ANALISIS ALOKASI PENGELUARAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN INDRAMAYU
Oleh: YULIANA SHINTA A54104084
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRACT YULIANA SHINTA. A 54104084. Analysis of Family Expenditure and Prosperity Level of Coastal Society in Kabupaten Indramayu. According to Walhi (2002) 20 percent of indonesian citizens that live in coastal area are marginal people. Suhartono (2007) state that the factor of poverty are cultural problems, the way of thinking, and disability of financial management. Simply, poverty is the condition of inadequate fund to have a deserved life.
The poverty is ilustrated with the rate of family expenditure.
According to BPS (1997) it is difficult to count family income based on survey activity, so that family income is represent by the rate of expenditure. The purpose of this research is to know the relation between expenditure allocation with the prosperity level of coastal society in kabupaten Indramayu. The research design is a cross sectional study. Samples are taken in the area that most of the citizens are working in fisheries sector, those are Kandanghaur, Pasekan and Sindang area. The prosperity level is measured by poverty line in food and non food, which have value Rp 166.938.00 and 106.679.00 respectively. The average of perkapita income is 347.378,69
with the average of
family size is 4.6 average age for husband is 43.9 years and for wife is 38.0 years, and average of educational level is elementary school. Percentage of food expenditure is 57.5 % and 42,5% for nonfood expenditure. There is no significant difference between food and nonfood expenditure with family size, parents age, wife educational level, and percapita income, but have significat difference with husband educational level and prosperity level. Family size, wife educational level, parent age, perkapita income does not influence the prosperity level (p>0.05), but husband educational level have significant influence on prosperity level (p<0.05). There is no significant relationship between expenditure allocation on main food (r=-0.499**), nuts (r=-0.278**), vegetables (r=-0.188), others (r=0.239**), snack (r=-0.252**) and fuel (r=-0.419**) with prosperity level, but there is significant relationship between transportation expenditure(r=0.224**), and total expenditure (r=-0.557**) with prosperity level.
ANALISIS ALOKASI PENGELUARAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN INDRAMAYU
Skripsi
Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: YULIANA SHINTA A54104084
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
: Analisis Alokasi Pengeluaran dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Kabupaten Indramayu
Nama Mahasiswa
: YULIANA SHINTA
Nomor Pokok
: A54104084
Disetujui,
Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Hartoyo, MSc. NIP. 131 669 952
Diketahui,
Dekan Fakultas Pertanian,
Prof. Dr Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RINGKASAN YULIANA SHINTA. Analisis Alokasi Pengeluaran dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Kabupaten Indramayu (Di bawah bimbingan Hartoyo) Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan alokasi pengeluaran dengan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir Kabupaten Indramayu. Tujuan khususnya adalah 1) mempelajari karakteristik sosial demografi ekonomi contoh (besar keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan orangtua dan pendapatan perkapita), 2) menganalisis alokasi pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan pada contoh, 3) menganalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi demografi contoh dengan alokasi pengeluaran, 4) menganalisis hubungan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh dengan tingkat kesejahteraan dan 5) menganalisis hubungan alokasi pengeluaran contoh dengan tingkat kesejahteraan. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, yaitu berdasarkan daerah yang penduduknya bekerja pada sektor perikanan. Contoh yang terpilih dalam penelitian ini sebanyak 118 contoh dari 140 keluarga hasil kegiatan survei Kontribusi Subsektor Perikanan Dalam Akselerasi Pencapaian Nilai IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2008 di Kabupaten Indramayu. Kegiatan survei ini dilakukan atas kerjasama antara Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB dengan Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Tingkat kesejahteraan contoh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan Garis Kemiskinan untuk Kabupaten Indramayu tahun 2008 dengan Garis Kemiskinan sebesar Rp 273.617,00 perkapita/bulan. Rata-rata jumlah contoh wilayah Kandanghaur adalah 4.5 orang sedangkan wilayah Pasekan-Sindang adalah 4.6 orang. Rata-rata jumlah anggota contoh secara keseluruhan adalah 4.6 orang. Terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata jumlah anggota contoh wilayah Kandanghaur dengan wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Proporsi terbesar dari seluruh contoh memiliki ukuran kecil. Rata-rata usia suami wilayah Kandanghaur adalah 44.3 tahun sedangkan contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah 43.4 tahun. Rata-rata usia suami dari contoh secara keseluruhan adalah 43.9 tahun. Rata-rata usia istri wilayah Kandanghaur adalah 38.3 tahun sedangkan contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah 37.8 tahun. Rata-rata usia istri dari contoh secara keseluruhan adalah 38.0 tahun. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata usia orangtua contoh wilayah Kandanghaur dengan wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Proporsi terbesar dari usia orangtua berada pada kategori dewasa madya. Proporsi terbesar tingkat pendidikan orangtua contoh baik wilayah Kandanghaur maupun contoh wilayah Pasekan-Sindang memiliki tingkat pendidikan dasar. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata tingkat pendidikan orangtua contoh wilayah Kandanghaur dengan wilayah PasekanSindang (p>0.025). Rata-rata total pendapatan perkapita contoh wilayah Kandanghaur adalah Rp 429.201,63 sedangkan contoh wilayah PasekanSindang adalah Rp 250.423,02. Terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata total pendapatan perkapita contoh wilayah Kandanghaur dengan wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Rata-rata total pendapatan perkapita contoh secara keseluruhan adalah Rp 347.387,69.
Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pada contoh wilayah Kandanghaur sebesar 53.1 persen sedangkan wilayah Pasekan-Sindang sebesar 63.8 persen. Terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata total pengeluaran pangan contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Rata-rata total pengeluaran pangan contoh tidak berbeda nyata berdasarkan ukuran keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan istri dan pendapatan perkapita. Rata-rata total pengeluaran pangan contoh berbeda nyata berdasarkan tingkat pendidikan suami dan tingkat kesejahteraan. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan contoh secara keseluruhan adalah 57.5 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada contoh wilayah Kandanghaur sebesar 46.9 persen sedangkan wilayah Pasekan-Sindang sebesar 36.2 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran non pangan antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Rata-rata total pengeluaran non pangan contoh tidak berbeda nyata berdasarkan ukuran keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan istri dan pendapatan perkapita. Rata-rata total pengeluaran non pangan contoh berbeda nyata berdasarkan tingkat pendidikan suami dan tingkat kesejahteraan. Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan contoh secara keseluruhan adalah 42.5 persen. Proporsi terbesar dari contoh wilayah Kandanghaur dan wilayah Pasekan-Sindang pada kategori miskin. Terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata tingkat kesejahteraan contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang. Besar keluarga berhubungan positif dan signifikan dengan alokasi pengeluaran pendidikan (r=0.213*) dan pajak (r=0.207*). Usia suami (r=0.308**) dan istri (r=0.240**) berhubungan positif dan signifikan dengan alokasi pengeluaran pangan pokok. Tingkat pendidikan suami dan istri berhubungan berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.439**; r=-0.374**) dengan alokasi pengeluaran pangan pokok dan pangan lain-lain (r=-0.182*; r=-0.204*). Tingkat pendidikan suami berhubungan positif dan signifikan (r=0.277**) dengan total pengeluaran. Tingkat pendidikan istri berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.211*) dengan alokasi pengeluaran kesehatan. Tingkat pendidikan istri (r=0.241*) berhubungan positif dan signifikan dengan alokasi pengeluaran kerukunan. Tingkat pendidikan suami contoh berhubungan dengan tingkat kesejahteraan (p<0.05). Besar keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan istri dan pendapatan perkapita tidak berhubungan dengan kesejahteraan (p>0.05). Alokasi pengeluaran contoh untuk pangan pokok (r=-0.499**), kacang-kacangan (r=-0.278**), sayuran (r=-0.188*), pangan lain-lain (r=-0.239**), jajanan (r=0.252**) dan bahan bakar (r=-0.419**) berhubungan negatif dan signifikan dengan tingkat kesejahteraan. Alokasi pengeluaran transportasi (r=0.224*) dan total pengeluaran (r=0.577**) berhubungan positif dan signifikan dengan tingkat kesejahteraan.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 8 September 1985. Penulis merupakan anak terakhir dari enam bersaudara pasangan Bapak Paulus Supono dan Ibu Bernadeth Wagiyah. Penulis menyelesaikan pendidikan SMU tahun 2004 di SMUN 1 Pringsewu. Kemudian penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru pada tahun 2004 dan diterima pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), Fakultas Pertanian, IPB. Selama menjadi mahasiswa pada Program Studi GMSK, penulis aktif sebagai panitia Nuansa Pangan Gizi dan Keluarga X, panitia Natal Civa IPB tahun 2006, pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian periode 2006/2007, asisten mata kuliah Sosiologi Umum (tahun 2007 dan tahun 2008) dan asisten mata kuliah Metode Penelitian Gizi tahun 2008.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan limpahan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada ayah, ibu dan kakak atas doa, kasih sayang, semangat dan dorongannya kepada penulis selama ini. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah sangat membantu dalam segala hal sehingga akhirnya skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya : 1. Dr. Ir. Hartoyo, MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penulisan skripsi ini. 2. Dr.
Rimbawan selaku dosen pembimbing akademik
yang
telah
memberikan arahan kepada penulis selama masa perkuliahan. 3. Dr. Ir. Diah Pranadji K, MS selaku dosen pemandu seminar hasil penelitian yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Ir. Istiqlaliyah N, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 5. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MSi, atas perhatian, nasehat dan dorongan yang diberikan sehingga penulis termotivasi untuk terus mengejar cita-cita dan menyelesaikan skripsi ini. 6. Seluruh staf pengajar GMSK yang telah memberikan ilmu serta wawasan yang baru kepada penulis. 7. Kakak-kakakku : Mbak Kristin dan Bang Brisman, Mbak There, Mbak Retti dan Mas Sunu, Mas Sugeng, Mas Iwan dan keponakankeponakanku tersayang Raymond dan Hosana, terima kasih atas kasih sayang, doa dan dukungannya selama ini. 8. Teman-teman satu kos : mbak Nani, mbak Ika, Mirza, Sondang, mbak Nidya, mbak Tias, Lilis, Rini, Melinca, mbak Reni, mbak Wulan dan mbak Dina, terima kasih atas perhatian dan dukungannya selama ini. Semoga persaudaraan yang kita bina akan terjalin untuk selama-lamanya. 9. Sahabat-sahabatku di GMSK : Fera, Pitri, Ima, Kak Anita, Mbak Eka, Prita, Devi, Ari, Norma, Devi S dan Angel terima kasih atas persahabatan, perhatian dan dukungan kalian semua selama ini.
10. Sahabat-sahabatku di Lampung : Theresi, Eka, Farida, Eko dan Rozi, terima kasih atas doa, perhatian dan dukungan kalian selama ini. 11. Mbak Juli yang telah membantu penulis untuk mengambil dan mempelajari data penelitian ini. 12. Teman-teman KKP di Indramayu : Arun, Irvan, Aulia, Rio, Billy, Rika, Cian, Pendi, Cita, Sony, Septi, Irwan, Dado, Ica, Aji, Rima dan Imeh, terima kasih atas tujuh minggu kebersamaan yang indah dan takkan terlupakan. 13. Seluruh staf Komisi Pendidikan dan staf Tata Usaha Departemen Gizi Masyarakat serta semua pihak yang belum disebutkan namanya namun telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan kalian.
Bogor, September 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang.....................................................................................
1
Perumusan Masalah ............................................................................
2
Tujuan Penelitian.................................................................................. Kegunaan Penelitian............................................................................
3 4
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Sosial Demografi Ekonomi Masyarakat Pesisir................
5
Alokasi Pengeluaran Keluarga.............................................................
6
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Pengeluaran Keluarga dan Tingkat Kesejahteraan ..................................................................
10
Masalah Kemiskinan Di Indonesia .......................................................
13
KERANGKA PEMIKIRAN ..........................................................................
18
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian .................................................
20
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh................................................
20
Jenis dan Cara Pengumpulan Data .....................................................
20
Pengolahan dan Analisis Data .............................................................
21
Definisi Operasional...................................................................................
22
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteistik Sosial dan Demografi Ekonomi Contoh ............................
25
Alokasi Pengeluaran Contoh................................................................
30
Tingkat Kesejahteraan Contoh Berdasarkan Garis Kemiskinan ...........
36
Hubungan Karakteristik Sosial Demografi dan Ekonomi Contoh dengan Alokasi Pengeluaran ...............................................................
37
Hubungan Karakteristik Sosial Demografi dan Ekonomi Contoh dengan Tingkat Kesejahteraan ............................................................
69
Hubungan Alokasi Pengeluaran Contoh dengan Tingkat Kesejahteraan ............................................................
76
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan..........................................................................................
84
Saran...................................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
86
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Klasifikasi dan rincian variabel penelitian ..........................................
22
2
Sebaran contoh berdasarkan ukuran keluarga..................................
25
3
Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua......................................
26
4
Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua................
27
5
Sebaran pendapatan contoh berdasarkan sumber............................
28
6
Sebaran alokasi pengeluaran contoh ................................................
33
7
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan .........................
36
8
Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan ukuran keluarga............................................................
37
Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan usia suami ....................................................................
44
Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan usia istri........................................................................
48
Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami ..............................................
53
Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri ..................................................
59
Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan pendapatan perkapita...................................................
64
Sebaran tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan ukuran keluarga............................................................
69
Sebaran tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan usia suami ....................................................................
70
Sebaran tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan usia istri........................................................................
71
Sebaran tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami ..............................................
73
Sebaran tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri ..................................................
74
Sebaran tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan pendapatan perkapita...................................................
75
Sebaran tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan alokasi pengeluaran .....................................................
77
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1
2
3
Halaman
Hasil Uji Korelasi Pearson Hubungan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh dengan alokasi pengeluaran pangan dan total pengeluaran ..........
91
Hubungan alokasi pengeluaran pangan dan total pengeluaran contoh dengan tingkat kesejahteraan ................
91
Hubungan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh dengan alokasi pengeluaran non pangan ...................................................
92
Hubungan alokasi pengeluaran non pangan contoh dengan tingkat kesejahteraan .....................................................................
92
Hasil Uji Beda Z Perbedaan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh berdasarkan wilayah .........................................................................
93
Perbedaan rata-rata pengeluaran dan tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan wilayah .........................................................................
94
Perbedaan rata-rata total pengeluaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan ...................................................
96
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan ...................................................
97
Hasil Uji Asosiasi Chi-square Hubungan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh dengan tingkat kesejahteraan........................................................................
4
99
Hasil Uji Beda ANOVA Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan ukuran keluarga............................................................
100
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan usia suami ....................................................................
103
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan usia istri........................................................................
106
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami ..............................................
109
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri ..................................................
112
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan pendapatan perkapita...................................................
115
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia. Jumlah pulau
Indonesia mencapai 17.508 buah dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Secara geografis Kepulauan Nusantara terletak di sekitar khatulistiwa antara 94°45' BT-141°01' BT dan dari 0 6° 08' LU-11°05' LS. Secara spasial, wilayah teritorial Indonesia membentang dari barat ke timur sepanjang 5.110 km dan dari utara ke selatan 1.888 km. Luas total perairan laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2, terdiri dari 0.3 juta km2 perairan teritorial dan 2.8 juta km2 perairan nusantara ditambah dengan luas ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) sebesar 2.7 juta km2. Sumberdaya wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki arti strategis yang besar karena : 1.
Peningkatan kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk serta semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuan bagi kesinambungan pembangunan ekonomi nasional di yang masa yang akan datang.
2.
Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa Atlantik menjadi poros Asia Pasifik yang diikuti dengan perdagangan bebas dunia tahun 2020 menjadikan kekayaan sumberdaya kelautan Indonesia sebagai aset nasional dengan keunggulan komparatif yang harus dimanfaatkan secara optimal.
3. Wilayah pesisir dan lautan menjadi prioritas utama dalam era industrialisasi sebagai pusat pengembangan kegiatan industri, pariwisata, agrobisnis, agroindustri, pemukiman, transportasi dan pelabuhan. Namun, pada kenyataannya 20 persen penduduk Indonesia yang bermukim di wilayah pesisir merupakan kelompok masyarakat miskin (Walhi 2002). Menurut Suhartono (2007) penyebab kemiskinan pada masyarakat pesisir di Indonesia adalah masalah kultural yang dicirikan dengan pola pikir, adat istiadat dan lainlain. Sikap dan kebiasaan hidup yang tidak produktif merupakan pola pikir yang menyebabkan masalah kemiskinan pada masyarakat pesisir. Sementara itu, kemiskinan masyarakat pesisir sebagai akibat faktor budaya berkaitan dengan sikap dan kebiasaan yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar yang berupaya membantu. Faktor lain
yang
juga
menyebabkan
kemiskinan
masyarakat
pesisir
adalah
keterisolasian, rendahnya taraf pendidikan dan derajat kesehatan, terbatasnya lapangan pekerjaan dan ketidakberdayaan dalam mengikuti ekonomi pasar (Suhartono 2007). Pemahaman holistik tentang dimensi kemiskinan sangat diperlukan dalam melihat kondisi kemiskinan saat ini. Kemiskinan terjadi tidak semata-mata karena faktor ekonomi meskipun semuanya akan bermuara pada kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar. Garis Kemiskinan digunakan untuk mengkategorikan siapa yang layak disebut miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan kalori sebagai tolok ukur kemiskinan sebesar 2.100/kapita/hari. Sementara tolok ukur kemiskinan Bank Dunia berdasarkan kalori sebesar 2.200/orang/hari. Kelemahan kalori sebagai tolok ukur kemiskinan adalah jumlah kalori yang sama dapat dihasilkan dari pangan yang berharga mahal dan dapat pula dihasilkan dari pangan yang sangat murah. Namun, kebutuhan hidup bukan hanya kebutuhan kalori, tetapi juga termasuk perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi dan lain-lain.Model BPS (2008) menggunakan pendekatan besaran pengeluaran dengan Garis Kemiskinan Makanan (75%) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (25%). Garis Kemiskinan untuk Kabupaten Indramayu adalah Rp 273.617,00 perkapita/bulan. Teori Engel menyatakan semakin tinggi tingkat pendapatan maka persentase pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi pangan akan mengalami penurunan. Berdasarkan teori klasik ini maka keluarga dapat dikatakan sejahtera apabila persentase pengeluaran untuk konsumsi pangan jauh lebih rendah daripada pengeluaran non pangan. Artinya, setiap tambahan pendapatan yang diperoleh akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non pangan. Perumusan Masalah Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya dialami oleh negara negara yang sedang berkembang tetapi juga terjadi di negara yang sudah mempunyai kemapanan di bidang ekonomi. Fenomena ini pada dasarnya telah menjadi perhatian, isu dan gerakan global yang bersifat kemanusiaan (humanity). Hal ini tercermin dari konferensi tingkat tinggi dunia yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (World Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995. Salah satu fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda
Tingkat Tinggi Dunia tersebut adalah kemiskinan, pengangguran dan pengucilan sosial yang ada di setiap negara (Sumodiningrat 1997) Kemiskinan merupakan masalah yang sudah ada sejak keberadaan manusia dan ada di masyarakat manapun saat ini. Kemiskinan secara sederhana dapat dilihat sebagai sebagai keadaan kekurangan harta benda materi yang menyebabkan adanya tingkat kesejahteraan hidup rendah pada sejumlah golongan dalam masyarakat. Tingkat kemiskinan masyarakat dapat digambarkan dengan pendapatan atau penghasilannya. Perhitungan pendapatan melaui hasil survei sering kali sulit dilakukan sehingga penghasilan rumah tangga diwakili oleh tingkat pengeluarannya (BPS1997). Alokasi pengeluaran atau tingkat konsumsi keluarga sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh karakteristik social ekonominya. Berdasarkan studi tentang pola pengeluaran rumah tangga maka factor-faktor yang berhubungan dengan alokasi pengeluaran antara lain ukuran keluarga, nisbah jenis kelamin dan golongan usia, tingkat pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga. Alokasi pengeluaran keluarga secara umum dibedakan atas pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Proporsi pengeluaran keluarga untuk kebutuhan pangan dan non pangan dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan keluarga tersebut. Semakin sejahtera keluarga maka beragam kebutuhan anggota keluarga dapat terpenuhi baik secara kuantitas maupun kualitas. Kesejahteraan dapat diwujudkan dengan tercapainya kepuasan individu-individu secara agregat dalam memenuhi kebutuhannya. Kondisi sosial ekonomi masyarakat wilayah pesisir umumnya sangat memprihatinkan
yang
ditandai
dengan
rendahnya
tingkat
pendidikan,
produktivitas dan tingkat pendapatan. Realitas ekonomi, yang tampak dalam kehidupan masyarakat pesisir adalah kerentanan dalam hal ekonomi. Rentannya kehidupan ekonomi masyarakat pesisir ini tidak hanya ditandai oleh materi yang mereka miliki, tetapi juga menyangkut masalah ketidakmampuan mereka mengelola masalah keuangan keluarga. (Suhartono 2007).
Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan alokasi pengeluaran keluarga dengan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di Kabupaten Indramayu. Tujuan Khusus Tujuan khusus pada penelitian ini adalah 1. mempelajari karakteristik sosial demografi ekonomi contoh (besar keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan pendapatan keluarga). 2. menganalisis alokasi pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan pada contoh. 3. menganalisis hubungan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh dengan alokasi pengeluaran contoh. 4. menganalisis hubungan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh dengan tingkat kesejahteraan contoh. 5. menganalisis hubungan alokasi pengeluaran contoh dengan tingkat kesejahteraan contoh. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang alokasi pengeluaran dan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di Kabupaten Indramayu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para pembuat
kebijakan
dan
program
upaya
peningkatan
pembangunan
perekonomian bagi kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya di Kabupaten Indramayu.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Sosial Demografi Ekonomi Masyarakat Pesisir Masyarakat
pesisir
secara
sosio-kultural
merupakan
suatu
kelompok masyarakat yang memilki akar budaya perpaduan antara budaya maritim laut, pantai dan berorientasi pasar. Tradisi ini berkembang menjadi budaya dan sikap hidup yang kosmopolitan, inklusivistik, egaliter, outward looking, dinamis, enterpreneurship dan pluralistik. Menurut Satria (2002) potensi konflik dalam masyarakat pesisir terkait dengan pola kepemilikan dan penguasaan terhadap sumberdaya alam. Sifat dari pola kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam wilayah pesisir itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: (1) tanpa pemilik (open access property); (2) milik masyarakat atau komunal (common property); (3) milik pemerintah (public state property); (4) milik pribadi (quasi private property). Ciri umum kondisi sosial ekonomi rumah tangga pesisir adalah: (1) rumah tangga sebagai unit produksi, konsumsi, unit reproduksi dan unit interaksi sosial ekonomi politik; (2) rumah tangga pesisir bertujuan untuk mencukupi
kebutuhan
anggota
keluarganya
sehingga
tujuan
ini
merupakan syarat mutlak untuk menentukan keputusan-keputusan ekonomi terutama dalam usaha produksi; (3) dalam keadaan kurang sarana produksi maka semua anggota keluarga yang sehat harus ikut dalam usaha ekonomi rumah tangga; (4) karena berada dalam garis kemisikinan, maka rumah tangga pesisir bersifat safety first. Mereka umumnya akan bersifat menunggu dan melihat introduksi teknologi baru dan pengaruhnya terhadap ekonomi keluarga. Dengan demikian dapat meminimalkan kemungkinan kegagalan usaha daripada mencari peluang untuk mendapatkan hasil maksimal. Kegagalan usaha berarti mengancam eksistensi keluarga. Sifat dan karakteristik masyarakat pesisir juga sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan usaha yang umumnya adalah perikanan. Karena usaha perikanan sangat bergantung kepada musim, harga dan pasar, sebagian besar karakteristik masyarakat pesisir tergantung kepada faktor-
faktor tersebut. Lembaga sosial yang terbentuk merupakan perwujudan dari prinsip safety first, seperti saling tolong-menolong, redistribusi hasil,dan sistem patron-klien (PKSPLIPB 2008). Realitas sosial masyarakat pesisir menunjukkan masyarakat yang relatif terbuka, mudah menerima serta merespons perubahan yang terjadi. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kawasan pesisir merupakan kawasan yang terbuka sehingga memungkinkan berlangsungnya proses interaksi sosial antara masyarakat pesisir dengan kaum pendatang. Salah satu rmasalah sosial yang ada pada masyarakat pesisir adalah potensi modal sosial. Namun, potensi ini belum dikelola dengan baik padahal hal tersebut merupakan salah satu titik tumpu bagi penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat pesisir. Fakta sosial menunjukkan telah terjadi kerenggangan solidaritas dan jalinan ikatan sosial yang ada pada masyarakat pesisir. Sebaliknya, yang tampak adalah menguatnya gaya hidup hedonis dan individualistis, khususnya di kalangan generasi muda. Lemahnya ikatan sosial ini dapat dilihat dari solidaritas sosial yang dibangun hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat fungsi dan peran. Solidaritas yang muncul bukan berasal dari kesadaran akan arti pentingnya solidaritas tetapi lebih disebabkan fungsi dan peran dalam sistem yang ada. Fakta sosial lain yang juga mewarnai kehidupan masyarakat pesisir adalah adanya struktur hubungan yang bersifat mutualistis (saling membutuhkan). Namun, secara de facto hubungan ini sebenarnya tidak equal (sejajar) sehingga semakin menguatkan ketergantungan masyarakat pesisir pada para pemilik modal. Berbagai bentuk bantuan dalam rangka peningkatan ekonomi baik yang diberikan oleh pemerintah maupun LSM ternyata belum mampu menjawab persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir. Banyak bantuan yang akhirnya hanya memapankan segelintir orang, yang pada akhirnya melahirkan juragan baru. Bantuan yang diberikan cenderung tanpa diiringi oleh upaya membangun kesadaran pada masyarakat itu sendiri. Hubungan patron klien yang idealnya adalah hubungan dimana
patron dapat menjadi pelindung bagi kliennya menjadi hubungan diadik karena terjadi pertukaran jasa dan uang (Suhartono 2007). Alokasi Pengeluaran Keluarga Strategi pengembangan kependudukan terus mengalami perluasan karena masalah kependudukan juga telah bertambah luas dengan berbagai tantangan yang semakin beragam. Penekanan terhadap laju pertumbuhan penduduk menyebabkan ukuran, struktur dan komposisi penduduk yang tercermin dalam unit-unit keluarga akan mengalami perubahan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Undang-undang No. 10 tahun 1992 menyatakan keluarga sebagai satuan sosial terkecil dalam masyarakat, sekaligus sebagai suatu lembaga yang amat penting dalam kehidupan manusia. Lembaga keluarga dalam budaya masyarakat kita dianggap sebagai suatu jalinan jasmani, rohani dan sosial yang mendasar dan mengakar dalam kehidupan, lembaga keluarga ini sarat dengan fungsi (Guhardja et. al 1992). Keluarga merupakan institusi perantara (mediator) antara individu dengan masyarakat. Sehubungan dengan itu, keluarga memiliki beberapa fungsi antara lain reproduksi, ekonomi, afeksi, proteksi, sosialisasi dan keagamaan. Peranan keluarga dalam mencapai kesejahteraan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan, kesehatan dan mentalitas. Pendidikan menjadi kunci penting guna mengatasi kemiskinan dan ketidaksejahteraan. Masyarakat yang terdidik berpeluang meraih pekerjaan lebih baik sehingga mereka terhindar dari kemiskinan dan ketidaksejahteraan (Khomsan 2007). Sementara itu, Bryant dalam Hartoyo (1998) menyatakan bahwa salah satu tujuan investasi terhadap anggota keluarga adalah peningkatan human capital melalui pencapaian derajat kesehatan yang baik sehingga produktivitas kerja dan harapan hidup menjadi lebih baik. Hal tersebut selanjutnya
akan
meningkatkan
kontribusi
individu
terhadap
perekonomian keluarganya. Mentalitas anggota keluarga yang baik merupakan salah satu landasan bagi ketahanan keluarga. Oleh sebab itu,
keluarga berfungsi sebagai sarana sosialisasi nilai dan norma guna menyelaraskan kehidupan individu dengan Tuhan dan sesama manusia. Kebutuhan dasar manusia atau yang biasa disebut sebagai kebutuhan primer terdiri dari gizi, sandang, perumahan, pendidikan dan pelayanan
kesehatan.
