Analisis Data (Situs Bonto Sikuyu, Kepulauan Selayar) Oleh: Shinatria Adhityatama
Selayar atau yang biasa dikenal dengan sebutan Tana Doang (Tanah Tempat Berdoa) merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan, dengan posisi koordinat antara 5°42’ - 7° 5’ LS dan 120°15’ - 122°30’ BT. Sebelah utara Pulau Selayar berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba, sebelah timur berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan berbatasan dengan Nusa Tenggara Timur dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Flores dan Selat Makassar (Mulyadi, 2014). Pulau Selayar memiliki posisi yang strategis bagi aktivitas pelayar masa lalu dalam hal perdagangan dan pendistribusian komoditi dari satu pulau ke pulau lainnya, dan berperan sebagai penghubung antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur, dan sebaliknya. Pulau Selayar diduga sudah memiliki peranan penting sejak dimulainya jalur rempah di perairan Indonesia Timur. Dalam konteks jalur rempah banyak yang menduga bahwa Pulau Selayar berfungsi sebagai pulau transit bagi para pedagang yang akan menuju ke kepulauan rempah. Para pedagang singgah di di Pulau Sekayar untuk mengambil air bersih, melengkapi perbekalan, dan sambil berdagang barang komoditi yang dibawanya ke masyarakat Pulau Selayar. Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya situs-situs arkeologi yang mengandung keramikkeramik di daratan pulau ini yang berasal dari Tiongkok (Dinasti Song 11-13, Dinasti Yuan 13-14, Ming 15-18) dan beberapa berasal dari kawasan Asia Tenggara.
Aktivitas pelayaran di perairan Pulau Selayar juga cukup ramai, seperti yang sudah disinggung diatas bahwa Pulau Selayar sebagai penghubung dari bagian barat Indonesia ke Indonesia bagian timur, begitu juga sebaliknya. Secara arkeologis hal ini terbuktikan dengan adanya situs-situs arkeologi bawah air di Selayar berupa kapal karam atau muatan kapal karam seperti keramik dan koin mata uang. Salah satu tempat yang memiliki tinggalan situs arkeologi bawah air tersebut adalah Perairan Bontosikuyu yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Bonto Sikuyu (Mulyadi, 2014).
Figur. (kiri – kanan) 1.Proses ekskavasi dengan menggunakan airlift dan teknik handfand 2.Proses pengangkatan temuan dari dasar laut ke permukaan untuk diidentifikasi lebih lanjut 3.Perekaman data dengan membuat sketsa temuan yang berada di dalam grid. 4. Pelabelan temuan yang telah diidentifikasi dan sebagai tanda temuan yang akan diangkat (Sumber: Tim 4)
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data untuk di analisis dari Situs Bontosikuyu ini adalah dengan melakukan ekskavasi bawah air, perekaman data, identifikasi, pengangkatan temuan disertai prosedur penanganan temuan bawah air,
dan yang terakhir adalah analisis. Pertama kali tim melakukan penentuan lokasi yang kemudian dilanjutkan dengan pemasangan baseline yang dibentangkan dari datum poin menuju letak konsentrasi temuan. Teknik baseline berfungsi sebagai acuan dalam pengukuran dan perekaman data. Setelah baseline terpasang tim baru melakukan ekskavasi bawah air dengan bantuan alat air lift, alat ini berfungsi ini menyedot pasir dan partikel yang ada di bawah air sehingga memudahkan para peneliti untuk mengekspos temuan atau data arkeologi bawah air. Teknik yang digunakan dalam ekskavasi adalah dengan meletakkan grid bersebelahan dengan garis baseline dengan teknik offset. Kotak grid difungsikan sebagai kotak galian di bawah air dan untuk memudahkan dalam proses pengukuran dan perekaman data, dan teknik handfan untuk membersihkan dan mengangkat pasir yang menutupi temuan.
