ANALISIS AYAT-AYAT KINÂYAH DALAM AL-QURAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGAJARAN BALAGHAH Oleh : Yayan Nurbayan
Abstrak Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menggunakan gaya bahasa kinâyah. Jenis ayat ini cukup menarik untuk dikaji, karena di antara jenis ayat al-Quran yang cukup pelik dan unik untuk dikaji serta sering menjadi kontroversi penafsiran di kalangan para mufassir adalah jenis ayat kinâyah. Berdasarkan penelitian para mufassir jumlah ayat ini cukup beragam sesuai dengan tinjauan dan analisa dari masing-masing mufassir. Untuk mengungkap perbedaan tinjauan tersebut serta berbagai implikasinya peneliti mencoba menganalisis gaya bahasa kinâyah yang ada dalam al-Quran. Bagaimana ungkapan tersebut digunakan dalam realitas berbahasa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah ayat kinâyah menurut Wahbah Zuhaili adalah enam puluh lima ayat, menurut Shabuni enam puluh empat ayat, menurut Qurtubi sebanyak 999 ayat, dan menurut Thabari sebanyak 899 ayat. Perbedaan penentuan jumlah tersebut muncul disebabkan perbedaan konsep kinâyah yang mereka gunakan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ayat kinâyah dalam al-Quran secara umum harus dipahami secara majâzi (konotatif). Hasil penelitian ini mempunyai beberapa implikasi. Pertama, perbedaan tinjauan suatu ayat, apakah termasuk kinâyah atau tidak mempunyai implikasi hermeneutik yang signifikan terhadap makna yang dikandung ayat tersebut. Kedua, implikasi pedagogis pada pengajaran balaghah, khususnya materi al bayan. Kata Kunci : kinâyah, implikasi, balaghah
Pendahuluan Al-Quran merupakan firman Tuhan yang memiliki kemukjizatan dalam berbagai aspeknya. Salah satu aspek kemukjizatannya adalah aspek
1
bahasa. Bahasa Al-Quran diakui oleh para pakar memiliki gaya bahasa yang sangat indah. Di dalamnya terdapat keharmonisan dalam pemilihan kata baik dari segi jumlah maupun ketepatan maknanya. Salah satu aspek gaya bahasa yang cukup menarik untuk dikaji adalah kinâyah. Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang mengandung aspek kinâyah, jumlahnya cukup beragam sesuai dengan tinjauan dan analisa dari masing-masing para ahli. Menurut Wahbah Zuhaili (alMunir,1991:10) terdapat tujuh puluh satu ayat kinâyah dalam al-Quran. Sedangkan as-Shobuny (Shafwatut-Tafasir,1986:25) menyebutkan terdapat sekitar enam puluh empat ayat. Ayat-ayat al-Quran yang mengandung aspek kinâyah merupakan salah satu jenis ayat yang cukup pelik dan krusial di kalangan para mufassir. Pada ayat ini para mufassir sering berbeda pendapat mengenai makna yang dikandungnya. Perbedaan penafsiran tersebut karena secara teoritik wacana kinâyah bisa ditafsirkan secara hakiki (denotatif) maupun majâzi (konotatif) (Bakry Syaikh Amin,1982:153). Pada ayat-ayat kinâyah yang berkaitan dengan hukum atau keimanan ayat-ayat tersebut mempunyai implikasi yang besar pada pemaknaannya, sehingga jenis ayat ini telah menjadi wacana paling menarik dan sulit dipertemukan di antara madzhab-madzhab besar baik dalam bidang fiqh maupun aqidah. Kesulitan para mufassir dalam mempertemukan kedua madzhab penafsiran tersebut (madzhab denotatif dan madzhab konotatif) karena masing-masing madzhab mempunyai sandaran, baik dari al-Quran maupun al-Hadits. Masing-masing madzhab kadang-kadang mempunyai argumen yang sama validitasnya. Untuk itu diperlukan tinjauan lain yang dapat memberikan kejelasan tafsir yang sesungguhnya dari ayat tersebut. Tinjauan lain yang akan dicoba oleh peneliti adalah tinjauan dari aspek kaidah ilmu balaghah. Bagaimana ilmu ini menempatkan ayat kinâyah dalam konteks hermeneutiknya. Bagaimana ungkapan-ungkapan kinâyah ditafsirkan dalam praktek berbahasa pada umumnya. Apakah mengambil makna konotatif atau denotatif? Ditemukannya kecenderungan umum penggunaan makna tertentu pada ungkapan-ungkapan kinâyah akan bisa membantu memahami jenis ayat tersebut dalam al-Quran. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pemecahan dalam menafsirkan ayat-ayat kinâyah yang selama ini telah memunculkan berbagai madzhab penafsiran baik di bidang hukum maupun aqidah.
