ANALISA DESKRIPTIF VARIASI KASUS FRAKTUR DI BANGSAL BETA RS PANTI WILASA DR. CIPTO SEMARANG TRIWULAN 1 TAHUN 2016
Disusun oleh :
ROSALIA INDRI HAPSARI LOLAN D22.2013.01324
PROGRAM STUDI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO SEMARANG
HALAMAN HAK CIPTA
©2016 Hak Cipta Karya Tulis Ilmiah Ada Pada Penulis
HAL PERSEMBAHAN Karya Tulis ini secara khusus saya persembahkan untuk ; Tuhan Yesus yang senantiasa selalu menyertai dan membantu saya, yang senantiasa menguatkan hati saya, yang selalu menjaga saya, sampai ini tugas akhir ada kata end.nyaa Buat Kedua orang tua saya yang selalu menyemangati saya, selalu menyadarkan saya, sampai harus marah-marah karena saya yang ngeyelan hahahah Buat tante gueeee, tante kriswiii yang selalu sabarrrrr ngandepin guee, yang gak pernah berhenti ngingetin soal deadline, yang selalu ngasih semangatt, yang sering banget ngorbanin waktunya demi gueee pokokknnyaaa mah tengkisss banyakkkk ntee, maap yaa nte sering nyusahin sama sering bikin marah hihihi Buat cuy2 guee ganis, nenes, amah, riris, pepi, yang selalu ada buat gue, yang selalu ngisi hari2 gue dengan penuh kekonyolan hhahahah tengkisss bangetttt Buatt temen2 sekelas guee kelompok 1 yang selalu nyemangatin satu sama lain, selalu kompak yee, suksess buat kalian semuaa, dan jangan lupa yaaa kita pernah ngekek bareng2 jadi kalo ketemu dijalan jangan jadi kayak mantan pacar yaa, pas papasan berasa gak kenal hahaahah Buat bapak ibu kakak adek mas mbak karyawan RS Panti Wilasa dr Cipto yang selalu nyemangati, yang selalu ngajak jalan ngabisin duit pas lagi frustasi hahahhah makasihhh bangettttt Terimaaa kasihhlahh kalian semua yang selalu bantuin guee hahahahaah Cintaaa kaliaannnnn say2kuuuu
RIWAYAT HIDUP Nama
: Rosalia Indri Hapsari Lolan
Tempat, Tanggal Lahir
: Larantuka, 7 April
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Khatolik
Riwayat Pendidikan 1. SDK Lebao Tengah 1, 2001 2. SMP Negeri 1 Larantuka 2007 3. SMA Negeri 1 Larantuka 2010 4. Diterima di Program Studi DIII Rekam Medis dan Informasi Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang tahun 2013
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul “Analisa Deskriptif Variasi Kasus Fraktur Di Bangsal Beta Di Rumah Sakit Panti Wilasa Dr.Cipto Semarang Triwulan I 2016“. Karya Tulis Ilmiah ini disusun guna sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Rekam Medis dan Informasi Kesehatan Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Penulis menyadari bahwa penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepadap ihak – pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Ucapan terima kasih ini berikan kepada : 1. Dr. Ir. Edi Noersasongko, M.Kom selaku Rektor Universitas Dian Nuswantoro Semarang 2. Dr. dr. Sri Andarini Indreswari, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang 3. Arif Kurniadi, M.Kom selaku Kaprodi DIII RMIK Universitas Dian Nuswantoro Semarang 4. Dr.
Daniel
Budi
Wibowo,
selakuDirektur
RS
PantiWilasa
dr.
Ciptosemarang 5. Kriswiharsi Kun Saptorini, M.Kes(Epid) selaku Dosen Pembimbing dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini
6. Segenap staf dan dosen program studi DIII RMIK Universitas Dian Nuswantoro Semarang 7. Segenap staf RS PantiWilasa dr. cipto Semarang Dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berharap pembaca dapat memberi kritik dan saran yang baik dan bersifat membangun.
Semarang, 29 Juli 2016
Penulis
Program Studi DIII Rekam Medis dan Informasi Kesehatan Fakultas Kesehatan Unversitas Dian Nuswantoro Semarang 2016 ABSTRAK ROSALIA INDRI HAPSARI LOLAN ANALISA DESKRIPTIF VARIASI KASUS FRAKTUR DI BANGSAL BETHA RS PANTI WILASA DR CIPTO SEMARANG TRIWULAN I TAHUN 2016 xvii + 62 hal + 18 tabel + 3 lampiran Rumah sakit merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan. Hasil survey menunjukkan pada tahun 2015, bangsal Betha adalah bangsal yang paling banyak pasiennya yaitu mencapai 3589 pasien. Hasil survey awal peneliti, pada 10 pasien BPJS yang mengalami fraktur menunjukkan bahwa 80% memiliki nilai klaim yang lebih rendah dari nilai tarif rumah sakit. Hal ini berarti rumah sakit mengalami kerugian. Besar kerugiannya mencapai Rp. 25.187.339. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa variasi kasus fraktur di bangsal Betha RS Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang triwulan I tahun 2016. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dan pendekatan cross sectional. Populasi dan sampel penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan kasus fraktur (BPJS dan non BPJS) yang dirawat di bangsal Betha pada triwulan I tahun 2016 sejumlah 117 pasien. Metode pengumpulan data adalah observasi laporan rekapitulasi rawat inap triwulan I tahun 2016, index penyakit dan dokumen rekam medis pasien serta wawancara dengan petugas Indeksing dan Koding, petugas INA CBG’s, dan Kepala rekam medis. Analisis data secara deskriptif. Selama bulan Januari – Maret 2016, jumlah pasien dengan kasus fraktur sebanyak 117 pasien, jumlah pasien BPJS dengan kasus fraktur sebanyak 21 pasien (17,94%). Pada pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis utama Fraktur Radius dan Fraktur Collis Sinistra masing-masing (14,3%). Pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis utama Fraktur Nasal (11,5%). Pada pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis sekunder anemia (9,5%). Pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis sekunder hipertensi (3,1%). Pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan jenis tindakan ORIF (33,3%). Pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan jenis tindakan ORIF (72,94%). Pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak memiliki lama dirawat 2 hari (47,6%). Pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak memiliki lama dirawat 3 hari (30,2%). Pasien BPJS dengan kasus fraktur dengan tingkat keparahan I (61,9%) lebih besar dibandingkan tingkat keparahan II (38,1%). Pasien BPJS dengan kasus fraktur, lebih banyak terjadi kerugian (85,7%). Besar kerugiannya mencapai Rp. 106.943.191. Disarankan perlu dibuat dan ditetapkan clinical pathway yang berlaku di RS Panti Wilasa Dr. Cipto sebagai pedoman dalam pelayanan, perlu dibentuk tim kendali mutu dan kendali biaya, perlu adanya sosialisasi tentang penulisan diagnosis maupun kode sebab luar.
Kata kunci Kepustakaan
: Fraktur, Variasi Kasus, Deskriptif : 15 buah (1994 – 2014)
The Diploma Program on Medical Records and Health Information Faculty of Health Dian Nuswantoro University Semarang 2016 ABSTRACT ROSALIA INDRI HAPSARI LOLAN DESCRIPTIVE ANALYSIS THE VARIATION OF FRACTURE CASES IN BETHA WARD IN PANTI WILASA DR CIPTO HOSPITAL SEMARANG AT THE FIRST QUARTER 2016 xvi + 62 pages + 18 tables + 3 appendix Hospital was an integral part of all health care system. The survey showed in 2015, the Betha ward has the most patients reach 3589 patients. The results of the initial survey, of 10 BPJS patients of fracture showed that 80% had value of claim lower than the value of hospital rates. This means the hospital suffered a loss. The losses reached Rp. 25,187,339. The purpose of this study was to analyze the variation of fracture cases in Betha wards of Panti Wilasa Dr. Cipto Hospital Semarang in the first quarter of 2016. This research was descriptive, and cross-sectional approach. Population and sample was patients with fractures (BPJS and non BPJS) that treated in Betha ward in the first quarter of 2016 of 117 patients. Data collection methods were observation of inpatient summary report at first quarter 2016, the disease index and medical records document and interviews with officers of Indexing and Coding, INA CBG's officer, and chief of medical record unit. Data analyzed descriptively. During January to March 2016, the number of patients with fractures were 117 patients, the number of BPJS patients with fractures as many as 21 patients (17.94%). BPJS patients with fractures most with principal diagnosis of Radius Fractures and Fracture Collis Sinistra respectively 14.3%. Non BPJS patients with fractures most with principal diagnosis of nasal fractures (11.5%). BPJS patients with fractures most with secondary diagnosis of anemia (9.5%). Non BPJS patients with fractures most with secondary diagnosis of hypertension (3.1%). BPJS patients with fractures most with ORIF (33.3%). Non BPJS patients with fractures most with ORIF (72.94%). BPJS patients with fractures most have length of stay for 2 days (47.6%). Non BPJS patients with fractures most have length of stay for 3 days (30.2%). BPJS patients with fractures at 1st severity level (61.9%) was higher than the 2nd severity level (38.1%). BPJS patients with fractures, get losses (85.7%). Large losses reached Rp. 106 943 191. Suggested that clinical pathways need to be created and assigned prevailing in Panti Wilasa Dr. Cipto Hospital as a guide in the service, created a team of quality control and cost control, socialization of diagnosis writing and external cause code. Keywords Bibliography
: Fractures, Case Variation, Descriptive : 15 buah (1994 – 2014)
DAFTAR ISI JuduL .................................................................................... i Hak Cipta .............................................................................. ii Persetujuan Laporan Tugas Akhir.......................................... iii Pengesahan Dewan Penguji.................................................. iv Pernyataan Keaslian ............................................................. v Pernyataan Persetujuan Publikasi ......................................... vi Halaman Persembahan ......................................................... vii Riwayat Hidup ....................................................................... viii Kata Pengantar...................................................................... ix Abstrak Indonesia .................................................................. xi Abstrak Inggris....................................................................... xii Daftar Isi ................................................................................ xiii Daftar Tabel........................................................................... xiv Daftar Singkatan.................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1 A. Latar Belakang........................................................... 1 B. Rumusan Masalah ..................................................... 3 C. Tujuan Penelitian ....................................................... 3 D. Manfaat Penelitian ..................................................... 5 E. Keaslian Penelitian..................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................... 10 BAB III METODE PENELITIAN............................................. 34 A. Kerangka Konsep....................................................... 34
B. Jenis Penelitian .......................................................... 34 C. Variabel Penelitian ..................................................... 35 D. Definisi Operasional ................................................... 35 E. Populasi Sampel ........................................................ 36 F. Pengumpulan Data .................................................... 36 G. Pengolahan Data ....................................................... 37 H. Analisa Data............................................................... 37 BAB IV HASIL PENELITIAN................................................. 38 A. Gambaran Umum RS................................................. 38 B. Jumlah Pasien Dengan Kasus Fraktur ....................... 45 C. Umur Pasien dengan Fraktur ..................................... 45 D. Diagnosa Utama ....................................................... 45 E. Diagnosa Sekunder.................................................... 47 F. Jenis Tindakan .......................................................... 48 G. Lama Dirawat............................................................. 48 H. Tingkat Keparahan Pada Pasien BPJS ...................... 49 I.
