Analisa
onflik K Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003 Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg
Analisa Konflik
Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg
© 2004 by Center for International Forestry Research Hak cipta dilindungi. Diterbitkan tahun 2004 Foto sampul oleh Made Sudana
ISBN 979-3361-53-0
Diterbitkan oleh Center for International Forestry Research Alamat pos: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, Indonesia Alamat kantor: Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor Barat 16680, Indonesia Tel. : +62 (251) 622622 Fax. : +62 (251) 622100 E-mail:
[email protected] Situs : http://www.cifor.cgiar.org
Daftar Isi
Daftar Tabel
v
Daftar Kotak
v
Kata Pengantar
viii
Abstrak
ix
I. Pendahuluan
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Perumusan Masalah
2
1.3. Tujuan Penelitian
2
1.4. Batasan Konsep
3
1.4.1. Konflik
3
1.4.2. Frekuensi Konflik
3
1.4.3. Penyebab Konflik
3
1.4.4. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat
4
1.4.5. Penyelesaian Konflik
4
1.5. Metodologi Penelitian
4
1.5.1. Unit Penelitian
5
1.5.2. Data dari Media Massa
5
1.5.3. Data dari Studi Kasus
6
1.5.4. Lokakarya Multipihak
6
II. Konflik Sektor Kehutanan antara Tahun 1997 - 2003 2.1. Potret Konflik Secara Nasional (1997 - 2003)
8 8
2.2. Potret Konflik di Kalimantan Timur (1997 - 2003)
12
2.3. Diskusi
15
2.3.1. Pola Sebaran Frekuensi Konflik
15
2.3.2. Faktor Penyebab Konflik
17
III. Studi Kasus Konflik Kehutanan 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan
19 19
3.1.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
19
3.1.2. Sejarah Konflik
20
3.1.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat
22
3.1.4. Solusi yang Pernah Dicoba
23
3.1.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil
23
iv
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
3.2. Kasus HPH PT. Keang Nam Development Indonesia, Sumatera Utara
26
3.2.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
26
3.2.2. Sejarah Konflik
27
3.2.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat
29
3.2.4. Upaya Penanganan Konflik
31
3.2.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil
31
3.3. Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau
32
3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
32
3.3.2. Sejarah Konflik
34
3.3.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat
35
3.3.4. Upaya Penanganan Konflik
38
3.3.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil
39
3.4. Kasus HTI Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah
42
3.4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
42
3.4.2. Sejarah Konflik
43
3.4.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat
45
3.4.4. Upaya Penanganan Konflik
48
3.4.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil
48
3.5. Kasus Hutan Lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan
49
3.5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
49
3.5.2. Sejarah Konflik
49
3.5.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat
52
3.5.4. Upaya Penanganan Konflik
54
3.5.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil
54
3.6. Kasus Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur
54
3.6.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
55
3.6.2. Sejarah Konflik
56
3.6.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat
58
3.6.4. Upaya Penanganan Konflik
63
3.6.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil
63
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi
Eva Wollenberg
65
4.1. Kesimpulan
65
4.2. Rekomendasi
66
Daftar Pustaka Lampiran
68 70
Daftar Tabel Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3.
Frekuensi Konflik Berdasarkan Provinsi (1997-2003) Sebaran Konflik di HPH, HTI dan Kawasan Konservasi (1997-2003) Sebaran Konflik di HPH, HTI dan Kawasan Konservasi di Kalimantan Timur (1997-2003) Tabel 4. Peta Kekuatan Pihak-Pihak Terlibat Dalam Konflik PT. Kodeco Timber vs. Masyarakat Adat Dayak Meratus Tabel 5. Luas Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan di Wilayah DAS Muara Batang Gadis Tabel 6. Pokok-Pokok Konflik PT. Keang Nam dan Masyarakat Desa Tabuyung Tabel 7. Pokok-Pokok Konflik PT. RAPP vs. Masyarakat Kuntu Tabel 8. Luas Hutan Negara di Desa Temulus dan Bodeh Tabel 9. Kronologi Penjarahan Hutan di Temulus Tabel 10. Pokok-Pokok Konflik Hutan Pegunungan Meratus Tabel 11. Jumlah Penduduk di Dalam Kawasan TNK (2000-2001) Tabel 12. Pokok-Pokok Konflik di Taman Nasional Kutai
12 12 15 25 27 33 41 43 44 55 56 64
Daftar Kotak Kotak Kotak Kotak Kotak Kotak Kotak Kotak
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pengusaha HPH di Papua Makin Terdesak Warga Muara Enim Menuntut Tanahnya Dikembalikan Kalau Ada Order, Kami Siap Terobos... Di Balik Lebatnya Hutan Bali Klaim Tanah dan Kayu Hambat Pengamanan Hutan Perkembangan Konflik Lahan di Wilayah Taman Nasional Kutai Penjarah Taman Nasional Kutai Diancam Hukuman Denda 5 M; Keterlaluan, Mantan TNI Ikut Menjarah TNK Kotak 8. Pemukulan Terhadap Karyawan PT. Kodeco
10 10 10 11 11 14 18 21
v
vi
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Kotak 9. Kesepakatan Bersama antara LMMD-KH dengan PT. Kodeco Timber Kotak 10. Peristiwa-peristiwa Konflik antara PT. Keang Nam dan Masyarakat Tabuyung yang Dilaporkan Media Massa Kotak 11. Surat Undangan Penyelesaian Klaim Lahan Masyarakat Adat Rantau Kotak 12. Kongres Adat Tuntut Hormati Haknya; Desak Izin Eksploitasi Hutan, Dicabut Kotak 13. Kejadian Perusakan Fasilitas Taman Nasional Kutai
24 29 40 53 60
Daftar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
1. 2. 3. 4.
Gambar Gambar Gambar Gambar
5. 6. 7. 8.
Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Pengelompokan waktu penelitian Lokasi penelitian Frekuensi konflik periode 1997-2003 Persentase konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi (KK) tahun 1997-2003 Faktor penyebab konflik (1997-2003) Faktor penyebab konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi Frekuensi konflik sektor kehutanan di Kalimantan Timur (1997-2003) Persentase konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi (1997-2003) di Kalimantan Timur Faktor penyebab konflik di Kalimantan Timur Faktor penyebab konflik di HPH, HTI dan kawasan konservasi di Kalimantan Timur Pola frekuensi konflik per tahun Peta lokasi penelitian di kawasan PT. Kodeco Timber Gedung sekolah bantuan dari PT Kodeco Timber untuk masyarakat yang dibangun di Desa Pramasan 2x9 Peta lokasi penelitian di kawasan PT. Keang Nam Development Bekas base-camp PT. Keang Nam Dev. yang dibakar masyarakat Peta lokasi penelitian di kawasan HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper Gedung sekolah bantuan PT. RAPP untuk masyarakat Desa Kuntu Sapi bantuan PT. RAPP untuk program PPMR Peta lokasi penelitian di KPH Randublatung Sebab-akibat konflik di Perhutani Kawasan Perhutani pasca penjarahan Peta lokasi penelitian di kawasan rencana alih fungsi hutan lindung Pegunungan Meratus
5 7 8 9 9 9 13 13 13 14 15 19 23 26 28 34 39 39 42 44 45 49
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Gambar 23. Diagram perubahan fungsi kawasan Pegunungan Meratus Gambar 24. Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Kutai Gambar 25. Pemukiman penduduk di dalam kawasan Taman Nasional Kutai
Eva Wollenberg
51 56 58
Daftar Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Informasi yang Direkam dalam Database Konflik Contoh Database Pedoman Interview Daftar Responden Daftar Peserta Workshop Agenda Workshop Surat Pernyataan Pemblokiran Jalan oleh Masyarakat Desa Kuntu dan Teluk Paman
70 71 73 77 78 79 79
vii
Kata Pengantar
Penelitian tentang Analisis Konflik Kehutanan di Indonesia 1997-2003 dilakukan bersama oleh Center for International Forestry Research (CIFOR), Forest Watch Indonesia (FWI) dan Wageningen University Belanda dengan dukungan dana dari Ford Foundation Indonesia. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, mulai bulan April 2003, dan bertujuan untuk memberikan gambaran kondisi konflik sektor kehutanan sebelum dan sesudah masa Reformasi. Penelitian ini menggunakan media massa (lima media massa nasional dan satu media massa lokal) sebagai sumber data utama, dan enam studi kasus di lapangan. Media massa merupakan sumber data untuk melengkapi database yang sebelumnya telah dibuat oleh FWI, sedangkan studi kasus untuk melengkapi sekaligus merupakan uji silang (cross check) terhadap hasil temuan pada database. Dari temuan-temuan hasil penelitian ini kami mencoba menarik beberapa pelajaran dan memberikan masukan bagi penanganan konflik khususnya di sektor kehutanan di Indonesia. Dalam rangka penyempurnaan laporan penelitian, kami telah mengadakan lokakarya pada tanggal 17 November 2003 di CIFOR, Bogor. Peserta lokakarya terdiri dari para pakar yang sudah banyak berkecimpung dalam berbagai penelitian atau penanganan konflik-konflik kehutanan sesuai dengan latar belakang masing-masing. Lokakarya ini menghasilkan banyak sekali masukan untuk perbaikan draft laporan dan juga masukan bagi pengelolaan konflik di Indonesia. Tim peneliti yang terdiri dari Yuliana C. Wulan (CIFOR), Yurdi Yasmi (CIFOR dan Wageningen
University Belanda), Christian Purba (FWI) dan Eva Wollenberg (CIFOR), mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu kami. Khususnya Bapak Ujjwal Pradhan (Ford Foundation Indonesia), Ibu Moira Moeliono (CIFOR), Ibu Dina Hubudin (CIFOR), Ibu Rahayu Koesnadi (CIFOR), kawan-kawan di LPMA Kalimantan Selatan, Pengurus LMMD Kecamatan Hampang, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan beserta jajarannya, Kepala BKSDA Kalimantan Selatan beserta jajarannya, kawan-kawan di Yayasan Hakiki Riau, Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Direktur PPMR PT. RAPP beserta staf, Bapak Datuk Khalifah dan Datuk Bendaharo Kuntu, kawankawan di Yayasan Leuser Lestari, Direktur PT. Keang Nam Dev. Indonesia beserta staf, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Mandailing Natal, kawan-kawan di ARuPA, Administratur KPH Blora dan seluruh stafnya, DPRD Blora, Sdri. Anna dan kawan-kawan di NRM Kalimantan Timur, Sdr. Agus dan kawan-kawan di BIKAL Bontang, Bapak Ade Suharso dan seluruh staf BTNK Bontang, Sdri. Yuni di Friends of Kutai dan seluruh peserta lokakarya Analisis Konflik Kehutanan yang telah banyak memberikan masukan. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu yang telah memberikan masukan untuk penulisan laporan ini. Kami menyadari bahwa hasil penelitian ini belum sempurna. Oleh sebab itu kami menghargai masukan konstruktif yang dapat menyempurnakan laporan ini. Harapan kami, penelitian singkat ini dapat bermanfaat untuk semua pihak, khususnya bagi pembangunan dunia kehutanan di Indonesia. Hormat Kami, Tim Peneliti
Abstrak
We provide a profile of forest-related conflict in Indonesia 1997 to June 2003, based on a survey of national and provincial newspaper articles and six case studies in Sumatera, Kalimantan and Java. The report shows that conflict increased most rapidly in 2000 during the transition to decentralization, and has generally stayed at higher levels than during the New Order period. Reports of conflicts were highest in East Kalimantan, followed by Sumatera and Central Java. The causes of conflict were primarily differences in perceptions about boundaries, rights to use of forest, compensation payments and distribution of benefits from forests. Although media reports focus on the escalation of conflict after the reform period, the case studies demonstrated complex histories of latent conflict and conflict resolution through compensation payments that proved unsuccessful in reducing long-run conflict. The study recommends that (i) conflict management be considered an element of forest management, (ii) forest conflicts should be monitored to learn more about their incidence, causes and ways of managing them and (iii) alternative methods for managing conflict should be explored.
Kami menggambarkan profil konflik kehutanan di Indonesia mulai tahun 1997 sampai dengan Juni 2003 berdasarkan artikel-artikel koran nasional dan provinsi serta enam studi lapangan di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Penelitian ini menunjukkan bahwa konflik meningkat paling tajam pada tahun 2000 selama masa transisi ke masa desentralisasi dan pada umumnya tetap berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan frekuensi konflik selama masa Orde Baru. Konflik-konflik ini dilaporkan paling banyak terjadi di Kalimantan Timur, kemudian diikuti oleh Sumatera dan Jawa Tengah. Penyebab utama konflik adalah adanya perbedaan sudut pandang mengenai tata batas, hak pemanfaatan hutan, pembayaran kompensasi dan distribusi manfaat dari hutan. Walaupun laporan media lebih terfokus pada eskalasi konflik setelah masa reformasi, studi lapangan menunjukkan sejarah konflik yang kompleks, dari yang bersifat laten dan penyelesaian konflik melalui pembayaran kompensasi yang tidak memuaskan dan terbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan konflik dalam jangka panjang. Penelitian ini merekomendasikan agar (i) pengelolaan konflik dipertimbangkan sebagai elemen dalam pengelolaan hutan, (ii) pemantauan konflik kehutanan terus dilakukan agar kejadian, penyebab dan cara untuk mengelolanya dapat dipelajari lebih jauh, dan (iii) pilihan-pilihan metode untuk pengelolaan konflik harus digali.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Di belahan manapun di dunia, hutan telah menjadi arena pertentangan antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan sumber daya hutan. Sering kepentingan satu pihak berbenturan dengan kepentingan pihak lainnya (Wondolleck, 1998; Daniels dan Walker, 2001; Buckles, 1999; Wollenberg,dkk. 2001). Dalam banyak kasus, pertentangan kepentingan antara perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pertambangan, misalnya, sering menyebabkan masyarakat lokal terlantar, tersisih dan aksesnya terhadap hutan menjadi terbatas yang akhirnya berujung pada pertikaian (Wenban-Smith, 2001). Tidak jarang pula benturan kepentingan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain menimbulkan persengketaan, yang kadang-kadang sampai berlarut-larut dan tidak terselesaikan dalam jangka waktu yang lama. Antara masyarakat atau kelompok masyarakat juga terjadi benturan-benturan kepentingan karena masalah batas desa atau wilayah adat yang tidak jelas atau karena perebutan sumber daya tertentu (Anau, dkk., 2002).
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru dan berlakunya desentralisasi, konflik yang sebelumnya laten mulai bermunculan ke permukaan dan juga memunculkan berbagai konflik baru. Hal ini terutama disebabkan “eforia reformasi” yang membuka kesempatan untuk menyalurkan kehendak dan aspirasi masyarakat yang selama ini sengaja atau tidak, ditutupi oleh rezim Orde Baru. Eforia ini juga mendorong pihak yang lemah dan selalu dipinggirkan di masa lalu, untuk berani menuntut hak-hak mereka yang selama ini diserobot dan dilecehkan oleh pihak yang lebih kuat.
Berbeda dengan sektor lain, konflik di sektor kehutanan melibatkan berbagai pihak, mulai dari skala lokal sampai skala nasional, dan bahkan internasional. Selain itu, perbedaan status antara pihak yang “kuat” dan yang “lemah” sangat menonjol. Pihak yang lebih kuat biasanya akan dengan mudah mempertahankan posisinya karena mereka mempunyai kekuatan untuk melawan pihak yang lemah. Mereka mempunyai informasi yang lebih banyak dan kemampuan finansial yang lebih besar dibandingkan dengan pihak yang lemah. Perbedaan kekuatan antara kedua pihak ini menyebabkan rumitnya penyelesaian konflik di sektor kehutanan. Keunikan lainnya adalah konflik di sektor kehutanan sering tidak diketahui umum atau tidak muncul ke permukaan (laten) dan sangat sulit untuk diselesaikan karena terjadi di tempat yang terpencil. Di masa lalu, konflik semacam ini sering diselesaikan dengan tekanan dari pihak-pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah.
Pada tahun 2002, Forest Watch Indonesia (FWI) menerbitkan laporan “Potret Keadaan Hutan Indonesia” yang banyak mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan (FWI dan GFW, 2001). Sebagaimana dipaparkan dalam laporan tersebut, konflik pengelolaan sumber daya hutan telah berlangsung lama, sejalan dengan kebijakan HPH pada tahun 1970-an. Sejak itu, berbagai konflik antara perusahaan HPH dan masyarakat sering bermunculan. Penyebabnya antara lain karena masyarakat lokal merasakan ketidakadilan yang terkait dengan sistem pengelolaan hutan skala besar yang menyebabkan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan menjadi terbatas. Konflik semacam ini tidak hanya terjadi di areal HPH, tetapi juga sering ditemukan di kawasan HTI, perkebunan dan kawasan lindung seperti taman nasional.
Meningkatnya konflik di sektor kehutanan juga disebabkan oleh krisis ekonomi sejak awal pertengahan tahun 1997 dan memuncak di awal tahun 1998. Keterpurukan ekonomi menyebabkan masyarakat semakin terdorong untuk melakukan penjarahan dan atau perambahan hutan yang dianggap sebagai cara termudah untuk mendapatkan uang. Tidaklah mengherankan kalau akhir-akhir ini kita sering melihat dan mendengar dari media massa berbagai kasus kekerasan dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Dari beberapa kasus seperti yang digambarkan diatas, konflik kehutanan jelas merupakan suatu masalah dan
1
2
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
perlu segera ditangani. Di masa lalu, konflik sering dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka dan karena itu cenderung dilupakan (Suporahardjo, 2000). Hal ini mungkin karena latar belakang budaya kita yang cenderung mengedepankan hubungan harmonis dan kecenderungan untuk menghindari konflik. Barangkali inilah yang menjadi sebab mengapa pada masa Orde Baru belum banyak informasi yang dapat diperoleh mengenai konflik kehutanan. Seiring dengan perubahan jaman, pengelolaan konflik kehutanan perlu dijadikan wacana pembelajaran bagi semua pihak. Sudah saatnya pihak pemerintah memperhatikan pengelolaan konflik sebagai salah satu persyaratan dalam pengelolaan hutan. Hanya dengan keterbukaan seperti inilah penyelesaian konflik dapat diupayakan dengan mengembangkan aspek positif dari konflik, dan dalam waktu bersamaan mencoba untuk mengurangi dampak negatifnya.
1.2. Perumusan Masalah FWI dan GFW (2001) telah memetakan sebaran konflik kehutanan di Indonesia berdasarkan hasil survei terbatas tentang konflik sumber daya hutan1 . Beberapa penyebab umum konflik di sektor kehutanan berdasarkan laporan tersebut antara lain adalah: kegiatan HPH, aktivitas penebangan liar (illegal logging), penetapan kawasan lindung dan penetapan kawasan taman nasional, pembangunan HTI dan perkebunan kelapa sawit. Konflik ini terjadi karena perbedaan pandangan mengenai hak atas lahan, pelanggaran perjanjian oleh pihak-pihak yang terkait, maupun ketidakjelasan batas kawasan. Anau dkk.(2002) menggambarkan konflik yang terjadi di antara desa-desa di kawasan hutan di hulu Sungai Malinau, Kalimantan Timur, karena perbedaan penafsiran atas batas desa2 . Selanjutnya Suporahardjo dan Wodicka (2003) melaporkan konflik yang terjadi di dalam pengelolaan kawasan “repong damar” di Krui Lampung. Laporan Suprohardjo dan Wodicka tersebut mengungkapkan 1 2
3
bahwa penyebab konflik antara masyarakat dengan proyek pengembangan kelapa sawit adalah karena adanya tumpang tindih lahan. Di samping itu, konflik juga terjadi antara masyarakat dengan Departemen Kehutanan, dalam hal batas wilayah hutan produksi terbatas yang juga mencakup kebun damar masyarakat. Konflik juga bisa dipicu karena persoalan kompensasi (ganti rugi) yang tidak layak diterima masyarakat karena beroperasinya perusahaanperusahaan seperti HPH dan pertambangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan mereka (Rhee, 2000; Yasmi 2002, 2003). Faktor lainnya yang sering memicu konflik berkaitan dengan akses, hak dan tata guna lahan terutama yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional. Studi yang dilakukan Moeliono dan Fisher (2003), misalnya, melaporkan bahwa konflik di kawasan konservasi di daerah Riung, Nusa Tenggara Timur disebabkan karena penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung, sehingga membatasi akses masyarakat terhadap sumber daya hutan dan laut. Pemerintah Daerah di sana menerapkan berbagai cara untuk membatasi masyarakat masuk ke dalam kawasan lindung dengan menggunakan bantuan polisi dan militer. Lebih jauh konflik kehutanan telah membawa malapetaka bagi pihak yang terlibat atau pihak lain yang tidak terlibat langsung. Individu-individu tertentu mendapat ancaman dan sumber daya alam menjadi rusak (Yasmi, 2003). Lebih menyedihkan lagi, konflik juga bisa menelan korban fisik bahkan kematian 3 . Pengelolaan konflik bertujuan untuk mengantisipasi konflik dan menghindari atau menguranginya serta meningkatkan keterbukaan dalam menyikapi perbedaan penilaian.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan sumber dan akibat berbagai konflik tersebut CIFOR dan FWI bekerja sama untuk melakukan penelitian tentang konflik di sektor kehutanan di Indonesia. Penelitian ini tidak terbatas
Lihat peta No. 13 dalam laporan FWI dan GFW. Penelitian yang dilakukan oleh Anua dkk. meliputi 27 desa di sepanjang Sungai Malinau yang terletak di dalam kawasan wanariset CIFOR, Bulungan Research Forest (BRF). Karena batas desa tidak begitu penting di masa lalu dan dengan meningkatnya persaingan akses terhadap sumber daya hutan dewasa ini, maka konflik batas desa belakangan hari semakin mencuat. Wenban-Smith (2001) mengupas berbagai macam konflik di seputar kehutanan dan berbagai konsekuensinya.
Yuliana Cahya Wulan
pada identifikasi konflik yang pernah terjadi saja, akan tetapi lebih jauh untuk melihat faktor-faktor penyebabnya, pihak yang terlibat, sejarahnya, proses penyelesaian dan hasilnya di berbagai arena konflik kehutanan. Secara khusus, penelitian ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu: 1. Menyajikan profil konflik kehutanan, khususnya yang terjadi di areal HPH, HTI, dan kawasan lindung untuk melihat sebarannya secara geografis (per provinsi). 2. Membandingkan konflik yang terjadi sebelum dan sesudah masa Reformasi dan mencoba untuk menarik beberapa pelajaran dari kejadian tersebut.
1.4. Batasan konsep Seperti yang telah disampaikan pada bagian pertama, konflik bisa melibatkan perusahaan dan masyarakat, antara anggota - masyarakat, antara perusahaan satu dengan perusahaan yang lain dan juga antara masyarakat dengan pemerintah. Dalam penelitian ini, konflik-konflik yang terjadi di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi merupakan tiga contoh tempat terjadinya konflik, dengan isu dan pemainnya yang beragam. Di ketiga kawasan tersebut ditelusuri dan dianalisis konflik apa saja yang terjadi, siapa yang terlibat, kapan terjadinya, apa faktor penyebabnya, bagaimana tingkat eskalasi dan penyelesaian yang pernah diupayakan. Beberapa konsep yang dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.4.1. Konflik Konflik merupakan suatu perbedaan cara pandang. Bentuknya bisa berupa keluhan saja sampai pada tingkat kekerasan dan perang. Walker dan Daniels mengupas dengan seksama berbagai definisi konflik yang memperlihatkan bahwa konflik ternyata merupakan suatu wacana yang dikonstruksikan secara sosial dan bisa dipandang dari berbagai sudut (Walker dan Daniels, 1997). Dalam penelitian ini konflik didefinisikan sebagai suatu “perwujudan perbedaan cara pandang” antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama. Sorotan dan titik berat dalam penelitian ini adalah konflikkonflik kehutanan yang telah muncul ke arena publik, seperti aksi demonstrasi, gugatan, dan berbagai protes
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
kepada pemerintah. Dengan demikian , wujud konflik yang berupa wacana argumentasi dan perbedaan pendapat, tidak dikategorikan sebagai suatu konflik. Sebagai contoh, peristiwa konflik yang sama bisa berupa perselisihan antara masyarakat A dengan HPH A di mana terjadi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan baik oleh pihak HPH A terhadap masyarakat A, maupun sebaliknya. Namun apabila kemudian peristiwa ini memicu konflik antara HPH A dengan masyarakat B, maka hal ini dianggap sebagai peristiwa konflik yang berbeda. Peristiwa konflik tersebut dihitung sebagai dua peristiwa konflik (konflik antara HPH A dengan masyarakat A dan konflik antara HPH A dengan masyarakat B).
1.4.2. Frekuensi konflik Menghitung frekuensi konflik sangat dilematis karena ada kemungkinan konflik dengan isu yang sama muncul ke permukaan beberapa kali dan dimuat oleh beberapa media massa yang berbeda. Oleh karena itu peristiwa konflik yang dilaporkan oleh dua atau lebih media massa di tempat dan waktu yang relatif bersamaan dihitung sebagai satu peristiwa konflik. Hal ini dilakukan untuk menghindari penghitungan ganda dari satu peristiwa konflik yang sama. Namun untuk konflik yang sama, tetapi terjadi dalam waktu yang berbeda (misalnya tahun 1998 dan terjadi kembali tahun 1999), maka konflik tersebut dihitung dua kali peristiwa konflik. 1.4.3. Penyebab konflik Penyebab konflik dalam penelitian ini dibagi menjadi lima kategori berdasarkan berita yang dilaporkan di media massa dan informasi di lapangan. Penentuan kategori didasarkan pada perbedaan jenis kegiatan yang memicu terjadinya konflik, yang diamati dari artikel koran, yaitu sebagai berikut: • Perambahan hutan, yakni kegiatan pembukaan lahan pada kawasan hutan yang bermasalah karena adanya perbedaan penafsiran mengenai kewenangan dalam pengelolaannya; • Pencurian kayu, adalah penebangan kayu secara ilegal yang dilakukan oleh masyarakat/perusahaan di lokasi yang bukan miliknya, sehingga menimbulkan konflik dengan pihak lain yang merasa dirugikan; • Batas, adalah perbedaan penafsiran mengenai batas-batas pengelolaan/ kepemilikan lahan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik;
3
4
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
• Perusakan lingkungan, adalah kegiatan eksploitasi yang menyebabkan terjadinya degradasi manfaat suatu SDA dan kerusakan mutu lingkungan di suatu daerah; • Alih fungsi, yaitu perubahan status kawasan hutan (misalnya dari hutan lindung menjadi hutan produksi) yang menimbulkan berbagai permasalahan antara pihak-pihak yang berkepentingan.
1.4.4 Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat Pihak-pihak yang terlibat adalah pihak yang mempunyai kepentingan dan/atau terkait dengan konflik baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pihak yang terlibat langsung adalah mereka yang bersengketa karena masalah tata batas, akses dan sebagainya. Sedangkan pihak yang tidak terlibat langsung misalnya LSM yang mempunyai kepedulian terhadap konflik, atau organisasi lain seperti Dinas Kehutanan, perguruan tinggi, maupun lembaga penelitian. Pihak-pihak ini teridentifikasi dari informasi yang kami kumpulkan dari lembaga-lembaga yang terlibat dalam upaya penyelesaian konflik. Dalam penelitian ini, terutama untuk studi kasus, persepsi para pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam suatu konflik tertentu dicoba untuk digali dan dianalisis.
1.4.5. Penyelesaian konflik Penyelesaian konflik merupakan suatu upaya atau inisiatif yang dilakukan untuk mengatasi dan mencari jalan keluar dari suatu peristiwa konflik. Inisiatif ini bisa datang dari para pihak yang terlibat dalam konflik atau dari pihak ketiga yang tidak terlibat dalam konflik. Bentuk upaya yang ditempuh bisa bermacam-macam, mulai dari yang sangat sederhana sampai ke tingkat pengadilan dengan menempuh jalur hukum (Fisher, dkk., 2001). Proses negosiasi secara spontan antara dua pihak yang terlibat dalam konflik dianggap sebagai suatu proses penyelesaian yang sederhana dan mempunyai potensi keberhasilan yang cukup tinggi, karena adanya kemauan kedua belah pihak untuk bernegosiasi. Namun proses spontan kadang tidak berhasil dan penyelesaian konflik harus difasilitasi oleh pihak ketiga. Tidak jarang pula proses penyelesaian konflik harus melalui jalur hukum sebagai alternatif terakhir apabila semua cara lain 4 5
sudah buntu. Namun demikian, di Indonesia jalur hukum belum sepenuhnya dapat dipercayai oleh semua pihak yang terlibat, sehingga cara penyelesaian konflik seperti ini jarang digunakan. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi perkembangan pesat berupa inisiatif yang mendorong penyelesaian konflik diluar jalur hukum, yang dikenal sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR). Konflikkonflik di sektor kehutanan juga telah banyak yang diupayakan dengan skema ADR ini (Suporahardjo, 2002; Buckles, 1999). Dalam penelitian ini, khususnya untuk studi kasus, semua inisiatif dalam upaya penyelesaian konflik dianalisis. Namun berdasarkan hasil observasi, upaya penyelesaian ini jarang sekali diungkap secara rinci di dalam artikel koran. Oleh sebab itu, informasi semacam ini lebih banyak diperoleh melalui studi kasus (lihat laporan studi kasus di Bab III).
1.5. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tingkat yang berbeda. Pertama, di level nasional untuk melihat profil konflik yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sumatera sampai ke Papua. Kedua, dilakukan di tingkat provinsi untuk membandingkan antara konflik yang terjadi di daerah dengan konflik kehutanan skala nasional. Kalimantan Timur dipilih sebagai lokasi penelitian untuk tingkat provinsi karena kegiatan kehutanan di sini dianggap cukup dominan, dan akses terhadap informasi lebih mudah. Sumber informasi untuk kedua tingkat studi ini diambil dari media massa. Untuk tingkat nasional, enam media massa4 dipilih untuk mengobservasi artikel koran yang memuat konflik kehutanan. Periode penerbitan yang diobservasi adalah dari bulan Januari 1997 sampai dengan bulan Juni 2003. Hal yang sama dilakukan terhadap media massa lokal 5 untuk mengetahui konflik kehutanan yang terjadi di tingkat provinsi. Di samping itu, untuk melakukan verifikasi dan memperkaya data sekunder dari media massa, telah dilakukan studi kasus di enam lokasi yang berbeda. Data dan informasi dari studi lapangan merupakan
Kompas, Tempo, Business Indonesia, Media Indonesia, Antara, dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Kaltim Post.
Yuliana Cahya Wulan
data empiris yang dikumpulkan selama kunjungan ke lokasi kejadian konflik.
1.5.1. Unit Penelitian Penelitian ini menggunakan dua unit penelitian. Pertama adalah “peristiwa konflik”, yaitu kejadian suatu konflik yang telah muncul ke permukaan, dan dimuat dalam artikel koran. Sebagaimana diketahui konflik di sektor kehutanan bervariasi mulai dari konflik dengan intensitas yang rendah, seperti keluhankeluhan, sampai kepada konflik dengan tekanan yang tinggi seperti aksi-aksi destruktif. Unit kedua adalah studi kasus di lapangan, yaitu perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan, yaitu HPH dan HTI, serta unit pengelolaan kawasan lindung (seperti taman nasional). 1.5.2. Data dari Media Massa Media massa merupakan salah satu dari dua sumber data utama dalam penelitian ini. Media massa dipilih sebagai sumber data karena bisa diperoleh dengan mudah dan cepat; bahkan beberapa di antaranya bisa diakses melalui internet. Selain itu, banyak kliping yang telah dibuat oleh berbagai lembaga penelitian seperti CIFOR, GTZ-Kaltim, dan NRM-Kaltim yang bisa dimanfaatkan. Keuntungan lainnya adalah bahwa informasi yang didapatkan dari media massa dapat dengan mudah diarsip. Namun demikian, kami juga menyadari bahwa media massa tidak bebas dari bias (value free) dan memiliki pertimbangan tersendiri dalam memunculkan berita. Pada masa Orde Baru media massa tidak dapat dengan mudah memuat berita-berita sensitif. Media massa dikekang dan dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan pada waktu itu. Di masa Reformasi terjadi perubahan yang menggembirakan.
ORBA 1997
Yurdi Yasmi
Eva Wollenberg
Walaupun demikian, disadari bahwa media massa hanya melaporkan sebagian saja dari informasi lengkap di lapangan, dan media massa mana pun tidak terlepas dari kepentingan golongan tertentu. Penelusuran informasi dari media massa dilakukan melalui majalah dan surat kabar yang terbit antara bulan Januari 1997 sampai dengan Juni 2003, dengan urutan pembagian waktu sebagaimana terlihat dalam Gambar 16 . Periode 1997 – 1998 dianggap sebagai periode ketika kekuasaan Orde Baru masih ada tetapi sudah mulai menunjukkan tanda-tanda melemah. Periode ini dianggap penting karena terjadi berbagai perubahan kebijakan politik. Dalam periode yang sama, krisis ekonomi yang parah mulai melanda Indonesia dan memuncak pada periode ini, sehingga diasumsikan berdampak penting bagi sektor kehutanan. Periode 1999, dianggap sebagai masa Transisi dari pemerintahan Orde Baru ke masa Desentralisasi, dan sektor kehutanan diasumsikan mengalami transisi pula. Walaupun pada tahun 1999 telah dikeluarkan Undang-undang No. 22 dan No. 25 yang mengatur tentang otonomi daerah, pelaksanaannya baru mulai berdampak pada tahun 2000, dan baru efektif pada awal tahun 2001. Periode 2000 – 2003 merupakan periode Desentralisasi di mana pengurusan sumber daya hutan semakin banyak diberikan kepada pemerintah daerah. Pembagian waktu ini dipilih untuk membandingkan perubahan konflik kehutanan yang terjadi pada masa Orde Baru dan masa Desentralisasi.
TRANSISI 1998
Christian Purba
DESENTRALISASI 2000
2003
Gambar 1. Pengelompokan waktu penelitian
6
Perlu disampaikan disini bahwa pembagian waktu analisis seperti yang diuraikan di atas semata-mata untuk mengaitkannya dengan perubahan politik yang terjadi.
5
6
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
1.5.3. Data dari Studi Kasus Untuk studi kasus, dipilih kasus-kasus konflik kehutanan yang terjadi di perusahaan-perusahaan HPH, HTI atau kawasan lindung. Kasus-kasus ini dipilih sebagai unit penelitian untuk memberikan gambaran profil keanekaragaman konflik di berbagai aktivitas kehutanan secara lebih mendalam (termasuk sejarah konflik). Studi kasus dilakukan dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2003. Pengumpulan data untuk satu lokasi studi kasus dilakukan selama sepuluh hari. Data dan informasi lapangan dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara semi terstruktur (semi-structured interview) yang dilakukan terhadap tujuh sampai dengan 21 orang responden kunci (lihat Lampiran 3 untuk pedoman wawancara dan Lampiran 4 untuk daftar responden kunci). Keuntungan menggunakan metode ini adalah kebebasan untuk mengembangkan diskusi sesuai dengan kondisi yang ada untuk menggali informasi secara lebih mendalam. Informasi yang dikumpulkan termasuk sejarah konflik, pihak-pihak yang terlibat, eskalasi konflik dan langkah penyelesaian yang pernah ditempuh serta hasilnya. Sejauh mungkin, wawancara dengan responden kunci dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan sehingga informasi yang didapatkan diharapkan akan lebih seimbang. Pihak-pihak yang dilibatkan meliputi, antara lain, wakil perusahaan HPH atau HTI, masyarakat setempat, Pemerintah Daerah, pengelola taman nasional, LSM dan perguruan tinggi. Namun tidak semua responden kunci bersedia untuk diwawancarai. Hasil wawancara dicatat untuk selanjutnya dianalisis. Enam lokasi studi kasus yang dipilih untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. HPH Kodeco, Kalimantan Selatan 2. HPH Keang Nam, Sumatera Utara
7 8
3. 4. 5. 6.
