ALTERNATIF PENGELOLAAN PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA
AJI SULARSO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Alternatif Pengelolaan Perikanan Udang Di Laut Arafura adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2005
Aji Sularso
ABSTRAK
AJI SULARSO. Alternatif pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura. Dibawah bimbingan DANIEL MONINTJA, AKHMAD FAUZI and PURWANTO. Laut Arafura merupakan salah satu dari 9 WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) dan satu-satunya yang diizinkan untuk penangkapan udang dengan luas diperkirakan 150.000 Km2. Potensi ikan diperkirakan sebesar 1.076.890 ton/tahun dan potensi ikan demersalnya termasuk udang sebesar 145.830 ton/tahun. Tingkat produksi udang pada tahun 2003 diperkirakan sebesar 45.070 ton/tahun, melebihi JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan). Perikanan udang di Laut Arafura diperkirakan telah mengalami overfishing dan overcapacity disebabkan oleh tidak efektifnya pengelolaan saat ini, lemahnya kemampuan penegakan hukum dan kurangnya kesadaran para pelaku akan prinsip kelestarian. Tujuan utama penelitian adalah untuk menyusun alternatife pengelolaan perikanan udang, sedangkan tujuan khusus adalah : (1) menganalisis bioekonomik perikanan udang, (2) menganalisis kecenderungan produksi aktual versus produksi lestari, (3) mengukur kapasitas dan efisiensi penangkapan, dan (4) merumuskan rekomendasi pengelolaan perikanan udang ke depan. Penelitian dilaksanakan di Laut Arafura pada bulan Maret 2003 sampai dengan Februari 2004, melalui observasi di lokasi pendaratan (Benjina, Agats, Dolak, Aru), pengumpulan data sekunder dan sampling 39 kapal pukat udang dari 355 jumlah populasi. Data runtun waktu tahun 1986 sampai dengan 2003 digunakan untuk analisis bioekonomi menggunakan model Gordon-Schaefer dan model Clark, serta analisis efisiensi mengunakan Data Envelopment Analysis (DEA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perikanan udang di Laut Arafura saat ini dalam kondisi overfishing secara ekonomi dan biologi, overcapacity dan inefisiensi. Disertasi ini memperkenalkan tiga skenario pengelolaan perikanan udang, yakni (1) pengurangan jumlah kapal maksimum 15% dari total GT, (2) penerapan kuota dengan pengurangan total tangkapan 5%, dan (3) penutupan musim penangkapan pada bulan Juni. Ketiga skenario merupakan kebijakan incentive blocking instrument (IBI) yang cocok untuk kebijakan jangka menengah. Kebijakan incentive adjusting instruments (IAI) seperti pengenaan pajak diperkenalkan untuk jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian upaya dengan pengurangan kapal sampai titik optimum, memberikan kontribusi bagi tercapainya strategi pembangunan nasional, yaitu pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian merekomendasikan kombinasi kebijakan IAI dengan pengenaan pajak dan pengelolaan dinamik menghasilkan hasil optimum jangka panjang dan memberikan kontribusi pada pencapaian tiga strategi pembangunan nasional, yaitu pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. melalui Kata kunci: Perikanan udang, pengelolaan bioekonomik, Data Envelopment Analysis, efisiensi, Laut Arafura.
ABSTRACT AJI SULARSO. The shrimp fisheries management options of the Arafura Sea. Under the direction of DANIEL MONINTJA, AKHMAD FAUZI and PURWANTO. Arafura Sea is the one of the 9 fishing grounds in Indonesia for shrimp fishing which the total area is estimated 150.000 km2. The total fish stock is estimated to be 1.076.890 tons/year and the demersal fish stock inlcuding shrimp is 145.830 tons/year. The shrimp fisheries condition at Arafura Sea is presumed to be over fishing and overcapacity due to ineffective of current management, lack of law enforcement capabilities, and lack of fishermen concern of the sustainable principles. The main objective of the dissertation is to formulate the shrimp fisheries management options which include vessels number reduction, implementation of quota and seasonal closure. The specific objectives of the dissertation are include: (1) analyze the shrimp fisheries bioeconomic, (2) analyze the actual versus sustainable production trend, (3) measure shrimp fishing capacity and efficiency, (4) formulate the recommendation of the future management options. The research of this dissertation was conducted at Arafura Sea from March 2003 to February 2004, through observation on the landing sites (Benjina, Agats, Dolak, Aru), collecting secondary data and sampling of 39 shrimp trawl boats from 355 boats of total population. The data were analyzed using bioeconomic models including Gordon-Schaefer model and Clark model to obtain optimum condition both static and dynamic. The data is also analyzed using Data Envelopment Analysis (DEA) to measure fishing capacity and efficiency. The Study found that the current condition of shrimp fisheries at Arafura Sea is under economic overfishing and overcapacity or inefficiency. Therefore, the shrimp fisheries management should be improved to maintain sustainability, reduce overcapacity and improve efficiency. This dissertation introduces three shrimp fisheries management scenarios including: (1) reduction of total vessels number by 15% of the total GT (gross tonnage), (2) quota of total catch by 5% reduction of annual catch, and (3) seasonal closure during June of each year. Those scenarios are categorized as incentive blocking instruments which feasible for medium period policy. Whereas the incentive adjusting instruments such as tax is introduced for long-term period. The results show that the policy of effort control by vessel’s number reduction to optimum level contribute to the achievement of government development strategy of pro-poor and pro-growth. The study also recommends that the combination of incentive adjusting instruments by tax and dynamic optimum management will produce long-term optimum result, which contribute to the achievement of government development strategy of pro-poor, pro-job and pro-growth. Keywords: Shrimp fisheries, management, bio-economic, Data Envelopment Analysis, efficiency, Arafura Sea.
© Hak cipta milik Aji Sularso, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ALTERNATIF PENGELOLAAN PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA
AJI SULARSO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Disertasi
: Alternatif Pengelolaan Perikanan Udang Di Laut Arafura
Nama
: Aji Sularso
NIM
: C 561020074
Disetujui Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Ketua
Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Purwanto Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan,
Prof. Dr. Ir. John Haluan
Tanggal Ujian :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir.Sjafrida Manuwoto MSc
22 Desember 2005
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian sejak bulan Maret 2003 adalah pengelolaan perikanan udang, dengan judul Alternatif Pengelolaan Perikanan Udang di Laut Arafura. Terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis haturkan kepada Bapak Prof. Dr. Daniel Monintja selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr Akhmad Fauzi dan Dr. Purwanto selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah mencurahkan perhatian dan memberikan bimbingan sehingga penulisan disertasi berjalan dengan lancar. Penulis juga ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu memberikan data dan memperlancar penelitian antara lain Drs. Bambang Sumiyono, BRKP, Bapak Sukirdjo Ketua Umum HPPI beserta staf, Direktur PUP Ditjen Perikanan Tangkap beserta staf dan Kasubdit Statistik Ditjen Perikanan Tangkap. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ibunda tercinta yang selalu mendoakan, istri dan anak tercinta yang telah memberikan dorongan moral serta kesabaran. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2005 Penulis,
Aji Sularso
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Randudongkal, Pemalang pada tanggal 2 Juli 1954 sebagai anak ke enam dari duabelas bersaudara dari pasangan Sutoro dan Sumarni. Pendidikan akademi ditempuh di AKABRI Laut Surabaya jurusan Teknik, lulus tahun 1976 sebagai Perwira TNI AL berpangkat Letnan Dua. Pendidikan sarjana ditempuh di Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut, afiliasi Institut Teknologi Bandung, jurusan Teknik Manajemen Industri pada program studi Riset Operasi (operation research) atas beasiswa TNI AL, lulus pada tahun 1990. Penulis diberi kesempatan melanjutkan program studi Pascasarjana MMA (magister manajemen agribisnis) IPB atas bea dinas TNI AL, lulus pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Teknologi Kelautan IPB diperoleh pada tahun 2002 atas biaya sendiri. Penulis bekerja di TNI AL sejak tahun 1977 sampai dengan 2000, selanjutnya bekerja di Departemen Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2000 dan pindah status dari militer menjadi PNS (pegawai negeri sipil). Selama di DKP pernah menjabat sebagai Direktur Wilayah Laut, Sesditjen Perikanan Tangkap dan saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Data, Informasi dan Statistik Departemen Kelautan dan Perikanan. Bidang tanggung jawab penulis dalam tugas kedinasan saat ini adalah pengelolaan sistem informasi, statistik dan kehumasan Departemen Kelautan dan Perikanan. Selama mengikuti program S3, penulis merencanakan dan mengkoordinir penelitian di perairan Arafura meliputi: obrservasi sumber daya ikan, studi lingkungan dan studi zonasi penangkapan udang. Karya ilmiah berjudul “Pengendalian kapasitas penangkapan udang di L. Arafura” telah disajikan pada Seminar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB pada bulan September 2005 dan dalam proses pengajuan untuk diterbitkan dalam jurnal ilmiah.
DAFTAR ISI
1
PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................... 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 1.7 Kerangka Pemikiran ...................................................... .................
1 1 4 4 5 6 6 7
2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Dasar-dasar Pengelolaan Sumberdaya Perikanan .......................... 2.2 Pengembangan Model Bioekonomi untuk Pengelolaan Perikanan Udang ................................................................................ 2.3 Pengelolaan Perikanan (Fisheries Management) .......................... 2.3.1 Input (effort) control (pengendalian input) ....................... 2.3.2 Output (cacth) control ...................................................... 2.3.3 Pengaturan teknis (technical measures) ............................ 2.3.4 Pengelolaan berbasis lingkungan (ecologicaly based management) ................................................................... 2.3.5 Instrument ekonomi tidak langsung : pajak dan subsidi .... 2.4 Keragaan Perikanan .....................................................................
9 9 16 22 22 24 25 25 26 26
3
METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 3.2 Kerangka Pendekatan Analisis ..................................................... 3.3 Analisis Bioekonomi Statik Gordon-Schaefer .............................. 3.4 Analisis Optimasi Dinamik Clark-Munro ..................................... 3.5 Analisis Efisiensi/kapasitas Perikanan .......................................... 3.6 Seasonal Closure Model .............................................................. 3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data........................................ 3.8 Asumsi Dasar …………………………………………………... ...
41 41 42 44 46 47 49 50 53
4
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 4.1 Kondisi Perikanan Udang di Wilayah Studi ................................. 4.2 Analisis Penangkapan Lestari (Sustainable Yield) ........................ 4.3 Optimisasi Bioekonomi ................................................................ 4.4 Pengukuran Kapasitas Perikanan Udang di Laut Arafura dengan DEA ................................................................................ 4.5 Fluktuasi Musiman Produksi Kapal Pukat Udang ......................... 4.6 Skenario Pengelolaan Perikanan Udang di L. Arafura ................... 4.7 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Udang ......................
54 54 57 60
ii
70 78 80 95
5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................... 5.1 Kesimpulan ................................................................................ 5.2 Rekomendasi ...............................................................................
100 100 103
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
106
LAMPIRAN
112
............................................................................................
iii
DAFTAR TABEL
1
Halaman Logical Framework Simulasi Peningkatan Effort (Chapman and Beare, 2001) … ........................................................................................ …..
19
2. Instrumen pengelolaan: incentive blocking dan incentive adjusting …….
31
3
Data dan penggunaannya ......................................................................
52
4
Produksi aktual dan produksi lestari th 1986 s/d 2003 ...........................
58
5
Analisis perbandingan input dan output .................................................
64
6
Perbandingan rente ekonomi pada tiga kondisi pengelolaan ..................
68
7
Rekapitulasi efisiensi tahunan ...............................................................
71
8
Data kapal-kapal pukat udang yang beroperasi di L. Arafura .................
73
9
Proyeksi perbaikan efisiensi kapal Mina Raya 11...................................
78
10 Tangkapan rata-rata bulanan kapal pukat udang anggota HPPI...............
78
11 Dampak penerapan kuota terhadap produksi lestari dan rente ................
82
12 Kapal-kapal pukat udang tidak termasuk yang berumur 30 th ke atas ......
85
13 Efisiensi tanpa kapal umur 30 th ke atas.................................................
86
14 Data efisiensi kapal pukat udang yang sudah dikurangi effort 8%...........
87
15 Produksi rata-rata bulanan dan sinusoida siklikal ...................................
89
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemecahan masalah analisis pengelolaan SDI Udang di Laut Arafura .......................................................................................
8
2
Fungsi Pertumbuhan Logistik (sumber: Fauzi, 2004) ..........................
10
3
Kurva yield-effort (Fauzi, 2004)..........................................................
11
4
Model Gordon-Schaefer (Fauzi, 2004) ................................................
13
5
Overcapitalization dalam perikanan (Pascoe et al., 2004) ..................
30
6
Pembatasan produksi model CCR ......................................................
35
7
Pembatasan produksi model BCC ......................................................
35
8
Wilayah studi pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura ...............
41
9
Kerangka pendekatan analisis kebijakan pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura ..................................................................................
43
10
Daerah operasi armada kapal pair-trawl Taiwan periode 1972-1974 ..
54
11
Basis armada kapal trawl P.T. Darma Guna Samudera, anak Perusahaan dari Djajanti Group, di Benjina, Kepulauan Aru ...............
12
55
Mobilitas kapal pukat udang di Laut Arafura berdasarkan pemantauan VMS (Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan) ................................................
13
56
Fluktuasi produksi aktual dan produksi lestari Schaefer dari tahun 1986 s/d 2003 ....................................................................................
59
14
Kurva hasil tangkapan dna biomasa perikanan udang di L. Arafura ....
60
15
Kurva revenue, cost dan profit perikanan udang di L. Arafura ………
61
16
Plot yield – effort dengan tangkap aktual ............................................
63
v
17
Copes Eye Ball untuk Perikanan udang di Laut Arafura .....................
18
Tingkat effort optimum perikanan udang di Laut Arafura dalam kondisi open access, MEY dan MSY dan tahun 2005 ..........................
19
lestari (MSY) dan kondisi tahun 2005.................................
66
Perbandingan input dan output pada berbagai kondisi pengelolaan dan kondisi tahun 2005 ......................................................................
21
65
Perbandingan tingkat produksi open access, optimal (MEY) dan produksi
20
63
66
Perbadingan rente ekonomi pada open access, MEY dan MSY dan kondisi aktual tahun 2005 ...................................................................
67
22
Perbandingan produksi ketiga tipe pengelolaan ..................................
69
23
Perbandingan effort ketiga tipe pengelolaan .......................................
69
24
Fluktuasi angka efisiensi ....................................................................
71
25
Analisis efisiensi antar kapal penangkap udang di Laut Arafura ..........
74
26
Analisis efisiensi antar kapal penangkap udang di Laut Arafura ..........
75
27
Distribusi efisiensi kapal pukat udang di Laut Arafura ........................
75
28
Potensi perbaikan efisiensi .................................................................
77
29
Grafik tangkapan bulanan kapal-kapal PU anggota HPPI ....................
79
30
Trajektori produksi lestari dengan dan tanpa kuota..............................
83
31
Tren produksi bulanan dan tren siklikal...............................................
89
32
Kurva profit dan effort (jumlah kapal) ..................................................
92
33
Kurva revenue, profit dan cost perikanan udang di L. Arafura……….
93
34
Kurva bioekonomi sesudah pengenaan tax 10% ...................................
98
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Algoritma MAPLE bioekonomi perikanan udang di L. Arafura ....... .....
112
2
Data kapal pukat udang di L. Arafura .....................................................
116
3
Proses iterasi kapal DEA kapal-kapal pukat udang
..............................
119
4
Kerangka logis (logical framework) alternatif pengelolaan perikanan udang .....................................................................................................
130
vii
PENGERTIAN ISTILAH
Biomass: jumlah berat tiap individu ikan pada suatu stok. Bycatch: bagian hasil tangkapan yang diambil secara insidensiaal pada ikan target, dan sebagian ikan tersebut dibuang. Catchability coefficient (q): proporsi total stok yang ditangkap oleh satu unit upaya penangkapan (fishing effort). Closure: larangan penangkapan ikan selama waktu atau musim tertentu (penutupan waktu), atau di daerah tertentu (penutupan tempat), atau kombinasi keduanya. Input control: pembatasan jumlah upaya penangkapan (fishing effort), pembatasan pada jumlah, ukuran dan tipe kapal atau alat tangkapnya, daerah penangkapan atau waktu penangkapan. Maximum Economic Yield (MEY): suatu tangkapan melebihi batas dimana pendapatan yang dihasilkan oleh penambahan marjinal upaya lebih kecil dari pada biaya untuk penambahan tersebut; titik dimana kelebihan laba yang didapat mencapai masksimal dengan biaya yang dibutuhkan untuk menutup semua kebutuhan. Maximum Sustainable Yield(MSY): tangkapan tahunan terbesar yang dapat diambil dari stok secara terus menerus tanpa mempengaruh tangkapan mendatang, MSY jangka panjang yang tetap tidak ada dalam sebagaian besar perikanan, ukuran stok bervariasi sesuai dengan perubahan klas tiap tahun dalam stok. Open access fishery: suatu perikanan tanpa pembatasan pada jumlah nelayan atau unit penangkapan, perikanan yang tidak diatur. Output control: pembatasan pada berat atau tangkapan (suatu kuota), atau kondisi reproduksi individu ikan yang diizinkan meliputi ukuran, sex. Overcapacity: situasi dimana output kapasitas lebih besar dari pada output target. Overcapitalization: situasi dimana stok kapital aktual lebih besar dari stok kapital optimum yang dibutuhkan untuk menghasilkan output target. Overfishing (tangkap lebih): diartikan sebagai kondisi dimana jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah ikan yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan dalam suatu daerah tertentu (Fauzi, 2005). Quota: suatu pembatasan pada berat ikan yang dapat ditangkap dalam suatu stok atau daerah tertentu. Stakeholder: suatu individu atau grup yang memiliki kepentingan dalam suatu sumber daya dan pemanfaatannya. Stok ikan: jumlah biomasa ikan yang dapat ditangkap dalam suatu kawasan perairan tertentu dalam periode yang ditentukan agar terjaga kelestarian. Total Allowable Catch (TAC): masksimum tangkapan yang diperbolehkan dari suatu perikanan sesuai dengan rencana pengelolaan.
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pengelolaan perikanan (fisheries management) merupakan proses yang kompleks, memerlukan integrasi sumberdaya biologi dan ekologi, dengan faktorfaktor sosio-ekonomi dan kelembagaan berpengaruh terhadap perilaku nelayan dan pengambil kebijakan. Tujuan pengelolaan adalah terwujudnya kelestarian sumberdaya ikan agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Namun demikian kelestarian merupakan hal yang sulit dicapai, populasi ikan makin terbatas, hasil tangkapan dunia makin sedikit dan hampir 70% stok ikan diseluruh dunia mengalami penurunan, dieksploitasi penuh atau dieksploitasi lebih (Garcia & Newton, 1997). Pengaturan pengelolaan secara konvensional seperti pembatasan ukuran
penangkapan
atau
pembatasan
effort,
telah
digunakan
untuk
mengembalikan stok, mengurangi mortalitas ikan dan meningkatkan stok pemijahan. Ketidak pastian dalam perkiraan stok, peningkatan kekuatan penangkapan (fishing power) secara dramatis dan pilihan intertemporal berakibat jatuhnya beberapa stok ikan, menjadi pertanyaan kenapa pengelolaan gagal. Laut Arafura merupakan salah satu kawasan perairan Indonesia yang memiliki sumberdaya ikan (SDI) yang potensial, khususnya udang, dan menjadi satusatunya kawasan yang diizinkan untuk penangkapan udang dengan trawl. Luas Laut Arafura diperkirakan 150.000 km2 (Naamin, 1984), dengan estimasi total Sumber Daya Ikan sebesar 1.076.890 ton/tahun. Potensi SDI demersal termasuk udangnya diperkirakan sebesar 145.830 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 sebesar 145.070 ton/tahun. Dengan demikian tingkat
pemanfaatan telah melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2003). Sejak diberlakukannya Keppres nomor 39/1980, hanya perairan di sebelah timur garis 130°BT dan isobath 10 (garis batas kedalaman minimal 10 meter), yang merupakan daerah operasi resmi untuk kapal-kapal pukat udang. Secara umum, udang di pesisir barat Papua didominasi oleh jenis udang putih (Penaeus merguensis), sedangkan udang di perairan sebelah timur Kepulauan Aru didominasi oleh jenis udang windu (Penaeus monodon) (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2004). Data terakhir (Februari 2005) di Ditjen Perikanan Tangkap menunjukkan bahwa kapal pukat udang yang diberikan izin di L. Arafura berjumlah 355 kapal yang berkisar besarnya antara 31 GT (gross tonnage) sampai dengan 515 GT, sebagian besar didominasi kapal berukuran antara 100 s/d 200 GT. Sumberdaya udang di Laut Arafura pada tahun 2001 dilaporkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan (2001) dan hasil kajian (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Tim Studi IPB, 2004) mengalami overfishing yang ditunjukkan dengan indikasi makin lamanya rata-rata hari operasi melaut, menurunnya jumlah tangkapan rata-rata, dan makin kecilnya ukuran udang yang ditangkap. Terjadinya overfishing diduga disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) kurang efektifnya manajemen pengelolaan yang tertuang dalam peraturan dan kebijakan pemerintah yang sepenuhnya berdasarkan pada input control; (2) lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut terhadap kegiatan penangkapan, sehingga peraturan atau regulasi kurang ditaati pelaku; (3)
2
kurangnya kesadaran para pelaku terhadap prinsip-prinsip pengelolaan dan pemanfaatan yang lestari dan bertanggung jawab. Untuk
mengurangi
terjadinya
overfishing,
maka
diperlukan
strategi
pengelolaan yang optimal. Dilihat dari perspektif pengelolaan perikanan (fisheries management), sejauh ini Laut Arafura belum sepenuhnya dikelola berdasarkan kepada pendekatan keilmuan (scientific based). Hal ini antara lain dapat dilihat dari belum adanya model pengelolaan yang bisa dijadikan tolok ukur pengendalian. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengevaluasi pengelolaan penangkapan saat ini berdasarkan bioekonomi, pengukuran kapasitas (measuring fishing capacity) dan musim penangkapan. Dengan pendekatan kebijakan yang tepat, berdasarkan pada permasalahan yang ada dan ter-analisis dengan baik, diharapkan kita dapat memperoleh rente yang sebesar-besarnya dari sumber daya ikan di laut Arafura, serta dapat mengelola perikanan di kawasan ini dengan berkelanjutan. Untuk tujuan pengelolaan tersebut, diperlukan suatu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis kondisi perikanan, terutama perikanan udang (kegiatan yang paling menonjol di kawasan ini) pada saat ini. Penelitian diperlukan agar tidak hanya menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi berdasarkan pengamatan sepintas, namun memperoleh data yang akurat tentang kondisi stok dan bagaimana fluktuasi produktivitas penangkapan aktual dan produksi lestarinya. Yang paling penting adalah menyangkut analisis kapasitas perikanan yang seluruhnya dilakukan dengan metode yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan, serta mengikuti perkembangan keilmuan terbaru. Beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam menganalisis perikanan udang di kawasan ini adalah
3
dengan menggunakan model bio-ekonomi statik maupun dinamis, kemudian analisis kapasitas dengan menggunakan DEA.
1.2 Perumusan masalah Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan perikanan udang di laut Arafura meliputi: terjadinya overfishing, overcapacity atau inefisiensi usaha, secara de facto terjadi open access meskipun diatur dalam berbagai peraturan, serta terancamnya sumber daya udang sebagai akibat dari tidak ketatnya pengelolaan yang menjamin kelestarian. Permasalahan tersebut disebabkan antara lain oleh kurang efektifnya penegakan hukum, kurang kesadaran pelaku untuk mentaati peraturan (seperti pelanggaran daerah penangkapan, penggunaan alat tangkap) dan prinsip kelestarian, serta kurang efektifnya pengelolaan (fisheries management). Dalam hal pengelolaan, secara prinsip, sejak diberlakukannya Keputusan Presiden nomor 85 tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang dan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 39 tahun 1980, banyak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut sehingga ketentuan tersebut kurang efektif.
1.3 Hipotesis Penelitian Pada saat ini apabila dilihat secara kasat mata, maka dapat diidentifikasi berbagai permasalahan pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura, yang kemudian dijadikan sebagai hipothesis dalam penelitian ini, yaitu :
4
1.
Terjadi overfishing perikanan udang di Laut Arafura pada saat ini, dilihat dari penurunan produktivitas hasil tangkapan dan menurunnya ukuran udang yang ditangkap, serta perubahan species dominan.
2.
Usaha penangkapan udang semakin tidak efisien dilihat dari aspek ekonomi, terutama rasio antara upaya (effort) dan produktivitas hasil tangkapan.
3.
Terjadi berlebihnya kapasitas penangkapan oleh kapal-kapal pukat udang serta belum diberlakukannya pembatasan yang efektif.
4.
Kondisi perikanan yang tidak efisien akan berpengaruh terhadap keberlanjutan baik stok sumber daya ikan.
1.4 Tujuan Penelitian Dari beberapa hipothesis tadi maka dapat diuraikan tujuan utama penelitian ini, yaitu: penyusunan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan udang di laut Arafura. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ditetapkan beberapa tujuan khusus sebagai berikut. (1)
Menganalisis bioeconomic perikanan udang di Laut Arafura.
(2)
Menganalisis kecenderungan produksi penangkapan ditinjau dari produksi aktual maupun produksi lestari.
(3)
Mengukur kapasitas penangkapan (measuring fishing capacitty) perikanan udang di Laut Arafura untuk mengetahui efiensi pengelolaan secara umum dari tahun ke tahun dan efisiensi tiap kapal.
(4)
Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan perikanan udang di laut Arafura ke depan.
5
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dihasilkan dari penelitian adalah sebagai berikut: (1)
Masukan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pengelolaan perikanan udang ke depan.
(2)
Masukan bagi dunia usaha dalam pengambilan kebijakan dan strategi usaha penangkapan udang di Laut Arafura.
(3)
Acuan bagi akademisi atau peneliti untuk mengadakan penelitian lanjutan yang lebih spesifik.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Agar penelitian ini dapat berdaya dan berhasil guna, maka berikut ini diuraikan terlebih dahulu ruang lingkup penelitian ini, yaitu : (1)
Pengujian model bioekonomik Gordon-Schaefer dan menentukan model yang optimal (analisis dinamik Clark-Munro) bagi pengelolaan perikanan udang di laut Arafura.
(2)
Pengukuran kapasitas penangkapan udang di laut Arafura baik secara agregat dari tahun ke tahun, maupun kapasitas penangkapan per kapal untuk mengetahui apakah usaha penangkapan udang sudah overcapacity atau efisien.
(3)
Analisis skenario pengelolaan perikanan udang dalam tiga alternatif, yaitu pengurangan jumlah kapal, penerapan kuota, dan penutupan musim penangkapan.
6
1.7 Kerangka Pemikiran Untuk pemecahan permasalahan yang diuraikan di atas secara tepat, perlu dianalisis kondisi perikanan udang di Laut Arafura dilakukan dengan pendekatan bioeconomic model Gordon-Schaefer, analisis produksi aktual dan produksi lestari, pengukuran kapasitas penangkapan (measuring fishing capacity) dengan DEA dan analisis kecenderungan musim penangkapan. Hasil analisis bioeconomic menghasilkan penilaian terhadap tiga acuan yaitu MSY, MEY (optimal static) dan optimal dynamic (Model Clark-Munro). Analisis produksi menghasilkan model hubungan antara produksi aktual dan effort serta fluktuasi efisiensi yang menggambarkan secara umum kapasitas penangkapan dan tingkat efisiensi. Pengukuran kapasitas dengan DEA menghasilkan gambaran efisiensi dari tahun ke tahun serta efisiensi tiap kapal. Analisis musim penangkapan menghasilkan kesimpulan waktu penangkapan yang paling kecil atau tidak efisien. Apabila tiga analisis yaitu analisis bioekonomi, analisis efisiensi dan analisis produksi (dilihat dari kelestarian) menunjukan hasil positif, dalam arti kondisi perikanan udang saat ini optimal, efisien dan lestari, maka hanya diperlukan penyempurnaan pengelolaan saat ini. Apabila tiga analisis tersebut menghasilkan kesimpulan sebaliknya yaitu tidak optimal, tidak efisien dan tidak lestari maka pengelolaan perikanan udang ke depan perlu disempurnakan. Berdasarkan analisis tersebut, selanjutnya dirumuskan alternatif pengelolaan perikanan udang ke depan dengan mengembangkan tiga skenario yaitu pengurangan jumlah kapal, pembatasan musim penangkapan dan penerapan kuota hasil tangkapan. Tiap skenario yang merupakan alternatif pengelolaan, dievaluasi berdasarkan rente ekonomi, efisiensi dan kelestarian SDI. Dari hasil analisis skenario yang
7
menghasilkan alternatif pengelolaan, selanjutnya dirumuskan rekomendasi pengelolaan perikanan udang ke depan yang paling optimal. Berikut ini adalah skema kerangka pemikiran penelitian ini.