Perbandingan Tarif RS dengan Tarif Ina CbGs .......... 50
BAB V PEMBAHASAN ......................................................... 52 BAB VI SIMPULAN dan SARAN ....................................... A. Simpulan .................................................................... 61 B. Saran ......................................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.1
Keaslian Penelitian................................................................... 5
3.1
Defenisi Operasional ..............................................................35
4.1
Jumlah Pasien .......................................................................45
4.2
Diagnosa Utama.....................................................................45
4.3
Diagnosa Se...........................................................................47
4.4
Jenis Tindakan .......................................................................48
4.5
Lama Dirawat .........................................................................49
4.6
Tingkat Keparahan .................................................................49
4.7
Tarif INA CBG’s......................................................................50
4.8
Perbandingan Tarif INA CBG’s dengan Tarif RS ....................51
5.1
Kode Diagnosa dan External Cause.......................................54
5.2
Tabulasi Silang Diagnosa Sekunder dengan Lama Dirawat Pasien Non BPJS…………………………………………….......55
5.3
Tabulasi Silang Diagnosa Sekunder dengan Lama Dirawat Pasien BPJS…………………………………………………........56
5.4
Tabulasi Silang Tindakan dengan Lama Dirawat Pasien Non BPJS…………………………………………...….....57
5.5
Tabulasi Silang Tindakan dengan Lama Dirawat Pasien BPJS………………………………………...………….....57
5.6
Tabulasi Silang Tingkat Keparahan dengan Lama Dirawat
Pasien BPJS………………………………………...………….....58 5.7
Tabulasi Silang Tingkat Keparahan dengan Diagnosa Sekunder Pasien BPJS………………..…………………….....59
5.8
Tabulasi Silang Perbandingan Tarif dengan Tingkat Keparahan Pasien Non BPJS……………………………….....60
Daftar Singkatan
CHF
: Congestive Heart Failure
CKD
: Chronic Kidney Disease
HNP
: Hernia Nucleus Pulposus
IHD
: Ischaemic Heart Disease
INA CBGs
: Indonesia Case Base Groups
ORIF
: Open Reduction Internal Fixation
Daftar Singkatan
CHF
: Congestive Heart Failure
CKD
: Chronic Kidney Disease
HNP
: Hernia Nucleus Pulposus
IHD
: Ischaemic Heart Disease
INA CBGs
: Indonesia Case Base Groups
ORIF
: Open Reduction Internal Fixation
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Rumah sakit merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan. Sehingga pengembangan rumah sakit saat ini tentu saja tidak terlepas dari kebijakan pembangunan kesehatan yaitu harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 034/Birhup/1972 tentang perencanaan dan pemeliharaan rumah sakit, disebutkan bahwa guna menunjang terselenggaranya rencana induk yang baik, maka setiap rumah sakit diwajibkan untuk mempunyai dan merawat statistik yang terkini, dan membina medical record berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan [1]. Dalam
Permenkes
RI
No
269/MENKES/PER/III/2008
menyebutkan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana kesehatan[2]. Untuk itu setiap instalasi pemberi pelayanan kesehatan diharuskan untuk dapat mengelola rekam medis secara lebih lengkap dan akurat dalam hal isi dari rekam medis setiap pasien.[2] Berdasarkan survei awal yang dilakukan pada bulan April 2016 di RS Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang, pembagian pasien berdasarkan bangsal mulai ditetapkan setelah rumah sakit dinyatakan lulus Akreditasi Paripurna oleh KARS yaitu pada bulan Desember 2015. RS Panti Wilasa
Dr. Cipto Semarang memiliki 8 bangsal. Hasil survey menunjukkan pada tahun 2015, bangsal Betha adalah bangsal yang paling banyak pasiennya yaitu mencapai 3589 pasien. Bangsal Betha dikhususkan untuk menangani pasien dengan kasus bedah, seperti pasien dengan kasus tumor, fraktur, dan lainnya.
Data pasien di bangsal Bethadengan
diagnosa patah tulang (fraktur) sebanyak 39 pasien untuk bulan Januari 2016, 49 pasien untuk bulan Februari 2016, dan 52 pasien untuk bulan Maret 2016. Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus. Peningkatan kasus fraktur tidak terlepas dari tingginya angka kecelakaan akibat meningkatnya perkembangan teknologi di bidang transportasi.Sebagian besar kasus fraktur diakibatkan oleh kecelakaan dimana fraktur dapat menimbulkan beberapa komplikasi. Data dari Riset Kesehatan Dasar (2007), di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam ataupun tumpul. Dari 45.987 peristiwa kecelakaan yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam atau tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%).[3] Hasil survey awal peneliti, pada 10 pasien BPJS yang mengalami fraktur menunjukkan bahwa 80% memiliki nilai klaim yang lebih rendah dari nilai tarif rumah sakit. Hal ini berarti rumah sakit mengalami kerugian. Besar kerugiannya mencapai Rp. 25.187.339,-. Selain hal tersebut, hasil observasi terhadap lembaran anamnesa menunjukkan pencatatan data tentang penyebab terjadinya fraktur yang kurang lengkap sehingga tidak
dapat ditentukan kode sebab luar. Selama ini, data rekam medis hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pelaporan saja, juga tidak ada ketetapan mengenai penentuan kode sebab luar. Padahal menurut kegunaannya, rekam medis dapat dimanfaatkan untuk aspek riset, edukasi, dan epidemiologi
yaitu sebagai bahan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan, maupun sebagai bahan pengelolaan sumber daya yang dimiliki rumah sakit. Berdasarkan hasil survey dengan mengambil 10 pasien BPJS sebagai sampel dan 8 diantaranya mengalami kerugian, serta mengingat besarnya manfaat dari pengelolaan data rekam medis yang mana di lembar anamnesa masih banyak kekurangan yaitu sering sekali anamnesa pasien tidak tertulis, peneliti tertarik mendeskripsikan tentang variasi kasus fraktur, dimana nantinya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengelolaan rumah sakit yaitu dalam kaitannya dengan perencanaan sumber daya rumah sakit.
B. Rumusan Masalah Bagaimana analisa deskriptif variasi kasus fraktur di bangsal Betha RS Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang triwulan I tahun 2016?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menganalisa variasi kasus fraktur di bangsal Betha RS Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang triwulan I tahun 2016
2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi jumlah pasien dengan kasus fraktur yang di rawat inap di bangsal Betha RS Panti Wilasa Dr Cipto b. Mengidentifikasi diagnosa utama pasien dengan kasus fraktur yang di rawat inap di bangsal Betha RS Panti Wilasa Dr Cipto c. Mengidentifikasi diagnosa sekunder pasien dengan kasus fraktur yang di rawat inap di bangsal Betha RS Panti Wilasa Dr Cipto d. Mengidentifikasi jenis tindakan yang diberikan pasien dengan kasus fraktur yang di rawat inap di bangsal Betha RS Panti Wilasa Dr Cipto e. Mengidentifikasi lama dirawat pasien dengan kasus fraktur yang di rawat inap di bangsal Betha RS Panti Wilasa Dr Cipto f.
Mengidentifikasi tingkat keparahan pasien BPJS dengan kasus fraktur yang di rawat inap di bangsal Betha RS Panti Wilasa Dr Cipto
g. Membandingkan tarif RS dengan tarif INA CBGs pasien BPJS dengan kasus fraktur yang di rawat inap di bangsal Betha RS Panti Wilasa Dr Cipto h. Menganalisa
kasus
fraktur
menurut
diagnosa
utama,
diagnosa sekunder, jenistindakan, lama dirawat, tingkat keparahan dan tarif INA CBGs
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Rumah Sakit Sebagai bahan masukan bagi RS agar dapat memberikan pelayanan dan perencanaan tindakan yang lebih baik 2. Bagi Institusi Sebagai
bahan
refrensi
dan
informasi
kepentingan
pengembangan keilmuan rekam medis. 3. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan di bidang rekam medis dan informasi kesehatan khususnya variasi kasus fraktur.
E. Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No 1
Judul KTI Analisa Deskriptif TerhadapK asus Data Persalinan di Bangsal Obsgin pada Triwulan IV RS Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang
Nama Peneliti / Tahun Penelitian Dedy Arisandi / 2011
Lokasi Peneliti an RS Panti Wilasa Dr. Cipto
Variabel Penelitian Kasus Persalinan Tahun 2011, Umur Ibu, Diagnosa Utama Persalinan, Diagnosa Sekunder
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Metode Penelitian Observasi dengan Pendekatan Retrospektif
Prosentas e kasus obsgin dengan bekas Sectio Caesarea (14%), Ketuban Pecah Dini (13%), Partus Tak Maju (16%), Pre Eklampsi a Berat (10%), Induksi Gagal
2
Analisa Kualitatif dan Kuantitatif Dokumen Rekam Medis Rawat Inap Kasus Bedah Pada Tindakan Herniorrha py di RSUD Tugurejo Semarang pada Triwulan I Tahun 2014
Atika Rizky Rahmawa ti / 2014
RSUD Tugure jo Semar ang
Review Identifikasi, Review Autentifikas i, Review Pencatatan , Review Pelaporan, Tingkat Kelengkapa n Dan kekonsisten sian Penulisan Diagnosa, Deliquent Medical Record
Metode yang dilakukan adalah Observasi, dengan Pendekatan Cross Sectional.
3
Analisis Lama Perawatan
Clara Rahayuni ngtyas /
RSUD Tugure jo
Hari perawatn, jumlah
Metode yang digunakan adalah
(8%), dan Fetal Distress (10%) Dari 51 DRM yang diteliti Review Identitikas i sebanyak 31 DRM lengkap dan 20 DRM tidak lengkap. Review Autentifik asi 6 DRM lengkap dan 45 DRM tidak lengkap, Review Pencatata n sebanyak 8 DRM baik dan 43 DRM tidak baik, Review Pelapora n sebanyak 5 DRM lengkap dan 46 DRM tidak lengkap, Deliquent Medical Record sebanyak 48 DRM tidak lengkap Dari 71 pasien herniaing
4
dan Epidemiolo gi Kasus Hernia Inguinalis Pasien BPJS di RSUD Tugurejo Semarang Tahun 2014
2015
Analisa Deskriptif Lama Perawatan (LOS) Pasien RI Jamkesma s pada Kasus Benigna Hyperplasi a Prostate
Kartika Sakti 2013
/
Semar ang
pasien keluar hidup dan mati, clinical pathway, diagnosa utama, diagnosa sekunder, diagnosa komplikasi
metode observasi, dengan pendekatan cross sectional
RSI Sultan Agung Semar ang Tahun 2012
Hari perawatn, jumlah pasien keluar hidup dan mati, tingkat keparahan, diagnosa utama, diagnosa
Metode penelitian yang digunakan adalah Observasi
uinalis tahun 2014 terdapat 67,61% yang tidak sesuai (>3 hari), 32,39% sesuai (3 hari). Jenis kelamin prialah yang paling sering terjadi yaitu sebanyak 97,18% pada rentan usia 4564 tahun. Sehingga dapat disimpulk an bahwa lama perawata n dipengaru hi oleh jebis kelamin, usia, dan diagnosa sekunder dan komplikas i. Dari hasil penelitian diketahui sebanyak 50% dari 10 DRM yang diamati mempuny ai lama dirawat melebihi
sekunder.
(BPH) di RSI Sultan Agung Semarang
5
Analisis Lama Perawatan (LOS) pada Partus Secsio Caesaria (SC) Pasien RI Jamkesma s Berdasark an Lama Perawatan (LOS) Jamkesma s INACBGs
Sendika Nofitasari / 2012
RSI Sultan Agung Semar ang
Hari perawatn, jumlah pasien keluar hidup dan mati, tingkat keparahan, diagnosa utama, diagnosa sekunder, dan diagnosa komplikasi,
Metode penelitian yang digunakan adalah Observasi
standar INA CBGs. Dari hasil penelitin sebanyak 37 DRM pasin jamkesm as tahun 2012 Penderita BPH yang dirawat yang melebihi standar sebanyak 45,9% dengan tingkat keparaha n tertinggi yaitu tingkat keparaha n II (70,6%) dan tindakan medis tertinggi yaitu TURP sebanyak 53%. Dari hasil penelitan kasus sectio caesaria tahun 2010 sebanyak 40,62% dari 160 pasien jamkesm as mempuny ai LOS melebih standar dengan tingkat
Tahun 2010 di RSI Sultan Agung Semarang
keparaha n INA CBGs tingkat I dan II sebanyak 97,50%.
Perbedaan penelitian ini dan penelitian sebelumnya terletak pada lokasi yaitu bangsal yang diteliti penulis sebelumnya adalah bangsal Kandungan (Obgyn) sedangkan penelitian ini meneliti di bangsal bedah yaitu bangsal Betha RS Panti Wilasa Dr Cipto. Waktu penelitian dari penelitian sebelumnya dilakukan dari tahun 2011-2015 dan penelitian ini dilakukan dengan ,mengambil data tahun 2016.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumah Sakit 1. Pengertian Rumah Sakit Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Menurut World Health Organizationrumah sakit adalah suatu bagian dari organisasi medis dan sosial yang mempunyai fungsi untuk memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat, baik kuratif maupun preventif pelayanan keluarnya menjangkau keluarga dan lingkungan rumah. Menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia No. 340/MENKES/PER/III/2010, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.[4] Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, dinyatakan bahwa “Rumah sakit
merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan”.[5] 2. Tujuan Rumah Sakit Menurut Undang-undang No 44 tahun 2009 tujuan rumah sakit adalah sebagai berikut : a. Mempermudah
akses
masyarakat
untuk
mendapatkan
pelayanan kesehatan b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan SDM di rumah sakit c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, SDM rumah sakit. 3. Klasifikasi Rumah Sakit di Indonesia Menurut Azrul Azwar (2010), Rumah Sakit Umum pemerintah diklasifikasikan menjadi : a. Rumah Sakit Umum kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas b. Rumah Sakit Umum kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan subspesialis terbatas
kedokteran
spesialis luas
dan
c. Rumah Sakit Umum kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan spesialis terbatas d. Rumah Sakit Umum kelas D adalah rumah sakit yang bersifat transisi karena pada suatu saat akan ditingkatkan menjadi Rumah Sakit Kelas C e. Rumah Sakit Kelas E adalah rumah sakit khusus yang menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja.
