Dummy ini hanyalah contoh garis besar. Anda diperbolehkan berimprovisasi pada format cover maupun isi. Dimohon untuk tidak menyertakan logo universitas asal anda
Judul jelas, menggambarkan isi
Analisis Dampak Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Ketimpangan Pendapatan di Indonesia
Disusun untuk mengikuti Kompetisi Indonesia Economic Outlook 2014 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Oleh: 12/330694/EK/….- I Wayan Arya Swarnata 12/335925/EK/19109 – Prabaning Tyas
Naskah esai : kertas A4; margin kiri 4cm; margin kanan, atas dan bawah 3cm; font times new roman 12; spasi 1,5
Kelompok terdiri dari 2 orang, cantumkan nama lengkap
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA 2014
ABSTRAK
Performa ekonomi Indonesia tengah mendapat banyak sorotan intensif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir menjadi salah satu pencapaian yang dinilai luar biasa. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Bank Dunia, pertumbuhan PDB Indonesia sebagai salah satu emerging economies selalu berada di atas level 4 persen. Bahkan, pada saat berlangsungnya krisis ekonomi Amerika Serikat pada Tahun 20082009, Indonesia menjadi salah satu perekonomian yang paling sehat dengan pertumbuhan PDB sebesar 6,01 persen pada 2008 dan 4,63 persen pada Tahun 2009, dimana negara emerging economies lainnya seperti Malaysia, Rusia, Afrika Selatan, dan Thailand justru mencatat pertumbuhan PDB negatif pada Tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi yang baik tadi bukannya tanpa masalah. Pasalnya, tingkat ketimpangan di Indonesia, utamanya ketimpangan pendapatan, justru menghadirkan kabar yang tidak menggembirakan. Tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia mengalami peningkatan pada Tahun 2013 menjadi sebesar 0,41. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan: apa yang salah dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia? Ada sesuatu yang harus dibenahi di negara ini. Upaya pembenahan itu dapat dimulai secara konkrit melalui kebijakan fiskal. Pemerintah sebagai otoritas fiskal dapat berperan aktif untuk mengatasi fenomena ketimpangan pendapatan ini melalui kapasitasnya dalam menetapkan peraturan perpajakan, baik sebagai tulang punggung penerimaan negara maupun sebagai instrument yang cukup efektif dalam mewujudkan pemerataan bagi masyarakatnya. Pengenaan pajak juga memerlukan pertimbangan yang matang, di antaranya adalah memikirkan pajak apa yang paling efektif dalam mencapai tujuan utama tadi: pemerataan, dengan efek samping yang minimum. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kemudian hadir dan dirujuk sebagai sebuah solusi yang cukup solutif guna menjawab persoalan ini.
Nomor halaman di kanan bawah
i
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
..….………….………………………………………………….….1
Latar Belakang .…………….…………………………………………………….1 Rumusan Masalah ……………………………………………………………....4 Tujuan Penulisan………………………………………………………………….4 Metode Penulisan …………………………………………………………………4 Data
.……………………….………………………………………………4
Alat Analisis
………………………………………………………..……4
LANDASAN TEORI:…………………………………………………………….……..7 Inclusive Growth………….………………………………………….…….…..…..7 Ketimpangan Pendapat….…………………………………………….……..…...7 Kebijakan Fiskal ………………………………………………………….…..….8 Pajak.....………………………………………………………………………..…..9 Pajak Pertambahan Nilai (PPN..………………………………………..….........9 PEMBAHASAN…………………………………………………………………...……12 Analisis Konsumsi Rumah Tangga di Indonesia…………………………..….12 Analisis Dampak Jenis Barang yang Tidak Dikenai PPN terhadap Ketimpangan Pendapatan ………………………………………………….…...13 Strategi Optimalisasi PPN untuk Mengurangi Ketimpangan Pendapatan….14 KESIMPULAN………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..……..13 LAMPIRAN …………………………………………………………………………...18
ii
LEMBAR PERNYATAAN ORIGINALITAS Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa esai terlampir adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya. Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk esai pada lomba lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menyatakan menggunakannya. Kami memahami bahwa esai yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
Judul esai
:
Tempat, Tanggal
:
Dosen Pembimbing : (jika ada) Tandatangan
: (jika ada)
Nama Anggota 1
:
NPM
:
Tandatangan
:
Nama Anggota 2
:
NPM
:
Tandatangan
:
Lembar pernyataan originalitas harap mengikuti format ini
iii
Jumlah halaman naskah esai yang diperkenankan maksimal 15 halaman, terhitung dari pendahuluan hingga daftar pustaka BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Inequality atau ketimpangan merupakan permasalahan klasik yang pembahasannya telah lama menjadi fokus di dalam diskusi pembangunan ekonomi. Menurut Joseph Stiglitz (2013) di dalam bukunya The Price of Inequality, ketimpangan dapat menyulitkan suatu masyarakat untuk dapat berfungsi dengan efisien. 1 Ketimpangan juga kerap dituding sebagai pemicu beberapa permasalahan sosial yang selanjutnya menjadi „efek samping‟ dari suatu perumbuhan ekonomi, seperti kecemburuan sosial, konflik horizontal, dan lain sebagainya. Pasca krisis moneter tahun 1998, ketimpangan pendapatan di Indonesia meningkat. Koefisien Gini Indonesia bahkan melonjak dari angka
Pendahuluan berisi latar belakang, permasalahan yang akan dibahas,dan tujuan yang ingin dicapai.
