ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH (PERSPEKTIF HUKUM PERPAJAKAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy.)
Oleh: DEWI RIKA KOESNAINI NIM. 1111046100071
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H / 2015 M
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Ilahi Robbi yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kewajiban studinya. Shalawat teriring salam semoga tercurahkan kepada pembawa amanah, tauladan umat, Nabi Muhammad SAW., para keluarga, sahabat dan orang-orang yang tercerahkan untuk membumikan hukum-hukumnya. Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat dan terima kasih atas segala kepedulian mereka yang telah memberikan bantuan, baik berupa sapaan moril, kritik, masukan, dorongan semangat, dukungan finansial maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak A.M. Hasan Ali, MA. dan Bapak H. Abdurrauf, Lc., MA., selaku ketua dan sekretaris Pogram Studi Muamalat (Hukum Ekonomi Islam)
3.
Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, MA., MH., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta kesabarannya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4.
Bapak Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA. dan Bapak H. Muh. Fudhail Rahman, Lc., MA., selaku dosen penguji sidang munaqasah penulis yang telah banyak memberikan saran dan pandangan yang luas untuk melengkapi isi karya tulis ini.
5.
Seluruh dosen serta civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis. v
6.
Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, serta
Perpustakaan Umum
Universitas
Islam
Negeri
(UIN)
Syarif
Hidayatullah Jakarta. 7.
Bapak Yayat Taryadi dan Ibu Thania Febriani selaku Consumer Bussiness Division dari Bank Muamalat Indonesia, serta pimpinan dan karyawan Perpustakaan Muamalat Institute yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian dan membantu dalam memperoleh data.
8.
Kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Kusnadi, S.E. dan Ibu Evi Susnaini, selaku motivasi terbesar bagi penulis untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini. Setiap pesan dan nasihat yang disampaikan selalu memberikan inspirasi serta motivasi bagi penulis dalam melewati setiap langkah kehidupan ini. Tidak lupa juga, adik-adik penulis yang merupakan anugerah terindah yang telah Allah SWT berikan, yaitu Muhammad Ilham dan Anindia Khairunnisa Kusnadi.
9.
Sahabat-sahabat penulis yang selalu mendukung penulis secara moril dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, yaitu Erna Setiawati, Fachriatun Halimatussa’diyah, Amrina Rosyada, Sundari Rahayu, Siti Amaniatus Soleha, Vivi Anggraeni, dan Futuh Ihsan Salsabil.
10.
Kru Information Technology (IT Division) Bank Muamalat Indonesia Kantor Pusat, yaitu Ibu Eva Nurfauziah, Bapak Sahri, Bapak Muhammad Yusuf Sopian dan yang lain yang tidak dapat disebutkan semua. Mereka yang sudah memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang menarik selama 3 bulan penulis melakukan praktek magang di Kantor Pusat Bank Muamalat Indonesia.
11.
Teman-teman seperjuangan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya mahasiswa/i Perbankan Syariah angkatan 2011 yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam skripsi ini. Terima kasih atas semua kenangan yang tidak terlupakan, semoga silaturahim kita dapat tetap terjalin sampai kapanpun. vi
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal dan membalasnya dengan yang lebih baik. Selain itu, penulis akui bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, besar harapan penulis munculnya saran untuk menunjang kesempurnaan atas skripsi ini di waktu mendatang. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan. Aamiin.
Jakarta,
Juli 2015
Dewi Rika Koesnaini
vii
ABSTRAK
DEWI RIKA KOESNAINI, NIM 1111046100071, Analisis Akad Murabahah Dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah Pada Perbankan Syariah, Strata Satu (S1), Konsentrasi Perbankan Syariah, Program studi Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015. Penelitian ini dilakukan pada dua bank syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri dengan tujuan untuk menganalisis penerapan pajak pertambahan nilai sebelum dan setelah pemberlakuan Undang-Undang terbaru dan melihat konsistensi perbankan syariah dalam membuat klausul baku pembiayaan murabahah dalam perspektif perlindungan konsumen. Adanya penelitian ini akan membantu bank syariah dalam mengevaluasi kinerja dalam perspektif hukum positif yang telah diterbitkan dan diberlakukan pemerintah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan (wawancara dan studi dokumentasi). Alat analisis data yang digunakan adalah analisis komponensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya penerapan pajak berganda sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang-Undang tersebut berlaku mulai tanggal 1 April 2010 yang menyatakan penghapusan pajak berganda atas pembiayaan murabahah. Namun tanggal 28 Desember 2010 diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 yang memberlakukan penghapusan pajak pertambahan nilai atas pembiayaan murabahah. Selain itu, dilihat dari perspektif hukum mengenai perlindungan konsumen pada penerapan klausula baku perjanjian pembiayaan, terdapat beberapa perlindungan konsumen yang tercantum didalamnya seperti terpenuhinya hak nasabah dalam memilih obyek pembiayaan yang diinginkan. Disamping terpenuhinya beberapa klausula baku perjanjian pembiayaan murabahah, terdapat pula beberapa klausula baku yang melanggar peraturan perlindungan konsumen. Pelanggaran-pelanggaran tersebut meliputi adanya klausula tambahan yang dibuat secara sepihak oleh bank syariah. Kata kunci
:Pembiayaan murabahah, hunian syariah, pajak pertambahan nilai, perlindungan konsumen Pembimbing : H. Ah. Azharuddin Lathif, MA., MH.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................ ii HALAMAN PNGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. iii LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv KATA PENGANTAR ........................................................................................ v ABSTRAK.......................................................................................................... viii DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 10 D. Review Studi Terdahulu .......................................................... 12 E. Metode Penelitian ................................................................... 16 F. Sistematika Penulisan.............................................................. 20
ix
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Murabahah 1. Konsep Murabahah ........................................................... 23 2. Landasan Hukum Murabahah ............................................ 25 3. Ketentuan Umum Murabahah ............................................ 26 4. Mekanisme Murabahah ..................................................... 30 B. Perspektif Hukum Positif Terkait Murabahah 1. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perpajakan ........................................................... 33 2. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perlindungan Konsumen ...................................... 39
BAB III
PRAKTEK MURABAHAH DALAM PRODUK PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH A. Konsep Praktek Murabahah Kontemporer ............................... 52 B. Prosedur Murabahah Dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah ....................................................................... 57
BAB IV
ANALISIS AKAD MURABAHAH A. Analisis
Akad
Murabahah
Berdasarkan
Undang-Undang
Perpajakan 1. Awal Permasalahan Pajak Pertambahan Nilai Pada Bank Syariah ............................................................ 64 2. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah Diberlakukan x
Undang-Undang omor 42 Tahun 2009 ............................... 69 3. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah Diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 .. 74 B. Analisis
Akad
Murabahah
Berdasarkan
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen 1. Kontrak Pembiayaan Murabahah ...................................... 79 2. Bentuk Perlindungan Konsumen Yang Diterapkan Berdasarkan Akta Perjanjian Pembiayaan .......................... 88 3. Bentuk Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen ................................................... 94 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 100 B. Saran....................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 104 LAMPIRAN .......................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1.
Perbanding Studi Terdahulu .......................................................... 12
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Skema Murabahah Klasik .............................................................. 32 Gambar 3.1. Alur Murabahah Sesuai Kaidah Fiqih Muamalah .......................... 54 Gambar 3.2. Alur Murabahah Penyerahan Dari Supplier Kepada Nasabah ........ 55 Gambar 3.3. Alur al-Wakalah wal Murabahah ................................................... 57 Gambar 4.1. Skema Penyaluran Pembiayaan Murabahah Di Bank Syariah ....... 80
xiii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Dalam ilmu ekonomi, manusia harus dapat memenuhi segala kebutuhannya. Kebutuhan adalah perasaan kekurangan yang berasal dari dalam diri manusia terhadap benda atau jasa yang dapat memberikan kepuasan kepada manusia itu sendiri1. Kebutuhan yang mutlak dipenuhi manusia biasanya dikenal dengan kebutuhan primer. Kebutuhan primer dimaksudkan apabila kebutuhan ini tidak dapat terpenuhi, maka manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Kebutuhan primer yang selayaknya dipenuhi diantaranya, pakaian (sandang), makanan dan minuman (pangan), dan tempat tinggal (papan). Pakaian (sandang) merupakan salah satu kebutuhan pokok yang lazim dipenuhi. Manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan penutup dirinya. Kebutuhan pokok selanjutnya adalah makanan dan minuman (pangan). Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan yang paling utama bagi semua makhluk hidup, baik hewan maupun manusia. Makanan dan minuman yang dicerna oleh tubuh makhluk hidup akan menghasilkan energi untuk bertahan hidup.
1
Sukwiaty, dkk., Ekonomi SMA Kelas X (Jakarta: Yudhistira, 2009), h.2.
1
Kebutuhan primer yang terakhir adalah tempat tinggal (papan). Kebutuhan papan ini pada awalnya ditujukan untuk melindungi manusia dari sinar matahari dan serangan hewan buas. Namun dengan semakin berkembangnya jaman, tujuan terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal berubah sesuai dengan tingkat perekonomian masyarakat saat ini. Seiring dengan semakin pesat pertumbuhan penduduk di Indonesia saat ini, sehingga menimbulkan banyaknya permintaan akan kebutuhan tempat tinggal yang layak. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan rumah di Indonesia mencapai 31 juta unit 2. Melihat peluang peningkatan permintaan akan tempat tinggal yang layak huni ini, maka sektor perbankan mencoba untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin memiliki tempat tinggal yang layak huni. Fasilitas perbankan ini biasa dikenal dengan sebutan Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR). Berdasarkan sifatnya, KPR tergolong dalam jenis kredit konsumsi, yaitu kredit jangka pendek atau jangka panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiayai barang-barang kebutuhan atau konsumsi dalam skala kebutuhan rumah tangga yang pelunasannya dari penghasilan bulanan nasabah debitur yang bersangkutan3.
2
Meutia Febrina Anugrah, “Kebutuhan Rumah di Indonesia Membeludak 31 Juta Unit”, artikel diakses pada 3 Oktober 2014 dari http://economy.okezone.com/read/2014/09/02/471/1033216/kebutuhan-rumah-di-indonesiamembeludak-31-juta-unit. 3 Hermansyah, S.H., M.Hum., Ed., Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet.VI (Jakarta: Kencana, 2001), h.61.
2
Dalam Undang-Undang perbankan telah dijabarkan mengenai pengertian lembaga keuangan bank secara otentik yang berbunyi sebagai berikut4: “Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak5”. Dalam pengertian tersebut, tersirat makna dari fungsi bank, yaitu sebagai intermediary. Fungsi tersebut meliputi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Fungsi bank sebagai lembaga intermediary jelas terlihat pada penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan, baik pembiayaan modal usaha maupun pembiayaan yang bersifat konsumtif termasuk KPR didalamnya. Di Indonesia memiliki 2 jenis bank umum, yaitu bank umum konvensional dan bank umum syariah. Pembiayaan KPR bukan hanya terdapat pada bank konvensional saja, melainkan terdapat pula pada bank syariah. Meskipun untuk tujuan yang sama, yaitu kepemilikan rumah, namun pada kenyataannya diantara kedua jenis bank tersebut memiliki aplikasi praktek yang sangat bertolakbelakang.
4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 1 Angka 2. 5 Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
3
Di Indonesia jumlah Bank Umum Syariah (BUS) mencapai 12 unit, Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai 22 unit, dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) mencapai 163 unit 6. Lembaga keuangan bank syariah yang terdapat di Indonesia, rata-rata melakukan penyaluran pembiayaan KPR menggunakan prinsip jual-beli (al-bai’), yaitu dengan menggunakan akad murabahah. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati7. Karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut 8. Biaya-biaya tersebut dapat berupa biaya langsung maupun biaya tidak langsung yang berkaitan dengan pekerjaan ataupun hal-hal yang berguna dalam mendapatkan barang yang diinginkan nasabah.
6
Yosi Winosa, “OJK Dorong Penambahan Bank Umum Syariah” artikel diakses pada 8 Oktober 2014 dari http://www.beritasatu.com/ekonomi/215856-ojk-dorong-penambahan-bank-umumsyariah.html. 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 8 Ibnu Rusyd, “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid” dalam Adiwarman A. Karim, “Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan)” (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), h.113.
4
Sesuai dengan kaidah fiqh muamalah yang tertuang dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dikatakan bahwa bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank dan bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli ditambah keuntungannya9. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Pernyataan yang sama dijelaskan pula dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Jadi singkatnya, transaksi yang menggunakan prinsip jual-beli murabahah mengharuskan bank memiliki (secara prinsip) barang yang diinginkan ataupun barang yang dipesan oleh nasabah yang mengajukan pembiayaan. Setelah itu, bank akan menjualnya kepada nasabah peminjam dengan pembayaran tangguh maupun pembayaran tunai pada waktu yang telah disepakati bersama. Namun dalam praktiknya di lembaga keuangan syariah, terutama perbankan syariah, terdapat beberapa modifikasi yang dilakukan pihak bank syariah dalam melakukan penyaluran pembiayaan murabahah dalam pemenuhan produk pembiayaan hunian syariah dan terkadang terkesan mengabaikan peraturan dan fatwa yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan 9
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah
5
menerapkan beberapa model modifikasi pembiayaan murabahah ini juga berpengaruh terhadap bentuk kontrak/akta perjanjian yang menjadi UndangUndang dalam melakukan pembiayaan murabahah. Pada umumnya, kontrak yang akan mengikat perjanjian pembiayaan biasanya disusun secara sepihak oleh pihak bank syariah. Sehingga nasabah hanya
menerima
hasil
akhir
dari
bentuk
kontrak
tersebut
dan
menandatanganinya tanpa ada perundingan terlebih dahulu mengenai isi kontrak tersebut. Isi kontrak tersebut biasanya menjabarkan mengenai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak nasabah debitur tanpa menjelaskan mengenai hak yang didapatkannya. Hal ini dapat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-Undang ini lebih membatasi dan mengatur para pelaku usaha atau dalam konteks pembiayaan adalah pihak yang menyediakan dana. Selain itu, dalam kontrak perjanjian pembiayaan murabahah tidak diatur mengenai perpajakan yang dimiliki oleh barang atau jasa yang menjadi objek perjanjian. Dalam pembiayaan hunian syariah, barang yang menjadi objek perjanjian adalah rumah. Rumah memiliki konsep perpajakan seperti pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan pajak pertambahan nilai (PPN). Ketiga komponen pajak tersebut erat kaitannya dalam hal jual-beli properti (rumah). Namun biasanya
dalam
kontrak
perjanjian 6
pembiayaan
murabahah
yang
memfasilitasi pembiayaan hunian syariah, ketiga komponen perpajakan tersebut tidak dibahas secara terperinci. Sehingga permasalahan perpajakan atas suatu barang yang dijadikan objek perjanjian kurang diperhatikan dalam pelaksanaan penyaluran pembiayaan murabahah yang dipraktikan dalam lembaga keuangan syariah. Selain mengenai perpajakan, dalam kontrak pembiayaan terkadang sering
ditemukan
berbagai
pelanggaran
terhadap
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK). Seperti yang ditemukan dalam skripsi Abdul Hafid Nur. Hasil yang ditemukan mengungkapkan terdapat 13 poin kesalahan ataupun pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang dilakukan oleh pihak bank syariah dalam pembuatan kontrak pembiayaan10. Namun dalam konteks ini, penelitian yang dilakukan oleh Abdul Hafid Nur terbatas pada kontrak pembiayaan musyarakah, dan bukan mengenai kontrak pembiayaan murabahah. Untuk itulah, penulis bermaksud untuk mengidentifikasi berbagai jenis modifikasi akad murabahah yang diterapkan oleh perbankan syariah di Indonesia dalam penyaluran pembiayaan hunian syariah dan perundang-udangan
perpajakan
dan
perlindungan
konsumen
peranan dalam
penyaluran pembiayaan hunian syariah. Judul penelitian yang dilakukan
10
Abdul Hafid Nur, Aplikasi Kontrak Musyarakah Di Bank Syariah X Ditinjau Dari UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 83
7
adalah “Analisis Akad Murabahah dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah (Perspektif Hukum Perpajakan dan Perlindungan Konsumen)”.
B.
Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.
Identifikasi Masalah Seiring semakin pesatnya perkembangan perbankan syariah di Indonesia, maka berpengaruh juga terhadap perkembangan produkproduk yang ditawarkan kepada nasabah. Berdasarkan beberapa produk yang berkembang dalam industri perbankan syariah, terdapat produk murabahah yang eksistensinya lebih unggul dari produkproduk lainnya. Sebagai perbankan syariah yang pertama didirikan di Indonesia, Bank Muamalat sangat berpengaruh terhadap eksistensi produk yang menggunakan akad murabahah. Selain skema yang tidak mempersulit nasabah, ketetapan dalam penentuan margin keuntungan yang diperoleh pihak bank syariah menjadi alasan utama berkembangnya produk yang menggunakan akad murabahah ini. Produk-produk murabahah
yang
diantaranya
pada
umumnya
pembiayaan
pembiayaan pengadaan rumah.
menggunakan
kendaraan
Biasanya
bermotor
produk-produk
akad dan yang
menggunakan akad murabahah adalah pembiayaan yang bersifat konsumtif. Pembiayaan konsumtif sangat berpengaruh pada tingkat
8
pengembalian kembali oleh nasabah sehingga tingkat kredit macet pada produk ini lebih rendah jika dibandingkan dengan produk lainnya. Pada pembiayaan hunian, akad yang ditawarkan tidak hanya murabahah saja, melainkan terdapat akad lainnya. Disamping itu, penggunaan akad murabahah masih sering digunakan meskipun pada akhir-akhir ini akad yang bersifat partnership (kerjasama) hampir mengalahkan eksistensi akad murabahah selama ini. Dibalik eksistensinya akad murabahah inilah akan dilihat mengenai penerapan pada perbankan syariah telah sesuai dengan peraturan-peraturan yang membatasinya atau belum sesuai dengannya.
2.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam penulisan karya tulis ini, agar tidak keluar dan mencapai fokus yang diharapkan, maka penulis perlu membatasi lingkup penulisan yang akan dibahas. Ruang lingkup penelitian hanya dibatasi pada Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri. Selain itu objek penelitian yang digunakan hanya sebatas produk pembiayaan hunian syariah dengan menggunakan akad murabahah. Proses perumusan masalah merupakan tahapan paling penting dalam sebuah proses penelitian. Sehingga permasalahan yang menjadi pokok bahasan menjadi lebih jelas dan terfokus. Adapun secara 9
spesifik perumusan masalah yang akan dikaji dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana awal permasalahan Pajak Pertambahan Nilai atas produk pembiayaan murabahah pada perbankan syariah?
2.
Bagaimana pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas produk pembiayaan murabahah setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009?
3.
Bagaimana penerapan Undang-Undang dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait Perlindungan Konsumen dalam konteks kontrak pembiayaan murabahah pada perbankan syariah?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini, diantaranya: 1.
Mengidentifikasi dan menganalisis permulaan terjadinya konflik pertentangan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas produk pembiayaan murabahah pada perbankan syariah.
2.
Mengidentifikasi, menjelaskan dan menganalisis pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas produk pembiayaan murabahah setelah diberlakukannya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai terbaru.
10
3.
Mengidentifikasi dan menganalisis penerapan Undang-Undang dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen dalam konteks kontrak pembiayaan murabahah pada perbankan syariah.
Sedangkan manfaat dari hasil penelitian ini dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: a.
Bagi peneliti Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai berbagai jenis akad murabahah dalam
keterkaitannya dengan
perundang-undangan di Indonesia. b.
Bagi pihak perbankan syariah Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan evaluasi terhadap penerapan aplikasi akad murabahah dalam produk pembiayaan hunian syariah yang diterapkan pada masing-masing bank syariah.
c.
Bagi akademisi Diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan dan bahan untuk
pengembangan
dan
penelitian
tentang
penerpan
akad
murabahah yang digunakan dalam produk pembiayaan hunian syariah. d.
Bagi masyarakat Diharapkan
penelitian
ini
dapat
menambah
khasanah
ilmu
pengetahuan dan pemahaman mengenai akad murabahah yang
11
digunakan dalam produk pembiayaan, khususnya produk pembiayaan hunian syariah.
D.
Review Studi Terdahulu Berdasarkan telaah yang telah dilakukan, terdapat beberapa jurnal maupun skripsi yang berkaitan tentang akad-akad yang digunakan dalam produk pembiayaan hunian syariah ini. Adapun hasil studi review terdahulu yang dijadikan acuan dalam penelitian ini diantaranya: Tabel 1.1 Perbandingan Studi Terdahulu
Aspek Studi Terdahulu 1 Perbandingan Judul/Penulis Analisis Pajak Pertambahan Nilai Bagi Produk Perbankan Syariah Murabahah. Penulis: Stevani Citra Arihta (Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Trisakti School of management)
Studi Terdahulu 2
Studi Terdahulu 3
Skripsi Penulis
Aplikasi Kontrak Musyarakah Di Bank Syariah X Ditinjau Dari UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Penulis: Abdul Hafid Nur (Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta)
Studi Komparasi Penggunaan Akad Murabahah, Ijarah Muntahiya Bittamlik, dan Musyarakah Mutanaqisah Dalam Pembiayaan KPR di Bank Syariah. Penulis: Prasetyo Wardoyo (Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta)
Analisis Akad Murabahah Dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah Pada Perbankan Syariah di Indonesia
12
Pendekatan Teori
Fokus
Metode Penulisan
Hakikat penerapan pajak pertambahan nilai dalam pembiayaan murabahah berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM) Skripsi ini fokus pada praktek pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai dalam akad murabahah yang berlaku pada perbankan syariah Skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis
Hakikat penerapan kontrak musyarakah berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
Hakikat murabahah, IMBT dan musyarakah mutanaqisah berdasarkan fatwa DSN dan peraturan Bank Indonesia
Hakikat murabahahberdasark an Undang-Undang, fatwa DSN dan peraturan Bank Indonesia
Skripsi ini fokus pada bentuk kontrak dan ketidaksesuaian isi kontrak musyarakah berdasarkan UU Perlindungan Konsumen Skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan konsep, perundangundangan dan pedekatan kasus
Skripsi ini fokus pada perbandingan karakteristik, risiko dan keunggulan akad-akad kontemporer yang berlaku pada bank syariah di Indonesia Skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif
Skripsi ini fokus pada isi kontrak murabahah yang mengacu pada kesesuaian UU perpajakan, UU perlindungan konsumen dan KUHP Skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif
13
Hasil Penelitian
PPN atas pembiayaan murabahah dikenakan lebih disebabkan karena pengenaan pajak tersebut secara tidak langsung dan dialihkan kepada pembeli terakhir. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengenaan PPN atas pembiayaan murabahah merupakan salah satu pajak atas konsumsi dan pihak Direktorat Jenderal Pajak tetap ingin menarik pajak tersebut.
