ANALISIS HUBUNGAN VARIABEL PEMBANGUNAN JASA FINANSIAL DAN PERDAGANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI ASEAN+6 MENUJU MEA 2015
LAURA CITA FEBRIANTY
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Hubungan Variabel Pembangunan Jasa Finansial dan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+6 Menuju MEA 2015, adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, 02 April 2014
Laura Cita Febrianty NIM H14100138
ABSTRAK LAURA CITA FEBRIANTY. Analisis Hubungan Variabel Pembangunan Jasa Finansial dan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+6 Menuju MEA 2015. Dibimbing oleh TANTI NOVIANTI Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 mengagendakan arus bebas barang, jasa serta sumber daya manusia diantara negara-negara anggota. Oleh sebab itu di tengah kerjasama ASEAN+6, penting untuk diteliti lebih lanjut kesiapan pembangunan sektor jasa khususnya jasa finansial negara-negara ASEAN+6 dalam menghadapi MEA 2015 mendatang. Penelitian ini menganalisis hubungan antara variabel pembangunan finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 dengan menggunakan metode data panel statis dan keunggulan komparatif sektor jasa finansial ASEAN+6 dengan menggunakan metode RCA (Revealed Comparative Advantage). Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel Kredit Domestik Perbankan (DCBS), Jumlah Uang Beredar (M2), dan Perdagangan (TRADE) paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara maju ASEAN+6, sedangkan DCBS, Pengeluaran pemerintah (GOV), dan TRADE paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara berkembang ASEAN+6. Keunggulan komparatif sektor jasa finansial terbaik dimiliki Singapura, dimana Indonesia masih belum menunjukkan keunggulan komparatif yang optimal. Kata kunci: MEA 2015, Pembangunan Finansial, ASEAN+6, Data Panel, RCA
ABSTRACT LAURA CITA FEBRIANTY. Analysis of The Relationship Among Financial Service Development Variables and Trade to Economic Growth of ASEAN+6 Toward AEC 2015. Supervised by TANTI NOVIANTI ASEAN Economic Community 2015 scheduled free flow of goods, services and human resources among its member countries. Therefore, in the presence of economic cooperation of ASEAN+6, it is important to investigate further the readiness of the services sector especially financial sector among ASEAN+6 members toward AEC 2015. This research attempts to analyze the relationship among financial development variables and trade to the economic growth of ASEAN+6 using panels static data and the comparative advantage of the financial service sector ASEAN+6 using RCA (Revealed Comparative Advantage). The results shows that the variables such as Domestic Credit Provided by Banking Sector (DCBS), Broad Money (M2), and Trade strongly affect to economic growth of ASEAN+6’s developed countries, otherwise DCBS, Government Expenditure (GOV) and Trade strongly affect to economic growth of ASEAN+6’s developing countries. The best comparative advantage of financial service sector owned by Singapore, while Indonesia has not shown the optimal comparative advantage. Keywords : AEC 2015 , Financial Development , ASEAN +6 , Panel Data, RCA
ANALISIS HUBUNGAN VARIABEL PEMBANGUNAN JASA FINANSIAL DAN PERDAGANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI ASEAN+6 MENUJU MEA 2015
LAURA CITA FEBRIANTY
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Hubungan Variabel Pembangunan Jasa Finansial dan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+6 Menuju MEA 2015 Nama : Laura Cita Febrianty NIM : H14100138
Disetujui oleh
Dr Tanti Novianti, S.P., M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa, sebab atas segala karunia-Nya, skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan sejak bulan November 2013 dan berhasil rampung pada Febuari 2014 dengan judul penelitian, “Analisis Hubungan Variabel Pembangunan Jasa Finansial dan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+6 Menuju MEA 2015”, untuk konsentrasi bidang perdagangan dan industri. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Tanti Novianti selaku dosen pembimbing, yang telah banyak memberikan saran, masukan dan pencerahan yang berharga bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni selaku dosen penguji utama dan Ibu Laily Dwi Arsyianti, M.Si selaku perwakilan Komdik atas kritik dan saran berharga yang telah diberikan. Di samping itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada asisten dosen pengajar MK. Ekonometrika FEM IPB yakni Ibu Heni, serta kepada segenap tim konsultasi ekonometrika lainnya yakni Mbak Maya Wulan dan Mbak Rina Hartini, yang telah membantu memberikan pencerahan, konsultasi, serta solusi terkait pemodelan skripsi. Ungkapan terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada Ayah tercinta, (Alm).Ir.Walden Simanjuntak, Ibu terkasih, Jusliani Simamora SH, Adik tersayang David Lawrence serta seluruh keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan penuh yang telah diberikan bagi penulis selama ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada segenap dosen dan staf/karyawan Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB atas segala ilmu, bimbingan serta pelayanan akademis yang telah diberikan. Penulis tak lupa berterimakasih kepada rekan-rekan Departemen Ilmu Ekonomi Angkatan 47, segenap staf dan pengurus HIPOTESA periode 2011-2012 dan 2012-2013, serta segenap sahabat-sahabat pelayanan bersama PMK IPB untuk kebersamaan yang indah selama kurang lebih tiga setengah tahun ke belakang. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman satu bimbingan skripsi penulis, Dian Pertiwi Wardhani, Arti Ilhami, Rahayu Aisyah Prayitno, Ramos Martinus dan Pangrio Nurjaya yang telah saling mendukung satu sama lain selama masa penyusunan skripsi. Tak lupa penulis juga berterimakasih kepada sahabat-sahabat penulis yakni Yola Juwita Silalahi, Efita Meylina Situmorang, Novia La Prima, Vina Oktrina Simanjuntak serta Yohanita Ratna Marissa Hutabarat yang telah memberi banyak tawa, canda, dan dukungan serta telah menjadi sahabat terbaik penulis selama masa kuliah. Penulis juga berterimakasih atas segala dukungan dan semangat dari seluruh sahabat-sahabat penulis baik sahabat karib sejak SMP, SMA, dan rekan-rekan pemuda Gereja HKBP Ps.Rebo yang juga turut mendukung dan memberi warna pada hari-hari penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama di bidang ekonomi. Bogor, 02 April 2014
Laura Cita Febrianty
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
7
Tujuan Penelitian
11
Manfaat Penelitian
11
Ruang Lingkup Penelitian
11
TINJAUAN PUSTAKA
12
Kerangka Pemikiran
22
Hipotesis
24
METODE PENELITIAN
24
Jenis dan Sumber Data
24
Metode Analisis
25
Revealed Comparative Advantage (RCA)
26
Data Panel Statis
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
36
Kondisi Umum Sektor Jasa Keuangan di Indonesia dan Pasar ASEAN+6
36
Daya Saing dan Keunggulan Komparatif Sektor Jasa Finansial ASEAN+6
47
Hubungan Variabel Pembangunan Finansial dan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
49
SIMPULAN DAN SARAN
56
Simpulan
56
Saran
57
DAFTAR PUSTAKA
58
LAMPIRAN
61
RIWAYAT HIDUP
69
DAFTAR TABEL 1 Share Nilai Tambah Sektor Jasa ASEAN+6 Tahun 1990 dan 2010 (%) 2 Indikator Perekonomian Makro Indonesia dan Beberapa Negara ASEAN+6 Tahun 2001-2008 (%) 3 Rangkuman Metode dan Variabel dalam Penelitian Terdahulu 4 Variabel, Proksi, Jenis Variabel dan Sumber 5 Jumlah Lembaga Keuangan Indonesia Tahun 2013 6 Fasilitas Kredit yang diberikan Kepada Korporasi Menurut Jenis Kredit (per-Agustus 2013) 7 Indeks Pembangunan Finansial ASEAN+6 Tahun 2011 8 Indeks RCA untuk Ekspor Jasa Finansial dan Asuransi Negara-Negara ASEAN+6 Tahun 2005-2012 9 Perbandingan Hubungan Variabel Pembangunan Finansial dan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai Kelompok Negara ASEAN+6
5 7 18 25 38 39 41 48
51
DAFTAR GAMBAR 1 Ekspor Indonesia ke ASEAN+6 Tahun 2011 2 Jasa Finansial dan Asuransi (% terhadap ekspor jasa komersial) ASEAN+6 Tahun 2005-2012 3 Jasa Finansial dan Asuransi (% terhadap impor jasa komersial) ASEAN+6 Tahun 2005-2012 4 Share Total Tenaga Kerja pada sektor jasa dan bisnis keuangan ASEAN+6 Tahun 2007 5 Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-Negara ASEAN+6 (Intra-ASEAN) Tahun 2004-2012 6 Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-Negara ASEAN+6 (non-ASEAN) Tahun 2004-2012 7 Kurva Kebijakan Moneter Ekspansif 8 Kerangka Pemikiran 9 Alur Analisis Data Panel 10 Komposisi Aset Lembaga Keuangan Indonesia Tahun 2013 11 Perkembangan Pertumbuhan Uang Beredar,Dana,Kredit dan PDB (% of yoy) Indonesia Tahun 2013 12 Komposisi Kredit Sektor Rumahtangga Menurut Jenisnya (per-Juni 2013) 13 Komposisi Aset Lembaga Keuangan Singapura Tahun 2013 14 Pertumbuhan GDP Perkapita ASEAN+6 (intra-ASEAN) Tahun 20042012 15 Pertumbuhan GDP Perkapita Negara-Negara Mitra Kerjasama ASEAN+6 Tahun 2004-2012 16 Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan atau DCBS (%of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011 17 Kredit Domestik untuk Sektor Swasta atau DCPS (%of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011 18 Jumlah Uang Beredar (M2) (% of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011
2 4 4 6 9 10 17 23 27 37 38 40 42 42 43 44 45 45
19 Simpanan Domestik Kotor atau GDS (%of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011
46
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Model 1. Seluruh Negara ASEAN+6-Statistik Deskriptif Variabel Hasil Uji Hausman Hasil Uji Normalitas Korelasi Antar Variabel Hasil Estimasi Model FEM Data Panel Hasil Estimasi Model REM Data Panel Model 2. Negara Maju ASEAN+6- Statistik Deskriptif Variabel Hasil Uji Normalitas Hasil Estimasi Model FEM Data Panel Efek Individu Model 3. Negara Berkembang ASEAN+6-Statistik Deskriptif Variabel Hasil Uji Normalitas Hasil Estimasi Model FEM Data Panel Efek Individu
61 61 61 62 62 63 64 64 64 65 66 66 66 67
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis Utang Eropa dan Krisis Amerika yang sempat terjadi beberapa waktu lalu telah melemahkan perekonomian Eropa, Amerika, bahkan dunia. Dampak negatif yang timbul akibat krisis tersebut masih dirasakan hingga saat ini. Perekonomian Eropa terus mengalami tren perlambatan. Demikian halnya dengan Amerika Serikat, yang perekonomiannya masih belum benar-benar pulih akibat hantaman krisis lalu. Implikasinya bagi perekonomian dunia adalah mulai bergeraknya pusat gravitasi ekonomi dunia, dengan kecepatan tinggi menuju ke kawasan Asia (Kemenko Perekonomian 2013). Melemahnya perekonomian Eropa dan Amerika, membuka peluang bagi Asia untuk maju menjadi kekuatan ekonomi baru yang didukung salah satunya oleh jumlah populasi manusia yang besar dan prediksi meningkatnya golongan menengah di kawasan Asia. Oleh sebab itu, kerjasama ekonomi regional menjadi suatu isu penting yang harus direalisasikan di Asia secara umum dan Asia Tenggara secara khusus, agar mampu menciptakan kekuatan ekonomi baru dunia. Saat ini, kawasan ekonomi regional ASEAN (Association of South East Asia Nations) mulai menuju realisasi suatu komunitas bersama ASEAN (ASEAN Community). ASEAN Community ini mencakup tiga pilar utama yakni ASEAN Security Community (ASC), ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) dan ASEAN Economic Community (AEC) (ISEAS 2004). ASEAN Economic Community (AEC) atau biasa disebut sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dicanangkan untuk direalisasikan pada akhir tahun 2015 mendatang dengan agenda utama menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan aliran modal yang lebih bebas. Empat pilar MEA Blueprint mencakup pasar tunggal dan basis produksi regional, kawasan berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi merata, dan integrasi dengan perekonomian dunia (Kemenko Perekonomian 2013). Negara-negara Asia pada prinsipnya dihubungkan melalui pasar, perdagangan internasional, arus keuangan, investasi langsung, dan bentuk-bentuk lain dari pertukaran ekonomi dan sosial (Maretha 2012). Keberadaan integrasi ekonomi dan perdagangan mampu menciptakan keuntungan ekonomis bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya. Menurut Achsani (2008), integrasi ekonomi ASEAN mampu menciptakan pasar yang sangat besar dengan jumlah perdangangan dan jumlah produk domestik bruto lebih dari 720 miliar dollar dan 737 miliar dollar per tahun. Keberadaan kawasan kerjasama ekonomi dan perdagangan ASEAN+6 yang mencakup kerjasama ekonomi dengan enam negara Asia lain yakni Jepang, Korea Selatan, Cina, India, Australia dan New Zealand, semakin memantangkan kesiapan ASEAN dalam pencanangan MEA 2015. Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) atau biasa dikenal sebagai kawasan kerjasama ASEAN+6 terbentuk pada tanggal 15 Januari 2007 di Cebu, Filipina. Kesepakatan tersebut dibentuk oleh para pemimpin negara-negara ASEAN dan enam negara mitra lainnya yakni Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, dan New Zealand. Penambahan enam negara mitra kerjasama
2
tersebut, diharapkan dapat membuat ASEAN Economic Community menjadi single market yang lebih besar, mengingat bahwa populasi CEPEA besarnya 49,6 persen dari populasi dunia dan tujuh kali lebih besar dari populasi EU (CEPEA Report 2008).
Gambar 1. Ekspor Indonesia ke ASEAN+6 Tahun 2011 Sumber : SEADI USAID (2012)
Berdasarkan informasi pada Gambar 1, dapat dianalisis bahwa pada tahun 2011, ASEAN+6 adalah pasar tujuan ekspor yang penting bagi Indonesia karena mampu mendominasi permintaan ekspor produk Indonesia hingga 66 persen, jauh lebih besar daripada ekspor ke wilayah EU27, Amerika Serikat dan lainnya, terutama dalam perdagangan barang mentah. Demikian halnya dengan performa impor pada tahun yang sama, 68 persen volume impor Indonesia didominasi oleh aliran perdagangan dari ASEAN+6 disusul oleh EU27 sebesar 7 persen, Amerika Serikat 6 persen, Arab Saudi 3 persen dan lainnya sebesar 16 persen, terutama untuk impor barang modal (Kemenko Perekonomian 2013). Dalam rangka persiapan menuju realisasi pasar tunggal ASEAN 2015 mendatang, selain aliran bebas barang, modal, investasi dan tenaga kerja terdidik, aliran bebas jasa juga termasuk dalam elemen penting yang akan menyokong kesuksesan MEA 2015. Selain itu, stabilitas perekonomian juga dibutuhkan oleh negara-negara anggota intra-ASEAN dan ASEAN+6 sebagai salah satu prasarat penting dalam mendukung keberlangsungan kerjasama ekonomi di kawasan ekonomi ASEAN dalam rangka mencapai MEA 2015. Stabilitas tersebut dapat diukur dari perkembangan pertumbuhan ekonomi, perkembangan sektor keuangan, dan perkembangan kegiatan perdagangan internasional (Mukhlis 2011). Kestabilan perekonomian yang diikuti dengan kinerja perekonomian yang positif membutuhkan peran sektor keuangan yang semakin berkembang. Sektor keuangan yang semakin berkembang akan dapat mendorong kegiatan ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi dan dalam upaya untuk merespon permintaan pasar terhadap output yang ada. Dalam hal ini menurut McKinnon (1973), sektor keuangan merupakan faktor penting dalam proses akumulasi modal yang direfleksikan dalam bentuk tabungan, investasi dan produktifitasnya. Tinjauan secara empiris menunjukkan bahwa sektor keuangan memiliki peran
3
penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara.Studi Mattoo, Rathindran dan Subramanian dalam Kemenkeu (2012), dengan studi kasus 60 negara menemukan bukti ekonometrik yang kuat bahwa keterbukaan sektor jasa keuangan memengaruhi secara positif kinerja pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Korelasi positif antara pembangunan jasa keuangan dan pertumbuhan ekonomi diharapkan mampu meningkatkan performa ekonomi agregat suatu negara, sehingga tidak hanya mampu meningkatkan persentase pertumbuhan ekonomi tahunan dan peningkatan iklim investasi semata, namun juga mampu menyentuh peningkatan penyerapan tenaga kerja, peningkatan GDP perkapita, penurunan jumlah pengangguran dan kemiskinan, yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Selain itu, terdapat pula keterkaitan antara perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini pemahaman teori klasik dalam bidang perdagangan internasional mengarahkan pada suatu teori bahwa perdagangan internasional akan dapat mendorong kegiatan ekonomi suatu negara. Dengan semakin terbukanya perekonomian suatu negara, maka akan semakin membuka peluang setiap negara untuk dapat melakukan kegiatan perdagangan internasionalnya. Peran perdagangan internasional terhadap perekonomian dapat dilihat dari persamaan dalam model perekonomian terbuka yang dikemukakan oleh Keynes, yakni Y=C+I+G+(XM). Y menunjukkan besarnya output yang dihasilkan oleh perekonomian, C menunjukkan besarnya konsumsi masyarakat, I menunjukkan besarnya investasi, G menunjukkan besarnya pengeluaran pemerintah, X menunjukkan besarnya ekspor dan M menunjukkan besarnya impor. Selisih X dan M ini biasa disebut sebagai Net Export (NX). Kontribusi perdagangan internasional dapat dijelaskan oleh seberapa besar NX yang diperoleh dalam kegiatannya. Semakin besar nilai NX suatu negara maka akan berkorelasi langsung terhadap peningkatan output perekonomian dan pertumbuhan ekonomi. Disamping itu, peranan perdagangan internasional dalam pertumbuhan ekonomi dapat juga dijelaskan dengan adanya multiplier perdagangan internasional. Multiplier perdagangan ini menjelaskan seberapa besar perubahan pendapatan nasional sebagai akibat dari adanya perubahan dari kegiatan perdagangan internasional (Mukhlis 2011). Sektor jasa kian memegang peranan penting dalam perekonomian dunia abad ke-21 ini. Sektor jasa merepresentasikan 2/3 produksi dunia, 2/3 output dunia, 3/5 investasi asing langsung dan menguasai hampir 50 persen perdagangan dunia melalui sistem cross border (SEADI 2013). GATS-WTO membagi sektor jasa ke dalam 12 sektor jasa utama yakni jasa bisnis, jasa komunikasi, jasa konstruksi, jasa distribusi, jasa pendidikan, jasa lingkungan, jasa keuangan, jasa kesehatan dan layanan sosial, jasa pariwisata,jasa rekreasi/kultural, jasa transportasi dan jasa lainnya (APEC 2013). Dalam rangka pembentukan ASEAN sebagai sebuah basis produksi dan pasar tunggal (MEA), maka liberalisasi sektor jasa keuangan menjadi suatu langkah strategis. Khusus pada sektor keuangan dan moneter, liberalisasi jasa keuangan menjadi salah satu langkah terpenting dalam pelaksanaan peta jalan integrasi keuangan ASEAN atau yang lebih dikenal dengan singkatan RIA-Fin (Roadmap for Monetary and Financial Integration of ASEAN) (Kemenkeu 2012) .
4
Gambar 2. Jasa Finansial dan Asuransi ( % terhadap ekspor jasa komersial) ASEAN+6 Tahun 2005-2012 Sumber : World Development Indicator (WDI 2014)
Dalam kawasan kerjasama ekonomi ASEAN+6 performa ekspor dan impor produk jasa keuangan dan asuransi masih cenderung divergen (pola menyebar). Berdasarkan data pada Gambar 2 dan Gambar 3, dapat dianalisis bahwa Singapura dan India masih mendominasi ekspor jasa finansial dan asuransi jauh di atas negara-negara ASEAN+6 lainnya, termasuk Indonesia. Sedangkan Cina, India dan Indonesia masih menjadi negara pengimpor dominan produk jasa finansial dan asuransi pada rentang tahun 2005 hingga 2012 lalu.
