ANALISIS HUBUNGAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN DENGAN STATUS GIZI ANAK BATITA
MA‘RIFAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Hubungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dengan Status Gizi Anak Batitaadalah benar merupakan hasil karya saya sendiri di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir.Hidayat Syarief, MS dan Yayat Heryatno, SP, MPS serta tidak pernah dipublikasikan. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor,
Juni 2010
Ma’rifat NRP: I151080221
ABSTRACT MA’RIFAT. The Analysis of Relation Health Services Utilization to Nutritional Status of Children Under Three Years of Age. Under direction of HIDAYAT SYARIEF and YAYAT HERYATNO. Under three years of age is a critical in growth and development. During the period health service is very important to maintain health and nutritional status of children. The objective of the study was to analyze health services utilization to nutritional status of children under three years of age. The crossectional study was applied in this research. Data collected from DI Yogyakarta, Sumatera Selatan and Nusa Tenggara Timur Provinces trought Riskesdas (Basic Health Research) 2007 had been used for study. In this study weight-for-height (WHZ), weight-for-age (WAZ) and height-for-age (HAZ) were used as an indicator of nutritional status of children under three years of age . Health services include weighting, health extension, immunitiation, mother and child health, medicare, complementary feeding, suplementary nutrien and consultation risk of disease. It was found that WHZ indicator correlated significantly to weighting service (χ2=9.328, p=0.025), health extention (χ2=8.290, p=0.040), complementary feeding (χ2=6.470, p=0.009) and medicare service (χ2=7.597, p=0.055) in health service. It showed that weight-for-age (WAZ) correlated significantly with weighting service (χ2=6.698, p=0.082), health extension (χ2=7.182, p=0.066), complementary feeding (χ2=5.563, p=0.051). While height-fo-age (HAZ) correlated significantly with weighting service (χ2=7.046, p=0.030) and supplementary nutrient service (χ2=5.387, p=0.068). Moreover study showed that indicator WHZ was significantly affected by number of family member and health services utilization. Both the WAZ and HAZ indicators were significantly influenced by duration of mother‘s education, infectious diseases as well as health services utilization. Keywords: health services, nutritional status, children under 3 years of age
RINGKASAN MA’RIFAT. Analisis Hubungan Pelayanan Kesehatan dengan Status Gizi Batita. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF dan YAYAT HERYATNO. Umur di bawah tiga tahun merupakan masa yang sangat penting dan kritis dalam proses pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita. Penelitian ini bersifat crossectional design yang menggunakan data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 merupakan data primer yang telah mengalami verifikasi, editing dan cleaning oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Penelitian ini mengambil lokasi di tiga Provinsi yaitu: Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Contoh adalah anak berumur di bawah tiga tahun (batita) dan berasal dari kuintil 1 dan 2. Dalam penelitian ini berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), berat badan menurut umur (BB/U) dan tinggi badan menurut umur (TB/U) digunakan sebagai indikator status gizi. Pelayanan kesehatan meliputi: penimbangan, penyuluhan, imunisasi, kesehatan ibu dan anak, pengobatan, pemberian makanan tambahan, suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit. Untuk melihat keragaan umum analisis disajikan dalam bentuk tabel univariat, sedangkan untuk melihat hubungan antar variabel digunakan uji statistik chi-square tes dan moment pearson correlation test. Untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi dengan menggunakan regresi linier berganda pada data gabungan ketiga provinsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata z-score status gizi batita dengan indikator BB/TB adalah -0.36 ± 2.2 SD, BB/U -0.88 ± 2.8 SD dan TB/U 0.78 ± 1.76 SD. Secara keseluruhan di ketiga wilayah penelitian angka prevalensi wasting, underweight dan stunting berturut-turut adalah sebesar 20.4%, 41.2% dan 22.7%. Prevalensi wasting, underweight dan stunting pada batita terbanyak terjadi pada keluarga dengan ibu berpendidikan hanya tamat SD, dan berumur antara 26-40 tahun dengan jumlah anggota 5-7 orang. Lama pendidikan ibu berkorelasi positif dengan status gizi batita indikator BB/TB, BB/U dan TB/U. Jumlah anggota keluarga berkorelasi negatif dengan status gizi batita indikator BB/TB. Status gizi batita memiliki hubungan negatif dengan penyakit infeksi, BB/TB (r=-0.061, p=0.011), BB/U (r=-0.061, p=0.011) dan TB/U (r=-0.105, p=0.000). Akses ke pelayanan kesehatan diukur dengan waktu dan jarak tempuh, sebagian besar (74.6%) waktu tempuh < 15 menit dengan jarak tempuh < 1 km (72.8%). Keberadaan transportasi umum yang tersedia ke pelayanan kesehatan hanya ada pada 43.5% rumah tangga batita di ketiga wilayah penelitian. Frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan memiliki hubungan yang negatif dengan jarak (r=-0.202, p=0.000) dan waktu tempuh (r=-0.060, p=0.014), serta berhubungan positif dengan lama pendidikan ibu (r=0.058, p=0.017) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (r=0.304, p=0.000). Dari 843 rumah tangga batita yang memberikan penilaian terhadap ketanggapan pelayanan kesehatan hampir semuanya mengangap baik (96.7%), selebihnya 3.3% ibu mengatakan kurang baik. Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh batita secara umum rata-rata di
Sumsel 2.8 + 2.8 jenis pelayanan, DI Yogyakarta 4.4 + 2.6 jenis pelayanan dan Nusa Tenggara Timur 3.6 + 2.6 jenis pelayanan dan secara keseluruhan 3.6 + 2.9 jenis pelayanan, skor tertinggi 8 dan terendah 0. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan moment pearson correlation test terdapat hubungan positif yang signifikan antara frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan (r=0.304, p=0.000). Status gizi batita BB/TB memiliki hubungan dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan p<0.05 (χ2=9.328, p=0.025), penyuluhan (χ2=8.290, p=0.040), PMT (χ2=6.470, p=0.009) dan pengobatan (χ2=7.597, p=0.055).Status gizi BB/U berhubungan nyata dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan (χ2=6.698, p=0.082), penyuluhan (χ2=7.187, p=0.066) dan PMT (χ2=5.563, p=0.051). Sementara TB/U berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan (χ2=7.046, p=0.030) dan suplemen gizi (χ2=5.387, p=0.068). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator BB/TB adalah jumlah anggota keluarga dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sedangkan indikator BB/U dan TB/U berpengaruh dengan lama pendidikan ibu, pemanfaatan pelayanan kesehatan dan penyakit infeksi. Kata kunci: pelayanan kesehatan, status gizi anak batita
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS HUBUNGAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN DENGAN STATUS GIZI ANAK BATITA
MA’RIFAT
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis
: Analisis Hubungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dengan Status Gizi Anak Batita
Nama
: MA’RIFAT
NRP
: I 151 080 221
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS Ketua
Yayat Heryatno, SP, MPS Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Gizi Masyarakat
Drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD
Tanggal Ujian : 23 Juni 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS
“Ingatlah hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenang” Ar-Ra’du: 23
Special for My husband:
Kiagus Aziz Ahmad My Parents
Thaib Rahman Nurbaiti My children:
Khodijah Rahmadesfa Aisyah Aulia Ulfa Kiagus Abdurrahman Fauzan Hanifa
PRAKATA Alhamdulillah
penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang berkat
Rahmat dan Hidayah Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Hidayat Syarief, MS selaku ketua dan Bapak Yayat Heryatno, SP, MPS selaku anggota komisi pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, perhatian dan dengan penuh kesabaran membimbing dan memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Kepada Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS, penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya sebagai dosen penguji luar komisi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Drh. M. Rizal M. Damanik MRepSc, PhD sebagai Ketua Program Studi Gizi Masyarakat merangkap moderator pada ujian tesis, Bapak Dr. Ir. Budi Setiawan, MSi selaku Ketua Departemen Gizi Masyarakat, jajaran civitas akademika Departemen Gizi Masyarakat IPB khususnya Program Studi Pascasarjana Gizi Masyarakat yang telah memberikan dukungan moril dan pengalaman berharga dalam proses belajar mengajar untuk dapat menyelesaikan studi ini. Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Program NICE Departemen Kesehatan Dirjen Gizi Mayarakat yang telah membiayai studi ini. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI yang telah berkenan memberikan datadata yang diperlukan untuk dapat membuat tesis ini, terutama kepada Ibu Hapsari, Ibu Rofi dan Ibu Suparmi. Kepada semua rekan-rekan satu angkatan GMS-2008 terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya. Bagi teman-teman NICE Sakri Sab’atmaja, Merry Aitonam, Arpansyah, Terati, Kusriadi, Anwar Musadat dan Didik Haryadi semoga persaudaraan dan pertemanan kita dapat terus berlanjut. Atas dukungan doa, semangat dan bantuan baik moril maupun materil dari Bapak Thaib Rahman dan Ibu Nurbaiti orang tuaku tercinta, Kiagus Aziz Achmad suami tersayang dan yang terkasih anak-anakku Khodijah Rahmadesfa, Aisyah Aulia Ulfa, Kiagus Abdurrahman Fauzan serta
Hanifa atas dukungan dan
kesabarannya, kakakku tersayang Budiman, Akratuaini dan Syafuan sekeluarga, serta adik-adikku tercinta Syarmaini, Muhardi sekeluarga dan Semidang
kuucapkan Jazakumullah Sukron Katsiron. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Saya menyadari betul sebagai hamba Allah yang lemah tentu masih banyak kekurangan dari hasil karya ilmiah saya, sehingga masukan dan saran sungguh sangat berharga untuk kesempurnaan karya ini.
Bogor,
Juni 2010
Ma’rifat
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Palembang ibu kota Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 25 Juli 1971, sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Thaib Rahman dan Ibu Nurbaiti. Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan penulis di SMAN 6 Palembang tahun 1990. Penulis melanjutkan ke Diploma 1 Gizi di Sekolah Pembantu Ahli Gizi (SPAG) Departemen Kesehatan Palembang dan selesai pada tahun 1991. Penulis mulai bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada tahun 1993 di Puskesmas Muara Beliti Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan. Pada tahun 1999 berkesempatan melanjutkan sekolah di Akademi Gizi Jakarta dan lulus tahun 2001. Setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Gizi penulis bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas. Pada tahun 2004 mengambil kuliah S1 Gizi Masyarakat pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Abdi Nusa di Palembang dan lulus pada tahun 2006. Tahun 2008 mendapatkan kesempatan lagi
beasiswa dari Nutrition Improvement through Community
Empowerment (NICE) untuk memperdalam ilmu gizi di Fakultas Ekologi Manusia Program Studi Gizi Masyarakat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman ABSTRACT................................................................................................ RINGKASAN............................................................................................. HAK CIPTA............................................................................................... JUDUL........................................................................................................ HALAMAN PENGUJI LUAR KOMISI.................................................... HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... PERSEMBAHAN ..................................................................................... PRAKATA ................................................................................................ RIWAYAT HIDUP ................................................................................... DAFTAR ISI ............................................................................................ DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR..................................................................................
iii iv vi vii ix x xi xiii xiv xvi xviii
PENDAHULUAN Latar Belakang............................................................................... Tujuan Penelitian ......................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Pelayanan Kesehatan .................................................................... Akses terhadap Pelayanan Kesehatan ........................................... Status Gizi Balita............................................................................ Karakteristik Sosial .......................................................................
5 9 11 16
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran...................................................................... Hipotesis .......................................................................................
21 23
METODE Sumber data, Desain, Waktu dan Tempat .................................... Cara Pengambilan Sampel ............................................................ Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................ Pengolahan Data ........................................................................... Analisis Data ................................................................................ Keterbatasan Penelitian ................................................................ Batasan Operasional ....................................................................
24 24 24 25 27 27 28
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian .......................................... Status Gizi Batita .......................................................................... Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan............................................ Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan........................................ ............. Hubungan Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan.................................... Hubungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dengan Status Batita............................................................................... Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Batita... KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. DAFTAR PUSTAKA................................................................................ LAMPIRAN ..............................................................................................
30 36 45 47 49 49 53 57 59 66
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9.
10.
11. 12.
13. 14. 15.
Kriteria status gizi anak balita berdasarkan anthropometri menurut WHO 2006 .............................................................
15
Sebaran penduduk provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menurut kelompok umur dan jenis kelamin....................................
32
Sebaran penduduk provinsi Sumatera Selatan menurut kelompok umur dan jenis kelamin.....................................................................
33
Sebaran penduduk provinsi Nusa Tenggara Timur menurut kelompok umur dan jenis kelamin....................................................
34
Prevalensi ISPA, Pneumonia, TB Paru, Campak dan Diare menurut karakteristik umur...............................................................
36
Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator BB/TB di Provinsi DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur.................................................................................
37
Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dan status gizi indikator BB/TB....................................................................
38
Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi berdasarkan indikator BB/TB.................................................
39
Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator BB/U di Provinsi DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur..................................................................................
40
Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dan status gizi indikator BB/U ....................................................................
41
Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi indikator BB/U....................................................................................
42
Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator TB/U di Provinsi DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur..................................................................................
43
Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dengan status gizi indikator TB/U....................................................................
44
Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi indikator TB/U...................................................................................
45
Persentase rumah tangga batita yang memanfaatkan jenis-jenis pelayanan kesehatan di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur......................................................
46
16. 17.
18. 19. 20. 21. 22. 23.
Hubungan karakteristik keluarga dan batita dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan ke kesahatan..........................................
47
Hubungan akses ke pelayanan kesehatan dan ketanggapan pelayanan kesehatan terhadap frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan...............................................................................
48
Hubungan pemanfaatan jenis-jenis pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator BB/TB.............................................
50
Hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator BB/U ...........................................................
51
Hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator TB/U .............................................................
52
Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita wasting di ketiga wilayah penelitian.................................................
53
Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita underweight di ketiga wilayah penelitian ........................................
54
Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita stunting di ketiga wilayah penelitian................................................
55
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Dampak kekurangan gizi pada siklus kehidupan .........................
12
2.
Kerangka pikir analisis determinan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita di ketiga wilayah penelitian (Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur)........................
22
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Riset Kesehatan Dasar 2007 Pertanyaan rumah tangga dan individu............................................
66
2.
Kategori variabel yang berhubungan dengan rumah tangga batita ............................................................................................................. 75
3.
Kategori variabel yang berhubungan dengan batita ........................
76
4.
Skor ketanggapan pelayanan kesehatan ..........................................
77
5.
Skor pemanfaatan pelayanan kesehatan .........................................
6.
Skor penyakit infeksi ........................................................................
78 79
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan bangsa yang maju, mandiri dan sejahtera lahir batin. Pembangunan manusia seutuhnya mencakup aspek jasmani dan kejiwaan, di samping aspek spiritual dan kepribadian. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, produktif dan mempunyai daya saing tinggi (Depkes 1998). Keadaan kesehatan masyarakat diukur dengan menggunakan indikator derajat kesehatan, indikator umum dan lingkungan, serta indikator upaya kesehatan. Indikator derajat kesehatan dinilai dengan melihat angka kesakitan (sesaat jatuh sakit, penyakit khusus, kelompok umur), kematian (bayi, ibu, dan sebab khusus), kecacatan dan angka harapan hidup (Anwar 2006). Menurut UU RI No. 23 tahun 1992, yang dimaksud dengan keadaan sehat adalah keadaan meliputi kesehatan badan, rohani ( mental ) dan sosial dan bukan hanya keadaan yang bebas penyakit, cacat dan kelemahan sehingga dapat hidup produktif secara sosial ekonomi. Sasaran pembangunan kesehatan tahun 2004 2009 yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah adalah meningkatnya
derajat
kesehatan
masyarakat
melalui
peningkatan
akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, yang salah satunya tercermin dari menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dari 25,8 % menjadi 20 % (Eko et al. 2008). Kekurangan gizi pada anak umur di bawah lima tahun (balita) merupakan masalah yang perlu segera ditangani karena kekurangan gizi pada balita berkontribusi sekitar 54 % terhadap penyebab kematian balita di dunia tahun 2004 (Chessa and Juan 2006). Usia balita merupakan masa yang sangat menentukan hari depan anak. Kekurangan gizi pada saat tersebut akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental sehingga perlu perhatian khusus (Berg 1986; Syarief
1997; Soekirman 2000). Selain itu, balita yang
mengalami kekurangan gizi akan terhambat pertumbuhannya sehingga ketika dewasa dia akan mempunyai kesehatan dan produktivitas yang lebih rendah daripada anak yang pertumbuhannya normal.
2
Penyebab timbulnya masalah gizi bersifat multifaktor yang terdiri dari faktor langsung yaitu: asupan makanan dan infeksi dan faktor tidak langsung yaitu: ketahanan pangan, pola asuh, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan (Uncef 1998). Upaya pelayanan kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan dan status gizi anak sehingga terhindar dari kematian dini dan mutu fisik yang rendah (Utari 2006). Peran pelayanan kesehatan telah lama diadakan untuk memperbaiki status gizi. Pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap kesehatan oleh karena itu perlu adanya penanganan yang cepat terhadap masalah kesehatan terutama masalah gizi. Pelayanan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan sangat membantu dalam meningkatkan derajat kesehatan (Trisnantoro 1996). Dalam rangka perbaikan kesehatan masyarakat, pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Kesehatan telah menyediakan fasilitas kesehatan masyarakat dalam bentuk pusat pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas). Tidak kurang dari 7.000 puskesmas tersebar diseluruh Indonesia. Namun pemanfaatan puskesmas oleh masyarakat belum optimal (Utari 2006) Pada akhir tahun 2006, sarana pelayanan kesehatan dasar yang tersedia meliputi 8.015 puskesmas, 22.000 puskesmas pembantu dan 6.132 puskesmas keliling. disamping itu, hampir seluruh kabupaten/kota telah memiliki rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta. Jumlah sarana kesehatan dasar tersebut telah meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, dan pada tahun 2007 diperkirakan akan terus bertambah. Meskipun demikian sebagian masyarakat terutama penduduk miskin belum sepenuhnya dapat mengakses pelayanan kesehatan karena kendala jarak dan biaya transportasi (Bappenas 2008). Pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
secara
umum
yang
meliputi:
penimbangan, penyuluhan, kesehatan ibu dan anak, imunisasi, pengobatan, pemberian makanan tambahan, suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit masih sangat rendah. Cakupan pelayanan kesehatan di Sumatera Selatan 25.9%, DI Yogyakarta 23.8% dan Nusa Tenggara Timur 42.9% berdasarkan data Riskesdas 2007. Provinsi yang mempunyai prevalensi kurang gizi (underweight) terendah adalah DI Yogyakarta (10.9%) dan tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (33.6%), sedangkan Sumatera Selatan (18.2%) hampir sama pencapaiannya dengan nasional.