Kontrak musyarakah belum memenuhi ketentuan UU Perlindungan Konsumen dikarenakan terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pihak bank syariah
Perbedaan karakteristik lebih terletak pada prinsip. Risiko pada bank lebih pada wanprestasi yang dilakukan nasabah. Antisipasinya dengan menetapkan uang muka & jaminan. Akad murabahah unggul dengan cicilan tetap dan mekanisme mudah, IMBT serta musyarakah mutanaqisah dengan margin lebih rendah dan jangka panjang.
Setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010, PPN atas pembiayaan murabahah di perbankan syariah telah dihapuskan. Jika dilihat berdasarkan sisi perlindungan hukum, pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan yang juga mencakup aturan klausula baku. Namun pihak bank syariah masih terdapat pelanggaran atas peraturanperaturan tersebut.
Sumber: diolah dari data sekunder Berdasarkan beberapa skripsi diatas, terdapat perbedaan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini. Pada penelitian ini, penulis melengkapi serta menggabungkan permasalahan terkait pembiayaan murabahah dalam produk hunian syariah berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan lainnya mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Perlindungan Konsumen. Permasalahan tersebut jelas berbeda dengan studi terdahulu yang dibahas oleh Stevani Citra Arihta dan Prasetyo Wardoyo. Dalam penelitian Stevani, penelitian tersebut menjelaskan praktek pembiayaan murabahah dari awal pertentangan antara pihak Direktorat Jenderal Pajak dan pihak Bank 14
Indonesia, selain itu penelitian tersebut masih mengacu pada perundangundangan pajak sebelum revisi, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo Wardoyo, penelitian tersebut mengidentifikasi berbagai jenis akad-akad kontemporer yang berkembang saat ini dan membandingkannya berdasarkan karakteristik, risiko dan keunggulannya. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdul Hafid Nur hampir menyerupai dengan penelitian ini. Namun akad yang diteliti berbeda. Akad yang digunakan oleh Abdul Hafid Nur adalah musyarakah, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan objek akad murabahah. Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan Abdul Hafid Nur menggunakan tinjauan pustaka berlandaskan Undang-Undang Perlindungan Konsumen saja. Sedangkan tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini berupa Undang-Undang Pajak
Pertambahan
Nilai,
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan perlindungan konsumen. Sampai disini jelaslah bahwa permasalahan penelitian yang akan dilakukan ini lebih mengembangkan pada permasalahan penelitian-penelitian terdahulu.
15
E. Metode Penelitian 1.
Jenis dan Pendekatan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka jenis penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan beberapa pendekatan deskriptif, yaitu pendekatan konsep, perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan yang perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri11. Sedangkan pendekatan deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan data informasi yang berdasarkan pada fakta yang diperoleh di lapangan12. Pendekatan konsep dilakukan untuk melihat kesesuaian konsep dengan aplikasi yang berlaku di perbankan syariah. Sedangkan perundang-undangan dilakukan untuk mengungkap konsep kontrak dalam sistem hukum di Indonesia. Untuk tujuan tersebut akan dikaji beberapa peraturan perundang-undangan terkait diantaranya, undang-undang perpajakan dan undang-undang perlindungan konsumen. Terakhir, pendekatan kasus dilakukan untuk melihat pelanggaran klausula kontrak
11
Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif , Penerjemah Arief Furchan (Surabaya : Usana Offset Printing, 1992) Cet. Ke-1, hal.21-22. 12 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Cet. Ke-2, (Jakarta : PT Renika Cipta, 1993), Hal.309.
16
dengan konsep atau teori dan perundang-undangan di lembaga perbankan syariah. Mengingat luasnya cakupan lembaga keuangan syariah, maka dalam penelitian ini lembaga keuangan syariah yang menjadi objek kajian akan dibatasi hanya pada lembaga keuangan perbankan syariah. Lembaga keuangan perbankan syariah dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa praktik kontrak di lembaga keuangan tersebut terdapat banyak melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan terkait. 2.
Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut: a.
Data Primer Adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara pihak yang bersangkutan, yakni Bank Muamalat Indonesia. Dalam hal ini peneliti
mengajukan pertanyaan atau berkomunikasi
secara
langsung dengan pihak-pihak terkait pada produk pembiayaan hunian syariah. b.
Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literaturliteratur kepustakaan yang berkaitan dengan materi yang akan
17
dibahas13, baik berupa buku-buku, jurnal, surat kabar, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), Peraturan Bank Indonesia (PBI), kontrak pembiayaan, keterangan-keterangan lain terkait produk pembiayaan hunian syariah dari brosur/katalog di website bank yang menjadi sumber penelitian. 3.
Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah akad yang pada umumnya digunakan dalam produk pembiayaan terkait hunian syariah atau biasa dikenal dengan KPR syariah di perbankan syariah, yaitu akad murabahah.
4.
Teknik Pengumpulan Data Sesuai
dengan
permasalahan
yang
diangkat,
maka
dalam
pengumpulan data penulis melakukan penelitian melalui: a.
Studi Dokumentasi Studi
dokumentasi
adalah
melakukan
penelusuran
kepustakaan dan menelaahnya 14. Studi dokumentasi dilakukan untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang konsepkonsep yang akan dikaji. Pengumpulan data ini dilakukan dengan membaca, mempelajari dan menelaah data yang didapat secara
13
Hendry, “Metode Pengumpulan Data”, Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014 dari http://teorionline.wordpress.com/service/metode-pengumpulan-data. 14 Masri Singarimbun dan Sofwan Effendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta : LPES, 1989) h.192.
18
seksama,
selanjutnya
dari
proses
analisa
tersebut
peneliti
mengambil kesimpulan dari masalah yang bersifat umum kepada masalah yang bersifat khusus. b.
Studi Lapangan Studi lapangan adalah pengumpulan data secara langsung ke lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara15. Adapun dalam penelitian ini cukup dilakukan wawancara secara mendalam kepada narasumber yang cakap dan kompeten mengenai bidang penyaluran pembiayaan, khususnya pembiayaan hunian syariah.
Tipe wawancara yang
dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan dengan tidak dibatasi oleh waktu dan daftar urutan pertanyaan, namun tetap berpegang pada permasalahan yang sesuai dengan tujuan wawancara 16. Sifat wawancara yang dilakukan adalah wawancara terbuka, artinya wawancara yang subjeknya mengetahui bahwa sedang diwawancarai dan mengetahui maksud dan tujuan wawancara tersebut.
15
2014 dari penelitian.html.
Agung, “Penjelasan Studi Lapangan Penelitian”, Artikel diakses pada 17 Desember http://teori-ilmupemerintahan.blogspot.com/2011/06/penjelasan-studi-lapangan-
16
Prastna, “Jenis-jenis Wawancara”, Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014 dari http://prastna.wordpress.com/tag/jenis-jenis-wawancara.
19
5.
Teknik Analisis Data Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis secara kualitatif. komponensial.
Analisis data yang digunakan adalah analisis
Tujuan
dari
teknik
analisis
komponensial
ialah
menganalisis unsur-unsur yang memiliki hubungan yang kontras antara satu dengan lainnya dalam domain-domain yang telah ditentukan untuk dianalisis secara rinci17. Selain itu teknik penulisan laporan penelitian ini berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2012”yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang dibahas satu persatu secara sistematis sehingga masalah yang terdapat di dalamnya menjadi jelas. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut. BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang penelitian, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
17
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007) h.95-96.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis menguraikan tinjauan umum mengenai akad murabahah yang digunakan dalam produk pembiayaan hunian syariah di Indonesia dan penjelasan umum mengenai perundang-undangan perpajakan dan perlindungan konsumen. Pada bab 2 ini terdiri dari 2 (dua) subbab, diantaranya subbab pertama
menguraikan
konsep
murabahah,
meliputi
pengertian, landasan hukum, ketentuan-ketentuan umum akad murabahah, dan mekanisme akad murabahah menurut fiqih muamalat klasik. Dan subbab terakhir menguraikan konsep perundang-undangan perpajakan dan perlindungan konsumen. BAB III
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai praktik murabahah pada perbankan syariah. Bab ini terdiri dari 3 (tiga) subbab, yaitu subbab pertama membahas tentang model modifikasi penyaluran pembiayaan di perbankan syariah. Subbab kedua membahas mengenai prosedur pembiayaan pada perbankan syariah. dan subbab terakhir membahas mengenai isi kontrak perjanjian pembiayaan murabahah.
BAB IV
ANALISIS Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga terdiri atas 21
2 (dua) subbab. Subbab pertama menjelaskan mengenai pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dalam
penerapan
kedua
pembiayaan
murabahah.
Subbab
menjelaskan mengenai penerapan perlindungan konsumen dalam pembiayaan murabahah. BAB V
PENUTUP Pada bab ini memberikan penutup berupa kesimpulan dan saran atas penelitian yang telah dilakukan oleh penulis. Kesimpulan ini berisi hasil dari penelitian yang mengacu pada perumusan masalah yang telah ditetapkan sejak awal. Sedangkan saran ditujukan untuk memberikan masukan terhadap produk pembiayaan hunian syariah ke depannya.
22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Murabahah 1.
Konsep Murabahah Secara etimologi, murabahah berasal dari kata ribh yang berarti keuntungan18. Sedangkan dalam pengertian terminologis, murabahah adalah jual beli barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati antara penjual dengan pembeli. Berdasarkan fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000, murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba 19. Sedangkan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 dijelaskan bahwa murabahah merupakan jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati20. Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dalam teknis ini, bank memperoleh 18
Abdullah al-Muslih & Shalah ash;shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam” dalam Skripsi Nur Alfi Syahr, “Perbandingan Pembiayaan KPR Muamalat iB Dengan Akad Murabahah dan Musyarakah Mutanaqisah Pada Bank Muamalat Indonesia” (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2013) h.19. 19 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah 20 Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 Tanggal 14 November 2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Menyalurkan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
23
keuntungan jual-beli yang disepakati bersama21. Selain itu, secara teknis, praktek akad murabahah dalam perbankan dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian (muajjal), baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump sum (sekaligus)22. Jadi dapat disimpulkan bahwa murabahah adalah akad jual-beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli 23. Akad murabahah merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate of profit-nya (keuntungan yang ingin diperoleh). Dengan kata
lain,
praktek
murabahah
dalam perbankan
mengharuskan pihak bank syariah membeli terlebih dahulu rumah yang ingin dijadikan sebagai objek pembiayaan kepada nasabah dan secara prinsip rumah tersebut adalah milik pihak bank syariah, setelah itu terjadilah transaksi jual-beli antara pihak bank syariah dengan nasabah peminjam (debitur), dimana pihak bank harus menyertakan harga perolehan pembelian rumah tersebut dari developer dan adanya kesepakatan keuntungan yang akan diperoleh dari pembiayaan yang dilakukan. Akad murabahah terjadi pada saat nasabah mengutarakan 21
Zainul Arifin, “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah”, (Jakarta: Azkia Publisher, Cet.7, 2009) h.28. 22 Adiwarman A. Karim, “Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan”, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, Cet.9, 2013) h.115. 23 Ibid, h.113.
24
maksud
mengajukan
pembiayaan
kepada
bank
syariah
dan
menunjukkan rumah yang akan dijadikan objek pembiayaan tersebut. 2.
Landasan Hukum Murabahah Dasar hukum murabahah mengikuti apa yang menjadi dasar hukum dari transaksi jual-beli. Hal ini dikarenakan murabahah merupakan akad yang digunakan dalam transaksi jual-beli. Landasan hukum akad murabahah terdapat dalam Alqur’an, Hadits, fatwa Dewan Syariah Nasional, dan peraturan Bank Indonesia. a.
Alqur’an Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 2924:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S. An-Nisa : 29)
24
Alqur’an
25
b.
Hadits25
Artinya: “Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqharadhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”. (HR. Ibn Majah dari Shuhaib) 3.
Ketentuan Umum Murabahah Ketentuan tentang murabahah sebagaimana telah dijelaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000, yaitu26: a.
Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah: 1)
Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2)
Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3)
Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
25
Fatwa Dewan Syariah Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah (Jakarta : Kencana, 2007) h.302-305. 26
26
4)
Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5)
Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6)
Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7)
Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8)
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9)
Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
b.
Ketentuan Murabahah kepada Nasabah: 1) Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
27
2) Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. 3) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 4) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. 5) Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. 6) Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. 7) Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka a)
Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh 28
bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak
mencukupi,
nasabah
wajib
melunasi
kekurangannya. c.
Jaminan dalam Murabahah: 1) Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. 2) Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
d.
Utang dalam Murabahah: 1) Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank. 2) Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya. 3) Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah
tetap
harus
menyelesaikan
utangnya
sesuai
kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
29
e.
Penundaan Pembayaran dalam Murabahah: 1) Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya. 2) Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah
tidak
tercapai
kesepakatan
melalui
musyawarah. f.
Bangkrut dalam Murabahah: Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
4.
Mekanisme Murabahah Kriteria atau persyaratan yang harus dipenuhi dalam menerapkan akad murabahah dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. hal ini tercantum dalam bagian kedua paragraf kedua pasal 9, diantaranya: a.
Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang.
30
b.
Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
c.
Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
d.
Dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank;
e.
Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah;
f.
Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai Bank;
g.
Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak berubah selama periode Akad;
h.
Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara proporsional.
Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka dapat digambarkan skema transaksi murabahah adalah sebagai berikut.
31
Gambar 2.1 Skema Murabahah Klasik
Sumber: Jurnal al-Ahkam Vol.227
Keterangan: 1) Nasabah mengajukan pembiayaan ke pihak bank dengan menyertakan persyaratan pembiayaan. Setelah berkas persyaratan lengkap, dilakukan negosiasi mengenai objek pembiayaan. 2) Bank membeli objek barang pembiayaan yang diinginkan nasabah kepada supplier (developer) secara tunai dan objek tersebut secara prinsip menjadi milik bank. 3) Setelah objek pembelian dimiliki oleh bank, bank menjual kembali objek pembiayaan kepada nasabah yang mengajukan di awal. Jika 27
Ah. Azharuddin Lathif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah di Indonesia, (Jurnal Al-Ahkam Vol.XII No.2; Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012) h.74.
32
objek tersebut sesuai dengan keinginan nasabah, maka diadakan akad murabahah antara bank dan nasabah. Dalam akad ini, nasabah juga bisa memberikan uang muka (urbun). 4) Nasabah akan membayarkan angsuran/cicilan berupa pokok pinjaman ditambah margin keuntungan yang telah disepakati pada saat akad murabahah dilaksanakan. Secara periodik, nasabah akan mengangsur cicilannya sampai pada tanggal jatuh tempo.
B.
Persepektif Hukum Positif Terkait Murabahah 1.
Peraturan-Peraturan Terkait Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai pertama kali dikenal sebagai Pajak Penjualan yang pemungutannya berdasarkan Undang-Undang Darurat nomor 19 tahun 1951 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang nomor 35 tahun 195328. Sejak 1 April 1985 istilah Pajak Penjualan telah diganti dengan istilah Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya didasarkan pada Undang-Undang nomor 8 tahun 1983. Proses
penggantian
istilah
Pajak
Penjual
dengan
Pajak
Pertambahan Nilai dilakukan pada saat Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat melakukan program reformasi sistem
28
Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ed. Revisi 2014 (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) h. 19.
33
perpajakan nasional pada tahun 1983 29. Pajak Pertambahan Nilai terpilih sebagai pengganti Pajak Penjualan karena memiliki beberapa karakteristik positif. Menurut Prof. Dr. Ben Terra mengemukakan bahwa legal character Pajak Pertambahan Nilai secara umum antara lain30: a)
General tax o consumption;
b) Indirect tax; c)
Neutral;
d) Non cumulative. Apabila pernyataan Prof. Dr. Ben Terra mengenai legal character Pajak Pertambahan Nilai dikaitkan dengan karakteristik Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, dapat dirinci sebagai berikut 31: a)
Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak secara nyata berkedudukan sebagai pembeli objek pajak, sedangkan penanggungjawab atas pembayaran pajak ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku penjual objek pajak.
29
Ibid., h. 21. Ibid., h.22. 31 Ibid., h. 22 – 35. 30
34
b) Pajak objektif Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya taatbestand. Taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dienakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak32. Dengan kata lain, kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya objek pajak, sedangkan kondisi subjektif dari subjek pajak tidak ikut menentukannya. c)
Multi Stage Tax Multi stage tax adalah karakteristik Pajak Pertamabahan Nilai yang bermakna bahwa pajak dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi.
d) PPN terutang untuk dibayar ke kas negara dihitung menggunakan indirect subtraction method PPN terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasilperhitungaan mengurangkan PPN yang dibayar kepada PKP lain yang dinamakan Pajak Masukan (input tax) dengan PPN yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan Pajak Keluaran (output tax). Pola ini dinamakan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction method).
32
Ibid., h. 28.
35
e)
PajakPertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi umum dalam negeri Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri. Sebenarnya tujuan akhir Pajak Pertambahan Nilai adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi (a tax on consumption expenditure) dalam bentuk belanja barang atau jasa yang dibebankan pada anggaran belanja negara.
f)
Pajak Pertambahan Nilai berifat netral Netralisasi Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh dua faktor, yaitu33: 1) PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa 2) Dalam pemungutannya,PPN menganut prinsip tempat tujuan (destination principle).
g) Tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda Kemungkinan pengenaan pajak berganda dapat dihindari sebanyak mungkin karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut atas nilai tambah saja. Berdasarkan beberapa karakteristik Pajak Pertambahan Nilai di atas, karakteristik mengenai pencegahan pengenaan pajak berganda 33
Ibid., h. 33.
36
ini sempat menjadi polemik pada tahun 2003. Polemik tersebut dikarenakan pada Undang-Undang nomor 18 tahun 2000 belum adanya pengaturan Pajak Pertambahan Nilai untuk pembiayaan di bank syariah. Sehingga dikeluarkan revisi ketiga atas Undang-Undang nomor 8 tahun 1983, yaitu Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pejualan Barang Mewah. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang terbaru tersebut, dapat dikatakan sebagai langkah awal pemerintah mendukung tumbuhnya perbankan syariah di Indonesia. Dukungan ini dibuktikan dengan adanya pasal yang mengatur tentang pembiayaan di bank syariah yang terdapat dalam pasal 1A ayat (1) huruf h menyatakan sebagai berikut. “Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: (h) penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.” Dalam penjelasan mengenai pasal di atas dikatakan bahwa semisal dalam pembiayaan murabahah penyerahan dilakukan secara langsung oleh Pengusaha Kena Pajak atau dalam hal ini adalah pihak developer kepada pihak nasabah, sehingga dalam hal ini penyerahan Barang Kena Pajak dilakukan hanya satu kali. Penyerahan ini besar pengaruhnya terhadap pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada pembiayaan murabahah.
37
Lebih lanjut, Menteri Keuangan juga mengeluarkan Peraturan Menteri
Keuangan
Nomor
251/PMK.011/2010
tentang
Pajak
Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Transaksi Murabahah Perbankan Syariah Tahun Anggaran 2010. Peraturan Menteri Keuangan tersebut berlaku mulai 28 Desember 2010. Dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa mulai tanggal 28 Desember 2010 Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah sudah dihapuskan dan tidak berlaku. Namun untuk pembiayaan murabahah yang dilakukan sebelumnya tetap dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Apabila sejumlah Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah tersebut sudah mendapat Surat Ketetapan Pajak, maka Pajak Pertambahan Nilai tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dengan menggunakan anggaran sebesar Rp 328.454.138.718,00 (tiga ratus
dua puluh delapan miliar empat ratus lima puluh empat juta seratus tiga puluh delapan ribu tujuh ratus delapan belas rupiah). Peraturan Menteri Keuangan nomor 251/PMK.011/2010 semakin
menegaskan
bahwa
pemerintah
mendukung
perkebangan industri perbankan syariah di Indonesia. Setelah pada tahun sebelumnya ditetapkan revisi atas Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang mulai berlaku tanggal 1 April 2010. Motivasi pemerintah dalam perubahan ketiga Undang-Undang PPN
38
dan penerbitan PMK tersebut yaitu untuk menyamakan daya saing perbankan syariah karena beban PPN yang dikenakan pada jual beli aset di sistem murabahah tidak dikenakan lagi34. Seperti yang diketahui pada tahun 2010 merupakan puncak perkembangan pembiayaan pada perbankan syariah. 2.
Peraturan-Peraturan Terkait Perlindungan Konsumen Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan
konsumen.
