Analisis Dampak Penyakit Kusta terhadap Interaksi Sosial Penderita di Kecamatan Brondong, Lamongan Nurul Azizah1, Brodjol Sutijo SU2, Adatul Mukarromah3 1
MahasiswaJurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember 2,3 Dosen Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember
email :
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Penyakit kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Seseorang berpeluang terkena kusta apabila tinggal di daerah endemis kusta. Salah satu daerah endemis kusta di JATIM adalah Lamongan dengan tingkat prevalensi pada tahun 2008 sebesar 4,25/10.000 penduduk. Keberadaan penderita penyakit kusta pada umumnya masih ditakuti dan dikucilkan masyarakat sekitar. Perlakuan yang tidak adil tersebut menimbulkan masalah sosial yang akhirnya akan mempengaruhi interaksi sosial penderita kusta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap interaksi sosial penyandang penyakit kusta di Kecamatan Brondong, Lamongan. Untuk memodelkan interaksi sosial yang bersifat asosiatif dan disasosiatif digunakan analisis multivariat atau lebih tepatnya regresi multivariat dengan menggunakan kriteria AICc sebagai pemilihan model terbaik. Hasil analisis memberikan kesimpulan bahwa dari 15 kombinasi model regresi multivariat diperoleh nilai minimum AICc sebesar 447,429 dengan variabel yang mempengaruhi interaksi sosial adalah usia penderita kusta, tipe gejala klinis penyakit kusta dan diagnosa kusta. Melalui model yang diperoleh dapat diketahui bahwa penyakit
kusta dapat memberikan dampak yaitu berkurangnya intensitas interaksi sosial seseorang, khususnya untuk dimensi kerja sama, asimilasi, konflik dan daya saing. Sedangkan penderita kusta dengan tipe MB interaksi sosialnya akan lebih rendah bila dibandingkan dengan tipe PB. Kata kunci: Analisis Regresi Multivariat, AICc, Interaksi Sosial, Penyakit Kusta
1.
Pendahuluan Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organorgan lain (WHO, 2003). Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemis. Kabupaten Lamongan adalah salah satu daerah endemis kusta di pantai utara Jawa Timur dengan prevalensi sebesar 4,25/10.000 penduduk (Dinkes Jatim, 2008). Prevalensi Kabupaten Lamongan menunujukkan bahwa daerah tersebut telah mewakili sebagai daerah endemis kusta di Jawa Timur. Wilayah puskesmas Brondong Lamongan, saat ini prevalensinya sebesar 10,41/10.000 yang artinya dari 10.000 penduduk di Brondong Lamongan yang menderita kusta sebanyak 10 orang. Prevalensi ini merupakan peringkat pertama dari seluruh kabupaten Lamongan (Puskesmas Brondong, 2010). Keberadaan penderita penyakit kusta pada umumnya masih ditakuti dan dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Perlakuan yang tidak adil tersebut menimbulkan masalah sosial yang akhirnya akan mempengaruhi interaksi sosial khususnya bagi penderita kusta. Maryawati dan Suryawati (2003) menyatakan bahwa, “Interaksi sosial adalah kontak atau hubungan timbal balik dan respon antar individu, antar kelompok atau antar individu dan kelompok”.
1
Penelitian sosial yang berhubungan dengan penyakit kusta pernah dilakukan sebelumnya. Kasmadji (2002) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan penderita kusta terhadap gangguan harga diri dengan menggunakan metode korelasi product moment. Fajar (2004) meneliti hubungan antara berbagai faktor sosiokultural terhadap pengobatan dini dan keteraturan berobat pada penderita kusta dengan menggunakan metode regresi logistik. Hasil penelitian Fajar menunjukkan adanya pengaruh antara tingkat pengetahuan rendah, tingkat pengetahuan sedang, tingkat kepercayaan jelek dan sikap yang tidak mendukung terhadap upaya pengobatan dini yang dilakukan oleh penderita kusta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap interaksi sosial penyandang penyakit kusta di Kecamatan Brondong, Lamongan. Untuk memodelkan interaksi sosial yang bersifat asosiatif dan disasosiatif digunakan analisis multivariat atau lebih tepatnya regresi multivariat. 2.
