KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA
AZMAR MARPAUNG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA
AZMAR MARPAUNG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Kajian Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang: Studi Kasus di Laut Arafura Provinsi Papua” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor,
Desember 2006
Azmar Marpaung
ABSTRAK AZMAR MARPAUNG. Kajian Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang: Studi Kasus di Laut Arafura Provinsi Papua Hasil tangkapan sampingan (HTS) menjadi isu perikanan sejak dikembangkannya pemakaian pukat udang pada tahun 1970. Hal ini menimbulkan masalah karena sifat pukat udang itu sendiri tidak selektif. Sejak Keppres No. 85 tahun 1982 membolehkan pukat udang beroperasi di Laut Arafura yang wajib menggunakan by-catch excluder device, permasalahan HTS masih menjadi isu utama pengelolaan perikanan di Laut Arafura. Dengan jumlah armada pukat udang di Laut Arafura 338 kapal pada tahun 2004, diperkirakan HTS yang dihasilkan sebanyak 332.186 ton/tahun, dan sebagian besar HTS tersebut di buang ke laut karena bernilai ekonomi rendah dan tidak tertampung dalam palka kapal. Tujuan penelitian ini adalah mengurangi buangan dan mengoptimalkan pemanfaatan HTS untuk konsumsi pangan dan pakan dengan: (1) merancang pola kebijakan pendaratan HTS, (2) membuat model pemanfaatan HTS dan (3) menyusun strategi pengelolaan HTS. Penelitian ini menggunakan metode survei yang telah dilaksanakan pada bulan AgustusNopember 2004. Survei lapangan berlokasi di perairan sepanjang pantai sebelah selatan Papua dan sentra perikanan yang berada di sekitar Laut Arafura. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan AHP dan analisis SWOT. Hasil analisis, menyimpulkan bahwa mendaratkan HTS seluruhnya adalah pola yang paling optimal sebagai kebijakan pendaratan HTS. Model pemanfaatan HTS yang paling optimal adalah mengumpulkan ikan HTS menggunakan kapal pengumpul khusus, mengolahnya di atas kapal dan mendaratkannya dalam bentuk bubur ikan. Karena belum ada peraturan tentang pengolahan di atas kapal, maka disarankan kepada pemerintah untuk membuat peraturan yang jelas dan tegas tentang pemanfaatan HTS dan pengolahannya di atas kapal. Kata kunci : hasil tangkapan sampingan, pukat udang, pola pendaratan, model pemanfaatan, strategi pengelolaan
ABSTRACT AZMAR MARPAUNG. Review of Management of Shrimp Trawl By-catch: A Case Study in Arafura Sea Papua Province (Under the direction of ARI PURBAYANTO and MITA WAHYUNI) By-catch has become an issue in fisheries since shrimp trawl using was developed in 1970s. A problem on it occurred due to the fact that trawl gears work unselectively, resulting big amount of by-catch. Since the presidential decree No. 85, 1982 allowing the use of shrimp trawls in Arafura Sea equipped with by-catch excluder devices was issued, the by-catch problem is still the main issue in fisheries management. With 338 fishing boats of shrimp trawls operated in Arafura Sea in 2004, it can be estimated that approximately 332.186 ton of bycatch were caught yearly and many of the catches were discarded due to their low economic value and limited storage capacity that the boat had. The objectives of this research are to minimize the discards and optimize by-catch utilization by: (1) designing a policy for by-catch landing, (2) making a model of by-catch utilization, and (3) preparing strategies for by-catch management. The method used in this research was field survey conducted from August to September 2004 in south Papua waters, fisheries centers at Arafura Sea. Afterwards, the data collected was analyzed using AHP and SWOT analysis. The results, concluded that landing all the utilizable by-catch as a policy for bycatch landing. Meanwhile, the most optimum model of utilization is collecting the by-catch by special collecting boat used for processing and landing them in the form of minched fish. Since the existing related regulation in Indonesia do not cover the on-boat processing, the government should make a clear and firm regulation on utilization of by-catch and the on-board processing. Key words : by-catch, shrimp trawl, policy for landing, model of utilization and strategy of management.
DAFTAR ISTILAH Target penangkapan utama
: Dalam bahasa Inggeris disebut target catch adalah hasil tangkapan yang terdiri dari satu atau sejumlah spesies yang merupakan sasaran utama kegiatan penangkapan ikan.
Hasil tangkapan sampingan
: Dalam bahasa Inggeris disebut by-catch adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri dari organisme laut yang bukan merupakan target penangkapan utama, termasuk di dalamnya organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap, meskipun tidak terangkat dari dalam laut.
Ikan buangan
: Dalam bahasa Inggeris disebut discarded catch adalah bagian dari hasil tangkapan yang tidak diinginkan karena berbagai alasan dan tidak dimanfaatkan, kemudian dibuang kembali ke laut baik dalam keadaan hidup atau mati.
Jaring trawl
: Adalah alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk seperti kantong atau kerucut. Alat tangkap ini terdiri atas dua lembar sayap (wing) yang dihubungkan dengan tali penarik (warp), badan (body) dan kantong (cod-end). Jaring ditarik secara horisontal di dalam air sehingga mulut jaring akan terbuka selama operasi penangkapan
Pukat udang
: Adalah modifikasi dari jaring trawl sebagai alat penangkap ikan, udang dan biota lainnya yang terbuat dari jaring kantong besar, melebar, mulut jaring yang terbuka pada kedua sayap jaring yang terbaring di bagian depan pada masing-masing sisinya, meruncing pada akhir jaring dan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantong. Di antara badan jaring dan kantong terdapat by-catch excluder device yang digunakan untuk menyaring ikan-ikan masuk ke dalam kantong.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2006 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan lain sebagainya
KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA
AZMAR MARPAUNG
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
: Kajian Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang : Studi Kasus di Laut Arafura Provinsi Papua
Nama Mahasiswa : Azmar Marpaung Nomor Pokok
: C551020114
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc
Dr. Ir. Mita Wahyuni, MS Anggota
Ketua
Diketahui,
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.
Tanggal ujian : 4 Januari 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal lulus : 09 Februari 2006
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat petunjuk dan berkah dari-Nya tesis ini penulis selesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Sains (S2) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Judul tesis ini adalah “Kajian Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang: Studi Kasus di Laut Arafura Provinsi Papua” Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. dan Ibu Dr. Ir. Mita Wahyuni, MS. sebagai pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. John Haluan, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan. Terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan perhatian. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik yang sifatnya membangun, selalu penulis harapkan. Harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Desember 2006
Azmar Marpaung
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Pulau, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 21 Mei 1959. Menikah pada tahun 1982 dan telah dikaruniai 3 orang putri dan 1 orang putra. Lulus sarjana dari Jurusan Teknik Elektro Sekolah Tinggi Teknologi Mandala tahun 1987. Pada tahun 2003 penulis masuk Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Teknologi Kelautan. Riwayat pekerjaan penulis, sampai dengan tahun 1998 bekerja di PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT. IPTN) dengan posisi terakhir adalah Manejer Quality Engineering Program Pesawat N-250. Berhenti dari PT. IPTN, pada tahun yang sama penulis bergabung dengan PT. SUCOFINDO (Persero), ditempatkan di Bagian Supervisi Proyek SBU. Penilaian dan Pemantauan Proyek Investasi. Pada tahun 2001 PT. SUCOFINDO (Persero) mengadakan program transformasi bisnis dan kepada pegawai diberi peluang untuk memilih posisi dan tempat yang paling sesuai dengan latar belakang, pengalaman dan minat masing-masing pegawai. Penulis memilih sebagai Marine and Fisheries Specialist di SBU. Kehutanan, Kelautan-Perikanan dan Lingkungan. Pengalaman penulis selama bertugas sebagai Marine and Fisheries Specialist diantaranya mendesain Vessel Monitoring System (VMS) Departemen Kelautan dan Perikanan (2001), Project Manager Penyiapan Data Base Sistem Perizinan Perikanan Provinsi Papua (2003), Studi Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) Pukat Udang dari Laut Arafura Provinsi Papua (2004) dan Project Manager dalam pekerjaan Desain Pengolahan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) Pukat Udang dari Laut Arafura (2005).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xvi
1
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4
2
Latar Belakang ................................................................................... Perumusan Masalah .......................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................... Manfaat Penelitian .............................................................................
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
Definisi................................................................................................ Dampak Negatif Hasil Tangkapan Sampingan ................................. Alat Tangkap Pukat Udang ................................................................ Pengelolaan Sumberdaya Ikan ......................................................... Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang ................. Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan ............................................................ 2.7 Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process)...................... 2.8 Analisis SWOT ................................................................................... 3
6 7 8 12 13 17 18 21
METODOLOGI 3.1 3.2 3.3 3.4
Waktu dan Tempat Penelitian............................................................ Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. Metode Penelitian .............................................................................. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 3.4.1 Pengumpulan data dan informasi pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan ..................................................... 3.4.2 Pengumpulan data potensi hasil tangkapan sampingan......... 3.5 Analisis Data ...................................................................................... 3.5.1 Analisis data potensi hasil tangkapan sampingan................... 3.5.2 Analisis sistem pengelolaan hasil tangkapan sampingan ....... 3.5.3 Analisis strategi pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan ................................................................ 4
1 3 4 5
22 22 22 25 25 26 27 28 28 32
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 4.2 4.3 4.4
Letak Geografis .................................................................................. Demografi........................................................................................... Laut Arafura ....................................................................................... Kondisi Perikanan Pukat Udang di Laut Arafura .............................. 4.4.1 Daerah dan musim penangkapan............................................ 4.4.2 Sumberdaya ikan ..................................................................... 4.4.3 Alat tangkap, armada dan perusahaan penangkapan ............ 4.4.4 Operasi penangkapan .............................................................. 4.4.5 Potensi ikan hasil tangkapan sampingan ................................
34 35 35 36 36 38 39 41 42
4.5 4.6 4.7 4.8 5
4.4.6 Komposisi hasil tangkapan ...................................................... 4.4.7 Rasio tangkapan udang terhadap hasil tangkapan sampingan ................................................................................ Pelabuhan Perikanan......................................................................... Kelembagaan Perikanan (Dinas Perikanan dan Kelautan) .............. Lembaga Pengawasan Perikanan..................................................... Asosiasi Penangkapan Udang ..........................................................
46 49 50 51 52
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura.................................................................................... 5.1.1 Status kini pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan ..... 5.1.2 Kendala pengelolaan hasil tangkapan sampingan .................. 5.2 Perencanaan Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura.................................................................................... 5.2.1 Analisis kebijakan pemerintah di bidang perikanan sebagai pendukung pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang.............................................................................. 5.3 Pola dan Model Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan ... 5.3.1 Pola kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan ......... 5.3.2 Model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan .................... 5.4 Strategi Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura....................................................................................
6
43
54 55 57 58
59 68 68 72 79
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 6.2 Saran. .................................................................................................
90 91
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
92
LAMPIRAN ......................................................................................................
95
DAFTAR TABEL Halaman 1. Skala banding secara berpasangan (Saaty, 1993) ...................................
19
2. Matriks SWOT ............................................................................................
21
3. Daftar responden.......................................................................................
25
4. Matriks perbandingan elemen-elemen antara pelaku dalam menentukan alternatif kebijakan dengan kriteria 1-n ..............................
31
5. Matriks perbandingan elemen-elemen antara pelaku dalam menentukan alternatif pengelolaan dengan kriteria 1-n ............................
31
6. Potensi sumberdaya ikan di Laut Arafura..................................................
39
7. Potensi sumberdaya ikan di Laut Arafura (ZEEI) ......................................
39
8. Perkembangan pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura .................
40
9. Keragaan unit penangkapan udang di Laut Arafura .................................
40
10. Kapal penangkapan ikan dan udang yang mendapat izin beroperasi di Laut Arafura, Provinsi Papua .............................................
41
11. Perusahaan penangkapan udang yang mendapat izin beroperasi di Laut Arafura, Provinsi Papua ...............................................
41
12. Estimasi potensi ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura ............................................................................................
42
13. Nama udang yang biasa tertangkap pukat udang di Laut Arafura ..........
44
14. Jenis-jenis hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura,sekitar Perairan Dolak, pada bulan Agustus 2004 .......................
44
15. Jenis dan ukuran ikan hasil tangkapan sampingan dominan di perairan sekitar Kepulauan Aru, pada November 2004 ........................
45
16. Analisis peraturan dan perundang-undangan di bidang perikanan, pendukung kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang...........................................................
61
17. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 2 .......................................
69
18. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 3 . .....................................
70
19. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 2 ...........................................
70
20. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 3 ...........................................
71
21. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 2 .......................................
77
22. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 3 .......................................
77
23 Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 2 ...........................................
78
24. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 3 ...........................................
78
25. Hasil analisis faktor-faktor strategi internal ................................................
80
26. Hasil analisis faktor-faktor strategi eksternal .............................................
81
27. Matriks SWOT ............................................................................................
82
28. Prioritas strategi pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan..............
83
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagian bagian pukat udang .......................................................................
9
2. (a) Turtle excluder device, (b) By-catch excluder device ........................
12
3. Pukat udang sedang hauling, hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan dan proses pemisahan ....................................................
12
4. Kerangka kegiatan penelitian.....................................................................
23
5. Aliran proses kegiatan penyusunan konsep dan strategi pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang, kasus di Laut Arafura, Provinsi Papua ...........................................................................................
24
6. Hierarki menentukan kebijakan pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang.............................................................................
29
7. Hierarki menentukan model pengelolaan pukat udang di Laut Arafura ....
30
8. Diagram analisis SWOT .............................................................................
33
9. Peta Provinsi Papua...................................................................................
34
10. Laut Arafura (Wilayah Pengelolaan Perikanan VI) ....................................
36
11. Daerah penangkapan udang .....................................................................
38
12. Persentasi kehadiran hasil tangkapan sampingan KM Komoron 09 di Laut Arafura bagian barat (32 kali hauling), bulan Oktober-November 2004) ................................................................
46
13. Proporsi hasil tangkapan sampingan terhadap hasil tangkapan udang di Perairan Dolak ............................................................................
47
14. Proporsi hasil tangkapan sampingan terhadap hasil tangkapan udang di Perairan Avona ...........................................................................
48
15. Proporsi hasil tangkapan sampingan terhadap hasil tangkapan udang di Perairan Kaimana .......................................................................
48
16. Lokasi PPP dan PPI di Provinsi Papua .....................................................
50
17. Struktur organisasi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua .........
50
18. Proses hierarki analisis untuk pemilihan pola terbaik pendaratan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura ..............................................
69
19. Diagram model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura ......................................................................
74
20. Skema pengelolaan ikan hasil tangkapan pukat udang di Laut Arafura ............................................................................................
75
21. Proses hierarki analisis untuk pemilihan model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura .........................
76
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Foto kegiatan penelitian .............................................................................
95
2. Running program expert choice untuk pemilihan pola pendaratan HTS .........................................................................................
98
3. Running program expert choice untuk pemilihan model pemanfaatan HTS .. .................................................................................. 105
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Hasil tangkap sampingan atau disingkat dengan HTS telah menjadi
permasalahan dan isu perikanan terpenting dunia sejak tahun 1990-an. Hal ini dikarenakan peningkatan jumlah hasil tangkapan sampingan menjadi salah satu penyebab penurunan stok ikan yang dapat mengancam keberlanjutan perikanan dunia.
Secara umum diketahui hampir semua kegiatan perikanan tangkap
menghasilkan hasil tangkapan sampingan, namun beberapa jenis alat tangkap khususnya pukat udang (shrimp trawl), diketahui memberikan kontribusi hasil tangkapan sampingan yang lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya. Hal ini terjadi karena udang dan ikan menghuni habitat yang sama dan sifat pukat udang itu sendiri yang memang tidak selektif. Pukat udang menggunakan mata jaring di bagian kantong (cod-end) yang relatif kecil sehingga banyak jenis-jenis organisme laut lainnya ikut tertangkap termasuk ikan-ikan juvenil. Organismeorganisme lainnya dan ikan-ikan juvenil tersebut tidak termasuk kedalam tujuan penangkapan utama (non-targeted species), disebut dengan by-catch. Menurut Alverson et al. (1994), diperkirakan hampir 10% dari total tangkapan ikan di dunia merupakan hasil tangkapan sampingan.
Pada
perikanan udang (shrimp trawl), hasil tangkapan sampingan dapat mencapai 510 kali berat hasil tangkapan utama yaitu udang. Sebanyak 27 juta metriks ton (dengan kisaran 17,9-39,5 juta metriks ton) ikan-ikan hasil tangkapan sampingan dibuang kelaut.
Estimasi jumlah hasil tangkapan sampingan ini umumnya
didasarkan pada asumsi bahwa rasio berat hasil tangkapan sampingan terhadap udang adalah 5 : 1 untuk daerah sub-tropis dan 10 : 1 untuk daerah tropis. Untuk mengantisipasi permasalahan hasil tangkapan, beberapa negara telah menerapkan aturan penggunaan ukuran mata jaring (mesh size ) yang lebih besar dan berbagai jenis alat pemisah atau penyaring yang dipasang dibagian kantong jaring trawl. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi hasil tangkapan sampingan sebagaimana yang telah dianjurkan dalam kode tindak perikanan bertanggung jawab (code of conduct for responsible fisheries), butir 8.4 dan 8.5, yaitu meminimalkan buangan (discards) dan memaksimalkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan (Purbayanto et al, 2004).
