ANALISA EFEKTIFITAS KEPUTUSAN DSN-MUI NO. 3 TAHUN 2000 BERKAITAN TENTANG DEWAN PENGAWAS SYARIAH DI BAITUL MÂL WA TAMWIL (BMT) BIMA MAGELANG
TUGAS AKHIR
Oleh : SOFIYAH 20108007
JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI DIII PERBANKAN SYARAIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2011
ANALISA EFEKTIFITAS KEPUTUSAN DSN-MUI NO. 3 TAHUN 2000 BERKAITAN TENTANG DEWAN PENGAWAS SYARIAH DI BAITUL MÂL WA TAMWIL (BMT) BIMA MAGELANG
TUGAS AKHIR
Oleh : SOFIYAH 20108007
JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI DIII PERBANKAN SYARAIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2011
NOTA DINAS
Hal
: Pengajuan Naskah Tugas Akhir
Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga di Salatiga
Assalamualaikum wr. wb Setelah diadakan pengarahan, bimbingan, koreksi, dan perbaikan seperlunya, maka Tugas Akhir (TA) Saudari: Nama
: Sofiyah
NIM
: 20108007
Jurusan : Syariah Program Studi : DIII Perbankan Syariah Judul : ANALISA EFEKTIFITAS KEPUTUSAN DSN-MUI NO 3 TAHUN 2000 BERKAITAN TENTANG DEWAN PENGAWAS SYARIAH BAITUL MAL WA TAMWIL (BMT) BIMA MAGELANG.
Dapat diajukan ke siding munaqosah. Wassalamualaikum wr.wb
Salatiga, Agustus 2011 Pembimbing,
H. Agus Waluyo, M. Ag NIP. 19750211 200003 1 001
PENGESAHAN NASKAH TUGAS AKHIR
TUGAS AKHIR ANALISA EFEKTIFITAS KEPUTUSAN DSN-MUI NO. 3 TAHUN 2000 BERKAITAN TENTANG DEWAN PENGAWAS SYARIAH DI BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT) BIMA MAGELANG
DISUSUN OLEH SOFIYAH NIM: 20108007
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Tugas Akhir Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 22 Agustus 2011 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar A. Md. E.Sy (Ahli Madya Ekonomi Syariah) Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji
: Dra. Siti Zumrotun, M. Ag
Sekretaris Penguji
: Evi Aryani, SH
Penguji I
: Anton Bawono, Msi
Penguji II
: Nafis Irkhami, M. Ag
Penguji III
: H. Agus Waluyo, M. Ag
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Sofiyah
NIM
: 20108007
Jurusan : Syariah Program Studi : DIII Perbankan Syariah Menyatakan bahwa tugas akhir yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam tugas akhir ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 11 Agustus 2011 Yang Menyatakan,
Sofiyah 20108007
MOTTO
Man Jadda Wa Jada “Barang Siapa Bersungguh-sungguh Maka Ia Akan Mendapatkan Hasilnya” Man Shobaro Dhofiro “Barang Siapa Bersabar Maka Ia Akan Beruntung”
PERSEMBAHAN
Tugas Akhir ini penulis persembahkan kepada: 1. Untuk orang tuaku tercinta yang menjadi pendidik pertama bagi saya dengan segala pengorbanan serta doa tulus yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan buah hatinya, semoga Allah senantiasa meridhoi. 2. Kakakku tercinta yang tiada bosan memberi nasihat spiritual dan materi. 3. Bapak Drs. K.H. Ahmad Nuh Muslim (Alm), Bapak K.H. Syamsuddin, dan Ibu Hj. Siti Fatimah yang senantiasa memberikan semangat dan mau’idhoh hasananhnya untuk terus belajar. 4. Seluruh pengurus Pondok Pesantren An-Nida yang telah mencurahkan perhatian serta bantuannya yang tiada batasnya. 5. Keluarga besar KSEI STAIN Salatiga yang tiada kata lelah untuk mendakwahkan ekonomi syariah. 6. Teman-teman angkatan 2008 terutama kelas A, merekalah teman dalam merintis perjuangan ini yang telah memberi motivasi dalam penulisan ini.
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA
Transliterasi yang dipakai dalam Tugas Akhir ini adalah pedoman Transliterasi Arab-Indonesia berdasarkan Surat Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 22 Januari 1988.
Arab
Latin
Arab
Latin
Arab
Latin
`
z
q
b
s
k
t
sy
l
ts
sh
m
j
d
n
h
t
w
kh
z
h
d
„
„
ż
g
y
r
f
-
Catatan: 1. Konsonan yang bersyaddah ditulis dengan rangkap Misalnya ; ربـنـاditulis rabbanâ.
2. Vokal panjang (mad) ; Fathah (baris di atas) di tulis â, kasrah (baris di bawah) di tulis î, serta dammah (baris di depan) ditulis dengan û. Misalnya; الـقـارعـتditulis alqâri‘ah, المــسـاكـيـهditulis al-masâkîn, الـمـفـلحونditulis al-muflihûn 3. Kata sandang alif + lam ()ال Bila diikuti oleh huruf qamariyah ditulis al, misalnya ; الـكافـرونditulis alkâfirûn. Sedangkan, bila diikuti oleh huruf syamsiyah, huruf lam diganti dengan huruf yang mengikutinya, misalnya ; الـرجـالditulis ar-rijâl. 4. Ta‟ marbûthah () ة. Bila terletak diakhir kalimat, ditulis h, misalnya; الـبـقـرةditulis al-baqarah. Bila ditengah kalimat ditulis t, misalnya; زكاة الـمـالditulis zakât al-mâl, atau
سـورة النـسـاءditulis sûrat al-Nisâ`. 5. Penulisan kata dalam kalimat dilakukan menurut tulisannya, Misalnya;
وهـو خـيـرازقــيهditulis wa huwa khair ar-Râziqîn.
ABSTRAK
Sofiyah. 2011. Analisa Efektifitas Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 Berkaitan Dengan Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelan. Tugas Akhir. Jurusan Syariah. Program Studi DIII Perbankan Syariah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Kata kunci: Efektifitas, Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000, dan Dewan Pengawas Syariah
Penelitian ini merupakan upaya untuk menelaah kembali efektifitas Keputusan DSNMUI No. 3 Tahun 2000 berkaitan dengan DPS di Lembaga Keuangan Syariah. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah apakah Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 berkaitan dengan DPS di LKS efektif untuk dilaksanakan pada Baitul Mâl Wa Tamwil?. Penelitian ini dalam bentuk tugas akhir dengan subyek penelitian Pengelola dan Dewan Pengawas Syariah BMT Bima Magelang. Penelitian ini menggunakan sistem wawancara langsung dengan subyek penelitian. Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan studi kepustakaan, adapun analisis datanya dengan reduksi data, penyajiaan data, dan penarikan kesimpulan. Temuan penelitian ini menunjukkan bahawa Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 Berkaitan dengan DPS belum efektif penerapannya. Hal tersebut karena DPS yang ada di BMT belum mampu memenuhi sebagian persyaratan penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah diantaranya syarat tiap anggota BMT minimal memiliki 3 orang anggota DPS serta syarat untuk memenuhi kelayakan sebagai Dewan pengawas syariah harus memiliki surat/sertifikasi dari DSN.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Sang Penguasa alam Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan lancar. Tak henti-hentinya sholawat serta salam tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW, yang membawa umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh barokah. Berkat anugerah dari Allah SWT, penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk memenuhi sebagai persyaratan guna memperoleh gelar Ahli Madya dalam Ekonomi Islam Program Studi DIII Perbankan Syariah Jurusan Syariah STAIN Salatiga. Juga tak lupa penulis sampaikan ucapan jazakumulloh khoiran katsiron serta penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1.
Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag. selaku Ketua STAIN Salatiga
2.
Bapak Abdul Azis NP, S.Ag,. MM selaku Ketua Program Studi DIII Perbankan Syariah.
3.
Bapak H. Agus Waluyo, M Ag selaku pembimbing tugas akhir yang dengan tulus meluangkan waktu dan sabar untuk membimbing dan mengarahkan dalam penulisan tugas akhir ini.
4.
Bapak dan Ibu Dosen DIII Perbankan Syariah telah banyak membimbing dan membantu dalam penyelesaian tugas akhir.
5.
Segenap civitas BMT Bima Magelang, terutama cabang Grabag yang telah membantu penulisan tugas akhir ini.
6.
Bapak, Ibu dan kakakku tercinta yang telah memberikan materi
dan
senantiasa mendoakan langkah perjuangan selama ini. 7.
Segenap pengurus Pondok Pesantren An-Nida serta semua santriwan santriwati yang telah memberikan sarana, dukungan, saran dan kritik sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.
8.
Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang telah membantu penulisan tugas akhir ini. Semoga amal serta kebaikan yang telah dicurahkan pada penulis diterima
oleh Allah SWT sebagai amal ibadah yang mendapat balasan pahala yang berlipat ganda. Semoga tugas akhir yang sederhana ini bisa memberikan manfaat, dan sebagai manusia biasa penulis menyadari akan banyaknya kekurangan, maka kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan tugas akhir ini. Salatiga, Agustus 2011 Penulis
Sofiyah
DAFTAR ISI
Halaman Halaman Judul ....................................................................................................... i Halaman Nota Dinas ...........................................................................................ii Halaman Pengesahan Penguji ............................................................................. iii Halaman Peryataan Keaslian ................................................................................ iv Halaman Motto ..................................................................................................... v Pedoman Transliterasi Arab-Indonesia ................................................................ vi Abstrak
............................................................................................................viii
Kata Pengantar Daftar Isi
.................................................................................................. ix
............................................................................................................. x
Daftar Gambar .....................................................................................................xii Daftar Tabel ......................................................................................................xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 7 C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 8 D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 9 E. Metode Penelitian ............................................................................... 9 F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka ............................................................................... 17
B. Landasan Teori ............................................................................... 20 1. Pengertian Efektifitas .............................................................. 20 2. BMT Dalam Sistem Ekonomi Islam ....................................... 21 3. Tinjauan Umum Dewan Pengawas Syariah ............................ 40 BAB III LAPORAN OBYEK A. Gambaran Umum ........................................................................... 48 B. Data Deskriptif ............................................................................... 52 BAB IV ANALISA
.......................................................................................... 74
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................................... 96 B. Saran ............................................................................................ 98 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 99
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Analisis Kualitatif Model Interaktif
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Rekapitulasi Status Dewan Pengawas Syariah BMT di Magelang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cikal-bakal munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia adalah berdirinya Bank Syariah yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia. Pendirian tersebut berawal dari workshop yang diadakan MUI pada tahun 1990 membahas bunga bank. Workshop inilah yang menjadi momentum penting dari pendirian bank syariah di Indonesia, karena dalam salah satu keputusannya dengan jelas merekomendasikan pendirian bank syariah untuk melayani masyarakat yang meyakini bunga bank identik dengan riba, dan oleh karenanya haram. Ide ini terus bergulir dan dengan perjuangan panjang akhirnya pada 1 November 1991 Bank Muamalat Indonesia didirikan dengan kerjasama Ikatan Cendikiawan Muslim (ICMI) dan MUI (Adiwarman A Karim, www.kesultananfansur.com, 2007). Pada
tahun
1999
MUI
mengeluarkan
Surat
Keputusan
No.754/MUI/II/1999 tentang Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bertugas membawahi seluruh Dewan Pengawas Syariah (DPS)/Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia. Fungsi utama dari DSN adalah menggali, mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip hukum Islam (syariah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan LKS sehingga ada keseragaman fatwa, serta mengawasi implementasinya. Keluarnya Fatwa MUI tentang Dewan Syariah Nasional tersebut semakin menguatkan struktur kelembagaan bank syariah sehingga turut mendorong pertumbuhan bank syariah yang ikut berpengaruh
munculnya lembaga-lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah, diantaranya adalah Asuransi Syariah, Transaksi Foreign Exchange Syariah dan Perdagangan Bursa Saham Syariah, Pegadaian Syariah, Bank Perkreditan Syariah (BPRS), serta Koperasi Syariah yang lebih dikenal dengan Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT). Prospek perkembangan Lembaga-lembaga Keuangan Syariah tersebut didukung oleh beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut (Agus Siswanto, 2006: 9): 1.
Keluarnya Fatwa bunga haram dari MUI yang direlease tanggal 16 Desember 2003.
2.
Meningkatnya
kesadaran
umat
Islam
untuk
melakukan
praktek
berekonomi secara syariah. Sebagai indikatornya adalah pesatnya pertumbuhan Bank Syariah, Asuransi Syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. 3.
Penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, memberi peluang pasar yang potensial untuk produk-produk berbasis syariah.
4.
Tingkat
pendidikan
masyarakat
yang
semakin
baik
sehingga
perkembangan ilmu ekonomi syariah juga semakin baik. 5.
Kondisi ekonomi global yang dilanda krisis, menjadikan ekonomi syariah sebagai sistem alternatif penyelesaiannya.
6.
Institusi bisnis syariah yang telah terbukti mempunyai daya tahan tinggi terhadap krisis, dan menerapkan prinsip adil.
Menurut data Bapenas tahun 2005 terdapat sekitar 40 juta usaha mikro yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Sementara itu keberadaan lembaga keuangan yang mampu menjangkau dan melayani para pengusaha mikro ini sangat terbatas. Selain itu sektor usaha mikro dewasa ini tengah mendapatkan perhatian dunia internasional, bahkan tahun 2005 dicanangkan sebagai tahun internasional pembiayaan mikro oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (www.luqmannomic.wordpress.com, 2007). Keberadaan BMT yang siap memberikan pinjaman modal tanpa agunan, dengan prosedur administrasi yang mudah, rendah biaya transaksi, dan yang tidak kalah penting bebas bunga akan menjadi daya tarik bagi pengusaha mikro untuk beralih dari lembaga keuangan informal semacam rentenir kepada lembaga keuangan yang lebih aman, halal dan syar‟i yaitu BMT. Hal ini merupakan peluang besar bagi BMT sebagai sebuah lembaga keuangan mikro syariah untuk berkembang dan mendapat dukungan dari pemerintah, baik dukungan dari segi modal, legalitas, pengawasan maupun infrastruktur. Pertumbuhan BMT cukup baik meskipun ada beberapa hambatan yang dialami oleh BMT, salah satu di antaranya adalah belum kuatnya dukungan Pemerintah dari segi regulasi. Data dari Asosiasi BMT se-Indonesia (ASBINDO) pada tahun 2005 terdapat sekitar 3000 BMT, dari jumlah tersebut sekitar 1300 sudah berbadan hukum Koperasi sedangkan sisanya masih berupa Lembaga Swadaya Masyarakat. Pada tahun 2010 ditargetkan tercapai 10.000 BMT (M. Amin Aziz, 2007).