Tinjauan Pustaka Dalam makalah ini akan dijelaskan teori tentang analisis regresi multivariat dan Akaike’s Information Criterion Corrected (AICc). Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing teori. 2.1 Analisis Regresi Multivariat Regresi linier multivariat adalah model regresi dengan variabel respon lebih dari satu yang saling berkorelasi dan satu atau lebih variabel prediktor (Johnson dan Wichern, 2007). Misalkan terdapat variabel respon berjumlah p yaitu, Y1, Y2,..., Yp dan q variabel prediktornya X1, X2,..., Xq, maka model linear multivariat adalah: Y1 01 11 x1 ... q1 xq 1
Y2 02 12 x1 ... q 2 xq 2
Yp 0 p 1 p x1 ... qp xq p dimana : Yj : variabel respon/ tak bebas ke-j, j = 1, 2,..., p Xl : variabel prediktor/ bebas ke-l, l = 1, 2,..., q q1 , q 2 ,…, qp : parameter regresi yang nilainya belum diketahui
j
: eror
dengan syarat E ( (i ) ) 0 , Cov ( (i ) , ( k ) ) ik I
i, k = 1, 2, …, p
2.2 Akaike’s Information Criterion Corrected (AICc) Akaike’s Information Criterion Corrected (AICc) merupakan pengembangan dari Akaike’s Information Criterion (AIC). Kriteria AICc memilih model terbaik dengan mempertimbangkan banyakanya parameter di dalam model. Dengan menggunakan matriks varian kovarian dari residual yang diperoleh dari meregresikan dengan variabel prediktor kombinasi. Hafidi dan Mkhadri (2006) menyatakan besarnya AICc adalah sebagai berikut: AICc n (ln ˆ p) dengan:
ˆ n p q d
2nd , (n (q p 1))
= matriks varian kovarian dari residual = jumlah pengamatan =jumlah variabel Y =jumlah variabel X = p q 0,5 p ( p 1)
2
(1)
Kriteria pemilihan model terbaik yang didapatkan dari nilai AICc, semakin kecil nilai AICc berarti semakin baik model yang digunakan. 2.3 Penyakit Kusta Mycobacterium leprae merupakan agen penyebab penyakit kusta. Bakteri ini ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen di Norwegia pada tahun 1873, merupakan bakteri pertama yang diidentifikasi sebagai penyebab penyakit pada manusia (WHO, 2003). Kusta memiliki dua tipe gejala klinis yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB). Pausibasilar (PB) termasuk tipe kusta kering dan tidak menular. Tanda-tanda tipe PB adalah adanya bercak seperti panu dan bila disentuh dengan kapas masih terasa. Sedangkan tipe gejala klinis Multibasilar (MB) termasuk tipe kusta basah dan mudah menular. Tanda-tanda tipe MB adalah adanya bercak putih atau kemerahan tersebar merata di seluruh badan, dan kurang terasa bila disentuh dengan menggunakan kapas. 2.4 Interaksi Sosial Murdiyatmoko dan Handayani (2004) menyatakan bahwa, “Interaksi sosial adalah hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh yang menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial”. Menurut Tim Sosiologi (2002), interaksi sosial dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu interaksi sosial yang bersifat asosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk - bentuk asosiasi (hubungan atau gabungan) seperti kerja sama, akomodasi, dan asimilasi. Sedangkan interaksi sosial yang bersifat disosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk - bentuk pertentangan atau konflik seperti persaingan, kontravensi, dan konflik. Karp dan Yoels (2007) menjelaskan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi interaksi sosial seperti jenis kelamin, usia, bentuk tubuh seseorang, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. 3. Metodologi 3.1 Sumber Data dan Variabel Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan kuisioner dan data sekunder dari puskesmas Kecamatan Brondong yang berupa data pasien kusta baru yang berobat tahun 2011. Variabel respon yang digunakan dalam penelitian ini Y1 (kerja sama), Y2 (akomodasi), Y3 (asimilasi), Y4 (konflik yang timbul), Y5 (daya saing) dan Y6 (kontravensi). Sedangkan untuk variabel prediktor yang digunakan adalah X1 (jenis kelamin), X2 (usia), X3 (tipe gejala klinis PB atau MB), X4 (pendidikan terakhir), X5 (pekerjaan), X6 (penghasilan perbulan), X7 (sebelum dan setelah didiagnosa menderita kusta). 3.2 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien kusta yang berobat pada tahun 2011 di Puskesmas Kecamatan Brondong, Lamongan Jawa Timur, yaitu sebanyak 75 pasien. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria yaitu pasien yang usianya 14 tahun. Karena Usia 14 tahun usia yang sudah mampu untuk mengenal diri dan memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya (Kartono, 1990). Pasien kusta yang tercatat di Puskesmas Kecamatan Brondong dan berusia 14 tahun sebanyak 50 pasien. 3.3 Langkah Analisis Langkah awal yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan pertama adalah melakukan analisis deskriptif untuk mendapatkan karakteristik penderita kusta Kecamatan Brondong, Lamongan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah uji validitas dan reliabilitas. 3
