ANALISA POTENSI WADUK RUKOH DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN AIR DI KABUPATEN PIDIE
Siti Nurdhawata G24104033
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ANALISA POTENSI WADUK RUKOH DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN AIR DI KABUPATEN PIDIE
Siti Nurdhawata G24104033
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Analisa Potensi Waduk Rukoh dalam Memenuhi Kebutuhan Air di Kabupaten Pidie
Nama
: Siti Nurdhawata
NRP
: G24104033
Menyetujui :
Pembimbing
Drs. Bambang Dwi Dasanto, M.si NIP : 132014045
Mengetahui :
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. Hasim, DEA NIP : 131578806
Tanggal Disetujui:
RINGKASAN Siti Nurdhawata (G24104033). Analisa Potensi Waduk Dalam Memenuhi Kebutuhan Air di Kabupaten Pidie. Skripsi. Dibimbing oleh Drs. Bambang Dwi Dasanto Msi. Kabupaten Pidie sering mengalami masalah ketersediaan air. Air tersedia sebagian besar berasal dari Krueng Baro Geunik dan Krueng Tiro. Keberadaan air dari sumber-sumber tersebut melimpah pada musim hujan dan menjadi sangat terbatas pada musim kemarau. Oleh karena itu, perlu dilakukan penampungan kelebihan air untuk digunakan di saat kekurangan air, salah satunya yaitu melalui pembangunan waduk. Lokasi yang dipilih sebagai daerah tampungan air waduk yaitu Krueng Rukoh dengan Krueng Tiro sebagai pencatu airnya. Simpanan air waduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan air daerah irigasi Baro (11,950 ha) dan Tiro (6,330 ha) serta kebutuhan air domestik di 13 kecamatan (216,718 jiwa) dengan perkiraan penambahan penduduk sebesar 0.52 % sehingga perlu dilakukan analisa ketersediaan dan kebutuhan air. Tujuannya yaitu untuk mengetahui potensi waduk dalam memenuhi kebutuhan air. Krueng Rukoh dan Tiro belum terdapat pos duga air sehingga digunakan data debit dari pos duga air daerah aliran yang memiliki karakteristik hampir sama untuk menduga ketersediaan air, yaitu Kr. Baro Geunik. Kendala keterbatasan data debit didekati melalui suatu model hidrologi, yaitu model tangki. Input model tangki yaitu curah hujan harian dan evapotranspirasi aktual. Keluaran model tangki berupa debit harian. Bila keluaran model jauh dari harapan maka dilakukan parameterisasi hingga diperoleh debit model mendekati debit observasi. Pendugaan debit Kr. Baro Geunik menghasilkan R2 sebesar 0.7 sehingga model dapat digunakan dengan asumsi bahwa kondisi DAS tidak berubah. Data debit Krueng Tiro dan Rukoh diperoleh melalui proporsi luas daerah pengaliran. Hasil analisa neraca air diperoleh defisit tertinggi sering terjadi pada bulan September periode I, sedangkan surplus tertinggi pada bulan November periode II. Kumulatif defisit terjadi sebesar 83.32 x 106 m3. Hasil analisa tampungan waduk yang dilakukan oleh PT. Wahana Adya (2005) diperoleh bahwa tampungan efektif waduk rukoh sepanjang umur waduk yaitu 120.123 x 106 m3 sehingga tampungan air yang tersedia selama umur waduk akan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan melalui pengaturan pola operasi dengan asumsi bahwa persentase penambahan penduduk dan luas daerah irigasi tetap. Kata kunci : model tangki, neraca air
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banda Aceh, pada tanggal 15 Oktober 1986 dari Ayah Ir. Syahbuddin Usman Msi dan Ibu Yusniar Yunus Sp. Penulis merupakan anak ke-2 dari 5 bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan : • Sekolah Dasar Negeri 4 Banda aceh (1998) • Madrasah Tsanawiyah Negeri Bireuen (2001) • Sekolah Menengah Atas Negeri Modal Bangsa Kuta Baro (2004) Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisa Potensi Waduk Rukoh dalam Memenuhi Kebutuhan Air di Kabupaten Pidie. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Ilahi robbi Muhammad SAW. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Drs. Bambang Dwi Dasanto Msi sebagai dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi. 2. Bapak Idung Risdiyanto dan Bapak M. Taufik yang telah bersedia menjadi dosen penguji. 3. Bapak Yon Sugiarto sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahanarahan akademik kepada penulis. 4. Bapak Soni dan Bapak Ronie dari PT. Wahana Adya Consult yang telah membantu penulis selama berada di Aceh 5. P’Pono, P’Khairun, P’azis, Ibu Wanti, dan P’Jun. 6. Para staff PT Wahana Adya Consultan (K’Weri, K’Lia, B’Iqbal, dll) yang telah banyak membantu penulis dalam pengumpulan dan pengolahan data. 7. Ayah, mama, abang, adik-adik, kakek, dan nenek yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. 8. Weni dan yasmin yang dengan penuh kesabaran membantu dan menemani penulis. 9. Crew workshop (Tia, Oky, Fahdil, Bayu) dan Ade I yang tidak pernah bosan menyemangati penulis. 10. Seluruh teman-teman GFM angkatan 41. 11. Teman-teman asal Aceh (dha, ida, Ryan, Hakim, Richie, B’eko, B’Akhyar, dan B’oji, Zulfan, Ivan, Yasar, dll).
Bogor, Februari 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..................................................................................................... i RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... ii PRAKATA . ....................................................................................................... iii DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR . ...................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN . ................................................................................. viii I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Tujuan ....................................................................................................... 1
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi ....................................................................................... 2 2.2 Komponen Sumber Daya Air ................................................................... 2 2.3 Potensi Air di Kabupaten Pidie ................................................................ 2 2.4 Waduk ........... .......................................................................................... 3 2.4.1 Ciri Fisik Waduk ............................................................................. 3 2.4.2 Keandalan Waduk ........................................................................... 4 2.5 Kebutuhan Air .......................................................................................... 4 2.5.1 Kebutuhan Air Domestik................................................................. 4 2.5.2 Kebutuhan Air Irigasi ...................................................................... 4 2.6 Model Tangki .......................................................................................... 5 III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 7 3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 7 3.3 Cara Kerja...... .......................................................................................... 7 3.3.1 Pendugaan Debit Aliran Sungai ...................................................... 7 3.3.2 Pendugaan Kebutuhan Air Domestik .............................................. 8 3.3.3 Pendugaan Kebutuhan Air Irigasi ................................................... 8 3.3.4 Penghitungan Neraca Air ................................................................ 9
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tinjauan Lokasi ...................................................................................... 10 4.2 Analisa Hasil Model Tangki 4.2.1 Input Model ................................................................................... 11 4.2.2 Kalibrasi Model ............................................................................. 11 4.2.3 Uji Model ...................................................................................... 12 4.3 Analisa Kebutuhan air ............................................................................ 15 4.3.1 Kebutuhan Air Domestik............................................................... 15 4.2.2 Kebutuhan Air Irigasi .................................................................... 15 4.4 Analisa Neraca Air ................................................................................. 17 V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Siklus Hidrologi ................................................................................. 2 Gambar 2. Lokasi Kab. Pidie .............................................................................. 2 Gambar 3. Bangunan Waduk .............................................................................. 3 Gambar 4. Daerah-daerah Simpanan di Suatu Waduk ........................................ 4 Gambar 5. Sistem Irigasi ..................................................................................... 5 Gambar 6. Standar Model Tangki ....................................................................... 6 Gambar 7. Lokasi Studi Penelitian ...................................................................... 10 Gambar 8. Lokasi Waduk dan St. Hidrologi ....................................................... 11 Gambar 9. Sumbangan Aliran Tiap Tangki ........................................................ 12 Gambar 10. Hidrograf Kr. Baro Geunik 1994..................................................... 13 Gambar 11. Hubungan Debit Model dan Observasi Tahun 1994 ...................... 14 Gambar 12. Hidrograf Kr. Baro Geunik 1995..................................................... 14 Gambar 13. Hubungan Debit Model dan Observasi Tahun 1995 ....................... 15
