ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI LUAS LAHAN PERTANIAN DI INDONESIA
CLAUDIA ANDRIANI PRAMONO
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015 Claudia Andriani Pramono NIM H14110072
ABSTRAK CLAUDIA ANDRIANI PRAMONO. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia. Dibimbing oleh SAHARA. Pemerintah Indonesia berencana melakukan swasembada pangan khusus komoditas beras, kedelai, dan jagung pada tahun 2019. Kebijakan pembangunan pertanian pada tahun 2015-2019 mencakup kebijakan swasembada, pengembangan produk berdaya saing, serta penguatan sistem dan kelembagaan. Salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah untuk melakukan program swasembada pangan tersebut adalah penurunan luas lahan pertanian akibat konversi lahan pertanian di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia agar konversi lahan dapat dikendalikan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode panel statis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia adalah panjang jalan, PDRB lapangan usaha pertanian, serta PDRB lapangan usaha non pertanian. Pemerintah sebaiknya terus berupaya untuk meningkatkan PDRB lapangan usaha pertanian dan menjaga agar peningkatan PDRB lapangan usaha non pertanian tidak berdampak pada penurunan luas lahan pertanian di Indonesia. Kata kunci: konversi lahan, lahan pertanian, panel statis
ABSTRACT CLAUDIA ANDRIANI PRAMONO. Analysis of The Affecting Factors of Agricultural Land in Indonesia. Supervised by SAHARA. The Government of Indonesia targets to achieve rice, corn, and soybeans self-sufficiency by 2019. The 2015-2019 Agricultural Development Policy includes food self-sufficiency, development of competitiveness product, and reinforcement of system and institutional. One of the Government’s challenges to execute food self-sufficiency is the decline of agricultural land area as a result of the land conversion in Indonesia. Therefore, the affecting factors of agricultural land in Indonesia should be analyzed in order to control the land conversion. This research uses panel data as the method. The result shows that the factors which affect the agricultural land of Indonesia are length of roads, Gross Regional Domestic Product (GRDP) of agricultural sector, and GRDP of non-agricultural sector. The government should strive to improve the GRDP of agricultural sector, and to prevent the impact of GRDP of non-agricultural sector improvement on the decline of agricultural land in Indonesia. Keywords: agricultural land, land conversion, panel data
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI LUAS LAHAN PERTANIAN DI INDONESIA
CLAUDIA ANDRIANI PRAMONO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah ekonomi regional, dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, antara lain kepada: 1. Dr Sahara, SP MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, dan motivasi selama proses penyelesaian skripsi ini. 2. Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr selaku dosen penguji utama yang telah memberi kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. 3. Ranti Wiliasih, SP, MSi selaku dosen komisi pendidikan yang telah memberi kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. 4. Para dosen, staff, dan seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi. 5. Orang tua penulis (Pramono DS dan Connie FM Palenewen) serta kakakkakak (Dameria Nathassa dan Tantyana Damayanti Pramono) atas doa, motivasi, dan dukungan moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Teman-Teman satu bimbingan Ghina Khalida, Ika Fauziah, Mutiara Shinta, Rusy Laytifah, Sendy W, Vita Nayunda, dan Zahrina HK atas kerjasama, motivasi dan doa selama proses penyelesaian skripsi. 7. Sahabat-sahabat penulis (C Rosy Adhiba, Khairunnisa, Lita R Rahman, Masayu Faradiah, Maya Saroh, Pristi Panggabean, Putu Gayatri, R Ayu Anindhia, Rabbani K, Sami Lumekti, dan Widya Paramawidhita) serta teman-teman ESP 48 atas kebersamaan, semangat, bantuan dan motivasi selama menjalankan studi. 8. Kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis baik langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015 Claudia Andriani Pramono
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
4
Landasan Teori
4
Penelitian Terdahulu
8
Kerangka Pemikiran
10
Hipotesis
11
METODE PENELITIAN
11
Jenis dan Sumber Data
11
Metode Analisis Data
12
HASIL DAN PEMBAHASAN
15
Perkembangan Luas Lahan Pertanian di Indonesia
15
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia KESIMPULAN DAN SARAN
20 23
Kesimpulan
23
Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
25
LAMPIRAN
28
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR TABEL 1 2 3
Luas Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 2009-2013 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai Tahun 2003 dan 2013 Hasil Estimasi Variabel yang Berpengaruh terhadap Luas Lahan Pertanian di Indonesia Periode 2009-2013
1 2 20
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Diagram Cincin Von Thunen Kerangka Pemikiran Penelitian Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Indonesia (%) Periode 2009-2013 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Sumatera (%) Periode 2009-2013 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Jawa (%) Periode 2009-2013 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Kepulauan Nusa Tenggara (%) Periode 2009-2013 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Kalimantan (%) Periode 2009-2013 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Sulawesi (%) Periode 2009-2013 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Kepulauan Maluku dan Pulau Papua (%) Periode 2009-2013
5 11 15 16 17 17 18 19 19
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun (%) di Indonesia Periode 2009-2013 Hasil Estimasi Fixed Effect Model dengan Pembobotan Cross-Section Hasil Uji Normalitas Hasil Uji Multikolinearitas Hasil Uji Hausman Hasil Estimasi Random Effect Model Hasil Uji Chow
28 29 29 30 30 31 31
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan salah satu faktor produksi utama bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah (Utomo 1992). Utomo juga berpendapat bahwa perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan tidak terencana dapat memberikan dampak buruk pada daya dukung lahan. Hal tersebut pada akhirnya akan menciptakan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Salah satu contoh perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan tidak terencana adalah konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian. Menurut Irawan (2008), konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian merupakan salah satu isu sentral pembangunan pertanian karena dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap produksi pangan disamping aspek sosial ekonomi lainnya dan masalah lingkungan. Berbagai peraturan telah diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, tetapi kebijakan tersebut terkesan tidak efektif yang ditunjukkan oleh luas lahan pertanian yang terus berkurang. Berdasarkan Statistik Lahan Pertanian 2014, jumlah luas penggunaan lahan di Indonesia secara keseluruhan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, luas lahan pertanian di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.28 persen atau 112 046 hektar jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan terbesar berdasarkan jenis lahan pada tahun 2013 adalah penurunan luas lahan sawah non irigasi, yaitu sebesar 11.37 persen atau 422 186 hektar jika dibandingkan dengan tahun 2012. Berbeda dengan jenis lahan lain yang rata-rata mengalami penurunan luas lahan pada tahun 2013, jenis lahan ladang atau huma justru mengalami peningkatan meskipun tidak terlalu besar. Peningkatan luas ladang atau huma pada tahun 2013 sebesar 0.20 persen atau 10 865 hektar jika dibandingkan dengan tahun 2012. Tabel 1 Luas Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 2009-2013 No
Jenis Lahan (ha)
1
Sawah a. Sawah Irigasi b. Sawah Non Irigasi Tegal/Kebun Ladang/Huma Lahan yang Sementara Tidak Diusahakan Total Luas
2 3 4
2009 8 068 427
2010 8 002 552
Tahun 2011 8 094 862
2012 8 132 346
2013 8 112 103
4 905 107
4 893 128
4 924 172
4 417 582
4 819 525
3 163 220
3 109 424
3 170 690
3 714 764
3 292 578
11 782 332 5 428 689
11 877 777 5 334 545
11 626 219 5 697 171
11 947 956 5 262 030
11 876 881 5 272 895
14 880 526
14 754 249
14 378 586
14 245 408
14 213 815
40 159 874
39 969 123
39 796 838
39 587 740
39 475 694
Sumber: BPS (2014) Jika dilihat menurut pengelompokkan luas lahan yang dikuasai rumah tangga usaha pertanian, terjadi penurunan di hampir semua kelompok penguasaan
2
lahan. Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, penurunan terbesar terjadi pada golongan penguasaan lahan <1000 m2 sebesar 5 041 451 rumah tangga dari tahun 2003 hingga tahun 2013. Secara keseluruhan dari rentang tahun tersebut, penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian yang menguasai berbagai golongan luas lahan tercatat sebanyak 5 096 715 rumah tangga. Tabel 2 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai Tahun 2003 dan 2013 Rumah Tangga Usaha Pertanian Golongan Luas Lahan (m2) 2003 2013 <1000 9 380 300 4 338 849 1000-1999 3 602 348 3 550 180 2000-4999 6 816 943 6 733 362 5000-9999 4 782 812 4 555 073 10000-19999 3 661 529 3 725 849 20000-29999 1 678 356 1 623 428 ≥30000 1 309 896 1 608 728 Jumlah 31 232 184 26 135 469 Sumber: BPS (2014) Menurut Analisis Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013 yang dikeluarkan oleh BPS (2014), pada tahun 2013 sektor pertanian Indonesia berada pada peringkat ke-2 jika dilihat dari sisi Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor industri pengolahan menempati peringkat pertama. Jika dilihat dari periode waktu, kontribusi sektor pertanian Indonesia terus menurun. Pada tahun 2003 share sektor sebesar 15.2 persen, sementara pada tahun 2013 share menurun menjadi 14.4 persen. Sektor jasa-jasa justru terus meningkat. Hal ini menunjukkan terjadi transformasi ekonomi di Indonesia, yaitu kontribusi sektor-sektor primer menurun dan digantikan dengan peningkatan sektor sekunder dan tersier (BPS 2014). Berkaitan dengan hal tersebut, sektor pertanian Indonesia dikhawatirkan akan semakin terancam akibat berkurangnya luas penggunaan lahan pertanian di Indonesia dari tahun ke tahun. Pengurangan luas tersebut sudah berdampak dengan menurunnya jumlah rumah tangga usaha pertanian di berbagai wilayah di Indonesia. Penurunan luas lahan pertanian perlu diteliti karena dikhawatirkan berdampak pada ketersediaan pangan Indonesia di masa yang akan datang. Perumusan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah populasi terbanyak di dunia. Central Intelligence Agency (CIA) Amerika (2014) menyatakan populasi Indonesia berada pada peringkat kelima dari 240 negara di dunia, setelah Tiongkok, India, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Jumlah populasi di Indonesia tercatat sebanyak 253 609 643 jiwa. Menurut Badan Pusat Statistik (2015), jumlah penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan secara konstan dari tahun 1971 hingga 2010. Pada tahun 2010, jumlah penduduk di Indonesia tercatat mengalami peningkatan sebanyak 31 376 731 jiwa dari tahun 2000. Angka ini terus bertambah karena BPS (2012) mencatat pada tahun 2013 jumlah penduduk di Indonesia meningkat menjadi 249 juta jiwa.