Figur 5. Proses foto mozaik yang diolah didalam software Agisoft
Perekaman data dilakukan dengan menggunakan kamera foto dan video bawah air dan melakukan pengambaran sketsa situs, dan tim juga melakukan pemotretan mozaik yang diolah menggunakan software Agisoft, dan memotret data
temuan dengan menggunakan skala meter, merekam semua jenis temuan yang terdapat didalam grid. Proses identifikasi dilakukan dengan mengidentifikasi jenis, dimensi, bahan, dan ragam hias dengan memerhatikan konteks temuannya, temuan yang telah diidentifikasi tersebut akan diberi label. Selanjutnya adalah proses pengangkatan temuan, sebagai sampel dari situs tersebut, hal ini dilakukan untuk melakukan penelusuran lebih lanjut dari data yang didapat, pebendaharaan data dan untuk menyelamatkan
data dari aktivitas penjarahan. Terakhir adalah proses
analisis, tahap ini dilakukan dengan mengumpulkan semua data yang ada dan melakukan penafsiran dari hasil interpretasi dan analogi data, yang selanjutnya akan dijadikan landasan dalam menarik kesimpulan.
1. Pemaparan Data Artefaktual & Analisis Situs Bonto Sikunyu di Perairan Pulau Selayar terdapat dikedalaman 20 meter dari atas permukaan. Memiliki kontur bawah air yang landai dan bersedimen yang didominasi oleh pasir dan lumpur halus di dasarnya, kemungkinan sedimentasi lumpur berasal dari sungai karena letak situs ini tidak jauh dari pesisir. Ekosistem bawah lautnya terdapat karang baik itu hard coral maupun soft coral, selain itu juga terdapat banyak ikan dari berbagai ukuran dan jenis, dijumpai juga ular laut yang menghuni situs bawah air ini. Visibility di situs ini cukup baik berkisar antara 4-8 meter secara horizontal dan 4-5 meter jika secara vertikal, jarak pandang di situs ini dipengaruhi oleh sedimentasi lumpur yang mudah terangkat dan organisme plankton yang cukup padat di perairan ini. Bersuhu cukup hangat sekitar 28◦-31◦ derajat celcius, sehingga tidak menyebabkan hipotermia atau kedinginan saat bekerja. Arus bawah laut di perairan situs ini terbilang ringan hanya berkisar 0,5 – 1 knot sangat aman untuk
melakukan penelitian. Meskipun gelombang permukaan terkadang cukup tinggi jika pada musim angin timur, dapat mencapai 0,5 -2 meter disertai angin yang cukup kencang.
Figur 6. Kondisi perairan Situs Bonto Sikuyu di permukaan, sedikit bergelombang dan angin cukup kencang saat itu (Shinatria Adhityatama).
Situs Bonto Sikuyu menyimpan banyak tinggalan arkeologi yang cukup menarik untuk diteliti. Situs ini cukup mewakili dalam memberikan gambaran tentang aktivitas perlayaran dan perdagangan yang terjadi di perairan Pulau Selayar atau di bagian Selatan Pulau Sulawesi, bahkan beberapa peneliti internasional menyebut situs ini sebagai situs arkeologi bawah air kelas dunia melihat dari jenis temuannya. Situs ini cukup luas berdasarkan garis baseline yang dibentangkan di situs ini, kirakira situs ini memiliki luas yang sejauh ini diketahui hingga 50 m2. Tinggalan arkeologi tersebar di dasar laut di perairan Pulau Selayar ini. Namun, sangat disayangkan juga karena situs ini terindikasi tersentuh oleh tangan-tangan para penjarah harta karun. Dapat dilihat di situs ini sisa-sisa aktivitas penjarahan dan pengangkatan liar, seperti lubang-lubang galian ilegal, tali-tali, dan
sarung tangan si penggali liar. Aktivitas penjarahan ini dapat mengkacaukan konteks dari data arkeologi tersebut yang akan menyulitkan para peneliti untuk melakukan rekonstruksi. Oleh karena itu, arkeologi perlu melakukan penelitian dan analisis secepatnya di Situs Bonto Sikuyu sebelum tinggalan arkeologi di situs tersebut hilang dan rusak. Berikut hasil analisis data artefaktual dari hasil ekskavasi dan pengumpulan data yang dilakukan di Situs Bonto Sikuyu:
1.1. Keramik Tinggalan keramik di situs Bonto Sikunyu ditemukan dalam keadaan berserakan di permukaan dasar laut dan sebagian masih yang terkubur oleh pasir. Keramik yang ditemukan didominasi oleh jenis mangkok, piring, cepu, dan tempayan dan pada umumnya berwarna hijau celadon. Keramik yang ditemukan ada yang memiliki motif hias seperti motif daun, bunga atau sulur-sulur, namun ada juga yang polos tanpa hiasan. Teknik digunakan untuk menggambarkan hiasan pada keramik adalah dengan teknik gores.
