perjanjian pada
27
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Djambatan, 1983,Jakarta), hal. 53. Subekti, Aneka Perjanjian, cetakan kedua, (Alumni, 1977,Bandung), hal. 63. 29 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja,(RajaGrafindo Persada, 2008,Jakarta), 28
hal. 31.
Pasal 1313 KUH Perdata tersebut berlainan jika dibandingkan dengan perjanjian kerja pada Pasal 1601 a KUH Perdata. Dalam perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata, masih menjadi pegangan dan harus diterapkan, agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaannya bisa dianggap sah dan konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang. Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, ternyata masih ada unsur-unsur lain yang harus dipenuhi, menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negeri Belanda, yaitu M.G. Rood, menyebutkan bahwa suatu perjanjian kerja baru ada, manakala di dalam perjanjian kerja tersebut telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: a. “Adanya unsur work atau pekerjaan b. Adanya unsur service atau pelayanan c. Adanya unsur time atau waktu tertentu d. Adanya unsur pay atau upah.” 30 “Sebagai implementasi dari perjanjian kerja tersebut, maka salah satu pihak yaitu si pekerja, harus melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam perjanjian kerja. Bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut pada prinsipnya harus dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian kerja dan tidak boleh digantikan orang lain.” 31 Kemudian pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus
30
M.G Rood, materi penataran terhadap Dosen-dosen Hukum Perburuhan seluruh Indonesia, di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, tanggal 7 – 19 Agustus 1989. 31 Djumadi, op. cit., hal. 42
dilakukan dalam waktu tertentu, dan tidak boleh dikerjakan selama hidupnya si pekerja. Pekerjaan tersebut dikerjakan oleh pekerja, sesuai dengan waktu yang telah disepakati atau diperjanjikan maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum dan kebiasaan setempat. Oleh karena itu dari esensialia tersebut di atas, jika dirumuskan adalah sebagai berikut: a. Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, pada pokoknya harus dilakukan sendiri; b. Harus di bawah perintah orang lain; c. Pekerjaan tersebut dilakukan dalam waktu tertentu, dan d. Si pekerja setelah memenuhi prestasinya, berhak mendapatkan upah, sebaliknya si pengusaha wajib untuk membayar upah tepat pada waktunya. Hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Substansi perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)/Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ada, demikian halnya dengan peraturan perusahaan, substansinya tidak boleh bertentangan dengan KKB/PKB. 32 Ketentuan ini juga akan berlaku dalam perjanjian kerja outsourcing (alih daya) antara pekerja dengan perusahaan penyalur dan perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing tersebut. Dalam bidang ketenagakerjaan outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja. Ini berarti ada perusahaan yang secara khusus melatih/mempersiapkan, menyediakan,
32
Ibid., hal. 53
memperkerjakan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain. Perusahaan itulah yang mempunyai hubungan kerja secara langsung dengan buruh/pekerja yang diperkerjakan. UU Ketenagakerjaan mengatur dan melegalkan outsourcing. Istilah yang dipakai adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa buruh/pekerja, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 64 bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan untuk di-outsource itu menurut Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaan adalah pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menurut Pasal 66 UU Ketenagakerjaan tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, yang harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselilsihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini. Selain itu, perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Jika persyaratan di atas tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Selanjutnya tata cara perijinan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh diatur dalam
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor:
Kep.101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Pasal 4 ketentuan menteri tersebut menentukan dalam hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberian pekerjaan kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa; b. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh
yang
dipekerjakan
perusahaan
penyedia
jasa
sehingga
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul manjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; c. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenisjenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Kemudian dalam Pasal 5 ditentukan: (1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/ kota tempat perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan (2) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerjaan/buruh melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu proinsi, maka pendaftaran dilakukan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi. (3) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial. (4) Pendaftaran perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) harus melampirkan draft perjanjian kerja.
Selanjutnya dalam hubungan kerja dapat terjadinya sengketa atau konflik, baik itu antara pekerja dengan perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing maupun pekerja dengan perusahaan penyalur tenaga kerja outsourcing. Sebagaimana dikemukakan Ronny Hanitijo Soemitro: Konflik adalah situasi atau keadaan di mana dua atau lebih pihak memperjuangkan tujuan masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan di mana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing. Sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lain, merupakan suatu hal yang wajar jika dalam interaksi tersebut terjadi perbedaan paham yang mengakibatkan konflik antara satu dengan yang lain, merupakan sesuatu yang lumrah, yang penting adalah bagaimana meminimalisir atau mencari penyelesaian dan konflik tersebut, sehingga konflik yang terjadi tidak menimbulkan ekses-ekses negatif. Demikian halnya dalam bidang perburuhan/ketenagakerjaan, meskipun para pihak yang terlibat di dalamnya sudah diikat dengan perjanjian kerja namun konflik tetap tidak dapat dihindari. 33 Jika hak-hak para pekerja (kontrak) tidak diberikan oleh pengusaha ada beberapa sarana yang dapat dipakai untuk menyelesaikannya yakni secara bipartit, arbitrase, konsiliasi, mediasi (ketiganya termasuk penyelesaian di luar pengadilan), Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Mahkamah Agung. Penyelesaian bipartit adalah penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang sedang berselisih dengan musyawarah untuk mufakat. Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah. Jika perundingan bipartit berhasil dilakukan dan mencapai kesepakatan maka harus dibuatkan Perjanjian Bersama yang isinya mengikat para pihak. Perjanjian tersebut harus didaftarkan pada pengadilan Hubungan Industrial di wilayah para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Jika salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan, maka pihak yang dirugikan dapat
33
Ronny Hanitijo Soemitro, “Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik”, Majalah Masalah Hukum, (Fakultas Hukum UNDIP, 1984,Semarang), hal. 22.
mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan di mana perjanjian bersama itu didaftarkan. Penyelesaian secara arbitrase adalah penyelesaian perselisihan di luar pengadilan yang disepakati secara tertulis oleh para pihak dengan memilih arbiter tunggal atau majelis arbiter dan daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Perselisihan yang dapat diselesaikan lewat arbitrase hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Keputusan arbitrase ini bersifat final, kecuali untuk alasan tertentu dapat diajukan pembatalan kepada Mahkamah Agung. 34 Perselisihan yang dapat diselesaikan secara konsiliasi adalah perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan. Sedangkan perselisihan yang dapat diselesaikan secara mediasi adalah perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Selanjutnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan sebagaimana ditentukan dalam UU ketenagakerjaan hanya ada dua lembaga pengadilan yang dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yaitu Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung (MA). PHI adalah pengadilan khusus (ad hock) yang berada di lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perselisihan yang pada tahap mediasi atau konsiliasi tidak tercapai kesepakatan. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutuskan: a. ”di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; 34
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
b. di tingkat pertama mengenai perselisihan PHK; c. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/dalam satu perusahaan.” 35
2. Konsepsi ”Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition”. 36 Pentingnya definisi “operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.” 37 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut: a. “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” 38
35
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 36 Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hal. 10. 37 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, (PPs-USU, 2002,Medan), hal 35 38 Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan.
b. “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” 39 c. “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.” 40 d. “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.” 41 e. “Outsourcing adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.” 42 f. “Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang berbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.” 43 g. “Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
39
terbuka,
mandiri,
demokratis
Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan. Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan. 41 Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan. 42 Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. 43 Pasal 1 angka 16 UU Ketenagakerjaan. 40
dan
bertanggung
jawab
guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.” 44
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat “deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,” 45 dalam hal ini pelaksanaan perjanjian kerja outsourcing. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan “yuridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain,” 46 yang terkait dengan hukum ketenagakerjaan dalam pelaksanaan perjanjian kerja outsourcing.
2. Sumber Data Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut: a. “Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan
44
penelaahan
bahan
kepustakaan
atau
data
sekunder
Pasal 1 angka 17 UU Ketenagakerjaan. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Press, 1986,Jakarta), hal. 63. 46 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Sinar Grafika, 1996,Jakarta), hal.13 45
yang
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.” 47 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945. b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. d) Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
Dan
Transmigrasi
No.Kep.101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa pekerja/Buruh. 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan hukum ketenagakerjaan khususnya perjanjian kerja outsourcing 3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan pelaksanaan perjanjian kerja outsourcing. b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait dengan pelaksanaan perjanjian kerja outsourcing, dengan melakukan wawancara kepada: 1) Pimpinan perusahaan penyalur tenaga kerja (oursourcing) di Kota Medan berjumlah satu orang. 47
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Rajawali Press, 1995,Jakarta), hal.39.
2) Pimpinan perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing di Kota Medan berjumlah satu orang. 3) Ketua serikat pekerja SPSI/SBSI di Kota Medan, masing-masing satu orang berjumlah dua orang.
3. Alat Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:
a. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait dengan hukum ketenagakerjaan khususnya perjanjian kerja outsoursing yang selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.
b. Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada narasumber yang telah ditetapkan tentang pelaksanaan perjanjian kerja outsourcing.
4. Analisis Data “Setelah pengumpulan data dilakukan, baik dengan studi kepustakaan maupun studi lapangan maka data tersebut dianalisa secara kualitatif,” 48 yakni dengan mengadakan “pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungan tiaptiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas
48
Bambang 1997,Jakarta), hal.10
Sunggono,
Metodelogi
Penelitian
Hukum,
(Raja
Grafindo
Persada,
hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, sehinga diperoleh kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif.” 49 Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
49
Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja,(Universitas Erlangga,Surabaya), hal. 2. Prosedur Deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self efident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.
BAB II KLASIFIKASI PEKERJAAN UTAMA DAN PEKERJAAN PENUNJANG PERUSAHAAN YANG MERUPAKAN DASAR PELAKSANAAN OUTSOURCING A. Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Perjanjian
kerja
yang
dalam
bahasa
Belanda
biasa
disebut
Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai perjanjian kerja disebutkan bahwa Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menenima upah. Iman Soepomo, “mengemukakan bahwa perihal pengertian tentang perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, bunuh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah.” 50 Perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat dari Subekti yang menyatakan: Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda; dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain. 51
50
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hukum Perburuhan,(PPAKRI Bhayangkari, 1968,Jakarta), hal. 9. 51 Subekti, Aneka Perjanjian, (Alumni, cet. II, 1977,Bandung), hal. 63. Swary Natalia Tarigan : Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003), 2009
Di Sumatera
Utara
Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai perjanjian kerja, khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601a KUHPerdata tersebut, ada dikemukakan perkataan “di bawah perintah”, maka perkataan inilah yang merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan “di bawah” ini mengandung arti bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk pada pihak lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain, berarti ada unsur wenang perintah dan dengan adanya unsur wenang perintah berarti antara kedua pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut subordinasi. Jadi di sini ”ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah, maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk pada dan di bawah perintah dari pihak majikan.” 52 Ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan buruh atau pekerja, adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Jika dibandingkan dengan kedudukan dari pihak majikan, dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja, maka kedudukan hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam kedudukan sama dan seimbang. Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada umumnya seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu seperti yang ditentukan pada Pasal 1313 KUHPerdata, jelas bahwa kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama dan seimbang, karena di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jelaslah pengertian tentang perjanjian tersebut berlainan jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian kerja pada Pasal 1601a 52
Djumialdi, op. cit., hal. 31
KUHPerdata, karena di dalam ketentuan pasal tersebut dinyatakan dengan tegas tentang adanya dua ketentuan, yaitu tentang satu pihak yang mengikatkan diri dan hanya satu pihak pula yang di bawah perintah orang lain, pihak ini adalah pihak buruh atau pekerja. Sebaliknya pihak yang menurut ketentuan tersebut tidak mengikatkan dirinya dan berhak pula untuk memerintah kepada orang lain, adalah pihak
Majikan
atau
Pengusaha.
Oleh karena itu ”perumusan tersebut bisa dikatakan kurang lengkap, maka ketentuannya kurang adil. Ketidakadilannya adalah tentang ketentuan yang diuraikan didalamnya.” 53 ”Ketidakadilan dalam KUH Perdata ini, kemungkinan besar adanya pengaruh oleh suatu pandangan dari zaman ke zaman di masyarakat manapun juga, yang memandang bahwa orang-orang yang melakukan pekerjaan, terutama melakukan pekerjaan untuk kepentingan orang lain, sebagai orang-orang yang derajatnya sangat rendah.” 54 Pengertian tentang perumusan dalam KUH Perdata di atas akan lain, jika perumusan tentang perjanjian kerja tersebut seperti yang dikemukakan Iman Soepomo, yang mana beliau mengemukakan bahwa ”yang terikat dalam perjanjian kerja adalah kedua belah pihak. Pihak pertama si buruh mengikatkan dirinya untuk bekerja dan mempunyai hak untuk menerima upah, sebaliknya pihak si majikan
53 54
Ibid., hal. 31-32. Iman Soepomo, op. cit., hal. 57.
mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan buruh serta berkewajiban untuk membayar upah”. 55 Pengertian mengenai perjanjian kerja yang selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Iman Soepomo, adalah seperti yang diketengahkan oleh A. Ridwan Halim, di bawah ini: ”Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu, yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal-balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka masingmasing terhadap satu sama lainnya”. 56 Selanjutnya menurut Wiwoho Soedjono, pengertian ”perjanjian kerja adalah hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan”. 57 Dengan adanya pengertian tentang perumusan perjanjian kerja tersebut, di dalam perkembangannya masalah-masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan atau penerapan penjanjian kerja, perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk mengatasi dan menjembatani kesenjangan tersebut, perlu adanya suatu perlindungan dari pihak lain atau pihak ketiga, guna pemberian perlindungan pada salah satu pihak. Adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian kerja, merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan jika dalam suatu perjanjian antara para pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan seimbang. Namun tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara para 55
Djumialdi, op. cit., hal. 32. A. Ridwan Halim, dkk., Seri Hukum Perburuhan Aktual, (Pradnya Paramita, cet. I., 1987,Jakarta), hal. 29. 57 Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, (Bina Aksara, cet. II., 1987,Jakarta), hal. 9. 56
pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai aspek yang melingkari di sekelilingnya, seperti telah diuraikan sebelumnya, maka kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut, menjadi tidak sama dan seimbang. Perjanjian kerja jika dilihat dari segi obyeknya, maka perjanjian kerja itu mirip dengan perjanjian pemborongan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan pembayaran tertentu. Namun perbedaannya antara satu dengan yang lainnya, bahwa pada perjanjian kerja ada terdapat gabungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dan majikan. Sedangkan pada perjanjian pemborongan tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya mandiri. 58 2. Unsur-Unsur di dalam Perjanjian Kerja Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar perjanjian bisa dinyatakan sah dan mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada pada Pasal 1320 KUH Perdata. Demikian juga dalam perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang ditentukan Pasal 1320 KUH Perdata tersebut masih juga menjadi pegangan dan harus diterapkan, agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaannya bisa dianggap sah dan konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ternyata masih ada unsur-unsur lain yang harus dipenuhi. Menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negeri Belanda, yaitu Mr. MG. Rood, ”bahwa suatu perjanjian kerja baru ada, manakala di dalam perjanjian 58
Djumialdi, op. cit., hal. 34-35.
kerja tersebut telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu work, service,time and pay" 59 berikut ini adalah penjabarannya: a. Adanya Unsur Pekerjaan (Work) Di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja tersebut. Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh pekerja, haruslah berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja. Pekerja yang melaksanakan pekerjaan
atas
dasar
perjanjian
kerja,
pada
pokoknya
wajib
untuk
melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak bebas untuk melaksanakan pekerjaannya, untuk dilakukan sendiri atau menyuruh pada orang lain untuk melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Bahkan pada Pasal 4 Peratuan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, dinyatakan bahwa: ”Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan”. Ketentuan tersebut di atas, bisa disebut when do not work, do not get pay, maksudnya dari kalimat tersebut adalah jika seseorang tidak mau bekerja, maka berarti seseorang tersebut tidak berkehendak untuk mendapatkan upah. Walaupun demikian di dalam pelaksanaannya, jika seseorang atau pihak pekerja, sewaktu akan melaksanakan pekerjaannya sebagai implementasi dari isi yang tercantum dalam perjanjian kerja, akan tetapi berhalangan. Ternyata ketentuan tersebut bisa dikesampingkan, yaitu dalam pelaksanaannya ternyata pekerjaan tersebut bisa diwakilkan atau digantikan oleh orang lain, sepanjang sebelumnya telah diberitahukan dan
59
Mr. MG. Rood, dalam Ibid., hal. 36
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak lain, yaitu majikan selaku pemberi kerja. Ketentuan ini bisa didapat dalam Pasal 1383 KUH Perdata jo 1603a KUHPerdata. Adapun bunyi dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 1383 KUH Perdata berbunyi: ”Suatu perjanjian untuk berbuat sesuatu tak dapat dipenuhi oleh seseorang dan pihak ketiga berlawanan dengan kemauan si berpiutang, jika si berpiutang ini mempunyai kepentingan supaya perbuatannya dilakukan sendiri oleh si berpiutang”. Dalam Pasal 1603a KUHPerdata adalah “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan izin majikan ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya (Pasal 1383 KUHPerdata)”.