3
Hal tersebut menjadi perhatian serius bagi pemerintah mengingat peningkatan jumlah penduduk akan berbanding lurus dengan permintaan kebutuhan pokok terutama pangan. Oleh sebab itu, pemerintah harus mampu menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat. Beberapa komoditas penting yang termasuk makanan pokok masyarakat Indonesia antara lain beras, kedelai, dan jagung. Pemerintah Indonesia telah menargetkan akan mewujudkan swasembada ketiga komoditas tersebut paling lambat tahun 2019. Kebijakan pembangunan pertanian pada 2015-2019 mencakup kebijakan swasembada, pengembangan produk berdaya saing, serta penguatan sistem dan kelembagaan (republika.co.id 2014). Faktanya, seperti yang sudah dipaparkan pada bagian latar belakang, luas lahan pertanian di Indonesia secara keseluruhan menurun dari tahun ke tahun. Penurunan terbesar berdasarkan jenis lahan pada tahun 2013 adalah penurunan luas lahan jenis sawah non irigasi, yaitu sebesar 11.37 persen atau 422 186 hektar jika dibandingkan dengan tahun 2012 (BPS 2014). Kebijakan swasembada pangan yang ditargetkan oleh Pemerintah Indonesia periode 2014-2019 tentu akan mengalami kendala apabila masalah penurunan luas lahan pertanian akibat konversi lahan tersebut tidak diselesaikan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, penelitian ini mengenai faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini: 1. Bagaimana perkembangan luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun 2009 hingga tahun 2013? 2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Menganalisis perkembangan luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun 2009 hingga tahun 2013. 2. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberi informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia dan sebagai bahan masukan untuk membuat kebijakan yang sesuai. 2. Bagi akademisi, penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya. 3. Bagi penulis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberi wawasan baru mengenai perkembangan serta faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia.
4
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan data panel, yaitu data yang diambil dari 33 provinsi dengan rentang waktu dari tahun 2009 sampai 2013. Definisi lahan pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan sawah (irigasi dan non irigasi), lahan tegal atau kebun, lahan ladang atau huma, serta lahan yang sementara tidak diusahakan (BPS 2012). Lahan sawah merupakan lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang, saluran untuk menahan atau menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang darimana diperoleh atau status lahan tersebut. Lahan tegal atau kebun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan kering yang ditanami tanaman semusim atau tahunan dan terpisah dengan halaman sekitar rumah serta penggunaannya tidak berpindah-pindah. Sebaliknya, lahan ladang atau huma adalah lahan kering yang biasanya ditanami tanaman semusim dan penggunaannya hanya semusim atau dua musim, kemudian akan ditinggalkan bila sudah tidak subur lagi. Sementara itu, lahan yang sementara tidak diusahakan adalah lahan yang biasanya diusahakan tetapi untuk sementara (lebih dari satu tahun tetapi kurang dari atau sama dengan dua tahun) tidak diusahakan (termasuk lahan sawah). TINJAUAN PUSTAKA Teori Lokasi Von Thunen Von Thunen mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen, tingkat sewa lahan yang paling mahal adalah lahan yang berada di pusat pasar, sementara tingkat sewa tersebut semakin rendah apabila lahan terletak jauh dari pasar (Priyarsono et al. 2007). Untuk memahami model Von Thunen ada beberapa asumsi dasar yang harus dimengerti, yaitu berikut ini: 1. Terdapat satu pusat kota yang berlokasi di titik P (pasar); semua komoditas pertanian diperdagangkan di pusat kota ini. 2. Seluruh lahan dimiliki oleh tuan tanah; tuan tanah akan menyewakan tanah kepada penyewa yang membayar sewa paling tinggi. 3. Semua petani memproduksi produk pertanian yang sejenis, dengan teknologi produksi yang sama dan perbandingan yang tetap antara input lahan dengan input non lahan. Perbandingan yang tetap menunjukkan tidak adanya saling substitusi antara input lahan dengan input non lahan. 4. Kesuburan lahan dianggap merata di semua lokasi. 5. Terdapat kebebasan untuk ke luar masuk pasar pertanian sehingga laba yang diperoleh adalah laba normal (laba nol). Analisis Von Thunen dimulai dengan formulasi keuntungan ( ) yang dapat ditulis sebagai berikut: ( ) ( ) ( ) dimana adalah jumlah produksi komoditas pertanian yang dapat dihasilkan per unit lahan, sedangkan dan masing-masing adalah harga produk dan biaya produksi rata-rata per unit. ( ) dan ( ) masing-masing adalah ongkos angkut
5
dan sewa tanah (land-rent) yang keduanya dipengaruhi oleh jauh dekatnya jarak ( ) ke pasar (Sjafrizal 2012). Asumsi laba yang diperoleh adalah laba normal (laba nol) menyebabkan keadaan menjadi: ( ) ( ) ( ) sehingga: ( ) ( ) ( ) dimana ( ) adalah bid-rent yang menunjukkan kemampuan pengelola lahan untuk membayar sewa tanah dari hasil pemanfaatan tanah bersangkutan. Persamaan bid-rent tersebut merupakan unsur penting dalam analisis Teori Lokasi Von Thunen. Pemilihan lokasi yang paling optimal untuk usaha pertanian pada komoditas tertentu akan ditentukan oleh perbandingan kemampuan pengelola lahan membayar sewa tanah dengan tingkat sewa tanah yang berlaku di pasaran. Analisis diatas merupakan contoh kasus bilamana lahan hanya ditanami oleh satu jenis tanaman saja. Kenyataan umum menunjukkan bahwa pada suatu bidang lahan biasanya juga dapat ditanami oleh banyak jenis tanaman. Hasil tanaman akan dipasarkan pada suatu tempat bilamana pasar tertentu merupakan alternatif yang terbaik. Hal ini akan menimbulkan “batas dalam wilayah pasar (inner limit)”. Pada waktu bersamaan suatu tanaman akan dapat memilih lokasi lebih jauh dari pasar, bilamana nilai bid-rent ( ( )) lebih besar dari biaya karena pindah lokasi (opportunity cost) dan hal ini merupakan batas luar wilayah pasar (outer limit). Berdasarkan hal ini, dapat dibuat pernyataan umum bahwa, keseimbangan antar wilayah (spatial equilibrium) pemilihan lokasi kegiatan pertanian adalah bilamana: ( ) (penentuan batas dalam) dan ( ) (penentuan batas luar). Lingkaran untuk masing-masing batas dalam (inner limit) disebut sebagai Von Thunen Ring atau Diagram Cincin Von Thunen, yang menunjukkan lokasi optimal untuk masing-masing jenis tanaman. Dengan demikian, terlihat bahwa cincin yang paling dekat dengan titik P (pasar) adalah lokasi optimal untuk tanaman yang mempunyai bid-rent yang paling tinggi dan lokasi yang semakin jauh dari titik P adalah lokasi optimal untuk jenis tanaman dengan bid-rent lebih rendah (Gambar 1).