3
Anak bawah tiga tahun (batita) merupakan masa-masa pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, jika terjadi kekurangan gizi pada saat itu maka akan mempengaruhi perkembangan otak, pertumbuhan organ-organ dan sel-sel tubuh serta akan mengganggu metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta hormon dalam sel. Keadaan ini tidak dapat terulang kembali (irreversible). Oleh karena itu pada anak batita perlu perhatian khusus untuk mencegah terjadinya kekurangan gizi (Soekirman 2000). Oleh karena itu perlu penelitian yang lebih mendalam mengenai hubungan antara pelayanan kesehatan dengan status gizi anak batita. Tujuan Tujuan Umum Menganalisis hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi pada anak batita (0-3 tahun) di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Tujuan Khusus 1.
Mengidentifikasi status gizi batita dengan indikator BB/TB, BB/U dan TB/U di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur.
2.
Mengidentifikasi pemanfaatan pelayanan kesehatan di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur.
3.
Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
4.
Menganalisis hubungan status gizi batita dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Manfaat
1. Sebagai bahan
informasi yang bermanfaat bagi kemajuan perkembangan
pelayanan kesehatan khususnya dibidang gizi masyarakat dan diharapkan dapat memberikan masukan atau informasi tentang kelemahan dan kekuatan pelayanan kesehatan khususnya di bidang gizi, sehingga bisa memberikan masukan bagi penentu kebijakan dalam menentukan pelaksanaan program gizi yang lebih efektif, tepat sasaran dan dapat berkesinambungan.
4
2. Adanya publikasi hasil penelitian ini sehingga dapat memberikan kontribusi pengembangan iptek dan pengayaan serta pendalaman informasi terkait bagi masyarakat ilmiah dan pengguna. 3. Dari segi riset, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi penelitian sejenis khususnya yang terkait dengan penelitian tentang faktor–faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan dan status gizi balita.
5
TINJAUAN PUSTAKA Pelayanan Kesehatan Pengertian Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat (Levey & Loomba dalam Utari 2006). Somers dan Somers (1974) dalam Azwar (1996) mengemukakan pelayanan kesehatan sebagai suatu sistem pada umumnya dibagi dalam beberapa strata, sebagai: 1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (primary health services), yaitu pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic). Ada 6 pelayanan yang bersifat pokok (basic six) dengan 15 kegiatan yaitu: kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pengamanan makanan dan minuman, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja, kesehatan jiwa,
pemberantasan penyakit, penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan, penyuluhan kesehatan masyarakat, pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengamanan zat aditif, kesehatan sekolah, kesehatan olahraga, pengobatan tradisional dan kesehatan matra, yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan bernilai strategis dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini berupa perawatan rawat jalan (ambulatory/out patient services) 2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua (secondary health service) yaitu pelayanan kesehatan lebih lanjut, biasanya bersifat rawat inap (in patient services) dan untuk penyelenggaraannya dibutuhkan tenaga-tenaga spesialis di bidang kesehatan. 3. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga (tertiary health services) yaitu pelayanan kesehatan yang bersifat lebih kompleks dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga spesialis di bidang kesehatan. Pelayanan kesehatan yang ideal mengandung arti bahwa pelayanan sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita dan keberadaan pasien, tanpa mengenal
6
deskriminatif dari segi apapun dan menjangkau semua lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Dalam melaksanakan program kesehatan masyarakat, pemerintah telah menggunakan suatu cara pendekatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) untuk mencapai tujuan jangka panjang yaitu Indonesia Sehat 2010. PKMD adalah suatu bentuk operasional dari Primary Health Care (PHC) di Indonesia. PKMD mencakup serangkaian kegiatan swadaya masyarakat berazaskan gotong royong yang didukung oleh pemerintah melalui koordinasi lintas sektoral dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan atau yang terkait dengan kesehatan agar masyarakat hidup sehat guna mencapai kualitas hidup dan kesejahteraan yang lebih baik.(Depkes 2006). Ciri utama PKMD adalah keterlibataan dan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian, dan pengelolaan upaya kesehatan termasuk upaya perawatan diri yang pada akhirnya akan menjadi tumpuan kemandirian masyarakat dalam hal kesehatan. Jadi, pendekatan dalam pelayanan kesehatan untuk mencapai kesehatan bagi semua, tidak lagi didasari oleh hubungan pemberi-penerima tradisional, melainkan berdasarkan hubungan mitra sejajar atau hubungan kerjasama antara instansi pemerintah dan masyarakat. Pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care/PHC) dicetuskan pada Konferensi Alma Ata (WHO 1978) yang menyatakan bahwa: “PHC adalah upaya kesehatan esensial yang secara universal mudah dijangkau oleh perorangan dan keluarga dalam masyarakat, dengan cara yang dapat diterima oleh mereka, dengan peran serta penuh dan dengan biaya yang dapat ditanggung oleh masyarakat dan negara yang bersangkutan. Upaya kesehatan esensial tersebut sekurang-kurangnya mencakup upaya perbaikan gizi, penyediaan air bersih, dan sanitasi dasar, kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana, imunisasi terhadap penyakit infeksi utama, pencegahan dan pengendalian penyakit endemik setempat, pendidikan
tentang
masalah
kesehatan
dan
cara-cara
mencegah
atau
mengatasinya, dan pengobatan yang tepat terhadap penyakit umum serta cedera”. Pelayanan Kesehatan
Dasar atau Primary Health Care di Indonesia
dilakukan melalui Puskesmas, Posyandu, Poskesdes dan bidan desa yang
7
kesemuanya
mengkomunikasikan
gagasan,
nilai,
dan
perilaku
yang
menguntungkan kesehatan selain memberikan perawatan kuratif kepada penduduk yang umumnya lapisan bawah, maupun penduduk mayoritas pedesaan. Jenis-Jenis Pelayanan Kesehatan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Pelayanan yang ada di Puskesmas mencakup 15 kegiatan yaitu: kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pengamanan makanan dan minuman, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja, kesehatan jiwa, pemberantasan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, penyuluhan kesehatan masyarakat, pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengamanan zat aditif, kesehatan sekolah, kesehatan olahraga, pengobatan tradisional dan kesehatan matra, pengelolaan Puskesmas umumnya berada di bawah Dinas Kesehatan. Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan kegiatan utama dari Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat yang didukung oleh kegiatan lintas sektor, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Posyandu dilaksanakan oleh PKK yang kemudian dilengkapi dengan pelayanan KB dan kesehatan. Posyandu sebagai pusat kegiatan masyarakat dalam bidang kesehatan melaksanakan pelayanan KB, gizi, imunisasi, penanggulangan diare dan KIA. Upaya keterpaduan pelayanan ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan keterpaduan 5 program tersebut baik dari segi lokasi, sarana maupun kegiatan dalam diri petugas, akan sangat memudahkan dalam memberikan pelayanan. Karena itu, Posyandu berada pada tempat yang mudah didatangi masyarakat dan ditentukan oleh masyarakat sendiri seperti ditempat
8
pertemuan RT/RW atau tempat khusus yang dibangun masyarakat (Harianto 1992). Kodyat (1998) menjelaskan bahwa pelayanan gizi di posyandu diupayakan dan dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat setempat dan berakar pada masyarakat pedesaan terutama oleh organisasi wanita termasuk PKK. Dengan semakin meluasnya Posyandu di hampir semua desa, maka pelayanan gizi di pedesaan makin dekat dan makin terjangkau oleh keluarga. Keterpaduan pelayanan kesehatan dasar khususnya untuk ibu dan anak, posyandu akan menjadi ujung tombak dalam penanggulangan masalah kurang gizi. Kegiatan pelayanan gizi di posyandu meliputi : 1) Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak balita antara lain dengan penimbangan berat badan secara teratur sebulan sekali.2) Pemberian paket pertolongan gizi berupa tablet tambah darah untuk ibu hamildan pemberian kapsul yodium untuk ibu hamil, ibu nifas (menyusui) dan anak balita pada daerah rawan GAKY serta pemeberian vitamin A pada bayi, balita dan ibu nifas (menyusui). 3) Pemberian makanan tambahan (PMT) sumber energi dan protein bagi anak balita KEP, jenis makanan tambahan disesuaikan dengan keadaan setempat dan sejauh mungkin menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. 4) Pemantauan dini terhadap perkembangan kehamilan dan persiapan persalinan terutama mengenai pemanfaatan ASI untuk kebutuhan gizi bayi. 5) Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kesehatan dan gizi. Kegiatan diatas dilaksanakan sebulan sekali, khusus meja 1 sampai meja 5 merupakan kegiatan UPGK di Posyandu. Sedangkan kegiatan UPGK di luar jadwal Posyandu seperti kegiatan pemanfaatan pekarangan, motivasi dan penggerakkan UPGK melalui jalur agama dan BKKBN, PMT dan pemberian ASI dalam keluarga dapat dilaksanakan sebagai kegiatan sehari-hari UPGK dalam keluarga. Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yaitu usaha kesehatan berbasis masyarakat (UKBM)
yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/ menyediakan
pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat. Sumberdaya poskesdes meliputi tenaga, bangunan, sarana dan pembiayaan. Tenaga poskesdes minimal seorang bidan dan dibantu oleh sekurang-kurangnya 2 orang kader. Bangunan poskesdes
9
dapat berasal dari pondok bersalin desa (polindes), balai desa, balai RW/ dusun, balai pertemuan atau bangunan lain yang sudah ada, dan dapat juga bangunan baru. Sarana poskesdes meliputi sarana medis, sarana non medis dan obat dalam upaya pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya promotif, preventif dan kuratif. Pembiayaan poskesdes sebaiknya merupakan swadaya masyarakat desa setempat. Pembentukan Poskesdes didahulukan pada desa yang tidak memiliki rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu (Pustu), dan bukan ibu kota kecamatan atau ibu kota kabupaten. Poskesdes diharapkan sebagai pusat pengembangan dan koordinator berbagai UKBM yang dibutuhkan masyarakat desa, misalnya pos pelayanan terpadu (posyandu) dan warung obat desa (WOD). Akses terhadap Pelayanan Kesehatan Akses ke pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat partisipasi masyarakat ke pelayanan kesehatan. Perilaku masyarakat sehubungan dengan pelayanan kesehatan di mana masyarakat yang menderita sakit tidak akan bertindak terhadap dirinya karena merasa dirinya tidak sakit dan masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari dan beranggapan bahwa gejala penyakitnya akan hilang walaupun tidak di obati. Berbagai alasan dikemukakan mengapa masyarakat tidak mau memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan seperti jarak fasilitas kesehatan yang jauh, sikap petugas yang kurang simpati dan biaya pengobatan yang mahal (Orisinal 2003). Banyak faktor yang menyebabkan tidak dapat dimanfaatkannya fasilitas kesehatan yang tersedia diantaranya: jarak fasilitas kesehatan, waktu yang di tempuh ke pelayanan kesehatan, biaya yang tidak mencukupi untuk menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan petugas yang tidak ramah atau tidak ada ditempat saat dibutuhkan ( Nnyepi 2007; Eko et al. 2008). Pemanfaatan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari usaha petugas kesehatan untuk mendorong masyarakat dalam rangka mensosialisasikan kegiatan-kegiatan yang ada di pelayanan kesehatan baik usaha promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan maupun pemulihan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan individu, keluarga dan akhirnya masyarakat sangat memerlukan
10
partisipasi masyarakat terhadap pentingnya memelihara kesehatan terutama kesehatan keluarga. (Notoatmodjo 1997). Pelayanan kesehatan dapat dikembangkan melalui peran serta masyarakat sebagai kader kesehatan masyarakat. Kader yang berperan untuk konseling dalam masyarakat dengan memberikan informasi berkaitan dengan masalah status gizi anak balita yang tinggal di wilayah perkotaan dan pedesaaan. Pelatihan kader untuk pelayanan kesehatan sebagai upaya pemerintah meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan status gizi masyarakat itu sendiri terutama anak-anak. Hasil penelitian Tuti (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak hadiran ibu balita dalam penggunaan pelayanan kesehatan khususnya posyandu di kecamatan Bogor Barat membuktikan bahwa persepsi ibu tentang perilaku kader merupakan faktor yang menyebabkan ibu untuk datang menimbangkan anaknya ke posyandu. Pada penelitian yang lain oleh Thaha (1990) tentang hubungan pengetahuan, sikap dengan praktek penggunaan posyandu oleh balita di kotamadya Ujung Pandang didapatkan hasil bahwa perilaku petugas kesehatan mampu memberikan perubahan dan mempengaruhi perilaku masyarakat untuk menimbangkan anak ke posyandu. Persepsi ibu terhadap kelengkapan posyandu mempunyai hubungan yang bermakna (Hutagalung 1992) yang berarti semakin lengkap kelengkapan posyandu maka semakin sering ibu menimbangkan anaknya ke posyandu demikian juga untuk sarana pelayanan kesehatan yang lain. Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja pelayanan kesehatan yang diperoleh pasien dengan membandingkan apa yang diterima dengan apa yang diharapkannya. Ketanggapan pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan kepuasan pelayanan yang berkualitas kepada pasien sehingga dapat terus berkunjung. Menurut Parasuraman dan kawan-kawan (1990) dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut: 1) Menunjukan adanya fasilitas fisik, peralatan yang lengkap personil yang menarik serta fasilitas komunikasi yang baik. 2) Mengupayakan pemberian pelayanan secara akurat, tepat waktu dan dapat dipercaya. 3) Menunjukan kemauan untuk membantu pelanggan dengan
11
memberikan pelayanan yang baik dan cepat. 4) Berusaha untuk mengetahui dan mengerti kebutuhan pelanggan secara individual. Status Gizi Balita Pengertian Status gizi menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu. Status gizi merupakan hasil masukan zat gizi makanan dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Bila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizi pun akan terganggu. Status gizi juga dipengaruhi oleh faktor ketersediaan sumberdaya keluarga. Usia balita merupakan masa kehidupan yang sangat menentukan kualitas sumberdaya manusia masa mendatang. Anak balita yang bergizi lebih baik dan sehat lebih berpeluang mempunyai kemampuan mental dan intelektual yang lebih baik dan mempunyai usia harapan hidup dan waktu produktif yang lebih tinggi. Oleh karena itu, perhatian akan pemenuhan kecukupan gizi dan kesehatan anak balita menjadi semakin penting. Cukup beralasan bahwa salah satu tujuan kebijakan pangan dan gizi di Indonesia adalah perbaikan mutu gizi makanan penduduk, khususnya golongan rawan gizi seperti anak balita. Dampak Kurang Gizi pada Balita Kekurangan gizi yang dimulai pada saat janin dalam kandungan ibu dapat mengakibatkan terjadinya berat badan lair rendah (BBLR) pada bayi. Tingginya angka bayi yang lahir dengan berat badan rendah akibat ibunya menderita kurang energi dan protein waktu hamil. BBLR berkaitan dengan tingginya angka kematian bayi dan balita. BBLR juga dapat berpengaruh pada gangguan pertumbuhan fisik dan mental anak. Gizi buruk pada anak balita juga dapat berdampak pada penurunan tingkat kecerdasan atau IQ. Setiap anak bergizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10-13 poin Kekurangan gizi pada anak prasekolah (usia di bawah 3 tahun) biasanya dikarenakan asupan makannya yang kurang sebagai sebab akibat dari kecendrungan anak yang selektif terhadap makanan, jika tidak cepat di atasi akan
12
berdampak pada terjadinya kasus gizi buruk kronis wasting dan stunting (Seifert & Hoffnung 1997; Grantham 1999). IMR, perkembangan mental terhambat, risiko penyakit kronis pada usia dewasa
U SI A LA N J U T K U R A N G GI ZI
B B LR Pelayanan Kesehatan kurang memadai Konsumsi tidak seimbang
Proses Pertumbuhan lambat, ASI ekslusif kurang, MP-ASI tidak benar
Tumbuh kembang terhambat
B A LI TA K EP
Giz i j an in t id ak b aik
Konsumsi gizi tidak cukup, pola asuh kurang
W U S K EK B U M I L K EK (K EN A I K A N B B R EN DA H ) MMR
Kurang makan, sering terkena infeksi, pelayanan kesehatan kurang, pola asuh tidak memadai
Pelayanan kesehatan tidak memadai
Konsumsi Kurang
R EM A J A & U SI A SEK OLA H GA N GGU A N P ER TU M B U H A N Produktivitas fisik berkurang/rendah
Gambar 2 Alur dampak terjadnya kurang gizi pada siklus kehidupan (Depkes 2009). Kekurangan gizi dilihat dari anak yang pendek (stunting) memiliki sejumlah kekurangan fungsional yang berlangsung selama masa kanak-kanak. Hambatan pertumbuhan linier atau stunting stunting umumnya terjadi pada usia 2-3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari pengaruh-pengaruh yang saling berinteraksi dari energi dan asupan gizi yang buruk serta infeksi (Martorell et al. 1994). Hasil penelitian di Guatemalan (Martorell et al. 1992 dalam Grantham 1999), mengungkapkan bahwa tinggi anak pada usia 3 tahun memprediksi kemampuan mereka ketika remaja dalam tes berhitung, membaca, pengetahuan umum dan pencapaian prestasi di sekolah. Sama halnya dengan penelitian di Kenya (Sigman et al. 1991) tinggi badan anak antara 18-30 bulan dapat memprediksi skor kognitif pada usia 5 tahun.
Keterangan istilah dalam gambar: BBLR: bayi berat lahir rendah, WUS KEK: wanita usia subur kurang energi kronik, KEP: kurang energi protein, MMR: mother mortality rate, IMR: Insiden morbidity rate,.
13
Metode Penilaian Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara mana yang akan digunakan sangat tergantung pada tahapan dan keadaan gizi dari balita yang yang dinilai status gizinya. Penilaian tersebut dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu: a.
Penilaian secara klinis, yaitu mempelajari dan mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat gangguan kesehatan dan penyakit kurang gizi. Penilaian dengan cara ini sulit dalam pembakuannya, sering sangat subyektif dan tergolong mahal.
b.
Penilaian secara biokimia gizi, yaitu menilai status gizi seseorang dengan tes labolatorium terhadap darah, urin, tinja atau jaringan tubuh seperti hati dan otot, untuk mendeteksi tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi dalam tubuh secara spesifik. Cara ini paling obyektif dan teliti, tetapi biayanya mahal dan tergantung pula pada fasilitas labolatorium.
c.