Pada tahun 2004 Menteri Koperasi dan UKM mengeluarkan Surat Keputusan No. 91/KEP/M.KUM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Dalam SK ini mengatur bahwa Dewan Pengawas merupakan salah satu syarat koperasi jasa keuangan syariah. Sebagaimana tugas DPS dalam perbankan, tugas DPS Koperasi jasa syariah juga untuk menjaga kepatuhan koperasi terhadap prinsip syariah di samping menerjemahkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) sebelum bisa diterapkan. KepMen tersebut ternyata belum juga mampu mengatasi permasalahan hukum BMT. Hal ini karena bagi BMT yang belum berbadan hukum ada kemungkinan tidak ada DPSnya, sebab belum ada payung hukum yang dapat mengikat BMT yang tidak berbadan hukum koperasi harus memiliki DPS, sehingga KepMen dan Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 tersebut belum bisa dilaksanakan oleh sebagaian besar LKS sehingga mengakibatkan lemahnya pengawasan aspek syariah yang seharusnya diterapkan dan dipatuhi. Permasalahan lainnya, meski sama-sama menjalankan fungsi intermediasi dan masa pertumbuhan yang berbarengan, namun produk yang ditawarkan Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) lebih inovatif dan variatif dibanding bank syariah. Sebagian besar pengembangan produk BMT belum tersentuh fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Direktur Karim Business Consulting, Adiwarman A Karim, mengomentari 12 akad transaksi yang diajukan pengurus BMT kepada DSN. ''Saya yang pernah kerja di bank syariah saja belum pernah berfikir ada produk seperti
arisan. Bagaimana mungkin orang bank bisa memikirkannya,'' kata Adi pada pelatihan pusat inkubasi usaha kecil (Pinbuk), Kamis (13/10/2006). Adiwarman menyayangkan DSN belum memberikan kontribusi dalam pengembangan BMT. DSN MUI, menurut dia, lebih banyak mengawal perbankan dan asuransi syariah (www.pkes.org, 2006). Para pengelola BMT sebagian mengakui inovasi produk pembiayaan BMT muncul dari keterbatasan. BMT tak punya referensi akad DSN MUI. Sementara akad yang ada di perbankan syariah sangat terbatas untuk bisa dipraktikkan di BMT. Mereka juga mengakui BMT belum dikawal Dewan Pengawas syariah (DPS) yang mumpuni. Banyak kyai yang pandai soal ibadah mahdhah, tapi kurang menguasai ilmu muamalah. Tidak heran beberapa praktik BMT akhirnya tidak sesuai syariah akibat ketidaktahuan pengurus dan lemahnya peran DPS. Dicontohkan banyak BMT yang mengambil dana program bantuan pemerintah untuk usaha kecil. Padahal pengembalian dana itu berbasis bunga bank. Sebelumnya ada yang berpendapat bahwa mengambil dana itu tidak apa-apa asalkan semua langsung disalurkan ke masyarakat. Tetapi ternyata oleh DSN itu tetap dianggap haram. Sementara dana pemerintah itu bisa menopang kehidupan BMT (www.pkes.org, 2007). Dalam buku berjudul “Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah”, Makhalul „Ilmi (2005) menyatakan bahwa sampai saat ini masih terdapat BMT-BMT yang menyalahi prinsip-prinsip syariah baik itu dalam penghimpunan
maupun
penyaluran
http://ghifamandiri. com, 2005).
dana
(Makhalul
„Ilmi
dalam
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penting adanya implementasi Keputusan DSN-MUI tersebut agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari prinsip-prinsip syariah dan lebih memberikan jaminan atau kepastian keamanan bagi pengguna jasa BMT. DSN MUI telah mengeluarkan keputusan No. 03 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah dan pada tahun 2004 Menteri Koperasi
dan
UKM
mengeluarkan
Surat
Keputusan
No.91/KEP/M.KUM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Dalam SK ini mengatur bahwa Dewan Pengawas merupakan salah satu syarat koperasi jasa keuangan syariah. Namun masih ada praktek di lapangan beberapa kasus BMT yang melakukan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah, selain kendala belum optimalnya peran DPS, juga permasalahan lainnya adalah sebagian besar BMT belum mampu memenuhi syarat-syarat penetapan anggota DPS sesuai Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 tesebut. Pernyataan-pernyataan tersebut menarik untuk dikritisi dan dicermati, sebab BMT sebagai lembaga keuangan alternatif bagi masyarakat harusnya memiliki perbedaan dan keunggulan tersendiri, yaitu BMT yang dijalankan secara agamis, dalam arti tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah dengan tidak meninggalkan „ruh‟ profesionalisme dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya. Dari uraian tersebut di atas, maka penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai Analisa Efektifitas Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun
2000 Berkaitan Dengan Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil dengan mengambil studi pada BMT Bima Magelang. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui pelaksanaan dari Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000, sejauh mana tingkat efektifitasnya serta faktor-faktor yang mempengaruhi efektif tidaknya Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 dengan harapan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pelaksanaan Keputusan DSN-MUI serta dapat memberikan solusi atas permasalahan yang ada dengan judul ANALISA EFEKTIFITAS KEPUTUSAN DSN-MUI NO 3 TAHUN 2000 BERKAITAN TENTANG DEWAN PENGAWAS SYARIAH DI BAITUL MÂL WA TAMWIL (BMT) BIMA MAGELANG. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah efektifItas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil ( BMT) Bima Magelang? 2. Jika efektif, sejauh mana tingkat efektifitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang? 3. Apa yang mempengaruhi tinggi rendahnya efektifitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui efektifitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang b. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat efektifnya Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang c. Untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya efektifitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang 2. Tujuan Subyektif a) Untuk menambah pengetahuan penulis di bidang hukum ekonomi Islam khususnya lembaga keuangan syariah Baitul Ml Wa Tamwil (BMT) sebagai salah satu lembaga keuangan ekonomi mikro. b) Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai kesesuaian antara teori dan praktek di lapangan mengenai Pelaksanaan Kep. DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 tentang Dewan Pengawas Syariah dalam Baitul Mâl Wa Tamwil. c) Untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar Ahli Madya dalam bidang ekonomi syariah di Jurusan Syariah Program Studi DIII Perbankan Syariah STAIN Salatiga.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini dapat memberi sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu Ekonomi Islam pada umumnya dan dalam bidang Lembaga Keuangan Syariah pada khususnya mengenai Efektifitas Kep. DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 di lembaga keuangan mikro syariah (Baitul Mâl Wa Tamwil). 2. Manfaat Praktis a) Dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. b) Hasil
penelitian ini
diharapkan dapat
membantu memberikan
pemahaman pada pihak-pihak yang terkait mengenai Efektifitas Kep. DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 di lembaga keuangan mikro syariah (Baitul Mâl Wa Tamwil). c) Memperkaya wacana dalam rangka mengembangkan Ekonomi Islam.
E. Metode Penelitian Suatu penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat. “ Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman-pedoman, cara seseorang ilmuwan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi” (Soerjono Soekanto, 1986: 6).
1. Jenis Penelitian Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian hukum empiris, yaitu penelitian hukum yang dimaksudkan untuk mengetahui efektifitas hukum yang terdapat dalam masyarakat atau mengkaji hukum dalam realitas/kenyataan di dalam masyarakat (Soerjono soekanto, 1986: 51). 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 1986:10). 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata (Soerjono Soekanto, 1986: 10). 4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Baitul Mâl Wa Tamwil Bima Magelang Kantor Pusat: Jl. Klagon Km. 1 (Lantai 2) Muntilan Magelang 56414 Telepon 0293 585922. Pertimbangan penulis dalam penentuan lokasi penelitian tersebut adalah bahwa BMT Bima sudah berbadan hukum dan merupakan BMT terbesar di Magelang yang memiliki 6 kantor cabang dan
4 kantor cabang pembantu yang tersebar di wilayah Kabupaten dan Kota Magelang serta Yogyakarta. 5. Jenis Data a) Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan obyek yang diteliti, yaitu peran DPS terhadap pengawasan Syariah di BMT Bima Magelang. Adapun data penelitian ini diperoleh dari pengelola dan pengawas syariah BMT. Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan metode purposive sampling, di mana peneliti cenderung memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dalam mengetahui masalahnya. Namun Demikian informan yang dipilih dapat menunjukkan informan lain yang lebih tahu, maka pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti (Patton dalam HB Sutopo, 1988:22). b) Data Sekunder Data sekunder adalah data pendukung data primer yang diperoleh secara tidak langsung melalui bahan kepustakaan dari buku, dokumen, laporan, literatur, Peraturan Perundang-undangan dan sumber tertulis lainnya yang sesuai dengan masalah yang diteliti.
6. Sumber Data a) Sumber Data Primer Sumber data primer diperoleh dari sumber-sumber lapangan yang dapat memberikan informasi secara langsung mengenai segala hal yang dapat berkaitan dengan obyek penelitian. Adapun data penelitian ini diperoleh dari pengelola dan pengawas syariah BMT. a) Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder diperoleh dari sejumlah keterangan atau fakta– fakta yang secara tidak langsung diperoleh melalui bahan dokumen, Peraturan Perundang–undangan, laporan, arsip, literatur dan hasil penelitian lainnya. Sumber data sekunder dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga yaitu: (1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, diantaranya Al Qur‟an, Undang-Undang Koperasi No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Keputusan Menteri Koperasi & UKM No. 91 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Koperasi Jasa Keuangan Syariah, Keputusan Dewan Syariah Nasional MUI No. 1 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasioanal-Majelis Ulama Indonesia (PD DSN-MUI), Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 03 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga
Keuangan Syariah, serta Pedoman Akad Syariah Baitul Mâl Wa Tamwil (PAS BMT) 002. (2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder sebagai pendukung data sekunder dari bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah literatur-literatur yang berasal dari buku-buku, makalah, laporan penelitian serta artikel dari internet yang terkait dengan obyek penelitian. (3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier ini sebagai pendukung data sekunder dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia. 7. Teknik Pengumpulan Data a) Wawancara Teknik pengumpulan data dengan cara terjun langsung untuk memperoleh data yang valid. Studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara/intervieuw, yaitu suatu kegiatan pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi secara langsung dengan informan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti guna memperoleh data, baik secara lisan maupun tulisan atas sejumlah keterangan dan data yang diperlukan. Informan yang penulis wawancara adalah pengelola di antaranya Direktur Utama dan karyawan, serta dengan dewan pengawas syariah BMT Bima Magelang.
b) Studi Kepustakaan Merupakan
pengumpulan
data
dengan
membaca,
mengkaji,
menganalisis, dan membuat catatan dari buku yang di perlukan, seperti literatur, Peraturan Perundang-undangan, dokumen serta tulisan-tulisan lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 8. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif dengan model interaktif. Analisis data secara kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menggunakan dan menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis maupun lisan dan prilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh ( Soerjono Soekanto, 1986: 242 ). Model analisis interaktif dilakukan dengan cara bahwa ketiga komponen pengumpulan data aktivitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data berbagai proses siklus. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak di antara ketiga komponen dengan komponen pengumpulan data, selama proses pengumpulan data berlangsung, sesudah pengumpulan data, kemudian bergerak di antara data reduction, data display, dan conclusion drawing, dengan menggunakan waktu
yang masih tersisa bagi
penelitiannya (Miles & Huberman dalam HB. Sutopo 1988: 37). Analisis data meliputi tiga tahap komponen pokok pengumpulan data, yaitu:
a) Reduksi data (data reduction) Reduksi data merupakan penelitian proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data yang diperoleh serta tranformasi dari data “kasar” yang dimuat dari catatan tertulis. Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi yang menghasilkan kesimpulan riset yang dapat dilakukan. b) Penyajian data (data display) Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun dalam suatu kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif dalam konfigirasi mudah
dipakai
sehingga
memberi
kemungkinan
pengambilan
keputusan. c) Penarikan kesimpulan (conclution drawing) Penarikan kesimpulan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti yang perlu diverifikasi, berupa suatu pengulangan dari tahap pengumpulan data yang terdahulu dan dilakukan secara lebih teliti setelah data tersaji. Secara garis besar dapat digambarkan dalam gambar berikut: Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data Penarikan Kesimpulan
Gambar 1.1 Analisis Kualitatif Model Interaktif
F. Sistimatika Penulisan Sistematika penulisan tugas akhir ini terdiri dari lima bab yang diawali dengan halaman judul, lembar persetujuan, peryataan keaslian, motto, pedoman translitersai Arab-Indonesia, abstrak, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan daftar tabel. Bab pertama: tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua: tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari telaah pustaka mengenai penelitian terdahulu dan kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan tugas akhir ini, meliputi: Pengertian Efektifitas, BMT dalam sistem Ekonomi Islam, dan Tinjauan Umum Dewan Pengawas Syariah. Bab ketiga: tentang laporan obyek yang berisi tentang hasil penjelasan dari penelitian yang diperoleh di lapangan yaitu mengenai gambaran umum BMT BIMA Magelang dan data diskriptif. Bab keempat: tentang analisa yang pembahasan tentang Efektifitas Kep. DSN-MUI No 3 Tahun 2000 di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang, Sejauh mana tingkat efektifitasnya serta apa hal-hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat efektifitas tersebut. Bab kelima: penutup yang berisi tentang kesimpulan serta saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis. Kenudian pada bagian akhir tugas akhir ini penulis sertakan daftar pustaka.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka Dalam penelitian yang dilakukan oleh Febrina Mandasari Panjaitan (2008) dalam bentuk Studen Paper yang berjudul “Peranan Dewan Pengawas Syariah (DPS) Dalam Perbankan Syariah” (Studi di PT. Bank Bukopin Syariah Cabang S. Parman). Pada dasarnya hasil dari penelitian itu menyimpulkan bahwa peran DPS selain sebagai pengawas syariah juga menanggulangi penyelewengan dari prinsip syariah adalah menanggulangi paling tidak meminimalis terjadinya kegiatan-kegiatan yang tidak syariah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yeni Wahyuning (2010) dengan judul “Hambatan-hambatan DPS di LKS di Kabupaten Ponorogo”, yang pada intinya menyimpulkan bahwa adanya hambatan internal dari DPS yang tidak bisa hadir ke kantor LKS setiap hari, hambatan tersebut solusinya berkomunikasi dengan telefon atau ponsel. Hambatan lain adalah kurang memahami pengetahuan tentang perbankan, kurang mengetahui tentang operasional dan kurang memahami akuntansi perbankan syariah, solusinya adalah mengirim DPS untuk kursus akuntansi dan kursus perbankan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ari Kristin Prasetyoningrum (2004)
dengan judul Analisis Pengaruh Faktor Ekonomi dan Religiusitas Terhadap Persepsi Supervisor dann Manajer Mengenai Independensi Dewan Pengawas Syariah (Studi Kasus pada Bank Syari'ah di Indonesia). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor religiusitas mempunyai hubungan yang positif dan signifikan mempengaruhi independensi DPS. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa ikatan keuangan dan hubungan usaha memiliki hubungan yang negatif sedangkan `fee" memiliki hubungan yang positif terhadap independensi DPS, namun keduanya tidak signifikan mempengaruhi independensi DPS. Dalam penelitian Choiril Anwar (2010) yang berjudul “Mekanisme pengawasan dewan pengawas syariah dan Bank Indonesia terhadap Bank Jateng Syariah di Surakarta”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan dewan pengawas syariah yakni mengadakan analisis terhadap operasional Bank Jateng Syariah dan menilai kegiatan dan produk bank
tersebut,
sedangkan
mekanisme
pengawasan
Bank
Indonesia
mengadakan pengawasan terhadap hal-hal yang bersifat administratif, yang berkaitan dengan eksistensi bank, laporan-laporan, pembukuan, dokumen dan sarana
fisik.
Aktifitas
dewan
pengawas
syariah
melaporkan
hasil
pengawasannya sekuranag-kurangnya enam bulan sekali kepada direksi, komisaris, dewan syariah nasional dan Bank Indonesia. Aktifitas Bank Indonesia melakukan pemeriksaan secara berkala untuk melihat data, dokumen, pembukuan dan sarana pisik serta hal-hal lain yang diperlukan kemudian dianalisis yang akhirnya dapat memastikan bahwa Bank Jateng Syariah di Surakarta telah sesuai dengan mekanisme yang diamanatkan oleh pasal 29 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6 Tahun 2004.
Dalam penelitian Anik Arofah (2008) yang berjudul Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten. Hasil penelitian ini bahwa DPS pada BMT Safinah dilihat dari kedudukan serta tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya terhadap pengawasan aspek syariah memiliki peran yang penting untuk menjaga dan mengawasi agar BMT Safinah senantiasa dapat terpelihara dan dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Pelaksanaan Tugas DPS BMT Safinah Klaten dalam menjalankan perannya terhadap pengawasan aspek syariah selama ini telah dilakukan dengan baik mengacu pada Pedoman Tugas, Wewenang, dan Tanggung jawab DPS dalam Pedoman Akad Syariah (PAS) 002 BMT. Hambatan yang dialami oleh Dewan Pengawas syariah adalah keterbatasan pengetahuan Dewan Pengawas Syariah dan juga pengelola mengenai fiqh muamalah dalam transaksi ekonomi modern. Solusi yang telah ditempuh oleh BMT Safinah dalam mengatasi hambatan tersebut adalah dengan menggunakan fatwa DSN dan PAS 002 BMT sebagai pedoman dalam pembuatan dan pelaksanaan transaksi. Dalam penelitian Yusuf Suhendi (2010) yang berjudul “Peran dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah (DPS) Terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di Yogyakarta. Dari hasil penelitian ini diperoleh jawaban bahwa pengawasan yang dilakukan oleh DPS terhadap BPRS di Yogyakarta belum sepenuhnya maksimal. Bahkan hanya sebagian kecil yang sudah benar-benar melakukan pengawasan dengan baik. Komunikasi yang dibangun antara BPRS dengan DPSnya sampai saat
sekarang ini masih sangat lemah dilakukan, kemudian kesadaran bahwa DPS adalah bagian terpenting dan sangat berpengaruh dalam BPRS tersebut masih belum sepenuhnya juga disadari, yang pada akhirnya keikutsertaan DPS dalam kegiatan Bank sehari-hari tidak bisa dilakukan, bahkan kedatangan DPS terhadap BPRS untuk melakukan pengawasan juga sangat jarang dilakukan. Dari berbagai penelitian terdahulu, tampak bahwa penelitian ini mempunyai perbedaan-perbedaan dan kesamaannya, perbedaannya yaitu penelitian ini lebih pada Efektifitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 berkaitan tentang DPS LKS (BMT). Apakah keputusan tersebut efektif untuk dilaksanakan oleh Lembaga Keuangan Syariah BMT, sejauh mana tingkat efektifitasnya serta hal-hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat efektifitas dalam pelaksanaan keputusan tersebut. B. Landasan Teori 1. Pengertian Efektifitas Pengertian efektifitas secara umum menunjukan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian efektifitas menurut Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa : “Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya”.