6 5 4 3 21
P
Keterangan: P = Pasar Cincin 1 = Pusat industri/kerajinan Cincin 2 = Pertanian intensif (produksi susu dan sayur-sayuran) Cincin 3 = Wilayah hutan (untuk menghasilkan kayu bakar) Cincin 4 = Pertanian ekstensif (dengan rotasi 6 atau 7 tahun) Cincin 5 = Wilayah peternakan Cincin 6 = Daerah pembuangan sampah
Gambar 1 Diagram Cincin Von Thunen
6
Perkembangan dari teori Von Thunen adalah harga lahan yang tinggi di pusat kota dan akan semakin menurun apabila semakin jauh dari pusat kota. Harga lahan tinggi pada jalan-jalan utama (akses ke luar kota) dan akan semakin rendah apabila menjauh dari jalan utama. Semakin tinggi kelas jalan utama tersebut, maka semakin mahal sewa lahan di sekitarnya. Teori Von Thunen secara tidak langsung menggambarkan kondisi lahan pertanian, khususnya lahan sawah produktif, yang berada di pusat kota atau dekat dengan jalan-jalan utama. Lahan tersebut sangat rentan mengalami penurunan luas. Pada akhirnya, terjadi konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian karena lahan tersebut bernilai jual sangat tinggi. Insentif yang tinggi dapat menjadi alasan kuat bagi para petani yang membutuhkan quick cash untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, konversi lahan pertanian di daerah kota terus menerus terjadi. Di Indonesia, hal tersebut terkenal dengan istilah “sawah terjepit” yang menggambarkan suatu kondisi sawah di sekitar perumahan, industri atau tata guna perkotaan lain (Arifin 2013). Teori Pembangunan Lewis Todaro (2006) mengemukakan bahwa jika suatu negara menghendaki pembangunan yang lancar dan berkesinambungan, maka negara itu harus memulainya dari daerah pedesaan pada umumnya, dan sektor pertanian pada khususnya. Secara tradisional, peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya dipandang pasif dan sebagai unsur penunjang semata. Berdasarkan pengalaman historis dari negara-negara Barat, apa yang disebut sebagai pembangunan ekonomi identik dengan transformasi struktural yang cepat terhadap perekonomian, yakni dari perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi industri modern dan pelayanan masyarakat yang lebih kompleks. Dengan demikian, peran utama pertanian hanya dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah demi berkembangnya sektorsektor industri yang dinobatkan sebagai “sektor unggulan” dinamis dalam strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Model pembangunan “dua sektor” Lewis merupakan contoh yang baik dari teori pembangunan yang menitikberatkan pada pengembangan sektor industri secara cepat, pada saat sektor pertanian hanya dipandang sebagai pelengkap atau penunjang, yaitu sebagai sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah (Todaro 2006). Model dua-sektor Lewis (Lewis two-sector model) beranggapan bahwa perekonomian yang terbelakang terdiri dari dua sektor, yakni: (1) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja yang sama dengan nol dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten (Todaro 2006). Perhatian utama dari model ini diarahkan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan di sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor modern tersebut.
7
Berdasarkan teori pembangunan Lewis yang telah dipaparkan, berkurangnya luas lahan pertanian akibat konversi ke lahan non pertanian dapat diasumsikan sebagai dampak dari adanya transformasi struktur perekonomian negara. Transformasi tersebut terjadi dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian modern yang memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh. Konversi Lahan Pertanian Berdasarkan Sensus Pertanian 2013 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (2014), lahan pertanian adalah lahan yang terdiri dari lahan yang diusahakan dan sementara tidak diusahakan (lahan yang biasanya diusahakan tetapi untuk sementara (selama satu sampai dua tahun) tidak dikelola/diusahakan) untuk pertanian. Sementara lahan bukan pertanian adalah lahan yang mencakup rumah, bangunan dan halaman sekitarnya, hutan negara, rawa-rawa (yang tidak ditanami), lahan bukan pertanian lainnya (jalan, sungai, danau, lahan tandus, dll), termasuk lahan pertanian bukan sawah yang tidak ditanami apapun selama lebih dari dua tahun. Menurut Azadi et al. (2010), konversi lahan adalah sebuah proses ketika lahan yang diperuntukkan untuk pertanian dirubah menjadi lahan untuk penggunaan urban. Konversi lahan, atau yang juga sering disebut konversi lahan, mengandung pengertian perubahan penggunaan lahan oleh manusia (Utomo 1992). Kejadian perubahan penggunaan lahan tertentu menjadi penggunaan lahan lain sebenarnya merupakan kejadian biasa, tetapi dapat menjadi masalah jika mempunyai dampak negatif penting. Menurut Utomo, konversi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka konversi ini bersifat permanen. Sebaliknya, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu maka konversi tersebut bersifat sementara karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Konversi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya daripada konversi lahan sementara. Manuwoto (1992) berpendapat bahwa secara umum pengalihan fungsi lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: sosial atau kependudukan, pembangunan ekonomi, penggunaan jenis teknologi, dan kebijakan pembangunan makro. Secara keseluruhan, menurut Azadi et al. (2010), faktor penyebab konversi lahan pertanian dapat dibedakan menjadi dua. Faktor pertama adalah faktor eksternal, yang terdiri dari perkembangan industri atau industrialisasi, urbanisasi, perkembangan infrastruktur jalan, serta kebijakan pemerintah. Faktor kedua adalah faktor internal, yang terdiri dari produktivitas lahan dan intensitas teknologi pertanian. Konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian jika dibiarkan akan memberikan dampak negatif. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Daerah Tingkat I Lampung Sub Dinas Bina Usaha Tani (1992) mengemukakan masalahmasalah yang ditimbulkan konversi lahan pertanian, antara lain: 1. Konversi lahan sawah akan mengurangi dan mengganggu tata lokasi lahan yang diperuntukkan sebagai lahan sawah. 2. Konversi lahan pada lahan yang telah beririgasi merupakan pemborosan investasi.
8
3. Adanya konversi lahan akan mengganggu program pemantapan dan peningkatan produksi tanaman pangan. 4. Konversi lahan sawah akan mengganggu dan menghambat program perluasan areal sawah sebagai kompensasi penambahan konversi lahan sawah atau lahan produktif di Jawa. Irawan (2005) berpendapat bahwa konversi lahan pertanian terutama sawah akan berdampak pada ketahanan pangan negara, seperti yang dikemukakan Dinas Pertanian Lampung pada poin ke-3. Menurut Irawan, konversi lahan sawah secara langsung akan mengurangi kuantitas ketersediaan pangan akibat berkurangnya lahan pertanian yang dapat ditanami padi dan komoditas pangan lainnya. Secara tidak langsung konversi lahan sawah juga dapat mengurangi kuantitas ketersediaan pangan akibat terputusnya jaringan irigasi yang selanjutnya berdampak pada penurunan produktivitas usahatani. Konversi lahan sawah terutama sawah beririgasi juga dapat mengurangi stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun akibat berkurangnya kapasitas produksi pangan yang dapat dihasilkan pada musim kemarau. Selain itu, jika terjadi konversi lahan terutama lahan sawah irigasi yang memiliki daya serap tenaga kerja relatif tinggi akibat intensitas tanam yang tinggi, maka akan terjadi penurunan kesempatan kerja buruh tani yang selanjutnya berdampak pada penurunan pendapatan para buruh tani. Berdasarkan hal tersebut, maka konversi lahan pertanian secara langsung akan mengurangi aksesibilitas ekonomik para buruh tani terhadap bahan pangan. Padahal, kelompok masyarakat miskin tersebut umumnya rentan terhadap kerawanan pangan. Disamping itu, daya beli pangan kelompok masyarakat lainnya juga akan berkurang akibat naiknya harga pangan yang dirangsang oleh penurunan produksi pangan yang disebabkan oleh konversi lahan. Penelitian Terdahulu Ilham et al. (2005) menganalisis perkembangan dan faktor-faktor yang memengaruhi konversi lahan sawah serta dampak ekonominya. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Penelitian ini mengelompokkan faktor-faktor yang menentukan konversi lahan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada. Faktor ekonomi merupakan faktor utama yang dibahas karena merupakan acuan penelitian. Dalam penelitiannya, Ilham et al. menggunakan variabel independen nilai tukar petani sebagai proksi daya saing produk pertanian khususnya padi; PDB sektor industri, transportasi dan perdagangan, hotel dan restoran sebagai proksi dari aktivitas industri, pembangunan prasarana jalan dan pembangunan sarana pasar dan turisme; serta jumlah penduduk sebagai proksi kebutuhan untuk pemukiman. Hasil penelitian menunjukkan sejak periode 1985-1990 sampai periode 1997-2000, terlihat ada hubungan positif antara rataan konversi lahan sawah dengan pertumbuhan PDB. Variabel PDB transportasi dan komunikasi merupakan pengecualian karena pertumbuhannya lebih rendah dari periode sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan pada saat krisis ekonomi, sebagian sarana transportasi di luar Jawa banyak yang mengalami penundaan perbaikan apalagi pembangunan baru. Secara makro, hasil penelitian juga menunjukkan hubungan konversi lahan sawah dengan peningkatan jumlah penduduk tidak berkorelasi positif. Variabel terakhir,