Gambar 3. Jasa Finansial dan Asuransi ( % terhadap impor jasa komersial) ASEAN+6 Tahun 2005-2012 Sumber : World Development Indicator (WDI 2014)
5
Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dianalisis bahwa seluruh sektor jasa secara umum memiliki tren share nilai tambah yang kian meningkat. Secara khusus, jasa komunikasi, keuangan dan bisnis di Indonesia menunjukkan performa share nilai tambah yang meningkat secara positif dibandingkan sektorsektor jasa lainnya dalam rentang bandingan satu dekade yakni pada tahun 1990 (6.5%) dan 2010 (meningkat hingga 7.8%). Sejalan dengan itu, secara umum jasa komunikasi, keuangan dan bisnis antara tahun 1990 dan 2010 di negara-negara ASEAN+6 lainnya yang diwakili negara-negara ASEAN plus Cina, Jepang, Korea Selatan dan India juga menunjukkan tren kenaikan share nilai tambah sektor jasa komunikasi, keuangan dan bisnis antara tahun 1990 dan 2010 yang cukup signifikan. Hal ini membuktikan bahwa jasa keuangan dengan keberadaan produkproduk turunan finansial yang diperjualbelikan dalam pasar uang maupun pasar modal, merupakan salah satu sektor strategis bernilai tambah tinggi. Intensitas performa sektor jasa keuangan yang semakin maksimal, dapat dengan cepat mampu meningkatkan perputaran uang serta pertumbuhan ekonomi lebih signifikan dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya. Tabel 1. Share Nilai Tambah Sektor Jasa ASEAN+6 Tahun 1990 dan 2010 (dalam %)
Sumber : Outlook 2012 Update – Asian Development Bank (2012), (diolah)
Tak hanya itu, berdasarkan share total tenaga kerja pada sektor jasa bisnis dan keuangan seperti pada Gambar 4, menunjukkan bahwa share total tenaga kerja pada sektor jasa bisnis dan keuangan terbilang cukup tinggi, dengan share lebih besar dari 5 persen. Share total tenaga kerja pada sektor jasa bisnis dan keuangan Indonesia mencapai 8 persen, sedangkan Korea Selatan, Cina (PRC) dan India yang merupakan negara-negara maju di kawasan Asia dan merupakan bagian dari kerjasama ekonomi ASEAN+6, justru memiliki share total tenaga kerja pada sektor jasa dan keuangan yang bahkan lebih besar yaitu di atas 10 persen.
6
India Korea Selatan Cina Thailand Filipina Singapura Malaysia Indonesia 0
5
10
Persen(%)
15
20
25
Gambar 4. Share Total Tenaga Kerja Pada Sektor Jasa Bisnis dan Keuangan ASEAN+6 Tahun 2007 Sumber : Outlook 2012 Update – Asian Development Bank (2012), (diolah)
Berdasarkan penjelasan dua gambar di atas, terlihat bahwa baik di Indonesia maupun ASEAN+6, sektor jasa keuangan memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara baik dalam kontribusi sebagai pencipta nilai tambah perekonomian yang besar serta penyerap tenaga kerja yang juga besar. Terlebih bagi negara sedang berkembang, perkembangan sektor jasa keuangan dinilai dapat menjadi alternatif penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, yang saat ini ditopang bersama dengan pertumbuhan kinerja sektor industri manufaktur, perdagangan non-migas primer dan sektor jasa lainnya. Mengingat pentingnya peranan pembangunan jasa finansial terhadap pertumbuhan ekonomi dalam kerangka kerjasama ASEAN+6, menarik pula untuk diteliti lebih lanjut mengenai daya saing atau keunggulan komparatif ekspor produk jasa finansial dan asuransi di kawasan kerjasama ekonomi dan perdagangan ASEAN+6. Analisis tersebut akan menggambarkan sejauh mana jasa keuangan tiap-tiap negara anggota ASEAN+6 mampu memenuhi kebutuhan finansial domestik maupun internasional, melalui kegiatan ekspor jasa finansial dan asuransi. Keunggulan komparatif atas sektor jasa keuangan yang semakin baik turut menggambarkan kondisi pembangunan finansial yang prima pada suatu negara dan berimplikasi pada kesiapan liberalisasi finansial yang lebih matang menjelang MEA 2015 mendatang. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, kajian terkait hubungan pembangunan sektor jasa keuangan dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi perlu dilakukan. Kajian ini penting dilakukan untuk menganalisis sejauh mana pembangunan sektor jasa keuangan serta perdagangan di ASEAN+6 mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut baik untuk negara-negara maju (High Income) dan negara-negara berkembang (Low-Middle Income) dalam kawasan ASEAN+6, sehingga kebijakan-kebijakan terkait pembangunan jasa finansial yang relevan di ASEAN+6 dapat dirumuskan, guna mematangkan persiapan menuju MEA 2015 mendatang.
7
Perumusan Masalah Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia dan beberapa negara ASEAN+6, mengalami perkembangan yang cukup siginifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah dapat mendorong adanya ekspansi pada sumber daya ekonomi dan kegiatan ekonomi produktif lainnya. Pergerakan ekonomi yang positif ini diikuti dengan kegiatan perdagangan internasional yang semakin meluas. Seiring dengan implementasi AFTA, APEC dan kerjasama ekonomi regional lainnya menjelang MEA 2015, arus lalu lintas perdagangan barang dan jasa menjadi semakin terbuka. Masing-masing negara akan menerapkan strategi usahanya yang dapat meningkatkan daya saing dan keberlanjutan produk dan jasa yang dihasilkannya (Mukhlis 2011) Tabel 2. Indikator Perekonomian Makro Indonesia dan Beberapa Negara ASEAN+6 Tahun 2001-2008 (%) Negara
Tahun
Pertumbuhan Ekonomi
Financial Development
Keterbukaan Perekonomian
Indonesia
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
3.6 4.5 4.8 5.0 5.7 5.5 6.3 6.0
51 48 47 45 43 41.4 41.8 38
233 243 256 271 293 312 340 363
Malaysia
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0.5 5.4 5.8 6.8 5.3 5.6 6.3 4.8
133 131.2 132 131 123.8 127 125 121
50570 55392 58011 60775 66015 71344 79672 87157
Cina
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
8.3 9.1 10 10.1 11.3 12.7 14.2 9.6
144 153 162 158 160 159 151.8 151.3
435 465 497 515 608 766 977 1108
Jepang
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0.4 0.3 1.7 2.4 1.3 1.7 2.2 -1.0
132.8 137 206.3 206 206.7 204.7 203.8 210.1
68968 70075 70488 73747 74814 70778 68102 66470
Sumber : Asian Development Bank (2013) , (diolah)
8
Namun, gemerlap pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perdagangan internasional tesebut tidak selalu diikuti dengan perkembangan dalam sektor keuangan (financial development). Berdasarkan Tabel 2, pada periode waktu 2001-2008 terdapat penurunan dalam angka financial development di Indonesia dan Malaysia, sedangkan hal sebaliknya terjadi pada Jepang dan Cina. Perkembangannya, pada tahun 2008 angka financial development di Indonesia dan Malaysia cenderung terus turun dibandingkan tahun 2001, dimana angka financial development Indonesia merupakan yang terendah. Penurunan angka financial development ini mengandung arti bahwa tingkat monetisasi yang terjadi dalam perekonomian nasional mengalami penurunan. Dengan kata lain, hal tersebut mencerminkan terjadinya pendangkalan sektor keuangan (financial indeepening) di Indonesia dan Malaysia. Hal ini dapat terjadi oleh beberapa hal seperti ; instrumen keuangan di sektor keuangan terbatas (baik jumlah maupun jenisnya), insentif yang diberikan sektor keuangan kecil dibandingkan dengan insentif dari sektor lainnya, instrumen keuangan di negara lain lebih profitable, dan kurang adanya kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan dalam negeri (Mukhlis 2011). Mengingat begitu pentingnya peranan sektor jasa keuangan dalam memengaruhi kondisi pertumbuhan ekonomi dan performa agregat ekonomi Indonesia, maka kendala ini harus segera diatasi bersama. Menurut Hassan et al.(2010), terdapat berbagai macam indikator ukuran yang telah digunakan dalam berbagai literatur terdahulu, sebagai proksi untuk tingkat pembangunan finansial. Salah satu yang dapat digunakan adalah penggunaan variabel Simpanan Domestik Kotor, Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan, Kredit Domestik untuk Sektor Swasta dan Jumlah Uang Beredar (M2) sebagai variabel indikator pembangunan finansial. Variabel pembangunan finansial tersebut juga bersama dengan variabel indikator sektor riil seperti Perdagangan, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi, akan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Secara lebih khusus, melalui Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan akan dijelaskan tingkat ketergantungan pembiayaan perekonomian terhadap sektor perbankan. Sedangkan Kredit Domestik untuk Sektor Swasta akan menggambarkan sejauh mana kredit pinjaman domestik dialokasikan untuk investasi domestik guna meningkatkan derajat pembangunan finansial suatu negara. Simpanan Domestik Kotor dan M2 juga berimplikasi positif terhadap pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi suatu negara dan sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga yang berlaku, sebagai insentif peningkatan tabungan dan jumlah uang beredar. Secara umum, pola perekonomian ASEAN+6 masih berbeda-beda dan kompleks karena merupakan kawasan kerjasama ekonomi dan perdagangan yang terdiri atas dua kelompok negara baik yang sudah maju (High Income), maupun yang masih berkembang (Low-Middle Income). Berdasarkan data pertumbuhan GDP pada Gambar 5 dan Gambar 6, dapat dianalisis bahwa pola pertumbuhan GDP negara-negara ASEAN+6 masih cukup bervariasi dan cenderung divergen (pola menyebar). Beberapa negara memiliki pertumbuhan GDP tinggi, namun sebagian lain justru memiliki pertumbuhan GDP rendah. Berdasarkan informasi pada Gambar 5, dapat dianalisis bahwa tingkat pertumbuhan GDP Singapura tercatat sebagai yang tertinggi dan mencapai puncaknya pada tahun 2010. Pada periode tahun 2011 dan seterusnya, tren pertumbuhan GDP Singapura cenderung
9
terus turun. Secara umum perekonomian negara-negara ASEAN mengalami pelemahan bersamaan pada tahun 2009 akibat dampak krisis hutang Eropa. Namun Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki performa perekonomian yang stabil pada saat itu dan mampu melalui gejolak krisis dengan baik. Indonesia juga mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan GDP stabil hingga 2012. Brunei Darussalam tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan GDP terendah dibandingkan negara-negara intra-ASEAN lainnya pada periode tahun 2004-2012 ini.
Gambar 5. Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-Negara ASEAN+6 (Intra-ASEAN) Tahun 2004-2012 Sumber : World Development Indicator (2014) , (diolah)
Berdasarkan data informasi pada Gambar 6, dapat dianalisis bahwa tingkat pertumbuhan GDP Cina dan India relatif lebih tinggi dibandingkan negaranegara mitra kerjasama ASEAN+6 lainnya. Krisis hutang Eropa 2009, tidak berdampak signifikan bagi perekonomian Cina dan India, namun cukup melemahkan perekonomian Jepang pada saat itu. Berdasarkan gambaran yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk pasar intra-ASEAN sendiri, tren pertumbuhan GDP antar negara masih bervariasi dan fluktuatif. Sedangkan untuk negara-negara non-ASEAN mitra kerjasama ASEAN+6 didapat pola dan tren pertumbuhan GDP yang hampir sama dan mulai menuju konvergenitas atau penyamaan level pada tahun 2012.
10
Gambar 6. Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-Negara ASEAN+6 (non-ASEAN) Tahun 2004-2012 Sumber : World Development Indicator (2014) , (diolah)
Tantangan yang dikhawatirkan muncul adalah terjadinya pola substitusi dan bukan komplementer pada penggunaan produk jasa keuangan antar negara yang terlibat dalam pasar ASEAN+6, sehingga keterlibatan negara-negara yang belum optimal performa sektor keuangannya justru akan semakin memperburuk kondisi ekonomi negara tersebut. Kondisi ini pada akhirnya akan menimbulkan persaingan diantara golongan negara-negara berkembang ASEAN+6 dengan golongan negara-negara maju ASEAN+6, untuk memperebutkan pangsa pasar di kawasan ASEAN+6. Oleh sebab itu, selain meneliti mengenai sejauh apa variabel pembangunan finansial sebagai indikator pembangunan finansial, dan perdagangan mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN+6, perlu juga dianalisis kondisi keunggulan komparatif atau daya saing ekspor jasa finansial antar negara-negara ASEAN+6. Negara-negara tertentu yang dominan menguasai pasar ekspor produk jasa finansial dan asuransi misalnya, dapat mendominasi pasar keuangan ASEAN+6 dan meninggalkan negara-negara lain dengan senjang yang jauh tertinggal di belakangnya. Dengan demikian, referensi kebijakan keuangan yang relevan dapat dirumuskan berdasarkan hasil analisis tersebut. Berdasarkan uraian singkat di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, yaitu : 1. Bagaimana kondisi umum sektor jasa keuangan Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN+6? 2. Bagaimana keunggulan komparatif sektor jasa finansial Indonesia dan negara-negara ASEAN+6 ? 3. Bagaimana hubungan variabel pembangunan jasa finansial dan perdagangan dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi seluruh negara ASEAN+6, golongan negara maju ASEAN+6 dan golongan negara berkembang ASEAN+6 menuju MEA 2015?
11
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menjelaskan kondisi umum sektor jasa keuangan Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN+6. 2. Menganalisis keunggulan komparatif sektor jasa finansial Indonesia dan negara-negara ASEAN+6. 3. Menganalisis hubungan variabel pembangunan finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi seluruh negara ASEAN+6, golongan negara maju ASEAN+6 dan golongan negara berkembang ASEAN+6 menuju MEA 2015. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait, yakni pemerintah, praktisi jasa keuangan (bank dan lembaga non-bank) ,dan masyarakat serta akademisi. Manfaat tersebut antara lain adalah sebagai berikut : 1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi ilmiah dan salah satu referensi bagi pemerintah dalam perumusan kebijakan terkait pembangunan jasa keuangan dan perdagangan menuju MEA 2015, dengan pengkoordinasian segenap badan terkait. 2. Bagi praktisi jasa keuangan, seperti lembaga perbankan dan nonperbankan serta pihak swasta, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk dapat merumuskan kebijakan yang lebih mendukung kinerja sektor keuangan dalam rangka peningkatan performa ekonomi nasional pada kerangka kerjasama ekonomi ASEAN+6 menuju MEA 2015. 3. Bagi masyarakat dan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi ilmiah yang dapat memperluas pengetahuan ekonomi pembaca, serta dapat dijadikan acuan bagi penelitian lebih lanjut terkait pembangunan finansial ASEAN+6. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel pembangunan jasa finansial yakni variabel GDS, DCBS, DCPS dan M2 serta perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi seluruh negara ASEAN+6, golongan negara maju ASEAN+6 dan golongan negara berkembang ASEAN+6 pada periode 2000-2012. Sedangkan untuk analisis daya saing dan komparatif RCA, dikarenakan keterbatasan data maka rentang waktu yang digunakan adalah tahun 2005-2012 untuk objek penelitian seluruh negara ASEAN+6. Negara-Negara kawasan ASEAN+6 yang dijadikan objek penelitian meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, lalu Jepang, Cina, Korea Selatan serta India, Australia dan Selandia Baru. Ketersediaan data yang tidak lengkap untuk variabel-variabel yang dibutuhkan dalam penelitian, menyebabkan Kamboja (Cambodia), Myanmar, Laos, dan Vietnam (CMLV Countries) tidak
12
dimasukkan dalam analisis penelitian ini, sehingga dalam penelitian ini, intraASEAN hanya diwakili enam negara (ASEAN-4).
