ANALISA SWOT, PROSPEK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA
[email protected] Abstrak SWOT adalah singkatan dari Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal Peluang dan Ancaman dan faktor internal Kekuatan dan Kelemahan. Analisis SWOT merupakan penilaian mengenai kondisi saat ini dan gambaran ke depan yang mempengaruhi proses pencapaian tujuan institusi. Dengan analisa SWOT akan didapatkan karakteristik dari kekuatan dan kelemahan berdasarkan analisa lingkungan internal dan eksternal. Asuransi syariah sudah mulai dikenal di Indonesia semenjak berdirinya Syarikat Takaful pada tahun 1994 pada tahun 2015 diperkirakan bahwa potensi penerimaan premi syariah di Indonesia akan mencapai US$ 1,20 miliar. Hasil analisis SWOT terhadap asuransi syariah akan menggambarkan beberapa hal yang menjadi penyebab relatif rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah dalam dua puluh tahun terakhir seperti rendahnya dana yang memback up perusahaan asuransi syariah, promosi dan edukasi pasar yang relatif belum dilakukan secara efektif, belum timbulnya industri penunjang asuransi syariah, produk dan layanan belum diunggulkan diatas produk konvensional, posisi pasar yang masih ragu antara penerapan konsep syariah yang menyeluruh dengan kenyataan bisnis di lapangan, dukungan kapasitas reasuransi yang masih terbatas dan belum adanya inovasi produk serta layanan yang benar-benar digali dari konsep dasar syariah. A. PENDAHULUAN Asuransi merupakan bisnis yang unik, dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian (timbal balik) yang mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu (onzeker woral), sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 menyebutkan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua orang atau lebih yang mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari sebuah peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dari kedua pengertian asuransi tersebut diketahui adanya tiga unsur pokok dalam asuransi yang dipandang bertentangan dengan nilai-nilai syari’ah yaitu bahaya yang dipertanggung jawabkan, premi pertanggungan dan sejumlah uang ganti rugi pertanggungan. Asuransi pada awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan pembiayaan. Secara umum, konsep asuransi merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadianggota perkumpulan itu, maka kerugian akan ditnggung bersama oleh mereka. Kebutuhan akan jasa perasuransian semakin dirasakan baik oleh individu maupun dunia usaha di Indonesia. Asuransi merupakan sarana finansial dalam tata kehidupan rumah tangga, baik dalam menghadapi resiko yang mendasar atau dalam menghadapi resiko atas harta yang dimiliki. Demikian pula hukumnya dalam dunia usaha yang menjalankan kegiatannya saat manghadapi berbagai resiko yang mungkin dapat mengganggu kesinambungan usahanya. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar sekaligus merupakan negara berpenduduk muslim yang terbesar ditambah lagi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk semakin mengekspresikan identitas kemusliman mereka merupakan pasar yang empuk dan berpotensi besar. Data menyatakan dalam beberapa kurun waktu terakhir penjualan-penjualan produk Islami, mengalami kenaikan yang signifikan. Di lain sisi kebutuhan kenyamanan bermuamalah dalam transaksi keuangan pun meningkat pesat, sehingga diperlukan lebih banyak lembaga-lembaga keuangan ataupun lembaga pembiayaan yang bernuansa syariah. B. PEMBAHASAN 1. Pengertian dan Konsep Analisa SWOT Analisa SWOT (SWOT Analysis) adalah suatu metode perencanaan strategis yang digunakan
untuk
mengevaluasi
faktor-faktor
yang
menjadi
kekuatan
(Strengths), Kelemahan (Weaknesses), Peluang (Opportunities), dan Ancaman (Threats) yang mungkin terjadi dalam mencapai suatu tujuan dari kegiatan proyek/kegiatan usaha atau institusi/lembaga dalam skala yang lebih luas. Untuk keperluan tersebut diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eskternal yang mempengaruhi pola strategi institusi/lembaga dalam mencapai tujuan. Dilihat dari sejarahnya dan penggunaannya saat ini, metode SWOT banyak dipakai di dunia bisnis dalam menetapkan suatu perencanaan strategi perusahaan (strategic planning) sehingga literatur mengenai metode ini banyak berkaitan dengan aspek penerapan di dunia bisnis meskipun pada beberapa analisa ditemukan pula penggunaan SWOT untuk kepentingan public policy. Metode SWOT pertama kali digunakan oleh Albert Humphrey yang melakukan penelitian di Stamford University pada tahun 1960-1970 dengan analisa perusahaan yang bersumber dalam Fortune 500. Meskipun demikian, jika ditarik lebih ke belakang analisa ini telah ada sejak tahun 1920-an sebagai bagian dari Harvard Policy Model yang dikembangkan di Harvard Business School. Namun pada saat pertama kali digunakan terdapat beberapa kelemahan utama di antaranya analisa yang dibuat masih bersifat deskripstif dan belum/tidak menghubungkan dengan strategi-strategi yang mungkin bisa dikembangkan dari analisa kekuatan-kelemahan yang telah dilakukan. Analisis
SWOT
merupakan
bagian
dari
proses
perencanaan.
Hal
utama
yang ditekankan adalah bahwa dalam proses perencanaan tersebut, suatu institusi membutuhkan penilaian mengenai kondisi saat ini dan gambaran ke depan yang mempengaruhi proses pencapaian tujuan institusi. Dengan analisa SWOT akan didapatkan karakteristik dari kekuatan utama, kekuatan tambahan, faktor netral, kelemahan utama dan kelemahan tambahan berdasarkan analisa lingkungan internal dan eksternal yang dilakukan. Walaupun
terdapat
beberapa
metode
penentuan
faktor
SWOT,
secara
umum
terdapat keseragaman bahwa penentuan tersebut akan tergantung dari faktor lingkungan yang berada di luar institusi. Faktor lingkungan eksternal mendapatkan prioritas lebih dalam penentuan strategi karena pada umumnya faktor-faktor ini berada di luar kendali institusi (exogen) sementara faktor internal merupakan faktor-faktor yang lebih bisa dikendalikan. Kekuatan adalah faktor internal yang ada di dalam institusi yang bisa digunakan untuk menggerakkan institusi ke depan. Suatu kekuatan / strenghth (distinctive competence) hanya akan menjadi competitive advantage bagi suatu institusi apabila kekuatan tersebut terkait dengan lingkungan sekitarnya, misalnya apakah kekuatan itu dibutuhkan atau bisa
mempengaruhi lingkungan di sekitarnya. Jika pada instutusi lain juga terdapat kekuatan yang dan institusi tersebut memiliki core competence yang sama, maka kekuatan harus diukur dari bagaimana kekuatan relatif suatu institusi dibandingkan dengan institusi yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak semua kekuatan yang dimiliki institusi harus dipaksa untuk dikembangkan karena adakalanya kekuatan itu tidak terlalu penting jika dilihat dari lingkungan yang lebih luas. Hal-hal yang menjadi opposite dari kekuatan adalah kelemahan. Sehingga sama dengan kekuatan, tidak semua kelemahan dari institusi harus dipaksa untuk diperbaiki terutama untuk hal-hal yang tidak berpengaruh pada lingkungan sekitar. Peluang adalah faktor yang di dapatkan dengan membandingkan analisa internal yang dilakukan di suatu institusi (strenghth dan weakness) dengan analisa internal dari kompetitor lain. Sebagaimana kekuatan peluang juga harus diranking berdasarkan success probbility, sehingga tidak semua peluang harus dicapai dalam target dan strategi institusi. Peluang dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan : a. Low,
jika
memiliki
daya
tarik
dan
manfaat
yang
kecil
dan
peluangpencapaiannya juga kecil. b. Moderate : jika memiliki daya tarik dan manfaat yang besar namunpeluang pencapaian kecil atau sebaliknya. c. Best,
jika
memiliki
daya
tarik
dan
manfaat
yang
tinggi
serta
peluangtercapaianya besar. Ancaman adalah segala sesuatu yang terjadi akibat trend perkembangan (persaingan) dan tidak bisa dihindari. Ancaman juga bisa dilihat dari tingkat keparahan pengaruhnya (serousness) dan kemungkinan terjadinya (probability of occurance). Sehingga dapat dikatagorikan : a. Ancaman utama (major threats), adalah ancaman yang kemungkinan terjadinya tinggi dan dampaknya besar. Untuk ancaman utama ini,diperlukan beberapa
contingency
planning
yang
harus
dilakukan
institusiuntuk
mengantisipasi. b. Ancaman tidak utama (minor threats), adalah ancaman yang dampaknya kecil dan kemungkinan terjadinya kecil c. Ancaman moderate, berupa kombinasi tingkat keparahan yang tinggi namun kemungkinan terjadinya rendah dan sebaliknya. Sehingga dari kacamata analisa lingkungan eksternal dapat dijelaskan bahwa : a.