9
yaitu variabel pertumbuhan nilai tukar petani, menunjukkan hubungan negatif dengan rataan konversi lahan sawah. Salah satu tujuan penelitian yang telah dilakukan oleh Ruswandi et al. (2007) adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konversi lahan pertanian di Bandung Utara. Penelitian ini menggunakan model regresi linear berganda untuk menentukan faktor-faktor yang memengaruhi perubahan lahan pertanian ke non pertanian. Variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepadatan penduduk tahun 1992, peningkatan kepadatan penduduk, penurunan jumlah keluarga tani, kepadatan petani pemilik lahan tahun 1992, penurunan kepadatan petani pemilik lahan, kepadatan petani non pemilik lahan tahun 1992, peningkatan kepadatan petani non pemilik lahan, luas lahan guntai dari luas desa tahun 1992, peningkatan luas lahan guntai dari luas desa, jarak desa ke pusat kota kecamatan, serta peningkatan jumlah surat keterangan miskin. Hasil penelitian menunjukkan variabel-variabel yang memengaruhi konversi lahan pertanian secara positif adalah kepadatan petani non pemilik tahun 1992, peningkatan kepadatan petani non pemilik, peningkatan luas lahan guntai dari luas desa, peningkatan jumlah surat keterangan miskin, serta jarak desa ke kota kecamatan. Variabel-variabel yang memengaruhi konversi lahan pertanian secara negatif adalah kepadatan penduduk tahun 1992, kepadatan petani pemilik tahun 1992, serta luas lahan guntai dalam desa tahun 1992. Li et al. (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh dari perluasan kota dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya terhadap intensitas penggunaan lahan pertanian di Tiongkok. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika linear panel sederhana untuk menentukan faktor-faktor tersebut. Variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah luas daerah pertanian yang dikonversi untuk perluasan kota, luas lahan budidaya, variabel penjelas sosial ekonomi (PDB sektor industri, PDB per kapita, dan investasi pertanian per kapita), serta variabel penjelas biofisik (total panjang semua jalan raya, total jarak dari daerah ke ibukota provinsi, rasio lahan dengan kemiringan rata-rata kurang dari delapan derajat, ketinggian rata-rata daerah, rata-rata curah hujan tahunan, dan rata-rata suhu udara tahunan daerah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peneliti menggunakan fixed effects model untuk menganalisis pengaruh variabel sosial ekonomi, sementara random effects model digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel biofisik. Hasil penelitian juga menunjukkan pada fixed effects model, variabel PDB sektor industri memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap Multi-Cropping Index (MCI). Sementara variabel PDB per kapita memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap MCI. Dalam random effects model, variabel yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap MCI antara lain: luas daerah pertanian yang dikonversi untuk perluasan kota, total jarak dari daerah ke ibukota provinsi, dan ketinggian rata-rata daerah. Sementara variabel yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap MCI dalam model yang sama antara lain: total panjang semua jalan raya, rata-rata curah hujan tahunan, dan rata-rata suhu udara tahunan daerah. Effendi dan Asmara (2014) menganalisis dampak pembangunan infrastruktur jalan dan variabel ekonomi lain terhadap luas lahan sawah di Koridor Ekonomi Jawa. Penelitian ini menggunakan metode data panel dan variabel independen yang digunakan antara lain: panjang jalan, kepadatan penduduk, dan
10
jumlah industri besar dan sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model terbaik yang digunakan adalah fixed effects model. Variabel kepadatan penduduk berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang negatif terhadap luas lahan sawah di Koridor Ekonomi Jawa, mengindikasikan adanya trend pemilikan rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga sebagai investasi. Hasil analisis regresi juga menunjukkan hal yang sama pada variabel jumlah industri besar dan sedang. Hal tersebut disebabkan Koridor Ekonomi Jawa merupakan sumber kegiatan ekonomi sehingga industri lebih berkembang di koridor ini. Perkembangan tersebut membutuhkan lahan lebih banyak dan menyebabkan pengurangan lahan pertanian di koridor ini. Variabel terakhir, yaitu variabel panjang jalan, berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang negatif terhadap luas lahan sawah di Koridor Ekonomi Jawa. Penelitian yang dilakukan Effendi dan Asmara (2014) menjadi acuan bagi peneliti untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia. Penelitian ini menambahkan variabel persentase penduduk miskin sesuai dengan penelitian dari Ruswandi et al. (2007). Peneliti memodifikasi variabel jumlah industri besar dan sedang menjadi variabel PDRB lapangan usaha pertanian dan variabel PDRB lapangan usaha non pertanian. Penelitian ini juga menggunakan data dari tahun 2009 hingga 2013 sebagai pembaharuan data dari penelitian Effendi dan Asmara (2014). Kerangka Pemikiran Indonesia mengalami kenaikan jumlah penduduk yang signifikan dari tahun ke tahun. BPS (2012) mencatat kepadatan penduduk Indonesia pada tahun 2013 adalah 130 orang/km2, meningkat enam kali lipat dari tahun 2010. Selain itu, CIA Amerika (2014) menyatakan populasi Indonesia berada pada peringkat ke-5 dari 240 negara di dunia dengan jumlah populasi sebanyak 253 609 643 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk tersebut akan berbanding lurus dengan peningkatan permintaan pangan seperti beras, kedelai, dan jagung. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia periode 2014-2019 telah menargetkan akan mewujudkan swasembada pangan paling lambat empat tahun ke depan. Ironisnya, luas penggunaan lahan di Indonesia terbukti mengalami penurunan secara konsisten sepanjang tahun. BPS (2014) mencatat pada tahun 2013, luas lahan pertanian di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.28 persen atau 112 046 hektar jika dibandingkan dengan tahun 2012. Berdasarkan Statistik Luas Lahan Pertanian tersebut, perwujudan program swasembada pangan dalam tempo lima tahun tentu akan diragukan mengingat lahan merupakan salah satu input penting dalam pertanian. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis perkembangan luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun 2009 hingga tahun 2013 serta faktor-faktor yang memengaruhinya. Selanjutnya penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk menetapkan strategi dan kebijakan yang dapat dilakukan Pemerintah Indonesia terutama Kementerian Pertanian. Kerangka pemikiran digambarkan sebagai berikut:
11
Peningkatan Jumlah Penduduk Indonesia Peningkatan Permintaan Lahan untuk Kegiatan Perekonomian Konversi Lahan Pertanian ke Lahan Non Pertanian Penurunan Luas Lahan Pertanian di Indonesia Perkembangan luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun 2009 hingga tahun 2013
Faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia
Rekomendasi Strategi dan Kebijakan Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Kepadatan penduduk diduga berpengaruh negatif terhadap luas lahan pertanian. 2. Panjang jalan diduga berpengaruh negatif terhadap luas lahan pertanian. 3. Persentase penduduk miskin diduga berpengaruh negatif terhadap luas lahan pertanian. 4. Produk Domestik Regional Bruto Lapangan Usaha Pertanian diduga berpengaruh positif terhadap luas lahan pertanian. 5. Produk Domestik Regional Bruto Lapangan Usaha Non Pertanian diduga berpengaruh negatif terhadap luas lahan pertanian. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersifat kuantitatif. Data diperoleh dari beberapa sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS) serta Kementerian Pertanian. Bentuk data yang digunakan berupa data panel, yaitu penggabungan data time series dan data cross section. Data time series merupakan data tahunan yang diambil dari tahun 2009 sampai 2013. Data cross section diambil dari 33 provinsi di Indonesia. Data yang diperlukan dalam pemodelan antara lain: luas lahan pertanian, kepadatan penduduk, panjang jalan, persentase penduduk miskin, PDRB lapangan usaha pertanian, serta PDRB lapangan usaha non pertanian.