Untuk mencapai tujuan kedua adalah menentukan faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap interaksi sosial dengan mengunakan analisis regresi multivariat, langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai berikut: a. Dalam analisis regresi multivariat pengujian yang pertama dilakukan adalah menguji apakah antar variabel respon berkorelasi atau tidak dengan menggunakan uji Barlett’s. b. Melakukan regresi secara parsial pada variabel. Dimana variabel prediktor yang tidak signifikan tidak digunakan dalam menghitung AICc. c. Melakukan pemilihan model terbaik dengan kriteria AICc. d. Melakukan estimasi parameter model regresi multivariat. e. Melakukan pengujian signifikansi parameter terhadap model dengan menggunakan Wilk’s Lambda. f. Melakukan pengujian asumsi residual IIDN. g. Menginterpretasikan model yang telah diperoleh. h. Membuat suatu kesimpulan. 4.
Analisis dan Pembahasan Analisis deskriptif yang pertama dilakukan pada variabel respon. Hal ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing variabel respon. Hasil analisis statistik deskriptif setiap variabel respon dapat dilihat pada Tabel 4.1 Tabel 1. Deskriptif Variabel Respon Sebelum didiagnosa kusta
Setelah didiagnosa kusta
Mean
Mean
Y1 = Kerja sama
3,4
2,6
Y2 = Akomodasi
3,5
4
Y3 = Asimilasi
4
3,1
Y4 = Konflik
1,7
1,3
Y5 = Daya Saing
3,9
2,8
Y6 = Kontravensi
2,1
2,8
Variabel Respon (Y)
Berdasarkan Tabel 1. dapat diketahui bahwa rata-rata interaksi sosial seseorang untuk dimensi kerja sama sebelum didiagnosa menderita kusta sebesar 3,4 dan setelah didiagnosa menderita kusta kerja samanya akan berkurang secara rata-rata menjadi 2,6. Hal ini dapat diartikan bahwa sebelum didiagnosa menderita kusta rentang intensitas mengikuti kerja sama berada pada rentang cukup sering sampai sering mengikuti kerja sama, namun setelah didiagnosa menderita kusta intensitas seseorang mengikuti kerja sama berada pada rentang jarang mengikuti kerja sama sampai cukup sering. Interaksi sosial seseorang untuk dimensi akomodasi sebelum didiagnosa menderita kusta rata-rata sebesar 3,5 dan setelah didiagnosa menderita kusta akomodasinya akan naik secara rata-rata menjadi 4. Hal ini dapat diartikan bahwa sebelum didiagnosa menderita kusta akomodasi (dukungan atau perhatian) yang diperoleh dari orang-orang terdekat berada pada rentang cukup baik sampai baik, namun setelah didiagnosa menderita kusta akomodasi yang diterima penderita kusta dari orangorang terdekat meningkat menjadi baik. Begitu juga untuk dimensi asimilasi sebelum didiagnosa menderita kusta rata-rata sebesar 4 dan setelah didiagnosa menderita kusta asimilasinya turun secara rata-rata menjadi 3,1. Interaksi sosial seseorang yang mengarah ke bentuk pertentangan untuk dimensi konflik sebelum didiagnosa menderita kusta rata-rata sebesar 1,7 dan setelah didiagnosa menderita kusta, konflik seseorang turun secara rata-rata menjadi 1,3. Sedangkan untuk interaksi sosial seseorang yang mengarah ke bentuk pertentangan untuk dimensi daya saing sebelum didiagnosa menderita kusta rata-rata sebesar 3,9 dan setelah didiagnosa menderita kusta daya saing seseorang turun secara rata-rata menjadi 2,8. Dan untuk interaksi sosial
4
seseorang yang mengarah ke bentuk pertentangan untuk dimensi kontravensi sebelum didiagnosa menderita kusta rata-rata sebesar 2,1 dan setelah didiagnosa menderita kusta, kontravensi yang dialami penderita kusta akan naik secara rata-rata menjadi 2,8. 4.1