TINJAUAN PUSTAKA Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 Komunitas ASEAN atau ASEAN Community dibentuk oleh negara-negara anggota ASEAN sebagai bentuk solidaritas yang dibangun untuk memenuhi tujuan regional. Pembentukan komunitas ASEAN ini akan tetap menjunjung identitas nasional dan bersamaan dengan itu juga dapat meningkatkan identitas regional (ISEAS 2004). Melaui ASEAN Community ini, partisipasi negara-negara ASEAN dapat terus meningkat secara efektif di area integrasi perdagangan yang lebih luas lagi. ASEAN Community juga dibentuk guna mencapai visi ASEAN 2020, yakni mencapai kawasan ASEAN yang stabil, makmur, berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan tingkat kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang menurun (KTT ASEAN, Kuala Lumpur, Des 1997). Berdasarkan hasil Bali Concord II pada KTT ASEAN di Bali tahun 2003, dihasilkan tiga pilar dalam rangka mewujudkan visi ASEAN 2020 yakni dengan pembentukan (ISEAS 2004): (1) ASEAN Economic Community (2) ASEAN Security Community, dan (3) ASEAN Socio-Cultural Community Selain itu, para Pemimpin ASEAN juga mensahkan Roadmap for an ASEAN Community 2009-2015 pada 1 Maret 2009 di Hua Hin-Cha Am, Thailand, yang menghasilkan 3 (tiga) cetak-biru Masyarakat ASEAN, yakni : (1) PolitikKeamanan, (2) Ekonomi, dan (3) Sosial-Budaya. ASEAN Economic Community atau biasa disebut sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), merupakan bagian dari ASEAN Community. Pertemuan Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN yang dilaksanakan Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia sepakat untuk mengembangkan MEA Blueprint yang merupakan panduan untuk terbentuknya MEA. MEA Blueprint direalisasikan dalam empat fase waktu yakni 2008-2009, 2010-2011, 2012-2013, dan 2014-2015. MEA Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara ASEAN untuk mencapai MEA 2015, dimana masing-masing negara berkewajiban untuk melaksanakan komitmen dalam MEA Blueprint tersebut. Blueprint ini memuat empat bagian utama yakni (Kemendag 2012) : 1. ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja, terdidik dan aliran modal yang lebih bebas. 2. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan e-commerce. 3. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa
13
integrasi ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos, Vietnam), dan 4. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global denganelemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. Teori Keunggulan Komparatif Teori keunggulan komparatif dari David Ricardo merupakan penyempuraan teori keunggulan absolut dari Adam Smith. Teori keunggulan absolut dari Adam Smith memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah dimungkinkannya terjadi perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor. Hal ini dapat meningkatkan kemakmuran negara (Oktaviani dan Novianti 2009). Namun, kelemahan dari teori keunggulan absolut ini adalah meyakini bahwa ketika hanya ada satu negara yang memiliki keunggulan absolut dalam perdagangan maka perdagangan internasional tidak akan terjadi sebab tidak adanya keuntungan melalui mekanisme perdagangan yang demikian. Kelemahan inilah yang disempurnakan dalam teori keunggulan komparatif David Ricardo baik secara cost comparative (labor efficiency) maupun production comparative (labor productivity). Teori keunggulan komparatif David Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas bila dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan dapat tetap berlangsung selama rasio harga antar negara masih berbeda bila dibandingkan dengan tidak adanya perdagangan. Dalam teori ini walaupun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut atas suatu komoditi, tetap dimungkinkan terjadinya perdagangan antar negara, asalkan tercipta spesialisasi produksi atas komoditas tertentu yang merupakan keunggulan komparatif negara tersebut. Dengan demikian, kegiatan ekspor atas produk yang diproduksi relatif lebih efisien dapat tetap digiatkan, dan impor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang/tidak efisien tetap dapat dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Selanjutnya manfaat perdagangan dapat ditingkatkan. Pembangunan Finansial Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keuangan diartikan sebagai pengetahuan teori dan praktik mengenai keuangan yang mencakup uang, kredit, perbankan, sekuritas, investasi, valuta asing, penjaminan emisi, kepialangan, trust dan sebagainya. Menurut Dr. Insukindro, MA dalam Hermasyah (2011), sistem keuangan pada umumnya merupakan suatu kesatuan sistem yang dibentuk dari semua lembaga keuangan yang ada dan yang kegiatan utamanya di bidang keuangan adalah menarik dana dari dan menyalurkannya kepada masyarakat. Keberadaan sistem keuangan ini diharapkan dapat melaksanakan fungsinya sebagai lembaga perantara keuangan dan lembaga transmisi yang mampu menjembatani mereka yang kelebihan dana dan kekurangan dana, serta memperlancar transaksi ekonomi. Lebih lanjut, menurut Dr. Insukindro, MA
14
bahwa di Indonesia sistem keuangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sistem moneter dan lembaga keuangan lainnya. Sistem moneter terdiri atas otoritas moneter dan sistem Bank Umum. Menurut Prof. Dr. Anwar Nasution, SE dalam Hermansyah (2011), terdapat beberapa prasyarat untuk menciptakan kondisi sektor keuangan yang sehat dan stabil yakni adanya lembaga keuangan yang sehat yang mampu memenuhi seluruh kewajibannya tanpa dukungan atau bantuan pihak luar, adanya pasar keuangan yang stabil, sehat dan transparan sehingga mampu membangun keyakinan pelaku pasar untuk bertransaksi secara aktif, dan yang terakhir adanya lembaga pengaturan dan pengawasan yang kompeten sehingga mampu memformulasikan kebijakan yang konsisten, integrated, forward looking, dan cost effective, serta dapat mempertahankan tingkat kompetisi yang sehat dan mampu mendukung inovasi pasar uang. Pembangunan finansial adalah suatu syarat penting untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik, walaupun juga memang bukan merupakan syarat cukup untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang mantap (steady state) di negara-negara berkembang (Hassan 2010). Pembangunan finansial juga sering disebut sebagai pendalaman finansial (financial deepening). Pendalaman keuangan menurut Shaw dalam Mukhlis (2011), merupakan akumulasi dari aktiva-aktiva keuangan yang lebih cepat dari pada akumulasi kekayaan yang bukan keuangan. Pendalaman keuangan ditunjukkan oleh semakin besarnya rasio antar jumlah uang beredar (M2) dengan PDB. Sebaliknya semakin kecil rasio antar jumlah uang beredar (M2) dengan PDB menunjukkan pendangkalan keuangan (financial indeepening) di suatu negara. Pendalaman keuangan menunjukkan sistem keuangan yang semakin efisien dalam memobilisasi dana untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sehingga hal ini dapat mendorong peningkatan dalam perekonomian nasional melalui kegiatan konsumsi, produksi, dan investasi (Mukhlis 2011). Selain itu pendalaman keuangan juga menggambarkan variasi produk jasa keuangan yang makin beragam dan penurunan peluang terjadinya risiko-risiko perbankan. Terdapat beberapa variabel tertentu yang mampu menggambarkan sejauh apa kondisi pembangunan finansial suatu negara, atau dengan kata lain, variabelvariabel ini merupakan indikator pembangunan finansial suatu negara. Beberapa penelitian seperti yang dikutip dalam Hassan et al.(2010) dan Mukhlis (2011) menggunakan variabel-variabel seperti Simpanan Kotor Domestik atau GDS (Gross Domestic Savings), Kredit Domestik meliputi Rasio kredit domestik seperti DCBS (Domestic Credit provided by the Banking Sector) dan DCPS (Domestic Credit provided by the Private Sector) serta M2 yakni jumlah uang beredar dalam arti luas, sebagai proksi variabel pembangunan finansial. Pengertian kredit menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain. Kredit digolongkan dalam sepuluh jenis klasifikasi yakni : 1. Berdasarkan penggolongan jangka waktu (Kredit jangka pendek,menengah dan panjang) 2. Berdasarkan dokumentasi (Kredit dengan dan tanpa perjanjian tertulis)
15
3. Berdasarkan bidang ekonomi (Kredit untuk sektor pertanian, pertambangan, perindustrian, listrik, gas, konstruksi dan lain sebagainya) 4. Berdasarkan tujuan penggunaan (Kredit konsumtif dan kredit produktif. Kredit produktif meliputi kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit likuiditas) 5. Berdasarkan objek yang ditransfer (Kredit uang dan bukan uang) 6. Berdasarkan waktu pencairan (Tunai atau tidak tunai) 7. Berdasarkan cara penarikan 8. Berdasarkan pihak kreditur (Kredit terorganisasi dan tak terorganisasi) 9. Berdasarkan asal negara kreditur (Kredit domestik dan kredit luar negeri) 10. Berdasarkan jumlah kreditur (Kredit tunggal dan sindikasi) Tujuan kredit adalah untuk memperoleh hasil keuntungan dari bunga kredit yang dibebankan kepada debitur sesuai dengan ketentuan yang diperjanjikan/ prosedural. Secara umum, tujuan kredit di bank dapat dipaparkan sebagai berikut : a. Memenuhi kebutuhan nasabah dalam persediaan uang tunai pada saat ini b. Mempertahankan standar perkreditan yang layak c. Mengevaluasi berbagai kesempatan usaha yang baru, dan d. Mendatangkan keuntungan bagi bank dan pada saat yang sama menyediakan likuiditas yang memadai. Sedangkan tujuan penyaluran kredit bagi nasabah adalah untuk membantu nasabah meningkatkan volume usahanya melalui modal kerja dan sedapat mungkin berupaya menghindari timbulnya kredit macet. Atas dasar pemikiran tersebut di atas maka pemilihan sektor-sektor usaha yang produktif dan cepat menghasilkan likuiditas tentunya akan diproritaskan. Pemberian kredit kepada nasabah juga harus memenuhi prinsip kepercayaan dan kehati-hatian (Hermansyah 2011), agar tingkat risiko dari kredit atau pinjaman yang diberikan dapat diminimalisir. Menurut World Development Indicator (2014), Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan meliputi seluruh kredit yang disalurkan perbankan ke seluruh sektor basis kotor, dengan pengecualian terhadap kredit untuk pemerintah pusat, dimana sektor perbankan meliputi otoritas moneter dan deposito. Sedangkan, Kredit Domestik untuk Sektor Swasta adalah sumber pendanaan finansial yang disediakan untuk keperluan sektor swasta melalui pinjaman, pembelanjaan sekuritas non-equity, kredit perdagangan dan akun penerimaan lain. Untuk beberapa negara, kredit untuk wirausaha umum juga termasuk bagian kredit ini. Jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) atau Broad Money, didefinisikan sebagai hasil penjumlahan M1 (uang kartal+uang giral) dan uang kuasi (deposito berjangka, tabungan, dan giro valas) serta surat berharga berjangka kurang dari satu tahun. Sedangkan simpanan kotor domestik didefinisikan sebagai sisa akhir dari pengurangan GDP dan pengeluaran konsumsi akhir (total konsumsi). Peranan kredit domestik dalam suatu perekonomian sangat penting. Jika kredit domestik
16
meningkat, hal ini secara otomatis akan meningkatkan jumlah uang beredar yang selanjutnya akan memengaruhi perekonomian secara makro (Marissa 2004). Dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi, berbagai studi empiris terdahulu menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara GDS, DCBS, DCPS dan M3 terhadap pertumbuhan ekonomi terutama di negara-negara berkembang non-ASEAN (Hassan et al.2010). Hal ini membuktikan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara pembangunan jasa finansial dan pertumbuhan ekonomi. Mekanisme Transmisi Moneter Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan makro melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Kebijakan moneter berlangsung melalui mekanisme transmisi untuk menggeser permintaan agregat, sehingga akan mengubah keseimbangan tingkat pendapatan nasional. Kenaikan JUB (Jumlah Uang Beredar) atau M2 bersifat ekspansif, sedangkan penurunan JUB bersifat kontraktif dan besarnya pergeseran permintaan agregat sebagai reaksi atas kenaikan JUB tergantung pada besarnya kenaikan investasi dan perubahan JUB akan menyebabkan perubahan yang besar pula pada pengeluaran untuk investasi. Ahli ekonomi klasik berpendapat bahwa kebijakan moneter lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal dapat memengaruhi pendapatan nasional, hanya saja kebijakan moneter berpengaruh lebih besar serta dapat diperkirakan memiliki efek yang lebih cepat (Maretha 2012). Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan moneter dapat dibedakan menjadi dua yaitu kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan moneter ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang beredar. Pada saat munculnya kontraksional gap. Dari Gambar 7 dapat dilihat kondisi awal penawaran uang (MS1) dan tingkat suku bunga adalah kurva (R1). Pada kurva R1 tingkat suku bunga yang peka terhadap pengeluaran adalah I, rencana pengeluaran agregat menjadi AE1 dan produk domestik bruto adalah (Y1). Selain itu kurva PDB pada Y1 membantu menentukan posisi kurva permintaan uang pada kurva L(R, Y1) dimana bersama-sama dengan kurva (MS1) menetukan tingkat suku bunga (R1). Ketika MS1 meningkat menjadi MS2 maka tingkat suku bunga turun karena pendapatan dan pengeluaran naik menjadi (R1), AE1 (R1) dan Y1. Kebijakan moneter kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy). Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), Fasilitas Diskonto (Discount Rate), Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio), Himbauan Moral (Moral Persuasion).
17
Gambar 7. Kurva Kebijakan Moneter Ekspansif Teori Pertumbuhan Endogen Konsep ini sering pula disebut dengan teori pertumbuhan baru (New Growth Theory) yang menolak asumsi model Solow tentang perubahan teknologi yang berasal dari luar (eksogen). Model pertumbuhan endogen mempunyai kemiripan struktural dengan teori pertumbuhan neoklasik, namun berbeda dalam hal asumsi yang mendasarinya dan kesimpulan yang ditarik darinya. Teori ini berupaya untuk menjelaskan keberadaan skala hasil yang semakin meningkat (Increasing Return to Scale) dan pola pertumbuhan jangka panjang yang berbedabeda antarnegara. Teori ini menjelaskan bahwa tabungan dan investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (Mankiw 2002). Teori pertumbuhan endogen (theory of endogenous growth) dirintis oleh Romer (1986) dan Lucas (1989). Teori ini mampu menyajikan suatu ulasan analitis yang lebih menyeluruh dan meyakinkan mengenai hubungan antara perdagangan internasional dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang (Maretha 2012). Secara spesifik, teori baru pertumbuhan ekonomi endogen ini menyatakan bahwa asumsi pengembalian modal konstan lebih bermanfaat jika K (capital) diasumsikan secara lebih luas dimana ilmu pengetahuan diperhitungkan sebagai bagian dari K (capital). Dengan memperhitungkan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari modal maka asumsi pengembalian modal konstan menjadi deskripsi yang lebih mengesankan tentang pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Mankiw 2002). Potensi tingkat pengembalian investasi yang tinggi yang ditawarkan oleh negara berkembang yang mempunyai rasio modal-tenaga kerja yang rendah berkurang dengan cepat dikarenakan rendahnya tingkat investasi komplementer (complementary investments) dalam sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan pengembangan (Maretha 2012).
18
Penelitian Terdahulu Berikut adalah rangkuman judul, penulis, tujuan, metode, variabel dan kesimpulan dalam beberapa penelitian terdahulu terkait hubungan pembangunan jasa finansial dan pertumbuhan ekonomi yang dijadikan acuan bagi penulis. Rangkuman metode dan variabel dalam penelitian terdahulu disajikan dalam Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Rangkuman Metode dan Variabel dalam Penelitian Terdahulu Judul dan Penulis
Tujuan
Metode
Variabel
Kesimpulan
The Role of Financial System in Development (1998) Oleh Joseph Stiglitz
Mengkritisi hubungan antara sistem finansial dan makroekonomi
Studi komparatif berbagai penelitianModel mikro dan makro Business Cycle
Ekuitas, Pinjaman Bank jangka pendek, Obligasi, investasi
Sistem keuangan merupakan faktor penting dalam memengaruhi pembangunan. Peningkatan kinerja sistem keuangan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi peluang krisis.
Financial Intermediation and Growth: Causality and Causes (1999) oleh Ross Levine, Norman Loayza, dan Thorsten Beck
Mengevaluasi pengaruh komponen eksogen intermediasi finansial terhadap pertumbuhan ekonomi dan menganalisis sejauh mana perbedaan standar akuntansi finansial antarnegara memengaruhi pembangunan finansial
Panel Dinamis, GMM, Analisis Sensitivitas
Indikator pembangunan intermediasi finansial,yaitu : Kewajiban lancar (+) Kredit swasta(+), FDI (-) Surat berharga bank sentral (+). Indikator Akuntansi: CREDITOR, ENFORCE dan ACCOUNT.
Terdapat hubungan positif antara komponen eksogen intermediasi finansial terhadap pertumbuhan ekonomi. Perbedaan standar akuntansi finansial justru membantu performa finansial yang juga berbedabeda,sehingga juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bagi negara dengan sistem hukum dan akuntansi yang baik.
Finance and Growth: Theory And Evidence(2005) oleh Ross Levine
Menganalisis,dan mengkritisi hubungan antara sistem operasi finansial dan pertumbuhan ekonomi
Studi Komparatif berbagai penelitian.
Pertumbuhan GDP Perkapita Riil , Kredit Swasta, Pertumbuhan produktivitas, Pertumbuhan modal perkapita
Terdapat hubungan positif yang kuat antara sistem keuangan dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.Selain itu
19
politik,legal kultural bahkan faktor geografis ikut memengaruhi sistem finansial sehingga perlu untuk diperhitungkan dalam menganalisis hubungan pertumbuhan ekonomi dan sistem keuangan. The Determinants of International Financial Integration Revisited : The Role of Networks and Geographic Neutrality (2009) oleh Ivan Arribas , Francisco Perez dan Emili TortosaAusina
Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya integrasi finansial yang asimetris pada sektor perbankan
Analisis Jaringan dan Konsep Netralitas Geografi (Analisis parametrisnon parametris)
Kovariat Integrasi Perdagangan (DTO,DDTC,DTI), Perubahan CPI (PICH), BANK50, DEPOSITS, MKTCAP,FIN10, FIN1050
Integrasi dan keterbukaan perdagangan tidak sama. Teori integrasi finansial dalam sektor perbankan seringkali jauh lebih luas dan kompleks sehingga teori yang berlaku seringkali tidak sesuai dengan realitas. Hal ini berlaku baik di Negara Maju maupun di Negara Berkembang.
Financial Development and Economic Growth : New Evidence from Panel Data (2010) oleh M.Kabir Hassan,Benito Sanchez, dan Jung Suk Yu
Menganalisis hubungan antara pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dan negara maju OECD.
Data Panel Statis, Granger Causality Test, VAR
GDP Perkapita(+), GDS(+),DCBS(+), DCPS(+),M3(+), TRADE(+), Inflasi(-) Pengeluaran Pemerintah(-)
Terdapat hubungan positif jangka panjang yang kuat antara pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi
Financial Development and Economic Growth in The Organization of Islamic Conference Countries (2010) oleh M.Kabir Hassan,Benito Sanchez, dan Jung
Menganalisis hubungan antara pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang islam (OIC Countries)
Data Panel Statis, Granger Causality Test, VAR
GDP Perkapita (+), GDS (-), DCBS(+), DCPS(+), M3(+), PRIV(Kredit untuk sektor swasta oleh sektor perbankan)(+), Inflasi (-)
Terdapat hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan finansial pada negara-negara OIC.
20
Suk Yu
TRADE(+), Pengeluaran Pemerintah (-)
. Kausalitas Dinamis Antara Financial Development , Liberalisasi Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia dalam menyongsong pemberlakuan ASEAN Economic Community (2011) oleh Imam Mukhlis
Menganalisis peranan pembangunan finansial, dan keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
Granger Causality Test, ADF Test dan Kointegrasi
Rasio kredit domestik dengan PDB (+), M2 (+), dan Keterbukaan perdagangan (+)
Dalam jangka panjang terdapat hubungan dinamis antara financial development, keterbukaan perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sedangkan dalam jangka pendek terdapat kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekonomi dengan financial development.
Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi : Studi Komparatif Negara-Negara ASEAN+6 (2012) oleh Vevi Retno Maretha
Membahas hubungan kebijakan fiskal,moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi negaranegara maju dan berkembang dalam kerangka ASEAN+6
Panel Dinamis, GMM
Pengeluaran Pemerintah(-), Keterbukaan Perdagangan(+), dan M2(+)
Kebijakan ekspansi fiskal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara berkembang sedangkan kebijakan ekspansi moneter berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara maju.
Financial Openness and Growth : 20002011(2013) oleh Amy Kennedy
Menganalisis hubungan keterbukaan finansial dan pertumbuhan ekonomi pada periode tahun 2000-2011 di 34 negara maju.
Data Panel Statis
Pertumbuhan GDP tahunan (+), Keterbukaan finansial (+), Stock of Traded(+),Stock of turnover(+), Kredit swasta(-), Partisipasi tenaga kerja(+), Modal (+),Ekspor (+) dan total populasi (+)
Terdapat hubungan positif antara keterbukaan finansial dan pertumbuhan ekonomi. Untuk kasus negara maju keterbukaan finansial harus tetap dijaga tanpa kontrol/restriksi berlebih untuk mencapai pertumbuhan
21
ekonomi yang maksimal,dengan tetap menjaga ketahanan finansial domestik untuk setiap bentuk-bentuk cross border transaction.
Terdapat beberapa hal yang membedakan penelitian ini dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini tidak hanya secara umum akan menganalisis pengaruh keterbukaan finansial terhadap pertumbuhan ekonomi menggunakan metode analisis ekonometrika yakni data panel statis, seperti yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, namun lebih fokus pada sejauh mana kondisi pembangunan finansial suatu negara yang direpresentasikan oleh variabel kredit domestik oleh perbankan atau Domestic Credit provided by Banking Sector (DCBS) , kredit domestik untuk sektor swasta atau Domestic Credit to Private Sector (DCPS), jumlah uang beredar (M2), simpanan kotor domestik atau Gross Domestic Savings (GDS), serta kondisi sektor riil yang direpresentasikan oleh variabel perdagangan, pengeluaran pemerintah dan inflasi, mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi pada periode terbaru yakni tahun 2000 hingga 2012. Selain itu, pembeda penelitian ini dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada objek penelitian yang merupakan sebuah kawasan kerjasama ekonomi dan perdagangan yang kompleks yakni ASEAN+6 yang terdiri atas negara-negara Asia Tenggara plus enam negara mitra kerjasama Asia dan non-Asia lainnya. Pada penelitian ini secara spesifik akan dianalisis hubungan variabel pembangunan finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi untuk seluruh negara ASEAN+6, golongan negara maju ASEAN+6, dan golongan negara berkembang ASEAN+6. Selain itu, metode analisis kuantitatif pada penelitian ini yang menggunakan metode data panel statis, cukup fokus pada interpretasi nilai individual heterogeneity atau keragaman individu masing-masing cross section. Melalui interpretasi terhadap nilai keragaman individu tersebut, dapat dianalisis besaran pertumbuhan ekonomi suatu negara tanpa memperhitungkan pengaruh variabel bebas lainnya dalam model. Terdapat pula salah satu pembeda yang menarik lainnya, yakni pemberlakuan estimasi pada satu nilai taraf nyata, yakni pada taraf nyata konsisten di 5 persen. Pada penelitian sejenis sebelumnya, digunakan taraf nyata tak konsisten dari level 5 persen, 10 persen, hingga 15 persen. Penelitian dengan taraf nyata konsisten dengan nilai yang lebih rendah, menghasilkan pemodelan yang lebih akurat dan konsisten. Selain itu, perhitungan analisis RCA (Revealed Comparative Advantage) untuk menganalisis daya saing atau keunggulan komparatif dalam perdagangan jasa finansial di pasar ASEAN+6 untuk masing-masing negara anggota yang terlibat, juga merupakan pembeda penelitian ini dibandingkan penelitian sebelumnya yang relatif cukup jarang menganalisis keunggulan komparatif sektor jasa finansial.