B. Rekam Medis 1. Pengertian Rekam Medis Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/ MENKES/ PER/ III/ 2008 Bab II Pasal 2 bahwa rekam medis merupakan catatan berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.[6] Menurut Huffman EK, 1992 rekam medis adalah rekaman atau catatan mengenai siapa, apa, mengapa, bilamana pelayanan yang diberikan kepada pasien selama masa perawatan yang memuat pengetahuan mengenai pasien dan pelayanan yang diperolehnya
serta
memuat
informasi
yang
cukup
untuk
menemukenali (mengidentifikasi) pasien, membenarkan diagnosis dan pengobatan serta merekam hasilnya.[7]
2. Tujuan dan kegunaan rekam medis Tujuan rekam medis adalah untuk menunjang tercapainya tertib administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tanpa didukung suatu sistem pengelolaan rekam medis yang baik dan benar, mustahil tertib administrasi rumah sakit akan berhasil sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan tertib administrasi merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pelayanan kesehatan[8]. Kegunaan rekam medis dilihat dari berbagai aspek yang disingkat ALFRED. a. Aspek Administrasi Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai administrasi, karena isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan paramedis dalam mencapai tujuan pelayanan. b. Aspek Legal Rekam
medis
mempunyai
nilai
hukum
karena
isinya
menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum dalam rangka menegakkan hukum serta penyediaan bahan bukti untuk menegakkan keadilan. c. Aspek Finansial Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai keuangan karena rekam medis sebagai bahan untuk menetapkan biaya pembayaran pelayanan di rumah sakit. Tanpa adanya bukti
catatan tindakan pelayanan medis maka pembayaran tidak dapat dipertanggung jawabkan. d. Aspek Riset Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai penelitian, karena rekam medis mengandung data/ informasi yang dipergunakan sebagai
bahan
penelitian
dan
pengembangan
ilmu
pengetahuan dibidang kesehatan. e. Aspek Edukasi Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai penelitian, karena rumah sakit berisi data dan informasi tentang perkembangan kronologis kegiatan medis yang diberikan kepada pasien, yang berguna sebagai bahan pendidikan dan pengajaran. f.
Aspek Dokumentasi Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai dokumentasi, karena rekam medis menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasi dan dipakai sebagai bahan pertanggung jawaban serta laporan rumah sakit
C. INA CBGs 1. Pengertian INA CBGs INA-CBG merupakan sebuah singkatan dari Indonesia Case Base Groups yaitu sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim pada pemerintah. Menurut kepala Dinas kesehatan DKI Jakarta, Dien Emmawati, INA-CBG merupakan
sistem
pembayaran
dengan
sistem
"paket",
berdasarkan penyakit yang diderita pasien.KJS menerapkan sistem pembayaran ini untuk pelayanan baru kesehatan bagi warga Jakarta. Arti dari Case Base Groups (CBG) itu sendiri, adalah
cara
pembayaran
perawatan
pasien
berdasarkan
diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh untuk suatu kelompok diagnosis. Untuk lebih gamblang, sebuah contoh dipaparkan Dien. Misalnya, seorang pasien menderita demam berdarah. Dengan demikian, sistem INA-CBG sudah "menghitung" layanan apa saja yang akan diterima pasien tersebut, berikut pengobatannya, sampai dinyatakan sembuh. 2. Keunggulan INA CBGs Selain memudahkan perencanaan dan pengalokasian anggaran program JKN, sistem pembayaran ini juga memudahkan pihak rumah sakit dari segi perencanaan (planning), pengelolaan (management), pengukuran keluaran (output) dan pembandingan (benchmarking).
Penerapan
sistem
INA-CBG’s
juga
dapat
mendorong pihak rumah sakit untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan
secara
efektif,
efisien,
dan
sesuai
dengan
kompetensinya. 3. Sistem Pembayaran INA CBGs Tarif INA-CBG’s dalam program JKN berbasis pada data costing 137 RS Pemerintah dan RS Swasta serta data coding 6 juta kasus penyakit. Ada sejumlah aspek yang mempengaruhi
besaran biaya INA CBG’s, yaitu diagnosa utama, adanya diagnosa sekunder berupa penyerta (comorbidity) atau penyulit (complication), tingkat keparahan, bentuk intervensi, serta umur pasien. Tarif INA-CBG’s dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, yaitu suatu rangkaian perawatan pasien sampai selesai. Dengan pola INA-CBG’s, paket pembayaran sudah termasuk konsultasi dokter, pemeriksaan penunjang, seperti laboratorium, radiologi (rontgen) dll, obat Formularium Nasional (Fornas) maupun obat bukan Fornas, bahan dan alat medis habis pakai, akomodasi atau kamar perawatan, biaya lainnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien.
D. Patah Tulang (Fraktur) 1. Pengertian Fraktur Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma
atau
rudapaksa.
Fraktur
adalah
keadaan
dimana
hubungan kesatuan jaringan terputus. Fraktur adalah suatu patahan kontinuitas struktur tulang 2. Penyebab Fraktur Fraktur biasanya disebabkan oleh karena cedera atau trauma akibat kecelakaan, olahraga, ataupun jatuh. Fraktur juga dapat terjadi karena osteoporosis atau kerapuhan tulang.
Jenis-jenis fraktur antara lain : a. Fraktur Komplit Patah tulang dimana garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang. b. Fraktur tidak komplit Fraktur dimana garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang. c. Fraktur terbuka Patah tulang dengan luka pada pada kulit (merobek kulit) dan atau membran mukosa sampai patah tulang Fraktur terbuka memiliki tingkatan yaitu : 1) Grade I : fraktur terbuka dengan luka bersih kurang dari 1 cm 2) Grade II : fraktur dengan luka lebih luas namun tidak merusak jaringan sekitar 3) Grade III : Fraktur dengan kondisi luka mengalami kerusakan jaringan lunak dan terkontaminasi d. Fraktur tertutup Patah tulang yang tidak menyebabkan robekan pada kulit. e. Greenstick Retak tulang di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok. f.
Transversal Retak tulang sepanjang garis tengah tulang.
g. Oblik Retak tulang membentuk sudut dengan garis tengah tulang h. Spiral Retak tulang memuntir seputar batang tulang i.
Komunitif Retak tulang dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
j.
Depresi Retak tulang dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah)
k. Kompresi Retak tulang di mana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)\ l.
Patologik Retak tulang yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, paget, metastasis tulang, tumor)
m. Impaksi Retak tulang di mana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya. n. Avulsi Tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya 3. Manifestasi Klinis Nyeri biasanya merupakan gejala yang sangat nyata. Nyeri bisa sangat hebat dan biasanya makin lama makin memburuk. Jika tulang yang terkena patah tulang digerakkan akan terasa sangat
menyakitkan. Hanya dengan menyentuh bagian yang mengalami patah tulang dapat menimbulkan nyeri yang luar biasa. Perubahan dan gejala yang ditimbulkan akibat patah tulang atau fraktur adalah pergeseran fragmen tulang yang menyebabkan deformitas tulang, pemendekan tulang karena kontraksi otot yang melekat diatas
maupun
dibawah
bagian
yang
mengalami
fraktur,
ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya, pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit akibat trauma dan pendarahan. 4. Pemeriksaan Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang. Kadang perlu dilakukan CT scan atau MRI untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan. Jika tulang mulai membaik, foto rontgen juga digunakan untuk memantau penyembuhan 5. Pengobatan Dalam mengobati atau mengembalikan fungsi dan letak tulang yang mengalami pergeseran membutuhkan waktu yang cukup lama. Bagi pasien yang berusia lanjut waktu penyembuhan cukup lama dikarenakan perbedaan kondisi tulang yang kadang sudah mengalami
masa
osteoporosis.
Bagi
pasien
anak-anak
penyembuhan dilakukan kurang lebih 4 minggu. Pengobatan tidak hanya dengan dibantu oleh pengobatan dari luar tetapi pasienpun harus membantu pengobatan dari dalam seperti menjaga pola makan, beristirahat yang banyak, mendengarkan saran dokter dan
selalu berpikiran
positif.
Berikut adalah pengobatan
yang
dilakukan yang dapat mengembalikan fungsi tulang seperti semula, sebagai berikut : a. Reduksi
:
mengembalikan
fragmen
tulang
pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis 1) Reduksi Terbuka : Dengan pendekatan bedah. Seperti menggunakan alat dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, dll 2) Reduksi Tertutup : Dengan manipulasi dan traksi manual seperti menggunakan traksi (penarikan), bidai, gips b. Immobilisasi : Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksternal
dan
internal.
Mempertahankan
dan
mengembalikan fungsi status neurovaskuler selalu dipantau meliputi Perkiraan
peredaran
darah,
waktu
imobilisasi
nyeri, yang
perabaan,
gerakan.
dibutuhkan
untuk
penyatuan tulang yang mengalami retak tulang adalah kurang lebih 3 bulan tergantung dari regio mana yang mengalami retak tulang, serta nutrisi yang diberikan 6. Diagnosis Penulisan diagnosis fraktur didasarkan pada jenistulang yang patah (femur, tibia, dan sebagainya), lokalisasinya (proksimal, tengah, distal dan sebagainya), pola garis fraktur (simpel seperti transversal,oblik, kominutif, dan sebagainya) dan integritas kulit daerah tulang yang mengalami fraktur (tertutup atau terbuka).
Sebagai contoh: fraktur femur distal dengan garis fraktur transversal tertutup sinister. Untuk mencapai diagnosis tersebut, perlu diidentifikasi riwayat keluhan penderita dengan deskripsi yang jelas, mencakup biomekanisme trauma, lokasi dan derajat nyeri serta kondisi penderita sebelum kecelakaan seperti penyakit Hipertensi dan sebagainya. Pemeriksaan fisik pada penderita fraktur selalu dimulai dengan look, kemudian feel dan terakhir movement. Pada inspeksi (look) bagian lesi terlihat asimetri dari bentuk maupun posture, kebiruan, atau kerusakan kulit akibat trauma maupun edema (swelling) yang terlokalisir dan berakhir menjadi diffuse. Pada palpasi (feel)
terasa nyeri tekan
(tenderness) yang terlokalisir pada daerah fraktur, gerakan abnomal, krepitasi, dan deformitas. Perlu juga memeriksa gangguan sensibilitas dan temperature bagian distal lesi serta nadinya. Pemeriksaan gerakan (movement) dapat secara pasif dan aktif pada sendi terdekat dari fraktur perlu dikerjakan dengan teliti. Pemeriksaan sendi dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi perluasan fraktur ke sendi tersebut. Umumnya suspek fraktur dapat dibuat hanya dari riwayat dan pemeriksaan fisik. 7. Pemeriksaan Radiologi Untuk setiap penderita yang diperkirakan fraktur, pemeriksaan radiologis hanya sebagai konfirmasi/ diagnosis, rencana terapi dan kritik medicolegal pada tindakan pertama yang dilakukan terhadap penderita tersebut serta perkiraan prognosis nya. Oleh karena itu pada permintaan X-ray proyeksi dan daerah / ara yang
diminta harus jelas. Bahkan pemeriksaan yang lebih canggih seperti MRI, CT-scan dan lainnya perlu dipikirkan untuk informasi yang rinci terhadap penderita. 8. Terapi pada fraktur a. Terapi
konservatif
merupakan
penatalaksanaan
non
pembedahan agar immobilisasi pada patah tulang dapat terpenuhi. 1) Proteksi (tanpa reduksi atau immobilisasi). Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah. 2) Imobilisasi
degan
bidai
eksterna
(tanpa
reduksi).
Biasanya menggunakan plaster of paris (gips) atau dengan bermacam-macam bidai dari plastic atau metal. Metode
ini
digunakan
pada
fraktur
yang
perlu
dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan. 3) Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum dan local. Reposisi yang dilakukan melawan kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini. 4) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu berupa reduksi yang bertahap dan imobilisasi.
b. Terapi pembedahan. 1) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-Wire (kawat kirschner), misalnya pada fraktur jari. 2) Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF:Open Reduction
internal
Fixation).
Merupakan
tindakan
pembedahan dengan melakukan insisi pada derah fraktur, kemudian melakukan implant pins, screw, wires, rods, plates dan protesa pada tulang yang patah.