Deskriptif Penderita Kusta Kecamatan Brondong, Lamongan Berdasarkan hasil pengelompokkan usia dapat diketahui bahwa mayoritas penderita kusta berusia 30-60 tahun yaitu sebanyak 23 orang dan jumlah penderita paling sedikit pada kelompok usia > 60 tahun dengan mayoritas berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 54% atau sebanyak 27 orang. Pada umumnya tingkat pendidikan penderita kusta paling banyak adalah SLTP, dan paling sedikit adalah perguruan tinggi. Jika dijumlahkan penderita kusta yang tidak sekolah dan SD sebanyak 19 orang atau sekitar 38%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan penderita kusta adalah rendah. Untuk tingkat pekerjaan dapat diketahui bahwa, sebanyak 14 penderita kusta masih sekolah, 10 penderita adalah bekerja sebagai petani, 5 penderita sebagai wiraswasta, 8 penderita bekerja di swasta, dan 10 sisanya adalah lain-lain (ibu rumah tangga dan tidak bekerja). Dengan mayoritas berpenghasilan kecil yaitu < Rp 500.000. Sebanyak 38 orang atau sekitar 76% penderita kusta di Kecamatan Brondong memiliki tipe gejala klinis MB (tipe kusta basah dan mudah menular) dan sisanya 24% adalah tipe PB (tipe kusta kering dan tidak menular). Karena tingkat pengetahuan penderita tentang penyakit kusta rendah, mengakibatkan penderita tidak tahu cara mengobati dan mengidentifikasi penyakit tersebut. Akibatnya, ketika didiagnosa menderita kusta mayoritas penyakitnya sudah bertipe MB. Sehingga pemerintah atau lembaga-lembaga yang terkait sebaiknya memberikan sosialisasi tentang penyakit kusta. 4.2
Analisis Regresi Multivariat Langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap kuisioner yang digunakan. Berikut merupakan uji validitas dan uji reliabilitas: 4.2.1 Uji Validitas dan Reliabitias Uji validitas merupakan suatu uji yang digunakan untuk mengukur sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang ingin diukur, alat ukur tersebut berupa kuisioner. Hipotesis: H0: atribut tidak mengukur variabel yang sama (tidak valid) H1: atribut mengukur variabel yang sama (valid) Taraf signifikansi : = 0,05 Daerah kritis : Tolak H0 jika rhit 0,197 Tabel 2. Uji Validitas Faktor
Nilai Korelasi (r)
Nilai r0,05(98)
Keputusan
Kerja sama
0,734
0,197
Valid
Akomodasi
0,295
0,197
Valid
Asimilasi
0,736
0,197
Valid
Konflik
0,343
0,197
Valid
Daya Saing
0,744
0,197
Valid
Kontravensi
0,611
0,197
Valid
Tabel 2. menunjukkan bahwa berdasarkan dari 50 responden, diperoleh nilai korelasi (rhitung) yang lebih besar dari r0,05(98) pada item pertanyaan 1 sampai 6. Sehingga sesuai dengan
5
hipotesis, maka keputusannya adalah tolak H0, yang berarti seluruh item pertanyaan pada interaksi sosial sudah valid. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas merupakan suatu uji yang digunakan untuk mengukur sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten dan dapat dipercaya apabila pengukuran diulang dua kali atau lebih. Hipotesis : H0 : Hasil pengukuran tidak konsisten H1 : Hasil pengukuran konsisten Taraf signifikansi : = 0,05 Daerah kritis : Tolak Ho jika Alpha Cronbach hitung ≥ 0,6 Tabel 3. Nilai Reliabilitas Variabel
Alpha Cronbach hitung
Keputusan
Interaksi Sosial
0,616
Reliabel
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa diperoleh nilai Alpha Cronbach’shitung sebesar 0,616. Karena nilai alpha cronbach tersebut lebih besar atau sama dengan dari 0,6 maka nilai reliabilitas cukup besar, sehingga dapat disimpulkan hasil pengukuran telah konsisten. Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, langkah selanjutnya untuk analisis regresi multivariat adalah melakukan pengujian pada semua variabel respon yang digunakan dalam penelitian apakah antar variabel respon tersebut berkorelasi atau tidak dengan uji Barlett. Berikut merupakan hasil pengujian dengan menggunakan Barlett Sphericity: Hipotesis : H0 : R=I H1 : R≠I Statistik Uji : 2p 5 2 (2) n 1 hitung ln R 6 Daerah Penolakan : 2 02,05;15 Tolak H0 jika nilai hitung Tabel 3. Uji Barlett Sphericity
Barlett’s Test of Sphericity
Approx. Chi- Square Df P-value
02,05;15
126,961 15 0,000 24,996
2 Hasil uji Barlett’s di atas dapat diketahui, bahwa nilai hitung sebesar 126,961 lebih
besar dari nilai 02, 05;15 . Berdasarkan hipotesis di atas dapat diambil keputusan untuk menolak H0, sehingga dapat disimpulkan bahwa matriks korelasi tidak membentuk matriks identitas atau dapat diartikan antar variabel respon dalam penelitian ini saling berkorelasi. Sehingga analisis multivariat dapat digunakan pada penelitian ini.
