ANALISA DATA ALOKASI UMUM (DAU) KAITANNYA DENGAN PENCIPTAAN KEMANDIRIAN DAERAH DI ERA OTONOMI : STUDI KASUS 30 PROPINSI DI INDONESIA
JOKO TRI HARYANTO
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
ANALISA DANA ALOKASI UMUM (DAU) KAITANNYA DENGAN PENCIPTAAN KEMANDIRIAN DAERAH DI ERA OTONOMI : STUDI KASUS 30 PROPINSI DI INDONESIA Abstract At the same time with decentralization execution, local government become self supporting in management authority, throught the money follows function principle. According to the Law No. 33/2004 mentioned local government financing consist of PAD(Local Own Revenue), DAU(Intergovernmental Transfer) and Pembiayaan(Financing). Local government can raise their own revenue from various sources such as local taxes, local charges, local owned enterprises profit and other eligible local revenues. Three types of intergovernmental transfers are stated in Law 33/2004 revenue sharing(Bagi Hasil), general allocation fund(DAU) and specific allocation fund (DAK). From financing local government can get revenues from local government borrowing. The decentralization aim is realizing local government independence. Every local government ought to manage their area own because they have source of fund. But in fact this aim did not realize. In fact local government exactly more depent to the central government. Based on previous research proved that DAU ratio for all local government in Indonesia more than 50%. This phenomenon very emabarrassing. From the phenomenon later then this research is done to prove local government depended to the DAU by econometrica tools with case study in 26 provinces. To analyse this matter using GLS(Generalized Least Squares) method by Cross Section Weight. By using method estimate by GLS hence the estimation model assuming an α and β are same to each, by recognizing variant structure and terms error covariant. Meanwhile variant structure and used covariant is heterokedastic structure without existence of correlation between time unit. In data processing used by Eviews 3.0 software. Keyword : Local Own Financing(Pembiayaan).
Revenue(PAD),
Intergovernmental
Transfer(DAU),
I. PENDAHULUAN Sejak tanggal 1 Januari 2001 telah terjadi perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Perubahan tersebut terutama terkait dengan dilaksanakannya “secara efektif” otonomi Daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 33 Tahun 2004. Kedua Undang Undang di bidang Otonomi Daerah tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah. Implikasi dari pemberian kewenangan otonomi ini menuntut daerah untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 publik (Public Services). Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya. Pembangunan yang dilaksanakan akan banyak memberikan manfaat bagi daerah, diantaranya : meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat, mendorong perkembangan perekonomian daerah, mendorong peningkatan pembangunan daerah di segala bidang, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pendapatan asli daerah, mendorong kegiatan investasi. Sesuai dengan UU No 33 Tahun 2004 pasal 10 disebutkan bahwa yang menjadi sumbersumber pembiayaan untuk pembangunan daerah (capital investment) , antara lain berasal dari Dana Perimbangan yang diterima oleh daerah-daerah dari Pemerintah Pusat. Dana Perimbangan tersebut berupa: Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Disamping Dana Perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat, daerah juga dapat membiayai pelaksanaan pembangunan daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa Pajak Daerah, Retribusi Daerah, BUMD dan Lain Pendapatan Asli Daerah yan sah. Akan tetapi dapat dikatakan bahwasanya PAD inilah yang sebenarnya menjadi barometer utama suksesnya pelaksanaan otonomi daerah. Diharapkan dengan adanya otonomi, kemandirian daerah dapat diwujudkan yang dimanifestasikan lewat struktur PAD yang kuat. Dalam kenyataannya ternyata karakteristik daerah di Indonesia sangat