Suatu institusi dikatakan memiliki keunggulan jika memiliki major opportunity yang besar dan major threats yang kecil
b.
Suatu institusi dikatakan spekulatif jika memiliki high opportunity dan threats pada saat yang sama
c.
Suatu institusi dikatakan mature jika memiliki low opportunity dan threat
d.
Suatu institusi dikatakan in trouble jika memiliki low opportinity dan high threats.
2. Analisis SWOT Pada Asuransi Syariah di Indonesia Pengertian analisis SWOT adalah salah satu bentuk analisis dalam manajemen dengan menggunakan prinsip SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, and Threats). Analsis SWOT digunakan untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan. Dengan melihat kekuatan yang dimiliki serta mengembangkan kekuatan tersebut dapat dipastikan bahwa perusahaan akan lebih maju dibanding pesaing yang ada. Demikian juga dengan kelemahan yang dimiliki harus diperbaiki agar perusahaan bisa tetap eksis. Peluang yang ada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh perusahaan agar volume penjualan dapat meningkat. Dan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan haruslah dihadapi dengan mengembangkan strategi pemasaran yang baik. Apabila teknik swot analisis tersebut diterapkan dalam kasus menentukan tujuan strategi manajemen pemasaran dapat diutarakan sebelum menentukan tujuan-tujuan pemasaran yang ingin dicapai hendaknya perusahaan menganalisis : kekuatan dan kelemahan, peluang bisnis yang ada, berbagai macam hambatan yang mungkin timbul. Kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan Internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal Opportunities dan Thearts yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal Peluang dan Ancaman dan faktor internal Kekuatan dan Kelemahan. Asuransi syariah sudah mulai dikenal semenjak berdirinya Syarikat Takaful Indonesia pada tahun 1994. Pada tahun 2015 diperkirakan bahwa potensi penerimaan premi syariah di Indonesia akan mencapai US$ 1,20 miliar. Pencapaian posisi ini menempatkan pada posisi terbesar kedua setelah Malaysia yang diperkirakan oleh penelitian Institute of Islamic
Banking and Insurance di London sebesar US$ 1,22 miliar. Tetapi jika dibandingkan dengan asuransi konvensional jumlah premi ini sangatlah kecil.1 Beberapa hal yang menjadi penyebab relatif rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah dalam sepuluh tahun terakhir adalah rendahnya dana yang memback up perusahaan asuransi syariah, promosi dan edukasi pasar yang relatif belum dilakukan secara efektif (terkait dengan lemahnya dana), belum timbulnya industri penunjang asuransi syariah seperti broker-broker asuransi syariah, agen, adjuster, dan lain sebagainya, produk dan layanan belum diunggulkan diatas produk konvensional, posisi pasar yang masih ragu antara penerapan konsep syariah yang menyeluruh dengan kenyataan bisnis di lapangan yang terkadang sangat jauh dari prinsip syariah, dukungan kapasitas reasuransi yang masih terbatas (terkait jua dengan dana) dan belum adanya inovasi produk dan layanan yang benar-benar digali dari konsep dasar syariah. Negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim seperti Indonesia, pada umumnya memiliki tingkat penetrasi dan tingkat density asuransi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini disebabkan oleh apa yang disebut sebagai halangan agama yaitu keyakinan agama yang tidak memperkenankan praktek asuransi konvensional. Selain dapat mengatasi hambatan agama tersebut, sifat alami asuransi syariah akan berpotensi untuk berkembang di Indonesia karena beberapa alasan antara lain mayoritas penduduknya beragama Islam akan cenderung menghormati solusi yang berasal dari agamanya sendiri, ekonomi Indonesia yang secara signifikan bergantung pada sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) akan cocok dengan pendekatan pengelolaan risiko melalui konsep tolong menolong dalam asuransi syariah, sifat alami asuransi syariah yang memungkinkan peserta mendapatkan bagian hasil akan lebih adil diterapkan pada masyarakat karena tidak secara berlebihan menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, era penerapan Good Corporate Governance (GCG) akan mendorong proses bisnis yang bersih sehingga berdampak kondusif bagi timbulnya asuransi syariah dan sifat asuransi syariah antara lain menghindarkan praktik-praktik yang mengandung unsur-unsur ketidakpastian dan
1
Alif Reza, http://www.vibiznews.com dan http://prudentialindonesia.wordpress.com/2008/02/04/seberapa-banyak-orang-memerlukanasuransi-jiwa/
judi akan sejalan dengan praktik usaha yang penuh kehati-hatian di lingkungan ekonomi global. Asuransi syariah yang menggunakan Al-Quran dan sunnah nabi sebagai rujukannya memiliki sumber inspirasi dan inovasi yang tidak habis-habisnya dalam memberi kemaslahatan pada umat. Konsep dasar asuransi syariah terutama yang menggunakan sistem wakalah merupakan konsep asuransi yang akan terbebas dari ketidakpastian usaha di sektor asuransi, prinsip dasar asuransi syariah yang mendorong orang atau badan untuk saling tolong menolong sesama dengan bantuan operator asuransi syariah sangat berbeda dengan prinsip dasar asuransi konvensional yang memposisikan nasabah sebagai tertanggung dan perusahaan asuransi sebagai penanggung dan asuransi syariah memberikan kepastian kehalalan bagi para pesertanya.2 Sistem asuransi Islam takaful memiliki dua mekanisme utama yang merupakan prinsip dasar operasional perusahaan takaful yaitu asas al mudharabah dan asas tabarrru’. Dengan adanya kedua prinisip dasar menjadikan sistem asuransi takaful ini selaras dengan hukum syariat. Selain dari itu, perusahaan takaful juga mempunyai konsep wakalah dan wadiah dalam menljalankan perniagaannya.3 a. Kekuatan Dalam upaya pengembangan operator asuransi syariah baru di Indonesia, yang dapat menjadi kekuatan positif adalah sebagai berikut : 1. Tenaga kerja profesional/ sumber daya manusia inti yang kompeten dan memilki integritas moral dan ghirah Islam, yang berada dalam sebuah teamwork yang solid. 2. Pemegang saham yang memiliki visi dan misi syariah yang jelas. 3. Kelompok pemegang saham mampu mengusahakan ”captive market” awal. 4. Kelompok pemegang saham diharapkan memiliki infrastruktur teknologi dan potensi tenaga ahli (mislanya: Fund manager). 5. Dalam aspek legal, sifat perjanjian yang memenuhi syarat syariah mampu memberi rasa aman kepaa peserta asuransi syariah, selain unsur duniawi semata. 6. Adanya unsur dakwah. 2 3
ibid Nurul Ichsan, Takaful Konsep Asuransi Dalam Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2011
7. Produk asuransi bersifat transparan. Sebagai fakta dari kekuatan asuransi syariah adalah jika pada tahun 2000 jumlah asuransi yang berbisnis dengan berdasarkan prinsip syariah adalah sebanyak 4 buah. Sebagai perbandingan adalah pada tanggal 21 Agustus 2007 asuransi syariah yang sudah mendapatkan rekomendasi dari DSN MUI sebanyak 37 asuransi syariah, 3 reasuransi syariah dan 5 broker asuransi dan reasuransi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. b. Kelemahan Sistem asuransi syariah dan “core team” asuransi syariah baru ini memiliki kelemahan yang masih dalam tahap peningkatan yaitu: 1. SDM pendukung (lapisan kedua,dst) belum banyak memahami bisnis syariah. 2. Dalam hal pemasaran, alternatif distributif relatif masih terbatas dibandingkan pola konvensional. 3. Kompleksitas dalam sistem administrasi syariah (misalnya perhitungan bagi hasil dan tingkat hasil investasi). 4. Permodalan yang terbatas akan mempengaruhi 5. Sistem/teknologi pendukung manajemen 6. Strategi bisnis 7. Ketersediaan infrasturktur (internal, eksternal, customer support,dll) Kekuatan dan kelemahan dalam memperluas jaringan bisnis asuransi syariah terutama di Indonesia, penjelasannya adalah sebagai berikut : SDM pendukung (lapisan kedua, dst.) belum banyak memahami bisnis syariah, dalam hal pemasaran, alternatif distribusi relatif masih terbatas dibanding pola konvensional, kompleksitas dalam administrasi syariah (misalnya: perhitungan bagi hasil dan tingkat hasil investasi) memerlukan dukungan sistem yang andal, permodalan yang terbatas akan mempengaruhi: 1. Sistem/teknologi pendukung manajemen. 2. Strategi bisnis 3. Ketersediaan infrastruktiur (internal, external, customer support, etc.) Apabila pemegang saham kurang mengharagi pentingnya investasi di bidang IT sebagai “modelling tools” dan “administration tools”, pengalaman langsung/penerapan model terhadap bisnis riil belum cukup (baru pada tahap teoritis), lemahnya”public relations” untuk
