ANALISIS EMBRIOGENESIS SOMATIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) PADA SISTEM PERENDAMAN SESAAT
CYNTHIA LENDRIA MAGDALENA MARBUN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Embriogenesis Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Sistem Perendaman Sesaat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Cynthia Lendria Magdalena Marbun NIM P051100041
RINGKASAN
CYNTHIA LENDRIA MAGDALENA MARBUN. Analisis Embriogenesis Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Sistem Perendaman Sesaat. Dibimbing oleh UTUT WIDYASTUTI dan NURITA TORUAN-MATHIUS.
Perbanyakan kelapa sawit melalui embriogenesis somatik masih kurang efisien karena rendahnya persentase pembentukan embrio somatik dan perkecambahan embrio somatik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan (i) komposisi medium cair terbaik dengan teknik pengocokan, (ii) komposisi medium dan periode perendaman terbaik dengan sistem perendaman sesaat (SPS), (iii) identifikasi pembeda kalus embriogenik dan kalus non embriogenik menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM), dan (iv) identifikasi perubahan genetik (off-type) secara in vitro embrio somatik umur 14 bulan menggunakan marka SSR. Bahan tanam yang digunakan adalah kalus embriogenik dari lini S15.355 dan S82.132. Dua jenis medium yang digunakan adalah MSK dan MSD digunakan pada teknik pengocokan, dengan penambahan beberapa vitamin dan asam amino dan kombinasi ZPT 2.4-D sebesar 0; 0.3; 0.6; 0.9 mg/L dengan NAA sebesar 0; 4.0; 8.0 mg/L. Medium MSD0 dan MSD2 digunakan di dalam SPS dengan frekuensi perendaman setiap 1, 3, dan 6 jam sekali dan direndam selama 3 menit. Identifikasi kalus embriogenik dan kalus non embriogenik menggunakan SEM dan 20 primer mikrosatelit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa medium MSD2 merupakan medium terbaik untuk meningkatkan persentase embriogenesis somatik dan pembesaran embrio somatik tanaman kelapa sawit. Selain itu, genotipe yang berbeda menghasilkan rataan proliferasi yang berbeda di dalam komposisi medium dan periode perendaman yang berbeda. Periode perendaman 1, 3, dan 6 jam sekali tidak berbeda nyata dalam rataan berat basah kalus embriogenik untuk lini S15.355 dan S82.132. Kalus embriogenik dan kalus non embriogenik dianalisis menggunakan SEM dan menunjukkan bahwa kalus embriogenik memiliki permukaan yang halus dan mengkilap dibandingkan dengan kalus non embriogenik. Tidak terjadi perubahan genetik (off-type) embrio somatik secara in vitro pada umur 14 bulan menggunakan marka SSR karena 20 primer yang digunakan menunjukkan pola pita dan ukuran pita yang sama antara embrio somatik yang berkecambah dan tidak dapat berkecambah umur 14 bulan
Kata kunci: Elaeis guineensis, Sistem Perendaman Sesaat, marker mikrosatelit, embriogenesis somatik, Scanning Electron Microscope.
SUMMARY
CYNTHIA LENDRIA MAGDALENA MARBUN. Analysis of Somatic Embryogenesis of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) using Temporary Immersion System. Under direction of UTUT WIDYASTUTI and NURITA TORUANMATHIUS.
Micropropagation of oil palm through somatic emrbyogenesis is still not efficient because low percentage of somatic embryo formation and germinating somatic embryo. The objectives of these research are to obtain the best of (i) liquid medium used in shaker technique, (ii) medium and immersion time in Temporary Immersion System (TIS), (iii) to identify the marker of embryogenic callus with Scanning Electron Microscope (SEM) and (iv) to identify genetic changing in vitro (offtype) from 14 months of somatic embryo with Simple Sequence Repeats (SSR). The planting materials were embryogenic callus of embryoid-lines S15.355 and S82.132. Two types of medium consisted of MSK and MSD were tested in shaker technique, with the addition of several vitamines and combination of 0; 0.3; 0.6; 0.9 mg/L 2,4-D with 0; 4.0; 8.0 mg/L NAA. Medium MSD0 and MSD2 were used in TIS with every 1, 3, and 6 hours of immersion time and immersed in 3 minutes. Analysis marker for embryogenic and non embryogenic callus conducted by SEM and molecular marker by 20 microsatellite primers. The results showed that medium MSD2 is the best for increasing the proliferation of embryogenic callus and enlarging the somatic embryo of oil palm. Besides, types of genotypes gave different proliferation rate in diferrent medium composition and immersion time. The immersion time of 1, 3, and 6 hour showed no significant difference in increasing rate of embryogenic callus fresh weight for embryoid-line S15.355 and S82.132, respectively. Embryogenic callus analysed by SEM showed that embryogenic callus had smoother and lighter surfaces compared with non embryogenic callus. The result of SSR analysis showed that only 10 primers gave polimorphic bands and the others gave monomorphic. There was no genetic changing in vitro (off-type) from 14 months of samples.
Key words: Elaeis guineensis, Temporary Immersion System, microsatellite marker, somatic embryogenesis, Scanning Electron Microscope.
© Hak Cipta Milik IPB dan PT. SMART, Tbk., Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB dan PT. SMART, Tbk.
ANALISIS EMBRIOGENESIS SOMATIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) PADA SISTEM PERENDAMAN SESAAT
CYNTHIA LENDRIA MAGDALENA MARBUN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Miftahudin
: Analisis Embriogenesis Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Sistem Perendaman Sesaat : Cynthia Lendria Magdalena Marbun : P051100041
Judul Tesis Nama NRP
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
APU Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah PascasaIjana t
Bioteknologi
Prof. Dr. Jr. Suharsono, DEA
Tanggal Ujian: 24 Juli 2013
Tanggal Lulus:
2 3 0Cr LUtJ
Judul Tesis
: Analisis Embriogenesis Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Sistem Perendaman Sesaat : Cynthia Lendria Magdalena Marbun : P051100041
Nama NRP
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Utut Widyastuti, M.S
Dr. Nurita Toruan-Mathius, M.S, APU
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Bioteknologi
Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr
Tanggal Ujian: 24 Juli 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 sampai bulan Desember 2012 ini ialah Analisis Embriogenesis Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Sistem Perendaman Sesaat Menggunakan SEM dan Marka Mikrosatelit. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Utut Widyastuti, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Ibu Dr. Nurita Toruan-Mathius, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA sebagai Ketua Program Studi Bioteknologi, dan Bapak Dr. Miftahudin sebagai Penguji Luar Komisi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada PT. SMART, Tbk. yang telah mendanai penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada karyawan di Laboratorium Clonal Technology dan Laboratorium Genomic and Transcriptonomic, Department Biotechnology PT. SMART, Tbk. yang telah membantu penelitian dan pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Ir. S. Marbun, MS), ibu (E br Siahaan, BA), adik-adik (Cariny Marbun, SH; Cyrma Marbun, SE; Olny Sufrina, SE; dan Audy Banihara Marbun), seluruh keluarga, dan teman-teman (KPS: Vinha Simamora, Ardi Timbul Saragih, dan Derman Lubis, kos: Fransisca Dhani) atas segala doa, kasih sayang, dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2013
Cynthia Lendria Magdalena Marbun
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
ix x xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Perbanyakan Tanaman Kelapa Sawit dengan Teknik Kultur Jaringan Embriogenesis Somatik dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sistem Perbanyakan Kelapa Sawit Menggunakan Sistem Perendaman Sesaat Identifikasi Morfologi Embrio Somatik dengan SEM Identifikasi Molekuler dengan Marka SSR
4 4 5 5 8 9 9
3 SELEKSI MEDIUM CAIR UNTUK PROLIFERASI KALUS EMBRIOGENIK DENGAN TEKNIK PENGOCOKAN Pendahuluan 14 Bahan dan Metode 16 Hasil 17 Pembahasan 17 Simpulan 24 4 OPTIMASI TEKNIK SPS UNTUK PROLIFERASI KALUS EMBRIOGENIK TANAMAN KELAPA SAWIT (Elais guineensis Jacq.) Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Simpulan
26 27 28 28 34
5 VALIDASI PEMBEDA KALUS EMBRIOGENIK DAN NON EMBRIOGENIK MENGGUNAKAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM) Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Simpulan
36 37 38 38 45
6 IDENTIFIKASI PERUBAHAN GENETIK EMBRIO SOMATIK TANAMAN KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN MARKA SSR Pendahuluan 48 Bahan dan Metode 49 Hasil 50 Pembahasan 50 Simpulan 54 7 PEMBAHASAN UMUM
55
8 KESIMPULAN UMUM DAN SARAN
59
DAFTAR PUSTAKA
61
LAMPIRAN
63
RIWAYAT HIDUP
64
DAFTAR TABEL 1 Kombinasi perlakuan medium MSK dan MSD pada seleksi medium cair 2 Rataan berat basah kalus embriogenik pada berbagai perlakuan medium
15 16
DAFTAR GAMBAR 1 Tahapan kultur dan durasi di dalam medium padat dan cair 2 Jumlah embrio somatik ≥ 200 µm per 0.1 g pada medium MSK2 dan MSD2 pada pengamatan minggu ke-8 setelah dikulturkan 3 Histologi kalus embriogenik pada media MSK2 pada pengamatan minggu ke-8 setelah dikulturkan 4 Histologis kalus embriogenik pada media MSD2 pada pengamatan minggu ke-8 setelah dikulturkan 5 Morfologi koloni kalus embriogenik pada perlakuan medium MSK menggunakan mikroskop cahaya pada pengamatan minggu ke-8 6 Morfologi koloni kalus embriogenik pada perlakuan medium MSD menggunakan mikroskop cahaya pada pengamatan minggu ke-8 7 Rataan berat basah pada lini kalus embriogenik S15.355 dan S82.132 pada pengamatan minggu ke-8 setelah diinkubasi 8 Morfologi koloni lini embrioid S82.132 (a,b) dengan ukuran < 200 µm dan lini embrioid S15.355 (c,d) dengan ukuran > 200 µm pada pengamatan awal inkubasi 9 Rataan berat basah pada medium kontrol (MSK0), MSD0, dan MSD2 pada pengamatan minggu ke-8 10 Rataan berat basah pada frekuensi perendaman pada perlakuan kontrol (24 jam) dan perlakuan SPS (1,3,6 jam) pada pengamatan minggu ke-8 11 Rataan berat basah kalus embriogenik pada pengamatan minggu ke-0, 4, dan 8 12 Morfologi koloni kalus embriogenik S82.132 berumur 8 minggu setelah inkubasi di dalam medium MSK0 dan medium MSD0 13 Morfologi koloni kalus embriogenik S15.355 berumur 8 minggu setelah inkubasi di dalam medium MSK0, dan medium MSD0 14 Morfologi kalus embriogenik fase nodular (N) 15 Morfologi embrio somatik fase globular (G), fase skutelar (SK) 16 Morfologi embrio somatik fase koleotilar awal (Ka) 17 Morfologi embrio somatik fase koleoptilar akhir (Kk), tunas (Tu) 18 Morfologi embrio bergeminasi menghasilkan tunas (Tu) 19 Morfologi koloni kalus embriogenik lini S82.132 menggunakan mikroskop stereo dan SEM pada pengamatan minggu ke-8 setelah subkultur 20 Morfologi kalus embriogenik menggunakan SEM 21 Morfologi koloni embrio somatik dan embrio bertunas setelah 14 bulan disubkultur ke dalam medium padat 22 Morfologi koloni embrio somatik dan embrio berkecambah 23 Pola pita monomorfik dan polimorfik yang terbentuk dari 20 primer SSR yang digunakan pada sampel S15.355 dan S82.132
6 16 17 18 20 21 24
25 26 26 28 28 29 29 34 34 35 35 36 38
39 44 45
DAFTAR LAMPIRAN 1 Sidik ragam pengaruh medium cair terhadap rataan berat basah 2 Sidik ragam pengaruh SPS terhadap rataan berat basah
63 63
1
1 Pendahuluan Latar Belakang Penyediaan benih kelapa sawit secara komersil dilakukan melalui produksi benih hibrida Tenera yang merupakan hasil persilangan tetua terpilih (betina-Dura dengan jantan-Pisifera). Sehubungan dengan tanaman kelapa sawit yang secara komersil diperbanyak menggunakan biji maka ditemukan keragaman sifat yang cukup besar, serta diperlukannya waktu persilangan yang cukup lama (15 s/d 20 tahun) untuk mendapatkan varietas unggul. Kendala tersebut dapat diatasi dengan menggunakan teknologi perbanyakan vegetatif secara klonal (Soh et al. 2006). Teknologi perbanyakan vegetatif tanaman kelapa sawit dengan kultur jaringan untuk pertama kali dilakukan pada tahun 70-an (Jones 1974). Namun, sejauh ini produksi klonal kelapa sawit dengan kultur jaringan berbasis pembentukan kalus embriogenik umumnya sangat tidak efisien. Hal ini disebabkan perkembangan kalus menjadi kalus embriogenik dan persentase penggandaan embrioid relatif rendah. Keadaan ini menyebabkan produksi ramet juga rendah (Konan et al. 2006). Untuk meningkatkan efisiensi produksi embrio somatik telah dilaporkan hasil modifikasi komposisi medium, penggunaan berbagai jenis zat pengatur tumbuh, sumber eksplan, dan bentuk fisik medium dengan tujuan meningkatkan laju penggandaan embrio somatik. Namun, dilaporkan hasil yang diperoleh belum optimum untuk skala industri (Soh et al. 2009). Tahap induksi kalus dan embriogenesis merupakan titik kritis dalam perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan. Rendahnya persentase embriogenesis somatik dan regenerasi embrio somatik menjadi ramet merupakan kendala utama dalam industri bibit klonal kelapa sawit (Rohani et al. 2000, Konan et al. 2006). Hal ini menyebabkan produksi klonal kelapa sawit dengan kultur jaringan membutuhkan biaya yang tinggi. Untuk meningkatkan efisiensi produksi khususnya untuk penggandaan embrio somatik telah banyak dilakukan penelitian di antaranya modifikasi komposisi dan bentuk fisik medium, penggunaan berbagai jenis zat pengatur tumbuh dan sumber eksplan (Soh et al. 2009). Teknologi perbanyakan tanaman kelapa sawit dengan kultur jaringan umumnya menggunakan medium padat. Penggunaan medium padat dianggap tidak efisien dalam hal tingkat produksi planlet, penggunaan tenaga kerja, dan pemakaian ruang (Soh et al. 2006). Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan penggunaan medium padat adalah penggunaan medium cair (Aitken-Christie 1991). Sistem ini dapat menyediakan kondisi kultur yang lebih seragam, memudahkan penggantian medium, dan dapat menggunakan tempat yang lebih besar daripada medium padat. Namun, teknik kultur cair memiliki beberapa kelemahan di antaranya sel-sel mengalami kekurangan oksigen, dapat merusak sel, serta kemungkinan dapat menyebabkan vitrifikasi. Untuk mengatasi masalah tersebut telah dikembangkan Sistem Perendaman Sesaat (SPS) atau Temporary Immersion System (TIS) (Sumaryono et al. 2007). Prinsip kerja teknik SPS adalah penggunaan medium cair yang dimasukkan ke dalam bejana dan dikombinasi dengan lama perendaman eksplan secara periodik. Seluruh sistem dijalankan secara otomatis sesuai dengan pengaturan
2
waktu perendaman eksplan yang diinginkan. Keunggulan SPS adalah eksplan tidak mengalami kekurangan oksigen, terjadi pencampuran medium dan eksplan cukup merata, serta membatasi efek agitasi (Teisson et al. 1999). SPS juga telah dikembangkan untuk perbanyakan tanaman kelapa sawit (Sumaryono et al. 2007). Di samping bentuk fisik medium, yaitu medium padat dan medium cair, komponen penyusun medium juga berperan penting dalam induksi dan perkembangan kalus. Secara visual umumnya akan mengalami kesulitan untuk membedakan kalus yang berpotensi berkembang menjadi kalus embriogenik dan kalus yang tidak memiliki kemampuan membentuk embrio somatik. Perkembangan embrio somatik dapat dipelajari secara visual dengan mengamati perubahan morfologi menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Proses terbentuknya dinding sel pada proembrio kelapa sawit telah diamati menggunakan SEM, seperti tahapan terbentuknya dinding sel lama, sebelum dan setelah pengeluaran matriks ekstraselular, dan akhirnya terbentuk dinding yang baru. Protoderma dan kristal lilin yang terbentuk pada embrio somatik fase globular kelapa sawit. Bagian ini sangat penting dalam proses diferensiasi epidermis embrio (Erlangga & Mariani 2006). Pendekatan lainnya dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknik marka molekuler diantaranya mikrosatelit atau Single Sequence Repeat (SSR). Hatorangan et al. (2010) telah berhasil membangun sistem pendataan identitas seluruh ortet sumber eksplan dengan marka DNA berdasarkan mikrosatelit, di samping data-data fenotipik dari lapang. Primer mikrosatelit mampu mengidentifikasi kalus embriogenik dan embrio somatik pada berbagai umur kultur sehingga akan didapatkan data-data mengenai perubahan morfologi (offtype) yang terjadi pada proses perbanyakan in vitro. Sebanyak lebih dari 400 pasang primer mikrosatelit yang berkaitan dengan karakter-karakter agronomi penting pada tanaman kelapa sawit telah dipublikasikan (Billotte et al. 2001; Hairinsyah 2010; dan Nchu 2010). Keunggulan marka mikrosatelit di antaranya persentase polimorfik yang tinggi, bersifat kodominan, kemampuan diskriminatif, dan biaya yang kompetitif apabila dibandingkan dengan marka lainnya (Singh et al. 2007).
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk meningkatkan proliferasi embrio somatik dengan cara memperoleh (1) komposisi medium cair terbaik, (2) teknik SPS yang optimum mencakup komposisi medium dan frekuensi perendaman. Di samping itu untuk (3) identifikasi morfologi kalus embriogenik dan kalus non embriogenik dengan SEM dan (4) identifikasi perubahan genetik embrio somatik tanaman kelapa sawit umur 14 bulan menggunakan marka SSR atau marka mikrosatelit.
3
Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian yang diperoleh adalah tersedianya teknik penggandaan embrio somatik dengan medium cair dan teknik SPS yang akan meningkatkan persentase terbentuknya embrio somatik. Hal ini akan meningkatkan efisiensi teknik kultur jaringan untuk menghasilkan embrio somatik pada tanaman kelapa sawit dan produksi ramet. Dari hasil diperolehnya identifikasi morfologi kalus embriogenik dan kalus non embriogenik menggunakan SEM diharapkan akan meningkatkan efisiensi deteksi dini kalus embriogenik dan kalus non embriogenik serta identifikasi perubahan genetik embrio somatik umur 14 bulan tanaman kelapa sawit menggunakan marka mikrosatelit. Bagan Alir Kegiatan Penelitian I. I. Seleksi Medium Cair Untuk Proliferasi Kalus Embriogenik Tanaman Kelapa Sawit dengan Teknik Pengocokan Tujuan: Memperoleh medium cair terbaik untuk proliferasi embrio somatik dengan teknik pengocokan Output: Medium cair terbaik untuk proliferasi embrio somatik dengan teknik pengocokan II. Optimasi Teknik SPS untuk Proliferasi Kalus Embriogenik Tanaman Kelapa sawit Tujuan: Komposisi medium dan periode perendaman dengan teknik SPS untuk meningkatkan proliferasi kalus embrionik Output: Medium terbaik dan periode perendaman terbaik menggunakan SPS untuk proliferasi kalus embrionik III. Identifikasi Pembeda Kalus Embriogenik dan Non Embriogenik Tanaman Kelapa Sawit Menggunakan SEM Tujuan: Mendapatkan pembeda kalus embriogenik dan kalus non embriogenik secara morfologi Output: Pembeda morfologi kalus embriogenik dan kalus non embriogenik
IV. Identifikasi Perubahan Genetik Embrio Somatik Tanaman Kelapa Sawit Menggunakan Marka SSR Tujuan: identifikasi perubahan genetik (off-type) secara in vitro embrio somatik umur 14 bulan menggunakan marka SSR Output: Data-data perubahan genetik (off-type) secara in vitro embrio somatik umur 14 bulan menggunakan marka SSR
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal dari daerah yang terletak antara Guinea dan Angola di Afrika Barat. Elaeis berasal dari bahasa Yunani elaion yang berarti minyak dan guineensis yang menunjukkan tempat asalnya, yaitu di pantai Guinea. Terdapat empat bibit kelapa sawit ditanam di Kebun Raya Bogor. Dua dari empat bibit tersebut diintroduksi dari Bourbon atau Mauritius pada Februari 1848 dan bibit lainnya diintroduksi dari Amsterdam pada Maret 1848 (Pamin 1998). Genus Elaeis memiliki empat spesies yang telah dideskripsikan, yaitu E. guineensis, E. oleifera, E. odora, dan E. madagascariensis. E. oleifera dan E. odora dapat dijumpai di Amerika Selatan, sedangkan E. guineensis dan E. madagascariensis berasal dari Afrika (Latiff 2000). Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu, bunga jantan dan betina terpisah tetapi masih berada dalam satu pohon. Tanaman ini termasuk tanaman monokotil, akar terdiri dari akar primer, sekunder, tersier, dan kuarter. Akar merupakan akar serabut yang sebagian besar berada dekat tanah dengan kedalaman 15-30 cm. batangnya tegak tidak bercabang berdiameter 40-75 cm, tinggi batang dalam pembudidayaan tidak lebih dari 15-18 m. Daunnya majemuk dengan pelepah daun tersusun melingkari batang berbentuk spiral. Panjang pelepah daun mencapai 9 m, panjang helaian daun mencapai 1.2 m dengan jumlah 100-160 pasang (Hartley 1987). Klasifikasi kelapa sawit sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Keluarga : Palmaceae Sub keluarga : Cocoideae Genus : Elaeis Spesies : Elaeis quineensis Jacq. Kelapa sawit tumbuh baik pada iklim tropis dengan rataan suhu minimum 20-23°C dan suhu maksimum 28-32°C, curah hujan sebanyak 2.000 mm/tahun, serta panjang penyinaran minimum lima jam perhari. Kelembaban atmosfir dan konsentrasi CO2 yang tinggi juga menjadi faktor penting untuk pertumbuhan kelapa sawit. Kelapa sawit dibudidayakan pada lahan dengan topografi datar pada ketinggian lahan 0-600 mdpl. Kelapa sawit dapat tumbuh pada rentang pH tanah 4.0-6.5 dengan pH optimum pada 5.0-5.5 (Henson & Chang 2000). Kelapa sawit mempunyai sifat reproduktif menyerbuk silang dengan bantuan serangga atau angin sehingga terdapat keragaman genetik yang besar dalam populasi tanaman kelapa sawit. Beberapa fenotipe yang berkaitan dengan hasil panen diwariskan secara monogenik antara lain karakter warna eksokarp dan ketebalan cangkang biji. Kedua karakter ini merupakan karakter utama penciri genotipe berkaitan dengan daya hasil. Karakter ketebalan biji berhubungan dengan proporsi kandungan minyak mentah atau CPO (Latiff 2000).
