Analisa Lahan Irigasi Terhadap PDRB di Kab. Banyuwangi
67
Analisa Pengaruh Lahan Irigasi Terhadap Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Banyuwangi Ronny Durrotun Nasihien, ST ABSTRAK Berdasarkan data Kabupaten Banyuwangi dalam angka (tahun 2001 sampai dengan tahun 2005), luas sawah irigasi di Kabupaten Banyuwangi mengalami laju peningkatan rata-rata pertahun sebesar 0,03 % atau sekitar 18,5 ha per tahun dimana peningkatan luas sawah irigasi dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 sebesar 74 ha. Peningkatan luas sawah di Kabupaten Banyuwangi meliputi sawah irigasi teknis dengan laju rata-rata pertahun sebesar 0,07 % atau seluas 47,25 ha dan sawah irigasi setengah teknis sebesar 9,15 % atau seluas 104,25 ha pertahun. Untuk sawah irigasi sederhana terjadi penurunan yang cukup besar yaitu rata-rata pertahun mengalami laju penurunan sebesar 25,72 % atau sekitar 133 ha, dimana hal ini dimungkinkan karena kegiatan yang lain seperti pemukiman, perkebunan, lahan kering dan sebagainya. Luas sawah irigasi teknis yang mengalami penurunan terletak di dalam wilayah Cabang Dinas Pengairan Kesilir, Rogojampi, Dadapan dan Singojuruh total seluas 274,75 ha. Sedangkan untuk wilayah Cabang Dinas Pengairan yang lain mengalami peningkatan luasan total sebesar 321,25 ha kecuali Cabang Dinas Genteng dan Tegaldlimo luasan sawah irigasi teknis luasannya stagnan. Kata Kunci : Jumlah Lahan Irigasi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kab. Banyuwangi. PENDAHULUAN Latar Belakang : Dengan berkembangnya zaman yang sangat pesat, serta meningkatnya akan kebutuhan manusia itu semua harus diiringi dengan meningkatnya pula sarana – sarana dan prasarana untuk menunjang kelangsungan hidup manusia. Perkembangan penduduk juga sangat mempengaruhi munculnya problem baru, baik itu dari segi ekonomi, budaya, bahkan dari segi manapun yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Salah satu contoh adalah faktor lahan irigasi yang ada di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi yang mempunyai luas wilayah pada periode tahun 2000 sampai dengan 2005 seluas 5782,5 m², dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 sebesar 1.575,089 jiwa yang meliputi 24 Kecamatan. Kawasan tersebut mayoritas kehidupan masyarakatnya secara ekonomi bertumpu pada pengolahan lahan irigasi sehingga air irigasi merupakan faktor yang sangat penting sebagai penunjang. Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya air dan meningkatnya daya rusak air. Hal tersebut menuntut pengelolaan sumber daya air yang utuh dari hulu sampai ke hilir dengan basis wilayah sungai dalam satu pola pengelolaan sumber daya air tanpa dipengaruhi oleh batas-batas wilayah administrasi yang dilaluinya. Propinsi Jawa Timur adalah satu diantara 6 (enam) propinsi di Pulau Jawa, yang menjadi andalan dalam penyediaan pangan nasional. Tiga puluh prosen (30%) kebutuhan pangan nasional diharapkan berasal dari propinsi Jawa Timur. Untuk mendukung dan mencukupi
68
NEUTRON, VOL.9, NO.1, MARET 2009 : 67 -88
kebutuhan tersebut, pemerintah pusat, pemerintah propinsi Jawa Timur, dan kabupaten/kota di Jawa Timur, telah menyusun program dan kegiatannya, baik untuk peningkatan sarana produksi pertanian, pemeliharaan (perbaikan) sarana dan prasarana (infrastruktur) penyediaan dan pendistribusian air irigasi, maupun pemeliharaan atas luasan sawah yang ada. Perumusan Masalah : Maksud dan Tujuan pelaksanaan magang proyek adalah : (1) Bagaimana pengaruhnya jumlah lahan irigasi terhadap Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB ) Kabupaten Banyuwangi; dan (2) Bagaimana menganalisa jumlah lahan irigasi di Kabupaten Banyuwangi ? TINJAUAN PUSTAKA Uji Konsistensi Data Hujan Jika data hujan tidak konsisten karena perubahan atau gangguan lingkungan di sekitar tempat penakar hujan dipasang, misalnya penakar hujan terlindung oleh pohon, terletak berdekatan dengan gedung tinggi, perubahan cara penakaran dan pencatatan, pemindahan letak penakar dan sebagainya, memungkinkan terjadi penyimpangan terhadap trend semula. Kalau tidak ada perubahan terhadap lengkungan maka akan diperoleh garis ABC. Tetapi karena pada tahun tertentu terjadi perubahan lingkungan, didapat garis patah ABC’. Penyimpangan tiba-tiba dari garis semula menunjukkan adanya perubahan tersebut yang bukan disebabkan perubahan iklim atau keadaan hidrologis yang dapat menyebabkan adanya perubahan trend (CD. Soemarto, 1995:14). Apabila terjadi penyimpangan (ABC), maka dapat dikoreksi menjadi garis ABC dengan rumus: Tan H0 Hz = Tan 0 Dengan : = data hujan terkoreksi (mm) H2 Ho = data hujan pengamatan (mm) Tg α = kemiringan garis sebelum penyimpangan Tg α0 = kemiringan garis setelah penyimpangan Analisa Data Hujan 1. Hujan Rata-Rata DPS Pengukuran yang dilakukan pada setiap stasiun hujan merupakan data hujan yang terjadi pada satu tempat saja. Sedangkan untuk analisis pada umumnya yang dibutuhkan adalah data-data hujan rata-rata DPS (catchment rainfall).