Gambar 14. Curah Hujan Andalan 80% .............................................................. 16 Gambar 15. Neraca Air Keandalan 80% ............................................................. 17 Gambar 16. Lengkung Kapasitas Waduk Rukoh ................................................ 18 Gambar 17. Neraca Air Waduk Keandalan 80% ................................................ 18
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perkiraan Konsumsi Air ........................................................................ 8 Tabel 2. Koefisien Tanaman................................................................................ 8 Tabel 3. Nilai Perkolasi di Berbagai Tekstur tanah............................................. 9 Tabel 4. Parameter Model Tangki ....................................................................... 12 Tabel 5. Persentase Sumbangan Aliran ............................................................... 12 Tabel 6. Perbandingan Nilai Debit ...................................................................... 13 Tabel 7. Kecamatan dan Jumlah Penduduk......................................................... 15 Tabel 8. Kebutuhan Air Irigasi ............................................................................ 16 Tabel 9. Luas Sawah Berdasarkan Golongan ...................................................... 16 Tabel 10. Pola Tanam Padi-Padi-Palawija Sistem Golongan ............................. 17
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.Peta Jenis Tanah Lokasi Penelitian .................................................. 21 Lampiran 2. Peta Tata Guna Lahan Lokasi Penelitian ........................................ 22 Lampiran 3. Peta Tata Guna Lahan Bagian Hilir ................................................ 23 Lampiran 4. Trial-Error Model Tangki .............................................................. 24
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Pidie merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kabupaten tersebut sering mengalami masalah dalam pengontrolan sumber air. Hal ini didasari oleh ketersediaan air yang melimpah pada musim hujan dan menyusut hingga menimbulkan kekeringan pada musim kemarau. Keberadaannya yang bervariasi dapat menimbulkan masalah ketika sumber air tidak mampu menyediakan cukup air untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Air di Kabupaten Pidie sebagian besar berasal dari Krueng (Kr) Baro dan Krueng (Kr) Tiro. Ketersediaan air di sumber-sumber tersebut diharapkan mampu memenuhi kebutuhan air domestik dan irigasi. Namun kenyataannya di saat-saat tertentu, terutama di musim kemarau ketersediaan air sangat kurang. Antisipasi pemerintah untuk menghindari keadaan tersebut yaitu melalui pembangunan waduk. Waduk yang akan dibangun berfungsi menampung kelebihan air saat musim hujan sebagai cadangan di saat kekurangan air. Cadangan air yang tersimpan di waduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan air daerah irigasi Kr. Baro seluas 11.950 ha dan daerah irigasi Kr. Tiro seluas 6.331 ha (Dinas Sumber Daya Air, 2003). Selain itu, air yang tersedia dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan air baku 216.718 jiwa (BPS, 2003). Jumlah air tersedia menggambarkan kemampuan sumber air dalam memenuhi kebutuhan sehingga perlu dilakukan analisa kebutuhan dan ketersediaan air. Analisa ketersediaan air menggunakan data debit. Kendala keterbatasan data debit didekati melalui suatu model hidrologi. Model yang digunakan yaitu model tangki. Model tersebut menggambarkan hubungan antara besar curah hujan dan limpasan sungai berdasarkan beberapa parameter fisik daerah aliran sungai (DAS). Kelebihan dari model tangki yaitu dapat menjelaskan kehilangan awal curah hujan dan hubungannya dengan distribusi waktu curah hujan, serta menggambarkan beberapa komponen pembentuk aliran limpasan.
1.2 Tujuan Tujuan penelitian yaitu: 1. Menduga debit berdasarkan curah hujan dengan menggunakan model tangki. 2. Menduga ketersediaan air dan kebutuhan air domestik dan irigasi. 3. Memperkirakan potensi waduk dalam memenuhi kebutuhan air.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Pada umumnya ketersediaan air terpenuhi dari hujan. Hujan merupakan hasil dari proses penguapan. Proses-proses yang terjadi pada peralihan uap air dari laut ke daratan dan kembali lagi ke laut membentuk suatu siklus yang disebut sebagai siklus hidrologi (Gambar 1). Proses awal siklus hidrologi yaitu penguapan air dari perairan dan vegetasi. Uap tersebut terangkat ke atas daratan oleh massa udara yang bergerak. Uap air yang naik akan mengalami pendinginan akibat penurunan tekanan yang diikuti oleh penurunan suhu sehingga terjadi butiran air yang membentuk awan atau kabut dan kemudian jatuh sebagai hujan (Linsley RK dan Joseph BF, 1994). Air hujan yang jatuh ke permukaan akan mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah, sampai ke pantai dan bermuara di laut. Air yang mengalir akan membentuk beberapa aliran (Gambar 1). Aliran air di permukaan disebut aliran permukaan. Aliran ini akan memasuki daerah aliran menuju ke sistem jaringan sungai atau waduk. Selain mengalir di permukaan, air juga masuk ke dalam tanah dan mengisi pori-pori mikro. Sebagian air yang masuk akan keluar kembali dan masuk ke sungai. Aliran tersebut dikenal sebagai aliran antara (interflow). Selanjutnya, sisa air akan masuk ke dalam tanah dan menjadi air tanah (groundwater) yang keluar sebagai aliran dasar. Aliran dasar (baseflow) akan mengisi jaringan sungai secara tetap dan kontinyu saat hujan jarang terjadi.
Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) 2.2 Komponen Sumber Daya Air Air merupakan salah satu sumber daya yang berharga di Bumi. Hal yang harus diperhatikan agar terhindar dari krisis yaitu pengelolaan komponen sumber daya air. Komponen tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu komponen alami dan
komponen artifisial (Sjarief R dan Robert J, 2005). Komponen alami sumber daya air merupakan komponen yang terbentuk secara alami oleh sifat air yang mengalir dari hulu ke hilir. Contohnya seperti sungai, muara, rawa, danau, pantai, air tanah, dan mata air. Keseimbangan alam dari komponen tersebut dipengaruhi oleh siklus hidrologi, kondisi geologi, kondisi wilayah, dan kegiatan manusia (Sjarief R dan Robert J, 2005). Selain komponen alami, sumber daya air juga memiliki komponen artifisial berupa bangunan utama dengan beberapa bangunan pelengkap yang dibuat oleh manusia untuk tujuan tertentu (Sjarief R dan Robert J, 2005). Salah satu contoh dari komponen artifial sumber daya air yaitu waduk. Penjelasan tentang waduk dapat dilihat pada subbab waduk. 2.3 Potensi Air di Kabupaten Pidie Kabupaten Pidie terletak di 04030’ – 04060’ LU dan 95075’ – 96020’ BT, berada di dekat kawasan pantai dengan elevasi antara 1.20mdpl - 52.50 mdpl (BPS, 2006). Luas wilayah ± 4160,50 km2 dengan jumlah penduduk ± 517.000 jiwa (BPS, 2006). Bagian Utara dari kabupaten Pidie berbatasan dengan Selat Malaka, bagian barat berbatasan dengan Aceh Besar, bagian timur berbatasan dengan Bireuen, dan bagian selatan berbatasan dengan Aceh Jaya (Gambar 2).
Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie Kabupaten Pidie digolongkan ke dalam wilayah beriklim tropis. Temperatur berkisar dari suhu minimum 19 – 220C sampai dengan suhu maksimum 30 – 350C. Intensitas curah hujan yang jatuh di wilayah tersebut, yaitu antara 1700-2900 mm/tahun. Musim hujan di kabupaten ini di mulai dari Agustus sampai dengan Maret.
Keberadaan air hujan merupakan salah satu faktor yang mendukung sumber daya air di Kabupaten Pidie. Air hujan yang masuk ke jaringan sungai atau waduk dalam bentuk aliran permukaan, aliran antara, dan aliran dasar akan menjadi sumber air untuk daerah tersebut. Beberapa sumber air di kabupaten Pidie yaitu Krueng Cubo/Krueng Pante raja, Krueng Meureudu, embung Rajui, Krueng Baro, Krueng Tiro, dan Krueng Rukoh (Dinas Sumber Daya Air, 2005). Setiap sungai dialokasikan untuk tempat-tempat tertentu, seperti Krueng Tiro yang merupakan sumber air bagi kecamatan Tiro Tursep, Geulumpang Tiga, Bandar Baru, dan Kembang Tanjong, sedangkan Krueng Baro merupakan sumber air untuk kecamatan Keumala, Sakti, Mutiara, Simpang Tiga, Kembang Tanjong, Delima, Pidie, Indra Jaya, dan Pekan Baru (Dinas Sumber Daya Air, 2005).
tersebut dapat membantu koordinasi pengelolaan sumber air yang lebih baik.