2
Dari paparan di atas muncullah pertanyaan, ‘Bagaimana hakikat makna kinâyah dalam al-Quran? ‘. Pertanyaan penelitian tersebut dapat dirinci sbb: Berapakah jumlah ayat kinâyah dalam al-Quran?; Bagaimana perkembangan makna kinâyah dalam kitab-kitab tafsir?; Ayat kinâyah manakah di dalam al-Quran yang sering menjadi perselisihan di kalangan para mufassir dan ulama?; Apakah yang menyebabkan para mufassir berbeda pendapat dalam memahami ayat-ayat kinâyah?; dan bagaimana implikasi hasil dari penelitian ini terhadap pengajaran Balaghah? Kajian Pustaka Hakikat Kinâyah Ilmu balaghah (retorika bahasa Arab) membahas tiga kajian utama. Ketiga bidang kajian tersebut masing-masing dibahas dalam ilmu ma’ani(pragmatik), ilmu bayan (kajian gaya bahasa), dan ilmu badi’e (stilistika). Kinâyah merupakan salah satu bahasan dari kajian ilmu bayan. Kedua bahasan lainnya dari ilmu tersebut adalah tasybih dan majâz. Dalam ilmu bayan (kajian gaya bahasa Arab) terdapat tiga model pengungkapan ujaran. Pertama, tasybih yaitu penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena ada titik persamaan. Pada model ini thorofain (kata yang diserupakan dan kata yang diserupai) disebutkan dengan jelas. Pada model pertama ini musyabbah (kata yang diserupakan) dan musyabbah bih (kata yang diserupai) keduanya disebutkan. Kedua, majâz yaitu model pengungkapan seperti pada tasybih, akan tetapi salah satu dari thorofain-nya dihilangkan, baik itu musyabbah atau musyabbab bih. Ketiga, kinâyah yaitu model pengungkapan yang memiliki arti konotatif. Kinâyah memiliki kesamaan dengan majâz karena keduanya bermakna konotatif. Perbedaannya keduanya, kinâyah bisa difahami atau mengandung makna denotatif. Sedangkan majâz tidak diperbolehkan mengambil makna denotatif. Menurut al Hasyimi (t.t :345) kinâyah secara leksikal bermakna tersirat. Sedangkan secara terminologi kinâyah adalah suatu ujaran yang maknanya menunjukkan pengertian pada umumnya (konotatif), akan tetapi bisa juga dimaksudkan untuk makna denotatif. (Hasyimy, t.t : 345) Definisi di atas merupakan definisi terkini yang disepakati oleh para pakar balaghah. Sebelum definisi di atas terdapat pengertian kinâyah yang dikemukakan oleh para pakar yang menunjukkan sejarah perkembangan istilah tersebut. Istilah kinâyah dalam khazanah ilmu balaghah untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Abu Ubaidah pada tahun 209 H di dalam
3