5
Ada tiga kelompok kelapa sawit komersial yang dikenal, yaitu Dura, Pisifera, dan Tenera. Pengelompokan ini didasarkan pada ketebalan cangkang biji yang merupakan pewarisan monogenik. Kelompok Dura memiliki cangkang tebal dengan ketebalan 2-8 mm, kandungan mesokarp rendah sampai menengah (3555%), dan di bagian luar tidak terdapat lingkaran sabut. Tenera memiliki ketebalan cangkang 0,5-4,0 mm dengan kandungan mesokarp menengah sampai tinggi (60-96%), dan terdapat lingkaran sabut pada bagian luarnya. Kelompok Pisifera memiliki cangkang sangat tipis atau bahkan tidak ada, bunga betina steril, buah gugur premature, serta memiliki seks rasio (betina:jantan) lebih tinggi dibandingkan dengan Dura dan Tenera (Corley & Tinker 2003). Tanaman kelapa sawit dapat diperbanyak secara generatif melalui benih maupun secara vegetatif melalui kultur jaringan. Pada umumnya kelapa sawit diperbanyak dengan benih yang berasal dari hasil penyerbukan Dura x Pisifera (DxP). Tetua Dura elit berasal dari populasi persilangan DxD, sedangkan tetua Pisifera diperoleh dari segregasi yang terjadi pada persilangan Tenera x Tenera (TxT) atau Tenera x Pisifera (TxP). Dura dan Tenera dipelihara dan diseleksi masing-masing berdasarkan skema seleksi silang balik (Kushairi & Rajanaidu 2000).
Perbanyakan Tanaman Kelapa Sawit dengan Teknik Kultur Jaringan Proses produksi bibit klonal kelapa sawit melalui embriogenesis somatik terdiri dari lima tahapan, mencakup seleksi ortet dan penyiapan sumber eksplan, induksi kalus dari eksplan daun, embriogenesis somatik dan proliferasi embrio, induksi tunas dan akar, dan aklimatisasi ramet. Tahapan seleksi ortet dilakukan di lapang dengan bantuan Departemen Pemuliaan kelapa sawit PT. SMART, Tbk. Seleksi dilakukan berdasarkan keunggulan sifat agronomis terutama daya hasil produksi minyak pada tingkat individu. Inokulasi eksplan dilakukan menggunakan daun muda dan diinokulasi pada medium untuk induksi kalus. Eksplan dikulturkan di dalam ruang gelap sampai membentuk kalus dan embrio somatik. Suhu udara di ruang kultur dikontrol pada 28±20C dengan kelembaban udara di bawah 60% (Rohani 2001). Menurut Soh et al. (2006), perbanyakan kelapa sawit dengan teknik kultur jaringan menggunakan medium padat selama 29 bulan dan medium cair selama 18 bulan (Gambar 1). Induksi kalus yang berasal dari eksplan daun selama 3 bulan dilanjutkan dengan diferensiasi kalus menjadi embrioid selama 2 bulan. Proliferasi embrioid di dalam medium padat sampai tahap perkembangan tunas selama 20 bulan sedangkan di dalam medium cair selama 9 bulan. Tahap selanjutnya adalah perkembangan tunas menjadi planlet selama 4 bulan kemudian ramet dipindahkan ke rumah kaca untuk aklimatisasi.
Embriogenesis Somatik dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perbanyakan tanaman kelapa sawit melalui embriogenesis somatik menjadi metode alternatif untuk perbanyakan secara vegetatif. Embriogenesis somatik
6
dapat dihasilkan melalui media padat dan cair. Keuntungan embriogenesis somatik yang digunakan untuk perbanyakan kelapa sawit telah terbukti berhasil (Jones 1974; Pierik 1997) dan dapat menghasilkan klon-klon homogen yang memiliki produktivitas yang homogen. Embriogenesis somatik merupakan proses pembentukan embrio yang berasal dari sel-sel somatik. Embrio memiliki stuktur bipolar yang akan membentuk bagian atas menjadi calon tunas dan bagian bawah menjadi calon akar (Mariani et al. 1998). Proses ini juga melibatkan serangkaian perubahan morfologi dan biokimia sehingga membentuk stuktur embrio somatik dan dapat terjadi pada jaringan meristematik yang diinduksi dengan penambahan zat pengatur tumbuh pada konsentrasi tertentu ke dalam media kultur jaringan. Medium Padat 29 bulan
Medium Cair 18 bulan
Eksplan Daun Induksi kalus
3 bulan Kalus
Embrioid
Diferensiasi kalus 2 bulan
Kalus embriogenik
Proliferasi kalus-embrioid
Proliferasi embrioid germinasi
4 bulan Embrioid-germinasi
20 bulan 5 bulan Perkembangan tunas
Perkembangan tunas 4 bulan Planlet
Gambar 1 Tahapan kultur dan durasi di dalam medium padat dan cair. Sumber: Soh at el. 2006.
Sel atau jaringan pada eksplan yang dikulturkan akan mengalami dediferensiasi membentuk kalus yang selanjutnya berdiferensiasi membentuk embrio somatik. Embrio yang dihasilkan dapat langsung dikecambahkan menjadi planlet, ataupun digunakan sebagai eksplan untuk membentuk embrio somatik tambahan melalui embrio somatik sekunder. Produksi embrio somatik sekunder dapat diulang sampai beberapa kali, terutama untuk tanaman dengan persentasi embriogenesis rendah (Perez-nunez et al. 2006). Embriogenesis diklasifikasikan menjadi dua jalur perkembangan, yaitu embriogenesis langsung dan tidak langsung. Pada jalur embriogenesis langsung, eksplan langsung membentuk embrio tanpa pembentukan kalus. Sedangkan pada jalur embriogenesis tidak langsung eksplan membentuk kalus lalu kalus akan
7
berdiferensiasi menjadi embrio somatik. Sel yang berdiferensiasi menjadi embrio somatik disebut sel embriogenik (Chawla 2002). Embriogenesis somatik dimulai dengan pembelahan sel-sel asimetrik yang memberikan perkembangan menjadi sebuah embrio polar yang memiliki sebuah sel basal yang lebih besar dan sel apikal yang lebih kecil. Embrio berkembang dari sel apikal, dan sel basal berkembang menjadi suspensor (Eckardt 2006). Embriogenesis somatik pada tanaman monokotil berbeda dan lebih kompleks dibandingkan dengan tanaman dikotil. Morfologi dan perkembangan embrio somatik hampir sama dengan embrio zigotik. Pada tanaman monokotil, eksplan yang mengandung sel embriogenik dapat langsung berkembang menjadi struktur embrio melalui tahap perkembangan fase globular, skutelar berbentuk hati, dan kotiledon (Gocbole et al. 2002, Quiroz-Figueroa et al. 2006), sedangkan tahapan perkembangan embrio somatik tanaman dikotil mencakup tahap globular, hati, torpedo, dan kotiledon (Mandal & Gupta 2002). Secara fenotipik kalus embriogenik kelapa sawit terdiri atas kelompok atau rumpun sel dengan perbedaan yang jelas pada struktur nodular atau granular, kompak, dan remah. Pengamatan histologi memperlihatkan adanya struktur proembrio pada jaringan ini. Proembrio memiliki sel dengan rasio inti/sitoplasma tinggi, inti utama besar, sitoplasma padat, dan pembelahan daerah internal terlihat jelas (Rohani et al. 2000). Beberapa faktor yang mempengaruhi respon embriogenesis tanaman, yaitu kendali genetik, kondisi fisiologi tanaman donor, organ tanaman yang digunakan sebagai sumber eksplan, media kultur jaringan, zat pengatur tumbuh, dan interaksi faktor-faktor tersebut (Henry et al. 1994). Regenerasi kelapa sawit melalui embriogenesis somatik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi auksin 2,4-D, jenis dan konsentrasi bahan kimia osmotik dan perlakuan pelukaan (Chawla 2002). Sumber eksplan merupakan faktor yang sangat penting dalam kultur jaringan tanaman. Beberapa sumber eksplan yang telah digunakan berupa daun muda (Te-chato et al. 1998), kalus embrio zigotik (Chehmalee dan Te-chato 2007), kecambah, akar, dan bunga (Teixeira et al. 1994). Umumnya perbanyakan tanaman palmae secara kultur jaringan menggunakan daun sebagai sumber eksplan (Rohani et al. 2000). Sel-sel dibagian daun bersifat meristematis dan memiliki tingkat diferensiasi jaringan paling kecil (Ruslan 1993). Eksplan daun juga memberikan persentase kloning lebih tinggi dibandingkan dengan eksplan dari bunga. Kalus dari daun juga lebih vigor dan embriogenik dibandingkan dengan kalus yang berasal dari akar (Rohani et al. 2000). Persentase embriogenesis somatik pada tanaman kelapa sawit rendah. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor genotipe (Ruslan 1993). Walaupun hampir semua ortet mampu membentuk kalus namun rasio eksplan membentuk kalus berbeda nyata di antara klon. Perbedaan rasio pembentukan kalus ini juga terjadi dengan keragaman yang cukup tinggi dalam persilangan yang sama atau keragaman pada tingkat progeni (Rohani et al.2000). Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi proses embriogenesis di antaranya cahaya, suhu, dan kerapatan kultur sel embriogenik dalam media, sedangkan posisi peletakan embrio dan status fisik media (padat atau cair) kurang berpengaruh (Chawla 2002). Suhu ruang kultur selalu dijaga pada kisaran
8
28±2°C. Suhu yang lebih rendah dengan kisaran 15-20°C cenderung menghambat pertumbuhan dan multiplikasi embrio somatik (Rohani et al. 2000). Sel-sel eksplan akan mencapai tahap kompeten untuk mengalami embriogenesis pada saat zat pengatur tumbuh serta senyawa biokimia endogen lainnya berada pada konsentrasi tertentu. Saat konsentrasi tersebut tercapai, sel-sel eksplan akan memperoleh kompetensi embriogenik yang selanjutnya akan cenderung mengarah ke proses morfogenesis embriogenik (Issali et al. 2010). Pengaruh suhu rendah pada tanaman gandum mengakibatkan penundaan sintesis IAA dan ABA pada tanaman donor yang kemudian dapat meningkatkan kapasitas embriogenesis (Hess & Carman 1998).
Sistem Perbanyakan Kelapa Sawit melalui Kultur Jaringan Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan sel atau jaringan tanaman menggunakan media steril yang mengandung nutrisi dan zat pengatur tumbuh sehingga dapat bermultiplikasi dan berkembang menjadi tanaman utuh di dalam tabung steril. Perbanyakan tanaman kelapa sawit secara kultur jaringan terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pemilihan dan perlakuan eksplan, induksi kalus, pembentukan dan proliferasi embrio, pembentukan tunas, induksi perakaran, aklimatisasi ramet (Lim et al. 1999; Ginting & Fatmawati 1996). Proses perbanyakan sampai dengan tahap pengakaran ramet memerlukan waktu sampai dengan 45 bulan (Rohani et al. 2000), dan umumnya dilakukan pada medium padat (Corley et al. 1977 dan Soh et al. 2006). Penggunaan medium padat dianggap tidak efisien dalam hal tingkat produksi planlet, penggunaan tenaga kerja, dan pemakaian ruang (Soh et al. 2006). Kelemahan penggunaan medium padat tersebut dapat diatasi melalui penggunaan medium cair yang sangat ideal untuk mikropropagasi, terutama untuk menurunkan biaya produksi dan otomatisasi (Aitken-Christie 1991). Sistem ini dapat menyediakan kondisi kultur yang lebih seragam, memudahkan penggantian medium, dan dapat menggunakan wadah yang lebih besar daripada medium padat. Penelitian pada kelapa sawit menggunakan medium cair telah banyak dilakukan (de Touchet et al. 1991, Duval et al. 1993, Sumaryono et al. 1994, Teixeira et al. 1995, Ginting dan Fatmawati 1997; Tahardi 1998). Penggunaan medium cair juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu sel-sel mengalami kekurangan oksigen dan dapat rusak serta kemungkinan adanya vitrifikasi. Untuk dapat mengatasi masalah ini, mulai ditemukan teknik baru, yaitu Temporary Immersion System (TIS) atau Sistem Perendaman Sesaat (SPS). Sistem ini mempunyai prinsip serupa dengan bioreaktor, yaitu kontak antara eksplan dengan medium terjadi secara periodik dan tidak terus-menerus. Kelebihan sistem ini, yaitu eksplan tidak mengalami kekurangan oksigen, terjadi pencampuran yang cukup merata, dan biaya relatif rendah (Teisson et al. 1999). Teknik ini telah dikembangkan pada banyak tanaman, seperti kopi (Berthouly et al. 1995), karet (Etienne et al. 1997), pisang (Alvard et al. 1993), jeruk (Cabasson et al. 1997), nenas (Escalona et al. 1999), cokelat (Nicolas et al. 2005), sagu (Kasim & Sumaryono 2008), dan untuk kelapa sawit (Tahardi 1998; Sumaryono et al. 2007). Teknik perendaman sesaat pada kelapa sawit telah berhasil dilakukan dan dapat meningkatkan persentasi proliferasi embriogenesis dan germinasi pada
9
periode perendaman 6 jam sekali dan waktu perendaman selama 3 menit (Sumaryono et al. 2007).
Identifikasi Morfologi Embrio Somatik dengan SEM Observasi perkembangan embrio somatik menggunakan mikroskop stereo hanya memberikan informasi mengenai perubahan bentuk. Sedangkan observasi menggunakan SEM dapat menunjukkan informasi yang rinci mengenai perubahan permukaan embrio somatik selama perkembangannya (Mariani et al. 1998). Penggunaan SEM digunakan oleh Sato et al. (2001) untuk mengamati perubahan permukaan kalus padi yang diberi perlakuan enzim pendegradasi dinding sel. Taylor et al. (1996) mengamati ultrastruktur dari perkembangan embrio somatik dari Pennisetum glaucum menggunakan SEM untuk membandingkan ultrastruktur embrio zigotik dari spesies yang sama. Erlangga dan Mariani (2006) menemukan bahwa terdapat lapisan protoderma dan lapisan lilin pada embrio somatik kelapa sawit yang sangat berhubungan dengan diferensiasi epidermis. Selain itu, terdapat juga suspensor yang tidak berkembang yang disebut jaringan supra embriogenik pada embrio somatik kelapa sawit fase globular. Penelitian Yusoff et al. (2012) menemukan adanya struktur seperti fibrin pada lapisan epidermis dinding sel eksplan daun kelapa sawit pada pengamatan menggunakan mikroskop elektron. Struktur ini berasosiasi dengan matriks ekstraseluler atau matriks ekstraseluler jaringan permukaan. Matriks ini hanya ditemukan pada beberapa kalus yang sedang berkembang. Matriks ini juga ditemukan pada kalus Cocos nucifera (Verdeil et al. 2001), Brassica napus (Namasivayam et al. 2006), dan Triticum aestivum (Pilarska et al. 2007) dan adanya matriks ini berhubungan dengan kompetensi embriogenik dan morfogenik (Namasivayam 2007). Matriks ini dapat berupa protein arabinogalaktan, pektin, dan lipid. Komponen ini berperan dalam proliferasi selular, adhesi sel, dan komunikasi sel pada proses embriogenik dan perkembangan embrio (Namasivayam et al. 2006; Pilarska et al. 2007; Blehova et al. 2010).
Identifikasi Molekuler dengan Marka SSR Terdapat tiga jenis marka yang umum digunakan untuk mendeteksi keragaman genetik antar populasi, yaitu marka morfologi, marka biokimia, dan marka molekuler. Marka morfologi adalah penanda yang dapat diamati secara langsung, seperti jumlah anakan, karakteristik daun, batang, somatik embrio, buah, biji. Keuntungan dari marka ini, yaitu pengamatannya mudah, akan tetapi memiliki kelemahan karena dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman dan lingkungan serta jumlahnya sangat terbatas sehingga kadang sulit membedakan antar genotipe yang diamati karena secara morfologi terlihat sama, tetapi secara genotipe berbeda. Marka biokimia jumlahnya sangat terbatas dan memiliki tingkat polimorfisme yang relatif rendah, serta ekspresinya dipengaruhi oleh lingkungan (Tanksley & McCouch 1997).
10
Marka molekuler dikenal sebagai sidik jari DNA karena mengacu pada pita polimorfisme yang berupa fragmen DNA. Keunggulan dari marka ini, adalah (i) keakuratan yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan mempengaruhi ekspresi gen, (ii) dapat diuji pada semua tingkat perkembangan tanaman, (iii) pada pengujian ketahanan hama dan penyakit tidak bergantung pada organism penggangu tersebut, dan (iv) seleksi pada tingkat genotipe ini dapat mempercepat proses seleksi dan hemat pada pengujian selanjutnya di lapang (Kasim et al. 2004). Pemulia menggunakan marka molekuler untuk mengidentifikasi genotipe, galur, varietas, dan kultivar untuk melihat kemurnian benih, memecahkan ketidakpastian tetua, juga untuk perlindungan varietas tanaman yang dikembangkan melalui identifikasi individu. Marka molekuler ini juga telah dikembangkan pada tanaman kelapa sawit, yaitu untuk identifikasi klon tanaman, khususnya untuk menentukan genotipe antara klon hasil kultur jaringan dengan ortet atau tanaman turunannya. Selain itu juga dapat digunakan sebagai kontrol kualitas untuk memastikan tidak terjadi percampuran klon yang dihasilkan di laboratorium saat harus memproduksi dalam jumlah banyak (Hairinsyah 2010). Marka SSR atau disebut juga marka mikrosatelit merupakan sekuen DNA bermotif pendek dan berulang secara tandem. Pengulangan berulang dua, tiga, empat, dan lima unit nukleotida yang tersebar disepanjang genom eukariot (Powell et al. 1996). Variasi jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus di antara genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik PCR. Teknik PCR pada SSR hanya menggunakan DNA dalam jumlah kecil dengan daerah amplifikasi yang kecil, yaitu sekitar 100-300 pb dari genom. SSR juga dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena hanya sedikit saja yang digunakan dalam ekstraksi DNA atau dapat menggunakan bagian lain, seperti biji atau serbuk sari. Amplifikasi berdasarkan PCR menunjukkan bahwa SSR pada kelapa sawit memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi sehingga marka ini memiliki kelebihan yang dapat diandalkan, dapat diulang, dan biaya kompetitif apabila dibandingkan dengan marka yang lain (Singh et al 2007). Marka ini juga dapat digunakan untuk studi genetik karena adanya kemudahan SSR dalam mengamplifikasi dan mendeteksi fragmen-fragmen DNA serta tingginya tingkat polimorfisme yang dihasilkan. Selain itu, marka SSR juga dapat diaplikasikan untuk mempelajari keragaman genetik, identifikasi plasma nutfah, studi evolusi, identifikasi kultivar, pengujian progeni, dan gene tagging (Billotte et al. 2005). Sekuen SSR pendek sehingga secara efisien dapat diamplifikasi menggunakan PCR dengan sekuen pengapitnya sebagai primer. Variasi jumlah ulangan mikrosatelit dapat dideteksi menggunakan elektroforesis pada suatu gel dengan standar sekuen yang dapat memisahkan fragmen dengan perbedaan setara dengan satu nukleotida (Rohrer et al. 1994). Marka SSR telah digunakan oleh PT.SMART, Tbk. untuk analisis semua spear yang digunakan pada produksi bibit klonal (Hatorangan et al. 2010). Selain itu marka SSR juga digunakan untuk analisis keterkaitan SSR dengan produksi minyak kelapa sawit di Riau dan Kalimantan Selatan (Hairinsyah 2010), analisis variasi genetik populasi kelapa sawit asal Kamerun (Nchu 2010), dan analisis variasi somaklonal antara ortet, klon, dan turunannya (Artutiningsih 2012).
11
Deteksi perubahan genetik secara in vitro (off-type) digunakan untuk mengeliminasi variasi vegetatif pada tanaman klonal kelapa sawit yang ditanam di lapang. Teknik perbanyakan dengan kultur jaringan akan menghasilkan tanaman klonal yang secara genetik sama dengan induknya, baik secara in vitro maupun ex vitro. Tanaman klonal yang ditanam di lapang akan memiliki morfologi dan genetik yang seragam sehingga diharapkan tidak terjadi abnormalitas di lapang. Marka mikrosatelit dapat digunakan untuk menganalisis perubahan genetik kalus embriogenik dan embrio somatik berbagai umur tanam sehingga dapat digunakan sebagai deteksi dini kultur abnormalitas.