2.4 Waduk Waduk merupakan bangunan struktur pengendali air yang dibuat pada tempat tertentu di alur sungai. Waduk dibangun untuk menampung air pada periode kelebihan air (musim hujan) dan dipakai pada saat kekurangan air (musim kemarau). Melalui pembangunan waduk diharapkan dapat mencegah terjadi banjir saat air berlebih dan mengantisipasi krisis air saat kekeringan. Pemilihan tempat dan jenis bendungan merupakan masalah kelayakan teknis yang terdiri dari keadaan topografi dan geologi (Linsley RK dan Joseph BF, 1994). Selain itu, pemilihan lokasi juga memperhatikan aspek biaya. Menurut Linsley RK dan Joseph BF (1994), aturan umum pemilihan lokasi waduk terdiri dari : Harga bendungan. Harga pembebasan lahan untuk waduk. Lokasi waduk memiliki kapasitas yang cukup memadai. Menghindari daerah-daerah anak sungai yang produktif menghasilkan sedimen. Mutu air yang ditampung memenuhi tujuan pemanfaatannya. Tebing waduk dan lereng bukit yang berdekatan harus stabil. Waduk sebagai bangunan utama memiliki bangunan penunjang lainnya (Gambar 3). Bangunan pelimpah (spillway) merupakan salah satu bangunan penunjang waduk yang berfungsi untuk melimpahkan kelebihan air di dalam waduk. Selain bangunan pelimpah, waduk juga memiliki bangunan pengambilan (intake) yang berfungsi untuk pengambilan air dari waduk. Keberadaan bangunan penunjang
2.4.1 Ciri Fisik Waduk Ciri fisik utama waduk yaitu kapasitas simpanan. Hal ini sesuai dengan fungsi waduk yaitu menyediakan simpanan air. Kapasitas waduk ditentukan oleh keadaan alami lembah tempat air akan ditampung bersama dengan ketinggian suatu bendungan yang harus menampung sejumlah air yang dibutuhkan dan tersedia (Linsley RK dan Joseph BF, 1995). Secara alami, kapasitas waduk dapat dilihat berdasarkan pengukuran topografi. Suatu lengkung luas-elevasi dibuat dengan cara mengukur luas yang diapit oleh tiap-tiap garis kontur di dalam lokasi waduk tersebut. Integral dari lengkung luas-elevasi tersebut merupakan lengkung simpanan atau lengkung kapasitas waduk. Air yang tertampung di waduk akan menjadi simpanan. Pertambahan simpanan dari dua buah elevasi yang dihitung dengan mengalikan luas rata-rata pada kedua elevasi merupakan volume simpanan pada ketinggian tersebut. Elevasi maksimum yang dicapai oleh kenaikan permukaan waduk pada kondisi operasi biasa disebut sebagai permukaan genangan, sedangkan elevasi terendah yang dapat diperoleh bila genangan dilepaskan pada kondisi normal disebut sebagai permukaan genangan normal. Pertambahan bersih dari kapasitas simpanan yang berasal dari pembangunan waduk yaitu kapasitas keseluruhan dikurangi dengan simpanan lembah alamiah (Linsley RK dan Joseph BF, 1995). Menurut Linsley dan Joseph (1995)
Gambar 3. Bangunan Waduk (Wahana Adya Konsultan, 2005)
ada beberapa macam simpanan dalam waduk (Gambar 4), yaitu : a. Simpanan berguna, yaitu volume simpanan yang terletak di antara permukaan genangan minimum dan normal. b. Simpanan mati, yaitu air yang ditahan di bawah permukaan genangan minimum. c. Simpanan tambahan, yaitu kelebihan air yang dapat mengakibatkan banjir. d. Simpanan tebing, yaitu simpanan dari tebing yang meloloskan air sehingga dapat masuk ke dalam tanah saat waduk terisi dan keluar lagi bila permukaan air turun. e. Simpanan lembah, yaitu simpanan yang berasal dari air di dalam alur alamiah.
Gambar 4. Daerah-daerah Simpanan di Suatu Waduk (Linsley RK dan Joseph BF, 1995) 2.4.2 Keandalan Waduk Keandalan waduk menggambarkan peluang kemampuan waduk untuk memenuhi kebutuhan yang direncanakan sepanjang umur ekonomisnya sebagai fungsi dari kapasitas waduk. Besar simpanan yang diperlukan untuk memenuhi suatu jumlah kebutuhan yang ditetapkan disusun menurut peringkat besarnya dan digambarkan sebagai lengkung frekuensi. Hasil dari lengkung frekuensi berupa suatu lengkung keandalan yang memiliki kisaran 0 - 100%. 2.5 Kebutuhan Air Pengembangan sumber daya air timbul karena tuntutan ketersediaan air dalam memenuhi kebutuhan. Air yang tersedia akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan air domestik, pertanian, dan keperluan lainnya. 2.5.1 Kebutuhan Air Domestik Kebutuhan air domestik sangat ditentukan oleh jumlah penduduk dan penggunaan air per kapita. Penggunaan air sebagai kebutuhan air
domestik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat sosial, pendidikan, kebiasaan penduduk, letak geografis, dan lainlain. Dasar pendugaan kebutuhan air domestik yaitu penentuan laju pertumbuhan penduduk. Hal tersebut perlu dilakukan karena jumlah penduduk akan terus bertambah dan diperlukan estimasi jumlah penduduk di masa yang akan datang sebagai upaya untuk mengontrol ketersediaan air dalam memenuhi kebutuhan air domestik. 2.5.2 Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air irigasi yaitu jumlah air yang ditambahkan untuk tanaman selain dari air hujan. Pemenuhan kebutuhan air irigasi bertujuan untuk mencapai hasil produksi pertanian yang optimal di masa tanam saat terjadi kekurangan air. Air yang disalurkan ke petak sawah khususnya untuk tanaman padi didasari oleh kebutuhan air untuk penyiapan lahan, penggunaan air konsumtif, perkolasi, dan penggantian lapisan air. Akumulasi dari faktor-faktor tersebut disebut sebagai kebutuhan air bersih pada petak sawah, sedangkan kebutuhan air yang harus tersedia di intake yaitu selisih antara kebutuhan air bersih pada petak sawah dengan curah hujan efektif. • Penggunaan Air Konsumtif Menurut Murdiyarso (1999) kebutuhan air tanaman yaitu banyaknya air yang hilang dari areal bervegetasi persatuan luas, persatuan waktu yang digunakan untuk transpirasi dan yang dievaporasikan dari permukaan tanah. Pada prinsipnya kebutuhan air tanaman adalah evapotranspirasi. Bila proses penguapan air bebas (evaporasi) dan penguapan melalui tanaman (transpirasi) terjadi bersama-sama maka terjadilah proses evapotranspirasi yang nilainya setelah dikalikan dengan koefisien tanaman (kc) menjadi acuan untuk besarnya kebutuhan air konsumtif. Nilai koefisien tanaman tergantung dari jenis dan fase pertumbuhan vegetasi.