Sedangkan pengertian efektifitas menurut Schemerhon John R. Jr. (1986:35) adalah sebagai berikut : “ Efektifitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS) disebut efektif ”. Adapun pengertian efektifitas menurut Prasetyo Budi Saksono (1984) adalah : “ Efektifitas adalah seberapa besar tingkat kelekatan output yang dicapai dengan output yang diharapkan dari sejumlah input “. Dari pengertian-pengertian efektifitas tersebut dapat disimpulkan bahwa efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Berdasarkan hal tersebut maka untuk mencari tingkat efektifitas dapat digunakan rumus sebagai berikut (dansite.wordpress.com.2009) : Efektifitas = Ouput Aktual/Output Target >=1 1. Jika output aktual berbanding output yang ditargetkan lebih besar atau sama dengan 1 (satu), maka akan tercapai efektifitas. 2. Jika output aktual berbanding output yang ditargetkan kurang daripada 1 (satu), maka efektifitas tidak tercapai. 2. BMT dalam Sistem Ekonomi Islam a. Hakekat Ekonomi Islam 1) Pengertian Ekonomi Islam
Definisi mengenai ekonomi Islam yang dikemukakan oleh Muhammad Abdullah al Arabi, yaitu: ” Ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari Al Qur‟an dan As Sunnah, dan merupakan pembangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa” (Muhammad Abdullah al Arabi dalam Gemala Dewi, 2004: 33). Dari definisi tersebut Gemala Dewi (2004) membagi ekonomi islam terdiri dari dua bagian (Gemala Dewi, 2004: 34): Pertama adalah yang diistilahkan dengan ”sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Al Qur’an dan As Sunnah”, yang ada hubungannya dengan urusan-urusan ekonomi. Prinsip-prinsip dasar yang termasuk dalam bagian pertama ini tidak dapat berubah karena bersumber dari Al Qur‟an dan As Sunnah. Prinsip-prinsip ini terbatas jumlahnya dan pada dasarnya mencakup
kebutuhan-kebutuhan pokok yang pasti
dihajati oleh setiap masyarakat, tanpa peduli tingkat kemajuan ekonominya, sehingga cocok untuk setiap saat dan tempat. Kedua
yaitu
yang
diistilahkan
dengan
”Bangunan
perekonomian yang didirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”. Maksud dari istilah tersebut adalah cara-cara penyesuaian atau pemecahan masalah ekonomi yang dapat dicapai oleh para ahli dalam negara
Islam, sebagai pelaksanaan dari prinsip-prinsip Al Qur‟an dan As Sunnah di atas. Dalam pelaksanaan prinsip-prinsip ekonomi, atau pada bidang-bidang lain yang tidak diputuskan hukumnya oleh prinsip-prinsip dasar, maka diperbolehkan menggunakan ijtihad untuk menemukan pendapat bagi pemecahan problem ekonomi menurut situasi dan kondisinya dengan petunjuk dari Al Qur‟an dan As Sunnah. Sistem ekonomi Islam adalah bagian dari nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat yang tidak terpisahkan dengan aspek-aspek yang lain dari keseluruhan ajaran-ajaran Islam yang komprehensif dan integral (Tazkia Institut dalam Randy AW, 2005: 2). 2) Ciri-ciri Ekonomi Islam Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem Islam yang memiliki hubungan sempurna dengan agama Islam, yaitu adanya hubungan antara ekonomi Islam dengan akidah dan syariat. Hubungan ini menyebabkan ekonomi Islam memiliki sifat yang menjadi cirri ekonomi islam yaitu (Gemala Dewi, 2004: 38): (a) Sifat Pengabdian (Ibadah) Pekerjaan ekonomi seseorang akan bernilai ibadah apabila dimaksudkan untuk mencari keridhoan Allah, artinya harus dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan perintah Allah serta dalam melaksanakan kegiatan ekonomi tidak boleh
melanggar laranganNya. Dalam Islam diajarkan bahwa manusia yang paling baik adalah yang paling banyak memberikan kemanfaatan untuk orang lain. (b) Cita-cita Yang Luhur Tujuan dari kegiatan ekonomi Islam bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata, tapi untuk memakmurkan bumi dalam rangka menjalankan tugas manusia sebagai khilafah atau pemimpin di muka bumi, yang nantinya amanah tersebut akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. (c) Memiliki Pengawasan Atas Pelaksanaan Kegiatannya Dalam lingkungan ekonomi Islam, di samping adanya pengawasan syariah yang dilaksanakan oleh kekuasaan umum, ada juga pengawasan yang lebih ketat dan aktif, yaitu pengawasan hati nurani yang telah terbina di atas kepercayaan akan adanya Allah SWT. Perasaan (pengawasan) hati nurani akan lebih mampu mencegah penyelewengan kegiatan ekonomi jika dibanding dengan pengawasan dari luar. (d) Keseimbangan Antara Kepentingan Individu Dan Masyarakat Islam
mengakui
kepentingan
individu
maupun
kepentingan masyarakat selama tidak terjadi pertentangan antara keduanya. Hak milik dan kebebasan individu diakui selama tidak membahayakan kepentingan orang banyak.
Namun jika terjadi pertentangan, maka Islam mendahulukan kepentingan orang banyak di atas kepentingan individu. 3) Asas-asas Ekonomi Islam (a) Kebebasan Berusaha Islam tidak membatasi bentuk dan macam usaha seseorang untuk memperoleh harta sesuai dengan kemampuan, kecakapan, dan ketrampilan masing-masing. Sebagaimana diFirmankan dalam Al Qur‟an yang artinya,
”Dialah yang menjadikan bumi ini mudah buat kamu. Oleh karena itu berjalanlah di permukaannya dan makanlah dari rezekinya.” (Q.S. Asy Syu‟ara‟ ayat 15). (b) Pengharaman Riba Riba dari segi bahasa (lughat, artinya merupakan tambhan atau kelebihan. Dalam ilmu fiqh dikenal 3 (tiga) jenis riba, yaitu (Tim Penyusun PKES. 2008: 75): (1) Riba Fadl/riba buyu, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in), dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran ini mengandung gharar (ketidakjelasan) bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Dalam perbankan konvensional riba fadl dapat ditemui dalam
jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot). (2) Riba Nasi’ah/riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Riba ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang
yang
diserahkan
kemudian.
Transaksinya
mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban. Dalam perbankan konvensional riba nasi‟ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, dan giro. (3) Riba Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Dalam perbankan konvensional riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit. Al Qur‟an menyinggung masalah riba di beberapa surat, yakni surat Al Baqarah ayat 275-280, surat Al Imran ayat 130. surat An Nisaa‟ ayat 161, dan surat Ar Ruum ayat 39.
(c) Pengaharaman Jual Beli Samar/mengandung Sifat Penipuan (Bai’u Al Gharar) Al Gharar ialah suatu yang tidak ketahui pasti, benar atau tidaknya. Jadi Bai’u Al Gharar ialah jual beli yang tidak pasti hasil-hasilnya, karena tergantung pada hal yang akan datang atau kepada seseuatu yang belum diketahui yang kadang terjadi, kadang-kadang tidak (Gemala Dewi, 2004: 47). (d) Pengharaman Penyalahgunaan Pengaruh untuk Mencari Harta Islam mengharamkan usaha seseorang untuk mendapatkan harta
dengan
jalan
menyalahgunakan
kekuasaan
atau
pengaruh. Dalam hal ini Islam mengahapuskan usaha yang tersembunyi di balik apa-apa yang dapat diperoleh dengan cara ini, dan mengarahkannya kepada perbendaharaan kaum muslimin (Gemala Dewi, 2004: 48). (e) Pengharaman Pemborosan dan Kemewahan Sebagaimana Islam
mengatur
mengenai
cara-cara
berusaha
untuk
mendapatkan harta, Islam juga mengatur cara-cara pengeluaran dan penggunaan harta. Islam melarang pengeluaran harta dengan cara pemborosan, sebagaimana difirmankan dalam Al Qur‟an: ”Sesungguhnya
orang-orang
pemboros
adalah
saudarasaudara setan, dan setan adalah kafir terhadap Tuhannya. ” (Q.S. Surat Al Isra‟ ayat 27). ”Dan jika Kami
hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantaslah berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Q.S. Surat Al Isra‟ ayat 16). ”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. surat Al Furqan ayat 67). (f) Pengharaman Penimbunan Harta Pengaharaman terhadap penimbunan harta apabila barang yang ditimbun merupakan kelebihan dan kebutuhannya, karena seseorang diperbolehkan menimbun persediaan nafkah untuk keluarganya selam satu tahun sebagaimana dilakukan oleh Rosulullah, serta apabila penimbunan itu dilakukan untuk dijual pada saat-saat memuncaknya
harga
dan
pada
saat
manusia
sangat
membutuhkannya. Dalil Al Qur‟an Surat At Tawbah ayat ke 34-35, yang artinya
” Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
b. Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) 1) Pengertian BMT Baitul Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi secara etimologis (makna lughawi) Baitul Mâl berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta (Dahlan dalam Sigit Purnawan Jati, www.msi-uii.net, 2004). Adapun secara terminologis, sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam kitabnya Al Amwâl Fi Daulah Al Khilafah, Baitul Mâl adalah suatu lembaga atau pihak (al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara, dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat (al- makan) untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara (Sigit Purnawan Jati, 2004, www.msi-uii.net). Baitul Mâl wa Tamwil, berasal dari kata baitul Mâl dan baitul tamwil. Baitul Mâl artinya rumah harta, yaitu tempat penitipan dan penyaluran dana Zakat Infaq Sodaqoh (ZIS), wakaf, dan sumbangan social kemanusiaan. Baitul tamwil artinya rumah, yaitu tempat pengembangan bisnis, pengembangan usaha, balai usaha ekonomi produktif dalam meningkatkan kualitas hidup pelaku usaha mikro melalui kegiatan simpan pinjam sistem bagi hasil (Amin Aziz, 2007).
Menurut Tim Penyusun PKES dalam buku “Materi Dakwah Ekonomi Syariah”, Baitul Mâl wat Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sstem ekonomi yang salaam : keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraani (Tim Penyusun PKES. 2008: 167) Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat ditarik pengertian yang menyeluruh bahwa BMT merupakan lembaga bisnis yang berorientasi sosial yang dalam mengoperasikan kegiatannya berdasarkan ketentuan-ketentuan syariah. Dengan demikian di dalam BMT terdapat dua peran yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yaitu perannya sebagai lembaga sosial dan juga sebagai lembaga bisnis. Dalam hal ini ketika suatu lembaga menamakan dirinya sebagai BMT maka secara de facto harus memiliki dua unit usaha sekaligus, yaitu usaha dalam bidang pengelolaan ZIS yang mewakili perannya sebagai lembaga sosial dan usaha dalam bidang perbankan syariah yang mewakili perannya sebagai lembaga bisnis, apabila salah satunya tidak ada
maka tidak bisa disebut sebagai BMT tetapi baitul Mâl saja atau baitul tamwil saja. 2) Sejarah BMT a) Sejarah Baitul Mâl Wa Tamwil di Indonesia (1) Sejarah berdirinya Implikasi nilai-nilai syariah dalam bidang ekonomi adalah
terbentuknya
lembaga-lembaga
keuangan
yang
berlandaskan nilai-nilai syariah. Di Indonesia bank syariah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat. BMT mulai lahir sejak tahun 1995, setelah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kelahirannya diprakarsai oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan BMI. Hal ini juga didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam terhadap banyaknya masyarakat miskin (terutama umat Islam) yang terjerat oleh rentenir dan juga dalam rangka memberikan alternatif bagi mereka yang ingin mengembangkan usahanya yang tidak dapat berhubungan secara langsung dengan bank Islam dikarenakan usahanya tergolong kecil dan mikro. Namun demikian, sesungguhnya BMT sudah mulai ada di Indonesia sejak tahun 1992 yang diprakarsai oleh Aries Mufti, dengan mendirikan BMT Bina Insan Kamil di Jalan Pramuka Jakarta Pusat. Jadi, embrionya
sejak
1992
tapi
belum
berkembang
(http://subkhan.wordpress.com, 2008). Semakin
banyaknya
orang-orang
yang
memiliki
perhatian terhadap lembaga kecil ini, maka perlu adanya pembinaan dan pengawasan pada BMT-BMT serta dibutuhkan adanya perantara untuk terjalinnya komunikasi dan jaringan antar BMT ataupun penghubung BMT kepada lembaga ekonomi yang lebih besar baik pemerintah atau swasta, dan tentunya
juga dalam
usaha
untuk
menumbuhkan dan
mengembangkan BMT dimasa depan. Oleh sebab itu berdiri pulalah lembaga pembina BMT yang berupa Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM), baik bernama Pusat Pengkajian dan Pengembangan Usaha Kecil (P3UK), Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK) maupun Dompet
Dhuafa
(DD)
Republika
(www.luqmannomic.wordpress.com, 2007). Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa BMT dapat berkembang pesat (http://subkhan.wordpress.com, 2008). Pertama, animo masyarakat bawah cukup besar untuk mendapatkan akses pembiayaan bagi pengembangan usaha mereka yang tidak dapat dipenuhi oleh perbankan dikarenakan prosedur dan administrasi bank yang ketat dan juga bank kurang berminat menyalurkan kredit kecil yang berkisar antara
500.000 rupiah – 5 juta rupiah. Kedua, berkaitan dengan keinginan sebagian masyarakat muslim untuk bermuamalah yang berprinsip pada syariah dan non ribawi. Ketiga, cerita sukses
beberapa
BMT
turut
mendorong
orang
untuk
mendirikan lembaga serupa. Apalagi proses pendirian BMT relatif mudah dan tidak rumit. (2) Status badan hukum Badan hukum BMT hingga saat ini belum seragam, hal ini dikarenakan belum ada peraturan perundangan yang mengatur secara khusus keberadaan BMT. Sebagian ada yang berbadan hukum Yayasan, Koperasi, Perkumpulan atau tidak berbadan hukum sama sekali. BMT merupakan sejenis lembaga intermediasi dengan skala mikro, namun BMT bukan bank ataupun koperasi. Dilihat sekilas dari operasionalnya, BMT lebih menyerupai koperasi simpan pinjam yang menerapkan prinsip syari‟ah. Oleh karena itu banyak kalangan ekonom Islam yang menyarankan badan hukum untuk seluruh BMT diseragamkan menjadi bentuk koperasi. Tidak banyak BMT yang beroperasi sebagai bank, karena persyaratan yang berat baik kuantitatif menyangkut permodalan, maupun kualitatif seperti SDM, sistem dan prosedur tata cara pelaporan, dan pengawasan. Mengacu pada
Undang-undang perbankan, BMT yang dalam kegiatannya menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dan menyalurkan kredit kepada masyarakat harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, sebagai sebuah bank Apabila BMT menyatakan dirinya berbentuk koperasi simpan pinjam, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai koperasi, seperti Anggaran Dasar, keanggotaan, dan perangkat organisasi meliputi Rapat Anggota, Pengawasan, dan Pengurus. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orangorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan (Pasal 1 ayat (1) UU Koperasi No. 25 Tahun 1992). Anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa. Sedang keanggotaan koperasi secara umum didasarkan pada kesamaan kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha koperasi. Meskipun demikian dalam koperasi ini dimungkinkan adanya anggota luar biasa yang persyaratan, hak, dan kewajiban ditetapkan dalam Anggaran Dasar. Dalam
pedoman
umum
AD/ART
BMT
yang
diterbitkan oleh PINBUK, status BMT ditentukan oleh jumlah aset yang dimiliki sebagai berikut: (1) Pada awal pendiriannya hingga mencapi aset lebih kecil dari Rp 100 juta, BMT adalah Kelompok Swadaya
Masyarakat yang berhak meminta/mendapatkan Sertifikat Kemitraan dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). (2) Jika BMT telah memiliki aset Rp 100 juta atau lebih, maka BMT diharuskan melakukan proses pengajuan Badan Hukum kepada notaris setempat, antara lain dapat berbentuk : (a) Koperasi Syariah (KOPSYAH) (b) Unit Usaha Otonom Pinjam Syariah dari KSP (Koperasi Simpan Pinjam), KSU (Koperasi Serba Usaha), KUD (Koperasi Unit Desa), Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren), atau Koperasi lainnya yang beroperasi otonom
termasuk
pelaporan
dan
pertanggung
jawabannya. BMT yang berbadan hukum koperasi harus tunduk pada UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian. Setiap koperasi yang berdiri harus mendapatkan ijin dari Kementerian Koperasi dan UKM. Oleh karena itu BMT yang berbadan hukum koperasi
berada
dalam
pengawasan
dan
pembinaan