Sedangkan
hukum
konsumen
adalah
keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak yang satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup 35. Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti UndangUndang Perlindungan Konsumen36. Sehingga dibutuhkan peraturan lainnya untuk memfasilitasi pemenuhan perlindungan konsumen,
34
Ungkapan Bapak Agus Suprijanto, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dalam Rita Yuliana dan Nurul Herawati, “Dampak Penghapusan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Pembiayaan Murabahah Terhadap Kinerja Keuangan Bank Syariah” (Jurnal Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trunojoyo Madura) h. 2. 35 Az. Nasution yang dikutip oleh Shidarta, “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia” dalam Susanti Adi Nugroho, “Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya” ( Jakarta: Kencana, 2008) h. 57. 36 Susanti Adi Nugroho, “Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya” ( Jakarta: Kencana, 2008) h. 58.
39
diantaranya terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa
Keuangan dan untuk menunjang pemberlakuan peraturan tersebut, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Surat Edaran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku. Sehingga dengan dikeluarkannya beberapa peraturan terkait perlindungan konsumen ini, pelaku usaha (dalam hal ini adalah pihak bank syariah) dapat menunjang pelaksanaan perlindungan konsumen (nasabah) dalam konteks pengumpulan dana maupun penyaluran dana. Apabila dilihat secaraumum, terdapat dua peraturan yang menjadi landasan hukum positif terkait perlindungan konsumen, yaitu UndangUndang nomor 8 tahun 1999 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013. Namun terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya, yaitu peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 ketentuan-ketentuan yang tercantum bersifat umum dan tidak ada spesifikasi khusus didalamnya mengenai bidang-bidang tertentu. Sedangkan dalam peraturan yang dibuat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ketentuan-ketentuan yang tercantum lebih bersifat pada perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang keuangan.
40
Untuk melihat lebih jelas mengenai perbedaan-perbedaan diantara kedua jenis peraturan tersebut, berikut ini akan dijelaskan secara terperinci. a.
Istilah Konsumen Di dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan pengertian konsumen pada Pasal 1 angka 2 sebagai berikut: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” Pengertian di atas menurut Ahmad Miru 37 kurang tepat untuk digunakan
dalam
mendefinisikannya.
Menurutnya,
adanya
kerancuan dalam penggunaan kata “pemakai” dalam pengertian tersebut. Penggunaan kata “pemakai” dianggap menimbulkan kesan barang tersebut bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya telah terjadi transaksi jual-beli. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut orang, akan
37
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen” (Jakarta: Rajawali Pers, 2004) h. 4.
41
tetapi masih terdapat subjek hukum lain yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan 38. Sedangkan pengertian konsumen dalam Pasal 1 Angka 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan menyebutkan bahwa: “Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.” Dalam pengertian di atas, dapat dilihat bahwa konsumen yang dimaksud adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan jasa keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengertian konsumen ini dikhususkan untuk jasa keuangan saja dan bukan pengertian konsumen secara umum. b.
Istilah perusahaan-perusahaan terkait peraturan Dalam
Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
tentang
perlindungan konsumen disebutkan terdapat beberapa istilah yang dimuat dalam lembaga-lembaga terkait jasa keuangan, diantaranya bank umum, Bank Perkreditan Rakyat, perusahaan efek, bank kustodian, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Sedangkan dalam
38
Ibid., h. 5.
42
Undang-Undang
perlindungan
konsumen
tidak
dijelaskan
mengenai lembaga-lembaga yang tercakup di dalam peraturan yang bersangkutan, namun dalam pasal 1 lebih dijelaskan mengenai pengertian istilah dari lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, badan penyelesaian sengketa konsumen, badan perlindungan konsumen nasional dan klausula baku. c.
Asas atau prinsip diberlakukan perlindungan konsumen “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.” Berdasarkan substansi Pasal 2 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tersebut dapat dikatakan bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yang berlandaskan pada falsafah negara39. Sedangkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 Pasal 2 disebutkan bahwa: “Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip: (a) transparansi; (b) perlakuan yang adil; (c) keandalan; (d) kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan (e) penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.” Terdapat beberapa perbedaan antara asas yang dicantumkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan prinsip dalam
39
Ibid., h.26.
43
Peraturan otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. d.
Tujuan perlindungan konsumen Dalam pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dijelaskan mengenai tujuan perlindungan konsumen. Tujuan tersebut merupakan sasaran akhir yang harus dicapai 40 dalam merealisasikan
perlindungan
konsumen.
Sedangkan
dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen tidak mencakup mengenai tujuan diberlakukannya perlindungan konsumen. e.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Kewajiban dan hak sesungguhnya merupakan antinomi41 dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat dan sebagai (merupakan bagian dari) hak konsumen42. Berdasarkan pernyataan tersebut, sebagai contohnya dalam Pasal 6 huruf a Undang-Undang Perlindungan konsumen menjelaskan mengenai hak yang diperoleh pelaku usaha sebagai berikut:
40
Ibid., h.34. Antinomi (n) kenyataan yang kontroversial; (huk) pertentangan antara dua ayat dalam undang-undang. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Budaya, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” diakses pada 30 April 2015 dari http://kbbi.web.id/antinomi. 42 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.I (Jjakarta: Kencana, 2013) h.51. 41
44
“hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan” Sedangkan dalam pasal sebelumnya juga dijelaskan mengenai kewajiban yang harus dilakukan oleh konsumen sebagai berikut 43. “Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati” Sehingga dalam contoh diatas terlihat adanya kejelasan mengenai hubungan timbal-balik antara hak dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan transaksi jual beli. Sedangkan jika dilihat berdasarkan peraturan yang dibuat oleh otoritas jasa keuangan terkait perlindungan konsumen pada sektor jasa keuangan, tidak dijelaskan mengenai hak dan kewajiban yang seharusnya diperoleh konsumen. Pada peraturan ini lebih dijelaskan mengenai kewajiban-kewajiban serta tindakan-tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh para pelaku usaha sektor jasa keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam peraturan otoritas jasa keuangan ini lebih mengatur perilaku-perilaku yang dilakukan oleh para pelaku usaha untuk tidak merugikan pihak konsumen.
43
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 5 Huruf c.
45
f.
Mengatur hubungan antar pelaku usaha Selain kewajiban dan perbuatan yang tidak diperbolehkan dilakukan oleh para pelaku usaha yang tercantum dalam peraturan otoritas jasa keuangan, terdapat juga perlindungan untuk para pelaku usaha mengenai suatu akibat negatif persaingan transaksi dengan pelaku usaha lainnya 44. Hal ini tercantum dalam pasal 23 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut. “Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan,
agen
penjual,
dan
pengurus/pegawai dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menghindari benturan kepentingan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan Konsumen” Kata “benturan kepentingan” memiliki makna terjadinya suatu kecurangan yang dilakukan pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain terkait dengan jenis usahanya. Sehingga hal ini perlu dicantumkan agar tidak terjadi suatu bentuk kecurangan antar para pelaku usaha pada sektor jasa keuangan. Selain berdsarkan bidang perlindungan konsumen, dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen juga dijelaskan mengenai aturanaturan yang perlu dicantumkan dalam klausula baku atau kontrak perjanjian. Untuk membandingkan peraturan mengenai klausula baku ini, akan dibandingkan antara aturan dalam Undang-Undang nomor 8 44
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, h.52.
46
tahun 1999 dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan nomor 13/POJK.07/2014 tentang perjanian baku. Sehubungan dengan diadakannya perjanjian, sering adanya penggunaan istilah mengenai “kontrak baku” ataupun “klausula baku”. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, kedua istilah tersebut dibenarkan. Mengingat penggunaan istilah kontrak baku lebih luas yaitu tidak terbatas pada klausula baku yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelak usaha di dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, tetapi juga meliputi bentuknya 45. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 Angka 10 dijelaskan mengenai pengertian istilah klausula baku sebagai berikut. “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen” Memperhatikan rumusan pengertian klausula baku di atas, dapat dilihat bahwa adanya penekanan makna lebih bersifat pada prosedur pembuatannya yang dilakukan sepihak oleh pelaku usaha. Namun tidak dapat dihindari bahwa prosedur pembuatan klausula baku
45
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.II (Jakarta: Rajawali Pers, 2004) h.18.
47
mempengaruhi isi perjanjian46. Maksud atas pernyataan tersebut bahwa keseluruhan isi perjanjian tersebut yang dicantumkan dalam klausula baku ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan konsumen hanya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu take it or leave it (menyetujui atau menolak) perjanjian yang diajukan. Dalam hal ini, surat edaran otoritas jasa keuangan pun lebih menegaskan hal yang serupa dengan menyatakan bahwa: “Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh PUJK dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal47” Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian ataupun kontrak baku sepenuhnya diatur secara sepihak oleh pelaku usaha dan klausula-klausula baku yang tercantum didasarkan pada kepentingan sepihak oleh pelaku usaha. Terlepas dari kedua pengertian tentang klausula baku dan perjanjian baku di atas, terdapat intisari pengertian mengenai kontrak baku diantaranya48:
46
Ibid., h. 19. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku Tanggal 20 Agustus 2014. 48 Hasanuddin Rahman, “Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Contract Drafting” dalam Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana, 2013) h. 70. 47
48
i.
Kontrak merupakan media atau piranti yang dapat menunjukkan apakah suatu perjanjian dibuat sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian;
ii.
Kontrak dibuat secara tertulis untuk dapat saling memantau diantara parapihak, apakah prestasi telah dijalankan atau bahkan telah terjadi suatu wanprestasi; dan
iii.
Kontrak sengaja dibuat sebagai suatu alat bukti bagi mereka yang berkepentingan, sehingga apabila ada pihak yang dirugikan telah memiliki alat bukti untuk mengajukan suatu tuntutan ganti rugi kepada pihak lainnya.
Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai isi dan bentuk klausula baku dalam pasal 18 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut. “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: (a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; (b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; (c) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; (d) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; (e) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; (f) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; (g) Menyatakan 49
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; (h) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.” Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula-klausula baku tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat dan pada akhirnya akan merugikan konsumen 49. Aturan-aturan mengenai pembuatan klausula baku dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen lebih mengacu pada konsep isi dan bentuk dari klausula baku yang akan dibuat oleh pihak pelaku usaha. Untuk melengkapi aturan-aturan yang sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam pasal 18 mengenai klausula baku, maka Otoritas Jasa Keuangan pun mengeluarkan Surat Edaran nomor 1/POJK.07/2014 yang mengatur tentang petunjuk pelaksanaan penyesuaian klausula baku dalam perjanjian baku. Meskipun sebelumnya telah diatur dalam pasal 21 dan 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013. Namun dengn diterbitkannya surat edaran tersebut, diharapkan mampu melengkapi hal-hal tertentu dalam pencantuman klausula baku.
49
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen ( Jakarta: Rajawali Pers, 2004) h.124.
50
Disamping itu, surat edaran yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan tersebut lebih mengacu pada praktek pelaksanaan berkenaan dengan perjanjian baku. Hal ini dibutikan dengan dicantumkannya bagian ketiga angka 6 huruf a yang menyatakan sebagai berikut. “PUJK wajib memastikan terdapat persetujuan tertulis Konsumen dengan cara antara lain membubuhkan tanda tangan dalam Perjanjian Baku atau dokumen lain yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perjanjian Baku yang menyatakan persetujuan Konsumen” Selain itu, juga terdapat ketentuan mengenai bentuk elektronik perjanjian baku (e-contract) dalam peraturan otoritas jasa keuangan tersebut. Hal-hal yang seperti ini yang terkadang kurang diperhatikan dalam pembuatan kontrak baku, baik dari segi isi dan bentuk kontrak maupun praktek pelaksanaannya. Setelah diterapkannya praturan-peraturan tersebut, baik dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan lainnya, diharapkan penyalahgunaan keadaan terhadap perlindungan konsumen dapat semakin baik karena adanya aturan-aturan mengenai pencantuman klausula-klausula baku dalam perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen.
51
BAB III PRAKTEK MURABAHAH DALAM PRODUK PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH
A.
Konsep Praktek Murabahah Dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah Aplikasi jual beli murabahah pada perbankan syariah di Indonesia didasarkan pada keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Atas dasar peraturan tersebut, perbankan syariah melaksanakan pembiayaan murabahah. Namun demikian pada praktiknya tidak ada keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah. Oleh karena itu, terdapat beberapa tipe penerapan praktik murabahah dalam perbankan syariah, diantaranya50: 1.
Konsistensi Fiqih Muamalah Dalam tipe penerapan murabahah sesuai kaidah fiqih muamalah, bank dan nasabah melakukan perjanjian terlebih dahulu dan
50
Ah. Azharuddin Lathif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah Di Indonesia, (Jurnal Al-Ahkam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012) h.74.
52
menentukan spesifikasi barang yang akan dibeli oleh nasabah dari pihak bank. Kemudian bank melakukan pembelian barang yang diinginkan oleh nasabah sesuai dengan spesifikasi yang tertera pada perjanjian dari pihak supplier. Barang tersebut dibeli atas nama bank dan kemudian dijual kembali ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan yang telah disepakati bersama. Untuk lebih jelasnya penerapan murabahah tipe pertama dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 3.1. Alur Murabahah Sesuai Kaidah Fiqih Muamalah
Sumber: Jurnal Al-Ahkam Vol.2 Pembelian kepada pihak supplier dan
pembayaran angsuran oleh
nasabah dapat dilakukan secara tunai maupun tangguh. Namun pada umumnya pembayaran angsuran oleh nasabah dilakukan secara tangguh, baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.
53
2.
Penyerahan Dari Pihak Supplier KepadaNasabah Tipe penerapan murabahah ini hampir sesuai dengan tipe pertama yang sesuai dengan kaidah fiqih muamalah. Namun berbeda pada saat penyerahan ataupun perpindahan kepemilikan dilakukan langsung oleh pihak supplier kepada nasabah selaku pembeli terakhir yang menerima barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan pihak bank. Mengenai masalah pembayaran oleh nasabah sama halnya dengan tipe penerapan murabahah yang sesuai kaidah fiqih muamalah, yaitu dapat secara tunai maupun tangguh. Untuk lebih jelasnya penerapan murabahah tipe pertama dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 3.2. Alur Murabahah Penyerahan Dari Supplier Kepada Nasabah
Sumber: Jurnal Al-Ahkaam Vol.2
54
Transaksi seperti ini lebih dekat dengan murabahah yang asli, namun rawan dari aspek legal bahwa tidak ada tanda bukti bahwa nasabah menerima uang dari pihak bank syariah sebagai bukti pinjaman ataupun hutang. Sehingga dalam beberapa kasus ditemukan adanya klaim bahwa nasabah tidak berhutang kepada bank syariah, namun mereka berhutang kepada pihak supplier yang menyerahkan barang. Oleh karena itu, untuk menghindari kejadian seperti ini, maka setelah pihak bank syariah dan nasabah melakukan akad murabahah kemudian pihak bank syariah akan mentransfer pembayaran barang ke rekening nasabah dan didebet kembali dengan persetujuan nasabah untuk ditransfer ke rekenig supplier. Jika dilihat dari perspektif kesyariahannya, tipe murabahah seperti ini memiliki peluang untuk melanggar ketentuan syariah. halini dikarenakan pihak bank syariah selaku pembeli pertama dari pihak supplier tidak pernah menerima barang atas nama pihak bank syariah, melainkan langsung atas nama nasabah selaku pembeli terakhir yang menerima barang tersebut. Secara syariah, akad murabahah dapat dilakukan setelah barang jual beli menjadi milik bank syariah secara prinsip. 3.
Prinsip al-Murabahah bil Wakalah Tipe penerapan murabahah ini hampir menyerupai penerapan kredit pada bank konvensional, dimana pihak bank syariah dan 55
nasabah melakukan perjanjian murabahah, kemudian pada saat yang bersamaan pihak bank mewakilkan (wakalah) kepada nasabah untuk membeli barang yang diinginkannya. Dana pembiayaan dikreditkan ke rekening nasabah dan nasabah menandatangani tanda terima sejumlah dana tersebut. Sehingga permasalahan klaim yang akan terjadi pada tipe murabahah yang kedua dapat dihindari pada tipe murabahah seperti ini, karena terdapat tanda bukti penerimaan uang pinjaman yang ditandatangani nasabah. Untuk lebih jelasnya penerapan murabahah tipe pertama dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 3.3. Alur al-Wakalah wal Murabahah
Sumber: Jurnal Al-Ahkam Vol.2 Meskipun dapat menghindari klaim mengenai tanda bukti dana yang dipinjamkan kepada nasabah, namun tetap saja tipe penerapan
56
pembiayaan murabahah seperti ini masih dianggap menyalahi aturan kesyariahannya. Hal ini dikarenakan bank memberikan kuasa atau mewakilkan pembelian barang kepada nasabah. Sedangkan pada asalnya, akad murabahah dilakukan sebelum barang yang dijadikan objek perjanjian tersebut menjadi milik bank syariah meskipun hanya secara prinsip.
B.
Prosedur Murabahah Dalam Produk pembiayaan Hunian Syariah Prosedur dan persyaratan penyaluran dana berdasarkan Akad Pembiayaan Murabahah di PT. Bank Syariah Mandiri secara garis besar ditentukan dalam beberapa tahapan prosedur, diantaranya51: Tahap Pertama, nasabah melakukan permohonan pembiayaan ke pihak bank syariah. setelah mengetahui maksud dan tujuan permohonan pembiayaan nasabah, pihak bank syariah akan memberitahu persyaratan yang harus dipenuhi oleh nasabah dalam mengajukan pembiayaan murabahah. Adapun dokumen yang dipersyaratkan yang harus dipenuhi oleh calon nasabah, meliputi: 1.
Dokumen Pribadi: a. Formulir aplikasi permohonan pembiayaan; b. Copy KTP/identitas pemohon dan suami/istri;
51
May Nurmawati, Prosedur Pembiayaan Murabahah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Gatot Subroto, (Universitas Gunadarma, 2013) h. 5-8.
57
c. Copy surat nikah/cerai (apabila ada); d. Copy kartu keluarga; e. Copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan SPT; f. Copy slip gaji 3 bulan terakhir; dan g. SK Pengangkatan jabatan terakhir. 2.
Jika nasabah yang mengajukan adalah perusahaan, maka dokumen tambahan yang perlu dilengkapi diantaranya: a. Copy laporan keuangan perusahaan selama 6 bulan terakhir; b. Copy rekening bank perusahaan selama 6 bulan terakhir; dan c. Copy susunan pengurus perusahaan beserta kartu identitas masingmasing pengurus perusahaan.
Setelah semua persyaratan diatas dipenuhi oleh nasabah, maka tahap selanjutnya semua persyaratan diserahkan ke bagian account officer di bagian back office bank syariah. Tahap Kedua, dokumen-dokumen persyaratan tersebut diperiksa kelengkapannya oleh bagian account
officer. Selain itu, bagian account
officer juga melakukan survei lapangan dan menganalisa nasabah yang mengajukan pembiayaan. Dalam menganalisis nasabah biasanya pihak bank syariah mengacu pada prinsip 5C, diantaranya 52: 1.
Character
52
Agung Herutomo, Rahasia KPR Yang Disembunyikan Para Bankir, (Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2010) h.121.
58
Character adalah keadaan watak/sifat dari calon nasabah pembiayaan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha. Kegunaan dari penilaian ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana itikad/kemauan calon nasabah untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan janji yang ditetapkan53. Pemberian kredit atas dasar kepercayaan, sedangkan yang mendasari suatu kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank bahwa calon debitur memiliki moral, watak dan sifat-sifat pribadi yang positif dan koperatif. Disamping itu mempunyai tanggung jawab, baik dalam kehidupan pribadi sebagai manusia, kehidupan sebagai anggota masyarakat, maupun dalam menjalankan usahanya. Karakter merupakan faktor yang dominan, sebab walaupun calon debitur tersebut cukup mampu untuk menyelesaikan hutangnya, kalau tidak mempunyai itikad yang baik tentu akan membawa kesulitan bagi bank dikemudian hari. 2.
Capacity Capacity adalah kemampuan yang dimiliki calon nasabah pembiayaan dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan. Pengukuran capacity dari calon debitur dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan antara lain pengalaman mengelola usahanya (business record), sejarah perusahaan yang pernah dikelola (pernah mengalami 53
Ahmad Sanusi, “Analisa Karakter Sebagai Salah Satu Alat Manajemen Dalam Pengambilan Keputusan Pemberian Kredit” artikel diakses pada 4 Januari 2015 pada http://sanoesi.wordpress.com/tag/prinsip-5c-dalam-kredit/
59
masa sulit atau tidak, bagaimana mengatasi kesulitan). Jadi secara singkat capacity merupakan ukuran dari ability to pay atau kemampuan dalam membayar. Selain itu, kegunaan dari penilaian ini adalah untuk mengetahui atau mengukur
sampai sejauh mana calon nasabah
pembiayaan mampu mengembalikan atau melunasi utang-utangnya (ability to pay) secara tepat waktu, dari hasil usaha yang diperolehnya 54. 3.
Capital Capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikelolanya. Hal ini bisa dilihat dari neraca, laporan rugi-laba, struktur permodalan, ratio-ratio keuntungan yang diperoleh seperti return on equity, return on investment. Dari kondisi di atas bisa dinilai apakah layak calon pelanggan diberi pembiayaan, dan beberapa besar plafon pembiayaan yang layak diberikan.
4.
Condition of Economic Condition of economic adalah situasi kondisi politik, sosial, ekonomi dan
budaya
yang
mempengaruhi
keadaan
perekonomian
yang
kemungkinan pada suatu saat mempengaruhi kelancaran usaha calon nasabah pembiayaan55. Permasalahan mengenai Condition of economy erat kaitannya dengan faktor politik, peraturan perundang-undangan
54
Sugyawati, “Analisis Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dengan Akad Pembiayaan Murabahah Di BNI Syariah Cabang Medan”, (Skripsi S1 Fakultas Akuntansi Universitas Sumatera Utara, 2010) h.43. 55 Ibid., h.44.