PERMASALAHAN SAAT INI • • • •
Overfishing Tidak efisien (overcapacity) Kelestarian SDI terancam
De facto open access
Analisis Kondisi Saat Ini
Kapasitas Penangkapan
Bioeconomic
Optimal
Tidak
Ya
Efisien
Musim Penangkapan
Produksi
Tidak
Sustainable
Ya
Tidak
Ya
Peningkatan
Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Pengurangan jumlah kapal
Pembatasan Musim Penangkapan
Penerapan Kuota
Rekomendasi Pengelolaan SDI
Gambar 1.
Kerangka pemikiran pengelolaan SDI udang di Laut Arafura
8
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar-dasar Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pendekatan analitis untuk pengelolaan sumber daya perikanan di dasarkan pada pendekatan bioekonomi yang sudah dikembangkan sejak awal tahun 1950an. Meskipun konsep biologinya sendiri sudah dikenalkan oleh Graham pada tahun 1935 (Graham., 1935) dalam bentuk model logistik, model ini kemudian dikembangkan oleh M. Schaefer (1954) yang memandang populasi ikan sebagai satu kesatuan keseluruhan. Selanjutnya Gordon (1954) mengembangkan model ekonomi berdasarkan model Scahefer tersebut dan memperkenalkan konsep economic overfishing dan perikanan open access. Model yang dikenal sebagai model bioekonomi Gordon-Schaefer (Gordon, 1953; 1954), kemudian banyak digunakan untuk menganalisis pola pengelolaan perikanan yang optimal dan berkelanjutan
(Seijo et al., 1998). Secara sederhana model pengelolaan
bioekonomi dimulai dengan mengasumsikan bahwa pertumbuhan populasi ikan mengikuti fungsi logistik sebagaimana Gambar 2.a dan secara matematis dapat ditulis dalam persamaan berikut.
dx x(t ) = rx(t )(1 − ) dt K
………………………………….(2.1)
r adalah tingkat pertumbuhan populasi secara intrinsik, x(t ) adalah biomasa dalam waktu t dan K adalah carrying capacity atau daya dukung lingkungan. Perilaku populasi dalam suatu kurun waktu dijelaskan dengan kurva Sigmoid, dimana biomasa yang tidak dieksploitasi bertambah sampai mencapai level maksimum pada level K (lihat Gambar 2.b).
F(x)
xt K r1
r2
1 K 2
0
K
0
x
t
(b)
(a)
Gambar 2. Fungsi pertumbuhan logistik (sumber: Fauzi, 2004)
Produksi penangkapan ikan merupakan fungsi dari upaya (effort) dan stok ikan (Schaefer, 1957), maka hubungan antara tangkap dan effort dapat ditulis dalam bentuk:
h = qxE
…………………………….......………………(2.2)
dimana h = produksi, q = koefisien kemampuan tangkap, x = stok ikan dan E = upaya. Menurut Gulland, 1983), q didefinisikan sebagai pembagian populasi ikan yang ditangkap oleh satu unit upaya. Persamaan tersebut dapat digunakan secara sederhana untuk menggambarkan pengaruh penangkapan terhadap pertumbuhan biologi stok ikan sebagaimana Gambar 3. Akibat adanya aktivitas penangkapan atau produksi, persamaan (2.1) menjadi: dx x = rx(1 − ) − h dt K
=
rx[1 −
x ] − qxE ………………..…………….(2.3) K
10
h = q x E3
h = q x E2
h = q x E1
h3 h2
h1
Gambar 3. Kurva yield-effort (Fauzi, 2004)
Model pertumbuhan Schaefer ini dapat ditransformasi untuk menentukan hubungan antara input (effort) dan output (produksi) dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan dimana
dx = 0 , sehingga dt
persamaan (2.3) berubah
menjadi:
qxE = rx[1 −
x ] K
............................................................ (2.4)
Dari persamaan (2.4) tersebut, kita bisa mencari x sebagai berikut: qE x = K 1 − r
………………....…………….….………(2.5)
Selanjutnya dengan mensubstitusikan persamaan (2.5) tersebut ke dalam persamaan (2.2) maka diperoleh kurva produksi lestari:
11
qE ……………………………………………(2.6) h = qKE 1 − r
Persamaan di atas merupakan bentuk lain dari persamaan yang berbentuk kuadratik, dimana
q, K dan r konstanta. Kurva produksi lestari tersebut
sebagaimana Gambar 3, dikenal dengan istilah “yield-effort curve”. Menurut Fauzi (2004), model Gordon-Schaefer dapat menguraikan konsep
bioeconomic pada kondisi akses terbuka. Sebagaimana dalam model biologi, Gordon (1954) mengasumsikan keseimbangan untuk mendapatkan fungsi produksi perikanan. Dalam model tersebut pendapatan bersih π diperoleh dari penangkapan dalam persamaan (2.7) berikut:
π = TR – TC .............................................................(2.7) TR = Total Revenue dan TC = Total Cost. Produksi keseimbangan dalam kondisi akses terbuka terjadi ketika penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC), berarti π = 0 dan tidak ada lagi stimulus untuk masuk (entry) dan keluar (exit) dalam perikanan. Menurut Gordon (1954) jika biomasa juga berada dalam keseimbangan, maka produksi yang dihasilkan akan membentuk keseimbangan baik biologi maupun ekonomi, kondisi tersebut dikenal dengan bioeconomic equilibrium (keseimbangan bioekonomi). Penggambaran secara grafis dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
12
Gambar 4. Model Gordon-Schaefer (Fauzi, 2004)
Dalam kondisi keseimbangan jangka panjang tersebut, persamaan (2.4) dapat ditulis sebagai:
h = rx[1 −
x ] ……………………….………………...(2.8) K
Jika p = harga, maka penerimaan total dapat ditulis sebagai fungsi dari biomasa, atau:
TR( x) = prx[1 −
x ] K
……………..…...……………..(2.9)
Demikian pula fungsi biaya dapat ditulis sebagai fungsi biomas sebagai berikut TC = cE
=c
h cF ( x) = qx qx
TC ( x) =
c x r 1 − ………………………………(2.10) q K
13
dimana c adalah biaya per unit upaya, dan E = effort. Stok atau biomasa pada keseimbangan bioekonomi (TR = TC) diperoleh dengan substitusi persamaan (2.9) dan (2.10) sehingga: x=
c qp
…………………….......................................(2.11)
x selalu lebih besar dari 0, karena upaya penangkapan (fishing effort) akan berkurang atau bahkan berhenti pada saat TC ≥ TR , karena pada tingkat upaya yang melebihi keseimbangan bioekonomi tersebut, tidak ada lagi stimulus untuk masuk
dan
keluar
perikanan.
Model
tersebut
memprediksi
kondisi
overexploitation, jika kurva TC memotong kurva TR pada tingkat upaya yang lebih tinggi daripada yang seharusnya diperlukan untuk mencapai kondisi MSY (Clark, 1985; Anderson, 1986). Analisis matematis menurut Clark (1976, 1985) menyajikan hubungan bioekonomi, sebagaimana diacu oleh Fauzi (2004), rente ekonomi lestari (sustainable rent) didefinisikan sebagai fungsi dari biomas dalam bentuk:
ρ ( x) = pF ( x) −
cF ( x) qx
c = p − F ( x) qx
……………………....……………(2.12)
Dengan menggunakan pertumbuhan logistik, rente ekonomi lestari secara lebih eksplisit dapat ditulis menjadi:
ρ ( x) = p −
c x rx 1 − ………………….….………….(2.13) qx K
Maksimisasi keuntungan statik diperoleh dengan menurunkan persamaan di atas terhadap
x , sehingga diperoleh:
14
d ρ ( x) 2 x cr = pr 1 − + = 0 ………………......……….…(2.14) dx K qx
Persamaan (2.14) di atas dapat dipecahkan untuk menentukan tingkat biomas yang optimal ( xo ): xo =
K c 1 + …………………………..………...……(2.15) 2 pqK
Dengan diketahuinya nilai optimal biomas tersebut, kita dapat menentukan nilai tangkap optimal dan nilai upaya optimal dengan cara substitusi rumus (2.15) ke fungsi produksi sebagai berikut: h0 =
rK c c 1 + 1 − ……………...………………(2.16) 4 pqK pqK
E0 =
r c 1 − 2q pqK
………………........…………………..(2.17)
Selanjutnya menurut Clark (1976, 1985) yang diacu oleh Fauzi (2004), pendekatan dinamik dapat digunakan dalam menganalisis bioeconomic dengan dimasukan faktor waktu, sedangkan pendekatan statik tidak memasukkan faktor waktu. Menurut Purwanto (1987) masalah perikanan adalah bagaimana memanfaatkan
stok
ikan
sepanjang
waktu
secara
efisien
dengan
mempetimbangkan suku bunga dan laju pertumbuhan stok ikan. Demikian pula menurut Seijo et al. (1998) pendekatan klasik bioeconomic adalah statik, sedangkan kondisi perikanan yang open access akan mendorong terjadinya overexploitation dan habisnya rente ekonomi. Pada pemahaman tersebut, tingkat penangkapan pada titik MEY lebih rendah ketimbang MSY, model GordonSchaefer tersebut mengabaikan dimensi waktu dalam mengestimasi tingkat penangkapan dan upaya yang optimal. Tingkat exploitasi optimal suatu stok ikan
15
bisa lebih besar atau lebih kecil dari MEY dan MSY, tergantung dari pilihan intertemporal dalam pemanfaatan sumber daya. Menurut Clark (1976; 1985), dalam model dinamik nilai optimal untuk biomas (x*) dan panen optimal (h*) mengikuti persamaan sebagai berikut: K x = 4 *
éæ dö êç c + 1- ÷ ÷+ êçç r ø÷ êè pqK ë
h* =
2
æ c dö 8c d çç + 1- ÷ ÷+ ÷ çè pqK rø pqKr
1 2x x( pqx − x) δ − r 1 − c K
ù ú ú…............................(2.18) ú û
………..………………(2.19)
δ = discount rate atau interest rate. Model bioekonomi tersebut akan digunakan untuk mengetahui kondisi perikanan udang di Laut Arafura berdasarkan data hasil penelitian. Menurut Purwanto (1984), kondisi perikanan lemuru di Selat Bali telah dianalisis dengan model dinamik dan menghasilkan kesimpulan bahwa dengan produksi lestari sebesar 80 ribu ton per tahun, tingkat rente ekonomi maksimum dicapai pada tingkat produksi 74 ribu ton per tahun. Hal ini membuktikan bahwa dengan model dinamik dapat diketahui tingkat produksi optimal yang menghasilkan rente ekonomi tertinggi, namun masih berada di bawah tingkat produksi lestari.
2.2 Pengembangan Model Bioekonomi untuk Pengelolaan Perikanan Udang
Model bioekonomi di atas adalah model bioekonomi generik yang sering digunakan untuk menganalisis berbagai tipe perikanan baik demersal maupun pelagis. Dalam kasus perikanan udang, ada beberapa penelitian yang menggunakan bioekonomi dengan mengembangkan model sederhana di atas
16
melalui pengembangan model bioekonomi yang lebih kompleks. Griffin (1983) misalnya, menggunakan General Bioeconomic Fishery Simulation Model (GBFSM) untuk menganalisis enam alternatif pengelolaan udang di Texas. Model bioekonomi yang dikembangkan adalah pengembangan model diskrit dari dasar model bioekonomi di atas dengan penambahan struktur mortalitas dan struktur biaya yang lebih kompleks. Model bioekonomi tersebut dianalisis untuk melihat dampak enam alternatif pengelolaan yakni dampak terhadap produksi total, jumlah yang terbuang (discard), biaya dan penerimaan, dan jumlah effort yang digunakan. Model Griffin (1983) dikombinasikan dengan model simulasi untuk mengetahui beberapa skenario perubahan parameter pengelolaan seperti biaya dan penerimaan serta skenario penutupan (seasonal closure). Hasil model Griffin (1983) menunjukkan bawah alternatif pengelolaan dengan menutup perairan offshore dan secara simultan menutup perairan teritorial berakibat terhadap penurunan hasil tangkapan pada tahun pertama, namun kemudian meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Demikian juga penutupan perairan pesisir pada musim semi hanya berakibat sedikit terhadap keseimbangan bioekonomi. Dari model Griffith (1983) dapat diketahui bahwa alternatif pengelolaan yang dapat meningkatkan produksi udang adalah penutupan pada bulan Juni dan Juli serta penghapusan batasan ukuran (size restriction). Pendekatan bioekonomi untuk pengelolaan perikanan udang juga telah digunakan untuk menganalisis alternatif pengelolaan udang di Teluk Meksiko oleh Ward dan Sutinen (1994). Dalam kasus tersebut, model bioekonomi digunakan untuk memprediksi perilaku masuk (entry) dan keluar (exit) dari para pelaku perikanan udang yang heterogen,
17
berdasarkan pola keuntungan yang
myopic (tidak jelas). Ward dan Sutinen (1994) menggunakan model kontinyu dengan menggunakan pendekatan analitik dan ekonometrik. Ward dan Sutinen (1994) menemukan bahwa perilaku keluar dan masuk tidak dipengaruhi oleh keragaman stok. Namun demikian, ekternalitas yang ditimbulkan oleh kepadatan (crowding out externality) menimbulkan dampak negatif terhadap kemungkinan entry terlepas dari perubahan kelimpahan stok, harga dan biaya. Dari studi ini juga dapat diketahui bahwa pengelolaan berdasarkan kuota (pembatasan tangkapan total yang dibagi per kapal) cenderung akan meningkatkan harga dan mengarah ke peningkatan armada dalam ukuran besar dan meningkatkan kecenderungan entry ke perikanan. Salah satu pengembangan terkini menyangkut model bioekonomi untuk perikanan udang juga dilakukan oleh Chapman dan Beare (2001). Kedua peneliti tersebut menganalisis efektivitas pengelolaan Individual Transferable Quota (ITQ) dan pengendalian input (input control) dalam kerangka pendekatan biologi dan ekonomi yang
terintegrasi. Kerangka analisis yang digunakan adalah
optimisasi stokastik untuk mengakomodasai ketidakpastian biologi. Sedikit berbeda dengan model konvensional, model persamaan biologi yang digunakan oleh Chapman dan Beare (2001) adalah model Ricker. Hasil studi Chapman dan Beare (2001) menunjukkan bahwa ITQ menjadi instrumen pengelolaan yang efektif dalam kasus di Norther Prawn Fishery (NPF), terutama pada saat terjadinya peningkatan upaya penangkapan secara kontinyu (effort creep). Namun demikian, keuntungan dalam penerapan ke arah sistim ITQ sangat tergantung dari keberhasilan dalam merasionalisasi struktur kapital. Lebih dari itu strategi pengelolaan alternatif seperti pengaturan musim dan penutupan area tertentu akan
18
memperkuat pengelolaan berbasis ITQ dan menambah manfaat pengelolaan perikanan udang itu sendiri. Chapman dan Beare (2001) lebih jauh juga menyimpulkan bahwa pengelolaan yang optimal untuk NPF dilakukan dengan kombinasi input control dan output control. Hal ini ditarik dari simulasi yang dilakukan dengan tiga pilihan pengelolaan yaitu: penutupan musim penangkapan; penerapan kuota dan kombinasi kuota dengan penutupan setengah musim. Hasil simulasi ketiga alternatif untuk kurun waktu 30 tahun dengan asumsi tidak terjadi peningkatan effort secara signifikan ditampilkan dalam logical framework sebagai berikut. Tabel 1.
Logical Framework Simulasi (Chapman and Beare, 2001)
Struktur Kapital Struktur kapital tetap Jumlah kapal TAC Lama musim Effort tahunan Tangkapan tahunan Pendapatan bersih/th Struktur kapital flexible Jumlah kapal TAC Lama musim Effort tahunan Tangkapan tahunan Pendapatan bersih/th
Penutupan Musim
Peningkatan
Penerapan Kuota
Effort
Kombinasi Kuota-Musim
115 26 minggu 8706 hari 2416 ton
115 3812 ton 23.8 minggu 10960 hari 2198 ton
115 7651 ton 28 minggu 9440 hari 2479 ton
$ 483 juta
$ 426
$ 480 juta
90 31 minggu 8921 hari 2408 ton
62 4084 ton 39.1 minggu 8852 hari 2334 ton
86 5370 ton 32 minggu 8968 hari 2419 ton
$ 489 juta
$ 480 juta
$ 489 juta
Sejarah pengelolaan udang di Laut Arafura dimulai sejak ditemukannya lokasi penangkapan udang yang kaya pada tahun 1964 oleh kapal riset Baruna Jaya dan
19
diyakinkan dengan riset berikutnya tahun 1967. Sejak tahun 1969 mulai beroperasi penangkapan udang oleh dua perusahaan patungan dengan 9 (sembilan) kapal pukat udang, terus meningkat pada tahun 1978 beroperasi 120 kapal pukat udang berukuran antara 90 GT sampai dengan 594 GT oleh 17 perusahaan patungan (Bailey et al., 1987). Gulland (1973) menilai pada saat itu sumberdaya udang di Laut Arafura mengalami tekanan dan terjadi penurunan tangkapan per unit upaya (catch per unit effort) dan merekomendasikan penangkapan dibatasi 90 kapal pukat udang. Uktoselja (1978) mengestimasi MSY udang di Laut Arafura adalah 5200 ton/tahun dan melaporkan pada tahun 1974 sumberdaya udang sudah overexploited. Naamin dan Noer (1980) mengestimasi MSY udang di Laut Arafura antara 6000 sampai dengan 6170 ton per tahun. Pada tahun 1970 kapal-kapal Taiwan mulai beroperasi dengan menggunakan pair trawl, juga dalam usaha patungan dengan perusahaan Indonesia. Naamin (1984) mengadakan penelitian untuk mengidentifikasi dinamika populasi udang Jerbung di Laut Arafura, khusus aspek biologi antara lain umur, pertumbuhan serta densitasnya. Hasil studi Naamin (1984) tersebut merekomendasikan pengelolaan dengan instrumen kebijakan input control dengan mengatur jumlah armada, penutupan musim penangkapan dan pengaturan ukuran mata jaring. Hasil studi Naamin (1984) tersebut dijadikan dasar pengelolaan dengan tingkat effort optimal berdasarkan biologi. Sejak dibukanya Laut Arafura untuk penangkapan udang tahun 1969 sampai sekarang, instrumen kebijakan yang diterapkan adalah input control, meliputi pengaturan jumlah armada dan pembatasan alat tangkap (gear restriction). Instrumen kebijakan tersebut dibarengi dengan pemberlakuan pungutan yang
20
disebut Pungutan Hasil Perikanan (PHP), yang merupakan resource fee (ongkos sumber daya) karena pemanfaatan sumber daya ikan milik negara. PHP tersebut merupakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang dikembalikan lagi untuk DKP dalam bentuk APBN (anggaran dan pendapata belanja negara)
dalam
rangka pengelolaan perikanan. Dalam prakteknya, kelemahan pengelolaan berdasarkan input control tersebut mendorong terjadinya peningkatan upaya untuk meningkatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan peningkatan mesin (karena yang dibatasi dalam aturan GT nya) dan peningkatan teknologi yang lebih canggih (satelit, fish finder dll). Peningkatan kapasitas penangkapan tersebut secara perlahan berakibat kepada terjadinya overcapacity. Pada tahun 2001, Widodo et al. (2001) mulai memperkenalkan konsep pengelolaan berdasarkan bioekonomi dengan instrumen kebijakan input control dalam bentuk pengaturan jumlah kapal (effort) dan ukuran mata jaring (gear restriction). Rekomendasi hasil penelitian tersebut adalah dikuranginya armada penangkapan udang hingga tingkat upaya penangkapan tahun 1995. Studi tersebut menghasilkan instrumen kebijakan dengan penentuan effort optimal berdasarkan bioekonomi. Dalam penelitian kali ini, penulis mengadakan pengkajian bioekonomi dan kapasitas sekaligus, untuk menentukan status terkini perikanan udang di Laut Arafura. Penulis tidak mengadakan pengkajian biologi, namun analisis pada dinamika populasi secara total dengan pendekatan surplus produksi. Instrumen kebijakan sebagai alternatif yang dikembangkan adalah pengurangan jumlah kapal, penerapan kuota dan penutupan musim penangkapan.
21
2.3 Pengelolaan Perikanan (Fishery Management)
Menurut Charles (2001), pengaturan pengelolaan perikanan, secara garis besar meliputi:
pengendalian
(input/effort
input/upaya
control),
pengendalian
output/tangkapan (output/catch control), pengaturan teknis (technical measures), pengaturan berbasis lingkungan (ecologically based measures) dan instrumen ekonomi (economic instruments). Menurut King (1995), sejarahnya tujuan utama pengelolaan perikanan adalah konservasi stok ikan. Dalam perikanan modern, tujuan tersebut berkembang untuk kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan. 2.3.1 Input (Effort) control (pengendalian input)
Ide dasar dalam input control adalah mengatur upaya penangkapan (fishing effort), dimana effort menentukan berapa besar penangkapan yang berdampak kepada stok ikan. Ada empat elemen input control yaitu: jumlah kapal penangkap; daya tangkap potensial rata-rata tiap kapal dalam armada (ukuran, alat tangkap, peralatan elektronik dan input fisik lain termasuk crew); intensitas rata-rata operasi kapal di laut per satuan waktu; rata-rata waktu melaut kapal dalam armada. Dengan demikian total effort suatu armada kapal adalah sebagai berikut. Fishing effort = (jumlah kapal) x (daya tangkap) x (intensitas) x (hari melaut) Jika salah satu faktor tersebut tidak ada atau nol, maka tidak ada effort atau tidak ada perikanan tangkap. Pembatasan-pembatasan yang masuk dalam kategori input control (Charles 2001) meliputi: 2.3.1.1 Pembatasan jumlah peserta (limiting entry)
Merupakan salah satu cara yang paling banyak diterapkan, dimana jumlah peserta dalam perikanan dibatasi, dengan pengaturan membatasi izin penangkapan
22
yang diberikan kepada sejumlah pemilik kapal. Cara ini memberikan hak akses kepada pemilik kapal tersebut. Indonesia menganut cara ini dengan memberikan izin penangkapan kepada perorangan, Koperasi dan perusahaan dalam bentuk SIUP (Surat Izin Usaha Penangkapan). Dalam SIUP tersebut dicantumkan jumlah kapal dan total GT (gross tonage), alat tangkap dan daerah penangkapan (Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2002). 2.3.1.2 Pembatasan kapasitas per kapal
Cara ini dilakukan dengan membatasi kemampuan kapal yang berdampak langsung terhadap sumber daya ikan, antara lain: palka, ukuran kapal, jumlah alat tangkap dll. Indonesia menerapkan pembatasan ukuran kapal dalam bentuk GT dan kekuatan mesin (PK) kapal. Pengaturan tersebut ada di dalam dokumen izin penangkapan. 2.3.1.3 Pembatasan Intensitas Operasi
Pengaturan intensitas penggunaan kapal dalam arti jumlah hari operasi di laut dan pengaturan intensitas kerja ABK (anak buah kapal) merupakan hal yang lebih sulit dibandingkan dengan pengaturan input yang lain. Indonesia tidak menganut pengaturan ini. 2.3.1.4 Pembatasan waktu penangkapan
Pembatasan waktu penangkapan dilakukan dengan mengatur hari melaut, saat ini masih dikaji sebagai salah satu alat dalam pengelolaan perikanan. Kapal dalam armada meskipun memiliki faktor-faktor lain untuk menangkap seperti mesin, alat tangkap, ABK, namun tidak akan menghasilkan ikan jika tidak ke laut. Konsep ini belum diterapkan sebagai alat pengelolaan.
23
2.3.1.5 Pembatasan lokasi penangkapan
Salah satu input penting dalam proses penangkapan adalah lokasi dimana terjadi kegiatan penangkapan ikan. Para penangkap ikan pada umumnya merahasiakan lokasi penangkapan mereka dan yakin bahwa mereka mengetahui lokasi terbaik untuk menebar jaring atau bubu. Cara ini merupakan salah satu metode tradisional dalam pengelolaan perikanan, yaitu dengan memberikan area penangkapan tertentu kepada pengguna. Indonesia menganut metode ini, dengan cara pemegang izin diberikan area penangkapan dalam bentuk koordinat dan dicantumkan dalam SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) tiap kapal. 2.3.2 Output (catch) control
Jika input control memfokuskan kepada pembatasan berbagai komponen upaya penangkapan, output control memfokuskan seluruhnya kepada apa yang diambil dari stok ikan, yaitu tangkapan. 2.3.2.1 Total Allowable Catch (TAC)
Output control yang paling banyak didiskusikan adalah mengatur jumlah tangkapan masing-masing jenis stok ikan dalam perikanan. Pengaturan tangkapan secara agregat disebut TAC, yaitu jumlah biomasa ikan yang boleh ditangkap. TAC ini kemudian bisa dibagi ke dalam kuota dalam subbagian, misalnya TAC untuk Uni Eropa dibagi ke dalam kuota tiap negara di Eropa. Indonesia memberlakukan TAC sebesar 80% dari MSY (maximum sustainable yield) secara nasional dalam arti total maksimum penangkapan dan tidak dibatasi kuota untuk perusahaan atau kapal.
24
2.3.2.2 Kuota individu (individual quota)
Individual Quota (IQ) merupakan hak output kuantitatif yang menentukan jumlah tiap nelayan boleh menangkap dalam periode waktu tertentu. Sebagai contoh pengaturan trip yang membatasi berapa yang dapat ditangkap tiap trip penangkapan, atau dibatasi tiap tahun. Ada dua pilihan prinsip kuota individu, yaitu individual transfereble quota (ITQ) dan individual non-transferable quota (INTQ). 2.3.2.3 Kuota masyarakat
Konsep dasarnya tidak ada perbedaan dengan kuota individu, perbedaannya terletak pada pengelolaan berbasis masyarakat terhadap sumber daya ikan tersebut. Faktor kuncinya adalah penyatuan kuota individu menjadi pengelolaan berbasis masyarakat.
2.3 Pengendalian ikan yang dilepas (escapement controls)
Pengendalian cara ini difokuskan untuk meyakinkan bahwa cukup ikan yang dibiarkan tidak ditangkap untuk pemijahan (spawning). Pengelolaan cara ini biasa dilakukan untuk Salmon. 2.3.3 Pengaturan teknis (technical measures)
Pengaturan teknis merupakan pengaturan yang membatasi bagaimana, kapan dan dimana ikan ditangkap. Pengaturan teknis ini meliputi: pembatasan alat tangkap (gear restriction); pembatasan ukuran (size limit); penutupan area (closed area) dan penutupan musim (closed season).
25
2.3.4 Pengelolaan berbasis lingkungan (ecologically based management)
Pengaturan tipe ini dilaksanakan dengan pengaturan pembatasan untuk multi spesies yang berdampak mengurangi tekanan terhadap lingkungan. Sebagai contoh pembatasan jumlah kapal dan alat tangkap dalam suatu periode tertentu untuk stok ikan campuran (misalnya untuk semua jenis demersal dan pelagis). Salah satu contoh adalah penetapan MPA (marine protected area) yang membatasi kegiatan manusia di kawasan tersebut. 2.3.5 Instrumen ekonomi tidak langsung: pajak dan subsidi
Pengendalian dengan penerapan pajak dapat ditetapkan agar dapat mengerem keinginan individu atau perusahaan dalam menangkap ikan. Semakin besar pajak akan semakin berkurang minat menangkap ikan. Sedangkan subsidi biasanya diterapkan pada faktor input secara selektif, misalnya subsidi BBM dalam rangka memodernisasi perikanan tradisionil.