Kementerian Koperasi dan UKM. Pada bulan September 2004 Kementrian Koperasi dan UKM mengeluarkan keputusan Kep.Men.Kop & UKM No.91/Kep/M.KUM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Pada ketentuan peralihan pasal 50 disebutkan bahwa Koperasi Simpan Pinjam (KSP)/Unit Simpan Pinjam (USP). Koperasi yang ingin mengubah atau mengkonversikan kegiatan usahanya menjadi Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Keuangan Syariah dapat menjalankan usaha dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sedangkan Koperasi yang telah menyelenggarakan kegiatan pembiayaan Pola Syariah, diberikan kesempatan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya keputusan ini, untuk menyesuaikan dan mengikuti segala peraturan yang berlaku dalam keputusan tersebut. b) Produk-produk BMT Penghimpunan dana dalam BMT tidak jauh berbeda dengan bank syariah yang juga salah satu fungsinya sebagai lembaga perantara (financial intermediary). 1) Penghimpunan Dana BMT (a) Penghimpunan dengan akad Wadiah Prinsip ini dikembangkan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : (1) Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung BMT, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung
kerugian. BMT dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu intensif. (2) BMT harus membuat akad pembukuan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. (3) Terhadap
pembukaan
rekening
ini
BMT
dapat
mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi. (4) Keuntungan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. (b) Perhimpunan dana dengan akad Mudharabah Aplikasi prinsip ini adalah bahwa deposan atau penyimpan bertindak sebagai shahibul Mâl dan bank sebagai mudharib. Dana ini digunakan bank atau BMT untuk melakukan pembiayaan akad jual beli maupun syirkah. 2) Produk Pembiayaan BMT (a) Pembiayaan berdasar prinsip jual beli (1) Al Murabahah, yaitu jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak lembaga keuangan syariah, dalam hal ini BMT dengan nasabah. Dalam prakteknya, pembayarannya
dilakukan secara cicilan setelah barang diserahkan kepada nasabah. (2) Bai’ As Salam, merupakan pembelian barang yang dananya dibayarkan di muka, sedangkan barang diserahkan kemudian. Menurut Sayyid Sabiq, as-salam dinamai juga as-salaf (pendahuluan), yaitu penjualan sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran disegerakan. (3) Bai’ Al Istishna, menurut jumhur ulama fuqaha, bai’ al istishna merupakan suatu jenis khusus dari bai’ assalam. Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh BMT dalam beberapa kali pembayaran. Untuk landasan hukum transaksi bai’ al istishna mengikuti landasan hukum bai’ as salam, mengingat bai’ al istishna merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as salam. (4) Al-Ijarah, adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
dengan
pemindahan
kepemilikan
(ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Pada prinsipnya prinsip al-ijarah sama dengan prinsip jual beli,
namun
perbedaannya
terletak
pada
obyek
transaksinya, dalam hal ini obyek transaksinya adalah jasa. (b) Pembiayaan berdasar prinsip bagi hasil (1) Musyarakah, yaitu pembiayaan dengan akad kerjasama (syirkah) dimana BMT dan anggota membiayai usaha dengan penyertaan manajemen BMT di dalamnya. (2) Mudharabah, yaitu pembiayaan dengan akad kerjasama (syirkah) dimana BMT dan anggota membiayai usaha tanpa penyertaan manajemen BMT di dalamnya. (c) Pembiayaan dalam kelompok jasa (1) Berdasar akad Wakalah, yaitu pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Dalam kontrak BMT wakalah berarti BMT menerima amanah dari investor yang akan menanamkan modalnya kepada nasabah. (2) Berdasar akad Kafalah, berarti jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak lain untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak yang ditanggung, dengan kata lain, mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin kepada orang lain yang menjamin. (3) Berdasar akad Hawalah, berarti pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada si penanggung. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban
utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal’alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang. (4) Berdasar akad Rahn atau gadai, adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas pembiayaan yang diterimanya. (d) Pembiayaan berdasar prinsip pinjam meminjam Berdasar akad Al Qard, yaitu pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali, dengan kata
lain
qard
adalah
pemberian
pinjaman
tanpa
mengharapkan imbalan. 3. Dewan Pengawas Syariah a. Pengertian Pengawasan Syariah Pengawasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu hal, cara, perbuatan mengawasi; penilikan dan penjagaan; penilikan dan pengarahan kebijakan jalannya perusahaan (Soeharso&Ana Retnoningsih, 2005). Pengawasan oleh suatu badan yang berwenang adalah pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sah yang berdasar teori yang ada bahwa pengawasan dilakukan oleh badan yang berada di atasnya, agar tidak terjadi sebuah kontrak wewenang antara dua atau lebih badan pengawas dengan badan yang diawasi dimana badan yang mengawasi
memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada yang diawasi ( Sujamto, 1987). Makna pengawasan syariah secara etimologi (lughowi) dapat berarti riqabah atau penjagaan, pemeliharaan dan pemantauan. Sebagaimana tersebut dalam al Qur‟an surat an Nisaa‟ ayat 1 ”....Sesungguhnya
Allah
selalu
menjaga
mengawasi
kalian.”
sedangkan secara terminologi (maknawi) dapat berarti pemantauan, pemeriksaan dan investigasi untuk menjaga kemaslahatan dan menghindari
terjadinya
kerusakan
(Muhammad
Ridwan,
www.kr.co.id, 2007). Pengawasan syariah yang dilakukan oleh badan atau lembaga yang berwenang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses kegiatan usaha pada satuan kerja organisasi dan memastikan bahwa seluruh aktivitas keuangan serta penetapan strategi dan tujuan organisasi tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh sebab itu sistem pengawasan syariah harus mengacu pada prinsip-prinsip dasar pengawasan yang menjadi bagian dari ajaran Islam, yaitu: 1) Jalbul mashalih, yaitu upaya untuk menjaga dan memaksimalkan unsur kebaikan supaya dapat terjaga lima dasar resiko dalam kehidupan yakni resiko moral, resiko agama, resiko harta, resiko regenerasi dan resiko reputasi. 2) Dar’ul mafasid, yaitu untuk menghindarkan dari unsur-unsur yang dapat menimbulkan kerusakan baik moral maupun material.
3) Saddudz dzar’ah, yaitu upaya untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya pelanggaran terhadap syariah dan peraturan-peraturan lainnya. Pengawasan syariah harus dilaksanakan secara menyeluruh dan berkesinambungan agar berbagai kemungkinan terjadinya pelanggaran dapat terdeteksi sejak dini. Pengawasan menyeluruh meliputi: 1) Riqabah musbaqah atau pengawasan prefentif yang dilakukan pada tahapan penyusunan berbagai produk dan penetapan strategi. 2) Riqabah lahiqah atau pengawasan operasional yang dilakuan untuk memastikan praktik bisnis seperti pelaksanaan kontrak pembiayaan atau sistem pemasarannya tidak menyimpang dari syariah. 3) Riqabah a’mal atau pengawasan pada aspek keuangan dan perilaku manajemen. 4) Riqabash dzatiyah atau pengawasan berbasis moral pada aspek individu pengurus dan pengelola bisnis tersebut. b. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah Keputusan DSN-MUI No. 01 tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional, Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Lembaga keuangan syariah adalah setiap lembaga yang kegiatan usahanya di bidang keuangan yang didasarkan pada syariah atau hukum Islam, seperti perbankan, reksadana, takaful, dan sebagainya (Keputusan DSN-MUI No. 03 tahun 2000). Keputusan Menteri Koperasi dan UKM No. 91 tahun 2004 menyebutkan dalam ketentuan umum pasal 1 poin ke-19 bahwa Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang dipilih oleh koperasi yang bersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota dan beranggotakan alim ulama yang ahli dalam syariah yang menjalankan fungsi dan tugas sebagai pengawas syariah pada koperasi yang bersangkutan dan berwenang memberikan tanggapan atau penafsiran terhadap fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional. Kedudukan DPS dalam LKS sebagaimana diatur dalam Keputusan DSN-MUI No. 03 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah adalah sebagai perpanjangan tangan mewakili DSN dalam mengawasi pelaksanaan fatwa-fatwa DSN di LKS. Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah terhadap DPS adalah menyediakan ruang kerja dan fasilitas lain yang diperlukan DPS serta membantu kelancaran tugas DPS. Dalam Keputusan DSN-MUI No. 03 tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah diatur sebagai berikut:
Keanggotaan DPS : 1.
Setiap lembaga keuangan syariah harus memiliki sedikitnya tiga orang anggota DPS.
2.
Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua.
3.
Masa tugas anggota DPS adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami pergantian antar waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti, diusulkan oleh lembaga keuangan syariah yang bersangkutan, atau telah merusak citra DSN. Syarat Anggota DPS :
1. Memiliki akhlak karimah 2. Memiliki kompetensi kepakaran di bidang syariah mu‟amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum. 3. Memiliki komitmen untuk mengembangkan keuangan berdasarkan syariah. 4. Memiliki kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan surat/sertifikat dari DSN. Prosedur Penetapan Anggota DPS : 1. Lembaga keuangan syariah mengajukan permohonan penempatan anggota DPS kepada DSN. Permohonan tersebut dapat disertai usulan nama calon DPS. 2. Permohonan tersebut dibahas dalam rapat BPH-DSN.
3. Hasil rapat BPH-DSN kemudian dilaporkan kepada pimpinan DSN. 4. Pimpinan DSN menetapkan nama-nama yang diangkat sebagai anggota DPS Keputusan Menteri Koperasi & UKM tentang KJKS tidak mengatur mengenai syarat menjadi Dewan Pengawas Syariah, yang diatur dalam aturan tersebut hanyalah mengenai pengangkatannya dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota. Bahkan dalam keputusan tersebut juga tidak mengharuskan DPS untuk memiliki sertifikasi kelayakan atau rekomendasi dari DSN MUI untuk menjadi pengawas syariah. Sedangkan dalam UU Koperasi No. 25 Tahun 1992 juga tidak mengatur hal tersebut, pengaturan mengenai pengawas dalam UU ini juga masih bersifat umum, tidak secara khusus mengatur mengenai pengawas syariah. Kedudukan pengawas pada koperasi bertanggung jawab kepada Rapat Anggota. a) Peran Dewan Pengawas Syariah Salah satu yang membedakan antara lembaga keuangan syariah dengan lembaga keuangan konvensional adalah keberadaan DPS pada lembaga keuangan syariah. DPS memegang peran penting untuk memastikan bahwa lembaga keuangan syariah tidak melakukan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah. Tugas utama DPS dalam Keputusan DSN No. 03 Tahun 2000 adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan ketentuan dan
prinsip syariah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Sedangkan Fungsi utamanya adalah: 1) Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah. 2) Sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. Dilihat dari tugas dan fungsi utama, maka peran DPS terhadap LKS adalah: 1) melakukan pengawasan atas perencanaan dan operasional lembaga keuangan syariah; 2) memberi nasihat dan saran kepada LKS mengenai hal-hal yang terkait dengan syariah; 3) memberikan opini syariah; 4) mediator hubungan antara BMT dengan DSN terutama dalam setiap upaya pengembangan produk dan jasa yang perlu mendapatkan fatwa dari DSN; Opini syariah adalah pendapat kolektif dari DPS yang telah dibahas secara cermat dan mendalam mengenai kedudukan / ketentuan syar‟i yang berkaitan dengan produk atau aktifitas LKS. Opini syariah
dapat dijadikan pedoman sementara sebelum adanya fatwa DSN mengenai masalah tersebut. Pada UU No. 25 tentang Koperasi, tugas pengawas adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pengelolaan Koperasi dan membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya (Pasal 39 ayat (1)). Dalam rangka melaksanakan tugasnya, pengawas memiliki kewenangan meneliti catatan yang ada pada Koperasi dan mendapat segala keterangan yang diperlukan (Pasal 39 ayat (2)). Pada Keputusan Menteri Koperasi & UKM No. 91 tahun 2004 menyebutkan tugas Dewan Pengurus Syariah melakukan pengawasan pelaksanaan usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan melaporkan hasil pengawasannya kepada pejabat (Pasal 32).
BAB III LAPORAN OBYEK
A. Gambaran Umum 1. Profil BMT BIMA Nama Lengkap Disingkat No. Badan Hukum Tahun Berdiri Modal Kerja Awal Jumlah calon Anggota Total Asset Personil Bima
VISI
: Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Mâl wat Tamwil Bima Insan Mulia : KJKS BMT BIMA : No. 86/PAD/VIII/2006/ Tanggal 1 Agustus 2006 Kep Men Kop UKM RI : 02 Januari 1995 : Rp 530.800,: 16.454 (Juni 2009) : : 80 orang
Terwujudnya perekonomian rakyat yang kuat sehingga mendorong terciptanya keadalan dan kesejahteraan bagi sesama.
MISI
Mengembangkan prinsip-prinsip pengelolaan usaha seiring dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta pengembangan manajemen. Memanfaatkan informasi dan iptek serta mengefektifkan pengelolaan dana/modal guna meningkatkan kemajuan usaha.
KANTOR PUSAT: Jl. Klagon Km. 1 (Lantai 2) Muntilan Magelang 56414 KANTOR CABANG CABANG UTAMA: Jl. Klagon Km. 1 (Lantai 1) Muntilan Magelang 56414 CABANG 01 : Dukun- Jl. Raya Talun CABANG 02 : Blabak-Mungkid ; Jl Raya Blabak
CABANG 03 : Salaman- Jl. Raya Salaman CABANG 04 : Kota Magelang- Jl. Singosari No 952 B Magelang CABANG 05 ; Grabag- Jl. KH. Syiroj No 84A Grabag CABANG 06 : Bandongam KANTOR CABANG PEMBANTU Tempel Sleman Pasar Soko Dukun Borobudur Tempuran 2. Produk-produk BMT Bima a) Pendanaan (Funding) 1) Si Supra (Simpanan Sukarela Praktis) - Simpanan yang dapat ditambah dan diambil setiap saat - Mudah, praktis dan aman - Pembuakaan rekening atas nama perorangan/lembaga dengan setoran awal Rp 20.000,- Simpanan mendapatkan bonus yang akan diterimakan setiap akhir bulan dihitung berdasarkan saldo rata-rata - Saldo minimal yang harus disisakan sebesar Rp 20.000,2) Si Padi (Simpanan Pendidikan) - Simpanan khusus untuk pendidikan yang hanya dapat diambil pada saat/menjelang tahun ajaran baru. - Pembukaan rekening atas nama perorangan dengan setoran awal minimal Rp 20.000,- dan setoran selanjutnya minimal Rp 20.000,- Simpanan
mendapatkan
bonus
(bagi
hasil)
yang
diterimakan setiap akhir bulan dihitung saldo rata-rata.
akan
- Saldo minimal yang harus disisakan sebesar Rp 20.000,3) SiMPATI (Simpanan Idul Fitri) - Simpanan yang hanya dapat diambil menjelang hari raya Idul Fitri - Pembukaan rekening atas nama perorangan dengan setoran awal minimal Rp 20.000,- dan setoran selanjutnya minimal Rp 20.000,- Simpanan
mendapatkan
bonus
(bagi
hasil)
yang
akan
diterimakan setiap akhir bulan dihitung saldo rata-rata. - Saldo minimal yang harus disisakan sebesar Rp 20.000,4) Si Hanum (Simpanan Haji&Umroh) BMT BIMA membantu untuk menyiapkan program haji dan umroh, dengan : - Membuka rekening Si HANUM dengan setoran awal Rp 500.000,- Setoran selanjutnya minimal Rp 50.000,- Simpanan
mendapatkan
bonus
(bagi
hasil)
yang
akan
diterimakan setiap akhir bulan dihitung saldo rata-rata. - Saldo minimal yang harus disisakan sebesar Rp 50.000,- Simpanan hanya dapat diambil untuk pelaksanaan Haji/Umrah. 5) SiKubra (Simpanan Kurban&Aqiqah) Adalah solusi tepat untuk berkorban dan melaksanakan akikah, cukup dengan
- Simpanan yang hanya bisa diambil menjelang hari raya kurban atau akikah - Pembukaan rekening atas nama perorangan dengan setoran wal minimal Rp 20.000,- dan setoran selanjutnya minimal Rp 20.000,- Simpanan
mendapatkan
bonus
(bagi
hasil)
yang
akan
diterimakan setiap akhir bulan dihitung saldo rata-rata. - Saldo minimal yang harus disisakan sebesar Rp 20.000,6) Si JAKA (Simpanan Manasuka Berjangka) Adalah alternatif menarik yang terencana dengan jangka waktu 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dan 24 bulan dengan : - Simpanan yang hanya dapat diambil dan atau ditambah dalam jangka waktu tertentu. - Banyak pilihan waktu, sehingga memudahkan Anda membuat perencanaan - Nisbah/porsi bonus bertingkat, semakin lama berinvestasi semakin besar bonus yang diterima - Bonus diterimakan setiap tanggal 1 (satu) d dan dimasukkan pada rekening SISUPRA - Minimal pembukaan dan atau Saldo sebesar Rp 1.000.000,7) SIAMAN (Simpanan Amanah) Simpanan untuk menampung dana Zakat, Infaq, dan Shodaqoh, yang dikelola oleh Baitul Mâl BIMA.