0,37 menjadi 0,41 pada tahun 2013 untuk pertama kalinya dalam sejarah dan angka ini masih bertahan sampai sekarang. Tren semacam ini kerap dikaitkan dengan teori inverted-U Curve milik Kuznets, dimana disebutkan bahwa antara pertumbuhan ekonomi
(economic growth) dan pemerataan pendapatan terdapat hubungan yang trade-off, sehingga terjadinya peningkatan ketimpangan di negara-negara berkembang yang menyusul pertumbuhan ekonomi mereka yang cepat merupakan hal yang wajar. Namun, ternyata ditemukan bahwa hal ini tidak berlaku baku. Brasil dan Meksiko, misalnya, yang mengalami penurunan koefisien Gini sejak tahun 2009. Berdasarkan data dari Bank Dunia pada tahun 2012, Brazil mengalami penurunan koefisien Gini dari 0,542 pada tahun 2008 menjadi 0,537 pada tahun 2009, padahal di sisi lain koefisien Gini ratarata di Amerika Latin secara umum sedang mengalami peningkatan. Fakta ini menunjukkan bahwa hal serupa juga dapat diwujudkan di Indonesia, tentunya dengan prosedur yang tepat dan efektif. Ketimpangan sejatinya ada dua jenis, yakni ketimpangan peluang (opportunity inequality) dan ketimpangan pendapatan (income inequality).
Keduanya disinyalir dapat
mengganggu pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan inefisiensi di dalam masyarakat. Berdasarkan hal ini, maka pembahasan yang komprehensif mengenai ketimpangan,
1
Joseph Stiglitz The Price of Inequality. 2013. Hlm. 78
1
khususnya ketimpangan pendapatan, menjadi relevan. Di dalam konteks ketimpangan pendapatan (income inequality), salah satu solusi yang dapat ditawarkan adalah redistribusi pendapatan. Menurut Leonel Muinelo-Gallo dan Oriol Roca-Sagales, dengan suatu formulasi kebijakan fiskal tertentu, trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dapat dihilangkan. 2 Redistribusi pendapatan yang baik akan membantu mempersempit gap pendapatan antara kelompok masyarakat berpenghasilan menengah hingga tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Lebih konkrit lagi, redistribusi pendapatan ini dilaksanakan melalui sistem perpajakan yang efektif. Dari ketiga struktur perpajakan yang ada, struktur perpajakan progresif-lah yang paling mendukung terjadinya redistribusi pendapatan. Atas dasar hal tersebut, pemerintah sebagai otoritas fiskal semakin memiliki peran penting dalam upaya mengatasi ketimpangan pendapatan ini, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Joseph Stiglitz, (2012) “Government today plays a double role in our inequality: it is partly responsible for the inequality in before-tax distribution of income, and it has taken a diminished role in “correcting” the inequality through progressive tax and expenditure policies” Di samping progresivitasnya, dalam menentukan sistem perpajakan, harus diperhatikan juga aspek efisiensi dan kemerataannya (efficiency and equity). Dilihat dari segi efisiensinya, biaya pengumpulan pajak (cost of tax collection) tidak boleh melebihi pendapatan pajak yang diperoleh (tax revenue). Dilihat dari segi kemerataannya, pajak yang dikenakan harus memperhatikan segi keadilan, yakni mengenakan beban pajak yang sama pada subjek pajak dengan kedaaan yang sama dan mengenakan pajak yang berbeda pada subjek pajak dengan keadaan yang berbeda pula. Selain itu, kita tidak boleh lupa bahwa pajak dapat bersifat menimbulkan distorsi ekonomi, sehingga harus dipikirkan juga sistem perpajakan yang potensi distorsinya paling kecil. Semua aspek tadi harus ditimbang dengan seksama, agar objetktif utama perpajakan dapat tercapai dan bukannya menimbulkan excess burden yang tinggi di dalam perekonomian di mana pajak tersebut dikenakan. Berdasarkan hal-hal tadi, maka perlu dicari pajak apa sajakah yang dapat memberikan kontribusi optimal terhadap penerimaan negara di satu sisi, akan tetapi hanya menimbulkan excess burden yang minimum di sisi lain. Maka dari itu, diperlukanlah 2