Gambar 1. Uji Konsistensi Data Hujan
Analisa Lahan Irigasi Terhadap PDRB di Kab. Banyuwangi
69
Untuk menghitung besaran hujan rerata dapat ditempuh dengan beberapa metode berikut ini : a. Metode Rata-Rata Aljabar, b. Metode Poligon Thiessen, c. Metode Isohyet. Metode Poligon Thiessen memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode yang lain karena metode ini memberikan bobot tertentu bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu dan merupakan faktor koreksi bagi hujan di stasiun (Sri Harto, 1993:55).
Gambar 2. Poligon Thiessen Adapun cara perhitungannya adalah menggunakan rumus sebagai berikut (Suyono Sosrodarsono, 1985:27):
R1. A1 R2. A2 R3. A3 .... Rn. An R = A dengan : R1, R2, R3…Rn = Curah hujan pengamatan (mm) luas daerah tiap pengamatan (km2) A1, A2, A3…An = R = hujan rata-rata DPS (mm) ΣA = luas total DPS (km2) 2. Metode Analisa Frekuensi Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi frekuensi dan yang sering digunakan dalam hidrologi adalah: a. Agihan Normal, b. Agihan Log Normal, c. Agihan Log Pearson Tipe III, d. Agihan Gumbel. Masing-masing agihan memiliki sifat khas sehingga setiap data hidrologi harus di uji kesesuaiannya dengan sifat statistik masing-masing agihan tersebut. Pemilihan agihan yang tidak benar dapat mengundang kesalahan perkiraan yang cukup besar. 3. Curah Hujan Rancangan Dalam studi ini untuk menentukan curah hujan rancangan dipakai metode analisa frekuensi Log Pearson III, cara ini sesuai untuk berbagai macam koefisien kepencengan (skewness) dan koefisien kepuncakan (curtosis). Oleh karena itu metode ini sering digunakan untuk menentukan curah hujan rancangan. Tahapan
70
NEUTRON, VOL.9, NO.1, MARET 2009 : 67 -88
untuk menghitung curah hujan rancangan dengan menggunakan metode ini adalah sebagai berikut (CD. Soemarto, 1995:152): a. Data rerata hujan maksimum tahunan sebanyak n buah diubah dalam bentuk logaritma (Log X1) b. Dihitung harga logaritman rata-rata Log Xi i 1 Log Xrerata = n c. Dihitung harga simpangan baku n
Sd =
( Log Xi Log X ) i 1
n 1 d. Dihitung koefisien kemencengan (Cs) n
Cs =
n ( Log Xi Log X ) 3 i 1
(n 1) (n 2) Sd 3 e. Dihitung logaritma curah hujan rancangan dengan kala ulang tertentu Log X1 = Log Xrerata + G . S dengan : X1 = curah hujan rancangan Log Xrerata = rata-rata logaritma dari hujan maksimum tahunan Sd = simpangan baku G = konstanta (didapat dari tabel) f. Curah hujan rancangan dengan kala ulang tertentu didapat dengan menghitung antilog dari X1. Uji Kesesuaian Distribusi Untuk mengetahui apakah suatu data sesuai dengan sebaran teoritis yang dipilih, maka setelah penggambaran pada kertas probabilitas perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. (Shahin jilid 2, 1976). 1. Uji Kai-Kuadrat (X2-Test) Uji ini digunakan untuk menguji simpangan secara vertikal dengan rumus: (Oj Ej )2 2 X = Ei dengan : X2 = harga kai-kuadrat Ej = frekuensi teoritis kelas J Oj = frekuensi pengamatan kelas J Jumlah kelas distribusi dan batas kelas dihitung dengan rumus: k = 1 + 3,22 Log n dengan : k = jumlah kelas distribusi n = banyaknya data Distribusi frekuensi diterima jika, nilai X2 < Xcr2 (dari tabel) 2. Smirnov-Kolmogorov Pengujian ini dilakukan menggambarkan probabilitas untuk tiap data yaitu dari perbedaan distribusi empiris dan teoritis yang disebut Σmaks. (Sri Harto 1983:180): Σmaks = Σcr[ Pt – Pe] dengan :
Analisa Lahan Irigasi Terhadap PDRB di Kab. Banyuwangi
71
Σmaks = selisih antara peluang teoritis dengan peluang empiris Σcr = simpangan kritis (dari tabel) Pt = peluang teoritis Pe = peluang empiris Perhitungan peluang empiris dengan persamaan Weibull m P = n 1 dengan : P = peluang (%) M = nomor urut data N = jumlah data Apabila Σmaks < Σcr tabel, berarti distribusi frekuensi dapat diterima Analisa Hidrograf Satuan Hidrograf merupakan gambaran integral dari karakteristik fisiografis dan klimatis yang mengendalikan hubungan antara curah hujan dan pengaliran dari suatu daerah pengaliran tertentu (Subarkah, 1978 : 67). Hidrograf terdiri dari tiga bagian yakni lengkung konsentrasi, bagian puncak dan lengkung resesi (Subarkah, 1978: 68). Debit puncak merupakan salah satu bagian terpenting hidrograf. Debit puncak terjadi ketika limpasan dari berbagai bagian dari DPS bersama-sama menyumbangkan jumlah maksimum aliran di outlet DPS. Untuk DPS yang besar, debit puncak terjadi setelah terhentinya hujan, jarak waktu dari pusat massa hujan ke puncak sangat dipengaruhi oleh DPS dan karakteristik hujan (Subramanya, 1989: 159).