2.4 Keragaan Perikanan
Salah satu instrumen yang juga dapat digunakan untuk pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal adalah menyangkut bagaimana keragaan industri perikanan tersebut dalam konteks input yang digunakan untuk ekstraksi sumber daya dan produksi yang dihasilkannya. Dalam kaitan ini kebanyakan perikanan memiliki permasalahan kelebihan kapasitas yang menyebabkan kurang baiknya keragaan perikanan tersebut. Demikian juga dalam pengelolaan sumber daya udang, dari studi Griffin (1983) dan juga Ward dan Sutinen (1994) kelebihan kapasitas adalah satu penyebab kurang efisiennya pengeolaan perikanan udang
26
tersebut. Untuk itu adalah penting untuk membahas apa yang dimaksud dengan keragaan perikanan yang salah satunya diukur berdasarkan kapasitas perikanan. Kapasitas perikanan secara umum didefinisikan oleh Pascoe et al. (2003) sebagai berikut: “Kapasitas perikanan adalah kemampuan suatu kapal atau armada kapal untuk menangkap ikan. Kapasitas perikanan dapat dinyatakan lebih spesifik sebagai sejumlah maksimum ikan selama kurun waktu tertentu (tahun atau musim) yang dapat dihasilkan oleh armada kapal jika digunakan penuh, berdasarkan biomasa dan struktur umur yang ada serta kondisi teknologi yang diterapkan”. Definisi menurut FAO (1998) secara umum, kapasitas perikanan berdasarkan target (target capacity) adalah ”maksimum jumlah ikan dalam periode tertentu yang dapat diproduksi oleh satu armada perikanan jika dimanfaatkan penuh, bersamaan dengan itu memenuhi tujuan pengelolaan yang dirancang untuk memastikan kelestarian perikanan”. Kedua definisi tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa faktor yang menentukan kapasitas perikanan adalah kemampuan kapal atau armada dalam menangkap atau memproduksi ikan, faktor waktu yang ditetapkan dan tujuan yang ditetapkan. Untuk mengukur kapasitas tentu saja harus diketahui faktor-faktor kapal atau armada yang mempengaruhi kemampuan menangkap, berapa produksi hasil tangkapan dan tujuan yang direfleksikan dalam target, serta waktu yang ditetapkan untuk mengukur (misalnya dalam satu tahun atau lima tahun). Menurut Smith dan Hanna (1990), kapasitas suatu armada kapal ikan meliputi empat komponen, yaitu. (1) Jumlah kapal (2) Ukuran tiap kapal
27
(3) Efisiensi teknis operasional kapal (4) Kemampuan waktu penangkapan tiap kapal pada tiap periode waktu (tahun atau musim). Dari keempat komponen tersebut bisa diketahui kapasitas sebuah kapal atau armada kapal ikan dalam kurun waktu tertentu di suatu wilayah penangkapan. Pada tahun 1995, CCRF (Code of Conduct for Responsible Fisheries) diadopsi oleh FAO, salah satu isyu adalah bahwa kelebihan kapasitas (excess capcity) merupakan salah satu faktor yang mengganggu kelestarian perikanan (FAO, 1995). Menurut Pascoe et al. (2003), konsep excess capacity berkaitan dengan perbedaan antara kapasitas penangkapan potensial jika semua kapal dimanfaatkan penuh dengan penangkapan saat ini. Konsep ini merupakan konsep jangka pendek, karena berkaitan dengan kondisi stok ikan saat ini. Tujuan dari pengelolaan perikanan lebih kepada yang bersifat jangka panjang. Sebagai contoh, jika
yang
menjadi
tujuan
adalah
tercapainya
MSY,
excess
capacity
memberitahukan kepada kita berapa kapasitas penangkapan yang harus diturunkan agar tercapai MSY tersebut. Dalam pengelolaan perikanan untuk tujuan jangka panjang, konsep over capacity lebih tepat dan merupakan excess capacity jangka panjang. Overcapacity berkaitan dengan perbedaan antara kapasitas saat ini (baik dalam hal effort, jumlah kapal, maupun tingkat penangkapan yang diharapkan) dan level kapasitas yang ditargetkan. Excess capacity merupakan problema jangka pendek yang dapat terkoreksi dengan sendirinya, misalnya terjadi karena perubahan supply dan demand dalam pasar sehingga pengusaha menyesuaikan dengan tingkat produksi maupun harga. Overcapacity merupakan problema jangka panjang, biasanya terjadi karena pasar
28
gagal untuk mengalokasikan input dan output secara efisien. Pengusaha tidak dapat saling menjaga ada pihak lain yang menangkap ikan (misalnya illegal fishing), dan tidak ada insentif untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan. Overcapacity pada umumnya terjadi sebagai akibat dari penangkapan berlebih sumber daya ikan (overexploitation of resource) dan pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien (modal dan faktor-faktor produksi penangkapan). Istilah jangka pendek dapat diartikan dalam satu musim penangkapan atau satu tahun, sedangkan jangka panjang dapat diartikan suatu periode dimana stok ikan mencapai target yang ditetapkan dan level input untuk jangka pendek dapat diatur. Isyu overcapacity atau excess capacity dalam perikanan biasanya berkaitan dengan problema open access (Greboval, 1999). Menurut Wilen (1985), sebagai langkah awal diperlukan pemahaman untuk membedakan kondisi ”murni” open access dan ”regulated” open acces. Dalam kondisi open access murni, tidak ada kejelasan tentang hak kepemilikan (property right) dan tidak adanya pengaturan dalam eksploitasi sumber daya. Suatu perikanan yang ”regulated” open acces didefinisikan sebagai suatu perikanan yang hak kepemilikannya (property right) tidak jelas, pemerintah mengontrol penangkapan dalam suatu regulasi yang ketat dalam rangka konservasi sumber daya, namun tidak mampu mengontrol secara efektif kapal-kapal yang beroperasi menangkap di laut. Menurut Pascoe et al. (2004), overcapacity dapat didefinisikan sebagai overcapitalization manakala ukuran jangka panjangnya berdasarkan output yang dikaitkan dengan jumlah armada saat ini untuk mencapai stok yang ditargetkan, pada saat yang sama ukuran input nya didasarkan kepada tingkat investasi saat ini (dalam hal jumlah kapal, GT dan satuan lain) pada tingkat investasi yang
29
ditargetkan.
Konsep overcapitalization dapat digambarkan secara sederhana
menggunakan model Schaefer sebagaimana Gambar 5. Dalam gambar tersebut, jumlah armada kapal F menghasilkan output O, sedangkan hasil yang lebih besar pada OMSY dapat dicapai dengan jumlah armada kapal lebih sedikit
FMSY .
Perbedaan antara jumlah armada kapal saat ini dan jumlah kapal yang ditargetkan adalah excess capital yang merupakan ukuran tingkat overcapitalization dalam perikanan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kapasitas (capacity) dan pemanfaatan kapasitas (capacity utilization) merupakan konsep jangka pendek yang berkaitan dengan kemampuan armada kapal saat ini untuk menambah output dalam kondisi yang ada. Overcapacity dan overcapitalization merupakan konsep jangka panjang yang menunjukkan kondisi dimana armada saat ini perlu dikurangi untuk mencapai output jangka panjang yang ditargetkan.
Output Omsy O
}
Fmsy
F
Fleet unit
Excess capital
Gambar 5. Overcapitalization dalam perikanan (Pascoe et al., 2004).
Menurut Ward et al. (2004), overcapacity terjadi sebagai suatu konsekuensi mekanisme pasar yang tidak sempurna. Dalam kasus
30
perikanan, ketidak
sempurnaan pasar pada umumnya adalah tidak adanya kejelasan hak kepemilikian (property right) dan insentifnya. Overcapacity dalam perikanan mendorong terjadinya berbagai problema antara lain: (1) over investasi dalam kapital dan tenaga kerja yang berlebihan baik di perusahaan penangkapan atau pengolahan; (2) menurunnya kelimpahan baik perikanan langsung maupun stok, (3) menurunnya tingkat keuntungan bagi modal dan tenaga kerja, menurunnya kualitas hidup nelayan dan keluarga mereka, (4) meningkatnya konflik dalam proses manajemen. Untuk
mengatasi
overcapacity,
diperlukan
instrumen
pengelolaan
(management instrumenst) yang disebut “incentive blocking” atau “incentive adjusting” (Ward et al., 2004). Pengaturan dalam incentive blocking mencoba
untuk membatasi tingkat kegiatan dalam berbagai bentuk, sedangkan incentive adjusting mencoba untuk melibatkan masalah hak kepemilikan (property right) dan membiarkan pasar untuk mengurangi overcapacity.
Kedua instrumen
pengelolaan tersebut disajikan dalam Tabel 2 berikut. Tabel 2. Instrumen pengelolaan: incentive blocking dan incentive adjusting Incentive blocking insruments Incentive adjusting instruments • Limited entry • Individual transferable quotas (ITQs) • Buy back programmes • Taxes and royalties • Gear and vessels restrictions • Group fishing rights (CDQs, • Aggregate quotas etc) • Non transferable vessel ctach • Territorial use rights (TURFs) limits • Individual Effort Quotas (IEQs)
Menurut Ward et al. (2004), incentive blocking instruments merupakan solusi jangka pendek, sedangkan incentive adjusting instruments merupakan solusi jangka panjang dalam mengatasi overcapacity.
31
Menurut Pascoe et al. (2003), ada empat metodologi untuk mengukur kapasitas perikanan sebagai berikut. 2.4.1 Rapid Apraisal Techniques (RA)
RA merupakan pengumpulan data secara informal dari pakar dan pelaku (stakeholders) secara luas. Tekniknya dilaksanakan dengan interview informal kepada peserta kunci dalam perikanan yang memiliki input dalam proses produksi. Pertanyaan diarahkan kepada level penangkapan waktu lampau dan masa kini, termasuk level kegiatan dan level kegiatan yang potensial. Informasi dikumpulkan di lapangan dan dikuantifikasi semaksimal mungkin dan dilengkapi data kuantitatif lain (misalnya jumlah ikan dijual di pasar induk sebagai patokan). Peserta sebagai sumber data diinterview ulang dan informasi yang terkumpul di sajikan untuk cross check dan validasi. Proses ini memerlukan pengulangan beberapa kali yang memungkinkan diadakannya penghalusan data (fine-tuning) estimasi untuk mendapatkan nilai yang bisa dipercaya oleh peserta di perikanan. Model RA ini memerlukan jumlah tenaga kerja yang besar karena melibatkan sumber informasi pelaku perikanan dalam jumlah besar. 2.4.2 Survei dan opini ahli
Survei dilaksanakan untuk mengumpulkan perkiraan subyektif tetapi kuantitatif tentang kapasitas. Seperti RA, cara ini bermanfaat jika data terbatas atau tidak tersedia. Pelaku perikanan dapat disurvei untuk menentukan penangkapan dan kegiatan yang sedang berjalan, termasuk pendapat subyektifnya. Survei bisa memerlukan tenaga yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode RA, tetapi memberikan umpan balik dan klarifikasi yang lebih sedikit dari hasil analisis kepada industri. Keandalan (reliability) dari survei tergantung dari jumlah
32
wakil dari sampel yang didata. Survei para ahli (biologist dan wakil industri) dapat juga dilaksanakan untuk melengkapi perkiraan kapasitas output dan pemanfaatannya. Jika opini ahli bervariasi, diperlukan pembobotan secara subyektif untuk masing masing opini untuk menghasilkan perkiraan komprihensif. 2.4.3 Analisis peak-to-peak
Analisis peak-to-peak mengasumsikan adanya hubungan langsung antara level input dan level output. Sebuah index tangkapan per unit input (misalnya tangkapan per hari atau tangkapan per kapal) diperoleh dari data. Asumsi dibuat bahwa level puncak (peak level) dari tangkapan per unit input sebanding dengan kapasitas pemanfaatan. Kondisi puncak diasumsikan mewakili tahun-tahun dimana perikanan mencapai kondisi output maksimum dalam jangka pendek, dalam kondisi teknologi penangkapan dan stok yang ada. Analisis ini pernah diterapkan oleh Ballard and Roberts (1977), Ballard and Blomo (1978) dan Hsu (2003). 2.4.4 Stochastic production frontier (SPF)
SPF menunjukkan output maksimum yang diharapkan terhadap sekumpulan input yang diketahui. Hal tersebut didapatkan dari teori produksi dan berdasarkan kepada asumsi bahwa output adalah fungsi dari tingkat input
dan efisiensi
produsen dalam menggunakan input.
2.4.5 Data Envelopment Analysis (DEA)
DEA menggunakan teknik seperti program matematis yang dapat menangani variable dan kendala dalam jumlah besar, juga memudahkan kebutuhan yang
33
sering timbul disebabkan keterbatasan data, sehingga bisa dipilih hanya beberapa variable input dan output. Model terpenting dari DEA adalah CCR (Charnes, Cooper and Rhodes 1978) (Fauzi dan Anna, 2005). Menurut Cooper et al. (2004), ada dua model DEA yang berkembang yaitu CCR dan BCC (Banker-CharnesCooper). Model BCC merupakan pengembangan dari CCR, diimplementasikan di dunia perbankan untuk kasus yang return of scale nya berubah. CCR diimplementasikan pada kasus-kasus yang return of scale nya tetap. Perbedaan secara grafis CCR dan BCC terletak pada acuan yang digunakan untuk menetukan batas titik-titik efisiensi DMU (decision making unit) dalam suatu frontier. Garis batas terluar efisiensi dalam CCR ditarik dari satu titik efisiensi terluar berupa garis lurus, sedangkan dalam model BCC batas efsiensi ditarik oleh garis yang menghubungkan titik-titik terluar efisensi (Gambar 6 dan Gambar 7). Baik model CCR maupun BCC dibagi menjadi dua tipe, yaitu input-oriented dan outputoriented dengan notasi CCR-I; CCR-O; BCC-I; BCC-O. Tipe input-oriented digunakan untuk meminimalkan input, sedangkan output oriented digunakan untuk memaksimalkan output, perhitungan kedua tipe akan menghasilkan angka efisiensi yang sama (Cooper et al. 2004).
Gambar 6. Pembatasan Produksi Model CCR
34
Gambar 7. Pembatasan Produksi Model BCC
Berdasarkan data yang ada, dapat dihitung efisiensi suatu DMU menggunakan data input dan output. Jumlah variabel input dan output bisa satu atau lebih. Apabila ada n DMU: DMU1, DMU2,….., dan DMUn dimana j = 1, …., n, sedangkan ada sejumlah m input dan s output, maka input data untuk DMUj menjadi (X1j, X2j,…,Xmj) dan output datanya adalah (Y1j, Y2j,…, Ysj). Matriks input data X dan output data Y dapat ditulis sebagai berikut. x11 X = x21 . x m1
x12 ... x1n x22 ... x2 n …..…….………………….(2.20) . . xm 2 xmn
y11 Y = y21 . y s1
y12 ... y1n y22 ... y2 n ……………………..……...(2.21) . . ys 2 ysn
35
Salah satu cara untuk menganalisa kapasitas perikanan adalah dengan DEA, dimana pendekatannya berdasarkan input dan output. Seperti dirujuk oleh Fauzi dan Anna (2005), konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Charles, Cooper, dan Rhodes atau dikenal sebagai CCR. Di Indonesia konsep ini telah diterapkan oleh Fauzi dan Anna pada tahun 2002 untuk mengukur efisiensi kapasitas perikanan di DKI Jakarta (Fauzi dan Anna, 2005). Pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio antara output dan input, atau: Efisiensi =
Output ......................................................(2.22) Input
Pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat dilaksanakan dengan menggunakan pengukuran efisiensi relatif yang dibobot sebagaimana tertulis berikut: Efisiensi =
Jumlah output yang sudah dibobot Jumlah input yang sudah dibobot
Atau dapat ditulis :
Efisiensi dari unit j =
w1 y1 j + w2 y 2 j + ... v1 x1 j + v 2 x 2 j + ...
.........................(2.23)
Keterangan :
w1
= Pembobotan untuk output i
y1j
= Jumlah output 1 dari unit j
v1
= Pembobotan untuk input 1
x1j
= Jumlah dari input 1 ke unit j
Namun demikian, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. Keterbatasan
36
tersebut kemudian dijembatani dengan konsep DEA, efisiensi tidak semata-mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. Pada pembahasan DEA, efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum dengan kendala relatif efisiensi dan seluruh unit yang tidak boleh melebihi 100%. Secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dan persamaan berikut 1:
∑w y = ∑v x i
Max Em
ijm
m
k kjm
k
Dengan kendala :
∑w y ∑v x i
ijm
i
≤ 1 untuk setiap unit ke j ........................................(2.24)
k kjm
k
wi , v k ≥ ε Pemecahan masalah pemrograman matematis di atas akan menghasilkan nilai Em yang maksimum sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah ke efisiensi. Jadi jika nilai Em =1, maka unit ke m tersebut dikatakan efisien relatif terhadap unit lainnya. Sebaliknya jika nilai Em lebih kecil dari 1, maka unit yang lain dikatakan lebih efisien relatif terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimisasi unit m. Salah satu kendala dan pemecahan persamaan (2.24) adalah persamaan tersebut berbentuk fractional sehingga sulit untuk dipecahkan melakukan pemograman linear. Namun demikian, dengan melakukan linearisasi, persamaan (2.24) dapat diubah menjadi persamaan linear sehingga pemecahan melalui 1
Merupakan pengukuran dari efisiensi relatif dari Farrell dan Fieldhouse (1962), dimana terdapat kemungkinan input dan output tidak terhitung (multiple). Terfokus pada konstruksi unit hipotetik efisien sebagai rata-rata bobot dari unit efisien, berfungsi sebagai pembanding bagi unit yang tidak efisien.
37
pemograman linear (linear programming) dapat dilakukan. Linearisasi persamaan (2.24) di atas menghasilkan persamaan sebagai berikut:
Max E m = ∑ wi y ijm i
dengan kendala:
∑v x
k kjm
= 1
k
∑w y i
ijm
i
−
∑v x
k kjm
≤ 0
.
k
ωi, vk ≥ ε
................................................................. (2.25)
Salah satu manfaat dilakukannya linearisasi, kita dapat melakukan pemecahan pemrograman linear di atas dengan melakukan pemecahan dual dari persamaan (2.25). Sebagaimana ciri yang dimiliki oleh pemograman linear, pemecahan baik
primal maupun dual akan menghasilkan solusi yang sama, namun demikian sering pemecahan dengan dual lebih sederhana karena berkurangnya dimensi kendala. Primal dan dual variable dari persamaan (2.25) di atas dapat ditulis kembali sebagai sebagai:
Model Primal
Variabel Dual
Max Em = ∑ wiyijm
Z
i
Dengan kendala
∑v x k
kjm
λo
= 1
k
∑wy - ∑v x i
i
ijm
k
kjm
≤ 0, j = 1,2 ... n
k
− vk ≤ - ε k = 1,2 ... m
Sk−
38
………………(2.26)
− ωi ≤ −ε i = 1,2, ...t
S k+
Dengan demikian, dual dari persamaan (2.29) dapat ditulis sebagai; min ϖ Zm -ε ∑ S i+ − ε ∑ S k− i
k
dengan kendala: xkj - S -k - ∑ Xkj λ j = 0 k = 1... m ..............................................(2.27) j
S i+ + ∑ yij λ j = yijm i = 1... t j
λj , S i+ , S k− ≥ 0
Hasil analisis DEA dapat dijabarkan dalam bentuk grafik melalui apa yang disebut sebagai efficiency frontier. Untuk mengolah data variabel input dan output menjadi skor efisiensi dan pembobotan optimalnya, digunakan software DEASolver dengan cara menabelkan data-data tersebut ke dalam worksheet Excel Window dan kemudian di run. Hasil run software DEA-Solver menunjukkan angka skor efisiensi, grafik dan pembobotan optimal. Sedangkan untuk menggambarkan efisiensi frontier digunakan software GAMS atau Frontier Analyst. Dari ke lima model tersebut diatas, dipilih model DEA dalam pengukuran kapasitas perikanan udang di Laut Arafura yang akan dibahas dalam bab selanjutnya.
39
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Wilayah studi untuk kegiatan penelitian adalah Laut Arafura di daerah operasi penangkapan udang, posisi berada di antara antara 1300 Bujur Timur (B.T.) dan 1390 B.T. di perairan teritorial dan ZEE (zona ekonomi eksklusif) Indonesia (Gambar 8). Lokasi pendaratan kapal-kapal pukat udang pada wilayah studi sebagai basis pengumpulan data adalah Tual, Benjina, Agats, Dolak. Penelitian dilaksanakan selama satu tahun, mulai bulan Mei 2003 sampai dengan April 2004 terhadap 39 kapal pukat udang sebagai sampel.
Gambar 8. Wilayah studi pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura
3.2 Kerangka Pendekatan Analisis Berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai alur pikir kerangka pendekatan analisis dari penelitian ini dalam usaha mencapai tujuan penelitian seperti yang telah dijelaskan pada Bab 1. Proses metodologi analisis model pengelolaan udang di Laut Arafura, dimulai dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan industri perikanan tangkap udang (meliputi data primer dan data statistika/data sekunder), dan data penelitian sebelumnya (data tertier) (lihat Gambar 9). Data industri tersebut meliputi data urut waktu (series) berupa data produksi aktual dan effort dari tahun 1986 sampai dengan 2003, data cross section berupa data input dan output penangkapan kapal-kapal pukat udang tahun 2003, sedangkan data tertier merupakan data hasil penelitian Fauzi (2001). Data primer yang merupakan data 39 kapal pukat udang pada tahun 2003, digunakan untuk melihat keragaan industri, atau analisis efisiensi dengan menggunakan metode Data Envelopement Analysis (DEA). Hasil DEA ini adalah efisiensi dan potential improvement yang menggambarkan bagaimana kondisi kapasitas perikanan udang di perairan Laut Arafura. Data sekunder
yang
merupakan data statistik (data series) diperoleh dari beberapa lembaga dan instansi seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, data produksi dari Pemerintah Daerah Propinsi Irian Jaya, dan lainlain, digunakan untuk analisis efeisiensi dan bioekonomi.
42
Data Penelitian Sebelumnya (tertier)
Data Industri
Primer (Cross section)
Sekunder (Statistik)
Produksi Keragaan Industri (Efisiensi)
Parameter biofisik dan ekonomi
Upaya Analisis OLS
Yield-Effort Analisis DEA
Optimasi bioekonomi Statik & Dinamik
Alternatif Skenario Pengelolaan
Efisiensi Potential (Improvement)
Seasonal
Kuota
Alternatif Kebijakan Pengelolaan Perikanan Udang
Gambar 9. Kerangka pendekatan analisis kebijakan pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura
Dengan menggunakan analisis statistik Ordinary Least Square (OLS) maka akan diperoleh angka-angka parameter yield-effort, untuk selanjutnya digunakan dalam analisis bio-ekonomi dan optimisasi statik Gordon-Schaefer, serta optimisasi dinamik Clark-Munro. Data penelitian sebelumnya yang diambil dari data Fauzi (2001) ditambah data series dari statistik, dimanfaatkan untuk menghasilkan parameter
parameter biofisik
dan ekonomi
untuk perikanan
udang di kawasan Laut Arafura meliputi q, K dan r. Selanjutnya parameter
43
tersebut digunakan dalam model untuk analisis yield-effort dan optimisasi bioekonomi statik dan dinamis. Hasil analisis bioekonomi dan hasil analisis kapasitas perikanan udang, digunakan sebagai basis dalam merumuskan alternatif skenario pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura, yang terdiri dari pengurangan jumlah kapal, sistem pengelolaan seasonal (berbasiskan musim) dan sistem kuota.
3.3 Analisis Bioekonomi Statik Gordon-Schaefer Analisis bioekonomi statik dalam penelitian ini menggunakan model Gordon Schaefer untuk mencari tingkat optimal pengelolaan. Persamaan yang digunakan adalah rumus produksi lestari yang dihitung dengan menggunakan fungsi logistik (2.6). Parameter q, K dan r merupakan parameter biofisik berturut-turut adalah kemampuan daya tangkap, kapasitas daya dukung dan pertumbuhan intrinsik yang diperoleh melalui teknik Ordinary Least Square dan Algoritma Fox (Fauzi, 2001). Persamaan (2.6) dapat ditulis secara sederhana menjadi : h = α E − β E 2 …………………………………………(3.1) dimana α = qk dan β = q 2 k / r . Dalam analisis seperti ini akan terjadi suatu kondisi yang disebut sebagai ”curse of dimensionality”, yaitu kondisi dimana ada tiga paramter yang dicari nilainya dengan hanya dua koefisien yang diketahui. Oleh karena itu maka salah satu koefisien yakni q harus diketahui terlebih dahulu. Koefisien q ini dihitung melalui teknik Algoritma Fox (Fauzi, 2001) yang biasa digunakan untuk memecahkan model Schaefer di atas. Algoritma ini berbentuk:
44
1 1 qt = ln zU t−1 + / zU t−+11 + /( z ) ........................(3.2) β β
dimana z = −(α / β ) − E , U adalah catch per unit effort. Oleh karena α , β , sudah diketahui dari hasil OLS, E dan U didapat dari rata-rata geometrik dari data series, maka selanjutnya nilai q, K dan r dapat dicari. Hasil pendugaan parameter ini kemudian digunakan untuk menghitung produksi lestari Gordon-Schaefer, dan menghasilkan kurva produksi aktual dan produksi lestari yang digunakan untuk perbandingan fluktuasi keduanya. Untuk menganalisis bioeconomic model perikanan udang di Laut Arafura, diperlukan variabel-variabel produksi penangkapan, effort (hari melaut) biaya dan pendapatan secara agregat. Untuk mengukur pengelolaan yang optimal secara ekonomi (MEY = maximum economic yield ) maka digunakan fungsi rente ekonomi lestari dalam bentuk:
qE
π st = p qkEt 1 − t − cEt ........................................(3.3) r Dimana π st adalah rente sustainable, p adalah harga dan c adalah biaya per satuan input. Sementara untuk Input optimal dapat ditentukan melalui persamaan berikut ini:
∂π st 2 pq 2 K = pqK − Et − c = 0 ∂Et r r E = ( pqK − c ) 2 2 pq K *
45
.....................................(3.4)
Untuk perhitungan pembatasan kuota penangkapan, digunakan data effort dan produksi aktual tahun 1986 sampai dengan tahun 2003. Dalam skenario kuota maka jumlah effort yang ditujukan untuk pengelolaan perikanan menjadi: Eq =
dimana
Q , ..............................................................(3.5) N xq
Q adalah kuota yang besarnya ditetapkan berdasarkan pengurangan
prosentase produksi aktual (dalam konteks ini jika kuota 5% berarti Q = 0.95 x produksi aktual), N adalah jumlah armada dan q adalah koefisien daya tangkap sebagaimana ditentukan di atas. Manfaat ekonomi yang diperoleh dari pengelolaan perikanan menjadi:
π = pqxEq − cEq .............................................................(3.6)
3.4 Analisis Optimisasi Dinamik Clark-Munro
Analisis optimisasi dinamik Clark Munro digunakan untuk mengetahui tingkat pengelolaan dinamis dari perikanan udang di laut Arafura. Menurut Clark (1976; 1985), dalam model dinamik, nilai optimal untuk biomas (x*) dan panen optimal (h*) mengikuti persamaan (2.18) dan (2.19). Formula yang digunakan dalam analisis bioekonomi tersebut selanjutnya di run dengan algoritma MAPLE 9 dan menghasilkan kurva yield-effort untuk pengelolaan dinamis. Kurva hasil perhitungan tersebut dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kondisi perikanan udang saat ini, apakah dalam kondisi overfishing dan membandingkan titik mana yang menghasilkan rente ekonomi optimal.
