ANALISIS FRAMING TAJUK RENCANA TENTANG KONFLIK INDONESIA-MALAYSIA DI HARIAN REPUBLIKA EDISI AGUSTUS 2010
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh: Zahrotusti’anah NIM 107051102338
KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING Analisis Framing Tajuk Rencana tentang Konflik Indonesia-Malaysia dalam Harian Republika Edisi Agustus 2010
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh: Zahrotusti’anah NIM 107051102338
Di Bawah Bimbingan
Gun Gun Heryanto, S.Ag, M.Si NIP 19760812 200501 1 005
KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (SI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 7 Juni 2011
Zahrotusti’anah
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Analisis Framing Tajuk Rencana tentang Konflik Indonesia-Malaysia di Harian Republika Edisi Agustus 2010” telah diujikan dalam sidang Munaqosah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 7 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S.1) pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik. Jakarta, 7 Juni 2011 Sidang Munaqosah Ketua,
Sekretaris,
Drs. H. Mahmud Jalal, MA
Ade Rina Farida, M.Si
NIP. 19520422 198103 1 002
NIP. 197700513 200701 2 018
Penguji I,
Penguji II,
Rulli Nasrullah, M. Si
Drs. Wahidin Saputra, MA
NIP. 19750318200801 1 008
NIP. 19700903 199603 1 001
Pembimbing,
Gun Gun Heryanto, S.Ag, M.Si NIP 19760812 200501 1 005
ABSTRAK Zahrotusti’anah Analisis Framing Tajuk Rencana tentang Konflik Indonesia-Malaysia dalam Harian Republika Edisi Agustus 2010
Media massa Indonesia kembali sibuk dengan pemberitaan hubungan Indonesia-Malaysia. Pemicunya adalah penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh polisi Malaysia 13 Agustus 2010. Headline, berita, bahkan tajuk rencana membahas kembali hubungan kedua negara. Hal ini menarik, apalagi, tajuk rencana merupakan opini suatu redaksi media massa yang mudah membentuk suatu opini publik. Isu ini menjadi isu utama, termasuk oleh Republika. Sebagai surat kabar komunitas muslim, sikap Republika atas kasus ini di dalam tajuknya sedikit berbeda dengan sikap media lain. Republika cenderung lebih soft dalam penulisan tajuknya dibanding media massa lainnya. Dengan latar belakang di atas, maka timbul sebuah pertanyaan dari penulis, bagaimana Harian Republika mengemas konflik Indonesia-Malaysia dalam tajuk rencananya selama Bulan Agustus 2010? Penelitian ini berlandaskan pada paradigma konstruktivis dengan menggunakan riset kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun teknik analisa data, penelitian ini menggunakan analisis framing Robert Entman yang membagi bingkai sebuah wacana ke dalam empat elemen; identifikasi masalah, penyebab masalah, evaluasi moral, dan penawaran solusi atas masalah. Teori Konstruksi Sosial atas Realitas milik Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menjadi teori dalam penelitian ini. Berger dan Luckman mengatakan bahwa realitas dibentuk oleh realitas objektif dan realitas subjektif. Realitas objektif terbentuk dari pengalaman di luar individu dan dianggap kenyataan. Proses penyerapan kembali realitas objektif tersebut menghasilkan realitas yang disebut dengan realitas subjektif. Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek. Berdasarkan teori tersebut, maka teks yang ada di media massa merupakan hasil konstruksi dari si pembuat teks tersebut. Harian ini menggunakan tajuk rencana untuk mengidentifikasi kasus ini ke dalam ranah tertentu, menuding aktor penyebab masalah, mengevaluasi moral atas kasus ini, dan juga menawarkan solusi atas kasus tersebut. Dengan begitu, penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Republika mengemas kasus ini sebagai masalah komunikasi internasional yang melibatkan dua negara tetangga serumpun. Aktor penyebab masalah ada di Malaysia yang kerap kali tidak menghormati kedaulatan Indonesia. Sikap saling menghormati dan menjaga hubungan baik keduanya merupakan solusi utama yang ditawarkan Republika atas kasus ini.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur atas seluruh kehendak Allah S.W.T, Sang Pemilik Kehendak. Atas izin-Nya lah, akhirnya skripsi ini selesai dalam proses pengerjaan selama kurang lebih 6 bulan. Skripsi ini merupakan anugerah dan nikmat yang besar yang Allah berikan kepada saya. Atas terselesaikannya skripsi ini, tak lupa saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Bapak Dr. H. Arief Subhan, M.A, Pembantu Dekan I Bidang Akademik, Bapak Drs. Wahidin Saputra, M.A, Pembantu Dekan II Bidang Administrasi Umum, Bapak Drs.
Mahmud
Jalal,
M.A,
serta
Pembantu
Dekan
III
Bidang
Kemahasiswaan, Bapak Drs Study Rizal, L.K, MA. 2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Ibu Rubiyanah, M.A beserta Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik, Ibu Ade Rina Farida, M.Si yang selalu berkenan membantu saya dalam banyak hal. 3. Dosen pembimbing skripsi, Bapak Gun Gun Heryanto, S.Ag, M.Si yang telah meyediakan waktu dan tenaganya, serta membagi ilmunya untuk membimbing saya. 4. Seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas ilmu dan bantuannya selama ini. 5. Segenap staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 6. Seluruh dewan dan staf redaksi Harian Republika atas kerjasamanya.
7. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda Dian Syahrudin dan Bunda Uyuni yang senantiasa sabar membesarkan, mendidik, dan mendoakan saya tanpa keluh kesah. 8. Kakak dan kedua adik saya yang selalu menghibur dan menemani harihari pengerjaan skripsi ini, Kak Lia, Ina, dan juga Ficky. 9. Keluarga besar Bani Abdillah dan Haji Hasyim sekalian atas doanya. 10. Teman-teman Jurnalistik angkatan 2007, mereka yang menemani, membantu, dan menginspirasikan saya, Ririn, Ika, Cahya, Dita, Zabrina, Mawa, Zahra, Yanti, Silvi, Nana, Nunu, Nia, Lola, Sintya, Rezza, Ipunk, Dodo, Era, Ajat, Helmi, Alan, Anay, Beben, Fajar, Wahyu, Miral, Ibenk, Kiki, Iman, Murni, Nadia, Zenal, Nujum. Terimakasih atas semangat moril dan kebersamaan selama 4 tahun ini. 11. Semua pihak dan teman-teman yang telah mendukung, mendoakan, dan membantu saya dan tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................... ABSTRAK................................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL ....................................................................................... BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah........................................................... B.Batasan Masalah ...................................................................... C.Rumusan Masalah .................................................................... D.Tujuan Penelitian ..................................................................... E.Manfaat Penelitian. .................................................................. F.Metodologi Penelitian............................................................... G.Sistematika Penulisan ..............................................................
i ii iii iv v vii ix
1 6 6 7 7 7 14
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL A.Kajian Teoritis .......................................................................... 1.Konstruksi Sosial atas Realitas .............................................. a.Latar Belakang Teori Konstruksi ......................................... b.Teori Kostruksi Sosial atas Realitas Peter Berger dan Thomas Luckmann .............................................................................. c.Konstruksi Realitas di Media Massa ....................................
17 22
B.Kerangka Konseptual ................................................................ 1.Analisis Framing ................................................................... a.Definisi Framing ............................................................... b.Framing Robert Entman .................................................... 2.Tajuk Rencana ....................................................................... a.Definisi dan Fungsi ........................................................... b.Jenis dan Penetapan Isu Tajuk Rencana............................. c.Model ANSVA dan SEES .................................................
27 27 27 32 36 36 39 41
GAMBARAN UMUM HARIAN REPUBLIKA A.Sejarah Harian Republika ........................................................ B.Visi dan Misi Harian Republika .............................................. C.Karakter Harian Republika ...................................................... D.Struktur Redaksi Harian Republika .........................................
43 47 49 51
TEMUAN DAN ANALISA DATA A.Analisis Framing Tajuk Rencana Kamis, 19 Agustus 2010...... B.Analisis Framing Tajuk Rencana Sabtu, 28 Agustus 2010 .......
58 69
16 16 16
BAB V
C.Analisis Framing Tajuk Rencana Senin, 30 Agustus 2010 .......
79
KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ............................................................................. B.Saran .......................................................................................
89 91
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN-LAMPIRAN
92
DAFTAR TABEL 1. Tabel I.1 Model Analisis Framing Robert N. Entman 2. Tabel IV.1 Daftar Judul Tajuk Rencana dengan Pembahasan IndonesiaMalaysia 3. Tabel IV.2 Framing Tajuk Rencana “Hubungan RI-Malaysia” 4. Tabel IV.3 Framing Tajuk Rencana “Hubungan Panas Serumpun” 5. Tabel IV.4 Framing Tajuk Rencana “Malaysia yang Berbudi”
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanggal 13 Agustus 2010 lalu, media massa Indonesia ramai membincangkan kembali hubungan panas antara Indonesia dan Malaysia. Konflik ini kembali mencuat dengan tertangkapnya tiga petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh polisi Diraja Malaysia. Penangkapan ketiga petugas KKP RI itu dilakukan di perairan Bintan, Kepulauan Riau. Kejadian ini bermula dari tujuh nelayan Malaysia yang kedapatan mengambil ikan-ikan di perairan Bintan. Petugas KKP yang sedang berpatroli pun menggiring tiga nelayan tersebut ke Batam dengan memindahkan mereka ke dalam kapal KKP. Tiga dari petugas KKP mengawal lima kapal nelayan Malaysia. Polisi Diraja Malaysia pun kemudian menggiring lima kapal nelayan beserta tiga petugas KKP ke Johor setelah melepaskan tembakan peringatan. Hubungan yang sering tidak harmonis ini sudah terjadi sejak tahun 1963. Bermula dari keinginan Inggris menyatukan wilayah Sabah dan Serawak sebagai bagian dari wilayah koloninya, Soekarno geram dengan aksi Anti-Indonesia.1 Aksi tersebut berujung pada penginjakan lambang garuda oleh Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tuanku Abdul Rahman. Tidak hanya itu, para demonstran pun merobek-robek foto Soekarno dan mengobrak-abrik kedubes RI di Malaysia.
1
Usman, Syafaruddin dan Isnawita Din. Ancaman Negeri Jiran : Dari ”Ganyang Malaysia” Sampai Konflik Ambalat (Yoyakarta: Media Pressindo, 2009), h. 28.
Pada dasarnya, kondisi demografi Malaysia tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Malaysia dan Indonesia memiliki rumpun yang sama sehingga tak jarang, banyak kesamaan yang muncul dari kedua negara ini. Dari segi budaya, tak sedikit budaya kedua negara ini yang hampir serupa, seperti tarian, adat, atau bahkan ragam makanan. Maka tidak heran, hubungan kedua negara tetangga ini sering memanas. Pengklaiman ragam budaya Indonesia cukup membuat bangsa ini geram. Sebut saja kasus pengklaiman Reog Ponorogo, tari Tari Pendet dari Bali, batik khas Jawa, dan lagu daerah Maluku “Rasa Sayange” yang dipakai Malaysia sebagai isi iklan pariwisatanya. Belum lagi masalah perbatasan teritorial yang sensitif, seperti perbatasan di perairan Ambalat. Menjadi catatan buruk juga sikap kekerasan Malaysia terhadap TKI di negeri johor itu yang akhirnya menyebut bangsa kita sebagai bangsa babu. Malaysia dan Indonesia menjadi tetangga yang tidak harmonis. Peranan media massa dalam membingkai kasus pada 13 Agustus lalu menjadi semakin kuat. Berbagai media, baik televisi, radio, dan surat kabar gencar memberitakan kasus ini ke hadapan publik. Kasus ini pun kerap menjadi headline di berbagai media massa. Harian Republika sebagai harian nasional yang berbasis komunitas muslim menulis paling sedikit tiga headline yang secara implisit membahas hubungan kedua negara sejak konflik ini kembali mencuat 13 Agustus 2010. Headline tersebut antara lain berjudul, “Konfrontasi!” pada tanggal 16 Agustus 2010, “Malaysia Meradang: Pemerintah tak tanggapi pernyataan Menlu Malaysia” pada
tanggal 27 Agustus 2010, dan “Menlu Anifah Tolak Minta Maaf” pada 28 Agustus 2010. Headilne-headline tersebut diperkuat dengan ilustrasi seputar batas wilayah atau juga dengan ilustrasi wajah Menlu Malaysia dan Indonesia yang dimaknai sebagai proses diplomasi yang lembek. Kasus ini pun terlihat menjadi lebih penting manakala dibahas pula dalam berita-berita yang diletakkan pada rubrik berita utama dan rubrik berita lainnya baik secara implisit maupun eksplisit. Secara eksplisit, ada beberapa berita dan tajuk rencana yang menyelipkan kasus ini dalam teksnya. Seperti pada headline “Pidato Tak Beri Harapan” yang berisi tentang daftar pidato presiden bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI ke55. Dalam list pidato presiden tersebut, kasus Indonesia-Malaysia termasuk ke dalam kasus yang tidak dibahas dalam pidato presiden kala itu. Lainnya, secara eksplisit dikemukakan dalam tajuk rencana pada tanggal 20 Agustus 2010 yang berjudul “Jangan Buang Energi”. Taju ini mengatakan bahwa, usul kontroversial anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, tentang perpanjangan masa jabatan Presiden SBY merupakan pengalihan isu atas kelemahan SBY menyikapi kasus Indonesia-Malaysia. Fungsi dan peran media massa menurut Lasswell dibagi menjadi tiga, yakni: pengamatan lingkungan, korelasi bagian-bagian dalam masyarakat untuk merespon lingkungan, dan penyampaian warisan masyarakat dari generasi ke generasi.2
2
Werner J.Severin dan James W. Tankard Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode dan Terapan di dalam Media Massa (Jakarta: Prenada Media, 2008), h. 386.
Adapun fungsi yang kedua, korelasi, adalah fungsi dimana media memeberikan interpretasinya tentang informasi kepada masyarakat. Melalui fungsi ini, media kerap kali memasukkan kritik atau pandangannya terhadap isuisu yang dinilai menyimpang. Media menjadi sebuah kontrol sosial atas lingkungannya. Media memberikan pandangan kepada khalayak untuk menyikapi suatu kejadian melalui tajuk atau editorialnya. Untuk itu, dengan fungsi ini tajuk rencana mampu membuat sebuah opini publik tentang suatu kasus. Tajuk rencana adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau kontroversial yang berkembang dalam masyarakat.3 Tajuk rencana atau yang juga disebut sebagai editorial memiliki peran sendiri bagi media massa, dalam hal ini, surat kabar. Tajuk menjadi begitu bernilai manakala publik merasa bahwa pandangan dari redaksi media adalah pandangan yang patut untuk diketahui. Untuk itu, penulis merasa bahwa kasus ini menarik, bukan hanya masalah kedua negara merupakan negara tetangga yang tidak harmonis, melainkan juga ingin mengetahui bagaimana sikap Republika sebagai koran komunitas muslim terbesar di Indonesia menanggapi kasus ini. Republika bukan berada pada karakter media provokatif dalam penulisan beritanya. Untuk itu, penulis tertarik untuk melihat solusi apa yang ditawarkan Republika sementara koran lain banyak yang menyetujui aksi provokatif, seperti perang misalnya. Dari tiga tajuk rencana yang ditulis Republika pun terkesan berbeda. Ketiganya memang menggunakan penulisan halus namun tetap tegas. Penulis pun 3
AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), h. 2.
tertarik mengambil tajuk rencana Republika karena sudut pandang dalam tajuk tersebut berbeda dari koran lain. Republika lebih mengedepankan hubungan kedua negara yang seharusnya bisa lebih baik tanpa diganggu masalah-masalah seperti ini terus menerus. Republika mendorong tak hanya pemerintah IndonesiaMalaysia yang bertanggungjawab atas hal ini, tapi juga semua lapisan masyarakat, baik Indonesia maupun Malaysia. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul “Analisis Framing Tajuk Rencana tentang Konflik Indonesia-Malaysia di Harian Republika Edisi Agustus 2010”. B. Pembatasan Masalah Merujuk pada latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis membatasi penelitian ini pada tajuk rencana yang mengangkat konflik antara Indonesia-Malaysia pada Harian Republika edisi Agustus 2010. C. Perumusan Masalah Dari batasan penelitian di atas, maka rumusan masalah yang akan penulis kaji adalah “bagaimana pengemasan kasus konflik Indonesia-Malaysia dalam tajuk Harian Republika?” D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Harian Republika mengemas kasus konflik Indonesia-Malaysa pada edisi Agustus sampai September 2010. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
pada
pengembangan keilmuan komunikasi terutama komunikasi massa yang terkait dengan model analisis framing atas media massa, khususnya model Robert N. Entman.
2. Manfaat Praktis Penelitian ini juga diharapkan memberi masukan sebagai referensi tambahan terkait data analisis kepada penelitian sejenis di masa mendatang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para praktisi di bidang jurnalistik, seperti wartawan dalam membingkai peristiwa. F. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan metode riset kualitatif. Pada dasarnya, paradigma atau pendekatan riset komunikasi dapat dilihat menjadi tiga paradigma; positivis, konstruktivis, dan juga kritis. Ketiga paradigma ini biasanya dapat dibedakan dengan melihat dari aspek ontologi, epistemologi, aksiologi, dan juga metodologi. Aspek ontologi melihat apa yang disebut sebagai suatu realitas. Paradigma konstruktivis ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi.4 Dilihat dari aspek epistemologinya, atau sesuatu yang menyangkut bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, paradigma konstruktivis menempatkan peneliti dan objek yang diteliti sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan. 4
Eriyanto, Analisis Framing : konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, (Yogyakarta: LKis, 2008) Cet. Ke-5 h. 5
Aspek yang ketiga adalah aspek aksiologi di mana menyangkut tentang tujuan untuk mempelajari sesuatu. Penelitian dengan paradigma konstruktivis bertujuan untuk rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.5 Terakhir adalah aspek metodologi di mana teknikteknik dipelajari dalam menemukan pengetahuan. Pada paradigma ini peneliti dan responden (yang diteliti) menekankan pada hubungan empati dan interaksi melalui metode-metode kualitatif, seperti observasi partisipan. 2. Metode Penelitian Paradigma konstruktivis yang bernilai subjektif ini menggunakan metode riset kualitatif di mana menekankan pada kualitas data dan bukan kuantitasnya. Metode kualitatif sebenarnya merupakan metode penelitian yang dipakai untuk menjelaskan
suatu
fenomena
sedalam-dalamnya
dengan
menggunakan
pengumpulan data yang sedalam-dalamnya pula. Secara sederhana, metode kualitatif tidak melakukan pengumpulan data dengan metode statistik. Metode ini digunakan justru untuk menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan pada metode kuantitatif. Untuk itu, metode kualitatif membutuhkan analisa di lapangan yang mendalam. Salah satu asumsi desain kualitatif adalah peneliti kualitatif
merupakan
instrumen pokok untuk
pengumpulan dan analisa data. Data didekati melalui instrumen manusia, bukannya melalui inventaris, daftar pertanyaan, atau mesin.6 Karakteristik masalah pada penelitian kualitatif adalah adanya kebutuhan dari si peneliti untuk menggali lebih dalam lagi suatu fenomena dan
5
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, (Jakarta: Kencana 2007) Cet ke-2, h. 110 6 John W. Creswell, Desain Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: KIK Press, 2003), h. 140
mengembangkan teori yang sudah ada. Oleh karenanya, desain penelitian kualitatif bersifat induktif, sehingga teori tidak menjadi sesuatu untuk diuji tetapi untuk dikembangkan dan dibentuk melalui proses penelitian.7
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara-cara yang digunakan periset untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data dibedakan dengan metodologi dari riset yang digunakan para periset, yakni riset kualitatif dan kuantitafif. Pada riset kualitatif yang penulis pakai pada riset ini ialah observasi, wawancara, dan juga dokumentasi. Ide penelitian kualitatif adalah dengan sengaja memilih informan (atau dokumen atau bahan-bahan visual lain) yang dapat memberikan jawaban terbaik pertanyaan penelitian.8 a.