2
Ketentuan penggunaan alat pemisah ikan (API) pada perikanan pukat udang di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 930/Kpts/Um/12/1982 tentang pelaksanaan keputusan presiden Nomor 85 Tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan No. IK.010/S3.8075/82K yang mengatur tentang konstruksi pukat udang. Selanjutnya IK.010/S3.8063/82K
Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan No. mengatur
tangkapan sampingan.
tentang
pelaksanaan
pemanfaatan
hasil
Meskipun pengoperasian pukat udang sudah diatur,
penggunaan API disyaratkan, tetapi upaya meminimalkan hasil tangkapan sampingan belum berhasil sepenuhnya karena API itu sendiri kurang efektif serta rendahnya tingkat kesadaran anak buah kapal (ABK) maupun pengusaha penangkapan udang juga karena lemahnya sistem pengawasan penangkapan ikan di laut. Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan pengoperasian jaring trawl yang berlaku di seluruh perairan Indonesia, menyebabkan jumlah kapal perikanan yang menggunakan trawl terus berkurang,
hingga dikeluarkan Keputusan Presiden No. 85 tahun 1982 yang
membolehkan perikanan pukat udang yang dilengkapi dengan alat penyaring hasil tangkapan sampingan (by-catch excluder device) beroperasi hanya di wilayah timur Indonesia dalam hal ini di Laut Arafura dan sekitarnya. Meskipun pukat udang yang beroperasi di perairan Laut Arafura dan sekitarnya telah dilengkapi
dengan
alat
penyaring
hasil
tangkapan
sampingan,
namun
permasalahan hasil tangkapan sampingan masih menjadi salah satu isu utama pengelolaan perikanan di Provinsi Papua khususnya di Laut Arafura. Berdasarkan buku Potensi dan Peluang Usaha Perikanan Provinsi Papua (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua, 2003), luas Laut Arafura sekitar 150.000 km2, terletak di selatan Provinsi Papua merupakan wilayah perairan potensial untuk penangkapan udang.
Secara intensif daerah penangkapan
udang dan ikan di Laut Arafura seluas 73.500 km2 dengan kedalamam 10 – 50 meter.
Di Laut Arafura terdapat lebih dari 17 spesies udang panaeid, tetapi
hanya 5 spesies yang dimanfaatkan secara komersil terutama untuk ekspor, yaitu udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang windu (Penaeus monodon), udang ratu (Penaeus latisulcatus), udang dogol (Metapenaeus ensis) dan udang krosok (Parapenaopsis stylifera).
3
Sampai bulan Agustus 2004 jumlah armada pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura dan sekitarnya sebanyak 338 kapal, dengan jumlah armada yang demikian banyak maka hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan diduga sangat besar (Ditjen Perikanan Tangkap - DKP, 2004).
Potensi ikan hasil
tangkapan sampingan di Laut Arafura dari armada penangkapan udang yang memiliki izin beroperasi diperkirakan sebesar 332.168 ton pertahun (Purbayanto et al, 2004) Volume hasil tangkapan sampingan yang besar ini umumnya di buang ke laut karena tidak tertampung di dalam palka kapal, dan hanya sebagian kecil dari ikan-ikan ekonomis yang dimanfaatkan oleh awak kapal. Disamping itu hampir sebagian besar hasil tangkapan sampingan yang jumlahnya 90,9% dari total tangkapan pukat udang tersebut bernilai ekonomi rendah, dan memakan waktu untuk penyortiran.
Kondisi tersebut sangat ironis terjadi di Provinsi Papua
dimana penduduknya
masih hidup dengan keterbatasan bahan pangan
khususnya bahan pangan bergizi tinggi yang sangat diperlukan.
Oleh sebab itu
pengelolaan hasil tangkapan sampingan perlu mendapat perhatian sehingga hasil tangkapan sampingan yang jumlahnya demikian banyak dapat dibawa ke darat untuk dimanfaatkan.
1.2
Perumusan Masalah Hasil
tangkapan
sampingan
merupakan
permasalahan
pengelolaan
(management) kegiatan perikanan tangkap. Oleh sebab itu, apabila data tentang hasil tangkapan sampingan dan buangan tidak diketahui, maka pengelolaan akan sulit dilakukan.
Hasil tangkapan sampingan dan buangan yang terus
meningkat, sangat berpengaruh terhadap kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengaruh atau dampak negatif hasil tangkapan sampingan tersebut bukan hanya terhadap komunitas dan habitat benthic serta dampak biologi dan ekologi, tetapi juga dampak ekonomi yang pada gilirannya dapat mengimbas pada permasalahan sosial. Komitmen pemerintah Provinsi Papua dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang tercantum dalam RENSTRA Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua, 2003), sangat jelas berpihak pada kelestarian sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu dengan pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura, Provinsi Papua diharapkan:
4
(1)
Sebanyak-banyaknya ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang dari Laut Arafura dapat didaratkan di Provinsi Papua untuk dimanfaatkan untuk konsumsi pangan dan pakan.
(2)
Dapat mengembangkan potensi sumberdaya ikan di Provinsi Papua, meningkatkan produksi hasil perikanan, membangun dan mengembangkan industri pengolahan ikan termasuk yang berbasis masyarakat.
(3)
Dapat mengurangi buangan hasil tangkapan sampingan pukat udang, sehingga mewujudkan suatu kegiatan perikanan yang bertanggung jawab.
(4)
Mengurangi interaksi negatif antar kegiatan perikanan, karena pada beberapa kasus, hasil tangkapan sampingan dari suatu kegiatan perikanan merupakan hasil tangkapan utama bagi kegiatan perikanan yang lain. Dalam aktivitas penangkapan dengan menggunakan pukat udang akan mempengaruhi hasil tangkapan bagi nelayan tradisional. Dari seluruh uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan
yaitu; bagaimana melakukan pengelolaan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura yang sesuai dengan kebijakan pemerintah Provinsi Papua dan keinginan stakeholders, dengan: (1)
Mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan sebanyak-banyaknya untuk dimanfaatkan sebagai konsumsi pangan ataupun pakan.
(2)
Memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan melalui pengembangan industri pengolahan ikan termasuk industri yang berbasis masyarakat sehingga memberi peluang masuknya investasi, transfer teknologi, peluang bekerja dan berusaha yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan pendapatan daerah.
(3)
Menjaga kelestarian sumberdaya dan kelangsungan usaha perikanan tangkap.
1.3
Tujuan Penelitian Mendaratkan dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan secara
optimal dari Laut Arafura memerlukan konsep dan strategi pengelolaan. Konsep dapat divisualisasikan dalam bentuk pola dan model.
Tujuan penelitian ini
adalah : (1)
Merancang pola kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan
(2)
Membuat model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan
(3)
Menyusun strategi pengelolaan hasil tangkapan sampingan
5
1.4
Manfaat Penelitian Keluaran yang dihasilkan dari penelitian ini adalah konsep dan strategi
pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang yang paling optimal, berupa alternatif teknis penanganannya. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu rujukan bagi: (1)
Pengusaha penangkapan udang yang menggunakan alat pukat udang di Laut Arafura dan pengusaha pengolahan ikan yang memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang sebagai bahan bakunya.
(2)
Pemerintah
Provinsi
Papua
dalam
pengelolaan
sumberdaya
ikan,
khususnya sebagai solusi atas permasalahan hasil tangkapan sampingan pukat udang, yang sekaligus merupakan bagian dari pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab. (3)
Pemerintah pusat untuk meninjau kembali dan merevisi kebijakan dan peraturan yang ada saat ini sehingga hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan oleh perikanan pukat udang dapat dimanfaatkan dengan optimal.
(4)
Masyarakat lokal dalam upaya peningkatan ekonomi dan bahan pangan bergizi, melalui kerjasama dengan pengusaha perikanan pukat udang dan pemerintah.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi By-catch diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti hasil tangkap
sampingan (HTS).
Beberapa orang peneliti dan penulis di dalam tulisannya
menggunakan definisi yang berbeda-beda terhadap by-catch. Dalam tesis ini penulis menggunakan definisi by-catch, discards dan insidental catch mengacu pada FAO Fisheries Technical Paper 339, (1996) dan untuk lebih memperjelas, penulis juga mengutip dari Marine Fisheries By-catch and Discards, Published by Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002) berikut:
(1)
Dalam FAO Fisheries Technical Paper 339 (1996), didefinisikan: 1) Target Catch adalah hasil tangkapan yang terdiri dari satu atau sejumlah spesies yang merupakan sasaran tangkapan utama kegiatan penangkapan ikan. 2) Incidental Catch adalah tangkapan sampingan yang dimanfaatkan 3) Discarded Catch adalah tangkapan sampingan yang dikembalikan ke laut karena pertimbangan ekonomi, peraturan, atau pertimbangan pribadi. 4) By-catch, adalah discarded catch ditambah incidental catch.
(2)
Dalam Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002), didefinisikan: 1) By-catch, adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri dari organisme laut yang bukan merupakan target penangkapan utama. Termasuk di dalamnya organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap, meskipun tidak terangkat dari dalam laut.
Hasil
tangkapan sampingan yang terangkat ke atas kapal terdiri dari ikan-ikan yang disimpan atau dapat dimanfaatkan atau laku dijual dan ikan-ikan yang dibuang (discarded).
Hasil tangkapan sampingan
dapat terdiri
dari satu jenis atau beberapa jenis spesies yang berukuran kecil atau yang berukuran besar tapi bukan merupakan target tangkapan, maupun binatang atau organisme lainnya seperti burung laut, kura-kura, mamalia laut dan lain-lain. 2) Discards, adalah bagian dari hasil tangkapan yang tidak diinginkan karena berbagai alasan dan tidak dimanfaatkan, kemudian dibuang (disebut “Buangan”) kembali ke laut baik dalam keadaan hidup atau
7
mati. Buangan ini tidak termasuk bagian dari sisa hasil pengolahan terhadap hasil tangkapan yang dibuang ke laut, misalnya kepala ikan yang dipotong sebelum dimasukkan ke dalam kamar pendingin. 2.2
Dampak Negatif Hasil Tangkapan Sampingan Alverson et al. (1994) menjelaskan, hampir semua kegiatan perikanan
tangkap menghasilkan tangkapan sampingan.
Beberapa jenis alat tangkap
khususnya pukat udang (shrimp trawl), memberikan kontribusi hasil tangkapan sampingan
yang lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya. Kondisi ini
dikarenakan shrimp trawl menggunakan mata jaring di bagian kantong (cod-end) yang relatif kecil sehingga banyak jenis-jenis organisme laut lainnya ikut tertangkap termasuk ikan-ikan juvenil. Organisme-organisme lainnya dan ikanikan juvenil tersebut tidak termasuk kedalam tujuan penangkapan utama (nontargeted species). Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002), memberikan penjelasan, untuk mengantisipasi permasalahan hasil tangkapan sampingan
dan
buangan,
beberapa
negara
telah
menerapkan
aturan
penggunaan ukuran mata jaring (mesh size) yang lebih besar, dan berbagai jenis alat pemisah atau penyaring hasil tangkapan sampingan yang dipasang dibagian kantong jaring trawl. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi hasil tangkapan sampingan sebagaimana yang telah dianjurkan dalam kode tindak perikanan bertanggung jawab (code of conduct for responsible fisheries), butir 8.4 dan 8.5, yaitu meminimalkan buangan (discards) dan memaksimalkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan. Dijelaskan di dalam FAO Fisheries Technical Paper 339 (1996), pengaruh atau dampak negatif hasil tangkapan sampingan dan buangan bukan hanya terhadap komunitas dan habitat benthic serta dampak biologi dan ekologi, tetapi juga
dampak
ekonomi
yang
pada
gilirannya
dapat
mengimbas
pada
permasalahan sosial. Dampak negatif dari hasil tangkapan sampingan adalah sebagai berikut : (1)
Dampak Terhadap Komunitas dan Habitat Benthic.
Hasil tangkapan
sampingan dan buangan dapat mendorong perubahan struktur komunitas dasar laut (benthic).
Terlepas apakah perubahan habitat tersebut
disebabkan oleh alat tangkap pukat udang dasar (bottom shrimp trawl net), hasil tangkapan sampingan dan buangan mendorong terjadinya kematian.
8
Ketika spesies benthic yang bukan target tangkapan terangkat ke atas permukaan lalu dibuang kembali, sering sekali buangan tersebut dimakan oleh spesies predator yang ada di kolom dan dasar laut. Akibatnya struktur komunitas benthic menjadi berubah, komposisi struktur komunitas tersebut lebih banyak diisi oleh spesies predator, dan pemakan bangkai juga akan berdatangan. (2)
Dampak Terhadap Biologi dan Ekologi.
Hasil tangkapan sampingan
dan buangan juga memberikan kontribusi terhadap kondisi over fishing dan ketidak seimbangan ekosistem laut. Pengaruh biologi dan ekologi yang disebabkan oleh buangan bervariasi pada masing-masing spesies dan sangat tergantung terhadap jumlah hasil tangkapan sampingan, tingkat buangan yang mati dan yang hidup serta sifat-sifat populasi spesies tersebut. (3)
Dampak Terhadap Ekonomi. Hasil tangkapan sampingan dan buangan dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi.
Ikan-ikan yang dibuang
oleh kapal pukat udang adalah bukan merupakan target utama, tetapi ikan buangan tersebut adalah ikan bernilai ekonomis bagi nelayan lainnya, akibatnya mengurangi dan bahkan menghilangkan kesempatan bagi nelayan lain untuk memanfaatkan ikan yang bagi mereka bernilai ekonomis.
Bagi pengusaha pukat udang sesungguhnya juga terjadi
tambahan biaya dan waktu untuk penyortiran.
Disamping itu kerugian
ekonomi juga ditanggung oleh pemerintah karena harus mengeluarkan sejumlah dana untuk pengelolaan termasuk pengawasan hasil tangkapan sampingan dan buangan. 2.3
Alat Tangkap Pukat Udang Jaring trawl adalah alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk
seperti kantong atau kerucut.
Alat tangkap ini terdiri atas dua lembar sayap
(wing) yang dihubungkan dengan tali penarik (warp), badan (body) dan kantong (cod-end). Jaring ditarik secara horisontal di dalam air sehingga mulut jaring akan terbuka selama operasi penangkapan. Hal ini dilakukan agar ikan maupun udang yang menjadi tujuan penangkapan dapat tertangkap kemudian terkumpul di dalam kantong (Ayodhyoa, 1981). Untuk membuka mulut jaring secara vertikal maupun secara horisontal digunakan otter board dan pelampung dibagian atas mulut jaring.
Otter trawl diperkenalkan sejak tahun 1870 di Irlandia, nelayan
9
Inggris telah memakai alat tangkap ini di perairan Sungai Themmes (Nomura dan Yamazaki, 1977). Diniah (2001) menjelaskan, alat penangkap udang yang paling efektif saat ini masih diakui adalah trawl. Trawl dasar menurut Nedelec and Prado (1990) didefinisikan sebagai sebuah jaring yang mempunyai bentuk kerucut (coneshaped net), terdiri dari sayap (wing) yang membentuk mulut atau bukaan (opening) melebar ke depan, badan (body) yang berbentuk kerucut di tengah dan kantong (cod-end) yang tetutup di bagian belakang, ditarik dengan kecepatan dan selama waktu tertentu di sepanjang dasar perairan. Mulut jaring terbuka melebar (horizontal) oleh papan pembuka-siwakan (otter-boards) yang diikatkan pada sayap, sedangkan mulut jaring terbuka tegak (vertical) oleh pelampung yang diikatkan pada tali pelampung (float rope) di bagian atas dan pemberat pada tali pemberat (ground rope) di bagian bawah. Karena konstruksi dan cara penangkapannya, trawl merupakan alat tangkap yang tidak selektif, dimana saat jaring dioperasikan akan menelan semua benda yang dilewatinya. Pukat udang merupakan modifikasi dari trawl yang menurut Subani dan Barus (1988) didefinisikan sebagai alat penangkap ikan, udang dan biota lainnya yang terbuat dari jaring kantong besar, melebar, mulut jaring yang terbuka pada kedua sayap jaring yang terbaring di bagian depan pada masing-masing sisinya, meruncing pada akhir jaring dan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantong. Di antara badan jaring dan kantong (cod-end) terdapat by-catch excluder device (BED) yang digunakan untuk menyaring ikan-ikan masuk ke dalam kantong.
Sumber: Sainsburry (1986)
Gambar 1. Bagian bagian pukat udang
10
Pukat udang pada prinsipnya terdiri dari jaring, tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (ground rope), pelampung dan pemberat, otter board, tali penarik (warp), bridle line dan BED (lihat Gambar 1). (1)
Jaring, jaring pukat udang terbagi menjadi badan jaring (square, baitting dan belly), sayap (wing) dan kantong (cod-end). Ukuran mata jaring dari masing-masing bagian tersebut tidak sama. Mata jaring terkecil terdapat pada kantong dan terbesar pada bagian sayap.