Gambar 3. Komponen hidrograf Sumber : Wilson, 1993: 168 1. Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu Nakayasu dari Jepang telah menyelidiki hidrograf satuan pada beberapa sungai di Jepang. Ia membuat rumus satuan sintetis dari hasil penyelidikannya. Rumus yang dihasilkannya adalah sebagai berikut (CD. Soemarto, 1995: 100) : Qp
=
c A Ro 3,6(0,3Tp T0,5 )
Tp
=
tg + 0,8 tr
72
NEUTRON, VOL.9, NO.1, MARET 2009 : 67 -88
L < 15 km tg = 0,21 L0,7 L > 15 km tg = 0,4 + 0,058 L tr = 0,5 tg sampai tg T0,3 = tg Qa = Qp (t/Tp)2,4 Bagian lengkung turunnya (decreasing limb) : Qd1 Qd2
t Tp T 0,3
= Qp . 0,3
t Tp 0 , 5T0 , 3 1,5.T 0,3
= Qp . 0,3
t Tp 1, 5T0 , 3 2 , 0.T 0, 3
Qd3 = Qp . 0,3 dengan : Qp = debit puncak banjir (m3/det/mm) C = koefisien pengaliran A = luas DPS (km2) Ro = hujan satuan (mm) Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam) T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit dari debit puncak sampai menjadi 30% dari debit puncak (jam) L = panjang alur sungai (km) Tg = waktu konsentrasi (jam) Qa = limpasan sebelum mencapai debit puncak (M3/det/mm) T = waktu (jam) untuk : a. daerah pengaliran biasa =2 b. bagian naik hidrograf lambat dan bagian menurun cepat =1,5 c. bagian naik hidrograf cepat dan bagian menurun lambat =3 2. Test Simpangan Rata-rata Test ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh penyimpangan ordinat dari metode hidrograf satuan sintetis yang sudah digunakan terhadap ordinat hidrograf sataun dari banjir pengamatan. Dari hasil test penyimpangan maka metode yang penyimpangannya cukup rendah akan dapat digunakan di Sub DPS lainnya yang memilki karakteristik sama dengan hasil studi. Persamaan yang digunakan adalah : Yp Ys 100% Py = Yp dengan : Py = penyimpangan ordinat dalam persentase ΣYp = jumlah ordinat hidrograf satuan dari banjir pengamatan ΣYs = jumlah ordinat hidrograf satuan sintetis Debit Tersedia Perhitungan Debit tersedia dilakukan dengan menggunakan metode NRECA. 1. Metode Nreca Debit aliran masuk (inflow), berasal dari hujan yang turun didalam daerah tangkapan air (DTA). Sebagian dari hujan tersebut menguap, sebagian lagi turun mencapai
Analisa Lahan Irigasi Terhadap PDRB di Kab. Banyuwangi
73
permukaan tanah. Hujan yang turun mancapai tanah sebagian masuk dalam tanah (resapan), yang akan mengisi pori-pori tanah sebagian mengalir menuju alur sungai sebagai aliran bawah permukaan, sedangkan sisanya mengalir diatas tanah (aliran permukaan). Jika pori tanah sudah mengalami kejenuhan, air akan masuk kedalam tampungan air tanah. Gerak air ini disebut perkolasi. Sedikit demi sedikit air dari tampungan air tanah mengalir keluar sebagai mata air menuju alur dan disebut aliran dasar. Sisa dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan, disebut aliran permukaan, bersama aliran dasar bergerak masuk menuju alur sungai. Penguapan peluh (evapotranspirasi) tidak hanya terjadi di atas permukaan tanah dimana akarakar tanaman berada. 2. Langkah perhitungan metode NRECA – sederhana Cara perhitungan ini paling sesuai untuk daerah cekungan yang setelah hujan berhenti masih ada aliran di sungai selama beberapa hari. Kondisi ini bisa terjadi bila tangkapan hujan cukup luas. Langkah perhitungan mencangkup 18 tahap dengan alur perhitungan dapat dilakukan kolom perkolom dari kolom (1) hingga (18) seperti di bawah ini (semua satuan dalam mm) (1). Nama bulan Januari sampai Desember (2). Nilai hujan rata-rata bulanan(Rb) (3). Nilai penguapan peluh potensial (PET) (4). Nilai tampungan kelengasan awal (Wo). Nilai ini harus dicoba-coba, dan percobaan pertama diambil 600 (mm/bulan) dibulan Januari. (5). Ratio tampungan tanah (soil storage raio-Wi) dihitung dengan rumus : WO WI No min al Nominal = 100 + 0.2 Ra Ra = hujan tahunan (mm) (6). Ratio Rb / PET = kolom (2) : kolom (3) (7). Ratio AET/PET AET = Penguapan peluh actual yang dapat diperoleh dengan Gambar LAMPIRAN V.2, nilainya tergantung dari ratio Rb/PET. (kolom 6) dan Wi (kolom 5) (8). AET = (AET/PET) x PET x Koefisien reduksi = kolom (7) x kolom(3) x koefisien reduksi (9). Neraca air = Rb – AET = kolom(2) – kolom(8) (10). Ratio kelebihan kelengasan (excess moisture) yang dapat diperoleh sebagai berikut : (i). Bila neraca air ( kolom 9 ) positif, maka ratio tersebut dapat diperoleh dari Gambar LAMPIRAN V.2 dengan memasukkan nilai tampungan kelengasan tanah (Wi) dikolom 5. (ii). Bila neraca air negatif, ratio = 0 (11). Kelebihan kelengasan = ratio kelengasan x neraca air = kolom (10) x kolom (9) (12). Perubahan tampungan = Neraca – kelebihan kelengasan = kolom(9) – kolom(11) (13). Tampungan air tanah = P1 x kelebihan kelengasan
74
NEUTRON, VOL.9, NO.1, MARET 2009 : 67 -88