Perhutani Blora, Jawa Tengah HTI PT Riau Andalan Pulp and Paper, Riau Kawasan Lindung Meratus, Kalimantan Selatan Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur
Untuk melengkapi hasil wawancara, dilakukan studi pustaka untuk setiap studi kasus. Pustaka didapatkan dari buku-buku yang berhubungan dengan lokasi studi, laporan-laporan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi terkait, laporan dari HPH atau HTI, serta laporan dari LSM. Beberapa keputusan hukum seperti Keputusan Menteri, Keputusan Bupati, dan keputusan-keputusan lainnya yang terkait juga dikumpulkan dari berbagai instansi untuk melihat aspek legal dari kasus yang sedang diteliti.
1.5.4. Lokakarya Multipihak Hasil kegiatan yang telah dilakukan dituangkan dalam draft laporan dan disajikan dalam sebuah lokakarya untuk mendapatkan tanggapan dan masukan. Para peserta lokakarya 7 adalah mereka yang telah berpengalaman dalam hal penelitian/kegiatan penanganan konflik dari latar belakang yang berbedabeda, seperti universitas, APHI, lembaga penelitian dan LSM. Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 2003 di CIFOR, Bogor. Agenda utama lokakarya8 adalah membahas draft laporan agar menjadi laporan yang baik dan diharapkan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan terutama untuk pembangunan sektor kehutanan. Selain itu, pendapat para peserta lokakarya juga membahas berbagai rekomendasi untuk pengelolaan konflik di Indonesia. Bagi para peserta, lokakarya ini merupakan sarana untuk saling berinteraksi dan membuka jaringan antara lembaga-lembaga yang nantinya diharapkan bisa menjadi mediator dalam penyelesaian konflik kehutanan. Lokakarya ini juga bermanfaat sebagai sarana pembelajaran bagi seluruh peserta dalam menyelesaikan konflik-konflik kehutanan yang dihadapinya (studi banding).
Daftar peserta acara Lokakarya Konflik Kehutanan di Indonesia, 17 November 2003 dapat dilihat pada Lampiran 5. Agenda Lokakarya Konflik Kehutanan di Indonesia, 17 November 2003 dapat dilihat pada Lampiran 6.
forest watch indonesia-outreach-2003
Christian Purba
Gambar 2. Lokasi Penelitian
1. Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara 2. Kabupaten Kampar, Propinsi Riau 3. Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah 4. Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan 5. Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
Yurdi Yasmi
Keterangan:
Lokasi Studi Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia
Yuliana Cahya Wulan Eva Wollenberg
7
2
Konflik Sektor Kehutanan antara Tahun 1997 – 2003 2.1. Potret Konflik Secara Nasional (1997 – 2003) Diketahui pula bahwa frekuensi konflik meningkat drastis pada awal pelaksanaan desentralisasi (tahun 2000). Di masa Orde Baru dan masa Transisi, konflik di areal HTI lebih sering terjadi dibandingkan dengan konflik di HPH dan kawasan konservasi. Sedangkan di masa Desentralisasi, konflik di kawasan konservasi dan areal HTI lebih banyak dibandingkan dengan konflik di areal HPH.
Berdasarkan hasil observasi terhadap artikel media massa nasional, 359 peristiwa konflik di sektor kehutanan telah terjadi dari Januari 1997 sampai dengan Juni 2003. Gambar 3 menampilkan frekuensi konflik yang terjadi setiap tahunnya9 . Dari tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 konflik di sektor kehutanan cenderung meningkat cukup tajam. Jumlah konflik meningkat hampir empat kali lipat pada tahun 1999 dibandingkan dengan tahun 1997. Pada tahun 2000 jumlah konflik melonjak drastis sampai 153 kejadian. Angka ini mengalami penurunan kembali pada tahun 2001 dan 2002. Namun berdasarkan data sampai dengan bulan Juni 2003, jumlah konflik cenderung meningkat kembali.
Berdasarkan hasil analisis artikel di media massa, sekurang-kurangnya terdapat lima penyebab utama konflik yang terjadi di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi, yaitu perambahan hutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan, tata batas kawasan atau akses dan alih fungsi kawasan10 , seperti yang ditampilkan dalam Gambar 5. Faktor penyebab konflik yang paling sering terjadi di berbagai kawasan (36%) adalah ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakat di sekitarnya.
Temuan lain yang juga tidak kalah menariknya adalah bahwa dari 359 kasus konflik yang berhasil dicatat, 39% diantaranya terjadi di areal HTI, 34% di kawasan konservasi (termasuk hutan lindung dan taman nasional), dan 27% di areal HPH (lihat Gambar 4).
Sementara itu, faktor yang paling sering menyebabkan terjadinya konflik di setiap kawasan berbeda-beda. Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam Gambar 6.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di areal HTI dan kawasan konservasi mempunyai porsi yang signifikan, dibandingkan dengan yang terjadi di areal HPH. Frekuensi konflik tertinggi (hampir 40%) terjadi di areal HTI.
Di areal HPH, konflik sering terjadi karena adanya tumpang tindih areal HPH dengan lahan yang 153
52 14
1997
45
29
1998
1999
2000
2001
31
35
2002
Juni 2003
Gambar 3. Frekuensi konflik periode 1997-2003 9
10
Perlu diingat bahwa untuk tahun 2003 hanya dicatat sampai dengan bulan Juni saja. Dengan demikian frekuensi tahun 2003 tidak mencerminkan frekuensi konflik keseluruhan tahun 2003. Lihat 1.4.3. Penyebab konflik halaman 3.
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
HPH 27%
KK 34%
Alih fungsi 3%
Tata batas/ pembatasan akses 36%
Perambahan hutan 26%
Kerusakan lingkungan/hutan 12%
HTI 39%
Pencurian kayu 23%
Gambar 5. Faktor penyebab konflik (1997-2003)
Gambar 4. Persentase konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi (KK) tahun 1997-2003 80 70 60 50 40 30 20 10 0
HPH Perambahan hutan Kerusakan lingkungan Alih fungsi
HTI
KK
Pencurian kayu Tata batas/pembatasan akses
Gambar 6. Faktor penyebab konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi
dikelola oleh masyarakat, seperti ladang atau tanah adat, karena ketidakjelasan tata batas. Pada dasarnya, secara legal pemegang HPH mengklaim berhak atas areal tersebut karena telah memperoleh izin konsesi dari pemerintah, sementara masyarakat secara tradisional telah lama mengolah lahan di areal tersebut. Akibatnya, akses masyarakat terhadap sumber daya hutan menjadi terbatas, seperti contoh kasus yang ditunjukkan pada Kotak 1. Lain halnya yang terjadi di areal HTI. Penyebab utama konflik adalah tata batas kawasan dan pencurian kayu. Perbedaan penafsiran tata batas antara areal HTI dan lahan masyarakat merupakan penyebab yang sering memicu konflik. Hal ini banyak terjadi baik di hutan tanaman di Jawa (Perhutani) maupun di areal HTI di luar Jawa. Kotak 2 memperlihatkan contoh kasus karena tumpang tindih batas areal HTI dengan lahan yang dikelola oleh masyarakat. Di samping itu, maraknya pencurian kayu di areal HTI yang dilakukan oleh masyarakat maupun oknum yang melibatkan militer telah menimbulkan
pertikaian-pertikaian antara anggota masyarakat dan antara pengelola HTI dengan para pencuri kayu. Perhutani merupakan perusahaan HTI di Jawa yang akhir-akhir ini banyak sekali terlibat dalam konflik dengan para pencuri kayu, seperti yang ditunjukkan dalam Kotak 3. Sementara itu, faktor utama penyebab konflik di kawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional adalah perambahan hutan dan pencurian kayu. Hal ini terjadi karena penetapan suatu kawasan konservasi biasanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Akibatnya timbul berbagai kesalahpahaman dari masyarakat dan pihak-pihak terkait itu. Dalam beberapa kasus, penetapan hutan lindung atau taman nasional sering memaksa masyarakat untuk pindah ke tempat lain. Perambahan menjadi isu utama karena masyarakat masih menganggap bahwa lahan yang mereka buka untuk ladang adalah hak mereka walaupun telah ditetapkan menjadi kawasan lindung. Contoh kasus perambahan hutan lindung dapat dilihat pada Kotak 4 dan kotak 5.
9
10
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Kotak 1. Pengusaha HPH di Papua Makin Terdesak Nasib 21 perusahaan pemegang 53 Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Papua sangat memprihatinkan. Mereka telah membayar ratusan miliar rupiah kepada pemerintah, tetapi kini dihadapkan pada sejumlah tuntutan masyarakat mengenai hak ulayat. Dari 53 HPH, hanya 35 yang masih aktif, namun dalam waktu dekat juga terancam mundur. Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Papua, Bosco Fernandez di Jayapura, Sabtu (29/01) mengatakan, APHI sangat menyesalkan tindakan pemerintah terhadap pemegang HPH yang dianggap sebagai sapi perahan, sementara nasib pengusahanya tidak diperhatikan. Menurut Fernandez, setelah reformasi dan tuntutan kemerdekaan Papua digulirkan, masyarakat juga menuntut hak ulayat. Pekan lalu masyarakat sekitar hutan di Jayapura menuntut PT. You Lim Sari Rp. 450 milyar sebagai ganti rugi hak ulayat.
Sumber: Kutipan Kompas, 1 Februari 2000.
Kotak 2. Warga Muara Enim Menuntut Tanahnya Dikembalikan Sejumlah warga Rambang Lubai, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan,menuntut PT. Musi Hutan Persada (MHP) mengembalikan tanah seluas 12.050 hektare yang pernah mereka kuasai. Selain itu, mereka juga menuntut PT. MHP sebesar Rp. 2,5 miliar sebagai ganti rugi atas kebun karet, karet campuran, dan tegalan atau ladang yang telah ditumbuhi tanaman tetapi dimusnahkan oleh pihak MHP. Bahkan akibat dari penguasaan tanah tersebut, warga juga menuntut ganti rugi sebesar Rp. 25 juta untuk setiap hektar dan Rp.301,25 juta sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan berusaha di atas lahan tersebut. Tuntutan yang dibacakan oleh seorang wakil warga Rambang Lubai, Junial Komar, merupakan perjuangan panjang yang telah dilakukan selama sembilan tahun. Sejak tahun 1991, mereka telah melakukan 16 kali demonstrasi. Bahkan katanya, demonstrasi yang pernah dilakukan warga Rambang Lubai ini adalah demonstrasi yang terbesar di Sumatera Selatan. Demonstrasi yang belakangan ini, dilakukan di kantor Gubernur Sumsel selama sembilan hari, terhitung sejak 16 Februari 2000 lalu dan di Dephutbun.
Sumber: Kutipan Kompas, 4 Maret 2000.
Kotak 3. Kalau Ada Order, Kami Siap Terobos... Meski aparat keamanan sudah diterjunkan ke lapangan dan perintah tembak di tempat belum dicabut, aksi penjarahan dan pencurian kayu hutan, khususnya kayu jati (Tectona grandis) di wilayah Perhutani Unit I Jawa Tengah hingga kini masih berlangsung. Dari 20 kesatuan pemangkuan hutan (KPH) yang ada di Perhutani Unit I Jateng, yang dikategorikan paling parah terkena jarah adalah KPH Pati, Mantingan, Kebonharjo, Blora, Cepu, dan Rembang. Semua KPH itu sebagian besar berada di wilayah Karesidenan Pati yang terdiri dari Kabupaten Pati, Kudus, Jepara, Rembang, Blora, ditambah sebagian kecil Kabupaten Bojonegoro dan Ngawi (Jatim). Dalam menjalankan aksinya, sebagian besar di antara mereka sudah dibekali peralatan mesin penebang, truk pengangkut (termasuk truk jenis tronton), peralatan komunikasi termasuk telepon genggam dari oknum yang terlibat dalam bisnis jual beli kayu jati. Di luar ”sektor” hutan jati yang dijarah, upah yang mereka terima paling tinggi Rp 20.000 per hari. Itu pun harus bekerja keras sepanjang hari. Meski tindakan menjarah itu disadari melanggar hukum, hal itu tetap mereka lakukan. ”Banyak teman yang terlibat, namun kami tetap tenang-tenang saja,” tutur pemuda itu. Penampilan dan gaya kelompok pemuda seperti di Dukuhseti, juga dapat dijumpai di kawasan hutan wilayah KPH Pati, Rembang, Mantingan, Cepu dan Blora. Hutan produksi Perhutani Unit I Jateng, tercatat seluas 604.519,47 hektare, yang berupa kayu jati, pinus, agatis, sonokeling, mahoni, mangrove, dan kayu putih. Khusus areal kayu jati mencapai luas 312.216,47 hektar, yang sebagian besar berada di wilayah Karesidenan Pati dan mutunya amat baik. Bahkan beberapa ratus pohon di antaranya termasuk langka dan sekarang masih tumbuh dengan subur di hutan lindung KPH Cepu maupun Randublatung.
Sumber: Kutipan Kompas, 12 Juni 2000.
Yuliana Cahya Wulan
Berdasarkan frekuensi sebaran konflik secara nasional, 30% dari kasus konflik yang dilaporkan terjadi di Provinsi Kalimantan Timur (lihat Tabel 1). Konflik juga sering terjadi di Jawa Tengah (kasus hutan jati di Perhutani) dan Sumatera Utara (kasus HPH). Selanjutnya, Tabel 2 menggambarkan frekuensi konflik yang terjadi di sepuluh areal HPH, HTI dan kawasan konservasi yang sering dimuat dalam media massa nasional. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah adalah perusahaan kehutanan yang paling sering dilaporkan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
terlibat dalam konflik dengan masyarakat. Di kawasan ini, konflik yang paling banyak terjadi adalah pencurian kayu. Namun demikian, urutan frekuensi yang menempatkan Perhutani Unit I sebagai kawasan yang paling sering mengalami konflik masih dipertanyakan. Ada banyak hal yang dapat diperdebatkan dalam urutan peringkat frekuensi konflik ini. Utamanya karena sumber data yang diperoleh berasal dari media massa yang relatif lebih mudah memperoleh akses karena Perum Perhutani berada di Jawa. Terlepas dari hal ini, urutan peringkat frekuensi konflik bermanfaat untuk memberikan gambaran betapa pentingnya memperhatikan konflik sektor kehutanan dengan lebih serius.
Kotak 4. Di Balik Lebatnya Hutan Bali Menikmati perjalanan dari Gilimanuk menuju Denpasar, mata kita disuguhi rimbun dan lebatnya pepohonan yang berada di sepanjang pinggiran jalan raya Gilimanuk itu. Namun, siapa mengira bahwa lebat dan rimbunnya pepohonan itu adalah “tirai” yang menutupi sebagian lahan hutan yang mulai gundul. Lapangnya lahan yang seharusnya menjadi kawasan hutan akan semakin jelas terlihat saat kita melewati jalur Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dari Gilimanuk menuju Buleleng, melalui jalur Cekik-Seririt. Kondisi serupa juga terlihat di tempat lain yang memiliki kawasan hutan, seperti Kabupaten Bangli, Kabupaten Badung dan beberapa kabupaten lainnya. Hal itu diakui Kepala Sub Dinas Pembinaan dan Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Bali Nyoman Silanawa. Bahkan, diperkirakan sekitar 31.817, 75 hektare atau 25% dari luas keseluruhan hutan daratan di Bali, telah mengalami konversi lahan. Perubahan fungsi tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain perambahan kawasan hutan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dekat hutan dan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan dan penebangan liar. Kunjungan kerja komisi B DPRD Bali pada awal April lalu, menemukan beberapa jenis gangguan terhadap fungsi hutan lindung, terutama di Kabupaten Jembrana, antara lain pengolahan hutan lindung menjadi lahan produksi dan pencurian kayu. Diperkirakan, dari sekitar 31.000 hektare luas hutan lindung di kabupaten Jembrana, sekitar 3.100 hektare atau 10 persennya rusak akibat dirambah penduduk. Menurut Kepala Dishut Kabupaten Jembrana, kerusakan hutan tersebut karena masyarakat di sekitar hutan lindung mengolah lahan hutan dengan menanam tanaman produksi, antara lain kopi, cokelat dan pisang, Namun, ia menolak pendapat bahwa hutan lindung di wilayahnya sudah berubah fungsi.
Sumber: Kutipan Kompas, Rabu, 29 Mei 2002.
Kotak 5. Klaim Tanah dan Kayu Hambat Pengamanan Hutan Klaim atas tanah dan kayu sering menjadi penghambat upaya penanganan keamanan hutan di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Akibatnya, terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap isi hutan yang mengarah ke terjadinya degradasi hutan. Hal itu dikatakan Kepala Dinas Kehutanan Lombok Barat Suhajatman Sutamin kepada pers di obyek wisata Suranadi, Lombok Barat, sekitar 13 km timur Mataram, Sabtu (20/4). Dia ditanya soal pengamanan hutan, keberadaan perusahaan penggergajian kayu dan pemilikan gergaji mesin (chain saw), termasuk usulan masyarakat mensertifikatkan tanah yang tercatat sebagai areal hutan di Lombok Barat. Juga terdapat klaim atas kawasan hutan yang diusulkan menjadi milik publik, seperti kuburan dan sarana ibadah. Padahal, lokasi fasilitas itu puluhan tahun lalu hingga sekarang tercatat sebagai kawasan hutan, seperti di kawasan Hutan Lindung Sesaot (5.000 ha lebih). ”Ada 147 lokasi yang diusulkan sertifikatnya,” kata Suhajatman.
Sumber: Kompas, 22 April 2002
11
12
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Tabel 1. Frekuensi sebaran konflik berdasarkan provinsi (1997-2003) No. Provinsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Frekuensi
Persentase
109 47 36 25 19 16 14 12 10 10 61
30 13 10 7 5 4 4 3 3 3 17
359
100
Kalimantan Timur Jawa Tengah Sumatera Utara Jawa Barat Riau Jambi Jawa Timur Sumatera Selatan Nangroe Aceh Darussalam Kalimantan Tengah Provinsi lainnya Total
Tabel 2. Sebaran konflik di HPH, HTI dan kawasan konservasi (1997-2003) No. Nama HPH/HTI/ kawasan lindung 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Perum Perhutani Unit I Perum Perhutani Unit III PT Inti Indorayon Utama PT Oceannias Timber Products PT Surya Hutani Jaya Perum Perhutani Unit II Taman Nasional Kutai Taman Nasional Kerinci Seblat PT Tanjung Redep Hutani Taman Nasional Gunung Leuser
Dari Tabel 2 juga dapat dipelajari bahwa konflik kehutanan di areal HTI dan kawasan taman nasional lebih banyak mendapat perhatian media massa nasional kita. Dari sepuluh kawasan yang terbanyak menjadi arena konflik, hanya satu HPH saja yang termasuk ke dalamnya.
2.2. Potret konflik di Kalimantan Timur (1997-2003) Di Provinsi Kalimantan Timur tercatat 97 kasus konflik yang dilaporkan oleh Kaltim Post selama periode penelitian. Sebaran frekuensi konflik per tahun di Kalimantan Timur dapat dilihat pada Gambar 7. Dari gambar tersebut terlihat kecenderungan 11
Jumlah frekuensi
Kategori kawasan
41 20 15 13 12 12 9 8 7 7
HTI HTI HTI HPH HTI HTI Kawasan konservasi Kawasan konservasi HTI Kawasan konservasi
peningkatan frekuensi konflik dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2000. Pada tahun 2001, frekuensi konflik menurun sebesar 40% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun demikian pada tahun 2002 meningkat lagi dan bahkan lebih tinggi 20% dibandingkan dengan tahun 2000. Selanjutnya, frekuensi konflik cenderung meningkat kembali di tahun berikutnya11 . Apabila dicermati dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pola frekuensi konflik di Kalimantan Timur hampir mirip dengan pola frekuensi konflik nasional per periode analisis. Frekuensi konflik mengalami peningkatan sangat nyata pada masa Desentralisasi (tahun 2000-2003). Di masa itu, konflik yang terjadi di areal HPH dan HTI paling banyak dilaporkan di Kalimantan Timur. Sedangkan
Data yang dicatat untuk tahun 2003 hanya sampai dengan bulan Juni, jadi angka total peristiwa konflik untuk tahun 2003 belum lengkap.
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
24 20 16
14
12
7 4
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Juni 2003
Gambar 7. Frekuensi konflik sektor kehutanan di Kalimantan Timur (1997-2003)
KK 40%
Pencurian kayu 8%
HPH 42%
Pengrusakan lingkungan 3%
Perambahan hutan 20%
Tata batas 68%
HTI 18%
Gambar 9. Faktor penyebab konflik di Kalimantan Timur
Gambar 8. Persentase konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi (1997-2003) di Kalimantan Timur
pada masa Orde Baru dan masa Transisi, konflik di areal HPH tidak sebanyak yang terjadi di areal HTI dan kawasan konservasi. Proporsi konflik kehutanan di Kalimantan Timur yang terjadi di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi dari tahun 1997 – 2003 dapat dilihat pada Gambar 8. Berbeda dengan kasus konflik di tingkat nasional, di Kalimantan Timur frekuensi konflik di areal HTI merupakan yang terendah dibandingkan dengan HPH dan kawasan konservasi. Frekuensi konflik di areal HTI hanya sekitar seperlimanya saja dari keseluruhan konflik kehutanan yang terjadi di Kalimantan Timur. Sementara itu, areal HPH dan kawasan konservasi menjadi arena yang mendominasi konflik kehutanan, dengan frekuensi masing-masing lebih kurang 40%. Dari sisi penyebab konflik, seperti halnya yang terjadi di tingkat nasional, paling sedikit ada lima faktor utama penyebab konflik kehutanan di 12
Alih fungsi 1%
Kalimantan Timur, yaitu: tata batas, perambahan hutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan (termasuk pencemaran) 12 , dan alih fungsi atau perubahan status kawasan. Dari kelima faktor tersebut, lebih dari separuh jumlah (68%) konflik yang sering terjadi di Kalimantan Timur disebabkan karena masalah tata batas. Tumpang tindih penggunaan lahan akibat ketidakjelasan tata batas merupakan pemicu konflik sebagaimana yang juga ditunjukkan di tingkat nasional. Masalah tata batas juga telah menjadi penyebab konflik di setiap kawasan, sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 10. Sementara itu, di kawasan konservasi perambahan merupakan salah satu penyebab utama konflik, seperti contoh kasus yang ditunjukkan pada Kotak 6. Pencurian kayu tidak dilaporkan terjadi di areal HTI di Kalimantan Timur, namun cukup bermasalah untuk HPH dan kawasan konservasi. Sementara itu,
Lihat 1.4. Batasan konsep (1.4.3. Penyebab konflik) halaman 3.
13
14
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
perusakan lingkungan seperti pencemaran dan kerusakan lahan pertanian masyarakat walaupun porsinya kecil, merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik di areal HPH. Tidak ada artikel yang memberitakan adanya perusakan lingkungan di areal HTI dan kawasan konservasi yang kemudian menjadi faktor penyebab konflik. Tabel 3 mendeskripsikan sepuluh kawasan dengan frekuensi konflik terbanyak yang terjadi di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi di Kalimantan Timur. Sangat mengejutkan bahwa ternyata Taman Nasional Kutai menempati urutan teratas. Selain itu,
konflik di kawasan HPH juga sangat dominan; dua di antaranya terjadi di PT Inhutani I dan Intraca Wood. Taman Nasional Kutai merupakan kawasan yang paling sering diberitakan terlibat konflik oleh koran lokal. Kejadian konflik yang paling sering dilaporkan dari lokasi ini adalah perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Penyebabnya antara lain adalah pembatasan akses masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya hutan, sementara masyarakat sendiri telah bertempat tinggal lama di kawasan ini. Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa
40 35 30 25 20 15 10 5 0
HPH Tata batas Pencurian Kayu Alih fungsi
HTI
KK
Perambahan Hutan Perusakan Lingkungan
Gambar 10. Faktor penyebab konflik di HPH, HTI dan kawasan lindung di Kalimantan Timur
Kotak 6. Perkembangan Konflik Lahan di wilayah Taman Nasional Kutai Ratusan atau bahkan mungkin ribuan hektare hutan di sepanjang jalan Bontang-Sangatta ditebangi dan dibakar oleh warga dari Sangatta Lama. Hal ini sebagai reaksi atas pernyataan dari Kantor Kecamatan Sangatta bahwa area tersebut akan dikeluarkan dari wilayah pengelolaan Taman Nasional Kutai (TNK). Kepala Balai TNK, Warsito, menyatakan bahwa perkembangan ini membahayakan negosiasi antara pihak pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah mengenai status dan batas-batas desa di dalam wilayah TNK.
Sumber: Manuntung, 12 Oktober 1996 Proyek pemerintah 1996/1997 untuk pemindahan 1750 orang (350 KK) dari areal TNK ke Talisayan di Kabupaten Berau terhenti pada 150 KK petani lokal yang tidak mau dipindahkan.
Sumber: Manuntung, 4 Juli 1997 Wilayah TNK yang sudah dienclave untuk Desa Sangatta Selatan dan Teluk Pandan meningkat menjadi 24.000 hektare. Pada awalnya luas enclave ini hanya 15.000 hektare. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya populasi dan kurangnya daya dukung lahan untuk menampung populasi ini. Tim enclave yang terdiri dari instansi pemerintah terkait, perwakilan desa, LSM dan pihak ketiga ini memulai pembuatan enclave untuk desa-desa tersebut pada bulan Maret 2000.
Sumber: Manuntung, 20 Juni 2001
Yuliana Cahya Wulan
pendatang baru yang kemudian bermukim juga ikut merambah hutan di sekitar kawasan ini.
2.3. Diskusi 2.3.1. Pola Sebaran Frekuensi Konflik Frekuensi konflik kehutanan yang terjadi sejak tahun 1997 sampai dengan bulan Juni 2003 di tingkat nasional dan provinsi (Kalimantan Timur) dapat dicermati dari Gambar 11. Terdapat perbedaan yang menonjol dari kedua pola tersebut. Di tingkat nasional, konflik mencapai puncaknya pada tahun 2000; sementara di provinsi (Kalimantan Timur) konflik mengalami dua puncak yaitu pada tahun 2000 dan 2002. Perlu diingat bahwa pada tahun 2003, data yang tercatat hanya sampai dengan bulan Juni 2003. Masih terdapat
Yurdi Yasmi
Christian Purba
kemungkinan bahwa konflik yang terjadi pada tahun 2003 lebih banyak daripada yang disajikan dalam grafik di atas. Khusus untuk konflik di tingkat nasional, timbul pertanyaan mengapa pada tahun 2000 jumlah konflik mengalami loncatan yang sangat tajam? Berdasarkan informasi dari kumpulan artikel media massa, pada tahun 2000 berbagai tuntutan ganti rugi bermunculan dari masyarakat terhadap perusahaan HPH. Selain itu, berdasarkan asumsi tahun 2000 merupakan puncak masa Transisi dan munculnya “eforia reformasi”, yang mendorong beberapa kelompok masyarakat untuk mengambil kesempatan atas ketidakjelasan peraturan dan kewenangan yang ada. Seperti telah dijelaskan, paling sedikit ada lima penyebab konflik di tingkat nasional (lihat Gambar 5). `
Tabel 3. Sebaran konflik di HPH, HTI dan kawasan konservasi di Kalimantan Timur (1997-2003) No. Nama HPH/HTI/ kawasan lindung
Frekuensi konflik
Kategori kawasan
25 9
Kawasan konservasi HPH
5 4 3 3 3 3 3 2
Kawasan konservasi HPH HTI HPH HPH Kawasan konservasi Kawasan konservasi HPH
1. Taman Nasional Kutai 2. PT Inhutani I 3. Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto 4. Intracawood 5. PT Tunggal Yudi Hutani 6. PT ITCI Kartika Utama 7. PT Inhutani II 8. Cagar Alam Teluk Apar 9. Hutan Lindung Sungai Wain 10. PT Sumalindo Sumber: Database CIFOR-FWI
Jumlah Konflik
150 120 90 60 30 0 1997
1998
1999 Provinsi
Eva Wollenberg
2000
2001
2002
Nasional
Gambar 11. Pola frekuensi konflik per tahun
2003
15
16
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Isu kompensasi sering muncul antara lain karena masyarakat menuntut ganti rugi atau kompensasi atas lahan pertanian, tanah adat, kerusakan lingkungan (pencemaran), dan karena pembatasan akses masyarakat oleh perusahaan HPH. Pada tahun 2000, masyarakat mulai berani menuntut hak mereka kepada perusahaan-perusahaan HPH dan HTI yang sering berujung pada pertikaian. Apabila tuntutan ganti rugi ini tidak dipenuhi oleh perusahaan, maka masyarakat akan memberikan perlawanan terhadap pihak perusahaan. Dalam beberapa kasus, masyarakat secara paksa menutup kegiatan perusahaan dengan memblokir jalan atau jembatan. Tidak jarang mereka menyurati Menteri Kehutanan dan instansi terkait untuk menuntut pencabutan HPH tersebut. Hal ini sangat mirip dengan apa yang dilaporkan oleh Rhee (2000), Yasmi (2002; 2003), Anau (2002) dalam studi mereka mengenai tuntutan ganti rugi atau kompensasi yang semakin sering bermunculan dari pihak masyarakat. Penelitian ini juga memperkuat temuan mereka dan dapat dikatakan bahwa isu ganti rugi dan kompensasi sangat sering ditemukan dalam konflik kehutanan. Tuntutan ganti rugi ini tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah. Di masa lampau banyak perusahaan HPH atau perusahaan kayu yang mengabaikan kepentingan masyarakat (Wenban-Smith, 2001). Perusahaan sering menggunakan tindak kekerasan dalam menghadapi masyarakat lokal dan tidak jarang pula dengan melibatkan kekuatan militer (Anau, 2001). Hal-hal seperti ini telah menimbulkan kebencian masyarakat dan menumpuk selama bertahun-tahun. Kebebasan yang tersedia dalam masa reformasi memberi mereka kesempatan untuk mengajukan tuntutan-tuntutan atas hak mereka yang telah hilang selama bertahun-tahun. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa konflik kehutanan di masa Desentralisasi cenderung meningkat tajam? Ada beberapa faktor yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Salah satu faktor utama adalah bahwa Desentralisasi telah membuka peluang bagi banyak pihak untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Kemudian, Pemerintah Daerah yang kini menjadi salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) kunci dalam pengelolaan hutan belum siap dan mampu untuk mengelola hutannya dengan baik. Sementara itu, muncul kesadaran dari stakeholder untuk mendapatkan hak-
hak mereka. Misalnya, masyarakat lokal yang selama ini telah dikesampingkan oleh pemerintah tiba-tiba sadar akan hak-haknya. Di masa Desentralisasi, LSM juga semakin aktif memberdayakan masyarakat lokal dan menuntut keadilan bagi mereka. Sudah tentu perbedaan kepentingan dari berbagai pihak itu ikut menjadi faktor yang memicu timbulnya konflik kehutanan. Pertanyaan lainnya adalah apakah mungkin peningkatan frekuensi konflik secara drastis yang terjadi pada tahun 2000 ini ada kaitannya dengan perkembangan atau perubahan politik yang terjadi pada masa itu? Jawabannya bisa “ya” tetapi juga bisa “tidak”, bergantung dari sudut mana kita melihat permasalahan ini. Dari perubahan politik yang terjadi, tidak dapat disangkal bahwa sebelum tahun 1998 terdapat tekanan-tekanan terhadap media massa nasional, sehingga isu-isu sensitif seperti konflik semacam ini tidak dapat dilaporkan secara terbuka. Pada saat itu, pemerintahan Soeharto secara sistematis mengendalikan berita untuk kepentingan kelompoknya. Karena perusahaan besar seperti HPH dan HTI sebagian besar dimiliki oleh kroni-kroni (baca: orang dekat) Soeharto, maka kemungkinan berita-berita mengenai konflik kehutanan akan disaring terlebih dahulu. Kemungkinan lain konflik yang terjadi pada masa itu belum terlalu banyak yang muncul ke permukaan karena masyarakat masih takut. Selain itu, penanganan konflik lebih banyak diselesaikan dengan menggunakan pendekatan keamanan atau militer. Reformasi yang bergulir sejak jatuhnya Soeharto pada bulan Mei 1998 belum banyak mengubah wajah media massa nasional. Pada masa pemerintahan Habibie (1998-1999), masyarakat pers Indonesia juga belum melaporkan berita-berita konflik kehutanan secara bebas dan terbuka. Tekanan-tekanan dari pihak pemerintah dan kekuatan militer masih dirasakan dominan pada masa itu. Walaupun tahun 1999 terjadi loncatan frekuensi konflik sebanyak empat kali lipat, jumlahnya masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang diberitakan pada tahun berikutnya (tahun 2000). Ada kemungkinan juga bahwa konflik laten yang selama ini terpendam belum semuanya muncul ke permukaan. Barulah pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (2000-2001) pers Indonesia mulai merasakan kebebasan untuk memberitakan hal-hal yang dulu dianggap tabu.
Yuliana Cahya Wulan
Kembali kepada pertanyaan awal mengapa lonjakan konflik di tahun 2000 terjadi dengan sangat tajam? Apakah mungkin ada hubungannya dengan kebebasan pers yang selalu dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid, atau memang pada tahun 2000 konflik kehutanan merupakan berita sensasional yang laku dijual? Asumsi yang pertama mungkin ada benarnya, karena terbukti pada tahun tersebut jumlah konflik yang dilaporkan sangat banyak. Asumsi itu mungkin juga benar karena dengan jatuhnya Abdurrahman Wahid, artikel media massa tentang konflik juga mengalami penurunan secara drastis. Pada tahun 2001 jumlah konflik yang tercatat di media nasional hanya 45 kasus. Kemudian muncul pertanyaan, apakah penurunan ini merupakan sebuah kebetulan saja atau justru karena kebebasan pers yang kembali mengalami tekanan di masa pemerintahan Megawati? Suatu pertanyaan yang sulit untuk dijawab! Mengaitkan frekuensi konflik dengan kebebasan pers dapat dikatakan terlalu menyederhanakan permasalahan. Ungkapan ini mungkin benar. Namun demikian, karena sumber utama data penelitian ini adalah artikel media massa, maka hubungan kebebasan pers dengan frekuensi konflik mungkin juga ada kaitannya. Apabila diperhatikan lebih jauh, ternyata ada kemiripan antara pola frekuensi konflik tingkat nasional dengan tingkat provinsi (Kalimantan Timur). Yang paling jelas adalah kecenderungan peningkatan frekuensi konflik di masa Desentralisasi. Hanya saja, loncatan frekuensi konflik untuk tingkat nasional jauh lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi di Kalimantan Timur. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sebaran konflik per tahun seperti yang telah disinggung sebelumnya.