Kebutuhan-kebutuhan
tersebut
merupakan
perangkat dasar yang sangat diperlukan seseorang agar dapat hidup secara
layak.
Pemenuhan
kebutuhan
tersebut
dilakukan
dengan
menggunakan sumberdaya keluarga yang ada (Guhardja et al 1992). Teori ekonomi mengasumsikan bahwa seseorang bertindak secara rasional dalam mencapai tujuannya dan mengambil keputusan yang konsisten demi tujuan tersebut. Soembodo (2004) mengemukakan beberapa macam kebutuhan pokok manusia untuk dapat hidup secara wajar, yaitu : 1. Kebutuhan pangan atau kebutuhan akan makanan. 2. Kebutuhan sandang atau pakaian. 3. Kebutuhan papan atau tempat berteduh. 4.
Kebutuhan
pendidikan
untuk
menjadi
manusia
bermoral
dan
berbudaya. Ernest Engel merupakan orang yang pertama kali melakukan studi empiris terhadap pengeluaran rumah tangga mengemukakan teori berikut : 1. kategori maupun proporsi terbesar dari anggaran rumah tangga adalah untuk pangan. 2. proporsi pengeluaran untuk pangan menurun dengan meningkatnya pendapatan. 3. Proporsi pengeluaran untuk sandang dan perumahan diperkirakan konstan dan proporsi pengeluaran untuk barang mewah bertambah dengan meningkatnya pendapatan. Teori kedua yang dikemukakan oleh Engel tersebut merupakan hal yang berlaku dewasa ini. Teori ini sangat penting untuk mempelajari tingkat kesejahteraan masyarakat dan menganalisis perilaku konsumsi pangan dan non pangan keluarga.
Pengeluaran keluarga menurut Biro Pusat Statistik dibedakan atas pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk kebutuhan non pangan. Pengeluaran pangan meliputi tindakan konsumsi terhadap bahan pangan kelompok padi-padian, ikan, daging, telur, sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak. Komoditi pangan yang berpengaruh sangat besar terhadap pergeseran garis kemiskinan adalah beras, gula pasir, telur, tahu, tempe, mie instan dan minyak goreng (BPS 2008). Berdasarkan laporan CIVAS (2006) dalam Daryanto (2008) konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 139 kg perkapita/tahun. Tingkat partisipasi konsumsi beras baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan sekitar 97-100 persen. Hal ini berarti hanya 3 persen rumah tangga di Indonesia yang tidak mengkonsumsi beras. Posisi beras dalam pengeluaran pangan rumah tangga memang masih menonjol. Beras menempati pangsa rata-rata sebesar 27,6% dari total pengeluaran pangan rumah tangga. Sementara itu, pengeluaran non pangan meliputi biaya untuk perumahan, bahan bakar, penerangan dan air, barang dan jasa, pakaian dan barang-barang tahan lama lainnya. Pengeluaran untuk biaya transportasi, listrik, bahan bakar dan perumahan merupakan kebutuhan yang berpengaruh terhadap pergeseran garis kemiskinan bukan makanan (BPS 2008). Mangkuprawira (1985) menyatakan secara naluriah individu atau keluarga akan mengutamakan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan makanan. Namun, perilaku tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, musim, tempat tinggal dan berbagai faktor lain (selera dan budaya). Besarnya pengeluaran suatu keluarga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga yang bersangkutan. Lebih dari 50 persen total pengeluaran akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan pada keluarga miskin di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia (BPS 1997). Proporsi pengeluaran pangan pada rumah tangga di negara-negara maju terhadap total pengeluaran tidak lebih dari 50 persen.
Menurut Soekirman (1991) keluarga berpendapatan rendah membelanjakan 6080 persen dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hasil kajian Suryana et. al (1988) menunjukkan bahwa 70.6 persen pengeluaran pada keluarga petani dialokasikan untuk pangan dan pengeluaran untuk peningkatan kualitas hidup seperti pendidikan, kesehatan dan rekreasi relatif kecil sekitar 29.4 persen. Sementara data Susenas (2007) menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran untuk pangan masyarakat Indonesia masih lebih dari 60 persen. Kondisi ini merupakan cerminan dari tingkat kesejahteraan masyarakat yang belum baik.
Seiring dengan meningkatnya pendapatan maka kebutuhan yang akan diprioritaskan keluarga setelah pangan adalah kebutuhan terhadap pendidikan dan kesehatan. Pengeluaran keluarga untuk kebutuhan pendidikan meliputi biaya sekolah, pembelian buku dan seragam sekolah. Achmad (2004) menyatakan bahwa biaya pendidikan bagi keluarga miskin sering dinilai masih sangat memberatkan dan bersaing ketat dengan pengeluaran pangan. Hasil penelitian Soembodo (2004) menunjukkan tujuan utama keluarga memberikan tingkat pendidikan formal yang tinggi kepada anak selain untuk meringankan beban perekonomian keluarga di masa yang akan datang juga bertujuan untuk mengangkat martabat keluarga. Anggaran keluarga bagi kesehatan merupakan hal yang sulit untuk ditentukan karena bersifat tidak terduga dan memerlukan biaya yang relatif tinggi. Keluarga miskin ketika berhadapan dengan masalah kesehatan, cenderung menghindari fasilitas rawat jalan, menunda pelayanan rumah sakit, memperpendek masa rawat inap dan tidak membeli semua obat yang telah diresepkan. Mereka lebih memilih untuk mencari pengobatan lokal yang relatif murah tetapi kadang-kadang justru lebih berisiko. Tidak jarang pula mereka membatalkan pengobatan medis meskipun telah menderita penyakit kronis sehingga memunculkan komplikasi penyakit (Sugianto 2007). Faktor Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Pengeluaran Keluarga dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga
Hasil Survei Biaya Hidup tahun 1989 dalam Primayuda (2002) membuktikan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga semakin besar proporsi pengeluaran keluarga untuk pangan daripada non pangan. Hal ini berarti semakin kecil jumlah anggota keluarga semakin kecil pula proporsi pendapatan untuk kebutuhan makanan. Selebihnya, keluarga akan mengalokasikan sisa pendapatannya untuk konsumsi bukan makanan. Dengan demikian, keluarga dengan jumlah anggota sedikit relatif lebih sejahtera dari keluarga dengan jumlah anggota besar. Penambahan jumlah anggota keluarga berarti meningkatkan beban perekonomian keluarga yang mengakibatkan pengaturan pengeluaran menjadi semakin sulit. Hal ini disebabkan setiap individu memiliki tingkat dan jenis kebutuhan serta preferensi yang berbeda-beda dalam mengkonsumsi alat pemuas kebutuhan. Hasil penelitian Megawangi et. al (1994) menunjukkan bahwa semakin besar ukuran keluarga cenderung tidak ada pengaturan terhadap pengeluaran keluarga. Besar keluarga merupakan tolok ukur bagi distribusi sumberdaya yang ada dalam keluarga (Guhardja et. al 1992). Bian dalam Primayuda (2002) menyatakan bahwa usia, jumlah dan nisbah jenis kelamin anggota keluarga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi pengeluaran. Semakin banyak anggota keluarga yang berusia balita maka pengeluaran keluarga untuk konsumsi susu, pakaian dan biaya kesehatan cenderung akan meningkat. Hal ini terjadi karena usia balita rentan terhadap masalah-masalah gizi dan kesehatan. Komposisi keluarga (nisbah jenis kelamin) menurut hasil penelitian Suryawati dalam Rahmawati (2006) menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin akan mempengaruhi pengeluaran non pangan. Usia mencerminkan tingkat kematangan individu baik secara fisik maupun emosional. Oleh sebab itu usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas seseorang. Seiring dengan bertambahnya usia produktivitas kerja seseorang akan mengalami penurunan, terutama ketika mendekati usia lanjut (Roswita 2005). Orangtua yang berusia lanjut menjadi kurang produktif sehingga kontribusinya terhadap perekonomian
keluarga menjadi lebih rendah bila dibandingkan orangtua yang berusia muda. Tingkat pendapatan yang diterima oleh keluarga juga akan menjadi rendah sehingga alokasi pengeluaran keluarga menjadi lebih terbatas. Tingkat pendidikan formal orangtua juga berpengaruh terhadap pola konsumsi keluarga. Pendidikan dapat merubah sikap dan perilaku seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah ia dapat menerima informasi dan inovasi baru yang dapat mengubah pola konsumsinya. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka semakin besar kemungkinan ia akan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi (Khomsan 2007). Menurut Firdausy (1999) keluarga yang dikepalai oleh seseorang dengan
tingkat
pendidikan
rendah
cenderung
lebih
miskin
bila
dibandingkan keluarga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Data BPS menunjukkan bahwa 72.01 persen dari keluarga miskin di pedesaan dipimpin oleh kepala rumah tangga yang tidak tamat SD dan 24.32 persen berpendidikan SD. Pada tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7.1 tahun dan proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SLTP ke atas masih sekitar 36.2 persen. Angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih sebesar 10.12 persen. Pada saat yang sama Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96.4 persen namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81.0 persen, dan APS penduduk usia 16-18 tahun baru mencapai 50.97 persen (BPS 2004). Sementara menurut Hidayat (1980) tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui pemilihan pangan. Hasil penelitian Jus’at (1991) menunjukkan tingkat pendidikan istri berpengaruh pada tingkat kesadaran akan kesehatan anggota keluarganya. Hal ini selanjutnya dapat mempengaruhi perilaku konsumsi keluarga. Istri dengan tingkat pendidikan yang tinggi menjadi lebih selektif dan cenderung mengutamakan kualitas komoditi yang akan dikonsumsi oleh keluarganya.
Tingkat pendidikan orangtua mempengaruhi selera dan preferensi pada jenis dan tingkat pengeluaran pilihan (Fan, Ghany & Sharpe 1997). Kebutuhan dari keluarga bersifat relatif dan tidak terbatas pada keinginan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kemiskinan atau ketidaksejahteraan keluarga terjadi akibat keterbatasan sumberdaya keluarga
dalam
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
hidup
terutama
kebutuhan dasar. Kita membutuhkan uang atau penghasilan untuk dapat memenuhi
kebutuhan
hidup.
Tanpa
bekerja
kita
tak
mungkin
mendapatkan penghasilan. Tanpa penghasilan kita tak mungkin dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan hidup secara wajar. Pendapatan merupakan sumberdaya bagi keluarga yang akan digunakan untuk mengkonsumsi barang dan jasa. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang merupakan kelompok usia produktif (20-60 tahun) dan memiliki pekerjaan maka pendapatan keluarga cenderung akan meningkat (Mukson 1993). Hal ini disebabkan pada kelompok usia tersebut tingkat produktivitas individu sebagai tenaga kerja masih tinggi. Pada kondisi pendapatan terbatas, keluarga akan mendahulukan pemenuhan berpendapatan
kebutuhan rendah
pangan akan
sehingga
terlihat
bahwa
pada
masyarakat
sebagian
besar
pendapatannya akan dialokasikan untuk kebutuhan pangan. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka terjadi pergeseran penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan dan peningkatan untuk kebutuhan non pangan (BPS 2004). Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas komoditi yang akan dikonsumsi. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain (perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain). Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Tingkat pendapatan keluarga akan menentukan jenis pangan
yang
akan
dibeli.
Keluarga
yang
miskin
cenderung
membelanjakan uangnya untuk membeli bahan pangan pokok. Semakin
sejahtera suatu keluarga maka persentase pengeluaran untuk pangan pokok akan semakin kecil. Teori Bennet menyatakan bahwa persentase bahan pangan pokok dalam konsumsi keluarga semakin menurun dengan meningkatnya pendapatan dan cenderung beralih pada pangan yang mengandung energi lebih mahal. Teori Bennet menjelaskan bahwa pola tersebut lebih tajam pada bahan pangan pokok karena kemampuan manusia secara fisiologis terbatas dalam mengkonsumsi sumber energi dan adanya keinginan yang universal pada manusia untuk memperoleh bahan pangan bervariasi dan berprotein tinggi. Suhardjo
(1989)
menyatakan
bahwa
pendapatan
sangat
berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran. Hubungan antara pendapatan dengan pengeluaran pangan keluarga tidak selalu merupakan hubungan yang linier. Namun, pada dasarnya total pengeluaran keluarga merupakan refleksi dari pendapatan dan lebih mampu menggambarkan keadaan sumberdaya keluarga (Mukson 1993). Keluarga berpenghasilan rendah menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok. Tingkat pendapatan tinggi memberikan peluang yang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan yang baik berdasarkan jumlah maupun jenisnya (Roedjito 1986). Rendahnya tingkat pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan ketidakmampuan membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Pada keluarga dengan tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi ketika kebutuhan pangan telah terpenuhi maka tiap tambahan pendapatan akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non pangan. Masalah Kemiskinan Di Indonesia Kemiskinan dapat dilihat dari berbagai perspektif, antara lain ekonomi, sosial, dan budaya. Menurut perspektif ekonomi kemiskinan adalah suatu kondisi di mana pendapatan suatu penduduk atau rumah tangga tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar. Tingkat pendapatan terlalu rendah sehingga tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Perspektif ini
sejalan dengan definisi kemiskinan absolut yang merupakan isu paling krusial di dunia. Kemiskinan dari segi budaya lebih ditentukan oleh pola perilaku masyarakat miskin, seperti pola hidup subsisten, konsumtif, dan etos kerja rendah (kultural). Sementara dari sudut pandang sosial, kemiskinan terjadi karena struktur sosial yang tidak berpihak pada orang miskin sehingga mereka tersisih akibat terisolasi dari akses ekonomi, sosial, dan politik (BPS 2008). Pemahaman
terhadap
kemiskinan
dapat
ditinjau
dari
beberapa
pendekatan. Pertama, pendekatan pendapatan (income approach) dimana seseorang disebut miskin jika pendapatan dan konsumsinya berada di bawah tingkat tertentu yaitu tingkat pendapatan dan pengeluaran minimal yang layak secara sosial. Kedua, pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dimana seseorang disebut miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, sandang, papan, pendidikan dasar dan lain-lain. Ketiga, pendekatan aksesibilitas dimana seseorang miskin karena kurangnya akses terhadap aset produktif, akses terhadap infrastruktur sosial dan fisik, akses terhadap informasi, akses terhadap pasar dan akses terhadap teknologi. Keempat, pendekatan kemampuan manusia (human capability approach) di mana seseorang disebut miskin jika tidak memiliki kemampuan yang dapat berfungsi pada tingkat minimal. Kelima, pendekatan ketimpangan (inequality approach) yang merupakan pendekatan kemiskinan (Hamudy 2008). Kemiskinan dalam arti sempit dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Sementara dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena multiface atau multidimensional. Chambers dalam Hamudy (2008) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan, (2) ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency) (4) ketergantungan (dependence) dan (5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan rendah, tingkat pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan
menghadapi
kekuasaan,
dan
ketidakberdayaan
dalam
menentukan jalan hidup. Ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin yaitu: (1) rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja dan keterampilan, (2)
memunyai tingkat pendidikan yang rendah, (3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), (4) kebanyakan berada di perdesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan (5) kurang kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi dan fasilitas kesejahteraan sosial lainnya (Hamudy 2008).
Garis kemiskinan yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004 adalah besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar maksimum makanan dan non makanan. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 Kal perkapita/hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan. Kebutuhan minimum non pangan merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah transportasi, serta kebutuhan rumah tangga dan individu yang mendasar lainnya. Dengan kata lain, seseorang dikatakan miskin apabila ia tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar minimumnya. Jumlah penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 39.05 juta (17.75 persen). Jumlah ini menunjukkan peningkatan dibandingkan pada Februari 2008 yang berjumlah 35,10 juta (15,97%) sehingga jumlahnya
meningkat
sebesar 3.95 juta. Persentase perubahan jumlah penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2008, sebagian besar (63.41%) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan pada bulan Maret 2008 terhadap Garis Kemiskinan sebesar 74,99 persen. Kriteria garis kemiskinan yang ditentukan BPS adalah sebagai berikut :
1. Miskin apabila tingkat pengeluaran perkapita per bulan kurang dari Garis Kemiskinan 2. Hampir miskin apabila tingkat pengeluaran perkapita per bulan 1.25 kali lebih besar dari Garis Kemiskinan 3. Hampir tidak miskin apabila tingkat pengeluaran perkapita perbulan antara 1.25 sampai dengan 1.5 kali lebih besar dari Garis Kemiskinan 4. Hampir tidak miskin apabila tingkat pengeluaran perkapita perbulan 1.5 kali lebih besar dari Garis Kemiskinan Pembangunan
ekomomi
di
Indonesia
masih
menghadapi
kenyataan luasnya kemiskinan terutama di pedesaan. Kemiskinan berkaitan erat dengan rendahnya pendapatan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Pada umumnya di negara berkembang
masalah
pendapatan
yang
rendah
dan
kemiskinan
merupakan masalah utama dalam pembangunan ekonomi sehingga dalam tujuan pembangunan ekonomi kedua hal tersebut selalu dinyatakan bersamaan sehingga menjadi satu kalimat yaitu peningkatan pendapatan dan pengurangan kemiskinan (Sumodingrat 1997). Persoalan pendapatan perkapita merupakan dimensi yang perlu mendapat perhatian terutama dalam melihat tingkat pendapatan dan distribusinya. Aspek ini selalu dikaitkan dengan masih besarnya rakyat miskin di Indonesia terutama di wilayah pedesaan. Masalah kemiskinan di pedesaan merupakan isu utama dalam pembangunan nasional Indonesia. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan bertambahnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pembangunan didefinisikan secara luas sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih sejahtera. Bentuk nyata atau unsur-unsur dari kehidupan serba lebih baik itu sendiri masih menjadi perdebatan. Menurut Todaro dalam Makmun (2003) komponen dasar atau nilai inti yang harus dijadikan basis
konseptual dan pedoman praktis untuk memahami kehidupan yang lebih baik atau lebih sejahtera terdiri atas tiga komponen dasar yaitu : 1. Kecukupan (sustenance) Kecukupan yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dasar. Kebutuhan tersebut bukan hanya menyangkut makanan melainkan mewakili semua hal yang merupakan kebutuhan dasar manusia secara fisik yang meliputi pangan, sandang, papan dan keamanan. 2. Jati diri (self esteem) Jati diri merupakan dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu. Penyebaran nilai-nilai modern yang bersumber dari negaranegara maju telah mengakibatkan kejutan dan kebingungan budaya
di
banyak
Negara
berkembang.
Kontak
dengan
masyarakat lain yang secara ekonomi atau teknologi lebih maju sering kali mengakibatkan definisi dan batasan mengenai baikburuk dan benar-salah menjadi kabur. Kemakmuran materil lambat laun dianggap sebagai suatu ukuran kelayakan yang universal dan dinobatkan menjadi landasan penilaian atas segala sesuatu. 3. Kebebasan (freedom) Kebebasan atau kemerdekaan di sini diartikan secara luas sebagai
kemampuan
untuk
berdiri
tegak
sehingga
tidak
diperbudak oleh pengejaran aspek materil semata-mata dalam kehidupan ini. Kebebasan disini juga harus diartikan sebagai kebebasan terhadap ajaran-ajaran yang dogmatis. Jika kita memiliki kebebasan, itu berarti untuk selamanya kita mampu berpikir jernih dan menilai segala sesuatu atas dasar keyakinan, pikiran sehat dan hati nurani kita sendiri. Kebebasan juga meliputi kemampuan individual atau masyarakat untuk memilih satu atau sebagian dari sekian banyak pilihan yang tersedia. Manfaat inti yang terkandung dalam penguasaan yang lebih
besar
itu
adalah
kebebasan
untuk
memilih
merasakan
kenikmatan yang lebih besar dan bervariasi, untuk memilih lebih banyak barang dan jasa. Undang Undang No.16 Tahun 1994 dalam Supriatna (2000) tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa kesejahteraan sosial merupakan suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual, rekreasi yang diliputi oleh rasa keselamatan, memungkinkan
kesusilaan setiap
dan
warga
ketenteraman negara
untuk
lahir
batin
mengadakan
yang usaha
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohani dan social sebaikbaiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Lukes dalam dalam Supriatna (2000) mengungkapkan konsep kesejahteraan sosial yang meliputi empat aspek, yaitu : 1. Martabat manusia yang menyangkut penerimaan serta penghargaan sebagai manusi 2. Otonomi yang menyangkut hak dan kewajiban individu untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri 3. Privasi yaitu yang menyangkut kebebasan pribadi
Hasil penelitian Soembodo (2004) menunjukkan bahwa persepsi masyarakat petani miskin mengenai pemenuhan kebutuhan dari aspek ekonomi meliputi suami dan isteri yang bekerja, anggota keluarga yang ikut membantu bekerja dan pemilikan tabungan. Sementara dari aspek sosial budaya meliputi pendidikan anak, kesehatan dan kehidupan yang rukun. Masyarakat petani miskin melihat masalah kesehatan sebagai sesuatu yang sangat penting karena dengan tubuh yang sehat dapat melakukan pekerjaan apa saja untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga. Kehidupan yang rukun dalam bertetangga sangat diutamakan oleh masyarakat petani miskin. Persepsi mereka tentang kesejahteraan keluarga adalah lebih mengutamakan sikap yang menerima apa adanya sehingga merasa tidak perlu terlalu memaksakan diri dalam bekerja.
KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan survei yang dilakukan BPS Provinsi Jawa Barat (2005) jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan dengan besaran 2.8 juta jiwa berbanding 2.65 juta jiwa. Menurut Walhi (2002) 20 persen penduduk miskin di Indonesia merupakan masyarakat yang berdiam di wilayah pesisir. Kemiskinan masyarakat pesisir tidak hanya terbatas pada tingkat pendapatan yang rendah tetapi juga disebabkan oleh ketidakmampuan mengelola pengeluaran rumah tangga (Suhartono 2007). Pengeluaran keluarga dapat dibedakan menurut pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Walaupun tingkat harga berbeda, nilai pengeluaran
keluarga
masih
dapat
menunjukkan
perbedaan
tingkat
kesejahteraan dari segi proporsi pengeluaran pangan dan non pangan. Pengeluaran untuk konsumsi pangan dan non pangan berkaitan erat dengan tingkat pendapatan masyarakat (BPS 2004). Pola konsumsi keluarga merupakan salah satu indikator kesejahteraan. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan terhadap seluruh pengeluaran keluarga dapat memberikan gambaran kesejahteraan keluarga tersebut. Keluarga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi pangan mengindikasikan keluarga tersebut berpendapatan rendah (miskin). Semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga maka semakin kecil proporsi pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran keluarga. Alokasi pengeluaran keluarga berhubungan dengan karakteristik sosial demografi ekonomi keluarga (besar keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga). Selanjutnya karakteristik sosial demografi ekonomi akan mempengaruhi proporsi pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan keluarga yang bersangkutan. Gambaran proporsi pengeluaran terhadap komoditi pangan dan non pangan akan mencerminkan tingkat kesejahteraan
dari
keluarga
yang
bersangkutan.
Tingkat
kesejahteraan
masyarakat pesisr dalam penelitian ini diukur berdasarkan Garis Kemiskinan Kabupaten Indramayu tahun 2008.
Karakteristik sosial demografi ekonomi contoh
Besar keluarga
Usia orangtua
Pendapatan keluarga
Pendidikan orangtua
Alokasi Pengeluaran
Pengeluaran pangan
Pengeluaran nonpangan
Pangan pokok
Bahan bakar
Pangan hewani
Kesehatan
Kacang
Pendidikan
Sayuran
Pakaian
Buah
Kerukunan
Lain-lain
Rumah
Rokok
Pajak
Transportasi
Jajanan
Lain-lain
Tingkat kesejahteraan
Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir Kabupaten Indramayu
METODE PENELITIAN Desain, tempat dan waktu penelitian Penelitian yang dilakukan adalah studi analitik dengan menggunakan desain cross sectional study. Metode ini merupakan suatu pendekatan yang dianggap cocok untuk menganalisis hubungan alokasi pengeluaran dengan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir Kabupaten Indramayu. Desain penelitian tersebut juga memungkinkan pengumpulan informasi pada satu titik dan tanpa pengulangan dengan tujuan menggambarkan karakteristik contoh populasi dan hubungan antarvariabel. Penelitian
dilakukan
terhadap
masyarakat
pesisir
di
Kabupaten
Indramayu yang dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2008 dengan mengolah data sekunder yang merupakan hasil survei terhadap Kontribusi Subsektor Perikanan Dalam Akselerasi Pencapaian Nilai IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2008 di Kabupaten Indramayu. Kegiatan survei tersebut merupakan hasil kerjasama antara Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB dengan Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan di tiga wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Kandanghaur, Pasekan dan Sindang. Pemilihan lokasi dan contoh penelitian dilakukan secara purposive, yaitu berdasarkan daerah yang sebagian besar masyarakatnya bekerja pada sektor perikanan. Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Contoh yang digunakan dalam penelitian ini mencakup seluruh contoh hasil survei terhadap Kontribusi Subsektor Perikanan Dalam Akselerasi Pencapaian Nilai IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2008 di Kabupaten Indramayu, yaitu sebanyak 140 keluarga. Contoh yang terpilih di Kecamatan Kandanghaur, Pasekan dan Sindang secara cross sectional study tersebar dalam empat wilayah desa, yaitu Eretan Wetan, Kertawinangun, Karanganyar Ilir dan Dermayu. Selanjutnya jumlah contoh disesuaikan kembali dengan kriteria penelitian sehingga jumlah contoh
yang digunakan menjadi 118 keluarga.
Kriteria penelitian ini adalah contoh memiliki data karakteristik sosial ekonomi lengkap. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dianalisis merupakan data sekunder hasil survei terhadap Kontribusi Subsektor Perikanan Dalam Akselerasi Pencapaian Nilai
IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2008 di Kabupaten Indramayu. Penelitian ini hanya menggunakan sebagian data yang memungkinkan dalam analisis hubungan
alokasi
pengeluaran
keluarga
dengan
tingkat
kesejahteraan.