Penilaian antropometri, yaitu menilai status gizi seseorang berdasarkan ukuran fisiknya, cara ini diakui sebagai indeks yang baik dan dapat diandalkan, biayanya murah dan peralatannya sederhana. Penilaian ini meliputi pengukuran berat terhadap umur, tinggi badan terhadap umur, lingkar lengan atas, lingkar dada, dan lingkar kepala. Dalam hal ini Sediaoetama (1996) menambahkan tebal lipatan kulit di bawah lengan atas dan di tempat-tempat tertentu tubuh dapat juga digunakan sebagai indikator untuk menilai status gizi seseorang.
d.
Penilaian secara biofisik yaitu menilai status gizi seseorang dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Metode ini digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap Dari keempat cara penilaian tersebut, antropometri merupakan cara yang
paling sederhana dan praktis (Khumaidi 1997). Hal ini disebabkan pengukuran dengan antropometri tidak memerlukan peralatan yang kompleks, prosedur pemeriksaan yang mudah dan harga peralatan yang murah.
14
Status gizi anthropometri Antropometri merupakan metode pengukuran status gizi secara langsung dan yang paling umum digunakan untuk menilai dua masalah gizi utama yaitu masalah gizi kurang (terutama pada anak-anak dan wanita hamil) dan masalah gizi lebih pada semua kelompok umur (Jelliffe & Jelliffe 1989). Pengukuran ini merefleksikan pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh. Pengukuran antropometri
juga
digunakan
untuk
memperkirakan
pertumbuhan
dan
perkembangan fisik khususnya pada anak-anak berusia muda dan merupakan indikator yang paling luas digunakan untuk mengukur status gizi masyarakat (WHO 1990b). Menurut Suhardjo dan Riyadi (1990), pengukuran status gizi dengan menggunakan antropometri dapat memberikan gambaran tentang status konsumsi energi dan protein seseorang. Oleh karena itu, antropometri sering digunakan sebagai indikator status gizi yang berkaitan dengan masalah kurang energi-protein. Indikator antropometri yang sering dipergunakan adalah: berat badan untuk mengetahui massa tubuh, tinggi badan untuk mengetahui dimensi linier panjang/tinggi tubuh dan tebal lipatan kulit untuk mengetahui komposisi dalam tubuh, cadangan energi dan protein. Indikator antropometri selalu dibandingkan dengan umur dari orang yang akan diukur. Atas dasar itu, maka untuk pengukuran status gizi dengan menggunakan antropometri adalah dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi (BB/TB) (WHO 1995). Berat badan mencerminkan massa tubuh, seperti otot dan lemak yang peka terhadap perubahan sesaat karena adanya kekurangan gizi dan penyakit. Oleh karena itu, indeks BB/U menggambarkan keadaan gizi saat ini. Tinggi badan menggambarkan skeletal yang bertambah sesuai dengan bertambahnya umur dan tidak begitu peka terhadap perubahan sesaat. Oleh karena itu, indeks TB/U lebih banyak menggambarkan keadaan gizi seseorang pada masa lalu. Indeks BB/TB mencerminkan perkembangan massa tumbuh dan pertumbuhan skeletal yang menggambarkan status gizi saat itu. Indeks BB/TB sangat berguna apabila umur yang diukur sulit diketahui.
15
Pada indikator BB/TB istilah kurang gizi sering disebut wasting (sangat kurus dan kurus) dengan z-score < -2 SD. Untuk indikator BB/U dikenal istilah kurang gizi underweight yaitu status gizi balita gizi buruk dan gizi kurang (dengan z-score <-2 SD), gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Nency 2005). Istilah kurang gizi yang sering digunakan pada indikator TB/U adalah stunting (sangat pendek dan pendek) dengan z-score < -2 SD. Dan menurut tingkat keparahannya wasting, underweight dan stunting dapat dikategorikan lagi ke dalam tingkat ringan (mild), sedang (moderate) dan berat (severe) dalam Soekirman (2000). Berdasarkan pada standar baku WHO (2006) pengukuran status gizi menggunakan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Indeks BB/U dan BB/TB digunakan untuk mengetahui status gizi masa sekarang, sedangkan indeks TB/U digunakan untuk menggambarkan status gizi masa lalu. Batas ambang atau cut of point status gizi berdasarkan nilai z-score yaitu: Tabel 1 Kriteria status gizi balita berdasarkan standar antropometri menurut WHO 2006 Indeks BB/TB
BB/U
TB/U
Range Z-score z-score z-score z-score z-score
> 2.0 SD ≥ -2 SD s.d ≤ +2 SD < -2 SD s.d ≥ -3 SD < -3.0 SD
Status Gizi Gemuk Normal Kurus Sangat Kurus
z-score < -2 SD
Wasting
z-score z-score z-score z-score
Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk
> +2 SD ≥ -2 SD s.d ≤ +2 SD < -2 SD s.d ≥ -3 SD < -3 SD
z-score < -2 SD
Underweight
z-score > -2.0 SD z-score < -2.0 SD s.d ≥ -3 SD z-score < -3.0 SD
Normal Pendek Sangat pendek
z-score < -2 SD
Stunting
Sumber Depkes 2008
16
Karakteristik Sosial Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan, jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu (Sanjur 1982; Suhardjo 1989). Besar keluarga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang diberikan kepada anak. Makin besar keluarga diduga semakin sedikit waktu dan perhatian ibu terhadap anak karena harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya. Sebaliknya, pada keluarga kecil memungkinkan bagi ibu untuk merawat dan mengurus anakanaknya dengan lebih baik sehingga dapat cepat mengambil tindakan jika terjadi masalah kesehatan pada anaknya (Suhardjo 1989). Pendidikan Ibu Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas hidup seseorang. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi anak (Madanijah 2003). Dalam pengasuhan anak pendidikan orang tua terutama pendidikan ibu penting diperhatikan karena turut menentukan dalam kualitas pengasuhan anak. Pendidikan formal yang lebih tinggi pada ibu membuat pengetahuan gizi dan pola pengasuhan seorang ibu akan bertambah baik (Leslie 1985; Soekirman 1990; Madihah 2002; Atmarita & Fallah 2004). Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 1996). Umur Ibu Menurut Hurlock (1997) ibu yang berumur muda cenderung kurang memperhatikan kebutuhan anaknya. Ibu yang berusia muda masih miskin pengetahuan dan pengalaman tentang pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengetahuan ibu muda umumnya diperoleh dari ibunya sehingga masih mengalami
ketergantungan
pada
ibunya
dalam
perawatan
dan
dalam
17
memperhatikan anaknya. Sebaliknya ibu yang berumur lebih tua lebih dapat memainkan perannya dalam petumbuhan dan perkembangan anak. Penyakit Infeksi Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun ini berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan merupakan tanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi (Rohde 1979; Moehyi 2001) Anak kurang gizi sering berasal dari keluarga miskin, dengan rumah yang sesak dan kurang higienis, sehingga mereka terpapar lebih banyak infeksi (King & Burgess 1995). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA.) Penyakit sistem saluran pernafasan terdiri dari penyakit yang menyebabkan gangguan akut fungsi normal dan yang menyebabkan perubahan kronis. Penyakit infeksi sistem pernafasan akut berhubungan dengan gejala sistemik, seperti: anoreksia, kelelahan dan tidak enak badan. Jika disertai dengan batuk dan sesak nafas maka akan mengganggu asupan makanan (Johnson, Chin & Haponik 1999). Komplikasi ISPA akan terjadi pada orang yang mengalami kurang gizi (Giner et al. 1996). Sedangkan menurut Johnson & Haponik (1999) yang melakukan penelitian laboratorium dan klinis menunjukkan bahwa dampak utama gizi kurang terhadap sistem pernafasan adalah dalam hal struktur dan fungsi pernafasan serta daya tahan tubuh. Diare. Bayi dan balita dinyatakan menderita diare apabila buang air besar tidak normal atau bentuk tinja encer dengan frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali. Diare yang bersifat akut dapat berubah menjadi kronis. Diare akut yaitu diare yang berlangsung secara mendadak, tanpa gejala gizi kurang dan demam serta berlangsung beberapa hari. Sedangkan yang dimaksud diare kronik yaitu diare yang berlanjut sampai lebih dari 2 minggu, biasanya disertai dehidrasi (penderita banyak kehilangan dan elektrolit tubuh). Gizi kurang dan diare sering dihubungkan satu sama lain, walaupun diakui bahwa sulit menentukan kelainan yang mana yang terjadi lebih dulu, gizi kurang, diare atau sebaliknya. Akibat diare yaitu tubuh banyak mengeluarkan cairan
18
(dehidrasi) dan mineral, terjadi gangguan gizi karena makanan yang diserap kurang, sedangkan pengeluaran energi bertambah, kadar gula darah dalam tubuh menurun (dibawah normal) atau hipoglikemia dan sirkulasi darah terganggu (Dina dan Maria 2003: 58). Pada negara-negara berkembang diare merupakan salah satu penyebab kematian yang paling utama dikalangan anak-anak kecil akibat adanya infeksi pada usus dan kurang energi protein (Suhardjo 1990). Demikian pula di Indonesia diare merupakan faktor tertinggi yang menyebabkan kematian bayi (Winarno 1990). Penyakit diare mempunyai pengaruh besar terhadap nafsu makan anak dan dapat menyebabkan kurus sebagaimana yang dikemukakan oleh Akre (1994); Shulman, Phair & Sommer (1994) bahwa anak-anak akan berkurang makannya jika sedang menderita penyakit diare. Dari sini dapatlah dipahami bahwa anak yang menderita penyakit diare akibat berkurang konsumsi pangannya, sehingga zat gizi yang diasup juga akan turut berkurang, hal ini sesuai dengan pendapat Suhardjo (1990) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara diare dengan gizi kurang. Diare tidak boleh dianggap sepele, diare berat harus segera ditanggulangi karena akan menyebabkan dehidrasi dan akan berakibat pada kematian. Pneumonia adalah peradangan paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun jamur. Gejala-gejala yang biasa ditemukan adalah: batuk berdahak (dahaknya seperti lendir, kehijauan atau seperti nanah), nyeri dada (bisa tajam atau tumpul dan bertambah hebat jika penderita menarik nafas dalam atau terbatuk), menggigil, demam, mudah merasa lelah, sesak nafas, sakit kepala, nafsu makan berkurang, mual dan muntah, merasa tidak enak badan, kekakuan sendi dan otot. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: kulit lembab, batuk darah, pernafasan yang cepat, cemas, stres, tegang, nyeri perut. Diagnosa, pada pemeriksaan dada dengan menggunakan stetoskop, akan terdengar suara ronki dan pemeriksaan penunjang: rontgen dada, pembiakan dahak, hitung jenis darah, gas darah arteri (anonim 2010a). Campak adalah sSalah satu gangguan kesehatan yang ditakuti oleh orang tua pada bayi adalah campak atau sering disebut dengan penyakit cacar. panyakit campak ini dapat dicegah dengan imunisasi. Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus rubela. Penularan virus rubela ini dapat melalui beberapa
19
cara diantaranya bisa melalui percikan ludah baik dari hidung, mulut tenggorokan penderita campak. Biasanya orang yang tertulari virus campak akan menunjukkan gejala demam, batuk , konjuntivitis (peradangan pada selaput ikat mata) dan ruam kulit. Gejala-gejala tersebut memang tidak secara langsung menyerang seorang penderita campak. Biasanya membutuhkan waktu antara 2-4 hari. Setelah lewat 4 hari maka tubuh seorang yang terkena infeksi virus ini akan berangsur-angsur menunjukkan gejala seperti timbulnya bercak kemerahan (rash) yang berbentuk makolupapular. Bercak ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan akan berubah menjadi kehitaman dan bersisik. Munculnya bercak ini juga diikuti dengan peningkatan suhu tubuh, biasanya lebih dari 38oC dan timbulnya gejala lain misalnya batuk, pilek, mata merah dan kopliks spot( bercak kemerahan dengan warna putih di tengahnya) (anonim 2010b). Penyakit Campak dapat menyebabkan nafsu makan berkurang sehingga tubuh menjadi lemah dan mudah terinfeksi penyakit yang lain. TB Paru adalah penyakit tuberkulosis atau lazim disebut TBC atau TB Paru karena menyerang organ paru-paru merupakan suatu penyakit menular yang dapat menyerang semua kelompok masyarakat. Semua orang dari berbagai golongan umur, status sosial ekonomi, ras maupun suku bangsa dan tempat tinggal memiliki resiko untuk terkena penyakit TB Paru (Prabu 1998). Individu dengan gizi buruk atau dibawah standar, kehidupan yang penuh sesak dan penderita dengan silikosis, kanker, diabetes melitus atau infeksi bersama HIV dan orang-orang yang mendapat imunosupresif kartikosteroid atau obat sitotoksik terutama rentan terhadap tuberkulosis. Insiden kematian yang disebabkan tuberkulosis sudah jauh menurun sesudah ditemukannya kemoterapi. Akan tetapi akhir-akhir tahun ini cenderung mengalami peningkatan kematian. Hal ini disebabkan oleh memburuknya keadaan sosial ekonomi dan kesehatan individu seperti kemiskinan dan gizi yang kurang memadai (Andersen 1995) Infeksi TB Paru jauh lebih berat pada anak-anak yang menderita kekurangan gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden komplikasi TB Paru yang berat dan progresif ternyata menurun dengan adanya perbaikan gizi anak. Apabila penderita gizi buruk tidak menunjukkan perbaikan setelah diberi diet yang cukup
20
biasanya ditemukan infeksi TB Paru dan sesudah diadakan terapi maka gizi anak langsung membaik. Apabila balita mengalami infeksi, maka akan terjadi suatu keadaan undernutrisi selama 2–3 minggu berikutnya. Dengan demikian keadaan gizi yang buruk akan mempermudah penyebaran basil TBC dalam tubuh sehingga terjadi TBC miliaris.
21
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Kekurangan gizi pada usia dini mempunyai
dampak buruk pada masa
dewasa yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik yang lebih kecil dengan tingkat produktifitas yang lebih rendah (Kodyat 1998). Menurut Unicef (1998)
dalam Azwar (2004) terjadinya kurang gizi
disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor langsung maupun faktor tidak langsung. Faktor langsung penyebab masalah gizi yaitu asupan makanan yang kurang dan adanya penyakit infeksi dalam Soekirman (2000). Asupan makanan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga sedangkan ketersediaan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh sosial ekonomi keluarga, selain pola asuh dalam pemberian makanan oleh keluarga. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan memberikan kontribusi dalam penyediaan makanan yang berkualitas pada batita.
Penyakit infeksi dapat terjadi
apabila batita yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering terinfeksi penyakit akhirnya akan menderita kurang gizi, demikian juga pada anak yang tidak baik status gizinya, maka daya tahan tubuhnya dapat melemah dalam kondisi ini akan mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan dan akhirnya menderita kurang gizi (Depkes 2003). Penyebab tidak langsung terjadinya masalah gizi salah satunya adalah pelayanan kesehatan yang kurang baik. Pelayanan kesehatan dasar yang ada di Puskesmas, Posyandu, Polindes, Poskesdes dan bidan di desa yaitu: penimbangan, penyuluhan gizi, pengobatan, distribusi suplemen gizi, pemberian makanan tambahan (PMT) bagi batita kurang gizi, imunisasi dan konsultasi resiko penyakit. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang optimal dapat mendeteksi gejala dini gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada batita.
22
Konsumsi Makanan Batita
Asupan Zat Gizi
Karakteristik keluarga - Jumlah anggota - Tk. Pendidikan ibu - Umur ibu
Karakteristik Batita - Penyakit infeksi
Frekuensi kunjungan
Pemanfaatan pelayanan kesehatan
Status Gizi Batita BB/TB, BB/U, TB/U
Akses ke pelayanan kesehatan - Waktu tempuh ke fasilitas kesehatan - Jarak tempuh - Keterjangkauan transportasi
Keterangan: Ketanggapan Pelayanan Kesehatan
Hubungan yang dianalisis Hubungan tidak dianalisis Variabel Variabel
Variabel yang dianalisis Variabel tidak di analisis
Gambar 1 Kerangka pikir analisis hubungan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita di ketiga wilayah penelitian (Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur) berdasarkan data Riskesdas 2007.
23
Hipotesis 1. Terdapat hubungan status gizi batita dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. 2. Terdapat hubungan keluarga (umur ibu, pendidikan ibu & jumlah anggota) dan karakteristik batita (penyakit infeksi), akses ke pelayanan kesehatan serta ketanggapan pelayanan kesehatan dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan.
24
METODE Sumber data, Desain, Waktu dan Tempat Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 yang telah mengalami editing dan cleaning oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan (Balitbangkes Depkes) dengan desain penelitian adalah cross-sectional design. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada Februari-Mei 2010. Penelitian ini memilih tiga provinsi sebagai contoh yaitu provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Cara Pengambilan Contoh Berdasarkan data yang diperoleh dari Balitbangkes Depkes ada sebanyak 3866 batita contoh dari ketiga wilayah penelitian. Kemudian ditetapkan kriteria inklusi yaitu batita yang termasuk dalam kuintil 1 dan 2 sebagai proxi indikator tingkat konsumsi dan status sosial ekonomi yang rendah karena pelayanan kesehatan di Puskesmas, posyandu, polindes dan poskesdes lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dengan status sosial ekonomi yang rendah, mempunyai berat badan, tinggi badan, umur dalam bulan, jenis kelamin, pendidikan ibu dan umur ibu serta jumlah anggota keluarga. Kemudian dilakukan pengeluaran contoh berdasarkan kriteria eksklusi yaitu nilai z-score yang diperoleh melewati batasan antrho 2005 yaitu BB/U z-score -6 sampai dengan + 5, BB/TB z-score -5 sampai dengan +5 dan TB/U -6 sampai dengan +6. Dari ketiga wilayah penelitian tersebut, akhirnya di dapat contoh sebanyak 1724 batita. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data penelitian ini merupakan data primer Riskesdas yang telah mengalami proses coding, editing dan cleaning dari Balitbangkes Depkes. Data-data yang diambil dari kuesioner Riskesdas disesuaikan dengan kebutuhan penelitian meliputi: 1.
Data karakteristik batita meliputi: berat badan, tinggi badan/panjang badan, umur batita dan jenis kelamin dan keluarga: umur ibu, tingkat pendidikan ibu, dan jumlah anggota.