Semua jenis simpanan dengan akad WADI‟AH YAD-DHOMANAH b) Produk-produk Pembiayaan 1) Sistem Kerjasama Dengan Bagi Hasil - Al Musyarokah - Al Mudharabah 2) Sistem Jual Beli - Al Murabahah - Al Bai‟As Salam 3) Sistem Sewa - Al Ijaroh - Al Muntahiya Bit Tamlik 4) Sistem Pijaman Lunak - Al Qordhul Hasan 5) Sistem Gadai - Ar Rahn B. Data Deskriptif Berdasarkan penelitian penulis mengenai kepemilikan Dewan Pengawas Syariah Ekternal dan DPS internal di beberapa BMT yang telah berbadan hukum di wilayah Magelang sebagai berikut:
Tabel 3.1 Rekapitulasi Status Dewan Pengawas Syariah BMT di Magelang Dewan Pengawas Syariah No.
Nama BMT Ekternal
Internal
1.
BMT Kharisma
x
2.
Danaku Syariah
3.
BMT Bima
4.
BMT Saudara
x
5.
BMT Arta Mukti Syariah
x
6.
BMT Era
x
7.
BMT NU Sejahtera
x
8.
BMT Harapan Insani
x
9.
BMT Amanah
x
10.
TAMZIS
11.
Kospin Jasa Syariah
x x
x
Jumlah
x 3
8
Dari hasil penelitian tersebut dari 11 BMT (LKS) yang memiliki Dewan Pengawas Syariah Ekternal ada 3 BMT sedangan 8 BMT lainnya Dewan Pengawas Syariahnya masih Internal dari pengelola BMT. Dari hasil tersebut sebagian besar BMT belum mampu memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 berkaitan dengan DPS.
Hasil penelitian berdasarkan wawancara dengan para informan di BMT Bima Magelang antara lain dengan pengelola yaitu, Bapak Abdul Hadi Nasir selaku Direktur utama BMT Bima dan Ibu Hesti Purwanti selaku bagian personalia, serta dengan pengawas syariah Bapak Yusron. Penulis dalam wawancara mengkroscekkan data yang diperoleh dari sumber data yang satu dengan sumber data yang lainnya untuk mendapatkan kevalidan data, hasilnya data yang diperoleh dari satu sumber data dengan sumber data yang lainnya tidak bertentangan. Dari wawancara dengan ketiga sumber data tersebut diperoleh data yang penulis sajikan sebagai berikut: 1.
Efektivitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil ( BMT) Bima Magelang Mengenai efektivitas Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 di BMT Bima, penulis mencari data mengenai sejarah berdirinya BMT Bima dan Badan Hukumnya, kedudukan DPS, tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS guna menganalisis jawaban atas rumusan masalah tersebut. Data-data tersebut diperoleh berdasarkan wawancara dengan Bapak A. Hadi Nasir pada hari Senin tanggal 26 Juli 2011 dan Kamis tanggal 28 Juli 2011, Ibu Hesti pada hari Senin tanggal 26 Juli 2011, serta dengan Bapak Yusron pada hari Senin tanggal 12 Juli 2011. Data-data yang diperoleh sebagai berikut:
a. Kedudukan DPS BMT Bima Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak A. Hadi Nasir selaku Direktur Utama BMT Bima pada hari Senin tanggal 26 Juli 2011 pukul 09.00 WIB dan Kamis 28 Juli 2011 pukul 09.30 WIB, diperoleh data bahwa BMT Bima memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang disebut Pengawas Syariah. BMT Bima terbentuk dengan landasan untuk menegakkan syariat Islam, oleh sebab itu dalam struktur BMT Bima keberadaan Pengawas Syariah adalah wajib yang bertujuan untuk mengawasi dan memastikan bahwa BMT Bima dijalankan dengan menegakkan
prinsip-prinsip
syariah
serta
tidak
melakukan
penyimpangan. Bagi BMT Bima, sejak awal terbentuk belum berbadan hukum hingga sekarang DPS ada dalam struktur BMT Bima. Ketika awal terbentuk, BMT Bima memiliki dua orang Pengawas Syariah, kemudian sejak berbadan hukum KSU hingga sekarang hanya memiliki satu orang Pengawas Syariah. BMT tidak mengangkat tiga orang sebagai DPS seperti telah diatur dalam keputusan DSN MUI yang memberi batasan jumlah minimal DPS pada tiap LKS tiga orang, hal ini karena pertimbangan Sumber Daya Manusia (SDM) ulama di Magelang yang mumpuni untuk diangkat sebagai DPS sangat terbatas. Meskipun sebenarnya bisa saja mengangkat ulama dari daerah lain, tapi karena pertimbangan keefektifan bahwa DPS harus aktif memantau BMT, maka jika yang menjadi DPS bertempat tinggal jauh dari BMT dirasa tidak akan bisa optimal dan efektif dalam melakukan
pengawasan. Selain itu BMT Bima juga tidak memperbolehkan pengawas syariahnya untuk merangkap sebagai DPS di LKS yang lain, agar supaya bisa fokus dan all out untuk menjalankan tugasnya di BMT Bima. Masa jabatan Pengawas Syariah tiga tahun dan dapat dipilih kembali. Prosedur pengangkatan DPS di BMT Bima adalah di RAT (Rapat Anggota Tahunan), tidak melalui prosedur MUI (Majelis Ulama Indonesia) daerah maupun pusat, serta tidak berhubungan dengan Dewan Syariah Nasional untuk pengangkatan atau penetapannya. Bahkan tidak memerlukan rekomendari dari MUI /DSN. DPS BMT bertanggung jawab dan melaporkan hasil pengawasannya pada Rapat Anggota. DPS BMT Bima dipilih dari dan oleh anggota, syaratnya adalah: a. memiliki keahlian di bidang syariah b. memiliki akhlak yang baik serta c. cukup terpandang di masyarakat sebagai ulama yang dapat dipercaya. d. dipandang oleh RAT mampu menjalankan tugas sebagai DPS Tidak ada syarat rekomendasi dari DSN MUI ataupun syarat mempunyai sertifikasi kelayakan sebagai DPS, tetapi cukup dengan parameter dipandang oleh RAT layak untuk menjadi DPS. Hal tersebut menurut Bapak A. Hadi Nasir karena tidak ada ulama di Magelang yang memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN, sedangkan data yang penulis
peroleh dari wawancara dengan Bapak Yusron selaku pengawas syariah pada hari Senin tanggal 12 Juli 2011 pukul 10.30 WIB, ketika ditanya mengenai alasan kenapa tidak memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN, beliau menjelaskan bahwa yang diwajibkan untuk memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN adalah DPS Asosiasi BMT bukan DPS tiap BMT, selain itu untuk mendapatkan sertifikasi harus melalui uji kelayakan oleh DSN tentang kompetensi dan kafaah pengetahuan hukum ekonomi Islam, mengenai transaksitransaksi/muamalah dalam Islam beserta dalil-dalilnya. Sehingga beliau merasa tidak perlu untuk mendapatkan atau mencari sertifikat kelayakan dari DSN karena hal tersebut tidak wajib baginya. Jika ternyata anggota tidak ada yang memiliki keahlian di bidang syariah atau tidak mampu, maka dapat mengangkat DPS di luar anggoa, dengan cara mengangkatnya terlebih dahulu sebagai anggota istimewa. Namun selama ini DPS BMT Bima belum pernah diangkat dari luar anggota, karena beberapa ulama terkemuka di Magelang telah bergabung menjadi anggota BMT Bima dan dipandang mampu untuk diangkat sebagai DPS. Pengawas Syariah BMT Bima yang sekarang adalah seorang ulama yang tinggal di Muntilan Magelang . Hal senada disampaikan oleh Bapak Yusron selaku pengawas syariah pada wawancara hari Senin 12 Juli 2011 pukul 10.30 WIB, bahwa sejak awal terbentuk BMT Bima sudah memiliki Pengawas Syariah. Pengangkatannya melalui RAT, tidak ada rekomendasi dari
DSN-MUI dan tidak ada tes seleksi atau uji kelayakan. Beliau juga tidak menjadi pengawas di LKS yang lain selain di BMT Bima. Tugas dari DPS adalah mengawasi penerapan dan pelaksanaan prinsip-prinsip syariah di BMT Bima, dengan tujuan agar tidak terjadi penyimpangan dari prinsip syariah. b. Tugas dan Wewenang DPS BMT Bima Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak A. Hadi Nasir selaku Direktur Utama BMT Bima pada hari Selasa tanggal 26 Juli 2011 pukul 09.00 WIB dan Kamis 28 Juli 2011 pukul 09.30 WIB, diperoleh data bahwa bagi BMT Bima peran DPS sangat penting, karena BMT sebagai lembaga keuangan syariah yang belum begitu dipahami masyarakat, secara kompetensi pengelolanya masih belum diakui oleh masyarakat dapat benar-benar menjalankan prinsip syariah dalam operasional BMT, untuk itu dibutuhkan peran dari DPS untuk bisa mendapatkan kepercayaan masyarakat bahwa BMT Bima menjalankan operasionalnya sesuai dengan prinsip syariah. Berkat kepercayaan dari masyarakat lah maka BMT Bima bisa berkembang dengan baik dan memiliki eksistensi di masyarakat, yang dapat menjalankan kedua fungsinya yaitu sebagai lembaga bisnis (baitul Mâl) dan lembaga sosial (baitul tamwil), bahkan mampu menjadi BMT terbesar di Magelang dengan aset kurang lebih tiga puluh milyar. Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS BMT Bima mengacu pada Pedoman Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab DPS
BMT yang terdapat dalam Pedoman Akad Syariah (PAS) 002 BMT. BMT yang berbadan hukum koperasi tidak memiliki pedoman pengawasan dan Tata Cara Pelaporan hasil Pengawasan yang dikeluarkan oleh Menteri Koperasi dan UKM. Meskipun sebenarnya ada Surat Keputusan DSN MUI tentang petunjuk pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah di Lembaga Keuangan syariah, tetapi Asosiasi BMT membuat sendiri pedoman tugas, wewenang dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil yang termuat dalam PAS 002 BMT. Pedoman tersebut dirumuskan oleh asosiasi BMT Jateng, dan kemudian dikukuhkan sebagai pedoman bagi seluruh anggota BMT Center, dimana BMT Bima juga termasuk anggota BMT Center yang artinya terikat dengan pedoman tersebut. PAS 002 BMT adalah perbaikan dari PAS 001 BMT yang berisi pedoman teknis operasional yang diturunkan dari fatwa DSN dan rekomendasi Lokakarya Syariah yang diselenggarakan Asosiasi BMT Solo dan BMT Center di Solo tanggal 6 Agustus 2005. Upaya pembuatan pedoman tersebut dengan maksud agar menjadi acuan bagi pengelola BMT untuk melakukan akad, sehingga tidak terpaku pada satu jenis akad, akan tetapi dengan akad yang lebih variatif sesuai dengan keluasaan dalam akad-akad syariah, serta agar terjadi penyeragaman model-model akad secara umum, sehingga
memudahkan jika suatu ketika dilakukan audit syariah. PAS 002 BMT terdiri dari : BAB I
: merupakan batang tubuh dari Pedoman Akad Syariah, sebagaimana umumya suatu lembaga keuangan produknya meliputi penghimpunan dana dan penyaluran dana, maka pada pedoman ini terdiri dari: Bab I.1 mengenai penghimpunan dana anggota, dan Bab I.2 mengenai pembiayaan dana
BAB II
: berisi skema-skema akad
BAB III
: berisi contoh-contoh akadnya
BAB IV
: berisi pedoman bagi DPS untuk memahami tugas dan kewenangannya, serta petunjuk pelaksanaan audit syariah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS BMT Bima mengacu pada PAS 002 BMT meliputi : 1) Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional BMT terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI, serta PAS BMT 002; 2) Menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan BMT; 3) Memberikan opini dari aspek Syariah terhadap pelaksanaan operasional BMT secara keseluruhan dalam laporan publikasi BMT (audit syariah); 4) Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada dewan syariah asosiasi untuk diteruskan kepada DSN;
5) Menyampaikan hasil pengawasan/audit syariah sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada Pengurus dan Pengelola, dan menjadi opini pada RAT. Jika produk dan atau jasa baru yang diusulkan sudah ada fatwanya, maka tugas DPS adalah memastikan kesesuaiannya terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI, serta PAS BMT 002. Mekanisme permohonan produk dan jasa baru yang sudah ada fatwanya diusulkan
oleh
bagian
marketing
kepada
manajer
kemudian
didiskusikan. Hasil diskusi bagian marketing dengan manajer kemudian disampaikan kepada pengurus, pengawas syariah dan penasihat. Setelah dibahas antara pengurus, pengawas dan penasihat, maka disetujui atau tidaknya produk disampaikan dan ditentukan di sana, kemudian hasilnya disampaikan kepada manajer. Dalam pembahasan tersebut pengawas syariah memainkan peran penting untuk mengkaji apakah produk baru yang diajukan tersebut sesuai dengan syariah, dilihat dari akad-akadnya dan dilihat kesesuaiannya dengan fatwa yang telah ada. Mengenai tugas mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan kepada dewan syariah asosiasi untuk diteruskan kepada DSN, yang dimaksud diteruskan kepada DSN bukan DSN secara kelembagaaan akan tetapi kepada dewan syariah asosiasi BMT yang anggotanya terdapat anggota DSN. Jadi secara kelembagaan atau struktural DPS BMT Bima tidak ada hubungan dengan DSN, tapi ada
hubungan secara personal dalam arti beberapa anggota atau pengurus DSN menjadi DPS asosiasi BMT. Mekanisme pengkajian produk dan jasa baru yang belum ada fatwanya setelah dikaji oleh Dewan Pengawas Syariah BMT kemudian diteruskan ke asosiasi BMT wilayah untuk dikaji dewan pengawas syariah asosiasi BMT, hasil kajian tersebut diteruskan ke asosiasi tingkat nasional untuk dikaji dan dimintakan opini kepada dewan syariah asosiasi tingkat nasional, dimana anggotanya ada dari pengurus DSN. Opini tersebut digunakan sebagai fatwa sementara sampai dengan adanya fatwa resmi dari DSN MUI. Permohonan fatwa baru ini tidak melalui DSN MUI secara kelembagaan, sebab mekanismenya lebih rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama karena harus melalui workshop ulama nasional. Padahal kegiatan BMT terus berjalan dan tidak akan bisa berkembang dengan baik atau akan sangat terhambat jika harus menunggu keluarnya fatwa DSN MUI. Bapak Yusron
juga mengutarakan bahwa tugas, tanggung
jawab, dan wewenangnya selaku pengawas syariah tidak berpedoman pada pedoman yang sudah dikeluarkan oleh DSN-MUI, karena tidak ada hubungan antara DPS BMT dengan DSN-MUI. DPS BMT punya pedoman tugas sendiri, namun termasuk dalam tugasnya untuk memeriksa kesesuaian akad yang ada di BMT Bima dengan fatwafatwa akad transaksi syariah yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI (wawancara penulis pada hari Senin 12/07/2011 pukul 10.30 WIB).