22
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang bermanfaat bagi pemerintah dan segenap pihak yang berkepentingan agar mampu meningkatkan performa sektor jasa keuangan ataupun sektor riil dalam rangka memaksimumkan manfaat perdagangan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesiapan serta daya saing Indonesia dan negara-negara ASEAN+6 lainnya menuju MEA 2015. Kerangka Pemikiran Penelitian Hassan et al.(2010) yang dijadikan acuan dalam penelitian ini menggunakan metode data panel statis, Granger Causality Test dan VAR untuk menganalisis hubungan antara pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi untuk kelompok negara low-middle income OECD dan negara-negara high income OECD. Berbeda dengan itu, penelitian ini menganalisis kesiapan kondisi liberalisasi dan pembangunan jasa finansial di negara-negara yang terlibat dalam kerjasama ASEAN+6 dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara anggota ASEAN+6 ini kemudian dikelompokkan atas dua golongan yakni golongan negara maju (High Income) dan berkembang (LowMiddle Income). Pada dasarnya, terdapat perbedaan karakteristik antara negara maju dan negara berkembang karena sistem yang berbeda diantara keduanya. Perlakuan antara negara maju dan negara berkembang tidak dapat disamakan karena adanya perbedaan yang mendasar tersebut. Negara maju dan negara berkembang memiliki perbedaan dalam sektor riil maupun sektor keuangan, sehingga dalam analisis hubungan variabel pembangunan jasa finansial dan pertumbuhan ekonomi, kelompok negara maju dan berkembang ASEAN+6 harus dianalisis secara terpisah. Golongan negara-negara maju ASEAN+6 terdiri atas Singapura, Brunei Darussalam, Jepang, Korea Selatan, New Zealand dan Australia. Sedangkan golongan negara-negara berkembang ASEAN+6 terdiri atas Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Cina dan India. Untuk menganalisis hubungan tersebut maka dibutuhkan variabel-variabel yang mampu menggambarkan kondisi pembangunan finansial suatu negara serta variabel yang mampu menggambarkan bagaimana kondisi sektor riil, terutama perdagangan dalam kerjasama ASEAN+6 tersebut. Variabel pembangunan finansial yang digunakan dalam penelitian ini meliputi DCBS, DCPS, M2, dan GDS sedangkan variabel yang menggambarkan kondisi sektor riil dalam penelitian adalah TRADE, GOV.EXPENDITURE (GOV), dan INFLATION (INF). Pola hubungan antar variabel-variabel bebas tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai variabel terikatnya, akan diestimasi menggunakan model kuantitatif ekonometrik yakni data panel statis. Signifikansi, besaran dan tanda koefisien akan menggambarkan hubungan tiap variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Sedangkan keragaman individu tiap negara akan menjelaskan besaran pertumbuhan ekonomi tiap negara dengan tanpa adanya pengaruh dari variabel bebas lainnya. Selain itu metode analisis pada penelitian ini juga dilengkapi dengan penghitungan nilai RCA (Revealed Comparative Advantage), guna menganalisis daya saing dan keunggulan komparatif tiap-tiap negara anggota ASEAN+6 dalam perdagangan jasa finansial di pasar ASEAN+6.
23
Hasil ilmiah model estimasi diharapkan dapat menjadi acuan pemerintah dalam merumuskan alternatif kebijakan yang tepat dalam rangka peningkatan performa dan kualitas sektor jasa keuangan Indonesia dan ASEAN+6, serta sekaligus meningkatkan daya saing sektor jasa keuangan menuju MEA 2015 mendatang.
Keterangan : terdiri atas memengaruhi alat analisis Gambar 8. Kerangka Pemikiran
24
Hipotesis Berdasarkan pemaparan dalam tinjauan pustaka ini, maka hipotesis awal yang dapat ditarik dari penelitian terkait analisis hubungan variabel pembangunan jasa finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan jangka panjang yang positif antara pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi. 2. GDP Perkapita berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi negara maju dan berlaku sebaliknya pada negara berkembang. 3. Kredit domestik oleh sektor perbankan berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi . 4. Kredit domestik untuk sektor swasta berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi negara berkembang dan berlaku sebaliknya pada negara maju. 5. M2 atau jumlah uang beredar berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 6. Simpanan kotor domestik berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 7. Performa ekspor dan impor dalam perdagangan berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 8. Pengeluaran pemerintah berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi negara berkembang dan berlaku sebaliknya pada negara maju. 9. Inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan jenis data panel atau longitudinal data. Data panel merupakan gabungan data jenis deret waktu (time series) dan data jenis kerat lintang (cross section). Penelitian ini menggunakan tiga belas data deret waktu untuk periode tahun 2000-2012 dan menggunakan dua belas data kerat lintang untuk observasi negara objek penelitian ASEAN+6 yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunei Darussalam, dan ditambah dengan enam negara mitra kerjasama lain yakni Jepang, Korea Selatan, Cina, Australia, Selandia Baru dan India. Kamboja (Cambodia), Myanmar, Laos dan Vietnam (CMLV Countries) tidak masuk dalam ranah penelitian dikarenakan kesulitan akses data. Data diperoleh dari berbagai sumber dan literatur. Data untuk metode data panel statis diperoleh dari World Development Indicators (WDI) dan International Monetary Finance (IMF). Sedangkan data untuk pengolahan RCA diperoleh dari World Development Indicators (Current US$). Selebihnya untuk keperluan kelengkapan analisis deskriptif data dihimpun dari berbagai jurnal dan literatur terkait serta dari beberapa sumber seperti Asian Development Bank (ADB)
25
Outlook, ASEAN Statistical Yearbook 2013, SEADI, ISEAS, Indeks Mundi, APEC, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kemenko Perekonomian, BAPPENAS dan Bank Indonesia. Melalui metode data panel statis dalam penelitian ini, digunakan delapan variabel bebas untuk menganalisis variabel terikat yakni pertumbuhan ekonomi (GROWTH). Variabel dan proksi data dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Variabel, Proksi, Jenis Variabel, dan Sumber
Metode Analisis Penelitian ini menggunakan dua metode analisis sekaligus yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan penjabaran data-data ekonomi ASEAN+6 dengan analisis deskriptif terkait fenomena ekonomi di dalamnya, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan secara matematisstatistik dengan pemodelan ekonometrik data panel statis dan perhitungan indeks RCA (Revealed Comparative Advantage). Perhitungan kuantitatif RCA dilakukan dengan bantuan program aplikasi Micrososft Excel 2007, sedangkan pemodelan data panel statis dilakukan dengan bantuan program aplikasi Microsoft Excel 2007 dan E-Views 6.0 pada taraf nyata konsisten 5 persen.
26
Revealed Comparative Advantage (RCA) Indeks RCA atau biasa dikenal sebagai indeks Balassa adalah indikator yang dapat menggambarkan keunggulan komparatif atau tingkat daya saing industri dan perdagangan suatu negara di pasar global. Indeks RCA menunjukkan keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu negara pada suatu komoditas terhadap dunia. Kinerja ekspor produk dari suatu negara diukur dengan menghitung pangsa nilai ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu negara dibandingkan dengan pangsa nilai produk tersebut dalam perdagangan dunia (Kemendag 2014). Secara matematis, Indeks RCA dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan: Xij Xj Xiw Xw
= nilai ekspor komoditas i dari negara j (US$) = nilai total ekspor dari negara j (US$) = nilai ekspor komoditi i dari pasar w (US$) = nilai ekspor total dunia (US$)
Jika nilai indeks RCA suatu negara untuk komoditas tertentu adalah lebih besar dari satu (1), maka negara bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia untuk komoditas tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecil dari satu (1), berarti keunggulan komparatif untuk komoditis tersebut tergolong rendah, di bawah rata-rata dunia. Semakin besar nilai indeks, semakin tinggi pula tingkat keunggulan komparatifnya. Data Panel Statis Analisis hubungan variabel pembangunan finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis ekonometrik data panel statis, seperti mengacu pada Hassan et al. (2010) untuk dua judul penelitian yang berbeda. Metode data panel memiliki beberapa keunggulan, yaitu dapat mengontrol heterogenitas individu, menyajikan data yang lebih informatif, variatif, memiliki kolinearitas antar variabel yang rendah, dan memiliki derajat kebebasan yang tinggi sehingga lebih efisien, baik digunakan untuk mempelajari dinamika penyesuaian (dynamics of change), lebih mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat diukur oleh data time series murni atau cross section murni, dapat merumuskan dan menguji model yang lebih kompleks dan analisis pada level mikro dapat meminimisasi atau menghilangkan bias yang terjadi akibat agregasi data ke level makro (Baltagi 2005). Langkah analisis data panel yang dilakukan terdiri atas perumusan model, pemilihan metode estimasi, uji kriteria, dan analisis hasil estimasi. Alur analisis data panel disajikan pada Gambar 9.
27
Gambar 9. Alur Analisis Data Panel Perumusan Model Perumusan model analisis pengaruh hubungan variabel pembangunan finansial,perdagangan dan pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model penelitian yang digunakan Hassan et al.(2010) untuk dua penelitiannya terkait hubungan pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi baik di negara-negara maju dan berkembang OECD dan negara-negara OIC. Model hubungan variabel pembangunan finansial, perdagangan dan pertumbuhan ekonomi tersebut dirumuskan sebagai berikut : GROWTHit = f(Qit,FINit,GDSit,TRADEit,GOVit,INFit) dengan : GROWTHit Qit FINit GDSit TRADEit GOVit INFit
= Pertumbuhan Ekonomi = GDP Perkapita = Variabel Pembangunan Finansial ( DCBS ,DCPS, M2 ) = Simpanan Kotor Domestik = Perdagangan = Pengeluaran Pemerintah = Inflasi
28
Model di atas dibuat untuk mengidentifikasi hubungan delapan variabel bebas terhadap satu variabel terikat. Variabel terikat GROWTH dan variabel-variabel bebas lain yakni variabel Q dan variabel pembangunan finansial (FIN) seperti GDS, serta variabel indikator kinerja sektor riil seperti GOV dan INF langsung dapat diolah karena data baik dari WDI dan IMF yang didapat, sudah dalam bentuk persen. Sedangkan Variabel indepen pembangunan finansial lain seperti DCBS, DCPS, dan M2 harus diolah dalam bentuk logaritma natural terlebih dulu, sebelum diproses lebih lanjut. Sementara untuk variabel bebas TRADE, sebelum diolah lebih lanjut variabel tersebut harus dikalkulasikan secara khusus, dengan penjelasan sebagai berikut : Perdagangan (TRADE) Variabel ini diolah dengan menjumlahkan persentase perubahan volume ekspor dan impor barang dan jasa di setiap negara berdasarkan data persentase perubahan volume ekspor dan impor barang dan jasa yang bersumber dari International Monetary Fund (IMF). TRADE = Volume of Exports goods and services,Percent change + Volume of Imports goods and services,Percent change Maka persamaan yang digunakan dalam estimasi pertumbuhan ekonomi pada penelitian ini adalah sebagai berikut : GROWTHit = βᴏQit+ βıLN_DCBSit+ β2LN_DCPSit+ β3LN_M2it + β4GDSit + β5TRADEit + β6GOVit + β7INFit + ɛit
Asumsi Dasar BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengertian, jenis dan uji ekonometrik pada model data panel statis, perlu dijabarkan secara khusus mengenai kriteria pemenuhan asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) bagi model regresi yang baik. Analisis model regresi linier memerlukan dipenuhinya berbagai asumsi agar model dapat digunakan sebagai alat prediksi yang baik. Berbagai masalah yang sering dijumpai dalam analisis regresi adalah Heteroskedastisitas, Autokorelasi, dan Multikolineritas. Heteroskedastisitas Metode OLS baik model regresi sederhana maupun berganda mengasumsikan bahwa variabel gangguan (uᵢ) mempunyai rata-rata nol atau E(uᵢ) = 0, mempunyai varian yang konstan atau Var (uᵢ) = σ² dan variabel gangguan tidak saling berhubungan antara satu observasi dengan observasi lainnya atau Cov (uᵢ , uj ) = 0. Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam model OLS adalah varian bersifat homoskedastisitas atau Var (uᵢ) = σ². Dalam kenyataannya seringkali varian variabel gangguan adalah tidak konstan atau disebut dengan heteroskedastisitas. Data cross-sectional cenderung untuk bersifat heteroskedastik karena pengamatan dilakukan pada individu yang berbeda pada saat yang sama. Berikut adalah dampak Heteroskedastisitas terhadap OLS :
29
1. Estimator metode OLS masih linier 2. Estimator metode OLS masih tidak bias 3. Namun estimator metode OLS tidak lagi mempunyai varian yang menimum dan terbaik (no longer best) 4. Variansi dan taksiran lebih besar 5. Uji t dan F kurang akurat 6. Interval kepercayaan sangat besar 7. Kesimpulan yang kita ambil dapat salah Autokorelasi Secara harfiah autokorelasi berarti adanya korelasi antara anggota observasi satu dengan observasi yang lain yang berlainan waktu. Dalam kaitannya dengan asumsi metode OLS, autokorelasi merupakan korelasi antara satu variabel gangguan dengan variabel gangguan yang lain. Sedangkan salah satu asumsi penting metode OLS berkaitan dengan variabel gangguan adalah tidak adanya hubungan antara variabel gangguan satu dengan variabel gangguan yang lain. Tidak adanya serial korelasi antara variabel gangguan ini sebelumnya dinyatakan: Tidak ada korelasi bila E ( uᵢ, uj) = 0 ; i ≠ j Jika Ada autokorelasi bila E ( uᵢ, uj ) ≠ 0 ; i ≠ j Autokorelasi dapat berbentuk autokorelasi positif dan autokorelasi negatif. Dalam analisis runtut waktu, lebih besar kemungkinan terjadi autokorelasi positif, karena variabel yang dianalisis biasanya mengandung kecenderungan meningkat, misalnya IHSG dan Kurs. Autokorelasi terjadi karena beberapa sebab. Menurut Gujarati (2006), beberapa penyebab autokorelasi adalah: 1. Data mengandung pergerakan naik turun secara musiman, misalnya IHSG kadang meningkat dan kadang menurun 2. Kekeliruhan memanipulasi data, misalnya data tahunan dijadikan data kuartalan dengan membagi empat 3. Data runtut waktu,yang meskipun bila dianalis dengan model yt = a + bXt+et karena datanya bersifat runtut, maka berlaku juga yt-1 = a + bXt-1 + e t-1 4. Data yang dianalisis tidak bersifat stationer. Dengan demikian akan terjadi hubungan antara data sekarang dan data periode sebelumnya. Apabila data yang kita analisis mengandung autokorelasi, maka estimator yang kita dapatkan memiliki karakteristik berikut ini: a. Estimator metode kuadrat terkecil masih linier b. Estimator metode kuadrat terkecil masih tidak bias c. Estimator metode kuadrat terkecil tidak mempunyai varian yang minimum (no longer best)
30
Seperti halnya pengaruh heteroskedastisitas, autokorelasi juga akan menyebabkan estimator hanya LUE, tidak lagi BLUE. Multikolinearitas Salah satu asumsi yang digunakan dalam metode OLS adalah tidak ada hubungan linier antara variabel bebas. Adanya hubungan antara variabel bebas dalam satu regresi disebut dengan multikolinearitas. Multikolinearitas terjadi hanya pada persamaan regresi berganda. Ada kolinieritas antara Xı dan X2:X1 = γ X2 atau X2= γˉ¹Xı Xı = X2 + X3 ( terjadi perfect multicollinearity) X2 = 4 X1 (perfect multicollinearity ) X3 = 4 X1 + bilangan random (tidak perfect multicollinearity) Jika dua variabel bebas atau lebih saling memengaruhi, masih bisa menggunakan metode OLS untuk mengestimasi koefisien persamaan regresi dalam mendapatkan estimator yang BLUE. Estimator yang BLUE tidak memerlukan asumsi terbebas dari masalah Multikolinearitas. Estimator BLUE hanya berhubungan dengan asumsi tentang variabel gangguan. Ada dua asumsi penting tentang variabel gangguan yang memengaruhi sifat dari estimator yang BLUE. 1. Varian dari variabel gangguan adalah tetap atau konstan (homoskedastisitas) 2. Tidak adanya korelasi atau hubungan antara variable gangguan satu observasi dengan variabel gangguan observasi yang lain atau sering disebut tidak ada masalah autokorelasi Jika variabel gangguan tidak memenuhi kedua asumsi variabel gangguan tersebut, maka estimator yang kita dapatkan dalam metode OLS tidak lagi mengandung sifat BLUE. Adanya Multikolinearitas masih menghasilkan estimator yang BLUE, tetapi menyebabkan suatu model mempunyai varian yang besar. Berikut adalah akibat adanya multikolinieritas pada model regresi : 1. Variansi besar (dan taksiran OLS) 2. Interval kepercayaan lebar (variansi besar SE besar Interval kepercayaan lebar) 3. t rasio tidak signifikan, 4. R² tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t. Dengan demikian, asumsi dasar BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) harus dipenuhi terlebih dulu sebelum melakukan pemodelan dengan data panel statis agar mampu menghasilkan estimasi yang baik secara ekonomi dan statistik.
31
Pemilihan Model Estimasi Menurut Gujarati (2003), data panel (pooled data atau longitudinal data) merupakan gabungan antara data cross section dan data time series, sehingga dalam data panel jumlah observasi merupakan hasil kali observasi deret waktu (t>1) dengan observasi kerat lintang (n>1). Menurut Firdaus (2012), model data panel yang baik sebaiknya memiliki nilai derajat bebas (db) yang lebih besar dari dua puluh lima (db>25). Model data panel dengan db<25 dianggap belum representatif untuk menghasilkan estimasi data panel yang baik, sehingga perlu dilakukan penambahan jumlah data cross section (n) dan data time series (t), untuk meningkatkan derajat bebas pada model. Berikut adalah rumus perhitungan derajat bebas (degree of freedom) untuk pemodelan data panel. db = n-k-1 dimana: n = jumlah data panel (nxt) k = jumlah variabel bebas Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section, maka disebut unbalanced panel. Menurut Firdaus (2012), Micro Panel atau perhitungan panel mikro dilakukan pada kecenderungan jumlah n besar dan t kecil, untuk estimasi ekonometrika industri dan rumahtangga. Sebaliknya, Macro panel atau perhitungan panel makro dilakukan pada kecenderungan n kecil dan t besar untuk analisis fenomena ekonomi advanced dan emerging market misalnya untuk PPP (Purchasing Power Parity), GNI dan lain sebagainya yang sebagai contoh, banyak bersumber di World Development Indicator. Sedangkan bila n dan t samasama besar biasanya digunakan untuk kasus produksi serta ekspor-impor produk pertanian. Keuntungan menggunakan teknik panel data menurut Baltagi (1995) adalah sebagai berikut : (1) Dapat mengendalikan heterogenitas individu (2) Dengan mengkombinasikan observasi berdasarkan deret waktu dan kerat lintang, maka data panel memberikan informasi yang lebih lengkap, bervariasi, kolienaritas antar variabel menjadi berkurang, serta memperbesar derajat kebebasan, sehingga lebih efisien (3) Dapat meneliti karakteristik individu yang mencerminkan dinamika antarwaktu dari masing-masing variabel bebas, sehingga analisis lebih komprehensif dan mencakup hal-hal yang mendekati realitas (4) Data panel dapat digunakan dalam membangun dan menguji model perilaku yang lebih kompleks. Disamping memiliki keuntungan, model data panel juga memiliki beberapa kekurangan (Baltagi, 1995), yaitu:
32
(1) Masalah koleksi data dan efisien (2) Kemungkinan distorsi dari kesalahan pengukuran (3) Dimensi seri waktu yang lebih pendek Model estimasi data panel pada dasarnya terbagi atas dua jenis yakni model data panel statis dan model data panel dinamis yang identik dengan pendekatan GMM (Generalized Method of Moments). Model data panel statis secara lebih khusus, menurut Gujarati (2006), terdiri atas tiga pendekatan yakni Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) atau LSDV dan Random Effect Model (REM). Pendekatan PLS kurang ideal digunakan dalam pemodelan data panel statis, sehingga seringkali pemilihan alternatif model data panel statis terbaik mengacu hanya pada FEM dan REM. Berikut akan dijabarkan mengenai pendekatan FEM dan REM pada model data panel statis. - Pendekatan Model Efek Tetap (Fixed Effect) Metode fixed effect digunakan ketika antara efek individu dan variabel penjelas memiliki korelasi dengan variabel Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Metode ini mempertimbangkan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat mengakibatkan perubahan dalam intersep-intersep cross section dan time series. Untuk memungkinkan adanya perubahan intersep ini, dapat ditambahkan variabel dummy (D) ke dalam model yang selanjutnya akan diduga dengan model OLS (Ordinary Least Square). Model yang digunakan adalah: Yit= ƩaiDi + ßXit +ɛit Estimasi metode fixed effect dapat dilakukan dengan tanpa pembobot (noweighted) atau dengan pembobot (cross section weight) yang biasa disebut General Least Square (GLS). Tujuan dilakukan pembobotan adalah untuk mengurangi heterogenitas antar unit cross section (Gujarati 2006). Metode ini mampu menangkap keragaman individu dengan sangat baik dibandingkan dengan alternatif pemodelan data panel statis lain. - Pendekatan Model Efek Acak (Random Effect) Dalam metode random effect atau error component model, parameter yang berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error. Persamaan umum dalam model random effect yaitu : Yit= ai + ßXit +ɛit ɛit = uit + Vit + Wit Dimana :
uit ~ N (0,δu²) = komponen cross section error Vit ~ N (0,δv²) = komponen time series error Wit ~ N (0, δw²) = komponen combinations error
Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah error secara individual tidak saling berkorelasi, begitu pula dengan error kombinasinya.