25
2. Data penyakit infeksi balita ISPA, Pneumonia, Diare, Campak dan TB Paru. 3. Akses ke pelayanan kesehatan: jarak dan waktu tempuh terdekat, transportasi ke sarana pelayanan kesehatan. 4. Frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan 6 bulan terakhir. 5. Pemanfaatan pelayanan kesehatan meliputi: penimbangan, penyuluhan, imunisasi, kesehatan ibu dan anak (KIA), pengobatan, pemberian makanan tambahan (PMT), suplemen gizi, dan konsultasi resiko penyakit. 6. Ketanggapan pelayanan kesehatan di pelayanan kesehatan rawat jalan. Pengolahan Data Dalam tahap pengolahan data digunakan program komputer software microsoft Ecxel 2007, kemudian dilakukan kegiatan-kegiatan pengkodean, editing dan cleaning. Cleaning dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya data yang salah atau missing, apabila data yang diambil terdapat data yang hilang (missing), maka dilakukan kembali konfirmasi, dan dicek ulang apakah diambil atau di buang. Status gizi batita diolah dengan program software anthro 2005, dianalisis secara statistik dan deskriptif disajikan dalam 3 (tiga) indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Data antropometri anak 0-3 tahun untuk melihat secara deskriptif dibuat kategori sesuai dengan standar anthropometri WHO 2006 (Riskesdas 2007) dengan klasifikasi nilai terstandar (zscore) seperti telah dijelaskan pada tinjauan pustaka. Skala pengukuran ordinal dan rasio. Pendidikan ibu diolah secara deskriptif dengan melihat kategori tingkat pendidikan ibu dari pendidikan formal yang ditamatkan, kemudian dikategorikan menjadi tidak sekolah 0 tahun, tidak tamat SD = 5 tahun, tamat SD 6 tahun, tamat SMP 9 tahun, tamat SMA 12 tahun dan PT 16 tahun dengan skala rasio dan ordinal. Umur ibu dibuat kategori 16-25 tahun, 26-40 tahun dan >40 tahun, skala rasio dan ordinal. Jumlah anggota keluarga dihitung dari jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lainnya. Kemudian dikategorikan menjadi kecil < 4 orang, sedang 5-7 orang dan besar >7 orang dengan skala rasio dan ordinal. Akses ke pelayanan kesehatan diukur dengan melihat waktu, jarak tempuh dan transportasi (dengan kategori ada dan tidak ada
26
transportasi). Frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan diolah dengan melihat berapa kali dalam 6 bulan terakhir orang tua batita ke pelayanan kesehatan terdekat (Puskesmas, Posyandu/Poskesdes maupun di Polindes atau bidan desa) untuk menimbang (memantau pertumbuhan) anaknya. Dibuat kategori baik jika >4 kali kunjungan, sedang jika 1-3 kali kunjungan dan buruk jika tidak pernah kunjungan, skala pengukuran ordinal dan rasio. Ketanggapan pelayanan kesehatan diukur dengan melihat jawaban 1) sangat baik, 2) baik, 3) sedang, 4) buruk dan sangat buruk. Kemudian dibuat skor untuk jawaban 1= 4, 2=3, 3=2, 2=1 dan 5=0. Dengan skor tertinggi 20 dan dibuat kategori baik jika skor >12 (>60%) dan kurang jika skor <12 (<60%) untuk jelasnya dapat dilihat pada lampiran 3. Pemanfaatan pelayanan kesehatan diukur dengan melihat jenis-jenis pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan dalam 6 bulan terakhir baik di Puskesmas, Posyandu/Poskesdes maupun di Polindes atau bidan desa terdekat. Program-program
pelayanan
kesehatan
tersebut
meliputi:
penimbangan,
penyuluhan, imunisasi, KIA, KB, pengobatan, PMT suplemen
gizi, dan
konsultasi resiko penyakit. Jenis-jenis pelayanan kesehatan ini diolah dengan memberikan
kategori
jawaban
ya
(memanfaatkan)
dan
tidak
(tidak
memanfaatkan), kemudian diskors dengan menjumlahkan jenis pelayanan yang dimanfaatkan. Setiap jenis pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan diberi skor 1 (satu) dan nol (0) untuk jenis pelayanan kesehatan yang tidak dimanfaatkan. Skala pengukuran ordinal untuk pemanfaatan pelayanan kesehatan dan rasio untuk variabel pelayanan kesehatan (skor pada lampiran 5) Penyakit infeksi diukur dengan kuesioner diagnosa dan atau gejala spesifik dari penyakit yang pernah di derita batita selama 1 bulan terakhir untuk penyakit ISPA, Pneumonia dan Diare sedangkan penyakit Campak dan TB Paru 12 bulan terakhir. Dikatakan infeksi jika berdasarkan diagnosa terkena penyakit tersebut dan atau hanya gejala spesifik dari penyakit infeksi tersebut. Penyakit infeksi diolah dengan pengkategorian infeksi (jika jawaban ya) diberi skor 1 (satu) untuk penyakit yang jawabannya tidak infeksi jika jawaban tidak skor 0 (nol) , kemudian secara keseluruhan dijumlahkan skornya dan dibuat variabel penyakit infeksi (skor pada lampiran 6).
27
Analisis Data Pada tahap analisis dilakukan dengan menggunakan program komputer software SPSS for windows versi 16,0. Untuk melihat secara umum dilakukan analisis univariat, untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji statistik chi-square test dan moment pearson correlation test. Dan untuk menguji pengaruh berbagai variabel independen terhadap suatu variabel dependen digunakan uji statistik regresi linier berganda ( Syarief 1992; Hastono 2001). Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu umur ibu, lama pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, penyakit infeksi dan ketanggapan pelayanan kesehatan. Model persamaan Regresi linier berganda adalah sebagai berikut : Ŷ 1 = Ŷ 2 = Ŷ 3 = β 0 +β 1 X 1 + β 2 X 2 + ......................... + β n X n + € Keterangan: Ŷ1 Ŷ2 Ŷ3
= Variabel terikat status gizi batita BB/TB = Variabel terikat status gizi batita BB/U = Variabel terikat status gizi batita TB/U
β 1, β 2,.......... β n = Koefisien Regresi € = Galat β0 = Intercept X 1 ,X 2 ....... X n Variabel bebas: Kode : Umur ibu X1 X2 : Lama pendidikan ibu X3 : Jumlah anggota keluarga : Penyakit infeksi X4 X5 : Pemanfaatan pelayanan kesehatan
= Variabel bebas
28
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional, sehingga hubungan atau perbedaan yang ditemukan antara variabel independen dan variabel dependen bukan merupakan sebab akibat. Hal ini disebabkan karena kedua variabel tersebut diukur pada saat yang bersamaan. Pada analisis univariat dan bivariat hubungan yang ditunjukkan hanyalah kecendrungan hubungan antar variabel. Namun dengan dilakukannya analisis multivariat diharapkan dapat memberikan hasil yang baik untuk mengetahui hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita. Penelitian ini melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi batita baik dari segi karakteristik keluarga maupun dari segi pemanfaatan pelayanan kesehatan. Pada kerangka Unicef (1998) banyak faktor yang mempengaruhi status gizi batita di luar variabel yang diteliti seperti pola asuh, sanitasi ketersediaan pangan di tingkat wilayah dan rumah tangga. Namun penelitian ini difokuskan pada variabel yang terlihat pada kerangka pemikiran. Data primer yang diperoleh dari Balitbangkes Depkes RI telah melalui proses verifikasi, editing dan cleaning sehingga bias penelitian baik pada saat pengumpulan data sampai dengan cleaning data dapat terjadi karena peneliti tidak terlibat langsung dalam survey ini. Batasan Operasional Status Gizi Batita Keadaan gizi anak batita yang diamati berdasarkan nilai z-score indikator berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut panjang/tinggi badan (BB/TB) dan panjang/tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan standart antropometri WHO 2006. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan kesehatan seperti: Puskesmas, Polindes, Poskesdes, Posyandu dan bidan desa. Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan oleh batita baik preventif maupun kuratif yang meliputi:
29
penimbangan, penyuluhan, kesehatan ibu dan anak, pemberian makanan tambahan, pengobatan, suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit di pelayanan kesehatan. Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga pada penelitian ini meliputi: umur ibu, pendidikan ibu dan jumlah anggota keluarga. Penyakit Infeksi Penyakit infeksi yang pernah diderita oleh batita yang dinilai berdasarkan penyakit TB Paru dan Campak pernah diderita dalam 12 bulan terakhir dan penyakit Diare, ISPA dan Pneumonia yang pernah diderita dalam 1 bulan terakhir yang diukur melalui wawancara dengan orang tua anak. Dikategorikan menjadi dua yaitu pernah menderita infeksi dan tidak infeksi. Akses ke Pelayanan Kesehatan Tingkat kemudahan dalam mengakses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang diukur berdasarkan jarak dan waktu serta adanya transportasi yang diperlukan agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang tersedia baik pemerintah maupun UKBM yang ada. Ketanggapan pelayanan kesehatan Penilaian yang diberikan rumah tangga batita yang memanfaatkan pelayanan kesehatan terdekat untuk rawat jalan di pelayanan kesehatan (RS Pemerintah, RS swasta, Rumah bersalin, Puskesmas, Pustu, Pusling, Posyandu, Poliklinik/balai pengobatan swasta, praktek tenaga kesehatan) yang diukur dengan beberapa kuesioner Riskesdas pada lembar pertanyaan rumah tangga dan individu yang dibuat kategori baik dan kurang baik.
30
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Geografi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 33 provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa Yogyakarta di bagian selatan dibatasi Lautan Indonesia, sedangkan di bagian timur laut, tenggara, barat, dan barat laut dibatasi oleh wilayah provinsi Jawa Tengah yang meliputi: Kabupaten Klaten di sebelah Timur Laut, Kabupaten Wonogiri di sebelah Tenggara, Kabupaten Purworejo di sebelah Barat, Kabupaten Magelang di sebelah Barat Laut (BPS 2007) Posisi DI Yogyakarta yang terletak antara 7°33’- 8°12’ Lintang Selatan dan 110°00’-110°50’ Bujur Timur, tercatat memiliki luas 3 185.80 km² atau 0.17 persen dari luas Indonesia (1 860 359.67 km²), merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan informasi dari Badan Pertanahan Nasional, dari 3 185.80 km² luas DIY sebagian besar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta terletak pada ketinggian antara 100m–499m dari permukaan laut tercatat sebesar 65.65%, ketinggian kurang dari 100 m sebesar 28.84%, ketinggian antara 500m–999m sebesar 5.04% dan ketinggian di atas 1000 m sebesar 0.47%. Posisi geografis Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sebelah Utara berbatasan dengan laut Flores, sebelah Selatan dengan lautan Hindia, sebelah Timur dengan Negara Timor Lorosae dan Laut Timor dan sebelah Barat dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kedudukan Astronomis terletak pada 80 - 120 Lintang Selatan dan 1180 - 1250 Bujur Timur. Selanjutnya Nusa Tenggara Timur memiliki kondisi geografis yang bervariasi, seperti Pulau Flores, Alor, Komodo, Solor, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya di jalur utara terbentuk secara vulkanik. Sedangkan Pulau Sumba, Sabu, Rote, Semau, Timor dan pulau-pulau sekitarnya di selatan merupakan daerah karang, karena terbentuk dari dasar laut yang terangkat ke permukaan (BPS 2007) Dengan kondisi seperti ini maka pulau-pulau yang terletak pada jalur vulkanik dapat dikategorikan sebagai daerah yang subur, sedangkan daerah karang pada umumnya kurang subur. Wilayah administratif Pemerintah Provinsi NTT telah berkembang dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan
31
kependudukan. Provinsi NTT terdiri dari 19 Kabupaten, 1 Kota, 273 Kecamatan dan 2796 Desa/Kelurahan. Luas wilayah masing-masing kabupaten cukup bervariasi, dimana Kabupaten Sumba Timur memiliki luas terbesar yaitu 7 000.50 km2 dan yang terkecil adalah Kota Kupang dengan luas 160.34 km2. Propinsi Sumatera Selatan terletak di sebelah Selatan garis khatulistiwa pada 10 - 40 derajat lintang Selatan dan 102 - 108 derajat Bujur Timur dengan luas wilayah 8 701 742 ha. Bagian daratan propinsi ini berbatasan dengan Propinsi Jambi di sebelah Utara, Propinsi Lampung di Selatan dan Propinsi Bengkulu di bagian Barat. Sedang di bagian Timur berbatasan dengan Pulau Bangka dan Belitung. Sumatera Selatan dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya karena wilayah ini dalam abad 712 Masehi merupakan pusat kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Indonesia yang berpengaruh sampai ke Formosa dan Cina di Asia serta Madagaskar di Afrika (Profil Sumsel 2007). Disamping itu, Sumatra Selatan sering pula disebut sebagai Daerah Batanghari Sembilan karena di kawasan ini terdapat 9 sungai besar yang dapat dilayari sampai jauh ke hulu, yakni: sungai Musi, Ogan, Komering, Lematang, Kelingi, Rawas, Batanghari Leko dan Lalan serta puluhan lagi cabang-cabangnya. Wilayah ini beriklim tropis dan basah. Sepanjang tahun propinsi ini hanya dipengaruhi oleh dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Suhu udaranya bervariasi antara 24.7oC sampai 32.9 oC dengan tingkat kelembaban udara berkisar antara 82% sampai 88%. Demografi Berdasarkan hasil Hasil Proyeksi SUPAS 2005, tahun 2007 jumlah penduduk Provinsi DI Yogyakarta tercatat 3 434 534 jiwa, dengan persentase jumlah penduduk laki-laki 50.16% dan penduduk perempuan 49.84%. Menurut daerah, persentase penduduk kota mencapai 60.57% dan penduduk desa mencapai 39.31% (Susenas 2007). Pertumbuhan penduduk pada tahun 2007 sebesar 1.01% relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta memiliki angka pertumbuhan di atas angka provinsi, masing-masing sebesar 1.46 persen, 1.34 persen dan 1.32 persen. Dengan luas wilayah 3 185.80 km2, kepadatan penduduk di DI Yogyakarta tercatat 1.079 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Yogyakarta yakni 13.881 jiwa per km2 dengan luas wilayah hanya sekitar 1
32
persen dari luas Provinsi DI Yogyakarta. Sedangkan Kabupaten Gunung Kidul yang memiliki wilayah terluas mencapai 46.63% memiliki kepadatan penduduk terendah yang dihuni rata-rata 461 jiwa per km2 (BPS 2007). Tabel 2 Sebaran penduduk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menurut kelompok umur dan jenis kelamin Kelompok Umur 0-4 4-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+ Jumlah
Laki-laki 108 200 102 600 116 600 141 100 179 400 197 000 161 800 126 400 119 100 109 900 92 700 71 400 56 300 50 200 40 900 49 200 1 722 800
Daerah Istimewa Yogyakarta % Perempuan % Jumlah 52 100 900 48 209 100 51 97 900 49 200 500 51 111 000 49 227 600 52 130 900 48 272 000 53 159 900 47 339 300 54 171 000 46 368 000 52 150 900 48 312 700 49 131 900 51 258 300 48 128 000 52 247 100 49 115 000 51 224 900 49 95 000 51 187 700 48 76 100 52 147 500 46 65 000 54 121 300 46 59 000 54 109 200 44 51 100 56 92 000 42 68 100 58 117 300 50 1 711 700 50 3 434 500
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber BPS tahun 2007
Komposisi kelompok umur penduduk DI Yogyakarta didominasi oleh kelompok usia dewasa yaitu umur 25-29 tahun sebesar 10.71 persen. Kelompok umur 0-24 tahun tercatat 36.35%, kelompok umur 25-59 tahun 50.84%, dan lanjut usia yaitu umur 60 tahun ke atas sebesar 12.81%. Besarnya proporsi mereka yang berusia lanjut mengisyaratkan tingginya usia harapan hidup penduduk DI Yogyakarta. Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2007 berjumlah 7 019 964 jiwa yang terdiri dari 3 571 271 penduduk laki-laki dan 3 448 693 penduduk perempuan. Penduduk Sumatera Selatan bertambah dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 1.74% pertahun. Tingkat kepadatan penduduk provinsi Sumatera Selatan sekitar 80.67 km2. Dari 14 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Selatan, Kota Palembang mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi sebesar 3 729.52 orang
33
per km2. Sedangkan kepadatan penduduk paling kecil adalah Kabupaten Musi Banyuasin yaitu 34.39 orang per km2. Tabel 3 Sebaran penduduk Provinsi Sumatera Selatan menurut kelompok umur dan jenis kelamin Kelompok Umur 0-4 4-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 Jumlah
Laki-laki 406 265 355 177 381 532 371 115 319 789 303 929 266 372 271 913 234 743 204 783 174 228 112 953 232 238 3 635 037
% 51 52 52 53 51 49 49 51 50 50 52 54 48 51
Sumatera Selatan Perempuan % 384 294 49 328 064 48 354 448 48 333 996 47 308 258 49 319 078 51 275 893 51 257 567 49 236 291 50 204 730 50 161 551 48 95 022 46 252 106 52 3 511 298 49
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Jumlah 790 559 683 181 735 980 705 111 628 047 623 007 542 265 529 480 471 034 409 513 335 779 207 975 484 344 7 146 275
Sumber BPS tahun 2007
Penduduk Sumatera Selatan menurut kelompok umur menunjukkan bahwa 29.68% berusia muda (0-14 tahun), 63.42% berusia produktif (umur 15-59 tahun) dan hanya 6.9% yang berumur 60 tahun lebih. Untuk Provinsi NTT berdasarkan data dari BPS jumlah penduduk tahun 2007 sebanyak 4 448 873 jiwa yang tersebar di seluruh NTT, dengan tingkat kepadatan 93.96 jiwa per km² dan angka pertumbuhan penduduk sebesar 2.10%. Kabupaten/Kota pada tahun 2007 yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah Kota Kupang, yaitu sebesar 1 785.57 jiwa per km² dan Kabupaten Belu sebesar 170.92 jiwa per km². Kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Sumba Timur, yaitu sebesar 31.87 jiwa per km², disusul Kabupaten Alor dan Kabupaten Kupang, masing-masing sebesar 62.47 jiwa per km² dan 68.24 jiwa per km². Tabel 4 Sebaran penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut kelompok umur dan jenis kelamin Kelompok Umur
Laki-laki
%
Nusa Tenggara Timur Perempuan %
Jumlah
%
34
0-4 4-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+ Jumlah
258 800 241 300 261 300 248 200 209 600 173 000 144 800 134 600 125 500 110 200 88 200 68 100 52 000 40 000 28 800 28 600 2 213 000
51 51 51 52 51 49 46 47 48 49 49 49 49 48 47 46 50
246 300 229 300 250 300 233 300 203 300 183 200 167 200 151 200 134 100 113 200 90 100 71 100 55 100 43 000 32 100 33 100 2 235 900
49 49 49 48 49 51 54 53 52 51 51 51 51 52 53 54 50
505 100 470 600 511 600 481 500 412 900 356 200 312 000 285 800 259 600 223 400 178 300 139 200 107 100 83 000 60 900 61 700 4 448 900
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber BPS tahun 2007
Sebaran penduduk NTT menurut kelompok umur, menunjukkan bahwa penduduk yang berusia muda (0-14 tahun) sebesar 33.43%, yang berusia produktif (15-64 tahun) sebesar 61.95% dan yang berusia tua ( ≥ 65 tahun) sebesar 4.62%. Pendidikan Sumber daya manusia akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Dari data Susenas 2007 data pendidikan disajikan dalam data tingkat pendidikan penduduk. Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki penduduk merupakan indikator pokok kualitas pendidikan formal. Semakin tinggi ijazah/STTB yang dimiliki oleh rata-rata penduduk suatu negara mencerminkan semakin tingginya taraf intelektualitas bangsa dan negara tersebut. Di Provinsi DI Yogyakarta, pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk umur 10 tahun keatas terbanyak adalah tamat SD (23.81%), sedang penduduk yang tamat SMU ke atas 31.04%. Bila dilihat menurut Kab/Kota, jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan terbanyak adalah SD, kecuali di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta pendidikan tertinggi yang ditamatkan terbanyak adalah SMU masing-masing sebanyak 23.92% dan 32.96% laporan Riskesdas DIY (2007)
35
Di NTT tahun 2006, persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang tidak/belum memiliki ijazah/surat tanda tamat belajar (STTB) sebanyak 42.04%. Sedangkan yang sudah memiliki ijazah terdiri atas tamatan SD/MI (32.27%), tamat SLTP/MTs (11.59%), tamat SMU/SMK (11.28%), dan tamat Diploma I sampai dengan Universitas (2.90%). Dengan demikian maka persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang memiliki ijazah SMU/SMK atau pendidikan yang lebih tinggi (14.18%). Kabupaten/kota dengan persentase tertinggi penduduknya berpendidikan SMU/SMK atau lebih tinggi adalah Kota Kupang (43.10%) dan Ende (15.77%). Sedangkan yang terendah di Kabupaten Timor Tengah Selatan (7.01%) dan Timor Tengah Utara (7.76%). Dilihat dari jenis kelamin, ijazah/STTB yang dimiliki oleh penduduk laki-laki lebih baik bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk yang mempunyai ijazah SMU/SMK atau lebih tinggi pada laki-laki sebesar 15.84% dan pada perempuan sebesar 12.28% (BPS 2007). Di Sumatera Selatan penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum memiliki ijazah sebesar 21.43%, tamat SD/MI sederajat sebesar 27.23%, SLTP/MTs sederajat sebesar 14.49%, SMU/SMA sederajat sebesar 14.3%, Diploma hingga Perguruan Tinggi sebesar 3.27%. Dilihat dari jenis kelamin, ijazah/STTB yang dimiliki oleh penduduk laki-laki masih lebih baik bila dibandingkan yang dimiliki perempuan. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk yang mempunyai ijazah SMU/SMK atau lebih tinggi pada laki-laki sebesar 8.1% dan pada perempuan sebesar 6.28% (BPS 2007). Keadaan Kesehatan di Wilayah Penelitian Sarana pelayanan kesehatan merupakan ujung tombak pelayanan yang sangat penting mendapat perhatian dalam menjaga kesehatan masyarakat. Di Provinsi Sumatera Selatan sarana pelayanan kesehatan yang tersedia ada 40 RSU/RSUD, 265 puskesmas, 920 puskesmas pembantu, 1 713 poskesdes, 6 289 poyandu. Sarana pelayanan kesehatan yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 277 puskesmas, 5 306 posyandu, 1 499 polindes. Dan yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur 253 puskesmas, 866 pustu, 19 566 posyandu dan 1 051 polindes sumber Pusdatin-Depkes (2007).