2. Tingkat efektivitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang Data ini diperoleh berdasarkan wawancara dengan Bapak A. Hadi Nasir selaku Direktur utama BMT Bima pada hari Senin tanggal 26 Juli 2011 pukul 09.00 WIB, bahwa pengawasan syariah di BMT Bima selama ini berjalan dengan baik, dengan parameter pengawas syariah aktif melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya sesuai dengan aturan yang telah ada, yaitu PAS 002 BMT. Pengawasan dilaksanakan baik secara formal maupun informal. 1) Secara formal a) Tiap bulan sekali DPS dapat memantau operasional BMT dengan meminta keterangan pada Pengelola (Direkur) dalam rapat pengurus. b) Setiap tiga bulan sekali DPS melakukan audit syariah, yang didahului dengan surat pemberitahuan kepada pengelola. Obyek yang akan diaudit terkadang disampaikan dalam surat pemberitahuan, sehingga pengelola dapat mempersiapkannya terlebih dahulu, namun terkadang juga tidak diberitahukan. Hasil audit menjadi opini yang disampaikan pada RAT. 2) Secara informal Dilakukan diluar mekanisme pengawasan secara formal, misalnya jika Pengawas menerima info-info/laporan dari pihak lain
mengenai hal-hal yang negatif tentang penerapan prinsip syariah di BMT, segera mengkroscekkan kepada pengelola mengenai kebenarannya. Dalam rangka mendukung kinerja pengawasan syariah dan pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab selaku DPS, maka BMT wajib memberikan fasilitas kepada DPS, antara lain: 1) Mengakses data dan informasi yang diperlukan terkait dengan pelaksanaan tugasnya, serta mengklarifikasikannya kepada pengelola BMT; 2) Memanggil dan meminta pertanggungjawaban dari segi syariah kepada pengelola BMT; 3) Memperoleh fasilitas yang memadai untuk melaksanakan tugas secara efektif; 4) DPS dapat memperoleh uang jasa yang ditetapkan dalam RAT. Selain hal tersebut di atas, BMT Bima juga memberikan kewenangan kepada DPS untuk menegur jika terjadi penyimpangan bahkan
menghentikan
kegiatan
jika
benar-benar
terbukti
menemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah atas kegiatan yang dilakukan oleh BMT Bima. Pengujian substantif materi syariah terhadap produk BMT Bima mengacu pada pedoman tugas, wewenang dan tanggung jawab BMT yang dikeluarkan oleh Asosiasi BMT di dasarkan pada akad yang digunakan pada produk yang bersangkutan.
1) Produk Penghimpunan Dana Anggota Pengujian substantif atas transaksi pembukaan simpanan dan investasi mudharabah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain sebagai berikut: a) Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh BMT kepada anggota, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan mudharabah telah dilakukan; b) Meneliti apakah pengisian formulir aplikasi simpanan dan investasi telah dilakukan secara lengkap sebagai salah satu persyaratan ijab qobul; c) Meneliti apakah akad simpanan dan investasi mudharabah telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002 tentang simpanan dan investasi; d) Meneliti
apakah
setoran
simpanan
dan
investasi
mudharabah telah menyebutkan jumlah nominal dan mata uang yang disetor secara jelas; e) Meneliti apakah dalam penawaran produk simpanan dan investasi,
BMT
tidak
menjanjikan
pemberian
ditetapkan dimuka dalam bentuk prosentase imbalan. 2) Produk Pembiayaan a) Murabahah
yang
Pengujian substantif atas transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain: (1) Memastikan barang
yang diperjual-belikan
tidak
diharamkan oleh syariah Islam; (2) Memastikan BMT menjual barang tersebut kepada anggota (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus marjin. Dalam hal anggota membiayai sebagian dari harga barang tersebut maka akan mengurangi tagihan BMT kepada anggota; (3) Meneliti apakah akad pembiayaan murabahah telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002 tentang murabahah; (4) Meneliti apakah akad wakalah telah dibuat oleh BMT secara terpisah dari akad murabahah, apabila BMT hendak mewakilkan kepada anggota untuk membeli barang tersebut dari pihak ketiga. Akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip-prinsip menjadi milik BMT yang dibuktikan dengan faktur atau kuitansi jual-beli yang dapat dipertanggungjawabkan; (5) Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah dilakukan setelah adanya permohonan anggota dan
perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada BMT. b) Ijarah Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip ijarah dilakukan dalam rangka memperoleh bukti guna mendukung opini syariah atas transaksi tersebut yang antara lain: (1) Meneliti penyaluran dana berdasarkan prinsip ijarah tidak dipergunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah; (2) Meneliti apakah akad pembiayaan ijarah telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002 tentang ijarah; (3) Memastikan bahwa akad pengalihan kepemilikan dalam Ijarah Muntahiya Bit Tamlik dilakukan setelah akad ijarah selesai, dan dalam akad ijarah, janji (wa‟ad) untuk pengalihan kepemilikan harus dilakukan pada saat berakhirnya akad ijarah; (4) Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip ijarah untuk multijasa menggunakan perjanjian sebagaimana diatur dalam fatwa yang berlaku tentang multijasa dan ketentuan lainnya antara lain ketentuan standar akad;
(5) Memastikan besar ujrah atau fee multijasa dengan menggunakan akad ijarah telah disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase. c) Wakalah Pengujian substantif atas jasa wakalah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain: (1) Meneliti apakah transaksi wakalah telah dilakukan sesuai dengan fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002; (2) Meneliti apakah objek wakalah tidak bertentangan dengan prinsip syariah; (3) Meneliti apakah para pihak yang melakukan akad wakalah telah memenuhi syarat dan rukun wakalah. (4) Meneliti apakah dalam penetapan fee atau ujroh yang dibebankan BMT kepada anggota (apabila ada) tidak mengacu pada suku bunga yang dikaitkan dengan beban pekerjaan yang diwakilkan oleh BMT kepada anggota. d) Qardh Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip qardh dilakukan dalam rangka memperoleh bukti guna mendukung opini syariah atas transaksi tersebut yang antara lain:
(1) Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip qardh tidak dipergunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah; (2) Meneliti apakah akad pembiayaan qardh telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI serta PAS 002 tentang qardh; (3) Memastikan
bahwa
BMT
telah
memberikan
kelonggaran waktu yang cukup kepada anggota untuk melunasi kewajibannya dalam hal anggota tersebut mengalami kesulitan keuangan akibat penurunan usaha (business losses); (4) Memastikan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan qardh dalam rangka dana talangan anggota adalah berasal dari modal BMT. Tujuan pengawasan syariah yang menjadi tugas DPS BMT Bima didasarkan pada tiap produk BMT Bima, antara lain sebagai berikut: 1) Produk Penghimpunan Dana Anggota Tujuan pengawasan syariah oleh DPS atas simpanan dan investasi serta modal penyertaan dengan akad mudharabah adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa: a) Kegiatan produk simpanan dan investasi serta modal penyertaan telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
b) Dalam pemberian bonus tidak boleh: (1) Diperjanjikan di muka; (2) Berdasarkan pendapatan BMT yang belum diterima (accrual) tetapi harus berdasarkan pendapatan riil yang diterima BMT (cash basis); c) Dalam pemberian bagi hasil tidak boleh: (1) Berdasarkan pendapatan BMT yang diterima tetapi harus berdasarkan pendapatan riil yang diterima BMT (cash basis); (2) Merubah nisbah sebelum berakhirnya akad; d) Biaya pengelolaan simpanan mudharabah dan tabungan mudharabah menjadi beban BMT dan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya, dan tidak ada pembebanan biaya-biaya lain tanpa persetujuan anggota pemilik dana; e) Semua kegiatan yang terkait dengan pengelolaan simpanan investasi saham dan mudharabah, harus mengikuti ketentuan fatwa DSN-MUI dan PAS BMT 002. 2) Produk Pembiayaan a) Murabahah Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah adalah untuk mendapatkan keyakinan, bahwa:
(1) Kegiatan pembiayaan murobahah telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah; (2) Akad pembiayaan murobahah telah disusun dengan mengacu pada fatwa DSN-MUI yang berlaku tentang pembiayaan murobahah serta ketentuan PAS BMT 002; (3) Potongan tagihan murabahah (al-khashm fi al-murabahah) yang diberikan oleh BMT bukan dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan suku bunga kredit tetapi diberikan untuk anggota yang memenuhi kriteria: (a) telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu; (b) mengalami penurunan kemampuan pembayaran. b) Ijarah Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan berdasarkan prinsip ijarah, pada dasarnya sama dengan produk pembiayaan di atas. Ada tambahan item tujuan pengawasan untuk pembiayaan ijarah, penetapan ujrah atau fee tidak berdasarkan prosentase tertentu yang dikaitkan dengan jumlah nominal pembiayaan yang diberikan. c) Wakalah Tujuan pengawasan syariah terhadap jasa wakalah adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
(1) Jasa wakalah yang diberikan telah sesuai dengan fatwa dari DSN-MUI dan PAS BMT 002; (2) Apabila terdapat fee maka dalam penetapan fee jasa wakalah tidak mengacu pada suku bunga yang dikaitkan dengan besarnya beban pekerjaan yang diwakilkan oleh BMT kepada anggota. d) Qardh Tujuan pengawasan syariah terhadap jasa Qardh adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa: (1) Jasa pinjaman Qardh yang diberikan telah sesuai dengan fatwa dari DSN-MUI dan PAS BMT 002; (2) Penetapan
besarnya
biaya
administrasi
sehubungan
dengan pemberian qardh, tidak boleh berdasarkan perhitungan prosentase dari jumlah dana qardh yang diberikan. Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Yusron selaku pengawas syariah, bahwa selama ini pengawasan syariah di BMT Bima berjalan dengan baik dan dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan tujuan menjaga agar tidak terjadi penyimpangan terhadap syariah yang dilakukan oleh BMT Bima. Pengawas syariah memeriksa kesesuaian syariah setiap akad yang telah dilakukan oleh BMT dan juga memeriksa proses transaksi pembuatan akad. Hal tersebut untuk memastikan bahwa tidak ada
satu akad pun yang dilakukan oleh BMT Bima yang bertentangan dengan syariah. Hasil pemeriksaan syariah tersebut dilaporkan pada RAT. 3. Hal-hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya efektifitas Kep.DSNMUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak A. Hadi Nasir selaku Direktur Utama BMT Bima pada hari Senin tanggal 26 Juli 2011 pukul 09.00 WIB dan Kamis 28 Februari 2011 pukul 09.30 WIB, diperoleh data bahwa efektivitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang mengalami hambatan secara teknis, sebab belum sesuai dengan Keputusan DSN-MUI No 3 Tahun 2011 tentang tata cara penetapan anggota DPS. Hal tersebut dibuktikan BMT Bima hanya memiliki 1 Dewan Pengawas Syariah dan DPS BMT Bima belum memiliki surat/sertifikasi dari DSN mengenai kelayakan sebagai Dewan Pengawas Syariah.
BAB IV ANALISIS
A. Efektifitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil ( BMT) Bima Magelang 1. Kedudukan Pengawas Syariah BMT Bima Menurut penulis berdasarkan dari data-data hasil penelitian menunjukkan bahwa BMT Bima sebagai lembaga keuangan syariah telah menempatkan DPS pada kedudukan yang penting sebagai pengawas yang memiliki peran untuk menjaga dan mengawasi agar BMT Bima senantiasa berada pada rel prinsip-prinsip syariah. Penempatan kedudukan DPS yang penting ini bisa dilihat BMT Bima
telah memiliki DPS sejak awal
terbentuknya.”Sejak awal terbentuk BMT Bima sudah memiliki DPS.”, kata Bapak A. Hadi Nasir (wawancara penulis pada hari Senin 26/07/2011 pukul 09.00 WIB). Oleh karena pentingnya DPS dalam menjaga penegakkan prinsiprinsip syariah di BMT, maka DPS BMT Bima diberikan kewenangan untuk menegur jika terjadi penyimpangan bahkan menghentikan kegiatan jika benar-benar terbukti menemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah atas kegiatan yang dilakukan oleh BMT Bima. Sehingga label lembaga keuangan syariah bukan sebagai kedok untuk kepentingan bisnis semata, tapi kesungguhan untuk menjalankan prinsip ekonomi islam.
Menurut penulis kehadiran BMT dapat memberikan solusi bagi masyarakat ekonomi mikro untuk mendapatkan dana dengan mudah dan cepat, terhindar dari jerat rentenir, dan mengacu pada prinsip syariah. Namun demikian terdapat pula BMT yang perlu diwaspadai masyarakat, yang hanya sebagai kedok penipuan dengan menggunakan label BMT sebagai lembaga keuangan syariah akan tetapi operasionalnya tidak dijalankan dengan prinsp-prinsip syariah bahkan hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan oleh oknum tertentu. Prinsip-prinsip syariah Islam yang menjadi dasar pengelolaan ekonomi syariah, sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang ditujukan agar pengelolaan ekonomi berjalan di rel kebenaran (ma'rufat) dan jauh dari sifat-sifat bathil (munkarat). Keberadaan Dewan Pengawas Syariah di setiap lembaga ekonomi syariah, tentu menjadi faktor penting untuk dapat terpelihara dan dijalankannya prinsip-prinsip syariah pada lembagalembaga tersebut. Pengembangan ekonomi syariah pun memiliki daya dukung yang memadai sebagaimana pesatnya pertumbuhan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini. Di sisi lain, atas dasar kesadaran umat Islam untuk mendapatkan rezeki dengan cara yang halal menjauhi riba dan larangan Allah lainnya, menjadikan lembaga ekonomi syariah kuat menghadapi badai krisis ekonomi, serta kebijakan politik ekonomi. Kesadaran bersyariah di bidang muamalah ditumbuh kembangkan dengan menanamkan keyakinan bahwa ketaatan pada syariat di bidang muamalah, khususnya bidang ekonomi,
merupakan perwujudan dari keimanan dan ibadah yang berpahala di sisi Allah SWT. Sebagaimana definisi ekonomi Islam menurut Gemala Dewi (2004), bahwa ”Bangunan perekonomian yang didirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”. Maksud dari istilah tersebut adalah cara-cara penyesuaian atau pemecahan masalah ekonomi yang dapat dicapai oleh para ahli dalam negara Islam, sebagai pelaksanaan dari prinsip-prinsip Al Qur‟an dan As Sunnah. Dalam pelaksanaan prinsip-prinsip ekonomi, atau pada bidang-bidang lain yang tidak
diputuskan
hukumnya
oleh
prinsip-prinsip
dasar,
maka
diperbolehkan menggunakan ijtihad untuk menemukan pendapat bagi pemecahan problem ekonomi menurut situasi dan kondisinya dengan petunjuk dari Al Qur‟an dan As Sunnah. Oleh karena hal tersebut di atas, menurut penulis keberadaan sebuah dewan syariah sangat penting bagi sebuah lembaga keuangan syariah, sebab pada saat ini ada sekian banyak permasalahan yang bersifat syubhat dan kompleks, sedangkan tsaqafah dan wawasan umat Islam di negeri ini umumnya sangat kurang. Sehingga dibutuhkan advisor (penasehat) dan supervisor (pengawas) yang terkait dalam masalah halal dan haram (hukum syar’i dan tidak syar’i). Kalau menemukan sekedar orang-orang yang punya semangat ke-Islaman atau pandai berceramah sehingga menarik pendengar, mungkin tidak terlalu sulit. Tetapi menemukan ulama yang mendalami detail-detail masalah dari sudut
pandang hukum Islam/syariah, tentu bukan hal yang sederhana. Sebab jumlah ulama yang ahli di bidang fiqh muamalah terlebih muamalah kontemporer itu sangat sedikit, sedangkan kebutuhan atas jasanya sedemikian banyak, dan dinamika aktifitas umat sehari-hari semakin cepat berkembang. Mengingat begitu besarnya peran dan tanggung jawab DPS berdasarkan Keputusan DSN-MUI No 3 Tahun 2000, maka seharusnya tidak semua orang boleh memainkan peran DPS. Ada syarat khusus yang selayaknya wajib dipenuhi agar seseorang bisa dipercaya sebagai DPS. Mengenai hal ini DSN-MUI dalam Keputusannya No. 03 tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah di Lembaga Keuangan Syariah, sebenarnya telah menetapkan syarat menjadi anggota DPS yaitu: 1) memiliki akhlak yang terpuji 2) harus punya kompetensi kepakaran di bidang syariah mu‟amalah serta pengetahuan di bidang ekonomi syariah 3) ada komitmen yang tinggi dalam dari DPS untuk mengembangkan ekonomi berdasarkan sistem syariah 4) kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan surat atau sertifikat yang dikeluarkan DSN. Namun dari hasil penelitian yang dilakukan penulis ternyata syarat yang terakhir tersebut belum bisa diberlakukan oleh semua lembaga keuangan mikro syariah, termasuk salah satunya di sini adalah BMT Bima.
