Seminar Nasional PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009
Analisis Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Dan Perkembangan Komoditi Agribisnis oleh
Hayati, Gugun Gunawan dan Setiawan Sariyoga
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009
ANALISIS DAMPAK PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI DAN PERKEMBANGAN KOMODITI AGRIBISNIS (Suatu Kasus di Kecamatan Ciomas, Gunung Sari Kabupaten Serang dan Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten) Hayati1, Gugun Gunawan2 & Setiawan Sariyoga3 1)
Alumni Faperta Untirta; 2) & 3) Staf Pengajar Faperta Untirta Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km 4. Pakupatan Serang
Konsep agribisnis sebagai sistem, merupakan suatu “entitas” (Amirin, dalam Nyoman Suparta, 2008), yang tersusun dari sekumpulan subsistem yang bergerak secara bersama-sama dan terintergrasi untuk mencapai tujuan. Sejalan dengan pengertian tersebut, Departemen Pertanian (2001) mengedepankan konsep “perusahaan dan sistem agribisnis”, yakni subsistem agribisnis hulu dan hilir. Dengan bekerjanya subsistem tersebut yang didukung oleh lingkungan bisnis (support service and policy) diharapkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan dapat terwujud. Berkaitan hal tersebut diatas Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau yang terletak di Banten dan merupakan pemasok air baku 90% untuk industri-industri di daerah Cilegon, saat ini DAS Cidanau mengalami penurunan kuantitas dan kualitas air baku, yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat di daerah hulu DAS yang memanfaatkan hutan maupun lahan untuk memenuhi kehidupannya, masyarakat cenderung melakukan penebangan dan perubahan lahan hutan menjadi non hutan. Hal ini menyebabkan ekosistem daerah hulu DAS tidak seimbang sehingga berdampak secara tidak langsung terhadap pembangunan ekonomi khususnya di wilayah Cilegon. Berdasarkan riset bahwa dampak pembayaran jasa lingkungan terhadap pendapatan rumah tangga petani yaitu: 1) pendapatan rata-rata rumah tangga petani sebelum adanya pembayaran jasa lingkungan dengan kepemilikan > 1000 batang pohon yaitu Rp. 178.333,33/bulan, 250-1000 batang pohon yaitu Rp. 717.711,67/bulan, dan < 250 batang pohon yaitu Rp. 416.361,35/bulan dan pendapatan rata-rata rumah tangga petani sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan dengan kepemilikan > 1000 batang pohon yaitu Rp. 240.333,33/bulan, 250-1000 batang pohon yaitu Rp. 945.075,00/bulan, dan < 250 batang pohon yaitu Rp. 398.347,68/bulan, 2) Kontribusi pembayaran jasa lingkungan terhadap total pendapatan rumah tangga petani dengan kepemilikan > 1000 batang pohon yaitu 50,07%, 250-1000 batang pohon yaitu 5,45%, dan < 250 batang pohon yaitu 6,48%, 3) Tingkat kesejahteraan rumah tangga petani sebelum adanya pembayaran jasa lingkungan yaitu 3,39% berada pada kategori kesenjangan tinggi dan sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan yaitu 5,40% berada pada kategori kesenjangan tinggi dengan kata lain tidak sejahtera, Sedangkan dampak pembayaran jasa lingkungan terhadap perkembangan komoditi agribisnis yaitu pembayaran jasa lingkungan memberikan dampak terhadap perkembangan sistem agribisnis, dimana dalam rangkaian sub sistem agribisnis yaitu sub sistem off farm masyarakat setempat membudidayakan komoditi melinjo. Hal ini berkaitan dengan adanya program pembayaran jasa lingkungan yang diadakan oleh multi stakeholder. Kata kunci : Pendapatan dan Agribisnis.
