Analisis Atribut Budaya Nasional dalam Promosi Online Toshiba Corporation Anita Kurnia Rachmawati (071012063) Abstrak Sejak awal ditemukannya world wide web pada 1990-an sampai saat ini ditemukan perubahan pada pola-pola promosi perusahaan yang dilakukan melalui halaman situs online mereka. Sejak 1998 hingga 2008 terbukti bahwa tingkat signifikansi budaya negara asal pada halaman situs online perusahaan internasional mulai berkurang. Selain itu ditemukan juga pergerakaan menuju homogenitas dimana budaya yang ditunjukkan dengan beberapa indikator dalam situs online perusahaan mulai serupa satu dengan yang lain dan semakin universal. Namun ternyata terdapat beberapa perusahaan internasional besar yang tidak serta merta mengikuti tren ini, salah satunya adalah Toshiba Co. yang masih jelas menggunakan halaman situs online yang berkarakter budaya Jepang yang juga serupa dengan budaya Asia. Penelitian kali ini membahas alasan dibalik keputusan Toshiba Co. untuk tetap menggunakan desain situs online sesuai karakter budaya nasonalnya. Penelitian ini dibantu dengan teori mengenai strategi regional yang menunjukkan keefektifan aktivitas perusahaan apabila difokuskan pada segmen geografis tertentu dan teori terkait regionalisasi ekonomi yang mendorong keuntungan apabila perusahaan fokus pada regional asal perusahaan. Berdasarkan temuan hasil penelitian disumpulkan bahwa regionalisasi memberikan lingkungan bisnis yang menguntungkan di Asia sehingga Toshiba menjadikan Asia sebagai fokus kegiatan bisnisnya. Dengan demikian maka promosi online-nya juga difokuskan untuk memenuhi kebutuhan pasar utamanya tersebut. Pemilihan Jepang dan Asia sebagai fokus pasar Toshiba didasari oleh fenomena regionalisasi ekonomi yang memusatkan kegiatan bisnis dan ekonomi di kawasan. Kata-kata kunci: regionalisasi, strategi regional, budaya nasional, promosi online, Asia, Jepang, Toshiba Co. Abstrack Since the world wide web was founded in 1990s until today there have been change in corporate promotion pattern through their online websites. It was discovered that between 1998 and 2008 there was less significant national culture in corporate online websites. There is also a change towards homogenity that the national culture shown in corporate online websites by some indicators start to universalized. However, there are some multinational corporates that don’t follow this trend, among them is Toshiba Corporation that still uses online website with Japanesse national culture caracters that is also similar with Asian national culture. This study talks about the reasons that Toshiba still uses online website with its national culture. This study is explained with theory of regional strategy showing that geographical focus could increase corporate activity effectiveness and theory of economic regionalization showing that it would be profitable for corporate to focus on its home regional. Based on the findings of the research results, it can be concluded that regionalization make a condusive business environment in Asia so that Toshiba focuses its business there. Therefore Toshiba’s online promotion is focused to serves its primary market in Asia. Japan and Asia is chosen based on the economic regionalization phenomenon that centred business and economic activities in the region. Keywords: regionalization, regional strategy, national culture, online promotion, Asia, Japan, Toshiba Co.
Pendahuluan Kemajuan teknologi dan globalisasi telah mempengaruhi kebudayaan bangsa dengan tingginya intensitas pergerakan budaya dan difusi ide (Held, 2002:61). Perusahaan juga termasuk salah satu institusi yang terkena dampaknya, karena perusahaan juga memiliki kebudayaan yang mencerminkan kebudayaan negara asal perusahaan tersebut. Salah satu perubahan yang dibawa oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi kepada perusahaan adalah pada cara promosi yang kini dapat dilakukan melalui media online. Kebudayaan negara yang juga menjadi kebudayaan perusahaan ini dapat dilihat dari cara perusahaan mendesain halaman situsnya (Want, 2003:4). Dalam hal ini perusahaan mengalami dilema tersendiri. Di satu sisi perusahaan perlu menangkap isyarat sosial dari tradisi, budaya, dan komunitas dimana perusahaan berada (Held, 2002:60) dan meresponnya dengan menerapkan budaya tersebut dalam aktivitas bisnisnya. Di sisi lain, pengguna internet meliputi orang-orang dengan budaya yang berbeda-beda sehingga penggunaan atribut budaya tertentu yang terlalu kental juga tidak dapat dipastikan akan medapat penerimaan yang baik terutama oleh orang dengan kebudayaan lain karena berpengaruh pada kenyamanan penggunaan situs online. Sebuah penelitian dengan jangka waktu sepuluh tahun pada 1998 hingga 2008 dilakukan oleh Stephanie Robbins dan Antoins Stylianou kepada 90 halaman situs perusahaan dengan pendapatan terbesar menurut majalah Fortune (Robbins dan Stylianou, 2008). Penelitian tersebut melihat penggunaan atribut budaya nasional dalam desain situs online perusahaan dari beberapa indikator yang nampak. Setiap indikator nantinya akan menunjukkan tingkat dimensi budaya tersendiri yang berbeda-beda antar negara.1 Saat dimulai pada 1998, penelitian ini melihat budaya nasional masih signifikan pada halaman situs online perusahaan. Meskipun tampilan a la Amerika mendominasi, namun terdapat cukup perbedaan dalam halaman situs perusahaan yang memungkinkan dilakukannya penggolongan ke dalam beberapa kelompok budaya. Sedangkan pada tahun 2008, seiring dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dari penelitian 1998. Beberapa indikator yang diamati menunjukkan penurunan tingkat signifikansi pada kecocokan desain halaman situs online dengan budaya negara asal perusahaan. Selain itu, dalam 10 tahun sejak 1998 telah terjadi pergerakan menuju homogenitas atau konvergensi budaya. Artinya, meskipun pertimbangan penggunaan
