ANALISIS DAMPAK INVESTASI PEMERINTAH SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMBANGUNAN MANUSIA (Studi Kasus : Kawasan Timur Indonesia Periode 2001-2003)
OLEH ANGGA OKTAPRIONO H14103091
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kondisi fisik serta geografi
wilayah yang beragam, sehingga pengembangan wilayah sangat penting dalam pembangunan nasional. Upaya untuk membentuk landasan pembangunan yang berupa rumusan untuk mewujudkan keseimbangan antar daerah dalam tingkat pertumbuhan
perlu
dilaksanakan
untuk
mengurangi
perbedaan
tingkat
perkembangan antar daerah di Indonesia yang merupakan akibat dari kurangnya konsep pemerataan secara nyata. Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja berupa ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula sematamata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional (Dumairy, 1996). Perkembangan ekonomi antar daerah memperlihatkan kecenderungan bahwa provinsi di Pulau Jawa pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar Pulau Jawa. Perbedaan perkembangan antar daerah itu menyebabkan terjadinya kesenjangan kesejahteraan dan kemajuan daerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara
3
Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Di samping itu masih ditemui daerah-daerah yang relatif tertinggal dibandingkan daerah lainnya, yaitu daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya. Ketimpangan yang ada, membuat pemerintah memberikan perhatian lebih kepada bagaimana meningkatkan perekonomian di KTI agar mampu mengejar kemajuan yang dicapai KBI. Salah satu program pemerintah ialah dengan dibentuknya Kawasan Ekonomi Terpadu (Kapet), yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan. Ketimpangan pembangunan selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, dan dimensi. Bukan hanya berupa ketimpangan hasil pembangunan dalam hal output regional tetapi juga dalam hal kesejahteraan masyarakat (Tadjoedin, 2001). Output regional disini merupakan konsep analisa ketimpangan dengan pendekatan wilayah yang dipresentasikan oleh indikator Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. Sementara itu, kesejahteraan masyarakat mencakup beberapa parameter yang melekat pada individu. Dalam hal ini digunakan tiga kategori indikator yang merepresentasikan kesejahteraan,
yaitu
pengeluaran
konsumsi,
pendidikan
dan
kesehatan.
Penggunaan ketiga kategori indikator ini mengacu pada konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP). Dari segi pembangunan manusia, rata-rata IPM KBI dari tahun 2001-2005 selalu lebih tinggi dibandingkan rata-rata IPM nasional, sedangkan rata-rata IPM KTI selalu lebih rendah.
4
Tabel 1.1. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2001-2005 PROVINSI 2001 2002 2003 2004 NAD 65.3 66.0 67.4 68.7 Sumut 66.6 68.8 70.1 71.4 Sumbar 65.8 67.5 69.0 70.5 Riau 67.3 69.1 70.3 71.5 Jambi 65.4 67.1 68.6 70.1 Sumsel 63.9 66.0 67.8 69.6 Bengkulu 64.8 66.2 68.1 69.9 Lampung 63.0 65.8 67.1 68.4 Babel 63.9 65.4 67.5 69.6 DKI 72.5 75.6 75.7 75.8 Jabar 64.6 65.8 67.5 69.1 Jateng 64.6 66.3 67.6 68.9 DIY 68.7 70.8 71.9 72.9 Jatim 61.8 64.1 65.5 66.8 Banten 64.6 66.6 67.3 67.9 Bali 65.7 67.5 68.3 69.1 NTB* 54.2 57.8 59.2 60.6 NTT* 60.4 60.3 61.5 62.7 Kalbar* 60.6 62.9 64.2 65.4 Kalteng* 66.7 69.1 70.4 71.7 Kalsel* 62.2 64.3 65.5 66.7 Kaltim* 67.8 70.0 71.1 72.2 Sulut* 67.1 71.3 72.4 73.4 Sulteng* 62.8 64.4 65.9 67.3 Sulsel* 63.6 65.3 65.3 65.3 Sultra* 62.9 64.1 65.4 66.7 Gorontalo* 67.1 64.1 64.8 65.4 Maluku* 67.2 66.5 67.8 69.0 Malut* 67.2 65.8 66.1 66.4 Papua* 58.8 60.1 61.2 62.3 Indonesia 64.6 66.2 67.3 68.5
2005 69.0 72.0 71.2 72.9 71.0 70.2 71.1 68.8 70.7 76.1 69.9 69.8 73.5 68.4 68.8 69.8 62.4 63.6 66.2 73.2 67.4 72.9 74.2 68.5 66.9 67.5 67.5 69.2 67.0 63.5 69.4
Keterangan : * KTI Sumber : Badan Pusat Statistik (2007)
Dari data yang terdapat dalam Tabel 1.1. mengindikasikan bahwa kualitas manusia di KTI harus ditingkatkan, dan pembentukan modal manusia yang berkualitas merupakan syarat penting dalam pembangunan. Amartya Sen dalam Paskarina (2008) mengingatkan bahwa hakikat dari pembangunan adalah
5
kebebasan dan karena itu, pembangunan harus dapat membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan dan tekanan-tekanan dari pihak lain. Dari perspektif ini, pembangunan baru akan bermakna manakala terjadi peningkatan martabat manusia yang mampu membebaskannya dari belenggu-belenggu kemiskinan dan keterbatasan akses. Inilah yang sesungguhnya menjadi inti dari pembangunan manusia, yakni berfokus pada manusia, untuk memulihkan dan meningkatkan martabat manusia. Di sinilah pembangunan manusia perlu dirancang ulang dengan memadukan antara kebijakan sosial dan kebijakan ekonomi. Kebijakan sosial merupakan media untuk meningkatkan modal sosial dan sumber daya manusia agar mampu berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif.
1.2.
Perumusan Masalah Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor dinamika dalam
perkembangan ekonomi, bersama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya alam, dan kapasitas produksi yang terpasang dalam masyarakat yang bersangkutan. Keempat faktor dinamika itu harus dilihat dalam kaitan interaksinya satu dengan yang lainnya. Namun, diantaranya peranan sumber daya manusia mengambil tempat yang sentral, khususnya dalam pembangunan ekonomi negara-negara berkembang di mana kesejahteraan manusia dijadikan tujuan pokok dalam ekonomi masyarakat (Djojohadikusumo, 1993). Kebutuhan investasi pada pembentukan modal manusia di dalam perekonomian negara-negara terbelakang semakin jelas dari fakta bahwa walaupun dengan impor modal fisik secara besar-besaran ternyata mereka tidak
6
mampu mempercepat laju pertumbuhan, disebabkan oleh sumber daya manusia yang terbelakang (Jhingan, 2004). Investasi pemerintah dalam pembangunan tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara untuk pemerintah daerah tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Di dalam APBN dan APBD, investasi pemerintah disebut sebagai pembiayaan pembangunan. Investasi pemerintah untuk pembentukan modal manusia tercermin dari pembiayaan pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan. Dari Tabel 1.2. terlihat bahwa persentase realisasi pengeluaran pembangunan
sektor
pendidikan
dan
kesehatan
terhadap
pengeluaran
pembangunan bervariasi di setiap provinsi. Tabel 1.2. Realisasi Investasi Pemerintah Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan KTI (Persen). PROVINSI KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM SULUT SULTENG SULSEL SULTRA NTB NTT MALUKU PAPUA
PENDIDIKAN
KESEHATAN
1996 10.46 10.62 11.51 9.43 9.83 10.58 6.39 5.11 5.17 6.65 9.04 12.32
1996 4.55 2.98 2.18 3.62 2.88 2.64 3.20 1.56 3.78 3.08 1.87 7.73
1999 10.05 11.46 5.86 12.67 10.38 10.12 8.09 7.01 7.34 4.76 5.80 12.70
1999 6.25 5.66 10.78 6.58 4.79 5.27 9.24 6.65 6.12 9.06 1.96 11.83
PENDIDIKAN & KESEHATAN 1996 1999 15.00 16.30 13.60 17.12 13.69 16.64 13.06 19.25 12.72 15.18 13.22 15.40 9.59 17.33 6.67 13.66 8.95 13.46 9.73 13.83 10.91 7.76 20.05 24.53
Sumber : Realisasi APBD 1996 & 1999
Dengan berlakunya otonomi daerah, maka peran aktif dan kewenangan pemerintah daerah dalam proses pembangunan daerahnya semakin lebih besar, begitu pula dalam hal penyusunan APBD. Sehingga besarnya pembiayaan
7
pembangunan dapat ditentukan sendiri oleh pemerintah daerah, termasuk menentukan pembiayaan dalam pembangunan manusia. Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana keadaan investasi pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan di KTI?
2.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya IPM di KTI?
3.
Bagaimana pengaruh investasi pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan terhadap IPM di KTI?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas maka penelitian
ini bertujuan untuk: 1.
Menganalisis keadaan investasi pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan di KTI.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IPM di KTI.
3.
Menganalisis pengaruh investasi pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan terhadap IPM di KTI.
1.4.
Manfaat Penelitian Hal-hal yang diperoleh dari penelitian tentang analisis dampak investasi
pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan terhadap pembangunan manusia dan kemiskinan pada masa awal otonomi daerah diharapkan dapat bermanfaat
8
bagi pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti ini. Secara ringkas, manfaat yang penulis harapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah dan pihak terkait lainnya sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan berbagai kebijakan.
2.
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa lain sebagai bahan pelengkap penelitian yang masih relevan dengan permasalahan skripsi ini.
3.
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi saya pada khususnya dan mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada umumnya dalam memahami permasalahan mengenai pembangunan manusia di KTI.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan data dari 14 provinsi yang berada di KTI
sesuai dengan Keppres RI No. 44 Tahun 2002 tentang dewan pengembangan KTI. Provinsi tersebut antara lain : Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Penelitian ini menggunakan data dari tahun 2001 sampai 2003.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Teori Pembangunan Manusia Menurut Schultz dalam Jhingan (2004), ada lima cara pengembangan
sumber daya manusia, yaitu : (1) fasilitas dan pelayanan kesehatan, pada umumnya diartikan mencakup semua pengeluaran yang mempengaruhi harapan hidup, kekuatan dan stamina, tenaga serta fitalitas rakyat; (2) latihan jabatan, termasuk magang model lama yang diorganisasikan oleh perusahaan; (3) pendidikan yang diorganisasikan secara formal pada tingkat dasar, menengah dan tinggi; (4) program studi bagi orang dewasa yang tidak diorganisasikan oleh perusahaan, termasuk program ekstension khususnya pada pertanian; (5) migrasi perorangan dan keluarga untuk menyesuaikan diri dengan kesempatan kerja yang selalu berubah. Daftar ini dapat ditambah dengan memasukkan bantuan teknis, keahlian dan konsultan. Dalam pengertian luas, investasi pada modal manusia berarti pengeluaran di bidang pelayanan kesehatan, pendidikan dan sosial pada umumnya; dan dalam pengertian sempit, ia berarti pengeluaran di bidang pendidikan dan latihan. Modal fisik menjadi lebih produktif jika negara atau daerah mempunyai modal manusia yang berkualitas. Rens dalam Jhingan (2004) mengatakan bahwa di negara yang mencoba mempercepat pembangunan ekonominya, diketemukan bahwa sekalipun pabrik-pabrik modern dirancang oleh insinyur kelas satu dengan menggunakan metode dan mesin mutakhir dari negara industri yang paling maju,
10
namun volume dan kualitas output-nya terlalu sering tidak memuaskan, karena dalam banyak hal, manajemen dan pekerja tidak cukup terlatih dan kurang pengalaman.
2.2.
Konsep Pembangunan Manusia Beberapa kalimat pembuka dari Human Development Report (HDR)
pertama yang dipublikasikan oleh UNDP (United Nations Development Programmes) pada tahun 1990 secara jelas menekankan pesan utama yang dikandung oleh setiap laporan pembangunan manusia baik di titik global, tingkat nasional maupun tingkat daerah, yaitu pembangunan manusia yang berpusat pada manusia, yang menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan nasional dan bukan sebagai alat dari pembangunan. Berbeda dengan konsep pembangunan yang memberikan perhatian utama pada pertumbuhan ekonomi dengan asumsi bahwa petumbuhan ekonomi pada akhirnya akan menguntungkan manusia. Pembangunan manusia memperkenalkan konsep yang lebih luas dan lebih komprehensif yang mencakup semua pilihan yang dimiliki manusia di semua golongan masyarakat pada semua tahap pembangunan (UNDP, 2004). Pembangunan manusia mensyaratkan adanya kebebasan. Tujuan utama dari pembangunan manusia yaitu untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia tidak mungkin tercapai tanpa adanya kebebasan memilih apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka akan menjalani hidup. Manusia harus bebas untuk melakukan apa yang menjadi pilihannya di dalam sistem pasar yang berfungsi dengan baik (BPS, Bappenas, UNDP, 2001).