b. Adanya Unsur Pelayanan (Service) Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai manifestasi adanya perjanjian kerja tersebut, pekerja haruslah tunduk pada perintah orang lain, yaitu pihak pemberi kerja dan harus tunduk dan di bawah perintah orang lain, majikan. Dengan adanya ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya berada di bawah wibawa orang lain, yaitu majikan. Dengan adanya ketentuan tersebut maka seorang Dokter misalnya dalam melaksanakan tugasnya, yaitu memeriksa dan atau mendiagnose pada pasiennya atau seorang Notaris yang melayani kliennya, dalam melakukan pekerjaannya tidak bisa disamakan dengan pengertian melaksanakan perjanjian kerja. Alasannya, karena unsur service dalam melakukan pekerjaan tersebut tidak terdapat di dalamnya. Sebab dalam melakukan pekerjaannya, tidak tunduk dan di
bawah perintah orang lain, karena mempunyai keahlian tertentu yang tidak dipunyai dan dikuasai si pemberi kerja, yaitu si pasien atau klien. Di samping itu, di dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerjaan itu harus bermanfaat bagi si pemberi kerja, misalnya jika dalam suatu perjanjian kerja dinyatakan bahwa bidang pekerjaan yang dijanjikan adalah suatu pekerjaan pengaspalan jalan. Maka pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya haruslah bermanfaat bagi si pemberi kerjanya,
misalnya
sejak
si
pekerja
bekerja
memecah
batu
dan
menghamparkannya di sepanjang jalan yang sedang diperkeras atau di aspal. Dengan demikian bisa diambil suatu kesimpulan bahwa prinsip dalam unsur pelayanan adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pekerja dan harus bermanfaat bagi pemberi kerja, dan sesuai dengan apa yang dimuat di dalam isi perjanjian kerja. Oleh karena itu, “jika suatu pekerjaan yang tujuannya bukan untuk memberikan manfaat bagi pemberi kerja, tetapi mempunyai tujuan untuk kemanfaatan pekerja itu sendiri. Maka tujuan pekerja melakukan pekerjaan misalnya untuk kepentingan praktek seorang siswa atau mahasiswa, maka perjanjian tersebut jelas bukan merupakan perjanjian kerja.” 60
c. Adanya Unsur Waktu Tertentu (Time) Melakukan hubungan kerja haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya, pekerja tidak boleh melakukan sekehendak dari majikan dan juga boleh dilakukan dalam kurun waktu seumur 60
Ibid., hal. 38-39.
hidup, jika pekerjaan tersebut dilakukan selama hidup dari pekerja tersebut, di sini pribadi manusia akan hilang, sehingga timbullah apa yang dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian kerja. Pelaksanaan pekerjaan tersebut di samping harus sesuai dengan isi dalam perjanjian kerja, juga majikan. Dengan kata lain dalam rangka pelaksanaan pekerjaannya, “buruh tidak boleh bekerja dalam waktu yang seenaknya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, dan juga pelaksanaan pekerjaannya tidak boleh bertentangan ketentuan perundangundangan, kebiasaan setempat dan ketertiban umum.” 61
d. Adanya Unsur Upah (Pay) Menurut Djumaldi, jika seseorang yang bekerja, dalam melaksanakan pekerjaannya bukan bertujuan untuk mendapatkan upah, akan tetapi yang menjadi tujuannya adalah selain upah, maka pelaksanaan pekerjaan tersebut sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Selanjutnya jika “seseorang bekerja bertujuan untuk mendapatkan manfaat bagi diri pekerja dan bukan untuk bertujuan mencari upah. Maka unsur keempat dalam suatu perjanjian kerja ini, yaitu unsur pay tidak terpenuhi.” 62 Contoh dari ketentuan tersebut, misalnya dalam hal perjanjian kerja praktek dari seorang pelajar atau mahasiswa. Mereka dalam melaksanakan masa prakteknya, misalnya mahasiswa dari Akademi Perhotelan dan Pariwisata, maka sewaktu mahasiswa tersebut berpraktek di suatu hotel, walaupun mereka telah bekerja dan di bawah perintah orang lain serta dalam waktu-waktu tertentu pula. 61 62
Ibid., hal. 39-40. Ibid., hal. 41
Akan tetapi karena tujuan untuk melakukan pekerjaan bukan untuk mencari upah, namun untuk menimba ilmu dan meningkatkan pengetahuan serta mencani pengalaman dan juga untuk mendapatkan tanda kelulusan praktek di suatu hotel dan sekali lagi bukan mencari pemenuhan tentang upah. Dengan demikian bisa diambil suatu kesimpulan, walaupun ketiga unsur telah terpenuhi, akan tetapi karena unsur yang keempat tidak terpenuhi, yaitu unsur pay atau upah, maka hubungan tersebut bukan merupakan implementasi dari pelaksanaan suatu perjanjian kerja. Upah maksudnya adalah imbalan prestasi yang wajib dibayar oleh majikan untuk pekerjaan itu. 63 Jika pekerja diharuskan memenuhi prestasi yaitu melakukan pekerjaan di bawah perintah orang lain yaitu majikan, maka majikan sebagai pihak pemberi kerja wajib pula memenuhi prestasinya, berupa pembayaran atas upah. Dalam hal menguraikan tentang upah, adalah kewajiban essensial dan hubungan kontraktual antara penerima kerja, yaitu buruh dengan majikan. Pemberian majikan, yang sifatnya tidak wajib, sesuai dengan yang ditentukan di dalam perjanjian kerja atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang sifatnya tidak mengikat untuk dilaksanakan, maka pemberian tersebut tidak bisa dikategorikan atau diklasifikasikan sebagai upah, misalnya berupa bonus, persenan dan tunjangan hari raya dan lain sebagainya. Hal ini menurut Djumialdi “yang disebut dengan upah adalah imbalan yang diberikan oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus-menerus.” 64
63 64
Ibid., hal. 41. Ibid., hal. 41.
3. Jenis-Jenis Perjanjian Kerja Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), menyebutkan, berdasarkan jangka waktu (sementara atau terus-menerus) dan jenis suatu pekerjaan (berulang-ulang atau selesainya suatu pekerjaan tertentu), hubungan kerja dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kep.100/Men/VI/2004), yang dimaksud dengan penjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. 1) Isi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh yang diperjanjikan dalam PKWT, dipersyaratkan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 2 Kep.100/Men/VI/2004 jo. Pasal 54. ayat (2) UU Ketenagakerjaan) Penjelasan Pasal 54 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih
rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. 2) Persyaratan pembuatan PKWT ”Merujuk ketentuan Pasal 56 - Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, pembuatan PKWT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a) Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. b) Harus dibuat secara tertulis dan menggunakan Bahasa Indonesia. c) Tidak boleh ada masa percobaan. d) Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertertu. e) Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.” 65 Penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, bahwa yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak bergantung pada cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi bergantung pada cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu, pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.
65
Hidayat Muharam, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya di Indonesia, (PT. Citra Aditya Bakti, 2006,Bandung), hal. 6.
3) Perpanjangan dan Pembaruan PKWT Berdasarkan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun (PKWT I) dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun (perpanjangan PKWT pertama atau PKWT kedua). Dalam hal pengusaha ingin melakukan perpanjangan PKWT, maka paling lama tujuh hari sebelum PKWT berakhir perusahaan telah memberikan pemberitahuan secara tertulis maksud mengenai perpanjangan PKWT tersebut kepada pekerja yang bersangkutan. Pembaruan PKWT (PKWT ketiga) hanya boleh dilakukan 1 kali paling lama 2 tahun dan pembaruan PKWT ini baru dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama. Dalam masa tenggang waktu tiga puluh hari ini tidak boleh ada hubungan kerja apa pun antara pengusaha dan pemberi kerja. 4) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat sementara Menurut Keputusan Menteri perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya maksudnya adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu dan dibuat untuk waktu paling lama tiga tahun. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, perjanjian kerja waktu tertentu tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. 66 Perjanjian kerja waktu tertentu, dalam hal dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu.
66
Pasal 3 ayat (1), (2), dan ayat (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Pembaruan dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu tiga puluh hari tidak boleh ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha. 67 5) PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman. “Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya bergantung kepada musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.” 68 “Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.” 69 “Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman ini tidak dapat dilakukan pembaruan.”70 6) PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru “Perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.” 71
67
Pasal 3 ayat (5), (6) dan ayat (7) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 68 Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 69 Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 70 Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 71 Pasal 8 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
“Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang satu kali paling lama 1 tahun tetapi tidak dapat dilakukan pembaruan.” 72 Kemudian juga, “perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.” 73 7) Perjanjian kerja harian lepas “Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dibuat perjanjian kerja harian lepas.” 74 “Perjanjian
kerja
harian
lepas
harus
memenuhi
ketentuan
bahwa
pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Mengenai pekerja/buruh yang bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.” 75 “Perjanjian
kerja
harian
lepas
yang
memenuhi
ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud di atas dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu
72
Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 73 Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 74 Pasal 10 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 75 Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
PKWT pada umumnya.” 76 Maksud dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu PKWT pada umumnya adalah jangka waktu perjanjian kerja harian lepas tidak dibatasi oleh hanya satu kali perpanjangan dan atau satu kali pembaruan sebagaimana perjanjian kerja waktu tertentu pada umumnya.
b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) “Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.” 77 Menurut Pasal 1603 I KUH Perdata, jika diperjanjikan mengenai masa percobaan dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu, selama waktu itu (tiga bulan) masing-masing pihak berhak mengakhiri seketika hubungan kerjanya dengan pemberitahuan penghentian. Menurut Pasal 60 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mempersyaratkan masa percobaan selama tiga bulan. Selama masa percobaan tersebut pengusaha dilarang membayarkan upah minimum yang berlaku. Penjelasan Pasal 60 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, bahwa syarat masa percobaan kerja dalam penjanjian kerja waktu tidak tertentu harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Apabila tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (1) ditentukan, penjanjian kerja waktu tidak
76
Pasal 11 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 77 Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
tertentu yang dibuat secara lisan, apabila pekerja telah selesai melalui masa percobaan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan. Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat: 1) nama dan alamat pekerja; 2) tanggal mulai bekerja; 3) jenis pekerjaan; dan 4) besarnya upah.
4. Berakhirnya Perjanjian Kerja Berdasarkan Pasal 61 UU Ketenagakerjaan, alasan-alasan berakhirnya suatu perjanjian kerja adalah: a. Pekerja meninggal dunia. b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. c. Adanya putusan pengadilan dan atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja Kemudian, berdasarkan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja selain alasan-alasan tersebut di atas, atau sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu penjanjian kerja. Sebagai contoh, apabila seorang pekerja/buruh dikontrak dengan penjanjian kerja waktu tertentu selama 1 tahun, kemudian setelah 6 bulan berjalan, pekerja/buruh tersebut diberhentikan secara sepihak oleh pengusaha, pengusaha tersebut diwajibkan membayar sisa kontrak selama 6 bulan.
B. Outsourcing Tenaga Kerja dalam Perusahaan 1. Sejarah Outsourcing Sejalan dengan terjadinya revolusi industri, perusahaan-perusahaan berusaha menemukan terobosan-terobosan baru dalam memenangkan persaingan. Pada tahap ini, kemampuan untuk mengerjakan sesuatu saja tidak cukup untuk menang secara kompetitif, melainkan harus disertai dengan kesanggupan untuk menciptakan produk paling bermutu dengan biaya terendah. Pada tahun 1970 dan 1980, perusahaan menghadapi persaingan global, dan mengalami kesulitan karena kurangnya persiapan akibat struktur manajemen yang bengkak. Akibatnya, risiko usaha dalam segala hal, termasuk risiko ketenagakerjaan pun meningkat. Tahap ini merupakan awal timbulnya pemikiran outsourcing di dunia usaha. Untuk meningkatkan keluwesan dan kreativitas, banyak perusahaan besar yang membuat strategi baru dengan konsentrasi pada bisnis inti, mengidentifikasi proses yang kritikal, dan memutuskan hal-hal yang harus di-outsource. 78 ”Gagasan awal berkembangnya outsourcing adalah untuk membagi risiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk ketenagakerjaan. Pada tahap awal outsourcing belum diidentifikasi secara formal sebagai strategi bisnis.”79 Hal ini terjadi karena ”banyak perusahaan yang semata-mata mempersiapkan diri pada bagian-bagian 78
Lalu Husni, op. cit., hal. 176 Mullin dalam Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (DDS Publishing, 2006,Jakarta), hal. 7. 79
tertentu yang bisa dikerjakan, sedangkan untuk bagian-bagian yang tidak bisa dikerjakan secara internal, dikerjakan melalui outsource.” 80 Sekitar tahun 1990, outsourcing telah mulai berperan sebagai jasa pendukung. Tingginya persaingan telah menuntut manajemen perusahaan melakukan perhitungan pengurangan biaya. Perusahaan mulai melakukan outsource terhadap fungsi-fungsi yang penting bagi perusahaan, tetapi tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan. Mengingat bisnis outsourcing berkaitan erat dengan praktik ketenagakerjaan, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan menjadi faktor penting dalam memacu perkembangan outsourcing di Indonesia. Legalisasi penggunaan jasa outsourcing baru terjadi pada tahun 2003, yakni dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2. Makna Dan Hakikat Penyediaan Tenaga Kerja Dengan Sistem Outsourcing Kecenderungan beberapa perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan sistem outsourcing pada saat ini umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Dengan menggunakan sistem outsourcing ini pihak perusahaan berusaha untuk menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Berdasarkan
hukum
ketenagakerjaan,
istilah
outsourcing
sebenarnya
bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 80
Lalu Husni, op. cit., hal. 177.
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Di dalam praktiknya, ketentuan tentang penyediaan jasa pekerja yang diatur dalam peraturan di atas akhirnya memunculkan istilah outsourcing, (dalam hal ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak di luar perusahaan). Untuk memudahkan penjelasan mengenai istilah outsourcing, dapat dilihat ilustrasi berikut ini: A diangkat sebagai karyawan di perusahaan X. Sebelum diangkat sebagai karyawan, antara A dan perusahaan X dibuat perjanjian kerja yang isinya menyatakan bahwa A bersedia untuk ditempatkan di perusahaan Y, di sini dapat dilihat bahwa perusahaan X adalah perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan Y adalah perusahaan pemberi kerja. Setelah perjanjian kerja antara A dan perusahaan X disepakati maka perusahaan X akan membuat perjanjian dengan perusahaan Y yang isinya bahwa perusahaan X akan mempekerjakan karyawannya di perusahaan Y. Terhadap penempatan tersebut, perusahaan Y membayar sejumlah dana kepada perusahan X. 81 Dari ilustrasi di atas, dapat dilihat bahwa di dalam sistem outsourcing terdapat dua jenis perjanjian, yaitu: 1. Perjanjian kerja, antara A dengan perusahaan X. 2. Perjanjian penempatan A, antara perusahaan X dan perusahaan Y. ”Dengan adanya dua perjanjian yang terpisah tersebut, walaupun A seharian bekerja di perusahaan Y, status A tetap sebagai karyawan perusahaan X. Oleh karena itu, dalam sistem outsourcing ini pemenuhan hak-hak A (seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul) tetap merupakan 81
2004.
I Wirawan, “Apa yang dimaksud Sistem Outsourcing” Pikiran Rakyat, Senin, 31 Mei
tanggung jawab perusahaan X.”