Penelitian Robbins dan Stylianou melihat beberapa indikator yang dapat menjelaskan lima dimensi budaya nasional hasil penelitian Geert Hofstede dalam desain halaman situs online perusahaan. Power distance menggambarkan kejelasan akan pembedaan status sosial dan rasa hormat kepada orang yang dinilai memiliki kuasa. Uncertainty avoidance menggambarkan sekuat apa masyarakat merasa terancam oleh ketidakpastian dan ambiguitas serta berusaha untuk menghindari keadaan seperti itu. Individualism menggambarkan masyarakat yang hanya memperhatikan dirinya dan keluaraga terdekatnya sedangkan lawannya, collectivism menggambarkan masyarakat yang memperhatikan dan terlibat dalam kelompok dan sebaliknya untuk membangun loyalti. Masculinity menggambarkan masyarakat yang mendahulukan kesuksesan atau pencapaian dan performa sedangkan lawannya femininity menggambarkan masyarakat yang mendahulukan kepedulian terhadap sesama dan kualitas hidup. Dan long/short term orientation merupakan dimensi tambahan yang diberikan Hofstede setelah melakukan penelitian tambahan berdasarkan dinamisme Konfucian. Dimensi ini menggambarkan sejauh mana masyarakat memiliki pandangan masa depan dan tidak terjebak dalam masa lalu. Dengan menggunakan model Hofstede dunia ini terbagi dalam kelompok yang memiliki kesamaan kecenderungan lima dimensi tersebut, yaitu Anglo, Nordic, Jerman, Latin, Asia, Jepang, dan Near Eastern. Namun kelompok Near Eastern tidak masuk dalam penelitian Robbins dan Stylianou (De Mooij dan Hofstede, 2010:89-90; Robbins dan Stylianou, 2008:5-10). 1
desain situs online sesuai dengan budaya nasional dari negara asal perusahaan masih ada, namun hal ini cukup berkurang (Robbins dan Stylianou, 2008:14).2 Penelitian Robbins dan Stylianou memang tidak menunjukkan benar-benar hilangnya atribut budaya tertentu dalam halaman situs perusahaan, namun jika dibandingkan dengan tahun 1998 terjadi penurunan penggunaan atribut budaya nasional. Pada penelitian kali ini akan dibahas salah satu perusahaan yang tetap menunjukkan karakter budaya nasional dalam halaman situs online-nya, yaitu Toshiba Corporation atau biasa disebut Toshiba. Toshiba memiliki halaman situs online sejak 1995 dan digunakan untuk menjaga hubungan dengan konsumen maupun investor. Dalam halaman situs Toshiba terdapat beberapa informasi untuk pengenalan terhadap perusahaan, baik berupa informasi kegiatan serta produk dan jasa bagi konsumen, serta yang penting dalam hubungannya dengan investor adalah laporan-laporan finansial dan saham. Pada 2011 Toshiba termasuk ke dalam daftar 500 perusahaan dengan pendapatan terbesar menurut majalah Fortune, yaitu berada pada posisi 21 di Asia dan posisi 89 secara global mengalahkan perusahaan besar Jepang lain seperti Mitsubishi, LG, dan sebagainya (CNNMoney, 2011). Meskipun Toshiba merupakan perusahaan internasional yang tergolong besar dan beroperasi di seluruh dunia namun dari beberapa indikator desain situs online Toshiba terlihat berkarakter Jepang. Hal ini hanya menguntungkan kluster budaya Jepang dan kluster yang memiliki budaya nasional yang mirip dengan Jepang, yaitu Asia. Toshiba bahkan menggunakan domain Jepang untuk portal internasional situs onlinenya di toshiba.co.jp/worldwide. Aspek yang menonjol dari situs online Toshiba adalah penggunaan bahasa Jepang sebagai bahasa utama, dengan pilihan untuk mengganti ke bahasa Inggris dengan desain yang lebih sederhana. Karakter Jepang juga terlihat di beberapa indikator atribut budaya yang disesuaikan dengan pembagian dimensi budaya nasional Hoftsede (Robbins dan Stylianou, 2008:3-6). Dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki pusat di negara Asia lainnya, perbedaan Toshiba terlihat menonjol terutama dari segi bahasa. Perusahaan besar Asia jika tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama di situs globalnya, maka akan menggunakan bahasa sesuai dengan negara pengguna. Panasonic, Samsung, LG, dan Lenovo memungkinkan penggunanya untuk memilih negara asal yang otomatis mengubah bahasa dalam situs online menjadi bahasa masing-masing pengguna atau bahasa Inggris. Perbedaan juga terlihat dari tampilan awal halaman situs online Samsung, LG, dan Lenovo yang langsung menyediakan informasi mengenai produk di halaman awal. Hal ini merupakan karakter budaya yang berorientasi jangka pendek yang menyukai informasi yang langsung, jelas, dan tidak bertele-tele. Selain itu Toshiba juga mempertahankan adanya bagan organisasional yang menunjukkan power distance-nya yang tinggi, dibandingkan beberapa perusahaan seperti Panasonic, Samsung dan Lenovo yang tidak mencantumkannya sebagaimana meniru karakter budaya Anglo, Nordic, dan Jerman. Toshiba juga menghindari adanya fitur-fitur yang menyediakan jalan singkat yang menunjukkan short term orientation, seperti adanya fitur pencarian (search engine) dan FAQ. Hal ini berbeda Salah satu contohnya adalah dalam indikator dimensi individualism/collectivism, yaitu perlunya registrasi akun untuk penggunaan situs dan adanya pernyataan mengenai privasi sebagai penanda budaya individualistic yang mementingkan privasi individu. Dalam penelitian 1998 kecenderungan setiap perusahaan berbeda-beda untuk indikator-indikator tersebut, misalnya rendahnya frekuensi adanya pernyataan privasi pada kluster Jepang, Asia, Jerman, dan Nordic dan tingginya frekuensi di Anglo. Namun pada 2008 semua kluster mengalami keseragaman dimana setiap kluster memiliki frekuensi yang tinggi dalam penyataan privasi (Robbins dan Stylianou, 2008:14). 2
dengan perusahaan lain seperti Samsung dan LG yang banyak menyediakan yang menyediakan hal tersebut yang sesungguhnya merupakan karakter budaya Anglo, Nordic, Jerman, dan Latin (Robbins dan Stylianou, 2008:3-6).3 Keputusan Toshiba untuk mengembangkan halaman situs online yang berkarakter Jepang ini cukup beresiko karena akan menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengguna yang berasal dari kluster budaya yang berbeda dengan Jepang. Sebagai sebuah perusahaan internasional yang besar, Toshiba seharusnya sudah memikirkan keutamaan pasar internasionalnya sehingga asumsinya akan mengikuti tren desain yang ada untuk melayani konsumen dan investornya yang berasal dari budaya yang berbeda-beda. Namun kenyataannya hingga saat ini Toshiba masih menggunakan atribut budaya Jepang yang menunjukkan bahwa Toshiba memutuskan untuk lebih mengutamakan stakeholder dengan budaya Jepang dalam promosinya. Maka selain Jepang, Asia yang memilki budaya yang serupa dengan Jepang pun juga menjadi target Toshiba. Dengan demikian kemudian muncullah pertanyaan mengenai alasan mengapa Toshiba tetap fokus untuk melayani pasar Jepang dan Asia dalam aktivitas promosi melalui situs online-nya. Kajian Pustaka Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, digunakan teori mengenai adaptasi dan fokus perusahaan