Anak Bajang Menggiring Angin by Sindhunata
mungkin justru dari status penulis yang biarawan itulah maka kisah ramayana mendapatkan tafsiran yang baru dan memikat dalam buku ini. di sini tokoh utamanya bukan rama, shinta atau laksamana, namun hanuman, makhluk yang senantiasa mendamba kepenuhannya sebagai manusia, tapi tidak diperkenankan dewa. hanuman tetap setengah manusia setengah kera dengan jiwa dari dewata. ini merupakan posisi 'perbatasan' yang juga sedang dihayati oleh seorang biarawan yang hidupnya di dunia tapi jiwanya bukan berasal dari dunia ini. "anak bajang nggiring angin, anawu banyu segara" begitu dendang ki dalang di tengah malam pertunjukannya. "raksasa kerdil menggiring angin dengan hanya menggunakan sebatang lidi, dan menguras isi laut dengan hanya menggunakan batok kelapa berlubang tiga di tengahnya". suatu tindakan -yang berkesan- sia-sia, tapi harus dikerjakan. ini mengingatkan saya pada kisah st.agustinus ketika bergumul hendak memahami tuhan. lalu di pantai ia bertemu dengan anak kecil dengan sendok di tangannya. ketika beliau tanya "ngapain kamu?" dijawab si anak "aku mau menguras samudra ini". "mana mungkin, nak?" lalu disambarlah oleh si anak dengan mengatakan "mana mungkin bapak memahami tuhan dengan akal budi yang sekecil batok kepala?" saya terkesan sekali pada bagian lain, ketika hanuman di awan merasa diayun-ayun antara langit dan bumi, seperti dibuai dan diakui statusnya yang di 'perbatasan' itu di hadapan dewa dan manusia. |makin akhir masih ada alinea penuh perenungan
rahwana tinggal sendirian. Indrajit sudah kembali kepelukan mega-mega ibunya. Saya baru tahu (inget lagi) aib rahwana yang tega berniat insest demi kasmarannya yang aslinya adalah obesesi gelapnya pada dewi widowati. ada bagian yang perlu dibaca ulang ketika rahwana bersemadi. ketika wajahnya yang sepuluh saling mengeluarkan keasliannya. bersiap memasukin lakon rahwana maju perang. hingga nantinya shinta kembali ke rama. duh sempat kepikiran stockholm syndrome. ternyata gak ada :D kali aja shinta malah jatuh cinta sama rahwana yang nyulik dia. tapi seharunya tidak juga sih. perpisahan rama dan shinta adalah bagian dari penyucian ikatan mereka. apakah pertumpahan darah dengan perang besar itu hanya semata seorang wanita? toh rahwana yang jelas obsesive dengan ketubuhan shinta. yang dianggapnya bagian dari pemenuhannya atas kegagalan pada dewi widowati. gile saking obsesivenya mahluk apa aja diembat :D ada anaknya rahwana yang mirip pintu gak yah? kalo iya berarti dulunya dia pernah "ngembat" pintu pas lagi obesesivenya. karakter pewayangan ramayana yang gradatif dan abu-abu akhirnya berujung pada kehitaman rahwana. bukan rahwana tidak memiliki kesempatan atau potensi untuk menjadi baik, ia adalah karakter hitam karena ia selalu menindih potensi kebaikan yang terbersit dihatinya. rahwana siap perang dan harus kalah. rama siap dengan rayu dan ragu. bagaimana dia kembali bertemu dengan shinta dan bersatu dalam jalinan cerita versi Romo Sindhu? bacalah di lembar halaman tersisa. GONG!!!! lanjoooot baca... mau tamat masih harus tarik napas Entah kenapa buku ini susah ditamatkan. Buat saya pembobotan Sindhunata menjadikan kisah ini berbeda dari penutur yang lain. Ketika membaca buku biografi Soerjopranoto yang didalamnya ada konstruk "jiwa perantau" yang tersirat didalamnya kemenduaan. Di diri Soerjopranoto adalah kedekatannya dengan istana dan sekaligus kampung yang dijaman itu sangat kontras. Kemenduaan ini mengingatkan saya pada salah satu tokoh utama dalam epik ini: Anoman. Anoman adalah ksatria kekasih dewa berwujud kera. Di satu sisi ia adalah ksatria dengan segala statusnya dan kedekatannya dengan dunia langit, namun di sisi lain ia adalah kera yang yatim. Ia disapih oleh alam dibesarkan oleh alam, namun tak dapat menutupi kesenduan dan kerinduannya akan ibu dan langit tempat ia berasal. Sebuah kontras yang membuatnya terus mengada menuju kesempurnaan itu. Wujud badaniahnya yang kera tak menghalanginya untuk menempa keluhuran budinya. Singkatnya kisah buku ini adalah kisah tentang tiga keluarga besar. Ketiganya berkelindan dalam satu hubungan: cinta. Begawan Wisrawa adalah sebentuk keluhuran akal budi yang terjerembab ketika mencarikan istri buat anaknya. Ia lalai dan punah justru oleh kesempurnaan oleh pemahamannya akan Serat Sastra Jendra. Bersama Dewi Sukesi, calon mempelai yang akan dipinang untuk anaknya, ia terjebak oleh sebentuk cinta yang