beraneka ragam. Ada daerah yang dianugerahi kekayaan alam yang sangat melimpah. Ada juga daerah yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan alam yang besar namun karena struktur prekonomian mereka telah tertata dengan baik maka potensi pajak dapat diotimakan sehingga daerah tersebut menjadi kaya. Namun banyak juga daerah yang secara alamiah maupun struktur ekonomi masih sangat trtinggal. Untuk alasan itulah maka transfer dari Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) masih diberikan khususnya untuk mengatasi kesenjangan antar daerah tersebut. Untuk beberapa daerah yang kaya sumber daya alam seperti Aceh, Riau, Kaltim dan Papua selain DAU mereka juga mendapat alokasi Dana Perimbangan berupa Dana Bagi Hasil kekayaan alam untuk mengurangi kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan daer seperti yang telah terjadi pada masa Orde Baru.Untuk beberapa kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh DAU maka pemerintah masih memberikan bantuan transfer berupa Dana Alokasi Khusus. I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Ketika otonomi mulai digulirkan harapan yang muncul adalah daerah menjadi semakin mandiri di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masingmasing, sebab daerah diberikan kebebasan untuk mengelola wilayahnya sendiri. Selain itu sesuai asas money follows function daerah juga diberikan sumber-sumber pembiayaan kewenangan yang sebelumnya masih dipegang oleh Pemerintah Pusat di era Orde Baru. Kemandirian daerah tersebut dimanifestasikan lewat PAD yang besar dan kuat. Untuk itu tentu dibutuhkan suatu struktur industri yang mantap beserta obyek pajak dan retribusi yang taat. Sementara DAU dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat seyogyanya hanya bersifat suplemen bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Namun tujuan mulia tersebut tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Yang terjadi dewasa ini justru sebaliknya yaitu daerah makin bergantung terhadap alokasi transfer dari Pemerintah Puat terutama DAU. Penelitian terdahulu bahkan menunjukkan suatu fakta yang sangat memprihatinkan yaitu hampir di Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
3
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 semua daerah di Indonesia rasio DAU terhadap Total Pendapatan Daerah melebihi angka 50% seperti yang terlihat pada tabel dibawah : Tabel I. Sumbangan DAU terhadap Total Pendapatan Daerah di 24 Propinsi No
Daerah
Proporsi DAU thd Total Pendapatan
No
Daerah
Proporsi DAU thd Total Pendapatan
98/99
99/00
00
2001
2002
98
99
00
01
1
Propinsi NAD
0.51
0.76
0.76
0.32
0.10
13
Propinsi Kalbar
0.29
0.25
0.25
0.15
0.27
2
Propinsi Sumut
0.50
0.36
0.37
0.25
0.27
14
Propinsi Kalteng
0.59
0.57
0.57
0.49
0.56
3
Propinsi Sumbar
0.56
0.57
0.57
0.49
0.43
15
Propinsi Kalsel
0.52
0.56
0.56
0.43
0.64
4
Propinsi Riau
0.26
0.45
0.44
0.16
0.06
16
Propinsi Kaltim
0.39
0.43
0.38
0.28
0.42
5
Propinsi Jambi
0.60
0.64
0.59
0.47
0.57
17
Propinsi Sulawesi Utara
0.30
0.37
0.40
0.13
0.17
6
Propinsi Sumatera Selatan
0.40
0.54
0.46
0.25
0.28
18
Propinsi Sulawesi Tengah
0.70
0.71
0.82
0.23
0.75
7
Propinsi Bengkulu
0.71
0.73
0.73
0.71
0.79
19
Propinsi Sulawesi Selatan
0.72
0.74
0.68
0.55
0.70
8
Propinsi Lampung
0.63
0.64
0.70
0.40
0.45
20
Propinsi Sulawesi Tenggara
0.42
0.50
0.58
0.40
0.46
0.50
0.56
0.45
0.48
0.55
21
Propinsi Bali
0.70
0.73
0.77
0.49
0.72
0.44
0.45
0.32
0.23
0.25
22
Propinsi NTB
0.36
0.22
0.20
0.25
0.25
0.51
0.53
0.55
0.33
0.39
23
Propinsi NTT
0.64
0.64
0.54
0.34
0.62
0.59
0.58
0.68
0.25
0.47
24
Propinsi Papua
0.40
0.45
0.76
0.43
0.52
9 10 11 12
Propinsi DKI Jakarta Propinsi Jawa Barat Propinsi Jawa Tengah Propinsi Jawa Timur
Sumber: DJ APK Depkeu, Data diolah
Sementara itu jika dilihat dari rasio PAD terhadap Total Pendapatan Daerah terlihat bahwasanya daerah yang PAD nya besar tidak berubah dari daerah yang berada di Pulau Jawa yang notabene memiliki populasi penduduk paling besar seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini :
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
4
2002
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 Tabel II Sumbangan PAD terhadap Total Pendapatan Daerah di 24 Propinsi Proporsi PAD thd Total Pendapatan No
Daerah
Proporsi PAD thd Total Pendapatan No
98
99
00
01
2002
Daerah 98/99
99/00
2000
01
2002
1
Propinsi NAD
0.26
0.13
0.12
0.09
0.04
13
Propinsi Kalbar
0.21
0.21
0.27
0.21
0.48
2
Propinsi Sumut
0.35
0.36
0.42
0.40
0.45
14
Propinsi Kalteng
0.07
0.07
0.09
0.07
0.3
3
Propinsi Sumbar
0.27
0.25
0.25
0.30
0.36
15
Propinsi Kalsel
0.07
0.07
0.07
0.27
0.15
4
Propinsi Riau
0.27
0.24
0.26
0.19
0.18
16
Propinsi Kaltim
0.19
0.19
0.23
0.09
0.34
5
Propinsi Jambi
0.17
0.20
0.24
0.29
0.29
17
Propinsi Sulawesi Utara
0.18
0.14
0.17
0.28
0.16
6
Propinsi Sumatera Selatan
0.19
0.24
0.30
0.28
0.31
18
Propinsi Sulawesi Tengah
0.20
0.16
0.13
0.11
0.17
7
Propinsi Bengkulu
0.15
0.14
0.14
0.16
0.13
19
Propinsi Sulawesi Selatan
0.16
0.18
0.18
0.24
0.21
8
Propinsi Lampung
0.28
0.26
0.23
0.33
0.31
20
Propinsi Sulawesi Tenggara
0.26
0.27
0.20
0.24
0.37
0.57
0.60
0.65
0.68
0.66
21
Propinsi Bali
0.49
0.68
0.54
0.14
0.12
0.43
0.42
0.50
0.53
0.53
22
Propinsi NTB
0.18
0.19
0.15
0.19
0.56
0.38
0.36
0.34
0.43
0.44
23
Propinsi NTT
0.18
0.19
0.15
0.28
0.26
0.51
0.56
0.56
0.50
0.37
24
Propinsi Papua
0.13
0.11
0.11
0.19
0.15
9 10 11 12
Propinsi DKI Jakarta Propinsi Jawa Barat Propinsi Jawa Tengah Propinsi Jawa Timur
Sumber : DJ APK Depkeu, Data diolah
Sementara untuk daerah yang berada di luar Pulau Jawa masih menunjukkan tanda-tanda yang kurang menggemberikan. Hanya Propinsi Sumatera Utara dam Propinsi Lampung yang menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Sementara daerah lainnya masih sama belum menunjukkan perubahan yang berarti. I.1.1. PERTANYAAN PENELITIAN Berdasarkan permasalahan yang ada di atas kemudian muncul pertanyaan di dalam penelitian ini yaitu : benarkah penelitian yang sebelumnya telah dilakukan menunjukkan fakta sepeti di atas bahwasanya DAU masih mendominasi Total Pendapatan Daerah di era otonomi yang dimulai sejak tahun 1999 hingga kini. I.1.2. HIPOTESA Dari pertanyaan yang muncul di atas kemudian disusun suatu hipotesa awal terkait dengan analisa DAU di era otonomi yaitu : Ho : DAU tidak berperan secara signifikan bagi daerah di era otonomi H1 : DAU memiliki peran yang sangat signifikan di era otonomi daerah I.2. TUJUAN dan MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain : Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
5
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 1. Menganalisa seberapa besar ketergantungan daerah terhadap alokasi DAU 2. Membuktikan apakah benar DAU sangat berperandi era otonomi daerah 3. Menganalisa berbagai variabel yang digunakan untuk menyusun DAU Sementara itu manfaat diadakannya penelitian ini adalah : 1. Memberikan masukan kepada pihak yang berwenang di dalam pengambilan kebijakan pemerintahan di era otonomi. 2. Memberikan masukan mengenai variabel apakah yang sebenarnya layak dimasukkan di dalam penyusunan DAU setelah melalui uji kelayakan ekonometrika. II. TINJAUAN LITERATUR Terdapat beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan analisa DAU sebagai salah satu sumber pendapatan daerah di era otonomi ini, antara lain : II.1. Desentralisasi Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia1. Ini berarti kekuasaan yang sebelumnya secara penuh berada di pemerintah pusat, kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah khsusunya kabupaten/kota. Penyerahan kewenangan ini kemudian disertai penyerahan sumber-sumber pembiayaannya (money follows function). Meskipun demikian ternyata ketimpangan antar daerah (horizontal imbalances) masih juga muncul terutama terjadi antara daerah yang dianugerahi sumber daya alam yang besar dengan daerah yang memang miskin sumber daya alam. Karenanya pemerintah pusat masih tetap meberikan bantuan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang besarnya sekurangkurangnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. Sementara