Badan Jaring adalah
bagian tengah jaring, bagian badan jaring terbagi atas square, baiting dan belly. Square adalah bagian depan dari sisi atas badan pukat udang yang membuat mulut di sebelah atas lebih menjorok ke depan. Belly dan baiting adalah bagian tengah badan jaring dimana belly terletak di bawah sedangkan baitting di atas. 1) Sayap terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kanan dan kiri.
Masing-
masing bagian tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu atas dan bawah. Pada bagian atas dan bawah tersebut terdapat tali ris atas dan tali ris bawah.
Pada tali ris atas dipasang pelampung (float) agar sayap
bagian atas terangkat pada saat jaring dioperasikan. Ujung tali ris atas dan bawah dihubungkan dengan otter board. Ujung sayap bagian atas belakang dihubungkan dengan square, sedangkan ujung sayap belakang bawah dihubungkan dengan belly. 2) Kantong adalah bagian paling belakang jaring. Kantong merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan.
Kantong ini memiliki ukuran
mata jaring kecil dimaksudkan agar ikan hasil tangkapan tidak terlepas kembali dan juga agar lebih kuat menahan tekanan yang besar sehingga tidak mudah rusak. (2)
Tali ris atas (head rope) dan ris bawah (ground rope), yang dimaksud dengan tali ris atas adalah tali yang dipasang dari ujung sayap kiri sampai ujung sayap kanan, dengan melalui bossom sebagai bagian yang terletak di antara kedua sayap tersebut. Pada ris atas ditempatkan pelampung yang daya apungnya lebih besar dari pada bagian yang lain. Tali ris bawah adalah tali yang dipasang dari ujung sayap kiri hingga ujung sayap kanan. Tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas sehingga pada waktu jaring dioperasikan tetap tali ris bawah agak ke belakang. Pada tali ris bawah ditempatkan pemberat (sinker).
11
(3)
Pelampung dan pemberat, fungsi dari pelampung dan pemberat ini adalah untuk membantu terbukanya mulut jaring secara vertikal.
Pelampung
menarik atau mengangkat tali ris atas sedangkan pemberat menarik jaring agar turun ke dasar perairan sesuai yang diinginkan. Pelampung biasanya terbuat dari logam, kaca tebal, plastik, kayu dan gabus. (4)
Otter board, otter board berfungsi untuk membuka mulut jaring secara horizontal.
Bentuk otter board bermacam-macam dan banyak yang
digunakan adalah tipe rectanguler. (5)
Tali penarik (warp), tali ini merupakan tali yang digunakan untuk menarik jaring yang menghubungkan otter board bagian depan winch di kapal. Tali penarik ini biasanya terbuat dari serat-serat baja yang berbentuk cabled yarn.
Adapun maksud menggunakan tali dari baja adalah untuk menahan
tegangan yang besar pada saat penarikan jaring sehingga tidak mudah terputus. (6)
Bridle line, merupakan tali yang menghubungkan otter board dengan jaring. Dengan adanya bridle line ini mulut jaring akan terbuka lebar. Selain itu juga, bridle line berfungsi sebagai penggiring ikan atau udang.
(7)
AIat pereduksi ikan, alat pereduksi ikan (API) merupakan alat yang wajib dipasang pada pukat udang. API biasa disebut juga BED yang awalnya ditujukan untuk meloloskan penyu yang tertangkap trawl, sehinga disebut turtel excluder devices (TED). Alat ini ditemukan dan dikembangkan oleh NMFS-NOOA-USA sekitar tahun 1980-an. Sejak ditemukannya, alat ini telah mengalami perubahan konstruksi secara terus menerus, hingga saat ini yang direkomendasikan adalah BED type super shooter yang mempunyai konstruksi lebih simpel dan mempunyai performansi lebih baik didalam
mereduksi
hasil
tangkapan
sampingan
dibanding
yang
diperkenalkan sebelumnya. Gambar 2. (a) menyajikan gambar TED dan (b) BED yang saat ini banyak di pasang pada jaring pukat udang.
12
(a)
(b)
Sumber: NOAA Library Centre (2004).
Gambar 2. (a) Turtle excluder device, (b) By-catch excluder device
.
(b)
(a)
(c)
Sumber: NOAA Library Centre (2004)
Gambar 3. Pukat udang sedang hauling, hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan dan proses pemisahan 2.4
Pengelolaan Sumberdaya Ikan Nikijuluw (2002) mengemukakan bahwa, sumberdaya perikanan harus
dikelola atau ditata karena sumberdaya itu sangat sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia.
Apapun cara atau pendekatan yang dilakukan manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya jika pemanfaatan itu dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya akan mengalami tekanan secara ekologi, bahkan dapat
13
menyebabkan kerusakan permanen.
Oleh sebab itu pengelolaan atau dalam
terminologi yang lebih umum disebut dengan manajemen sumberdaya perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan perikanan dapat tercapai. Dilanjutkan oleh Nikijuluw (2002), setiap negara menetapkan tujuan dan prioritas pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbeda-beda tergantung pada latar belakang ekonomi, sosial budaya, teknologi dan tidak jarang karena politik. Indonesia menempatkan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam visi “Mewujudkan usaha perikanan produktif dan efisien berdasarkan pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab”. Code
of
Conduct
merekomendasikan
agar
for
Responsible
pendekatan
Fisheries
pengelolaan
(CCRF)
sumberdaya
article
7,
perikanan
diarahkan untuk menjadi solusi permasalahan-permasalahan sebagai berikut: (1)
kelebihan kapasitas penangkapan ikan,
(2)
ketidak-seimbangan
antara
kepentingan
berbagai
pihak
dalam
memanfaatkan sumberdaya, (3)
kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu dan turunnya keanekaragaman hayati, serta
(4)
kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan yang diakibatkan oleh polusi, sampah dan buangan ikan-ikan yang tidak ekonomis padahal penting nilai biologinya. CCRF juga menyarankan agar setiap negara mempromosikan kegiatan
pengelolaan sumberdaya ikan menjamin pendekatan dan kebijakan setiap negara didukung hukum dan undang-undang yang secara baik didesiminasikan kepada masyarakat.
2.5 Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang Slavin (1981) menjelaskan, pengelolaan hasil tangkapan sampingan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan struktur kegiatan perikanan tangkap setempat serta kemampuan industri pengolahan ikan dalam menciptakan dan mengembangkan produk perikanan yang sesuai dengan permintaan pasar. Menurut Alverson et al. (1994), jumlah hasil tangkapan sampingan dan perbandingan hasil tangkapan sampingan dengan target utama udang sangat tergantung pada geografi, wilayah penangkapan dan musim, untuk lebih memudahkan perhitungan digunakan perbandingan antara hasil tangkapan
14
sampingan dan target utama udang di daerah sub-tropis adalah 5 : 1 dan di daerah tropis adalah 10 : 1, yang terdiri dari bermacam-macam spesies maupun ukuran. Ikan-ikan besar pada umumnya banyak diminati dan harganya relatif tinggi, sedangkan ikan-ikan kecil, berduri kurang banyak diminati dan bernilai ekonomi rendah. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengelola ikan hasil tangkapan sampingan secara efisien dan ekonomis agar tidak terbuang siasia. Slavin (1981) dalam Report of a Technical Consultation on Shrimp Bycatch Utilization di Georgetown, Guyana, tahun 1981, menjelaskan pengelolaan hasil tangkapan sampingan di Meksiko.
Di Meksiko, kapal pukat udang
dilengkapi dengan fasilitas untuk pengawetan seperti fasilitas pembekuan yang mampu menjaga kondisi kesegaran ikan sampai 2 bulan, dan ada yang hanya menggunakan es ataupun refrigerator yang mampu menahan kesegaran ikan sampai 2 minggu. Perbandingan antara hasil tangkapan sampingan dan udang di Meksiko adalah 5 – 10 ton hasil tangkapan sampingan untuk setiap ton udang, dan setiap tahun sebanyak 700x103 ton ikan hasil tangkapan sampingan dihasilkan dari pengoperasian pukat udang. Jumlah ini setara dengan setengah dari seluruh produksi perikanan tangkap Meksiko. Pemerintah Meksiko, melalui Departemen Perikanan memiliki program untuk menganjurkan dan mendorong agar ikan hasil tangkapan sampingan dibawa ke darat dan dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk konsumsi pangan.
Pada tahun 1980, telah diawali dengan membangun suatu fasilitas
pengolahan skala proyek percontohan (pilot project) dengan nama Productos Pesqueros Mexicanos (PPM) di Xochimilco yang memproduksi ikan lumat yang disebut dengan Pepepez. Spesies ikan-ikan besar dari ikan hasil tangkapan sampingan disalurkan ke pabrik pengolahan PPM yang berada di pelabuhan pendaratan utama, di wilayah Guaymas dan Campeche.
Sementara itu ikan-ikan kecil belum dimanfaatkan
seluruhnya dan sebagian dibuang ke laut (discarded).
Ikan-ikan yang
dimanfaatkan ditangani dengan berbagai cara, ada yang dibekukan langsung di atas kapal, ada yang dipaket dengan es, selanjutnya dibawa dan didaratkan bersama udang (tangkapan utama), dan ada yang didaratkan sebagai ikan segar untuk pangan.
15
Dikutip dari Productos Pesqueros Mexicanos (1981), pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Meksiko sudah menjadi industri. Jenis produkpun terus dikembangkan, selain memproduksi pepepez, khusus untuk kebutuhan pangan lokal PPM memproduksi ikan tanpa tulang (deboned fish), ikan kering dan daging ikan lumat asin (salted mince). Disamping itu juga diproduksi ikan kaleng, kue ikan dan snack ikan. Pemerintah Meksiko terus membantu dan mengembangkan pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, dengan membangun fasilitas-fasilitas pengolahan serta memberikan insentif serta kemudahan kepada pengusaha dan ABK kapal pukat udang. Saisithi (1981) menjelaskan, negara Thailand telah lama memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan, yaitu sejak dideklarasikannya Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil (ZEE), berawal dari deklarasi tersebut operasi armada-armada perikanan Thailand di perairan negara tetangga menjadi dibatasi. Untuk tetap dapat
memenuhi
permintaan
pasar
industri
pengolahan
ikan,
Thailand
meningkatkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan dari perikanan pukat udang khususnya untuk konsumsi manusia. Kungsuwan (1996) mengemukakan bahwa, di Gulf of Thailand hasil tangkapan pukat udang dikumpulkan oleh kapal pengumpul di laut. Pengusaha penangkapan udang mengatur jadwal dan lokasi pertemuan antara kapal penangkap dan pengumpul. Disamping mengumpulkan hasil tangkapan, kapal pengumpul juga membawa perbekalan dan es untuk diserahkan kepada kapalkapal pukat udang yang berada di laut lebih lama.
Hasil tangkapan utama
udang dipindahkan ke kapal pengumpul, bila masih tersedia ruang maka ikan hasil tangkapan sampingan juga dipindahkan dan dibawa ke darat untuk dipasarkan. Bostock dan Ryder (1995) menjelaskan kondisi perikanan pukat udang di pantai timur India.
Sejumlah kapal pukat udang dengan berbagai ukuran
beroperasi di wilayah penangkapan yang berbeda-beda di Teluk Benggala, itu berarti untuk mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan diperlukan fasilitas preservasi di atas kapal.
Ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang besar dan
berkualitas dikumpulkan dan dibekukan bersama-sama tangkapan utama, sementara hasil tangkapan sampingan yang terdiri dari bermacam-macam ikan kecil umumnya dibuang ke laut, hanya diakhir waktu melaut sebagian ikan-ikan kecil dipilih dan didaratkan. Kapal pukat udang di India mayoritas dimiliki oleh badan usaha milik pemerintah. Pemasaran dan penjualan ikan hasil tangkapan
16
sampingan dilakukan bekerjasama dengan koperasi-koperasi dan koperasilah yang menampung dan menjual ikan hasil tangkapan sampingan ke pasaran. Allsopp (1981) menerangkan, penanganan dan preservasi di atas kapal merupakan hal yang paling kritis diantara permasalahan penanganan ikan hasil tangkapan sampingan. Volume ikan hasil tangkapan sampingan, variasi spesies dan ikan-ikan bernilai ekonomi rendah merupakan kombinasi yang menyebabkan pengumpulan
ikan
menguntungkan.
hasil
tangkapan
sampingan
di
laut
menjadi
tidak
Selama belum ditemukan jalan keluar bagi permasalahan
keekonomisan dan efesiensi operasional pukat udang maka ikan hasil tangkapan sampingan tetap tidak menarik untuk dikelola secara komersial. Allsopp
(1981)
melanjutkan,
penelitian
tentang
pengelolaan
hasil
tangkapan sampingan secara ekonomis terus dilaksanakan, menggunakan BED untuk mengurangi jumlah hasil tangkapan sampingan yang dinaikkan ke atas kapal maupun membawa ikan hasil tangkapan sampingan ke darat dan memanfaatkannya.
Bila pilihan adalah tidak mengurangi hasil tangkapan
sampingan (tidak menggunakan BED), maka penyortiran hasil tangkapan sampingan dilakukan diatas kapal, selanjutnya mengolah ikan-ikan berkualitas di atas kapal atau didaratkan meggunakan kapal pengumpul ataupun didaratkan bersama-sama tangkapan utama udang. Dalam Report of Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization , Guyana (Allsopp, 1981), Allsopp menjelaskan tentang beberapa negara yang mengoperasikan pukat udang dan mengelola hasil tangkapan sampingan secara komersial sebagai berikut: Penangkapan udang di North Sea, pemisahan hasil tangkapan sampingan dilakukan di atas kapal menggunakan alat rotating shieve drum, ikan-ikan dipisahkan berdasarkan bentuk dan ukurannya. Dengan alat ini sangat memudahkan ABK dalam penyortiran dan penyimpanan.
Di Baja California
Mexico, penyortiran dilakukan oleh ABK, ruang palka dan ruang pendingin disediakan cukup luas. Cara ini tentunya memerlukan jumlah ABK lebih banyak dan biaya operasi lebih besar, tetapi paling tidak ikan hasil tangkapan sampingan yang didaratkan lebih banyak. Di Suriname dan Mozambique, hasil tangkapan sampingan dibuang ke laut, hanya pada hari-hari terakhir kegiatan penangkapan hasil tangkapan sampingan disortir dan ikan ikan bernilai ekonomis dibawa ke darat. Di Sri Langka dan Malaysia pada umumnya waktu melaut lebih singkat. Hasil tangkapan sampingan ditampung di dalam kantong-kantong jaring yang
17
terbuat dari bahan nylon.
Kantong-kantong yang berisi ikan hasil tangkapan
sampingan dikaitkan dikapal selanjutnya dibawa ke darat dan penyortiran dilakukan di darat yang selanjutnya dipasarkan di pasar tradisional ataupun untuk industri. Menurut Allsopp (1981), sesungguhnya belum ada metode yang baku ataupun desain standar untuk menangani hasil tangkapan sampingan di laut, karena masing-masing tempat penangkapan memiliki karakteristik dan struktur perikanan yang berbeda-beda, ada yang menggunakan alat mekanis untuk penyortiran, ada yang menyediakan volume palka dan ruang pendingin yang lebih besar dan ada yang memanfaatkan hanya sebagaian ikan hasil tangkapan sampingan, oleh sebab itu dengan mengkombinasikan contoh-contoh di atas diharapkan diperoleh metode yang paling sesuai untuk menangani hasil tangkapan sampingan di laut.
2.6
Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Nikijuluw (2002) mengemukakan, perikanan adalah suatu kegiatan
ekonomi, masalah perikanan adalah masalah manusia yang merupakan sentral kegiatan ekonomi.
Oleh karena itu tujuan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan harus didasarkan pada memaksimumkan manfaat ekonomi dan sosial. Menurut Allsopp (1981) hambatan utama dalam upaya pengelolaan HTS agar dapat didaratkan dan dimanfaatkan adalah keuntungan yang tidak menjanjikan bagi pengusaha kapal dan pengusaha pengolahan.
Untuk dapat
mengelola ikan yang berasal dari hasil tangkapan sampingan secara ekonomis, pengusaha penangkapan dan industri pengolahan harus dapat bekerja-sama dalam mendaratkan dan mengolah ikan hasil tangkapan sampingan menjadi produk yang laku dipasar dengan harga kompetitif, disamping itu untuk menjaga kelangsungan pasokan bahan baku, maka harga ikan hasil tangkapan sampingan harus menarik bagi pengusaha dan ABK kapal pukat udang. Tentunya tidak mudah mencapai kondisi tersebut, karena di satu sisi harga produk olahan harus “murah” (competitive) di sisi lainnya harga ikan hasil tangkapan sampingan harus “mahal” (attractive), oleh sebab itu kepedulian dan intervensi pemerintah terhadap pengelolaan hasil tangkapan sampingan sangat diperlukan seperti membuat peraturan dan pemberian subsidi atau kemudahankemudahan yang diperlukan.
18
Lanjut Allsopp (1981), oleh sebab itu mengelola ikan dari hasil tangkapan sampingan perlu dilakukan secara bertahap melalui proyek percontohan (pilot project). Penanganan dan preservasi di atas kapal, transportasi dari kapal ke darat, pengolahan dan preservasi di darat, studi pasar dan promosi serta pengembangan produk-produk komersial dilakukan dalam skala percontohan. Setelah sukses dengan skala percontohan, selanjutnya dapat dikembangkan menjadi skala industri.