internasional dari Michael Porter, strategi regional dari Pankaj Ghemawat, dan regionalisasi ekonomi dari Jeffrey Frankel. Teori mengenai adaptasi dan fokus perusahaan internasional menggambarkan bahwa perusahaan harus dapat beradaptasi untuk masuk ke pasar baru, yaitu pasar internasional. Hal ini juga didukung oleh pernyataan beberapa ahli ekonomi bahwa perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya secara internasional perlu melakukan operasi yang berbeda yang disesuaikan dengan keadaan internasional (Daniels, et al., 2007; Dias dan Shah, 2009; Wild, et al., 2008). Karena kondisi setiap pasar yang berbeda, maka akan lebih efisien bagi perusahaan internasional untuk fokus melayani pasar tertentu. Strategi fokus merupakan salah satu dari tiga strategi generik yang diungkapkan Porter sebagai pendekatan perusahaan untuk mengungguli pesaing dalam industri. Strategi fokus artinya memusatkan pada kelompok pembeli, sektor lini, atau pasar geografis tertentu dan bentuknya dapat berbagai macam. Dengan strategi ini maka perusahaan dapat melayani targetnya dengan lebih efektif (Porter, 1980:4). Salah satu bentuk fokus pada pasar tertentu adalah penggunaan strategi regional, sebagaimana yang dilakukan Toshiba melalui situs online-nya untuk fokus melayani pasar Jepang dan Asia. Penggunaan strategi regional ini menguntungkan perusahaan karena adanya kemiripan karakteristik negara yang dekat dengan negara asalnya sehingga pemahaman akan pasar regional pun lebih tinggi. Bentuk strategi regional sebagaimana diungkapkan Pankaj Ghemawat memiliki ide dasar untuk Dengan lima dimensi yang sama yaitu power distance, uncertainty avoidance, individualism/collectivism, masculinity/femininity, dan long/short term orientation, kluster Anglo, Nordic, Jerman, dan Latin memiliki karakter yang berbeda dengan kluster Jepang. Kluster Jepang memiliki karakter power distance yang tinggi, uncertainty avoidance yang kuat, collectivistic, masculine, dan memiliki long term orientation. Kluster Anglo memiliki karakter power distance yang rendah, uncertainty avoidance yang lemah, individualistic, masculine, dan memiliki short term orientation. Kluster Nordic memiliki karakter power distance yang rendah, uncertainty avoidance yang lemah, individualistic, feminine, dan memiliki short term orientation. Kluster Jerman memiliki karakter power distance yang rendah, uncertainty avoidance yang kuat, individualistic, masculine, dan memiliki short term orientation. Dan kluster Latin memiliki karakter power distance yang tinggi, uncertainty avoidance yang kuat, individualistic, feminine, dan memiliki short term orientation (Robbins dan Stylianou, 2008:3-6). 3
mengelompokkan negara-negara untuk meminimalkan perbedaan sehingga menyederhanakan adaptasi yang harus dilakukan perusahaan dalam ekspansi bisnisnya secara internasional (Ghemawat, 2005:1). Karena setiap pasar nasional memiliki tekanan yang berbeda-beda sehingga memerlukan penetrasi yang berbedabeda. Strategi regional menjadi prospektif dilakukan oleh perusahaan terutama dengan adanya fenomena regionalisasi ekonomi yang menyebabkan aktivitas ekonomi dan bisnis terkonsentrasi pada regional tertentu. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perdagangan terkonsentrasi, disebutkan oleh Jeffrey Frankel yaitu negara yang dekat secara geografi cenderung lebih sering melakukan perdagangan satu sama lain dan negara dengan pertumbuhan yang tinggi akan lebih banyak melalukan perdagangan (Frankel, et al., 1998:93). Apabila negara-negara yang dekat ini di kemudian hari akan membentuk suatu blok dagang, maka akan disebut natural trading bloc, dan blok dagang tersebut cenderung lebih menguntungkan (Frankel, et al., 1998:92). Kecenderungan ini diungkapkan dalam gravity model of international trade dimana perdagangan antar negara akan meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran ekonomi negara dan berkurangnya biaya transaksi. Ukuran ekonomi negara dilihat berdasarkan Gross Domestic Product (GDP) dan populasi, sedangkan biaya transaksi ditentukan oleh jarak geografi (Eichengreen dan Irwin, 1998:33). Di dalam pengembangan gravity model of international trade, ditambahkan pula beberapa variabel yang juga mempengaruhi terciptanya perdagangan antar negara. Variabel-variabel yang dapat ditambahkan tersebut adalah keanggotaan dalam blok dagang, faktor sejarah, dan persamaan bahasa (Eichengreen dan Irwin, 1998:33; Frankel, et al., 1998:95). Dari dasar teoritis yang ditemukan melalui kajian pustaka tersebut, maka terdapat dugaan sementara atas pertanyaan yang diajukan, yaitu bahwa Toshiba Co. tetap fokus untuk melayani pasar Jepang dan Asia dalam aktivitas promosi onlinenya karena hal tersebut merupakan implementasi dari strategi regional yang didasari oleh adanya regionalisasi ekonomi di Asia. Strategi regional digunakan untuk menfokuskan aktivitas bisnis Toshiba di Asia yang dalam aktivitas promosinya terlihat dari penggunaan atribut budaya Jepang dan Asia dalam desain situs online Toshiba. Promosi Online Toshiba sebagai Bentuk Implementasi Strategi Regional Sebagai sebuah perusahaan yang aktivitas bisnisnya mencapai skala internasional, Toshiba memiliki sebuah situs online sebagai salah satu bentuk promosi perusahaan. Di dalam situs onlinenya terdapat beberapa informasi untuk pengenalan terhadap perusahaan, baik berupa informasi kegiatan serta produk dan jasa bagi konsumen, serta yang penting dalam hubungannya dengan investor adalah laporan-laporan finansial dan saham. Dengan tumbuhnya pasar Asia dan terpusatnya kegiatan bisnis di Asia, Toshiba kemudian memilih untuk melayani Asia dalam promosi perusahaannya. Pada subbab ini dibahas mengenai regionalisasi di Asia yang semakin erat sehingga Toshiba menerapkan strategi regional yang terlihat dalam halaman situs online Toshiba yang memiliki desain dengan kecenderungan atribut budaya Jepang dan budaya Asia. Semakin eratnya regionalisasi ekonomi dan bisnis di Asia ini ditunjukkan dengan besarnya angka investasi langsung asing (foreign direct investment/ FDI) intra-regional, perdagangan intra-regional, dan perjualan intraregional oleh perusahaan-perusahaan multinasional di Asia (Ghemawat, 2005:100). Semakin terintegrasinya ekonomi di Asia digunakan Toshiba sebagai kesempatan untuk menguatkan posisinya di kawasan dengan menerapkan starategi regional.