itu kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (vertical imbalances) seperti masa pemerintahan Orde Baru juga hendak dihilangkan melalui mekanisme alokasi Dana Bagi Hasil Non Sumber Daya Alam dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang besarnya telah ditetapkan oleh UU. Untuk kebutuhan khusus yang tidak dapat dicukupi dengan DAU misalnya bencana alam, dana darurat maka pemerintah pusat masih memberikan bantuan berupa Dana Alokasi Khusus (DAK). Desentralisasi selain mengandung banyak manffat ternyata juga menyimpan banyak permasalahan terutama yang terkait dengan pemisahan suatu daerah untuk menjadi daerah baru sehingga dimensi spasial menjadi makin kecil. Karenanya desentralisasi juga dapat menghasilkan suatu dampak berupa eksternalitas yang makin besar sehingga berkesan penyediaan barang publik yang under provided. II.2. Dana Perimbangan Merupakan dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri dari : Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Bagi Hasil (BH). Di dalam pelaksanaannya DAU diberikan berdasarkan formula 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
6
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 perhitungan. Formulasi Penghitungan DAU bertujun untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan atas kebutuhan Daerah (fiscal needs) dengan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang fiscal capacitynya lebih besar dari fiscal needs hitungan DAUnya akan negatif. Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB. Untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka perhitungan DAU disamping menggunakan formula Fiscal Gap juga menggunakan Faktor Penyeimbang (sesuai PP Nomor 104 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah direvisi dengan PP Nomor 84 Tahun 2001). Dengan adanya Faktor Penyeimbang, alokasi DAU kepada Daerah ditentukan dengan perhitungan formula Fiscal Gap dan Faktor Penyeimbang. Dengan memperhatikan formulasi Fiscal Gap dan FP, maka formula DAU TA 2002 yang diusulkan Pemerintah adalah sebagai berikut : DAU = AM + Kesenjangan Fiskal (KF) AM = Lumpsum + α Gaji KF = Kebutuhan Fiskal (KbF) – Kapasitas Fiskal (KpF) dimana : DAU = Dana Alokasi Umum; AM = Alokasi Minimum; α Gaji = Proporsional berdasarkan kebutuhan Pegawai.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
Belanja
7
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 Kebutuhan Fiskal = TPR x (0,4IP + 0,1IKR + 0,1IW + 0,4IH) dimana : TPR = Total Pengeluaran rata-rata; IP = Indeks Variabel Penduduk; IKR = Indeks Variabel Kemiskinan Relatif; IW = Indeks Variabel Luas Wilayah; IH = Indeks Variabel Harga. Kapasitas Fiskal = PADÈ + (PBB + BPHTB + PPh + 0,75 SDA) dimana : PADÈ = Pendapatan Asli Daerah estimasi; PADÈ = β1 + β2 PDRBjasa PBB = Pajak Bumi dan Bangunan; BPHTB = Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan; PPh = Pajak Penghasilan; SDA = Sumber Daya Alam. III. METODE PENELITIAN III.1. SUMBER DATA Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa data yang terkait dengan masalah keuangan daerah yang diperoleh dari instansi Departemen Keuangan DJAPK Subdirektorat Dana Perimbangan. Sementara itu untuk beberapa data yang terkait dengan masalah luas wilayah, penduduk miskin serta PDRB didapat dari instansi BPS Pusat. Adapun periode waktu yang digunakan terdiri dari data time series mulai tahun 2002 hingga tahun 2004 yang akan dikombinasikan dengan data cross section pada 30 propinsi yang dipilih sebagai daerah sampel. Pemilihan tahun 2002 bukan dimulai tahun 1999 adalah terdapatnya kesulitan pengumpulan data baik yang terkait dengan masalah kearsipan, perbedaan metode penyusunan maupun masalah propinsi pemekaran baru yang dimulai dari tahun 2002. Dari beberapa data yang didapat tersebut nantinya kan dilakukan suatu analisa data untuk membuktikan hipotesa bahwasanya DAU berperan sangat signifikan di dalam perekonomian daerah di era otonomi. III.2. RANCANGAN MODEL EKONOMETRIKA Adapun rancangan model ekonometrika yang dipilih berdasar metode penyusunan DAU yang telah ada adalah suatu persamaan sebagai berikut : DAU = α + β 2 LW + β 3 JP + β 4 PG + β 5 IH + β 6 BP + β 7 SDA + β 8 PAD est + e Dimana : LW menunjukkan luas wilayah JP menunjukkan jumlah penduduk (potensi SDM) PG menunjukkan poverty gap IH menunjukkan indeks harga BP menunjukkan belanja pegawai SDA menunjukkan potensi sumber daya alam PAD est menunjukkan potensi industri hasil regresi dengan PDRB jasa. e menunjukkan error terms