3 SELEKSI MEDIUM CAIR UNTUK PROLIFERASI KALUS EMBRIOGENIK DENGAN TEKNIK PENGOCOKAN Abstrak Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan teknologi kultur jaringan pada tanaman kelapa sawit untuk skala industri adalah persentase pembentukan kalus embriogenik melalui kalus yang masih rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan medium yang mampu meningkatkan persentase kalus embriogenik, memperbesar kalus embriogenik, dan mempelajari histologis kalus embriogenik. Dicobakan medium MS (MSK) dan MS diperkaya (MSD) dengan biotin 0.2 mg/L, D-Ca-pantotenat 1.2 mg/L, asam askorbat 1.8 mg/L, kolin klorida 1.4 mg/L, L-sistein-HCL 19.0 mg/L, dan alanin 5.0 mg/L. Medium yang diuji ditambahkan 2.4-D dengan taraf 0.0; 0.3; 0.6 dan 0.9 mg/L masing-masing berkombinasi dengan NAA dengan taraf 0.0; 4.0 dan 8.0 mg/L pada sistem medium cair dengan pengocokan. Bahan tanam yang diuji adalah kalus embriogenik fase nodular lini S82.132. Secara histologis juga dipelajari struktur histologi kalus embriogenik dari medium kontrol dan medium terbaik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa medium MSD2 yang ditambahkan 2.4D 0.9 mg/L dan NAA 4.0 mg/L dan diperkaya dengan vitamin dan alanin menghasilkan rataan berat basah kalus embriogenik tertinggi berdasarkan jumlah dan ukuran. Medium ini dapat memperbesar kalus embriogenik sampai ukuran 600 µm dan dapat meningkatkan persentase regenerasi kalus embriogenik. Kata kunci: Elaeis guieensis Jaqc, kalus embriogenik, medium cair, 2.4-Dichloro phenoxy acetic acid, Naphtalenic Acetic Acid. Abstract One of the problem in oil palm tissue culture industry is the percentage of embryogenic callus is still low. The objective of this research was to obtain the best medium which can increase the percentace of embryogenic callus, enlarge the embryogenic callus, and study the histology of embryogenic callus. Using MS medium (MSK) and MS enriched (MSD) with 0.2 mg/L biotin, 1.2 mg/L D-Capantotenat, 1.8 mg/L ascorbic acid, 1.4 mg/L choline chloride, 19.0 mg/L Lcystein-HCL, and 5.0 mg/L alanine in this research each combined with 0.9 mg/L 2.4-D and 4.0 mg/L NAA with liquid medium on shaker. Nodular embryogenic
12
calluses of S82.132 used as explants. Histology analysis had been used to study the histology of embryogenic callus from control and the best medium. The result showed that MSD2 medium with 0.9 mg/L 2.4-D and 4.0 mg/L NAA also enriched with vitamins and alanine gave the highest rate of embryogenic callus fresh based on number and size of embryogenic callus. This medium can increase the size of embrogenic callus until 600 µm and increase the regeration percentage of embryogenic callus. Key words: Elaeis guieensis Jaqc, embryogenic callus, liquid medium, 2.4Dichlorophenoxy acetic acid, Naphtalene Acetic Acid. Pendahuluan Pemanfaatan kultur jaringan tanaman kelapa sawit ditujukan untuk meningkatkan produksi minyak yang dapat dibuktikan dengan meningkatnya produksi sampai 30% dibandingkan dengan produksi tanaman komersil Dura × Pisifera (D×P) dalam skala uji lapang (Cochard et al. 1999; Wahid et al. 2005). Perbanyakan kelapa sawit dengan kultur jaringan masih kurang efisien karena membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang lama. Dari seluruh eksplan yang dikulturkan hanya 15% menghasilkan kalus dan dari kalus yang dihasilkan hanya 3% yang menghasilkan embrio somatik (Soh et al. 2006). Pembentukan kalus dan embrio somatik masih merupakan masalah utama dalam kultur jaringan tanaman kelapa sawit. Laju pembentukan kalus pada eksplan tanaman kelapa sawit masih rendah, sekitar 19% (Corley 2003). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Wooi (1995) bahwa rataan laju embriogenesis daun menjadi kalus berkisar antara 3% sampai 6%. Kultur jaringan tanaman kelapa sawit umumnya diinisiasi dari daun muda dalam media induksi kalus. Kalus berbentuk nodular tampak di sepanjang bekas potongan yang menyebabkan terlukanya tulang daun (Rohani 2000). Sebagian kalus tetap kompak dan nodular kalus akan berkembang melalui embriogenesis (Rohani 2000; Kanchanapoom & Domyoas 1999). Proses selanjutnya adalah pembentukan embrio somatik dan pendewasaan embrio, regenerasi tunas, perakaran, dan fase akhir pembentukan planlet baru. Namun, kalus juga dapat mengalami rediferensiasi membentuk kalus dengan struktur lunak, granular, jaringannya transparan, dan tidak mempunyai potensi embriogenik. Jaringan ini disebut kalus non embriogenik dan akan tetap sebagai kalus yang tidak mampu beregenerasi menjadi planlet baru (Kanchanapoom & Domyoas 1999). Embriogenesis somatik (ES) adalah proses sel somatik dalam kondisi induksi menghasilkan sel embriogenik yang akan berkembang melalui beberapa tahap perubahan morfologi dan biokimia yang menghasilkan struktur bipolar tanpa adanya hubungan jaringan dengan jaringan asalnya (Quiróz-Figueroa et al. 2006). Ducos et al (2007) melaporkan bahwa pada hampir semua spesies tanaman dengan berbagai protokol embriogenesis somatik umumnya mengikuti alir proses yang sama sebagai berikut: a) induksi kalus embriogenik diikuti dengan identifikasi dan seleksi dengan isolasi secara fisik, b) multiplikasi sel-sel embriogenik (fase diferensiasi), c) regenerasi embrio dalam jumlah banyak dari
13
sel-sel embriogenik, dan d) konversi embrio menjadi embrio dewasa yang memiliki kemampuan beregenerasi menjadi planlet. Tahapan induksi, maturasi, dan germinasi embrio somatik dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu jenis media, vitamin, asam amino, zat pengatur tumbuh diantaranya auksin dan sitokinin (Vasanth et al. 2006; Asad et al. 2009). Pada tahap induksi kalus dan perkembangan kalus menjadi kalus embriogenik yang diikuti dengan perkecambahan embrio menjadi planlet umumnya dilakukan dalam medium padat. Penggunaan medium padat dianggap kurang efisien untuk digunakan dalam perbanyakan skala komersil karena akan menghasilkan embrio somatik pada berbagai fase mulai dari fase nodular, globular, skutelar, bahkan koleotilar. Hal ini berhubungan dengan kontak embrio somatik dengan medium perlakuan. Hanya bagian bawah dari embrio somatik yang bersentuhan langsung dengan medium perlakuan. Medium padat masih kurang efisien dalam meningkatkan persentase kalus embriogenik. Untuk mengatasi masalah ini digunakan medium cair (Wong et al. 1999). Medium cair lebih efisien digunakan dalam perbanyakan skala komersil. Fase kalus embriogenik yang umumnya dikulturkan di dalam medium cair adalah fase nodular. Fase ini digunakan karena sel-selnya masih bersifat meristematik sehingga potensi pembelahan sel masih tinggi dan dapat meningkatkan persentase kalus embriogenik. Kalus embriogenik yang dikulturkan di dalam medium cair akan lebih seragam baik dalam ukuran maupun perkembangan embrio karena seluruh permukaan kalus embriogenik akan bersentuhan langsung dengan medium perlakuan yang mengandung auksin 2.4-D sehingga dapat meningkatkan persentase kalus embriogenik (Wong et al. 1999). Medium cair juga digunakan dalam upaya meningkatkan produktivitas kultur tanaman kelapa sawit untuk tujuan komersil (de Touchet et al. 1991, Duval et al. 1993, Sumaryono et al. 1994, Teixeira et al. 1995, Ginting & Fatmawati 1997, Tahardi 1998). Produktivitas penggunaan medium cair dapat ditingkatkan dengan penambahan asam amino. Asam amino merupakan salah satu sumber nitrogen organik yang berperan dalam induksi pembentukan kalus, regenerasi tunas adventif, embriogenesis, dan androgenesis eksplan (Vasanth et al. 2006; Patil et al. 2009; Gantait et al. 2010). Beberapa jenis asam amino yang umum ditambahkan ke dalam medium, yaitu alanin, arginin, asparagin, sistein, glutamin, glisin, leusin, isoleusin, lisin, metionin, ornitin, fenilalanin, prolin, serin, teronin, triptofan, tirosin, dan valin (Ogita et al. 2001; Ashok-Kumar & Murthy 2004). Selain asam amino, penambahan vitamin juga mampu meningkatkan produktivitas kultur. Vitamin memiliki peranan yang penting dalam embriogenesis somatik tanaman. Vitamin memiliki fungsi-fungsi katalitik sebagai kofaktor untuk reaksi metabolik penting. Vitamin yang sering digunakan dalam kultur jaringan, diantaranya tiamin (vitamin B1), niasin (asam nikotinat), dan piridoksin (vitamin B6), asam askorbat (vitamin C), biotin (vitamin H), kolin klorida (vitamin B4), sianokobalamin (vitamin B12), asam folat (vitamin M), asam pantotenat (vitamin B5), para-amino-asam benzoat, riboflavin (vitamin B2), dan tokoferol (vitamin E) (Dodds dan Roberts 1995). Vitamin bekerja sangat efektif apabila menggunakan eksplan yang berukuran kecil, di antaranya protoplas atau fase embrio awal.
14
Pullman et al. (2005) menyatakan bahwa kombinasi MES, biotin, dan asam folat efektif meningkatkan inisiasi jaringan embriogenik pada tanaman Douglas Fir dan Pinus taeda. Vitamin B12, vitamin E, dan asam amino spesifik yang ditambahkan ke dalam medium dapat meningkatkan inisiasi dan multiplikasi embrio somatik tanaman konifer. Tujuan penelitian adalah mendapatkan komposisi medium cair terbaik dengan teknik pengocokan yang dapat meningkatkan persentase penggandaan embrio somatik tanaman kelapa sawit, mendapatkan medium yang dapat memperbesar kalus embriogenik, dan histologis kalus embriogenik dari medium terbaik.
Bahan dan Metode Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah kalus embriogenik lini S82.132 pada fase nodular, berukuran 0.2-1.0 mm. Metode Penelitian Penelitian terdiri dari dua kegiatan, yaitu (i) pengaruh medium cair terhadap kalus embriogenik, dan (ii) analisis histoligis kalus embriogenik. Sebanyak 0.5 g kalus embriogenik dikulturkan ke dalam Erlenmeyer 100 mL berisi medium cair. Dua jenis medium cair yang diuji, yaitu medium MS kontrol (MSK) (Murashige & Skoog, 1962) dan MS diperkaya (MSD) dengan biotin 0.2 mg/L, D-Ca-pantotenat 1.2 mg/L, asam askorbat 1.8 mg/L, kolin klorida 1.4 mg/L, L-sistein-HCL 19.0 mg/L, dan alanin 5.0 mg/L. Ke dalam masing-masing medium yang diuji ditambahkan 2.4-D dengan taraf 0.0; 0.3; 0.6 dan 0.9 mg/L berkombinasi dengan NAA dengan taraf 0.0; 4.0 dan 8.0 mg/L. Kombinasi perlakuan disajikan dalam Tabel 1. pH diatur menjadi pH 5.7 dengan menambahkan beberapa tetes 1 N NaOH ke dalam medium cair. Sebanyak 35 mL medium dituangkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditutup dengan dua lapis aluminum foil. Medium dan seluruh peralatan yang akan digunakan disterilisasi dengan autoklaf pada 121 °C dan bertekanan 1.1 kg cm2 selama 20 min. Tabung Erlenmeyer yang berisi kultur diletakkan di atas mesin pengocok rotary berkecepatan 100 rpm dalam ruang gelap bersuhu 28 ± 2 °C dengan kelembaban udara di bawah 50 ± 10%. Pengaruh medium terhadap pertumbuhan kalus diamati berdasarkan berat basah kalus embriogenik yang ditimbang pada minggu ke-0 (M0) dan ke-8 (M8). Ukuran kalus ditentukan dengan cara sebanyak 0.5 g kalus embriogenik dari masing-masing perlakuan ditimbang dan disaring menggunakan saringan dengan ukuran 0.5-1.0 mm. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Percobaan dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap dengan 14 jenis medium, dan masing-masing diulang sebanyak 10 kali sehingga terdapat 14x10= 140 satuan pengamatan. Peubah yang diamati adalah rataan berat basah kalus embriogenik dari masing-masing perlakuan.
15
Tabel 1 Kombinasi perlakuan medium MSK dan MSD pada seleksi medium cair No. Jenis media Media 2.4-D (mg/L) NAA (mg/L) 1 MSK0 MSK 0.0 0.0 2 MSK1 MSK 0.9 8.0 3 MSK2 MSK 0.9 4.0 4 MSK3 MSK 0.6 8.0 5 MSK4 MSK 0.6 4.0 6 MSK5 MSK 0.3 8.0 7 MSK6 MSK 0.3 4.0 8 MSD0 MSD 0.0 0.0 9 MSD1 MSD 0.9 8.0 10 MSD2 MSD 0.9 4.0 11 MSD3 MSD 0.6 8.0 12 MSD4 MSD 0.6 4.0 13 MSD5 MSD 0.3 8.0 14 MSD6 MSD 0.3 4.0 Keterangan: MSK adalah medium MS0 dan medium MSD adalah medium MS diperkaya biotin, D-Ca-pantotenat, kolin klorida, L-sistein-HCL, asam askorbat, dan alanin.
Analisis Histoligis Kalus Embriogenik. Sebanyak 0.1 g kalus embriogenik dari medium MSK2 dan MSD2 ditimbang, dihitung jumlahnya, dan dilakukan analisis histologis. Preparat sayatan dari masing-masing perlakuandiukur masing-masing kalus embriogenik lalu data dianalisis menggunakan Uji T. Kalus embriogenik tersebut dianalisis secara histologi (Sass 1951) di laboratorium Anatomi Tanaman, LIPI, Cibinong. Komposisi media yang menunjukkan persentase proliferasi yang tinggi akan digunakan sebagai media untuk penelitian proliferasi embrio somatik menggunakan Sistem Perendaman Sesaat/SPS.
Hasil dan Pembahasan Pengaruh Medium terhadap Kalus Embriogenik Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan medium memberikan pengaruh yang nyata terhadap rataan berat basah kalus embriogenik (Lampiran 1). Medium MSD2 menunjukkan rataan berat basah tertinggi, yaitu 1.04 g pada pengamatan minggu ke-8. Medium MSK2 dan MSK3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Medium MSK2 selanjutnya digunakan untuk analisis histologis. Perbedaan histologis akan dipelajari pada kultur yang berada di dalam medium MSK2 dan MSD2 untuk mengetahui pengaruh penambahan vitamin biotin, asam askorbat, D-kalsium pantotenat, dan kolin klorida, L-sistein-HCl, dan asam amino alanin. Hasil penimbangan 0.1 g kultur menghasilkan 26 kalus embriogenik pada medium MSD2 dan 16 kalus embriogenik pada medium MSK2 dengan ukuran ≥ 200 µm (Gambar 2).
16
Jumlah kalus embriogenik yang lebih banyak menunjukkan persentase proliferasi yang tinggi sedangkan ukuran kalus yang ≥ 200 µm menunjukkan persentase regenerasi yang semakin tinggi. Kalus embriogenik dengan jumlah yang lebih banyak dan ukuran yang lebih besar di dalam medium MSD2 daripada medium MSK2 kemungkinan disebabkan adanya penambahan vitamin biotin, asam askorbat, D-kalsium pantotenat, dan kolin klorida, L-sistein-HCl, dan asam amino alanin. Tabel 2 Rataan berat basah kalus embriogenik pada berbagai perlakuan medium Medium Komposisi Medium Rataan MSK0 Medium MSK + 2,4-D (0 mg/l) + NAA (0 mg/l) 0,87 ± 0,06 c MSK1 Medium MSK + 2,4-D (0.9 mg/l) + NAA (8.0 mg/l) 0,88 ± 0,07 c MSK2 Medium MSK + 2,4-D (0.9 mg/l) + NAA (0.4 mg/l) 0,99 ± 0,07 ab MSK3 Medium MSK + 2,4-D (0.6 mg/l) + NAA (8.0 mg/l) 0,99 ± 0,05 ab MSK4 Medium MSK + 2,4-D (0.6 mg/l) + NAA (4.0 mg/l) 0,72 ± 0,06 e MSK5 Medium MSK + 2,4-D (0.3 mg/l) + NAA (8.0 mg/l) 0,77 ± 0,09 ed MSK6 Medium MSK + 2,4-D (0.3 mg/l) + NAA (4.0 mg/l) 0,88 ± 0,09 c MSD0 Medium MSD + 2,4-D (0 mg/l) + NAA (0 mg/l) 0,94 ± 0,08 bc MSD1 Medium MSD + 2,4-D (0.9 mg/l) + NAA (8.0 mg/l) 0,79 ± 0,08 d MSD2 Medium MSD + 2,4-D (0.9 mg/l) + NAA (4.0 mg/l) 1,04 ± 0,05 a MSD3 Medium MSD + 2,4-D (0.6 mg/l) + NAA (8.0 mg/l) 0,94 ± 0,06 bc MSD4 Medium MSD + 2,4-D (0.6 mg/l) + NAA (4.0 mg/l) 0,70 ± 0,04 e MSD5 Medium MSD + 2,4-D (0.3 mg/l) + NAA (8.0 mg/l) 0,75 ± 0,06 de MSD6 Medium MSD + 2,4-D (0.3 mg/l) + NAA (4.0 mg/l) 0,71 ± 0,03 e Keterangan: MSK adalah medium MS0 dan medium MSD adalah medium MS diperkaya biotin, D-Ca-pantotenat, kolin klorida, L-sistein-HCL, asam askorbat, dan alanin.
Gambar 2 Jumlah embrio somatik ukuran ≥ 200 µm per 0.1 g kultur pada medium MSK2 dan MSD2 untuk pengamatan minggu ke-8 setelah dikulturkan.
17
Menurut Baret et al (1997) dan (Stasolla et al. 2001) asam amino sebagai sumber nitrogen organik dapat mempengaruhi embriogenesis somatik tanaman. Asam amino eksogen yang masuk ke dalam sel dapat menstimulasi sintesis protein yang terakumulasi di dalam sel sehingga terjadi induksi pembelahan sel embriogenik. Hal ini dapat meningkatkan proliferasi sel yang dikulturkan.
Analisis Histologis Kalus Embrogenik Analisis histologis kalus embriogenik menunjukkan adanya perbedaan ukuran sel embriogenik dari medium MSK2 dibandingkan dengan medium MSD2, masing-masing tanpa dan yang diberi vitamin dan alanin (Gambar 3 dan 4).
A B A
B
Gambar 3 Histologi kalus embriogenik pada media MSK2 pada pengamatan minggu ke-8 setelah dikulturkan. Kalus embriogenik berbentuk (A) globular; (B) skutelar, ukuran kalus embriogenik 200-400 µm, 200 µm). perbesaran 10x ( Perkembangan sel-sel embriogenik yang membentuk kalus embriogenik terdiri dari dua fase perkembangan, yaitu berbentuk (A) globular, dan (B) berbentuk skutelar. Ukuran kalus embriogenik pada medium MSK2 sekitar 200400 µm sedangkan pada medium MSD2 sekitar 200-600 µm. Medium MSD2 dengan penambahan 0,9 mg/L 2,4-D dan 4.0 mg/L NAA mampu meningkatkan rataan berat basah kalus embriogenik sebesar 72%, MSD0 hanya mampu meningkatkan rataan berat basah sebesar 58%, sedangkan medium kontrol MSK0 sebesar 50%. Hal ini kemungkinan disebabkan pertambahan ukuran kalus embriogenik yang juga berbeda antar ke dua medium tersebut. Menurut Rohani (2000) kalus embriogenik berukuran lebih besar dari 200 µm sedangkan kalus non embriogenik berukuran kurang dari 200 µm. Pembesaran nukleotida sangat diperlukan dalam proliferasi sel secara cepat dan pertumbuhan jaringan embriogenik (Ashihara et al. 2001). Al-khayri (2001) melaporkan bahwa asam amino diantaranya tiamin dan biotin sangat penting untuk inisiasi dan induksi kalus embriogenik. Asam-asam organik yang ditambahkan ke dalam medium kultur jaringan merupakan bagian dari suplemen yang mengandung vitamin, asam amino, dan gula dan telah diuji secara individual. Trottier et al. (1993) dan Dougall et al. (1980) menyatakan bahwa kultur cair untuk tanaman
18
wortel, kedelai, dan tembakau yang diberi penambahan asam-asam organik dan ammonium sebagai sumber nitrogen mendukung pertumbuhan sel in vitro.
A B
A B
Gambar 4 Histologis kalus embriogenik pada media MSD2 pada pengamatan minggu ke-8 setelah dikulturkan. Kalus embriogenik berbentuk (A) globular; (B) skutelar; ukuran kalus embriogenik 200-600 µm, perbesaran 10x ( = 200 µm). Asam askorbat juga ditambahkan ke dalam medium MSD2. Menurut Smirnoff et al. (2000) asam askorbat termasuk golongan vitamin C dan berfungsi di dalam tanaman sebagai antioksidan, kofaktor dalam reaksi biokimia, dan prekursor pembentukan asam oksalat dan tartarat Asam askorbat merupakan prekursor biosintesis asam oksalat. Asam askorbat akan mencapai titik tertinggi pada saat asam oksalat mulai terakumulasi (Wheeler et al. 1998). Asam oksalat mempunyau fungsi utama dalam regulasi kalsium, keseimbangan ion, proteksi tanaman, dan detoksifikasi logam toksik (Franceschi & Nakata 2005). Kalsium diregulasi oleh asam oksalat secara in vivo dan in vitro, maka penambahan asam oksalat ke dalam medium kultur dapat menstimulasi pertumbuhan embrio somatik tahap awal melalui kontrol ketersediaan kalsium. Asam oksalat sebanyak 0,34 mM dapat menginduksi pertumbuhan tanaman Pinus tadea (Pullman et al. 2006). Asam askorbat berfungsi sebagai antioksidan dengan menghasilkan enzim askorbat oksidase dan dapat mencegah efek pencokelatan. Hal ini terlihat bahwa kalus-kalus embriogenik pada semua perlakuan medium berwarna kuning kecokelatan dan tidak terlihat adanya tingkat pencokelatan yang tinggi (Gambar 6). Asam askorbat juga berperan dalam pembelahan dan perkembangan dinding sel (Arrigoni 1994). Asam askorbat dapat meningkatkan pembelahan sel, melalui pengaruhnya terhadap konsentrasi DHA selama fase pembelahan sel G1. Hasilnya akan mempersingkat siklus pembelahan dan pemanjangan sel (Kato & Esaka 1999). Barth et al. (2006) mengasumsikan bahwa asam askorbat berhubungan dengan sinyal fitohormon selama transisi dari fase vegetatif ke fase generatif dan fase akhir perkembangan. Asam askorbat berperan dalam metabolisme dinding sel. Keseimbangan antara asam askorbat dan tingkat H2O2 secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap lignifikasi komponen dinding sel. Lignifikasi berasosiasi
19
dengan aktivitas peroksidase (POD) dan formasi H2O2 dalam dinding sel. POD menggunakan H2O2 sebagai oksidan untuk membentuk radikal monolignol. Reaksi ini dihambat oleh askorbat yang dapat mengurai radikal monolignol. Kombinasi askorbat di dalam apoplas dalam lignifikasi masih dapat menghambat POD (Mazid et al. 2011). Auksin 2,4-D menstimulasi pembelahan sel dan menghambat pemanjangan sel sedangkan NAA berperan dalam meningkatkan pemanjangan sel pada saat terjadi penurunan pembelahan sel. Peran antagonis ini ada hubungannya dengan pola transportasi dari dua jenis auksin tersebut. 2,4-D lebih cepat terakumulasi di dalam sel (Delbarre et al. 1996). Reseptor Auxin Binding Protein (ABP1) berikatan dengan NAA dan berfungsi dalam pemanjangan sel. Reseptor Rx yang tidak diketahui berikatan dengan 2,4-D dan mengaktifkan pembelahan sel melalui sinyal transduksi protein G. Toksin Pertussis yang dapat memblok protein G dan menghambat pembelahan sel oleh 2,4-D. Aluminium tetraflorida merupakan suatu aktivator protein G dapat menginduksi pembelahan oleh NAA (Campanoni & Nick 2005). Auksin berperan dalam pembelahan dan pembesaran sel. Auksin dapat mengaktifkan lintasan sinyal transduksi (Yamagami et al. 2004). Proses pembelahan sel dan pemanjangan sel merupakan proses antagonis dalam tanaman tembakau. Stimulasi pembelahan sel berkorelasi dengan penghambatan pemanjangan sel, dan sebaliknya. Pemanjangan sel meningkat jika terjadi penurunan pada pembelahan sel. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kualitatif dari 2,4-D dan NAA. Auksin alami (IAA) dan analog auksin sintesis (2,4-D dan NAA) menunjukkan aktivitas yang sama. Hal ini kemungkinan disebabkan auksin sintetis memiliki dua fungsi selama induksi embriogenesis somatik, satu yang berhubungan dengan signal auksin dan lainnya berfungsi pada komponen stress (Feher et al. 2003) yang dapat mengubah konsentrasi auksin endogen (Jimenez 2005). Morfologi kalus embriogenik di dalam medium MSK2 dan MSD2 (Gambar 5 dan 6) pada umur 8 minggu setelah inkubasi tetap berwarna kuning kecokelatan, tidak mengalami pengcokelatan. Hal ini kemungkinan disebabkan kalus embriogenik yang digunakan merupakan kalus embriogenik sekunder yang langsung diambil dari perbanyakan kalus embriogenik pada medium padat. Tidak adanya efek pengcokelatan kemungkinan juga karena adanya asam askorbat yang digunakan pada medium MSD0 dan MSD2.
20 A A
BB
C
E
C
D
G
F
E
D
G
F
Gambar 5 Morfologi koloni kalus embriogenik pada perlakuan medium (A) MSK0; (B) MSK1; (C) MSK2; (D) MSK3; (D) MSK4; (E) MSK5; (F) MSK6; (G) MSK7 menggunakan mikroskop cahaya pada pengamatan minggu ke-8. Medium MSK2 adalah medium MS0 dengan auksin 2.4-D dan NAA, ----- =200 µm. AA
B B
E E
C
F
c
D
D
G G
F
Gambar 6 Morfologi koloni kalus embriogenik pada perlakuan medium (A) MSD0; (B) MS1; (C) MSD2; (D) MSD3; (D) MSD4; (E) MSD5; (F) MSD6; (G) MSD7 menggunakan mikroskop cahaya pada pengamatan minggu ke-8. Medium MSK adalah medium MS0 dengan auksin 2.4-D dan NAA, ---- =200 µm. Simpulan Medium MSD2, yaitu medium MS dengan penambahan biotin, D-Capantotenat, kolin klorida, L-sistein-HCL, asam askorbat, alanin, serta 2.4-D 0.9 mg/L dan NAA 4.0 mg/L adalah medium yang mampu menghasilkan rataan berat basah kalus tertinggi sebesar 72% dan kemungkinan dapat meningkatkan persentase regenerasi karena menghasilkan kalus embriogenik dengan ukuran yang lebih besar daripada medium MSK2.