1
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan dan perairan subur cukup luas, sektor pertanian di Indonesia memiliki potensi tinggi untuk menjadi sektor unggulan. Dengan demikian sektor pertanian bersama sektor lainnya (seperti industri manufacturing, elektronika, kedirgantaraan, dan jasa) dapat menjadi penggerak utama pembangunan nasional menuju bangsa yang maju dan mandiri serta masyarakat adil dan makmur. Pembangunan pertanian yang tangguh dicirikan oleh adanya perpaduan yang sinergis antara keunggulan komparatif (misalnya kekayaan sumber daya alam), keunggulan kompetitif (kekuatan IPTEK), dan keunggulan kooperatif (seperti budaya lokal yang positif, unsur spiritualitas dan religiusitas). Ketiga keunggulan itu merupakan satu kesatuan yang harus mendapat perhatian khusus dalam pembangunan pertanian di abad 21 (IPB & Bapenas,1997). Proses transformasi struktural, seperti telah dinyatakan di atas, ditentukan oleh pemilihan konsep industrialisasi. Saat ini terdapat tiga konsep strategi industrialisasi pertama, pengembangan industri yang berspektrum luas terutama yang berorientasi kepasar dalam negeri, dan atau impor. Kedua, pengembangan industri yang berteknologi modern. Ketiga, strategi industrialisasi berbasiskan pengembangan agroindustri dalam rangka pengembangan sistem agribisnis. Menelaah pada kenyataan semakin meningkatnya tuntutan daya saing dan terciptanya nilai tambah dari setiap usahatani yang dikembangkan maka DEPTAN mencanangkan paradigma pembangunan pertanian melalui sistem agribisnis. Dalam agribisnis terdapat dua sub sistem yaitu sub sistem on farm (budidaya) dengan sub sistem of farm (pengolahan dan pemasaran) diharapkan berjalan secara stimultan. Dengan terintergrasinya sub sistem on farm dan sub sistem of farm, maka nilai tambah yang dapat diraih para pelaku usahatani akan semakin meningkat. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau memiliki peran penting terhadap pembangunan di daerah hilir DAS yaitu pembangunan ekonomi di Cilegon. Terutama di bidang industri, sebagian besar kawasan industri yang ada di Cilegon memanfaatkan air baku dari sungai Cidanau. Menurut Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai Cidanau (FKDC) (2007) dalam dinas perdagangan dan industri kota Cilegon (2003), pendistribusian air untuk industri sebesar 1.100 liter/detik, dengan jumlah industri yang menjadi pelanggan Krakatau Tirta Industri (KTI) mencapai 80 % dari jumlah industri besar kecil yang berada di Kota Cilegon dan sekitarnya yang berjumlah + 120 perusahaan dengan investasi mencapai US $ 1. 936. 643.291. Saat ini telah terjadi penurunan kuantitas dan kualitas air baku yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat di daerah hulu DAS yang memanfaatkan hutan maupun lahan untuk memenuhi kehidupannya, aktivitas masyarakat ini menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem daerah hulu DAS yaitu terjadi kerusakan daerah hulu DAS. Ketidakseimbangan ekosistem daerah hulu DAS disebabkan oleh 2
aktivitas manusia, hal ini sejalan menurut Asdak (2007) Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dengan demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Menurut Suripin (2002) perubahan ekosistem juga akan menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi suatu DAS, sehingga tidak sebagaimana mestinya. Mengatasi permasalahan di daerah hulu DAS maka dilakukan berbagai cara, salah satunya yaitu pelarangan menebang pohon namun cara ini tidak menyelesaikan permasalahan, selain itu perubahan lahan hutan menjadi non hutan tidak dapat diminimalisir. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat yang berekonomi lemah cenderung berbuat menebang hutan atau mengubah lahan hutan menjadi lahan pertanian. Terkait dengan kondisi ekonomi, maka beberapa pemangku kepentingan mengeluarkan upaya untuk mengatasi kondisi daerah hulu DAS dengan konsep pembayaran jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan adalah upaya untuk mengontrol, menjaga, dan mempertahankan ketersediaan jasa lingkungan DAS Cidanau oleh pemanfaat jasa lingkungan, serta meningkatkan pendapatan penyedia jasa lingkungan sampai pada tingkat kompetitif dalam alternatif pemanfaatan tata guna lahan (FKDC, 2007). Mempertahankan fungsi lingkungan hidup, beberapa studi juga menghasilkan kesimpulan pentingnya memberi harga air yang sesuai dengan nilai intrinsiknya. Masalah nilai atau harga seperti ini bukan saja berarti dapat digalinya sumber baru pendapatan pemerintah, tetapi secara langsung akan dapat memberikan arti penting keberadaan fungsi lingkungan hidup bagi aktivitas ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Jenis jasa lingkungan yang dikembangkan dalam mekanisme transaksi jasa lingkungan saat ini yaitu Sumber daya air (Water Resources). Hal ini dipertegas oleh Bapedal Provinsi Banten (2007) Jenis jasa lingkungan DAS Cidanau yang dijadikan dasar hubungan hulu-hilir adalah sumber daya air (Water resources), dimana pemanfaat air membayar kepada masyarakat yang memiliki peran dalam menjaga tata air DAS Cidanau. Kuswanto dan Ikbal (2008) melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan di DAS Cidanau, diharapkan dapat mengendalikan laju perambahan dan kerusakan hutan di daerah hulu sekaligus memberdayakan kesejahteraan masyarakat di sekitar DAS agar lebih kompetitif dalam menjaga hutan dibandingkan dengan pemanfaatan tata guna lahan lainnya. Ahmad (2005) implementasi pembayaran jasa lingkungan hutan di negara Costa Rica berhasil memperluas tutupan lahan hutan dan mensejahterakan masyarakatnya. (Wulandari, 2005) pembayaran jasa lingkungan selain berfungsi untuk menjaga ketersediaan jasa lingkungan juga memperbaiki kehidupan masyarakat yang berada di daerah hutan konservasi (Wulandari, 2005). 3
Berdasarkan ekonomi kelembagaan (institutional economics) dalam memperbaiki kinerja perlu memperhatikan situasi/sifat barang sebagai objek dimana seluruh partisipan mempunyai keterkaitan satu sama lain, dalam pemahaman ini yang perlu ditekankan bahwa hutan tidak memberikan interdependency dalam bentuk incompatible artinya seseorang yang mempunyai hak untuk mengelola suatu kawasan hutan tidak berarti dapat menggunakan haknya tersebut secara bebas, karena proses pengelolaan, keberhasilan atau kegagalannya dapat memberikan pengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada pihak lain. Pembayaran jasa lingkungan yang diterapkan di DAS Cidanau yaitu pemanfaat jasa lingkungan membayar kepada petani yang menjaga lingkungan, melalui lembaga pengelola jasa lingkungan. Lembaga pengelola jasa lingkungan menyerahkan uang jasa lingkungan kepada petani yang berhak menerima pembayaran jasa lingkungan sesuai perjanjian melalui kelompok tani. Berarti dengan adanya pembayaran jasa lingkungan, ada sumbangan pendapatan terhadap masyarakat atau rumah tangga petani jasa lingkungan. Apakah dengan adanya sumbangan pendapatan mampu meningkatkan kesejahteraan rumah tangga atau belum mampu meningkatkan kesejahteraan rumah tangga petani penerima jasa lingkungan. Rahim (2006) menyatakan bahwa pendapatan atau total pendapatan rumah tangga petani diperoleh dari pendapatan rumah tangga dari kegiatan usahatani, non usahatani, usahatani di beberapa subsektor dari anggota keluarga. Menurut Supardi dalam Rahim (2007) bahwa sumber pendapatan rumah tangga petani dipinggiran hutan berasal dari lahan usahatani sendiri, usaha ternak, penjualan kayu, buruh tani dan upah tenaga kerja diluar sektor pertanian. Menurut Hernanto (1989) bahwa pendapatan rumah tangga