ANALISIS DAMPAK PROGRA~I TUiUPAlVGSARIHUTAN NEGARA DI KABUPATEN TRENGGALEK Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan -- mencapai derajat sarjana S-2
Program Studi Magister Administrasi Publik Konsentrasi : Kebijakan Publik
Diajukan oleh . YlJDY SUNARKO No. tvihs. 2910/PS/MAP/1998
Kepada PROGRAM PASCA SARJANA l\IAGISTER ADI\UNISTRASI PUBLIK UNIVERSITAS GADJAH l\IADA YOGYAKARTA 2000
Tesis ANALISIS DAl1PAK PROGRAM Tln{PANGSARI RUTAN NEGARA DI KABUPATEN TRENGGALEK dipersiapkan dan disusun oleh
YUDY SUNARKO telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal
6 DESEMBER 2000
Susunan Dewan Penguji
Pembimbing Utama
Anggota Dewan Penguji Lain
DR. AGUS DWIYANTO Pembimbing Pendamping I
Drs. WAHYUDI KDr-iOROTOMO, MPP
MS i
Pembimbing Pendamping II
Drs. AGU
Tesis ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan
untulm1D£t2hob"O"r Magister
3-'~ngg~l
..................................................................................... .
! ·- . : :. _ _:., ... ~
,-;..:..
'"'-.::::
-;.;:·
i
~
~
~'"" ... '
,
SOFIAN EFFENDI . Pengelola Program Studi : ..............~~~....: ... Yg-~~·····················
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pemah diajukan untuk memperoleh derajat kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahu~n saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka.
Yogyakarta,
Nopember 2000
1L
Ill
Ka.ta Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Alloh SWT, yang berkat ridhoNya, tesis ini dapat diselesaikan, sebagai salah satu syarat memperoleh derajad sarjana S-2 di Magister Administrasi Publik (MAP), Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Selain itu, kerja keras dan dukungan banyak pihak ikut memberi kontribusi yang besar bagi penyelesaian tesis ini. Berkaitan dengan hal tersebut, ucapan terima kasih dan penghargaan say a sampaikan kepada : 1. Bapak/Ibu Pengelola Program MAP-UGM beserta staf, Bapak/Ibu Dosen khususnya Bpk. Agus Dwiyanto, PhD. dan Bpk. Drs. Wahyudi Kumorotomo, rvfPP sebagai pembimbing penulisan tesis.
2. Kepala Pusdiklat Renbang (OTO) Bappenas yang telah memfasilitasi saya dengan menyediakan dana sehingga memungkinkan mengikuti program karyasiswa di MAP-UGM. 3. Bpk. Drs. Ernomo (mantan Bupati Trenggalek) dan Bpk. Ir. Mulyadi \VR (Bupati Trenggalek yang sekarang) atas dukungan dan penugasannya kepada say a.
4. Ternan-ternan seangkatan yang memungkinkan suasana belajar lebih 'enjoy'. Dalam hal ini budi baik (Adik) Budi Santoso Asrori, Msi. beserta keluarga di Moyudan tidak akan hilang dari ingatan say a.
1'.'
5. Ucapan paling istimewa saya sampaikan kepada 3 orang wanita perkasa dalam hidup saya yang mendukung keberhasilan studi ini
istriku Nunuk Dwi
Tresnani dan 2 putriku : Dian dan Esti. Terima k.asihku yang tulus, alas pengorbananmu yang besar, unluk tambahan pengetahuanku yang sedikiJ. Dalam lingkup lokal dan sangat sederhana, tesis ini berusaha memotret wajah pada suatu sisi kegiatan pembangunan hutan di kabupaten Trenggalek khususnya, yaitu Program Tumpangsari. Mudah-mudahan apa yang dihasilkan dalam karya ini memberi sumbangan yang berharga bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Dan berkaitan dengan hal ini nampaknya 'sudah waktunya masyarakat lokal tidak sekedar menjadi penonton bagi pengelolaan sumber daya alam di sekitarnya'.
Yogyakarta,
v
Nopember 2000.
DAFTARISI
Halaman Judul Halaman Pengesahan
11
Halaman Pemyataan
111
Kata Pengantar
IV
Daftar lsi
VI
V111
Inti sari Abstract
X
Daftar Tabel
XI
Daftar Gambar
X111
Daftar Lampiran
XIV
1
Bab I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
10
C. Tujuan Penelitian
16
D. Landasan T eori
17
1. Usaha Tani Agroforestry
17
2. Evaluasi Kebijakan Publik
28
3. Analisis Dampak Kebijakan
36
E. Metode Penelitian
42
1. Pendekatan Penelitian
42
2. Hipotesis
45
3. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel Penelitian
45
4. Lokasi Penelitian dan Penetapan Sampel
46
5. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
47
6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
48
7. Uji Hipotesis
49
VI
Bab ll. DESKRIPSI WILA YAH DAN PROGRAI\1
50
A. Deskripsi Wilayah
.•
1. Keadaan Umum Kabupaten Trenggalek
50
2. Sumber Day a Hutan di Kabupaten Trenggalek
55
3. Profil Desa Nglebo Sebagai Desa Penelitian
60
B. Deskripsi Program
67
1. Kebijakan Pembangunan Kehutanan di Jawa-Madura
67
2. Program Tumpangsari di Kabupaten Trenggalek
74
3. Dinamika Kelompok Tani Hutan (KTH) Lingga Jay a
79
C. Deskripsi Kelompok-Kelompok Pengamatan
Bab
50
85
1. Umur Kepala Keluarga
86
2. Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga
87
3. Jumlah Anggota Keluarga
88
4. Luas Pemilikan Laban Pertanian
91
5. Asal-Usul Responden
94
m. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Dampak Tumpangsari Terhadap Kesejahteraan Petani
96 98
1. Pendapatan
99
2. Nilai Kekayaan
113
3. Kondisi T em pat Tinggal
114
4. Akses Terhadap Pendidikan, Kesehatan dan Informasi
115
B. Dampak Tumpangsari Terhadap Keamanan Hutan
119
C. Peran Sumber Daya Hutan Bagi Masyarakat Lokal Bab V. P E N U T U P
131
A. Kesimpulan
131 1...... ,J,;)
B. Rekomendasi Daftar Pustaka
135
Lampiran-lampiran
Vll
INTISARI
Di samping untuk meningkatkan produksi hasil hutan, kayu dan non-kayu, tujuan
pembangunan
hutan
khususnya di
Jawa
adalah
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Masyarakat lokal yang sejahtera merupakan dukungan yang penting bagi pembangunan hutan yang optimal dan lestari. Reboisasi dengan sistem tanam tumpangsari (umumnya disebut Program Tumpangsari) merupakan kegiatan utama Perum Perhutani yang dimaksudkan untuk memenuhi kedua tujuan tersebut secara saling menunjang. Keberhasilan Program Tumpangsari sangat menentukan keberhasilan pembangunan hutan secara keseluruhan. Karena demikian strategisnya peran Program Tumpangsari, maka evaluasi terhadap kinerja program tersebut penting dilakukan. Digunakan metode analisis dampak untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, yaitu dampak Prograni Tumpangsari terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan di sisi lain dampak program terhadap keamanan dan kelestarian hutan. Penelitian dilakukan di desa Nglebo, kecamatan Karangan, kabupaten Trenggalek dan kawasan hutan negara di sekitarnya yang masuk dalam wilayah RPH (Resort Pemangkuan Hutan) Karangan-Kampak. Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa Program Tumpangsari
berhasil
meningkatkan pendapatan rumah tangga petani peserta program (pesanggem) secara nyata (p
pendidikan,
kesehatan dan informasi tidak
menunjukkan
peningkatan yang nyata_(p>O,OS). Pada aspek yang lain, program ini juga tidak berhasil rnengurangi tingkat interaksi penduduk sekitar hutan terhadap sumber daya hutan yang bersifat rnerusak (p>O,OS). Berdasarkan hasil-hasil tersebut dan analisis yang dilakukan, maka disarankan adanya perbaikan program di masa mendatang mencakup : 1) peningkatan peran serta viii
masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan negara secara keseluruhan mulai dari tahap perencanaan sampai dengan pemungutan hasilnya, 2) pelaksanaan program tumpangsari yang lebih berorientasi kepada masyarakat lokal, kebutuhan masyarakat lokal merupakan pertimbangan yang utama, 3) karena kawasan hutan pada lokasi penelitian juga mengandung potensi tambang dan wisata yang tinggi, maka perlu penyederhanaan prosedur penggunaan kawasan hutan negara untuk kegiatan non-kehutanan dengan tetap berpegang pada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sektor kehutanan sebagai upaya menjaga kel~starian fungsi hutan.
ix
ABS1RACT Beside Jo improve the forest product, limber and non-limber, the goal of forest development especially in Java, is to improve local community welfare that lives around forest area. Prosperous local community is an important support for optimum and sustainable forest development. Reboization with Jumpangsari c.:·ultivation (called Tumpangsari Program) is main activity of Perum Perhutani aimed to meet that two-goal sinergily. 11le success in Tutnpangsuri Program really determine the success offoresi development as a whole. Because of its strategic role, the evaluation about performance of Tumpangsari Program is important to be conducted Impact Analisys Methode is used to know how far the Tumpangsari Program has succeded, that is impact program to local community welfare as well as the sustainability of forest. Research wa.s
cond1.~cted
in Nglebo
Village, Karangan Sub-District in Trenggalek Regency and forest area around that village in RPH (Resort Pernangkuan Hutan) Karangan-Kampak. 11;e result of research shows that Tumpangsari Program have improved Household Income significuntly (p<0,05), although it is so lillie and only for short periode 1994-1998. Income Per Capita and others welfare indicators did not show improvemeni significantly (p>O, 05). And the other side, Tumpangsari Program was not s-uccessful in decreasing deMructive interaction of local community to fore.sl resources. According lo that res1.1lt and its anali.sy.5, it is
.s-1.~gge.s1ed that
Perum Perhutani
improve Tumpangsari Program in lhe future, including : 1) enhancing local cotmnuni(v participation in forest development as a whole, 2) implementation of Tumpang.sari Program thai more oriented to local community need, and 3) because of the forest area contain mining and tourist object potentially, it is important to simple the use offorest area for non-forestty activity responsibility local comm.unily we!fare.
X
111
order to support the improvement of
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Luas dan Persentase Penggunaan Tanah di Kabupaten Trenggalek Pada Akhir 1999
51
Tabel 2.2. PDRB, PDRB Per Kapita dan Pendapatan Per Kapita Kabupaten Trenggalek Beserta Pertumbuhannya 1994-1998 Tabe12.3. Perkembangan Luas Reboisasi 1995-1999
54 56
Tabel 2.4. Luas Kawa~n Hutan Yang Digunakan Untuk Kegiatan Non-Kehutan Akhir 1998
57
Tabel 2.5. Perkembangan Produksi Hasil Hutan Selama 1995-1999
58
Tabel 2.6. Potensi Bahan Galian Mineral di Kabupaten Trenggalek
59
Tabel 2.7. Struktur Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Nglebo Akhir 1999
63
Tabel 2.8. Jumlah Penduduk Desa Nglebo Menurut Golongan Usia Dan .Ienis Kelamin Tahun 1999
64
Tabel2.9. Struktur Mata Pencaharian Utama Penduduk Desa Nglebo Akhir 1999
65
Tabel 2.10. Keadaan Tanaman Hutan dan Hortikultura Pada Pemeriksaan Saat Penelitian Tabel 2. 11. Hasil Padi dan Palawija Selama Periode 1994-1998
82 83
Tabel2.12. Taksiran Luas Kerusakan Hutan Pada Kawasan Hutan Sekitar Desa Nglebo dan Petak 102 b
84
Tabel 2.13. Umur Kepala Keluarga Responden
87
Tabel 2.14. Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga
88
Tabel2.15. Jumlah Anggota Rumah Tangga Responden
89
Tabel 2. 16.-Jenis dan Luas Pemilikan Lahan Pertanian Responden
92
Tabel 2.17. Status Asal-Usul Responden
95
Tabel 3.1. Hasil Uji Beda Rata-Rata Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun dan Pendapatan Per Kapita Per Tahun Responden
Xl
99
Tabel3.2. Kontribusi Berbagai Sumber Pendapatan Responden (dalam %)
109
Tabel 3.3. Hasil Uji-t Nilai Kekayaan Atas Barang-Barang Property
113
Tabel 3.4. Akses Terhadap Pendidikan, Kesehatan dan lnfonnasi Serta Nilai Chi-Kuadrat
116
Tabel 3.5. Interaksi Responden Terhadap Sumber Daya Hutan '
di Luar Program Perhutani
Xll
120
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Keterkaitan Penduduk Sekitar Hutan Dengan 27
Sumber Daya Hutan Gambar 1.2. Hubungan Antar Variabel Penelitian Berikut
44
Indikatomya Gambar 2.1. Pola Tanam Tumpangsari KTH Lingga .laya
X Ill
83
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Anggota KTH Lingga Jaya, Desa Nglebo, Kecamatan Karangan PerDesember 1998. Lampiran 2. Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun Petani Pesanggem. Lampiran 3. Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun Petani Non-Program. Lampiran 4. Pendapatan Per Kapita Per Tahun l>etani Pesanggem. Lampi ran 5. Pendapa4tn Per Kapita Per Tahun Petani Non-Program Lampiran 6. Uji -t Untuk Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun dan Pendapatan Per Kapita Per Tahun Lampiran 7. SumberPendapatan Rumah Tangga Petani Pesanggem (dalam %). Lampiran 8. Sumber Pendapatan Rumah Tangga Petani Non-Program (dalam %). Lampiran 9. Nilai Kekayaan Petani Pesanggem. Lampi ran 10. Nilai Kekayaan Petani Non-Program. Lampiran 11. Uji-t Nilai Kekayaan. Lampiran 12. Kondisi Tempat Tinggal Responden. Lampiran 13. Uji Chi-Kuadrat Kondisi Tempat Tinggal. Lampiran 14. Akses Responden Terhadap Pendidikan, Kesehatan dan Informasi. Lampiran 15. Uji Chi-Kuadrat Akses Responden Terhadap Pendidikan, Kesehatan dan Informasi. Lampiran 16. Interaksi Responden Terhadap Sumber Daya Hutan di Luar Program Perhutani. Lampiran 17. Uji Chi-Kuadrat lnteraksi Responden Terhadap Sumber Daya Hutan di Luar Program Perhutani. Lampiran 18. Daftar Pertanyaan Tentang Sosial-Ekonomi Petani. Lampiran 19: Pedoman Wawancara Mendalam.
XIV
BABI
PENDABUL UAN A. Latar Belakang
Rutan mempunyai peranan yang sangat penting baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, budaya maupun ekologi. Jika peranan ini tidak seimbang -yang satu lebih ditekankan daripada yang lain- maka kelestarian hutan akan terancam. Dengan demikian pengelolaan hutan haruslah produlctif secara ekonomi, adil secara sosial, berkelanjutan secara ekologi, partisipatif secara politis dan dinamis secara lrultural. Garis-Garis Besar
Haluan
negara (GBHN)
1999
mengamanatkan
bahwa
pendayagunaan sumberdaya alam termasuk sumber daya hutan dimaksudkan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat dengan tetap mempertahankan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang. Hutan sebagai salah satu unsur kekayaan alam Indonesia yang penting harus benar-benar dapat dimanfaatkan dan memberi manfaat, tidak hanya bagi negara tetapi juga bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan yang hidupnya banyak tergantung pada basil hutan. Sebagai
negara
yang
sedang
giat
memacu
pembangunan
untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, Indonesia selalu berusaha mendayagunakan sumber daya alamnya -di samping sumber daya manusianya- secara optimal sebagai modal dasar pembangunan, selain sumber daya manusianya. Sejak kebangkitan ekonomi Indonesia sekitar 1966 yang dilakukan oleh pemerintahan barn, disadari
1
sepenuhnya bahwa sektor pertambangan dan kehutanan merupakan tulang punggung paling potensial untuk memulihkan perekonomian nasional yang porak poranda. Di sektor kehutanan landasan utama yang menjadi titik tolaknya adalab bahwa sebagai smnber daya alam karunia Tuhan Yang Mahaesa, hutan perlu dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat. Sebagai bagian tak terpisahkan pembangunan nasional secara keseluruhan, pembangunan sektor kehutanan juga merupakan upaya untuk memanfaatkan hutan secara optimal dan lestari. Pembangunan sektor kehutanan haruslah memberi manfaat ganda yaitu bagi masyarakat lokal sekitar hutan dan bagi perekonomian nasional secara keseluruhan. Manfaat tersebut harus dalam bentuk peningkatan suplai basil hutan, peningkatan pendapatan dan devisa serta peningkatan penyerapan tenaga kerja. Konsep pengelolaan sumber daya hutan harus dipandang sebagai bagian dari pengelolaan sumber daya alam dengan manusia (masyarakat) lokal berperan aktif dalam produksi, distribusi, konsmnsi dan menjaga serta mengembangkan sumber daya hutan tersebut secara lestari dan dapat dimanfaatkan ke arah tercapainya keseimbangan antara eksploitasi hutan dan pengembangan hutan. Dengan demikian pengelolaan hutan haruslah dilihat dalam perspektif yang memandang hutan tidak saja sebagai sumber daya alam yang mempunyai nilai ekonomi yang multiglina, tetapi juga mempunyai nilai yang menyangkut multi-pengguna. Praktek pengelolaan hutan di masa depan harus berubah dari 'tree management' kepada 'ecosystem management', masyarakat sekitar hutan mempunyai peranan yang penting. Dalam kaitan ini kesejahteraan masyarakat lokal baik yang hidup di dalam kawasan hutan maupun di sekitar
2
kawasan hutan menjadi isu penting dalam setiap kebijakan pengelolaan hutan. Tekanan pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk serta ketergantungan terhadap somber daya hutan merupakan faktor-faktor dominan dalam pembangunan somber daya hutan. Hasil hutan
meru~
sumber pendapatan nasional yang penting. Selama
10 tahun terakhir, misalnya, ekspor basil hutan mencapai rata-rata 26,9% dari seluruh nilai ekspor non-minyak. Hasil hutan berikut basil olahannya menyumbang kira-kira 7 % d.ari Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia selama kurun waktu tersebut. Di masa mendatang, sejalan dengan proyeksi kenaikan permintaan produksi basil hutan baik kayu maupun non-kayu serta jasa-jasa hutan dunia, pembangunan sektor kehutanan menjadi semakin prospektif. Kebijakan perdagangan bebas diperkirakan juga merupakan iklim yang baik yang bisa mendorong upaya peningkatan produksi basil hutan tersebut. Dalam kaitan inilah maka aspek pengelolaan hutan yang optimal dan lestari merupakan kebijakan yang mutlak harus dilakukan. Kemampuan dalam rehabilitasi dan pelestarian hutan yang selama ini masih jauh berada di bawah laju eksploitasinya, perlu ditingkatkan. Pada sisi lain, perusakan dan perambahan hutan yang berdasarkan penelitian J. Forest Dick pada 1991 telah mencapai 624.200ha dan cenderung meningkat dimana hal ini sangat mengurangi kemampuan dan kelangsungan produksi hutan, maka secara bertahap haruslah dikurangi. Pelibatan masyarakat lokal
merupakan
aspek
penting
yang
perlu
diperhatikan dalam pengelolaan hutan. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat yang berada di dalam dan sekitar
3
kawasan hutan umumnya hidup secara subsisten dan mempunyai ketergantungan tinggi pada sumber daya hutan Penelitian dari World Bank pada tahun 1994 menunjukkan bahwa terdapat 40-60% penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Bagi masyarakat ini hutan merupakan sumber pangan dan pendapatan mereka. Hasil penelitian World Bank juga menunjukkan bahwa hampir 60% dari seluruh luas laban hutan kita ditempati dan
'dimililci'
penduduk setempat. Jika kenyataan dan kecenderungan ini diabaikan, maka keadaan yang lebih serius akan terjadi. Sebaliknya jika aspirasi dan peran serta masyarakat setempat dipertimbangkan dan diakomodasikan dalam rencana pengelolaan hutan serta ada pembagian keuntungan yang lebih adil, maka kesejahteraan masyarakat
setempat akan lebih terjamin yang pada akhirnya dapat mendukung pembangunan hutan yang lestari dan optimal. Sebagaimana direkomendasikan dalam Kongres Kehutanan Indonesia II pada 19%, di masa mendatang peran masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan sangatlah penting diperhatikan dalam menunjang keberhasilan pembangunan hutan. Disarankan dalam kongres tersebut bahwa masyarakat sekitar hutan harus diberi peran yang lebih luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan dalam berbagai
kegiata~
mulai dari kegiatan reboisasi (penanaman dan
penghutanan kembali laban hutan yang kosong) sampai pada pemanfaatan dan pemasaran basil hutan. Dengan demikian masyarakat sekitar hutan dapat terbina sebagai subyek dan tidak lagi sebagai obyek pembangunan hutan kita. Dalam kondisi demikian diharapkan masyarakat sekitar hutan memiliki akses yang lebih baik
4
terbadap sumber daya hutan untuk meningkatkan kesejahteraannya dan sebaliknya kerusakan hutan akibat tekanan penduduk juga dapat dikurangi. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada satu sisi kinerja pembangunan kehutanan k:ita memmjuklcan basil yang terus meningkat. Hal ini sejalan dengan perkembangan pengusahaan hutan alam tropika
~ta. dengan
diterbitkannya Undang-
Undang Penanaman Modal Asing dan Modal Dalam Negeri di Bidang Kehutanan pada tahun 1967 dan 1968 yang mempersilakan pihak swasta baik dalam negeri
maupun asing untuk ikut mengelola hutan di luar Jawa, sementara pengelolaan hutan negara di Jawa-Madura makin intensif dilakukan sejak. 1972 ketika Perum Perhutani -sebuah BUMN di bawah Departemen Kehutanan- diserahi
kewenangan
mengelolanya. Semenjak itu produksi basil hutan terutama kayu bulat meningkat pesat dari tahun ke tahun sejalan dengan makin luasnya kawasan hutan yang dibudidayakan dan dieksploitasi. Industri pengolahan kayu juga makin meningkat lebih-lebih dengan
adanya kebijakan yang melarang ekspor kayu bulat secara
bertahap sejak 1980. Dalam rangka pemanfaatan sumber daya hutan secara maksimal, Indonesia juga telah mengembangkan teknik-teknik pengolahan bagi produk kayu dan non-kayu. Hasil hutan non-kayu yang terpenting terutama bagi pasaran luar negeri · adalah rotan, bijih _tengkawang, cassiavera, gondorukem, terpentin, kopal dan seedlak. Di Jawa-Madura, basil hutan yang terpenting adalah kayu jati dan getah pinus di samping basil hutan berupa kayu rimba yang lain dan jasa-jasa hutan yaitu hutan wisata, suaka margasatwa, eagar alam dan lain-lain. Hasil penjualan
5
gondorukem dari pengusabaan hutan di wilayah ini meningkat sebesar rata-rata 30,25% per
tah~
sedangkan terpentin naik rata-rata 20,12o/o per tah.Wl. Nilai
penjualan 2 produk ini selama Pelita V dan VI mencapai bampir Rp. 12 milyar. Produksi kayu pertukangan jenis jati dan rimba yang lain juga terus meningkat. ratarata sebesar 7,34% per tahun. Untuk meningkatkan nilai tambah produksi kayu hutan te1ah didirikan pula industri pengo1ahan kayu jati Wltuk mengo1ah kayu jati menjadi bahan baku dan barangjadi, tersebar pada 9lokasi di Jawa. Kegiatan reboisasi merupakan kegiatan pokok penge1olaan hutan di JawaMadura. Hal ini disebabkan 1uasnya lahan-lahan hutan yang kosong baik karena rusak dan kritis maupWl bekas tebangan. Da1am kegiatan reboisasi ini digunakan sistem tanam twnpangsari, masyarakat sekitar hutan terlibat secara aktif. Dengan sistem tanarn ini masyarakat sekitar hutan diberi kesempatan untuk menanam tanaman pertanian dan perkebWtan serta rumput-rumputan pada lahan hutan selain kewajiban mereka untuk menaman tanaman hutan sebagai tanaman pokok yang disediakan Perum Perhutani. Sistem ini dirancang sebagai altematif utama reboisasi di laban hutan dan diharapkan dapat memberi manfaat yang tinggi pada kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan sekaligus mendorong mereka untuk ikut menjaga kelestarian dan keamanan hutan. Sampai dengan akhir 1998/1999 kegiatan reboisasi di Jawa-Madura dengan jenis tanaman pokok jati, pinus, damar, mahoni, kayu putih dan kesambi telah mencapai 1.357.167ha. Untuk mendukung keberhasilan sistem tanam tumpangsari ini pada tahun 1991 diperkenalkan pula program lnsus Tumpangsari, petani penggarap laban hutan (pesanggem) mendapat kredit pupuk dan
6
pestisida.
Dengan pengusahaan laban yang intensif ini produktivitas laban dan
kesuburan laban tumpangsari
diharapkan meningkat Selama kurun waktu
pelaksanaan lnsus Tumpangsari pada 1991-1997 telah berhasil direboisasi areal hutan seluas 67.947ha dengan jenis tanaman pangan padi gogo, jagung, kacang., kacangan dan berbagai jenis palawija yang lain. Dengan sistem ini terbukti daya hidup dan kesuburan tanaman pokok juga makin besar. Dari berbagai keberhasilan yang dipaparkan tersebut pada aspek yang lain sebagaimana dinyatakan Prof. Mubyarto pada worlcshop Peningkatan Fungsi dan Manfaat Sumber Daya Rutan untuk Pengembangan Perusahaan dan Kesejahteraan Masyarakat pada 29-30 Maret 1999 di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta , ditengarai bahwa sampai dengan saat ini orientasi pengelolaan dan pembangunan hutan sesungguhnya belum berpihak kepada ekonomi rakyat dengan memberi manfaat langsung kepada masyarakat lokal secara nyata. Studi Food and
Agriculture Organization (F AO) pada tahun 1997 menyebutkan bahwa masyarakat lokal sekitar kawasan hutan sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan, yaitu 34% dari seluruh penduduk miskin di Indonesia. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa sekitar 60% kehidupan masyarakat lokal tersebut ditopang oleh basil hutan. Seba_gian besar mereka hidup secara subsisten dengan pemilikan laban sangat sempit yaitu < 0,10 ha atau.bahkan tidak memiliki laban sama sekali. Keterbatasan akses mereka pada faktor produksi laban memberi tekanan yang hebat kepada sumber daya laban hutan, berakibat timbulnya perambahan dan kerusakan hutan yang menurunkan fungsi optimal hutan.
7
Berkaitan dengan berbagai pennasalahan tersebut sebenamya sejak 1973, Perum Perhutani te1ah merintis berbagai program yang bersifat prosperity approach melalui berbagai kegiatan berupa perhutanan sosial, pemberdayaan masyarakat desa hutan (PMDH),
Mantri-Lurah
(MALU),
magersaren yaitu mempekerjakan
masyarakat sekitar dalam kegiatan hutan dan memberi fasilitas tempat tinggal bagi mereka da1am kawasan hutari dan berbagai kegiatan lain dalam pengelolaan hutan negara di Jawa-Madura yang bertujuan untuk ikut mendukung pengentasan penduduk miskin di perdesaan akibat ketetbatasan laban pertanian. Di beberapa daerah dirintis pula kegiatan budidaya tanaman obat di bawah tegak.an tanaman hutan, perlebahan, persuteraan dan kerajinan ukir kayu. Sejak 1987 diperkenalkan program tmnpangsari yang pada prinsipnya adalah kegiatan penanaman campuran antara tanaman hutan dengan tanaman pertanian di kawasan hutan (agroforestry) yang kemudian dimantapkan lagi dengan penyediaan pupuk dan pestisida melalui Insus Tumpangsari pada tahun 1991-1997. Bagi kabupaten Trenggalek, tempat penelitian ini dilakukan, berbagai kebijakan pembangunan hutan sangatlah strategis dan berpengaruh nyata bagi kemajuan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat hampir separoh luas wilayah kabupaten Trenggalek adalah kawasan hutan negara yang dikelola oleh Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH) Kediri Selatan. Seluas 61.222,30ha areal hutan tersebut merupakan sumber daya penting bagi sebagian besar masyarakat akibat kondisi alam yang marginal dan
petani yang '1apar laban'. Secara umum peran sektor kehutanan di kabupaten
8
Trenggalek belumlah memenuhi barapan. Sebanyak 40 desa miskin yang memperoleh dana Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada tahun 1994 berada di sekitar
kawasan hutan. Keadaan ini diduga juga menjadi faktor pendorong utama adanya perambahan kawasan hutan oleh penduduk. Inventarisasi yang dilakukan pemerintah pada akhir 1998 menyebutkan bahwa seluas 119ha luas kawasan hutan di kabupaten Trenggalek dibuka oleh masyarakat untuk laban pertanian tanaman pangan (istilah yang sering digunakan adalah 'perladangan liar').
Di kabupaten Trenggalek kegiatan agroforestry berupa reboisasi dengan sistem tanam tmnpangsari sebenamya sudah dilakukan SKPH Kediri Selatan secara intensif sejak 1987 dengan tanaman pokok pinus dan tanaman pangan berupa padi gogo, jagung dan palawija lain, sayuran serta tanaman perkebunan berupa cengkeh, kelapa, kopi dan pucung
(kluwak). Sampai dengan akhir 1998/1999 luas areal
tumpangsari telah mencapai 22.403,58ha atau hampir 58% luas hutan produksi. Kondisi tanaman yang ada umumnya baik, yaitu daya hidupnya di atas 75% baik untuk tanaman pokok maupun tanaman lain Sejalan dengan kegiatan reboisasi tersebut juga dibentuk dan dibina kelompok tani hutan (KTH) sebagai wadah pembinaan para pesanggem. Di masa mendatang KTH ini diharapkan menjadi wadah . ,.· bagi tumbuhnya kegiatan-kegiatan produktif yang lain di desa sehingga fungsi KTH
...
~
menjadi optimal. Pada beberapa daerah upaya ini berhasil, KTH mempunyai kegiatan ekonomi perdesaan yang beraneka macam yaitu koperasi simpan pinjam, sapi
kereman, budidaya lebah, pembuatan pupuk kandang, persewaan alat pesta dan lain-
9
lain sehingga KTH juga mempunyai anggota penduduk desa yang notabene tidak ilrut dalam program tmnpangsari. Yang paling penting dari berbagai upaya pembangunan hutan yang berorientasi ke masyarakat lokal ini sebenamya lebih menyangkut tingkat . keberhasilan program ini dalam memberi dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat lokal, karena sejak awal kegiatan semcam ini dirancang untuk memberi kontribusi yang nyata bagi peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar kawasan hutan melalui pelibatan mereka untuk ikut mengusahakan laban hutan. Kegagalan program
tumpangsari untuk memberikan dampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar hutan pada akhimya merupakan ancaman bagi upaya pembangunan hutan yang optimal dan lestari. Sebaliknya keberhasilan program dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar merupakan faktor yang kondusif bagi pembangunan hutan berkelnajutan. Karena itulah studi evaluasi atas dampak program tumpangsari ini menjadi penting dilakukan untuk mengukur kinetja program tersebut.
B. Rumusan Masalah Kabupaten Trenggalek terletak di pegunungan kapur pesisir selatan Jawa
..
Timur. Wilayah ini merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang minus.
Product Domestic Regional Bruto (PDRB) pada tahun 1998 sebesar Rp. 547.722,365 juta atas dasar Harga Konstan (HK) mengindikasikan bahwa kabupaten Trenggalek memiliki aktifitas ekonomi yang kurang dinamis. Dengan nilai PDRB tersebut Trenggalek berada pada urutan 34 dari 37 kabupaten dan kota yang ada di Jawa
10
Timur, sangat rendah dibanding rata-rata wilayah Jawa Timur. Perhitungan pada tahun 1998 menunjukkan bahwa angka PDRB per kapita sebesar Rp. 831.186,51 dan pendapatan per kapita sebesar Rp. 776.338,18 , menggambarkan bahwa kehidupan sebagian besar masyarakat Trenggalek masih memprihatinkan. Meskipun demikian, indikator-indikator ekonomi terns mengalami peningkatan dari tahuii ke tahun, kecuali pada tahun 1997 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia Terdapat keragaman distribusi pendapatan yang sangat luas antar wilayah dan segmen masyarakat, desa-kota, dataran-pegmtungan dan lapisan atas-lapisan bawah. Kesenjangan pendapatan seca.ra vertikal dan horisontal ini cenderung meluas menggambarkan tingkat pemerataan yang rendah. Sebanyak 40 desa atau 25,47% seluruh desa dan kelurahan di kabupaten Trenggalek dikategorikan sebagai desa IDT (lnpres Desa Tertinggal), yaitu desa yang menerima dana IDT pada tahun 1994. Dari luas wilayah seluruhnya sebesar 126.140ha, jenis penggunaan laban hutan merupakan yang dominan, yaitu seluas 63.667,50ha atau 50,47% dari luas wilayah, meliputi kawasan hutan negara yang dikelola Perum Perhutani sebesar 61.222,30ha (48,52%) dan kawasan hutan rakyat seluas 2.445,20ha (1,95%). Sebagian besar luas wilayah di kabupaten Trenggalek adalah laban kering dan -~
marginal yang kurang produktif untuk pertanian sawab dan pertanian intensif. Keadaan ini diikuti pula dengan kenyataan pemilikan laban pertanian per rumab tangga yang sempit yaitu 0, 19ha per keluarga. Menurut data akhir 1998 terdapat 322.648 jiwa yang berrnatapencabaraian utama sebagai petani dan mengeijakan laban pertanian baik sawah maupun laban kering (kebun, tega1/ladang, pekarangan) dan
11
perikanan darat seluas 62.721,53ha. Pengusahaan lahan pertanian ini sering sangat eksploitatif dan kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air sehingga mengancam kesuburan dan kelestarian laban itu sendiri dan memunculkan lahan-lahan kritis baru. Pemilikan lahan yang sempit juga memaksa sebagian petani mengerjakan lahan-lahan yang bertopografi miring-curam tanpa diikuti teknologi konservasi yang memadai sehingga mengakibatkan penurunan kesuburan tanah yang cepat akibat erosi aliran permukaan air. Lahan-lahan kritis baru muncul dari teknik usahatani seperti ini, baik di kawasan pemilikan/pemajekan maupun di kawasan hutan negara. Data menunjukkan bahwa meskipun telah dilakukan berbagai proyek konservasi tanah dan air secara rutin dan intensif, namun penurunan luas lahan kritis sangatlah lambat. Lahan kritis seluas 21. 700ha pada awal Pelita V, misalnya, sampai dengan akhir 1998/1999 baru bisa diturunkan menjadi sekitar
18.037ha saja.
Kelangkaan sumberdaya lahan ini merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya tekanan yang tinggi terhadap sumberdaya hutan, baik terhadap lahan hutan maupun pemanfaatan hasilnya. Sumberdaya hutan merupakan
sumb~r
penghasilan
yang penting bagi sebagian besar masyarakat Trenggalek, bahkan sekedar hanya untuk melangsungkan hidupnya. Salah satu program pro.sperily approach yang dilaksanakan oleh Perum Perhutani di kabupaten Trenggalek secara luas dan intensif sejak 1987 sampai sekarang adalah program tumpangsari. Sampai dengan 1999 telah dilaksanakan kegiatan reboisasi dengan sistem tumpangsari seluas 13.549,80ha atau 22,13% luas kawasan hutan negara. Pada tahun 1991 seluas l.343,20ha di antaranya mendapatkan
12
subsidi pupuk 50% melalui program Insus Tumpangsari, yaitu Urea sebanyak 157.465 kg, TSP sebanyak 55.435,25 kg dan KCl sebanyak 33,586 kg (Repelitada kabupaten Trenggalek, 1994/1995-1998/1999). Meskipun kegiatan tersebut dari segi pencapaian luasan sudah mencapai target yang ditetapkan, namun dampak program terhadap aspek-aspek yang lain masih jauh dari harapan. Beberapa indikator terhadap hal ini dapat dilihat dari masih tingginya laju erosi yang teljadi yaitu sebesar
181,45 tonlhaltahun yang
mengindikasikan bahwa konservasi tanah dan air kawasan hutan serta kelestarian hutan belum meningkat. Luas laban kritis kawasan hutan juga belum mengalami penurunan secara nyata. Pada pengamatan 1998 yang dilakukan Sub Balai Rebabilitasi Laban dan Konservasi Tanab (SBRLKT) Malang menunjukkan babwa luas laban k.ritis tersebut mencapai 14.542ha terdiri atas 11.236ha pada kawasan butan lindung dan 3.306ba pada kawasan hutan produksi atau banya menurun ratarata 0,6% selama periode 1989-1998. Meskipun kondisi butan pada kawasan tumpangsari menunjukkan pertumbuban tanaman pokok yang baik (day a tumbuh di atas 85%) namun kondisi butan di luar kawasan tumpangsari yang meliputi lebih dari 80% luas kawasan butan selurubnya menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Tidaklah mengherankan hila _pada kawasan ini jumlab sumber/mata air terus mengalami penurunan, demikian pula debit airnya. 'oari jumlab 447 buah sumber/mata air pada tahun 1993 saat ini diduga tinggal 60% saja yang masih r.-aengalirkan air (Studi Air Bersih Kabupaten Trenggalek, 1998).