60
negara dan perbankan pada saat itu serta keadaan lain yang mempengaruhi pemasaran seperti gempa bumi, tsunami, longsor, banjir dan kejadian alam lainnya. Hal ini untuk meminimalisir risiko yang akan terjadi dikemudian hari. 5.
Collateral Collateral adalah jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata calon debitur benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya .Collateral diperhitungkan paling akhir, artinya bilamana masih ada suatu kesangsian dalam pertimbangan-pertimbangan yang lain, maka bisa menilai harta yang mungkin bisa dijadikan jaminan. Pada hakikatnya bentuk collateral tidak hanya berbentuk kebendaan bisa juga collateral tidak berwujud, seperti jaminan pribadi (bortogch), letter of guarantee, rekomendasi. Penilaian terhadap collateral ini dapat ditinjau dari 2 (dua) segi yaitu 56: a. Segi ekonomis yaitu nilai ekonomis dari barang-barang yang akan digunakan. b. Segi yuridis apakah agunan tersebut memenuhi syarat-syarat yuridis untuk dipakai sebagai agunan. Setelah menganalisis dan survey langsung mengenai calon nasabah,
maka selanjutnya akan dikeluarkan nota analisa pembiayaan. Nota ini bertujuan menguraikan hasil yang diperoleh pihak bank mengenai calon 56
Ahmad Sanusi, “Analisa Karakter Sebagai Salah Satu Alat Manajemen Dalam Pengambilan Keputusan Pemberian Kredit” artikel diakses pada 4 Januari 2015 pada http://sanoesi.wordpress.com/tag/prinsip-5c-dalam-kredit/.
61
nasabah yang akan dibiayai. Nota ini juga akan menentukan apakah pembiayaan yang diajukan disetujui untuk diproses pada tahap selanjutnya ataukah ditolak dan seluruh dokumen persyaratan dikembalikan kepada calon nasabah yang bersangkutan. Apabila hasil dari nota analisa pembiayaan menunjukkan bahwa pembiayaan dapat dilanjutkan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam bank tersebut, maka tahap selanjutnya diserahkan kepada bagian komite pembiayaan untuk diproses. Tahap Ketiga, bagian komite pembiayaan melakukaan full consencuss, yaitu mempertimbangkan hasil yang diperoleh dari nota analisa pembiayaan yang didapatkan dari bagian account officer. Hasil dari consencuss ini harus disetujui bersama-sama oleh semua pihak komite pembiayaan. Apabila hasil yang didapat sesuai dengan persyaratan yang diinginkan oleh pihak komite pembiayaan, maka pihak komite pembiayaan akan memerintahkan pihak account officer untuk membuat SP3 (Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan). Tahap Keempat, pada tahapan ini kembali pada tugas dari account officer, dimana diperintahkan oleh pihak komite pembiayaan untuk membuat SP3. Setelah SP3 selesai dikerjakan oleh bagian account officer, selanjutnya surat tersebut ditandatangani oleh kepala cabang dan marketing manager. Tahap selanjutnya adalah nasabah yang mengajukan pembiayaan dipersilakan membuka rekening pembiayaan.
62
Tahap Kelima, pihak bank syariah mengkonfirmasi mengenai persetujuan pembiayaan kepada pihak nasabah yang mengajukan pembiayaan tersebut. Pihak bank memberitahu mengenai besarnya jumlah dana yang disetujui untuk disalurkan dalam pembiayaan yang diajukan oleh nasabah. Jika nasabah menyetujui besarnya dana tersebut, maka selanjutnya pihak account officer bank syariah akan menginput customer facility dan mempersiapkan kontrak perjanjian akad pembiayaan murabahah. Kemudian pihak bank syariah dan nasabah debitur menandatangani kontrak perjanjian akad murabahah. Selanjutnya bagian account officer melaporkan ke bagian central operation. Bagian central operation akan memeriksa apakah semua prosedur sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika sudah sesuai maka bagian central operation akan mengeluarkan compliance sertificate dan selanjutnya dana pembiayaan diberikan kepada nasabah.
63
BAB IV HASIL ANALISIS
A.
Analisis Akad Murabahah Berdasarkan Peraturan-Peraturan Terkait Pajak Pertambahan Nilai 1.
Awal Permasalahan Pajak Pertambahan Nilai Pada Perbankan Syariah Pada awal berkembangnya bank syariah yang diprakarsai oleh Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992, Direktorat Jendral Pajak mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa pembiayaan murabahah merupakan salah satu pembiayaan perbankan syariah yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Departemen
Keuangan menerbitkan surat bernomor S-103/PJ.3/1992 yang salah satu isi surat tersebut menyatakan pengecualian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas murabahah. Dalam surat tertanggal 12 Mei 1992 itu, salah satu butirnya menyebutkan penyaluran Barang Kena Pajak (BKP) dari pemasok pada Bank Muamalat Indonesia dalam rangka penyaluran dana berbentuk pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi, sehingga tidak dianggap sebagai penyerahan kena pajak karena murabahah tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
64
Ketentuan dalam surat Direktorat Jendral Pajak ini menjadi polemik ketika adanya surat Bank Danamon yang meminta penjelasan kepada Direktorat Jenderal Pajak tentang perlakuan perpajakan pembiayaan murabahah. Atas pertanyaan tersebut, Direktorat Jendral Pajak mengeluarkan Surat Keputusan nomor 243/PJ.53/2003 tanggal 10 Maret 2003 kepada Bank Danamon yang ditembuskan ke Bank Indonesia dan S-1071/PJ.53/2003 tanggal 4 September 2003 yang menyatakan bahwa kegiatan jual-beli murabahah oleh perbankan syariah tidak termasuk jenis jasa di bidang perbankan yang dikecualikan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini disebabkan murabahah yang dilakukan berdasarkan prinsip jual-beli, sehingga atas penyerahan barang tersebut dari bank syariah kepada nasabah merupakan penyerahan barang kena pajak yang terhutang atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebagai tanggapan terhadap surat Direktorat Jenderal Pajak kepada Bank Danamon, Bank Indonesia melakukan rapat formal dengan Direktorat Jenderal pajak dengan pokok masukan Bank Indonesia meminta agar transaksi murabahah di bank syariah dikecualikan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Bank Indonesia menegaskan pandangannya bahwa pembiayaan murabahah yang dilakukan bank syariah adalah jasa perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan, sehingga sesuai norma hukum 65
yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dikecualikan dari terhutang pajak. Ketentuan tentang tidak termasuknya jasa penyedia pembiayaan bidang perbankan sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai adalah Peraturan Pemerintah No. 144/2000 tentang Kelompok NonBKP dan Non-JKP. Atas surat Bank Indonesia tersebut, Direktorat Jenderal Pajak telah menyampaikan balasan dengan surat dan ditegaskan dalam berbagai rapat bahwa Direktorat Jenderal Pajak menolak argumentasi Bank Indonesia dan menyatakan tidak mengabulkan usulan Bank Indonesia karena dinilai tidak sesuai dengan perundang-undangan perpajakan yang saat ini berlaku. Walaupun dalam posisi sebagai otoritas pengawasan bank, Bank Indonesia telah menyampaikan surat kepada seluruh bank bahwa secara normatif bank memiliki kewajiban untuk memenuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan usaha bank, Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) telah menetapkan kesepakatan asosiasi bahwa permasalahan perpajakan bank syariah ini merupakan area permasalahan yang dianggap memiliki ambiguitas (ketidaksepahaman) dalam penafsiran hukumnya. Undang-Undang Perbankan secara tegas mengatur bahwa bank syariah adalah lembaga perbankan, sehingga jasa pembiayaan murabahah tidak dapat 66
dipersamakan sebagai kegiatan jual-beli di pasar barang. Disamping itu, esensi isi surat Direktorat Jenderal Pajak yang hakikatnya adalah penyetaraan perlakuan perpajakan bank syariah dengan bank konvensional menjadi jurisprudensi hukum yang dapat dijadikan acuan. Sehingga seluruh anggota ASBISINDO saat ini bersepakat untuk menolak setiap upaya hukum penagihan pajak murabahah. Polemik tentang PPN pada pembiayaan murabahah ini bertambah panas ketika Direktorat Jenderal Pajak memeriksa tahun pajak 2003 Bank Syariah Mandiri (BSM) dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN No. 00032/207/03/073/04 tanggal 13 Desember 2004 sebesar Rp25,5 miliar atas PPN murabahah 63. Direktorat
Jenderal
Pajak
selanjutnya
menerbitkan
keputusan
penolakan atas keberatan BSM pada 1 Desember 2005 tentang Keberatan Surat Ketetapan Pajak PPN. Sebagai reaksi atas kebjakan Direktorat Jenderal Pajak tersebut, Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia dan juga Bank Indonesia pada tahun 2005 pernah mengajukan surat permohonan agar Direktorat Jenderal Pajak tidak mengenakan PPN atas pembiayaan Murabahah dan agar Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan Surat Edaran kepada Kantor Pelayanan Pajak untuk tidak mengenakan PPN atas semua transaksi murabahah.
63
Ah. Azharuddin Lathif, Analisis Yuridis Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Pembiayaan Murabahah Di Perbankan Syariah (Jurnal Masyarakat Ekonomi Syariah)
67
Surat ini kemudian di balas dengan surat Direktur Jenderal Pajak No. S-65/PJ.53/2006 tanggal 7 Pebruari 2006 yang isinya menegaskan bahwa permohonan pembebasan PPN atas transaksi murabahah tidak dapat dipenuhi64. Berdasarkan surat balasan tersebut, bank syariah di Indonesia menerapkan prinsip double-tax (pajak berganda) atas penyaluran pembiayaan murabahah. Sehingga bank syariah menerima pajak masukan65 dan membayar pajak keluaran66 atas transaksi murabahah dalam produk penyaluran pembiayaannya, dan selisih atas pajak masukan dan pajak keluaran inilah yang wajib dibayarkan oleh bank syariah kepada Direktorat Jenderal Pajak. Namun, pihak Direktorat Jenderal Pajak memahami permasalahan yang menjadi concern asosiasi industri bank syariah dan Bank Indonesia serta menyetujui untuk memasukan kejelasan aturan perpajakan tentang kegiatan usaha bank syariah sebagai salah satu kegiatan usaha perbankan yang dikecualikan dari pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai
pada
64
paket
pembaharuan
Undang-Undang
Surat Direktorat Jenderal Pajak Kepada Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) No. S-65/PJ.53/2006 tanggal 7 Februari 2006 tentang Perlakuan PPN Atas Produk Pembiayaan Oleh Perbankan Syariah 65 Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dibayar oleh pembeli atau penerima Barang Kena Pajak (BKP) ataupun Jasa Kena Pajak (JKP). Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Panduan Pajak Pertambahan Nilai (Direktorat Jenderal Pajak, 2013) h.5. 66 Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) ataupun Jasa Kena Pajak (JKP). Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Panduan Pajak Pertambahan Nilai (Direktorat Jenderal Pajak, 2013) h.5.
68
Perpajakan
dan/atau
Peraturan
Pelaksanaannya
yang
sedang
disempurnakan. 2.
Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Berdasarkan
alur
pembiayaan
yang
diperoleh
dari
hasil
wawancara yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa skema penyaluran pembiayaan di perbankan syariah menyerupai penyaluran kredit di perbankan konvensional pada umumnya. Namun yang membedakan kedua jenis penyaluran tersebut adalah adanya akad wakalah yang diberikan bank kepada nasabah. Dalam hal ini, pihak nasabah membeli barang atas nama bank syariah yang bersangkutan. Sehingga setelah nasabah membeli barang tersebut, secara prinsip barang (rumah) tersebut sudah dimiliki oleh pihak bank syariah dan kemudian rumah tersebut akan dijual kepada pihak nasabah yang bersangkutan dengan pembayaran dengan tangguh maupun dengan cara mencicil. Aturan yang menyebutkan membolehkan adanya akad wakalah sebelum akad murabahah terjadi tercantum pada Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 dalam Akad bagian kedua paragraf kedua pasal 9 huruf d yang menyebutkan:
69
“Dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank;” Dari penjabaran aturan tersebut, secara umum pihak bank syariah tidak sepenuhnya melanggar aturan akad murabahah yang sesuai dengan kaidah fiqih dan dapat digambarkan bahwa sistem penyaluran pembiayaan murabahah dalam produk pembiayaan hunian syariah di bank syariah sbagai berikut 67: Gambar 4.1. Skema Penyaluran Pembiayaan Murabahah Di Bank Syariah
Sumber: Hasil wawancara yang telah diolah 67
Hasil wawancara dengan narasumber Bapak Yayat Taryadi selaku Mortgage Financing Dept Head di Bank Muamalat Indonesia pada 6 Maret 2015
70
Berdasarkan skema diatas, pihak bank syariah mewakilkan kepada nasabah untuk membeli rumah yang menjadi objek perjanjian. Setelah rumah tersebut dimiliki oleh pihak nasabah (yang mewakili pihak bank syariah), terjadi penyerahan rumah dari pihak developer/supplier kepada pihak nasabah yang bersangkutan. Rumah yang diserahkan dari pihak developer kepada nasabah dapat dikategorikan sebagai Barang Kena Pajak. Hal ini dipengaruhi oleh adanya transaksi jual beli yang disertai dengan penyerahan barang yang menjadi objek jual beli tersebut, sehingga objek tersebut dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan akad wakalah dalam skema pembiayaan murabahah di bank syariah adalah salah satu upaya pihak bank syariah agar tidak dikenakan pajak berganda (double tax) atas barang dan/atau jasa yang menjadi obyek pembiayaan murabahah. Apabila merujuk pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam konsistensi fikih muamalah, dimana pihak bank membeli terlebih dahulu objek pembiayaan dan barang tersebut telah dimiliki oleh bank. Dan bank akan menjual kembali barang tersebut kepada nasabah, hal ini akan menimbulkan anggapan bahwa akan terjadi pengenaan pajak berganda (double tax). Pengenaan pajak berganda lebih disebabkan faktor adanya penyerahan barang lebih dari satu kali,
71
yaitu pada saat bank membeli barang dari pihak developer dan saat pihak bank menjual kembali barang tersebut kepada nasabah yang bersangkutan. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai bahwa penyerahan barang kena pajak (BKP) maupun jasa kena pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Sehingga dalam transaksi penyerahan rumah antara pihak developer kepada pihak bank syariah maupun antara pihak bank syariah kepada pihak nasabah, keduanya dapat dikenakan pajak dan berlaku sistem pajak ganda (double tax). Pada hakikatnya penerapan atas sistem pajak ganda (double tax) memiliki dampak negatif pada perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh harga jual yang ditawarkan oleh pihak bank syariah selaku penjual kedua atas barang yang dijadikan objek jual beli tersebut akan lebih tinggi dari harga jual yang ditawarkan oleh supplier/developer selaku penjual pertama. Harga jual yang relatif lebih tinggi tersebut disebabkan adanya pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang dibayarkan oleh pihak bank syariah pada proses transaksi jual beli pertama. Penawaran harga jual yang lebih tinggi tersebut akan berpengaruh pada tingkat margin dan besarnya angsuran yang akan dibayarkan oleh nasabah setiap bulannya.Tingkat
72
angsuran yang relatif lebih tinggi akan membebankan pihak nasabah, sehingga pihak nasabah akan berpikir ulang untuk melakukan pembiayaan di perbankan syariah. Hal ini akan berdampak pada reputasi perbankan syariah di Indonesia. Oleh karena dinilai dapat membahayakan industri perbankan syariah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang terbaru tentang pajak pertambahan nilai yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2010. Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tercantum poin yang mengatur mengenai pengenaan pajak pertambahan nilai didasarkan pada penyerahan barang kena pajak atas pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Pada poin tersebut ditegaskan bahwa penyerahan barang kena pajak atas pembiayaan yang berdasarkan prinsip
syariah
dianggap
dilakukan
langsung
oleh
pihak
pemasok/developer kepada nasabah atau pembeli akhir. Sehingga secara tidak langsung Undang-Undang ini menegaskan bahwa pihak nasabah lah yang wajib membayar hutang pajak pertambahan nilai, dikarenakan pihak nasabah yang menerima penyerahan dari pihak pemasok/developer. Selain itu, pada poin Undang-Undang tersebut juga seakan merujuk pada penerapan skema pembiayaan murabahah yang menggunakan akad wakalah dalam hal pembelian obyek
73
pembiayaan yang diwakilkan kepada pihak nasabah. Oleh sebab ini juga pihak perbankan syariah tidak merubah skema pembiayaan yang sebelumnya juga menggunakan skema yang sama. 3.
Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah Diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 Upaya pemerintah dalam mendukung perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia selain dengan dikeluarkannya UndangUndang terkait pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai pada produk pembiayaan di perbankan syariah, juga dikeluarkannya peraturan lainnya seperti peraturan pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan. Dalam rangka mendukung penetapan revisi ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang mulai diberlakukan tanggal 1 April 2010, Kementrian Keuangan yang menaungi Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah di perbankan syariah dihapuskan. Peraturan ini terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 dan mulai berlaku pada tanggal 28 Desember 2010. Peraturan Menteri Keuangan tersebut membawa angin segar untuk industri perbankan syariah, sehingga pihak perbankan syariah tidak
74
perlu mencemaskan kembali permasalahan pembebanan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah. Selain itu, pihak nasabah ataupun calon nasabah juga tidak perlu dibebani dengan penagihan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah di bank syariah. Disamping menetapkan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah di perbankan syariah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 juga menetapkan bahwa pembiayaan murabahah yang dilaksanakan sebelum tanggal 1 April 2010 tetap akan ditagih oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak. Namun nominal pajak tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dengan syarat telah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembiayaan murabahah yang dilakukan/dicairkan sebelum tanggal 1 April 2010 masih merapkan sistem pajak berganda (double tax) dan pajak berganda ini sepenuhnya akan ditanggung oleh pemerintah apabila sudah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak. Namun nominal pajak yang ditanggung pemerintah dibatasi mencapai anggaran Rp 328.454.138.718,00. Sedangkan untuk pembiayaan murabahah yang dilakukan setelah tanggal 1 April 2010 dan sebelum tanggal 28 Desember 2010 diberlakukan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku pada saat itu, yaitu Undang-Undang Nomor 75
42 Tahun 2009 sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1A ayat (1) huruf h yang menyatakan bahwa: “Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak” Sehingga dalam kurun waktu 1 April 2010 sampai 28 Desember 2010 diterapkan
sistem
Pajak
pemasok/supplier/developer
Pertambahan menyerahkan
Nilai
tunggal
obyek
dimana
pembiayaan
murabahah langsung kepada nasabah yang memesannya. Dan pada kasus ini Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat pemasok menyerahkan barang atau obyek pembiayaan murabahah kepada nasabah dan nasabah yang menanggung beban pajak tersebut. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 hanya berlaku selama kurang lebih 8 bulan untuk mengatur permasalahan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah di perbankan syariah. selanjutya permasalahan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah ini dinyatakan dihapuskan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 yang mulai dierlakukan pada tanggal 28 Desember 2010.
76
Selain mengatur tentang penghapusan Pajak Pertambahan Nilai, peraturan menteri keuangan tersebut juga mengatur mengenai wajib pajak yang telah membayar Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan Nominal Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 yang menyatakan bahwa: “Wajib Pajak bank syariah yang telah membayar Surat Ketetapan Pajak atas transaksi murabahah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dapat diberikan pengembalian pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku” Dengan demikian wajib pajak yang telah membayar Surat Ketetapan Pajak sebelum tanggal 1 April 2010, pembayaran tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak yang bersangkutan. Namun pengembalian ini harus disesuaikan dengan ketentuang-ketentuan pajak yang berlaku. Dalam praktek skema yang diterapkan, baik sebelum maupun sesudah ditetapkannya peraturan menteri keuangan ini,
pada
pembiayaan murabahah adalah sama seperti skema pembiayaan murabahah pada sebelum diberlakukannya peraturan ini, yaitu dengan
77
menerapkan akad wakalah untuk mewakili bank syariah dalam pembelian barang atau obyek akad murabahah. Apabila dalam praktek pembiayaan murabahah pada saat diberlakukannya
sistem
pajak
berganda
(double
tax
system)
menggunakan skema pembiayaan dengan melakukan akad wakalah sebelum diadakan akad murabahah, hal ini dilakukan pihak bank syariah dengan tujuan agar tidak adanya pembebanan pajak secara berganda yang akan mempengaruhi harga jual barang atau obyek pembiayaan. Sedangkan dalam masa pemberlakuan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai terbaru , skema pembiayaan tersebut juga tetap diberlakukan. Meskipun pada saat itu, sistem pajak berganda (double tax system) sudah tidak diberlakukan lagi. Namun dalam pasal 1A ayat (1) huruf h yang menyatakan bahwa penyerahan barang kena pajak pada saat penyerahan obyek pembiayaan yang berlandaskan prinsip syariah dianggap dilakukan langsung oleh pemasok atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) kepada nasabah. Klausula peraturan tersebut seakan mengarahkan pihak perbankan syariah untuk mengadakan akad wakalah sebelum dilakukannya akad murabahah. Dan pada saat diberlakukan peraaturan menteri keuangan pun pihak bank syariah tetap mempertahankan skema pembiayaan tersebut.
78
B.
Analisis Akad Murabahah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 1.