malah mewujud angkara. Hingga akhirnya keduanya baru berhasil melahirkan keutuhan penyesalan itu pada Wibisana. Penebusan kesalahan itu bahkan pada akhirnya melepaskan Wibisana untuk ikut dalam kekuatan Ramawijaya demi menumpas angkara yang lahir dari rahim cinta mereka. Toh hal itu tidaklah mudah, angkara yang lahir dari percintaan guru-murid (Wisrawa-Sukesi) ini adalah sebuah angkara dahsyat yang tidak mudah punah dalam sekejap. Rahwana adalah angkara yang justru lahir dari ketergelinciran dari keinginan untuk memetik keagungan Serat Sastra Jendra. Keluarga Resi Gotama. Di sinilah cinta parental bisa menimbulkan konflik bagi anak-anak mereka. Dari ketiga anaknya hanya Anjani yang berkesempatan memiliki Cupu Manik Astagina. Kedua adiknya, Subali dan Sugriwa, merasakan itu adalah sebuah perbedaan yang tak layak dilakukan oleh orang tuanya. Kecemburuan di antara saudara ini yang melahirkan tragedi berubahnya wujud mereka menjadi kera. Penurunan derajat yang harus mereka tanggung sebagai akibat perselisihan itu. Upaya kembali ke muasal mereka tempuh, meski Anjani yang
saudara ini yang melahirkan tragedi berubahnya wujud mereka menjadi kera. Penurunan derajat yang harus mereka tanggung sebagai akibat perselisihan itu. Upaya kembali ke muasal mereka tempuh, meski Anjani yang terbilang cepat menempuh jalan pulang setelah menetaskan Anoman di dunia. Sementara Subali menurunkan Anggada, konfliknya dengan Sugriwa tidak membuat mereka cepat menemukan muasal. Mereka malah membuka konflik baru karena kesalahpahaman. Persoalan Dewi Tara menjadi soal di sini. Keluarga ketiga adalah keluarga Dasaratha. Apakah Dasaratha dapat sepenuhnya membimbing anak kesayangannya menjadi yang diinginkan? Sekali lagi cinta parental yang terjebak dengan masa lalu si bapak yang terlanjur berjanji. Keinginan Dasaratha untuk membesarkan anaknya dan menjadikannya penerus tidak semulus yang diinginkannya. Pernikahan Rama dengan Sintha hanyalah awal dari epik ini. Menjalani nasib dalam pembuangan Rama dan Sintha menuai ujian akan keteguhannya. Kijang kencana merupakan keindahan semu yang memisahkan mereka dan memaksa mereka menempuh ujian itu. Keterpisahan merupakan ujian seberapa kuat mereka mempercayai pasangannya. Kecurigaan yang meredupkan cinta mereka. Kecurigaan yang membuat jalan mereka semakin panjang. Dari ketiga keluarga itu cerita ini berkelindan. Cerita tentang cinta sepasang kekasih sajakah yang mendorong semuanya menjadi cerita epik ini? Dalam keheningan menjelang rombongan pasukan Rama memasuki Alengka, Rama dan Laksmana berbincang mengenai alasan mereka melakukan pertempuran esok hari. “Hanya karena cintaku kepada Sintha kah, aku sudi menumpahkan darah prajurit-prajuritku esok hari?”Laksmana menjawab keraguan itu. Mungkin yah awalnya adalah kisah cinta sepasang kekasih. Namun, apakah mereka prajurit yang mendukung Rama hanya perduli pada soal pribadi Rama itu. Di sini Laksmana menguraikan kerinduan banyak prajurit akan hancurnya angkara, kerinduan mereka akan ketentraman dan cinta yang lebuh agung, cinta ilahiah yang mewujud di muka bumi. Dalam dialog itu, Ramawijaya dipesani oleh adiknya, “Rama-Sintha hanya simbol dari kekuatan hati yang mengikat dua insan. Namun lebih dari itu, ikatan lain yang mengikat banyak pihak adalah cinta ilahiah. Kerinduan Anoman akan kesempurnaan dibalik ujudnya yang kera. Kerinduan Wibisana untuk menebus kesalahan orang tuanya dengan melenyapkan jejak angkara yang diperbuat keduanya. Jadilah simbol itu demi mencapai sesuatu yang lebih agung.” Sampai di situ, saya menilai pesan Sindhunata akan sebuah filsafat proses, sebuah usaha yang ujungnya hanya dicapai ketika nafas lepas dari tarikannya yang terakhir. Semua bisa tergelincir, namun semuanya bisa kembali. Siapa mau menjamin bahwa kedekatan dengan sumber keagungan semacam Serat Sastra Jendra adalah bekal cukup untuk mencapai kesempurnaan? Atau kedekatan dengan angkara malah melahirkan Wibisana yang berani menjalani belukar dengan bertukar pihak, bersetia kepada Rama? Atau kerendahan ujud para kera yang jelas merindu ketentraman dengan berkorban berperang dipihak Rama? Termasuk Anoman yatim yang disapih alam dan terus merindu orang tuanya dan konflik batin dengan kemenduaannya dalam keksatriaannya dan kekeraannya. Penekanan pada Anoman memang jelas terlihat dalam Ramayana yang ditulis oleh Romo Sindhu ini. Anoma dianggap sebagai yang memiliki modalitas penting, kerinduan dan kerendahhatian, dalam