Observasi
Observasi merupakan kegiatan mengamati apa yang ada di sekeliling kita. Pada dasarnya, observasi memang hal yang sering dilakukan kita sehari-hari. Observasi pada riset ini diartikan sebagai kegiatan mengamati subjek (tajuk rencana Harian Republika) dan objek (tajuk pada tanggal 19, 28, dan 30 Agustus 2010) penelitian secara langsung. Pada metode observasi, periset biasanya menggunakan instrumen observasi. Instrumen observasi tersebut antara lain: sistem kategori, sistem skala, sistem tanda, diary keeping, analisis dokumen, lembar pengamatan, dan panduan
7 8
John W. Creswell, h. 98. John W. Creswell, h. 143.
pengamatan.9 Pada riset ini hanya analisis dokumen yang digunakan sebagai instrumen observasi. Analisis dokumen hanya mengamati dokumen sebagai sumber informasi dan menginterpretasikannya ke dalam hasil penelitian. Dokumen yang digunakan, pada dasarnya, terdiri atas dokumen publik dan dokumen privat. Namun, seperti yang telah disebutkan di atas, riset ini hanya membutuhkan dokumen publik berupa teks tajuk Harian Republika edisi 19, 28, dan 30 Agustus 2010. b. Wawancara Teknik pengumpulan data yang juga digunakan periset adalah wawancara. Wawancara dalam riset kualitatif, yang disebut sebagai wawancara mendalam (depth interview) atau wawancara intensif (intensive-interview) dan kebanyakan tak berstruktur.10 Tujuannya untuk mendapatkan data kualitatif yang mendalam. Wawancara ini akan dilakukan bersama narasumber yang merupakan redaksi Harian Republika. c.
Dokumentasi
Terakhir, teknik pengumpulan data yang periset gunakan adalah metode dokumentasi.
Peneliti
menambah
data-data
yang
digunakan
melalui
penghimpunan data-data, literatur, dan kajian pustaka terkait masalah yang akan diangkat. Pengumpulan dokumentasi tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi yang mendukung dalam menginterpretasi data dan menganalisis masalah.
9
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana 2007) Cet ke-2, h. 111. 10 Rachmat Kriyantono, h. 96.
1. Teknik Analisis Data Membaca bingkai yang dilakukan Harian Republika pada tajuknya atas kasus konflik Indonesia-Malaysia pada edisi Agustus 2010, peneliti menggunakan teknik analisa framing milik Robert N. Entman. Entman membagi modelnya ke dalam empat bagian, identifikasi masalah, penyebab masalah, evaluasi moral, dan penawaran solusi atas masalah tersebut. Gagasan mengenai framing sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Beterson pada tahun 1955. Framing dikenal sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas.11 Tahun 1974, Goffman mengembangkan konsep framing menjadi kepingan-kepingan perilaku individu dalam membaca realitas. Framing pada dasarnya merupakan pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan (Entman dalam Dennis McQuail, 2002).12 Framing secara sederhana dapat digunakan untuk menyusun dan membaca realitas yang dikonstruksi oleh media massa. Suatu isu, pada penyajiannya, melalui beberapa proses yang akhirnya menjadi satu sajian utuh yang dikonsumsi oleh publik. Proses inilah yang membedakan antara satu berita oleh media A dan media B dengan isu yang sama. Perbedaan sajian atau bingkai yang dipakai media massa merupakan realitas yang sengaja dibentuk untuk menyampaikan pesan tersendiri bagi media
11
Alex Sobur, Analaisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk analisis Wacana, Analisis semiotic, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 162. 12 M. Antonius Birowo (ed.), Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 181.
tersebut. Pada dasarnya, framing merupakan metode untuk melihat cara bercerita media atas peritiwa.13 Metode ini digunakan untuk melihat bsagaimana peristiwa dikonstruksi oleh media. Entman mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Framing menjauhkan khalayak untuk mendapatkan obyektivitas pemberitaan. Framing dapat terjadi melalui cara pengambilan gambar atau sudut pandang peristiwa, penyuntingan, dan penyajian peristiwa pada teks yang disajikan. Dalam proses framing terdapat berbagai kepentingan yang menempel dengannya, bisa berasal dari pemilik/pemegang saham terbesar media, pengiklan, atau dari institusi penekan lain seperti pemerintah, agama, dan lain-lain. Entman juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.14 Menurut Entman, framing dalam berita dilakukan dengan empat cara, yakni:15 Pertama, indetifikasi masalah (problem indentication), yaitu peristiwa dilihat sebagai sesuatu yang mana positif dan yang mana negatif. Kedua, identifikasi penyebab masalah (causal interpretation), yaitu siapa yang dianggap penyebab masalah. Ketiga, evaluasi moral (moral evaluation), yaitu penilaian atas penyebab masalah; dan keempat, saran penanggulangan masalah (treatment recommendation), yaitu menawarkan suatu cara penanganan masalah dan kadang kala memprediksikan hasilnya.
13
Eriyanto, Analisis Framing : konstruksi Ideologis, dan Politik Media, (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 10. 14 Alex Sobur, Analaisis Teks Media, h.67. 15 Alex Sobur, Analaisis Teks Media, h. 172.
Framing Robert Entman Problem indentication
Peristiwa dilihat sebagai sesuatu yang mana positif dan yang mana negatif
Causal interpretation
Siapa/apa yang dianggap penyebab masalah
Moral evaluation
Penilaian atas penyebab masalah
Treatment recommendation
Menawarkan suatu cara penanganan masalah
dan
kadang
kala
memprediksikan hasilnya Tabel I.1 Model Analisis Framing Robert N. Entman
Pengidentifikasian masalah atau tahap problem identification merupakan tonggak dari bingkai suatu teks media. Pada tahap ini, peneliti harus mengambil pokok dari suatu masalah yang sedang diangkat. Masalah tersebut adalah penginterpretasian dari redaksi dalam menyikapi perstiwa tersebut. Diagnose Causes, mencari penyebab masalah. Diagnosa penyebab masalah dilihat ketika suatu peristiwa yang dipahami redaksi ditulis sedemikian rupa dan menonjolkan sesuatu yang dianggap menjadi penyebab masalah. Dalam suatu teks media, penyebab tidak hanya diartikan sebagai who atau siapa, melainkan juga what atau apa. Tahap ketiga adalah moral evaluation atau evaluasi moral. Di sini, masalah yang sudah diidentifikasikan dan diketahui penyebabnya kemudian dipertegas oleh gagasan lain. Gagasan ini sifatnya akan membenarkan pokok
masalah yang diangkat pihak redaksi. Gagasan akan berupa argumen dan kutipan dari seseorang yang kompetibel dengan masalah dan dikenal khalayak. Terakhir merupakan solusi yang ditawarkan pihak redaksi atas masalah tersebut, atau treatment recommendation. Tahap ini mengambil sikap yang diambil pihak redaksi untuk dijadikan bahan masukan, solusi atas masalah. Solusi yang diberikan pihak redaksi tentunya bergantung pada masalah yang ditonjolkan, penyebab masalahnya, dan juga penguatan masalah oleh gagasan lain. G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini memaparkan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL Bab ini akan membahas tentang teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann. Selain itu, Bab ini akan membahas konsep framing dan tajuk rencana. BAB III GAMBARAN UMUM Bab ini berisi profil dari Harian Republika. Profil itu sendiri terdiri atas sejarah singkat berdirinya Harian Republika, visi dan misi Harian Republika, serta struktur redaksional dari Harian Republika.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA Bab ini berisi temuan data dan analisis framing terhadap tajuk Harian Republika pada edisi 19, 28, dan 30 Agustus 2010 yang membincang konflik Indonesia-Malaysia. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisikan mengenai kesimpulan dan saran penulis.
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Kajian Teoritis 1. Konstruksi Sosial Atas Realitas a. Latar Belakang Teori Konstruksi Konstruksionisme sendiri merupakan cikal bakal yang berasal dari aliran filsafat. Ide konstruksionis dimulai oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog dari Italia.16 Aristoteles dalam Bertens mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.17 Konstruksionisme menjelaskan bahwa konstruksionis merupakan proses kerja kognitif individu di mana terjadi relasi sosial antara individu dengan orang atau lingkungannya. Proses inilah yang menafsirkan realitas yang ada. Realitas tersebut dibentuk sendiri oleh pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya oleh masing-masing individu. Piaget menyebut kemampuan ini sebagai skema atau skemata dalam yang berarti suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya.18
16
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklak Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (Jakarta: Kencana, 2008), h. 13 17 Ibid, h. 13. 18 Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (Pustaka Filsafat, 2007), h. 30.
Berbeda dengan kaum positivis yang cenderung mengabaikan individu dan hanya terpaku pada struktur sosial, kaum konstruksionis memilih ke arah teori-teori beraliran interpretatif atau humanistis. Teori-teori humanistis ini cenderung berada di tengah, antara positivis dan kritis. Oleh karenanya, konstuksionisme sebagai bagian dari teori humanistis menganggap individu yang berinteraksi sebagai alat analisa yang tepat. Baginya, realitas sosial memang sudah ada dengan sendirinya namun juga tergantung pada manusia sebagai subjeknya. Pembahasan tersebut yang menjadi bahasan Berger pada teori konstruksi realitas atas realitanya. Berger berpendapat bahwa realitas sosial secara objektif memang ada tetapi maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif (individu) dengan dunia objektif.19
b. Teori Konstruksi Sosial atas Realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckmann Peter Ledwig Berger merupakan sosiolog asal Amerika yang mengambil benang merah antara aliran Emil Durkheim (1858-1917), Max Weber (1864-1920), dan Karl Marx (1818-1883). Berger memiliki pandangan sendiri dalam menyikapi pertarungan aliran positivis Durkheim, humanis Weber, dan juga teori kritik Marx. Berger mengambil sikap tegas bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanitik.20 Namun, dalam perspektifnya, Berger menekuni makna yang menghasilkan watak ganda masyarakat, yakni; masyarakat sebagai kenyataan subyektif seperti pandangan
19
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) , h. 299. 20 Ibid, h. 298.
Weber dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif menurut Durkheim yang terus berdialektika (Marx). Perspektif Berger mendapat sumbangan besar dari Alfred Schutz (1899-1959) tentang makna dan pembentukan makna atau bagaimana makna membentuk struktur sosial.21 Schutz mengatakan tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.22 Gagasan Berger dan Luckmann bertumpu pada makna realitas dan pengetahuan. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomenafenomena yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.23 Keterkaitan hubungan individu dan dunia sosiokulturalnya disusun dalam gagasan eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Ketiganya ini merupakan proses dialektika antara indidu dengan masyarakatnya atau masyarakat dengan individu. Eksternalisasi dan objektivasi merupakan proses di mana masyarakat merupakan realiats objektif, sedangkan proses internalisasi menempatkan masyarakat sebagai realitas subjektif.
21 22
Ibid, h. 299. George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.
59. 23
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, h.1.
a.1. Manusia Sebagai Realitas Objektif 1. Eksternalisasi Berger mendefinisikan eksternalisasi sebagai proses penyesuaian diri individu terhadap dunia sosiokulturalnya.24 Eksternalisasi dipengaruhi secara aktif maupun pasif oleh akumulasi common sense yang merupakan pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari.25 Pengetahuan bersama ini pada dasarnya bersifat subyektif yang kemudian terjadi berulang-ulang lalu mengendap sehingga menjadi akumulasi common sense yang terhabitualisasi. Habitualisasi ini selanjutnya membentuk produk sosial yang nantinya akan diwariskan. Dengan kata lain, manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi.26
2. Objektivasi Objektivasi tahap pertama disebut sebagai institusionalisasi dan kedua merupakan
legitimasi.27
Institusi
adalah
jawaban
kehidupannya yang terus mengalir dengan tidak pasti.
manusia 28
terhadap
Ketidakpastian ini
yang dimaksud Berger sebagai kekacauan yang diliputi kehampaan makna. Institusi, dengan segala ketentuan yang mengatur peran anggotanya, berfungsi
24
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 15. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 34. 26 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 302. 27 Geger Riyanto, Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009), h. 117. 28 Ibid, h. 109-110. 25
untuk memberikan rasa keteraturan dan kenyamanan kepada anggotanya tersebut.29 Institusi yang diwariskan ini tidak bersifat statis atau tanpa perubahan. Karena dari zaman ke zaman, anggota baru dari institusi tersebut akan terus bisa
mempertanyakan
institusi
tersebut.
Untuk
mempertahankannya
dibutuhkan legitimasi yang merupakan tahap objektivasi tahap kedua. Legitimasi meletakkan justifikasi kognitif atau penjelasan berdasarkan pembuktian logis mengenai relevansi dari sebuah institusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyoal institusi tersebut, saat institusi itu mulai dirasa kurang atau tidak relevan dalam menjawab persoalan-persoalan yang timbul.30 Dengan demikian masyarakat sebagai realitas subjektif dari kedua proses di atas (eksternalisasi dan objektivasi) dapat diterangkan sebagai berikut; “Dalam proses eksternalisasi, mula-mula sekelompok manusia menjalankan sejumlah tindakan. Bila tindakan-tindakan tersebut dirasa tepat dan berhasil menyelesaikan persoalan merea bersama pada saat itu, maka tindakan tersebut akan diulang-ulang. Setelah tindakan itu mengalami pengulangan yang konsisten, kesadaran logis manusia akan merumuskan bahwa fakta tersebut terjadi karena ada kaidah yang mengaturnya. Inilah tahapan objektivasi di mana sebuah institusi menjadi realitas yang objektif setelah melalui proses ini.”31
29
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 303. Geger Riyanto, Peter L. Berger, h. 116. 31 Ibid, h. 110-111. 30
a.2. Manusia Sebagai Realitas Subjektif 1. Internalisasi Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah berlangsung
internalisasi.
Internalisasi
yang
berlangsung
melibatkan
sosialisasi, baik primer maupun sekunder. “Internalisasi itu di antaranya berwujud dalam sosialisasi –bagaimana satu generasi menyampaikan nilai-nilai budaya yang ada pada generasi berikut. Generasi berikut diajar untuk hidup sesuai dengan nilai budaya yang mewarnai struktur masyarakatnya. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang sudah diobjektivasikan, mengidentifikasi diri dengannya. Tetapi tidak memilikinya dengan sekadar mengenalnya, ia juga mengungkapkannya.”32 Sosialisasi primer berlangsung pada masa anak-anak dengan hubungan emosional yang tinggi yang pada akhirnya tidak hanya menimbulkan proses belajar mengenal lingkungan secara kognitif saja. Sedangkan sosialisasi sekunder
memurut
Berger
dan
Luckmann
dikatakan
bahwa,
tanpa
mempertimbangkan dimensi lainnya, bisa dikatakan bahwa sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan perannya (rolespesific knowledge), di mana peran-peran secara langsung atau tidak langsung berakar dalam pembagian kerja.33 Ketiga proses atau tahapan di atas merupakan realitas yang dimaksud Berger dan Luckmann. Realitas objektif yang merupakan realitas yang terbentuk dari pengalaman di luar individu dan dianggap kenyataan ini adalah eksternalisasi. Ekspresi dari realitas objektif dalam berbagai bentuk simbolis tersebut dinamakan objektivasi. Sedangkan proses penyerapan kembali realitas 32 33
Eriyanto, h. 15 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 21.
objektif dan simbolik melalui proses internalisasi menghasilkan realitas yang disebut dengan realitas subjektif. Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, pengetahuan, dan lingkungan yang berbedabeda, yang bisa jadi menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika melihat dan berhadapan dengan objek. Sebaliknya, realitas itu juga mempunyai dimensi objektif –sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar- atau dalam istilah Berger, tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan yang ada, dan sebagainya.34
c. Konstruksi Realitas di Media Massa Berger dan Luckmann memang tidak menyebutkan aktivitas media massa dalam gagasan konstruksi sosial atas realitas, namun gagasan Berger dan Luckmann tersebut memberi banyak substansi pada konstruksi sosial media massa.35 Tiga proses dialektika Berger dan Luckmann; eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi ini juga digunakan dalam proses konstruksi realitas media massa. Hanya saja, ketiga proses tersebut berjalan lamban karena terjadi antarindividu saja dan juga menggunakan pola vertikal yang kemudian bersifat spasial, di mana konstruksi sosial berlangsung seperti dari atasan ke bawahannya atau orangtua kepada anaknya.
34 35
Eriyanto, Analisis Framing, h. 16. Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 194.