6
4.2.2
Pemilihan Model dengan Kriteria AICc Model regresi yang dibentuk adalah model regresi dengan melibatkan kombinasi dari variabel – variabel prediktor. Mulai dengan penggunaan satu variabel prediktor sampai tiga belas variabel prediktor. Untuk mendapatkan model regresi multivariat terbaik digunakan kriteria AICc. Sebelum menghitung nilai AICc, dilakukan regresi secara parsial beberapa variabel. Dimana variabel prediktor yang tidak signifikan tidak digunakan dalam menghitung AICc. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan kombinasi model yang lebih sedikit. Berdasarkan variabel prediktor yang signifikan terbentuk 15 macam kombinasi model dengan variabel prediktor yang digunakan adalah usia (X2), tipe gejala klinis penyakit kusta (X3), penghasilan (X6) dan sebelum serta setelah didiagnosa kusta (X7) dan menghubungkannya dengan variabel respon yaitu kerja sama (Y1), akomodasi (Y2), asimilasi (Y3), konflik (Y4), daya saing (Y5) dan Kontravensi (Y6). Melalui perhitungan AICc, diperoleh nilai AICc minimum sebesar 447,429 dengan variabel prediktor yang berpengaruh adalah variabel X2, X3 dan X7. 4.2.3
Penaksiran Parameter Untuk mendapatkan model regresi multivariat yang menggambarkan hubungan antara variabel prediktor dan respon perlu dilakukan estimasi parameter. Hasil estimasi parameter model regresi multivariat disajikan dalam Tabel 4 yaitu sebagai berikut: Parameter
Yˆ1
Tabel 4. Estimasi Parameter Model
Yˆ2
Yˆ3
Yˆ4
Yˆ5
Yˆ6
ˆ 0 ˆ
3,094
3,979
4,072
2,062
3,785
3,408
,002
-,014
-,001
-,011
,005
,009
ˆ 3 ˆ
1,010
,040
,005
,078
-,075
,530
-,860
,510
-,930
-,346
-1,190
-,680
2
7
Berdasarkan Tabel 4. diperoleh model regresi multivariat untuk masing-masing variabel respon. Model yang terbentuk yaitu sebagai berikut : Yˆ1 3,094 0,002 usia 1,01 tipe 0,86 diagnosa Yˆ2 3,979 0,014 usia 0,04 tipe 0,51 diagnosa Yˆ 4,072 0,001 usia 0,005 tipe 0,93 diagnosa 3
Yˆ4 2,062 0,011 usia 0,078 tipe 0,346 diagnosa Yˆ5 3,785 0,005 usia 0,075 tipe 1,19 diagnosa Yˆ 3,408 0,009 usia 0,53 tipe 0,68 diagnosa 6
Model di atas, dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi interaksi sosial (kerja sama, akomodasi, asimilasi, konflik, daya saing, dan kontravensi) pada penderita kusta di Kecamatan Brondong Lamongan adalah usia, tipe gejala klinis penyakit kusta (PB atau MB) dan diagnosa (sebelum dan sesudah didiagnosa menderita kusta). Sedangkan faktor – faktor lain seperti jenis kelamin, pendidikan, dan penghasilan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap interaksi sosial. Model pertama dapat diinterpretasikan bahwa penyakit kusta dapat memberikan pengaruh negatif pada keikutsertaan organisasi maupun kegiatan yang melibatkan banyak orang. Seseorang yang telah didiagnosa menderita kusta (dummy bernilai 1), interaksi sosialnya (kerja sama) akan turun sebesar 0,86 jika faktor lain seperti usia dan tipe gejala klinis penyakit kusta tidak mengalami perubahan. Sedangkan interaksi sosial (kerja sama) untuk penderita kusta dengan tipe MB (dummy bernilai 0) jika usia sebesar 1 tahun, maka interaksi sosial (kerja sama) akan bernilai sebesar 2,236. Nilai 2,236 diperoleh dari
7
Yˆ1 3,094 0,002 (1) 1,01 (0) 0,86 (1) . Sedangkan untuk tipe PB (dummy bernilai 1), kerja