82
Beberapa praktisi hukum ketenagakerjaan
sebenarnya banyak yang mengkritik sistem outsourcing ini, karena secara legal formal perusahaan pemberi kerja tidak bertanggung jawab secara langsung terhadap pemenuhan hak-hak karyawan yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam rangka melindungi karyawan yang ditempatkan tersebut ditentukan beberapa syarat untuk meminimalisasi dampak negatif dari sistem outsourcing ini. Menurut Gunarto Suhardi: Secara legal tidak ada hubungan organisatoris antara organisasi dengan pekerja karena secara resmi pekerja adalah tetap karyawan dari perusahaan outsourcing. Gajinyapun dibayarkan oleh perusahaan outsourcing setelah pihaknya memperoleh pembayaran dari perusahaan dari perusahaan pemakai tenaga kerja. Tentu saja gaji itu diberikan setelah dipotong oleh perusahaan outsourcing. Perintah kerja walaupun sejatinya diberikan oleh perusahaan pembakai tenaga akan tetapi resminya juga diberikan oleh perusahaan outrsourcing dan biasanya perintah itu diberikan dalam bentuk paket. 83 Menurut Robert Cooter, ”sudah menjadi sifat pengusaha untuk terus melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha”. 84 Akan tetapi menurut pendapat Gunarto Suhardi, ”usaha efisiensi oleh pengusaha ternyata berakibat jauh bagi para pekerja lebih-lebih pekerja untuk waktu tertentu termasuk pekerja kontrak outsourcing, ada baiknya bila dipertimbangkan alasan-alasan pokok mengapa pilihan efisiensi itu sampai jatuh ke arah para pekerja padahal komponen biaya tenaga kerja tentunya tidak sebanyak biaya tetap berupa bahan, pajak, management fee, transportasi dan sebagainya”. 85
82
Andrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Sinar Grafika, 2009,Jakarta), hal. 218 Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 2. 84 Robert Cooter, ibid., hal. 5. 85 Ibid., hal. 5. 83
Biasanya pada saat terakhir ini keluhan naiknya biaya produksi itu berkisar pada unsur-unsur berikut ini: a. Terhambatnya usaha penurunan biaya produksi umum Pemotongan biaya produksi umum (cutting cost of god sold) ini memang sudah menjadi kebijaksanaan umum di manapun dan dalam waktu kapanpun. Tujuannya adalah untuk dapat memenangkan persaingan pasar, akan tetapi tidak semua perusahaan membebankan pemotongan biaya umum ini ke dalam pos biaya tenaga kerja. b. Sulitnya memotong biaya lainnya. Ada biaya tetap yang tidak berada dalam kontrol pengusaha misalnya biaya kenaikan BBM, kenaikan biaya tenaga listrik, dan kenaikan biaya bahan baku lebih-lebih bila ini harus diimpor. c. Naiknya biaya bunga. Biasanya pengusaha memerlukan kredit dari bank atau dari mana saja, atas kredit ini sudah barang tentu harus dibayar bunga. Bilamana inflasi tinggi l5,69% maka Bank Indonesia biasanya juga menaikkan suku bunganya hingga memicu perbankan untuk menaikkan suku bunga termasuk suku bunga pinjaman. Bagi perusahaan ini tentu saja menambah biaya karena perusahaan harus membayar bunga pinjaman ke bank untuk hutang pokoknya disamping itu juga harus membayar bunga kepada supplier yang sudah barang tentu tidak mau ketinggalan untuk menaikkan harganya karena ia juga harus menutup biaya dana cost of funds. d. Pajak dan pungutan-pungutan yang makin meningkat yang tentu saja menaikkan biaya produksi memang obyektif memberatkan pengusaha. Bermacam-macam jenis pajak pusat termasuk pajak penghasilan cukup tinggi karena secara umum pajak ini di Indonesia mencapai rata-rata 35% sedangkan di negara tetangga tertinggi adalah 25%. Kalau ingin bersaing dengan negara tetangga semestinya paling sedikit harus setinggi di negara tetangga itu. Belum termasuk pungutanpungutan atau pajak daerah yang nampaknya demi peningkatan PAD maka pungutan dari pajak daerah ini harus ditingkatkan. 86 Berbagai beban yang jelas berada di luar kontrol pengusaha, bahkan seringkali sulit dihindari mengakibatkan pengusaha mencari cara penghematan yang masih mungkin dilakukan. Satu-satunya yang mungkin dihemat adalah upah dan fasilitas kepada karyawan. Penghematan ini dilakukan terhadap karyawan yang paling lemah yakni tenaga kontrak outsourcing karena tidak terorganisir. Lagi pula secara hukum
86
Ibid., hal. 25-26.
memang bisa melimpahkan tanggung jawabnya kepada perusahaan penyedia tenaga kerja. ”Bila melakukan penghematan dan pengurangan pekerja yang berstatus pekerja waktu tidak tertentu atau pekerja tetap maka jelas akan menghadapi perlawanan sengit dan harus memberikan pesangon dan hak-hak lain yang cukup besar.” 87 Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya pro kontra dalam pelaksanaan outsourcing itu.
3. Sumber Hukum Outsourcing a. Outsourcing dalam KUH Perdata Salah satu bentuk pelaksanaan outsourcing adalah melalui perjanjian pemborongan pekerjaan. Dalam KUH Perdata Pasal 1601 b disebutkan perjanjian pemborongan pekerjaan, yakni sebagai perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Ada beberapa prinsip yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan sebagaimana diatur dalam ketentuan KUH Perdata, yakni sebagai berikut: a). Jika telah terjadi kesepakatan dalam pemborongan pekerjaan dan pekerjaan telah mulai dikerjakan, pihak yang memborongkan tidak bisa menghentikan pemborongan pekerjaan. b). Pemborongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya si pemborong namun pihak yang memborongkan diwajibkan membayar kepada ahli waris si pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan. c). Si Pemborong bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang yang telah dipekerjakan olehnya. d). Buruh yang memegang suatu barang kepunyaan orang lain, untuk mengerjakan sesuatu pada barang tersebut, berhak menahan barang itu sampai biaya dan upahupah yang dikeluarkan untuk barang itu dipenuhi seluruhnya, kecuali jika pihak
87
Ibid., hal. 26.
yang memborongkan telah memberikan jaminan secukupnya untuk pembayaran biaya dan upah-upah tersebut. 88 b. Outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengatur dan melegalkan outsourcing. Istilah yang dipikai adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa buruh/pekerja. Dalam Pasal 64 disebutkan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan untuk di-outsource adalah pekerjaan yang: a). dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b). dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c). merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d). tidak meghambat proses produksi secara langsung. Selain itu, perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Jika persyaratan di atas tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Syarat lain dalam outsourcing yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
88
Lalu Husni, hal. 178-179.
a). Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja harus sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. b). Hubungan kerja dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan perjanjian kerja waktu tertentu sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. c). Pasal 59 menyebutkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: 1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya. 2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun; 3. pekerjaan yang bersifat musiman; 4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. 89 Perusahaan penyedia buruh/pekerja harus memenuhi syarat sebagai berikut: a). Adanya hubungan kerja anrara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. b). Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. c). Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. d). Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 90 Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi No. Kep101/Men/VI/2004 tentang Tara Cara Perizinan Perusahaan Penyedja Jasa Buruh/Pekerja disebutkan, apabila perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan
89 90
Ibid., hal. 180. Ibid., hal. 181.
dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat: a). Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerjaan buruh dari perusahaan penyedia jasa; b). Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana maksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh
yang
dipekerjakan
perusahaan
penyedia
jasa
sehingga
perlindungan, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; c). Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja, dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh.
C. Perlindungan Hukum Dalam Outsourcing Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua bidang. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan produktif. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa
kalau kemudian muncul kecenderungan ”outsourcing, yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.” 91 Praktik sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karier, dan lain-lain. Dengan demikian memang benar kalau dalam keadaan
seperti
itu
dikatakan
praktik
outsourcing
akan
menyengsarakan
pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial. Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya Undang-Undang No. 13 lahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing. Kalaupun
ada,
barangkali
Peraturan
Menteri
Tenaga
Kerja
No.
KEP-
100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang hanya merupakan salah satu aspek dari outsourcing. Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks. Namun, setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan. 91
Muzni Tambusai, “Pelaksanaan Outsourcing Ditinjau dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan Tidak Mengaburkan Huhungan Indusirial”, dalam Informasi Hukum Vol. 1 Tahun VI, 2004.
Pengaturan outsourcing bila dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan adalah untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh. Dengan demikian, adanya anggapan bahwa hubungan kerja pada outsourcing selalu menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak, sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar. Pelaksanaan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas dalam Pasal 65 ayat (6) dan (7) dan Pasal 66 ayat (2) dan (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Memang pada keadaan tertentu sangat sulit untuk mendefinisikan atau menentukan jenis pekerjaan yang dikategorikan penunjang. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan persepsi dan adakalanya juga dilatarbelakangi oleh kepentingan yang diwakili untuk memperoleh keuntungan dan kondisi tersebut. Di samping itu, bentuk-bentuk pengelolaan usaha yang sangat bervariasi dan beberapa perusahaan multinasional dalam era globalisasi ini membawa bentuk baru pola kemitraan usaha, menambah semakin kompleksnya kerancuan tersebut. Oleh karena itu, melalui Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (5) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diharapkan mampu mengakomodasi atau memperjelas dan menjawab segala sesuatu yang menimbulkan kerancuan tersebut dengan mempertimbangkan masukan dan semua pihak pelaku proses produksi barang maupun jasa. Selain upaya tersebut, untuk mengurangi timbulnya kerancuan, dapat pula dilakukan dengan membuat dan menetapkan skema proses produksi suatu barang maupun jasa sehingga dapat ditentukan pekerjaan pokok/utama (core business); di luar itu berarti pekerjaan penunjang. Dalam hal ini untuk menyamakan persepsi perlu dikomunikasikan dengan
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh serta instansi terkait untuk kemudian dicantumkan dalam peraturan perusahaan/peraturan kerja bersama. Dengan demikian, pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berikut peraturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi pekerja/buruh. Bahwa dalam praktiknya ada yang belum terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan bukan karena aturannya itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menjamin terlaksananya secara baik sehingga tercapai tujuan untuk melindungi pekerja/buruh, diperlukan pengawas ketenagakerjaan maupun oleh masyarakat di samping perlunya kesadaran dan iktikad baik semua pihak.
D. Klasifikasi Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Penunjang Perusahaan Yang Merupakan Dasar Pelaksanaan Outsourcing Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja/buruh dari perusahaan penyediaan jasa pekerja (outsourcing) tidak boleh digunakan oleh perusahaan pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Jadi pekerjaan yang dapat dilakukan secara outsourcing hanya kegiatan jasa penunjang dalam perusahaan pemberi kerja tersebut. Kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, sesuai penjelasan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut, antara lain, usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman
(security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dilakukan dengan perusahaan yang berbadan hukum, dengan syarat-syarat sebagai berikut: a). dilakukan secara terpisah dan kegiatan utama, b). dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, c). merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan d). tidak menghambat proses produksi secara langsung. 92 Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan adalah adanya ketentuan bahwa perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan penerima kerja, sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syaratsyarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan dimaksud, diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya, yang dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Apabila ketentuan sebagai badan hukum dan/atau tidak dibuatnya perjanjian secara tertulis tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Hal ini menyebabkan hubungan kerja beralih antara pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan, dapat berupa waktu tertentu atau untuk waktu tertentu, tergantung pada bentuk perjanjian kerja semula (Pasal 64 dan 65 Undang-
92
Mohd. Syaufii Syamsuddin, “Peluang dan Tantangan Penyerahan Sehagian Pekerjaan Kepada Pihak Ketiga (Outsourcing)”, dalam Informasi Hukum (Vol. 3 Tahun VII, 2005).
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Pengusaha yang memasok penyediaan tenaga kerja kepada perusahaan pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan di bawah perintah langsung dari perusahaan pemberi kerja, disebut perusahaan penyedia jasa pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja wajib berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan Apabila tidak dipenuhi ketentuan sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja, demi hukum status hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja, beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan proyek atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Adapun yang dimaksud dengan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok suatu perusahaan. Kegiatan tersebut, antara lain usaha pelayanan kebersihan, penyediaan makanan bagi pekerja/buruh, tenaga pengaman, jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta penyediaan angkutan pekerja/buruh. Perusahaan penyedia jasa pekerja yang memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja. Menurut keterangan responden, dalam perjanjian kerja outsourcing telah ditentukan mengenai uraian-uraian pekerjaan yang dikerjakan oleh karyawan outsourcing itu, sebagaimana terlihat pada Pasal 1 Perjanjian Kerja Jasa Cleaning Service Nomor 01/SUU-UP/ISS-CS/I/2009 antara PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia, yaitu:
1. Pihak Pertama (PT. Supra Unilai Utama/pengguna jasa) dengan ini mengikatkan diri untuk menyerahkan pelaksanaan pekerjaan kepada Pihak Kedua (PT. ISS Indonesia/penyalur tenaga outsourcing) yang dengan ini menerima penyerahan Pekerjaan ”Cleaning Service” (selanjutnya disebut ”Pekerjaan) di Gedung Pihak Pertama. Lingkup dan rincian pekerjaan yang harus dikerjakan dan diselesaikan oleh Pihak Kedua sebagaimana termuat dalam Lampiran I, Lampiran II dan Lampiran III, yang dilampirkan dalam Perjanjian ini dan merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini. 2. Apabila Pihak Pertama membutuhkan Pihak Kedua untuk melakukan pekerjaan selain yang dimaksud pada Pasal 1 di atas, maka Pihak Pertama menyetujui untuk membayar Pihak Kedua pada waktu Pekerjaan tersebut dilaksanakan dan penyesuaian-penyesuaian dimaksukkan ke dalam isi pekerjaan internal dalam Perjanjian ini. Tenaga Cleaning Service yang ditempatkan Pihak Kedua di Gedung Pihak Pertama tetap berstatus sebagai karyawan Pihak Kedua, dan Pihak Pertama dibebaskan dan/atau tidak bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang menyangkut hubungan ketenagakerjaan/industrial antara tenaga cleaning service dengan Pihak Kedua, kecuali terhadap apa yang diatur sebagai tanggung jawab Pihak Pertama dalam Perjanjian ini. 93 Jadi, dalam perjanjian kerja outsourcing, maka harus secara jelas ditentukan mengenai jenis pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh tenaga kerja outsourcing oleh perusahaan penerima tenaga kerja outsourcing, walaupun kewajiban mengenai upah adalah kewajiban dari pihak penyalur tenaga kerja. Kemudian dalam penggunaan tenaga kerja outsourcing pada perusahaan tersebut di atas telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, karena pekerjaan cleaning service adalah bukan pekerjaan pokok hanya sebagai pekerjaan penunjang dalam suatu perusahaan. Dengan cara menyerahkan sebagian pekerjaannya kepada pihak ketiga, berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diutarakan di atas, dalam menjalankan usahanya
93
Wawancara dengan Bapak Houtman Simanjuntak, selaku Presiden Direktur PT. ISS Indonesia (perusahaan penyalur tenaga kerja outsourcing) di Kota Medan, tanggal 17 Juni 2009 di Medan.
memberi peluang kepada para pengusaha untuk melakukan efisiensi dan dapat terhindar dan risiko/ekonomis, seperti perselisihan/PHK, jaminan sosial, dan kesejahteraan lainnya. Dengan menyerahkan sebagian pekerjaan di perusahaan kepada pihak ketiga, melalui suatu hubungan hukum antara dua perusahaan yang masing-masing berbadan hukum, bagi perusahaan yang dapat melaksanakan peluang itu secara baik dan benar, akan dapat tertolong dari resiko perburuhan, seperti perselisihan dan/atau PHK, yang tidak jarang menyita waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit. Untuk itu pengusaha perlu mengetahui dan mengatasi segala bentuk penyimpangan yang dapat terjadi, agar dalam pelaksanaannya tidak sampai mengganggu kelancaran perusahaan atau merugikan perusahaan. Tantangan pertama dalam pelaksanaan penyerahan sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga ini adalah menentukan pekerjaan apa saja yang merupakan pekerjaan pokok, yang tidak dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Untuk itu perlu disusun suatu daftar pekerjaan yang menjadi pekerjaan utama dan yang bersifat terus-menerus di dalam perusahaan. Apabila ini sulit, dilakukan hal yang sebaliknya, yaitu dengan membuat daftar pekerjaan yang bukan pokok dan/atau dilakukan tidak terus-menerus di dalam perusahaan. Memang untuk pertama kali mungkin hal ini tidak mudah dikerjakan, tetapi apabila cara ini dapat diselesaikan dengan baik, ke depan akan sangat membantu perusahaan dalam melakukan penyerahan pekerjaan kepada pihak ketiga. 94 Dalam praktiknya sulit menentukan mana yang merupakan pekerjaan pokok, atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, dan mana yang bukan. Untuk itu disusunlah daftar pekerjaan utama dan yang bersifat terus-menerus, atau yang sebaliknya. Supaya daftar pekerjaan dimaksud mendapat legalisasi hukum yang kuat, daftar tersebut dimasukkan ke dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dengan disahkannya sebuah peraturan perusahaan atau didaftarkannya 94
Andrian Sutedi, op. cit., hal. 228.
sebuah perjanjian kerja bersama, instansi ketenagakerjaan telah ikut mengetahui adanya bentuk kegiatan dimaksud di dalam perusahaan, melalui pengesahan peraturan perusahaan atau pendaftaran perjanjian kerja bersama. Dengan demikian, hal itu dapat menjadi alat bukti yang kuat apabila kelak terjadi perselisihan. Hal berikutnya yang harus diperhatikan dalam penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, adalah dilakukan melalui suatu perjanjian tertulis. Khususnya dalam membuat perjanjian dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, ditentukan sekurang-kurangnya perjanjian tersebut memuat: a). jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa; b). penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syaratsyarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja; c). penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja, bersedia menerima pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal ini terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja.
BAB III HUBUNGAN HUKUM ANTARA KARYAWAN OUTSOURCING DENGAN PERUSAHAAN PENGGUNA JASA OUTSOURCING A. Hubungan Hukum Antara Karyawan Outsourcing Dengan Perusahaan Penyedia Jasa Karyawan ”Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara seorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja hendak menunjukkan kedudukan kedua pihak itu yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban buruh terhadap majikan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban majikan terhadap buruh.” 95 Hubungan kerja ini pada dasarnya adalah hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh mengikatkan dirinya pada pihak lain, majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah; dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah. ”Perjanjian kerja yang akan ditetapkan oleh buruh dan majikan tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang telah dibuat oleh majikan dengan serikat buruh yang ada pada perusahaannya. Demikian pula perjanjian kerja itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang dibuat oleh pengusaha.” 96 Jadi hubungan kerja merupakan hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha yang menggambarkan hak-hak dan kewajiban tenaga kerja terhadap pengusaha serta hak-hak dan kewajiban pengusaha terhadap tenaga kerja.