33
Untuk menentukan model pendekatan yang terbaik dalam data panel statis, perlu dilakukan uji ekonometrika tertentu yakni dengan menggunakan Uji Chow, Uji Hausman, dan Uji LM (Breusch – Pagan). Beberapa peneliti tidak melakukan Uji Chow dalam penentuan model data panel statis, melainkan langsung mengacu pada hasil Uji Hausman untuk memilih model terbaik antara FEM dan REM. Uji Hausman dijelaskan sebagai berikut. Uji Hausman Uji Hausmann merupakan pengujian statistik untuk dasar pemilihan menggunakan model fixed effect atau model random effect. Pengujian ini akukan dengan hipotesis berikut: H0: Random Effect Model H1: Fixed Effect Model Dasar penolakan hipotesis nol adalah dengan menggunakan nilai statistic Hausmann dan membandingkannya dengan Chi-Square. Jika nilai statistik-H lebih ar dari X² (k), maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0, hingga model yang digunakan adalah fixed effect, begitu pula sebaliknya. Nilai statistik-H didapat dari persamaan berikut: H = (ßREM– ßFEM) (MFEM – M Dimana: ß ßREM MFEM MREM k
= = = = =
X²(k)
vektor statistik variabel random effect vektor statistik variabel fixed effect matriks kovarians untuk dugaan model fixed effect matriks kovarians untuk dugaan model random effect derajat bebas
Kriteria Uji Setelah menemukan model estimasi data panel yang paling tepat berdasarkan uji ekonometrika seperti yang telah dijelaskan di atas, maka selanjutnya akan dilakukan tiga uji kriteria terhadap parameter tersebut, yakni uji statistik, uji konometrika, dan uji ekonomi. -Uji Statistik Uji Statistik digunakan untuk menganalisis kesesuaian model regresi yang diperoleh. Uji statistik terdiri atas nilai koefisien determinasi, uji-F, dan uji-T. Koefisien determinasi (R²) digunakan untuk mengukur seberapa besar keseluruhan variabel bebas yang digunakan dalam penelitian dapat menjelaskan keragaman variabel terikat. Nilai R² berkisar 0< R²<1, dimana semakin mendekati satu, maka model semakin baik. Uji-F dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas yang digunakan secara bersama-sama signifikan berpengaruh terhadap variabel terikat. Hipotesis pengujian yang digunakan adalah: H0 : ß1= ß2= ........... = ßk = 0
34
H1 : minimal ada satu ßk ≠ 0 Jika F-statistic > F α(k-1,nt-n-k) atau Prob(F-statistic) < taraf nyata (α), maka tolak H0, yang berarti dengan tingkat kepercayaan 1-α dapat disimpulkan bahwa variabel bebas yang digunakan di dalam model secara bersama-sama signifikan memengaruhi variabel terikat, begitu pula sebaliknya. Uji-t digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Hipotesis pengujiannya adalah: H0 : ß = 0 H1 : ßk ≠ 0 Jika nilai t-statistic > t α/2(nt-k-1), maka tolak H0, yang berarti dengan tingkat kepercayaan 1-α dapat disimpulkan bahwa variabel bebas ke-k secara parsial memengaruhi variabel terikat, begitu pula sebaliknya. -Uji Ekonometrika , Uji Ekonometrika dilakukan untuk memastikan model estimasi regresi linear yang dihasilkan bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Estimator yang bersifat BLUE adalah estimator yang merupakan fungsi linear atas sebuah variabel terikat yang stokastik, estimator tidak bias atau nilai ekspektasi sesuai dengan nilai sebenarnya, dan estimator memiliki varians yang minimum sehingga bersifat efisien. Untuk memastikan estimator bersifat BLUE, maka harus dilakukan uji asumsi yang memastikan estimator menyebar normal dan bebas dari masalah heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas (Gujarati 2006). Uji asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Uji normalitas dapat dilakukan dengan uji Jarque Bera dengan hipotesis berikut: H0: a = 0 (error term terdistribusi normal) H1: a ≠ 0 (error term tidak terdistribusi normal) Jika nilai Jarque Bera < x² df2 atau probabilitas (p-value) > taraf nyata (α), maka terima H0 yang berarti residual eror (error term) terdistribusi normal. Uji asumsi homoskedastisitas dilakukan untuk melihat apakah varians setiap unsur error adalah suatu angka konstan yang sama dengan δ² atau var(uᵢ =δ².Jika uji asumsi terpenuhi, maka hasil estimasi terbebas dari masalah heteroskedastisitas, yakni varians error tidak konstan. Jika nilai Sum Square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari Sum Square Resid pada Unweighted Statistics maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas. Uji asumsi autokorelasi dilakukan untuk memastikan tidak terjadi korelasi antar error dari periode waktu (time series) yang berbeda. Suatu model dapat dikatakan terbebas dari masalah autokorelasi jika nilai statistik Durbin-Watson (DW) terletak di area non-autokorelasi, yaitu diantara dua nilai titik kritis batas atas (dU) dan batas bawah (dL). Selang nilai DW-Stat (d) dan keputusannya adalah sebagai berikut (Gujarati 2006) :
35
Secara manual, perhitungan uji Durbin Watson dapat dilakukan dengan menggunakan rumus : d = 2-2(r) Dimana, r = koefisien korelasi pearson ( -1 ≤ r ≤ 1 ) dan d = DW-Stat ( 0 ≤ d ≤ 4 ). Pada saat r = 0, d = 2, artinya tidak ada korelasi Pada saat r = 1, d = 0, artinya ada korelasi positif Pada saat r = -1, d = 4, artinya ada korelasi negatif Berdasarkan hasil perhitungan DW-Stat baik secara manual maupun berdasarkan hasil output perhitungan software ekonometrik, dapat disimpulkan ada tidaknya masalah autokorelasi dalam model berdasarkan kriteria uji Durbin-Watson sebagai berikut :
Jika nilai d berada antara 0 sampai 1,10 autokorelasi positif Jika nilai d berada antara 1,10 sampai 1,54 Jika nilai d berada antara 1,54 sampai 2,46 tidak ada autokorelasi Jika nilai d berada antara 2,46 sampai 2,90 Jika nilai d berada antara 2,90 sampai 4 autokorelasi negatif .
Tolak
Ho,
berarti
ada
Tidak dapat diputuskan Tidak menolak Ho, berarti Tidak dapat diputuskan Tolak Ho, berarti ada
Uji multikolinearitas dilakukan untuk memastikan tidak terdapat hubungan linier antar variabel bebas. Indikasi terjadinya multikolinearitas adalah jika koefisien parameter dari t-statistik banyak yang tidak signifikan sementara F statistiknya signifikan. Selain itu, indikasi adanya multikolinearitas juga dapat diidentifikasi dengan melakukan Correlation-Test atau Uji Klein pada variabelvariabel penelitian. Masalah ini dapat diatasi dengan cara menghilangkan variabel yang tidak signifikan, mentransformasikan data, dan menambah variabel. Namun dalam metode data panel, pelanggaran asumsi multikolinearitas tidak menyebabkan model menjadi tidak BLUE. - Uji Ekonomi Uji ekonomi dilakukan dengan mencocokan tanda dan besaran koefisien dalam model dengan teori ekonomi. Jika tanda dan besaran hasil estimasi sesuai dengan teori ekonomi mengenai pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikatnya, maka model dapat dikatakan baik secara ekonomi.
36
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Sektor Jasa Keuangan di Indonesia dan Pasar ASEAN+6 Arus Bebas Jasa (Free Flows of Services), termasuk Jasa Keuangan di dalamnya, telah dicanangkan oleh para pemimpin negara-negara ASEAN sebagai salah satu pilar utama dari pembentukan satu pasar tunggal dan basis produksi di kawasan Asia Tenggara, yakni Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). Percepatan pembentukan MEA dari tahun 2020 menjadi 2015 menjadi suatu tantangan yang harus ditangani sebaik mungkin dalam upaya mengejar target liberalisasi finansial dalam tenggat waktu yang ditentukan (Kemenkeu 2012). Menuju MEA 2015, Pemerintah Indonesia dan segenap pihak terkait telah berupaya meningkatkan kinerja sektor finansial di Indonesia. Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan (KEMENKEU), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) merupakan pihak-pihak yang andil besar dalam mengelola kerangka Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), dan Kerangka Kebijakan Macroprudential di tanah air baik mencakup ranah sistem perbankan maupun non-perbankan. Setelah berdirinya Superbody Nations Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka per-31 Desember 2012 Otoritas Lembaga Keuangan Non Bank yang semula dipegang BAPEPAM-LK serta Otoritas Lembaga Keuangan Bank yang semula dipegang oleh Bank Indonesia, per-31 Desember 2013 lalu telah diserahkan menjadi bagian dari wewenang OJK. Dengan demikian pengawasan pasar modal dan pasar uang perbankan dan non-perbankan secara keseluruhan akan menjadi bagian dari wewenang OJK sebagai Non-Systemically Important Institution secara microprudential, dimana Bank Indonesia sebagai Systemically Important Institution, tetap menjalankan peranannya sebagai otoritas moneter dan memegang fungsi macroprudential (Pusat Riset dan Edukasi BI 2013). Koordinasi antara badan-badan pemerintah terkait berupaya untuk meningkatkan kinerja sektor finansial Indonesia melalui beberapa upaya diantaranya adalah penetapan Basel III untuk sektor perbankan, menggalakkan inklusi finansial (financial inclusion) atau perluasan akses jasa keuangan bagi semua segmen populasi agar mampu membuka peluang keuangan dan usaha kecil (BAPPENAS 2013), mengelola inovasi sistem pembayaran baik dengan branchless banking, mobile payment dan e-money, serta mengupayakan pembentukan cross border banking atau transaksi internasional lembaga keuangan (Pusat Riset dan Edukasi BI 2013). BAPPENAS secara khusus mencanangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Sektor Keuangan 2010-2014 dengan menjadikan inklusi finansial sebagai fokus utama dalam RPJM tersebut (BAPPENAS 2013). RPJM tersebut mencakup tiga hal utama yakni: 1. Meningkatkan ketahanan sektor keuangan. – Koordinasi otoritas Fiskal – Moneter. – Penyiapan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan. 2. Mempercepat fungsi intermediasi dan penyaluran dana masyarakat.
37
– Memperluas produk jasa keuangan. – Diversifikasi sumber pendanaan (IIF, IIGF.) 3. Meningkatkan akses terhadap lembaga jasa keuangan terutama kepada masyarakat miskin. Secara umum sektor keuangan Indonesia masih sangat didominasi oleh kontribusi dominan dari sektor perbankan di atas kontribusi sektor non-perbankan, walau sempat menurun pada semester I 2013 lalu. Pangsa pasar industri perbankan semester I 2013 sebesar 77,9 persen, sempat menurun tipis dibandingkan dengan pangsa semester II 2012 sebesar 78,3 persen. Penurunan pangsa ini terjadi terutama karena mulai meningkatnya aset lembaga keuangan non bank seperti perusahaan pembiayaan, asuransi, perusahaan modal ventura dan pegadaian. Ke depan, peran lembaga keuangan bukan bank di Indonesia diharapkan dapat semakin meningkat melalui upaya financial deepening dengan semakin meningkatnya minat masyarakat Indonesia terhadap produk-produk keuangan di luar produk perbankan (BI 2013).
Gambar 10. Komposisi Aset Lembaga Keuangan Indonesia Tahun 2013 Sumber : Kajian Stabilitas Keuangan Bank Indonesia (2013)
Berdasarkan diagram komposisi aset lembaga keuangan Indonesia yang disajikan dalam Gambar 10, dapat dianalisis bahwa komposisi aset lembaga keuangan di Indonesia didominasi oleh sektor perbankan hingga mencapai aset 77.9 persen, asuransi mencapai 10.8 persen dan perusahaan pembiayaan mencapai 6.8 persen. Masih tingginya dominansi sitem perbankan dalam sistem keuangan Indonesia inilah yang menyebabkan stabilitas institusi perbankan menjadi bagian yang sangat penting dalam penilaian stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan (BI 2013). Berdasarkan informasi pada Tabel 5, walaupun aset lembaga keuangan dimiliki secara dominan oleh sektor perbankan, asuransi dan perusahaan pembiayaan namun jumlah unit lembaga keuangan di Indonesia justru didominansi oleh Bank Perkreditan Rakyat, Dana Pensiun dan lembaga nonperbankan lainnya yang notabene tidak mendominasi kepemilikan aset lembaga keuangan secara maksimal.
38
Tabel 5. Jumlah Lembaga Keuangan Indonesia Tahun 2013 Lembaga Keuangan Perbankan BPR Asuransi Dana Pensiun Perusahaan Pembiayaan Perusahaan Modal Ventura Perusahaan Penjamin Manager Investasi Pegadaian
Jumlah Lembaga Keuangan 120 1.640 139 268 197 89 7 73 1
Sumber : Bank Indonesia dan OJK (2013)
Berdasarkan data dan informasi pada Gambar 11, dapat terlihat bahwa pada sektor keuangan Indonesia terdapat tren pertumbuhan PDB, jumlah uang beredar (M2), Dana, serta Kredit cenderung terus mengalami penurunan bila dibandingkan dengan kondisinya pada 2011 dan 2012. Pelemahan output ekonomi domestik akibat guncangan isu dan realisasi tapering off dan pelemahan nilai tukar, menyebabkan beberapa komponen penentu jumlah uang beredar (M2) ikut melemah. Pelemahan M2 disebabkan oleh penurunan kredit tagihan perusahaan dan rumahtangga, pelemahan laju pertumbuhan kredit kegiatan produksi, pelemahan daya beli masyarakat, perlambatan pangsa total kredit perbankan dan pertumbuhan negatif aktiva luar negeri bersih. Kenaikan suku bunga dana sebagai respon kebijakan moneter kontraktif BI tetap tak mampu meningkatkan volume penghimpunan dana masyarakat, akibat pelemahan output ekonomi. Peningkatan suku bunga dana juga tidak direspon positif oleh suku bunga kredit (BI 2013).
Gambar 11. Perkembangan Pertumbuhan Uang Beredar, Dana, Kredit dan PDB (%;yoy) Indonesia Tahun 2013 Sumber : Bank Indonesia (2013)
39
Walau tren pertumbuhan kredit domestik Indonesia memang cenderung turun, namun aliran dana kredit perbankan tetap diusahakan menyentuh seluruh sektor usaha baik korporasi maupun rumahtangga. Seperti yang tercantum dalam UU No.13/1968 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia mempunyai tugas pokok “ membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah; Mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat”. Tugas pokok inilah yang selanjutnya direalisasikan melalui penetapan berbagai kebijakan perbankan di bidang perkreditan yang dicanangkan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral (BI 2008). Sebagian besar kredit perbankan yang disalurkan kepada korporasi, disalurkan dalam bentuk modal kerja dan investasi. Kredit kepada korporasi dalam bentuk modal kerja mencapai 64,3 persen. Dari total kredit, kredit yang disalurkan kepada korporasi sebesar Rp.1.660,5 triliun, dimanfaatkan untuk keperluan modal kerja sebesar Rp.1.068,5 triliun, kegiatan investasi sebesar Rp.550 triliun dan keperluan konsumsi sebesar Rp42,1 triliun. Sedangkan menurut data dalam BI (2013), apabila dilihat dari sektor ekonomi, kredit korporasi lebih banyak digunakan antara lain pada sektor Perindustrian (27,1%), sektor jasa-jasa (24,6%) dan sektor Perdagangan, hotel, restoran (17,6%). Tabel 6. Fasilitas Kredit yang Diberikan Kepada Korporasi Menurut Jenis Kredit (per-Agustus 2013)
Sumber : Sistem Informasi Debitur per Agustus 2013, Bank Indonesia (2013)
Selain menyalurkan kredit kepada sektor korporasi, kredit domestik perbankan Indonesia juga disalurkan ke sektor rumahtangga. Pada Gambar 12, terlihat bahwa dari sisi penggunaan, sebagian besar kredit kepada sektor rumah tangga dialokasikan untuk kredit perumahan (43.64%), diikuti oleh kredit multiguna (37.15%), dan kredit kendaraan (15.22%). Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan kredit secara keseluruhan di Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas, perlambatan pertumbuhan juga terjadi pada seluruh jenis kredit rumah tangga, bahkan pertumbuhan negatif terjadi pada kredit kendaraan (dari 15,81% menjadi -8,17%) dan kredit pembelian peralatan rumah tangga (seperti furnitur, televisi, alat elektronik, komputer, alat komunikasi dan peralatan rumah tangga lainnya) yaitu dari 50,76 persen menjadi -50,97 persen (BI 2013).
40
Gambar 12. Komposisi Kredit Sektor Rumahtangga Menurut Jenisnya (per-Juni2013) Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum, Bank Indonesia (2013)
Sebagai upaya untuk mendukung pencapaian dalam MEA Blueprint, sektor jasa keuangan ASEAN terus berbenah. Fokus kerja sama ASEAN masih dititikberatkan pada upaya pencapaian MEA 2015 khususnya pencapaian Roadmap for Monetary and Financial Integration (RIA-Fin). Perkembangan pembahasan terkait pencapaian RIA-Fin antara lain mencakup bahasan financial services liberalisation, capital account liberalisation, serta capital market development. Dalam area financial services liberalisation, fokus utama kerja sama adalah pada upaya sektor keuangan untuk menyelesaikan putaran perundingan ASEAN Framework Agreement of Services (AFAS) yang ke-6 untuk mencapai target penandatanganan Protokol AFAS pada 2014 oleh seluruh Menteri Keuangan ASEAN. Lebih lanjut, upaya integrasi di sektor jasa keuangan, baik perbankan, asuransi, maupun pasar modal terus dilakukan melalui forum negosiasi di bawah naungan AFAS, baik intra-ASEAN maupun ASEAN dengan negaranegara mitra dialog (BI 2013). Dalam area capital account liberalization serta capital market development, telah disusun sebuah heat map yang dapat menggambarkan kondisi keterbukaan rezim aliran modal masing-masing negara dalam rangka pencapaian freer capital mobility guna mendukung perdagangan dan investasi intra kawasan serta promosi pasar kawasan dengan ekonomi global. Namun demikian seiring dengan terbukanya rezim aliran modal suatu negara, kemampuan untuk menerapkan kebijakan aliran modal menjadi terbatas. Terkait dengan hal tersebut, negara-negara anggota ASEAN, telah menyepakati perlunya sebuah policy dialogue mengenai safeguard measures guna mengidentifikasi risiko makroekonomi dan stabilitas keuangan yang dihadapi (BI 2013). Pada kawasan kerjasama ekonomi dan perdagangan ASEAN+6 terdapat kondisi umum sektor jasa keuangan yang cukup kompleks karena melibatkan
41
negara-negara dengan performa perekonomian yang berbeda-beda. Beberapa negara maju memiliki kondisi jasa keuangan yang jauh lebih baik meninggalkan beberapa negara berkembang. Berikut dalam Tabel 7 ditampilkan skor indeks dan peringkat Indeks Pembangunan Finansial Tahun 2011 untuk negara-negara ASEAN+6. Perhitungan nilai Indeks Pembangunan Finansial didasarkan atas tujuh pilar perhitungan yakni lingkungan institusional, lingkungan bisnis, stabilitas keuangan, jasa keuangan perbankan, jasa keuangan non-perbankan, pasar keuangan dan akses keuangan (WEF 2011). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, Singapura memiliki skor indeks terbesar dan menjadi salah satu negara berperingkat teratas dalam pemeringkatan indeks pembangunan finansial dunia, diikuti oleh Australia, Jepang, Malaysia, Korea Selatan dan Indonesia pada posisi terendah. Tabel 7. Indeks Pembangunan Finansial ASEAN+6 Tahun 2011 Negara Ranking 2011 Skor Indeks 2011 (1-7) Singapura 4 4.97 Australia 5 4.93 Jepang 8 4.71 Malaysia 16 4.24 Korea Selatan 18 4.13 Cina 19 4.12 Thailand 35 3.32 India 36 3.29 Filipina 44 3.13 Indonesia 51 2.92 Sumber : The Financial Development Report WEF (2011)
Tidak jauh berbeda dengan kondisi komposisi aset lembaga keuangan Indonesia, pada pasar ASEAN+6 representatif oleh Singapura, pasar keuangan di negara tersebut masih didominasi oleh lembaga keuangan perbankan. Sebesar 68.2 persen kepemilikan aset dikuasai oleh lembaga perbankan, kemudian diikuti dengan kepemilikan 26.6 persen aset oleh institusi intermediasi keuangan nonperbankan, serta kepemilikan 4.8 persen aset perusahaan asuransi dan 0.4 persen perusahaan keuangan lain. Institusi intermediasi keuangan non-perbankan mencakup kepemilikan aset pada usaha pendanaan investasi (22.1%), hedging (3.2%), aset broker-dealer (1%) dan lain sebagainya seperti tertera pada Gambar 13. Dominansi perbankan terjadi pada pasar keuangan Singapura dan Indonesia, namun ruang gerak bagi lembaga keuangan non-perbankan di Singapura terbilang lebih luas dan mampu memaksimalkan layanan jasa keuangan untuk produk turunan finansial seperti investasi dan hedging, berbeda halnya dengan Indonesia yang belum banyak mengembangkan produk turunan finansial pada pasar keuangannya.