= P1 x kolom (11) P1 = Parameter yang menggambarkan karakteristik tanah permukaan ( kedalaman 0 – 2 m ), nilainya 0,1 – 0,5 tergantung pada sifat lulus air lahan P1 = 0,1 bila bersifat kedap air P1 = 0,5 bila bersifat lulus air (14). Tampungan air tanah awal yang harus dicoba - coba (15). Tampungan air tanah akhir = tampungan air tanah + tampungan air tanah awal = kolom(13) + kolom(14) (16). Aliran air tanah = P2 x tampungan air tanah akhir = P2 x kolom (15) P2 = parameter seperti P1 tetapi untuk lapisan tanah dalam (kedalaman 2–10 m ) P2 = 0,9 bila bersifat kedap air P2 = 0,5 bila bersifat lulus air (17). Larian langsung = kelebihan kelengasan – tampungan air tanah = kolom(11) – kolom(13) (18). Aliran Total = larian langsung + aliran air tanah = kolom(17) + kolom(16) , dalam mm/bulan (19). Dalam m3/bulan = kolom (18) dalam mm x 10 x luas daerah tadah hujan (Ha) Untuk perhitungan bulan berikutnya diperlukan nilai tampungan kelengasan (kolom 4) untuk bulan berikutnya dan tampungan air tanah (kolom 14) bulan berikutnya yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut : a. Tampungan kelengasan = tampungan kelengasan bulan berikutnya + perubahan tampungan = kolom (4) + kolom (12), semuanya dari bulan sebelumnya. b. Tampungan air tanah = tampunan air tanah bulan sebelumnya – aliran air tanah = kolom (15) – kolom (16), semuanya dari bulan sebelumnya. Sebagai patokan diakhir perhitungan, nilai tampungan kelengasan awal (Januari) harus mendekati tampungan kelengasan bulan Desember. Jika perbedaan antara keduanya cukup jauh (> 200 mm ) perhitungan perlu diulang mulai bulan Januari lagi dengan mengambil nilai tampungan kelengasan awal (Januari) = tampungan kelengasan bulan Desember. 3. Terminologi debit a. debit air musim kering : debit yang dilampaui oleh debit – debit sebanyak 355 hari dalam 1 tahun (97,26%). b. Debit air rendah : dbit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak 275 hari dalam setahun (75,34 %). c. Debit air normal: debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak 185 hari dalam setahun ( 50,68%). d. Debit air cukup (affluent) : debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak 95 hari dalam setahun (26,03%) Untuk memperoleh debit-debit tersebut, perlu dibuat kurva kondisi aliran. Kurva ini adalah gambar debit-debit selama 365 hari yang disusun mulai dari yang terbesar.
Analisa Lahan Irigasi Terhadap PDRB di Kab. Banyuwangi
75
Gambar 4. Kurva kondisi aliran Sumber : Suyono Sosrodarsono, 1976: 204 Kebutuhan Air Untuk Tanaman Dalam perhitungan kebutuhan air untuk tanaman padi, faktor-faktor yang menentukan adalah Penyiapan lahan untuk tanaman Padi, Evapotranspirasi tanaman, Penggantian lapisan air, Perkolasi, serta besar Curah hujan efektif. 1. Penyiapan lahan untuk tanaman padi a. Kebutuhan air untuk pengolahan tanah bagi tanaman padi termasuk untuk kepentingan persemaian, harus disiapkan antara 20-30 hari sebelum tanam dimulai, b. Luas persemaian ditentukan 5,00% dari total luas sawah yang akan ditanami padi, c. Kebutuhan air untuk pengolahan tanah dan persemaian tersebut dihitung dengan Metode Van De Goor dan Zijlstra sebagai berikut: ek IR = M . k (e - 1) dengan : IR = Kebutuhan air irigasi di tingkat sawah, M = Kebutuhan air untuk mengganti atau mengkompensasi kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang sudah dijenuhkan, M = Eo + P (mm/hari), Eo = Evaporasi air terbuka yang diambil dari 1,1 ETo selama penyiapan lahan (mm/hari), P = Perkolasi (mm/hari), MxT k = , S T = Jangka waktu penyiapan lahan (hari), S = Kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah lapisan air 50 mm, sehingga besarnya menjadi : 200,00 + 50,00 = 250,00 mm. 2. Evapotranspirasi Tanaman (ETc) Evapotranspirasi tanaman merupakan kebutuhan air tanaman yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, yang merupakan hasil kali evapotranspirasi dengan koef tanaman :
76
NEUTRON, VOL.9, NO.1, MARET 2009 : 67 -88
ETc = kc x Eto dengan : Etc = Evapotranspirasi tanaman (mm/hari), Kc = Koefisien tanaman yang tergantung dari jenis tanaman dan periode pertumbuhan tanaman, Eto = Evapotranspirasi tanaman acuan (mm/hari). Besarnya evapotranspirasi tanaman acuan dihitung berdasarkan data klimatologi yang ada dengan menggunakan rumus ‘Modified Pennman’ sebagai berikut Eto = c [W. Rs-Rn1 + (1-W). f(u). (ea – ed) dengan : Eto = Evapotranspirasi tanaman acuan (mm/hr), c = Angka koreksi Pennman (tabel Pennman), ea = Tekanan uap jenuh pada suhu udara rata-rata o C (mbar) (tabel Pennman), ed = Tekanan uap aktual rata-rata di udara (mbar), Rs = Radiasi gelombang pendek, dalam satuan evaporasi ekivalen (mm/hari), = (0,25 + 0,54 n/N). Ra Ra = Radiasi gelombang pendek yang memenuhi batas luar atmosfer (angka angot). Besarnya angka angot berhubungan letak lintang daerah, Rn1 = Radiasi bersih gelombang panjang (mm/hari), = f(t).f(ed).f(n/N) f (t) = fungsi suhu , f (ed) = Fungsi tekanan uap : 0.34 – 0.44 (ed)1/2, f (n/N) = Fungsi kecerahan matahari : 0.1 + 0.9 n/N, f (u) = Merupakan fungsi kecepatan angin dengan ketinggian 2 m dalam satuan m/det, = 0.27 (1 + 0.864. U) W = Faktor pemberat untuk pengaruh radiasi (Tabel Penman), (ea-ed) = Perbedaan tekanan uap jenuh dengan tekanan uap sebenarnya, ed = ea.RH, RH = Kelembaban udara relatif (%) Sedangkan harga koreksi Penman (C), besarnya memperhatikan perbedaan kondisi iklim siang dan malam. 3. Perkolasi Kehilangan air akibat perkolasi diperuntukkan kepada tanaman padi selama pengolahan lahan. Dalam menentukan besarnya perkolasi tergantung dari jenis tanahnya. 4. Penggantian lapisan air Penggantian lapisan air dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan air yang terputus akibat kegiatan di sawah dengan ketentuan sebagai berikut (Dirjen Pengairan, 1986:165): a. Setelah pemupukan diusahakan menjadualkan serta mengganti lapisan air menurut kebutuhan, b. Jika tidak terdapat penjadualan seperti itu, dilakukan penggantian air sebanyak 2 kali masing-masing 50 mm (3.3 mm selama 15 hari) diberikan pada 1 bulan dan 2 bulan setelah tranplantasi.