Konstruksi realitas media massa pada dasarnya memang melibatkan individu sebagai subjeknya, akan tetapi, individu tersebut tidak akan memberi kontribusi besar terhadap proses konstruksi jika tanpa melaui media massa. Misalnya, aktor atau subjek individu dalam proses pengkonstruksian sebuah peristiwa di media massa adalah wartawan dan pihak redaksi media tersebut. Wartawan tersebut tidak memiliki kekuatan konstruksi besar dalam mata khalayak, kecuali gagasan-gagasannya tersebar di media massa. Burhan Bungin mengatakan dalam konteks konstruksi iklannya, bahwa konstruksi iklan atas realitas sosial itu terjadi karena iklan televisi adalah bagian dari media televisi dan menjadi salah satu sumber otoritas individu.36 Kelambanan yang terjadi pada proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi Berger dan Luckmann ditutupi oleh proses sirkulasi informasi media yang cepat dan tersebarluas. Namun, proses sirkulasi tersebut pun butuh tahapan-tahapan yang pada akhirnya akan membentuk realitas media massa. Berikut bagan yang menggambarkan proses konstruksi sosial media massa:37
GAMBAR II.1 Proses Konstruksi Sosial Media Massa
36 37
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 213. Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 195
Sebagai sumber, ketiga proses Berger dan Luckmann berjalan pada dapur redaksi. Tahapan ini dinamakan penyiapan materi. Di sini, terjadi penentuan isu yang akan disampaikan pada khalayak. Seorang wartawan atau pun pihak redaksi sudah memiliki gambaran tersendiri tentang suatu peristiwa yang terjadi. Gambaran pengetahuan itu sudah ada sebelum proses pencarian fakta dilakukan. Tahap eksternalisasi ini kemudian berada pada realitas objektif tentang peristiwa tersebut. Ketika wartawan tersebut turun ke lapangan, mencari fakta demi fakta, realitas objektif tersebut akan tercampur dengan apa yang dilihat dan dialami langsung oleh si wartawan yang menjadikan fakta tersebut sebagai realitas subjektif. Ada pemaknaan yang dilakukan wartawan tentang realitas objektif atau pengetahuan tentang peristiwa yang sudah ada sebelum ia turun langsung dan realitas yang ia lihat ketika proses peliputan terjadi. Berita bersifat subjektif, karena opini tidak dapat dihilangkan ketika peliputan. Wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. 38 Menurut Mark Fishman, Berita dihasilkan dari pengetahuan dan pikiran, bukan karena ada realitas objektif yang berada di luar, melainkan karena orang akan mengorganisasikan dunia yang abstrak ini menjadi dunia yang koheren dan beraturan serta mempunyai makna.39 Bagaimana peristiwa itu dikemas dan mengapa peristiwa itu dimaknai tertentu bukan hanya semata-mata subjektivitas individu dari wartwan itu sendiri, tapi juga institusi yang menaunginya. Tidak dapat dipungkiri bahwa wartawan hidup dalam institusi media dengan seperangkat aturan, pola kerja,
38 39
Eriyanto, Analisis Framing, h. 27. Ibid, h. 101.
dan aktivitasnya sehingga tidak menutup kemungkinan ada control dari pihak institusi dalam pengemasan suatu peristiwa. Pada tahapan ini, konstruksi realitas akan diawali dengan adanya keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Keberpihakan tersebut tidak bisa dipungkiri mengingat ideologi media massa saat ini memang sudah pada tataran industri di mana membutuhkan modal dan juga menjadikan produk medianya laku di masyarakat.40 Selain itu, pada tahapan ini pun media akan memberikan keberpihakan semu kepada masyarakat dan juga kepentingan umum lainnya. Keberpihakan semu ini akan dibentuk melalui sikap empati dan simpati media dalam produk ber-genre kemanusiaan yang sifatnya menyentuh sensitivitas khalayak. Proses konstruksi ini melibatkan bagaimana peristiwa bisa dikemas agar memiliki nilai berita. Jutaan peristiwa terjadi setiap harinya, namun wartawanlah yang kemudian memilih peristiwa itu, menuliskannya sedemikian rupa dan memberikan makna serta penonjolan-penonjolan lain yang bisa menjadi nilai berita, karena nilai berita merupakan produk dari konstruksi wartawan. Elemen ini berhubungan dengan orientasi media dengan khalayaknya. Menurut Shoemaker dan Reese, nilai berita adalah elemen yang ditujukan kepada khalayak.41 Tahapan kedua adalah penyebaran konstruksi. Dua poin penting dalam tahapan ini adalah mengenai waktu dan segmentasi khalayak. Media massa harus bisa menyebarkan informasi dalam waktu yang secepat mungkin dan dengan target khalayak yang jelas serta tepat sasaran. Keduanya akan 40 41
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 197. Ibid, h. 105.
mempermudah pembentukan konstruksi media, sebab media massa memang bekerja dengan keaktualitasannya terhadap suatu peristiwa. Hal tersebut menjadi bahan khalayak dalam pemilihan media yang akan mereka konsumsi. Media pun harus jeli dalam melihat segmentasi audiens agar pesan yang dibawa media menjadi lebih cepat dan tepat diterima khalayak. Selanjutnya, tahapan ketiga, di mana konstruksi realitas terbentuk harus dilalui dengan tahapan lain yang lebih melibatkan kesadaran masingmasing dari khalayak tersebut. Pertama-tama, khalayak akan berada pada tahapan di mana membenarkan apa saja yang disajikan media massa. Setelah itu, khalayak secara sadar akan memiliki kesediaan untuk dikonstruksi media massa dengan kesediaannya menjadi pembaca atau pemirsa dari media tersebut. Ketika dua tahap ini sudah ada pada masing-masing individu, sikap konsumerisme terhadap media akan meningkat dan menjadi suatu kebutuhan hidup dan habitualisasi khalayak. Tahapan
terakhir
dalam
pembentukan
realitas
adalah
tahap
konfirmasi. Di sini, muncul alasan-alasan dari setiap individu tentang kesediaan
dirinya
terlibat
dalam
pembentukan
konstruksi.
Misalnya,
munculnya alasan bahwa media massa merupakan sumber pengetahuan yang dapat diakses kapan saja dan di mana pun. Oleh karenya, masyarakat modern harus selalu mengkonsumsi media yang sudah menjadi kebutuhan hidup tersebut. Efek dari konstruksi realitas media massa di atas menjelaskan bahwa pemberitaan (dan atau produk media massa) itu lebih cepat diterima masyarakat luas, lebih luas jangkauan pemberitaannya, sebaran merata, karena
media massa dapat ditangkap masyarakat luas secara merata dan di manamana, membentuk opini massa, karena merangsang masyarakat untuk beropini atas kejadian tersebut, massa cenderung terkonstruksi, karena masyarakat mudah terkonstruksi dengan pemberitaan-pemberitaan yang sensitif, bahkan opini massa cenderung apriori sehingga mudah menyalahkan berbagai pihak yang bertanggungjawab atas kasus terkait, serta opini massa cenderung sinis, karena peristiwa terkait sering kali terjadi di Indonesia.42
B. Kerangka Konseptual 1. Analisis Framing a. Definisi Framing Framing atau bingkai berfungsi untuk menjaga pandangan kita terhadap suatu gambar yang ada. Tuchman dalam salah satu bukunya “Making News” menganalogikan framing sebagai jendela.43 Apa yang ada di luar jendela terlihat dari bagaimana jendela yang kita pakai untuk melihatnya. Jendela yang luas, misalnya, akan memungkinkan kita melihat tidak hanya halaman rumah kita saja, tapi juga rumah-rumah lain atau pemandangan lain yang bisa lebih luas jangkauannya. Berbeda dengan apabila kita menggunakan jendela berukuran kecil yang pada akhirnya sangat membatasi apa yang bisa kita lihat. Konsep framing dalam studi media banyak berasal dari lapangan psikologi dan sosiologi.44 Dalam dimensi psikologi, framing dilihat dari pengaruh kognisi seseorang yang membentuk skema tentang diri. Skema lahir 42
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 202. Eriyanto, Analisis Framing, h. 4. 44 Ibid, h. 71. 43
dari proses pengetahuan dan pengalaman seseorang. Selain itu, lingkungan sosial juga ikut memengaruhi kehadiran skema. Skema merupakan aktivitas kognitif seseorang dalam melihat dunia sosialnya dengan perspektif tertentu. Secara psikologis, individu akan cenderung melihat realitas yang kompleks dengan perspektif pribadi.45 Kecenderungan ini yang membuat perspektif tentang suatu realitas antarindividu berbeda. Setiap individu mempunyai perspektif masing-masing yang tidak sama sesuai dengan aktivitas kognisinya. Untuk itu, skema digunakan untuk menyederhanakan realitas-realitas kompleks yang ditangkap individu tersebut. Penyederhanaan tersebut dilakukan agar pikiran kita mudah mengerti dan memahami suatu realitas.46 Skema ini pula bergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dialami individu. Pembentukan makna akan sesuatu bagi anak-anak pastinya berbeda dengan yang sudah dewasa. Oleh karenanya, framing dilihat sebagai perspektif yang membatasi pandangan individu terhadap suatu realitas tersebut. Dengan skema, maka sesorang akan mampu untuk membedakan satu hal dan yang lainnya berdasarkan klasifikasi. Klasifikasi ini merupakan perspektif yang dibuat seseorang untuk memberikan ciri-ciri khusus agar mudah diingat dan membedakannya dengan hal serupa namun tak sama maknanya.47 Selain itu, skema juga membuat kita menjeneralisir suatu hal. Kalau klasifikasi berhubungan dengan bagaimana satu peristiwa atau orang dibedakan dengan cirri-cirinya, generalisasi berhubungan dengan bagaimana satu orang 45
Ibid, h. 72. Ibid, h. 86. 47 Ibid, h. 87.
46
yang mempunyai ciri dan sifat yang berdeketan digeneralisasikan dengan melekatkan pada ciri-ciri yang sama.48 Tidak hanya menyederhanakan realitas, mengklasifikasikan, dan mengeneralisir saja, namun skema juga bisa mengasosiasikan peristiwa satu dan yang lainnya. Hal ini yang menyebabkan sesuatu yang sering dihubung-hubungkan dengan hal lain sehingga memunculkan perspektif yang kadang bias. Sedangkan dalam dimensi sosiologis, konsep framing banyak berasal dari Alfred Schutz, Erwin Goffman, dan juga Peter Berger.49 Gagasan Schutz tentang manusia sebagai aktor kreatif dalam pemberian makna diartikan bahwa teks berita di media massa awalnya hanya berupa teks biasa tanpa makna, namun, kita sendiri sebagai pembaca yang memberikan makna tersebut.50 Hal itu pula yang terjadi pada proses peliputan dan penulisan berita oleh wartawan dan pihak redaksi. Peristiwa yang mereka lihat adalah mereka sendiri yang memaknainya. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 dalam Sudibyo, yang menjelaskan bahwa mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategorikategori standar untuk mengapresiasi realitas.51 Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai
kepentingan-kepentingan
perilaku
(strips
of
behavior)
yang
membimbing individu dalam membaca realitas oleh media. 48
Ibid, h. 88. Ibid, h. 79-80. 50 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 299. 51 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 161. 49
Goffman menjelaskan bahwa strips adalah urutan aktivitas sesorang dengan framing sebagai pola dasar yang mendefinisikan strips. 52 Mengambil alat makan, mengambil makanan, kemudian memakannya merupakan strips yang diorganisasikan menjadi satu pola bernama aktifitas makan yang merupakan frame. Begitu pula dalam konteks berita. Peristiwa yang ada diruntun dengan bahasa dan simol yang sedemikian rupa oleh wartawan yang disebut strips lalu menjadi satu berita utuh yang merupakan frame. Setiap wacana memiliki struktur internal sendiri di dalamnya. Struktur internal tersebut memiliki sebuah gagasan inti yang kita bahas sekarang, yaitu framing. Sebagai suatu metode analisis wacana, framing bertugas menemukan perspektif media dalam wacananya. Perspektif media inilah yang digunakan untuk mengkonstruksi suatu peristiwa. Perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut. 53 Dengan framing, maka wacana itu bisa dilihat lebih dalam tentang bagaimana pesan diorganisir, digunakan, dan dipahami. Proses framing (pembingkaian pesan), menurut George J. Aditjondro dalam merupakan metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, tetapi dibelokkan secara halus.54 “Framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas sedemikian rupa, sehingga dihasilkan sebuah wacana (discourse) yang di dalam media massa wacana ini paling banyak mengambil bentuk dalam wujud berita. Seperti halnya teori semiotika yang bisa dipakai sebagai wacana teori semiotika, teori framing juga bisa dipakai 52
Eriyanto, Analisis Framing, h. 82. Bimo Nugroho, Eriyanto, Franz Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999), h. 21. 54 Hotman Siahaan, Pers yang Gamang: Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur (Lembaga Studi Perubahan Sosial, 2001), h. 9. 53
sebagai salah satu metode untuk memahami “information strategy” dari strategi penyusunan realitas, maka analaisis framing berfungsi untuk membongkar muatan wacana.”55
Proses framing juga dapat menjadi implikasi politik yang sangat signifikan. Framing dapat membentuk rekayasa opini publik tentang suatu kasus. Dengan mempertajam frame tertentu tentang sebuah isu politik, mereka dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang mendukung kepentingan mereka, atau konvergen dengan “klaim kebenaran” mereka.56 Realitas dan peristiwa itu begitu kompleks dan acak, ia harus diidentifikasi (diberi nama, diidentifikasi, dan dihubungkan dengan peristiwa lain yang diketahui oleh khalayak) dan ditempatkan dalam konteks sosial tertentu di mana khalayak tersebut berada (sering kali itu dilakukan dengan menempatkan peristiwa dalam kerangka acuan yang familiar dari khalayak).57 Maka dari itu, efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks dan tidak beraturan dibuat sederhana dan beraturan. Framing menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Khalayak bukan disediakan informasi yang rumit, melainkan informasi yang tinggal ambil, kontekstual, berarti bagi dirinya, dan diingat dalam benak mereka.
55
Ibnu Hamad. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik (Jakarta: Granit, 2004), h. 21-22. 56 Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (LKiS Pelangi Aksara, 2001), h. 188. 57 Eriyanto, Analisis Framing, h, 119.
b. Framing Robert Entman Framing Robert Entman menjadi model framing paling terdepan dengan definisi framing yang diberikan Entman dalam Journal of Communcation vol.43 yang ditulisnya, yaitu: “To frame is to select some aspects of a perceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation.”58 Entman dalam Dennis McQuail juga menyebutkan bahwa aspek utama dari sebuah framing adalah pendefinisian masalah, penyebab masalah, evaluasi moral, dan solusi penyelesaian masalah. “According to Entman (1993), ‘Framing involves selection and salience.’ He summarizes the main aspects of framing by saying that frames define problems, diagnose causes, make moral judgements, and suggest remedies. It is clear that a very large number of textual devices can be used to perform these activities. They include using certain words or phrases, making certain contextual references, choosing certain pictures or film, giving examples as typical, reffering to certain sources and so on.”59 Pembahasan utama framing dari Entman adalah soal penyeleksian dan penonjolan isu. Aspek penyeleksian isu terjadi oleh pihak redaksi di mana ada pemilihan isu yang nantinya akan disebarkan lewat pemberitaannya atau tulisan di media massanya. Penyeleksian ini meliputi soal pemilihan isu mana yang akan diambil dan mana yang tidak. Tidak semua bisa ditampilkan oleh pihak media, oleh karenanya, isu yang sudah diterima khalayak adalah hasil penyeleksian dari wartawan dan redaksi media tersebut.
58
Thomas Konig, “Frame Analysis,” artikel diakses pada 23 Maret 2011 dari http://www.ccsr.ac.uk/methods/publications/frameanalysis/ 59 Dennis Mc. Quail, McQuail’s Mass Communication Theory (T.tp: SAGE Publications Ltd, 2010) , h. 380.
Framing pada dasarnya adalah penonjolan isu di mana suatu peristiwa ditonjolkan dengan menggunakan aksen-aksen tambahan serta bahasa yang menjadikannya mudah diingat pembaca. Dengan bentuk seperti iti, sebuah ide/ gagasan/ informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat, dan ditafsirkan, karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak.60 Proses framing adalah kegiatan yang tak terpisahkan dari pihak media dalam mengkonstruksikan fakta. Bagaimana si wartawan memilih peristiwa yang akan diangkatnya menjadi sebuah berita yang memiliki nilai berita, siapa saja yang ia pilih untuk menjadi narasumbernya, serta bagaimana ia menuliskannya. Tentunya menjadikan berita yang ia tulis menjadi subjektif secara tidak langsung. Tidak hanya wartawan, karena pemilihan angle atau tema atas berita yang ditulis juga menjadi keputusan rapat redaksi media bersangkutan. Berita yang ditulis wartawan pun nantinya akan kembali disunting oleh editor yang juga sesuai dengan perspektif si editor atas berita tersebut. Redaktur pun memiliki kewenangan dalam memutuskan apakah erita tersebut layak muat atau tidak. Begitu pula dengan para layouter atau tata letak, mereka akan menambahkan gambar, karikatur, dan aksen lainnya untuk memperkuat gagasan dalam tulisan tersebut baik tanpa maupun melalui kebijakan dari redakturnya. Entman menerangkan bahwa framing bahkan bisa menjadi sebuah paradigma sendiri. Ini dikarenakan proses dari praktik jurnalistik yang demikian. Ada pemilihan dan penonjolan isu sendiri yang akan diangkat oleh pihak redaksi dari media bersangkutan.
60
Eriyanto, Analisis Framing, h. 186
Model framing Entman, sebagaimana yang ia selalu tekankan dalam definisinya tentang framing adalah dilakukannya pengidentifikasian masalah (problem identifikation), mencari penyebab masalah (causal interpretation), membuat keputusan moral (moral judgement), dan solusi atas masalah (treatment recommendation). Pada pendefinisian masalah akan dilihat bagaimana suatu masalah atau persitiwa dilihat. Satu masalah atau peristiwa akan dimaknai berbeda oleh wartawan yang berbeda. Itu dikarenakan skema individu yang berbeda, karena setiap individu memiliki perspektifnya masing-masing atas suatu masalah. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan, di dalamnya, konsepsi dan interpretasi wartawan.61
skema
Menurut
Entman
dalam
Journal
of
Communication , identifikasi masalah adalah mengidentifikasi apa yang dilakukan agen penyebab masalah dengan menggunakan istilah-istilah umum yang sesuai dengan nilai budaya setempat. Memperikarakan penyebab masalah (causal interpretation) merupakan tahapan di mana peristiwa dilihat dari siapa atau apa yang menyebabkannya. Di sini,
Entman
menyebutkan
bahwa
causal
interpretation
adalah
pengidentifikasian kekuatan yang menyebabkan masalah. Penyebab masalah tidak harus terpaku oleh apa, namun juga siapa aktor, yang dalam wacana tersebut dituding sebagai peenyebab masalah. Dalam tahap ini, dapat terlihat bahwa ada yang dianggap sebagai pelaku dan juga ada yang dianggap sebagai korban.
61
Ibid, h. 189.
Membuat pilihan moral (make moral judgement), tahapan ini adalah tahapan di mana terjadi evaluasi terhadap si penyebab masalah dan efek yang ditimbulkan oleh masalah tersebut. Ada penguatan argument dalam pendefinisian masalah. Artinya, ada argument lain yang menegaskan gagasan yang ingin disampaikan wartawan dan pihak redaksi. Gagasan yang dikutip berdasarkan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.62 Yang
terakhir
adalah
solusi
atas
masalah
atau
treatment
recommendation. Dengan tahapan ini, kita bisa mencari apa sebenarnya yang ditawarkan penulis sebagai solusi atas masalah yang diangkat sebagaimana yang ada di pengidentifikasian masalah. Apa yang menjadi jalan keluar yang menunjukkan sikap wartawan atau
redaksi yang ditawarkan untuk
menyelesaikan masalah tersbut. Keempat tahapan atau elemen di atas merupakan alat untuk memilah dan mengetahui framing yang dipakai media untuk mengemas suatu perstiwa atau berita. Eriyanto mengatakan tentang dua level frame berita yang timbul, selengkapnya adalah; “Frame berita timbul dalam dua level. Pertama, konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karakteristik dari teks berita. Kedua, perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membengun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra yang ada dalam narasi berita.”63
Model framing Entman memang banyak berbicara tentang aksen-aksen yang menjadikan suatu wacana menonjol dan mendapat perhatian lebih. Seperti misalnya, penempatan berita menjadi headline yang bearada di halaman muka 62 63
Ibid, h. 191. Ibid, h. 189.
suarat kabar. Jenis font yang dicetak tebal dan besar. Belum lagi, penambhan foto, gambar, diagram, karikatur, dan lain-lain yang membuatnya menjadi menonjol sehingga menarik khalayak untuk membacanya. Aksen-aksen tersebut merupakan penguatan yang dilakukan terhadap teks berita atau wacana. Kata menjadi senjata utama bagi para penulis dalam mengemas isu mereka. Oleh karenanya, dengan model framing Entman, pembedahan kata-kata tersebut akan lebih mudah teridentifikasi. Kata memiliki kekuatan yang besar untuk memengaruhi cara memaknai teks oleh pembaca. Kata hanya mempunyai makna setelah ia diasosiasikan dengan referen. Artinya, ketika kita berbicara tentang denotasi, kita merujuk pada asosiasi primer yang dimiliki sebuah kata bagi kebanyakan anggota suatu masyarakat linguistik tertentu, sedangkan konotasi merujuk pada asosiasi sekunder yang dimiliki sebuah kata bagi seorang atau lebih anggota masyarakat itu.64 Oleh karenaya, Entman memandang bahwa wacana merupakan arena pertarungan simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pokok persoalan wacana. Masing-masing pihak saling menonjolkan perspektif dan argumennya agar diterima khalayak. Setiap pihak juga menggunakan simbol, retorika, dan bahasa-bahasa tertentu dengan konotasi tertentu. Dengan kata lain, proses framing menjadikan media massa sebagai suatu arena di mana informasi tentang masalah-masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung pembaca.65 Inilah yangdisebut Eriyanto dengan efek framing. 64 65
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication, h. 71. Eriyanto, Analisis Framig, h. 196.