CWR = ETc = k c × ET0 CWR = Kebutuhan air tanaman k c = Koefisien tanaman (standar FAO) ET0 = Evapotranspirasi potensial sebagai acuan
Evapotranspirasi potensial sebagai acuan untuk menduga besar pemakaian konsumtif tanaman dapat dihitung dengan menggunakan data evaporasi panci, dimana :
ETp = ETo = k p × E0 • Perkolasi Perkolasi yaitu gerakan air di dalam tanah karena gaya gravitasi. Gerakan air tersebut terjadi secara vertikal yang dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah, antara lain permeabilitas dan tekstur tanah, pengendapan lumpur, dan kedalaman muka air tanah (Dept PU, 1997). Nilai perkolasi bervariasi, dipengaruhi oleh tingkat permebilitas dan laju infiltrasi tanah. • Curah Hujan Efektif Curah hujan efektif yaitu bagian dari curah hujan total yang tidak hilang akibat surface runoff, perkolasi, evapotranspirasi, dan intersepsi. Curah hujan efektif dapat dikatakan sebagai curah hujan andalan yang jatuh di suatu daerah yang digunakan tanaman untuk pertumbuhan. • Penyiapan Lahan Penyediaan air untuk penyiapan lahan bertujuan untuk mempermudah pembajakan dan menjaga kelembaban tanah. Keadaan tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan didasari oleh kebutuhan air untuk mengganti kekurangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang telah dijenuhkan selama periode penyiapan lahan (Dept PU, 1997). Faktor-faktor yang menentukan besarnya kebutuhan air tersebut adalah lama waktu penyelesaiaan dan jumlah air yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan. • Penggantian Lapisan Air Upaya penerapan pemakaian pupuk yang efektif dan menghasilkan pembuahan yang baik dalam budi daya tanaman padi dilakukan melalui sistem penurunan muka air pada petak sawah (Dept PU, 1997). Penggantian air dilakukan selama satu setengah bulah setelah transplantasi. Air yang diganti sebesar 50 mm (3.33 mm/hari). • Efisiensi Irigasi Sistem irigasi terdiri atas sumber air, bangunan pengambilan (intake), saluran primer, saluran sekunder, saluran tertier, saluran kuarter, dan saluran pembuang (Gambar 5). Saluran primer, sekunder, tertier, dan kuarter disebut sebagai jaringan irigasi. Air yang berasal dari air permukaan (waduk) disalurkan dari bangunan pengambilan ke jaringan irigasi. Kehilangan air yang berlangsung selama proses pemindahan air dari sumber ke lahan
pertanian dan selama pengelolaan lahan pertanian akan mempengaruhi efisiensi irigasi. Menurut Doorenbos J dan Pruitt W.O (1975), efisiensi irigasi digolongkan menjadi dua komponen, yaitu : Efisiensi pengangkutan, yaitu persentase air yang hilang dari sistem saluran induk ke sekunder. Efisiensi di lahan pertanian (sawah), yaitu persentase air yang hilang dari saluran tertier dan kegiatan air irigasi di lahan pertanian. Akumulasi dari kedua komponen tersebut disebut sebagai efisiensi irigasi total.
Gambar 5. Sistem Irigasi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) 2.6 Model Tangki Sugawara et al. (1984) mengemukakan bahwa model tangki merupakan suatu model sederhana non-linier yang terdiri dari beberapa tangki yang diatur tegak lurus secara berurutan. Model tangki dikembangkan untuk menggambarkan keberadaan aliran limpasan sebagai jumlah air yang tersimpan di dalam tanah (Setiawan, et al., 2003). Model tersebut terdiri dari 2 saluran yaitu saluran samping dan saluran bawah. Saluran samping mewakili limpasan, sedangkan saluran bawah mewakili penyerapan air secara vertikal. Komponen simpanan tangki mewakili proses limpasan di suatu daerah aliran sungai. Model tangki dapat dihubungkan dengan mekanisme proses limpasan di dalam daerah pengaliran (Gambar 6). Gambaran dari perilaku model tangki menunjukkan berbagai jenis tanggapan dari masukan curah hujan. Suatu model yang terdiri dari 4 tangki dimana curah hujan yang jatuh ke permukaan akan mengalami evapotranspirasi, infiltrasi, dan aliran permukaan (tangki 1). Air yang keluar dari lubang bawah tangki akan menjadi simpanan dalam akifer I. Bila air yang tersimpan melebihi batas tertentu maka akan terjadi interflow (tangki 2) dan air akan terperkolasi mengalir ke akifer dibawahnya. Bila simpanan di akifer tersebut telah
melebihi kapasitas tampungannya maka air akan keluar sebagai sub-baseflow (tangki 3) dan air yang terperkolasi ke akifer selanjutnya akan keluar sebagai baseflow (tangki 4). Aliran-aliran tersebut akan terkumpul menjadi debit sungai.
Gambar 6. Standar Model Tangki (Setiawan, et al., 2003)
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2008 sampai Januari 2009. Kegiatan survey dilakukan di Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam sedangkan analisa data dilakukan di Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu : 1. Peta topografi daerah aliran sungai (Bakosurtanal, 1975) 2. Peta tata guna lahan (Bakosurtanal, 1994) 3. Peta administrasi Kabupaten Pidie 4. Data curah hujan harian (1994-2003) 5. Data evaporasi panci (1994-2003) 6. Peta jenis tanah 7. Data debit Kr. Baro (1994-1995) (Dept PU, 1994 dan 1995) 8. Data BPS jumlah penduduk (BPS, 2003) 9. Data luas daerah irigasi (Dinas Sumber Daya Air, 2003) 10. Seperangkat komputer dengan aplikasi microsoft office 3.3 Cara Kerja 3.3.1 Pendugaan Debit Aliran Sungai 1. Data debit Kr. Rukoh sebagai lokasi penampungan dan Kr. Tiro sebagai pencatu air waduk belum tersedia sehingga dilakukan pendekatan data debit pos duga air yang memiliki karakteristik DAS hampir sama, yaitu pos duga air Kr. Baro Geunik. 2. Pendugaan data debit Kr. Baro Geunik menggunakan model tangki. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu : a. Pengumpulan data yang terdiri dari : • Data curah hujan • Data iklim • Data debit Kr. Baro Geunik b. Analisa data terdiri dari : • Pemilihan stasiun curah hujan yang dapat mewakili DAS. • Penentuan evapotranspirasi aktual, dengan menggunakan persamaan :
ETP = k p × Eo
ETa = kc × ETp
c.
• Penentuan parameter tangki, terdiri dari nilai koefisien lubang bawah tangki, lubang samping tangki, tinggi tampungan, dan simpanan maksimum. Pembentukan model tangki Model tangki dibentuk dari persamaan matematis yang menggambarkan proses limpasan pada daerah aliran sungai. Proses dimulai dari hujan, infiltrasi, evapotranspirasi, aliran permukaan, aliran antara, aliran sub-base hingga terbentuk aliran dasar. Total dari seluruh aliran merupakan debit sungai. • Besar limpasan yang keluar dari tangki sebanding dengan kelebihan air yang terdapat dalam simpanan air tangki ke-i (Xi). Tangki tersebut tidak akan mengalirkan air (limpasan) sebelum simpanan air melewati tinggi tampungan tangki ke-i (hai) sehingga terlebih dahulu dihitung simpanan air tampungan. Tangki ke-1 :
X i (t ) = X i (t − 1) + CH (t ) − ETa(t ) Tangki ke-2, 3, dan 4 : X i (t ) = X i ( t − 1) + qzi (t ) Pengurangan evapotranspirasi hanya dilakukan terhadap tangki teratas saja, tetapi bila pengurangan dari tangki teratas belum mencukupi maka kekurangan tersebut dibebankan untuk tangki dibawahnya. • Simpanan air tampungan Xi digunakan untuk menghitung keluaran air qi (t) dari lubang samping tangki ke-i (ai) dan rembesan zi (t) dari lubang bawah tangki (zo). Tangki ke-1 : qa1 ( t ) = a1 ( X 1 ( t ) − ha1 ) + b ( X1 ( t ) − h 5 )
qz 1 = z1 × X 1 ( t )
Tangki ke-2, 3, dan 4 : qa i ( t ) = a i ( X i ( t ) − ha i )
qzi ( t ) = zi × X i ( t ) • Penghitungan sisa simpanan air tampungan dilakukan dengan mengurangi tinggi air tampungan tangki ke-i pada hari t dengan selisih limpasan dan rembesan. Hasil dari penghitungan sisa simpanan air tampungan akan digunakan untuk menghitung simpanan air tampungan untuk hari t+1.