42
Gambar 13. Komposisi Aset Lembaga Keuangan Singapura Tahun 2013 Sumber : Financial Stability Review MAS (2013)
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, pada pasar ASEAN+6 didapakan pola pertumbuhan GDP perkapita yang masih mengalami tren yang fluktuatif baik pada kondisi pertumbuhan GDP perkapita intra-ASEAN maupun pada negara-negara mitra kerjasama ASEAN+6 lainnya. Pertumbuhan GDP Per kapita di kawasan intra-ASEAN masih cenderung divergen atau memiliki pola yang berbeda dan menyebar antarnegara. Pada tahun 2010, Singapura sempat mencapai puncak pertumbuhan GDP Perkapita di kawasan intra-ASEAN, namun setelah periode itu, pertumbuhan GDP Perkapita Singapura terus turun. Pertumbuhan GDP Perkapita Indonesia justru relatif stabil dari tahun 2004 hingga 2012, bahkan cenderung meningkat di tahun 2012.
Gambar 14. Pertumbuhan GDP Perkapita ASEAN+6 (Intra-ASEAN) Tahun 2004-2012 Sumber : World Development Indicator (2014), (diolah).
43
Berbeda dengan itu, pola pertumbuhan GDP Perkapita pada negara-negara mitra kerjasama ASEAN+6 memang tetap fluktuatif namun cenderung mengarah pada pola konvergen atau penyamaan level, terutama saat memasuki tahun 2012. Cina dan India sebagai kekuatan ekonomi baru Asia mendominasi tingkat pertumbuhan GDP Perkapita di atas rata-rata negara mitra kerjasama ASEAN+6 lainnya. Data dan informasi grafis disajikan dalam Gambar 15.
Gambar 15. Pertumbuhan GDP Perkapita Negara-Negara Mitra Kerjasama ASEAN+6 Tahun 2004-2012 Sumber : World Development Indicator (2014), (diolah)
Variabel pembangunan finansial yang merupakan indikator pembangunan finansial suatu negara seperti yang digunakan dalam penelitian Hassan et al. (2010), meliputi variabel kredit domestik oleh sektor perbankan, kredit domestik untuk sektor swasta, jumlah uang beredar (M2) dan simpanan kotor domestik. Berdasarkan data dan informasi grafis pada gambar-gambar di bawah ini dapat dianalisis kondisi pembangunan finansial negara-negara ASEAN+6 dari tahun 1960 hingga 2011. Berdasarkan data dan informasi grafis pada Gambar 16, dapat dianalisis pola dan kondisi Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan atau Domestic Credit provided by Banking Sector (DCBS) pada negara-negara anggota ASEAN+6. Sejak tahun 1960 hingga 2011. DCBS memiliki tren pertumbuhan yang kian meningkat bersamaan dengan peningkatan pembangunan sistem finansial di dunia. Dari tahun 1960 hingga 2011 dapat dianalisis bahwa posisi DCBS Jepang selalu dominan dan lebih tinggi proporsinya dibandingkan negara-negara ASEAN+6 lainnya, bahkan cenderung kian meningkat pada tahun 2011. Berkebalikan dengan itu, Brunei Darussalam justru menunjukkan performa DCBS yang kian menurun pada tahun 2011. Artinya dalam pasar ASEAN+6, Jepang merupakan negara yang memiliki performa pasar keuangan perbankan yang cukup baik dengan proporsi ketersediaan kredit domestik perbankan terbesar di antara negara lain.
44
Gambar 16. Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan atau Domestic Credit Provided by Banking Sector (% of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011 Sumber : Indeks Mundi (2014), (diolah)
Tak berbeda jauh dengan tren DCBS sebelumnya, kondisi dan posisi kredit domestik untuk sektor swasta atau Domestic Credit to Private Sector (DCPS) di pasar ASEAN+6 juga menunjukkan pola yang sama. Sejak tahun 1960 hingga 2011 tren DCPS di negara-negara ASEAN+6 kian meningkat secara lebih pesat dibandingkan DCBS bersamaan dengan era pembangunan finansial dunia. Sama seperti pada DCBS sebelumnya, Jepang masih merupakan negara yang dominan dalam kepemilikan dan performa DCPS terbesar dan terbaik di antara negaranegara ASEAN+6 lainnya. Berkebalikan dengan itu, Indonesia, Filipina dan Brunei justru memiliki performa DCPS yang relatif rendah dibandingkan negaranegara ASEAN+6 lainnya. Artinya, dalam pasar ASEAN+6, Jepang merupakan negara yang memiliki insentif besar terhadap pengembangan sektor swasta dan usaha, dengan proporsi pembiayaan sektor swasta dan usaha terbesar. Sedangkan Indonesia, Filipina dan Brunei Darussalam justru tidak demikian. Data grafis dapat dilihat pada Gambar 17. Demikian halnya dengan kondisi jumlah uang beredar (M2), sejak tahun 1960 hingga 2011, tren peredaran M2 di negara-negara anggota ASEAN+6 kian meningkat seiring perkembangan pembangunan jasa finansial di dunia. Jepang masih mendominasi tingkat perputaran jumlah uang beredar di ASEAN+6 kemudian diikuti dengan Cina dan Malaysia. Sedangkan Indonesia justru memiliki performa M2 yang relatif rendah dibandingkan negara-negara anggota ASEAN+6 lainnya.
45
Gambar 17. Kredit Domestik untuk Sektor Swasta atau Domestic Credit to Private Sector (% of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011 Sumber : Indeks Mundi (2014), (diolah)
Artinya, pertumbuhan jumlah uang beredar dan perputaran uang beredar, baik melalui peningkatan volume perdagangan dan investasi yang begitu besar, terjadi pada negara Jepang, Cina dan Malaysia. Data dan informasi grafis disajikan dalam Gambar 18.
Gambar 18.Jumlah Uang Beredar (M2) (% of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011 Sumber : Indeks Mundi (2014), (diolah)
Simpanan kotor domestik atau Gross Domestic Savings (GDS) sebagai variabel indikator pembangunan finansial terakhir dalam penelitian ini juga dianalisis berdasarkan Gambar 19, sejak tahun 1960 hingga 2011. Berbeda dengan
46
pola dan tren yang terjadi pada DCBS, DCPS, dan M2 sebelumnya, sejak tahun 1960 hingga 2011, tren GDS memang terus naik namun dalam porsi yang sangat kecil dan lambat. Selain Jepang dan Cina dengan tingkat GDS yang kian tumbuh pesat, negara-negara ASEAN+6 lainnya memiliki proporsi GDS yang naik sangat lambat dan cenderung statis. Secara umum, negara berkembang memiliki proporsi GDS yang rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kontrol kredit dan represi finansial yang seringkali terjadi di negara berkembang yang berimplikasi pada suku bunga simpanan yang tak kompetitif di negara berkembang, sehingga tidak mampu meningkatkan insentif simpanan di negara tersebut. Proporsi GDS Indonesia bahkan akan semakin melemah akibat munculnya kebijakan pengurangan volume simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Indonesia, sebagai akibat dari penetapan suku bunga bank tertentu yang berada di atas LPS rate (MetroTV 2014). Negara-negara ASEAN+6 lain pada umumnya mulai menunjukkan peningkatan performa GDS di era tahun 1996 ke atas secara lambat hingga tahun 2011. Dibandingkan Jepang, GDS Cina menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dan dominan sejak tahun 1996 hingga mencapai level GDS tertinggi pada tahun 2011. GDS sebagai salah satu variabel pembangunan finansial erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin besar proporsi kepemilikan GDS suatu negara akan berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di negara tersebut.
Gambar 19. Simpanan Domestik Kotor atau Gross Domestic Savings (GDS) (% of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011 Sumber : Indeks Mundi (2014), (diolah)
Demikian gambaran mengenai kondisi umum jasa keuangan Indonesia dan ASEAN+6. Secara umum sektor keuangan di Indonesia masih sangat didominansi oleh sektor perbankan dengan pertumbuhan kredit, dana dan jumlah uang beredar (M2) yang cenderung turun, dimana pembiayaan kredit korporasi banyak dialokasikan untuk pembiayaan kerja dan investasi sedangkan kredit rumahtangga
47
paling besar dialokasikan untuk pembiayaan perumahan, multiguna dan kendaraan. Pada pasar ASEAN+6, pertumbuhan GDP Perkapita di negara-negara intraASEAN cenderung divergen (pola menyebar) sedangkan pada negara-negara mitra kerjasama ASEAN+6, justru didapatkan pertumbuhan GDP Perkapita yang cenderung konvergen. Berdasarkan analisis terhadap variabel indikator pembangunan finansial yakni DCBS, DCPS, M2, dan GDS didapatkan fakta bahwa Jepang dan Cina memiliki pembangunan finansial yang sangat baik dan berada di atas rata-rata negara-negara ASEAN+6 lainnya, walaupun tidak menguasai ekspor produk finansial secara masif seperti pada kasus Singapura. Daya Saing dan Keunggulan Komparatif Sektor Jasa Finansial ASEAN+6 Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) merupakan teori yang dikemukakan oleh David Ricardo. Menurutnya, perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Ia berpendapat bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya, sehingga efisiensi dalam produksi dapat tercapai dan keuntungan perdagangan yang di dapat lebih maksimal. Menurut teori keunggulan komparatif, suatu bangsa dapat meningkatkan standar kehidupan dan pendapatannya jika negara tersebut melakukan spesialisasi produksi barang atau jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi, kemudian melakukan kegiatan ekspor atas komoditi yang unggul secara komparatif itu bagi negara tersebut. Sebaliknya, negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif untuk suatu komoditas, disarankan untuk lebih mengoptimalkan ekspor dalam komoditas lain yang memiliki keunggulan komparatif lebih tinggi (Oktaviani dan Novianti 2009). RCA (Revealed Comparative Advantage) merupakan metode yang paling sering digunakan untuk mengukur daya saing kinerja ekspor suatu negara atas komoditi tertentu. RCA juga mampu menggambarkan keunggulan komparatif suatu negara terhadap negara lain, atas perdagangan suatu jenis komoditi. Berikut Tabel 8 menjelaskan nilai indeks RCA sektor jasa finansial dan asuransi di kawasan kerjasama ASEAN+6. Hasil perhitungan indeks RCA dikalkulasikan secara manual berdasarkan data WDI 2014. Jasa finansial dan asuransi yang diperhitungkan dalam model RCA ini meliputi asuransi pengiriman barang ekspor dan asuransi langsung lain seperti asuransi jiwa, jasa intermediasi keuangan seperti komisi, transaksi valuta asing, dan jasa perantara, serta layanan tambahan seperti jasa operasional pasar keuangan dan regulasi (WDI 2014). Perhitungan RCA hanya dilakukan pada rentang tahun 2005 hingga 2012 dikarenakan ketidaktersediaan data ekspor jasa finansial dan asuransi pada tahun 2000 hingga 2004. Berdasarkan hasil perhitungan indeks RCA, untuk kasus Indonesia dapat dianalisis bahwa sejak tahun 2005 hingga 2011 nilai indeks RCA Indonesia cenderung terus turun dan belum pernah mencapai nilai aman dimana RCA > 1, dengan nilai rata-rata RCA yakni 0.12. Implikasinya adalah performa ekspor produk turunan finansial dan asuransi di Indonesia masih lemah, bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN+6 lainnya dalam analisis.
48
Tabel 8. Indeks RCA untuk Ekspor Jasa Finansial dan Asuransi Negara-Negara ASEAN+6 Tahun 2005-2012
Sumber : World Development Indicator 2014 , (diolah) Keterangan : n/a menunjukkan data tidak tersedia
Hal ini terjadi sebagai akibat menurunnya proporsi kredit domestik dan jumlah uang beredar di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir akibat guncangan eksternal perekonomian. Selain itu, sektor jasa keuangan di Indonesia yang masih didominansi transaksi pasar uang, terutama sektor perbankan juga belum mampu membuka peluang bagi produk-produk jasa keuangan nonperbankan lain untuk dapat tumbuh, sehingga berdampak pada daya saing ekspor produk finansial dan asuransi Indonesia yang masih terbilang lemah. Sejauh ini, Indonesia masih berfokus pada pembangunan finansial domestik dan belum mampu berorientasi pada peningkatan ekspor produk finansial dan peningkatan daya saing secara global dengan pasar finansial luar negeri. Hampir sejalan dengan itu, Malaysia dan Filipina juga mengalami kondisi yang kurang lebih sama dengan Indonesia. Indeks RCA atau daya saing ekspor produk jasa finansial dan asuransi Malaysia dan Filipina masih terbilang rendah dengan nilai rata-rata indeks RCA < 1 yakni 0.11 untuk kedua negara. Sejak tahun 2005 hingga 2012, Indeks RCA Filipina dan Malaysia cenderung fluktuatif. Thailand, Brunei, dan Cina justru menunjukkan besaran rata- rata indeks RCA yang sangat kecil yakni 0.07 untuk Thailand dan Brunei serta 0.06 untuk Cina. Besaran indeks RCA Thailand, Brunei dan Cina sejak tahun 2005 hingga 2012, cenderung fluktuatif. Nilai indeks RCA yang rendah untuk ketiga negara menggambarkan keunggulan komparatif dan daya saing ekspor yang rendah atas produk finansial dan asuransi di ketiga negara tersebut. Dibandingkan Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand dan Cina, Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang lebih baik dalam ekspor produk jasa finansial dan asuransi. Bila dibandingkan dengan keunggulan komparatif Indonesia atas ekspor produk jasa finansial dan asuransi, Australia, New Zealand, Jepang dan Korea Selatan lebih unggul. Rata-rata besaran indeks RCA untuk masing-masing negara mencapai 0.52, 0.47, 0.44, dan 0.37 lebih tinggi daripada rataan RCA Indonesia. Namun untuk masing-masing negara sejak tahun 2005 hingga 2012, didapatkan kecenderungan penurunan besaran indeks RCA. Menurut Zulaiha dalam Dewi (2013), keunggulan komparatif bersifat dinamis, dimana jika suatu negara tidak mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara-negara lain, tingkat keunggulan komparatifnya dapat menurun. Faktor-faktor yang dapat mengubah
49
kondisi keunggulan komparatif suatu negara adalah kondisi ekonomi dunia, lingkungan domestik, dan teknologi. Diantara keduabelas negara-negara representatif ASEAN+6, indeks RCA yang menggambarkan keunggulan komparatif tertinggi dalam ekspor jasa finansial dan asuransi adalah Singapura dengan rataan indeks RCA mencapai 1.62 dan India dengan rataan indeks RCA mencapai 0.96. Besaran indeks RCA untuk kedua negara sejak tahun 2005 hingga 2012 cenderung stabil dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Singapura menjadi satu-satunya negara dengan nilai RCA > 1 atau dapat diklasifikasikan sebagai negara dengan keunggulan komparatif tinggi dalam perdagangan jasa finansial dan asuransi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN+6 lainnya. Singapura merupakan negara pendapatan tinggi yang memiliki pembangunan industri sektor jasa keuangan yang jauh lebih maju dan pesat dibandingkan negara-negara ASEAN pada umumnya. Sedangkan India merupakan negara Asia Selatan yang kini menjadi negara ekonomi besar Asia yang baru, setelah Cina. Pada pasar ASEAN+6, Indonesia merupakan negara ketujuh dengan besaran indeks rataan RCA tertinggi setelah Singapura, India, Australia, New Zealand, Jepang dan Korea Selatan. Tak dapat dipungkiri bahwa kesenjangan pembangunan finansial di kawasan intra-ASEAN sangat tinggi, terutama diantara Singapura dan lima negara ASEAN lainnya. Walaupun tak mudah menyamai pembangunan finansial Singapura di kawasan intra-ASEAN maupun dengan negara-negara mitra kerjasama ASEAN+6 lainnya, namun Indonesia masih memiliki peluang untuk terus meningkatkan performa jasa finansial baik di tingkat domestik maupun tingkat regional. Dalam persiapan menjelang liberalisasi jasa finansial dalam MEA 2015 mendatang, waktu yang kurang dari dua tahun ini harus dimanfaatkan sebaikbaiknya oleh Indonesia untuk mampu meningkatkan daya saing jasa finansialnya secara internal maupun eksternal diantara negara-negara ASEAN+6 lainnya. Hubungan Variabel Pembangunan Finansial dan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Penelitian ini menganalisis hubungan GDP Perkapita, variabel pembangunan finansial yakni DCBS, DCPS, M2, dan GDS serta variabel sektor riil yakni Perdagangan, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN+6 dengan menggunakan metode ekonometrik data panel statis pada taraf nyata konsisten lima persen untuk tiga model, yakni Model 1 (Seluruh Negara ASEAN+6), Model 2 (Negara Maju) dan Model 3 (Negara Berkembang). Penelitian ini menjadikan kawasan kerjasama ASEAN+6 sebagai objek penelitian, dengan total 12 negara estimasi (n=12) dalam rentang tahun 2000 hingga 2012 (t=13), sehingga total data dalam penelitian ini mencapai 156 data (nxt=156). Pada Model 1 (Seluruh negara ASEAN+6), derajat bebas (db) data penelitian mencapai db=147 dan memenuhi syarat db>25, sehingga dapat disimpulkan bahwa data panel pada penelitian yang digunakan sangat relevan dan baik untuk dimodelkan lebih lanjut. Pada dasarnya, terdapat perbedaan karakteristik antara negara maju dan negara berkembang karena sistem yang berbeda diantara keduanya. Negara maju dan negara berkembang memiliki perbedaan dalam sektor riil maupun sektor
50
keuangan, sehingga dalam analisis hubungan variabel pembangunan jasa finansial dan pertumbuhan ekonomi, kelompok negara maju dan berkembang ASEAN+6 harus dianalisis secara terpisah. Berdasarkan penggolongan tingkat pendapatan yang merujuk pada definisi WDI (2014), maka keduabelas negara ASEAN+6 dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok negara maju (High Income Countries) yakni negara-negara dengan GNI Perkapita mencapai 38,412 dolar dan kelompok negara berkembang (Low-Middle Income Countries) yakni negara-negara dengan GNI Perkapita mencapai 3,815 dolar. Kelompok negara maju (High Income Countries ) terdiri dari enam negara yakni Singapura, Brunei Darussalam, Jepang, Korea Selatan, New Zealand dan Australia. Sedangkan kelompok negara berkembang (Low-Middle Income Countries) terdiri atas enam negara yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, China dan India. Derajat bebas (db) untuk Model 2 (Negara Maju) dan Model 3 (Negara Berkembang) mencapai db=69 dan masih memenuhi syarat layak pemodelan panel statis dimana db>25. Pada Model 1, estimasi dilakukan dengan terlebih dulu memilih model pendekatan data panel statis terbaik antara REM (Random Effect Model) dan FEM (Fixed Effect Model) dengan melakukan Uji Hausman. Hasil uji menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0470 yang bernilai lebih kecil dari taraf nyata (α) 5 persen. Dengan demikian maka secara ekonometrik cukup bukti untuk menolak Ho. Hasil akhir pemilihan model terbaik berdasarkan Uji Hausman (data terlampir), konsisten mengarah pada keputusan penggunaan metode pendekatan data panel statis terbaik adalah dengan metode FEM. Pada Model 2 dan Model 3 Uji Hausman tidak dapat dilakukan sebab REM tidak dapat dianalisis dalam model. Hal ini terjadi karena jumlah cross section (n) dalam Model 2 dan 3 lebih kecil dari jumlah variabel bebas, sehingga pemilihan model panel terbaik mengarah langsung pada model FEM. Secara umum berdasarkan hasil estimasi pada ketiga model dapat disimpulkan bahwa model tersebut telah memenuhi kriteria Goodness of Fit. Pada Model 1, Model 2 dan Model 3 secara berturut-turut terdapat nilai koefisien determinansi (R-squared) sebesar 0.999728, 0.921122, dan 0.833494. Berdasarkan nilai tersebut, pada Model 1 didefinisikan bahwa sekitar 99,97 persen keragaman pengaruh variabel pembangunan finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 dapat dijelaskan oleh model, sedangkan 0.000272 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Sedangkan pada Model 2 didefinisikan bahwa sekitar 92,11 persen keragaman pengaruh variabel pembangunan finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi negara maju ASEAN+6 dapat dijelaskan oleh model, sedangkan 0.078878 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Kemudian pada Model 3 didefinisikan bahwa sekitar 83,34 persen keragaman pengaruh variabel pembangunan finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi negara berkembang ASEAN+6 dapat dijelaskan oleh model, sedangkan 0.166506 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Faktor-faktor lain yang mungkin memengaruhi hubungan pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi antara lain adalah politik, legal kultural, standar dan hukum akuntansi masing-masing negara bahkan faktor geografis (Levine 2005). Selain itu, nilai probabilitas (Fstatistik) pada ketiga model adalah 0.000000, dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata (α) 5%. Maka dengan tingkat kepercayaan 95%, dapat disimpulkan bahwa GDP Perkapita, DCBS, DCPS, M2, GDS, Perdagangan, Pengeluaran
51
Pemerintah dan Inflasi secara bersama-sama signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Signifikansi pada setiap variabel bebas dalam model juga baik. Tanda koefisien variabel pada model juga secara umum sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku. Selain itu, pemenuhan asumsi BLUE pada ketiga model juga telah dipenuhi. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 9 dan lampiran, didapatkan nilai Durbin-Watson stat yang berada pada nilai rentang bebas autokorelasi untuk ketiga model. Ketiga model juga telah bebas masalah heteroskedasitas (Sum Square Resid Weighted < Sum Square Resid Unweighted). Selain itu, eror pada ketiga model juga telah terdistribusi normal seperti telah diuji dalam uji normalitas (terlampir). Tabel 9. Perbandingan Hubungan Variabel Pembangunan Finansial dan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai Kelompok Negara ASEAN+6 Variabel Bebas
Q LN_DCBS LN_DCPS LN_M2 GDS TRADE GOV INF R-squared Prob (F-Statistic) Durbin-Watson Stat
Model 1 (Seluruh Negara ASEAN+6)
Model 2 (Negara Maju di ASEAN+6)
[-6.70E-05] (0.0000)* [0.212728] (0.0137)* [-3.758937] (0.0000)* [0.654257] (0.0000)* [6.93E-12] (0.0000)* [0.099963] (0.0000)* [-0.094732] (0.0000)* [-0.061840] (0.0000)* 0.999728 0.000000 2.212628
[-7.67E-05] (0.0026)* [1.342159] (0.0380)* [-4.172936] (0.0013)* [0.497404] (0.0086)* [7.82E-12] (0.0419)* [0.141677] (0.0000)* [-0.084231] (0.0002)* [-0.140875] (0.0009)* 0.921122 0.000000 2.330546
Model 3 (Negara Berkembang di ASEAN+6) [0.000261] (0.2969) [4.446616] (0.0010)* [0.058806] (0.9763) [-0.543877] (0.5081) [7.30E-12] (0.0387)* [0.056557] (0.0000)* [0.564432] (0.0017)* [-0.052876] (0.4620) 0.833494 0.000000 2.164198
Keterangan : […] nilai koefisien (…) nilai probabilitas (*) signifikan pada taraf nyata lima persen Berdasarkan tanda dan signifikansi variabel bebas pertama dalam model yakni GDP Perkapita (Q) dapat dianalisis bahwa pada Model 1, pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan GDP Perkapita tahunan) signifikan dipengaruhi oleh tingkat GDP Perkapita di negara-negara anggota ASEAN+6. Pada hasil estimasi Model 1, didapatkan hasil bahwa kenaikan 1 persen pada GDP Perkapita ASEAN+6 akan menyebabkan penurunan persen pada pertumbuhan ekonomi tahun berlaku, ceteris paribus. Sedangkan pada Model 2, GDP Perkapita juga signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dimana kenaikan 1 persen pada GDP Perkapita negara-negara maju ASEAN+6 akan menyebabkan