mengkomunikasikan keunggulan LKS (ideloanya beralih dari “short term/hit and run marketing” menjadi “long term marketing/customer relationship”). c. Peluang Asuransi syariah di Indonesia sudah berjalan selama 14 (empat belas) tahun semenjak pertama kali didirikan pada tahun 1994 yaitu dengan diresmikannya PT. Takaful Keluarga. Dibandingkan dengan asuransi konvensional yang sudah beroperasi sejak tahun 1912 dengan berdirinya asuransi Bumiputera maka usia asuransi syariah masih tergolong relative muda. Namun dilihat dari jumlah pertumbuhan perusahaan, asuransi syariah sangatlah menggembirakan yaitu 40 % setiap tahun sementara yang konvensional hanya 25 %.4 Melihat pertumbuhan yang pesat ini menunjukkan betapa besar peluang asuransi syariah untuk lebih berkembang lagi. Setidaknya ada dua faktor penting yang bisa menjadi momentum berharga bagi berkembangnya asuransi syariah di Indonesia, yaitu : 1. Ruang penetrasi produk asuransi di Indonesia masih sangat luas mengingat persentase pemegang polis individual di Indonesia baru mencapai kisaran tiga persen (6,6 juta) dari total penduduk sebesar 220 juta jiwa 2. Mayoritas penduduk Indonesia merupakan umat Islam, dan kehadiran produk yang sejalan dengan konsep serta nilai-nilai beragama berpeluang besar untuk bisa diterima oleh masyarakat luas.5 Sedikitnya masyarakat Indonesia yang ikut berasuransi menjadi peluang bagi asuransi syariah untuk meningkatkan pangsa pasar, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan jasa asuransi misalnya untuk kebutuhan meningkatkan pendidikan anak, meningkatnya biaya kesehatan dan lain-lainnya. Di samping itu besarnya penduduk Indonesia yang beragama Islam menjadikan asuransi syariah berpeluang besar untuk lebih berkembang lagi. Hal ini karena bagi orang muslim menjalankan aktifitas yang sesuai dengan tuntunan Islam tentunya akan menjadi pilihan utama, demikian juga dalam hal pilihan berasuransi tentunya seorang muslim akan lebih memilih yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu asuransi syariah dari pada asuransi konvensional yang selama ini masih diragukan kehalalannya.
4
5
Muchamad Na,” Tumbuh Cepat Banyak Aral”. Hlm 92 Eddy KA. Berutu, “Prospek Cerah”, dalam Media Asuransi, September 2007, hlm. 25
Keunggulan konsep asuransi syariah yang dapat memenuhi rasa keadilan juga menjadi peluang bagi berkembangnya asuransi syariah, misalnya konsep bagi hasil dalam asuransi syariah dimana jumlah yang dibagi tergantung hasil yang didapat sehingga tidak ada yang dirugikan. Konsep bagi hasil ini pula yang membuat perusahaan asuransi syariah dapat bertahan terhadap krisis ekonomi tahun 1997, sehingga banyak perusahaan asuransi konvensional mulai melirik produk asuransi syariah. Konsep yang sesuai dengan syariah ini pula yang menjadikan asuransi syariah tidak hanya hadir di negara yang berpenduduk mayoritas muslim melainkan juga di negara-negara yang berpenduduk non muslim. Hingga kini di seluruh dunia sudah ada sekitar 45 (empat puluh lima) asuransi syariah, misalnya di Singapura, Swiss, Amerika Serikat, Jeneva, Bahamas dan lain-lain.6 Peluang dari bisnis asuransi syariah di Indonesia adalah keunggulan konsep asuransi syariah dapat memenuhi peningkatan tuntutan fairness/rasa keadilan dari masyarakat, jumlah penduduk beragama Islam di Indonesia lebih dari 180 juta orang, meningkatnya kesadaran bermuamalah sesuai syariah, tumbuh subur khususnya pada masyarakat golongan menengah, meningkatnya kebutuhan jasa suransi karena perkembangan ekonomi umat, tumbuhnya lembaga keuangan syariah (LKS) lainnya seperti bank dan reksadana, kompetitor dalam bisnis asuransi syariah ini masih sedikit, berlakunya undang-undang ototnomi daerah yang kan memacu perkembangan ekonomi daerah, kebutuhan meningkatkan pendidikan anak, meningkatnya risiko kehidupan, meningkatnya bea-bea kesehatan (harga obat,dll), menurunnya rasa tolong menolong di masyarakat (tidak membudaya lagi), globalisasi (teknologi internet sebagai penunjang bisnis), adanya UU Dana Pensiun, dan “Employee Benefits” sebagai bagian dari paket perusahaan dalam rekrutmen karyawan. Sedikitnya masyarakat Indonesia yang ikut berasuransi menjadi peluang bagi asuransi syariah untuk meningkatkan pangsa pasar, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan jasa asuransi misalnya untuk kebutuhan meningkatkan pendidikan anak, meningkatnya biaya kesehatan dan lain-lainnya. Di samping itu besarnya penduduk Indonesia yang beragama Islam menjadikan asuransi syariah berpeluang besar untuk lebih berkembang lagi. Hal ini karena bagi orang muslim menjalankan aktifitas yang sesuai dengan tuntunan Islam tentunya akan menjadi 6
Hidayat Gunadi, dkk., “Gairah Takaful Bebas Ideologi”, dalam Gatra, 24 Oktober 2007, hlm. 28
pilihan utama, demikian juga dalam hal pilihan berasuransi tentunya seorang muslim akan lebih memilih yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu asuransi syariah dari pada asuransi konvensional yang selama ini masih diragukan kehalalannya. Sebagaimana disebut di atas, ada lebih dari 180 juta Muslim di Indonesia dan kesadaran akan keislamannya terus meningkat, merupakan peluang pasar yang lebar. Permintaan terhadap kehadiran lembaga keauangan syariah di berbagai tempat terus meningkat. Krisis ekonomi dalam dua setengah tahun terakhir ini memperlihatkan bahwa Indonesia memerlukan konsep lain dalam menata perekonomiannya. Lembaga ekonomi syariah adalah pilihan yang paling sesuai. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pasar, di samping juga mendidik masyarakat, diperlukan lebih banyak bank syariah, – dan kini telah mulai bermunculan-, serta asuransi syariah sebagai ‘counterpart’nya. Kehadiran lembaga keuangan syariah baru akan memacu persaingan yang sehat untuk pengembangan kualitas yang pada akhirnya akan menguintungkan bangsa dan negara. Asuransi Syariah di Indonesia merupakan peluang bisnis yang prospektif karena seiring dengan perkembangan ke arah stabilitas politik dan ekonomi, dengan jumlah penduduk lebih dari 180 juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu portofolio investasi yang mulai kembali dilirik para investor manca negara. Kenyataan bahwa sekitar 90% penduduk beragama Islam dan bahwa kesadaran untuk mengekspresikan identitas kemuslimannya semakin meningkat, telah menjadi potensi pasar yang besar. Sebagai contoh, usaha di bidang makanan dan minuman berlabel halal, pakaian dan asesori muslim dan muslimah, perjananan haji dan umroh, pendidikan dan publikasi Islami, meningkat dengan pesat dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini. Di lain pihak, sebagian ummat Islam memerlukan jaminan bahwa segala interaksi muamalah yang dilakukannya dalam upaya mencapai kesejahteraannya, sesuai dengan syariah. Kebutuhan akan lembaga keuangan Islami bertambah kuat seiring dengan berkembangnya sektor industri jasa keuangan secara umum. Untuk memenuhi permintaan ummat tersebut, diperlukan lebih banyak bank dan asuransi syariah. Kehadiran lembagalembaga keuangan syariah lainnya dapat memacu persaingan yang sehat, yang akan meningkatkan kualitas produk dan pelayanan. Beberapa faktor lain yang merupakan peluang dan mendukung prospek asuransi syariah adalah:
1.