Akan tetapi, Entman pun mengatakan bahwa sebuah kalimat bisa saja menunjukkan lebih dari satu dari empat elemen framingnya, walaupun banyak kalimat dalam teks yang sama yang tidak menunjukkan satu pun dari keempat framing tersebut. Dalam proses komunikasi, setidaknya ada empat lokasi yang menunjukkan suatu framing; komunikator, teks, si penerima, dan juga budaya. Komunikator berperan membuat suatu bingkai yang secara disadari maupun tidak menentukan apa yang ingin dikatakan dan menggiring dengan menggunakan schemata yang telah diorganisasikan. Teks yang terdiri atas potongan bingkat tersebut kemudian dikonstruksi dan ditonjolkan dengan menggunakan kata-kata kunci tertentu, frase, gambar, sumber informasi, atau apa pun yang bisa menggiring si pembaca ke arah bingkai yang dimaksud si komunikator. Framing pun kemudian diterima si pembaca yang sesuai dan diperkuat dengan nilai-nilai budaya dari suatu kelompok tersebut. Cara framing bekerja adalah menonjolkan beberapa informasi dari teks. Kata penonjolan itu sendiri pun perlu diberi makna. Artinya, membuat potongan sebuah informasi itu lebih ditandai pembaca, lebih bermakna, dan juga lebih diingat pembaca. Sebuah teks bisa saja menjadi menonjol dengan penempatan-penempatan di kolom yang lebih besar, lebih mudah ditemukan, dan sebagainya. Atau teks tersebut selalu diulang untuk meninggalkan kesan yang kuat untuk diingat. 2. Tajuk Rencana a. Definisi dan Fungsi
Tajuk rencana atau editorial merupakan pikiran sebuah institusi opini publik, yang menyajikan fakta dan opini yang menafsirkan berita-berita penting dan memengaruhi pendapat umum.66 Tajuk rencana merupakan sebuah tulisan di surat kabar atau koran yang berisi pendapat atau opini redaksi surat kabar tersebut terhadap sebuah permasalahan aktual. Dalam sebuah tajuk, biasanya disajikan terlebih dahulu fakta-fakta tentang sebuah permasalahan aktual, seperti peristiwa, kejadian, atau fenomena. Lalu disisipkan opini, pandangan, pendapat dari redaksi koran tersebut untuk mengomentari atau mengkritisi permasalahan tersebut. Secara teknis jurnalistik, tajuk rencana diartikan sebagai opini redaksi berisi aspirasi, pendapat, dan sikap resmi media pers terhadap persoalan potensial, fenomenal, aktual, dan atau kontroversial yang terdapat dalam masyarakat.67 Produk jurnalistik itu ada dua, yaitu news dan views. News adalah berita dan views ialah segala apa yang bersifat opini.68 Tajuk rencana atau yang biasa disebut editorial bukanlah berita, namun tajuk rencana tetap bagian dari produk jurnalistik. Tajuk rencana merupakan sikap atau opini yang ditulis redaksi, oleh karenanya ia tetap menjadi produk jurnalistik. Dikatakan bukan berita, karena pertama, tajuk rencana, kita tahu tidak ditempatkan pada kolom-kolom berita, melainkan kolom sendiri, bahkan di beberapa media, ia berada pada kolom opini, pendapat, dan sebagainya. Selain itu, karena jelas, tajuk rencana bukan memberitakan suatu peristiwa yang terjadi, tapi mengomentari, memberi 66
Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Kontemporer ((Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 64. 67 AS. Haris Sumardiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 82. 68 Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Kontemporer, h. 49.
pendapat, dan merupakan bentuk sikap redaksi media terhadap peristiwa tersebut. Menurut William Pinkerton dari Harvard University, fungsi tajuk rencana mencakup empat hal; menjelaskan berita (explaining the news), menjelaskan latar belakang (filling in background), meramalkan masa depan (forecasting the future), dan menyampaikan pertimbangan moral (passing moral judgement).69 Tajuk rencana sebagai explaining the news berfungsi menerangkan apa yang terjadi kepada khalayak. Sebagai filling in background, tajuk rencana menggambarkan pula latar belakang peristiwa yang diangkat dengan memaparkan latar belakang sejarah kemudian menghubungkannya dengan peristiwa sekarang. Selain itu, sebagai forecasting the future, tajuk rencana memberikan prediksi bagaimana peristiwa tersebut di masa yang akan datang. 70
Passing moral judgement adalah tugas para penulis tajuk rencana untuk
mempertahankan kata hati mereka. Mereka diharapkan mempertahankan isuisu moral dan mempertahankan posisi mereka.71 Tajuk rencana juga berfungsi sebagai kritik atas ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat dan pemberian wawasan kepada masyarakat atas permasalahan yang sedang hangat terjadi. Sikap media pada tajuk rencana dapat dilihat dengan memahami permasalahan yang dikemukakan dalam tajuk rencana, tujuan pembahasan masalah tersebut, serta menemukan pandangan, kritik atau tanggapan redaksi atas permasalahan tersebut. Dengan begitu,
69
Ibid, h. 83. Suhaemi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 53. 71 AS. Haris Sumardiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, h. 84. 70
sebagai pembaca, kita akan mampu menemukan opini redaksi atas permasalahan tersebut dan beropini kembali atas opini redaksi tersebut.
b. Jenis dan Penetapan Isu Tajuk Rencana Rolnicki, Tate, dan Taylor menjelaskan tentang jenis-jenis dari tajuk rencana atau editorial:72 a. Editorial
Advokasi,
yaitu
editorial
yang
menginterpretasikan,
menjelaskan, dan membujuk adanya perubahan yang dikaitkan dengan peristiwa atau fenomena yang menjadi sorotan pihak media. b. Editorial Pemecahan Masalah, tipe editorial ini digunakan baiasanya untuk menarik perhatian pada suatu problem atau ingin mengkritik tindakan seseorang, kelompok, atau institusi baik swasta maupun pemerintah. c. Editorial Penghargaan, yaitu editorial yang mengulas tentang seseorang, organisasi, perusahaan, yang telah meraih kesuksesan atau prestasi di bidang tertentu. d. Editorial Singkat, yaitu editorial yang memuat satu atau dua paragraph yang efektif dan membahas hanya satu dua poin atau sedikit bukti latar belakang informasi yang perlu diberikan. e. Editorial Pendek, yaitu yang hanya memuat satu komentar pujian atau kritik dan tidak selalu berkaitan dengan berita lainnya di media.
72
Suhaemi dan Rully Nasrullah, Bahasa Jurnalistik, h. 54.
f. Editorial Kartun, yaitu jenis editorial yang berupa gambar kartun dengan satu dua kalimat dialog yang berisi komentar, kritik, menginterpretasikan, membujuk, dan menghibur. Pihak redaksi harus pandai-pandai memilih topik yang akan diangkat pada tajuk redaksinya. Karena ini merupakan sikap dari media, maka semakin topik itu menarik di kalangan masyarakat, maka wibawa media pun akan semakin dipertimbangkan. Topik-topik yang diangkat di tajuk rencana biasanya adalah topik-topik kontroversial yang memiliki daya tarik bagi para pembaca. Hanya saja adakalanya suatu lembaga media massa menulis tajuk rencana tidak sematamata karena ingin menyikapi peristiwa itu, tetapi karena peristiwa itu termasuk masalah besar yang tidak sempat dimuat atau disiarkan oleh media massa yang bersangkutan.73 Topik tajuk rencana juga mencerminkan visi, misi, dan kebijakan umum media penerbitan pers. Ada pesan yang ingin disampaikan media lewat tajuk rencananya. Maka dari itu, topik juga disesuaikan degan kualifikasi dan fokus wilayah sirkulasi penerbitan untuk mendapat target yang tepat sasaran. Fokus tajuk rencana akan sangat ditentukan oleh filosofi, visi, misi, dan kebijakan umum media penerbitan; kualifikasi dan wilayah sirkulasi media penerbitan; pertimbangan politis dari ideologis tertentu, baik yang bersifat situasional maupun permanen.74 Topik tajuk rencana, idealnya ditulis dengan mengedepankan nilai standar jurnalistik yang mengedepankan aktualitas, objektivitas, akurasinya, 73 74
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 157. AS. Haris Sumardiria. Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, h. 91.
serta prinsip liputan berimbang (cover both sides). Topik pun tidak bertentangan dengan aspek ideologis, yuridis, sosiologis, dan aspek etis yang terdapat dalam masyarakat kita. Topik dari tajuk rencana juga berorientasi pada nilai-nilai luhur yang menegakkan kebenaran. Tajuk rencana yang baik seharusnya melakukan analisis terhadap masalah yang terjadi. Pihak redaksi menjelaskan terlebih dahuluan masalah dan latar belakang munculnya masalah tersebut. Selanjutnya, redaksi menganalisis dengan teknik perbandingan, menerangkan sebab-akibat, serta melakukan analogi masalah. Kesimpulan yang ditarik pihak redaksi harus pula memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
2.3. Model ANSVA dan Model SEES Menurut Monroe dalam Raymond S. Ross, dalam Persuassion: Communication and Interpersonal Relations, terdapat lima tahap urutan motif yang sesuai dengan cara berpikir manusia dalam formula ANSVA: perhatian (attention),
kebutuhan
(need),
pemuasan
(satisfaction),
visualisasi
(visualization), dan tindakan (action).75 Dengan menggunakan attention, tajuk rencana harus membuat pembaca tertarik untuk membaca lebih lanjut. Pandangan pertama para pembeca akan tertuju pada judul, untuk itu membuat tajuk rencana menarik adalah dengan menggunakan judul yang bombastis dan kalimat pembuka semenarik mungkin. Tajuk rencana harus memenuhi kebutuhan (need) dan memuaskan kebutuhan
75
Ibid, h. 101.
para pembaca (satisfaction). Keduanya adalah berkaitan dengan proses atau gaya penulisan dari pihak redaksi beserta pemilihan isu yang diangkat. Untuk visualization, yang dimaksud adalah penggambaran atas peristiwa yang diangkat. Biasanya, penggambaran diperkuat dengan contohcontoh riil yang terjadi sehingga pembaca mudah menangkap pesan tajuk rencana dan mudah untuk mengingatnya. Sedangkan untuk action, tahap ini berada pada kesimpulan yang ditarik redaksi. Kesimpulan ini merupakan sikap redaksi atas kasus sehingga pembaca secara sederhana dan singkat dapat menangkap maksud dari tajuk rencana tersebut. Selain teori ANSVA, dikenal juga teori SEES yang merupakan singkatan dari statement, explanation, example, dan juga summary. Pada model SEES, akan terlihat gaya penulisan yang lebih tegas dan ringkas. Statement, menunjukkan pernyataan yang lugas dan tembak langsung terhadap permasalahan. Tidak bertele-tele dalam memaparkan persoalan yang sedang dibahas. Pernyataan yang lugas tersebut kemudian harus didukung dengan bukti-bukti
logis
dan
analisis
yang
meyakinkan
pada
explanation.
Sebagaimana, pada model ANSVA, SEES juga membutuhkan penambahanpenembahan aksen yang memperkuat explanation yaitu berupa contoh-contoh (example). Terakhir, dengan masih mengedepankan gaya bahasa yang padat dan lugas, kesimpulan pun harus ditulis dengan mencantumkan tindakan konkret sebagai solusi masalahnya. Bagian ini adalah summary. Jika dilihat dari polanya, pers popular biasanya menggunakan teori SEES, sedangkan pers serius papan papan atas lebih banyak memilih teori ANSVA. Pers serius melihat teori SEES terlalu sederhana sehingga agak
menyulitkan mereka untuk melakukan analisis lebih dalam dan tajam dalam tajuk rencana yang ditulisnya.76
76
Ibid, h. 104.
BAB III GAMBARAN UMUM HARIAN REPUBLIKA
A. Sejarah Harian Republika Harian Republika terbit pertama kali pada tanggal 4 Januari 1993. Ia dilahirkan oleh kalangan komunitas muslim dan dirintis oleh para wartawan profesional muda yang dipimpin oleh Zaim Ukhrowi. Nama Republika berasal dari ide Presiden Soeharto yang disampaikan saat beberapa pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pusat menghadap untuk melaporkan rencana peluncuran harian umum tersebut.77 ICMI sendiri berdiri pada bulan Desember 1990. ICMI sebagai komunitas cendekiawan muslim melihat bahwa hingga tahun 1990-an belum ada media atau pers Islam yang cukup berpengaruh di Indonesia. Padahal, 80% penduduk Indonesia merupakan kaum muslim. Media Islam dianggap kurang menjaga kredibilitas di hadapan pembacanya, sambil mengkompromikan sebuah akomodasi dengan kepentingan negara. Ilustrasi tersebut terlihat pada Harian Pelita. “Pada pemilu 1977 dan 1982, Pelita dikenal dengan suara kekuatan politik Islam, terutama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Saat itu seikulasinya telah mencapai hampir 100.000 eksemplar. Usai pemilu 1982, Pelita dibredel. Namun empat bulan kemudian harian ini terbit kembali dengan garis editorial yang lebih moderat dan lebih pragmatis-komersial. Semenjak itu Pelita ditinggalknan pembacannya.”78
77
Data resmi berupa Company Profile dari Harian Republika Agus Sudibyo, Hamad, Qarari, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa (Jakarta: ISAI, 2001), h.10. 78
Sebagai upaya menjawab persoalan seputar pers yang berorientasi Islam ini, pada tanggal 18 November 1991, ICMI mengadakan seminar tentang pers Islam. Seminar ini melahirkan harapan perlunya media Islam yang cukup kuat, baik dari segi pengaruh sosial politik maupun aspek lainnya. Melalui program 5K-nya, yaitu Kualitas Iman, Kualitas Hidup, Kualitas Kerja, Kualitas Karya, dan Kualitas Pikir, ICMI membantu Republika menembus izin penerbitan yang saat itu sangat ketat.79 Sebagai organisasi yang menghimpun cendekiawan dari mayoritas pemeluk agama, ICMI memang mempunyai political power yang lebih dibanding organisasi-organisasi lainnya. Kekuatan ini kemudian didukung oleh banyaknya para birokrat, bahkan tingkat menteri, yang mendukung ICMI. Hairus Salim H.S di tulisannya yang berjudul “ICMI, Pluralisme Agama dan Demokrasi” dalam ICMI, Negara dan Demokratisasi : Catatan Kritis Kaum Muda mengatakan: “Jika ICMI lupa diri dan terjerat dalam semangat serta merta, dua hal ini akan sangat mungkin menggiringnya untuk terus mengakumulasi kekuasaan dan selalu berupaya untuk menggapai target-target politiknya, yang selama ini dikalkulasi dalam hitungan-hitungan statisktik jabatan-jabatan strategis dan kritikkritiknya terhadap kelompok-kelompok lain. Kemungkinan itu didukung oleh –melebihi partai pula-, ICMI mempunyai “mesinmesin” politik seperti Harian Republika, CIDES, dan belakangan ini Ummat.”80
Bertekad memiliki media massa yang berkualitas dan memegang nilai-nilai spiritualitas, ICMI 79
dan beberapa tokoh pemerintah, serta
Data resmi Harian Republika Zuli Qodir, ed, ICMI, Negara dan Demokratisasi : Catatan Kritis Kaum Muda, (Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran, 1995), h. 22. 80
masyarakat yang berdedikasi pada pembangunan masyarakat yang beragama Islam, membentuk Yayasan Abdi Bangsa pada 17 Agustus 1992. Yayasan ini kemudian memiliki tiga program, salah satunya adalah penerbitan Harian Umum Republika. Yayasan Abdi Bangsa ini mendirikan PT. Abdi Bangsa dan lahirlah Harian Republika.81 Republika lahir di atas upaya refleksi kegagalan pers Islam sebelumnya. Manajemen awal Republika mencoba meretas persoalan klasik: bagaimana mengedepankan misi Islam. Dalam konteks jurnalisme, bagaimana menerapkan kaidah pemberitaan yang profesional tanpa meninggalkan misi keIslamannya. Parni Hadi selaku pemimpin redaksi pertama Harian Republika mengatakan bahwa pada awalnya Republika digagas berdasarkan kesadaran untuk menyajikan yang terbaik sebagai pengabdian kepada Sang Khaliq. Kemudian timbul niat, lalu tekad, dan, akhirnya berbuat untuk mewujudkannya.82 Founding Fathers harian ini telah menetapkan Republika sebagai sebuah harian umum yang berwawasan kebangsaan (keindonesiaan) dan bernafaskan Islam. Mottonya adalah mencerdaskan “kehidupan bangsa”, seluruh Bangsa Indonesia yang sebagian besar terdiri dari umat Islam. Dan, landasan untuk pencerdasan itu harus Islami. Artinya, berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasul.83 Sebagai media massa –seperti yang lain-
81
Data resmi Harian Republika Hernowo, ed, Lautan Hikmah: Kumpulan Renungan Keagamaan di Harian Republika, (Bandung: Mizan, 1994), h. 5 83 Ibid, h.5. 82
Republika mengemban fungsi sebagai alat penyampai informasi, pendidik, penghibur dan sarana kontrol sosial sekaligus. Berdasarkan data yang diperoleh dari situs jejaring sosial Facebook resmi milik Republika, Tahun 1995, Republika membuka situs web di internet. Republika menjadi yang pertama mengoperasikan Sistem Cetak Jarak Jauh ( SCJJ ) pada tahun 1997.84 Pendekatan juga dilakukan kepada komunitas pembaca lokal. Republika menjadi salah satu koran pertama yang menerbitkan halaman khusus daerah. Selalu dekat dengan publik pembaca adalah komitmen Republika untuk maju. Republika tidak hanya ditujukan untuk mendukung partai politik atau untuk orang saleh belaka, tetapi ditujukan untuk orang-orang yang belum mantap imannya dan ogah dengan seruan moralistik. Dengan demikian, Republika memuat secara teratur artikel-artikel mengenai seni, televisi, sastra, dan tren mode yang menarik bagi muslim kelas menengah dan atas yang menjadi pembacanya.85 Kosmopolitanisme Republika adalah suatu upaya menunjukkan bahwa Islam bukan hanya sekedar persoalan untuk orang desa dan ulama, tetapi sebuah agama yang bisa mengilhami suatu kesadaran sosial yang sesuai dengan aspirasi rakyat sebagai keterbukaan dan pluralisme.86 Rubrik khas Republika adalah Hikmah.87 Rubrik ini lahir setelah Republika merasakan masih ada yang kurang dalam sajian koran ini
84
http://www.facebook.com/pages/REPUBLIKA-Online diakses pada tanggal 09-052011 pukul 20:40 WIB 85 Data resmi Harian Republika 86 Agus Sudibyo, Hamad, Qadari, Kabar-kabar Kebencian, h. 11 87 Hernowo, ed, Lautan Hikmah: Kumpulan Renungan Keagamaan di Harian Republika, h. 6.