petani diperoleh dari usahatani sendiri, sumber usaha lain yang diperoleh dari upah tenaga kerja pada bidang usahatani yang lain dan sumber pendapatan diluar usahatani. Pendapatan rumah tangga dapat digunakan sebagai alat ukur kesejahteraan rumah tangga, dimana pendapatan rumah tangga dikalkulasikan menggunakan distribusi pendapatan. Hal ini sejalan menurut Sukirno (1985), disamping tingkat pendapatan, distribusi pendapatan merupakan faktor penting lainnya yang menentukan keadaan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan pengertian ini, bahwa kesejahteraan masyarakat dapat diukur dengan distribusi pendapatan masyarakat. Pengertian ini dipertegas oleh Arsyad (2004) distribusi pendapatan merupakan faktor penting lainnya yang menentukan kesejahteraan masyarakat. Distribusi pendapatan pribadi (personal) atau distribusi berdasarkan besarnya pendapatan adalah yang paling banyak digunakan oleh para ahli ekonomi. Distribusi ini hanya menyangkut orang per orang atau rumah tangga dan total pendapatan yang mereka terima (Todaro, 1995). Berdasarkan pengertian ini, bahwa pengukuran distribusi pendapatan dapat menggunakan total pendapatan yang diterima oleh rumah tangga tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Kuncoro (1997), indikator yang sering digunakan untuk mengetahui kesenjangan 4
distribusi pendapatan, salah satunya yaitu kriteria Bank Dunia. Menurut Mudrajat (1997) kriteria Bank Dunia mendasarkan penilaian distribusi pendapatan atas pendapatan yang diterima oleh 40% penduduk berpendapatan terendah. Kesenjangan distribusi pendapatan dikategorikan: (a) tinggi, bila 40% penduduk berpenghasilan terendah menerima kurang dari 12% bagian pendapatan, (b) sedang, bila 40% penduduk berpenghasilan terendah menerima 12% hingga 17% bagian pendapatan, (c) rendah, bila 40% penduduk berpenghasilan terendah menerima lebih dari 17% bagian pendapatan. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah survei, dengan lokasi penelitian di Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Serang, dan Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang, karena di lokasi ini terdapat rumah tangga petani yang menerima pembayaran jasa lingkungan. Populasi diambil dari rumah tangga petani yang menerima pembayaran jasa lingkungan di Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Serang dan Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah stratified random sampling dengan dasar stratifikasi kepemilikan batang pohon. Besarnya sampel 55 rumah tangga petani yang terdiri dari 1 rumah tangga petani dengan kepemilikan > 1000 batang pohon, 25 rumah tangga petani dengan kepemilikan antara 250 sampai dengan 1000 batang pohon, dan 29 rumah tangga petani dengan kepemilikan kurang dari 250 batang pohon. Teknik pengumpulan data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi terkait. Alat analisis yang digunakan yaitu Analisis pendapatan rumah tangga petani sebelum dan pendapatan rumah tangga petani sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan, analisis kontribusi, analisis kriteria bank dunia, dan analisis deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Penelitian ini mengkaji pendapatan rumah tangga petani yang terbagi menjadi dua bagian yaitu pendapatan rumah tangga petani sebelum dan sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan. Pendapatan rumah tangga petani dihitung dari beberapa sumber pendapatan yaitu usaha tani, usaha non pertanian dan lain-lain, serta jasa lingkungan. Pendapatan rumah tangga petani sebelum dan sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan dapat disajikan pada Tabel 1. 5
Tabel 1. Pendapatan Rumah Tangga Petani Sebelum dan Sesudah Adanya Pembayaran Jasa Lingkungan
NO
1
2
Stratifikasi Kepemilikan Batang Pohon (Batang)