2.3.2. Faktor Penyebab Konflik Sebab-sebab atau faktor dan latar belakang yang memicu terjadinya konflik sangat penting untuk dipahami guna menyiapkan langkah-langkah yang bisa diambil untuk menyelesaikannya. Dari database yang dikembangkan untuk tingkat provinsi, ada empat penyebab utama terjadinya konflik, yaitu tata batas/akses, perambahan hutan, pencurian kayu dan perusakan lingkungan. Sedangkan untuk tingkat nasional ada lima penyebab utama konflik. Empat di antaranya sama dengan penyebab konflik di
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
tingkat provinsi (Kalimantan Timur); dan yang kelima adalah masalah alih fungsi suatu kawasan hutan. Ketidakjelasan tata batas antara areal perusahaan HPH dan HTI atau kawasan hutan lindung dengan lahan masyarakat yang hidup di sekitar hutan perlu mendapatkan perhatian serius, terutama dari pihak pemerintah. Permasalahan tata batas dan akses bukanlah hal yang baru di dunia kehutanan. Hal ini telah banyak diungkapkan oleh para peneliti terdahulu (lihat Anau, 2002; Orstom, 1999; Moeliono dan Fisher, 2003; Suporahardjo dan Wodicka, 2003). Pertanyaan selanjutnya yang cukup relevan adalah batas yang mana yang perlu dipatuhi? Apakah batas yang ditetapkan oleh pihak pemerintah atau batasbatas yang diakui oleh masyarakat lokal, yang sering tumpang tindih dengan klaim pemerintah? Masalah tata batas ini akan terus mengemuka apabila tidak ada solusi yang tepat. Untuk mencapai kesepakatan tentang tata batas memang tidak mudah, tetapi perlu dipikirkan jalan keluar untuk menyelesaikan konflik tata batas di kawasan kehutanan. Ketidakjelasan tata batas tanah adat ini sering dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk mengklaim lahan dengan luas yang tidak masuk akal. Implementasi desentralisasi ternyata telah ikut serta menambah rumit permasalahan dan memicu konflik baru, karena pengaruh pimpinan pemerintah daerah, seperti Bupati, semakin kuat. Dalam banyak kasus, Bupati sering membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah Pusat, seperti pemberian izin-izin pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan kayu (IPPH). Akibatnya areal perusahaan HPH atau HTI yang sudah tumpang tindih dengan lahan milik masyarakat atau tanah adat harus tumpang tindih pula dengan areal IPPH. Konflik lainnya berkaitan dengan masalah perambahan dan pencurian kayu akibat cara pandang yang berbeda mengenai tata batas kawasan. Pihak pemerintah berpegang pada tata batas yang menurut masyarakat lokal ditetapkan secara sepihak. Sementara masyarakat lokal berpegang pada tata batas mereka sendiri berdasarkan adat dan sejarah. Akibatnya arti perambahan dan pencurian kayu
17
18
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
ditafsirkan secara berlainan oleh kedua belah pihak. Karena itulah masyarakat lokal tidak merasa merambah taman nasional. Mereka juga tidak pernah merasa mencuri kayu karena dari sudut pandang mereka wilayah yang mereka buka atau kayu yang mereka ambil berada di dalam wilayah adat atau wilayah pengelolaannya. Perbedaan persepsi inilah yang sering menimbulkan konflik. Namun demikian, perlu diakui bahwa terdapat oknum atau kelompok yang secara terorganisir melakukan pencurian kayu secara besar-besaran di hutan lindung dan taman nasional. Hal ini sudah banyak diungkapkan dan bukan menjadi rahasia lagi. Dalam beberapa kasus, pencurian ini dilindungi oleh oknum militer atau bahkan oleh oknum pengelola taman nasional sendiri. Pemberantasan pencurian kayu memerlukan penegakan aturan hukum yang
menyeluruh, kemauan politis yang kuat, dan tindakan yang tegas dari para pejabat pemerintah. Sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh para peneliti lain, tidak ada satu pun resep mujarab yang bisa menyelesaikan semua konflik kehutanan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah membuka ruang-ruang dialog antara berbagai pihak yang berkepentingan sehingga konflik bisa dijadikan sebagai wacana pembelajaran bersama. Isu-isu kepemilikan lahan sudah sepatutnya diangkat sebagai pokok dialog, dan tidak perlu dihindari atau ditakuti. Dalam hal ini, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dituntut untuk dapat berperan sebagai fasilitator dan membuka diri dalam menanggulangi berbagai konflik. Upaya-upaya persuasif perlu terusmenerus ditempuh dan kehadiran mediator mungkin diperlukan, sesuai dengan tingkat konflik yang ada.
Kotak 7. Penjarah Taman Nasional Kutai Diancam Hukuman Denda 5 M; Keterlaluan, Mantan TNI Ikut Menjarah TNK Sangatta – Delapan tersangka, dua diantaranya sebagai penadah kayu curian di Taman Nasional Kutai (TNK) bakal dijerat UU no. 41 tahun 1999 yang mengancam perusak hutan lindung itu dengan denda Rp. 5 miliar dan kurungan badan maksimal 10 tahun penjara. Hal itu ditegaskan Kapolsektif Sangatta AKP Yustan SIK kepada Kaltim Pos. Menurut Yustan, operasi bersama Polsektif Sangatta dengan Polsus BTNK ini merupakan upaya mengamankan TNK dari tangantangan jahil yang mengobok-obok TNK. “Kami akan terus mangadakan operasi secara mendadak, dan mereka yang tertangkap akan kita proses sampai tuntas tanpa ada ampunan,” tegas Yustan yang mengaku jengkel dengan terus dijarahnya TNK itu. Keenam tersangka dan dua penadah, yakni Suriansyah dan Ardiansyah, warga Gang Beringin, Teluk Lingga, Sangatta Utara yang mengaku disuruh Cambang Habi diamankan bersama barang bukti berupa sebuah chainsaw dan kayu bantalan yang belum berhasil diangkat dari TKP. Tersangka lainnya, Ramang dan Oca, warga kilometer 5 Sangatta-Bontang yang mengaku disuruh Lamanda, warga Masabang dengan barang bukti satu chainsaw. Dan yang lainnya adalah Ahmad Santoso yang disebut-sebut sebagai mantan anggota TNI diduga sebagai penadah kayu haram tersebut. Dari tangannya disita truk sewaan berikut 4 potong kayu bantalan.
Sumber: Kaltim Post, 3 Juli 2002
Studi Kasus Konflik Kehutanan
3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan Kasus ini menggambarkan konflik antara PT. Kodeco Timber dengan masyarakat di Kecamatan Hampang, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Wilayah desa ternyata bertumpang tindih dengan areal rencana kerja PT. Kodeco. Masyarakat yang tinggal di daerah ini merupakan bagian dari masyarakat Dayak Meratus yang tinggal di sekitar kawasan Pegunungan Meratus.
3.1.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian HPH PT. Kodeco Timber terletak di sekitar wilayah Pegunungan Meratus yang merupakan satu-satunya kawasan hutan perawan yang masih tersisa di Provinsi Kalimantan Selatan. Pegunungan Meratus membentang dari arah tenggara ke sebelah utara sampai ke perbatasan Provinsi Kalimantan Timur. Posisinya membelah wilayah Kalimantan Selatan menjadi dua bagian, sebelah barat dan sebelah timur. Berdasarkan letak geografis, kawasan Pegunungan Meratus terletak di antara 115o38’00” dan 115o 52’ 00” Bujur Timur, dan 22o 28’ 00” dan 20o 54’ 00”
Lintang Selatan, dan meliputi tujuh wilayah kabupaten. Kawasan Pegunungan Meratus tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kehidupan masyarakat asli Dayak Meratus, yang mendiami kawasan ini secara turun temurun. Di kawasan ini tinggal puluhan ribu jiwa masyarakat Dayak Meratus yang hidup mengelompok dan terbagi dalam kesatuan hukum adat terkecil atau yang dikenal dengan ‘balai adat’ (FWI dan LPMA, 2002). Mayoritas penduduk beragama Hindu Kaharingan, dengan adat-istiadatnya yang berkaitan dengan upacara-upacara keagamaan. Dari hasil pengamatan lapangan, keterbatasan tingkat pendapatan penduduk menyebabkan mereka tidak mampu membangun tempat tinggal yang layak dan sarana prasarana desa, termasuk sarana pendidikan. Hutan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat Dayak Meratus. Pemanfaatannya dikelola secara bersama-sama, yang diatur berdasarkan aturan
Gambar 12. Peta lokasi penelitian di kawasan PT. Kodeco Timber
3
20
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
adat mereka sendiri. Mereka berpandangan bahwa hutan merupakan tabungan masa depan untuk anakcucu mereka, sehingga ‘wajib’ dijaga kelangsungan pemanfaatannya. Masyarakat desa pada umumnya mempunyai mata pencaharian dengan cara bahuma (berladang) sistem gilir balik, berkebun kayu manis, manyuar (berburu), mengambil hasil hutan, mendulang emas di Sungai Sampanahan dan sungai-sungai lain di sekitar desa, serta membuat anyaman dari rotan. Keberadaan hutan di kawasan Pegunungan Meratus saat ini terancam musnah akibat kegiatan berbagai perusahaan HPH, para penebang liar dan juga penambang liar. Selain itu, kelestarian Pegunungan Meratus juga menghadapi ancaman dari perusahaan pertambangan asing skala besar yang diketahui reputasinya kurang baik. Perusahaan tersebut adalah PT. Meratus Sumber Mas (MSM) dan PT. Pelsart Tambang Kencana (PTK). Keduanya merupakan grup Pelsart Resources NL (Australia) yang bergerak di bidang pertambangan emas dan telah menjalin kerjasama dengan perusahaan pertambangan emas asal Kanada, Placer Dome Inc. (FWI-LPMA, 2002). Studi kasus ini difokuskan pada dua desa yang berada di sekitar Pegunungan Meratus, yaitu Desa Hampang dan Desa Pramasan 2x9, Kecamatan Hampang, Kabupaten Kotabaru. Di desa ini terdapat Lembaga Pemasyarakatan Masyarakat Adat (LPMA), yang fokus kegiatannya melakukan pendampingan masyarakat melalui kegiatan pelatihan, penguatan kelembagaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Dayak Meratus. Mereka banyak mengetahui pokok-pokok sengketa antara PT. Kodeco dan masyarakat yang berada di wilayah kerja perusahaan selama ini.
3.1.2. Sejarah Konflik Perusahaan HPH PT. Kodeco Timber mulai beroperasi di Kecamatan Hampang sekitar tahun 1971, dan memperoleh perpanjangan izin konsesi pada tahun1982. Selama kurun waktu tersebut, masyarakat di sekitar hutan menganggap perhatian perusahaan kepada mereka sangat kurang, yang terlihat dari sangat minimnya bantuan yang diberikan PT. Kodeco Timber untuk pembangunan desa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peristiwa-peristiwa yang memicu terjadinya konflik antara masyarakat Adat Dayak Meratus dengan PT. Kodeco Timber sebenarnya sudah sejak lama terjadi,
namun tidak langsung memunculkan konflik ke permukaan. Pada tahun 1982, misalnya, PT. Kodeco Timber membangun gedung sekolah dasar untuk anakanak karyawan perusahaan, dan tidak mengizinkan masyarakat lokal untuk bersekolah di sana. Permasalahan ini pernah disampaikan masyarakat kepada Bupati Kotabaru, tetapi kurang mendapat tanggapan dari Pemerintah Daerah. Baru setelah enam tahun kemudian, yaitu pada tahun 1988, masyarakat lokal diperbolehkan untuk ikut memanfaatkan sarana pendidikan tersebut. Sejak saat itu tidak pernah lagi terjadi persengketaan sampai setelah masa Reformasi pada tahun 2001. Kesempatan inilah yang kemudian memunculkan konflik ini ke permukaan. Persengketaan diawali oleh kegiatan penebangan yang dilakukan PT. Kodeco Timber, yang menurut pandangan masyarakat berada di luar blok yang telah ditetapkan. Sebagian blok tebangan tersebut merupakan lahan yang dikelola masyarakat di sekitar Baung, Desa Pramasan 2x9. Karena kegiatan penebangan, sebagian besar kebun masyarakat tergusur serta pohon-pohon yang ada ditebang. Masyarakat juga menganggap bahwa PT. Kodeco Timber telah merusak hutan keramat dan telah mengambil hak wilayah hutan adat secara semenamena. Masyarakat yang lahannya telah diambil oleh perusahaan melaporkan kepada Kepala Desa, tetapi karena merasa tidak mempunyai kekuatan untuk melawan, aparat desa tidak bertindak apa-apa ketika itu. Akhirnya masyarakat melaporkan masalah ini kepada Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kecamatan Hampang (LMMD-KH), yang kemudian menindaklanjuti tuntutan masyarakat kepada pihak perusahaan. Namun masyarakat menganggap pihak perusahaan tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap masalah ini, sehingga masyarakat desa menjadi marah. Pada bulan Februari 2001, 24 orang anggota masyarakat yang tergabung dalam “pasukan khusus” LMMD-KH mendatangi base-camp PT. Kodeco Timber menuntut agar perusahaan memberikan bantuan kepada masyarakat berupa sarana dan prasarana pendidikan, sarana keagamaan, budidaya tanaman pangan, kegiatan penghijauan serta pemberian kesempatan kerja kepada masyarakat lokal. Masyarakat menuntut sarana pendidikan karena sekolah yang telah dibangun perusahaan lokasinya sulit dijangkau masyarakat desa. Masyarakat juga
Yuliana Cahya Wulan
menganggap tuntutan tersebut seharusnya merupakan salah satu kewajiban perusahaan dalam melaksanakan program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Kemudian karena tidak ada kesepakatan dengan pihak perusahaan, pada bulan Maret 2002 masyarakat kembali melakukan tuntutan yang sama. Demonstrasi ini melibatkan 40 orang warga dan dikoordinasi oleh Pembakal (Kepala Desa) Pramasan 2x9. Masyarakat melakukan pemblokiran jalan perusahaan selama satu minggu, yang menyebabkan kegiatan produksi perusahaan terhenti. Untuk meredam amarah masyarakat desa, maka kedua belah pihak membuat kesepakatan bersama. Setelah beberapa kali merevisi surat kesepakatan, akhirnya pada tanggal 6 Maret 2002, surat kesepakatan tersebut ditandatangani bersama oleh pihak perusahaan, LMMD-KH sebagai perwakilan masyarakat dan beberapa saksi dari berbagai instansi terkait. Tuntutan ini direalisasi berupa pembangunan tiga unit ruangan kelas untuk Sekolah Dasar di Desa Pramasan 2x9 dari enam unit yang diminta masyarakat, serta bantuan untuk merenovasi gedung balai adat. Sampai saat ini, walaupun sarana pendidikan telah dibangun, kegiatan pendidikan belum dapat berjalan sebagaimana mestinya, karena pihak perusahaan belum merealisasikan pengadaan tenaga guru dan honor bagi tenaga pengajar tersebut. Selain peristiwa tersebut, pernah terjadi dua kali konflik antara penduduk desa dengan karyawan PT. Kodeco Timber. Menurut masyarakat, kedua konflik ini dipicu oleh kesombongan salah seorang karyawan PT. Kodeco Timber terhadap warga desa yang pada
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
saat itu meminta bantuan mereka. Akibatnya terjadi pemukulan terhadap karyawan perusahaan. Konflik yang pertama, terjadi di Sekatak, Desa Muara Napuh, pada tahun 2001, dan yang kedua di Desa Hampang pada tahun 2002 (lihat Kotak 8). Selain konflik vertikal antara perusahaan dengan masyarakat, dorongan untuk mengeksploitasi sumber daya hutan juga telah memicu konflik horizontal antara masyarakat lokal dan pendatang. Pada tahun 2002, konflik antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang (penebang kayu) juga pernah terjadi. Konflik ini mengakibatkan bentrokan fisik serta perusakan terhadap fasilitas umum yang ada. Penanganan yang dilakukan oleh Pemda setempat ketika itu adalah dengan menurunkan pasukan Brimob untuk meredakan bentrokan yang terjadi dan mendamaikan kedua pihak yang bertikai. Selanjutnya, berdasarkan informasi di lapangan, selain PT. Kodeco Timber, terdapat sebuah perusahaan IPHHK (Izin Pemanfaatan Hasil Hutan berupa Kayu) yang beroperasi di sekitar Desa Muara Urie, Kecamatan Hampang dan Kecamatan Kelumpang Hulu. Perusahaan ini dimiliki oleh 25 orang masyarakat Batulicin, yang memiliki izin atas wilayah seluas ±2.500 ha, yang berada di bekas areal konsesi sebuah perusahaan HPH. Ternyata, perusahaan IPHHK ini juga melakukan perusakan terhadap wilayah hutan adat sehingga kemudian masyarakat melakukan penyitaan terhadap kayu milik perusahaan tersebut. Konflik-konflik vertikal dan horizontal tersebut telah menyebabkan Pegunungan Meratus mengalami ancaman kerusakan hutan yang cukup besar karena
Kotak 8. Pemukulan Terhadap Karyawan PT. Kodeco Pada tahun 2002 dua orang penduduk Desa Hampang menebang kayu ulin di areal RKT PT. Kodeco Timber. Mereka meminta bantuan perusahaan untuk menarik kayu tersebut dengan alat berat yang sedang beroperasi, dengan janji memberikan upah sekedarnya kepada sopir alat berat tersebut. Akan tetapi salah satu karyawan perusahaan melarang dan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor. Akibatnya terjadi pemukulan oleh salah seorang penduduk desa. Kemudian pihak perusahaan melaporkan kepada Kapolres Kotabaru dan meminta bantuan untuk melakukan penangkapan terhadap dua penduduk desa yang melakukan pemukulan. Namun niat kepolisian dihalangi masyarakat dengan alasan salah satu karyawan perusahaan telah melakukan penghinaan. Akhirnya kasus tersebut diselesaikan secara damai. Sebelumnya, pada tahun 2001 pernah juga terjadi peristiwa serupa. Ketika itu warga masyarakat akan melakukan penebangan di areal RKT PT. Kodeco yang kemudian dilarang oleh karyawan perusahaan. Akhirnya warga tersebut melakukan pemukulan terhadap karyawan perusahaan tersebut
Sumber: Hasil Wawancara Tim Studi CIFOR-FWI, 2003.
21
22
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
berbagai kegiatan pemungutan kayu. Selain oleh PT. Kodeco Timber, pemungutan kayu juga dilakukan melalui kegiatan IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) dan IPHHK yang beroperasi sejak tahun 2002.
3.1.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam konflik adalah perusahaan dan masyarakat Adat Dayak Meratus, sedangkan pihak-pihak lain yang berkepentingan adalah LPMA dan Pemerintah Daerah (Pemda). Informasi mengenai persepsi masyarakat banyak juga didapat dari beberapa tokoh masyarakat yang merupakan pengurus LMMD-KH. Lembaga ini berdiri pada tahun 2002, dengan tujuan untuk menjadi mediator bagi masyarakat guna menyampaikan aspirasi dan keinginannya kepada perusahaan maupun Pemda setempat. A. PT. Kodeco Timber Pada pelaksanaan kegiatan, tim studi tidak berhasil mendapatkan informasi dari pihak perusahaan. PT. Kodeco Timber belum dapat menyediakan nara sumber yang dapat diwawancarai ketika tim studi mengunjungi base-camp di Kecamatan Hampang atau di kantor perwakilan di Banjarmasin. Tim studi pun telah berusaha melakukan kontak melalui telepon ke kantor perusahaan di Batulicin dan kantor perwakilan di Banjarmasin, serta menyusun kuesioner untuk diisi oleh pihak perusahaan yang disampaikan melalui pos udara maupun dikirim langsung melalui faxsimile. Tetapi sampai tulisan ini dibuat, tim studi belum mendapatkan tanggapan dari pihak perusahaan. B. Masyarakat Persepsi masyarakat diperoleh dengan mewawancarai beberapa pemuka masyarakat di Desa Hampang dan Desa Pramasan 2x9, yang terdiri dari kepala desa, tiga tokoh masyarakat lain, dan satu orang warga masyarakat. Menurut keterangan masyarakat, pada dasarnya konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan disebabkan kurangnya kontribusi perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya. Kehadiran perusahaan juga dianggap lebih banyak merugikan karena penyerobotan terhadap lahan masyarakat sering terjadi. Satu-satunya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat selama ini hanyalah pembukaan jalan yang melintasi wilayah desa. Jalan ini merupakan jalan sarad untuk mengangkut kayu
milik perusahaan, dan sekarang dapat dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas masyarakat sehari-hari. Selain itu, masyarakat tidak merasakan manfaat lain dari kehadiran perusahaan di wilayah mereka. Bahkan untuk menjadi karyawan perusahaan pun sangat sulit, sehingga hampir tidak ada penduduk lokal yang menjadi karyawan PT. Kodeco Timber. Ketika pemerintahan Orde Baru masih berkuasa, masyarakat tidak ada yang berani mengambil tindakan apapun untuk menentang perusahaan. Hal ini karena masyarakat merasa takut dan juga telah “dibodoh-bodohi” oleh pihak perusahaan dengan mengatakan bahwa perusahaan telah mendapat izin dari pemerintah dan berhak untuk menggunakan dan memanfaatkan lahan konsesi yang diberikan pemerintah, walaupun areal konsesi tersebut sering menyerobot lahan/kebun masyarakat. Selama masa Orde Baru, perusahaan juga sering menggunakan bantuan militer untuk meredam konflik yang terjadi. Kejadian yang dialami masyarakat di sekitar Kecamatan Hampang merupakan salah satu bentuk ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Masyarakat saat ini menuntut adanya programprogram yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Mereka menganggap selama ini telah banyak pengusaha dan orang-orang pendatang yang mengeruk kekayaan sumber daya alam dari wilayah mereka. Sementara penduduk asli hanya diperlakukan sebagai penonton yang tidak mendapatkan apa-apa, bahkan kegiatan perusahaan pun sebenarnya telah mengakibatkan sumber penghasilan mereka berkurang. Selain itu, mereka juga menuntut agar pemerintah dapat mengembalikan hak-hak mereka, terutama dalam mengelola wilayah adat yang selama ini telah terampas. C. LSM – Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat (LPMA) Menurut LPMA, konflik di kawasan hutan Pegunungan Meratus mulai muncul ketika PT. Kodeco sering melakukan pelanggaran yang merugikan masyarakat desa. Salah satunya berkaitan dengan tata batas wilayah, yaitu adanya sebagian areal konsesi PT. Kodeco yang tumpang tindih dengan lahan garapan masyarakat. Akibatnya, sebagian besar kebun masyarakat tergusur dan pohon yang ada di lahan tersebut ditebang. Selain itu, PT. Kodeco Timber juga telah merusak hutan keramat dan
Yuliana Cahya Wulan
mengambil hak wilayah hutan adat secara semenamena. Sejauh ini belum pernah ada kesepakatan antara masyarakat desa dengan pihak perusahaan untuk menyelesaikan masalah tata batas lahan tersebut, karena pihak perusahaan menganggap merekalah yang lebih berhak atas lahan tersebut. Solusi yang disarankan LPMA untuk menyelesaikan konflik antara PT. Kodeco Timber dan masyarakat Adat Dayak Meratus adalah dengan mengembalikan hak pengelolaan dan pengusahaan hutan kepada masyarakat adat, karena selama ini PT. Kodeco tidak memperlihatkan niat baiknya dalam memenuhi hasilhasil kesepakatan yang telah mereka buat bersama.
3.1.4. Solusi yang Pernah Dicoba Sampai saat ini solusi yang pernah dicoba untuk meredam amarah masyarakat desa adalah melalui musyawarah antara perusahaan dan masyarakat yang diwakili oleh pengurus LMMD-KH dan disaksikan oleh kepala desa dan petugas dari instansi lainnya yang terlibat seperti kecamatan, Dinas Kehutanan, Polsek dan Koramil. Beberapa musyawarah yang dilakukan telah menghasilkan kesepakatankesepakatan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Perusakan kebun dan penebangan pohon buahbuahan milik masyarakat di Desa Pramasan 2x9. Dari kesepakatan yang dihasilkan, PT. Kodeco Timber bersedia mengembalikan lahan masyarakat dan membayar ganti rugi untuk pohon buah-buahan yang telah ditebang dan dirusak sebesar Rp. 60.000,per pohon.
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
Perusakan hutan kramat dan penyerobotan wilayah hutan adat secara semena-mena. Kesepakatan yang diambil adalah pihak PT. Kodeco Timber bersedia memenuhi sembilan butir tuntutan masyarakat (lihat Kotak 9). Walaupun demikian, dari sembilan butir tuntutan masyarakat yang telah disepakati oleh kedua pihak, hanya beberapa butir saja yang terealisasi sampai saat ini, yaitu mendirikan ruang belajar sebanyak tiga unit dari enam unit yang telah dijanjikan, serta membantu renovasi bangunan balai adat. Tuntutan yang tidak kalah penting seperti penyediaan tenaga pengajar, pemberian beasiswa bagi anak-anak yang berprestasi serta pengembangan budidaya tanaman pangan, sampai saat ini belum terealisasi.
3.1.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil Konflik yang terjadi antara PT. Kodeco Timber dengan masyarakat terjadi karena perbedaan pendapat mengenai kontribusi perusahaan terhadap tingkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat di sekitar hutan. Dengan beroperasinya PT. Kodeco di wilayah tersebut, akses masyarakat untuk memanfaatkan hutan, yang selama ini merupakan salah satu sumber mata pencahariannya menjadi terbatas. Selain itu, karena batas-batas perusahaan yang tidak jelas bagi masyarakat, perusahaan juga dianggap telah melakukan penyerobotan lahan dengan menebang pohon buah-buahan yang ada di atas lahan yang diklaim milik masyarakat. Selanjutnya, perusahaan dianggap telah merusak hutan keramat serta mengambil hak wilayah hutan adat secara semena-mena.
Gambar 13. Gedung sekolah bantuan dari PT Kodeco Timber untuk masyarakat yang dibangun di Desa Pramasan 2x9
23
24
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Kotak 9. Kesepakatan Bersama antara Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kecamatan Hampang (LMMD-KH) dengan PT. Kodeco Timber Pada hari Rabu tanggal enam bulan Maret tahun Dua ribu dua, kami bertanda tangan di bawah ini: 1. Nama : Johansyah Jabatan : Ketua LMMD-KH Alamat : Desa Hampang Dalam Hal ini bertindak untuk dan atas nama warga masyarakat kecamatan Hampang dan Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kecamatan Hampang (LMMD-KH), yang selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA. 2. Nama : H. Achmad Sempo DL. Jabatan : Manager Alamat : Batulicin Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama perusahaan PT. Kodeco Timber, yang selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA. Dengan ini secara bersama-sama membuat KESEPAKATAN atas hasil pertemuan antara PIHAK PERTAMA dengan PIHAK KEDUA bertempat di ruang Balai Desa Pramasan 2x9 Kecamatam Hampang, Kabupaten Kotabaru pada hari Kamis tanggal 14 Pebruari 2002 dan disaksikan oleh Muspida kecamatan Hampang, Kep Hampang, dengan kesepakatan sebagai berikut: 3. PIHAK KEDUA akan memberitahukan kepada PIHAK PERTAMA dan kepala desasetempat atas rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh PIHAK KEDUA. 4. Sesuai kemampuan dan kondisi perusahaan PIHAK KEDUA akan memberikan bantuan secara bertahap berupa: a. Bidang Pendidikan • Pemberian honor untuk guru • Pemberian bea siswa bagi siswa yang berprestasi yang tidak mampu. Siswa yang akan menerima bea siswa, diajukan oleh sekolah melalui PIHAK PERTAMA dan diketahui oleh kepala desa setempat beserta camat. b. Sarana pendidikan c. Sarana keagamaan (tempat ibadah, kegiatan ritual) d. Budidaya tanaman pangan e. Kegiatan penghijauan 5. PIHAK PERTAMA diijinkan untuk menempatkan anggota masyarakat setempat untuk membantu dalam pengamanan kegiatan logging perusahaan sebanyak 2 dan/atau 3 orang dan dibawah koordinasi Asisten Manager Unit Kerja yang bertindak sebagai perwakilan PIHAK KEDUA. Adapun bantuan pengamanan masyarakat dimaksud di atas diberikan imbalan jasa oleh PIHAK KEDUA diberikan secara berkala per 10 hari melalui perwakilan PIHAK KEDUA (manager/ asisten manager) yang bertugas di lapangan. 6. Bila PIHAK KEDUA akan memanfaatkan pohon buah-buahan seperti pohon durian, pohon cempedak, pohon rambutan dan lain-lain maka harus ada kesepakatan terlebih dahulu dengan pemiliknya. 7. PIHAK PERTAMA mengingatkan kepada pihak perusahaan Kodeco agar tidak memperkenankan dan/atau tidak mengijinkan kepada pihak ketiga atau pihak lain (perorangan dan atau kelompok) berada dan/atau bekerja pada lokasi kerja PIHAK KEDUA. 8. Setiap anggota dan/atau kelompok masyarakat kecamatan Hampang dalam hal permohonan/permintaan bantuan kepada pihak perusahaan Kodeco sebagaimana dimaksud pada point 1,2,3,4,5 dan 6 di atas, harus mendapatkan rekomendasi PIHAK PERTAMA yang kemudian membicarakan atau mengkoordinasikan dengan perwakilan PIHAK KEDUA (Manager/Assistant Manager) yang bertugas di lapangan dan selanjutnya bersama-sama membicarakannya dengan kepala desa dan camat kepada PIHAK KEDUA. Kemudian PIHAK KEDUA akan mempertimbangkan permohonan/permintaan bantuan dimaksud sesuai dengan rencana, lokasi kerja serta kemampuan PIHAK KEDUA di wilayah kecamatan Hampang. 9. Setiap permohonan bantuan akan diprioritaskan kepada desa di mana PIHAK KEDUA bekerja di dalam wilayah Kecamatan Hampang melalui kepala desa setempat diteruskan kepada PIHAK PERTAMA dan diketahui oleh camat. 10. PIHAK PERTAMA bersama seluruh anggota masyarakat serta MUSPIDA kecamatan Hampang mendukung kegiatan PIHAK KEDUA yang beroperasi di wilayah kecamatan Hampang, dan dapat menciptakan suasana aman dan tertib. 11. Demikian kesepatan bersama ini dibuat dengan benar tanpa ada tekanan dari pihak lain untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Sumber: Salinan Lembaran Kesepakatan Bersama antara Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kecamatan Hampang (LMMD-KH) dengan PT. Kodeco Timber, 2002.
Yuliana Cahya Wulan
Dari sudut pandang masyarakat, selama lebih kurang 33 tahun PT. Kodeco Timber beroperasi, masyarakat merasakan ketidakpuasan terhadap perusahaan, namun mereka tidak berani mengungkapkan dalam bentuk aksi-aksi terbuka. Hal ini disebabkan pihak perusahaan selalu menggunakan pendekatan keamanan dengan bantuan militer untuk meredamnya. Setelah masa Reformasi, masyarakat mulai berani bertindak secara terang-terangan melawan perusahaan. Pendekatan militer pun tidak dapat lagi membendung aksi-aksi yang dilakukan masyarakat. Peristiwaperistiwa pemicu konflik seperti penggusuran kebun masyarakat oleh perusahaan, atau gesekan lainnya menyebabkan timbulnya aksi-aksi seperti demonstrasi dan bahkan pemukulan terhadap karyawan perusahaan. Pemicu konflik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti adanya informasi mengenai tuntutan masyarakat terhadap perusahaan HPH di lokasi lain. Selain itu, krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan kesejahteraan masyarakat semakin menurun. Akibatnya mereka harus mencari alternatif sumber penghidupan lain secara cepat. Keadaan sebelum dan setelah masa Reformasi seolah-olah menjadi terbalik. Kedudukan perusahaan yang selama ini terkesan kuat karena dukungan pihak militer, menjadi melemah dengan adanya keberanian masyarakat yang tidak lagi menghiraukan aparat, seperti ditunjukkan dalam Tabel 4. Sebelum masa Reformasi, perusahaan lebih kuat dipandang dari segi apapun juga (keabsahan, politik, ekonomi dan sosial). Mereka dengan mudah mendapatkan dukungan dari pihak militer untuk mengamankan semua kegiatan mereka. Sebaliknya, pada masa itu posisi masyarakat desa amat lemah. Semua keadaan, walaupun tidak memuaskan, akan mereka terima begitu saja. Namun segala ketidakpuasan yang selama ini mereka pendam
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
bertahun-bertahun pada akhirnya meledak juga, terutama didorong oleh adanya eforia reformasi. Walaupun dari segi keabsahan mereka lemah (karena wilayah adat yang mereka klaim tidak memiliki surat keterangan secara legal), mereka banyak menerima dukungan dari pihak-pihak lain, terutama karena kebangkitan lembaga-lembaga adat secara nasional. Selain itu, peristiwa-peristiwa kekerasan di tingkat nasional, melemahkan posisi aparat di mata masyarakat. Akibatnya mereka cenderung mengabaikan aparat dan hukum yang selama ini mereka patuhi karena terpaksa. Bagaimanapun juga, konflik terbuka ini menimbulkan beberapa akibat bagi kedua belah pihak. Akibat positif dari adanya konflik ini adalah timbulnya kesadaran dari pihak perusahaan untuk lebih memperhatikan keadaan masyarakat di sekitar hutan. Peningkatan sarana dan prasarana umum di desa-desa sekitar hutan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan perekonomian lokal. Selain akibat positif, tentu saja ada pula akibat negatif dari konflik ini. Misalnya, aksi-aksi demonstrasi atau tindakan kekerasan yang diikuti dengan pemblokiran jalan merugikan kedua belah pihak. Bagi perusahaan, kegiatan produksi mereka menjadi terhenti. Sedangkan bagi masyarakat, karena keterlibatan dalam demonstrasi mereka harus menghentikan kegiatan perekonomiannya. Selain itu, konflik yang dibiarkan berlarut-larut pada akhirnya dapat mendorong tindakan kekerasan yang sangat merugikan kedua belah pihak. Sampai saat ini belum ada tindakan-tindakan yang berarti dalam proses penyelesaian konflik antara PT. Kodeco dengan masyarakat Adat Dayak Meratus. Upaya-upaya penyelesaian yang pernah dilakukan hanya berujung pada tawar-menawar dan akhirnya pemenuhan tuntutan kompensasi, dan sesungguhnya
Tabel 4. Peta Kekuatan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Konflik PT. Kodeco Timber vs Masyarakat Adat Dayak Meratus Kekuatan Pihak-pihak yang Berkepentingan
Pihak yang Berkepentingan
1. PT. Kodeco 2. Masyarakat
Sebelum Reformasi
Setelah Reformasi
Keabsahan
Politik
Ekonomi
Sosial
Keabsahan
Politik
Ekonomi
Sosial
Kuat Lemah
Kuat Lemah
Kuat Lemah
Kuat Lemah
Kuat Lemah
Lemah Kuat
Kuat Lemah
Lemah Kuat
25
26
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
tidak menyelesaikan konflik tersebut sampai ke akarakarnya. Dengan cara seperti ini, hubungan antara pihak PT. Kodeco dan masyarakat tidak menjadi lebih baik. Walaupun terlihat baik, masing-masing sebenarnya saling mencurigai. Penyelesaian konflik antara PT. Kodeco Timber dan masyarakat Adat Dayak Meratus sebaiknya diupayakan dengan sebanyak mungkin membuka ruang-ruang dialog publik. Dalam hal ini, pihak-pihak lain perlu dilibatkan sebagai mediator. Misalnya,pemerintah, yang mempunyai kewenangan dalam hal regulasi yang menyangkut pokok konflik, dan juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang saat ini banyak mendampingi masyarakat lokal.