Figur. 7.Keramik temuan di Situs Bonto Sikuyu yang dari samping terlihat ragam hias dengan teknik gores pada badan keramik 8.Temuan keramik dari Situs Bonto Sikuyu dari atas (Sumber: Shinatria Adhityatama)
Mengamati dari jenis dan bentuk keramik yang ditemukan di Situs Bonto Sikuyu, keramik yang ditemukan memiliki ciri keramik dengan gaya yang berasal
dari masa Dinasti Song Selatan, yang banyak beredar di pasar Nusantara sekitar abad ke 11-13 masehi. Jenis keramik yang serupa dapat juga dijumpai di situs arkeologi bawah air lainnya seperti di perairan Pulau Natuna, Laut Jawa dan Pulau Bintan. Tinggalan arkeologi ini makin menguatkan teori bahwa para pedagang datang ke Pulau Selayar tidak hanya untuk transit dan melengkapi kebutuhan logistik, namun juga untuk melakukan aktivitas perdagangan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya jenis keramik yang identik dengan yang ditemukan di bawah air, di situs-situs arkeologi yang berada di daratan Pulau Selayar, yang sama berasal dari masa Dinasti Song di abad ke 11-13 masehi (Harkantinginsih, 1983).
Figur 9 & 10. Memperlihatkan kualitas dan kondisi dari temuan keramik yang diangkat ke permukaan dari Situs Bonto Sikuyu (Sumber: Shinatria Adhityatama).
Secara kualitas Keramik-keramik yang ditemukan di situs ini cukup baik, kemungkinan dipasarkan dan digunakan untuk kalangan kelas menengah dan berfungsi sebagai alat keperluan sehari-hari. Kuantitas dari keramik jika dilihat dari jumlah temuan yang menghampar di situs ini, dapat dikatakan cukup banyak, kemungkinan keramik ini diproduksi secara massal dan akan dijual dalam skala besar. Bukti ini memunculkan dugaan bahwa tingkat permintaan konsumen di Pulau
Selayar akan komoditi keramik tersebut cukup tinggi. Dugaan lainnya adalah keramik-keramik tersebut juga dapat digunakan sebagai alat tukar dengan berbagai macam kebutuhan logistik yang dibutuhkan para pedagang yang singgah di Pulau Selayar.
1.2.
Koin Kepeng Tinggalan arkeologi lainnya yang mendominasi di Situs Bonto Sikuyu adalah
koin kepeng, sebuah uang atau koin yang tengahnya berlubang. Koin jenis ini masih sering dipergunakan oleh masyarakat Bali, sebagai bagian dari upacara adat. Koin kepeng ditemukan di situs ini dalam bentuk berserakan dan menggumpal sehingga membatu manjadi karang. Koin kepeng yang ditemukan di situs ini memiliki aksara Tiongkok. Koin ini ditemukan satu konteks dengan temuan keramik, dan jumlahnya pun cukup banyak.
Figur 11. Kumpulan koin kepeng yang menggumpal dan membatu yang ditmukan di Situs Bonto Sikuyu (sumber: Ahmad Surya Ramadhan)
Asal dan perkiraan tahun pembuatan dari koin kepeng ini dapat diketahui melalui tulisan aksara Tiongkok yang tertera di koin tersebut. Aksara Tiongkok yang tertera menunjukan asal dinasti pembuatnya. Dari penelusuran data koin kepeng di Situs Bonto Sikuyu, dapat diketahui bahwa koin tersebut berasal dari masa dinasti yang berbeda-beda. Salah satu koin kepeng tersebut ada yang berasal dari masa Dinasti Han, ada pula dari masa Dinasti Tang, hingga Dinasti Song. Hal ini menunjukkan bahwa koin kepeng tidak lengkang oleh waktu, terbukti koin di masa Dinasti Han yang lebih tua, masih dapat dipergunakan di era yang lebih muda yaitu masa Dinasti Song.