”Tidak ada sertifikasi kelayakan dari DSN sebagai syarat menjadi DPS BMT Bima”, kata Bapak A. Hadi Nasir (wawancara penulis pada hari Senin 26/07/2011 pukul 09.00 WIB). Hal yang sama disampaikan Ibu Hesti, ”DPS BMT tidak diwajibkan harus memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN, yang diwajibkan adalah DPS BMT Pusat yang berada di Asosiasi” (Wawancara penulis pada hari Kamis 28/07/2011 pukul 10.30 WIB). Hal tersebut menurut penulis wajar karena tidak ada hubungan secara struktural antara DPS dengan DSN di BMT, selain itu dari DSN sendiri selama ini belum melakukan sosialisasi secara massif dan menyeluruh pada semua lembaga keuangan syariah terkait produk keputusan ataupun fatwa dari DSN untuk mendapatkan produk keputusan atau fatwa dari DSN, lembaga keuangan mikro syariah utamanya BMT harus aktif berusaha mencari sendiri. ”Bahkan untuk mendapatkan fatwafatwa akad yang dikeluarkan oleh DSN kami harus aktif mencari sendiri karena tidak ada sosialisasi”, kata Bapak A. Hadi Nasir (wawancara penulis pada hari Senin 26/07/2011). Bahkan dikatakan oleh Ketua Badan Pelaksana Harian DSN: ”BMT belum merupakan bagian pengawasan kami, dia di luar sistem. Tidak ada mekanisme pengawasan syari‟ah. Makanya, banyak yang terindikasi menyimpang. Kamis lalu (22 September 2007) ada Deklarasi Pegembangan Koperasi Syari‟ah se-JaBar, dihadiri Menteri Koperasi. Saya diundang berbicara. Saya katakan, koperasi syari‟ah ini belum ada regulasinya. Saya minta Menteri Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia mencoba memfalisitasinya, sehingga koperasi syari‟ah dan BMT ada regulasinya dan mekanisme pengawasan kesesuaiannya dengan syari‟ah.”
( dikutip dari wawancara wartawan Gatra dengan KH. Ma‟ruf Amin, 11 Okt 2007, www.gatra.com). Menurut penulis seharusnya Keputusan DSN MUI yang mengatur lembaga keuangan syariah dapat diberlakukan kepada semua lembaga keuangan syariah baik mikro maupun makro, sebab dalam aturan tersebut ditegaskan berlaku untuk lembaga keuangan syariah tidak disebutkan adanya pengecualian atau pengkhususan terhadap lembaga keuangan syariah tertentu. Akan tetapi ternyata tidak berlaku demikian dan belum ada tindakan dari DSN mengenai hal ini. Padahal lembaga keuangan mikro syariah khususnya BMT telah mengalami perkembangan yang cukup pesat yang seharusnya juga menjadi perhatian dari DSN-MUI, namun dalam prakteknya selama ini terkesan DSN-MUI lebih memperhatikan lembaga keuangan makro syariah khususnya bank syariah. Kurangnya perhatian DSN terhadap BMT menurut penulis bisa dikarenakan latar belakang terbentuknya DSN tidak lepas dari sejarah perbankan syariah, dimana keberadaan DPS pada bank syariah adalah keharusan yang telah diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 52/34/Kep/Dir untuk Bank Umum Syariah, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/Dir untuk Bank Pengkreditan Syariah, dan UU No. 10 tahun 1998. Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa persyaratan anggota Dewan Pengawas Syariah diatur dan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional, dan wajib mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional. Aturan-aturan tersebut yang menjadi landasan hukum dibentuknya Dewan Syariah Nasional melalui keputusan Majelis
Ulama Indonesia (Hery Murjianto, 2003: 50). Dari latar belakang tersebut dapat menjadi alasan sehingga DSN MUI lebih memperhatikan perbankan syariah, karena DSN-MUI mendapat kedudukan yang kuat secara yuridis untuk terlibat dalam sistem pengawasan syariah pada perbankan syariah. Sedangkan pada lembaga keuangan mikro syariah khususnya BMT, DSN-MUI tidak punya ikatan secara yuridis, sebab belum ada payung hukum yang dapat dijadikan legalitas bagi DSN untuk terlibat dalam sistem pengawasan syariah pada lembaga keuangan mikro syariah khususnya BMT. Bahkan badan hukum BMT pun tidak ada keseragaman, karena tidak adanya payung hukum yang mengatur badan hukum BMT. Terhadap BMT-BMT yang berbadan hukum koperasi termasuk BMT Bima yang menjadi obyek dalam penelitian ini, mendapat payung hukum dari Perundang-undangan koperasi, namun dari hasil penelitian belum ada satupun penegasan dalam Perundang-undangan koperasi suatu aturan yang berlaku bagi koperasi yang menggunakan prinsip-prinsip syariah mengenai keterlibatan DSN-MUI dalam sistem pengawasan syariah termasuk menentukan syarat anggota DPS. Sehingga syarat yang keempat untuk menjadi anggota DPS, yaitu sertifikasi kelayakan dari DSN bagi lembaga keuangan mikro syariah terutamanya BMT tergantung dari kebijakan lembaganya masing-masing. Sedangkan di BMT Bima syarat yang keempat ini tidak digunakan, sebab sangat sulit bahkan tidak ada ulama di Magelang yang memiliki sertifikasi dari DSN, walaupun Pengawas Syariah BMT Bima adalah seorang ulama
di Magelang yang tinggal di Muntilan namun juga tidak memiliki sertifikasi kelayakan sebagai DPS dari DSN. Oleh karena itu, untuk syarat keempat di BMT Bima cukup dengan pandangan kelayakan dari Rapat Anggota yang memandang calon mampu untuk menjadi DPS. Menurut
penulis mengenai syarat sertifikasi kelayakan, tidak
berarti jika tidak memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN maka DPS tidak memiliki kemampuan untuk menjadi DPS. Sebab bisa jadi DPS tidak mencari sertifikasi kelayakan padahal memiliki kemampuan, dikarenakan merasa tidak perlu untuk memiliki bukti kelayakan dengan sertifikasi, serta tidak ingin direpotkan dengan harus mengikuti ujian kelayakan yang membutuhkan waktu, biaya, pikiran, dan tenaga. Meski begitu menurut penulis adanya syarat sertifikasi juga penting, karena sertifikasi tersebut menjadi bukti secara normative sebelum menjalankan tugasnya bahwa calon DPS memiliki kelayakan, hal ini akan lebih memberikan kepercayaan dan keyakinan terhadap kemampuan DPS karena telah teruji kelayakannya oleh DSN. Selain itu juga dapat menambah kepercayaan dari masyarakat dengan adanya sertifikasi dari DSN-MUI, sebab umat Islam secara emosional memiliki ikatan dengan lembaga yang mewadahi ulamaulama Indonesia yaitu MUI, sedangkan DSN adalah bagian dari MUI. Berdasarkan hasil penelitian, dilihat dari kedudukannya DPS BMT Bima merupakan lembaga independen yang berfungsi melakukan pengawasan syariah terhadap BMT. Menurut penulis keberhasilan pelaksanaan tugas dan wewenang pengawasan syariah ini tergantung
kepada independesinya di dalam membuat suatu penilaian atau putusan yang dibutuhkan. Namun setidaknya independensinya diharapkan dapat dijamin karena DPS BMT Bima: 1) bukan staf manajemen/pengelola, sehingga tidak tunduk di bawah kekuasaan administrasi 2) dipilih oleh Rapat Anggota, termasuk honorariumnya ditentukan di sana 3) mempunyai mekanisme kerja dan tugas-tugas khusus seperti halnya badan pengawas lainnya. 2. Tingkat efektifivitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang. Hasil penelitian dan pembahasan tentang kedudukan DPS BMT Bima, menunjukkan bahwa DPS BMT Bima memiliki peran yang sangat penting
terhadap
pengawasan
aspek
syariah
agar
tidak
terjadi
penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah. Bahkan penempatan peran penting ini tidak didasarkan karena adanya aturan yuridis, atau aturan yang mewajibkan dan mengikat, akan tetapi penempatan peran penting DPS BMT Bima didasari kesadaran dan semangat untuk melaksanakan ekonomi syariah yang diwujudkan dalam aktivitas BMT Bima sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut penulis, kesadaran bersama tersebut dilandasi oleh aqidah yang kuat. Sebab dengan aqidah yang kuatlah yang dapat mendorong jiwa seseorang untuk melaksanakan tuntunan Al Qur‟an dan Sunnah Rosulullah SAW. Dorongan tersebut yang akan memunculkan niat dalam usaha
mengembangkan ekonomi islam dengan target mewujudkan baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur (masyarakat yang sejahtera dalam lindungan dan ampunan Allah SWT), dengan kata lain usaha yang dilakukan diniatkan ikhlas semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Niat ini lah yang akan memacu semangat dan mengoptimalkan usaha untuk meraih keberhasilan usaha ekonomi yang sedang dilakukan sehingga mendapat kesuksesan. Hal itu dapat terjadi jika adanya dorongan yang kuat di dalam jiwa sebagai pancaran dari nilai-nilai aqidah, maka suatu keharusan berusaha secara optimal untuk mewujudkan kesuksesan dan keuntungan sebesar-besarnya dari segala bentuk usaha ekonomi yang dilakukan, yaitu melalui aktifitas yang dilakukan secara tekun dan optimis serta dibarengi dengan kesabaran sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah dalam Al Qur‟an dan perintahkan serta dicontohkan oleh Rosulullah dalam Sunnahnya. Jika di lihat dari kedudukan dan tugasnya, setidaknya DPS BMT Bima dapat memainkan lima peran: 1) Sebagai supervisor, DPS menjadi pengawas langsung kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah, serta mengawasi implementasi fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dan PAS 002 pada operasional BMT. 2) Sebagai advisor, DPS memberi nasihat, pemikiran, saran, sekaligus sebagai konsultan agar dalam pengembangan produk dan jasa yang inovatif sesuai dengan prinsip-prinsip syariah..
3) Sebagai marketer DPS menjadi mitra strategis untuk peningkatan kualitas dan kuantitas BMT. DPS dengan kapasitas yang dimiliki sebagai ulama dapat membangun kemitraan lewat komunikasi masa, memberikan motivasi, penjelasan dan edukasi public kepada masyarakat terkait pentingnya bermuamalah sesuai dengan prinsipprinsip syariah. 4) Sebagai supporter, DPS memberi dukungan, motivasi, dan doa, agar pengelolaan BMT senantiasa berada rel prinsip-prinsip syariah sesuai dengan pedoman yang telah digariskan Al Qur‟andan As Sunnah . 5) Sebagai player atau pemain dan pelaku ekonomi syariah DPS terlibat sebagai anggota BMT yang bertujuan untuk melaksanakan dan menjaga prinsip-prinsip syariah. Dilihat dari kelima peran tersebut dapat menunjukkan bahwa DPS memiliki peran yang sangat penting, dimana kelima peran tersebut bertujuan untuk menjaga penegakkan dan penerapan prinsip-prinsip syariah khususnya dalam bermuamalah. Namun sebagaimana telah penulis jabarkan sebelumnya bahwa tidak ada hubungan secara yuridis antara DPS BMT dengan DSN, hal ini mengakibatkan belum diakomodasinya fungsi DPS BMT yang seharusnya menjadi mediator hubungan antara BMT dengan DSN terutama dalam setiap upaya pengembangan produk dan jasa yang perlu mendapatkan fatwa dari DSN, dan sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada BMT yang berkewajiban menyampaikan laporan
secara berkala dari hasil pengawasannya kepada DSN sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun. Menurut
penulis
meskipun
BMT
Bima
tidak
melakukan
penyimpangan, akan tetapi hal tersebut di atas yang menjadikan peluang penyimpangan praktik BMT terhadap fatwa DSN sangat terbuka, sebab pengawasan BMT tanpa induk. Salah satu tugas dan tanggung jawab DPS BMT adalah untuk menjaga dan mengawasi pelaksanaan fatwa DSN-MUI, namun tidak ada pengawasan dari DSN MUI terhadap pelaksanaan fatwafatwanya di BMT, dan tak ada laporan hasil dari pengawasan DPS BMT kepada DSN. Kondisi ini dapat berdampak negatif pada lemahnya pengawasan syariah di BMT. Bagi oknum yang tidak bertanggung jawab tentu saja kondisi ini sangat memudahkan bagi mereka untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah yang telah digariskan, karena kurangnya pengawasan. Terlebih lagi bagi BMT yang tidak memiliki DPS dikarenakan tidak ada kewajiban yuridis untuk memiliki DPS, maka peluang terjadinya penyimpangan akan lebih lebar terbuka. Sebagai pengawas syariah, fungsi DPS sesungguhnya sangat strategis dan mulia, karena menyangkut kepentingan seluruh umat Islam pengguna lembaga tersebut. Sebab salah satu yang membedakan antara koperasi syariah BMT dengan koperasi konvensional terletak pada adanya dewan pengawas syariah (DPS). Lembaga ini bertanggungjawab penuh atas konsistensi BMT dalam menjalankan prinsip-prinsip syariah. Karena
sistem syariah bukan semata-mata strategi guna meraih segmen pasar umat Islam yang jumlahnya besar, tetapi menjadi landasan ideologi yang sangat mendasar. Secara emosional umat Islam akan selalu berpedoman pada keberadaan pengawas syariah, karena dari sinilah kepercayaan pada BMT tersebut ditumbuhkan. Lembaga ini paling bertanggung jawab atas kebenaran praktik BMT dengan prinsip-prinsip syariah, namun karena permasalahan dasar hukum BMT yang tidak jelas mengatur peran DPS, maka peran penting ini tergantung dari tiap BMT memahami dan meletakkan peran DPS di BMT nya masing-masing, dan khusus BMT Bima Magelang berdasarkan data yang diperoleh dilihat dari kedudukan, tugas, wewenang dan tanggung jawabnya menunjukkan telah memahami dan menempatkan peran yang sangat penting bagi DPS dalam pengawasan aspek syariah di BMT Bima Magelang. 3.
Hal-hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya efektifitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang Menurut penulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan,
bahwa
selama
ini
Dewan
Pengawas
Syariah
telah
melaksanakan tugasnya melakukan pengawasan aspek syariah dengan baik. Pengawas syariah aktif melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya sesuai dengan aturan yang telah ditentukan dalam PAS 002 BMT. Pengawasan dilaksanakan baik secara formal maupun informal. Pengawasan dilakukan terhadap perencanaan, dan pelaksanaan produk BMT, serta
dilaksanakan terhadap setiap transaksi yang dilaksanakan oleh BMT meliputi proses transaksi, akad yang digunakan dan pelaksanaan dari akad dalam transaksi. Pengujian substantif materi syariah terhadap produk BMT Bima mengacu pada pedoman tugas, wewenang dan tanggung jawab BMT yang dikeluarkan oleh Asosiasi BMT di dasarkan pada akad yang digunakan pada tiap produk. Menurut penulis berdasarkan data-data hasil penelitian, pelaksanaan tugas pengawasan Dewan Pengawas Syariah BMT Bima selama ini telah dilakukan dengan baik, tidak lepas dari kesadaran akan tugas dan tanggung jawab dari pengawas syariah dan juga pengelola. Jika dijabarkan secara ringkas pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah tersebut adalah sebagai berikut : 1. Memberikan pedoman dan garis-garis besar syariah baik untuk penggalangan dana maupun untuk penyaluran (pembiayaan). 2. Memeriksa
proses
pembuatan
akad
dalam
transaksi
dan
pelaksanaannya agar tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 3. Mengadakan perbaikan dengan mengambil suatu tindakan, seandainya suatu produk yang telah atau sedang dijalankan dinilai bertentangan dengan syariah. 4. Memeriksa buku laporan tahunan dan atau memberikan pernyataan tentang kesesuaian syariah dari semua produk dan operasional. 5. Memberikan rekomendasi dalam bentuk opini terhadap permasalahan yang diajukan atau dihadapi pengelola dalam operasional BMT.