3.2. Kasus HPH PT Keang Nam Development Indonesia, Sumatera Utara Kasus ini menggambarkan konflik yang terjadi antara PT. Keang Nam Development Indonesia dengan masyarakat Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal.
3.2.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Mandailing Natal merupakan salah satu daerah yang terletak di wilayah pantai barat Sumatera.
Kabupaten baru ini adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan berdasarkan UndangUndang No. 12 tahun 1998. Kabupaten ini terdiri dari delapan kecamatan, yaitu Kecamatan Natal, Batang Natal, Siabu, Penyabungan, Kotanopan, Muarasipongi, Batahan dan Muara Batang Gadis, dengan ibukota kabupaten berada di Penyabungan (BPS, 2000). Sejak tahun 2002, Kabupaten ini mengalami pemekaran wilayah dengan tambahan beberapa kecamatan. Penduduk Kabupaten Mandailing Natal berjumlah 355.285 jiwa, dengan kepadatan 54 jiwa/km 2 . Penduduk yang berdomisili di Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari beragam suku, adat istiadat dan agama. Sedangkan mata pencaharian masyarakat adalah di sektor pertanian/perkebunan, nelayan, pegawai negeri, pedagang dan penyedia jasa. Menurut peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), luas Kabupaten Mandailing Natal adalah ±6.620,70 km2 (±662.070 ha), dengan kawasan hutan seluas ±21.669 ha. Sementara lahan seluas ±240.401 ha dicadangkan untuk Areal Penggunaan Lain (APL). Salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Mandailing Natal adalah Kecamatan Muara Batang Gadis, dengan Singkuang sebagai ibukota kecamatannya. Luas wilayah kecamatan ini ±1.327, 92 km2 atau 132.792 ha (BPS, 2000), atau lebih
Gambar 14. Peta lokasi penelitian di kawasan PT. Keang Nam Development
Yuliana Cahya Wulan
kurang 20% dari luas wilayah Kabupaten Mandailing Natal. Kecamatan ini mempunyai sepuluh desa, diantaranya adalah Desa Tabuyung. Jumlah penduduk kecamatan ini adalah 12.148 jiwa, yang terdiri dari 6.201 laki-laki dan 5.947 perempuan. Sebagian besar desa di Kecamatan Muara Batang Gadis berbatasan dengan areal konsesi HPH PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia. Desa yang berbatasan langsung dengan areal konsesi, antara lain adalah Tabuyung I dan II, dan Pasar Singkuang I dan II. Masyarakat di wilayah pantai barat ini sangat heterogen karena terdiri dari Suku Mandailing, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Minangkabau. Dari kultur budaya lokal yang terbentuk, orang menyebutnya sebagai “masyarakat pesisir” yang menggunakan bahasa pesisir, yang berinduk dari Bahasa Minang sebagai bahasa sehari-harinya.
3.2.2. Sejarah Konflik PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia, yang tergabung dalam Mujur Timber Group, merupakan salah satu perusahaan HPH yang masih aktif di Provinsi Sumatera Utara. Perusahaan ini memperoleh izin konsesi berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 238/KPTS-Um/5/1974, tanggal 21 Mei 1974. Sejak tahun 1999, perusahaan ini mendapat izin perpanjangan konsesi berdasarkan SK Menhut Nomor 805/Kpts-VI/99 tanggal 30 September 1999. Kelompok hutannya sebagian besar berada di Tabuyung dan Singkuang (Rencana Kerja Tahunan PT. Keang Nam, 1999/2000). Persoalan yang terjadi antara PT. Keang Nam dan masyarakat Desa Tabuyung sangat rumit karena bukan hanya mereka saja yang berkonflik, tetapi telah melibatkan pihak-pihak luar.
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Penyebab utama konflik adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap PT. Keang Nam. Masyarakat menganggap bahwa kehadiran PT. Keang Nam di wilayah mereka tidak memberikan kontribusi positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat. Hal ini mereka bandingkan dengan perusahaan burung walet yang beroperasi di wilayah itu sejak tahun 1997. Perusahaan walet membuka lapangan kerja bagi sebagian masyarakat dan menyediakan fasilitas berupa tempat tinggal. Selain itu, setiap tahunnya mereka memberikan sumbangan berupa kebutuhan pokok kepada masyarakat setempat. Dengan demikian masyarakat menilai bahwa perusahaan walet lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat dibandingkan dengan PT. Keang Nam yang telah lama beroperasi di wilayah mereka. Masyarakat juga sering mendengar janji yang tidak pernah ada realisasinya, seperti mengembangkan jaringan radio, membentuk kelompok usaha atau koperasi, dan lain-lain, yang pada akhirnya membuat masyarakat kecewa, dan kemudian berkembang menjadi konflik antara masyarakat desa dengan perusahaan HPH. Penyebab konflik lainnya adalah ketidakjelasan batas antara lahan masyarakat dengan areal konsesi perusahaan, yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak lain. Pengusaha-pengusaha perkebunan dari Medan berusaha memanfaatkan hal ini untuk membuka usahanya di wilayah Tabuyung. Para pengusaha tersebut mengajukan izin membuka perkebunan bermitrakan koperasi milik masyarakat lokal, meskipun sebenarnya ada juga yang bukan murni milik masyarakat, tetapi hanya mengatasnamakan masyarakat lokal. Karena tertarik iming-iming mendapatkan lahan perkebunan, maka masyarakat berani menuntut hak atas pengusahaan lahannya kepada PT Keang Nam.
Tabel 5. Luas Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan di Wilayah DAS Muara Batang Gadis. No Fungsi Hutan 1. 2. 3. 4. 5.
Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Hutan Konversi Areal Penggunaan Lain Jumlah
Eva Wollenberg
Luas (Ha)
Persentase
24.601,89 30.592,85 17.142,31 2.386,12 24.585,47
24,77 30,81 17,26 2,40 24,76
99.308,64
100,00
Sumber: Badan Inventarisasi Hutan Wilayah 1 Medan, 2001
27
28
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Masalah komunikasi, keterlibatan masyarakat dan metode pendekatan yang dipakai PT. Keang Nam dalam pengelolaan sumber daya hutan selama ini juga menjadi penyebab konflik dengan masyarakat. Konflik antara perusahaan dan masyarakat lokal mulai terbuka pada tahun 2000. Beberapa peristiwa telah memicu konflik ini hingga mencapai eskalasi yang cukup tinggi, seperti perusakan fasilitas perusahaan. Pada awal tahun 2000, beberapa warga desa mengajukan usul agar perusahaan memberikan kontribusi dalam pembangunan desa. Masyarakat menghendaki agar PT. Keang Nam memberikan kontribusi sebesar Rp. 10.000,00 per meter kubik dari jumlah kayu yang ditebang, namun pihak perusahaan hanya sanggup memberikan Rp. 1.000,00 per meter kubik. Selain itu, jumlah kayu yang ditebang ditentukan oleh pihak perusahaan tanpa melibatkan keikutsertaan masyarakat dalam perhitungannya. Perbedaan ini telah menyebabkan masyarakat merasa tidak puas. Kemudian ratusan masyarakat desa mengajukan protes kepada perusahaan dengan mendatangi base-camp perusahaan. Masyarakat melakukan demonstrasi dan pemblokiran, yang mengakibatkan kegiatan perusahaan terhenti. Pemblokiran tersebut terjadi dua kali pada pertengahan tahun 2000. Tahun 2001, kejadian pemblokiran terulang kembali, dengan eskalasi yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya karena diikuti dengan aksi pembakaran base-camp dan perusakan fasilitas milik perusahaan (Lihat Gambar 15). Perusahaan mengadukan kejadian
tersebut ke Polres Tapanuli Selatan, karena hal ini sudah merupakan tindak pidana. Pihak kepolisian akhirnya melakukan penahanan terhadap sepuluh orang pelaku pembakaran. Kasus ini kemudian dikirimkan ke Kejaksaan Mandailing Natal. Dalam perkembangannya, karena perusahaan sudah tahu bahwa mereka ditunggangi oleh pihak lain, maka pihak perusahaan tidak mendesak kejaksaan untuk menyelesaikan tuntutannya. Enam bulan kemudian PT. Keang Nam dipertemukan dengan tokoh masyarakat oleh pihak kepolisian untuk mencari penyelesaian secara damai. Beberapa kali negosiasi telah dilakukan oleh PT. Keang Nam untuk meredam kemarahan masyarakat. Cara yang ditempuh oleh PT. Keang Nam, yang diwakili oleh jajaran direksinya, adalah memenuhi beberapa tuntutan dari masyarakat, yang diwakili oleh beberapa tokoh masyarakat. Tetapi dalam kenyataannya, kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan tidak dapat menyelesaikan konflik karena tidak menyentuh akar permasalahannya, yaitu antara lain peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendidikan dan masalah ketidakjelasan tata batas lahan. Melihat permasalahan antara perusahaan dan masyarakat yang belum terselesaikan juga, maka LSM Yayasan Leuser Lestari (YLL) mulai berinisiatif untuk melakukan program pendampingan dan penguatan masyarakat Tabuyung. Lembaga ini mulai melakukan kegiatannya di wilayah Tabuyung pada tahun 2001. Salah satu kegiatan yang telah dilakukannya adalah mengadakan pertemuanpertemuan dengan masyarakat pedesaan. Hasilnya
Gambar 15. Bekas base camp PT. Keang Nam Dev. yang dibakar masyarakat
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
Kotak 10. Peristiwa-peristiwa Konflik antara PT. Keang Nam dan Masyarakat Tabuyung yang dilaporkan Media Massa Penduduk empat desa di Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, memblokir kegiatan Perusahaan HPH PT. Keang Nam di Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis. Pemblokiran yang telah berlangsung dua pekan ini mengakibatkan ribuan meter kubik kayu hasil tebangan tidak dapat dikeluarkan dari kawasan itu, termasuk kapal milik Keang Nam yang penuh muatan kayu tidak diizinkan berlayar. Menurut keterangan warga, mereka melakukan aksi itu karena perusahaan yang sudah 27 tahun beroperasi membabat hutan tidak memperhatikan nasib penduduk di sekitarnya. Padahal sesuai ketentuan pemerintah, hal itu merupakan kewajiban perusahaan. Apalagi sebagian besar dari lebih dari 1000 KK penduduk Muara Batang Gadis masih tergolong masyarakat miskin.
Sumber: Kompas, 27 Mei 2000 Ratusan penduduk empat desa di Kec. Muara Batang Gadis, Sabtu (15/7) sore, kembali memblokir kegiatan HPH PT. Keang Nam. Aksi pemblokiran itu dilakukan setelah pagi harinya, dalam pertemuan yang dihadiri DPRD Kabupaten Mandailing Natal dan unsur-unsur Muspika Muara Batang Gadis, PT. Keang Nam belum bisa memenuhi tuntutan warga.
Sumber: Kompas, 17 Juli 2000 Karyawan PT. Keang Nam menjelaskan kepada Kompas peristiwa pembakaran yang terjadi pada tanggal 19 Maret 2001. Awalnya puluhan aparat Brigade mobil yang sehari sebelumnya sudah berjaga-jaga di lokasi masih mampu menghadang massa. Namun karena jumlahnya terlalu banyak, hampir 400 orang massa akhirnya menerobos pagar betis aparat dan langsung melakukan pembakaran berbagai instalasi perusahaan.
Sumber: Kompas, 28 Maret 2001
antara lain adalah adanya keinginan masyarakat untuk memperjelas tata batas lahan melalui pemetaan partisipatif yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan.
3.2.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat Masyarakat desa, pengusaha perkebunan dari Medan dan PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia adalah pihakpihak yang terlibat langsung dalam konflik tersebut. Konflik yang terjadi diantara mereka tidak terlepas dari andil pengusaha perkebunan dari Medan yang berniat membuka lahan usahanya dengan mempengaruhi masyarakat setempat. Tetapi karena keterbatasan waktu, tim studi tidak berhasil memperoleh informasi mengenai perspektif pengusaha perkebunan dari Medan tentang konflik yang terjadi. Sementara pihak lain seperti pengusaha budidaya burung walet, LSM Yayasan Leuser Lestari (YLL), Pemda dan pihak kepolisian merupakan pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut. A. Masyarakat Berdasarkan hasil wawancara dengan empat warga masyarakat Tabuyung (satu orang tokoh masyarakat dan tiga orang penduduk), terungkap adanya ketidakcocokan dan lemahnya komunikasi antara
pihak perusahaan dengan masyarakat. Penyebabnya adalah perusahaan tidak pernah mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan dan menerapkan aturan yang ketat untuk membatasi akses masyarakat ke dalam hutan. Misalnya, ketika masyarakat membutuhkan kayu bakar untuk keperluan acara syukuran desa, masyarakat harus memperoleh izin terlebih dahulu dari manajer perusahaan. Perusahaan juga sering memberi janji dan harapan tanpa ada realisasinya. Semua itu membuat masyarakat menjadi marah dan akhirnya berkembang menjadi konflik. Selain itu, masyarakat menilai bahwa program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang menjadi kewajiban dari perusahaan HPH, belum sepenuhnya dilaksanakan oleh PT. Keang Nam. Ini terbukti dari kontribusi yang diberikan perusahaan selama 33 tahun beroperasi, yaitu hanya 30% dari yang dibutuhkan masyarakat. Satu-satunya fasilitas bangunan yang diberikan perusahaan adalah sarana pendidikan berupa pembangunan gedung SD pada tahun 2003. Itu pun pada awalnya masyarakat meminta sarana pendidikan tersebut kepada Bupati Mandailing Natal yang sedang melakukan kunjungan kerja ke Desa Tabuyung bersama Direktur Utama
29
30
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia. Bupati kemudian meminta kepada PT. Keang Nam agar bersedia membantu pembangunan sarana pendidikan untuk masyarakat setempat. Pihak perusahaan akhirnya bersedia membantu, dengan catatan sarana pendidikan tersebut dibangun dalam bentuk semi permanen. Masyarakat menganggap pemerintah memegang peranan penting dalam kasus-kasus yang terjadi selama ini, karena pemerintahlah yang telah memberikan izin operasi kepada PT. Keang Nam. Seharusnya, pemerintah lebih adil dalam mengatur pengelolaan sumber daya hutan, karena masyarakat sering dirugikan. Masyarakat juga menginginkan agar pemerintah menyelesaikan masalah tata batas lahan masyarakat dengan areal kerja PT. Keang Nam atau perusahaan lain yang berbatasan dengan desa mereka. Menurut mereka, sebaiknya pemerintah melakukan sosialisasi kembali masalah tata batas ini kepada seluruh masyarakat, dan jangan hanya kepada orangorang yang memiliki kepentingan tertentu saja. Masyarakat juga ingin supaya kehadiran perusahaan di daerah mereka dapat memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan. Namun apabila hal ini sulit dipenuhi, maka masyarakat menginginkan agar lahan yang selama ini mereka kelola dapat dikembalikan lagi, sehingga mereka dapat melakukan usahanya sendiri. B. PT. Keang Nam Development Indonesia Persepsi perusahaan HPH PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia didapatkan dengan mewawancarai direktur perusahaan dan satu orang karyawannya. Menurut mereka, terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan berawal dari masalah antara perusahaan dengan pengusaha perkebunan dari Medan. Pengusaha dari Medan, mengajukan izin membuka perkebunan yang mengatasnamakan koperasi milik masyarakat lokal. Lahan konsesi yang ingin dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit adalah seluas ±28.000 ha. Ini berarti hampir separuh dari luas konsesi PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia, yaitu 58.000 ha. Karena menemui jalan buntu, maka pengusaha-pengusaha dari Medan tersebut meminta kepada masyarakat untuk membentuk koperasi dengan janji bahwa mereka akan diberi lahan garapan. Kebebasan di masa Reformasi dan dukungan dari pengusaha perkebunan ini dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk meminta sebagian lahan PT. Keang Nam untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Namun PT. Keang Nam tidak bersedia menyerahkan lahan yang diminta tersebut karena perubahan fungsi areal memerlukan persetujuan dari Departemen Kehutanan. Karena masing-masing pihak bertahan, akhirnya masyarakat melakukan demonstrasi dan pemblokiran. Pada tahun 2001, perusahaan memenuhi tuntutan ganti rugi kepada masyarakat sebesar Rp. 420 juta. Dana ini diberikan dalam bentuk bangunan dan sarana umum. Perusahaan juga sudah melakukan pembangunan jalan, madrasah dan memberikan bantuan untuk guru-guru. Selain itu, tuntutan masyarakat yang sifatnya insidentil juga telah sering dipenuhi oleh perusahaan, walaupun banyak yang menganggap bahwa pemenuhan tuntutan tersebut seolah-olah baru terjadi setelah peristiwa demonstrasi dan pemblokiran. Kejadian pemblokiran yang terulang kembali pada tahun 2001 telah menyebabkan kerugian sekitar Rp. 4,2 miliar bagi PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia. Selanjutnya, menurut pihak perusahaan, pemberian dana untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam kurun waktu 1997-2000 selalu meningkat dari Rp. 9,7 juta hingga Rp. 10 juta. Pemberian dana ini dilakukan secara bergilir untuk semua desa. Perusahaan telah mencoba menawarkan beberapa kegiatan kehutanan, misalnya menguliti kayu dan membuka jalur untuk kegiatan cruising di dalam hutan. Namun kurang mendapat tanggapan dari masyarakat karena mereka pada umumnya tidak bersedia untuk melakukannya. Perusahaan selama ini telah banyak memberikan kontribusi kepada masyarakat di sekitar wilayah konsesi, mulai dari pemberian kompensasi, dana bantuan, pembangunan fasilitas umum, juga programprogram pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, konflik dengan masyarakat tidak kunjung selesai dan selalu datang tuntutan-tuntutan baru, terutama karena dipengaruhi oleh pihak-pihak ketiga. Untuk itu perusahaan berharap agar masyarakat tidak mudah terprovokasi, karena akhirnya masyarakat juga akan rugi. Di samping itu, perusahaan berharap agar pemerintah juga lebih memberikan perhatian terhadap masalah-masalah yang dihadapi perusahaan dan masyarakat di sekitar perusahaan.
Yuliana Cahya Wulan
C. LSM - Yayasan Leuser Lestari (YLL) Penyebab konflik antara PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia dengan masyarakat adalah kegiatan perusahaan sendiri, yang mengakibatkan kerusakan lahan milik masyarakat, hilangnya tempat pekuburan dan kerusakan lingkungan berupa banjir. Pihak PT. Keang Nam juga tidak memberikan dukungan terhadap kebutuhan fasilitas bagi masyarakat. Ketika masyarakat mengadukan permasalahan yang dihadapinya, pihak perusahaan tidak serius menanggapi keluhan masyarakat tersebut. Perusahaan lebih banyak mengumbar janji dan sangat jarang merealisasikannya. Faktor lain yang menyebabkan konflik adalah motif ekonomi dan keberadaan perusahaan budidaya sarang walet yang memulai usahanya sekitar tahun 19971998. Perusahaan ini dianggap lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat dibandingkan PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia. Sampai saat ini, perusahaan budidaya walet dijadikan barometer terhadap kehadiran sebuah perusahaan yang akan melakukan kegiatannya di Desa Tabuyung. D. Dinas Kehutanan Sumatera Utara dan Dinas Kehutanan Mandailing Natal Masyarakat mengharapkan keberadaan sebuah perusahaan HPH di sekitar wilayah mereka bisa meningkatkan kesejahteraan dan mendukung pembangunan wilayahnya. Bila masyarakat merasa tidak memperoleh manfaat dari keberadaan perusahaan tersebut, maka konflik antara perusahaan dengan masyarakat kemungkinan besar akan terjadi. Contoh yang dialami masyarakat Tabuyung adalah karena masyarakat merasa kurang memperoleh perhatian dari PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia. Walaupun demikian, konflik yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat sebenarnya tidak terlepas dari kegiatan pembukaan lahan untuk perkebunan oleh para pengusaha dari Medan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kejelasan status, baik status areal kerja perusahaan, tanah ulayat masyarakat dan juga status masyarakat yang akan dibina. Berdasarkan informasi dari Dinas Kehutanan Mandailing Natal, PT. Keang Nam telah melaksanakan program PMDH, tetapi tidak merata untuk seluruh desa yang berada di sekitar areal konsesinya. Hal inilah yang menimbulkan kecemburuan bagi masyarakat desa yang kurang
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
terjamah oleh program PMDH. Pelaksanaan program PMDH yang telah dilakukan antara lain berupa bantuan saprodi (pupuk, bibit, pestisida), pemberian bea siswa, pemberian subsidi untuk honor guru, rehabilitasi bangunan sekolah, bantuan bahan bangunan mesjid, pengobatan gratis serta pengerasan dan pembukaan jalan.
3.2.4. Upaya Penanganan Konflik Sebelum aksi pembakaran dan perusakan fasilitas terjadi, yang merupakan puncak kemarahan dan batas kesabaran masyarakat, mereka telah melakukan pengaduan-pengaduan ke tingkat kabupaten sampai tingkat pusat. Pertama kali yang menerima pengaduan masyarakat adalah DPRD dan Pemerintah Daerah setempat, yang dilanjutkan dengan pertemuan bagi pihak-pihak yang terlibat. Pertemuan ini telah dilakukan beberapa kali tetapi tidak menghasilkan kesepakatan yang memuaskan bagi semua pihak. Hal ini ditandai dengan masih berlangsungnya aksi demonstrasi dan pemblokiran yang dilakukan masyarakat. Ketika konflik mencapai ke aksi pembakaran dan perusakan, penanganannya melibatkan aparat kepolisian, karena dianggap sudah melanggar hukum. Ketika itu pasukan Brimob turun ke tempat kejadian untuk meredakan amarah masyarakat. Kemudian aparat kepolisian melakukan penangkapan dan pencarian terhadap orang-orang yang menjadi tokoh utama dalam aksi pembakaran dan perusakan fasilitas milik PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia. Pihak kepolisian mengirimkan berkas penyidikan kasus ini kepada pihak Kejaksaan Mandailing Natal untuk ditindaklanjuti secara hukum. Dalam perkembangannya, karena kedua pihak bersepakat untuk menyelesaikannya secara damai, maka kasus tersebut ditarik dari kejaksaan. Polres Tapanuli Selatan mempertemukan pihak PT. Keang Nam dengan tokoh masyarakat Tabuyung untuk didamaikan, tepatnya enam bulan setelah aksi pembakaran dan perusakan terjadi.
3.2.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil Konflik yang terjadi antara PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia dan masyarakat Tabuyung disebabkan banyak faktor dan juga dipengaruhi oleh kehadiran pihak ke tiga. Ketidakpuasan masyarakat terhadap
31
32
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
kontribusi perusahaan selama ini dan perebutan lahan merupakan pokok utama konflik ini. Untuk lebih jelasnya penyebab konflik dan kepentingan masing-masing pihak ditunjukkan dalam Tabel 6. Semuanya ini kemudian berujung pada serangkaian aksi demonstrasi dan tindakan kekerasan. Peristiwa pembakaran dan perusakan oleh masyarakat merupakan salah satu bentuk kekecewaan masyarakat terhadap kondisi pengelolaan hutan selama ini. Masyarakat dan tokoh masyarakat telah melaporkan kekecewaannya kepada pihak perusahaan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali. Kemudian masyarakat menindaklanjuti pengaduan ini kepada DPRD dari tingkat kabupaten sampai provinsi, tetapi tidak membuahkan hasil, sehingga akhirnya sikap masyarakat sudah sampai pada titik pasrah dan apatis. Konflik antara masyarakat Desa Tabuyung dan PT. Keang Nam sampai saat ini belum ditangani secara serius. Hubungan kedua belah pihak pun kurang baik dan saling tidak percaya. Kehadiran pihak ketiga, yaitu para pengusaha perkebunan dari Medan, semakin memperburuk keadaan ini, namun belum ada tindakan penanganan konflik yang serius. Konflik ini telah berlangsung lama dan telah sampai kepada tingkat eskalasi yang cukup tinggi. Apabila dibiarkan, hal ini dapat menyebabkan tindakan kekerasan lainnya yang tidak mustahil bisa sampai kepada tindakan menghilangkan nyawa. Sampai saat ini pun kedua belah pihak telah merasakan dampak konflik ini. Kekerasan yang terjadi telah menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi perusahaan, begitu pula bagi masyarakat sampai ada warganya yang harus mendekam di penjara. Namun demikian, beberapa peristiwa tersebut telah menyadarkan kedua belah pihak bahwa ada pihak ketiga yang ingin mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi (seperti dijelaskan pada saat penyelesaian kasus penangkapan masyarakat yang terlibat dalam pembakaran base-camp PT. Keang Nam). Untuk itu perlu dibuka ruang-ruang dialog antara pihak-pihak yang terkait dengan konflik ini. PT. Keang Nam seharusnya melibatkan masyarakat yang berada di sekitar konsesinya dalam pelaksanaan kegiatan kehutanan. Karena dengan melibatkan
masyarakat, akan timbul kepedulian dan tanggung jawab masyarakat atas keberlangsungan kegiatan perusahaan. Kemudian masyarakat juga sebaiknya diberikan kesempatan untuk memanfaatkan keberadaan hutan, misalnya untuk mengumpulkan kayu bakar, menyadap getah pohon, mengambil madu dan lain-lain. Selain itu, perusahaan perlu membuka diri untuk lebih mendengarkan aspirasi dan mengetahui kebutuhan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat sebaiknya diawali dengan pertemuan dengan masyarakat desa, sehingga pelaksanaan program PMDH dapat menyentuh aspek kehidupan yang dipandang paling penting oleh masyarakat. Sementara itu, Pemerintah Daerah perlu menjalankan fungsi kontrolnya dalam mengawasi pelaksanaan program tersebut. Pemerintah Daerah diharapkan juga untuk melakukan penertiban terhadap oknum-oknum pengusaha yang tidak bertanggung jawab dan hanya mencari keuntungan sendiri dengan mengorbankan masyarakat. Pemberian izin usaha harus lebih diperketat sehingga tidak hanya mempertimbangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) saja. Selain itu, sedapat mungkin melibatkan semua instansi terkait, sehingga tidak mudah memberikan izin penggunaan lahan yang statusnya tidak jelas.
3.3. Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau Kasus ini menggambarkan konflik antara PT. Riau Andalan Pulp and Paper (PT. RAPP) dengan masyarakat Adat Kuntu yang berada di sekitar areal HTI PT. RAPP di Kabupaten Kampar Kiri. Penyebab konflik adalah ketidakjelasan batas areal kerja PT. RAPP dengan tanah adat mereka. Menurut masyarakat, sebagian areal konsesi HTI PT. RAPP di wilayah tersebut merupakan tanah adat Kuntu.
3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian PT. RAPP merupakan salah satu produsen terbesar pulp dan kertas dengan kapasitas produksi 1.100.000 ton per tahun. Perusahaan ini telah beroperasi sejak tahun 1992 dan mulai berproduksi pada bulan Januari 1995. PT. RAPP memiliki areal konsesi HPHTI seluas 280.500 ha, yang meliputi Kabupaten Kampar, Kuantansingingi, Pelalawan, Rokan Hulu, dan Pekanbaru. Studi kasus ini difokuskan di wilayah adat Kekhalifahan Kuntu.
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
Tabel 6. Pokok-pokok konflik PT. Keang Nam Dev. Indonesia dan masyarakat Desa Tabuyung Pokok Sengketa
Pihak yang Bersengketa
Tuntutan Pihak yang Bersengketa
Kepentingan
Masyarakat Tabuyung
Perusahaan belum memberikan kontribusi yang cukup dalam pembangunan desa dari hasil penebangan Perusahaan belum menjalankan PMDH Pembangunan gedung sekolah
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Peningkatan Tingkat Pendidikan
PT. Keang Nam Dev. Indonesia
Perusahaan selama ini telah banyak memberikan bantuan kepada masyarakat, dan masyarakat sebaiknya tidak mudah terprovokasi oleh pihak lain.
Mempertahankan areal konsesinya
2. Perubahan sikap masyarakat akibat kehadiran perusahaan sarang burung walet
PT. Keang Nam Dev. Indonesia dengan Masyarakat Tabuyung
Perusahaan memberi fasilitas tempat tinggal dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Mendapatkan fasilitas dari PT. Keang Nam yang sama seperti yang diberikan perusahaan sarang burung walet.
3. Pembatasan akses
Masyarakat Tabuyung
Perusahaan mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan tidak membatasi akses masyarakat ke dalam hutan
Pemberian akses bagi masyarakat terhadap sumber daya hutan
PT. Keang Nam Dev. Indonesia
Perusahaan telah membuka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar namun demikian banyak yang tidak bersedia melakukan pekerjaan tersebut.
Hanya memberikan kesempatan kerja yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan, walaupun mungkin hal itu tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Masyarakat Tabuyung
Masyarakat menuntut hak pengusahaan lahan yang dipengaruhi oleh perusahaan perkebunan yang ingin berinvestasi
Mendapatkan lahan untuk dijadikan perkebunan yang dapat meningkatkan tingkat kesejahteraannya
PT. Keang Nam Dev. Indonesia dengan perusahaan perkebunan
Pemerintah seharusnya membantu untuk menjelaskan batas-batas antara lahan masyarakat dan areal kerja PT. Keang Nam Dev. Indonesia
Mempertahankan areal konsesi
1. Minimnya kontribusi PT. Keang Nam terhadap masyarakat
4. Ketidakjelasan tata batas lahan
33
34
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Gambar 16. Peta lokasi penelitian di kawasan HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper
Wilayah adat Kekhalifahan Kuntu yang terletak di Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar ini terdiri dari empat buah desa, yaitu Desa Domo, Kampung Tengah, Padang Sawah dan Kuntu Toeroba. Desa yang inilah yang mengalami konflik dengan PT. RAPP. Keempat desa ini berada dalam satu Sistem Kenegerian Adat Khalifah yang terletak di kawasan penyangga Taman Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang-Baling.
rotan, damar, gaharu dan madu. Pada saat ini, selain berkebun karet, masyarakat juga mengusahakan kebun jeruk dan bersawah ladang dengan pola perladangan berpindah. Kegiatan berladang dilakukan satu kali dalam setahun13 .
Daerah ini kaya akan sumber daya alam berupa tanaman obat, dan berbagai jenis kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti balam merah, meranti, jelutung, rotan, pasak bumi, gaharu dan damar. Selain itu, terdapat beragam jenis satwa liar, seperti berang-berang, macan dahan, harimau sumatera dan tapir melayu.
3.3.2. Sejarah Konflik Perusahaan HTI PT. RAPP mulai beroperasi di wilayah ini pada tahun 1994. Pada awalnya, sebagian besar masyarakat menolak masuknya perusahaan di kawasan ini, karena sebagian areal konsesi perusahaan merupakan lahan yang mereka kelola. Namun pada saat itu masyarakat tidak melakukan perlawanan karena perusahaan memiliki surat izin resmi dari pemerintah, sedangkan mereka tidak mempunyai bukti legal bahwa mereka pemilik sah dari lahan tersebut.
Kehidupan masyarakat Kuntu sebagian besar mengandalkan hasil kebun karet yang telah dikelola secara turun-temurun. Di samping itu, mata pencaharian yang dapat menunjang perekonomian masyarakat adalah hasil hutan non-kayu, seperti
Tanah ulayat di wilayah adat Khalifah Kuntu tidak mengenal sistem kepemilikan pribadi, tetapi merupakan milik komunal (adat). Dalam sistem ini, seseorang boleh mengelola lahan tersebut dan berhak untuk mengambil hasilnya, akan tetapi tidak
13
Pembuatan sawah ladang diawali dengan pembukaan hutan; kayunya diambil untuk keperluan rumah tangga, kemudian ditanami padi serta tanaman sayuran. Sistem perladangan ini berlangsung sampai tiga kali panen. Setelah itu lahannya ditanami karet dan pohon buah-buahan sehingga terbentuk pertanian multikultur.
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
mempunyai hak kepemilikan atas lahan tersebut. Selain itu, tanah ulayat tidak dapat diperjualbelikan. Apabila seseorang ingin menggarap lahan dalam wilayah tanah ulayat, maka yang bersangkutan harus mendapatkan izin dari Datuk Khalifah14 . Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam status pengelolaan lahan. Tanah ulayat ini ada yang masih berupa hutan, dan ada juga yang berupa kebun karet. Dengan masuknya PT. RAPP, lahan ulayat ini sedikit demi sedikit mulai terdesak.
menuntut uang ganti rugi yang pantas untuk lahan mereka. Usaha ini dilakukan baik secara berkelompok maupun perorangan, namun tidak membuahkan hasil apa-apa. Perusahaan menganggap lahan yang mereka garap sudah menjadi hak mereka karena berdasarkan izin dari pemerintah (SK Menhut No. 137/KPTs-II/1997) yang dimilikinya dan telah melakukan ganti rugi sebelumnya. Pada akhir tahun 1999 masyarakat kembali menuntut tanahnya akan tetapi tidak ditanggapi oleh pihak perusahaan.
Menurut Hakiki (LSM lokal di Pekanbaru), pada tahun 1994 PT. RAPP melakukan pengelolaan lahan pertama untuk areal HTI-nya di daerah tersebut. Pada saat itu luas kawasan hutan adat yang diserobot diperkirakan sekitar 500 ha. Akan tetapi pada saat itu masyarakat belum mengetahuinya karena lokasinya jauh dari pemukiman masyarakat.
Karena tidak juga mendapat tanggapan dari perusahaan, maka pada bulan Maret 2001 masyarakat memblokir jalan perusahaan. Mereka menduduki base-camp dan memagarinya dengan kawat berduri. Seluruh aktivitas perusahaan pada saat itu berhenti total. Masyarakat menuntut perusahaan untuk memberikan uang ganti rugi sebesar Rp. 1,2 milyar atas kebun karet mereka serta seluruh hasil hutan yang berada dalam kawasan hutan adat yang telah digusur pada waktu pembukaan lahan. Pihak perusahaan akhirnya mulai menanggapi, dan kemudian dimulailah proses-proses negosiasi, yang dilakukan antara PT. RAPP dan perwakilan masyarakat setempat. Dalam hal ini, Yayasan Hakiki melakukan pendampingan masyarakat, sambil memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik. Negosiasi ini terjadi berulang-ulang dan berlangsung selama lebih kurang enam bulan dan akhirnya disepakati bahwa perusahaan sanggup membayar sejumlah Rp. 300 juta (hanya seperempat dari jumlah yang dituntut masyarakat.