setelah kurang lebih satu tahun terbit. Republika merasa perlunya hadir sebuah sajian tentang bimbingan ruhani yang Islami. Bahan-bahan untuk rubrik ini terdiri atas kandungan Al-Quran, Hadis, kisah-kisah sahabat Nabi sampai kisah-kisah masa kini. Rubrik ini muncul pertama kali untuk menyambut Bulan Ramadhan 1413 H. Namanya, “Marhaban Ya Ramadhan” kemudian berubah menjadi “Hikmah Ramadhan”. Kemudian, untuk menyambut bulan haji, muncul kembali dengan nama “Labbaika Ya Allah”. Terakhir, ia menyandang nama tetap “Hikmah” sampai sekarang.88 Sebagai tanggungjawab sosial kepada masyarakat luas, khususnya kaum dhuafa, juga sekaligus ikut serta mensukseskan program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, pada Juli 1993, Republika membuka program Dompet Dhuafa. Program ini bertujuan menghimpun, mengelola, dan menyalurkan zakat para pembacanya.89 Eri Sadewo, salah satu pendiri program Dompet Dhuafa ini menerangkan bahwa secara bisnis, Republika sudah maju dan perlu terus menggali karakter untuk membuat peran Republika semakin penting di masyarakat.90
B. Visi dan Misi Harian Republika Filosofi Harian Republika adalah menjadikan harian ini sebagai koran umat yang terpercaya dan mengedepankan nilai-nilai universal yang
88
Hernowo, ed, Lautan Hikmah: Kumpulan Renungan Keagamaan di Harian Republika,
89
Data resmi Harian Republika Berita dari Republika Online, Kamis, 31 Maret 2011
h. 7. 90
sejuk, toleran, damai, cerdas dan profesional.91 Sebagai surat kabar yang didirikan berdasarkan asas keislamannya, Republika memegang nilai-nilai spiritualitas sebagai perwujudan Pancasila yang merupakan filsafat bangsa, serta memiliki arah gerak seperti digariskan UUD 1945. Oleh karenanya, Republika memiliki visi menegakkan amar ma’ruf nahi munkar yang membela, melindungi, dan melayani kepentingan umat.92 Sebagai wujud kebangkitan pers Islam, Republika mengedepankan sikap kritis yang elegan. Tidak menyakiti namun mencerdaskan, mendidik, dan mencerahkan bagi para pembacanya. Menurut Irwan Ariefyanto, Redaktur Pelaksana II Harian Republika, Republika bukan koran sumber yang mencari informasi berdasarkan “katanya-katanya”. Republika merupakan koran fakta yang tidak mau terjebak dalam provokasi untuk bertindak keras.93 Republika juga memiliki visi berwawasan kebangsaan. Adapun misi yang diemban Harian Republika bergerak di wilayah politik, ekonomi, budaya, agama, dan hukum. Republika mendorong terwujudnya demokratisasi dan partisipasi politik semua
lapisan
masyarakat. Selain itu, Republika juga menekankan perlunya pemerataan sumber-sumber daya ekonomi dan mempromosikan prinsip etika dan moralitas dalam berbisnis.94 Dalam ranah budaya, Republika mendukung sikap terbuka dan apresiatif terhadap bentuk kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
91
Data resmi Harian Republika Data resmi Harian Republika 93 Hasil wawancara dengan Redaktur Pelaksana II Harian Republika, Irwan Ariefyanto, pada Kamis, 5 Mei 2011 94 Data resmi Harian Republika 92
kemanusiaan namun juga bersikap kritis terhadap bentuk kebudayaan yang merusak moralitas.95 Sebagai media massa Islam, Republika mendorong sikap beragama yang terbuka. Mengedepankan semangat toleransi yang tulus serta mendorong pencarian titik temu di antara agama-agama. Selain itu, Republika berusaha mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam segala bidang kehidupan.
C. Karakter Harian Republika Dalam penyajian informasinya, Harian Republika mengedepankan bahasa jurnalistik yang lugas, mudah dibaca, jelas, dan tuntas. Republika amenggunakan bahasa-bahasa popular untuk memudahkan pembaca namun tidak mengabaikan kaidah-kaidah bahasa.96 Hal ini pun diungkapkan Parni Hadi dalam Lautan Hikmah bahwa agar pas dengan sasarannya, penampilan Republika harus lugas, ringkas, padat, memikat, dan tepat (dengan perkembangan zaman). Gaya penyajiannya diusahakan popular dan kontemporer.97 90% pembaca Republika merupakan kaum muslim dan sisanya merupakan kaum non muslim. Pembaca Republika yang merupakan komunitas muslim ini juga berasal dari kalangan berpendidikan dan juga profesional. Toleran dan inklusif, peduli keluarga dan loyal, merupakan
95
Data resmi Harian Republika Data resmi Harian Republika 97 Hernowo, ed, Lautan Hikmah: Kumpulan Renungan Keagamaan di Harian Republika, 96
h. 6.
masyarakat kota, dan biasanya menengah ke atas merupakan profil pembaca Harian Republika.98 Adapun profesi dan usia pembaca Harian Republika dapat dilihat pada diagram di bawah ini yang bersumber pada data resmi Harian Republika:99
Diagram III.1. Profesi Pembaca Harian Republika
98 99
Data resmi Harian Republika Data resmi Harian Republika
Diagram II Usia Pembaca Republika
Kekuatan harian yang bermarkas di Warung Buncit Raya, Jakarta Selatan, ini juga terletak dari tata letak dan visualisasi yang menjadi penonjolan-penonjolan informasi berupa gambar, table, grafik, dan lain sebagainya. Ini terbukti dengan penghargaan sebagai tata wajah terbaik pada awal tahun penerbitannya juga penghargaan The Best Newspaper 2005 pada tahun 2006 dan The Best National Newspaper pada tahun 2007 masing-masing oleh Dewan Press dan ajang Cakram Award.100
D. Struktur Redaksi Harian Republika
100
Data resmi Harian Republika
Data resmi Harian Republika memperlihatkan bahwa sebagaimana struktur redaksi media massa lain, Harian Republika dikepalai oleh pemimpin redaksi dan wakil redaksinya. Di bawah keduanya terdapat sekretaris redaksi yang bertanggungjawab kepada pemimpin atau wakil redaksi. Selain sekretaris redaksi, pemimpin redaksi beserta wakilnya juga membawahi langsung redaktur pelaksana dan redaktur senior. Redaktur senior tersebut bertugas mengepalai redaktur daerah dan redaktur Republika Online. Sedangkan redaktur pelaksana membawahi dua wakil, yaitu wakil redaktur pelaksana I yang bertanggungjawab atas berita dan wakil redaktur pelaksana II yang bertanggungjawab atas nonberita, desain, dan foto. Untuk berita pada halaman I, halaman internasional, halaman ekonomi yang mencakup ekbis, bisnis investasi, syariah, global, dan pareto busana, serta halaman olahraga yang mencakup arena dan sepak bola dikepalai asisten redaktur pelaksana I yang harus bertanggungjawab atas wakil redaktur pelaksana I. Asisten redaktur pelaksana II yang juga berada di bawah wakil redaktur pelaksana I bertanggungjawab terhadap Dialog Jumat, halaman City News, Iptek, berita Edisi Ahad, dan halaman nasional yang meliputi politik 3 berita harian, hokum, kesra, dan berita di halaman 12. Sejajar dengan wakil redaktur pelaksana I, wakil redaktur pelaksana II yang memegang nonberita, desain, dan foto membawahi 3 bagian sekaligus. Mereka adalah asisten redaktur pelaksana III, asisten redaktur pelaksana IV, dan juga redaktur foto. Asisten redaktur pelaksana
III bertanggungjawab terhadap nonberita, seperti berita halaman I Ahad, cerpen, puisi, wacana, horizon, cerber, pustaka, dan senggang. Selain itu juga ficer halaman I, analisis, resonansi, refleksi, opini, dan tajuk suara. Ada lagi warna, hwal, TV Guide, laporan utama Minggu, perilaku di balik layar, hobi dan habit, layar perak dan DV, serta rubrik Gaya. Ia juga bertanggungjawab terhadap sosok, wawancara, Dari Kami, Korcil, Belia, Remaja, Griya, Jalan-jalan, Wanita, Kesehatan, Boga, dan Ayah Bunda. Sedangkan Asisten redaktur pelaksana IV brrtanggungjawab atas desain halaman dan redaktur foto atas dokumentasi foto dan laboratorium scanner. Berdasasarkan data resmi Harian Republika per tanggal 9 Desember 2010, berikut adalah susunan redaksi harian tersebut:101 Pemimpin Redaksi
: Nasihin Masha
Wakil Pemimpin Redaksi
: Arys Hilman
Redaktur Pelaksana
: Elba Damhuri
Wakil Redaktur Pelaksana : Syahruddin, El-Fikri, Irfan Junaidi, S. Kumara Dewatasari
Asredpel Halaman 1, Ekbis, Olahraga, Luar Negeri, Iptek
:
Nur
Hasan Murtiaji Halaman 1
: Rahmad Budi Harto, Budi Rahardjo
Ekonomi Bisnis
: Wulan Tunjung Palupi, Firkah Fansuri, Zaky Al
Hamzah
101
Data resmi Harian Republika
Olahraga
: Israr, Endro Yuwanto
Luar Negeri/Iptek
: Yeyen Rostiyani
Asredpel Nasional, Didaktika, Kabar Kota, Gen I
: Joko Sadewo
Politik
: Andri Saubani
Nasional/Hukum
: Dewi Mardiani
Didaktika
: Burhanuddin Bella
Kabar Kota
: Maghfiroh Yenny
Gen I
: Priyantono Oemar, Natalia Endah Hapsari
Asredpel Agama, Siesta
: Subroto
Dialog Jumat
: Ferry Kisihandi
Islam Digest
: Heri Ruslan
Hlm 12/Khazanah
: Wachidah Handasah
Siesta
: Nina Chairani Ibrahim
Asredpel Special Product
: Bidramnanta Irwan Kelana Khoirul Azwar Siregar Christine Purwatiningsih
Redaktur Senior
: Anif Punto Utomo
Reporter Senior
: Muhammad Subarkah Harun Hussein Nurul S. Hamami Teguh Setiawan
Selamat Ginting Andi Nur Aminah Budi Utomo Investigasi
: Darmawan Sepriyossa
Kepala Quality Control dan Bahasa
: Rakhmat Hadi Sucipto
Kepala Biro Foto
: Fachrul Ratzi
Kepala Desain
: Sarjono
Sekretaris Redaksi
: Fachrul Ratzi
Kepala Newsroom
: Irwan Ariefyanto Rachmat Santosa Basarah EH Ismail Palupi Annisa Auliani
Kepala ROL
: Agung Pragitya Vazza
Kepala Redaksi
: Johar Arief Stevy Maradona Siwi Tri Puji Budiwiyati Krisman Purwoko Ajeng Pitakasari Didi Purwadi Muhammad Djibriel
Kepala Perwakilan Jabar
: Maman Sudiaman
Kepala Perwakilan DIY-Jateng
: Indra Wisnu Wardhana
Kepala Perwakilan Jatim
: Asep Nurzaman
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA
Hubungan Indonesia-Malaysia kembali memanas. Isu inilah yang sering ditemukan di berbagai headline media massa pada pertengahan Agustus 2010. Hal tersebut dimulai saat petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI ditangkap polisi Malaysia. Konflik ini menjadi pusat perhatian banyak pihak. Menjalankan fungsinya sebagai penyampai informasi, media massa pun terus mengangkat kasus ini sebagai topik utama di tengah masyarakat. Masyarakat pun setuju, konflik ini bukan lagi sebatas masalah pelanggaran batas wilayah, namun menjadi pelecehan atas kedaulatan RI. Akibatnya, demonstrasi mengecam Malaysia marak terjadi di mana-mana, bukan hanya itu, pemerintah Malaysia pun akhirnya gerah menanggapi berbagai kecaman dari Indonesia sehingga melancarkan kritik balik terhadap rakyat Indonesia. Sebagai surat kabar nasional yang berasaskan Islam dan terkenal berada pada garis tegas namun tidak keras dalam pemberitaannya, pada tanggal 15 Agustus 2010 Republika menulis headline dengan judul “Konfrontasi!” Headline ini menunjukkan bahwa Republika ikut mewakili suara geram masyarakat Indonesia atas kasus penangkapan petugas KKP di perairan Riau 13 Agustus 2010. Tidak hanya itu, Republika pun menulis tajuk rencana menyikapi kasus ini sebanyak 3 kali dalam kurun waktu Agustus 2010. Berikut judul dan pembahasan ketiga tajuk rencana Republika tersebut:
Hari/ Tanggal
Judul Tajuk Isi Tajuk Rencana Rencana Kamis, 19 Agustus Hubungan RI- Ketidaktegasan pemerintah 2010
Malaysia
dalam
menyelesaikan
RI
masalah
illegal fishing dan pelanggaran kedaulatan hanya dengan diplomasi barter antara kedua negara. Sabtu, 28 Agustus Hubungan 2010
Serumpun
Panas Kasus
kesewenang-wenangan
Malaysia terhadap Indonesia yang dilakukan berkali-kali, tidak adanya itikad baik dari Malaysia untuk meminta maaf, dan penyelesaian yang
hanya
pada
tataran
elit
menyebabkan hubungan keduanya makin memanas. Senin, 30 Agustus Malaysia 2010
Berbudi
yang Keangkuhan memandang dengan
Malaysia remeh
menunjukkan
yang
Indonesia perilaku
bertetangga yang tidak baik. Tabel IV. 1 Daftar Judul Tajuk Rencana dengan Pembahasan Indonesia-Malaysia
Ketiga tajuk rencana di atas membahas tentang hubungan kedua negara yang makin hari makin memanas. Persoalan yang timbul biasanya seputar pengklaiman budaya, pelanggaran perbatasan, atau juga masalah Tenaga Kerja Indonesia yang kerap kali mendapat penyiksaan dari Malaysia. Namun, pada
pertengahan Agustus lalu, penangkapan petugas KKP Indonesia kembali memunculkan konflik antar keduannya. Lebih dari itu, alasan sebagai negeri serumpun membuat penyelesaian yang semu, hanya sebatas tataran elite dengan diplomasi barter. Ketidakpuasan rakyat Indonesia terhadap Malaysia inilah yang diangkat Republika lewat tajuknya. Ketidakpuasan terhadap penyelesaian konflik ini lebih terlihat pada bagaimana Malaysia tidak menganggap Indonesia sebagai negeri yang besar sehingga sering kali meremehkan Indonesia. Dengan model Robert Entman, maka penulis akan membahas ketiga tajuk rencana ini satu per satu.
A. Analisis Framing Tajuk Rencana Kamis, 19 Agustus 2010 Tajuk rencana yang ditulis pada hari Kamis, 19 Agustus 2010 merupakan tajuk pertama menyoal hubungan Indonesia dan Malaysia. Adapun tajuk tersebut selengkapnya adalah: Hubungan RI-Malaysia Kita selalu menyebutnya sebagai negara serumpun. Itulah hubungan Indonesia dan Malaysia. Namun, akhir-akhir ini hubungan keduanya berkali-kali menegang. Kisarannya selalu soal perlakuan terhadap tenaga kerja Indonesia di Malaysia, sengketa perbatasan, dan klaim-klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia. Hal terbaru adalah soal kejadian pada 13 Agustus lalu. Sejumlah tujuh nelayan Malaysia memasuki perairan Bintan, Kepulauan Riau. Kapal Patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap mereka. Para nelayan pindah ke kapal patroli, sedangkan tiga petugas berpindah ke kapal nelayan yang merangkai lima kapal itu dengan digandengkan. Namun, setelah 45 menit berlayar, datang kapal patroli dari polisi air Malaysia. Mereka menghadang rangkaian kapal nelayan. Selain itu, mereka juga melakukan penembakan ke udara terhadap kapal patroli Indonesia yang melaju di depan. Akhirnya, tujuh nelayan Malaysia ditahan petugas Indonesia, sedangkan tiga petugas Indonesia ditahan Malaysia. Adapun lima kapal nelayan Malaysia juga bisa dibawa kembali ke Malaysia. Kejadian ini membuat geger. Bahkan, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menambahi bahwa Malaysia sudah 10 kali menangkap kapal
Indonesia. Pihak Malaysia segera mengakui bahwa para nelayan itu memang memasuki perairan Indonesia. Namun, bagi Malaysia ini hanya peristiwa kecil karena nelayan tradisional sering melakukan itu. Bahkan, ia menyebut nelayan Indonesia pun sering memasuki perairan Malaysia. Karena itu, solusinya pun sederhana. Pihak Indonesia mendeportasi nelayan Malaysia, demikian pula sebaliknya. Inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai diplomasi barter. Sebagian pihak tak puas dengan penyelesaian seperti ini. Mereka menuntut penyelesaian secara hukum terhadap nelayan dan membebaskan petugas Indonesia dengan disertai permohonan maaf. Apalagi, Malaysia sudah mengakui nelayannya menerobos wilayah Indonesia. Namun, penyelesaian sebagai bangsa serumpun dan menjaga keharmonisan ASEAN rupanya menjadi pilihan satu-satunya. Walaupun begitu, setidaknya ada empat pelanggaran yang dilakukan Malaysia: illegal fishing, pelanggaran kedaulatan oleh aparat Malaysia, penyanderaan terhadap petugas resmi Indonesia, dan provokasi penembakan oleh aparat Malaysia. Namun dengan diplomasi barter, seolah tak ada kesalahan. “Hanya masalah kecil” seperti disampaikan Malaysia. Penyelesaian cara ini bisa menimbulkan trauma bagi aparat di bawah. Mereka tak akan berani menindak illegal fishing yang banyak terjadi di perairan Indonesia. Pencurian ikan di perairan Indonesia mmerupakan persoalan serius. Mereka berburu tuna yang banyak berbiak di perairan Indonesia. Kita kehilangan pendapatan dan nelayan Indonesia hanya bisa melongo. Ini terutama dilakukan oleh nelayan Thailand, Cina, dan Filipina. Mereka memiliki kapal yang lebih canggih dari kapal nelayan ataupun kapal patroli. Karena itu, tawaran dari TNI AL untuk membantu patroli merupakan lelucon yang tak lucu. Semua itu sudah menjadi tugas TNI dan polisi untuk mengamankan wilayah Indonesia. Bandingkan dengan nasib nelayan Indonesia yang ditangkap Australia. Mereka ditahan dan kapalnya dibakar. Lalu pemerintah tak melakukan pembelaan apa pun. Kita iri pada sikap polisi Malaysia yang sigap mengejar kapal patroli Indonesia yang menangkap nelayan mereka. Betapa heroiknya tindakan mereka, tak peduli menerobos kedaulatan lain. Jika pemerintah ingin disebut heroik, pemerintah harus bisa menekan Malaysia untuk segera meyelesaikan perjanjian perbatasannya dengan Indonesia. Sikap mereka yang terus mengulur waktu semata ini bukan prioritas. Hal ini dikarenakan mereka memiliki agenda nasionalnya sendiri.
Berikut adalah tabulasi pembingkaian yang dilakukan Harian Republika untuk tajuk pertama seputar hubungan kedua negara.
Judul : Hubungan RI-Malaysia Variabel
Indikator
Keterangan 1. Pihak
Indonesia
mendeportasi
nelayan Malaysia, demikian pula sebaliknya. Inilah yang kemudian ditafsirkan
sebagai
diplomasi
Problem Identification
barter. Masalah
komunikasi
internasional keamanan NKRI
dan
2. Namun,
penyelesaian
sebagai
bangsa serumpun dan menjaga keharmonisan
ASEAN
rupanya
menjadi pilihan satu-satunya. 3. Namun dengan diplomasi barter, seolah tak ada kesalahan. “Hanya masalah kecil” seperti disampaikan Malaysia.