95
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Djambatan, 1990,Jakarta),
hal. 1 96
Zainal Asikin. et. al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. (PT. Raka Grafindo Persada, 1997,Jakarta), hal. 51 Swary Natalia Tarigan : Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003), 2009
Di Sumatera
Utara
Hubungan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Perjanjian kerja antara pekerja dengan pemberi kerja/pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak mulai dari saat hubungan kerja itu terjadi hingga berakhirnya hubungan kerja. Dalam perjanjian kerja juga harus jelas hubungan kerja tersebut termasuk hubungan kerja untuk waktu tertentu (PKWT) atau untuk waktu tidak tertentu (PKWTT). Demikian juga halnya dengan hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang juga dilakukan atas dasar adanya perjanjian kerja di antara para pihak. Dimana dari hasil penelitian, pada perjanjian kerja yang dilakukan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dengan karyawan, berbeda-beda perjanjian kerja tersebut. Artinya ada yang dilakukan secara PKWT dan ada juga yang dilakukan secara PKWTT tergantung dari jenis jabatan yang dibutuhkan pada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tersebut, sebagaimana terlihat pada perjanjian-perjanjian kerja berikut ini: 1. ”Perjanjian kerja yang dilakukan perusahaan penyedia tenaga kerja dengan karyawan, yaitu antara PT. ISS Indonesia, dengan judul Perjanjian Kerja, untuk jabatan Cleaner, secara tegas dinyatakan bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat untuk mengadakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu.” 97 2. ”Perjanjian kerja yang dilakukan PT. ISS Indonesia, dengan judul Perjajian Kerja, untuk jabatan Service Supervisor Medan, dinyatakan Pihak Pertama menerangkan
97
Perjanjian Kerja antara PT. ISS Indonesia dengan Karyawan, tanggal 3 April 2008.
bahwa Pihak Kedua telah cukup cakap untuk diangkat atau ditetapkan menjadi karyawan tetap”. 98 3. ”Kemudian pada perjanjian antara PT. Securindo Packatama Indonesia dengan karyawan, dengan judul Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, juga telah ditentukan Perjanjian Kerja ini berlaku untuk jangka waktu tertentu terhitung sejak tanggal sampai dengan tanggal yang telah ditentukan.” 99 Dari perjanjian kerja yang dilakukan perusahaan penyedia tenaga kerja dengan karyawan di atas, terlihat perjanjian kerja itu dilakukan secara perjanjian waktu tertentu (PKWT) ataupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), tergantung dari jenis pekerjaan atau jabatan yang dibutuhkan perusahaan penyedia jasa karyawan tersebut. ”Dalam UU Ketenagakerjaan ditentukan, dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maka tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan, dan apabila diisyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja kerja waktu tertentu (PKWT) masa percobaan kerja yang diisyaratkan batal demi hukum.” 100 Sedangkan untuk ”perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT) dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan, dan dalam masa percobaan kerja pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.” 101 Hubungan hukum antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan karyawan adalah hubungan kerja atas dasar perjanjian kerja, yang mana perjanjian kerja 98
Perjanjian Kerja antara Karyawan dengan PT. ISS Indonesia, Reff No. ISSIND/ HRD/0183/IV/2008 tanggal 01 April 2008. 99 Point 4 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu antara PT. PT. Securindo Packatama Indonesia dengan karyawan. 100 Pasal 58 UU Ketenagakerjaan. 101 Pasal 60 UU Ketenagakerjaan.
tersebut dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWT), tetapi yang pasti bahwa karyawan yang melakukan perjanjian kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja itu adalah sebagai karyawan dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (perusahaan outsourcing). Maka menjadi kewajiban bagi perusahaan penyedia jasa untuk memenuhi hak-hak normatif karyawan, seperti upah kerja, biaya pengobatan, THR, asuransi ataupun hak cuti, demikian juga halnya dalam pemutusan hubungan kerja (PHK). Dimana kewajiban itu dapat terjadi karena telah diperjanjikan terlebih dahulu ataupun karena memang diharuskan oleh UU Ketenagakerjaan. Pada Perjanjian Kerja antara PT. ISS Indonesia selaku perusahaan penyedia jasa dengan karyawan, ditentukan hak-hak karyawan itu adalah: 1. Karyawan berhak atas gaji kotor dan transport (telah ditentukan) 2. Karyawan berhak mendapat Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar 1 (satu) bulan gaji pokok bilamana karyawan itu pada Hari Raya Idul Fitri telah bekerja satu tahun. THR akan dibayarkan 2 minggu sebelum hari raya, dengan catatan karyawan sebelum hari raya tersebut masih bekerja pada perusahaan. 3. Karyawan berhak atas tunjangan pengobatan. Setiap kwitansi akan diganti sebesar 85% dari setiap klaim sampai batas maksimum sebesar satu bulan gaji bruto per tahun. Penggantian biaya pengobatan tersebut terbatas kepada diri sendiri, 1 orang istri, dan 3 orang anak yang dilahirkan dari istri yang sah (hanya berlaku untuk Service Supervisor laki-laki). 4. Karyawan diasuransikan terhadap risiko biaya perawatan di Rumah Sakit (Asuransi Rawat Inap) dan tindakan-tindakan medis lainnya seandainya diperlukan. Biaya ditanggung Asuransi untuk setiap kasus maksimum setiap tahun. 5. Karyawan diikut sertakan dalam Asuransi kecelakaan yang iurannya ditanggung oleh perusahaan. 6. Karyawan berhak atas cuti selama 12 (dua belas) hari kerja. 102
102
Pasal 3 Perjanjian Kerja antara Karyawan dengan PT. ISS Indonesia, Reff No. ISSIND/HRD/0183/IV/2008 tanggal 01 April 2008.
Sedangkan yang menjadi tugas dan kewajiban karyawan adalah: 1. Karyawan wajib tunduk kepada perintah atau instruksi atasan di tempat kerja dengan batasan untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. 2. Karyawan wajib tunduk kepada Peraturan Perusahaan yang berlaku. 3. Karyawan wajib memberitahukan kepada atasannya bila hendak izin tidak masuk kerja. 103 Dari perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan penyedia jasa karyawan di atas, telah diatur mengenai hak-hak karyawan, seperti upah, THR, biaya pengobatan, asuransi dan juga diatur hak cuti bagi karyawan. B. Hubungan Hukum Antara Karyawan Outsourcing Dengan Perusahaan Pengguna Jasa Hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa adalah atas dasar perjanjian antara perusahaan penyedia jasa karyawan dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Sebelum terjadi perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa dengan pengguna jasa, telah didahului adanya perjanjian kerja antara karyawan yang akan dikerjakan secara outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa. Perusahaan pemberi pekerjaan sepakat untuk memberikan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa karyawan, maka sesuai Pasal 4 Kep.101/Men/VI/2004 kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang memuat sekurangsekurangnya: 1. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh karyawan outsourcing dari perusahaan jasa.
103
Pasal 4 Perjanjian Kerja antara Karyawan dengan PT. ISS Indonesia, Reff No. ISSIND/HRD/0183/IV/2008 tanggal 01 April 2008.
2. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan karyawan outsourcing. Dengan demikian,
perlindungan
upah,
kesejahteraan,
syarat-syarat
kerja,
serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing. Setiap perjanjian penyediaan jasa karyawan outsourcing antara perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan penyedia jasa karyawan harus didaftarkan di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat perusahaan penyedia jasa karyawan melaksanakan pekerjaan (Pasal 5 Kep.101/Men/VI/2004), dengan ketentuan sebagai berikut: a). Pendaftaran di Instansi di Bidang Ketenagakerjaan Provinsi, dalam hal perusahaan penyedia jasa karyawan melaksanakan pekerjaan di perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi. b). Pendaftaran di Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial, dalam hal perusahaan penyedia jasa karyawan melaksanakan pekerjaan menyediakan jasa pekerja di perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu provinsi. Perusahaan penyedia jasa karyawan yang tidak mendaftarkan perjanjian penyedia jasa karyawan (outsourcing) ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai ketentuan di atas, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa karyawan berhak mencabut izin operasional perusahaan penyedia jasa karyawan yang bersangkutan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi dan atau dan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial. 104 ”Dalam hal izin operasional suatu perusahaan penyedia jasa karyawan dicabut karena tidak melakukan pendaftaran perjanjian kerja tersebut, maka hak-hak karyawan tetap menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa karyawan yang bersangkutan.” 105 Menurut
keterangan
responden,
perusahaan
pemberi
kerja
perlu
memperhatikan persyaratan status badan hukum perusahaan penyedia jasa karyawan 104 105
Pasal 7 ayat (1) Kep.101/Men/VI/2004. Pasal 7 ayat (2) Kep.101/Men/VI/2004.
outsourcing sebelum melakukan perjanjian kerja, karena suatu kewajiban bagi perusahaan penyedia jasa memiliki izin operasional dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa karyawan, yang terlihat dari dokumen kelengkapan perusahaan itu, antara lain: a). “Anggaran dasar yang memuat kegiatan usaha penyedia jasa karyawan. b). Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP) c). Wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku.” 106 UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa perusahaan penyedia jasa karyawan outsourcing untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a). Hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan penyedia jasa karyawan; b). Perjanjian kerja yang berlaku antara karyawan dan perusahaan penyedia jasa karyawan adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang memenuhi ketentuan, dan/atau perjanjian kerja waktu tak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c). Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihannya menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja; d). Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa karyawan outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa karyawan dibuat secara tertulis dan wajib memuat ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.
106
Wawancara dengan Bapak Paulus Tamie, selaku Direktur PT. Supra Uniland Utama di Medan, tanggal 18 Juni 2009 di Medan.
Persyaratan ini tentunya diawasi oleh perusahaan pemberi kerja, agar tidak terjadi pelanggaran hukum oleh perusahaan pemberi jasa karyawan, yang dapat mengganggu kelancaran jalannya perusahaan. Perusahaan pengguna karyawan outsourcing harus mengawasi bahwa karyawan itu telah memperoleh hak yang sama dari perusahaan penyedia jasa, sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan karyawan di perusahaan pengguna jasa pekerja. Apabila hak karyawan outsourcing ini tidak dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa, maka berpotensi menimbulkan perselisihan hak karena tidak ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh perusahaan, yang juga berdampak para perusahaan pemberi kerja. Hak-hak karyawan sebagaimana diuraikan di atas, dapat terlihat dari perjanjian kerja yang dilakukan perusahaan penyedia jasa karyawan dengan karyawan yang akan dikerjakan secara outsourcing itu. Selain itu juga sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa perjanjian kerja penggunaan karyawan outsourcing dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa dengan perusahaan pengguna jasa, bukan oleh karyawan dengan pemberi kerja, yang juga dilakukan secara tertulis untuk mengatur hak dan kewajiban dari para pihak tersebut. Dari hasil penelitian, pada Perjanjian Kerja Jasa Cleaning Service antara PT. Supra Uniland Utama selaku perusahaan penerima jasa dengan PT. ISS Indonesia selaku perusahaan penyalur karyawan outsourcing diketahui bahwa: 1. Tanggung Jawab dan kewajiban Pihak Pertama (perusahaan pengguna jasa) adalah melaksanakan pembayaran atas hasil Pekerjaan Pihak Kedua (perusahaan penyedia jasa) yang sesuai dengan ketentuan Perjanjian ini. 2. Pihak Kedua dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk;
a. Mengikuti prosedur tata tertib dan pedoman kerja dari Pihak Pertama; b. Menyediakan tenaga kerja yang trampil dan berpengalaman untuk melaksanakan Pekerjaan sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 di atas, termasuk staf pengawas/pelaksana lapangan, dan tenaga kerja Iainnya yang sesuai dengan kebutuhan Pihak Kedua; c. Menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk melaksanakan Pekerjaan sesuai dengan yang telah disepakati Para Pihak, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian ini; d. Menyediakan peralatan dan perlengkapan kerja yang berada dalam kondisi baik dan siap pakai untuk melaksanakan pekerjaan; e. Atas permintaan secara tertulis dari Pihak Pertama, mengganti tenaga kerja Pihak Kedua dalam hal tenaga kerja tersebut tidak mematuhi tata tertib Pihak Pertama, indisipliner, berbuat tindak pidana, keributan, tidak trampil bekerja, ataupun alasan lain dari Pihak Pertama; f. Memberikan segala hak dan tenaga kerja Pihak Kedua, terutama mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kenja (Jamsostek), Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan asuransi tenaga kerja lain, seragam dan tunjangantunjangan namun tidak terbatas pada tunjangan kesehatan, dan tunjangan lainnya yang diwajibkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; g. Menyelesaikan masalah perburuhan yang timbul dari dan dengan tenaga kerja Pihak Kedua berkenaan dengan pelaksanaan Penjanjian dan membebaskan Pihak Pertama dari gugatan dalam bentuk apapun dari tenaga kerja Pihak Kedua; h. Merahasiakan segala sesuatu yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan Pihak Pertama, dan tidak memberitahukan mengungkapkan atau membeberkan kepada pihak lain, segala hal yang berkaitan dengan hubungan kerja antara para pihak, serta tidak memperbanyak, menggandakan, meniru, baik untuk tujuan pemakaian sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Pertama, segala sistem, data, infonmasi, gambar-gambar dan mengetahui bagaimana yang telah atau sedang dipergunakan oleh Pihak Pertama dalam melaksanakan rangkaian kegiatan-kegiatan usaha yang diketahui atau akan diketahui oleh Pihak Kedua dan/atau tenaga kerja Pihak Kedua 107 Dalam perjanjian di atas terlihat bahwa tanggung jawab dan kewajiban dari perusahaan pengguna karyawan outsourcing sebagaimana disebutkan pada point 1 adalah melaksanakan pembayaran atas hasil pekerjaan perusahaan penyedia jasa 107
Pasal 6 Perjanjian Kerja Jasa Cleaning Service Nomor: 01/SUU-UP/ISS-CS/I/2009 antara PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia.
kepada perusahaan penyedia jasa. Sedangkan yang akan membayar gaji karyawan outsourcing adalah perusahaan penyedia jasa yang telah menerima pembayaran dari perusahaan pengguna jasa karyawan outsourcing tersebut. Demikian juga mengenai hak karyawan outsourcing atas jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan asuransi tenaga kerja itu sesuai point 2f di atas, adalah menjadi tanggung jawab dan kewajiban dari perusahaan penyedia jasa karyawan outsourcing tersebut. Ketentuan lain yang perlu diperhatikan adalah perlindungan kerja dan syaratsyarat kerja di perusahaan penerima kerja. UU Ketenagakerjaan mewajibkan bahwa syarat kerja bagi karyawan outsourcing yang bekerja pada perusahaan penerima kerja, sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sementara bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan dimaksud dilakukan dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja yang dipekerjakannya. Perjanjian kerja dimaksud dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Dalam perjanjian kerja jasa cleaning service yang dilakukan perusahaan penerima karyawan outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa karyawan, antara PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia dilakukan dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 bagian 1 perjanjian tersebut ditentukan: Perjanjian ini telah mulai berlaku terhitung sejak tanggal 1 (satu) Januari 2009 (dua ribu sembilan) dan
diperbuat untuk jangka waktu 1 (satu) tahun lamanya, oleh karena itu akan berakhir pada tanggal 31 (tiga puluh satu) Desember 2009 (dua ribu sembilan). 108 Merujuk ketentuan Pasal 56 - Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pembuatan PKWT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. 2. Harus dibuat secara tertulis dan menggunakan Bahasa Indonesia. 3. Tidak boleh ada masa percobaan. 4. Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertertu. 5. Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Syarat kerja yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah perjanjian kerja yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu, yang dibuat untuk paling lama tiga tahun. Apabila pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Sementara itu, bagi pengusaha yang mempekerjakan karyawan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), harus memuat daftar nama karyawan yang melakukan pekerjaan tambahan.
108
Pasal 2 bagian 1 Perjanjian Kerja Jasa Cleaning Service Nomor: 01/SUU-UP/ISSCS/I/2009 antara PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia.
Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu, harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. Namun, karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pcmbaharuan perjanjian kerja waktu tertentu.Berdasarkan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, perubahan perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu 30 hari itu, tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha. Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan di atas yang dituangkan dalam perjanjian. Dalam perjanjian kerja jasa cleaning service yang dilakukan perusahaan penerima karyawan outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa karyawan, antara PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia, pada Pasal 2 bagian 2 perjanjian ditentukan: Apabila Perjanjian ini hendak diperpanjang jangka waktunya oleh Para Pihak, maka Pihak Kedua (PT. ISS Indonesia/perusahaan penyedia jasa) harus dan wajib memberitahukan kehendaknya itu kepada Pihak Pertama (PT. PT. Supra Uniland Utama/perusahaan pengguna karyawan outsourcing) terlebih dahulu 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya Perjanjian ini, apabila Perjanjian ini diperpanjang kembali maka akan dibuatkan suatu perjanjian dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh Para Pihak dan apabila Perjanjian ini tidak diperpanjang maka Perjanjian ini tetap berakhir pada tanggal 31 (tiga puluh satu) Desember 2009 (dua ribu sembilan). 109 Perjanjian kerja waktu tertentu yang dilakukan untuk pekerjaan musiman, yaitu pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca, hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. Perjanjian kerja waktu
109
Pasal 2 bagian 2 Perjanjian Kerja Jasa Cleaning Service Nomor: 01/SUU-UP/ISSCS/I/2009 antara PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia.
tertentu yang dilakukan untuk pekerjaan musiman tidak dapat dilakukan pembaruan. Adapun pekerjaan yang dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai pekerjaan musiman. Perjanjian kerja waktu tertentu yang dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dimaksud hanya diberlakukan untuk karyawan yang melakukan pekerjaan tambahan. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat pula dilakukan untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Penjanjian kerja waktu tertentu dimaksud hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama satu tahun. Perjanjian kerja waktu tertentu dimaksud tidak dapat dilakukan pembaruan. Perjanjian kerja waktu tertentu seperti ini, hanya boleh diberlakukan bagi karyawan yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap karyawan yang berubah hubungan kerjanya menjadi perjanjian kerja waktu tak tertentu (PKWTT) maka hak-hak karyawan dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi perjanjian kerja waktu tak tertentu (PKWTT). Dengan demikian baik dari perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa dengan karyawan, maupun dari perjanjian kerja antara perusahaan pengguna jasa dengan penyedia jasa sebagaimana di atas, secara tegas dalam perjanjian itu disebutkan bahwa hak-hak karyawan seperti upah, biaya pengobatan, asuransi ataupun jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), bahkan adalah menjadi tanggung jawab pihak
perusahaan penyedia jasa karyawan. Bahkan menyelesaikan masalah perburuhan yang timbul dari dan dengan karyawan outsourcing berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan membebaskan perusahaan pengguna jasa dari gugatan dalam bentuk apapun dari karyawan outsourcing tersebut. Oleh karena itu tidak ada hubungan organisatoris antara perusahaan pengguna dengan karyawan outsourcing karena secara resmi karyawan outsourcing adalah tetap karyawan dari perusahaan outsourcing. Gaji dibayar oleh perusahaan outsourcing setelah pihaknya memperoleh pembayaran dari perusahaan pemakai tenaga kerja. Perintah kerja walaupun sejatinya diberikan oleh perusahaan pemakai karyawan outsourcing akan tetapi resminya juga diberikan oleh perusahaan outsourcing dan biasanya perintah itu diberikan dalam bentuk paket.Cara seperti ini melindungi perusahaan pemakai karyawan outsourcing dan kerepotan dalam hubungan karyawan dan majikan bagi perusahaan pemakai karyawan outsourcing. Perusahaan tidak perlu memikirkan berbagai kesulitan tentang tuntutan kenaikan upah (UMR), tidak menanggung biaya kesehatan, biaya pemutusan hubungan kerja dengan karyawan outsourcing, dan lain-lain hal yang sepatutnya menjadi beban majikan. Bahkan dapat juga diperjanjikan bahwa semua kerugian dan tuntutan disebabkan kesalahan pihak karyawan menjadi tanggung jawab pihak perusahaan outsourcing. ”Bagi karyawan outsourcing maka cara kerja seperti ini adalah cara kerja yang sangat menyudutkan karena tidak dapat menuntut apapun kepada perusahaan di mana dia sebenarnya bekerja. Keluhan tidak dapat disampaikan kepada perusahaan karena perusahaan
outsourcing biasanya adalah perusahaan yang tidak mempunyai asset apapun sehingga percuma saja menuntut kepada perusahaan ini.” 110 Bila terjadi pemutusan hubungan kerja dengan perusahaan pemakai maka karyawan outsourcing ini juga tidak akan mendapatkan hak-hak normatif layaknya karyawan biasa walaupun sudah lama bekerja pada perusahaan pengguna karyawan outsourcing. Masa kerja tidaklah merupakan faktor penentu karena tiap tahun kontrak diperbaharui sehingga karyawan mulai dari nol tahun. Hak lainnya seperti Pesangon pasal 156 ayat (2) UU No 13 tahuan 2003, UMP pasal 156 ayat (3) UU No 13 Tahun 2003, Uang penggantian perumahan dan pengobatan sesuai pasal 156 ayat (4), Uang Pengganti cuti tahun yang bersangkutan saat penghentian hubungan kerja serta uang gaji yang dihitung sejak diberhentikan sampai keputusan pengadilan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (sekarang melalui Peradilan Hubungan Industrial/PHI) 111 , semua bukan menjadi hak karyawan outsourcing. Semua hal ini bisa diselesaikan bilamana perkara pemutusan hubungan kerja PHK itu dibawa ke persidangan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (sekarang PHI) yang memutuskan berlandaskan Pasal 59 Undang Undang No 13 tahun 2003. Karyawan outsourcing itu oleh Panitia tersebut ditetapkan sebagai karyawan tetap biasa berlandaskan fakta bahwa apa yang dikerjakan oleh karyawan tersebut merupakan tugas tetap yang tidak dapat dipisahkan dari pekerjaan karyawan biasa. Pekerjaannya adalah pekerjaan yang merupakan suatu tugas dalam suatu garis organisasi line of duties yang tak terputus dan terpisahkan misalnya pekerjaan administrasi kantor,dan tugas-tugas pokok dalam perusahaan bersangkutan. ”Pekerjaan yang boleh dilakukan oleh tenaga outsourcing adalah tugas yang dapat dipisahkan seperti cleaning service, caterring, pembangunan gedung atau fasilitas lainnya, transportasi untuk karyawan dan dinas, dan pekerjaan lainnya yang sifatnya independen.” 112
110
Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 6. Lihat, UU No. 2 Tahun 20004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indusrial. 112 Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 7. 111
C. Karakteristik Hukum Hubungan Kerja Karyawan Outsourcing Sebagaimana
telah
dikemukakan
sebelumnya
bahwa
dalam praktik
outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan karyawan, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap atau perjanjian kerja waktu tertentu, upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karier, dan lain-lain. Dengan demikian memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktik outsourcing akan menyengsarakan karyawan dan membuat kaburnya hubungan industrial. 113 Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap karyawan dalam melaksanakan outsourcing. Kalaupun ada, barangkali Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang hanya merupakan salah satu aspek dari outsourcing. 114 Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks. Namun, setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap karyawan terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.
113 114
Adrian Sutedi, op. cit., hal. 219. Ibid., hal. 219-220.
Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan oleh pelaku proses produksi barang maupun jasa dan oleh pemerhati. Oleh karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya karyawan dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan karyawan. Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan karyawan dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti yang disebutkan di atas menjadi tidak tercapai, karena terganggunya proses produksi barang maupun jasa. Hubungan kerja pada dasarnya adalah hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh mengikatkan dirinya pada pihak lain, majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah; dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah. Perjanjian kerja yang akan ditetapkan oleh buruh dan majikan tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang telah dibuat oleh majikan dengan serikat buruh yang ada pada perusahaannya. Demikian pula perjanjian kerja itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang dibuat oleh pengusaha. Menurut Pasal 50 UU Ketenagakerjaan ditentukan definisi resmi dari hubungan kerja itu, yakni bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja buruh. Perjanjian kerja ini menurut pasal selanjutnya dibuat atas dasar: a. Kesepakatan kedua belah pihak b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. Adanya pekeijaan yang diperjanjikan d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Tidak boleh ditarik kembali dan / atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. 115 Hubungan kerja demikian ini akhir-akhir ini dinamakan sebagai hubungan kerja industrial yang menurut pasal 1 huruf 16 UU Ketengakerjaan dinyatakan sebagai suatu sistim hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh,dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikianlah semestinya dalam pelaksanaan outsourcing tersebut. Terminologi outsourcing terdapat dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang kesatu, pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Sementara dalam UU Ketengakerjaan secara eksplisit tidak ada istilah outsourcing. Akan tetapi, praktik outsourcing dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan dikenal dalam dua bentuk, yaitu pemborongan pekerjaan dan penyediaan pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut: 1. Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis.
115
Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 27.
2. Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat: a) apabila bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, b) bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi secara langsung, dan c) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Semua persyaratan di atas, bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat di-outsourcingkan. Perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja akibatnya karyawan menjadi terlantar. Oleh karena itu, berbadan hukum menjadi sangat penting agar perusahaan outsourcing tidak menghindar dari tanggungjawab dalam hal perusahaan penerima pekerjaan demi hukum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi karyawan outsourcing pada perusahaan penerima pekerja sekurang-kurangnya sama dengan karyawan pada perusahaan pemberi kerja. Hal ini berguna agar terdapat perlakuan yang sama terhadap karyawan outsourcing baik di perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerja karena pada hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah, dan perlindungan kerja yang lebih rendah.
Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara karyawan outsourcing dengan perusahaan penerima pekerjaan dan dituangkan dalam perjanjian kerja secara tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya perjanjian kerja waktu tak tertentu atau tetap dan bukan kontrak, tetapi dapat pula dilakukan perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian, hubungan kerja pada outsourcing tidak selalu dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak, “apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan bahwa outsourcing selalu dan/atau sama dengan perjanjian kerja waktu tertentu”.116 Perusahaan penyedia jasa karyawan yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing, harus dibedakan dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (Labour Supplier). Sebagaimana diatur dalam Pasal 35, 36, 37, dan 38 UU Ketenagakerjaan, yaitu apabila tenaga kerja telah ditempatkan, maka hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja bukan dengan lembaga penempatan tenaga kerja swasta tersebut. Secara hukum, tidak ada hubungan struktural antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan para pekerja sebab yang menjadi majikan bagi pekerja tersebut bukan perusahaan principal tapi perusahaan outsourcing. Karena itu perusahaan yang mengelola para pekerja itu adalah perusahaan outsourcing itu sendiri. Pengawasan berkaitan dengan absensi dan gaji, misalnya, dibayarkan oleh perusahaan outsourcing setelah pihaknya memperoleh pembayaran dari perusahaan pemakai tenaga kerja. 117 Dalam penyediaan jasa karyawan outsourcing, perusahaan pemberi kerja tidak boleh mempekerjakan karyawan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
116 117
Ibid., hal. 221. Libertus Jehani, Op. Cit., hal. 3.
kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan dimaksud, antara lain usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman atau satuan pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan, dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh. Di samping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh (outsourcing) bertanggung jawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi. Dengan demikian dari pembahasan di atas diperoleh pemahaman bahwa yang menjadi karakteristik hukum hubungan kerja karyawan outsourcing itu adalah: 1. Pemborongan pekerjaan, dalam hal ini pekerjaan yang dikerjakan karyawan itu adalah pekerjaan tertentu yang bukan merupakan pekerjaan utama pada perusahaan pemberi pekerjaan, dan dilakukan dalam waktu tertentu. 2. Penyedia jasa, yaitu adanya perusahaan yang memasok karyawan tersebut kepada perusahaan pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan di bawah perintah langsung dari perusahaan pemberi kerja, atas dasar perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa dengan perusahaan penerima.
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KARYAWAN OUTSOURCING YANG MELANGGAR ATURAN KERJA PADA PERUSAHAAN PEMBERI KERJA A. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Di Luar Jalur Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) 1. Penyelesaian Melalui Bipartit Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, bahwa penyelesaian Bipartit dilakukan agar perselisihan dapat dilaksanakan secara kekeluargaan, yang diharapkan masingmasing pihak tidak merasa ada yang dikalahkan atau dimenangkan, karena penyelesaian Bipartit bersifat mengikat. Undang-undang memberikan waktu paling lama 30 hari untuk penyelesaian melalui lembaga ini, jika lebih dari 30 hari maka perundingan Bipartit dianggap gagal. Apabila perundingan mencapai kesepakatan, wajib dibuat perjanjian bersama yang berisikan hasil perundingan. Sebaliknya jika tidak tercapai kesepakatan, harus dibuat risalah perundingan sebagai bukti telah dilakukan perundingan Bipartit. Dalam hal perundingan Bipartit gagal, salah satu pihak wajib mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat, untuk diperantarai. Pejabat yang berwenang pada instansi tersebut wajib menawarkan kepada para pihak untuk menawarkan penyelesaian melalui konsiliasi untuk perselisihan kepentingan, pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan; atau penyelesaian melalui arbitrase untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan. Swary Natalia Tarigan : Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003), 2009
Di Sumatera
Utara
Kewenangan yang diberikan kepada mediator dimaksudkan agar kasus-kasus perselisihan dapat diselesaikan dengan cara sederhana dan sejauh mungkin mencegah terjadi penumpukan perkara perselisihan ke pengadilan, selain sebagai filter agar pihak-pihak yang berselisih tidak dengan mudah langsung berperkara ke pengadilan. Apabila salah satu pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, harus melampirkan risalah perundingan, bila tidak dipenuhi, berkas akan dikembalikan. Berkas itu harus memuat risalah-risalah perundingan, sekurang-kurangnya memuat identitas para pihak, tanggal dan tempat perundingan, alasan perselisihan, pendapat para pihak, kesimpulan/hasil perundingan, dan lain-lain. Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian sengketa pekerja/buruh dan tenaga kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan asas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Apabila terdapat kesepakatan antara pekerja/buruh dan majikan atau antara serikat pekerja dengan majikan, dapat dituangkan dalam perjanjian kesepakatan kedua belah pihak yang disebut perjanjian bersama. Dalam perjanjian bersama atau kesepakatan tersebut harus ditandatangani kedua belah pihak sebagai dokumen bersama yang merupakan perjanjian perdamaian. Penyelesaian secara Bipartit wajib diupayakan terlebih dahulu sebelum para pihak memilih alternatif penyelesaian yang lain. Hal ini berarti sebelum pihak atau pihakpihak yang berselisih mengundang pihak ketiga untuk menyelesaikan persoalan, harus terlebih dahulu melalui tahapan perundingan para pihak yang biasa disebut Bipartit. Apabila dalam perundingan Bipartit berhasil mencapai kesepakatan maka dibuat perjanjian bersama (PB) yang mengikat dan menjadi hukum serta wajib
dilaksanakan oleh para pihak. Dalam hal perjanjian bersama (PB) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama (PB) didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.118 Dalam hal perundingan Bipartit tidak mencapai kesepakatan, salah satu atau kedua belah pihak memberitahukan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
2. Penyelesaian Melalui Mediasi Pada dasarnya penyelesaian perselisihan industrial melalui mediasi adalah wajib, manakala para pihak tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbiter setelah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada pihak-pihak yang berselisih. Apabila proses penyelesaian mediasi tidak tercapai kesepakatan, mediator menyampaikan anjuran secara tertulis untuk memberikan pendapat dalam penyelesaiannya. Selanjutnya para pihak harus memberikan jawaban tertulis atas anjuran tersebut, yang berisi setuju atau menolak anjuran. Pihak yang tidak memberikan jawaban, dianggap menolak anjuran. Selanjutnya apabila anjuran pegawai perantara diterima maka dibuat perjanjian bersama untuk didaftarkan ke PHI guna mendapatkan akta bukti pendaftaran. Pemerintah dapat mengangkat seorang mediator yang bertugas melakukan mediasi atau juru damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara pekerja/buruh dan majikan. Seorang mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 2 Tahun 118
Industrial.
Pasal 7 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
2004 dan minimal berpendidikan S-1. Dalam waktu tujuh hari setiap menerima pengaduan pekerja/buruh, mediator telah mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan mediasi antara para pihak tersebut. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 119 Pengangkutan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh menteri tenaga kerja. Apabila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian itu didaftarkan di PHI pada Pengadilan Negeri setempat. Penyelesaian melalui mediasi adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah: a. perselisihan hak, b. perselisihan kepentingan, c. perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
119
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah menerima permintaan tertulis, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian melalui Mediasi, dibuat perjanjian bersama (PB) yang ditandatangani para pihak dan diketahui oleh mediator dan didaftar di PHI pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama. Apabila mediasi tidak mencapai kesepakatan, mediator mengeluarkan anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama kepada para pihak. Para pihak harus memberikan pendapatnya secara tertulis kepada mediator selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak menerima anjuran. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis dan mediator, dalam waktu selambatlambatnya tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama (PB) untuk kemudian didaftar di PHI pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama (PB). Apabila anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau oleh kedua belah pihak, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui PHI pada Pengadilan Negeri setempat dengan mengajukan gugatan oleh salah satu pihak. Mediator harus menyelesaikan tugasnya paling lama 30 hari kerja sejak tanggal permintaan penyelesaian perselisihan. 120 3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi ”Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.” 121 Prosedur konsiliasi tidak berbeda dengan mediasi, yaitu menyelesaikan perselisihan di luar pengadilan untuk tercapainya kesepakatan, menyangkut perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan oleh konsiliator.
120
Pasal 13 ayat 1-3 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 121 Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Konsiliator, yaitu seorang atau lebih yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan industrial yang wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih. Berbeda dengan mediator, seorang konsiliator bukan berstatus sebagai pegawai pemerintah. Konsiliator dapat memberikan konsiliasi setelah memperoleh izin dan terdaftar di kantor instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. Sama halnya dengan proses penyelesaian mediasi, undang-undang memberikan waktu penyelesaian selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan. Jenis perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui konsiliasi adalah: a). perselisihan kepentingan, b). perselisihan pemutusan hubungan kerja,dan c). perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Waktu penyelesaian melalui konsiliasi adalah 30 hari. Penyelesaian oleh konsiliator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati para pihak. Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan selambatlambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi maka dibuat perjanjian bersama (PB) yang ditandatangani para pihak dan diketahui oleh konsiliator serta didaftar di PHI pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian bersama (PB). Jika tidak tercapai kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi, konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam waktu selambatlambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama kepada para pihak. Dan selambat-lambatnya tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah se1esai membantu para pihak membuat perjanjian bersama (PB) dan
didaftarkan di PHI pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian bersama (PB). 122 Anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui PHI pada Pengadilan Negeri setempat dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
4. Penyelesaian Melalui Arbitrase Istilah arbitrase berasal dan kata arbitrare (bahasa Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijaksanaan tersebut dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau majelis arbiter dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak berdasarkan norma-norma hukum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya kepada kebijaksanaan saja. Namun sebenarnya kesan tersebut keliru karena arbiter atau majelis arbiter tersebut juga menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan. 123 Menurut Erman Rajagukguk, ”arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang bertujuan mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang telah diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.” 124 Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada tanggal 14 Januari 2004 sebagai salah satu dari empat undang-undang bidang ketenagakerjaan yang dibuat dalam era reformasi, maka istilah arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar PHI. Sebenarnya istilah arbitrase bukanlah suatu hal baru di bidang ketenagakerjaan sebab Undang-
122
Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 123 Adrian Sutedi, op. cit., hal. 144 124 Erman Rajagukguk, Arbiirase dan Putusan Pengadilan, (Chandra Pratama, 2000,Jakarta) hal. 14.