Figur 12 & 13. Memperlihatkan jenis-jenis koin kepeng, koin yang berlubang di tengahnya, yang ditemukan di Situs Bonto Sikuyu masih dapatdibaca jelas aksara Tiongkok yang tertera di koin (sumber: I Gede Tenaya).
Fungsi dari koin kepeng ini memunculkan banyak asumsi, ada yang beranggapan bahwa koin kepeng ini jelaslah sebuah alat tukar untuk membeli komoditi, namun ada juga yang beranggapan bahwa koin kepeng ini digunakan juga untuk diperdagangkan. Asumsi ini muncul karena ada teori bahwa jika masyarakat setempat ingin membeli barang dari pedagang Tiongkok harus menggunakan koin kepeng. Sehingga mereka harus menukarkan dulu barang/uang mereka ke koin kepeng tersebut, sejenis bisnis pertukaran uang atau money changer yang kita kenal di masa sekarang.
1.3.
Sisa Kayu kapal Temuan yang menarik dari hasil ekskavasi adalah ditemukannya sisa-sisa
kayu kapal yang karam dan tenggelam di Situs Bonto Sikuyu. Pada penelitian dan penelusuran sebelumnya tidak banyak menemukan sisa-sisa kayu dan belum mengindikasikan adanya kapal karam di Situs Bonto Sikuyu ini. Menurut keterangan Dg. Masinna nelayan lokal yang pertama menemukan situs ini, dia secara tidak sengaja menemukan kayu berbentuk balok yang memiliki ukiran. Diperkirakan bahwa kayu tersebut merupakan bagian dari kapal, yaitu ujung bagian haluan yang memang biasanya berukir. Tetapi, kayu berukir tersebut tidak dapat ditemukan karena menurutnya telah terendap di dalam pasir (Mulyadi, 2014). Survey BPCB Makassar di tahun 2009 juga melaporkan menemukan sebanyak 6 (enam) buah balok kayu di permukaan Situs Bonto Sikunyu. Pada kegiatan kali ini menemukan lebih banyak lagi sisa-sisa kayu kapal dengan ukuran yang cukup besar, yang ternyata terpendam di dalam pasir. Sisa kayu kapal tersebut terpendam di dalam pasir yang bercampur lumpur di kedalaman kira-kira 50 cm dari permukaan. Kayu tersebut berwarna hitam. Tinggalan sisa kayu
ini ditemukan setelah melakukan aktivitas ekskavasi dengan menggunakan bantuan alat airlift. Temuan sisa kayu ini terletak persis di bawah sebaran keramik yang ada di permukaan, hal ini memunculkan dugaan dan menjadi bukti yang kuat bahwa sisa-sisa kayu tersebut adalah kapal yang mengangkut barang komoditi keramik dan koin kepeng seperti yang dijelaskan diatas.