Analisa Lahan Irigasi Terhadap PDRB di Kab. Banyuwangi
77
5. Curah Hujan Efektif Analisa curah hujan effektif didasarkan pada data curah hujan harian sepanjang pengamatan. a. Curah hujan dalam 80,00% tahun kering, yaitu curah hujan dengan resiko kegagalan sekali dalam periode 5 tahun. b. Curah hujan efektif ditentukan sebesar: 70,00% dari curah hujan dalam tahun 80,00% kering. Sehingga curah hujan efektif dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : CH efektif = 0,7 x R20 dengan : CHefektif = Curah hujan efektif (mm) R20 = Curah hujan dalam 80,00% Kebutuhan Air Untuk Palawija Kebutuhan air untuk palawija per hektarnya lebih sedikit dibandingkan dengan padi, perbedaan ini disebabkan oleh karena kebutuhan tersebut hanya untuk memenuhi konsumtif. Perhitungan konsumtif untuk tanaman palawija sama dengan perhitungan untuk tanaman padi, perbedaanya hanya pada besar angka koefisien tanaman. Metode Pembagian Air. Pengelolaan irigasi yang baik berusaha untuk menjatah dan memberikan air secara adil dan tepat guna, agar semua tanaman menerima jumlah air yang dibutuhkan. Untuk penyesuaian pembagian air sekurang-kurangnya diperlukan data-data (a) Air yang tersedia, (b) Kebutuhan air tanaman, dan (c) Kehilangan air. Air yang tersedia dan air yang dibutuhkan terus berubah selama masa irigasi. Perhitungan perubahan biasanya diambil periode 10 atau 15 hari tergantung kebiasaan masyarakat setempat. Metode untuk menentukan penjatahan/pembagian air yang lazim digunakan di Indonesia adalah : (a) Metode Pasten; (b) Metode FPR, dan (c) Metode Faktor K. Untuk studi ini, dipakai metode FPR, dimana kebutuhan air tanaman pada petak tersier dinyatakan dalam hektar palawija yang akan diairi (=luas relatif netto palawija) Kehilangan air di petak tersier dinyatakan dalam tambahan hektar palawija yang akan diairi, ini dilakukan dengan mengalihan luas relatif netto palawija dengan suatu faktor. Kehilangan air dijaringan utama dihitung dengan mengalikan luas relatif total palawija di petak tersier dengan faktor kehilangan air. perbandingan antara air yang tersedia dengan luas relatif total palawija inilah yang disebut Faktor Palawija Relatif (FPR). Jatah air dihitung dengan mengalikan luas relatif palawija di tiap bangunan sadap dengan FPR. air. yang.tersedia FPR Luas.relatif .totalPalawija (l/det/ha) Tabel 1. Nilai-nilai FPR Ft Air kurang Jenis Tanah Aluvial 1.80 0.18 Latosol 1.65 0.12 Gramosol 1.50 0.06 Sumber: Tata guna air – Dirjen Pengairan
FPR (l/det) ha. palawija Air cukup Air memadai 0.18 - 0.36 0.36 0.12 - 0.23 0.23 0.06 - 0.12 0.12
78
NEUTRON, VOL.9, NO.1, MARET 2009 : 67 -88
Metode Pemberian air Metode pemberian air sangat berpengaruh pada banyaknya air yang harus disediakan bagi tanaman, terutama bila air yang tersedia kurang dari kebutuhan. Ditinjau menurut tersedianya air irigasi, cara pemberian air dibedakan menjadi: 1. Pemberian air dengan genangan diam Hal ini terjadi bila banjir meluap dan merendam tanah-tanah rendah sepanjang sungai. Bila datangnya banjir tiap tahun pada waktu yang agak tertentu, peristiwa ini dapat dipergunakan untuk kepentingan pertanian. 2. Pemberian air dengan penggenangan terus menerus Beberapa keuntungan pemberian air secara genangan terus menerus antara lain: a. Pertumbuhan tanaman lebih terjamin, b. Dapat menekan tumbuhnya tanaman pengganggu, c. Menghemat tenaga kerja untuk pengelolaan air. 3. Pemberian air secara terputus-putus Pemberian air dengan cara ini diberikan karena terbatasnya ketersediaan air, dimana air dialirkan ke petak sawah sampai tergenang, kemudian pemberian air dihentikan sampai beberapa hari. 4. Pemberian air secara rotasi Adalah pembagian air secara bergantian menurut bagian daerah atau blok tertentu dalam jangka waktu yang telah ditentukan sesuai dengan gilirannya. Berdasarkan kontinuitas, sistem rotasi tersebut dapat dibedakan 2 (dua) macam a. Rotasi yang dilakukan terus menerus baik ketika air cukup maupun saat air kurang, dengan maksud untuk menghemat air agar air tetap terbagi rata keseluruh daerah irigasi. Biasanya pembagian air dimulai dari ujung bagian daerah atau petak irigasi yaitu dengan maksud memberikan jaminan air ke bagian yang paling ujung tadi. Sehingga dapat dicapai pemerataan dan keadilan. b. Rotasi yang dilakukan hanya ketika debit air kurang, yaitu dengan maksud air dapat mengalir di saluran dengan lebih sempurna, sistem inilah yang biasanya di dilakukan di Indonesia. DATA DAN METODOLOGI Pengumpulan Data Untuk melaksanakan pengumpulan data, itu diperlukan di antaranya : 1. Data skunder, yaitu data yang tidak diambil secara langsung pada lokasi atau obyek, namun dapat diambil pada dinas / instansi yang berkaitan dengan data tersebut. 2. Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data yang akan dilaksanakan meliputi data sekunder yaitu : Data dan informasi yang dikumpulkan terdiri dari: a. Peta Rupabumi DAS yang ditinjau, skala 1 : 25.000 b. Peta dan Data Tata Guna Lahan c. Data Kependudukan d. Data sosial – ekonomi e. Data statistik Kabupaten dan Kecamatan f. Data PDRB Kabupaten Bondowoso