13
Pada sisi lain, kondisi sosial ekonomi masyarakat perdesaan khususnya yang tinggal di sekitar kawasan hutan juga belum banyak mengalami peningkatan. Data yang dihimpun SBRLKT Malang pada tahun 1998 menunjukkan bahwa pendapatan per kapita penduduk di wilayah ini masih berada di bawah rata-rata pendapatan per kapita penduduk kabupaten Trenggalek yaitu di bawah Rp. 730.269,23. Kondisi ini diduga juga merupakan faktor utama terjadinya tekanan yang tinggi terhadap sumber daya hutan. Pendataan oleh Biro Perekonomian Propinsi Jawa Timur pada akhir 1998 mencatat terdapat 119ha kawasan hutan yang 'didiami' penduduk dan lebih dari 10.000ha perladangan 'liar'. Mengingat beberapa kelemahan program tumpangsari ini, sebenarnya saat ini telah dikembangkan dan diadopsi model kebijakan pembangunan hutan yang lain yang lebih akomodatifterhadap kebutuhan masyarakat lokal, yaitu perhutanan sosial
(social forestry), hutan kemasyarakatan, manajemen rejim, pembangunan masyarakat desa hutan dan lain-lain. Namun demikian pada beberapa kawasan di wilayah kabupaten Trenggalek, program tumpangsari ini masih dipertahankan sebagai model pembangunan hutan. Selain alasan makin tingginya tekanan penduduk pada sumber daya hutan serta pelaksanaan model pembangunan hutan yang lain masih terbatas dan membutuhkan sosialisasi yang lebih intensif, terjadinya krisis ekonomi sejak awal 1997 yang menurunkan secara drastis kondisi sosial ekonomi masyarakat
terutama pedesaan merupakan pertimbangan utama masih dipertahankannya program tumpangsari. Pada sisi yang lain evaluasi terhadap program ini dipandang masih relevan karena hasil-hasil yang didapatkan merupakan pertimbangan yang baik bagi
l~
model kebijakan pembangunan hutan yang lebih memenuhi kepentingan berbagai pihak, Perhutani, pemerintah daerah dan terutama masyarakat lokal. Hal ini dilakukan mengingat sebenamya model kebijakan publik umumnya bersifat
incremental, yaitu bahwa model kebijakan yang baru pada hakekatnya adalah penyempumaan model kebijakan yang telah lalu. Studi evaluasi pada program tumpangsari yang sering dilakukan terutama oleh Perhutani selama ini kurang memberikan perhatian yang layak terhadap aspek lain tujuan program tersebut, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu evaluasi yang dilakukan umumnya lebih untuk memenuhi aspek-aspek administratif belaka. Oleh karena itu, mengingat peranan sumber daya hutan di kabupaten Trenggalek yang demikian strategis sebagaimana dipaparkan pada uraian-uraian tersebut, maka studi evaluasi program reboisasi dengan sistem tanam tumpangsari secara komprehensif terutama berkaitan dengan dampaknya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal khususnya sekitar hutan menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan, dengan beberapa pertanyaan: a) Seberapa besar dampak program tumpangsari pada kesejahteraan masyarakat lokal, khususnya petani peserta program (pesanggem)? b) Berapa besar dampak program dapat mengurangi ·aktivitas penduduk dalam melakukan eksploitasi hutan di luar program Perhutani ? c) Seberapa besar peran sumber daya hutan bagi
masyarakat lokal dan
perekonomian daerah pada umumnya. Dengan mengetahui outcome kebijakan
IS
tersebut dapat diketahui nilai kemanfaatan program dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a) Mengetahui seberapa besar dampak kegiatan reboisasi dengan sistem tumpangsari mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya pesanggem yaitu penduduk yang ikut dalam program tersebut. b) Mengetahui seberapa besar pelaksanaan program terse but mampu mengurangi potensi penduduk melakukan kegiatan yang merusak kawasan hutan. c) Mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan dan pola-pola pendapatannya. 2. Kegunaan Penelitian Dengan mengetahui hal-hal tersebut, maka akan diperoleh gambaran yang menyeluruh tentang peranan program tumpangsari dan sumber daya hutan pada umumnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dalam mendukung program pembangunan nasional secara keseluruhan. Dari sini maka dapat diajukan saran dan pertimbangan bagi perbaikan kebijakan pengelolaan hutan negara mendatang yang lebih produktif, adil, berkelanjutan dan partisipa1if sehingga pada akhirnya dapat mendukung pembangunan hutan yang optimal dan lestari.
16
D. Landasan Teori 1. Usahatani Agroforestry Agn~(orcstty
pada dasamya merupakan bentuk dan konsep perhutanan
sosiaL yaitu suatu strategi yang diarahkan untuk pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat lokal sambil mempertahankan fungsi lingkungan. Oleh karena itu hasil mama hutan tidak hanya terbatas pada kayu, tetapi lebih diarahkan pada berbagai komoditas yang dibutuhkan masyarakat Iokal meliputi kayu bakar, bahan pangan . hijauan makanan ternak, air dan hewan (Simon, 1983). Jadi
agn~(orcslt}'
merupakan konsep pengusahaan hutan yang
melibatkan bentuk pengusahaan ganda antara komoditas hasil hutan kayu dan nonkayu, komoditas pangan, perkebunan dan pcternakan. Agar memiliki kualifikasi sebagai suatu agn~j(Jresl!J' menurut Lundgren dalam Vv'iersum ( 198~), sistem dan praktek penggunaan laban itu harus mengijinkan adanya interaksi ekologis dan ekonomis antara komponen pohon berkayu dengan komponen lainnya. Konsep
agr(~j(Jreslry
sehenarnya sudah dikenal lama oleh masyarakat kita,
khususnya Ja\va sebagai sistem usaha tani terpadu yang dikenal dengan sebutan lwnpungsari,
(Kartasubrata,
dilakukan baik pada kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan -- ·' 1991 ).
-
Sejalan denean .
kebijakan dan ..
oricntasi kebijakan .
pembangunan hutan untuk lebih mcmajukan kesejahteraan masyarakat lokal, )'aitu masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, sistem tersehut diadopsi dan dikembangkan secara intensif oleh Perum Perhutani yang mendapat kev. . enangan mengelolaan hutan negara di Jmva-Madura sejak tahun 1973, sinergis dengan
17
kegiatan penanaman kembali hutan yang kosong (reboisasi). Tumpangsari menjadi sistem tanam utama bagi kegiatan reboisasi di kawasan hutan negara Tujuan dan sasaran pengembangan pola tumpangsari dalam kegiatan reboisasi tersebut memuut Fillius (1983) adalah: a) Meningkatkan efisiensi ekonomi
me~alui
peningkatan pendapatan agregat
yang berasal dari sumber daya negara yang terbatas. b) Memperbaiki kondisi anggota masyarakat yang miskin yang tinggal terutama di dalam dan sekitar kawasan hutan negara dengan jalan memperbaiki akses mereka terhadap sumber daya laban dan penciptaan lapangan keija. c) Meningkatkan stabilitas sosial, politik dan ekonomi. d) Mendorong peningkatan pendapatan negara yang kelak akan digunakan untuk berbagai kebutuhan sosial. Sistem usahatani tumpangsari memiliki banyak keuntungan baik dalam aspek ekologis, psikologis dan terutama sosial-ekonomis. Menurut Wiersum (1988) keuntungan sosial ekonomi tersebut meliputi : a) Total produksi setiap satuan luas laban meningkat disebabkan terwujudnya efisiensi. b) Adanya hubungan sinergis beberapa komponen atau produk sistem merupakan
input bagi yang lain sehingga jumlah investasi dapat berkurang. -
c) Pengikutsertaan tanaman pertanian dalam teknologi usahatani yang tepat dapat meningkatkan produksi tanaman pokok hutan (kayu-kayuan) sekaligus mengurangi biaya pengelolaannya.
18
d) Produksi berbagai komoditas yang ditanam dapat dipungut sepanjang tahun sehingga memberi kesempatan kerja dan penghasilan secara teratur dan merata sepanjang tahun. e) Berbagai basil pohon dapat diperoleh tanpa manajemen yang aktif, sehingga merupak~
tabungan untuk masa paceklik.
f) Adanya variasi basil dapat memberi kesempatan untuk menyebarkan resiko yang dihadapi. g) Produksi dapat digunakan sendiri atau dipasarkan, dan beberapa komoditas pertanian dapat 'ditahan' sementara untuk mendapatkan hargajual yang tinggi. Tumpangsari merupakan salah satu bentuk kegiatan usahatani yang mengorganisasikan faktor-faktor produksi berupa laban kawasan hutan, tenaga kerja, modal dan komoditas pertanian (tanaman, temak dan ikan), keseluruhan kegiatan dilakukan oleh petani yang bertindak sekaligus sebagai investor, pemimpin atau manajer dan karyawan (Hadisapoetro, 1973). Jadi merupakan pengorganisasian sumber daya dalam proses produksi. Menurut Kartasubrata ( 1991 ), terdapat 4 sumber daya utama dalam setiap kegiatan usahatani, yaitu : a) Tanah. Merupakan sumber daya alami yang dipakai dalam proses produksi. Pada umumnya pengusahaan tanah pertanian selalu didasarkan pada penguasaan luas tertentu. b) Tenaga kerja.
19
Adalah tenaga yang dipakai secara fisik untuk menjalankan berbagai kegiatan operasional usahatani. Pada usabatani berskala kecil, biasa.nya cukup menggunakan tenaga ketja dalam keluarga sehingga tidak diupah.
c) Modal. Modal adalah kekayaan, baik berupa barang dan uang yang dipergunakan dalam proses produksi bersama-sama dengan faktor produksi lain. Dalam kegiatan usahatani, misalnya untuk pembelian pupuk dan pestisida atau untuk
pengadaan alat-alat pertanian sebagai samna produksi. d) Manajemen. Dalam usahatani manajemen adalah kemampuan petani untuk menentukan dan mengorganisasikan faktor-faktor produksi dalam upaya menghasilkan produksi pertanian sebagaimana diharapkan. Output usahatani ditentukan oleh kombinasi keempat komponen sumber daya utama tersebut. Pada tingkat penggunaan sumberdaya yang optimal, maka produksi dan produktivitas usahatani mencapai basil yang paling tinggi. Laban merupakan komponen terpenting dalam usahatani, karena pada laban tersebut usahatani dilakukan, petani bertempat tinggal, dan tanah juga memberi unsur hara yang meruJSakan makanan bagi tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Pada usahatani bercocok tanam, luasan laban menjadi faktor determinan terhadap basil produksi. Pada situasi faktor produksi yang lain tetap, maka semakin luas laban pertanian yang diusahakan, maka akan semakin tinggi produksi usahatani tersebut. Pada tumpangsari di kawasan hutan, luas areal usahatani juga ditentukan oleh
20
jarak tanam tanaman pokok, karena ruang di sela-sela tanaman pokok tersebut dibrunakan untuk budidaya tanaman pertanian. Oleh karena itu jarak tanam ini harus menjamin pertumbuhan tanaman pokok yang baik
s~.!kaligus
juga
menyediakan lahan yang cukup ekonomis bagi usahatani tanaman pangan. Penelitian aspek kultur teknis ini telah banyak dilakukan. Salah satunya oleh Wahono ( 1980) di BKPH Tangen yang mendapatkan kesimpulan bahwa luas efektif areal yang ditanami tanaman pangan adalah 0,78ha untuk setiap hek-tar lahan tumpangsari. Dalam analisis usahatani, tenaga kerja lebih berkaitan dengan jumlah jam kerja pada tingkat teknologi usahatani tertentu. Produktivitas tenaga
ke~ja
karena
tambahan jam ke~ja pada satuan luas usahatani bisa dilakukan melalui peningkatan lamanya wak'lu ker:ja pada jumlah tenaga kerja tertentu atau melalui penamhahan jumlah tenaga kerja pada tingkat produktivitas tenentu. Usahatani tumpangsari merupakan lapangan ker:ia tambahan untuk mengurangi pengangguran musiman, \vaktu luang dan menambah lapangan ker:ja bagi buruh tani secara merata dan teratur hampir sepanjang tahun (Ernst, 1988). Modal usahatani digunakan untuk input teknologi usahatani, mencakup penggunaan bibit, pupuk dan pestisida yang kbih haik, perbaikan teknik budidaya serta perbaikan dan mekanisasi sistem irigasi. Penelitian oleh Ethika ( 1994) di BKPH Jatilav•;ang KPH Banyumas Timur menunjukkan hasil produksi palawija pada sistem tumpangsari di areal hutan tersebut relatiftinggi, yaitu 2,5 ton gogo, 5 kuinta] _iagung dan 4 kuintaJ lombok
p~r l11USiffi,
tingkat 111asukan yang
21
dibutuhkan adalah 4.000 jam kerja orang, 90 kg Urea per ha, 60 kg TSP per ba dan 1,5 liter pestisida per ha. Manajemen usahatani merupakan faktor produksi yang melekat pada petani yang dalam usa.hatani bertindak sekaligus sebagai manajer, yaitu upayanya untuk memadukan berbagai sumber daya yang lain untuk memberikan basil produksi dan pendapatan yang tertinggi. Namun demikian, lebih-lebih pada usaha tani laban sempit, seringkali petani dihadapkan pada banyak kendala fisik, biologi, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung mempengaruhinya dalam menetapkan keputusan dalam mengelola usahataninya. Kondisi demikian menjadikan petani lebih berpaling pada faktor-faktor produksi yang berada dalam jangkauannya, yakni tenaga ketja dan perluasan laban usahatani pada laban matjinal. Pendapatan dalam usahatani ditentukan oleb jenis kegiatan usahatani dan komoditas yang diusahakan, modal, teknologi, tenaga kerja dan harga jual basil panen. Karena itu selain tingkat barga komoditas pertanian, jumlab produksi merupakan faktor yang menentukan tingkat pendapatan petani. Semakin tinggi basil produksi dan produktivitas usabataninya, maka semakin besar pula pendapatan yang diperolehnya. Petani yang rasional akan memilih jenis dan pola usahatani yang memberikan pendapatan tertinggi bagi dirinya. Dalam evaluasinya terhadap program tumpangsari yang dilakukan oleh Perurn Perbutani selama 9 tahun (1986-1995),
diungkapkan Tim Institut Pertanian Bogor (IPB) bahwa
program tumpangsari seluas 42.400ba dan jumlah pesanggem 116.145 Kepala
22
Keluarga (KK) mampu meningkatkan pendapatan 15-20% atau Rp. 1.000.000,sampai Rp. 1.500.000,- per ha per tahun. Sementara bagi pihak Perhutani manfaat yang diperoleh adalah pencapaian rata-rata tumbuh tanaman pokok yang cukup baik, yakni 85% serta penurunan gangguan keamanan hutan. Penelitian yang Jain di KPH Kedu oleh Saefulloh dalam Simon ( 1983) pada tumpangsari dengan tanaman pokok pinus betjarak tanam 6x2 meter dan luas garapan lahan hutan (andil) 200 m 2 didapatkan bahwa kegiatan tersebut memberikan tambahan
pendapatan sebesar Rp. 1.260.000,- sampai Rp. 1.476.000,- per pesanggem pr.::r tahun. Penelitian yang lain oleh Basuki
dalam Simon ( 1983) pada program
tumpangsari di KPH Pekalongan Barat didapatkan bahwa telah
te~jadi
penyerapan
tenaga kerja dalam satu andil seluas 0,25ha sebesar 39 hari orang kerja. Penelitian yang dilakukan secara intensif terhadap pendapatan petani
pesunggcm pada proyek manajemen rejim di KPH Madiun oleh Santoso (1991) didapatkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pcndapatan bersih
pe.wnggcm adalah umur tanaman pokok, luas laban yang di-sanggem dan pola tanam yang dilakukan. Pada pcnditian tersebm didapatkan hah\va hasil budidaya tanaman semusim memberikan pendapatan bcrsih antara Rp.177.580,- sampai Rp.228.580,- dengan luas Jahan garapan 0,274ha. Sementara hijauan makanan ternak yang dihasilkan sebanyak 5,395 ton/andil/tahun dan kayu hakar sebanyak 12,34 m\andil:'tahun. Tanaman hortikultura petai, mlinjo, mangga dan jeruk yang dibudidayakan pada saat penelitian belum menghasilkan, namun dari pertumbuhan yang baik diperkirakan akan memherikan hasil yang tinggi
')'
..:..l
Bagi masyarakat sekitar hutan, sumber daya hutan merupakan sumber utama kehidupan dan mata pencahariannya. Nonna-nonna kehidupan ini sebenarnya sudah ada sejak dahulu,jauh sebelum masa kolonial. Belanda akhirnya menggantikannya dengan norma-norma baru yang berorientasi pada penguasaan hutan oleh negara dan tidak mengakui hak-hak adat. Bahkan pada masa tersebut penggunaan hak-hak adat dapat dianggap sebagai perbuatan kriminal (Soetrisno, 1999).
Menurut Sumitro ( 1999), hasil-hasil sumber daya hutan yang
dimanfaatkan masyarakat sekitar tersebut meliputi hasil-hasil dari pengusahaan lahan hutan maupun pemanfaatan hasil-hasil hutan dari tegakkan hutan produksi. Dari pengusahaan lahan hutan, masyarakat dapat memperoleh pangan, kayu bakar, hijauan makanan ternak dan lain-lain sedang dari pemanfaatan hasil hutan, penduduk dapat memperoleh hasil-hasil hutan ikutan berupa rcncek, arang, daun jati, kulit kayu maupun limbah-limbah hasil tebangan. Eksploitasi hutan menimbulkan akibat-akibat negatif pada lingkungan berupa menurunnya keragaman biologis. keseimbangan dan produktivitas hutan, kesuhuran tanah, kualitas dan kuantitas air. mcningkatnya erosi tanah scrta
..
merosotnya kualitas lingkungan pada umumnya (Soeriancgara, 1978). Eksploitasi hutan pada kegiatan perambahan oleh ·masyarakat bisa menurunkan fungsi ckonomi dan ekologi hutan tersebut secara Jehih drastis, karena eksploitasi yang tidak terkendali tersebut sangat merusak hutan. Tekanan penduduk di sekitar kawasan hutan secara sosial-ekonomi menyebabkan kctergantungan mereka pada sumber daya hutan sangat besar. Ketergantungan yang tinggi terschut berpotcnsi
2-l
merusak hutan. Penelitian FAO pada tahun 1991 di Indonesia memperkirakan bahwa terdapat 12 juta orang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan dan sebagian
besar
dari
mereka
bergantung
pada
basil
hutan
untuk
matapencaharaiannya. Berdasarkan basil penelitian itu pula tenmgkap bahwa sebaliknya jika peranserta masyarakat dan kesejahteraan masyarakat di~ dan dipertimbangkan dalam pengelolaan hutan, maka keamanan hutan akan terjaga. Proyek percontohan di
Sangga~
Kalimantan Barat yang difasilitasi FAO sedang
mengkaji definisi peranserta masyarakat dan mekanisme yang dapat menjamin dan memperluas proses peranserta masyarakat tersebut dalam pembangunan kehutanan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya., tekanan sosial ekonomi masyarakat lokal di dalam dan sekitar kawasan hutan merupakan pertimbangan utama pengembangan kegiatan reboisasi dengan sistem tanam tumpangsari. Sebagai penjabanm dari pendekatan prosperity approach dalam pembangunan hutan, kegiatan ini kemudian dikembangkan secara intensif sejak 1986 dengan melibatkan secara aktif masyarakat desa sekitar hutan dalam wadah kelompok tani hutan (KTH). Di samping untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok marjinal tersebut, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang mendorong
bagi
pembangunan
hutan
berkelanjutan
(Dephutan,
1997).
Peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar hutan diharapkan akan mengurangi ketergantungan mereka pada sumber daya hutan. sehingga pada akhimya keamanan dan kelestarian hutan akan lebih terjamin. Dengan demikian
25
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal merupakan ukuran kinerja yang penting bagi kegiatan tumpangsari, di samping keamanan dan kelestarian hutan sebagai akibat berikutnya (Fillius, 1983). Kebijakan pengelolaan hutan akan selalu berubah sejalan dengan perubahan kondisi sosial-ekonomi dan lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut menurut Sumitro ( 1999), di masa depan pengelolaan hutan di kawasan Perhutani
tidak hanya dipegang oleh Perhutani sendiri, tetapi dalam pelaksanaannya akan mengikutsertakan
masyarakat
di
tempat-tempat
tertentu
yang
memang
memerlukan perlakukan khusus, yang disebut 'interface area'. Di kawasan ini akan diselenggarakan pengelolaan produksi bersama (joint forest resources
management) antara Perhutani dan masyarakat dan selanjutnya nanti diadakan 'production sharing management' melalui PRA (Participatory Rural Appraisal). Dalam konteks ini 'kewajiban' dapat disamakan dengan input/pengorbanan dan hak
adalah
bagian
dari
hasillmanfaat
(output)
atas
kewajiban
yang
dikontribus!kan. Kewajiban Perhutani umumnya berupa :peralatanlteknologi, modal dan kemampuan perencanaan, sedang input dari masyarakat umumnya adalah tenaga kerja, kearifan lokal, pengamanan hutan dan lain-lain. Bagian hak manfaat bagi mereka tergantung pada bagian kewajibanlpengorbanan, tetapi kebijakan dalam kewajiban dan hak harus berpihak kepada masyarakat. Perencanaan dimulai dari holistic vieW (persoalan dipandang dari berbagai sudut), kemudian digunakan dengan pendekatan rasionalitas dan optimalitas. Keterkaitan
26
dan ketergantungan masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan tersebut dapat digambarkan sebagaimana gambar 1.1.
I KAWASANHUTANPERIIUTANII
1
~
TEGAKAN HUTAN PRODUKSI
LAHANHUTAN
I
I
~ TUMPANGSARI
+
PERAMBAHAN
l
l
~ PEMANF AAT AN HASILHUTAN
+
"PENCURIAN' HASILHUTAN
l
+
PANGAN
PANGAN
HASILHUTAN
KAYU.BAKAR
KAYU.BAKAR
IKUTANILIMBAH
PAKAN TERNAK
PAKAN TERNAK
DLL.
DLL.
•
HASIL HUT AN
RENCEK
!
DAUNJATI
KAYU
KULIT
DLL.
DLL.
I
KESEJABTERAAN MASYARAKAT
KERUSAKAN RUTAN
Gambar 1.1 : Keterkaitan Penduduk Sekitar Hutan dengan Sumber Daya Hutan. Somber
: diadopsi dengan sedikit modifikasi dari Achmad Sumitro (1999): Norma-
Norma Dasar Hak dan Kewajiban Perhutani dan Masyarakat da/am Penge/o/aan dan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Negara di Jawa.
27
2. Evaluasi Kebijakan Publik Dalam setiap masyarakat, sektor pemerintah sangat diperlukan, bahkan di negara yang sangat liberalis dan kapitalis sekalipun. Menurut Musgrave dan Musgrave (1991) ada beberapa alasan yang menyebabkannya, yaitu : Pertama, pemerintah dan kebijakan yang dijalankannya dibutuhkan untuk menjamin terjadinya mekanisme pasar yang sehat dan kompetitif. Kedua, peraturan pemerintah dan tindakan lainnya dibutuhkan apabila persaingan dalam pasar menjadi tidak efisien. Ketiga, pengaturan dan pertukaran berdasarkan perjanjian yang dibutuhkan dalam operasi pasar tidak dapat terjadi tanpa adanya proteksi dan pemaksaan dari suatu struktur resmi yang diadakan oleh pemerintah. Keempat, adanya masalah 'ekstemalitas' yang menuju kepada 'kegagalan pasar' dan menghendaki pemecahan melalui sektor pemerintah, baik melalui penyediaan anggaran, subsidi maupun pajak. Kelima, nilai-nilai sosial menghendaki adanya penyesuaian dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan. Dan kelima, sistem
pasar tidak selalu menimbulka.'l kesempatan kerja yang tinggi, stabilitas tingkat harga dan tingkat pertwnbuhan ekonomi yang diinginkan secara sosial. Kebijakan pemerintah dibutuhkan untuk menjamin tujuan ini. Secara singkat fungsi utama sektor pemerintah tersebut meliputi fungsi alokasi, distribusi, bantuan dan subsidi, dan operasional-rumah tangga ( Gramlich, 1981). Dalam suatu negara yang sedang berkembang, peran pemerintah dalam kehidupan masyarakat itu diperlukan untuk mempercepat proses perubahan nilainilai sosial menuju lebih baik, suatu aktivitas yang sering disebut 'pembangunan'
28
(Tjokrowinoto, 1997). Peran pemerintah dan kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkannya diperlukan untuk mempercepat proses perubahan tersebut sehingga suatu negara dapat sejajar dengan negara lain yang sudah lebih maju. Banyak batasan dibuat para pakar untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebijakan publik. Friedrich (1963) misalnya menyatakan bahwa kebijakan publik adalah 'suatu usulan arah tindakan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah pada suatu lingkungan tertentu yang mencakup tantangan dan peluang untuk dimanfaatkan dalam suatu kebijakan yang diusulkan sebagai upaya mencapai dan merealisasikan tujuan dan sasaran'. Sedang Dunn (1986) lebih menekankan kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan publik dengan menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah 'suatu rangkaian pilihan yang saling terkait yang dibuat oleh badan-badan pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah dalam wilayah permasalahannya yang luas, meliputi pertahanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, pengendalian, kriminalitas, perkotaan dan sebagainya'. Jauh sebelum ini dalam teorinya mengenai sistem politik, David Easton dalam Sanit ( 1980) memberi batasan yang hampir sama, yaitu bahwa kebijakan publik berkaitan dengan 'alokasi nilai secara otoritatif kepada seluruh masyarakat'. Lembaga yang secara otoritatif berhak melakukannya adalah pemerintah. Di samping batasan-batasan yang lebih menekankan kepada aktor-aktor yang terlibat dalam kebijakan publik tersebut, baik pembuat maupun penerima akibatnya, beberapa batasan lain menekankan kepada isi kebijakan itu sendiri.
29
Laswell dan Kaplan (1970), misalnya, menjelaskan kebijakan publik sebagai •a
projected program of goals, values and practices'. Setiap tindakan dalam bentuk program dipandang selalu memiliki tujuan, meskipun dalam praktek tidak bisa dipastikan bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan. Atau bisa terjadi bahwa kebijakan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga mempunyai dampak yang luas terhadap masyarakat. Secara singkat dan dalam cakupan yang lebih luas Dye (1972) mengatakan bahwa kebijakan publik berkaitan dengan •whatever
governments choose to do or not to do'. Dengan memberi batasan kebijakan publik sebagai sejumlah aktivitas pemerintah yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah sendiri maupun melalui agen-agen yang lain dan mempengaruhi kehidupan setiap warga
ne~
Peters (1982) mengidentifikasi ada 3 tahap kebijakan, yaitu : Pertama, pilihan-
pilihan kebijakan, yaitu keputusan-keputusan yang dibuat oleh politisi, pelayanpelayan publik atau lainnya dengan rnenggunakan kekuasaan publik untuk mempengaruhi warga negara. Kedua, output kehijakan yaitu kebijakan yang ditetapkan untuk dijalankan. Dan ketiga, dampak kebijakan yaitu pengaruh dari pilihan kebijakan dan basil-basil kebijakan terhadap warga negara. Untuk ito, rnenurut Peters (1982) selanjutnya, ada beberapa aspek kebijakan publik yang perlu/mendapatkan penjelasan, yaitu :
a) Meskipun kita memfokuskan perhatian kepada kebijakan-kebijakan publik yang berskala nasional dan ditetapkan oleh pemerintah pusat, tetapi dalam
30
praktek berbagai tingkat pemerintahan di bawahnya juga membuat keputusankeputusan yang sering menimbulkan konflik. b) Tidak semua kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah dijalankan oleh aparatur pemerintah. Banyak kebijakan dalam kenyataan dijalankan oleh berbagai organisasi swasta dan perorangan. c) Dan yang terpenting, kif& hanya memperhatikan pengaruh-pengaruh pilihan kebijakan pemerintah tersebut terhadap kehidupan individu dalam masyarakat.
Jadi analisis kebijakan hanya melakukan evaluasi kebijakan atas dasar pengaruhnya atau dalam istilah Laswell (1970) 'who gets what'. Berbeda dengan studi kebijakan publik pada awal perkembangannya. yaitu apa yang dikenal dengan studi kebijakan berdasar pendekatan 'tradisional' atau 'struktural' dan kemudian yang modem disebut pendekatan 'behavioral', saat ini
studi tentang kebijakan publik bergeser kepada penjelasan yang lebih kompleks mengenat keterkaitan antara lembaga, proses dan hasilnya. Studi tentang kebijakan publik ada!ah deskripsi dan eksplanasi tentang akibat-akibat dan
dampak-dampak aktivitas pemerintah (Dye, 1972). Studi kebijakan publik dengan demikian akan mencakup deskripsi tentang isi kebijakan, penaksiran dampak yang timbul sebagai konsekuensi isi kebijakan, analisis tentang pengaruh berbagai susunan kelembagaan dan proses politik, penelitian tentang akibat-akibat berbagai kebijakan publik terhadap sistem politik dan evaluasi dampak kebijakan publik dalam masyarakat, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
31
Sebagai aktivitas untu.k mendapatkan pemahaman yang mendalam, studi evaluasi kebijakan publik memerlukan adanya analisis terhadap kebijakan, yaitu suatu kegiatan intelektual dan praktikal yang dimaksudkan untu.k menciptakan. memberikan penilaian kritis dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan
dalam proses pembuatan kebijakan. Studi evaluasi menjawab pertanyaan •apa perbedaan yang dtbuat' (Dunn, 1986) dan •hasilnya tegas dan bahkan tidak berbeda sekalipun dilakukan oleh orang lain' (Rossi and Freeman, 1985). Evaluasi memainkan penm penting dalam analisis kebijakan. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai. Evaluasi juga memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari penetapan tujuan dan target. Dan, evaluasi juga memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasinya (Dunn, 1986). Atau secara singkat seperti yang dikatakan Quade ( 1984 ), analisis kebijakan merupakan bentuk penelitian terapan yang .dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang isu-isu sosioteknis dan memperoleh solusi yang lebih baik. Menurut Dye (1972) suatu analisis kebijakan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Lebih berkaitan dengan eksplanasi dibanding preskripsi. Bila pada akhimya rekomendasi kebijakan dibuat, maka hal ini merupakan bagian dari deskripsi dan eksplanasi.
32
b) Suatu penyelidikan dan penelusuran yang teliti ten1ang akibat-akibat dan konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari kebijakan publik. Dengan demikian suatu analisis kebijakan akan menggunakan standar-standar keilmuan tennasuk teknik-teknik kuantitatif yang tepat untuk mendapatkan kesimpulan. c) Suatu upaya untuk mengembangkan dan menguji proposisi-proposisi umum tentang akibat-akibat dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan publik. Analisis kebijakan merupakan suatu pendekatan terhadap masalah-masalah yang ada dalam masyarakat secara ilmiah dan re/evan. Tuntutan adanya eksplanasi sebagai prasyarat analisis, penggunaan standar-standar ilmiah dalam membuat kesimpulan dan penyelidikan terbadap berbagai teori keilmuan yang relevan menunjukkan bahwa analisis kebijakan adalah bentuk tanggung jawab ilrnuwan yang rnernungkinkan ilrnu-ilmu sosial menjadi lebih relevan terhadap rnasalah-masalah yang ada dalam masyarakat. Karena itu sebagai suatu analisis kebijakan, evaluasi kebijakan akan meliputi berbagai aktivitas yang sating terkait, yaitu analisis yang berhubungan dengan korzseptualisasi dan rancangan kebijakan,
pemantauan alas pelaksanaan program dan penilaian kemanfaatan program. Meskipun
tidak
mungkin
memenuhi
seluruh
aspek
tersebut,
evaluasi
komprehensif tersebut perlu diupayakan dalam studi evaluasi.
Dunn (1986) rnernbedabn pendekatan dalam evaluasi kebijakan atas 3 kelompok, yaitu : a) Evaluasi Semu, yaitu menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan.
33
b) Evaluasi Formal, yaitu menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai basil kebijakan yang secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan. c) Evaluasi Keputusan Teoritis, yaitu menggunakan metode deskriptif untuk men~ilkan
informasi yang terpercaya dan valid mengenai basil kebijakan
yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan. Beberapa evaluasi bersifat retrospektif -yaitu melihat sejauh mana program yang secara nyata dilakukan efektif-, prospektif -yaitu mengetahui apa dan seberapa besar dampak akan terjadi di masa depan sehubungan dengan dilaksanakannya suatu program- atau bersifat keduanya, yaitu retrospektifprospektif (Mohr, 1992).
· Menurut Mohr (1992) ada 5 fungsi terkait dalam studi evaluasi, yaitu:
a) Finding. Setiap program tertentu mempunyai sejumlah besar dampak dan seorang peneliti
dituntut
untuk
mendapatkan
dimensi-dimensi
outcomes
yang
dipengaruhi.
b) Limiting. J umlah dampak potensial umumnya terlalu banyak sehingga evaluasi terhadap seluruhnya adalah tidak realistis. Oleh karena itu peneliti harus memutuskan
dampak mana yang penting dan mana yang bisa diabaikan.
34
c) Assesing impact. Yaitu bagaimana seorang peneliti menentukan dan menilai dampak suatu program terhadap setiap outcomes.
d) Common scaling. Pendugaan dampak dari berbagai
outcomes yang mungkin dalani'. uitit
pengukuran yang berbeda harus dikombinasikan dengan langkab dan prosedur tertentu sehingga memungkinkan adanya penilaian secara keseluruhan.
e) Weighting, Meskipun berbagai skor bisa dikombinasikan karena tidak jarang dalam pengukuran yang dapat dibandin~ namun tetap diperlukan langkab tertentu untuk memberi bobot. Studi evaluasi yang dimaksudkan untuk menilai keberhasilan suatu program dan kebijakan pemerintah sendiri, menurut Dwiyanto (1999) dapat dilakukan menurut 2 perspektif yang berbeda. yaitu dari sudut pandang proses
(implementasi) dan hasil (outcomes). Pada perspektif outcomes, suatu program dapat dinilai berhasil kalau program itu menghasilkan dampak terhadap kelompok sasaran dan masyarakat pada umumnya sebagaimana dimaksudkan ketika program tersebut dirancang, sebagai akibat dari pelaksanaan program dan kebijakan pemerintah. Evaluasi tersebtit dapat bersifat accounting (yaitu upaya untuk mengidentifikasi dan memperkirakan besaran dampak program), auditing (yaitu tindakan untuk mengetahui kemampuan program dalam me1ibatkan kelompok sasaran dan mencegah mereka yang tidak eligible untuk terlibat dalam program)
35
atau explanation (yaitu informasi yang menjelaskan kontribusi masing-masing komponen kegiatan terhadap terjadinya dampak).
3. Analisis Dampak Kebijakan. Inti dari analisis darnpak adalah melakukan perbandingan antara apa yang
terjadi setelah implementasi suatu program dengan apa yang terjadi seandainya program tidak diimplementasikan. Nilai perbandingan inilah yang merupakan dampak (impact) program. Oleh karena itu analisis dampak menekankan pada inherently valued outcomes yang paling berkaitan dengan inherent problem (Mohr~
1988). Kemampuan program untuk mempengaruhi terjadinya suatu
perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi titik pengamatan. Upaya untuk mengidentifikasi dan memperkirakan besaran dampak (seringkali disebut
accounting) dilakukan dengan mengembangkan indikator-indikator yang relevan untuk mengukur perubahan fenomena sosial ekonomi tersebut (Dwiyanto, 1999). Anal:sis dampak mengukur seberapa besar suatu program yang dievaluasi menghasilkan dan mengakibatkan perubahan sosial sebagaimana yang diinginkan sebagai tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. Untuk melakukannya maka evaluator perlu mengumpulkan data untuk menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi adalah fungsi kebijakan tersebut melalui rancangan penelitian tertentu. Kesulitan penilaian dampak timbul karena beberapa sebab. Pertama, lingkungan sosial sangat kompleks dan banyak fenomena sosial memiliki banyak akar dan penyebab. Dengan berbagai kepelikan masalah-masalah sosial tersebut,
36
maka masalah sosial bisa dipengaruhi melalui sejumlah program. Kedua, karena teori ilmu sosial dan generalisasi empirisnya lemah dan tidak lengkap, maka sulcar untuk mengembangkan model-model fenomena sosial yang cukup bagi penilaian dampak. Ketiga, program-program sosial secara tipikal d.iharapkan memiliki hanya dampak yang sederhana Sering terjadi bahwa pengaruh- program sosial tersebut terlalu kecil sehingga sulcar untuk dideteksi dan diukur. Dan keempat., beberapa program sosial sukar untuk dinilai sebab program tersebut dirancang dan dilaksanakan untukjangka waktu yang panjang (Rossi and Freeman, 1985). Untuk itu menurut Rossi dan Freeman (1985) lebih lanjut, diperlukan persyaratan bagi penilaian dampak kebijakan. Pertama, program harus memiliki tujuan-tujuan yang dinyatakan dengan cukup sehingga memungkinkan adanya identifikasi untuk mengukur pencapaian tujuan tersebut atau evaluator harus menetapkan dahulu tujuan-tujuan kebijakan tersebut secara masuk akal. Kedua, lmplementasi kebijakan harus dilakukan dengan cukup baik. Adalah sesuatu yang mubadzir melakukan penilaian dampak program yang tidak dijalankan dengan tepat. Program-program sosial tidak dilaksanakan dalam suatu masyarakat yang 'hampa'. Tanpa adanya program-program intervensipun masyarakat akan berubah
secara dinamis. Oleh karena itu masalah penetapan outcomes kebijakan identik dengan masalah penetapan bahwa program adalah .fiebab akibat yang timbul
secara spesifik. Dengan demikian penetapan dampak kebijakan atau program intinya adalah mengukur penetapan lcausa/itas. Hubungan kausalitas tersebut
37
biasanya dinyatakan secara probabilitas, yaitu bahwa probabilitas timbulnya akibat B, yang disebabkan dengan adanya sebab A, misalnya, lebih tinggi dibandingkan dengan tidak adanya sebab A. Jadi program sosial harus bersaing dengan proses-proses yang sedang terjadi yang juga menimbulkan basil yang diinginkan. Terdapatnya banyak keadaan lingkungan menyebabkan sulit (tetapi bukan tidak mungkin) untuk melakukan evaluasi dampak dengan rancangan penelitian
yang terbaik. Rossi dan Freeman (1985) menyarankan bahwa evaluator harus memilih
rancangan
terbaik
yang
mungkin,
dengan
mempertimbangkan
kepraktisannya dan kelayakannya, yaitu rancangan yang 'good enough'. Titik awal penilaian dampak adalah mengidentifikasi satu atau lebih
ukuran outcomes yang menggambarkan tujuan program. Untuk itu harus dibedakan gross outcomes dengan net outcomes, yang pertama adalah seluruh perubahan yang teijadi selama atau setelah program dilaksanakan, sedang yang kedua (net outcomes) menunjuk kepada dampak yang secara masuk akal
(plausible) disebabkan oleh adanya program dan bebas dari perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pengaruh yang lain yang mungkin teijadi. Proses di luar program tersebut sering disebut faktor pengganggu (contaminating factors,
confounding factors dan extraneous factors). Isu penting dalam penilaian dampak adalah bagaimana mendapatkan dugaan dan taksiran tentang perbedaan-perbedaan apa yang ada antar 2 kondisi, yaitu kondisi bila kebijakan itu ada dan satunya kondisi bila kebijakan tidak ada.