Figur 14. Ilustrasi sederhana tentang proses transformasi yang terjadi pada kapal karam di dasar laut (Sumber: Bowens, 2009)
Diduga kapal ini rusak di tengah laut pada saat berlayar menuju ke Pulau Selayar atau ke pulau lainnya, dan kemungkinan cuaca pada saat itu di perairan tersebut juga tidak cukup baik. Kapal ini karam di dekat daerah pesisir, diinterpretasikan kapal ini mencoba merapat ke daratan sebelum tenggelam dan menyelamatkan barang-barang komoditi yang diangkutnya. Namun, sebelum sempat merapat ke daratan kapal ini tenggelam bersama dengan barang komoditi yang diangkutnya. Pada saat tenggelam kapal ini menghantam dasar laut sehingga pecah, dan barang komoditi seperti keramik dan koin kepeng tersebar di dasar laut. Seiring berjalannya waktu, kurang lebih selama 800 tahun kapal ini terkubur di dasar
laut. Kapal ini rusak karena faktor alam dan juga faktor tangan-tangan manusia, yang memperparah kerusakan pada kapal ini. Cukup sulit untuk mengetahui asal dari kapal yang karam di situs ini, jika hanya melihat sisa-sisa pecahan kayu. Perlu dilakukan analisis laboratorium, seperti analisis pollen untuk mengetahui jenis kayu tersebut. Dengan mengetahui jenis kayu tersebut maka akan lebih mudah diprediksi dari mana kayu itu berasal, dan dapat diperkirakan dari mana kapal tersebut dibuat. Analisis selanjutnya adalah pertanggalan atau dating C14, menurut Satrio peneliti di lembaga Batan, sisa-sisa kayu cenderung lebih mudah untuk dilakukan pertanggalan. Hal ini penting untuk mengetahui umur dari kapal yang tenggelam di Situs Bonto Sikuyu. Analisis laboratorium mungkin dapat dilakukan di masa yang akan datang, untuk mengungkap lebih banyak tentang profil dan teknologi pada kapal tenggelam ini.
Figur 15. Tinggalan arkeologi berupa sisa kayu kapal yang ditemukan hasil dari ekskavasi bawah air (Sumber: Shinatria Adhityatama)
Melihat ukuran kayu dan dari jumlah barang komoditi yang dibawanya, dapat diduga bahwa kapal ini cukup besar. Diperkirakkan kapal ini digunakan untuk
berlayar dan menjelajah samudra dan laut luas, dengan daya jelajah yang cukup jauh. Sejauh ini tidak ditemukan sisa tali ijuk pengikat dan kupingan pengikat pada kayu atau yang disebut tambuko, pasak kayu juga belum ditemukan yang menjadi ciri khas dari kapal milik Asia Tenggara (Manguin, 1980). Begitu juga pasak atau paku besi yang menjadi ciri khas kapal Tiongkok pun belum ditemukan. Tetapi jika melihat dari barang komiditi yang diangkut sebagian besar yang ditemukan berasal dari Tiongkok, kemungkinan kapal tersebut juga berasal dari tempat yang sama. Namun, hal ini tidak mutlak mungkin saja barang komoditi yang diangkut berasal dari Tiongkok, tetapi kapal pengangkutnya bukan dari Tiongkok, dapat juga terjadi perpindahan barang dari kapal dagang Tiongkok ke kapal lainnya yang berasal dari kawasan Asia Tenggara maupun kapal Nusantara. Banyak kasus yang serupa seperti yang dijelaskan diatas bahwa barang komoditi
yang
diangkut
tidak
secara
mutlak
menjelaskan
identitas
kapal
pengankutnya. Salah satu situs di Perairan Belitung, yaitu Situs Batu Hitam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tang cargo. Situs tersebut ditemukan banyak keramik yang berasal dari masa Dinasti Tang, namun hasil analisis dari kapal pengengkutnya ternyata berasal dari arab (Flecker, 2000). Begitu juga beberapa kasus di situs arkeologi bawah air, seperti di Perairan Cirebon yang terdapat keramik dari Tiongkok tetapi kapal yang membawa barang komoditi tersebut beraal dari kawasan Asia Tenggara. Diperlukan ekskavasi lebih lanjut dan secara skala besar, untuk mengekspos lebih banyak lagi sisa-sisa kayu kapal, agar lebih banyak lagi data yang ditemukan. Selain itu perlu juga dilakukan penelusuran dan analisis lebih mendalam lagi tentang identitas kapal yang karam di Situs Bonto Sikuyu ini, supaya lebih memudahkan untuk melakukan rekonstruksi pada kapal ini.
1.4.
Bambu Salah satu temuan yang cukup unik dan menarik di Situs Bonto Sikuyu adalah
temuan sebuah bambu, meskipun jumlahnya tidak banyak. Temuan ini merupakan temuan hasil ekskavasi, ditemukan terkubur oleh pasir dan lumpur halus dikedalaman sekitar 30 cm dari dasar permukaan Situs Bonto Sikuyu. Bambu tersebut terletak di dekat kayu balok besar sisa dari kapal karam. Tinggalan bambu ini cukup unik karena di penelitian situs arkeologi bawah air di perairan lain, jarang dilaporkan adanya temuan bambu. Temuan ini cukup unik karna mampu membantu menjelaskan proses pengepakan di dalam kapal yang karam di Situs Bonto Sikuyu.