36
Data prevalensi penyakit ISPA, Pneumonia, TB Paru, Campak dan Diare yang diderita oleh batita di ketiga wilayah penelitian dari data Riskesdas 2007. Tabel 5 Prevalensi ISPA, Pneumonia, TB Paru, Campak dan Diare menurut karakteristik umur Kelompok Umur (th) DIY <1 1-4 Sumsel <1 1-4 NTT <1 1-4 Nasional <1 1-4
ISPA D DG
Pneumonia D DG
TB Paru D DG
Campak D DG
Diare D DG
35.5 48.3
20.4 21.3
3.9 2.7
0.7 0.7
3.6
2.2
2.0 1.6
1.3 0.7
7.2 4.0
50.0 54.8
16.2 19.4
28.4 33.4
1.4 1.2
2.1 1.9
0.5 0.2
0.5 0.3
2.4 1.9
3.1 2.2
17.7 14.7
69.9 67.1
57.1 58.3
22.9 20.4
4.6 5.9
21.1 19.9
0.7
0.1
2.1 2.9
1.5 1.1
14.0 13.6
59.8 67.0
14.9 16.1
35.92 0.76 42.53 1.00
2.20 3.02
0.17 0.38
0.47 0.76
1.81 2.36
2.44 3.41
16.5 16.7
52.8 55.5
Sumber Riskesdas Nasional, DI Yogyakarta, Sumsel dan NTT 2007
Keadaan kesehatan di ketiga wilayah penelitian dilihat dari prevalensi kejadian 5 penyakit (ISPA, Pneumonia, Diare, Campak dan TB Paru) adalah prevalensi kejadian ISPA (diagnosa) tertinggi di provinsi Nusa Tenggara Timur 57.1% untuk anak < 1 tahun dan 58.3% untuk anak umur 1-4 tahun. Sedangkan untuk ISPA (dengan gejala) tertinggi di provinsi Sumatera Selatan terdapat 28.4% pada anak < 1 tahun dan 33.4% pada anak 1-4 tahun. Prevalensi kejadian Pneumonia diagnosa dan dengan gejala juga tertinggi terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk penyakit TB Paru baik diagnosa maupun dengan gejala tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta, akan tetapi kasus untu anak <1 tahun hanya terdapat di Nusa Tenggara Timur. Penyakit Campak (diagnosa) tertinggi di Nusa Tenggara Timur, tetapi untuk Campak dengan gejala tertinggi di Sumatera Selatan. Prevalensi Diare diagnosa dan dengan gejala untuk anak <1 tahun tertinggi di Sumatera Selatan dibandingkan dengan ke dua provinsi yang lain. Status Gizi Batita Penilaian status gizi anak dinilai dari berat badan dan panjang atau tinggi badan serta umur kemudian dikonversikan ke dalam bentuk nilai standar z-score
37
berdasarkan standar baku WHO (2006). Pengukuran status gizi menggunakan indikator BB/U, BB/TB dan TB/U. Indikator BB/U dan BB/TB digunakan untuk mengetahui status gizi masa sekarang, sedangkan indikator TB/U digunakan untuk menggambarkan status gizi masa lalu. Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Indikator BB/TB menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Pada kondisi dengan adanya penyakit infeksi dan kurang gizi berat badan anak akan cepat turun sehingga tidak proporsional lagi dengan tinggi badannya sehingga anak menjadi kurus. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah indikator sangat kurus yaitu anak dengan nilai zscore < -3,0 SD. Selanjutnya digunakan masalah kurus dengan istilah wasting untuk gabungan kategori sangat kurus dan kurus. Besarnya masalah wasting pada balita yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat (public health problem) adalah jika prevalensi wasting 10,1% s/d 15,0% sudah dianggap serius, dan dianggap kritis bila prevalensi wasting sudah > 15,0% (UNHCR). Rata-rata z-score status gizi batita contoh dengan indikator BB/TB adalah -0.36 ± 2.2 SD. Tabel 6
Provinsi DIY Sumsel NTT Total
Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator BB/TB di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur Status Gizi Batita berdasarkan Indikator BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal n % n % n % 6 3.1 13 6.7 150 76.9 96 13.7 43 6.1 412 58.7 108 13.1 85 10.3 562 68 210 12.2 141 8.2 1124 65.2
Gemuk n % 26 13.3 151 21.5 72 8.7 249 14.1
Jumlah n 195 702 827 1724
% 100 100 100 100
Tabel 6 menyajikan prevalensi status gizi batita berdasarkan indikator BB/TB di ketiga wilayah penelitian. Prevalensi wasting tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu 23.4% dan Sumatera Selatan yaitu 19.8% merupakan masalah gizi kronis yang sangat kritis (>15%), dan terendah di Provinsi DI yogyakarta (9.8%) termasuk masalah gizi sedang. Pada penelitian ini diperoleh hasil prevalensi wasting adalah 20.4%, sedangkan prevalensi nasional 19.8%. Hal
38
ini menunjukkaan bahwa masalah wasting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kritis pada batita. Tabel 7 Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dan status gizi indikator BB/TB Indikator BB/TB Karakteristik Keluarga
Jumlah
Sangat Kurus n %
n
%
n
%
n
%
n
%
Pendidikan Ibu -Tidak Sekolah -Tidak Tamat SD -Tamat SD -Tamat SMP -Tamat SMA -Tamat PT
6 38 90 38 31 7
0.3 2.2 5.2 2.2 1.8 0.4
5 25 66 20 24 1
0.3 1.5 3.8 1.2 1.4 0.1
42 197 479 196 196 14
2.4 11.4 27.8 11.4 11.4 0.8
5 41 83 61 53 6
0.3 2.4 4.8 3.5 3.1 0.3
58 301 718 315 304 28
3.4 17.5 41.6 18.3 17.6 1.6
Jumlah
210
12.2
141
8.2
1124
65.2
249
14.4
1724
100
62 133 15
3.6 7.7 0.9
35 97 9
2.0 5.6 0.5
302 746 76
17.5 43.3 4.4
76 153 20
4.4 8.9 1.2
475 1129 120
27.6 65.5 7.0
210
12.2
141
8.2
1124
65.2
249
14.4
1724
100
63 107 40
3.7 6.2 2.3
44 83 14
2.6 4.8 0.8
388 599 137
22.5 34.7 7.9
83 131 35
4.8 7.6 2.0
578 920 226
33.5 53.4 13.1
210
12.2
141
8.2
1124
65.2
249
14.4
1724
100
Umur Ibu 16-25 tahun 26-40 tahun >40 tahun Jumlah Jumlah anggota < 4 orang 5-7 orang >7 orang Jumlah
Kurus
Normal
Gemuk
Berdasarkan Tabel 7, ibu yang berpendidikan formal tertinggi hanya tamat SD (41.6%) dari tabulasi silang memiliki batita yang berstatus gizi wasting dan status gizi gemuk terbanyak yaitu sebesar 9% dan 4.8%. Hasil analisis statistik moment pearson correlation test diperoleh nilai p < 0.05 yang menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu mempunyai hubungan yang positif dengan status gizi batita indikator BB/TB (r=0.083, p=0.001). Ini memperlihatkan bahwa pendidikan ibu merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki ibu untuk meningkatkan kemampuan dalam pengasuhan anak, di mana pengasuhan adalah suatu proses, baik atau rendahnyanya kualitas pola asuh salah satunya ditentukan oleh pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki ibu, sehingga hasilnya dapat dilihat dari baik buruknya status gizi anaknya. Semakin lama masa pendidikan ibu maka status gizi anaknya cendrung baik.
39
Ibu yang berumur 26-40 tahun (65.5%) dari tabulasi silang memiliki batita dengan status gizi wasting dan gemuk terbanyak yaitu sebesar 13.3% dan 8.9% dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan status gizi batita indikator BB/TB. Keluarga batita dengan jumlah anggota 5-7 orang (53.4%) dari tabulasi silang terbanyak memiliki batita dengan status gizi wasting dan gemuk yaitu sebesar 11% dan 7.6%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis statistik moment pearson correlation test didapat nilai p<0.05 (r=-0.047, p=0.049) yang berarti terdapat korelasi negatif antara status gizi indikator BB/TB dengan jumlah anggota keluarga. Logikanya dengan jumlah anggota yang banyak akan mempengaruhi jumlah makanan yang dikonsumsi akan semakin sedikit, jika makanan yang dikonsumsi tidak sesuai atau kurang dari kebutuhan maka dalam jangka panjang hal ini dapat mengakibatkan
kurang gizi pada batita. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Suhardjo (1989) dan Sanjur (1982) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan jumlah anggota
keluarga dengan status gizi anak. Tabel 8 Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi berdasarkan indikator BB/TB Indikator BB/TB Penyakit Infeksi
Sangat Kurus n %
Kurus
Normal
Gemuk
Jumlah
n
%
n
%
n
%
n
%
- Pernah Infeksi - Tidak Infeksi
114 96
6.6 5.6
82 59
4.8 3.4
452 672
39 26.2
128 121
7.4 7.0
996 728
57.8 42.2
Total
210
12.2
141
8.2
1124
65.2
249
14.4
1724
100
Sebaran batita dengan status gizi BB/TB berdasarkan infeksi penyakit disajikan pada Tabel 8. Prevalensi wasting pada batita yang didiagnosa atau mengalami gejala penyakit infeksi terdapat sebanyak 13.4%. Berdasarkan uji statistik terdapat korelasi negatif antara penyakit infeksi dengan status gizi batita indikator BB/TB (r=-0.061 p=0.011) yang berarti bahwa batita yang mengalami penyakit infeksi lebih dari satu penyakit cendrung mengalami status gizi wasting dibandingkan dengan batita yang hanya mengalami satu penyakit. Hasil penelitian
40
ini sejalan dengan pendapat Moehyi (1996) yang menyatakan bahwa status gizi anak mempunyai hubungan yang timbal balik dengan penyakit infeksi. Anak yang terinfeksi penyakit biasanya akan mempengaruhi status gizinya. Indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Indikator BB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya umum dan tidak spesifik. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah indikator gizi buruk yaitu anak dengan nilai z-score < -3,0 SD. Selanjutnya digunakan masalah kurang gizi dengan istilah underweight untuk gabungan kategori gizi buruk dan gizi kurang. Besarnya masalah kurang gizi pada balita yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat (public health problem) adalah jika prevalensi underweight <10% (rendah), 10-19.9% (sedang), 20-29.9% (tinggi) dan sangat tinggi jika >30% (WHO 1995). Tabel 9 Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator BB/U di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur Status Gizi Batita berdasarkan Indikator BB/U Buruk Kurang Baik n % n % n %
n
DIY Sumsel NTT
20 140 225
10.3 19.9 27.2
38 104 184
19.5 14.8 22.2
116 302 312
59.5 43 37.7
21 156 106
Total
385
22.3
326
18.9
730
42.3
283
Provinsi
Lebih %
Jumlah n
%
10.8 22.2 12.8
195 702 827
100 100 100
16.4
1724
100
Rata-rata z-score status gizi batita dengan indikator BB/U adalah -0.88 ± 2.8 SD. Masalah kurang gizi pada batita sangat rawan sekali ini terlihat dari tingginya angka prevalensi di ke tiga wilayah penelitan. Prevalensi underweight berturutturut di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan dan DI Yogyakarta yaitu 49.4% (sangat tinggi), 34.7% (tinggi) dan 19.8% (sedang). Prevalensi underweight
hasil penelitian ini adalah 41.2%, hal ini menunjukkaan bahwa
masalah underweight merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat tinggi pada anak batita (Tabel 9).