38
Ada beberapa pendekatan alternatif yang beraneka
m~
tetapi semuanya
menggariskan adanya penetapan 'controls', yaitu kelompok pengamatan yang kondisinya tanpa perlakuan. 'Controls' dengan demikian adalah metode untuk menduga keadaan yang terjadi tanpa adanya perlakuan. Pengembangan yang terus
--·
menerus tentang strategi 'controls' fenomena program. dan strategi pengumpulan
data, akhimya mengbasilkan berbagai macam rancangan penelitian untuk. penilaian dampak. Berbagai perlakuan 'controls' dan 'research design' tersebut tidak diuraikan, karena hal itu muda.h ditemui di banyak buku-buku teks metodologi penelitian atau evaluasi kebijakan. Dalam bidang agroforestry, menurut Kartasubrata ( 1990), studi evaluasi dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik biofisik, sosial-ekonomi maupun ekonomi-finansial. Secara rinci pendekatan-pendekatan dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
a) Pendekatan Konservasi Tanah. Penelitian ini mencakup penelitian tentang pengendalian erosi, pemelihara an kesuburan tanah, pengurangan kehilangan air melalui aliran permukaan , pengaturan pola tanam yang memenuhi syarat konservasi, pengemba ngan rancangan-rancangan sipil teknis bangunan air dan lain-lain.
b) Pendekatan Sistem. Penelitian ini mempelajari hubungan antar komponen-komponen agroforestry yaitu tanaman, hewan, orang dan lingkungan untuk. mempredik sikan dan
39
mengendalikannya sehingga menjadi baik. Penelitian ini melihat ekosistem sebagai satu kesatuan dalam suatu pertukaran energi antar komponennya.
c) Pendekatan Sosia/ Ekonomi. Penelitian yang dilakukan mengingat kenyataan bahwa upaya agroforestry didorong oleb
tujuan-~juan
sosial ekonomi mencakup pembangunan desa,
produktivitas, perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengawetan
tanah serta lingkungannya. Aspek ekonomi mencakup rangsangan-rangsangan ekonomi bagi petani, peningkatan pendapatan bersih, pemgurangan resiko, peningkatan jasa lingkungan dan penimbunan kekayaan dan simpanan. d) Pendekatan Bio-ekonomi.
Penelitian dikarenakan manfaat agroforestry tidak terletak pada basil produksi biologis per luasan sumber daya alam saja, akan tetapi keberlanjutan dan itu berupa nilai neto bagi petani. Penilaian dampak berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi masyarakat penerima program pemerintah juga memerlukan rancangan penelitian yang tepat, untuk memenuhi plausabilitas dan kontrol terhadap faktor-faktor di luar program yang memberikan efek sama dengan tujuan program. Penilaian tentang tingkat kesejahteraan masyarakat, misalnya mempunyai dimensi yang sangat luas (Biro Pusat Statistik, 1997). Kesejahteraan tidak saja mencakup aspek yang bersifat lahiriah atau material saja, tetapi juga menyangkut aspek yang bersifat batiniah atau spiritual. Sedemikian luasnya aspek-aspek yang tercantum dalam istilah tersebut sehingga data statistik konvensional, misalnya pendapatan per kapita,
40
pengertian kesejahteraan, meskipun indikator pendapatan per kapita tetap merupakan
bagian
penting
dalam
penilaian
kesejahteraan
masyarakat,
keluargalrumah tangga atau seseorang. Karena sulitnya pengukuran kesejahteraan secara menyeluruh untuk berbagai aspek tersebut dan pada beberapa aspek bahkan tidak mungkin, pengukuran tingkat kesejahteraan yang umum digunakan, misalnya oleh Badan Pusat Statistik dalam pengukuran indikator kesejahteraan rakyat, hanya menyangkut segi-segi kesejahteraan yang dapat diukur (measurable welfare) saja. Indikator kesejahteraan yang umumnya dipakai tersebut antara lain pendapatan rumah tangga, pendapatan per kapita, pola pengeluaran, nilai kekayaan dan kepemilikan barang-barang properly, kondisi tempat tinggal dan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan rekreasi. Sementara Sayogyo dalam Faturachman dan :rvlolo (1995) menggunakan garis kemiskinan setara 480 kg beras perkapita
pertahun
pada
wilayah
perdesaan
untuk
kesejahteraan seseorang. Badan Pusat Statistik (1999)
menentukan
tingkat
menyarankan untuk
mengukur tingkat kesejahteraan penduduk dengan mengacu pada kebutuhan minimum 2. I 00 kkal per kapita per hari ditambah kebutuhan minimum nonmakanan. Nilai ini bersifat dinamis menyesuaikan dengan pergeseran pola konsumsi penduduk, perluasan cakupan komoditas sehingga lebih realistik dan perbandingan antar wilayah/daerah. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan tersebut berdasarkan standar 1998 untuk propinsi Jawa Timur adalah Rp.90.204,- untuk perkotaan dan Rp.73.432,- untuk perdesaan. Pada penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan, tingkat
-H
kesejahteraan juga dapat dilihat pada indikator tingkat ketergantungannya kepada hutan (Fillius, 1983). Semakin tinggi tingkat kesejahteraan, maka semakin kecil pula ketergantungan mereka untuk melakukan kegiatan eksploitasi hutan.
E. l\fetode Penelitian. l. Pendekatan Penelitian. Sebagai suatu studi evaluasi untuk mengetahui kinerja kebijakan program reboisasi dengan sistem tanam tumpangsari (atau mudahnya program Jumpangsari saja), penelitian ini akan melakukan analisis dampak kebijakan program tumpangsari pada tingkat kesejahteraan masyarakat, yaitu peserta program tumpangsari (pesanggem ). Karena peningkatan kesejahteraan tersebut (kalau terjadi) akan mengurangi ketergantungan penduduk terhadap sumber daya hutan, maka diharapkan program tersebut juga akan berdampak mengurangi tingkat kerusakan hutan negara pada kawasan sekitar lokasi program tumpangsari. Tujuan ini secara nyata tercantum dalam rancangan program yang dijadikan acuan penilaian kinerja kebijakan. Dengan demikian penelitian ini merupakan studi evaluasi formal. Analisis dampak program tumpangsari ini akan mengukur besarnya tingkat kesejahteraan pesanggem yang ditunjukkan oleh beberapa indikator kesejahteraan. Indikator tersebut merupakan indikator pokok yang umumnya digunakan dalam pengukuran terhadap tingkat kesejahteraan, meliputi pendapatan rumah tangga dan pendapatan per kapita, kondisi tempat tinggal, nilai kepemilikan atas barang-
42
barang property terutama perabot rumah tangga, kendaraan dan sarana angkutan yang lain serta kepemilikan atas hewan ternak (rajalcaya), dan akses terhadap pendidi~
kesehatan dan infonnasi. Untuk menyatakan bahwa peningkatan
kesejahteraan dan penurunan kerusakan hutan tersebut akibat dari implementasi program, maka diperlukan adanya kelompok kontrol.
Besamya tingkat
kesejahteraan pesanggem sebagai kelompok penerima program kemudian dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang tidak menenma program. Selisih dari kedua pengukuran tersebut dianggap sebagai dampak program. Hal yang sama juga dilakukan dalam mengukur dampak program terhadap penurunan potensi kerusakan hutan. Karena keterbatasan data sebelum program, maka digunakan rancangan
comparative after test. Sebagai perlakuan kontrol
digunakan constructed controls, yaitu kontrol yang ditetapkan bersesuaian atau ekuivalen dengan kelompok program. Sebagaimana disebutkan sebelumnya dampak penting yang lain program tumpangsari adalah penurunan tingkat kerusakan hutan. Pengukuran penurunan tingkat kerusakan hutan dengan unit pengamatan luasan kawasan hutan sebagai akibat program tumpangsari ini sulit dilakukan karena dalam kenyataan masyarakat dari berbagai kawasan atau desa memiliki akses yang sama terhadap sumber daya hutan yang berpotensi merusak kawasan hutan, sehingga faktor spasial ini sulit dilakukan kontrol. Sebagai pendekatan terhadap penurunan tingkat kerusakan hutan akibat program tumpangsari, dalam penelitian ini diukur perbedaan tingkat interaksi terhadap sumber daya hutan antara kelompok program
43
dan kelompok non-program. Selisih antara frekuensi responden melakukan eksploitasi sumber daya hutan pada kelompok program dan non-program dianggap sebagai dampak program tumpangsari pada potensi kerusakan hutan. Dengan demikian unit analisis seluruh pengukuran adalah rumah tangga dan individu. Secara skematis, hubungan antar variabel dan indikator pengamatan tersebut nampak sebagaimana gambar 1.2.
PROGRAM TUMP ANGSARI
NON-PESE~
IPESERfPROGRAM I
A PROGRAM
KESEJAHTERAAN
KESEJ AHTERAAN -PENDAPATAN
- PENDAPATAN
- KONDISI TEMP AT TINGGAL
-KONDISI TEMP AT TINGGAL
- NILAI KEKA Y AAN
-NILAI KEKA Y AAN
- AKSES PADA PENDIDIKAN,
-AKSES PADA PENDIDIKAN, KESEHAT AN DAN INFORM ASI
KESEHAT AN DAN INFORM ASI
I
1
I
__AN-~A-N-HUT---AN~~ ~----------------• ~~-K-E_AM
Gambar 1.2 : Hubungan Antar Variabel Penelitian Berikut lndikatornya.
44
2. Hipotesis
a.
Kesejahteraan merupakan konsep yang multidimensional. Dalam penelitian ini pengukuran tingkat kesejahteraan dibatasi pada aspek yang dapat diukur
(measurable welfare) yang dikembangkan BPS, yaitu pendapatan rumah tangga, kondisi tempat tinggal, nilai kekayaan dan akses pada pendidikan, kesehatan dan informasi. Dihipotesiskan bahwa program tumpangsari mempunyai dampak pada peningkatan indikator-indikator kesejahteraan tersebut khususnya bagi petani peserta program (pesanggem). b. Program tumpangsari juga dihipotesiskan mempunyai dampak mengurangt interaksi penduduk melakukan eksploitasi hutan di luar program Perhutani yang berpotensi merusak hutan.
3. Defiuisi Kouseptual dan Operasioual Variabel Penelitian.
Dalam penelitian ini yang merupakan variabel pengaruh (independent
variable) adalah program tumpangsari, sedang yang menjadi variabel terpengaruh (dependent variable) adalah kesejahteraan masyarakat dan ketergantungan masyarakat pada sumber daya hutan. ·' Indikator kesejahteraan yang dipandang relevan dan diamati dalam penelitian ini adalah : a) Pendapatan petani adalah seluruh pendapatan petani yang diperoleh dari seluruh kegiatan usahanya. Pendapatan dari usahatani dihitung dengan mengalikan jumlah produksi setiap komoditas dengan harga masing-masing
+5
komoditas setelah dikurangi biaya produksi. Pendapatan dari sektor kehutanan diperoleh dengan mengalikan jumlah basil hutan yang diperoleh dengan harga pasar barang tersebut dalam rupiah/tahun. b) Kondisi rumah petani adalah kondisi fisik rumah yang didiami petani mencakup status kepemilikan, jenis bangunan, kondisi lantai, dinding, jamban, sumber air bersih dan penerangan. c) Nilai kekayaan petani adalah nilai dalam rupiah harta petani mencakup kepemilikan atas barang-barang perabot rumah, peralatan rumah, kendaraan (bermotor) dan temak (rajakaya) dalam rupiah. d) Ak.ves terhadap pendidikan, kesehatan dan informasi adalah tingkat pendidikan anggota keluarga, frekuensi pergi ke Puskesmas bila sakit serta kepemilikan sarana komunikasi radio dan televisi. Sedang variabel terpengaruh lainnya sebagai proksi kerusakan hutan adalah ketergantungan petani pada sumber daya hutan dengan indikator interaksi atau akses petani terhadap sumber daya hutan, yaitu frekuensi petani untuk mencari kayu perkakas, kayu bakar (rencek), pakan temak dan hasil hutan lainnya.
4. Lokasi Penelitian dan Penetapan Sam pel. Lokasi penelitian ini adalah desa Nglebo kecamatan Karangan kabupaten Trenggalek berikut areal hutan tumpangsari pada Petak 102 b dan kawasan sekitamya, penduduk Desa Nglebo diperkirakan mempunyai akses. Penetapan ini dilakukan secara acak dari 16 desa yang mengikuti program tumpangsari dengan
46
tujuan agar seluruh lokasi tumpangsari mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai lokasi penelitian dan menghindari subyektifitas penetapan lokasi penelitian. Menurut pembagian wilayah hutannya, kawasan hutan lokasi penelitian, yaitu Petak 102 b ini termasuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kediri, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Karangan-Kampak dan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Karangan. Kerangka sam pel adalah petani peserta program tumpangsari (pesanggem) sebagai kelompok program dan petani non-program dengan karakteristik yang samalhampir sama sebagai kelompok kontrol. Dengan tingkat kesalahan 5% kemudian ditetapkan secara acak para petani pesanggem yang dijadikan responden. Dari sejumlah 82 anggota kelompok pesanggem dipilih secara acak 65 orang sebagai responden demikian pula kelompok kontrol ditetapkan dari petani non-program sejumlah 65 responden, keduanya dilakukan secara acak sehingga setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sam pel.
5. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen penelitian. Data sosial ekonomi didapatkan melalui kuesioner yang materinya sebagaimana tercantum pada lampiran 18. Data pendukung yang lain didapatkan melalui observasi lapangan terutama berkaitan dengan pengamatan terhadap luas dan tingkat kerusakan hutan, wawancara bebas dan mendalam terhadap pihak-
47
pihak yang terkait terutama responden, pengurus KTH, aparatur Perhutani dari berbagai tingkatan termasuk Mandor Tanam, perangkat desa dan para pejabat pemerintah daerah kabupaten. terkait. Pedoman wawancara bebas dan mendalam tercantum pada lam pi ran 19. Data sekunder didapatkan dari berbagai instansi terkait, terutama kantor Perum Perhutani BKPH Karangan-Kampak. Seluruh kegiatan di atas dimaksudkan untuk mendapatkan wawasan dan informasi yang luas tentang hal-hal yang berkaitan dengan topik penelitian sehingga peneliti tidak saja menghasilkan konklusi atas basil penelitiannya tetapi juga suatu analisis yang memadai. Karena survei juga berusaha mendapatkan data sensitif terutama terkait dengan keterkaitan responden terhadap sumber daya hutan, maka hampir seluruh pengisian kuesioner dilakukan seintensif mungkin dan dalam suasana yang informal dan kebanyakan tidak diikuti oleh petugas dari Perum Perhutani dan perangkat desa.
6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan metode statistik. Tabulasi silang digunakan
untuk
mendapatkan
gambaran
ada-tidaknya
perbedaan
karakteristik rumah tangga petani, baik kelompok program maupun kelompok non-program. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui apakah berbagai variabel pengganggu
telah
terkontrol
secara
memadai
dilakukannya perbandingan dampak program.
sehingga
memungkinkan
Uji-t dan Uji Chi-Kuadrat
48
digunakan untuk membandingkan besamya hasil pengukuran antara 2 kelompok pengamatan, yaitu kelompok program dan non-program. Uji-t digunakan untuk membandingkan jenis data kontinum dan Uji Chi-Kuadrat digunakan umtuk membandingkan jenis data diskrit. Selain itu juga dilakukan analisis kualitatif tentang fenomena-fenomena yang ada dari rangkaian data yang diperoleh pada wawancara mendalam dan observasi lapangan, dengan demikian pemahaman atas gejala-gejala sosial ekonomi yang lebih utuh bisa didapatkan.
7. Uji Hipotesis. a. Dampak program pada kesejahteraan Ho
Kp
Knp
Ha
Kp
> Knp
Keterangan : Kp
adalah tingkat kesejahteraan kelompok program
Knp adalah tingkat kesejahteraan kelompok non-program b. Dampak program pada penurunan interaksi penduduk melakukan aktivitas yang mengeksploitasi hutan di luar program Perhutani. Ho
lp
lop
Ha
Ip
< lop
Keterangan : Ip adalah interaksi petani program mengeksploitasi hutan di luar program Perhutani Inp adalah interaksi petani non-program mengeksploitasi hutan di luar program Perhutani
49
BAD II DESKRIPSI WILAYAH DAN PROGRAM
A. Deskripsi Wilayah 1. Keadaan Umum Kabupaten Trenggalek K.abupaten Trenggalek terletak pada bagian selatan wilayah propinsi Jawa Timur dengan koordinat-koordinat 111°241
-
112°11 1 Bujur Timur dan 1'53 1
-
8°34 1 Lintang Selatan. Secara administratif kabupaten Trenggalek dikelilingi oleh wilayah kabupaten Tulungagung dan Ponorogo di sebe1ah utara, kabupaten Tulungagung di sebelah timur, Samudra Indonesia di sebelah selatan dan kabupaten Pacitan dan Ponorogo di sebelah barat. Kabupaten Trenggalek mempunyai luas wilayah 126. 140ha dan ketinggian antara 0 - 1.250 meter di atas permukaan air laut, terbagi atas 13 kecamatan, 152 desa, 5 keluraban dan 509 dusun. Dari seluruh luas wilayah tersebut, sekitar 53,8% atau !:eluas 67.820ha mempunyai ketinggian antara 100-500 meter di atas permukaan air laut dan kemiringan > 15%, sehingga secara keseluruhan kabupaten Trenggalek merupakan wilayah yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit. Hanya sekitar 16,0% luas wilayah tersebut yang mempunyai topografi datar dan
.
--
landai. Pada wilayah-wilayah datar inilah konsentrasi sebagian besar penduduk berada dengan kegiatan pertanian sawah yang intensif dan beirigasi teknis. Kecamatan-kecamatan dengan kondisi seperti ini antara lain Durenan, Pogalan dan sebagian Trenggalek, Karangan dan Tugu.
50
Jenis penggunaan laban di kabupaten Trenggalek memiliki keragaman yang sangat luas. Namun demikian dipastikan bahwa hampir separob luas wilayab tersebut adalah kawasan hutan negara yang dikelola Perum Perhutani. Secara rinci jenis penggunaan laban tersebut adalah sebagai tertera pada tabel 2.1. Tabell.l. Luas dan Prosentase Penggunaan I .ahan di Kabupaten Trenggalek Pada Akhir 1999. Nomor
Jenis Penggunaan
Luu{ha)
Penentase { % )
1.
Hutan
63.667,50
50,474
2.
Tegal
21.860,43
17,330
3.
Kebun Campuran
18.001,00
14,271
4.
Pekarangan
11.411,15
9,046
5.
Sawah
11.213,19
8,889
6.
Tanah tandus/Rusak
2.503,50
1,985
7.
Kebun
227,00
0,180
8.
Semak
45,00
0,036
9.
Kolam
6,50
0,015
10.
Perairan Darat
2,26
0,002
II.
Lain-lain
2.204,97
1,748
Jumlah
126.140,00
100,00
Sumber: Neraca Sumber Daya Alam Daerah Kabupaten Trenggalek 1999.
Kawasan hutan sebesar 63.667,50ha tersebut terinci atas 61.222,30ha atau .~
96,16% dari seluruh luas kawasan hutan adalah kawasan hutan negara dan sisanya adalah kawaS&1 hutan rakyat. Hutan negara tersebut memiliki beberapa fungsi yaitu hutan produksi seluas 44.987,30ha, hutan lindung seluas 16.182,00ha dan hutan wisata seluas 53,00ha. Dari luas hutan tersebut sekitar 119ha merupakan
51
kawasan hutan negara yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan non-kehutanan, tennasuk untuk pembangunan fasilitas pub1ik maupun kawasan hutan yang didiami oleh penduduk dan masih merupakan sengketa. Masalah demilcian sering muncul ke permukaan. Jumlah penduduk kabupaten Trenggalek berdasarkan perhitungan pada akhir 1999 adalah 658.966 jiwa terdiri atas 327.708 1aki-1aki dan 331.258 perempuan. Tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 0,61% per tahun selama 5 tahun terakhir. Berdasarkan komposisi penduduk menurut umur, maka penduduk di wilayah kabupaten Trenggalek tennasuk penduduk muda, penduduk dengan kelompok umur < 10 tahun jum1ahnya 1ebih besar dibandingkan penduduk dengan kelompok umur > 60 tahun. Kepadatan penduduk rata-rata adalah 354 jiwalkm2 , namun demikian keragaman kepadatan penduduk antar kecamatan sangat luas dan mudah dibedakan antara kecamatan wilayah datar dengan kecamatan wilayah pegunungan. Kepadatan penduduk di wilayah-wilayah
pegununga~
misalnya
kecamatan Bendungan, Pule, Dongko dan Kampak adalah kurang dari 350 jiwalkm2 , sementara pada kecamatan wilayah datar yaitu Trenggalek, Pogalan dan Durenan kepadatan penduduk mencapai di atas 800 jiwafkm2· Berdasarkan data potensi penduduk dapat diketahui bahwa Angka Ketergantunga~
atau Rasio Behan Tanggungan (RBT), yaitu nilai perbandingan
antara jumlah penduduk usia produktif dengan jumlah penduduk bukan usia produktif sebesar 51,00%. Dari jumlah penduduk usia produktif sebanyak 521,443
52
jiwa, maka sejumlah 345.882 jiwa merupakan angkatan kerja. 345.865 jiwa di antaranya sudah bekerja dan selebihnya pengangguran. Dilihat dari struktur mata pencaharian penduduk, kabupaten Trenggalek adalah wilayah agraris. Lebih dari 70% penduduknya memiliki matapencaharian sebagai petani~ baik petani pemilik maupun petani penyakaplpenyewa atau buruh tani. Selepas dari kegiatan di sektor pertanian tersebut kebanyakan penduduk umumnya bekerja di berbagai sektor informal terutama di kota-kota besar Surabaya dan sekitamya sebagai buruh bangunan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa struktur dan sumber matapencaharian penduduk adalah kompleks. Sebagai seorang petani bisa jadi sumber pengbasilan terbesarnya justru berasal dari kegiatan di luar sektor pertanian (non-farm atau off-farm). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai tolok ukur dinamika perekonomian daerah menunjukkan bahwa kabupaten Trenggalek memiliki perkembangan ekonomi yang baik sebagaimana ditunjukkan dengan pertumbuhan rata-rata PDRB dalam 5 tahun terakhir sebesar 5,1%. Pada tahun 1991 PDRB kabupaten Trenggalek sebesar Rp. 473,664,79 juta atas dasar Harga Berlaku (HB) atau Rp. 447.760,12 juta atas dasar Harga Konstan (HK) maka pada tahun 1998 angka PDRB tersebut mencapai Rp.570.292,41 juta (HB) atau sebesar Rp.539.103,19 juta (HK). Sektor pertanian masih menunjukkan dominasinya dalam mendukung PDRB meskipun dari tahun ke tahun pertumbuhannya relatif lambat dibanding sektor lain terutama jasa-jasa, perdagangan, hotel dan restoran. Kontribusi sektor
53
pertanian dalam tahun 1998 misalnya mencapai 36,99% (HK.) PDRB sementara sektor perdagangan, hotel dan restoran hanya sebesar 17,86% (HK). Di dalam sektor pertanian sendiri, sub-sektor pertanian tanaman pangan menunjukkan peranan yang besar karena menymnbang rata-rata lebih dari 5?0At PDRB sektor pertanian. Di kelompok lain, sub sektor kehutanan hanya menyumbang sekitar 6.50% nilai PDRB sektoral ini. Namun demikian ada fenomena menarik, yaitu bahwa peran sub sektor pertanian tanaman pangan terus mengalami penurunan, sementara peran sub sektor kehutanan terus mengalami peningkatan secara nyata, yaitu rata-rata 10,0% setiap tahun. PDRB per kapita dan pendapatan per kapita juga mengalami kenaikan nyata dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun 1997. Secara rinci pertumbuhan PDRB, PDRB per kapita dan pendapatan per kapita selama 5 tahun terakhir ditunjukkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. PDRB, PDRB Per Kapita dan Peada!)atan Per Kapita Kabupaten Trenggalek Serta Pertumbuhanny~ 1994-1998. 1994
1995
1996
1997
1998
Petbh
PDRB(HK) (jutaan rupiah)
447.760,12
506.245,22
542.291,85
583.764,39
547.723,65
5,16%
PDRB Per Kapita
738.733,42
781.862,80
831.186,51
890.033,99
831.186,51
2,99%
(rupiah) Pendapatan per Kapita (rupiah)
609.902,74
730.269,23
776.338,18
826.900,00
776.338,18
2,99"/o'
Uraian
SumMJ: : PDRB dan Income Per Kapita Kabupaten Trenggalek 1998.
54
2. Somber Daya Rutan di Kabupaten Trenggalek Seperti telah disinggung di muka, luas lcawasan hutan negara di lcabupaten Trenggalek adalah 61.222,30ha atau 6.122,23 km2 atau 48,54% dari seluruh luas wilayah. Kawasan hutan negara tersebut dikelola oleh Perum Perhutani K.esatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kediri sebagai kepanjangan tangan dari Perum Perhutani. Kawasan hutan negara di kabupaten Trenggalek sendiri terbagi atas 5 wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) yaitu BKPH Trenggale~ Karangan yang membawahi kawasan hutan negara. lokasi penelitian dilakukan, Dongko dan Bandung-Tulungagung. Data kondisi luas kawasan hutan negara sendiri sampai dengan akhir 1999 berdasarkan fungsi hutan terinci atas :
1. Hutan Produksi seluas 45.040,30 ha mencakup: - Hutanjati
: 4.510,30 ha
- Hutan pinus : 22.257,35 ha - Hutan rimba : 18.272,65 ha 2. Hutan Lindung seluas 16.182,00 ha mencakup: - Areal Berhutan : 22.595,00 ha - Areal Tidak Berhutan :
0,00 ha
3. Hutan Wisata seluas 53 ha mencakup : - Wisata Gua
: 3,00 ha
- Wana wisata
: 8,00 ha
- Wisata Pantai
: 42,00 ha.
55
Kawasan butan negara di kabupaten Trenggalek ditetapkan sebagai klas perusabaan pinus. Lebih-lebih sejak 1994/1995 di kabupaten Trenggalek telah didirikan pabrik yang mengolah getab pinus yaitu PGT (Pabrik Getab dan Terpentin) Rejowinangun yang menghasilkan gondorukem dan terpenti~ sehingga penanaman pinus sebagai pemasok bahan baku bagi industri tersebut semaki~ · intensif. Sebagian besar basil industri tersebut diekspor. Selama kurun waktu 1995 sampai dengan 1999 kegiatan reboisasi yang dilakukan mencapai luasan 4.942,75ha. Hampir 60% dilakukan dengan tanaman pokok pinus. Rincian kegiatan reboisasi selama kurun tersebut terinci dalam tabel2.3. Tabel2.3 Perkembangan Luas Reboisasi Pada 1995-1999. Jenis TanamanPokok
Jumlah
Luas ( ha) 1995
1996
1997
1998
1999
( ha)
-
-
-
-
-
739,4
713,95
2.873,35
2. Pinus
1.420
-
3. Lainnya
47,6
1.384,7
1.298,4
432,0
-
3.162,70
Jwnlah
1.468,3
1.384, 7
1.298,4
77,4
713,95
4.942,75
1. Jati
Sumber: Repelitada Kabupaten Trenggalek 1993/1994-1998/1999.
Penanaman kembali laban butan yang kosong dengan tanaman butan lainnya umumnya dilakukan hila kondisi medan dan tanah kurang cocok dengan tanaman pinus, misalnya laban tersebut kritis, mempunyai kedalaman topsoil yang dangkal atau memiliki topografi yang curam. Kawasan butan di kabupaten Trenggalek juga mengbadapi masalab berupa penurunan fungsi hutan akibat penggunaan kawasan hutan untuk keperluan nonbutan berupa pembangunan fasilitas publik maupun pemukiman oleh penduduk.
56
Permasalahan ini sangat rumit karena sering terjadi bahwa laban-laban kawasan hutan tersebut dianggap sebagai tanah sengketa., baik oleh penduduk maupun pemerintah daerah yang pemecabannya sulit dan berskala nasional. Data akbir 1998 yang dihimpun oleh Biro Perekonomian Pemda Propinsi Jawa Timur bekerja sama dengan pemerintah kabupaten Trenggalek mencatat sedikitnya ada 119 ha luas kawasan hutan yang tidak berfungsi. Tabel 2.4. Luas Kawasan Butan Yang Digunakan Untuk Ketdatan Non-Kehublllan, Akhir 1998. Luas (ha) Jenis
Penggunaan
Rutan Produksi
Rutan Lindung
l. Penduduk
61
2. Fasilitas Umum
47
-
3. Fasilitas militer
l
1
4. PLN
3
5. Lain-lain
6
-
Jwnlab
ll8
Sumber
l
Jumlah
Rutan Wisata
(ha) 61
-
-
47
-
2
-
6
3
ll9
lnventanS8Sl Kawasan Hutan Yang Digunakan Untuk
Keg~atan
Non-
Kehutanan Akhir 1998.
Produksi basil hutan yang utama adalah kayu dan
getab pmus.
Perkembangan hasil hutan kayu umumnya fluktuatif dari tahun ke tahun, namun perkembangan basil hutan non-kayu, yaitu getah pinus serta basil olahannya cenderung meningkat
kecuali
tahun
1998
sehubungan
dengan
lesunya
perekonomian nasional dan dunia. Secara rinci basil produksi hutan dari wilayah kabupaten Trenggalek adalah sebagaimana tertera dalam tabel2.5.
57
Tabel2.5. Perkembangan Produksi Hasil Hutan Selama 1995 -1999. Kayu Perkakas
Kayu Bakar
Getah
Gondorukem
Terpentin
(m~)
( m~)
Pinus (kg)
(kg)
(kg)
1995
14.601,518
2.428
9.098.252
4.032.000
672.415
1996
13.123,144
5,679
10.471.103
7.668.240
1.290.045
1997
20.766,941
3.267
12-.134.239
9.863.040
1.972.850
1998
7. 773,505
1.127
7.191.978
6.204.480
1.124.829
1999
11.648,000
1.318
11.720.252
9.724.800
1.998.150
Tahun
Somber: Repelitada Kabupaten Trenggalek 1993/1994-1998/1999.
Di
samping
hasil
hutan
utama
tersebut
Perum
Perhutani
JUga
membudidayakan tanaman perkebunan yang umumnya ditanam pada lahan tumpangsari sebagai tanaman sela atau pengisi. Tanaman perkebunan tersebut berupa cengkeh, kopi dan lainnya tersebar di berbagai kawasan hutan di kabupaten Trenggalek. Karena umur tanaman yang tidak seragam antar hamparan kawasan hutan, maka produksi komoditas tersebut relatif kecil per tahunnya dan kurang terdata, kecuali total pungutan selama kurun waktu 1995 sampai dengan 1999 sebagai berikut : - Kopi sejumlah 21 ,4 kg - Cengkeh sejumlah 12.619 kg - Kelapa sejumlah 76.696 kg, dan - Pucung (kluwak) sejumlah 1.084 kg. BKPH Kampak dan Dongko merupakan kawasan hutan yang memiliki luasan tanaman perkebunan yang besar dibanding 3 kawasan lain.
58
Kawasan hutan di kabupaten Trenggalek juga mampu menyerap tenaga kerja yang cukup yang digunakan untuk berbagai kegiatan kehutanan. Selama 5 tahun terakhir berhasil dipekerjakan sekitar 6.000 orang untuk kegiatan reboisasi, sekitar 500 orang untuk kegiatan tebangan dan 10.550 orang untuk kegiatan sadapan. Kawasan hutan negara di wilayah kabupaten Trenggalek berdasarkan data geologi regional juga mengandung berbagai sumber daya mineral potensial meliputi jenis bahan galian golongan A, B dan C meliputi bahan galian untuk industri, bahan galian keramik dan bahan galian bangunan. Potensi bahan galian tersebut terinci pada tabel 2.6. Tabel2.6. Potens1. Ba han G ahan . Mmeral d1 Kabuoaten Tren2.2.alek. Jenis Bahan Galian Luas Penyebaran (ha) Perkiraan Cadangan (m3 )
No.
1.
Batu gamping 548 8.850.000 2. Ka1sit 11 60.000 ..., I Andoso1 540 16.025.000 -'· Trass 11 640.000 Manner 433 4.750.000 Diorit 175 1.600.000 7. Sirtu 5.13 245.000 ! 8. Lempung 5 220.000 7"_, 7.325.000 Feldspart 19. 16 330.000 I 10. j Kaolin 11. , Pirofilit 271 26.300.000 338 33.787.000 I 12. I Toseki I 13. \ Bentonit 35 800.000 Ii 14. Batubara 4.000 *) ! 15. Mangaan 2.000 *) I 16. Emas dan Perak 2.000 *) Sumber: Potensi Sumber Daya Mineral Kabupaten Trenggalek 1993. *) masih dalam tahap eksplorasi. I
l !· j6:
I
I I
I
59
Di sampmg potensi cadangan mineral tersebut, kawasan hutan di kabupaten Trenggalek juga memiliki potensi sektor pariwisata yang besar karena keindahan alamnya, terutama pantai dan gua.
3. Profil Desa Nglebo Sebagai Desa Penelitian. Desa Nglebo kecamatan Karangan adalah lokasi penelitian. Desa ini berjarak lebih kurang 17 km ke arah barat daya kota Trenggalek dan dapat ditempuh melalui jalan darat secara lancar karena sampai dengan desa tersebut kondisi jalan sudah beraspal cukup baik. Selepas dari jalan poros TrenggalekLorok-Pacitan yang beraspal hotmix sepanjang 13 km, perjalanan dilanjutkan ke arah desa tersebut sekitar 2-4 km dari jalan poros tersebut. Pada ruas ini kita harus berjalan, karena berbeda dengan jalan poros tersebut yang terdapat kendaraan umum setiap saat, pada tahap ini tidak tersedia kendaraan umum, ojek sekalipun. Desa ini terletak di kaki gunung Linggo yang bertebing curam, lebih dari 90° kemiringann~'a
dan sering dijadikan arena panjat tebing tentara atau kelompok
pecinta alam.
Di sekitar desa ini terbentang hamparan gunung dan bukit yang
merupakan kawasan hutan milik Perum Perhutani. Secara administratif desa ini dibatasi oleh desa Gamping di sebelah utara, desa Suruh di sebelah timur, desa Wonokerto di sebelah selatan dan desa Jombok di sebelah barat. Desa ini terbagi atas 2 dusun dan 4 Rukun Warga (RW). Jumlah dusun dan RW yang relatif kecil ini selain disebabkan penyebaran penduduknya
60
yang terkonsentrasi pada kawasan yang sempit, juga karena tingkat perkembangan desanyanya yang relatif rendah. Luas wilayah desa Nglebo adalah 780,51 ha yang terbagi atas kawasan pemukiman, perkantoran dan fasilitas umum seluas 94,82 ha (12,15%), sawab tadab hujan seluas 102,6ha ( 13,15%) dan sisanya seluas 593,09ba ( 75,99%) adalah 1adangltegal yang merupakan laban pertanian kering. Terdapat sekitar 72,0ha lahan pertanian tersebut sebagai lahan yang kritis dan maijinal. Desa Nglebo mempunyai ketinggian 300 meter di atas permukaan air laut dan curah bujan dari stasiun meteorologi terdekat (yaitu desa Suruh) sebesar 4.500 milimeter per tahun. Desa Nglebo merupakan wilayah pegunungan dan perbukitan. Dari seluruh luas wilayahnya hanya 51,4 ha atau sekitar 6,6% saja yang memiliki topografi datar sampai landai, sedang sisanya merupakan laban yang miring sampai curam. Karena faktor inilab maka tingkat erosi di desa ini sangat tinggi sehingga muncul laban-laban yang tidak subur dan tidak produkrtif, selain karena pengusahaannya yang terlalu intensif dan
kuran~
memenuhi kaidah-
kaidab konservasi. Sumber air bersih utama adalah sumur dan mata air. Kebanyakan dari sumur gali tersebut adalah sumur komunal, yaitu sumur yang dipakai banyak rumah tangga. Sumur-sumur gali di desa Nglebo sangat dalam, bisa mencapai 20 meter, sehingga banya terdapat sekitar 15 orang saja yang memilikinya karena biaya pembuatannya mabal. Sumber air bersih yang lain yang nampaknya digunakan oleb kebanyakan penduduk adalah mata air. Ada sekitar 18 mata air di
61
desa ini dan sekitamya, sebagian berada di kawasan hutan yang jauh. Penduduk mengalirkan aimya melalui pipa-pipa plastik ke rumah. Pada musim kemarau banyak sumur dan mata air menjadi kering, sehingga senng penduduk mendapatkannya dari mata air yang jauh di dalam hutan, bahkan sampai 5 kilometer menggunakan pipa-pipa plastik. Tanaman pangan yang utama adalah padi, ketela pohon, jagung dan jenis palawija yang lain serta sayuran. Ketela pohon merupakan tanaman utama di lahan-lahan kering karena mudah penanaman dan pemeliharaannya, sehingga merupakan sumber karbohidrat setelah padi bagi kebanyakan penduduk. Selain komoditas tanaman pangan, terdapat juga tanaman perkebunan yang relatif besar. Luas akumulasi tanaman perkebunan tersebut sekitar 69,2 ha untuk komoditas kelapa dan sekitar 47,8 ha untuk komoditas cengkeh. Berdasarkan status kepemilikan lahan pertaniannya, terdapat 424 orang petani yang tidak memiliki lahan. Jumlah ini berarti sekitar 24% dari seluruh petani di desa Nglebo. SedangkPn petani yang memiliki Iahan tercatat 1.328 orang dengan luas kepemilikan lahan kebanyakan < 0,1 ha, yaitu sejumlah 872 orang. Selebihnya memiliki lahan seluas rata-rata 0,38 ha. Secara rinci luas kepemilikan lahan di desa Nglebo nampak sebagaimana tabel 2.7.
·•
62
Tabel 2.7. Status Kepemilikan Laban Pertanian di desa Nglebo, Akhir 1999. NoMor 1.
Status Kepemilikan Pemilik Tanah Sawah
Jumlah loral!_g}_ 36
Persentase
(%) 2,0
1.292
71,7
Penyewa/Penggarap/Penyakap/Bagi Hasil
221
12,3
Buruh Tani
253
14,0
1.802
100,0
2.
Pemilik Tanah tegallladang
3. 4.