kitabnya Majâzul Quran. Menurut pendapatnya, kinâyah dalam istilah ahli bahasa khususnya para ahli nahwu (tata bahasa Arab) bermakna dhomir (kata ganti). Sedangkan al-Jahidz (255 H.) mendefinisikan kinâyah dengan makna yang tersirat. Dalam pandangannya, kinâyah merupakan kebalikan dari fasahah dan sarih (kata-kata yang jelas maknanya). Dengan pengertian ini dia telah mendefinisikan kinâyah secara umum, tidak membedakan istilah tasybih, majâz, dan kinâyah. Linguis lainnya yang mencoba membahas masalah kinâyah adalah Muhammad bin Yazid Al-Mubarrid (285 H.). Beliau membahas masalah ini dalam kitabnya al-Kamil. Dalam kitab tersebut beliau mendefinisikan kinâyah dengan tiga pengertian, yaitu makna al-Satr (menutupi makna yang sebenarnya), mengagungkan, dan menghindari kata-kata yang kotor. Pengertian kinâyah juga dikemukakan oleh Quddamah bin Ja’far. Di dalam bukunya Naqd al-Syi’ri dia menjelaskan, kinâyah adalah ungkapan yang bermakna irdaf (mencari kata-kata lain yang semakna dengan kata-kata dimaksud) (Quddamah,t.t:113). Metodologi Dengan melihat karakteristik permasalahannya penelitian ini bersifat kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap secara mendalam masalah-masalah yang berkaitan hal ihwal ayat-ayat kinâyah dalam Al-Quran. Sesuai dengan judul masalah, penelitian ini diawali dengan mendeskripsikan ayat-ayat yang mengandung aspek kinâyah. Setelah itu dicari keterangan-keterangan para mufassir yang diambil dari kitab-kitab tafsir yang populer dan refresentatif. Setelah diketahui penafsiranpenafsiran para mufassir terhadap ayat-ayat tersebut, kemudian diklasifikasi berdasarkan kategori-kategori yang berlaku dalam kaidah ilmu Balaghah. Tahap berikutnya peneliti mencoba menganalisis ayat-ayat tersebut dengan membandingkannya dengan makna-makna kinâyah pada aplikasinya dalam masyarakat Arab.
4
Hasil dan Pembahasan Hasil Tema dalam penelitian ini adalah ‘Analisis ayat-ayat kinâyah dalam al-Quran dan implikasinya bagi pengajaran Balaghah‘. Sedangkan fokus kajiannya adalah ayat-ayat kinâyah dalam al-Quran. Setelah dilakukan penelitian pada masalah di atas ditemukan halhal berikut ini. Tabel 1 Penggunaan Konsep Kinâyah dalam Kitab-kitab Tafsir No. 1.
Mufassir Tabary
Jumlah ayat 899 ayat
2.
Ibnu Mandhur
999 ayat
3.
Qurthuby
778 ayat
4. 5.
Wahbah Zuhaili Shobuny
65 ayat 64 ayat
Konsep yang digunakan dhomir, irdaf (sinonim), terminologi dhomir, irdaf (sinonim), terminologi dhomir, irdaf, majâz, badal (kata pengganti), makna tersirat, dan terminologi terminologi terminologi
Sedangkan dari aspek tema, jumlah ayat-ayat dapat kita lihat pada tabel berikut ini. Tabel 2 Tema Ayat-ayat Kinâyah dan Tinjauan para mufassir Kategori Tema Jumlah Tinjauan Mufassir No Ayat 1 Keimanan 9 Tidak ada ikhtilaf 2 Hukum 6 Terdapat ikhtilaf 3 Akhlak 11 Tidak ada ikhtilaf 4 Mu’amalah 18 Tidak ada ikhtilaf 5 Targhib dan 20 Tidak ada ikhtilaf Tarhib (Motivasi dan peringatan)
5