11
Pada tahun 1991 UNDP berpendapat bahwa ada empat (4) komponen konsep pembangunan manusia, yaitu : Pertama, kesetaraan yang merujuk pada kesamaan dalam memperoleh akses ke sumber daya ekonomi dan politik yang menjadi hak dasar warga negara. Ini mensyaratkan sejumlah hal yaitu : (1) distribusi aset-aset ekonomi produktif secara adil; (2) distribusi pendapatan melalui perbaikan kebijakan fiskal; (3) menata sistem kredit perbankan untuk memberi kesempatan bagi kelompok kecil dan menengah dalam mengembangkan usaha; (4) menata sistem politik demokratis guna menjamin hak dan kebebasan politik; dan (5) menata sistem hukum guna menjamin tegaknya keadilan. Kedua, produktivitas (productivity) yang merujuk pada usaha-usaha sistematis yang bertujuan meningkatkan kegiatan ekonomi. Upaya ini mensyaratkan investasi di bidang sumberdaya manusia, infrastruktur, dan finansial guna mendukung pertumbuhan ekonomi, yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Agar kapasitas produksi maksimal, maka investasi lebih difokuskan pada upaya peningkatan mutu SDM, yang ditandai oleh peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta penguasaan teknologi. SDM berkualitas memainkan peranan sentral dalam proses pembangunan suatu bangsa. Ketiga, pemberdayaan (empowerment yang merujuk pada setiap upaya membangun kapasitas masyarakat dengan cara melakukan transformasi potensi dan kemampuan, sehingga mereka memiliki kemandirian, otonomi, dan otoritas dalam melaksanakan pekerjaan dan mengatasi permasalahan sosial. Dalam konteks ini, pembangunan menempatkan manusia sebagai pusat segala perhatian yang bertujuan bukan saja meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan, melainkan
12
juga memperluas pilihan-pilihan publik (public choices) sehingga manusia mempunyai peluang mengembangkan segenap potensi yang dimiliki. Keempat, berkelanjutan (sustainability) yang merujuk pada strategi dalam mengelola dan merawat modal pembangunan fisik, manusia, finansial, dan lingkungan agar bisa dimanfaatkan guna mencapai tujuan utama pembangunan, yaitu kesejahteraan rakyat. Untuk itu, penyegaran, pembaruan, dan pelestarian modal pembangunan sangat penting dan perlu gunan menjaga kesinambungan proses pembangunan di masa depan.
2.3.
Indeks Pembangunan Manusia dan Pengukurannya Pada HDR yang pertama tahun 1990, IPM disusun dari pendapatan
nasional (sebagai pendekatan dari standar hidup) dan dua indikator sosial, yaitu angka harapan hidup dan angka melek huruf usia dewasa. Indeks ini merupakan pendekatan yang mencakup berbagai dimensi dari pilihan-pilihan yang dimiliki manusia. Tetapi indeks ini masih memiliki kelemahan yang sama dengan pengukuran
pendapatan,
yaitu
bahwa
angka
rata-rata
nasionalnya
menyembunyikan ketimpangan regional dan ketimpangan lokal (UNDP, 2004). Selama bertahun-tahun telah dilakukan berbagai penyempurnaan IPM dengan tetap mempertahankan tiga komponen intinya, yaitu lamanya hidup, pengetahuan dan standar hidup layak, untuk menjaga kesederhanaan dan konsep awal IPM. HDR kedua pada tahun 1991 menambahkan satu indikator baru, yaitu rata-rata lama bersekolah kedalam komponen pengetahuan. Variabel ini diberi bobot dua per tiga. Hal ini merupakan pengakuan akan pentingnya pembentukkan
13
keterampilan tingkat tinggi serta membantu pembedaan negara-negara yang mengelompokkan data tingkat atas. IPM mencoba untuk memeringkatkan semua negara dari skala 0 (tingkat pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 1 (tingkat pembangunan manusia yang paling tinggi). IPM memeringkat semua negara menjadi tiga kelompok: tingkat pembangunan manusia yang rendah (0,0 0,499), tingkat pembangunan manusia menengah (0,50 pembangunan manusia tinggi (0,80
0,799), dan tingkat
1,0). Secara teknis, IPM dirumuskan sebagai
berikut (BPS, 2001): IPM
= 1/3 (Indeks X 1 + Indeks X 2 + Indeks X 3 )
(2.1)
X2
= 1/3 X 12 + 2/3 X 22
(2.2)
Dimana:
X1
= Indeks lamanya hidup (tahun)
X2
= Indeks tingkat pendidikan
X3
= Indeks pengeluaran riil per kapita (Rp 000.)
X 12
= Rata-rata lama bersekolah (tahun)
X 22
= Angka melek huruf (persen)
Perhitungan Indeks dari masing-masing indikator tersebut adalah: Indeks X ( i , j ) =
X (i , j ) + X ∗(i − mim) X ( i − max) + X ( i −mim)
Dimana: X (i, j)
= Indikator ke-i dari daerah j
(2.3)
14
X ( i −min)
= Nilai minimum dari X i
X ( i −max)
= Nilai maksimum dari X i
2.4.
Investasi Sosial Pemerintah Menurut Paskarina (2008), dalam tinjauan akademik, konsep tentang
investasi sosial lahir dalam khazanah pemikiran tentang pembangunan sosial (social development) yang berkembang pada dekade 1990-an. Sejumlah nama yang cukup terkenal dalam perkembangan konsep ini antara lain James Midgley (1999), Taylor-Gooby (2000), dan
Anthony Giddens (1998).
Midgley
mendefinisikan pembangunan sosial sebagai suatu perspektif alternatif untuk meredistribusikan sumber daya dengan menekankan prioritas alokasi pada program-program sosial yang berorientasi pada produktivitas dan investasi untuk memperluas partisipasi dalam bidang ekonomi dan memberikan kontribusi positif pada pembangunan. Menurutnya, strategi yang digunakan dalam pembangunan sosial mencakup investasi pada pengembangan sumber daya manusia, programprogram perluasan lapangan kerja dan kewirausahaan, pembentukan modal sosial, pengembangan aset, penghematan, dan penghapusan berbagai pembatasan terhadap partisipasi di bidang ekonomi. Sejalan dengan pendapat tersebut, Taylor-Gooby dalam Paskarina (2008) memperkuat argumentasi diperlukannya investasi sosial karena dalam konteks globalisasi ekonomi, tidak mungkin lagi tercapai kondisi tersedianya lapangan kerja yang memadai, redistribusi pendapatan yang adil, dan semakin mahalnya biaya pelayanan publik, sehingga peran pemerintah dalam mewujudkan
15
kesejahteraan hanya dapat dilakukan melalui pembiayaan-pembiayaan sosial berbentuk investasi pada sumber daya manusia dan perluasan peluang-peluang bagi setiap individu anggota masyarakat. Menurutnya, investasi sosial harus difokuskan pada upaya penjaminan agar tiap-tiap individu punya kemampuan dan kualitas yang diperlukan untuk bekerja, bertahan hidup, dan menjalankan fungsinya sebagai warga negara di masa kini dan mendatang. Strategi yang dapat diterapkan adalah dengan mengalokasikan anggaran publik untuk program program pemberdayaan dan pendidikan bagi anak-anak yang berkaitan dengan life skill education karena anak-anak inilah calon tenaga kerja di masa mendatang, sehingga dengan menyiapkan mereka sejak dini maka di masa mendatang akan lahir tenaga-tenaga kerja yang berkualitas dan memiliki daya saing global. Berbeda dengan pendapat Taylor-Gooby yang menekankan pentingnya investasi bagi individu, Giddens dalam Paskarina (2008) mengembangkan konsep investasi sosial sebagai investasi pada sumber daya manusia untuk memajukan kesejahteraan agar setiap individu maupun kelompok dapat berkontribusi bagi penciptaan kesejahteraan. Investasi sosial terutama diarahkan pada program peningkatan keterampilan, riset, teknologi, pemeliharaan anak-anak dan pemberdayaan komunitas sebagai upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Asumsinya, menurut Giddens, melalui programprogram investasi sosial tersebut, pemerintah dapat melengkapi masyarakatnya dengan kemampuan untuk merespon dan beradaptasi dengan perubahan ekonomi global yang selanjutnya dapat meningkatkan daya saing. Investasi pada pendidikan seumur hidup (life long learning), kesehatan, dan pengembangan
16
komunitas sebagai basis modal sosial merupakan langkah strategis untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa mendatang. Demikian pula investasi pada penguatan modal sosial dan kohesi komunitas dapat memperkuat solidaritas sosial yang berfungsi sebagai daya rekat bagi stabilitas sosial yang lebih baik. Dengan demikian, menurut Giddens, investasi sosial bukan hanya diarahkan bagi individu semata, tapi juga bagi komunitas karena individu hidup di tengah-tengah komunitas dan kondisi sosial yang baik akan menjadi faktor pendukung yang kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, investasi sosial diarahkan sebagai prakondisi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya diciptakan melalui pengelolaan faktorfaktor produksi, tapi juga melalui pemberdayaan sosial. Meskipun demikian, kebijakan investasi sosial pun dapat berdampak negatif bila tidak dirancang dengan baik karena dapat terjerumus pada upaya eksploitasi sumber daya manusia sebagai alat produksi semata. Untuk mencegahnya, penerapan kebijakan investasi sosial harus diorientasikan pada penciptaan peluang berusaha yang sama besar bagi tiap warga masyarakat, bukan sekedar penciptaan lapangan kerja yang punya nilai ekonomis. Artinya,
kebijakan publik
harus
digeser
dari semula
berkonsentrasi pada redistribusi kesejahteraan kepada upaya mendorong terciptanya kesejahteraan. Ketimbang memberikan subsidi kepada pelaku usaha, pemerintah mestinya lebih berusaha mendorong terciptanya kondisi yang membawa dunia usaha agar berinovasi dan para pekerja agar lebih efisien dalam perilaku ekonominya.
17
Produktivitas ekonomi didorong dan diperkuat dengan menciptakan kondisi stabilitas sosial, sehingga para pekerja bisa bekerja dengan tenang karena ada jaminan pemeliharaan kesehatan, investasi dalam dunia pendidikan dan pelatihan, skema kesejahteran untuk kerja (welfare to work scheme), dan penindakan kejahatan secara tegas. Sama halnya dengan investasi swasta, investasi pemerintah juga sangat diperlukan dalam proses pembangunan. Investasi pemerintah berfungsi sebagai sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Di dalam APBD, investasi pemerintah disebut sebagai pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan daerah bersumber dari: 1. Pos pembiayaan APBD 2. Pinjaman yang berasal dari: - Lembaga Perbankan, - Lembaga Keuangan Non Bank, - Penerbitan obligasi negara, - Penerusan pinjaman luar negeri (two step loan) (Elmi, 2004). Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang ditujukan untuk pembiayaan pembangunan, sebagai kegiatan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terdiri dari 21 jenis pengeluaran yang berorientasi ke 20 jenis sektor pembangunan dan satu jenis kelompok pengeluaran pembangunan lainnya, antara lain : industri; pertanian dan kehutanan; sumber daya air dan irigasi; tenaga kerja; perdangangan, pengembangan usaha daerah, keuangan dan
18
koperasi; transportasi; meteorologi dan geofisika; pertambangan dan energi; pariwisata, pos dan telekomunikasi; dan lain-lain (BPS, 2004). Dua puluh jenis sektor pembangunan antara lain : sektor industri; sektor pertanian dan kehutanan; sektor sumber daya air dan irigasi; sektor tenaga kerja; sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan daerah dan koperasi; sektor transportasi; sektor pertambangan dan energi; sektor pariwisata dan telekomunikasi daerah; sektor pembangunan daerah dan pemukiman; sektor lingkungan hidup dan tata ruang; sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan,terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga; sektor kependudukan dan keluarga sejahtera; sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja; sektor perumahan dan pemukiman; sektor agama; sektor ilmu pengetahuan dan teknologi; sektor hukum; sektor aparatur pemerintah dan pengawasan; sektor politik, penerangan, komunikasi dan media massa; sektor keamanan dan ketertiban umum. Investasi pembangunan manusia pada overhead sosial dapat dikategorikan sebagai pengeluaran sosial oleh pemerintah. Oleh karena inti dari pembangunan manusia adalah pendidikan dan kesehatan, maka alokasi pengeluaran pemerintah seharusnya difokuskan pada pembangunan sosial kedua sektor tersebut (Jhingan, 2004).
2.5.