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
8
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 III.3. PENGOLAHAN DATA Pengolahan data untuk mendapatkan hasil yang diinginkan pada tulisan ini mengunakan metode regresi Generalized Least Square (GLS) secara Cross Section Weight. Dengan menggunakan metode estimasi secara GLS maka model estimasi tersebut menganggap bahwasanya intercept α dan slope β sama untuk setiap individu ( α 1 = α 2 = α 3 ....α i ) dan ( β 1k = β 2 k = β 3k = .....β ik ) dengan memperhitungkan struktur varian dan covarian error terms (ε ) . Sementara itu struktur varian dan covarian yang digunakan adalah struktur heterokedastik tanpa adanya korelasi antar unit waktu(cross sectional correlation). Jika memperhatikan karakteristik model di atas maka terlihat bahwa data tersebut membutuhkan data antar waktu (time series) sekaligus data antar daerah (cross section). Dalam ekonometri proses penyatuan data antar waktu (time series) dan data antar individu (cross-section) disebut dengan pooling. Sedangkan data yang dihasilkan disebut dengan pooled data atau panel data. Beberapa keuntungan penggunaan data panel adalah : (1) memungkinkan jumlah data yang meningkat, dan (2) memasukan informasi yang berkaitan dengan baik cross section maupun time series yang dapat mengurangi masalah yang muncul apabila ada variabel yang dihilangkan. Data time series yang digunakan menggunakan basis data tahun 2002-2004 sedangkan data cross sectional yang digunakan menggunakan sampel data 30 propinsi di Indonesia. Penggunaan data time series mulai dari tahun 2002-2004 sebetulnya masih mengandung banyak kelemahan, namun dikarenakan adanya keterbatasan dan kesulitan di dalam penyusunan data baik yang disebabkan oleh daerah tidak mengirim data ke Pemerintah Pusat atau bebbagai kesulitan lainnya sehingga penulis memutuskan untuk menggunakan data tahun 20022004 sebagai analisa awal untuk mengetahui peranan DAU di dalam pembiayaan daerah di era otonomi daerah. Sebagai upaya untuk menghasilkan model yang efisien, fisibel, dan konsisten, maka perlu pendektesian terhadap pelanggaran asumsi model yaitu gangguan antar waktu (timerelated distrubance), gangguan antar individu (cross sectional distrubance) dan gangguan akibat keduanya. Agar model yang digunakan dalam model ini fisibel dan efektif, maka kita perlu melihat pelanggaran asumsi dasar yaitu Kolinearitas Jamak, Heteroskedastisitas, dan Autokorelasi/Korelasi Serial IV. HASIL PENELITIAN Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan software EViews 3.0 diperoleh hasil olahan sebagai berikut:
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
9
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 Dependent Variable: ?DAU Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 05/24/05 Time: 18:14 Sample: 2002 2004 Included observations: 3 Number of cross-sections used: 30 Total panel (unbalanced) observations: 89 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C ?LW ?JP ?PG ?IH ?BP ?SDA ?PAD
232.0456 0.000507 0.008933 5.601541 -1.170844 0.395236 -0.049383 -0.015332
15.76755 4.75E-05 0.000463 1.421571 0.171412 0.023304 0.009616 0.014115
14.71665 10.68145 19.31372 3.940388 -6.830588 16.95977 -5.135572 -1.086221
0.0000 0.0000 0.0000 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 0.2806
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.984029 0.982649 44.60318 712.9487 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
469.2367 338.6092 161145.0 1.746217
0.924205 0.917655 48.07175 1.320688