21
4 OPTIMASI TEKNIK SPS UNTUK PROLIFERASI KALUS EMBRIOGENIK TANAMAN KELAPA SAWIT (Elais guineensis Jacq.) Abstrak Proliferasi kalus embriogenik pada kelapa sawit melalui teknik kultur jaringan umumnya dilakukan dalam medium cair, namun perolehan embrio somatik masih belum optimum. Teknik sistem perendaman sesaat (SPS) sejauh ini sudah digunakan pada beberapa tanaman untuk produksi embrio somatik dalam skala industri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan medium dan periode perendaman terbaik yang dapat meningkatkan proliferasi embrio somatik tanaman kelapa sawit dengan teknik SPS. Bahan tanam yang digunakan adalah kalus embriogenik lini S15.355 dan S.82.132 berukuran 1-2 mm dikulturkan di dalam media MSK0 (kontrol) di atas mesin pengocok, MSD0, dan MSD2. Teknik SPS yang diuji menggunakan periode perendaman 1, 3, dan 6 jam sekali selama 3 menit. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rataan berat basah tertinggi adalah kalus embriogenik lini S15.355 dari medium cair MSD0 pada sistem perendaman sesaat. Penelitian lanjutan untuk pengujian lama perendaman dan jenis medium masih perlu dilakukan. Kata kunci : Sistem perendaman sesaat, embriogenesis somatik, kalus embryogenik, Elaeis guineensis Jacq., medium cair.
Abstract Proliferation of embryogenic callus in oil palm with tissue culture using liquid medium commonly, but the results were still not optimum. Temporary immersion system as far has been used in production industry of many plants. The objectives of this research were to obtain the best medium and immersion frequence which can increase proliferation of oil palm somatic embryo with temporary immersion system. Embryogenic calluses from line S15.355 and S.82.132 with size 1-2 mm cultured in MSK0 medium (control), MSD0, and MSD2 medium which was MS medium enriced. Temporary immersion system using immersion frequence every 1, 3, and 6 hour immersed for 3 minutes. Liquid medium (MSK0) used as control and incubated on the shaker. The result showed that the highest rate of embryogenic callus fresh weight got from line S15.355 in control medium (MSK0) and incubated on shaker also immersed for 24 hours after 8 weeks after subcultured. Medium in temporary immersion system still did not give optimum results. The next research for immersion frequence and other mediums still need to do. Key words : Temporary immersion system, somatic embryogenesis, embryogenic callus, Elaeis guineensis Jacq., liquid medium.
22
Pendahuluan Basis perbanyakan kelapa sawit secara in vitro adalah melalui pembentukan kalus, dikuti dengan pembentukan kalus embriogenik, pendewasaan embrio, perakaran planlet, dan aklimatisasi ramet. Embrio somatik yang dibentuk pada tahap awal biasanya disubkultur ke dalam medum cair dengan tujuan meningkatkan laju penggandaan embrio somatik. Namun, sampai saat ini belum ditemukan medium yang optimum untuk medium cair. Sistem medium cair mampu menyediakan kultur yang lebih seragam, mudah dalam penggantian medium, dan dapat menggunakan wadah kultur yang lebih besar. Medium cair ideal untuk mengurangi biaya produksi planlet karena dapat diotomatisasi (Aitken-Christie 1991). Namun terdapat kelemahan penggunaan medium cair diantaranya dapat menyebabkan vitrifikasi, sel-sel dapat rusak karena adanya perputaran medium pada mesin pengocok, dan sel-sel dapat mengalami kekurangan oksigen. Untuk mengurangi kelemahan ini, maka beberapa teknik telah dikembangkan di antaranya penggunaan penopang berupa jembatan kertas saring, menambahkan medium cair ke dalam medium padat, penggunaan bioreaktor berupa kultur suspensi. Sistem perendaman sesaat (SPS) telah dikembangkan untuk perbanyakan tanaman secara in vitro berdasarkan prinsip bioreaktor. Sistem ini memungkinkan eksplan kontak dengan medium secara periodik. Periode dan waktu perendaman dikontrol secara otomatis oleh alat pengatur waktu. Sistem ini cukup baik dalam hal pertukaran oksigen, pencampuran eksplan dan medium, penurunan persentase kontaminasi, dan penurunan biaya produksi (Teisson et al. 1999; Etienne & Berthouly 2002). Tahardi (1998) melaporkan bahwa produksi embrio somatik yang berasal dari kalus nodular lebih tinggi dengan menggunakan SPS, kultur lebih seragam dibandingkan dengan dalam media padat. Teknik SPS telah digunakan untuk perbanyakan massal berbagai spesies tanaman dalam skala komersil, yang dapat diperbanyak melalui alur pembentukan somatik embrio. Perbanyakan tanaman secara in vitro melalui embriogenesis somatik telah dilaporkan pada tanaman karet (Etienne dan Berthouly 2002), kopi (Albarran et al. 2005; Etienne et al. 2006; Gatica-Arias 2008), pisang (Haq dan Dahot 2007), Theobroma (Niemenak et al. 2008). Di samping itu produksi embrio somatik tanaman secara in vitro juga digunakan untuk transformasi genetik. SPS juga telah digunakan untuk perbanyakan kelapa sawit secara in vitro (Sumaryono et al. 2008); Camptotheca acuminata sejenis tanaman obat-obatan langka menggunakan medium MS dengan penambahan BAP 0,5 mg/L dengan perendaman setiap selang 6 jam dengan lama perendaman selama 1 menit (Sankar-Thomas et al. 2008), dan buah peach (Steinmacher et al. 2011). Teknik SPS juga telah digunakan untuk penggandaan cepat secara komersil tanaman yang diperbanyak dengan kultur jaringan melalui alur organogenesis, diantaranya pisang (Roels et al. 2006), nenas (Scheidt et al. 2009), Casava acuminata (Sankar-Thomas et al. 2008), kurma (Fki et al. 2011) dan tebu (Yang et al. 2010), Snyman et al. (2011). Di samping itu SPS juga digunakan untuk memproduksi metabolit sekunder sebagai bahan dasar untuk pembuatan bahan obat-obatan dan farmasi (Debnath 2009; Stanly et al. 2010; Yan et al. 2011; Malosso et al. 2012).
23
Jova et al. (2011) melaporkan bahwa persentase multiplikasi tanaman meningkat menggunakan SPS dibandingkan dengan perbanyakan pada medium padat. Namun, Hanhineva et al. (2005), Jo et al. (2008), Stanly et al. (2010) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan persentase multiplikasi antara kedua teknik. Wu et al. (2007), Ross & Castillo (2009) melaporkan bahwa perendaman permanen di atas mesin pengocok menghasilkan multiplikasi tinggi pada anggrek dan blueberry. Tujuan penelitian adalah mendapatkan komposisi medium dan periode perendaman terbaik yang dapat meningkatkan persentase lini kalus embriogenik S15.355 dan S82.132 menggunakan SPS. Bahan dan Metode Bahan Tanaman Penelitian ini menggunakan dua lini kalus embriogenik fase nodular, yaitu lini kalus embriogenik S82.132 yang memiliki ukuran koloni <200 µm dan lini kalus embriogenik S15.355 yang memiliki ukuran koloni > 200 µm pada awal percobaan (Gambar 4). Keseragaman kalus nodular diperoleh melalui penyaringan menggunakan saringan berukuran 1-2 mm yang dilakukan secara steril di dalam Laminar Air Flow. Koloni adalah kumpulan embrioid yang berjumlah kurang dari 5 sel embroid. Metode Penelitian Sebanyak 0.5 g kalus embriogenik dari dua lini ditimbang dan dikulturkan ke dalam bejana SPS. Medium yang digunakan adalah medium terbaik dari penelitian sebelumnya (Bab III), yaitu medium MSD0, MSD2, medium kontrol MSK0. Medium cair diatur pada pH 5.7, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, ditutup dengan dua lapis aluminum foil, bejana SPS dan seluruh peralatan yang akan digunakan disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 121°C dan bertekanan 1.1 kg cm-2 selama 20 min. Medium MSD0 adalah medium MS diperkaya biotin, D-Ca-pantotenat, kolin klorida, L-sistein-HCL, asam askorbat, dan alanin. Medium MSD2 adalah medium MSD ditambah 2.4-D sebanyak 0.9 mg/L dan NAA sebanyak 4.0 mg/L. Medium MSK0 (medium MS tanpa vitamin, asam amino, dan ZPT) digunakan sebagai kontrol dan menggunakan kalus embriogenik yang dikulturkan di dalam Erlenmeyer 100 mL di atas mesin pengocok. Kultur kontrol dikocok selama 24 jam di atas mesin pengocok arbitari dengan kecepatan pengocokan 100 rpm dan diinkubasi di dalam ruang gelap dengan suhu 28 ± 2 °C, kelembaban nisbi udara di bawah 50%. Untuk kultur dengan sistem SPS menggunakan tiga periode perendaman, yaitu 1, 3 dan 6 jam sekali selama 3 menit. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 10 kali. Kultur SPS diinkubasi di dalam ruang terang (16 jam terang, 8 jam gelap) bersuhu 28 ± 2 °C dengan kelembaban udara di bawah 50 ± 10%. Pengamatan pertumbuhan kalus berbasis berat basah dilakukan pada minggu ke-0 (M0), ke-4 (M4), dan ke-8 (M8) stelah inkubasi. Percobaan dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap In time (RAL). Terdapat tiga jenis medium yang digunakan, tiga periode perendaman, dua selang waktu pengamatan, dan masing-masing perlakuan menggunakan sepuluh ulangan
24
sehingga terdapat 3x3x2x10= 180 satuan pengamatan. Pengamatan terhadap berat basah dianalisis dengan Analisis Ragam (Anova), faktor yang nyata pada uji F (5%) diuji lanjut dengan uji DMRT pada selang kepercayaan 95% (Mattjik dan Sumertajaya 2002).
Hasil dan Pembahasan Pengaruh Genotipe terhadap Rataan Berat Kalus Embriogenik Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa interaksi genotipe dan medium berbeda nyata. Rataan berat basah juga berbeda nyata antara dua genotipe yang digunakan (Lampiran 2). Genotipe S15.355 menghasilkan rataan berat basah tertinggi sebesar 0.77 g, sedangkan genotipe S82.132 menghasilkan rataan berat basah sebesar 0.54 g (Gambar 7). Genotipe S15.355 mempunyai koloni berukuran >200 µm sedangkan genotipe S82.132 mempunyai koloni berukuran <200 µm. Perbedaan morfologi kalus terutama dalam ukuran dan kekompakan kalus, untuk genotipe S82.132, memiliki kalus embriogenik lebih remah dibandingkan dengan lini S15.355 kalusnya lebih bergerombol (Gambar 8). a b
Gambar 7 Rataan berat basah pada lini kalus embriogenik S15.355 dan S82.132 pada pengamatan minggu ke-8 setelah diinkubasi berdasarkan DMRT pada taraf nyata P <0.05.
Kalus embriogenik lini S15.355 menghasilkan rataan berat basah sebesar 0.79 g sedangkan kalus embriogenik lini S82.132 menghasilkan berat basah sebesar 0.54 g pada pengamatan minggu ke-8 setelah subkultur. Lini S15.355 menunjukkan kenaikan rataan berat basah sebesar 53% dan kalus embriogenik lini S82.132 sebesar 8%. Genotipe yang berbeda memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan yang diberikan dan menghasilkan rataan berat basah kalus embriogenik yang berbeda.
25
Gambar 8 Morfologi koloni lini embrioid S82.132 (a,b) dengan ukuran <200 µm dan lini embrioid S15.355, garis putih = 200 µm; (c,d) dengan ukuran >200 µm, garis merah = 200 µm, pada pengamatan minggu ke-0 inkubasi. Steinmacher et al. (2007) melaporkan bahwa faktor genotipe berperan penting di dalam embriogenesis somatik. Faktor genotipe juga berpengaruh pada tipe dan persentase formasi kalus (Sarasan et al. 2005). Faktor tetua asal eksplan daun yang digunakan untuk perbanyakan, berpengaruh nyata dalam proses regenerasi kelapa sawit secara in vitro (Duval et al. 1988; Konan et al. 2007). Pada mikropropagasi tanaman dilaporkan bahwa faktor genotipe berpengaruh dalam tingkat fitohormon endogen atau dalam kapasitas reaksi yang berbeda antara satu genotipe dengan genotipe lainnya (Schween & Schwenkel 2003; Wikelmann & Serek 2005). Genotipe yang berbeda memberikan respon yang berbeda pada persentase pembentukan kalus, tipe kalus, kalus embriogenik, dan kecepatan pembentukan kalus embriogenik dan embrio somatik dari eksplan embrio zigotik kelapa sawit (Sanputawong & Te-chato 2012). Pengaruh Medium terhadap Rataan Berat Kalus Embriogenik Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa interaksi medium dan genotipe berbeda nyata. Pengaruh medium tidak berbeda nyata terhadap rataan berat kalus embriogenik (Lampiran 1). Rataan berat basah tertinggi dihasilkan di dalam medium MSD0 sebesar 0.69 g sedangkan di dalam medium MSD2 sebesar 0.63 g. Medium MSD0 dapat meningkatkan rataan berat basah kalus embriogenik sebesar 38% sedangkan medium MSD2 sebesar 27 %.
26
a a
Gambar 9 Rataan berat basah pada medium kontrol (MSK0), MSD0, dan MSD2 pada pengamatan minggu ke-8 berdasarkan DMRT pada taraf nyata P <0.05.
Pengaruh Periode Perendaman Terhadap Rataan Berat Kalus Embriogenik Pengaruh periode perendaman terhadap rataan berat kalus embriogenik tidak berbeda nyata (Lampiran 1). Periode perendaman 1, 3, dan 6 jam menunjukkan perbedaan yang tidak nyata untuk rataan berat basah kalus embriogenik. Kenaikan rataan berat basah sekitar 28-34%. Ketiga periode perendaman tersebut tidak mampu meningkatkan rataan berat basah kalus embriogenik secara signifikan.
a
a
a
Gambar 10 Rataan berat basah pada periode perendaman 1,3,6 jam dan pada pengamatan minggu ke-8 berdasarkan DMRT pada taraf nyata P < 0.05.
27
Periode perendaman juga berpengaruh pada embrio somatik eksplan daun kelapa sawit. Rataan berat basah tertinggi diperoleh dari perlakuan periode perendaman 6 jam sekali dan direndam selama 3 menit. Penggunaan SPS lebih tinggi menghasilkan jumlah embrio somatik dibandingkan dengan penggunaan medium padat. Hasilnya terbentuk 62 embrio somatik per 100 mg eksplan (Sumaryono et al. 2007). Steinmacher et al. (2011) menemukan bahwa periode perendaman tersebut juga dilakukan pada penelitian perbanyakan tanaman Bactris gasipaes (Pejibaye). Persentase kalus embriogenik tertinggi diperoleh dari perlakuan medium kontrol (dengan teknik pengocokan). Hasil yang sama juga ditemukan Wu et al. (2007) dan Ross & Castillo (2009) pada tanaman anggrek dan blueberry yang menghasilkan multiplikasi embrio somatik yang tinggi pada perendaman selama 24 jam di atas mesin pengocok . Hasil di atas berbeda dengan penelitian menggunakan embrio somatik tanaman kopi (Alabarran et al. 2005) dan embrio somatik tanaman cokelat (Thebroma cacao L.) (Niemenak et al. 2008). Rataan berat basah embrio somatik Coffea arabica diperoleh dari SPS dengan periode perendaman 4 jam sekali dan direndam selama 1 menit. Teknik SPS dapat menghasilkan 2.250 embrio somatik (Alabarran et al. 2005). Sedangkan rataan berat basah embrio somatik tanaman cokelat diperoleh dari SPS dengan periode perendaman 6 jam sekali dan direndam selama 1 menit. Penggunaan SPS pada embrio somatik tanaman cokelat menghasilkan rataan berat basah 13 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan medium padat (Niemenak et al. 2008). Perbanyakan tunas tanaman nenas (Ananas comosus) hasil yang terbaik menggunakan SPS adalah dengan periode perendaman 2 jam sekali dan direndam selama 15 menit. Hasilnya diperoleh kenaikan rataan berat basah tunas 2.3 kali menggunakan SPS dan 1.3 kali menggunakan kultur suspensi (Scheidt et al. 2009). Sedang pada tanaman Eucalyptus globulus. Rataan berat basah tunas tertinggi diperoleh dari perlakuan periode perendaman 12 jam sekali dan direndam selama 2 menit (Gonzales et al. 2011). Pengaruh Waktu Pengkulturan terhadap Rataan Berat Kalus Embriogenik Rataan berat basah tertinggi dihasilkan oleh kalus embriogenik yang dikulturkan pada medium MSD0 sebesar 38% dan terjadi pada minggu pengamatan ke-8 (Gambar 11). Berat basah kalus embriogenik masih mengalami kenaikan pada minggu ke-8 dan menunjukkan bahwa kalus embriogenik masih berada pada fase eksponensial. Periode perendaman 1, 3, dan 6 jam menunjukkan rataan berat basah kalus embriogenik yang tidak berbeda nyata pada minggu pengamatan ke-8 (Gambar 12). Berat basah kalus embriogenik masih mengalami kenaikan pada minggu ke-8 dan menunjukkan bahwa kalus embriogenik masih berada pada fase eksponensial. Cekaman abiotik merupakan salah satu faktor penting yang berhubungan dengan kompetensi embriogenik (Pasternak et al. 2002). Perendaman sesaat di dalam SPS dapat menciptakan cekaman dalam berbagai bentuk di antaranya hipoksia sesaat yang disebabkan oleh cekaman sel-sel yang dapat menstimulasi adaptasi metabolik jangka pendek. Walaupun eksplan berada di lingkungan penuh oksigen, namun jaringan tanaman yang memiliki aktivitas metabolik tinggi dapat
28
mengalami hipoksia, terutama eksplan yang kehilangan banyak ruang interseluler atau mengandung sel-sel yang memiliki sedikit vakuola (Geigenberger 2003).
Gambar 11 Rataan berat basah kalus embriogenik di dalam medium MSD0 dan MSD2 pada pengamatan minggu ke-0, 4, dan 8.
Gambar 12 Rataan berat basah kalus embriogenik dengan periode perendaman 1, 3, dan 6 jam pada pengamatan minggu ke-0, 4, dan 8. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa koloni kalus embriogenik S82.132 berwarna kuning pada semua medium perlakuan dan tidak mengalami efek pengcokelatan (Gambar 13). Hal sebaliknya untuk koloni kalus embriogenik S15.355 berwarna cokelat kehitaman di dalam medium MSD0 pada ketiga periode perendaman. Koloni tidak mengalami pencokelatan di dalam medium MSD2 pada ketiga periode perendaman (Gambar 14). Hal ini kemungkinan disebabkan adanya 2,4-D dan NAA, dan asam askorbat yang berfungsi sebagai antioksidan. Penambahan auksin 2,4-D di dalam medium MSD2 dapat meningkatkan fungsi asam askorbat sebagai antioksidan.
29 (A ))
(B)
(B)
(B)
A
(1 B-1
(2 B-2 )
(3B-3 )
)
(C ))
(C ))
(C ))
C-1 (1)
C-2 (2)
C-3 (3)
Gambar 13 Morfologi koloni kalus embriogenik S82.132 berumur 8 minggu setelah inkubasi di dalam (A) medium MSK0, (B) medium MSD0, adalah medium MS diperkaya biotin, D-Ca-pantotenatae, Kolin klorida, L-Sitein-HCL, asam askorbat, dan alanin, dan (C) medium MSD2 adalah medium MSD0 ditambah 2.4-D 0.9 mg/L dan NAA 4.0 mg/L. Periode perendaman (1) 1 jam, (2) 3 jam, dan (3) 6 jam; garis 0.5 cm.
A
B-1
B-2
B-3
B-1
(1)
C-1
(2)
C-2
(3)
C-3
(2) embriogenik S15.355 (3) berumur 8 minggu Gambar 14 Morfologi koloni kalus setelah inkubasidi dalam (A) medium MSK0, (B) medium MSD0 adalah medium MS diperkaya biotin, D-Ca-pantotenatae, Kolin klorida, L-Sitein-HCL, asam askorbat, dan alanin, dan (C) medium MSD2 adalah medium MSD0 ditambah 2.4-D 0.9 mg/L dan NAA 4.0 mg/L. Periode perendaman (1) 1 jam, (2) 3 jam, dan (3) 6 jam; garis 0.5 cm.
30
Kerja auksin berhubungan dengan enzim askorbat oksidase (AOX) yang .dapat terlihat pada kalus jaringan buah labu yang dikulturkan secara in vitro. Aktivitas AOX pada kalusnya meningkat ketika dikulturkan pada medium dengan penambahan auksin 2,4-D. Aktivitas enzim diregulasi oleh auksin pada tingkat ekspresi gen. Analisis ekspresi gen nunjukkan bahwa tingkat AOX mRNA juga meningkat stelah dikulturkan di dalam medium yang ditambah 2,4-D. Tingkat transkripsi AOX tidak meningkat pada medium tanpa auksin 2,4-D (Esaka et al. 1992). Ekspresi AOX juga diinduksi oleh auksin pada kultur daun tembakau dan berhubungan dengan stimulasi zat pengatur tumbuh auksin (Pignocchi et al. 2003). Simpulan Rataan berat basah kalus embriogenik tertinggi pada sistem perendaman sesaat dihasilkan dari lini S15.355, medium MSD0 dan pada pengamatan minggu ke-8. Kenaikan berat basah kalus embriogenik pada medium MSD0 sebesar 38% sedangkan medium MSD2 hanya 27%. Periode perendaman 1, 3, dan 6 jam menunjukkan rataan berat basah kalus embriogenik yang tidak berbeda nyata pada minggu pengamatan ke-8.
5 IDENTIFIKASI PEMBEDA KALUS EMBRIOGENIK DAN NON EMBRIOGENIK MENGGUNAKAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM) Abstrak Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan teknologi kultur jaringan pada tanaman kelapa sawit untuk skala industri adalah kesulitan dalam membedakan fase perkembangan embrio somatik dan membedakan kalus embriogenik dan kalus non embriogenik secara visual. Tujuan penelitian adalah (1) untuk mengetahui fase perkembangan embrio somatik kelapa sawit dan (2) untuk mendapatkan pembeda kalus embriogenik dan kalus non embriogenik kelapa sawit secara morfologi menggunakan SEM. Embrio somatik lini S15.355 umur 14 bulan yang dikulturkan di dalam medium padat digunakan untuk mengetahui fase perkembangan embrio somatik. Embrio somatik lini S82.132 hasil penelitian SPS dan embrio somatik umur 14 bulan di dalam medium padat digunakan untuk mendapatkan pembeda antara kalus embriogenik dan non embriogenik. Fase-fase perkembangan embrio somatik yang terlihat adalah fase nodular, globular, skutelar, koleoptilar, dan tunas. Pembeda antar kalus embriogenik dan non embriogenik diperoleh pada permukaan luar kalus. Kalus embriogenik memiliki permukaan yang halus dan mengkilap sedangkan kalus non embriogenik memiliki permukaan yang kasar dan tidak mengkilap. Kata kunci: Elaeis guieensis Jaqc., kalus embriogenik, embriogenesis somatik, scanning electron microscope, medium padat.