• Hasil dari total limpasan menjadi debit (m3/s) :
diubah
q ×A Q = total 86400
Keterangan : qtotal = total limpasan (m) A = Luas tangki = Luas DAS (m2)
3.3.3 Pendugaan Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air irigasi diduga dari perkalian antara luas lahan yang diairi dengan kebutuhan air persatuan luas. Kebutuhan air irigasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kebutuhan air untuk penyiapan lahan, pemakaian konsumtif tanaman, penggantian lapisan air, perkolasi, efisiensi irigasi, dan curah hujan efektif. IG =
( PL + ETc + RW + P −CHeff ) EI
× A
Dimana, IG = Kebutuhan air irigasi (m3) IR = Kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari) ETc = Kebutuhan air konsumtif (mm/hari) RW = Kebutuhan air untuk penggantian lapisan air (mm/hari) P = Perkolasi (mm/hari) Cheff = Curah hujan efektif (mm/hari) EI = Efisiensi irigasi (mm/hari) A = Luas daerah irigasi (m2)
Dari parameter model dan input CH diperoleh debit Kr. Baro Geunik selama 10 tahun. Selanjutnya, dilakukan perbandingan luas DAS untuk menduga debit Kr. Rukoh dan Tiro. 3.3.2 Pendugaan Kebutuhan Air Domestik Pendugaan kebutuhan air domestik dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan air perkapita. Standar konsumsi air yang digunakan untuk pendugaan kebutuhan air penduduk yaitu berdasarkan kriteria jumlah penduduk. Tabel 1. Perkiraan Konsumsi Air Konsumsi Kategori Air Daerah (l/cp/d) 500ribu - 1juta jiwa 250 100ribu - 500ribu jiwa 150 Desa 130 (Dinas Sumber Daya Air, 2000)
• Air yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan berdasarkan pada kebutuhan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang telah dijenuhkan selama periode 30 hari penyiapan lahan dengan tinggi genangan air 250 mm (Dept. PU, 1997). Nilai tinggi genangan air sebesar 250 mm merupakan penjumlahan dari kebutuhan air untuk penjenuhan dan penggantian air. • Air yang digunakan untuk konsumtif tanaman dihitung melalui pendekatan evapotranspirasi potensial sebagai acuan. Kebutuhan air tanaman dihitung dengan menggunakan persamaan : CWR = ET crop = k c × ETo
Tabel 2. Koefisien Tanaman Periode Tengah Bulanan 1
Biasa
Unggul
Kedelai
Jagung
1.10
1.10
0.50
0.50
2
1.10
1.10
0.75
0.59
3
1.10
1.05
1.00
0.96
4
1.10
1.05
1.00
1.05
5
1.10
0.95
0.82
1.02
6
1.05
0
0.45
0.95
7
0.95
8
0.00
Padi
Palawija
( Dooerenbos J dan W.O Pruitt, 1975) • Curah hujan efektif ditentukan untuk setiap setengah bulanan, yaitu merupakan curah hujan 70% dari hujan keandalan 80%.
R ( setengah Re = 0 . 70 × 80 % 15
bulanan
)
(Dinas Sumber Daya Air, 2004) • Kebutuhan air untuk genangan (perkolasi) bergantung pada tingkat permeabilitas dan laju infiltrasi tanah. Dalam perhitungan ini, besarnya perkolasi diasumsikan sebesar 1.5 mm/hari di musim hujan, dan 2.0 mm/hari untuk musim kemarau. Tabel 3. Nilai Perkolasi di Berbagai Tekstur Tanah Kedalaman Perkolasi
Tekstur Tanah
(mm/hari) Clay
1.0 - 1.5
Silty clay
1.5 - 2.0
Clay loam, silty clay loam
2.0 - 2.5
Mudy clay loam
2.5 - 3.0
Sandy loam
3.0 - 5.0
(Dept. PU, 1997) • Penggantian lapisan air bertujuan untuk mengefektifkan pemakaian pupuk dan menghasilkan pembuahan yang baik. Pergantian lapisan air setinggi 50 mm dalam jangka waktu 1.5 bulan setelah transplantasi (Dept. PU, 1997). • Efisiensi irigasi sebesar 65%. Estimasi tersebut diambil berdasarkan cakupan saluran primer dan sekunder sebesar 90%, serta saluran tersier sampai ke sawah sebesar 80% (Dinas SDA, 2004). EI = Ef
1
× Ef
2
× Ef
3
Keterangan : EI = Efisiensi irigasi (%) Ef1 = Efisiensi saluran primer (%) Ef2 = Efisiensi saluran sekunder (%) Ef3 = Efisiensi saluran tertier (%) 3.3.4 Penghitungan Neraca Air Penghitungan neraca air yaitu selisih antara air yang tersedia (inflow) dan air yang dibutuhkan (outflow) untuk keperluan irigasi, domestik, maintenaceflow, dan kehilangan akibat evaporasi di waduk. Dari hasil penghitungan neraca air diperoleh nilai kebutuhan air tampungan yang dapat dipenuhi selama umur waduk sebagai fungsi dari kapasitas waduk. Keandalan yang digunakan yaitu 80%.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tinjauan Lokasi Krueng (Kr.) Rukoh merupakan lokasi rencana pembangunan waduk. Daerah aliran tersebut memiliki catchment area sebesar 19.63 km2. Letak Kr. Rukoh secara geografis berada pada 5020’00” LU dan 95090’00” BT. Hulu sungai Kr. Rukoh berada di lereng gunung Gle Manyang, wilayah Kabupaten Pidie dan bermuara di Selat Malaka (Gambar 7). Kr. Rukoh memiliki panjang sungai sebesar 5.80 km dengan lebar bagian hilir sebesar 12.00 m, bagian tengah sebesar 10.56 m, dan bagian hulu sebesar 8.84 m (Dinas Sumber Daya Air, 2005). Pencapaian lokasi dapat dilakukan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Jarak tempuh dari kota Banda Aceh menuju Kabupaten Pidie yaitu ± 90 km, sedangkan dari Kabupaten Pidie menuju lokasi studi sejauh ± 25 km, dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh ± 5 km menuju lokasi rencana bendungan Rukoh. Kr. Rukoh sebagai lokasi penampungan memiliki catchment area yang kecil sehingga diperlukan pencatu air agar air yang tersimpan di waduk cukup untuk memenuhi kebutuhan. Kr. Tiro berfungsi sebagai pencatu air waduk rukoh. Lokasi Kr. Tiro secara geografis berada pada 5011’00” LU dan 96002’00” BT. Sungai tersebut memiliki catchment area
sebesar 174.24 km2. Hulu Sungai Kr. Tiro berada di lereng gunung Gle Lheuhop dan Gle Ajibon, wilayah pegunungan di Kabupaten Pidie dan bermuara di Selat Malaka (Gambar 7). Panjang sungai Kr. Tiro yaitu 46 km dengan lebar bagian hilir sebesar 150 m, bagian tengah sebesar 132 m, dan bagian hulu sebesar 123 m (Dinas Sumber Daya Air, 2005). Di daerah aliran Kr. Rukoh dan Tiro belum terdapat pos duga air sehingga data debit yang digunakan untuk keperluan analisa berasal dari pos duga air Kr. Baro Geunik yang berada pada 5017’00” LU dan 95086’00” BT (Gambar 8). Pos duga air Kr. Baro Geunik dipilih karena DAS tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Kr. Rukoh dan Tiro sehingga diasumsikan bahwa variasi debit Kr. Baro Geunik hampir sama dengan variasi debit Kr. Tiro dan Kr. Rukoh. Batasan karakteristik DAS yang menjadi perhatian yaitu bentuk DAS, pola aliran, tutupan lahan, dan jenis tanah. Kr. Rukoh, Kr. Tiro, dan Kr. Baro Geunik memiliki pola aliran dendritik. Bentuk DAS Tiro dan Baro Geunik yaitu berbentuk bulu burung, sedangkan bentuk DAS Rukoh yaitu radial. Jenis tanah didominasi oleh podzolik merah kuning (Lampiran 1) dengan tutupan lahan terluas yaitu hutan lebat (Lampiran 2).