1. Kejadian Bahkan,
ini
membuat
Menteri
Perikanan
geger.
Kelautan
Fadel
dan
Muhammad
menambahi bahwa Malaysia sudah 10 kali menangkap kapal Indonesia. 2. Karena
itu,
solusinya
pun
sederhana.
Pihak
Indonesia
mendeportasi
nelayan
Malaysia,
Causal Interpretation
demikian pula sebaliknya. Inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai diplomasi barter.” Pemerintah Indonesia 3. Namun
penyelesaian
sebagai
bangsa serumpun dan menjaga keharmonisan
ASEAN
rupanya
menjadi pilihan satu-satunya. 4. Namun, dengan diplomasi barter, seolah tak ada kesalahan.” 5. Sebagian pihak tak puas dengan penyelesaian seperti ini ... 6. Penyelesaian
cara
ini
bisa
menimbulakn trauma bagi aparat bawah.
1. Karena itu, tawaran dari TNI AL untuk membantu patroli merupakan lelucon yang tak lucu. Semua itu sudah menjadi tugas TNI dan polisi untuk
mengamankan
wilayah
Mental Pemerintah RI Moral Evaluation
Indonesia. kecil di hadapan negara 2. Penyelesaian tetangga
cara
ini
bisa
akibatnya menimbulkan trauma bagi aparat di
timbul
trauma
di bawah. Mereka tak akan berani
aparatur
bawah
dan menindak
illegal
fishing
yang
rakyat pun merugi banyak
terjadi
di
perairan
Indonesia. 3. Kita kehilangan pendapatan dan nelayan melongo.
Indonesia
hanya
bisa
1. Mereka
(rakyatt
menuntut
Treatment Recommendation
hukum Pemerintah lebih
diminta
tegas
dalam
penyelesaian terhadap
membebaskan
secara
nelayan
petugas
dan
Indonesia
dengan disertai permohonan maaf.
menyelesaikan konflik 2. Jika
pemerintah
heroik,
ini
Indonesia)
pemerintah
ingin
disebut
harus
bisa
menekan Malaysia untuk segera meyelesaikan
perjanjian
perbatasannya dengan Indonesia. Tabel VI. 2 Framing Tajuk Rencana “Hubungan RI-Malaysia”
Tajuk
pertama
menyikapi
konflik
antara
Indonesia-Malaysia
di
pertengahan Agustus ini mengangkat judul “Hubungan RI-Malaysia”. Di sini, Republika menggambarkan bahwa hubungan kedua negara ini sering kali terjadi ketegangan. Bukan hanya masalah penangkapan petugas KKP RI oleh Polisi Diraja Malaysia saja, namun juga masalah-masalah lain seperti sengketa perbatasan, perlakuan kasar terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI), atau klaimklaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia. Masalah penangkapan petugas KKP yang menjadi salah satu penyulut konflik ini pun diakui oleh pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia jelas mengakui bahwa memang benar nelayan mereka memasuki perairan Indonesia. Dalam tajuk ini disebutkan bahwa walaupun pemerintah Indonesia merasa ini memang benar kesalahan Malaysia dan bahkan Malaysia sudah mengakuinya,
pemerintah kita hanya menurut saja saat Malaysia meminta membarter petugas KKP RI dengan nelayan Malaysia. Karenanya, Problem Identification atau identifikasi masalah dalam tajuk ini dilihat sebagai masalah komunikasi internasional dan kedaulatan wilayah NKRI itu sendiri. Hal ini dilihat dari bagaimana Republika meyebutkan diplomasi dalam tajuk ini. Sebagai negara tetangga, diplomasi menjadi solusi paling utama untuk menyikapi masalah keduanya. Hanya saja, diplomasi yang menurut Republika hanya sekadar basa-basi ini menarik konflik tersebut ke dalam wilayah kedaulatan NKRI. Kedaulatan RI kita sering kali terusik karena masalah-masalah perbatasan dengan negara tetangga. Selain konflik pokok, penangkapan petugas KKP oleh polisi Malaysia, dalam tajuk ini juga disebutkan nasib nelayan Indonesia yang ditangkap Australia. “Bandingkan dengan nasib nelayan Indonesia yang ditangkap Australia. Mereka ditahan dan kapalnya dibakar. Lalu pemerintah tak melakukan pembelaan apa pun. Kita iri pada sikap polisi Malaysia yang sigap mengejar kapal patroli Indonesia yang menangkap nelayan mereka. Betapa heroiknya tindakan mereka, tak peduli menerobos kedaulatan lain.”
Causal Interpretation. Pada bagian ini, Republika jelas menuding pemerintah Indonesia sebagai penyebab
masalahnya.
Ini terlihat
pada
penggambaran-penggambaran Republika atas sikap pemerintah yang terlihat takut dan menerima apa saja keputusan Malaysia. Pemerintah, menurut tajuk Republika ini, tidak serius, lembek, bahkan terkesan takut. Ini bisa terlihat dari mulai paragraf pertama yang menggambarkan masalah-masalah antara Indonesia dan Malaysia.
Dalam paragraf tersebut ditulis; “Namun, akhir-akhir ini hubungan keduanya berkali-kali menegang. Kisarannya selalu soal perlakuan terhadap tenaga kerja Indonesia di Malaysia, sengketa perbatasan, dan klaim-klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia.”
Tidak cukup sampai di situ, visualisasi peristiwa 13 Agustus 2010 pun ditulis pada paragraf kedua untuk memperkuat kembali gambaran konflik yang terjadi antara keduanya. “Hal terbaru adalah soal kejadian pada 13 Agustus lalu. Sejumlah tujuh nelayan Malaysia memasuki perairan Bintan, Kepulauan Riau. Kapal Patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan menangkap mereka. Para nelayan pindah ke kapal patroli, sedangkan tiga petugas berpindah ke kapal nelayan yang merangkai lima kapal itu dengan digandengkan. Namun, setelah 45 menit berlayar, datang kapal patroli dari polisi air Malaysia. Mereka menghadang rangkaian kapal nelayan. Selain itu, mereka juga melakukan penembakan ke udara terhadap kapal patroli Indonesia yang melaju di depan. Akhirnya, tujuh nelayan Malaysia ditahan petugas Indonesia, sedangkan tiga petugas Indonesia ditahan Malaysia. Adapun lima kapal nelayan Malaysia juga bisa dibawa kembali ke Malaysia.”
Dengan dipaparkannya masalah-masalah yang timbul antara IndonesiaMalaysia, Republika melihat ada ketakutan dari pemerintah Indonesia itu sendiri terhadap Malaysia. Ini diperlihatkan pada paragraf ketiga sebagai berikut; “Kejadian ini membuat geger. Bahkan, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menambahi bahwa Malaysia sudah 10 kali menangkap kapal Indonesia. Pihak Malaysia segera mengakui bahwa para nelayan itu memang memasuki perairan Indonesia.”
Untuk memperkuat bahwa ada ketakutan dari pemerintah RI akan Malaysia, Republika memaparkan setidaknya ada empat pelanggaran yang dilakukan Malaysia dalam kasus ini pada paragraf kelima; “Walaupun begitu, setidaknya ada empat pelanggaran yang dilakukan Malaysia: illegal fishing, pelanggaran kedaulatan oleh aparat Malaysia,
penyanderaan terhadap petugas resmi Indonesia, dan provokasi penembakan oleh aparat Malaysia.”
Pencantuman fakta-fakta pada penjelasan di atas tentunya menggiring pembaca untuk mengetahui seberapa banyak masalah yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Selanjutnya, pembaca akan melihat bahwa Republika menilai masalah hubungan kedua negara terletak pada ketidakseriusan pemerintah dalam menyikapi kasus ini sebagaimana ditunjukkan Republika pada akhir paragraf ketiga; “Karena itu, solusinya pun sederhana. Pihak Indonesia mendeportasi nelayan Malaysia, demikian pula sebaliknya. Inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai diplomasi barter.”
Atau pada akhir paragraf keempat; “Namun penyelesaian sebagai bangsa serumpun keharmonisan ASEAN rupanya menjadi pilihan satu-satunya.”
dan
menjaga
Diplomasi barter kembali dipertegas Republika pada akhir paragraf kelima; “Namun, dengan diplomasi barter, seolah tak ada kesalahan.”
Dengan begitu, istilah diplomasi barter yang disebutkan hingga dua kali sebagai cara penyelesaian konflik saat itu menjadi kata kunci ketidaktegasan sikap Pemerintah RI dalam tajuk rencana ini. Pada bagian lain (paragraf keempat) disebutkan pula, “Sebagian pihak tak puas dengan penyelesaian seperti ini ...” Atau paragraf keenam; “Penyelesaian cara ini bisa menimbulkan trauma bagi aparat bawah.”
Penggunaan kalimat penyelesaian cara ini menggiring pembaca pada si penyelesai masalah yang tidak lain adalah pemerintah Indonesia.
Moral Evaluation. Penilaian terhadap Pemerintah RI sebagai aktor penyebab datang dari sikap pemerintah yang terlihat sangat lamban dan tidak tegas, bahkan terkesan takut. Pemerintah, seharusnya memberi perlindungan bagi setiap warga negaranya. Dalam kasus ini saja, pemerintah terlihat menurut saja apa yang diinginkan Malaysia sebagai solusi konflik. Tidak ada ketegasan, seperti teguran keras bagi Malaysia terkait pelanggaran-pelanggaran perbatasan. Atau misalnya tuntutan agar pihak Malaysia meminta maaf dan penyelesaian lewat jalur hukum sebagaimana yang menjadi tuntutan rakyat Indonesia. Lebih anehnya lagi, menurut Republika, adalah tawaran dari TNI AL tentang bantuan patroli di wilayah perairan Indonesia. Karena seharusnya, itu semua memang sudah menjadi tugas dan tanggungjawab TNI dan polisi untuk mengamankan wilayah Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa mental pemerintah kita di hadapan negara tetangga sangat kecil dan tak bernyali. Republika menuliskannya pada akhir paragraf keenam bahwa; “Bandingkan dengan nasib nelayan Indonesia yang ditangkap Australia. Mereka ditahan dan kapalnya dibakar. Lalu pemerintah tak melakukan pembelaan apa pun.”
Akibatnya, aparatur bawah menjadi trauma dan ikut-ikutan takut menindak berbagai pelanggaran yang dilakukan negera tetangga. Aparat takut rakyat pun merugi, setidaknya inilah yang diasumsikan Republika pada paragraf keenamnya. “Mereka tak berani menindak illlegal fishing yang banyak terjadi di perairan Indonesia. Pencurian ikan di perairan Indonesia merupakan persoalan serius. Mereka berburu tuna yang banyak berbiak di perairan
Indonesia. Kita kehilangan pendapatan dan nelayan Indonesia hanya bisa melongo.”
Treatment Recommendation. Solusi atas masalah ini menurut Republika hanya ketegasan dan keberanian pemerintah Indonesia untuk menindak segala bentuk pelanggaran oleh negara tetangga. Ini mejadi solusi utama karena bagaimana pun, menurut Republika, wibawa Indonesia di mata negera tetangga harus dikembalikan. Pemerintah harus bisa menekan Malaysia, dalam kasus ini, untuk segera menyelesaikan perjanjian perbatasan dengan Indonesia. Bukan sekedar janji dan sebatas agenda yang tak terselesaikan selama ini. Perbatasan harus jelas dan harus menjadi prioritas utama. Dalam hal ini, Republika menyertakan suara masyarakat sebagai bagian dari solusi yang ditawarkan terhadap kasus ini. Masyarakat mengharapkan adanya penyelesaian secara hukum dan permohonan maaf. Terlihat pada paragraf keempat baris kedua sebagai berikut: “Mereka menuntut penyelesaian secara hukum terhadap nelayan dan membebaskan petugas Indonesia dengan disertai permohonan maaf.”
Solusi agar pemerintah bertindak tegas ada di paragraf terakhir tajuk ini; “Jika pemerintah ingin disebut heroik, pemerintah harus bisa menekan Malaysia untuk segera meyelesaikan perjanjian perbatasannya dengan Indonesia.”
Tajuk pertama ini secara tegas menggambarkan masalah penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan di perairan Riau 13 Agustus lalu. Tajuk ini menggiring pembaca bahwa kasus ini merupakan kasus penting yang bukan hanya menyinggung perbatasan wilayah saja, tapi juga sudah memasuki wilayah hubungan kedua negara yang tak kunjung harmonis.
Tudingan bahwa aktor penyebab masalah merupakan pemerintah Indonesia bukan sekadar tudingan. Penulis mendapatkan banyak penonjolan yang dilakukan Republika untuk menjadikan pemerintah Indonesialah yang sangat bertanggungjawab atas kasus ini. Penonjolan-penonjolan tersebut telah dibahas pada causal interpretation di atas. Sebagai penekanan lebih bahwa pemerintah kita terlalu lemah dalam menghadapi negara tetangga, Republika pun memberikan visualisasi tentang sikap pemerintah negara lain saat warganya ditangkap atau pun saat perbatasan wilayahnya dilanggar. Tajuk ini berdasarkan pola Monroe tentang pola penulisan tajuk rencana, menurut penulis, termasuk menggunakan pola ANSVA, yakni attention, need, satisfaction, visualisasi, dan action. Gaya penulisan Republika yang lebih menggambarkan masalah di awal untuk menarik perhatian pembaca menjadi ciri khas tersendiri dalam tajuk rencana ini. Solusi sebagai action yang diberikan Republika tegas mengatakan bahwa pemerintah harus segera menyelesaikan masalah perbatasan jika memang pemerintah kita ini mau disebut sebagai heroik.
B. Analisis Framing Tajuk Rencana Sabtu, 28 Agustus 2010 Setelah dalam senggang waktu kurang lebih satu minggu, Harian Republika hanya membahas kasus Indonesia-Malaysia dalam kolom beritanya saja. Tajuk menyoal hubungan kedua negara ini muncul kembali pada 28 Agustus 2010 pasca keberatan Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Seri Anifah Aman atas pemberitaan mengenai konflik ini oleh media massa Indonesia. Berikut isi tajuk rencana selengkapnya.
Hubungan Panas Serumpun Dalam tiga hari terakhir ini, hubungan Indonesia-Malaysia makin memanas. Apalagi, setelah Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman mengatakan bahwa negaranya mulai hilang kesabaran terhadap warga Indonesia yang dinilainya melecehkan. Mereka juga siap menerbitkan imbauan tidak bepergian ke Indonesia (travel advisory). Mulanya adalah penangkapan tujuh pencuri ikan Malaysia di perairan Indonesia pada 13 Agustus 2010 silam. Ketika pencuri itu dibawa ke pelabuhan, polisi Malaysia justru menangkap petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan. Entah bagaimana ceritanya, Pemerintah Indonesia membarter pencuri itu dengan petugas. Perilaku polisi Malaysia yang asal tangkap tersebut meluapkan kekesalan masyarakat Indonesia. Apalagi, sikap pemerintahan kita yang lemah menghadapi kesewenangan itu. Akibatnya, masyarakat seperti digerakkan untuk melakukan demonstrasi terhadap Malaysia. Termasuk melakukan pelemparan kotoran ke Kedubes Malaysia. Banyak kalangan, termasuk para wakil rakyat yang menuntut agar Malaysia minta maaf atas kejadian penangkapan itu. Tapi, jangankan minta maaf, Malaysia sebagaimana diungkapkan menteri luar negeri, justru seolah menantang dan tidak menunjukkan iktikad untuk menjaga hubungan baik. Malaysia juga mengkritik pers Indonesia yang cenderung memanasmanasi suasana. Pers Indonesia dinilai banyak menulis buruk tentang berbagai kasus yang terkait Malaysia. Di sini, mereka juga lupa bahwa pers Malaysia pun lebih sering menulis hal buruk di Indonesia ataupun tentang perilaku tenaga kerja kita di sana, dibandingkan menulis baiknya. Sebetulnya yang membuat masyarakat marah adalah karena kasus kesewenang-wenangan Malaysia ini bukan pertama kali. Ada beberapa kasus yang melecehkan kita, misalnya, penyiksaan tenaga kerja Indonesia, penganiayaan pelatih karate nasional, provokasi perebutan Ambalat, klaim budaya, dan sebagainya. Selama ini, dengan alasan bahwa bangsa Indonesia dan Malaysia serumpun setiap ada masalah selalu diselesaikan dengan jabat tangan antarpejabat. Tapi sebetulnya, penyelesaian itu penyelesaian semu, tidak tuntas. Sehingga hubungan baik antara Indonesia-Malaysia itu hanya di tataran elite. Tapi bagaimanapun, karena kedua negara ini adalah negara serumpun yang bertetangga, sudah semestinya dijalin suatu hubungan yang baik. Hubungan yang baik adalah hubungan yang setara dan saling menghormati. Jangan sampai negara yang satu merasa kedudukannya lebih tinggi karena secara rata-rata kondisi ekonominya lebih baik. Saling ketergantungan Indonesia dan Malaysia cukup tinggi, termasuk dalam hal ekonomi. Benar bahwa ada 2,5 juta tenaga kerja kita yang bekerja di Malaysia, tapi tanpa mereka, perekonomian Malaysia juga akan terganggu. Sebaliknya, tak sedikit tenaga kerja level atas dari Indonesia, termasuk yang dibajak dari PT Dirgantara Indonesia. Mereka ini memiliki kemampuan yang tinggi di atas rata-rata orang Malaysia. Cukup banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Malaysia. Wisatawan Indonesia juga banyak berlibur dan berkunjung ke Malaysia. Devisa yang dikeruk
dari mahasiswa dan wisatawan Indonesia cukup besar. Dari sisi perdagangan, sisi ekspor dan impor kedua negara juga relatif seimbang. Jadi, sebetulnya menjaga hubungan baik antarnegara itu penting. Karena itu, hubungan yang makin terasa memanas ini harus segera didinginkan dengan saling menjaga kedaulatan, kehormatan, dan keintegritasan masing-masing negara.
Adapun pembingkaian yang dilakukan Republika untuk tajuk ini dapat dilihat pada tabulasi sebagai berikut: Judul : Hubungan Panas Serumpun Variabel
Indikator
Keterangan 1.
Apalagi, setelah Menteri Luar Negeri Malaysia
Datuk
Seri
Anifah
Aman
mengatakan bahwa negaranya mulai hilang Problem Identification
kesabaran terhadap warga Indonesia yang Masalah
dinilainya melecehkan. Mereka juga siap
komunikasi
menerbitkan imbauan tidak bepergian ke
internasional
Indonesia (travel advisory). 2.
...
pers
Indonesia
yang
cenderung
memanas-manasi suasana. Pers Indonesia dinilai banyak menulis buruk tentang berbagai kasus yang terkait Malaysia.
1.
Banyak kalangan, termasuk para wakil rakyat yang menuntut agar Malaysia minta maaf atas kejadian penangkapan ini.
2.
Tapi, jangankan minta maaf, Malaysia sebagaimana diungkapkan menteri luar negeri, justru seolah menantang dan tidak menunjukkan
iktikad
untuk
menjaga
hubungan baik. 3.
Perilaku polisi Malaysia yang asal tangkap
Causal Interpretation
... 4. Malaysia
Di sini, mereka (Malaysia) juga lupa bahwa pers Malaysia pun lebih sering menulis hal buruk
di
perilaku
Indonesia tenaga
kerja
ataupun kita
tentang di
sana,
dibandingkan menulis baiknya. 5.