Jumlah
.
Somber: Profi1 Desa Nglebo Tahun 1999.
Sampai dengan akhir 1999, jumlah pemilikan ternak menunjukkan popupasi sebagai berikut : - Sapi sejumlah 138 ekor - Kambing sejumlah 1.237 ekor, dan - Ayam sejumlah 2.015 ekor. Ketersediaan hijauan makanan ternak khususnya jerami padi dan rumput gajah pada musim hujan tidak menjadi masalah bagi penduduk. Hampir setiap lahan kosong di antara tanaman-tanaman pertanian selalu ditanami rumput gajah, termasuk pada lahan sekitar kawasan hutan dan lahan tumpangsari. Selain itu dari lahan sawah juga dihasilkan jerami sisa panen, sehingga secara keseluruhan cadangan pakan ternak sangat melimpah. Kebalikan dari situasi ini teijadi pada musim kemarau. Pada musiin ini kekurangan pakan ternak menjadi masalah yang selalu timbul. Jumlah penduduk desa Nglebo dari pencatatan terakhir adalah 2.896 jiwa terdiri atas 1.462 laki-laki dan 1.434 perempuan. Dengan luas wilayah 780,506 ha
63
maka kepadatan penduduk rata-rata desa Nglebo adalah 371 jiwalkm2 . Dilihat dari komposisi umurnya desa Nglebo memiliki struktur pendudtik muda. Jumlah penduduk menurut golongan usia dan jenis kelamin secara lengkap adalah sebagaimana tabel 2.8. Dari komposisi umur menurut tabel 2.8 juga nampak bahwa penduduk usia produktif di desa Nglebo mencapai 1.211 orang. Dari jumlah penduduk usia kerja tersebut tercatat 866 orang (71 ,5%) yang bekerja dan selebihnya bel urn bekerja/menganggur. Namun karena rendahnya jumlah jam kerja, maka pada kenyataannya jumlah pengangguran terselubung juga banyak. Tabel2.8. Jumlah Penduduk Desa Nglebo Menurut Golongan Usia . pad a Akh"If T a h un 1999 . K eIamm, d an J ems Jenis Kelamin Jumlah Perempuan Golongan Laki-laki (orang) (orane:) Umur (orane:)
.
Nomor 1. 2. .... -'·
I I I
0-12 bulan
I
69
13 bu1an-4 tahun
89
100
l
I i
189
I
5 tahun-6 tahun
44
I
7 tahun- 12 tahun
135
114
5.
13 tahun-15 tahun
89
69
158
6.
16 tahun- 18 tahun
76
80
156
7.
19 tahun-25 tahun
172
127
299
8.
26 tahun-35 ta1wn
250
282
532
9.
36 tahun-45 tahun
173
164
337
10.
46 tahun-50 tahun
141
146
287
11._
51 tahun-60 tahun
132
144
276
12.
61 tahun-75 tahun
88
90
178
> 75 tahun
-~-~
........
49
82
1.462
1.434
2.896
4.
L_
I'
! \
i
I
I
I
40
29
;
Jumlah
40
I
II !
84
; ~
I
i
249
Sumber : Profil Desa Nglebo Tahun I 999.
64
Dari jumlah penduduk tersebut yang memiliki pendidikan umum/formal kurang dari separoh. Tercatat hanya 1.262 orang yang berhasil menamatkan pendidikan umumnya yang terinci atas : tamat SD sebanyak 860 orang, SLTP sebanyak 296 orang, SLT A sebanyak 96 orang dan Akademi/Perguruan Tinggi sebanyak 10 orang termasuk Kepala Desa. Kondisi ini menyebabkan besamya jumlah penduduk yang menderita buta aksara dan angka yang ditemukan sebanyak 235 orang dan ini sangat mempengaruhi kualitas angkatan kerja. Matapencaharian penduduk mayoritas adalah bertani dan betemak. Penduduk yang bekerja di sektor industri kecil dan kerajinan relatif sedikit. Struktur matapencaharian penduduk tersebut terlihat pada tabel 2.9. Tabel2.9. Struktur Mata Pencaharian Utama Penduduk Desa N!!lebo, Akhir Tahun 1999. Nomor Sektor/Sub-sektor Jumlah (orang) l.
Pertanian Tanaman Pangan -Pemilik Tanah Sawah -Pemilik Tanah tegai/Ladang
2.
36 1.292
-Penye-wa/Penggarap/penyakap!Bagi basil
221
-Buruh Tani
253
Peternakan
1.007
-Pemilik temak sapi
3.
1.752
92
-Pemilik temak karnbing
412
-Pemilik temak ayarn
503
lndustri Kecil/kerajinan
22
-Pemilik usaha ker~iinan
2
-Pemilik usaha industri kecil
.)
-Buruh/Pekerja industri kecillkerajinan
Somber: Profil Desa Nglebo 1999.
....
16
l j
l I
65
Sub-sektor Pertanian Tanaman Pangan merupakan matapencaharian mayoritas penduduk di samping petemakan dan industri kecil/kerajinan. Namun demikian dalam kenyataan struktur matapencaharian penduduk tersebut Iebih kompleks, karena setiap penduduk melakukan segala pekerjaan-pekerjaan tersebut secara serabutan, terrnasuk bekerja di kota selepas musim tanam atau panen pada berbagai jenis pekerjaan yang bersifat informal, terutama buruh bangunan. Hal ini adalah wajar mengingat luas kepemilikan lahan yang sempit menyebabkan mereka tidak mungkin menggantungkan kehidupannya hanya pada sektor pertanian saja, lebih-Iebih bagi seorang buruh tani. Dengan rata-rata luas Iahan pertanian yang sempit sebagaimana nampak pada tabel 2. 7 maka seluruh hasil pertanian tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak dijual (pertanian subsisten). Sebaliknya tanaman perkebunan dan hasil temak atau industri umumnya dijual baik Iangsung kepada konsumen maupun melalui tengkulak yang dapat dengan mudah ditemui. Selain kegiatan-kegiatan program, aktivitas Koperasi Unit Desa (KUD) belum menjangkau desa Nglebo dan ini memungkinkan para tengkulak beroperasi di desa tersebut. Berdasarkan tingkat perkembangan desa sebagaimana ditetapkan kantor Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) kabupaten Trenggalek, desa Ngtebo termasuk kategori desa S"l-l'adaya, yaitu klasifikasi terendah dalam kriteria tersebut. Desa ini juga merupakan -desa yang mendapat bantuan Inpres Desa Tertinggal (lOT) tahun 1994 dan Bantuan Program Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
66
(P3DT) sampai dengan Tahun Anggaran 1999.2000 telah diterima bantuan dana sebanyak Rp. 112 juta. Seluruh penduduk desa Nglebo beragama Islam. Kegiatan-kegiatan keagarnaan semarak dilakukan antara lain pengajian umwn, yasinan, tahlilan dan lain-lain. Terdapat 5 buah masjid <;Ian 10 langgar yang tersebar di desa ini. Selain rumah ibadah dan kantor desa hampir tidak ada tempat-tempat umum yang lain yang berupa pasar, lapangan ataupun puskesmas. Namun demikian yang patut membanggakan adalah bahwa jaringan jalan yang menuju desa tersebut sudah demikian baik dan beraspal. Selain itu jaringan listrik PLN juga sudah menjangkau desa tersebut.
B. Deskripsi Program I. Kebijakan Pembangunan Kehutanan di Jawa-Madura.
Hutan sebagai salah satu unsur kekayaan alam Indonesia yang penting harus benar-benar dapat dimanfaatkan dan memberi manfaat, tidak hanya bagi negara, namun juga bagi masyarakat di sekitar hutan yang hidupnya banyak bergantung pada hasil hutan. GBHN mengamanatkan bahwa pembangunan kehutanan perlu terns ditingkatkan untuk kelangsungan penyediaan dan perluasan keanekaragaman hasil hutan bagi pembangunan industri, perluasan Iapanga_n kerja dan kesempatan berusaha, sumber pendapatan negara dan pemacu pembangunan daerah, serta menjaga fungsinya sebagai salah satu penentu ekosistem untuk memelihara tata aiT, plasma nuftah, kesuburan tanah dan iklim.
Upaya
67
perlindungan,
penertiban,
pengamanan,
pengawasan,
pengendalian
serta
rehabilitasi dan konservasi hutan dilanjutkan dan ditujukan untuk menjaga kelestarian hutan (Dephutan 1995). Konsep pengelolaan sumber daya hutan harus dipandang sebagai bagian dari pengelolaan sumber daya alam dengan manusia (masyarakat) lokal berperan aktif dalam produksi, distribusi, konsumsi dan menjaga serta mengembangkan sumber daya alam hutan yang lestari dan dapat dimanfaatkan ke arab tercapainya keseimbangan antara eksploitasi hutan dan pengembangan hutan. Secara fisik pengelolaan hutan seharusnya tetap memperhatikan keselarasan, keserasian dan keseimbangan fungsi produksi dan fungsi kelestarian. Kelestarian hutan hanya dapat dijamin jika ada pola hubungan integral antara kepentingan masyarakat lokal, pemerintah dan mekanisme pasar yang saling menghormati keberadaan fungsi dan tugas masing-masing lembaga tersebut. Seperti telah disebutkan di muka, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1972 yang kemudian diubah dengan PP Nomor 36 Tahun 1986, pengelolaan hutan negara di Jawa-Madura diserahkan kepada Perusahaan Umum (Perum) Perhutani. Sebagai perusahaan umum kehutanan negara Perum Perhutani mempunyai tugas : a) Menyelenggarakan perencanaan, pengurusan, pengusahaan dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya.
68
b) Sifat usaha perusahaan adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum
sekaligus
memupuk
keuntungan
berdasarkan
pnns1p-pnns1p
pengelolaan perusahaan. c) Menyelenggarakan usaha di bidang kehutanan berupa barang dan jasa bagi pemenuhan hajad hidup orang banyak. Di samping itu perusahaan turut aktif melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan umumnya. Untuk itu Perum Perhutani telah menetapkan kebijakan dasar yang melandasi
langkah-langkahnya, yaitu
mempertahankan kawasan hutan,
memanfaatkan lahan hutan secara maksimal dan mensejahterakan masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan. Kegiatan pokok Perum Perhutani meliputi perencanaan, pengelolaan hutan, reboisasi, pemeliharaan hutan, pemungutan hasil hutan, pengelolaan basil hutan dan pemasaran basil hutan. Kegiatan reboisasi tidak hanya dilakukan pada areal bekas tebangan tetapi juga pada kawasan hutan yang tidak produktif. Sebagian besar areal reboisasi tersebut dilaksanakan dengan sistem tanam tumpangsari dengan alasan wilayah kerja Perhutani merupakan wilayah dengan jumlah penduduk padat, menciptakan lapangan ketja bagi penduduk sekitar dan menjamin terpeliharanya konservasi tanah dan air. Berbagai masalah pokok yang dihadapi Perum Perhutani dalam mengelola hutan di Jawa-Madura, antara lain pencurian kayu, penyerobotan tanah, kebakaran hutan, pe-rencek-an kayu bakar, pengembalaan temak secara liar di hutan. Tekanan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan diduga merupakan penyebab
69
utama terjadinya hal-hal tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan secara represif maupun preventif melalui pendekatan sosia:t ekonomi, antara
lain
program
pro~perity
approach,
MALU (Mantri-Lurah)
dan
Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Program-program tersebut bertujuan untuk membantu daerah mempercepat pembangunan masyarakat perdesaan, khususnya yang berada di sekitar hutan. Program pro.\perity approach dimulai tahun 1973 dan salah satu kegiatannya adalah Tumpangsari yang kemudian dikembangkan menjadi program perhutanan sosial yang melibatkan masyarakat desa sekitar hutan dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) dan usaha pembangunan dan pelestarian hutan. Sejak tahun I 989 dikembangkan program Insus Tumpangsari yang dalam penerapannya digunakan pola Panca Ufiaha Tani yaitu dengan memberikan bantuan bibit unggul, pupuk dan obat pemberantas hama untuk penanaman tanaman pangan para pesanggem. Masyarakat sekitar hutan juga merupakan sumber tenaga kerja bagi Perum Perhutani. Dalam usaha meningkatkan taraf hidup pekerja tersebut Perhutani mulai tahun 1974 membangun magersaren untuk tempat tinggal yang layak di dalam kawasan hutan. Sedang untuk menanggulangi penggembalaan liar temak yang dapat menurunkan kesuburan tanah dan merusak tanaman muda, Perum Perhutani telah merintis penanaman rumput gajah dan tanaman-pakan temak lain. Pennasalahan lain yang cukup serius yang berasal dari masyarakat sekitar hutan adalah kegiatan pengambilan kayu bakar. Guna menanggulangi hal ini Perum
70
Perhutani telah menanam kayu bakar di tanah-tanah negara maupun tanah-tanah rakyat yang terlantar dengan bantuan partisipasi masyarakat. Jenis tanaman kayu bakar yang ditanam terutama adalah kaliandra dan lamtoro gung. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan juga dikembangkan kegiatan perlebahan dan per-sutera-an alam. Kegiatan ini dimulai
ta~un
1972
berupa budidaya lebah madu. Pada tahun 1986 pemerintah memperoleh bantuan teknis dari Food and Agriculture Organi=ation (FAO) berupa tenaga ahli perlebahan serta dana untuk pembangunan Pusat Perlebahan di Parung Panjang. Sedang usaha per-sutera-an alam telah dilakukan yaitu sejak 1974 untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pertenunan sutera alam rakyat. Kebijaksanaan pokok dalam pembangunan kehutanan selalu diarahkan terkait dengan kebijakan pembangunan nasional yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional sebagaimana tertuang dalam trilogi pembangunan. Kebijakan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam pembangunan kehutanan dijabarkan dan dilaksanakan dalam bentuk peningkatan peran serta masyarakat dalam berbagai kegiatan kehutanan, peningkatan tenaga kerja yang terampil dan terlatih dalam berbagai aspek kegiatan kehutanan, peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan pemerataan
kegiatan
pembangunan
kehutanan
pada
semua
wilayah.
Kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan kehutanan dijabarkan dan dilaksanakan dalam bentuk peningkatan produksi dan pemanfaatan hutan, peningkatan nilai tambah hasil hutan, mempertahankan peran Indonesia dalam
71
pasar hasil hutan dunia dan penganekaragaman hasil hutan. Kebijaksanaan stabilitas nasional dalam pembangunan kehutanan dijabarkan dan dilaksanakan dalam bentuk penataan batas hutan, perhutanan sosial dan peningkatan kualitas konsesi hutan dan lingkungan. Dalam kurun waktu 25 tahun mendatang penataan batas hutan tetap akan menjadi masalah yang dominan dalam kegiatan kehutanan terutama sekali dalam kaitannya
dengan
pembangunan
pertanian,
transmigrasi,
industri,
upaya
pemukiman kembali dan pembangunan infrastruktur. Perhatian yang meningkat terhadap kerusakan hutan dan dampak lingkungannya akan mengarah kepada keharusan penanganan pengelolaan hutan lindung, suaka alam dan hutan produksi yang baik. Pemberian titik berat pada pembangunan daerah dan pemerataan pendapatan akan merupakan pokok persoalan dalam pengelolaan hutan untuk kepentingan lokal dan daerah, terutama yang berkaitan dengan perladangan berpindah, perhutanan sosial dan pembangunan infrastruktur daerah terpencil dan peningkatan kesempatan kerja. Masalah
kesempatan
kerja
mendominasi
dalam
berbagai
usaha
pembangunan kehutanan dalam 25 tahun yang akan datang. Aspek kegiatan kehutanan yang masih perlu dikembangkan dan mempunyai potensi bagi penyerapan angkatan kerja adalah kegiatan pengelolaan hutan dan regenerasi atau reboisasi hutan. Pertumbuhan penduduk masih merupakan faktor dominan dalam usaha pembangunan. Karena itu, ditambah dengan sasaran untuk meningkatkan
kesejabteraan rakyat, pembangunan barus menciptakan pertumbuban ekonomi. Karena kapasitas produksi hutan alam berkurang, maka perhatian terhadap pertumbuban butan industri barus ditingkatkan. Sesuai dengan prakiraan perrnasalahan yang akan dihadapi dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam 25 tabun mendatang, maka program-program pembangunan kehutanan dirancang meliputi 12 program, yakni : a) Program produksi kebutanan, meliputi kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan alam, butan tanaman, pengusahaan hutan, pengelolaan basil hutan dan pemanfaatan limbab, perbutanan sosial dan kebutanan laban kering. b) Program rasionalisasi perladangan berpindah, meliputi kegiatan yang berkaitan dengan upaya-upaya rasionalisasi perladangan berpindab. c) Program pendidikan dan latiban, meliputi kegiatan yang berkaitan dengan pelatiban tenaga kerja kebutanan. d) Program penelitian dan pengembangan kehutanan, meliputi kegiatan yang berkaitan dengan penelitian lim!kun2:an, hutan dan hasil
hutan serta
pengembangan manajemen. e) Program konservasi butan, tanah dan air, meliputi kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan dan konversi suaka alam, kesadaran lingkungan dan Iingkungan yang kondusifbagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. f) Program pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, meliputi kegiatan yang berkaitan dengan analisis mengenai dampak lingkungan.
73
g) Program inventarisasi hutan, meliputi kegiatan klasifikasi fungsi hutan, pemetaan batas dan inventarisasi hutan. h) Program rehabilitasi tanah kritis, meliputi kegiatan yang berkaitan dengan reboisasi dan rehabilitasi laban hutan dan laban pertanian yang kritis. i) Program pengembangan daerah pantai, meliputi kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan hutan pantai, mangrove dan taman laut. j) Program kelembagaan kehutanan, meliputi kegiatan yang berkaitan dengan perbaikan kelembagaan dan aparatur. k) Program kehutanan bagi transmigrasi, meliputi kegiatan yang berkaitan dengan hak dan pemilikan laban. I) Program penghijauan, meliputi kegiatan yang berkaitan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan mobilisasi generasi muda (Dephutan, 1999).
2. Program Tumpangsari di Kabupaten Trenggalek Tumpangsari adalah kegiatan reboisasi atau penanaman kembali kawasan hutan negara yang melibatkan masyarakat sekitar hutan sebagai penggarap (pesanggem) melalui suatu sistem tanam, penggarap di sampmg menanam tanaman pokok kehutanan yang diwajibkan, juga diperbolehkan menanam tanaman pertanian dan perkebunan tertentu di antara larikan tanaman kehutanan dalam batas waktu yang telah ditentukan, dan hasil dari pertaniannya tersebut dianggap sebagai upah.
74
Sistem
ini
digunakan
sebagai
altematif utama
dibanding
sistem
cemplongan dikarenakan memiliki beberapa keuntungan, antara lain : a. Biaya relatif rendah b. Tersedianya tenaga kerja secara rutin, dan c. Fungsi sosial hutan dapat dicapai.
··""
Namun demikian di samping kelebihan-kelebihan tersebut sistem ini juga mengandung beberapa kelemahan yaitu bahwa kawasan hutan tumpangsari umumnya cenderung menurun kesuburannya. Selain itu adanya persaingan akar dan taj uk antara tanaman kehutanan dan tanaman pertanian menyebabkan pertumbuhan tanaman pokok terganggu dan dalam jangka panjang akan mengurangi produktivitas hutan. Berbagai upaya penelitian dan pengembangan sistem tumpangsari telah dilakukan untuk menghilangkan atau memperkecil kelemahan tersebut antara lain dengan penentuan kombinasi jenis tanaman yang tepat sehingga menghasilkan keuntungan maksimal, adanya pembatasan masa berlakunya kontrak dan seleksi yang ketat atas perpanjangan kontrak dan penanaman tanaman sela dan tanaman pengisi yang tepat didasarkan atas penelitian dan pengalaman lapangan. Pada beberapa kawasan juga dapat diusahakan tumpangsari dengan program Intensifikasi Khusus (lnsus), pesanggem mendapat kredit pupuk dan pestisida serta pembinaan yang intensif dan lintas sektoral dari petugas penyuluh lapangan. Sebagaimana tertuang dalam buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Klas Perusahaan Pinus dari KPH Kediri BKPH Karangan-Kampak Tahun 1991-
75
2000 , maka tujuan pengelolaan hutan di wilayah penelitian adalah untuk menghasilkan kayu perkakas dan kayu bakar serta basil hutan non-kayu secara berkesinambungan dan lestari dengan kualitas yang tinggi. Wilayah BKPH Karangan-Kampak tersebut berdasarkan dokumen perencanaan tersebut ditetapkan sebagai klas perusahaan tebang habis pinus, artinya penanaman kembali tanaman pokok pinus melalui sistem tanam tumpangsari dilakukan setahun kemudian setelah pengolahan tanah dilakukan dengan tanaman kehutanan jenis pinus. Penanaman dengan jenis tanaman yang lain bisa dimungkinkan setalah adanya kendala bagi pertumbuhan pinus secara normal. Selama kurun waktu perencanaan 1991-2000 ini target penanaman tanah kawasan hutan yang kosong pada bagian hutan Karangan-Kampak-Dongko mencapai 4.715,7 ha atau hampir 13% luas kawasan hutan di wilayah tersebut. Laban hutan yang kosong tersebut berasal dari tanaman gaga! maupun tanaman yang terganggu pertumbuhannya. Tumpangsari merupakan sistem penanaman utama kegiatan reboisasi di wilayah penelitian. Hal ini secara umum dilakukan disebabkan adanya tekanan sosial ekonomi dari masyarakat sekitar kawasan hutan yang mengakibatkan turunnya produktivitas hutan dan fungsi hutan maupun kualitas hasil hutan. Dengan demikian selain peranan hutan sebagai sumber pendapatan negara yang besar, fungsi hutan secara sosial-ekonomi bagi masyarakat lokal juga terpenuhi. Sisten tanam tumpangsari selain meningkatkan produktivitas dan kelestarian hutan juga diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar yang pada akhimya juga akan mendukung upaya pembangunan hutan secara keseluruhan.
76
Secara gans besar perencanaan kegiatan reboisasi dengan sistem tumpangsari terdiri atas tahap-tahap berikut : a. Rencana Tanaman
Pedoman mengenai penanaman tanaman pinus tertuang dalam : 1. Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani tanggal 16 Oktober 1974 Nomor 836/Perum
Perhutani/X/1974
tentang
Pedoman
Penyelenggaraan
Pembuatan Tanaman Hutan Untuk Perum Perhutani. 2. Surat Keputusan Direksi Perum Kehutanan Negara tanggal 16 Oktober 1974 Nomor 834/Perum Perhutani!X/1974 tentang lnstruksi Pembuatan Tanaman Pinus Untuk Perum Perhutani. Rencana tanaman ini terkait dengan rencana tebangan, sehingga pembuatan rencana tanam harus selalu didasarkan pada rencana tebangan yang akan dilakukan kecuali kawasan hutan yang kosong. Karena luas dan tersebamya kawasan sasaran reboisasi yang sering juga sukar dijangkau, maka untuk memudahkan oenyusunan rencana tanaman setiap tahun dalam Rencana Teknik Tahunan (RTT), maka mulai tahun 1991 tersebut disusun pula skala prioritas rencana penanaman sehingga pelaksanaan penanaman di lapangan lebih mudah dilakukan. Tentu saja setiap kegiatan dan perubahan di lapangan harus tertuang dalam Berita Acara. Luas kawasan tanam harus disesuaikan dengan kemampuan seorang mandor tanam. Disarankan setiap mandor tanam hanya membina 20-25 Ha kegiatan tumpangsari setiap tahunnya. Selain itu tempat tinggal mandor juga diupayakan dekat dengan lokasi penanaman,
77
sehingga ia dapat bekeija secara efektif dan efisien. Selain tanaman pinus, penanaman dengan jenis tanaman lain hutan yang lain harus memperhatikan kemampuan tumbuhnya, fungsi hidro-orologisnya, nilai ekonomisnya serta kebutuhan masyarakat sekitar hutan. b. Pemeriksaan Tanaman dan Rencana Pemeliharaan lanjutan.
Pemeriksaan tanaman adalah pemeriksaan keberhasilan suatu tanaman pada tahun ke-3 yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sedangkan pemeliharaan lanjutan adalah pemeliharaan tanaman mulai lepas kontrak sampai dengan umur 5 tahun. Program tumpangsari pada hakekatnya adalah program lintas sektoral dengan multi-tujuan. Meskipun diakui bahwa peran aparatur Perum Perhutani sangatlah penting, namun dukungan dari pemerintah daerah dan jajaran di bawahnya sampai ke desa serta partisipasi masyarakat itu sendiri sangat penting bagi keberhasilan program tumpangsari. Hal ini secara administratif tercermin dalam prosedur dan tahap pelaksanaan reboisasi dengan sistem tumpangsari sebagai berikut : 1. Pembentukan kerjasama dengan masyarakat sekitar 2. Persiapan program berisi pengenalan program kepada pihak terkait antara lain aparatur desa, Muspika, penyuluh lapangan, aparatur di kecamatan dan kabupaten serta tokoh-tokoh masyarakat dalam upaya mendapatkan dukungan program secara terpadu dan lintas sektoral 3. Pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan Pembinaannya 4. Pelaksanaan program yang mencakup:
78
a) Penanda-tanganan naskah perjanjian yang memuat antara lain masa kontrak (selama 2 tabun dan dapat diperpanjang lagi selama 2 tabun dan seterusnya sesuai ketentuan), pola tanam, jenis tanaman, jarak tanam, peta lokasi, Surat Perintab kerja (SPK) dan daftar anggota KTH beserta tanda-tangannya. b) Persiapan lapangan berupa pembersihan lapangan, pembuatan jalan inspeksi, pembuatan gubuk kerja, ganco, gebrus, pembuatan saluran pembuangng air dan trucuk. c) Persiapan bibitlbiji baik tanaman butan sebagai tanaman pokok maupun tanaman pengisi, tanaman pagar, tanaman penguat teras dan tanaman pangan. d) Penanaman bibitlbiji tanaman dengan pembinaan dan pengawasan penub mandor tanam. e) Pemeliharaan tanaman pada masa 2 tabun pertama. f) Pemeriksaan dan pemeliharaan lanjutan yaitu pada umur tanaman 2-5
tahun berupa hahat kerinyu (tumbuhan bawah yang mengganggu tanaman pokok, sela maupun pengisi}, gebrus. dangir jalur tanaman pokok, wiwil tunas-tunas air, pembersihan benalu dan lain-lain.
3. Dinamika Kelompok Tani Hutan (KTH) Lingga Jaya
Wilayah/lokasi penelitian merupakan wilayah kerja KTH Lingga Jaya yang berada di desa Nglebo kecamatan Karangan. Ke1ompok tani butan ini berdiri sejak
79
1994, yaitu bersamaan mulai dilaksanakannya program tumpangsari kawasan hutan di sekitar desa tersebut. Nama Lingga Jaya mengingatkan orang pada nama gunung Lingga di mana desa Nglebo berada di kaki gunung ini, sebuah gunung yang membujur sepanjang barat desa, sisi sebelah timumya berlereng sangat curam yaitu lebih dari 90 derajad. Pada awal berdirinya jumlah anggota KTH Lingga Jaya sekitar 48 orang yang semuanya belum tentu aktif dalam setiap kegiatan. Jumlah anggota tersebut berangsur bertambah sejalan dengan makin luasnya kawasan tumpangsari dan adanya kegiatan-kegiatan produktif kelompok tani hutan ini. Saat ini telah tercatat jumlah anggota sebanyak 82 orang. Mereka tidak saja berasal dari para pesanggem yaitu petani yang menggarap kawasan hutan tumpangsari, tetapi juga dari anggota masyarakat lain mengingat aktifitas kelompok tani yang tidak saja mewadahi kegiatan yang berkaitan dengan pertanian tumpangsari tapi juga kegiatan ekonomi desa antara lain : stmpan pinjam, usaha temak kambing dan sapi, usaha perikanan darat, perlebahan, persewaan kursi, koperasi dan saat ini sedang dirintis usaha pembuatan pupuk kompos dengan menjalin keijasama dengan pengusaha dari kota Kediri sebagai mitra kerja. Karena besamya jumlah anggota serta tersebamya kawasan hutan tumpangsari yang ada KTH Lingga Jaya membentuk 5 Kelompok Kerja (Pokja) dalam kegiatannya yang masing-masing dibawah koordinasi seorang Ketua Pokja. Secara lengkap susunan kepengurusan KTH Lingga Jaya adalah sebagai berikut : a) Ketua
: Surasit
b) Sekretaris : B e j o
80
c) Bendahara : Waris d) Koordinator Pokja I
: Kasan
e) Koordinator Pokja II : Tulus f) Koordinator Pokja III : Ramin g) Koordinator Pokja IV : Mijo h) Koordinator Pokja V : Maijo.
Daftar anggota seluruhnya dapat dilihat pada lampiran I. Lokasi tumpangsari yang dikerjakan oleh pesanggem yang terwadahi dalam KTH Lingga Jaya berada pada Petak Perhutani Nom or 102 b dan berada dalam Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Karangan BKPH Karangan. Setiap
pesanggem rata-rata mengerjakan lahan hutan (andil) seluas 0,25 ha. Pertemuan anggota secara rutin diadakan setiap 35 hari sekali (selapanan) yaitu pada hari Rabo Pahing. Pada kesempatan itu juga diadakan arisan sebagai sarana pengikat agar setiap anggota berusaha hadir. Pertemuan di luar waktu itu hampir tidak pernah dilakukan kecuali ada hal-hal yang sifatnya mendesak dan penting. Selain arisan kadang juga diadakan pengajian atau yasinan selain diskusi yang membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan pertanian tumpangsari. Daftar kemajuan tanaman dan kondisi tanaman secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel 2.1 0. Pengamatan dilakukan sejak 1994 sampai dengan tahun 2000.
81
Tabel2.10. Keadaan Tanaman Hutan dan Hortikultura Pada Pemeriksaan Saat Penelitian. Persentase ( % ) No.
Jenis Tanaman ( Fungsi)
Tinggi Tanaman
HidUt)
Mati
(em)
1.
Pinus ( Pokok )
90
10
600
2.
Gleresideae ( Sela )
85
15
25
..., -'·
Mlinjo ( Tepi)
80
20
500
4.
Cengkeh ( Pengisi )
70
30
700
5.
Petai ( Sisipan )
75
25
700
..
Sumber : Pengamatan Lapangan Penehh dengan Mandor Tanam dan Ketua KTH Lingga Jaya Desa Nglebo.
Jarak tanaman pokok yang digunakan adalah 6X2 , artinya jarak antar larikan adalah 6 meter dan jarak antar tanaman pokok dalam satu larikan adalah 2 meter. Dibanding jarak tanam tumpangsari yang dikembangkan di beberapa kawasan yang lain jarak ini relatif besar sehingga populasi tanaman pertanian dan perkebunan yang lain lebih tinggi. Diharapkan dengan jarak tanam yang Iebar ini produksi komoditas pertanian dan perkebunan tersebut lebih meningkat. Hasil tanaman palawija selama periode 1994 sampai dengan saat penelitian dilakukan tercatat pada tabel 2.11. .lumlah produksi yang tercatat di sini merupakan angka kumulatif dari seluruh areal tumpangsari pada Petak 102 b dalam setiap panen yang dilakukan dalam satu tahun. Produktivitas tiap lahan yang diusahakan masing-masing pesanggem terekam pada data hasil survei pene1itian ini dan dapat di1ihat pada lampiran 2-5. Sedang pola tanam yang dilakukan sebagaimana tertera pada hagan berikut.
82
Keterangan : XXX
xxxxxxxxx
c:::::J
=
tanaman pokok
=
tanaman sela
=
lahan tumpangsari
Gam bar 2.1 : Pola Tanam Tumpangsari KTH Lingga Jaya.
Tabel 2.1 1. Hasil Padi dan Palawija Selama Periode 1994-1998. Jenis Palawija ( kg )
Tahun Panen
Padi
Kacang
Jagung
Ketela
I
I II
-
1.875
3.400
86 .. 325 76.450
-
-
2.632
-3.400
1994
1.790
1995
-
1996
842
1997
-
1998
!
1999
I I Jumlah
i
pohon
Tanah
I
i
I
15.124
I
131
l 1.875
!
1 15
I
-
16.823
58 .. 925
14.367
156.71 I
1.306
-
-
380.286
59.495
Sumber: Administrasi KTH L_ingga Jaya Desa Nglebo.
I
Lombok
!I
I
50
296
I
Kerusakan hutan praktis tidak terjadi pada kawasan tumpangsari, namun pada kawasan di luar tumpangsari kerusakan hutan menjadi fenomena yang umum sebagaimana beberapa kawasan hutan lain yang berada di sekitar kawasan pemukiman penduduk. Peneliti melakukan pengamatan dari dekat bersama Mandor Tanam dan mendapatkan taksiran luas kerusakan hutan pada kawasan yang sekiranya dapat diakses penduduk desa Nglebo ataupun desa terdekat lainnya, yaitu Wonokerto dan Ngrandu yang berada di kanan-kiri jalan poros Trenggalek-Lorok-Pacitan.
Kebanyakan jenis
kerusakan
tersebut adalah
perladangan 'liar yang terang-terangan'. Tahap-tahap timbulnya ladang liar tersebut biasanya adalah tetjadinya kerusakan tanaman-tanaman hutan akibat pencurian. Setelah kawasan tersebut bersih dari pohon mulailah lahan tersebut dikeijakan oleh penduduk sekitar, areal yang diusahakan tersebut makin meluas secara berangsur-angsur. Seperti kejadian adanya ladang liar di lokasi penelitian ini, yang menurut Mandor Tanam dan aparatur desa tetjadi berangsur selama 10 tahun. Taksiran luas kerusakan hutan tersebut berdasarkan pengamatan lapangan adalah pada tabel 2. 12. Tabel 2.12. Taksiran Luas kerusakan Hutan Pada Kawasan Hutan t k 102 b I bo dan Pea Se kitar Desa N :!le
.
I
Nomor Petak
Jenis Kerusakan
Luas ( ha)
Keterangan
89
Ladang liar
15
Rusak berangsur
93
Ladang liar
25
Rusak berangsur
Jumlah
40
I
.. Sumber : Pengamatan lapangan Penehtt, Mandor Tanam dan Aparatur Desa.
84
C Deskripsi Kelompok-Kelompok Pengamatan. Penelitian ini meletakkan pengukuran dampak pada rumah tangga dan individu sebagai unit analisis dengan membandingkan kelompok penerima program tumpangsari (para pesanggem) dengan kelompok yang tidak ikut program tumpangsari sebagai kelompok kontrol. Karena pengukuran secara komparatif terseb.ut, maka beberapa faktor yang sekiranya mempengaruhi besarnya (magnitude) pengukuran itu harus mendapat perlakuan kontrol sehingga memungkinkan faktorfaktor tersebut tersebar secara merata pada seluruh kelompok pengamatan dan dengan demikian dapat diabaikan pengaruhnya. Faktor-faktor ini biasa disebut sebagai variabel pengganggu. Beberapa faktor tersebut meliputi umur kepala keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga, jumlah tanggungan, luas pemilikan lahan pertanian, mata pencaharian selain bertani dan asal-usul responden. Pada tahap awal, karakteristik-karakteristik tersebut harus mendapat perhatian yang seksama karena bila tidak akan dapat menimbulkan penafsiran dan penarikan kesimpulan yang salah. Untuk masing-masing kelompok pengamatan, kelompok program dan kelompok non-program atau kelompok kontrol, karekteristik faktorfaktor di atas perlu diamati dan diketengahkan terlebih dahulu. Beberapa indikator kelompok kontrol ini memberikan fokus pengamatannya terhadap kepala keluarga. ·'
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kepala keluarga mempunyai kedudukan yang penting dan menentukan dalam keliiarga, baik sebagai penyumbang utama pendapatan keluarga maupun penentu kebijakan rumah tangga tennasuk yang berhubungan dengan pengeluaran rumah tangga. Pada lokasi pengamatan peran
85
kepala keluarga ini -sebagaimana dijumpai pada kebanyakan karakteristik keluarga Jawa- dilakukan oleh suami, meskipun qijumpai juga dalam penelitian dimana sumber penghasil pendapatan keluarga yang terbesar diperoleh dari istri (sejumlah l2% istri responden bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia atau TKI).
1. Umur Kepala Keluarga.
Rata-rata umur kepala keluarga 2 kelompok pengamatan hampir sama, yaitu 41 ,3 tahun pada kelompok program dan 41,1 tahun pada kelompok nonprogram dengan sebaran 16,9% berusia <35 tahun dan 41,5% berusia >40 tahun pada kelompok program dan 13,8% berusia <35 tahun dan 40,0% berusia >40 tahun untuk kelompok kontrol. Yang menarik adalah bahwa dari kerangka sample yang ditetapkan yaitu buruh tani atau petani dengan pemilikan lahan < 0,25ha, hanya ditemukan 16,9% responden yang berumur kurang dari 35 tahun pada Kelompok Program dan 13,8% pada kelompok Non-Program. Dengan demikian diketahui bahwa umur Kepala Keluarga <35 tahun menunjukkan proporsi yang kecil, artinya responden baik yang mengikuti program maupun yang tidak mengikuti umumnya bukan merupakan keluarga muda. Seperti dituturkan oleh perangkat atau beberapa responden, memang ada kecenderungan bahwa para pemuda baik yang masih bujang atau sudah berkeluarga akan berusaha mencari nafkah di luar kegiatan sektor pertanian dengan mengadu untung di kota-kota, terutama menjadi buruh pabrik, kuli bangunan atau berbagai sektor informal yang lain. Selain karena kenyataan bahwa lapangan kerja di desa terbatas, adakalanya
86
bahwa mereka merasa " .... bangga dan bergengsi kalau bekerja di kota, apapun pekerjaan itu ... ". Tabel 2.13. Umur Kepala Keluarga Responden.
Kelompok Program Persentase Jumlah (%) ·(orang)
Kelompok Non-Program Persentase Jumlah (orang) !_%)
No.
Kisaran Umur
1.
<25 tahun
3
4,6
2
3,1
2.
..-'·
26-30 tahun
3
4,6
2
3,1
31-35 tahun
5
7,7
5
7,7
4.
36-40 tahun
27
41,5
30
46,2
5.
41-45 tahun
8
12,3
9
13,8
6.
46-50 tahun
5
7,7
8
12,3
7.
51-55 tahun
ll
17,0
6
9,2
8.
>56 tahun
.)
4,6
.)
4,6
Jumlah
.
65
Umur Rata-Rata
.