41
Tabel 10 Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dan status gizi indikator BB/U Indikator BB/U Karakteristik Keluarga
Gizi Buruk n %
Gizi Kurang
Gizi Baik
Gizi lebih
Jumlah
n
%
n
%
n
%
n
%
0.7
7
0.4
30
1.7
9
0.5
58
3.4
73
4.2
55
3.2
120
7.0
53
3.1
301
1.5
-Tamat SD
184
10.7
160
9.3
270
15.7
104
6.0
718
41.6
-Tamat SMP
62
3.6
50
2.9
147
8.5
56
3.2
315
18.3
-Tamat SMA
49
2.8
51
3.0
147
8.5
57
3.3
304
17.6
-Tamat PT
5
0.3
3
0.2
16
0.9
4
0.2
28
1.6
385
22.3
326
18.9
730
42.3
283
16.4
1724
100
16-25 tahun
107
6.2
78
4.5
203
11.8
87
5.0
475
27.6
26-40 tahun
244
14.2
234
13.6
480
27.8
171
9.9
1129
65.5
>40 tahun
34
2.0
14
0.8
47
2.7
25
1.5
120
7.0
385
22.3
326
18.9
730
42.3
283
16.4
1724
100
< 4 orang
118
6.8
113
6.6
251
14.6
96
5.6
578
33.5
5-7 orang
206
11.9
176
10.2
391
22.7
147
8.5
920
53.4
>7 orang
61
3.5
37
2.1
88
5.1
40
2.3
226
13.1
385
22.3
326
18.9
730
42.3
283
16.4
1724
100
Pendidikan Ibu -Tidak Sekolah
12
-Tidak Tamat SD
Jumlah Umur Ibu
Jumlah Jumlah anggota
Jumlah
Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sebaran batita berdasarkan lama pendidikan ibu dari tabulasi silang adalah ibu batita yang berpendidikan hanya tamat SD (41.6%) mempunyai 20% batita yang berstatus gizi underweight dan status gizi lebih (6.0%). Hasil uji statistik moment pearson correlation test memperlihatkan hubungan yang positif antara status gizi batita indikator BB/U dengan lama pendidikan ibu p<0.05 (r=0.062, p=0.010). Semakin lama ibu mendapatkan pendidikan maka status gizi anaknya cendrung baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Soekirman (1990); Amine et al.(1996); Madanijah (2003); Leslie (1985) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi anak. Dilihat dari tabulasi silang, ibu yang berumur 26-40 tahun (65.5%) mempunyai batita dengan status gizi underweight dan gizi lebih terbanyak yaitu sebesar 27.8% dan 9.9%, dengan uji ststistik korelasi pearson didapat hasil tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi batita indikator BB/U dengan
42
umur ibu (p>0.05). Dari 53.4% rumah tangga batita dengan jumlah anggota 5-7 orang mempunyai batita dengan status gizi underweight dan gemuk terbanyak berturut-turut sebesar 22.1% dan 8.5%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil analisis statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi batita indikator BB/U dengan jumlah anggota keluarga. Tabel 11 Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi indikator BB/U Indikator BB/U Penyakit Infeksi
- Pernah Infeksi - Tidak Infeksi Total
Gizi Buruk
Gizi Kurang
Gizi Baik
Gizi Lebih
Jumlah
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
221 164 385
12.8 9.5 22.3
206 120 326
11.9 7 18.9
426 304 730
24.7 17.6 42.3
143 140 283
8.3 8.1 16.4
996 728 1724
57.8 42.2 100
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa hasil tabulasi silang prevalensi underweight pada kelompok batita yang pernah menderita penyakit infeksi adalah sebesar 24.7%. Dari analisis statistik diperoleh hasil r=-0.061 p=0.011, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara penyakit infeksi dengan status gizi batita indikator BB/U. Artinya semakin banyak penyakit infeksi yang diderita batita maka status gizinya akan cendrung underweight. Hal ini didukung oleh pendapat Scrimshaw (1986) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sinergis antara keadaan gizi dengan penyakit infeksi. Penyakit infeksi dapat berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh karena dapat menurunkan nafsu makan sehingga konsumsi makanan menurun. Lebih lanjut infeksi membuat ketidakseimbangan hormon dan mengganggu fungsi imunitas sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Indikator Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Status gizi berdasarkan indikator TB/U merupakan gambaran status gizi dalam jangka waktu yang lama (kronis), artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku, pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena higiene dan sanitasi yang kurang baik. Status gizi sangat pendek dan pendek dalam pembahasan selanjutnya disebut stunting. Prevalensi stunting merupakan masalah kesehatan
43
masyarakat jika < 20% (rendah), 20-29.9% (sedang), 30-39.9% (tinggi/serius) dan > 40% (sangat tinggi/kritis). Rata-rata z-score status gizi indikator TB/U adalah -0.78 ± 1.76 SD. Tabel 12
Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator TB/U di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur
Status Gizi Batita berdasarkan Indikator TB/U Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n %
n
%
DIY Sumsel NTT
2 33 78
1 4.7 9.4
20 72 186
10.3 10.3 22.5
173 597 563
88.7 85 68.1
195 702 827
100 100 100
Total
113
6.6
278
16.1
1333
77.3
1724
100
Provinsi
Total
Tabel 12 menyajikan prevalensi status gizi batita berdasarkan indikator TB/U di ketiga provinsi wilayah penelitian. Prevalensi stunting berturut-turut Provinsi Nusa Tenggara Timur 31.9% (tinggi/serius), Sumatera Selatan 15% dan DI Yogyakarta 11.3% termasuk kategori masalah stunting yang rendah. Hasil penelitian ini prevalensi stunting 22.7% (tinggi/serius). Penyebab kejadian stunting terjadi pada saat prenatal dan post natal terutama pada dua tahun pertama (ACC/SCN 1997). Menurut Scmidth et al. (2003), status gizi dan pertumbuhan linier pada bayi hingga usia 12 bulan merupakan determinan dari lingkungan prenatal. Selain itu akan berdampak ketika usia dewasa dengan terbatasnya kapasitas kerja karena terjadi pengurangan massa tubuh (Haas et al. 1996) Berdasarkan beberapa studi menyatakan bahwa gangguan pertumbuhan linier disebabkan karena defisiensi tunggal atau gabungan zat mikro seperti seng, vitamin A, Besi (Allen 1994; Rivera et al. 1998; Muhilal et al. 1988; Angeles et al. 1993). Gangguan Pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang tidak memadai (ACC/SCN 1997).
44
Tabel 13 Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dengan status gizi indikator TB/U Indikator TB/U Karakteristik Keluarga
Sangat Pendek n
Pendek
%
n
Jumlah
Normal %
n
%
n
%
Pendidikan Ibu -Tidak Sekolah
4
0.2
10
0.6
44
2.6
58
3.4
-Tidak Tamat SD
22
1.3
53
3.1
226
13.1
301
17.5
-Tamat SD
56
3.2
142
8.2
520
30.2
718
41.6
-Tamat SMP
19
1.1
36
2.1
260
15.1
315
18.3
-Tamat SMA
11
0.6
36
2.1
257
14.9
304
17.6
-Tamat PT
1
0.1
1
0.1
26
1.5
28
1.6
Jumlah
113
6.6
278
16.1
1333
77.3
1724
100
16-25 tahun
32
1.9
62
3.6
381
22.1
475
27.6
26-40 tahun
73
4.2
195
11.3
861
49.9
1129
65.5
>40 tahun
8
0.5
21
1.2
91
5.3
120
7.0
Jumlah
113
6.6
278
16.1
1333
77.3
1724
100
< 4 orang
31
1.8
83
4.8
464
26.9
578
33.5
5-7 orang
66
3.8
151
8.8
703
40.8
920
53.4
>7 orang
16
0.9
44
2.6
166
9.6
226
13.1
Jumlah
113
6.6
278
16.1
1333
77.3
1724
100
Umur Ibu
Jumlah anggota
Berdasarkan Tabel 13 hasil tabulasi silang, ibu yang berpendidikan formal tamat SD (41.6%) terdapat batita dengan status gizi stunting terbanyak yaitu sebesar 11.4%. Dan hasil uji statistik diperoleh nilai p<0.05 (r=0.140, p=0.000), memperlihatkan bahwa status gizi indikator TB/U terdapat hubungan yang positif dengan lama pendidikan ibu. Di mana tingkat pendidikan ibu memegang peranan penting dalam menentukan pola pengasuhan anak sehingga anak dapat memiliki status gizi yang baik. Pada ibu yang bermur 26-40 tahun Status gizi stunting terbanyak yaitu sebesar 15.5%. Hasil analisis statistik status gizi indikator TB/U memiliki hubungan yang signifikan dengan umur ibu pada α < 10% (r= -0.040, p=0.096) Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hurlock (1999) yang menyatakan semakin dewasa ibu maka akan semakin berpengalaman dalam
45
pengasuhan anak sehingga dapat menjaga kesehatan dan status gizi anak lebih baik, dibandingkan dengan ibu yang umurnya masih muda. Batita yang berstatus gizi stunting terbanyak pada keluarga dengan jumlah anggota 5-7 orang yaitu sebesar 12.6% pada Tabel 13 dapat dilihat lebih jelas dan hasil uji statistik ternyata tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi indikator TB/U dengan jumlah anggota keluarga. Tabel 14 Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi indikator TB/U Penyakit Infeksi - Pernah Infeksi - Tidak Infeksi Total
Status Gizi Batita berdasarkan Indikator TB/U Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n % 71 4.1 171 9.9 754 43.7 42 2.4 107 6.2 579 33.6 113 6.6 278 16.1 1333 77.3
Total n 996 728 1724
% 57.8 42.2 100
Tabel 14 menyajikan hasil tabulasi silang prevalensi stunting pada kelompok batita yang pernah menderita penyakit infeksi adalah sebesar 14% lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak terinfeksi. Dari analisis statistik diperoleh hasil r=-0.105 p=0.000, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara penyakit infeksi dengan status gizi batita indikator TB/U. Artinya semakin banyak penyakit infeksi yang diderita batita maka status gizinya akan cendrung stunting. Hal ini didukung oleh pendapat Martorell et al. (1994) yang menyatakan bahwa hambatan pertumbuhan linier atau stunting, umumnya terjadi pada usia 2-3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari pengaruhpengaruh yang saling berinteraksi dari energi dan asupan gizi yang buruk serta infeksi penyakit. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi derajat
kesehatan seseorang (Blum 1974). Dengan fasilitas kesehatan,
ketanggapan dan akses ke pelayanan kesehatan yang baik maka diharapkan dapat mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Status gizi merupakan salah satu indikator dari derajat kesehatan, terutama status gizi balita. Dalam penelitian ini pemanfaatan pelayanan kesehatan dilihat hubungannya dengan status gizi pada batita di ketiga wilayah penelitian.
46
Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan kesehatan yang diadakan di setiap sarana pelayanan kesehatan baik yang berbasis masyarakat (posyandu, poskesdes atau POD/WOD) maupun yang dikelola langsung oleh pemerintah (RS, puskesmas, pustu, polindes dan bides) yang terdiri dari penimbangan, penyuluhan, imunisasi, kesehatan ibu dan anak (KIA), pengobatan, pemberian makanan tambahan (PMT), suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit. Secara umum berdasarkan pemanfaatan masing-masing jenis pelayanan kesehatan pada batita rata-rata skor pemanfaatan pelayanan kesehatan di Sumsel 2.8 + 2.8 SD, DI Yogyakarta 4.4 + 2.6 SD dan Nusa Tenggara Timur 3.6 + 2.6 SD dan secara keseluruhan rata-rata pemanfaatan pelayanan kesehatan di ketiga wilayah penelitan adalah 3.6 + 2.9 SD,
skor tertinggi
8 dan terendah 0.
Persentase batita yang memanfaatkan masing-masing pelayanan kesehatan di ketiga wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Persentase rumah tangga batita yang memanfaatkan jenis-jenis pelayanan kesehatan di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur No.
Jenis Pelayanan Kesehatan
Sumsel SPM* n Ϯ
%
DI Yogyakarta n %
NTT n
Total %
n
GAP Total %
393 Penimbangan 80 56 174 89.2 684 82.7 1251 72.6 180 Penyuluhan 80 Ϯ 25.5 119 61 414 50.1 713 41.4 100^ 332 Imunisasi 47.3 67 34.4 438 53 837 48.5 100^ 187 KIA 26.6 75 38.5 294 35.6 556 32.2 100^ Pengobatan 238 33.9 74 37.9 376 45.5 688 40 100 Ϯ PMT 529 75.4 42 21.5 533 64.4 1104 64 Suplemen Gizi 80 Ϯ 499 71.1 127 65.1 464 56.1 1090 63.2 Konsultasi 80 Ϯ 66 9.4 49 25.1 140 16.9 255 14.8 Resiko Penyakit Keterangan: *SPM (Standar Pelayanan Minimal) Ϯ sampai tahun 2010 ^sampai tahun 2015 n= 1724 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
-8.4 -38.6 -42.5 -67.7 -60 -36 -16.8 -65.2
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang standar pelayanan minimal (SPM) 2010-2015 di Kabupaten/Kota, maka dapat dilihat bahwa pemanfaatan masing-masing jenis pelayanan kesehatan pada batita di ketiga wilayah penelitian masih jauh untuk mencapai target SPM. GAP tertinggi pada penelitian ini terdapat pada pelayanan kesehatan ibu dan anak (67.7%), sedangkan terendah pada penimbangan (8.4%). Untuk meningkatkan
47
pencapaian target pelayanan kesehatan tersebut pemerintah telah membuat program desa siaga dan Poskesdes (pos kesehatan desa) yang melibatkan semua lapisan masyarakat (Depkes 2006) Dengan meliha hasil cakupan pelayanan kesehatan ini, menunjukkan bahwa masyarakat belum termotivasi dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan secara optimal untuk menjaga kesehatan batitanya, sehingga diharapkan peran serta aktif petugas kesehatan untuk memberikan penyuluhan yang baik dan benar tentang keuntungan-keuntungan yang didapat dari pemanfaatan program-program yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas, Posyandu, Poskesdes, Polindes dan bidan di desa diharapkan dapat digunakan masyarakat sebagai sarana untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ibu dan anak. Pemanfaatan Puskesmas, Posyandu, Poskesdes, Polindes dan bidan di desa sebagai sarana pelayanan kesehatan yang sederhana dalam masyarakat dapat dilihat dari berapa sering masyarakat tersebut menggunakannya baik untuk usaha untuk pencegahan maupun untuk pengobatan terhadap suatu penyakit, kunjungan ke pelayanan kesehatan oleh masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor internal maupun eksternal. Tabel 16 Hubungan karakteristik keluarga dan batita dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan ke kesahatan Variabel
Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan r p
Umur ibu (tahun)a 0.001 Lama pendidikan ibu (tahun)a 0.058 Jumlah anggota keluargaa -0.014 Penyakit infeksi 0.075 Keterangan: **Korelasi signifikan pada tingkat 0.01 (2-arah). *Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-arah). a Jumlah contoh (n) = 1724 rumah tangga batita r koefisien korelasi, p signifikansi, n jumlah contoh
0.964 0.017* 0.555 0.002**
Untuk melihat hubungan variabel karakteristik keluarga dan batita dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan maka digunakan uji statistik moment pearson correlation test. Lama pendidikan ibu
berkorelasi positif dengan
48
frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan p < 0.05 (r=0.058, p=0.017) artinya semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan mempengaruhi pengetahuannya tentang kesehatan terutama pola pengasuhan yang baik, hal ini dapat dilihat dari semakin tinggi pendidikan ibu cendrung partisipasinya untuk berkunjung ke pelayanan kesehatan semakin sering baik untuk usaha pencegahan maupun pengobatan dalam rangka menjaga kesehatan batitanya. Frekuensi kunjungan memiliki hubungan yang signifikan dengan penyakit infeksi yang diderita oleh batita p<0.05 (r=0.075 p=0.002) artinya frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan merupakan upaya rumah tangga dalam rangka memperoleh pelayanan pengobatan untuk kesembuhan penyakit yang diderita oleh batitanya (Tabel 16). Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat masih bersifat kuratif. Masyarakat masih menganut paradigma sakit yaitu mengobati setelah menderita suatu penyakit. Sedangkan misi pelayanan kesehatan adalah paradigma sehat yaitu lebih baik mencegah daripada mengobati, maka sangat diperlukan kebijakan pemerintah untuk mendukung usaha sosialisasi misi tersebut terutama untuk masyarakat dengan ekonomi rendah. Tabel 17 Hubungan akses ke pelayanan kesehatan dan ketanggapan pelayanan kesehatan terhadap frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan Variabel Akses terhadap Yankesa - Waktu tempuh terdekat (menit) - Jarak tempuh terdekat (m) Ketanggapan pelayanan kesehatanb
Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan r p -0.06 -0.202 0.055
0,014* 0,000** 0.108
Keterangan: **Korelasi signifikan pada tingkat 0.01 (2-arah). *Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-arah). a Jumlah contoh (n) = 1724 rumah tangga batita b Jumlah contoh (n) = 843 rumah tangga batita r koefisien korelasi, p signifikansi, n jumlah contoh
Tabel 17 menyajikan akses ke pelayanan kesehatan (waktu dan jarak tempuh) dan ketanggapan pelayanan kesehatan dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan. Dari hasil analisis statistik terdapat korelasi negatif frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan dengan waktu dan jarak tempuh dengan nilai p<0.05 berturut-turut
(r=-0.060, p=0.014) dan (r=-0.202, p=0.000)
artinya semakin lama waktu dan jarak tempuh ke pelayanan kesehatan maka akan
49
semakin sulit akses ke pelayanan kesehatan sehingga akan menurunkan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan. Sedangkan keberadaan transportasi ke pelayanan kesehatan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan (p>0.05). Hubungan Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Frekuensi kunjungan ke Puskesmas, Posyandu, Poskesdes, Polindes dan bidan di desa merupakan indikator tingkat partisipasi dari masyarakat terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Untuk melihat hubungan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan dengan pemanfaatan jenis-jenis pelayanan kesehatan digunakan uji statistik moment pearson correlation test dan didapatkan hasil (r=0.304, p=0.000) menunjukkan hubungan yang positif. Artinya semakin sering rumah tangga batita memanfaatkan pelayanan kesehatan maka akan semakin mudah mendeteksi masalah gizi dan kesehatannya sehingga akan mudah pula mencegah dan menanggulanginya sejak dini. Hasil ini mendukung pernyataan ibu yang rajin ke pelayanan kesehatan akan dapat mencegah anaknya menjadi kurang gizi (Depkes 2005). Hubungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dengan Status gizi Batita Pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi derajat
kesehatan seseorang (Blum 1974). Dengan fasilitas kesehatan,
ketanggapan dan akses ke pelayanan kesehatan yang baik maka diharapkan dapat mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Status gizi merupakan salah satu indikator dari derajat kesehatan, terutama status gizi balita. Dalam penelitian ini pemanfaatan pelayanan kesehatan yang terdiri dari: penimbangan, penyuluhan, imunisasi, kesehatan ibu dan anak, pengobatan, pemberian makanan tambahan, suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit dilihat hubungannya dengan status gizi pada batita. Hubungan frekuensi kunjungan batita ke pelayanan kesehatan khususnya untuk mendapatkan pelayanan penimbangan dilihat dari status gizinya dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif antara frekuensi penimbangan dengan status gizi batita indikator BB/TB (r=0.043
50
p=0.071), BB/U (r=0.054 p=0.026) dan TB/U (r=0.086 p=0.000). Hal ini menunjukkan