E. External Cause (Penyebab Luar) 1. Pengertian External merupakan
cause
klasifikasi
atau
penyebab
tambahan
yang
luar
dalam
ICD-10
mengklasifikasikan
kemungkinan kejadian lingkungan dan keadaan sebagai penyebab cedera, keracunan dan efek samping lainnya. Kode external cause (V01-Y89) harus digunakan sebagai kode primer kondisi tunggal dan tabulasi penyebab kematian (underlying cause) dan pada kondisi yang morbid yang dapat diklasifikasi ke bab XIX (injury, poisoning, and certain other consequences of external cause). Bila kondisi morbid diklasifikasi pada bab I-XVIII, kondisi morbid itu sendiri akan diberi kode sebagai penyebab kematian utama (underlying cause) dan jika diinginkan dapat digunakan kategori bab external cause sebagai kode tambahan. Pada kondisi cedera, keracunan atau akibat lain dari sebab ekternal harus
dicatat, hal ini penting untuk menggambarkan sifat kondisi dan keadaan yang menimbulkannya. 2. Manfaat Koding External Cause Manfaat kode external causes adalah untuk[9] : a. Melaporkan Rekapitulasi Laporan (RL4b) atau Data Keadaan Morbiditas Pasien Rawat Jalan Rumah Sakit Penyebab Kecelakaan dalam bentuk kode. b. Melaporkan Rekapitulasi Laporan (RL 3.2) Pelayanan Gawat Darurat. c. Membuat surat keterangan medis klaim asuransi kecelakaan. d. Sebagai penyebab kematian pada surat sertifikat kematian jika pasien kasus kecelakaan meninggal e. Indeks penyakit sebagai laporan internal rumah sakit 3. Kodefikasi External Cause a. Klasifikasi Kode External Cause Pada umumnya penyebab luar sebaiknya ditabulasi baik menurut Bab XIX dan Bab XX, pada kondisi ini, kode dari Bab XX harus digunakan untuk memberikan informasi tambahan untuk beberapa analisis kondisi[10]. Bab XX dibagi menjadi beberapa subbab, yaitu : 1) Transport Acciden
a. V01-V09
: Pejalan kaki terluka di kecelakaan transportasi
b. V10-V19
: Pengendara sepeda terluka di kecelakaan transportasi
c. V20-V29
: Pengendara motor terluka di kecelakaan transportasi
d. V30-V39
: Penumpang motor roda 3 terluka di kecelakaan transportasi
e. V40-V49
: Penumpang mobil terluka di kecelakaan transportasi
f. V50-V59
: Penumpang pick up, truk, atau van terluka di kecelakaan transportasi
g. V60-V69
: Penumpang kendaraan berat terluka di kecelakaan transportasi
h. V70-V79
: Penumpang bus terluka di kecelakaan transportasi
i.
V80-V89
: Kecelaan transportasi darat lainnya
j.
V90-V94
: Kecelakaan transportasi laut
k. V95-V97
: Kecelakaan transportasi udara
l.
: Kecelakaan transportasi lain tidak spesifik
V98-V99
2) W00-X59
: Penyebab ekstenal lainnya cedera disengaja
a. W00-W19
: Jatuh
b. W20-W49
: Paparan untuk mematikan kekuatan mekanik
c. W50-W64
: Paparan untuk menghidupkan kekuatan mekanik
d. W65-W74
: Melempar disengaja dan perendaman
e. W75-W84
:Kecelakaan lain untuk bernafas
f.
:Paparan arus listrik, radiasi, suhu dan tekanan
W85-W99
udara g. X00-X09
: Paparan asap dan kebakaran
h. X10-X19
: Kontak dengan zat panas
i.
X20-X29
: Kontak dengan racun binatang dan tumbuhan
j.
X30-X39
: Paparan kekuatan alam
k. X40-X49
: Disengaja keracunan oleh dan paparan zat berbahaya
l.
X50-X57
m. X58-X59
: Kelelahan, wisata, kemelaratan : Kecelakaan paparan faktor-faktor lain dan tidak ditentukan
n. X60-X84
: Sengaja menyakiti diri sendiri
o. X85-Y09
: Serangan
p. Y10-Y34
: Acara niat belum ditentukan
q. Y35-Y36
: Intervensi hukum dan operasi perang
r.
: Komplikasi perawatan medis dan bedah
Y40-Y84
s. Y40-Y59
: obat-obatan dan zat biologis menyebabkan efek samping pada perawatan
t.
Y60-Y69
:Kesialan pasien selama perawatan medis dan
bedah u. Y70-Y82
: Peralatan medis kaitan dengan dengan insiden yang merugikan di diagnosa dan terapi
v. Y83-Y84
: Prosedur medis bedah lainnya sebagai penyebab reaksi abnormal pasien, atau akhir-akhir komplikasi, tanpa menyebutkan kecelakaan pada saat prosedur
w. Y85-Y89
: Sisa gejala dari penyebab luar morbiditas dan mortalitas
x. Y90-Y98
: Faktor tambahan yang terkait dengan penyebab kesakitan dan kematian diklasifikasikan di tempat lain
b. Karakter Kode Tempat Kejadian Kategori berikut disediakan untuk digunakan untuk mengidentifikasikan tempat kejadian penyebab luar mana yang relevan sebagai karakter keempat pada kode external cause.[11] a. 0 : Tempat tinggal b. 1 : Tempat tinggal institusi c. 2 : Sekolah, fasilitas umum, rumah sakit, bioskop, tempat hiburan d. 3 : Tempat olah raga e. 4 : Jalan umum
f.
5 : Area perdagangan dan jasa
g. 6 : Industri dan konstruksi area h. 7 : Perkebunan i.
8 : Tempat yang spesifik lainnya
j.
9 : tempat tidak spesifik
c. Karakter Kode Aktivitas Kategori berikut disediakan untuk digunakan
untuk
menunjukan aktivitas orang yang terluka saat peristiwa itu terjadi sebagai karakter kelima kode external cause. [12] a. 0 : Sedang melakukan aktivitas olah raga b. 1 : Sedang melakukan aktivitas waktu luang c. 2 : Sedang melakukan aktivitas bekerja ( income ) d. 3 : Sedang melakukan aktivitas pekerjaan rumah e. 4 : Sedang istirahat, tidur, makan, atau aktivitas vital lainnya f.
8 : Sedang melakukan aktivitas spesifik lainnya
g. 9 : Sedang melakukan aktivitas tidak spesifik d. Kode Tambahan Kecelakaan Transportasi Kode tambahan kecelakaan transportasi digunakan sebagai karakter keempat untuk mengidentifikasikan korban kecelakaan dan penyebab kecelakaan, dimana kode tersebut digunakan untuk V01-V89 dan kode kelima yang digunakan
adalah kode tempat kejadian kecelakaan dan tidak perlu disertai kode aktivitas.[13] a. 0 : Pengemudi terluka dalam kecelakan bukan lalu lintas b. 1 : Penumpang terluka dalam kecelakan bukan lalu lintas c. 2 : Pengemudi terluka dalam kecelakan bukan lalu lintas tidak spesifik d. 3 : Seseorang terluka saat menumpang atau turun e. 4 : Pengemudi terluka dalam kecelakaan lalu lintas f.
5 : Penumpang terluka dalam kecelakaan lalu lintas
g. 9 : Pengemudi terluka dalam kecelakaan lalu lintas tidak spesifik 4. Langkah-langkah Koding External Cause a. Tentukan tipe pernyataan yang akan dikode, dan buka volume 3 Alphabetical Index (kamus). Bila pernyataan adalah istilah penyakit atau cedera atau kondisi lain yang terdapat pada Bab I-XIX dan XXI (Volume 1), gunakanlah sebagai “lead-term” untuk dimanfaatkan sebagai panduan menelusuri istilah yang dicari pada seksi I indeks (Volume 3). Bila pernyataan adalah penyebab luar (external cause) dari cedera ( bukan nama penyakit ) yang ada di Bab XX (Volume 1), lihat dan cari kodenya pada seksi II di Indeks (Volume 3).
b. Baca dengan seksama dan ikuti petunjuk catatan yang muncul di bawah istilah yang akan dipilih pada Volume 3. c. Lihat daftar tabulasi (Volume 1) untuk mencari nomor kode yang paling tepat. Lihat kode tiga karakter di indeks dengan tanda minus pada posisi keempat yang berarti bahwa isian untuk karakter keempat itu ada di dalam volume 1 dan merupakan posisi tambahan yang tidak ada dalam indeks (Volume 3). Perhatikan juga perintah untuk membubuhi kode tambahan (additional code) serta aturan cara penulisan dan pemanfaatannya dalam pengembangan indeks penyakit dan dalam sistem pelaporan morbiditas dan mortalitas. d. Ikut pedoman Inclusion dan Exclusion pada kode yang dipilih atau bagian bawah suatu bab (chapter), blok, kategori atau subkategori. Adapun proses kodefikasi external cause menggunakan ICD-10 sebagai berikut : a. Tentukan diagnosa external cause yang akan dikode. b. Jika external cause merupakan kecelakaan transportasi maka
buka ICD-10 volume 3 pada section II ( external causes of injur ) lihat Table of land transport accident. Bagian vertikal merupakan korban dan bagian horizontal merupakan jenis kendaraan yang menyebabkan kecelakaan.
c. Pertemuan bagian vertikal dan horizontal merupakan kode
external cause sampai karakter ketiga yang menjelaskan bagaimana kecelakaan terjadi. d. Pastikan kode pada buku ICD-10 Volume I (Tabular List)
untuk menentukan karakter keempat dan kelima dari kode external cause tersebut. e. Untuk cedera akibat bukan kecelakaan transportasi, maka
dicari tahu dulu apakah hal tersebut terjadi karena disengaja atau tidak. Jika disengaja maka buka ICD-10 volume 3 pada section II dengan leadterm “ assault “, kemudian cari lagi pada bagian bawah leadterm tindakan apa yang dialami korban hingga menyebabkan cidera. f.
Contoh kasus external cause lainnya dan digunakan untuk leadterm antara lain : 1) Jatuh ( Fall, falling from, falling on ) 2) Terpukul ( Strike, contact with ) 3) Gigitan ( Bite ) 4) Kebakaran ( Burn ) 5) Tercekik ( Choked ) 6) Tabrakan ( Collision ) 7) Terjepit,tergencet ( Crushed ) 8) Terpotong ( Cut, cutting ) 9) Tenggelam ( Drowning) 10) Bencanaalam(earthquake, flood, storm, dst) 11) Tertimbun ( earth falling (on) )
12) Ledakan ( explosion ) 13) Terpapar ( exposure, contact (to) ) 14) Gantungdiri, tergantung ( hanging (accidental)) 15) Suhupanas ( heat, hot) 16) Sengatan ( ignition (accidental)) 17) Insidentindakanmedis ( Incident, adverse,misadventure) 18) Terhisap ( Inhalation ) 19) Keracunan ( Intoxication, poisoning ) 20) Tertendang ( Kicked by ) 21) Terbunuh ( Killed, killing ) 22) Terpukul ( Knock down (accidentally)) 23) Terdorong ( pushed ) 24) Tertusuk ( piercing) 25) Radiasi ( radiation ) g. Pada kasus keracunan maka buka ICD-10 volume 3 pada
section III Table of Drugs and Chemical dengan melihat nama zatnya dan melihat keracunan disebabkan oleh apa : 1) Kolom accidental untuk keracunan yang tidak disengaja 2) Kolom Inventional self-harm untuk keracunan yang disengaja menyakiti diri sendiri 3) Kolom Undetermined Intent untuk keracunan yang belum ditentukan niatnya 4) Kolom Advere effect in therapeutic use untuk keracunan yang disebabkan pada saat perawatan terapi
h. Pastikan kode pada buku ICD-10 Volume I (Tabular List)
untuk menentukan karakter keempat dan kelima dari kode external cause tersebut. F. Kerangka Teori
Pasien di bangsal bedah
Diagnosa Utama
Non BPJS
Diagnosa Sekunder
BPJS
Jenis Tindakan IndeksPenyakit
Lama dirawat
Grouping INA CBG’s
Tingkat Keparahan Tarif INA CBG’s
Tarif RS
BAB III METODE PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
---
Diagnosa Utama
Jumlah Pasien Fraktur bangsal Betha=
Non BPJS
-------
Tarif RS
Diagnosa Sekunder JenisTindakan Lama Di rawat
BPJS
Grouping
Tingkat Keparahan Tarif INA CBG’s
B. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu masalah kesehatan yang terjadi dalam suatu populasi tertentu[4]. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dimana variabel penelitian diukur secara serentak dalam waktu yang bersamaan.