ujud kekeraanya. Wujud kera yang rendah tidak mengurangisedikitpun kualitas Anoman, malah melahirkan kerendah-hatian. Keyatimannya malah mewujud pada kerinduan yang terus menyadarkan akan ibunya yang di sudah langit sana. Kedua hal itu yang menjadi motor bagi Anoman untuk mewujudkan kesempurnaan budhi. Kedua hal itu juga yang membuatnya untuk terus berusaha tanpa kehilangan kewaspadaan terhadap angkara. Hal yang membuatnya mendapatkan kepercayaan dan tanggung jawab besar dari Rama sebagai salah satu senopati terkemuka dalam usaha pengembalian Sintha: cinta yang hilang karena sebersit keraguan. Hingga nantinya Sintha kembali ke Rama, semuanya akan lebih lapang terjawab. Toh Rama masih harus menerima jalan panjang karena keraguannya dan berjuang untuk semua itu. Bisa jadi Sindhunata nakal toh? Memenangkan Rahwana dan mengalahkan Ramawijaya. Di buku yang saya beli paling tidahk. :p (menghayal buku ajaib yang ujungnya bisa berbeda tiap kali dibaca orang yang beda hehehe) Selanjutnya yang tamat buku ini
jadi keinget ungkapan , suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti
sampai bagian Anoman akan pulang kembali ke Maliawan Kepikiran bagaimana Anoman banyak diulas dalam epos ini. Bagaimana keterasingannya sebagai yatim malah menjadi kekuatan yang tidak disangka, bagaiman sosoknya yang kera merupakan bagian dari sebuah skenario besar yang menguatkan pribadinya. *** Buku klasik yang masih saja laris. Penilaian saya itu jika melihat dari temuan di Gramedia Lippo Karawaci dalam dua hari kunjungan saya. Kunjungan pertama membeli untuk saya sendiri tersedia lebih dari 20 buku. Kunjungan esok harinya, tinggal 3 buku. Isinya...baru pembuka saya sibuk menggaris dan merenungi baris kalimat nan bijak. Saya tidak terlalu hapal epik Ramayana dibandingkan Mahabarata. Hanya berbekal komik R.A Kosasih hadiah dari Pakdhe saya di Pejaten, buku ini membuka kembali ingatan dengan selaksa nasihat yang jauh lebih dalam. Majasnya keren, imajinya menyentil, tapi struktur kalimatnya tetap sederhana. Lebih dalam lagi dengan iringan Kitaro. Dance of Sarasvati keren untuk ngelangut bersama buku ini namun tetap menjaga tempo membaca. Ketukan genderang dan suara serulingnya akan menjadi latar indah bagi langkah Hanuman nantinya. :D *** saya sih sibuk memberi garis. mengetik kembali. dan memikirkannya bilas sempat. ada dua bagian sejauh ini, kerinduan yang diceritakan dalam air mengalir, dan kerinduan kera akan kesempurnaan manusia yang begitu menyentuh. Hanuman emang keren, dulu saya suka adegan ia mengalahkan Sarpenaka, adegan ia memotong gunung untuk mengambil daun latamosandi, adegan ia membopong patung neneknya untuk mengalahkan sapa gitu. Anoman yang saudara ideologis dari Bima karena sama-sama asuhan Betara Bayu. Dua kata yang sering disebut berulang, kerinduan dan kerendahatian, yang menjadi prasyarat dunia lebih tenteram. Suka bagian cerita Subali menerima ajian Pancasona. Di buku ini ajian itu menjadi sesuatu sikap jiwa yang subtil daripada klenik rapalan mantra semata. Ia menjadi kesaktian karena pengagemnya adalah perindu bumi yang utama. Ia rindu bumi yang menjadi pusat meski kita bisa memandang empat arah mata angin lainnya. Bumi awalnya, sebelum kau beranjak pada citamu yang tertebar di empat penjuru. Selamanya bumi tempat yang akan kembali memeluk kita satu saat pasti nanti. Kayaknya ini buku akan menjadi seperti buku Al Chemist. Banyak lipatan dan garis. (ada bagian cengar-cengirnya sih pas baca buku ini, selalu salah sebut pas baca nama Dewi Sukesi menjadi terbaca "Dewi Suksesi". Hehehe moga bukan demam 2009 yah! Kerajaan asal Begawan Wisrawa itu Lokapala, nama Istrinya Lokawati, musiknya bertajuk Lokananta, apa punya pusat perbelanjaan namanya "lokasari"? :D) *** Memasuki bagian Ramawijaya meminang Sinta. Dunia paradoksal dari dua orang bernama Rama. Ramawijaya satria tampan yang kerelaan hidupnya mampu merenggangkan tali busur gandewa untuk lesat menembus remang hati Sinta. Di dunia lain, Ramabargawa begawan rekasasa berselimut dendam semenjak ia menuruti titah sang Ayah menghabisi ibu yang khianat. Duh meuni tidak takut kualat jeung si emak yeh Rama. Dikutuk hidup bergelung dendam. Ah duka teramat sangat atuh! Huh... pertemuan keduanya adalah pertemuan keluluhan dendam Ramabargawa oleh cinta Ramawijaya. Ramawijaya yang meregangkan gandewa dendam dengan