Gambar 7. Lokasi Studi Penelitian Berdasarkan peta tutupan lahan, hutan lebat mendominasi bagian hulu Kr. Tiro, dan Baro Geunik (Lampiran 2), sedangkan bagian
hilir berupa sawah beririgasi teknis, kebun dan perkotaan (Lampiran 3). Keberadaan sawah beririgasi teknis dan perkotaan di bagian hilir
kurang menguntungkan. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan air yang dialirkan oleh Kr. Baro Geunik dan Kr. Tiro untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di musim kemarau, sedangkan di musim hujan air sangat berlimpah bahkan dapat menyebabkan banjir di daerah hilir (perkotaan). Keadaan tersebut menimbulkan kerugian-kerugian yang tidak sedikit sehingga dilakukanlah upaya pengontrolan air melalui pembangunan waduk yang berlokasi di Kr. Rukoh (Gambar 8). Kr. Rukoh dipilih sebagai lokasi pembangunan waduk karena daerah tersebut merupakan daerah pegunungan bergelombang dengan topografi relatif landai dan memiliki cekungan di sepanjang alirannya sehingga
cukup potensial sebagai daerah tampungan (Gambar 8). Selain itu, Pemilihan Kr. Rukoh sebagai lokasi rencana pembangunan waduk didukung oleh ketersediaan bahan material bangunan sehingga memberi keuntungan dari aspek waktu dan biaya. 4.2 Analisa Hasil Model Tangki 4.2.1 Input Model Input model tangki terdiri dari curah hujan harian dan evapotranspirasi aktual. Curah hujan yang digunakan adalah curah hujan dari stasiun yang dapat mewakili kondisi DAS. Letak stasiun curah hujan berada pada 5010’00” LU dan 95090’00” BT (Gambar 8).
Gambar 8. Lokasi Waduk dan Stasiun Hidrologi Selain curah hujan, evapotranspirasi aktual yang juga merupakan Input model tangki diperoleh dari evapotranspirasi potensial yang telah dikoreksi dengan koefisien tanaman sebesar 0.52. Nilai koefisien tanaman tersebut diperoleh dari proporsi tutupan lahan di lokasi daerah aliran. 4.2.2 Kalibrasi Model Output yang diharapkan dari model tangki yaitu debit model dengan fluktuasi hampir mendekati debit observasi. Bila input model menghasilkan keluaran yang jauh dari harapan maka perlu dilakukan parameterisasi. Parameter-parameter tersebut terdiri dari koefisien lubang bawah tangki (zi), koefisien
lubang samping tangki (ai), tinggi tampungan (hai), simpanan air tanah (Xi), dan simpanan maksimum dalam tanah (Lampiran 4). Nilai tiap parameter (Tabel 4) ditentukan secara coba ulang dengan mengacu pada keadaan DAS, seperti sifat tanah, vegetasi, dan penggunaan lahan. Faktor-faktor tersebut tergambar dari nilai parameter. Tanah berperan sebagai faktor kontrol infiltrasi, kapasitas penahan air dan aliran air bumi. Berdasarkan peta jenis tanah, lokasi di daerah aliran Kr. Baro Geunik didominasi oleh jenis tanah podzolik merah – kuning (ultisol). Menurut Hardjowigeno (2003), pada jenis tanah ultisol terjadi penimbunan liat dan memiliki kapasitas memegang air yang rendah tetapi memiliki daya serap air yang tinggi.
Keadaan tersebut dapat dilihat dari nilai koefisien lubang bawah tangki ke-1 (z1) lebih besar dibandingkan dengan koefisien lubang samping tangki ke-1 (a1 dan b) yang membentuk surfaceflow dan sub-surfaceflow (Tabel 4). Nilai simpanan air tanah awal (X1, X2 dan X3) yang kecil disebabkan oleh kapasitas memegang air yang rendah. Tabel 4. Parameter Model Tangki
Faktor lainnya, seperti jenis vegetasi penutup lahan memiliki peran sebagai penghambat, penyimpan, dan pengatur aliran permukaan. Penggunaan lahan mempengaruhi sumbangan air oleh masing-masing aliran. Tutupan lahan daerah aliran Kr. Baro Geunik 81 % berupa hutan lebat. Lahan yang ditutupi hutan memiliki kemampuan perkolasi yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan air banyak tersimpan di dalam tanah (X4) sehingga sumbangan dari aliran dasar (baseflow) menjadi besar (Tabel 5) sedangkan air yang mengalir di permukaan (tangki teratas) menjadi sedikit (Gambar 9). Tabel 5. Persentase Sumbangan Aliran
14 12 Q (m 3/s)
10 8 6 4 2 0 0
50
100
150
200
250
300
350
400
Hari Kesurfaceflow
sub-surfaceflow
Interflow
sub-baseflow
Baseflow
Gambar 9. Sumbangan Aliran Tiap Tangki
4.2.3 Uji Model Hasil kalibrasi model menggunakan data debit Kr. Baro Geunik 1994 menghasilkan R2 sebesar 0.81 (Gambar 11). Persamaan regresi
yang diperoleh dari hasil kalibrasi model digunakan untuk validasi. Validasi model menggunakan data debit Kr. Baro Geunik Tahun 1995 menghasilkan R2 sebesar 0.7 (Gambar 13) dan debit model memiliki fluktuasi yang hampir sama terhadap debit
observasi (Gambar 12). Menurut Setiawan et al (2005), jika R2 lebih dari 0.5 dan fluktuasinya hampir sama maka debit model dapat dikatakan telah mendekati debit observasi. Dari hasil uji model dapat dikatakan bahwa model layak digunakan dengan asumsi kondisi DAS tidak berubah. Model tangki dapat memberikan gambaran hubungan curah hujan terhadap debit dimana pergerakan debit model mengikuti pergerakan curah hujan (Gambar 10). Jika terjadi hujan dengan intensitas relatif besar atau kejadian hujan dengan durasi yang panjang dan telah melampaui kapasitas infiltrasi maka akan menghasilkan debit yang besar. Hal tersebut terjadi karena limpasan permukaan akan memberi sumbangan aliran lebih besar dari keadaan biasanya. Model sangat responsif terhadap kejadian curah hujan tinggi dengan durasi yang panjang karena setiap tangki memberikan sumbangan aliran. Keadaan sebaliknya, ketika intensitas hujan kecil dengan durasi kejadian yang pendek menghasilkan nilai keluaran model lebih kecil dibandingkan observasi (tabel 6). Hal ini disebabkan oleh tidak ada sumbangan dari tangki ke-1 saat hujan jarang terjadi. Bila kejadian tersebut berlangsung lama hingga simpanan tangki ke-2 dan ke-3 tidak dapat memberikan sumbangan limpasan maka debit yang terbentuk hanya berasal dari tangki ke-4
(baseflow). Sumbangan baseflow hanya sedikit memberikan perubahan nilai dan bahkan secara kontinyu menurun meskipun terjadi hujan dengan intensitas kecil (Gambar 10). Keadaan yang digambarkan dalam model tangki terhadap kejadian tersebut yaitu semua air yang jatuh terinfiltrasi untuk penambahan air tanah sehingga tidak terjadi kenaikan permukaan air. Namun kenyataannya menurut Sosrodarsono dan Takeda (2003), jika penambahan air tanah yang akan meningkatkan kadar kelembaban tanah dimulai maka akan terjadi variasi permukaan air sungai (debit) dan waktu peningkatan permukaan sungai menjadi cepat. Di samping itu, ada juga hujan yang langsung jatuh ke permukaan sungai. Faktor-faktor tersebut diabaikan oleh model sehingga model tangki tidak responsif terhadap ch kecil. Keadaan ini jugalah yang menyebabkan debit harian total model sangat kecil dibanding observasi. Tabel 6. Perbandingan Nilai Debit
PERBANDINGAN HIDROGRAF ALIRAN HARIAN HASIL SIMULASI MODEL TANGKI DAN OBSERVASI 30
0
25 30
60
15 90 10
120 5
0
150 0
50
100
150
200 Hari Ke
250 Curah Hujan
300
350
Hasil Simulasi
Observasi
Gambar 10. Hidrograf Kr. Baro Geunik 1994
Curah Hujan (mm)
Debit (m 3/dt)
20
debit observasi (m3/s)
25
y = 0.60x + 4.23 R2 = 0.81
20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
debit model (m3/s)
Gambar 11. Hubungan Debit Model dan Debit Observasi Tahun 1994
25
0.00
20
30.00
15
60.00
10
90.00
5
120.00
150.00
0 0
50
100
150
200 Hari Ke
250 Curah Hujan
300
350
Hasil Simulasi
Observasi
Gambar 12. Hidrograf Kr. Baro Geunik 1995
Curah Hujan (m m )
Debit (m 3 /dt)
PERBANDINGAN HIDROGRAF ALIRAN HARIAN HASIL SIMULASI MODEL TANGKI DAN OBSERVASI
debit observasi (m3/s)
25 y = 0.84x + 2.62 R2 = 0.7
20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
debit model (m3/s)
Gambar 13. Hubungan Debit Model dan Debit Observasi Tahun 1995 4.3 Analisa Kebutuhan air Air yang tersedia di waduk diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi dan domestik. Air tersebut dialokasikan untuk 13 kecamatan yang berada di Kabupaten Pidie (Tabel 7). Tabel 7. Kecamatan dan Jumlah Penduduk
4.3.1 Kebutuhan Air Domestik Hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Sumber Daya Air (2000) menyatakan bahwa air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dengan penduduk kurang dari 500,000 jiwa yaitu sebesar 150 liter/orang/hari. Berdasarkan hasil tersebut, perkiraan jumlah air yang dibutuhkan oleh 216,718 jiwa di 13 kecamatan (Tabel 7) yaitu sebesar 150 l/hari jiwa.