65
100,0
41,3
-
100,0
-
41,1
Sumber : diolah dari data primer jawaban petani.
2. Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.2., mayoritas tingkat pendidikan responden adalah lulusan SD, yaitu 87,7% pada kelompok program dan 90,8% pada kelompok Non-Program. Lulusan SL TP hanya 12,3% pada Kelompok Program dan
7,7~ .••
.
pada kelompok Non-Program. Dari tabel 3.2 juga nampak
bahwa tidak ada pesanggem yang tidak menamatkan pendidikan
~D,
berbeda
dengan kelompok kontrol terdapat 1,5 % kepala keluarga yang tidak tamat SO. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pesanggem rata-rata adalah mereka yang tidak buta huruf dan angka, sehingga mereka diduga akan lebih mudah menerima
87
berbagai infonnasi terutama berkaitan dengan kegiatan tumpangsari dan pembangunan hutan secara keseluruhan.
Tabel 2.14. Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga. No.
l. 2.
Tk. Pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SD
,
.
Kelompok Program Jumlah Persentase (%) (orang) 0,0
-
57
..,
Kelompok Non-Program Jumlah Persentase (%) (orang) l,S l
87,7
59
3.
Tamat SLTP
.)
12,3
s
4.
Tamat SLTA
-
0,0
-
Jumlah
65
100,0
65
l l
90,8 7,7 0,0 100,0
Sumber : diolah dari data primer jawaban petani. Dalam sektor pertanian kondisi sumber daya manusia semacam ini sudah cukup bagus bagi inovasi dan adopsi berbagai teknologi usahatani dan konservasi tanah dan air. Hal ini dibenarkan oleh petugas penyuluh lapangan dari semua subsektor pertanian -tennasuk Mandor Tanam Perhutani yang juga pembina KTH Lingga Jaya- yang mempunyai wilayah kerja di desa Nglebo bahwa •· ..... pada dasamya mereka mudah diajak maju .... '-.
3. Jumlah Anggota Keluarga. Jumlah anggota keluarga merupakan karakteristik rumah tangga yang juga penting karena mempunyai hubungan de11gan kondisi tinansial rumah tangga, dan dengan demikian kesejahteraannya. Dalam kasus di perdesaan sebagaimana lokasi penelitian ini dilakukan, beban tanggungan anak-anak terutama yang masih di
88
bawah 5 tahun (balita) akan relatif lebih besar dibanding kelompok umur yang lain, karena ketika anak sudah mulai besar umumnya mereka sudah dapat membantu kegiatan rumah tangga baik di dalam rumah maupun di luar rumah selepas dari bersekolah, bagi yang bersekolah. Pekerjaan-pekerjaan mencari kayu bakar, menggembala temak adalah biasa bagi anak-anak kecil dan itu bisa sedikit meringankan beban tanggungan keluarga. Karakteristik jum"lah anggota keluarga tersebut terinci sebagaimana tabel 2.15. Tabel 2.15. Jumlah Anggota Rumab Tangga Responden.
No.
1.
Jumlah Anggota Keluarga Satu orang
Kelompok Program Persentase Jumlah (%) (orang) 7,7 5
II-·7
Dua orang
16
24,6
\3.
Tiga orang
24
36,9
14.
Empat orang
14
23,1
I s.
>Lima orang
6
7,7
65
JOO,O
I
I
I I
Kelompok Non-Program Persentase Jumlah (%) _{oran_g}_ 6,2 4
14
21,5
26
40,0
JO
15,4
11
16,9
65
JOO,O
I
l
Jumlah
Sumber : diolah dari data primer jawaban petani.
Di desa penelitian anak memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, karena anak juga merupakan sumber tenaga kerja keluarga yang sangat besar. Pada banyak kasus di desa penelitian, kondisi tingkat pendidikan anak juga ditentukan oleh nilai ekonomi anak ini. Bagi seorang amik usia sekolah, meneruskan sekolah ke jenjang sekolah menengah yang letaknya relatif jauh dari desa (yaitu di ibukota kecamatan dan kabupaten yang berjarak berturut-turut 8 km dan 13 km) berarti mengurangi waktu mereka untuk kegiatan-kegiatan produktif sektor perdesaan
89
seperti membantu di sawah dan ladang/tegal, mencari basil hutan atau mencuci, memasak dan merawat balita bagi anak perempuan. Sebagian besar jumlah anggota keluarga responden, baik kelompok program maupun kelompok non-program, adalah keluarga kecil dengan jumlah anak 2 orang, yaitu sebesar 37,5% pada kelompok program dan 40% pada kelompok Non-Program. Sedikit saja yang mempunyai jumlah anak lebih dari 3 orang. Pemahaman konsep keluarga kecil nampak sudah diterima responden, mengingat rata-rata usia responden merupakan usia subur yang berpotensi menghasilkan anak (lagi). Selain itu juga ditemukan bahwa pada seluruh sampel tidak ditemukan anggota keluarga lain yang menjadi tanggungan responden selain anak-anak mereka. Menurut diskusi selama penelitian berlangsung hal ini disebabkan karena rata-rata keluarga muda di desa Nglebo sudah mampu membuat rumah mereka sendiri meskipun sederhana. Bagi penduduk desa Nglebo membuat rumah sendiri merupakan sesuatu yang biasa, karena bagi (menurut) mereka bahan baku kayu untuk pembuatan rumah mudah didapatkan dari hutan di sekitar mereka. Dan dalam hal ini nampaknya ada semacam 'toleransi' dari petugas
Jagawana
bahwa
pengambilan
kayu
berdiameter
besar
untuk
pembangunan rumah sendiri oleh penduduk (dan dengan demikian tidak dijual keluar desa) tidak akan dipermasalahkan. Meskipun banyak kasus terjadi bahwa dalam praktek mereka menjual juga kayu-kayu tersebut ke luar, karena menurut pengamatan petugas Perhutani " .... penjualan kayu gelap di desa ini tidak menunjukkan tanda-tanda menurun, bahkan semakin meningkat ... ".
90
4. Luas Pemilikan Laban Pertanian Laban pertanian adalab faktor produksi utama bagi petani, sebingga luas laban pertanian yang dimiliki atau dikeijakan berkaitan dengan tingkat pendapatan dan kesejabteraannya. Selain luas laban, faktor laban yang berpengarub adalab tingkat kesuburan dan jenis penggunaan laban, apakab sawab, ladangltegal atau pekarangan. Secara umum dapat dikatakan babwa kebanyakan sawab di lokasi penelitian adalab sawab tadab bujan dan tidak memiliki jaringan irigasi teknis. Dari kondisi ini dapat disimpulkan babwa produktivitas sawab di daerab ini relatif rendab. Karena miskinnya air irigasi ini maka banyak sawab dalam musim kemarau tidak ditanami sama sekali (bera). Kondisi laban pertanian ladangltegal atau pekarangan juga tidak berbeda jaub. Seperti dijelaskan sebelumnya wilayab lokasi penelitian memiliki topografi miring-curam sebingga tingkat erosi tanah di daerah ini sangat tinggi. Pengolahan laban kering yang sangat intensif dan tanpa disertai teknik konservasi tanah dan air yang memadai seperti yang banyak terjadi di beberapa kawasan yang diamati semakin memperparah kekritisan lahan. Kondisi kesuburan tanab makin lama makin rendab karena banyak lapisan olah tanah yang subur terangkut aliran air permukaan. Tingkat kedalaman tanab subur di daerab penelitian umumnya < 1 meter dan ini menggambarkan tingkat erosi dan kekritisan laban yang tinggi . Tidak mengherankan kalau banyak di antara laban pertanian ladang/tegal tersebut menjadi kritis dan tandus dan tidak bisa ditanami sama sekali, bahkan pada musim hujan.
Pengolahan laban tegal/ladang di daerab penelitian juga kurang
91
menggunakan pola-pola intensifikasi usahatani yang direkomendasikan karena beberapa alasan. Penggunaan pupuk hampir tidak pemah dilakukan kecuali pupuk kandang pada jenis komoditas pertanian tertentu misal kacang tanah dan kedele. Ketela pohon merupakan jenis tanaman pangan yang paling diminati petani karena cara pemeliharaan yang mudah dan murah. Luas dan jenis pemilikan lahan pertanian responden secara rinci tercatat pada tabe12.16. Tabel 2.16. Jenis dan Luas Pemilikan Laban Pertanian Responden
Jenis Penggunaan 1. Sawah
2.
<0,1 2
Luas Ke1ompok Non-Pro~am (ha) 0,1-0,2 0,2-0,3 >0,3 .... .) 60 -
Tegal/ Ladang
3.
Luas Ke1ompok Program (ha) <0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 >0,3 .... .) 59 3 -
-
62
.....)
14
48
...._,
Pekarangan
I I I
-
1
60
.....)
I
-
9
50
6
-
Sumber: diolah dari data primer jawaban petani.
Komoditas pertanian utama yang ditanam di Iahan sawah adalah padi jenis lR64. Produktivitas berdasarkan uhinan yang dilakukan pada tahun 1998 adalah 2,2 ton/ha dan ini merupakan produktivitas lahan sawah yang sangat rendah. Penanaman padi dilakukan hanya pada musim hujan ketika kebutuhan air tercukupi. Pada lahan sawah yang intensif pengerjaannya, penanam padi bisa dilakukan dua kali meskipun mengandung resiko yang besar seperti teijadi tahun 1997 yang lalu, yaitu ketika tanaman padi pada penanaman terakhir mulai
heranak, hujan sudah berhenti sehingga banyak tanaman padi akhirnya mati
92
kekeringan. Yang umum terjadi di desa penelitian, penanaman padi dilakukan satu kali dengan pola tanam padi-kedelalkacang hijau atau jenis palawija yang lain. Sebagian lahan sawah yang kurang subur pada musim kemarau tidak ditanami sama sekali atau di-bera-kan. Lahan tegallladang juga merupakan sumber penyediaan bahan makanan utama yang lain setelah padi. Pada kebanyakan petani, lahan tegallladang bahkan merupakan lahan pertanian utama mereka. Pengolahan tanah pada jenis lahan ini umumnya dilakukan jauh sebelum musim hujan tiba dengan cara me-nugal tanah sehingga ketika hujan mulai turun tanah segera dapat ditanami. Pengolahan tanah dengan cara tugal yang pada dasamya adalah membahk lapisan atas tanah dengan cangkul atau gancu dimaksudkan untuk membuat lapisan tanah bagian atas lebih
subur sekaligus mematikan akar berbagai jenis tanaman gulma dan rumput yang mengganggu tanaman pokok. Meskipun pembuatan teras pada lahan pertanian sudah banyak dilakukan oleh petani, tetapi umumnya teknik pembuatannya kurang benar. Komoditas tanaman pangan yang umum ditanam pada tegal/ladang di musim hujan adalah jagung dan ketela pohon diselingi berbagai sayuran kacang panjang, lombok, terong dan lain-lain. Setelah tanaman jagung dan sayuran panen tinggallah tanaman ketela pohon yang lebih lama pertumbuhannya sebagai cadangan makanan utama mereka yang dipanen pada musim kemarau di saat krisis pangan mulai tetjadi. Amat jarang hasil panenan berbagai komoditas pertanian ini dijual ke pasar karena sebagian besar habis dimakan. Dengan pola
93
hidup subsisten seperti itu, maka gejolak harga berbagai komoditas pertanian yang jluktuatif hampir tidak berpengaruh terhadap kehidupan sebagian besar petani.
Pada beberapa petani lain, berbagai komoditas palawija kacang hijau, kacang tanah dan kedele dan tanaman perkebunan terutama cengkeh dijual ke pasar melalui tengkulak atau~ dijual sendiri.
5. Asai-Usul Responden. Kondisi sosial budaya mempengaruhi etos kerja seseorang. Kondisi sosial budaya ini diperoleh seseorang terutama dari interaksinya dengan lingkungan dan masyarakat ia tinggal. Pada masyarakat dengan mobilitas rendah dan terisolir, masyarakat sekitamyalah yang membentuk karakteristik sosial budayanya, karena interaksinya yang terbatas terhadap dunial luar. Karena itulah data asal-usul responden perlu diketahui, yaitu apakah ia merupakan penduduk asli atau pendatang, meskipun dalam penelitian ditemui bahwa penduduk yang berstatus pendatang itu hanya berasal dari desa-desa di sekitar lokasi penelitian yang kondisi sosial budayanya dapat dikatakan sama saja. Diasumsikan bahwa penduduk yang berasal dari luar desa akan memiliki karakteristik sosial-budaya yang berbeda dari penduduk asli. Dan sebaliknya responden yang merupakan penduduk asli akan memiliki karakteristik sosial-budaya yang sama. Data status asal-usul responden ini nampak pada tabel 2.17.
94
Tabel 2.17. Status Asai-Usul Responden. Status
Kelompok Program
Kelompok Non-Program
Jumlah
Persentase
Jurnlah
Persentase
(orang)
(%)
(orang)
(%)
I . Penduduk asli
58
89
55
85
2. Pendatang
7
ll
10
15
65
100
65
100
Responden
Jwnlah
Sumber : dtolah dan data primer jawaban petant.
Nampak dari tabel 2.17 bahwa lebih dari 85% responden adalah penduduk asli desa Nglebo, sedang selebihnya merupakan pendatang dengan perbedaan persentase yang relatif kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ciri-ciri sosial-budaya kedua kelompok pengamatan adalah sama. Dari berbagai deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok pengamatan, yaitu kelompok program dan non-program, memiliki karakteristik ekonomi-sosial dan budaya yang sama. Ciri-ciri yang pada dasamya merupakan variabel pengganggu dan akan berpengaruh pada basil pengukuran variabel pengamatan ini dengan demikian dapat diabaikan. Atau dengan kata lain perbedaan hasil pengukuran berbagai indikator penelitian (kalau ada) merupakan .,. akibat dari program (tumpangsari) dan bukan dari pengaruh yang lain.
95
BAR Ill ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tumpangsari adalah suatu sistem tanam dalam kegiatan reboisasi atau penanaman kembali kawasan hutan yang kosong. Sistem tanam tumpangsari merupakan konsep usahatani agrojorestry, penanaman tanaman pertanian baik pangan maupun hortukultura, tanaman penguat teras dari jenis rumput-rumputan dan perdu, dan berbagai jenis tanaman hutan jenis kayu dilakukan secara bersama-sama dalam suatu hamparan tertentu dalam suatu pola tanam yang sinergis. Sistem tanam tumpangsari diadopsi oleh Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan negara di Jawa-Madura sejak tahun 1972, dilatarbelakangi oleh adanya tekanan penduduk sekitar kawasan hutan yang tinggi terhadap sumber daya hutan yang umumnya merupakan petani yang tidak punya lahan atau berlahan sempit, kurang dari 0,5ha. Ketergantungan yang tinggi pada sumber daya hutan tersebut mengakibatkan berbagai kerusakan hutan negara yang menurunkan fungsi hutan dan mengancam pembangunan hutan yang optimal dan lestari. Kelangkaan atas faktor produksi utama bagi usahatani tersebut merupakan penyebab utama tekanan yang tinggi atas sumber daya hutan. Keadaan ini mendorong Perhutani untuk menyediakan kawasan hutannya bagi pemenuhan kebutuhan petani sebagai upaya membantu mereka bercocok tanam memenuhi kebutuhan pangan dan berbagai kebutuhan hidup yang lain. Hal ini dilakukan sejalan dengan program utama Perhutani dalam menanami laban hutan yang kosong, atau yang dikenal dengan reboisasi .
. 96
Keikutsertaan petani dalam menggarap laban butan dengan berbagai jenis tanaman yang sesuai dengan kebutubannya tersebut dibarapkan memberi tambahan bagi pendapatannya sebingga kesejabteraan mereka makin meningkat. Peningkatan kesejabteraan petani sekitar kawasan butan tersebut pada akhimya akan berdampak pada dukungan terbadap pembangunan butan yang lestari. Ketergantungan petani pada butan akan mengurangi kegiatan eksploitasi hutan secara •liar' yang cenderung merusak hutan dan kawasannya. Pada sisi yang lain, kegiatan reboisasi yang mencakup kawasan butan negara yang luas tentu memerlukan biaya yang besar, terutama pada sektor tenaga kerja, mulai pada tahap pembersiban laban (land clearing), pengolaban tanab, penanaman maupun perneliharaannya. Bagi Perhutani, rnasyarakat sekitar kawasan hutan rnerupakan sumber tenaga kerja yang besar dan murah. Melalui rancangan program reboisasi dengan sistern tanam tumpangsari, maka permasalaban tenaga kerja tersebut bisa diatasi. Dalarn program tumpangsari petani yang menggarap lahan hutan (pesanggem) tidak mendapat upah atas kegiatannya mengolah lahan butan. Sebagai gantinya rnereka dapat rnenanam berbagai jenis tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan serta memungut hasilnya dengan selalu mendapat arahan teknis dari
Perbutani.
Larnanya waktu yang
diperbolehkan dalam menggarap lahan butan tersebut tergantung pada jenis dan umur tanarnan pokok yang ditanam dan kondisi pertumbuhan tanaman tersebut. Untuk jenis tanaman pinus sebagaimana dikembangkan di lokasi penelitian, lama pengerjaan (lama
kontrak) umumnya tidak akan lebih dari 4 tabun atau 2 kali masa kontrak.
97
A. Dampak Tumpangsari Terlladap Kesejallteraan Petani Pendapatan merupakan indikator pokok tingkat kesejahteraan masyarakat, keluarga atau individu. Untuk itu pengamatan pada indikator pendapatan ini mendapat penekanan yang besar dalam penelitian ini. Pengukuran tingkat kesejahteraan dilakukan dengan beberapa indikator yang umum dipakai dalam penelitian semacam, termasuk banyak penelitian yang dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik. Indikator kesejahteraan tersebut adalah pendapatan rumah tangga, pendapatan per kapita, Nilai Kekayaan yaitu nilai barang-barang properly perabot rumah tangga, kendaraan dan ternak (rajakaya), kondisi tempat tinggal dan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan informasi. Hasil pengukuran pada Kelompok Program dan Non-Program kemudian dibandingkan melalui uji beda statistik, yaitu Uji-t untuk jenis data kontinum dan Uji Chi-Kuadrat untuk jenis data diskrit. Hasil perbandingan berbagai indikator antar 2 kelompok pengamatan tersebut diuraikan pada bagian-bagian berikut. Pengukuran kesejahteraan dapat juga dilakukan dengan membandingkan tingkat pendapatan
ata~
pengeluaran terhadap garis kemiskinan yang ditetapkan atau
nilai k.ebutuhan fisik minimum (KFM). Menurut Sayogyo, misalnya, garis k.emiskinan untuk. wilayah perdesaan bernilai setara dengan 480 kg beras/kapita!tahun. BPS juga rnenetapkan garis kemiskinan dengan menetapkan nilai pengeluaran perdesaan sebagai kebutuhan fisik minimum senilai 2. 100 kalori per kapita per hari ditambah kebutuhan minimum bukan makanan sebesar 51 ,3%. Pada tingkat harga setempat nilai ini berdasarkan standar 1998 sebesar Rp. 73.432,- per kapita per bulan.
f\Q
70
1. Pendapatan Pendapatan dihitung sebagai pendapatan rumah tangga per tahun dan pendapatan per kapita per tahun. Pengukuran indikator yang terakhir sekaligus untuk menentukan status rumah tangga terhadap garis kemiskinan. Rincian hasil perhitungan tiap responden tersebut terdapat dalam lampiran 2-5. Sebagai langkah untuk menguji hipotesis, maka hasil pengukuran pada dua kelompok tersebut kemudian dibandingkan melalui Uji-t dan secara rinci terdapat dalam lampiran 6. Hasil perhitungan dan uji beda tersebut tercantum dalam tabel 3.1. Tabel 3.1. Hasil Uji Beda Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Per tahun dan Pendapatan per Kapita Per Tahun Responden. No.
Ke1ompok Program
Uraian Pendapatan Rumah
1.
Ke1ompok Non-Program
Tangga Per Tahun I a.
Rata-Rata
b. Standar Deviasi
I I
648.453,7544
590.712,4071 2,7335
d. t tabel 0.05
2,6600
! Pendapatan Per Kapita I j
Rp. 1.804.923,077
t hitung
C.
2.
Rp. 2.103.384,615
Per Tahun a.
I
Rata-Rata
b. Standar Deviasi C.
I I
I
I
I Rp. 574.984,620
Rp. 469.425,45
284.421,4168
2 I 9.1 16,0895 2,3704
t hitung
d. t tabel 0.05
i
I
-
2,6600
Sumber : 1) d10lah dan data prnner Jawaban petam 1amptran 2-5. 2) perhitungan Uji t terdapat pada 1ampiran 6.
Pada Uji-t untuk pendapatan rumah tangga per tahun terlihat bahwa nilai thitung.>ttahcl o.os , yaitu 2,7335 dibanding 2,660 (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan ,.
99
bahwa pendapatan rumah tangga kelompok program, yaitu petani yang ikut dalam program tumpangsari, lebih besar atau meningkat secara nyata dibanding pendapatan rumah tangga petani yang tidak ikut program tumpangsari. Rata-rata kenaikan tersebut adalah Rp. 298.461,538 per tahun. Dari basil pengamatan ditemukan bahwa tambahan pendapatan ini sebagian besar bersumber dari produksi tanaman pangan berupa palawija yaitu padi gogo, jagung, kacang tanah, kedele dan ketela pohon. Karena jenis komoditas ini merupakan tanaman semusim, maka tambahan pendapatan pesanggem ini hanya berlangsung selama masa pengusahaan laban tumpangsari, yaitu 4 tahun ( 19941998). Hasil komoditas hortikultura dan tanaman perkebunan yang lain tidak begitu diminati oleh petani di lokasi penelitian. Kalaupun ada sejumlah tanaman tersebut, maka umumnya diusahakan sendiri oleh Perhutani sehingga Perhutani jugalah yang akan memungut hasilnya. Jelaslah bahwa meskipun program telah berhasil meningkatkan pendapatan rumah tangga pesanggem secara nyata, namun tambahan itu hanya terjadi dalam waktu yang terbatas, yaitu selama masa kontrak 4 tahun. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan program tumpangsari di lokasi penelitian jauh dari tujuan program yang ditetapkan. Salah satu tujuan utama program tumpangsari adalah teijadinya peningkatan pendapatan masyarakat yang lebih merata sepanjang tahun. Dalam konsepnya hal ini hanya teijadi bila po1a usahatani dilakukan dengan budidaya berbagai jenis komoditas tanaman yang saling menunjang, yaitu komposisi yang tepat antara tanaman pangan, perkebunan dan kayu_;kayuan, terrnasuk tanaman pokok perhutani sehingga
100
memungk.inkan tercapainya pendapatan yang maksimal dan merata. Dalam penelitian di BKPH Tangen, misalnya ditemukan bahwa populasi tanaman pangan yang ideal dalam I ,0 ha laban adalah 78%, sisanya adalah tanaman kayu, hortikultura dan rurnput-rumputan. Bila hal ini terjadi maka petani akan mendapatkan tambahan produksi tidak saja dari tanaman pangan, tetapi juga kayu, rumput, buah dan hasil tanaman perkebunan yang panenannya akan lebih tersebar waktunya. Selain itu pola usahatani yang terpadu sebagaimana dimaksudkan dalam usahatani agroforestry akan menghasilkan interaksi ekologis yang saling menunJang
antar
berbagai
komoditas
tersebut
sehingga
memungkinkan
pertumbuhan tanaman lebih baik yang pada akhimya menghasilkan produksi pertanian yang tinggi pula. Bila kita mengamati di lapangan, sebenamya secara ekologis hal ini nampak terwujud. Observasi di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan jenis-jenis tanaman di laban tumpangsari dapat dikatakan baik, ratarata 85% daya tumbuhnya. Namun demikian hila kita menilik aspek ekonomi lebih jauh kondisi ini kurang memenuhi harapan, karena dalam kenyataan petani hanya memanfaatkan sebagian kecillahan dengan budidaya tanaman pangan saja, sedang lainnya dilakukan oleh Perhutani. Seperti diungkapkan dalam bah terdahulu, pada tingkat intensifikasi usahatani yang sama, maka pola tanam usahatani dan luas laban garapan (andil) akan sangat menentukan besamya produksi tumpangsari hila diasumsikan harga pasar komoditas pertanian stabil. Hasil maksimal akan terjadi bila terdapat kombinasi yang tepat antara berbagai komoditas pertanian, kehutanan dan
101
perkebunan serta petemakan. Dari banyak rekomendasi pada usahatani tumpangsari secara tegas dapat dikatakan bahwa pola tanam yang monokultur dan didominasi oleh tanaman pangan sangat mengurangi hasil produksi. Bahkan pada sisi lain hal ini akan menimbulkan berbagai gangguan hama dan penyakit tanaman yang tinggi. Keterpaduan yang seimbang dan optimal antara berbagai kombinasi tanaman tersebut selain akan menghasilkan produksi yang maksimal juga akan lebih memeratakan pendapatan petani karena panenan yang lebih merata sepanjang tahun. Meskipun pola tanam yang tepat tersebut pada setiap kondisi perlu diteliti, namun sebenamya dengan mengadopsi hasil penelitian dari wilayah lain yang memiliki kondisi geografis dan agro-klimatologis yang samalhampir sama, maka langkah itu sudah cukup bagi peningkatan produksi tumpangsari yang maksimal. Perhitungan dan Uji-t untuk indikator pendapatan per kapita per tahun nilai thiumg
0,05), sehingga disimpulkan bahwa pendapatan per kapita per tahun petani yang ikut program tumpangsari tidak meningkat secara nyata dibanding petani yang tidak ikut program tumpangsari. Kenaikan secara nominal rata-rata pendapatan per kapita sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 3.1 diduga bersumber dari sampling error saja. Dua fenomena tersebut menyiratkan bahwa secara umum keikutsertaan responden dalam program tumpangsari nyata telah meningkatkan pendapatan total rumah tangganya, namun kenaikan tersebut relatif kecil sehingga bila faktor beban tanggungan keluarga dimasukkan, maka kenaikan tersebut tidak cukup untuk meningkatkan pendapatan per kapita petani dan keluarganya secara nyata,
,.
102
meskipun terungkap dalam penelitian ini bahwa rata-rata jumlah tanggungan keluarga tersebut relatifkecil, yaitu 3-4 orang saja. Hasil perhitungan pendapatan per kapita per tahun juga memberikan gambaran bagaimana status responden terhadap garis kemiskinan. Berdasarkan konsep Sayogyo, hila. diasumsikan harga beras setempat Rp. 1.800,-, garis kemiskinan tersebut senilai Rp. 868.000,- per kapita per tahun atau Rp. 73.432,perkapita perbulan menurut BPS berdasarkan standar garis kemiskinan perdesaan tahun 1998. Perhitungan menunjukkan bahwa pendapatan perkapita pertahun adalah Rp.574.984,62 untuk kelompok program dan Rp.469.425,45 untuk kelompok nonprogram. Sedang pendapatan perkapita perbulan sebagai proksi pengeluaran per kapita
perbulan
sebesar
Rp.47.915,385
untuk
kelompok
program
dan
Rp.39.118,787 kelompok non-program. Dengan demikian nyatalah bahwa kedua kelompok responden yang diamati masuk ke dalam kategori miskin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pola usahatani merupakan variabel penting yang berpengaruh terhadap produksi dan pendapatan petani. Adopsi pola tanam tumpangsari yang tepat akan memberikan hasil yang optimal. Hal ini nampaknya sulit diwujudkan karena beberapa faktor yang bisa diidentifikasi. Petani umumnya lebih berorientasi pada tanaman pangan. Keengganan petani melakukan usahatani terpadu disebabkan oleh pandangan bahwa dengan budidaya tanaman pangan, hidup mereka lebih terjamin. Seperti dituturkan oleh Kepala Desa " .... memiliki persediaan pangan yang cukup saja bagi kebanyakan petani di sini sudah lebih dari cukup. Bagi mereka bertani berarti menghasilkan cadangan pangan cukup
103
dan cadangan dalam bentuk natura (bukan uang atau yang yang lain) adalah yang paling aman". Modal merupakan kendala yang lain. Kebanyakan petani mempunyat kemampuan (modal) yang terbatas dalam menerapkan teknologi pertanian yang direkomendasikan, terutama penggunaan pupuk dan pestisida.
Data yang
didapatkan menunjukkan bahwa pada kawasan tumpangsari, khususnya pada pada lahan tanaman pangan hampir tidak dilakukan pemupukan dan penggunaan pestisida. Ada kemungkinan hal tersebut terkait dengan keterbatasan modal usaha petani. Namun di sisi lain, seperti disampaikan beberapa pesanggem, intensifikasi lahan tumpangsari agaknya tidak akan dilakukan oleh mereka. Dalam pandangan petani, mereka hanya akan menggarap lahan dalam waktu yang terbatas, sehingga perbaikan
kondisi
kesuburan
lahan
tumpangsari
dipandang
hanya
akan
menguntungkan Perhutani saja, " .... kecual i ada subsidi seperti dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya di kawasan yang lain (maksudnya lnsus Tumpangsari yang dilakukan pada tahun 1991 )". Seperti diungkapkan oleh Santoso dalam penelitiannya pada proyek manajemen rejim di KPH Madiun, luas lahan garapan (andil) merupakan variabel yang juga sangat berpengaruh pada produksi dan pendapatan petani. Beberapa penelitian ekonomi pertanian menyebutkan bahwa luas lahan tumpangsari yang efektif dan ekonomis 0,5-1 ,3fia. Dengan Juas lahan tersebut maka peningkatan pendapatan petani akan semakin besar. Di samping itu dengan luas garapan yang cukup, pengguaan tenaga kerja petani akan menjadi lebih efisien. Luas garapan
104
yang sempit di bawah yang direkomendasikan haruslah diikuti oleh intensifikasi dan pola usahatani yang optimal. Perhitungan atas kenaikan pendapatan tersebut sebenamya dilakukan dengan tidak memasukkan nilai tenaga kerja petani. Menurut beberapa pesanggem yang mampu melakukan analisis usahatani secara sederhana, hila tenaga kerja mereka dinilai dengan uang sesuai upah buruh tani yang berlaku setempat, yaitu Rp. 8.000,/hari, maka sebenamya basil usahatani tumpangsari akan impas saja, atau bahkan tidak memberi keuntungan. Fenomena semacam ini memang tipikal bagi usahatani laban sempit, yaitu bahwa petani sebenamya merupakan 'buruh tani' bagi pengusahaan lahan mereka sendiri dan hasil pertanian yang mereka terima pada hakekatnya merupakan 'upah' yang mereka terima. Pak Rasit (Ketua KTH Lingga Jaya) dalam hal ini mengatakan : "Kalau rata-rata kami mengeijakan andil selama 40 hari tiap tahun, berarti saya harus menerima upah sebesar Rp. 320.000,-, belum termasuk bibit dan modal yang lain yang kira-kira bisa mencapai rata-rata Rp. 100.000,-. Jadi, bila nilai basil tumpangsari yang kami dapatkan per tahun kurang dari itu, artinya Perhutani untung atau telah menghargai tenaga kami lebih murah dari seharusnya". Luas kawasan hutan tumpangsari di sekitar desa Nglebo selama periode 1994 sampai sekarang berada pada Petak 102 b. Luas kawasan tumpangsari ini hanya menampung sejumlah 82 orang pesanggem dengan luas andil sama, yaitu 0,25 ha. Bila jumlah petani peserta ini dibandingkan dengan buruh tani dan petani berlahan sempit di desa Nglebo sejumlah 1.296 orang, maka persentase peserta
105
program hanyalah
0,06% saJa. Bila program tumpangsari dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan akan lahan pertanian bagi petani kecil, maka keadaan ini jelas tidak logis. Dengan kata lain, penetapan luas kawasan tumpangsari dalam satu periode reboisasi hanyalah mempertimbangkan kebutuhan Perhutani saja dan tidak kebutuhan masyarakat lokal, mengingat bahwa daur hidup tanaman pokok akan berlangsung lama. Berkaitan dengan pola usahatani dan luas andil ini, pada pihak lain Perhutani juga mempunyai pertimbangan tersendiri yang mendasari kebijakannya. Umumnya Perhutani menetapkan target-target produksi dan luasan reboisasi sesuai perencanaan, yang berlaku selama 10 tahun. Pencapaian target-target ini merupakan 'kondite' bagi tiap petugas/pejabat Perhutani yang harus dipertanggung-jawabkan kepada pejabat atasan. Bagi Perhutani penetapan target-target semacam ini tidak lebih hanya merupakan persoalan 'teknis' belaka, sehingga pertimbangan dari aspek-aspek lain kurang mendapat perhatian yang memadai. Dari kondisi internal Perhutani ini, maka dapat diduga bahwa adopsi pola tumpangsari yang optimal yang berarti pula akan rnengurangi kepadatan tanarnan hutan dan produksinya akan sulit dilakukan. Adopsi teknologi ini umumnya akan mengurangi target produksi yang telah ditetapkan. Penetapan luas lahan tumpangsari juga merupakan persoalan teknis. Perencanaan Perhutani akan menetapkan berapa luas reboisasi yang harus dilakukan tiap tahun. Hal ini selain didasarkan pada luas lahan hutan yang kosong, juga ditentukan dari rencana tebangan yang akan dilakukan. Jelas bahwa pertimbangan kebutuhan lahan dari masyarakat sekitar
tidak merupakan
106
pertimbangan yang pokok. Pertimbangan teknis merupakan hal yang dikedepankan. Pada banyak kesempatan wawancara, bahkan seorang Kepala SKPH (Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan) atau Ajun Administratur Perhutani -jabatan di tingkat kabupaten dalam hirarkhi Perum Perhutani- selalu mengatak:an bahwa 'saya dan bawahan-bawahan saya hanyalah petugas teknis dan tidak berwenang sama sekali dengan hal-hal di luar itu. Sedangkan araban teknis sudah jelas tertera dalarn rencana pengaturan hutan yang ditetapkan'. Sebenamya
masalah
tersebut
masih
bisa
diatasi
dengan
jalan
memperpanjang masa kontrak, misalnya, sehingga petani mempunyai kesempatan yang lebih lama untuk bercocok tanam dan memungut hasilnya. Namun hal ini akan sulit dilakukan secara teknis karena pertimbangan terhadap pertumbuhan tanaman pokok. Perpanjangan masa kontrak lebih dari 6 tahun untuk jenis tanamam pokok pinus akan menurunkan perkembangan tanaman pokok tersebut dan hal ini bisa menurunkan produksi total yang bisa diperoleh Perhutani. Bagi Perhutani, target produksi merupakan pertimbangan utama dalam setiap kegiatannya. Analisis dampak program tumpangsari terhadap pendapatan rumah tangga petani juga memberikan gambaran lain berkaitan dengan produktivitas petani. Peningkatan pendapatan rumah tangga petani yang nyata dalam program tumpangsari menyiratkan bahwa keikut-sertaan petani dalam program tumpangsari tidak menghilangkan opportunity cost yang besar bagi petani. Atau dengan kata lain keikutsertaan petani menambah pendapatan mereka melalui tambahan jam kerja. Sebagaimana sudah dijelaskan, kelangkaan lahan pertanian merupakan masalah
107
utama yang menyebabkan produktivitas petani sangat rendah. Dalam kehidupan sehari-harinya banyak terjadi waktu luang setelah kegiatan rutinnya, karena tidak adanya pekerjaan yang harus dilakukan. Keikutsertaan mereka dalam program tumpangsari merupakan tambahan jam kerja bagi petani yang memberi akibat meningkatnya pendapatan mereka. Kesempatan tambahan pendapatan tersebut akan hilang hila petani tidak ikut program tumpangsari. Program tumpangsari bukanlah
pilihan atas berbagai altematif pekerjaan yang bisa dilakukan petani. Di tengah dinamika ekonomi perdesaan yang agraris dan pemilikan lahan yang sempit, hampir selalu ditemui fenomena pengangguran terselubung (disguissed unemployment), karena langkanya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat berbagai macam sumber pendapatan petani yang menopang kelangsungan hidupnya. Secara garis besar sumber pendapatan responden bisa dibedakan atas :I) sumber pendapatan yang berasal dari kegiatan usahatani pada laban pemilikan pemajekan yaitu lahan pertanian di luar kawasan hutan yang menjadi milik perseorangan, betemak, berdagang, industri dan kerajinan, buruh tanilindustri yang semuanya tidak berkaitan secara langsung dengan sumber daya hutan, dan 2) sumber pendapatan dari kegiatan yang berkaitan dengan sumber daya hutan yaitu kegiatan-kegiatan yang menjadi program kegiatan Perhutani, pemungutan hasil hutan kayu dan nonkayu misal me-rencek , mencari pakan temak, mencari kayu untuk perkakas serta usaha pertanian di lahan kawasan hutan negara yang biasa disebut 'perladangan liar'. Yang perlu dicatat dalam hal ini adalah bahwa pengumpulan data yang
108
berkaitan dengan masalah pemungutan hasil hutan di luar program Perhutani ini sangatlah sensitif sehingga dimungkinkan responden lebih suka merahasiakan kegiatan yang tergolong 'liar' tersebut. Namun wawancara mendalam yang dilakukan pada hampir seluruh proses pengisian kuesioner meyakinkan responden bahwa kerahasiaan responden akan dijamin dan bahwa kegiatan ini bersifat akademis yang pada akhimya juga demi kepentingan dan kebaikan responden sendiri berkaitan dengan pengelolaan hutan negara secara menyeluruh di tingkat lokal. Dengan cara seperti ini diharapkan apa yang diungkap dalam penelitian menunjukkan gambaran yang sebenamya atau paling tidak mendekati. Rincian kontribusi (dalam persen) tiap sumber pendapatan responden yang dibedakan atas berbagai jenis kegiatan terinci dalam lampiran 7-8 yang secara agregat termuat dalam tabel 3.2. Tabel 3.2. Kontribusi Berbagai Sumber Pendapatan Responden (dalam % ). No.
l.
Sumbcr Pcndapat.an
T umpangsar.i
2.
I Sadapanffebangan
....
I Swnber Daya Hutan Yang Lain
.)
.
4.
Kclompok Program
Di Luar Sumber Daya Hutan .hunlah
I I
Kclompok Non Program
13,41
-
2,27
14,42
67,23
65,85
17,09
19,73
100,00
100,00
lI
Sumber : d10lah dan data pnmer lampuan 7 dan 8.