52
penurunan persen pada pertumbuhan ekonomi tahun berlaku, ceteris paribus. Pada Model 3, GDP perkapita justru tidak signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi negara berkembang ASEAN+6. Dengan besaran koefisien yang demikian, dapat diartikan bahwa perubahan GDP Perkapita memberikan pengaruh negatif yang relatif rendah pada perubahan pola pertumbuhan ekonomi di kawasan kerjasama ASEAN+6. Hasil estimasi ini sesuai dengan teori yang berlaku. Menurut Bakaert et al. dalam Hassan (2010), tingkat GDP Perkapita yang rendah berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dengan asumsi tergantung pada variabel lain. Sebagian besar negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi (negara berkembang) cenderung memiliki tingkat GDP Perkapita yang rendah, Sebaliknya negara maju yang telah mencapai kondisi pertumbuhan ekonomi mapan (Steady State) cenderung memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah dengan level GDP Perkapita masyarakatnya yang tinggi. Sehingga hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan level GDP Perkapita suatu negara tergantung pada kondisi perekonomian negara tersebut. Variabel bebas yang dianalisis selanjutnya adalah variabel pembangunan finansial pertama yakni Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan atau Domestic Credit Provided by Banking Sector (DCBS). Pada Model 1, variabel DCBS signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di kawasan ekonomi ASEAN+6. Tanda positif pada koefisien variabel ini menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat DCBS atau kredit domestik perbankan dengan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6. Pada Model 1, kenaikan 1 persen pada DCBS atau kredit domestik perbankan di kawasan kerjasama ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.21 persen, ceteris paribus. Hal yang sama juga ditemukan pada Model 2 dan Model 3, dimana DCBS signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pada Model 2, kenaikan 1 persen pada DCBS atau kredit domestik perbankan di negara-negara maju ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1.34 persen, ceteris paribus. Sedangkan pada Model 3 kenaikan 1 persen pada DCBS atau kredit domestik perbankan di negara-negara berkembang ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 4.44 persen, ceteris paribus. Hasil estimasi ini sejalan dengan hasil temuan Levine (2005), Hassan et al. (2010) untuk dua penelitian sejenis yang dilakukannya, Mukhlis (2011), serta Marissa (2004), bahwa memang terdapat hubungan positif yang kuat antara kredit domestik terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Levine dalam Hassan (2010), tingkat DCBS yang semakin tinggi berimplikasi pada derajat ketergantungan yang lebih tinggi lagi terhadap pendanaan sektor perbankan di suatu negara. Atau dengan kata lain, tingkat DCBS yang lebih tinggi juga berimplikasi pada derajat pembangunan finansial yang lebih tinggi, karena bank lebih mampu untuk menyediakan pendanaan finansial dengan lebih maksimal. Hasil estimasi tersebut menunjukkan bahwa kredit domestik perbankan di ASEAN+6 berpengaruh cukup besar dalam pembangunan kondisi finansial masing-masing negara hingga berdampak pada peningkatan jumlah uang beredar (M2) dan akhirnya mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Variabel bebas selanjutnya dalam model adalah Kredit Domestik untuk Sektor Swasta atau Domestic Credit to Private Sector (DCPS). Berdasarkan hasil estimasi Model 1, variabel DCPS signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di kawasan ekonomi ASEAN+6. Pada Model 1, kenaikan 1 persen pada DCPS
53
atau kredit domestik swasta di kawasan kerjasama ASEAN+6, akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 3.75 persen, ceteris paribus. Pada Model 2, DCPS juga signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan interpretasi koefisien bahwa kenaikan 1 persen pada DCPS atau kredit domestik swasta di negara-negara maju ASEAN+6, akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 4.17 persen, ceteris paribus. Sedangkan pada Model 3, DCPS tidak signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi ASEAN+6. Hasil estimasi terkait DCPS ini sejalan dengan hasil penelitian Kennedy (2013) dan Hassan et al. (2010) untuk beberapa studi kasus negara berpenghasilan tinggi (High Income). Berdasarkan teori, rasio DCPS yang semakin tinggi tidak hanya mengindikasikan tingkat investasi domestik yang semakin tinggi, tetapi juga mengindikasikan kondisi sistem pembangunan finansial yang semakin matang. Menurut Levine (2005), sistem keuangan yang mengalokasikan lebih banyak kredit ke sektor swasta lebih mungkin untuk terlibat dalam upaya meneliti atau menyelidiki perusahaan peminjam, meningkatkan pengendalian perusahaan, menyediakan kontrol manajemen risiko, memfasilitasi transaksi, dan memobilisasi tabungan, yang mana memerlukan derajat tingkat pembangunan keuangan yang lebih tinggi. Hasil estimasi dalam kasus ASEAN+6 ini berbeda dengan teori yang berlaku dimana seharusnya terdapat hubungan positif antara DCPS atau Kredit Domestik Sektor Swasta dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam Hassan et al. (2010), kondisi ini diyakini terjadi akibat kondisi jasa keuangan di kawasan ASEAN+6 dan negara-negara maju ASEAN+6 lebih condong ke arah pasar keuangan (perbankan) daripada pengembangan pasar modal. Diyakini pula bahwa proksi ukur yang digunakan mungkin tidak sesuai untuk mengukur pembangunan finansial untuk kasus negara-negara maju. Tidak semua indikator pembangunan finansial mampu mengukur performa pembangunan finansial dengan kekuatan yang sama. Menurut Aribas et al.(2009), integrasi finansial seringkali jauh lebih kompleks, sehingga teori yang berlaku tidak sesuai realitas. Variabel pembangunan finansial selanjutnya yang diestimasi dalam model adalah Jumlah Uang Beredar atau M2. Pada Model 1 dan 2, variabel M2 signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Tanda positif pada koefisien variabel M2 menandakan adanya korelasi positif antara M2 dan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan 1 persen pada M2 atau jumlah uang beredar di kawasan kerjasama ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.65 persen, ceteris paribus pada Model 1, dan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.49 persen, ceteris paribus pada Model 2 (negara maju). Sedangkan M2 justru tidak signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi pada Model 3 (negara berkembang). Hasil estimasi ini sejalan dengan hasil penelitian Maretha (2012) dan Mukhlis (2011), dimana M2 memiliki hubungan korelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan sekaligus membuktikan bahwa M2 adalah proksi pembangunan finansial yang membenarkan hipotesis adanya hubungan positif yang kuat antara pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi. Jumlah Uang Beredar didefinisikan sebagai jumlah uang untuk kebutuhan transaksi ditambah dengan uang kuasi. Peningkatan aliran kredit domestik dan simpanan pada suku bunga kredit dan suku bunga tabungan yang kompetitif di suatu negara, akan mengindikasikan peningkatan M2 di suatu negara. Hal ini akan berdampak pada peningkatan total output agregat perekonomian dan peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
54
Variabel pembangunan finansial terakhir yang dianalisis dalam model adalah Simpanan Kotor Domestik atau Gross Domestic Savings (GDS). Pada ketiga model, variabel GDS signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pada Model 1, kenaikan 1 persen pada GDS atau simpanan kotor domestik di kawasan kerjasama ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar persen, ceteris paribus. Sedangkan pada Model 2, kenaikan 1 persen pada GDS di negara-negara maju ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar persen, ceteris paribus. Kemudian pada Model 3, kenaikan 1 persen pada GDS di negara-negara berkembang ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi persen, ceteris paribus. Hasil estimasi ini sejalan dengan hasil sebesar penelitian Marissa (2004), serta Hassan et al.(2010) untuk dua penelitiannya yang berbeda dengan studi kasus negara-negara OECD dan OIC. Walaupun pengaruh peningkatan pertumbuhan ekonomi akibat peningkatan GDS tidak terlalu besar di ASEAN+6, namun hasil estimasi ini mampu membenarkan adanya hubungan jangka panjang dan positif antara tabungan atau simpanan dan pertumbuhan ekonomi seperti prediksi Pagano dalam Hassan (2010). Tingkat simpanan domestik yang tinggi berimplikasi pada volume investasi yang semakin tinggi sehingga mampu menunjang pembangunan finansial suatu negara. Suku bunga riil positif dalam hal ini dibutuhkan untuk menstimulasi simpanan dan investasi serta meningkatkan jumlah uang beredar sehingga tercapai pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi yang mantap. Variabel bebas lainnya yang dibahas dalam model adalah variabel indikator performa sektor riil yang pertama yakni perdagangan (TRADE). Variabel bebas TRADE signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam ketiga model. Kenaikan 1 persen pada TRADE atau perdagangan di kawasan kerjasama ASEAN+6 akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.099 persen pada Model 1, 0.141 persen pada Model 2 (negara maju), dan 0.056 persen pada Model 3 (negara berkembang), ceteris paribus. Hasil estimasi ini sesuai dengan teori yang berlaku dan sejalan dengan hasil penelitian Hassan et al. (2010), Mukhlis (2011), dan Maretha (2012). Peningkatan dalam jumlah ekspor mengindikasikan adanya permintaan luar negeri terhadap barang domestik yang meningkat. Peningkatan ini berdampak pada peningkatan jumlah output perekonomian yang diproduksi, peningkatan investasi dan peningkatan penggunaan input faktor produksi. Penambahan dalam output perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain itu, ekspor juga menghasilkan devisa yang dihitung sebagai pendapatan negara. Dari sisi impor, dengan berlandaskan diri pada teori keunggulan komparatif, seharusnya negaranegara tertentu yang tak efisien berproduksi dalam satu jenis jasa atau komoditi lebih baik mengimpor dari negara lain yang berspesialisasi di bidang tersebut. Sebaliknya, untuk meredam ketergantungan impor, negara tersebut harus mampu meningkatkan performa ekspor jasa atau komoditi yang mampu dispesialisasikan sebaik mungkin oleh negara tersebut. Dengan demikian perdagangan akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi (engine of growth) yang sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi, perputaran uang dan bisnis serta pembangunan finansial suatu negara. Selanjutnya, variabel indikator sektor riil yang akan dianalisis dalam model adalah pengeluaran pemerintah atau Government Expenditure (GOV).
55
Variabel pengeluaran pemerintah atau GOV berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada ketiga model. Kenaikan 1 persen pada GOV atau pengeluaran pemerintah di kawasan kerjasama ASEAN+6, akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.094 persen pada Model 1, dan 0.084 persen pada Model 2 (negara maju), ceteris paribus. Pada Model 3, kenaikan 1 persen pada GOV atau pengeluaran pemerintah di negara-negara berkembang ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.564 persen, ceteris paribus. Hasil estimasi ini sejalan dengan hasil penelitian Permata (2011), Maretha (2012) dan Hassan et al.(2010). Pendekatan model IS-LM menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah bersama-sama dengan pengeluaran konsumsi dan investasi membentuk pengeluaran yang direncanakan (Mankiw, 2002). Pengeluaran pemerintah menunjukkan dampak yang berbeda dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi baik di negara maju dan negara berkembang (Permata 2011). Pada negara-negara maju ditemukan korelasi negatif antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi. Di negara maju sistem perekonomian pasar bebas lebih dominan, dimana semua aspek kegiatan ekonomi dialihkan ke pihak swasta dan bukan didominasi oleh pemerintah. Sistem perekonomian pasar bebas di negara maju didukung dengan masyarakat yang produktif, sehingga masyarakat memiliki daya saing yang tinggi dan tidak menimbulkan ketimpangan standar kehidupan antar masyarakat. Pada pola masyarakat seperti ini, pengeluaran pemerintah secara langsung untuk pendanaan proyek produktif tidak lagi banyak berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah pada negara maju cenderung dialokasikan untuk dana jaminan sosial guna meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan masyarakat dan bukan lagi fokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan itu, pada negara berkembang didapatkan hubungan positif antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah masih sangat dibutuhkan di negara berkembang. Banyaknya kegagalan sistem pasar di negara berkembang mengharuskan pemerintah untuk mengambil kebijakan mengatasi kegagalan pasar. Barang publik yang dibutuhkan negara berkembang tidak efektif apabila disediakan oleh sektor swasta. Selain itu, peningkatan pendapatan masyarakat di negara berkembang masih tergantung pada kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga peran pemerintah menjadi sangat produktif di negara berkembang. Hal tersebut menyebabkan pengeluaran pemerintah menjadi faktor penting dan produktif bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Variabel bebas terakhir yang diestimasi dalam model adalah variabel inflasi atau inflation (INF). Inflasi merupakan variabel indikator sektor riil yang juga dimasukkan dalam model untuk mengontrol distorsi harga (Hassan et al. 2010). Pada Model 1 dan Model 2, inflasi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kenaikan 1 persen pada INF atau inflasi di kawasan kerjasama ASEAN+6, akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.06 persen pada Model 1 dan 0.140 persen pada Model 2, ceteris paribus. Sedangkan pada Model 3, inflasi tidak signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan dua penelitian Hassan et al. (2010) lainnya, inflasi yang merupakan fenomena kenaikan harga barang secara umum merupakan fenomena yang akan melemahkan minat konsumsi produktif, simpanan dan investasi di
56
suatu negara, sehingga akan berdampak pada pelemahan perputaran uang, jumlah uang beredar, pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Berdasarkan ulasan hasil estimasi model di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara pembangunan jasa finansial terhadap pertumbuhan ekonomi sesuai dengan teori yang berlaku pada penelitian Stiglitz (1998), Levine (2005), Hassan et al. (2010), Mukhlis (2011), dan Kennedy (2013). Variabel pembangunan finansial yang dijadikan proksi pembangunan finansial pada pemodelan ini yakni DCBS, M2, dan GDS berpengaruh signifikan dan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel indikator sektor riil yakni perdagangan juga, berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dimana inflasi justru berpengaruh negatif. Untuk melakukan analisis secara khusus mengenai dampak kerjasama ASEAN+6 terhadap pertumbuhan ekonomi untuk setiap individu negara anggota ASEAN+6 dalam model, maka perlu dilakukan interpretasi terhadap nilai keragaman individu atau individual heterogeneity dalam model data panel statis tersebut (data terlampir). Efek individu menggambarkan besar pengaruh pertumbuhan ekonomi untuk masing-masing negara bila variabel bebas lain dianggap konstan atau tidak berpengaruh. Pada Model 2 (negara maju), tanpa pengaruh dari variabel bebas lainnya (GDP Perkapita, DCBS, DCPS, M2, GDS, Perdagangan, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi), besar pertumbuhan ekonomi Singapura adalah sebesar (2.075841+ 3.001262) atau sebesar 5.077103, kemudian diikuti dengan New Zealand sebesar (1.480787+ 3.001262) atau sebesar 4.482049, Brunei Darussalam sebesar (0.369994+ 3.001262) atau sebesar 3.371256, Australia sebesar (-0.302618+ 3.001262) atau sebesar 2.698644, Jepang sebesar (-1.039329+ 3.001262) atau sebesar 1.961933, dan Korea Selatan sebesar(2.584674 + 3.001262) atau sebesar 0.416588. Sedangkan pada Model 3 (negara berkembang), tanpa pengaruh dari variabel bebas lainnya (GDP Perkapita, DCBS, DCPS, M2, GDS, Perdagangan, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi), besar pertumbuhan ekonomi Cina adalah sebesar (8.343142+45.35304) atau sebesar 53.696182, Thailand sebesar (1.134146 +45.35304 ) atau sebesar 46.487186, Malaysia sebesar (-1.292534+45.35304) atau sebesar 44.060506, Indonesia dengan nilai sebesar (-1.871397 +45.35304) atau sebesar 43.481646, India sebesar (-2.178377 +45.35304) atau sebesar 43.174663, dan terakhir Filipina sebesar (-4.134980 +45.35304) atau sebesar 41.21806.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa kondisi umum sektor jasa keuangan di Indonesia masih didominasi oleh sektor pasar uang - perbankan, dimana sektor non-perbankan masih belum beroperasi secara efisien. Dalam beberapa tahun terakhir juga diketahui bahwa pertumbuhan GDP, jumlah uang beredar dan kredit di Indonesia kian turun akibat isu dan realisasi tapering off dan pelemahan nilai tukar. Di tengah kondisi pertumbuhan kredit yang menurun, proporsi pembiayaan terhadap kredit modal kerja terhadap korporasi di Indonesia adalah tetap yang paling besar, dimana pengalokasian kredit rumahtangga terbesar
57
dialirkan pada sektor kredit perumahan, multiguna, dan kendaraan. Pada pasar ASEAN+6 representatif Singapura, diketahui bahwa lembaga keuangan perbankan masih mendominasi pasar uang Singapura dimana sektor nonperbankan cukup bersaing. Terdapat tingkat pertumbuhan GDP perkapita yang divergen (pola menyebar) antar negara anggota ASEAN+6, dengan proporsi DCBS, DCPS, M2, dan GDS yang terus meningkat dengan arah dan kecepatan yang berbeda dari tahun ke tahun. Keunggulan komparatif sektor jasa finansial dan asuransi Indonesia masih belum optimal. Pada pasar ASEAN+6 sendiri, keunggulan komparatif Indonesia cukup tertinggal karena hanya menempati posisi ke-7 dari 12 negara dalam analisis. Singapura memiliki keunggulan komparatif atas jasa finansial terbaik dengan performa ekspor jasa finansial dan asuransi tertinggi di kawasan kerjasama ASEAN+6. Pada analisis Model 1 (seluruh negara ASEAN+6) dan Model 2 (negara maju ASEAN+6), seluruh variabel bebas dalam model signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. M2 dan Kredit Domestik Perbankan merupakan variabel pembangunan finansial yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 dan golongan negara maju ASEAN+6, bersama-sama dengan Simpanan Kotor Domestik dan variabel sektor riil perdagangan. Pada Model 3 (negara berkembang ASEAN+6), variabel pembangunan finansial Kredit Domestik Perbankan dan Simpanan Kotor Domestik serta variabel sektor riil perdagangan, dan pengeluaran pemerintah signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dimana Kredit Domestik Perbankan, pengeluaran pemerintah dan perdagangan merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara berkembang ASEAN+6. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi. Saran Berdasarkan pembahasan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya , maka saran yang dapat diberikan penulis adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah Indonesia dan segenap badan terkait diharapkan mampu meningkatkan performa sektor jasa finansial non-perbankan. Sosialisasi dan edukasi terkait jasa layanan keuangan non-perbankan dan perbankan kepada seluruh lapisan masyarakat, penganekaragaman produk nonperbankan serta perbankan yang diciptakan dengan tetap memperhatikan kemudahan akses oleh seluruh lapisan masyarakat dan pengurangan hambatan birokrasi dalam proses registrasi dalam layanan jasa keuangan non-perbankan dan perbankan, merupakan langkah-langkah yang dapat diambil untuk memaksimalkan potensi jasa keuangan, khususnya pada sektor non-perbankan tanah air. 2. Penganekaragaman produk finansial dan asuransi di pasar ASEAN+6, baik oleh lembaga keuangan perbankan maupun non-perbankan harus terus ditingkatkan. Tentu saja dengan dibarengi dengan birokrasi yang tak berbelit dan jaminan hukum yang jelas, sehingga mampu meminimalisir risiko keuangan. Secara khusus di Indonesia, upaya ini harus terus
58
dilakukan untuk meningkatkan kesiapan liberalisasi jasa keuangan Indonesia pra-MEA 2015, juga sekaligus dapat meningkatkan performa ekspor produk jasa keuangan Indonesia sehingga akhirnya mampu meningkatkan daya saing Indonesia dalam perdagangan jasa finansial di kawasan ASEAN+6 . 3. Upaya peningkatkan performa pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota ASEAN+6 berbeda-beda tergantung pada kondisi perekonomian negara tersebut. Untuk golongan negara maju ASEAN+6, upaya pengoptimalan M2, Kredit Domestik Perbankan, Simpanan Kotor Domestik, dan perdagangan diharapkan mampu memaksimalkan pertumbuhan ekonomi dan kesiapan jasa finansial yang menjelang MEA 2015. Sedangkan pada golongan negara berkembang termasuk Indonesia, upaya pengoptimalan Kredit Domestik Perbankan, pengeluaran pemerintah dan perdagangan diharapkan mampu memaksimalkan kesiapan jasa finansial menuju MEA 2015. 4. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang kondisi pembangunan jasa finansial di kawasan internal ASEAN yang melibatkan seluruh negara anggota ASEAN tanpa kecuali, sehingga gambaran kondisi kesiapan dan daya saing ASEAN dalam menghadapi liberalisasi finansial MEA 2015 dapat lebih jelas. 5. Ke depan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut yang meneliti hubungan pembangunan finansial terhadap pembukaan lapangan kerja, pengangguran dan bahkan bila mungkin dikaitkan dengan kemiskinan, dalam kerangka liberalisasi pertukaran tenaga kerja profesional MEA 2015.