Keunggulan konsep asuransi syariah dapat memenuhi peningkatan tuntutan rasa keadilan dari masyarakat.
2.
Jumlah penduduk beragama Islam di Indonesia lebih dari 180 Juta orang
3.
Meningkatnya kesadaran bermuamalah sesuai syariah, tumbuh subur khususnya pada masyarakat golongan menengah.
4.
Meningkatnya kebutuhan jasa asuransi karena perkembangan ekonomi umat.
5.
Tumbuhya lembaga keuangan syraiah (LKS) lainnya seperti perbankan dan reksadana.
6.
Kompetitor dalam bisnis asuransi syariah masih sedikit.
7.
Berlakunya undang-undang otonomi daerah yang akan memacu perkembangan ekonomi daerah.
8.
Kebutuhan meningkatkan pendidikan (anak).
9.
Meningkatnya resiko kehidupan
10. Meningkatnya bea-bea kesehatan (harga dolar, dll) 11. Menurunnya rasa ”tolong menolong” di masyarakat (tidak membudaya lagi) 12. Globalisasi (teknologi internet sebagai penunjang bisnis) 13. Adanya UU Dana Pensiun. 14. ”Employee Benefits” sebagai bagian dari paket perusahaan dalam rekrutmen karyawan.7 Sebagaimana disebut di atas, ada lebih dari 180 juta Muslim di Indonesia dan kesadaran akan keislamannya terus meningkat, merupakan peluang pasar yang lebar. Permintaan terhadap kehadiran lembaga keauangan syariah di berbagai tempat terus meningkat. Krisis ekonomi dalam dua setengah tahun terakhir ini memperlihatkan bahwa Indonesia memerlukan konsep lain dalam menata perekonomiannya. Lembaga ekonomi syariah adalah pilihan yang paling sesuai. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pasar, di samping juga mendidik masyarakat, diperlukan lebih banyak bank syariah, – dan kini telah mulai bermunculan-, serta asuransi syariah sebagai ‘counterpart’nya. Kehadiran lembaga keuangan syariah baru akan memacu persaingan yang sehat untuk pengembangan kualitas yang
pada
akhirnya
akan
menguintungkan
bangsa
Persaingan.
7
http://nitigama.wordpress.com/2010/02/11/prospek-bisnis-asuransi-syariah-takaful
dan
negara.
Pada saat ini, jumlah perusahaan asuransi jiwa di Indonesia ada 53. Salah satunya adalah PT Asuransi Takaful Keluarga yang merupakan satu-satunya perusahaan asuransi jiwa syariah di Indonesia sampai saat ini. Tabel 1 menunjukkan daftar perusahaan asuransi jiwa secara alfabet. Tiga dari empat perusahaan terbesar adalah milik negara, yang keempat masih berhubungan dengan program pemerintah. Mereka memiliki ‘captive market’ atau pangsa pasar yang berkaitan dengan pemerintah. Dua diantaranya adalah perusahaan kawakan yang telah ada sejak jaman kolonial Belanda. Yang menarik dalah bahwa PT Asuransi Takaful Keluarga ternyata mampu menyisihkan 42 perusahaan lain yang sudah jauh lebih lama beroperasi. d. Ancaman, Tantangan dan Hambatan Adapun ancaman yang akan dihadapi oleh asuransi Islam di Indonesia adalah: 1. Globalisasi, masuknya asuransi luar negeri yang memilki nilai kapital yang lebih besar dan teknologi yang lebig canggih sehingga membuat premi asuransi menjadi lebih murah. 2. Asuransi konvensional dan lembaga keuangan lainnya yang lebih efisien. 3. Langkanya ketersediaan SDM yang qualified dan memilki semangat syari’ah. 4. Citra lembaga keuangan syariah yang belum mapan di kalangan masyarakat padahal ekspektasi masyarakat terhadap LKS sangat tinggi. 5. Sarana investasi syariah yang yang ada sekarang belum mendukung secara optimal utuk perkembangan asuransi Islam. 6. Belum ada UU dan PP yang secara khusus mengatur asuransi Islam. 7. Budaya suap dan kolusi dalam asuransi kumpulan (group insurance) masih kental. 8. Alokasi pengeluaran masyarakat untuk asuransi masih sangat terbatas, hal ini tampaknya berkaitan dengan masalah sosialisasi asuransi dan pengalaman berasuransi. Prospek asuransi Islam di Indonesia akan cerah dan semakin prospektif jika umat Islam dapat membaca dan memberdayakan peluang dan kekuatan yang dimiliki. Di samping itu, asuransi Islam juga harus bisa meminimalisir ancaman atau tantangan yang sudah dan akan muncul sekaligus memperbaiki kelemahan atau kekurangan yang ada. Sebagai sebuah lembaga keuangan syariah, asuransi Islam tidak boleh berkutat pada dataran simbol-simbol keagamaan. Konsekuensi sebagai bagian dari lembaga keuangan syariah sangat tinggi. Oleh karena itu, konsistensi menjalankan usaha sesuai dengan syariah baik dalam manajemen,
produk, investasi, promosi dan lain-lainjuga harus diperhatikan dan diaplikaskan. Sebagai lembaga keuangan yang tentunya juga berorientasi keutungan (profit oriented), asuransi Islam tidak boleh melupakan tujuan awal berdirinya asuransi Islam yang menggusung semboyan sosial oriented sebagai wujud ta’awun ‘ala al birr wa at taqwa. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh industri asuransi syariah bersumber pada dua hal utama yaitu permodalan dan sumber daya manusia. Tantangan-tantangan lain seperti masalah ketidaktahuan masyarakat terhadap produk asuransi syariah, image dan lain sebagainya merupakan akibat dari dua masalah utama tersebut.8 1. Minimnya Modal Beberapa hal yang menjadi penyebab relative rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah dalam sepuluh tahun terakhir adalah rendahnya dana yang memback up perusahaan asuransi syariah, promosi dan edukasi pasar yang relative belum dilakukan secara efektif (terkait dengan lemahnya dana), belum timbulnya industri penunjang asuransi syariah seperti broker-broker asuransi syariah, agen, adjuster, dan lain sebagainya, produk dan layanan belum diunggulkan diatas produk konvensional, posisi pasar yang masih ragu antara penerapan konsep syariah yang menyeluruh dengan kenyataan bisnis di lapangan yang terkadang sangat jauh dari prinsip syariah, dukungan kapasitas reasuransi yang masih terbatas (terkait jua dengan dana) dan belum adanya inovasi produk dan layanan yang benar-benar digali dari konsep dasar syariah. 2. Kurangnya SDM yang Profesional Terus bertambahnya perusahaan asuransi syariah merupakan kabar baik bagi perkembangan industri tersebut. Namun, sayangnya hal itu tidak diimbangi dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) asuransi syariah yang berkualitas. Seringkali, pembukaan cabang atau divisi asuransi syariah baru hanya didukung jumlah SDM terbatas. Berdasarkan data Islamic Insurance Society (IIS) per Maret lalu, sekitar 80 persen dari seluruh cabang atau divisi asuransi syariah belum memiliki ajun ahli syariah. IIS mengestimasi asuransi syariah Indonesia per Maret lalu memiliki sekitar 200 cabang dan hanya didukung 30 ajun ahli syariah. Jumlah yang cukup sedikit bila dibandingkan kondisi SDM di asuransi konvensional. Per Maret lalu, sebagian besar cabang asuransi konvensional telah memiliki sedikitnya seorang ajun ahli asuransi syariah. Jumlah tersebut sesuai dengan ketentuan departemen keuangan (Depkeu). Padahal, keahlian ajun ahli syariah sangat
8
http://irfan-kurniadi.blogspot.com/2010/05/asuransi-syariah-prospek-tantangan-dan.html
dibutuhkan dalam mendorong perkembangan inovasi produk asuransi syariah. Hal tersebut berdampak pada kurang berkembangnya produk inovatif di industri asuransi syariah. Saat ini, sebagian besar cabang atau divisi asuransi syariah lebih memilih untuk meniru produk asuransi konvensional lalu dikonversi menjadi syariah (mirroring). 3. Ketidaktahuan Masyarakat Terhadap Produk Asuransi Syariah Ketidaktahuan mengenai produk asuransi syariah (takaful) dan mekanisme kerja merupakan kendala terbesar pertumbuhan asuransi jiwa ini. Akibatnya, masyarakat tidak tertarik menggunakan asuransi syariah, dan lebih memilih jasa asuransi konvensional. Itulah hasil riset Synovate mengenai alasan pemilihan asuransi syariah. Ketua Umum Asuransi Syariah Indonesia Mohammad Shaifie Zein mengatakan, dari hasil survei Synovate, sebagian besar responden tidak tertarik kepada asuransi jiwa syariah. 4. Dukungan Pemerintah Belum Memadai Meski sudah menunjukkan eksistensinya, masih banyak kendala yang dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal pemahaman masyarakat hanya salah satunya. Kendala lainnya yang cukup berpengaruh adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di negeri ini, terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa kampanye pemilu kemarin menyatakan mendukung ekonomi syariah, belum sepenuhnya mewujudkan dukungannya itu dalam bentuk program kerja tim ekonomi kabinetnya. Kendala lainnya adalah masalah regulasi. Penerapan syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi. Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk melakukan penetrasi dan ekpansi pasar. 5. Image. Salah satu tantangan besar bisnis asuransi syariah di Indonesia dan negara lainnya, menurut Zein, adalah meyakinkan masyarakat akan keuntungan menggunakan asuransi syariah. “Perlu sekali mensosialisasikan asuransi syariah bukan saja berasal dari agama, tetapi memperlihatkan keuntungan.” Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para pelaku ekonomi syariah masih menghadapi tantangan berat untuk menanamkan prinsip syariah sehingga mengakar kuat dalam perekonomian nasional dan umat Islamnya itu sendiri.