Dari gambaran tersebut nampak bahwa meskipun program tumpangsari berhasil meningkatkan pendapatan rumah tangga responden, namun kontribusinya terhadap terhadap total pendapatan rumah tangga sangatlah rendah, yaitu rata-rata
109
hanya 13,4% saja. Dari tabel 3.2 terungkap pula bahwa temyata kegiatan petani dalam upaya mencari nafkah yang mengeksploitasi sumber daya hutan di luar program Perhutani memiliki proporsi yang sangat besar yaitu 65,85% pada petani kelompok non-program dan 67,23% pada petani kelompok program. Dengan kata lain keikutsertaan petani dalam program tumpangsari tidak berhasil mengurangi ketergantungan hidupnya pada sumber daya hutan. Bahkan sebaliknya sumbangan sumber daya hutan terhadap petani kelompok program lebih besar dibanding kelompok petani non-program. Hal ini diduga disebabkan karena temyata keikutsertaan petani dalam program tumpangsari menyebabkan semakin intensifnya mereka
berinteraksi dengan sumber daya hutan sehingga kesempatan untuk
melakukan eksploitasi hutan menjadi semakin besar. Misalnya setelah mengerjakan lahan tumpangsari, maka umumnya petani akan menyempatkan mengambil berbagai hasil hutan berupa rumput-rumputan dan daun-daunan sebagai pakan temak, kayu bakar dan bahkan kayu-kayu berdiameter besar di luar laban tum pangsari. Aktivitas responden yang berkaitan dengan sumber daya hutan yang dilakukan di luar program Perhutani umumnya bersifat eksploitatif dan '1iar' karena itu kegiatan tersebut mempunyai dampak yang sangat besar terhadap kerusakan hutan. Menurut penjelasan Mandor Tanam Perhutani, proses kerusakan hutan biasanya terjadi secara berangsur dalam kurun waktu sekitar 10 tahun, dimulai dari rusaknya tanaman pokok karena dipotong cabangnya yang besar atau bahkan batangnya sehingga mati, hilangnya tanaman pokok karena diambil penduduk yang
110
akhimya menyebabkan areal kawasan hutan tertentu gundul dan tidak ada tanamannya. Pada kondisi demikian, maka mulailah penduduk mengerjakan laban hutan yang gundul tersebut untuk kegiatan usahatani tanaman pangan. Dibanding aktivitas yang lain, kegiatan ini lebih bersifat terang-terangan. Lebih-lebih setelah tahun 1997 bersamaan dengan era dan 'euforia' reformasi di Indonesia yang gaungnya sampai ke pelosok negeri, ada kecenderungan bahwa Perhutani makin berhati-hati bertindak menghadapi masalah-masalah perladangan 'liar' ini, sementara masyarakat sebaliknya makin merasa biasa terhadap berbagai 'pelanggaran' terhadap kawasan hutan. Karena perladangan ini umumnya melibatakan banyak petani-petani kecil, maka langkah yang biasanya diambil oleh Perhutani lebih bersifat persuasif Petikan dialog dalam suatu observasi selama penelitian dapat menggambarkan keadaan ini, sebagai berikut : Peladang 'liar' : "Selamat siang Pak ". Mandor Tanam : "Se/amat siang". Peladang 'liar' : "Ada keperluan apa Pak rupanya ? Mau menangkap saya ? Silakan saja. Masak sekedar mencari makan (golek upa, .Jawa) seperti ini saja mau ditanpkap. Si/akan saja. Saya menyerah kok". : Mandor Tanam "Ah tidak, sekedar jalan-jalan saja. Mengantarkan 'tamu' kita ini" (sambil tangan Pak Sukibar, si Mandor Tanam menepuk bahu peneliti). Kegiatan yang tidak berhubungan secara langsung dengan sumber daya hutan yang merupakan matapencaharian resmi responden hanya memberi kontribusi rata-rata kurang dari 20% dari seluruh pendapatan petani, yaitu hanya 17,09% pada kelompok program dan 19,73% pada kelompok non-program. Dapat disimpulkan bahwa secara umum sumber daya hutan merupakan sumber penghasilan utama
Ill
responden dengan sumbangannya sekitar 80% dari seluruh pendapatan petani. Ketergantungan ini merupakan masalah serius dari waktu ke waktu. Proyeksi demografi di masa yang akan datang juga mengindikasikan bahwa tekanan penduduk terhadap sumber daya hutan tersebut akan makin meningkat dan ini mengurangi fungsi hutan yang optimal. Ketergantungan penduduk pada sumber daya hutan sangatlah besar, di atas nilai ketergantungan nasional sebagaimana diungkapkan FAO dalam penelitiannya tentang peran sumber daya hutan di Indonesia sebesar 60%. Peranan sumber daya hutan bagi kehidupan penduduk sekitar kawasan hutan sangatlah besar dan dominan. Sumbangan sektor kehutanan pada total pendapatan petani program dan non-program menunjukkan angka yang hampir sama, yaitu 80,27% pada kelompok non-program dan 82,91% pada kelompok program. Kegiatan Perhutani rutin yang lain adalah sadapan tebangan
pmus.
Meskipun kegiatan ini juga mengikutkan masyarakat lokal sebagai buruhlpekerja, namun umumnya dilakukan dalam waktu yang terbatas dan singkat. Dalam kurun satu tahun 4 tahun terakhir misalnya, aktivitas sadapantebanga n yang dilakukan hanya terjadi satu kali selama 1 bulan. Bahkan dalam hal ini, beberapa petani menyatakan bahwa keikutsertaan mereka tidak bisa ditentukan karena Perhutani juga menggunakan buruh dari desa-desa lain. Oleh karena itu upah dari kegiatan sadapan/tebangan tidak dapat diharapkan menjadi sumber matapencaharian yang
rutin bagi petani.
112
2. Nilai Kekayaan
Seperti telah disebutkan sebelumnya, nilai kekayaan atas barang-barang property ditunjukkan oleh nilai kekayaan atas barang-barang perabot rumah tangga,
kendaraan atau sarana angkutan yang lain dan temak (rajakaya) dihitung atas dasar taksiran harga setempat saat penelitian. Pada berbagai jenis barang di ataslah umumnya petani di lokasi penelitian menyimpan kelebihan uangnya setelah kebutuhan pangan dan sandang tercukupi. Kepemilikan atas tanah tidak dimasukkan dalam indikator ini, selain karena faktor ini sudah terungkap pada indikator yang lain dalam aspek yang berbeda, juga karena perolehan responden atas laban pertanian yang dikuasainya lebih disebabkan karena warisan dan bukan pembelian. Rincian nilai kekayaan responden tercantum dalam lampiran 9-10, sedang basil Uji-t atas nilai kekayaan tersebut dirangkum dalam tabel 3.3. Tabel 3.3. Hasil Uji-t Nilai Kekayaan Atas Barang-Barang Property. No.
L
Ii 2.
Uraian
Kelompok Program
\
Kelompok Non-Program I
Rata-Rata
Rp. 3.843.230, 769
! Rp. 3.866.153,846
StandarDeviasi
3.078.021.563
: 3.292.250,699
13.
T
hitung
0,0041
\4.
T
tabel 0.05
2,6600
I I
I
!
I
I'I
Sumber : dtolah dan data pnmer Lamptran 9 dan 10.
Dari tabel 3.J terlihat bahwa rata-rata nilai kekayaan kedua kelompok responden tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Nilai t angka yang lebih kecil dibanding nilai t
tahel
hitung
menunjukkan
dalam tingkat kepercayaan 95%, yaitu
113
0,041 <2,660. Malah dari tabel 3.3 terlihat bahwa nilai kekayaan kelompok program lebih rendah dibanding kelompok non-program. Dalam pola hidup yang subsisten karena tingkat pendapatan per kapita di bawah kebutuhan minimum atau di bawah garis kemiskinan, maka dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pendapatannya digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangannya dan tidak ada sisa pendapatan yang bisa ditabung atau dibelikan berbagai barang-barang rumah tangga. Keikutsertaan responden dalam kegiatan tumpangsari temyata juga belum berhasil meningkatkan pendapatan per kapita responden dan mengentaskannya dari
kondisi
kemiskinan.
Karena
itulah
dimungkinkan bahwa nilai kekayaan kedua kelompok responden tersebut tidak mengalami perbaikan sama sekali.
3. Kondisi Tempat Tinggal Kondisi tempat tinggal responden dilihat pada 7 aspek penting yaitu status kepemilikan rumah, bentuk (pondasi) rumah, dinding rumah, lantai rumah, penerangan, sumber air minum dan jamban. Keadaan ketujuh aspek tempat tinggal responden tersebut terinci dalam lampiran 12. Kondisi tempat tinggal ini dihitung berdasarkan frekuensinya dalam suatu kategori tertentu, yang dibedakan atas kelompok program dan kelompok non-program: Hasil perhitungan tersebut kemudian dikomparasi melalui Uji Chi-Kuadrat mengingat data yang terhimpun merupakan data diskrit yang disajikan dalam lampiran 13. Hasil Uji Chi-Kuadrat tersebut menunjukkan basil nilai Chi-Kuadrat
hitung.
sebesar 6,7672 lebih kecil
114
dibanding nilai Chi-Kuadrat
tabei
pada tingkat kepercayaan 95% sebesar 24,9960.
Hal ini menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nyata dalam kondisi rumah antara kelompok program dan non-program. Perhitungan uji ini terdapat pada lampiran 13. Bagi responden, perbaikan kondisi rumah tentu sangat mengurangt pendapatannya, sehingga kegiatan perbaikan rumah tersebut tergantung pada besamya pendapatan yang berhasil dikumpulkan dan kebutuhannya atas barang konsumsi pangan. Dengan peningkatan pendapatan per kapita yang tidak nyata, maka dapat dipastikan bahwa tambahan pendapatan yang diperoleh dari program tumpangsari tidaklah cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan pengeluaran di luar makanan, termasuk perbaikan kondisi tempat tinggal.
4. Akses Terhadap Pendidikan, Kesehatan dan Informasi. Setelah kebutuhan akan pangan, sandang dan papan terpenuhi, maka kebutuhan berbagai fasilitas yang lain dalam upaya meningkatkan kualitas hidup adalah penting. Akses terhadap pendidikan, kesehatan dan informasi umumnya dipandang sebagai salah satu indikator penting yang menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Makin sejahtera suatu keluarga, maka aksesterhadap berbagai hal tersebut akan menunjukkan peningkatan. Keluarga yang sejahtera ada1ah keluarga yang mempunyai kepedulian terhadap perbaikan kualitas hidup anggota keluarganya yang dimaksudkan untuk meningkjatkan pendapatannya di kemudian hari. Kualitas kehidupan tersebut akan dapat ditingkatkan melalui
115
peningkatan aksesnya terhadap pendidikan, kesehatan dan infonnasi. Dengan sarana ini memungkinkan anggota keluarga menjadi lebih pintar, terampil dan berpikiran maju sehingga memungkinkannya memperoleh penghidupan yang lebih layak di kemudian hari. Akses terhadap pendidikan, kesehatan dan informasi beserta uji perbandingannya disajikan dalam tabel 3.4. Tabel 3.4. Akses Terhadap Pendidikan, Kesehatan dan lnfonnasi Serta Nilai Chi-Kuadrat. Aspek-aspek Yang Diamati
I. Jumlah
anak benekolah/tamat sekolah
Kelompok Non-Program Frekuensi Persentase
Kelompok Program Persentase Frekuensi
yang
- so
39
60,0
45
69,2
-
Tarnat SD
0
0,0
0
0,0
-
SMP
15
23,1
10
15,4
-
Tarnat SMP
2
3,1
4
6,2
8
12,3
2.
Pergi Ke Puskesmas
I
-
Selalu bila sakit
10
15,4
-
Tidak selalu bila sakit
34
52,3
27
41,5
Beli obat di warung
21
32,3
30
46,2
5
7,7
7
10,8
39
60,0
45
69,2
21
32,3
13
20,0
I
3. Kepemilikan Sarana komunikasi - Televisi
·:··::
-
Radio
-
Tidak memiliki
x2 hlt\mg . X
2 tahel 0.05
I
! I
!
!
7,9532 18,307
Somber: dtolah dari data pnmer Jawaban petam Larnpuan 14.
I
Pendidikan semua anak responden minimal adalah SO, kecuali mereka yang masih balita (bayi di bawah umur lima tahun). Pada kelompok program sebanyak
116
26,2% bersekolah atau berhasil menamatkan pendidikan SLTP, sementara kelompok non-program sebesar 21,6% bersekolah SLTP atau sudah tamat SLTP. Yang patut menjadi catatan adalah bahwa pada semua responden tidak ditemukan anak-anak mereka yang bersekolah atau menamatkan pendidikan SLT A. Hal ini boleh jadi beban biaya pendidikan SLT A sangat memberatkan mereka, terutama karena jauhnya lokasi sekolah tersebut dari lokasi penelitian serta biaya pendidikan yang relatif besar bagi ukuran mereka. Pada sisi lain dimungkinkan bahwa keterlibatan anak-anak mereka pada jenjang pendidikan SLT A berarti adanya kehilangan tenaga kerja potensial bagi keluarga yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.Akses responden terhadap sarana kesehatan Puskesmas juga menunjukkan frekuensi yang relatif rendah pada kedua kelompok responden, yaitu 15,4% pada kelompok program dan 12,3% pada kelompok non-program. Sebagian besar responden lebih suka membeli obat kemasan di warung terdekat hila sakit. Kepergiannya ke Puskesmas dilakukan hanya bila kondisi sakit tersebut parah dan umumnya disarankan oleh orang lain terutama perangkat desa atauy tokoh-tokoh masyarakat setempat. Jarak lokasi Puskesmas yang relatif jauh dengan lokasi penelitian serta langkanya sarana angkutan umum pada jalur desa Nglebo-Jalan Raya Trenggalek-Pacitan agaknya menjadi kendala yang besar bagi mereka. Namun demikian dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh penduduk tersebut sebenamya merupakan langkah yang praktis mengingat berbagai produk obat kemasan saat ini sudah sangat dikenal masyarakat dan mudah didapatkan.
117
Akses responden terhadap informasi ditunjukkan dengan kepemilikan atas sarana komunikasi televisi dan radio sebagai sarana komunikasi untuk mendapatkan informasi
utama bagi
masyarakat desa Nglebo.
Meskipun proksi
untuk
menggambarkan akses responden terhadap informasi ini sangat kasar dan kurang bisa menunjukkan fenomena yang sesungguhnya, namun pengumpulan data itulah yang mungkin dilakukan mengingat berbagai keterbatasan. Hasil uji beda antara kelompok program dan non-program atas berbagai akses tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bahkan pada beberapa indikator nampak bahwa nilai yang ditunjukkan oleh kelompok NonProgram lebih tinggi dibanding kelompok Program. Nilai Chi-Kuadrat
hitung
sebesar
7,9532 lebih kecil dibanding nilai Chi-Kuadrat tabcl pada tarafkepercayaan 95% dan derajad kebebasan (dk) 10 sebesar 18,307 (lihat lampiran 15). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pendapatan merupakan indikator utama kesejahteraan. Makin besar pendapatan seseorang maka makin sejahteralah orang tersebut. Tingkat pendapatan juga menentukan pola pengeluaran seseorang. Biasanya makin sejahtera sesorang, maka proporsi pengeluaran untuk kebutuhan non-pangan akan makin besar, sebaliknya proporsi kebutuhan untuk makanan makin kecil. Pada tingkat pendapatan yang tinggi seseorang makin tercukupi berbagai kebutuhan sekunder dan tersiemya, seperti kebutuhan untuk perbaikan kondisi tempat tinggalnya agar menjadi lebih sehat, kesempatan untuk membeli berbagai perabot rumah dan faktor produksi yang lain
tanah dan temak, serta
pemenuhan akan berbagai kebutuhan tentang pendidikan, kesehatan dan informasi.
118
Sebaliknya pada kondisi pendapatan yang rendah bahkan di bawah gans kemiskinan , maka hampir seluruh pendapatannya akan digunakan untuk membeli makanan demi kelangsungan hidup. Pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan tersier praktis tidak ada atau sangat kecil.
B. Dampak Tumpangsari Terhadap Keamanan Hutan.
Interaksi responden dalam berhubungan dengan sumber daya hutan di luar kegiatan Perhutani menunjukkan tingkat ketergantungan responden terhadap sumber daya hutan. Interaksi tersebut berupa berbagai kegiatan yang memanfaatkan kawasan hutan untuk kegiatan usahatani tanaman pangan ('perladangan liar'), kegiatan pemungutan basil hutan kayu dan non-kayu yaitu me-rencek dan mencari kayu untuk perkakas dan bahan bangunan, mencari pakan ternak berupa rumput-rumputan yang tumbuh di kawasan hutan atau daun-daunan dari tanaman hutan, penggembalaan ternak di areal kawasan hutan maupun mendiami kawasan hutan untuk tempat tinggal. Pada kasus yang terakhir, tidak ditemukan pada lokasi penelitian. Berbagai kegiatan di luar program tersebut umumnya sangat eksploitatif dan merusak hutan. Intensitas kegiatan responden tersebut berikut basil perhitungan Chi-Kuadratnya tersaji dalam Tabe13.5. Dari basil uji beda tersebut nampak bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal interaksi responden terhadap sumber daya hutan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa program tumpangsari belum berhasil menurunkan ketergantungan responden terhadap sumber daya hutan yang bersifat eksploitatif dan merusak. Hal ini
119
juga sejalan dengan gambaran yang berhasil diungkap sebelumnya bahwa lebih dari 80% sumber pendapatan responden diperoleh dari aktifitasnya pada sumber daya hutan secara Iangsung dan di luar program-program yang dilaksanakan Perhutani. Gambaran tingkat ketergantungan ini jauh di atas publikasi yang diterbitkan FAO pada penelitiannya di Indonesia bahwa tingkat ketergantungan masyarakat lokal pada sumber daya hutan rata-rata adalah 60%. Angka ini sungguh sangat mengkhawatirkan ditinjau dari aspek keamanan dan kelestarian fungsi hutan baik dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan maupun fungsi hutan sebagai pengatur ekosistem. Tabel3.5. lnteraksi Responden Pada Sumber Daya Hutan di Luar Program Perhutani. Jcnis Kegialan
Kelompok Program 2xse 2xse lxse ming ming hari
Jxse hari
gu
l.Mencari I kayu bakar 2.Mencari pakan j tcrnak \ 3.Mencari
gu
1
Kelompok Non-Program lxse 2xsc ~xscm mggu mmg hari gu I !
8
57
-
-
-
I 54
3
I
Iso Iso
3
15
I
R
-
-
3
ka~11
pcrkakas 4.Bcrladang 'liar·
lxsc hari
Tidak pemah
-
!-
!-
I
Tidak Pemah
I I
I I
I
I
I
-
I
II
I
I
I
!-
12
\
'
49
14
2
-
-
45
120
-
-
-
6">
)(J
-
-
I-
55
! ' I
17.8320 18,307 .. Sumber : d10lah dan Jawaban petam Lamp1ran l 6. X 2 hitung X 2 .,.be,
i !
·'
Seperti diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, analisis terhadap sumber pendapatan petani menunjukkan bahwa sumbangan program tumpangsari terhadap total pendapatan petani hanya sebesar 10%, sementara kontribusi sumber daya hutan
120
seluruhnya sebesar 80% dari total pendapatan petani. Bila kegiatan tumpangsari dianggap sebagai kegiatan eksploitasi hutan yang legal, maka sekitar 70% pendapatan petani berasal dari kegiatan eksploitasi sumber daya hutan yang 'liar'. Pada pengukuran yang lain juga terungkap bahwa interaksi petani pada sumber daya hutan antara kelompok program dan non-program tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa program tumpangsari tidak berhasil mengurangi aktivitas petani terhadap sumber daya hutan dan kawasan hutan yang bersifat merusak. Kondisi ini kurang kondusif bagi pembangunan hutan yang optimal dan lestari. Pada lokasi penelitian, program tumpangsari tidak berhasil mengurangi kegiatan petani sekitar kawasan hutan yang berpotensi merusak kawasan hutan. Aksesibilitas petani terhadap sumber daya hutan seperti me-rencek, mencari pakan temak, mencari kayu perkakas, menggembala temak dan berladang temyata tidak mengalami penurunan secara nyata. Observasi yang dilakukan di lapangan juga menguatkan hal tersebut. Pada kawasan sekitar desa Nglebo dan petak l 02 b yang digunakan sebagai laban tumpangsari, nampak nyata bahwa kondisi hutan sudah demikian parah, terutama pada kawasan yang jauh dari jalan. Luas kerusakan hutan tersebut kebanyakan sudah sampai tahap kondisi hutan yang gundul dan bahkan muncul perladangan 'liar' yang dilakukan terang-terangan sebagimana diungkapkan di muka. Luas kerusakan hutan tersebut tersebar secara merata pada seluruh petak hutan, baik petak yang ada laban tumpangsari maupun yang tidak. Pak Sukibar, Mandor Tanam Perhutani setempat mengatakan bahwa tingkat kerusakan hutan pada desa-desa yang mendapat program
121
tumpangsari maupun yang tidak sama saJa. "Memang benar bahwa pada lahan tumpangsari kondisi tanaman hutan sangat baik. Tetapi di luar dan sekitar kawasan itu tingkat kerusakannya sama saja dengan kawasan lain. Tentu saja, karena umur tanaman hutan di lahan tumpangsari masih sangat muda dan belum dapat dipungut. Coba sepuluh tahun lagi, tanaman pinus itu akan rusak juga". Berdasarkan taksiran pada observasi lapangan, luas kerusakan hutan di sekitar desa ·Nglebo dan petak tumpangsari seluas 40 ha. Pelaku perladangan liar itu tidak saja masyarakat dari desa lain, tetapi juga penduduk desa Nglebo sendiri. Fenomena semacam ini hila tidak segera mendapat perhatian merupakan ancaman yang serius bagi pembangunan hutan. Kerusakan sumber daya hutan tidak saja akan mengurangi produktivitas dan produksi hutan negara, tetapi juga mempunyai akibat buruk yang sangat luas, masyarakat sekitar hutan merupakan komponen masyarakat yang merasakan secara langsung. Munculnya hutan-hutan yang gundul dan kritis di kawasan hutan akan mengganggu tata air tanah yang mengakibatkan bencana kekeringan, matinya sumber air, banjir dan pendangkalan di daerah hilir serta berbagai perubahan iklim mikro yang sangat tluktuatif. Bencana lingkungan ini merupakan awal dari bencana kemanusiaan yang perlu diantisipasi. Prof. Achmad Sumitro, pakar kehutanan dari Universitas Gadjah Mada sebenamya pemah mengusulkan konsep pengelolaan hutan negara yang lebih adil dan memuaskan bagi masyarakat lokal dengan membagi areal hutan atas hutan inti Perhutani melakukan usahanya secara intensif dan kawasan penyangga pengelolaan hutan lebih berorientasi kepada kebutuhan masyarakat lokal. Pada hu_ffer =one ini
122
pengelolaan hutan negara seluruhnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat tidak saja terbatas pada pengolahan lahan dan penanamannya, tetapi lebih dari itu masyarakat setempat ikut menentukan pola pengelolaan yang diinginkan dengan tetap mempertimbangan araban teknis dari Perhutani dalam rangka pembangunan hutan nasional yang optimal dan lestari. Pada situasi demikian ini maka Perhutani harus mengurangi ambisinya dalam menetapkan target produksi, terutama pada kawasan penyangga ini. Dengan zonasi semacam ini diharapkan tiap-tiap kawasan hutan akan dikelola secara optimal dan fungsi hutan juga lebih lestari. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Kepala Desa mengatakan bahwa bila penduduk sekitar hutan makrnur, hutan akan aman dengan sendirinya.
C. Peran Somber Daya Hutan Bagi Masyarakat Lokal. Thema sentral pembangunan kita adalah peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Seperti diarahkan dalam trilogi pembangunan, maka peningkatan kesejahteraan dan pemerataan mendapat perhatian utama. Oleh karena itu pembangunan bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat haruslah merupakan pembangunan yang terpadu dan lintas sektoral. Namun demikian dari berbagai gambaran tersebut tak dapat dipungkiri bahwa sektor kehutanan memegang peran yang sangat strategis, khususnya di lokasi penelitian. Potensi hutan yang luas memungkinkan sektor kehutanan berbuat lebih banyak lagi bagi upaya pembangunan tersebut, pembangunan yang lebih berorientasi kepada masyakat lokal, masyarakat yang secara turon temurun mewarisi
123
hak adat dan hukum alam yang ·menyatukannya' dengan alam sekitar. Pemutusan hubungan masyarakat dengan sumber daya alam, mereka berada akan berakibat fatal bagi kelangsungan pembangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu manajemen pengelolaan hutan negara sudah selayaknya berubah menjadi lebih akomodatif, aspiratif dan adil bagi masyarakat lokal. Seperti dituturkan banyak responden dan perangkat desa setempat, bagi masyarakat sekitar hutan, khususnya yang mendapat tekanan sosial-ekonomi yang berat, hutan merupakan 'urat nadi' mereka. Mereka mengatakan " ... kalau tidak ada hutan, kami tidak akan dapat hidup ... " merupakan sesuatu yang ada benamya, terlepas dari apakah tindakan eksploitasi hutan itu dibenarkan oleh peraturan pemerintah atau tidak. Secara ekonomis, pembangunan kawasan hutan yang lebih memperhatikan kepentingan masyarakat lokal pada dasamya akan lebih berdaya guna dan berhasil guna, karena aliran ekonomi yang di-generate oleh sumber daya hutan akan Iangsung diterima dan dinikmati masyarakat lokal, dibanding model pengelolaan saat ini, basil hutan di-ekstract oleh pemerintah pusat melalui Perum Perhutani sebagai sumber dana pembangunan nasional yang kemudian didistribusikan dan dialokasikan kepada daerah melalui mekanisme dan perhitungan tertentu.
Selain itu, pembangunan hutan yang
lebih me-local tersebut akan memenuhi aspek keadilan dan proporsionalitas. Masyarakat sekitar kawasan hutan sebagai masyarakat pertama yang menanggung dampak: setiap kebijakan pembangunan hutan akan mendapatkan sharing yang lebih baik dari hasil hutan. Di samping itu, sebagaimana telah disebutkan di depan, masyarakat lokal mewarisi hak-hak adat yang diwarisi turun temurun yang
124
memungkinkan mereka memiliki interaksi yang sangat intensif dengan sumber daya hutan mereka berada. Pemisahan hubungan ini secara sepiha:k sebenamya merupakan pola-pola warisan Belanda yang memandang hutan hanya sebagai mesin penghasil keuntungan bagi perusahaan belaka. Kawasan hutan kadang juga mengandung berbagai sumber alam yang lain berupa deposit tambang, pemandangan yang indah untuk tempat wisata dan lain-lain potensi. Seperti di wilayah kabupaten Trenggalek penelitian ini dilakukan, kawasan hutan kaya akan deposit bahan mineral yang potensial dan bemilai ekonomi tinggi, misal marmer, batu bara, emas, timah, mangaan, kaolin, fe/d-,par dan lain-lain. Selain itu pada beberapa kawasan hutan terdapat pantai yang indah, gua dan perikanan laut yang besar. Pemanfaatan berbagai potensi alam ini selama ini menghadapi kendala berupa 'rigiditas' pihak Perhutani dengan alasan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan-kegiatan non-kehutanan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Prosedur pengembangan sektor-sektor di luar kehutanan pada kawasan hutan tersebut sangat berbelit dan kaku. Hal ini tentu saja menutup peluang emas bagi daerah untuk menggerakkan perekonomian rakyatnya dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada di daerah. Oleh karena itu bila daerah dapat berpartisipasi secara lebih luas terhadap rancangan kebijakan bagi pengembangan hutan negara di wilayahnya, maka berbagai potensi di luar sektor kehutanan tersebut dapat dimanfaatkan dengan tetap mempertahankan fungsi kawasan hutan, misalnya dengan upaya reklamasi bekas lokasi penggalian deposit tambang dan lain-lain. Dengan sedikit mengeluh Kabag Perekonomian Setda berkata " ..... harta karun kabupaten Trenggalek itu sebagian besar
125
terdapat di kawasan hutan. Kita sebenamya sudah sering mengkoordinasikan masalah ini, bahkan sekali kita menghadap langsung kepada Pak Nur Mahmudi Ismail (maksudnya Menteri Kehutanan dan Perkebunan ketika itu, yaitu sebelum reshuffle kabinet Agustus 2000). Kita sampaikan potensi sumber daya alam di daerah kita yang belum dikelola ini, yang kebetulan berada di kawasan
hu~ao.
Kita menginginkan
potensi ini dimanfaatkan daerah bagi khususnya kesejahteraan masyarakat daerah. Pemda siap untuk itu. Namun sampai saat ini bel urn ada jawaban yang konkrit tentang pelaksanaannya". Pada aspek yang lain Ketua Bappeda kabupaten Trenggalek lebih menyoroti keterkaitan pembangunan hutan dengan perencanaan pembangunan pada tingkat daerah. Beliau mengatakan " .... pembangunan hutan negara sebenamya hams menjadi bagian integral pembangunan daerah dengan tingkat hubungan yang dekat, sinergis, komplementer dan yang lebih penting, operasional. Kinerja pembangunan hutan negara tersebut hams dipertanggungjawabkan kepada masyarakat daerah yang terepresentasikan dalam lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebagiuan besar wilayah kita itu kawasan hutan. Karena Trenggalek itu wilayahnya sangat minus bagi pertanian lahan basah (maksudnya sawah), maka kebanyakan penduduk menggantungkan hidupnya pada hutan untuk menopang hasil pertanian lahan kering yang rendah produktivitasnya. Kawasan hutan juga mengandung sumber daya mineral dan potensrlain yang belum dimanfaatkan optimal. Terns terang kita mengalami kesulitan dalam hal prosedur pemanfaatan kawasan hutan ini. Tukar menukar tanah antara Pemda dengan Perhutani dalam rangka pengembangan kawasan
126
wisata Karanggongso dan Tempat Pelelangan lkan (TPI) Prigi saja sudah lebih dari I 0 tahun prosesnya belum selesai, meskipun di pihak lain Perhutani sudah mengusahakan tanah pengganti yang disediakan Pemda. Kita menyadari bahwa koordinasi di bidang perencanaan ini bel urn sinkron. Pembangunan hutan sepertinya jalan sendiri". Kawasan hutan di kabupaten Trenggalek juga mengandung sumber/mata air yang vital bagi masyarakat. Pasokan air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di wilayah ini misalnya juga berasal dari mata air di kawasan hutan (antara lain dari kawasan hutan Botoputih kecamatan Bendungan). Namun selama ini dirasakan bahwa pengelolaan kawasan lindung sekitar mata air tersebut kurang mendapat perhatian yang serius dari Perhutani. Malah sebaliknya kawasan-kawasan hutan seperti itu dimasukkan ke dalam hutan produksi yang diusahakan bagi budidaya tanaman pinus, sehingga debit air dari mata air tersebut makin menurun, demikian juga jumlah mata aimya. Kasi Konservasi Tanah Dinas PKT (Perhutanan dan Konservasi Tanah) kabupaten Trenggalek membenarkan akan hal ini. Pemyataan-pemyataan
tersebut
nampaknya
menggambarkan
betapa
kurang/tidak terintegrasinya pembangunan hutan dengan pembangunan daerah. Kalaupun ada hal itu lebih merupakan pemyataan normatif, sebagaimana tertera pada dokumen-dokumen Pola Dasar Pembangunan Daerah, Rencana Pengusahaan Kelas Hutan dan sebagainya, yang dalam pelaksanaan tidak berujud sesuai harapan. Pada_ - day-to-day administration, koordinasi setiap kegiatan nampaknya merupakan hal yang langka dan sulit diwujudkan. Sebaliknya berkaitan dengan hal ini pejabat/petugas Perhutani di tingkat daerah menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai kewenangan
127
sama sekali pada kebijakan pengelolaan hutan negara selain yang sudah ditetapkan dalam rencana. Celakanya tipe perencanaan pengusahaan hutan yang ada selama ini hanya memberikan ruang yang sedikit sekali bagi daerah untuk ikut 'urun rem bug'. Tidak pemah teJjadi perencanaan pengusahaan hutan dipertanggunmgiawabkan kepada lembaga legislatif daerah. Dalam hal ini Ajun Administratur Perhutani kabupaten Trenggalek mengatakan bahwa berbagai hal berkaitan dengan kebijakan bukanlah '
wewenangnya. "Kalau adik (maksudnya peneliti) menanyakan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijakan , mohon maaf itu bukan kewenangan saya. Kalau yang menyangkut teknis, silakan !"', demikian kata beliau kepada peneliti. Pada berbagai kesempatan wawancara dengan petugas Perhutani pada berbagai level juga tersirat bahwa nampaknya ada semacam kekhawatiran bahwa pemerintah daerah tidak akan mampu melakukan pembangunan hutan negara tersebut karena berbagai keterbatasan yang ada, baik dana, sumber daya manusia dan teknologi. Pendapat demikian ada benamya, meskipun hal ini bukan merupakan alasan untuk melakukan sentralisasi pembangunan hutan seperti selama ini dilakukan. Melalui analisis kebijakan pembangunan hutan yang komprehensif dan holistik, maka berbagai hambatan tersebut akan dapat diatasi, sejalan dengan kebijakan desentralisasi yang segera bergulir sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2211999. Terlepas dari siapa pelaku pengelolaan hutan yang tepat, Perhutani harus mengkaji kembali hak-hak dasar dan kewajiban mereka dalam mengelola hutan. Sebagaimana dinyatakan Prof. Loekman Soetrisno, perubahan hak-hak yang pertama harus dilakukan adalah perubahan atas pemahaman atau sikapnya yang melihat
128
dirinya sebagai 'penguasa tunggal' hutan di Jawa sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Sikap ini harus diganti dengan sikap yang memandang masyarakat sekitar hutan sebagai mitra dalam upaya melestarikan hutan dan memanfaatkannya. Perhutani harus selalu memusyawarahkan setiap kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dengan masyarakat lokal dengan menghormati hak-hak dasar masyarakat lokal atas sumber daya alam di sekitamya, manajemen yang dikenal sebagai 'community development'. Skenario lain ditawarkan Prof. Achmad Sumitro (1999) dengan model manajemen
'production
sharing
management'
sebagai
operasionalisasi
dari
participatory rural appraisal (PRA). Dalam setiap kegiatan manajemen bersama
seperti itu setiap partisipan akan memberi kontribusinya yang dipandang sebagai masukan terhadap sumber daya laban. Output yang dihasilkan dibagi menurut kesepakatan sesuai dengan input yang diberikan. Dalam manajemen ini Perhutani bisa memberikan input berupa penyediaan alat, modal, teknologi dan personalia teknis, sedang masyarakat sekitar hutan berupa tenaga untuk penanaman, pemeliharaan dan tenaga keamanan untuk gangguan pencurian, kebakaran dan penggembalaan. Untuk itu ditetapkan kawasan-kawasan hutan yang mendapat perlakuan manajemen bersama tersebut, sementara bagaian hutan yang lain mumi dikelola oleh Perhutani. Bagian hutan yang mendapat perlakuan manajemen bersama tersebut dapat dipandang sebagai bu_ffer zone atau juga disebut interface area bagi kawasan hutan yang lain yang Jebih intensifbagi penanaman kayu hutan.
129
Pengelolaan hutan yang lebih berorientasi kepada daerah tersebut juga memungkinkan pengembangan dan pengelolaan kawasan hutan negara bagi berbagai sektor potensial yaitu pertambangan, pariwisata dan lain-lain. Penggunaan kawasan hutan
untuk
kegiatan-kegiatan
non-kehutanan
yang
sentralistis
sebenamya
dimaksudkan untuk tetap mempertahankan luas kawasan hutan ideal seluas minimal 30% dari luas wilayah, sehingga fungsi ekologis hutan sebagai •paru-paru dunia' akan tetap terpelihara. Meskipun dalam satu sisi hal tersebut ada benamya, namun pada sisi yang lain hal itu kuranglah beralasan bila konsistensi terhadap pencapaian luas hutan ideal menghasilkan kekakuan dalam pemanfaatan sumber daya alam potensial yang ada di kawasan hutan, lebih-lebih bila hal itu akan dapat meflggerakkan perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal pada khususnya. Lebihlebih bila kita menyadari bahwa sebenamya setiap kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang benar dan bertanggungjawab harus tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan sebagaimana tertuang dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sektor kehutanan, bila kegiatan itu menyangkut pengelolaan sumber daya hutan atau sumber daya alam yang lain di kawasan hutan. Pelaksanaan rekomendasi sebagaimana diamanatkan dalam UPL-UKL (Upaya Pemantauan Lingkungan dan Upaya Pengelolaan Lingkungan) AMDAL itulah yang akan menjamin kelangsungan fungsi ekologis hutan.
130
BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan
1. Program reboisasi dengan sistem tanam tumpangsari (program Tumpangsari) di lokasi penelitian, yaitu desa Nglebo kecamatan Karangan kabupaten Trenggalek berhasil . meningkatkan pendapatan rumah tangga petani peserta program (pesanggem) secara nyata.
Rata-rata
peningkatan
pendapatan
rumah
tangga
tersebut
sebesar
Rp.298.461,538 pertahun, sebagian besar bersumber dari budidaya tanaman pangan semusim. Oleh karena itu tambahan pendapatan rumah tangga tersebut hanya berlangsung selama masa pengusahaan lahan tumpangsari (masa kontrak) 1994-1998. 2. Tambahan pendapatan rumah tangga tersebut meskipun nyata sangatlah kecil hila faktor jumlah anggota keluarga dipertimbangkan. Perhitungan atas pendapatan per kapita tidak menunjukkan adanya peningkatan. Rata-rata pendapatan per kapita per tahun petani kontrol/non-program dan petani pesanggemlprogram berturut-turut Rp.469.425,45 dan Rp.574.984,62 atau Rp. 47.915,385 dan Rp. 39.118,787 perkapita perbulan. Nilai ini jauh berada di bawah garis kemiskinan setempat sebesar Rp.868.000,00 perkapita per tahun atau Rp. 73.432 perkapita perbulan. 3. Relatif kecilnya peningkatan pendapatan rumah tangga petani ini tidak bi:)(l membebaskan mereka dari kemiskinan dan pola hidup subsisten. Pengukuran indikator kesejahteraan yang lain berupa nilai kekayaan, kondisi tempat tinggal dan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan informasi pada kedua kelompok petani tidak menunjukkan perbedaan secara nyata.