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
292.2668 167.5220 187182.4
Unweighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
Dari hasil olahan tersebut dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut : 1. Metode analisa menggunakan metode GLS (Cross Section Weight) dengan asumsi heterokedastik tanpa adanya cross sectional correlation. Dependen variabel yang dipilih adalah DAU dengan data time series mulai dari 2002-2004. Sedangkan sampel data cross section yang dipilih sebanyak 30 propinsi se Indonesia. Common coefficient yang dipilih adalah LW ?, JP ?, PG ?, IH ?, BP ?, SDA ?, PAD est ? yang mewakili koefisien β 2 danβ 3 yang sama untuk setiap individu. Sedangkan intercept common yang menunjukkan intercept β1 sama untuk setiap individu. 2. Adapun persamaan yang didapat DAU = 232.0456 + 0.000507 LW + 0.008933 JP + 5.601541 PG + (-1.170844 IH) + 0.395236 BP + (-0.049383 SDA) + (-0.015332 PADest) + e. Jadi besarnya α1 sebesar 232.0456 sedang besarnya koefisien β 2 sebesar 0.000507, koefisien β 3 sebesar 0.008933, koefisien β 4 sebesar 5.601541, koefisien β5 sebesar -1.170844, koefisien β6 sebesar 0.395236, koefisien β 7 sebesar -0.049383 dan koefisien β8 sebesar -0.015332. 3. Berdasar hasil olah regresi di dapat nilai R-squared sebesar 0.98 yang menunjukkan bahwasanya model penelitian yang digunakan cukup representative. R-squared sebesar 0.98 juga menunjukkan bahwasanya model ini dapat diterangkan oleh variasi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
10
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 variabel independent sebesar 98%. Sedangkan sisanya sebesar 2% diterangkan oleh variabel lainnya. Nilai R-squared sebesar 0.98 yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa persamaan ini bebas dari penyakit multikolinearitas. Selain itu juga dapat dilihat probabilitas dari masing-masing variabel yang secara keseluruhan lebih banyak yang siginifikan dibanding variabel yang tidak signifikan. 4. Uji Heterokedastik dilakukan dengan metode Breush-Pagan dimana hasil yang diperoleh menunjukkan bahwasanya model ini memiliki stuktur model yang bersifat heterokedastik. Hal tersebut juga diperkuat dari penggunaan model estimasi secara GLS dimana yang menunjukkan bahwa model tersebut memiliki asumsi heterokedastik, bukan asumsi homokedastik. 5. DW stat yang menunjukkan angka 1.74 menunjukkan bahwasanya model ini terbebas dari penyakit auto korelasi yang artinya di dalam model ini tidak terjadi korelasi lebih lanjut di antara berbagai variabel independent yang ada. Tidak terjadinya auto korelasi mungkin disebabkan oleh penggunaan data time series yang digabung dengan data cross section, karena jika data yang digunakan hanya menggunakan data time series biasanya akan terkena penyakit auto korelasi. V. ANALISIS Adapun analisis yang dapat dilakukan terhadap hail penelitian di atas adalah 1. Dari hasil uji signifikansi masing-masing bariabel pembentuk model kita lihat bahwasanya variabel Luas Wilayah (LW), Jumlah Penduduk (JP), Poverty Gap (PG), Indeks Harga (IH), Belanja Pegawai (BP), dan Indeks SDA (SDA) memiliki probabilitas yang < dibanding nilai α sebesar 5% sehingga H 0 ditolak dan terima H 1 atau dengan kata lain kesemua variabel tersebut memiliki hubungan yang siginifikan terhadap DAU. Sementara itu khusus untuk variabel PAD est ternyata memiliki nilai probabilitas > dibanding α 5% sehingga asumsi H 0 menjadi diterima atau dengan kata lain variabel PAD est menjadi tidak signifikan terhadap DAU. Untuk menguji dugaan bahwasanya variabel PAD est tidak signifikan juga dapat dilakukan dengan menggunakan Wald Test. Dari hasil Wald Test di dapat : Wald Test: Equation: OLAH1 Null Hypothesis: F-statistic Chi-square
C(8) 1.179876 1.179876
Probability Probability
0.280603 0.277381