Leonel Muinelo-Gallo, Oriol Roca-Sagales. “Economic Growth, Inequality and Fiscal Policies: A Survey of The Macroeconomics Literature,” Theories and Effects of Economic Growth, ed. Richard L. Bertrand (Nova Science Publishers, 2011), 99-119. Diakses 25 September, 2014, http://www.iecon.ccee.edu.uy.
Sumber data dan kutipan yang digunakan wajib dicantumkan, baik berupa daftar pustaka maupun footnote.
2
upaya konkrit dalam kebijakan fiskal dari sisi penerimaan yang data secara efektif membantu mengurangi kesenjangan pendapatan. Dari beragam jenis pajak yang ada dan sudah diimplementasikan di Indonesia, jenis pajak yang sejauh ini seringkali dianggap sebagai pajak yang paling efektif adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Value Added Tax. Pajak Pertambhaan Nilai (PPN) acapkali dirujuk sebaagai salah satu alternatif pajak terbaik yang ada bila dibandingkan pajak lainnya. Di Indonesia sendiri, Pajak Pertambahan Nilai secara resmi menggantikan kedudukan Pajak Penjualan (sales tax) sejak diberlakukannya UU Nomor 8 Tahun 1983 pada tanggal 1 April 1985. (Sukardji, 1999) menuliskan di dalam makalahnya „VAT Policy Issues’ bahwa Pajak Pertambahan Nilai dipilih oleh banyak negara karena beberapa alasan, di antaranya: a. Popularitas, b. Menggantikan Pajak Penjualan yang kurang memuaskan, c. Sistem pengurangan yang seragam, d. Basis pendapatan mengambang, yang biasanya menjanjikan lebih dari perkiraan awal, e. Penerimaan yang dapat diandalkan yang menciptakan basis kompensasi pada negara-negara yang bergantung pada penerimaan yang berasal dari komoditas utama yang mungkin memiliki tingkat volatilitas yang tinggi (misalnya minyak), f. Sifatnya yang relatif lebih tidak distortif, g. Pertambahan Nilai (Value Added) merupakan konsep bisnis yang jelas dan sudah umum, h. Pajak-pajak tradisional mengalami penolakan dari masyarakat, i. Kemajuan teknologi telah menjadikan administrasi VAT menjadi jauh lebih murah, terutama bagi ukuran administrasi yang tergolong kecil, j. Dampaknya terhadap ekspor, k. Dampak yang baik terhadap investasi (terlepas dari permasalahan tradisional yang mungkin muncul). Lebih jauh lagi, pendapat lain yang mengemukakan hal senada dimuat di dalam situs milik Otoritas Pendapatan Guyana. Di sana, secara umum, keunggulan Pajak Pertambahan Nilai adalah PPN sistem yang sederhana, PPN sistem yang adil, PPN adalah sistem yang efisien, PPN sulit dihindari secara ilegal, PPN menjadikan semua pihak yang menerima manfaat dari pengeluaran pemerintah ikut membayar pajak.
3
Di samping pajak pendapatan, beberapa studi menyatakan bahwa PPN berpotensi mengurangi ketimpangan. Pemerintah Indonesia dapat mengoptimalkan PPN. Apalagi tahun 2012 realisasi PPN masih berada di bawah target. Pemerintah Indonesia melalui perumusan UU No 42 Tahun 2009 memang telah mengatur tarif flat PPN, termasuk mengatur objek yang tidak kena pajak. Pemerintah seharusnya menetapkan tarif PPN berbeda-beda (minimal 5% atau maksimal 15% sesuai UU). Di samping optimalisasi sumber pajak, hal ini berpotensi mengurangi ketimpangan pendapatan dengan lebih efektif.