Kemiskinan Menurut Soegijoko (1997), kemiskinan adalah situasi serba kekurangan
yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak bisa
19
dihindari dengan kekuatan yang dimilikinya. Kemiskinan terjadi karena kemampuan masyarakat pelaku ekonomi tidak sama, sehingga terdapat masyarakat yang tidak dapat ikut serta dalam proses pembangunan ataupun menikmati hasil-hasil pembangunan. Dalam memilih suatu pendekatan dan strategi untuk memecahkan masalah kemiskinan diperlukan pemahaman dan kesamaan cara pandang terhadap problematika kemiskinan. Kesamaan cara pandang itu tidak saja harus dipahami oleh aparat pelaksana, tetapi juga oleh masyarakat bersangkutan. Kemiskinan dipandang sebagai suatu lingkaran setan (vicious circle of poverty) dari berbagai faktor yang menyebabkan buruknya kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang ditandai oleh standar hidup yang rendah, seperti pendapatan kecil dan tidak menentu, perumahan tidak layak, kesehatan buruk dan tingkat pendidikan rendah. Faktor-faktor penyebab seperti kemalasan, kebodohan, produktifitas rendah, kesehatan buruk, lingkungan kumuh dan lainnya yang terdapat pada diri manusia dan lokasi tempat tinggalnya, dianggap sebagai mata rantai yang saling mempengaruhi proses terjadinya kemiskinan. Di pihak lain, ada anggapan kemiskinan merupakan akibat dari suatu ketidakadilan dan ketidakmerataan terhadap suatu kelompok masyarakat, sehingga mereka menderita miskin karena tidak dapat ikut menggunakan sumbersumber mata pencaharian yang tersedia. Berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dibedakan dalam tiga pengertian, yaitu :
20
1.
Kemiskinan alamiah, timbul akibat sumber daya alam, manusia dan sumber daya pembangunan lainnya yang langka jumlahnya dan/atau karena perkembangan teknologi yang sangat rendah, sehingga mereka tidak dapat berperan aktif dalam pembangunan.
2.
Kemiskinan struktural, disebabkan hasil pembangunan yang belum merata. Kepemilikan sumber daya tidak merata, kemampuan tidak seimbang dan ketidaksamaan kesempatan, menyebabkan kesertaan masyarakat dalam pembangunan tidak merata.
3.
Kemiskinan kultural, disebabkan pemahaman suatu sikap, kebiasaan hidup dan budaya seseorang atau masyarakat yang merasa kecukupan dan tidak kekurangan.
2.6.
Hukum Wagner Wagner dalam Mangkoesoebroto (2001) mengemukakan suatu teori
mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GNP yang juga didasarkan pula pengamatan di negara-negara Eropa, USA dan Jepang pada abad ke-19. Wagner mengemukakan pendapatnya dalam bentuk suatu hukum, akan tetapi dalarn pandangannya tersebut tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan pertumbuhan pengeluaran pemerintah dan GNP, apakah dalam pengertian pertumbuhan secara relatif ataukah secara absolut. Apabila yang dimaksud oleh Wagner adalah perkembangan pengeluaran pemerintah secara relatif sebagaimana teori Musgrave, maka hukum Wagner
21
adalah sebagai berikut: Dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (USA, Jerman, Jepang), tetapi hukum tersebut memberi dasar akan timbulnya kegagalan pasar dan eksternalitas. Wagner menyadari bahwa dengan bertumbuhnya perekonomian huhungan antara industri dengan industri, hubungan industri dengan masyarakat dan sebagainya menjadi semakin rumit atau kompleks. Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, yang terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dan anggota masyarakat Iainnya.
2.7.
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Besar kecilnya PDRB yang dihasilkan oleh suatu wilayah dipengaruhi oleh
ketersediaan sumber daya alam yang telah dimanfaatkan, jumlah dan mutu sumber daya manusia, kebijaksanaan pemerintah, letak geografis serta tersedianya sarana dan prasarana. Dalam menghitung pendapatan regional, BPS (1995) memasukan seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor yang melakukan
22
usahanya di suatu wilayah tanpa memperhatikan pemilik atas faktor produksi. Dengan demikian PDRB secara keseluruhan menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan pada faktor-faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di daerah produksi tersebut. Penghitungan PDRB dapat dilakukan melalui dua metode antara lain (Dumairy, 1996): a. Metode Langsung Dalam penghitungan PDRB ini didasarkan pada data yang terpisah antara data daerah dan data nasional, sehingga hasil penghitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Dalam metode ini PDRB dihitung dengan tiga pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Produksi PDRB merupakan jumlah barang dan jasa terakhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah menjadi 11 sektor (dapat juga dibagi menjadi 9 sektor) yaitu: (1) pertanian; (2) pertambangan dan galian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas dan air minum; (5) bangunan; (6) perdagangan; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) bank dan lembaga keuangan lainnya; (9) sewa rumah; (10) pemerintah; (11) jasa-jasa. 2. Pendekatan Pendapatan PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang turut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu setahun. Balas jasa produksi dimaksud meliputi upah dan gaji, sewa tanah,
23
bunga modal dan keuntungan. Semuanya dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam hal ini mencakup juga penyusutan dan pajak-pajak tak langsung netto. Jumlah komponen semua pendapatan per sektor disebut nilai tambah bruto sektoral. Oleh sebab itu PDRB menurut pendekatan pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor atau lapangan usaha. 3. Pendekatan Pengeluaran PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir, meliputi: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan; (2) pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok; (3) pengeluaran konsumsi pemerintah; (4) ekspor netto (ekspor
impor),
dalam jangka satu tahun. b. Metode Tidak Langsung atau Alokasi Perhitungan PDRB dilakukan dengan cara menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional kedalam masing-masing ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktifitas kegiatan ekonomi tersebut. Penghitungan
PDRB
pada
suatu
daerah
atau
wilayah
dengan
menggunakan metode langsung atau tidak langsung atau alokasi sangat bergantung pada data yang tersedia. Pada dasarnya, pemakaian kedua metode tersebut akan saling menunjang satu sama lain, karena penghitungan dengan metode langsung akan mendorong peningkatan mutu atau kualitas data daerah,
24
sedangkan penghitungan dengan metode tidak langsung merupakan koreksi dan pembanding bagi data daerah. Dilihat dari penjelasan diatas PDRB dari suatu daerah lebih menunjukkan besaran produksi suatu daerah, bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh penduduk daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.
2.8.
Hubungan Pembangunan Manusia dengan Pertumbuhan Ekonomi Hubungan antara pertumbuhan manusia dengan pertumbuhan ekonomi
secara empiris terbukti tidak bersifat otomatis. Artinya, banyak negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat tanpa diikuti oleh pembangunan manusia yang seimbang. Sebaliknya, banyak pula negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang sedang tetapi terbukti dapat meningkatkan kinerja pembangunan manusia secara mengesankan. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama bagi pembangunan manusia terutama pertumbuhan ekonomi yang merata secara sektoral dan kondusif terhadap penciptaan lapangan kerja. Hubungan antara pertumbuhan pembangunan manusia dan ekonomi berlangsung melalui dua macam jalur. Jalur pertama melalui kebijaksanaan dan pengeluaran pemerintah. Dalam hal ini faktor yang menentukan adalah pengeluaran pemerintah untuk subsektor sosial yang merupakan prioritas seperti pendidikan dan kesehatan. Jalur kedua adalah melalui kegiatan pengeluaran
25
pengeluaran rumah tangga. Dalam hal ini faktor yang menentukan adalah pengeluaran rumah tangga dimana penduduk miskin hanya memiliki pengeluaran yang kecil. (Soebeno, 2005).
Pembangunan Manusia
Tingkat Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan
Pengeluaran Rumah Tangga
Kebijakan dan Pengeluaran Pemerintah Sektor Sosial
Tingkat Kemiskinan
Pertumbuhan Ekonomi
Sumber : Soebeno, 2005
Gambar. 2.1. Siklus Pembangunan Manusia dengan Pertumbuhan Ekonomi
26
2.9.
Otonomi Daerah Otonomi daerah
merupakan
suatu
sistem
perekonomian dimana
pemerintah pusat menyerahkan segala urusan perekonomian tiap daerah kepada pemerintah daerahnya masing-masing, mulai dari urusan bagaimana cara mendapatkan
pendapatan
sampai
pengalokasiannya.
Diubahnya
sistem
perekonomian Indonesia menjadi sistem otonomi daerah, disebabkan adanya sentralisasi yang dilakukan pemerintah pusat. Selain itu, hal ini disebabkan karena pembagian pendapatan serta pengalokasiannya tidak adil, sehingga banyak ketidakpuasan yang muncul di kalangan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Menurut UU No.22 Tahun 1999 Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pola pendekatan yang sentralistik dan seragam yang selama ini dikembangkan pemerintah pusat telah mematikan inisiatif dan kreativitas daerah. Pemerintah daerah kurang diberi keleluasaan (local discreation) untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri. Kewenangan yang selama ini diberikan kepada daerah tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan sumber daya manusia yang profesional, dan pembiayaan yang adil. Akibatnya, yang terjadi bukannya tercipta kemandirian daerah, tetapi justru ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat. Selama masa orde baru, harapan yang besar dari pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah
27
berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai belanja daerah. Pemerintah pusat melakukan campur tangan terhadap daerah dengan alasan untuk menjamin stabilitas nasional dan masih lemahnya sumber daya manusia yang ada di daerah. Karena dua alasan tersebut, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan tersebut terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah menimbulkan ketimpangan dan atau ketidakadilan, rendahnya akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial,
rendahnya
tingkat
pengembalian
proyek-proyek
publik,
serta
memperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah.
2.10.
Pembangunan Manusia di Beberapa Negara Dalam Amsterdam Treaty (1999) dan Lisbon Strategy (2000), Uni Eropa
menerapkan strategi untuk mengintegrasikan kebijakan ekonomi, sosial, dan lapangan kerja untuk meningkatkan daya saing, penyediaan lapangan kerja secara penuh (full employment), dan memajukan inklusivitas sosial. Di sini, investasi sosial diarahkan untuk mendorong produktivitas tenaga kerja, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Paskarina,2008).
28
Di Victoria (Kota di Australia), investasi sosial difokuskan pada kesehatan dan pendidikan, dengan peningkatan alokasi dan staf untuk sekolah-sekolah dan rumah sakit.
Pendidikan menjadi
media strategis untuk
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan kohesi sosial melalui pembelajaran seumur hidup, serta upaya untuk memperluas akses dan peluang kerja bagi kelompok-kelompok masyarakat marginal dengan memberdayakan komunitas (Paskarina,2008). Di negara-negara demokrasi, kesadaran untuk mengawasi dan membatasi intervensi pemerintah pada sektor pendidikan itu ditandai dengan dipilihnya asas desentralisasi dalam pengambilan kebijakan (pengaturan) sektor pendidikan. Amerika Serikat adalah salah satu negara pelopor demokrasi. Sudah sejak lama kebijakan pendidikan di Amerika Serikat menjadi tanggung jawab Pemerintah Negara Bagian (State) dan Pemerintah Daerah (Distrik). Sebelumnya, pemerintah pusat memang mengintervensi kebijakan pendidikan, sebagaimana yang terjadi sejak tahun 1872, dimana pemerintah pusat AS mengintervensi kebijakan pendidikan dengan cara memberikan tanah negara kepada negara bagian untuk pembangunan fakultas-fakultas pertanian dan teknik; membantu sekolah sekolah dengan program makan siang, menyediakan pendidikan bagi orang-orang Indian; menyediakan dana pendidikan bagi para veteran yang kembali ke kampus untuk menempuh pendidikan lanjutan; menyediakan pinjaman bagi mahasiswa; menyediakan anggaran untuk keperluan penelitian, pertukaran mahasiswa asing dan bantuan berbagai kebutuhan mahasiswa lainnya; serta memberikan bantuan tidak langsung (karena menurut ketentuan Undang-Undang Amerika Serikat
29
pemerintah dilarang memberikan bantuan langsung) kepada sekolah-sekolah agama dalam bentuk buku-buku teks dan laboratorium. Namun semenjak masa Pemerintahan Presiden Ronald Reagen, intervensi Pemerintah Pusat AS terhadap pendidikan mulai dikurangi. Selanjutnya tanggung jawab dan inisiatif kebijakan pendidikan diserahkan kepada Negara Bagian (setingkat Provinsi) dan Pemerintah Daerah/Distrik (setingkat Kabupaten/Kota). Di Amerika Serikat terdapat 50 Negara Bagian dan 15.358 Distrik. Jadi sebanyak itu lembaga yang diberi kewenangan dan otonomi untuk mengelola pendidikan. Sumber pendanaan pendidikan di Amerika, khususnya pendidikan dasar dan menengah, yang lebih dikenal dengan public schools, berasal dari Anggaran Pemerintah Pusat (Federal), Anggaran Pemerintah Negara Bagian dan Anggaran Pemerintah Daerah. Ada beberapa isu dan masalah pendidikan yang dialami pemerintah dan masyarakat Amerika Serikat, antara lain: a.