131
4. Kontribusi program tumpangsari terhadap total pendapatan petani pesanggem ratarata hanya sebesar 13,41%. Secara keseluruhan kontribusi pendapatan berasal dari ekploitasi sumber daya hutan oleh petani menyumbang 80,27% pada petani kontrol dan 82,91% pada petani pesanggem, 69,5% di antaranya berasal dari eksploitasi hutan secara 'illegal'. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan penduduk terhadap sumber daya hutan sangatlah tinggi. Ketergantungan ini umumnya bersifat eksploitatif dan destruktif sehingga mengancam keamanan dan kelestarian hutan 5. Program tumpangsari tidak berhasil menurunkan secara nyata interaksi petani pada sumber daya hutan. Interaksi ini umumnya merupakan kegiatan pemungutan hasil hutan dan pemanfaatan kawasan hutan di luar program Perhutani, karena itu umumnya bersifat destruktif dan berpotensi terhadap kerusakan hutan, misalnya
me-rencek, mencari pakan temak, mencari kayu perkakas, menggembala temak dan berladang. Interaksi ini berpotensi merusak hutan. 6. Kekurang-berhasilan program
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang
teridentifikasi sebagai berikut : 1) kurang diadopsinya pol a usahatani yang optimal, karena lahan tumpangsari didominasi oleh tanaman pangan, 2) tingkat penggunaan teknologi usahatani yang sangat rendah, terutama penggunaan pupuk, pestisida dan bibit unggul, 3) kurang 'idealnya' luasan lahan garapan (andil) bagi petant
pesanggem yang memungkinkan petani dapat melakukan usahatani Iebih ekonomis dan efisien, 4) luas kawasan tumpangsari yang tidak memungkinkan seluruh petani berlahan sempit atau buruh tani ikut serta dalam pro!:,rram, dan terakhir
132
r~ng te~nting 5) terbatasnya p~rtisip~si masy~r~~~t
se\:;imr
kawasan hutan d~lam
perumusan kebijafan tumpangsari dan pembangunan hutan umumnya. 7. Kawasan hutan negara di wilayah kabupaten Trenggalek mengandung berbagai potensi bagi pengembangan sektor pertambangan dan wisata yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal karena adanya kendala prosedural berkaitan penggunaan kawasan hutan y~ng sentralistis dan rumit.
B. Rekomendasi
I. Rancangan kebijakan program tumpangsari memiliki beberapa kelemahan pada tingkat implementasinya di daerah, sehingga program ini kurang menunjukkan hasil yang memuaskan. Berbagai kekurangan yang nampak sebagai masalah teknis tersebut sebenamya bersumber dari kurangnya 'ruang partisipasi' bagi masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Bahkan dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi tersebut lebih bersifat 'tempelan' saja, karena peran serta masyarakat tersebut sangatlah terbatas dan tidak
menyentuh
kepada
aspek
pengelolaan
hutan
secara
mendasar
yang
memungkinkan kebutuhan masyarakat lokal terakomodasikan. Untuk itu di masa mendatang peran serta masyarakat tersebut harus lebih luas lagi cakupannya, sehingga berbagai program untuk pemberdayaan dan peningkatan masyarakat lokal benar-benar dapat diwujudkan. Lebih-lebih sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. 2. Pada wilayah-wilayah dengan kawasan hutan yang luas, maka peran sumber daya hutan sangatlah strategis bagi pembangunan daerah. Manajemen pengelolaan hutan yang lebih 'terdesentralisasi' memungkinkan pembangunan hutan yang lebih adil,
133
··
dimana daerah beserta masyarakatnya memiliki peran yang nyata dalam pengelolaan hutan. Konsep yang diajukan Prof. Achmad Soemitro perlu dikaji dan dikembangk:an untuk bisa diadopsi, pengelolaan hutan negara khususnya di Jawa dilakukan melalui model kemitraan antara pemerintah pusat (dalam hal ini Perum Perhutani) dengan masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Untuk tetap mempertahankan peran sumber daya hutan bagi penerimaan negara, perlu ditetapkan adanya p,embagian kawasan hutan atas kawasan
hu~n
produksi inti yang dikelola Perhutani secara penuh dan
intensif serta kawasan hutan produksi yang berfungsi sebagai buffer zone atau
interface area , dalam kawasan ini pengelolaan hutan dilakukan bersama antara Perhutani dan masyarakat di sekitamya. 3. Pengelolaan hutan yang lebih berorientasi kepada daerah tersebut juga memungkinkan eksploitasi sumber daya alam potensial yang ada di kawasan hutan. Konsistensi terhadap rekomendasi dokumen UKL-UPL AMDAL Sektor Kehutanan akan mempertahankan fungsi ekologis hutan dalam menjaga ekosistem. 4. Di atas itu semua, nampaknya diperlukan perubahan mendasar berkaitan dengan manaJemen pembangunan hutan negara khususnya di Jawa-Madura. Perubahan tersebut mencakup tataran paradigmatis, perencanaan, implementasi dan evaluasi kebijakan dengan berorientasi kepada daerah dan masyarakat lokal dimana sumber daya hutan tersebut berada.
134
DAFfAR PUSTAKA Anonymous, 1988, Pedoman Pelaksanaan Program Perhutanan Sosial, Perum Perhutani, Jakarta .
.....••.•....•. ,1990, Situation and Outlook af The Forestry Sector in Indonesia Vol. 2, Departemen Kehutanan dan F AO, Jakarta. .. .. .. .. .. .. ... , 1990, Pedoman Pe/aksimaan Tumpangsari Insus 1990, Perum Perhutani, Jakarta . .. .. .. .. .. .. ... ,1991, Panduan Pembinaan Kelompok Tani Hutan (KTH), Perhutani, Jakarta .
Perum
.. .... .. .... ... ,1991, Pedoman Pelaksanaan Pembangunan lvfasyarakat De.5a Hutan (PMDH), Perum Perhutani, Jakarta . . . . . . . . . . . . . . . . , 1991, Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan ke/as Perusahaan Pinus dari KPH Kediri Bagian Hutan : Karangan-Kampak, 1 Januari 1991 s/d 31 Desember 2000 , Perhutani Unit II Jawa Timur, Surabaya .
... ... ... ... ... , 1994, Agenda 21, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta ............... , 1995, Statistik Kehutanan 1994/1995, Departemen Kehutanan, Jakarta ............... , 1998, Industri Kehutanan di Indonesia, Departemen Kehutanan, Jakarta .
. . . . . . . . . . . . . . ., 1998,Rencana Pembangunan Lima Tahun Daerah Kabupalen Trengga/ek 1993/1994-1998/1999, Bappeda Kabupaten TrenggaJek . . . . . . . . . . . . . . . . , 1998, Invenlarisasi Kawasan Hutan Yang Digunakan Untuk Kegialan Non-Kehutanan di Jawa Timur, Biro Perekonomian Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Timur, _Surabaya . .. .. .. .. .. .. .. ., 1999, Garis-Garis Besar Haluan Negara Rl, Sekretariat Negara RI, Jakarta .
. . . . . . . . . . . . . . . .,I999,Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan 1999/2000, Sekretariat Negara RI, Jakarta .
Belat~ja
iVegara
. . . . . . . . . . . . . . . , 1999, Stalistik Kehutanan 1998/1999, Depa1temen Kehutanan, Jakarta.
135
................ ,1999, Data Polwk Kahupaten Trenggalek 1999, Bappeda Kabupaten Trenggalek. . . . .. . . .. .. . . .... ,1999, Trenggalek Dalam Angka 1999, Kantor Statisik Kabupaten Trenggalek . .. . . . . . . . . . . . . . . ., 1999, Profll Desa/Kelurahan Propinsi Dati I Jawa Timur De~"'tl Nglebo, Kantor PMD Propinsi Jaw a Timur. .... ·"' ................. , 1999, Statistik Indonesia 1999, Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia .Dunn, William N., 1994, Pengalltar Ana/isis Kebijakan Publik Edisi Kedua (terjemahan), Gadjah :rvtada University Press, Yogyakarta. Dwiyanto, Agus, 1999, Evaluasi Program dan Kebijakan Pemerintah, makalah disampaikan pada Pelatihan Teknik dan Manajemen Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Angkatan II, 8-20 Maret 1999. Dye, Thomas R., 1972, Understanding Public Policy, Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Ernst, Karl, 1988, Polilik Pembangunan Pertanian di Negara Berk.embang, Yayasan Obor, Jakarta. Ethika, Dyah, 1994, Evaluasi Rancangan dan Pelahanaan Program Perhulanan Sosial di BKPH Jati/awang KPH Banyumas Timur, Tesis S-2 Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Faturachman dan Marcelinus Molo, 1995, Kependud.ukan dan Kemiskinan di Ped.esaan Jawa : Ana/isis Data Susenas 1992, Pusat Studi Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Fillius, A.M., 1983, Economic A.specl.s qf Agrqforeslty in Viewpoint on Agrofore.stry II, Dept. of Forestry 'Hinkeloord' Agriculture University Wageningen The Netheland. Friedrich, Carl J., 1963, A-lan and His Government, Me Graw Hill, New York. Gramlich, Edward M., 1981, Benefit-Cos/ Analysis of Govemmenl Programs, Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, New York. Hadisapoetro, S., 1973, Biaya dan Pendapalan Di Dalam U.saha Tani, Departemen Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 136
Kartasubrata, 1991, Agroforestry, Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Laswell, Harold and Abraham Kaplan, 1970, Power and Society, Yale University Press, New Haven. Mohr, Lawrence B., 1988, Impact Analysis For Program Evaluation, SAGE Publication Inc., California. Mubyarto, 1999, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Kehutanan, makalah untuk workshop Peningkatan Fungsi dan Manfaat Sumber Daya Hutan untuk Pengembangan Perusahaan dan kesejahteraan Masyarakat, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, 29 Maret 1999. Musgrave, Richard A. and Peggy B. Musgrave, 1991, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praklek (terjemahan ed. kelima), Penerbit Erlangga, Jakarta. Peters, Guy B., 1982, American Public Policy : Proce:;'S and Petformance, Franklin Watts, New York. Quade, Edward S., 1984, Analysis For Public Decisions (Second Ed.), Elsevier Science Publishing Co., Inc. Rossi, Peter H. and Howard E. Freeman, 1982, Evaluation : A Systernatic Approach (Second Ed.) Sage Publication, Beverly Hills. Sanit, Arbi, 1980, Sistem Polilik Indonesia : Penghampiran dan Lingkungan, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan FIS Universitas Indonesia, Jakarta. Santoso, Ari Puguh, 1991, Studi Pendapatan Pesanggem Padu Proyek lvfan~jemen Rejim di KPH lv/adiun, Tesis S-2 Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Simon, Hasanu, 1983, Ana/isis lnterelationship Anlara Pembangunan Kehulanan dengan Pembangunan lvfa:;yarakal Desa, Tesis S-2, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Soerianegara, 1978, Ekologi Hutan Indonesia, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
137
Soetrisno, Loekman, 1999, Norma-Norma Dasar Hak dan Kewajiban Perhutani dan lvlasyarakat Dalam Penge/olaan Sumher Daya Hutan, makalah untuk workshop Peningkatan Fungsi dan Manfaat Sumber Daya Hutan untuk Pengembangan Perusahaan dan kesejahteraan Masyarakat, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah :Mada, 29 l'vfaret 1999. Sumitro, Achmad, 1999, Norma-Nonna Dasar Hak dan Kewajiban Perhutani dan L\-lasyarakal Dalam Pengelolaan Sumher Daya Hutan di Jawa, makalah untuk workshop Peningkatan Fungsi dan Manfaat Sumber Daya Hutan · untuk Pengembangan Perusahaan dan kesejahteraan ?vfasyarak.at, Fak.ultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, 29 Maret 1999 Tjokrowinoto, Moeljarto, tanpa tahun, Konsep dan !sue Pembangunan Nasional, bahan kuliah Program Magister Administrasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wahono, Bambang Tri, 1980, Tinjauan Terhadap Usaha-Usaha Pembangunan di RPH Tangen BKPH Tangen KPH Surakarla, Tesis S-2 Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wiersum, K.F., 1988, Outline of Agroforeslry Concept in Viewpoint on Agroforestty II, Dept. of Forestry 'Hinkeloord' Agriculture University Wageningen The Netheland.
,.,0 ,_,o
Lampiran 1. [)aftar Anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Lingga Jaya Desa Nglebo Kecamatan Karangan Per Desember 1998. No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Kasan Rusdi · Mulyani Suwami Suwamo Lamijo Lamun Kami Saito Tarip Sami Samingan Sunarto Demo Tutus Sumarji Bejo Sulamno Samiran Misni .Bakri Djoko Suhadi WagimanS. Yahdi
W.
n. Z2. D. Z4. ~5. ~6.
~7. ~8. ~9. ~0. ~I.
~2.
13. 14. ;5.
·6. 7.
8. 9.
0. I.
Keteran_g_an
Nama
ISamijan Goro
I Paino
I Ramin
. Yasin 1 Yali Panidi Gunawan Surasid Kamin Bardi Kasdi Yatmin Paiman Sarji Parji I
I
42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54.
Pokja I
" "
'
" " " " -"
" " "
" ,
I
" " " Pokja II " " " " " " " " "
" "
Pokja III
, "
, " " " " " ,
, "
Nama
No.
(
56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 166. 1
167. 68. ! 69. 170. .71.
ln. I 73. ! 74. I 75. 76. 77. 78.
179. . 80.
I st.
I s2.
I
1
Keterangan
Suroto Sumijan Marsam Dayat Suyoto Bejo Kasijan Bali Mijo Heri W. Suwaris Mairen Miio
Pokja III
" " " " " , " Pokja IV
, , , ,
I ParJl S~adi
Taji Senen Sardi Maijah Lamijah Harminto Mukami I I Mursidi I Suwojo I Maijo I Dasi I Badi I Dasir I Waridi I Darsono !I v.:ariman I Poniman ! Ponidi 1 Sarijan I Warlan I Subekti Darmuii
" " " " "
I
I
! Susant~ ! Hrujiyo
I Margono
I Kaslan
I
I!
"
1
I
I
"
I
I
I
" I
I
I I
" " " Pokja V "
" " "
" " "
" , " , " "
I i I
! Ii
I I
II II II II I
I I
I
i
I
I
Lampiran 2. ~t'ndapatan
Rumah Tangga Per tahun Pt'tani Pesanggem.
------ --------P--t'-nd_a_p_a_ta_n_l\i--1-en_u_ru_t--S--u--m--b-t'_r_n_y_a-(d_a_l_a_m_r_i_b_u_an_r_u_p_ia_h_)---.--T-o_ta_I_P__t'_n__d_a__ p_at._a_n_l :"'ama I.
r------------ - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - , - - - - - - - - - - 1
Tumpangsari 2.
Bt'rtani ... .J.
Berdagang 4.
Sadapan 5.
Lain-lain
( ribu rupiah) 7_
6.
-~~--~----------~----------~----1-----+------------
1. Pardi
300
JOO
900
240
1.200
2.940
2. Mai]o
300
325
-
240
1.800
2.665
3. Dasir
250
200
1200
240
1.200
3 090
4. Suparnt
110
100
240
2.400
2850
5. Dasam
350
1.100
3.000
4 200
6. Sardi
370
J50
240
1.800
2_740
7.Parlan
400
350
240
1.200
2.160
8. Yad1
360
400
2.400
3.200
9. Yahji
300
425
240
1.200
10. Djiman
200
345
240
2.400
3.285
II. Suhadi
500
150
240
1.200
1.790
12. i\·fukami
175
400
240
1.800
2 940
I 3. Sarm
200
100
240
3.600
4.115
14. Heri W.
175
100
240
1.200
1.740
15. Suyoro
ISO
150
240
1.800
2.365
16_ Kayat
325
325
240
900
1.765
I 7. Sukarni
250
325
240
1.200
2 015
18. Demo
300
375
1.200
2.57)
19 Gunawan
300
425
240
600
W. Dasar
325
300
240
2.400
~ 1_
250
350
240
900
1 740
~2- Da~i
175
150
240
3.600
tl65
~3-
175
120
240
2.400
q Lanum
175
100
240
1.800
2.315
~5 _Kasan
230
450
240
700
1.620
:6. Rusdi
200
400
240
900
1.740
:7. i\·1ulyam
250
200
240
600
1.290
Senen
Suparno
700
J
565
...
4.
2.
.),
31. Saito
250
350
...
Tarip
275
400
33. Tulus
275
600
34. Sumarji
300
500
35. Bejo
160
450
-
36. Sulamno
400
100
37. Sumiran
300
150
38. Misni
JSO
39. Sarni
..,.,Ll':i
40. Bakri
I.
,
'
800
1.715
240
1.250
2.365
240
1.000
2.040
240
800
1.650
-
240
1.200
1.940
240
1.000
1.690
250
-
240
1 200
2.040
150
-
240
1.200
1.865
300
200
240
900
1.640
41. Djoko
350
300
240
750
1.640
42. Suhadi
250
350
--
240
600
1.440
43. \Vagiman S
JOO
350
-
240
1.200
2.090
44. Taji
310
400
-
240
900
1.850
45. Maijan
J50
350
-
240
800
1.740
46. Hanuinto
250
150
240
900
1.540
47. Suv.:ojo
200
700
240
1.000
2.140
48. r>.·1ur:;;idi
350
250
240
900
1.740
49. Sumadi
JOO
250
240
I 200
2.040
50. !'1. 1ijo
3~)
300
240
1.200
2.015
51. Goro
250
250
240
1.200
-
400
200
-
Paino
350
150
Ram in
200
200
'r' as in
2(}0
250
Surasid
ISO
300
Kamin
ISO
350
-
58. Bardi
150
250
59. Bali
200
150
160. Kasijan
175
I 61.
52. Samijan
900
-
240
900
-
240
800
240
600
240
900
1.640
240
1.200
1.840
-
240
750
1.290
240
700
100
-
240
1200
ISO
100
700
I
240
900
200
200
-
I
240
1.200
Mairen
2SO
400
240
800
1.690
Sa1:ii
300
450
240
81)0
1.790
150
400
-
240
900
::0.>.
I 54. I 55.
I 56. <;""I. •.
Suroto
I
62. Parno
I
I 63. 64.
1.890
I
240
~-.
1
(lanjutanLampirao 2) 6. 7. I 900 1.740
240
-'-·
I I
5. 240
65. Bardi
I.._____ ..___..______ ....._.. _______ ,
,
,,_.,
.,
___
.__
I I I
I
I I I
I
1.690
1.690 1.490 1.340
1.240
1.765
I I
I I
2.090 1.840
1.690
·- ___________. ___,. . . . . .,_. ,_. . .1. . . . . . . . . . . . . . . . . . ._. .
Lampiran 3. Pendapatan Rumah Tangga Per tahun Petani Non-Program ,----------------,--
'
Nama
Pendapatan Menurut Sumbemya (dalam ribuan rupiah)
r-T~mpangsari
Bertani
Berdagang
Sadapan
Total
Lain-lain
Pendapatan ( ribu rupiah)
----------------.' ---------1--~--+------1-----:--t-·----+-------1 3
4.
5.
6.
7.
I.Gito
350
1.000
240
1.200
2.790
2. Katiran
300
240
1.300
1.840
3. vfaidi
400
240
1.000
1.640
4.Sukami
400
1.900
3.050
5. Saridin
450
240
2.500
3.190
6.Wagino
350
240
1.500
2.090
7.Kadir
350
240
1.400
1.990
8. \1unaji
400
2.000
2.640
9_ Bono
450
240
2.400
3.090
10. Kasijan
600
240
1.500
2.340
II. Barli
500
240
1.600
2.340
12. Geger
300
240
1.200
1.740
13. Toimun
350
240
1.200
1.790
14. Laminto
400
240
1.200
1.840
l:'i. Kandar
350
240
1.200
2.150
16. Suparni
JOO
240
1.000
1.540
17. Katijo
200
240
900
1.340
18. Sukibar
150
700
1.090
1CJ_ KaryOilll
100
240
600
940
20. Siswojo
400
240
750
1.390
21. Paidin
ISO
240
800
1.190
22. Sukar
100
240
1.200
1.540
23. 1\iisman
110
240
1.500
1.850
24. Kasto
150
240
1.200
1.590
25. Musiran
175
240
1.000
1.415
26. Parnoto
250
240
800
1.290
27. Pariman
100
240
1.200
1.540
28
450
.240
750
1.440
'
1.
2.
Supartorw
29. Kadarisnum
1
750
600
700
300
600
240
1.500
!
2.040
i-
I
30 Hamo
-
350
-
240
2.500
!
3.090
31. Harncl\\O
-
400
-
240
2.000
I
2.640
----- --------------- -- ----------- ----------------'-----------'----------'------·--'---- --------'-------------------
i
3.
4.
5.
350
-
240
1.800
2.390
350
-
240
1.200
1.790
300
-
240
750
1.290
35. Sarno
-
250
-
240
2.000
2.490
J6. Karni
-
300
500
240
1.500
2.300
37. \·lulyanto
-
350
-
240
1.200
1.790
240
2.000
2.540
240
1.000
1.390
240
850
1.415
240
900
1.240
240
750
1.090
240
1.300
240
2.000
32. Sukono 33. \Vamo 34. Sumidi
J8. \fuyono 39. \laruto 40. Samingan 41. Suparmin 42. \·larimin 4J.Amin Tohari 44. Tasrip 45. Snkur
46. Drajad 47. \toh. so·eb
51. Tohir 52. Dnnninto
-
49. "\"gadino 50. Katiran
53. \1asidi
i
-
-
48. Kemis
I
(lanlutan Lampiran 3) 6. 7.
2.
I.
54. Bukur
i 55. Setu
-
I I
I
300
150
I
325 100
II I I
II
100 250 300
soo
I iI I
I I'
1.790 2.540
400
-
240
750
150
-
240
500
II
300
-
240
700
1.240
I
250
1600
-
I 000
2.850
300
240
600
1 140
240
750
250
-
240
1.500
350
-
240
2.000
300
-
240
1.500
I
II I I
I i
i
!
!i
!
450
350
240
I
iI
ii
I i
i
1.490 1.390 890
1.340 1.990
i'
2.590
i
2.040
I
i
;
-
500
I 58. Susanto
-
350
I 59. Chaiml A.
-
300
-
160. Parijo
-
250
400
-
750
, 61. \lisman
-
300
-
240
600
200
-
240
500
!
94iJ
350
-
240
1 200
!
1.790
800
I
i
II 56. Agustono
I 57. Waridi
I
I
6":' Djali
I 63. Supardan
I 64. Legiman ! I
65. Suwoto
300 400
I
i i !
i I
L.--·-······-··-··---·-··-·-·----·----_1
-
300 250
240
I 000
240
1200
1. 840
240
1.200
1.900
240
900
1.450
240
soo
1.~40
1.400
i!
1.540
1.14(1
I
i
180 240
750
I I
1.280 l.24t)
!
--·-------
i ··-··----------1·-·--··---···-··-···-·····-
Lampiran 4. Pendapatan Per Kapita Per tahun Petani
Nama 1.
Pendapatan Per Kapita
( ribu rupiah)
Runtah Tangga (orang)*)
(ribuan rupiah)
2.
3
4.
2.940
2
1.470
2.
Ivfaijo
2.665
,
888,333
3.
Dasir
3.090
4
772,5
4.
Suparni
2.850
4
712.5
5.
Dasam
4.200
4
1.050
.
..,
6.
Sardi
2.740
7.
Parlan
2.160
~
720
8.
Yadi
3.200
4
9.
Yahji
2.225
.,
800 1.172
10. Djiman
3.285
3
1.095
11. Suhadi
1.790
_,
596,666
12. 1\-tukarni
2940
3
980
13. Sarni
4.115
4
1.028,75
14. Heri W.
1.740
'
580
15. Suyoto
2.365
4
59L25
16. Kay at
1.765
.:l
44L25
17. Sukarni
2.015
_,
67L666
18. Demo
2 575
.:!
64.1,75
Gunawan
..,
1.370
I
I
1.565
-
782.5
20. Dasar
3.265
4
916,25
21. Sen en
1740
4
435
Dasi
4.165
4
1041,25
23. Suparno
2 935
~
978)33
24. Lamun
2.315
4
578.75
25. Kasan
1.620
405
26. Rusdi
1.740
4 ..,
-
870
1.290
4
.., ·")') <;
SU\vami
I 640
4
410
29. Smvarno
1.400
4
350
i! iI
30. Lamijo
1.290
'
430
i' I
?.7. rv1ulyani 28.
I
Jumlah Anggota
Pardi
22.
ii
Total Pendapatan
I.
19.
i
-
Pe~mnggem.
-
i
I
L----·--------·-·····--·---------······--···-------------------------------------------
--------
-'"'--~-
i
' !
i i !
i
i ·--·----··--·------j
,.,
iran 4) 4. 435
31. Saito
1.740
3. 4
I 32. Tarip
1.715
4
428,75
33.Tulus
2.365
4
591.25
2.040
3
680
1.650
3
550
3
646,666
I
1.
"-·
I
I 34. Sumatji I 35. Bejo I
! l I
36. Sulamno
1.940
I
! 37.
Sumiran
I 38. \1isni I
!
I 39. Sarni i 40. Bakri
iI 41. Djoko
1.6QO
·'
563,333
2.040
3
680
1.865
3
621.666
1.640
4
410
1.640
4
410
1.440
s
288
2.090
5
418
1.850
5
370
1.740
6
290
I
j 42. Suhadi i
: 43. Wagiman S.
..,
i
! 44. Taji ! 45. \·1aijan :
46. Harminto
1.540
s
308
I
47. Suwojo
2.140
7
305,714
' 48. \1ursidi
1.740
5
348
49. Sumadi
2.040
s
408
SO. \lijo
2.015
4
503,75
51. Cioro
1.890
4
472.5
52. Samijan
1.690
5
338
53. Paino
1.690
_,
663.333
.54. Ramin
1.490
5
298
55. Yasin
1.340
6
"---'--'--'
56. Surasid
1.640
4
410
' 57. Kamin
1.840
5
368
58. Bardi
1.290
s
59. Bali
1.240
5
248
60. Kasijan
1.765
s
353
() 1. Suro1o
2.090
7
298,571
62. Parnn
1.840
s
368
63. \fairen .
1.690
5
338
M. Sarji
1.790
7
255.714
o5. Bardi 1.690 4··--·--------------------*) termasuk suami/Kepala Keluarga
(}
281,666
I
;
~
..,..., ........
.•
~
....
258
Lampiran 5. Pendapatan Per Kapita Per tahun Petani
~am a
~on-Program
Total Pendapatan
Jumlah Anggota
( ribu rupiah)
Rumah Tangga (orang)*)
Pendapatan Per Kapita '
!
(ribuan rupiah) I
i I.
2.
3.
4.
i
930
:
I.
Gito
2.790
_,...
2.
Katiran
1.840
2
920
Maidi
1.640
4
410
4.
Sukarni
3.050
4
762.5
5.
Saridin
3.190
6
531,666
6.
Wagino
2.090
4
522.5
7.
Kadir
1.990
4
497,5
8.
Munaji
2.640
3
880
9.
Bono
3.090
5
618
10. Kasijan
2.340
3
780
11. Barli
2.340
468
12. Geger
1.740
5 ,
·'
580
13. Toimun
1.790
6
298333
14. La minto
1.840
...
920
15. Kandar
2.150
4
537.5
16. Suparni
1.540
4
385
r ...I.
1.340
5
268
1.090
~
I
'3.
Katijo
18. Sukibar
-
I
'
155.714
940
_,,
31J.333
Siswojo
1.390
4
347.5
Paid in
1.190
5
238
22. Sukar
1.540
I
220
19. Karyono
I 20. 21.
23. l\·1isman
..,
1.850
..;.
925
24. Kasto
1.590
_,,
25. l\·1usiran
1.415
4
353.750
26. Pamoto
1.290
4
322,5
27. Pariman
1.540
5
308
28. Supanono
1.440
·'
'
480
Kadarisman
2 040
3
680
Harno
3.090
6
515
l~:
-
;
;
530
2 640 31. Harnowo 6 440 ·--·-···-·····------------------------------------- -------------··----·-------------------------------------- -------------------------------------------------------------·--·--·
2.
I.
l
3.
i
(laniutan Lampiran 5) 4.
I
32. Sukono
2.390
4
597,5
33. Wamo
1.790
3
596,666
34. Sumidi
1.290
3
430
35. Sarno
2.490
6
415
36. Kami
2.300
2
1.150
37. \·tulyanto
1.790
5
358
38. \·fuyono
2.5_40
5
508
39. \1aruto
1.390
3
463,333
40. Samingan
1.415
7
41. Suparmin
1.240
.
202,142
·'
413,333
42. \:tarimin
1.090
4
272,5
43.Amin Tohari
1.790
4
447,5
44. Tasrip
2.540
4
635
45. Sakur
1.490
5
2()8
46. Dra,jad
1.390
3
463,333
890
4
')')') _ ... _,:"!
48. Kemis
1.240
4
310
I
II 49. l\uadino
2.850
4
712,5
1.140
4
285
I
150. Katiran
I 51. Tohir
1.340
4
52. Darminto
1.990
4
53. \lasidi
2.590
54. Bukur
2.040
47. \·foh. So'eb
~
1
-
497,5 863,333
6
340
I
1.540
iI 56
1.840
4
157. Waridi
1.900
4
'58. Susanto
1.450
4
362,5
U40
4
335
1.400
5
280
1.140
7
162,857
940
4
23~
1
1.790
4
447,5
1
1.2so
1
182.857
4
310
59. C'hain.1~A. 1
60. Parijo
l 61. \lisman i 62. Djali I 63. Supardan i
64. Legiman
I 1
1
i
II
308
j 55. Sc,tu
Agustono
I
460
i
I 65. Suwoto -------·····------·--···---------------·-------·· ..
1.240
1 --------~----
,
------------- ---------------------------·-·-------------------------- ------- -------
*) tennasuk suami/Kepala keluarga.
\
Ii I
I I I'
I.
j
Lampiran 6. Uji-t lJntuk Pendapatan Total Rumah Tangga Per Tahun dan Pendapatan Per Kapita Per Tahun .Didasarkan Data Lampiran 2-5.
l. Pendapatan Total Rumah Tangga
a.
8 x1- x2 = ..J [ ( N1m/ + CNrl"l s_i ] N1+N2
[N1+N~-2]
N1N:z
= ~ [ ( 64) (420492271600)- ( 64 ) (354393353400)] 128
[ 130 ] 4225
= 109184,7851_
b.
t hilllll~
X1- X2
8 XI··- X2 2.103.384,615- 1.804.923.077 109184,7851
C.
1 tabcl U 115
d.
Jadi
=
2,733545134
=
2,660
t ~:ll.:ll)l. '.> t
Wbd
(lihat Tabel t )
I) •:1)
--•...,
tolak Ho pada tingkat kepercayaan 95%.
2. Pendapatan Per Kapita
a.
0 XI- X2
= '.) [
.l.NJ:122/ + (Nl-1) si'
]
N1+N2
=
=
b.
t
~
[ (
[N 1 +N~-2]
NIN2
64) (80895542330) + ( 64) (48011860680)] 128
[ 130 ] 4225
44533,03061
X1- X2 0 XI- X2
hillllll!-
574.984,62-469.425.450 8 44533,03061
C.
t tahd /1.0:\
=
2,370356739
=
2,660
----;111-•
terima Ho pada tingkat kepercayaan 95%.
Lampiran 7. Somber Pendapatan Rumah Tangga Kelompok Program/Petani Pe.'ianggem. Somber Daya Hutan (dalam o/o) Nama
Sadapan/
Tumpangsari
Lain-lain
Di Luar Somber
Total Pendapatan
1
Daya Hutan
( dalam %)
j j
(dalam o/o)
Tebangan
~---------1------------+-----------+-----------r------------~-------------~
I.
2.
3.
4.
5.
7.
I
I.
Pardi
10.2
8.2
40.8
48.8
100
2.
Maijo
11.3
9.0
67.5
12.2
100
3.
Dasir
8.1
7.8
38.8
45.3
100
4.
Suparni
3.9
8.4
84.2
3.5
IOO
5.
Dasam
2.4
71.4
26.2
100
6.
Sardi
12.8
8.8
65.7
12.7
100
7.
Parlan
17.1
11.1
55.6
16.2
100
8.
Yadi
75.0
12.5
100
!I
12.5 16.2
10.8
53.9
19.1
100
9.1
7.3
73.1
10.5
100
11.2
13.4
67.0
8.4
IOO
17.0
8.2
61.2
13.6
100
4.3
5.8
87.5
2.4
100
11.5
13.8
68.9
5.8
100
15. Suyoto
7.4
10.1
76.1
6.4
100
16. Kayat
16.9
13.6
51.0
18.5
100
17. Sukarni
12.4
11.9
54.6
21.1
100
18. Demo
11.7
46.6
41.7
100
19. Gunawan
19.2
l:U
38.3
27.2
100
20. Dasar
Y.9
7.4
73.5
9.2
100
21. Senen
14.4
13.8
51.7
20.1
100
22. Dasi
4.2
5.8
86.4
3.6
\00
23. Suparno
5.9
8.2
81.8
4.1
100
24. Lamun
7.6
10.4
77.8
4.2
100
25. Kasan
14.2
14.8
43.2
27.8
100
26. Rusdi
11.5
13.8
51.7
23.0
100
27. Mulyani
!9.4
18.6
46.5
15.5
100
28. Suwami
18.3
14.6
61.0
6.1
100
29. Suv;arno
10.7
35.7
53.6
100
30. Lamijo
19.4
46.5
15.5
100
Yahji 10. Djiman 11. Suhadi 12. Mukarni
13. Sarni 14. Heri W.
i
I I i
I
I !
I
_____________ __j_ ______________
ii !
i
I I
18.6
I
\
_,l__________~___________! - - - - - - - · - - - - - -·--··-··-·---·-······--·--·..:
I.
I
(lanjutan Lampiran 7)
.., .....
51.7
5. 20.1
6. 100
31. Saito _,"?__
14.4
3. 13.8
Tarip
16.0
14.0
466
23.4
100
33. Tulus
11.6
10.1
52.9
25.4
100
34. Sumarji
14.7
11.8
49.0
24.5
100
35. Bejo
9.7
14.5
48 5
27.3
100
36. Sulamno
20.6
12.4
61.9
5.1
100
37. Sumiran
17.8
14.2
59 2
8.8
100.
38. Misni
17.2
11.8
58.8
12 2
100
39. Sami
14.7
12.9
64 3
81
100
40. Bakri
18.3
14.6
54.9
12.2
100
41. Djoko
21.3
14.6
45.7
18.4
100
42. Suhadi
17.4
16.7
417
242
43. Wagiman S
14.4
11.5
574
16.7
44. Taji
16.8
12.9
48 6
21.7
45. Maijan
20.1
13.8
45.9
20 2
100
46. Harm into
16.2
15.6
58 4
98
100
47. Suwojo
9.3
11.24
46 7
32.8
100
48. Mursidi
20.1
13.8
I
51 7
14 4
I
58 8
14 7
I
59 6
12.4
I I I
63 5
l0.6
53.3
8.8
53 3
11.8
-
4.
I
I
I I I
49. Sumadi
14.7
11.8
50. Mijo
16.1
11.9
13.2
12.7
o~.o..>.J
14.2
Paino
20 7
14.2
Ram in
13.4
Yasin
14.9
Surasid
9.1
I 51.
Goro
52. Samijan
II ::>.>. ~.,
I 54. i 55.
.,., ...,
I
56.
I 57.
!
I I
I
Kamin
59. Bali
Kasijan
!! 61. Suroto I
8.2
i 6" Parno ! 63. f\·1aircn
16.1
7.2 10.9 14.8
I
I
I 64. Sarji
16.8
I
I 65.
14.6
Bardi
i L.·-·····--··················--·······
'
8.9
I
!
Ij
I I
II
53 7
16.8
i
44 8
22 4
I I
54.9
214
65.2
136
I I I
18.6
9.9
I
!
17.9
13.0
11.6
!
I
I I
16.1
I
58. Bardi
I 60.
Ii
19.4
iI i
I
13.6
I
11.5
I
i
58 I
·:'
II 7
56 5
8.0
68 0
85
I I I
! i
100 100 100
100
100 100
:
100
i
100
I I I
l
i ~ i
i ' I
I I
!
!
i
I I
100 100 100 100 100 100 100 100
43 I
:"l8 2
65 2
10.9
100
100
13.0
i'
14.2
I
47 3
23 7
I
44 7
25.1
I
100
!
13.4 14.2
iI !
!
100 I
5.U
23 6
!
100
I'
·······-··········- -------------·------ .L. -- ----------------------·-' --··-·--·-- ---··--- ---------------- -------------------- ---· - --··- ... _;__ ---
····---------····--·-·---·
I
Lampiran 8. Sumber Pendapatan Rumah Tangga Kelompok Non-Program. Sumber Daya Rutan (dalam %) !\"am a
Lain-lain
Sadapan/
I.
2.
Total Pendapatan
Daya Hutan
( dalam o/e)
(dalam 0/a)
Tebangan "-·----
Di Luar Sumber
3.
4.
5.
I.
Giro
8.6
43.0
48.4
100
2.
Katiran
13.0
70.7
16.3
100
3.
Maidi
14.6
61.0
24.4
100
4.
Sukarni
-
37.7
100
5.
Sari din
7.5
78.4
14.1
100
6.
Wagino
11.5
71.8
16.7
100
7.
Kadir
12.1
70.4
17.5
100
I
8.
l\·funaji
9.1
75.8
15.1
100
iI
9.
Bono
7.8
77.7
14.5
100
10. Kasijan
10.::1
64.1
25.6
100
i I
11. Barli
10.3
68.4
!; i
21.3
100
l
!
17.2
100
I i
19.6
100
!
21 8
100
i
23.0
100
19.5
100
-
62.3
I
I I I i I
12. Geger
13.8
69.0
13. Toimun
13.4
67.0
;
65.2
i
14. La minto
13.0
15. Kandar
11.2
! i
i
55.8
I
i '!
I I
!
16. Suparni
15.6
64.9
17. Katijo
17.9
67.2
14 9
100
18. Sukibar
22.0
64.2
1::18
100
19. Karyono
25.5
63.8
10 7
100
20. Sis\vojo
17.3
54.0
28.7
100
i
i
j
i !
i !
!
!
!
21. Paid in
20.2
67.2
12 {'
100
I
Sukar
15.6
77.9
65
100
!
1\·1 isman
13.0
81.1
5.9
100
i
24. Kasto
15.1
75.5
9.4
100· ....
i '
25. Musiran
17.0
70.7
12.3
100
!