Selain jumlah air yang digunakan, terdapat satu faktor lagi yang mempengaruhi jumlah air yang harus tersedia, yaitu jumlah penduduk. Pada dasarnya jumlah penduduk akan mengalami perubahan sehingga perlu melakukan estimasi persentase penambahan penduduk. Menurut BPS (2003), umumnya penambahan penduduk di Kabupaten pidie yaitu sebesar 0.52%. Jumlah penduduk yang terus meningkat menimbulkan efek pada air yang harus tersedia dengan asumsi bahwa jumlah air yang digunakan adalah sama, yaitu 150 liter/hari/jiwa. Peningkatan penduduk menyebabkan terjadi peningkatan pemakaian air sehingga air yang harus tersedia pun mengalami peningkatan. 4.3.2 Kebutuhan Air Irigasi Penghitungan kebutuhan air irigasi dilakukan berdasarkan air yang dibutuhkan selama masa tanam. kebutuhan air selama masa tanam dihitung dari air yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan dan pertumbuhan tanaman. Hal yang menjadi perhatian saat penyiapan lahan (30 hari) yaitu kebutuhan air untuk penjenuhan tanah, penggenangan, perkolasi, evapotranspirasi, dan curah hujan efektif, sedangkan pada masa pertumbuhan tanaman memperhatikan kebutuhan air untuk perkolasi, evapotranspirasi aktual, dan curah hujan efektif. Kebutuhan air untuk penyiapan lahan biasanya lebih besar dibanding untuk pertumbuhan tanaman. Faktor lain yang menjadi perhatian dalam perkiraan kebutuhan air irigasi yaitu penyusunan pola tanam. Tujuan dari
penyusunan pola tanam yaitu untuk mengatur waktu, tempat, jenis, dan luas daerah tanam di
daerah irigasi dengan efektif dan efisien sehingga tanaman dapat tumbuh baik.
Gambar 14. CH Andalan 80% Tabel 8. Kebutuhan Air Irigasi Pada umumnya, pola tanam di Kabupaten Pidie yaitu padi – padi – palawija. Hal tersebut dikarenakan pada masa tanam kedua curah hujan masih mencukupi untuk ditanami padi, sedangkan pada masa tanam ketiga curah hujan tidak lagi mencukupi untuk menanam padi tapi masih dapat menanam palawija. Lahan akan dibiarkan bera setelah pemanenan palawija. Jadi skenario yang digunakan dalam penelitian yaitu padi – padi – palawija (Tabel 8). Masa tanam pertama dilakukan saat mulai memasuki bulan basah (musim hujan), yaitu bulan Agustus (Gambar 14). Pada saat itu debit air baru mulai bertambah sehingga pemberian air perlu dilakukan secara bergiliran (sistem golongan) agar terjaga keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Selain itu, keuntungan dari sistem golongan yaitu semua lahan dapat ditanami sehingga tidak ada yang dibiarkan bera (Tabel 10). Daerah irigasi (DI) Baro dibagi menjadi 3 golongan, sedangkan DI Tiro dibagi 2 golongan (Tabel 9).
Tabel 9. Luas Sawah Berdasarkan Golongan
Tabel 10. Pola Tanam Padi-Padi-Palawija Sistem Golongan
4.4 Analisa Neraca Air Analisa neraca air dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah aliran menyediakan air. Outflow dari air yang tersedia digunakan untuk memenuhi kebutuhan air domestik, irigasi, evaporasi di waduk, rembesan, dan maintenaceflow.
Dari hasil penghitungan terlihat bahwa defisit tertinggi terjadi pada bulan September periode I, sedangkan surplus tertinggi pada bulan November periode II (Gambar 15). Kumulatif defisit terjadi sebesar 83.32 x 106 m3 .
Gambar 15. Neraca Air Keandalan 80% Upaya yang dilakukan agar tidak terjadi defisit air yaitu melalui pembangunan waduk dengan keandalan kebutuhan tampungan sebesar 80%. Luas genangan waduk rukoh yaitu 8.80 km2 (Wahana Adya consult, 2005).
Hasil analisa tampungan yang dilakukan oleh PT. Wahana Adya (2005) diperoleh bahwa tampungan efektif waduk rukoh sepanjang umur waduk yaitu 120.123 x 106 m3 (Gambar 16).
Gambar 16. Lengkung Kapasitas Waduk Rukoh Berdasarkan tampungan efektif tersebut terlihat bahwa melalui pengaturan pola operasi maka ketersediaan air untuk
memenuhi kebutuhan dapat tercukupi dengan asumsi bahwa persentase penambahan penduduk dan luas DI tetap (Gambar 17).
Gambar 17. Neraca Air Waduk Keandalan 80%
V. KESIMPULAN 1. Pendugaan debit aliran sungai dilakukan dengan menggunakan model tangki menghasilkan R2 = 0.7 sehingga model dapat digunakan dengan asumsi bahwa kondisi DAS tidak berubah. 2. Hasil analisa kebutuhan air dan ketersediaan air diperoleh defisit tertinggi sering terjadi pada bulan September periode I, sedangkan surplus tertinggi pada bulan November periode II. Kumulatif defisit sebesar 83.32 x 106 m3. 3. Berdasarkan grafik kapasitas tampungan waduk rukoh dengan keandalan 80%, tampungan air yang tersedia selama umur waduk, yaitu sebesar 120.123 x 106 m3 akan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan melalui pengaturan pola operasi dengan asumsi bahwa persentase penambahan penduduk dan luas DI tetap.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2003. Pidie dalam Angka. Kabupaten Pidie : Nanggroe Aceh Darussalam. Badan Pusat Statistik. 2006. Pidie dalam Angka. Kabupaten Pidie : Nanggroe Aceh Darussalam. Departemen Pekerjaan Umum. 1994. Data Hidrologi. NAD. Departemen Pekerjaan Umum. 1995. Data Hidrologi. NAD. Departemen Pekerjaan Umum. 1997. Pedoman Umum O & P Jaringan Irigasi. Jakarta. Dinas Sumber Daya Air. 2000. Kegiatan Efektifitas dan Efisiensi Pengembangan dan Pengelolaan Pengairan. Banda Aceh : Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dinas Sumber Daya Air. 2003. Inventarisasi Luas Sawah Beririgasi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam [Laporan akhir]. Banda Aceh : Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dinas Sumber Daya Air. 2004. Kegiatan Efektifitas dan Efisiensi Pengembangan dan Pengelolaan Pengairan (Debit Intake Irigasi). Banda Aceh : Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dinas Sumber Daya Air. 2005. Laporan Neraca Sumber Daya Air Provinsi
NAD. Banda Aceh : Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Doorenbos J, Pruitt W.O. 1975. Guidelines for Predicting Crop Water Requirements. Rome : Food and Agriculture Organization of The United Nations. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo. Linsley RK dan Joseph BF. 1994. Teknik Sumber Daya Air. Jilid ke-1. Ed ke-3. Sasongko D, penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari : Water Resourcea Engineering. Murdiyarso D. 1991. Kebutuhan Air Tanaman. Didalam : Bey A, editor. Kapita Selekta Dalam Agrometeorologi. Bogor : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm 165-169. Setiawan B, Fukada T, Nakano Y . 2003. Developing Procedures for Optimization of Tank Model’s Parameters. Agricultural Engineering International: the CIGR Journal of Scientific Research and Development Vol 3. http://cigrejournal.tamu.edu/submissions/volume5 /LW%2001%20006%20Setiawan.pdf [4 Juni 2008]. Sjarief R, Robert JK. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Yogyakarta : ANDI. Sugawara, M., I. Watanabe, E. Ozaki and Y. Katsuyama. 1984. Tank Model with Snow Component. Japan : Research Report of National Research Center for Disaster Prevention. Sosrodarsono S, Kensaku T. 2003. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta : Pradya Paramita. Wahana Adya Konsultan. 2005. Pekerjaan Geotenik dan Pradesain Waduk Rukoh [Laporan Eksekutif]. NAD.