bergelung dendam. Ah duka teramat sangat atuh! Huh... pertemuan keduanya adalah pertemuan keluluhan dendam Ramabargawa oleh cinta Ramawijaya. Ramawijaya yang meregangkan gandewa dendam dengan rentangan cintanya. heuleuh! Cuma rada geuleuh aja, kurang klimaks gitu! Satu lagi yang mau rada diprotes, itu Dasarata sayang banget ama anaknya, mau pergi perang disayang-sayang, mau berantem sama raksasa dia maju tulung-tulung di depan raksasa. Euleuh meuni tidak hebring! Kayak Indian donk, setiap bekas luka adalah tanda jasa torehan alam raya. Kok bisa Rama jadi gagah atas didikan ayah, yang kesan saya, superduper protektif gitu? Protes di simpan, lakon dilanjut! *jek jek nong* Rama pergi ke hutan....bukan jadi pembalak kok :D Honey moon jeung bobogohan bareng si eneng sinta. Aih...tarzan-tarzanan neh! *pssst sensor* kekeke jadi wayang prokem geneh yah? *** Rama dan Sinta di hutan bukanlah kisah the jungle book. Tak ada kisah "Tarzan tidak makan ayam. Ayam teman!" Karena itu hanya rekaan Benyamin Sang Tarzan kota. :D Kepergian Rama ke hutan adalah buah dengki dan nafsu kuasa seorang ibu tiri. Kepergiannya berujung getir cinta Sang Ayah yang berpulang didera kesedihan. Kepergian Ramawijaya yang sempat tertahan oleh tangis tulus Sang Adik Barata tidak bisa dicegah. Itu adalah bagian dari Kehendak. Tangisan Sang Adik itu pupus dengan seloka nasihat untuk penguasa yang dikidungkan Rama dengan sangat indahnya, "Memerintahlah dengan Cinta" (hal. 95-97). Idealitas politik yang makin asing di era sekarang. Meski di hutan mereka berdua masih merasakan cinta yang mendalam. Mendapatkan pitutur Resi Yogiswara yang bikin merinding, " ...jangan bermegah atau sombong kalau kau merasa telah melakukan perbuatan baik, kau hanyalah jalan dan kesempatan bagi kebaikan untuk menjelma " (hal. 104). Duh ngerinya, menyombongkan kebaikan pun sebuah dosa besar. Begitu yang saya tau dalam nuqilan dalil agama saya yang meriwayatkan dosa Iblis. Ini awal dari pembentukan karakter Ramawijaya. Benar Mas Dewa alias Damuhbening, bukan ayah yang telampau menyayang yang membuat Rama matang, namun keheningan hutan yang menguatkan dan mematangkan Ramawijaya. dilanjooot... sampai ke Kijang Kencana. Rahwana siap muncul! *jeg, jeg, nong!!!* "E mana, e mana itu sinta, itu sinta!" (Rahwananya mirip Dursasana yah, doyan ngomong ala rapper :D) *** Iseng skimming ulang apa yang udah digarisin dan nandain plot utamanya. Ternyata awalnya adalah Sastra Jendra. Di sinilah petaka itu bermula. Guru Begawan Wisrawa bertandang sebagai wali anaknya kepada sahabatnya Prabu Sumali. Wisrawa seorang resi mewakili Danareja untuk meminang Dewi Sukesi. Prasaratnya adalah mewedarkan ajaran Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepada Sukesi. Dimulailah pitutur itu dengan campuran was-was dari Prabu Sumali. Buah kata bijak meluncur dari Begawan Wisrawa, "Sungai itu seperti merindukan sesuatu dalam perjalanannya, namun justru dalam kerinduannya itu ia menjadi selalu baru...Sukesi, pahamkah kau sekarang akan arti masa lalu, dan masa depanmu. Kau harus tetap sama, Sukesi, tapi hendaklah kesamaanmu selalu membuahkan kerinduan, supaya hidupmu selalu baru." Hingga ke puncaknya, "sastra jendra itu adalah cinta. Baru dengan cinta itulah kau bisa membalik dunia." Namun, keindahan ajaran Begawan Wisrawa menjadi berantakan. Pertemuan yang harusnya sarat ilmu, sarat hikmah kembali lasak dengan nafsu. Semua musnah dan keduanya terkapar pada kerendahan mereka. Suara Ilahi terdengar menjelaskan kegagalan mereka. Kegagalan karena mereka semata mengandalkan budi yang dianggap mampu merengkuh cita-cita mulia. Suaranya sangat dalam dan filosifis. Suara Langit itu memayungi kedukaan Wisrawa dan Sukesi yang gagal ketika mereka merasa mencapai puncak dari Sastra Jendra,
"Anaku, kau berdua mengira, hanya dengan budimu kau dapat mencapai kebahagiaan yang abadi itu. Kau berdua lupa, bahwa hanya dengan pertolongan yang ilahi, baru kau dapat mencapai cita-cita mulia itu. Manusia memang terlalu percaya pada kesombongannya, lupa bahwa kesombongannya yang perkasa hanyalah setitik air di lautan kelemahannya...Ketahuilah anakku, Sastra Jendra bukanlah wedaran budi manusia, melainkan seruan sebuah hati yang merasa tak berdaya, memanggil keilahian untuk meruwatnya...Sastra Jendra pada hakekatnya adalah kepasrahan hati kepada yang ilahi, supaya yang ilahi menyucikannya. Kepasrahan ilahi itu yang tak kau alami, ketika kau merasa memahami Sastra Jendra." Betapa tipis batas antara tahu dan tidak tahu. Betapa semua itu ada