C. Variabel Penelitian 1. Jumlah pasien dengan kasus fraktur 2. Diagnosa utama 3. Diagnosa sekunder 4. Jenis Tindakan 5. Lama dirawat 6. Tingkat keparahan kasus pada pasien BPJS 7. Tarif RS dan tarif INA CBG’s pada pasien BPJS
D. Defenisi Operasional Table 3.1 Defenisi Operasional NO VARIABEL 1 Jumlah pasien dengan kasus fraktur
2
Diagnosa Utama
3
Diagnosa Sekunder
4
Jenis Tindakan
5
Lama dirawat
6
Tingkat Keparahan pada pasien BPJS
7
Tarif RS dan tarif INA CBG’s pada pasien
PENGERTIAN Banyaknya pasien yang didiagnosis mengalami frakturbaikpasien BPJS maupun non BPJS yang mendapatkan pelayanan rawat inap di bangsal Betha berdasarkan observasi pada indeks penyakitpadatriwulan I tahun 2016. Diagnosa akhir atau diagnosa final yang ditetapkan dokter pada akhir hari perawatan dengan kriteria paling banyak menggunakan sumber daya dan atau hari perawatan yang paling lama berdasarkan observasi pada lembar RM 1 dan resume medis. Diagnosa yang muncul atau sudah ada sebelum atau selama dirawat berdasarkan observasi pada pada lembar RM 1 dan resume medis. Tindakan yang dilakukan terhadap pasien yang berhubungan dengan diagnosa utama berdasarkan observasi pada lembar RM 1 dan resume medis. Lama waktu yang menunjukkan perawatan pasien dalam satuan hari yang dihitung dari tanggal keluar – tanggal masuk, berdasarkan observasi dari lembar RM 1 Derajat keparahan penyakit yang diderita pasien BPJS berdasarkan observasi pada hasil grouping INA CBG’s. Perbandingn tarif RS dan tarif pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan kepada rumah sakit atas
BPJS
paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokkan diagnosa penyakit dan prosedur berdasarkan hasil grouping INA CBG’s dan wawancara dengan petugas
E. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah pasien rawat inap baik BPJS dan Non BPJS dengan kasus fraktur yang dirawat di bangsal Betha selama triwulan I tahun 2016 sejumlah 117 pasien. Sampel penelitian ini adalah total populasi sejumlah 117 pasien.
F. Pengumpulan Data 1. Jenis dan Sumber Data a. Data Primer Data primer didapatkan dari hasil wawancara langsung terhadap petugas Indeksing dan Koding, petugas INA CBG’s, dan Kepala RM b. Data Sekunder Data sekunder didapatkan dari laporan rekapitulasi rawat inap triwulan I tahun 2016, index penyakit dan DRM pasien kasus fraktur yang dirawat dibangsal Betha. 2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara.
3. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini adalah pedoman wawancara dan pedoman observasi G. Pengolahan Data Teknik pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan : 1. Collecting Mengumpulkan data dalam penelitian ini dari bagian Indeksing dan Koding 2. Tabulation Menyusun tabel-tabel dari data yang telah dikumpulkan 3. Penyajian Data Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan diagram
H. Analisa Data Penelitian ini menggunakan analisa deskriptif yaitu mendeskripsikan variasi kasus fraktur triwulan I tahun 2016 dalam bentuk narasi.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Rumah Sakit 1. Sejarah Singkat Rumah Sakit Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto adalah sebuah rumah sakit umum kelas madya (C) yang merupakan salah satu unit kerja dari Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum (YAKKUM), yaitu sebuah yayasan kesehatan kristen yang berdiri sebagai hasil kerjasama antara Sinode Gereja Kristen Jawa dan Sinode Gereja Kristen Indonesia. Tahun 1948 muncul gagasan untuk mendirikan rumah sakit Kristen oleh pekerja Zending di Semarang yaitu Zr. N.G. de Jonge dan RH. Van Eyk. Kemudian dibentuk panitia pendiri Klinik Bersalin dengan ketua Ds. R. Soehardi Hadipranowo. Akhir
tahun 1950 ada 13 tempat tidur dan 18 orang
karyawan. Kedatangan Dr. G.J. Dreckmeier pada bulan Januari 1952 memperkuat tim Klinik Bersalin Pantiwilasa. Tahun
1959,
Dr.
J.
Bouma
Spesialis
Kebidanan/Kandungan datang dari Nederland. Tahun 1959, Dr. Oei Kiem Hien datang dari Sumba. Ibu J.T de Jong juga datang dari Nederland menjadi ibu asrama. Dr. A. Hoogerwerf datang dari Netherland menggantikan Dr. J. Bouma. Tahun 1967–1968 Dr.
Kwik Tjhiang Poen membantu RB. Panti Wilasa serta aktif dalam bidang KB. Tahun 1969–1973 Dr. B. Kandu memimpin RS Bersalin dan Anak Panti Wilasa. Tanggal 9 November 1969 dilaksanakan peletakan batu pertama kompleks Panti Wilasa baru yang berlokasi di Jalan Citarum 98 Semarang, oleh Bapak Walikota Dati II Kodya Semarang, dengan bantuan dana dari pemerintah Kerajaan Belanda. Tanggal 28 November 1973 Dr. Mangkureno Sadijo memimpin komplek +Panti Wilasa di Jl. Dr. Cipto 50 yang rencananya akan digunakan untuk Bagian Penyakit Dalam dan Bedah serta Balai Pengobatan Umum. Sedangkan di tahun yang sama, gedung baru di Jl. Citarum diresmikan sebagai RS Panti Wilasa I yang menangani Bagian Kebidanan/penyakit kandungan dan penyakit anak. Tanggal 1 November 1978 adalah pemisahan RS. Panti Wilasa di kompleks Jl. Dr. Cipto 50 menjadi Rumah Sakit Panti Wilasa II, sedangkan kompleks di Jl. Citarum menjadi Rumah Sakit Panti Wilasa I. Tahun 1985–1988 Dr. Guno Samekto, Direktur RS Bethesda Yogyakarta, ditetapkan sebagai pejabat Direktur di RS Panti Wilasa II. Tahun 1991 -1994 Jabatan Direktur dipegang oleh Dr. M. Haryanto. Tanggal 1 April 1994 tepat pada permulaan Pembangunan Jangka Panjang RS tahap II, dimulai pula pembangunan dan
renovasi RS Panti Wilasa “Dr. Cipto“ terjadi penggantian nama rumah sakit melalui SK Direktur Jendral Pelayanan Medik tanggal 29 Agustus 1995 No. : YM. 02.04.3.5.03831, nama RS Panti Wilasa II diubah nama menjadi RS Panti Wilasa Dr. Cipto, sedangkan nama RS Panti Wilasa I diubah nama menjadi RS Panti Wilasa Citarum. Pada tahun 1966 RS Panti Wilasa Dr. Cipto mendapat penghargaan Penampilan Terbaik Pertama Tingkat Nasional RSU Swasta setara kelas D. Di tahun yang sama jumlah tempat tidur ditingkatkan menjadi 100 tempat tidur sehingga meningkat dari RSU kelas pertama menjadi RSU kelas Madya. Akhir tahun 1998 memperoleh Sertifikat Akreditasi Penuh dari Kesehatan Republik Indonesia untuk 5 standar pelayanan. Pada awal tahun 1999 jumlah tempat tidur ditingkatkan secara bertahap menjadi 120 dan karyawan sebanyak 228 orang. Pada tahun 2000 jumlah tempat tidur bertambah menjaddi 125 buah. Pada bulan April 2001, RS Panti Wilasa Dr. Cipto mulai digunakan sesuai Rencana Induk Pemgembangan dengan pembangunan gedung 4 lantai yang akan digunakan untuk Ruang ICU dan Ruang VIP. September 2001, memperoleh Sertifikat Akreditasi Penuh Tingkat Lanjut 12 standar dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pada tanggal 19 Januari 2002, gedung 4 lantai untuk Ruang ICU/CCU/PICU/NICU, Ruang VIP dan aula diresmikan. Bertepatan dengan itu RS Pantiwilasa Dr. Cipto menerima
sertifikat Akreditasi Tingkat Lanjut 12 standar yang diserahkan oleh Dirjen Yanmed DepkesRI. Pada tanggal 28 Februari 2003, diresmikan Ruang Helsa dan Ruang Gamma (Gedung 2 lantai yang semula adalah Ruang Gamma). Dengan demikian jumlah tempat tidur menajdi 180 buah. Dengan dioperasionalkan lantai II ini, maka pelayanan Ruang Pasca bersalin bisa dipusatkan
di lantai I (Ruang Helsa).
Sedangkan pelayanan Ruang Anak menempati lantai II (Ruang Gamma). Pada bulan Maret 2003 mulai dibangun gedung IPAL (Instalansi Pengolahan Air Limbah) berlantai II yang telah selesai pada tanggal 31 Desember 2003. Uniknya, lantai dasar digunakan untuk parkir kendaraan roda 2, lantai II (atas) untuk “pot bunga raksasa“ sebagai indikator bagi IPAL tersebut. Akhir tahun 2003, Tim Akreditasi RS Panti Wilasa Dr. Cipto yang diketuai oleh Dr. Yoseph, M.Kes mulai mempersiapkan diri untuk akreditasi 16 standar yang rencananya akan maju pada pertengahan tahun 2004. 17 Januari 2004, dilakukan pelantikan dan serah terima jabatan Direktur dari Dr. Sri Kadarsih Soebroto, MM kepada Dr. Yoseph Candra M.Kes untuk periode 2004–2014. Tanggal 1 Februari 2014-sekarang dipimpin oleh Dr. Daniel Wibowo, M.Kes.
2. Visi, Misi, dan Motto Rumah Sakit Visi a. Rumah Sakit Bermutu Pilihan Masyarakat b. RS. Bermutu memberikan
Sebagai
rumah
pelayanan
sakit
kesehatan
yang
mampu
sesuai
standar
pelayanan medis, keperawatan dan penunjang secara professional untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. c. RS. Pilihan Masyarakat Sebagai rumah yang mampu menjadi rujukan masyarakat yang memiliki pelayanan berkualitas, penuh cinta kasih yang tulus, hangat dan bersahabat. Misi a. Meningkatkan nilai bagi stake holder b. Menciptakan pengalaman bagi pelanggan c. Meningkatkan sistem pelayanan d. Meningkatkan kualitas SDM e. Budaya cinta kasih dan bertanggung jawab sosial Motto Melayani Dengan Cinta Kasih Mengutamakan Kualitas Pelayanan 3. Jenis Pelayanan a. Instalasi Gawat Darurat b. Instalasi Rawat Jalan 1) Klinik Umum
2) Klinik Gigi 3) Klinik Spesialis a) Spesialis Penyakit Dalam b) Spesialis Jantung Pembuluh Darah c) Spesialis Bedah i.
Bedah Umum
ii.
Bedah Orthopedi
iii.
Bedah Tumor
iv.
Bedah Digestive
v.
Bedah Urologi
vi.
Bedah Mulut
d) Spesialis
Kebidanan
dan
Kandungan e) Spesialis Kesehatan Anak f)
Spesialis THT
g) Spesialis Mata h) Spesialis Kulit dan Kelamin i)
Spesialis Syaraf
j)
Spesialis Asma dan Paru
4) Klinik Ibu Hamil dan Anak Sehat (KIA) 5) Klinik Keluarga Berencana 6) Klinik Akupuntur/Terapi zona 7) Klinik Konsultasi Gigi 8) Klinik Rematik 9) Klinik Rehabilitasi Medik
Penyakit
c. Instalasi Rawat Inap a. Ruang Alpha b. Ruang Betha c. Ruang Gamma d. Ruang Etha e. Ruang Familia f.
Ruang Gracia
g. Ruang Helsa h. Perinatologi d. Unit Khusus a. Instalasi Bedah Sentral b. Instalasi Rawat Intensif c. Instalasi Rawat Bersalin d. Hemodialisa e. Instalasi Penunjang Medis a. Instalasi Farmasi b. Instalasi Laboratorium c. Instalasi Radiologi d. Instalasi Rehabilitasi Medis e. Rekam Medik f.
Sanitasi
B. Jumlah Pasien dengan Kasus Fraktur Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Jumlah Pasien dengan Kasus Fraktur Bulan
BPJS Jumlah
Januari Februari Maret Total
Non BPJS %
Jumlah
%
7 8 6
33,3 38,1 28,6
23 34 39
24,0 35,4 40,6
21
100,0
96
100,0
`117
Berdasarkan table 4.1, pasien dengan kasus fraktur pada triwulan I 2016, paling banyak adalah pasien non BPJS dibanding pasien BPJS.
C. Umur Pasien dengan Kasus Fraktur Data umur pasien dalam penelitian ini menunjukkan umur minimal 4 tahun dan maksimal 84 tahun, dengan rata-rata umur adalah 43 tahun dan paling banyak berusia 43 tahun.