46
3.5 Analisis Efisiensi/ kapasitas Perikanan
Selanjutnya untuk analisis efisiensi/kapasitas perikanan tangkap udang, digunakan data effort dalam fishing days dan produksi aktual dalam ton. Data ini dioleh dengan menggunakan metode Data Envelopement Analysis seperti telah diuraikan pada Bab sebelumnya. Dalam perhitungan DEA tersebut, variabel inputnya hanya satu yaitu effort dan variable outputnya juga satu yaitu produksi aktual. Tipe DEA yang dipilih adalah CCR-I dengan orientasi pada input yang dikendalikan. Perhitungan DEA menghasilkan skor efisiensi tahunan selama 18 tahun, dimana tahun merupakan DMU. Hasil tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk membandingkan efisiensi tiap tahun, dimana efisiensi tertinggi akan dijadikan acuan. Fluktuasi angka efisiensi tiap tahun menggambarkan kondisi perikanan udang secara umum apakah dalam kondisi overcapacity atau inefisiensi. Seperti metode yang digunakan Anna (2003), Jika output dari variabel x untuk tahun ke t dengan jenis output j dimisalkan sebagai x tj dan variable input y tahun ke t dimisalkan y t , maka efisiensi relatif dari variable x terhadap variabel y dapat ditulis sebagai: æx tj ÷ ö çç ÷* 100 .....................................................................(3.7) ÷ çç y ÷ è tø
Sehingga untuk meningkatkan efisiensi dari varibel x tj dapat dilakukan dengan melakukan maksimalisasi efisiensi yakni:
47
max x tj dengan kendala: x tj =
å
awtj x tj / bwtj y t ............................................ .(3.8)
0 £ x tj £ 1 wtj ³ 0
dimana:
a = koefisien out put dat a b = koefisien input dat a wtj = fakt or pembobot Hasil DEA ini digambarkan dalam bentuk grafik fluktuasi yang menunjukan perbandingan kondisi efisensi penangkapan dari tahun ke tahun. Analisis selanjutnya adalah memanfaatkan data 39 kapal sampel tahun 2003 untuk menghitung efisiensi tiap kapal dengan DEA menggunakan multiple input variable dan multiple output variable.
Variabel input terdiri dari biaya, effort
(upaya) dalam satuan hari melaut (fishing days), ukuran kapal (GT) dan umur kapal.
Variabel output terdiri dari hasil tangkapan (yang dibagi dalam tiga
kelompok yaitu udang windu, udang putih dan udang lain), serta variabel pendapatan. Data-data tersebut dimasukan ke dalam rumus DEA sebagaimana formula (2.27). Menurut Cooper et al. (2004), sebagaimana dalam statistik atau metodologi yang berorientasi kepada data empiris, DEA juga ada masalah dengan derajat kebebasan (degrees of freedom = d.o.f.). Dalam DEA, angka d.o.f. akan bertambah dengan bertambahnya DMU dan akan berkurang dengan bertambahnya input
dan
output.
Acuan
yang
digunakan
(rule
of
thumb)
adalah
n ≥ max {m × s,3(m + s )} , dimana n = jumlah DMU, m = jumlah input dan s =
48
jumlah output. DEA biasa disebut juga sebagai Frontier Analysis suatu teknik mathematical programming, yang merupakan pendekatan non-parametrik. DEA dapat digunakan untuk mengukur relatif efisiensi pada kasus entitas yang memiliki multiple inputs atau multiple outputs (Cooper et al., 2004). Perhitungan DEA tersebut yang dijalankan dengan software DEA Solver, menghasilkan angka efisiensi relatif 39 kapal (kapal sebagai DMU) dan proyeksi perbaikan angka efisiensi. Hasil angka efisiensi ke 39 kapal menggambarkan kondisi perikanan udang tahun 2003, apakah dalam kondisi overcapacity atau overcapitalization dan inefisiensi.
3.6 Seasonal Closure Model
Analisis seasonal closure model atau penutupan musim penangkapan dilakukan dengan menghitung rata-rata tangkapan bulanan kapal-kapal pukat udang anggota HPPI (Himpunan Pengusaha Pukat Udang Indonesia), yang kemudian dicocokan dengan model difference equation dan model siklikal. Model difference equation merupakan persamaan linier, dapat digunakan untuk mengetahui apakah kecenderungan musim penangkapan mengikuti pola keseimbangan yang linier. Rumus yang digunakan untuk model tersebut adalah dapat ditulis dalam persamaan: ht + 1 = aht + b . Solusi persamaan tersebut akan menghasilkan: a b ht * = a t ht − + , ........................................(3.9) (1 − a) 1 − a
49
dimana
b 1− a
ht lim t → ∞ → ht =
adalah
nilai
keseimbangan
karena
pada
saat
b . Berdasarkan data rata-rata hasil tangkapan bulanan mulai 1− a
Januari sampai dengan Desember, koefisien a dan b dapat diduga dengan teknik OLS (Ordinary Least Square). Menurut Purwanto (1997) suatu usaha tambak udang dapat ditentukan bulan panen yang paling optimal dalam satu tahun berdasarkan perolehan pendapatan tertinggi, karena sifatnya yang siklikal. Musim penangkapan udang di L. Arafura dapat pula diduga dengan model siklikal tersebut dengan persamaan: ht = a + bSin(2π Mt /12) ……………………………………………..(3.10)
Mt = 1, ..,12 (Januari=1, …, Desember=12) , a dan b dapat diperoleh dari regresi ruas kiri dan ruas kanan persamaan tersebut. Dengan membandingkan kedua model yaitu linier dan siklikal, dapat ditentukan yang paling cocok dan selanjutnya dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan waktu penutupan jika diperlukan. Dampak dari penutupan tersebut akan diperhitungkan dalam salah satu skenario pengelolaan, dilihat dari efisiensi dan pengurangan effortnya.
3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan pada dasarnya dibagi menjadi data sekunder dan data primer meliputi: (1) Data sekunder yang merupakan data kuantitatif diperoleh dari data mutakhir tentang stok SDI udang di Laut Arafura, diperoleh dari sumber statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, data hasil tangkapan berdasarkan hasil penelitian Fauzi (2001), dan data hasil penelitian yang lalu.
50
(2) Data primer diperoleh dari hasil penelitian di lapangan dan sumber dari beberapa perusahaan dan anggota HPPI (Himpunan Perusahaan Pukat Udang Indonesia). Data yang diperlukan dari sumber data dan lokasi penelitian dikumpulkan melalui dua cara, yaitu: (1) permintaan langsung dengan surat resmi kepada otoritas sumber data, (2) melalui sampling data langsung di lapangan. Untuk mengukur kapasitas penangkapan udang digunakan data tangkapan total dari th 1986 s/d 2003, merupakan gabungan data hasil penelitian Fauzi (2001) dan data statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Untuk mengukur efisiensi kapal pukat udang dalam rangka membandingkan kelompok GT dan umur digunakan sampling data terkini tahun 2003 pada 46 kapal dari total populasi 355 kapal pukat udang yang berukuran di atas 30 GT dan izinnya dari pusat. Dari 46 kapal dipilih 39 kapal yang datanya lengkap untuk menghitung efisiensi dengan DEA. Sampling data untuk 46 kapal dilakukan secara purposive (penunjukan langsung) dengan cara memilih kapal-kapal yang memiliki keragaman GT dan umur mewakili populasi. Jumlah tersebut dianggap cukup karena lebih dari 10% total populasi. Data 46 kapal selanjutnya dipilih yang memenuhi kelengkapan data (eligible), diperoleh 39 kapal yang memenuhi kelengkapan data sesuai kebutuhan. Analisis data dilakukan dengan pendekatan permodelan untuk mengetahui faktor-faktor bioekonomi yang menyebabkan terjadinya overcapacity dan overfishing. Analisis ini memerlukan data urut waktu yang intensif, maka data sekunder dan tertier dari hasil penelitian Fauzi (2001) dan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dijadikan sebagai basis untuk menganalisis kondisi perikanan di wilayah studi. Data yang diperoleh kemudian diverifikasi dan
51
dikalibrasi untuk selanjutnya dianalisis dengan berbagai perangkat lunak seperti DEA-Solver, Frontier Analyst, Minitab, Exell dan MAPLE 9. Data yang diperoleh dari hasil penelitian baik data primer maupun sekunder diolah dengan menggunakan rumus-rumus dan model-model seperti diuraikan sebelumnya untuk kepentingan analisis bioekonomik, analisis efisiensi dan analisis kecenderungan. Pengelompokan data untuk keperluan analisis dapat dilihat pada Tabel 3. Analisis data dimulai dengan pengolahan data series tahun 1986 sampai dengan 2003 difitkan kedalam model bioekonomi. Tabel 3. Data dan penggunaannya Jenis Data
Untuk analisis
Model 1. a. Algoritma Fox
Data series produksi 1. Produksi aktual VS dan effort th 1986Produksi lestari 2003.
b.Gordon-Schaefer c. Algoritma Maple
Hasil a. K, q, r b.Grafik fluktuasi Produksi aktual VS lestari. c.Kurva Yield-Effort
2. Mengukur Efisiensi
2. DEA, CCR-I
3. Penerapan kuota
2. Skor efisiensi, tahun sebagai DMU
3. Gordon-Schaefer dengan pengurangan 3. Fluktuasi produksi lestari produksi dengan kuota dan penangkapan perhitungan rente ekonomi 4. Clark-Munro 4. Produksi dan
produksi penangkapan
4. Optimisasi dinamik
stok,effort optimal Data cross sectional 39 kapal P.U. tahun 2003
Pengukuran kapasitas dan efisiensi
Rata-rata tangkapan bulanan kapal P.U. HPPI.
Kecenderungan musim penangkapan bulanan
52
DEA, CCR-I
Skor efisiensi relatif 39 kapal dan proyeksi perbaikan efisiensi
1.Difference equation linier.
1. Grafik trend linier
2. Sinusoida siklikal
2. Grafik siklikal sinusoida
3.8 Asumsi Dasar
Model-model bioekonomi baik statik maupun dinamik serta model DEA untuk pengukuran kapsitas penangkapan dalam penelitian ini dapat diterapkan dalam pengelolaan ke depan jika dipenuhi beberapa asumsi dasar sebagai berikut: (1) Kegiatan illegal fishing di daerah operasi kapal-kapal pukat udang tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas. (2) Variasi dalam distribusi spasial stok sumber daya udang di Laut Arafura diabaikan, terutama dalam perhitungan produksi penangkapan. (3) Kondisi lingkungan Laut Arafura relatif stabil dalam jangka sedang dan tidak mengakibatkan perubahan K (carrying capacity) dan r (pertumbuhan instrinsik). (4) Parameter-parameter ekonomi menyangkut harga dan biaya diasumsikan tidak berubah selama periode analisis. (5) Interaksi antar spesies seperti predator-prey tidak diperhitungkan dalam model ini (votka-voltera effect).
53
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Perikanan Udang di Wilayah Studi Laut Arafura termasuk paparan Sahul yang memiliki kedalaman perairan berkisar antara 5-60m atau rata-rata 30m dengan lapisan tebal berupa lumpur dan sedikit pasir yang mencakup hampir 70 persen dari luas wilayah perairannya. Di daerah pantai Irian Jaya banyak terdapat hutan mangrove yang merupakan faktor utama dalam produktivitas primer dan juga sebagai daerah penyangga potensi sumberdaya ikan khususnya sumberdaya udang. Wilayah perairan ini pernah menjadi daerah operasi armada kapal pair-trawl Taiwan yang mencari ikan dasar (Hsia-Chiang, 1976); wilayah ini terletak mulai dari 132°BT hingga 139°BT yang mencakup wilayah perairan Nusantara, ZEE Indonesia, perairan teritorial dan ZEE Australia dengan total luas sebesar 434.011 km2 (Gambar 10). Dalam periode 1972-1974, jenis ikan yang paling umum atau paling tinggi persentase tertangkapnya adalah golden thread fin (Nemipterus spp.).
Gambar 10. Daerah operasi armada kapal pair-trawl Taiwan periode 1972- 1974
Beberapa wilayah perairan yang merupakan basis armada trawl yang beroperasi di Laut Arafura adalah Benjina, Wannam, Agats, Avona (Maparpe) dan Merauke. Beberapa basis penangkapan tersebut diantaranya dibangun oleh perusahaan penangkapan udang, seperti PT Daya Guna Samudera, anak perusahaan dari PT. Djajanti Group (Gambar 11).
Gambar 11. Basis Armada Kapal Trawl Pt Darma Guna Samudera, Anak Perusahaan dari Djajanti Group, di Benjina, Kepulauan Aru
Daerah penangkapan pukat udang di L. Arafura bisa juga dipantau dari layar monitor Vessel Monitoring System (VMS) yang baru dioperasikan oleh DKP mulai tahun 2004, dimana kapal-kapal yang dipasang transmitter VMS dapat dipantau gerakannya selama 24 jam. Data terakhir (Februari 2005) di Ditjen Perikanan Tangkap menunjukkan bahwa kapal pukat udang yang diberikan izin di L. Arafura berjumlah 355 kapal yang berkisar besarnya antara 31 GT sampai dengan 515 GT, sebagian besar didominasi kapal antara 100 s/d 200 GT. Gambar 12
55
berikut menunjukkan daerah penangkapan (fishing ground) yang merupakan daerah operasi penangkapan kapal pukat udang, berarti daerah yang potensial.
Gambar 12. Mobilitas kapal pukat udang di Laut Arafura berdasarkan pemantauan VMS (Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan)
Menurut Sumiono (2003), hasil penelitian pada tahun 2000 menunjukan bahwa komposisi rata-rata hasil tangkapan trawl di Laut Arafura terdiri dari ikan demersal sebanyak 38,45% (87,07 kg/jam) dari total hasil tangkapan, ikan rucah (trash fishes) sebanyak 31,53% (71,40 kg/jam), ikan pelagis 8,63% (19,54 kg/jam), udang 8,11% (18,36 kg/jam), cumi-cumi 2,06% (2,96 kg/jam), rajungan 4,59% (10,39 kg/jam) dan lainnya 6,63%. Kontribusi ikan demersal yang cukup menonjol
adalah
famili
Synodontidae
(beloso)
sebesar
30,20
kg/jam,
Leiognathidae (petek) 20,88 kg/jam dan Nemipteridae (kurisi) 5,53 kg/jam. Menurut Sumiono (2003), penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Iskandar pada tahun 1993 menghasilkan prediksi bahwa prosentase produksi
56
udang ukuran besar yang berasal dari Laut Arafura sejak tahun 1985 sampai 1990 cenderung menurun. Sebaliknya udang yang berukuran kecil cenderung meningkat. Hal ini mirip dengan hasil penelitian Sumiono sebelumnya pada tahun 1998 di perairan Kaimana, bahwa laju tangkap udang berukuran kecil lebih banyak daripada udang berukuran besar. Hasil penelitian Naamin (1984) menunjukkan bahwa tingkat pengusahaan udang jerbung di perairan Arafura sudah melampui MSY (over-exploited). Lebih lanjut Naamin berpendapat bahwa dalam rangka menjamin keuntungan perusahaan dan kelestarian sumberdaya, maka alternatif pengelolaan yang dapat dikembangakan adalah: (1) penutupan musim dan daerah penangkapan; (2) penentuan ukuran udang terkecil yang boleh ditangkap; (3) pengaturan jumlah upaya penangkapan.
4.2 Analisis Penangkapan Lestari (Sustainable Yield) Untuk menghitung produksi lestari perikanan udang di Laut Arafura, digunakan fungsi produksi surplus sebagaimana diuraikan pada Bab 3. Penggunaan model ini dimaksudkan untuk membandingkan produksi lestari dengan produksi aktual, sehingga dapat diketahui apakah produksi aktual tersebut masih dalam batas kelesatrian atau sudah melampui produksi lestari. Untuk keperluan analisis produksi lestari (sustainable yield) tersebut, digunakan data urut waktu selama 18 tahun (1986 s/d 2003) berdasarkan publikasi Departemen Kelautan dan Perikanan. Perhitungan berdasarkan algoritma Fox oleh Fauzi (2001) dan menghasilkan q = 0.0000075,
r=1.478 dan K=27072.
57
Berdasarkan angka-angka r, K dan q
tersebut, dihitung produksi lestari perikanan udang di Laut Arafura dan disajikan pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Produksi aktual dan produksi lestari th 1986 s/d 2003 Tahun
Produksi Aktual (ton)
Effort (hari)
Produksi Lestari (ton)
1986
4981
52560
7826
1987
4113
39420
6403
1988
8368
89670
9925
1989
8683
77250
9538
1990
11562
101580
9997
1991
10703
101430
9998
1992
9076
81270
9698
1993
6443
83310
9766
1994
6551
84150
9792
1995
9114
87630
9883
1996
8155
100380
10002
1997
10914
113138
9787
1998
10367
113677
9771
1999
10169
65267
8864
2000
10235
47565
7327
2001
9046
56203
8158
2002
14097
66508
8948
2003
12374
73670
9368
Tabel 4 tersebut selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik untuk membandingkan fluktuasi produksi aktual dan produksi lestari sebagaimana Gambar 13 berikut.
58
16,000 14,000
Produksi (Ton) Produksi
12,000 10,000 Prod. Aktual
8,000
Prod. Lestari
6,000 4,000 2,000 1985
1990
1995
2000
2005
Tahun
Gambar 13. Fluktuasi produksi aktual dan produksi lestari Schaefer dari tahun 1986 s/d 2003
Gambar 13 memberikan kontras yang nyata antara model dan produksi aktual, dimana pada awal-awal periode produksi aktual berada di bawah produksi lestari dan kemudian terjadi sebaliknya setelah tahun 1990-an. Hal ini menunjukan bahwa
memang pada awal-awal periode dimana tingkat effort masih relatif
rendah, produksi aktual masih menunjukkan tingkat di bawah lestari, namun sejalan dengan peningkatan effort yang tajam di awal tahun 1990an, produksi aktual pun meningkat tajam sehingga berada di atas produksi lestarinya. Fenomena ini sesuai dengan kondisi perikanan udang di Laut Arafura yang menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan produksi per unit effort pada tahun-tahun setelah 1990an. Penambahan effort pada awalnya akan menambah produksi dan sekaligus mengurangi stok. Peningkatan effort akan mengurangi biomasa secara linier, sedangkan peningkatan produksi tidak linier. Jika effort ditingkatkan terus maka
59
produksi akan mencapai titik maksimal dan kemudian menurun sebagaimana disajikan pada gambar berikut. 30
12 Biomass Catch
10
20
8
15
6
10
4
5
2
0
0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
CATCH (1000 ton)
BIOMASS (1000 ton)
25
200
EFFORT (1000 hari)
Gambar 14. Kurva hasil tangkapan dan biomasa perikanan udang di L. Arafura
Gambar 14 di atas menunjukan bahwa produksi penangkapan berada pada tingkat yang maksimal (MSY) sebesar sekitar 10,000 (sepuluh ribu) ton/tahun pada saat effort berada pada sekitar 100,000 (seratus ribu) hari operasi (dayfished) dan stok atau biomasa pada posisi sekitar 13,000 ton.
4.3 Optimisasi Bioekonomi 4.3.1 Optimisasi bioekonomi statik Untuk melihat sejauh mana pengelolaan sumber daya udang di Laut Arafura ditinjau dari sisi pendekatan bioekonomi, maka hasil dari model keseimbangan Schaefer digabungkan dengan parameter ekonomi untuk optimisasi bioekonomi. Parameter ekonomi tersebut menyangkut harga rata-rata udang per ton (p) = Rp
60
43.5 juta dan biaya operasi per hari tangkap sebesar (c) = Rp 2.17 juta. Analisis tahap pertama dengan menggunakan pendekatan statik diperoleh nilai optimal keseimbangan ekonomi (MEY) dan keseimbangan open access. Perhitungan rincian melalui algoritma Maple dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil perhitungan bioekonomi menunjukan bahwa nilai effort pada kondisi open access sebesar 144694 dayfish dengan produksi sebesar 8072 ton. Tingkat effort pada kondisi ini dua kali lebih besar jika effort perikanan udang di Laut Arafura dikendalikan pada tingkat produksi yang menghasilkan tingkat keuntungan ekonomi maksimum (Mximum Economic Yield = MEY). Pada MEY, tingkat effort yang dibutuhkan hanya 74347 dayfish yang menghasilkan panen sekitar 9402 ton. Pada kondisi ini diperoleh surplus ekonomi yang terbesar (rent MEY) dengan nilai lebih dari Rp 210 milyar per tahun. Secara grafis keseimbangan bioekonomi perikanan udang di Laut Arafura dapat dilihat pada Gambar 15 berikut. 500 Revenue Cost
NILAI (Rp. MILIAR)
400
Prof it
300
200
100
0 0 -100
25
50
75
100
125
150
175
EFFORT (ribu hari)
Gambar 15. Kurva revenue, cost dan profit perikanan udang di L. Arafura
61
Hasil pengamatan kondisi aktual perikanan udang di Arafura, menunjukkan bahwa tingkat effort pada kurun waktu 18 tahun memang mengalami fluktuasi yang sangat bervariasi . Pada periode awal tahun 1990 an, tingkat effort berada di atas 100.000 day- fish yang mendekati tingkat effort pada kondisi open access. Situasi yang sama terulang lagi pada periode 1996-1998. Kedua periode ini menandai situasi dimana perikanan udang sudah dikatakan sebagai over fishing. Demikian pula jika diambil rata-rata tingkat effort selama kurun waktu 18 tahun tersebut, levelnya mendekati 80.000 day-fish yang juga sudah di atas tingkat optimal sekitar 74.000. Kondisi saat ini (tahun 2005) dengan jumlah kapal pukat udang sebanyak 355 unit dengan rata-rata hari operasi melaut sekitar 300 day-fish per tahun, maka total effort adalah 106.500 day-fish, berarti melewati MSY. Tingkat produksi udang dan keuntungan ekonomi yang diperoleh masing-masing adalah 9.950 ton/tahun dan Rp 203 Milyar/tahun. Secara keseluruhan kondisi effort di Laut Arafura telah melebihi tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY dan MEY, maka secara biologis dan ekonomis sudah lebih tangkap (economically and biologically overexploited), sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan perikanan di kawasan ini masih di bawah tingkat optimal atau berada dalam kondisi sub optimal.
62
Scatterplot of Yield, catch vs effort 16000
Variable Yield catch Yield catch
2
14000 3 90 91 97 98 91 90 97 88 96 93 9495 98 92 389 1 99 2 9295 89 88 96 1 86 0 94 93 87
12000
0
Y-Data
10000 8000 6000
Fits Regress Regress Lowess Lowess
99
86 87
4000 2000 0 0
50000
100000 effort
150000
200000
Gambar 16. Plot Yield – Effort dengan tangkap aktual
Gambar 17. Copes Eye Ball untuk perikanan udang di Laut Arafura
63
Gambar 16 dan Gambar 17 di atas memperlihatkan pergerakan dinamis dari ekstraksi sumber daya udang di Laut Arafura dengan mem-plot kurva yield- effort dengan kondisi aktual penangkapan. Gambar 17 adalah Copes Eye Ball yang merupakan turunan Gambar 16 dan menggambarkan kontraksi dan ekspansi selama periode 18 tahun. Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa pada awal-awal periode, perikanan udang di Laut Arafura masih dieksploitasi di bawah keseimbangan, kemudian terus mengalami ekspansi yang ditunjukkan oleh loop yang berada di atas grafik yield-effort curve. Pada akhir tahun 1990an, akibat dampak kumulatif, keseimbangan sudah berada di sebelah kanan titik MSY dan menunjukkan adanya pola konstraksi. Sejak awal tahun 2000 kembali terjadi ekspansi yang dintunjukkan pola loop di atas keseimbangan dan sistim berusaha untuk stabil pada tingkat antara MEY dan Open Access. Untuk melihat tingkat input (effort) dan produksi yang optimal pada kondisi perikanan yang berbeda yaitu: open access, MEY dan MSY, dapat dilihat pada Gambar 18 dan Gambar 19 berikut ini. Tabel di bawah ini memperlihatkan perbandingan input dan output kondisi pengelolaan dan kondisi aktual perikanan udang di Laut Arafura. Tabel 5. Analisis Perbandingan Input dan Output
MEY
9402
74347
Profit (Milyar Rp) 248
MSY
10000
98563
221
Open Access
8072
144694
0
Aktual (tahun 2005)
9950
106500
203
Kondisi
Produksi (ton)
64
Effort (hari)
Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa jika perikanan udang di laut Arafura dikendalikan pada tingkat effort yang menghasilkan MEY, dari kondisi aktual tahun 2005, maka tingkat effort dikurangi sebesar 32100 day-fish. Untuk perbandingan effort dari berbagai kondisi pengelolaan dan juga kondisi aktual 2005, dapat dilihat pada Gambar 18 berikut.
Input (Effort) 160000 140000 120000 Effort (hari)
100000 80000 60000 40000 20000 0 MEY
MSY
Open Access
Aktual (tahun 2005)
Gambar 18. Tingkat effort optimum perikanan udang di Laut Arafura dalam kondisi open access, MEY dan MSY dan aktual tahun 2005
Sementara itu, tingkat produksi pada kondisi open acces, optimal MEY dan MSY serta kondisi tahun 2005 dapat dilihat dari Gambar 18 berikut.
65
Output (Produksi) 10000 9000 8000 7000 Produksi 6000 5000 (ton) 4000 3000 2000 1000 0 MEY
MSY
Open Access
Aktual (tahun 2005)
Gambar 19. Perbandingan tingkat produksi open access, optimal (MEY) dan produksi lestari (MSY) dan kondisi tahun 2005 Kondisi secara grafikal dari effort dan produksi bila dibandingkan akan menghasilkan kondisi seperti nampak pada Gambar 20 berikut : 160000
12000 144694
Effort (Hari)
120000
10000
98563
100000 80000
9950
9402 8072
10000
106500 8000
74347
6000
60000
4000
40000 2000
20000 0
0 MEY
MSY Effort (hari)
Open Access
Aktual (tahun 2005)
Produksi (ton)
Gambar 20. Perbandingan input dan output pada berbagai kondisi pengelolaan dan kondisi tahun 2005
66
Produksi (Ton)
140000
Selanjutnya hasil analisis mengenai perbandingan rente ekonomi pada berbagai kondisi pengelolaan dan kondisi tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar 21 berikut ini. Dari Gambar 21 dapat dinyatakan bahwa sebagaimana diprediksi secara teori, kondisi pengelolaan dengan MEY akan menghasilkan rente ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rezim pengelolaan MSY maupun kondisi tahun 2005. Kondisi open access tidak menghasilkan rente ekonomi (=0).
Rente Ekonomi (Rp Milyar)
300 250 200 150 100 50 0 MEY
MSY
Aktual (tahun 2005)
Rezim
Gambar 21. Perbadingan rente ekonomi pada MEY dan MSY dan kondisi aktual tahun 2005
4.3.2 Optimisasi bioekonomi dinamik Optimisasi
bioekonomi
dinamik
untuk
analisis
strategi/alternatif
mempertimbangkan dinamika karena faktor waktu atau keputusan yang bersifat intertemporal. Artinya dengan kondisi sumber daya udang dan faktor ekonomi yang bersifat dinamis, maka diperlukan juga indikator-indikator pengelolaan sumber daya udang yang bersifat dinamis. Untuk mengetahui bagaimana variabel input dan output dalam perikanan udang di Laut Arafura dalam kondisi dinamik,
67
maka paramater parameter dalam bioekonomi statik diolah kembali melalui algoritma dinamik berdasarkan persamaan (2.18 dan 2.19). Tingkat input dalam kondisi dinamik dapat ditentukan berdasarkan formula
E * = h* / qx* .
Pada
tingkat discount rate sebesar 8%, hasil perhitungan variabel input dan output dalam kondisi pengelolaan yang dinamik, serta kaitannya dengan pengelolaan statik (open access dan MEY ) disajikan pada Tabel 6.