Kontrak Pembiayaan Murabahah Kontrak adalah peristiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis68. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya,
sehingga
perjanjian
tersebut
menimbulkan
hubungan hukum. Pada umumnya kontrak yang dibuat untuk keperluan pembiayaan pada perbankan syariah adalah jenis kontrak tertulis. Kontrak tertulis dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, diantaranya69: a)
Perjanjian di bawah tangan Perjanjian
di
bawah
tangan
merupakan
perjanjian
yang
ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Perjanjian ini hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. b) Perjanjian dengan saksi notaris
68
Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan dalam Saefuddin Arif dan Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h.1. 69 Saefuddin Arif dan Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h.6.
79
Perjanjian dengan saksi notaris bertujuan untuk melegalisasi tanda tangan para pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata hanya untuk melegalisasi kebenaran tanda tangan para pihak. Namun pihak notaris tidak bertanggungjawab atas keabsahan isi dari perjanjiang tersebut. c)
Perjanjian otentik Perjanjian otentik merupakan perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh pejabat yang berwenang atau notaris dan dibuat dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang. Dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga.
Dalam kontrak yang digunakan oleh pihak bank syariah untuk memfasilitasi pembiayaan, biasanya pihak bank syariah sudah menyiapkan draft yang berisi pokok-pokok perjanjian pembiayaan. Hal ini dilakukan untuk menghemat waktu dan pembebanan biaya yang berlebihan. Saat ini penulis ingin menjabarkan mengenai isi dari kontrak perjanjian pembiayaan yang menjadi obyek penelitian penulis. Kontrak perjanjian yang diteliti merupakan draft atas perjanjian pembiayaan murabahah dari 2 (dua) Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia,
80
yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri. Berikut isi dari klausula perjanjian pembiayaan murabahah. Pertama, dalam pasal yang menjelaskan mengenai pokok akad dijelaskan bahwa pihak bank syariah menjual dan menyerahkan barang yang dipesan oleh nasabah. Namun pada realisasinya pihak bank syariah memberikan kuasa kepada pihak nasabah untuk membeli sendiri barang atau rumah yang diinginkan. Sehingga pemberian kuasa ini dikenal sebagai akad wakalah antara bank syariah dan nasabah. Selain penyataan mengenai kepemilikan obyek akad tersebut, dalam pasal ini juga dijabarkan mengenai manfaat obyek, harga pokok obyek akad, besaran margin yang dikenakan sebagai besaran keuntungan yang akan diperoleh pihak bank syariah atas penyaluran pembiayaan tersebut, serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak bank syariah dan akan dibebankan kepada nasabah untuk memperoleh obyek tersebut dan jangka waktu pembiayaan beserta tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran pembiayaan murabahah. Kedua, dalam klausula baku terdapat satu pasal yang menjelaskan mengenai persyaratan pencairan pembiayaan murabahah. Pasal ini menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak nasabah pemohon pembiayaan. Persyaratan-persyarata tersebut harus dilengkapi berupa penyerahan dokumen-dokumen berupa form permohonan
realisasi
pembiayaan, 81
bukti-bukti
kepemilikan
jaminan/agunan beserta akta pendukung atas jaminan tersebut dan dokumen-dokumen pendukung lainnya. Dalam draft perjanjian yang dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia ditambahkan adanya surat kuasa debet. Surat tersebut ditujukan untuk memberi kuasa kepada pihak bank untuk mengurangi secara otomatis dari saldo tabungan maupun giro milik nasabah yang bersangkutan. Ketiga, pasal selanjutnya membahas mengenai jangka waktu dan tata cara pembayaran. Meskipun pada pasal sebelumnya dijabarkan mengenai jangka waktu beserta jumlah yang harus diangsur oleh pihak nasabah peminjam. Namun pada pasal ini diatur mengenai mekanisme atau tata cara pembayaran yang diatur oleh pihak bank syariah dan harus dipatuhi oleh pihak nasabah peminjam dalam melakukan pembayaran angsuran setiap periode jatuh tempo. Dalam klausula ini terdapat perbedaan poin-poin yang diatur oleh pihak bank syariah dan hal ini bergantung pada kebijakan masing-masing bank syariah. Pada draft kontrak pembiayaan murabahah yang dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia, pasal yang menjelaskan mengenai jangka waktu dan tata cara pembayaran terdapat 7 (tujuh) poin. Dan di dalam poin-poin tersebut tidak dituliskan berapa lama jangka waktu pembiayaan murabahah. Selain itu, dijelaskan pula mengenai pembayaran jatuh tempo pada hari libur dan pihak nasabah diwajibkan 82
melunasi pada 1 hari kerja bank sebelum tanggal jatuh tempo yang bertepatan bukan pada hari kerja bank. Sedangkan pada draft kontrak pembiayaan yang dibuat oleh Bank Syariah Mandiri, dalam klausul yang menjelaskan jangka waktu dan tata cara pembayaran disebutkan lamanya jangka waktu yang diberikan untuk melunasi hutang murabahah tersebut. Selain itu dalam draft tersebut juga lebih ringkas dengan menggunakan 4 (empat) poin saja dan mencakup mengenai mekanisme pembayaran serta besaran denda yang ditetapkan jika terjadi keterlambatan pembayaran angsuran setiap periodenya. Namun bedanya dengan Bank Muamalat Indonesia, dalam draft Bank Syariah Mandiri ditetapkan pembayaran jatuh tempo angsuran bertepatan bukan di hari kerja bank diberikan tambahan waktu pembayaran sampai pada hari kerja pertama bank setelah tanggal jatuh tempo yang bertepatan pada bukan hari kerja bank tersebut. Keempat, dalam kontrak pembiayaan murabahah juga diatur mengenai pengenaan biaya, potongan dan pajak atas barang atau obyek akad. Untuk pengenaan biaya-biaya yang terkait dengan obyek akad maupun
pelaksanaan
kontrak
pembiayaan
ini,
seperti
biaya
administrasi, biaya notaris, premi asuransi dan biaya lainnya, menjadi tanggung jawab nasabah pemohon pembiayaan dan harus dibayarkan oleh nasabah tersebut. Begitu pula dengan pengenaan pajak yang 83
berkaitang dengan obyek akad pembiayaan murabahah, nasabah bertanggung jawab untuk melunasi pajak-pajak tersebut. Lebih lanjut, dalam draft yang dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia disebutkan pula mengenai biaya advokat apabila terjadi cidera janji (wanprestasi) dan menggunakan jasa advokat untuk menagih pembayaran yang belum dilunasi. Dalam poin tersebut, disebutkan bahwa biaya advokat menjadi tanggung jawab nasabah untuk membayarnya meskipun pada dasarnya pihak bank syariah yang menggunakan jasanya. Kelima, jaminan merupakan bagian yang terpenting dalam sebuah pembiayaan, oleh karena itu jaminan perlu juga diatur dalam kontrak pembiayaan. Dalam kontrak pembiayaan harus secara jelas disebutkan mengenai spesifikasi barang yang dijadikan jaminan pelunasan pembiayaan. Disamping itu, bank juga perlu menilai harga dari barang jaminan tersebut. Dasar penilaian tersebut adalah harga pasar barang tersebut. Jadi apabila harga pasar atas barang yang dijadikan jaminan tersebut dinilai kurang dapat menutup jumlah pembiayaan yang diberikan, maka nasabah perlu menambahkan sejumlah barang sebagai agunan tambahan sampai nilai dari barangbarang tersebut dapat dinilai cukup untuk menutupi nilai pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank syariah. Keenam, pengenaan denda dan ganti rugi juga diatur dalam kontrak pembiayaan murabahah. Denda dapat dikenakan apabila 84
terjadi keterlambatan pembayaran agsuran setiap periodenya. Besarnya pengenaan denda ini bergantung pada kebijakan bank syariah masingmasing. Hal ini disebabkan sistem perhitungan dari masing-masing bank berbeda, sehingga tidak dapat ditetapkan secara umum mengenai besarnya denda yang diberikan. Biasanya penetapan denda ini sudah dinegosiasikan terlebih dahulu antara kedua pihak (bank syariah dan nasabah) sebelum penandatanganan kontrak pembiayaan murabahah. Selain denda, dalam kontrak pembiayaan murabahah juga diatur mengenai ganti rugi. Ganti rugi dikenakan apabila adanya pembatalan sepihak yang dilakukan oleh pihak nasabah pemohon pembiayaan. Oleh karena itu, nasabah bertanggungjawab membayar ganti rugi atas biaya-biaya yang sudah terealisasi dan dibayarkan oleh pihak bank syariah yang berhubungan dengan pembiayaan murabahah yang diberikan. Ketujuh, cidera janji atau yang lebih dikenal dengan istilah wanprestasi merupakan perbuatan yang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana
yang
ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur 70. Dalam sebuah kontrak pembiayaan murabahah, peristiwa wanprestasi perlu diatur untuk menghindari perbuatan yang dapat merugikan salah satu pihak 70
Salim H.S., Hukum Kontrak cetakan ke-4 dalam Saefudin Arif dan Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h.8.
85
maupun kedua pihak yang melakukan perjanjian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) diatur mengenai yang menjadi sebab terjadinya wanprestasi dalam pasal 1234 sebagai berikut71: a)
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b)
Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
c)
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; atau
d)
Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak diperbolehkan melakukannya.
Dalam kontrak pembiayaan pembahasan mengenai sebab terjadi perbuatan wanprestasi juga masih terkait dengan sebab wanprestasi yang diatur dalam KUH Perdata, namun dalam kontrak pembiayaan dibuat lebih luas penjabaran mengenai perbuatan yang dianggap cidera janji (wanprestasi). Dalam draft kontrak pembiayaan murabahah yang dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia terdapat 16 poin yang dianggap dapat menyebabkan pihak nasabah melakukan perbuatan wanprestasi, sedangkan dalam draft kontrak pembiayaan murabahah yang dibuat oleh Bank Syariah mandiri hanya memuat 8 poin yang dianggap dapat menyebabkan pihak nasabah melakukan perbuatan wanprestasi. Selain menjelaskan megenai sebab terjadinya perbuatan yang dianggap 71
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1234
86
wanprestasi, dalam pasal yang terpisah juga disebutkan akibat atau dampak jika nasabah melakukan salah satu perbuatan yang dianggap wanprestasi dalam kontrak tersebut. Kedelapan, adanya pernyataan ataupun pengakuan dari pihak nasabah untuk mengikatkan diri dalam perjanjian yang ditandatangani. Penyataan ini menjelaskan mengenai pernyataan yang membenarkan bahwa nasabah yang menandatangani ini tunduk dan patuh atas segala aturan yang tertuang di dalam kontrak pembiayaan tersebut. Kesembilan, dalam pasal yang berbeda, diatur pula mengenai pembatasan tindakan nasabah dan tindakan yang wajib dilakukan oleh nasabah. pembatasan tindakan nasabah secara umum menyerupai sebab-sebab terjadinya wanprestasi, namun yang membedakan dalam pembatasan tindakan nasabah ini hanya mengatur tentang perbuatanperbuatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh nasabah selama masa perjanjian pembiayaan murabahah. Sedangkan pasal yang mengatur tentang tindakan yang wajib dilakukan oleh nasabah lebih bersifat pada kewajiban yang harus dilakukan oleh nasabah terkait dengan pelaksanaan perjanjian murabahah selama jangka waktu perjanjian tersebut. Kesepuluh, pembahasan mengenai risiko
yang menjadi
tanggung jawab nasabah sepenuhnya. Risiko yang ditanggung oleh
87
nasabah ini terkait dengan obyek pembiayaan murabahah beserta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan obyek tersebut. Kesebelas, dalam kontrak pembiayaan murabahah juga diatur mengenai asuransi yang diberikan untuk barang yang dijadikan jaminan atas sejumlah hutang murabahah. Barang tersebut dapat diasuransikan pada perusahaan-perusahaan asuransi syariah yang bekerjasama dengan pihak bank syariah yang memberikan penyaluran dana tersebut. Meskipun barang jaminan tersebut diberikan asuransi oleh pihak bank, namun yang bertanggungjawab atas pembayaran premi asuransi setiap bulannya adalah pihak nasabah peminjam. Keduabelas, pokok kontrak pembiayaan murabahah yang terakhir menjelaskan mengenai tata cara penyelesaian perselisihan antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian, yaitu bank syariah dan nasabah. 2.
Bentuk Perlindungan Konsumen Yang Diterapkan Berdasarkan Akta Perjanjian Pembiayaan Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat memiliki resiko, oleh karena itu penyalurannya harus hati-hati dan memperhatikan asasasa perbankan syariah, prinsip kehati-hatian serta jaminan dalam memberikan pembiayaan bank syariah wajib memiliki keyakinan atas kemauan dan kemampuan nasabah untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan akad yang diperjanjikan. Jaminan diartikan sebagai 88
bagian dari yang dimaksud keyakinan atas kemauan dan kemampuan nasabah dalam melakukan kewajibannya. Klausula baku yang dibuat oleh pihak kantor cabang sebuah bank syariah merupakan akad yang mewakili kepentingan kantor pusat bank syariahyang bersangkutan. Untuk efisiensi waktu dan biaya, pihak bank syariah biasanya telah mempersiapkan formulir-formulir akad yang memuat tentang hasil kesepakatan yang dibuat untuk dituangkan ke dalam klausula baku yang akan ditandatangani oleh pihak bank syariah dan pihak nasabah yang bersangkutan. Dalam formulir akad tersebut mengharuskan pihak bank melakukan negosiasi mengenai hal-hal tertentu, khususnya mengenai penetapan margin keuntungan. Sehingga dalam pembuatan klausula baku tersebut telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan berdasarkan isi dari klausul baku yang diterbitkan oleh Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri, diketahui beberapa aspek yang menyatakan terdapat perlndungan konsumen yang diberikan oleh pihak bank syariah, diantaranya: Pertama, bahasa dan istilah yang digunakan dalam klausula baku yang ditandatangani oleh kedua belah pihak mudah dipahami oleh nasabah. Hal ini didukung adanya pasal yang menjelaskan tentang istilah-istilah yang digunakan dalam klausula baku tersebut. Sehingga 89
nasabah dapat memahami istilah-istilah tersebut sebelum membaca lebih jauh isi klausula baku tersebut. Penggunaan bahasa dan istilah dalam bahasa Indonesia ini sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
tentang
Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa
Keuangan. Dalam ayat (3) disebutkan bahwa 72: “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan huruf, tulisan, simbol, diagram dan tanda yang dapat dibaca secara jelas.” Lebih lanjut, peraturan tersebut dijelaskan dalam ayat (4) yang menyatakan bahwa73: “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan penjelasan atas istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda yang belum dipahami oleh Konsumen.” Dalam klausul perjanjian pembiayaan murabahah dicantumkan dalam pasal 1 dengan title “DEFINISI” yang menguraikan penjelasan atas istilah-istilah yang digunakan dalam klausula baku. Hal ini bertujuan untuk memudahkan nasabah dalam memahami istilah-istilah yang digunakan sebelum membaca lebih jauh isi dari perjanjian tersebut. Hal ini seperti yang tercantum sebagai berikut: 72
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, hal.5. 73 Ibid.
90
PASAL 1 DEFINISI Dalam akad ini, yang dimaksud dengan: a. Pembiayaan Murabahah adalah pembiayaan jual beli antara BANK sebagai penjual dan penyedia barang dengan NASABAH sebagai pemesan untuk membeli, yang di dalam akad jual beli dinyatakan dengan jelas dan rinci mengenai barang, harga beli BANK dan harga jual BANK kepada NASABAH sehingga termasuk di dalamnya margin keuntungan yang diperoleh BANK, serta persetujuan NASABAH untuk membaayar harga jual BANK tersebut secara tangguh, baik secara sekaligus (lump-sum) dan atau secara angsuran. Kedua, dalam pasal 8 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Setor Jasa Keuangan menyatakan bahwa: Ringkasan Informasi produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat secara tertulis, sekurangkurangnya memuat: a. Manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan; dan b. Syarat dan ketentuan. Hal mengenai pencatatan atas manfaat, risiko dan biaya produk murabahah serta syarat dan ketentuan yang ditetapkan sudah termasuk ke dalam materi klausula baku atas perjanjian pembiayaan murabahah yang dianalisis. Sehingga dapat dikatakan bahwa klausula tersebut telah memenuhi ketentuan perlindungan konsumen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada halaman lampiran skripsi ini. Ketiga, adanya prinsip transparansi dan keadilan dalam pengalokasian nilai jual barang yang dijadikan jaminan atas
91
pembiayaan murabahah. Hal ini tercermin dari isi klausula baku yang menyebutkan bahwa: “Menjual harta benda yang dijaminkan dan atau yang diserahkan kemudian oleh NASABAH dan/atau penjamin kepada BANK berdasarkan prinsip transparansi dengan harga yang disepakati antara BANK dan NASABAH maupun di muka umum (secara lelang) dan untuk itu NASABAH/Penjamin memberi kuasa dengan ketentuan pendapatan bersih dari penjualan pertama-tama dipergunakan untuk pembayaran seluruh Utang Murabahah dan Keajiban NASABAH kepada BANK dan jika ada sisa, maka sisa tersebut akan dikembalikan kepada NASABAH dan/atau Penjamin sebagai pemilik harta benda yang dijaminkan kepada BANK” Dalam klausula tersebut, tercermin adanya prinsip transparansi dalam menyatakan harga jual barang jaminan yang akan digunakan untuk melunasi sejumlah utang murabahah yang belum dibayarkan. Pernyataan harga jual yang diinformasikan oleh pihak bank syariah kepada pihak nasabah atas penjualan barang jaminan tersebut, baik melalui penjualan berdasarkan kesepakatan di awal ataupun secara penjualan lelang. Sedangkan pencerminan dari prinsip keadilan didasarkan pada isi perjanjian yang menyatakan sisa uang setelah dilakukan pelunasan terhadap kewajiban murabahah akan dikembalikan ke pihak nasabah selaku pemilik harta yang telah dijual dan dijaminkan tersebut. Sehingga pihak bank syariah tidak mendapatkan keuntungan apapun atas penjualan barang jaminan tersebut, selain itu juga bank syariah mampu bersifat adil dalam pelaksanaan pembagian harta yang 92
dijaminkan tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan bank syariah tidak mengambil uang yang bukan haknya. Prinsip transparansi dan keadilan ini sejalan dengan penerapan prinsip dalam peraturan otoritas jasa keuangan tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Pelindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Keempat, barang yang dijadikan obyek pembiayan dalam klausula baku merupakan pesanan nasabah yang mengajukan permohonan. Dalam hal ini, barang yang dipesan oleh nasabah berupa sebidang rumah dengan ketentuan yang telah disepakati antara pihak bank syariah dan pihak nasabah. Hal ini sesuai dengan pemenuhan hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 Huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan” Sedangkan dalam kontrak pembiayaan murabahah biasanya tercantum sebagai berikut: Pasal 2 POKOK AKAD
93
BANK dengan ini menjual Obyek Akad yang dipesan oleh dan menyerahkannya kepada NASABAH, dan NASABAH dengan ini membeli, menerima dan membayar Harga Jual Obyek Akad kepada BANK. Selain itu, dalam prakteknya di bank syariah, pihak nasabah memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapat mengenai syarat dan ketentuan yang telah ditentukan secara sepihak oleh bank syariah dalam
pemenuhan
syarat
administratif.
Disamping
dapat
menyampaikan pendapat, nasabah juga diberikan hak untuk melakukan negosiasi dengan pihak bank syariah terkait: a. Jangka waktu pembayaran utang murabahah; dan b. Jaminan/agunan 3.
Bentuk Pelanggaran Terhadap Peraturan-Peraturan Terkait Perlindungan Konsumen Dari hasil penelitian penulis pada kontrak murabahah di bank syariah yang dibuat oleh kedua belah pihak (antara bank dan nasabah) dengan dilegalkan oleh notaries, maka penulis menemukan beberapa klausula perjanjian yang sangat memberatkan pihak nasabah sebagai konsumen. Beberapa klausula tersebut tidak hanya memberatkan pihak nasabah saja, akan tetapi sudah sampai pada taraf yang sangat tidak adil bahkan sudah sampai pada pengalihan resiko dan tanggung jawab masalah.