Figur 16. Temuan bambu yang terdapat di Situs Bonto Sikuyu yang diduga sebagai penahan barang kargo dalam proses pengepakan (Sumber: Shinatria Adhityatama).
Bambu tersebut diduga digunakan dalam proses pengemasan atau pengepakan barang komoditi. Bambu ini difungsikan sebagai penahan barang komoditi agar tidak bergerak, pecah, dan rusak pada saat kapal terguncang atau dalam situasi cuaca buruk, penahan tersebut biasa disebut dengan sebutan
dunnage. Posisi bambu ini pada bagian kapal, diduga berasal dari ruang kargo kapal, lalu tersebar bersama dengan barang komiditinya disaat kapal tenggelam. Bahan dari dunnage ini beragam ada yang menggunakan kayu, bambu, maupun logam, namun ada juga yang menggunakan barang kargo sebagai dunnage, terutama barang kargo yang tidak mudah pecah dan kokoh. Tim mengambil sampel dari bambu tersebut untuk dilakukan analisis C14 guna mengetahui umur pertanggalannya. Analisis C14 dilakukan oleh BATAN dan diketahui umurnya yaitu sekitar 600 tahun yang lalu. Hasil pertanggalan ini cocok dengan konteks temuan yang lain yaitu berasal dari sekitar abad ke-13. Dapat diinterpretasikan bahwa kapal karam ini berasal dari masa Dinasti Song yang melakukan suplai komoditas keramik ke perairan Selayar. 2. Implikasi Lingkungan terhadap situs Situs Bonto Sikuyu berada di kedalaman sekitar 20 meter dari permukaan air laut, seperti yang telah disinggung diatas. Memiliki profil lingkungan yang berpasir putih bercampur lumpur dan ditumbuhi oleh beraneka ragam terumbu karang seperti montipora danae yang berupa lembaran yang tidak rata atau membentuk kubah dengan tonjolan-tonjolan yang tersebar dan tidak merata, Goniopora Stokes yang berupa koloni bulat dan membentuk rumpun berbenjol-benjol, Porites Labate berupa Massive berukuran besar dengan permukaan relatif kasar dengan koralit relatif besar, Oulophyllia Crispa merupakan koloni massive dengan ukuran yang besar dan koralit meadroid dengan lekuk yang dalam dan lempengan yang relatif tinggi. Temperatur perairan yang hangat 28°-32°C, salinitas 34-35 ppm, kecerahan 80100%, oksigen terlarut 4,5-6,0 ppm, pasang surut 1-1,5 meter, kecepatan angin 3035 cm/detik (Mulyadi, 2014).
Figur 17. Gambaran perbandingan ketahanan dan keawetan tinggalan arkeologi yang berada di bawah air dan yang berada di daratan (Sumber: Bowens, 2009).
Mengacu pada grafik yang dikeluarkan oleh Nautical Archaeology Society (NAS) diatas dapat dilihat bahwa tinggalan arkeologi yang berada di bawah air akan lebih terjaga dan terpreservasi secara alami lebih baik jika dibandingkan dengan tinggalan arkeologi yang berada di daratan. Walaupun ada beberapa material yang sama baik jika berada di bawah air maupun di daratan, seperti material batu. Kondisi ini jika dilihat secara ideal dan alami tanpa kerusakan yang disebabkan oleh faktor manusia. Dalam kajian lingkungan Situs Bonto Sikuyu dapat diperhatikan lingkungan snagat membantu dan berperan dalam mempreservasi secara alami tinggalan arkeologi yang berada di situs ini. Lumpur dan pasir cukup berperan dalam melestarikan kayu dan bambu, sehingga saat ditemukan kondisi fisik dari temuan tersebut masih dalam kondisi baik. Keadaan ini membuktikan bahwa grafik diatas benar adanya jika temuan kayu lebih terkonservasi di bawah air.