Pada tahun 1995, perusahaan RAPP melakukan pengolahan lahan tahap kedua seluas ±600 ha yang masih terletak di kawasan hutan adat Kuntu. Pada tahap kedua ini sebagian masyarakat sudah mulai mengetahuinya. Tahap ketiga dilakukan pada tahun 1996 di atas lahan seluas ±400 ha yang sebagian besar berupa kebun karet masyarakat. Penyerobotan kebun karet dilakukan secara paksa menggunakan bulldozer. Pada tahun ini juga dilakukan pembayaran ganti rugi kepada masyarakat sebesar Rp.150 ribu per Kepala Keluarga (ada 139 KK) dan uang suguh hati15 sebesar Rp.10 juta yang diberikan melalui kepala desa untuk pelaksanaan program bina desa. Pada saat itu, masyarakat sebenarnya tidak sepenuhnya bisa menerima keputusan ini, karena dianggap uang ganti rugi tersebut terlalu kecil. Akan tetapi pihak perusahaan dan pemerintah desa “mengintimidasi” (dengan cara mendatangi beberapa kali rumah tiap warga agar mau menerima uang tersebut). Pada akhirnya masyarakat mengalah karena tidak berani melawan, dan mereka berpikir lebih baik mendapat sedikit daripada tidak sama sekali. Pada saat isu reformasi mulai bergulir tahun 19971999, masyarakat mulai bangkit dan berusaha 14
15
3.3.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat Dalam kasus ini, pihak-pihak yang terlibat langsung adalah perusahaan dan masyarakat sendiri. Sedangkan pihak-pihak lain seperti LSM Hakiki dan Dinas Kehutanan juga dianggap sebagai pihak berkepentingan walaupun tidak terlibat langsung dalam konflik. Keterlibatan mereka hanya dalam proses-proses negosiasi awal saja atau apabila sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak (perusahaan dan masyarakat), maka mereka diikutsertakan sebagai saksi kesepakatan tersebut.
Datuk Khalifah adalah orang yang memimpin satu kekhalifahan yang merupakan bapak dari anak-kemenakan. Dia bertanggung jawab atas anak kemenakannya dan juga mengenai pembagian hak garap dari anak-kemenakannya tersebut. Uang ganti rugi.
35
36
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
A. Perusahaan - PT. Riau Andalan Pulp & Paper Persepsi perusahaan didapatkan berdasarkan penuturan Direktur Program Pemberdayaan Masyarakat Riau (PPMR) PT RAPP dan tiga orang stafnya. Dalam menjalankan operasinya, PT. RAPP memang banyak mendapatkan tantangan dari berbagai pihak, terutama dari masyarakat, baik mereka yang berada di sekitar lokasi perusahaan yang mendapatkan dampak langsung, maupun dari masyarakat luas. Terjadinya benturan-benturan antara perusahaan dan masyarakat tidak dapat dihindari karena ada saja ketidakpuasan masyarakat terhadap perusahaan, dan terlebih lagi karena kurangnya perhatian dari pemerintah. Hal ini dapat dimaklumi karena rata-rata kondisi kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan masih kurang baik. Konflik-konflik yang terjadi di masyarakat banyak juga dipicu oleh pihak ketiga yang berusaha mengambil keuntungan. Misalnya, penggerakan massa oleh orang-orang yang ingin menjual kayu kepada perusahaan. Ketika kayu mereka ditolak oleh perusahaan karena asal usulnya yang tidak jelas, maka mereka akan menggerakkan masyarakat untuk melakukan pemblokiran jalan agar kayu mereka dapat diterima perusahaan. Sementara itu, konflik-konflik akibat klaim tanah adat dari sudut pandang perusahaan dinilai hanya mengadaada saja, karena secara hukum tanah adat mereka tidak bisa dibuktikan. Pada dasarnya Suku Melayu merupakan peladang berpindah, sehingga sebenarnya ladang-ladang yang sudah mereka tinggalkan dan menjadi hutan kembali tidak bisa lagi disebut sebagai tanah adat. Sering terjadi, lahan yang diklaim sebagai tanah adat luasnya bisa mencapai ribuan hektar, dan ini sama sekali tidak masuk akal. Jadi, lahan-lahan bekas ladang yang sudah ditinggalkan tidak bisa lagi disebut sebagai tanah adat. Selain itu, masyarakat juga tidak bisa membuktikan, mana yang sebenarnya mereka klaim sebagai lahan adat mereka. Pemberian kompensasi lebih sering digunakan PT. RAPP sebagai cara dalam menyelesaikan konflik. Hal ini dilakukan setelah melalui musyawarah dan mufakat dengan masyarakat, karena ada juga tuntutan-tuntutan yang jumlahnya tidak masuk akal. Proses negosiasi ini tidak banyak melibatkan pihak lain, dan lebih banyak dilakukan antara pihak perusahaan dan masyarakat saja. Walaupun pihak lain dilibatkan, misalnya dari
pemerintah, mereka hanya terbatas sampai pada tingkat kecamatan dan Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) setempat saja. Saat ini PT. RAPP mengembangkan program pemberdayaan masyarakat yang dikenal dengan PPMR (Program Pemberdayaan Masyarakat Riau). Program ini merupakan suatu mekanisme layanan sumber daya dukung untuk membantu masyarakat agar mereka dapat mengentaskan dirinya sendiri. PT. RAPP menyadari bahwa program ini bukan merupakan cara perusahaan agar terhindar dari konflik-konflik dengan masyarakat, tetapi merupakan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya. Dalam implementasinya, masyarakat masih banyak yang menolak programprogram ini. Namun demikian PT. RAPP berharap program ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar areal kerja perusahaan, sehingga dapat mengurangi frekuensi konflik antara masyarakat dengan perusahaan. B. Masyarakat Baik tokoh adat dan kepala desa mengakui bahwa inti permasalahan dengan PT. RAPP adalah adanya sebagian areal konsesi HTI PT. RAPP yang berada di kebun karet dan hutan di wilayah tanah ulayat masyarakat Kuntu. Pada saat PT. RAPP mulai beroperasi di daerah ini tahun 1994, perusahaan dengan sewenang-wenang mengambil lahan masyarakat baik yang berupa hutan maupun kebun karet tanpa mengadakan sosialisasi lebih dahulu dengan tokoh adat maupun masyarakat penggarap kebun karet tersebut. Kepala desa mengakui bahwa pada saat itu memang ada pemberitahuan melalui desa, tetapi karena perangkat desa pada saat itu kurang dipercayai masyarakat dan dianggap sebagai kaki tangan perusahaan, maka masyarakat tidak mau tahu. Tokoh adat pun menganggap awal kedatangan PT. RAPP ke daerah mereka tanpa permisi dan tidak menghargai hak-hak masyarakat. Pada tahun itu juga sebenarnya perusahaan telah mengganti rugi kebun karet masyarakat yang telah digusur dan uang suguh hati16 berupa bantuan untuk pembangunan desa. Namun menurut tokoh adat, uang ganti rugi ini diberikan kepada masyarakat tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu dan disertai dengan tekanan dari pihak perusahaan.
Yuliana Cahya Wulan
Pada tahun 2001 masyarakat yang terdiri dari ninikmamak dan perangkat desa melakukan tuntutan ke kantor sektor PT. RAPP Logas Utara. Pada awalnya, masyarakat menyurati pihak perusahaan (lihat Lampiran 6. Surat Blokir Jalan) dan menunggu jawabannya selama beberapa bulan, namun tidak pernah ada tanggapan. Masyarakat kemudian menganggap bahwa bila berhubungan dengan perusahaan harus disertai kontak fisik. Setelah bermusyawarah dengan ninik-mamak, akhirnya mereka setuju untuk turun ke lapangan dan memblokir jalan masuk ke perusahaan. Pemblokiran dilakukan selama dua hari oleh sekitar 80 orang warga yang terdiri dari ninik-mamak, pemuka masyarakat dan pemuda desa. Setelah itu barulah ada reaksi dari pihak perusahaan. Selanjutnya, terjadilah perundingan yang dilakukan oleh ninik-mamak, perangkat desa, perwakilan perusahaan dan Camat, dan memakan waktu hampir enam bulan (enam sampai tujuh kali perundingan) sebelum kesepakatan dicapai. Masyarakat mengajukan uang ganti rugi sebesar Rp.1,2 miliar; namun kemudian yang disepakati hanya sebesar Rp.100 juta, ditambah dengan satu unit sekolah seharga Rp. 90 juta, bantuan untuk mesjid Rp.10 juta dan bantuan untuk desa sebesar Rp.10 juta per tahun selama sepuluh tahun. Setelah dicek lagi uang yang diberikan langsung pada saat itu sebesar 100 juta + 90 juta (untuk 1 unit sekolah) + 10 juga (untuk bantuan mesjid) + 10 juta (untuk desa selama 10 tahun, jadi 100 juta)= 300 juta. Kepala desa juga mengakui bahwa sebenarnya tuntutan-tuntutan ini dipengaruhi juga oleh pihakpihak luar. Misalnya konflik PT. RAPP dengan desa lain atau di lokasi lain. Masyarakat membandingkan besarnya ganti rugi yang diterimanya dengan desa lain yang juga sedang bersengketa. Apabila mereka merasakan ganti rugi yang diterimanya belum cukup, maka masyarakat pun menjadi resah dan kembali ingin menuntut perusahaan. Selain pemberian kompensasi, di Desa Kuntu pun dilaksanakan program PPMR berupa pengobatan gratis, sunatan massal (walaupun untuk sunatan massal tidak ada yang mendaftar), dan program pelatihan pertanian terpadu yang disertai dengan pemberian bantuan berupa sapi untuk penggemukan. Namun 17
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
program ini kurang mendapat tanggapan baik dari masyarakat. Menurut kepala desa, karena masyarakat tidak ada yang mau mengikutinya, maka pihak desa mengutus empat orang dari pesantren 17 untuk mengikuti pelatihan ini. Masyarakat Kuntu sampai saat ini tidak melihat pemberian kompensasi sebagai penyelesaian konflik yang dikehendakinya. Pemberian kompensasi dianggap sebagai hutang perusahaan kepada masyarakat yang menerima dampak negatif akibat kegiatan perusahaan selama ini. Menurut mereka, konflik tersebut akan selesai apabila perusahaan menyerahkan kembali tanah ulayat mereka. C. Dinas Kehutanan Provinsi Riau Berdasarkan hasil diskusi dengan Kepala Bagian Pengurusan HTI dan beberapa staf Bagian Pengembangan Masyarakat, peran Dinas Kehutanan dalam proses penyelesaian konflik ini tidak banyak. Menurut mereka, dalam kasus-kasus konflik HTI dan masyarakat lebih banyak diselesaikan secara intern (antara perusahaan dan masyarakat), dan bahkan perusahaan cenderung menutupi hal ini di depan pemerintah. Mereka mengetahui kasus-kasus konflik ini dari artikel-artikel di media massa, yang umumnya hanya merupakan kasus-kasus besar. Dalam beberapa kasus, memang mereka dilibatkan dalam proses negosiasi, tetapi itu pun hanya dalam tahap awal saja untuk mencari solusi yang paling tepat dalam menyelesaikan konflik tersebut. Apabila mereka telah sepakat, misalnya untuk memberikan uang ganti rugi kepada masyarakat, maka Dinas Kehutanan sudah tidak dilibatkan lagi dalam negosiasi selanjutnya. Negosiasi untuk penentuan besarnya uang kompensasi dilakukan antara pihak perusahaan dan masyarakat sendiri. Biasanya wakil pemerintah yang dilibatkan dalam proses-proses negosiasi ini hanya sampai pada tingkat kecamatan. Dalam kasus-kasus konflik klaim atas tanah adat, Dinas Kehutanan tidak bisa berpihak kepada masyarakat, karena walaupun ada pengakuan atas keberadaan tanah adat, luasan dan batas-batasnya tidak jelas, dan tidak dapat dibuktikan secara hukum formal. Sedangkan pihak perusahaan sudah memiliki izin yang sah secara hukum.
Komunitas pesantren dianggap suatu komunitas yang ekslusif di desa ini dan kurang bersosialisasi dengan masyarakat secara umum.
37
38
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Menurut mereka, konflik-konflik yang terjadi dalam perusahaan HPH/HTI saat ini merupakan kesalahan sistem pada masa lalu. Pemerintah Pusat memberikan izin konsesi di daerah tanpa memperhatikan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. Dinas Kehutanan merasa kesulitan untuk membantu pihak-pihak terkait dalam menyelesaikan konflik tersebut. Langkah terpenting yang perlu dilakukan saat ini adalah memperjelas batas-batas areal kerja perusahaan dengan melibatkan masyarakat dan instansi terkait lainnya. Namun Dinas Kehutanan merasakan kesulitan untuk mendapatkan kepercayaan, baik dari perusahaan maupun masyarakat, untuk ikut serta dalam penyelesaian masalah tersebut. Perusahaan lebih banyak menutupi konflik-konflik yang terjadi dan berusaha menyelesaikan sendiri, sedangkan masyarakat lebih suka mengandalkan bantuan dari pihak-pihak lain, misalnya LSM. D. LSM - Yayasan Hakiki Hakiki mulai aktif di daerah Kuntu pada tahun 2001, walaupun sebenarnya sejak tahun 2000 sudah mulai mengenal beberapa tokoh masyarakat Kuntu. Menurut penilaian mereka, masyarakat Kuntu pada dasarnya telah memiliki kelembagaan adat yang kuat dan terorganisasi dengan baik, sehingga Hakiki pun tidak terlalu banyak terlibat dalam proses-proses penyelesaian konfliknya. Peran Hakiki hanya memfasilitasi masyarakat agar mereka bisa mendapatkan wawasan yang luas dan dapat berdiskusi dengan pihak-pihak lain, seperti masyarakat adat lain ataupun dengan pemerintah. Dalam kasus konflik dengan RAPP, biasanya Hakiki hanya memberikan masukan-masukan bila masyarakat membutuhkan, dengan cara berdiskusi dengan tokohtokoh adat yang akan mewakili masyarakat dalam proses negosiasi. Masyarakat datang ke Hakiki dan mereka akan mendiskusikan masalah-masalah yang ada, kemudian hasilnya mereka diskusikan dalam musyawarah adat dan mereka sendiri memilih wakil untuk bernegosiasi dengan pihak perusahaan. Selanjutnya, Hakiki hanya mengawasi implementasi hasil-hasil kesepakatan yang telah dibuat. Hakiki juga memperkenalkan masyarakat kepada hukum-hukum negara yang berlaku, terutama yang berhubungan dengan tanah ulayat. Hakiki menganggap hukum-hukum negara yang berlaku saat ini telah 18
Uang ganti rugi
melemahkan keberadaan masyarakat adat dan hukum adat, sehingga dalam konflik yang terjadi akibat klaim tanah adat, masyarakat selalu kalah bila menggunakan hukum formal. Contohnya, pemerintah memberikan izin pengusahaan HTI untuk mengelola suatu areal, padahal di wilayah itu terdapat masyarakat lokal yang tengah mengelola areal yang sama. Sementara, masyarakat lokal telah mempunyai sistem kepemilikan dan pengelolaan lahan yang telah mereka terapkan di wilayah tersebut secara turun-temurun selama puluhan bahkan ratusan tahun. Karena hukum formal yang berlaku, pada akhirnya masyarakat tersingkir karena kepemilikan mereka tidak diakui oleh pemerintah. Pada tahun 2002 Hakiki membantu masyarakat melakukan pemetaan partisipatif di Desa Kuntu untuk memperjelas batas-batas antara wilayah tanah Adat Kuntu dengan batas areal kerja HTI PT. RAPP, dan juga batas dengan tanah adat kekhalifahan lain. Dari hasil pemetaan ini, diperkirakan terdapat ±1670 ha tanah ulayat masyarakat Kuntu yang berada di areal konsesi HTI PT. RAPP. Pemetaan ini diharapkan dapat disosialisasikan agar semua pihak terkait mendapatkan informasi mengenai batas-batas wilayah kelola mereka. Diharapkan dengan pemetaan ini, masyarakat dapat menyelesaikan persengketaan mengenai tata batas ini secara tuntas. Hakiki menilai Dinas Kehutanan yang merupakan instansi terkait, kurang memberikan perhatian dalam konflik-konflik yang terjadi di seputar kegiatan HTI, kecuali apabila kasus tersebut sudah sampai pada tingkat penganiayaan atau bahkan pembunuhan.
3.3.4. Upaya Penanganan Konflik Pada awalnya PT. RAPP memilih pendekatan militer dalam penyelesaian konflik. Namun sejalan dengan bergulirnya reformasi dan semakin kuatnya posisi masyarakat, PT. RAPP memilih jalan musyawarah sebagai penyelesaian konflik. Biasanya dalam musyawarah, masyarakat diwakili oleh ninik-mamak atau wakil yang dipilih dalam musyawarah intern masyarakat (rapat adat). Musyawarah antara masyarakat dengan RAPP biasanya berlangsung berulang kali dan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Namun dalam prosesnya, musyawarah ini sering menjadi sarana tawar-menawar uang sagu hati.18 Setelah terjadi kesepakatan, perusahaan akan
Yuliana Cahya Wulan
membayar sejumlah uang kepada masyarakat. Uang ganti-rugi lahan masyarakat yang dipakai oleh perusahaan biasanya langsung diserahkan kepada Kepala Keluarga (KK) masing-masing. Sedangkan untuk tanah adat yang tidak digarap/ditanami oleh perorangan, maka ganti ruginya bisa berupa pembangunan gedung sekolah, bantuan pembangunan mesjid, dan bantuan uang pembinaan yang diberikan melalui desa. Selain itu, PT. RAPP juga menerapkan programprogram pemberdayaan masyarakat di sekitar areal konsesinya, seperti pelatihan petani terpadu, pemberian bantuan sarana/prasarana pertanian, sunatan massal dan lain-lain.
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
3.3.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil Dari penuturan berbagai pihak, dapat disimpulkan bahwa penyebab konflik antara PT. RAPP dengan masyarakat Desa Kuntu adalah karena adanya tumpang tindih areal kerja HTI PT. RAAP dan lahan adat milik masyarakat Kuntu. Selain itu, masalah batas areal juga merupakan penyebab utama dalam konflik ini. Kedua penyebab konflik tersebut, ditambah dengan kurangnya sosialisasi PT. RAPP pada awal perusahaan beroperasi, telah menyebabkan kemarahan masyarakat. Kemarahan yang telah terpendam selama bertahun-tahun ini kemudian, muncul ke permukaan pada masa Reformasi.
Gambar 17. Gedung sekolah bantuan PT. RAPP untuk masyarakat Desa Kuntu
Gambar 18. Sapi bantuan PT. RAPP untuk program PPMR
39
40
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Kotak 11. Surat Undangan Penyelesaian Klaim Lahan Masyarakat Adat Rantau Pangkalan Kerinci, 24 Maret 2001 Kepada Yang Terhormat, Bapak Drs. Dt. Bandaro Mudo Ketua Umum Lembaga Kerapatan Adat Rantau Kampar Kiri di Lipat Kain Perihal: Undangan Penyelesaian Klaim Lahan Masyarakat Adat Rantau Kampar Kiri Dengan Hormat, Teriring dengan do’a dan harapan semoga Bapak berada dalam keadaan sehat wal’afiat dan sukses dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari. Amien. Merujuk pada surat Saudara Nomor: 020/LKA-RKK/III/2001 tanggal 20 Maret 2001, tentang informasi akan adanya perwakilan masyarakat dari masing-masing Desa yang akan datang ke lokasi untuk menghentikan aktifitas PT RAPP di lapangan, maka berkenaan dengan hal tersebut kami mengharapkan kepada saudara dan ataupun masyarakat yang menuntut adanya pengklaiman lahan pada konsesi yang kami miliki untuk dapat bersikap arif dan bijaksana dalam upaya penyelesaian permasalahan dengan tidak melakukan perbuatan anarkis yang pada akhirnya akan merugikan Bapak dan ataupun masyarakat serta kami sendiri selaku investor di Riau ini. Kami menghargai adanya hak ulayat sebagaimana yang Bapak maksudkan, akan tetapi Kami juga memerlukan klarifikasi yang mendalam mengenai hal dimaksud sehingga terkesan agak lamban dalam penyelesaiannya. Sesuai dengan komitmen PT Riau Andalan Pulp and Paper untuk menyelesaikan segenap permasalahan maka kami mengundang Bapak beserta 5 orang perwakilan masyarakat dari masing-masing Desa untuk hadir pada: Hari/ Tanggal : Kamis, 29 Maret 2001 Pukul : 14.00 WIB-Selesai Tempat : Hotel Dyan Graha – Pekanbaru Demikianlah kami sampaikan atas perhatian dan kehadiran Bapak dan Masyarakat, kami ucapkan terima kasih. Hormat kami, Koord. LD-RFP Tembusan: Disampaikan Kepada Yth: 1. Bapak U. Syarief, Executive Director PT RAPP 2. Camat Kampar Kiri di Lipat Kain
Salinan Lembaran Surat Undangan Penyelesaian Konflik Lahan antara PT. RAPP dan Masyarakat Adat Kuntu.
Masa Reformasi telah memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi, sehingga mereka menjadi lebih kritis dan menyadari hak-hak mereka. Permintaan ganti rugi pun bukan hanya sebatas nilai lahannya saja, tetapi juga termasuk semua kekayaan alam terutama tanaman-tanaman yang tumbuh di dalamnya. Adanya konflik perusahaan dan masyarakat di lokasi lain juga telah memicu masyarakat di Desa Kuntu untuk menuntut PT RAPP dengan hal yang sama. Selain itu, dengan bantuan LSM lokal, mereka lebih menyadari hak-hak mereka
dan keberadaan hukum-hukum negara dan lahan adat mereka yang lemah di mata hukum formal. Sebaliknya, posisi perusahaan setelah masa Reformasi menjadi melemah. Apabila pada masa Orde Baru mereka bisa meredam protes masyarakat dengan tekanan melalui pemerintah desa atau menggunakan kekuatan militer, maka saat ini mereka lebih memilih jalan negosiasi. Pilihan negosiasi dilakukan karena antara lain banyaknya sorotan masyarakat luas, bahkan masyarakat internasional
Yuliana Cahya Wulan
yang mengaitkan masalah konflik sosial dengan persyaratan ekspor. Apabila hal ini kurang diperhatikan, perusahaan akan menerima kerugian besar. Untuk itu, perusahaan juga berusaha untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat dengan melalui program-program pemberdayaan masyarakat (PPMR). Peran pemerintah (Dinas Kehutanan) dalam penyelesaian konflik antara PT. RAPP dan masyarakat
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
adat Kuntu hampir tidak ada. Mereka cenderung tidak mau tahu dan menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan untuk menyelesaikan hal ini. Apalagi dengan adanya desentralisasi, mereka merasa bahwa konflik tersebut terjadi karena kesalahan masa lalu, ketika Pemerintah Pusat memegang peranan yang dominan dalam pemberian izin HPH/HTI. Akibatnya, Pemerintah Daerah saat ini merasa tidak bertanggung jawab terhadap masalah yang terjadi. Sementara itu, di lain pihak perusahaan juga tidak
Tabel 7. Pokok-pokok konflik PT. RAPP vs masyarakat Kuntu Pokok Sengketa Ketidakjelasan tata batas antara areal kerja HTI dan lahan adat.
Pihak yang Bersengketa PT. RAPP
Tuntutan Pihak yang Bersengketa Masyarakat tidak terusmenerus menuntut perusahaan, apalagi dengan cara-cara kekerasan;
Kepentingan Mempertahankan luas areal perusahaan
Masyarakat mau mengikuti program-program yang ditawarkan oleh perusahaan. Masyarakat Adat Kuntu
Perusahaan memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat; Perusahaan mengakui batas-batas lahan adat mereka.
LSM (Yayasan Hakiki)
Perusahaan menghormati batas-batas wilayah adat masyarakat dan normanorma adat yang berlaku di masyarakat; Pemerintah dapat memberikan dukungan kepada masyarakat adat untuk dapat mempertahankan wilayah adat mereka.
Dinas Kehutanan Proponsi Riau
Perusahaan maupun masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya dengan cara-cara musyawarah; Adanya informasi yang disampaikan kepada pemerintah agar mereka dapat membantu pihakpihak yang terlibat.
Mendapatkan kompensasi dan pembangunan infrastruktur Desa; Dapat mengelola kembali lahan mereka yang pernah dipakai oleh perusahaan. Dapat membantu masyarakat; Mendapatkan kepercayaan masyarakat untuk dapat menjalankan programprogram kerjanya.
Perusahaan dapat beroperasi dengan lancar, dan kesejahteraan masyarakat lokal dapat terus ditingkatkan.
41
42
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
pernah melibatkan Dinas Kehutanan dalam proses penyelesaian konflik, bahkan cenderung menutupinya, sehingga Dinas tidak mendapatkan informasi yang lengkap mengenai kejadian-kejadian tersebut. Penyelesaian konflik dengan cara memberikan uang ganti rugi tidak memecahkan masalah secara tuntas. Kesalahan PT. RAPP terhadap masyarakat lokal di masa lalu telah menyebabkan mereka selama ini merasa dirugikan. Pemberian ganti rugi pun dianggap terlalu kecil dari yang seharusnya mereka dapatkan. Ketidakpuasan ini mungkin akan memunculkan tuntutan baru lagi. Apalagi dengan pengaruh dari pihak-pihak luar dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah.
3.4. Kasus HTI Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah Kasus ini menggambarkan konflik antara Perum Perhutani Unit I dengan masyarakat Randublatung, yang mencapai puncaknya setelah konflik antara masyarakat dengan Perum Perhutani berlangsung cukup lama.
3.4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Blora, konon terkenal sebagai daerah penghasil kayu jati terbaik di pulau Jawa, yang berasal dari sekitar 80.000 ha hutan atau sekitar 49,1 % luas wilayahnya. Berdasarkan wilayah pengelolaan hutannya, Kabupaten Blora terbagi ke dalam tiga Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), yaitu KPH Randublatung, KPH Cepu dan KPH Blora (Sutaryono, 2001). Namun sebagian wilayah hutan KPH Randublatung juga termasuk dalam Kabupaten Grobogan. KPH Randublatung terbagi dalam delapan Bagian Hutan (BH), 12 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) dan 40 Resort Pemangkuan Hutan (RPH). Secara keseluruhan, wilayah hutan ini dikelilingi atau berbatasan dengan 39 desa hutan (desa yang berjarak kurang dari lima kilometer dari tepi hutan) dengan jumlah penduduk sebesar 137.642 jiwa. Seluruh desa hutan tersebut masuk ke dalam tujuh wilayah kecamatan: yaitu Randublatung, Jati, Kradenan, Banjarejo, Jepon, Kunduran dan Gabus. Dari ketujuh kecamatan tersebut, enam di antaranya termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Blora dan satu kecamatan termasuk ke dalam Kabupaten Grobongan, yakni Kecamatan Gabus (Santoso, 2001).
Gambar 19. Peta lokasi penelitian di KPH Randublatung
Yuliana Cahya Wulan
Berdasarkan risalah sela19 tahun 1997, luas kawasan hutan KPH Randublatung adalah sebesar 32.464 ha, yang terdiri dari 97,3 % kawasan hutan produksi dan 2,7 % kawasan hutan non produksi. Hutan jati produktif yang ada seluas 27.777 ha; hutan yang pertumbuhannya kurang seluas 1.787 ha, dan lahan kosong seluas 689 ha. Luas lahan kosong ini meningkat menjadi 3.937 ha pada tahun 2000, sebagai akibat aksi penjarahan kayu besar-besaran sejak pertengahan tahun 1998 (Santoso, 2001). Fokus studi ini adalah Kecamatan Randublatung, dengan penekanan pada desa-desa hutan yang memiliki dinamika sengketa sumber daya hutan yang tinggi, seperti Desa Temulus dan Bodeh. Sebagian besar dari wilayah desa hutan yang dijadikan lokasi studi adalah kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Randublatung. Kenyataan di lapangan mengungkapkan bahwa semakin besar luas kawasan hutan yang berada di sebuah desa maka semakin sempit ruang kelola masyarakat di desa tersebut. Hal ini disebabkan oleh hak pengelolaan hutan yang berada di tangan Perum Perhutani, yaitu KPH Randublatung. Umumnya tingkat kepemilikan lahan masyarakat desa dapat digolongkan kecil, yaitu rata-rata di bawah seperempat hektar. Desa Temulus berpenduduk 3.339 jiwa, sedangkan Desa Bodeh berpenduduk 1.538 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk masing-masing 600 orang per km2 untuk Temulus, dan 2.356 orang per km2 untuk Bodeh. Perhitungan ini diperlukan untuk mengetahui seberapa besar ruang yang tersedia dan bisa diakses sepenuhnya oleh masyarakat, karena selama ini akses masyarakat hanya dalam porsi kecil melalui kegiatan tumpangsari. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di desa Temulus dan Bodeh adalah bertani dan menjadi buruh tani, serta mata pencaharian lain yang bergantung pada sumber daya hutan, seperti menjadi
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
pesanggem, pencari recek (kayu bakar), pencari daun jati, atau kegiatan-kegiatan pengambilan kayu di kawasan Perhutani.
3.4.2. Sejarah Konflik Konflik ini berawal dari keinginan masyarakat untuk menumpahkan ketidakpercayaan kepada pemerintah, khususnya kepada aparat penjaga hutan, akibat manipulasi yang dilakukannya dengan para pemodal. Keterlibatan para pemodal yang sebagian besar berperan sebagai penadah itu, dilihat oleh masyarakat dari dua sisi. Pertama, mereka semakin menyadari bahwa kegiatan kehutanan dapat menghasilkan pendapatan yang cukup besar dibandingkan dengan kegiatan masyarakat selama ini yang hanya terlibat dalam skala kecil, misalnya upah tanam, hasil tumpangsari, upah tebangan dan upah dari berbagai kegiatan lain. Kedua, masyarakat menyadari bahwa kegiatan kehutanan melibatkan begitu banyak pemain yang sebagian besar melanggar hukum. Kejadiankejadian tentang keterlibatan oknum Perhutani, oknum militer, pemilik modal, dan pihak-pihak lain dalam jaringan gelap tata usaha kayu, saat ini menjadi terbuka ketika warga juga terlibat di dalamnya. Hal ini menimbulkan suatu keberanian baru yang bersifat negatif, yaitu mencontoh pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat yang terjadi di hadapan mereka. Pada beberapa kejadian terakhir, aparat sudah tidak lagi ditakuti oleh warga dan ini menunjukkan betapa motivasi warga telah berkembang cukup kompleks. Konflik terbuka antara masyarakat dan Perum Perhutani dipicu ketika petugas Perhutani KPH Randublatung melakukan tindakan represif terhadap pencurian kayu, yang menyebabkan dua orang warga masyarakat tertembak pada pertengahan 1998. Selanjutnya kronologis penjarahan hutan di Desa Temulus disajikan dalam Tabel 8, yang merupakan hasil observasi Lembaga ARuPA Yogyakarta. Kejadian penjarahan hutan diawali oleh kerjasama
Tabel 8. Luas hutan negara di Desa Temulus dan Bodeh Desa
19
Luas Desa (Ha)
Hutan Negara Ha
% dari Luas Desa
Temulus
1.046
489
47
Bodeh
2.498
2.391
96
Keterangan sementara mengenai potensi hutan sebelum analisis semestinya yang biasanya dilakukan setiap 10 tahun.
43
44
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Masa Penjarahan (1998-2001)
PENYEBAB
AKIBAT
Krisis Moneter
Meningkatnya US$
=
Barang Dalam Negeri Murah
Meningkatnya Permintaan Luar Negeri
Masyarakat Sekitar Hutan Menjarah
Pengepol I&2
Produsen
Peluang Eksportir
Gambar 20. Sebab-akibat konflik di Perhutani Tabel 9. Kronologi Penjarahan Hutan di Temulus Waktu Kejadian
Deskripsi Kejadian
Maret 1998
- Kerjasama perangkat desa dan oknum Perhutani - Oknum Perhutani meloloskan kayu illegal
April 1998
- Ajun (Ajudan Administratur) mendatangi masyarakat, meminta kayu diserahkan - Masyarakat meminta penengah dari Muspika
Mei 1998
- Ajun memimpin operasi, masyarakat melawan, petugas kocar-kacir - Masyarakat mendirikan bangunan dari kayu ilegal - Masyarakat lain ikut-ikutan mengambil kayu ilegal - Perum melibatkan militer lokal (Koramil dan Polsek) - Oknum militer malah ikut ‘bermain’
Juni 1998
- Unit I berinisiatif mendatangkan Brimob - 28 Juni, tiga orang warga Desa Bapangan tertembak - 29 Juni, masyarakat Bapangan, Menden, Temulus dan sekitarnya membakar beberapa bangunan Perhutani
Juli – September 1998
- Penjarahan berlangsung terus - Terjadi mutasi beberapa pegawai Perum setempat
Oktober 1998
- Ada pergantian beberapa petugas Koramil dan Polsek - Dilakukan operasi oleh Polda, penjarahan berkurang - Beberapa warga ditangkap, namun diloloskan setelah membayar polisi
November 1998
- Operasi berhenti, penjarahan mulai terjadi lagi
Desember 1998
- Penjarahan masih berjalan - Ada pemilihan Kades baru - Penjarahan mulai berkurang, namun ada kasus bibrikan (perambahan)
Januari 1999-2001
- Penjarahan masih berjalan
Sumber: Kutipan dari Penjarahan Hutan di Sekitar Desa, Temulus Randublatung. ARuPA, 1999.
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
Gambar 21. Kawasan Perhutani pasca penjarahan
antara masyarakat/perangkat desa dan oknum Perhutani setempat untuk bekerja sama dalam meloloskan kayu-kayu ilegal.