12
Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian terdiri dari analisis deskriptif dan analisis regresi data panel statis. Analisis deskriptif yang digunakan untuk memberikan gambaran perkembangan luas lahan pertanian di 33 provinsi di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2013. Analisis regresi data panel statis digunakan untuk menjawab tujuan penelitian faktor-faktor apa saja yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Excel 2010 dan Eviews 6. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan analisis statistik yang menggambarkan atau mendeskripsikan data menjadi informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami, dengan bantuan tabel dan grafik yang berhubungan dengan penelitian. Analisis deskriptif yang disajikan dalam penelitian ini merupakan gambaran perkembangan luas lahan pertanian di 33 provinsi di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2013. Analisis Regresi Data Panel Statis Data panel merupakan kombinasi dari data deret waktu dan kerat lintang; hasil observasi terhadap sekumpulan obyek pada sepanjang kurun waktu tertentu (Firdaus 2011). Pendekatan data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dari pendekatan kerat lintang maupun pendekatan deret waktu. Kombinasi data tersebut memberikan hasil estimasi yang lebih efisien karena jumlah observasi lebih banyak. Beberapa keuntungan penggunaan data panel menurut Baltagi (2005) antara lain: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Metode ini dalam mengestimasi dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. 2. Memberikan data yang lebih informatif dan beragam, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan derajat bebas, dan lebih efisien. 3. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat dideteksi dalam data kerat lintang atau data deret waktu. Dalam pendekatan data panel, terdapat tiga pendekatan metode antara lain: metode Pooled Least Square (PLS), Fixed Effects Model (FEM), dan Random Effects Model (REM). Metode Pemilihan Model 1. Uji Chow (Chow Test) Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah Fixed Effects Model (FEM) lebih baik jika dibandingkan dengan Pooled Least Square (PLS). Hipotesis dalam pengujian ini yaitu: : model Pooled Least Square (PLS) : Fixed Effects Model (FEM) Jika nilai statistik F lebih besar dari nilai F tabel pada signifikansi tertentu, maka hipotesis nol ( ) akan ditolak sehingga teknik regresi data panel yang dipilih adalah FEM. 2. Uji Hausman Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah model FEM lebih baik daripada Random Effects Model (REM). Hipotesis dalam pengujian ini yaitu:
13
: Random Effects Model (REM) : Fixed Effects Model (FEM) Hipotesis nol ( ) ditolak jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square. Hal ini berarti model yang tepat untuk regresi data panel adalah FEM. Uji Kesesuaian Model 1. Kriteria Statistik a. Uji-t Uji-t adalah statistik uji yang digunakan untuk menunjukkan besarnya pengaruh masing-masing variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen. Hipotesis yang digunakan dalam dalam uji-t yaitu: : =0 : ≠0 Jika t-statistik > t-tabel maka tolak . Hal ini berarti variabel dependen berpengaruh nyata terhadap variabel independen dan bila tstatistik < t-tabel maka terima . Hal ini berarti variabel dependen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel independennya. b. Uji Koefisien Determinasi ( ) Koefisien determinasi ( ) merupakan angka yang memberikan persentase variasi total dalam variabel tak bebas (Y) yang dijelaskan oleh variabel bebas (X). Koefisien determinasi ( ) digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabel independen dapat menerangkan variabel dependen. Nilai berkisar antara 0 hingga 1. Nilai mendekati 0 berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel tak bebas sangat terbatas, sedangkan nilai mendekati 1 berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel tak bebas tidak terbatas dan model tersebut dikatakan semakin baik. 2. Kriteria Ekonometrika a. Uji Heteroskedastisitas Masalah heteroskedastisitas muncul jika ragam sisaan tidak sama atau var( )=E( )= untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Menurut Juanda (2009), akibat dari heteroskedastisitas adalah: 1. Dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias dan masih konsisten, namun standar errornya bias ke bawah. 2. Penduga OLS tidak efisien lagi. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, metode kuadrat terkecil terboboti (Weighted Least Squares atau WLS) dapat digunakan jika ragam sisaan atau var( )= diketahui. Jika ragam sisaan tidak diketahui, maka model dapat diboboti dengan ragam yang terbesar. b. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas berarti terdapat hubungan linier sempurna antar peubah bebas dalam suatu model regresi. Akibat dari multikolinearitas tinggi adalah interpretasi menjadi sulit meskipun koefisien masih dapat diduga. Sementara akibat dari multikolinearitas sempurna adalah koefisien
14
tidak dapat diduga dan diinterpretasikan. Beberapa cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas antara lain (Juanda 2009): 1. Uji koefisien korelasi sederhana antara peubah dalam model. 2. Melihat nilai koefisien korelasi sederhana antar peubah bebas dalam model regresi ganda dengan minimal tiga peubah bebas. Jika ada nilai koefisien sangat tinggi dan nyata, maka terjadi multikolinearitas. 3. Perhitungan akar ciri matriks (X’X). Aturan praktis yang biasa digunakan untuk menandakan adanya multikolinearitas adalah jika K≥30 atau K≥(VIFmax)0.5. Salah satu cara untuk mengatasi multikolinearitas adalah dengan menggabungkan data kerat lintang dengan data deret waktu. c. Uji Autokorelasi Autokorelasi muncul jika antar sisaan tidak bebas atau E(εi,εj) 0 untuk i j. Masalah autokorelasi sering terjadi dalam data deret waktu, tetapi dapat juga terjadi dalam data kerat lintang. Akibat dari autokorelasi adalah dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS masih tetap tidak bias, konsisten, tidak efisien lagi, serta mempunyai standar error lebih kecil dari nilai yang sebenarnya. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah uji Durbin-Watson. Menurut Juanda (2009), beberapa cara untuk mengatasi autokorelasi adalah: 1. Menggunakan generalized differencing jika struktur autokorelasi diketahui. 2. Menerapkan prosedur Cochrane-Orcutt. 3. Menerapkan prosedur Hildreth-Lu. Perumusan Model Penelitian Model yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Effendi dan Asmara (2014) dengan melakukan beberapa modifikasi pada variabel. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu LUAS dan variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu KPDTN, PNJG, MSKN, PDRBP, dan PDRBNP. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di 33 provinsi di Indonesia. Analisis tersebut menggunakan model dalam persamaan ini, yaitu: LNLUASit = ɑ0 + ɑ1LNKPDTNit + ɑ2LNPNJGit + ɑ3MSKNit + ɑ4LNPDRBPit + ɑ5LNPDRBNPit + εit Keterangan: LUASit =Luas lahan pertanian (sawah irigasi, sawah non irigasi, tegal/kebun, ladang/huma, serta lahan yang sementara tidak diusahakan) di 33 provinsi tahun ke t (ha) KPDTNit = Kepadatan penduduk di 33 provinsi tahun ke t (orang/km2) PNJGit = Panjang jalan menurut tingkat kewenangan pemerintahan di 33 provinsi tahun ke t (km) MSKNit = Persentase penduduk miskin di 33 provinsi tahun ke t PDRBPit = PDRB lapangan usaha pertanian berdasarkan harga konstan 2000 di 33 provinsi tahun ke t (miliar rupiah) PDRBNPit = PDRB lapangan usaha non pertanian (pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas, dan air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel, dan restoran; pengangkutan dan
15
komunikasi; keuangan, real estat, dan jasa perusahaan; serta jasajasa) berdasarkan harga konstan 2000 di 33 provinsi tahun ke t (miliar rupiah) = intercept = parameter untuk setiap variabel tahun ke t = logaritma natural = error/simpangan
ɑ0 ɑ1-ɑ5 LN εit
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Luas Lahan Pertanian di Indonesia Perkembangan luas lahan pertanian di Indonesia dapat dilihat berdasarkan rata-rata tahunan pertumbuhan luas lahan tersebut dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Kepulauan Maluku (1.11 persen), Kepulauan Nusa Tenggara (0.82 persen), serta Pulau Papua (0.13 persen) merupakan pulau yang mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun selama periode 2009-2013. Sebaliknya, pulau-pulau sisanya justru mengalami penurunan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun. Pulau-pulau tersebut antara lain Pulau Sulawesi (-1.83 persen), Pulau Sumatera (-1.71 persen), Pulau Jawa (-0.14 persen), dan Pulau Kalimantan (-0.03 persen). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3. (%) 1.50 1.00 0.50 0.00 -0.50 -1.00 -1.50 -2.00
Pulau
Sumber: BPS 2014 (diolah)
Gambar 3 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Indonesia (%) Periode Tahun 2009-2013 Provinsi yang mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di Pulau Sumatera adalah Provinsi Sumatera Utara, yaitu sebesar 0.36 persen. Menurut Lusyantini, Kasubag Program Dinas Pertanian Sumatera Utara, sekitar 70 persen dari luas lahan pertanian Sumatera Utara didominasi oleh lahan pertanian bukan sawah (medan.tribunnews.com 2012). Sementara itu, provinsi yang mengalami penurunan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di Pulau Sumatera adalah Provinsi Kep. Riau (-5.60
16
persen), disusul dengan Provinsi Riau (-2.41 persen) dan Provinsi Sumatera Selatan (-2.26 persen). Salah satu faktor rendahnya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di Provinsi Kep. Riau adalah penetapan daerah Batam, Bintan, dan Karimun di provinsi ini khusus sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (penataanruang.pu.go.id 2009). Penetapan tersebut menandakan bahwa lahan di provinsi ini diutamakan untuk penggunaan sektor-sektor non pertanian. Akibatnya adalah rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di Provinsi Kep. Riau menjadi rata-rata pertumbuhan paling rendah diantara provinsi-provinsi lain di Pulau Sumatera. (%) 1.00 0.00 -1.00 -2.00 -3.00 -4.00 -5.00 -6.00
Provinsi
Sumber: BPS 2014 (diolah)
Gambar 4 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Sumatera (%) Periode 2009-2013 Provinsi DI Yogyakarta mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi di Pulau Jawa, yaitu sebesar 0.46 persen. Salah satu faktor penyebab peningkatan tersebut adalah adanya upaya perlindungan pertanian pangan berkelanjutan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DIY sejak tahun 2006. Upaya tersebut berupa pemberian fasilitasi bantuan sertifikasi lahan pertanian produktif dan pemberian insentif bagi petani lahan sawah (berupa pupuk majemuk dan pupuk organik) disertai dengan kesepakatan tidak akan mengalihfungsikan ke non pertanian selama tiga tahun (tataruangindonesia.com 2012). Sebaliknya, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah terjadi di Provinsi DKI Jakarta (-2.91 persen). Provinsi dengan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian paling rendah lainnya adalah Provinsi Banten (-0.71 persen). Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, lahan pertanian produktif di provinsi ini sebagian besar telah dikonversi menjadi kawasan industri (pertanian.go.id 2014).