Discount rate 8%
menggunakan tingkat suku bunga Bank Indonesia (SBI) pada tahun 2003, nilai kini (present value) rente ekonomi ( π ) dihitung untuk jangka 5 (lima) tahun dan untuk jangka panjang (infinite). Tabel 6. Perbandingan rente ekonomi pada tiga kondisi pengelolaan Open Access
MEY
Optimal Dinamik
x (ton)/tahun
6,651
16,862
16,426
h (ton)/tahun
7,417
9,402
9,550
E (trip)/tahun
14,4694
74,347
0.000
247,651
77,518 363,217 (5 th) 3,089,998 (jangka panjang)
π (Rp juta)/tahun
Data hasil perhitungan dalam Tabel 6 menunjukkan bahwa dengan pengelolaan dinamik, surplus ekonomi dari pengelolaan sumber daya udang di Laut Arafura dapat lebih ditingkatkan sampai Rp 3.1 Trilyun (untuk jangka panjang) dan Rp 363.2 Milyar (untuk jangka sedang), serta terjadi peningkatan produksi dan effort sedikit lebih banyak dari kondisi MEY. Perbandingan ketiga tipe pengelolaan dilihat dari produksi dan effort sebagaimana Gambar 22 dan 23 berikut.
68
18000,000 16000,000
Produksi (ton)
14000,000 12000,000 10000,000 8000,000 6000,000 4000,000 2000,000 0,000 x (ton)
Open Access
MEY
Optimal Dinamik
Tipe pengelolaan
h (ton)
Gambar 22. Perbandingan produksi ketiga tipe pengelolaan
Effort 60000
Effort (hari)
50000 40000 30000 20000 10000 0 Open Access
MEY
Optimal Dinamik
Tipe pengelolaan
Gambar 23. Perbandingan effort ketiga tipe pengelolaan
Melihat perbandingan ketiga skenario pengelolaan di atas untuk kondisi perikanan udang di Laut Arafura, pengelolaan dalam kerangka dinamik lebih dapat diterima (make sense) karena memberikan manfaat ekonomi yang tinggi dengan sedikit memberikan ruang untuk meningkatkan effort, namun tetap masih
69
dibawah tingkat effort pada kondisi open access. Pengendalian effort tetap dapat dilakukan degan tingkat produksi dan surplus ekonomi yang lebih besar dari kondisi statik MEY.
4.4
Pengukuran Kapasitas Perikanan Udang di L. Arafura dengan DEA Pengukuran kapasitas perikanan udang di Laut Arafura dilakukan dua kali,
yaitu yang bersifat long run (jangka panjang) dan short run (jangka pendek). Untuk pengolahan DEA yang bersifat long run menggunakan data series tahunan, maka tahun dijadikan DMU (decision making unit), variabel input adalah effort dan variabel output adalah produktivitas tangkapan aktual. Mengingat DMU nya adalah tahun 1986 sampai dengan 2003 (18 DMU) dan hanya ada 1 (satu) input dan 1 (satu) output, maka sesuai dengan persyaratan d.o.f. sebagaimana rule of thumb, telah memenuhi syarat untuk proses DEA, yaitu 18 ≥ max{1,6}. Untuk mengukur kapasitas perikanan yang bersifat short run, dilakukan dengan membandingkan efisiensi tiap kapal, maka DMU nya adalah 39 kapal dengan data tahun 2003, variabel input nya ada 4 (empat) terdiri dari hari trip (effort), biaya, GT kapal dan umur, variabel output nya juga 4 (empat) meliputi pendapatan, hasil tangkapan udang windu, hasil tangkapan udang putih dan hasil tangkapan udang lainnya. Berdasarkan persyaratan d.o.f. sesuai dengan rule of thumb, telah dipenuhi syarat jumlah DMU, input dan output nya, yaitu 39 ≥ max {16,24}, sehingga proses DEA dapat dilanjutkan. Selanjutnya hasil analisis akan di bahas berikut ini.
70
4.4.1
Efisiensi perikanan udang di L. Arafura (long run)
Data pada Tabel 4 sebagaimana dibahas pada awal Bab ini, digunakan untuk mengukur efeisiensi dengan menggunakan DEA. Variabel input adalah effort dan variabel output adalah produksi aktual, hasilnya didapatkan angka efisiensi dari tahun 1986 sampai dengan 2003 sebagaimana Tabel 7 berikut. Tabel 7. Rekapitulasi efisiensi tahunan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
DMU 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Score 0,440411 0,484885 0,433682 0,522358 0,528959 0,490384 0,518993 0,359408 0,361785 0,48334 0,377549 0,448302 0,423815 0,72407 1 0,747984 0,985023 0,78058
Rank 13 10 14 7 6 9 8 18 17 11 16 12 15 5 1 4 2 3
Tabel 6 menunjukkan bahwa tahun yang dapat dijadikan acuan adalah tahun 2000 dengan skor efisiensi = 1, sedangkan tahun terjelek adalah tahun 1993 dengan skor efisiensi = 0.359. Grafik fluktuasi angka efisiensi sejak tahun 1986 sampai dengan 2003 dapat dilihat pada Gambar 24 berikut. Tahun 2000 dijadikan acuan karena efisiensinya = 1, sedangkan tahun lainnya diperbandingkan secara relatif terhadap tahun 2000. Tabel dan Gambar tersebut memperlihatkan bahwa perikanan udang di laut Arafura sebagian besar tidak efisien dengan angka efisiensi sebagian besar di bawah 0.6 dan hanya beberapa tahun yang di atas 0.6.
71
Hal ini menunjukan bahwa pengelolaan perikanan udang di L. Arafura tidak efisien atau over capacity. Time Series Plot of Efisiensi 1,0 0,9
Efisiensi
0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 2
4
6
8
10 Index
12
14
16
18
Gambar 24. Fluktuasi angka efisiensi
4.4.2
Efisiensi kapal pukat udang (short run)
Selain menganalisis efisiensi DEA dengan variabel tahun sebagai DMU seperti di atas, pada penelitian ini juga dilakukan analisis efisiensi antar kapal pukat udang di Laut Arafura. Jumlah keseluruhan kapal pukat udang yang diizinkan beroperasi dan mendapatkan SPI (surat penangkapan ikan) dari DKP adalah 355 kapal (sumber Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2005). Data kapal-kapal untuk pengolahan DEA diambil dari sample sebanyak 39 kapal, dengan pertimbangan dapat diperolehnya data yang lengkap (eligible), sesuai kebutuhan variable yang diperlukan dalam perhitungan efisiensi. Untuk
72
melaksanakan perhitungan tersebut, disusun Tabel 8 berikut berdasarkan data-data yang dikumpulkan sebagaimana Lampiran 2.
Tabel 8. Data kapal-kapal pukat udang yang beroperasi di L. Arafura NAMA KAPAL Binama no. 15 Binama no. 12 Binama no. 1 Binama no. 10 Binama no. 2 Binama no. 3 Binama no. 5 Binama no. 6 Binama no. 7 Binama no. 8 khamsin A Minaraya no. 16 Mina raya no, 11 Mina raya no, 14 Mina raya no. 21 Nusantara maju Nusantara utama nusa aman 1 nusa aman 2 Nusantara bina Nusantara megah nusa asri nusa ayu Merbah Mina raya no. 18 Mina raya no. 20 Minaraya no. 17 Binama no. 16 merawal II Nusantara agung Merbuk II mentilau II Binama no. 11 Nusantara jaya 2 Mina raya no. 25 Nusantara elok Merpati II Mina raya no. 22 Mina raya no. 24
HARI TRIP 171 228 281 222 181 225 286 180 180 227 289 196 156 112 90 339 277 323 332 258 260 340 351 217 152 105 188 264 251 289 258 245 267 214 235 248 263 126 93
GT 104 105 137 137 137 137 137 137 137 137 118 142 143 146 149 156 156 157 157 163 163 166 166 170 198 198 198 204 229 233 240 243 246 260 235 450 532 352 417
UMUR 9 10 29 24 29 27 29 29 28 27 2 31 32 32 26 31 31 10 10 27 27 5 5 24 31 30 31 5 22 33 22 22 17 8 16 5 22 26 25
BIAYA (Rp)
PEND (Rp)
445.667 438.154 892.731 756.413 534.623 726.347 920.880 557.120 570.146 535.050 3.474.777 505.150 368.190 427.708 463.642 2.722.000 2.120.000 2.663.000 2.766.000 2.224.000 2.138.000 2.851.000 2.859.000 925.203 1.263.394 904.538 849.369 1.497.489 1.372.471 2.458.000 1.447.864 1.718.250 1.109.685 2.344.000 980.211 3.906.000 3.396.231 1.684.117 974.029
2.302.333 2.290.999 3.426.516 3.078.653 2.296.237 2.804.890 3.559.718 2.656.957 2.287.035 2.860.979 3.718.565 1.502.274 1.460.259 929.698 916.146 3.067.524 2.839.752 3.557.250 3.356.424 3.260.304 2.458.512 4.080.456 3.582.522 1.881.399 1.788.804 1.156.412 1.168.464 3.913.499 2.195.435 2.988.468 6.509.525 2.971.281 4.007.578 2.209.302 2.753.230 2.529.954 3.514.841 1.807.476 882.108
73
PUTIH
WINDU
5.454 6.662 5.080 1.368 2.162 2.612 4.776 2.462 3.030 3.908 3.270 3.606 910 3.864 3.512 4190 5696 13406 9976 3928 7564 9062 5476 7445,5 4448 4136 5924 11046 11376 6202 80425 10785,5 3652 5242 6536 7886 22347 4470 2472
15.207 5.161 20.054 19.611 16.929 17.953 21.353 15.034 15.993 17.917 9.550 7.739 5.897 3.447 14.417 25741 23279 28187 26290 31973 18435 35583 34982 12001,5 10184 5132 12211 28809,5 17264 26020 20854 24024,5 30740,5 19670 15792 20837 22106,5 10408 4703
LAIN 22.248 20.936 38.575 36.102 23.540 31.508 40.031 31.830 23.481 31.352 11.582 16.969 14.478 7.982 25.044 26875 23613 24282 25890 24475 19529 30919 25885 15766 16204 10598 20224 33169 12585 23120 23289 20753 40004,5 16001 27100 18128 21753,5 16404 8188
Data dalam Tabel 8 di atas selanjutnya diolah untuk mencari angka efisiensi. Data yang dijadikan variabel input adalah effort (hari trip), umur kapal (tahun), kapasitas kapal (GT) dan biaya (Rupiah). Data yang dijadikan variabel output adalah pendapatan (Rupiah), hasil tangkapan udang windu, hasil tangkapan udang putih dan tangkapan lainnya. DEA menghasilkan angka efisiensi tiap kapal sebagaimana Gambar 25 dan Gambar 26.
KAPAL (CCR)
merpati II binama no. 11 merawal II
DMU
Mina raya no. 18 nusantara nusantara Mina raya no, 11 binama no. 7 binama no. 2 binama no. 15 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Efficiency
Gambar 25. Analisis efisiensi antar kapal penangkap udang di Laut Arafura
74
KAPAL (CCR)
merbah minaraya no. 16 Mina raya no, 11
DMU
Mina raya no. 25 mentilau II nusa aman 1 Mina raya no. 21 binama no. 6 binama no. 10 binama no. 11 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Efficiency
Gambar 26. Analisis efisiensi antar kapal penangkap udang di Laut Arafura Proses iterasi DEA dan skor untuk ke 39 kapal lengkap dengan laporan dan proyeksi perbaikan tiap kapal dapat dilihat pada Lampiran 3. Selanjutnya didapatkan distribusi angka efisiensi dan potensi perbaikan efisiensi sebagaimana
Jumlah Kapal
terlihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Distribusi efisiensi kapal pukat udang di Laut Arafura
75
Grafik distribusi menunjukkan bahwa dari 39 kapal, 13 diantaranya efisien dan yang lain kurang efisien. Berdasarkan grafik tersebut dapat ditetapkan angka yang dianggap efisien misalnya di atas 0.7, selanjutnya kapal-kapal dengan angka efisiensi di bawah 0.7 memerlukan perbaikan. Hal ini tentu sangat tergantung dari kebijakan dalam pengelolaan perikanan udang sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Kapal-kapal yang efisiensinya sangat rendah (di bawah 0.5) dapat dipertimbangkan untuk izinnya tidak diperpanjang (dihapuskan), dengan pemikiran kapal-kapal tersebut tidak menguntungkan. Dalam konteks ini angka efisiensi dapat dijadikan acuan untuk menentukan kebijakan pembatasan jumlah kapal. Hal ini menunjukan bahwa pengoperasian kapal-kapal pukat udang dalam jangka pendek (selama tahun 2003) mengalami excess capacity, yang apabila dibiarkan dalam kondisi tahun-tahun berikutnya menjadi overcapacity. DEA dapat pula digunakan untuk menghitung perbaikan angka efisiensi, secara prinsip adalah dengan mengurangi input atau menambah output (Cooper et al., 2004), baik secara total maupun individu per kapal. DEA menghasilkan suatu resume potensi perbaikan angka efisiensi secara total maupun tiap kapal dalam bentuk besaran prosentase pengurangan input atau penambahan output tiap variabel. Tampilan resume total potensi perbaikan angka efisiensi ditunjukkan dalam pie chart sebagaimana Gambar 28. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa efisiensi secara umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi effort (hari trip) sebesar 11.17%, pengurangan GT sebesar 15.45%, penurunan umur sebesar 17.74%, penurunan biaya sebesar 16.34%. Khusus berkaitan dengan biaya, mengandung arti bahwa saat ini biaya penangkapan udang terlalu tinggi (high cost). Effort, GT dan umur merupakan variabel yang dapat dijadikan
76
instrumen pengendalian kapasitas. Gambar 28 juga dapat menjelaskan bahwa kondisi faktual penangkapan udang sebagian besar sudah melebihi kapasitas (over capacity) dilihat dari berlebihnya pemanfaatan (utility) faktor input seperti effort, GT, umur dan biaya. Dalam kenyataan, variabel biaya sulit dikendalikan karena merupakan hasil manajemen dari pengoperasian kapal.
Gambar 28. Potensi perbaikan efisiensi Proyeksi perbaikan efisiensi untuk tiap kapal dapat dilakukan sebagaimana Lampiran 3. Sebagai contoh kapal dengan efisiensi terendah adalah kapal Mina Raya 14 dengan nilai 0,47 (47%). Untuk meningkatkan efisiensi kapal tersebut dilakukan dengan cara mengurangi input berupa hari trip sebesar 53,21%, GT kapal
sebesar
77,88%
dan
biaya
sebesar
53,21%,
melakukan
peremajaan/perbaikan kapal sebesar 77,12%. Peningkatan efisiensi dapat pula dilakukan dengan meningkatkan output, antara lain peningkatan produksi udang putih sebesar 34,11% dan udang windu sebesar 26,06% dari produksi sekarang.
77
Di bawah ini (Tabel 9) adalah proyeksi perbaikan efisiensi untuk kapal Mina Raya 14. Tabel 9. Proyeksi perbaikan efisiensi kapal Mina Raya 11 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
112 146 32 427708 929698 3864 3447 7982
52.40064 42.51979 7.32183 200108.7 929698 5182.118 4345.298 7982
-59.5994 -103.48 -24.6782 -227599 0 1318.118 898.2979 0
-53.21% -70.88% -77.12% -53.21% 0.00% 34.11% 26.06% 0.00%
4.5 Fluktuasi musiman produktivitas kapal pukat udang Data hasil tangkapan kapal-kapal anggota HPPI mulai tahun 1999 sampai dengan 2004, sebagaimana Tabel berikut. Tabel 10. Tangkapan rata-rata bulanan kapal pukat udang anggota HPPI 1999
2000
2001
2002
2003
2004
Jumlah
Ratarata
1
Januari
458,3
324,7
300,8
404,3
400,8
424,5
2.313,4
385,6
2
Februari
328,0
220,4
252,2
384,5
458,2
443,3
2.086,6
347,8
3
Maret
323,6
287,9
296,1
379,0
427,0
529,6
2.243,2
373,9
4
April
222,9
237,0
216,0
284,3
341,4
459,8
1.761,4
293,6
5
Mei
271,1
228,2
296,6
362,6
353,6
389,7
1.901,8
317,0
6
Juni
272,1
266,3
240,1
264,0
303,7
312,5
1.658,7
276,5
7
Juli
323,7
255,2
236,0
324,1
309,9
323,2
1.772,1
295,4
8
Agustus
289,7
449,7
486,5
481,4
473,6
512,9
2.693,8
449,0
9
September
399,0
432,5
644,8
629,0
507,8
584,8
3.197,9
533,0
10
Oktober
497,4
475,2
504,5
603,6
456,3
535,5
3.072,5
512,1
11
Nopember
424,3
331,3
358,1
474,4
320,1
448,2
2.356,4
392,7
12
Desember
286,9
379,6
312,8
415,0
320,5
386,2
2.101,0
350,2
Ratas
341,4
324,0
345,4
417,2
389,4
445,9
2.263,2
(Sumber HPPI 2005)
Dari Tabel tersebut dapat ditampilkan grafik rata-rata tangkapan bulanan sebagaimana Gambar 29 berikut.
78
KECENDERUNGAN MUSIM TANGKAPAN HPPI 600,0
TOTAL TANGKAPAN (TON)
500,0
400,0
300,0
200,0
100,0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
BULAN PENANGKAPAN
Gambar 29. Grafik tangkapan bulanan kapal-kapal PU anggota HPPI
Grafik di atas memperlihatkan bahwa titik terendah tangkapan rata-rata terjadi pada bulan Juni dengan angka di bawah 300 ton dan tertinggi terjadi pada bulan September sebesar 600 ton. Sementara itu hasil tangkapan pada bulan Juli naik sedikit dan melonjak pada bulan Agustus, September dan Oktober. Dengan melihat grafik tersebut dapat dikatakan bahwa musim panen yang baik adalah pada Agustus, September dan Oktober. Demikian pula dapat dikatakan bahwa musim penangkapan terjelek terjadi pada bulan April sampai dengan Juli. Apabila akan diadakan pengurangan kapasitas penangkapan, maka yang terbaik dilakukan penutupan musim adalah antara bulan April sampai dengan Juli. Namun demikian penutupan musim selama waktu tersebut tentu akan berdampak kurang baik dilihat dari produksi udang nasional maupun pendapatan perusahaan. Berkaitan dengan hal tersebut, penutupan pada bulan Juni selama satu bulan saja akan lebih dapat diterima, dengan pertimbangan mengurangi kapasitas penangkapan sebesar
79
6.6% (berdasarkan perbandingan tangkapan bulan Juni terhadap tangkapan satu tahun) atau 8% (atau 1/12, jika tiap bulan diasumsikan sama dalam satu tahun). Penutupan pada bulan Juni memungkinkan terjadinya pertumbuhan yang cukup untuk dipanen pada bulan Juli dan selanjutnya. Disamping itu penutupan musim satu bulan adalah berarti mengurangi effort dalam fishing days maksimal sebesar 8%. 4.6 Skenario Pengelolaan Perikanan Udang di L. Arafura Berdasarkan pembahasan kondisi perikanan udang di Laut Arafura sebagaimana dijelaskan diatas, skenario pengelolaan ke depan dianalisis dalam tiga alternatif, yaitu pengaturan kuota penangkapan, pengurangan jumlah kapal dan pengaturan musim penangkapan. Pengaturan jumlah kapal berdasarkan pertimbangan GT dan umur kapal serta pengaturan musim penangkapan masuk dalam kategori pengendalian input. Sasaran yang diharapkan dari tiga alternatif tersebut adalah pengurangan overcapacity dan diperolehnya rente ekonomi yang optimal. 4.6.1 Incentive blocking instruments (IAI)
instruments
(IBI)
v.s.
Incentive
adjusting
Model bioekonomi yang digunakan dalam penelitian ini memungkinkan dilakukan evaluasi terhadap instrumen pengelolaan yang tergolong dalam IBI maupun IAI sebagaimana Tabel 2. Beberapa introduksi kebijakan pengelolaan yang dilakukan DKP terkait dengan pengenaan pungutan (masuk dalam IAI) dalam bentuk PHP (pungutan hasil perikanan), menimbulkan dampak resistensi yang tinggi dan ditunjukan dengan unjuk rasa di berbagai tempat untuk meminta keringanan dan pembebasan, meskipun pada akhirnya kebijakan tersebut berjalan. Pengenaan PHP yang merupakan IAI dengan besaran relatif kecil yaitu 2.5% dari
80
produktivitas tangkapan berdampak positif bagi pemasukan kepada negara dan mampu mengerem sedikit laju peningkatan effort. Sementara itu, kebijakan pengelolaan perikanan dengan IBI, antara lain pembatasan
alat
tangkap,
telah
mendorong
nelayan
melakukan
terobosan/modifikasi terhadap alat tangkap dan cara pengoperasiannya. Sebagai contoh adalah larangan penggunaan trawl dimodifikasi dengan lampara dasar dan cantrang. Hal ini berarti bahwa pada jangka menengah dan panjang IBI tidak akan efektif, namun tetap efektif untuk jangka pendek sampai menengah (maksimum lima tahun). Membandingkan pengelolaan perikanan udang di Indonesia menggunakan IBI dan IAI, dapat disimpulkan bahwa dalam jangka pendek sampai menengah (lima tahun) dapat diterapkan instrumen kebijakan dengan IBI dan pada jangka panjang diterapkan instrumen kebijakan IAI. Oleh sebab itu, untuk kepentingan jangka pendek sampai dengan lima tahun dengan sasaran untk mengurangi overcapacity dan inefisiensi, skenario pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura mencakup pengaturan kuota penangkapan secara agregat (agregate quotas), pengurangan jumlah kapal dan pengaturan musim penangkapan. 4.6.2 Pengaturan kuota penangkapan secara agregat Skenario pengelolaan perikanan secara agregat dilakukan dengan menetapkan TAC (total allowbale catch) atau kuota. Secara teoritis, kuota akan mengurangi terjadinya race for fish sehingga effort akan dialokasikan secara lebih efisien. Apablia digunakan kurva yield effort
dan variabel stok sebagaimana telah
dihitung sebelumnya, maka kurva produksi lestari dengan kuota (PLK) dan produksi lestari tanpa kuota (PLTK) terlihat dalam Tabel 11 dan Gambar 30.
81
Dalam perhitungan tersebut, besarnya N diasumsikan = 250 kapal (jumlah ratarata kapal dari data series tahunan), x = 16861,67 (merupakan x optimal pada kondisi MEY), sedangkan parameter lainnya (q,K,r,c,p) tetap sama dengan pembahasan sebelumnya. Tabel 11 menunjukan perbandingan antara tiga kondisi, yaitu PLTK, PLK 5% dan PLK 10%. Untuk mengetahui seberapa prosentase penerapan kuota agar diperoleh manfaat paling besar, maka diperbandingkan penerapan kuota 5% dan 10% terhadap kondisi tanpa kuota (produksi aktual). Tabel 11. Dampak penerapan kuota terhadap produksi lestari dan rente Tahun
Prod aktual
Tanpa Kuota Prod. Lestari Rente
Kuota 5 % Prod. Lestari
Rente
Kuota 10 % Prod. Lestari
Rente
1986
4.981
7826,352
226.391,12
11934,31617
391563,2586
11306,33844
370960,9376
1987
4.113
6403,282
193.001,38
6272,58829
205810,4594
5942,49188
194980,0621
1988
8.368
9924,667
237.139,10
12760,05484
418653,3425
12088,63782
396626,1258
1989
8.683
9538,251
247.281,40
13240,25761
434407,2626
12543,57941
411551,4421
1990
11.562
9996,752
214.430,11
17628,72445
578374,2082
16701,21150
547947,1478
1991
10.703
9997,661
214.795,15
16319,43053
535422,7153
15460,78277
507254,3016
1992
9.076
9698,104
245.511,60
13839,35461
454061,582
13111,16141
430172,0383
1993
6.443
9766,490
244.059,60
9825,27877
322370,5318
9308,25654
305407,9121
1994
6.551
9792,157
243.353,32
9989,94040
327772,7755
9464,25508
310525,971
1995
9.114
9883,008
239.753,74
13897,28179
455961,9661
13166,04142
431972,4729
1996
8.155
10002,726
217.294,00
12435,34099
408000,4609
11781,00589
386533,5617
1997
10.914
9787,315
180.237,95
16641,04469
545973,3628
15765,48060
517250,1189
1998
10.367
9770,832
178.351,28
15807,27798
518621,3069
14975,56896
491336,453
1999
10.169
8864,244
243.965,00
15505,46881
508720,2598
14689,63491
481956,0973
2000
10.235
7327,264
215.520,58
15606,07228
512020,6267
14784,94663
485082,8986
2001
9.046
8157,934
232.909,19
13793,62253
452561,2747
13067,83500
428750,6388
2002
14.097
8947,804
244.906,02
21492,18334
705110,9459
20361,48355
668020,191
2003
12.374 Ratarata
9367,860
247.638,43
18866,31658
618972,833
17873,71295
586410,993
9169,595
225918,832
14214,142
13466,246
441818,854
82
466354,398
Pada saat produksi aktual dikurangi 5% (artinya kapasitas produksi penangkapan dibatasi dengan dikurangi 5%), terjadi peningkatan produksi lestari sebesar 55% dan tambahan rente sebesar 106,4 %. Apabila produksi aktual dikurangi 10%, terjadi penambahan produksi lestari sebesar 46,85 % dan tambahan rente sebesar 95,56%. Perbandingan penerapan kuota sebesar 5% dan 10% dapat divisualisasikan ke dalam Gambar 30 berikut.