Analisa Lahan Irigasi Terhadap PDRB di Kab. Banyuwangi
79
ANALISA DAN PERHITUNGAN Kondisi Daerah Irigasi Daerah Irigasi Blambangan BAKU SAWAH DAERAH IRIGASI BLAMBANGAN TAHUN 2005 NO
KECAMATAN
1
Muncar
2
Srono
DESA Blambangan Sumbersewu Tembokrejo Kedungrejo Kedungringin Kemendung Bagorejo Rejoagung
Jumlah Sumber : Balai PSAWS Sampean Baru
BAKU SAWAH (ha) TEKNIS
SEMI TEKNIS
SEDERHANA
-
-
428 146 270 101 93 267 171 83 1,559
TOTAL
428 146 270 101 93 267 171 83 1,559
Daerah Irigasi Setail
BAKU SAWAH DAERAH IRIGASI SETAIL TAHUN 2005 NO
KECAMATAN
1
Genteng
2
Gambiran
3
Cluring
4 5 6
Tegalsari Sempu Srono
DESA Genteng Kulon Genteng Wetan Kembiritan Gambiran Yosomulyo Wringinrejo Wringinagung Jajag Purwodadi Tamanagung Sarimulyo Sraten Cluring Tegalsari Karangsari Sumbersari Kepundungan
Jumlah Sumber : Balai PSAWS Sampean Baru
BAKU SAWAH (ha) TEKNIS
110 219 802 418 621 373 338 167 117 359 195 179 391 380 109 784 309 5,871
SEMI TEKNIS SEDERHANA
-
-
TOTAL
110 219 802 418 621 373 338 167 117 359 195 179 391 380 109 784 309 5,871
80
NEUTRON, VOL.9, NO.1, MARET 2009 : 67 -88
Daerah Irigasi K. Setail
BAKU SAWAH DAERAH IRIGASI K SETAIL TAHUN 2005 NO 1
2
KECAMATAN Tegaldlimo
Purwoharjo
DESA Tegaldlimo Purwosari Kedungwungu Kedunggebang Kedungasri Kedungsari Purwoagung Sumberasri Kendalrejo Kalipait Wringinpitu Wringinputih Glagahagung Grajagan Sumbersari
Jumlah Sumber : Balai PSAWS Sampean Baru
BAKU SAWAH (ha) TEKNIS
902 469 642 383 255 311 258 58 516 299 166 84 747 679 418 6,187
SEMI TEKNIS SEDERHANA
76 60 136
-
TOTAL
902 469 642 383 255 311 258 58 592 359 166 84 747 679 418 6,323
Laju kenaikan luas sawah irigasi teknis mengikuti model persamaan eksponensial sebagai berikut: y = 64824e0,0007x dengan R2 = 0,0187, yang secara rinci dapat dilihat pada gambar berikut :
Analisa Lahan Irigasi Terhadap PDRB di Kab. Banyuwangi
81
Grafik Perubahan Baku Sawah Teknis dan Luas Sawah Teknis di Kabupaten Banyuwangi
Luas (ha)
65.302
65.396
65.396
y = 64824e 0,0007x R2 = 0,0187 64.469
64.280
63.446
63.446
63.446
63.446
63.713 y = 63340e 0,0008x R2 = 0,5
2001
2002
2003 Tahun
Baku Sawah Teknis
2004
2005
Luas Sawah Teknis
Gambar 5. Laju Pertumbuhan Luas Baku Sawah Teknis dan Luas Sawah Teknis di Kabupaten Banyuwangi Kontradiktif dengan analisis mengenai peningkatan luas sawah teknis dan baku sawah teknis, pada variabel luas Panen di Kabupaten Banyuwangi mulai tahun 2001 – 2005 justru menunjukkan terjadinya penurunan luas panen padi. Kemungkinan hal tersebut disebabkan kurangnya ketersediaan air irigasi saat musim kemarau, terjadinya kekeringan, gagal panen dan penyakit. Hal ini mengindikasikan adanya jumlah lahan berkurang dengan laju penurunan mengikuti model eksponensial sebagai berikut : y = 120032e-0,0226x 2 dengan R = 0,6936. Secara rinci laju penurunan luas panen padi digambarkan pada Grafik di bawah ini : Grafik Laju Penurunan Luas Panen Padi di Kabupaten Banyuwangi
-0,0226x
y = 120032e 2
Luas (ha)
118.577,00
R = 0,6936 113.717,00
113.671,00 109.383,00 105.951,00
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 6. Laju Penurunan Luas Panen Padi Kab. Banyuwangi
2005
82
NEUTRON, VOL.9, NO.1, MARET 2009 : 67 -88
Penurunan produksi padi di Kabupaten Banyuwangi mulai tahun 2001 – 2005 dengan mengikuti persamaan linier dengan model : y = -11354x + 682623 2 dengan R = 0,4648. Secara rinci model penurunannya dijelaskan pada Grafik dibawah ini : Grafik Laju Penurunan Produksi Padi di Kabupaten Banyuwangi y = -11354x + 682623
Produksi (ton)
682.131,00
2
R = 0,4648 666.039,00 644.249,00
635.915,42 614.464,28
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 7. Laju Penurunan Produksi Padi di Kabupaten Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi juga didukung oleh laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di kecamatan – kecamatan dalam wilayah layanan balai PSAWS Sampean Baru, di Kabupaten Banyuwangi yang meliputi Kecamatan Cluring, Kecamatan Muncar, Kecamatan Srono, Kecamatan Genteng dan Kecamatan Singojuruh. Secara rinci laju pertumbuhan penduduk Banyuwangi dapat dilihat pada Grafik grafik di bawah ini : Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Banyuwangi
Jumlah (jiwa)
1.575.089 1.557.436
y = 1E+06e
1.531.026
0,0182x
2
R = 0,9438
1.475.438 1.478.994
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 8. Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Banyuwangi
Analisa Lahan Irigasi Terhadap PDRB di Kab. Banyuwangi
83
Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Genteng
Jumlah (jiwa)
84.526 82.866
83.579 0,0251x
y = 75233e 2
R = 0,8679 77.386 77.556
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 9. Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Genteng Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Cluring
Jumlah (jiwa)
71.805 70.848
71.000 0,0151x
y = 66846e 2
67.987