31
Abstract One of the problem in tissue culture technology is still difficult to study the differences of development phases from oil palm somatic embryo and the differences between embryogenic callus and non embryogenic callus visually. The objectives of this research were (1) to study the differences of development phases from oil palm somatic embryo and (2) to obtain the morphology marker between embryogenic callus and non embryogenic callus using Scanning Electron Microscope (SEM). The explant came from somatic embryo line S15.355 age 14 months cultured in solid medium used to study the development of somatic embryo. The development phases of somatic embryo were nodular, globular, scutellar, coleoptilar, and shoot. The differences between embryogenic callus and non embryogenic callus obtained from callus surface. Embryogenic calluses have smooth and lighter surface but non embryogenic calluses have rough and not light surface. Key words: Elaeis guieensis Jaqc., embryogenic callus, somatic embryogenesis, scanning electron microscope, solid medium
Pendahuluan Tanaman kelapa sawit tergolong monokotiledon dan tidak dapat diperbanyak secara vegetatif dengan teknik konvensional. Somatik embryogenesis adalah suatu proses sel-sel somatik yang memiliki potensi embriogenik dan berdiferensiasi menjadi embrio baru yang mirip dengan embrio zigotik melalui adanya reprogram ekspresi gen (Jimenez 2001). Sukses pada regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik telah dilaporkan pada beberapa spesies tanaman palma. Banyak penelitian yang melaporkan perkembangan dari kalus embriogenik pada tanaman palma. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik pada tanaman kelapa sawit telah berhasil dengan baik. Walaupun embrio somatik dapat digandakan melalui beberapa kali subkultur, namun pada umumnya produksi embrio somatik masih tetap sangat rendah (Rohani et al. 2000). Namun, asal dan perkembangan embrioid pada kalogenesis dan morfogenesis belum banyak diketahui. Sedikit sekali studi morfologis yang telah dilakukan pada somatik embriogenesis pada tanaman palma (Yusoff et al. 2012). Proses embriogenesis somatik pada tanaman palma dapat dibagi dalam beberapa tahap yang berbeda, yaitu (1) induksi kalus pada eksplan daun muda, (2) proliferasi kalus, (3) inisiasi somatik emrbrio yang berasal dari kalus, (4) proliferasi somatik embrio, (5) pendewasaan embrio, dan (6) regenerasi tanaman (Soh et al. 2006). Sel-sel kortikal pada eksplan daun akan distimulasi membentuk kalus, dan melalui beberapa tahapan pembelahan sel terbentuk struktur sel yang berbentuk nodular yang merupakan asal terjadinya diferensiasi embrio. Somatik embrio yang terbentuk pertama sekali akan berproliferasi dan membentuk lini-lini embriogenik. Pada tanaman monokotiledon perkembangan embrio somatik diawali terbentuknya struktur globular, skutelar, dan koleoptilar kotiledon
32
sedangkan fase perkembangan tanaman dikotil terdiri dari fase globular, hati, torpedo, dan kotiledon (Gocbole et al. 2002, Quiroz-Figueroa et al. 2006). Secara visual umumnya akan mengalami kesulitan untuk membedakan kalus embriogenik pada fase nodular, globular, dan skutelar. Selain itu kesulitan juga terjadi dalam membedakan kalus yang berpotensi berkembang menjadi kalus embriogenik dan kalus yang tidak memiliki kemampuan membentuk embrio somatik. Perkembangan kalus embriogenik dan embrio somatik kelapa sawit dapat dipelajari secara visual dengan mengamati perubahan morfologi menggunakan Scanning Electron Microscope atau SEM (Yusoff et al. 2012; Erlangga & Mariani 2006). Observasi perkembangan embrio somatik menggunakan mikroskop stereo hanya memberikan informasi mengenai perubahan bentuk. Sedangkan observasi menggunakan SEM dapat menunjukkan informasi yang rinci mengenai perubahan permukaan embrio somatik selama perkembangannya (Mariani et al. 1998). Proses terbentuknya dinding sel pada proembrio kelapa sawit telah diamati menggunakan SEM, seperti tahapan terbentuknya dinding sel lama, sebelum dan setelah pengeluaran matriks ekstraselular, dan akhirnya terbentuk dinding yang baru. Protoderma dan kristal lilin yang terbentuk pada embrio somatik fase globular kelapa sawit. Bagian ini sangat penting dalam proses diferensiasi epidermis embrio. Selain itu, terdapat juga suspensor yang tidak berkembang yang disebut jaringan supra embriogenik pada embrio somatik kelapa sawit fase globular (Erlangga & Mariani 2006). SEM juga digunakan untuk mengamati perkembangan embrio somatik tanaman lainnya. Taylor et al. (1996) mengamati ultrastruktur dari perkembangan embrio somatik dari Pennisetum glaucum menggunakan SEM untuk membandingkan ultrastruktur embrio zigotik dari spesies yang sama. Penggunaan SEM untuk observasi perubahan permukaan struktur embriogenesis somatik langsung pada padi juga digunakan oleh Sato et al. (2001) untuk mengamati permukaan kalus padi yang diberi perlakuan enzim pendegradasi dinding sel. Penelitian Yusoff et al. (2012) menemukan adanya struktur seperti jaring pada lapisan epidermis dinding sel eksplan daun kelapa sawit pada pengamatan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron. Struktur ini berasosiasi dengan matriks ekstraseluler atau matriks ekstraseluler jaringan permukaan. Matriks ini hanya ditemukan pada beberapa kalus yang sedang berkembang. Matriks ini juga ditemukan pada kalus Cocos nucifera (Verdeil et al. 2001), Brassica napus (Namasivayam et al. 2006), dan Triticum aestivum (Pilarska et al. 2007) dan adanya matriks ini berhubungan dengan kompetensi embriogenik dan morfogenik (Namasivayam 2007). Matriks ini umumnya dikenal dengan istilah Extracellular Matrix Surface Network. Matriks ini dapat berupa protein arabinogalaktan, pektin, dan lipid. Komponen ini berperan dalam proliferasi selular, adhesi sel, dan komunikasi sel pada proses embriogenik dan perkembangan embrio (Namasivayam et al. 2006; Pilarska et al. 2007; Blehova et al. 2010). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui fase-fase perkembangan embrio somatik kelapa sawit dan untuk mendapatkan pembeda kalus embriogenik dan kalus non embriogenik kelapa sawit secara morfologi menggunakan SEM.
33
Bahan dan Metode Bahan Tanaman Penelitian ini terbagi atas dua tahap, yaitu (1) fase perkembangan embrio somatik kelapa sawit menggunakan kalus embriogenik lini S15.355 berumur 14 bulan di dalam medium padat, (2) pembeda kalus embriogenik dan non embriogenik menggunakan kalus embriogenik lini S82.132 yang berasal dari penelitian perbanyakan dengan teknik SEM dan kalus embriogenik lini S82.132 berumur 14 bulan di dalam medium padat. Persiapan sampel Masing-masing sampel tanaman direndam di dalam larutan glutaraldehida 2%. Pengamatan terhadap perubahan struktur permukaan dan bentuk dari masingmasing sampel dilakukan menggunakan mikroskop stereo dan Scanning Microscope Electron atau SEM (Pathan et al. 2008) milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong.
Hasil dan Pembahasan Fase Perkembangan Kalus Embriogenik Lini S15.355 Morfologi embrio somatik kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasakan ukurannya, yaitu kalus embriogenik dan embrio somatik. Kalus embriogenik merupakan kalus dengan struktur nodular yang sudah bersifat embriogenik. Kalus ini umumnya disebut dengan kalus nodular (Gambar 15). Kalus nodular ini masih dapat berproliferasi karena sel-selnya masih bersifat meristematik dan sangat aktif membelah. Kalus nodular akan berdiferensiasi menghasilkan embrio somatik. Embrio somatik kelapa sawit terdiri dari 3 fase, yaitu fase globular, skutelar, dan koleoptilar. Embrio somatik fase globular memiliki ukuran yang lebih besar dari kalus nodular. Pada fase globular, embrio terlihat lebih besar dan bulat. Embrio fase globular akan berdiferensiasi membentuk embrio fase skutelar. Embrio pada fase ini terlihat seperti bentuk hati dan terdapat lengkungan skutelar (Gambar 16). Embrio fase skutelar akan berdiferensiasi membentuk embrio fase koleoptilar. Embrio fase koleotilar awal sudah mulai berwarna hijau kekuningan dan transparan, berbentuk bulat dan selanjutnya bagian apikal embrio akan terbelah, dan mulai terlihat bentuk seperti ujung tunas (Gambar 17). Selanjutnya embrio fase koleoptilar akan berkembang membentuk struktur seperti tunas kecil berwarna putih. Fase ini disebut dengan fase koleoptilar akhir. Embrio fase ini kemudian akan berkembang menjadi ukuran yang lebih besar dan sudah terdapat ujung tunas dan akhirnya akan berkembang menjadi tunas (Gambar 18). Pada tahap akhir embrio akan bergerminasi membentuk primordia tunas dengan daun muda yang masih kecil. Daun berwarna kekuningan dengan ujung tunas berwarna hijau (Gambar 19).
34
N N N
N N
N
A
B
Gambar 15 Morfologi kalus embriogenik fase nodular (N), (A) pengamatan menggunakan mikroskop stereo, pembesaran 1x (garis putih = 200 µm); (B) pengamatan menggunakan SEM, pembesaran 150x (garis merah = 0.01 mm).
SK
SK
SK
SK
SK G SK
G A
B
Gambar 16 Morfologi embrio somatik fase globular (G), fase skutelar (SK), (A) pengamatan menggunakan mikroskop stereo, pembesaran 2x (garis putih = 200 µm); (B) pengamatan menggunakan SEM, pembesaran 35x (garis merah = 0.04 mm). Fase perkembangan embrio somatik kelapa sawit sama dengan embrio somatik padi (Oriza sativa) karena tergolong ke dalam kelas monokotiledon. Embrio somatik padi terbentuk langsung dari permukaan skutelum eksplan embrio zigotik. Embrio somatik uniselular terbentuk pada eksplan yang berasal dari embrio zigotik belum dewasa. Pola struktur dan perkembangan embrio somatik sama dengan embrio zigotik, seperti fase proembrio, globular, pemanjangan, skutelar, dan germinasi (Mariani et al. 2002).
35
K a Ka
K a
K a
K a
K a
B
A
Gambar 17 Morfologi embrio somatik fase koleoptilar awal (), (A) pengamatan menggunakan mikroskop stereo, pembesaran 2x (garis putih = 200 µm); (B) pengamatan menggunakan SEM, pembesaran 35x (garis merah = 0.04 mm).
T u
Kk
Tu
Kk
Kk
Kk
A
B Gambar 18 Morfologi embrio somatik fase koleoptilar akhir (Kk), tunas (Tu), (A) pengamatan menggunakan mikroskop stereo, pembesaran 2x (garis putih = 200 µm); (B) pengamatan menggunakan SEM, pembesaran 35x (garis merah = 0.04 mm).
Perbedaan fase proembrio dan globular terletak pada ukurannya. Diameter proembrio sebesar < 200 μm sedangkan ukuran embrio globular sebesar > 200 μm (Erlangga & Mariani 2006). Karakteristik dari fase embrio globular adalah adanya formasi jaringan epidermis. Jaringan ini hasil diferensiasi dari lapisan permukaan meristematik yang disebut protoderma. Lapisan ini berasal dari pembelahan periklinal pada transisi dari fase proembrio menjadi globular. Pada fase ini, lapisan protoderma menghasilkan lapisan lilin. Lapisan ini merupakan karakter pada saat protoderma berdiferensiasi menjadi epidermis (Fosket 1994).
36
Tu Tu
A
B
Gambar 19 Morfologi embrio bergeminasi menghasilkan tunas (Tu), (A) pengamatan menggunakan mikroskop stereo, pembesaran 1x (garis putih = 200 µm); (B) pengamatan menggunakan SEM, pembesaran 35x (garis merah = 0.04 mm). Pengamatan secara morfologi dan anatomi menyatakan bahwa embrio somatik dapat berasal dari satu sel atau kumpulan sel (Quiroz-Figueroa et al. 2002). Embrio somatik yang berasal dari satu sel (uniseluler), pembelahan sel dapat diamati dan terlihat bahwa embrio berhubungan dengan jaringan induk menggunakan struktur suspensor. Sebaliknya, embrio somatik yang berasal dari kumpulan sel (multiseluler), terlihat bahwa embrio somatik yang baru tidak berhubungan dengan jaringan induk dan tidak terlihat struktur suspensor (QuirozFigueroa et al. 2006). Erlangga & Mariani (2006) menemukan adanya struktur suspensor pada fase globular embrio somatik kelapa sawit. Fungsi suspensor ini khususnya pada tahap awal proses embriogenesis untuk menghantarkan nutrisi kepada embrio. Suspensor dapat berupa uniselular, multiseluler, dan dengan bentuk seperti filamen, bulat, atau tidak beraturan (Steeves 1989). Adanya struktur suspensor berkorelasi dengan cadangan nutrisi untuk perkembangan embrio. Pada lingkungan dengan nutrisi yang berlimpah umumnya struktur suspensor tidak berkembang dan kebalikannya (Yeung 1993). Tahapan pembentukan proembrio kelapa sawit adalah adanya dinding sel embrio awal yang akan berproliferasi, kemudian tahapan sebelum pengeluaran matriks seluler, dilanjutkan dengan pengeluaran matriks ekstraseluler berupa mikrofibril selulosa, dan akhirnya terbentuk embrio somatik yang baru (Erlangga & Mariani et al. 2006). Pembeda Kalus Embriogenik dan Non Embriogenik Kalus embriogenik lini S82.132 hasil penelitian SPS digunakan sebagai sampel untuk analisis SEM. Kalus embriogenik pada medium MSK0, MSD0, dan MSD2 tidak dapat bergerminasi menghasilkan tunas pada pengamatan 16 minggu setelah subkultur. Analisis SEM digunakan untuk mengetahui potensi embriogenik dari kalus tersebut. Hasilnya permukaan semua kalus terlihat kasar dan tidak mengkilap (Gambar 20). Terlihat semua permukaan kalus tidak rata dan seperti terkelupas (Gambar 21A) dan terlihat juga permukaan kalus seperti spons
37
dan berongga (Gambar 21B). Hal ini berhubungan dengan potensi embriogenik dari kalus tersebut. Rohani et al. (2000) melaporkan bahwa kalus embriogenik memiliki permukaan yang halus, terdiri atas sel-sel yang membelah sejajar dan tegak lurus permukaan kalus. Struktur kalus non embriogenik tersusun dari jaringan lunak, granular, dan tembus pandang. Kalus non embriogenik terdiri dari sel-sel bervakuola yang mengalami elongasi, memiliki permukaan yang kasar, dan kalus ini tidak memiliki potensi embriogenik. Hasil penelitian ini dibandingkan dengan berbagai fase yang ada pada perbanyakan embrio somatik kelapa sawit umur 14 bulan yang dikulturkan di dalam medium padat. Terlihat permukaan yang lebih halus dan mengkilap pada embrio somatik yang dikulturkan di dalam medium padat (Gambar 21C-E). Struktur globular yang diamati terlihat memiliki permukaan yang lebih halus dibandingkan dengan sel embrio lainnya (Gambar 21F). Struktur permukaan yang halus berhubungan dengan ekskresi matriks ekstraseluler. Dinding sel tersusun dari matriks ekstraselular atau umumnya disebut dengan istilah Extracelluler Matrix Surface Network (ECMSN). Matriks ini ditemukan pada fase perkembangan embrio somatik kelapa sawit dimulai dengan sintesis mikrofibril selulosa di dalam kompleks enzim yang disebut roset. Mikrofibril ini termasuk ke dalam ECM. Kompleks enzim yang disebut roset tidak akan mensekresikan mikrofibril selulosa jika pembentukan dinding sel sudah lengkap (Erlangga & Mariani 2006). Struktur yang sama juga ditemukan pada fase perkembangan embrio somatik bawang putih (Nurwendah 2002). Walaupun sintesis kompleks roset secara biokimia belum diketahui dengan pasti, akan tetapi strukturnya dapat dilihat menggunakan SEM (Fosket 1994). Struktur ECMSN hanya ditemukan pada kalus dan embrio yang sedang berkembang. Adanya struktur ini pada kalus yang sedang berkembang merupakan indikator bahwa kalus tersebut memiliki kemampuan dalam membentuk jaringan embriogenik pada tahap selanjutnya (Yusoff et al. 2012). Struktur ini juga berhubungan dengan potensi embriogenik (Namasivayam 2007) dan merupakan marker struktural untuk potensi embriogenik (Lai et al. 2011). Konieczny et al. 2005 melaporkan bahwa struktur ini hanya ditemukan pada sel-sel tanaman Triticum aestivum yang memiliki potensi regeneratif. Lapisan fibril yang kompak dapat menutupi jaringan preembriogenik dari tanaman Brassica napus. Lapisan ECM juga mengandung granula osmiofilik yang berhubungan dengan lapisan epidermis dinding sel bagian luar (Namasivayam et al. 2006). Chapman et al. (2000) melaporkan bahwa terdapat struktur matriks ekstraselular yang disebut supraembryonic network (snt) pada permukaan proembrio tanaman Cichorium, Citrus, dan Asparagus. Struktur ini akan menghilang jika lapisan protoderma telah terbentuk pada permukaan embrio. Fase proembrio pada tanaman kelapa sawit menunjukkan struktur yang sama dengan struktur snt dan dapat menghubungkan antara satu sel dengan sel lainnya (Erlangga & Mariani 2006).
38
MSK MSK 0 0
MSKMSK 0 0 MSK0
MSD0MSD -1 0-1 jam jam MSD0-1 jam
C
MSD0-1 jam
MSD0-3 jam
MSD0-3 jam B
A
MSD0-1 jam
E
MSD0-3 jam
MSD0-6 jam
MSD0-3 jam
MSD0-6 jam
D
MSD2-1 jam
F
MSD20-1 -6jam MSD jam
MSD2-1 MSD2-3 jam jam
MSD 0-62-3 jam MSD jam
K
MSD2-6 jam G
MSD2-6 jam
H
MSD2-1 jam
I
MSD2-3 jam
MSD2-3 jam
L
J
MSD2-6 jam
M
MSD2-6 jam
N
Gambar 20 (A,C,E,G,I,K,M) morfologi koloni kalus embriogenik lini S82.132 menggunakan mikroskop stereo dengan pembesaran 1x pada pengamatan minggu ke-8 setelah subkultur (garis putih = 200 µm); (B,D,F,H,J,L,N) morfologi koloni kalus embriogenik menggunakan SEM dengan pembesaran 50x pada pengamatan minggu ke-8 setelah subkultur (garis putih= 0.03 mm). Tanah panah menunjukkan kalus embriogenik.
39
A
B
C
D
E
F
Gambar 21 Morfologi kalus embriogenik lini S82.132 menggunakan SEM (A) Permukaan kalus dari teknik SPS terlihat kasar dan tidak mengkilap, pembesaran 150x ( = 0.01 mm); (B) tanda panah menunjukkan permukaan kalus seperti spons dan berongga, pembesaran 150x ( = 0.01 mm); (C-E) tanda panah menunjukkan matriks ekstraseluler berbentuk seperti jaring atau fibril yang menghubungkan satu sel dengan sel lainnya, permukaan terlihat lebih halus karena ditutupi oleh ECM, (C) tanda panah menunjukkan matriks ekstraselular, pembesaran 50x ( = 0.03 mm); (D) tanda panah menunjukkan matriks ekstraselular, pembesaran 50x ( = 0.02 mm); (E) tanda panah menunjukkan matriks ekstraselular, pembesaran 50x ( = 0.03 mm); (F) tanda panah menunjukkan embrio struktur globular yang terlihat lebih halus, pembesaran 35x ( = 0.04 mm).
40
Komposisi strutktur ECMSN tergantung pada genotipe tanaman yang digunakan (Pilarska et al. 2007). Pada embrio somatik tanaman Cocos nucifera (Verdeil et al. 2001) struktur ECMSN menutupi permukaan kumpulan sel embriogenik yang terdiri dari polimer pektin. Pektin berperan dalam fungsi adhesi sel ke sel dan berhubungan dengan kapasitas pengikat air yang tinggi penting dalam embrio muda tanaman Triticum aestivum (Konieczny et al. 2005). Struktur ini juga tersusun dari protein arabinogalaktan dan pektin yang terlibat dalam pertumbuhan selular selama proses embriogenesis somatik (Samaj et al. 2005). Struktur ECMSN juga berperan penting di dalam penerima seperti sinyal tranduksi yang berhubungan dengan informasi posisi, pengenalan (recognition), determinasi sel, pertumbuhan tanaman, interaksi satu sel dengan sel lainnya, pembelahan sel, diferensiasi sel, mempertahankan karakter di dalam populasi sel tanaman (Bobak et al. 2003). Simpulan Teknik SEM mampu membedakan fase perkembangan kalus embriogenik tanaman kelapa sawit yang merupakan tanaman monokotil, yaitu fase nodular, globular, skutelar, dan koleoptilar, dan membedakan kalus embriogenik dan kalus non embriogenik. Kalus embriogenik menunjukkan morfologi permukaan lebih halus dan lebih mengkilap, sedangkan kalus non embriogenik menunjukkan morfologi permukaan kasar dan tidak mengkilap.
6 IDENTIFIKASI PERUBAHAN GENETIK EMBRIO SOMATIK TANAMAN KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN MARKA SSR Abstrak Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan teknologi kultur jaringan pada tanaman kelapa sawit untuk skala industri adalah terjadinya perubahan genetik secara in vitro (off-type) pada fase embrio somatik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perubahan genetik (off-type) secara in vitro embrio somatik umur 14 bulan menggunakan marka Simple Sequence Repeats (SSR). Bahan tanaman yang diuji adalah embrio somatik lini S15.355 dan S82.132, masing-masing terdiri dari embrio somatik yang tidak berkecambah dan yang berkecambah umur 14 bulan yang dianalisis menggunakan 20 primer SSR yang terseleksi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 20 primer yang digunakan hanya 10 primer SSR yang menghasilkan pita DNA yang polimorfik, sedangkan lainnya menghasilkan pita monomorfik. Embrio somatik berkecambah dan tidak berkecambah masing-masing memiliki kesamaan genetik 100%. Seluruh primer yang diuji menunjukkan pola pita dan ukuran pita yang sama antara embrio somatik yang berkecambah dan tidak dapat berkecambah pada umur 14 bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan genetik (offtype) embrio somatik secara in vitro pada umur 14 bulan. Kesamaan genetik
41
antara lini S15.355 dan S82.132 sebesar 74% karena berasal dari tetua yang berbeda. Kata kunci: Elaeis guineensis Jacq., kalus embriogenik, Simple Sequence Repeats, kecambah, off-type.
Abstrak One of the problem in technology of oil palm tissue culture is genetic changing of in vitro cultures (off-type) of somatic embryo stage. The objective of this research was to identify genetic changing in vitro (off-type) from 14 months of somatic embryo with Simple Sequence Repeats (SSR). Germinating somatic embryo and non germinating somatic embryo from line S15.355 and S82.132 used as samples. DNA genome from those samples analyzed with 20 selected SSR primers. The result showed that only 10 primers gave polimorphic bands and the others gave monomorphic. Polimorphic bands obtained from both lines. There was no genetic changing in vitro (off-type) from 14 months of samples. Genetic similarity from germinating and non germinating embryo somatic was 100%. Genetic similarity from line S15.355 and S82.132 was 74% because have different parents.