D. Diagnosa Utama Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Diagnosa Utama Pasien dengan Kasus Fraktur BPJS Diagnosa Utama (Kode) Fraktur Calcaneus Post Orif Bilateral Fraktur Caput Humeri Fraktur Clavicula Sinistra Fraktur Collis Fraktur Collis Dextra Fraktur CollIs 1/3 Dextra Fraktur Collis Sinistra Fraktur Complete Radius Fraktur Costa IX Sinistra
Jumlah 0 1 2 0 0 0 3 1 1
Non BPJS % 0,0 4,8 9,5 0,0 0,0 0,0 14,3 4,8 4,8
Jumlah 1 2 0 2 1 1 2 0 0
% 1,0 2,1 0,0 2,1 1,0 1,0 2,1 0,0 0,0
Fraktur Cruris 1/3 Tengah Dextra Fraktur Digiti I Manus Sinistra Fraktur Distal Radius Dextra Fraktur Distal Radius Dextra Linier Fraktur Femur Fraktur Femur Sinistra Fraktur Femur Distal Dextra Fraktur Fibula Fraktur Fibula Sinistra Fraktur Incomplete radius Ulna Dista Fraktur Kompresi Vertebra Lumbal Fraktur La Maxilla La Fart III Fraktur Montegia Fraktur Kongrusi Vertebra Thorax Fraktur Nasal Fraktur Olecranon Fraktur Phalang Medial Digiti III Manus Fraktur Patela Fraktur Phalang Proximal Digiti III Pedis Dextra Fraktur Phalang Proximal Fraktur Radius Fraktur Radius Dextra Fraktur Radius Distal Fraktur Radius Ulna Fraktur Scapula Fraktur Tertutup Clavicula Fraktur Tertutup Costa Posterior Sinistra Fraktur Tertutup Antebrachi Dextra Fraktur Tertutup Elbow Dextra Fraktur Tertutup Humerus 1/3 Dextra Fraktur Tertutup Metatarsal 2,3 Pedis Dextra Fraktur Tertutup Fibula 1/3 Distal Sinistra Fraktur Tertutup Tibia Patela Fraktur Tertutup Ulna 1/3 Proximal Sinistra Fractur Terbuka Tibia Fraktur Terbuka Manus Fraktur Tibia Fraktur Tibia 1/3 Proximal Dextra Fraktur Tibia Fibula Frakur Costae 6,7 Lateral Fraktur Collum Femur Sinistra
Total
0 1 1 0 2 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1
0,0 4,8 4,8 0,0 9,5 0,0 0,0 4,8 0,0 4,8 0,0 0,0 4,8 4,8 0,0 0,0 0,0 0,0 4,8
1 0 2 1 5 2 1 1 3 0 1 1 0 0 11 1 1 3 0
1,0 0,0 2,1 1,0 5,2 2,1 1,0 1,0 3,1 0,0 1,0 1,0 0,0 0,0 11,5 1,0 1,0 3,1 0,0
0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 21
0,0 14,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 4,8 0,0 100,0
4 0 2 8 6 1 9 1 1 2 1 1 1 4 1 1 2 5 1 1 0 1 96
4,2 0,0 2,1 8,3 6,3 1,0 9,5 1,0 1,0 2,1 1,0 1,0 1,0 4,2 1,0 1,0 2,1 5,2 1,0 1,0 0,0 1,0 100,0
Berdasarkan table 4.2, berdasarkan diagnose utama, fraktur nasal merupakan diagnosis utama terbanyak. Pada pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis utama Fraktur Radius dan Fraktur Collis Sinistra masing-masing sebesar 14,3%. Sedangkan untuk pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis utama Fraktur Nasal sebesar 11,5%.
E. Diagnosa Sekunder Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Diagnosa Sekunder Pasien dengan Kasus Fraktur BPJS Diagnosa Sekunder (Kode) Anemia Hipertensi Disbetes Melitus HNP CHF IHD CKD Emphysema Sub Cutis Fraktur Multiple digit I-V Pedis sinistra Fraktur Fibula 2/3 Distal Dextra Fraktur Clavicula Fraktur tibia Depresi Volume Bradycardia Trauma Tumpul Abdomen Negleted Fraktur Medianus Palsy Dislokasi Tidak ada diagnose sekunder Total
Jumlah 2 0 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 12 21
Non BPJS % 9,5 0,0 4,8 0,0 4,8 0,0 4,8 4,8 0,0 0,0 0,0 4,8 4,8 0,0 0,0 4,8 0,0 57,1 100,0
Jumlah 2 3 2 1 2 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 2 78 96
% 2,1 3,1 2,1 1,0 2,1 1,0 0,0 0,0 1,0 1,0 1,0 0,0 0,0 1,0 1,0 0,0 2,1 81,3 100,0
Berdasarkan table 4.3 diagnose sekunder, sebagian besar kasus fraktur tidak terdapat diagnose sekunder. Pada pasien BPJS dengan kasus
fraktur paling banyak dengan diagnosis sekunder anemia sebesar 9,5%. Sedangkan untuk pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis sekunder hipertensi sebesar 3,1%.
F. Jenis Tindakan Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Jenis Tindakan Pasien dengan Kasus Fraktur BPJS
Non BPJS
Jenis tindakan
Jumlah
ORIF Reposisi Reposisi Tertutup Rekonstruksi Pasang Gips Repair Amputasi AFF Plate Angkat K-wire Pasang K-wire Tanpa tindakan
7 0 1 2 2 3 1 1 0 0 4
33,3 0,0 4,8 9,5 9,5 14,3 4,8 4,8 0,0 0,0 19,0
62 13 5 0 1 1 0 1 1 1 11
0,0 13,0 5,0 0,0 1,0 1,0 0,0 1,0 1,0 1,0 11,0
21
100,0
96
100,0
Total
%
Jumlah
%
Berdasarkan table 4.4 jenis tindakan, untuk pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan jenis tindakan ORIF sebesar 33,3%. Sedangkan untuk pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan jenis tindakan ORIF sebesar 72,94%.
G. Lama Dirawat Dalam penelitian ini, lama dirawat minimal adalah 1 hari yaitu pada pasien dengan diagnose utama Fraktur Radius dengan tindakan Rekonstruksi tanpa diagnose sekunder, dan maksimal lama dirawat
adalah 7 hari, dengan rata-rata lama dirawat 3,5 hari dan paling banyak dirawat selama 3 hari. Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Lama Dirawat Pasien dengan Kasus Fraktur
Lama Dirawat 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7 hari Total
BPJS Jumlah % 1 4,8 10 47,6 8 38,1 1 4,8 0 0,0 1 4,8 0 0,0 21 100,0
Non BPJS Jumlah % 0 0,0 21 21,9 29 30,2 20 20,8 17 17,7 3 3,1 6 6,3 96 100,0
Berdasarkan table 4.5 lama dirawat, untuk pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak memiliki lama dirawat 2 hari sebesar 47,6%. Sedangkan untuk pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak memiliki lama dirawat 3 hari sebesar 30,2%.
H. Tingkat Keparahan pada Pasien BPJS Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Keparahan Pasien BPJS dengan Kasus Fraktur Tingkat Keparahan Tingkat I Tingkat II Tingkat III Total
Jumlah 13 8 0 21
% 61,9 38,1 0,0 100,0
Berdasarkan table 4.6, pasien BPJS dengan kasus fraktur dengan tingkat keparahan I (61,9%) lebih besar dibandingkan tingkat keparahan II (38,1%).
I.
Perbandingan Tarif RS dan tarif INA CBG’s pada Pasien BPJS Dalam penelitian ini, pada pasien BPJS, nilai klaim yang didapat RS, paling tinggi adalah Rp. 15.671.500, sedang paling rendah sebesar Rp. 1.550.400, dengan rata-rata klaim sebesar Rp. 5.210.538 dan paling banyak sebesar Rp. 1.860.400.
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Perbandingan Tarif INA CBG’s dan Tarif RS pada Pasien BPJS dengan Kasus Fraktur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Total
No RM 3770xx 3111xx 4358xx 4376xx 4379xx 2731xx 4356xx 2997xx 4396xx 0494xx 2884xx 4310xx 4422xx 2715xx 1427xx 2365xx 2638xx 3598xx 1979xx 4125xx 4460xx
Biaya RS 15.926.221 4.173.002 7.295.598 2.029.230 6.750.136 1.211.154 8.571.327 11.843.711 4.292.557 7.860.270 7.174.628 30.478.740 12.166.408 11.201.165 1.510.585 15.325.857 5.357.046 7.633.642 7.490.576 33.425.688 14.643.850 216.361.391
Biaya klaim Keterangan 6.233.600 Rugi 4.282.400 Untung 3.473.400 Rugi 1.550.400 Rugi 4.054.700 Rugi 3.134.400 Untung 8.194.900 Rugi 7.272.500 Rugi 1.860.400 Rugi 2.170.500 Rugi 3.548.000 Rugi 15.671.500 Rugi 6.233.600 Rugi 10.590.300 Rugi 3.761.300 Untung 3.269.600 Rugi 1.860.400 Rugi 2.170.500 Rugi 5.197.700 Rugi 10.943.200 Rugi 3.944.900 Rugi 109.418.200
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Perbandingan Tarif Pasien BPJS dengan Kasus Fraktur Perbandingan tarif Untung Rugi Total
Jumlah 3 18 21
% 14,3 85,7 100,0
Berdasarkan table 4.8, pada triwulan I tahun 2016 untuk pasien BPJS dengan kasus fraktur, lebih
banyak terjadi kerugian (85,7%). Besar
kerugiannya mencapai Rp. 106.943.191.
BAB V PEMBAHASAN
J. Jumlah Pasien dengan Kasus Fraktur Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau rudapaksa. Fraktur biasanya disebabkan oleh karena cedera atau trauma akibat kecelakaan, olahraga, ataupun jatuh. Fraktur juga dapat terjadi karena osteoporosis atau kerapuhan tulang[]. Selama bulan Januari – Maret 2016, jumlah pasien dengan kasus fraktur sebanyak 117 pasien, namun sebagian besar adalah pasien non BPJS. Jumlah pasien BPJS dengan kasus fraktur sebanyak 21 pasien (17,94%). Berdasarkan data rekam medis yaitu pada lembaran amnesa, didapatkan bahwa pasien yang mengalami fraktur terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan kecelakaan kerja.
K. Diagnosa Utama Diagnosa akhir atau diagnosa final yang ditetapkan dokter pada akhir hari perawatan dengan kriteria paling banyak menggunakan sumber daya dan atau hari perawatan yang paling lama. Diagnosa utama dalam penelitian ini diperoleh dari data RM 1. Pada pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis utama Fraktur Radius dan Fraktur Collis Sinistra masing-masing sebesar 14,3%. Sedangkan untuk pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis utama Fraktur Nasal sebesar 11,5%.
Teori menyatakan bahwa penulisan diagnosis fraktur didasarkan pada jenis tulang
yang patah (femur, tibia, dan sebagainya),
lokalisasinya (proksimal, tengah, distal dan sebagainya), pola garis fraktur (simpel seperti transversal,oblik, kominutif, dan sebagainya) dan integritas kulit daerah tulang yang mengalami fraktur (tertutup atau terbuka ). Sebagai contoh: fraktur femur distal dengan garis fraktur transversal tertutup sinister. Dari hasil observasi menunjukkan bahwa diagnosis utama yang ditulis sudah secara lengkap memuat aspek jenis tulang yang patah. Sedangkan pola garis fraktur dan integritas kulit daerah tulang yang mengalami fraktur (tertutup atau terbuka ), tidak semuanya tertulis secara lengkap. Teori juga menyatakan perlunya membuat riwayat keluhan penderita dengan deskripsi
yang jelas, mencakup biomekanisme
trauma, lokasi dan derajat nyeri serta kondisi penderita sebelum kecelakaan seperti penyakit hipertensi dan sebagainya. Namun dari hasil observasi dijumpai riwayat terjadinya trauma/ fraktur tidak dituliskan secara rinci pada lembar anamnesa. Hanya beberapa dokumen penderita yang menuliskan secara lengkap mengenai penyebab terjadinya fraktur. Berikut merupakan penyebab terjadinya fraktur dalam lembar anamnesa : ∑
Jatuh menabrak mobil yang akan berbelok
∑
Kecelakaan lalu lintas
∑
Tertimpa besi saat kerja
∑
Jatuh dari motor
Teori menyatakan bahwa kejadian kecelakaan dikode dengan menggunakan kode sebab luar atau external cause. External cause atau penyebab luar dalam ICD-10 merupakan klasifikasi tambahan yang mengklasifikasikan kemungkinan kejadian lingkungan dan keadaan sebagai penyebab cedera, keracunan dan efek samping lainnya. Kode external cause (V01-Y89) harus digunakan sebagai kode primer kondisi tunggal dan tabulasi penyebab kematian (underlying cause) dan pada kondisi yang morbid yang dapat diklasifikasi ke bab XIX (injury, poisoning, and certain other consequences of external cause). Namun RS Panti Wilasa Dr. Cipto belum menerapkan pemberian kode sebab luar, padahal kode sebab luar dapat digunakan untuk melaporkan Rekapitulasi Laporan (RL4b) atau Data Keadaan Morbiditas Pasien Rawat Jalan Rumah Sakit Penyebab Kecelakaan.