Strategi regional yang diterapkan oleh Toshiba dapat dilihat dari fokus penjualan dan production footprint yang meliputi lokasi riset dan pengembangan serta manufaktur produk (Ghemawat, 2005:101) yang keduanya dipusatkan di Asia. Digunakannya atribut budaya Jepang dan Asia dalam salah satu kegiatan promosi Toshiba juga diartikan sebagai diterapkannya strategi regional oleh Toshiba dengan fokus pasar di Jepang dan Asia. Besarnya angka perdagangan dan FDI intra-regional di Asia paska krisis finansial 1998 disebabkan oleh banyaknya dilakukan perjanjian-perjanjian perdagangan sebagai bentuk liberalisasi perdagangan. Perjanjian-perjanjian perdagangan sebagai penguat regionalisasi ekonomi Asia yang sebelumnya telah terjadi ini akan lebih lanjut dijelaskan pada sub-bab berikutnya. Dengan liberalisasi perdagangan tersebut maka arus barang, jasa, dan investasi pun semakin meningkat di dalam Asia. Dengan meningkatnya integrasi ekonomi di Asia paska krisis, Toshiba pun memanfaatkan hal ini dengan menggeser fokus pasar internasionalnya yang dahulu adalah Amerika Utara menjadi Asia. Hal ini nampak dari bergesernya mayoritas penjualan dan regional footprint Toshiba dari Amerika Utara menuju Asia pada paska krisis finansial. Indikator pertama eratnya regionalisasi ekonomi di Asia adalah dari FDI intraregional Asia yang semakin meningkat. FDI intra-Asia banyak disumbang oleh Cina dan Hongkong. Pertumbuhan pesat dialami Cina sejak periode di atas 1997 dimana rata-rata FDI meningkat dari 20 juta Dolar AS pertahun menjadi 50 juta Dolar AS (Hattari dan Rajan, 2006:8). Tidak hanya sebagai negara tujuan, perusahaanperusahaan dari Cina bersama dengan Hongkong juga mulai banyak melakukan FDI. Sebelum 1997 rata-rata FDI yang dilakukan Hongkong adalah 15 juta Dolar AS pertahun, angka ini kemudian meningkat menjadi 25 juta Dolar AS pada periode berikutnya (Hattari dan Rajan, 2006:31). Dari segi FDI intra-regional, Toshiba turut menyumbangkan angka ini dengan investasinya yang dilakukan di Asia. Hal ini termasuk dalam salah satu bentuk implementasi strategi regional yaitu penempatan regional footprint sedekat mungkin dengan negara asal. Regional footprint terlihat dari penempatan perusahaan manufaktur dan perusahaan asosiasi pendukung lain serta lokasi pengembangan R&D. Seiring liberalisasi perdagangan yang terjadi di Asia, Toshiba yang dahulu banyak menempatkan regional footprint di Amerika Utara mulai menggeser lokasinya menuju Asia. Pada 2012, dari 554 cabang dan anak perusahaan Toshiba yang tersebar di seluruh dunia, 118 diantaranya berada di jepang dan 155 berada di Asia Oseania (Toshiba Today, 2012:10). Aset Toshiba yang berada di Jepang dan Asia tersebut juga memiliki nilai yang paling tinggi (Toshiba Annual Report 2000, 2000:41). Toshiba juga menempatkan pusat riset dan pengemabngan di Jepang, Cina, Amerika Serikat, dan Inggris serta pusat pengembangan perangkat lunak atau software yang terpusat di Asia yaitu India, Cina, dan Vietnam (Toshiba Today, 2012:23). Toshiba melihat peluang yang baik dalam pengembangan bisnis di Asia. Indikator kedua eratnya regionalisasi ekonomi di Asia adalah meningkatnya perdagangan intra-regional. Sejak banyaknya dilakukan penguatan kerja sama ekonomi regional, angka perdagangan intra-regional di Asia pun semakin meningkat. Diantara negara-negara ASEAN, ekspor meningkat dan mencapai 66% dari GDP dibanding yang hanya 46% pada 1984 (Foxley, 2010:26) dan kurang dari 40% pada awal 1990an (Ravenhill, 2006:225). Selama dua dekade sejak 1986 hingga 2007, perdagangan intra-regional non-minyak di Asia Timur utara dan selatan meningkat dari 34,4% menjadi 54,1% (Batra, 2010:13). Pada 2003, angka perdagangan intraregional Asia hanya dapat dikalahkan oleh Uni Eropa yang perdagangan intraregionalnya mencapai 60% (Japanesse MOFA, n.d.).
Karena perdagangan intra-Asia didorong oleh perusahaan-perusahaan maka bukan hanya barang konsumen yang menyumbang angka perdagangan intraregional, namun juga barang-barang industri seperti peralatan, komponen, barang setengah jadi, dan produk manufaktur (APEC, 2008:10). Jepang merupakan negara yang banyak mengekspor komponen ke negara lain dimana pabrik manufaktur untuk produk-produk Jepang (Aminian, et al., 2007:20). Hal ini didukung oleh FDI Jepang yang juga banyak tersebar di Asia. Toshiba juga menyumbang angka tersebut dengan perdagangan antar-perusahaan yang dilakukan. Indikator ketiga dari regionalisasi ekonomi Asia adalah besarnya angka penjualan intra-regional oleh perusahaan-perusahaan multinasional di Asia. Hal ini terutama didorong dengan FDI dan perdagangan intra-regional yang terjadi di Asia. Sebagian besar dari perusahaan-perusahaan multinasional yang melakukan ekspansi bisnisnya secara internasional akan menfokuskan bisnisnya di regional tertentu terutama regional asalnya. Dari 380 perusahaan tersebut, 320 perusahaan atau sebesar 64% memiliki penjualan terbesar di regional asalnya. Penjualan perusahaanperusahaan tersebut di kawasan asalnya melebihi 50% hingga dikategorikan ke dalam perusahaan home region oriented (Rugman dan Verbeke, 2004:7). Toshiba sendiri juga merupakan perusahaan yang termasuk dalam perusahaan yang home region oriented. Sejak awal penjualan di Jepang mendominasi penjualan Toshiba. Sebelum intgegrasi di Asia semakin erat, pasar kedua terbesar Toshiba adalah Amerika Utara. Namun seiring menguatnya regionalisasi di Asia, Toshiba banyak melakukan FDI di Asia sehingga penjualan di Asia pun meningkat dan mengalahkan penjualan di Amerika Utara (Toshiba Annual Report 1997:27; 2000:38; 2003:27). Hingga hasil laporan penjualan terakhir Toshiba Grafik 2.2 tahun 2012 menunjukkan pasar Jepang dan Asia mendominasi, yaitu hingga 45% untuk pasar Jepang dan 19% untuk pasar Asia-Oseania (Toshiba Today, 2012:10). Regionalisasi di Asia telah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi bisnis perusahaan-perusahaan multinasional di Asia. Banyaknya angka FDI dan perdagangan intra-regional menyebabkan mayoritas perusahaan melakukan penjualannya dengan fokus pada satu regional tertentu. Toshiba juga mengambil kesempatan tersebut dengan menggeser fokus bisnis internasionalnya dari Amerika Utara menuju Asia paska krisis finansial 1998. Toshiba kemudian menggunakan strategi regional untuk melaksanakan bisnisnya tersebut di kawasan. Dengan FDI dan perdagangan intra-regional yang banyak dilakukan Toshiba maka tidak mengherankan apabila stakeholder Toshiba mayoritas berada di Asia. Mulai dari kosumen masal, konsumen dari pihak bisnis, dan investor serta pemilik anak cabang perusahaan yang berafiliasi dengan Toshiba. Promosi yang dilakukan Toshiba untuk menarik dan mempertahankan stakeholder perusahaan ini kemudian tertuang pula dalam promosinya. Dalam promosi online untuk melayani stakeholder perusahaan, Toshiba menyediakan situs online sebagai sumber informasi mengenai perusahaan. Fokus Toshiba untuk melayani stakeholder Asia-nya terlihat sejak halaman awal situs online-nya hingga kepada indikator-indikator yang lebih detail yang mungkin tidak terlalu disadari keberadaannya. Misalnya saja dari penggunaan Bahasa Jepang sebagai bahasa utama. Selain itu pada halaman awal situs online Toshiba tidak nampak penjelasan mengenai produk-produknya namun lebih pada prestasi-prestasi dan pencapaian perusahaan. Hal ini menjelaskan budaya collectivism yang mementingkan hubungan dan citra baik serta budaya long term orientation (De Mooij dan Hofstede, 2010:85; Hofstede, 1980:88-92) yang tidak mengharapkan hasil instan dengan informasi yang jelas. Toshiba yang sebagian besar penjualannya merupakan penjualan antar-perusahaan tidak terlalu memperlihatkan