Pengumpulan data keseluruhan dilakukan melalui wawancara dengan bantuan kuisioner. Data hasil kuisioner meliputi : karakterisitik keluarga, indikator kesejahteraan, aset keluarga, status kesehatan anggota keluarga, pendapatan keluarga, perkiraan pengeluaran keluarga dalam satu bulan terakhir, persepsi terhadap keadaan keluarga, persepsi tentang gender serta pengambilan keputusan dan keadaan usaha perikanan. Data yang akan digunakan dan dianalisis dalam penelitian ini adalah data karakteristik keluarga, pendapatan keluarga, dan perkiraan pengeluaran keluarga dalam satu bulan terakhir Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel for Windows 2007 dan dilanjutkan dengan analisis dengan menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) 16,0 for Windows. Tahap pengolahan data yang pertama adalah editing dan cleaning terhadap data yang sudah ada kemudian dipilih berdasarkan variabel yang akan diteliti. Kategori data penelitian ini terdiri dari variabel dependen (tingkat kesejahteraan dan alokasi pengeluaran) dan variabel independen berupa karakteristik sosial ekonomi keluarga (besar keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga) dan pengeluaran keluarga (pengeluaran pangan dan pengeluaran nonpangan). Data karakteristik sosial ekonomi, pendapatan dan pengeluaran keluarga ditabulasi dengan menyertakan persentase dan nilai rata-ratanya. Selanjutnya, data karakteristik sosial ekonomi dan data pengeluaran keluarga untuk kebutuhan pangan dan nonpangan akan dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Pengolahan data menggunakan pendekatan analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel baik variabel
dependen
frekuensinya
maupun
berbentuk
independen
statistik
deskriptif.
dengan
gambaran
Selanjutnya
analisis
distribusi bivariat
digunakan untuk mengetahui hubungan dua variabel, yaitu variabel dependen dengan salah satu variabel independen. Uji hubungan antara dua variabel menggunakan korelasi Pearson. Sementara uji perbedaan nilai rata-rata antarvariabel menggunakan uji z dan
ANOVA dengan tingkat kemaknaan yang dianjurkan yaitu 0.05. Untuk mempermudah analisis perbedaan nilai rata-rata contoh berdasarkan wilayah maka contoh dikelompokkan dalam dua wilayah, yaitu Kandanghaur dan Pasekan-Sindang karena secara historis Kecamatan Pasekan merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Sindang. Tabel 1 Klasifikasi dan rincian variabel penelitian No. 1.
Variabel Usia orangtua (WNPG
2.
Besar keluarga (BPS 1997)
3.
Tingkat pendidikan orangtua
4.
Pendapatan perkapita (BPS 2008)
5. 6. 7.
Pengeluaran pangan Pengeluaran nonpangan Tingkat kesejahteraan (BPS 2008)
Kategori 1 = dewasa muda (19-29 tahun) 2= dewasa madya (30–49 tahun) 3 = dewasa akhir (50–64 tahun) 4 ≥ 65 tahun 1 = kecil ( ≤ 4 orang) 2 = sedang (5 – 7 orang) 3 = besar (> 7 orang) 1 = dasar (tidak tamat SD dan SD/sederajat) 2 = menengah (SMP/sederajat dan SMA/sederajat) 3 = tinggi (Akademi/diploma dan Perguruan Tinggi) 1 ≤Rp273.617,00 2= Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 3= Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 4> Rp 410.425,00
1 = miskin (≤ Garis Kemiskinan) 2 = hampir miskin ( > Garis Kemiskinan)
Definisi Operasional 1. Alokasi
pengeluaran
adalah
proporsi
pendapatan
contoh
yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup minimum. 2. Besar keluarga adalah jumlah total dari anggota contoh yang terdiri dari suami, istri, anak, orang tua, mertua dan lainnya yang tinggal dalam satu rumah. 3. Contoh adalah keluarga hasil survei Kontribusi Subsektor Perikanan Dalam Akselerasi Pencapaian Nilai IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2008 di Kabupaten Indramayu. 4. Pendapatan perkapita adalah total uang yang diterima oleh contoh selama satu bulan terakhir dibagi jumlah seluruh anggota contoh. 5. Pengeluaran bahan bakar adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi bahan bakar minyak untuk memasak dan penerangan dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir.
6. Pengeluaran buah-buahan adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi komoditi buah-buahan dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 7. Pengeluaran kacang-kacangan adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi komoditi kacang-kacangan maupun produk turunannya dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 8. Pengeluaran kerukunan adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk kegiatan-kegiatan sosial
dalam hidup bermasyarakat dalam satuan
rupiah selama satu bulan terakhir. 9. Pengeluaran kesehatan adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk pengobatan penyakit dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 10. Pengeluaran non pangan lain-lain adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi kebutuhan non pangan lainnya dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 11. Pengeluaran pajak adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk membayar pajak dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 12. Pengeluaran pakaian adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi pakaian dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 13. Pengeluaran pangan hewani adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi ikan, daging, susu dan telur maupun produk turunannya dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 14. Pengeluaran pangan jajanan adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi pangan yang tidak diolah sendiri oleh contoh dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 15. Pengeluaran pangan lain-lain adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi bahan pangan lainnya dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 16. Pengeluaran pangan pokok adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi bahan pangan berpati dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 17. Pengeluaran pendidikan adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk biaya sekolah anak dan membeli peralatan sekolah dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir.
18. Pengeluaran perumahan adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk membangun atau memperbaiki bangunan tempat tinggal dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 19. Pengeluaran rokok adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi rokok dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 20. Pengeluaran sayuran adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi rokok dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 21. Pengeluaran transportasi adalah biaya yang dikeluarkan contoh untuk bepergian atau melaut dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 22. Tingkat kesejahteraan adalah perbandingan antara tingkat pengeluaran perkapita contoh dengan Garis Kemiskinan Kabupaten Indramayu tahun 2008. 23. Tingkat pendidikan orangtua adalah tingkatan pendidikan formal yang pernah dilalui oleh suami dan istri pada contoh. 24. Total pengeluaran adalah jumlah biaya yang dikeluarkan contoh untuk konsumsi komoditi pangan dan nonpangan dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 25. Total pengeluaran non pangan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan contoh untuk memenuhi kebutuhan akan kesehatan, bahan bakar, pendidikan, pakaian, kerukunan, perumahan, pajak, transportasi dan kebutuhan non pangan lainnya dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 26. Total pengeluaran pangan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan contoh untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, pangan hewani, kacangkacangan, sayuran, buah-buahan, kebutuhan pangan lainnya, rokok dan pangan jajanan dalam satuan rupiah selama satu bulan terakhir. 27. Usia orangtua adalah lamanya suami dan istri pada contoh hidup yang dihitung dalam satuan tahun.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Demografi dan Ekonomi Contoh Besar Keluarga Besar keluarga merupakan jumlah keseluruhan anggota keluarga yang tinggal bersama. Besar keluarga menjadi salah satu faktor penentu distribusi sumberdaya yang ada dalam keluarga tersebut (Guhardja et. al 1992). Semakin besar ukuran keluarga maka proporsi sumberdaya yang didistribusikan pada tiap-tiap anggota keluarga menjadi semakin kecil. Berdasarkan BPS (1997) ukuran keluarga dapat dikategorikan menjadi kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang) dan besar (>7 orang). Tabel 2. Sebaran contoh berdasarkan ukuran keluarga Ukuran keluarga
Kandanghaur
Pasekan-Sindang
Total
n
%
n
%
n
%
Kecil (≤ 4 orang)
35
54.7
24
44.4
59
50.0
Sedang (5-7 orang)
27
42.2
30
55.6
57
48.3
2
3.1
0
0.0
2
1.7
64
100
54
100
118
100
Besar (>7 orang) Total
Jumlah anggota keluarga wilayah Kandanghaur berkisar antara 2 sampai dengan 9 orang sedangkan jumlah anggota keluarga wilayah Pasekan-Sindang berkisar antara 2 sampai dengan 7 orang. Rata-rata jumlah anggota keluarga wilayah Kandanghaur adalah 4.5 orang sedangkan rata-rata jumlah anggota keluarga wilayah Pasekan-Sindang adalah 4.6 orang. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata jumlah anggota keluarga antara wilayah Kandanghaur dengan wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Proporsi terbesar dari ukuran keluarga wilayah Kandanghaur (54.7%) berada pada kategori kecil sedangkan proporsi terbesar (55.6%) ukuran keluarga wilayah Pasekan-Sindang berada pada kategori sedang. Rata-rata jumlah anggota contoh secara keseluruhan adalah 4.6 orang. Menurut data BPS (2004) rata-rata jumlah anggota keluarga miskin di wilayah pedesaan adalah 4.8 orang. Separuh (50.0%) dari ukuran contoh secara keseluruhan berada pada kategori kecil. Peningkatan proporsi dari penurunan ukuran keluarga yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) telah dapat diterima oleh masyarakat (Makmun 2003).
Usia Orangtua Seiring
dengan
pertambahan
usia
manusia
mengalami
proses
pertumbuhan dan perkembangan yang lebih kompleks. Pertumbuhan mengacu pada proses perubahan secara fisik sedangkan perkembangan cenderung pada perubahan kondisi psikologis (Roswita 2005). Berdasarkan WNPG (2004) usia orangtua dapat dibedakan menjadi dewasa muda (20-29 tahun), dewasa madya (30-49 tahun), dewasa akhir (50-64 tahun) dan lansia (≥ 65 tahun). Tabel 3. Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua Kategori Usia Orangtua
Suami
Pasekan-Sindang
Total
n
%
n
%
n
%
Dewasa Muda
2
3.1
5
9.3
7
5.9
Dewasa Madya
43
67.2
32
59.3
75
63.6
Dewasa Akhir
17
26.6
13
24.1
30
25.4
Lansia
2
3.1
4
7.4
6
5.1
Total
64
100
54
100
118
100
9
14.1
13
24.1
22
18.6
Dewasa Madya
44
68.8
31
57.4
75
63.6
Dewasa Akhir
10
15.6
10
18.5
20
17
Lansia
1
1.6
0
0.0
1
0.8
Total
64
100
54
100
118
100
Dewasa Muda Istri
Kandanghaur
Usia suami contoh wilayah Kandanghaur berkisar antara 25 sampai dengan 71 tahun sedangkan usia suami contoh wilayah Pasekan-Sindang berkisar antara 26 sampai dengan 70 tahun. Rata-rata usia suami wilayah Kandanghaur adalah 44.3 tahun sedangkan rata-rata usia suami contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah 43.4 tahun. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata usia suami antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Rata-rata usia suami dari contoh secara keseluruhan adalah 43.9 tahun. Proporsi terbesar dari usia suami pada contoh wilayah Kandanghaur (67.2%) dan contoh wilayah Pasekan-Sindang (59.3%) berada pada kategori dewasa madya. Proporsi terbesar (63.6%) dari usia suami contoh secara keseluruhan berada pada kategori dewasa madya Usia istri contoh wilayah Kandanghaur berkisar antara 20 sampai dengan 71 tahun sedangkan usia istri contoh wilayah Pasekan-Sindang berkisar antara 23 sampai dengan 60 tahun. Rata-rata usia istri contoh wilayah Kandanghaur adalah 38.3 tahun sedangkan rata-rata usia istri wilayah Pasekan-Sindang budidaya adalah 37.8 tahun. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam ratarata usia istri antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah
Pasekan-Sindang (p>0.025). Rata-rata usia istri dari contoh secara keseluruhan adalah 38.0 tahun. Proporsi terbesar
(63.6%) dari usia istri contoh secara
keseluruhan berada pada kategori dewasa madya. Perkembangan kondisi psikologis yang dialami oleh individu akan mempengaruhi pola pikir, sikap serta perilakunya. Menurut pakar psikologi Freud tahap usia dewasa madya merupakan fase dimana dalam kehidupan keluarga individu memikirkan bagaimana memperoleh kehidupan yang lebih mapan baik secara finasial maupun sosial. Kehidupan rumah tangga tidak hanya difokuskan pada pengasuhan anak tetapi juga pada upaya-upaya untuk memantapkan status dan peranan sosialnya dalam masyarakat. Tingkat Pendidikan Orangtua Pendidikan merupakan proses ajar dimana individu diberikan stimulus berupa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai sosial sehingga mampu memberikan respon
terhadap
stimulus
tersebut.
Oleh
sebab
itu
pendidikan
dapat
mempengaruhi sikap, pola pikir dan perilaku seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka diasumsikan kemampuannya akan semakin baik dalam mengakses dan menyerap informasi serta menerima suatu inovasi (Roswita 2005). Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua Tingkat Pendidikan Orangtua
Istri
Pasekan-Sindang
Total
n
%
n
%
n
%
49
76.5
32
59.2
81
68.7
Menengah
9
14.1
17
31.5
26
22.0
Tinggi
6
9.4
5
9.3
11
9.3
Total
64
100
54
100
118
100
Dasar
47
73.5
38
70.4
85
72.0
Menengah
15
23.4
14
25.9
29
24.6
Tinggi
2
3.1
2
3.7
4
3.4
Total
64
100
54
100
118
100
Dasar Suami
Kandanghaur
Proporsi terbesar dari tingkat pendidikan suami contoh wilayah Kandanghaur (76.5%)
dan suami contoh wilayah Pasekan-Sindang (59.2%)
adalah tingkat pendidikan dasar. Proporsi terbesar (68.7%) dari tingkat pendidikan suami contoh secara keseluruhan adalah tingkat pendidikan dasar. Proporsi terbesar dari tingkat pendidikan istri contoh wilayah Kandanghaur (73.5%)
dan istri contoh wilayah Pasekan-Sindang (70.4%) adalah tingkat
pendidikan dasar. Proporsi terbesar (72.0%) dari tingkat pendidikan istri contoh
secara keseluruhan adalah tingkat pendidikan dasar. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata tingkat pendidikan orangtua antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Salah satu ciri umum kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir adalah tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan masyarakat pesisir yang relatif rendah mempengaruhi pola pikir mereka yang belum berorientasi terhadap masa depan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk menerima ataupun mengadopsi inovasi yang baru. Akibatnya dalam kehidupan perekonomian mereka cenderung tidak berani mengambil resiko sehingga meminimalkan peluang untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik. Mereka berpikir bahwa setiap kegagalan usaha merupakan ancaman terhadap eksistensi keluarganya (PKSPL IPB 2008). Pendapatan Perkapita Menurut Mukson (1993) salah satu faktor yang menentukan kegiatan usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat adalah faktor geografis. Kehidupan perekonomian masyarakat pesisir sangat bergantung pada sumberdaya kelautan khususnya usaha perikanan. Lingkungan perairan laut yang tidak stabil menyebabkan
pendapatan
masyarakat
pesisir
cenderung
menjadi
tidak
menentu. Oleh sebab itu pendapatan masyarakat pesisir sangat dipengaruhi oleh faktor musim, harga dan pasar. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh sumber pendapatan contoh dibedakan menjadi empat sumber yaitu, pendapatan yang berasal dari suami, istri, anak
dan bantuan yang diterima oleh contoh
selama satu bulan terakhir. Tabel 5. Sebaran pendapatan contoh berdasarkan sumber Sumber Pendapatan
Kandanghaur
Pasekan-Sindang
Total
µ (Rp)
%
µ (Rp)
%
µ (Rp)
%
290.486,85
67.7
208.589,68
83.3
253.008,48
72.8
Istri
58.102,49
13.5
25.706,79
10.3
43.277,34
12.5
Anak
18.380,15
4.3
16.126,54
6.4
17.348,84
5.0
62.232,14
14.5
0,00
0.0
33.753,03
9.7
429.201,63
100
250.423,02
100
347.387,69
100
Suami
Bantuan Total
Kontribusi terbesar dalam total pendapatan perkapita contoh wilayah Kandanghaur (67.7%) dan contoh wilayah Pasekan-Sindang (83.3%) berasal dari suami. Kontribusi terbesar (72.8%) dalam total pendapatan perkapita contoh secara keseluruhan berasal dari suami. Rata-rata pendapatan perkapita suami
contoh wilayah Kandanghaur adalah Rp 290.486,85 sedangkan rata-rata pendapatan perkapita suami contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah Rp 208.589,68. Rata-rata pendapatan perkapita suami contoh secara keseluruhan adalah Rp 253.008,48. Rata-rata pendapatan perkapita istri contoh wilayah Kandanghaur adalah Rp 58.102,49 sedangkan rata-rata pendapatan perkapita istri contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah Rp 25.706,79. Rata-rata pendapatan perkapita istri contoh
secara
keseluruhan
adalah
Rp
43.277,34.
Rata-rata
kontribusi
pendapatan perkapita istri terhadap total pendapatan perkapita contoh wilayah Kandanghaur adalah 13.5 persen sedangkan rata-rata kontribusi pendapatan perkapita istri terhadap total pendapatan perkapita contoh wilayah PasekanSindang adalah 10.3 persen. Kontribusi pendapatan perkapita istri terhadap total pendapatan perkapita contoh secara keseluruhan adalah 12.5 persen. Rata-rata pendapatan perkapita anak contoh wilayah Kandanghaur adalah Rp 18.380,15 sedangkan rata-rata pendapatan perkapita anak contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah Rp 16.126,54. Rata-rata pendapatan perkapita anak contoh secara keseluruhan adalah Rp 17.348,84. Rata-rata kontribusi pendapatan perkapita anak terhadap total pendapatan perkapita contoh wilayah Kandanghaur adalah 4.3 persen sedangkan rata-rata kontribusi pendapatan anak terhadap total pendapatan perkapita contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah 6.4 persen. Kontribusi pendapatan perkapita anak terhadap total pendapatan perkapita contoh secara keseluruhan adalah 5.0 persen. Rata-rata bantuan perkapita yang diterima oleh contoh wilayah Kandanghaur adalah Rp 62.232,14. Rata-rata bantuan perkapita yang diterima oleh contoh secara keseluruhan adalah Rp 33.753,03. Kontribusi bantuan yang diterima terhadap total pendapatan perkapita contoh wilayah Kandanghaur adalah 14.5 persen Rata-rata kontribusi bantuan yang diterima terhadap total pendapatan perkapita contoh secara keseluruhan adalah 9.7 persen. Total pendapatan perkapita contoh wilayah Kandanghaur berkisar antara 0 sampai dengan Rp 2.250.000,00 sedangkan total pendapatan perkapita contoh wilayah Pasekan-Sindang berkisar antara 0 sampai dengan Rp 550.000,00. Rata-rata total pendapatan perkapita contoh wilayah Kandanghaur adalah Rp 429.201,63 sedangkan rata-rata total pendapatan perkapita contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah Rp 250.423,02. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pendapatan perkapita antara contoh wilayah Kandanghaur dengan
contoh wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Rata-rata total pendapatan perkapita contoh secara keseluruhan adalah Rp 347.387,69. Ketidakmerataan pendapatan tidak hanya terjadi dalam hal distribusinya tetapi juga menyangkut besarnya pendapatan itu sendiri (Dumairy 1996). Ketidakmerataan maupun ketimpangan pendapatan perkapita contoh antara lain juga dapat disebabkan oleh faktor alam. Kegiatan menangkap ikan di laut tidak dapat dilakukan setiap hari karena keadaan cuaca dan angin di lingkungan laut bersifat labil (Suhartono 2007). Alokasi Pengeluaran Contoh Alokasi Pengeluaran Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran pangan contoh secara keseluruhan adalah 57.5 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pada contoh wilayah Kandanghaur sebesar 53.1 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pangan pada contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 63.8 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran pangan antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Perbedaan rata-rata total pengeluaran pangan antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang diduga terjadi karena rata-rata jumlah anggota keluarga di wilayah Pasekan-Sindang lebih besar daripada rata-rata jumlah anggota keluarga di wilayah Kandanghaur. Hasil Survei Biaya Hidup (1989) dalam Primayuda (2002) menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga maka pengeluaran rumah tangga untuk pangan akan mengalami peningkatan. Proporsi Kandanghaur
terbesar (14.7%)
dalam
dan
pengeluaran
contoh
wilayah
pangan
contoh
wilayah
Pasekan-Sindang
(16.1%)
dialokasikan untuk pangan jajanan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan jajanan antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Proporsi terbesar (15.4%) dalam pengeluaran pangan contoh secara keseluruhan dialokasikan untuk pangan jajanan. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok contoh secara keseluruhan adalah 12.5 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok contoh wilayah Kandanghaur adalah 13.1 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah 11.7 persen. Terdapat
perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan pokok antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Perbedaan rata-rata pengeluaran pangan pokok antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang diduga terjadi karena sebagian besar contoh di wilayah Kandanghaur bekerja pada sektor perikanan tangkap yang memiliki faktor aktivitas cukup berat. Kegiatan melaut dilakukan pada malam hari sehingga suhu udara yang lebih dingin sehingga tubuh akan memerlukan jumlah kalori yang lebih besar untuk mempertahankan suhu tubuh. Pangan pokok merupakan kontributor kalori utama dalam diet. Pangan pokok rata-rata memberikan kontribusi 55 persen dari asupan energi harian (Almatsier 2001). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani contoh secara keseluruhan adalah 11.4 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani contoh wilayah Kandanghaur sebesar 8.6 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 14.9 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan hewani antara contoh wilayah Kandanghaur dengan wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Perbedaan rata-rata pengeluaran pangan hewani antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang diduga terjadi karena wilayah Kandanghaur berada lebih dekat dengan laut sehingga contoh akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memperoleh harga komoditi pangan hewani, khususnya ikan yang relatif lebih murah. Sementara contoh di wilayah Pasekan-Sindang sebagian besar contohnya bekerja pada sektor perikanan budidaya sehingga akses terhadap komoditi pangan hewani akan menjadi lebih terbatas karena panen ikan tidak dapat dilakukan setiap saat. Rata-rata
alokasi
pengeluaran
kacang-kacangan
contoh
secara
keseluruhan adalah 2.8 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran kacang-kacangan contoh wilayah Kandanghaur sebesar 4.1 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran kacang-kacangan contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 2.3 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kacang-kacangan antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran sayuran contoh secara keseluruhan adalah 1.5 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran sayuran contoh wilayah
Kandanghaur sebesar 1.6 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran sayuran contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 1.4 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran sayuran antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan contoh secara keseluruhan adalah 1.4 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan contoh wilayah Kandanghaur sebesar 1.1 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 1.8 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran buah-buahan antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Rata-rata
alokasi
pengeluaran
pangan
lain-lain
contoh
secara
keseluruhan adalah 3.1 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan lain-lain contoh wilayah Kandanghaur sebesar 2.3 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pangan lain-lain contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 4.1 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan lain-lain antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah PasekanSindang (p<0.025). Perbedaan rata-rata pengeluaran pangan lain-lain antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang diduga terjadi karena rata-rata jumlah anggota keluarga di wilayah Pasekan-Sindang lebih besar daripada rata-rata jumlah anggota keluarga di wilayah Kandanghaur. Bian dalam Primayuda (2002) menyatakan bahwa semakin besar ukuran keluarga maka konsumsi pangan rumah tangga cenderung akan lebih beragam akibat adanya variasi usia dan jenis kelamin. Perbedaan usia dan jenis kelamin selanjutnya dapat mempengaruhi preferensi seseorang terhadap sesuatu termasuk komoditi pangan. Rata-rata alokasi pengeluaran rokok contoh wilayah Kandanghaur sebesar 7.6 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran rokok contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 11.5 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran rokok contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran rokok contoh secara keseluruhan adalah 9.4 persen.
Tabel 6. Sebaran alokasi pengeluaran contoh Alokasi Pengeluaran
Pangan
µ (Rp)
%
Pasekan-Sindang µ (Rp)
%
Total Pesisir µ (Rp)
%
Pangan pokok
45.295,94
13.1
37.533,47
11.7
41.743,62
12.5
Pangan hewani
29.874,41
8.6
47.599,65
14.9
37.985,96
11.4
Kacang-kacangan
11.035,71
4.1
7.392,42
2.3
9.368,44
2.8
Sayuran
5.449,27
1.6
4.453,17
1.4
4.993,43
1.5
Buah
3.796,26
1.1
5.757,12
1.8
4.693,60
1.4
Lain-lain
8.026,93
2.3
13.241,84
4.1
10.413,42
3.1
Rokok
26.556,62
7.6
36.809,74
11.5
31.248,73
9.4
Jajanan
50.891,37
14.7
51.331,79
16.1
51.092,92
15.4
Subtotal
180.926,52
53.1
204.119,19
63.8
191.540,11
57.5
9.850,18
2.8
19.127,16
6.0
14.095,58
4.2
Bahan bakar
40.095,93
11.5
36.376,72
11.4
38.393,92
11.5
Pendidikan
21.624,81
6.2
12.415,12
3.9
17.410,21
5.2
Pakaian
Kesehatan
Non Pangan
Kandanghaur
11.912,40
3.4
8.327,06
2.6
10.271,66
3.1
Kerukunan
8.249,39
2.4
7.816,31
2.4
8.051,20
2.4
Perbaikan rumah
2.318,49
0.7
20.864,20
6.5
10.805,51
3.2
432,80
0.1
1.455,64
0.5
900,88
0.3
Transportasi
55.240,33
15.9
6.939,20
2.2
33.136,42
10.0
Lain-lain
13.608,70
3.9
2.262,35
0.7
8.416,30
2.5
Subtotal
163.333,04
46.9
115.583,76
36.2
141.481,67
42.5
Total
344.259,55
100
319.702,95
100
332.830,26
100
Pajak
Alokasi Pengeluaran Non Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan contoh secara keseluruhan adalah 42.5 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada contoh wilayah Kandanghaur sebesar 46.9 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran non pangan contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 36.2 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran non pangan antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah PasekanSindang (p>0.025). Proporsi terbesar dalam pengeluaran non pangan
contoh wilayah
Kandanghaur (15.9%) dialokasikan untuk transportasi sedangkan proporsi terbesar dalam pengeluaran non pangan
contoh wilayah Pasekan-Sindang
(11.4%) dialokasikan untuk bahan bakar. Proporsi terbesar (11.5%) dalam pengeluaran non pangan contoh secara keseluruhan dialokasikan untuk bahan bakar.