No RM
Tabel 5.1 Kode Diagnosa Utama dan Kode External Cause Diagnosa Diagnosa Tindakan External utama Sekunder (Kode) Cause (Kode) (Kode) (Kode)
438940
Fraktur Tibia Fibula
--
--
V23.4
439361
Fraktur Terbuka Manus Fraktur Distal Radius Dextra Fraktur Phalang Medial Digiti III Manus Fraktur Radius Distal
--
Orif (79.33)
W20.0
Anemia (D64.9)
Orif (79.33)
V29.9
--
Orif (79.33)
W20.1
--
--
V29.9
299762
435480
299277
L. Diagnosa Sekunder Diagnosa yang muncul atau sudah ada sebelum atau selama dirawat. Diagnosis sekunder dapat merupakan ko-morbidtas, ataupun komplikasi. Ko-morbiditas adalah penyakit yang menyertai diagnosis utama atau kondisi pasien saat masuk membutuhkan pelayanan/ asuhan khusus setelah masuk dan selama dirawat. Komplikasi menunjukkan penyakit yang timbul dalam masa pengobatan dan memerlukan pelayanan tambahan sewaktu episode pelayanan, baik yang disebabkan oleh kondisi yang ada atau muncul akibat dari pelayanan yang diberikan kepada pasien. Dalam penelitian ini, lebih banyak yang tanpa diagnosis sekunder, baik pasien BPJS maupun non BPJS. Pasien dengan diagnosis sekunder untuk pasien BPJS paling banyak dengan diagnosis sekunder anemia sebesar 9,5%, sedangkan untuk pasien non BPJS paling banyak dengan diagnosis sekunder hipertensi sebesar 3,1%. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Tabulasi Silang Keberadaan Diagnosa Sekunder dengan Lama dirawat pada Pasien Non BPJS dengan Kasus Fraktur
Lama dirawat
>3 hari ≤3 hari Total
Diagnosa Sekunder Ada diagnosa Tanpa diagnosa Jumlah % Jumlah % 9 50,0 37 47,4 9 50,0 41 52,6 18 100,0 78 100,0
Berdasarkan table 5.1, persentase pasien non BPJS yang lama dirawatnya > 3 hari dengan diagnose sekunder (50%) lebih besar dibanding yang tanpa diagnose sekunder (47,4%).
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Tabulasi Silang Keberadaan Diagnosa Sekunder dengan Lama dirawat pada Pasien BPJS dengan Kasus Fraktur
Lama dirawat
>3 hari ≤3 hari Total
Diagnosa Sekunder Ada diagnosa Tanpa diagnosa Jumlah % Jumlah % 0 0,0 2 16,7 9 100,0 10 83,3 9 100,0 12 100,0
Namun untuk pasien BPJS memiliki kondisi yang berbeda. Persentase pasien BPJS yang lama dirawatnya > 3 hari dengan diagnose sekunder (0%) lebih kecil dibanding yang tanpa diagnose sekunder (16,7%). Hal ini menunjukkan bahwa RS sudah melakukan upaya k ontrol terhadap lama dirawat pasien dengan tujuan untuk menghndari kerugian karena lama dirawat yang lebih panjang.
M. Jenis Tindakan Tindakan yang dilakukan terhadap pasien yang berhubungan dengan diagnosa utama. Pada pasien BPJS maupun non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan jenis tindakan ORIF masing-masing sebesar 33,3% dan 72,94%. Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF/
Open
Reduction
internal
Fixation)
merupakan
tindakan
pembedahan dengan melakukan insisi pada derah fraktur, kemudian melakukan implant pins, screw, wires, rods, plates dan protesa pada tulang yang patah.
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Tabulasi Silang Keberadaan Tindakan dengan Lama dirawat pada Pasien Non BPJS dengan Kasus Fraktur
Lama dirawat
Keberadaan Tindakan Ada tindakan Tanpa tindakan Jumlah % Jumlah % 40 47,6 6 50,0 44 52,4 6 50,0 9 100,0 12 100,0
>3 hari ≤3 hari Total
Berdasarkan table 5.3, persentase pasien non BPJS yang lama dirawatnya > 3 hari dengan adanya tindakan (47,6%) lebih kecil dibanding yang tanpa tindakan (50,0%). Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Tabulasi Silang Keberadaan Tindakan dengan Lama dirawat pada Pasien BPJS dengan Kasus Fraktur
Lama dirawat
>3 hari ≤3 hari Total
Keberadaan Tindakan Ada tindakan Tanpa tindakan Jumlah % Jumlah % 2 11,8 0 0,0 15 88,2 4 100,0 9 100,0 12 100,0
Berdasarkan table 5.4, persentase pasien BPJS yang lama dirawatnya > 3 hari dengan adanya tindakan (11,8%) lebih besar dibanding yang tanpa tindakan (0,0%). Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa adanya tindakan dapat memperpanjang lama dirawat pasien.
N. Lama Dirawat
Lama dirawat adalah lama waktu yang menunjukkan perawatan pasien dalam satuan hari yang dihitung dari tanggal keluar – tanggal masuk. Pada pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak memiliki lama dirawat 2 hari sebesar 47,6%. Sedangkan untuk pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak memiliki lama dirawat 3 hari sebesar 30,2%.
O. Tingkat Keparahan Pasien BPJS dengan kasus fraktur dengan tingkat keparahan I (61,9%) lebih besar dibandingkan tingkat keparahan II (38,1%). Tingkat keparahan yang terletak pada sub-group keempat merupakan resource intensity level yang menunjukkan tingkat keparahan kasus yang dipengaruhi adanya komorbiditas ataupun komplikasi dalam masa perawatan. Keparahan kasus dalam INA-CBG terbagi menjadi 0 (rawat jalan), I (ringan), II (sedang), III (berat). Istilah ringan, sedang dan berat. Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Tabulasi Silang Tingkat Keparahan dengan Lama dirawat pada Pasien BPJS dengan Kasus Fraktur
Lama dirawat
>3 hari ≤3 hari Total
Tingkat Keparahan Tingkat I Tingkat II Jumlah % Jumlah % 0 0,0 2 25,0 13 100,0 6 75,0 21 100,0 21 100,0
Berdasarkan table 5.5, persentase pasien BPJS yang lama dirawatnya > 3 hari dengan tingkat keparahan II/ sedang (25,0%) lebih besar dibanding dengan tingkat keparahan I/ ringan (0,0%). Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa tingkat keparahan yang makin berat
dapat memperpanjang lama dirawat pasien. Tingkat keparahan (severity evel) dapat dipengaruhi oleh diagnosis sekunder (komplikasi dan komorbiditi). Dari hasil penelitian, dalam table 5.6 dibawah ini, persentase adanya diagnose sekunder pada pasien dengan tingkat keparahan II/ sedang (62,5%) lebih besar dibanding dengan tingkat keparahan I/ ringan (30,8%). Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Tabulasi Silang Tingkat Keparahan dengan Keberadaan Diagnosa Sekunder pada Pasien BPJS dengan Kasus Fraktur
Diagnosa Sekunder
Ada Tidak ada Total
Tingkat Keparahan Tingkat I Tingkat II Jumlah % Jumlah % 4 30,8 5 62,5 9 69,2 3 37,5 13 100,0 8 100,0
P. Tarif INA CBG’s Besaran pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan kepada rumah sakit atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokkan diagnosa penyakit dan prosedur. Tarif INA-CBG’s dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, yaitu suatu rangkaian perawatan pasien sampai selesai. Dengan pola INA-CBG’s, paket pembayaran sudah termasuk konsultasi dokter, pemeriksaan penunjang, seperti laboratorium, radiologi (rontgen) dll, obat Formularium Nasional (Fornas) maupun obat bukan Fornas, bahan dan alat medis habis pakai, akomodasi atau kamar perawatan,
biaya
kesehatan pasien.
lainnya
yang
berhubungan
dengan
pelayanan
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Tabulasi Silang Perbandingan Tarif dengan Tingkat Keparahan pada Pasien BPJS dengan Kasus Fraktur
Tingkat keparahan
I II Total
Perbandingan Tarif Rugi Untung Jumlah % Jumlah % 13 72,2 0 0,0 5 27,8 3 100,0 21 100,0 21 100,0
Berdasarkan table diatas, persentase pasien BPJS dengan tingkat keparahan I/ ringan yang mengalami kerugian (72,2%) lebih besar dibandingkan yang mengalami keuntungan (0,0%).
Pada
tingkat
keparahan II/ sedang yang mengalami untung (100,0%) lebih besar dibandingkan yang mengalami kerugian (27,8%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keparahan akan mempengaruhi nilai klaim BPJS.
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Selama bulan Januari – Maret 2016, jumlah pasien dengan kasus fraktur sebanyak 117 pasien, namun sebagian besar adalah pasien non BPJS. Jumlah pasien BPJS dengan kasus fraktur sebanyak 21 pasien (17,94%). 2. Pada pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis utama Fraktur Radius dan Fraktur Collis Sinistra masing-masing sebesar 14,3%. Sedangkan untuk pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis utama Fraktur Nasal sebesar 11,5%. 3. Pada pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis sekunder anemia sebesar 9,5%. Sedangkan untuk pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan diagnosis sekunder hipertensi sebesar 3,1%. 4. Pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan jenis tindakan ORIF sebesar 33,3%. Sedangkan untuk pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak dengan jenis tindakan ORIF sebesar 72,94%. 5. Pasien BPJS dengan kasus fraktur paling banyak memiliki lama dirawat 2 hari sebesar 47,6%. Sedangkan untuk pasien non BPJS dengan kasus fraktur paling banyak memiliki lama dirawat 3 hari sebesar 30,2%. 6. pasien BPJS dengan kasus fraktur dengan tingkat keparahan I (61,9%) lebih besar dibandingkan tingkat keparahan II (38,1%).
7. Pasien BPJS dengan kasus fraktur, lebih banyak terjadi kerugian (85,7%). Besar kerugiannya mencapai Rp. 106.943.191.
B. Saran 1. Perlu dibuat dan ditetapkan clinical pathway yang berlaku di RS Panti Wilasa Dr. Cipto sebagai pedoman dalam pelayanan dan disosialisasikan kepada bagian yang bertanggung jawab 2. Perlu dibentuk tim kendali mutu dan kendali biaya 3. Perlu disosialisasikan tentang pentingnya menuliskan anamnesa atau rangkaian kejadian kepada dokter atau tenaga medis yang bertanggung jawab agar saling mengingatkan 4. Perlu adanya sosialisasi mengenai pemberian kode sebab luar kepada koder
Daftar Pustaka 1. Depkes. Kepmenkes, No. 034/Birhup/1972 tentang Perencanaan dan Pemeliharaan Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI. 1972. 2. Depkes. Permenkes RI, No. 269/MenKes/Per/III/2008, Tentang Rekam Medis. Jakarta : Depkes RI. 2008 3. Mahasiwa, Unud. Bab I Pendahuluan. https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1002106015-2-BAB%20I.pdf. 2011 4. Soekidjo, Notoadmojo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. 2008 5. Huffman,
E.K.
Physicians
Record
Company.
Medical
Record
Management : Illiois. 1994. 6. Dedi, Arisandi. Analisa Deskriptif Terhadap Kasus Data Persalinan di Bangsal Obgyn. https://eprints.dinus.ac.id (diakses tanggal 15 Mei 2016). 2011. 7. Clara, Rahayuningtyas. Analisis Lama Perawatan dan Epidemiologi Kasus Hernia Inguinalis Pasien BPJS. https://eprints.dinus.ac.id (diakses tanggal 15 Mei 2016). 2015. 8. Kartika, Sakti. Analisa Deskriptif Lama Perawatan (LOS) Pasien RI Jamkesmas
pada
Kasus
Benigna
Hyperplasia
Prostate
(BPH).
https://eprints.dinus.ac.id (diakses tanggal 15 Mei 2016). 2013. 9. Sendika, Nofitasari. Analisis Lama Perawatan (LOS) pada Partus Secsio Caesaria (SC) Pasien RI Jamkesmas Berdasarkan Lama Perawatan (LOS) Jamkesmas INA-CBGs. https://eprints.dinus.ac.id (diakses tanggal 15 Mei 2016). 2012.
10. Atika, Rahmawaty. Analisa Kualitatif dan Kuantitatif Dokumen Rekam Medis
Rawat
Inap
Kasus
Bedah
Pada
Tindakan
Herniorrhapy.
https://eprints.dinus.ac.id (diakses tanggal 15 Mei 2016). 2014 11. Endang,
Tularsih.
Aspek
Hukum
Rekam
Medis.
http://endangtularsih.blogspot.co.id. 2013 12. Manuaba, IBG., IA. Chandranita Manuaba, dan IBG Fajar manuaba. Pengantar Kuliah Bedah. Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 2006. 13. Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. 14. Wibowo, Tunjung. Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan : Jakarta. 2010. 15. Satrianegara, M.Fais dan Sitti Saleha. Buku Ajar Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan serta Kebidanan. Salemba Medika: Jakarta. 2009.