Sumber Pendapatan
Pendapatan Rumah Tangga Petani (Rata-rata) Sebelum (Rp/bulan)
1. Usaha Tani 2. Non Pertanian > 1000 3. Lain-lain 4. Jasa Lingkungan Rata-rata 1. Usaha Tani 2. Non Pertanian 250-1000 3. Lain-lain 4. Jasa Lingkungan Rata-rata
1. Usaha Tani 2. Non Pertanian 3 < 250 3. Lain-lain 4. Jasa Lingkungan Rata-rata Sumber: Olahan Data Primer
170.000,00 8.333,00 0 0 178.333,00 249.138,33 385.500,00 83.073,33 0 717.711,67 159.042,39 33.117,82 224.201,15 0 416.361,35
Sesudah (Rp/bulan) 120.000,00 0 0 120.333,33 240.333,33 239.705,00 404.333,33 249.566,67 51.470,00 945.075,00 117.701,15 56.531,61 198.301,72 25.813,20 398.347,68
Berdasarkan Tabel 1 di atas, rumah tangga petani > 1000 batang pohon mengalami kenaikan sebesar Rp. 62.000,00; 250 – 1000 batang pohon mengalami kenaikan sebesar Rp. 227.363,33, dan < 250 batang pohon mengalami penurunan seb esar Rp. 18.013,67. Pada dua strata sebelumnya kenaikan ini disebabkan karena banyaknya jumlah pohon yang dimiliki oleh rumah tangga petani, hal ini mengindikasikan semakin banyak pohon yang dimiliki maka akan semakin besar jumlah uang yang diterima dari pembayaran jasa lingkungan dalam hal ini pendapatan jasa lingkungan. Demikian juga sebaliknya strata ketiga mengalami penurunan hal ini disebabkan semakin sedikit jumlah pohon yang dimiliki maka semakin sedikit jumlah pembayaran yang diterima rumah tangga petani. Kontribusi Pembayaran Jasa Lingkungan Berdasarkan tingkat pendapatan diatas program PJL memberikan kontribusi yang berbeda besarannya dapat dilihat pada Tabel 2. .
6
Tabel 2. Kontribusi Pembayaran Jasa Lingkungan
NO
Stratifikasi Kepemilikan Batang Pohon (Batang)
1 2 3 Sumber: Olahan Data Primer
Kontribusi (%)
> 1000 250-1000 < 250
50,07 5,45 6,48
Berdasarkan Tabel 2 di atas, kontribusi pembayaran jasa lingkungan rumah tangga petani > 1000 batang pohon yaitu sebesar 50,07%, 250-1000 batang pohon yaitu sebesar 5,45%, < 250 batang pohon yaitu sebesar 6,48%. Hal ini menunjukkan bahwa sumbangan pendapatan jasa lingkungan terhadap pendapatan rumah tangga petani yaitu sebesar 50,07%, 5,45 %, dan 6,48 %. Semakin tinggi jumlah batang pohon yang dimiliki rumah tangga petani semakin tinggi pula uang yang diperoleh, dalam hal ini semakin tinggi jumlah batang pohon yang dimiliki rumah tangga semakin tinggi kontribusi yang rumah tangga peroleh. Hal ini ditunjukkan bahwa kontribusi yang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga yaitu rumah tangga petani yang memiliki batang pohon > 1000 batang pohon, namun kontribusi yang terendah seharusnya rumah tangga yang memiliki batang pohon < 250 batang pohon, akan tetapi kontribusi yang terendah yaitu rumah tangga yang memiliki batang pohon 250-1000 batang pohon. Hal ini disebabkan karena rumah tangga petani yang memilki batang pohon < 250 batang pohon tidak mengandalkan pendapatan jasa lingkungan karena jumlah batang yang dimiliki sedikit maka uang yang diperoleh sedikit pula. Oleh karena itu, rumah tangga petani mencari tambahan pendapatan dari sumber pendapatan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Tingkat Kesejahteraan Analisis tingkat kesejahteraan menggunakan kriteria bank dunia. Berdasarkan hasil perhitungan, tingkat kesejahteraan rumah tangga petani sebelum dan sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan dapat disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Sebelum dan Sesudah Adanya Pembayaran Jasa Lingkungan
NO
Pendapatan Rumah Tangga Petani (Rp/Bulan)
1 Sebelum 2 Sesudah Sumber: Olahan Data Primer
Kategori Kesenjangan Distribusi Pendapatan Rendah (>17%)
Sedang (12-17%)
Tinggi (< 12%)
-
-
3,39 5,40
7