pendapat lain, bernama kepasrahan hati. Gitu? hehehe *nyengir cengo'* Di batas itu, yang ditempatkan di awal buku ini oleh Sindhunata, nampaknya, menjadi sebuah pijakan tentang perubahan kebaikan menjadi angkara. Sebuah perubahan drastis yang menjadi bagian dari metanarasi yang dibangun dalam epik Ramayana ini. Sehingga kiranya terlampau berlebih jika saya meremehkan review ini yang ingin lebih banyak merenungkan lagi isi dalam buku ini. Yah, karena isinya lebih dari sekedar kalimat bijak. Isinya kiranya lebih pada sebuah titian yang bisa saja semua terpeleset jika tak awas menggunakan budi dan hatinya. Lanjoot! cari yang ringan dan lucu aja dulu! yang berat ditandain aja entah kapan dipikirin. :D *** Sampai Anoman Duto menjelang Anoman Obong. bong o bong obong obong bong| Ketika cinta masih butuh pengorbanan, apakah itu masih cinta namanya? Buat mereka di luar sana dan di dalam sini yang sedang galau, gundah gulana karena cinta, atau yang pernah/sedang patah hati terluka karena cinta, mari sini berkumpul kemari dan dengarkan kisah ini. *** Suatu kali di sebuah hutan rimba raya, Laksmana berbicara pada kakaknya Rama yang sedang dirundung duka karena istrinya Dewi Sinta diculik Rahwana. “Kakakku, adakah kelopak bunga mekar kalau belum musimnya? Dan masakan mega mengisi angkasa kalau tiada maksudnya? Siapakah yang mempertemukan cinta lelaki dan wanita kalau bukan perpisahan? Hidup ini beredar, Kakakku, bagaikan angin Dewa Bayu. Dalam kehidupan yang berjalan inilah pertemuan dan perpisahan berpadu,” kata Laksmana. “Maka ingatlah, Kakakku, sebenarnya dalam perpisahan pun berada cinta. Malah cinta itu akan makin mekar di sana. Janganlah kau memisahkan kelemahan dan kekuatan, kejelitaan yang bahagia dan ketabahan yang menderita, kejujuran dan kepura-puraan. Tidakkah kau akan bangga, jika nanti kau melihat kekasihmu kuat karena kesendiriannya daripada lemah karena kalian selalu berdua? Bukankah ketabahan yang menderita akan membuat hatinya menjadi nirmala, melebihi kejelitaan lahirnya yang hanya sepintas kelihatan bahagia. Dan percayalah kejahatan dunia ini adakalanya terpaksa menantang orang untuk berpura-pura cinta terhadap orang lain demi kejujuran cintanya pada kekasihnya,“ kata Laksmana lagi. (h. 130) “Kakakku, camkanlah ini. Cinta itu bukan untuk memiliki kekasih hatinya seperti apa adanya. Cinta itu mengharuskan seorang rela membiarkan kekasihnya berkembang hidupnya. Dan itu semuanya akan makin terjadi justru dalam perpisahan. Dan, kakakku, justru dalam perpisahan itulah kau akan merasa apa sesungguhnya cinta,” jawab Laksmana. (h. 131) “Dalam penderitaan sering orang tergoda oleh kerinduan akan bayang-bayang kebahagiaan, padahal kebahagiaan sejati ada dalam penderitaan kita sendiri. Dan dalam kesunyian di mana kita sudah diasaingkan dari keramaian ikhwal dunia dengan segala godaannya, bisa saja muncul keramaian yang kita ciptakan dari hati kita sendiri. Keramaian macam itu adalah angan-angan bohong, Kakakku, karena justru pada saat sunyi macam inilah kita seharusnya mengalami hakekat kita yang sejati.” (h. 118) ***
*** Sebagaimana dongeng fantasi, kisah buku ini memang bisa dibilang lebay. Cara penuturannya pun diungkapkan dengan rangkaian kata-kata indah-lebay namun penuh makna yang bisa digali, penuh perumpamaan dan banyak isyarat yang tersirat. Oleh karena itulah bagi sebagian orang mungkin buku ini memang bahasanya tidak mudah dipahami dan dicerna. Dalam kisah ini terkandung berbagai gambaran mengenai pergulatan manusia dalam menjalani kehidupan, penderitaan, kekuatan, kekuasaan, kesendirian kesunyiannya, juga tentang cinta dan pengorbanan. Plot utamanya adalah berkisah tentang upaya Rama merebut kembali atau menyelamatkan Dewi Sinta yang diculik Rahwana. Untuk itu maka Rama menempuh jalur perang tumpah darah antara pasukannya yaitu balatentara kera melawan pasukan raksasa pimpinan Rahwana sang raja Alengka. “Laksmana, adakah adil bila menenggelamkan berjuta-juta balatentara dalam samudra darah hanya demi seorang wanita?” tanya Rama tak menentu hatinya. “Itulah, Kakakku, keanehan hidup ini. Justru dalam kengerian itulah keindahan nampak makin bernyala-nyala.” “Laksmana, apa maksudmu?” “Cinta pun perlu mandi dalam darah supaya ia menjadi mutiara. “ Rama ragu-ragu mendengar jawaban Laksmana itu. “Perang ini bukanlah kisah riwayat Rama yang hendak memperebutkan Dewi Sinta, kekasihnya. Perang ini adalah sejarah manusia yang ingin mewujudkan