Pada hasil penelitian didapatkan data bahwa obyek yang akan diaudit oleh Pengawas Syariah terkadang disampaikan dalam surat pemberitahuan, namun terkadang juga tidak diberitahukan. Menurut penulis hal tersebut dapat memotivasi pengelola untuk profesional. Sebab dengan bekerja secara profesional, maka jika ada audit syariah yang tidak diberitahukan terlebih dahulu obyek yang akan di audit, pengelola tidak akan mengalami kesulitan karena semuanya telah dilaksanakan dengan baik dan pengelola akan senantiasa siap untuk menyediakan obyek yang akan diaudit secara mendadak. Dewan Pengawas Syariah BMT tidak hanya mengawasi aspek syariah yang dijalankan di BMT, tapi juga dalam melaksanakan tugasnya Pengawas syariah menggunakan tuntunan syariah. Hal ini bisa dilihat dari pengawasan secara formal, misalnya jika Pengawas menerima info-info/laporan dari pihak lain mengenai hal-hal yang negatif tentang penerapan prinsip syariah di BMT, segera mengkroscekkan kepada pengelola mengenai kebenarannya. Meskipun memiliki peran yang penting dan kewenangan yang cukup besar, yaitu menjatuhkan vonis menyimpang, namun DPS BMT Bima menggunakan kaidah tabayyun (mencari penjelasan). DPS BMT Bima tidak boleh semenamena dalam menjalankan tugas dan menggunakan kewenangannya, untuk itu DPS BMT Bima menggunakan prinsip hati-hati dalam melakukan penilaian. Pengawasan yang dilakukan oleh DPS BMT Bima sebagai lembaga yang berwenang (wilayatul riqabah) bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses kegiatan usaha pada BMT, dan memastikan bahwa seluruh
aktivitas keuangan serta penetapan strategi dan tujuan organisasi tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Sistem pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS BMT Bima mengacu pada prinsip-prinsip dasar pengawasan yang menjadi bagian dari ajaran Islam, yakni pertama jalbul mashalih atau upaya untuk menjaga dan memaksimalkan unsur kebaikan supaya dapat terjaga lima dasar resiko dalam kehidupan yakni resiko moral, resiko agama, resiko akal, resiko harta, resiko regenerasi dan resiko reputasi. Kedua dar'ul mafasid atau upaya untuk menghindarkan dari unsur-unsur yang dapat menimbulkan kerusakan baik moral maupun material, dan ketiga adalah sadduż żari'ah atau upaya untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya pelanggaran terhadap syariah dan peraturan-peraturan lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh, maka menurut penulis pengawasan yang dilaksanakan di BMT Bima untuk menjaga penerapan prinsip-prinsip syariah, telah dilaksanakan dengan pengawasan yang menyeluruh meliputi: a. riqabah musbaqah atau pengawasan prefentif yang dilakukan pada tahapan penyusunan berbagai produk dan penetapan strategi, b. riqabah lahiqah atau pengawasan operasional yang dilakukan untuk memastikan praktik bisnis seperti pelaksanaan kontrak pembiayaan atau sistem pemasarannya tidak menyimpang dari syariah, c. riqabah a'mal atau pengawasan pada aspek keuangan dan perilaku manajemen, d. riqabah żatiyah atau pengawasan berbasis moral pada aspek individu pengurus dan pengelola bisnis tersebut.
Dari sekian banyak sistem pengawasan, yang paling mendasar menurut penulis terletak pada riqabah żatiyah, karena dari sanalah pelaksanaan
atau
penyimpangan
terjadi.
Pengawasan
syariah
yang
dilaksanakan oleh kekuasaan umum dalam hal ini DPS tidak cukup untuk menjaga penerapan prinsip-prinsip syariah, karena tidak setiap saat DPS mengawasi. Namun pengawasan hati nurani yang telah terbina oleh keyakinan yang kuat akan adanya Allah SWT akan melahirkan sistem pengawasan yang lebih ketat dan aktif, karena keyakinan tersebut menimbulkan
keyakinan
yang
kuat
juga
terhadap
firman-Nya,
”....Sesungguhnya Allah selalu menjaga mengawasi kalian.” (Qur‟an surat an Nisaa‟ ayat 1). Kepercayaan akan pengawasan Allah tersebut akan menimbulkan pengawasan hati nurani yang dapat lebih mampu mencegah penyelewengan kegiatan ekonomi jika dibanding dengan pengawasan dari luar. Riqabah żatiyah ini akan mendorong para pelaku BMT memiliki basis moral yang positif, sehingga menumbuhkan motivasi pengawasan dari dalam, yang meskipun tidak diawasi oleh orang lain atau suatu badan yang berwenang, namun individu yang memiliki riqobah żatiyah tidak akan melakukan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah sekecil apapun, karena keyakinan yang kuat bahwa Allah tidak sedetik pun lepas dari mengawasinya, bahkan mengawasi apa yang ada di dalam hati. Sebagai contoh adalah pengelola baitul tamwil pada masa Rosulullah dan juga Khulafaur Rasyidin, pada masa itu baitul tamwil tidak memerlukan
adanya dewan pengawas sebab pengelola baitul tamwil pada masa itu memiliki riqobah żatiyah yang sangat kuat, sehingga tidak melakukan penyelewengan atau pelanggaran syariah dalam mengelola baitul tamwil. Bahkan mereka cenderung bertindak sangat hati-hati demi menghindari perbuatan-perbuatan yang akan dianggap menyeleweng dari syariah, karena takut terhadap pengawasan Allah. Oleh karena itu semua insan BMT sebagai pelaku bisnis syariah harus didorong agar memiki aqidah yang kuat, untuk mencapai kondisi tersebut manajemen dan budaya kerja di BMT harus mampu mendukung terciptanya spiritualitas/ruhiyah dan integritas /khuluqiyah pada masing-masing individu. Setiap individu BMT harus memiliki kesucian jiwa, kejernihan fitrah dan kesadaran akan pengawasan dari Allah. Dibutuhkan kejujuran untuk mampu bertindak sesuai dengan kata hati nuraninya, karena suara hati nurani menjadi pembisik kebenaran. Sedangkan kesadaran pengawasan dari Allah merupakan benteng paling kuat untuk menahan diri ketika para pelaku bisnis BMT mendapatkan peluang untuk melakukan pelanggaran, sementara manajemen atau pengawas tidak mampu mendeteksinya. Menurut penulis berdasarkan data hasil penelitian, bahwa hambatan yang dialami oleh Dewan Pengawas syariah adalah keterbatasan pengetahuan Dewan Pengawas Syariah dan juga pengelola mengenai fiqh muamalah dalam transaksi ekonomi modern dan solusi yang telah ditempuh oleh BMT Bima dalam mengatasi hambatan tersebut adalah dengan menggunakan fatwa DSN dan PAS 002 BMT sebagai pedoman dalam pembuatan dan pelaksanaan
transaksi. Meskipun BMT Bima tidak mendapatkan pengawasan dari DSN dan juga sebagai lembaga yang berbadan hukum koperasi tapi tidak mendapatkan pengawasan dari Dinas Koperasi, namun pengawasan syariah di BMT Bima dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tugas dan tanggung jawab pengawas syariah, serta BMT Bima tetap penggunaan fatwa DSN sebagai pedoman dalam pembuatan dan pemeriksaan kesesuaian akad dengan syariah. Menurut penulis, jika melihat dari syarat pengawas syariah di BMT Bima, hambatan ini bisa menjadi wajar terjadi dikarenakan pengawas syariah BMT Bima tidak memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN. Namun hal tersebut juga dapat dimaklumi dikarenakan keterbatasan ulama yang paham fiqh muamalah modern dan yang memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN, sedangkan jumlah lembaga-lembaga syariah di Indonesia semakin banyak jumlahnya, baik di sektor ekonomi mikro ataupun makro. Jumlah perkembangan lembaga syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah ulama Indonesia yang memiliki kapasitas pengetahuan fiqh muamalah modern, sehingga wajar jika sekarang masih banyak terdengar adanya lembaga keuangan syariah yang melakukan penyimpangan dari prinsip-prinsip syariah dikarenakan belum dikawal oleh Dewan pengawas syariah yang ’mumpuni’, yaitu selain karena keterbatasan ilmu juga karena ketidak optimalan serta kesadaran dari para pihak untuk bekerja sama dalam mewujudkan kesehatan aspek syariah di lembaga.
Menurut penulis pada aspek pengawasan syariah, sungguh tidak mudah untuk bertanggung jawab atas pengawasan syariah mengingat demikian kompleksnya
transaksi ekonomi
modern, terlebih dengan
perkembangan yang semakin cepat dan tingkat kebutuhan yang semakin meningkat dalam dunia ekonomi melahirkan transaksi ekonomi modern yang memunculkan produk-produk baru yang inovatif, yang bisa menjadi perdebatan mengenai hukum fiqhnya karena ketiadaan landasan dalil syari‟i yang jelas (perkara yang syubhat), sehingga setiap ulama bisa memiliki penafsiran yang berbeda terhadap hukumnya. Oleh sebab itu sebagaimana telah dibahas dalam sebelumnya pada kedudukan DPS BMT Bima, syarat untuk menjadi DPS seharusnya yang benar-benar layak, yang tidak hanya memiliki semangat keislaman yang tinggi atau pandai dalam ilmu-ilmu ibadah mahdha, tapi memiliki ilmu fiqh muamalah yang memadai. Syarat sertifikasi kelayakan dari DSN perlu menjadi pertimbangan bagi lembaga-lembaga keuangan syariah khususnya dalam hal ini adalah BMT untuk memilih DPS, karena dengan sertifikasi tersebut setidaknya memberikan jaminan bahwa calon DPS telah lulus uji kelayakan oleh DSN. Sehingga dalam melaksanakan tugas pengawasan tidak akan mengalami kesulitan keterbatasan ilmu yang dimiliki, serta dapat menambah kepercayaan dari masyarakat terhadap kompetensi DPS karena sudah memiliki sertifikasi dari DSN. Selain hal tersebut di atas, penting juga adanya rasa memiliki yang kuat dari pengelola, pengurus, dan pengawas syariah yang dapat mendorong
kepedulian untuk memelihara keberlangsungan hidup BMT sebagai sarana ibadah dan mengimplementasikan operasional BMT sesuai dengan syariah. Sehingga dalam hal pengawasan syariah antara pengelola, pengurus, dan pengawas syariah dapat saling bekerja sama untuk mewujudkan visi bersama BMT agar berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Efektifitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil ( BMT) Bima Magelang DSN-MUI dalam Keputusannya No. 03 tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah di Lembaga Keuangan Syariah, sebenarnya telah menetapkan syarat menjadi anggota DPS yaitu: 1) memiliki akhlak yang terpuji 2) harus punya kompetensi kepakaran di bidang syariah mu‟amalah serta pengetahuan di bidang ekonomi syariah 3) ada komitmen yang tinggi dalam dari DPS untuk mengembangakan ekonomi berdasarkan sistem syariah 4) kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan surat atau sertifikat yang dikeluarkan DSN. Ternyata syarat yang terakhir tersebut belum bisa diberlakukan oleh semua lembaga keuangan mikro syariah, termasuk salah satunya di sini adalah BMT Bima. ” Hal tersebut menurut penulis wajar karena tidak ada hubungan secara struktural antara DPS dengan DSN di BMT, selain itu dari DSN sendiri selama ini belum melakukan sosialisasi secara massif dan menyeluruh pada semua lembaga keuangan syariah terkait produk.
Lembaga keuangan mikro syariah khususnya BMT, DSN-MUI tidak punya ikatan secara yuridis, sebab belum ada payung hukum yang dapat dijadikan legalitas bagi DSN untuk terlibat dalam sistem pengawasan syariah pada lembaga keuangan mikro syariah khususnya BMT. Sehingga syarat yang keempat untuk menjadi anggota DPS, yaitu sertifikasi kelayakan dari DSN bagi lembaga keuangan mikro syariah terutamanya BMT tergantung dari kebijakan lembaganya masing-masing. Sedangkan di BMT Bima syarat yang keempat ini tidak digunakan, sebab sangat sulit bahkan tidak ada ulama di Magelang yang memiliki sertifikasi dari DSN, walaupun Pengawas Syariah BMT Bima adalah seorang ulama di Magelang yang tinggal di Muntilan namun juga tidak memiliki sertifikasi kelayakan sebagai DPS dari DSN. Oleh karena itu, untuk syarat keempat di BMT Bima cukup dengan pandangan kelayakan dari Rapat Anggota yang memandang calon mampu untuk menjadi DPS. 2. Tingkat efektifivitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang. Dari empat syarat penetapan anggota DPS BMT Bima telah memenuhi 4 syarat lainnya. Akan tetapi untuk fungsi DPS, DPS BMT Bima telah mampu melaksanakan sesuai dengan peraturan DSN-MUI. 3. Hal-hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya efektifitas Kep.DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 pada Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mâl Wa Tamwil (BMT) Bima Magelang
Hal-hal yang mempengaruhi tingkat efektifitasnya pelaksanan tersebut masih rendah karena Dewan Pengawas syariah memiliki keterbatasan pengetahuan Dewan Pengawas Syariah dan juga pengelola mengenai fiqh muamalah dalam transaksi ekonomi modern dan solusi yang telah ditempuh oleh BMT Bima sehingga belum mampu untuk memenuhi syarat untuk memiliki surat/sertifikasi mengenai kelayakan sebagai Dewan Pengawas Syariah dari DSN. Hal keterbatasan ulama yang paham fiqh muamalah modern dan yang memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN, sedangkan jumlah lembaga-lembaga syariah di Indonesia semakin banyak jumlahnya, baik di sektor ekonomi mikro ataupun makro.
B. Saran 1. Kepada pejuang-pejuang ekonomi mikro syariah pada umumnya dan BMT Bima Magelang khususnya agar terus berjuang mendorong pemerintah segera mengeluarkan peraturan yang dapat dijadikan payung hukum bagi lembaga ekonomi mikro syariah, khususnya BMT sehingga BMT memiliki payung hukum yang kuat dan badan hukum yang seragam. Dalam peraturan tersebut perlu di atur mengenai pelaksana pengawas syariah dan petunjuk pelaksanaan pengawasan, karena tugas pengawasan syariah adalah tugas yang sangat berat tanggung jawabnya, maka jangan hanya menimpakan beban tersebut kepada DPS, namun juga perlu keterlibatan dari DSN-MUI dan pemerintah.
2. Kepada DSN-MUI agar meningkatkan perannya dalam menjaga dan mengawasi
penerapan
prinsip-prinsip
syariah
dengan
melakukan
sosialisasi intensif terhadap keputusan dan fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan, baik kepada lembaga ekonomi syariah maupun pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders, agar secara sosiologis keputusan dan fatwa-fatwa tersebut dapat dipraktikkan dalam pergaulan ekonomi sehari-hari dan berlaku sebagai hukum kebiasaan (usage). Khusus mengenai masalah sertifikasi kelayakan sebagai syarat DPS, hendaknya DSN-MUI sebagai satu-satunya lembaga Islam yang legal mengeluarkan fatwa atau keputusan yang berlaku untuk umat Islam di Indonesia diharapkan tanggap dan proaktif menangkap kondisi ini dengan jalan mengatur dan menstandarkan anggota DPS BMT. 3. Kepada Lembaga-lembaga Keuangan syariah pada umumnya dan BMT Bima pada khususnya agar melakukan penguatan DPS dengan pengoptimalan fungsi pengawasan syariah dan memberikan pelatihanpelatihan
atau
beasiswa
pendidikan
kepada
DPS-DPSnya
untuk
peningkatan kafaah fiqh ekonominya. Sehingga harapan yang tinggi dari umat Islam akan kehadiran BMT dapat disikapi sebagai sebuah kesadaran baru untuk mengamalkan ajaran Islam secara kaffah serta agar kesadaran tersebut tidak dimanfaatkan oleh oknum yang menjual agama untuk kepentingan bisnis pribadi dan kelompoknya.
4. Kepada Lembaga-lembaga Keuangan Syariah pada umumnya dan BMT Bima Magelang pada khususnya agar mengadakan program rutin untuk memupuk ruhani para pengelola lembaga keuangan syariah, sehingga aqidah mereka kuat terjaga yang dapat memperkuat sistem pengawasan hati nurani (riqobah żatiyah) dan membantu pengawasan penerapan prinsip-prinsip syariah.