samanya akan bernilai 3,246. Yang artinya seseorang dengan menderita kusta tipe PB akan lebih banyak berinteraksi bila dibandingkan dengan seseorang yang terkena kusta tipe MB. Untuk model lainnya dapat diinterpretasikan dengan cara yang sama seperti model sebelumnya. 4.2.4
Uji Signifikansi Parameter Langkah selanjutnya adalah melakukan uji signifikansi parameter yang bertujuan untuk mengetahui apakah parameter berpengaruh secara signifikan dalam model. Uji signifikansi parameter dimulai dari uji secara serentak, kemudian dilanjutkan dengan uji parsial. Pengujian secara serentak dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah secara keseluruhan parameter signifikan dalam model. Hipotesis: H0 : 21 31 71 22 32 72 ... 26 36 76 = 0 H1 : Minimal ada satu qp 0 Statistik Uji: hitung
E EH
Y' Y βˆ ' X' Y
(3)
Y' Y n y y '
Daerah penolakan : Tolak H0 jika hitung , p ,q ,nq1 . Pada pengujian hipotesis diperoleh nilai Wilks Lambda sebesar 0,365 yang lebih kecil dari nilai 0, 05, 6,3,96 yaitu 0,734 maka keputusannya adalah menolak H0 yang berarti minimal ada satu parameter yang signifikan berpengaruh terhadap model. Besarnya hubungan antara variabel respon dan variabel prediktor diperoleh dari nilai 2
2 1 0,365 0,635 . Nilai sebesar 0,635 berada pada interval 0 dan 1. Nilai 2 Semakin mendekati 1 berarti hubungan antara variabel respon dan variabel prediktor semakin erat. Untuk mengetahui apakah model regresi multivariat yang diperoleh layak digunakan atau tidak, untuk itu dilakukan pengujian terhadap parameter model secara parsial. Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh setiap variabel prediktor terhadap variabel-variabel respon secara parsial. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut: Variabel usia penderita kusta (X2) H0 : 21 22 23 24 25 26 0 H1 : Minimal ada satu qp 0 α : 0,05 Variabel dummy untuk tipe gejala klinis penyakit kusta MB atau PB (X3) H0 : 31 32 33 34 35 36 0 H1 : Minimal ada satu qp 0 α : 0,05 Variabel dummy sebelum atau setelah didiagnosa menderita kusta (X7) H0 : 71 72 73 74 75 76 0 H1 : Minimal ada satu qp 0 α : 0,05
8
Tabel 4. Hasil Perhitungan Wilks Lambda Wilks Lambda
0, 05, 6,1,98
P-Value
X2
0,828
0,8751
0,007
X3
0,815
0,8751
0,004
X7
0,542
0,8751
0,000
Tabel 4 merupakan hasil pengujian parameter secara parsial dengan menggunakan statistik uji Wilks Lambda, dimana nilai Wilks Lambda dari masing-masing variabel kurang dari nilai 0, 05, 6,1,98 . Sesuai dengan hipotesis yang ada, maka diambil keputusan untuk menolak H0. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel berpengaruh secara signifikan terhadap interaksi sosial (kerja sama, akomodasi, asimilasi, konflik, daya saing, dan kontravensi) dan ketiga variabel tersebut adalah variabel usia penderita kusta, variabel dummy untuk tipe gejala klinis penyakit kusta, dan variabel dummy sebelum atau setelah didiagnosa menderita kusta. 4.2.5