3.4.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat Responden yang diwawancarai dalam studi kasus ini terdiri pihak-pihak yang terlibat langsung dalam konflik dan juga pihak-pihak terkait lainnya. Pihak masyarakat diwakili oleh 11 warga masyarakat Temulus dan Bodeh dan satu orang kepala desa; sedangkan dari Perhutani diwakili oleh lima orang petugas (tiga orang dari KPH Blora dan dua orang dari KPH Randublatung, yang semuanya merupakan pihak-pihak yang terlibat langsung). Sementara dari pihak terkait lainnya yang diwawancarai terdiri dari lima orang anggota DPRD Blora, dan satu orang dari Lembaga ARuPA yang mendampingi masyarakat sekitar wilayah Perhutani Unit 1. A. Masyarakat Bagi masyarakat, faktor utama penyebab konflik dan penjarahan adalah adanya kesenjangan sosial antara masyarakat dengan Perhutani, yang berkembang menjadi kecemburuan sosial. Beberapa keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi, seperti keinginan untuk terlibat dalam usaha-usaha Perhutani, menambah kebencian mereka terhadap Perhutani. Menurut penilaian mereka, selama ini Perhutani hanya melibatkan orang-orang yang dekat dengan Perhutani. Perhutani juga dianggap sangat arogan terhadap masyarakat sekitar hutan. Ini tercermin ketika Perhutani membuat peraturan tentang pelarangan
kegiatan pengumpulan rencek dan pemungutan hasil hutan non-kayu. Keadaan ini dipertahankan terusmenerus oleh Perhutani, sementara Pemerintah Daerah kurang memberikan perhatian terhadap masalah yang terjadi di masyarakat. Karena irtu masyarakat tidak lagi percaya terhadap pemerintah. Pergantian rejim penguasa di Indonesia, yaitu dari Orde Baru ke pemerintahan Reformasi, memiliki implikasi yang luar biasa. Berbagai persoalan sosial dan politik yang tidak pernah terselesaikan atau sengaja ditutup-tutupi, muncul kembali pada masa Reformasi. Penjarahan yang terjadi di kawasan Perhutani memanfaatkan eforia reformasi, namun krisis moneter yang memuncak pada tahun 1998 ikut memarakkannya. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, insiden tertembaknya dua warga masyarakat di wilayah Temulus merupakan pemicu terjadinya penjarahan besar-besaran yang kemudian melebar sampai ke seluruh wilayah KPH Randublatung. Ketika itu masyarakat menganggap perlakuan Perhutani telah melampaui batas sehingga mengakibatkan dua orang warga masyarakat terbunuh. Kejadian ini memaksa masyarakat untuk melakukan balas dendam terhadap perlakuan petugas Perhutani tersebut. Masyarakat meminta agar pelaku penembakan diserahkan dan diproses secara hukum. Tetapi permintaan ini tidak pernah dipenuhi oleh pihak Perhutani, sehingga akhirnya mereka marah dan membabat hutan, merusak semua fasilitas yang dimiliki Perhutani, dan mengancam petugas Perhutani
45
46
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
yang mereka temui. Tindakan kekerasan yang dilakukan petugas Perhutani sesungguhnya bukan terjadi pada saat itu saja. Sudah beberapa kali hal seperti itu terjadi, tetapi ketika itu masyarakat masih takut akan risikonya. Setelah pergantian pemerintahan, masyarakat mulai berani untuk melampiaskan kemarahannya dengan melakukan perlawanan secara terbuka, yaitu melakukan penjarahan secara besar-besaran. B. LSM - Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA) Peristiwa penjarahan hutan di KPH Randublatung bermula dari adanya kesepakatan antara masyarakat dan oknum Perhutani setempat untuk bekerja sama meloloskan kayu-kayu curian. Ternyata kesepakatan itu diingkari oleh Perhutani, yang melakukan operasi penyitaan kayu curian tersebut. Masyarakat kecewa dan meminta kayu yang disita diserahkan kembali dengan alasan sudah ada kesepakatan dengan oknum petugas, bahkan masyarakat membayarnya untuk setiap batang kayu. Ketegangan ini pada awalnya bisa ditengahi oleh perangkat desa. Namun kemudian pihak Perhutani kembali mengadakan operasi penyitaan kayu-kayu curian, bahkan kali ini operasi dilakukan dengan mengerahkan aparat militer setempat (Koramil dan Polsek). Ironisnya, berdasarkan informasi masyarakat, pihak Koramil dan Polsek justru ikut bermain dalam transaksi kayu curian tersebut. Karena itulah operasi itu ditentang masyarakat dan dilawan secara fisik. Namun operasi ini terus dilakukan oleh pihak Perhutani, dan bahkan dengan mengerahkan bantuan Brimob dari Semarang. Perlawanan masyarakat yang semula berupa upaya menuntut balas itu, terus berkembang menjadi bentuk-bentuk perlawanan yang lain, yaitu perlawanan pada sistem tata niaga kayu. Mereka bekerjasama dengan blandong (para pencuri kayu) melakukan penjarahan, baik dalam skala kecil sebagai pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, maupun pencurian kayu untuk keuntungan pribadi serta pembangkangan-pembangkangan yang terkait dengan masalah lahan. Perlawanan menuntut balas tersebut dijadikan pokok konflik klasik yang semakin menguat antara Perhutani dan masyarakat desa hutan, yakni sengketa dalam hal pemenuhan kebutuhan subsisten masyarakat desa hutan, baik kebutuhan pangan maupun papan (ARuPA, 1999).
Bahkan bukan hanya itu, perlawanan menuntut balas juga dijadikan alasan untuk pencurian-pencurian skala besar yang selama ini hanya dilakukan secara diam-diam. Sejak terjadi penembakan dua warga masyarakat yang kemudian melahirkan perlawanan menuntut balas, berbagai bentuk perlawanan di masyarakat desa hutan Randublatung dilakukan secara terbuka. Pengambilan kayu dari hutan tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kemudian masyarakat tanpa izin begitu saja menggarap lahanlahan hutan bekas penjarahan, serta melakukan perdagangan kayu curian yang melibatkan banyak pihak, mulai dari tingkat desa hingga ke kota. Banyaknya kejadian dan konflik di masa lalu, menekan harapan warga untuk dapat secara mandiri mengatur ketergantungan hidupnya kepada sumber daya hutan di sekitar mereka. Keinginan yang sudah lama terpendam, ditambah dengan melunturnya kepercayaan masyarakat desa kepada aparat militer maupun kepada aparat Perhutani, telah membuat keadilan hukum di mata masyarakat semakin tidak dirasakan lagi. Mereka sangat jarang mendengar atau melihat adanya tindakan hukum terhadap oknum (pemerintahan, Perhutani, militer, pemilik modal) yang selama ini terlibat pencurian kayu. Namun masyarakat desa sering mengalami tindakan represif Perhutani terhadap warga yang melakukan pengambilan kayu ilegal, walaupun dalam skala kecilkecilan. C. Perhutani Administratur KPH Blora dan Kepala Teknik Kehutanan Umum (KTKU) KPH Randublatung menjelaskan bahwa penjarahan terjadi karena hutan merupakan aset terbuka dengan nilai ekonomi yang tinggi, terutama hutan jati. Hal lain yang mempengaruhi masyarakat untuk melakukan jarah hutan adalah karena masyarakat belum merasakan secara langsung manfaat yang diberikan oleh hutan. Seandainya masyarakat dapat merasakan manfaat keberadaan hutan secara adil, maka mereka pasti tidak akan melakukan penjarahan. Perhutani menilai bahwa akar masalah yang mendorong penjarahan adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap Perhutani yang dibuktikan oleh kesenjangan ekonomi dan peraturan yang sentralistis. Perhutani juga menuduh adanya tokoh intelektual dibalik penjarahan tersebut yang melakukan
Yuliana Cahya Wulan
pembodohan terhadap masyarakat. Reformasi dan krisis ekonomi yang berkepanjangan merupakan kesempatan yang baik bagi mereka untuk mempengaruhi masyarakat untuk menjarah hutan jati milik Perhutani dengan iming-iming keuntungan yang besar. Pihak Perhutani bekerjasama dengan POLRI, Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, tokoh-tokoh masyarakat desa, dan para anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD) untuk menyelesaikan penjarahan yang terjadi. Dalam hal ini telah dilakukan pendekatan sosial dan pendekatan keamanan. Untuk pendekatan keamanan, Perhutani bekerjasama dengan POLRI; sedangkan untuk pendekatan sosial, Perhutani secara terus-menerus melakukan penyuluhan dan memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa hutan yang ada bukan hanya untuk kepentingan Perhutani, tetapi juga untuk kepentingan seluruh umat manusia. Oleh karena itu, Perhutani juga berusaha untuk menyadarkan masyarakat bahwa pengelolaan hutan saat ini bukan hanya tanggung jawab Perhutani saja, melainkan harus dilakukan bersama dengan semua elemen yang ada, baik itu masyarakat maupun pihak yang lain. Ide inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal munculnya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Bagi Perhutani, PHBM merupakan salah satu upaya untuk mengatasi penjarahan hutan, karena PHBM melibatkan masyarakat secara partisipatif. Dalam melaksanakan PHBM, dibuat perjanjian antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dengan Perhutani, meliputi pembagian ruang dan bagi hasil. Selain itu, dikembangkan juga usaha yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat berupa budidaya tanaman dan beternak. Dari 34 desa yang ada di sekitar wilayah KPH Randublatung, 12 diantaranya sudah mengadakan perjanjian dengan Perhutani melalui LMDH; sedangkan dari 20 desa yang ada di dalam KPH Blora, 13 desa sudah melakukan hal yang sama. Perhutani menilai bahwa PHBM cukup berhasil karena masyarakat sudah mulai memperhatikan kelestarian hutan. Indikasinya adalah angka pencurian kayu yang menurun drastis. Saat ini, Perhutani juga akan melakukan rehabilitasi lahan kritis dan akan melakukan reboisasi akibat aksi penjarahan sampai dengan tahun 2007. Program PHBM diyakini menjadi salah satu terobosan Perhutani agar kejadian penjarahan tidak terulang
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
kembali karena program ini menerapkan konsep bagi hasil. Program ini juga dinilai telah menggeser paradigma pengelolaan hutan yang berbasis hasil kayu (timber management) ke pengelolaan yang berbasis sumber daya (resource management ) yang mengedepankan pengelolaan sumber daya hutan partisipatif dan dilakukan bersama masyarakat atau kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap kelestarian sumber daya hutan. D. DPRD Blora Menurut penilaian lima anggota DPRD Kabupaten Blora, konflik yang terjadi disebabkan karena Perhutani telah melakukan kesalahan dalam menerapkan metode pengelolaan hutan. Salah satu contohnya adalah masyarakat di sekitar hutan tidak pernah diberi kesempatan menjadi mitra kerja dalam mengelola hutan. Selain itu, konflik antara Perhutani dengan masyarakat juga disebabkan oleh ketatnya peraturan yang ada di Perhutani dan birokrasi yang panjang. Disisi lain, tingkat kesejahteraan pegawai Perhutani relatif lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat di sekitar hutan. Hal ini telah menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan sosial masyarakat, yang akhirnya memunculkan perlawanan dari masyarakat karena Perhutani dianggap tidak pernah memperhatikan kebutuhan mereka. Penjarahan besar-besaran yang berlangsung selama tahun 1998-2001 bukan saja merugikan Perhutani, tetapi juga telah merugikan Pemerintah Daerah. Kerugian ini bukan saja dari segi materi, tetapi sampai memakan korban jiwa. Lemahnya penegakan hukum juga turut mempengaruhi maraknya penjarahan karena banyak terjadi kasus pencurian kayu tidak ditangani dengan serius oleh pihak yang berwenang. Hal ini yang membuat masyarakat semakin berani untuk mencuri kayu di hutan jati Perhutani, dengan asumsi bila nantinya tertangkap maka akan dapat diselesaikan dengan cepat. Ketika terjadi penjarahan besar-besaran, DPRD telah berusaha untuk mempertemukan masyarakat dengan pihak Perhutani. Bersama dengan Polres, DPRD turut serta ke lapangan untuk meredakan penjarahan dan mencari pelaku utamanya. DPRD juga telah mengajak Pemda Blora, Dinas Kehutanan Blora, serta tokoh-tokoh masyarakat yang ada di desa maupun yang duduk di DPRD untuk bersama-sama mengatasi penjarahan ini.
47
48
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Menurut DPRD, upaya yang sebaiknya dilakukan Perhutani agar kejadian penjarahan tidak terulang kembali adalah melakukan pendekatan secara ekonomi dan sosial. Hal ini dapat dilakukan, misalnya, dengan pengelolaan dan penjagaan hutan bersama masyarakat, yang dapat dituangkan dalam sebuah perjanjian kontrak mitra kerja. Selain itu, Perhutani juga dapat menyediakan pinjaman dengan bunga rendah kepada masyarakat, dalam bentuk uang maupun ternak dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat di sekitar hutan. Upaya lain adalah penegakan hukum bagi siapa saja yang mencuri, tidak terkecuali terhadap petugas Perhutani sendiri. Mengenai program PHBM, DPRD juga merasakan keterbatasan program ini untuk menampung keinginan masyarakat. Ini dibuktikan dengan masih adanya masyarakat yang menolak program PHBM karena terdapat beberapa aturan yang tidak menguntungkan masyarakat. Misalnya aturan mengenai kerusakan hutan, yang menjadi tanggung jawab masyarakat sebagai pengelola hutan, dan bukan menjadi tanggung jawab bersama dengan Perhutani sebagai pemilik hutan.
3.4.4. Upaya Penanganan Konflik Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pihak Perhutani melalui pendekatan sosial dan keamanan tampaknya belum mampu menghentikan perlawananperlawanan masyarakat secara signifikan. Pendekatan ini rupanya belum sepenuhnya menyentuh akar masalah yang menyebabakan konflik, yaitu ruang kelola yang terlalu kecil bagi masyarakat, kebutuhan dasar masyarakat yang masih belum terpenuhi, dan kecemburuan sosial. Bagi Perhutani, PHBM merupakan alternatif solusi yang dapat diandalkan karena PHBM memiliki paradigma yang berbeda dengan konsep-konsep yang pernah diterapkan sebelumnya. PHBM melibatkan masyarakat baik dalam pengamanan maupun pembagian hasil tanaman dan memiliki konsep bagi hasil. Namun bagi masyarakat, khususnya di Temulus, PHBM belum menjawab masalah yang ada di masyarakat, yaitu bagaimana memenuhi kebutuhan subsisten kayu, bagaimana memperluas ruang kelola masyarakat, dan bagaimana menciptakan hubungan yang harmonis antara Perhutani dan masyarakat.
Masyarakat juga menilai bahwa PHBM belum sepenuhnya sesuai dengan konsep awalnya. Sebagai contoh dalam pembagian hasil, bila pengelolaan tanaman berhasil, maka proporsi yang diterima masyarakat adalah 25 persen dan untuk Perhutani 75 persen. Namun apabila produksi berkurang karena adanya kerusakan, maka yang dikurangi adalah proporsi hak masyarakat, sedangkan hak Perhutani tetap. Selain itu, masyarakat juga merasa jarang dilibatkan pada pertemuan-pertemuan dalam pengambilan keputusan. Masyarakat lebih memilih sistem Manajemen Rejim (MR) Mozaik yang menjadi salah satu instrumen resolusi konflik, khususnya untuk wilayah Desa Temulus. Sistem ini dikembangkan dari hasil kesepakatan antara Perum Perhutani KPH Randublatung, masyarakat Temulus dan Lembaga AruPA. Kebijakan yang mulai dikembangkan pada tahun 2000 ini bersifat kasus per kasus dan hanya terdapat di KPH Randublatung. MR Mozaik pada dasarnya merupakan modifikasi dan adaptasi konsep MR yang dikembangkan oleh Prof. Simon di KPH Madiun dan Surakarta. Sistem MR Mozaik ini memperluas ruang kelola masyarakat dengan mengangkat kembali kearifan-kearifan lokal. Misalnya dengan menerapkan konsep maro, yaitu bekerja sama dengan masing-masing pihak memperoleh setengah dari hasil. Konsep ini merupakan salah satu bentuk kearifanan tradisional yang tidak pernah diterapkan secara formal dalam pengelolaan sumber daya hutan yang melibatkan masyarakat. Dalam pelaksanaan MR, masyarakat berhak menguasai lahan tetapi tidak berhak untuk menjualbelikannya. Masyarakat berhak untuk menanami lahan seluas setengah hektar untuk tanaman pertanian. Dalam pembagian hasilnya, Perhutani mendapat bagian 60 persen dan masyarakat memperoleh 40 persen.
3.4.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil Pengelolaan hutan di KPH Randublatung telah menimbulkan sengketa antara masyarakat di sekitar hutan dengan Perhutani. Sengketa ini muncul dalam berbagai bentuk perlawanan masyarakat, baik secara tertutup maupun terbuka. Perlawanan tersebut didasari oleh motif ekonomi dan juga dipengaruhi oleh motif non-ekonomi. Perlawanan masyarakat desa
Yuliana Cahya Wulan
hutan juga dilakukan terhadap peraturan kehutanan yang dibuat oleh Perhutani. Salah satu peraturan yang dianggap tidak relevan oleh masyarakat adalah larangan bagi masyarakat untuk mengambil rencek (kayu bakar). Perlawanan dengan motif ekonomi pada umumnya bersumber pada kebutuhan kayu dan ruang kelola (kebutuhan atas lahan) oleh masyarakat, karena tingkat kepemilikan lahan masyarakat desa pada umumnya kecil. Ketika sumber pemenuhan ekonomi masyarakat tidak tersedia, maka satu-satunya pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah melakukan pencurian di hutan yang dikelola oleh Perhutani. Perlawanan ini, biasanya ditunjukkan dengan melakukan pencurian kayu di lahan Perhutani, melalui kerja-sama dengan para blandong . Perlawanan masyarakat yang dengan motif nonekonomi bersumber dari upaya masyarakat untuk melakukan balas dendam terhadap cara-cara Perhutani dalam mengamankan hutan. Pendekatan represif yang sering dilakukan Perhutani dan merugikan masyarakat dan sikap Perhutani yang sering dianggap semenamena terhadap masyarakat sekitar hutan telah memicu tindakan balas dendam ini.
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
3.5. Kasus Hutan Lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan Kasus ini menggambarkan konflik yang terjadi di kawasan hutan lindung Pegunungan Meratus. Penyebab utama konflik adalah pengalihan fungsi hutan di kawasan tersebut. Konflik ini melibatkan banyak pihak, dan pihak masyarakat yang terkait langsung adalah masyarakat Dayak Meratus.
3.5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Gambaran umum wilayah penelitian untuk studi kasus ini sama dengan studi kasus PT. Kodeco Timber (Lihat 3.1.1.). Karena kedua lokasi studi kasus ini masih berada dalam satu kecamatan. 3.5.2. Sejarah Konflik Sejak jaman kolonial Belanda, kawasan hutan Pegunungan Meratus telah ditetapkan sebagai hutan cadangan untuk kepentingan pengatur tata air. Kebijakan ini didasarkan pada Gouvernements Bisluit (GB) No. 10 dan 11 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Februari 1928. Kebijakan ini menetapkan kawasan hutan Meratus sepanjang Kotabaru hingga Paser sebagai kawasan hutan lindung yang tidak boleh
Gambar 22. Peta lokasi penelitian di kawasan rencana alih fungsi hutan lindung Pegunungan Meratus
49
50
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
digunakan untuk kepentingan lain apapun. Selanjutnya kebijakan itu menegaskan pula bahwa kawasan hutan Pegunungan Meratus sepanjang Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Utara (HSU), hingga Tabalong, yang disebut sebagai “Sabuk Hijau Meratus” ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung (LPMA, 1999). Berdasarkan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Kalimantan Selatan tahun 1984, kawasan hutan Pegunungan Meratus ditetapkan sebagai hutan lindung. Kemudian berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Selatan (1996), sebagian fungsi lindung tersebut diubah menjadi kawasan lindung dan budidaya. Pada tahun 1998 dilakukan paduserasi TGHK dan RTRWP yang hasilnya menetapkan kawasan hutan Pegunungan Meratus sebagai kawasan hutan lindung. Ketetapan ini diputuskan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.453/Kpts-II/1999. Masalah di kawasan hutan lindung ini mulai setelah keluarnya keputusan Presiden yang menetapkan kawasan hutan lindung Pegunungan Meratus sebagai daerah tangkapan air (catchment area) untuk mendukung kelangsungan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batulicin di Kabupaten Kotabaru (Keppres No.11 tahun 1998). Untuk mendukung pelaksanaan KAPET ini, Gubernur Kalimantan Selatan (waktu itu Drs.Gt. Hasan Aman) mengusulkan kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan (waktu itu Dr. Muslimin Nasution), untuk mengubah sebagian fungsi lindung menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT). Kawasan ini akan dialokasikan sebagai pengganti areal kerja PT. Kodeco Timber seluas ±57.000 ha dan PT Inhutani II seluas ±9000 ha yang saat itu arealnya digunakan KAPET. Usulan Gubernur itu dituangkan dalam surat nomor 525/0224/EKO tanggal 31 Mei 1999. Selanjutnya Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) menyetujui usulan tersebut melalui suratnya nomor 1117/Menhutbun-VIII/99 tanggal 19 Agustus 1999 dan menetapkannya dengan Surat Keputusan (SK) Menhutbun No.742/Kpts-II/1999 tanggal 22 September 1999. Berdasarkan SK ini, kemudian ditetapkan areal pengganti untuk PT Kodeco dengan mengubah fungsi kawasan hutan di Pegunungan Meratus dari hutan lindung menjadi
Hutan Produksi Terbatas (HPT), yang dituangkan dalam SK No.741/Kpts-II/1999). Keputusan Menhutbun ini kemudian diikuti dengan persetujuan prinsip pencadangan areal HPT tersebut kepada PT. Kodeco Timber melalui surat Menhutbun No.1793/ Menhutbun-VI/1999. Sebagai tindak lanjutnya, dilaksanakanlah survei inventarisasi potensi dan analisis dampak lingkungan (AMDAL). Pada tanggal 1 Desember 1999, diselenggarakan rapat koordinasi penetapan perubahan fungsi kawasan lindung Meratus. Rapat dihadiri oleh Ketua Bappeda Tingkat I, Kepala Dinas Kehutanan Tingkat I, Ketua Bapedalda Tingkat I, Pimpinan PT Kodeco Timber, Ketua BKPMD, LSM, Bupati Kotabaru, media massa, serta Kakanwil Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan hasil kesimpulan rapat, ternyata sebagian besar peserta menolak alih fungsi ini. Kemudian hal ini disampaikan kepada Gubernur sebagai bahan rekomendasi oleh ketua BKPMD (Drs. HM. Sjahriel Darham). Sebagai tindak lanjut, Gubernur mengeluarkan surat nomor 526/06705/Eko yang mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk meninjau kembali status alih fungsi kawasan tersebut, mencabut SK 741 dan 742 dan menghentikan survei inventarisasi dan penyusunan AMDAL. Sementara SK Menhutbun belum dicabut, survei inventarisasi potensi dan AMDAL terus berjalan, bahkan hasil survei potensi dan AMDAL ini mendapatkan persetujuan dari DPRD Provinsi Kalimantan Selatan sesuai dengan suratnya nomor 162/286/DPRD tanggal 29 September 2000, dan Gubernur Kalimantan Selatan (Drs. HM. Sjahriel Darham) melalui suratnya nomor 660.1/281/ Bapedalda tanggal 4 Oktober 2000. Kemudian pada tanggal 23 Oktober 2000, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan suratnya nomor S-85/M.Ekon/10/2000 meminta kepada Menteri Kehutanan (pada waktu itu Marzuki Usman) untuk mencabut SK Menhutbun No.1793/ Menhutbun-VI/1999 dan No.741/Kpts-II/1999. Hal ini kemudian diikuti oleh surat Bupati HST No.050/ 17441/Bappeda-III, tanggal 17 Desember 2000. Akan tetapi pada tanggal 22 Desember 2000, Gubernur Kalimantan Selatan memberitahukan kepada Menteri Kehutanan bahwa areal relokasi alih
Yuliana Cahya Wulan
fungsi hutan lindung menjadi HPT telah diakomodir dalam Peraturan Daerah (Perda) No.9 Tahun 2000 tanggal 21 Desember 2000 tentang RTRWP Kalimantan Selatan (Surat Gubernur Kalimantan Selatan No.525/02884/Eko). Menanggapi surat tersebut, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat No.34/Menhut-VII/RHS/2001 tanggal 22 Juni 2001 yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil kajian Tim Terpadu terhadap areal
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
seluas ±57.560 ha di DAS Balangan Kabupaten HSU, kawasan tersebut perlu ditetapkan sebagai hutan lindung dan sebagian arealnya diusulkan untuk ditingkatkan menjadi taman nasional (surat Kepala Balai Planologi Kehutanan Kalimantan Selatan no.42/ Kpts/VII-KP/2001). Namun kemudian Gubernur Kalimantan Selatan kembali meminta Menteri Kehutanan dengan suratnya nomor 500/165-BA/EKO tanggal 22 Januari
Proses Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Pegunungan Meratus Peta TGHK Kalsel 1984
Hutan Lindung
Peta RTRWP Kalsel 1996
Sebagian menjadi Kawasan Lindung & Budidaya
Paduserasi TGHK & RTRWP Kalsel 1998 KepMenhutbun No.453/Kpts-II/1999
Hutan Lindung Keppres No. 11 thn 1998 Surat Gubernur Kalsel No. 525/02240/EKO Surat Menhutbun No.1117/Menhutbun-VIII/99 KepMenhutbun No.742/Kpts-II/1999
KepMenhutbun No.741/Kpts-II/1999 Perda No.9 Thn 2000 tentang RTRWP
Hutan Produksi Terbatas (± 46.270 ha) Surat Menko Bidang Perekonomian No.S-85/M.EKON/10/2000 SK KaBaplanhut No.42/Kpts/VII-KP/2001)
Surat Menhut No.164/ Menhut-VIII/2002
Hutan Lindung
Gambar 23. Diagram proses alih fungsi kawasan Pegunungan Meratus
51
52
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
2002, yang pada prinsipnya meminta agar surat pengalihan fungsi tersebut segera diterbitkan untuk memperoleh kepastian hukum atas kawasan Pegunungan Meratus. Menteri Kehutanan (Dr. Prakosa) menanggapi permintaan Gubernur tersebut melalui suratnya No.164/Menhut-VIII/2002 tanggal 5 Februari 2002 yang prinsipnya tetap menolak rencana alih fungsi kawasan hutan lindung Pegunungan Meratus dan merekomendasikan agar seluruh kawasan tersebut dikembalikan fungsinya sebagai hutan lindung. Selanjutnya Menteri Kehutanan meminta agar Perda No.9 Tahun 2000 tentang RTRWP disesuaikan dengan hasil kajian Tim Terpadu. Sementara itu, DPRD Kalimantan Selatan melalui suratnya nomor 063/SKM/VIII/2002 tanggal 22 September 2002, sependapat dengan Menteri Kehutanan untuk tetap mempertahankan kawasan hutan Pegunungan Meratus sebagai hutan lindung, dan DPRD akan mempelajari ulang peta alih fungsi kawasan yang termuat dalam Perda No. 9 Tahun 2000 tentang RTRWP dengan memperhatikan kondisi realistis yang ada di lapangan. Diagram di bawah ini memberikan gambaran alur proses perubahan kawasan hutan Pegunungan Meratus yang sampai kini masih terkatung-katung.
3.5.3. Persepsi Pihak–pihak yang Terlibat Sampai sekarang, menurut LPMA kawasan hutan Pegunungan Meratus masih dalam status quo dan dianggap tidak jelas. Walaupun Menteri Kehutanan dan DPRD Kalimantan Selatan sudah menyatakan untuk tetap mengembalikan fungsi hutan Pegunungan Meratus sebagai hutan lindung, Gubernur pada saat ini tidak melakukan keputusan apapun terhadap kawasan tersebut, termasuk perubahan Perda No. 9 Tahun 2000 tentang RTRWP. Dalam menghadapi masalah ini, instansi-instansi yang terkait pun tidak mencoba untuk menyamakan persepsi dan visinya untuk menyelamatkan hutan ini. Masing-masing instansi, baik Pemerintah Daerah, BKSDA sebagai wakil dari Pemerintah Pusat di daerah, dan juga LSM, mempunyai pendapat masingmasing untuk mempertahankan kewenangan serta kepentingannya sendiri.
A. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan Berdasarkan hasil diskusi dengan Kepala BKSDA Kalimantan Selatan dan stafnya, BKSDA dan Dinas Kehutanan mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kawasan lindung Pegunungan Meratus. BKSDA mendukung keputusan Menteri Kehutanan yang terakhir yaitu tetap mempertahankan fungsi lindung, bahkan menurut keterangan Kepala BKSDA Kalimantan Selatan, BKSDA telah mengajukan untuk meningkatkan sebagian arealnya sebagai taman nasional sejak tahun 1996, namun sampai saat ini belum ada tanggapan lebih lanjut. Selain itu, sebagai lembaga konservasi, BKSDA tidak memiliki kewenangan apapun selain melakukan kajian-kajian dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat. BKSA juga mengeluhkan keterbatasan staf dan dana BKSDA dalam memantau dan mempertahankan kawasan lindung. Sementara di lain pihak, Pemerintah Daerah semakin tidak mempedulikan kebijakan apapun yang berasal dari Pemerintah Pusat. B. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan dan Pemda Dinas Kehutanan sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah mendukung Gubernur untuk mengubah fungsi kawasan lindung menjadi HPT. Walaupun pada saat ini mereka mengakui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.164/Menhut-VIII/2002, mereka juga tidak mendesak Gubernur untuk segera mengubah Perda No. 9 tahun 2000 tentang RTRWP. Dengan demikian terkesan adanya kesengajaan untuk menunda perubahan ini, sebagai cara untuk tetap mempertahankan status kawasan hutan tetap tidak jelas. Demikian pula sikap Bupati Kotabaru tampak tidak jelas. Menurut RTRWP Kabupaten Kotabaru, kawasan ini berfungsi sebagai hutan lindung, sehingga seharusnya Bupati pun setuju untuk mempertahankan kawasan ini sebagai hutan lindung. Akan tetapi yang terjadi di lapangan tidak demikian. Di kawasan ini banyak terdapat Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang dikeluarkan oleh Bupati. Saat ini ada beberapa IPK yang beroperasi dengan luas areal mencapai 2500 ha. Secara operasional, pelaksanaan IPK ini pun sudah menyimpang, karena IPK seharusnya dijalankan oleh masyarakat di kawasan tanah adat dan tanpa menggunakan alat-alat berat. Kenyataannya semua kegiatan produksi dilakukan oleh PT Kodeco
Yuliana Cahya Wulan
sebagai pembeli kayu-kayu tersebut. Sayangnya, verifikasi dengan pihak PT Kodeco Timber tidak dapat dilakukan untuk memastikan kebenarannya. C. Masyarakat Persepsi masyarakat di sekitar areal “alih fungsi” terbagi dalam dua kubu yang saling berlawanan. Sebagian masyarakat setuju dengan rencana alih fungsi ini dan sebagian lagi menolak. Masyarakat yang setuju dengan rencana ini beranggapan bahwa masuknya perusahaan (seperti perusahaan kayu), akan meningkatkan kesejahteraan mereka, karena akan terbuka kesempatan kerja baru. Di samping itu akan ada pembangunan jalan dan sarana prasarana lainnya (salah satu desa yang termasuk dalam areal alih fungsi ini berjarak 18 km atau lebih kurang 10 jam berjalan kaki dari ibukota kecamatan). Sementara itu, masyarakat yang menolak rencana ini mempunyai alasan bahwa mereka telah belajar dari desa yang termasuk dalam areal kerja PT. Kodeco yang lama (masih dalam satu kecamatan). Ternyata,
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
kesejahteraan mereka tidak meningkat dengan masuknya perusahaan. Selain jalan penghubung, desa tetangga tidak mendapatkan apa-apa. Jalan itu pun dibangun bukan untuk kepentingan masyarakat, tetapi untuk kepentingan perusahaan semata. Selain itu, kerugian yang ditimbulkan perusahaan lebih banyak dibandingkan manfaat yang diperoleh masyarakat. Mereka berpendapat bahwa dengan masuknya perusahaan, akses mereka untuk masuk ke dalam hutan akan berkurang, yang berarti juga akan menghilangkan sebagian besar mata pencaharian mereka. Semua alasan ini akan memicu konflik antara masyarakat dan perusahaan. Masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak (LMMD) termasuk dalam kelompok yang menentang keras rencana alih fungsi ini. Bahkan masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Masyarakat Adat Kalimantan Selatan (Permada) mendesak Pemerintah Provinsi dan Kabupaten untuk mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat dan mendesak
Kotak 12. Kongres Adat Adat Tuntut Hormati Haknya; Desak Izin Eksploitasi Hutan, Dicabut
Masyarakat Adat di Kalimantan Selatan mendesak pencabutan izin PT Kodeco, PT Aya Yayang, PT Meratus Sumber Mas (PT Placer Dome Indonesia dan PT Scorpio Placer Dome), PT Bina Alam Lestari Indah, yang diduga cuma mengeksploitasi hutan. BANJARMASIN, KP - Persatuan Masyarakat Adat Kalimantan Selatan menuntut Pemerintah Provinsi dan DPRD Kalimantan Selatan agar menghormati hak-hak mereka atas tanah dan lingkungan hutan di sekitarnya, khususnya dari kegiatan eksploitasi maupun pengambil-alihan hasil hutan. Alasannya, karena masyarakat adat telah mendiami lokasi tersebut secara turun-temurun, tetapi kini justru terpinggirkan dengan masuknya aktivitas perusahaan yang melakukan eksploitasi hutan, tutur Ketua Badan Pelaksana Persatuan Masyarakt Adat Kalimantan Selatan, Jonson Masri. Hal tersebut diungkapkannya saat berdialog dengan Ketua DPRD Kalimantan Selatan H. Mansyah Add, yang didampingi anggota lainnya. seperti H.Sofwat Hadi, Addy Chairuddin, dan Agus Martadi, dalam rangkaian Kongres Masyarakat Adat Se- Kalimantan Selatan, Kamis (26/6), di Banjarmasin. Jonson Masri yang dikelilingi sekitar 750 orang yang mewakili 300 balai atau kampung adat di wilayah Kalimantan Selatan yang berpartisipasi dalam Kongres Masyarakat Adat baru-baru tadi, juga menyampaikan deklarasi dan menetapkan 26 Juni 2003 sebagai hari kebangkitan masyarakat adat. Untuk itulah, masyarakat adat mendesak agar Pemerintah Provinsi dan Kabupaten (Pemprop/Pemkab) mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat, baik yang menyangkut agama asli, adat istiadat, hukum adat maupun tanah adat. ”Keberadaan tanah adat hingga kini belum mendapatkan pengakuan dari Pemprop/Pemkab, sehingga pemerintah bisa dengan mudah memberikan izin bagi perusahaan untuk melakukan eksploitasi hutan,” ujarnya. Pihaknya menginginkan penghentian pengambilalihan hak-hak masyarakat adat dan mencabut seluruh kebijakan legalisasi HGU, HPH, HTI, Pertambangan, Perkebunan, Pensertifikatan tanah adat dan proyekproyek lainnya, mengingat kegiatan tersebut hanya merugikan masyarakat adat dan lingkungan hidup di sekitarnya, tambah Jonson.
Sumber: Kalimantan Post, Jumat 27 Juni 2003
53
54
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
pencabutan izin PT. Kodeco, PT. Aya Yayang, PT. Meratus Sumber Mas dan PT. Bina Alam Lestari Indah yang diduga hanya sekedar mengeksploitasi hutan (Kaltim Post, 2003). D. LSM-LPMA Berdasarkan penuturan dari Direktur Eksekutif LPMA dan ketua koordinator Aliansi Advokasi Meratus, mereka menolak rencana alih fungsi ini. Aliansi Advokasi Meratus yang merupakan gabungan dari 33 LSM yang ada di Kalimantan Selatan ditambah dengan Lembaga Pengkajian Masyarakat Adat (LPMA), dan Presidium Gabungan Aksi Reformasi Damai (GARDA) Kalimantan Selatan. Beberapa LSM yang tergabung dalam Aliansi Advokasi Meratus saat ini mendampingi masyarakat di beberapa desa yang termasuk dalam areal rencana alih fungsi. Selain melakukan advokasi dan membuka forum-forum diskusi dalam rangka penyelamatan kawasan lindung ini, mereka juga melakukan peningkatan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan, termasuk menyertakan masyarakat dalam pelatihan-pelatihan pengolahan dan pengelolaan SDA. Menurut mereka, perubahan status kawasan ini dikhawatirkan akan menyebabkan bencana alam, mengingat kondisi kawasan hutan yang rawan bencana apabila tidak dilindungi. Selain itu, kehadiran perusahaan di kawasan tersebut, akan membuka akses ke kawasan lindung dan dikhawatirkan akan mengancam kelestarian kawasan hutan lindung.
3.5.4. Upaya Penanganan Konflik Berbagai upaya telah dicoba untuk menyelesaikan kasus ini. Salah satunya adalah dengan melakukan rapat-rapat koordinasi yang dihadiri oleh berbagai instansi pemerintah yang terkait, pihak perusahaan, LSM, dan media massa. Walaupun sebagian besar peserta rapat tidak setuju dengan alih fungsi ini, kegiatan eksploitasi berjalan terus. Upaya yang lain adalah pembentukan Tim Terpadu yang dikoordinasi oleh BKSDA untuk mengkaji kelayakan “alih fungsi” kawasan ini. Hasil akhir dari kajian ini menyatakan bahwa kawasan ini tidak dapat dialihfungsikan karena akan menimbulkan banyak dampak negatif terutama terhadap lingkungan di sekitarnya. Bahkan hasil kajian merekomendasikan agar kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung. Namun tampaknya sebagian pihak yang berwenang
atas kawasan ini tidak dapat menerima hasil kajian, dan tetap menginginkan alih fungsi kawasan ini dilakukan.