Kata kunci: Elaeis guineensis Jacq., embryogenic callus, Simple Sequence Repeats, germination, off-type.
Pendahuluan Profil DNA merupakan alat yang penting untuk identifikasi individu, di samping dapat digunakan dalam genetika populasi dan genetika ekologi (Pal et al. 2002). Para pemulia tanaman telah menggunakan profil DNA untuk sidik jari genotipe, lini-lini, varietas, dan kultivar dalam mendeterminasi kemurniaan benih, identifikasi kemurnian varietas untuk mengatasi parental yang tidak jelas sebagai proteksi legal (Kumar 1999). Sistem sidik jari pada tanaman kelapa sawit telah dikembangkan untuk identifikasi klon, khususnya untuk mengkonfirmasi fidelitas genotipik antara klon hasil kultur jaringannya dan ortet-ortet atau pohon-pohon dari turunannya (Jack et al. 1998). Sidik jari genetik juga dapat digunakan sebagai kontrol kualitas. Hal ini berguna untuk memastikan klon-klon tidak bercampur pada proses produksi berlangsung. Profil DNA juga digunakan dalam program pemuliaaan untuk mengakses progeni dalam proses polinasi (Corley 2005). Apabila terjadi kesalahan, maka dapat dilakukan deteksi tetua yang sebenarnya atau asli) dengan mencocokkannya dengan database DNA yang ada (Weigel 2002). Profil DNA suatu tanaman untuk berbagai tahap perkembangan, termasuk biji (Hee et al. 1998) atau polen (James et al. 2001) memungkinkan marka-marka molekuler sebagai alat yang cepat dan efisien untuk mengevaluasi keaslian dan kemurnian kultivar (Ovesna et al. 2002). Hal ini sangat berguna untuk tanaman
42
tahunan, diantaranya kelapa sawit dengan biaya tinggi dalam penelitian lapang, tes laboratorium, dan manajemen data. Genetik masing-masing organisme hidup unik dan disebut sidik jari. DNA stabil dan resisten terhadap bahan-bahan kimia, seperti deterjen, asam-asam, basa-basa, garam, dan degradasi lingkungan. Marka molekuler telah digunakan untuk mengecek kesalahan di dalam penentuan progeni pemuliaan tanaman (Riaz et al. 2007). Marka berbasis DNA bebas dari pengaruh lingkungan dan dapat dideteksi pada berbagai umur dan berbagai bagian tanaman melalui analisis genom langsung. Mikrosatelit atau Simple Sequence Repeat (SSR) telah banyak digunakan untuk sidik jari DNA tanaman karena marka ini bersifat dominan, terdistribusi di genom, dan persentase polimorfik tinggi (Fujimori et al. 2003). Genom haploid dari kelapa sawit (Elaeis guineensis) diperkirakan 1700 Mpb (Rival et al. 1997). Tanaman Elaeis guineensis dana Elaeis oleifera mempunyai jumlah kromosom yang sama (2n=2x=32) dan dapat dihibridisasi untuk menghasilkan turunan fertil. Marka SSR telah digunakan sebagai sistem marka untuk mengetahui diversitas genetik tanaman kelapa (Perera et al. 2001), kurma (Zehdi et al. 2005), dan tanaman peach (Adin et al. 2004). Sebanyak 64 lokus mikrosatelit dari 16 kromosom kelapa sawit telah diseleksi untuk digunakan sebagai peta linkage genom (Billote et al. 2005) dan diseleksi untuk fungsi potensialnya. Marka SSR telah digunakan oleh PT.SMART, Tbk. untuk analisis semua spear yang digunakan pada produksi bibit klonal (Hatorangan et al. 2010). Selain itu marka SSR juga digunakan untuk analisis keterkaitan SSR dengan produksi minyak kelapa sawit di Riau dan Kalimantan Selatan (Hairinsyah 2010), analisis variasi genetik populasi kelapa sawit asal Kamerun (Nchu 2010), dan analisis variasi somaklonal antara ortet, klon, dan turunannya (Artutiningsih 2012). Deteksi perubahan genetik secara in vitro (off-type) digunakan untuk mengeliminasi variasi vegetatif pada tanaman klonal kelapa sawit yang ditanam di lapang. Teknik perbanyakan dengan kultur jaringan akan menghasilkan tanaman klonal yang secara genetik sama dengan induknya, baik secara in vitro maupun ex vitro. Tanaman klonal yang ditanam di lapang akan memiliki morfologi dan genetik yang seragam sehingga diharapkan tidak terjadi abnormalitas di lapang. Marka mikrosatelit dapat menganalisis perubahan genetik kalus embriogenik dan embrio somatik berbagai umur tanam sehingga dapat digunakan sebagai deteksi dini kultur abnormalitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengkonfirmasi perubahan genetik (off-type) secara in vitro embrio somatik yang mampu berkecambah dan tidak berkecambah.
Bahan dan Metode Bahan Tanaman Penelitian ini menggunakan embrio somatik berukuran ≥2 mm dan embrio berkecambah 0,2 cm dari lini S15.355 dan S82.132 (Gambar 23), berumur 14 bulan di dalam medium padat. Hal ini berdasarkan data penelitian pendahuluan yang menunjukkan bahwa setelah kultur berumur 14 bulan sebagian embrio mampu berkecambah dan selebihnya tidak mampu untuk berkecambah.
43
Persiapan sampel Embrio somatik berukuran ≥2 mm dan embrio berkecambah 0,2 cm akan dianalisis secara molekular menggunakan 20 primer terpilih (Tabel 1) untuk mendapatkan primer yang membedakan kedua jenis embrio somatik tersebut. Isolasi DNA Isolasi DNA dari embrio somatik dan embrio berkecambah dari lini S15.355 dan S82.132 dilakukan menggunakan metode GenElute buatan Sigma (Meloscia et al. 2001). Tahapan isolasi DNA terdiri dari ekstraksi, pemurnian, presipitasi dan pengukuran konsentrasi DNA. Ekstraksi DNA dimulai dengan penggerusan sampel dalam lumpang porselen (mortar) dengan penambahan nitrogen cair. Sampel yang sudah halus dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf 2 mL yang berisi larutan penyangga lisis A dan B sebanyak setengah volume sampel dan dihomogenkan dengan vorteks. Lalu sampel dihangatkan di dalam waterbath dengan suhu 65°C selama 10 menit, ditambahkan larutan pengendap sebanyak 130 µL, dihomogenkan dengan vorteks, dan disimpan di dalam freezer selama 5 menit. Campuran disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 5 menit dan supernatannya dipisahkan. Pemurnian DNA dilakukan menggunakan Filtration Column dan Nucleid Acid Binding Column. Supernatan sampel dipipet ke dalam Filtration Column, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit. Binding Solution sebanyak 700 µL ditambahkan ke dalam kolom, dibolak-balik kemudian kolom dibuang dan larutan disimpan. Selanjutnya larutan dipipet ke dalam Nucleid Acid Binding Column, dan ditambahkan sebanyak 500 µL Column Preparation Solution. Campuran disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit untuk mengendapkan DNA, supernatan dibuang dan kolom berisi DNA digunakan untuk perkerjaan selanjutnya. Presipitasi DNA dilakukan dengan cara memasukkan kolom berisi DNA ke dalam tabung Eppendorf baru dan ditambahkan sebanyak 500 µL larutan pencuci, disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit, cairan sisa dibuang. Pencucian ini dilakukan sebanyak dua kali. Kolom berisi DNA dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf baru dan ditambahkan 100 µL Elute Solution hangat dalam kolom disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit sebanyak dua kali. Kolom dibuang dan larutan berisi DNA disimpan dalam suhu 4oC untuk diamplifikasi menggunakan PCR. Amplifikasi DNA sampel berbasis PCR Reaksi amplifikasi DNA sampel dilakukan dengan PCR menggunakan 20 primer mikrosatelit yang tingkat polimorfisnya sudah teruji (Hatorangan et al. 2010). Mesin PCR diprogram dengan suhu pra denaturasi 94°C selama 5 menit, selanjutnya dilakukan siklus PCR dengan kondisi suhu denaturasi 94°C selama 30 detik, annealing selama 30 detik pada suhu efektif masing-masing primer, ekstensi pada suhu 72°C selama 30 detik untuk 35 siklus, dan diakhiri dengan ekstensi akhir pada suhu 72°C selama 10 menit. Hasil amplifikasi DNA dipisahkan menggunakan QIAXEL High-Resolution Capillary Electrophoresis. Alat ini dilengkapi dengan DNA High Resolution Kit, DNA Screening Kit, dan DNA Fast Analysis Kit. Output yang didapat berupa elektroferogram dan profil DNA berupa pita-pita DNA.
44
Analisis data hasil PCR Setiap pita yang muncul pada profil DNA merupakan satu alel tertentu. Skoring pita-pita yang muncul dilakukan berdasarkan ketegasan munculnya pita. Selanjutnya ditetapkan pita-pita yang akan digunakan dalam perhitungan skoring. Pita DNA diskoring berdasarkan ada atau tidak ada pita lalu dikonversi ke dalam kode data biner, yaitu jika ada pita diskoring satu (1) dan jika tidak ada pita diskoring nol (0). Pita yang tidak sempurna dan kabur diskoring 999 (missing data). Hasil skoring terhadap pita-pita yang muncul atau tidak ditabulasi dan dianalisis menggunakan software NTSys versi 2.2 (Rohlf 1998).
Hasil dan Pembahasan Pola pita dan ukuran pita antara embrio berkecambah dan tidak berkecambah lini S15.355 dan S82.132 sama pada umur 14 bulan (Gambar 22). Hanya ada 10 primer SSR yang memunculkan pita polimorfik sedangkan 10 primer yang lain memunculkan pita monomorfik (Gambar 23). Seluruh primer yang diuji menunjukkan pola pita dan ukuran pita yang sama antara embrio somatik yang berkecambah dan tidak dapat berkecambah pada umur 14 bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan genetik (off-type) embrio somatik secara in vitro pada umur 14 bulan. Kesamaan genetik antara lini S15.355 dan S82.132 sebesar 74%. Ukuran pita polimorfik berbeda antar lini karena kedua sampel berasal dari tetua yang berbeda.
A
B
C
D
Gambar 22 Morfologi koloni embrio somatik (A,C) dan embrio berkecambah (B,D). Tanda panah putih menunjukkan umur kultur 14 bulan di dalam medium padat, ( = 1 cm).
45
Polimorfik Polimorfik
Polimorfik
Polimorfik
Polimorfik Polimorfik Polimorfik
Polimorfik Polimorfik Polimorfik
Polimorfik
Gambar 23 Pola pita monomorfik dan polimorfik yang terbentuk dari 20 primer SSR yang digunakan pada sampel embrio somatik berkecambah (15T dan 82T) dan embrio tidak berkecambah (15E dan 82E) setelah 14 bulan disubkultur pada medium padat.
46
Embrio somatik tidak bertunas (E) dan embrio bertunas (T) dari dua lini menunjukkan kesamaan genetik sebesar 100%. Dapat disimpulkan bahwa 20 primer yang digunakan mampu mengidentifikasi perubahan genetik secara in vitro (off-type) antara embrio somatik yang mampu berkecambah dan tidak mampu berkecambah umur 14 bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa semua sampel masih memiliki pola dan ukuran DNA yang sama yang berarti tidak ada perubahan genetik antara sampel-sampel yang diuji. Perbedaan fenotipik khususnya tunas ternyata secara genetik tidak berbeda. Hal ini berarti adanya perbedaan dalam ekspresi gen yang mengontrol induksi perkecambahan embrio somatik. Arnold et al. 2002 menyatakan bahwa hanya embrio yang dewasa dengan morfologi yang normal dan memiliki akumulasi material penyimpanan pada fase akhir maturasi embrio somatik menjadi planlet kecil. Embrio somatik akan beregenerasi menjadi planlet kecil apabila dikulturkan di dalam medium tanpa ZPT. Beberapa spesies tanaman juga dapat berkecambah apabila dikulturkan di dalam medium dengan penambahan ZPT auksin dan sitokinin atau dengan penambahan glutamin dan kasein hidrolisat. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa embrio somatik yang mampu berkecambah dan tidak mampu berkecambah dapat dianalisis menggunakan pendekatan ekspresi gen. Marka ekspresi gen telah banyak digunakan untuk mengkarakterisasi lini-lini embriogenik dan mendeskripsikan perkembangan embrio. Pengetahuan ekspresi gen pada embriogenesis somatik tanaman tingkat tinggi berhubungan dengan penggunaaan teknologi gen secara umum dan telah banyak digunakan oleh para peneliti (Chugh & Khurana 2002). Analisis ekspresi gen dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan cDNA menggunakan microarray dan pendekatan protein menggunakan SDS PAGE. Pendekatan menggunakan microarray cDNA atau chip cDNA terdiri dari spot fragmen cDNA yang teramplifikasi pada densitas tinggi di atas substrat padat seperti preparat gelas. Jaringan target cDNA yang terlabel secara floresen kemudian dihibridisasi dengan jaringan referensi cDNA terlabel secara floresen di atas microarray DNA. Rantai tunggal cDNA target akan berhibridisasi dengan rantai cDNA referensi. Perbandingan rasio ekspresi yang diperoleh dari spot microarray akan dapat memprediksi profil DNA atau tingkat ekspresi gen di dalam jaringan target. Teknologi microarray DNA telah digunakan untuk mengetahui perubahan molekuler di dalam kultur jaringan kelapa sawit dengan tujuan untuk pengembangan alat dalam mendeteksi adanya abnormalitas. Teknologi ini juga digunakan untuk mengetahui gen yang terekspresi pada kalus embriogenik, kalus non embriogenik, dan embrio somatik kelapa sawit (Low et al. 2006). Penelitian menggunakan embrio somatik jagung menghasilkan banyak gen yang terekspresi pada saat embrio somatik tetapi tidak terespresi pada saat kecambah dan sebaliknya. Gen-gen histon dan protein ribosomal terekspresi tinggi pada saat kecambah. Kecambah merupakan proses perpaduan beberapa gen yang berhubungan dengan cekaman, gen transpoter membran, dan gen yang berhubungan dnegan proses fotosintesi dan komponen kloroplas. Selain itu ada juga ekspresi gen germin, klorofil a/b binding protein 1, protein late embriogenesis, dan enzim lipoksigenase yang tinggi pada saat kecambah (Che et al. 2006).
47
Pada proses pendewasaan embrio somatik terlihat ekspresi yang tinggi dari gen yang berhubungan dengan enzim hidrolitik, seperti nuklease, glukosidase, dan protease (Che et al. 2006). Fase embrio somatik dan kecambah juga dapat dianalisis menggunakan SDS PAGE pada eksplan kotiledon embrio zigotik tanaman kedelai (Glycine max). Ekspresi gen lipoxigenase (LOXs) tinggi pada embrio zigotik yang mampu berkecambah dan tidak terekspresi pada embrio zigotik yang tidak mampu berkecambah (Liu et al. 1991). Korelasi antara ekspresi LOXs dan kecambah kedelai menyatakan bahwa ZPT mempengaruhi ekspresi LOXs. Ekspresi LOXs meningkat pada embrio zigotik yang dikulturkan pada medium dengan penambahan NAA dan IAA dan menurun pada embrio zigotik yang dikulturkan pada medium dengan penambahan 2.4-D. Embrio zigotik yang digunakan berukuran 3-5 mm. Hasil SDS PAGE menunjukkan bahwa isozim dominan terekspresi pada jaringan yang dikulturkan di dalam medium dengan penambahan NAA memiliki berat molekul 95 kD (Liu et al. 1991). Simpulan Seluruh primer yang diuji (20 primer) menunjukkan pola pita dan ukuran pita yang sama antara embrio somatik yang berkecambah dan tidak dapat berkecambah pada umur 14 bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan genetik (off-type) embrio somatik secara in vitro pada umur 14 bulan menggunakan marka SSR.
7 PEMBAHASAN UMUM Produksi klonal kelapa sawit dengan kultur jaringan berbasis pembentukan kalus embriogenik telah dilakukan mulai tahun 1970 dan hasilnya masih sangat tidak efisien. Hal ini disebabkan perkembangan kalus menjadi kalus embriogenik dan persentase penggandaan embrioid relatif rendah dan membutuhkan waktu yang lama dan proses yang panjang karena adanya memerlukan kegiatan subkultur yang berulang. Dari seluruh eksplan yang dikulturkan hanya 15% menghasilkan kalus dan dari kalus yang dihasilkan hanya 3% yang menghasilkan embrio somatik (Soh et al. 2006). Keadaan ini menyebabkan produksi ramet juga rendah (Konan et al. 2006). Rendahnya persentase embriogenesis somatik kelapa sawit dapat dipengaruhi oleh faktor genotipe, cahaya, kelembaban, dan medium yang digunakan. Penelitian ini berfokus untuk meningkatkan persentase embrio somatik dengan memodifikasi medium dan ZPT yang digunakan. Penelitian ini membandingkan rataan berat basah kalus embriogenik menggunakan 14 jenis medium cair. Medium yang digunakan ditambah vitamin B kompleks dan kombinasi auksin 2.4-D dan NAA. Rataan berat basah tertinggi diperoleh dari medium MSD2 dalam jumlah dan ukuran kalus embriogenik. Medium ini berisi medium MS dengan penambahan biotin, D-Ca-pantotenat, kolin klorida, L-sistein-HCL, asam askorbat, alanin, serta 2.4-D 0.9 mg/L dan NAA 4.0 mg/L dan dapat meningkatkan proliferasi kalus embriogenik sebesar 72%.
48
Peningkatan persentase proliferasi kalus embriogenik disebabkan penambahan vitamin B, seperti biotin, D-Ca-pantotenat, kolin klorida, L-sisteinHCL, asam askorbat, dan asam amino alanin. Vitamin B berfungsi sebagai kofaktor dan biokatalisator metabolisme sel. Biotin berfungsi untuk transfer CO2 ke target makromolekul. D-Ca-pantotenat merupakan vitamin B5 yang berfungsi sebagai komponen koenzim A yang berfungsi sebagai kofaktor dan produksi energi. Asam askorbat merupakan vitamin C yang berfungsi sebagai antioksidan dan dapat menjaga sel dari stres ekstraseluler. Kolin klorida berfungsi memelihara struktur sel dan sintesis fosfolipid. Alanin merupakan asam amino non esensial yang berfungsi sebagai sumber nitrogen organik. Peningkatan persentase kalus embriogenik juga disebabkan penambahan ZPT auksin 2.4-D 0.9 mg/L dan NAA 4.0 mg/L. Auksin sintesis (2,4-D dan NAA) menunjukkan aktivitas yang sama dengan auksin alami (IAA). Hal ini kemungkinan disebabkan auksin sintetis memiliki dua fungsi selama induksi embriogenesis somatik, satu yang berhubungan dengan signal auksin dan lainnya berfungsi pada komponen stress (Feher et al. 2003) yang dapat mengubah konsentrasi auksin endogen (Jimenez 2005). Medium yang terbaik dari penelitian dengan teknik pengocokan, yaitu medium MSD2 digunakan sebagai medium perlakuan untuk penelitian menggunakan Sistem perendaman sesaat (SPS). Sistem ini memungkinkan eksplan kontak dengan medium secara periodik. Frekuensi dan waktu perendaman dikontrol secara otomatis oleh suatu pengatur waktu. Sistem ini sangat baik dalam hal pertukaran oksigen, pencampuran eksplan dan medium, penurunan persentase kontaminasi, dan penurunan biaya produksi (Teisson et al. 1999; Etienne & Berthouly 2002). Tahardi (1998) melaporkan bahwa produksi embrio somatik yang berasal dari kalus nodular lebih tinggi dengan menggunakan SPS, kultur lebih seragam dibandingkan dengan dalam media padat. Keberhasilan penelitian SPS dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti genotipe, komposisi medium, konsentrasi ZPT, frekeuensi perendaman, lamanya perendaman. Penelitian ini menghasilkan rataan berat basah kalus embriogenik tertinggi dari lini S15.355, medium MSK0 (kontrol), frekuensi perendaman 24 jam (kontrol), dan pada pengamatan minggu ke-8. Rataan berat basah kalus embriogenik dari lini S15.355 dapat ditingkatkan sebesar 58% sedangkan lini S82.132 hanya sebesar 8%. Steinmacher et al. (2007) melaporkan bahwa faktor genotipe berperan penting di dalam embriogenesis somatik. Faktor genotipe juga berpengaruh pada tipe dan persentase formasi kalus (Sarasan et al. 2005). Faktor tetua asal eksplan daun yang digunakan untuk perbanyakan, berpengaruh nyata dalam proses regenerasi kelapa sawit secara in vitro (Duval et al. 1988; Konan et al. 2007). Penelitian ini belum optimal untuk meningkatkan rataan berat basah kalus embriogenik menggunakan SPS. Rataan tertinggi dihasilkan oleh medium kontrol yang dikulturkan di atas mesin pengocok. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Steinmacher et al. (2011) yang menemukan bahwa persentase kalus embriogenik tertinggi diperoleh dari perlakuan medium kontrol (dengan teknik pengocokan) untuk perbanyakan tanaman Bactris gasipaes (Pejibaye). Hasil yang sama juga ditemukan Wu et al. (2007) dan Ross & Castillo (2009) pada tanaman anggrek dan blueberry bahwa perendaman permanen di atas mesin pengocok menghasilkan multiplikasi embrio somatik yang tinggi.
49
Secara visual umumnya akan mengalami kesulitan untuk membedakan kalus embriogenik pada fase nodular, globular, dan skutelar. Selain itu kesulitan juga terjadi dalam membedakan kalus yang berpotensi berkembang menjadi kalus embriogenik dan kalus yang tidak memiliki kemampuan membentuk embrio somatik. Perkembangan kalus embriogenik dan embrio somatik kelapa sawit dapat dipelajari secara visual dengan mengamati perubahan morfologi menggunakan Scanning Electron Microscope atau SEM (Erlangga dan Mariani 2006; Yusoff et al. 2012). Penelitian ini telah berhasil mengetahui fase perkembangan embrio somatik kelapa sawit. Morfologi embrio somatik kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasakan ukurannya, yaitu kalus embriogenik dan embrio somatik. Kalus embriogenik merupakan kalus dengan struktur nodular yang sudah bersifat embriogenik. Kalus ini umumnya disebut dengan kalus nodular. Kalus nodular ini masih dapat berproliferasi karena sel-selnya masih bersifat meristematik dan sangat aktif membelah. Kalus nodular akan berdiferensiasi menghasilkan embrio somatik. Embrio somatik kelapa sawit terdiri dari tiga fase, yaitu fase globular, skutelar, dan koleoptilar. Embrio somatik fase globular memiliki ukuran yang lebih besar dari kalus nodular. Pada fase globular, embrio terlihat lebih besar dan bulat. Embrio fase globular akan berdiferensiasi membentuk embrio fase skutelar. Embrio pada fase ini terlihat seperti bentuk hati dan terdapat lengkungan skutelar. Embrio fase skutelar akan berdiferensiasi membentuk embrio fase koleoptilar. Embrio fase koleotilar awal sudah mulai berwarna hijau kekuningan dan transparan, berbentuk bulat dan selanjutnya bagian apikal embrio akan terbelah, dan mulai terlihat bentuk seperti ujung tunas. Selanjutnya embrio fase koleoptilar akan berkembang membentuk struktur seperti tunas kecil berwarna putih. Fase ini disebut dengan fase koleoptilar akhir. Embrio fase ini kemudian akan berkembang menjadi ukuran yang lebih besar dan sudah terdapat ujung tunas dan akhirnya akan berkembang menjadi tunas. Perbedaan fase proembrio dan globular terletak pada ukurannya. Diameter proembrio sebesar < 200 μm sedangkan ukuran embrio globular sebesar > 200 μm (Erlangga dan Mariani 2006). Karakteristik dari fase embrio globular adalah adanya formasi jaringan epidermis. Jaringan ini hasil diferensiasi dari lapisan permukaan meristematik yang disebut protoderma. Lapisan ini berasal dari pembelahan periklinal pada transisi dari fase proembrio menjadi globular. Pada fase ini, lapisan protoderma menghasilkan lapisan lilin. Lapisan ini merupakan karakter pada saat protoderma berdiferensiasi menjadi epidermis (Fosket 1994). Penelitian ini berhasil mengidentifikasi pembeda kalus embriogenik dan kalus non embriogenik. Terlihat permukaan yang lebih halus pada kalus embriogenik dan permukaan yang lebih kasar pada kalus non embriogenik. Permukaan yang halus berpotensi membentuk embrio somatik dibandingkan dengan permukaan yang kasar. Struktur permukaan yang halus berhubungan dengan ekskresi matriks ekstraseluler.