2.7
Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu alat analisis dalam
pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel. Metode ini berdasarkan pada pengalaman dan penilaian dari pelaku atau pengambil keputusan. Metode yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dua puluh tahun yang lalu, terutama sekali membantu mengambil keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan. Saaty menjelaskan (1993), AHP banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumber daya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi atau keadaan yang dimiliki pelaku dalam situasi konflik. Desain AHP pada dasarnya untuk menangkap persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang disusun untuk sampai kepada suatu skala preferensi di antara berbagai set alternatif. Dengan demikian dapat dianggap sebagai model multi objektif dan multi kriteria. Untuk menggunakan alat analisis ini, suatu masalah yang rumit dan tak berstruktur perlu terlebih dahulu dipecah ke dalam berbagai komponennya. Setelah menyusun komponen-komponen ini ke dalam sebuah urutan hierarki, maka diberikan nilai dalam bentuk angka pada setiap bagian yang menunjukkan penilaian terhadap relatif pentingnya setiap bagian itu. Untuk sampai kepada hasil akhir, penilaian tersebut disintesiskan (melalui penggunaan eigen vektor) guna menentukan variabel mana yang mempunyai prioritas tertinggi. Dalam penyelesaian persoalan dengan menggunakan AHP menurut Saaty (1993) terdapat tiga prinsip dasar yaitu : (1) prinsip penyusunan hierarki, (2) prinsip penentuan prioritas, dan (3) prinsip konsistensi logis.
19
Selanjutnya Mulyono (1996) menjelaskan bahwa dalam menyelesaikan persoalan AHP ada beberapa prinsip yang harus dipahami, diantaranya adalah : (1)
Decomposition (dekomposisi), merupakan langkah untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur yang tidak mungkin diuraikan lagi. Akhirnya akan diperoleh beberapa tingkatan persoalan yang disusun terstruktur sebagai suatu hierarki.
(2)
Comparative
judgement
(perbandingan
berpasangan),
melakukan
perbandingan kepentingan relatif antar dua elemen pada tingkat tertentu dengan tingkat di atasnya. (3)
Synthesis of priority (sintesa dan prioritas), merupakan langkah untuk mencari vector eigen pada setiap matrik berpasangan untuk mendapatkan nilai prioritas lokal. Berdasarkan nilai prioritas lokal dari berbagai matrik perbandingan berpasangan itu akan dapat diperoleh nilai prioritas global. Dengan demikian prosedur menentukan sintesis berbeda menurut hierarki.
(4)
Logical consistency (konsistensi), mengandung dua arti, yaitu : pertama konsistensi yang menyangkut pengelompokan obyek-obyek berdasarkan keseragaman dan relevansinya. Kedua, menyangkut hubungan antar obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Jika penilaian tidak konsisten maka proses harus diulang untuk memperoleh nilai yang tepat. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty (Saaty, 1993) mulai dari bobot
1 (satu) sampai 9 (sembilan). Nilai bobot satu menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya satu, sedangkan nilai bobot
sembilan
menggambarkan
kasus
atribut
yang
penting
absolut
dibandingkan lainnya. Tabel 1 dibawah ini menyajikan skala banding secara berpasangan. Tabel 1. Skala banding secara berpasangan (Saaty, 1993) Intensitas Pentingnya
Definisi
Penjelasan
1
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen menyumbangnya sama besar pada sifat itu
3
Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan penting ketimbang yang lainnya sedikit menyokong satu elemen atas yang lainnya
5
Elemen yang satu esensial atau sangat penting ketimbang elemen yang lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat dari elemen yang lainnya disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktik
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya
20
Intensitas Pentingnya
Definisi
9
Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen lainnya
2, 4, 6, 8 Kebalikan
Penjelasan
Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan ter tinggi yang mungkin menguat Nilai-nilai antara di antara dua Kompromi diperlukan antara dua pertimbanagan yang berdekatan pertimbangan Jika untuk aktivitas i mendapat angka 1 bila dibanding aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
Menurut Saaty (1993) beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah : (1)
AHP memberikan suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan yang tak terstruktur.
(2)
AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
(3)
AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
(4)
AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
(5)
AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.
(6)
AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
(7)
AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.
(8)
AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.
(9)
AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda.
(10) AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.
21
2.8
Analisis SWOT Analisis SWOT (strength, weakness, opportunity and threat) adalah
identifikasi secara sistematik atas kekuatan dan kelemahan dari faktor internal serta kesempatan dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapkan suatu sektor (Rangkuti, 2000). Analisis SWOT digunakan untuk menentukan prioritas strategi alternatif yang paling tepat dilaksanakan pada pelaksanaan suatu kebijakan seperti kebijakan dalam pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength)
dan
peluang
(opportunity)
namun
secara
bersamaan
meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat).
dapat
Berdasarkan
pengaruhnya terhadap pencapaian suatu tujuan, strength dan opportunity merupakan faktor pendorong (positif) sedangkan weakness dan threat adalah faktor penghambat (negatif). Analisis SWOT diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor kekuatan dan kelemahan internal sistem, serta faktor-faktor peluang dan ancaman eksternal sistem. Selanjutnya faktor-faktor tersebut dikombinasikan dalam sebuah matriks SWOT.
Analisis matrik akan menghasilkan prioritas strategi berdasarkan
kekuatan, kelamahan, peluang dan ancaman yang ada. Tabel 2. Matriks SWOT Internal
Strength (kekuatan)
Weakness (kelemahan)
Opportunity (kesempatan)
Strategi SO
Strategi WO
Threat (ancaman)
Strategi ST
Strategi WT
Eksternal
Sumber: Rangkuti (2000)
Matriks SWOT dapat menghasilkan 4 kemungkinan strategi, yaitu: 1. Strategi SO (Strength- Opportunity) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil peluang yang ada. 2. Strategi ST (Strength-Threat) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi. 3. Strategi WO (Weakness-Opportunity) yaitu berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari peluang yang ada dengan mengatasi kelemahan yang ada 4. Strategi WT (Weakness-Threat) yaitu berusaha meminimumkan kelamahan dan menghindari ancaman yang ada
3 METODOLOGI 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian dimulai pada bulan Juni 2006 yaitu mulai dari studi
literatur serta persiapan pelaksanaan penelitian lapangan. Pengumpulan data lapangan dilaksanakan selama empat bulan, mulai Agustus 2004 sampai dengan November 2004. Penelitian lapangan dilakukan di Laut Arafura yang menjadi wewenang Pemerintah Provinsi Papua berdasarkan Undang-undang Otonomi Daerah, Nomor 21, tahun 1999, di perairan sepanjang pantai sebelah selatan Papua, serta sentra-sentra perikanan yang berada di sekitar Laut Arafura, meliputi Merauke, Mimika, Kaimana dan Sorong.
3.2
Ruang Lingkup Penelitian Penentuan obyek dalam penelitian ini dilandasi oleh pertimbangan utama
yaitu teknis operasional dimana kemungkinan untuk dapat mengakses data dan mengkaji lebih mendalam dipastikan dapat dilakukan.
Dengan pertimbangan
tersebut, selanjutnya pelaksanaan penelitian diarahkan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, yaitu isu tentang permasalahan perikanan pukat udang di Laut Arafura, Provinsi Papua. Tahap pertama pelaksanaan penelitian mulai dari mengidentifikasi dan mengkuantifikasi ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang untuk mengetahui potensi ikan hasil tangkapan sampingan yang selama ini menjadi permasalahan. Tahap
kedua,
melakukan
analisis
terhadap
sistem
pengelolaan
yang
dilaksanakan saat ini yang menyebabkan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang tidak optimal. Tahap ketiga menyusun alternatif konsep dan strategi pengelolaan yang dianggap paling optimal bagi pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura.
Pada tahap ketiga ini akan dibuat
suatu perencanaan mata rantai pengelolaan dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya (potensi ikan hasil tangkapan sampingan saat ini dan masa
mendatang,
teknologi,
tenaga
kerja),
ke-ekonomisan,
konservasi,
kebijakan yang ada, dan keinginan para stakeholder.
3.3
Metode Penelitian Agar penelitian fokus pada tujuan dan untuk memperoleh hasil penelitian
sesuai yang diharapkan, maka dibuat kerangka pendekatan penelitian yang
23
t terstruktur seperti s diperrlihatkan pad da Gambar 4. Dalam kkerangka pe enelitian ini m mencermink kan tahapan kegiatan ya ang telah dila alui dan dilakkukan.
Gam mbar 4. Kerangka kegiatan penelitiian
24
Untuk menentukan satu model pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan yang paling optimal, digunakan metode analytical hierarchy process (AHP) dan untuk menyusun strategi pelaksanaanya menggunakan analisis SWOT. Aliran proses kegiatan penyusunan konsep dan strategi pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang dalam kasus di Laut Arafura, Provinsi Papua ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5.
Aliran proses kegiatan penyusunan konsep dan strategi pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang, kasus di Laut Arafura, Provinsi Papua.
25
3.4
Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang cukup dan akurat, dilakukan pendekatan
dengan metode survei dengan data obyek penelitian yaitu; fakta, proses, histori, persepsi tentang perikanan pukat udang, potensi ikan hasil tangkapan sampingan, infrastruktur, hukum dan kelembagaan, mekanisme serta sumber daya manusia dalam pengelolaan perikanan pukat udang di Laut Arafura. 3.4.1 Pengumpulan data dan informasi pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan Kebutuhan data untuk bahan analisis dalam penyusunan alternatif pengelolaan diperoleh melalui kuesioner, wawancara, pertemuan dan diskusi dengan para stakeholder.
Para stakeholder tersebut adalah responden yang
mewakili pihak pemerintah atau regulator yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, sebagian Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten yang ada di Papua dan Departemen Kelautan dan Perikanan, mewakili pengusaha atau operator yaitu pengusaha perikanan pukat udang serta asosiasinya (HPPI) dan mewakili pemerhati perikanan pukat udang yaitu dari Akademi Perikanan Sorong. Tabel 3. menyajikan daftar nama instansi dan jabatan responden yang disurvei. Tabel 3. Daftar responden No.
Nama
Instansi
Jabatan
1
Ir. Astiler Maharaja
Dinas Kanla Provinsi Papua
Kepala Dinas
2
Ngatno Handoko, BE
Dinas Kanla Kabupaten Merauke
Kasubdin Prod. Perikanan
3
Benhur Okoseray, S.ST.Pi
Dinas Pertanian Kabupaten Kaimana
Kasubdin Kanla
4
Ir. Joko Martoyo, MM
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
Kasubdit Pengawasan SDI
5
Hadi Darsuki
PT. Bintuni Mina Raya
Manejer
6
Mahditiara Artini
CV. Bintang Mas
Kepala Kantor Sorong
7
Achmad Kassim
KM. Kurnia 11 – Jkt
Nahoda
8
Bambang Wasito
HPPI Perwakilan Sorong
Ketua
9
Inda Lusiana, S.Pi.
HPPI Pusat – Jkt
Wakil Sekjen
10
Ir. Zulkifli Bugis
Akademi Perikanan Sorong
Dosen
26
Prosedur
penelitian
dimulai
dengan
melakukan
identifikasi
dan
inventarisasi berbagai produk kebijakan yang diberlakukan dalam mendukung pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan. Hasil identifikasi digunakan untuk melakukan analisis dan penilaian apakah kebijakan atau produk hukum yang ada dapat mendukung pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan secara optimal. Dalam penelitian kualitatif terdapat tiga metode pengumpulan data yang bersifat fundamental dan sering digunakan bersama-sama (Mulyana, 2002), yaitu: (1)
Pengamatan berperan serta Pengamatan berperan serta adalah pengamatan yang dilakukan sambil sedikit banyak berperan serta dalam kehidupan orang yang sedang diteliti. Pengamat terlibat mengikuti orang-orang yang diteliti, melihat apa yang mereka lakukan, kapan, dengan siapa, dalam keadaan apa dan tindakan mereka.
(2)
Wawancara mendalam Wawancara adalah bentuk komunikasi, dimana seseorang yang ingin memperoleh
informasi
pertanyaan-pertanyaan,
dari
seorang
berdasarkan
lainnya tujuan
dengan
mengajukan
tertentu.
Wawancara
mendalam sering disebut sebagai wawancara tak terstruktur atau wawancara terbuka, dimana susunan pertanyaan dan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara. (3)
Analisis dokumen Pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam (termasuk wawancara sejarah) dapat pula dilengkapi dengan analisis dokumen seperti otobiografi, memoar, catatan harian, surat-surat keputusan, catatan pengadilan, berita koran, artikel majalah, brosur, buletin dan foto-foto.
(4)
Focus Group Discussion (FGD) Selain beberapa metode pengumpulan data di atas untuk mendukung agar data yang diperlukan dapat dikumpulkan lebih sempurna sehingga hasil akhir penelitian mampu menyajikan informasi yang valid dan reliable, maka juga digunakan teknik FGD. Teknik ini digunakan untuk mengungkapkan pemaknaan dari suatu kelompok atau komunitas tertentu berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu, FGD juga
27
dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti. 3.4.2
Pengumpulan data potensi hasil tangkapan sampingan Untuk mengetahui potensi ikan hasil tangkapan sampingan, dilakukan
kegiatan identifikasi dan kuantifikasi melalui data sekunder yang tersedia, studi literatur dan observasi langsung di Laut Arafura dengan mengikuti kapal penelitian
(on
board).
Observasi
langsung
telah
dilaksanakan
untuk
mengidentifikasi spesies, menghitung volume serta mengestimasi potensi hasil tangkapan sampingan termasuk spesies dan jumlah ikan hasil tangkapan sampingan yang dimanfaatkan maupun yang dibuang sebagai discrards. Secara umum data yang telah dikumpulkan dari data sekunder, studi literatur dan observasi langsung meliputi : (1)
Jenis spesies dan volume ikan hasil tangkapan sampingan;
(2)
Estimasi potensi dan komposisi ikan hasil tangkapan sampingan yang dominan;
(3)
Jenis dan estimasi ikan hasil tangkapan sampingan yang dapat dimanfaatkan;
(4)
Jenis dan estimasi hasil tangkapan yang tidak dapat dimanfaatkan (dibuang ke laut); dan
(5)
Persentase jumlah ikan hasil tangkapan sampingan yang dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan.
3.5 Analisis Data Dalam penelitian ini terdapat beberapa analisis, tetapi menganalisis selengkap mungkin data relevan yang diperoleh di lapangan merupakan keharusan agar tujuan yang telah dirumuskan dapat mendekati keberhasilan. Karena penelitian ini berpijak pada realitas atau peristiwa yang sebenarnya berlangsung di lapangan, data dan informasi tentang pengelolaan hasil tangkapan sampingan diperoleh dari berbagai pihak yang tentunya mengandung kepentingan berbeda-beda yang menyebabkan permasalahan pengelolaan hasil tangkapan sampingan menjadi kompleks. AHP adalah suatu proses ”rasionalitas sistemik”,
metode analisis ini
merupakan suatu pendekatan sebuah hierarki fungsional dengan input utama persepsi orang.
Hierarki suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur
dipecahkan ke dalam kelompok-kelompok berjenjang yang membentuk hierarki sehingga lebih sederhana.
Pada penelitian ini
metode AHP menjadi pilihan
28
penulis untuk menganalisis sistem pengelolaan hasil tangkapan sampingan dalam rangka menyusun konsep pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura, Provinsi Papua.
Pilihan tersebut berdasarkan
pertimbangan bahwa pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura adalah permasalahan yang kompleks dan konsep pengelolaan hasil tangkapan sampingan adalah suatu proses pengambilan keputusan yang pada dasarnya adalah memilih suatu alternatif. 3.5.1 Analisis data potensi hasil tangkapan sampingan Jenis ikan hasil tangkapan sampingan akan diidentifikasi spesies maupun jumlahnya. Selanjutnya dibagi dalam dua kelompok utama yaitu jenis hasil tangkapan sampingan yang dimanfaatkan dan yang tidak dimanfaatkan (discards). Dari kelompok ikan hasil tangkapan sampingan yang dimanfaatkan dipilah-pilah
berdasarkan
tingkat
keekonomisan
dan
pemanfaatannya.
Selanjutnya hasil pemilahan ditabulasikan untuk digunakan dalam analisis pengelolaan 3.5.2 Analisis sistem pengelolaan hasil tangkapan sampingan Dalam analisis ini ditentukan alternatif pola dan model pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang dari armada penangkapan pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura.
Dari beberapa alternatif yang ada, dengan
menggunakan metode AHP akan ditentukan prioritas pola dan model yang paling optimal dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Menggunakan AHP dimulai dengan menata elemen-elemen persoalan dalam bentuk hierarki, membuat pembandingan berpasangan antar elemen, selanjutnya dari perbandingan akan menghasilkan prioritas, setelah melalui sintesis maka diperoleh prioritas menyeluruh dan pada akhir kajian, diukur konsistensi dan penyelesaian elemen-elemen yang interdependensi. Adapun tahapan proses analisisnya penulis lakukan sebagai berikut: (1)
Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang paling optimal.