94
Dibawah ini diuraikan kontrak baku dalam perjanjian pembiayaan murabahah pada perbankan syariah yang menurut analisis penulis memberatkan dan merugikan pihak nasabah. Berikut hasil analisa penulis berdasarkan berbagai aspek, diantaranya: Pertama, adanya kewajiban untuk mengasuransikan barang yang dijadikan jaminan dalam perjanjian murabahah. Seperti yang disebutkan pada pasal 20 ayat (1) dalam draft kontrak pembiayaan yang dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia dan pasal 13 dalam draft kontrak pembiayaan yang dibuat oleh Bank Syariah mandiri yang menyebutkan sebagai berikut: “Selama Utang Murabahah belum lunas, maka Agunan yang dapat diasuransikan wajib diasuransikan oleh dan atas beban NASABAH kepada Perusahaan Asuransi syariah yang ditunjuk dan atau perusahaan asuransi lain yang disetujui oleh BANK terhadap risiko kerugian yang macam, nilai dan jangka waktunya ditentukan oleh BANK” Pernyataan tersebut dianggap dapat melanggar hal-hal yang sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, lebih tepatnya dalam mencapai tujuan dari perlindungan konsumen pada pasal 3 huruf c yang menyataan sebagai berikut: Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
95
Hal yang dapat dianggap melanggar pasal tersebut terdapat pada tidak berlakunya hak konsumen dalam memilih untuk menentukan perusahaan asuransi dalam hal mengasuransikan barang yang dijadikan jaminan/agunan. Dalam hal ini pihak bank syariah sudah menentukan secara sepihak mengenai perusahaan asuransi yang bekerjasama untuk mengasuransikan barang-barang yang dijadikan jaminan dalam produk pembiayaan bank syariah. Meskipun adanya pilihan dalam menentukan perusahaan asuransi lain yang tidak bekerjasama dengan pihak bank syariah yang bersangkutan, namun penentuan perusahaan asuransi lain tersebut harus mendapat persetujuan dari pihak bank syariah. sebelum bank syariah menyatak persetujuannya dalam hal perusahaan asuransi lain, pihak bank syariah juga perlu menganalisis lebih jauh mengenai perusahaan asuransi tersebut. Selain mengenai adanya pelanggaran dalam hal memilih perusahaan asuransi, penentuan perusahaan asuransi yang diputuskan secara sepihak oleh bank syariah juga dapat dikatakan memberatkan nasabah yang bersangkutan. Hal ini mungkin terjadi apabila premi asuransi yang harus dibayar nasabah jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan premi asuransi di perusahaan asuransi lainnya yang tidak bekerjasama dengan pihak bank syariah. sehingga hal ini dapat dikatakan memberatkan pihak nasabah, karena disamping 96
nasabah berkewajiban mengangsur sejumlah uang untuk melunasi pembiayaan murabahah, nasabah jugadiharuskan membayar premi asuransi atas barang yang dijadikan agunan selama jangka waktu pembiayaan atau selama pembiayaan murabahah belum dapat dilunasi oleh nasabah. Kedua,
adanya
ketentuan-ketentuan
dalam
prosedur
persetujuan pembiayaan, sehingga hal ini berpengaruh pada nilai pembiayaan dan jaminan yang ditetapkan oleh bank secara sepihak. Tidak jarang terjadi realisasi pembiayaan dengan nominal yang tidak sesuai dengan nominal yang diajukan oleh nasabah. berbagai ketentuan dalam proses persetujuan pembiayaan berupa analisis terkait barang jaminan dan latar belakang nasabah, dapat berdampak pada nominal realisasi pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank syariah. sehingga dalam hal ini adanya ketidaksesuaian terhadap pasal 4 huruf b yang menyatakan sebagai berikut: hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan Ketidaksesuaian nominal pengajuan pembiayaan dengan nominal realisasi pembiayaan ini dapat dikatakan pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikarenakan nasabah masih harus mencari dana tambahan dalam mencukupi kekurangan dana yang tidak dapat 97
disetujui oleh pihak bank syariah. selain
itu juga,
adanya
ketidaksesuaian antara nilai jaminan dengan nominal realisasi pembiayaan yang ditetapkan pihak bank syariah. Ketiga, terdapat klausula perjanjian yang menyebutkan diperlukannya agunan tambahan dalam mencukupi nilai pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank syariah. Dalam klausula tersebut disebutkan sebagai berikut: “Dalam hal belum dicukupinya jaminan untuk melunasi Utang Murabahah dan Kewajiban NASABAH kepada BANK, NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk dari waktu ke waktu selama Utang Murabahah dan Kewajibannya belum lunas akan menyerahkan kepada BANK, jaminanjaminan tambahan yang dinilai cukup oleh BANK” Dalam klausula tersebut, adanya permintaan pihak bank syariah dalam pemenuhan nilai jaminan yang disesuaikan dengan nilai pembiayaan. Sedangkan seperti yang diketahui sebelumnya bahwa pembiayaan murabahah tidak terikat pada nilai jual pasar berjalan, sehingga dapat dikatakan apabila bank syariah memberikan pembiayaan pada tahun X sebesar Rp 300.000.000,00 sedangkan harga rumah tersebut jika dilihat pada harga pasar menjadi dua kali lipat dari nilai pembiayaan, maka bank syariah tidak dapat mengajukan adanya kekurangan nilai dari barang agunan yang sebelumnya sudah dinilai mencukupi untuk menutup nominal pemberian pembiayaan. Seperti halnya dengan jumlah angsuran yang dibayarkan oleh nasabah kepada bank syariah,
98
tidak dapat diubah selama masa atau jangka waktu pembiayaan. Hal ini lebih disebabkan pada karakteristik atas pembiayaan murabahah yang bersifat tetap dengan sesuatu yang sudah tetapkan pada awal penandatanganan kontrak pembiayaan tersebut. Apabila terjadi penambahan jaminan dan berpengaruh pula dengan nominal jaminan yang diberikan kepada pihak bank syariah, maka dapat dikatakan adanya pelanggaran terhadap pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan sebagai berikut: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: (g) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;” Bentuk pelanggaran yang terjadi atas klausula perjanjian murabahah adalah terdapat peraturan tambahan yang dibuat atau disepakati secara sepihak oleh bank syariah pada jangka waktu pembiayaan. Aturan tambahan tersebut dibuat dalam bentuk permintaan agunan tambahan apabila
nilai
agunan
sebelumnya
tidak
pembiayaan yang telah diberikan di awal akad.
99
mencukupi
nominal
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan analisa penulis terhadap hasil wawancara dan isi kontrak pembiayaan murabahah terkait dengan jenis pembiayaan hunian syariah pada Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri, maka dengan ini dapat penulis menyimpulkan bahwa: 1.
Awal permasalahan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah ini dipicu dengan adanya surat balasan pihak Direktorat Jenderal Pajak mengenai pertanyaan yang diajukan oleh salah satu bank
konvensional
terkait
perlakuan
pajak
atas
pembiayaan
murabahah. Padahal sebelumnya pada tahun 1992 terjadi kesepakatan antara pihak Direktorat Jenderal Pajak dengan Bank Muamalat Indonesia bahwa pembiayaan murabahah terbebas dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Seiring berjalan waktu, pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia semakin pesat namun masih belum memadainya peraturan-peraturan yang mengaturnya, seperti dalam hal permasalahan perpajakan ini. Peraturan perundang-undangan terakhir mengenai pajak pertambahan nilai belum adanya konteks aturan yang mengatur jasa di bidang perbankan syariah terutama pembiayaan murabahah. Sehingga timbulnya argumentasi yang berbeda antara
100
pihak Direktorat Jenderal Pajak dengan pihak perbankan syariah, termasuk Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO). 2.
Untuk meredam konflik yang terjadi antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) terkait pengenaan pajak berganda (double tax), tahun 2009 dikeluarkan Undang-Undang terbaru mengenai Pajak Pertambahan Nilai yang di dalamnya terdapat aturan mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Aturan tersebut diatur dalam Pasal 1A Ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Selain itu, pada bulan Desember 2010 juga dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 yang mengatur tentang penghapusan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah yang diberlakukan mulai tanggal 28 Desember 2010. Dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan ini menunjukan
bahwa
adanya
dukungan
pemerintah
dalam
mengembangkan perbankan syariah di Indonesia. 3.
Apabila dilihat dari perspektif hukum perlindungan konsumen, hukum di Indonesia telah mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Peraturan Otoritas Jasa 1/POJK.07/2013. dengan
Keuangan Nomor
Hukum perlindungan konsumen erat kaitannya
penerapan
klausula-klausula
dalam
kontrak
baku
permbiayaaan, oleh karena itu dikeluarkan pula Surat Edaran Otoritas 101
Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.07/2014 yang mengatur tentang perjanjian baku. Dari hasil analisis penulis terdapat beberapa pelanggaran yang terjadi dan tidak sesuai dengan ketiga jenis peraturan-peraturan tersebut. Namun disamping terdapat pelanggaranpelanggaran terhadap hukum perlindungan konsumen, kontrak baku yang digunakan oleh perbankan syariah masih terdapat beberapa bentuk perlindungan konsumen yang sesuai dengan peraturanperaturan yang berlaku. B.
Saran 1. Perlu dilakukan harmonisasi peraturan di bidang perbankan syariah dengan melibatkan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan Departemen Keuangan Republik Indonesia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir adanya perbedaan penafsiran atas perundang-undangan yang berlaku. Selain itu juga bertujuan sebagai upaya mendorong pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia di masa mendatang. 2. Sebaiknya pihak perbankan syariah meninjau kembali klausul-klausul yang terdapat didalam kontrak baku yang dibuat, khususnya mengenai hal-hal yang memberatkan nasabah. 3. Sebaiknya pemerintah membuat regulasi mengenai pelaksanaan akad ini, khususnya yang berhubungan dengan perlindungan terhadap penerapan
102
klausula baku ini di bank syariah, sehingga akan membedakan antara praktek bank konvensional dengan bank syariah.
103
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an dan As-Sunnah
Buku-buku Al-Muslih, Abdullah dan Shalah ash-shawi. “Fikih Ekonomi Keuangan Islam” dalam Skripsi Nur Alfi Syahr. “Perbandingan Pembiayaan KPR Muamalat iB Dengan Akad Murabahah dan Musyarakah Mutanaqisah Pada Bank Muamalat Indonesia”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2013. Arif, Saefuddin dan Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah, Ciputat: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2011. Arifin, Zainul “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah” Cet.7. Jakarta: Azkia Publisher, 2009. Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. cet.II. Jakarta: PT Renika Cipta, 1993. Badrulzaman, Mariam Darus. “Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standard)” dalam Sukarmi. Cyber Law: Kontrak Elektronik Dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha. Jakarta: Pustaka Sutra, 2011. Bogdan, Robert dan Steven
J. Taylor. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif . cet.I.
Penerjemah Arief Furchan. Surabaya: Usana Offset Printing, 1992. Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Eddy, Richard. Aspek Legal Properti – Teori, Contoh dan Aplikasi. Yogyakarta: CV Andi Offset, 2010. Herutomo, Agung. Rahasia KPR Yang Disembunyikan Para Bankir. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2010.
104
Hermansyah, Ed. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet.VI. Jakarta: Kencana, 2001. Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2007. Karim, Adiwarman A. Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan). Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013. Laksmana, Yusak. Tanya Jawab Cara Mudah Mendapatkan PembiayaanDi Bank Syariah. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, cet.II. Jakarta: Rajawali Pers. 2004.
Saliman, Abdul Rasyid. “Hukum Bisnis Untuk Perusahaan” dalam Saefuddin Arif dan Ah. Azharuddin Lathif. Kontrak Bisnis Syariah. Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Singarimbun, Masri dan Sofwan Effendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LPES, 1989. Sukardji, Untung. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ed. Revisi 2014. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Sukwiaty, dkk. Ekonomi SMA Kelas X. Jakarta: Yudhistira, 2009. Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen, cet.I. Jakarta: Kencana. 2013.
Peraturan-Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Panduan Pajak Pertambahan Nilai. Direktorat Jenderal Pajak, 2013. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku Kedua Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 105
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Jurnal, Tesis dan Skripsi Arihta, Stevani Citra, Analisis Pajak Pertambahan Nilai Bagi Produk Perbankan Syariah Murabahah. Skripsi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, 2011.
Lathif, Ah. Azharuddin. Analisis Yuridis Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Pembiayaan Murabahah Di Perbankan Syariah. Jurnal Masyarakat Ekonomi Syariah, 2012. Lathif, Ah. Azharuddin. Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah di Indonesia. Jurnal Al-Ahkam Vol.XII No.2, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Nur, Abdul Hafid. “Aplikasi Kontrak Musyarakah Di Bank Syariah X Ditinjau Dari UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Nurmawati, May. Prosedur Pembiayaan Murabahah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Gatot Subroto. Skripsi S1 Universitas Gunadarma, 2013. Sugyawati. Analisis Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dengan Akad Pembiayaan Murabahah Di BNI Syariah Cabang Medan. Skripsi S1 Fakultas Akuntansi, Universitas Sumatera Utara, 2010.
106
Wardoyo, Prasetyo. Studi Komparasi Penggunaan Akad Murabahah, Ijarah Muntahiya Bittamlik, dan Musyarakah Mutanaqisah Dalam Pembiayaan KPR di Bank Syariah. Skripsi S1 Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010.
Informasi Elektronik Admin,
“Pertumbuhan Bank Syariah Di Indonesia 2014”.
Artikel diakses pada 15
Desember 2014 dari http://artikelekis.blogspot.com/2014/07/pertumbuhan-banksyariah-di-indonesia.html. Agung. “Penjelasan Studi Lapangan Penelitian”. Artikel diakses pada 17 Desember 2014 dari http://teori-ilmupemerintahan.blogspot.com/2011/06/penjelasan-studi-lapanganpenelitian.html. Anugrah, Meutia Febrina. “Kebutuhan Rumah di Indonesia Membeludak 31 Juta Unit”, artikel
diakses
pada
3
Oktober
2014
dari
http://economy.okezone.com/read/2014/09/02/471/1033216/kebutuhan-rumah-diindonesia-membeludak-31-juta-unit. Beta, Gamma Sigma. ”Analisis Statistik Perbankan Syariah Indonesia Januari 2012”. Artikel diakses
pada
tanggal
27
Oktober
2014
dari
https://dbcgsbipb.wordpress.com/rubrik/artikel-statistika/analisis-statistikperbankan-syariah-indonesia-januari-2012/. Hendry. “Metode Pengumpulan Data”. Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014 dari http://teorionline.wordpress.com/service/metode-pengumpulan-data.
107
Prastna. “Jenis-jenis Wawancara”. Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014 dari http://prastna.wordpress.com/tag/jenis-jenis-wawancara. Ryan, Elsa. “Krisis Ekonomi Global 2008 Serta Dampaknya Bagi Perekonomian Indonesia” Artikel
diakses
pada
15
Desember
2014
dari
http://elsaryan.wordpress.com/2009/09/08/krisis-ekonomi-global-2008-sertadampaknya-bagi-perekonomian-indonesia/. Sanusi, Ahmad. “Analisa Karakter Sebagai Salah Satu Alat Manajemen Dalam Pengambilan Keputusan Pemberian Kredit”. Artikel diakses pada 4 Januari 2015 pada http://sanoesi.wordpress.com/tag/prinsip-5c-dalam-kredit/ Syaifurrahman. “Jaminan Dalam Pembiayaan Bank Syariah”. Artikel diakses pada 11 Januari 2015 pada http://tugaskuliah-syaifurrahman.blogspot.com/2013/07/jaminandalam-pembiayaan-bank-syariah. Winosa, Yosi. “OJK Dorong Penambahan Bank Umum Syariah” artikel diakses pada 8 Oktober
2014
dari
http://www.beritasatu.com/ekonomi/215856-ojk-dorong-
penambahan-bank-umum-syariah.html.
Lain-lain Surat Direktorat Jenderal Pajak Kepada Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) No. S-65/PJ.53/2006 tanggal 7 Februari 2006 tentang Perlakuan PPN Atas Produk Pembiayaan Oleh Perbankan Syariah.
108
MENTEAIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
251/PMICOll/2010
TENT ANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS TRANSAKSI MURABAHAH PERBANKAN SYARIAH TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMA T TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf p angka 5 Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2010, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Transaksi Murabahah Perbankan Syariah Tahun Anggaran 2010;
Mengingat
1.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomer 47; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 4355);
3.
Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 5075) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5132);
4.
Keputusan Presiden Nomor 56jP Tahun 2010; MEMUTUSKAN:
Menetapkan
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PERT AMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINT AH ATAS TRANSAKSI MURABAHAH PERBANKAN SYARIAH TAHUN ANGGARAN 2010.
MENTERIKEUANGAN REPUBUK INDONESIA
-2-
Pasall (1) Atas transaksi murabahah perbankan syariah yang dilakukan sebelum tanggal 1 April 2010, dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (2) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak, ditanggung pemerintah. (3) Pajak Pertambahan .Nilai Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan dengan pagu anggaran sebesar Rp328.454.138.718,00(tiga ratus dua puluh delapan miliar empat ratus lima puluh empat juta seratus tiga puluh delapan ribu tujuh ratus delapan belas rupiah). (4) Pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dialokasikan pad a Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010dan perubahannya. Pasal 2 Wajib Pajak bank syariah yang telah membayar Surat Ketetapan Pajak atas transaksi murabahah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dapat diberikan pengembalian pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Pasal 3 Tata cara penatausahaan pajak ditanggung pemerintah dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Pajak, dan Direktur Jenderal Perbendaharaan, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
-3-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta ~adatanggal
28 Desernber 2010
MENTERI KEUANGAN, ttd.
Diundangkan di Jakarta padatangga128 Desernber 2010
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd .
. PATRIALIS AKBAR 665
TEMEN
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
Lembaga
Pembiayaan,
Perusahaan Penjaminan, baik yang
Perusahaan
Gadai,
dan
melaksanakan kegiatan
usahanya secara konvensional maupun secara syariah. 2. Konsumen adalah pihak-pihak yang
menempatkan dananya
dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga
Jasa...
-2Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 3. Perlindungan Konsumen
Konsumen
dengan
adalah
cakupan
perlindungan
perilaku
Pelaku
terhadap
Usaha
Jasa
Keuangan. 4. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya
memberikan
jasa
dalam
lalu
lintas
pembayaran. 5. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 6. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi. 7. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual. 8. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain. 9. Manajer
Investasi
adalah
Pihak
yang
kegiatan
usahanya
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. 10. Penasihat Investasi adalah Pihak yang memberi nasihat kepada Pihak lain mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan memperoleh imbalan jasa. 11. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak - hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. 12. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan asuransi yang memberikan
jasa
dalam
penanggulangan
risiko
kerugian,
kehilangan...
-3kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa dari tak pasti. 13. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan
hidup
atau
meninggalnya
seseorang
yang
dipertanggungkan. 14. Dana
Pensiun
adalah
badan
hukum yang
mengelola
dan
menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. 15. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan mengenai lembaga pembiayaan. 16. Perusahaan Gadai adalah badan usaha yang didirikan untuk menyalurkan uang pinjaman kepada nasabah dengan menerima barang bergerak sebagai jaminan. 17. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan penjaminan. Pasal 2 Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip: a.
transparansi;
b. perlakuan yang adil; c.
keandalan;
d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan e.
penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
BAB II KETENTUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN Pasal 3 Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak untuk memastikan adanya itikad
baik
Konsumen
dan
mendapatkan
informasi
dan/atau
dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.
Pasal 4...
-4Pasal 4 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. disampaikan
pada
saat
memberikan
penjelasan
kepada
Konsumen mengenai hak dan kewajibannya; b. disampaikan
pada
saat
membuat
perjanjian
dengan
Konsumen; dan c. dimuat pada saat disampaikan melalui berbagai media antara lain melalui iklan di media cetak atau elektronik. Pasal 5 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi yang terkini dan mudah diakses kepada Konsumen tentang produk dan/atau layanan. Pasal 6 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi kepada
Konsumen
tentang
penerimaan,
penundaan
atau
penolakan permohonan produk dan/atau layanan. (2) Dalam
hal
informasi
Pelaku
tentang
Usaha
Jasa
penundaan
Keuangan
atau
menyampaikan
penolakan
permohonan
produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan alasan penundaan atau penolakannya kecuali diatur lain oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 7 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh Konsumen dalam setiap dokumen yang: a.
memuat hak dan kewajiban Konsumen;
b. dapat digunakan Konsumen untuk mengambil keputusan; dan c.
memuat persyaratan dan dapat mengikat Konsumen secara hukum. (2) Bahasa...
-5(2) Bahasa Indonesia dalam dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disandingkan dengan bahasa lain jika diperlukan. (3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan huruf, tulisan, simbol, diagram dan tanda yang dapat dibaca secara jelas. (4) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan penjelasan atas istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda yang belum dipahami oleh Konsumen. (5) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan
ketentuan
menggunakan
bahasa
peraturan
asing,
bahasa
perundang-undangan asing
tersebut
harus
disandingkan dengan Bahasa Indonesia.
Pasal 8 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun dan menyediakan ringkasan informasi produk dan/atau layanan. (2) Ringkasan informasi produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat secara tertulis, sekurangkurangnya memuat: a.
manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan; dan
b. syarat dan ketentuan. Pasal 9 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan pemahaman kepada Konsumen mengenai hak dan kewajiban Konsumen. Pasal 10 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan informasi mengenai biaya yang harus ditanggung Konsumen untuk setiap produk dan/atau layanan yang disediakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memberikan fasilitas secara otomatis yang mengakibatkan tambahan biaya tanpa persetujuan tertulis dari Konsumen. Pasal 11 (1) Sebelum
Konsumen
menandatangani
dokumen
dan/atau
perjanjian produk dan/atau layanan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan dokumen yang berisi syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan kepada Konsumen.
(2) Syarat...
-6(2) Syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a.
rincian biaya, manfaat, dan risiko; dan
b. prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan di Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 12 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menginformasikan kepada Konsumen setiap perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan ketentuan yang tercantum dalam dokumen dan/atau perjanjian mengenai produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Informasi
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
wajib
diberitahukan kepada Konsumen paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berlakunya perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat dan ketentuan atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (3) Dalam hal Konsumen tidak menyetujui perubahan terhadap persyaratan produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Konsumen berhak memutuskan produk dan/atau layanan tanpa dikenakan ganti rugi apapun. (4) Dalam
hal
Konsumen
sudah
diberikan
waktu
untuk
menyampaikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Konsumen tidak memberikan pendapatnya maka Pelaku Usaha
Jasa
Keuangan
menganggap
Konsumen
menyetujui
perubahan tersebut. Pasal 13 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun pedoman penetapan biaya atau harga produk dan/atau layanan jasa keuangan. Pasal 14 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyelenggarakan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada Konsumen dan/atau masyarakat. (2) Rencana penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dalam suatu program tahunan dan dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
laporan
rencana
penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 15...
-7Pasal 15 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan akses yang setara kepada setiap Konsumen sesuai klasifikasi Konsumen atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Klasifikasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan berdasarkan: (a) latar belakang Konsumen; (b) keterangan mengenai pekerjaan; (c) rata-rata penghasilan; (d) maksud dan tujuan menggunakan produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan; atau (e) informasi lain yang digunakan untuk menentukan klasifikasi Konsumen. Pasal 16 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan Konsumen dengan produk dan/atau layanan ditawarkan kepada Konsumen.