Banyaknya anak usia sekolah yang tidak diasuh langsung oleh orang tua mereka, karena adanya dinamika perubahan sosial masyarakat AS yang umumnya baik ibu atau ayah memiliki kesibukan yang sangat tinggi di luar rumah. Hal ini akan menjadi permasalahan yang serius bagi perkembangan sosial anak dilihat dari aspek psikis dan emosional.
b.
Tingginya tingkat perceraian, yang mengakibatkan banyaknya anak-anak usia sekolah yang hanya diasuh oleh sang ibu sebagai single-parent dalam rumah tangga. Tidak sedikit janda cerai di AS yang terpaksa harus
30
berprofesi rendahan dan kasar. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan sosial anak-anak mereka. c.
Tingginya tingkat imigrasi yang umumnya berasal dari kalangan tidak mampu dan tidak terdidik, yang karenanya banyak diantara mereka yang tidak memperoleh pekerjaan yang layak. Hal ini menyebabkan masalah pendidikan anak-anak dari keluarga imigran tidak dapat teratasi. Ditambah lagi faktor bahasa dari kalangan imigran yang menyulitkan bagi anak-anak imigran itu sendiri jika mereka mendapat akses pendidikan.
d.
Dari berbagai monitoring dan evaluasi pendidikan yang dilakukan oleh berbagai badan resmi AS sendiri, ternyata kualitas pendidikan dan lulusan sekolah di AS masih kalah dibandingkan dengan negara-negara lain dalam standar internasional. Banyak anak-anak yang drop-outs dan tingginya kekerasan oleh anak-anak. Karena adanya berbagai permasalahan tersebut, pemerintah AS sejak
tahun 1990 mencanangkan reformasi pendidikan. Pada tahun tersebut Presiden AS George H. B. Bush beserta seluruh Gubernur Negara Bagian (saat itu Bill Clinton termasuk menjadi salah satu Gubernur Negara Bagian) menyetujui reformasi pendidikan dengan mencanangkan 6 tujuan nasional pendidikan AS yang baru. Yaitu: a.
Pada tahun 2000, seluruh anak di AS di waktu mulai masuk sekolah dasar sudah siap untuk belajar.
b.
Pada tahun 2000, tamatan sekolah menengah naik sekurang-kurangnya 90%.
31
c.
Pada tahun 2000, murid-murid di AS yang menyelesaikan pendidikannya pada grade 4, 8 dan 12 mampu menunjukkan kemampuannya dalam mata pelajaran yang menantang, yaitu bahasa inggris, matematika, sains, sejarah, dan geografi. Setiap sekolah di AS harus mampu menunjukkan bahwa anak-anak dapat menggunakan pikirannya dengan baik, sehingga mereka siap menjadi warga negara yang baik, siap untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi, serta siap pula untuk pekerjaan yang produktif dalam perekonomian modern.
d.
Pada tahun 2000, siswa-siswa AS adalah yang terbaik di dunia dalam bidang sains dan matematika.
e.
Pada tahun 2000, setiap orang dewasa AS dapat membaca dan menulis, memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk bersaing dalam ekonomi global, serta dapat melaksanakan hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara.
f.
Pada tahun 2000, setiap sekolah di AS harus bebas dari obat-obat terlarang dan kekerasan, serta dapat menciptakan suasana lingkungan yang mantap dan aman sehingga kondusif untuk belajar. Pokok-pokok reformasi pendidikan itu akhirnya ditindak lanjuti dengan
berbagai kreasi kebijakan pendidikan di tingkat negara bagian dan pemerintah derah. Gerakan reformasi pendidikan di kalangan Gubernur itu dipelopori oleh Gubernur Bill Clinton dan Lamar Alexander di masing-masing negara bagiannya. Gebrakan yang dilakukan adalah: a.
Meningkatkan persyaratan untuk menamatkan suatu jenjang pendidikan,
32
b.
Melaksanakan tes standar untuk mengukur keberhasilan siswa,
c.
Menjalankan sistem penilaian yang ketat terhadap guru sejalan dengan pembenahan jenjang karir bagi guru-guru,
d.
Memperbesar tambahan dana dari negara bagian bagi sekolah-sekolah. Akhirnya AS benar-benar memperoleh kemajuan di bidang pendidikan,
sehingga ketika Bill Clinton menjadi Presiden AS, keberhasilan AS dalam mengembangkan kebijakan pendidikan mendapat perhatian khusus. Kebijakan yang dilakukan AS merupakan salah satu langkah yang dapat diikuti oleh negaranegara yang menginginkan peningkatan sumber daya manusianya.
2.11.
Penelitian Terdahulu Dalam sub bab ini akan dibahas penelitian-penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan topik penelitian mengenai ketimpangan dan juga ditulis penelitian terdahulu yang menggunakan analisis panel data. Penelitian dengan menggunakan data dimaksudkan untuk memperkaya pemahaman terhadap panel data (meskipun topik penelitian berbeda dengan apa yang penulis lakukan).
2.11.1. Penelitian Mengenai Investasi Sosial Pemerintah Brata (2005) melakukan penelitian tentang hubungan investasi sektor publik lokal, pembangunan manusia dan kemiskinan di Indonesia, dari tahun 1996, 1999, dan 2002 diperoleh bukti bahwa investasi sektor publik untuk bidang sosial membawa manfaat bagi pembangunan manusia dan kesejahteraan penduduk. Investasi bidang sosial tersebut menghasilkan manfaat dalam
33
peningkatan IPM dan menurunkan tingkat kemiskinan. Pembangunan manusia yang berhasil juga ditemukan membawa manfaat pada berkurangnya tingkat kemiskinan. Variabel lain yang diintroduksikan, yakni investasi swasta dan distribusi pendapatan secara umum berpengaruh kuat terhadap pembangunan manusia dan kemiskinan. Investasi swasta berperan mengurangi kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja yang memungkinkan terjadinya peningkatan pendapatan
masyarakat.
Sedangkan
ketimpangan
distribusi
pendapatan
pendapatan merugikan upaya pengurangan kemiskinan karena yang terjadi justru peningkatan kemiskinan. Yunitasari (2007) melakukan penelitian tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia di Jawa Timur. Penelitian yang dilakukan menggunakan analisis panel data. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, investasi pemerintah sektor pendidikan, dan kemiskinan mempengaruhi secara signifikan peningkatan IPM Jawa Timur.
2.11.2. Penelitian Mengenai Panel Data Holis (2006) melakukan penelitian mengenai Relevankah Merger Bank di Indonesia? (Pendekatan Efisiensi dan Skala Ekonomi) dengan menggunakan metode analisis panel data. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa untuk menganalisis struktur biaya bank dapat digunakan model efek tetap (Fixed Effect). Dari hasil estimasi menunjukkan koefisien variabel yang sama untuk setiap individu dan intersep yang berbeda untuk setiap individu. Berdasarkan hasil
34
estimasi fungsi biaya terdapat dua puluh satu variabel penjelas yang signifikan dan terdapat enam variabel penjelas yang tidak signifikan terhadap taraf nyata 0.05 persen. Pada penelitian ini, analisis panel data dilakukan untuk melihat faktorfaktor yang mempengaruhi fungsi pembangunan manusia Indonesia. Pendekatan panel data untuk memilih antara model fixed effect dengan random effect pada penelitian ini adalah dengan menggunakan uji Hausman (Hausman Test) dengan hipotesis, jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ 2 - Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol yaitu random effect model, sehingga model yang digunakan adalah fixed effect model, dan begitu juga sebaliknya.
2.12.
Kerangka Pemikiran Terjadinya ketimpangan pembangunan antara KBI dengan KTI membuat
pemerintah harus memberikan perhatian yang lebih kepada pembangunan di KTI. Pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur fisik
saja
tidak
cukup
untuk meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat,
pembangunan kualitas sumber daya manusia mutlak dibutuhkan, termasuk di KTI. Peran pemerintah diperlukan dalam membentuk kualitas manusia yang baik. Peran pemerintah dalam pembentukan modal manusia dapat terlihat dari besarnya investasi atau pembiayaan pembangunan pada sektor pendidikan dan kesehatan. Dengan diterapkannya otonomi daerah, maka pemerintah daerah dapat menentukan besarnya anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan sebagai
35
investasi modal manusia yang akan berimplikasi kepada tingkat pembangunan manusia, sehingga kesejahteraan rakyat dapat tercapai Ketimpangan Pembangunan
KBI
KTI
Pembangunan Manusia
Peran Pemerintah
Perkembangan IPP & IPK
IPP
Analisis Deskriptif
Pertumbuhan Ekonomi
IPK
PDRB
Analisis Panel Data
Hasil Analisis
Rekomendasi Kebijakan
Keterangan : IPP IPK
= Investasi Pemerintah Sektor Pendidikan = Investasi Pemerintah Sektor Kesehatan = Alur Penelitian = Ruang Lingkup Penelitian
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
Pengeluaran Rumah Tangga
Kemiskinan
36
2.13.
Hipotesis
1.
Investasi pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan merupakan faktor yang mempengaruhi secara signifikan baik atau buruknya tingkat pembangunan manusia. Semakin besar investasi yang dikeluarkan pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan, maka semakin baik pula tingkat pembangunan manusia.
2.
Pertumbuhan ekonomi mampu meningkatkan kualitas pembangunan manusia.
3.
Semakin besar jumlah penduduk miskin maka akan menurunkan IPM.
37
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian skripsi ini dimulai pada bulan Desember 2007 waktu yang
diperlukan dalam rencana penulisan penelitian, pengumpulan data hingga penulisan laporan dilakukan sampai bulan April 2008. Penelitian ini mengambil 14 provinsi di KTI sebagai objek studi. Lokasi ini diambil dengan pertimbangan: (1) tersedianya data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini; (2) kondisi pembangunan manusia yang kurang baik.
3.2.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data yang diperlukan meliputi: (1) PDRB menurut provinsi berdasarkan harga konstan Tahun 2000; (2) data IPM; (3) jumlah penduduk miskin menurut propinsi; (4) berbagai macam data sekunder lainnya yang diambil dari berbagai sumber. Jenis data tersebut diperoleh dari: (1) Badan Pusat Statistik; (2) website Departemen Keuangan; (3) publikasi beberapa penelitian terdahulu. Periode analisis pada penelitian ini adalah antara tahun 2001 sampai dengan tahun 2003
3.3.
Metode Analisis Untuk menganalisis perkembangan investasi pemerintah sektor pendidikan
dan kesehatan di KTI akan dipresentasikan secara deskriptif. Untuk menganalisis
38
faktor-faktor yang mempengaruhi IPM di KTI digunakan analisis panel data, dan pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2000 dan E-Views 5.1.