Undang Nomor 22 Tahun 1957 telah memberikan ruang dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan melalui dewan pemisah (arbitrase), namun kenyataannya dalam kurun waktu 48 tahun undang-undang tersebut tidak berjalan, perselisihan yang diselesaikan melalui arbitrase dapat dihitung dengan jari, ini membuktikan pihak-pihak yang berselisih ternyata masih enggan menempuh jalur arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, misalnya masih ”kurangnya pemahaman tentang arbitrase itu sendiri karena belum memasyarakat, kemampuan para arbiter yang menyelesaikan perselisihan tidak sesuai dengan harapan masyarakat, prosedur penyelesaiannya tidak jelas atau perangkat peraturannya yang kurang lengkap dan lain-lain penyebabnya.” 125 Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, hanya dua jenis perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui arbitrase yaitu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Adapun perselisihan antar senikat pekerjalserikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban ke serikat pekerja. Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah a). perselisihan kepentingan, dan 125
Adrian Sutedi, op. cit., hal. 115.
b). perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak ditetapkannya putusan arbitrase.
a. Perjanjian Arbitrase Menurut Pasal 32 ayat (3), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Perjanjian arbitrase sekurang-kurangnya harus memuat nama, alamat, dan tempat kedudukan para pihak yang berselisih, pokok persoalan yang menjadi perselisihan ian yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan, jumlah arbitrase yang disepakati, pernyataan para pihak untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase dan tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian arbitrase dan tanda tangan para pihak yang berselisih. b. Penunjukan Arbiter Penunjukan arbiter tunggal berdasarkan kesepakatan para pihak secara tertulis. Apabila para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter secara tertulis dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya tiga hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase. Arbiter hubungan industrial harus didaftar dengan penetapan menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter tunggal atau beberapa orang arbiter (majelis). Penunjukan tersebut dilakukan
secara tertulis dalam bentuk perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih. Apabila pihak yang berselisih tidak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal atau majelis maka atas permohonan salah satu pihak pengadilan dapat menetapkan nama-nama arbiter dan daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri. Umumnya dalam penjanjian arbitrase, para pihak dapat memilih arbiter dari dua jenis arbiter, yaitu arbiter ad hoc atau arbiter institusional. Arbiter ad hoc atau juga disebut arbitrase volunter atau arbitrase perorangan, yaitu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, karenanya kehadiran dan keberadaan arbitrase ad hoc ini bersifat insidentil. Artinya, kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus perselisihan tertentu yang dimintakan. Menurut M. Yahya Harahap untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati para pihak adalah arbitrase ad hoc dapat dilihat dari rumusan perjanjian arbitrase. 126 Apabila perjanjian arbitrase (pactum de compromitendo atau acta compromis) menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase di luar arbitrase institusional atau apabila perjanjian arbitrase menyebut arbitrase yang menyelesaikan terdiri atas arbiter perseorangan maka arbitrase yang disepakati adalah jenis arbitrase ad hoc. Adapun arbitrase institusional (institusional arbitration), yaitu badan arbitrase yang bersifat permanen yang sengaja didirikan. Pembentukannya ditujukan untuk menangani perselisihan yang timbul bagi mereka atau untuk kepentingan bangsa dan negara yang menghendaki penye1esaian di luar pengadilan. Ketentuan penunjukan arbiter dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatur, para pihak yang telah menandatangani perjanjian arbitrase berhak memilih dan menunjuk arbiter baik arbiter tunggal atau majelis arbiter 126
M. Yahya Harahap, dalam Ibid., hal. 118-119.
dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya tiga orang. Apabila para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal maka penunjukan dilakukan dalam waktu selambat lambatnya tujuh hari kerja. Selanjutnya apabila para pihak sepakat untuk menunjuk majelis arbiter maka masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat lambatnya tiga hari kerja, kemudian arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk masing-masing pihak untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase. Namun apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan untuk menunjuk arbiter tunggal maupun majelis arbiter maka atas permohonan salah satu pihak, ketua pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri (appointing authority). Dengan ditetapkannya arbiter (tunggal atau majelis) baik oleh para pihak maupun atas penetapan pengadilan, para pihak dengan arbiter membuat perjanjian penunjukan arbiter. Arbiter yang akan menarik diri harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak dan apabila permohonannya tidak mendapat persetujuan para pihak, arbiter harus mengajukan permohonan kepada PHI untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapat diterima. Prosedur ini harus dilalui oleh arbiter, tanpa melalui proses seperti ini arbiter tidak dapat menarik diri/mengundurkan diri. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak menyebut alasan apa yang diajukan arbiter untuk menarik diri. Oleh karena itu, alasan pengunduran diri harus merupakan alasan yang benar-benar serius. Misalnya karena gangguan kesehatan yang dibarengi dengan surat keterangan medis. Bisa juga berupa alasan yang dapat diperkirakan akan mengganggu kelancaran pemeriksaan dan penyelesaian fungsi arbitrase. Misalnya karena terpaksa melaksanakan tugas jabatan.
c. Pemeriksaan Arbitrase Pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Dalam sidang arbitrase para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai. Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya. Sebelum acara pemeriksaan perselisihan dilakukan, yang pertama-tama harus jelas dulu identitas dan kedudukan para pihak dalam perselisihan, juga memuat penjelasan tentang pokok-pokok permasalahanl perselisihan, yang biasa disebut positum atau fundamentum petendi serta apa yang menjadi tuntutan para pihak (petitum). Secara umum telah ada sebutan standar yang sudah diterima masyarakat pada umumnya maupun dalam literatur. Misalnya para pihak adalah penggugat/pemohon dan tergugat/termohon atau dalam istilah asing disebut Claimant dan Respondent. Claimant adalah seseorang yang membuat tuntutan atau pihak yang mengambil inisiatif mengajukan tuntutan, sedangkan Respondent ialah pihak yang ditarik atau yang dijadikan sebagai
tergugat
oleh
pihak
yang
menggugat
dalam
suatu
persengketaan/perselisihan. Dalam undang-undang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini sama sekali tidak memberi sebutan pada masing-masing pihak,
tetapi hanya memberi sebutan berupa para pihak (party). ”Dari segi tata tertib beracara sebaiknya pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan penyelesaian disebut pihak penggugat. Adapun pihak yang ditarik ke dalam perselisihan disebut pihak tergugat.” 127 Dalam setiap perselisihan juga hendaknya dituangkan apa yang menjadi dasar (fundamentum petendi) diajukannya tuntutan sebagaimana dalam Pasal 34 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, menyebutkan perjanjian penunjukan arbiter memuat pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil Keputusan juga apa yang menjadi tuntutan para pihak (petitum) harus secara jelas dicantumkan. Tujuannya adalah selain untuk membatasi permasalahan dan tuntutan para pihak agar tidak obscur libel (kabur/tidak jelas), juga agar lebih mudah mengontrol arbiter dalam melaksanakan fungsinya. Tata pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter diatur dalam Pasal 41 sampai 48 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Asas pemeriksaan perselisihan hubungan industrial di muka arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Artinya, asas pemeriksaan secara tertutup tidak bersifat mutlak, tetapi dapat dikesampingkan apabila para pihak menghendakinya. Asas pemeriksaan secara tertutup ini bertolak belakang dengan asas pemeriksaan di muka sidang pengadilan, yaitu fair trial, setiap tahap proses pemeriksaan persidangan mesti dilakukan terbuka untuk umum. Pemeriksaan secara tertutup dalam forum arbitrase bersifat konfidensial dilakukan dengan
127
Adrian Sutedi, op. cit., hal. 122.
tujuan dan motivasi agar nama baik para pihak dapat terjamin kerahasiaannya sehingga pihak luar tidak tahu adanya perselisihan di antara para pihak. Untuk acara pemeriksaan, arbiter memanggil para pihak, dan apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai. Atau apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perselisihan dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya (verstek). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak memberikan penjelasan apakah terhadap putusan verstek tersebut dapat mengajukan perlawanan (verzet tegen verstek) atau tidak. 128 Pada awal pemeriksaan pada sidang arbitrase, apabila para pihak hadir, arbiter terlebih dahulu harus mengupayakan penyelesaian melalui perdamaian. Upaya perdamaian ini dalam ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 bersifat imperatif. Apabila dalam sidang tersebut tercapai perdamaian antara para pihak maka dituangkan dalam suatu akta perdamaian. Menurut isi Pasal 44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, seorang arbiter harus membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang arbiter atau Majelis Arbiter. Akta perdamaian ini didaftarkan di PHI untuk memperoleh akta bukti pendaftaran. Dengan dibuatnya akta bukti pendaftaran. akta perdamaian tersebut menjadi bersifat final dan mengikat (final and binding) serta mempunyai kekuatan eksekutorial (executorial kracht). Artinya, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan isi akta perdamaian, pihak lainnya dapat mengajukan permohonan eksekusi pada PHI setempat untuk memperoleh penetapan eksekusi. Jika perselisihan tidak berhasil didamaikan, pemeriksaan dilanjutkan oleh arbiter dengan memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan tentang pendirian masing-masing (audi et alteram partem) serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendirian
128
Ibid., hal. 123.
(dalil) masing-masing pihak. Pemberian kesempatan yang sama juga berlaku apabila arbiter meminta penjelasan tambahan kepada para pihak atau adanya amandemen terhadap tuntutan, pembelaan serta pendirian para pihak. 129 Di samping penjelasan yang disampaikan para pihak dalam sidang arbitrase. pembuktian merupakan hal yang menentukan bagi arbiter untuk mengambil keputusan. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini, perihal alat bukti yang dapat diajukan sebagai bukti dalam proses pemeriksaan perselisihan dapat ditemukan dalam Pasal 45 dan 46, yaitu dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dan saksi atau saksi ahli. Kalau dibandingkan dengan alat bukti dalam perkara perdata yang terdiri atas lima alat bukti, yaitu 1) alat bukti surat, 2) alat bukti saksi, 3) alat bukti persangkaan, 4) alat bukti pengakuan, dan 5) alat bukti sumpah, alat bukti dalam sidang arbitrase ini sangat limitatif sekali hanya terdiri dari dua macam alat bukti, yaitu alat bukti surat dan alat bukti saksi. Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila: 1). cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan; 2). terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya; 3). putusan Pengadilan Negeri tentang tuntutan ingkar tidak dapat diajukan perlawanan. 130 Dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, arbiter wajib menyelesaikannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari kerja sejak terhitung penandatanganan penunjukan arbiter. ”Perpanjangan waktu penyelesaian dapat
129 130
Ibid., hal. 124. Ibid., hal. 124-125.
dimungkinkan atas kesepakatan para pihak dengan jangka waktu perpanjangan satu kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 hari.” 131 d. Putusan Arbitrase Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 memuat ketentuan yang harus dimuat dalam putusan yang menyangkut syarat formal maupun syarat materiil dalam suatu putusan arbitrase. Jika dirinci lebih lanjut syarat formal yang harus dipenuhi dari suatu putusan arbitrase hampir sama dengan putusan pengadilan pada umumnya dan terdiri atas: 1) identitas para pihak (nama para pihak, dan tempat/alamat para pihak), 2) nama dan alamat arbiter, 3) tempat dan tanggal putusan diambil, dan 4) putusan ditandatangani oleh arbiter. Adapun syarat materiil suatu putusan arbitrase terdiri atas: 1) pendirian dan kesimpulan arbiter/ikhtisar dan tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak berselisih; 2) dasar alasan pertimbangan yang menjadi dasar putusan; 3) pokok putusan/amar putusan. Majelis Arbitrase dalam mengambil putusan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini tidak diatur apabila para arbiter tidak sepakat atau tidak sependapat, apakah dengan sistem suara terbanyak dan sampai di mana kewenangan Ketua Majelis Arbiter dalam pengambilan putusan. Dalam sistem mayoritas, apabila majelis arbitrase terdiri atas tiga orang arbiter, sistem pengambilan putusan dilakukan dengan suara terbanyak, yang lazim disebut party arbitrase. Dalam sistem pengambilan putusan dengan suara terbanyak/mayoritas ini kedudukan para arbiter diletakkan dalam posisi yang sama. Sistem lainnya, yang disebut sistem umpire, menganut prinsip. putusan diambil berdasarkan 131
Industrial.
Pasal 40 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
mayoritas, namun apabila mayoritas tidak tercapai, arbiter ketiga yang bertindak sebagai Ketua Majelis Arbiter memiliki kewenangan sebagai umpire untuk memutus sendiri tanpa memerhatikan pendapat arbiter-arbiter lain. 132 Putusan arbiter diambil berdasarkan hukum, keadilan, kebebasan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan putusan arbiter tersebut bersifat final dan mengikat para pihak. Dalam hal putusan arbitrase tidak dilaksanakan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan kepada PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (in kracht van gewsde) bagi para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap (final and binding). Putusan ini didaftarkan di PHI pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. Karena putusan arbiter bersifat final dan berkekuatan hukum yang tetap, bilamana salah satu pihak tidak melaksanakan putusan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa saja putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan. 133 e. Pembatalan Putusan Arbitrase Menurut ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, terhadap putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan ke Mahkamah Agung oleh salah satu pihak selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkan putusan arbiter, karena diduga surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan tidak diakui atau dinyatakan palsu, setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; putusan diambil dan tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu 132 133
Adrian Sutedi, op. cit., hal. 126. Ibid., hal. 18.
pihak dalam pemeriksaan perselisihan; putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau putusan bertentangan dengan peraturan perundangundangan. Putusan arbitrase hanya dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak dengan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak ditetapkannya putusan arbiter apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagaimana dimuat dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai berikut: 1). surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu; 2). setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; 3). putusan diambil dan tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan; 4). putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial, atau putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Alasan-alasan yang dikemukakan di atas bersifat limitatif dengan pengertian, sepanjang unsur tersebut tidak ditemukan dalam putusan arbiter, putusan tidak dapat ditinjau atau dimintakan pembatalan. Dalam hal permohonan dikabulkan, Mahkamah Agung akan menetapkan akibat dan pembatalan, baik seluruhnya maupun sebagian putusan arbitrase. Mahkamah Agung harus sudah memutuskan permohonan pembatalan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal menerima permohonan.
B. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Melalui Jalur Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak tercapai kesepakatan, salah satu pihak atau keduanya dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Undang-undang menjamin penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara cepat, tepat, adil, dan murah melalui PHI yang berada pada lingkungan peradilan umum dengan membatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, selain itu waktu proses beperkara di pengadilan dibatasi paling lama 50 hari. Hal ini untuk mencegah kekuatan bahwa proses di pengadilan akan berlarut-larut. Sejalan dengan keinginan untuk menciptakan penyelesaian perselisihan yang cepat, pembentuk undang-undang sepakat tanpa mengabaikan asas keadilan dan prinsip hukum, menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan pada PHI, penyelesaiannya merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Demikian halnya putusan pengadilan mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan industrial beranggotakan tiga orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan dua orang Hakim Ad Hoc, yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan dari organisasi buruh. Gugatan perselisihan industrial ke pengadilan oleh salah satu pihak yang berselisih, dengan menyertakan risalah penyelesaian melalui mediasi
atau konsiliasi. Pengadilan wajib mengembalikan berkas gugatan jika tidak dilengkapi risalah tersebut. Putusan pengadilan disampaikan dalam waktu selambat lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang pertama. Sebagaimana dalam peradilan umum, putusan PHI mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila tidak diajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berselisih, dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kenja. Permohonan kasasi perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja harus disampaikan secara tertulis melalui Panitera Pengadilan Negeri setempat. Penyelesaian/putusan Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung tanggal penerimaan permohonan kasasi sudah disampaikan kepada yang bersangkutan. PHI merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Dalam Pasal 56 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatakan PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan: a) di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c) di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan d) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Penyelesaian perselisihan di tingkat PHI selambat-lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang pertama dilakukan. Adapun penyelesaian di tingkat Mahkamah Agung baik dalam proses kasasi maupun peninjauan kembali harus selesai selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi. Dengan ditetapkannya batas waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, diharapkan bahwa setiap perselisihan telah memperoleh kepastian hukum dalam
waktu tidak lebih dari enam bulan. Hukum acara yang dipakai untuk mengadili sengketa perburuhan tersebut adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan Pengadilan Umum, kecuali diatur secara khusus oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2004. Hukum Acara dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan adalah: 1) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbarui: S. 1848 No.16, S. 1941 No. 44, berlaku untuk daerah Jawa dan Madura; 2) Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg) atau Reglemen Daerah Seberang, S.1927 No.227 berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura; 3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perseisihan Hubungan Industrial. Selanjutnya mengenai proses Beracara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan oleh Pengadilan Hubungan Industrial adalah: 1. Pengajuan Gugatan Dalam ketentuan Pasal 118 HIR diatur kompetensi relative bagi Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan mengadili perkara perdata, sehingga bagi seorang penggugat yang akan mengajukan gugatan perlu memerhatikan ketentuan tersebut, yaitu 1) gugatan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat; 2) jika tergugat lebih dari satu dan tidak bertempat tinggal di satu daerah hukum Pengadilan Negeri yang sama maka gugatan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal salah seorang tergugat;
3) jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal penggugat; 4) jika gugatan mengenai barang tidak bergerak maka gugatan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi keberadaan barang tidak bergerak tersebut; 5) jika ada perjanjian tentang penunjukan Pengadilan Negeri tertentu untuk menyelesaikan perkara maka gugatan ditujukan kepada ketua pengadilan yang telah disepakati. Berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata (HIR), maka beracara berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, jika terjadi perselisihan hubungan industrial yang akan diselesaikan melalui PHI maka: 1) Gugatan diajukan kepada PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja (Pasal 81). 2) Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan surat kuasa khusus. Dalam HIR maupun Rbg hanya mengatur cara mengajukan gugatan, sedangkan persyaratan mengenai isi gugatan tidak diatur dalam ketentuan tersebut. Oleh karena itu, Pasal 119 HIR/Pasal 143 Rbg memberi wewenang kepada hakim untuk memberi nasihat dan bantuan kepada pihak penggugat dalam mengajukan gugatannya. Ketentuan tersebut sejalan dengan Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang mewajibkan hakim untuk memeriksa isi gugatan dan apabila
masih terdapat kekurangan hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatannya. Isi gugatan pada umumnya memuat: 1) identitas para pihak, yaitu nama, umur, pekerjaan, dan alamat; 2) dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar pengajuan gugatan; 3) tuntutan atau petitum, yaitu apa yang diminta oleh penggugat atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim.