kesempurnaannya. Kau dan Dewi Sinta hanyalah lambang, Kakakku. Sedangkan kenyataan yang sebenarnya adalah kehidupan itu sendiri.” (h. 256-258) *** Kehidupan dan kematian itu saling mencinta dan melengkapi menuju kesempurnaan dan kebahagiaan sejati, maka bukankah tak ada hukuman yang lebih berat lagi daripada hidup yang tak dapat mati? (h. 350) Dan sebagai penutup dari kisah ini, ketika perang telah usai, ketika Dewi Sinta akhirnya masuk tenggelam dalam jilayan kobaran api atas permintaan Rama demi membuktikan kesuciannya, di tengah kekejaman dan kesedihan itu nampak anak-anak kera dan anak-anak raksasa riang bermain bersama-sama. Kegembiraan mereka seolah mengejek: kisah dan riwayat yang dialami orang tua mereka ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan kesiasiaan belaka.(h. 362) *** Membaca kisah ini sesungguhnya menambah banyak pengetahuan sekaligus membuka banyak pertanyaan bagi saya. Pengetahuan yang saya dapat dari buku ini misalnya saya jadi tau tentang kisah asal-usul sejumlah tokoh di dunia wayang seperti Rama, Sinta, Rahwana, Anoman dan lain-lain. Sedangkan sejumlah pertanyaan yang muncul di antaranya: dari mana asal-usul atau bagaimana sejarah wayang sebenarnya? Sementara saya yang lahir di negeri ini dan tentu juga sebagian besar rakyat negeri ini sejak kecil sudah tau dan pernah melihat apa itu wayang. Hingga hari ini yang saya tau kisah pewayangan memang diambil dari kisah Mahabarata dan Ramayana yang katanya berasal dari negeri India. Dari situ pula maka bisa timbul sejumlah pertanyaan berikutnya: dari mana asal usul kisah Mahabarata dan Ramayana itu sendiri? Siapa pengarangnya? Lalu mengapa dan bagaimana kisah itu bisa menjadi kisah pewayangan turun-temurun sampai ke masa kini? Apakah kedua kisah itu asal mulanya seperti juga banyak kisah/dongeng rakyat pada umumnya yang berkembang dan beredar dari mulut ke mulut sejak zaman orang2 tua atau nenek moyang dahulu? Selain itu saya juga masih belum mengerti kenapa buku ini berjudul “Anak Bajang Menggiring Angin”? Apa kaitan judul dengan isi kisah buku ini? Apa maksud atau makna yang terkandung dari judul tersebut terhadap keseluruhan kisah dalam buku ini? Dan awalnya juga saya tidak tau apa arti kata ‘anak bajang’ itu sendiri. Rasanya untuk mendapatkan jawaban dari sejumlah pertanyaan itu saya harus mencari informasi dari bukubuku/tulisan/referensi/literatur yang membahas mengenai pewayangan dari mulai asal-usul hingga ke berbagai
Rasanya untuk mendapatkan jawaban dari sejumlah pertanyaan itu saya harus mencari informasi dari bukubuku/tulisan/referensi/literatur yang membahas mengenai pewayangan dari mulai asal-usul hingga ke berbagai aspek yang terkandung di dalamnya. Hal ini juga tentu akan sedikit banyak berkaitan dengan riwayat sejarah negeri ini yang sempat mengalami periode peradaban Hindu yang katanya berasal dari India. *** Dari Lubuk Hati Matahari, Bulan, Bintang, Kemarin,Esok, sampai Hari ini Semua masa lalu yang kan Datang dan Pergi, juga Gunung,Laut, JalanSetapakPepohonan, Tanah dan SungaiAirMata, Kan mengiringi SegarisNasib, SejumputHarapan, Belajar dari Kesia-siaan, Riwayat,Sejarah, kadang Gelap kadang Terang seperti Pagi yang terbit dari LubukHati Pandasurya, Juli 2011
*** akhirnya dapet di Togamas Bandung, tinggal satu2nyah..setelah sempat panik menyesal karena di BBC udah gak ada..|Alkisah raja negeri Lokapala Prabu Danareja jatuh hati kepada Dewi Sukesi, putri raja Alengka Sumali. Begawan Wisrawa –ayah sang prabu– lantas datang ke Alengka bermaksud meminang Dewi Sukesi untuk anaknya tercinta. Wahai Begawan nan rupawan Elok nian paras dan tutur mu.. Duh Dewi si keras hati Tinggi sekali maumu.. Namun manusia hanya manusia.. Seringnya kalah oleh godaan Oh nafsu.. Niat meminang justru jadi bersenang-senang, tak kuat begawan dan sang Dewi menahan cobaan dari Batara Guru. Tak kuat menahan hawa..ehmmm. Betapa hancur hati Danureja dan istri sang begawan - Dewi Lokawati. Petaka bermula dari sini, dosa Wisrawa dan Sukesi melahirkan anak-anak raksasa - Rahwana si muka sepuluh (dasamuka), Kumbakarna (raksasa sebesar gunung Anakan), Sarpaneka (raksasa wanita yang tidak sedap baunya) dan terakhir Wibisana yang satu-satunya berwujud manusia sempurna yang baik dan bijaksana. …… Kisah berlanjut pada keluarga Resi Gotama dan Dewi Windradi. Tidak disebutkan ada di negeri mana, setting berada di pelataran dengan sungai kecil dan gadis kecil Retna Anjani sedang manangkapi awan-awan (duh gusti hebatnyaaa.. awan bisa ditangkap. Bukan mas Awan lho -) Anjani yang tertangkap basah sedang bermain-main dengan cupu wasiat – cupu manik astagina, menjadi awal mulanya penderitaan keluarga ini. Cupu tersebut pemberian ibunya. Namun Dewi Windradi enggan memberitahu Resi Gotama bahwa cupu tersebut diberi oleh mantan kekasihnya di kahyangan Batara Surya. Dewi Windradi dikutuk oleh suaminya menjadi batu dan dilempar hingga ke Alengka. Retna Anjani menjadi kera, yang kemudian mendapat anak dari Batara Guru yaitu Anoman. Dua kakak Anjani, Guwarsa dan Guwarsi berwujud kera juga dan berubah nama menjadi Subali dan Sugriwa. Alasan perubahan nama tidak ada dalam buku, kalau mau tau ya mesti cari di kitabnya.. (silahkan…-)
Guwarsa dan Guwarsi berwujud kera juga dan berubah nama menjadi Subali dan Sugriwa. Alasan perubahan nama tidak ada dalam buku, kalau mau tau ya mesti cari di kitabnya.. (silahkan…-) …… Klimaks cerita adalah anggota kerajaan Ayodya. Rama, Sinta dan Laksamana harus berhadapan dengan keluarga turunan mantan Begawan Wisrawa dan Sukesi. Rahwana menculik Dewi Shinta dan membabi buta menghabisi siapa saja yang menghalangi niatnya. Mujur Rama dan Laksamana mendapat dukungan dari keluarga turunan Resi Gotawa. Yaitu Anoman, Sugriwa dan Anggada (anak Subali) , serta pasukan kera yang siap menghancurkan Alengka. Dewi Sinta yang sangat setia dan selalu menjaga cintanya terhadap Rama mesti berurusan dengan raksasa bengis. Siapa yang sangggup membayangkan bermesraan dengan Rahwana, Shinta lebih baik mati daripada menjadi pelayan nafsu si Dasamuka. Namun berbeda dengan suaminya- Rama menyimpan keraguan akan keutuhan cinta Shinta. Betapa sedih dan terpukulnya Shinta saat Anoman memintanya untuk mengenakan cincin titipan Rama, guna mengetes kesuciannya. Wahai Rama, pikirlah lagi.. kesucian yang mana? Kau kan yang membuatnya bukan gadis lagi.. (iya kan?) Cincin itu menyala begitu terangnya.. Batu menyala namun hatinya miris, sang suami meragukannya hingga perlu bukti. Padahal kala Rama memakai kalung permata titipan Sinta melalui Anoman – nyalanya hanya redup saja..uhhh -( Bagaimanapun juga pencarian terhadap Sinta tetap berjalan. Rama dan pasukan kera berhasil mengalahkan Alengka, hingga membinasakan Rahwana – si lambang kejahatan utama – namun ia tidak mati, tidak bisa mati. Kejahatan selalu ada supaya kebaikan punya faedah. Setelah perjuangan yang memakan banyak nyawa tersebut, betapa mengagetkan reaksi Rama terhadap Sinta. Sudah nyala api cintanya redup tapi angkuh, sombong. Peribahasa sombong adalah rendah diri yang di tutupi..sepertinya benar. Kadar cintanya sudah lebih rendah dibanding Sinta, tapi masih bisa minta pembuktian dari sang istri. Hai satria agung…. Yang katanya berbudi luhur.. (katanya lho..) Apa lebih mu dari yang lain Bila kesucian fisik itu yang terpenting.. Apa lebih mu dibanding Rahwana? Tiadakah cinta dihati dan kesetiaan lebih berarti? Rahwana jelas-jelas jujur dengan keinginannya, yaitu Sinta – mungkin secara fisik itu yang paling jelas, tapi siapa tau dia benar2 jatuh cinta dengan Sinta? (mana kita tau) Sehebat-hebatnya Rahwana, dia mampu menahan diri, menghormati Sinta dengan tidak menyentuhnya hingga Sinta bersedia or hingga tak ada lagi cara lain (mungkin). Kalau Rahwana nekat, apa susahnya menekan seorang wanita lemah gemulai seperti Sinta? Tapi justru dia tidak memaksakan kehendak dan masih mau tawar2an.. cukup gentle kan? (yah, utk ukuran karakter antagonis) disagree? ok,Hold your comment until you read the book and get to Rama’s part and Sinta.. see how Rama acts at the end. Let’s see your comment then… -p Enjoy the book !!! |Antum suka cerita wayang (Jawa)? Tidak? Tidak mengapa. Aku cuma mau bilang kalau aku suka cerita wayang, kok. Tapi apa antum tau cerita wayang? Mungkin iya, kan, meskipun nggak terlalu detail? Yaaa… Mau bagemana lagi, coba? Memang susah, kok, nyari anak muda – yang bahkan ngaku orang Jawa – yang segenerasi dengan aku, atau malah di bawahku, yang bisa apal sama tokoh-tokoh wayang sebanyak 1 kotak itu. Susah nemuin anak muda yang bisa njawab “Kalanadah” kalo ditanya apa nama kerisnya Gatotkaca. Itu sama susahnya nyari anak muda yang tau kalo nama kahyangannya Sang Hyang Wenang itu adalah Alang-alang Kumitir, atau juga siapa namanya Bambang Sumantri setelah dia diangkat jadi patihnya Prabu Harjuna Sasrabahu? Ah, kayaknya cuma sedikit yang tau kalo gelarnya Sumantri adalah Patih Suwanda.