Rata-rata alokasi pengeluaran kesehatan contoh secara keseluruhan adalah 4.2 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran kesehatan contoh wilayah Kandanghaur sebesar 2.8 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran kesehatan contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 6.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kesehatan antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran bahan bakar contoh secara keseluruhan adalah 11.5 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran bahan bakar contoh wilayah Kandanghaur sebesar 11.5 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran bahan bakar contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 11.4 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran bahan bakar antara contoh
wilayah
Kandanghaur
dengan
contoh
wilayah
Pasekan-Sindang
(p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran pendidikan contoh secara keseluruhan adalah 5.2 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pendidikan contoh wilayah Kandanghaur sebesar 6.2 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pendidikan contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 3.9 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pendidikan antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran pakaian contoh secara keseluruhan adalah 3.1 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pakaian contoh wilayah Kandanghaur sebesar 3.4 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pakaian contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 2.6 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pakaian antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran kerukunan contoh secara keseluruhan adalah 2.4 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran kerukunan contoh wilayah Kandanghaur dan contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 2.4 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kerukunan antara contoh
wilayah
Kandanghaur
dengan
contoh
wilayah
Pasekan-Sindang
(p>0.025). Rata-rata
alokasi
pengeluaran
perbaikan
rumah
contoh
secara
keseluruhan adalah 3.2 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran perbaikan rumah contoh wilayah Kandanghaur sebesar 0.7 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran perbaikan rumah contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 6.5
persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran perbaikan rumah antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran pajak contoh secara keseluruhan adalah 0.3 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pajak contoh wilayah Kandanghaur sebesar 0.1 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pajak contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 0.5 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pajak antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Perbedaan
rata-rata
pengeluaran
pajak
antara
contoh
wilayah
Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang diduga terjadi karena bangunan tempt tinggal contoh di wilayah Pasekan-Sindang bersifat lebih permanen daripada bangunan tempat tinggal contoh di wilayah Kandanghaur sehingga pajak yang harus dibayarkan contoh di wilayah Pasekan-Sindang menjadi lebih tinggi. Perumahan di perkampungan nelayan umumnya hanya terbuat dari kayu dan sangat sederhana. Rata-rata alokasi pengeluaran transportasi contoh secara keseluruhan adalah 10.0 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran transportasi contoh wilayah Kandanghaur sebesar 15.9 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran transportasi contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 2.2 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran transportasi antara contoh
wilayah
Kandanghaur
dengan
contoh
wilayah
Pasekan-Sindang
(p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lain-lain contoh secara keseluruhan adalah 2.5 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lainlain contoh wilayah Kandanghaur sebesar 3.9 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lain-lain contoh wilayah Pasekan-Sindang sebesar 0.7 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran non pangan lain-lain antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Perbedaan rata-rata pengeluaran non pangan lain-lain antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang diduga terjadi karena tingkat pendapatan perkapita contoh di wilayah Kandanghaur lebih tinggi daripada contoh wilayah Pasekan-Sindang. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi
akan memberikan peluang yang lebih besar untuk mendapatkan berbagai komoditi pemuas kebutuhan (Roedjito 1986) Tingkat Kesejahteraan Contoh Berdasarkan Garis Kemiskinan Menurut merupakan
Sawidak
sejumlah
(1985)
kepuasan
dalam yang
Supriatna diperoleh
(2000)
kesejahteraan
seseorang
dari
hasil
mengkonsumsi pendapatan yang diterima. BPS (1997) menyatakan bahwa kesejahteraan bersifat subyektif sehingga ukuran kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain tetapi pada dasarnya kesejahteraan berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan dasar. Jika kebutuhan dasar individu atau keluarga dapat terpenuhi maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan individu atau keluarga telah tercapai. Menurut Sumodiningrat (1997) kesejahteraan dan kemiskinan merupakan dua konsep yang berbeda. Secara sederhana individu maupun keluarga dikategorikan miskin apabila memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih rendah pada segolongan masyarakat tertentu. Biro Pusat Statistik menetapkan pengeluaran minimum (Garis Kemiskinan) untuk memenuhi kebutuhan dasar baik
kebutuhan
makanan
maupun
kebutuhan
bukan
makanan
dalam
mengkategorikan tingkat kemiskinan suatu masyarakat. Garis Kemiskinan oleh BPS (2008) untuk Kabupaten Indramayu sebesar Rp 273.617,00 yang berasal dari Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp 166.938,00 perkapita/bulan dan Garis
Kemiskinan
Bukan
Makanan
(GKBM)
sebesar
Rp106.679,00
perkapita/bulan. Tabel 7. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan Tingkat Kesejahteraan
Kandanghaur
Pasekan-Sindang
Total
n
%
n
%
n
%
Miskin
33
51.6
24
44.4
57
48.3
Tidak Miskin
31
48.4
30
55.6
61
51.7
64
100
54
100
118
100
Total
Proporsi terbesar dari contoh wilayah Kandanghaur (51.6%) dan contoh wilayah Pasekan-Sindang (44.4%) berada pada kategori miskin. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata tingkat kesejahteraan antara contoh wilayah Kandanghaur dengan
contoh wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025).
Hampir separuh (48.3%) dari contoh secara keseluruhan termasuk dalam kategori miskin. Menurut Hamudy (2008) kemiskinan bukan hanya terkait pada masalah kekurangan materi untuk hidup layak secara sosial tetapi kemiskian
juga merupakan bentuk ketidakmampuan dalam mengakses fasilitas-fasiltas kesejahteraan sosial. BPS (2008) menyatakan komoditi pangan yang berperan dalam pergeseran Garis Kemiskinan Makanan adalah beras., minyak goreng, telur, tahu, tempe, gula pasir dan mie instan. Sementara komoditi non pangan yang berperan
dalam
pergeseran
Garis
Kemiskinan
Makanan
adalah
biaya
transpotasi, perumahan, listrik dan bahan bakar. Hubungan Karakteristik Sosial Demografi dan Ekonomi Contoh dengan Alokasi Pengeluaran Menurut Guhardja et. al (1992) besar keluarga merupakan tolok ukur distribusi sumberdaya yang ada dalam keluarga tersebut. Semakin besar ukuran keluarga maka proporsi sumberdaya yang diterima oleh setiap anggota keluarga akan mengalami penurunan. Oleh sebab itu besar keluarga dapat mempengaruhi distribusi pendapatan yang akan dialokasikan oleh rumah tangga yang bersangkutan. Tabel 8. Sebaran alokasi pengeluaran berdasarkan ukuran keluarga Ukuran Keluarga Alokasi Pengeluaran
Pangan
Sedang
Besar
µ (Rp)
%
µ (Rp)
%
µ (Rp)
%
Pangan pokok
43.729,17
12.3
39.765,66
17.8
39.541,67
28.2
Pangan hewani
45.205,37
12.7
31.417,23
11.2
12.222,22
7.1
Kacang-kacangan
11.387,57
3.2
7.607,18
3.1
0,00
0.0
Sayuran
5.169,07
1.5
4.847,94
1.7
3.958,33
2.0
Buah
5.307,06
1.5
4.223,31
1.3
0,00
0.0
Lain-lain
12.295,55
3.5
8.662,01
3.3
4.805,56
2.8
Rokok
34.483,76
9.7
28.437,43
10.3
15.937,50
12.6
Jajanan
52.365,82
14.7
50.398,50
16.5
33.333,33
13.4
Subtotal
209.943,36
59.0
175359.26
65.3
109.798,61
66.2
9.913,14
2.8
18.599,67
3.7
9.111,11
9.2
43.588,98
12.2
33.671,72
13.2
19.722,22
9.8
9.632,77
2.7
25.779,03
6.2
8.333,33
3.3
13.179,24
3.7
7.541,37
2.4
2.311,11
0.9
Kerukunan
9.211,86
2.6
6.975,15
1.9
4.479,17
2.0
Perbaikan rumah
7.485,59
2.1
14.621,05
2.2
0,00
0.0
554,17
0.2
1.289,30
0.5
59,03
0.0
41.533,90
11.7
25.541,19
2.8
1.875,00
2.1
Kesehatan Non Pangan
Kecil
Bahan bakar Pendidikan Pakaian
Pajak Transportasi Lain-lain
10.888,42
3.1
5.703,68
1.8
12.798,61
6.4
Subtotal
145.988,06
41.0
139.722,15
34.8
58.689,58
33.8
Total
355.931,.43
100
315.081,41
100
168.488,19
100
Besar Keluarga dan Alokasi Pengeluaran Pangan Keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rumah tangga. Besarnya keluarga menyatakan jumlah seluruh anggota yang menjadi tanggungan dalam rumah tangga tersebut. Besaran rumah tangga dapat memberikan indikasi beban rumah tangga. Semakin tinggi besaran rumah tangga berarti semakin banyak anggota rumah tangga yang selanjutnya semakin berat beban rumah tangga tersebut untuk memenuhi kebutuhannya, terutama untuk rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah. Menurut data BPS (2004) keluarga miskin mempunyai rata-rata jumlah anggota keluarga lebih besar daripada keluarga tidak miskin. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pada contoh berukuran kecil sebesar 59.0 persen, berukuran sedang sebesar 65.3 persen dan berukuran besar sebesar 66.2 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka total pengeluaran pangan akan mengalami peningkatan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran pangan contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Menurut Mangkuprawira (1985) secara naluriah manusia akan mengutamakan kebutuhan pangan karena pangan merupakan kebutuhan paling dasar untuk bertahan hidup. Proporsi (14.7%) terbesar dari alokasi pengeluaran pangan pada contoh berukuran kecil dialokasikan untuk pangan jajanan. Sementara proporsi terbesar dari pengeluaran pangan pada contoh berukuran sedang (17.8%) dan berukuran besar (28.2%) dialokasikan untuk pangan pokok. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok pada contoh berukuran kecil sebesar 12.3 persen, berukuran sedang sebesar 17.8 persen dan berukuran besar sebesar 28.2 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka pengeluaran contoh untuk komoditi pangan pokok akan mengalami peningkatan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan pokok contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Berdasarkan laporan CIVAS (2006) dalam Daryanto (2008) pengeluaran pangan pokok menempati pangsa rata-rata hingga 25 persen dari total pengeluaran pangan pada rumah tangga miskin di Indonesia. Pangan pokok merupakan kontributor utama dalam mencukupi kebutuhan energi sehari-hari sehingga pengeluaran untuk konsumsi pangan pokok juga cenderung akan lebih diprioritaskan. Selain itu pangan pokok (beras) memiliki nilai historis sekaligus
nilai sosial tersendiri bagi penduduk Indonesia sehingga posisinya masih sulit untuk digantikan oleh pangan yang lainnya. Konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai
139
kg
perkapita/tahun
dan
proporsi
rumah
tangga
yang
mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok mencapai 97 persen. Kebutuhan anggota keluarga akan makanan berbeda-beda tergantung dari struktur umur. Menurut Mangkuprawira (1985) distribusi kebutuhan pangan dalam keluarga tidak merata, artinya setiap anggota keluarga tersebut mendapat jumlah makanan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Zat gizi yang diperlukan oleh anggota keluarga yang masih muda pada umumnya lebih tinggi tetapi kalau dinyatakan dalam kuantum absolut, anak-anak membutuhkan kuantum makanan yang lebih kecil dibandingkan dengan kuantum makanan yang diperlukan oleh orang dewasa. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani pada contoh berukuran kecil sebesar 12.7 persen, berukuran sedang sebesar 11.2 persen dan berukuran besar sebesar 7.1 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka pengeluaran contoh untuk komoditi pangan hewani akan mengalami penurunan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan hewani contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Berdasarkan survei konsumsi pangan nasional anak-anak dalam keluarga dengan jumlah anak empat sampai lima orang memiliki resiko kekurangan protein lebih besar daripada anak-anak dalam keluarga dengan jumlah anak dua sampai tiga orang. Rendahnya tingkat konsumsi pangan hewani penduduk Indonesia disebabkan oleh daya beli masyarakat yang masih rendah (Daryanto 2008). Rata-rata alokasi pengeluaran kacang-kacangan pada contoh berukuran kecil sebesar 3.2 persen, berukuran sedang sebesar 3.1 persen dan berukuran besar sebesar 0.0 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka pengeluaran contoh untuk komoditi kacang-kacangan akan mengalami penurunan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kacang-kacangan contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Tempe dan tahu merupakan produk turunan dari kacang-kacangan yang sangat populer bagi masyarakat Indonesia. Menurut Daryanto (2008) rata-rata konsumsi tempe dan tahu penduduk Indonesia jauh lebih besar daripada konsumsi pangan hewani. Kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku tempe dan tahu menyebabkan kenaikan harga pada kedua komoditi tersebut. Tempe
dan tahu merupakan komoditi yang berperan terhadap pergeseran Garis Kemiskinan (BPS 2008). Rata-rata alokasi pengeluaran sayuran pada contoh berukuran kecil sebesar 1.5 persen, berukuran sedang sebesar 1.7 persen dan berukuran besar sebesar 2.0 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka pengeluaran contoh untuk komoditi sayuran akan mengalami peningkatan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran sayuran contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Survei Biaya Hidup (1989) dalam Primayuda (2002) menunjukkan bahwa ukuran keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga. Semakin besar ukuran keluarga maka keragaman pangan yang dikonsumsi semakin berkurang terutama pada keluarga berpendapatan rendah. Menu makanan yang umum dijumpai pada rumah tangga miskin dengan jumlah anggota keluarga yang besar hanya berupa nasi dan sayur tanpa lauk pauk (Daryanto 2008). Rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan pada contoh berukuran kecil sebesar 1.5 persen, berukuran sedang sebesar 1.3 persen dan berukuran besar sebesar 0.0 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka pengeluaran contoh untuk komoditi buah-buahan akan mengalami penurunan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran buah-buahan contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan lain-lain pada contoh berukuran kecil sebesar 3.5 persen, berukuran sedang sebesar 3.3 persen dan berukuran besar sebesar 2.8 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka pengeluaran contoh untuk komoditi pangan lain-lain akan mengalami penurunan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan lain-lain contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Tingkat pendapatan yang rendah dan jumlah anggota keluarga yang besar merupakan faktor penghambat untuk memperoleh komoditi pangan yang lebih beragam (Roedjito 1986). Rata-rata alokasi pengeluaran rokok pada contoh berukuran kecil sebesar 9.7 persen, berukuran sedang sebesar 0.3 persen dan berukuran besar sebesar 12.6 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka pengeluaran contoh untuk komoditi rokok akan mengalami peningkatan. Tidak
terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran rokok contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan jajanan pada contoh berukuran kecil sebesar 14.7 persen, berukuran sedang sebesar 16.5 persen dan berukuran besar sebesar 13.4 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan jajanan contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Pangan jajanan umumnya tidak memiliki frekuensi tertentu untuk dikonsumsi sehingga sering merupakan pengeluaran pangan yang sifatnya tak terduga. Besar Keluarga dan Alokasi Pengeluaran Non Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada contoh berukuran kecil sebesar 41.0 persen, kerukuran sedang sebesar 34.8 persen dan berukuran besar sebesar 33.8 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka total pengeluaran non pangan akan mengalami penurunan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran non pangan contoh berdasarkan
ukuran
keluarga
(p>0.05).
Proporsi
terbesar
dari
alokasi
pengeluaran non pangan perkapita pada contoh berukuran kecil (12.2%), berukuran sedang (13.2) dan berukuran besar (9.8%) dialokasikan untuk bahan bakar. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran bahan bakar contoh berdasarkan ukuran keluarga (p<0.05). Adanya kebijakan pemerintah pusat untuk mencabut subsidi BBM menyebabkan peningkatan harga BBM
hingga mencapai 100 persen. Hal ini menyebabkan proporsi
pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi bahan bakar juga mengalami peningkatan. Rata-rata alokasi pengeluaran kesehatan pada contoh berukuran kecil sebesar 2.8 persen, berukuran sedang sebesar 3.7 persen dan berukuran besar sebesar 9.2 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka pengeluaran contoh untuk kesehatan akan mengalami peningkatan. Jumlah anggota keluarga yang besar menyebabkan dimensi ruang yang ditempati menjadi lebih padat. Menurut Sugianto (2007) resiko terjadinya penularan penyakit pada tempat yang padat cenderung lebih besar daripada tempat yang tidak padat. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kesehatan contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05).
Rata-rata alokasi pengeluaran pendidikan pada contoh berukuran kecil sebesar 2.7 persen, berukuran sedang sebesar 6.2 persen dan berukuran besar sebesar 3.3 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pendidikan contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Besar keluarga berhubungan positif dan signifikan (r=0.213*, p<0.05) dengan alokasi pengeluaran pendidikan. Semakin besar ukuran keluarga maka semakin banyak jumlah anak yang perlu mendapatkan fasilitas pendidikan. Menurut Achmad (2004) biaya pendidikan masih merupakan hal yang memberatkan bagi rumah tangga miskin dan bersaing ketat dengan kebutuhan pangan. Pemenuhan kebutuhan pendidikan pada penduduk miskin di Indonesia hanya sebatas pada kemampuan membaca dan menulis. Rendahnya alokasi pengeluaran pendidikan menyebabkan sebagian besar anak pada rumah tangga miskin hanya mampu menempuh jenjang pendidikan dasar. Rata-rata alokasi pengeluaran pakaian pada contoh berukuran kecil sebesar 3.7 persen, berukuran sedang sebesar 2.4 persen dan berukuran besar sebesar 0.9 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka pengeluaran contoh untuk komoditi pakaian akan mengalami penurunan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pakaian contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran kerukunan pada contoh berukuran kecil sebesar 2.6 persen, berukuran sedang sebesar 1.9 persen dan berukuran besar sebesar 2.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kerukunan contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran perbaikan rumah pada contoh berukuran kecil sebesar 2.1 persen, berukuran sedang sebesar 2.2 persen dan berukuran besar sebesar 0.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran perbaikan rumah contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pajak pada contoh berukuran kecil sebesar 0.2 persen, berukuran sedang sebesar 0.5 persen dan berukuran besar sebesar 0.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pengeluaran pajak contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Besar keluarga berhubungan positif dan signifikan (r=0.207*, p,0.05) dengan alokasi pengeluaran pajak. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka jumlah pajak yang yang harus ditanggung oleh contoh akan semakin besar karena jumlah anggota contoh yang berpeluang menjadi wajib pajak juga akan semakin besar.
Rata-rata alokasi pengeluaran transportasi pada contoh berukuran kecil sebesar 11.7 persen, berukuran sedang sebesar 2.8 persen dan berukuran besar sebesar 2.1 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka pengeluaran contoh untuk transportasi akan mengalami penurunan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran transportasi contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lain-lain pada contoh berukuran kecil sebesar 3.1 persen, berukuran sedang sebesar 1.8 persen dan berukuran besar sebesar 6.4 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran non pangan lain-lain contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Rata-rata total pengeluaran pada contoh berukuran kecil sebesar Rp 355.931,43, berukuran sedang sebesar Rp 315.081,41 dan berukuran besar sebesar Rp 168.488,19. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran contoh maka total pengeluaran akan mengalami penurunan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran contoh berdasarkan ukuran keluarga (p>0.05). Usia Orangtua Seiring dengan pertambahan usia, manusia akan mengalami perubahan kondisi fisiologis, psikologis dan kehidupan sosial yang lebih kompleks. Perubahan-perubahan tersebut dapat mempengaruhi persepsi dan preferensi individu terhadap sesuatu. Orangtua yang berusia lebih muda memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengutamakan kebutuhan pribadinya (Roswita 2005). Hal ini dapat menyebabkan sumberdaya dalam keluarga yang bersangkutan tidak didistribusikan secara proporsional. Sementara orangtua yan berusia semakin lanjut akan mengalami penurunan produktivitas sehingga kontribusinya terhadap perekonomian rumah tangga semakin berkurang sehingga alokasi pengeluaran menjadi semakin terbatas. Penambahan
usia
orangtua
juga
memberikan
peluang
terhadap
bertambahnya jumlah anggota keluarga dan diikuti oleh penambahan usia jumlah anggota keluarga lainnya. Orangtua pada usia dewasa muda umumya memiliki jumlah anak yang lebih sedikit dan masih berusia balita sedangkan orangtua pada masa dewasa madya dan dewasa akhir akan berpeluang memiliki jumlah anak yang lebih besar dengan usia dan jenis kelamin yang lebih beragam.
Tabel 9. Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan usia suami Kategori Usia Suami Alokasi Pengeluaran
Pangan
Dewasa Muda
Dewasa Madya
Dewasa Akhir
Lansia
µ (Rp)
%
µ (Rp)
%
µ (Rp)
%
µ (Rp)
%
Pangan pokok
25.869,05
11.9
38.915,75
10.4
47.895,83
17.6
62.023,81
26.1
hewani
34.215,48
15.7
40.651,92
10.8
36.459,78
13.4
7.155,56
3.0
Kacangkacangan
6.047,62
2.8
8.648,25
2.3
11.412,70
4.2
12.023,81
5.1
Sayuran
4.488,10
2.1
4.342,33
1.2
6.761,59
2.5
4.880,95
2.1
Buah
3.476,19
1.6
5.085,33
1.4
4.083,10
1.5
4.269,84
1.8
Lain-lain
4.485,71
2.1
10.771,84
2.9
10.727,62
3.9
11.277,78
4.7
36.357,14
16.7
30.213,19
8.1
32.131,07
11.8
33.821,43
14.2
Rokok Jajanan
44.166,67
20.3
62.678,89
16.7
30.026,19
11.0
19.682,54
8.3
159.105,95
73.2
201.307,50
53.6
179.497,87
66.0
155.135,71
65.3
5.155,95
2.4
15.810,38
4.2
12.739,00
4.7
9.373,02
3.9
31.623,81
14.5
40.027,16
10.7
34.426,75
12.7
46.857,14
19.7
Pendidikan
8.702,38
4.0
21.831,30
5.8
13.584,05
5.0
714,29
0.3
Pakaian
5.178,57
2.4
12.565,73
3.3
5.998,94
2.2
6.587,30
2.8
Kerukunan
1.404,76
0.6
9.344,16
2.5
6.297,34
2.3
2.857,14
1.2
0,00
0.0
15.466,44
4.1
1.613,33
0.6
11.111,11
4.7
338,10
0.2
944,16
0.3
823,91
0.3
745,83
0.3
Transportasi
4.428,57
2.0
46.517,78
12.4
12.425,48
4.6
2.916,67
1.2
Lain-lain
1.428,57
0.7
11.499,69
3.1
4.421,55
1.6
1.333,33
0.6
Subtotal
58.260,71
26.8
174.006,81
46.4
92.330,34
34.0
82.495,83
34.7
Total
217.366,67
100
375.314,31
100
271.828,21
100
237.631,55
100
Subtotal Kesehatan Bahan bakar
Non Pangan
Perbaikan rumah Pajak
Usia Suami dan Alokasi Pengeluaran Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 73.2 persen, dewasa madya sebesar 53.6 persen, dewasa akhir sebesar 66.0 persen dan lansia sebesar 65.3 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran pangan contoh berdasarkan usia suami (p>0.05). Proporsi terbesar dari alokasi pengeluaran pangan perkapita pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda (20.3%) dan dewasa madya (16.7%) dialokasikan untuk pangan jajanan. Sementara proporsi terbesar dari alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan kategori usia suami dewasa akhir (17.6%) dan lansia (26.1%) dialokasikan untuk pangan pokok. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 11.9 persen, dewasa madya sebesar 10.4 persen, dewasa akhir sebesar 17.6 persen dan lansia sebesar 3.0 persen.
Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan pokok contoh berdasarkan kategori usia suami (p<0.05). Usia suami berhubungan positif dan signifikan (r=0.308**, p<0.01) dengan alokasi pengeluaran pangan pokok. Bertambahnya usia suami kemungkinan akan diikuti dengan peluang bertambahnya jumlah anggota keluarga dan usia anggota keluarga yang lainnya. Hal ini dapat menyebabkan kebutuhan kalori anggota rumah tangga akan meningkat sehingga konsumsi pangan pangan pokok rumah tangga akan mengalami peningkatan. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 15.7 persen, dewasa madya sebesar 10.8 persen, dewasa akhir sebesar 13.4 persen dan lansia sebesar 3.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan hewani contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran kacang-kacangan pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 2.8 persen, dewasa madya sebesar 2.3 persen, dewasa akhir sebesar 4.2 persen dan lansia sebesar 5.1 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kacangkacangan contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran sayuran pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 2.1 persen, dewasa madya sebesar 1.2 persen, dewasa akhir sebesar 2.5 persen dan lansia sebesar 2.1 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran sayuran contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 1.6 persen, dewasa madya sebesar 1.4 persen, dewasa akhir sebesar 1.5 persen dan lansia sebesar 1.8 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran buah-buahan contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan lain-lain pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 2.1 persen, dewasa madya sebesar 2.9 persen, dewasa akhir sebesar 3.9 persen dan lansia sebesar 4.7 persen. Hal ini menunjukkan semakin bertambah usia suami contoh maka pengeluaran contoh untuk komoditi pangan lain-lain akan mengalami peningkatan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan lain-lain contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05).
Rata-rata alokasi pengeluaran rokok pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 16.7 persen, dewasa madya sebesar 8.1 persen, dewasa akhir sebesar 11.8 persen dan lansia sebesar 14.2 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran rokok contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata pengeluaran pangan jajanan pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 20.3 persen, dewasa madya sebesar 16.7 persen, dewasa akhir sebesar 11.0 persen dan lansia sebesar 8.3 persen. Hal ini menunjukkan semakin bertambah usia suami contoh maka pengeluaran contoh untuk komoditi pangan jajanan akan mengalami penurunan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan jajanan contoh berdasarkan kategori usia suami (p<0.05). Perbedaan rata-rata pengeluaran pangan jajanan berdasarkan usia suami diduga terjadi karena semakin bertambah usia suami maka kemungkinan beban perekonomian rumah tangga yang harus ditanggung akan semakin besar. Bertambahnya
usia
suami
kemungkinan
akan
diikuti
dengan
peluang
bertambahnya jumlah anggota keluarga dan usia anggota keluarga yang lainnya. Oleh sebab itu alokasi pengeluaran untuk pangan jajanan menjadi lebih terbatas mengingat kebutuhan yang harus dipenuhi menjadi lebih beragam. Usia Suami dan Alokasi Pengeluaran Non Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 26.8 persen, dewasa madya sebesar 46.4 persen, dewasa akhir sebesar 34.0 persen dan lansia sebesar 34.7 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran non pangan contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Proporsi terbesar dari alokasi pengeluaran non pangan perkapita pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda (14.5%), dewasa akhir (12.7%) dan lansia (19.7%) dialokasikan untuk bahan bakar. Sementara proporsi terbesar (12.4%) dari pengeluaran non pangan perkapita pada contoh dengan kategori usia suami dewasa madya dialokasikan untuk transportasi. Rata-rata alokasi pengeluaran bahan bakar pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 14.5 persen, dewasa madya sebesar 10.7 persen, dewasa akhir sebesar 12.7 persen dan lansia sebesar 19.7 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran bahan bakar contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05).
Rata-rata alokasi pengeluaran kesehatan pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 2.4 persen, dewasa madya sebesar 4.2 persen, dewasa akhir sebesar 4.7 persen dan lansia sebesar 3.9 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kesehatan dan contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pendidikan pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 4.0 persen, dewasa madya sebesar 5.8 persen, dewasa akhir sebesar 5.0 persen dan lansia sebesar 0.3 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pendidikan contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pakaian pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 2.4 persen, dewasa madya sebesar 3.3 persen, dewasa akhir sebesar 2.2 persen dan lansia sebesar 2.8 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pakaian contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran kerukunan pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 0.6 persen, dewasa madya sebesar 2.5 persen, dewasa akhir sebesar 2.3 persen dan lansia sebesar 1.2 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kerukunan contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran perbaikan rumah pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 0.0 persen, dewasa madya sebesar 4.1 persen, dewasa akhir sebesar 0.6 persen dan lansia sebesar 4.7 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran perbaikan rumah contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pajak pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 0.2 persen, dewasa madya sebesar 0.3 persen, dewasa akhir sebesar 0.3 persen dan lansia sebesar 0.3 persen Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pajak contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran transportasi pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 2.0 persen, dewasa madya sebesar 12.4 persen, dewasa akhir sebesar 4.6 persen dan lansia sebesar 1.2 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran transportasi contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05).
Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lain-lain pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar 0.7 persen, dewasa madya sebesar 3.1 persen, dewasa akhir sebesar 1.6 persen dan lansia sebesar 0.6 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran non pangan lain-lain contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Rata-rata total pengeluaran pada contoh dengan kategori usia suami dewasa muda sebesar Rp 217.366,67 , dewasa madya sebesar Rp 375.314,31, dewasa akhir sebesar Rp 271.828,21 dan lansia sebesar Rp 237.631,55. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran contoh berdasarkan kategori usia suami (p>0.05). Tabel 10. Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan usia istri Kategori Usia Istri Alokasi Pengeluaran
Dewasa Akhir
Lansia
%
µ (Rp)
%
µ (Rp)
%
µ (Rp)
%
30.303,03
10.3
42.576,55
11.6
50.193,75
20.2
45.000,00
14.0
54.182,20
18.4
33.466,14
9.1
35.791,33
14.4
7.333,33
2.3
10.060,61
3.4
8.792,83
2.4
10.234,05
4.1
20.000,00
6.2
Sayuran
5.913,64
2.0
4.848,14
1.3
4.775,71
1.9
0,00
0.0
Buah
5.471,21
1.9
4.986,03
1.4
2.976,31
1.2
0,00
0.0
Lain-lain
9.256,82
3.1
10.713,62
2.9
10.613,93
4.3
9.333,33
2.9
Rokok
39.382,58
13.4
29.940,02
8.2
25.271,61
10.2
70.000,00
21.8
Jajanan
35.060,61
11.9
63.462,38
17.3
21.564,29
8.7
66.666,67
20.8
189.630,68
64.3
198.785,69
54.3
161.420,98
65.0
218.333,33
68.0
7.104,17
2.4
16.604,00
4.5
12.667,67
5.1
8.333,33
2.6
36.868,18
12.5
39.046,40
10.7
37.211,79
15.0
46.666,67
14.5
Pendidikan
6.030,30
2.0
22.724,00
6.2
10.871,90
4.4
0,00
0.0
Pakaian
8.939,02
3.0
12.040,47
3.3
4.234,74
1.7
27.666,67
8.6
Kerukunan
12.757,58
4.3
7.151,84
2.0
6.149,35
2.5
10.000,00
3.1
Perbaikan rumah
17.044,70
5.8
11.112,00
3.0
3.333,33
1.3
0,00
0.0
Subtotal Kesehatan Bahan bakar
Non Pangan
Dewasa Madya
µ (Rp) Pangan pokok Pangan hewani Kacangkacangan Pangan
Dewasa Muda
Pajak
1.274,05
0.4
849,57
0.2
721,20
0.3
133,33
0.0
13.325,76
4.5
45.757,78
12.5
8.754,88
3.5
10.000,00
3.1
2.015,15
0.7
11.836,58
3.2
3.052,32
1.2
0,00
0.0
Subtotal
105.358,90
35.7
167.122,64
45.7
86.997,17
35.0
102.800,00
32.0
Total
294.989,58
100
365.908,33
100
248.418,15
100
321.133,33
100
Transportasi Lain-lain
Usia Istri dan Alokasi Pengeluaran Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 64.3 persen, dewasa madya sebesar 54.3 persen, dewasa akhir sebesar 5.0 persen dan lansia sebesar 68.0 persen. Tidak terdapat
perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran pangan contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Proporsi terbesar (18.4%) dari alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda dialokasikan untuk pangan hewani. Proporsi terbesar (17.3%) dari alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa madya dialokasikan untuk pangan jajanan. Proporsi terbesar (20.2%) dari alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa akhir dialokasikan untuk pangan pokok. Proporsi terbesar (21.8%) dari alokasi pengeluaran pangan contoh dengan kategori usia istri lansia dialokasikan untuk konsumsi rokok. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 10.3 persen, dewasa madya sebesar 11.6 persen, dewasa akhir sebesar 20.2 persen dan lansia sebesar 14.0 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan pokok contoh berdasarkan kategori usia istri (p<0.05). Usia istri berhubungan positif dan signifikan (r=0.240**, p<0.01) dengan alokasi pengeluaran pangan pokok. Seperti halnya usia suami, penambahan usia istri kemungkinan akan diikuti dengan peluang bertambahnya jumlah anggota keluarga dan usia anggota keluarga yang lainnya. Hal ini dapat menyebabkan kebutuhan kalori anggota rumah tangga akan meningkat sehingga konsumsi pangan pangan pokok rumah tangga akan mengalami peningkatan. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 18.4 persen, dewasa madya sebesar 9.1 persen, dewasa akhir sebesar 14.4 persen dan lansia sebesar 2.3 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan hewani contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran kacang-kacangan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 3.4 persen, dewasa madya sebesar 2.4 persen, dewasa akhir sebesar 4.1 persen dan lansia sebesar 6.2 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kacang-kacangan contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran sayuran pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 2.0 persen, dewasa madya sebesar 1.3 persen, dewasa akhir sebesar 1.9 persen dan lansia sebesar 0.0 persen. Tidak terdapat
perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran sayuran contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 1.9 persen, dewasa madya sebesar 1.4 persen, dewasa akhir sebesar 1.2 persen dan lansia sebesar 0.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran buah-buahan contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan lain-lain pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 3.1 persen, dewasa madya sebesar 2.9 persen, dewasa akhir sebesar 4.3 persen dan lansia sebesar 2.9 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan lain-lain contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran rokok pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 13.4 persen, dewasa madya sebesar 8.2 persen, dewasa akhir sebesar 10.2 persen dan lansia sebesar 21.8 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran rokok contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan jajanan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 11.9 persen, dewasa madya sebesar 17.3 persen, dewasa akhir sebesar 8.7 persen dan lansia sebesar 20.8 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan jajanan contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Usia Istri dan Alokasi Pengeluaran Non Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 35.7 persen, dewasa madya sebesar 45.7 persen, dewasa akhir sebesar 35.0 persen dan lansia sebesar 32.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran non pangan contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Proporsi terbesar dari alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda (12.5%), dewasa akhir (15.0%) dan lansia (14.5%) dialokasikan untuk bahan bakar. Sementara proporsi terbesar (12.5%) dari pengeluaran non pangan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa madya dialokasikan untuk transportasi. Rata-rata alokasi pengeluaran kesehatan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 2.4 persen, dewasa madya sebesar 4.5 persen,
dewasa akhir sebesar 5.1 persen dan lansia sebesar 2.6 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kesehatan contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran bahan bakar pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 12.5 persen, dewasa madya sebesar 10.7 persen, dewasa akhir sebesar 15.0 persen dan lansia sebesar 14.5 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran bahan bakar contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pendidikan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 2.0 persen, dewasa madya sebesar 6.2 persen, dewasa akhir sebesar 4.4 persen dan lansia sebesar 0.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pendidikan contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pakaian pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 3.0 persen, dewasa madya sebesar 3.3 persen, dewasa akhir sebesar 1.7 persen dan lansia sebesar 8.6 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pakaian contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran kerukunan pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 4.3 persen, dewasa madya sebesar 2.0 persen, dewasa akhir sebesar 2.5 persen dan lansia sebesar 3.1 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kerukunan contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran perbaikan rumah pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 5.8 persen, dewasa madya sebesar 3.0 persen, dewasa akhir sebesar 1.3 persen dan lansia sebesar 0.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran perbaikan rumah contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pajak pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 0.4 persen, dewasa madya sebesar 0.2 persen, dewasa akhir sebesar 0.3 persen dan lansia sebesar 0.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pajak contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran transportasi pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 4.5 persen, dewasa madya sebesar 12.5 persen,
dewasa akhir sebesar 3.5 persen dan lansia sebesar 3.1 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran transportasi contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lain-lain pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar 0.7 persen, dewasa madya sebesar 3.2 persen, dewasa akhir sebesar 1.2 persen dan lansia sebesar 0.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran non pangan lainlain contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Rata-rata total pengeluaran pada contoh dengan kategori usia istri dewasa muda sebesar Rp 294.989,58 , dewasa madya sebesar Rp 365.908,33, dewasa akhir sebesar Rp 248.418,15 dan lansia sebesar Rp 321.133,33. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran contoh berdasarkan kategori usia istri (p>0.05). Tingkat Pendidikan Orangtua Menurut Hasil Survei Biaya Hidup (1989) dalam Primayuda (2002) tingkat pendidikan formal orangtua berpengaruh terhadap pola konsumsi keluarga. Pendidikan dapat mengubah sikap dan perilaku seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah ia dapat menerima informasi dan inovasi baru yang dapat mengubah pola konsumsinya. Menurut Fan, Ghany dan Sharpe (1997) tingkat pendidikan orangtua dapat mempengaruhi preferensinya terhadap tingkat pengeluaran pilihan. Hal ini berarti tingkat pendidikan orangtua akan menentukan prioritas kebutuhan rumah tangganya. Oleh sebab itu perbedaan tingkat pendidikan orangtua berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran. Hasil penelitian Megawangi (1994) menunjukkan tingkat pendidikan orangtua berpengaruh nyata dengan kebiasaan mengatur anggaran rumah tangga. Tingkat
pendidikan
orangtua
juga
berpengaruh
terhadap
pola
pengasuhan anak. Hasil penelitian Soembodo (2004) menunjukkan bahwa orangtua yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memiliki kepedulian yang lebih besar terhadap kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Oleh sebab itu anakanak yang memiliki orangtua yang berpendidikan tinggi berpeluang untuk memperoleh fasilitas pendidikan yang lebih baik daripada anak yang memiliki orangtua yang berpendidikan lebih rendah.
Tabel 11. Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami Tingkat Pendidikan Suami Alokasi Pengeluaran
Dasar µ (Rp)
Pangan
Non Pangan
Menengah %
µ (Rp)
Tinggi %
µ (Rp)
%
Pangan pokok
46.096,78
16.1
33.036,86
8.4
28.725,92
5.4
Pangan hewani
30.604,61
10.7
54.384,62
13.8
48.377,75
9.2
Kacang-kacangan
8.486,01
3.0
11.758,97
3.0
10.216,02
1.9
Sayuran
4.112,13
1.4
7.557,37
1.9
5.422,73
1.0
Buah
3.392,84
1.2
8.869,87
2.3
4.400,76
0.8
Lain-lain
9.219,08
3.2
13.236,06
3.4
12.536,36
2.4
Rokok
28.383,35
9.9
41.511,22
10.5
28.091,56
5.3
Jajanan
45.113,32
15.8
50.307,69
12.8
96.980,52
18.4
Subtotal
175.408,12
61.3
220.662,66
56.0
234.751,61
44.4
Kesehatan
14.279,26
5.0
12446.79
3.2
16.640,15
3.2
Bahan bakar
35.687,84
12.5
44.016,35
11.2
45.031,17
8.5
Pendidikan
11.996,77
4.2
19.423,08
4.9
52.515,15
9.9
Pakaian
6.629,21
2.3
17.875,32
4.5
19.121,00
3.6
Kerukunan
5.527,41
1.9
12.051,28
3.1
17.180,74
3.3
Perbaikan rumah
2.798,15
1.0
40.323,08
10.2
0,00
0.0
530,58
0.2
1.498,62
0.4
2.214,83
0.4
26.287,21
9.2
24.839,74
6.3
103.181,82
19.5
6.844,12
2.4
993,59
0.3
37.537,88
7.1
Subtotal
110.580,53
38.7
173.467,85
44.0
293.422,73
55.6
Total
285.988,66
100
394.130,51
100
528.174,34
100
Pajak Transportasi Lain-lain
Tingkat Pendidikan Suami dan Alokasi Pengeluaran Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 61.3 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 56.0 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 44.4 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan suami contoh maka total pengeluaran pangan akan mengalami penurunan. Tingkat pendidikan suami berhubungan positif dan signifikan (r=0.219*, p<0.05) dengan total pengeluaran pangan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran pangan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p<0.05). Proporsi terbesar (16.1%) dari alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar dialokasikan untuk pangan pokok. Proporsi terbesar (13.8%) dari alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan suami yang yang memiliki tingkat pendidikan menengah dialokasikan untuk pangan hewani. Proporsi terbesar (18.4%) dari alokasi pengeluaran
pangan pada contoh dengan suami yang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dialokasikan untuk pangan jajanan. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 16.1 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 8.4 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 5.4 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan suami contoh maka pengeluaran contoh untuk komoditi pangan pokok akan mengalami penurunan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan pokok contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p<0.05). Tingkat pendidikan suami berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.439**, p<0.01) dengan alokasi pengeluaran pangan pokok. Menurut Hidayat (1980) tingkat pendidikan orangtua mempengaruhi konsumsi pangan melalui pemilihan jenis pangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka diasumsikan bahwa pengetahuannya mengenai masalah gizi dan kesehatan akan semakin baik. Oleh sebab itu tingkat pendidikan akan mempengaruhi kesadaran seseorang akan pentingnya memenuhi kecukupan gizi melalui konsumsi pangan yang lebih beragam. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani pada contoh dengan dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 10.7 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 13.8 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 9.2 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan hewani berdasarkan tingkat pendidikan suami (p<0.05). Perbedaan rata-rata pengeluaran pangan hewani contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami diduga terjadi karena seiring dengan bertambahnya tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuannya akan masalah kesehatan juga akan semakin baik. Meskipun kaya akan zat gizi, konsumsi pangan hewani secara berlebihan juga dapat membahayakan kesehatan. Hal ini terjadi karena pada beberapa sumber pangan hewani seperti kuning telur dan daging merah mengandung kolesterol yang sangat tinggi. Penumpukan kolesterol dalam tubuh dapat memicu resiko penyakit degeneratif seperti hipertensi dan jantung koroner. Rata-rata alokasi pengeluaran kacang-kacangan pada contoh dengan dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 3.0 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 3.0 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 1.9 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata
pengeluaran kacang-kacangan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran sayuran pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 1.4 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 1.9 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 1.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran sayuran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 1.2 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 2.3 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 0.8 persen. Tingkat pendidikan suami berhubungan positif dan signifikan (r=0.225*, p<0.05) dengan pengeluaran buah-buahan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam ratarata pengeluaran buah-buahan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p<0.05). Perbedaan rata-rata pengeluaran buah-buahan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami diduga terjadi karena seiring dengan bertambahnya tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuannya akan masalah kesehatan juga akan semakin baik. Mengingat usia harapan hidup pria lebih rendah daripada wanita maka timbul kesadaran untuk mengkonsumsi pangan yang mengandung zat –zat yang berperan untuk memelihara kesehatan. Buah-buahan tidak hanya mengandung vitamin dan mineral tetapi juga serat yang dapat memelihara kesehatan saluran pencernaan dan komponen bioaktif yang berperan sebagai antioksidan. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan lain-lain pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 3.2 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 3.4 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 2.4 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan lain-lain contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p>0.05). Tingkat pendidikan suami berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.182*, p<0.05) dengan alokasi pengeluaran pangan lain-lain. Rata-rata alokasi pengeluaran rokok pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 9.9 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 10.5 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 5.3 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran rokok contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p>0.05).
Rata-rata alokasi pengeluaran pangan jajanan pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 15.8 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 12.8 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 18.4 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan jajanan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p<0.05). Perbedaan rata-rata pengeluaran pangan jajanan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami diduga terjadi karena suami yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki intensitas kegiatan di luar rumah yang lebih besar sehingga aktivitas makan tidak selalu dapat dilakukan di rumah bersama dengan keluarga. Selain itu, terdapat pula suatu kecenderungan bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi menyukai hal-hal yang bersifat praktis. Tingkat Pendidikan Suami dan Alokasi Pengeluaran Non Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 38.7 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 44.0 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 55.6 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan suami contoh maka total pengeluaran non pangan akan mengalami peningkatan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran non pangan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p<0.05). Perbedaan rata-rata total pengeluaran non pangan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami diduga terjadi karena seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengelola keuangan rumah tangga dan menentukan prioritas kebutuhan. Proporsi terbesar dari alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar (12.5%) dan tingkat pendidikan menengah (11.2%) dialokasikan untuk bahan bakar. Sementara proporsi terbesar (19.5%) dari alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dialokasikan untuk transportasi. Rata-rata alokasi pengeluaran kesehatan pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 5.0 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 3.2 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 3.2 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kesehatan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p>0.05).
Rata-rata alokasi pengeluaran bahan bakar pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 12.5 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 11.2 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 8.5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan suami maka alokasi pengeluaran bahan bakar akan mengalami penurunan. Tingkat pendidikan suami berhubungan negatif dan signifikan (r=-.0221*, p<0.05) dengan alokasi pengeluaran bahan bakar. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran bahan bakar contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pendidikan pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 4.2 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 4.9 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 9.9 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan suami contoh maka pengeluaran contoh untuk pendidikan akan meningkat. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pendidikan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p<0.05). Perbedaan rata-rata pengeluaran pendidikan contoh berbeda berdasarkan tingkat pendidikan suami diduga terjadi karena seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi maka tingkat kepeduliannya terhadap tingkat pendidikan formal anak juga akan semakin tinggi. Rata-rata alokasi pengeluaran pakaian pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 2.3 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 4.5 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 3.6 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pakaian contoh berdasarkan
tingkat
pendidikan
suami
(p<0.05).
Perbedaan
rata-rata
pengeluaran pakaian contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami diduga terjadi karena seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi maka tingkat kepeduliannya terhadap penampilan akan semakin tinggi. Rata-rata alokasi pengeluaran kerukunan pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 1.9 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 3.1 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 3.3 persen. Hal ini menujukkan semakin tinggi tingkat pendidikan suami maka pengeluaran contoh untuk kerukunan akan meningkat. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kerukunan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p<0.05). Perbedaan rata-rata pengeluaran kerukunan contoh berdasarkan
tingkat pendidikan suami diduga terjadi karena seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi maka relasi sosialnya menjadi semakin luas. Rata-rata alokasi pengeluaran perbaikan rumah pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 1.0 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 10.2 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 0.0 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran perbaikan rumah contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p<0.05). Perbedaan rata-rata pengeluaran perbaikan rumah contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami diduga terjadi karena seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi maka kepeduliannya terhadap peningkatan kualitas hidup akan mengalami peningkatan. Rata-rata alokasi pengeluaran pajak pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 0.2 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 0.4 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 0.4 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pajak contoh berdasarkan
tingkat
pendidikan
suami
(p>0.05).
Perbedaan
rata-rata
pengeluaran pajak contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami diduga terjadi karena seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi umumnya memiliki tingkat penghasilan yang lebih tinggi sehingga pajak yang harus dibayarkan mereka menjadi lebih tinggi. Rata-rata alokasi pengeluaran transportasi pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 9.2 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 6.3 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 19.5 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran transportasi contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lain-lain pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 2.4 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 0.3 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 7.1 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran non pangan lain-lain contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p<0.05). Perbedaan rata-rata pengeluaran non pangan lain-lain contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami diduga terjadi karena seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi umumnya memiliki tingkat penghasilan yang lebih tinggi sehingga mereka mampu untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya yang semakin beragam.
Rata-rata total pengeluaran pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar Rp 285.988,66, tingkat pendidikan menengah sebesar Rp 394.130,51 dan tingkat pendidikan tinggi sebesar Rp 528.174,34. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan suami maka total pengeluaran
akan
mengalami
peningkatan.
Tingkat
pendidikan
suami
berhubungan positif dan signifikan (r=0.277**, p<0.01) dengan total pengeluaran. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami (p>0.05). Perbedaan rata-rata total pengeluaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami diduga terjadi karena seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi umumnya memiliki tingkat penghasilan yang lebih tinggi karena memiliki nilai jual yang lebih besar dalam pasar kerja. Tabel 12. Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri Tingkat Pendidikan Istri Alokasi Pengeluaran
Dasar µ (Rp)
Pangan
%
Tinggi
µ (Rp)
%
µ (Rp)
%
Pangan pokok
45.098,15
15.5
33.460,57
7.5
26.270,83
7
Pangan hewani
30.211,83
10.4
56.841,26
12.8
52.181,67
13.9
Kacangkacangan
9.700,00
3.3
8.153,20
1.8
11.133,33
3
Sayuran
5.102,77
1.7
4.606,53
1
5.475,00
1.5
Buah
4.000.,53
1.4
6.845,40
1.5
3.820,83
1
Lain-lain
10.457,00
3.6
10.259,93
2.3
10.600,00
2.8
Rokok
29.217,20
10
41.430,62
9.3
600,00
0.2
Jajanan
46.158,82
15.8
61.222,91
13.7
82.500,00
22
179.946,30
61.7
222.820,42
50
192.581,67
51.4
Kesehatan
14.645,15
5
13.546,80
3
6.395,83
1.7
Bahan bakar
36.756,77
12.6
42.935,30
9.6
40.258,33
10.7
Pendidikan
1.267,43
4.3
26.224,14
5.9
54.208,33
14.5
Pakaian
6.773,61
2.3
20.979,84
4.7
6.970,83
1.9
Kerukunan
4.392,25
1.5
17.012,64
3.8
20.833,33
5.6
Perbaikan rumah
2.765,29
0.9
35.862,07
8.1
0,00
0
757,28
0.3
136,13
0.3
608,33
0.2
26.913,89
9.2
54.048,85
12.1
13.750,00
3.7
6.207,75
2.1
10.619,46
2.4
39.375,00
10.5
Subtotal
111.883,43
38.3
222.591,24
50
182.400,00
48.6
Total
291.829,73
100
445.411,66
100
374.981,67
100
Subtotal
Non Pangan
Menengah
Pajak Transportasi Lain-lain
Tingkat Pendidikan Istri dan Alokasi Pengeluaran Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 61.7 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 50.0 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 51.4 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran pangan contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Perbedaan ratarata total pengeluaran pangan contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri diduga terjadi karena seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi umumnya memiliki tingkat kebutuhan yang lebih kompleks. Proporsi terbesar dari alokasi pengeluaran pangan perkapita pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar (15.8%), tingkat pendidikan menengah (13.7%) dan tingkat pendidikan tinggi (22.0%) dialokasikan untuk pangan jajanan. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 15.5 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 7.5 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 7.0 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan istri contoh maka alokasi pengeluaran pangan pokok akan mengalami penurunan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan pokok contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p<0.05). Tingkat pendidikan istri berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.374**, p<0.01) dengan alokasi pengeluaran pangan pokok. Hasil penelitian Jus’at (1991) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan istri berpengaruh terhadap tingkat kesadaran terhadap kesehatan keluarganya. Selanjutnya hal tersebut akan berpengaruh terhadap preferensi pola konsumsinya terhadap komoditi pangan. Istri dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan memilih komoditi pangan yang lebih berkualitas untuk memelihara kesehatan anggota keluarganya. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani pada contoh dengan dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 10.4 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 12.8 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 13.9 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan istri contoh maka pengeluaran pangan hewani akan mengalami peningkatan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan hewani contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p<0.05). Perbedaan rata-rata pengeluaran pangan hewani contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri diduga terjadi karena seseorang yang meniliki tingkat pendidikan tinggi memiliki tingkat
pengetahuan gizi yang lebih baik sehingga timbul kesadarannya untuk mengkonsumsi pangan yang bergizi tinggi. Rata-rata alokasi pengeluaran kacang-kacangan pada contoh dengan dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 3.3 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 1.8 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 3.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kacang-kacangan contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran sayuran pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 1.7 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 1.0 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 1.5 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran sayuran contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan pada contoh dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 1.4 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 1.5 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 1.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran buah-buahan contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan lain-lain pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 3.6 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 2.3 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 2.8 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan lainlain contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Tingkat pendidikan istri berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.204*, p<0.05) dengan alokasi pengeluaran pangan lain-lain. Rata-rata alokasi pengeluaran rokok pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 10.0 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 9.3 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 0.2 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan istri contoh maka konsumsi contoh terhadap rokok akan mengalami penurunan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran rokok contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan jajanan pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 15.8 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 13.7 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 22.0
persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan jajanan contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Tingkat Pendidikan Istri dan Alokasi Pengeluaran Non Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 38.3 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 50.0 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 48.6 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran non pangan contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Proporsi terbesar (12.6%) dari alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar dialokasikan untuk bahan bakar. Proporsi terbesar (12.1%) dari alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan menengah dialokasikan untuk transportasi. Proporsi terbesar (14.5%) dari alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dialokasikan untuk pendidikan. Rata-rata alokasi pengeluaran bahan bakar pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 12.6 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 9.6 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 10.7 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran bahan bakar berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran kesehatan pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 5.0 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 3.0 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 1.7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan istri contoh maka alokasi pengeluaran kesehatan akan mengalami penurunan. Tingkat pendidikan istri berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.211*, p<0.05) dengan alokasi pengeluaran kesehatan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kesehatan contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pendidikan pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 4.3 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 5.9 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 14.5 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan istri contoh maka alokasi pengeluaran pendidikan akan meningkat. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pendidikan contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05).
Rata-rata alokasi pengeluaran pakaian perkapita pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 2.3 persen, tingkat pendidikan menengah 4.7 persen, dan tingkat pendidikan tinggi 1.9 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata alokasi pengeluaran pakaian contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p<0.05). Tingkat pendidikan istri berhubungan
positif
dan
signifikan
(r=0.210*,
p<0.05)
dengan
alokasi
pengeluaran pakaian. Rata-rata alokasi pengeluaran kerukunan pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 1.5 persen, tingkat pendidikan menengah 3.8 persen, dan tingkat pendidikan tinggi 5.6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan istri contoh maka alokasi pengeluaran kerukunan akan mengalami peningkatan. Tingkat pendidikan istri berhubungan
positif
dan
signifikan
(r=0.241*,
p<0.05)
dengan
alokasi
pengeluaran kerukunan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata alokasi pengeluaran kerukunan contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p<0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran perbaikan rumah pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 0.9 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 8.1 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 0.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran perbaikan rumah contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pajak pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 0.3 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 0.3 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 0.2 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pajak contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran transportasi pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 9.2 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 12.1 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 3.7 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran transportasi contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lain-lain pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 2.1 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 2.4 persen, dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 10.5 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan istri contoh maka alokasi pengeluaran non pangan lain-lain akan mengalami peningkatan.
Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran non pangan lain-lain contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Rata-rata total pengeluaran pada contoh dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar Rp 291.829,73, tingkat pendidikan menengah sebesar Rp 445.411,66 dan tingkat pendidikan tinggi sebesar Rp 374.981,67. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri (p>0.05). Pendapatan Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas komoditi yang akan dikonsumsi. Aspek yang terkait dengan tingkat pendapatan adalah tingkat pengeluaran masyarakat. Secara umum telah diketahui bahwa tingkat pendapatan mempengaruhi pola dan tingkat pengeluaran (Suhardjo 1989) . Tabel 13. Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan pendapatan perkapita Pendapatan Perkapita Alokasi Pengeluaran
µ (Rp)
%
%
40.916,21
12.8
53.606,48
15.2
41.090,99
9.6
11.5
37.488,00
11.7
31.968,52
9.0
48.390,65
11.4
7.720,37
2.7
11.473,99
3.6
11.495,24
3.3
11.323,66
2.7
Sayuran
4.887,40
1.7
6.389,29
2.0
5.738,10
1.6
4.414,19
1.0
Buah
3.193,11
1.1
6.837,91
2.1
9.467,59
2.7
5.554,57
1.3
Lain-lain
7.944,34
2.8
14.583,70
4.6
14.452,38
4.1
12.669,09
3.0
Rokok
30.559,21
10.6
21.885,99
6.8
29.944,44
8.5
36.999,46
8.7
Jajanan
44.255,86
15.4
47.313,19
14.8
48.214,29
13.6
67.849,46
15.9
171.953,38
59.8
186.888,28
58.5
204887.04
58.0
228.292,07
53.6
Kesehatan
%
40.316,81
14.0
33.076,28
µ (Rp)
>Rp 410.425,00 µ (Rp)
Subtotal
µ (Rp)
Rp 342.203,00Rp 410.425,00
%
Pangan pokok Pangan hewani Kacangkacangan Pangan
≤ Rp 273.617,00
Rp 273.618,00Rp 342.202,00
8.451,40
2.9
7.362,36
2.3
62.875,13
17.8
14.591,94
3.4
Bahan bakar
3.4151,64
11.9
40.817,86
12.8
45.226,19
12.8
44.288,98
10.4
Pendidikan
10.430,59
3.6
19.759,16
6.2
15.699,74
4.4
31.556,45
7.4
Pakaian
8.81199
3.1
8.847,44
2.8
5.176,19
1.5
15.408,82
3.6
Kerukunan
4.795,26
1.7
10.730,77
3.4
1.898,15
0.5
15.540,86
3.6
Perbaikan rumah
11.283,08
3.9
8.205,13
2.6
6.666,67
1.9
12.096,24
2.8
1.074,37
0.4
843,57
0.3
1.189,89
0.3
477,23
0.1
28.878,42
10.0
26.000,00
8.1
5.916,67
1.7
52.959,68
12.4
7.630,47
2.7
10.096,15
3.2
3.988,10
1.1
10.645,16
2.5
Subtotal
115.507,22
40.2
132.662,44
41.5
148.636,72
42.0
197.565,35
46.4
Total
287.460,60
100
319.550,71
100
353.523,76
100
425.857,42
100
Non Pangan
Pajak Transportasi Lain-lain
Pendapatan dan Alokasi Pengeluaran Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 59.8 persen; Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 58.5 persen; Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 58.0 persen dan > Rp 410.425,00 sebesar 53.6 persen. Hal ini menunjukkan semakin besar pendapatan perkapita contoh maka total pengeluaran pangan akan mengalami penurunan. Pendapatan perkapita berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.276**, p<0.01) dengan total pengeluaran pangan. Menurut BPS (1997) pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang relatif tinggi setiap tambahan pendapatan akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non pangan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran pangan contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Proporsi
terbesar dari alokasi pengeluaran pangan perkapita pada
contoh berpendapatan ≤ Rp 273.617,00 (15.4%); Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 (14.8%)
dan > Rp 410.425,00 (15.9%) dialokasikan untuk pangan jajanan.
Sementara proporsi terbesar (15.2%) dari pengeluaran pangan perkapita contoh berpendapatan Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 dialokasikan untuk pangan pokok. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 14.0 persen; Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 12.8 persen; Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 15.2 persen dan (> Rp 410.425,00) sebesar 9.6 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan pokok contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 11.5 persen; Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 11.7 persen; Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 9.0 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 11.4 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan hewani contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran kacang-kacangan pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 2.7 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 3.6 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 3.3 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 2.7 persen. Tidak terdapat perbedaan yang
nyata dalam rata-rata pengeluaran kacang-kacangan contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran sayuran pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 1.7 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 2.0 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 1.6 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 1.0 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran sayuran contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 1.1 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 2.1 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 2.7 persen dan > Rp 410.425,00 sebesar 1.3 persen. Terdapat perbedaan yang nyata
dalam
rata-rata
pengeluaran
buah-buahan
contoh
berdasarkan
pendapatan perkapita (p<0.05). Perbedaan rata-rata pengeluaran buah-buahan contoh berdasarkan pendapatan perkapita diduga terjadi karena pada tingkat pendapatan yang tinggi terdapat kecenderungan dalam diri manusia untuk memeperoleh pangan yang beragam. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan lain-lain pada contoh dengan pendapatan perkapita 0-Rp 273.617,00 sebesar 2.8 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 4.6 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 4.1 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 3.0 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan lain-lain contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p<0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran rokok pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 10.6 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 6.8 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 8.5 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 8.7 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran rokok contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan jajanan pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 15.4 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 14.8 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 13.6 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 15.9 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan jajanan contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05).
Pendapatan dan Alokasi Pengeluaran Non Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 40.2 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 41.5 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 42.0 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 46.4 persen. Pendapatan perkapita berhubungan positif dan signifikan (r=0.287**, p<0.01) dengan total pengeluaran non pangan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran non pangan contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Proporsi terbesar dari alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 (11.9%) dan Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 (12.8%) dialokasikan untuk bahan bakar. Proporsi terbesar (17.8%) dari alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan pendapatan perkapita Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 dialokasikan untuk kesehatan. Proporsi terbesar (12.4%) dari alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan pendapatan perkapita >Rp 410.425,00 dialokasikan untuk transportasi. Rata-rata
alokasi
pengeluaran
kesehatan
pada
contoh
dengan
pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 2.9 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 2.3 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 17.8 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 3.4 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kesehatan contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p<0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran bahan bakar pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 11.9 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 12.8 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 12.8 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 10.4 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran bahan bakar contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata
alokasi
pengeluaran
pendidikan
pada
contoh
dengan
pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 3.6 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 6.2 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 4.4 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 7.4 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pendidikan contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pakaian pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 3.1 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00
sebesar 2.8 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 1.5 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 3.6 persen. Pendapatan perkapita berhubungan positif dan signifikan (r=0.247**, p<0.01) dengan pengeluaran pakaian. Hal ini tidak sejalan dengan kedua teori Engel yang menyatakan bahwa pada saat pendapatan meningkat maka alokasi pengeluaran untuk pakaian relatif konstan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pakaian contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata
alokasi
pengeluaran
kerukunan
pada
contoh
dengan
pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 1.7 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 3.4 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 0.5 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 3.6 persen. Pendapatan perkapita berhubungan positif dan signifikan (r=0.192*, p<0.05) dengan pengeluaran kerukunan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kerukunan contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p<0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran perbaikan rumah pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 3.9 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 2.6 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 1.9 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 2.8 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran perbaikan rumah contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran pajak pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 0.4 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 0.3 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 0.3 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 0.1 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata alokasi pengeluaran pajak contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata
alokasi
pengeluaran
transportasi
pada
contoh
dengan
pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 10.0 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 8.1 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 1.7 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 12.4 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran transportasi contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lain-lain pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 2.7 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 3.2 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 1.1
persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 2.5 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran non pangan lain-lain contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Rata-rata total pengeluaran perkapita pada contoh dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar Rp 287.460,60; Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar Rp 410.425,00 sebesar Rp 425.857,42.
Hal ini
menunjukkan semakin besar pendapatan contoh maka total pengeluaran akan mengalami peningkatan. Pendapatan perkapita berhubungan positif dan signifikan (r=0.222*, p<0.05) dengan total pengeluaran. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran contoh berdasarkan pendapatan perkapita (p>0.05). Hubungan Karakteristik Sosial Demografi dan Ekonomi Contoh dengan Tingkat Kesejahteraan Besar Keluarga Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori miskin dengan ukuran kecil sebesar 37.7 persen, berukuran sedang sebesar 29.9 persen dan berukuran besar sebesar 2.6 persen. Proporsi contoh wilayah Pasekan-Sindang yang termasuk kategori miskin dengan ukuran kecil sebesar 14.3 persen, berukuran sedang sebesar 15.6 persen dan berukuran besar sebesar 0.0 persen. Tabel 14. Sebaran tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan kategori keluarga Tingkat Kesejahteraan Wilayah
Ukuran Keluarga
Miskin n
Kandanghaur
%
n
%
n
%
Kecil
29
37.7
6
14.6
35
29.7
Sedang
23
29.9
4
9.8
27
22.9
2
2.6
0
0.0
2
1.7
Subtotal
54
70.1
10
24.4
64
54.2
Kecil
11
14.3
13
31.7
24
20.3
Sedang
12
15.6
18
43.9
30
25.4
Besar
0
0.0
0
0.0
0
0.0
Subtotal
23
29.9
31
75.6
54
45.8
Total
77
100
41
100
118
100
Besar
PasekanSindang
Total
Tidak Miskin
Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori tidak miskin dengan ukuran kecil sebesar 14.6 persen, berukuran sedang sebesar 9.8 persen dan berukuran besar sebesar 0.0 persen. Proporsi contoh wilayah
Pasekan-Sindang yang termasuk kategori tidak miskin dengan ukuran kecil sebesar 31.7 persen, berukuran sedang sebesar 43.9 persen dan berukuran besar sebesar 0.0 persen. Tidak terdapat hubungan antara ukuran keluarga dengan tingkat kesejahteraan (p>0.05). Hasil penelitian Megawang et. al (1994) menunjukkan bahwa semakin besar keluarga cenderung tidak ada pengaturan terhadap pengeluaran rumah tangga. Jumlah anggota keluarga yang besar menyebabkan pengaturan pengeluaran sehari-hari menjadi lebih sulit. Tanpa adanya perencanaan terhadap pengeluaran rumah tangga dapat menyebabkan beberapa kebutuhan individu cenderung untuk ditunda atau justru diabaikan. Hal ini dapat menyebabkan kebutuhan individu menjadi tidak terpenuhi secara menyeluruh. Menurut Sumodiningrat (1997) kesejahteraan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan secara agregat dengan tingkat kepuasan yang optimal. Persepsi mengenai keluarga yang sejahtera sangat beragam. Terdapat persepsi bahwa kesejahteraan dapat dilihat dari sisi pencapaian kemapanan secara ekonomi dan kondisi ideal yang dari sisi psikologis diartikan sebagai bahagia. Soembodo (2004) menyatakan bahwa kesejahteraan keluarga bersifat komprehensif karena tingkat pencapaian kesejahteraan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya tidak dapat dibandingkan. Kesejahteraan berkaitan erat dengan tujuan hidup masing-masing keluarga. Usia Orangtua Tabel 15. Sebaran tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan usia suami Tingkat Kesejahteraan Kategori Usia Suami
Wilayah
Miskin n
%
n
%
n
%
Dewasa muda
2
2.6
0
0.0
2
1.7
Dewasa madya
35
45.5
8
19.5
43
36.4
Dewasa akhir
15
19.5
2
4.9
17
14.4
2
2.6
0
0.0
2
1.7
54
70.1
10
24.4
64
54.2
Dewasa muda
3
3.9
2
4.9
5
4.2
Dewasa madya
14
18.2
18
43.9
32
27.1
Dewasa akhir
3
3.9
10
24.4
13
11.0
Lansia
3
3.9
1
2.4
4
3.4
Subtotal
23
29.9
31
75.6
54
45.8
Total
77
100
41
100
118
100
Kandanghaur
Lansia Subtotal PasekanSindang
Total
Tidak Miskin
Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori miskin dengan usia suami termasuk kategori dewasa muda sebesar 2.6 persen, dewasa madya sebesar 45.5 persen, dewasa akhir sebesar 19.5 persen dan lansia sebesar 2.6 persen. Proporsi contoh wilayah Pasekan-Sindang yang termasuk kategori miskin dengan dengan usia suami termasuk kategori dewasa muda sebesar 3.9 persen, dewasa madya sebesar 18.2 persen, dewasa akhir sebesar 3.9 persen dan lansia sebesar 3.9 persen. Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori tidak miskin dengan usia suami termasuk kategori dewasa muda sebesar 0.0 persen, dewasa madya sebesar 19.5 persen, dewasa akhir sebesar 4.9 persen dan lansia sebesar 0.0 persen. Proporsi contoh wilayah Pasekan-Sindang yang termasuk kategori tidak miskin dengan dengan usia suami termasuk kategori dewasa muda sebesar 4.9 persen, dewasa madya sebesar 43.9 persen, dewasa akhir sebesar 24.4 persen dan lansia sebesar 2.4 persen. Tabel 16. Sebaran contoh tingkat kesejahteraan berdasarkan usia istri Tingkat Kesejahteraan Kategori Usia Istri
Wilayah
Miskin n
Kandanghaur
%
n
%
n
%
Dewasa muda
9
11.7
0
0.0
9
7.6
Dewasa madya
35
45.5
9
22.0
44
37.3
Dewasa akhir
9
11.7
1
2.4
10
8.5
Lansia
1
1.3
0
0.0
1
0.8
54
70.1
10
24.4
64
54.2
Dewasa muda
7
9.1
6
14.6
13
11.0
Dewasa madya
Subtotal PasekanSindang
Total
Tidak Miskin
12
15.6
19
46.3
31
26.3
Dewasa akhir
4
5.2
6
14.6
10
8.5
Lansia
0
0.0
0
0.0
0
0.0
Subtotal
23
29.9
31
75.6
54
45.8
Total
77
100
41
100
118
100
Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori miskin dengan usia istri termasuk kategori dewasa muda sebesar 11.7 persen, dewasa madya sebesar 45.5 persen, dewasa akhir sebesar 11.7 persen dan lansia sebesar 1.3 persen. Proporsi contoh wilayah Pasekan-Sindang yang termasuk kategori miskin dengan dengan usia istri termasuk kategori dewasa muda sebesar 9.1 persen, dewasa madya sebesar 15.6 persen, dewasa akhir sebesar 5.2 persen dan lansia sebesar 0.0 persen.
Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori tidak miskin dengan usia istri termasuk kategori dewasa muda sebesar 0.0 persen, dewasa madya sebesar 22.0 persen, dewasa akhir sebesar 2.4 persen dan lansia sebesar 0.0 persen. Proporsi contoh wilayah Pasekan-Sindang yang termasuk kategori tidak miskin dengan dengan usia istri termasuk kategori dewasa muda sebesar 14.6 persen, dewasa madya sebesar 46.3 persen, dewasa akhir sebesar 14.6 persen dan lansia sebesar 0.0 persen. Tidak terdapat hubungan antara usia istri contoh dengan tingkat kesejahteraan (p>0.05). Perubahan
usia
seseorang
dapat
mempengaruhi
kematangan
emosionalnya. Dengan demikian pola pikir, sikap dan perilaku seseorang dapat berubah seiring dengan bertambahnya usia. Tidak terdapat hubungan antara usia suami contoh dengan tingkat kesejahteraan (p>0.05). Secara teoritis orang tua dengan usia yang relatif muda akan lebih produktif dibandingkan orangtua yang berusia lebih tua sehingga memiliki peluang yang lebih besar dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian keluarganya. Namun, terdapat pula suatu kecenderungan bahwa orangtua yang berusia lebih muda masih lebih mengutamakan kepentingan pribadinya. Hal ini dapat menyebabkan sumberdaya dalam keluarga tidak didistribusikan secara proporsional (Rahmawati 2006). Distribusi sumberdaya yang tidak merata tersebut menyebabkan ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan antaranggota keluarga. Sementara usia orangtua yang mendekati usia lanjut cenderung tidak produktif sehingga kontribusinya berkurang terhadap perekonomian keluarga. Penurunan kontribusi mereka terhadap perekonomian keluarga menyebabkan pemenuhan kebutuhan menjadi lebih terbatas. Tingkat Pendidikan Orangtua Pendidikan merupakan kunci untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan ketidaksejahteraan. (Khomsan 2007). Tingkat pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi di masa yang akan datang karena tingkat pendidikanakan menentukan akses seseorang terhadap informasi dan dunia kerja. Tingkat pendidikan menjadi salah satu indikator dalam penilaian tingkat kesejahteran suatu masyarakat. Setiap tahun Bank Dunia dalam laporannya mengeluarkan Human Development Index (HDI, Indeks Pembangunan Manusia) dengan komponen antara lain tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf penduduk dewasa, tingkat penyelesaian studi pada sekolah dasar dan menengah dan PDB riil per kapita.
Tabel 17. Sebaran tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami Tingkat Kesejahteraan Wilayah
Tingkat Pendidikan Suami
Miskin n
Dasar Kandanghaur
PasekanSindang
Total
Tidak Miskin
%
n
%
n
%
45
58.4
4
9.8
49
41.5
Menengah
6
7.8
3
7.3
9
7.6
Tinggi
3
3.9
3
7.3
6
5.1
Subtotal
54
70.1
10
24.4
64
54.2
Dasar
16
20.8
16
39.0
32
27.1
Menengah
5
6.5
12
29.3
17
14.4
Tinggi
2
2.6
3
7.3
5
4.2
Subtotal
23
29.9
31
75.6
54
45.8
Total
77
100
41
100
118
100
Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori miskin dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 58.4 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 7.8 persen dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 3.9 persen. Proporsi contoh wilayah Pasekan-Sindang yang termasuk kategori miskin dengan dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 20.8 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 6.5 persen dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 2.6 persen. Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori tidak miskin dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 9.8 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 7.3 persen dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 7.3 persen. Proporsi contoh wilayah Pasekan-Sindang yang termasuk kategori tidak miskin dengan dengan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 39.0 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 29.3 persen dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 7.3 persen. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan suami contoh dengan tingkat kesejahteraan (p<0.05). Menurut Firdausy (1999) keluarga yang dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih miskin bila dibandingkan keluarga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Data BPS (1994) menunjukkan bahwa 72.01 persen dari keluarga miskin di pedesaan dipimpin oleh kepala rumah tangga yang tidak tamat SD dan 24.32 persen berpendidikan SD. Tingkat
pendidikan
yang
rendah
merupakan
hambatan
dalam
memperoleh pekerjaan. Seseorang yang berpendidikan rendah biasanya
memiliki pekerjaan yang didasari oleh keterampilan yang diperoleh berdasarkan pengalaman ataupun pengetahuan yang diwariskan oleh orangtuanya. Sebagian besar dari jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang banyak melibatkan aktivitas fisik tetapi memiliki upah yang kecil sehingga kesejahteraan hidup mereka menjadi rendah (Mukson 1993). Tabel 18. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan tingkat pendidikan istri Tingkat Kesejahteraan Sektor
Tingkat Pendidikan Istri
Miskin n
Perikanan Tangkap
%
n
%
n
%
Dasar
43
55.8
4
9.8
47
39.8
Menengah
10
13.0
5
12.2
15
12.7
Tinggi
1
1.3
1
2.4
2
1.7
54
70.1
10
24.4
64
54.2
18
23.4
20
48.8
38
32.2
Menengah
4
5.2
10
24.4
14
11.9
Tinggi
1
1.3
1
2.4
2
1.7
Subtotal
23
29.9
31
75.6
54
45.8
Total
77
100
41
100
118
100
Subtotal Dasar Perikanan Budidaya
Total
Tidak Miskin
Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori miskin dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 55.8 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 13.0 persen dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 1.3 persen. Proporsi contoh wilayah Pasekan-Sindang yang termasuk kategori miskin dengan dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 23.4 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 5.2 persen dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 1.3 persen. Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori tidak miskin dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 9.8 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 12.2 persen dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 2.4 persen. Proporsi contoh wilayah Pasekan-Sindang yang termasuk kategori tidak miskin dengan dengan istri yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 48.8 persen, tingkat pendidikan menengah sebesar 24.4 persen dan tingkat pendidikan tinggi sebesar 2.4 persen. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan istri contoh dengan tingkat kesejahteraan (p>0.05). Peranan kaum wanita di wilayah pedesaan, khususnya pada masyarakat pesisir masih sangat dominan pada fungsi-fungsi domestik. Tingkat pendidikan mereka yang relatif rendah merupakan faktor yang menghambat akses mereka
untuk bersaing dalam pasar kerja. Meskipun kaum istri pada masyarakat pesisir juga membantu dalam mencari nafkah keluarga, kontribusi mereka terhadap perekonomian rumah tangga relatif rendah karena pekerjaan yang mereka lakukan umumnya merupakan pekerjaan yang bersifat marginal (Suhartono 2007). Pendapatan Masalah
umum
dalam
pembangunan
perekonomian
di
negara
berkembang adalah masalah pendapatan yang rendah dan kemiskinan (Sumodingrat 1997). Pendapatan merupakan faktor yang menentukan tingkat konsumsi. Tingkat pendapatan yang semakin tinggi dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Perhitungan pendapat perkapita dalam kegiatan-kegiatan survei sosial ekonomi sulit untuk dilakukan sehingga pendapatan perkapita didekati melalui tingkat pengeluaran (BPS 1997). Tabel 19. Sebaran tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan pendapatan perkapita Tingkat Kesejahteraan Wilayah
Tingkat Pendapatan Perkapita
Miskin n
≤ Rp 273.617,00 Kandanghaur
PasekanSindang
%
Total
Tidak Miskin n
%
n
%
29
37.7
3
7.3
32
27.1
Rp 273.618,00-Rp 342.202,00
4
5.2
1
2.4
5
4.2
Rp 342.202,00-Rp 410.425,00
3
3.9
0
0.0
3
2.5
>Rp 410.425,00
18
23.4
6
14.6
24
20.3
Subtotal
54
70.1
10
24.4
64
54.2
≤ Rp 273.617,00
18
23.4
15
36.6
33
28.0
Rp 273.618,00-Rp 342.202,00
4
5.2
4
9.8
8
6.8
Rp 342.202,00-Rp 410.425,00
1
1.3
5
12.2
6
5.1
>Rp 410.425,00
0
0.0
7
17.1
7
5.9
Subtotal
23
29.9
31
75.6
54
45.8
Total
77
100
41
100
118
100
Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori miskin dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 37.7 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 5.2 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 3.9 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 23.4 persen. Proporsi contoh wilayah Pasekan-Sindang yang termasuk kategori miskin dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 23.4 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00
sebesar 5.2 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 1.3 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 0.0 persen. Proporsi contoh wilayah Kandanghaur yang termasuk kategori tidak miskin dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 7.3 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 2.4 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 0.0 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 14.6 persen. Proporsi contoh wilayah Pasekan-Sindang yang termasuk kategori tidak miskin dengan dengan dengan pendapatan perkapita ≤ Rp 273.617,00 sebesar 36.6 persen, Rp 273.618,00-Rp 342.202,00 sebesar 9.8 persen, Rp 342.203,00-Rp 410.425,00 sebesar 12.2 persen dan >Rp 410.425,00 sebesar 17.1 persen. Tidak terdapat hubungan antara pendapata perkapita contoh dengan tingkat kesejahteraan (p>0.05). Pendapatan yang tinggi memberikan peluang yang lebih besar bagi individu maupun keluarga untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan (Roedjito 1986). Besarnya pendapatan dapat menggambarkan daya beli masyarakat terhadap komoditi pemuas kebutuhan. Hasil penelitian Soembodo (2004) menyatakan bahwa persepsi masyarakat petani miskin mengenai kesejahteraan berupa pemenuhan kebutuhan dari aspek ekonomi meliputi suami dan istri yang bekerja, anggota keluarga yang ikut membantu bekerja dan kepemilikan tabungan. Sementara dari aspek sosial-budaya meliputi :pendidikan anak, kesehatan, dan kehidupan yang rukun. Hubungan Alokasi Pengeluaran Contoh dengan Tingkat Kesejahteraan Manusia memiliki keinginan dan kebutuhan yang tidak terbatas. Ketidaksejahteraan merupakan gambaran ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup minimum akibat sumberdaya yang dimilikinya terbatas. Besarnya proporsi pengeluaran rumah tangga yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan akan mengindikasikan tingkat kesejahteraan keluarga tersebut. Proporsi pengeluaran pangan pada rumah tangga di negara-negara maju terhadap total pengeluaran tidak lebih dari 50 persen (BPS 1997). Berdasarkan teori Engel pangsa pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pangan cenderung menurun dengan meningkatnya kesejahteraan. Sementara menurut teori Bennet alokasi pengeluaran pangan pokok akan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan.
Tabel 20. Sebaran alokasi pengeluaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan Tingkat Kesejahteraan Alokasi Pengeluaran
Miskin µ (Rp)
Pangan
%
Total
µ (Rp)
%
µ (Rp)
%
Pangan pokok
42.345,42
18.4
40.199,64
7.6
41.599,85
12.5
Pangan hewani Kacangkacangan Sayuran
25.047,06
10.9
60.890,37
11.6
37.501,09
11.3
8.887,88
3.9
10.270,96
2.0
9.368,44
2.8
4.197,74
1.8
6.487,76
1.2
4.993,43
1.5
Buah
2.712,49
1.2
8.414,23
1.6
4.693,60
1.4
Lain-lain
8.526,30
3.7
13.957,52
2.7
10.413,42
3.1
20.409,21
8.9
51.605,87
9.8
31.248,73
9.4
Rokok Jajanan
40.707,95
17.7
70.596,40
13.4
51.092,92
15.4
152.834,05
66.6
262.422,75
49.9
190.911,48
57.4
8.007,29
3.5
25.529,67
4.9
14.095,58
4.2
33.717,61
14.7
47.176,25
9.0
38.393,92
11.6
Pendidikan
9.418,68
4.1
32.418,70
6.2
17.410,21
5.2
Pakaian
5.327,03
2.3
19.557,91
3.7
10.271,66
3.1
Kerukunan Perbaikan rumah Pajak
5.534,89
2.4
12.776,95
2.4
8.051,20
2.4
2.683,77
1.2
26058.54
5.0
10.805,51
3.3
715,09
0.3
1.249,81
0.2
900,88
0.3
Transportasi
6.656,03
2.9
82.867,89
15.8
33.136,42
10.0
Lain-lain
4.670,43
2.0
15.451,22
2.9
8.416,30
2.5
Subtotal
76.730,82
33.4
263.086,93
50.1
141.481,67
42.6
Total
229.564,87
100
525509.68
100
332.393,15
100
Subtotal Kesehatan Bahan bakar
Non Pangan
Tidak Miskin
Alokasi Pengeluaran Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran pangan contoh secara keseluruhan adalah 57.4 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan kategori miskin sebesar 66.6 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pangan pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 49.9 persen. Hal ini menunjukkan semakin rendah alokasi pengeluaran pangan maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran pangan contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025). Hasil penelitian Suhartini et.al (2004) menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan pada rumah tangga miskin dan kaya di wilayah pedesaan berada di atas 50.0 persen. Menurut Soekirman (1991) alokasi pengeluaran pangan pada rumah tangga miskin adalah 60-80 persen.
Proporsi (18.4%) terbesar dari pengeluaran pangan pada contoh dengan kategori miskin dialokasikan untuk pangan pokok. Sementara proporsi terbesar dari pengeluaran pangan pada dengan kategori tidak miskin (17.8%) dialokasikan untuk pangan jajanan. Proporsi (15.4%) terbesar dari pengeluaran pangan contoh secara keseluruhan dialokasikan untuk pangan jajanan. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok contoh secara keseluruhan adalah 12.5 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok pada contoh dengan kategori miskin sebesar 18.4 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pangan pokok pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 7.6 persen.. Hal ini menunjukkan semakin rendah alokasi pengeluaran pangan pokok maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Alokasi pengeluaran pangan pokok berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.499**, p<0.01) dengan tingkat kesejahteraan. Menurut teori Bennet proporsi pangan pokok akan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan rumah tangga. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan pokok contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani contoh secara keseluruhan adalah 11.3 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani pada contoh dengan kategori miskin sebesar 10.9 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pangan hewani pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 11.6 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi alokasi pengeluaran pangan hewani maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan hewani contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025). Rata-rata
alokasi
pengeluaran
kacang-kacangan
contoh
secara
keseluruhan adalah 2.8 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran kacang-kacangan pada contoh dengan kategori miskin sebesar 3.9 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran kacang-kacangan pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 2.0 persen. Hal ini menunjukkan semakin rendah alokasi pengeluaran kacang-kacangan maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Alokasi pengeluaran kacang-kacangan berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.278**, p<0.01) dengan tingkat kesejahteraan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kacang-kacangan contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p>0.025).