Ternyata memang benar bahwasanya variabel PADest memiliki nilai yang tidak signifikan dengan DAU, sebab nilai probabilitas F stat dan Chi square nya > daripada α 5%. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan mengeluarkan variabel PADest dari model yang disusun, atau juga dapat dengan cara mengganti PADest dengan variabel lain yang mungkin memiliki hubungan yang lebih signifikan misalnya : PDRB jasa atau PAD aktual daerah. 2. Sementara itu jika dilihat dari uji keseluruhan model maka di dapat F stat sebesar 0.00 < probabilitas 5% sehingga kita tolak H 0 bahwasanya DAU tidak berperan secara Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
11
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 signifikan bagi daerah di era otonomi dan kita terima H 1 bahwa DAU berperan secara signifikan bagi daerah di era otonomi. Dari analisa hasil penemuan di atas ternyata mendapatkan hasil yang tidak berbeda dengan penelitian awal yang menyebutkan bahwasanya terjadi pola ketergantungan yang sangat tinggi di berbagai daerah di Indonesia terhadap Dana Perimbangan khususnya DAU. Hasil penemuan dari penelitian secara ekonometrika ini justru makin memperkuat argumen yang telah disusun sebelumnya. Perbedaannya mungkin hanya terletak pada metode penyajian. Penelitian sebelumnya tidak menggunakan model ekonometrika dan hanya menyajikan data berdasar ratio-ratio DAU terhadap Total Penerimaan Daerah setiap tahun. Sementara penelitian yang sekarang dilakukan lebih bersifat pengujian terhadap model persamaan ekonometrika DAU beserta variabel-variabel pembentuknya. Namun secara keseluruhan hasil yang di dapat adalah sama bahwasanya DAU brperan sangat signifikan bagi daerah di era otonomi ini. Jika di tarik kembali pada hakikat pelaksanaan otonomi sebenarnya hal tersebut sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak ? Kita ingat bahwasanya gagasan awal pelaksanaan otonomi daerah adalah ingin mengoreksi kesalahan yang pernah dibuat oleh pemerintah pada masa Orde Baru. Di masa Orde Baru sistem pemerintahan dilaksanakan secara sentralisasi dimana pusat mengeruk berbagai kekayaan sebesar-besarnya dari semua daerah di Indonesia. Akibatnya banyak daerah kaya justru menjadi miskin. Karenanya kemudian di penghujung tahun 90-an seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru, pemerintah yang baru kemudian mencoba mengkoreksi kesalahan tersebut. Mulailah era yang kita kenal sekarang sebagai era desentralisasi atau lebih dikenal sebagai era otonomi daerah. Dengan otonomi diharapkan daerah menjadi mandiri di dalam pengelolaan pemerintahannya maupun pelaksanaan pembangunan daerahnya. Kemandirian ini juga diharapkan terwujud dari mampunya daerah tersebut mengurus wilayahnya sendiri. Kemandirian ini sekaligus menuntut adanya struktur PAD yang kuat sebagai sumber pendanaan daerah. Memang benar pemerintah pusat masih memberikan bantuan berupa Dana Perimbangan kepada daerah yang masih kekurangan. Namun bearnya bantuan tersebut diharapkan makin tahun semakin berkurang. Namun kelihatannya tujuan tersebut makin jauh dari harapan.
DAFTAR PUSTAKA • • • • • •
Kadjatmiko, Drs, M.Soc.Sc,”Dana Alokasi Umum”, Pelatihan Staf Ditjen PKPD, Hotel Bidakara, Februari 2004. “Panduan Ringkas Formulasi DAU 2002” situs www.djpkpd.go.id “Materi Diklat Dana Alokasi Umum “, Direktorat Dana Perimbangan Brodjonegoro, Bambang, Raksaka Mahi, Robert Simanjuntak,”The General Allocation Fund in Indonesia”.LPEM-FEUI report for the Ministry of Finance, Jakarta, 2000 Sidik, Machfud,”Implementasi UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah”, Jakarta, 2002. Ismail,Munawar,”Pendapatan Asli Daerah dalam Otonomi Daerah”Jakarta,2002
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
12
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 • • • •
DJPKPD,”Tinjauan Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 20012003”Jakarta,2004. DJPKPD,”Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal”Jakarta, 2004. Hoessein, Bhenyamin,”Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otda”Jakarta,2004. ……………..Undang-Undang Otonomi Daerah No 32 dan 33 Tahun 2004
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
13
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
14