2. Pemeriksaan di PHI a. Pemeriksaan dengan Acara Biasa Beracara di PHI mengenai pemeriksaan dengan acara biasa dan pemeriksaan dengan acara cepat. Dalam hukum acara perdata apabila perkara diperiksa melalui acara biasa maka pentahapannya meliputi: 1) gugatan, 2) jawaban tergugat, 3) replik (tanggapan penggugat atas jawaban tergugat), 4) duplik (tanggapan tergugat atas replik penggugat), 5) pembuktian (surat dan saksi-saksi), 6) kesimpulan para pihak, dan 7) putusan hakim. Setelah penggugat mendaftarkan gugatannya di kepaniteraan PHI, Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat lambatnya tujuh hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan majelis hakim yang terdiri atas
satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua orang Hakim Ad Hoc sebagai anggota majelis yang memeriksa dan memutus perkara. Majelis hakim yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri tersebut dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja harus sudah melaksanakan sidang pertama. Apabila pada sidang pertama, salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak dapat hadir tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Majelis Hakim harus menetapkan hari sidang berikutnya paling lambat tujuh hari kerja sejak tanggal penundaan sidang pertama. Penundaan demikian hanya dapat dilakukan sebanyak-banyaknya dua kali. Jika penggugat atau kuasa hukumnya tidak menghadap pengadilan pada sidang penundaan terakhir maka gugatannya dianggap gugur, tetapi masih diberi kesempatan mengajukan gugatan sekali lagi. Bagi tergugat atau kuasa hukumnya yang tidak datang menghadap pada sidang penundaan terakhir, majelis hakim tetap dapat memeriksa dan memutus perkara tanpa kehadiran tergugat. b. Pemeriksaan dengan Acara Cepat Dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dan alasan-alasan permohonan dan yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada PHI supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. Apabila ada permohonan pemeriksaan dengan acara cepat, dalam jangka waktu tujuh hari kerja setelah diterimanya permohonan tersebut Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak
dikabulkan permohonan tersebut. Penetapan Ketua Pengadilan tersebut bersifat final dan tidak dapat ditempuh upaya hukum. Gugatan yang diajukan dengan pemeriksaan acara cepat, maka permohonan dan yang berkepentingan harus disertai bukti pendukung antara lain: 1) pemberitahuan adanya rencana mogok kerja, 2) pemberitahuan rencana penutupan perusahaan (lock out), 3) keterangan polisi berkaitan dengan kerusakan atau tindakan huru hara atau tindakan anarkis yang berhubungan dengan gugatan, dan 4) putusan pengadilan atau pengumuman yang menyatakan perusahaan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). 134 3. Putusan Hakim Majelis hakim wajib memutus perkara selambat-lambatnya 50 hari kerja terhitung sejak hari sidang pertama. Setelah putusan majelis hakim dibacakan pada sidang terbuka untuk umum, panitera pengganti dalam waktu tujuh hari kerja harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir pada sidang tersebut. Selanjutnya panitera muda harus sudah menerbitkan salinan putusan dalam waktu 14 hari sejak putusan ditandatangani majelis hakim, dan salinan putusan tersebut harus sudah dikirimkan oleh panitera kepada pihak yang beperkara dalam waktu tujuh hari kerja sejak salinan putusan diterbitkan.
C. Penyelesaian Sengketa Terhadap Karyawan Outsourcing Yang Melanggar Aturan Kerja Pada Perusahaan Pemberi Kerja Perselisihan dalam pelaksanaan outsourcing timbul karena pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut Pasal 66 ayat (2) huruf c UU 134
Ibid., hal. 133.
Ketenagakerjaan, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa karyawan outsourcing, walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsourcing adalah peraturan perusahaan di tempat kerja. Hubungan kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan di tempat kerja terjadi atas dasar perjanjian kerja yang dilakukan perusahaan penyedia karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna karyawan outsourcing. Di mana dalam perjanjian itu juga telah diatur mengenai hak-hak normatif pekerja, seperti gaji, masa cuti, dan pemutusan hubungan kerja yang menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa karyawan outsourcing. Di sini lain adanya kewajiban bagi karyawan outsourcing untuk mematuhi peraturan perusahaan di tempat kerja. Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan karyawan outsourcing, tidak ada kewenangan dari perusahaan di tempat kerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan di tempat kerja dengan karyawan outsourcing secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa karyawan, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan di tempat kerja. Karyawan outsourcing di tempat kerja secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan di tempat kerja. Dalam perjanjian kerja antara perusahaan penyedia karyawan outsourcing dengan perusahaan di tempat kerja harus jelas tentang apa saja yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama ditempatkan pada perusahaan itu. Dengan tidak ditaatinya peraturan perusahaan di tempat kerja oleh karyawan outsourcing adalah pelanggaran peraturan perusahaan.
Penyelesaian dalam perselisihan akibat terjadi pelanggaran oleh karyawan outsourcing di tempat kerja, sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan adalah menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan outsourcing, yang dalam pelaksanaanya penyelesaian yang dilakukan perusahaan penyedia karyawan outsourcing adalah dengan penggantian karyawan tersebut dengan karyawan yang lain. Akibatnya karyawan outsourcing yang telah melanggar peraturan di tempat kerja akan di PHK oleh perusahaan penyedia jasa karyawan outsourcing. Hal hal inilah yang sering menjadi sengketa dalam perjanjian kerja tersebut, karena karyawan outsourcing yang di PHK akan menuntut hak-hak dalam hal terjadinya PHK tersebut, bahkan akhirnya sampai pada gugatan ke Pengadilan. Penyelesaian perselisihan dalam hubungan kerja, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya menurut UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dapat dilakukan dengan penyelesaian di luar Pengadilan maupun melalui Pengadilan. Pertimbangan hukum dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi akibat pelanggaran peraturan perusahaan di tempat kerja oleh karyawan outsourcing, yang diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Indusrial (PHI), di antaranya dapat terlihat pada Kasus Register No. 38/G/2008/ PHI.Mdn berikut ini: Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial dalam tingkat pertama, yaitu gugatan karyawan outsourcing kepada perusahaan di tempat bekerja (PT. Charoen Pokphand Indonesia/Tergugat I) dan juga kepada perusahaan penyedia karyawan outsourcing (CV. Mulia Mandiri/Tergugat II). Dalam kasus ini gugatan itu
dilakukan karyawan outsourcing yang kena PHK karena telah melanggar peraturan perusahaan (larangan merokok) di tempat kerja. Karyawan outsourcing Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 28 Maret 2008 dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 28 Maret 2008 dibawah Register No. 38/G/2008/ PHI Mdn yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : 1. Bahwa Penggugat telah bekerja diperusahaan Tergugat (PT. CPI) sejak tanggal 20 Januari 2003 sampai dengan Januari 2008 sebagai Hand Add dengan menerima upah sebesar Rp. 850.000,- (delapan ratus lima puluh ribu rupiah) per bulannya; 2. Bahwa selama 5 (lima) tahun bekerja diperusahaan Tergugat I tersebut, Penggugat bekerja dengan baik dan belum pernah mendapatkan Surat Tegoran/ Surat Peringatan (SP-I, II dan III) dari pimpinan PT. CPI apa lagi sampai merugikan pihak Tergugat; 3. Bahwa selama 5 (lima) tahun bekerja Penggugat atau Pekerja yang lain belum pernah membuat KKB (Kesepakatan Kerja Bersama), PKB (Perjanjian Kerja Bersama) ataupun PP (Peraturan Perusahaan) yang dibuat bersama dengan Serikat Pekerja; 4. Bahwa Serikat Pekerja yang ada di perusahaan tersebut 90% dari Pekerjanya tidak ada yang menjadi anggota PUK SPSI perusahaan Tergugat, karena selama ini pihak PUK SPSI jika ada permasalahan yang dihadapi oleh pihak Pekerja tidak pernah mampu membela kepentingan pekerja bahkan sering memihak kepada kepentingan dari Tergugat I dan II; 5. Bahwa oleh karena Penggugat bersama-sama dengan temannya pada bulan Mei 2007 yang lalu ada membuat perkumpulan STM yang bertujuan untuk saling
menguatkan diantara mereka sesama Pekerja akibat adanya gonjang-ganjing Tergugat I (PT. CPI) akan pindah ke kawasan Industri Mabar II (KIM II) dan berganti nama dari PT. CPI menjadi PT. CPP (Central Proteina Prima) dan dilanjutkan adanya perlawanan dari perkumpulan STM karena dirumahkannya 5 (lima) orang teman-teman Tergugat membuat PT. CPI (tergugat I) bersama dengan CV. Mulia Mandiri (tergugat II) melakukan tekanan dan intimidasi terhadap rekan-rekan Penggugat; 6. Bahwa dengan semakin solidnya Perkumpulan STM dari pekerja-pekerja PT. CPI membuat gelisah manajemen perusahaan yang mana sering melakukan tekanan atau preasure dan intimidasi dengan kata-kata sebagai berikut: “Agar para pekerja tidak usah memakai Pengacara untuk menyelesaikan masalah hubungan antara Pekerja dengan PT. CPI dan semua yang menjadi hak-hak mereka nantinya akan dibayarkan” dan “mengharapkan agar teman-teman Penggugat mencabut kuasa dari Pengacara”; 7. Bahwa oleh Penggugat bersama teman-temannya tidak mau diiming-imingi seperti yang disebutkan diatas oleh karena pihak perusahaan (tergugat I dan II) sering membola-bolakan rekan Penggugat kesana-kemari, sehingga Penggugat dan teman-temannya tidak mau dipermainkan lagi oleh pihak Tergugat I dan II; 8. Bahwa dengan kasus yang dihadapi oleh Penggugat ada 2 kasus yang bersamaan diajukan kepada mediator (Dinas Tenaga Kerja Kota Medan) yaitu : a. Dirumahkannya Sdr. Tugimin dkk sebanyak 11 (sebelas) orang, dengan alasan tidak ada bahan baku dari Tergugat I;
b. Tidak dibayarkan upah selama sakit Sdr. S. Parapat dengan alasan yang tidak jelas; 9. Bahwa setelah Penggugat menerima surat pemberitahuan tertanggal 26 Januari 2008 pihak Tergugat hanya memberikan 15% dari Hak Penggugat, oleh karena Penggugat tidak mau menerima tawaran tersebut maka Penggugat mengadukan Pihak tergugat ke Disnaker karena dinilai sudah tidak wajar dan bertentangan dengan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 khususnya pasal 158 ayat (1) yang “sudah menentukan jenis-jenis perbuatan yang dikategorikan sebagai kesalahan berat”; 10. Bahwa atas pengaduan Penggugat-Penggugat tersebut kepala Dinas tenaga Kerja Kota Medan, yang sekaligus bertindak selaku mediator, telah pula diadakan pertemuan pada tanggal 6 Pebruari 2008 antara pihak Penggugat dan Pihak tergugat I dan II; 11. Bahwa oleh karena tidak tercapainya kesepakatan antara Penggugat dengan tergugat I dan II sehingga Dinas Tenaga Kerja Kota Medan selaku pihak Mediator telah membuat anjuran No. 567/205/DKTM/2008 tertanggal 27 Pebruari 2008, dan atas anjuran Dinas Tenaga Kerja Kota Medan tersebut, Penggugat melalui kuasanya telah memberikan tanggapan atas anjuran Dinas Tenaga Kerja dengan surat No. 012/BJP/III/2008 tertanggal 8 Maret 2008; 12. Bahwa tanggapan kuasa Penggugat terhadap Anjuran Dinas Tenaga Kerja Kota Medan pada intinya menyebutkan : “jenis-jenis pelanggaran berat yang sudah dicantumkan dalam pasal 158 ayat (1) poin a-j sangat jelas maka jika ada peraturan perusahaan (PP), Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dengan mencantumkan ada jenis pelanggaran lain diluar dari pasal 158 ayat (1) tersebut maka PP, PKB atau KKB tersebut harus batal
demi hukum”. Dengan kata lain UU No. 13 Tahun 2003 tentang “Ketenagakerjaan” levelnya jauh lebih tinggi PP, PKB atau KKB, apa lagi PP, PKB atau KKB tersebut adalah hasil rekayasa dari pihak Pengusaha dan tidak pernah diketahui oleh buruh atau pekerja itu sendiri; 13. Bahwa secara prosedural lahirnya PKB perusahaan tersebut (PT. CPI) dengan No. Kep. 462/PKB/DKTM/2006 tanggal 27 Juni 2006 pada pasal 55 ayat (6) poin s yang mengkategorikan “Merokok sebagai kesalahan berat” adalah “cacat demi hukum” karena : a. Tata cara pembuatan PKB tersebut sudah tidak sesuai dengan prosedur yang harus ditempuh dalam membuat sebuah peraturan atau menetapkan sebuah keputusan yang mencabut atau mengurangi hak seseorang, sebab harus ada kewajiban memberitahukan atau mendengarkan dari orang atau orang-orang yang akan terkena suatu aturan dan keputusan dan apabila ditinjau dari segi orang atau orang-orang yang akan terkena peraturan atau keputusan harus diartikan bahwa orang atau orang-orang yang terkena peraturan atau keputusan tersebut berhak untuk memperoleh pemberitahuan peraturan atau keputusan itu atau hak untuk didengar pendapatnya. b. Sedangkan dari segi Substantive dari sebuah proses peraturan atau keputusan isinya harus menyangkut materi yang bertujuan untuk melindungi orang atau orang-orang dari suatu peraturan atau keputusan yang sewenang-wenang; 14. Bahwa sangat terang dan nyata tindakan Tergugat I dan II telah “melakukan perbuatan melawan hukum” dengan menerbitkan surat pemberitahuan tertanggal 26 Januari 2008 kepada Sdr. Hamzah yang dinyatakan telah melakukan kesalahan berat karena pada hari Sabtu tanggal 19 Januari 2008 jam 10.00 Wib tertangkap
tangan sedang merokok dilokasi pabrik PT. CPI di Jalan Tanjung Morawa Km. 8,5 Medan. Pada hal sudah terang dan nyata ketentuan UU No. 13 tahun 2003 khususnya pasal 158 ayat (1) yang “sudah menentukan jenis-jenis perbuatan yang dikategorikan sebagai kesalahan berat”; 15. Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas sudah dengan terang nyata tindakan Tergugat I dan II yang menerbitkan surat pemberitahuan dilakukan dengan sewenang-wenang dan sangat bertentangan dengan asas-asas pembuatan suatu peraturan dan keputusan yang baik dan benar; 16. Bahwa cukup beralasn apabila Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini mengabulkan gugatan Penggugat agar tergugat I dan II segera membayar Uang Pesangon sebesar 2 kali ketentuan pasal 156 ayat (2) dan uang Pengganti Hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) dengan perincian sebagai berikut : a. Pesangon, 2 x 5 x Rp 850.000,= Rp. 8.500.000,b. Upah Penghargaan Masa Kerja, 2 x Rp. 850.000,- = Rp. 1.700.000,= Rp.10.200.000,c. Penggantian Hak sebesar 15% x Rp. 10.200.000,- = Rp. 1.530.000,= Rp.11.730.000,d. Upah selama proses berjalan mulai bulan Januari – Juni 2008 (6 bulan) = Rp. 5.100.000,Jumlah = Rp.16.830.000,Terbilang : (enam belas juta delapan ratus tiga puluh ribu rupiah) 17. Bahwa oleh karenanya secara hukum cukup beralasan jika Majelis Hakim pada perselisihan hubungan industri ini memerintahkan dan menghukum Tergugat I dan II untuk bertanggungjawab secara tanggung renteng; 18. Bahwa Penggugat meminta kepada majelis hakim yang memeriksa perkara ini untuk menghukum Tergugat I dan II membayar Uang Paksa (Dwangsom) apabila Tergugat I dan II lalai melaksanakan putusan PHI yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yang besarnya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per
hari terhitung sejak adanya putusan yang berkekuatan hukum yang tetap sampai dengan Tergugat I dan II melaksanakan isi putusan ini; 19. Bahwa mengingat demi kepastian dan kejelasan status Penggugat serta pemenuhan hak-hak Penggugat yang sangat mendesak, maka mohon perkara ini ditetapkan dengan proses dengan pemeriksaan acara cepat; 20. Bahwa oleh karena perkara ini didasarkan pada bukti yang kuat dan autentik serta guna mengurangi kerugian yang lebih besar lagi bagi Penggugat sehubungan dengan hak normatip Penggugat yang belum dibayar oleh Tergugat I dan II, maka mohon perkara ini dapat diputus dengan putusan serta merta meskipun ada kasasi; Bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, dimohonkan kehadapan Ketua Pengadilan Negeri cq Peradilan Perselisihan Hubungan Industri untuk memanggil para pihak untuk diproses dalam suatu persidangan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan untuk itu. Seterusnya mengadili dan memutuskan perkara ini dengan amar sebagai berikut : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan perbuatan Tergugat I dan II telah menerbitkan Surat Pemberitahuan tertanggal 26 Januari 2008, kepada Sdr. Hamzah adalah sebagai perbuatan yang melawan hukum; 3. Menghukum Tergugat I dan II segera membayar pesangon, Upah Penghargaan Masa Kerja, Perggantian hak sebesar 15% dan Upah selama proses berjalan selama 6 (enam) bulan dari Januari 2008 sampai dengan Juni 2008, dengan jumlah total keseluruhan sebesar Rp. 16.830.000,- (enam belas juta delapan ratus tiga puluh ribu rupiah);