Rata-rata alokasi sayuran contoh secara keseluruhan adalah 1.5 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran sayuran pada contoh dengan kategori miskin sebesar 1.8 persen sedangkan rata-rata alokasi sayuran pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 1.2 persen. Hal ini menunjukkan semakin rendah alokasi pengeluaran sayuran maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Alokasi pengeluaran sayuran berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.188*, p<0.05) dengan tingkat kesejahteraan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran sayuran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan contoh secara keseluruhan adalah 1.4 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan pada contoh dengan kategori miskin sebesar 1.2 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran buah-buahan pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 1.6 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi alokasi pengeluaran buah-buahan maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran buah-buahan contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025). Rata-rata
alokasi
pengeluaran
pangan
lain-lain
contoh
secara
keseluruhan adalah 3.1 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan lain-lain pada contoh dengan kategori miskin sebesar 3.7 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pangan lain-lain pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 2.7 persen. Hal ini menunjukkan semakin rendah alokasi pengeluaran pangan lain-lain maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Alokasi pengeluaran pangan lain-lain berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.239**, p<0,01) dengan tingkat kesejahteraan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan lain-lain contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran rokok contoh secara keseluruhan adalah 9.4 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran rokok pada contoh dengan kategori miskin sebesar 8.9 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran rokok pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 9.8 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi alokasi pengeluaran rokok maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran rokok contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025).
Rata-rata
alokasi
pengeluaran
pangan
jajanan
contoh
secara
keseluruhan adalah 15.4 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan jajanan pada contoh dengan kategori miskin sebesar 17.7 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pangan jajanan pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 13.4 persen. Hal ini menunjukkan semakin rendah alokasi pengeluaran pangan jajanan maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Alokasi pengeluaran pangan jajanan berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.252**, p<0.01) dengan tingkat kesejahteraan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pangan jajanan contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025). Alokasi Pengeluaran Non Pangan Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan contoh secara keseluruhan adalah 42.6 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan kategori miskin sebesar 33.4 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 50.1 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi alokasi pengeluaran non pangan maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran non pangan contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025). Perbedaan antara masyarakat yang sejahtera dan belunm sejahtera dicerminkan oleh pola konsumsi masyarakat itu sendiri. Sejalan dengan teori kedua yang dikemukakan oleh Engel pola konsumsi masyarakat yang belum sejahtera biasanya didominasi oleh konsumsi kebutuhan-kebutuhan primer sedangkan pengeluaran konsumsi masyarakat yang sudah mapan cenderung teralokasikan pada kebutuhan sekunder atau tersier. Proporsi (14.7%) terbesar dari alokasi pengeluaran non pangan pada contoh dengan kategori miskin dialokasikan untuk bahan bakar. Sementara proporsi terbesar dari pengeluaran non pangan pada contoh dengan kategori tidak miskin (15.8%) dialokasikan untuk transportasi. Proporsi (11.6%) terbesar dari alokasi pengeluaran non pangan contoh secara keseluruhan dialokasikan untuk bahan bakar. Rata-rata alokasi pengeluaran kesehatan contoh secara keseluruhan adalah 4.2 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran kesehatan pada contoh dengan kategori miskin sebesar 3.5 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran kesehatan pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 4.9
persen. Hal ini menunjukkan semakin rendah alokasi pengeluaran kesehatan maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kesehatan contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p>0.025). Pemeliharaan kesehatan pada sebagian besar penduduk Indonesia masih bersifat kuratif sehingga biaya kesehatan merupakan pengeluaran kesehatan sering tidak menjadi anggaran dalam pengeluaran. Pengeluaran kesehatan merupakan pengeluaran yang bersifat tak terduga tetapi memerlukan biaya yang besar. Menurut Hamudy (2008) salah satu ciri masyarakat miskin adalah derajat kesehatan yang rendah. Hasil penelitian Suryawati dalam Sugianto
(2007)
menunjukkan
bahwa
kesakitan
berhubungan
dengan
kemiskinan. Rata-rata alokasi pengeluaran bahan bakar contoh secara keseluruhan adalah 11.6 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran bahan bakar pada contoh dengan kategori miskin sebesar 14.7 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran bahan bakar pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 9.0 persen. Hal ini menunjukkan semakin rendah alokasi pengeluaran bahan bakar maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Alokasi pengeluaran bahan bakar berhubungan negatif dan signifikan (r=-0.419**, p<0.01) dengan tingkat kesejahteraan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran bahan bakar contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran pendidikan contoh secara keseluruhan adalah 5.2 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pendidikan pada contoh dengan kategori miskin sebesar 4.1 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pendidikan pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 6.2 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi alokasi pengeluaran pendidikan maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pendidikan contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025). Hasil penelitian Soembodo (2004) menunjukkan bahwa salah satu tujuan memberikan pendidikan formal yang tinggi pada anak adalah untuk meringankan beban perekonomian keluarga di masa yang akan datang. Menurut Khomsan (2007) tingkat pendidikan yang tinggi memberikan peluang kesejahteraan hidup yang lebih baik. Rata-rata alokasi pengeluaran pakaian contoh secara keseluruhan adalah 3.1 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pakaian pada contoh dengan kategori
miskin sebesar 2.3 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pakaian pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 3.7 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi alokasi pengeluaran pakaian maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Alokasi pengeluaran pakaian berhubungan positif dan signifikan (r=0.319**, p<0.01) dengan tingkat kesejahteraan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pakaian contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025). Konsumsi pakaian merupakan salah satu kriteria yang digunakan BKKBN dalam menetapkan tingkat kesejahteraan keluarga. Rata-rata alokasi pengeluaran kerukunan pada contoh dengan kategori miskin dan contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 2.4 persen. Hal ini menunjukkan alokasi pengeluaran kerukunan relatif konstan terhadap tingkat kesejahteraan contoh. Terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran kerukunan contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025). Karakteristik kehidupan masyarakat pedesaan adalah adanya rasa kekeluargaan yang tinggi. Oleh sebab itu membina kehidupan yang rukun merupakan kebutuhan sosial yang penting bagi masyarakat pedesaan. Kebutuhan bersosialisasi merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling hakiki sebagai makhluk sosial. Pengakuan dari lingkungan sosialnya memberikan arti yang penting bagi kehidupan individu. Rata-rata
alokasi
pengeluaran
perbaikan
rumah
contoh
secara
keseluruhan adalah 3.3 persen. Rata-rata alokasi perbaikan rumah pada contoh dengan kategori miskin sebesar 1.2 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran perbaikan rumah pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 5.0 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi alokasi pengeluaran perbaikan rumah maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran perbaikan rumah contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran pajak contoh secara keseluruhan adalah 0.3 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran pajak pada contoh dengan kategori miskin sebesar 0.3 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran pajak pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 0.2 persen. Hal ini menunjukkan semakin rendah alokasi pengeluaran pajak maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran pajak contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p>0.025).
Rata-rata alokasi pengeluaran transportasi contoh secara keseluruhan adalah 10.0 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran transportasi pada contoh dengan kategori miskin sebesar 2.9 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran transportasi pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 15.8 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi alokasi pengeluaran transportasi maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Alokasi pengeluaran transportasi berhubungan positif dan signifikan (r=0.224*, p<0.05) dengan tingkat kesejahteraan.
Tidak
terdapat
perbedaan
yang
nyata
dalam
rata-rata
pengeluaran transportasi contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p>0.025). Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lain-lain contoh secara keseluruhan adalah 2.5 persen. Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lainlain pada contoh dengan kategori miskin sebesar 2.0 persen sedangkan rata-rata alokasi pengeluaran non pangan lain-lain pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar 2.9 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi alokasi pengeluaran non pangan lain-lain maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata pengeluaran non pangan lain-lain contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p>0.025). Rata-rata total pengeluaran contoh secara keseluruhan berdasarkan tingkat kesejahteraan adalah Rp 332.393,15 persen. Rata-rata total pengeluaran pada contoh dengan kategori miskin sebesar Rp 229.564,87 sedangkan rata-rata total pengeluaran pada contoh dengan kategori tidak miskin sebesar Rp 525.509,68. Hal ini menunjukkan semakin tinggi total pengeluaran maka tingkat kesejahteraan contoh semakin baik. Total pengeluaran contoh berhubungan positif dan signifikan (r=0.577**, p<0.01) dengan tingkat kesejahteraan. Terdapat perbedaan yang nyata dalam total pengeluaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan (p<0.025).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Rata-rata jumlah contoh wilayah Kandanghaur adalah 4.5 orang sedangkan wilayah Pasekan-Sindang adalah 4.6 orang. Rata-rata jumlah anggota contoh secara keseluruhan adalah 4.6 orang.
Terdapat perbedaan yang nyata
antara rata-rata jumlah anggota contoh wilayah Kandanghaur dengan wilayah Pasekan-Sindang. Proporsi terbesar dari seluruh contoh memiliki kategori keluarga kecil. 2. Rata-rata usia suami wilayah Kandanghaur adalah 44.3 tahun sedangkan contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah 43.4 tahun. Rata-rata usia suami dari contoh secara keseluruhan adalah 43.9 tahun. Rata-rata usia istri wilayah Kandanghaur adalah 38.3 tahun sedangkan contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah 37.8 tahun. Rata-rata usia istri dari contoh secara keseluruhan adalah 38.0 tahun. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata usia orangtua contoh wilayah Kandanghaur dengan wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). Proporsi terbesar dari usia orangtua berada pada kategori dewasa madya.
3. Proporsi terbesar tingkat pendidikan orangtua contoh baik wilayah Kandanghaur maupun contoh wilayah Pasekan-Sindang memiliki tingkat pendidikan dasar. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata tingkat pendidikan orangtua contoh wilayah Kandanghaur dengan wilayah Pasekan-Sindang (p>0.025). 4. Rata-rata total pendapatan perkapita contoh wilayah Kandanghaur adalah Rp 429.201,63 sedangkan contoh wilayah Pasekan-Sindang adalah Rp 250.423,02. Terdapat perbedaan yang nyata antara ratarata total pendapatan perkapita contoh wilayah Kandanghaur dengan wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Rata-rata total pendapatan perkapita contoh secara keseluruhan adalah Rp 347.387,69. 5. Rata-rata
alokasi
pengeluaran
pangan
pada
contoh
wilayah
Kandanghaur sebesar 53.1 persen sedangkan wilayah PasekanSindang sebesar 63.8 persen. Terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata total pengeluaran pangan contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang (p<0.025). Rata-rata total
pengeluaran pangan contoh berbeda nyata berdasarkan tingkat pendidikan suami dan tingkat kesejahteraan. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan contoh secara keseluruhan adalah 57.5 persen. 6. Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada contoh wilayah Kandanghaur sebesar 46.9 persen sedangkan wilayah PasekanSindang sebesar 36.2 persen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam rata-rata total pengeluaran non pangan antara contoh wilayah Kandanghaur dengan contoh wilayah Pasekan-Sindang. Rata-rata total pengeluaran non pangan contoh berbeda nyata
berdasarkan
tingkat pendidikan suami dan tingkat kesejahteraan. Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan contoh secara keseluruhan adalah 42.5 persen. 7. Proporsi terbesar dari contoh wilayah Kandanghaur dan wilayah Pasekan-Sindang berada pada kategori miskin. Terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata tingkat kesejahteraan contoh wilayah Kandanghaur dengan
contoh wilayah Pasekan-Sindang. Besar
keluarga
positif
berhubungan
dan
signifikan
dengan
alokasi
pengeluaran pendidikan dan pajak. Usia orangtua berhubungan positif dan signifikan dengan alokasi pengeluaran pangan pokok. 8. Tingkat pendidikan orangtua berhubungan berhubungan negatif dan signifikan dengan alokasi pengeluaran pangan pokok dan pangan lainlain. Tingkat pendidikan suami berhubungan positif dan signifikan dengan total pengeluaran. Tingkat pendidikan istri berhubungan negatif dan signifikan dengan alokasi pengeluaran kesehatan. Tingkat pendidikan istri berhubungan positif dan signifikan dengan alokasi pengeluaran kerukunan.. 9. Tingkat pendidikan suami contoh berhubungan dengan tingkat kesejahteraan Alokasi pengeluaran contoh untuk pangan pokok, kacang-kacangan, sayuran, pangan lain-lain, jajanan dan bahan bakar berhubungan negatif dan signifikan dengan tingkat kesejahteraan. Alokasi pengeluaran transportasi dan total pengeluaran contoh berhubungan positif dan signifikan dengan tingkat kesejahteraan.
Saran 1. Tingkat pendidikan orangtua pada masyarakat pesisir yang relatif rendah dapat menyebabkan kepedulian mereka terhadap tingkat anak-anaknya juga rendah. Oleh sebab itu hal ini hendaknya perlu mendapat perhatian dari pihak pemerintah maupun agar mengupayakan fasilitas pendidikan yang memadai dengan biaya yang terjangkau agar tidak timbul kemiskinan secara berkelanjutan. 2. Pemeliharaan kesehatan kesehatan pada masyarakat miskin cenderung bersifat
kuratif
sehingga
memerlukan
biaya
yang
relatif
besar.
Pencapaian derajat salah satunya dapat dicapai dengan konsumsi pangan yang baik, yaitu melalui konsumsi pangan yang beragam. Konsumsi pangan hewani sangat penting bagi kecerdasan dan daya tahan tubuh. Oleh sebab itu pemenuhan konsumsi pangan sehari-hari hendaknya tidak hanya mencukupi kebutuhan kalori dengan pangan pokok tetapi juga mencukupi kebutuhan protein dengan konsumsi pangan hewani. 3. Pemeliharaan kesehatan juga dapat dilakukan dengan mengurangi atau menghindari konsumsi pangan yang tidak memberikan kontribusi zat gizi secara
seimbang
bagi
tubuh.
Konsumsi
pangan
jajanan
yang
mengandung kalori tinggi dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan. Konsumsi pangan dari bahan segar yang diolah sendiri juga sekaligus akan lebih menghemat pengeluaran rumah tangga. 4. Ketimpangan pendapatan pada masyarakat pesisir hendaknya menjadi pedoman bagi para pemberi bantuan modal usaha bagi kelompok buruh agar pemberian bantuan modal usaha tersebut juga diiringi dengan upaya peningkatan kesadaran serta kapasitas mereka dalam mengelola modal usaha. Dengan demikian mereka dapat belajar memulai skala usaha yang lebih besar sekaligus mampu menangani resiko usaha yang mungkin terjadi.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad D. 2004. Kemiskinan dan Kesempatan Memperoleh Pendidikan. Kompas edisi 5 Agustus 2004. Almatsier S. 2001. Ilmu Gizi Dasar. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. BPS. 1997. Statistik Rumah Tangga Indonesia 1997. metode dan analisis. BPS : Jakarta. ____ 2004. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004. Jakarta. ____ 2007. Jawa Barat Dalam Angka 2007. Jakarta. ____ 2008. Berita Resmi Statistik : Perubahan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat. Jakarta. Daryanto A. 2008. Peranan Protein Hewani dalam Peningkatan Nilai IPM dalam Majalah Trobos edisi 1 Mei 2008. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia cetakan kelima. Jakarta : Erlangga. Ghany A & D.L Sharpe. 1997. Consumption Pattern Among Ethnic Groups in Canada. Firdausy C.M. 1999. Urban Poverty in Indonesia : Trends, Issues and Policies. Asian Development Review 12(1):68-69. GBHN. 1993. Garis Garis Besar Haluan Negara. Jakarta, Indonesia. Guhardja S, H. Puspitawati, Hartoyo dan D. Martianto. 1992. Diktat Manajemen Sumberdaya Keluarga. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Hamudy M. I. A. 2008. Pengentasan Rakyat Miskin dan Pembangunan Manusia di Jawa Barat (thesis). Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. Bandung. Hartoyo. 1998. Determinant Factors Of Parental and Monetary Investment in Children in Rural Javanese and Minangese Family. Media Gizi dan Keluarga XXII (1), hal 84-94. Hidayat T.S. 1980. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Makanan. Kumpulan Tentang Konsumsi Makanan. Puslitbang Gizi, Bogor. Jus’at. 1991. Determinant of Nutritional Status of Preschool Children in Indonesia. Analylisis of The National Socio Economic Surveys (Susenas) 1987. New York, Cornel University. Khomsan A. 2007. Kemiskinan, Kesejahteraan dan Kebahagiaan. Kompas edisi 16 Juni 2007.
LIPI. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII : Ketahanan Pangan di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta. Makmun. 2003. Gambaran Kemiskinan dan Action Plan Penanganannya. Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan vol. 7 no. 2 edisi Juni 2003. Mangkuprawira. 1985. Alokasi Waktu dan Kontribusi Kerja Anggota Keluarga dalam Kegiatan Ekonomi Rumah Tangga (Studi Kasus di Dua Tipe Desa di Kabupaten Cirebon di Jawa Barat. Disertasi Doktor yang Tidak Dipublikasikan, Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Megawangi R. 1994. Gender Perspectives in Early Childhood care and Development in Indonesia, The Consultative group on early childhood care and Development, Indonesia. Mukson. 1993. Konsumsi Pangan Hasil Ternak Dan Kaitannya Dengan Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya : Studi Kasus Pada Dua Lokasi di Kabupaten Rembang Jawa Tengah (thesis). Program Pasca Sarjana, IPB. Primayuda. 2002. Analisis Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Nelayan Buruh di Pantai Sendang Biru Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur (skripsi). Program Studi Manajemen Bisnis Ekonomi dan Perikanan. Fakultas Perikanan, IPB. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Kelautan IPB. 2008. Gambaran Umum Wilayah Pesisir Indonesia. http://www.pksplipb.or.id Rahmawati Y. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur. [Skripsi]. Sarjana Fakultas Pertanian IPB. Roswita R. 2005. Alokasi Rumah Tangga untuk Pendidikan dan Kaitannya dengan Prestasi Anak pada Keluarga Nelayan di Kabupaten Indramayu (skripsi). Fakultas Pertanian, IPB. Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta : Pustaka Cesindo. Soekirman. 1991. Dampak Pembangunan Terhadap Keadaan Gizi. Orasi Penerimaan Jabatan Guru Besar Luar Biasa Ilmu Gizi. Fakultas Pertanian, IPB Sugianto U.F. 2007. Derajat Kesehatan Keluarga Nelayan Di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Suhardjo, 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB Suhartono E. 2007. Gambaran Kehidupan Masyarakat Pesisir Pantai Timur Sumatera. Badan Informasi dan Komunikasi Pemerintah Daerah Sumatera Utara.
Suhartini S.H, Kukuh W.W, dan Ketut P. 2004. Pola Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Kaitannya dengan Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sumodiningrat G. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. cetakan kedua. Jakarta : Bina Rena Pariwara Supriatna. 2000. Tingkat Kesejahteraan Petani Budidaya Ikan Jaring Terapung di Desa Bongas dan Desa Batulayang Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Jawa Barat (skripsi). Departemen Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan, IPB Suryana A. R & P.U Hadi. 1988. Pola Pengeluaran untuk Konsumsi di Pedesaan Jawa Barat. Prosiding Patanas: Perubahan Ekonomi Menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor Walhi. 2002. Potret Kerusakan Lingkungan Pesisir Jawa. http://www.walhi.or.id/ kampanye/pela/060304_krsknlingkpsisrjw_li/
Lampiran 1. Hasil Uji Korelasi Pearson Hubungan karakteristik sosial demorafi ekonomi contoh dengan alokasi pengeluaran pangan dan total pengeluaran Karakteristik Sosial Demografi Ekonomi
Analisis
Besar Keluarga
Alokasi Pengeluaran Pangan
Total Pengeluaran
Pangan Pokok
Pangan Hewani
Kacangkacangan
Sayuran
Buah
Lain-lain
Rokok
Jajanan
Total Pangan
Pearson Correlation
.181
-.054
-.098
.002
.068
-.011
-.060
.031
-.138
-.103
Usia Suami
Pearson Correlation
.308
**
-.063
.121
.037
.167
.119
.126
-.071
.019
-.073
Usia Istri
Pearson Correlation
.240
**
-.025
.051
-.046
-.029
.083
.032
-.004
-.013
-.007
Pearson Correlation
-.439
**
.004
-.145
-.071
.010
-.182
*
-.081
-.098
-.014
.277
-.374
**
.076
-.173
-.074
-.026
-.204
*
-.094
-.027
-.040
.175
.008
.016
-.125
.047
-.017
-.041
.074
-.276
Tingkat Pendidikan Suami Tingkat Pendidikan Istri Pendapatan
Pearson Correlation Pearson Correlation
-.131
**
**
.222
*
Hubungan alokasi pengeluaran pangan dan total pengeluaran contoh dengan tingkat kesejahteraan Variabel Independen Tingkat Kesejahteraan
Alokasi Pengeluaran Pangan Analisis Pearson Correlation
Pangan Pokok -.499
**
Pangan Hewani
Kacangkacangan
-.105
-.278
**
Sayuran -.188
*
Buah
Lain-lain
-.012
-.239
**
Rokok
Jajanan
-.076
-.252
**
Total Pangan .152
Total Pengeluaran .577
**
Hubungan karakteristik sosial demorafi ekonomi contoh dengan alokasi pengeluaran non pangan Karakteristik Sosial Demografi Ekonomi Besar Keluarga
Alokasi Pengeluaran Non Pangan Analisis Kesehatan
Bahan Bakar
Pendidikan
Pearson Correlation
.140
.057
.213
Usia Suami
Pearson Correlation
.113
Usia Istri
Pearson Correlation
Tingkat Pendidikan Suami
Transportasi
Lain-lain
Total Non Pangan
*
-.149
.040
.138
-.041
.151
-.028
.013
-.019
-.060
-.062
.002
-.015
.015
.013
.163
.110
-.001
.131
.152
.165
.014
*
.241
*
.048
.013
.118
.099
.040
**
.083
.003
-.083
.338
.018
.276
Pakaian
Kerukunan
Perumahan
Pajak
*
.047
-.076
.018
.207
-.047
-.037
.087
-.062
.134
-.042
.059
-.004
Pearson Correlation
.131
-.221
*
-.022
Tingkat Pendidikan Istri
Pearson Correlation
-.211
-.174
.001
.210
Pendapatan
Pearson Correlation
.009
.006
.086
.247
*
**
**
Hubungan alokasi pengeluaran non pangan contoh dengan tingkat kesejahteraan Alokasi Pengeluaran Non Pangan Variabel Independen Tingkat Kesejahteraan Keterangan : ‘’ signifikan at level 0.01 ‘ signifikan at level 0.05
Analisis Pearson Correlation
Kesehatan
Bahan Bakar
-.064
-.419
**
Pendidikan
Pakaian
Kerukunan
Perumahan
Pajak
Transportasi
-.041
.044
-.030
.048
-.078
224
*
Lainlain
Total Non Pangan
.043
-.152
Lampiran 2. Hasil Uji Beda Z Perbedaan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh berdasarkan wilayah Levene's Test for Equality of Variances Karakteristik Sosial Demografi Ekonomi
Analisis F
Besar Keluarga
Usia Suami
Usia Istri
Tingkat Pendidikan Suami
Tingkat Pendidikan Istri
Pendapatan
t-test for Equality of Means
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
0.216
0.944
0.205
0.013
0.078
21.56
Sig.