produk-produk konsumennya, namun fokus pada penciptaan kepercayaan bagi para investor dan stakeholder lain akan performa Toshiba. Pengutamaan pembangunan citra baik perusahaan yang merupakan hal utama yang dilakukan budaya Jepang dan Asia dalam membangun relasi. Hal ini semata-mata untuk meyakinkan stakeholder utama Toshiba yang berasal dari Jepang dan Asia untuk percaya dan terus bertahan bersama Toshiba. Hal-hal yang lebih detail yang tidak disadari keberadaannya namun dapat mempengaruhi kenyamanan pengguna situs online Toshiba juga dibuat untuk mengikuti kenyamanan pengguna dengan budaya Jepang dan Asia (Robbins dan Stylianou, 2008:3-6). Dari dimensi power distance, sangat menggambarkan jarak yang jauh, seperti dengan adanya pesan dari CEO, adanya bagan organisasi, serta data diri tokoh yang memiliki jabatan tinggi yang menunjukkan penghormatan terhadap pemimpin. Dari dimensi uncertainty avoidance, terlihat dengan tidak adanya daftar tawaran pekerjaan dan adanya sistem pelacak pengunjung halaman online. Dari dimensi individualism/collectivism, desainnya terlihat collectivistic, hal ini bisa dilihat dari penggunaan cookies yang dapat melacak info pengguna dan tidak memungkinkannya pengguna untuk registrasi atau sign up yang dinilai tidak memberi keleluasaan individu secara pribadi. Dari dimensi masculinity/femininity, terlihat sifat Toshiba dan Jepang yang menghargai pencapaian atau target dari adanya publikasi laporan finansial tahunan. Dan long term orientation juga terlihat dari adanya pernyataan visi, tidak adanya mesin pencari (search engine), tanya jawab dengan ahli, dan FAQ (frequently asked question). Dari halaman situs online Toshiba nampak bahwa Toshiba mempertahankan desain tertentu yang menguntungkan pengguna dengan kebudayaan Jepang dan Asia karena mengikuti kenyamanan pengguna dari kedua kebudayaan tersebut. Toshiba memutuskan untuk mempertahankan desain tersebut karena Jepang dan Asia merupakan fokus pasar yang dilayani oleh Toshiba. Hal ini didorong oleh adanya fenomena regionalisasi ekonomi yang terjadi di Asia yang menyebabkan mayoritas aktivitas perdagangan dan investasi terpusat di kawasan. Regionalisasi Ekonomi Asia dan Kaitannya dengan Pemilihan Fokus Pasar Toshiba Terpusatnya aktivitas bisnis di satu regional menunjukkan fenomena regionalisasi ekonomi. Hal ini disebabkan karena perdagangan internasional cenderung tercipta antara negara-negara yang dekat secara geografi dan meningkat seiring pertumbuhan ekonomi (Frankel, et al., 1998:95). Sub-bab ini menjelaskan latar belakang terpusatnya aktivitas ekonomi dan bisnis di Asia, yaitu selain karena alasan geografi dan pertumbuhan ekonomi atau disebut gravity model of international trade juga terdapat alasan sejarah dan persamaan bahasa. Alasanalasan tersebut kemudian dikuatkan dalam bentuk-bentuk perjanjian perdagangan yang banyak tercipta antar negara-negara Asia sejak paska krisis 1998, baik dalam bentuk preferential trade agreement (PTA), free trade agreement (FTA), ataupun kerjasama finansial. Jaringan produksi yang terbentuk dari perusahaan-perusahaan Jepang di Asia menjadi perekat hubungan dagang di kawasan sebelum terbentuknya perjanjian dagang. Toshiba merupakan salah satu perusahaan yang banyak didukung oleh Jepang hingga dapat berkembang pesat seiring berkembangnya industri di Jepang. Karena itu secara tidak langsung Toshiba pun sangat terikat dengan pasar Jepang. Toshiba juga melakukan penguatan bisnisnya di pasar Asia. Kondisi Asia yang mendukung dan memberi kemudahan bagi Toshiba untuk memperluas bisnisnya ke
negara-negara terdekat inilah yang mempengaruhi keputusan Toshiba untuk menggunakan strategi regional dan fokus pada Asia. Regionalisasi ekonomi di Asia memiliki beberapa latar belakang. Alasan pertama yang melatarbelakangi regionalisasi ekonomi di Asia diungkapkan dalam gravity model of international trade dimana perdagangan antar-negara akan meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran ekonomi negara dan berkurangnya biaya transaksi. Ukuran ekonomi negara dilihat berdasarkan Gross Domestic Product (GDP) dan populasi atau GDP per kapita, sedangkan biaya transaksi ditentukan oleh jarak geografis (Eichengreen dan Irwin, 1998:33). Dalam pengembangan gravity model of international trade, ditambahkan pula beberapa variabel lebih penting yang juga mempengaruhi terciptanya dan terus terjadinya perdagangan antar negara. Variabel-variabel yang dapat ditambahkan tersebut adalah faktor sejarah, persamaan bahasa dan keanggotaan dalam blok dagang (Eichengreen dan Irwin, 1998:34; Frankel, et al., 95). Sayangnya latar belakang tersebut tida terlalu kuat mendasari regionalisasi yang terjadi di Asia. Latar belakang pertama regionalisasi di Asia dapat dilihat dari gravity model Asia yang melihat ukuran ekonomi dan jarak geografi. Dari segi ukuran ekonomi, Asia paska krisis finansial 1998 diikuti dengan pertumbuhan GDP yang meningkat sangat drastis dan hal ini diiringi dengan banyak terciptanya perjanjian dagang antar negara Asia dan kegiatan ekonomi yang dilakukan intra-regional. Peningkatan pertumbuhan ekonomi paska krisis ini diiringi dengan perdagangan dan investasi intra-regional yang semakin meningkat. Pertumbuhan ekonomi di Asia selama dua dekade terakhir sangatlah pesat, terutama dengan bangkitnya Cina. Seiring dengan peningkatan ekonomi yang ditunjukkan dengan peningkatan GDP ini, peran Asia dalam perdagangan pun semakin besar (Ravenhill, 2010:5). Dari segi geografi, jarak negara-negara Asia berdekatan satu sama lain. Mayoritas bahkan dihubungkan dengan jalur darat. Negara-negara Asia diuntungkan dengan jarak antar satu wilayah dan wilayah lain yang dekat bahkan banyak diantaranya yang berbatasan langsung, terutama negara-negara di daratan utama Asia. Cina memiliki batas langsung dengan banyak negara Asia, yaitu Myanmar, Laos, Vietnam, Jepang, dan Republik Korea (Nations Online, 2013a). Sedangkan dengan negara-negara besar seperti Cina, Jepang, dan Republik Korea berbatasan laut yang juga akan lebih memperpendek jarak karena jalur laut yang tidak memutar. Dengan atribut budaya yang sama, maka negara-negara Asia juga secara umum memiliki sikap yang sama dengan keuntungan berupa persepsi yang sama dan lebih mudah bertoleransi. Namun ternyata hal ini tidak membuat negara-negara Asia saling berdagang lebih banyak daripada dengan negara di luar Asia. Latar belakang selanjutnya dapat dilihat dari faktor bahasa dan sejarah. Dari faktor bahasa pun negara-negara Asia tidak memiliki persamaan. Bahasa merupakan faktor penting yang menunjang pemahaman budaya serta dalam hal administrasi seperti dokumen-dokumen perjanjian. Banyaknya suku dan etnis di Asia menyebabkan hampir seluruh negara Asia memiliki bahasa bahkan hurufnya sendiri (Nations Online, 2013b). Namun negara-negara Asia ditolong dengan banyaknya negara yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Faktor sejarah merupakan faktor yang paling penting dalam proses integrasi ekonomi Asia. Pada masa Perang Dunia I dan II terhambatlah pengiriman barang dari Eropa yang merupakan eksportir utama negara-negara Asia. Tidak hanya barang jadi, namun bahan mentah yang menjadi bahan baku industri di Jepang juga terhambat. Hal ini kemudian mendorong Jepang untuk mengambil kesempatan absennya impor dari Eropa sekaligus mencari sumber bahan mentah dari Asia.