3.3.1. Analisis Panel Data Dalam melakukan sebuah penelitian, banyaknya data merupakan salah satu syarat agar penelitian tersebut dapat mewakili perilaku dari model yang dikehendaki. Masalah keterbatasan data merupakan hal yang sering dialami para peneliti, terkadang dalam penelitian yang menggunakan data series, data yang tersedia terlalu pendek sehingga pengolahan data time series tidak dapat dilakukan. Begitu pula dengan pengolahan data cross section, terkadang jumlah unit data yang dibutuhkan terbatas. Persoalan keterbatasan data seperti itu, dalam ekonometrika dapat diatasi dengan menggunakan analisis panel data (pooled data). Analisis panel data secara umum dapat didefinisikan sebagai analisis satu kelompok variabel yang tidak saja mempunyai keragaan (dimensi) dalam runtun waktu (time series) tetapi juga dalam kerat lintang atau antar individu (cross section). Analisis panel data adalah subyek dari salah satu bentuk yang cukup aktif dan inovatif dalam literatur ekonometrik. Hal ini dikarenakan metode analisis data panel menyediakan informasi yang cukup kaya untuk perkembangan teknik estimasi dan hasil teori. Dalam bentuk praktis, peneliti telah dapat menggunakan data runtun waktu (time series) dan kerat lintang (cross section)
39
untuk menganalisis masalah yang tidak bisa diatasi jika hanya menggunakan salah satu metode saja. Ada beberapa keuntungan dari penggunaan panel data. Menurut Baltagi (1995), penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Manfaat dari penggunaan data panel antara lain adalah : 1. Memberikan data yang informatif, lebih bervariasi, menambah derajat bebas, lebih efisien dan mengurangi kolinieritas antar variabel. 2. Memungkinkan analisis terhadap sejumlah permasalahan ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab oleh analisis data runtun waktu atau kerat lintang saja. 3. Memperhitungkan derajat heterogenitas yang lebih besar yang menjadi karakteristik dari individual antar waktu. 4. Adanya fleksibilitas yang lebih tinggi dalam memodelkan perbedaan perilaku antar individu dibandingkan data kerat lintang. 5. Dapat menjelaskan dynamic adjustment secara lebih baik. Model umum analisis regresi data panel dapat diformulasikan sebagai berikut: y i ,t = α + β x i ,t + u i ,t
(3.1)
Dimana u i ,t ~ IID(0, σ 2 ) dan i = 1,2,3,...,N adalah jumlah observasi antar individu sementara t = 1,2,3,...,T adalah observasi runtut waktu. Dalam persamaan (3.9), intersep (α) dan slope (β) diasumsikan homogenous diantara seluruh N
40
individu dan T runtut waktu. Namun kondisi ini tidak selamanya sesuai dengan kerangka ekonomi yang akan dianalisis. Ketidaksesuaian ini dimungkinkan atas dua kemungkinan, yaitu: 1. Suatu kondisi dimana intersep dalam model bersifat heterogen (α i ≠ α j ) sementara slopenya homogen ( β i = β j ) . 2. Suatu kondisi dimana intersep dalam model bersifat heterogen (α i ≠ α j ) demikian pula slopenya ( β i ≠ β j ) . Dari kedua hal tersebut di atas, model estimasi data panel dapat diekspresikan dalam sejumlah bentuk. Jadi terdapat empat macam model estimasi data panel yang dapat digunakan: 1. Apabila diasumsikan bahwa intersep bervariasi antar individu sementara slope bersifat konstan, maka persamaan (3.1) akan menjadi: y i ,t = α i + β x i , t + u i ,t
(3.2)
2. Apabila diasumsikan bahwa intersep bervariasi antar individu dan antar waktu sementara slope bersifat konstan, maka persamaan (3.1) akan menjadi:
yi,t = α i ,t + βxi,t + ui,t
(3.3)
3. Apabila diasumsikan bahwa intersep dan slope bervariasi antar individu tetapi konstan antar waktu, maka persamaan (3.1) akan menjadi: yi ,t = α i + β i xi ,t + ui ,t
(3.4)
4. Apabila diasumsikan bahwa intersep dan bervariasi antar individu dan antar waktu, maka persamaan (3.1) akan menjadi:
41
yi ,t = α i ,t + β i ,t xi ,t + ui ,t
(3.5)
Dari keempat model di atas koefisien (α) dan (β) diasumsikan tertentu (fixed). Klasifikasi lainnya adalah ketika diasumsikan bahwa parameter-parameter ini diasumsikan random generating dan disebut sebagai random coefficient models. Selain itu dari keempat model di atas, jika asumsi homogenitas baik pada intersep maupun slope ditolak, maka heterogenitas antar individu akan tercermin pada salah satu atau lebih persamaan (3.2) hingga persamaan (3.5). Tujuan dari penentuan model yang sesuai adalah untuk menghilangkan bias dari variabelvariabel yang digunakan dalam model. Bias yang diakibatkan pengabaian heterogenitas dari koefisien-koefisien estimasi disebut juga sebagai heterogenity bias.
Mengabaikan
heterogenitas
baik
intersep
maupun
slope
dapat
mengakibatkan hasil estimasi yang tidak konsisten dan meaningless. Penentuan model analisis data panel dalam rangka menghilangkan heterogenity bias dapat dilakukan dengan plotting variabel dependen terhadap variabel independen. Analisis plotting ini berfungsi sebagai mekanisme identifikasi model yang sesuai dalam analisis data panel. Sementara itu untuk menguji terjadi atau tidaknya heterogenity bias dapat dilakukan uji hipotesis heterogenitas. Uji dilakukan dengan mengestimasi persamaan (3.4) dimana diasumsikan slope bersifat homogen antar individu. Kemudian uji hipotesis dilakukan terhadap: H 0 : β 1 = β 2 = ... = β N = β H a : β i ≠ β j untuk i ≠ j
42
dimana : i = 1, ..., N j = 1, ..., N Uji hipotesis di atas dapat dilakukan dengan mekanisme Wald-test. Jika pengujian tidak menolak hipotesis nol, maka koefisien indifidual bersifat random dan identik dengan rata-ratanya. Dalam hal ini, estimasi dilakukan pada model yang mengasumsikan slope bersifat homogen seperti pada persamaan (3.1) sampai (3.2). Terdapat beberapa asumsi dasar yang melandasi penentuan model data panel. Asumsi dasar ini ditentukan oleh conditionality dari variabel bebas (xi,t) yang digunakan dalam model data panel itu sendiri. Asumsi dasar dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Individual-varying time-invariant, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) yang sama untuk sebuah unit kerat lintang sepanjang waktu namun berbeda antar unit kerat lintang. Contohnya adalah jenis kelamin, latar belakang sosioekonomi dan sebagainya. 2. Period-varying individual-invariant, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) sama untuk semua unit kerat lintang namun berubah menurut runtun waktu. Contohnya adalah tingkat bunga. 3. Individual time-varying variables, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) bervariasi antar unit kerat lintang dan waktu. Contohnya adalah keuntungan perusahaan, tingkat penjualan.
43
Dari pemilihan model tersebut di atas kemudian akan menentukan metode estimasi dari model panel panel yang dipilih. Terdapat tiga metode dalam mengestimasi data panel, yaitu: 1.
Pooled Least Square (PLS) Dalam metode ini terdapat (K) regressor dalam ( xit ) , kecuali konstanta.
Metode ini juga dikenal sebagai Common Effect Model (CEM). Jika efek individual (α i ) konstan sepanjang waktu (t) dan spesifik terhadap setiap unit (i) maka modelnya akan sama dengan model regresi biasa. Jika nilai (α i ) sama untuk setiap unitnya, maka OLS akan menghasilkan estimasi yang konsisten dan efisien untuk (α) dan (β). Oleh karena itu, metode ini dapat digunakan dalam mengestimasi persamaan (3.2). Metode ini sederhana namun hasilnya tidak memadai karena setiap observasi diperlakukan seperti observasi yang berdiri sendiri. 2.
Fixed Effects Model (FEM) Model ini menggunakan semacam peubah boneka untuk memungkinkan
perubahan-perubahan dalam intersep-intersep kerat lintang dan runtut waktu akibat adanya peubah-peubah yang dihilangkan. Intersep hanya bervariasi terhadap individu namun konstan terhadap waktu sedangkan slopenya konstan baik terhadap individu maupun waktu. Jadi α i adalah sebuah grup dari spesifik nilai konstan pada model regresi. Formulasi umum model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar unit dapat diketahui dari perbedaan nilai konstantanya. Kelemahan model efek tetap adalah penggunaan jumlah derajat kebebasan yang banyak
serta
penggunaan
peubah
boneka
tidak
secara
langsung
44
mengidentifikasikan apa yang menyebabkan garis regresi bergeser lintas waktu dan lintas individu. Modelnya ditulis sebagai yi = α i + βxi + ε i . 3.
Random Effects Models (REM) Intersepnya bervariasi terhadap individu dan waktu namun slopenya
konstan terhadap individu maupun waktu. Jadi (α i ) adalah sebuah grup dari gangguan khusus, mirip seperti (ε it ) kecuali untuk setiap grup ada nilai khusus yang masuk dalam regresi secara identik untuk setiap periode. Nilai (α i ) terdistribusi secara acak pada unit-unit kerat lintang. Metode ini juga dikenal sebagai variance components estimation. Model ini meningkatkan efisiensi proses pendugaan kuadrat terkecil dengan memperhitungkan pengganggu-pengganggu kerat lintang dan deret waktu. Model estimasinya yang digunakan adalah
yit = α i + β ' xit + µ i + ε it dengan ( µ i ) adalah nilai gangguan acak pada observasi (i) dan konstan sepanjang waktu. Dari penjabaran metode estimasi di atas dapat dikatakan bahwa FEM digunakan atas asumsi bahwa dampak dari gangguan mempunyai pengaruh yang tetap (dianggap sebagai bagian dari intersep). Sedangkan REM digunakan atas asumsi bahwa gangguan diasumsikan bersifat acak. Penentuan model atas pertimbangan perilaku dari gangguan yang bersifat tetap atau acak pada individu (i) akan berpengaruh terhadap bias dari hasil estimasi. Bias yang terjadi akibat kesalahan menentukan model berdasarkan perilaku gangguannya disebut dengan selectivity bias.
45
3.3.2. Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Diagram pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan dapat diperlihatkan pada gambar 3.1. berikut ini:
Gambar 3.1. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel
3.3.2.1 Chow Test Chow Test dimana beberapa buku menyebutnya sebagai pengujian Fstatistik adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect. Sebagaimana yang diketahui bahwa terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
46
H0 : Model Pooled Least Square H1 : Model Fixed Effect Dasar penolakan terhadap Hipotesa Nol (H0) adalah dengan menggunakan Fstatistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:
(ESS1 − ESS 2 ) CHOW =
(ESS 2 )
(N − 1)
(NT − N − K )
(3.6)
Dimana: ESS1 = Residual Sum Square hasil pendugaan model pooled least square
ESS 2 = Residual Sum Square hasil pendugaan model fixed effect N
= Jumlah data cross section
T
= Jumlah data time series
K
= Jumlah variabel penjelas Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas
(N − 1, NT − N − K )
jika nilai CHOW statistics (F-stat) hasil pengujian lebih
besar dari F-Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap Hipotesa Nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu juga sebaliknya. Pengujian ini disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas parameter (stability test).
3.3.2.2 Hausman Test Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect.
47
Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu unsur trade-off yaitu hilangnya derajat bebas dengan memasukan variabel dummy. Namun, penggunaan metode random effect juga harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : Model Random Effect H1 : Model Fixed Effect Sebagai dasar penolakan Hipotesa Nol maka digunakan Statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: m = (β − b )(M 0 − M 1 )
−1
(β − b )
~ χ 2 (K )
(3.7)
Dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, M 0 adalah matriks kovarians untuk dugaan fixed effect model dan M 1 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effect model. Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari χ 2 - Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu pula sebaliknya.
3.3.2.3 LM Test LM Test atau lengkapnya The Breusch-Pagan LM Test digunakan sebagai pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect atau Pooled Least Square. LM Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
48
H0 : Model Pooled Least Square H1 : Model Random Effect Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan statistik LM yang mengikuti distribusi dari Chi-Square. Statistik LM dihitung dengan menggunakan residual OLS yang diperoleh dari hasil estimasi model Pooled, dimana: 2
2 2 NT T ∑ ε i ~χ2 LM = − 1 2(T − 1) ∑∑ ε it2
(3.8)
Jika nilai LM hasil perhitungan lebih besar dari χ 2 - Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol, sehingga model yang digunakan adalah model random effect, dan begitu pula sebaliknya.
3.3.3
Evaluasi Model
3.3.3.1.Multikolinearitas Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil t dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F-hitung signifikan, maka patut diduga adanya multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan menghilangkan variabel yang tidak signifikan.
49
3.3.3.2.Autokorelasi Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin-Watson (DW) dalam Eviews. Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistik dengan DW-tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1 Kerangka Identifikasi Autokorelasi Nilai DW
Hasil
DW < dl
Tolak H0, korelasi serial positif
dl < DW < du
Hasil tidak dapat ditentukan
du < DW < 4-du
Terima H0, tidak ada korelasi positif atau negatif
4-du < DW < 4-dl
Hasil tidak dapat ditentukan
DW < 4-dl
Tolak H0, korelasi serial negatif
Sumber : Nachrowi (2006)
Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Perlakuan untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR (1) atau AR (2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi yang kita gunakan.
3.3.3.3.Heteroskedastisitas Dalam regresi linear ganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah Var (ui) = σ 2 (konstan),
50
semua varian mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya, heteroskedastisitas diperolah pada data cross section. Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka pada hasil regresi akan terjadi misleading (Gujarati, 1995). Untuk menguji adanya pelanggaran asumsi Heteroskedastisitas, digunakan uji White-heteroskedasticity yang diperoleh dalam program Eviews. Dengan uji white, membandingkan Obs* R-Squared dengan χ 2 (Chi-Squared) tabel, jika nilai Obs* R-Squared lebih kecil daripada
χ 2 -tabel maka tidak ada
heteroskedastisitas pada model. Dalam pengolahan data panel dalam Eviews 4.1 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights), maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Squared Resid Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistics < Sum Squared Resid Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Perlakuan untuk pelanggaran tersebut
adalah dengan mengestimasi GLS dengan White
Heteroscedasticity.
3.3.4. Model Umum Penelitian Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
ipmi,t = α + β1ippit + β 2ipkit + β3 pdrbit + β 4 miskinit + ε Dimana : ipmit
= Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
(3.9)
51
ipp
= Investasi pemerintah sektor pendidikan (ribu rupiah)
ipk
= Investasi pemerintah sektor kesehatan (ribu rupiah)
pdrb
= PDRB dengan harga konstan tahun 2000 (juta rupiah)
miskin
= Persentase penduduk miskin (persen) = Intersep = Slope
i
= Individu ke-i
t
= Periode waktu ke-t = Error / simpangan
52
IV. GAMBARAN UMUM
4.1.