Pembahasan Pada Tabel 1 tampak bahwa para mufassir berbeda pendapat dalam menentukan jumlah ayat kinâyah. Perbedaan penentuan jumlah ayat tersebut disebabkan perbedaan konsep mereka tentang kinâyah. Dalam kitab tafsir Zuhaili dan Shobuni, penetapan suatu ayat sebagai kinâyah didasarkan pada konsep kinâyah seperti yang difahami oleh para pakar Balaghah sekarang ini, yaitu suatu ungkapan yang dimaksudkan untuk menunjukkan pengertian lazimnya; tetapi boleh juga dimaksudkan untuk makna asalnya. Sedangkan Ibn Mandhur dalam kitabnya Lisan al- ‘Arab menggunakan istilah kinâyah untuk menunjukkan makna irdaf (persamaan kata), dhamir (kata ganti), dan makna kinâyah seperti yang difahami dalam ilmu Balaghah sekarang. Dalam kitab tafsirnya al-Qurthubi menggunakan istilah kinâyah untuk mengungkapkan suatu kata atau frase yang berbentuk isim dhamir, irdâf, majâz (kata kiasan), badal (kata pengganti yang sebanding ), kebalikan dari ungkapan shorih (jelas maknanya), dan bentuk kinâyah seperti yang difahami sekarang ini. Perbedaan persepsi tentang konsep kinâyah tersebut mengakibatkan mereka berbeda pendapat tentang jumlah ayat kinâyah dalam al-Quran. Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tema ayat-ayat kinâyah berkisar sekitar masalah aqidah, hukum, akhlak, dan targhib wat-tarhib. Dari keenam puluh empat ayat kinâyah tersebut yang mengandung aspek hukum berjumlah 6 ayat; mu’amalah berjumlah 18 ayat; akhlak sebanyak 11 ayat; wa’ad (janji baik) dan wa’id (ancaman) sebanyak 21 ayat; dan yang mengandung aspek aqidah sebanyak 9 ayat. Penafsiran para mufassir pada tema-tema tersebut hampir semuanya sependapat. Pada ayat-ayat tersebut mereka memahami ayat-ayat kinâyah sesuai dengan konsep yang terdapat dalam ilmu balaghah mutakhir, yaitu dengan mengambil makna lazimnya (pragmatik) dengan tetap dibolehkan mengambil makna asalnya. Tema yang agak krusial dan sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama adalah yang bertemakan fiqh, terutama yang berkaitan dengan mu’asyarah ahliyyah (hubungan biologis). Kosa kata yang sering digunakan al-Quran berkaitan dengan tema mu’asyaroh ahliyyah adalah : . ﺍﻹﻓﻀﺎﺀ، ﺍﻵﺕ، ﺍﻟﻘﺮﺏ، ﺍﻹﻋﺘﺰﺍﻝ، ، ﺍﻟﺘﻐﺸﻰ، ﺍﻟﺪﺧﻮﻝ، ﺍﳌﻼﻡ ﺳﺔ، ﺍﳌﺲ،ﺍﳌﺒﺎﺷﺮﺓ Kesembilan kata yang berkaitan dengan tema mu’asyaroh ahliyyah tersebut para mufassir mempunyai penafsiran yang sama. Mereka semua
6
mengambil makna kelazimannya (konotatif). Perbedaan terjadi pada penafsiran makna ( ) ﺍﳌﻼﻣﺴﺔyang terdapat pada surat an-Nisa ayat 43 dan alMaidah ayat 6. Sebagian ulama seperti Hanafi menafsirkannya dengan makna kelazimannya (konotatif); sedang ulama lainnya seperti Syafi’i menafsirkannya dengan makna asalnya (denotatif).