Perkembangan asuransi syariah di Malaysia bisa disimak sebagai contoh yang bagus. Asuransi syariah di Malaysia mulai muncul pada tahun 1984, dimana Pemerintah Malaysia ketika menumbuhkan asuransi syariah terlebih dahulu membuat Takaful Act atau Islamic Banking Act baru kemudian dikeluarkan license pembukaan perusahaan. Berbeda dengan Malaysia, di Indonesia asuransi syariah berkembang dengan cepatnya sedangkan perundangundangan khusus asuransi syariah belum ada hingga sekarang. Keadaan ini merupakan tantangan bagi berkembangnya asuransi syariah karena dikhawatirkan akan menimbulkan kesemrawutan. Menurut Agus Edi Sumanto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia, payung hukum asuransi syariah masih sangat minim idealnya mesti ada undangundang yang secara khusus mengatur asuransi syariah.9 Izin pendirian perusahaan asuransi syariah yang mudah menjadikan banyaknya perusahaan asuransi syariah yang apabila tanpa dukungan aturan yang lengkap justru dikhawatirkan membawa dampak negatif. Pasar menjadi sesak dalam waktu singkat, iklim kompetisipun meningkat sehingga dikhawatirkan dalam kondisi ini para pemain mulai permisif terhadap praktek-praktek yang sesungguhnya tidak sesuai dengan syariah. Secara stuktural, landasan operasional asuransi syariah di Indonesia masih menginduk pada peraturan yang mengatur usaha perasuransian secara umum (konvensional). Peraturan asuransi syariah yang masih menginduk kepada peraturan asuransi konvensional ini menyebabkan asuransi syariah terbentur ketentuan perpajakan yaitu tentang premi, sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perpajakan, penerimaan premi harus dicatat sebagai pendapatan perusahaan dengan demikian premi merupakan objek pajak. Perlakuan ini tidak sejalan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional yang menempatkan premi pada asuransi syariah bukan milik atau pendapatan perusahaan, melainkan tetap milik nasabah. Perusahaan hanya pemegang amanah untuk mengelola premi itu sehingga tidak bisa dijadikan objek pajak. Begitu juga dengan pembayaran bagi hasil kepada nasabah oleh Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 disetarakan dengan dividen perusahaan kepada pemegang polis, sehingga terkena ketentuan pajak sebesar 15 %. Padahal bila Dewan Syariah Nasional menetapkan premi asuransi syariah bukan objek pajak maka bagi hasilpun bukan objek pajak, karena bagi hasil akan menjadi biaya underwriting perusahaan yang bukan merupakan dividen. Juga menjadi tantangan bagi asuransi syariah adalah dalam hal mengembangkan produk asuransi yang memang beda dengan asuransi 9
30 Hidayat Gunadi, “Payung Hukum Sebatas SK”, dalam Gatra, 24 Oktober 2007, hlm. 30
konvensional, sehingga adanya anggapan bahwa asuransi syariah hanya mensyariahkan produk asuransi konvensional dapat dieliminasi. Menurut Muhaimin Iqbal, Ketua Asosiasi Asuransi Syariah dan Agus Edi Sumanto, Direktur Utama Asuransi Takaful Keluarga, bahwa asuransi syariah hanya sekedar memodifikasi produk asuransi konvensional.10 Dalam hal PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) asuransi syariah kebanyakan juga masih memodifikasi dari PSAK asuransi konvensional, karenanya perbedaan hakiki dari asuransi konvensional dengan syariah menjadi tidak terlihat misalnya dana tabarru’ tidak bisa disajikan dalam laporan keuangan resmi yang ada hanya total premi demikian juga dengan entry bagi hasil tidak terlihat. Padahal PSAK ini penting untuk dimiliki asuransi syariah untuk membuat pengukuran kinerja asuransi syariah menjadi lebih valid.11 Modal yang kecil juga menjadi tantangan bagi perkembangan asuransi syariah di Indonesia. Di dalam Keputusan Nomor 426 Tahun 2003, Menteri Keuangan hanya mensyaratkan modal kerja perusahaan 2 milyar sehingga menurut Muhammad Syakir Sula, Ketua Islamic Insurance Society banyak yang asal membuka cabang syariah, padahal dengan dana sekecil itu perhitungan bisnisnya menjadi kurang masuk akal. Karena itulah Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) mendorong pelaku industri asuransi syariah untuk meningkatkan modal.12 Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal di bidang asuransi dan syariah sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan asuransi syariah di Indonesia, sayangnya menurut Walter L. Gaol, Direktur Asuransi Jiwa Great Eastern bahwa salah satu kendala penting yang dihadapi adalah kurangnya SDM syariah. 13 Demikian juga Agus Haryadi menyebutkan bahwa salah satu tantangan bagi perkembangan asuransi syariah di Indonesia adalah langkanya ketersediaan SDM yang “qualified” dan memiliki semangat syariah. Kesadaran masyarakat untuk ikut berasuransi juga menjadi kendala bagi perkembangan asuransi syariah di Indonesia, ini terbukti dari jumlah total penduduk Indonesia, pemegang polis individual baru mencapai kisaran 3 %. Perkembangan asuransi konvensional yang kurang begitu menggembirakan dibandingkan dengan kemajunan yang dicapai oleh negara lain walaupun telah dibuat Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 10
“Bukan Asuransi Peniru”, dalam Sharing, edisi Khusus Thn I – Oktober 2007, hlm. 26 “Bangkit Meski Tanpa Infrastruktur Memadai”, dalam Sharing, edisi Khusus Thn I – Oktober 2007, hlm. 29 12 Edi Santoso, “Asuransi Syariah Memerlukan Lompatan”, dalam Media Asuransi, September 2007, hlm. 27 13 “Asuransi Syariah Masih Butuh Perjuangan”, dalam InfoBank, edisi Khusus 2007, hlm. 110 11
Tentang Perasuransian dengan maksud untuk meningkatkan gairah masyarakat untuk memanfaatkan jasa asuransi yang sekaligus juga sebagai sarana mobilisasi dana untuk pembangunan. Hal ini karena dipengaruhi adanya keraguan tentang kehalalan jasa asuransi konvensional.14 Kesadaran masyarakat yang masih rendah ini menjadi tantangan bagi asuransi syariah untuk memberikan pemahaman tentang asuransi syariah yang terlepas dari unsur maisir, gharar dan riba.15 Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat umum sampai saat ini masih sulit menerima keberadaan lembaga asuransi dengan melihat kenyataan bahwa selain faktor ekonomi, faktor transparansi dan banyaknya penyimpangan bisnis juga ikut berperan dalam memberikan citra buruk bagi institusi keuangan ini. Data pengaduan terhadap perkara asuransi yang masuk ke YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) maupun YLKAI (Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia) menunjukkan angka-angka yang relatif masih tinggi. Jenis pengaduan yang muncul biasanya berkisar pada masalah klaim yang ditolak, prosedur klaim dipersulit, masalah nilai tunai, dan-lain-lain. Praktek-praktek seperti inilah yang menurut kacamata konsumen dipandang sangat merugikan mereka. Kendala-kendala lain dalam pengembangan asuransi syariah diantaranya: a) Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan Asuransi syariah. b) Masih terbatasnya produk-produk yang ditawarkan oleh asuransi syariah. c) Kurangnya sosialisasi dan edukasi masyarakat mengenai asuransi syariah. Sumber Daya Manusia dalam bidang Asuransi Syariah masih sangat rendah. Perkembangan dan pelaksanaan asuransi syariah di Indonesia masih mengalami kesulitan ataupun kendala sebagai suatu hambatan dalam asuransi syariah. Adapun kendala ataupun kesulitan yang dihadapi perusahaan asuransi dalam mengembangkan asuransi syariah adalah : a. Belum adanya payung hukum mengenai asuransi syariah. Belum ada payung hukum yang secara khusus mengatur mengenai asuransi syariah di Indonesia.Selama ini, asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Secara operasional asuransi syariah masih mengacu pada regulasi yang dikeluarkan oleh