bahwa
semakin
sering
batita
memanfaatkan
pelayanan
penimbangan maka akan semakin cepat diketahui permasalahan kesehatannya sehingga dapat menjaga status gizinya agar tetap baik. Tabel 18 Hubungan pemanfaatan jenis-jenis pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator BB/TB Indikator BB/TB Jenis Pelayanan Kesehatan
Sangat kurus n %
Penimbangan -Tidak memanfaatkan 64 3.7 -Memanfaatkan 146 8.5 Penyuluhan -Tidak memanfaatkan 137 7.9 -Memanfaatkan 73 4.2 Imunisasi -Tidak memanfaatkan 107 6.2 -Memanfaatkan 103 6.0 KIA -Tidak memanfaatkan 142 8.2 -Memanfaatkan 68 3.9 Pengobatan -Tidak memanfaatkan 116 6.7 -Memanfaatkan 94 5.5 PMT -Tidak memanfaatkan 60 3.5 -Memanfaatkan 150 8.7 Suplemen Gizi -Tidak memanfaatkan 138 8.0 -Memanfaatkan 72 4.2 Konsultasi Resiko Penyakit -Tidak memanfaatkan 176 10.2 -Memanfaatkan 34 2.0 **Signifikan α< 5% *Signifikan α<10%
Kurus
Normal
Jumlah
Gemuk
Uji Statistik
n
%
n
%
n
%
n
%
114 27
6.6 1.6
301 823
17.5 47.7
81 168
4.7 9.7
473 1251
27.4 72.6
χ2=9.328 p=0.025**
72 69
4.2 4.0
649 475
37.6 27.6
153 96
8.9 5.6
1011 713
58.6 41.4
χ2=8.290 p=0.040**
65 76
3.8 4.4
596 528
34.6 30.6
119 130
6.9 7.5
887 837
51.5 48.5
χ2=4.087 p=0.252
88 53
5.1 3.1
773 351
44.8 20.4
165 84
9.6 4.9
1168 556
67.7 32.3
χ2=2.630 p=0.452
73 68
4.2 3.9
693 431
40.2 25
154 95
8.9 5.5
1036 688
60.1 39.9
χ2=7.597 p=0.055*
48 93
2.8 5.4
416 708
24.1 41.1
96 153
5.6 8.9
620 1104
36.0 64.0
χ2=6.470 p=0.009**
78 63
4.5 3.7
662 462
38.4 26.8
153 96
8.9 5.6
1031 693
59.8 40.2
χ2=4.895 p=0.180
119 22
6.9 1.3
962 162
55.8 9.4
212 37
12.3 2.1
1469 255
85.2 14.8
χ2=0.529 p=0.913
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 18 ternyata status gizi batita indikator BB/TB terdapat
hubungan yang signifikan dengan pemanfaatan pelayanan
penimbangan p<0.05 (χ2=9.328, p=0.025), penyuluhan (χ2=8.290, p=0.040) dan PMT (χ2=6.470, p=0.009), serta pelayanan pengobatan (χ2=7.597, p=0.055) pada p<0.10. Penimbangan merupakan pemantauan pertumbuhan batita untuk mengetahui masalah gizi secara dini, penyuluhan dapat memberikan tambahan wawasan kepada rumah
51
tangga batita dalam perawatan dan peningkatan status gizi batita, pengobatan adalah usaha yang diberikan pelayanan kesehatan untuk membantu menyembuhkan penyakit infeksi yang diderita batita, sedangkan PMT adalah upaya pelayanan kesehatan dalam rangka membantu perbaikan gizi batita yang mengalami kurang gizi. Dalam penelitian Lutter et al. (2003) PMT dapat memberikan dampak nyata terhadap peningkatan pertumbuhan terjadi pada dua periode usia 3-6 bulan, dan periode yang memiliki respon terbesar terhadap makanan tambahan pada usia 9-12 bulan yaitu periode puncak kejadian penyakit Diare. Menurut penelitian di Botswana dan beberapa penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa status gizi dan pemberian makanan tambahan anak berpengaruh positif terhadap pertumbuhan anak (Gobotswang 1998; Tharakan and Suchindran 1999, Yosnelli 2008). Tabel 19 Hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator BB/U di ketiga wilayah penelitian Jenis Pelayanan Kesehatan
Indikator BB/U Kurang Baik n % n %
Lebih n %
n
%
5.7 16.6
74 252
4.3 14.6
215 515
12.5 29.9
85 198
4.9 11.5
473 1251
27.4 72.6
χ2=6.698 p=0.082*
12.8 9.5
178 148
10.3 8.6
428 302
24.8 17.5
184 99
10.7 5.7
1011 713
58.6 41.4
χ2=7.182 p=0.066*
11.1 11.3
168 158
9.7 9.2
391 339
22.7 19.7
137 146
7.9 8.5
887 837
51.5 48.5
χ2=2.873 p=0.412
15.3 7.0
222 104
12.9 6.0
493 237
28.6 13.7
189 94
11.0 5.5
1168 556
67.7 32.3
χ2=0.273 p=0.965
13.3 9.0
203 123
11.8 7.1
443 287
25.7 16.6
160 123
9.3 7.1
1036 688
60.1 39.9
χ2=2.263 p=0.520
8.2 14.2
131 195
7.6 11.3
260 470
15.1 27.3
195 88
11.3 5.1
620 1104
36.0 64.0
χ2=5.563 p=0.051*
13.2 9.2
181 145
10.5 8.4
446 284
25.9 16.5
177 106
10.3 6.1
1031 693
59.8 40.2
χ2=3.992 p=0.262
19.3 3.1
277 49
16.1 2.8
619 111
35.9 6.4
241 42
14 2.4
1469 255
85.2 14.8
χ2=0.436 p=0.933
Buruk n %
Penimbangan -Tidak memanfaatkan 99 -Memanfaatkan 286 Penyuluhan -Tidak memanfaatkan 221 -Memanfaatkan 164 Imunisasi -Tidak memanfaatkan 191 -Memanfaatkan 194 KIA -Tidak memanfaatkan 264 -Memanfaatkan 121 Pengobatan -Tidak memanfaatkan 230 -Memanfaatkan 155 PMT -Tidak memanfaatkan 141 -Memanfaatkan 244 Suplemen Gizi -Tidak memanfaatkan 227 -Memanfaatkan 158 Konsultasi Resiko Penyakit -Tidak memanfaatkan 332 -Memanfaatkan 53 *Signifikan pada α < 10%
Jumlah
Uji Statistik
Pada Tabel 19 dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa status gizi batita indikator BB/U pada α<10% terdapat hubungan yang signifikan dengan pelayanan
52
penimbangan (χ2=6.698, p=0.082), penyuluhan (χ2=7.187, p=0.066) dan PMT (χ2=5.563, p=0.051). Dalam hubungan PMT dengan status gizi underweight menurut Waterlow (1993) bahwa pada kondisi tingkat sirkulasi Insulin-Like Growth Factor (IGF-1) menurun dan akan meningkat dengan cepat apabila tersedia energi dan zat gizi. Tubuh akan mempertahankan tingkat IGF-1 dalam beberapa waktu sebelum menunjukkan hasil pada peningkatan massa otot sebelum pada peningkatan pertumbuhan linier. Dengan kata lain bahwa pemberian makanan tambahan pada batita yang underweight dengan cepat dapat meningkatkan berat badannya tetapi tidak demikian untuk peningkatan tinggi badan. Tabel 20 Hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator TB/U di ketiga wilayah penelitian Jenis Pelayanan Kesehatan
Sangat pendek n %
Penimbangan -Tidak memanfaatkan 27 1.6 -Memanfaatkan 86 5.0 Penyuluhan -Tidak memanfaatkan 62 3.6 -Memanfaatkan 51 3.0 Imunisasi -Tidak memanfaatkan 55 3.2 -Memanfaatkan 58 3.4 KIA -Tidak memanfaatkan 72 4.2 -Memanfaatkan 41 2.4 Pengobatan -Tidak memanfaatkan 61 3.5 -Memanfaatkan 52 3.0 PMT -Tidak memanfaatkan 40 2.3 -Memanfaatkan 73 4.2 Suplemen Gizi -Tidak memanfaatkan 58 3.4 -Memanfaatkan 55 3.2 Konsultasi Resiko Penyakit 96 5.6 -Tidak memanfaatkan 17 1.0 -Memanfaatkan **Signifikan α< 5% *Signifikan α< 10%
Indikator TB/U Pendek n %
Normal n %
Jumlah n
%
Uji Statistik
60 218
3.5 12.6
386 947
22.4 54.9
473 1251
27.4 72.6
χ2=7.046 p=0.030**
153 125
8.9 7.3
796 537
46.2 31.1
1011 713
58.6 41.4
χ2=2.787 p=0.248
139 139
8.1 8.1
693 640
40.2 37.1
887 837
51.5 48.5
χ 2=0.737 p=0.692
180 98
10.4 5.7
916 417
53.1 24.2
1168 556
67.7 32.3
χ 2=2.558 p=0.278
173 105
10.0 6.1
802 531
46.5 30.8
1036 688
60.1 39.9
χ 2=2.292 p=0.318
105 173
6.1 10
475 858
27.6 49.8
620 1104
36.0 64.0
χ 2=0.472 p=0.790
158 120
9.2 7.0
815 518
47.3 30.0
1031 693
59.8 40.2
χ 2=5.387 p=0.068*
241 37
14.0 2.1
1132 201
77.1 78.8
1469 255
85.2 14.8
χ 2=0.578 p=0.749
Pemanfaatan pelayanan penimbangan dan suplemen gizi memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi indikator TB/U. Pelayanan penimbangan signifikan pada α <5% (χ2=7.046, p=0.030) dan suplemen gizi
53
signifikan pada α <10% (χ2=5.387, p=0.068) untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 20. Dari hasil analisis ini suplemen gizi pada batita di pelayanan kesehatan cukup bermanfaat, berdasarkan studi yang menyatakan bahwa gangguan pertumbuhan linier disebabkan oleh defisiensi tunggal atau gabungan zat mikro seperti seng, vitamin A, Besi (Allen 1994; Rivera et al. 1998; Muhilal et al. 1988; Angeles et al. 1993), maka program suplementasi dapat ditambahkan multivitamin Seng, Calcium, Vitamin D dan Fosfor. Hasil penelitian meta analisis membuktikan bahwa suplementasi Seng, Calcium, Vitamin D dan Fosfor pada balita berhubungan nyata terhadap perkembangan dan pertumbuhan linier (TB/U) pada anak balita (Kenneth HB et al. 2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Batita Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita dalam penelitian ini dianalisis dengan uji statistik regresi linier berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga dan pemanfaatan pelayanan kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap keragaman nilai status gizi indikator BB/TB. Meskipun secara umum terdapat faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap nilai keragaman status gizi batita (F=2.711, p=0.019), nilai R2=0.005 menunjukkan bahwa hanya 0.5% yang dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan faktor-faktor tersebut, selebihnya dijelaskan oleh faktor-faktor yang lain (Tabel 21). Menurut Suhardjo (1989) besarnya jumlah keluarga menentukan pemenuhan kebutuhan makanan. Apabila jumlah anggota keluarga semakin banyak maka kebutuhan pangan pun semakin banyak pula. Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masingmasing anggota keluarga. Tabel 21 Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator BB/TB di ketiga wilayah penelitian Variabel Independen X3 X5
Jumlah anggota keluarga Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Keterangan: R2 = 0.005 F = 2.711 (p=0.019)
β
t
Sig
-0.044 0.045
-2.132 2.209
0.03 0.027
54
Hasil uji statistik regresi linier berganda untuk faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi batita di ketiga wilayah indikator BB/U menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu, penyakit infeksi dan pemanfaatan pelayanan kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap keragaman nilai status gizi indikator BB/U. Meskipun secara keseluruhan terdapat faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap keragaman status gizi batita di ketiga wilayah penelitian indikator BB/U (F=2.091, p=0.005), nilai R2=0.005 menunjukkan bahwa hanya 0.5% yang dapat dijelaskan hubungan liniernya oleh faktor-faktor tersebut, sedangkan 99.5% dimungkinkan dari faktor lain (Tabel 22). Status gizi indikator BB/U merupakan indikator yang dapat melihat masalah gizi pada anak tetapi tidak diketahui apakah bersifat akut atau kronis. Unicef (1998) mengemukakan bahwa status gizi balita dipengaruhi secara langsung oleh 2 faktor yaitu konsumsi dan penyakit infeksi. Dua faktor ini yang mengakibatkan masalah gizi akut. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang baik oleh batita dapat membantu memperbaiki status gizi batita melalui beberapa pelayanan kesehatan yang tersedia. Tabel 22 Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator BB/U di ketiga wilayah penelitian Variabel Independen
β
t
X2
Lama pendidikan ibu
0.060
3.630
0.092
X4
Penyakit infeksi
-0.084
-0.639
0.069
X5
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
1.206
2.238
0.025
2
Keterangan: R
=0.005
Sig
F =2.091 (p=0.005)
Status gizi indikator TB/U merupakan indikator masalah gizi kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama (Depkes 2009). Hasil analisis menunjukkan bahwa lama pendidikan
ibu,
penyakit
infeksi dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap keragaman nilai status gizi batita di ketiga wilayah penelitian indikator TB/U. Meskipun secara keseluruhan terdapat faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap keragaman status gizi indikator TB/U (F=2.079, p=0.044), nilai R2=0.014 menunjukkan bahwa hanya 1.4% yang dapat dijelaskan hubungan liniernya oleh faktor-faktor tersebut, sedangkan 98.6% dimungkinkan dari faktor lain (Tabel 23).
55
Pemanfaatan pelayanan kesehatan erat kaitannya dengan pengetahuan ibu terhadap masalah kesehatan dan gizi. Dengan pengetahuan, seorang ibu dapat melakukan hipotesa mengenai praktek pengasuhan anak yang baik, melakukan interaksi yang efektif dengan tenaga kesehatan di dalam perawatan kesehatan anak (Joshi 1994).
Tabel 23 Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator TB/U di ketiga wilayah penelitian β
Variabel Independen X2 X4 X5
Lama pendidikan ibu Penyakit infeksi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Keterangan: R2 = 0.014
0.157 -0.181 0.046
t
Sig
3.568 -3.072 2.280
0.000 0.002 0.023
F =2.079, (p=0.044)
Status gizi batita indikator BB/TB, BB/U dan TB/U merupakan indikator yang paling praktis, cukup teliti, mudah dilakukan siapa saja dengan bekal latihan yang sederhana (Suhardjo 1990). Berat badan merupakan salah satu indikator antropometri yang dapat menggambarkan massa tubuh seseorang (tulang, otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan mendadak, misalnya penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi yang menyebabkan berat badan dapat turun, maka berat badan merupakan antropometri yang sangat labil. Berdasarkan sifat-sifat tersebut maka indeks berat badan menurut umur (BB/U) digunakan sebagai indikator status gizi masa kini. Dari hasil penelitian ini ternyata status gizi batita indikator BB/U memiliki hubungan yang signifikan dengan penyakit infeksi, pemanfaatan pelayanan penimbangan, penyuluhan dan pemberian makanan tambahan serta dipengaruhi oleh lama pendidikan ibu dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Dilihat dari status gizi underweight (BB/U) pada batita saat dilakukan survey tidak diketahui apakah disebabkan oleh penyakit infeksi atau faktor lain. Pemberian makanan tambahan di pelayanan kesehatan merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan untuk batita yang mengalami status gizi underweight. PMT belum tentu menunjukkan terjadinya kekurangan konsumsi makanan pada keluarga batita. Indikator BB/U belum begitu menggambarkan penyebab terjadinya status gizi batita yang sebenarnya, maka untuk lebih valid lagi dalam menilai
56
status gizi batita digunakan kombinasi dengan pengukuran tinggi badan. Tinggi badan (TB) atau panjang badan (PB) merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan kerangka tulang. Dalam keadaan normal TB bertambah bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertumbuhan TB relatif kurang sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi dalam waktu yang pendek, tetapi pengaruh defisiensi zat gizi baru akan kelihatan pada waktu yang cukup lama. Berdasarkan sifat tersebut maka status gizi batita BB/TB dapat digunakan untuk menelusuri kekurangan gizi batita pada masa sekarang dan pada batita yang tidak diketahui umurnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi batita indikator BB/TB memiliki hubungan yang signifikan dengan jumlah anggota keluarga, penyakit infeksi, pemanfaatan pelayanan penimbangan, penyuluhan, pengobatan dan pemberian makanan tambahan. Di sini terlihat bahwa kejadian kurang gizi pada batita ternyata disebabkan oleh penyakit infeksi dan kurangnya konsumsi makanan. Hal ini terjadi karena faktor jumlah anggota keluarga yang besar dengan penghasilan keluarga yang rendah serta pengetahuan ibu yang terbatas tentang masalah kesehatan dan gizi. Dan indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) merupakan indikator yang tepat untuk mengukur riwayat kekurangan gizi masa lampau dengan mengukur pencebolan seorang anak dibandingkan dengan anak lain yang seumur setelah kekurangan gizi berjalan beberapa waktu. Kemungkinan anak mengalami pencebolan dapat dimulai sejak umur tiga bulan. Pada penelitian ini ditemukan prevalensi status gizi BB/U lebih tinggi dibandingkan dengan BB/TB dan TB/U, sedangkan prevalensi BB/TB hampir
sama dengan prevalensi TB/U,
menunjukkan bahwa batita dalam penelitian ini banyak yang berstatus gizi stunting. Batita yang berstatus gizi underweight belum tentu dia wasting, tetapi kemungkinan dia juga stunting.
57
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Prevalensi status gizi batita wasting di Provinsi Nusa Tenggara Timur 23.4%, Sumatera Selatan 19.8% dan DI Yogyakarta 9.8% dengan rata-rata z-score status gizi batita contoh dengan indikator BB/TB adalah -0.36 ± 2.2 SD. Prevalensi underweight berturut-turut di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan dan DI Yogyakarta yaitu 49.4% (sangat tinggi), 34.7% (tinggi) dan 19.8% (sedang). Rata-rata z-score status gizi batita dengan indikator BB/U adalah -0.88 ± 2.8 SD. Prevalensi stunting berturutturut Provinsi Nusa Tenggara Timur 31.9% (tinggi/serius), Sumatera Selatan 15% dan DI Yogyakarta 11.3% termasuk kategori masalah stunting yang rendah. Rata-rata z-score status gizi indikator TB/U adalah -0.78 ± 1.76 SD.
2. Rata-rata skor pemanfaatan pelayanan kesehatan di Sumsel 2.8 + 2.8 SD, DI Yogyakarta 4.4 + 2.6 SD dan Nusa Tenggara Timur 3.6 + 2.6 SD dan secara keseluruhan adalah 3.6+2.9 SD, skor tertinggi 8 dan terendah 0. Dari hasil penlitian ini jenis pemanfaatan pelayanan kesehatan yang memiliki GAP tertinggi dengan standar pelayanan minimal adalah kesehatan ibu dan anak (67.7%), sedangkan terendah pada penimbangan (8.4%). 3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan adalah Lama pendidikan ibu berkorelasi positif dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan p < 0.05 (r=0.058, p=0.017), ,penyakit infeksi yang diderita oleh batita p<0.05 (r=0.075 p=0.002), waktu dan jarak tempuh dengan nilai p<0.05 berturut-turut
(r=-0.060, p=0.014) dan
(r=-0.202, p=0.000). 4. Terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi batita indikator BB/U
dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan, penyuluhan dan pemberian makanan tambahan. Sementara untuk status gizi batita indikator TB/U hubungan yang signifikan hanya terjadi dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan dan suplementasi gizi. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator BB/TB adalah jumlah anggota keluarga
58
dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sedangkan terhadap status gizi batita indikator BB/U dan TB/U adalah lama pendidikan ibu, pemanfaatan pelayanan kesehatan dan penyakit infeksi. Saran Perlu
sosialisasi
dan
pengembangan
program-program
pelayanan
kesehatan terutama pada ibu-ibu batita dengan pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD) untuk memantau pertumbuhan anaknya secara rutin bukan pada saat sakit saja terutama yang berumur dibawah tiga tahun. Pengembangan strategi untuk meningkatkan pemanfaatan program pelayanan kesehatan yang bertujuan memperbaiki dan mencegah masalah gizi pada balita sebagai investasi terus ditingkatkan dengan pemberian pengetahuan dan pendidikan ibu tentang pola asuh dan makanan yang bergizi untuk balitanya. Pemanfaatan pelayanan PMT berhubungan secara signifikan dengan status gizi batita indikator BB/TB (wasting) dan indikator BB/U (underweight) pada keluarga status ekonomi rendah (kuintil 1 dan 2). Oleh karena itu program ini perlu dilanjutkan, bisa dalam bentuk lain dengan mendistribusikan bahan pangan pokok dan sumber protein dalam rangka menjaga ketersediaan pangan tingkat rumah tangga pada keluarga yang sangat miskin terutama yang mempunyai anggota keluarga batita yang rawan gizi, sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan terjadinya masalah gizi.