1.2 Rumusan Masalah Maksud utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak PPN terhadap ketimpangan pendapatan. Terdapat dua aspek penting dalam kebijakan fiskal pemerintah dalam konteks mengurangi ketimpangan. Di samping pembelanjaan yang berkualitas, diperlukan strategi optimalisasi penerimaan pemerintah yang sekaligus memperbaiki pemerataan pendapatan. Pemerintah Indonesia memiliki ruang optimalisasi pajak PPN, dengan menerapkan tarif pajak antara 5%-10% sesuai diatur UU. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang optimalisasi PPN untuk mengurangi ketimpangan.
1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Apakah ketetapan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang barang tidak kena PPN mempengaruhi ketimpangan pendapatan? 2. Strategi
tarif PPN seperti apakah yang dapat diaplikasikan oleh pemerintah
dalam rangka meningkatkan pendapatan sekaligus mengurangi ketimpangan pendapatan?
1.4 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui pengaruh PPN terhadap ketimpangan pendapatan di Indonesia, 2. Mengetahui jenis barang yang pengenaan PPN-nya berpotensi mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia, 3. Mengetahui jenis barang yang pengenaan PPN-nya berpotensi meningkatkan ketimpangan pendapatan di Indonesia.
1.5 Metode Penulisan 4
Dalam menyusun makalah ini, penulis melakukan studi pustaka yang bersumber dari buku, jurnal ilmiah, mapun laporan-laporan yang dirilis oleh berbagai institusi yang dinilai cukup relevan. 3.5.1 Data Penelitian ini menggunakan data primer dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Kor Tahun 2010. Observasi atau sampel dalam survei SUSENAS ini merupakan rumah tangga dari seluruh wilayah Indonesia yang ditentukan secara acak. Sampel SUSENAS Kor 2010 berjumlah 293.715 rumah tangga. Bagian data survei yang digunakan adalah bagian BAB VII yang memuat pengeluaran rumah tangga untuk bahan makanan dan non bahan makanan. Pada survei ini tidak terdapat butir perdapatan dan tabungan, sehingga peneliti menggunakan penjumlahan konsumsi sebagai variabel pendapatan. Variabel konsumsi pada penelitian ini adalah data dalam satu bulan dan dalam satuan rupiah.
3.5.2 Alat Analisis Untuk mengatahui efek marjinal dari perubahan sumber pendapatan (dalam hal ini sumber pendapatan yang dimaksud adalah sumber pendapatan negatif atau konsumsi atas barang k) terhadap tingkat ketimpangan, penelitian ini menggunakan alat analisis yang dikembangkan oleh (Lerman & Yitzhaki, 1985). Melalui model ini, Lerman dan Yithzhaki mencoba menguraikan koefisien Gini untuk ketimpangan pendapatan berdarkan faktor-faktor yang mengkomposisi pendapatan. Menurut model ini koefisien Gini untuk mengukur ketimpangan pendapatan dapat diuraikan menjadi: ∑ Sk merupakan proporsi sumber pendapatan k terhadap total pendapatan. Gk adalah indeks Gini yang mengukur ketimpangan pendapatan dari sumber k. Rk menujukan korelasi antara koefisien Gini dari sumber k dengan distribusi pendapatan. Dengan menggunakan dekomposisi perhitungan koefisien Gini, dampak perubahan sumber pendapatan pada koefisien Gini pada level yang sangat kecil sekalipun dapat diukur. Misalkan perubahan sebesar e (dalam persen) pada sumber pendapatan k adalah sebagai berikut:
G adalah koefisien Gini sebelum perubahan pendapatan. Perentase perubahan ketimpangan sebagai hasil perubahan sumber pendapatan k
adalah sama dengan 5
kontribusi sumber pendapatan k terhadap ketimpangan dikurangi dengan proporsi k terhadap total pendapatan, dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
Di dalam penelitian ini, model di atas digunakan untuk mengukur persentase perubahan ketimpangan sebagai akibat perubahan PPN pada barang k. (Oliva, 2012) menyebut pendekatan ini sebagai The Gini-Net Income Elasticity. Untuk menerapkan model di atas, peneliti menggunakan perangkat oleh data Stata dengan perintah decosgini sebagaimana dijelaskan oleh (Lopez-Feldman, 2006).