3.5.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil Pada saat ini pihak-pihak yang terkait dengan konflik alih fungsi ini saling mempertahankan pendapatnya masing-masing untuk melindungi kepentingan golongan/kelompoknya. Seharusnya semua pihak mempunyai niat baik untuk menyelesaikan konflik ini dan meninggalkan kepentingan kelompoknya untuk kepentingan bersama; kemudian mencari solusi melalui kompromi yang akan menguntungkan semua pihak, tidak hanya untuk jangka pendek saja, tetapi juga untuk masa depan. Tabel 10 menjelaskan pokokpokok konflik Meratus dan tuntutan dari masingmasing pihak yang terkait. Dari pembahasan tentang kepentingan kawasan, Pegunungan Meratus sebaiknya dipertahankan fungsinya sebagai hutan lindung. Sebagian besar kawasan ini memenuhi kriteria kelerengan sebagai hutan lindung (kelerengan > 40%). Selain itu, kawasan ini merupakan wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), yang akan terganggu fungsi hidrologisnya, apabila terjadi alih fungsi. Kemudian dari segi sosial, dikhawatirkan akan menyebabkan konflik baru antara masyarakat dan pemegang hak pengelola hutan produksi tersebut. Pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kasus ini adalah kentalnya nuansa tarik ulur antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sehingga menimbulkan ketidakpastian atas fungsi kawasan. Ketidakpastian yang berlangsung lama telah mengundang munculnya berbagai kegiatan eksploitatif, sehingga mengancam kelestarian hutan. Selama masalah ini belum diselesaikan secara bersama-sama, kelestarian hutan Pengunungan Meratus dikhawatirkan akan terus terancam.
3.6. Kasus Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur Kasus ini menggambarkan konflik yang terjadi di Taman Nasional Kutai (TNK), Kalimantan Timur. Konflik terjadi antara masyarakat yang berada di dalam kawasan TNK dengan Balai TNK sebagai pengelola kawasan konservasi ini.
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
Tabel 10. Pokok-pokok konflik hutan Pegunungan Meratus Pokok Sengketa Rencana Alih Fungsi Kawasan Hutan Lindung Pegunungan Meratus
Pihak yang Bersengketa
Tuntutan Pihak yang Bersengketa
Kepentingan
Pemerintah Daerah Provinsi Kalsel
Kawasan yang dulu sudah disetujui perubahan fungsinya menjadi HPT tidak dicabut lagi dan menjadi HL kembali
Mendapatkan kawasan sebagai pendukung KAPET Batulicin; Memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Departemen Kehutanan
Pemda tidak membuat peraturan-peraturan yang bertentangan dengan kebijakan pusat dan segera mengembalikan fungsi kawasan hutan pegunungan Meratus menjadi hutan lindung kembali.
Mempertahankan kawasan konservasi
PT. Kodeco Timber
Baik Pemda maupun Pusat memberikan persetujuan untuk perubahan fungsi kawasan ini sebagai HPT dan mengesahkannya sebagai areal kerja HPH PT. Kodeco yang baru.
Mendapatkan areal kerja baru sebagai pengganti areal kerja mereka yang telah dirubah oleh Pemda sebagai daerah tangkapan air pendukung KAPET
LSM
Kawasan ini dipertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi
Mempertahankan kawasan konservasi dan mencegah HPH mengambil hak masyarakat adat yang selama ini mengelola hutan tersebut
Masyarakat sekitar kawasan yang setuju atas rencana alih fungsi (pro)
Pemerintah merubah fungsi kawasan ini sebagai HPT.
Mendapatkan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan , dan memperoleh sarana jalan dan aksesibilitas dari desa mereka
Masyarakat sekitar kawasan yang tidak setuju atas rencana alih fungsi (kontra)
Pemerintah tetap mempertahankan fungsi kawasan ini sebagai hutan lindung.
Mempertahankan kelestarian alam sekitar mereka dan mencegah orang dari luar masuk mengambil kekayaan alam di wilayah mereka dan membatasi akses masyarakat masuk ke dalam hutan
3.6.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Sejak jaman Belanda, TNK sudah berstatus sebagai kawasan konservasi. Secara umum kawasan ini merupakan dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0 – 400 m di atas permukaan laut (dpl). Sebagian topografinya berbukit (bergelombang ringan, sedang sampai berat), dan di bagian barat serta utara berbukit dengan ketinggian yang mencapai 70-200 m dpl. TNK mempunyai keunikan sistem ekosistem dengan beberapa tipe hutan yang terdapat di dalamnya, yang sangat penting bagi kelangsungan hidup berbagai macam jenis flora dan fauna yang dilindungi.
Secara administrasi pemerintahan, TNK terletak di Kabupaten Kutai Timur (±80%), Kabupaten Kutai Kartanegara (±17,48%), dan Kota Bontang (±2,52%). Sedangkan secara geografis berada di antara 0o7’54”– 0o33’53” LU dan 116 o58’48” – 117 o35’29” BT. Kawasan TNK ini membentang sepanjang garis khatulistiwa mulai dari pantai Selat Makassar yang merupakan batas paling timur. Kawasan ini juga dibatasi oleh Sungai Sangatta di sebelah utara; hutan lindung Bontang dan HPH Surya Hutani Jaya di sebelah selatan; dan HPH PT Kiani Lestari di sebelah barat.
55
56
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Gambar 24. Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Kutai
Tabel 11. Jumlah penduduk di dalam kawasan TNK (2000-2001) Desa 1. Di dalam enclave a. b. c. d.
Sangatta Selatan Singa Geweh Sangkima Teluk Pandan
2. Di luar enclave
Jumlah Penduduk 2001 April 2002 18.821 5.955 3.923 3.580 5.363 361
19.794 6.730 3.561 4.482 5.021
Sumber: Pusat Informasi BTNK, 2002
Selain itu, TNK juga berdekatan dengan industriindustri besar seperti PT Badak NGL, PT Pupuk Kaltim, PT Kaltim Prima Coal, PT Porodisa, PT Indomico Mandiri, serta Pertamina yang sejak jaman Belanda berada dalam kawasan TNK.
Selatan, Desa Singa Geweh, Desa Sangkimah dan Desa Teluk Pandan. Sampai dengan tahun 2002, penduduk yang bermukim di keempat desa tersebut berjumlah 19.794 orang, sebagaimana diperlihatkan dalam Tabel 11.
TNK yang dikelilingi daerah industri telah mengundang masyarakat untuk bermukim di dalam maupun di luar kawasan TNK, karena mereka berharap dapat memperoleh lapangan pekerjaan. Sebelum tahun 1982, yaitu saat kawasan ini ditetapkan menjadi taman nasional, di dalam kawasan ini telah terdapat pemukiman (enclave) di beberapa tempat terpisah. Pada saat ini pemukiman tersebut telah menjadi desa definitif, yaitu Desa Sangatta
3.6.2. Sejarah Konflik Sejak berdiri TNK memang tidak pernah lepas dari berbagai macam konflik, yang sudah berlangsung sepanjang sejarah permukiman di dalam kawasan dan perubahan status kawasan sejak jaman Belanda. Masalah pemukiman ini memang telah ada sejak lama, namun pada waktu itu jumlah pemukim masih sedikit dan mereka tidak berani melawan terhadap petugas yang mengawasi TNK.
Yuliana Cahya Wulan
Sejak tahun 1934, luas kawasan ini terus berkurang secara drastis karena berbagai kepentingan, seperti HPH, perluasan industri pupuk dan gas alam serta pengembangan fasilitas Pemerintahan Daerah. Pengurangan luas ini diperkirakan akan terus terjadi karena masih terdapat usulan pelepasan kawasan seluas 15.000 ha untuk pemukiman. Menurut keterangan seorang penduduk, desa-desa yang telah ada sebelum kawasan ini berstatus sebagai kawasan konservasi adalah Desa Sangatta Selatan dan Desa Sangkimah, yang dijadikan lokasi penelitian ini. Pada awalnya Desa Sangkimah didirikan oleh sekelompok orang Basap yang kemudian digantikan oleh Suku Dayak. Akan tetapi karena mereka berpindah-pindah dan semakin menjauhi pantai, akhirnya wilayah ini ditempati oleh Suku Kutai. Namun kemudian datang Suku Bugis dari Kecamatan Segeri, Pangkep, Sulawesi Selatan yang sampai saat ini bermukim di Desa Sangkimah. Berdasarkan hasil wawancara dengan BIKAL, sebuah LSM lokal yang berkedudukan di Kota Bontang dan telah banyak melakukan pendampingan dan penelitian mengenai masyarakat di lokasi penelitian, kedatangan pertama penduduk dari Sulawesi ini terjadi pada tahun 1924. Perintis Bugis ini terdiri dari satu kelompok yang beranggotakan kurang dari sepuluh orang. Pada tahun 1934, berdasarkan GB No. 3843/AZ/ 1934, kawasan TNK ditetapkan oleh pemerintah Belanda sebagai hutan cadangan dengan luas 2.000.000 ha. Kemudian pada tahun 1936, Pemerintah Kutai menetapkan kawasan ini sebagai Suaka Marga Satwa Kutai dengan luas 306.000 ha, berdasarkan ZB No. 80/22-ZB/1936. Pada tahun yang sama (1936), perusahaan pertambangan minyak milik pemerintah Hindia Belanda/BPM mulai beroperasi dengan membawa pekerja dari Jawa dan juga mempekerjakan penduduk lokal di Sangatta Selatan dan Sangkimah. Kemudian pada awal kemerdekaan Indonesia terjadi gelombang kedatangan penduduk dari Sulawesi Selatan secara besar-besaran dengan alasan keamanan, yaitu adanya perang kemerdekaan dan juga operasi pemberantasan gerombolan pemberontak terhadap negara Republik Indonesia. Kedatangan penduduk berikutnya berasal dari Sulawesi, Jawa dan bahkan dari wilayah lain di Kalimantan Timur, yang terjadi pada saat industri perkayuan dan pertambangan mulai ramai pada tahun 1960-an (Suharso dan Chan, 2001). Para pendatang
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
baru ini pada awalnya berharap akan mendapat pekerjaan, akan tetapi tidak semua orang memperolehnya. Akhirnya mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan lari ke hutan dan tinggal di dalam kawasan itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada tahun 1967, pemukiman di daerah Teluk Pandan mulai dibangun. Pemukimnya berasal dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan yang pada awalnya bermukim di daerah Sikattub, Bontang. Kepindahan ini disebabkan karena persengketaan antara mereka dan para pemukim lain. Pada tahun 1971, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No.230/Kpts/Um/6/1971, sebagian kawasan ini yaitu seluas 106.000 ha dilepaskan. Pelepasan seluas 60.000 ha ini diperuntukkan bagi HPH PT. Kayu Mas dan sisanya seluas 46.000 ha untuk PT. Pupuk Kaltim dan PT. Badak NGL. Dengan adanya pelepasan kawasan, pemukim yang berada dalam areal ini diharuskan pindah dan mereka mendapatkan ganti rugi lahan dari perusahaan. Akan tetapi pemukim ini hanya berpindah dari kawasan yang telah dilepas ke bagian hutan lainnya yang masih dalam kawasan konservasi. Pada tahun 1982, dalam Kongres Taman Nasional III Sedunia di Bali, kawasan ini dideklarasikan sebagai taman nasional dengan luas 200.000 ha. Penunjukan ini kemudian ditetapkan oleh SK Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982. Pada tahun 1990 disepakati perjanjian pinjam pakai kawasan antara Departemen Kehutanan dan Departemen Perhubungan untuk membangun jalan trans-Kalimantan. Jalan ini berada di dalam kawasan TNK dan tepat membelah TNK menjadi dua bagian. Pembukaan jalan ini kemudian menjadi salah satu pemicu yang mempercepat pengurangan luas hutan di kawasan ini karena telah membuka akses untuk mengangkut hasil hutan ke luar dari kawasan ini. Tahun 1991 berdasarkan SK Menteri Pertanian No.435/Kpts-VIII/1991, kawasan TNK ini dikurangi lagi sebesar 1.371 ha untuk perluasan Kota Bontang dan PT. Pupuk Kaltim, sehingga luas kawasan TNK menjadi 198.629 ha Pada tahun 1997 Gubernur Kaltim menetapkan tiga desa definitif yang ada di dalam wilayah TNK.
57
58
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Selain pengurangan luas taman nasional sebagai akibat berbagai kebijakan, kebakaran hutan juga telah mengurangi luas areal TNK. Kebakaran hutan yang terjadi pada bulan Agustus-Oktober 1997 dan Januari-Mei 1998 semakin memperlihatkan ketidakmampuan Pemerintah Pusat dan Balai Taman Nasional Kutai dalam menjaga kawasan hutan ini. Lahan bekas terbakar ini pun semakin mengundang banyak masyarakat untuk bermukim dan melakukan usaha pertanian. Menurut BIKAL (2001), akibat perambahan ini luas hutan TNK berkurang seluas ±16.000 ha sepanjang jalan Bontang-Sangatta. Selain itu, pada tahun ini juga luas TNK kembali berkurang seluas 25 ha ini untuk perluasan Kota Administratif Bontang, sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No.997/Menhut-VII/1997. Pada tahun 1999, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur mengusulkan perubahan sebagian areal TNK menjadi Kawasan Budidaya Non -Kehutanan (KBNK) seluas 15.700 ha. Areal ini dicadangkan untuk relokasi desa-desa dan pemukiman yang saat ini berada di dalam wilayah TNK, serta untuk pembangunan ibukota Kutai Timur, Sangatta, termasuk pembangunan lapangan udara dan pelabuhan. Pada bulan April 2000, Departemen Kehutanan dan Perkebunan menyatakan persetujuannya untuk membuat enclave, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Surat Perintah Kerja (SPK) Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam (PKA) No. 830/DJ-V/LH/2000. SPK tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dapat melaksanakan tata batas enclave
di empat desa, yaitu Sangatta Selatan, Singa Geweh, Sangkimah dan Teluk Pandan. Tahun 2001 Bupati Kutai Timur menetapkan Tim Enclave yang kemudian melakukan inventarisasi, membuat peta kerja dan instruksi kerja. Namun demikian, hingga saat ini enclave tersebut belum dapat diselesaikan karena beberapa masalah. Masalah pokok yang dihadapi Tim Enclave adalah keterbatasan dana sehingga kegiatan tata batas di Desa Teluk Pandan belum dapat dilaksanakan. Masalah lainnya adalah trayek pada peta kerja tidak dapat diterima oleh warga Dusun I/Sangkimah Dam, Dusun Sidrap dan Kanibungan. Ketiga dusun tersebut masih belum dapat diputuskan apakah masuk ke dalam wilayah Desa Teluk Pandan atau Kecamatan Bontang. Selain itu, luas areal enclave berkembang dari 15.000 ha menjadi 24.000 ha. Saat ini kegiatan enclave tidak diteruskan karena berbagai masalah tersebut. Sementara itu, terjadi perubahan kebijakan di Pemerintahan Pusat yang tidak lagi mengijinkan keberadaan enclave di dalam kawasan taman nasional. Masalah enclave ini juga merupakan akibat perbedaan persepsi mengenai definisi enclave antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.
3.6.3. Persepsi Pihak–pihak yang Terlibat A. Balai Taman Nasional Kutai Berikut ini adalah pandangan dari Balai Taman Nasional Kutai (BTNK) yang didapatkan dari hasil wawancara dengan staf BTNK yang banyak menangani
Gambar 25. Pemukiman penduduk di dalam kawasan TNK
Yuliana Cahya Wulan
masalah-masalah antara TNK dengan masyarakat dan juga dilengkapi dengan hasil tulisan yang dibuat oleh staf BTNK dan tenaga sukarelawan VSO (Voluntary Service Overseas) di BTNK (lihat Suharso dan Chan, 2001). Menurut BTNK, bagaimanapun juga keberadaan masyarakat di dalam kawasan TNK merupakan hal yang ilegal. Satu-satunya solusi adalah memindahkan masyarakat ke luar dari kawasan TNK, karena apabila dibiarkan dan hanya diberi batas (enclave), penduduk dalam kawasan akan terus berkembang dan hampir dipastikan akan menambah tekanan terhadap wilayah TNK. Selanjutnya menurut pihak BTNK, enclave tidak akan dapat menyelesaikan masalah pemukiman. Apalagi dengan adanya perbedaan persepsi antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat mengenai definisi enclave. Menurut Pemerintah Pusat, desa yang berada di enclave masih tetap berada di bawah pengelolaan BTNK. Kegiatan enclave dilakukan hanya untuk membatasi aktivitas masyarakat di kawasan TNK sehingga tidak lagi merambah areal lain di dalam enclave. Namun, menurut persepsi Pemerintah Daerah, kawasan enclave sepenuhnya harus dilepaskan dan akan berada di bawah pengelolaan dan pengawasan Pemerintah Daerah, sehingga masyarakat akan bisa mendapatkan sertifikat tanah tersebut. Untuk menghadapi berbagai konflik yang terjadi di dalam kawasan TNK, pihak BTNK merasa bahwa penegakan hukum harus dilakukan. Apalagi pada saat ini pihak BTNK sudah kehilangan wibawa dan kekuatannya dimata masyarakat. Sejak masa Reformasi, masyarakat menjadi sangat berani. Hampir setiap bentuk pengamanan yang dilakukan oleh pihak TNK mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Mereka sudah tidak merasa takut kepada siapapun, sehingga mereka bisa menjadi sangat nekat menggunakan parangnya untuk mengancam petugas. Sementara itu, upaya pendekatan masyarakat melalui penyuluhan dan bantuan kepada masyarakat selalu mendapatkan hambatan. Sejak awal masyarakat sudah beranggapan bahwa kegiatan penyuluhan tidak bermanfaat dan sebaliknya hanya akan menyulitkan mereka saja. Ketidakmampuan BTNK dalam mencegah kebakaran hutan, karena keterbatasan sumber daya manusia,
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
fasilitas, dana dan juga jalur koordinasi yang panjang (ke Jakarta), semakin melemahkan posisi BTNK. BTNK mengharapkan agar pemerintah pusat mempunyai sikap yang lebih tegas dan konsisten dalam menghadapi masalah ini. Kasus enclave, misalnya, menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak konsisten dalam menangani masalah ini. Walaupun Pemerintah Pusat pernah mengeluarkan SPK dari Direktorat Jenderal Perlindungan Alam dan Konservasi Alam,pergantian kepemimpinan di Jakarta menyebabkan pergantian kebijakan pula. Pada saat ini Pemerintah Pusat menolak enclave ini dan tidak mengakui hasil enclave sebelumnya. Kemudian Surat Menteri Kehutanan No. 1889/Menhut-II/2002 tanggal 21 November 2002 menyatakan bahwa Departemen Kehutanan tidak bermaksud melepaskan wilayah enclave dari TNK. Dalam kaitan ini, BTNK setuju dengan kebijakan Pemerintah Pusat tersebut karena pada dasarnya di kawasan taman nasional tidak boleh ada enclave. Namun BTNK juga mengharapkan adanya pernyataan resmi dan sosialisasi dengan masyarakat dan Pemerintah Daerah. Ketidakjelasan status enclave saat ini akhirnya dimanfaatkan oleh para spekulan tanah dan penebang liar untuk mengambil keuntungan. Ketidakjelasan ini juga meningkatkan perambahan hutan oleh masyarakat di dalam wilayah enclave. Dan staf BTNK pun tidak lagi bisa menindak segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh siapa pun di dalam kawasan enclave. Dalam pengelolaan dan pengawasan kawasan TNK, BTNK pun merasa tidak mampu melakukannya sendiri karena keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas. Oleh karena itu, BTNK sangat mengharapkan bantuan dari pihak-pihak lain yang terkait untuk ikut serta menjaga dan melestarikan TNK. B. Pemerintah Kabupaten Kutai Timur Persepsi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur diperoleh dari hasil wawancara dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Kabupaten Kutai Timur dan satu orang stafnya. Menurut mereka, konflik yang terjadi di TNK sudah berlangsung sejak lama. Selama itu pula pihak BTNK
59
60
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Kotak 13. Kejadian Perusakan Fasilitas TNK Pada bulan September 1999 pihak BTNK menahan puluhan kubik kayu yang diduga merupakan hasil penjarahan masyarakat yang akan dijual kepada pengusaha asal Bontang Selatan. Akan tetapi hal ini menimbulkan kemarahan masyarakat dan akhirnya mereka melakukan tindakan perusakan pondok penelitian dan pondok jaga TNK. Aksi ini dilakukan oleh sekitar 30 orang warga masyarakat dari Desa Sangkimah. Menurut masyarakat, kayu itu diperuntukkan untuk membangun jembatan dan masjid. Sebelumnya mereka telah meminta kayu sebanyak 400 meter kubik untuk keperluan tersebut, namun pihak BTNK tidak mengizinkan dengan alasan bahwa tidak boleh ada kegiatan penebangan kayu di wilayah TNK. Namun kemudian tanpa persetujuan pihak BTNK, Kepala Desa Sangkimah mengeluarkan surat izin penebangan.
Sumber: BIKAL. 2001. Potret Taman Nasional Kutai
dianggap sangat lambat dalam menghadapi berbagai permasalahan, sementara Pemerintah Pusat terkesan sama sekali tidak ada upaya untuk menyelesaikan permasalahan. Akibatnya, laju kerusakan TNK berlangsung dengan sangat cepat dan semakin parah. Pemda merasa berkewajiban untuk ikut serta dalam penyelesaian masalah-masalah konflik yang terjadi di TNK walaupun sebenarnya TNK bukan merupakan wewenangnya. Namun masyarakat pemukim sangat berharap bahwa Pemda dapat membantu mereka untuk menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di antara mereka dengan BTNK. Apalagi masyarakat tersebut telah bermukim sejak dahulu di dalam kawasan tersebut, dan Pemda tidak bisa begitu saja mengabaikan keberadaan mereka di sana. Hal inilah yang mendorong Pemda untuk menetapkan empat desa definitif yang berada di dalam kawasan TNK. Selain itu, Pemda menganggap Pemerintah Pusat tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola TNK, seperti ketidakmampuan BTNK untuk mengendalikan kebakaran hutan, penebangan liar dan laju perambahan yang semakin meningkat dan tidak terkendali. Oleh sebab itu seharusnya Pemerintah Pusat memberikan kepercayaan kepada Pemda untuk mengelola TNK sesuai dengan semangat desentralisasi. Menurut mereka, Pemerintah Daerah bisa lebih pro aktif dalam menyelesaikan berbagai konflik karena jalur koordinasinya yang lebih dekat kepada masyarakat. Selama ini Pemda selalu ingin ikut serta dalam pelestarian TNK, akan tetapi dalam pelaksanaannya kadang-kadang terbentur pada kewenangan yang tidak diberikan oleh Pemerintah Pusat. Berkaitan dengan kelanjutan enclave, Pemda Kabupaten telah melakukan pengajuan Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) kepada Pemerintah Pusat melalui surat nomor 177/BS-SIG/IX/2002 tanggal 5 September 2002, namun sampai saat ini belum ada tanggapan dari Pemerintah Pusat. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Pemda Kabupaten untuk membantu BTNK dan Pemerintah Pusat dalam pelestarian TNK adalah membuat studi mengenai penelurusan data Taman Nasional Kutai. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Lingkungan Hidup (LH) Kabupaten Kutai Timur, bekerjasama dengan DFID yang berlangsung sejak November 2002 sampai Januari 2003. Hasilnya berupa buku mengenai data dan informasi tentang Taman Nasional Kutai. C. Masyarakat Sekitar Taman Nasional Kutai Persepsi masyarakat dikumpulkan dari hasil wawancara dengan tiga orang tokoh masyarakat dari Desa Sangkimah dan satu orang warga biasa. Disamping itu, persepsi masyarakat diperoleh dari hasil-hasil penelitian sebelumnya (lihat BIKAL, 2001; Suharso dan Chan, 2001). Di mata masyarakat, BTNK dipandang sebagai penyebab ketertinggalan dan keterbelakangan pembangunan masyarakat dalam kawasan TNK. Tidak masuknya jaringan listrik ke desa dan tidak dibangunnya jembatan menurut masyarakat adalah akibat larangan dari BTNK (Suharso-Chan, 2001). Namun, menurut staf BTNK pelanggaran ini didasarkan atas kewajiban pengelola untuk menjaga keaslian kawasan TNK sehingga segala bentuk pembangunan di dalam kawasan taman nasional tidak diijinkan. Masyarakat juga tidak mengerti mengapa mereka tidak boleh bermukim di sana, sementara Pertamina diperbolehkan untuk beroperasi dengan segala
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
fasilitasnya yang mewah. Mereka pun merasa sakit hati karena menganggap bahwa keberadaan satwa di kawasan taman nasional lebih dipentingkan daripada keberadaan manusianya. Masyarakat merasa berhak berada di kawasan tersebut karena mereka telah bermukim di sana sejak lama dan turun-temurun, jauh sebelum kawasan konservasi ini ditetapkan (lihat sejarah kedatangan mereka pada bagian 3.6.2). Pada awal kedatangannya, mereka tidak mengetahui dan tidak ada yang memberitahukan bahwa mereka berada di dalam kawasan konservasi. Namun sampai saat ini mereka merasa tidak ada masalah dengan keberadaan mereka di kawasan tersebut. Mereka mulai merasa terganggu pada tahun 1982, sejak kawasan ini ditetapkan menjadi taman nasional. Pengawasan yang dilakukan pihak pengelola menjadi lebih intensif karena pada waktu itu pun perambahan, perburuan dan penebangan liar sudah ada.
melakukan protes kepada Tim enclave yang dianggap hanya bekerja di atas meja. Masyarakat yang merasa tidak puas menuntut Tim enclave untuk segera mengubah batas-batas enclave yang telah ditentukan sebelumnya. Bahkan mereka sempat menahan Tim enclave di Desa Sangkimah selama dua hari sampai mereka setuju membuat batas-batas enclave yang baru sesuai dengan hasil kesepakatan dengan masyarakat. Hal inilah salah satu penyebab luas areal yang di enclave menjadi lebih besar.
Menurut masyarakat, sejak saat itu petugas TNK dinilai bertindak kejam terhadap mereka, sehingga mereka tidak bisa hidup dengan tenang. Apabila ada di antara mereka yang tertangkap sedang melakukan kegiatan di kawasan ini (seperti bertani, menebang pohon, dll), mereka akan diperingatkan dengan kasar dan semua peralatan mereka disita. Suatu saat mereka juga melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk yang ada di dalam kawasan TNK. Pada saat itu mereka tidak berani melawan kepada petugas TNK, namun mereka akan kembali melakukan kegiatan-kegiatannya manakala tidak ada petugas, karena didorong oleh kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka hanya bisa bermain “kucing-kucingan” dengan petugas untuk bisa melakukan kegiatan pertanian, berburu ataupun menebang pohon.
Ketika disinggung mengenai rencana relokasi ke tempat lain mereka menyatakan tidak akan mau dipindahkan, karena di tempat itulah mereka telah dilahirkan dan dibesarkan secara turun-temurun. Menurut mereka, yang harus dipindahkan adalah para pendatang baru saja.
Setelah masa Reformasi, masyarakat menjadi lebih berani karena merasa mendapatkan dukungan dari luar terutama dari Pemda Kabupaten. Apalagi pada saat pemilihan Bupati Kutai Timur, dalam satu kampanyenya menjanjikan untuk melepaskan kawasan yang mereka tempati dari wewenang TNK. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa pembukaan lahan TNK bukan lagi sesuatu yang ilegal. Apalagi sepanjang mereka ketahui, pemilik tanah yang telah dikapling di dalam kawasan TNK bukan hanya penduduk di sekitarnya saja, tetapi juga penduduk dari luar kawasan, dan bahkan para pejabat pemerintah. Pada saat akan dilakukan enclave mereka pun sempat
Saat ini masyarakat telah menghentikan pembukaan areal baru dan mulai menunjukkan sikap konservasionis, seperti melakukan penanaman untuk rehabilitasi mangrove. Bahkan untuk melaksanakannya, mereka telah membuat Rancangan Peraturan Desa (Raperdes). Namun demikian, mereka masih tetap menuntut pengesahan hasil enclave.
D. LSM - Bina Kelola Lingkungan (BIKAL) BIKAL merupakan LSM lokal yang banyak melakukan studi dan pendampingan masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan. BIKAL banyak berperan dalam menjembatani diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan yang terlibat dalam konflik. Pada tahun 2000 BIKAL memulai diskusi regular (setiap satu bulan) antara Balai TNK, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, masyarakat sekitar dan perusahaanperusahaan yang berada di sekitar TNK. “Konflik kepentingan berbagai pihak”, mungkin itulah kata-kata yang dapat kita ungkap sebagai penyebab hancurnya kawasan warisan Sultan Raja Kutai. Akhir-akhir ini, konflik yang ada semakin dipacu dengan adanya kesalahpahaman para penentu kebijakan mengenai konsep Desentralisasi dan proses desentralisasi yang sedang bergulir. Di lapisan bawah, masyarakat memahami reformasi sebagai kesempatan untuk melakukan balas dendam. Segala sesuatu yang tadinya tidak boleh, sekarang menjadi boleh dan sah, atas nama reformasi. “Eforia reformasi”, begitulah yang sering dikatakan orang (BIKAL, 2001).
61
62
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
TNK merupakan kawasan konservasi yang dikelilingi oleh banyak perusahaan berskala besar bahkan salah satu diantaranya (Pertamina) berada di dalam kawasan TNK. Dengan adanya pemekaran wilayah, kawasan ini telah diapit oleh dua kota yang sedang berkembang yaitu Bontang–Sangatta, yang dihubungkan oleh jalan yang membelah TNK. Selain itu, sebelum menjadi taman nasional di dalam kawasan ini sudah ada masyarakat yang tinggal di beberapa lokasi yang terpisah, yang saat ini bahkan telah menjadi empat desa definitif. Memang sudah sejak lama banyak masalah yang harus dihadapi dalam pelestarian TNK. Penebangan liar dan perambahan telah ada sejak dulu, bersamaan dengan hadirnya beberapa perusahaan yang berbatasan langsung dengan TNK dan adanya pemukiman di dalam kawasan ini. Berbagai kebijakan pemerintah juga telah membuat kawasan ini semakin berkurang luasnya, dan menyebabkan kecemburuan bagi masyarakat yang telah lama bermukim di dalam kawasan tersebut. Sementara pemerintah mengalami kesulitan untuk memindahkan mereka dari kawasan tersebut, beberapa perusahaan besar diperbolehkan untuk beroperasi di sana. Masyarakat merasa diperlakukan tidak adil karena mereka sudah sejak lama dan lebih dulu berada di sana, sementara perusahaanperusahaan tersebut baru berdatangan kemudian. Setelah masa Reformasi, perambahan hutan yang terjadi di TNK sangat dahsyat. Dalam jangka waktu dua bulan saja, luas areal yang dirambah mencapai 75 km dari kanan-kiri jalan Bontang-Sangatta. Hal ini terjadi setelah keluarnya pernyataan Bupati melalui kantor camat yang menyatakan bahwa kawasan tersebut akan dikeluarkan dari pengelolaan BTNK. Pernyataan ini diartikan sebagai legalitas untuk pembukaan lahan di kawasan TNK. Kemudian untuk mengatasi hal ini, pihak-pihak yang terlibat menyetujui untuk membuat enclave. Akan tetapi karena adanya perbedaan persepsi mengenai enclave antara Pemerintah Pusat dan Pemda Kabupaten, sampai saat ini masalah enclave tidak kunjung selesai. Sedangkan bagi masyarakat sendiri mereka tidak peduli definisi enclave yang mana yang akan dipakai. Mereka hanya peduli untuk mendapatkan pembebasan lahan dan memperoleh sertifikat tanah sebagaimana yang dicanangkan melalui “Sertifikat Program Nasional” dari Pemda Kabupaten.
E. Universitas Mulawarman Pandangan dari Universitas ini diperoleh dari hasil wawancara dengan dua orang dosen Universitas Mulawarman (Unmul) yang banyak melakukan kegiatan penelitian di kawasan TNK. Menurut mereka, masalah konflik kehutanan di kawasan TNK sebenarnya sudah ada sejak lama, akan tetapi mulai memuncak sejak kebijakan Desentralisasi digulirkan. Dengan adanya pemekaran wilayah, maka Bupati Kutai Timur menetapkan Sangatta menjadi Ibukota Kabupaten Kutai Timur. Penetapan ibukota kabupaten ini memang menimbulkan banyak pertanyaan dari berbagai pihak, karena penetapannya tidak didahului oleh analisis dampak lingkungan. Sangatta merupakan kota kecil, dengan potensi yang terbatas, dan bersebelahan langsung dengan TNK. Jaraknya dekat dengan Bontang yang merupakan kota industri. Setelah dijadikan ibukota kabupaten, Sangatta berkembang pesat dan para pendatang cepat meningkat pula. Apalagi dengan adanya pernyataan di media massa dari Bupati Kutai Timur yang pada saat itu baru diangkat menyatakan undangan bagi siapa saja untuk datang ke Kutai Timur dan mereka akan mendapatkan tanah berapa saja luasnya. Hal ini diartikan lain oleh sebagian masyarakat sehingga mereka membawa keluarganya dari luar daerah (terutama Sulawesi) dan kemudian membuka lahan baru di dalam kawasan TNK. Para pendatang berharap akan mendapatkan pekerjaan di Kota Sangatta. Namun ketika yang diharapkan tidak terwujud, mereka mulai merambah hutan, membuat gubuk dan bertani di dalam kawasan TNK, dan kemudian mulai menebang kayu. Setelah dua sampai tiga tahun berada di sana, mereka sudah tidak mau dipindahkan lagi. Selain itu, adanya pengakuan secara tidak langsung dari Pemda melalui pembuatan KTP, kehadiran mereka merasa diakui dan tidak lagi merasa sebagai pemukim ilegal. Saat ini eforia reformasi dan gejolak Otonomi Daerah sudah mulai mereda dan Pemda kabupaten juga telah banyak memikirkan kelestarian TNK. Hal ini dapat dilihat dari perumusan rancangan-rancangan peraturan daerah (Raperda) mengenai TNK, walaupun dalam prosesnya Raperda ini ditolak oleh Pemerintah Pusat.