R = 0,8798 68.126
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 10. Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Cluring Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Srono
Jumlah (jiwa)
89.099 88.100
y = 81521e
83.861
0,0173x
2
R = 0,8692
84.730 83.660
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 11. Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Srono
84
NEUTRON, VOL.9, NO.1, MARET 2009 : 67 -88
Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Muncar
Jumlah (jiwa)
129.324 127.874 0,0195x
126.114
y = 117803e 2
R = 0,9148
120.713 120.754
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 12. Laju Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Mancar. Pembahasan Identifikasi permasalahan jumlah lahan memerlukan pendekatan yang kompleks disebabkan oleh banyaknya aspek yang perlu diperhatikan. Namun demikian pendekatan identifikasi permasalahan dalam kajian ini berdasarkan data faktual yang ada di lapangan. Permasalah jumlah Lahan Irigasi akan terkait dengan semua permasalahan Sumber Daya Air di dalam Daerah Aliran Sungai serta permasalahan lingkungan yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lingkungan lainnya. Permasalahan-permasalahan Jumlah lahan Irigasi dapat diidentifikasi kedalam dua kelompok permasalahan, yaitu : 1. Permasalahan Teknis Yaitu permasalahan jumlah lahan Irigasi yang terkait dengan kompunen Sumber Daya Air, yaitu yang terkait dengan aspek hidrologi, sistem irigasi, konservasi air dan tanah, dan lain-lain. 2. Permasalahan Non Teknis Yaitu permasalahan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya; baik dalam pemanfaatan lahan/air dan dampak yang ditimbulkannya. Data apa yang dipergunakan, ragam analisis yang digunakan dan manajemen permasalahan jumlah Lahan dapat diketahui dan dilakukan setelah identifikasi permasalahan ini. Berdasarkan identifikasi ini subab berikut berturut-turut membahas kebutuhan/pengumpulan data, analisis dan alat dan perangkat yang dipergunakan. Wilayah Kabupaten Banyuwangi Berdasarkan data Kabupaten Banyuwangi dalam angka (tahun 2001 sampai dengan tahun 2005), luas sawah irigasi di Kabupaten Banyuwangi mengalami laju peningkatan rata-rata pertahun sebesar 0,03 % atau sekitar 18,5 ha per tahun dimana peningkatan luas sawah irigasi dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 sebesar 74 ha. Peningkatan luas sawah di Kabupaten Banyuwangi meliputi sawah irigasi teknis dengan laju rata-rata pertahun sebesar 0,07 % atau seluas 47,25 ha dan sawah irigasi setengah teknis sebesar 9,15 % atau seluas 104,25 ha pertahun. Untuk sawah irigasi sederhana terjadi penurunan yang cukup besar yaitu rata-rata pertahun mengalami laju penurunan sebesar 25,72 % atau sekitar 133 ha, dimana hal ini dimungkinkan karena adanya alih fungsi lahan dari sawah irigasi sederhana menjadi irigasi teknis dan
Analisa Lahan Irigasi Terhadap PDRB di Kab. Banyuwangi
85
setengah teknis maupun untuk kegiatan yang lain seperti pemukiman, perkebunan, lahan kering dan sebagainya. Luas sawah irigasi teknis yang mengalami penurunan terletak di dalam wilayah Cabang Dinas Pengairan Kesilir, Rogojampi, Dadapan dan Singojuruh total seluas 274,75 ha. Sedangkan untuk wilayah Cabang Dinas Pengairan yang lain mengalami peningkatan luasan total sebesar 321,25 ha kecuali Cabang Dinas Genteng dan Tegaldlimo luasan sawah irigasi teknis luasannya stagnan. Berikut disajikan data perubahan luas sawah irigasi di Kabupaten Banyuwangi seperti Grafik dalam Gambar berikut :
1.497 824
759 492
Tahun 66.601
66.553
Teknis Jumlah total sawah Linear (Setengah Teknis)
66.647 65.396
66.647
64.469
66.675
y = 47,2x + 64827
66.553 65.396
y = -106,7x + 837,3
66.601 65.302
y = 24,2x + 66552
64.280
y = 83,7x + 887,7
Luas (ha)
LUAS SAWAH IRIGASIDI WILAYAH KABUPATEN BANYUWANGI 75.000 70.000 65.000 60.000 55.000 50.000 45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0
762 489
762 489
1.914 292
66.647
66.647
66.675
Setengah Teknis Linear (Sederhana) Linear (Jumlah total sawah )
Sederhana Linear (Teknis)
Gambar 13. Grafik Perubahan Sawah Irigasi di Wilayah KabupatenBanyuwangi Berdasarkan analisa grafik dengan persamaan linier, penurunan luas lahan untuk sawah irigasi sederhana mengikuti persamaan y = -106,7x + 837,3. Persamaan linier perubahan luas sawah irigasi di Kabupaten Banyuwangi ditunjukkan dalam Tabel berikut : Tabel 5. Persamaan Linier Perubahan Luas Lahan Sawah Irigasi di Kabupaten Banyuwangi Jenis Sawah Persamaan Linier Irigasi Teknis y = 47,2x + 64827 Irigasi Setengah Teknis y = 83,7x + 887,7 Irigasi Sederhana y = -106,7x + 837,3 Sawah Irigasi y = 24,2x + 66552 Sumber : Analisis BPS Kabupaten Banyuwangi Tahun 2001-2005 Berdasarkan data yang diperoleh, luas sawah irigasi teknis yang diairi di Kabupaten Banyuwangi lebih tinggi dari luas baku sawah irigasi teknis yang ada yaitu rata-rata dalam setiap tahun dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 lebih tinggi sebesar 1.469 ha. Hal ini menunjukkan bahwa pengalokasian dan pembagian air dilakukan dengan efektif diiringi operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi yang berjalan dengan baik sehingga luas sawah irigasi teknis yang diairi lebih luas dibandingkan dengan baku sawah yang seharusnya mampu dilayani oleh jaringan irigasi yang ada. Untuk sawah dengan irigasi setengah teknis dan irigasi sederhana, luas sawah yang ada lebih rendah dibandingkan dengan luas baku sawah, sehingga luas sawah yang seharusnya mampu dilayani jaringan irigasi lebih kecil dibandingkan dengan baku