DAFTAR PUSTAKA Achsani NA. 2008. Integrasi Ekonomi ASEAN+3: Antara Peluang dan Ancaman. Bogor (ID) : Brighten Institute. Arribas I, Perez F, Ausina ET. 2009. The Determinants of International Financial Integration Revisited : The Role of Networks and Geographic Neutrality. MPRA.22-24. doi:18717. Baltagi B. 1995. Econometric Analysis of Panel Data. Englan (GB): John Wiley&Sons.Ltd. Baltagi B. 2005. Econometric Analysis of Panel Data Third Edition. Englan (GB): John Wiley&Sons.Ltd. Bank Indonesia. 2008. Meraih Sukses Bisnis dengan Dukungan Pembiayaan Perbankan. Jakarta (ID) : PPM. Dewi AS. 2013. Analisis Daya Saing dan Permintaan Pariwisata Indonesia di Pasar ASEAN [skripsi]. Bogor (ID) : IPB. Firdaus M. 2012. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID) : IPB Press . Gujarati D. 2003. Basic Econometrics Fourth Edition. New York (US) : McGraw-Hill. Gujarati D. 2006. Essentials of Econometrics Third Edition. United States Military Academy, West Point (US): McGraw-Hill International Edition.
59
Hassan MK, Sanchez B, Suk-Yu J. 2010. Financial Development and economic growth : New Evidence from Panel Data. The Quarterly Review of Economics and Finance Elsevier. 88-95. doi: 10.1016/j.qref.2010.09.001. Hassan MK, Sanchez B, Suk-Yu J. 2010. Financial Development and economic growth in The Organization of Islamic Conference Countries. JKAU Islamic Econ. 24 (1).149-157. doi:10.4197/Islec 24-1.6. Hermansyah. 2011. Edisi Revisi Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta (ID) : Kencana. Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). 2004. Towards Realizing An ASEAN Community-A Brief Report on the ASEAN Community Roundtable. Singapore (SG) : ISEAS Publications. Kementerian Keuangan. 2012. Laporan Hasil Kajian – Liberalisasi Jasa Keuangan Indonesia Dalam Menghadapi Paket Ke-6 Perundingan Liberalisasi Jasa Keuangan ASEAN. Jakarta (ID) : Kemenkeu. Kementerian Koordinator Perekonomian. 2013. Tinjauan Persiapan Menuju ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Jakarta (ID) : Kemenko Perekonomian. Kennedy A. 2013.Financial Opennes and Growth : 2000-2010. Papperdine Policy Review. 6 (4).13-20. doi: 5-27-2013. Levine R, Loayza N, Beck T. 1995. Financial Intermediation and Growth : Causality and Causes. Journal of Monetary Economics Elsevier. 53-63. doi:S0304-3932(00)00017-9. Levine R. 2005. Finance and Growth : Theory and Evidence. Elsevier Science. IA (1).921-923. doi:10.1016/S1574-0684(05)01012-9. Mankiw NG. 2002. Macroeconomics. Fifth Edition. New York (US): RR Donneley&Sons. Maretha VR. 2012. Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi : Studi Komparatif Negara-Negara ASEAN+6 [skripsi]. Bogor (ID) : IPB. Marissa S. 2004. Analisis Kredit Domestik dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Periode 1983-2002 [skripsi]. Bogor (ID) : IPB. McKinnon R. 1973. Money and Capital in Economic Development . Washington DC (US): The Brooking Institution. Muchlis I. 2011. Kausalitas Dinamis Antara Financial Development, Liberalisasi Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Dalam Menyongsong Pemberlakuan ASEAN Economic Community. Universitas Negeri Malang.1(1):3-5. Oktaviani R, Novianti T. 2009. Teori Pedagangan Internasional dan Aplikasinya di Indonesia Bagian I. Bogor (ID) : Departemen Ilmu Ekonomi IPB. Permata DR. 2011. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan ASEAN+6: Pendekatan Data Panel [skripsi]. Bogor (ID) : IPB. Stiglitz J. 1998. The Role of the Financial System in Development. World Bank Proceeding. 1(1):13-15 [APEC]. 2013. APEC Workshop on Measuring Services Trade – Statistical Capacity Buliding and Networking. Medan(ID): APEC Secretariat. [Asian Development Bank]. 2013. Key Indicators for Asia and The Pacific 2013. Jakarta : ADB Secretariat.
60
[Asian Development Bank]. 2012. Outlook 2012 Update. Jakarta : ADB Secretariat. [Asian Development Bank]. 2011. Outlook 2011 Update. Jakarta : ADB Secretariat. [Bank Indonesia]. 2013. Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional Triwulan III 2013. Jakarta : BI. [Bank Indonesia]. 2013. Perkembangan Uang Beredar (M2), Dana, Kredit, Serta Suku Bunga Perbankan November 2013. Jakarta : BI. [Bank Indonesia]. 2013. Kajian Stabilitas Keuangan No.21 September 2013. Jakarta : BI. [BAPPENAS]. 2013. Financial Inclusion di Indonesia. Jakarta : BAPPENAS. [CEPEA]. 2008. CEPEA Report. Cebu : CEPEA Secretariat. [Indeks Mundi]. 2014. Financial Sectors Indicators. Diakses melalui http://www.indexmundi.com/facts/topics/financial-sector. [International Monetary Fund]. 2014. IMF Data and Statistics. Diakses melalui https://www.imf.org/external/data.htm. [Monetary Authority of Singapore]. 2013. Financial Stability Review December 2013. Singapore : MAS. [SEADI USAID]. 2012. Indonesia and The ASEAN Framework for Regional Economic Cooperation . US : Nathan Associates Inc. [Universitas Indonesia]. 2010. Pengolahan Data Panel. Jakarta : Laboratorium Komputasi FEUI. [World Bank]. 2014. World Development Indicators. Diakses melalui http://data.worldbank.org/data-catalog/world-development-indicators. [World Economic Forum]. 2011. Insight Report-The Financial Development Report 2011. USA : WEF. Kementerian Perdagangan. 2014. 01 Febuari. Definisi RCA. Website Resmi Kementrian Perdagangan [internet]. [diunduh 2014 Febuari 01]. Tersedia pada http://www.kemendag.go.id/addon/rca/index.php?isi=2. Rudolf DW. 2014. 29 Januari. GDS Relatif Turun. Metronews. Economics and Finance [internet]. [diunduh 2014 Febuari 01]. Tersedia pada http://www.metrotvnews.com/metronews/ekonomi/40.
61
LAMPIRAN
MODEL 1. SELURUH NEGARA ASEAN+6 Lampiran 1. Statistik Deskriptif Variabel
Lampiran 2. Hasil Uji Hausman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
15.690529
8
0.0470
Lampiran 3. Hasil Uji Normalitas 20
Series: Standardized Residuals Sample 2000 2012 Observations 156
16
12
8
4
0 -3
-2
-1
0
1
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-2.38e-16 0.103479 2.129504 -2.813254 0.958721 -0.388398 2.941221
Jarque-Bera Probability
3.944643 0.139133
62
Lampiran 4. Korelasi antar Variabel
Lampiran 5. Hasil Estimasi Model FEM (Fixed Effect Model ) Data Panel Dependent Variable: GROWTH Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 02/13/14 Time: 14:13 Sample: 2000 2012 Periods included: 13 Cross-sections included: 12 Total panel (balanced) observations: 156 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
Q LN_DCBS LN_DCPS LN_M2 GDS TRADE GOV INF C
-6.70E-05 0.212728 -3.758937 0.654257 6.93E-12 0.099963 -0.094732 -0.061840 0.375654
2.00E-06 0.085154 0.090401 0.007692 3.38E-13 0.000492 0.000245 0.001555 0.171491
-33.55522 2.498163 -41.58072 85.05893 20.48876 202.9989 -386.7220 -39.75654 2.190514
0.0000 0.0137 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0302
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999728 0.999690 1.023502 26278.42 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
-14.62639 59.38483 142.4678 2.212628
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.747231 443.4638
Mean dependent var Durbin-Watson stat
3.226607 2.097552
63
Lampiran 6. Hasil Estimasi Model REM (Random Effect Model ) Data Panel Dependent Variable: GROWTH Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 02/13/14 Time: 14:18 Sample: 2000 2012 Periods included: 13 Cross-sections included: 12 Total panel (balanced) observations: 156 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
Q LN_DCBS LN_DCPS LN_M2 GDS TRADE GOV INF C
-5.18E-05 -0.115153 0.039763 0.049986 3.22E-12 0.101975 -0.148644 -0.071517 3.793145
1.86E-05 0.771386 0.816431 0.090120 2.17E-12 0.009373 0.056758 0.074573 1.607575
-2.786785 -0.149280 0.048703 0.554668 1.482794 10.87934 -2.618901 -0.959019 2.359544
0.0060 0.8815 0.9612 0.5800 0.1403 0.0000 0.0097 0.3391 0.0196
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
1.109223 1.804899
Rho 0.2741 0.7259
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.506453 0.479594 1.851511 18.85553 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1.327257 2.566581 503.9294 1.947594
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.605984 691.2697
Mean dependent var Durbin-Watson stat
3.226607 1.419778
64
MODEL 2. NEGARA MAJU ASEAN+6 (HIGH INCOME COUNTRIES) Lampiran 7. Statistik Deskriptif Variabel
Lampiran 8. Hasil Uji Normalitas 12
Series: Standardized Residuals Sample 2000 2012 Observations 78
10
8
6
4
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.14e-17 0.005574 2.522785 -2.278166 0.970301 0.001565 2.683932
Jarque-Bera Probability
0.324703 0.850142
0 -2
-1
0
1
2
Lampiran 9. Hasil Estimasi Model FEM (Fixed Effect Model ) Data Panel Dependent Variable: GROWTH Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 04/09/14 Time: 15:43 Sample: 2000 2012 Periods included: 13 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 78 Linear estimation after one-step weighting matrix White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
Q
-7.67E-05
2.44E-05
-3.140580
0.0026
65
LN_DCBS LN_DCPS LN_M2 GDS TRADE GOV INF C
1.342159 -4.172936 0.497404 7.82E-12 0.141677 -0.084231 -0.140875 3.001262
0.633564 1.239174 0.183368 3.77E-12 0.004641 0.021693 0.040441 1.270574
2.118429 -3.367515 2.712603 2.076299 30.52777 -3.882789 -3.483422 2.362130
0.0380 0.0013 0.0086 0.0419 0.0000 0.0002 0.0009 0.0212
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.921122 0.905100 1.064295 57.49099 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
2.126914 4.083152 72.49429 2.330546
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.713439 192.1353
Lampiran 10.Efek Individu
1 2 3 4 5 6
CROSSID SINGAPURA BRUNEI JEPANG KORSEL NEW Z AUSTRALIA
Effect 2.075841 0.369994 -1.039329 -2.584674 1.480787 -0.302618
Mean dependent var Durbin-Watson stat
1.744958 2.072747
66
MODEL 3. NEGARA BERKEMBANG ASEAN+6 (LOW-MIDDLE INCOME COUNTRIES) Lampiran 11. Statistik Deskriptif Variabel
Lampiran 12. Hasil Uji Normalitas 14
Series: Standardized Residuals Sample 2000 2012 Observations 78
12 10 8 6 4 2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.14e-17 0.035385 2.482811 -2.454355 0.970619 -0.205875 3.165052
Jarque-Bera Probability
0.639537 0.726317
0 -2
-1
0
1
2
Lampiran 13. Hasil Estimasi Model FEM (Fixed Effect Model ) Data Panel Dependent Variable: GROWTH Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 04/09/14 Time: 20:21 Sample: 2000 2012 Periods included: 13 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 78 Linear estimation after one-step weighting matrix White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
Q
0.000261
0.000248
1.051577
0.2969
67
LN_DCBS LN_DCPS LN_M2 GDS TRADE GOV INF C
4.446616 0.058806 -0.543877 7.30E-12 0.056557 0.564432 -0.052876 45.35304
1.294796 1.973084 0.817290 3.46E-12 0.009642 0.172593 0.071450 25.40368
3.434221 0.029804 -0.665463 2.111360 5.865508 3.270307 -0.740046 1.785294
0.0010 0.9763 0.5081 0.0387 0.0000 0.0017 0.4620 0.0790
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.833494 0.799672 1.064643 24.64380 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
2.824667 2.624663 72.54180 2.164198
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.751928 183.9381
Lampiran 14. Efek Individu
1 2 3 4 5 6
CROSSID INDONESIA MALAYSIA FILIPINA THAILAND CINA INDIA
Effect -1.871397 -1.292534 -4.134980 1.134146 8.343142 -2.178377
Mean dependent var Durbin-Watson stat
4.708256 2.156990
68
69
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Laura Cita Febrianty Simanjuntak. Lahir di Bogor, 08 Febuari 1992 dan merupakan putri pertama dari (Alm) Ir. Walden Simanjuntak dan Jusliani Farida Simamora SH. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari adik bernama David Lawrence. Penulis mengawali pendidikan di SDN 05 Pagi Pekayon Jakarta Timur pada tahun 1998 hingga 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 91 Jakarta Timur pada tahun 2004 hingga 2007. Lalu pada tahun 2007 hingga 2010, penulis melanjutkan studi menengah atas di SMA Negeri 99 Jakarta Timur. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan studi program sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan melalui jalur SNMPTN Tertulis. Selama masa kuliah penulis aktif terlibat dalam kegiatan organisasi mahasiswa. Penulis merupakan anggota Komisi Kesenian - Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (PMK IPB), staff Divisi D’Bussiness and Corporation Troops (DISTRO) – Himpunan Profesi Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) periode 2011-2012, dan sempat menjadi Kepala Bidang Perdagangan dan Industri Divisi Discussion and Analysis (DNA) HIPOTESA periode 2012-2013. Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan yakni menjadi staff Divisi LKTI dalam perhelatan HIPOTESA Exihibition in Revolution (9TH HIPOTEX-R), menjadi staff Divisi Acara Seminar KEENESIAN dan Lomba LKTI Economic Championship (ECHAMP) Divisi DNA HIPOTESA, serta beberapa kali berkesempatan menjadi moderator dalam sesi presentasi 9th HIPOTEX-R serta dalam Seminar KEENESIAN DNA HIPOTESA. Penulis juga aktif menyanyi dalam berbagai acara di dalam dan luar kampus serta pernah menjadi mentor Bina Mapres Departemen PPSDM-BEM FEM tahun 2013. Selama masa kuliah, penulis juga mengukir beberapa prestasi. Penulis termasuk dalam sepuluh besar Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Ekonomi 2013. Penulis juga merupakan Asisten Pengajar MK Ekonomi Umum sejak tahun 2012 hingga 2013. Penulis juga pernah meraih Juara I Lomba LKTI Economic Championship (ECHAMP) IPB 2012, meraih Juara II Lomba Artikel Ilmiah Nasional ISMKMI Universitas Airlangga 2012, serta menjadi juara III dalam Lomba Vocal Group se-Kota Bogor Yayasan Kasih Bangsa. Penulis juga merupakan ketua tim Program Kreativitas Mahasiswa - Bidang Penelitian (PKMP) didanai DIKTI 2013, peserta lomba esai nasional POLITIK CERIA BEM-FEM IPB dan lomba esai nasional SAYEMBARA ESAI IRSAN NOOR tentang Otonomi Daerah pada tahun 2013 serta merupakan penerima beasiswa Penunjang Prestasi Akademik (PPA) hingga lulus.