Paska Perang Dunia industri Jepang berkembang. Great Depression yang menimpa banyak negara membuat negara akhirnya meningkatkan tarif impor mereka. Sedangkan perundingan General Agreemment on Tariff and Trade (GATT) yang ditujukan untuk menurunkan tarif tidak diikuti negara-negara Asia. Hal ini menyebabkan tarif impor negara Asia lebih tinggi (Eichengreen dan Irwin, 1998:3910). Sedangkan negara-negara Eropa sudah mulai menurunkan tarif mereka melalui perundingan GATT. Negara-negara Eropa pun semakin membatasi ekspor ke Asia dan lebih memilih untuk berdagang dengan sesama negara Eropa (Eichengreen dan Irwin, 1998:55). Jepang sekali lagi memanfaatkan kesempatan ini. Pada masa Perang Dingin, keterlibatan Jepang di kawasan didorong kuat oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat banyak memberi bantuan kepada Jepang dan perusahaan-perusahaan Jepang serta terus mendorong Jepang untuk aktif terlibat dalam forum-forum regional. Hal ini dilakukan untuk menjauhkan Jepang dan negara-negara Asia lain dari pengaruh komunisme Uni Soviet melalui liberalisasi perdagangan (Schmidt, 2003:71). Meskipun begitu, insisiasi Jepang banyak dianggap sebagai sebuah langkah untuk meposisikan diri sebagai pemimpin di Asia. Sementara itu sejarah kolonialisme Jepang di Asia masih menyisakah trauma sehingga banyak negara Asia yang meskipun setuju untuk melakukan kerja sama, namun sebenarnya di balik itu tersimpan bahaya laten dan potensi munculnya konflik (Kristof, 1998 dalam Capie, 2009:157). Di samping perang dan konflik, peristiwa utama yang menjadi pemicu integrasi ekonomi di Asia adalah krisis finansial 1997 hingga 1998 (Lee, et al., 2002:87). Ketakutan akan terjadinya kembali krisis kemudian mendorong negara-negara Asia untuk mengabadikan pola perdagangan mereka dalam bentuk perjanjian-perjanjian dagang. Perjanjian perdagangan ini berbentuk preferential trade agreement, free trade agreement, dan perjanjian-perjanjian dalam bidang finansial. Perjanjianperjanjian ini digunakan untuk menguatkan regionalisasi yang sebelumnya sudah tercipta. Perjanjian perdagangan yang dibentuk negara-negara Asia ini umumnya berbentuk preferential trade agreement (PTA), free trade agreement (FTA), dan kerjasama finansial. Sedangkan perjanjian dalam tahap integrasi yang lebih lanjut seperti custom union (CU), common market (CM), atau penyamaan kurs belum tercipta di Asia, meskipun sudah banyak pembicaraan terkait. Integrasi antar negaranegara Asia Timur dimulai dengan dibentuknya ASEAN Regional Forum (ARF) pada 1994 yang masih menyangkut masalah keamanan (Batra, 2010:3). Dalam bentuk PTA, salah satu perjanjian perdagangan penting yang dibentuk untuk menguatkan hubungan antara Asia Timur bagian utara dan selatan adalah regional trade agreements antara negara anggota ASEAN dengan Jepang, Cina, dan Republik Korea (ASEAN+3) yang berlangsung mulai 1997 hingga 1999 (Lee, et al., 2002:87). Di negara-negara ASEAN+3 atau banyak disebut negara Asia Timur inilah kegiatan regionalisasi ekonomi di Asia terpusat (batra, 2010:19). Dengan banyaknya kerja sama di Asia, dibentuk pula forum East Asia Summit (EAS) yang beranggotakan ASEAN+6, yaitu terdiri dari negara-negara anggota ASEAN, Cina, Jepang, Republik Korea, Australia, Selandia Baru, dan India yang dimulai pada 2005 (Batra, 2010:6). Dalam bentuk FTA, terdapat usulan dibentuknya East Asian Free Trade Area (EAFTA) yang diikuti oleh seluruh ASEAN+3 dan Taiwan pada laporan EAVG tahun 2001 yang berjudul “Towards an East Asian Community” (Capie, 2009:153). Keinginan ini didukung oleh Filipina dan Republik Korea pada pertemuan ASEAN+3 2001. Sedangkan Jepang mengiginkan komunitas yang lebih luas dengan memasukkan Australia, Selandia Baru dan India. Meskipun bukan FTA yang tercipta tetapi terwujud forum pada 2005 yang dinamakan East Asia Summit dan
beranggotakan ASEAN+6. Selain itu negara-negara ASEAN dan Jepang-CinaRepublik Korea juga masing-masing membentuk FTA yaitu ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) dan North-East Asian Free Trade Area (NEAFTA) (Lee, et al., 2002:88-9). Selain dalam kerangka multilateral, FTA juga dibentuk negara-negara Asia dalam kerangka bilateral. Dalam bentuk kerja sama finansial, kerja sama dilakukan dalam tiga pilar, yaitu pengawasan ekonomi regional, fasilitas mendukung likuiditas, dan regional bond (APEC, 2008:13). Beberapa usaha yang dilakukan antara lain pembentukan forum dialog, institusi-institusi finansial dan bahkan usaha untuk menyeragamkan kurs. Salah satu hasil yang dapat dikatakan sukses adalah dibentuknya Chiang Mai Initiative (CMI) oleh ASEAN+3 pada 2000 sebagai fasilitasi pendukung likuiditas (Ravenhill, 2010:2; Capie, 2009:153). Perjanjian ini dibentuk untuk membentuk jaringan pertukaran kurs (currency swap) untuk mempererat finansial regional. Berkat perjanjian-perjanjian dagang di Asia inilah angka perdagangan dan FDI intra-regional di Asia begitu tinggi. Kesempatan inilah yang kemudian diambil oleh Toshiba untuk semakin memperkuat ekspansi internasionalnya dengan fokus kepada Asia. Fokus aktivitas bisnis Toshiba di Asia tidak membuatnya meninggalkan Jepang sebagai fokus utama. Toshiba memiliki keterikatan yang kuat dengan Jepang karena Jepang banyak mendukung Toshiba baik langsung maupun tidak langsung. Kondisi Jepang mendukung tumbuhnya industri seperti Toshiba serta ekspansinya dengan jaringan produksi yang diciptakan. Toshiba telah memilih Jepang dan Asia sebagai fokus regional yang dilayani dalam bisnis internasionalnya. Tidak dapat dipungkiri Toshiba saat ini juga sedang dalam usaha melebarkan bisnisnya dan meningkatkan promosi di pasar-pasar regional lainnya. Terutama karena pada dekade terakhir industri elektronik Jepang sedang mengalami penurunan sehingga banyak dilakukan penguatan di pasar asing. Namun selama ini Jepang dan Asia lah yang lebih banyak memberi keuntungan bagi Toshiba. Kesuksesan Toshiba di kedua lokasi tersebut bukanlah kebetulan semata, namun Toshiba cukup jeli untuk melihat peluang pasar yang besar dari sana dan memutuskan untuk bertahan melayani pasar tersebut. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor di atas yang menyebabkan mayoritas aktivitas bisnis terpusat di sekitar negara asal perusahaan, yaitu adanya regionalisasi dalam ekonomi dan aktivitas bisnis. Dengan banyaknya dilakukan kerja sama dan perjanjian perdagangan di Asia akses pasar di Toshiba ke Asia pun semakin mudah, tarif semakin rendah, dan kondisi yang mendukung untuk dilakukannya FDI pun semakin tinggi. Toshiba memutuskan untuk mempertahankan Jepang dan Asia sebagai pasar utamanya, salah satu yang dilakukan adalah Toshiba memfokuskan aktivitas produksi, distribusi, dan promosinya di kawasan, termasuk dengan mempertahankan penggunaan atribut budaya Jepang dan Asia di dalam halaman situs onlinenya. Kesimpulan Setiap perilaku aktor akan dipengaruhi oleh aktor lain dan lingkungannya, demikian pula kondisi ekonomi dan politik internasional akan mempengaruhi perilaku perusahaan internasional. Penelitian ini menyimpulkan bahwa regionalisasi yang terjadi di Asia mempengaruhi keputusan Toshiba untuk mempertahankan pasar Jepang dan Asia dalam aktivitas promosinya melalui penggunaan atribut budaya nasional dalam situs online perusahaannya. Proses regionalisasi yang ada di Asia menggambarkan pemusatan kegiatan perdagangan, investasi, dan aktivitas bisnis di kawasan. Jika melihat fenomena tersebut, maka perusahaan internasional akan diuntungkan jika memutuskan untuk fokus pada pasar regional asalnya dengan
kemudahan dan keleluasaan yang tersedia di kawasan. Toshiba melihat kesempatan tersebut dan memutuskan untuk menerapkan strategi regional dengan fokus melakukan penjualan, investasi, dan promosi di Asia yang ketiganya didukung oleh situs online Toshiba. Sejak paska krisis finansial 1998 perjanjian perdagangan di Asia tumbuh dengan sangat pesat. Hal ini menguntungkan Toshiba dalam mempermudah aksesnya ke Asia. Perdagangan intra-regional, FDI, dan aktivitas bisnis perusahaan internasional Asia banyak terpusat di Asia. Toshiba melihat hal ini sebagai kesempatan, jaringan produksinya yang sudah tersebar di Asia dipertahankan dan Asia pun dijadikan fokus pasarnya. Anga FDI dan penjualan Toshiba di Asia pun semakin meningkat setiap tahunnya. Perdagangan antar-perusahaan yang juga menjadi fokus Toshiba ikut menggerakkan regionalisisasi di Asia. Meskipun begitu, Toshiba yang sangat terikat pada domestik sehingga Jepang juga masih menjadi pasar utamanya. Dengan fokus pasar di kawasan, Toshiba menggunakan strategi regional dalam aktivitas bisnisnya. Strategi regional yang diterapkan Toshiba juga terlihat dari kegaitan promosi yang dilakukan. Dengan konsumen, investor, dan stakeholder lain yang mayoritas berada di Asia, maka Toshiba mengembangkan situs online dengan desain yang beratribut budaya Asia dan Jepang yang keduanya sangatlah mirip. Investor-investor dengan budaya Asia dan Jepang akan lebih merasa nyaman dan tidak bingung menggunakan desain halaman situs online sesuai dengan karakternya. Artinya Toshiba memilih untuk melayani investornya yang mayoritas berada di Asia dengan berusaha menyediakan tingkat kenyamanan maksimal bagi ketersediaan informasi melalui situs onlinenya. Dengan demikian terbukti bahwa Toshiba mempertahankan atribut budaya Jepang dalam desain situs onlinenya karena hal ini sejalan dengan strategi regional Toshiba yang dipilih dengan adanya regionalisasi ekonomi di Asia. Penggunaan situs online dengan fokus target masyarakat Jepang dan Asia ini menyebabkan beberapa implikasi. Implikasi positif dari keputusan Toshiba mengikuti mayoritas stakeholdernya adalah kefokusan Toshiba dalam melakukan bisnis yang dipercaya akan lebih efisien bagi perusahaan. Namun terdapat pula implikasi negatif, yaitu ketidaknyamanan bagi pengguna yang berasal dari kluster budaya yang berbeda dengan Jepang dan Asia. Sebagai perusahaan yang melayani pasarnya di seluruh dunia, meskipun jumlahnya tidak sebanyak Jepang dan Asia, Toshiba perlu mempertimbangkan untuk melayani konsumen dan investornya yang berasal dari budaya yang berbeda-beda. Terutama dengan ekspansi yang sedang dilakukan Toshiba ke regional lain, maka Toshiba perlu mendukung hal tersebut dengan promosi yang menyediakan informasi dengan mempertimbangkan kenyamanan regional lain tersebut. Hal ini utamanya karena regionalisasi di Asia sendiri belum terlalu kuat baik dari latar belakangnya maupun dalam perkembangannya yang ditunjukkan dengan belum adanya common market dan custom union di Asia. Penelitian ini tidak terhenti dengan pembuktian hipotesis tersebut. Penelitian lebih lanjut untuk mendukung penelitian ini dapat dilakukan dengan melihat contoh perusahaan dari negara lain selain Jepang. Jepang pada awal industrialisasi memiliki lingkungan yang sangat kondusif sehingga keterikatan perusahaan Jepang dengan negaranya cukup tinggi. Dengan demikian dapat dilihat pula apakah penggunaan bahasa dan atribut budaya nasional dalam situs online memiliki tujuan pencitraan oleh perusahaan atau bahkan oleh negara.