Keadaan Geografis KTI terdiri dari beberapa pulau dan kepulauan dengan luas wilayah
daratan 1.293.215 kilometer persegi atau sebesar 67,91 persen dari seluruh wilayah Indonesia. Provinsi Papua mempunyai luas wilayah daratan paling besar (421.981 kilometer persegi) atau 32,45 persen dari luas KTI, sementara Provinsi Gorontalo memiliki luas daratan paling kecil (12.215 kilometer persegi) atau 0,94 persen dari luas wilayah KTI. Wilayah Negara Indonesia mempunyai daerah yang berbatasan dengan 11 negara lain yang sebagian besar terletak di KTI. Pengelolaan daerah perbatasan tersebut masih rendah, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sangihe Talaud, Halmahera, Kei-Aru, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Menurut Keppres RI No. 44 Tahun 2002 tentang dewan pengembangan KTI ada 14 Provinsi yang termasuk ke dalam wilayah KTI. Provinsi tersebut antara lain : Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.
4.2.
Kependudukan Jumlah penduduk KTI relatif sedikit dengan distribusi yang tidak merata.
Berdasarkan data pada tahun 1999 penduduk KTI berjumlah 35.195.900 jiwa atau
53
20,04 persen dari total penduduk Indonesia dengan perkiraan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 29 jiwa per kilometer persegi. Jumlah penduduk terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 8.090.100 jiwa, sementara Provinsi Gorontalo dengan jumlah penduduk 840.386 jiwa merupakan yang terkecil. Kepadatan terbesar berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan 190 jiwa per kilometer persegi, sementara yang terjarang adalah Provinsi Papua dengan kurang dari lima jiwa per kilometer persegi. Kualitas sumberdaya manusia di KTI dapat dikategorikan masih di bawah rata-rata nasional. Pada tahun 1999, ada tujuh provinsi dari 12 provinsi di KTI memiliki IPM di bawah rata-rata nasional (tahun 1999 rata-rata IPM Indonesia sebesar 64). Pada tahun yang sama, dari 126 kabupaten/kota di KTI, 48 kabupaten/kota memiliki IPM di bawah IPM rata-rata KTI (yang besarnya 62,9).
4.3.
Perekonomian Secara keseluruhan kondisi perekonomian KTI relatif tertinggal
dibandingkan dengan KBI, yang ditunjukkan oleh rendahnya proporsi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), PDRB per kapita, porsi investasi, dan porsi ekspor. Pada tahun 2000, porsi PDRB KTI hanya 18,99 persen dari keseluruhan PDRB nasional. Sedangkan PDRB per kapita total KTI (Rp 2.037.781) lebih tinggi dibandingkan KBI (Rp 1.947.758). Sebaliknya, PDRB per kapita tanpa sektor migas KBI lebih besar dibandingkan dengan KTI (Rp 1.799.251 untuk KBI dan sebesar Rp. 1.748.737 untuk KTI). Selanjutnya, penanaman modal asing (PMA) KTI hanya sebesar 11,69 persen (realisasi 9 persen), sementara untuk
54
persetujuan penanaman modal dalam negeri (PMDN) porsi KTI relatif besar yaitu sebesar 40,29 persen (realisasi 15 persen). Porsi ekspor total KTI pada tahun 2000 sebesar 17,70 persen, sementara untuk ekspor non-migas sebesar 12,59 persen. Untuk mempercepat pembangunan di KTI diperlukan upaya-upaya pemberian insentif bagi pemodal sebagai satu daya tarik agar sumberdaya alam dapat dikelola untuk secepat-cepatnya bagi kemakmuran rakyat.
4.4.
Sumber Daya Alam Sumber daya alam di KTI baik di daratan maupun di lautan mempunyai
potensi yang sangat besar, namun pengelolaannya belum optimal. Diperkirakan 81,2 persen dari total cadangan bahan tambang Indonesia terdapat di KTI. Demikian juga dengan sumberdaya alam yang terbarukan seperti kehutanan, perikanan, dan obyek wisata laut. Pada tahun 1999, KTI memiliki hutan produksi sebesar 76,09 persen dari seluruh hutan produksi di Indonesia. Sementara potensi perikanan KTI diperkirakan sebesar 3.022.927 ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai 41 persen.
4.5.
Sarana dan Prasarana Kawasan Timur Indonesia yang luas kurang didukung oleh prasarana dan
sarana fisik yang memadai, serta belum adanya akses langsung ke pasar internasional. Hal ini dapat dilihat dari prasarana dan sarana transportasi, angka rasio elektrifikasi, dan densitas telepon. Pada tahun anggaran 1997/1998 rasio elektrifikasi KTI sebesar 47,75 persen sementara di KBI sebesar 76,16 persen.
55
Pada tahun anggaran 1998/1999 densitas telepon di KTI sebesar 2,72 satuan sambungan telepon per 100 penduduk, sementara densitas telepon di KBI sebesar 5,24 satuan sambungan telepon per 100 penduduk. Pada tahun yang sama, rasio panjang jalan dengan luas wilayah di KTI sebesar 0,110 kilometer per kilometer persegi, sementara KBI sebesar 0,375 kilometer per kilometer persegi.
4. 6.
Pemerintahan Sebagian besar provinsi di KTI memiliki kelembagaan pemerintahan dan
masyarakat yang relatif rendah. Hal ini ditunjukkan dengan lemahnya penanganan terhadap konflik-konflik sosial (horisontal dan vertikal) dan rendahnya tingkat keberdayaan pemerintah dan masyarakat. Lemahnya penanganan konflik-konflik tersebut ditunjukkan oleh belum terselesaikannya kasus di Provinsi Maluku, Papua, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Data tahun 1998 menunjukkan hanya terdapat tiga provinsi di KTI yang tingkat keberdayaan pemerintahnya masuk dalam urutan 10 besar, sementara pada tahun yang sama hanya dua provinsi yang masuk dalam urutan 10 besar untuk tingkat keberdayaan masyarakatnya.
56
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Perkembangan Kesehatan
Investasi
Pemerintah
Sektor
Pendidikan
dan
Peningkatan kualitas SDM tentu tidak lepas dari peran aktif pemerintah. Peran pemerintah tersebut dapat terlihat dari besarnya investasi yang dikeluarkan pada sektor pendidikan dan kesehatan. Dari Tabel 5.1. terlihat bahwa dari tahun ke tahun persentase investasi pemerintah untuk sektor pendidikan di KTI selalu meningkat. Tetapi tidak demikian untuk sektor kesehatan, investasi pemerintah sektor kesehatan meningkat dari tahun 2001 ke 2002 tidak lebih dari satu persen dan mengalami penurunan pada tahun 2003 walaupun cukup kecil. Tabel 5.1. Persentase Realisasi Investasi Pemerintah Terhadap Pengeluaran Pembangunan di KTI (Persen). TAHUN 2001 2002 2003 SEKTOR PENDIDIKAN 13.39 16.56 18.45 KESEHATAN 7.19 8.08 7.91 PENDIDIKAN DAN KESEHATAN 20.58 24.64 26.36 Sumber : Realisasi APBD, 2003 (diolah)
5.1.1. Investasi Pemerintah Sektor Pendidikan Peran pemerintah dalam sektor pendidikan dapat terlihat dari besar kecilnya investasi perkapita yang dikeluarkan. Dari Tabel 5.2. Persentase investasi pemerintah sektor pendidikan bervariasi untuk setiap provinsi di KTI. Ada beberapa provinsi yang mengalami tren yang meningkat dan ada yang berfluktuatif. Peningkatan investasi perkapita yang cukup besar terjadi di provinsi
57
Papua, dan yang terkecil di provinsi NTT yang hanya sebesar 0.0003 juta rupiah pada tahun 2003. Tabel 5.2. Realisasi Investasi Pemerintah Sektor Pendidikan Perkapita di KTI (Juta Rupiah). TAHUN 2001 2002 2003 PROVINSI NTB 0.0030 0.0042 0.0061 NTT 0.0017 0.0053 0.0003 Kalbar 0.0049 0.0092 0.0098 Kalteng 0.0068 0.0103 0.0241 Kalsel 0.0035 0.0054 0.0062 Kaltim 0.0429 0.0923 0.1146 Sulut 0.0007 0.0070 0.0028 Sulteng 0.0014 0.0013 0.0021 Sulsel 0.0031 0.0058 0.0049 Sultra 0.0026 0.0064 0.0105 Gorontalo 0.0034 0.0048 0.0093 Maluku 0.0058 0.0071 0.0159 Malut 0.0034 0.0070 0.0106 Papua 0.0127 0.0763 0.1349 Sumber : Realisasi APBD, 2003 (diolah)
Walaupun tren positif terjadi di beberapa provinsi, akan tetapi nilai persentase investasi pemerintah sektor pendidikan masih rendah. Hal yang menarik untuk disimak adalah peningkatan dan penurunan investasi pemerintah perkapita sektor pendidikan ditentukan dari besar atau kecilnya PDRB perkapita. Ini dapat terlihat dari hasil estimasi pada Tabel 5.3.
58
Tabel.5.3. Hasil Estimasi Panel Data Pengaruh PDRB Perkapita terhadap Investasi Pemerintah Sektor Pendidikan. Variable Coefficient Standard t-Statistic Probability Error LOG(PDRBPK) 7.106344 1.793993 3.961188 0.0005* Effects Specification Cross-section fixed (dummy variabel) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistik Prob(F-statistik)
0.915522 Mean dependent var. 0.871718 S.D. dependent var. 0.758600 Sum squared resid 20.90064 Durbin-Watson stat. 0.000000 Unweighted Statistics
27.19483 16.37948 15.53778 2.665996
R-squared Sum squared resid
0.905299 17.41801
16.11692 2.325943
Mean dependent var. Durbin-Watson stat.
Keterangan : * signifikan pada taraf nyata 10 % Sumber : Lampiran 8
Dari Tabel 5.3. nilai koefisien yang diperoleh sebesar 7.106344, artinya apabila PDRB perkapita meningkat sebesar 1 persen, maka investasi pemerintah sektor pendidikan perkapita meningkat sebesar 7.106344 persen. Ini berarti terjadi korelasi yang positif antara PDRB perkapita dengan investasi pemerintah sektor pendidikan perkapita. Nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0000 menunjukkan bahwa PDRB perkapita berpengaruh signifikan terhadap investasi pemerintah sektor pendidikan perkapita pada taraf nyata 10 persen. Dengan demikian, provinsi yang memiliki pendapatan perkapita yang besar akan mengalokasikan dana pendidikan lebih besar, sementara provinsi yang memiliki pendapatan perkapita yang kecil akan mengalokasikan dana pendidikan lebih kecil pula.
59
5.1.2. Investasi Pemerintah Sektor Kesehatan Keadaan investasi pemerintah pada sektor kesehatan tidak jauh berbeda dengan keadaan pada sektor pendidikan. Setiap provinsi memiliki tren yang berbeda-beda, hal tersebut dapat terlihat pada Tabel 5.4. provinsi Papua merupakan provinsi yang peningkatan investasi pemerintah sektor kesehatan perkapitanya paling tinggi. Tabel 5.4. Realisasi Investasi Pemerintah Sektor Kesehatan Perkapita di KTI (Juta Rupiah) TAHUN 2001 2002 2003 PROVINSI NTB 0.0028 0.0036 0.0033 NTT 0.0032 0.0039 0.0029 Kalbar 0.0013 0.0018 0.0023 Kalteng 0.0041 0.0045 0.0073 Kalsel 0.0050 0.0111 0.0082 Kaltim 0.0059 0.0105 0.0157 Sulut 0.0007 0.0031 0.0010 Sulteng 0.0010 0.0014 0.0017 Sulsel 0.0012 0.0025 0.0028 Sultra 0.0006 0.0018 0.0020 Gorontalo 0.0012 0.0024 0.0040 Maluku 0.0061 0.0026 0.0099 Malut 0.0358 0.0156 0.0135 Papua 0.0652 0.0826 0.0060 Sumber : Realisasi APBD, 2003 (diolah)
Sama dengan sektor pendidikan, peningkatan dan penurunan investasi pemerintah perkapita sektor kesehatan ditentukan dari besar atau kecilnya PDRB perkapita. Ini dapat terlihat dari hasil estimasi pada Tabel 5.5.
60
Tabel.5.5.