86
NEUTRON, VOL.9, NO.1, MARET 2009 : 67 -88
sawah dari jaringan irigasi yang ada. Hal ini dapat disebabkan pelaksanaan operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi setengah teknis da sederhana yang ada kurang berjalan dengan efektif. Berikut disajikan Grafik perbandingan antara baku sawah dengan luas sawah di Kabupaten Banyuwangi seperti Gambar berikut :
Luas (ha)
Perbandingan Baku Sawah dan Luas Sawah di Kabupaten Banyuwangi 80.000
Teknis Baku Sawah
70.000
Teknis Luas sawah
60.000
Setengah Teknis Baku Sawah Setengah Teknis Luas sawah
50.000
Sederhana Baku Sawah
40.000
Sederhana Luas sawah
30.000
Total Baku Sawah
20.000
Total Luas sawah
10.000 2001
2002
2003 Tahun
2004
2005
Gambar 14. Grafik Perbandingan Luas Sawah dengan Baku Sawah Irigasi di Wilayah Kabupaten Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi adalah sentra pertumbuhan Jawa Timur Bagian Timur karena merupakan pintu gerbang Jawa Timur dari Propinsi Bali. Kabupaten Banyuwangi memiliki luasan daerah irigasi paling luas yaitu : 64.649 Ha (BPS Jatim, 2005). Hal ini terletak pada Banyuwangi Selatan (Sampai ke Timur), Banyuwangi Tengah dan Banyuwangi Utara. Secara umum masyarakat Kabupaten Banyuwangi adalah masyarakat Agraris yang mengusahakan tanaman Pangan sebagai komoditas unggulan, selain nelayan di pesisir utara dan Selatan Banyuwangi. Berikut disajikan peta daerah irigasi di wilayah studi Balai PSAWS Sampean Baru seperti Gambar berikut : KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dengan dasar dari data – data serta analisa, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Banyuwangi berdasarkan harga berlaku berdasarkan data sampai dengan Tahun 2004 adalah sebesar Rp. 7.200.779.740.000,- di mana laju pertumbuhan rata-rata PDRB dari Tahun 2000 sampai dengan 2004 adalah sebesar 11,69 %. Berikut disajikan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Banyuwangi berdasarkan harga berlaku seperti Tabel 6 di bawah ini : Tabel 6. PDRB Kabupaten Banyuwangi Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Berlaku (x 106 Juta Rupiah) Tahun PDRB 2000 4.486.130,29 2001 5.160.196,13 2002 5.706.771,70 2003 6.479.901,71 2004 7.200.779,74 Sumber : Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2000 – 2004
Analisa Lahan Irigasi Terhadap PDRB di Kab. Banyuwangi
Gambar 18. Peta Lokasi Daerah Studi
87
USD 88
NEUTRON, VOL.9, NO.1, MARET 2009 : 67 -88
Jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Banyuwangi berdasarkan harga konstan data sampai dengan Tahun 2004 adalah sebesar Rp. 5.783.090.880.000,- di mana laju pertumbuhan rata-rata PDRB dari Tahun 2000 sampai dengan 2004 adalah sebesar 37,91 %. Berikut disajikan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Banyuwangi berdasarkan harga konstan seperti Tabel 7. Tabel 7. PDRB Kabupaten Banyuwangi Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan (x 106 Juta Rupiah) Tahun PDRB 1.762.160,89 2000 1.844.828,15 2001 1.900.381,59 2002 1.969.265,46 2003 5.783.090,88 2004 Sumber : Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2000 – 2004 Saran Dalam mempertahankan jumlah lahan irigasi, hendaknya harus ada kerja sama yang baik antara pemerintah dan msyarakat, sehingga hasil dari lahan irigasi sesuai dengan yang diharapkan. Pengolahan lahan irigasi harus secara benar, baik dari segi teknis pengolahan, pola tanam, dan pemilihan binit tanaman agar mampu meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB ). Perlu adanya pembinaan / bimbingan dari dinas pengairan, dinas pertanian, atau instansi terkait daerah setemapat terhadap pengelola pada lahan irigasi. Tetap adanya pemeliharaan secara itensif pada jaringan irigasi di wilayah Kabupaten Banyuwangi. DAFTAR PUSTAKA Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Kriteria Perencanaan Irigasi Bagian Penunjang Departemen Pekerjaan Umum Repoblik Indonesia – Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum. 1986. KO-01, Departemen Pekerjaan Umum Repoblik Indonesia – Jakarta Roberet J. Kadoatie, 1995, Analisis Ekonomi Teknik, Penerbit Andi Yokyakarta Departemen Pekerjaan Umum, 1986, KP-04, Departemen Pekerjaan Umum Repoblik Indonesia – Jakarta Sri Harto BR,Dip. H, 1989, Analisis Hidrologi, Pusat Antar Universitas- Ilmu Teknik Universitas Gajah Mada. Ir. Suryono Sosrodarsono & Kensaku Takeda, 1981, Bendungn Type Urugan, Penerbit Pradnya Paramita Jakarta.