Daftar Pustaka Buku Daniels, John, Lee H. Radebaugh & Daniel P Sullivan. International Business: Environment and Operations. New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2007. Dias, Laura Portolese dan Amit J. Shah. Introduction to Business. New York: McGraw-Hill, 2009. Frankel, Jeffrey (ed.). The Regionalization of the World Economy. Chicago: University of Chicago Press, 1998. http://www.nber.org/books/fran98-1 (diakses 18 Novermber 2012). Porter, Michael E. Strategi Bersaing: Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing. Diterjemahkan oleh Agus Maulana. Penerbit Erlangga, 1980. Wild, John J., Wild, Kenneth L & Han, Jerry C. Y. International Business: The Challenges of Globalization.New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2008. Jurnal Aminian, Nathalie, K. C. Fung dan Iizaka Hitomi. “Foreign Direct Investment, IntraRegional Trade and Production Sharing in East Asia,” RIETI Discussion Paper Series, 07-E-064 (The Research Institute of Economic, Trade, and Industry, 2007). http://www.rieti.go.jp/jp/publications/dp/07e064.pdf (diakses 9 Juni 2013). APEC, “Economic Dimension of the Evolving East Asian Regional Architecture,” Information Paper for APEC Study Centres Consortium Coference (Juni 2008). http://www.apec.org.au/docs/08_ASCconf/010_BM_pr.pdf (diakses 9 Juni 2013). Batra, Amitra. “Asian Economic Integration and Sub-regionalism: A Case Study of the BIMSTEC,” International Studies, Vol. 47, No. 1 (Sage Publication, 2010). http://isq.sagepub.com/content/47/1/1.full.pdf (diakses 15 Oktober 2012). Capie, David. Rival Regions? East Asian Regionalism and Its Challenge to the AsiaPacific (2009). http://www.alternative-regionalisms.org/wpcontent/uploads/2009/07/capie_rivalregions.pdf (diakses 11 Agustus 2012). De Mooij, Marieke dan Geert Hofstede. “The Hofstede Model: Application to Global Branding and Advertising Strategy and Research,” International Journal of Advertising, Vol. 29, No. 1 (Advertising Association, 2010): 85-110. http://www.mariekedemooij.com/articles/demooij_2010_int_journal_adv.pdf (diakses 25 April 2012). Foxley, Alejandro. “East Asia: Export Strategy and Regional Integration,” Regional Trade Blocs: The Way to the Future? (Washington D.C.: Carneige Endowment for International Peace, 2010). http://carnegieendowment.org/files/regional_trade_blocs.pdf (diakses 19 November 2012). Ghemawat, Pankaj. Regional Strategies for Global Leadership (Harvard: Harvard Business Review, 2005): 98-108. http://www.csn.ul.ie/~sergio/regional%20strategies%20for%20global%20lead ership.pdf (diakses 18 November 2012). -----. Managing Differences: The Central Challenge of Global Strategy (Harvard: Harvard Business Review, 2007): 1-14. http://www.gwu.edu/~clai/training_programs/UChile_MBA_Programs/uchile mba2010/Robles_Readings/Managing_Differences.pdf (diakses 12 Agustus 2012).
Hattari, Rabin dan Ramkishen Rajan. Intra-Asian FDI Flows: Trends, Patterns and Determinants (2006). http://www.icrier.org/pdf/2526April07/Session1/Rajan-Rabin.pdf (diakses 9 Juni 2013). Held, David. “Globalization, Corporate Practice, and Cosmopolitan Social Standard,” Contemporary Political Theory, Vol. 01 (Palgrave Macmillan, 2002): 59-78. http://www.palgrave-journals.com/cpt/journal/v1/n1/pdf/9300001a.pdf (diakses 12 April 2012). Hofstede, Geert. The Organization In Its Environment. http://openlearn.open.ac.uk/file.php/3749/!via/oucontent/course/116/b201_1 _hofstede.pdf (diakses 4 Desember 2012). Lee, Hyun-Hoon, Peter J. Lloyd dan Chung-Mo Koo. “New Regionalism in East Asia and its Relationship with the WTO and APEC,” International Area Review, Vol. 5, No. 2 (Sage Publication, 2002). http://ias.sagepub.com/content/5/2/87.full.pdf (diakses15 Oktober 2012). Ravenhill, John. “US and EU Regionalism: The Case of the Western Pacific Rim,” The International Trade Journal, Vol. XX, No. 2 (2006). http://www.sandiego.edu/business/documents/Ravenhill.pdf (diakses 11 Agustus 2012). -------. “The ‘New East Asian Regionalism’: A Political Domino Effect,” Review of International Political Economy, XX:X (Routledge, 2010). http://pcweb01.squiz.net/__data/assets/pdf_file/0008/95966/sub036-attachment.pdf (diakses 11 Agustus 2012). Robbins, Stephanie S. dan Antoins C. Stylianou. “A Longitudinal Study of Cultural Differences in Global Corporate Web Sites,” Journal of International Business and Cultural Studies (Florida: Academic and Business Research Institute, 2008): 1-17. http://www.aabri.com/manuscripts/09352.pdf (diakses 5 April 2012). Rugman, Alan M. dan Alain Verbeke. “A Perspective on Regional And Global Strategies of Multinational Enterprises,” Journal of International Business Studies, Vol. 35 (Palgrave Macmillan, 2004): 3-18. http://kelley.iu.edu/rugman/Papersbooks/Web%20Papers/APerspectiveonRegionalandGlobalStrategiesofMNEs.pd f (diakses 17 Desember 2011). Schmidt, Gustav. “Asia, Europe, North America, and the “Asian Capitalist Miracle”: Changing “Power Cycles” and Evolving Roles in Regional and International Structures,” International Political Science Review, Vol. 24, No. 1 (Sage Publication, 2003). http://ips.sagepub.com/content/24/1/67.full.pdf (diakses 15 Oktober 2012). Want, Jerome. “When Worlds Collide: Cultural Clash – Illuminating The Black Hole” Journal of Business Strategy, Vol. 24, No. 4 (2003):14-21. Artikel Online CNNMoney. Fortune 500 2011 (2011). http://money.cnn.com/magazines/fortune/fortune500/2011/full_list/ (diakses 25 April 2012). Japanesse Ministry of Foreign Affairs. Asia-Pacific Growth. http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/growth.pdf (diakses 9 Juni 2013). Nations Online. Map of Asia (2013a). http://www.nationsonline.org/oneworld/asia_map.htm (diakses 9 Juni 2013).
--------. Official and Spoken Languages of Countries in Asia and the Middle East (2013b). http://www.nationsonline.org/oneworld/asian_languages.htm (diakses 9 Juni 2013). Toshiba Corporation. Annual Report 1997 (Tokyo: Toshiba Corporation, 1997). http://www.toshiba.co.jp/about/ir/en/finance/ar/ar1997/6502e.pdf (diakses 9 Juni 2013) -------. Annual Report 2000 (Tokyo: Toshiba Corporation, 2000). http://www.toshiba.co.jp/about/ir/en/finance/ar/ar2000/ar00e.pdf (diakses 9 Juni 2013). -------. Annual Report 2003 (Tokyo: Toshiba Corporation, 2003). http://www.toshiba.co.jp/about/ir/en/finance/ar/ar2003/ar2003e.pdf (diakses 9 Juni 2013). -------. Corporate Profile: Toshiba Today 2012-2013 (Tokyo: Toshiba Corporation, 2012). http://www.toshiba.co.jp/worldwide/about/corporateprofile.pdf (diakses 14 Desember 2012). -------. Toshiba Corporation Financial Review 2011 (Tokyo: Toshiba Corporation, 2011). http://www.toshiba.co.jp/about/ir/en/finance/ar/ar2011/tar2011e_fr.pdf (diakses 4 September 2012). Website Toshiba Corporation (Tokyo: Toshiba Corporation, 2012-3). http://www.toshiba.co.jp (diakses September 2012). Website Samsung. http://www.samsung.com/id (diaskes September 2012) Website Panasonic. http://www.panasonic.net (diakses September 2012) Website LG. http://www.lg.com/id (diakses September 2012) Website Lenovo. http://www.lenovo.com (diakses September 2012) Website Panasonic. http://www.panasonic.net (diakses September 2012)