Produksi Lestari (ton)
25000,00000
20000,00000 PLK5
15000,00000
PLK10 Plaktual
10000,00000
Poly. (PLK5)
5000,00000
0,00000 1985
1990
1995
2000
2005
Tahun
Gambar 30. Trajektori produksi lestari dengan dan tanpa kuota
Sebagaimana terlihat pada Gambar di atas, secara agregat penerapan kuota dapat meningkatkan produksi lestari udang di L. Arafura. Terjadi fluktuasi produksi lestari dalam kondisi penerapan kuota, disebabkan karena teradinya fluktuasi pada tingkat input (effort). Oleh karena adanya hubungan linear antara effort yang digunakan dengan kuota yang diterapkan, maka fluktuasi kuota juga akan mengikuti fluktuasi effort tersebut. Namun demikinan dari tren yang terlihat
83
pada kurva diatas menunjukan adanya kecenderungan produksi lestari yang meningkat manakala kuota diterapkan. Gambar dan perhitungan di atas menunjukan bahwa pembatasan kuota paling optimal adalah mengurangi produksi penangkapan sebesar 5%. 4.6.3 Pengurangan jumlah kapal Sebagaimana dijelaskan dalam 4.3.2 bahwa pengelolaan paling optimal adalah pada kondisi dinamik dengan tingkat effort sebesar 77518 day-fish atau jumlah kapal dipertahankan sebanyak 258 unit. Oleh karena itu, jumlah kapal yang ada saat ini sebanyak 355 unit perlu dikurangi sebanyak 97 kapal atau sekitar 27%. Timbul permasalahan kapal-kapal mana saja yang harus dikurangi agar tidak menimbulkan masalah. Pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan kapal yang dikurangi adalah hasil DEA menggunakan data kapal-kapal pukat udang tahun 2003, yaitu berdasarkan efisiensi. DEA menghasilkan kesimpulan bahwa untuk meningkatkan efisiensi secara keseluruhan, salah satunya adalah dengan pengurangan jumlah kapal sebanyak 15%. Dengan menggabungkan hasil analisis bioekonomi dinamik dan DEA, maka pengurangan jumlah kapal sebanyak 27% akan menghasilkan dua sasaran pengelolaan sekaligus yaitu optimal secara bioekonomi dan efisien atau overcapacity teratasi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa penetapan kebijakan selalu mendatangkan reaksi dan resistensi, maka penerapan kebijakan dengan pengurangan jumlah kapal juga perlu mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dengan cara dilakukan secara bertahap. Salah satu prioritas pengurangan jumlah kapal adalah penghapusan (decomissioning) kapal-kapal yang berusia di atas 30 tahun. Batas umur 30 tahun bagi kapal perikanan ditetapkan, dengan
84
pertimbangan mengikuti standard kapal-kapal lain seperti kapal perang TNI AL dan kapal kargo dan penumpang, pada umumnya usia kapal di atas 30 tahun tidak efisien dilihat dari biaya operasional dan pemeliharaan. Daftar kapal yang tidak termasuk kapal yang berumur di atas 30 tahun sebagaimana Tabel 12 berikut. Tabel 12. Kapal-kapal pukat udang tidak termasuk yg berumur 30 th ke atas. KAPAL Binama no. 15 Binama no. 12 Binama no. 1 Binama no. 10 Binama no. 2 Binama no. 3 Binama no. 5 Binama no. 6 Binama no. 7 Binama no. 8 khamsin A Mina raya no. 21 nusa aman 1 nusa aman 2 nusantara bina nusantara megah nusa asri nusa ayu Merbah Mina raya no. 20 Binama no. 16 merawal II Merbuk II mentilau II Binama no. 11 toyo 56 nusantara jaya 2 toyo 51 Mina raya no. 25 toyo 23 nusantara elok toyo 57 Merpati II Mina raya no. 22 Mina raya no. 24
HR TRIP 171 228 281 222 181 225 286 180 180 227 289 90 323 332 258 260 340 351 217 105 264 251 258 245 267 328,02 214 378 235 427,5 248 332,4 263 126 93
GT
UMUR
104 105 137 137 137 137 137 137 137 137 118 149 157 157 163 163 166 166 170 198 204 229 240 243 246 253 260 280 235 306 450 490 532 352 417
9 10 29 24 29 27 29 29 28 27 2 26 10 10 27 27 5 5 24 30 5 22 22 22 17 17 8 17 16 7 5 12 22 26 25
BIAYA 445.667 438.154 892.731 756.413 534.623 726.347 920.880 557.120 570.146 535.050 3.474.777 463.642 2.663.000 2.766.000 2.224.000 2.138.000 2.851.000 2.859.000 925.203 904.538 1.497.489 1.372.471 1.447.864 1.718.250 1.109.685 2.344.000 980.211 3.906.000 3.396.231 1.684.117 974.029
85
PENDAPATAN
PUTIH
WINDU
LAIN
2.302.333 2.290.999 3.426.516 3.078.653 2.296.237 2.804.890 3.559.718 2.656.957 2.287.035 2.860.979 3.718.565 916.146 3.557.250 3.356.424 3.260.304 2.458.512 4.080.456 3.582.522 1.881.399 1.156.412 3.913.499 2.195.435 6.509.525 2.971.281 4.007.578 2.803.707 2.209.302 2.858.723 2.753.230 3.574.723 2.529.954 2.577.011 3.514.841 1.807.476 882.108
5.454 6.662 5.080 1.368 2.162 2.612 4.776 2.462 3.030 3.908 3.270 3.708 13406 9976 3928 7564 9062 5476 7445,5 4136 11046 11376 80425 10785,5 3652 9338 5242 10992 6536 16400 7886 12892 22347 4470 2472
15.207 15.161 20.054 19.611 16.929 17.953 21.353 15.034 15.993 17.917 9.550 16.796 28187 26290 31973 18435 35583 34982 12001,5 5132 28809,5 17264 20854 24024,5 30740,5 21265,5 19670 18496,5 15792 24098,5 20837 19160,5 22106,5 10408 4703
22.248 20.936 38.575 36.102 23.540 31.508 40.031 31.830 23.481 31.352 11.582 28.290 24282 25890 24475 19529 30919 25885 15766 10598 33169 12585 23289 20753 40004,5 26972,5 16001 22766 27100 28601,5 18128 22473,52 21753,5 16404 8188
Selanjutnya diadakan perhitungan DEA, hasilnya adalah sebagaimana Tabel 13 berikut. Tabel 13. Efisiensi tanpa kapal umur 30 th ke atas In Rank order Rank
DMU 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Toyo 57 binama no. 15 binama no. 12 Toyo 23 binama no. 10 Toyo 56 binama no. 11 binama no. 5 binama no. 6 merbuk II binama no. 8 khamsin A Mina raya no. 21 binama no. 16 Nusa asri nusantara bina binama no. 1 Nusa ayu binama no. 2 Nusa aman 1 binama no. 3 binama no. 7 Toyo 51 Nusa aman 2 nusantara jaya 2 Mentilau II Mina raya no. 25 nusantara elok merpati II Mina raya no. 22 nusantara megah merawal II Mina raya no. 20 Merbah Mina raya no. 24
Score 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0,985674 0,98311 0,942698 0,912921 0,908425 0,895892 0,895501 0,855143 0,803307 0,798325 0,778254 0,767464 0,754944 0,73785 0,67051 0,586994 0,568589 0,547984 0,492079
Jika dibandingkan dengan efisiensi setelah pengurangan kapal berumur di atas 30 tahun dengan sebelumnya, terjadi kenaikan angka efisiensi total 5.7% dan jumlah
86
kapal yang efisiensinya sama dengan 1 semula hanya 13 kapal menjadi 16 kapal. Pengurangan kapal yang berumur di atas 30 tahun (berjumlah 4 kapal) sekaligus mengurangi effort sebesar 10.25 %. 4.6.4 Pengaturan musim tangkapan Pembahasan pada 4.6 menunjukan bahwa rata-rata hasil tangkapan pada bulan April sampai dengan Juli pada kondisi lebih rendah dibandingkan dengan bulanbulan yang lain. Untuk mengetahui dampak penutupan satu bulan saja pada bulan terjelek yaitu Juni, maka bisa dilakukan dengan cara simulasi perbaikan angka efisiensi dimana salah satu variabel input nya berupa effort (hari operasi) dikurangi 8% pada 8 kapal yang urutan efisiensinya terjelek dengan angka di bawah 0.7. Perubahan angka effort untuk ke 8 kapal ditampilkan pada Tabel 14. Hasil perhitungan efisiensi DEA menunjukan bahwa pengurangan effort rata-rata sebesar 8% dengan cara menutup musim penangkapan selama satu bulan, menghasilkan kenaikan efisiensi sebesar 5.75%. Kenaikan ini memang tidak proporsional karena input variabel penentu efisiensi lebih dari satu dan bukan hanya effort. Dapat disimpulkan bahwa penutupan musim penangkapan merupakan salah satu instrumen pengendalian input yang efektif. Menurut Purwanto (1997) suatu usaha tambak udang dapat ditentukan bulan panen yang paling optimal dalam satu tahun berdasarkan perolehan pendapatan tertinggi, karena sifatnya yang siklikal. Berdasarkan kenyataan penangkapan udang di L. Arafura (Gambar 31) yang menunjukan kecenderungan siklikal, maka produksi tangkapan rata-rata bulanan dapat juga diduga dengan persamaan ht = a + bSin(2π Mt /12) , Mt = 1, ..,12 (Januari=1, …, Desember=12), a dan b
dapat diperoleh dari regresi ruas kiri dan ruas kanan persamaan tersebut.
87
Tabel 14. Data efisiensi kapal pukat udang yang sudah dikurangi effort 8% KAPAL
HARI TRIP
GT
UMUR
BIAYA
PENDAPATAN
PUTIH
WINDU
LAIN
Score Lama
Score Baru
binama no. 15
171
104
9
445,667
2,302,333
5,454
15,207
22,248
1.0000
1.0000
binama no. 12
228
105
10
438,154
2,290,999
6,662
15,161
20,936
1.0000
1.0000
binama no. 1
281
137
29
892,731
3,426,516
5,080
20,054
38,575
0.9857
0.9857
binama no. 10
222
137
24
756,413
3,078,653
1,368
19,611
36,102
1.0000
1.0000
binama no. 2
181
137
29
534,623
2,296,237
2,162
16,929
23,540
0.9585
0.9585
binama no. 3
225
137
27
726,347
2,804,890
2,612
17,953
31,508
0.9084
0.9084
binama no. 5
286
137
29
920,880
3,559,718
4,776
21,353
40,031
1.0000
1.0000
binama no. 6
180
137
29
557,120
2,656,957
2,462
15,034
31,830
1.0000
1.0000
binama no. 7
180
137
28
570,146
2,287,035
3,030
15,993
23,481
0.9091
0.9091
binama no. 8
227
137
27
535,050
2,860,979
3,908
17,917
31,352
1.0000
1.0000
khamsin A
289
118
2
3,474,777
3,718,565
3,270
11,582
1.0000
1.0000
minaraya no. 16
180
142
31
505,150
1,502,274
3,606
16,969
0.6159
0.6244
Mina raya no, 11
156
143
32
368,190
1,460,259
910
14,478
0.7420
0.7420
Mina raya no, 14
103
146
32
427,708
929,698
3,864
7,982
0.4679
0.4999
Mina raya no. 21
90
149
26
463,642
916,146
3,512
14,417
25,044
1.0000
1.0000
9,550 7,739 5,897 3,447
nusantara maju
339
156
31
2,722,000
3,067,524
4190
25741
26875
0.8201
0.8201
nusantara utama
277
156
31
2,120,000
2,839,752
5696
23279
23613
0.7959
0.7959
nusa aman 1
323
157
10
2,663,000
3,557,250
13406
28187
24282
0.9129
0.9129
nusa aman 2
332
157
10
2,766,000
3,356,424
9976
26290
25890
0.8551
0.8551
nusantara bina
258
163
27
2,224,000
3,260,304
3928
31973
24475
1.0000
1.0000
nusantara megah
239
163
27
2,138,000
2,458,512
7564
18435
19529
0.6705
0.7061
nusa asri
340
166
5
2,851,000
4,080,456
9062
35583
30919
1.0000
1.0000
NAIk (%)
1.3902
6.8403
5.3025
nusa ayu
351
166
5
2,859,000
3,582,522
5476
34982
25885
0.9831
0.9831
Merbah
200
170
24
925,203
1,881,399
7445.5
12001.5
15766
0.5480
0.5724
4.4584
Mina raya no. 18
140
198
31
1,263,394
1,788,804
4448
10184
16204
0.6255
0.6799
8.6957
Mina raya no. 20
97
198
30
904,538
1,156,412
4136
5132
10598
0.5883
0.6394
8.6957
minaraya no. 17
173
198
31
849,369
1,168,464
5924
12211
20224
0.5571
0.5750
3.2016
binama no. 16
264
204
5
1,497,489
3,913,499
11046
28809.5
33169
1.0000
1.0000
merawal II
231
229
22
1,372,471
2,195,435
11376
17264
12585
0.6078
0.6348
nusantara agung
289
233
33
2,458,000
2,988,468
6202
26020
23120
0.7388
0.7388
Merbuk II
258
240
22
1,447,864
6,509,525
80425
20854
23289
1.0000
1.0000
mentilau II
245
243
22
1,718,250
2,971,281
10785.5
24024.5
20753
0.8252
0.8252
binama no. 11
267
246
17
1,109,685
4,007,578
3652
30740.5
40004.5
1.0000
1.0000
nusantara jaya 2
214
260
8
2,344,000
2,209,302
5242
19670
16001
0.8162
0.8162
Mina raya no. 25
235
235
16
980,211
2,753,230
6536
15792
27100
0.7859
0.7859
nusantara elok
248
450
5
3,906,000
2,529,954
7886
20837
18128
0.7683
0.7683
Merpati II
263
532
22
3,396,231
3,514,841
22347
22106.5
21753.5
0.7718
0.7718
Mina raya no. 22
126
352
26
1,684,117
1,807,476
4470
10408
16404
0.7631
0.7631
Mina raya no. 24
86
417
25
974,029
882,108
2472
4703
8188
0.5094
0.5537
8.6957
RATARATA
5.7477
Data tangkapan bulanan dan hasil sinusoida siklikal sebagaimana Tabel berikut.
88
4.4493
Tabel 15. Produksi rata-rata bulanan dan sinusoida siklikal Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Produksi t 385.6 347.8 373.9 293.6 317 276.5 295.4 449 533 512.1 392.7 350.2
Mt 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
sin(2Pi*Mt/12) 0,259 0,500 0,707 0,866 0,966 1,000 0,966 0,866 0,706 0,499 0,258 -0,001
Produksi rata-rata per bulan dan kecenderungan siklikal dapat dibandingkan dengan Gambar berikut.
600 500 400 Series1 300
Series2 Poly. (Series1)
200 100 0 0
5
10
15
Gambar 31. Tren produksi bulanan dan tren siklikal
Gambar di atas menunjukkan bahwa produksi tangkapan bulanan mengikuti tren yang siklikal. Pada model siklikal tersebut, tangkapan pada bulan Juni atau
89
Juli merupakan terjelek karena berada jauh dari garis tren. Apabila diadakan penutupan musim, maka yang terbaik adalah bulan Juni karena pada bulan Juli akan terjadi pemulihan stok yang berdampak kepada tangkapan bulan Juli meningkat dan mengembalikannya kepada garis tren. 4.6.5 Strategi pengendalian secara bertahap Kebijakan pengelolaan perikanan termasuk perikanan udang di Laut Arafura saat ini merupakan kombinasi dari IBI dan IAI. Bentuk instrumen kebijakan IBI antara lain pembatasan jumlah kapal (effort control), pembatasan alat tangkap, pembatasan jalur penangkapan atau fishing ground. Sedangkan penerapan instrumen kebijakan IAI dilaksanakan dengan pengenaan PHP sebesar 2.5%. Dengan mempertimbangkan kondisi perikanan secara umum saat ini belum kondusif sebagai akibat kenaikan harga BBM, resistensi pengusaha dan nelayan serta rendahnya kesadaran para pelaku atas prinsip-prinsip kelestarian dan keberlanjutan ekonomi, maka strategi pengendalian dilakukan secara bertahap dengan prinsip kehati-hatian (secara adaptif). Tahapan dalam penerapan instrumen kebijakan pengelolaan dilaksanakan sebagai berikut: (1) Penerapan IBI dan IAI untuk jangka pendek-menengah selama lima tahun meliputi: 1) Penutupan musim penangkapan pada bulan Juni. 2) Pengurangan jumlah kapal dengan prioritas kapal-kapal yang berumur di atas 30 tahun. 3) Pambatasan kuota agregat dengan pengurangan produksi penangkapan sebesar 5% dari produksi pada level MSY.
90
4) Tetap memberlakukan PHP sebesar 2.5%. (2) Penerapan IAI untuk kepentingan jangka panjang dengan pengenaan tax sebesar 10% sebagai pengganti PHP. 4.6.6
Keterkaitan skenario pengelolaan dengan orientasi pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu
Pemerintahan
Kabinet
Indonesia
Bersatu
dalam
perumusuan
strategi
pembangunan nasionalnya bertumpu kepada tiga pilar strategi, yaitu: (1) pengentasan kemiskinan (pro-poor) (2) penyerapan tenaga kerja (pro-job) (3) pertumbuhan ekonomi (pro-growth) Sektor kelautan dan perikanan yang diharapkan menjadi salah satu penggerak utama perekonomian, pembangunannya diarahkan untuk: (1) meningkatkan pendapatan nelayan dan pembudidaya dalam rangka mengentaskan kemiskinan (pro-poor); (2) meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat baik di bidang usaha produksi, pengolahan maupun jasa (pro-job); serta (3) meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap perekonomian nasional (progrowth) baik melalui peningkatan produktivitas, efisiensi maupun peningkatan devisa ekspor. Khusus kegiatan produksi bidang perikanan mencakup kegiatan penangkapan dan budidaya ikan. Kegiatan usaha penangkapan ikan pada dasarnya merupakan panen (harvest) dari hasil proses produksi alami sumber daya ikan. Kontribusi atau peran dari usaha penangkapan terhadap pembangunan ekonomi nasional ditentukan oleh skenario pengelolaan yang diterapkan. Hasil penelitian ini dapat menunjukan dampak skenario pengelolaan terhadap keberhasilan pemerintah dalam mencapai sasaran pembangunan sesuai dengan pilar strategi yang
91
ditetapkan. Strategi pembangunan yang memungkinkan dievaluasi di sini adalah ”pro-poor” dan ”pro-growth”. Skenario pengelolaan yang dihasilkan dari penelitian ini secara umum adalah pengendalian intensitas penangkapan untuk mengoptimalkan produksi perikanan udang di Laut Arafura. Pengendalian intensitas penangkapan tersebut diarahkan untuk mengurangi upaya penangkapan dari tingkat aktual (tahun 2005) yaitu 106500 day-fish, menjadi tingkat upaya penangkapan yang secara ekonomi optimum yaitu 77518 day-fish. Dampak dari pengurangan upaya penangkapan tersebut terhadap tingkat perolehan per unit usaha, yang diukur dengan tingkat keuntungan ekonomi per kapal, ditunjukan secara grafis pada Gambar berikut.
PROFIT (100 JUTA RUPIAH) .
60 50
Profit/kapal
40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
-10 EFFORT ( JUMLAH KAPAL)
Gambar 32. Kurva profit dan effort (jumlah kapal) Gambar 32 tersebut menunjukan bahwa untuk peningkatan perolehan pendapatan nelayan dari usaa penangkapan dimungkinkan bila dilakukan pengurangan intensitas (upaya) penangkapan atau jumlah kapal. Dengan demikian rekomendasi untuk pengurangan jumlah kapal dari penelitian ini sejalan dengan strategi
92
pembangunan nasional yang pro-poor. Pertanyaan selanjutnya adalah berapa banyak intensitas (upaya) penangkapan atau jumlah kapal yang dikurangi. Hasil penelitian ini menunjukan hubungan antara intensitas atau tingkat upaya atau jumlah kapal penangkapan dengan total keuntungan ekonomi yang diperoleh bagi seluruh pelaku usaha penangkapan udang di Laut Arafura (Gambar 33).
500 MSY 2005 (Eaktual, haktual )
Revenue Cost
NILAI (Rp. MILIAR)
400
Profit
Open access
MEY
300
200
100
0 0 -100
25
50
75
100
125
150
175
EFFORT (ribu hari)
Gambar 33. Kurva revenue, profit dan cost perikanan udang di L. Arafura
Tingkat keuntungan ekonomi tersebut mencerminkan kontribusi perikanan udang di Laut Arafura terhadap perekonomian nasional. Oleh karena itu kontribusi optimum dicapai pada intensitas penangkapan yang menghasilkan keuntungan optimum.
93
Skenario yang dihasilkan dari penelitian ini adalah pengendalian effort dengan sasaran tercapainya rente ekonomi optimum yang akan menjamin kontribusi optimum perikanan udang di Laut Arafura bagi perekonomian nasional. Dengan demikian rekomendasi untuk pengurangan jumlah kapal dalam penelitian ini mendukung atau sejalan dengan strategi pembangunan nasional yang pro-growth. Karena sumber daya udang di Laut Arafura pada tahun 2005 secara ekonomis dan biologis sudah pada tingkat berlebih, maka skenario pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura yang pro-poor dan pro-growth adalah pengurangan jumlah kapal hingga mencapai tingkat optimumnya. Apabila
kebijakan
pemerintah
di
bidang
perikanan
dalam
bentuk
industrialisasi dalam negeri dan penghentian izin kapal asing pada tahun 2007 dilaksanakan secara konsisten, dalam jangka pendek dan menengah akan terjadi penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar, karena terjadi peningkatan industri pengolahan. Rekomendasi kebijakan hasil penelitian untuk mengendalikan effort agar nilai ekonomi usaha penangkapan optimum, sekaligus juga menjamin kelestarian pasok bahan baku industri, adalah sejalan dengan kebijakan industrialisasi dalam negeri. Oleh karenanya, apabila kedua kebijakan dijalankan dalam periode waktu yang sama (jangka pendek sampai menengah) sekaligus, yaitu industrialisasi dalam negeri dan pengendalian penangkapan, maka pengelolaan perikanan udang dapat memberikan kontribusi dicapainya tiga pilar strategi yaitu pro-poor, pro-job dan pro-growth.
94
4.7 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Udang Pemilihan alternatif pengelolaan perikanan udang di L. Arafura berdasarkan tiga skenario yaitu pengendalian input, penerapan kuota dan penutupan musim, memiliki implikasi dan konsekuensi biaya bagi pemerintah. Faktor-faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya alternatif pengelolaan meliputi: kemampuan pemerintah melakukan pemantauan (monitoring) dan penegakan hukum, kesadaran para pelaku (dalam hal ini pengusaha dan pemilik kapal) dalam mentaati aturan serta rente ekonomi yang dihasilkan dari alternatif tersebut. Faktor eksternal berpengaruh pula terhadap tiap alternatif, misalnya kenaikan harga BBM yang melebihi 100%, sangat mempengaruhi strategi pengusaha dalam mengoperasikan kapal-kapalnya. Dalam kalkulasi biaya operasi kapal pukat udang, komponen BBM mengambil porsi antara 20% sampai dengan 40% dari biaya total. Dilihat dari sisi pemerintah, faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan alternatif adalah kemampuan monitoring dan penegakan hukum agar alternatif pengelolaan berhasil dilaksanakan. Dari sisi pengusaha, alternatif yang dipilih tentu saja yang menghasilkan rente ekonomi paling tinggi. Oleh karena itu pemilihan alternatif yang
baik harus dapat mengakomodasikan kepentingan
kedua belah pihak, atau merupakan trade off manfaat atau rente ekonomi dan biaya atau resiko. Pengendalian input melalui pengurangan kapasitas penangkapan dengan cara mengurangi jumlah kapal sedemikian rupa sehingga total GT berkurang 15%, secara praktis mudah dilakukan oleh pemerintah karena tinggal mengurangi jumlah izin. Namun demikian dari sisi pengusaha hal tersebut akan menjadi masalah besar karena tentu saja mereka tidak mau dikurangi izin jumlah kapalnya.
95
Pengalaman yang terjadi justru sebaliknya, para pengusaha kalau bisa menambah izin. Kebijakan tersebut bisa berdampak negatif dilihat dari aspek sosial, karena akan terjadi pengurangan kapal yang beroperasi berarti terjadi PHK bagi ABK yang bekerja di kapal. Bagi pemerintah, dicabutnya izin dan tidak beroperasinya kapal-kapal akan mendatangkan dilema, karena akan diapakan kapal-kapal tersebut dan apakah ada kompensasi bagi pemilik kapal. Di berbagai negara, kebijakan rasionalisasi armada dibarengi dengan kebijakan pembelian kapal bekas yang diberhentikan operasionalnya (buy back policy). Bagi pemerintah Indonesia, kemungkinan kecil dapat menerapkan buy back policy karena keterbatasan APBN. Pengendalian input terbukti telah berhasil dilaksanakan sejak tahun 2000 dengan adanya pendaftaran ulang dan tidak ditambahnya izin baru. Hal ini dapat terlihat dari angka efisiensi selama tahun 2000 sampai dengan 2004 berada di atas 0.7, padahal tahun-tahun sebelumnya di bawah 0.6. Dapat disimpulkan bahwa pengendalian input merupakan hal yang efektif tapi dilematis dan mengandung resiko. Penerapan kuota dengan mengurangi jumlah yang boleh ditangkap sebesar 5% dari MSY merupakan kebijakan yang lebih dapat diterima oleh pengusaha, terutama jika dapat meyakinkan mereka bahwa kebijakan tersebut akan mendatangkan surplus rente ekonomi. Dilihat dari sisi pemerintah, kebijakan ini memerlukan biaya yang tidak sedikit karena harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap jumlah udang yang ditangkap oleh semua kapal. Untuk dapat melaksanakan sistem pemantauan dan pengawasan diperlukan petugas yang bekerja terus menerus di pusat pendaratan atau diperlukan petugas di atas kapal (observer). Kebijakan ini juga merupakan hal yang baru dan secara teknis lebih
96
sulit dibandingkan dengan pengendalian input, sehingga tingkat keberhasilan kebijakan ini diragukan dan mengandung resiko kegagalan tinggi. Penutupan musim selama satu bulan akan berdampak langsung kepada pengurangan tekanan terhadap sumber daya, karena penutupan musim berarti pengurangan effort secara langsung. Bagi pemerintah, penutupan musim secara teknis mudah dilakukan karena hanya mengumumkan kepada semua kapal pemegang izin, memberikan catatan dalam SPI dan melakukan penjagaan kawasan dan pengawasan yang ketat selama satu bulan. Dilihat dari aspek biaya tidak terlalu besar karena peningkatan pengawasan selama satu bulan lebih ringan. Daerah penangkapan udang sebagian besar dekat pantai dan tertentu, sehingga kemungkinan terjadinya illegal entry kecil. Dilihat dari sisi pengusaha, penutupan satu bulan lebih mudah diterima dibandingkan alternatif lain, karena tidak berdampak
kepada
pengurangan produksi
secara
signifikan,
tidak ada
pengurangan jumlah kapal dan PHK. Satu bulan tidak beroperasi bagi perusahaan dapat dijadikan waktu untuk pemeliharaan kapal (docking, overhaul mesin), cuti ABK, karena sebenarnya hampir semua kapal tidak penuh beroperasi satu tahun terus menerus. Secara matriks dapat ditampilkan perbandingan ketiga alternatif kebijakan dengan implikasinya dalam suatu kerangka logis (logical framework) sebagaimana Lampiran 4. Ketiga alternatif kebijakan yang telah diuraikan di atas, yaitu penerapan kuota, pengurangan jumlah kapal dan penutupan musim penangkapan merupakan instrumen pengelolaan incentive blocking, merupakan kebijakan jangka menengah dalam upaya mengurangi overcapacity. Untuk kepentingan jangka panjang, diperlukan kebijakan dengan instrumen incentive adjusting, salah satunya dalam
97
bentuk pengenaan tax. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perikanan saat ini adalah pengendalian effort dana pengenaan tax dalam bentuk PHP (pungutan hasil perikanan). Secara bioekonomi dampak kebijakan pengenaan tax sebesar 10% dapat disajikan dalam Gambar 34 berikut. 500
revenue (milyar rupiah)
400 300 200 100 0 0 -100 -200
50
25
100
75
125
150
175
Revenue Cost Fishing Fee Profit
-300
effort (ribu hari)
Gambar 34. Kurva bioekonomi sesudah pengenaan tax 10%
Gambar 34 menunjukan bahwa pengenaan tax atau fishing fee akan mempengaruhi kurva biaya dengan slope yang lebih tinggi dan berdampak kepada penurunan kurva profit dan menggeser titik effort optimal ke kiri. Dalam jangka panjang,
pengenaan
tax
sebesar
10%
berdampak
terkendalinya
upaya
penangkapan secara alami, karena meningkatnya biaya akan dengan sendirinya mendorong pelaku atau jumlah kapal keluar dari perikanan sampai titik
98
keseimbangan. Sebagaimana disajikan dalam Gambar 33, tingkat effort optimal sebelum pengenaan tax adalah 74347 day-fish (pada level MEY) dengan profit sebesar Rp 247.6 Milyar dan 77518 day-fish pada level pengelolaan dinamik dengan profit sebesar Rp 363.2 Milyar. Sesudah pengenaan tax 10%, tingkat effort optimalnya sekitar 70000 day-fish dan profit maksimal yang dapat diraih sebesar Rp 207 Milyar, di bawah profit pada level MEY sebesar Rp 247.6 Milyar. Apabila instrumen kebijakan IAI dengan pengenaan tax 10% dikombinasikan dengan pengelolaan perikanan secara dinamik, mempertimbangkan faktor discount rate, maka untuk jangka lima tahun akan menghasilkan profit sebesar Rp 340 Milyar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan dengan instrumen incentive adjusting, dengan cara pengenaan tax, akan efektif diberlakukan
pada jangka menengah-panjang jika dikombinasikan dengan
pengelolaan dinamik.