Hasil Estimasi Panel Data Pengaruh PDRB Perkapita terhadap Investasi Pemerintah Sektor Kesehatan. Variable Coefficient Standard t-Statistic Probability Error LOG(PDRBPK) 3.58566 0.928588 3.86141 0.0006* Effects Specification Cross-section fixed (dummy variabel) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistik Prob(F-statistik)
0.909868 Mean dependent var. 0.863132 S.D. dependent var. 0.615267 Sum squared resid 19.46855 Durbin-Watson stat. 0.000000 Unweighted Statistics
33.34011 24.40379 10.22095 2.732091
R-squared Sum squared resid
0.90979 Mean dependent var. 10.22975 Durbin-Watson stat.
15.93725 2.456341
Keterangan : * signifikan pada taraf nyata 10 % Sumber : Lampiran 9
Dari Tabel 5.5. nilai koefisien yang diperoleh sebesar 3.58566, artinya apabila PDRB perkapita meningkat sebesar 1 persen, maka investasi pemerintah sektor kesehatan perkapita meningkat sebesar 3.58566 persen. Ini berarti terjadi korelasi yang positif antara PDRB perkapita dengan investasi pemerintah sektor kesehatan perkapita. Nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0000 menunjukkan bahwa PDRB perkapita berpengaruh signifikan terhadap investasi pemerintah sektor kesehatan perkapita pada taraf nyata 10 persen. Dengan demikian, provinsi yang memiliki pendapatan perkapita yang besar akan mengalokasikan dana kesehatan lebih besar, sementara provinsi yang memiliki pendapatan perkapita yang kecil akan mengalokasikan dana kesehatan lebih kecil pula.
61
Dari hasil estimasi pada Tabel 5.3. dan Tabel 5.5. dapat disimpulkan bahwa besarnya investasi pemerintah perkapita pada sektor pendidikan dan kesehatan tergantung dari besarnya PDRB perkapita yang diterima. Hal tersebut sesuai dengan hukum Wagner yang menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian,
apabila
pendapatan
perkapita
meningkat,
secara
relatif
pengeluaran pemerintahpun akan meningkat.
5.2.
Hasil Estimasi Model Dalam panel data ada tiga pemodelan yang dapat dipilih, yaitu pooled,
fixed effect, dan random effect. Untuk menentukan model yang terbaik dilakukan beberapa pengujian. Untuk memilih antara pooled atau fixed effect digunakan uji Chow. Hasil uji Chow diperoleh nilai statistik sebesar 729.963 dan nilai F-tabel sebesar 2.64, yang berarti menolak hipotesis untuk menggunakan pooled dan menerima hipotesis untuk menerima fixed effect.. Untuk memilih antara model fixed effect atau model random effect digunakan uji Hausman. Hasil Uji Hausman diperoleh nilai statistik Hausman sebesar 9.654346 dengan nilai probabilitas (pValue) sebesar 0.0467 dan nilai χ 2 tabel sebesar 7.77944, yang berarti menolak hipotesis untuk menggunakan random effect dan menerima hipotesis untuk menggunakan fixed effect. Pengolahan dengan model fixed effect secara umum dilakukan dengan metode Panel Least Square (PLS) atau tanpa pembobotan atau Generalized Least Square (GLS) atau dengan pembobotan. Setelah dibandingkan antara model fixed effect PLS dengan model fixed effect GLS, dapat disimpulkan bahwa model fixed
62
effect GLS menghasilkan nilai probabilitas t-statistik yang lebih baik dan nilai RSquared (R2) yang lebih tinggi. Dari hasil estimasi menggunakan fixed effect pada Tabel 5.6, variabel penjelas yang signifikan secara statistik pada tingkat
= 10
persen adalah IPK, PDRB, MISKIN, dan IPP. Tabel.5.6. Hasil Estimasi Panel Data dengan Menggunakan Model Fixed Effect GLS dan White Cross Section Covariance. Variable Coefficient Standard t-Statistic Probability Error LOG(IPP) 0.005000 0.001724 2.899609 0.0079* LOG(IPK) 0.004498 0.000439 10.24921 0.0000* MISKIN -0.009311 0.001583 -5.882298 0.0000* LOG(PDRB) 0.057529 0.032670 1.760901 0.0910* Effects Specification Cross-section fixed (dummy variabel) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistik Prob(F-statistik)
0.993758 Mean dependent var. 0.989337 S.D. dependent var. 0.015753 Sum squared resid 224.7655 Durbin-Watson stat. 0.000000 Unweighted Statistics
14.30247 32.00665 0.005956 2.224321
R-squared Sum squared resid
0.992923 Mean dependent var. 0.006752 Durbin-Watson stat.
4.167285 2.009913
Keterangan : * signifikan pada taraf nyata 10 % Sumber : Lampiran 12
Berdasarkan hasil estimasi, didapat nilai R-Squared (R2) atau koefisien determinasi sebesar 0.993758 yang menunjukkan bahwa 99.3758 persen keragaman IPM pada provinsi-provinsi di KTI dapat dijelaskan oleh variabel bebas pada model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Hasil estimasi ini diperkuat dengan nilai probabilitas F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 90 persen dan tingkat
= 10 persen yaitu sebesar
0.000000, yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata
63
terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Menurut Gujarati (1995), untuk memperoleh model yang baik harus memenuhi asumsi regresi klasik. Artinya, model harus terbebas dari masalahmasalah
dalam
regresi
yaitu
multikolinearitas,
heteroskedastisitas,
dan
autokorelasi. Untuk mengetahui ada atau tidaknya multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai probabiltas t-statistik dan nilai probabilitas F-statistik. Dari hasil regresi, seluruh variabel bebas signifikan, dan nilai probabilitas F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 90 persen dan tingkat
= 10 persen yaitu sebesar
0.000000 sehingga asumsi adanya multikolinearitas dapat diabaikan. Karena dalam mengestimasi model diatas diberi perlakuan cross section weights,
serta
white
cross
section
covariance
maka
asumsi
adanya
heteroskedastisitas dapat diabaikan. Untuk masalah autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin-Watson statistik yaitu sebesar 2.224321, dimana du (1.72019) < DW (2.224321) < 4-du (2.27981). Dengan demikian, model diatas terbebas dari gejala autokorelasi. Dari hasil estimasi dan pengujian asumsi regresi klasik, terhadap model fixed effect dengan perlakuan cross section weights dan white cross section covariance, maka model tersebut layak untuk digunakan dalam penelitian ini.
5.3.
Interpretasi Model Hasil estimasi model IPM menunjukkan bahwa seluruh variabel, yaitu IPP,
IPK, MISKIN, dan PDRB berpengaruh signifikan terhadap IPM.
64
5.3.1. Variabel Investasi Pemerintah Sektor Pendidikan (IPP) Investasi pemerintah untuk sektor pendidikan menunjukkan besarnya pengeluaran pembangunan yang dikeluarkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Nilai koefisien yang diperoleh sebesar 0.005000, artinya apabila investasi pemerintah sektor pendidikan meningkat sebesar 1 persen, maka nilai IPM akan meningkat sebesar 0.005000 persen. Ini berarti terjadi korelasi yang positif antara IPP dan IPM. Nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0079 menunjukkan bahwa investasi pemerintah sektor pendidikan berpengaruh signifikan terhadap tingkat IPM pada taraf nyata 10 persen. Korelasi yang positif dan signifikan antara investasi pemerintah sektor pendidikan dengan pembangunan manusia, sesuai dengan hipotesis. Dengan peningkatan investasi pemerintah sektor pendidikan, berarti pelayanan dan fasilitas-fasilitas pendidikan seperti penyediaan buku gratis, gedung sekolah, biaya pendidikan yang murah, ataupun tenaga pengajar akan semakin baik. Dengan kualitas pendidikan yang semakin baik, maka angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah yang merupakan variabel pembentuk IPM untuk sektor pendidikan dapat ditingkatkan, sehingga kualitas sumber daya manusia akan menjadi lebih baik.
5.3.2. Variabel Investasi Pemerintah Sektor Kesehatan (IPK) Variabel IPK berpengaruh signifikan pada taraf nyata 10 persen terhadap IPM dengan nilai probabilitas (p-value) 0.00000 dan memiliki korelasi yang positif. Koefisien IPK yang diperoleh sebesar 0.004498, artinya apabila investasi
65
pemerintah sektor kesehatan meningkat sebesar 10 persen, maka nilai IPM akan meningkat sebesar 0.004498 persen. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa IPK memiliki korelasi positif terhadap tingkat IPM. Dengan meningkatnya investasi pemerintah pada sektor kesehatan berarti infrastruktur kesehatan menjadi lebih baik, sehingga tingkat kesehatan masyarakat menjadi lebih baik. Dengan membaiknya tingkat kesehatan masyarakat, maka angka harapan hidup yang merupakan variabel pembentuk IPM sektor kesehatan akan membaik.
5.3.3. Variabel Pertumbuhan Ekonomi Variabel PDRB sebagai indikator pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan pada taraf nyata 10 persen dan memiliki hubungan yang positif terhadap IPM dengan nilai probabilitas (p-value) 0.0910. Koefisien PDRB yang diperoleh sebesar 0.057529, artinya apabila PDRB meningkat sebesar 1 persen, maka nilai IPM akan meningkat sebesar 0.057529 persen. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa PDRB berkorelasi positif terhadap tingkat IPM. Peningkatan pertumbuhan ekonomi berarti tumbuhnya sektor-sektor ekonomi yang akan berdampak kepada peningkatan kesempatan kerja sehingga pendapatan akan meningkat. Dengan bertambahnya pendapatan akan membuat pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan menjadi lebih besar sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat akan meningkat pula, yang berimplikasi kepada kualitas SDM yang semakin baik. Peningkatan kualitas SDM akan meningkatkan
66
produktifitas yang akan berdampak kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yunitasari (2007).
5.3.4. Variabel Tingkat Kemiskinan Dalam penelitian ini tingkat kemiskinan yang diwakili oleh jumlah penduduk miskin berpengaruh signifikan pada taraf nyata 10 persen dan berhubungan negatif dengan IPM dengan nilai probabilitas (p-value) 0.00000. Nilai koefisien yang diperoleh sebesar -0.009311, artinya apabila jumlah penduduk miskin naik sebesar 1 persen, maka nilai IPM akan turun sebesar 0.009311 persen. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa kemiskinan dapat menurunkan tingkat IPM. Tingkat kemiskinan cukup berpengaruh terhadap besarnya IPM. Hasil tersebut sesuai dengan teori lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty). Dalam the vicious circle of poverty, penduduk miskin memiliki pendapatan yang rendah, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk berinvestasi, termasuk berinvestasi dalam pendidikan dan kesehatan. Ketidakmampuan berinvestasi dalam pendidikan dan kesehatan akan berimplikasi kepada rendahnya kualitas sumber daya manusia, sehingga tingkat produktivitas akan rendah pula. Tingkat produktivitas yang rendah akan menyebabkan pendapatan yang rendah. Penyediaan pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin merupakan salah satu solusi yang dapat dipilih untuk memotong lingkaran setan kemiskinan. Dengan tersedianya pendidikan dan kesehatan gratis bagi penduduk miskin maka kualitas sumber daya manusianya akan semakin lebih
67
baik, sehingga produktifitas akan meningkat yang akan berimplikasi kepada peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan inilah yang akan meningkatkan daya beli dan investasi, sehingga investasi pendidikan dan kesehatan dapat dilakukan. Dengan peningkatan investasi pendidikan dan kesehatan oleh masyarakat maka kualitas sumber daya manusia akan semakin baik.
68
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
1.
Besarnya investasi yang dikeluarkan pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan tergantung dari pendapatan perkapita daerah yang diterima.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap peningkatan pembangunan manusia adalah investasi pemerintah sektor pendidikan (IPP) investasi pemerintah sektor kesehatan (IPK), pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan jumlah penduduk miskin (MISKIN). Jumlah penduduk miskin dan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pembangunan manusia, ini mengindikasikan bahwa tinggi rendahnya tingkat IPM tergantung dari pengeluaran penduduk terhadap pendidikan dan kesehatan.
3.
Investasi pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan kecil pengaruhnya terhadap peningkatan IPM, ini mengindikasikan bahwa peran investasi pemerintah dalam pembangunan manusia belum maksimal.
6.2.
Saran
1.
Kecilnya pengaruh investasi pemerintah bukan berarti harus diabaikan, artinya pemerintah tetap harus mengeluarkan biaya pendidikan dan kesehatan yang terfokus kepada penduduk miskin. Pemberian subsidi
69
pendidikan dan kesehatan kepada penduduk miskin akan meningkatkan kualitas penduduk miskin, sehingga produktifitasnya akan meningkat. 2.
Investasi pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan seharusnya tidak hanya digunakan untuk membangun sarana fisik saja. Kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan harus ditingkatkan, yaitu dengan peningkatan kemampuan tenaga pendidik dan kesehatan. Ini dilakukan untuk meningkatkan efektifitas investasi pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan yang dikeluarkan.