(2)
Menyusun struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan yang paling bawah.
(3)
Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya. Perbandingan berdasarkan persepsi dan
29
judgem ment dari stakeholder, s dengan menilai m tingkkat kepentingan satu elemen n dibandingk kan dengan elemen lain nnya. ( (4)
Melaku ukan perban ndingan berp pasangan.
( (5)
Mengh hitung matrikks pendapatt individu dan gabungan n, mengolah horizontal, vektor prioritas attau vektor ciri c (eigen vector), v aka ar ciri atau nilai eigen (eigen
value)
konsistensinya.
maksimum, m
mengolah
vertikal
d dan
mengu uji
indeks
Jika tidak kkonsisten, maka m penga ambilan datta diulangi
dengan cara melakukan revisi pendapat. ar langkah--langkah, susunan s ele emen dan Berikut ini disajikan gamba h hierarkis AH HP. Hasil prroses pertam ma, berupa pilihan p kebija akan pengelolaan hasil t tangkapan s sampingan p pukat udang g diperlihatka an pada Ga ambar 6.
S Selanjutnya
s suatu prose es balik diilakukan un ntuk menen ntukan mod del pengelo olaan hasil t tangkapan sampingan pukat uda ang.
Hasiil proses p proses balikk tersebut
d diperlihatkan n pada Gam mbar 7.
Gambarr 6. Hierarkki menentuka an kebijakan n pengelolaa an hasil tang gkapan sampin ngan pukat u udang
30
G Gambar 7.
Hierarki menentukan m n model pengelolaan p pukat udang g di
Laut
Arafura ntukan priorritas dan m membuat matrik perbandingan be erpasangan Menen ( (mensintesis s), menggam mbarkan kon ntribusi atau pengaruh setiap elemen terhadap m masing-mas sing tujuan dan d kriteria yang y setingkat di atasnya. Prosess ini adalah u untuk membuat data kualitatif m menjadi kuan ntitatif.
La angkah pertama yang
d dilakukan d dalam men nentukan prrioritas yaittu elemen-e elemen dib bandingkan b berpasanga n terhadap suatu kriterria yang dite entukan. Pe erbandingan n dilakukan b berdasarkan n persepsi dan judgem ment orang yang mem miliki kompettensi yang m memberikan n penilaian tingkat t kepe entingan sua atu elemen dengan ele emen yang l lainnya. Pen nilaian dilaku ukan dengan n pembobotan berpasan ngan yang dimulai d dari t tingkat tertin nggi sampaii yang teren ndah. Tekn nis penilaian n dilaksanakkan melalui k kuesioner
maupun
wawancara w
dengan
pihak-pihak
yang
te erkait
dan
b berkepenting gan serta memahami m pe ermasalahan n ikan hasil tangkapan sampingan s d Laut Ara di afura.
Matrriks perband dingan elem men-elemen antara pela aku dalam
m menentukan n kebijakan disajikan p pada Tabell 4, serta matriks perrbandingan e elemen-elem men Pelaku dalam menentukan alte ernatif penge elolaan disa ajikan pada T Tabel 5.
31
Tabel 4. Matriks perbandingan elemen-elemen antara pelaku dalam menentukan alternatif kebijakan dengan kriteria1-n Kriteria 1 – n (n>1)
Pelaku 1
Pelaku 2
Pelaku 3
Pelaku 1
1
P11-n/P21-n
P11-n/P31-n
Pelaku 2
P21-n/P11-n
1
P21-n / P31-n
Pelaku 3
P31-n/P11-n
P31-n/P21-n
1
Tabel 5. Matriks perbandingan elemen-elemen antara pelaku dalam menentukan alternatif pengelolaan dengan kriteria1-n Kriteria 1 – n (n>1)
Pelaku 1
Pelaku2
Pelaku 3
Pelaku 4
Pelaku 1
1
P11-n/P21-n
P11-n/P31-n
P11-n/P41-n
Pelaku 2
P21-n/P11-n
1
P21-n/P31-n
P21-n/Pj1-n
Pelaku 3
P31-n/P11-n
P31-n/P21-n
1
P31-n/Pj1-n
Pelaku j
Pj1-n/P11-n
Pj1-n/P21-n
Pj1-n/P31-n
1
Bila vektor pembobotan elemen-elemen operasi Pelaku 1, Pelaku 2 dan Pelaku 3 dinyatakan sebagai vektor P = (P1, P2,... Pj), maka P11-n/P21-n diartikan sebagai nilai intensitas kepentingan elemen operasi Pelaku 1 terhadap Pelaku 2 pada kriteria yang sama dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen operasi P1 terhadap P2 dan seterusnya. Selanjutnya dengan memanfaatkan perangkat lunak Expert Choice dan memasukkan data yang diperoleh dari kuesioner maupun wawancara langsung sesuai prosedur pengolahan data maka pada akhir perhitungan akan diperoleh pola pilihan kebijakan yang optimal. Menghitung konsistensi dalam analisis menggunakan metode AHP merupakan keharusan, consistensy index (CI) merupakan indikator yang menyatakan penyimpangan konsistensi, sedangkan consistency ratio (CR) adalah indikator untuk menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan.
Kedua indikator
tersebut harus diperiksa untuk menguji tingkat konsistensi dari pembobotan.
32
Pada keadaan yang sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan faktor yang dibandingkan, sehingga matriks yang dibuat tidak konsisten. Hal ini terjadi karena ketidak konsistenan dalam preferensi seseorang. Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi menggunakan persamaan :
CI = dimana
λmaks − n n −1
λ maks = akar ciri maksimum n = ukuran matriks
Indeks Konsistensi (IK) adalah matrix random dengan skala penilaian 9 (1 – 9) beserta kebalikannya sebagai random index (RI)
CR =
CI RI
Untuk
mengetahui
konsistensi
secara
menyeluruh
dari
berbagai
pertimbangan dapat diukur dari nilai consistency ratio (CR). Consistency ratio adalah perbandingan antara consistency index (CI) dengan random index (RI), dimana nilai RI telah ditentukan. Matriks perbandingan dapat diterima jika nilai CR ≤ 0,1 dan bila CR > 0,1, maka langkah-langkah sebelumnya harus diulangi lagi dengan mengoreksi masukan data (data input) demikian seterusnya sampai diperoleh nilai CR ≤ 0,1. 3.5.3
Analisis strategi pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan Setelah dilakukan analisis untuk menentukan alternatif pola dan model
pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang dari armada penangkapan pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura, maka selanjutnya disusun strategi pengelolaan.
Dalam menyusun strategi pengelolaan, penulis
menggunakan metode analisis SWOT. Metode analisis SWOT adalah mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan faktor-faktor yang menjadi kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threat) dari pelaksanaan suatu kebijakan.
33
Analisis ini didasa arkan pada logika yang g dapat mem maksimalkan n kekuatan d dan peluang g namun se ecara bersa amaan dapa at meminimalkan kelem mahan dan a ancaman se eperti yang disajikan d pad da Gambar 8. 8
G Gambar 8. D Diagram ana alisis SWOT Analisis SWOT digunakan untuk memilih beberapa a strategi pe elaksanaan k kebijakan yang y ditemp puh dengan n metode KeKePan K (K Kekuatan, Kelemahan, K P Peluang da an Ancaman n), namun metode ini sangat kualitatif dan hubungan m matriknya ha anya dua va ariabel sepe erti : SO, ST T, WO, dan WT, W sedang gkan dalam p pengambilan n kebijakan n harus m mempertimbangkan da ari keempa at variabel t tersebut.
Analisis A
SW WOT
dilaku ukan
terha adap
beberapa
indika ator
yang
m mencermink kan pola dan n model peng gelolaan hassil tangkapa an sampingan yaitu : ( (1) Aspek Biologi B ( (2) Aspek Ekologi E ( (3) Aspek Ekonomi E ( (4) Aspek Sosial S ( (5) Modal Awal A (Investa asi) ( (6) Infrastru uktur ( (7) Biaya Operasional O ( (Modal kerja a) ( (8) Hukum dan Kelemb bagaan D hasil an Dari nalisis terseb but di atas akan a dapat disusun d suatu u strategi pe elaksanaan k kebijakan ya ang optimal dan d sesuai d dengan kebu utuhan.
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Letak Geografis Secara geografis, Provinsi Papua berada pada koordinat 2025’ LU – 9000’
LS dan1300 – 1400 BT, merupakan wilayah paling timur Indonesia dengan batas administrasi wilayah, sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Maluku dan Maluku Utara, sebelah timur berbatasan langsung dengan negara Papua New Guinea, sebelah utara berbatasan dengan Samudra Pasifik dan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura dan Australia. Sebelum pemekaran, Provinsi Papua terdiri dari 13 kabupaten dan kotamadya, dan 4 kabupaten berhadapan langsung dengan Laut Arafura yaitu Kabupaten Merauke, Kabupaten Mimika, Kabupaten Fak-fak dan Kabupaten Sorong. Provinsi Papua mempunyai luas daratan 497.111 km2 atau 22% dari luas wilayah Indonesia dengan panjang pantai 2.000 mil laut. Mengacu pada Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 21, tahun 1999, maka luas perairan teritorial mencapai 228.000 km2. Berdasarkan UU-45/1999, UU-26/2002 dan Inpres No.1, tahun 2003, saat ini Papua telah dimekarkan menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Irianjaya Barat. Provinsi Papua terdiri dari 20 kabupaten dan kota, sementara itu Provinsi Irianjaya Barat terdiri dari 9 kabupaten dan kota. Peta Provinsi Papua disajikan pada Gambar 9.
PROVINSI PAPUA
Sumber: Suhardiman, (2005)
Gambar 9. Peta Provinsi Papua
35
4.2
Demografi Sebelum pemekaran, penduduk Papua berdasarkan sensus penduduk
tahun 2000 berjumlah 2.233.530 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 553.199. Diantara 553.199 rumah tangga tersebut sebanyak 35.656 atau 6,45% adalah rumah tangga atau keluarga nelayan yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Mansoben (2003) menjelaskan, sebagian besar keluargakeluarga nelayan di Papua adalah keluarga sederhana bahkan dapat disebut sebagai masyarakat tradisionil yang memanfaatkan sumberdaya ikan secara subsisten. Sebagai masyarakat tradisionil, masyarakat Papua memiliki norma-norma atau nilai-nilai tertentu yang berfungsi sebagai pengendali sosial dalam berinteraksi dengan ekosistem.
Norma-norma tersebut sering disebut sebagai
kearifan budaya lokal yang berfungsi untuk menetapkan apa yang baik dan apa yang
tidak
baik
untuk
dilakukan
oleh
masyarakat
dalam
pemanfaatan
sumberdaya alam yang ada. Disamping itu, masyarakat nelayan Papua memiliki pranata-pranata sosial yang mereka bentuk sendiri untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya alam agar terjaga dan terlindungi kelangsungannya, seperti larangan untuk mengambil hasil laut di suatu tempat pada waktu tertentu. Larangan tersebut bermaksud memberikan kesempatan kepada spesies dan biota tertentu untuk berkembang sehingga akan memberikan hasil yang banyak dan berkualitas baik. Sistem ini dikenal luas di berbagai tempat oleh masyarakat nelayan Papua seperti di daerah Biak, Teluk Cendrawasih dan Raja Ampat yang dikenal dengan sistem “Sasi”.
Dengan Sasi, pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan yang ada dalam wilayah perairan laut dibawah kekuasaan suatu kelompok masyarakat (community) akan terlindungi serta pendistribusian hasil yang merata bagi kelompok masyarakat nelayan, sehingga sumberdaya ikan dapat mereka nikmati secara berkelanjutan.
4.3
Laut Arafura Perairan Laut Arafura terletak di timur Indonesia, di selatan Papua atau
sebelah utara dan timur berbatasan langsung dengan pantai barat Papua, pada koordinat 130o BT arah ke Timur. Di dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian, Nomor : 995/Kpts/IK.210/9/99, tahun 1999, disebutkan bahwa Laut Arafura adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan VI.
36
Perairan Laut Arafura merupakan bagian paparan sahul dan termasuk ke dalam wilayah Provinsi Papua dan Maluku serta termasuk wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yang berhubungan dengan Laut Timor dan Laut Banda. Luas daerah perairan Laut Arafura sekitar 150.000 km2 dengan daerah penangkapan udang secara intensif seluas 73.500 km2. Perairan ini memiliki kedalaman berkisar antara 5-60 m atau rata-rata 30 m. Hampir 70% dari luas wilayah perairan Laut Arafura memiliki lapisan tebal berupa lumpur dan sedikit pasir (Sadhotomo et al , 2003). Laut Arafura (Wilayah Pengelolaan Perikanan VI) disajikan pada Gambar 10.
Sumber: Departemen Pertanian (1999)
Gambar 10. Laut Arafura (Wilayah Pengelolaan Perikanan VI)
4.4
Kondisi Perikanan Pukat Udang di Laut Arafura
4.4.1 Daerah dan musim penangkapan Perairan Arafura memiliki daerah penangkapan udang secara komersial dan intensif seluas 73.500 km2 (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua 2003). Kegiatan penangkapan udang dilakukan terutama pada kedalaman antara 10-50 m, dengan kedalaman perairan seperti itu dikategorikan perairan nusantara atau wilayah laut sampai 12 mil dari daratan terluar. Daerah penagkapan ikan yang menggunakan pukat udang telah diatur dalam Keputusan Presiden No. 85, Tahun 1985 tentang penggunaan pukat udang. Keputusan Presiden tersebut membatasi penggunaan pukat udang hanya di perairan Kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya dan Laut Arafura, kecuali di
37
perairan pantai dari masing-masing kepulauan tersebut dibatasi oleh isobath sepuluh (10) meter. Secara umum armada pukat udang melakukan operasi penangkapan ikan di perairan Laut Arafura, konsentrasi wilayah penangkapan dapat dibagi dalam tiga sub wilayah yaitu : (1)
Sub Wilayah Kepala Burung (I dan II), dengan luas perairan 15.000 km2 mencakup Tanjung Sele, Teluk Bintuni, perairan Fak-fak, Kepulauan Adi dan
Kaimana.
Jenis dasar perairan di Tanjung Sele berupa lumpur.
Kedalaman berkisar 5-21 meter, SPL antara 29-30 Co, salinitas 25-28 ppm. Jenis udang yang sering tertangkap dalam jumlah besar adalah P. semisulcatus, udang putih (P. marguensis), udang dogol (Metapaneus monoceros ). Adapun di Teluk Bintuni dengan jenis dasar berupa lumpur tebal, karena banyak menerima aliran air sungai. Kedalaman berkisar antara 15-52 meter, SPL antara 30-31 Co, salinitas 25-28 ppm. Jenis udang yang sering tertangkap dalam jumlah besar adalah P. semisulcatus dan udang putih (P. marguensis). (2)
Sub Wilayah Aru dan sekitarnya (III) dengan luas perairan 13.000 km2 mencakup perairan sebelah timur, barat dan utara kepulauan Aru. Di Pulau Wakam dengan dasar laut berupa lumpur berpasir dan kedalaman berkisar antara 12 meter sampai 25 meter, dengan suhu permukaan laut (SPL) antara 28-30 Co dan salinitas 30-32 ppm. Jenis udang yang sering tertangkap dalam jumlah besar adalah P. semisulcatus, udang putih (P. marguensis), udang dogol (Metapaneus monoceros). Di Pulau Kobroor dengan jenis dasar berupa lumpur campur pasir, kedalaman berkisar antara 10-25 meter, SPL antara 28-30 Co dan salinitas 30-32 ppm. Jenis udang yang sering tertangkap dalam jumlah besar adalah P. semisulcatus.
(3)
Sub Wilayah Dolak dan sekitarnya (IV) dengan luas perairan 45.000 km2 mencakup perairan Kokonao, Aika, Mimika, Muara Sungai Uta, Aidma dan Digul. Di Pulau Dolak dengan jenis dasar berupa lumpur berpasir dengan kedalaman 18-23 meter, SPL antara 29-30 Co, salinitas 25-28 ppm. Jenis udang yang sering tertangkap dalam jumlah besar adalah udang putih (Panaeus merguensis). Jenis dasar berupa lumpur dapat dijumpai di wilayah Mimika, kedalaman berkisar antara 8-15 meter, SPL antara 29-30 Co, salinitas 29-30 ppm. Jenis udang yang sering tertangkap dalam jumlah besar adalah P. semisulcatus dan udang putih (P. marguensis).
38
Konsentrasi daerah penangkapan armada pukat udang tersebut di atas umumnya dilakukan di daerah perairan pesisir yang relatif dangkal dan landai, karena kondisi perairan yang landai maka luas daerah penangkapan armada pukat udang meliputi area perairan yang luas. Kondisi perairan pesisir yang relatif dangkal dengan dasar lumpur berpasir serta kondisi ekosistem mangrove yang banyak terdapat di daerah pesisir menyebabkan perairan ini merupakan wilayah yang cocok sebagai daerah penyebaran udang.
Gambar 11 di bawah
ini adalah daerah penangkapan udang di Laut Arafura.