6
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Inclusive Growth Pertumbuhan ekonomi atau economic growth adalah suatu peristiwa peningkatan pendapatan nasional atau Pendapatan Nasional Bruto maupun peningkatan pendapatan per kapita (per capita income) pada suatu perekonomian. Apabila suatu negara mengalami peningkatan pendapatan per kapita maupun pendapatan nasional, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan istilah perkembangan ekonomi yang
juga mencakup indikator selain pendapatan
nasional dan pendapatan per kapita seperti penurunan tingkat kematian bayi, menurunnya jumlah pengangguran, dan lain sebagainya, pertumbuhan ekonomi hanya memperhatikan peningkatan pendapatan nasional dan pendapatan per kapita saja. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu
Landasan literatur dan teori berisi tentang rangkaian literatur dan teori yang sudah dikenali dan memiliki alur pikir tentang terjadinya kondisi perekonomian dari permasalahan yang akan dikaji
perekonomia tidak selalu sepenuhnya dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Di dalam kajian pembangunan, ada suatu fenomena ketika pertumbuhan yang ada hanya dinikmati oleh sebagian golongan masyarakat saja.. Inclusive growth, sesuai namanya, adalah pertumbuhan
yang
dapat
dinikmati
atau
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat
secara merata. Dengan kata lain, pada pertumbuhan ekonomi yang inklusif tidak ada lapisan masyarakat yang lebih diuntungkan maupun yang lebih dirugikan karena distribusi atas „kue‟ pertumbuhan itu merata pada semua lapisan masyarakat.
2.2 Ketimpangan Pendapatan Ketimpangan pendapatan atau income inequality adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan di dalam suatu perekonomian tidak merata. Artinya, terdapat sebagian kecil masyarakat yang menikmati sebagian besar total pendapatan di suatu perekonomian. Secara kuantitatif, ketimpangan pendapatan diekspresikan sebagai perbandingan Sebagai contoh, pada sutau perekonomian ternyata ditemukan fakta bahwa 20 persen penduduk
7
menguasai sekitar 70 persen pendapatan nasional. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa perekonomian tersebut mengalami ketimpangan pendapatan. Ketimpangan pendapatan ditunjukkan dengan suatu koefisien bernama koefisien Gini. Menurut (Simon James dan Christopher Nobes, 1992), koefisien Gini adalah sebuah
100
A
50
B C
0 0
50
Persentase Pendapatan Total
ukuran statistik dari ketimpangan.
100
Persentase Penerima Pendapatan
Gambar 1 Berdasarkan Gambar 1, garis miring 45 derajat adalah garis yang menunjukkan distribusi pendapatan yang merata sempurna: artinya, perbandingan persentase penerima pendapatan dan persentase pendapatan total sama dengan 1:1. Garis melengkung adalah Kurva Lorenz, yakni kurva yang memberikan gambaran secara grafis distribusi pendapatan kumulatif. Semakin berimpit Kurva Lorenz dengan garis miring 45 derajat tadi, maka semakin merata distribusi pendapatan pada perekonomian terkait. Koefisien atau indeks Gini dapat dihitung dengan formula sebagai berikut:
Semakin besar Koefisien Gini dari suatu perekonomian, semakin besar ketimpangan pendapatan yang terjadi, vice versa.
2.3 Kebijakan Fiskal Secara garis besar, ada dua jenis kebijakan yang dapat diterapkan untuk mengendalikan jalannya perekonomian maupun mempengaruhi pasar, yaitu kebijakan moneter dan
8
kebijakan fiskal. Apabila kebijakan moneter adalah kebijakan yang diberlakukan oleh otoritas moneter (Bank Sentral) dengan cara mempengaruhi jumlah uang yang beredar di masyarakat, maka kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diberlakukan oleh otoritas fiskal, yakni pemerintah, dengan cara mengatur penerimaan dan pengeluaran negara, dimana salah satunya adalah mekanisme perpajakan.