Figur 18 & 19. Temuan keramik di Situs Bonto Sikuyu yang terpreservasi secara alami di lingkungan bawah laut (Shinatria Adhityatama).
Begitu juga dengan temuan keramik pada Situs Bonto Sikuyu yang masih relatif cukup baik secara kondisi pada saat ditemukan. Namun, memang keadaan pada saat ditemukan sudah pada kondisi pecah dan ada juga yang sudah berbentuk fragmen. Kondisi ini mungkin terjadi karena pada saat kapal tenggelam dan menghantam dasar laut, sehingga barang kargo yang diangkutnya pecah dan rusak, atau bisa juga karena faktor aktivitas manusia di situs tersebut. Faktor alam hanya berpengaruh pada tumbuhnya terumbu karang yang menempel dan kadang menutup keramik,
namun jika dikonservasi dengan baik maka terumbu karang
tersebut akan hilang dan kondisi keramik akan tetap utuh.
Figur 20 & 21. Temuan koin kepeng yang terawetkan dan tidak berkarat hasil konservasi alami di lingkungan bawah air (Sumber: I Gede Tenaya)
Sama dengan temuan koin kepang di Situs Bonto Sikuyu yang masih terlihat relatif utuh. Proses alam membuat koin-koin kepeng menggumpal dan mambatu, namun kondisi dari koin kepeng itu sendiri masih dalam kondisi baik. Tulisan aksara Tiongkok pada koin-koin kepeng tersebut masih dapat dibaca dengan cukup jelas. Tapi memang karena terpendam lama di dalam air laut dan bahan material dari koin ini adalah logam, maka koin-koin ini pun mengalami proses korosi atau pengkaratan. Hal ini biasa terjadi untuk temuan koin kepeng, baik yang ditemukan di darat maupun yang di bawah laut.
Figur 22. Temuan kayu yang terkubur pasir dan lumpur halus disertai serpihan kerang, mampu menjaga kondisi kayu tersebut dengan cukup baik (Sumber: Shinatria Adhityatama).
Situs arkeologi bawah air sering mendapatkan julukan sebagai kapsul waktu atau yang sering disebut dengan “time capsules” karena tinggalan arkeologi di bawah masih erat dengan konteks, yang temuannya cenderung saling berasosiasi dan tidak mudah terdeposisi. Perubahan yang terjadi di situs arkeologi bawah air, jika tidak tenganggu dengan aktivitas manusia, dapat dikatakan tidak banyak berubah sejak terkuburnya atau tenggelamnya objek arkeologi tersebut di dalam air. Keadaan situs yang seperti itulah yang jarang ditemukan di daratan, yang relatif lebih mudah terganggu keberadaannya. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa situs arkeologi bawah air sangatlah penting karena air membantu untuk menyembunyikan, menjaga, menkonservasi, dan banyak sekali temuan di bawah air yang tidak dapat ditemukan
di daratan sekalipun (Bowens, 2009). Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi besar akan situs arkeologi bawah air, wajib melakukan eksplorasi, penelitian, dan pelestarian bagi situs-situs tersebut. Supaya situs-situs tersebut dapat dijadikan sarana pendidikan (museum) dan wisata bahari yang dapat membantu mensejahterahkan masyarakat di sekitar situs.
Daftar Pustaka Bowens BA MA, Amanda (ed). 2009. Underwater Archaeology: The NAS Guide to Principles and Practice (Second Edition). Inggris: Nautical Archaeological Society. Mulyadi, Yadi. 2014. “ Potensi Situs Cagar Budaya Bawah Air Sangkulu-kulu di Perairan Bonto Sikuyu Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan”. Varuna: Jurnal Arkeologi Bawah Air. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud. Jakarta. Harkantiningsih, Naniek. 1883. “Keramik Hasil Penelitian Arkeologi di Pulau Selayar” dalam Makalah PIA III. Jakarta. Manguin, Piere-Yves, 1980. The Southeast Asia Ship: An Historical Approach, Journal of Southeast Asian Studies. Singapore University Press. September. Singapore.