0.643
0.333
0.652
0.91
0.781
0
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-0.525
116
0.6
-0.13252
0.25232
-0.63228
0.36723
-0.53
115.396
0.597
-0.13252
0.2502
-0.6281
0.36306
0.46
116
0.646
0.89525
1.94534
-2.95774
4.74825
0.456
107.609
0.649
0.89525
1.96356
-2.99702
4.78753
0.262
116
0.794
0.47222
1.80504
-3.10288
4.04732
0.261
111.597
0.795
0.47222
1.80924
-3.11269
4.05714
-1.674
116
0.097
-0.43924
0.26241
-0.95897
0.0805
-1.691
115.729
0.093
-0.43924
0.25968
-0.95358
0.07511
-0.737
116
0.462
-0.15394
0.20878
-0.56744
0.25957
-0.74
114.255
0.461
-0.15394
0.20792
-0.56582
0.25795
2.983
116
0.003
1.79E+05
59926.429
60086.771
2.97E+05
3.205
75.791
0.002
1.79E+05
55775.371
67687.37
2.90E+05
Perbedaan rata-rata pengeluaran dan tingkat kesejahteraan contoh berdasarkan wilayah Levene's Test for Equality of Variances Alokasi Pengeluaran
Pangan pokok
Pangan hewani
Kacangkacangan
Sayuran
Buah
Lain-lain
Rokok
Jajanan
t-test for Equality of Means
Analisis F Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
0.426
2.426
2.052
0.021
1.239
7.558
1.959
1.747
Sig. 0.515
0.122
0.155
0.886
0.268
0.007
0.164
0.189
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
1.995
116
0.048
8076.611
4047.573
59.88177
16093.34
1.956
99.876
0.053
8076.611
4129.941
-117.199
16270.42
-1.999
116
0.048
-16665.7
8335.288
-33174.8
-156.629
-1.925
85.652
0.057
-16665.7
8655.758
-33873.8
542.3593
1.931
116
0.056
3643.318
1887.141
-94.4025
7381.039
1.981
113.866
0.05
3643.318
1839.103
0.02377
7286.613
0.713
116
0.477
996.0998
1396.605
-1770.05
3762.251
0.754
91.767
0.453
996.0998
1321.089
-1627.79
3619.985
-1.571
116
0.119
-1960.86
1247.777
-4432.24
510.5252
-1.565
110.692
0.12
-1960.86
1252.882
-4443.6
521.8896
-2.971
116
0.004
-5214.89
1755.446
-8691.77
-1738.01
-2.852
83.068
0.005
-5214.89
1828.765
-8852.19
-1577.59
-1.711
116
0.09
-10253.1
5991.771
-22120.6
1614.322
-1.692
106.227
0.094
-10253.1
6060.642
-22268.7
1762.381
-0.041
116
0.967
-440.393
10627.34
-21489.2
20608.39
-0.043
110.396
0.966
-440.393
10283.03
-20818.1
19937.35
Lanjutan… Levene's Test for Equality of Variances Alokasi Pengeluaran
Analisis F
Total Pangan
Total
Kesehatan
Bahan Bakar
Pendidikan
Pakaian
Kerukunan
Perumahan
Pajak
t-test for Equality of Means
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed
22.493
0.413
4.033
6.338
2.682
4.016
0.096
8.252
18.493
Sig. 0
0.522
0.047
0.013
0.104
0.047
0.757
0.005
0
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-13.384
116
0
-1.58E+05
11789.44
-1.81E+05
-1.34E+05
-12.567
66.555
0
-1.58E+05
12556.36
-1.83E+05
-1.33E+05
-2.268
116
0.025
-1.10E+05
48509.62
-2.06E+05
-13961.4
-2.355
107.39
0.02
-1.10E+05
46721.44
-2.03E+05
-17424.9
-1.062
116
0.29
-9277.01
8733.394
-26574.6
8020.575
-0.98
55.935
0.331
-9277.01
9463.416
-28235
9680.973
0.872
116
0.385
3719.249
4265.429
-4728.97
12167.47
0.889
115.629
0.376
3719.249
4184.307
-4568.58
12007.08
1.174
116
0.243
9209.689
7846.511
-6331.32
24750.69
1.224
104.011
0.224
9209.689
7523.609
-5709.89
24129.27
0.909
116
0.365
3585.343
3943.072
-4224.41
11395.09
0.97
82.65
0.335
3585.343
3695.609
-3765.53
10936.22
0.14
116
0.889
433.0767
3095.098
-5697.16
6563.309
0.144
112.963
0.886
433.0767
3009.685
-5529.67
6395.827
-1.465
116
0.146
-18545.7
12655.34
-43611.2
6519.791
-1.347
53.787
0.184
-18545.7
13767.69
-46150.8
9059.338
-3.01
116
0.003
-1022.81
339.8078
-1695.84
-349.777
Equal variances not assumed
-2.809
62.609
0.007
-1022.81
364.099
-1750.49
-295.126
Lanjutan… Levene's Test for Equality of Variances Alokasi Pengeluaran
Transportasi
Lain-lain
Total Non Pangan
Total
Kesejahteraan
t-test for Equality of Means
Analisis F Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
6.762
11.001
1.813
0.413
40.333
Sig. 0.011
0.001
0.181
0.522
0
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
1.589
116
0.115
48301.13
30389.85
-11889.8
1.08E+05
1.73
63.717
0.088
48301.13
27919.01
-7478.27
1.04E+05
1.924
116
0.057
11346.35
5896.003
-331.424
23024.13
2.091
65.254
0.04
11346.35
5426.06
510.5614
22182.15
1.1
116
0.274
47749.28
43409.44
-38228.6
1.34E+05
1.152
100.218
0.252
47749.28
41436.16
-34456.7
1.30E+05
-2.268
116
0.025
-1.10E+05
48509.62
-2.06E+05
-13961.4
-2.355
107.39
0.02
-1.10E+05
46721.44
-2.03E+05
-17424.9
-5.235
116
0
-0.41782
0.07981
-0.5759
-0.25975
-5.102
95.462
0
-0.41782
0.08189
-0.58039
-0.25526
Perbedaan rata-rata total pengeluaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan Levene's Test for Equality of Variances Alokasi Pengeluaran
Total Pengeluaran
t-test for Equality of Means
Analisis F Equal variances assumed Equal variances not assumed
21.811
Sig. 0
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-7.6
116
0
-3.22E+05
42378.81
-4.06E+05
-2.38E+05
-5.649
41.441
0
-3.22E+05
57021.82
-4.37E+05
-2.07E+05
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan Levene's Test for Equality of Variances Alokasi Pengeluaran
Pangan pokok
Pangan hewani
Kacangkacangan
Sayuran
Buah-buahan
Lain-lain
t-test for Equality of Means
Analisis F Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed
1.109
18.209
4.273
5.429
15.1
4.969
Sig. 0.295
0
0.041
0.022
0
0.028
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
0.499
116
0.619
2145.7452
4302.3693
-6375.6393
10667.13
0.47
69.274
0.64
2145.7452
4566.0714
-6962.6744
11254.165
-4.359
116
0
-35843.325
8222.1018
-52128.234
-19558.417
-3.467
46.749
0.001
-35843.325
10338.506
-56644.67
-15041.98
-0.691
116
0.491
-1383.0685
2001.8414
-5347.9677
2581.8307
-0.621
61.192
0.537
-1383.0685
2228.2382
-5838.4236
3072.2866
-1.58
116
0.117
-2290.0289
1448.9278
-5159.813
579.75513
-1.212
43.739
0.232
-2290.0289
1888.7974
-6097.2924
1517.2345
-4.718
116
0
-5701.7317
1208.4852
-8095.2888
-3308.1746
-4.142
57.844
0
-5701.7317
1376.4751
-8457.2037
-2946.2596
-2.956
116
0.004
-5431.2311
1837.3341
-9070.3027
-1792.1595
Rokok
Jajanan
Total pangan
Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
21.1
8.207
11.245
0
0.005
0.001
-2.902
77.612
0.005
-5431.2311
1871.3785
-9157.1527
-1705.3095
-5.523
116
0
-31196.661
5648.3366
-42383.904
-20009.419
-4.646
52.445
0
-31196.661
6715.2345
-44669.046
-17724.276
-2.776
116
0.006
-29888.429
10767.438
-51214.696
-8562.1624
-2.293
50.436
0.026
-29888.429
13037.07
-56068.553
-3708.3056
-8.984
116
0
-1.36E+05
15108.871
-1.66E+05
-1.06E+05
-7.59
52.95
0
-1.36E+05
17884.426
-1.72E+05
-99868.125
Lanjutan… Levene's Test for Equality of Variances Alokasi Pengeluaran
Bahan bakar
Pendidikan
Pakaian
Kerukunan
Perumahan
t-test for Equality of Means
Analisis F Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
0
20.612
17.235
8.915
12.178
Sig. 0.992
0
0
0.003
0.001
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-3.13
116
0.002
-13458.628
4299.5427
-21974.415
-4942.8423
-3.103
79.716
0.003
-13458.628
4337.8603
-22091.718
-4825.5391
-2.883
116
0.005
-23000.011
7977.4009
-38800.259
-7199.7638
-2.195
43.155
0.034
-23000.011
10479.243
-44131.225
-1868.7975
-3.627
116
0
-14230.882
3923.7508
-22002.364
-6459.3987
-2.746
42.756
0.009
-14230.882
5182.1275
-24683.365
-3778.3986
-2.286
116
0.024
-7242.0219
3168.0537
-13516.751
-967.29244
-2.201
73.521
0.031
-7242.0219
3289.9303
-13798.061
-685.98264
-1.773
116
0.079
-23374.775
13185.673
-49490.662
2741.1127
-1.297
40.415
0.202
-23374.775
18019.805
-59782.513
13032.964
Pajak
Transportasi
Lain-lain
Total non pangan
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
2.887
15.453
11.812
28.776
0.092
0
Ket0.001
0
-1.462
116
0.147
-534.70551
365.80502
-1259.2284
189.81741
-1.381
69.749
0.172
-534.70551
387.24793
-1307.0961
237.68506
-2.431
116
0.017
-76211.856
31352.154
-1.38E+05
-14114.965
-1.77
40.1
0.084
-76211.856
43060.332
-1.63E+05
10809.577
-1.743
116
0.084
-10780.786
6186.1331
-23033.202
1471.6306
-1.332
43.438
0.19
-10780.786
8095.7725
-27102.704
5541.1333
-4.411
116
0
-1.86E+05
42249.039
-2.70E+05
-3.243
40.722
0.002
-1.86E+05
57463.939
-3.02E+05
-1.03E+05 -70281.307
Lampiran 3. Hasil Uji Asosiasi Chi-Square Tabel 29. Hubungan karakteristik social demografi ekonomi contoh dengan tingkat kesejahteraan Karakteristik Sosial Demografi Ekonomi
Besar keluarga
Usia Suami
Usia Istri
Tingkat pendidikan suami
Tingkat pendidikan istri
Pendapatan
Analisis
Value
df
Pearson Chi-Square
1.606
a
2
Asymp. Sig. (2-sided) 0.448
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
2.245
2
0.326
0.085
1
0.771
Pearson Chi-Square
1.348
a
3
0.718
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1.456
3
0.693
0.002
1
0.962
Pearson Chi-Square
1.296
a
3
0.73
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1.637
3
0.651
0.095
1
0.758
118
118
118
Pearson Chi-Square
11.552
a
2
0.003
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
11.294
2
0.004
9.231
1
0.002
Pearson Chi-Square
5.687
a
2
0.058
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
5.532
2
0.063
4.943
1
0.026
Pearson Chi-Square
3.931
a
3
0.269
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
3.866
3
0.276
2.636
1
0.104
118
118
118
Lampiran 4. Hasil Uji Beda ANOVA Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan ukuran keluarga Alokasi Pengeluaran
Pangan pokok
Pangan hewani
Kacang-kacangan
Sayuran
Buah
Lain-lain
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
3.96E+08
2
1.98E+08
0.399
0.672
Within Groups
5.72E+10
115
4.97E+08
Total
5.76E+10
117
Between Groups
7.64E+09
2
3.82E+09
1.858
0.161
Within Groups
2.37E+11
115
2.06E+09
Total
2.44E+11
117
Between Groups
5.93E+08
2
2.96E+08
2.866
0.061
Within Groups
1.19E+10
115
1.03E+08
Total
1.25E+10
117
Between Groups
5168950.7
2
2584475.4
0.045
0.956
Within Groups
6.65E+09
115
5.78E+07
Total
6.66E+09
117
Between Groups
7.89E+07
2
3.94E+07
0.852
0.429
Within Groups
5.32E+09
115
4.63E+07
Total
5.40E+09
117
Between Groups
4.47E+08
2
2.23E+08
2.374
0.098
Within Groups
1.08E+10
115
9.41E+07
Total
1.13E+10
117
Lanjutan… Alokasi Pengeluaran
Rokok
Jajanan
Total pangan
Kesehatan
Bahan bakar
Pendidikan
Pakaian
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1.54E+09
2
7.68E+08
0.715
0.491
Within Groups
1.24E+11
115
1.07E+09
Total
1.25E+11
117
Between Groups
7.54E+08
2
3.77E+08
0.113
0.893
Within Groups
3.83E+11
115
3.33E+09
Total
3.84E+11
117
Between Groups
3.33E+10
2
1.67E+10
1.64
0.199
Within Groups
1.17E+12
115
1.02E+10
Total
1.20E+12
117
Between Groups
2.24E+09
2
1.12E+09
0.496
0.61
Within Groups
2.59E+11
115
2.26E+09
Total
2.62E+11
117
Between Groups
3.56E+09
2
1.78E+09
3.49
0.034
Within Groups
5.87E+10
115
5.10E+08
Total
6.22E+10
117
Between Groups
7.73E+09
2
3.86E+09
2.178
0.118
Within Groups
2.04E+11
115
1.77E+09
Total
2.12E+11
117
Between Groups
1.05E+09
2
5.25E+08
1.158
0.318
Within Groups
5.22E+10
115
4.54E+08
Total
5.32E+10
117
Lanjutan… Alokasi Pengeluaran
Kerukunan
Perumahan
Pajak
Transportasi
Lain-lain
Total non pangan
Total pengeluaran
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1.71E+08
2
8.55E+07
0.304
0.739
Within Groups
3.24E+10
115
2.82E+08
Total
3.26E+10
117
Between Groups
1.71E+09
2
8.57E+08
0.178
0.837
Within Groups
5.53E+11
115
4.80E+09
Total
5.54E+11
117
Between Groups
1.71E+07
2
8553610
2.424
0.093
Within Groups
4.06E+08
115
3528961
Total
4.23E+08
117
Between Groups
9.40E+09
2
4.70E+09
0.169
0.845
Within Groups
3.20E+12
115
2.78E+10
Total
3.21E+12
117
Between Groups
8.18E+08
2
4.09E+08
0.389
0.679
Within Groups
1.21E+11
115
1.05E+09
Total
1.22E+11
117
Between Groups
1.51E+10
2
7.54E+09
0.134
0.874
Within Groups
6.45E+12
115
5.61E+10
Total
6.47E+12
117
Between Groups
9.09E+10
2
4.55E+10
0.633
0.533
Within Groups
8.26E+12
115
7.18E+10
Total
8.35E+12
117
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan usia suami Alokasi Pengeluaran Pangan
Pangan pokok
Pangan hewani
Kacang-kacangan
Sayuran
Buah
Lain-lain
Rokok
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
5.97E+09
3
1.99E+09
4.392
0.006
Within Groups
5.16E+10
114
4.53E+08
Total
5.76E+10
117
Between Groups
6.38E+09
3
2.13E+09
1.019
0.387
Within Groups
2.38E+11
114
2.09E+09
Total
2.44E+11
117
Between Groups
2.84E+08
3
9.46E+07
0.884
0.452
Within Groups
1.22E+10
114
1.07E+08
Total
1.25E+10
117
Between Groups
1.27E+08
3
4.25E+07
0.742
0.529
Within Groups
6.53E+09
114
5.73E+07
Total
6.66E+09
117
Between Groups
3.41E+07
3
1.14E+07
0.242
0.867
Within Groups
5.37E+09
114
4.71E+07
Total
5.40E+09
117
Between Groups
2.63E+08
3
8.77E+07
0.908
0.439
Within Groups
1.10E+10
114
9.65E+07
Total
1.13E+10
117
Between Groups
3.26E+08
3
1.09E+08
0.099
0.96
Within Groups
1.25E+11
114
1.09E+09
Total
1.25E+11
117
Lanjutan… Alokasi Pengeluaran Pangan
Jajanan
Total Pangan
Kesehatan
Bahan Bakar
Pendidikan
Pakaian
Kerukunan
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
2.96E+10
3
9.88E+09
3.181
0.027
Within Groups
3.54E+11
114
3.11E+09
Total
3.84E+11
117
Between Groups
4.29E+09
3
1.43E+09
0.136
0.938
Within Groups
1.20E+12
114
1.05E+10
Total
1.20E+12
117
Between Groups
9.79E+08
3
3.27E+08
0.143
0.934
Within Groups
2.61E+11
114
2.29E+09
Total
2.62E+11
117
Between Groups
1.40E+09
3
4.67E+08
0.875
0.456
Within Groups
6.08E+10
114
5.34E+08
Total
6.22E+10
117
Between Groups
3.66E+09
3
1.22E+09
0.668
0.573
Within Groups
2.08E+11
114
1.83E+09
Total
2.12E+11
117
Between Groups
1.27E+09
3
4.24E+08
0.931
0.428
Within Groups
5.19E+10
114
4.56E+08
Total
5.32E+10
117
Between Groups
7.90E+08
3
2.63E+08
0.945
0.421
Within Groups
3.18E+10
114
2.79E+08
Total
3.26E+10
117
Lanjutan… Alokasi Pengeluaran Pangan
Perumahan
Pajak
Transportasi
Lain-lain
Total non pangan
Total pengeluaran
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
4.98E+09
3
1.66E+09
0.345
0.793
Within Groups
5.49E+11
114
4.82E+09
Total
5.54E+11
117
Between Groups
3226727
3
1075575.65
0.292
0.831
Within Groups
4.20E+08
114
3681675.86
Total
4.23E+08
117
Between Groups
3.76E+10
3
1.25E+10
0.45
0.718
Within Groups
3.17E+12
114
2.78E+10
Total
3.21E+12
117
Between Groups
1.72E+09
3
5.72E+08
0.543
0.654
Within Groups
1.20E+11
114
1.05E+09
Total
1.22E+11
117
Between Groups
2.19E+11
3
7.31E+10
1.334
0.267
Within Groups
6.25E+12
114
5.48E+10
Total
6.47E+12
117
Between Groups
2.42E+11
3
8.08E+10
1.136
0.338
Within Groups
8.11E+12
114
7.11E+10
Total
8.35E+12
117
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan usia istri Alokasi Pengeluaran
Pangan pokok
Pangan hewani
Kacang-kacangan
Sayuran
BUah-buahan
Lain-lain
Rokok
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
4.37E+09
3
1.46E+09
3.12
0.029
Within Groups
5.32E+10
114
4.67E+08
Total
5.76E+10
117
Between Groups
8.31E+09
3
2.77E+09
1.339
0.265
Within Groups
2.36E+11
114
2.07E+09
Total
2.44E+11
117
Between Groups
1.63E+08
3
5.45E+07
0.504
0.68
Within Groups
1.23E+10
114
1.08E+08
Total
1.25E+10
117
Between Groups
4.61E+07
3
1.54E+07
0.265
0.85
Within Groups
6.61E+09
114
5.80E+07
Total
6.66E+09
117
Between Groups
1.01E+08
3
3.36E+07
0.722
0.541
Within Groups
5.30E+09
114
4.65E+07
Total
5.40E+09
117
Between Groups
3.82E+07
3
1.27E+07
0.129
0.943
Within Groups
1.12E+10
114
9.85E+07
Total
1.13E+10
117
Between Groups
3.80E+09
3
1.27E+09
1.191
0.316
Within Groups
1.21E+11
114
1.06E+09
Total
1.25E+11
117
Lanjutan… Alokasi Pengeluaran
Jajanan
Total pangan
Kesehatan
Bahan bakar
Pendidikan
Pakaian
Kerukunan
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
3.48E+10
3
1.16E+10
3.791
0.012
Within Groups
3.49E+11
114
3.06E+09
Total
3.84E+11
117
Between Groups
2.12E+10
3
7.08E+09
0.684
0.564
Within Groups
1.18E+12
114
1.04E+10
Total
1.20E+12
117
Between Groups
1.62E+09
3
5.40E+08
0.237
0.87
Within Groups
2.60E+11
114
2.28E+09
Total
2.62E+11
117
Between Groups
1.80E+08
3
5.99E+07
0.11
0.954
Within Groups
6.20E+10
114
5.44E+08
Total
6.22E+10
117
Between Groups
6.13E+09
3
2.04E+09
1.132
0.339
Within Groups
2.06E+11
114
1.80E+09
Total
2.12E+11
117
Between Groups
1.31E+09
3
4.35E+08
0.956
0.416
Within Groups
5.19E+10
114
4.55E+08
Total
5.32E+10
117
Between Groups
6.24E+08
3
2.08E+08
0.743
0.529
Within Groups
3.19E+10
114
2.80E+08
Total
3.26E+10
117
Lanjutan… Alokasi Pengeluaran
Perumahan
Pajak
Transportasi
Lain-lain
Total non pangan
Total pengeluaran
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
2.10E+09
3
6.99E+08
0.144
0.933
Within Groups
5.52E+11
114
4.84E+09
Total
5.54E+11
117
Between Groups
4496404.6
3
1498801.5
0.408
0.747
Within Groups
4.18E+08
114
3670538.3
Total
4.23E+08
117
Between Groups
3.30E+10
3
1.10E+10
0.395
0.757
Within Groups
3.17E+12
114
2.78E+10
Total
3.21E+12
117
Between Groups
2.43E+09
3
8.08E+08
0.771
0.512
Within Groups
1.19E+11
114
1.05E+09
Total
1.22E+11
117
Between Groups
1.39E+11
3
4.63E+10
0.834
0.478
Within Groups
6.33E+12
114
5.55E+10
Total
6.47E+12
117
Between Groups
1.22E+11
3
4.06E+10
0.563
0.641
Within Groups
8.23E+12
114
7.22E+10
Total
8.35E+12
117
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami Alokasi pengeluaran
Pangan pokok
Pangan hewani
Kacang-kacangan
Sayuran
Buah-buahan
Lain-lain
Rokok
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
5.37E+09
2
2.68E+09
5.912
0.004
Within Groups
5.22E+10
115
4.54E+08
Total
5.76E+10
117
Between Groups
1.26E+10
2
6.28E+09
3.119
0.048
Within Groups
2.32E+11
115
2.01E+09
Total
2.44E+11
117
Between Groups
2.20E+08
2
1.10E+08
1.029
0.361
Within Groups
1.23E+10
115
1.07E+08
Total
1.25E+10
117
Between Groups
2.36E+08
2
1.18E+08
2.112
0.126
Within Groups
6.42E+09
115
5.58E+07
Total
6.66E+09
117
Between Groups
5.92E+08
2
2.96E+08
7.069
0.001
Within Groups
4.81E+09
115
4.18E+07
Total
5.40E+09
117
Between Groups
3.72E+08
2
1.86E+08
1.965
0.145
Within Groups
1.09E+10
115
9.47E+07
Total
1.13E+10
117 1.662
0.194
Between Groups
3.51E+09
2
1.76E+09
Within Groups
1.22E+11
115
1.06E+09
Total
1.25E+11
117
Lanjutan… Alokasi pengeluaran
Jajanan
Total pangan
Kesehatan
Bahan bakar
Pendidikan
Pakaian
Kerukunan
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
2.61E+10
2
1.30E+10
4.192
0.017
Within Groups
3.58E+11
115
3.11E+09
Total
3.84E+11
117
Between Groups
8.50E+10
2
4.25E+10
4.379
0.015
Within Groups
1.12E+12
115
9.71E+09
Total
1.20E+12
117
Between Groups
1.45E+08
2
7.23E+07
0.032
0.969
Within Groups
2.62E+11
115
2.27E+09
Total
2.62E+11
117
Between Groups
1.90E+09
2
9.50E+08
1.811
0.168
Within Groups
6.03E+10
115
5.25E+08
Total
6.22E+10
117
Between Groups
1.60E+10
2
8.02E+09
4.713
0.011
Within Groups
1.96E+11
115
1.70E+09
Total
2.12E+11
117
Between Groups
3.44E+09
2
1.72E+09
3.974
0.021
Within Groups
4.98E+10
115
4.33E+08
Total
5.32E+10
117
Between Groups
1.85E+09
2
9.24E+08
3.462
0.035
Within Groups
3.07E+10
115
2.67E+08
Total
3.26E+10
117
Lanjutan… Alokasi pengeluaran
Perumahan
Pajak
Transportasi
Lain-lain
Total non pangan
Total pengeluaran
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
2.91E+10
2
1.46E+10
3.19
0.045
Within Groups
5.25E+11
115
4.57E+09
Total
5.54E+11
117
Between Groups
3.94E+07
2
1.97E+07
5.904
0.004
Within Groups
3.84E+08
115
3335236
Total
4.23E+08
117
Between Groups
5.96E+10
2
2.98E+10
1.088
0.34
Within Groups
3.15E+12
115
2.74E+10
Total
3.21E+12
117
Between Groups
1.10E+10
2
5.48E+09
5.683
0.004
Within Groups
1.11E+11
115
9.65E+08
Total
1.22E+11
117
Between Groups
3.58E+11
2
1.79E+11
3.368
0.038
Within Groups
6.11E+12
115
5.31E+10
Total
6.47E+12
117
Between Groups
6.27E+11
2
3.14E+11
4.671
0.011
Within Groups
7.72E+12
115
6.72E+10
Total
8.35E+12
117
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri Alokasi pengeluaran
Pangan pokok
Pangan hewani
Kacang-kacangan
Sayuran
Buah-buahan
Lain-lain
Rokok
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
3.90E+09
2
1.95E+09
4.18
0.018
Within Groups
5.37E+10
115
4.67E+08
Total
5.76E+10
117
Between Groups
1.62E+10
2
8.11E+09
4.093
0.019
Within Groups
2.28E+11
115
1.98E+09
Total
2.44E+11
117
Between Groups
6.46E+07
2
3.23E+07
0.299
0.742
Within Groups
1.24E+10
115
1.08E+08
Total
1.25E+10
117
Between Groups
6284737
2
3142368.5
0.054
0.947
Within Groups
6.65E+09
115
5.78E+07
Total
6.66E+09
117
Between Groups
1.78E+08
2
8.91E+07
1.961
0.145
Within Groups
5.22E+09
115
4.54E+07
Total
5.40E+09
117
Between Groups
984642.62
2
492321.31
0.005
0.995
Within Groups
1.13E+10
115
9.80E+07
Total
1.13E+10
117
Between Groups
7.12E+09
2
3.56E+09
3.469
0.034
Within Groups
1.18E+11
115
1.03E+09
Total
1.25E+11
117
Lanjutan… Alokasi pengeluaran
Jajanan
Total pangan
Kesehatan
Bahan bakar
Pendidikan
Pakaian
Kerukunan
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
8.99E+09
2
4.50E+09
1.38
0.256
Within Groups
3.75E+11
115
3.26E+09
Total
3.84E+11
117
Between Groups
1.63E+10
2
8.17E+09
0.793
0.455
Within Groups
1.19E+12
115
1.03E+10
Total
1.20E+12
117
Between Groups
2.72E+08
2
1.36E+08
0.06
0.942
Within Groups
2.61E+11
115
2.27E+09
Total
2.62E+11
117
Between Groups
8.40E+08
2
4.20E+08
0.787
0.458
Within Groups
6.14E+10
115
5.34E+08
Total
6.22E+10
117
Between Groups
9.58E+09
2
4.79E+09
2.725
0.07
Within Groups
2.02E+11
115
1.76E+09
Total
2.12E+11
117
Between Groups
4.41E+09
2
2.20E+09
5.196
0.007
Within Groups
4.88E+10
115
4.24E+08
Total
5.32E+10
117 8.333
0
Between Groups
4.12E+09
2
2.06E+09
Within Groups
2.84E+10
115
2.47E+08
Total
3.26E+10
117
Lanjutan… Alokasi pengeluaran
Perumahan
Pajak
Transportasi
Lain-lain
Total non pangan
Total pengeluaran
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
2.42E+10
2
1.21E+10
2.622
0.077
Within Groups
5.30E+11
115
4.61E+09
Total
5.54E+11
117
Between Groups
8264066.9
2
4132033.5
1.146
0.322
Within Groups
4.15E+08
115
3605858.3
Total
4.23E+08
117
Between Groups
1.75E+10
2
8.74E+09
0.315
0.73
Within Groups
3.19E+12
115
2.77E+10
Total
3.21E+12
117
Between Groups
4.39E+09
2
2.20E+09
2.148
0.121
Within Groups
1.18E+11
115
1.02E+09
Total
1.22E+11
117
Between Groups
2.72E+11
2
1.36E+11
2.523
0.085
Within Groups
6.20E+12
115
5.39E+10
Total
6.47E+12
117
Between Groups
4.20E+11
2
2.10E+11
3.044
0.052
Within Groups
7.93E+12
115
6.90E+10
Total
8.35E+12
117
Perbedaan rata-rata pengeluaran contoh berdasarkan pendapatan perkapita Alokasi Pengeluaran
Pangan pokok
Pangan hewani
Kacang-kacangan
Sayuran
Buah-buahan
Lain-lain
Rokok
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1.42E+09
3
4.73E+08
0.96
0.414
Within Groups
5.62E+10
114
4.93E+08
Total
5.76E+10
117
Between Groups
5.22E+09
3
1.74E+09
0.831
0.48
Within Groups
2.39E+11
114
2.10E+09
Total
2.44E+11
117
Between Groups
3.93E+08
3
1.31E+08
1.236
0.3
Within Groups
1.21E+10
114
1.06E+08
Total
1.25E+10
117
Between Groups
4.15E+07
3
1.38E+07
0.238
0.87
Within Groups
6.61E+09
114
5.80E+07
Total
6.66E+09
117
Between Groups
4.34E+08
3
1.45E+08
3.321
0.022
Within Groups
4.97E+09
114
4.36E+07
Total
5.40E+09
117
Between Groups
9.27E+08
3
3.09E+08
3.407
0.02
Within Groups
1.03E+10
114
9.07E+07
Total
1.13E+10
117
Between Groups
2.21E+09
3
7.37E+08
0.684
0.564
Within Groups
1.23E+11
114
1.08E+09
Total
1.25E+11
117
Lanjutan… Alokasi Pengeluaran
Pakaian
Kerukunan
Perumahan
Pajak
Transportasi
Lain-lain
Total non pangan
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1.22E+09
3
4.06E+08
0.889
0.449
Within Groups
5.20E+10
114
4.56E+08
Total
5.32E+10
117
Between Groups
2.86E+09
3
9.54E+08
3.663
0.015
Within Groups
2.97E+10
114
2.60E+08
Total
3.26E+10
117
Between Groups
3.09E+08
3
1.03E+08
0.021
0.996
Within Groups
5.54E+11
114
4.86E+09
Total
5.54E+11
117
Between Groups
8315166.7
3
2771722.2
0.762
0.518
Within Groups
4.15E+08
114
3637040.4
Total
4.23E+08
117
Between Groups
2.07E+10
3
6.90E+09
0.247
0.863
Within Groups
3.19E+12
114
2.79E+10
Total
3.21E+12
117
Between Groups
4.07E+08
3
1.36E+08
0.127
0.944
Within Groups
1.22E+11
114
1.07E+09
Total
1.22E+11
117 0.858
0.465
Between Groups
1.43E+11
3
4.76E+10
Within Groups
6.33E+12
114
5.55E+10
Total
6.47E+12
117
Lanjutan… Alokasi Pengeluaran
Total pengeluaran
Analisis
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1.71E+11
3
5.71E+10
0.795
0.499
Within Groups
8.18E+12
114
7.17E+10
Total
8.35E+12
117