14 15
Wirdayaningsih,dkk.,op.cit,hlm 175 http://hesiainantasari.wordpress.com/2013/03/30/ peluang –tantangan-asuransi-syariah-di Indonesia/
pemerintah baik berupa peraturan pemerintah melalui PP No. 73 Tahun 1992 jo PP No. 63 Tahun 1999 jo PP No. 39 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan usaha perasuransian, maupun regulasi menteri keuangan yang berkaitan dengan asuransi syariah dan juga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI melalui Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan asuransi syariah. Regulasi yang ada tersebut sudah lebih baik dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan asuransi syariah karena regulasi tersebut dikeluarkan pemerintah melalui menteri keuangan berkaitan dengan asuransi syariah, namun regulasi yang ada dan Fatwa DSN-MUI belum bisa mengakomodasi asuransi syariah karena Fatwa DSN-MUI tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang secara khusu mengatur asuransi syariah. Namun, sampai saat ini belum ada payung hukum bagi asuransi syariah, meskipun RUU Asuransi Syariah sudah lama diajukan ke DPR dan diharapkan RUU ini akan segera disetujui DPR sebagaimana RUU Perbankan Syariah yang telah lebih dulu disetujui belum lama ini. b. Faktor sumber daya manusia. Masih terbatasnya sumber daya manusia yang benar-benar mempunyai kualifikasi, mengerti mengenai syariah dan asuransi syariah, serta mempunyai semangat perjuangan dan pengembangan ekonomi syariah khususnya asuransi syariah. Minimnya sumber daya manusia ini disebabkan karena sebagian besar dari sumber daya manusia yang ada merupakan lulusan dari program studi konvensional dan kurang paham mengenai syariah sehingga menyebabkan ketidakcocokan antara pengetahuan yang dipelajari saat di perguruan tinggi dengan bidang kerja yang dijalaninya dan kondisi ini dapat menghambat perkembangan ekonomi syariah. Selain jumlah sumber daya manusia yang minim, kendala dari segi sumber daya manusia yaitu masih rendahnya motivasi diri dan belum ada pemahaman yang matang mengenai segmentasi pasar dari team marketing perusahaan sehingga masih ada kekacauan pasar. c. Manajemen kantor cabang. Berdasarkan hasil observasi lapangan ditemukan fakta bahwa manajemen kantor cabang masih tumpang tindih. Kantor cabang belum mempunyai pemisahan fungsi manajemen layaknya di kantor pusat sehingga dimungkinkan terjadi tumpang tindih diantara fungsi manajemen tersebut.
d. Kendala operasional. Kendala operasional ini berkaitan dengan prosedur akseptasi lebih ketat, misalnya untuk dapat mengcover asuransi personal accident diperlukan list peserta dan jika tidak ada maka berakibat jatuh ke gharar, sedangkan di asuransi konvensional tanpa list peserta (no name) sudah bisa di cover.Selain dalam hal prosedur akseptasi, kendala operasional ini juga dapat terjadi dalam hal pembayaran yang tidak lancar (macet) karena suatu hal peserta tidak dapat menyetorkan premi pada waktunya bahkan dapat mengakibatkan terjadinya kemacetan dalam pembayaran. Jika terjadi demikian perusahaan memberikan toleransi kepada peserta sehingga hubungan antara peserta dengan perusahaan tidak terputus dan tetap dapat proteksi dengan dana tabarru’ dicover dengan jumlah nilai tunai yang ada dan apabila pembayaran sudah kembali lancar, nilai tunai yang dipinjam akan dikembalikan. Namun apabila peserta memutuskan untuk berhenti sebelum masa asuransi berakhir maka akan diberikan seluruh nilai tunai yang sudah terkumpul. Selain itu kendala operasional ini proses penyelesaian polis yang cenderung lama bisa lebih dari 14 (empat belas) hari sejak surat permintaan diajukan oleh calon peserta bahkan bisa mencapai 30 (tiga puluh) hari atau lebih, terutama bagi Kantor Cabang yang belum menggunakan sistem online, belum diberi kewenangan underwriting oleh Kantor Pusat serta harus melewati prosedur seleksi field underwriting dan underwriting dimulai dari kantor cabang ke kantor wilayah baru kemudian diteruskan ke kantor pusat untuk diproses underwriting e. Kurangnya kesadaran berasuransi. Kesadaran masyarakat Indonesia untuk berasuransi masih sangat kurang (rendah), untuk jumlah pastinya secara normatif tidak bisa disebutkan, namun partisipasi ekonomi syariah saat ini baru 2%. Kurangnya kesadaran ini terbukti dengan ratio asuransi nasional yang hanya mencapai 12% dari jumlah penduduk Indonesia dan untuk asuransi syariah sekitar 1,2%. f. ketidaktahuan masyarakat. Pada dasarnya masyarakat belum banyak yang mengetahui mengenai asuransi syariah, operasional maupun produk asuransi syariah serta keberadaan divisi atau kantor cabang syariah pada perusahaan asuransi konvensional disebabkan karena sosialisasi yang dilakukan masih kurang intens dan belum ke semua customer. Akibat ketidaktahuan akan asuransi syariah ini, bagi masyarakat yang mempunyai pengalaman traumatik
dengan asuransi konvensional berpendapat bahwa asuransi ini tidak jauh berbeda dengan asuransi yang pernah mereka ikuti dimana uang mereka akan hilang dan sulit dalam prosedural sehingga mereka merasa enggan, cenderung tidak simpatik dan non kooperatif ketika disinggung mengenai asuransi syariah. Sedangkan bagi masyarakat yang masih netral, beranggapan bahwa asuransi itu mahal sehingga diperlukan anggaran khusus dan ada dana lebih untuk berasuransi, prosedur yang rumit dan masih binggung dengan produk dalam asuransi syariah yang sekiranya sesuai dengan kondisi dirinya. Dua kelompok masyarakat ini, setelah diberi penjelasan singkat mengenai asuransi syariah mulai terbuka cakrawala pemikirannya. g. adanya perasaan traumatik pada asuransi konvensional. Perasaan traumatik ini lahir karena mempunyai pengalaman dengan asuransi konvensional yaitu ketika mereka sebagai nasabah asuransi konvensional dan karena suatu hal tidak dapat menunaikan kewajibannya membayar premi maka ketika mereka akan mengurus asuransi tersebut mengalami kesulitan prosedural dan bahkan dalam polis secara jelas dan terang terdapat klausa bahwa apabila tidak sanggup melakukan pembayaran maka uang yang sudah dibayar tidak bisa dikembalikan. 3. Prospek Asuransi Syariah Berasuransi secara Islam merupakan bagian dari prinsip hidup yang berdasarkan tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap diri tidak memiliki daya apapun ketika datang musibah dari Allah SWT, apakah itu berupa kecelakaan, kematian, atau terbakarnya toko yang kita miliki. Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing). Menarik untuk direnungi bahwa sejak dari awal keberadaannya, mekanisme asuransi Islam senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan kelompok.Sekalipun, misalnya, musibah itu hanya menimpa individu tertentu (particular risks). Apalagi apabila musibah itu mengenai masyarakat luas (fundamental risks) seperti gempa bumi dan banjir. Sehingga esensi keberadaan asuransi dalam kehidupan dinilai penting.