Uji Asumsi Residual Setelah dilakukan estimasi parameter model langkah selanjutnya yaitu pengujian asumsi residual. Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi adalah normal multivariate, identik, dan independen. Normal Multivariat Salah satu asumsi model regresi multivariat adalah matriks residual berdistribusi normal multivariat dengan pengujian sebagai berikut : Hipotesis: H0 : Residual data berdistribusi normal multivariat H1 : Residual data tidak berdistribusi normal multivariat Setelah dilakukan pengujian distribusi normal multivariat dengan membuat q-q plot dari nilai d i2 , diperoleh nilai d i2 yang kurang dari 2p;0,5 sebanyak 51% maka keputusan yang diambil adalah gagal menolak H0. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada residual memenuhi asumsi distribusi normal multivariat. Identik Setelah melakukan pengujian asumsi ditribusi normal multivariat, asumsi lain yang harus dipenuhi adalah matrik varian kovarian residual yang homogen. Untuk pengujian matriks varian kovarian residual dilakukan pengujian dengan menggunakan statistik uji Box’s M (Morrison, 2005). Hipotesis: H0 : 1 2 3 4 5 6 H1 : minimal ada satu k l untuk k l Hasil pengujian kehomogenan matrik varian kovarian dengan menggunakan Box’s M didapatkan nilai u sebesar 120,681, karena nilai u < 1 maka diambil keputusan , ( 61) 6 ( 61) 2
gagal menolak H0. Sehingga dapat disimpulkan matriks varians-kovarian residual homogen.
data
Independen Pengujian asumsi residual selanjutnya, selain asumsi residual berdistribusi normal multivariat, matrik varian kovarian residual data homogen dan asumsi residual data bersifat
9
independent (saling bebas) juga harus dipenuhi. Pengujian asumsi residual data bersifat independent ini dilakukan menggunakan uji Bartlett Spericity (Morrison, 2005) Hipotesis : H0 : R=I H1 : R≠I Hasil pengujian independen pada matriks varians dengan menggunakan Bartlett 2 2 Spericity diperoleh nilai hitung sebesar 87,165, karena nilai hitung 02.05, 661/ 2 maka diambil keputusan untuk tolak H0. Sehingga dapat disimpulkan matriks varians-kovarian residual dependen. Hal ini berarti ada kecenderungan kesamaan jawaban antara responden satu dengan yang lain dalam hal interaksi sosial. 4.2.6
Uji Berpasangan 2 Sampel t Uji berpasangan ini dilakukan untuk mengetahui apakah antara sebelum dan sesudah didiagnosa kusta untuk interaksi sosial penyandang kusta berbeda atau tidak. Uji berpasangan dilakukan pada masing-masing dimensi interaksi sosial. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut : H0 : 1 2 H1 : 1 2 α : 0,05 Statistik Uji : X 1 X 2 1 2 t hitung
Sp
1 / n1 1 / n 2
Daerah Penolakan : tolak H0 jika t hitung > t 0,025 (98) atau yaitu t hitung > 1,98 atau t hitung < -1,98 t hitung < t 2
, ( n1 n2 2 )
Tabel 5. Hasil Perhitungan Uji t Dimensi Kerja sama Akomodasi Asimilasi Konflik Daya saing Kontravensi
Keterangan
Mean
Sebelum
3,42
Setelah
2,56
Sebelum
3,48
Setelah
3,99
Sebelum
4,03
Setelah
3,10
Sebelum
1,69
Setelah
1,34
Sebelum
3,94
Setelah
2,75
Sebelum
3,86
Setelah
3,18
Sp
t hitung
1,29
3,32
0,96
-2,64
0,79
5,88
0,74
2,33
0,94
6,34
0,80
4,24
Tabel 5. merupakan hasil pengujian berpasangan 2 sampel t, dimana nilai t hitung dari masing-masing dimensi kurang dari -1,98 atau lebih besar dari 1,98. Sesuai dengan hipotesis yang ada, maka diambil keputusan untuk menolak H0. Yang dapat diartikan bahwa masingmasing dimensi interaksi sosial sebelum didiagnosa kusta berbeda dengan setelah didiagnosa kusta. Hal ini dapat disimpulkan bahwa penyakit kusta dapat mempengaruhi interaksi sosial
10
seseorang. Intensitas kerja sama, kemampuan berbaur, dan daya saing seseoarang akan berkurang jika orang tersebut terdiagnosa menderita kusta. 5. 1.