Matriks ini hanya ditemukan pada beberapa kalus yang sedang berkembang. Matriks ini umumnya dikenal dengan istilah Extracellular Matrix Surface Network. Matriks ini dapat berupa protein arabinogalaktan, pektin, dan lipid. Komponen ini berperan dalam proliferasi selular, adhesi sel, dan komunikasi sel pada proses embriogenik dan perkembangan embrio (Blehova et al. 2010). Analisis molekuler digunakan untuk melakukan identifikasi terhadap embrio somatik tanaman kelapa sawit dari lini S15.355 dan S82.132 umur 14
50
bulan menggunakan 20 primer mikrosatelit. Tampak pola pita dan ukuran DNA yang sama antara embrio somatik yang dapat berkecambah dan tidak dapat berkecambah. Hanya ada 10 primer SSR yang memunculkan pita polimorfik sedangkan 10 primer yang lain memunculkan pita monomorfik. Hal ini memberi dugaan bahwa tidak ada perubahan genetik secara in vitro (off-type) terhadap sampel-sampel yang diuji dan kemungkinan abnormalitas di lapang juga sangat kecil. Terlihat bahwa embrio somatik berkecambah identik dengan embrio somatik tidak berkecambah dari lini S15.355 dan embrio somatik berkecambah identik dengan embrio somatik tidak berkecambah dari lini S82.132. Kesamaan genetik antara lini S15.355 dan S82.132 sebesar 74%. Ukuran pita polimorfik berbeda antar lini karena kedua sampel berasal dari tetua yang berbeda. Embrio somatik berkecambah dan embrio somatik tidak berkecambah dari dua lini menunjukkan kesamaan genetik sebesar 100% sehingga 20 primer yang digunakan belum mampu untuk membedakan antara kalus embriogenik dan kalus non embriogenik. Hal ini disebabkan marker yang digunakan masih jauh dari gen penyandi embrio somatik yang mampu berkecambah. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa embrio somatic berkecambah dan tidak berkecambah dapat dianalisis menggunakan pendekatan ekspresi gen. Analisis ekspresi gen dapat digunakan untuk mendapatkan pembeda embrio somatik berkecambah dan tidak berkecambah. Analisis ekspresi gen dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan cDNA menggunakan microarray dan pendekatan protein menggunakan SDS PAGE.
8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan penelitian adalah : 1 Medium cair terbaik yang dapat meningkatkan persentase embriogenesis adalah medium MSD2. MSD2, yaitu medium MS dengan penambahan D-Capantotenat, kolin klorida, L-sistein-HCL, asam askorbat, alanin, serta 2.4-D 0.9 mg/L dan NAA 4.0 mg/L Medium ini dapat meningkatkan proliferasi kalus embriogenik sebesar 72% dan memperbesar kalus embriogenik dengan teknik pengocokan. 2 Lini embrioid S15.355 dan medium MSD0 dapat meningkatkan rataan berat basah kalus embriogenik sebesar 38%. 3 Teknik SEM mampu mengidentifikasi pembeda: (a) fase perkembangan kalus embriogenik kelapa sawit, yaitu fase nodular, globular, skutelar, dan koleoptilar. (b) antara kalus embriogenik dan non embriogenik. Kalus embriogenik menunjukkan morfologi permukaan lebih halus dan lebih mengkilap, sedangkan kalus non embriogenik menunjukkan morfologi permukaan kasar dan tidak mengkilap. 4 Embrio somatik yang dapat berkecambah dan tidak dapat berkecambah pada umur 14 bulan tidak menunjukkan adanya perubahan genetik secara in vitro (off-type) menggunakan 20 primer mikrosatelit.
51
Saran Penggunaan teknik SPS untuk meningkatkan proliferasi embrio somatik masih perlu dioptimasi khususnya untuk faktor komposisi medium, penambahan zat pengatur tumbuh yang mampu menginduksi proliferasi embrio, dan periode, dan lama perendaman. Upaya untuk mendapatkan pembeda molekuler perlu dilakukan penelitian yang difokuskan pada analisis ekspresi gen yang bertanggung jawab terhadap induksi perkecambahan.
DAFTAR PUSTAKA Adin A, Weber JC, Montes CS, Vidaurre H, Vosman B, Smulders MJM. 2004. Genetic differentiation and trade among populations of peach palm (Bactris gasipaes Kunth) in the Peruvian Amazon-implications for genetic resource management. Theor Appl Genet. 108: 1564-1573. Aitken-Christie. 1991. Micropropagation: Technology and Application. Netherlands (ID): Kluwer Academic Publisher. Hlm 363-388. Alabarran J, Bertrand B, Lartaud M, Etienne H. 2005. Cycle characteristics in a temporary immersion bioreactor affect regeneration, morphology, water, and mineral status of coffee (Coffea arabica) somatic embryos. Plant Cell Tiss Org Cult. 81: 27-36. Al-Kharyi M. 2001. Optimatization of biotin and thiamine requirements for somatic embryogenesis of date palm (Phoenix dactylifera L.). In Vitro Cell Dev Biol. 4: 435-456. Alvard D, Cote F, Teisson C. 1993. Comparison of methods of liquid mediu m culture for banana micropropagation. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 32:55-60. Arnold SV, Sabal I, Bozhkov P, Dyachok J, Filonova L. 2002. Developmental pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell Tiss Org Cult. 69: 233-249. Arrigoni O. 1994. Ascorbate system in plant development. J Bioenergen and Biomembrn. 26: 407-419. Artutiningsih W. 2012. Analisis kestabilan genetik ortet kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dan klon-klon turunannya menggunakan penanda mikrosatelit. [Tesis S2]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Asad S, Arshad M, Mansoor S, Zafar Y. 2009. Effect of various amino acids on shoot regeneration of sugarcane (Sacchrum officinarum L.). Afr J Biotechnol. 8: 1214-1218. Asano Y, Katsumoto H, Inokuma C, Kaneko S, Ito Y, and Fujiie A. 1996. Cytokinin and thiamine requirements and stimulative effects of riboflavin and α-ketoglutaric acid on embryogenic callus induction from the seeds of Zoysia japonica Steud. J Plant Physiol. 149: 413-417. Ashihara H, Crozier A. 2001. Caffeine: a well known but little mentioned compound in plant science. Trends Plant Sci. 6: 407-413. Ashok Kumar HG, Murthy HN. 2004. Effect of sugars and amino acids on androgenesis of Cucumis sativus L. Plant Cell Tiss Org Cult. 78: 201-208. Barth C, De Tullio M, Conklin PL. 2006. The role of ascorbic acid in the control of flowering time and the onset of senescence. J Exp Bot. 57: 1657–1665.
52
Barrett JD, Park YS, Donga JM. 1997. The effectiveness of various nitrogen sources in white spruce [Picea glauca (Moech) Voss] somatic embryogenesis. Plant Cell Rep. 16: 411-415. Berthouly M, Dufour M. Alvard D. Carasco C, Alemano L, Teisson C. 1995. Coffee micropropagation in a liquid medium using temporary immersion technique. In ASIC Publisher 16th International Scientific Colloquium on Coffee, Kyoto, Jepang. Pp. 514-519. Billotte N. Risterucci AM. Barcelos E. Noyer JL. Amblard P. Baurens FC. 2001. Development, characterisation, and across-taxa utility of oil palm (Elaeis quineensis Jacq.) microsatellite markers. Genome. 44:413-425. Billotte N et al. 2005. Microsatellite-based high density linkage map in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Theor Appl Genet. 110: 754-765. Bhelova A, Bobak M, Samaj J, Hlinkova E. 2010. Changes in the formation of an extracellular matrix surface network during early stages of indirect somatic embryogenesis in Drosera spathulata. Acta Bot. Hung. 52:23-33. Bobak M, Samaj J, Hlinkova E, Hlavacka A, Ovecka M. 2003. Extracellular matrix in early stages of direct embryogenesis in leaves of Drosera spathulata. Biol Plant. 47: 161-166. Cabasson C, Alvard D, Dambier D, Ollitrault P, Teisson C. 1997. Improvement of Citrus somatic embryo development by temporary immersion. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 50:33-37. Campanoni P, Nick P. 2005. Auxin-dependent cell division and cell elongation.1naphthaleneacetic acid and 2.4-dichlorophenoxyacetic acid active different pathways. Plant Physiol. 137: 939-948. Chapman A, Blervacq A, Tissier J, Delbreil B, Vasseur J, Hilbert J. 2000. Cell Wall Differentiation during Early Somatic Embryogenesis in Plants. I. Scanning and Transmission Electron Microscopy Study on Embryos riginating from Direct, Indirect, and Adventitious Pathways. Can J Bot. 78: 816-823. Chawla HS. 2002. Introduction to Plant Biotechnology. 2nd Edition. New Hampshire (ID): Science Publishers, Inc. Che P, Love TM, Frame BR, Wang K, Carriquiry AL, Howell SH. 2006. Gene expression patterns during somatic embryo development and germination in maize Hi II callus cultures. Plant Mol Biol. 62: 1-14. Chehmalee S, Te-chato S. 2007. Induction of somatic embryogenesis and planlet regeneration from cultured zygotic embryo of oil palm. J. Agr Tech 4: 137146. Chugh A, Khurana P. 2002. Gene expression during somatic embryogenesisrecent advances. Curr Sci. 83: 715-730. Cochard B, Durand-Gasselin T, Amblard P, Konan EK, Gogor S. 1999. Performance of adult oil palm clones. In Emerging Technologies andOpportunities in the next Millennium. Agriculture Conference: Proceedingsof 1999 PORIM International Palm Oil Congress: 1–6 February 1999;Kuala LumpuLumpur Edited by: Ariffin D, Chan KW. Sharifah SSA: PORIM; 2000:53-64. Corley RHV, Hardon JJ, Wood BJ. 1977. Oil Palm Research. Amsterdam (ID): Elsevier Scientific Publ. Co.
53
Corley RHV, Tinker PB. 2003. The Oil Palm. 4th Edition. Oxford (ID): Blackwell Science Ltd. Hlm 562. Corley RHV. 2005. Illegitimacy in oil palm breeding, a review. J Oil Palm Research. 17: 64-69. Coutos-Thévenot P, Jouenne T, Maes O, Guerbette F, Grosbois M, le Caer JP, Boulay M, Deloire A, Kader JC, Guern J. 1993. Four 9 kDa proteins excreted by somatic embryos of gravepine are isoforms of lipid transfer protein. European J of Biochem. 217: 885-889. Debnath SC. 2009. A scale-up system for lowbush blueberry micropropagation using bioreactor. Hort Sci. 44: 1962-1966. Delbarre A, Müller P, Imhoff V, Guern J. 1996. Comparison of mechanisms controlling uptake and accumulation of 2,4-dichlorophenoxy acetic acid, naphthalene-1-acetic acid, and indole-3-acetic acid in suspension-cultured tobacco cells. Planta. 198:532–541. De Touchet B, Duval Y, Pannetier C. 1991. Plant regeneration from embryogenic suspension cultures of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Plant Cell Rep. 10:529-532. Dodds JH, Roberts LW. 1995. Experiments in Plant Tissue Culture (Eds 3). London (ID): Cambridge University Pr. Hlm. 45. Dougall DK, Johnson JM, Whitten GH. 1980. A clonal analysis of anthocyanin accumulation by cell cultures of wild carrot. Planta. 149:292–297. Ducos, Jean P, Lambot C, Pétiard V. 2007. Enhanced somatic embryo production by conditioned media in cell suspension cultures of Daucus carota. Biotechnol Lett. 14: 837-840. Dudits D, Gyugyey J, Bugre L, Bakó L. 1995. Molecular biology of somatic embryogenesis. In: Thorpe TA (ed) In vitro Embryogenesis in Plants. Dordrecht (ID). Kluwer Academic Publisher. Hlm. 267-308. Duval Y, Aberlenc F, de Touchet B. 1993. Use of embryogenic suspensions for oil palm micropropagation. In V. Rao, I.E. Henson & N. Rajanaidu (Eds.) Recent Development in Oil Palm Tissue Culture and Biotechnology. Palm Oil Research Institute of Malaysia. Hlm 38-47. Eckardt NA. 2006. Genetic and epigenetic regulation of embryogenesis. The Plant Cell 18: 781-784. El Ballaj. 2000. Etude de quelques parametres biochimiques en relation avec l’acquisition des potentialites embryogenes et la maturation des embryons somatiques chez le Lamier dattier (Phoenix dactylifera L.). [Disertasi S3]. Marrakech (ID). Faculte des Sciences-Semlalia, d’Etat Universite Cadi Ayyad. El Hadrami I. 1995. L’embyogenese somatique chez Phoenix dactylifera L: quelques facteurs limitants et marqueurs biochimiques. [Disertasi S3]. Marrakech (ID). Faculte des Sciences-Semlalia, d’Etat Universite Cadi Ayyad. Hlm. 227. Erlangga BP, Mariani TS. 2006. SEM study on early stages of Oil Palm. [skripsi]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Escalona M. Lorenzo JC, Gonzales B, Daquinta M, Gonzales JL, Desjardins Y, Borroto CG. 1999. Pineapple (Ananas comosus L. Merr) micropropagation in temporary immersion system. Plant Cell Rep.18:743-748.
54
Eshraghi P, Zarghami R,Ofoghi. 2005. Genetic stability of micropropagated plantlets in date palm. J Sci Islamic Rep Iran. 16(4): 311-315. Etienne H. Montoro P, Michaus-Ferriere N, Carron MP. 1993. Effects of desiccation, medium osmolarity, and abscisic acid on the maturation of Hevea brasiliensis somatic embryos. J. Exp. Bot. 44:1613-1619. Etienne H. Lartaud M, Michaus-Ferriere N, Carron MP, Berthouly M, Teisson C. 1997. Improvement of somatic embryogenesis in Hevea brasiliensis (Mull. Arg.) using the temporary immersion technique. In Vitro Cell. Dev. Biol. 33:81-87. Etienne H, Berthouly M. 2002. Temporary immersion system in plant micropropagation. Plant Cell Tiss and Org Cult. 69: 216-231. Etienne H, Dechamp E, Barry-Etienne D, Bertrand B. 2006. Bioreactors in cofee micropropagation. Braz J Plant Physiol. 18: 45-54. Esaka M, Fujisawa K, Goto M, Kisu Y. 1992. Regulation of ascorbate oxidase expression in pumpkin by auxin and copper. Plant Physiol. 100: 231-237. Fehér A, Pasternak TP, Dudits D. 2003. Review of Plant Biotechnology and Applied Genetics. Transition of somatic plant cells to an embryogenic state. Plant Cell Tiss and Org. Cult. 74: 201-228. Fehér A. 2005. Why Somatic Plant Cells Start to form Embryos? In. Mujib A., Samaj J. (eds). Plant Cell Monographs (2) Somatic Embryogenesis. Heidelberg (ID). Springer-Verlag Berlin. Hlm. 85-101. Fki L, Masmoudi LR, Drira N, Rival A. 2003. An optimized protocol for plant regenration from embryogenic suspension cultures of date palm, Phoenic dactylifera L cv. Deglet Nour. Plant Cell Rep. 21: 517-524. Fki L, Bouaziz N, Kriaa W, Benjemaa-Masmoudi R, Gargouri-Bouzid R, Rival A, Drira N. 2011. Multiple bud cultures of’Barhee’ date palm (Phoenix dactylifera) and physiological status of regenerated plants. J Plant Physiol. 168: 1694-1700. Fosket DE. 1994. Plant Growth and Development. A Molecular Approach. London (ID): Academic Pr Ltd. Franceschi VR, Nakata PA. 2005. Calcium oxalate in plants: formation and function. Annual Review of Plant Biol. 56: 41–71. Fujimori ST, Washio K, Higo Y, Ohtomo K, Murakami K, Matsubara J, Kawai P, Carninci Y, Hayashizaki S, Kikuchi, dan Tomita M. 2003. A novel feature of microsatellites in plants: A distribution gradient along the direction of transcription. FEBS. 554:17–22. Gaj MD. 2005. Factors influencing somatic embryogenesis induction and plant regeneration with particular reference to Arabidopsis thaliana (L.) Heynh. Plant Growth Regul. 43: 27-47. Gantait S, Mandal N, Das PK. 2010. An overview on in vitro culture of genus Allium. American J Plant Physiol. 5(6): 325-337. Gatica-Arias AM, Arrieta-Espinoza G, Esquivel AME. 2008. Plant regenration via indirect somatic embryogenesis and optimatisation of egentic transformation in Coffee arabica L cvs. Caturra and Catuai. J Biotechnol. 11:1-12. Geigenberger P. 2003. Response of plant metabolism to too little oxygen. Current Opinion in Plant Biol. 6: 246-256.
55
Ginting G, Fatmawati. 1996. Propagation methodology of Oil palm in Marihat. PORIM Int. Palm Oil Cong. 23-28 September. Kuala Lumpur. Ginting G, Fatmawati. 1997. Suspensi sel pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). J. Penelitian Kelapa Sawit 5(3):153-160. Godbole S, Sood A, Thakur R, Sharma M, Ahuja PS. 2002. Somatic embryogenesis and its conversion into plantlets in a multipurpose bamboo, (Dendrocalamus hamiltonii) Nees et Arn. Ex Munro. Current Sci. 83:885889. Gonzales R, Rios S, Aviles F, Sanches-Olate M. 2011. In vitro multiplication of Eucalyptus globulus by temporary immersion system. Bosque 32: 147-154. Hairinsyah. 2010. Pendugaan parameter genetik dan analisa keragaman genetik kelapa sawit (Elaeis quineensis Jacq.) dengan marka Simple Sequence Repeat (SSR). [Tesis S2]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hanhineva K, Kokko H, Kaarenlampi S. 2005. Shoot regeneration from leaf explant (Fragaria x Ananassa) cultivars in temporary immersion system. In Vitro Cell Dev Biol Plant. 41: 826-831. Haq I, Dahot MU. 2007. Effect of immersion systems on chlorophyll contents in micro-propagating banana. Afr J Biotechnol. 6: 1095-1101. Hatorangan MR, Kusnandar AS, Mathius-Toruan, N. 2010. Technical Annual Report of Tissue Culture and Biotechnology 2010, PT. SMART, Tbk. Bogor. Hlm 178-190. Hartley CWS. 1987. The Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.). New York (ID): Longman and Scientific & Technical. Hee WK, Yong GC, Ung HY, Moo YE. 1998. A rapid DNA extraction method for RFLP and PCR analysis from a single dry seed. Plant Mol Biol Rep. 16: 1-9. Henry Y, Vain P, de Busyer J. 1994. Genetic analysis of in vitro plant tissue culture responses and regeneration capacities. Euphytica 79: 45-58. Henson IE, Chang KC. 2000. Oil palm productivity and its component processes. In: Basiron Y, Jalani BS, Chan KW (Eds.). Advances in Oil palm Research vol 1. Malaysian Palm Oil Board. Hlm 97-145. Hess J Carman J. 1998. Competence of immature wheat embryos: genotype, donor plant environment, and endogenous hormone levels. Crop Sci. 38: 249-253. Issali AE, Traore A, Konan JL, Mpika J, Minyaka E, Ngoran JAK, Sangare A. 2010. Relationship between five climatic parameters and somatic embryogenesis from sporophytic floral explants of Theobroma cacao L. Afr. J. Biotechnol 9(40): 6614-6625. Jack PL, James C, Price Z, Rance K, Groves L, Corley RHV, Nelson S, Rao V. 1998. Apllication of DNA markers in oil palm breeding. 1998 International Oil Palm Conference. Nusa, Bali. 23-25 September. James CM, Barrett JA, Russell SJ, Gibby M. 2001. A rapid PCR based method to establish the potential for paternal inheritance of chloroplasts in Pelargonium. Plant Mol Biol Rep. 19:163-167. Jimenez VM. 2001. Regulation of in vitro somatic embryogenesis with emphasis on the role of endogeneous hormones. Rev Bras Fisiol Ve. 13: 196-223.
56
Jiménez VM. 2005. Involvement of plant hormones and plant growth regulators on in vitro somatic embryogenesis. Plant Growth Regul. 47:91–110. Jo UA, Murphy NH, Hahn EJ, Paek KY. 2008. Micropropagation of Alocasia amazonica using semisolid and liquid cultures. In Vitro Cell Dev Biol Plant. 44: 26-32. Jones LH. 1974. Propagation of clonal palms by tissue culture. Oil Palm News 17: 1-8. Jones TJ, Rost TL. 1989. Histochemistry and ultrastructure of rice (Oriza sativa) zygotic embryogenesis. Am J of Bot. 76: 504-520. Jova MC, Kosky RG, Cuellar EE. 2011. Effect of liquid media culture systems on yam plant growth (Dioscorea alata L. “Pacala Duclos”). Biotechnol Agron Soc Environ. 15: 515-521. Kanchanapoom K, Domyoas P. 1999. The origin and development of embryoids in oil palm Elaeis guineensis Jacq) embryo culture. Science Asia. 25:195202. Karun A, Siril EA, Radha E, Parthasarathy VA. 2004. Somatic embryogenesis and planlet regeneration from leaf and inflorescence explants of arecanut (Areca catechu L.). Current Sci. 86: 1623-1628. Kasim F, Azrai M. 2004. Ulasan pemuliaan tanaman dnegan bantuan marka molekuler. Lokakarya Teknik Dasar Molekular untuk Pemuliaan Tanaman, Bogor 19-23 Juli 2004. Maros (ID): Balai Penelitian Serealia. Kasim DP, Sumaryono 2008. Perkembangan kalus embriogenik sagu (Metroxylon sagu Rottb.) pada tiga sistem kultur in vitro. Menara Perkebunan. 76(1):110. Kato N, Esaka M. 1999. Changes in ascorbate oxidase gene expression and ascorbate levels in cell division and cell elongation in tobacco cells. Physiol Plant. 105: 321–329. Klimaszweska K, Garin E, Cardou MB, Isabel N, Plourde A. 2000. Effect of sugars, amino acid, and culture technique on maturation of somatic embryos of Pinus strubus on medium with two gellan gum concentrations. Plant Cell Tiss Org Cult 62: 27-37. Kobayashi T, Higashi K, Sasaki K, Asami T, Yoshida S, Kamada H. 2000. Purification from conditioned medium and chemical purification of a factor that inhibits somatic embryogenesis in Carrot. Plant Cell Physiol. 41: 268273. Konan EE, Duran-Gasselin T, Kouadio JY, Florid A, Rival A. 2006. A modeling approach of the in vitro conversion of oil palm (Elaeis guineensis) somatic embryo. Plant Tissue Organ Cult. 84: 99-112. Kushairi A, Rajanaidu N. 2000. Breeding population, seed production, and nursery management. In Basiron Y, Jalani BS, Chan KW (Eds.). Advances in Oil palm Research vol 1. Malaysian Palm Oil Board. Hlm 39-96. Konan KE, Kouadio YJ, Flori A, Durand-Gasselin T, Rival A. 2007. Evidence for an interaction effect during in vitro of oil palm (Elaies quineensis Jacq.) somatic embryo-derived planlets. In Vitro Cell Dev Biol. 43 (5): 456-466. Konieczny R, bohdanowicz J, Czaplicki AZ, Przywara. 2005. Extracellular matrix surface network during plant regeneration in wheat anther culture. Plant Cell Tiss Org. 83: 201-208.