17
(%) 1.00 0.50 0.00 -0.50 -1.00 -1.50 -2.00 -2.50 -3.00 -3.50
Provinsi
Sumber: BPS 2014 (diolah)
Gambar 5 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Jawa (%) Periode 2009-2013 Pada Kepulauan Nusa Tenggara, peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu sebesar 1.32 persen. Menurut Tunggul Imam Panudju, Direktur Perluasan dan Pengolahan Lahan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Provinsi Nusa Tenggara Barat telah sukses mencetak lahan sawah baru sebanyak 4 700 hektar pada tahun 2012 (bisnis.tempo.co 2013). Pencetakan lahan sawah baru tersebut merupakan salah satu faktor peningkat rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di provinsi ini. Selain pencetakan lahan sawah baru, Provinsi Nusa Tenggara Barat juga memiliki program NTB Bumi Sejuta Sapi pada periode 2009-2013. Program ini menggunakan pola padang penggembalaan atau sistem pertanian lar/so yang terpusat di Pulau Sumbawa (ntbprov.go.id 2014). Program ini juga mendorong peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah di Kepulauan Nusa Tenggara adalah Provinsi Bali (-1.15 persen). Hal ini dikarenakan konversi lahan pertanian ke lahan pemukiman dan sarana akomodasi wisata seperti vila (bali.bisnis.com 2014). (%) 1.50 1.00 0.50 0.00 -0.50 -1.00 -1.50
Provinsi
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Sumber: BPS 2014 (diolah)
Gambar 6 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Kepulauan Nusa Tenggara (%) Periode 2009-2013
18
Rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi di Pulau Kalimantan berdasarkan Gambar 7 adalah Provinsi Kalimantan Tengah (9.27 persen). Salah satu faktor pemicu meningkatnya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di provinsi ini adalah Program Mamangun dan Mahaga Lewu (PM2L) periode 2008-2013. Program ini bertujuan untuk mengembangkan desadesa tertinggal dengan berorientasi pada sektor agrobisnis (merdeka.com 2008). Program revitalisasi pertanian ini mencakup optimalisasi lahan pertanian dengan menggarap kembali potensi lahan tidur menjadi areal pertanian tanaman pangan. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah di Pulau Kalimantan adalah Provinsi Kalimantan Timur (-6.95 persen). Hal tersebut dikarenakan terjadi konversi lahan ke lahan pemukiman dan tambang batu bara (kaltimpost.co.id 2015). (%) 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 -2.00 -4.00 -6.00 -8.00
Provinsi
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sumber: BPS 2014 (diolah)
Gambar 7 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Kalimantan (%) Periode 2009-2013 Provinsi Sulawesi Barat (6.07 persen) merupakan provinsi dengan ratarata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi di Pulau Sulawesi. Salah satu faktor peningkat rata-rata pertumbuhan tersebut adalah keberhasilan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dalam membuka lahan sawah baru pada lahan kering yang selama ini tidak produktif, seluas 3 050 hektar di Kabupaten Mamuju selama tahun 2012 (seputarsulawesi.com 2012). Sebaliknya, rata-rata pertumbuhan luas lahan di Pulau Sulawesi yang mengalami penurunan adalah Provinsi Sulawesi Tengah (-9.32 persen) dan Provinsi Sulawesi Utara (-1.21 persen). Rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di Sulawesi Tengah mengalami penurunan cukup tajam diakibatkan konversi lahan pertanian ke lahan perumahan dan industri (antarasulteng.com 2015).
19
(%) 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 -2.00 -4.00 -6.00 -8.00 -10.00 -12.00
Provinsi
Sulawesi Sulawesi Sulawesi Sulawesi Gorontalo Sulawesi Utara Tengah Selatan Tenggara Barat
Sumber: BPS 2014 (diolah)
Gambar 8 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Sulawesi (%) Periode 2009-2013 Rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi di Kepulauan Maluku adalah Provinsi Maluku Utara, yaitu sebesar 7.57 persen (Gambar 9). Salah satu faktor tingginya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di provinsi ini adalah keberhasilan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) pada tahun 2008-2009. Keberhasilan tersebut membuat Gapoktan PUAP perwakilan Provinsi Maluku Utara berhasil mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 (malut.litbang.pertanian.go.id 2009). PUAP merupakan program yang bertujuan untuk memberikan kepastian akses pembiayaan kepada petani anggota Gapoktan. Mudahnya pembiayaan tersebut merupakan salah satu insentif bagi petani agar tidak melakukan konversi pada lahan pertaniannya sendiri guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian paling rendah di Pulau Papua adalah Provinsi Papua Barat (-1.32 persen). Salah satu faktor rendahnya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di Provinsi Papua Barat adalah terjadinya konversi lahan pertanian ke lahan perumahan maupun tempat usaha (cahayapapua.com 2015). (%) 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 -1.00 -2.00
Provinsi Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Sumber: BPS 2014 (diolah)
Gambar 9 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Kepulauan Maluku dan Pulau Papua (%) Periode 2009-2013
20
Secara keseluruhan, terdapat 18 provinsi di Indonesia yang mengalami penurunan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun selama periode 2009-2013. Sisanya, 15 provinsi di Indonesia, mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun. Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia Tabel 3 menunjukkan hasil estimasi model faktor-faktor yang berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Model terbaik diperoleh pada pengolahan data panel fixed effect model dengan melakukan pembobotan cross section. Tabel 3 Hasil estimasi variabel yang berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia periode 2009-2013 Variabel Koefisien Std. Error t-statistik Probabilitas LNKPDTN -0.0127 0.0171 -0.7399 0.4607 LNPNJG -0.3545*** 0.0330 -10.7349 0.0000 PRSNMSKN -0.0004 0.0011 -0.4254 0.6712 LNPDRBP 0.0929** 0.0371 2.5001 0.0137 LNPDRBNP -0.0469*** 0.0138 -3.3913 0.0009 C 16.6127 0.3743 44.3806 0.0000 Weighted Statistics R-squared 0.9994 Sum squared resid 0.5696 Prob(F-statistik) 0.0000 Durbin-Watson stat 1.7995 Unweighted Statistics R-squared 0.9979 Durbin-Watson stat 1.2917 Sum squared resid 0.6253 Keterangan: ***signifikan pada taraf nyata 1%; **signifikan pada taraf nyata 5%
Model yang digunakan dalam luas lahan pertanian di Indonesia adalah sebagai berikut: LNLUASit =16.6127 – 0.0127LNKPDTNit – 0.3545LNPNJGit – 0.0004MSKNit + 0.0929LNPDRBPit – 0.0469LNPDRBNPit + εit Berdasarkan Tabel 3, variabel yang berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia yaitu panjang jalan, PDRB lapangan usaha pertanian, serta PDRB lapangan usaha non pertanian. Sedangkan kepadatan penduduk dan persentase penduduk miskin dari hasil estimasi menunjukkan tidak berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia (nilai probabilitasnya lebih dari taraf nyata 5 persen). Nilai probabilitas F-statistik sebesar 0.0000, kurang dari taraf nyata 5 persen artinya variabel-variabel yang digunakan pada model berpengaruh nyata terhadap luas lahan pertanian di Indonesia dengan asumsi ceteris paribus. Nilai Rsquared yang diperoleh pada model adalah 0.9994, menunjukkan bahwa secara keseluruhan model dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang didalam model sebesar 99.94 persen, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Nilai R-squared yang tinggi dan hampir mendekati 100 persen
21
menunjukkan bahwa secara keseluruhan model tersebut adalah model yang layak digunakan. Selain nilai R-squared yang besar, model yang layak untuk digunakan juga harus memenuhi syarat uji asumsi klasik agar model yang diperoleh bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Salah satu uji asumsi klasik adalah uji multikolinearitas. Hasil estimasi menunjukkan nilai matriks korelasi antar variabel masih lebih kecil daripada nilai R-squared (0.9994). Artinya, model telah terbebas dari masalah multikolinearitas. Uji asumsi klasik lainnya adalah uji autokorelasi menggunakan nilai Durbin-Watson. Nilai tersebut mengindikasikan tidak terdapat pelanggaran autokorelasi pada model apabila dU
22
perkembangan infrastruktur agar memperlancar proses produksi. Dampaknya adalah semakin banyak penambahan panjang jalan guna memenuhi kebutuhan sektor industri yang memiliki mobilitas tinggi. Konsekuensi dari penambahan panjang jalan tersebut adalah pengurangan luas lahan pertanian, terutama lahan pertanian yang berada di daerah strategis dekat dengan akses ke luar kota. Hasil estimasi juga sejalan dengan penelitian Effendi dan Asmara (2014) yang menyatakan variabel panjang jalan berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang negatif terhadap luas lahan sawah di Koridor Ekonomi Jawa. Effendi dan Asmara mempertegas hasil penelitian mereka dengan mengutip dari Mawardi (2006), yang mengungkapkan bahwa pembangunan infrastruktur di sektor perhubungan seperti jalan akan menjadi salah satu faktor penyebab yang mendorong penyempitan lahan pertanian. Variabel PDRB lapangan usaha pertanian menunjukkan secara signifikan berpengaruh positif terhadap luas lahan pertanian di Indonesia. Artinya, peningkatan PDRB lapangan usaha pertanian akan memberikan dampak pada meningkatnya luas lahan pertanian di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian. Hasil estimasi menunjukkan bahwa apabila PDRB lapangan usaha pertanian meningkat sebesar 1 persen maka luas lahan pertanian di Indonesia akan meningkat sebesar 0.0929 persen dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini sejalan dengan penelitian Nuryati (1995) yang melakukan analisis dampak konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di Jawa Barat. Nuryati menggunakan analisis tabulasi guna melihat dampak konversi tersebut terhadap PDRB subsektor tanaman pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah dapat menyebabkan penurunan sumbangan sektor pertanian dalam PDRB. Hal ini dikarenakan penurunan luas lahan pertanian akan berdampak pada penurunan produksi sehingga kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB juga menurun. Dengan demikian, terdapat hubungan positif antara PDRB sektor pertanian dengan luas lahan pertanian. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa variabel PDRB lapangan usaha non pertanian memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap luas lahan pertanian di Indonesia. Artinya, apabila PDRB lapangan usaha non pertanian meningkat sebesar 1 persen maka luas lahan pertanian di Indonesia akan menurun sebesar 0.0469 persen dengan asumsi ceteris paribus. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian. Hasil estimasi sesuai dengan teori perubahan struktural. Peningkatan perkembangan sektor industri akan membutuhkan lahan yang tidak sedikit guna menunjang aktivitasnya. Seringkali, lahan yang digunakan untuk aktivitas sektorsektor selain sektor pertanian merupakan lahan pertanian produktif. Akibatnya, luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berkurang. Hasil estimasi juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Effendi dan Asmara (2014). Effendi dan Asmara menggunakan variabel jumlah industri besar dan sedang, yang ternyata berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan negatif terhadap luas lahan sawah di Koridor Ekonomi Jawa. Untuk mempertegas hasil penelitiannya, Effendi dan Asmara mengutip dari Mawardi (2006), yang juga menyebutkan bahwa perkembangan pesat sektor industri menyebabkan lahan pertanian mengalami tekanan berat. Pertumbuhan kesejahteraan sebagai hasil pembangunan telah mengambil cukup banyak lahan. Penelitian yang dilakukan Mustopa (2011) juga menunjukkan bahwa penambahan sektor industri di
23
Kabupaten Demak memiliki pengaruh positif terhadap penambahan konversi lahan pertanian. Artinya, semakin banyak sektor industri maka semakin berkurang luas lahan pertanian di Kabupaten Demak. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Provinsi-provinsi yang memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi antara lain Provinsi Kalimantan Tengah (9.27 persen), Provinsi Maluku Utara (7.57 persen), dan Provinsi Sulawesi Barat (6.07 persen). Sebaliknya, provinsi-provinsi yang memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah antara lain Provinsi Sulawesi Tengah (-9.32 persen), Provinsi Kalimantan Timur (-6.95 persen), serta Provinsi Kep. Riau (-5.60 persen). Jika dilihat secara keseluruhan berdasarkan pulau, maka Pulau Sulawesi (-1.83 persen) adalah pulau dengan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya. 2. Faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia adalah panjang jalan, PDRB lapangan usaha pertanian, dan PDRB lapangan usaha non pertanian. Penambahan panjang jalan dan peningkatan PDRB lapangan usaha non pertanian akan menurunkan luas lahan pertanian di Indonesia. Sebaliknya, peningkatan PDRB lapangan usaha pertanian akan meningkatkan luas lahan. Sementara itu, kepadatan penduduk dan persentase penduduk miskin tidak berpengaruh signifikan terhadap luas lahan pertanian di Indonesia. Saran Atas kesimpulan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka saran yang dapat diberikan adalah: 1. Pemerintah sebaiknya bekerjasama dengan petani dalam upaya untuk meningkatkan PDRB lapangan usaha pertanian. Kerjasama tersebut dapat berbentuk pemberian insentif (seperti pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)) bagi petani untuk meningkatkan output pertaniannya. Petani diharapkan dapat berinisiatif mempertahankan atau bahkan memperluas lahan pertaniannya dengan peningkatan output pertanian tersebut. 2. Peningkatan PDRB lapangan usaha non pertanian adalah hal yang bagus meskipun berdampak pada konversi lahan pertanian di berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penurunan luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun 2009 hingga tahun 2013 disebabkan oleh konversi lahan pertanian. Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dengan demikian, pemerintah sebaiknya meningkatkan sosialisasi dan pengawasan penerapan undang-undang tersebut. Selain itu, pemerintah sebaiknya menegaskan pemberian sanksi terhadap pelaku
24
konversi lahan pertanian. Hal tersebut dilakukan agar kegiatan lapangan usaha non pertanian tidak berdampak pada penurunan luas lahan pertanian. 3. Penelitian ini memiliki keterbatasan pada data luas konversi lahan pertanian sehingga data yang digunakan menjadi data luas lahan pertanian. Hal ini dikarenakan lembaga-lembaga pemerintahan tidak mengeluarkan lagi data luas konversi lahan pertanian se-Indonesia sejak tahun 2002. Oleh sebab itu untuk mempermudah penelitian selanjutnya, sebaiknya penelitian selanjutnya lebih spesifik berdasarkan karakteristik masing-masing wilayah. Penelitian selanjutnya dapat menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konversi lahan pertanian di provinsi tertentu dengan data tahun yang diperbanyak.
25
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Rp15 Miliar untuk Pemberdayaan Pertanian Desa Tertinggal Kalteng. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://www.merdeka.com/ekonomi/nasional/rp15-miliar-untukpemberdayaan-pertanian-desa-tertinggal-kalteng-2b6g68b.html. Anonim. 2009. Batam, Bintan, Karimun Menuju Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas “Free Trade Zone”. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart=159. Anonim. 2012. Mamuju Cetak Sawah Baru 3.050 Hektare. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://seputarsulawesi.com/news-14588mamuju-cetak-sawah-baru-3050-hektare.html. Anonim. 2014. Peternakan. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://www.ntbprov.go.id/hal-peternakan.html. Anonim. 2015. Save Pertanian di Kalimantan Timur. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/128190save-pertanian-di-kalimantan-timur.html. Arifin B. 2013. Ekonomi Pembangunan Pedesaan. Bogor (ID): IPB Press. Azadi H, P Ho, L Hasfiati. 2010. Agricultural land conversion drivers: a comparison between less developed, developing, and developed countries. Land Degrad & Develop. 22(6):596-604.doi:10.1002/ldr.1037. Bala ZT. 2015. Banyak Lahan Pertanian di Manokwari Beralih Fungsi. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://www.cahayapapua.com/banyak-lahan-pertanian-di-manokwariberalih-fungsi/. Baltagi BH. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data. Third Edition. New York (US): Mc GrawHill. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Analisis Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013. Jakarta (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Sensus Pertanian 2013. [Internet]. [diunduh September 2014]. Tersedia pada: http://st2013.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistik. [diunduh September 2014 – Maret 2015]. Tersedia pada: http://bps.go.id. [CIA] Central Intelligence Agency. 2014. Country Comparison: Population. [Internet]. [diunduh November 2014]. Tersedia pada: https://www.cia.gov/. Daryanto A, Napitupulu M, Tambunan M, Oktaviani R. 2011. Dampak infrastruktur jalan terhadap perekonomian Pulau Jawa-Bali dan Sumatera. J Jal Jemb. 28(1):60-75. [DIPERTA Lampung] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Lampung. 1992. Perubahan penggunaan lahan sawah dan lahan kering menjadi lahan bukan untuk pertanian di Provinsi Daerah Tingkat I Lampung. Di dalam: Utomo M, Rifai E, Thahar A, editor. Pembangunan dan Pengendalian Konversi lahan; 1991 Okt 5; Lampung, Indonesia. Lampung (ID): Univ Lampung. hlm 9-12.
26
Effendi PML, Alla A. 2014. Dampak pembangunan infrastruktur jalan dan variabel ekonomi lain terhadap luas lahan sawah di koridor ekonomi Jawa. JAI. 2(1):21-32. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Press. Ilham N, Yusman S, Supena F. 2005. Perkembangan dan faktor-faktor yang memengaruhi konversi lahan sawah serta dampak ekonominya. SOCA. 5(2): 1-25. Irawan B. 2005. Konversi lahan sawah: potensi dampak, pola pemanfaatannya, dan faktor determinan. FPAE. 23(1):1-18. Irawan B. 2008. Meningkatkan efektifitas kebijakan konversi lahan. FPAE. 26(2):116-131. Jaramaya R. 2014. Pemerintah Jokowi Percepat Program Swasembada Pangan. [Internet]. [diunduh November 2014]. Tersedia pada: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/14/11/17/nf6aujpemerintah-jokowi-percepat-program-swasembada-pangan. Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Press. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2014. Lahan Pertanian, Setiap Tahun 273 Ha di Banten Menghilang. [Internet]. [diunduh April 2015]. Tersedia pada: http://www.pertanian.go.id/ap_posts. Kristianto F. 2014. Konversi lahan: Areal Pertanian Berkurang 400 Ha Per Tahun. [Internet]. [diunduh April 2015]. Tersedia pada: http://bali.bisnis.com/read/20140629/16/45799/alih-fungsi-lahan-arealpertanian-berkurang-400-ha-per-tahun. Li J, Xiangzheng D, Karen CS. 2013. The impact of urban expansion on agricultural land use intensity in China. Land Use Pol. 35:3339.doi:10.1016/j.landusepol.2013.04.011. Manuwoto. 1992. Sinkronisasi kebijaksanaan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, suatu upaya pencegahan konversi lahan. Di dalam: Utomo M, Rifai E, Thahar A, editor. Pembangunan dan Pengendalian Konversi lahan; 1991 Okt 5; Lampung, Indonesia. Lampung (ID): Univ Lampung. hlm 29-37. Mawardi I. 2006. Kajian pembentukan kelembagaan untuk pengendalian konversi dan pengembangan lahan, peran dan fungsinya. J Tek Ling. 7(2):206-211. Mulyadi. 2012. Kaledoiskop Pertanian di Indonesia. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://www.tataruangindonesia.com/fullpost/pertanian/1329142993/kaleid oskop-pertanian-di-indonesia.html. Mustopa Z. 2011. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kabupaten Demak. [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Nadjemuddin A. 2015. Pansus Segera Bahas Raperda Perlindungan Lahan Pertanian. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://www.antarasulteng.com/berita/17844/pansus-segera-bahas-raperdaperlindungan-lahan-pertanian.