susahnya nyari anak muda yang tau kalo nama kahyangannya Sang Hyang Wenang itu adalah Alang-alang Kumitir, atau juga siapa namanya Bambang Sumantri setelah dia diangkat jadi patihnya Prabu Harjuna Sasrabahu? Ah, kayaknya cuma sedikit yang tau kalo gelarnya Sumantri adalah Patih Suwanda. Oke, nggak pa-pa. Nggak perlu berkecil hati. Masih mending kalo nggak tau tapi diem aja, daripada udah nggak tau tapi berlagak sok tau. Soalnya kalau mendapati jenis manusia yang terakhir, misalnya kemarin-kemarin ini lewat sebuah sinetron kacangan di tipi dengan judul “Gatot Kaca”, aku jadi suka nggak tahan untuk tidak geli. Baiklah… Bolehlah kita bilang kalo segala yang terjadi di dalam sinetron kampret itu adalah sebuah proses kreatif yang jadi hak prerogatif sang sutradaranya. Tapi tetap saja aku ngerasa janggal ketika mendapati bahwa yang jadi musuh abadi si Gatot di sinetron itu adalah Rahwana. Yang bener aja donk, Oom? Mas Gatot dan Rahwana itu adalah 2 tokoh dari 2 generasi yang jauuuh berbeda dan bersumber dari 2 buah karya sastra yang berbeda pula. Yang pertama hidup di jaman Mahabarata dan yang terakhir di jaman jauh-jauh-jauh sebelumnya: Ramayana. Jadi kenapa musuhnya Gatot nggak dibikin bernama Bomanarakasura? Ah, jangan-jangan Oom Sutradara ndak tau tentang hal ini, ya? (Tapi aku ndak nyaranin juga kalo musuhnya si Gatot dibikin berjudul Adipati Karna lho ya. Kalo macam gitu, ending sinetronnya, Mas Gatot harus mati, soale) Yak! Cukup sampai di situ saja ketidak-habis-pikiranku tentang sebuah sinetron berjudul “Gatot Kaca” itu tadi. Sekarang aku cuma mau ngasih tau kalo ada sebuah novel bagus yang berjudul “Anak Bajang Menggiring Angin” karangannya Romo Sindhunata. Isinya memang cerita wayang yang mengadaptasi Ramayana, kok. Hanya saja, apakah latar-belakang antum ini sebelumnya paham cerita wayang ataupun nggak, asal antum menyukai rangkaian kata-kata indah yang jauh dari kesan blak-blakan, novel ini sangat layak buat dijadiin bacaan. Novel ini sebenernya sudah dicetak-ulang beberapa kali. Yang sekarang mejeng di rak bukuku sendiri adalah cetakan kelima sejak terbit pertama kali tahun 80-an. Punyaku bersampul warna merah. Tapi kalo sampeyan nyari ke Gramedia sekarang-sekarang ini, niscaya sampeyan akan mendapati bukunya bersampul warna hitam. Novel ini juga seakan-akan pengen merumuskan hakikat cinta. Berulang-kali masalah cinta dibahas di situ. Memang nggak heran, wong aslinya cerita Ramayana, kan, bersumber dari konflik cinta. Cuma saja, di novel ini dikisahkan kalau cintalah yang akhirnya menguraikan segala permasalahan. Ente mungkin sudah tau kalo Anoman adalah kera putih nan sakti, panglima perangnya Prabu Rama waktu menyerbu Alengka. Ente mungkin juga bisa menyebutkan kalo ditanya siapa saja tokoh-tokoh wayang protagonis yang terkenal sakti dan populer? Biasanya, selain Anoman itu tadi, jawaban umum yang kutemui adalah Arjuna, Gatotkaca, atau Bima alias Werkudara. (Well, sangat jarang yang bakal menjawab “Wisanggeni”. Padahal tokoh yang 1 ini justru beberapa kali kedapatan menghajar Batara Guru sampai babak-belur. Yeah, wayang ala Jawa dan India memang beda jauh, kok. Di versi Jawa, menurut buku “Babad Tanah Jawi”, dewa tetaplah makhluk keturunan Nabi Adam. Jadi tingkah-lakunya terkadang memang suka ngaco. Batara Guru yang penguasa Jonggringsalaka – bosnya para dewa – inilah salah satu biangnya yang hobi ngaco, sehingga nggak heran juga kalo doi sering dipukuli sama Bambang Wisanggeni yang anaknya Arjuna itu) Balik lagi ke “Anak Bajang Menggiring Angin”… Di novel ini aku malah mendapatkan kesan kalo Anoman itu nggak sakti-sakti amat. Begitu juga dengan tokoh protagonis lainnya. Keberhasilan mereka mengalahkan Rahwana adalah karena kepasrahan mereka kepada Yang Punya Hidup dan kegigihan karena memiliki rasa cinta itu tadi. Sedangkan Rahwana sendiri kalah lebih disebabkan karena kesombongannya yang mencoba menentang hukum alam. Anoman berkali-kali dikisahkan seperti tokoh yang nggak tau apa-apa, suka bingung, dan panikan. Yang membuatnya bisa menaklukkan musuh-musuhnya adalah ya kepasrahannya itu tadi. Anoman berkali-kali harus dibantu dan diyakinkan oleh tokoh-tokoh figuran yang cuma numpang lewat sebelum akhirnya dia bisa menyelesaikan tugas-tugasnya.
membuatnya bisa menaklukkan musuh-musuhnya adalah ya kepasrahannya itu tadi. Anoman berkali-kali harus dibantu dan diyakinkan oleh tokoh-tokoh figuran yang cuma numpang lewat sebelum akhirnya dia bisa menyelesaikan tugas-tugasnya. Ramawijaya malah lebih parah lagi. Sebagai tokoh titisan Wisnu yang akhirnya menaklukkan Rahwana, beberapa kali Rama diceritakan macam orang linglung gara-gara Dewi Sinta istrinya diculik sama Rahwana. Rama mirip betul macam abege putus cinta yang nggak mau ngapa-ngapain. Berkali-kali dia harus dikuat-kuatkan sama Laksmana, adiknya, dan Wibisana. Rama berkali-kali juga dikisahkan merengek-rengek seakan-akan menyalahkan keadaan. Jadi kembali lagi, di novel ini pada akhirnya segala sesuatunya diselesaikan oleh Cinta. Segala bayanganku sebelumnya tentang ampuhnya senjata Guwawijaya milik Rama, atau juga dahsyatnya kesaktian Anoman, jadi lenyap sewaktu membaca novel ini. Maka kalau ditanya, apa perkara yang membuat manusia mampu melakukan suatu hal di luar batas kemampuannya, maka jawabannya adalah “cinta”. Dan akhirul kalam, penilaianku tentang novel ini, ini adalah novel yang harus dibaca oleh siapa saja yang ngakungaku punya hobi mbaca. Kalo sampeyan kebetulan berjenis kelamin wanita dan berparas manis, seperti biasa, sampeyan boleh meminjam novel ini langsung ke aku. Jika tidak, silakan cari di toko buku terdekat di sekitar tempat tinggal sampeyan. Terima kasih.