Sumber: DKP (2006)
Gambar 11. Daerah penangkapan udang 4.4.2 Sumberdaya ikan Data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Merauke (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Merauke, 2004), potensi sumberdaya ikan dan udang di Laut Arafura berdasarkan hasil survei dalam penelitian tahun 2003 didapatkan sebesar 1.439,8 ribu ton/tahun yang tersebar di zona teritorial sebesar 801.3 ribu ton dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebesar 638,5. ribu ton. Hal ini berarti pemanfaatan ikan dan udang di wilayah perairan Papua relatif seimbang antara perairan teritorial dan ZEE.
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa
pemanfaatan ZEE sebesar 44.35 % dari total potensi sumberdaya ikan di Laut Arafura. Data potensi ikan di Laut Arafura disajikan pada Tabel 6 dan 7.
39
Tabel 6. Potensi sumberdaya ikan di Laut Arafura
No
Total (Ribuan Ton)
KELOMPOK SDI
Potensi 1
Pelagis Besar Tuna Cakalang Paruh Panjang Tongkol Tenggiri Pelagis Kecil Demersal Udang - Udang Peneid - Udang Karang Cumi-Cumi Ikan Karang Ikan Hias (Juta Ekor)
1.053,5 22,3 392,5 51,7 235,1 150,5 3.235,8 1.786,4 78,6 73,8 4,8 28,3 76 1518
-
2 3 4
5 6 7
Laut Arafura (Ribuan Ton)
JTB
Potensi
842,8 179 314 41,3 188,1 120,4 2.588,7 1.429,1 62,7 58,9 3,8 22,7 60,7 1.214,5
50,9 9 18,5 3,4 15,4 5,6 468,7 246,8 21,5 21,4 0,1 3,4 0,8 9,2
JTB 40,7 7,2 14 2,7 12,3 4,5 375 197,4 17,2 17,1 0,1 2,7 0,6 7,4
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Merauke (2004)
Tabel 7. Potensi sumberdaya ikan di Laut Arafura (ZEEI) TOTAL (Ribuan Ton)
KELOMPOK SDI
No
Potensi 1
Pelagis Besar Tuna Cakalang Paruh Panjang Tongkol Tenggiri Pelagis Kecil Demersal Udang Peneid Cumi-Cumi
463,5 118,7 154,7 22,7 59,5 35,9 978,9 458,4 25,7 4,8
-
2 3 4 5
Laut Arafura (Ribuan Ton)
JTB
Potensi
370,3 95 123,8 123,8 18,2 47,6 783 366,8 20,6 3,8
16,8 0 0 0 12,3 4,5 375 222,1 21,5 3,1
JTB 13,4 0 0 0 0 0 300 178 17,2 2,5
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Merauke (2004)
4.4.3 Alat tangkap, armada dan perusahaan penangkapan (1)
Alat tangkap Alat tangkap yang digunakan dalam operasi penangkapan udang di Laut Arafura adalah pukat udang (shrimp trawl).
Tipe maupun ukuran pukat
udang tidak terlalu variatif, ini dapat dilihat dari alat tangkap pukat udang yang digunakan di Kabupaten Merauke yang merupakan fishing base utama di Laut Arafura.
Perkembangan pukat udang di Laut Arafura sejak
tahun 2001 sampai 2005 dan keragaan alat tangkap tersebut disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9.
40
Tabel 8. Perkembangan pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura
Alat Tangkap Pukat Udang
Rataan Perkembangan
Tahun 2001
2002
2003
2004
2005
2000 – 2005
200
397
399
401
427
45,4
Sumber: Ditjen Perikanan Tangkap, DKP (2005)
Tabel 9. Keragaan unit penangkapan udang di Laut Arafura No.
Nama dan Spesifikasi Kapal
1.
KM. Merawal II GT : 229 L : 35,14 m B : 6,60 m M/E : Yanmar 900 PK 2. KM. Nusantara Guna I GT : 171 L : 26,4 m B : 6,8 m D:3m M/E : Yanmar 600 PK 3. KM. Napier Pearl GT : 166 L : 21,84 m B : 7,42 m D : 3,92 m M/E : Caterpillar 900 PK 4. KM. Nusantara Guna II GT : 171 L : 29 M B:7m D : 3,2 m M/E : Yanmar 600 PK Sumber: Purbayanto et al (2004)
(2)
Keterangan Alat
Tipe Alat
Head Rope : 23,04 m Ø 12 mm Ground Rope : 28,6 m Ø 27 mm Code end MS : 4,5 cm Head Rope : 23,04 m Ø 12 mm Ground Rope : 28,6 m Ø 27 mm Code end MS : 4,5 cm
Pukat Udang Ganda
Head Rope : 23,04 m Ø 12 mm Ground Rope : 28,6 m Ø 27 mm Code end MS : 4,5 cm
Pukat Udang Ganda
Head Rope : 23,04 m Ø 12 mm Ground Rope : 28,6 m Ø 27 mm Code end MS : 4,5 cm
Pukat Udang Ganda
Pukat Udang Ganda
Armada Berdasarkan surat izin usaha perikanan (SIUP) dan surat izin penangkapan ikan (SIPI) yang di terbitkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP, sampai dengan Desember 2004 jumlah armada pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura sebanyak 336 unit. Ukuran armada pukat udang yang melakukan operasi penangkapan ikan di Laut Arafura bervariasi dari ukuran 30 GT sampai dengan > 300 GT.
Komposisi ukuran armada pukat
udang yang mendapat izin beroperasi di Laut Arafura, Provinsi Papua dapat dilihat pada Tabel 10.
41
Tabel 10. Kapal penangkapan ikan dan udang yang mendapat izin beroperasi di Laut Arafura, Provinsi Papua Gross Tonage Kapal
Jumlah Kapal (Unit)
Jumlah (Gross Tonage)
< 100
130
11.056
101-200
174
25.487
>200
34
10.363
Total
338
46.906
Sumber: Ditjen Perikanan Tangkap, DKP (2004)
(3)
Perusahaan penangkapan Berdasarkan data tahun 2004, jumlah perusahaan penangkap udang yang mendapat izin beroperasi di Laut arafura sebanyak 24 perusahaan, Tabel 11. adalah rincian perkembangan perusahaan penangkapan udang yang beroperasi di Laut Arafura. Tabel 11. Perusahaan penangkapan udang yang beroperasi di Laut Arafura, Provinsi Papua Tahun Perusahaan
mendapat
izin
Rataan Pekembangan
2002
2003
2004
- Anggota HPPI
12
12
12
0
- Non HPPI
9
11
12
1
Jumlah
21
23
24
1
Sumber: Ditjen Perikanan Tangkap, DKP (2004)
4.4.4 Operasi penangkapan Data operasi penangkapan diperoleh berdasarkan hasil survei lapangan yang dilakukan oleh tim observasi studi pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan (kerjasama Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua, PT. Sucofindo dan Departemen PSP-IPB, tahun 2004) di Laut Arafura, sekitar Perairan Dolak, Kepulauan Aru dan Perairan Avona pada bulan Agustus 2004 sampai dengan November 2004, pada umumnya kapal pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura setiap hari dapat melakukan hauling sebanyak 7 sampai 9 kali, lama di laut rata-rata 30 sampai 40 hari efektif dalam 1 trip, dan selama 1 tahun diasumsikan tiap kapal rata-rata 9 kali trip, sehingga jumlah hari beroperasi di laut dalam setahun rata-rata 280 hari.
42
4.4.5 Potensi ikan hasil tangkapan sampingan Mengacu pada hasil survei lapang yang dilakukan oleh tim observasi studi pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan (kerjasama Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua, PT. Sucofindo dan Departemen PSP-IPB, tahun 2004), estimasi potensi ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura sebesar 332.186 ton per tahun. Data tersebut diperoleh melalui survei di perairan sekitar Perairan Dolak, Kepulauan Aru dan Perairan Avona pada bulan Agustus 2004 sampai dengan November 2004. Estimasi potensi ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura disajikan pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12.
Estimasi potensi ikan pukat udang di Laut Arafura
hasil
tangkapan
sampingan
Rataan HTS Lokasi Fishing Ground (ton/hauling)
(ton/hari)
(ton/trip)
1.03
7.21
216.30
0.93
6.50
195.09
0.37
2.57
77.07
0.04
0.31
9.24
0.23
1.61
48.30
0.52
3.64
109.20
Sekitar P. Dolak Sekitar Kep. Aru Perairan Avona Rataan Jumlah Kapal (unit) Estimasi Potensi (ton/tahun)
338 332.186
Sumber : Purbayanto et al (2004)
Berdasarkan Tabel 12, dapat diketahui bahwa potensi ikan hasil tangkapan sampingan paling besar terdapat di wilayah perairan sekitar Dolak dan Kepulauan Aru. Besarnya potensi ikan hasil tangkapan sampingan di perairan tersebut disebabkan oleh daya dukung lingkungan pesisir yang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove yang relatif masih baik. Selain itu, faktor yang mempengaruhi besarnya potensi di sekitar Dolak dan Kepulauan Aru karena ikan hasil tangkapan sampingan di wilayah tersebut masih belum dimanfaatkan. Kondisi ini berbeda dengan di Perairan Avona, sebagian ikan hasil tangkapan sampingan sudah dimanfaatkan. PT. Avona Mina Lestari memproses ikan hasil tangkapan sampingan dalam bentuk ikan beku, sehingga ikan hasil tangkapan sampingan yang tidak dimanfaatkan jumlahnya relatif kecil bila dibandingkan dengan wilayah perairan lainnya di Laut Arafura.
43
Dalam laporan Sumiono dan Sadhotomo (1985), menjelaskan bahwa hasil tangkapan ikan di Laut Arafura sangat tinggi dan dapat melampaui daya dukung sumberdaya yang tersedia dari produksi atau hasil tangkapan yang dilaporkan. Selain itu dominasi jenis tertentu seperti yang termasuk dalam kategori trash fish (>20% di Perairan Aru) dan berbagai jenis vertebrata lain yang non-ekonomis (>15% di Laut Arafura) memberi petunjuk bahwa hasil tangkap sampingan yang menjadi mangsa organisme tersebut dalam keadaan mati. 4.4.6 Komposisi hasil tangkapan Hasil tangkapan pukat udang terdiri dari beberapa spesies udang target dan banyak spesies ikan lainnya sebagai spesies non-target.
Hal ini terjadi
karena udang dan ikan menghuni habitat yang sama, disamping sifat pukat udang sendiri yang memang tidak selektif. Spesies udang target utama dari Laut Arafura adalah udang jerbung atau banana shrimp (Penaeus merguensis) dan udang windu (P.monodon), selain itu ada beberapa spesies udang dogol atau endeavour shrimp (Metapenaeus spp). Spesies ikan yang tertangkap, umumnya terdiri dari ikan-ikan dasar (demersal fishes), ikan pelagis, moluska dan krustase serta kadang-kadang penyu laut.
Ada sebanyak 88 jenis ikan yang sering
tertangkap oleh pukat udang di Perairan Arafura (Zuwendra et al, 1991), hal tersebut menggambarkan bahwa perairan Laut Arafura sangat kaya akan sumberdaya ikan dengan keragaman yang tinggi. (1)
Perairan Dolak – Merauke Berdasarkan survei yang dilakukan selama 10 hari, 41 kali hauling di atas kapal KM Aru dan KM Arafura yang beroperasi di sekitar Perairan Dolak (Merauke) pada bulan Agustus 2004 (kerjasama Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua, PT. Sucofindo dan Departemen PSP-IPB, tahun 2004), di-identifikasi sedikitnya ada 4 jenis udang yang utama tertangkap dari perairan ini dan lebih dari 40 jenis ikan yang tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan.
Tabel 13
menyajikan jenis udang yang utama
tertangkap dan pada Tabel 14 disajikan komposisi hasil tangkapan sampingan pukat udang secara keseluruhan dari Perairan Dolak dan Merauke.
44
Tabel 13. Nama udang yang biasa tertangkap pukat udang di Arafura
Laut
Nama Lokal
Nama Inggris
Nama Ilmiah
- Udang Jerbung
Banana prawn
Penaeus merguensis
- Udang Windu
Tiger prawn
P. monodon
- Udang Dogol
Endeavor
Metapenaeus spp.
- Udang Krosok
Shima
Parapeneopsis sculptius
Sumber: Purbayanto et al (2004)
Tabel 14. Jenis-jenis hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura, sekitar Perairan Dolak, pada bulan Agustus 2004
No
Nama Indonesia
Nama Inggris
Nama Ilmiah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Alu-alu Bambangan Bawal hitam Beloso Biji nangka Cucut Daun bambu Gulama Gerot-gerot Kakap Kerapu Kerong-kerong Kurisi Kembung
Barracudas Red snapper Black Pomfret Lizard fishes Goat fishes Shark Queen fishes Amoy Croaker Swewt lips Barramundi Groupers Banded grunter Threadfin breams Long-jawed mackerel
15
Kuro (Senangin)
Giant threadfish
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kuwe Layur Layang Lidah Lemuru Manyung Parang-parang Pari Pepetek Sembilang Selar
Crevallies Hairtail Scads Long-tongue sole Indian oil sardinella Marine catfishes Wolf herrings Stingrays Pugnose ponyfishes Canine catfishes Blue-spotted trevally
Sphyaena spp Lutjanus spp Formio niger Saudira tumbil Upeneus sulphureus Sphyrhinidae Chorinemeus tala Argyrosomus amoyensis Pomadasys Lates calcarifer Ephinephelus spp Terapon theraps Nemipterus spp Rastelliger kanagurta Eleutheronema tetradactylum Caranx sexfasciatus Trichiurus savala Decapterus russelli Cynoglossus sp Sardinella longisep Tachyurus spp Chirocentrus spp Dasyatididae Secutor ruconius Plotosus canius Caranx bucculentus
27
Swanggi
Big eye
Priacanthus spp
28
Tembang
29
Tenggiri
Sardinella fimbriata Scomberomorus commerson
30
Tengiri papan
Fringe-scale sardinella Narrow barred spanish mackerel Indi pasific spanish mackerel
31
Tetengkek
Hardtail
Megalaspis cordyla
Scomberomorus guttatus
45
Nama Nama Inggris Indonesia 32 Tiga waja Bearded-croaker 33 Cumi-cumi Loligo 34 Sotong Cutlefish 35 Kepiting Crabs 36 Buntal Smooth golden toadfish 37 Buntal besar Starry pufferfish 38 Udang ronggeng Mantis shrimp 39 Rajungan Blue swimming crabs Sumber : Purbayanto et al (2004) No
(2)
Nama Ilmiah Johnius dussumieri Loligo spp Sepiida spp Scylla sp Lagochepalus inermis Arothtron stellatus Squilla sp Portunus pelagicus
Perairan Kepulauan Aru Komposisi hasil tangkapan pada bulan November 2004, didapatkan beberapa jenis ikan hasil tangkap sampingan dominan yang tertera pada Tabel 15. Tabel tersebut menunjukkan bahwa ikan hasil tangkap sampingan dari pukat udang pada umumnya merupakan ikan yang layak konsumsi. Hal ini dapat dilihat dari jenis dan ukuran ikan yang tertangkap terdapat pada selang ukuran panjang yang umum dikonsumsi. Tabel 15. Jenis dan ukuran ikan hasil tangkapan sampingan dominan di perairan sekitar Kepulauan Aru, pada November 2004
1.
Hasil Tangkapan Sampingan Dominan Kurisi
2.
Bubara
14-16
3.
Japuh
13-17
4.
Tembang
13-16
5.
Layur
25-45
6.
Layang
13-17
7.
Beloso
16-17
8.
Selar
14-16
9.
Tiga waja
13-17
No.
10. Gerot-gerot Sumber : Purbayanto et al (2004)
(3)
Selang Kelas Ukuran Panjang (cm) 13-16
13-17
Perairan Avona – Kaimana Komposisi hasil tangkap sampingan yang dominan pada bulan OktoberNovember 2004 di Perairan Kaimana diperlihatkan pada Gambar 12. Selanjutnya, berdasarkan persentasi kehadiran ikan hasil tangkapan sampingan terdapat tujuh jenis ikan ekonomis penting yang didominasi oleh jenis pepetek (Secutor ruconius), japuh (Dussumieria hasselti), beloso
46
(Saudira tumbil), tigawaja (Johnius dussumieri), gerot-gerot (Johnius sp) dan teri (Stylophorus sp).
60,00
40,00
20,00
Ja pu h
Pe pe te k
Bl os o
G ula m ah Tig a W aja
Te G ri er otge ro t
0,00
Sumber: Purbayanto et al. (2004)
Gambar 12.
Persentasi kehadiran hasil tangkapan sampingan KM Komoran 09 di Laut Arafura bagian barat (32 kali hauling) bulan OktoberNovember 2004
4.4.7 Rasio tangkapan udang terhadap hasil tangkapan sampingan Perbandingan antara hasil tangkapan udang dan bukan udang merupakan rasio penangkapan. Rasio ini merupakan korelasi satu-satu antara udang dan hasil tangkapan sampingan (1 : 1) artinya, dalam sekali proses penangkapan akan didapatkan udang dan hasil tangkapan sampingan yang diperbandingkan atau dengan kata lain rasio ini merupakan perbandingan antara udang yang tertangkap dengan hasil tangkapan sampingan dalam 1(satu) kali hauling. Rasio perbandingan hasil tangkapan pukat udang ini diperoleh di tiga wilayah penangkapan di Laut Arafura yaitu Perairan Dolak, Perairan Kaimana dan sekitar Kep. Aru. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pasca observasi terhadap 41 kali hauling di fishing base Merauke, diperoleh rasio penangkapan udang dan ikan adalah (1 : 28) dengan tingkat korelasi 70 %.