LAMPIRAN
No
BPJS/Non
No RM
Umur
Diagnosa Utama
Diagnosa Sekunder
Tindakan
Lama Dirawat
Tarif INA CBGs
1
BPJS
311147
83
Fraktur Femur
Depresi Volume
--
3 hari
Rp 4,288,400
2
Non BPJS
437540
16
Fraktur Femur Distal Dextra
--
Orif
7 hari
--
3
BPJS
435880
37
Fraktur Clavicula Sinistra
--
AFF Plate Clavicula
2 hari
Rp 3,473,400
4
Non BPJS
389603
23
Fraktur Clavicula
--
2 hari
--
5 6
Non BPJS Non BPJS
350525 436718
24 64
Fraktur Tibia Fraktur tertutup Tibia Patela
---
AFF Plate Clavicula Orif Orif
3 hari 7 hari
---
7
Non BPJS
152361
44
Fraktur Tertutup Clavicula
--
Orif
3 hari
--
8
BPJS
437663
78
--
Pasang Gips
2 hari
Rp I,550,400
9
Non BPJS
437760
25
Fraktur Collis Sinistra Fraktur Tertutup Clavicula
--
Orif
4 hari
--
10
Non BPJS
437937
27
--
Orif
7 hari
--
Fraktur Tertutup Fibula 1/3 Distal Sinistra
11
BPJS
437924
19
Fraktur Phalang Proximal Digiti III Pedis Dextra
--
Orif
3 hari
Rp 4,054,700
12
Non BPJS
1014 50
62
Fraktur Tertutup Costa Posterior Sinistra
Diabetes Melitus
--
4 hari
--
13
Non BPJS
438975
75
Fraktur Kompresi Vertebra Lumbal II
Congestive Heart Failure
--
5 hari
--
14
BPJS
273116
84
Fraktur Costa IX Sinistra
Emphysema Subcutis
--
3 hari
Rp 3,134,400
15 16
Non BPJS Non BPJS
438850 330001
30 5
Fraktur Nasal Fraktur Tertutup Elbow Dextra
---
Reposisi Reposisi Tertutup
5 hari 3 hari
---
17
BPJS
435685
43
Fraktur Radius
Negleted Fraktur Medianus Palsy
Rekonstruksi
2 hari
Rp 8, 194,900
18
Non BPJS
438940
21
Fraktur Tibia Fibula
--
--
2 hari
--
19
Non BPJS
439202
18
Fraktur Tertutup Metatarsal 2,3 Pedis Dextra
--
--
2 hari
--
20
Non BPJS
439232
21
Fraktur Fibula Sinistra
--
Orif
4 hari
--
21
Non BPJS
439361
37
Fraktur Terbuka Manus
--
Orif
5 hari
--
22
Non BPJS
312914
12
Fraktur Cruris 1/3 Tengah Dextra
--
Orif
5 hari
--
23
BPJS
299762
59
Fraktur Distal Radius Dextra
Anemia
Orif
2 hari
Rp 7, 272,500
24
Non BPJS
304304
38
Fraktur Distal Radius Dextra
Dislokasi
Orif
2 hari
--
25 26
BPJS Non BPJS
439664 440486
14 23
Fraktur Radius Fraktur Distal Radius Dextra Linier
-Trauma Tumpul abdomen
Repair --
2 hari 2 hari
Rp 1,860,400 --
27 28
Non BPJS BPJS
409332 49493
27 17
---
-Rp 2,170,500
Non BPJS
435417
48
--
Orif Reposisi Tertutup --
4 hari 2 hari
29
Fraktur Olecranon Fraktur Caput Humeri Fraktur La Maxilla La Fart III
5 hari
--
30
Non BPJS
435480
28
Fraktur Phalang Medial Digiti III Manus
--
Orif
2 hari
--
31
Non BPJS
429486
69
Fraktur Caput Humeri
--
Reposisi
5 hari
--
32 33
BPJS Non BPJS
288482 428020
7 49
Fraktur Montegia Fraktur calcaneus Post Orif Bilateral
---
Orif Angkat K-wire
3 hari 2 hari
Rp 3,548,000 --
34
Non BPJS
428954
67
--
Orif
3 hari
--
35 36 37
Non BPJS Non BPJS Non BPJS
430186 293904 431141
35 13 38
Fraktur Radius Distal Fraktur Radius Ulna Fraktur Radius Ulna Fraktur Fibula
--
Orif Orif Orif
3 hari 5 hari 5 hari
----
38 39
BPJS Non BPJS
431098 431533
66 24
40 41 42
Non BPJS Non BPJS Non BPJS
432047 432600 432269
43
Non BPJS
44
Fraktur Multiple digit I-V Pedis sinistra ---
Orif Orif
6 hari 5 hari
Rp 15,671,500 --
5 61 15
Fraktur Femur Fraktur Radius Dextra Fraktur Radius Ulna Fraktur Scapula Fraktur Nasal
-Fraktur Clavicula --
Orif Orif Reposisi
4 hari 5 hari 4 hari
----
433525
40
Fraktur Nasal
--
2 hari
--
Non BPJS
433450
58
Fraktur Nasal
Bradycardia
7 hari
--
45
BPJS
197949
11
Fracture Colles sinistra
--
Reposisi Tertutup Reposisi Tertutup Repair
2 hari
Rp 5, 194,700
46
Non BPJS
433551
9
Fraktur Clavicula
--
Orif
5 hari
--
47
Non BPJS
181705
35
Fractur Terbuka Tibia Fraktur Patela Fraktur Collis Dextra Fraktur Radius Sinistra
--
Orif
3 hari
--
48 49
Non BPJS Non BPJS
420108 37508
61 65
-Hipertensi
Orif Reposisi Tertutup Orif
4 hari 2 hari
---
50
Non BPJS
434596
42
3 hari
--
51
Non BPJS
421169
19
Fraktur Terbuka Manus
--
5 hari
--
52
Non BPJS
388575
19
Fraktur Phalang Proximal
--
Pasang K-wire
4 hari
--
53
Non BPJS
413281
45
Fraktur Tibia 1/3 Proximal Dextra
Fraktur Fibula 2/3 Distal Dextra
Orif
2 hari
--
54
Non BPJS
422375
60
Fraktur Tertutup Clavicula
--
Reposisi
5 hari
--
55
Non BPJS
425728
22
Fraktur Phalang Proximal
--
--
3 hari
--
56
Non BPJS
346030
43
Anemia
--
6 hari
--
Non BPJS
395559
52
Fraktur Tertutup Humerus 1/3 Dextra Fraktur Collis
57
Diabetes Melitus
3 hari
--
58
BPJS
359871
75
Fracture Colles Sinistra
Congestive Heart Failure
Reposisi Tertutup Repair
3 hari
Rp 2,170,500
59
Non BPJS
429914
43
Fraktur Collis
--
Repair
2 hari
--
--
60
Non BPJS
436099
47
Fraktur Distal Radius Dextra
--
Pasang gips
4 hari
--
61
Non BPJS
339417
4
Fraktur Tertutup Antebrachi Dextra
--
Reposisi
3 hari
--
62
Non BPJS
433923
67
--
Orif
5 hari
--
63
Non BPJS
299277
72
Fraktur Tertutup Ulna 1/3 Proximal Sinistra Fraktur Radius Distal
HNP
--
3 hari
--
64
Non BPJS
424160
72
Frakture Collum Femur Sinistra
IHD
--
2 hari
--
65
Non BPJS
381277
56
Fraktur Radius Sinistra
Anemia
Orif
4 hari
--
66 67 68
Non BPJS Non BPJS Non BPJS
391543 324170 234071
72 63 19
----
Orif Reposisi Orif
3 hari 5 hari 2 hari
----
69
Non BPJS
191314
21
--
Orif
6 hari
--
70
BPJS
412551
51
Fraktur Femur Fraktur Nasal Fraktur Fibula Sinistra Fraktur Collis Sinistra Fraktur Fibula
Fraktur tibia
Amputasi
2 hari
Rp 10,943,200
71 72 73
Non BPJS Non BPJS Non BPJS
243210 324082 241918
42 56 57
Fraktur Clavicula Fraktur Patela Fraktur tertutup Tibia Patela
----
Orif Orif Orif
4 hari 3 hari 6 hari
----
74 75 76
Non BPJS Non BPJS Non BPJS
422408 304030 415974
15 24 65
----
Orif Orif Orif
4 hari 3 hari 5 hari
----
77 78
Non BPJS Non BPJS
341756 421730
43 35
Fraktur femur Fraktur Radius Ulna Fraktur Radius Distal Fraktur Patela Fraktur Phalang proximal
---
Orif Reposisi
3 hari 2 hari
---
79 80 81 82 83
Non BPJS Non BPJS Non BPJS Non BPJS Non BPJS
243451 137681 420301 241381 351355
72 54 29 63 33
Fraktur Nasal Fraktur Tibia Fraktur Radius Ulna Fraktur Nasal Fraktur Femur
Orif Orif Orif Reposisi Orif
2 hari 3 hari 4 hari 3 hari 4 hari
------
84
Non BPJS
401730
44
Fraktur Radius Distal
--Hipertensi -Congestive Heart Failure --
Orif
2 hari
--
85
Non BPJS
218590
32
Fraktur Tertutup Clavicula
Dislokasi
Orif
2 hari
--
86
Non BPJS
233517
60
--
Orif
3 hari
--
87
Non BPJS
30175
63
Fraktur Caput Humeri Fraktur tertutup Tibia Patela
--
Reposisi
3 hari
--
88 89
Non BPJS BPJS
334875 142709
43 66
Fraktur Femur Frakur Costae 6,7 Lateral
Hipertensi CKD
Orif --
3 hari 3 hari
-Rp 3,761,300
90 91 92 93
Non BPJS Non BPJS Non BPJS Non BPJS
295651 378119 413178 302624
57 51 68 53
-----
Orif Orif Orif Orif
5 hari 3 hari 3 hari 4 hari
-----
94 95
Non BPJS BPJS
243127 236559
19 68
Fraktur Tibia Fraktur Nasal Fraktur Femur Fraktur Fibula Sinistra Fraktur Radius Ulna Fraktur Kongrusi Vertebra Thorax
-Diabetes Melitus
Orif --
2 hari 3 hari
-Rp 3,269,600
96
Non BPJS
347824
25
Fraktur Phalang proximal
--
Reposisi
2 hari
--
97
Non BPJS
267153
78
Fraktur Colles 1/3 Dextra
--
Orif
4 hari
--
98
Non BPJS
172893
20
Fraktur Nasal
--
Orif
2 hari
--
99
BPJS
263855
8
Fraktur Incomplete radius Ulna Dista
--
Pasang Gips
3 hari
Rp 1,860,400
100
Non BPJS
403128
49
--
Orif
7 hari
--
101
Non BPJS
378102
38
Fraktur Femur sinistra Fraktur Tertutup Tibia Patella
--
Orif
3 hari
--
102
Non BPJS
213459
52
Fraktur Tertutup clavicula
--
Orif
3 hari
--
103
Non BPJS
312970
28
--
Orif
7 hari
--
104
Non BPJS
407951
58
Fraktur Collis Sinistra Fraktur Radius Sinistra
--
Orif
4 hari
--
105
Non BPJS
315243
43
Fraktur tertutup elbow Dextra
--
Reposisi
3 hari
--
106
Non BPJS
281317
38
--
Orif
3 hari
--
107
Non BPJS
181416
70
Fraktur Femur sinistra Fraktur Clavicula
--
Orif
4 hari
--
108 109
Non BPJS Non BPJS
324851 278130
65 54
Fraktur Tibia Fraktur Nasal
---
Orif Orif
3 hari 2 hari
---
110
Non BPJS
425013
19
Fraktur Radius Dextra
--
Orif
3 hari
--
111 112 113
Non BPJS Non BPJS Non BPJS
307128 287389 308139
28 37 43
Fraktur nasal fraktur tibia Fraktur Radius Sinistra
----
Reposisi Orif Reposisi
4 hari 4 hari 3 hari
----
114
BPJS
377072
14
Fraktur Radius
--
Rekonstruksi
1 hari
Rp 6,233,600
115
BPJS
442222
51
Fraktur Digiti I Manus Sinistra
Anemia
Orif
2 hari
Rp 6,233,600
116
BPJS
271561
71
fraktur Clavicula Sinistra
--
Orif
2 hari
Rp 10,590,400
117
BPJS
446030
84
Fraktur Complete Radius
--
Orif
4 hari
Rp 3,944,900
Pedoman Wawancara (Petugas Indeksing Nama
:A
Umur
: 34 thn
Jenis Kelamin*)
:
Jabatan
: Petugas Indeksing
Lama Kerjja
:
Laki-laki
Perempuan
Pertanyaan 1. Apakah setiap tahun terjadi peningkatan pasien pada bangsal Betha ? Jawaban :
2. Pasien dengan kasus apa saja yang paling sering ditangani ? Jawaban :
3. Berapa banyak jumlah pasien yang datang dalam kondisi patah tulang ? Jawaban :
4. Dari indeks penyakit yang telah di buat jenis kasus patah tulang apa saja yang pernah ditangani oleh RS Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang ? Jawaban :
5. Dari antara berbagai macam kasus fraktur tersebut, jenis fraktur apa yang paling sering terjadi ? Jawaban :
6. Apa saja tindakan yang telah dilakukan dalam menangani kondisi pasien dengan kasus fraktur ? Jawaban :