99
5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang akan menjawab berbagai pertanyaan dan tujuan penelitian ini dan juga rekomendasi berupa implikasi kebijakan serta saran penelitian lanjutan. Untuk kesimpulan penelitian, dapat diuraikan sebagai berikut : (1) Penangkapan udang di Laut Arafura secara umum saat ini pada kondisi “economomic overfishing” atau tangkap lebih secara ekonomis. (2) Secara keseluruhan kondisi effort di Laut Arafura telah melebihi dari tingkat yang seharusnya, sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan perikanan di kawasan ini masih di bawah tingkat optimal atau berada dalam kondisi sub optimal. Hal ini dapat dilihat dari kondisi terakhir tahun 2005 tingkat effort nya sebesar 106500 day- fish yang sudah di atas tingkat optimal sekitar 74.000 day –fish. (3) Kondisi economic overfishing juga dapat dilihat dari fluktuasi produksi aktual yang melebihi produksi lestari dan rente ekonomi yang menurun pada saat pengelolaan perikanan tersebut dipaksakan ke kondisi maximum sustainable yield, yaitu dalam kondisi biaya per unit effort lebih besar dari penerimaan. (4) Sebagaimana diprediksi secara teori, rezim pengelolaan dengan MEY akan menghasilkan rente ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rezim pengelolaan MSY dan Open Access. Jika perikanan udang di laut Arafura dikendalikan dengan effort pada level MEY, produksi dapat ditingkatkan
dari kondisi aktual dengan mengurangi effort sekitar 32500 day-fish dari kondisi saat ini. (5) Apabila pengelolaan perikanan untuk jangka menengah dilaksanakan dengan pendekatan bioekonomi optimal dinamik dengan memasukan faktor suku bunga bank, surplus ekonomi dari pengelolaan sumber daya udang di Laut Arafura dapat lebih ditingkatkan sampai Rp 363.2 Milyar per tahun dan terjadi peningkatan produksi dan effort sedikit lebih banyak dari kondisi MEY. (6) Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari perbandingan ketiga rezim pengelolaan, maka untuk kondisi perikanan udang di Laut Arafura, pengelolaan dalam kerangka dinamik lebih dapat diterima (make sense) karena memberikan manfaat ekonomi yang tinggi dengan sedikit memberikan ruang untuk meningkatkan effort, namun tetap masih dibawah tingkat effort pada kondisi open access. (7) Analisis juga menunjukkan adanya kondisi inefisiensi atau overcapacity, yang dapat terlihat dari fluktuasi angka efisiensi dari tahun 1986 sampai dengan 2003, dimana sebagian besar angka efisiensi rendah (di bawah 0.7) dan hanya pada tahun 2000 sampai 2003 mengalami kondisi baik. Inefisiensi dapat dilihat pula dari data tiap kapal (short run), dimana hanya 30% dari jumlah kapal yang efisien dan selebihnya kurang efisien. Hal ini menunjukan bahwa kondisi perikanan udang di L. Arafura pada tahun 2003 mengalami excess capacity. Kondisi tersebut menjadi overcapacity mengingat sejak tahun 2003 sampai tahun 2005 tidak ada kebijakan pengurangan jumlah kapal.
101
(8) Efisiensi secara umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi effort (hari trip) sebesar 11.17%, pengurangan GT sebesar 15.45%, penurunan umur sebesar 17.74%, penurunan biaya sebesar 16.34%. Khusus berkaitan dengan biaya, mengandung arti bahwa saat ini biaya penangkapan udang terlalu tinggi (high cost). Effort, GT dan umur merupakan variabel yang dapat dijadikan instrumen pengendalian kapasitas. (9) Hasil analisis seasonal closure menunjukkan bahwa musim panen yang baik adalah pada Agustus, September dan Oktober. Demikian pula dapat dikatakan bahwa musim penangkapan terjelek terjadi pada bulan April sampai dengan Juli. Apabila akan diadakan pengurangan kapasitas penangkapan, maka yang terbaik dilakukan penutupan musim adalah antara bulan April sampai dengan Juli. Penutupan pada bulan Juni memungkinkan terjadinya pertumbuhan yang cukup untuk dipanen pada bulan Juli dan selanjutnya. Disamping itu penutupan musim satu bulan adalah berarti mengurangi effort dalam fishing days maksimal sebesar 8%. (10)
Ketiga alternatif kebijakan meliputi pengurangan jumlah kapal
dengan prioritas kapal berusia di atas 30 th, penerapan kuota (pengurangan produksi penangkapan dari MSY sebesar 5%) dan penutupan musim penangkapan pada bulan Juni, merupakan kebijakan dengan instrumen incentive blocking. Kebijakan tersebut terbukti efektif sebagai upaya pengurangan overcapacity dan berdampak positif secara ekonomis dilihat dari sasaran kebijakan pemerintah dalam pro poor dan pro growth. Kebijakan tersebut efektif untuk jangka menengah, sedangkan untuk jangka panjang perlu diterapkan instrumen kebijakan incentive adjusting
102
dalam bentuk pengenaan pajak yang lebih besar dibandingkan pengenaan PHP yang berlaku saat ini.
5.2
Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian dapat direkomendasikan beberapa hal penting
sebagai berikut. (1) Untuk menangani permasalahan overfishing dan overcapacity di wilayah Arafura, maka diperlukan langkah
penerapan incentive blocking
instruments untuk mengatasi problema jangka menengah (lima tahun ke depan dari saat ini) dan incentive adjusting instruments untuk jangka panjang. Langkah-langkah penerapan incentive blocking instruments yang merupakan upaya pengendalian dilaksanakan melalui tiga alternatif pengelolaan yaitu: (1) pengurangan jumlah kapal; (2) penerapan kuota dan (3) penutupan musim penangkapan. Incentive adjusting isntruments dalam bentuk pajak hasil tangkapan dan ITQ dapat dilaksanakan setelah lima tahun pelaksanaan incentive blocking instruments berhasil. (2) Perlunya menurunkan kapasitas perikanan pada tingkat yang bisa ditolelir sumberdaya yakni pada kisaran 74300 sampai 77500 day-fished untuk tingkat effort (antara titik referensi MEY dan MSY). Dengan perhitungan fishing days = 300/kapal/tahun, jumlah kapal pukat udang dikendalikan antara 248 kapal sampai 258 kapal. Secara operasional untuk mengimplementasikan rekomendasi tersebut
perlu ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, sesuai dengan ketentuan
103
Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 7 (Sekretariat Negara, 2004). (3) Pengelolaan
perikanan
udang
seyogyanya
dilaksanakan
dengan
mekanisme yang adaptif dengan mengikuti perkembangan dinamika dari sumber daya udang dan komponen input yang digunakan. Untuk itu diperlukan alternatif pengelolaan yang ditentukan secara bertahap dengan urutan mulai dari penutupan musim penangkapan, pengurangan jumlah kapal dan penerapan kuota. Penutupan musim dilakukan pada bulan Juni. Apabila penutupan musim tidak efektif, maka diberlakukan pengurangan jumlah kapal. Jumlah kapal pukat udang yang saat ini diberikan izin sejumlah 355 kapal dikurangi secara bertahapa dengan prioritas mulai dari yang berumur di atas 30. Penerapan kuota dapat saja dilaksanakan dengan mengurangi jumlah produksi aktual (jumlah penangkapan) sebesar 5% dari total produksi. (4) Instrumen kebijakan incentive adjusting dapat diberlakukan dalam jangka panjang, terutama penerapan tax sebesar 10%, sejalan dengan kebijakan pemerintah yang sedang digulirkan saat ini dengan strategi industrialisasi perikanan dalam negeri, yang dibarengi dengan penghentian izin kapal asing pada tahun 2007 dan joint investment. Dengan kebijakan tersebut, maka sasaran tiga pilar strategi pemerintah di sektor perikanan yaitu pro job, pro poor dan pro growth dapat tercapai. (5) Perlu dilakukan penelitian lanjutan atau penelitian sejenis untuk melengkapi hasil penelitian penulis, terutama pengujian tiap alternatif sehingga diperoleh kesimpulan kebijakan yang paling baik (feasible) dan
104
penelitian berkaitan dengan permodelan biologi udang di L. Arafura agar dampak dari tiap alternatif kebijakan dapat diprediksi pemulihan stoknya.
105
DAFTAR PUSTAKA
[AFMA] Australia Fisheries Management Authority. 2003. Northern Prawn Fishery, by Catcth Action Plan. Canberra: The Northern Prawn Fishery Management Advisory Committee. Anderson LG. 1977. The Economics of Fisheries Management. London: The John Hopkins University Press, Baltimore. ___________. 1981. Economic Analysis For Fisheries Management Plans. London: Ann Abror Science, Publishers Inc, Butterworth. Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi PerikananPencemaran [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bailey C, Dwiponggo A, Marahudin F. 1987. Indonesia Marine Capture Fisheries. International Center for Living Aquatic Resources Management. Manila. Ballard K and Blomo V. 1978. Estimating The Structure of Capacity Utilization in The Fsihing Industry. Washington DC: Mar. Fish. Rev., 40(8): 29-34. Ballard K and Roberts J. 1977. Empirical Estimation of The Capacity Utilization Rates of Fishing Vessels in 10 Major Pacific Fisheries. Washington DC: National Marine Fisheries Service. Banxia. 2003. Efficiency Analysis Software. New York: Banxia Software Ltd, UK. Chapman L and Beare S. 2001. Optimal Fisheries Management Instruments under Biological Uncertainty. Canberra: ABARE Conference Paper. Charles A. 2001. Sustainable Fishery System. New York: Blackwell Science, UK. Clark CW. 1976. Mathematical Bioeconomics: The Optimal Management of Renewable Resources. New York: John Wiley and Son. _________. 1985. Bioeconomics Modelling and Fisheries Management. New York: John Willey and Sons. Commonwealth of Australia. 1989. New Directions for Commonwealth Fisheries Management in The 1990s. A Government Policy Statement December 1989. Canberra: Australian Government Publishing Service.
106
Cooper WC, Seiford, LM, Tone, Kaoru. 2004. Data Envelopment Analysis. Massachusets: Kluwer Academic Publisher. Dann T and Sean, Pascoe S. 1994. A Bioeconomic Model of The Northern Prawn Fishery. Canberra: ABARE Research Report 94.13. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Statistik Perikanan Tangkap tahun 2003. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. __________________________________. 2004. Kajian Penetapan Isobath 10 Meter di Laut Arafura untuk Menuju Perikanan Tangkap Berkelanjutan. Laporan Akhir Kegiatan Penyelenggaraan Fisheries Management. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. Die D and Bishop J. 1999. Status of Tiger Prawn Stocks at The End of 1998. Queensland: NPFAG working paper 99/1.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome: FAO. ____________________________________________________. 1997. Fisheries Management. Rome: FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries (4). ____________________________________________________. 1998. Report of the Technical Working Group on the Mangement of Fishing Capacity. Rome: FAO Fisheries Report No. 586. ____________________________________________________. 2003. Fisheries Management: The Ecosystem Approach to Fisheries. Rome: FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries (4, Suppl. 2). ____________________________________________________. 2001. Internasional Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Ilegal, Unreported and Unregulated Fishing. Rome: FAO. Fauzi A. 2001. Model Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Laut Arafura melalui Hamon dan Wheelen. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. _______. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. _______. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isu, Sintesis dan Gagasan. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
107
Fauzi A dan Suzy Anna. 2005. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan: untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: P.T. Gramedia Pustakan Utama. Fisher S. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The British Council. Garcia, S.M. & C. Newton. 1994. Current sitiuation, trends and prospects in world captures fisheries. In: Pikitch, E.K., D.D. Huppert & M.P. Sissenwine (ed), Global trends in fisheries management. American Fisheries Society Symposium, 20, Bethesda, Maryland: 3-27. Goodey P and Galeano D. 2003. A Fremework for Assessing Economic Performance Fisheries Management. Canberra: ABARE Report 03.7, hal 15-16. Gordon HS. 1953. An Economic Approach to The Optimum Utilization of Fishery Resources. Journal Fishery Resources. Canada. _________. 1954. The Economics of A Common Property Resource: The Fishery. Journal Political Economy. Canada. Graham M. 1935. Modern Theory Of Exploiting A Fishery And Application To North Sea Trawling. Journal Cons. Int. Explor. Canada. Greboval D. 1999. Managing Fishing Capacity. Rome: FAO Fisheries Technical Papers 386. Griffin W. 1983. The Texas Shrimp Fishery: Analysis of Six Management Alternatives Using The General Bioeconomic Fishery Simulation Model (GBFSM). Texas: Texas A&M University. Gulland J.A. 1973. Some notes on the assessment and management of Indonesian fisheries. FAO. Rome. [HPPI] Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia. 2004. Data-data Tangkapan Anggota HPPI. Jakarta: HPPI. Hsia-Chiang L. 1976. The demersal fish stocks of the waters of north and northwest Australia. Acta Oceanographica Taiwanica 6:128-134. Hsu T. 2003. Simple Capacity Indicators for Peak to Peak and Data Envelopment Analysis of Fishing Capacity. Rome: FAO fisheries technical report, No 443.
108
[IPB] Institut Pertanian Bogor. 2004. Studi Lingkungan Wilayah Laut Banda, Aru dan Arafura. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News Book.
London:
Naamin N, Noer S. 1980. The status of shrimp fishery in the Arafura Sea. In report of the Workshops on the Biology and Resources of Penaid Shrimps in the South China Sea Area. South China Sea Fisheries Development and Coordinating Programme, Manila. Naamin N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya [disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 281 hal. Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dan PT Pustaka Cidesindo, Jakarta. Pascoe S, Kirkley JE, Greboval D, Morrison-Paul CJ. 2003. Measuring and Assessing Fishing Capacilty in Fisheries. Rome: FAO Fisheries Technical Paper 433/2. Pascoe S, Greboval D. 2003. Measuring Fishing Capacity in Fisheries. Rome: FAO Technical Paper 445. Pascoe S, Greboval D, Kirkley J, Lindebo E. 2004. Measuring and Appraising Capacity in Fisheries: Framework, Analytical Tools and Data Aggregation. Rome: FAO Fisheries Circular No. 994. Pitcher, Tony J. 1998. Reinventing Fisheries Management. London: Kluwer Academic Publisher. Purwanto. 1987. Bio-ekonomi Penangkapan Ikan: Model Dinamik. Oseana, Volume XIV, Nomor 3: 93-100.
Jurnal
________. 1984. Rente Ekonomi dan Pengusahaan Sumberdaya Perikanan Lemuru di Selat Bali. Jurnal Ekonomi Lingkungan I (3). 28-39. ________. 1997. Economic Optimisation in Prawn Fisheries. [Ph.D Thesis]. Queensland: Departement of Economics, James Cook University of North Queensland. Schaefer MB. 1954. Some Aspects of The Dynamics of The Populations Important to The Management of Comercial Marine Fisheries. Bull. InterAmer. Trop. Tunna Comm.
109
___________. 1957. Some Considerations of Population Dynamics and Economics in Relation to The Management of Marine Fisheries. J. Fish. Res. Board. Can. Seijo JC, Defeo O, Salas S. 1998. Fisheries Bioeconomics: Theory, Modelling and Management. Rome: FAO Fisheries Technical Paper 368. [Setneg] Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1980. Keputusan Presiden R.I. tentang Penghapusan Jaring Trawl Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. _______________________________________. 1982. Keputusan Presiden R.I. tentang Penggunaan Pukat Udang. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. _______________________________________. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. _______________________________________. 2004. Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Smith CL and Hanna SS. 1990. Measuring Fleet Capacity and Capacity Utilization. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science, Vol 47. Sumiono B. 2003. Evaluasi Sumberdaya Perikanan Demersal dan Udang di Laut Arafura. Jakarta: Balai Riset Perikanan Laut. Taylor B and Die D. 1999. Northern Prawn Fishery:1997and 1998 Fisheries Assessment Report. Canberra: AFMA. Uktolseja R. 1978. Perkembangan catch dan effort penangkapan udang (Windu, Putih, Dogol) di perairan Irian Jaya 1974-1976. Simposium modernisasi perikanan rakyat. Jakarta. Wang YG and Die D. 1996. Stock-Recruitment Relationships of The Tiger Prawns (Penaeus esculatus and Penaeus semisulcatus) in The Australian Northern Prawn Fishery. Australian Journal of Marine and Freshwater Research, vol. 47, pp. 87-95. Ward JM and Sutinen JG. 1994. Vessel Entry-Exit Behavior in the Gulf of Mexico Shrimp Fishery. Amer. J. Agr. Econ. 76(November 1994): 916-923. Ward, J.M., Kirkley, J.E., Metzner, R, Pascoe, S. 2004. Measuring and assessing capacity in fisheries, basic concept and management options. FAO Fisheries Technical Paper. No.4331/1. Rome.
110
Widodo J, Purwanto, Nurhakim S. 2001. Evaluasi Penangkapan Ikan di Perairan ZEEI Arafura: Pengkajian Sumberdaya Ikan Demersal. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Wilen JE. 1985. Toward A Theory of Regulated Fishery. Journal of Marine Resource Economics, Vol 1, no 4, pp. 369-388.
111
Lampiran 1. Algoritma Maple bioekonomi perikanan udang di L. Arafura > restart; > r:=1.478446602; K:=27072; q:=0.0000075;p:=43.5; c:=2.17;delta:=0.08; r := 1.478446602 K := 27072 q := .75 10 -5
p := 43.5 c := 2.17 δ := .08
> hs:=q*K*E*(1-(q*E)/r); hs := .2030400 E ( 1 − .5072892041 10 -5 E )
> Emax:=diff(hs,E); Emax := .2030400 − .2060000000 10 -5 E > Esus:=solve(Emax=0,E); Esus := 98563.10680 > hsus:=q*K*Esus*(1-(q*Esus)/r); hsus := 10006.12660 > pisus:=p*hsus-c*Esus; pisus := 221384.5653 > pi:=p*hs-c*E; π := 8.83224000 E ( 1 − .5072892041 10 -5 E ) − 2.17 E > Eoa:=solve(pi=0,E); Eoa := 0., 148694.1190
> Eoa:=55233.19350; Eoa := 55233.19350
> hoa:=q*K*Eoa*(1-(q*Eoa)/r); hoa := 8072.320775 > Eopt:=diff(pi,E); Eopt := 6.66224000 − .00008960999998 E > Efopt:=solve(Eopt=0,E); Efopt := 74347.05950 > TR:=p*hs; TR := 8.83224000 E ( 1 − .5072892041 10 -5 E )
112
Lampiran 1. Lanjutan > TC:=c*E; TC := 2.17 E
> plot({TC,TR},E=0..200000);
plot(hs,E=0..200000);
113
Lampiran 1. Lanjutan
> h:=q*K*Efopt*(1-(q*Efopt)/r); h := 9402.117146 > Xopt:=K/2*(1+c/(p*q*K)); Xopt := 16861.67050 > phi:=c/(p*q*K); φ := .2456907874
> rho:=(r*K)/4*(p-(2*c)/(q*K*(1+phi)))*(1-phi)*(1+phi); ρ := 247658.9766 > alpha:=delta/r; α := .05411084843
> xdin:=K/4*(1+phi-alpha+sqrt(((1+phialpha)^2)+(8*phi*alpha))); xdin := 16425.81636
114
Lampiran 1. Lanjutan hdin:=(1/c)*xdin*(p*q*xdin-xdin)*(delta-r*(12*xdin/K)); 8 hdin := -.4917535395 10
115
Lampiran 2. Data kapal pukat udang di L. Arafura No. Nama Kapal
GT 100-150
Jml hari/trip
Jml Trip
GT
52,16 57 57 56 56 60 56 57 60 60 57 32 49 52 28 45 52
4 3 4 5 4 3 4 5 3 3 4 9 4 3 4 2 4
134 104 105 137 137 137 137 137 137 137 137 118 142 143 146 149 134
53 30 40 39 31 62 68 60
6 9 7 7 9 5 5 5
8 nusantara maju
68
9 nusantara utama
69
10 nusa aman 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
binama no. 15 binama no. 12 binama no. 1 binama no. 10 binama no. 2 binama no. 3 binama no. 5 binama no. 6 binama no. 7 binama no. 8 khamsin A minaraya no. 16 Mina raya no, 11 Mina raya no, 14 Mina raya no. 21 Rata-rata
1 2 3 4 5 6 7
arafura pearl aru pearl banda pearl seram pearl Toyo 15 Toyo 16 Toyo 17
Tahun
alat tangkap
Umur
Kondisi
Harga
jumlah
Tahun
harga
atbankap
jumlah
penerimaan
solar (kl)
oli
115.000 115.000 115.417 118.000 115.417 115.000 117.000 117.000 117.000 118.000
trawl winch trawl winch trawl winch trawl winch trawl winch trawl winch trawl winch trawl winch trawl winch trawl winch trawl winch Trawl winch Trawl winch Trawl winch Trawl winch
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1
2.302.333 2.290.999 3.426.516 3.078.653 2.296.237 2.804.890 3.559.718 2.656.957 2.287.035 2.860.979 3.718.565 1.502.274 1.460.259 929.698 916.146
301 299 500 398 326 424 499 299 300 300 995 190 115 190 90 348
4.200 5.200 5.400 4.800 3.600 5.600 4.200 4.600 3.800 3.000 3.200 3.135 3.768 4.598 4.389 4.233
1995 1994 1975 1980 1975 1977 1975 1975 1976 1977 2002 1973 1972 1972 1978
9 10 29 24 29 27 29 29 28 27 2 31 32 32 26 24
PU PU PU PU PU PU PU PU PU PU PU PU PU PU PU
bekas bekas baru baru baru baru baru baru baru baru bekas baru baru baru baru
537.613 542.782 5.975.807 5.468.390 5.975.807 5.883.898 5.885.898 5.768.898 5.819.688 5.819.688 1.027.995 10.009.686 2.708.800 1.946.950 1.200.000
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 6 6 6 6 6
1995 1994 1975 1980 1975 1977 1975 1975 1976 1977 2002 1973 1972 1966 1978
165 151 151 151 151 152 152 152
2000 2000 2000 2000 1974 1974 1974
4 4 4 4 30 30 30
PU PU PU PU PU PU PU
bekas bekas bekas bekas baru baru baru
1.513.324 1.513.324 1.513.324 1.513.324 4.590.000 4.590.000 4.590.000
6 6 6 6 2 2 2
2000 2000 2000 2000 1974 1974 1974
trawl winch Trawl winch trawl winch trawl winch trawl winch trawl winch trawl winch
2 2 2 1 2 2 2
2.887.565 3.522.835 4.270.479 3.352.015 3.124.512 2.444.729 3.311.795
911 964 846 1.017
3.200 2.800 2.800 3.200
5
156
1973
31
PU
baru
442.912
6
1973
Trawl winch
2
3.067.524
613
5.500
4
156
1973
31
PU
baru
770.987
6
1973
Trawl winch
2
2.839.752
459
4.400
65
5
157
1994
10
PU
baru
204.820
6
1994
Trawl winch
2
3.557.250
646
6.000
11 nusa aman 2
66
5
157
1994
10
PU
bekas
204.820
6
1994
Trawl winch
2
3.356.424
664
6.000
12 nusantara bina
65
4
163
1977
27
PU
baru
641.543
6
1977
Trawl winch
1
3.260.304
565
4.800
13 nusantara megah
65
4
163
1977
27
PU
bekas
566.266
6
1977
Trawl winch
2
2.458.512
546
4.800
14 evia pearl
32
8
166
2000
4
PU
bekas
1.513.324
6
2000
Trawl winch
2
3.559.866
954
3.000
15 napier pearl
29
9
166
2000
4
PU
bekas
1.513.324
6
2000
Trawl winch
2
3.359.378
887
3.200
16 nusa asri 17 nusa ayu
68 70
5 5
166 166
1999 1999
5 5
PU PU
bekas bekas
310.850 310.850
6 6
1999 1999
Trawl winch Trawl winch
2 2
4.080.456 3.582.522
680 702
6.000 6.000
18 merbah
54
4
170
1980
24
PU
bekas
3
1980
1.881.399
309
10.100
171
1982
22
PU
baru
1.189.196
6
1982
Trawl winch
2
1.261.907
6
1982
Trawl winch
2
210.000
2
1996
trawl winch
2
2.879.410
188.000 12.199.305 188.000
6 6 6
1973 1974 1973
370.000 370.000 370.000
Trawl winch Trawl winch Trawl winch
1 1 1
1.788.804 1.156.412 1.168.464
642 465 411
7.518 6.479 7.524
1.806.061
5
1986,167
370.000
2
2.950.473
682
5.185
GT 151-200
19 nusantara guna 20 nusantara perdana
171
1982
22
PU
baru
21 toyo 21
65
5
177
1996
8
PU
bekas
22 Mina raya no. 18 23 Mina raya no. 20 24 minaraya no. 17
38 35 47
4 3 4
198 198 198
1973 1974 1973
31 30 31
PU PU PU
baru baru baru
53
6
165
1986,167
18
110
370.000 370.000 370.000 370.000
No. Nama Kapal
GT 200-300
Jml hari/trip
Jml Trip
GT
Tahun
alat tangkap
Umur
Kondisi
Harga
jumlah
Tahun
harga
120.000
1 binama no. 16
61 66
5 4
239 204
1999
5
PU
bekas
11.524.310
3
1999
2 toyo 53
60
6
206
1987
17
PU
bekas
90.000
2
1987
3 merawal II
63
4
229
1982
22
PU
bekas
3
1982
4 nusantara agung
72
4
233
1971
33
PU
bekas
6
1971
5 merbuk II 6 mentilau II
65 61
4 4
240 243
1982 1982
22 22
PU PU
bekas bekas
3 3
1982 1982
7 binama no. 11 8 toyo 56 9 nusantara jaya 2
67 55 54
4 6 4
246 253 260
1987 1987 1996
17 17 8
PU PU PU
bekas bekas bekas
9.877.980 50.000 444.874
3 2 6
1987 1987 1996
10 toyo 51
63
6
280
1987
17
PU
bekas
110.000
2
1987
11 Mina raya no. 25
47
5
235
1988
16
PU
baru
4.600.000
6
1988
370.000
61
5
239
1986,182
18
3.367.533
4
1986,182
203.333
46
5
425
1 toyo 23
71
6
306
1997
7
PU
bekas
1.152.431
2
1997
2 nusantara elok
50
5
450
1999
5
PU
bekas
1.322.607
6
3 toyo 57 4 merpati II 5 Mina raya no. 22
55 53 18
6 5 7
490 532 352
1992 1982 1978
12 22 26
PU PU PU
bekas bekas baru
198.000 112.500
2 3 6
6 Mina raya no. 24
31
3
417
1979
25
PU
baru
2.900.000
46
5
425
1987,833
16
1.137.108
GT >300
rata-rata
243.098
111
120.000
atbankap
jumlah
penerimaan
trawl winch
1
3.913.499
trawl winch
2
2.559.254
Trawl winch
2
solar (kl)
oli
697
5.200
2.195.435
1
7.200
2.988.468
665
5.600
6.509.525 2.971.281
1 1
8.000 8.000
398
4.800
601
6.400
trawl winch trawl winch Trawl winch
1 2 2
4.007.578 2.803.707 2.209.302
trawl winch
2
2.858.723
Trawl winch
1
2.753.230
617
4.598
2
3.251.818
372
6.225
trawl winch
2
3.574.723
1999
Trawl winch
2
2.529.954
944
8.000
1992 1982 1978
trawl winch
2
370.000
Trawl winch
1
2.577.011 3.514.841 1.807.476
2 906
14.800 6.897
6
1979
370.000
Trawl winch
1
882.108
481
6.270
4
1987,833
370.000
2
2.481.019
583
8.992
Biaya
Pemeliharaan
445.667 438.154 892.731 756.413 534.623 726.347 920.880 557.120 570.146 535.050 3.474.777 505.150 368.190 427.708 463.642 774.440
11.200 9.200 19.000 10.600 11.400 15.200 16.250 7.800 13.500 9.000 1.350
2.437.566 3.361.601 3.511.525 2.967.166
1.350 875 1.050 1.350
ABK
15 15 16
TEBAR/ HARI
operasi/ trip
8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 7 8