4. Menghukum tergugat I dan II untuk membayar Uang Paksa sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) per hari kepada Penggugat bilaman Tergugat lalai dalam melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dalam perkara ini, terhitung sejak adanya putusan yang berkekuatan hukum yang tetap tersebut sampai dengan Tergugat I dan II melaksanakan isi putusan ini; 5. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan dengan serta merta meskipun ada kasasi; Atau : Mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono). Gugatan karyawan outsourcing di atas, jelas terlihat bahwa gugatan ditujukan karyawan outsourcing yang telah di-PHK kepada perusahaan di tempat bekerja (Tergugat I) dan juga kepada perusahaan penyedia jasa pekerja (Tergugat II), sehingga Tergugat I dan Tergugat II memberikan jawaban dalam eksepsi sebagai berikut: Tergugat I dalam jawabannya mengajukan eksepsi yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : 1. Gugatan Penggugat Tidak Mempunyai Hubungan Hukum Bahwa Penggugat bukanlah karyawan Tergugat I melainkan karyawan Tergugat II sehingga tidak ada hubungan hukum antara Tergugat I dengan Penggugat; 2. Gugatan Salah Pihak Bahwa Penggugat bukanlah karyawan Tergugat I melainkan karyawan Tergugat II sehingga kepentingan hukum Penggugat adalah merupakan tanggung jawab Tergugat II, dan Penggugat telah salah menetukan dan
menempatkan pihak yang berperkara, kalaupun ditempatkan sebagai Tergugat bukanlah Tergugat I akan tetapi sebagai Tergugat II. Tergugat II dalam jawabannya mengajukan eksepsi yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : 1. Tentang Gugatan Penggugat Cacat Formal Bahwa Penggugat bukanlah karyawan Tergugat I melainkan karyawan Tergugat II sehingga kepentingan hukum Penggugat adalah merupakan tanggung jawab Tergugat II, dan kalaupun ditempatkan sebagai Tergugat bukanlah Tergugat I akan tetapi sebagi Tergugat II. 2. Tentang Tidak Adanya Hubungan Hukum Bahwa Penggugat tidak ada menguaraikan hukum anatar Penggugat dengan CV. Mulia Mandiri (tergugat II) sebagai apa dan kapasitas apa CV. Mulia Mandiri digugat; Selanjutnya, berdasarkan bukti-bukti setelah dihubungkan dengan jawab-menjawab antara kedua belah pihak di persidangan maka Majelis Hakim telah menemukan fakta-fakta: 1. Bahwa perusahaan Tergugat II/CV. Mulia Mandiri adalah perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh pada pemberi kerja yang dalam hal ini perusahaan Tergugat I; 2. Bahwa Penggugat adalah karyawan Tergugat II yang telah bekerja di perusahaan CV. Mulia Mandiri sejak bulan Januari 2003 selama ± 5 tahun dengan menerima upah pokok terakhir sebesar Rp. 850.000,- setiap bulannya dan ditempatkan sebagai pekerja harian lepas pada perusahaan Tergugat I;
3. Bahwa pada Perusahaan Tergugat I terdapat peraturan yang melarang setiap karyawan untuk merokok di lingkungan perusahaan yang ada tanda larangan keras merokok, dan peraturan mengenai larangan merokok di lokasi kerja yang ada tanda larangan merokok ini telah disosialisasikan kepada semua karyawan yang akan bekerja pada perusahaan Tergugat I; 4. Bahwa benar Penggugat telah melakukan kesalahan berat pada tanggal 26 Januari 2008 pukul 10.00 WIB telah tertangkap tangan sedang merokok dilokasi perusahaan sementara ditempat tersebut ada tanda larangan merokok yang sangat beresiko terhadap bahaya kebakaran yang dapat merugikan perusahaan maupun masyarakat sekitar, karena di tempat tersebut ada bahanbahan kimia yang mudah terbakar; 5. Bahwa benar Tergugat I dan Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat melalui surat pemberitahuan tertanggal 26 Januari 2008; 6. Bahwa setelah Penggugat di-PHK, baik Tergugat I maupun Tergugat II belum membayarkan hak-hak normatif Penggugat; Oleh karena itu, Majelis Hakim memutuskan: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat pada bagian subsidair yang mohon putusan dengan seadil - adilnya; 2. Menyatakan Penggugat hanya mempunyai hubungan kerja dengan Tergugat II CV. Mulia Mandiri (perusahaan penyedia karyawan outsourcing) dan tidak mempunyai hubungan kerja dengan Tergugat I PT. Charoen Pokpand Indonesia (perusahaan di tempat kerja);
3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat II putus karena PHK terhitung sejak tanggal 26 Januari 2008; 4. Menghukum Tergugat II untuk membayar hak-hak Penggugat, dengan masa kerja 5 tahun dan upah terakhir Rp. 850.000,- dengan rincian sebagai berikut : a. Uang Penggantian Hak: 15% x Rp. 6.800.000,- ......
Rp. 1.020.000,-
b. Uang Pisah 0.5 bulan = 0.5 x Rp. 850.000,- ..............
Rp.
425.000,-
Jumlah seluruhnya ............... Rp. 1.445.000,Terbilang : Satu juta empat ratus empat puluh lima ribu rupiah; 5. Membebankan biaya perkara kepada Negara sebesar Rp.111.000,- (Seratus sebelas ribu rupiah ); 6. Menolak gugatan Penggugat untuk yang selebihnya; Pertimbangan Majelis Hakim dalam kasus gugatan karyawan outsourcing yang telah melanggar peraturan perusahaan di tempat kerja, sehingga mengakibatkan karyawan tersebut di PHK, maka yang bertanggung jawab terhadap hak-hak karyawan tersebut adalah perusahaan penyedia karyawan outsourcing bukan menjadi tanggung jawab perusahaan penerima karyawan outsourcing, karena Hubungan kerja yang terjadi adalah antara Penggugat (karyawan outsourcing) dan Tergugat II (perusahaan penyedia karyawan outsourcing) maka akibat hukum Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat II (perusahaan di tempat kerja) kepada karyawan outsourcing menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan sedangkan perusahaan di tempat kerja dibebaskan dari tanggungjawab tersebut. Selain itu dalam kasus ini yang menarik adalah tentang pelanggaran peraturan perusahaan, di mana menurut karyawan outsourcing pelanggaran merokok di tempat
kerja bukanlah suatu pelanggaran berat yang sesuai dengan Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, 135 namun menurut keputusan Majelis Hakim pelanggaran merokok ini adalah pelanggaran berat. Hal ini dikarenakan perusahaan di tempat kerja karyawan outsourcing, adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi pakan ikan/pakan udang yang sensitif terhadap bahaya kebakaran karena banyak terdapat zat-zat atau bahan-bahan kimia yang mudah terbakar, maka pada tempat tersebut diberikan tanda larangan keras merokok karena sangat berbahaya baik bagi diri karyawan outsourcing, perusahaan maupun masyarakat lingkungan sekitar. Oleh karena itu, berdasarkan peraturan perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama antara PT. Charoen Pokphand Indonenia dengan PUK SPSI PT. CPI periode Tahun 2006 – 2008 pasal 60 ayat (4) telah mengatur dengan jelas larangan dan sanksi terhadap karyawan yang merokok pada tempat-tempat yang ada larangan merokok. Di mana peraturan tentang larangan merokok tersebut juga telah disosialisasikan oleh perusahaan penyedia karyawan outsourcing kepada karyawan outsourcing sebelum dipekerjakan pada perusahaan di tempat kerja. 135
Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, berbunyi: Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut: a. melakukan penipuan, pencurian dan penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya dilingkungan kerja; d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian dilingkungan kerja; e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk mekukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Kemudian juga, ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan yang mengatur pemutusan hubungan kerja karena Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat, sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 sehingga tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar/acuan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa pengaturan mengenai pemutusan hubungan kerja disebabkan oleh pekerja/buruh melakukan kesalahan berat harus diatur dan disepakati secara bersama oleh Pengusaha dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di dalam Perjanjian Kerja Bersama di tingkat perusahaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 126 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan: pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama, sehingga pengaturan mengenai pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat harus mengacu kepada perjanjian kerja bersama. Dalam Perjanjian Kerja Bersama antara PT. Charoen Pokphand Indonesia dan Pengurus Serikat Pekerja SPSI PT. Charoen Pokphand Indonesia Periode tahun 2006-2008 yang telah disahkan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Medan pada Pasal 55 ayat (6) huruf “s” dan dalam Surat Revisi Perjanjian Kerja Bersama yang ditanda tangani oleh Manajemen PT. Charoen Pokphand Indonesia dan Pengurus Serikat Pekerja PT. Charoen Pokphand Indonesia telah mengatur dengan jelas bahwa “merokok ditempat terlarang adalah kesalahan tingkat V yang dikategorikan sebagai kesalahan berat dan sanksinya adalah pemutusan hubungan kerja”, sehingga dengan demikian pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan di tempat kerja
dan perusahaan penyedia karyawan outsourcing kepada karyawan outsourcing sudah sesuai dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan. Dengan demikian dari kasus di atas jelas terlihat bahwa dalam hal terjadinya pelanggaran peraturan perusahaan di tempat kerja oleh karyawan outsourcing yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan tersebut, maka penyelesaian hak-hak karyawan yang di-PHK tersebut adalah menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan outsourcing tersebut, karena karyawan outsourcing bukanlah karyawan perusahaan di tempat kerja.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan merupakan dasar pelaksanaan outsourcing terlihat dari kegiatan perusahaan tersebut, di mana pekejaan utama adalah kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, sedangkan pekerjaan penunjang yang dilakukan secara outsourcing antara lain: pelayana kebersihan, penyediaan makanan bagi karyawan, satuan pengamanan. Akan tetapi klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang dalam pelaksanaannya sulit untuk diberikan batasan karena bentuk pengelolaan usaha yang sangat bervariasi, misalnya perusahaan yang bergerak di bidang Komputer yang pemasangan komponennya dilakukan secara outsourcing, sementara itu adalah termasuk pekerjaan utama dari perusahaan tersebut. 2. Hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing terjadi atas dasar perjanjian kerja yang dilakukan perusahaan pengguna jasa outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa karyawan outsourcing, sehingga tidak ada hubungan perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa. Oleh karena karyawan outsourcing tidak berhak menuntut hak-hak normatif sebagai karyawan karena hak itu menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa karyawan oursourcing. Swary Natalia Tarigan : Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003), 2009
Di Sumatera
Utara
3. Penyelesaian sengketa terhadap karyawan outourcing yang melanggar aturan kerja pada perusahaan pemberi kerja sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan adalah menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa. Karyawan outsourcing yang melakukan pelanggaran berat menurut peraturan perusahaan akan di-PHK walaupun pelanggaran berat tersebut tidak termasuk dalam ketentuan pelanggaran berat dalam Pasal 150 UU Ketenagakerjaan, karena sejak diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi pasal ini tidak dapat digunakan sebagai acuan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, tetapi yang digunakan adalah peraturan perusahaan yang disepakati bersama oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh di dalam Perjanjian Bersama di tingkat perusahaan. B. Saran 1. Disarankan kepada pemerintah untuk meninjau kembali ketentun UU Ketenagakerjaan dalam kaitan batasan pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang bagi karyawan outsourcing karena perkembangan jenis usaha pada saat ini sulit dibedakan antara pekerjaan utama dengan pekerjaan penunjang pada suatu perusahaan sehingga yang terjadi karyawan outsourcing juga melakukan pekerjaan pokok pada perusahaan di tempat kerja sama seperti yang dilakukan karyawan tetap perusahaan itu, tetapi hak- hak dari kedua karyawan ini ada perbedaan. 2. Disarankan
kepada
perusahaan
pengguna
karyawan
outsourcing
dalam
melakukan perjanjian kerja dengan perusahaan penyedia jasa karyawan harus dapat menseleksi perusahaan penyedia jasa dan telah memenuhi persyaratan untuk memenuhi hak normative karyawan yang terlihat dari perjanjian kerja karyawan dengan perusahaan penyedia jasa.
3. Disarankan kepada perusahaan penyedia karyawan outsourcing harus tetap melakukan pemantauan dan respons terhadap keluhan-keluhan karyawan atas peraturan perusahaan di tempat kerja, sehingga dapat dilakukan antisipasi dengan musyawarah kepada perusahaan di tempat kerja jika terjadi ketidaksesuaian ruang lingkup pekerjaan ataupun jenis- jenis pelanggaran berat yang dapat mengakibatkan terjadi PHK terhadap karyawan outsourcing karena PHK terhadap karyawan outsourcing akan terjadi tuntutan dari karyawan bahkan sampai gugatan ke Pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Asikin, Zainal et. al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT. Raka Grafindo Persada, 1997. Damanik, Sehat, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: DDS Publishing, 2006. Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008. Djumialdji, F.X., Perjanjian Kerja, Bina cetakan I, Jakarta: Aksara, 1977. Halim, A. Ridwan, dkk., Seri Hukum Perburuhan Aktual, Jakarta: Pradnya Paramita, cet. I., 1987. Hisyam, M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Jakarta: FE UI, 1996. Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: edisi revisi, Raja Grafindo Persada, 2008. Jehani, Libertus, Hak-Hak Karyawan Kontrak, Jakarta: Forum Sahabat, 2008. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: CV. Mandar Maju, 1994. Muharam, Hidayat, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006. Rahardjo, Satjipto, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Proyek Penulisan Karya Ilmiah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia Bekerjasama dengan Penerbit CV. Sinar Baru, 1985. ______, Hukum dan Perubahan Sosial-Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1983. Rajagukguk, Erman, Arbiirase dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Chandra Pratama, 2000. Soedjono, Wiwoho, Hukum Perjanjian Kerja, Jakarta: Bina Aksara, cet. II., 1987. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1995. Swary Natalia Tarigan : Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003), 2009
Di Sumatera
Utara
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986. Soepomo, Iman, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1983. ______, Hukum Perburuhan bagian Pertama Hubungan Kerja, (Jakarta: PPAKRI Bhayangkara, 1968. ______, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: Djambatan, 1990. ______, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1983. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, cet. II, 1977. ______, Aneka Perjanjian, cetakan kedua, Bandung: Alumni, 1977. Suhardi, Gunarto, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing, Yogyakarta: Cetakan Pertama, Universitas Atma Jaya, 2006. Sunggono, Bambang, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Sutedi, Adrian, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Surabaya: Universitas Erlangga. B. Makalah, Jurnal, Artikel dan Karya Ilmiah Djokopranoto, R, “Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha)”, Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, Jakarta: World Trade Center, 13-14 Oktober 2005. Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: PPs-USU, 2002. Rood, M.G, materi penataran terhadap Dosen-dosen Hukum Perburuhan seluruh Indonesia, di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, tanggal 7 – 19 Agustus 1989. “Serba-Serbi Praktik Outsourcing di Sekitar Kita”, http:/www.hukumonline.com.
Soemitro, Ronny Hanitijo, “Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik”, Majalah Masalah Hukum, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1984. Syamsuddin, Mohd. Syaufii, “Peluang dan Tantangan Penyerahan Sehagian Pekerjaan Kepada Pihak Ketiga (Outsourcing)”, dalam Informasi Hukum, Vol. 3 Tahun VII, 2005. Tambusai, Muzni, “Pelaksanaan Outsourcing Ditinjau dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan Tidak Mengaburkan Huhungan Indusirial”, dalam Informasi Hukum Vol. 1 Tahun VI, 2004. Wirawan, I., “Apa yang dimaksud Sistem Outsourcing” Pikiran Rakyat, Senin, 31 Mei 2004. C. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No.Kep.101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa pekerja/Buruh