2.4 Pajak Pajak atau tax adalah suatu pungutan yang ditarik oleh pemerintah sebagai otoritas fiskal dari wajib pajak yang bersifat mengikat dan tidak memiliki timbal balik langsung. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Simon James dan Christopher Nobes (1992) di dalam The Economics of Taxation: “A tax is a compulsory levy made by public authorities for which nothing is received directly in return”. Menurut (Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, 1984), pajak setidaknya memiliki tiga fungsi utama, yaitu: 1. Fungsi Alokasi, yaitu untuk menyediakan barang maupun jasa yang dibutuhkan dan digunakan secara luas oleh masyarakat (social goods). Termasuk di dalam fungsi alokasi ini adalah juga kebijakan anggaran dan kebijakan pengaturan, 2. Fungsi distribusi, yaitu terkait dengan upaya pemerataan pendapatan dan kekayaan untuk memastikan terpenuhinya aspek keadilan sosial, 3. Fungsi stabilisasi, yaitu terkait dengan usaha mewujudkan kestabilan ekonomi. Pajak dapat digolongkan berdasarkan berbagai klasifikasi. Berdasarkan sifat administratifnya, pajak terbagi menjadi pajak langsung (direct tax) dan pajak tidak langsung (indirect tax). Berdasarkan dasar pengenaan pajak atau tax base, pajak terbagi menjadi pajak kapital (capital taxes) dan pajak lancer (current taxes).Berdasarkan dasar hubungan antara jumlah pajak yang harus dibayarkan dengan ukuran dasar pengenaan pajak, pajak terbagi menjadi pajak spesifik dan pajak ad valorem. Sementara berdasarkan strukturnya, pajak terbagi menjadi pajak progresif, pajak proporsional, dan pajak regresif.
2.5 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak ada berbagai macam. Salah satunya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Value Added Tax. Menurut direktori yang dirilis oleh (Hadibroto, n.d.)):
9
“Value Added Tax is a tax on the consumption of goods and services in Indonesia that is imposed on production and distribution.VAT is typically due to transfers of taxable goods and services” Sementara menurut Musgrave (1980), James (1992), dan Nobes (1992), Pajak Pertambahan Nilai bukanlah jenis pajak yang baru, melainkan pajak penjualan (sales tax) yang dikelola dengan tata cara yang berbeda. Pernyataan bernada sama juga dikemukakan oleh Sukardji (1999): “Pajak Pertambahan Nilai atau lebih tepatnya Pajak Penjualan yang dikenal dalam berbagai nama dengan maksud yang senada, apabila ditelusuri jallur sejarahnya, sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu.” Menurut Musgrave, ada tiga tipe Pajak Pertambahan Nilai, yakni: a. Tipe PNB, yakni Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan baik kepada konsumen maupun barang modal, b. Tipe Pendapatan, yakni pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang menggunakan produk netto sebagai dasar pengenaannya, dan c. Tipe konsumsi, yakni Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan berdasarkan pengeluaran yang ditujukan untuk konsumsi.
Pajak Pertambahan Nilai yang diberlakukan di Indonesia menggunakan tariff tunggal atau single rate. Tarif PPN di Indonesia adalah 10 persen. Berdasarkan Pasal 4 Ayat 1 UU No 42 Tahun 2009, yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut: a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Sementara itu, komoditas yang tidak dikenakan objek pajak adalah:
Kelompok barang:
10
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil dari sumbernya; b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering; dan d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Kelompok jasa: Jasa pelayanan kesehatan medis; Jasa pelayanan sosial; Jasa pelayanan surat dengan perangko; Jasa keuangan; Jasa asuransi; Jasa keagamaan; Jasa pendidikan; Jasa kesenian dan hiburan; Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri; Jasa tenaga kerja; Jasa perhotelan; Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; Jasa penyediaan tempat parkir; Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan Jasa boga atau katering.
11
BAB III PEMBAHASAN Sebagaimana analisis ekonomika publik pada umumnya, analisis ini analisis pada penelitian ini menggunakan pendekatan klasik yang mengasumsikan tidak terdapat perubahan perilaku konsumsi masyarakat (behavioral) akibat perubahan tarif pakak. Sebagai upaya untuk mengetahui dampak PPN terhadap ketimpangan pendapatan. berikut ini beberapa hal yang menjadi kerangka berpikir dalam penelitian ini: a. Pendapatan rumah tangga digunakan untuk konsumsi k jenis barang. Harga yang dibayarkan oleh rumah tangga untuk setiap barang dan jasa diasumsikan sudah termasuk PPN sebesar 10% sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009. Konsumsi atas barang k juga dapat dikatakan sebagai sumber pendapatan (negatif). b. Pendapatan sebelum pajak (gross income) adalah pendapatan rumah tangga yang belum dikurangi dengan PPN. Pendapatan kotor yang telah dikurangi dengan PPN disebut sebagai pendapatan bersih (net income), sebagaimana yang dinyatakan dalam persamaan berikut: ∑ Y adalah pendapatan besih, X adalah pendapatan kotor, dan T adalah PPN untuk semua
komoditas
persamaan
(
k.