Implikasi bagi Pengajaran Balaghah Hasil dari penelitian ini mempunyai manfaat yang berarti bagi pengajaran mata kuliah Balaghah, yaitu pada aspek pengembangan materi. Selama ini contoh-contoh yang digunakan pada materi ini selalu diambil dari syi’ir dan amtsal (pribahasa Arab). Padahal al-Quran sangat kaya dengan contoh-contoh yang mengandung nilai sastra yang sangat tinggi. Selain itu pula al-Quran merupakan kitab bacaan yang sudah dikenal oleh para mahasiswa. Mereka sudah terbiasa membacanya. Dijadikannya ayat al-Quran sebagai bagian penting dalam pengambilan contoh-contoh aplikasi materi perkuliahan diharapkan dapat mengembangkan wawasan para mahasiswa dan menjadikan perkuliahan memiliki multi fungsi. Para mahasiswa yang selama ini sudah terbiasa membaca al-Quran untuk tujuan keagamaan, mereka juga bisa menghayati dan merasakan keindahan dan ketinggian nilai sastra yang dikandungnya. Langkah ini tentunya bisa meningkatkan kualitas bacaan mahasiswa. Mereka tidak hanya sekedar membaca al-Quran dengan anggapan bahwa membacanya sudah merupakan ibadah. Akan tetapi merekapun berusaha untuk dapat mengapresiasi keindahan bahasa al-Quran dan kedalaman maknanya. Hal ini sesuai dengan tujuan pengajaran mata kuliah Balaghah. Dalam kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia dijelaskan bahwa mata kuliah Balaghah I dan Balaghah II dirancang untuk membekali para mahasiswa berupa pengetahuan tentang ilmu bayan, ma’ani, dan badi’. Ilmu-ilmu tersebut sangat bermanfaat bagi upaya pemahaman semantik bahasa Arab dan kemampuan apresiasif terhadap karya sastra Arab. Al-Quran bukanlah kitab sastra. Akan tetapi diakui bahwa kandungannya sarat dengan ungkapan sastrawi dan pesan-pesannya memiliki nilai sastra yang tinggi. Di dalam al-Quran terdapat beragam aspek keindahan bahasa, seperti aspek tasybih, majâz, dan kinâyah.
7
Kesimpulan dan Saran Kajian ayat kinâyah dalam al-Quran menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, ayat-ayat kinâyah dalam al-Quran menurut pandangan para mufassir jumlahnya beragam. Keragaman penentuan jumlah tersebut karena konsep dan definisi yang dijadikan acuan oleh mereka juga beragam. Keragaman definisi yang mereka gunakan tersebut terkait dengan perkembangan konsep kinâyah. Konsep kinâyah mengalamai fase perkembangan, mulai dari makna dhamir, irdaf, majâz, badal, ghairu sharih, sampai kepada makna terminologi sekarang ini. Kedua, penafsiran ayat-ayat kinâyah mengalami ikhtilaf (perbedaan) di kalangan para mufassir terutama pada ayat-ayat yang bertemakan hukum. Implikasi-implikasi dari penelitian ini terjadi pada dua aspek, yaitu pada aspek hermeneutik dan pedagogis. Keharusan mengambil makna lazim (konotatif) dan kebolehan mengambil makna awal (denotatif) berimplikasi pada keragaman penafsiran pada ayat-ayat kinâyah. Sedang implikasi pedagogis berupa pentingnya ayat-ayat al-Quran sebagai bahan utama dalam perkuliahan Balaghah. Riwayat Penulis Dr.Yayan Nurbayan, M.Ag. dosen pada Program Pendidikan Bahasa Arab FPBS Universitas Pendidikan Indonesia. Daftar Pustaka Abdul Aziz Atiq ( 1985 ) ‘Ilmul- Bayan. Beirut : Darun- Nahdhah al’Arabiyyah. Aly Al-Jarim, Mustafa Amin ( 1987 ) Al-Balaghah Al-Wadihah. Mesir : Darul-Ma’arif. Bakry Syaikh Amin ( 1982 ) Al-Balaghah fi Tsaubihal-Jadid : ‘IlmulBayan. Beirut : Daruts- Tsaqafaf Al-Islamiyyah. Hasyimy, Ahmad ( 1960 ) Jawahirul- Balaghah, Indonesia : Maktabah Dar Ihya -Kutubil Arabiyyah. Zuhaily ( 1986) Al Munir, Darul Fikr : Beirut
8
9