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat umum sampai saat ini masih sulit menerima keberadaan lembaga asuransi dengan melihat kenyataan bahwa selain faktor ekonomi, faktor transparansi dan banyaknya penyimpangan bisnis juga ikut berperan dalam memberikan citra buruk bagi institusi keuangan ini. Data pengaduan terhadap perkara asuransi yang masuk ke YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) maupun YLKAI (Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia) menunjukkan angka-angka yang relatif masih tinggi. Jenis pengaduan yang muncul biasanya berkisar pada masalah klaim yang ditolak, prosedur klaim dipersulit, masalah nilai tunai, dan-lain-lain. Praktik-praktik seperti inilah yang menurut kacamata konsumen dipandang sangat merugikan mereka. Asuransi syariah berpeluang sangat besar untuk lebih berkembang lagi karena Masyarakat Indonesia baru sedikit (3 %) yang ikut berasuransi, Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam yang tentunya akan memilih asuransi syariah dari pada asuransi konvensional Karena konsep asuransi syariah dapat memenuhi rasa keadilan. Keberhasilan sistem asuransi tidak sepantasnya diukur berdasarkan total uang yang dapat dikumpulkan atau keuntungan yang diraih melalui lembaga dan badan yang telah dibentuknya. Sebaliknya, keberhasilannya harus diukur dari sudut seberapa besar sumbangan yang telah diberikannya untuk keselamatan hidup anggota masyarakat dan baktinya untuk meringankan beban bencana dan malapetaka yang dihadapi oleh mereka. Indonesia diyakini akan menjadi tren perkembangan asuransi syariah global dalam beberapa tahun kedepan. Dengan adanya ketentuan pemenuhan modal minimum yang semakin besar dan pertumbuhan industri keuangan syariah lainnya seperti perbankan, membuat Indonesia akan menjadi pemain asuransi syariah terkemuka di Asia Tenggara. Landasannya, perkembangan perbankan syariah syariah yang saat ini telah diramaikan oleh sembilan bank umum syariah , akan diikuti oleh asuransi syariah. Premi industri asuransi syariah global pada tahun 2010 mencapai AS$ 8,9 miliar.16 Perkembangan signifikan ini tidak terlepas dari faktor Indonesia dan Uni Emirat Arab. Indonesia sendiri mencatat pertumbuhan rata-rata asuransi syariah masing-masing sebesar 35% dan 135%. Menurut Kepala Perasuransian Syariah Biro Perasuransian Bapepam-LK kementrian keuangan, pangsa industri asuransi syariah bisa jadi melebihi pangsa perbankan syariah. Pada
16
AM. Saefuddin, Membumikan Ekonomi Islam, Jakarta: Ppa Consultants, 2005, hlm. 309
akhir 2009 lalu, total premi asuransi syariah tumbuh hingga 78% dibandingkan tahun sebelumnya dengan pencapaian pangsa pasar sebesar 2,9%. Premi bruto asuransi syariah di tahun 2009 tercatat mencapai Rp 2,053 triliun, naik dari 2008 yang membukukan angka sekitar Rp 1,4 triliun. Saat ini pelaku usaha asuransi syariah terdapat 43 buah yang terdiri dari empat perusahaan asuransi syariah dan 39 unit asuransi dan reasuransi syariah. Ketua Umum Asosiasi Syariah Indonesia Muhaimin Iqbal menyatakan hingga Januari 2008, di Indonesia sudah ada 3 perusahaan yang full asuransi syariah, 32 cabang asuransi syariah, dan 3 cabang reasuransi syariah. Menurut beliau pertumbuhan premi industri bisa menembus Rp 1 triliun tahun ini. Rencana masuknya asuransi raksasa di pasar asuransi syariah diharapkan mendukung pencapaian target itu. Ia mengatakan perolehan premi industri asuransi syariah tanah air diperkirakan kembali mengulang prestasi tahun lalu dengan tumbuh sebesar 60%-70%. pada 2006, industri asuransi syariah membukukan pertumbuhan premi sebesar 73% dengan nilai total Rp 475 miliar. Predikisnya hingga akhir 2007 bisa mencapai Rp 700 miliar kalau tahun depan tumbuh 50% saja, sampai melebihi Rp 1 triliun. Kendati asuransi syariah mengalami pertumbuhan yang pesat, kontribusi terhadap total industri baru mencapai 1,11% per 2006 dan diperkirakan meningkat ke posisi 1.33% tahun ini. Hal itu tidak terlepas dari jumlah pelaku industri asuransi syariah yang masih terbatas dan baru menunjukkan peningkatan dalam dua tahun terakhir. Ada sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islami. Potensi ini menjadi modal bagi perkembangan ekonomi umat di masa datang. Selain itu, terbukti bahwa institusi ekonomi yang menerapkan prinsip syariah, mampu bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Selain perbankan, sektor ekonomi syariah lainnya yang mulai berkembang adalah asuransi syariah. Prinsip asuransi syariah pada intinya adalah kejelasan dana, tidak mengadung judi dan riba atau bunga. Sama halnya dengan perbankan syariah, melihat potensi umat Islam yang ada di Indonesia, prospek asuransi syariah sangat menjanjikan. Dalam sepuluh tahun ke depan diperkirakan Indonesia bisa menjadi negara yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Seorang CEO perusahaan asuransi syariah asal Malaysia, Syed Moheeb memperkirakan, tahun 2008 mendatang asuransi syariah bisa mencapai 10 persen > market share asuransi konvensional.
Data dari Asosiasi Asuransi Syariah di Indonesia menyebutkan, tingkat pertumbuhan ekonomi syariah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi konvensional hanya 22,7 persen. Perbankan dan asuransi, hanya salah satu dari industri keuangan syariah yang kini sedang berkembang pesat. Pada akhirnya, sistem ekonomi syariah akan membawa dampak lahirnya pelaku-pelaku bisnis yang bukan hanya berjiwa wirausaha tapi juga berperilaku Islami, bersikap jujur, menetapkan upah yang adil dan menjaga keharmonisan hubungan antara atasan dan bawahan. Bisa dibayangkan kesejahteraan yang bisa dinikmati umat jika penerapan ekonomi syariah ini sudah mencakup segala aktivitas ekonomi di Indonesia. Peluang penerapan ekonomi syariah masih terbuka luas.17 Prospek asuransi Islam di Indonesia akan cerah dan semakin prospektif jika umat Islam dapat membaca dan memberdayakan peluang dan kekuatan yang dimiliki. Di samping itu, asuransi Islam juga harus bisa meminimalisir ancaman atau tantangan yang sudah dan akan muncul sekaligus memperbaiki kelemahan atau kekurangan yang ada. Sebagai sebuah lembaga keuangansyariah, asuransi Islam tidak boleh berkutat pada dataran simbol-simbol keagamaan. Konsekuensi sebagai bagian dari lembaga keuangan syariah sangat tinggi. Oleh karena itu, konsistensi menjalankan usaha sesuai dengan syariah baik dalam manajemen, produk, investasi, promosi dan lain-lainjuga harus diperhatikan dan diaplikaskan. Sebagai lembaga keuangan yang tentunya juga berorientasi keutungan (profit oriented), asuransi Islam tidak boleh melupakan tujuan awal berdirinya asuransi Islam yang menggusung semboyan sosial oriented sebagai wujud ta’awun ‘ala al birr wa at taqwa. Asuransi Syariah di Indonesia Merupakan Peluang Bisnis yang Prospektif, karena seiring dengan perkembangan ke arah stabilitas politik dan ekonomi, dengan jumlah penduduk lebih dari 180 juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu portofolio investasi yang mulai kembali dilirik para investor manca negara. Kenyataan bahwa sekitar 90% penduduk beragama Islam dan bahwa kesadaran untuk mengekspresikan identitas kemuslimannya semakin meningkat, telah menjadi potensi pasar yang besar. Sebagai contoh, usaha di bidang makanan dan minuman berlabel halal, pakaian dan asesori muslim dan muslimah, perjananan haji dan umroh, pendidikan dan publikasi Islami, meningkat dengan pesat dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini. Selain itu, sebagian ummat Islam memerlukan jaminan bahwa segala interaksi muamalah yang dilakukannya dalam upaya mencapai kesejahteraannya, sesuai 17
http://irfan-kurniadi.blogspot.com/2010/05/asuransi-syariah-prospek-tantangan-dan.html
dengan syariah. Kebutuhan akan lembaga keuangan Islami bertambah kuat seiring dengan berkembangnya sektor industri jasa keuangan secara umum. Untuk memenuhi permintaan ummat tersebut, diperlukan lebih banyak bank dan asuransi syariah. Kehadiran lembagalembaga keuangan syariah lainnya dapat memacu persaingan yang sehat, yang akan meningkatkan kualitas produk dan pelayanan. 18