Perhitungan
)
.
jumlah
pajak
c. Perubahan marginal pendapatan dari sumber k
pajak marginal barang k
PPN
dilakukan
dengan
ekuivalen dengan perubahan
. Maka, perubahan ketimpangan pendapatan sebagai
akibat perubahan sumber pendapatan k ( ketimpangan
Esai harus mengandung pembahasan mengenai kondisi perekonomian nasional, prospek perekonomian Indonesia ke depan, dan rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan.
) sama dengan pendapatan
sebagai
perubahan pajak (PPN) k nilai berdampak
perubahan akibat
). Apabila
> 0, maka peningkatan PPN positif
terhadap
pemerataan,
begitu pula sebaliknya.
12
3.1 Analisis Konsumsi Rumah Tangga di Indonesia Grafik di bawah menunjukan pola tingkat konsumsi rumah tangga yang disusun dari persentil konsumsi terendah sampai konsumsi
tertingi. Hanya dua puluh persen
masyarkat dengan konsumsi tertinggi yang menunjukan pola pengeluaran konsumsi non makanan berimbang dengan konsumsi makanan. Sementara, delapan puluh persen rumah tangga menggunakan sebagaian besar pendapatannya untuk konsumsi bakan makanan dan minuman. Garis merah (sumbu kanan) menunjukan persentase PPN relatif tehadap pendapatan kotor (pendapatan sebelum PPN). Meski terlihat cukup progresif, namun rumah tangga persentil ke-sepuluh sampai persentil ke-delapan puluh menanggung PPN dengan besaran yang relatif sama. Sepuluh masyarakat dengan konsumsi paling rendah rata-rata membayar 6 persen PPN dari total pendapatanya. Sementara sepuluh persen rumah tangga tertinggi membayar 12 persen PPN dari pendapatan, rumah tangga lainnya rata-rata membayar 8 persen PPN dari total pendapatan
18
7
16
6
14 12
5
10
4
8
3
PPN/konsumsi dalam persen (%)
Konsumsi dalam juta rupaih
KONSUMSI RUMAH TANGGA 8
6
2
4
1
2
0
0 1
11
21
Konsumsi (LHS)
31
41
51
61
71
Persentil Konsumsi Makanan&Minuman(LHS)
81
91 PPN/Konsumsi (RHS)
Untuk mengukur progresivitas PPN, seharusnya dapat dilakukan dengan menggunalan concentration curve, seperti halnya kurva Lorenz yang membandingkan akumulasi total pendapatan dengan total pajak. Namun dalam analisis ini tidak dapat menggunakan analisis tersebut karena ketidaktersediaan data pembayaran PPN yang terpisah dari data pendapatan.
13
3.2 Analisis Dampak Jenis Barang yang Tidak Dikenai PPN terhadap Ketimpangan Pendapatan Pasal 4a Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 mengatur tentang barang-barang yang tidak dikenakan PPN. Komoditas tersebut diyakini memiliki efek distribusi pendapatan karena merupakan barang kebutuhan pokok atau jasa yang berhubungan dengan kemanusiaan. Hasil analisis Net Gini Income Elasticity terhadap kelompok barang yang tidak dikenakan PPN adalah sebagai berikut (lihat lampiran 1): a. Barang yang memiliki nilai NGEI negatif, yang berarti pengurangan tarif pajak atas barang tersebut justru akan memperburuk ketimpangan. Kelompok barang ini adalah: beras, tepung, ikan awetan, ikan segar, kacang-kacangan dan buahh-buahan. Kelompok barang ini mendukung argumen bahwa barang kebutuhan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibebaskan dari PPN. b. Barang yang memiliki nilai NGEI positif, yang berarti peningkatan tarif pajak atas barang tersebut justru akan mengurangi ketimpangan. Barang yang termasuk dalam kelompok ini adalah: daging, sayuran, bumbu-bumbuan, biaya kesehatan dan biaya pendidikan. Pengeluaran untuk tiga barang hanya sekitar 1 persen total konsumsi, namun ketiganya memiliki koefisien Gk yang relatif tinggi. Hal ini menunjukan barang tersebut menyumbang ketimpangan signifikan terhadap ketimpangan. Pengeluaran biaya kesehatan dan pendidikan relatif besar, sekitar 3 dan 7, keduanya juga memiliki koefisien Gk yang Sk relatif. Hal ini menujukan adanya hubungan positif antara peningkatan pendapatan terhadap meningkatnya ketimpangan.