2.
Kesimpulan Hasil analisis yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : Interaksi sosial seseorang setelah didiagnosa menderita kusta untuk dimensi kerja sama, asimilasi, konflik dan daya saing secara rata-rata turun yang masing-masing menjadi 2,6 satuan, 3,1 satuan, 1,3 satuan dan 2,8 satuan. Sedangkan interaksi sosial setelah didiagnosa menderita kusta untuk dimensi akomodasi dan kontravensi secara rata-rata naik yang masing-masing sebesar 4 dan 2,8 satuan. Selain itu dari karakteristik responden dapat disimpulkan bahwa usia penderita kusta di Kecamatan Brondong Lamongan berkisar 30-60 tahun dengan mayoritas berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan tipe gejala klinis penyakit kusta di Kecamatan Brondonng Lamongan adalah tipe multibasilar (MB). Tipe ini adalah tipe kusta basah dan mudah menular. Penderita kusta di Brondong pada umumnya berpenghasilan rendah yaitu
Yˆ4 2,062 0,011 usia 0,078 tipe 0,346 diagnosa Yˆ5 3,785 0,005 usia 0,075 tipe 1,19 diagnosa Yˆ 3,408 0,009 usia 0,53 tipe 0,68 diagnosa 6
Melalui model yang diperoleh dapat diketahui bahwa penyakit kusta dapat memberikan dampak yaitu berkurangnya intensitas interaksi sosial seseorang, khususnya untuk dimensi kerja sama, asimilasi, konflik dan daya saing. Sedangkan penderita kusta dengan tipe MB interaksi sosialnya akan lebih rendah bila dibandingkan dengan tipe PB. 6.
Daftar Pustaka Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2008. Laporan kusta tahun 2008. Dinkes Jatim. Surabaya. Fajar, N. A. 2004. Pengaruh Faktor Sosial Budaya dalam Keluarga terhadap Pengobatan Dini dan Keteraturan Berobat pada Penderita Kusta. FK UNAIR. Surabaya. Hafidi, B. dan Mkhadri, A. 2006. A Corrected Akaike Criterion Baed on Kull back’s Symmetric Divergence : Application in Time Series, Multiple and Multivariate Regression, Computational Statistics and Data Analysis 50, hal 1524-1550. Johnson, R. A., & Wichern, D. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis. New Jersey: Prentice Hall. Karp dan Yoels. 2007. Tiga Jenis Aturan dalam Interaksi Sosial,
[diunduh 7 Februari 2011].
11
Kartono. 1990. Batasan Usia Remaja, [diunduh 7 Februari 2011]. Kasmadji. 2002. Studi tentang Hubungan antara Pengetahuan dan Gangguan Harga Diri pada Pasien Morbus Hansen di Poli Kulit dan Kelamin. Program Studi Ilmu Keperawatan FK UNAIR. Surabaya. Maryawati dan Suryawati. 2003. Pengertian Interaksi Sosial, [diunduh 7 Februari 2011]. Morrison, D. F. 2005. Multivariate Statistical Methods Fourth Edition. The Wharton School University of Pennsylvania. Murdiyatmoko dan Handayani. 2004. Pengertian Interaksi Sosial, [diunduh 7 Februari 2011]. Puskesmas Brondong. 2010. Laporan kusta tahun 2010. UPT Puskesmas Brondong, kecamatan Brondong kabupaten Lamongan. Rencher, A. R. 2002. Methods of Multivariate Analysis Second Edition. John Wiley & Sons, Inc. New York. Tim Sosiologi. 2002. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial, [diunduh 7 Februari 2011]. Walpole, E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. World Health Organization (WHO). 1998. WHO Expert Committee on Leprosy. 7 th ed. WHO Technical Report Series. No. 874. Geneva. World Health Organization (WHO)-Leprosy Group. 2003. Leprosy. In: Cook GC., Zumla A. (Eds). Manson’s Tropical Diseases. 21st ed. Saunders. London. p.1065-1084. World Health Organization (WHO). 2008. Weekly epidemiological report. 83(33): 293300.
12