Pasal 17 Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan
dilarang
menggunakan
strategi
pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen dengan memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan. Pasal 18 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dapat menjual produk dan/atau layanan dalam satu paket dengan produk dan/atau layanan lain (bundling product/service). (2) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menjual produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka : a.
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memaksa Konsumen untuk membeli produk dan/atau layanan lain dalam paket produk dan/atau layanan tersebut; dan
b. Konsumen dapat memilih penyedia produk dan/atau layanan lain dalam paket produk dan/atau layanan tersebut. (3) Dalam hal produk dan/atau layanan lain dalam paket produk dan/atau
layanan
yang
ditawarkan
merupakan
pilihan
Konsumen...
-8Konsumen, maka risiko atas pilihan tersebut menjadi tanggung jawab Konsumen. Pasal 19 Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen. Pasal 20 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan dalam setiap penawaran atau promosi produk dan/atau layanan: a.
nama dan/atau logo Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan
b.
pernyataan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal penjualan produk dan/atau layanan hanya dapat dilakukan oleh orang perorangan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan,
dalam
penawaran
atau
promosi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan pernyataan bahwa orang perorangan dimaksud terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 21 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan,
dan
kewajaran
dalam
pembuatan
perjanjian
dengan
Konsumen. Pasal 22 (1) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan melalui media elektronik. (3) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang: a.
menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen;
b. menyatakan...
-9b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak
pengembalian
uang
yang
telah
dibayar
oleh
Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli; c.
menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak
tersebut
dilakukan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan; d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan
produk
dan/atau
layanan
yang
dibeli
oleh
Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan; e.
memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi
kegunaan
produk
dan/atau
layanan
atau
mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; f.
menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau
g.
menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran. Pasal 23
(1) Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan,
agen
penjual,
dan
pengurus/pegawai dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menghindari benturan kepentingan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan Konsumen. (2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan informasi mengenai adanya benturan kepentingan atau potensi benturan kepentingan.
Pasal 24 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan layanan khusus kepada Konsumen dengan kebutuhan khusus.
Pasal 25...
- 10 Pasal 25 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menjaga keamanan simpanan, dana, atau aset Konsumen yang berada dalam tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 26 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan tanda bukti kepemilikan
produk
dan/atau
pemanfaatan
layanan
kepada
Konsumen tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen. Pasal 27 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan laporan kepada Konsumen tentang posisi saldo dan mutasi simpanan, dana, aset, atau kewajiban Konsumen secara akurat, tepat waktu, dan dengan cara atau sarana sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen. Pasal 28 Pelaku
Usaha
Konsumen
Jasa
sesuai
Keuangan
dengan
wajib
perjanjian
melaksanakan dengan
instruksi
Konsumen
dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian Konsumen
yang
timbul
akibat
kesalahan
dan/atau
kelalaian,
pengurus, pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 30 (1) Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan
wajib
mencegah
pengurus,
pengawas, dan pegawainya dari perilaku: a.
memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain,
b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya, yang dapat merugikan Konsumen.
(2) Pengurus...
- 11 (2) Pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mentaati kode etik dalam melayani Konsumen, yang telah ditetapkan oleh masing-masing Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab kepada Konsumen atas tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang bertindak untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 31 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai Konsumennya kepada pihak ketiga. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal: a.
Konsumen memberikan persetujuan tertulis; dan/atau
b. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan memperoleh data dan/atau informasi pribadi seseorang dan/atau sekelompok orang dari pihak lain dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan akan menggunakan
data
dan/atau
informasi
tersebut
untuk
melaksanakan kegiatannya, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki pernyataan tertulis bahwa pihak lain dimaksud telah memperoleh
persetujuan
tertulis
dari
seseorang
dan/atau
sekelompok orang tersebut untuk memberikan data dan/atau informasi pribadi dimaksud kepada pihak manapun, termasuk Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (4) Pembatalan
atau
perubahan
sebagian
persetujuan
atas
pengungkapan data dan atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara tertulis oleh Konsumen dalam bentuk surat pernyataan.
Pasal 32 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme
pelayanan
dan
penyelesaian
pengaduan
bagi
Konsumen. (2) Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada Konsumen. Pasal 33 Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang mengenakan biaya apapun kepada Konsumen atas pengajuan pengaduan. Pasal 34...
- 12 Pasal 34 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaporkan secara berkala adanya pengaduan Konsumen dan tindak lanjut pelayanan dan penyelesaian pengaduan Konsumen dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini Kepala Eksekutif yang melakukan pengawasan atas kegiatan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) setiap 3 (tiga) bulan. Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka penyampaian laporan dimaksud dilakukan pada hari kerja pertama setelah hari libur dimaksud. Pasal 35 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib segera menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan. (2) Dalam
hal
terdapat
kondisi
tertentu,
Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan dapat memperpanjang jangka waktu sampai dengan paling lama 20 hari kerja berikutnya. (3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: a.
kantor
Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan
yang
menerima
pengaduan tidak sama dengan kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan tempat terjadinya permasalahan yang diadukan dan terdapat kendala komunikasi di antara kedua kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan tersebut; b. transaksi
keuangan
yang
diadukan
oleh
Konsumen
memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan/atau c.
terdapat hal-hal lain di luar kendali Pelaku Usaha Jasa Keuangan seperti adanya keterlibatan pihak ketiga di luar Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam transaksi keuangan yang dilakukan oleh Konsumen.
(4) Perpanjangan
jangka
waktu
penyelesaian
pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan secara tertulis kepada Konsumen yang mengajukan pengaduan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
Pasal 36 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki unit kerja dan/atau fungsi untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan Konsumen. (2) Kewenangan...
- 13 (2) Kewenangan unit kerja dan/atau fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diatur dalam mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32. (3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menunjuk 1 (satu) orang pegawai di setiap kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk menangani penyelesaian pengaduan Konsumen. Pasal 37 Dalam hal pengaduan Konsumen terkait transaksi atau kegiatan melibatkan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang memiliki kewenangan untuk menangani pengaduan atau pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang menyelesaikan pengaduan tersebut, maka penanganan dan penyelesaian pengaduan wajib dilakukan oleh pegawai lain. Pasal 38 Setelah
menerima
pengaduan
Konsumen,
Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan wajib melakukan: a.
pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan obyektif;
b. melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan; dan c.
menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi (redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika pengaduan Konsumen benar.
Pasal 39 (1) Dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian pengaduan, Konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa. (3) Dalam
hal
penyelesaian
sengketa
tidak
dilakukan
melalui
lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Konsumen dapat
menyampaikan permohonan
kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
BAB III...
- 14 BAB III PENGADUAN KONSUMEN DAN PEMBERIAN FASILITAS PENYELESAIAN PENGADUAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN Pasal 40 (1)
Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa
antara
Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan
dengan
Konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2)
Konsumen
dan/atau
pengaduan yang
masyarakat
berindikasi
dapat
pelanggaran
menyampaikan atas
ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3)
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini Anggota Dewan Komisioner yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen.
Pasal 41 Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan Konsumen oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a.
Konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh: 1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang Perbankan, Pasar Modal,
Dana
Pensiun,
Asuransi
Jiwa,
Pembiayaan,
Perusahaan Gadai, atau Penjaminan, paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); 2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah); b. Konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang berkaitan dengan pengaduan; c.
Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan
telah
melakukan
upaya
penyelesaian pengaduan namun Konsumen tidak dapat menerima penyelesaian
tersebut
atau
telah
melewati
batas
waktu
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; d. pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang dalam proses atau pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau peradilan, atau lembaga mediasi lainnya; e.
pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan; f. pengaduan...
- 15 f.
pengaduan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
g.
pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam puluh)
hari
kerja
sejak
tanggal
surat
hasil
penyelesaian
Pengaduan yang disampaikan Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen. Pasal 42 Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 merupakan upaya mempertemukan Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan
untuk
mengkaji
ulang
permasalahan
secara
mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian.
Pasal 43 Otoritas Jasa Keuangan menunjuk fasilitator untuk melaksanakan fungsi penyelesaian pengaduan. Pasal 44 Otoritas Jasa Keuangan memulai proses fasilitasi setelah Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan sepakat untuk difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan yang dituangkan dalam perjanjian fasilitasi yang memuat: a.
kesepakatan
untuk
memilih
penyelesaian
pengaduan
yang
difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan b. persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan fasilitasi yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 45 (1) Pelaksanaan proses fasilitasi sampai dengan ditandatanganinya Akta Kesepakatan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan
menandatangani
perjanjian
fasilitasi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44. (2) Jangka waktu proses fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan Akta Kesepakatan Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 46...
- 16 Pasal 46 (1) Kesepakatan antara Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang dihasilkan dari proses fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani
oleh
Konsumen
dan
Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan. (2) Dalam hal tidak terjadi kesepakatan antara Konsumen dengan Pelaku Usaha Jasa Keuangan, maka ketidaksepakatan tersebut dituangkan dalam berita acara hasil fasilitasi Otoritas Jasa Keuangan yang ditandatangani oleh Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. BAB IV PENGENDALIAN INTERNAL Pasal 47 (1) Direksi atau pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan bertanggung jawab atas ketaatan pelaksanaan ketentuan Peraturan ini. (2) Dewan Komisaris atau pengawas Pelaku Usaha Jasa Keuangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi atau
pengurus
terhadap
ketaatan
pelaksanaan
ketentuan
Peraturan ini.
Pasal 48 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki sistem pengawasan bagi
Direksi
atau
pengurus
dalam
rangka
perlindungan
Konsumen. (2) Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan
wajib
membentuk
sistem
pelaporan untuk menjamin optimalisasi pengawasan Direksi atau pengurus terhadap ketaatan pelaksanaan Peraturan ini. Pasal 49 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis perlindungan Konsumen. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam standar prosedur operasional yang kemudian dijadikan panduan dalam seluruh kegiatan operasional Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
(3) Kebijakan...
- 17 (3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditaati oleh pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 50 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki sistem pengendalian internal terkait dengan perlindungan Konsumen. (2) Sistem pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup: a.
kepatuhan
Pelaku
Usaha
Jasa
Keuangan
terhadap
pelaksanaan prinsip-prinsip perlindungan Konsumen; dan b. sistem pelaporan dan monitoring terhadap tindak lanjut pengaduan Konsumen.
BAB V PENGAWASAN PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN Pasal 51 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan Konsumen. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 52 (1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta data dan informasi dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan perlindungan Konsumen. (2) Permintaan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
BAB VI...
- 18 BAB VI SANKSI Pasal 53 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan
dalam
Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
ini
dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa: a.
Peringatan tertulis;
b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c.
Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha; dan e.
Pencabutan izin kegiatan usaha.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, atau huruf e. (4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan. (5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 54 Perjanjian baku yang telah dibuat oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 paling lambat pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VIII...
- 19 BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 55 Ketentuan-ketentuan
pelaksanaan
yang
mengatur
perlindungan
Konsumen di sektor jasa keuangan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 56 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki kelengkapan internal untuk melaksanakan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. Pasal 57 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Juli 2013 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 118 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA DIVISI BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA
-1-
Yth. Direksi/Pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan, di Tempat.
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/SEOJK.07/2014 TENTANG PERJANJIAN BAKU Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431), maka perlu diatur ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan untuk menyesuaikan klausula dalam Perjanjian Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22, dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I.
KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh PUJK dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal. 2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat PUJK, adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi,
Bank
Kustodian,
Dana
Pensiun,
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah. 3. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di PUJK antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian ...
-2-
Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. II.
KLAUSULA DALAM PERJANJIAN BAKU 1. PUJK wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen. 2. Dalam
hal
PUJK
merancang,
merumuskan,
menetapkan,
dan
menawarkan Perjanjian Baku, PUJK wajib mendasarkan pada ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 1. 3. Klausula dalam Perjanjian Baku yang dilarang adalah yang memuat: a. Klausula eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban PUJK, atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban Konsumen. b. Penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam Perjanjian Baku yang memiliki indikasi penyalahgunaan keadaan. Contoh terhadap kondisi
ini
misalkan
memanfaatkan
kondisi
Konsumen
yang
mendesak karena kondisi tertentu atau dalam keadaan darurat dan secara sengaja atau tidak sengaja PUJK tidak menjelaskan manfaat, biaya dan risiko dari produk dan/atau layanan yang ditawarkan. 4. Perjanjian Baku yang dilarang adalah perjanjian yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUJK kepada Konsumen; b. menyatakan bahwa PUJK berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli; c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada PUJK, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. mewajibkan
Konsumen
untuk
membuktikan
dalil
PUJK
yang
menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen bukan merupakan tanggung jawab PUJK; e. memberi hak kepada PUJK untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; f.
menyatakan
bahwa
Konsumen
tunduk
pada
peraturan
baru,
tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh ...
-3-
oleh PUJK dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada PUJK untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran. III.
FORMAT PERJANJIAN BAKU 1. Perjanjian Baku yang memuat hak dan kewajiban Konsumen dan persyaratan
yang
mengikat
Konsumen
secara
hukum,
wajib
menggunakan huruf, tulisan, simbol, diagram, tanda, istilah, frasa yang dapat dibaca, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh Konsumen. 2. Apabila Konsumen menemukan ketidakjelasan, PUJK wajib memberikan penjelasan atas istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda yang belum dipahami oleh Konsumen, baik secara tertulis di dalam Perjanjian Baku, maupun secara lisan sebelum Perjanjian Baku ditandatangani. 3. Dalam hal Perjanjian Baku menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat dari bahasa lain selain Bahasa Indonesia, maka istilah, frasa, dan/atau kalimat dari bahasa lain tersebut harus disandingkan dengan istilah, frasa, dan/atau kalimat dalam Bahasa Indonesia. 4. Dalam Perjanjian Baku wajib memuat pernyataan sebagai berikut: “PERJANJIAN
INI
TELAH
DISESUAIKAN
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
DENGAN
KETENTUAN
TERMASUK
KETENTUAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN”. 5. Selain berbentuk cetak, Perjanjian Baku dapat berbentuk digital atau elektronik atau disebut e-contract untuk ditawarkan oleh PUJK melalui media elektronik. 6. Dalam hal Perjanjian Baku berbentuk cetak, maka berlaku hal-hal sebagai berikut: a. PUJK wajib memastikan terdapat persetujuan tertulis Konsumen dengan cara antara lain membubuhkan tanda tangan dalam Perjanjian Baku atau dokumen lain yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perjanjian Baku yang menyatakan persetujuan Konsumen. b. PUJK dapat menggandakannya sehingga transaksi dapat memenuhi tujuan, yaitu cepat, efektif, efisien, berulang, dan memberikan kepastian hukum. c. PUJK ...
-4-
c. PUJK memberikan waktu yang cukup bagi Konsumen untuk membaca
dan
memahami
Perjanjian
Baku
sebelum
menandatanganinya atau sebelum efektif berlakunya Perjanjian Baku. d. PUJK wajib mematuhi ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, antara lain undang-undang yang mengatur mengenai informasi dan transaksi elektronik. IV.
KETENTUAN LAIN – LAIN 1. Dalam hal pada saat berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, PUJK melakukan penyesuaian terhadap klausula dalam Perjanjian Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, maka PUJK harus memberitahukan kepada Konsumen. 2. Dalam hal pada saat berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini,
PUJK
belum
selesai
melaksanakan
pemenuhan
penyesuaian
ketentuan dalam Pasal 54 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
tentang
Perlindungan
Konsumen
Sektor
Jasa
Keuangan, maka PUJK membuat action plan yang disetujui oleh Bidang Pengawasan masing-masing PUJK terkait. V.
KETENTUAN PENUTUP Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 20 Agustus 2014 ANGGOTA DEWAN KOMISIONER BIDANG EDUKASI DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN, Ttd. KUSUMANINGTUTI S. SOETIONO
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a.
bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila
b.
dan UndangUndang Dasar 1945; bahwa pembangunan perekonomian nasional opada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/ jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
c.
bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar;
d.
bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang
e.
bertanggung jawab; bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai Halaman 1
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN f.
bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundangundangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku
g. Mengingat :
usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat; bahwa untuk itu perlu dibentuk undangundang tentang
perlindungan konsumen. Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN
Menetapkan :
UNDANGUNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undangundang ini yang dimaksud dengan :
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Halaman 2
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. 8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non
pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN Pasal 2
Halaman 3
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Pasal 3 Perlindungan konsumen bertujuan : a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi b.
diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
c.
negatif pemakaian barang dan/atau jasa; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
d.
hakhaknya sebagai konsumen; menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
e.
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
f.
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen Pasal 4 Hak konsumen adalah : a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang b.
dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Halaman 4
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
d.
dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
e.
digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
f.
perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. h.
hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
hakhak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan b.
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. d.
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6 Hak pelaku usaha adalah : a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi b.
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
Halaman 5
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN c.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
d.
sengketa konsumen; hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
e.
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; hakhak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah :
Pasal 7
a. b.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
c.
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
d.
diskriminatif; menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
e.
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: Halaman 6
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN a.
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
b.
ketentuan peraturan perundangundangan; tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
c.
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
d.
menurut ukuran yang sebenarnya; tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
e.
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h.
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i.
tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j.
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Halaman 7
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolaholah: a.
b. c.
barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesori
d.
tertentu; barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
e.
persetujuan atau afiliasi; barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. g.
barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. i.
barang tersebut berasal dari daerah tertentu; secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j.
menggunakan katakata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. (2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan. (3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Halaman 8
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. c.
kegunaan suatu barang dan/atau jasa; kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. e.
tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan; a.
menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b.
menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c.
tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d.
tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e.
tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f.
menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral. Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku Halaman 9
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. Pasal 13 (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cumacuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. (2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan
cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk: a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. c.
mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d.
mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Pasal 16 Halaman 10
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk: a.
tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b.
tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga b.
barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c.
memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. e.
tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
f.
persetujuan yang bersangkutan; melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan mengenai
periklanan. (2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1). BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU Pasal 18 (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a.
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
Halaman 11
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN b.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
c.
yang dibeli konsumen; menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
d.
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.
mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
h.
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang undang ini.
Halaman 12
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA Pasal 19
(1)
(2)
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
(3)
peraturan perundangundangan yang berlaku. Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
(4)
tanggal transaksi. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Pasal 21
Halaman 13
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN (1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. (2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing. Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Pasal 23 Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 24 (1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila: a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun b.
atas barang dan/atau jasa tersebut; pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
Halaman 14
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurangkurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a.
tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b.
tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan. Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; Halaman 15
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN b.
cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. d.
cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e.
lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha. BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama Pembinaan Pasal 29
(1)
Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
(2)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. (3)
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4)
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk: a.
terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; Halaman 16
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
5.
b.
berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c.
meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pengawasan
(2)
Pasal 30 Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh pemerintah,
(3)
masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
(4)
oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
(5)
masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundangundangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan
(6)
peraturan perundangundangan yang berlaku. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
(7)
Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama Halaman 17
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal 31 Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Pasal 34
(1)
Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas: a.
memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b.
melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c.
melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d.
mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e.
menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
Halaman 18
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(2)
f.
menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
g.
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi konsumen internasional. Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35
(1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiriatas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurangkurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyakbanyaknya 25 (duapuluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur. (2) Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat RepublikIndonesia. (3) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama (3) tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. (4) Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur: a. pemerintah; Halaman 19
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN b.
pelaku usaha;
c. d.
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; akademis; dan
e.
tenaga ahli. Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah: a. warga negara Republik Indonesia; b. c.
berbadan sehat; berkelakuan baik;
d. e.
tidak pernah dihukum karena kejahatan; memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f.
berusia sekurangkurangnya 30 (tiga puluh) tahun. Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena: a. b.
meninggaldunia; mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. d.
bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia; sakit secara terus menerus;
e. f.
berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau diberhentikan. Pasal 39
(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen, Nasional dibantu oleh sekretariat. (2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. (3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Halaman 20
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Pasal 40 (1) Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya. (2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB IX
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT Pasal 44
(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat. Halaman 21
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN (2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. (3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan: a.
b.
menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c.
bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d.
membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e.
melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Pertama Umum
Pasal 45
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Halaman 22
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undangundang. (4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Pasal 46
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. c.
kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.
pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban
yang tidak sedikit. (2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Halaman 23
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45. BAB XI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49
(1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. (2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. b.
warga negara Republik Indonesia; berbadan sehat;
c. d.
berkelakuan baik; tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. f.
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; berusia sekurangkurangnya 30 (tiga puluh) tahun. Halaman 24
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN (3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha. (4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikitdikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyakbanyaknya 5 (lima) orang. (5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50 Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas: a. ketua merangkap anggota; b. c.
wakil ketua merangkap anggota; anggota. Pasal 51
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat. (2) Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat. (3) Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan
penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri. Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi: a.
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b.
memberikan konsultasi perlindungan konsumen; Halaman 25
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN c.
melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d.
melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undangundang ini;
e.
menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. g.
melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
h.
perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
i.
mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini; meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j.
mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. l.
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen; m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undangundang ini.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 54
(1) Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
Halaman 26
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN (2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikit sedikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera. (3) Putusan majelis final dan mengikat. (4) Ketantuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat
keputusan menteri. Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. Pasal 56 (1) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. (2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empatbelas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. (3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen. (4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. (5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Pasal 57
Halaman 27
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Pasal 58
(1) Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (duapuluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. (2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. (3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi. BAB XII
PENYIDIKAN Pasal 59
(1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Hukum Acara Pidana yang berlaku. (2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan b.
dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen; melakukan pemeriksaan terhadap orang lain atau badan hukm yang diduga
c.
melakukan tindak pidana dibidang perlindungan konsumen; meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
Halaman 28
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN d.
melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan
e.
dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen; melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
f.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. BAB XIII
S A N K S I
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26. (2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah). (3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangundangan. Bagian Kedua Halaman 29
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). (2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: a. b.
perampasan barang tertentu; pengumuman keputusan hakim;
c. d.
pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
e.
konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f.
pencabutan izin usaha.