Berdasarkan Tabel 3 di atas, pendapatan rumah tangga petani sebelum adanya pembayaran jasa lingkungan termasuk kedalam kategori 40 persen tinggi, hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan tinggi, sebab 40% pendapatan rumah tangga petani berpenghasilan terendah menerima < 12 % bagian pendapatan yaitu hanya sebesar 3,39%, sedangkan sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan naik sebesar 2,01% sehingga menjadi 5,40%. Hal ini menunjukan bahwa dengan adanya pembayaran jasa lingkungan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan sebesar 2,01% namun masih berada dalam kategori kesenjangan tinggi, karena sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan 40% pendapatan rumah tangga petani berpenghasilan terendah masih menerima < 12 % bagian pendapatan, yaitu hanya sebesar 5,40%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya pembayaran jasa lingkungan hanya sedikit saja masyarakat penerima pembayaran jasa lingkungan yang menikmati pendapatan sebagai akibat adanya pembayaran jasa lingkungan. Oleh karena kesenjangan tinggi maka tingkat kesejahteraan adalah rendah, dalam hal ini tingkat kesejahteraan rumah tangga petani sebelum dan sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan kesenjangan tinggi dengan kata lain tidak sejahtera. Dari segi pendapatan, pembayaran jasa lingkungan tidak mensejahterakan rumah tangga petani, namun dari segi lingkungan, lingkungan tetap terjaga. Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Terhadap Perkembangan Komoditi Agribisnis Karakteristik pedesaan seringkali ditandai dengan pengangguran, produktivitas, dan pendapatan rendah, kurangnya fasilitas dan kemiskinan. Masalah-masalah pengangguran, setengah pengangguran, dan pengangguran terselubung. Rendahnya produktivitas merupakan ciri khas dikawasan pedesaan. Tinjauan holistik dengan memperhatikan kondisi berbagai aspek kehidupan pertanian menunjukkan bahwa inti esensi dari proses pembangunan pertanian adalah transformasi struktural masyarakat pedesaan dari kondisi pertanian agraris tradisional menjadi pedesaan berbasis ekologi pertanian dengan pengusahaan bersistem agribisnis, yang menjadi struktur ekonomi pedesaan yang terkait erat dengan sistem industri sistem perdagangan dan sistem jasa nasional/global. Pembayaran jasa lingkungan memberikan dampak terhadap perkembangan sistem agribisnis, dimana dalam rangkaian sub sistem agribisnis yaitu sub sistem off farm masyarakat setempat membudidayakan komoditi melinjo. Hal ini berkaitan dengan adanya program pembayaran jasa lingkungan yang diadakan oleh FKDC yang terdiri dari beberapa pemangku kepentingan atau multi stakeholder, seperti lembaga pemerintah, non pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat daerah hulu DAS Cidanau. Diharapkan dengan adanya kerjasama ini akan tercipta pembangunan pertanian yang berkelanjutan dengan mengutamakan aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek ekologi/lingkungan. Kegiatan 8
ekonomi masyarakat akan tercipta dalam hal ini (nilai tambah), pendapatan rumah tangga masyarakat setempat meningkat dengan memperhatikan lingkungan agar tetap terjaga. Sebagai upaya untuk melestarikan lingkungan, sebab yang memanfaatkan DAS Cidanau adalah masyarakat hilir (Industri yang terletak di wilayah Cilegon) oleh karena itu, masyarakat hulu diharapkan menjaga lingkungan. Agar tujuan tersebut efektif maka solusi yang terbaik yaitu dengan adanya pembayaran jasa lingkungan, diharapkan masyarakat setempat atau hulu dapat mengembangkan usaha agribisnisnya dan tidak terlepas dalam menjaga lingkungan. Dalam rangka konteks diatas salahsatu cara untuk mengembangkan agribisnis yang berbasis budaya lokal dengan memperhatikan lingkungan setempat, masyarakat setempat mengembangkan komoditi agribisnis melinjo. Memperhatikan komoditi unggulan adalah melinjo maka dapat dikembangkan usaha kecil menengah emping yang