Yuliana Cahya Wulan
3.6.4. Upaya Penanganan Konflik Salah satu upaya dalam penyelesaian konflik kehutanan di TNK adalah dengan membuka ruang dialog dalam bentuk lokakarya yang diselenggarakan pada tanggal 28-29 April 1999 dan 22 Juli 1999. Lokakarya ini diselenggarakan atas kerja-sama antara Program Natural Resources Management (NRM/EPIQUSAID), Balai Taman Nasional Kutai, Bappeda Tingkat I Provinsi Kaltim, BIKAL, PLASMA dan Mitra Kutai. Selain para penyelenggara, pihak-pihak lain yang berpartisipasi dalam acara ini adalah instansi pemerintah (Kanwil Dephutbun Kaltim, Pemda Kabupaten Kutai, BPN Kabupaten Kutai), Aparat Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (POLDA Kaltim), perusahaan swasta (PT. Pupuk Kaltim), perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat. Salah satu hasil lokakarya adalah adanya keinginan masyarakat untuk segera melakukan penetapan batas fisik di lapangan sebagai batas pengelolaan mereka. Lokakarya ini juga merekomendasikan pembentukan enclave sebagai salah satu alternatif yang diyakini dapat menyelesaikan konflik. Namun ternyata Tim enclave sendiri mengalami kesulitan di lapangan, sehingga pada akhirnya enclave tidak dapat diselesaikan. Ketidakjelasan ini justru kemudian menimbulkan perambahan hutan yang lebih luas. Perbedaan persepsi dan keterbatasan dana dalam kegiatan enclave merupakan kendala utama pelaksanaan enclave. Upaya lainnya yaitu dengan melakukan kampanye penyadaran masyarakat mengenai pentingnya TNK dengan membangkitkan rasa bangga terhadap pelestarian TNK. Salah satu kegiatan kampanye di TNK dilakukan oleh KENARI (Kelola Wana Lestari), yang melibatkan berbagai instansi/lembaga, termasuk
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
BTNK, Pemda (berbagai dinas terkait), LSM, guru, dan berbagai perusahaan yang beroperasi di sekitar TNK. Sampai saat ini hasil yang sudah tampak adalah masyarakat pemukim mulai menyadari kepentingan konservasi di dalam kawasan TNK ini. Contohnya, masyarakat pesisir TNK tidak lagi membuka lahan untuk tambak dan sudah mau melakukan penanaman di daerah tersebut.
3.6.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi di TNK sangat erat kaitannya dengan sejarah panjang perubahan status kawasan ini. Selain itu, konflik ini terkait pula dengan sejarah pemukiman di dalam kawasan TNK yang memang telah ada sebelum kawasan ini berstatus sebagai taman nasional. Pemicu konflik yang lain adalah kenyataan bahwa kawasan taman nasional ini dikelilingi oleh berbagai perusahaan besar, yang menjadikan daya tarik yang besar bagi banyak orang untuk bermukim di sekitar kawasan TNK. Pokok-pokok konflik dan tuntutan dari pihak-pihak yang bersengketa dijelaskan dalam Tabel 12. Pelajaran penting yang dapat kita petik dari kasus konflik di TNK adalah tanpa melibatkan masyarakat secara aktif dalam penetapan suatu kawasan taman nasional, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi berbagai benturan-benturan di kemudian hari. Benturan-benturan ini muncul karena perbedaan persepsi dan kepentingan dari berbagai pihak. Penetapan kawasan TNK secara sepihak tidak akan menyelesaikan masalah, dan bisa dinilai tidak adil oleh masyarakat karena akses mereka menjadi terbatas.
63
64
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Tabel 12. Pokok-pokok Konflik di Taman Nasional Kutai Pokok Sengketa
Pihak yang Bersengketa BTNK
Tuntutan Pihak yang Bersengketa Masyarakat tidak mengganggu kawasan konservasi ini dengan merambah hutan untuk pemukiman maupun untuk lahan pertanian; Pemda tidak membuat pernyataanpernyataan yang dapat disalahartikan oleh masyarakat sebagai pembebasan kawasan TNK.
Masyarakat
Batas-batas dan kewenangan dalam pengelolaan lahan di kawasan TNK
Pemda
LSM
Kepentingan Mempertahankan kawasan TNK sebagai wilayah konservasi; Melaksanakan kebijakan Pusat.
Pemerintah membebaskan kawasan yang telah lama mereka tempati dan tidak membatasi akses masyarakat ke dalam hutan.
Mendapatkan lahan untuk tempat tinggal, bertani ladang dan kebun, dan investasi;
Sebaiknya Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangan pengelolaan kawasan ini kepada Pemda sesuai dengan semangat Desentralisasi. Selain itu juga mengesahkan hasil enclave dan memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat yang pengawasannya kemudian berada di bawah Pemda.
Memperoleh kewenangan dalam pengelolaan TNK.
Semua pihak terkait bersama-sama membuka forum komunikasi agar dapat berdialog untuk menyelesaikan konflik ini dan juga menyadari arti pentingnya hutan tersebut.
Mempertahankan kawasan konservasi;
Pemerintah Pusat mengesahkan hasil enclave dan memberikan akses kepada masyarakat serta menjaga keutuhan sisa kawasan tersebut.
Dapat memanfaatkan SDH untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Mendapatkan dukungan dari masyarakat
Menumbuhkan kesadaran pentingnya kelestarian hutan bagi semua pihak.
Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1. Kesimpulan Penelitian ini memberikan gambaran bahwa konflik kehutanan merupakan masalah yang keberadaannya perlu diakui dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Konflik kehutanan telah ada sepanjang sejarah perkembangan pengelolaan kehutanan di Indonesia karena sumber daya alam ini diperebutkan untuk diambil manfaatnya oleh berbagai pihak yang berbeda kepentingannya, baik antara individu atau kelompok, maupun antara kepentingan lokal, nasional maupun internasional. Kemudian dilihat dari skala, bentuk maupun frekuensinya, konflik kehutanan juga bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya, antara satu pemanfaatan kawasan hutan dengan pemanfaatan hutan lainnya, dan antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, penanganan konflik bukan lagi sesuatu yang bisa diremehkan dan perlu dijadikan salah satu prasyarat dalam pengelolaan kawasan hutan Indonesia di masa yang akan datang. Dilihat dari frekuensinya, konflik kehutanan cenderung meningkat setelah masa Reformasi, baik di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi (Kalimantan Timur). Masa Reformasi dan kebijakan Desentralisasi ternyata merupakan alasan utama meningkatnya frekuensi konflik kehutanan, baik pada tingkat nasional maupun tingkat provinsi. Pada tingkat nasional, frekuensi konflik mencapai puncaknya pada tahun 2000, yang juga merupakan puncak masa Transisi antara masa Orde Baru dan masa Reformasi, yaitu sebanyak 153 kasus atau 43% dari total konflik yang tercatat antara kurun waktu enam tahun (1997 - 2003). Demikian pula yang terjadi pada tingkat provinsi, peristiwa konflik paling banyak dilaporkan pada tahun 2000, yaitu sebesar 21% dan pada tahun 2002 sebesar 25% dari seluruh peristiwa konflik yang tercatat selama enam tahun. Selain reformasi, lonjakan frekuensi konflik yang tinggi pada kurun waktu tersebut, didorong pula oleh krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada awal tahun 1998. Faktor lain yang memicu
konflik kehutanan adalah bencana alam dan musim kemarau yang panjang, serta kebakaran hutan pada tahun 1997/1998 yang menggagalkan panen padi masyarakat di banyak tempat. Berdasarkan penggunaan kawasan hutan, konflik yang terjadi tidak terbatas pada satu pihak atau jenis pemanfaatan lahannya saja. Di tingkat nasional, konflik yang terjadi di areal HTI, HPH dan kawasan konservasi berlangsung hampir merata, walaupun bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sementara di tingkat provinsi (Kaltim), konflik paling banyak terjadi di kawasan konservasi dan areal HPH. Berbagai konflik ini melibatkan masyarakat, perusahaan swasta dan perusahaan pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Hal ini memperlihatkan bahwa konflik adalah sesuatu yang umum dan menunjukkan bahwa dalam banyak kasus ada isu-isu mendasar yang bersumber dari perbedaan pandangan antara banyak pihak yang berkonflik. Selain itu, dari seluruh konflik yang diamati secara nasional, lebih dari separuhnya terjadi di Kalimantan Timur, Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Di antara ketiga provinsi tersebut, Kalimantan Timur merupakan daerah yang terbanyak mengalami peristiwa konflik, yaitu 30% dari semua konflik yang terjadi secara nasional. Sangat sulit diketahui apakah hal ini disebabkan di daerah tersebut memang terjadi konflik sedemikian seringnya atau apakah karena wartawan paling aktif melakukan kegiatannya di daerah ini? Isu-isu yang sering dijadikan alasan munculnya konflik antara lain adalah; kurangnya perhatian perusahaan HPH atau HTI terhadap kesejahteraan masyarakat lokal, kompensasi yang tidak memuaskan, atau janjijanji yang tidak ditepati. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penyebab konflik bisa digolongkan menjadi lima kategori, yaitu, perambahan hutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan, tata batas atau akses dan alih fungsi kawasan. Penyebab yang paling menonjol di tingkat nasional dan terutama terjadi di Kalimantan
4
66
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Timur (dengan mayoritas 68%) adalah karena ketidakjelasan tata batas kawasan dan keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Masalah tata batas, khususnya, berkaitan dengan aspek legalitas suatu kawasan. Dari studi kasus diketahui bahwa perusahaan kehutanan berpegang pada izin dari pemerintah, sementara di pihak lain masyarakat berpegang pada faktor sejarah dan adat. Perbedaan cara pandang terhadap kawasan yang sama ini telah menjadi alasan utama yang sering memicu konflik antara masyarakat lokal dengan perusahaan, pemerintah, maupun badan hukum lain yang diberikan hak dan kewenangan untuk mengelola suatu kawasan hutan tertentu. Sedangkan dalam penetapan kawasan lindung atau taman nasional, penetapan batas kawasan hutan telah membatasi akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Kebanyakan dari peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi merupakan konflik laten yang telah ada sejak lama, yang kemudian muncul ke permukaan karena didorong oleh “eforia reformasi”. Hasil pengamatan studi kasus menunjukkan bahwa walaupun konflik telah terjadi sejak lama, konflik yang disertai kekerasan baru muncul setelah masa Reformasi. Kebijakan Desentralisasi telah memberdayakan masyarakat lokal secara sosial, legal dan politik untuk melakukan tuntutan yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan karena takut akan tekanan dari militer. Karena eforia reformasi, masyarakat lokal yang selama ini terpinggirkan dengan berani menuntut hak-hak mereka, suatu hal yang mustahil terjadi di masa Orde Baru. Tantangan untuk mengatasi konflik bukan sekedar memahami penyebabnya saja. Studi kasus memperlihatkan adanya sejarah yang kompleks dan beragamnya jenis konflik. Studi kasus juga memperlihatkan sulitnya mengatasi konflik kehutanan. Proses penyelesaian konflik yang telah ditempuh meliputi banyak ragam. Mulai dari proses spontan antara pihak yang terlibat konflik (misalnya melalui musyawarah), melalui cara sederhana seperti pembayaran kompensasi, pemberian bantuan mediasi oleh pihak ketiga yang sering kurang berkualitas atau bersifat bias, sampai yang melibatkan Polisi (dalam kasus penembakan warga di Randublatung, misalnya).
Dalam banyak kasus, terlihat bahwa kewenangan dan kapasitas masyarakat sangat terbatas dalam mengelola konflik dibandingkan pihak lainnya yang lebih kuat dan berpengaruh. Perusahaan dan pemerintah telah menggunakan strategi hubungan kemasyarakatan dan pembayaran kompensasi di masa lalu. Akan tetapi hal ini terbukti hanya merupakan penyelesaian sementara, dan tidak menyelesaikan pokok masalah dalam jangka panjang. Perusahaan dan pemerintah perlu sekali mengembangkan cara-cara yang lebih efektif untuk mengakui keberadaan masyarakat lokal secara adil. Kasus di TNK memperlihatkan bagaimana enclave dapat digunakan sebagai salah satu cara, walaupun pada akhirnya tidak dilanjutkan karena masih adanya masalah lain yang belum terselesaikan. Berdasarkan analisis, sesungguhnya banyak kekerasan yang dapat dihindari apabila permintaan bantuan dan mediasi bagi masyarakat mendapatkan tanggapan lebih awal. Atau apabila perusahaan memberikan informasi yang memuaskan, dan melakukan negosiasi izin dan kesepakatan mengenai penggunaan lahan dengan masyarakat lokal (dan tidak melanggar kesepakatan tersebut). Konflik yang mencapai tahap kekerasan biasanya disebabkan karena frustasi akibat cara-cara legal yang telah ditempuh gagal atau diabaikan. Kekerasan sering mengakibatkan jatuhnya korban dari situasi yang tidak adil. Dalam banyak hal, dan juga dalam studi kasus yang diamati, proses penyelesaian konflik belum menunjukkan hasil yang maksimal. Hal ini terlihat dari belum satupun kasus konflik yang betul-betul terselesaikan tuntas. Implikasi dari kenyataan ini adalah bahwa memang diperlukan penanganan yang serius dari semua pihak yang berkepentingan terhadap konflik yang semakin merebak di sektor kehutanan.
4.2. Rekomendasi Sampai saat ini belum ada resep mujarab untuk bisa menyelesaikan konflik kehutanan di Indonesia yang sudah sedemikian rumitnya. Berdasarkan hasil Lokakarya yang diselenggarakan pada tanggal 17 November 2003, beberapa hal yang dapat direkomendasikan untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan konflik kehutanan di Indonesia, adalah sebagai berikut:
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
• Melakukan penelitian-penelitian yang dapat
• Mencari cara-cara penanganan konflik yang lebih
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran para pihak yang terlibat dalam konflik terhadap manfaat dari adanya konflik dan mengembangkan upayaupaya pengelolaan konflik yang lebih konstruktif. • Memprakarsai upaya-upaya nyata dalam penyelesaian konflik melalui berbagai kegiatan proaktif yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. • Meningkatkan upaya-upaya pengembangan sumber daya manusia yang secara khusus mampu menangani pengelolaan konflik di bidang kehutanan.
efektif, dan melakukan uji coba terhadap suatu lembaga mediasi yang terpilih untuk menjembatani para pihak yang terlibat dalam konflik secara adil dan bertanggung gugat. • Secara nasional, menata dan mengatur ulang keseluruhan dimensi yang terkait dengan permasalahan konflik kehutanan (dimensi sumber daya dan lingkungan, dimensi ekonomi dan manfaat, serta dimensi kebijakan dan kelembagaan).
67
Daftar Pustaka
Anau, N., Iwan, R., Heist, M. van, Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E. 2002. Negotiating more than boundaries: Conflict, power, and agreement building in the demarcation of village border in Malinau. Dalam: Technical Report Phase I 1997-2000. ITTO Project PD 12/97 Rev.1.(F) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest, 131156. CIFOR, Bogor. ARuPA. 1999. Penjarahan Hutan di Sekitar Desa, Temulus Randublatung; Fenomena Gunung Es di Tengah Lautan Reformasi Kehutanan. BIKAL. 2001. Potret Taman Nasional Kutai. BIKAL. Samarinda. BPS. 2000. Provinsi Sumatera Utara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan. Palembang. Buckles, Daniel. 1999. Cultivating Peace: Conflict and Collaboration in Natural Resource Management. International Development Research Centre (IDRC) – Ottawa, Canada. Daniels, S.E. and Walker, G.B. 2001. Working through Environmental Conflict: The Collaborative Learning Approach. Praeger Publishers, Westport, Connecticut. Fisher, S., Abdi, D.K., Ludin, J., Smith, R., Williams, S., dan Williams, S. 2001. Mengelola konflik: keterampilan dan strategi untuk bertindak. The British Council, Indonesia. Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch 2001. Potret keadaan hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan World Resource Institute, Washington D.C.: Global Forest Watch Forest Watch Indonesia dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh untuk Monitoring Kondisi Hutan, Kawasan Hutan Lindung Meratus Kalimantan Selatan. Forest Watch Indonesia dan Lembaga Pemasyarakatan Masyarakat Adat. Borneo Selatan. Glasl, F., 1999. Confronting conflict: A first-aid kit for handling conflict. Howthorn Press. Hudson, U.S.A.
Keang Nam Development Indonesia. 1999/2000. Rencana Kerja Tahunan PT. Keang Nam Development Indonesia. LPMA. 1999. Kronologis Usulan Perubahan DAS Batulicin Sebagai Kawasan Lindung pada KAPET Batulicin dan Areal Penggantinya. LPMA. Kalimantan Selatan. Miall, H. 2001. Conflict transformation: a multidimensional task. Dalam: “The Berghof handbook for conflict transformation”, 1-23. Berghof research center for constructive conflict management. Moeliono, I dan Fisher, L. 2003. Research as mediation: linking participatory action research to environmental conflict management in East Nusa Tenggara, Indonesia. Dalam: Castro, A.P and Nielsen, E (eds). Natural resource conflict management case studies: an analysis of power, participation and protected areas, 207-230. FAO, Rome. Rhee, S. 2000. De facto decentralization and the management of natural resources in East Kalimantan during a period of transition. AsiaPacific Community Forestry Newsletter (13):2. Santoso, H. 2001. Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan; Studi Perlawanan Masyarakat Desa Hutan di Perum Perhutani KPH Randublatung. Suharso, A dan Chan, J. 2001. Upaya Menyelesaikan Konflik Penggunaan Lahan di Taman Nasional Kutai Melalui Enclave. Paper untuk Lokakarya Regional Spark. Indonesia. Suporahardjo (ed). 2000. Inovasi penyelesaian sengketa pengelolaan sumberdaya hutan. Pustaka LATIN. Bogor. Suporahardjo dan Wodicka, S. 2003. Conflicts over community-based “Repong” resource management in Pesisir Krui region, Lampung province, Indonesia. Dalam: Castro, A.P and Nielsen, E (eds). Natural resource conflict management case studies: an analysis of power, participation and protected areas, 81-100. FAO, Rome. Sutaryono. 2001. Perberdayaan Setengah Hati; Kasus Pengelolaan Hutan Randublatung.
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Tadjudin, D. 2000. Manajemen kolaborasi. Pustaka LATIN. Bogor Walker, G.B dan Daniels, S.E. 1997. Foundation of natural resource conflict: Conflict theory and public policy. Dalam Solberg, B dan Mina (eds). Conflict management and participation in land management, 7-36. European Forestry Institutes Proceedings No. 14. Joensuu. Finland. Wenban-Smith, J (ed). 2001. Forests of fear: The abuse of human rights in forest conflicts. Fern,Brussels. Wollenberg, E., Edmunds, D. dan Anderson, J. 2001. Special Issue on accommodating multiple interest in local forest management. International Journal
of Agriculture, Resources, Governance, and Ecology (IJARGE), Volume 1, Nos. 3/4. Wondolleck, J. 1998. Public lands conflict and resolution: managing national forest disputes. Plenum Press, New York. Yasmi, Y. 2002. Conflict in forest management: A study for collaborative forest management in Indonesia. M.Sc. Thesis, Wageningen University and Research Center, The Netherlands. Yasmi, Y. 2003. Understanding conflict in the comanagement of forest: A case of Bulungan Research Forest. International Forestry Review 5 (1): 38-44.
69
Lampiran Lampiran 1. Informasi yang Direkam dalam Database Konflik 1. ID
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
: Nomor identitas setiap peristiwa konflik yang dilaporkan oleh media massa (suatu peristiwa konflik yang bisa dilaporkan oleh lebih dari satu media massa, sehingga mempunyai ID yang sama) Media : Nama sumber informasi yang melaporkan kejadian konflik Tanggal : Tanggal diterbitkannya artikel tersebut di media Judul : Judul artikel Topik : Arena konflik (HPH,HTI,Perkebunan atau Kawasan Konservasi) Kejadian : Peristiwa konflik yang dilaporkan (mis: penyerobotan lahan, tumpang tindih, demonstrasi, dll) Eskalasi : Tingkat keseriusan sebagai perwujudan peristiwa konflik (pembunuhan, penganiayaan, penggusuran/ penyerobotan lahan) Resume : Ringkasan artikel/peristiwa konflik yang dilaporkan Tahun : Tahun kejadian peristiwa konflik Pihak terkait : Pihak-pihat yang terlibat konflik Penanganan : Upaya yang telah ditempuh untuk mengatasi konflik Status : Status peristiwa konflik pada saat dilaporkan (sudah selesai, masih dalam proses penyelesaian, dll) Korban dan kerugian : Dampak negative yang diderita pihak terkait akibat adanya peristiwa konflik Provinsi, Kabupaten : Tempat kejadian peristiwa konflik Kecamatan
Ditolak, Perubahan Fungsi Hutan Meratus Kalsel
11/25/99
Media Indonesia
4
HPH
HPH
HPH
3
3
4
6
Media Indonesia
05/14/99 19 Desa Tuntut Dua HPH Kalteng Ganti Rugi
Ditolak, Perubahan Fungsi Hutan Meratus Kalsel
Ditolak, Perubahan Fungsi Hutan Meratus Kalsel
11/25/99
Media Indonesia
3
HPH
3
11/25/99
HPH Rusak Hutan Aceh Selatan
04/29/00
Kompas
2
HPH
2
Media Indonesia
Warga Marah, "Base Camp" HPH Dibakar
04/30/99
Kompas
1
HPH
1
5
Judul
Tanggal
Media
No
ID Topik
ID Konflik
Lampiran 2. Contoh Database
1999 Harus ada survei dan penelitian jika mau mengubah kawasan hutan lindung meratus menjadi hutan produksi.
Perusakan Hutan
Perambahan Hutan
Perambahan Hutan
Pencurian Kayu
HPH
HPH
HPH
Ganti Rugi
Penduduk meminta ganti rugi miliaran rupiah kepada dua perusahaan HPH di Kalteng, yaitu PT Erna Juliawati dan PT Korindo, karena kedua PT ini diduga telah melakukan penebangan pohon kayu yang dilarang eksploitasi HPH karena merupakan sumber penghidupan mereka.
Harus ada survei dan penelitian jika mau mengubah kawasan hutan lindung meratus menjadi hutan produksi.
1999
Harus ada survei dan penelitian jika mau mengubah kawasan hutan lindung meratus menjadi hutan produksi.
Perusakan Hutan
Perambahan Hutan
HPH
Perusakan Hutan
2000
Dua tahun berjuang dan sempat di pingpong kesana kemari, masyarakat desa kandang, kembali mendatangi Dephutbun, mereka menuntut pencabutan izin hak pengusahaan hutan (HPH) PT Medan Remaja Timber yang dinilai merusak hutan dan lingkungan.
Penolakan HPH
Perambahan Hutan
HPH
1999
1999
1999
Penganiayaan Base camp perusahaan pemegang HPH PT MRT dibakar saat sekelompok massa datang ingin menemui pimpinan perusahaan itu, tiga tersangka kini ditahan.
Tahun
Perusakan Fasilitas
Resume
Perambahan Hutan
Eskalasi
HPH
Kejadian
Penyebab
Topik
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
71
Aceh Selatan
Aceh Selatan Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Tengah Kotawaringin Timur
DI Aceh
Kalsel Kalsel Kalsel Kalteng
Masyarakat Lokal
Masyarakat Adat
Masyarakat Adat
Masyarakat Adat
Masyarakat Lokal
PT Medan Remaja Timber
PT Kodeco Timber
PT Kodeco Timber
PT Kodeco Timber
PT Erna Djuliawati
Kandang
Kandang
Kluet Selatan Haruyan
Seruyan Hulu
Telaga Langsat
Meratus
Meratus
Meratus
Kandang Kluet Selatan
Padang Batung
Lokasi
1999
Tahun
Kecamatan
Penduduk meminta ganti rugi miliaran rupiah kepada dua perusahaan HPH di Kalteng, yaitu PT Erna Juliawati dan PT Korindo, karena kedua PT ini diduga telah melakukan penebangan pohon kayu yang dilarang eksploitasi HPH karena merupakan sumber penghidupan mereka
Resume
DI Aceh
Eskalasi
Masyarakat Lokal
Kerugian
Ganti Rugi
Kejadian
Korban Jiwa
Pencurian Kayu
HPH
Korban Penganiayaan
Penyebab
Topik
Kabupaten
Status
19 Desa Tuntut Dua HPH Kalteng Ganti Rugi
Judul
Penanganan
05/14/99
Tanggal
Pihak Terkait 3
Media Indonesia
Media
Propinsi
PT Medan Remaja Timber
6
Pihak Terkait 2
HPH
4
No
Pihak Terkait 1
ID Topik
ID Konflik
Lampiran 2. Lanjutan
72 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Lampiran 3. Pedoman Wawancara
Data Ancaman & Konflik Dapat diperbanyak jika perlu
PENGUSAHAAN HUTAN 1. Apakah ada perusahaan konsesi atau taman nasional (kawasan konservasi) yang masih beroperasi? a. Jenis Perusahaan Perkebunan Besar Hutan Tanaman Industri (HTI) Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Taman Nasional (TN) b. Keterangan Perusahaan Nama Perusahaan/TN : Pemegang Saham/Pengelola : Tahun Mulai Operasi : Luas Areal : Jenis Tanaman : Kepemilikan (beritanda sesuai dengan jenis perusahaan) Swasta Nasional PTPN (Perusahaan Terbatas Perkebunan Negara) PBSN (Perusahaan Besar Swasta Nasional) Rakyat Lainnya (sebutkan) : c. Keterangan Khusus Perkebunan Sudah ditanami Areal Kosong Hutan Tanaman Industri, batas akhir HGU : f. Apakah menyentuh kawasan konservasi? Tidak Jika Ya, Nama kawasan konservasi :
keterangan tambahan
Keterangan : Beri tanda (X) pada kotak
Eva Wollenberg
73
74
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
KONFLIK 1. Apakah pernah terjadi konflik di areal/kawasan ini?
2. Jika Ya, konflik terjadi antara
dengan
Konflik terjadi sejak tanggal : 3. Mengapa terjadi konflik?
ceriterakan penyebabnya
4. Bagaimana ceritera lengkapnya (evolusi konflik)?
ceriterakan
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
KONFLIK 5. Kapan saja terjadi konfllik tersebut? Sudah berapa kali terjadi kasus konflik?
ceriterakan
6. Sampai tingkat mana kasus konflik tersebut? (apakah ada penganiayaan, pembunuhan atau penggusuran?)
ceriterakan
7. Apakah konflik tersebut lebih banyak terjadi pada waktu sebelum adanya otonomi daerah atau sesudahnya?
ceriterakan
8. Mengapa? (Apakah karena ada kaitan dengan kebebasan berekspresi atau perubahan persepsi mengenai hak atas lahan adat)
ceriterakan
75
76
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
KONFLIK 9. Usaha yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan konflik
ceriterakan
10. Apa hasil yang dicapai dari usaha tersebut?
ceriterakan
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
Lampiran 4. Daftar Responden Lokasi Studi
Responden
PT Kodeco Timber, Kalsel
1 1 1 1 3
Pegunungan Meratus, Kalsel
orang orang orang orang orang
1 orang 1 orang 3 orang 3 1 1 1
PT RAPP, Riau
Perum Perhutani, Blora, Jawa Tengah
Instansi yang Diwakili
Ketua LMMD-KH Pengurus LMMD-KH Kepala Desa Pramasan 2x9 Warga Desa Kec. Hampang Staf LPMA
Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat LSM
Kepala BKSDA Kalsel Staf BKSDA Kalsel Kepala Dinas Staf Dishut Prov. Direktur Eksekutif LPMA Staf LPMA Kepala Balai Kepala Balai Tokoh Pemuda
BKSDA Kalsel BKSDA Kalsel Dishut Prov. Kalsel Dishut Prov. Kalsel LSM LSM Masyarakat Masyarakat Masyarakat
1 orang Kepala Divisi Community Development Perusahaan PT RAPP 3 orang Staf Divisi CD PT RAPP Perusahaan Kepala Bagian HTI Dinas Kehutanan Prov. Riau 2 orang Staf Dishut Prov. Riau Dinas Kehutanan Prov. Riau 1 orang Direktur Eksekutif Hakiki LSM-Hakiki 2 orang Staf Hakiki LSM-Hakiki 2 orang Tokoh Adat Kuntu Masyarakat 1 orang Kepala Desa Kuntu Masyarakat
Taman Nasional Kutai, Kaltim
PT Keang Nam, Sumatera Utara
orang orang orang orang
Jabatan Responden
1 orang
Staff Balai Taman Nasional
1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 2 orang 2 orang 2 orang pengajar
Kepala Dusun Warga Desa Sangkimah Warga Desa Sangkimah Kepala Adat Kepala Dinas LH Staf Dinas LH Kepala BKSDA Kaltim Staf BIKAL Staf NRM- Samarinda Dosen UNMUL
4 1 1 1 1 1 1 1
2 orang
Staf YLL
Masyarakat Masyarakat Masyarakat Perusahaan Perusahaan Dinas Kehutanan Prov. Sumut Dinas Kehutanan Prov. Sumut Dinas Kehutanan Kab. Mandailing Natal LSM
11 orang 1 orang
Warga Desa Temulus dan Bodeh Kepala Desa ADM KPH Blora Staf KPH Blora KTKU KPH Randublatung Staf KTKU KPH Randublatung Anggota Dewan Staf AruPA
Masyarakat Masyarakat Perhutani Perhutani Perhutani Perhutani DPRD Blora LSM
2 1 1 5 1
orang orang orang orang orang orang orang orang
orang orang orang orang orang
Tokoh Masyarakat Kepala Desa Warga Desa Direktur PT Keang Nam Staf Perusahaan PT Keang Nam Kasubag PH Staf Kasubag PH Kasubdis Bina Program
Balai Taman Nasional Kutai Kutai Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat Pemkab Kutim Pemkab Kutim BKSDA Kaltim LSM-Bikal LSM-NRM Universitas- UNMUL
77
78
Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003
Lampiran 5. Daftar Peserta Lokakarya No. Nama 1. Thung Ju Lan 2. Boedhi Widjarjo
Lembaga
Alamat Kantor
LIPI
PMB-LIPI, Widya Graha Lt.6 Jl. Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12190
RACA
Jl. Kartika Wanasari Blok D-11 No. 5 Kel. Wanasari, Kec. Cibitung BEKASI
3. Pratikna
CESERF-FORDA
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor
4. Nunung P.
CESERF-FORDA
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor
5. Ilya Moeliono
World Neighbors
Bandung
6. Tri Nugroho/Sudradjat
DFID
7. Ujjwal Pradhan
Ford Foundation
8. Agung Nugraha
APHI
9. Lisken Situmorang
ICRAF
10. M. Zulfan Tadjoedin
UNSFIR
11. M. Agung Sardjono
CSF - UNMUL
12. Didik Suhardjito
Lab Sosek Fahutan IPB
Gedung Manggala Wanabakti Bl. VII Lt. 6, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 10270 S. Widjojo Bldg, 11th Floor, Jl. Jendral Sudirman Kav. 71, Jakarta 12190 Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 9 Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta 10270 Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor Surya Building 9th floor Jl. MH. Thamrin Kav 9, Jakarta 10350 Jl. Ki Hajar Dewantara No.7 Kampus Gunung Kelua, Samarinda 75123, Kalimantan Timur Fakultas Kehutanan, IPB, Darmaga, Bogor
13. Agus Mulyana
Koppesda
Jl. Piere Tendean No.1 Kampung Arab Waingapu - Sumba Timur
14. Yuyun Indradi
AMAN
15. Rina Agustine
Forest Watch Indonesia
Jl. Sempur Kaler 26 Bogor
16. Christian Purba
Forest Watch Indonesia
Jl. Sempur Kaler 26 Bogor
Jl. Pisang No. 17 Komp. Pertanian Pasar Minggu Jakarta Selatan 12250
17. Godwin Limberg
CIFOR
Malinau
18. Carol Colfer
CIFOR
Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor
19. Heri Purnomo
CIFOR
Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor
20. Lini Wollenberg
CIFOR
Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor
21. Moira Moeliono
CIFOR
Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor
22. Yurdi Yasmi
CIFOR
Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor
23. Yuliana Wulan
CIFOR
Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor
Yuliana Cahya Wulan
Yurdi Yasmi
Christian Purba
Eva Wollenberg
Lampiran 6. Agenda Lokakarya Agenda Lokakarya Analisis Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia (1997 - 2003) CIFOR Bogor, 17 November 2003 08.30 – 09.00
Registrasi
09.00 – 09.15
Sambutan dan pembukaan oleh Dr. Doris Capistrano (Direktur Program Forests and Governance CIFOR)
09.15 – 09.45
Presentasi hasil penelitian CIFOR dan FWI oleh Yurdi Yasmi, Yuliana C. Wulan (CIFOR) dan Christian Purba (FWI))
09.45 – 10.00
Coffee break
10.00 – 10.40
Tanggapan dari Reviewer 1 (M. Agung Sardjono) dan Reviewer 2 (Thung Ju Lan)
10.30 – 12.00
Diskusi
12.00 – 13.30
Istirahat dan Makan Siang
13.30 – 14.00
Diskusi dalam Kelompok Kecil Group 1: mendiskusikan pendekatan penelitian Group 2: mendiskusikan database nasional & provinsi Group 3: mendiskusikan studi kasus
14.00 – 14.30
Presentasi (Group 1) dan pertanyaan-pertanyaan
14.30 – 14.45
Coffee break
14.45 – 15.30
Presentasi (Group 2 & Group 3) dan pertanyaan-pertanyaan
15.30 – 16.00
Pandangan umum dan komentar akhir (Ilya Moeliono)
16.00 – 16.30
Tanggapan dari peserta
16.30 – 17.00
Tindak lanjut dan penutupan (Moira Moeliono, Lini Wollenberg dan Yurdi Yasmi)
Lampiran 7. Surat Pernyataan Pemblokiran Jalan oleh Masyarakat Desa Kuntu dan Teluk Paman Pada hari ini, Sabtu 24 Maret 2001 bahwa masyarakat Kuntu dan Teluk Paman mengklaim tanah ulayat yang digunakan oleh PT RAPP namun sampai dengan saat ini belum ada kata sepakat. Dengan demikian masyarakat mengambil langkah untuk memblokir jalan keluar dari Base Camp. Untuk itu masyarakat tersebut meminta pertanggung-jawaban atas pemblokiran jalan serta pagar yang sudah dipasang. Oleh sebab itu kami bertanggung-jawab jika terjadi pengrusakan atas pagar tersebut. Demikianlah surat pernyataan ini kami buat. Atas perhatian dari semua pihak kami ucapkan terima kasih dan harap memaklumi. Dibuat Oleh: Henry Cornedy PA
Rudy Santoso KTU
NB: Mengenai penyegelan kantor adalah kehendak dari masyarakat itu sendiri, yaitu: Desa Kuntu dan Teluk Paman.
79
Studi ini menggambarkan profil konflik sektor kehutanan di Indonesia mulai tahun 1997 sampai dengan Juni 2003 berdasarkan artikel-artikel koran nasional dan provinsi serta enam studi lapangan di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Hasil studi ini menunjukkan bahwa konflik meningkat paling tajam pada tahun 2000 selama masa transisi menuju era desentralisasi. Pada umumnya frekuensi konflik dalam masa transisi dan sesudah era desentralisasi lebih tinggi dibandingkan dengan masa Orde Baru. Konflik-konflik ini dilaporkan paling banyak terjadi di Kalimantan Timur, kemudian diikuti oleh Sumatera dan Jawa Tengah. Penyebab utama konflik adalah adanya perbedaan cara pandang mengenai tata batas, hak pemanfaatan hutan, pembayaran kompensasi dan distribusi manfaat dari hutan. Walaupun laporan media lebih terfokus pada eskalasi konflik setelah masa reformasi, studi lapangan menunjukkan bahwa sejarah konflik sangatlah kompleks mulai dari yang bersifat laten sampai dengan penyelesaian konflik melalui pembayaran kompensasi yang tidak memuaskan dan terbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan konflik dalam jangka panjang. Penelitian ini merekomendasikan agar (i) pengelolaan konflik dipertimbangkan sebagai elemen dalam pengelolaan hutan, (ii) pemantauan konflik kehutanan terus dilakukan agar kejadian, penyebab dan cara untuk mengelolanya dapat dipelajari lebih jauh, dan (iii) pilihanpilihan metode untuk pengelolaan konflik harus digali lebih mendalam.