Proporsi hasil tangkapan
sampingan terhadap hasil tangkapan udang di Perairan Dolak dapat dilihat pada Gambar 13.
47
2000 1800 1600 1400
HTS (kg)
1200 1000 800 600 400 200 0 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
Udang (kg)
Gambar 13.
Proporsi hasil tangkapan sampingan terhadap hasil tangkapan udang di Perairan Dolak
Menurut Purbayanto dan Riyanto (2005), beberapa penyebab tingginya rasio perbandingan udang dengan hasil tangkapan sampingan diantaranya adalah: (1)
Alat tangkap pukat udang memiliki sifat aktif yaitu mengejar target ikan dengan cara ditarik oleh kapal sehingga banyak ikan yang bukan menjadi target penangkapan ikut tertangkap.
(2)
Kedalaman perairan tempat observasi memiliki tingkat kedalaman yang kecil yaitu antara (10 – 35) m. Hal ini menyebabkan bukaan mulut jaring pukat udang masih dapat menyapu sebagian besar kolom perairan, ditandai dengan tertangkapnya ikan jenis pelagis.
(3)
Pada tingkat kedalaman perairan yang dangkal merupakan tempat ikan mencari makan (feeding ground), pemijahan (nursery ground), dan pemeliharaan
(spawning
ground).
Daerah
ini
merupakan
tempat
penangkapan yang baik. (4)
Dasar perairan Laut Arafura memiliki permukaan yang relatif landai karena merupakan daerah paparan dan memiliki substrat berlumpur yang merupakan habitat bagi jenis ikan demersal.
(5)
Pengoperasian pukat udang tidak dilengkapi dengan pemasangan alat pemisah ikan (API), sehingga jumlah ikan yang bukan merupakan target penangkapan ikut tertangkap dalam jumlah yang banyak.
48
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap data hasil observasi di fishing base Avona selama 32 kali hauling diperoleh rasio perbandingan hasil tangkapan udang dan hasil tangkapan sampingan sebesar 1:1-13 dengan nilai korelasi sebesar 78,86 %, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 14. 80 70
HTS (kg)
60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Udang (kg)
Gambar 14. Proporsi hasil tangkapan sampingan terhadap hasil tangkapan udang di Perairan Avona Hasil analisis yang diperoleh pasca obsrervasi terhadap 50 kali hauling di wilayah penangkapan sekitar Kep. Aru (fish base Sorong), rasio perbandingan antara udang dengan hasil tangkapan sampingan sebesar 1:11-41 dengan nilai korelasi sebesar 62,5% (Gambar 15). 600
Udang (kg)
HTS (Kg)
500
400 300 200
100 0 0
100
200
300
400
500
600
Udang (Kg) Udang (kg) Gambar 15.
Proporsi hasil tangkapan sampingan terhadap hasil tangkapan udang di Perairan Kaimana
49
4.5
Pelabuhan Perikanan Pelabuhan perikanan memiliki peran penting dalam kegiatan perikanan
tangkap. Pelabuhan perikanan dikategorikan menurut kapasitas dan kemampuan pelabuhan tersebut dalam melayani kapal yang datang dan pergi serta letak dan posisi pelabuhan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor : KEP. 10/MEN/2004, tentang pelabuhan perikanan.
Pelabuhan
perikanan dibagi menjadi 4 kategori utama yaitu: (1) Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), (2) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), (3) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), (4) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Di Provinsi Papua tersedia 1 pelabuhan perikanan pantai dan 6 pangkalan pendaratan ikan yaitu: (1)
PPP Sorong, Alamat jalan Jend. A. Yani, Klademak I, Sorong. PPP Sorong termasuk pelabuhan perikanan kelas C, terletak di pantai tertutup dan termasuk dalam perairan Maluku – Irian Jaya. Berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Seram dan Teluk Tomini (WPP-07).
(2)
PPI Hamadi, Kota Jayapura PPI Hamadi termasuk pelabuhan perikanan kelas D, berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik (WPP-08).
(3)
PPI Klademak, Kota Sorong PPI Klademak termasuk pelabuhan perikanan kelas D, berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Seram dan Teluk Tomini (WPP-07).
(4)
PPI Kaimana, Kabupaten Kaimana PPI Kaimana termasuk pelabuhan perikanan kelas D, berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Arafura (WWP-06)
(5)
PPI Manokwari, Kabupaten Manokwari PPI Manokwari termasuk pelabuhan perikanan kelas D, berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Arafura (WWP-06)
(6)
PPI Merauke, Kabupaten Merauke PPI Merauke termasuk pelabuhan perikanan kelas D, berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Arafura (WWP-06)
(7)
PPI Waigeo Utara, Waigeo PPI Waigeo Utara termasuk pelabuhan perikanan kelas D, berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik (WPP-08).
50
Gambar lokasi satu pelabuhan perikanan pantai (PPP) dan enam pangkalan pendaratan ikan (PPI) di Provinsi Papua disajikan pada Gambar 16.
Sumber: DKP (2006)
Gambar 16. Lokasi PPP dan PPI di Provinsi Papua 4.6
Kelembagaan Perikanan (Dinas Perikanan dan Kelautan) Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua berkedudukan di ibu kota
Provinsi Jayapura, beralamat di jalan Sulawesi, Nomor 6 – 8 Dok VII, Jayapura. Dipimpin oleh kepala dinas dan dibantu oleh seorang wakil kepala dinas, kepala dinas membawahi beberapa sub dinas. Struktur organisasi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua disajikan pada Gambar 17.
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan, Provinsi Papua (2003)
51
Gambar 17. Struktur organisasi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua Berdasarkan PERDA Provinsi Papua Nomor 2, tahun 2002, Dinas Perikanan dan Kelautan mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut : Tugas pokok: (1)
Menyelenggarakan kewenangan desentralisasi di bidang perikanan dan kelautan
(2)
Tugas-tugas lainnya yang diberikan oleh Gubernur Provinsi Papua
Fungsi : (1)
Merumuskan kebijakan teknis dibidang perikanan dan kelautan
(2)
Pemberian izin dan pelaksanaan pelayanan umum lintas kabupaten atau kota di bidang perikanan dan kelautan
(3)
Pengelolaan UPTD (Unit Pengelola Teknis Daerah)
(4)
Pelaksanaan urusan tata usaha daerah Kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan Provinsi Papua diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat perikanan dan kelautan menuju masyarakat aquabisnis yang mampu mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan secara bertanggung-jawab (responsible fisheries) dalam rangka meningkatkan pendapatan sekaligus kesejahteraan masyarakatnya.
Sebagai
penjabaran kebijakan tersebut maka ditetapkan visi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua yaitu ”Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan secara Optimal dan Berkelanjutan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Papua”.
Dengan kebijaksanaan pembangunan perikanan dan
kelautan, serta penjabaran operasionalnya dimaksudkan untuk mengarahkan seluruh dimensi pembangunan perikanan dan kelautan di tingkat provinsi, kabupaten
atau
kota,
lintas
sektor
maupun
lintas
provinsi
dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan sumberdaya dan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat pelaku perikanan.
4.7
Lembaga Pengawasan Perikanan Melalui Keputusan Presiden Nomor 289/M tahun 2000, pemerintah
membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan. Salah satu tugas pokok dan fungsinya
adalah
melaksanakan
pengawasan
terhadap
pemanfaatan
sumberdaya ikan. Akan tetapi Departemen Kelautan dan Perikanan bukan satusatunya lembaga yang memiliki wewenang dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 1982, tentang
52
pertahanan dan keamanan negara, dijelaskan bahwa TNI Angkatan Laut mempunyai tugas sebagai komponen utama kekuatan pertahanan di laut. Dan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1983, tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tercantum bahwa aparatur penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah perwira TNI Angkatan Laut yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Panglima TNI. Lebih ditegaskan lagi dalam pasal 31 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1985, tentang perikanan bahwa penegakan keamanan di laut dilaksanakan oleh TNI Angkatan Laut. Selain Departemen Kelautan dan Perikanan dan TNI Angkatan Laut masih ada beberapa instansi pemerintah yang memiliki wewenang pengawasan. Di bawah ini adalah lembaga/instansi yang ada di Provinsi Papua yang terkait dan mengklaim memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan dalam kegiatan perikanan tangkap: (1)
Dinas Perikanan dan Kelautan
(2)
Pelabuhan Perikanan
(3)
PPNS dan Pengawas Perikanan
(4)
TNI Angkatan Laut
(5)
Polisi Air dan Udara
(6)
Syahbandar, Departemen Perhubungan
(7)
Bea dan Cukai, Departemen Keuangan
(8)
Imigrasi, Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia Lembaga-lembaga
yang
terlibat
dalam
pengawasan
pengelolaan
sumberdaya perikanan yang ada pada saat ini dinilai sangat beragam dan kompleks. Hal ini menyebabkan tersebarnya kewenangan yang kadang-kadang berpeluang
menimbulkan konflik, menghambat penegakan hukum, pada
gilirannya menyulitkan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan itu sendiri. Selain lembaga-lembaga pemerintah tersebut masih ada himpunan dan asosiasi maupun LSM yang juga mengklaim sebagai stakeholder. Sampai pada tahun 2004 telah terbentuk kelembagaan Siswasmas di 3 daerah di Papua yaitu di Jayapura, Sorong dan Merauke.
4.8
Asosiasi Penangkapan Udang Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia disingkat dengan
HPPI adalah satu-satunya asosiasi penangkapan udang dan merupakan organisasi perikanan pertama di Indonesia. Ide dasar HPPI didirikan oleh para
53
pelaku usaha penangkapan udang adalah untuk mendukung pembangunan perikanan Indonesia, meningkatkan taraf hidup rakyat, khususnya masyarakat perikanan serta untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan. HPPI berdiri pada tanggal 15 Pebruari 1974. Sampai akhir tahun 2004, HPPI menghimpun anggota sebanyak 12 perusahaan yang terdiri dari 7 perusahaan PMA, 2 perusahaan PMDN dan 3 perusahaan swasta nasional dengan jumlah armada 136 unit kapal penangkap udang.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura Diperkirakan setiap tahun sebanyak 332,186 ton Ikan hasil tangkapan
sampingan dihasilkan dari Laut Arafura dengan rincian di perairan sekitar Perairan Dolak sebanyak 195,09 ton/tahun, di perairan sekitar Kepulauan Aru sebanyak 77,07 ton/tahun, di Perairan Avona sebanyak 48,30 ton/tahun. Dari seluruh ikan hasil tangkapan tersebut hanya sekitar 37% yang dimanfaatkan, sebagian besar lagi dibuang kembali ke laut dalam keadaan mati maupun hidup. Pendayagunaan sumberdaya kelautan dan perikanan selayaknya harus mampu memberikan kontribusi yang lebih bermakna terhadap pembangunan ekonomi nasional, untuk itu pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia harus bercirikan: (1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sumbangan terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja dan indikator pertumbuhan ekonomi lainnya; (2) memberikan keuntungan yang berarti bagi semua pelaku usaha dan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan; (3) mampu memelihara kualitas dan daya dukung lingkungannya, sehingga ketersediaan sumberdaya dan pembangunan ekonomi kelautan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Pendayagunaan sumberdaya tersebut di atas sesuai dengan UU Perikanan No. 31, tahun 2004, pasal 2 yang menyatakan bahwa pengelolaan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan,
efisiensi
dan
kelestarian
yang
berkelanjutan.
Tujuan
dari
pengelolaan perikanan adalah (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, (2) meningkatkan devisa negara, (3) mendorong perluasan kesempatan kerja, (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikani, (5) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan, (6) meningkatkan
produktivitas,
mutu,
nilai
tambah,
dan
daya
saing,
(7),
meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri dan pengolahan ikan, (8) mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal, dan (9) menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan tata-ruang.
55
Mewujudkan misi pembangunan tersebut, maka diperlukan berbagai langkah strategis diantaranya adalah: (a) optimalisasi dan efesiensi pemanfaatan sumberdaya, (b) penerapan iptek dan manajemen profesional, (c) dukungan sistem dan mekanisme hukum serta kelembagaan yang memadai dan (d) dukungan kebijakan fiskal dan moneter yang kondusif. Sumber daya perikanan dinilai bersifat mampu pulih (renewable), namun demikian keberadaannya bukan tidak terbatas, oleh sebab itu sumber daya perikanan perlu dikelola guna mencegah penangkapan yang melewati ambang kemampuan regenerasinya (over fishing). Agar sumber daya ikan tetap lestari maka sumberdaya ikan harus dijaga dan pemanfataan dilakukan seoptimal mungkin. Guna
mencapai
kondisi
seperti
disebutkan
di
atas,
maka
aspek
pengelolaan menjadi sangat penting dikembangkan dan dilaksanakan. Berbagai upaya pengelolaan untuk memanfaatkan sumber daya ikan secara optimal dan lestari dapat dirumuskan, sejumlah opsi alternatif kebijaksanaan pengelolaan dapat dipilih. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan upaya pengelolaan kegiatan perikanan pukat udang, diantaranya melalui; Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 561/Kpts/Um/11/1973 tentang pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan, mewajibkan kepada setiap pengusaha penangkapan udang untuk memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan guna pemenuhan kebutuhan bahan pangan.
Demikian pula halnya, Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perikanan Nomor: IK.010/S3.8063/82K tentang pelaksanaan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang. Surat keputusan ini mengatur tentang jumlah ikan hasil sampingan yang harus dimanfaatkan, teknis pemanfaatannya dan pengawasan atau pemeriksaan atas kebenaran pemanfaatan yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan pukat udang. Namun demikian pelaksanaan surat keputusan tersebut dirasakan belum efektif dan disinyalir banyak terjadi pelanggaran, sehingga menimbulkan in-efesiensi pemanfaatan sumberdaya ikan. Status kini pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan Komposisi hasil tangkapan dari setiap daerah penangkapan ikan secara umum terdiri dari udang sebagai target spesies, jenis ikan, crustacea dan molluska.
Jenis-jenis ikan yang banyak tertangkap dan mempunyai nilai
ekonomis penting diantaranya; manyung (Arius thallasinus), bawal hitam (Formio
56
niger),
bawal
putih
(Pampus
argentus),
kuwe
(Caranx
spp),
peperek
(Leiognathidae), kakap merah (Lates calcarifer), gerot-gerot (Pomadasys), ikan sebelah (Psetodidae), layur (Trichiurus sp), gulamah atau tigawaja (Sciaenidae), kerong-kerong (Theraponidae), kembung (Rastrelliger spp), lemuru (Sardinella longiceps), cucut (Sphyrhinidae) dan pari (Trygonidae). Untuk jenis molluska yang mempunyai nilai ekonomis penting ; sotong (Sepiida spp), cumi-cumi (Loligo sp), gurita (Octopus spp). Untuk jenis crustacea yang banyak tertangkap dan mempunyai nilai ekonomis penting adalah tiram (Crassostrea spp), kepiting atau mud crab (Scylla serrata), rajungan (Portunus spp) dan kerang darah (Anadara spp). Besarnya jumlah hasil tangkapan sampingan bervariasi tergantung pada kedalaman perairan, musim, kondisi daerah pengkapan, lamanya penarikan jaring serta ukuran alat tangkap yang digunakan oleh setiap industri penangkapan udang.
Dari seluruh hasil tangkapan sampingan (84%) yang
dimanfaatkan hanya sebanyak 37% sedangkan selebihnya sebanyak 63% dibuang kelaut (discarded).
Hasil tangkapan sampingan yang dimanfaatkan
sampai saat ini masih dikelola oleh anak buah kapal dalam bentuk produk beku (frozen product) maupun kering (salted fish). Saat ini, ikan-ikan dalam bentuk beku umumnya didaratkan di pelabuhan pendaratan terdekat dan dijual kepada pengusaha penampung sebagai bonus bagi anak buah kapal, sedangkan sisanya dikonsumsi oleh anak buah kapal selama beroperasi di laut (8%) dan dibawa pulang ke rumah (18%). Pada umumnya ikan-ikan yang didaratkan tidak tercatat diperusahaan dan tidak dilaporkan kepada pihak berwenang. Pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan berupa ikan beku masih dilakukan dengan cara yang sederhana. ekonomis sebagaimana
Ikan-ikan yang mempunyai nilai
disebutkan di atas, dimasukkan kedalam pan lalu
dibekukan selama 3 sampai 4 jam. Setelah ikan-ikan membeku kemudian dimasukkan ke dalam karung dimana setiap karung berisi 3 sampai 4 pan. Ikan hasil tangkapan sampingan yang didaratkan sangat terbatas jumlahnya karena keterbatasan volume palka, disamping itu kebijakan perusahaan penangkapan udang yang tidak mengijinkan anak buah kapal untuk memuat dan mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan. Dalam hal pemanfaatan khusus seperti di Kota Sorong, pemerintah setempat membuat kebijakan khusus seperti Kepala Dinas Pertanian dan Kelautan Pemerintah Kota Sorong membuat surat keputusan pada tahun 2004
57
tentang ketentuan pembongkaran ikan hasil tangkapam sampingan kapal pukat udang untuk konsumsi masyarakat di Kota Sorong. diperkuat oleh instruksi
Surat keputusan tersebut
Walikota Sorong tahun 2004 yang mengatur tentang
perusahaan pukat udang untuk menjual hasil tangkapan sampingannya minimum sebanyak 10% kepada masyarakat lokal. Kendala pengelolaan hasil tangkapan sampingan Tiga kegiatan utama pengelolaan hasil tangkapan sampingan yaitu penangkapan, transportasi (handling) dari kapal penangkap ke darat dan pengumpulan atau penampungan di darat. hasil
tangkapan
sampingan
memang
Mendaratkan dan memanfaatkan tidak
menarik
bagi
pengusaha
penangkapan, karena nilai ekonomis ikan hasil tangkapan sampingan jauh lebih rendah dibandingkan tangkapan utama udang.