Sebetulnya
yang
membuat
masyarakat
marah adalah karena kasus kesewenangwenangan Malaysia ini bukan pertama kali. Ada beberapa kasus yang melecehkan kita, misalnya,
penyiksaan
tenaga
kerja
Indonesia, penganiayaan pelatih karate nasional, provokasi perebutan Ambalat, klaim budaya, dan sebagainya.
1.
Saling
ketergantungan
Indonesia
dan
Malaysia cukup tinggi, termasuk dalam hal ekonomi. Benar bahwa ada 2,5 juta tenaga kerja kita yang bekerja di Malaysia, tapi tanpa mereka, perekonomian Malaysia juga akan terganggu. Sebaliknya, tak sedikit
Moral Evaluation
tenaga kerja level atas dari Indonesia, Indonesia dan
termasuk yang dibajak dari PT. Dirgantara
Malaysia pada
Indonesia. Mereka ini memiliki kemampuan
dasarnya
yang
saling
Malaysia.
membutuhkan
2.
tinggi
di
atas
rata-rata
orang
Cukup banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Malaysia. Wisatawan Indonesia juga banyak berlibur dan berkunjung ke Malaysia.
Devisa
yang
dikeruk
dari
mahasiswa dan wisatawan Indonesia cukup besar. Dari sisi perdagangan, sisi ekspor dan impor kedua negara juga realtif seimbang.
Treatment Recommendation
1.
Jadi, sebetulnya menjaga hubungan baik
Menjaga
antarnegara
hubungan baik
hubungan yang makin terasa memanas ini
antara
harus segera didinginkan dengan saling
negara
kedua
menjaga
itu
penting.
kedaulatan,
Karena
kehormatan,
itu,
dan
keintegritasan masing-masing negara. Tabel IV. 3 Framing Tajuk Rencana “Hubungan Panas Serumpun”
Tajuk ini menggambarkan tentang hubungan Indonesia dan Malaysia yang kerap kali bersitegang. Hal ini disayangkan mengingat secara demografis, kita merupakan bangsa yang satu rumpun, yaitu Melayu. Problem Identification. Republika memandang kasus ini merupakan bahasan komunikasi internasional. Hubungan panas serumpun yang merupakan judul dari tajuk ini sekaligus menggambarkan bahwa persoalan dalam tajuk ini adalah persoalan hubungan kedua negara yang nyaris tak pernah harmonis. Malaysia menganggap Indonesia berlebihan dalam menanggapi konflik yang terjadi antara keduanya. Kesabaran Malaysia hilang, seperti yang ditulis di paragraf pembuka tajuk ini. Warga Indonesia dinilai melecehkan Malaysia hingga Malaysia siap menerbitkan ancaman travel advisory atau larangan bepergian ke Indenesia. Sebaliknya, Indonesia pun merasa ini bukan kasus biasa. Kesewenangwenangan Malaysia, menurut Republika, bukan untuk pertama kalinya. Malaysia terlalu sering mengganggu kedaulatan Indonesia. Dalam tajuk ini, Republika menyebut pelaku komunikasi internasional, seperti Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman yang menegaskan
bahwa permasalahan ini termasuk ke dalam masalah komunikasi internasional. Selain itu, tajuk ini pun menuliskan kritik Malaysia terhadap pers Indonesia sebagai saluran komunikasi internasional yang bertindak sebagai provokator. “Pers Indonesia cenderung memanas-manasi suasana,” tulis Republika pada kalimat awal paragraf kelima.
Causal Interpretation. Malaysia menjadi dalang masalah hubungan panas keduanya dalam tajuk ini menurut Republika. Pertama, pada paragraf keempat kalimat pertama ditulis, ”Banyak kalangan, termasuk para wakil rakyat yang menuntut agar Malaysia minta maaf atas kejadian penangkapan ini.”
Kalimat ini jelas menuding Malaysia sebagai aktor penyebab masalah, karena penyebab masalah, etikanya adalah yang harus meminta maaf. Kalimat pokok ini dipertegas dengan kalimat penjelas sesudahnya dengan kalimat yang terkesan menyayangkan sikap Malaysia terhadap tuntutan kewajiban meminta maaf kepada Indonesia. Selengkapnya adalah; “Tapi, jangankan minta maaf, Malaysia sebagaimana diungkapkan menteri luar negeri, justru seolah menantang dan tidak menunjukkan iktikad untuk menjaga hubungan baik.”
Walaupun tajuk ini jmenuliskan pandangan Malaysia terhadap kesalahan yang dilakukan Indonesia, porsi yang diberikan jelas tidak berimbang. Kesalahan Indonesia dari kacamata Malaysia pada tajuk ini ditulis sebanyak dua kali, yaitu pada paragraf pertama; “... negaranya mulai hilang kesabaran terhadap warga Indonesia yang dinilainya melecehkan.”
Dan pada paragraf kelima; “Pers Indonesia dinilai banyak menulis buruk tentang berbagai kasus yang terkait Malaysia.”
Namun, kesalahan Malaysia jauh lebih banyak ditulis dalam tajuk ini. Seperti penggambaran kasus 13 Agustus 2010 lalu pada paragraf kedua yang mengatakan bahwa Malaysia justru menangkap petugas KKP Indonesia padahal nelayan Malaysia yang memasuki perairan Indonesia. Lalu penegasan di paragraf ketiga yang berbunyi, “Perilaku polisi Malaysia yang asal tangkap ...” Paragraf kelima pun menunjukkan bahwa Malaysialah yang dianggap aktor penyebab masalah oleh Republika. “Di sini, mereka (Malaysia) juga lupa bahwa pers Malaysia pun lebih sering menulis hal buruk di Indonesia ataupun tentang perilaku tenaga kerja kita di sana, dibandingkan menulis baiknya.”
Ditambahkan lagi pada paragraf keenam yang mencantumkan kasus kesewenang-wenangan Malaysia atas Indonesia, seperti penyikasaan tenaga kerja Indonesia, penganiayaan pelatih karate nasioanl, provokasi perebutan Ambalat, klaim budaya, dan sebagainya.
Moral Evaluation. Sikap Malaysia terhadap Indonesia,
menurut
Republika sangat disayangkan. Pada tahapan framing Entman ini, seharusnya hubungan kedua negara bisa dijaga keharmonisannya, karena pada dasarnya, Indonesia dan Malaysia saling membutuhkan. Saling ketergantungannya Indonesia dan Malaysia ditulis Republika pada paragraf kesembilan dan kesepuluh. Lengkapnya adalah;
“Saling ketergantungan Indonesia dan Malaysia cukup tinggi, termasuk dalam hal ekonomi. Benar bahwa ada 2,5 juta tenaga kerja kita yang bekerja di Malaysia, tapi tanpa mereka, perekonomian Malaysia juga akan terganggu. Sebaliknya, tak sedikit tenaga kerja level atas dari Indonesia, termasuk yang dibajak dari PT. Dirgantara Indonesia. Mereka ini memiliki kemampuan yang tinggi di atas rata-rata orang Malaysia.”
Untuk paragraf kesepuluh, “Cukup banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Malaysia. Wisatawan Indonesia juga banyak berlibur dan berkunjung ke Malaysia. Devisa yang dikeruk dari mahasiswa dan wisatawan Indonesia cukup besar. Dari sisi perdagangan, sisi ekspor dan impor kedua negara juga realtif seimbang.”
Treatment Recommendation. Sebagai solusi penyelesaian masalah yang ditawarkan Republika dalam kasus ini adalah hanya dengan menjaga hubungan baik antarkeduanya. Kedua negara, baik Indonesia maupun Malaysia harus bisa mendinginkan suasana. Sebagaimana etika bertetanggga pada tataran kehidupan sosial, Indonesia dan Malaysia harus bisa menjaga kedaulatan, kehormatan, dan keintegritasan masing-masing negara. “Jadi, sebetulnya menjaga hubungan baik antarnegara itu penting. Karena itu, hubungan yang makin terasa memanas ini harus segera didinginkan dengan saling menjaga kedaulatan, kehormatan, dan keintegritasan masing-masing negara.”
Tajuk rencana dengan judul “Hubungan Panas Serumpun” merupakan tajuk kedua yang ditulis Republika pascatragedi 13 Agustus yang membuat kedua negara kembali bersiteru. Tajuk ini tidak secara khusus lagi mempermasalahkan bagaimana sikap Malaysia pada petugas Kementerian Kelautan Perikanan Indonesia saat mereka ditangkap. Atau masalah perbatasan dan kronologis peristiwa tersebut sebagaimana yang digambarkan Republika pada headline-nya tanggal 16 Agustus 2010. Tajuk ini terlihat lebih lugas, karena diawali dengan
statement yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Seri Anifah Aman. Tajuk ini menjadi suara Republika atas headline “Malaysia Meradang: Pemerintah tak tanggapi pernyataan Menlu Malaysia” tanggal 27 Agustus 2010. Headline tersebut
menambahkan
ilustrasi Menlu Malaysia
yang
digambarkan dengan muka berkerut, sedangkan ilustrasi Menlu Indonesia, Marty Natalegawa yang tertunduk lesu. Sebagai keterangan, Republika menambah kutipan keduanya dan tabulasi perbandingan luas, penduduk, pendapatan per kapita, PDB dengan sumber CIA World Fact Book dan IMF. Selain itu, tajuk ini pun menyikapi headline “Menlu Anifah tolak Minta Maaf” pada tanggal 28 Agustus 2010, hari yang sama saat tajuk ini ditulis. Tajuk ini secara luas menggambarkan kasus kesewenang-wenangan Malaysia terhadap Indonesia yang terlalu sering terjadi. Kasus-kasus yang mengganggu kedaulatan Indonesia itulah yang kemudian selalu menyulut konflik di antara keduanya. Penulis berasumsi, penggambaran masalah-masalah yang dilakukan Malaysia oleh Republika ini merupakan sebuah prolog yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia untuk mendesak ketegasan mereka atas kasus ini. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, Republika mengurutkan kejadian demi kejadian, masalah demi masalah dari paragraf pembuka hingga paragraf keenam. Lalu dilanjutkan dengan sikap pemerintah yang terkesan menyepelekan kasus ini dengan penyelesaian “jabat tangan”-nya. Berkenaan solusi yang ditawarkan, Republika pun lebih menekankan pada perlunya saling menghormati dan menghargai antarkeduanya. Republika menghindari solusi yang bersifat provokatif, seperti perang sebagaimana yang
beberapa ditulis koran lain. Solusi sederhana tersebut, menurut Republika, merupakan solusi paling penting untuk masalah ini. Tajuk yang ditulis Republika berdasarkan pola Monroe soal penulisan tajuk rencana cenderung mengikuti pola ANSVA, yakni attention, need, satisfaction, visualization, dan action. Tajuk ini pertama menjelaskan tentang masalah-masalah kedua negara untuk menarik perhatian pembaca menemukan apa yang sebenarnya menjadi pokok permasalahan. Dengan menemukan pokok masalah tersebut, tajuk ini kemudian kembali memberikan gambaran-gambaran untuk lebih mempermudah pembaca menangkap pesan yang ingin disampaikan Republika. Tajuk ini pun ditutup oleh solusi yang merupakan action yang ingin ditawarkan redaksi Republika terhadap masalah dalam tajuk ini.
C. Analisis Framing Tajuk Rencana Senin, 30 Agustus 2010 Tajuk rencana yang ditulis Republika pada penghujung Bulan Agustus 2010 lalu mengupas tentang keberhasilan yang sudah dicapai Malaysia selama ini. Berikut merupakan tajuk rencana tersebut: Malaysia yang Berbudi Tiga puluh lima tahun lalu, Malaysia bukan apa-apa. Berhadapan dengan Shell dan Esso—dua perusahaan minyak multinasional paling senior dalam geng Seven Sister—pun mereka gentar. Saat itu, Malaysia ingin mengubah kontrak kerja sama dari pola konsesi yang merugikan negara pemilik minyak. Dua hal yang membuat negeri itu selamat dalam negosiasi dan kemudian Petronas tumbuh jadi perusahaan minyak multinasional. Pertama, ketegaran tim negosiasi yang mencerminkan kekuatan nasionalisme. Kedua, ilmu production sharing yang mereka pelajari dari Pertamina, perusahaan minyak Indonesia. Itulah titik balik Malaysia. Dari negeri yang terintimidasi, tumbuh menjadi macan ekonomi yang krisis 1996 pun enggan menyentuhnya. Macanmacan Asia lain, seperti Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, terguncang. Tapi, di Malaysia, krisis saat itu tak lebih dari sebuah tragedi yang tak pernah terjadi. Malaysia amat bangga dengan prestasi itu dan sang pemimpin, Mahathir Mohamad, kian yakin dengan visinya: Malaysia menjadi negara maju sepenuhnya
pada 2020. Ketika Menara Petronas akhirnya menjadi bangunan tertinggi di dunia pada 1999, Malaysia berpikir sebuah visi sudah terealisasi dan hanya langitlah batas negeri itu. Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat menangkap tiga pegawai negara Indonesia. Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam bertetangga. Perselisihan soal perbatasan adalah hal lazim di antara ratusan negara di dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang disertai pemborgolan dan perlakuan bak terhadap kriminal jelas sebuah provokasi—bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti ini tidak elok. Indonesia dan Malaysia bukan sekadar dua negeri serumpun. Lebih dari itu, kedua negara adalah kekuatan ekonomi dunia di masa depan. Tak sampai dua dekade lagi, episentrum ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya. Malaysia akan menjadi negara dengan angka pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) terbesar. Tapi, jangan lupa, Indonesia pun demikian. Walaupun tak mencerminkan kemakmuran per kapita karena jumlah penduduk Indonesia 10 kali lipat penghuni Malaysia, PDB menunjukkan kekuatan bangsa ini dalam memengaruhi ekonomi dunia. Saat ini saja, Indonesia sudah masuk dalam kelompok 20 negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, sedangkan Malaysia pada posisi 36. Pada 2020, katakanlah ketika Malaysia benar-benar sudah jadi negara yang sepenuhnya maju, Indonesia diperkirakan pula sudah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor 7 di dunia. Malaysia juga perlu menyadari kehidupan demokrasi dan politik di Indonesia lebih baik. Mereka tak dapat menyalahkan orang-orang yang berunjuk rasa di depan Kedubes Malaysia di Jakarta karena itu adalah bagian dari kemajuan Indonesia. Negeri ini mengizinkan warganya berbeda pendapat bahkan dengan pemerintahnya sendiri. Ancaman travel advisory mungkin menggentarkan kabinet Yudhoyono, tetapi tak lebih dari pepesan kosong bagi warganya. Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat Rastam Hadi dan Ismail Hashim saat bernegosiasi dengan Shell dan Esso, masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara teknis lemah, tetapi secara moral tinggi.
Judul : Malaysia yang Berbudi Variabel
Indikator
Keterangan 1. Dua hal yang membuat negeri itu selamat dalam negosiasi dan kemudian Petronas tumbuh jadi perusahaan minyak multinasional. 2. Dari negeri yang terintimidasi, tumbuh menjadi macan ekonomi yang krisis 1996 pun enggan menyentuhnya. Tapi, di Malaysia, krisis saat itu tak lebih dari sebuah tragedi yang tak pernah terjadi.
Problem Identification
3. Tak sampai dua dekade lagi, episentrum Komunikasi ekonomi
dunia
akan
bergeser
ke
Asia...
internasiona Malaysia akan menjadi negara dengan angka l
dan pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB)
ekonomi terbesar. 4. Walaupun tak mencerminkan kemakmuran per kapita karena jumlah penduduk Indonesia 10 kali lipat penghuni Malaysia, PDB menunjukkan kekuatan
bangsa
ini
dalam
memengaruhi
ekonomi dunia. Saat ini saja, Indonesia sudah masuk dalam kelompok 20 negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, sedangkan Malaysia pada posisi 36.
1.
Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat menangkap tiga pegawai negara Indonesia.
Causal Interpretation
Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam bertetangga.
Perselisihan
soal
perbatasan
adalah hal lazim di antara ratusan negara di Malaysia dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang disertai
pemborgolan dan perlakuan bak
terhadap kriminal jelas sebuah provokasi— bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti ini tidak elok.
Moral Evaluation
Sebagai
1. Indonesia dan Malaysia bukan sekadar dua
negara
negeri serumpun. Lebih dari itu, kedua negara
tetangga
adalah kekuatan ekonomi dunia di masa depan.
yang sama-
Tak sampai dua dekade lagi, episentrum
sama
ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua
penting
di
negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya.
kancah
Malaysia akan menjadi negara dengan angka
internasiona
pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB)
l, Malaysia
terbesar. Tapi, jangan lupa, Indonesia pun
terlalu
demikian.
mengangga p
remeh
Indonesia
1.
Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri.
Di
Indonesia,
pers
bebas
Treatment Recommendation
Malaysia mengutarakan
sikap,
bahkan
mengkritik
harus pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan menghorma pers Indonesia karena pers di negeri ini ti adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat kedaulatan Rastam
Hadi
dan
Ismail
Hashim
saat
dan
Esso,
Indonesia bernegosiasi
dengan
Shell
masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara teknis lemah, tetapi secara moral tinggi Tabel IV. 4 Framing Tajuk Rencana “Malaysia yang Berbudi”
Problem Identification. Masalah yang diangkat pada tajuk rencana ini ditarik Republika masih ke dalam komunikasi internasional kedua negara. Selain itu, Republika pun meyeret kasus ini ke dalam kasus ekonomi dan kehidupan demokrasi. Untuk pembuktian kasus ini merupakan kasus komunikasi internasional, masih bisa dilihat dari bagaimana Republika menyebut para pelaku komunikasi internasional, seperti Menteri Luar Negeri dan pers. “Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat Rastam Hadi dan Ismail Hashim saat bernegosiasi dengan Shell dan Esso, masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara teknis lemah, tetapi secara moral tinggi.”
Paragraf terakhir ini juga menyebut negosiasi sebagai istilah dalam komunikasi internasional. Selain negosiasi pada paragraf ini, Republika menyebut pula bagaimana keberhasilan Malaysia dalam negosiasi di paragraf kedua. ”Pertama, ketegaran tim negosiasi yang mencerminkan kekuatan nasionalisme.”
Kasus ini memang kasus komunikasi internasional karena mempersoalkan hubungan kedua negara yang sering kali tidak harmonis. Pada tajuk ini, Republika masih mengingatkan pembaca soal tragedi 13 Agustus tersebut yang menjadi pemicu konflik kembali. Hal tersebut terlihat pada paragraf kelima. “Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat menangkap tiga pegawai negara Indonesia. Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam bertetangga. Perselisihan soal perbatasan adalah hal lazim di antara ratusan negara di dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang disertai pemborgolan dan perlakuan bak terhadap kriminal jelas sebuah provokasi—bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti ini tidak elok.” Masalah dalam tajuk rencana ini kemudian ditarik lebih luas dalam wilayah ekonomi. Di sini, Republika, dengan judul “Malaysia yang Berbudi,” secara jelas menggambarkan bagaimana keberhasilan Malaysia dalam urusan perekonomiannya. Pada paragraf pembuka, misalnya: “Tiga puluh lima tahun lalu, Malaysia bukan apa-apa. Berhadapan dengan Shell dan Esso—dua perusahaan minyak multinasional paling senior dalam geng Seven Sister—pun mereka gentar. Saat itu, Malaysia ingin mengubah kontrak kerja sama dari pola konsesi yang merugikan negara pemilik minyak.”
Pada awal paragraf kedua dan paragraf ketiga; “Dua hal yang membuat negeri itu selamat dalam negosiasi dan kemudian Petronas tumbuh jadi perusahaan minyak multinasional.”