4. Strategi Pengembangan Asuransi Syariah Berasuransi secara Islam merupakan bagian dari prinsip hidup yang berdasarkan tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap diri tidak memiliki daya apapun ketika datang musibah dari Allah SWT, apakah itu berupa kecelakaan, kematian, atau terbakarnya toko yang kita miliki. Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing). Menarik untuk direnungi bahwa sejak dari awal keberadaannya, mekanisme asuransi Islam senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan kelompok. Sekalipun, misalnya, musibah itu hanya menimpa individu tertentu (particular risks). Apalagi apabila musibah itu mengenai masyarakat luas (fundamental risks) seperti gempa bumi dan banjir. Sehingga esensi keberadaan asuransi dalam kehidupan dinilai penting. Berdasarkan konsep Risk Based Capital (RBC) perusahaan asuransi di Indonesia sebenarnya dapat beroperasi dengan modal yang sangat rendah (diatas Rp 3 milyar) asal sehat dan memenuhi Risk Based Capital diatas 120%. Asuransi syariah dalam bentuk cabang atau divisi dari perusahaan asuransi konvensional dapat beroperasi dengan penyisihan modal minimal Rp 2 milyar. Kemudahan-kemudahan permodalan ini disatu sisi baik untuk mendorong timbulnya perusahaan asuransi/cabang/divisi syariah. Di sisi lain sebenarnya harus disadari bahwa ketentuan minimum tersebut kurang mendorong timbulnya perusahaan asuransi yang sehat. Struktur permodalan yang kuat sangat dibutuhkan untuk mengangkat industri asuransi syariah. Dengan modal yang kuat perusahaan asuransi syariah akan dapat melaksanakan 18
http://nitigama.wordpress.com/2010/02/11/prospek-bisnis-asuransi-syariah-takaful/
fungsi-fungsi yang semestinya, antara lain edukasi pasar melalui berbagai media komunikasi untuk menjelaskan keberadaan asuransi syariah, keunggulannya, manfaatnya serta kebersihan dari keraguan, pengembangan produk secara berkelanjutan, back-uo keuangan yang kokoh untuk membangkitkan kepercayaan publik. Untuk Mengatasi kekurangan SDM yang Profesional dapat diatasi dengan akan mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas SDM asuransi syariah melalui beberapa program sertifikasi agar perkembangan industri didukung ketersediaan fellow dan associate berkualitas. Untuk Memasyarakatkan dan Meningkatkan Asuransi syariah maka LKS harus mengembangkan teknologi informasi yang terdepan, serta meningkatkan promosi dan sosialisasi di segala lapisan masyarakat. Menurutnya, semua pihak harus bekerja keras untuk memperkenalkan sistem asuransi syariah di Indonesia agar masyarakat mengetahui ada solusi dalam pengelolaan risiko secara Islami Pemerintah Juga harus lebih mendukung Asuransi Syariah, para ekonom yang ada di kabinet saat ini sebaiknya meninggalkan sistem ekonomi kapitalis dan mengikuti aturan main kapitalis, sehingga bisa keluar dari krisis. Penerapan syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi. Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk melakukan penetrasi dan ekpansi pasar. Pemerintah sebagai regulator belum mengeluarkan kebijakan di bidang asuransi syariah sebagaimana halnya pada perbankan syariah yang memiliki UU Perbankan Syariah. Sekarang ini sudah ada regulasi yang memadai, tapi rasanya belum cukup. Bahkan kalau memungkinkan asuransi juga diberikan insentif, Insentif yang diharapkan misalnya dalam bentuk perpajakan atau bentuk lainnya. Dengan adanya insentif dan regulasi yang memadai, diberharapkan hal tersebut dapat merangsang industri syariah agar bisa berkembang lebih cepat. Selain pihak regulator, DSN dapat mengeluarkan fatwa yang dapat mengakselerasi industri asuransi syariah. Asuransi syariah juga masih menemukan kendala dari masyarakat yang memiliki kesalahpahaman atas asuransi syariah. Asuransi syariah dipandang harus murah, mudah dan
untung. Padahal asuransi juga menghitung bisnis dan laba, Sementara itu lingkungan bisnis ekonomi saat ini yang rentan terhadap penyogokan membuat asuransi syariah tak bisa masuk ke dalam bisnis tersebut. keberhasilan sistem asuransi tidak sepantasnya diukur berdasarkan total uang yang dapat dikumpulkan atau keuntungan yang diraih melalui lembaga dan badan yang telah dibentuknya. Sebaliknya, keberhasilannya harus diukur dari sudut seberapa besar sumbangan yang telah diberikannya untuk keselamatan hidup anggota masyarakat dan baktinya untuk meringankan beban bencana dan malapetaka yang dihadapi oleh mereka. Inilah sebenarnya esensi dari tujuan Asuransi Syariah. C.
KESIMPULAN Analisis Swot adalah sebuah bentuk analisis situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisis ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Analisis Swot sangat penting perannya dalam meningkatkan mutu pendidikan karena analisis dan gambaran yang diberikan merupakan tolok ukur dalam mengembangkan lembaga/satuan pendidikan lebih lanjut.Setelah analisis, perlu dirumuskan visi,misi, tujuan, dan program kerja yang lebih konkrit. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar sekaligus merupakan negara berpenduduk muslim yang terbesar ditambah lagi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk semakin mengekspresikan identitas kemusliman mereka merupakan pasar yang empuk dan berpotensi besar. Data menyatakan dalam beberapa kurun waktu terakhir penjualan produk-produk islami (busana muslim dan muslimah, makanan dan minuman yang berlabelkan ‘halal’, perjalanan haji dan umroh, dll.) mengalami kenaikan yang signifikan. Di lain sisi kebutuhan kenyamanan bermuamalah dalam transaksi keuangan pun meningkat pesat, sehingga diperlukan lebih banyak lembaga-lembaga keuangan ataupun lembaga pembiayaan yang bernuansa syariah. Demikianlah gambaran mengenai analisis SWOT bisnis asuransi syariah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Haryadi, asuransi dalam perspektif Islam Akdon. Strategic Management For Educational Management . Bandung : Alfabeta, 2007. AM. Hasan Ali.. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, edisi Pertama, ctk. Kedua, Prenada Media, Jakarta, 2004 AM. Saefuddin, Membumikan Ekonomi Islam, Jakarta: Ppa Consultants, 2005 http://adjievanhouten.blogspot.com/2013/10/makalah-tentang-analisis-swot.html http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/05/ http://hesiainantasari.wordpress.com/2013/03/30/peluang-tantangan-asuransi-syarian-diindonesia/ http://info-analisisswot.blogspot.com/2010/04/analisis-swot-asuransi-syariah.html http://jenispelajaran.blogspot.com/2011/10/analisis-swot-asuransi-syariah.html http://nitigama.wordpress.com/2010/02/11/prospek-bisnis-asuransi-syariah-takaful http://prudentialindonesia.wordpress.com/2008/02/04/seberapa-banyak-orang-memerlukanasuransi-jiwa/ http://www.asuransibank.com http://www.vibiznews.com Jafril Khalil, Asuransi Syariah dalam Perspektif Ekonomi: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22, Nomor 2 Tahun 2003. Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi Keenam, ctk. Kedelapan, Jakarta RajaGrafindo Persada, , 2004. Kasmir.. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi Keenam, ctk. Kedelapan, Jakarta RajaGrafindo Persada, , 2004 Majalah Gatra, 24 Oktober 2007 Majalah Media Asuransi, September 2007 Majalah Tempo, 21 Oktober 2007 Majalah InfoBank, edisi Khusus 2007 Majalah Investor, 11 September – 10 Oktober 2007 Majalah Sharing, edisi khusus Thn I – Oktober 2007 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah : (life & general) konsep dan operasional, Gema insani : 2004.
Nurul Ichsan, Takaful Konsep Asuransi Dalam Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2011 Training & Development Department, BasicTraining Modul 2002, Training & Development Department Asuransi Syariah Takaful, Jakarta, 2002. Wirdyaningsih, dkk. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, edisi Pertama, ctk. Kedua, Jakarta Kencana, , 2006.