Lampiran 1. Peta Jenis Tanah Lokasi Penelitian
Lampiran 2. Peta Tutupan Lahan Lokasi Penelitian
Lampiran 3. Tutupan Lahan Bagian Hilir
Lampiran 4. Trial-Error Parameter Model Tangki Parameter model tangki terdiri dari : a.
Koefisien limpasan (lubang samping tangki) Tangki 1 = a1, b Tangki 2 = a2 Tangki 3 = a3 Tangki 4 = a4
b.
Koefisien infiltrasi (lubang bawah tangki)
c.
d.
e.
Tangki 1 = z1
Koefisien perkolasi (lubang bawah tangki)
Tangki 2 = z2
Tangki 3 = z3
Parameter tampungan air simpanan sebagai tinggi lubang samping tangki
Tangki 1 = ha1, h5
Tangki 2 = ha2
Tangki 3 = ha3
Parameter simpanan air tanah :
Tangki 1 = X1
Tangki 2 = X2
Tangki 3 = X3
Tangki 4 = X4
Parameter yang perlu diperhatikan yaitu :
a.
Tangki 1 : z1, a1, b, ha1, dan h5
b.
Tangki 2 : z2, a2, dan ha2
c.
Tangki 3 : z3, a3, dan ha3
d.
Tangki 4 : a4
Prosedur penentuan parameter, yaitu : a.
Nilai awal koefisien lubang samping tangki, lubang bawah tangki, dan tinggi lubang samping tangki mengacu pada initial model Sugawara (1984), sedangkan nilai kandungan air tangki diperoleh dari ratio antara lubang samping tangki dan penjumlahan lubang samping tangki dengan lubang bawah tangki. Nilai kandungan air maksimum diasumsikan tidak melebihi simpanan maksimum yang merupakan pengurangan antara total curah hujan tahunan dengan total evapotranspirasi aktual tahunan.
b.
Initial parameter diubah-ubah secara coba-ulang hingga didapatkan keluaran berupa debit model yang mendekati debit observasi. Walaupun dilakukan secara coba ulang, perubahan nilai parameter dapat dilakukan dengan mengikuti cara yang telah dilakukan Sugawara (1984) yaitu : Jika ingin mengubah bentuk hidrograf maka yang perlu diperhatikan yaitu penjumlahan lubang bawah tangki dengan lubang samping tangki. Bila ingin menghasilkan hidrograf yang curam maka diperbesar hasil penjumlahannya, demikian sebaliknya. Jika ingin memperbesar volume limpasan tanpa mengubah bentuk maka nilai koefisien lubang samping tangki diperbesar dan lubang bawah tangki diperkecil dengan persentase yang sama sehingga penjumlahan antar lubang tersebut tidak berubah. Parameter tangki teratas memberi pengaruh untuk hasil volume limpasan terhadap curah hujan, sedangkan parameter pada tangki ke-2 memberi pengaruh terhadap hasil volume limpasan pada periode transisi. Pada saat hujan jarang terjadi hasil volume limpasan disesuaikan melalui perubahan parameter-parameter tangki ke-3 dan ke-4.
Persamaan matematis dalam model tangki, yaitu : a.
Tangki 1
Total simpanan [X1(t)] = X1 (t-1) + CH (t) – Eta (t)
Aliran vertikal (qz1) = [X1(t)] * z1
Sub-surfaceflow (qa1) = ([X1(t)] - ha1) * a1
b.
Surfaceflow (qb) = ([X1(t)] – h5) * b
Tangki 2 Total simpanan [X2(t)] = qz1 + X2 (t-1) Aliran vertikal (qz2) = [X2(t)]* z2 Interflow [qa2 (t)] = ([X2(t)] – ha2) * a2
c.
d.
Tangki 3
Total simpanan [X3(t)] = qz2 + X3 (t-1)
Aliran vertikal [qz3 (t)] = [X3(t)]* z3
Sub-baseflow [qa3 (t)] = ([X3(t)] – ha3) * a3
Tangki 4
Total simpanan [X4(t)] = qz3 + X4 (t-1)
Baseflow (qa4) = [X4(t)] * a4
Contoh hasil trial-error parameter : a.
Percobaan pertama
Parameter tangki
TANGKI
INITIAL
TINGGI (ha)
STORAGE
LUBANG SAMPING
(X) TANK TANK TANK TANK
1 2 3 4
0.50000 0.33333 0.33333 1099.65000
1 25.00000 15.00000 15.00000
2 15.00000
KOEFISIEN (a) LUBANG SAMPING 1 2 0.10000 0.10000 0.03000 0.00600 0.00100
KOEFISIEN (z) LUBANG BAWAH 0.20000 0.06000 0.01200
Keluaran model
Parameter yang digunakan masih perlu dimodifikasi. Walaupun bentuk hidrograf debit model hampir mengikuti debit observasi namun nilai debit model masih jauh dari harapan. Parameter utama yang perlu diubah yaitu koefisien lubang samping tangki,lubang bawah tangki dan simpanan awal. Agar nilai debit model menjadi besar maka nilai koefisien lubang samping tangki diperbesar sedangkan lubang bawah tangki diperkecil dengan persentase yang sama agar bentuk hidrograf dapat dipertahankan tetap. b.
Percobaan ke-2
Parameter tangki
TANGKI
INITIAL
TINGGI (ha)
STORAGE
LUBANG SAMPING
(X)
1
2
KOEFISIEN (a) LUBANG SAMPING 1 2
KOEFISIEN (z) LUBANG BAWAH
TANK TANK TANK TANK
1 2 3 4
0.50000 0.42857 0.42857 879.72000
52.50175 30.00000 40.00000
7.16634
0.12000 0.03600 0.00720 0.00120
0.12000
0.16000 0.04800 0.00960
Keluaran model
Nilai parameter telah diubah 20% dari nilai awal. Keluaran model masih belum mendekati debit observasi sehingga parameter masih harus dicoba-ulang. c.
Percobaan ke-3
Parameter tangki
TANGKI
INITIAL
TINGGI (ha)
STORAGE
LUBANG SAMPING
(X) TANK 1
0.50665
1 52.50175
2 17.16634
KOEFISIEN (a) LUBANG SAMPING 1 2 0.03285 0.04065
KOEFISIEN (z) LUBANG BAWAH 0.10057
TANK 2 TANK 3 TANK 4
1.09270 1.19163 812.86128
30.00000 50.00000
0.81935 0.48209 0.00670
0.05364 0.00339
Keluaran model P E R B AN D IN GAN H ID R OGR AF ALIR AN H AR IAN H AS IL S IMU L AS I MOD E L T AN GK I D AN O B S E R V AS I 0
30
25 30
60
15 90
Curah Hujan (mm)
Debit (m 3/dt)
20
10
120 5
0
150 0
50
100
150
200 Ha ri Ke
250 Curah Hujan
300 Has il S im ulas i
350 Obs ervas i
Dari hasil perbandingan hidrograf aliran hasil simulasi model tangki dan observasi terlihat bahwa bentuk dan nilai debit model hampir mendekati debit observasi. Perbedaan yang signifikan terlihat pada nilai debit model saat hujan jarang terjadi.