Halaman 30
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundangundangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undangundang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undangundang ini. BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65 Undangundang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 20 April 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 20 April 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Halaman 31
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN ttd. AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 42
PENJELASAN ATAS
UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
I.
UMUM
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batasbatas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Halaman 32
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undangundang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undangundang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Disamping itu, Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya. Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara UndangUndang Dasar 1945. Disamping itu, Undangundang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen,
Halaman 33
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN sebab sampai pada terbentuknya Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undangundang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti: a. Undangundang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang undang; b. c.
Undangundang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; Undangundang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintahan di Daerah;
d. e.
Undangundang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; Undangundang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
f. g.
Undangundang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; Undangundang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
h. i.
Undangundang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri; Undangundang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
j.
Undangundang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
k. l.
Undangundang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; Undangundang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
m. Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; n. Undangundang Nomor 12 Tahun 1997 tentang perubahan Atas Undangundang Hak o.
Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 7 Tahun 1987; Undangundang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor
p.
6 Tahun 1989 tentang Paten; Undangundang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor
q.
19 Tahun 1989 tentang Merek; Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
r. s.
Undangundang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran; Undangundang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
t.
Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAK) tidak diatur dalam Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah Halaman 34
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN diatur dalam Undangundang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undangundang Nomor 13 Tahun 97 tentang Paten, dan Undangundang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI. Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undang undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Dikemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undangundang baru yang pada dasarnya memuat ketentuanketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undangundang ini adalah konsumen akhir. Angka 3 Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lainlain. Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Halaman 35
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas Angka 9 Lembaga ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Angka 10 Cukup jelas Angka 11 Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah dan profesional. Angka 12 Cukup jelas Angka 13
Cukup jelas
Pasal 2 Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu: 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Halaman 36
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN 3.
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya. Halaman 37
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Huruf h Cukup jelas Huruf i
Cukup jelas
Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Pelaku usaha dilarang membedabedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membedabedakan mutu pelayanan kepada konsumen. Huruf d Cukup jelas Huruf e Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji
atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.
Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Halaman 38
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Jangka waktu penggunaan/ pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata ‘best before’ yang biasa digunakan dalam label produk makanan. Huruf h Cukup jelas Huruf i
Cukup jelas
Huruf j Cukup jelas Ayat (2) Barangbarang yang dimaksud adalah barangbarang yang tidak membahayakan konsumen menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Ayat (3) Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Halaman 39
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Ayat (4)
Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/atau jasa dari peredaran.
Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah jumlah yang memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen. Huruf e Cukup jelas Huruf f
Cukup jelas
Pasal 14 Halaman 40
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Cukup jelas Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Halaman 41
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Halaman 42
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Pasal 22
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik.
Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cacat timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan. Huruf c Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standardisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak. Halaman 43
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Huruf d Cukup jelas Huruf e Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang bertanggung jawab dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya. Halaman 44
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Ayat (3) Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lainlain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6) Cukup jelas Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Halaman 45
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism). Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35 Ayat (1) Jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 36 Huruf a Cukup jelas Halaman 46
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Akademis adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan anggota perguruan tinggi. Huruf e
Tenaga ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Sakit secara terus menerus sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya. Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Halaman 47
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Ayat (3) Cukup jelas Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota. Pasal 41 Yang dimaksud dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalahkeputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota. Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan memenuhi syarat, antara lain, terdaftar dan diakui serta
bergerak di bidang perlindungan konsumen.
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Halaman 48
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Ayat (4) Cukup jelas Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan undangundang ini. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 46 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Undangundang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benarbenar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi. Halaman 49
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Huruf c Cukup jelas Huruf d Tolok ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai adalah besar dampaknya terhadap konsumen. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 47 Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut. Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Unsur konsumen adalah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau sekelompok konsumen. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas
Halaman 50
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Halaman 51
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Halaman 52
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 60 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64 Cukup jelas Halaman 53
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Pasal 65 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3821
Halaman 54
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang ...
-2-
2.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986); Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH. Pasal I ...
-3-
Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang: a.
b.
Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568); Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986),
diubah sebagai berikut: 1.
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2.
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3.
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
4.
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5.
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. 6. Jasa ...
-4-
6.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
7.
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9.
Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean. 12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya. 13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha ...
-5-
15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini. 16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut. 17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. 18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut UndangUndang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut UndangUndang ini. 21. Pembeli ...
-6-
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut. 22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut. 23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. 24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. 25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak. 26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. 27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut. 28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean. 29. Ekspor ...
-7-
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean. 2.
Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1A (1)
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: a. b.
c.
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d.
pemakaian sendiri dan/atau pemberian cumacuma atas Barang Kena Pajak;
e.
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f.
penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang; penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
g. h.
(2)
penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian; pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: a.
penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang; b. penyerahan ...
-8-
3.
b.
penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c.
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
d.
pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
e.
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A (1)
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(1a) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. (2)
Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Orang ...
-9-
(3)
4.
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1)
(2)
5.
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: a.
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
b. c.
impor Barang Kena Pajak; penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e.
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f.
ekspor Barang Kena Pengusaha Kena Pajak;
g.
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h.
ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pajak
Berwujud
oleh
Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A ...
- 10 -
Pasal 4A (1)
Dihapus.
(2)
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
(3)
a.
barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b.
barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c.
makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d.
uang, emas batangan, dan surat berharga.
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut: a.
jasa pelayanan kesehatan medis;
b.
jasa pelayanan sosial;
c.
jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. e.
jasa keuangan; jasa asuransi;
f.
jasa keagamaan;
g. h.
jasa pendidikan; jasa kesenian dan hiburan;
i.
jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j.
jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. l.
jasa tenaga kerja; jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; n.
jasa penyediaan tempat parkir; o. jasa ...
- 11 -
6.
o.
jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. q.
jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan jasa boga atau katering.
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1)
(2)
7.
Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap: a.
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
b.
impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Ketentuan Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A (1)
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
(2)
Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut. (3) Ketentuan ...
- 12 -
(3)
8.
Ketentuan mengenai tata cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1)
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2)
Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
(3)
9.
a.
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b.
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c.
ekspor Jasa Kena Pajak.
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1)
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
(2)
Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3)
Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Ketentuan ...
- 13 -
(4)
Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
10. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A (1)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
(2)
Ketentuan mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
11. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dihapus, ayat (2), ayat (2a), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (13) dan ayat (14) diubah, di antara ayat (2a) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2b), di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 6 (enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat (4f), di antara ayat (6) dan ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (6a) dan ayat (6b), dan di antara ayat (7) dan ayat (8) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b) sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1)
Dihapus.
(2)
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. (2b) Pajak ...
- 14 -
(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9). (3)
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4)
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
(4a) Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. (4b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh: a.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
c.
Pengusaha penyerahan penyerahan Pertambahan
d.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
e.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
f.
Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
Kena Pajak yang melakukan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Nilainya tidak dipungut;
(4c) Pengembalian ...
- 15 -
(4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. (4d) Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. (4e) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. (4f) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. (5)
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
(6) Apabila ...
- 16 -
(6)
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(6a) Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai. (6b) Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (7)
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7a) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. (7b) Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (8)
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
a. perolehan ...
- 17 -
a.
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c.
perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e.
dihapus;
f.
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
g.
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h.
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i.
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
j.
perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a). (9) Pajak ...
- 18 -
(9)
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
(10) Dihapus. (11) Dihapus. (12) Dihapus. (13) Ketentuan mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (14) Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi. 12. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1)
Terutangnya pajak terjadi pada saat: a. b. c. d. e. f. g.
penyerahan Barang Kena Pajak; impor Barang Kena Pajak; penyerahan Jasa Kena Pajak; pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean; pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
h. ekspor ...
- 19 -
h.
ekspor Jasa Kena Pajak.
(2)
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
(3)
Dihapus.
(4)
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
(5)
Dihapus.
13. Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12 (1)
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(2)
Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
(3)
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (4) Orang ...
- 20 -
(4)
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
14. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13 (1)
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap: a.
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
b.
penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
c.
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
d.
ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
(1a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada: a.
saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b.
saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c.
saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d.
saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (2) Dikecualikan ...
- 21 -
(2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan. (3)
Dihapus.
(4)
Dihapus.
(5)
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat: a.
b.
c. d. e. f. g.
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga; Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(6)
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(7)
Dihapus.
(8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(9)
Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material. 15. Di antara ...
- 22 -
15. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15A (1)
Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
(2)
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
16. Ketentuan Pasal 16B ayat (1) diubah sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut: Pasal 16B (1)
Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk: a. b. c. d.
e.
kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean; penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; impor Barang Kena Pajak tertentu; pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2)
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan. (3) Pajak ...
- 23 -
(3)
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
17. Ketentuan Pasal 16D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16D Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c. 18. Di antara Pasal 16D dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16E dan Pasal 16F sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16E (1)
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.
(2)
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a.
b.
nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah; pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur ...
- 24 -
c.
Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3)
Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4)
Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah: a. paspor; b. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(5)
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 16F
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar. PASAL II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Agar ...
- 25 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,
SETIO SAPTO NUGROHO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
I.
UMUM Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional terus menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dalam rangka menjawab perubahan yang sangat cepat tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem pajak konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Langkah pembaruan dan penyempurnaan terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Perubahan ...
-2-
Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut.
II.
1.
Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
2.
Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai. Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
3.
Mengurangi biaya kepatuhan. Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan Wajib Pajak.
4.
Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Tercapainya tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio).
5.
Tidak mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Di samping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap menjadi pertimbangan.
6.
Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.
PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas.
Angka 2 ...
-3-
Angka 2 Pasal 1A Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “perjanjian” meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang. Huruf b Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing). Yang dimaksud dengan “pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)” adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee). Huruf c Yang dimaksud dengan “pedagang perantara” adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner. Yang dimaksud dengan “juru lelang” adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Huruf d ...
-4-
Huruf d Yang dimaksud dengan “pemakaian sendiri” adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Yang dimaksud dengan “pemberian cuma-cuma” adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli. Huruf e Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak. Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2) huruf e. Huruf f Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antartempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak. Yang dimaksud dengan “pusat” adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan. Yang dimaksud dengan “cabang” antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya.
Huruf g ...
-5-
Huruf g Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut. Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak, pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A Undang-Undang ini. Huruf h Contoh: Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”makelar” adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orangorang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja. Huruf b ...
-6-
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang. Huruf d Yang dimaksud dengan “pemecahan usaha” adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Huruf e Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
Angka 3 ...
-7-
Angka 3 Pasal 3A Ayat (1) Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan: a.
melaporkan usahanya untuk sebagai Pengusaha Kena Pajak;
dikukuhkan
b.
memungut pajak yang terutang;
c.
menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
d.
melaporkan penghitungan pajak.
Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ayat (1a) Cukup jelas. Ayat (2) Pengusaha kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, Undang-Undang ini berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut. Ayat (3) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Angka 4 ...
-8-
Angka 4 Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.
barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
b.
barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
c.
penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d.
penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
rangka
Huruf b Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf a, siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.
Huruf c ...
-9-
Huruf c Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.
jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan c.
penyerahan dilakukan dalam usaha atau pekerjaannya.
kegiatan
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma. Huruf d Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Contoh: Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai. Huruf e Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Misalnya ...
- 10 -
Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Huruf f Berbeda dengan pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1). Huruf g Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1). Yang dimaksud dengan ”Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah: 1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya; 2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah; 3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial; 4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa: a) penerimaan...
- 11 -
a)
penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b)
penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
c)
penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5.
penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6.
pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf h Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 4A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... ...
- 12 -
Ayat (2) Huruf a Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi: a. minyak mentah (crude oil); b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat; c. panas bumi; d. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit; e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit. Huruf b Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi: a. beras; b. gabah; c. jagung; d. sagu; e. kedelai; f. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium; g. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus; h. telur ... ...
- 13 -
h.
telur, yaitu telur yang termasuk telur yang diasinkan, atau dikemas;
tidak diolah, dibersihkan,
i.
susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j.
buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k.
sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
Huruf c Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi: 1.
jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
2.
jasa dokter hewan;
3.
jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
4.
jasa kebidanan dan dukun bayi;
5.
jasa paramedis dan perawat;
6.
jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium; 7. jasa ... ...
- 14 -
7.
jasa psikolog dan psikiater; dan
8.
jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
Huruf b Jasa pelayanan sosial meliputi: 1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo; 2. jasa pemadam kebakaran; 3. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan; 4. jasa lembaga rehabilitasi; 5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan 6. jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial. Huruf c Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel. Huruf d Jasa keuangan meliputi: 1.
jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
2.
jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
3.
jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa: a) b) c) d)
sewa guna usaha dengan hak opsi; anjak piutang; usaha kartu kredit; dan/atau pembiayaan konsumen; 4. jasa ...
- 15 -
4.
jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
5.
jasa penjaminan.
Huruf e Yang dimaksud dengan “jasa asuransi” adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi. Huruf f Jasa keagamaan meliputi: 1.
jasa pelayanan rumah ibadah;
2.
jasa pemberian khotbah atau dakwah;
3.
jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan jasa lainnya di bidang keagamaan.
4.
Huruf g Jasa pendidikan meliputi: 1. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan 2. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah. Huruf h Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.
Huruf i ...
- 16 -
Huruf i Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Jasa tenaga kerja meliputi: 1. jasa tenaga kerja; 2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan 3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja. Huruf l Jasa perhotelan meliputi: 1.
2.
jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
Huruf m Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk. Huruf n ...
- 17 -
Huruf n Yang dimaksud dengan “jasa penyediaan tempat parkir” adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran. Huruf o Yang dimaksud dengan “jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam” adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Angka 6 Pasal 5 Ayat (1) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa: a.
perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
b.
perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
c.
perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan
d.
perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
Yang ...
- 18 -
Yang dimaksud dengan ”Barang Kena Pajak yang tergolong mewah” adalah: 1.
barang yang bukan kebutuhan pokok;
merupakan
2.
barang yang tertentu;
3.
barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau
4.
barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
dikonsumsi
oleh
barang
masyarakat
Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja. Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenai atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya. Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan pada ayat ini adalah kegiatan: a.
merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga;
b.
memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak;
c.
mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d.
mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya; dan e. membotolkan ...
- 19 -
e.
membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu; serta kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan tersebut. Ayat (2) Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Oleh karena itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada waktu: a.
penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
lagi
Angka 7 Pasal 5A Ayat (1) Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan mengurangi: a.
Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
b.
biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau c. biaya ...
- 20 -
c.
biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Jasa Kena Pajak yang dibatalkan” adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak. Dalam hal Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh penerima Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi: a.
Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
b.
biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c.
biaya atau harta bagi penerima Jasa Kena Pajak yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat (3) Cukup jelas. Angka 8 ...
- 21 -
Angka 8 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, a.
Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;
b.
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
c.
Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean,
dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan. Ayat (3) Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Angka 9 ...
- 22 -
Angka 9 Pasal 8 Ayat (1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). Ayat (2) Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali. Ayat (3) Dengan mengacu pada pertimbangan sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1), pengelompokan barang-barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang tersebut, di samping didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam hal terhadap barang yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah. Pengelompokan barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan. Ayat (4) ...
- 23 -
Ayat (4) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 8A Ayat (1) Ayat ini mengatur cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang. Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut. Contoh: a.
Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00 Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.
b.
Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B.
c.
Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00.
d.
Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00. Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran. Ayat (2) ...
- 24 -
Ayat (2) Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal: a.
Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau
b.
penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.
Angka 11 Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (2a) ...
- 25 -
Ayat (2a) Pada dasarnya Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. Namun, bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8). Ayat (2b) Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5). Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Contoh: Masa Pajak Mei 2010 Pajak Keluaran
=
Rp2.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat = dikreditkan
Rp4.500.000,00
--------------------(-) Pajak yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00 Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010. Masa Pajak ...
- 26 -
Masa Pajak Juni 2010 Pajak Keluaran
=
Rp3.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat = dikreditkan
Rp2.000.000,00 ------------------- (-)
Pajak yang kurang dibayar
=
Rp1.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2010 yang dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010
=
Rp2.500.000,00 ------------------- (-)
Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak Juni 2010
=
Rp1.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2010. Ayat (4a) Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi). Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar). Ayat (4b) Cukup jelas. Ayat (4c) Cukup jelas. Ayat (4d) Cukup jelas. Ayat (4e) ...
- 27 -
Ayat (4e) Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Ayat (4f) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan adalah bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “penyerahan yang terutang pajak” adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud dengan “penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B.
Pengusaha ...
- 28 -
Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak. Contoh: Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu: a.
penyerahan yang = Rp25.000.000,00
terutang
pajak
Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00 b.
penyerahan yang tidak terutang Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
Pajak
Pajak Keluaran = nihil c.
penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00 Pajak Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan: a.
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp1.500.000,00
b.
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp300.000,00
c.
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp500.000,00
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00.
Ayat (6) ...
- 29 -
Ayat (6) Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak. Contoh: Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu: a. penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000,00 Pajak Keluaran = Rp3.500.000,00 b. penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00 Pajak Keluaran = nihil Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ayat (6a) Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan atas pengeluaran dalam rangka impor dan/atau perolehan barang modal juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut harus berhubungan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi, tidak ada penyerahan yang terutang pajak sehingga tidak ada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang modal yang telah dikembalikan harus dibayar kembali. Ayat (6b) ...
- 30 -
Ayat (6b) Cukup jelas. Ayat (7) Dalam rangka menyederhanakan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Ayat (7a) Dalam rangka memberikan kemudahan dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Ayat (7b) Cukup jelas. Ayat (8) Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan. Huruf a Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan. Contoh: Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini. Huruf b ...
- 31 -
Huruf b Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan. Contoh: Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
Huruf e ...
- 32 -
Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Dalam hal tertentu dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Huruf i Sesuai dengan sistem self assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sehingga sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan. Contoh: Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dilaporkan: Pajak Keluaran = Rp10.000.000,00 Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00 Dari hasil pemeriksaan diketahui: Pajak Keluaran = Rp15.000.000,00 Pajak Masukan = Rp11.000.000,00
Dalam ...
- 33 -
Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak sebesar Rp11.000.000,00, tetapi tetap sebesar Rp8.000.000,00 sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, pemeriksaan
perhitungan
Pajak Keluaran
= Rp15.000.000,00
Pajak Masukan
= Rp 8.000.000,00
hasil
----------------------(-) Kurang Bayar menurut hasil pemeriksaan
= Rp 7.000.000,00
Kurang Bayar menurut Surat Pemberitahuan
= Rp 2.000.000,00 ----------------------(-)
Masih kurang dibayar = Rp 5.000.000,00 Huruf j Cukup jelas. Ayat (9) Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan. Contoh: ...
- 34 -
Contoh: Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Oktober 2010. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Ayat (13) Cukup jelas. Ayat (14) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 11 Ayat (1) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce tunduk pada ketentuan ini. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d ...
- 35 -
Huruf d Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal itu dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran. Ayat (3) ...
- 36 -
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 13 Pasal 12 Ayat (1) Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha. Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.
Contoh 1:
- 37 -
Contoh 1: Orang pribadi A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong. Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Contoh 2: PT A mempunyai 3 (tiga) tempat kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang ketiganya berada di bawah pelayanan 1 (satu) kantor pelayanan pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut.
Dalam ...
- 38 -
Dalam hal PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ayat (2) Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tetap terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha badan tersebut. Angka 14 Pasal 13 Ayat (1) Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan ...
- 39 -
Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib diterbitkan Faktur Pajak. Ayat (1a) Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak. Ayat (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan. Ayat (2a) Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya. Contoh 1: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010. Contoh 2: ...
- 40 -
Contoh 2: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September 2010. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September. Contoh 3: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f. Ayat (6) ...
- 41 -
Ayat (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena: a.
faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
b.
untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
c.
terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.
Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah, antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman. Ayat (9) Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6). Faktur ...
- 42 -
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material. Angka 15 Pasal 15A Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena Pajak untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pasal ini mengatur secara khusus mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. Dalam ...
- 43 -
Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan/atau keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, Pengusaha Kena Pajak tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. Angka 16 Pasal 16B Ayat (1) Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut. Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional. Kemudahan perpajakan yang diatur dalam Pasal ini diberikan terbatas untuk: a. mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut; b. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya; c. mendorong ...
- 44 -
c.
mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka program imunisasi nasional;
d.
menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;
e.
menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;
f.
meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
g.
mendorong pembangunan tempat ibadah;
h.
menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
i.
mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara;
j.
mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak;
k.
menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;
l.
mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk;
m. membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional; n.
menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau
o. menjamin ...
- 45 -
o.
menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
Ayat (2) Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut. Contoh: Pengusaha Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut selamanya (tidak sekadar ditunda). Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain. Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut. Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dari negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (3) ...
- 46 -
Ayat (3) Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan. Contoh: Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain. Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut. Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan. Angka 17 Pasal 16 D Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak. Namun ...
- 47 -
Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan. Angka 18 Pasal 16E Ayat (1) Dalam rangka menarik orang pribadi pemegang paspor luar negeri untuk berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi tersebut diberikan insentif perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean. Ayat (2) Barang Kena Pajak yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dianggap akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak yang diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia. Bagi orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Faktur Pajak yang dapat dipergunakan untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah harus mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor, dan alamat lengkap orang pribadi tersebut di negara yang menerbitkan paspor. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) ...
- 48 -
Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16F Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa. PASAL II Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5069