59
DAFTAR PUSTAKA ACC/SCN, 1997. 3rd Report on The World Nutrition Situation, Geneva Akre, James 1994. Pemberian Makanan Untuk Bayi, Dasar-Dasar Fisiologis, Penerjemah: Sri Durjati Boedihardjo. Jakarta: Perinasia. Allen LH, 1994. Nutritional Influences on Linear Growth: A general review. Di dalam Water JC dan Schurch, editor. Causes and mechanisms of linear Growth Redardation. Proceedings of an International Dietary Energy Consultative Group (IDECG). 216p. Amine EK & Al-Wadi FA. 1996. Nutritional Status Survey of Preschool Children in Kuwait. Volume 2 Issue 3 : 386-395. Andersen, R (1995), Revisiting the Behavioral Model and Acces to Medical Care? Does it matter? Journal of Health and Social Behaviour 36 (3): 140 Angeles IT, Schultink WJ, Matulessi P, Gross r, Sastroamidjojo S. 1993. Decreased rate of stunting among anemic Indonesian preschool children through iron suplementation. Am J Clin Nutr 58, 339-42. [Abstract]. Anwar, Khairul. 2006. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk di Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat [Tesis]. Program Pascasarjana. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Atmarita & Fallah TS, 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Di dalam: Widiyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004. Azwar A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara. Jakarta. Azwar A. 2000. Gizi Bayi adalah Investasi Masa Depan. Dalam Kompas (26 Januari 2000). Jakarta. Anonim 2010a. Medicastore. Pneumonia (Radang Paru). Media Informasi ObatPenyakit.www.medicasore.com/pneumonia/html. [2 Juni 2010]. Anonim 2010b. Rumah Sakit Islam Sultan Agung. Penyakit Campak pada Anak. Media Humas RSI SA.www.rsisultanagung.co.id/penyakit campak/html [2 Juni 2010]. [Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional 2008. Manajemen Database Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat.
60
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Sumatera Selatan. BPS. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Nusa Tenggara Timur. BPS Berg, 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Noer ZD, penerjemah. Jakarta. Terjemahan dari: The Nutrition Factor: Its Role in National Development. Bissai, Mallick. 2009. Growth Pattern and Prevalence of Underweight, Stunting and Wasting Among Infants of Kolkata, West Bengal. India. Internet Journal of Biological Anthropology 2009. Vol.3 Nb 2 Chessa K.L and Juan A.R, 2003, Nutritional Status of Infants and Young Children an Characteristics of Their Diets. Organization, Washington D.C. 20007 and Institute of Public Health of Mexico, Cuernavaca, Morelos, Mexico. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1997. Profil kesehatan Indonesia. Pusat Data Kesehatan. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1998. Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Indonesia, Depkes. RI. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2003. Sistem Informasi Kesehatan Nasional Pengelolaan Program Pemberantasan Penyakit Diare, Depkes RI. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2005. Pemantauan Pertumbuhan Balita, Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2006. Pengembangan dan Penyelenggaraan Pos Kesehatan Desa, Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Propinsi DI Yogyakarta Tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
61
2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Buku Saku Gizi. Kapankah Masalah Ini Berakhir. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta Dewey, KG, Brown KH. 2003. Update on Technical Issues Concerning Complementary Feeding of Young Children in Developing Countries and Implications for Intervensi Programs. Food Nutr. Bull 24: 5 -28. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Profil Sumatera selatan 2007. Eko, Najib & Sartono (2008). Pengembangan Model Perbaikan Gizi Masyarakat Wilayah Agropolitan menuju Sumsel sehat 2008. Laporan hasil penelitian tahap I, II dan III. Politeknik Kesehatan Sumsel. Gobotswang K. 1998. Determinants of The Nutritional Status of Children in A Rural African Setting: The Case In Chobe District. Botswana. Food Nutr. Bull. 19(1): 42-45 Grantham-Mc Gregor SM, Fernald LC, Sethuraman K, 1999. The effects of health and nutrition on cognitive and behavioural development in children in the first three years of life. Part 2: Infection and micronutrien deficiencies: iodine, iron and zinc. Food Nutr Bull 20: 7699. Haas, JD, Murdoch S, Rivera J, Martorell R, 1996. Early Nutrition and later physical work capacity. Nutr Rev 54: S41-8. Hurlock EB. 1997. Perkembangan anak. Gramedia. Jakarta Jellife, DB (1996). Assessment of The Nutritional Status of The Community, Geneva. WHO. Jellife, DB (1989), Community Nutritional Assessment, New York, Oxford University Press. Johnson MM, Chin RJr, Haponik F. 1999. Nutrition, Respiratory Function and disease. Di dalam: Modern Nutrition in Health and Disease. Ed ke-9 (Shils ME, et al, eds). Baltimore: Williams & Wilkins. Hlmn 14391472.
62
Kenneth H Brown, Janet M Peerson, Juan Rivera, and Lindsay H Allen (2002). Effect of supplemental zinc on the growth and serum zinc concentrations of prepubertal children: a meta-analysis of randomized controlled trials1–3 Am J Clin Nutr 2002;75:1062–71
King FS, Burgess A. 1995. Nutrition for Developing Countries. New York: Oxford University Press. Khumaidi, M (1997). Gizi, Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia. Bogor. Program Pascasarjana IPB Kodyat BA. 1998. Overview Masalah dan Program Kesehatan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Training Peningkatan Kemampuan Penelitian Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Bogor 18-30 agustus. Kodyat BA, Thaha AR, Minarto. 1998. Penuntasan Masalah Gizi Kurang di dalam Winarno FG editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI.Serpong 17-20 Februari 1998. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 755-757. Leslie. 1985. Women Role in Food Chain Activities and the Implication for Nutrition United Nation. Lutter CK, Mora JO, Habiccht JP, Rasmussen KM, Robson DS, Herrera MG 1991. Age-specific responsiveness of weight and length to nutritional suplementation. Am J Clin Nutr 51:359-364 [Abstrak] Madihah. 2002. Faktor-Faktor Predisposisi yang Berhubungan dengan Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi) di Kecamatan Banua Lawas, Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan tahun 2002 [Skripsi] FKM UI. Depok Madanijah S. 2003. Model Pendidikan “ GI-PSI-SEHAT” bagi Ibu serta Dampaknya Terhadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Usia Dini. [Disertasi]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Martianto, D (2003). Pemberdayaan Masyarakat dalam Menunjang Posyandu, makalah disampaikan pada acara Workshop Perbaikan Kesehatan dan Gizi Keluarga melalui Posyandu. Hotel Permata. Bandung. Martorell R, Khan LK, Schroeder DG 1994. Reversibility of stunting: epidemiological findings in children from developing country. Euro J. Clin. Nutr. 48 (Suppl.1), S45-S57. Di dalam Causes Mechanism of Linear Growth Retardation Proceedings of an I/D/E/C/G Workshop held in London January 15-18. 1993 Waterlow CJ, Schȕrch B, editor. London: Macmillan.
63
Moehyi S. 1996. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Anak. Bhatara Jakarta. Moehyi S. 2001. Gizi Dalam Daur Kehidupan, Mencegah Gizi Kurang pada Berbagai Tahap Usia. Jakarta. Muhilal, Parmaesih D, Idjradinata YR, Muherdiyantiningsih, Karyadi D,1988. Vitamin A-fortified monosodium glutamate and health, growth and survival of children: controlled field trial. Am J Clin Nutr 48: 12711276 [Abstrak]. Nency Y, Muhammad TA. 2005. Gizi Buruk Ancaman Generasi yang Hilang. INOVASI, Vol. 5/XVII. Nnyepi, MS. 2007. Household Factors Are Strong Indicators Of Children’s Nutritional Status In Children With Access To Primary Health Care In The Greater Gaborone Area. Scientific Research and Essay. Vol. 2 (2), pp. 055 – 061 Notoadmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Prinsip-prinsip Dasar. Rineka Cipta. Jakarta. Notoadmodjo, S. 2007. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan ilmu Perilaku. Andi Offset. Yogyakarta. Orisinal 2003, Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di Sumatera Barat [Tesis], Pascasarjana IKM UI, Depok. Parasuraman A, Zeithalm V, Berry L. 1988. SERVQUAL: A Multiple Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality. Journal of Retailling. Prabu BDR. 1998. Penyakit-penyakit Infeksi Umum. Widya Medika. Yogyakarta. Rahmawati, 1996. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Menyusui Eksklusif dan Hubungan Menyusui Eksklusif dengan Status Gizi Bayi Usia 4-6 Bulan [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok. Rivera JA, Ruel MT, Santizo MC, Lonnerdal B, Brown KH, 1998. Zinc suplementation improves the growth of stunted rural Guatemalan infants. J Nutr 128: 556-62. Rohde JE, 1979. Prioritas Pediatri di Negara Sedang Berkembang. Essentia Medica. Yogyakarta.
64
Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New York. Satoto. 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Pengamatan Anak Umur 0 sampai 18 bulan di Kecamatan Mlongo Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Disertasi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Scmidth MK. 2002. Nutritional status and linear growth of Indonesiaa infants in West Java are determined more by prenatal environment than by postnatal factor. Schultz, T. Paul. 1994. Studying the Impact of Household Economic and Community Variable on Child Mortality. Population and Development Review. 10 (Suppl) : 215 – 235. Seifert KL, Hoffnung RJ. 1997. Child and Adolescent Development. Boston: Houghton Mifflin. Shulman ST, Phair JP, & Sommers HM. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit infeksi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Sigman M, Mac Donald MA, Neumann C, Bwibo N. 1991 Prediction of cognitive competence in Kenyan children from toddler nutrition, family characteristiks and abilities. J Child Psychol Psychiatr: 32:307-20. Sediaoetama. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Dian Rakyat Jakarta. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat Ditjen Dikti. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Soekirman. 1990. Prevention of Protein-Energy Malnutrition Through Socio Economic Development and Community Participation. Dalam Nestle Nutrition Workshop Series Vol. 19.359-367. Nestle Ltd. New York. Suhardjo, 1989. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Suhardjo. 1990. Petunjuk Laboratorium Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Suhardjo dan Riyadi (2000), Pengukuran Anthropometri . Bogor. Institut Pertanian Bogor. Syarief, H (1992). Metode Statistika untuk Pangan dan Gizi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidiknn Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institit Pertanian Bogor.
65
Syarief, H 1997. Membangun Sumber Daya Berkualitas, Suatu Telaahan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Tharakan CT., Suchindra CM. 1999. Determinants Of Child Malnutrition: An Intervention Model for Botswana. Nutr. Res. 19(6): 843-860. Trisnantoro L. 1996. Prinsip-Prinsip Manajemen Pelayanan Kesehatan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Jurnal Manajemen Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. Tuti, Pradianto. 1989. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi ibu Balita ke Posyandu di Kecamatan Bogor Barat [Tesis] Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. Thaha, Ridwan M. 1990. Perilaku, Sikap dan Praktek ke Posyandu oleh Ibu Balita di Kotamadya ujung Pandang [Tesis] Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. Utari Brotojoyo (2006). Manajemen Pelayanan Kesehatan sebagai upaya Peningkatan Ekonomi. Skripsi Manajemen dan Ekonomi Institut Pertanian Bogor. UNICEF. 1998. The State of The World’s Children 1998: Focus of Nutrition. Oxford University Press. UK WHO (1978). Primary Health Care. Alma Ata 1978, WHO. Geneva. WHO 1995. Physical Status: The Use anf Interpretation of Anthropometry. Report of a WHO Expert Committee. WHO Technical Report Series 854. Geneva: WHO. WHO 1998. Complementary feeding of Young children in Developing countries: A review of Current Scientific Knowledge. Geneva.WHO. Winarno FG. 1990. Gizi dan Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta. Pustaka Harapan. Yosnelli (2008). Analisis Hubungan Karakteristik Keluarga dan Pemanfaatan Program Gizi di Posyandu dengan Status Gizi Baduta (6 -24 bulan) di Kecamatan Pariaman Tengah Kota Pariaman Tahun 2006 [Tesis]. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta.
66
Lampiran 2 Variabel yang berhubungan dengan rumah tangga batita Variabel Tingkat/Lama ibu
Kategori Pengukuran pendidikan
Umur ibu
Jumlah anggota keluarga
Ketanggapan kesehatana Akses ke kesehatan
pelayanan pelayanan
7. Tidak sekolah = 0 tahun 8. Tidak tamat SD = 5 tahun 9. Tamat SD = 6 tahun 10. Tamat SMP = 9 tahun 11. Tamat SMA = 12 tahun 12. Tamat Perguruan Tinggi = 16 tahun 13. 16 – 25 tahun 14. 26 – 40 tahun 15. > 40 tahun - Besar jika jumlahnya > 7 orang - Sedang jika 5 – 7 orang - Kecil jika ≤ 4 orang - Baik jika > 60% - Kurang baik < 60% Berdasarkan : Jarak tempuh terdekat ke pelayanan kesehatan - Dekat jika < 1 km - Sedang 1- 5 km - Jauh > 5 km Waktu tempuh terdekat ke pelayanan kesehatan - Dekat jika < 15 menit - Sedang 16-30 menit - Jauh > 30 menit Transportasi Ada Tidak ada
a
Skor lampiran 3
Skala
Ordinal/ Rasio
Ordinal/ Rasio Ordinal/ Rasio Ordinal Ordinal/ Rasio
Ordinal/ Rasio
Ordinal
67
Lampiran 3 Skor Ketanggapan Pelayanan Kesehatan No 1
Macam dan indikator Berapa lama waktu menunggu sebelum mendapatkan pelayanan berobat jalan?
2
Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
4 3 2 1 0
Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
4 3 2 1 0
Bagaimana menilai cara pelayanan kesehatan menjamin kerahasiaan atau dapat berbicara secara pribadi mengenai penyakitnya?
5
4 3 2 1 0
Bagaimana menilai ikut dalam pengambilan keputusan tentang perawatan kesehatan atau penyakitnya?
4
Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
Bagaimana menilai keramahan dari petugas kesehatan dalam menyapa dan berbicara?
3
Skor
Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
4 3 2 1 0
Bagaimana menilai kebersihan ruang pelayanan berobat jalan termasuk kamar mandi?
-
Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
Skor tertinggi = 20 Baik jika skor > 60% dari total yaitu > 12 Kurang baik jika skor < 60% dari total yaitu < 12
4 3 2 1 0
68
Lampiran 4 Pengkategorian variabel yang berhubungan dengan batita Umur batita - 0-11 bulan - 12-24 bulan - 25-36 bulan Jenis kelamin batita - Laki-laki - Perempuan Pemanfaatan pelayanan Berdasarkan jenis pelayanan kesehatan kesehatanb 1.Penimbangan - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 2. Penyuluhan - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 3.Imunisasi - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 4.KIA - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 5.Pengobatan - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 6.PMT - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 7.Suplemen gizi - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 8.Konsultasi resiko penyakit - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan Frekuensi kunjungan ke - Tidak pernah pelayanan kesehatan - 1-3 kali - > 4 kali Status Gizi Batita 1.Berdasarkan indikator BB/U – Gizi Buruk z-score < -3,0 – Gizi Kurang z-score ≥ -3,0 s/d z-score <-2,0 – Gizi Baik z-score ≥ -2,0 s/d z-score ≤ 2,0 – Gizi Lebih z-score >2,0 – Underweight z-score <-2,0 2.Berdasarkan indikator BB/TB: – Sangat Kurus z-score < -3,0 – Kurus z-score ≥ -3,0 s/d z-score <-2,0 – Normal z-score ≥-2,0 s/d z-score ≤ 2,0 – Gemuk z-score >2,0 – Wasting z-score <-2 3.Berdasarkan indikator TB/U: – Sangat Pendek z-score < -3,0 – Pendek z-score ≥ -3,0 s/d z-score <-2,0 – Normal z-score ≥ -2,0 – Stunting z-score <-2,0 Penyakit infeksic
-
bc
Skor lampiran 5 dan 6
Infeksi jika pernah menderita penyakit ISPA, Diare, Pneumonia, Campak atau TB Paru Tidak infeksi jika tidak pernah terkena infeksi penyakit ISPA, Diare, Pneumonia, Campak atau TB Paru
Ordinal/ Rasio Nominal
Ordinal/ Rasio
Ordinal/ Rasio Ordinal/ Rasio
Ordinal/ Rasio
Ordinal/ Rasio
Ordinal/ Rasio
69
Lampiran 5 Skor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan No 1
Macam dan indikator Penimbangan
2
1 0
Ya Tidak
1 0
Ya Tidak
1 0
Ya Tidak
1 0
Suplemen gizi
8
Ya Tidak
Pemberian makanan tambahan
7
1 0
Pengobatan
6
Ya Tidak
Imunisasi
5
1 0
Kesehatan Ibu dan anak
4
Ya Tidak
Penyuluhan
3
Skor
Ya Tidak
1 0
Konsultasi resiko penyakit
-
Ya Tidak
Total skor paling tinggi = 8 Memanfaatkan jika total nilai < 1 Tidak memanfaatkan jika total nilai = 0
1 0
70
Lampiran 6 Skor Penyakit Infeksi No 1
Macam dan indikator Infeksi Saluran Pernafasan Akut
2
Infeksi Tidak infeksi
1 0
Infeksi Tidak infeksi
1 0
Infeksi Tidak infeksi
1 0
Infeksi Tidak infeksi
1 0
Campak
5
1 0
Pneumonia
4
Infeksi Tidak infeksi
Diare
3
Skor
TB Paru
-
Skor tertinggi = 5 Infeksi jika skor < 1 Tidak infeksi jika total skor = 0