57
Kumar LS. 1999. DNA markers in plant improvement: an overview. Biotechnol Advances. 17: 143-182. Kushairi A, Rajanaidu N. 2000. Breeding population, seed production, and nursery management. In Basiron Y, Jalani BS, Chan KW (Eds.) Advances in Oil Palm Research vol 1. Malaysian Palm Oil Board. Hlm 39-96. Lai KS, Yusoff K, Maziah M. 2011. Extracellular mastrix as the early structural marker for Centella asiatica embryogenesis tissues. Biol Plant. 55: 549-553. Lanaud C, Lebot V. 1997. Molecular techniques for increasing use of genetic resources. In: Ayad T H, Jaradat A, Rao VR. (Ed.). Molecular genetic techniques for plant genetic resources. Rome: International Plant Genetic Resources Institute. Hlm. 92-97. Latiff A. 2000. The biology of the genus Elaeis. In Basiron Y, Jalani BS, Chan KW (Eds.). Advances in Oil palm Research vol 1. Malaysian Palm Oil Board. Hlm 238-283. Lim LL, Yong YY, Leong TT. 1999. IOI’s Oil Palm Tissue Culture Experiences. PORIM International Palm Oil Congress. 1-6 Februari 1999. Kuala Lumpur. Hlm 553-558. Liu C, Xu Z, Chua Nh. 1993. Auxin Polar Transport is essential for the establishment of bilateral symmetry during early plant embryogenesis. The Plant Cell. 5: 621-630. Liu W, Hildebrand DF, Grayburn WS, Phillips GC, dan Collins GB. 1991. Effect of exogenous auxins on expression of lipoxygenases in cultures soybean embryos. Plant Physiol. 97: 969-976. Low ETL, Alias H, Boon SH, Shariff EM, Tan CA, Ooi LCL, Cheah SC, Raha AR, Wan KL, Singh R. 2008. Oil palm (Elaies quineensis Jacq.) tissue culture ESTs: Identifying genes associated with callogenesis and embryogenesis. BMC Plant Biol. 8(62):1-19. Malosso MG, Bertoni BW, Coppede JS, Franca SC, Pereira AMS. 2012. Micropropagation and in vitro conservation of Jacaranda decurrens. Chem J Med Plant Res. 6: 1147-1154. Mandal AA, Gupta S. 2002. Direct somatic embryogenesis of safflower a scanning electron microscopic study. Current Sci. 83 (9):1138-1140. Mariani SM, Miyake H, Takeoka Y. 1998. Changes in Surface Structure during Direct Somatic Embriogenesis in Rice Scutellum Observed by Scanning Electron Microscopy. Plant Prod. Sci.1 (3): 223-231. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I, Bogor (ID): IPB Press. Mazid M, Khan TA, Khan ZH, Quddusi S, Mohammad F. 2011. Occurence, biosynthesis, and potentialities of ascorbic acid in plants. Int J Plant Animal and Environ Sci. 1(2): 167-184. Meloscia A, Orsini M, Lustrato G, Ranalli G. 2001. Evaluation of DNA extraction and amplification protocols to investigate bacterial communities on cultural heritage. LSI. 7 (1). Moura EF, Ventrella MC, Motoike SY, De Sa Junior AQ, Carvalho M, Manfio CE. 2008. Histological study of somatic embryogenesis induction on zygotic embryos of macaw palm (Acrocomia aculate Jacq.) Lodd ex Martius. Plant Cell Tiss Org. 95: 175-184.
58
Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay with tobacco tissue cultures. Physiol Plant. 15, 473-497. Namasivayam P, Skepper J, Hanke D. 2006. Identification of a potential structural marker for embryogenic competency in the Brassica napus spp. embryogenic tissue. Plant Cell Rep. 25:887-895. Namasivayam P. 2007. Acquisition of embryogenic competence during somatic embryogenesis. Plant Cell Tiss. Org. 90:1-8. Nchu WA. 2010. Extent and distribution of genetic variation in Cameroon wild population of oil palm (Elaeis quineensis Jacq.) using SSR markers. [Tesis S2]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Nicolas N, Katja SS, Christina R, Denis ON, Reinhard L. 2005. Regeneration of somatic embryos in Theobroma cacao L. in temporary immersion bioreactor and analyses of free , amino acids in different tissues. Plant Cell Rep. 10. 1007. Niemenak N. Saare-Surminski K. Rohsius C, Ndoumou DO, Lieberei R. 2008. Regeneration of somatic embryos in Theobroma cacao L. In temporary immersion bioreactor ana analyses of free amino acids in different tissues. Plant Cell Rep. 27:667-676. Nurwendah I. 2002. Pengaruh 2,4-D terhadap Embriogenesis Somatik Tak Langsung dan Perubahan Struktur Permukaan Embrio Somatik pada Bawang Putih (Allium sativum L.) Kultivar Lumbu Hijau. [skripsi]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Ogita S, Sasamoto H, Yeung EC, Thorpe TA. 2001. The effects of glutamine on the maintenance of embryogenic cultures of Cryptomeria japonica. In Vitro Cell Dev Biol Plant 37:268-273. Ovesna J, Polakova K, Leisova L. 2003.DNA analyses and their applications in plant breeding. Czech J Genet Plant Breed. 38(1): 29-40. Pal N, Sandhu JS, Domier LL, Kolb FL. 2002. Development and characterisation of microsatellite and RFLP-derived PCR markers in oat. Crop Sci. 42: 912918. Pamin K. 1998. A hundred and fifty years of oil palm development in Indonesia: from the Bogor Botanical Garden to the industry. Di dalam: Internasional Preceeding 1998. Oil Palm Conf. Nusa Dua Bali. Hlm 3-23. Pasternak TP. Prinsen E. Ayaydin F. 2002. The role of auxin, pH, and stress in activation of embryogenic cell division in leaf protoplast-derived cells of alfalfa. Plant Physiol. 129:1807-1819. Pathan AK, Bond J, Gaskin RE. 2008. Sampel preparation for scanning electron microscopy of plant surfaces-horses for courses. Micron 39(8):1049-1061. Patil TJ, Bhadanel BS. 2009. Influence of amino acids on the micellar behaviour of nonionic surfactant in aqueous medium. Int J ChemTech Research. 1(2): 121-125. Perera L, Russell JR, Provan J, Powell W. 2001. Level and distribution of genetic diversity of coconut (Cocos nucifera L. Var. Typica from typica) from Sri Lanka assessed by microsatellite markers. Euphytica. 122: 381-389. Perez-nunez MT, Chan JL, Saenz L, Gonzales T, Verdeil JI, Oropeza C. 2006. Improved somatic embryogenesis from Cocos nucifera (L.) Plumule explants. In Vitro Cell Dev. Biol. Plant. 42: 37-43.
59
Pierik RLM. 1997. In vitro culture of higher plants. London (ID): Kluwer academic publisher. Pignocchi C, Flether JM, Wilkinson JE, Barnes JD, Foyer CH. 2003. The function of ascorbate oxidase in tobacco. Plant Physiol. 132:1631–1641. Pilarska M, Czaplicki AZ, Konieczny R. 2007. Patterns of pectin epitope expression during shoot and root regeneration in androgenic cultures of two wheat cultivars. Acta Biol. Cracov. Bot. 49(2):69-72. Powell W. Morgante M, Andre C, Hanafey M, Vogel J, Tingey S, Rafalski A. 1996. The comparison of RFLP, RAPD, AFLP and SSR (microsatellite) markers for germplasm analysis. Mol. Breed. 2: 225-238. Pulmann GS, Johnson S, Van Tassel S, Zhang Y. 2005. Somatic embryogenesis in loblolly pine (Pinus taeda L.) and Douglas fir (Pseudotsuga menziesii (Mirb) Franco): improving culture initiation with MES pH buffer, biotin, and folic acid. Plant Cell Org Tiss Cult. 80: 91-103. Pulmann GS, Buchanan M. 2006. Identification and quatitative analysis of stagespecific organic acids in loblolly pine (Pinus taeda L.) zygotic embryo and female gametophyte. Plant Sci. 170: 634-647. Quiroz-Figueroa FR, Rojas-Herrera R, Galaz-Avalos VM, Loyola-Vargas VM. 2006. Embryo production through somatic embryogenesis can be used to study cell differentiation in plants. Plant Cell Tiss Organ Cult. 86: 285-301. Raemakers CJJM, Jacobsen E, Visser RCF. 1995. Secondary somatic embryogenesis and applications in plant breeding. Euphytica. 81: 93-107. Riaz S, Vezzulli S, Harbertson ES, Walker MA. 2007. Use of molecular markers to correct grape breeding errors and determine the identity of novel sources of resistance to Xiphinema index and Pierceûs disease. Am J Enol Vitic. 58:494-498. Rival A, Buele T, Barre P, Hamon S, Duval Y, Noirot M. 1997. Comparative flow cytometric estimation of nuclear DNA content in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) tissue cultures and seed-derived plants. Plant Cell Rep. 16: 884-887. Roels S, Noceda S, Escalona M, Sandoval J, Canal MJ, Rodriguez R, Debergh P. 2006. The effect of headspace renewal in a temporary immersion bioreactor on plantain (Musa AAB) shoot proliferation and quality. Plant Cell Tiss Org Cult. 84: 155-163. Rohani O, Sharifah SA, Mohd. Rafii Y, Ong M, Tarmizi AH, & Zamzuri I. 2000. Tissue culture of oil palm. In Basiron Y, Jalani BS, Chan KW. (Eds.) Adv. in Oil Palm Res. vol 1. Malaysian Palm Oil Board. Hlm 19-38. Rohani O. 2001. Positional effect of leaf explants on callusing and embryogenesis in oil palm (Elaeis guineensis). Proceedings of the 2001 PIPOC International Palm Oil Congress (Agriculture). Hlm 677-685. Rohrer GA, Alexander LJ, Keele JW, Smith TP, Beattie CW. 1994. A microsatellite linkage map of the porcine genome. Genetics. 136:231-245. Ross S, Castillo A. 2009. Mass propagation of Vaccinium crymbosum in bioreactors. Agrociencia. 13:1-8. Ruslan A. 1993. Large scale propagation of clonal palms: some limitations, common problems and progress. PORIM-Int’l palm Oil Congress. Hlm 122134.
60
Samaj J, Baluska F, Bobak M, Volkman D. 1999. Extracellular matrix surface network of embryogenic units of friable maize callus contains arabinogalactanproteins recognized by monoclonal antibody JIM4. Plant Cell Rep. 18:369-374.
Samaj J, Bobak M, Blehova A, Preova A. 2005. Importance of cytoskeleton and cell wall in somatic embryogenesis. Plant Cell Mono. 2: 35-50. Sankar-Thomas YD, Saare-Surminski K, Lieberei R. 2008. Plant regeneration via somatic embryogenesis of Camptotheca acuminata in temporary immersion system (TIS). Plant Cell Tiss and Org Cult. 95: 163-173. Sanputawong S, Te-chatoS. 2012. Effect of genotypes of oil palm on callus, embryogenic callus, and somatic embryo formation. In Proc. 1s t Mae Fah Luang University International Conference, Thailand, 2012. Hlm 1-10. Sarasan Y, Ramsay MM, Roberts AV. 2005. Rescue of endangered palms by in vitro methods: the case of’ bottle palm’. In Protocol for Somatic Embryogenesis in Woody Plants. Netherlands (ID). Springer. Vol 77. Hlm 267-274. Sass JE. 1951. Botanical microtechnique. Ames (ID): Iowa State University Pr. Sato T, Kwon OC, Miyake H, Taniguchi T, Maeda E. 2001. Optical microscopy and scanning microscopy on the surface of rice callus after treatment with cell wall degrading enzymes. Plant Prod Sci. 4 (2): 145-150. Scheidt GN, Arakaki H, Chimilovski AS, Portella ACF, Spier MR, Woiciechowski Al, Biasi LA, Soccol CR. 2009. Utilization of the bioreactor of immersion by bubbles at the micropropagation of Ananas comosus. Braz Arch Biol Technol. 521: 37-43. Schween G, Schwenkel HG. 2003. Effect of genotype on callus induction, shoot generation, and phenotype stability of regenerated plants in greenhouse of plumula spec. Plant Cell Tiss Org Cult. 72: 53-61. Singh R, Nagappan J, Tan SG, Panandam JM, Cheah SC. 2007. Development of simple sequence repeat (SSR) markers for oil palm and their application in genetic mapping and fingerprinting of tissue culture clones. Kuala Lumpur : Malaysia Oil palm Board (MPOB). Smirnoff N, Wheeler GL. 2000. Ascorbic acid in plants: biosynthesis and function. Critical Rev in Plant Sci. 19: 267–290. Snyman SJ, Nikwanyana PD, Watt MP. 2011. Allevation of hyperhydricity of sugarcane planlets produced in a RITA and characterisation of acclimated plants. South Afr J Bot. 77: 685-692. Soh AC, Wong G, Tan CC, Chong SP, Chou CN, Nur Azura A, Ho YW. 2006. Progress and Challenges in commercial mass propagation of clonal oil palm. In Sutarta et al. (eds) Proc. International Oil Palm Conference. Bali. Hlm. 229-240. Soh AC, Wong CK, Ho YW, Choong CW. 2009. Oil Palm. In: Vollman J and Rajcan I (Eds.). Handbook of Plant Breeding Vol. 4: Oil Crops. Springer Science. New York. Hlm 548. Sumaryono, Mardiana N, Tahardi JS. 1994. Embryogenic suspension culture of oil palm. Menara Perkebunan. 62(3):41-46. Stanly C, Bhatt A, Keng CL. 2010. A comparative study of Curcuma sedoaria and Zinziber zerumbet planlet production using different propagation systems. Afr J Biotechnol. 9: 4326-4333.
61
Stasolla C, Yeung EC. 2001. Ascorbic acid metabolism during white spruce somatic embryo maturation and germination. Physiol Plant 111:196–205. Steinmacher DA, Clement CR, Guerra MP. 2007. Somatic embryogenesis from immature peach palm inflorescence explants: towards development of an efficient protocol. Plant Cell Tiss Org Cult. 89: 15-22.
Steinmacher DA, Guerra MP, Saare-Surminski K, dan Lieberei R. 2011. A temporary immersion system improves in vitro regenration of peach palm through secondary somatic embryogenesis. Ann Bot. 33: 1-13. nd Steeves TA, Sussex IM. 1989. Patterns in Plant Development. 2 ed. New York (ID). Cambridge University Pr. Sumaryono, Mardiana N, Tahardi JS. 1994. Embryogenic suspension culture of oil palm. Menara Perkebunan. 62(3):41-46. Sumaryono, Riyadi I, D.Kasi P, Ginting G. 2007. Pertumbuhan dan perkembangan kalus embriogenik dan embrio somatik kelapa sawit (Elaeis quineensis Jacq.) pada sistem perendaman sesaat. Menara Perkebunan. 75(1):32-42. Tahardi JS. 1998. Improvement of oil palm somatic embryogenesis by periodic immersion in liquid medium. In Proc. International Oil Palm Conf. Nusa Dua, Bali, 23-25 September 1998. Tanksley SD, McCouch SR. 1997. Seed banks and molecular maps: Unlocking genetic potential from the wild. Science 277:1063-1066. Taylor MG, Indra KV. 1996. The ultrastructure of somatic embryo development in Pearl Millet (Pennisetum galucum; Poaceae). American J.l of Bot. 83(1): 28-44. Te-chato S. 1998. Callus induction from cultures zygotic embryo of oil palm subsequent to planlet regeneration. Songklanakarin J. of Scien. and Technol. 20:1-6. Teisson C, Alvard D, Lartaud M, Etienne H, Berthouly M, Escalona M, & Lorenzo JC. 1999. Temporary immersion for plant tissue culture. Di dalam: Plant Biotechnology and In Vitro Biology in the 21st Century, Proc. of the XIth Int. Cong. of Plant Tiss. and Cell Cult. Section H: Novel micropropagation methods. Yerusalem. pp. 629-632. Teixeira JB, Sondahl MR, & Kirby EG. 1994. Somatic embryogenesis from immature inflorescences of oil palm. Plant Cell Rep. 13:247-250. Teixeira, J.B., M.R. Sondahl, T. Nakamura, & E.G. Kirby. 1995. Establishment of oil palm cell suspensions and plant regeneration. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 40: 105-111. Trottier MC, Collin J, Comeau A. 1993. Comparison of media for their aptitude in wheat anther culture. Plant Cell Tiss Org Cult. 35: 59–67. Vasanth K, Lakshmiprabha A, Jayabalan N. 2006. Amino acids enhancing plant regeneration from cotyledon and embryonal axis of peanut (Arachis hypogaea L.). Indian J Crop Sci. 1(2): 79-83. Verdeil JL, Hocher V, Huet C, Grosdemange F, Escoute J, Ferriere N, Nicole M. 2001. Ultrastructural changes in coconut calli assosiated with the acquisition of embryogenic competence. Ann Bot. 88:9-18. Verdeil Jl, Alemano L, Niemenak N, Tranbarger TJ. 2007. Pluripotent versus totipotent plant stem cells: dependence versus autonomy? Trends in Plant Sci. 12: 245-252.
62
Wahid MB, Abdullah SNA, Henson IE. 2005. Oil palm-achivements and potential. Plant Prod Sci. 8: 288-292. Weigel KA. 2002. Classical performance recording and marker selection. In Proc The 33rd Biennial Session of ICAR, Interlaken, Switzerland. 26-31 May 2002. Hlm. 19-24. Wheeler GL, Jones MA, Smirnoff N. 1998. The biosynthetic pathway of vitamin C in higher plants. Nature. 393: 365–369. Wilkelmann T, Serek M. 2005. Genotypic differences in callus formation and regenration of somatic embryos in Cyclamen persicum Mill. Euphytica. 144: 109-117. Wong G, Chong SP, Tan CC, Soh AC. 1999. Liquid suspension culture: a potential technique for mass production of oil palm clones. Di dalam Proceedings of the 1999 PORIM International Palm oil congress-Emerging Technologies and Opportunities in the Next Millennium. PORIM, Bangi. Hlm. 3-11. Wooi KC. 1995. Oil palm tissue culture-current practice and constraints. Di dalam Proceedings of the 1993 ISOPB International Symposium on Recent Developments in Oil Palm Tissue Culture and Biotechnology: 24–25 September 1993; Kuala Lumpur Edited by: Rao V, Henson IE. Rajanaidu N: PORIM; 1995:21-32. Wu RZ, Chakrabaarty D, Hahn EJ, Peak KY. 2007. Micropropagation of an endangered jewel orchid (Anoectochilus formosanus) using bioreactor system. Hort Environ Biotechnol. 48: 376-380.
Yamagami M, Haga K, Napier RM, Iino M. 2004. Two distinct signaling pathways participate in auxin-induced swelling of pea epidermal protoplasts. Plant Physiol. 134: 735–747. Yan H, Yang L, Li Y. 2011. Improved growth and quality of Discorea fordii Prain et Burk and Discorea alata planlets using a temporary immersion system. Afr J Biotechnol. 10: 19444-19448. Yang L, Zambrano Y, Hu CJ, Carmona ER, Bernal A, Perez A, Zayas CM, Li YR, Guerra A, Santana I, Arencibia A. 2010. Sugarcane metabolites produced in CO2-rich temporary immersion bioreactors (TIBs) induce tomato (Solanum lycopersicum) resistance against bacterial wilt (Ralstonia solanacearum). In Vitro Dev Biol Plant. 46: 558-568. Yeung EC, Melnke DW. 1993. Embryogenesis in Angiospermae: Development of Suspensor. The Plant Cell. 5: 1371-1381. Yusoff NFM, Alwee SSR, Abdullah MO, Chai-ling H, Namasivayam P. 2012. A time course anatomical analysis of callogenesis from young leaf explants of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) J Oil Palm Research. 24:1330-1341. Zehdi S, Trifi M, Billotte N, Merrakchi M, Pintaud JC. 2005. Genetic diversity of tunisian date palms (Phoenix dactylifera L.) revealed by nuclear microsatellite polymorphism. Hereditas. 141: 278-219. Zouine J, El Hadrami I. 2004. Somatic embryogenesis in Phoenic dactylifera L: effect of exogenenous supply of sucrose on proteins, sugars, phenolics, and peroxidases activities during the embryogenic cell suspension culture. Biotechnology. 3(2): 114-118.
63
LAMPIRAN
Lampiran 1 Sidik ragam pengaruh medium terhadap rataan berat basah Sumber Keragaman db JK KT Fhit P Model 13 1.368 0.105 24.69 <0.0001* Galat 98 0.418 0.004 Total terkoreksi 111 1.786 R2 = 0.766 VKTG = 0.065 µ = 0.855 KK = 7.632
Lampiran 2 Sidik ragam pengaruh SPS terhadap rataan berat basah Sumber Keragaman db JK KT Fhit P Model 131 17.9 0.14 37.08 <0.0001* Galat 126 0.5 0 Total terkoreksi 257 18.4 R2 = 0.97 VKTG = 0.06 µ = 0.65 KK = 9.40
Uji ANOVA
Source Genotipe Medium Frekuensi perendaman Minggu pengamatan Genotipe*Medium Genotipe*Frekuensi perendaman Genotipe*Minggu pengamatan Medium*Frekuensi perendaman Medium*Minggu pengamatan Frekuensi Perendaman*Minggu pengamatan
DF 1 2 2 2 2
Type I SS 4.07 2.58 0.01 2.98 2.37
Mean Square 4.07 1.29 0.00 0,02 1.19
F Value 1098.72 348.88 1.38 1,43 320.68
Pr > F <0.0001* <0.0001* 0.26 <0.0001* <0.0001*
2
0.01
0.01
2.01
2
2.39
1.19
322.80
2
0.01
0.01
1.80
0.17
4
1.06
0.26
71.60
<0.0001*
4
0.02
0.00
1.24
0.30
0.14 <0.0001*
64
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 24 Maret 1983 sebagai anak sulung dari pasangan Ir. S. Marbun, MS dan E br Siahaan, BA. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, IPB dan lulus pada tahun 2006. Kesempatan melanjutkan ke program master pada Program Studi Bioteknologi diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari PT. SMART, Tbk. Penulis bekerja sebagai research officer di PT. SMART, Tbk. sejak tahun 2007 dan ditempatkan di Bogor. Bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawab peneliti ialah produksi bibit kelapa sawit melalui teknik kultur jaringan. Selama mengikuti program S-2, penulis pernah mengikuti Program Summer Course kerjasama antara IPB dan Ibaraki University, Jepang bertempat di Institut Pertanian Bogor pada September 2011 dan telah menyajikan makalah dan poster dengan judul Somatic Embryogenesis of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) in Temporary Immersion System.