“Itulah titik balik Malaysia. Dari negeri yang terintimidasi, tumbuh menjadi macan ekonomi yang krisis 1996 pun enggan menyentuhnya.
Macan-macan Asia lain, seperti Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, terguncang. Tapi, di Malaysia, krisis saat itu tak lebih dari sebuah tragedi yang tak pernah terjadi.”
Paragraf keenam dan ketujuh menarik lebih dalam masalah ini ke dalam kasus ekonomi. “Tak sampai dua dekade lagi, episentrum ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya. Malaysia akan menjadi negara dengan angka pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) terbesar.” “Walaupun tak mencerminkan kemakmuran per kapita karena jumlah penduduk Indonesia 10 kali lipat penghuni Malaysia, PDB menunjukkan kekuatan bangsa ini dalam memengaruhi ekonomi dunia. Saat ini saja, Indonesia sudah masuk dalam kelompok 20 negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, sedangkan Malaysia pada posisi 36. Pada 2020, katakanlah ketika Malaysia benar-benar sudah jadi negara yang sepenuhnya maju, Indonesia diperkirakan pula sudah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor 7 di dunia.” Selain masalah komunikasi internasional dan ekonomi, Republika juga menambahkan soal kehidupan demokrasi di Indonesia yang lebih baik dari Malaysia. Paragraf kedelapan, “Malaysia juga perlu menyadari kehidupan demokrasi dan politik di Indonesia lebih baik.”
Paragraf terakhir, “Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat.”
Causal Interpretation. Sebagaimana pada tajuk sebelumnya, Republika masih menjadikan Malaysia sebagai aktor penyebab masalah. Tajuk ini lebih banyak menggambarkan keberhasilan dan kesuksesan Malaysia dalam bidang
ekonomi. Keberhasilan-keberhasilan tersebut yang dituding Republika sebagai alasan Malaysia bersikap semena-mena dalam tragedi 13 Agusutus lalu. Paragraf kelima, “Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat menangkap tiga pegawai negara Indonesia. Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam bertetangga. Perselisihan soal perbatasan adalah hal lazim di antara ratusan negara di dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang disertai pemborgolan dan perlakuan bak terhadap kriminal jelas sebuah provokasi—bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti ini tidak elok.”
Moral Evaluation. Malaysia, menurut Irwan Ariefyanto, sebenarnya banyak belajar dari Indonesia, walaupun faktanya, Indonesia kini tertinggal dari Malaysia.102 Sebagaimana pada akhir paragraf kedua; “...ilmu production sharing yang mereka pelajari dari Pertamina, perusahaan minyak Indonesia.”
Selain itu, Indonesia, menurut tajuk ini, juga memiliki kekuatan yang sama besarnya di mata internasional. Seperti misalnya, bagaimana Indonesia berdasarkan angka PDB (Pendapatan Domestik Bruto) juga ikut memengaruhi kekuatan ekonomi dunia dengan menduduki posisi ke-20 dalam skala ekonomi terbesar di dunia. Paragraf ketujuh tersebut yang digunakan Republika untuk mendelegitimasi masalah hubungan kedua negara dalam kasus ini. Karena bagi Republika, keduanya sama-sama penting, sama-sama mempunyai kedudukan tinggi di mata dunia. Seperti pada paragraf keenam; “Indonesia dan Malaysia bukan sekadar dua negeri serumpun. Lebih dari itu, kedua negara adalah kekuatan ekonomi dunia di masa depan. Tak sampai dua dekade lagi, episentrum ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya. Malaysia akan menjadi negara dengan angka pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) terbesar. Tapi, jangan lupa, Indonesia pun demikian.” 102
Hasil wawancara dengan Redaktur Pelaksana II, Irwan Ariefyanto
Treatment Recommendation. Sebagai negara tetangga yang sama-sama penting di mata internasional, keduanya harus saling menghormati, terlebih Malaysia. Sebagaimana yang dikatakan Irwan selaku Redaktur Pelaksana II Harian Republika, “Malaysia banyak belajar tentang pertambangan, pendidikan, atau masalah-masalah yang berhubungan ekonomi dengan Indonesia. Tetapi dalam perkembangannya ternyata Malaysia lebih maju dari Indonesia. Nah, di sini kita menggambarkan bagaimana Indonesia sangat tertinggal jauh dari Malaysia dan seharusnya Malaysia melakukan sikap balas budi terhadap Indonesia. Balas budi dalam artian bahwa seharusnya Malaysia tidak lagi melakukan konfrontasi-konfrontasi seperti yang dilakukan di perairan Riau.”103
Malaysia harus lebih menghormati kedaulatan Malaysia. Tidak mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Indonesia, menurut Republika, memiliki kebebasan berpendapat yang tidak dimiliki Malaysia. Oleh karenanya, protes yang disampaikan Menteri Luar Negeri, Datuk Seri Anifah Aman terkait pers Indonesia yang cenderung berlebihan tidak berarti apa-apa bagi Indonesia. Paragraf terakhir tajuk ini merangkum solusi yang ditawarkan Republika. “Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat Rastam Hadi dan Ismail Hashim saat bernegosiasi dengan Shell dan Esso, masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara teknis lemah, tetapi secara moral tinggi.”
Tiga tajuk rencana di atas merupakan suara Republika yang geram terhadap kelambanan pemerintah Indonesia menyikapi konflik kedua negara yang tak pernah selesai. Menurut Irwan Ariefyanto, Redaktur Pelaksana 2 Harian Republika, kasus ini memang dianggap penting, karena Indonesia dan Malaysia 103
Hasil wawancara dengan Redaktur Pelaksana II, Irwan Ariefyanto.
merupakan negara serumpun yang seharusnya menjalin hubungan baik. Menurutnya, kasus ini mencerminkan bagaimana diplomasi Indonesia di mata luar negeri sangat lembek. Oleh karenya, Republika selalu mendorong agar pemerintah bertindak tegas dan berani agar Indonesia kembali disegani seperti pada kisaran tahun 80 sampai 90-an. Tajuk rencana yang terakhir ini terlihat lebih geram dari dua tajuk sebelumnya. Berbeda dengan dua tajuk sebelumnya yang lebih menuntut ketegasan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus ini, tajuk “Malaysia yang Berbudi” membahas keberhasilan-keberhasilan yang diraih Malaysia selama ini. Kesuksesan Malaysia di berbagai bidang, khsusnya ekonomi, menurut Republika sebenarnya juga tak lepas dari campur tangan Indonesia. Malaysia yang pernah belajar dari Indonesia ditulis Republika seharusnya tidak melakukan konfrontasi-konfrontasi yang memicu konflik. Seharusnya, ia (Malaysia) membalas budi dengan menunjukkan etika bertetangga yang baik, yang saling menghormati. Tajuk terakhir Bulan Agustus ini masih menggunakan pola ANSVA sebagaimana yang dipakai pada dua tajuk sebelumnya. Hal ini dikarenakan, Republika, menurut data resminya, didominasi kalangan pembaca profesional sebanyak 42%. Ini menunjukkan karakter pembaca Republika merupakan masyarakat kota yang notabenenya kalangan menengah ke atas. Untuk itu, pola penulisan tajuknya lebih cenderung menggunakan pola ANSVA agar bisa memaparkan lebih banyak duduk permasalahan guna analisis yang lebih tajam dan mendalam.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah menganalisa kasus ini dalam tiga tajuk rencana Harian Republika dengan analisis framing Robert Entman, berikut kesimpulan yang penulis peroleh: 1. Pembingkaian Republika atas “Hubungan RI-Malaysia” yang ditulis pada 19 Agustus 2010 menempatkan kasus ini sebagai masalah komunikasi internasional dan masalah pertahanan dan keamanan NKRI. Aktor penyebab masalah kasus ini menurut Republika adalah pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia dianggap takut terhadap Malaysia, akibatnya banyak kerugian baik moral maupun materil yang diterima rakyat Indonesia. Republika meminta ketegasan pemerintah sebagai solusi penyelesaian konflik ini. 2. Pembingkaian yang dilakukan Republika untuk “Hubungan Panas Serumpun” yang ditulis pada tanggal 28 Agustus 2010 menempatkan
kasus
ini
pada
masalah
komunikasi
internasional. Aktor penyebab masalahnya adalah Malaysia. Republika mengemas kasus ini dengan meletakkan sikap saling ketergantungan dan saling membutuhkan di antarakeduanya menjadi evaluasi moral atas kasus ini. Untuk itu, Republika merasa diperlukan adanya sikap saling menghormati dan saling
menjaga
hubungan
baik
sebagai
solusi
penyelesaian
masalahnya. 3. Pembingkaian
yang
dilakukan
Republika
untuk
tajuk
terakhirnya di Bulan Agustus 2010, “Malaysia yang Berbudi”, tetap menempatkan kasus ini sebagai masalah komunikasi internasional di samping sebagai masalah ekonomi. Republika pun
masih
menempatkan
Malaysia
sebagai
penyebab
masalahnya. Evaluasi moral yang dibingkai Republika atas kasus ini adalah adanya kekuatan yang sama kuat antara Indonesia dan Malaysia di mata internasional, namun sayangnya, Malaysia tidak menganggap hal tersebut sebagai alasan untuk
menghormati Indonesia.
Oleh karenanya,
Republika mengatakan bahwa Malaysia harus menghormati kedaulatan Indonesia yang merupakan solusi atas konflik selama ini.
Ketiga tajuk rencana tersebut sama-sama ditempatkan Republika sebagai masalah komunikasi internasional. Komunikasi internasional menjadi masalah utama yang diidentifikasi dalam ketiga tajuknya walaupun juga ditarik ke masalah keamanan dan ekonomi. Dua tajuk rencana menjadikan Malaysia sebagai aktor penyebab masalah dan satu tajuk lainnya menuding pemerintah Indonesia. Evaluasi moral yang dibingkai dalam ketiga tajuk rencana ini pun hampir senada, yakni ketidaktegasan pemerintah Indonesia dan adanya
sikap tidak saling menghormati sebagai negara yang sama-sama berpengaruh di mata dunia internasional. Lantas solusinya, Republika yang mengidentifikasi diri sebagai surat kabar yang tidak provokatif mengedepankan jalan damai, sikap saling menjaga hubungan baik antarkeduanya yang juga diiringi ketegasan pemerintah Indonesia dalam diplomasi yang elegan.
B. Saran Berkenaan dengan penelitian atas kasus hubungan IndonesiaMalaysia ini, beberapa poin yang dapat penulis sarankan adalah: 1.
Saran yang ditujukan kepada media massa; a. Sebagai kontrol sosial, media massa seyogyanya memiliki datadata yang faktual untuk menjaga pemberitaan yang berimbang dan dapat dipercaya. b. Tajuk rencana sebagai suara resmi dari redaksi media massa dapat lebih bijak dalam menyikapi suatu kasus karena memiliki kekuatan besar sebagai pembentuk opini publik.
2.
Saran yang ditujukan kepada mahasiswa adalah bahwa penelitian ini dapat dikaji lagi dari sudut pandang yang berbeda bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, khususnya mahasiswa Konsenterasi Jurnalistik untuk menambah khazanah dalam bidang ini.
DAFTAR PUSTAKA Berger, Peter L dan Luckmann, Thomas. Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 1990. Birowo, M. Antonius, ed., Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Gitanyali, 2004 Bungin, Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklak Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Jakarta: Kencana, 2008. Creswell, John W. Desain Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: KIK Press, 2003 Eriyanto. Analisis Framing : konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: Lkis, 2008. Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit, 2004. Hernowo, ed. Lautan Hikmah: Kumpulan Renungan Keagamaan di Harian Republika. Bandung: Mizan, 1994. Kriyantono, Rakhmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media. Jakarta: Kencana, 2007. Kurnia, Septiawan Santana. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Mc. Quail, Dennis. McQuail’s Mass Communication Theory. t.tp: SAGE Publications Ltd, 2010. Nimmo, Dan. Komunikasi Politik : Khalayak dan Efek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Nugroho, Bimo, Eriyanto, Franz Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999 Poloma, Margaret.M. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Qodir, Zuli, ed. ICMI, Negara dan Demokratisasi : Catatan Kritis Kaum Muda. Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran, 1995.
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Riyanto, Geger. Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009. Severin, Werner J. dan Jr, James W. Tankard. “Teori Komunikasi:Sejarah, Metode dan Terapan di dalam Media Massa”. Jakarta: Prenada Media, 2008. Siahaan, Hotman. Pers yang Gamang: Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur. Lembaga Studi Perubahan Sosial, 2001. Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Sudibyo, Agus, Hamad, Qarari, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa. Jakarta: ISAI, 2001. Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. t.tp: LKiS Pelangi Aksara, 2001. Suhaemi dan Ruli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009. Sumadiria, AS Haris. Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008. Suparno, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Pustaka Filsafat, 2007. Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005. Tubbs, Stewart L. dan Moss, Sylvia. Human Comunication: Prinsip-Prinsip Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Usman, Syafaruddin dan Isnawita Din. Ancaman Negeri Jiran : Dari ”Ganyang Malaysia” Sampai Konflik Ambalat. Yoyakarta: Media Pressindo, 2009.
Internet: http://www.ccsr.ac.uk/methods/publications/frameanalysis, artikel diakses pada 23 Maret 2011 pukul 17:20 WIB
http://www.facebook.com/pages/REPUBLIKA-Online diakses pada tanggal 0905-2011 pukul 20:40 WIB http://www.republika.co.id Lain-lain: Data resmi berupa Company Profile dari Harian Republika Hasil wawancara dengan Redaktur Pelaksana II Harian Republika, Irwan Ariefyanto, pada Kamis, 5 Mei 2011
Lampiran
Hasil Wawancara
Hari/Tanggal : Kamis, 05 Mei 2011 Waktu
: 17.00 – 18 WIB
Tempat
: Kantor Harian Republika, Warung Buncit, Jakarta Selatan
Narasumber
: Irwan Ariefyanto
Jabatan
: Redaktur Pelaksana II Harian Republika (Kepala News Room)
1. Untuk tajuk rencana Republika, siapa yang biasa bertugas menulisnya? Tajuk itu satu minggu ada 6 penulis. Ganti-ganti penulisnya tergantung jadwal piket.
2. Dalam satu bulan ada 3 wacana tajuk tentang hubungan kedua Negara, apakah kasus ini dianggap penting oleh Republika? Mengapa? Sangat penting sekali. Dalam kasus Indonesia-Malaysia sangat penting sekali. Biar bagaimana pun kita mempunyai kebijakan agar tidak terlalu memprovokasi. Karena kita lihat saat itu, bagaimana ketika terjadi penangkapan sejumlah petugas KKP oleh Malaysia. Banyak orang berharap kita bersikap keras, tegas, dengan mungkin perang atau apa. Kita tidak mau seperti itu. Kita hindari. Tapi kalau bersikap tegas kita harus. Nah inilah selama ini diplomasi Indonesia sangat luar biasa jelek di luar negeri, termasuk terhadap negara tetangga kita sendiri, Malaysia dan Singapura, juga bagaimana kita harus kehilangan Ambalat.
3. Sebenarnya, bagaimana Republika memandang kasus tersebut? Kita sangat fokus, tapi kita juga tidak memprovokasi. Jadi intinya Republika selalu menegaskan perlunya ketegasan diplomasi, perlunya luwesnya diplomasi, tapi kita tidak akan masuk ke dalam provokasi misalnya untuk menimbulkan permusuhan atau kebencian terhadap Malasyia. Karena bagaimana pun kita tetangga, satu rumpun.
4. Mengapa ketiga tajuk lebih menonjolkan angle tentang Malaysia yang sebenarnya berhutang budi dengan Indonesia? Sebenernya di tajuk ini kita menggambarkan bahwa sebenarnya kita ini satu rumpun dan faktanya memang 10 tahun terakhir ini Indonesia jauh dibandingkan dari Malaysia. Padahal dalam sejarahnya Malaysia banyak belajar dari Indonesia. Tajuk ini menggambarkan bagaimana beberapa tahun lalu Malaysia banyak belajar tentang pertambangan, pendidikan, atau masalah-masalah yang berhubungan ekonomi dengan Indonesia. Tetapi dalam perkembangannya ternyata Malaysia lebih maju dari Indonesia. Nah, di sini kita menggambarkan bagaimana Indonesia sangat tertinggal jauh dari Malaysia dan seharusnya Malaysia melakukan sikap balas budi terhadap Indonesia. Balas budi dalam artian bahwa seharusnya Malaysia tidak lagi melakukan konfrontasi-konfrontasi seperti yang dilakukan di perairan Riau. Apalagi kita tetangga, kedua kita satu rumpun. Kita orang-orang Melayu. Kita (Republika) memang termasuk tidak terlalu keras dalam kasus ini.
5. Mengapa tidak mengambil angle lain seperti kasus-kasus yang biasa terjadi antara keduanya atau sikap pemerintah yang dinilai lamban? Kita menulis sebuah tajuk punya pandangan yg berbeda meskipun tujuan akhirnya sama. Untuk kasus Indonesia-Malaysia pun kita sama. Kita tetap menuding pemerintah yang cenderung tidak respon. Kita hanya menuding bahwa pemerintah kita memang lamban. Tapi kita juga tidak mau memprovokasi pemberitaan bahwa kita harus bermusuhan dengan Malaysia. Karena bagaimana pun nanti yang rugi juga Indonesia. Tidak ada untungnya kita berkelahi atau istilahnya bermusuhan dengan tetangga kita. Karena bagaiman pun kita satu rumpun, satu wilayah. Yang harus dilakukan oleh kita adalah diplomasi-diplomasi yang elegan. Bukan diplomasi barter seperti yang disebutkan di beberapa Koran, termasuk Republika.
6. Siapa yang menjadi penyebab utama masalah ini menurut Republika? Walaupun kita cenderung realtif lebih soft dari koran lain tapi kita tetap menghajar Malaysia.
7. Mengapa Republika menganggap ini kesalahan Malaysia? Di “hubungan panas serumpun” kita menggambarkan bagiamana hubungan
Indonesia-Malaysia
yang
saling
berkesinambungan.
Perekonomian Indonesia yang tergantung dengan Malayisa. Malaysia yang tergantung dengan Indonesia. Kita tahu bahwa banyak jumlah tenaga kerja
Indonesia di Malaysia. Tapi Malaysia juga tergantung dalam kebutuhan pertaniannya dan mereka banyak mengimpor dari Indonesia. Lalu kenapa harus diganggu dengan hal-hal seperti ini. Nah, kita mendorong seharusnya Malasyia sebagai negara yang pernah kita bantu tidak melakukan hal-hal seperti itu.
8. Bagaimana menurut Republika tindakan yang dipakai oleh pemerintah Indonesia menanggapi hubungan kedua Negara saat itu? Sikap yang ditunjukkan sekarang ini adalah bagaimana pemerintah kita membiarkan sejumlah pegawai pemerintahannya ditangkap oleh aparatur Malaysia. Yang dilihat selama ini kan presiden SBY sangat lembek dalam hubungan dengan luar negeri. SBY itu sangat berhati-hati. Tidak sekeras mungkin zamannya Pak Harto. Tahun 1985 atau 1990 kita merupakan negara yang sangat disegani di Asia. Tidak hanya Malaysia, tapi juga Singapura, negara kecil seperti itu. Tapi faktanya kita sekarang berbalik.
9. Solusi yang ditawarkan dari Republika tentang kasus yang melibatkan hubungan kedua negara? Sikap pemerintah yang seharusnya melakukan penegasan terhadap Malaysia. Bagaimana pun tidak boleh tetangga saling mengusik.