2CJ. Parnoto
18.6
62.0
19 4
100
i' ;
27. Pari man
15.6
77.9
5 (j
100
28. Supanono
16.7
52.1
31 2
100
147
100
11..3
100
i 2! __.,_ -,~
2
11.8
73.5
30. Harno
7.8
80.9
r i ' 1
l
1
:
I i
' I
I
'
1
;
! !
i ----------------------- ________________________________L _____________________ -------------·---------·····--J I !
(lanjutan Lampiran 8) 1.
I I
2.
3.
4.
5.
I
32. Sukono
10.0
75.3
14.7
100
33. Wamo
13.4
67.0
19.6
100
34. Sumidi
18.6
58.1
23.3
100
35. Sarno
9.6
80.3
10.1
100
36. Kami
10.4
65.2
24.4
100
37. :\1ulyanto
13.4
67.0
19.6
100
38. \1uyono
9.4
78.7
11.9
100
39. \-taruto
17.3
71.9
1Q.8
100
40. Samingan
17.0
60.1
22.9
100
41. Supatmin
19.4
72.6
8.0
IOO
C) .,
....
100
14.0
100
-
42. \1arimin
22.0
68.8
43.Amin Tohari
13.4
72.6
44. Tasrip
9.4
78.7
I
I
16.1
53.7
46. Drajad
17.3
54.0
47. \:toh. So'eb
27.0
56.2 56.5
49. l\gadino
-
35.1
50. Katiran
21.1
52.6
48. Kemis
51. Tohir
17.9
52. Darminto
12.1
53. \1asidi
56.0
93
75.4 77.2
I 1.8
~-." /.). •·'
55. Setu
15.6
64.9
56. Agustono
13.0
65.2
II I I
!
100
lI
I
30.2
100
28.7
IOO
II
16.8
100
i
25.1
100
i
64.9
100
.._.),.)
100
26.1
100
12.5
100
13.5
100
14.7
100
1
19.5
100
!
i
21.8
100
!
I
26.3
100
14.1
100
I I
I' I
I I I
., ... ..,
II I ;
'' 'j
l I
I I
57. Waridi
10.5
63.2
58. Susanto
13.8
62.1
59. Chairul A
17.9
59.7
l
22.4
tOO
-
53.6
I;
46.4
100
61. \:lisman
21.1
52.6
26.3
100
62. Djali
25.5
., ... ., --'·-
21.3
100
63. Supardan
13.4
67.0
19.6
100
64. Legiman
14.1
62.5
23.4
100
65. Suwoto ------------
I
II I
I
54. Bukur
60. Parijo
I
11.9
I
19.4
I
! I
45. Sakur
'
)9.4
60.5
II I i
I i
'
20 1
-------------------------------------~-----------·------------
j
100 --------·--·-----------------------·
Lampiran 9. 1\'ilai Kekayaan Kelompok Program/Petaui Pe..
Nilai Kekayaan (dalam ribu rupiah)*) Nama --
I.
I.
2.
Pardi
3.500
2. :Vtaijo
.,
.)_
Perabot Rumah Tangga
Dasir
Kendaraan
R~Yakt~ra
( dalam ribu rp.) *)
.J.
4.
7.
-
850
4.350
2.095
2.875
7.000
6.850
15.450
4.025
5.300
350
2.525
L 105
2.185
5.240
5.810
.
780 1.600
4.
Suparni
1.275
5.
Dasam
2.175
6.
Sardi
1.080
7.
Pari an
570
-
8.
Yadi
1.230
6.000
1.290
8.520
9.
Yahji
2.130
-
1.095
3.225
10. Djiman
990
-
95
1.085
II. Suhadi
2.400
-
425
2.825
12. Mukarni
2.960
7.500
1.550
4.510
13. Sami
1.130
1.650
2.780
14. HeriW.
1.225
-
200
1.425
15. Suyoto
985
-
425
1.410
16. Kay at
1.330
-
1.495
1.825
17. Sukarni
2.190
6.000
3.650
l 1.840
18. Demo
1.035
3.095
4.130
19. Gunawan
1.930
-
1.050
2980
20. Dasar
3.600
-
8.575
12.175
21. Senen
1.100
-
4.095
5.195
........
Dasi
2.100
4.500
3.520
10.120
23. Suparno
2.040
-
75
2.115
24. Lamun
1.180
-
1.645
2.825
25. Kasan
600
-
2.400
3.000
26. Rusdi
2.100
1.100
3.200
27. Mulyani
1.600
750
2.350
28. Suv,.-arni
1.800
-
800
2600
29. Suwamo
2.000
-
2.400
4.400
.!..k.
_,
.
2.400 30. Lamijo --------------------- -------------
'--------
1.750
---
4.150 -----------------------------
(laniutan Lampiran 9)
31.
Saito
1.600
-
1.000
2600
850
1.650
200
1.400
950
2.750
800
33. Tulus
1.200
34. Sumarji
1.800
-
35. Bejo
3.500
7.000
1.500
12.000
36. Sulamno
2.000
4.000
1.200
7.200
37. Sumiran
1.400
-
700
2.100
38. Misni
2.500
875
3.575
39. Sarni
1.000
120
1.120
40. Bakri
2.400
-
400
2 800
41. Djoko
3.200
4.000
150
7.350
42. Suhadi
2.100
75
2175
43. Wagiman S
1.500
300
1800
600
1.450
-
47. Suv.:ojo
1.800
-
48. l'dursidi
1.750
-
49. Sumadi
1.100
-
I 000
750
-
3.000
4.000
2 500
-
1.800 1.200
-
58. Bardi
1.500
6.000
59. Bali
1400
60. Kasijan
1.250
44.
Taji
950
45.
Maijan
600
46.
Harminto
2.500
51. Goro
2.000
52. Samijan
2 500
53. Paino 54. Ram in 55. Yasin 56. Surasid 'i'"' -I.
' i 62. Parno i
' 63.
i
I
Kamin
I 61. SmPto
I
7.
32. Tarip
50. l\·1ijo
!
I
4.
3.
2.
1.
Mairen
!' 64. Sarji I ! Bardi I---------------
--·--·-···----
J
200
1 800
450
2.950
200
2 000
650
2400
1.800
2.900
900
1900
25(J
2 250
450
2 950
560
J
100
7 100
-
2 500
700
2 500
1 600
2800
-
7 500
750
2150
400
I 650
-
2 000
250
2 350
i
I
j I
:
i !
310
II
2100
-
I
750
-
1.100
1850
800
-
500
1300
5.000
500
8.500
I
2.000
3.000
. --·-·--·--·-·-··--L __________________________________
i
-
-----·····---------------------------- ------------·--·-· ------------------------------------ ---------------------·---------
") dihitung atas ctasar taksiran h:trga s:wt penelitian dilakukan.
Lampi ran 10. Nilai Kekayaan Kelompok Non-Program Nilai Kekayaan (dalam ribu ntpiah) *) Nama
l.
Kendanum
Ra}akt~J'l1
---
( dalam ribu rp.) *)
3.
4.
700
-
200
900
""
.<..
7.
1.
Gito
'l
....
Kat iran
1.800
-
200
2.000
.l.
"
Maidi
2.000
4.000
4.000
10.000
4.
Sukarni
900
-
300
1.200
5.
Sa rid in
1.200
600
1.800
6.
Wagino
1.700
-
600
2.300
7.
Kadir
2.500
6.000
400
8.900
8.
Munaji
850
550
1.400
9.
Bono
600
3.000
500
1.500
800
2.000
-
10. Kasijan
1.000
II. Barli
1.200
-
12. Geger
650
-
750
1.400
13. Toimun
3.200
7.000
3.200
13.400
14. Laminto
1.100
-
900
2.000
15. Kandar
uoo
400
1.900
16. Suparni
4.000
-
4.500
8 500
800
-
700
1.500
18. Sukihar
2.100
4.000
5.900
12.000
19. Karyono
1.500
-
500
2.000
20. Sisv"·ojo
1.400
-
400
1800
21. Paidin
2 000
100
2 900
""'" Sukar
1.250
-
1.000
2.250
~00
2600
200
3.000
1.750
2 500
650
1.750
1.100
2.300
600
1.500
700
2.500
17. Katijo
I
Perabot Rumah Tangga
Total Kekayaam
~.:...
I 23.
l\-iisman
24. Kasto
2.400
2 300 2.800
25. Ivlusiran
750
26. Pamoto
1.100
27. Pari man
1.200
28. Supartonn
900
29. Kadarisman
1.800
30. Hamo
1.-lOO
-
L.·----···············-·····-······-······--··-·········-·······-···········-··-··--·-·--······-
750 2.150 --------------·----------------------L.--------------------
I.
3.
2.
4.
(lanjutan Lampiran 10) 7.
31. Harnowo
1.000
800
2000
32. Sukono
1.200
550
1.750
33. Warno
2.100
800
2.900
34. Sumidi
2.000
4.000
I I .000
35. Sarno
1.750
650
2.400
36. Kami
2.300
500
2800
37. \1ulyanto
1.300
700
2.000
38. Muyono
1.600-
550
2.150
39. \1aruto
l.lOO
700
I 800
40. Samingan
950
450
1.400
41. Supannin
1.500
250
I. 750
42. \tlarimin
1.900
850
2750
43.Amin Tohari
2.300
200
8500
44. Tasrip
1.000
I .300
2 300
I 45. Sakur
2.750
2.250
9 000
46. Drajad
1.750
350
2 100
47. \·foh. So'eb
2.100
700
2.800
48. Kemis
2.000
600
2600
49. l\gadino
1.000
800
1 800
50. Katiran
1.900
300
2.200
51. Tohir
2.100
4.000
400
6 500
52. Darminto
2.250
4.500
1.750
8 500
53. \·lasidi
1.700
900
2 600
I 54. Bukur
2.100
650
2750
i 55. Setu
1.100
800
2 90U
i
I
5.000
6.000
4.000
j
1.600
1.400
3 000
I 57. Watidi
1.200
6.600
7.800
I 58. Susanto
1.650
2.750
3.400
1.000
1.500
I
I
I
56. Agustono
I
I ~~. Ch~~ml A. I (10. PanJO
2.000
1
61. vtisman
1.200
i
62. Djali ·
2. J 00
l
j 63. Supardan
1.350
! 64.
2.000 -2.)U0
Legiman i' 6") ~uwoto ..
6.500
I 4.500
I I 7.500
4.100
-
2.500 12.b00
2.300
3.500
3.200
8 800
I .4Ll0
2.750
1.350
3 350
1.400
11.400
l_____.______________________.............._______________ .. ______, _____________l __ ···-------------------------------·······"' .....................................................................-------------------------------") dihitung atas dasar taksinm h:trga s:tat penelitian dilakukan.
Lampiran 11. Uji-t Untuk Nilai Kekayaan Didasarkan Data Lampiran 9- 10.
a.
0 XI- X2 = ..j [ ( N1m/ + (NJilii ) N1+N2
=
[ N1-Nl-2 ] N,N2
v [ (64 )(9474216742000)- ( 64) (10838914670000)] 128
[ 130 4225
= 559025,6827.
b.
t hitung
=
Xl- X2 8 Xl- X2
3.843.?30.769 -· 3.866.153 846 559025,6827 ==:
0,0041.
.
'·
1 tahcl (I i))
L
.I adi 1 hi~r.l!lg < 1 \i1bd I; II)
'"'
2,660
(lihat Tabel t )
____.. ., terima Ho pada tingkat kcpacayaan 95°o.
J
tmpiran 12. [mdisi Tempat Tinggal Responden Ke1ompok Program Jum1ah/Frekuensi Persentase
Uraian
.
.
.
.
Status Ke~milikan - mi1ik sendiri - ikut orang tua - menyewa/menumpang
65
Ke1ompok Non-Program Jumlah/Frekuensi Persentase
65
100
-
100 0 0
-
-
21 14 30
32.3 21.5 46.2
20 16 29
30.8 24.6 44.6
Dindin2 rumah - tembok - kayu - bambu
27 3 35
41.5 4.6 53.9
30 8 27
46.2 12.3 41.5
Lantai - tege1 -semen - bata merah - tanah
I I I
3 5 25 32
4.6 7.7 38.5 49.2
3 5 30 27
4.6 7.7 46.2 41.5
I
-
Bentuk rumah - permanen - seffil permanen - tidak permanen
Peneran2an - listrik - petromaks - teplok/lainnya Sumber air minum - ledeng - sumur - mata air
-
65
I I
-
-
100 0 0
-
I I
I
-
I
65
I I
-
'
-
I
I
I I I
I I
! I I I
100 0 0
I
I 60 5
92.0 8.0 0
I 55 10
0 84.6 15.4
58 7
0 89.2 0.8
i
I !
Tem~at
- We - we -we
buan2 air septiktank cemplung umum
60 5
92.0 8.0
.
~ i
I !
ampiran 13. ji Cbi-Kua.drat Kondisi Tempat Tiuggal Dida.sa.rka.u Ata.s ·ata Lampiran 12. Kondisi Rumah
Kelompok
Program
NonProgram
fo
fh
fo-fh
(fo-fh)2 0 0.25 1 0.25 2.25 6.25 16 .0
-milik sendiri -permanen -semi permanen -tidak permanen -tembok -kayu -bambu -tcgel -semen -bata merah -tanah -listrik -sumur -mata air -we cemplung -WCumum
65 21 I4 30 27 3 3.5 ·'"' 5 25 32 65 60 5 60 5
65 20.5 15 29.5 28.5 5.5 31 3 5 27.5 29.5 65 57.5 7.5 59 6
0 .. 0.5 -I 0.5 -1.5 -2.5
-milik sendiri -permanen -semi permanen -tidak permanen -tembok -kayu -bambu -tegel -semen -bata merah -tanah -listrik -sumur -mata air -WC cemplung -WC umum
65 20 16 29 30 8 27 3 5 30 27 65 55 10 58 7
65 20.5 15 29.5 28.5 5.5 31 3 5 27.5 29.5 65 57.5 7.5 59 6
0 -0.5
9IO
910
Jumiah
X2 hitun(! X 2 tabcl o.o5 dk.
=
6,7672
15 =
24,996
X2 hi tung < X2 tabel 0.05 dk.
15
4
0 0 -2.5 2.5 0 2.5 -2.5 I -I
(fo-fh) 2 fh 0 O.OI22 0.0667 0.0085 0.0789 1.1364 0.5161 0
0 6.25 6.25 0 6.25 6.25 I I
0 0.2273 0.2119 0 0.1087 0.8333 O.OI69 O.I667
0 0 2.5 -2.5 0 -2.5 2.5 -1 1
0 0.25 1 0.25 2.25 6.25 16 0 0 6.25 6.25 0 6.25 6.25 l 1
0 0.0122 0.0667 0.0085 0.0789 l. 1364 0.5161 0 0 0.2273 0.2119 0 0.1087 0.8333 0.0169 0.1667
0
45
I
-0.5 1.5 2.5 -4
.
6,7672
Tetima Ho pada tingkat kepercayaan 95%.
11mpiran 14. kses Responden Terhadap Pendidikan, Kesehatan dan Informasi Uraian
1.
Jumlah anak IBDK bersekolah/tamat sekolah - SD -SMP - Tamat SMP '
.. I
I.
Kelompok Program Persentase Jumlah!Frekuensi
Per:;i Ke Puskesmas - Selalu hila sakit - Tidak selalu hila sakit - Beli ohat di warung
Kel!emilikan sarana komunikasi - Memiliki televisi - Memiliki radio - Tdak memiliki tv/radio
Kelompok Non-Program Persentase Jumlah/Frekuensi
39 15 2
60.0 23.1 3.1
45 10 4
69.2 15.4 6.2
10 34 21
15.4 52.3 32.3
8 27 30
12.3 41.5 46.2
5 39 21
7.7 60.0 32.3
7 45 13
10.8 69.2 20.0
-
Lampiran 15. Uji Chi-Kuadrat Terhadap Akses Pendidikan, Kesehatan dan lnformasi Didasarkan Atas Data Lampiran 14.
Kategori
Fo
fh
fo-fh
(fo-~l
(fo-~/ fj,
SD SMP Tamat SI\·1P Bclum sckolah Sclalu Kc Puskesmas Tidak Selalu Ke Puskesmas Beli obat di wanmg Punya TV Punya Radio Tidak Punya TV dan atau Radio
39 15 2
-3 2.5
9 6.25
-I
I
9
42 12.5 3 7.5'
1.5
2.25
0.2143 0.5 0.3333 0.3
10
9
I
I
0.1111
34
30.5
3.5
12.25
0.4016
21 39
25.5 6 42
-4.5 -1 -3
20.25 1 9
0.7941 0.1667 0.2143
21
17
4
16
0.9412
45 10 4 6
42 12.5 3 7.5
3 -2.5 I -1.5
9 6.25 I 2.25
0.2143 0.5 0.3333 0.3
8
9
-I
I
0.1111
27
30.5
-3.5
12.25
0.4016
30 7 45
25.5 6 42
4.5 1 3
20.25 9
0.7941 0.1667 0.2143
13
17
-4
16
0.9412
390
390
0
156
7.9532
Kelompok
Program -
NonProgram
-
SD SMP Tamat SMP Belum sekolah Selalu Ke Puskesmas Tidak Selalu Ke Puskesmas Beli obat di warung Punya TV Punya Radio Tidak Punya TV dan atau Radio
Jumlah
-
5
I
Jadi ..,
a.
x-hitung
=
7;9532
b.
x-' tube) 0.05 Uk. 15
=
18,307
tabc)
0.05 dk. )5
C.
X ..,. - hitUOj!. <
.,
x-
Terima Ho pada tingkat kepercayaan -,5%.
Lampiran 16. lnteraksi Responden Trehadap Sumber Daya Hutan di Luar Program Perhutani Frekuensi Kelompok Non-Progra~
j Frekuensi Kelompok Program
Jenis Kegiatan
l.
2.
...
-'·
4.
Mencari kayu bakar Mencari pakan temak
jlxsehari
2xsehari
lxseminggu
2xseminggu
Tidak pemah
I xsehari
-
50
2xsehari
lxseminggu
2xseminggu
Tidak pemah
I
iI
! I
57
8
-
i I
-
15
I
-
-
-
-
12
45
20
-
-
-
55
'I
54
8
-
I
-
.)
50
-'
Mencari kayu perkakas
-
-
49
I
14
2
-
-
Berladang
3
-
-
-
62
10
10
I
-
..,
..,
-
I i
~·
I I
Lampiran 17 "Uji Chi-Kuadrat Terhadap lnteraksi Responden Pada Somber Daya Hutan di Luar Program Perbutani Didasarkan Atas Data Lampiran 16. Kategori
Kelompok
Program
NonProgram
- Mencari kayu bakar 1xsehari - Mencari kayu bakar 2xsehari - Mencari pakan ternak lxsehari - Mcncari pakan tcrnak 2xsehari - Tidak Pernah Mencari Pakan Temak - Mencari kayu perkakas lxseminggu - Mencari Kayu Perkakas 2xseminggu - Tidak Pernah Mencari Kayu Perkakas • Berladang I xsehari • Tidak Berladang - Mencari kayu bakar lxsehari - Mencari kayu bakar 2xsehari - Mencari pakan ternak lxsehari - Mencari pakan ternak 2xsehari - Tidak Pemah Mencari Pakan Ternak - Mencari kayu perkakas lxseminggu - Mencari Kayu Perkakas 2xseminggu - Tidak Pernah Mencari Kayu Perkakas - Berladang 1xsehari - Tidak Berladang
Jumlah
fo
fh
fo-fh
(fo-fh)2
(fo-fh) 2 fh
57
53.5
3.5
12.25
0.22897
8
11.5
-3.5
12.25
1.06522
54
52
2
4
0.07692
8
5.5
2.5
6.25
1.13636
.J
7.5
-4.5
20.25
2.7
49
47
2
4
0.08511
14
17
-3
9
0.52941
2 3 62
I
6.5 58.5
I -3.5 3.5
I 12.25 12.25
I 1.88462 0.20940
50
53.5
-3.5
12.25
0.22897
IS
11.5
3.5
12.25
1.06522
50
52
-2
4
0.07692
3
5.5
-2.5
6.25
1.13636
12
7.5
4.5
20.25
2.7
45
47
-2
4
0.08511
20
17
3
9
0.52941
0 10 55
1 6.5 58.5
-1 3.5 -3.5
1 12.25 12.25
1 1.88462 0.20940
520
520
0
187
17 8320
•'
..,
Jadi a.
,
x· hitung
b. X 2 ~abel o.o5 dk. c.
,
15
,
=
17,8320
=
18,307
x· hilung < x- lllbcl 0.05 dk. 15
----111-~
Terima Ho pada tingkat kepercayaan 95%
Lampiran. 18. DAFfAR PERTANYAAN TENTANG KONDISI SOSIAL-EKONOMI PETANI
------------------- Petwaiuk ftngkian
1. Isilah pcrtanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan yang sesunggulmya. Kami sangat menghargai apabila Bapak mengisinya dengan benar. 2. Dalam pengisian. Bapak bolch mcminta orang lain untuk mcmbantu mcmbacakannya dan mcnuliskanya, tctapi jawaban tctap dari Bapak. 3. Hasi1 pengisian daftar pertanyaan ini sangat membantu pencliti dalam menganalisa dan menyimpulkan basil penelitian serta rekomcndasinya. Dcngan dcmikian penelitian ini dimungkinkan juga menjadi bahan pertimbangan bagi penunusan kebij&kan di masa yang akan datang. Untuk itu kcSWlgguhan Bapak dalam mcnyampaikan jawaban merupakan hal yang sangat berharga dan mencntukan perencanaan pembangunan. 4. Dalam menjawab pertanyaan semestinya Bapak tidak ragu-ragu dan tak.ut karena tidak. akan berak.ibat yang mcrugikan Bapak.
--------------------------------A. Jdentitas Responden 2. U m u r 3. Alaunat
: ................................................................... ............... . ................................................................... ............... .. : ................................................................... .............. .
4. Des a 5. Keca!natan
.................................................................. ................ . .................................................................. ................ .
l.Nama
6. Pendidikan tcrakhir: [J SD
0 PT
[J SLTP 0 Tidak. sekolah
[J SLTA
7. Jwnlah tanggungan responden : ................ Orang. : .. . . .. .. . ... .. . . Orang. 8. Jumlah anak . ..................................... a. Nauna ..................................... . Umur :LI P Jcnis kclamin Pendid~ tcrakhir : ............................. . ..................................... . Pekerjaan b.. Nama
..................................... . Umur :LI P Jenis kelamin Pendidikan terakhir: ............................. . : .................................... . Pekcijaan c. Nama
..................................... . Umur :LI P Jenis kelamin Pendidibn terak.hir : ............................. . ..................................... . Pekerjaan d. Nama
Umur
.. ............ ... ... ... ...... ......... . I
•11111
Ill
Ill
111111111
Ill
1111111111111
Jenis keiamin
:LI P
Pendidikan tcrakhir : ............................. . Pek.etjaan
. . ................................... .
e. Nama
..................................... .
Umur ..................................... . Jenis kelamin :LI P Pendidikan tcrakhir : ............................ .. Pekeljaan. : . .. ... .............................. . 9. Status rcsponden : 0 Pemuka masyaraakat
0 Masyarakat biasa [] Lain-lain.
D Pcmimpin formal
10. Apakah responden penduduk. asli/pendatang?
D Pendatang.
[] Penduduk asli B. Potensi ekonomi Rumah Tan ega.
1. Pekajaan utama responden :
0 Pcgawai negcri [] Petani
0 Pegawai swasta
0 Pedagang
0 Buruh tani
0 Lain-lain.
2. Laban garapan milik se.ndiri yang diopunyai responden : a. Sawah : .. .. .. . .. . . .. .. . .. . . .. . .. .. . hektar b. Tegalan : .. . . .. . . . . .. . .. . . .. . .. .. . ... helctar c. Pekarangan : ............................. hek:tar d. Lainnya : ............................. helctar. 3. Jumlah pemilikan temak responden:
a. b. c. d.
Lcmbu : ............................. ekor Kerbau : ............................. elcor Kambing : ............................. ekor AyaiD : .............................. ckor e. I.ainnya : .............................. ekor. 4. Anggota responden yang hidup dalam satu rumah (dapur)
a. Isteri
: ......................... Orang b. Anak : ......................... Orang c. Lainnya : . .. ... .. . .. . .. . ... .. . . .. . Orang
.
5. Apakah anggota keluarga responden yang hidup dalam satu rumah (dapur) selain responden, ada yang mempunyai pekerjaan ? 0 Ya (ke nomer 6) 0 Tidak ada. 6. J"lka 'ya•. diantaranya adalah :
a. Isteri Pekeijaan
: ......................... .
......................... ..
.................................
b.Anak
Pckclj881l : ..........................•..... C.
T -:--, A.GIIIIIya
I
: ••• ••• ••• ••• ••• ••• ••• ••• ••• ••• ••
Pckclj8811 : ................................ C. Pendapatan Rmnah Tmep.
1. Bila pcgawai negcrilswasta. berapa gaji tiap bulan? Rp.......................................... .
2. Bila pedagang, bcrapa keuntungan bersih rata-rata tiap bulan 1 Rp........................................... .
3. Bila buruh t8ni : L Berapa upah harlan rata-rata ? Rp........... ~ ..................... . b. Bcrapa lama bekelja rata-rata dalam musim hujan 1 Rp................................. c. Berapa lama bckerja rata-rata dalam musim kcmarau ? Rp....•.........................
4. Bila lain-lain. berapa penghasilan rata-rata W$p bulan? Rp..•...................
Ill •••••••••••••••••••••
5. Bila petani atau memiliki laban pertanian. produksi pertanian dalam satu tahun adalah scbagai berikut : L
Padi lfasil produksi : .............. kg.
Nilai Jual
: Rp..............................
6. Ketela pohon
Hasil produksi : ................kg. Nilai Jual : Rp............................. . 7. JagWlg Hasil produksi : ................kg Nilai Jual : Rp.............................. d. Kacang tanah liasil produksi : ................kg. Nilai- Jual : Rp............................ . e. Kedelai liasil produksi : ................ Kg. Nilai Jual : Rp............................ . f. I..ainnya : ........................ . Hasi1 produksi : ................. kg. Nilai Jual : Rp............................ .
8. Seluiruh pcncrlniaan bersih dari usaha pertanian di luar program tumpangsari, setelah dikurangi modal: Rp............................................ ~ ...... 9. Nilai produksi tcmak dalam satu tahWl :
a. Lcmbu b. Kerbau c. Kambing d. Ayam
: ................... Ekor. Nilai Jual : ................... Ekor. Nilai Jual : ... . :. ............. .Ekor. Nilai Jual : .. . .. . ... . .. ... . .. . Ekor. Nilaf Jual
: Rp............................ . : Rp............................ . : Rp .............................. : Rp.............................. .
8.. Penerimaan dari basil pertanian program tumpangsari dalam satu tahWl : 10. Padi
lJasil produksi : .............. kg.
Nilai Jual : Rp............................. .
12. Kctcla pohon liasil produksi: ................ kg. 13. Jagung IJasil produksi : ................kg g. Kacang tanah liasil produksi : ................kg. h. Kcdelai Hasil produksi : ................ Kg. i :Lainnya : .. . .. . . .. .. . .. . . .. . . . . .. . lJasil produksi : ................. kg.
Nilai Jual : Rp............................. . Nilai Jual : Rp............................. . Nilai Jual : Rp. ........................... . Nilai Jual : Rp............................ . . Nilai Jual .: Rp..... ;....................... .
14. Seluruh penerimaan bersih dari basil pertanian program tumpangsari dalam satu setclah dilauangi modal : Rp........................................... .. D. Pengeluarau I Konswmi Rumah Taorga.
1. Pengeluaran harlan a. Pcmbelian bahan malcaiwl b. Pcmbelian minuman c. Pembelian Iauk pauk d. Pcmbelian minyak tanah c. Pcmbelu.n gula I kopi I t.eh f. Pembelian rolcok g. Lain-lain (sebutkan)
: Rp.................................... : Rp.................................... : Rp.................................... : Rp................................... . : Rp.................................. . : Rp................................... . : Rp .................................. .
2. Pcngeluaran bulanan I tahunan a. Biaya pendidikan/sekolah b. Sumbangan-swnbangan c. Perlengkapan rwnah d. Pembelian pakaian c. Pemeliharaanlrehabilitasi nunah f. Pelayanan kcschatan g. Modal usaha tani h. Lain-lain (sebutkan)
: Rp.................................... . : Rp.................................... . : Rp.................................... . : Rp.................................... . : Rp .................................... .
: Rp.................................... . : Rp..................................... . : Rp..................................... .
E. Kondisi tempat fineeal 1. Status rwnah : [J Milik scndiri [J )kut orang tua
Kontrak I menyewa 0 Menumpang
[J
2. Bentukrumah:
DPennanen 3. Dinding rumah : 0 Tcmbok
0 Semi PertlWlell
0 Tidak PertlWlell
OKayu
OBambu
tah~
4. Lantai rumah. :
0 Semen DTanah
0 Ubin I tegcl D Batamerah 5.
P~ganrumah:
0 Petromaks D Lainnya, sebutkan .................... .
D Listrik D Lampu teplok
6. Sumber air minum : D Ledeng I PAM
D Bclik I sungai
0 Mataair
OSumur
D Airhujan
7. Tcmpat buang air : D WCscptiktank. 0 WCwnwn
D WC ccmplung TanpaWC
.o
F. Tingkat kekayaan . 1. Pcrabot nunah tangga : a. mcja kursi : .. . .. . . .. stcl. : .. .. .. . .. buah b. lcmari : .. . .. . .. . buah. c. bufct d. Setrika listrik : .. . ... .. buah c. Mcsin jahit : .......... buah f. Dipan tidur : .. . . . . . .. .. buah g. radio : .......... Buah. h. televisi : .. .. .. .. buah i. jam dinding : ..........buah j. Lain-lain, scbutkan: ............... .
l!arga : Rp............................... .. II.arga : Rp............................... . IJarga : Rp............................... . 1-Wga: Rp.............................. . liarga : Rp.............................. . IJarga : Rp.............................. . llarga : Rp .............................. . liarga : Rp.............................. . IJarga : Rp............................. .. llarga : Rp.............................. .
2. Kcndaraan yang dimilild : a. Sepeda IDOtor : •......•.•••...•.•• Buah. : ................... .Buah b. Sepeda
: ................... .Buah. c. Gerobak d. Lainnya. sebutkan : ................ buah.
Ilarga IIarga I!arga liarga
: : : :
Rp........................... . Rp ................... ······· Rp.
-~-
...................... ..
Rp ......................... ..
G. Interaksi responden den,e;an sumberdaya hutan. 1. Jarak rumah responden dengan kawasan hutan. 0 1 - 2 km 0 lrurang dari I km 0 lebih dari 5 km 0 4 - 5 km
0
3-4km
2. Berapa kali responden bekerja di laban hutan seharinya 7 J>Ckclj8811 ........................................................... . a.- 2 x seha:ri, pekerj8811 ........................................................... . b. 1 Xselwi, pck.erjaan ........................................................... . c. 1 x dala dua hari, pckeljaan ........................................................... . d. 1 x dalam 3 hari. pckeljaan ........................................................... . c. 1 x serninggu '
3. Berapajam responden rata-rata sebarinya bekerja di laban hutan? D 6jam D 4jam 0 2jam D lebih dari 8 jam 0 8 jam 4. Jenis 1anam.an palawija yang biasa ditanam Jawab .................................................................... ...•............................ '
Ya I tidak. Jenis pupuk .................................................................... ..................... . Asal pupuk .................................................................... ..................... . BCf81l&.lc.ali J>Cmupukan ..•................................................................. ....... Volume I dosis pupuk ................................................................... ......... .
S. Apakah dilakukan pcmupukan pada tanaman palaW:ija? a. b.
c. d.
'
kehwga yang ikut menggarap. lalwl : ... ·................. orang. 6. Jumlah anggota .
7. Apakah Bapak mempekeljakan orang lain ? a. Bcrapa orang ......... b. Bcrapa upah dalam satu hari Rp.
Ya I tidak
00 . . . . . . . 0 0 . 00 . . . . . 00 0 0 . 0 0 . 00 • • • • 0 0 . 0 0 . 0 0 . 0 0 .
0 0 . 00 • • 00 • 00 . . . 00 . . . . . . . . . 00 . . .
0 0 . 00 • • 00
00. 00.
00 • • 00 0 0 . 0 0 . 0 0 . 0 0 . 0 0 .
: .................................. .
8. Sclain sebagai pctani di laban hutan. jenis kcgiatan apa yang dilakukan rcsponden pada laban hutan ? D Pencarian kayu perkalcas D Pcnggembalaan temak 0 Pcncari kayu bakar 0 Pcncarian pakan temak D Bekerja sebagai blandong tebanganlpenjarangan 9. Berapa kayu bakar yang dipcroleh dalam schari 7 0 2 pikul senilai Rp....................... . 0 1 pikul senilai Rp ................ D lebih dari 3 pikul seni1ai Rp................. .. D 3 pikul senilai Rp.. .
.
00 • • • • • • 0 0 . . . •
00.
• • •
10. Apa tujuan responden mencari kayu bakar? 0 Dijual ke pasar 0 Dipakai sendiri
0 Seabagian dipalcai sendirildijual
11. Jenis kayu apa yang biasa dicari untuk kayu balcar tersebut? D sonokeling D mahoni D jati 0 lainnya ...... D sengon 0 pinus
00 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
12. Apakah responden pcmah mencari kayu kebutuhan pcrkakas dari hutan? Ya I tidak Bila &ya' : 0 untuk dijual · 0 untuk perkakas sendiri 13. Tlk.a dijual, kepada siapakah rcsponden mcnjual kayu tersebut ? 0 tengknlak D industri penggergajian kayu D lainnya 0 tctangga 00.
00 . . . . 0 0 . 00 . . . .
00 • • 00 00 . . . . . . . . . . . . .
00 . . .
14. Ukuran kayu yang dijual L Diameter .•• ~ ........•..... an.. Jl&llj81lg •..••.•••••..•....•., llm"ga Rp.............................. harga Rp.... an, paqJang ... b. Dialnctcr an, panjang ..................... harga Rp.............................. c. Diameter ... barga Rp.............. an, panjang . d. DiaJnet.er ... 00 . . . . . 00 . . . 0 0 .
00.
0 0 . 0 0 . 0 0 . 0 0 . 00 . . . ,
00 . . . . . . . . . . . 00 • 00 . . . . . . . . .
00 . . . . . . . . . . . . .
oo. oo •• oo
00.
00.
00 0 0 .
00 . . . . . 00
• 00 . . .
00
00 . . . .
00 . . . . . .
e. Diameter .................. ern. panjang ...... :.. ...........• barga Rp.............................. 15. Berapa kali responden masuk hutan untuk mencari pakan temak?
0 2 X scbari 0 lain-lain.........·.................................. ..
0 1 X sc.bari CJ 2 haJj sekali
16. Bcrapa kali respondeD terlibat dalam kegiatan tebanganlpenjaranganlsadapan ? D2xse~oo
Olx~oo
D lainnya. .............................................
0 3 x sctahoo
17. Berapa upah yang diterima dari pekcJjaan tcrsebut ? a Tebangan.
b. Penj,aimlgall. c. s.ad.aparl (pinus),
Rp................................................................... ..... .. Rp......................................... : ............................... . Rp.................................. ~ ...................................... .
-
18. (Khusus bagi pesanggcm). berapa.andil yang dipcroleh rcsponden? ................... andil
19. Produksi komoditas pertanian satu talmn yang diperoleh kg a. Padi, . b. Kctcla pohon................. kg c. Jagung...................... kg d. Kacang tanah..................kg e. Kedele, ..................... kg f. Kacang hijau, .................. kg g. Lain-lain (sebutkan)....................... kg. I ••••••••••••••••••
Terima blrih atas perao serta Bap!k dalam memberikan k.eteranpn ini
Lampiran 19. PEDO:MA~ \\'A\VA~CARA
1\:IENDALAl\-1
1. Kepada Pejabat Perhutani. a. Proses pernbuatanlpenyusunan rencana Program Turnpangsari. b. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan utama dalam penyustman rencana tersebut. c. Pada tingkat lokal (KPH dan BKPH), apa misi dan tujuan pernbangunan hutan negara yang harus dicapai Perhutani. d. Apakah sering melakukan perjalanan lapangan dalam rangka evaluasi program dan apa saja indikator yang dilihat. e. Dalam pedalanan lapangan, apakah sempat mengunjungi desa-desa sekitar kawasan lahan turnpangsari dan berbicara informal dengan penduduknya.
f.
Apakah pernah mengusulkan rancangan kebijakan alternatif yang lain dari perencanaan yang ditetapkan Perhutani Unit II Ja\:va Timur.
~-
KeJlada Petugas Lapangan Perhutani. a.
Seberapa intensif hubungan petugas dengan pesanggem atau petani lain dari masyarakat sekitar hutan.
b. Dalam pandangan petugas lapangan, kriteria apa yang digunakan pejabat atasan untuk menilai kiner:.ja petugas lapangan di bawahnya. c. Apakah seringipernah menyampaikan usulan/saran/keluhan yang bersumber dari penduduk sekitar hutan, khususnya pesanggem kepada pejabat atasan berkaitan dengan pengelolaan hutan. d. Pendapat bila pengelolaan hutan negara diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
3. Kepada Ketua Bappeda/Kepala Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah/Kepala Bagian
Perekonomian Setda.
a. Secara umum, seberapa besar peran sumber daya hutan dan pengelolaannya bagi kesejahteraan masyarakat daerah dan perekonomian daerah pada umumnya. b. Hal-hal apa yang perlu dilakukan tmtuk meningkatkan peran t~rsebut. c. Apakah merasa tidak ada masalah dalam melakukan koordinasi dengan Perhutani. d. Sejalan dengan desentralisasi, skenario apa yang tepat bagi pengelolaan hutan di masa de pan.
4. Keuada Perangakat Desa, Petani dan Petani Pesa11ggem. a. Apakah program tumpangsari yang dilaksanakan nyata bermanfaat. Apa manfaat tersebut. b. Bagaimana pandangan terhadap tindakan penduduk yang merusak hutan. c. Tahukan misi yang diemban Perhutani dalam mengelola hutan negara. Bagaimana menurut Bpk. Misi tersebut. Apakah siap mendukung misi tersebut. d. Apa manfaat hutan bagi Bpk.