70
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2006. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi di Indonesia 2001 - 2005. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2003. Statitik Keuangan Pemerintah Daerah Propinsi 2003. BPS, Jakarta. Baltagi, B.H. 1995. Econometrics Analysis of Panel Data. Third Edition. John Wiley and Sons, Chicester. Brata, A.G. 2005. Investasi Publik Lokal, Pembangunan Manusia, dan Kemiskinan. http://staf.uajy.ac.id/gunadi/articles/wboj_brata_paper. [27 November 2007] Djojohadikusumo, S. 1993. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3ES, Jakarta. Dumairy, 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Elmi, B. 2004. Analisa Pembiayaan Pembangunan Prasarana Ekonomi di Kabupaten Musi Banyuasin 2003 – 2006”. Jurnal Ekonomi dan Keuangan. Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw-Hill, New York. Holis, A. 2006. Relevankah Merger Bank di Indonesia? (Pendekatan Efisiensi dan Skala Ekonomi) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jhingan, M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Lypsey, R.G, P.N Courant, D.D Purvis dan P.O Steiner. 1997. Pengantar Makroekonomi. Bina Rupa Aksara, Jakarta. Mangkoesoebroto, G. 2001. Ekonomi Publik. Edisi Ketiga. BPFE, Yogyakarta. Mankiw, N.G. 2003. Teori Makro Ekonomi. Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta. Nicholson, W. 1999. Teori Mikroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan. Edisi Kelima. Drs. Daniel Wirajaya [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta.
71
Pasaribu, S.H., D. Hartono dan T. Irawan. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor. Paskarina, C. 2008. Pembangunan Manusia Berbasis Investasi Sosial. http://www.bapeda-jabar.go.idbapeda_designdocswarta20080225_104150. [12 Februari 2008] Soebeno, A. 2005. Analisis Pembangunan Manusia dan Penentuan Prioritas Pembangunan Sosial di Jawa Timur [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nachrowi, N. D. dan H. Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Soegijoko, S. 1997. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Grasindo, Jakarta. Tadjoedin, M.Z, dkk. 2001. Aspirasi Terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan Konflik Vertikal di Indonesia. UNSFIR Working Paper, Jakarta. Tambunan, T.T.H. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta. United Nations Development Programme. 2001. Laporan Pembangunan Manusia 2001 : Menuju Dua Konsesus Baru. BPS, Bappenas, UNDP, Jakarta. United Nation Development Programme. 2004. Laporan Pembangunan Manusia 2004 : Pembiayaan Pembangunan Manusia. BPS, Bappenas, UNDP, Jakarta. Walpole, R.E. 1982. Pengantar Statistika. Edisi Ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. World Bank. 2001. The Quality of Growth : Kualitas Pertumbuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yunitasari, M. 2007. Analisis Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Timur [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
72
LAMPIRAN
73
Lampiran 1. Investasi Pemerintah Sektor Pendidikan di KTI Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah). Provinsi 2001 2002 2003 NTB 4938397 9628568 19025000 NTT 5862270 17013563 1185773 Kalbar 15648398 31624326 30949768 Kalteng 6316501 7212987 25685000 Kalsel 5528240 12987216 11716743 Kaltim 93643684 219728997 298167953 Sulut 1220000 12901141 5272946 Sulteng 997507 1939879 2446763 Sulsel 20171751 31409668 31601305 Sultra 3380008 4627100 7673434 Gorontalo 2181323 3200000 6325903 Maluku 3670168 4469273 10651604 Malut 992640 2479853 6850000 Papua 19219671 142028866 286844957 Sumber : Realisasi APBD (2003).
Lampiran 2. Investasi Pemerintah Sektor Kesehatan di KTI Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah). Provinsi 2001 2002 2003 NTB 10747714 12897810 12051000 NTT 11896963 14418404 11937878 Kalbar 4880325 7230126 8906432 Kalteng 7219166 8589056 12245000 Kalsel 14663511 33547826 25322432 Kaltim 13207627 25765835 41576750 Sulut 1302500 5574232 1917435 Sulteng 1971299 2663643 3528552 Sulsel 8401876 13681189 16052033 Sultra 1122048 3098058 3490227 Gorontalo 751970 1175000 2265210 Maluku 7364932 3152554 11725424 Malut 27946519 11660655 11100000 Papua 147082685 189869000 10993096 Sumber : Realisasi APBD (2003).
74
Lampiran 3. Indeks Pembangunan Manusia di KTI Tahun 2001-2003. Provinsi 2001 2002 2003 NTB 54.2 57.8 NTT 60.4 60.3 Kalbar 60.6 62.9 Kalteng 66.7 69.1 Kalsel 62.2 64.3 Kaltim 67.8 70 Sulut 67.1 71.3 Sulteng 62.8 64.4 Sulsel 63.6 65.3 Sultra 62.9 64.1 Gorontalo 64.1 67.1 Maluku 67.2 66.5 Malut 67.2 65.8 Papua 58.8 60.1
59.2 61.5 64.2 70.4 65.5 71.1 72.4 65.9 65.3 65.4 64.8 67.8 66.1 61.2
Sumber : BPS (2006).
Lampiran 4. Jumlah Penduduk Miskin di KTI Tahun 2001-2003 (Ribu Orang). Provinsi 2001 2002 2003 NTB 1175.5 1145.8 1054.8 NTT 1317.5 1206.5 1166 Kalbar 728.5 644.2 583.7 Kalteng 215.4 231.4 207.7 Kalsel 357.5 259.8 259 Kaltim 349.7 313 328.6 Sulut 213.7 229.3 191.6 Sulteng 564.6 509.1 530.5 Sulsel 1309.2 1301.8 1296.3 Sultra 457.5 463.8 428.4 Gorontalo 253 274.7 257.7 Maluku 418.8 418.8 399.9 Malut 110.1 110.1 118.8 Papua 900.8 984.7 917 Sumber : BPS (2006).
75
Lampiran 5. Jumlah Penduduk di KTI Tahun 2001-2003 (Ribu Orang). Provinsi 2001 2002 2003 NTB 3862.854 4127.519 4005.238 NTT 3991.037 3924.871 4073.249 Kalbar 3788.862 4167.293 3947.691 Kalteng 1838.539 1947.263 1826.659 Kalsel 2999.262 3054.129 3174.551 Kaltim 2489.988 2566.125 2704.851 Sulut 1998.463 2043.742 2127.82 Sulteng 2097.977 2268.046 2210.1 Sulsel 7855.472 8244.89 8213.864 Sultra 1815.548 1915.326 1875.585 Gorontalo 850.798 855.057 881.057 Maluku 1203.877 1261.083 1217.472 Malut 784.974 794.024 853.161 Papua 2155.233 2387.427 2349.644 Sumber : BPS (2006).
Lampiran 6. PDRB KTI Tahun 2001-2003 (Juta Rupiah). Provinsi 2001 2002 NTB 13085322.55 13544495.89 NTT 8221573.17 8622490.95 Kalbar 19838486.33 20741896.8 Kalteng 11304871.77 11904502.01 Kalsel 17949190.96 18606511.92 Kaltim 86348106.00 87850398.00 Sulut 10928975.92 11291462.78 Sulteng 9089907.87 9600363.96 Sulsel 32323534.71 33645402.74 Sultra 6063985.85 6468061.84 Gorontalo 1554971.75 1655327.91 Maluku 2768291.36 2847739.01 Malut 1911042.79 1957715.68 Papua 24118805.33 25355899.56 Sumber : BPS (2006).
2003 14073340.00 9016717.30 21376951.00 12488475.00 19483169.00 89483542.00 11652793.00 10196750.00 35410566.00 6957662.50 1769188.00 2970465.70 2032571.70 25632583.00
76
Lampiran 7. Realisasi Pengeluaran Pembangunan Pemerintah di KTI Tahun 20012003 (Juta Rupiah). Provinsi 2001 2002 2003 NTB 94260.763 134839.779 138509.000 NTT 56990.995 131075.238 82792.365 Kalbar 109883.854 133869.267 182894.710 Kalteng 175325.408 124721.859 224800.000 Kalsel 136520.187 221534.911 228125.501 Kaltim 588572.510 929306.392 1495545.000 Sulut 20989.239 125478.141 60484.965 Sulteng 53153.769 49549.705 81831.550 Sulsel 183667.782 347976.681 312847.660 Sultra 43488.757 87780.467 123600.697 Gorontalo 31612.316 98948.253 153477.773 Maluku 69108.574 85204.393 196737.466 Malut 71293.849 71561.068 102444.172 Papua 158171.228 1246743.354 1286009.329 Sumber : Realisasi APBD (2003).
77
Lampiran 8. Hasil Estimasi Panel Data Pengaruh PDRB Perkapita terhadap Investasi Pemerintah Sektor Pendidikan. Dependent Variable: LOG(IPP) Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/24/08 Time: 06:51 Sample: 2001 2003 Cross-sections included: 14 Total panel (balanced) observations: 42 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PDRB)
5.233765 7.106344
2.860687 1.793993
1.829548 3.961188
0.0784 0.0005
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.915522 0.871718 0.758600 20.90064 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
27.19483 16.37948 15.53778 2.665996
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.905299 17.41801
Mean dependent var Durbin-Watson stat
16.11692 2.325943
78
Lampiran 9.
Hasil Estimasi Panel Data Pengaruh PDRB Perkapita terhadap Investasi Pemerintah Sektor Kesehatan.
Dependent Variable: LOG(IPK) Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/27/08 Time: 07:45 Sample: 2001 2003 Cross-sections included: 14 Total panel (balanced) observations: 42 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PDRB)
10.44592 3.585660
1.479968 0.928588
7.058206 3.861410
0.0000 0.0006
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.909868 0.863132 0.615267 19.46855 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
33.34011 24.40379 10.22095 2.732091
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.909790 10.22975
Mean dependent var Durbin-Watson stat
15.93725 2.456341
Lampiran 10. Chow Test Chow test dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
(ESS1 − ESS 2 ) CHOW =
(ESS 2 )
(N − 1)
(NT − N − K )
79
(2.640000 − 0.006660) CHOW =
(0.006660)
(14 − 1)
(14.3 − 14 − 4)
= 729.963 Dari perhitungan tersebut didapatkan nilai statistik Chow sebesar 729.963 dan nilai F-tabel sebesar 2.64 yang berarti bahwa kita menolak hipotesis untuk menggunakan model random effect dan menerima hipotesis untuk menggunakan fixed effect.
Lampiran 11. Hausman Test. Hausman Test dilakukan dengan menggunakan bahasa program Eviews 5.1, hal tersebut bisa dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: •
Estimasi dengan Random Effect kemudian tuliskan perintah berikut pada Command Editor. vector b_re=eq_re.@coef b_re=@subextract(b_re,2,1,5,1) matrix cov_re=eq_re.@cov cov_re=@subextract(cov_re,2,2,5,5)
•
Estimasi dengan Fixed Effect kemudian tuliskan perintah berikut pada Command Editor. vector b_fe=eq_fe.@coef b_fe=@subextract(b_fe,2,1,5,1) matrix cov_fe=eq_fe.@cov cov_fe=@subextract(cov_fe,2,2,5,5)
•
Hitung nilai statistik Hausman dengan melakukan perintah berikut pada Command Editor.
80
vector b_diff=b_fe-b_re matrix cov_diff=cov_fe-cov_re matrix h=@transpose(b_diff)*@inverse(cov_diff)*b_diff •
Bandingkan dengan nilai Chi-Square table atau bisa dengan langsung menghitung p-value dengan melakukan perintah berikut pada Command Editor. matrix p=@chisq(9.654334,4)
Dari perhitungan tersebut didapatkan nilai statistik Hausman sebesar 9.654334 dengan nilai probabilitas P-Value sebesar 0.046671 dan nilai χ 2 sebesar 7.77944 yang berarti bahwa kita menolak hipotesis untuk menggunakan model efek acak. Berdasarkan hasil pengujian ini maka akan digunakan model efek tetap atau fixed effect untuk mengestimasi model penelitian ini.
81
Lampiran 12. Hasil Estimasi Panel Data dengan Menggunakan Model Fixed Effect GLS dan White Cross Section Covariance. Dependent Variable: LOG(IPM) Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/27/08 Time: 07:22 Sample: 2001 2003 Cross-sections included: 14 Total panel (balanced) observations: 42 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(IPP) LOG(IPK) MISKIN LOG(PDRB)
3.285298 0.004999 0.004498 -0.009311 0.057529
0.544496 0.001724 0.000439 0.001583 0.032670
6.033653 2.899578 10.24910 -5.882300 1.760890
0.0000 0.0079 0.0000 0.0000 0.0910
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.993759 0.989338 0.015753 224.7844 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
14.30298 32.00852 0.005956 2.224321
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.992924 0.006752
Mean dependent var Durbin-Watson stat
4.167285 2.009913