1.284 1.284 1.236 1.188 1.452 1.164 1.212 1.260 1.260 1.260 576
solar(rb)
bekal(rb)
SIB(rb)
retribusi (rb)
bongkar (rb)
tambat (rb)
pungutan (rb)
upah(rb)
3.943
4.000 4.000 7.500 6.000 4.500 6.000 7.500 4.500 4.500 4.500 10.800
100 300 500 400 300 400 500 300 300 300 1.800
59.592 60.165 67.614 78.501 78.501 78.501 78.501 78.501 78.501 78.501 78.501
102.599 85.046 119.015 132.813 66.779 55.285 162.130 76.186 102.496 73.500 1.358.066
526.750 523.250 875.000 695.625 570.500 741.300 872.375 523.250 525.000 525.000 1.928.026 190.000 281.800 334.900 378.450 632.748
42.168 52.208 54.216 48.000 36.144 56.000 42.000 46.184 36.000 30.000 76.323 3.135 37.800 46.000 44.100 43.352
32.000 32.000 50.000 40.000 30.000 60.000 55.000 33.000 30.000 30.000 82.319
400 400 1.000 800 600 800 1.000 600 550 450 13.500
45.586 43.797 38.854 43.040
2.550 2.550 1.700 1.921
3.943
5.800
454 462 538 475
66.783 66.783 66.783 76.323
73.114 82.845 67.591 82.845
13.500 10.500 10.500 13.500
2.558 3.596 4.588 3.269
10.800 8.400 8.400 10.800
1.800 1.400 1.400 1.800
17 16 25 18 18 17 9 12 16 15 21 16
8
1.202
9 9 9 9 18 18 18
6 6 6 6 7 7 7
360 576 576 360 1.680 11 48
1.636.652 1.909.429 1.314.281 1.866.031
1.248
oli(rb)
74.125
212.174
86.523 86.523 86.523 86.523 87.096 87.096 87.096
632.359 1.278.648 2.037.982 912.597
udang putih
udang windu
udang lain
5.454 6.662 5.080 1.368 2.162 2.612 4.776 2.462 3.030 3.908 78.146 3.270 3.606 910 3.864 8.487
15.207 15.161 20.054 19.611 16.929 17.953 21.353 15.034 15.993 17.917
22.248 20.936 38.575 36.102 23.540 31.508 40.031 31.830 23.481 31.352
9.550 7.739 5.897 3.447 14.417
11.582 16.969 14.478 7.982 25.044
60.282 73.192 70.248 88.356 7.252 9.588 8.728
22.416 16.814 22.450
26.666 18.621 28.138
2.722.000
495.000
17
8
1.632
1.013.000
99.000
200.000
25.000
50.000
25.000
10.000
89.388
600.000
4.190
25.741
26.875
2.120.000
410.000
17
8
1.560
760.000
72.000
160.000
20.000
32.000
28.000
8.000
89.388
480.000
5.696
23.279
23.613
2.663.000
390.000
18
8
1.536
1.067.000
90.000
176.000
25.000
20.000
25.000
15.000
89.961
600.000
13.406
28.187
24.282
2.766.000
400.000
18
7
1.512
1.096.000
90.000
200.000
25.000
20.000
25.000
15.000
89.961
600.000
9.976
26.290
25.890
2.224.000
320.000
18
8
1.560
932.000
72.000
152.000
20.000
16.000
20.000
12.000
93.399
480.000
3.928
31.973
24.475
2.138.000
320.000
18
9
1.536
902.000
72.000
152.000
16.000
12.000
12.000
12.000
93.399
460.000
7.564
18.435
19.529
3.335.745
1.200
9
6
360
1.680.048
81.093
71.273
13.500
4.087
10.800
1.800
95.118
1.456.262
73.757
2.909.975
1.350
9
6
384
1.698.647
76.322
82.319
13.500
3.361
10.800
1.800
95.118
1.023.226
70.847
2.851.000 2.859.000
520.000 525.000
18 18
8 7
1.536 1.584
1.122.000 1.156.000
108.000 90.000
225.000 225.000
25.000 25.000
40.000 18.000
56.000 10.000
10.000 10.000
95.118 95.118
600.000 600.000
9.062 5.476
35.583 34.982
30.919 25.885
559.168
112.150
89.807
97.410
164.078
7.446
12.002
15.766
4.448 4.136 5.924
10.184 5.132 12.211
16.204 10.598 20.224
25.881
21.712
22.512
7
925.203
ikan lainnya
cumi
44.740 18.240 55.700
7.570 2.920 3.140
39.560
4.543
97.983 97.983 22 1.263.394 904.538 849.369 2.378.282
7
2.040
17 17
241.941
15
7
1.047
101.421 1.106.494 774.930 705.974
75.000 63.350 73.028
76.283 61.810 65.744
4.250 3.400 3.400
1.183.314
80.590
124.646
15.709
112
1.367 1.049 1.224 16.390
18.643
6.214
91.816
795.010
Biaya
1.497.489
Pemeliharaan
11.200
TEBAR/ HARI
operasi/ trip
19
8
1.460
25
7
792
ABK
7
1.372.471 2.458.000
370.000
23
1.109.685
16.800
2.344.000
320.000
1.584
19 23 22
8 7 8
1.508 936 840
25
7
1.464
19
980.211 1.615.996
8
22
7
26
7
48
24
8
1.008
31 27 18
7 7
288
3.396.231 1.684.117 974.029
14
3.906.000
2.490.094
179.500
350.000
350.000
23
7
oli(rb)
bekal(rb)
SIB(rb)
Solar
Oli
Bekal
SIB
1.219.750
52.000
1.226
448
40.000
400
retribusi (rb)
bongkar (rb)
Retribu Bongka 6.000
tambat (rb)
Tambat 400
pungutan (rb)
upah(rb)
63.930
151.674
131.217
1.098.000
84.000
160.000
1.094.459 1.390.419
81.000 82.709
85.843 94.834
20.000
695.625
66.000
60.000
800
992.000
96.000
142.000
20.000
24.000
16.000
24.000
8.000
6.000
800
20.000
8.000
198.289 182.001
44.328
91.360
4.250
1.086.654
71.246
103.214
9.090
1.554.000
96.000
225.000
2.872.853 1.545.252
149.760 66.476
167.851 66.890
4.150
853.662
62.000
55.047
2.550
1.706.442
93.559
128.697
3.350
udang lain
11.046
28.810
33.169
9.074
18.956
20.659
11.376
17.264
12.585
2.300
6.202
26.020
23.120
80.425 10.786
20.854 24.025
23.289 20.753
140.958 144.969 148.980
94.347
3.652 9.338 5.242
30.741 21.266 19.670
40.005 26.973 16.001
28.090
4.020
10.992
18.497
22.766
34.260
1.940
6.536
15.792
27.100
14.970
21.990
24.220
29.903
2.753
31.690
8.490
55.938
7.240
43.814
7.865
500.000
14.000
3.588
137.176
16.400
24.099
28.602
25.000
30.000
30.000
257.850
476.000
7.886
20.837
18.128
280.770 304.836
205.768
1.349
12.892 22.347 4.470
19.161 22.107 10.408
22.474 21.754 16.404
770
2.472
4.703
8.188
11.078
16.886
19.258
10.706
27.360
500.000
20.000
30.000
cumi
186.562 150.288
741
25.000
ikan lainnya
137.520 139.239
258.784
175.338
113
udang windu
133.509
160.440 839.532
udang putih
Php 116.892 118.038
1.363.450
7 7
1.447.864 1.718.250
solar(rb)
254.699
340.884
lobster
udang putih (rb) 279.790 341.761 260.604 70.178 110.911 133.996 245.009 126.301 155.439 200.480 3.718.565 374.088 412.526 104.104 442.042 465.053
udang windu (rb)
udang lain (rb)
821.151 818.694 1.082.889 1.058.967 914.166 969.462 1.153.035 811.836 863.622 967.491
1.201.392 1.130.544 2.083.023 1.949.508 1.271.160 1.701.432 2.161.674 1.718.820 1.267.974 1.693.008
924.343 749.087 570.781 333.621 859.939
203.843 298.646 254.813 140.483 1.219.737
ikan lainnya (rb)
cumi (rb)
lobster (rb)
kasko
mesin
alat tangkap
alat bantu
4.000 4.000 7.500 4.500 4.500 6.000 5.000 3.000 4.500 3.000 450
6.000 4.000 8.000 4.800 4.800 6.400 7.500 3.000 7.500 4.500 450
800 800 2.500 1.500 1.500 2.000 2.500 1.200 900 900 225
400 400 1.000 600 600 800 1.250 600 600 600 225
4.223
5.177
1.348
643
450 350 350 450
450 175 350 450
225 175 175 225
225 175 175 225
2.887.565 3.522.835 3.352.015 4.270.479 372.028 491.864 447.746
1.210.464 907.929 1.212.300
1.439.937 1.005.507 1.519.452
226.260
1.390.014
1.451.250
330.000
140.000
25.000
307.584
1.257.066
1.275.102
280.000
110.000
20.000
723.924
1.522.098
1.311.228
240.000
125.000
25.000
538.704
1.419.660
1.398.060
250.000
125.000
25.000
212.112
1.726.542
1.321.650
200.000
100.000
20.000
408.456
995.490
1.054.566
200.000
100.000
20.000 200
84.013 32.659 122.414
18.070 6.770 9.883
3.559.866
400
400
200
3.359.378
450
450
225
225
350.000 350.000
125.000 125.000
45.000 50.000
157.305
67.945
16.516
489.348 295.704
1.921.482 1.889.028
1.669.626 1.397.790
381.954
648.081
851.364
508.851 473.158 669.698
994.763 496.729 367.646
285.190 186.525 131.120
1.309.501
1.197.286
1.086.558
79.696
11.574
114
408
lobster
89.507
89.507
udang putih (rb)
udang windu (rb)
udang lain (rb)
566.660
1.555.713
1.791.126
465.496
958.365
1.080.918
ikan lainnya (rb)
cumi (rb)
47.815
6.660
932.256
679.590
334.908
1.405.080
1.248.480
4.125.803 553.296
1.126.116 1.297.323
1.257.606 1.120.662
187.348 475.756 283.068
1.659.987 981.963 1.062.180
2.160.243 1.273.455 864.054
59.263
13.270
563.890
998.811
1.229.364
60.328
6.330
747.718
1.528.569
476.942
807.957
1.227.851
1.198.404
55.802
8.753
819.979
1.200.231
1.458.189
70.406
25.918
100.450
22.531
85.428
24.224
425.844
1.125.198
978.912
877.986 1.193.751 1.007.398
914.788 1.174.689 288.710
282.797
455.202
144.109
641.274
976.628
826.566
kasko
6.000
583.589
661.257 1.146.401 511.368
lobster (rb)
6.500
115
6.250
mesin
alat tangkap
alat bantu
4.000
400
800
250.000
100.000
20.000
7.500
2.000
800
200.000
100.000
20.000
115.375
50.600
10.400
225.000
75.000
50.000
225.000
75.000
50.000
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang Model Name = CCR-I
In Rank order
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
DMU binama no. 15 binama no. 12 binama no. 1 binama no. 10 binama no. 2 binama no. 3 binama no. 5 binama no. 6 binama no. 7 binama no. 8 khamsin A minaraya no. 16 Mina raya no, 11 Mina raya no, 14 Mina raya no. 21 nusantara maju nusantara utama nusa aman 1 nusa aman 2 nusantara bina nusantara megah nusa asri nusa ayu merbah Mina raya no. 18 Mina raya no. 20 minaraya no. 17 binama no. 16 merawal II nusantara agung merbuk II mentilau II binama no. 11 nusantara jaya 2 Mina raya no. 25 nusantara elok merpati II
Score 1 1 0,985674 1 0,95848 0,908425 1 1 0,909066 1 1 0,615854 0,741987 0,467863 1 0,820084 0,795926 0,912921 0,855143 1 0,67051 1 0,98311 0,548004 0,625536 0,588284 0,557114 1 0,607788 0,738761 1 0,82521 1 0,81619 0,785877 0,768303 0,771825
Rank 1 1 14 1 16 19 1 1 18 1 1 33 29 39 1 22 24 17 20 1 31 1 15 37 32 35 36 1 34 30 1 21 1 23 25 27 26
Rank 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
38 39
Mina raya no. 22 Mina raya no. 24
0,763095 0,509398
28 38
38 39
119
DMU binama no. 11 binama no. 15 binama no. 12 merbuk II binama no. 10 binama no. 16 nusa asri binama no. 5 binama no. 6 nusantara bina binama no. 8 khamsin A Mina raya no. 21 binama no. 1 nusa ayu binama no. 2 nusa aman 1 binama no. 7 binama no. 3 nusa aman 2 mentilau II nusantara maju nusantara jaya 2 nusantara utama Mina raya no. 25 merpati II nusantara elok Mina raya no. 22 Mina raya no, 11 nusantara agung nusantara megah Mina raya no. 18 minaraya no. 16 merawal II Mina raya no. 20 minaraya no. 17 merbah
Score 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0,985674 0,98311 0,95848 0,912921 0,909066 0,908425 0,855143 0,82521 0,820084 0,81619 0,795926 0,785877 0,771825 0,768303 0,763095 0,741987 0,738761 0,67051 0,625536 0,615854 0,607788 0,588284 0,557114 0,548004
Mina raya no. 24 Mina raya no, 14
0,509398 0,467863
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
No. of DMUs = 39 No. of Input items = 4 Input(1) = HARI TRIP Input(2) = GT Input(3) = UMUR Input(4) = BIAYA No. of Output items = 4 Output(1) = PENDAPATAN Output(2) = PUTIH Output(3) = WINDU Output(4) = LAIN Returns to Scale = Constant (0 =< Sum of Lambda < Infinity) Statistics on Input/Output Data HARI TRIP
PUTIH
WINDU
LAIN
Max
351,000
532,000
33,000
3906000,000
6509524,500
80425,000
35583,000
40031,000
Min
90,000
104,000
2,000
368190,000
882107,600
910,000
3447,000
7982,000
228,692
197,231
21,769
1507447,455
2681327,632
7855,557
18499,675
23087,495
68,731
93,003
9,585
993808,189
1088039,704
12402,181
8150,653
8210,960
Average SD
GT
UMUR
BIAYA
PENDAPATAN
Correlation HARI TRIP HARI TRIP
GT
UMUR
BIAYA
PENDAPATAN
PUTIH
WINDU
LAIN
1,000
-0,100
-0,437
0,647
0,747
0,197
0,814
0,480
GT
-0,100
1,000
-0,109
0,436
-0,004
0,225
-0,002
-0,265
UMUR
-0,437
-0,109
1,000
-0,509
-0,396
-0,107
-0,418
-0,060
BIAYA PENDA PATAN
0,647
0,436
-0,509
1,000
0,427
0,155
0,537
-0,080
0,747
-0,004
-0,396
0,427
1,000
0,636
0,703
0,558 -0,003
PUTIH
0,197
0,225
-0,107
0,155
0,636
1,000
0,165
WINDU
0,814
-0,002
-0,418
0,537
0,703
0,165
1,000
0,628
LAIN
0,480
-0,265
-0,060
-0,080
0,558
-0,003
0,628
1,000
DMUs with inappropriate Data with respect to the chosen Model No. DMU None No. of DMUs Average SD Maximum Minimum
39 0,834113 0,167876 1 0,467863
120
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang Frequency in Reference Set Peer set Frequency to other DMUs binama no. 15 6 binama no. 12 0 binama no. 10 5 binama no. 5 4 binama no. 6 1 binama no. 8 3 khamsin A 1 Mina raya no. 21 17 nusantara bina 6 nusa asri 8 binama no. 16 7 merbuk II 21 binama no. 11 8 No. of DMUs in Data = No. of DMUs with inappropriate Data = No. of evaluated DMUs =
39 0 39
Average of scores = No. of efficient DMUs = No. of inefficient DMUs = No. of over iteration DMUs =
0,8341135 13 26 0
[CCR-I] LP started at 05-24-2005 11:58:32 and completed at 05-24-2005 11:58:32 Elapsed time = 0 seconds Total number of simplex iterations = 356
121
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang No. 1
2
3
4
5
DMU I/O binama no. 15 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN binama no. 12 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN binama no. 1 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN binama no. 10 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN binama no. 2 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
Score Data 1 171 104 9 445666,6 2302333 5454 15206,5 22248 1 228 105 10 438154,4 2290999 6662 15161 20936 0,985674 281 137 29 892730,9 3426516 5080 20053,5 38574,5 1 222 137 24 756412,9 3078653 1368 19610,5 36102 0,95848 180,99 137 29 534623,2 2296237 2162 16929 23540
Projection
Difference
171 104 9 445666,6 2302333 5454 15206,5 22248
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
228 105 10 438154,4 2290999 6662 15161 20936
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
276,3526 135,0373 28,27293 879941,4 3461912 5080 20708,97 38574,5
-4,64741 -1,96271 -0,72707 -12789,5 35395,56 0 655,4733 0
-1,65% -1,43% -2,51% -1,43% 1,03% 0,00% 3,27% 0,00%
222 137 24 756412,9 3078653 1368 19610,5 36102
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
173,4753 126,806 13,28963 512425,6 2296237 5457,487 16929 25317,05
-7,51474 -10,194 -15,7104 -22197,7 0 3295,487 0 1777,054
-4,15% -7,44% -54,17% -4,15% 0,00% 152,43% 0,00% 7,55%
122
%
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang 6
7
8
9
10
Binama no. 3 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN binama no. 5 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN binama no. 6 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN binama no. 7 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN binama no. 8 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
0,908425 225 137 27 726346,7 2804890 2612 17953 31508 1 286 137 29 920880,5 3559718 4776 21352,5 40031 1 180 137 29 557120,4 2656957 2462 15034 31830 0,909066 180 137 28 570146,3 2287035 3030 15993 23481 1 227 137 27 535050,4 2860979 3908 17916,5 31352
204,3957 124,4543 19,48085 659831,9 2804890 2612 17953 31508
-20,6043 -12,5457 -7,51915 -66514,8 0 0 0 0
-9,16% -9,16% -27,85% -9,16% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
286 137 29 920880,5 3559718 4776 21352,5 40031
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
180 137 29 557120,4 2656957 2462 15034 31830
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
163,6318 123,4568 12,62533 518300,4 2287035 7541,867 15993 23481
-16,3682 -13,5432 -15,3747 -51845,9 0 4511,867 0 0
-9,09% -9,89% -54,91% -9,09% 0,00% 148,91% 0,00% 0,00%
227 137 27 535050,4 2860979 3908 17916,5 31352
0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
0
123
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang 11
12
13
14
15
khamsin A HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN minaraya no. 16 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Mina raya no, 11 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Mina raya no, 14 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Mina raya no. 21 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
1 288,99 118 2 3474777 3718565 3270 9550 11582 0,615854
288,99 118 2 3474777 3718565 3270 9550 11582
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
196 142 31 505150 1502274 3606 7739 16969 0,741987
120,7074 78,44886 14,83755 311098,7 1574080 3606 9845,113 16969
-75,2926 -63,5511 -16,1624 -194051 71805,98 0 2106,113 0
-38,41% -44,75% -52,14% -38,41% 4,78% 0,00% 27,21% 0,00%
156 143 32 368190 1460259 910 5897 14478 0,467863
115,75 69,89446 13,76386 273192,3 1460259 2025,643 9136,052 15981,42
-40,25 -73,1055 -18,2361 -94997,7 0 1115,643 3239,052 1503,417
-25,80% -51,12% -56,99% -25,80% 0,00% 122,60% 54,93% 10,38%
112 146 32 427708 929698 3864 3447 7982 1
52,40064 42,51979 7,32183 200108,7 929698 5182,118 4345,298 7982
-59,5994 -103,48 -24,6782 -227599 0 1318,118 898,2979 0
-53,21% -70,88% -77,12% -53,21% 0,00% 34,11% 26,06% 0,00%
90 149 26 463642 916146 3511,714 14417,32 25043,82
90 149 26 463642 916146 3511,714 14417,32 25043,82
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
124
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang 16
17
18
19
20
Nusantara maju HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Nusantara utama HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Nusa aman 1 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Nusa aman 2 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Nusantara bina HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
0,820084 339 156 31 2722000 3067524 4190 25741 26875 0,795926
263,1645 127,933 9,07423 1896630 3185053 6416,589 25741 26875
-75,8355 -28,067 -21,9258 -825370 117529,2 2226,589 0 0
-22,37% -17,99% -70,73% -30,32% 3,83% 53,14% 0,00% 0,00%
277 156 31 2120000 2839752 5696 23279 23613 0,912921 323 157 10 2663000 3557250 13406 28187 24282 0,855143 332 157 10 2766000 3356424 9976 26290 25890 1 258 163 27 2224000 3260304 3928 31973 24475
220,4715 124,1645 13,08303 1614992 2839752 5793,599 23279 23613
-56,5285 -31,8355 -17,917 -505008 0 97,59948 0 0
-20,41% -20,41% -57,80% -23,82% 0,00% 1,71% 0,00% 0,00%
274,2001 143,3286 5,541767 2239924 3573749 13406 28187 24920,92
-48,7999 -13,6714 -4,45823 -423076 16498,68 0 0 638,9248
-15,11% -8,71% -44,58% -15,89% 0,46% 0,00% 0,00% 2,63%
265,4561 134,2574 7,939376 2006360 3356424 9976 26290 25890
-66,5439 -22,7426 -2,06062 -759640 0 0 0 0
-20,04% -14,49% -20,61% -27,46% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
258 163 27 2224000 3260304 3928 31973 24475
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
125
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang 21
22
23
24
25
Nusantara megah HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Nusa asri HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Nusa ayu HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Merbah HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Mina raya no. 18 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
0,67051 260 163 27 2138000 2458512 7564 18435 19529 1 340 166 5 2851000 4080456 9062 35583 30919 0,98311 351 166 5 2859000 3582522 5476 34982 25885 0,548004 217 170 24 925202,7 1881399 7445,5 12001,5 15766 0,625536 152 198 31 1263394 1788804 4448 10184 16204
174,3326 109,2931 14,6947 1193561 2458512 7851,97 18435 19529
-85,6674 -53,7069 -12,3053 -944439 0 287,9703 0 0
-32,95% -32,95% -45,58% -44,17% 0,00% 3,81% 0,00% 0,00%
340 166 5 2851000 4080456 9062 35583 30919
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
334,2574 163,1962 4,91555 2802846 4011537 8908,942 34982 30396,78
-16,7426 -2,80375 -8,45E-02 -56153,6 429014,7 3432,942 0 4511,775
-4,77% -1,69% -1,69% -1,96% 11,98% 62,69% 0,00% 17,43%
118,9168 93,16065 8,61921 507014,6 1881399 7445,5 12001,5 15766
-98,0832 -76,8393 -15,3808 -418188 0 0 0 0
-45,20% -45,20% -64,09% -45,20% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
95,0814 117,8518 16,3622 514924,8 1788804 18583,98 10902,69 16204
-56,9186 -80,1482 -14,6378 -748469 0 14135,98 718,6853 0
-37,45% -40,48% -47,22% -59,24% 0,00% 317,81% 7,06% 0,00%
126
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang 26
27
28
29
30
Mina raya no. 20 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Minaraya no. 17 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Binama no. 16 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Merawal II HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Nusantara agung HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
0,588284 105 198 30 904538 1156412 4136 5132 10598 0,557114
61,76981 76,83672 10,70668 334347,9 1156412 11970,06 7112,94 10598
-43,2302 -121,163 -19,2933 -570190 0 7834,062 1980,94 0
-41,17% -61,19% -64,31% -63,04% 0,00% 189,41% 38,60% 0,00%
188 198 31 849369 1168464 5924 12211 20224 1 264 204 5 1497489 3913499 11046 28809,5 33169 0,607788 251 229 22 1372471 2195435 11376 17264 12585 0,738761
104,7374 110,3085 17,27052 473195,1 1429252 5924 12211 20224
-83,2626 -87,6915 -13,7295 -376174 260788,1 0 0 0
-44,29% -44,29% -44,29% -44,29% 22,32% 0,00% 0,00% 0,00%
264 204 5 1497489 3913499 11046 28809,5 33169
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
152,5547 139,1834 13,37133 834171,2 2455076 11376 17264 20793,47
-98,4453 -89,8166 -8,62867 -538300 259641,5 0 0 8208,472
-39,22% -39,22% -39,22% -39,22% 11,83% 0,00% 0,00% 65,22%
289 233 33 2458000 2988468 6202 26020 23120
213,5019 172,1313 24,37911 1554929 2988468 9841,273 26020 25826,26
-75,4981 -60,8687 -8,62089 -903071 0 3639,273 0 2706,259
-26,12% -26,12% -26,12% -36,74% 0,00% 58,68% 0,00% 11,71%
127
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang 31
32
33
34
35
Merbuk II HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Mentilau II HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Binama no. 11 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Nusantara jaya 2 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Mina raya no. 25 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
1 258 240 22 1447864 6509525 80425 20854 23289 0,82521 245 243 22 1718250 2971281 10785,5 24024,5 20753 1 267 246 17 1109685 4007578 3652 30740,5 40004,5 0,81619
258 240 22 1447864 6509525 80425 20854 23289
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
202,1765 200,5261 18,15463 1057502 2971281 10785,5 24024,5 32014,91
-42,8235 -42,4739 -3,84537 -660748 0 0 0 11261,91
-17,48% -17,48% -17,48% -38,45% 0,00% 0,00% 0,00% 54,27%
267 246 17 1109685 4007578 3652 30740,5 40004,5
0 0 0 0 0 0 0 0
0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
214 260 8 2344000 2209302 5242 19670 16001 0,785877
174,6646 145,5034 6,529517 984536,7 2533778 7274,45 19670 23766,25
-39,3354 -114,497 -1,47048 -1359463 324475,8 2032,45 0 7765,248
-18,38% -44,04% -18,38% -58,00% 14,69% 38,77% 0,00% 48,53%
235 235 16 980211 2753230 6536 15792 27100
184,681 162,5018 12,57403 770325,1 2753230 6536 20333,02 27100
-50,319 -72,4982 -3,42597 -209886 0 0 4541,016 0
-21,41% -30,85% -21,41% -21,41% 0,00% 0,00% 28,76% 0,00%
128
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang 36
37
38
39
Nusantara elok HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
0,768303 248 450 5 3906000 2529954 7886 20837 18128
Merpati II HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Mina raya no. 22 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN Mina raya no. 24 HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
0,771825 263 532 22 3396231 3514841 22347 22106,5 21753,5 0,763095
190,5393 147,9963 3,841517 1080348 2820522 7969,902 20837 24071,01
-57,4607 -302,004 -1,15848 -2825652 290567,6 83,90237 0 5943,014
-23,17% -67,11% -23,17% -72,34% 11,49% 1,06% 0,00% 32,78%
202,9899 196,5053 16,98015 1039954 3514841 22347 22106,5 28622,97
-60,0101 -335,495 -5,01985 -2356278 0 0 0 6869,469
-22,82% -63,06% -22,82% -69,38% 0,00% 0,00% 0,00% 31,58%
126 352 26 1684117 1807476 4470 10408 16404 0,509398
96,14999 119,2453 16,56546 520668,1 1807476 18766,89 11032,77 16404
-29,85 -232,755 -9,43454 -1163449 0 14296,89 624,7686 0
-23,69% -66,12% -36,29% -69,08% 0,00% 319,84% 6,00% 0,00%
93 417 25 974029 882107,6 2472 4703 8188
47,37404 59,1607 8,276326 256279,8 882107,6 9093,464 5480,527 8188
-45,626 -357,839 -16,7237 -717749 0 6621,464 777,5274 0
-49,06% -85,81% -66,89% -73,69% 0,00% 267,86% 16,53% 0,00%
129
Lampiran 4. Kerangka logis (logical framework) alternatif Pengelolaan Perikanan Udang
Policy objective Outcome (sasaran kebijakan) (keluaran) Penerapan kuota 5% a.Manfaat ekonomi lebih baik b.Produksi lestari meningkat
Indikator
Cara verifikasi
a.Rente ekonomi mening kat hampir 2 kali lipat. b.Kurva produksi lestari lebih baik a.Effort menurun b.Efisiensi meningkat
Resiko dan asumsi
Produksi penangkapan a.Biaya monitoring dan penegakan dikurangi 5% dari yg ada hukum mahal. saat ini. b.Resistensi pengusaha/pemilik kapal. Pengurangan jumlah a.Terhindarnya overfishing Pengurangan jumlah ka a.Resistensi pemilik kapal tinggi Kapal maximum 15% dan overcapacity. pal berdasarkan usia yg b.Penurunan produksi udang nasib.Meningkatkan efisiensi di atas 30 th. onal. c.Biaya sosial tinggi (PHK) Penutupan musim a.Produksi tangkapan tahunan a.Siklus tangkapan membaik Selama bulan Juni tidak Mudah diterima pemilik kapal dan Penangkapan bln Juni stabil ada kapal menangkap resiko resistensi dan kegagalan kecil, b.Meningkatnya efisiensi, ter- b.Rasio produksi dan effort serta biaya tidak terlalu mahal. hindarnya overcapacity membaik Tidak ada kebijakan Terjadi penuruanan rente eko- Usaha penangkapan udang Evaluasi hasil kegiatan Sumberdaya ikan makin degradasi, semakin tidak menguntung penangkapan dari aspek terjadi overcapitalisasi dan inefisibaru (tetap spt biasa) nomi dan produktivitas kan, biaya operasional ma- produksi dan ekonomi ensi usaha, makin tidak mengunkin tinggi. tungkan.
130