27
Nuryati, L. 1995. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah (studi kasus Propinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Priyarsono DS, Sahara, Firdaus M. 2007. Ekonomi Regional. Jakarta (ID): Univ Terbuka. [Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. 2014. Statistik Lahan Pertanian. Jakarta (ID): Pusdatin Kementerian Pertanian. Rosalina. 2013. Target Cetak Sawah Baru Diturunkan. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://bisnis.tempo.co/read/news/2013/01/07/090452664/Target-CetakSawah-Baru-Diturunkan. Ruswandi A, Ernan R, Kooswardhono M. 2007. Dampak konversi lahan pertanian terhadap kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah: studi kasus di daerah Bandung Utara. J Agro Eko. 25(2):207-219. Saleh Y, Syahbuddin H, Umanailo R. 2009. Gapoktan PUAP Berprestasi Maluku Utara: Debutan Baru Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Pilar Pembangunan Ekonomi Pertanian Perdesaan. [Internet]. [diunduh pada Mei 2015]. Tersedia pada: http://malut.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_content&vi ew=article&id=49:gapoktan-puap-berprestasi-maluku-utara&catid=21:puap&Itemid=24. Silalahi, IA. 2012. Luas Sawah di Sumut Semakin Sempit. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://medan.tribunnews.com/2012/04/02/luassawah-di-sumut-semakin-sempit. Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta (ID): Rajagrafindo Persada. Todaro MP, Stephen CS. 2006. Pembangunan Ekonomi. Munandar H, penerjemah; Barnadi B, Suryadi S, Wibi H, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development. Ed ke-9. Utomo M. 1992. Konversi lahan: tinjauan analitis. Di dalam: Utomo M, Rifai E, Thahar A, editor. Pembangunan dan Pengendalian Konversi lahan; 1991 Okt 5; Lampung, Indonesia. Lampung (ID): Universitas Lampung. hlm 38.
28
LAMPIRAN Lampiran 1 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun (%) di Indonesia Periode 2009-2013 Provinsi Rata-rata Pertumbuhan (%) Pulau Sumatera Aceh -1.82 Sumatera Utara 0.36 Sumatera Barat -1.97 Riau -2.41 Jambi -1.12 Sumatera Selatan -2.26 Bengkulu 0.07 Lampung -1.40 Kep. Bangka Belitung -0.39 Kep. Riau -5.60 Pulau Jawa DKI Jakarta -2.91 Jawa Barat -0.54 Jawa Tengah 0.16 DI Yogyakarta 0.46 Jawa Timur 0.13 Banten -0.71 Kepulauan Nusa Tenggara Bali -1.15 Nusa Tenggara Barat 1.32 Nusa Tenggara Timur 0.90 Pulau Kalimantan Kalimantan Barat -1.24 Kalimantan Tengah 9.27 Kalimantan Selatan -2.72 Kalimantan Timur -6.95 Pulau Sulawesi Sulawesi Utara -1.21 Sulawesi Tengah -9.32 Sulawesi Selatan 0.60 Sulawesi Tenggara 3.75 Gorontalo 0.66 Sulawesi Barat 6.07 Kepulauan Maluku & Pulau Papua Maluku 0.06 Maluku Utara 7.57 Papua Barat -1.32 Papua 1.16 Sumber: Statistik Lahan Pertanian 2014 (diolah)
29
Lampiran 2 Hasil Estimasi Fixed Effect Model dengan Pembobotan Cross-Section Dependent Variable: LNLUAS Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/10/15 Time: 10:59 Sample: 2009 2013 Periods included: 5 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 165 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNKPDTN LNPNJG PRSNMSKN LNPDRBP LNPDRBNP C
-0.012674 -0.354466 -0.000449 0.092874 -0.046906 16.61272
0.017130 0.033020 0.001056 0.037148 0.013831 0.374324
-0.739869 -10.73486 -0.425422 2.500083 -3.391337 44.38058
0.4607 0.0000 0.6712 0.0137 0.0009 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999413 0.999242 0.066971 5845.185 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
31.78156 24.76895 0.569610 1.799519
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.997851 0.625328
Mean dependent var Durbin-Watson stat
13.54055 1.291694
Lampiran 3 Hasil Uji Normalitas 14
Series: Standardized Residuals Sample 2009 2013 Observations 165
12 10 8 6 4 2 0 -0.10
-0.05
-0.00
0.05
0.10
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.63e-17 -0.005294 0.122089 -0.126142 0.058934 0.053930 2.208953
Jarque-Bera Probability
4.382052 0.111802
30
Lampiran 4 Hasil Uji Multikolinearitas LNLUAS LNKPDTN LNPNJG PRSNMSKN LNPDRBP LNPDRBNP
LNLUAS 1.000000 -0.618621 0.579414 0.409559 0.631711 -0.075174
LNKPDTN LNPNJG PRSNMSKN -0.618621 0.579414 0.409559 1.000000 -0.002499 -0.388810 -0.002499 1.000000 0.062732 -0.388810 0.062732 1.000000 0.106311 0.826723 -0.087619 0.601798 0.529615 -0.365223
LNPDRBP LNPDRBNP 0.631711 -0.075174 0.106311 0.601798 0.826723 0.529615 -0.087619 -0.365223 1.000000 0.549863 0.549863 1.000000
Lampiran 5 Hasil Uji Hausman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: RANDOM Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
77.444425
5
0.0000
Random
Var(Diff.)
Prob.
-0.413940 -0.013105 0.013202 0.774348 -0.118390
0.006461 0.012898 0.000010 0.018201 0.004497
0.0000 0.0064 0.0003 0.0000 0.0321
Test Summary Cross-section random
Cross-section random effects test comparisons: Variable LNKPDTN LNPNJG PRSNMSKN LNPDRBP LNPDRBNP
Fixed 0.015329 -0.322490 0.001450 -0.060049 0.025297
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LNLUAS Method: Panel Least Squares Date: 05/10/15 Time: 18:25 Sample: 2009 2013 Periods included: 5 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 165 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNKPDTN LNPNJG PRSNMSKN LNPDRBP LNPDRBNP
16.74483 0.015329 -0.322490 0.001450 -0.060049 0.025297
1.521465 0.092911 0.172503 0.005155 0.158563 0.089726
11.00573 0.164983 -1.869476 0.281317 -0.378709 0.281935
0.0000 0.8692 0.0639 0.7789 0.7055 0.7785
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
0.997873 0.997253 0.069810
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion
13.54055 1.332054 -2.287243
31
Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.618919 226.6975 1610.389 0.000000
Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-1.571934 -1.996874 1.290048
Lampiran 6 Hasil Estimasi Random Effect Model Dependent Variable: LNLUAS Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 05/10/15 Time: 18:25 Sample: 2009 2013 Periods included: 5 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 165 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNKPDTN LNPNJG PRSNMSKN LNPDRBP LNPDRBNP C
-0.413940 -0.013105 0.013202 0.774348 -0.118390 9.986492
0.046603 0.129841 0.004034 0.083313 0.059612 0.859109
-8.882261 -0.100933 3.272755 9.294500 -1.986013 11.62425
0.0000 0.9197 0.0013 0.0000 0.0488 0.0000
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.385566 0.069810
Rho 0.9683 0.0317
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.556116 0.542158 0.084225 39.84040 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1.092820 0.124475 1.127917 0.997305
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.879183 35.15729
Mean dependent var Durbin-Watson stat
13.54055 0.031996
Lampiran 7 Hasil Uji Chow Redundant Fixed Effects Tests Equation: FIXED Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic 134.453743 586.056796
d.f.
Prob.
(32,127) 32
0.0000 0.0000
32
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LNLUAS Method: Panel Least Squares Date: 05/10/15 Time: 18:23 Sample: 2009 2013 Periods included: 5 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 165 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNKPDTN LNPNJG PRSNMSKN LNPDRBP LNPDRBNP C
-0.503494 -0.187578 0.044634 0.951337 -0.018474 9.101477
0.026025 0.089978 0.004516 0.047474 0.036874 0.502478
-19.34631 -2.084719 9.884436 20.03915 -0.500997 18.11317
0.0000 0.0387 0.0000 0.0000 0.6171 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.925818 0.923485 0.368464 21.58673 -66.33086 396.8745 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
13.54055 1.332054 0.876738 0.989681 0.922585 0.071115
33
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Claudia Andriani Pramono lahir di Makassar tanggal 26 Agustus 1994. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dengan nama ayah Pramono DS dan ibu Connie FM Palenewen. Pada tahun 2008 terdaftar sebagai siswi Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Kota Bogor. Pada tahun 2011 penulis lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di IPB sebagai mahasiswi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (BEM FEM) periode 2012-2013 sebagai sekretaris divisi Hubungan Eksternal (Hubeks). Selain itu, penulis bergabung dalam UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Komisi diaspora periode 2011 sampai sekarang. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan setingkat Departemen, Fakultas, dan IPB. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia”.