3.3 Strategi Optimalisasi PPN untuk Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Optimaliasi PPN yang sekaligus dapat mengurangi ketimpangan dapat dilakukan dengan cara: Pertama, meningkatkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 15 persen sesuai dengan batas maksimal. Kedua, mempertahankan tarif pajak pada tingkat 10 persen dan Ketiga, mengurangi tingkat pajak sampai pada level 5 persen. a. Kelompok barang yang layak ditingkatkan tarif PPNnya adalah: Barang tahan lam memiliki koefisien NGIE positif yang paling besar, sehingga efektif dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. b. Kelompok barang yang layak mendapat perlakuan tarif PPN tetap sebesar 10 persen atau dinaikan menjadi 15 persen adalah makanan jadi, minuman non alkohol dan beralkohol, bensin dan pakaian.
14
c. Kelompok barang yang layak mendapat penurunan tarif PPN adalah minyak dan lemak, bahan minuman, dan listrik. Ketiga barang kena PPN ini memiliki koefisien GNIE negatif yang paling signifikan dalam mengurangi ketimpangan. d. Rokok dan tembakau meskipun memiliki koefisien GNEI yang negatif tidak layak mendapat penurunan tarif PPN karena menimbulkan eksternalitas negatif.
BAB IV KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan pemerintah untuk menetapkan barang tidak kena pajak terhadap barang kebutuhan pokok sudah tepat, karena berpotensi mengurangi ketimpangan pendapatan. 2. Strategi optimalisasi PPN yang sekjaligus dapat mengurangi ketimpangan pendapatan adalah dengan meningkatkan tarif PPN atas barang tahan lama, telekomunikasi, barang pemeliharaan rumah dan sewa rumah. Barang yang layak mendapatkan pengurangan tarif PPN adalah adalah minyak dan lemak, bahan minuman, dan listrik.
Kesimpulan menunjukkan jawaban atas tujuan yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan
15
DAFTAR PUSTAKA
Guyana Revenue Authority. Guyana Revenue Authority. http://gra.gov.gy/value-addedtax-vat/why-vat [Diakses pada 5 Oktober 2014] James, Simon. Christopher Nobes. 1992. The Economics of Taxation. Hertfordshire: Prentice Hall International. KPMG Hadibroto. KPMG. http://kpmg.com [diakses pada 5 Oktober 2014] Lerman, R. & Yitzhaki, 1985. Income Inequality Effects by Income Source. Reviw of Economics and Statistics : 67, pp. 151-156. Lopez-Feldman, A., 2006. Decomposing Inequality and Obtaining Marginal Effects. The Stata Journal, pp. 106-111. Mugrave, Richard A. Peggy B. Musgrave, 1984. Public Finance in Theory and Practice. New York: McGraw-Hill Book Company. Olivia, N. 2012. VAT Progressivity and Tax Reevenu: Are Feasible Targets for Spain? In. S.L. S.n. Stiglitz, J., 2012. The Price of Inequality. New York: W.W. Norton & Company. Sukardji, 1999. Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Mastel. http://mastel.or.id. [Diakses pada 2 Oktober 2014]
Daftar pustaka ditulis dengan Harvard Style. 1. Sumber buku dan sejenisnya >> Nama belakang pengarang. Inisial. (tahun penerbitan). Judul buku (Edisi jika edisinya lebih dari satu). Tempat diterbitkan: Penerbit. 2. Sumber artikel, jurnal dan sejenisnya >> Nama belakang pengarang. Inisial. (tahun penerbitan). Judul artikel. Judul jurnal, Nomor volume–(Nomor issue jika ada), Nomor halaman awal dan akhir dari artikel. 1. 16