merupakan bagian sub sistem on farm dan akan terciptanya produk yang berdaya saing tinggi sebab emping berbahan baku lokal. KESIMPULAN 1) Dampak pembayaran jasa lingkungan terhadap pendapatan rumah tangga petani yaitu: 1) Pendapatan rata-rata rumah tangga petani sebelum adanya pembayaran jasa lingkungan untuk rumah tangga petani dengan kepemilikan > 1000 batang pohon yaitu sebesar Rp. 178.333,33/bulan, 250-1000 batang pohon yaitu sebesar Rp. 717.711,67/bulan, dan < 250 batang pohon yaitu sebesar Rp. 416.361,35/bulan dan pendapatan rumah tangga petani sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan untuk rumah tangga petani dengan kepemilikan > 1000 batang pohon yaitu sebesar Rp. 240.333,33/bulan, 250-1000 batang pohon yaitu sebesar Rp. 945.075,00/bulan, dan < 250 batang pohon yaitu sebesar Rp. 398.347,68/bulan, 2) Kontribusi pembayaran jasa lingkungan terhadap total pendapatan rumah tangga petani > 1000 batang pohon yaitu sebesar 50,07%, rumah tangga petani 250-1000 batang pohon yaitu sebesar 5,45%, dan rumah tangga petani < 250 batang pohon yaitu sebesar 6,48%, 3) Tingkat kesejahteraan rumah tangga petani sebelum adanya pembayaran jasa lingkungan yaitu sebesar 3,39% berada pada kategori kesenjangan tinggi dan sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan yaitu 5,40% berada pada kategori kesenjangan tinggi dengan kata lain tidak sejahtera. 2) Dampak pembayaran jasa lingkungan terhadap perkembangan komoditi agribisnis yaitu pembayaran jasa lingkungan memberikan dampak terhadap perkembangan sistem agribisnis, dimana dalam rangkaian sub sistem agribisnis yaitu sub sistem off farm masyarakat setempat membudidayakan komoditi melinjo. Hal ini berkaitan dengan adanya program pembayaran jasa lingkungan yang diadakan oleh multi stakeholder. 9
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad NR. 2005. Pembentukan Lembaga Keuangan Alternatif Untuk Menunjang Pembangunan dan Pengelolaan Hutan Lestari. Diakses 29 Mei 2008 dari http://aphi.net.com Arsyad L. 2004. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: STIE. Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: UGM Press. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Provinsi Banten. 2007. Model pembayaran jasa lingkungan Das Cidanau provinsi Banten. Diakses 29 Mei 2008 http://perpamsibanten.org Budhi GS, Kuswanto SA, dan Muhammad I. 2008. Concept and implementation of PES program in the cidanau watershed : A lesson learned for the future Environmental Policy. Analisis Kebijakan Pertanian (Online), Vol.06 No.01 tahun 2008, Diakses 29 Mei 2008 dari http://pse.litbang.deptan.go.id Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), 2007. Forum Komunikasi DAS Cidanau Provinsi Banten Menuju Pengelolaan Terpadu DAS Cidanau. Serang: Rekonvasi Bumi. Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. IPB & Bapenas, 1997. Pembangunan Pertanian Yang Berkebudayaan Industri”Buku 1: Paradigma Pembangunan Pertanian Abad 21”. Bogor: IPB dan Bapenas Kuncoro M. 2003. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: UPP AMP YKPN. Rahim A. 2007. Ekonomika Pertanian. Jakarta: Penebar Swadaya. Sukirno S. 1985. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: FEUI Suparta, Nyoman. 2008. http://www.google.com Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyajarta : ANDI. Todaro P M. 2000. Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara. Wulandari C. 2005. Pembayaran Jasa Lingkungan sebagai Alternatif Mekanisme Insentif Bagi Masyarakat Pemelihara Kelestarian Sumberdaya Hutan (Payment for Environmental Services as an Incentive Mechanism Alternative for Community to Conserve Forest Resources. Jurnal Hutan Tropika, (Online) Volume 1 nomor 2 Desember 2005. Diakses 29 Mei 2008 dari http://www.unila.ac.id
10