Oleh sebab itu, faktor-faktor
dibawah ini menjadi penyebab belum optimalnya pengelolaan ikan dan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura : (1)
Perusahaan penangkapan udang melarang anak buah kapal untuk mengumpulkan dan mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan karena udang menjadi target utama;
(2)
Mahalnya biaya pengangkutan (handling) ikan hasil tangkapan sampingan ataupun produk dari hasil tangkapan sampingan dari daerah penangkapan (fishing ground) ke daratan;
(3)
Kurangnya industri pengolahan yang menampung dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang yang dekat dengan daerah penangkapan;
(4)
Masyarakat
setempat
(Papua)
lebih
menyukai
produk
ikan
segar
dibandingkan produk olahan (terutama dari produk hasil tangkapan sampingan). (5)
Pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan sebagai bahan baku industri tepung ikan dianggap terlalu mahal dan tidak efisien;
(6)
Kurangnya prasarana dan sarana pendukung yang disediakan pemerintah untuk pemanfatan ikan hasil tangkapan sampingan;
(7)
Lokasi pasar relatif jauh, sehingga produk olahan dari ikan hasil tangkapan sampingan menjadi mahal dan tidak kompetitif;
(8)
Rendahnya preferency masyarakat (terutama masyarakat lokal) mengkonsumsi ikan olahan dari hasil tangkapan sampingan.
58
Kecuali di daerah Avonna dan Kaimana, meskipun belum optimal tetapi sebagian ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang telah dimanfaatkan. Pemanfaatan yang belum optimal tersebut disebabkan oleh : (1)
Sarana dan prasarana penunjang masih sangat terbatas;
(2)
Belum mandirinya kelembagaan perikanan di pemerintahan daerah Kabupaten Kaimana (bidang perikanan berada dibawah Dinas Kehutanan dan Pertanian);
(3)
Jalur transportasi antara (PT. Avonna) dengan pusat perekonomian dan pusat pemukiman masyarakat hanya bisa di akses lewat transportasi laut, itupun masih sangat terbatas belum ada trasnportasi umum;
(4)
Pemasaran ikan hasil tangkapan sampingan masih sangat terbatas, sehingga diperlukan upaya untuk memperluas akses pasar;
(5)
Lemahnya pengawasan dari instansi terkait menyebabkan banyaknya terjadi pembuangan ikan hasil tangkapan sampingan di tengah laut.
5.2
Perencanaan Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan hendaknya dilakukan dengan
prinsip pemanfaatan optimum-lestari untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan mengurangi buangan dari produk perikanan, termasuk sampah perikanan dengan cara memanfaatkannya seoptimal mungkin. Permasalahan umum kegiatan penangkapan pukat udang adalah adanya hasil tangkapan sampingan. Permasalahan tersebut tentunya juga terjadi pada kegiatan penangkapan pukat udang di Laut Arafura.
Kewajiban setiap kapal
trawl untuk menggunakan alat pemisah ikan (API/BED) untuk meminimalisasi hasil tangkapan sampingan, pada kenyataannya kurang bahkan tidak efektif, dibuktikan dengan jumlah hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura yang masih sangat besar. Dalam Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982 (United Nation Convention Low of the Sea) menyebutkan bahwa, tiga tujuan pokok pengelolaan sumberdaya ikan adalah ; (1) pemanfaatan sumberdaya ikan secara rasional, (2) pelestarian sumberdaya ikan dan (3) keserasian usaha pemanfaatan. FAO dalam CCRF article 7, (FAO, 2002) merekomendasikan agar pendekatan pengelolaan sumberdaya
perikanan
diarahkan
untuk
menjadi
solusi
permasalahan-
permasalahan sebagai berikut; (1) mengurangi over fishing dan kapasitas
59
penangkapan, (2) mengurangi hasil tangkapan sampingan (by-catch), (3) mengurangi kerusakan lingkungan dan (4) mengurangi ketidakpastian dan resiko. Berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas serta guna memenuhi tujuan dan rekomendasi pengeloaan sumberdaya ikan, melalui analisis berikut ini diharapkan dapat ditemukan akar permasalahan dan solusinya. 5.2.1
Analisis kebijakan pemerintah di bidang perikanan sebagai pendukung pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang Beberapa kebijakan dalam bentuk peraturan perundangan dan himbauan
telah dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang berkaitan dengan ikan hasil tangkapan sampingan dari kapal pukat udang.
Namun
demikian pelaksanaan peraturan perundangan dan himbauan tersebut dirasakan belum efektif dan disinyalir banyak terjadi pelanggaran. Berdasarkan penelitian penulis, dari sekian banyak peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan perikanan, diantaranya ada 4 (empat)
peraturan dalam bentuk
Keputusan Presiden, Surat Keputusan Menteri dan Surat Keputusan Direktur Jenderal yang berkaitan langsung dengan ikan hasil tangkapan sampingan. Demikian pula hasil wawancara penulis dengan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua (Bapak Ir. Astiler Maharaja) pada tanggal 10 Desember 24, diperoleh keterangan bahwa, peraturan dan perundangan dalam bentuk Keputusan Presiden, Surat Keputusan Menteri dan Surat Keputusan Direktur Jenderal yang berhubungan langsung dengan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan hanya ada empat yaitu: (1)
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 561/Kpts/Um/11/1973 tentang pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan.
(2)
Keputusan Presiden No. 85, tentang penggunaan pukat udang di bagian tertentu perairan Indonesia, tanggal 24 Desember 1982.
(3)
Surat Keputusan Menteri Pertanian No.930/Kpts/Um/12/1982, tentang pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 85, tahun 1982, tanggal 27 Desember 1982,
(4)
Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor: IK.010/S3.8063/82K tentang pelaksanaan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang. Surat keputusan ini mengatur tentang jumlah ikan hasil sampingan yang harus dimanfaatkan, teknis pemanfaatannya dan pengawasan atau
60
pemeriksaan
atas
kebenaran
pemanfaatan
yang
dilaksanakan
oleh
perusahaan-perusahaan pukat udang. Setelah Surat Keputusan Presiden dan Surat Keputusan Menteri serta Surat Keputusan Direktur Jenderal tersebut di atas, untuk mengatur penggunaan pukat udang di perairan Indonesia, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor. 85, tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang. Dalam Keputusan Presiden ini ditentukan bahwa pukat udang hanya dapat dioperasikan di Perairan Kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya, dan Laut Arafura pada koordinat 1300 BT ke timur, kecuali di perairan pantai dari masing-masing kepulauan tersebut dibatasi oleh isobath 10 (sepuluh) meter. Dasar pertimbangan dikeluarkan Keputusan Presiden tersebut adalah karena telah tersedianya pukat udang yang dilengkapi dengan alat pemisah ikan (API) karena alat pemisah ikan akan dapat mengurangi hasil tangkapan sampingan, serta keadaan geografi yang khusus daerah penangkapan. Keadaan geografi daerah penangkapan tersebut di atas memiliki potensi udang yang besar dan belum dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan tradisional setempat, sehingga pemanfaatan potensi yang tersedia tidak akan menyebabkan gangguan terhadap kegiatan nelayan tradisional. Pelaksanaan Surat Keputusan Presiden Nomor 85 tahun 1982 ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 930/Kpts/Um/12/1982 yang mengatur tentang penggunaan pukat udang.
Selanjutnya, Direktur Jenderal
Perikanan mengeluarkan dua suarat keputusan tentang bentuk dan konstruksi serta penyerahan ikan hasil tangkapan sampingan kepada perusahaanperusahaan milik negara yaitu; Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor: IK.010/S3.8075/82K tentang konstruksi pukat udang, dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor: IK.010/S3.8063/82K tentang pelaksanaan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang. Merasa belum cukup dan kepentingan daerah belum terakomodir dalam peraturan dan perundangan yang dibuat oleh pemerintah pusat, pemerintah Kota Sorong di Provinsi Papua juga membuat aturan khusus daerah berupa : (1)
Surat Pemberitahuan Kepala Dinas Pertanian dan Kelautan Pemerintah Kota Sorong, tanggal 25 Mei 2004, tentang surat keputusan Kepala Dinas Pertanian dan Kelautan Pemerintah Kota Sorong tahun 2004, tentang ketentuan pembongkaran ikan hasil tangkapan sampingan kapal pukat udang untuk konsumsi masyarakat di Kota Sorong.
61
(2)
Surat Himbauan Walikota Sorong, No. 523/1320/2004, tahun 2004, tentang himbauan untuk membawa ikan hasil tangkapan samping kapal pukat udang. Hasil identifikasi penulis, peraturan dan perundangan yang mendukung
kebijakan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan serta hasil analisis keterkaitan dan efektifitas peraturan dan perundang undangan tersebut dengan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16.
Analisis peraturan dan perundang undangan di bidang perikanan pendukung kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang
No.
Peraturan Perundangan
Tentang
Hasil Analisis
1
Surat Keputusan Menteri Pertanian No.561/Kpts/Um/11/1973
Pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan
- Mewajibkan kepada setiap pengusaha penangkapan udang untuk memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan guna pemenuhan kebutuhan bahan pangan. - Ketentuan-ketentuan yang ada dalam SK ini merupakan persyaratan pelengkap dari surat izin usaha Perikanan. - Dalam Surat Keputusan Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan No. 45, Tahun 2000 tentang perizinan usaha perikanan tidak mencantumkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan sebagai kelengkapan wajib dalam permohonan Izin Usaha Perikanan. - SK Menteri Pertanian No.561/Kpts/Um/11/1973 tidak sinkron dengan SK Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan No. 45, Tahun 2000, akibatnya kewajiban setiap pengusaha penangkapan udang untuk memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
62
No.
Peraturan Perundangan
Tentang
Hasil Analisis
2
Keputusan Presiden No. 39, tahun 1980
Penghapusan jaring trawl yang berlaku diseluruh Perairan Indonesia.
3
Instrukusi Presiden No. 11, tahun 1982
Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 39, tahun 80.
4
Keputusan Presiden No. 85, tahun 1982, Tanggal 24 Desember 1982
Penggunaan pukat udang di bagian tertentu perairan Indonesia.
5
Surat Keputusan Menteri Pertanian No.930/Kpts/Um/12/1982, Tanggal 27 Desember 1982
Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1982
- Pembinaan kelestarian sumberdaya ikan - Perbaikan usaha penangkapan nelayan tradisionil. - Menghindari terjadinya ketegangan sosial di masyarakat, khususnya nelayan. - Tidak menyinggung tentang pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan - Sebagai tindak lanjut Kepres No. 39, tahun 80 agar jaring trawl tidak digunakan lagi di perairan Indonesia - Pembinaan kelestarian sumberdaya ikan - Perbaikan usaha penangkapan nelayan tradisionil - Pemanfaatan potensi udang secara optimal di bagian tertentu perairan Indonesia - Kewajiban pengusaha pukat udang untuk mendaratkan dan menyerahkan ikan hasil tangkapan sampingan. - Memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan untuk kepentingan masyarakat. - Tidak menjelaskan mekanisme pendaratan dan pemanfaatan ikan hasil tangkapan tersebut - Sebagai tindak lanjut Kepres No. 85, tahun 1982, dan bersifat lebih operasional - Penentuan lokasi penggunaan pukat udang - Mewajibkan perusahaan penangkapan yang menggunakan pukat udang untuk menye-rahkan hasil tangkapan sampingan kepada perusahaan yang telah ditentukan.
63
No.
Peraturan Perundangan
5
(lanjutan)
6
Surat Keputusan Dirjen Perikanan No.IK.010/S3.8063/82K, Tanggal 31 Desember 1982
Tentang
Pelaksanaan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan pukat udang
Hasil Analisis - Menjelaskan bentuk hasil tangkapan yang dapat diserahkan (segar, beku atau kering). - Menugaskan kepada Dirjen Perikanan untuk mengatur, mengawasi dan membimbing pemanfaatan ikan HTS - Tidak menjelaskan sistem pengawasan pemanfaatan ikan HTS yang dapat membuat pengusaha penangkapan yang menggunakan pukat udang terdorong untuk melaksanakan - Saat ini keputusan tersebut yang mewajibkab mendaratkan dan memanfaatkan ikan HTS tidak dilaksanakan sebagaimana tercantum. - Sebagai tindak lanjut dan melengkapi SK Menteri Pertanian No. 930/Kpts/Um/12/82 - Mengulang dan menekankan kepada perusahaan yang telah diberi izin penangkapan untuk menyerahkan ikan HTS secara maksimal kepada perusahaan pengolahan yang telah ditentukan. - Mengatur tentang jumlah ikan hasil tangkapan sampingan yang harus diserahkan oleh perusahaan penangkapan kepada perusahaan yang ditunjuk (secara bertahap) dan mewajibkan kepada perusahaan yang ditunjuk untuk menerima ikan hasil tangkapan sampingan dalam bentuk segar, telah diolah taupun berupa tepung ikan.
64
No.
Peraturan Perundangan
6
(lanjutan)
7
Surat Keputusan Dirjen Perikanan No. IK.010/S3.8075/82K, Tanggal 31 Desember 1982
Tentang
Konstruksi pukat udang
Hasil Analisis - Perintah kepada Kadinas Perikanan di Provinsi (Maluku dan Irian Jaya), untuk mengawasi pelaksanaannya dan melaporkan hasil-hasil pelaksanaannya kepada Dirjen Perikanan - Tidak menjelaskan mekanisme (teknis) pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan tersebut. - Tidak menjelaskan sistem pengawasannya, seperti cara kontrol dan cara monitoring untuk mendorong pengusaha penangkapan yang menggunakan pukat udang melaksanakan keputusan pemanfatan ikan hasil tangkapan sampingan. - Saat ini keputusan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana tercantum. - Tindak lanjut SK Menteri Pertanian No. 930/Kpts/Um/12/82. - Lebih khusus, menentukan konstruksi pukat udang dan wajibkan menggunakan API. - Dimaksudkan untuk mengurangi jumlah hasil tangkapan sampingan - Karena sistem pengawasan dilapangan tidak memadai, maka kewajiban penggunaan API tidak dipatuhi dan aturan ini menjadi tidak efektif.
65
No.
Peraturan Perundangan
Tentang
8
Keputusan Menteri No. 996/1999
Petunjuk implementasi mengenai pengawasan dalam aktivitas penangkapan ikan
9
Peraturan Pemerintah No. 62/2002
Tarif atau jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di DKP
10
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, No. KEP.38/MEN/2003, Tanggal 23 Oktober 2003
Produktivitas kapal penangkap ikan
Hasil Analisis - Mengatur tugas dan fungsi aparat pengawasan dan pelaksanaan pengawasan terhadap tracking kapal, daerah penang-kapan dan wilayah yang dilindungi. - Mewajibkan bagi kapal penangkap, kapal pengangkut dan kapal pengumpul menggunakan tanda identifikasi. - Karena fasilitas pengawasan yang tersedia tidak memadai, menyebabkan pengawasan tidak berjalan sesuai harapan. - Mengatur kewajiban kapal penangkap ikan membayar PNBP - Tarif dihitung berdasarkan ukuran, jenis dan banyaknya kapal serta jenis alat tangkap. - Menghitung tarif sebagai kompensasi terhadap ikan HTS yang dihasilkan oleh kapal penangkap menggunakan pukat udang. - Sebagai aturan pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2002 tentang Tarif atau jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di DKP - Perhitungan produktivitas kapal dan komposisi ikan hasil tangkapan untuk menghitung PHP termasuk kapal pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura. - Tidak jarang aparat pengawasan menangkap kapal pukat udang yang mendaratkan ikan HTS karena danggap tidak sesuai dengan SIUP, karena tidak memahami peraturan yang berlaku.
66
No.
Peraturan Perundangan
Tentang
Hasil Analisis
11
Surat Pemberitahuan Kepala Dinas Pertanian dan Kelautan Pemerintah Kota Sorong, tanggal 25 Mei 2004
Ketentuan pembongkaran ikan sampingan kapal pukat udang untuk konsumsi masyarakat di Kota Sorong
- Kebutuhan ikan bagi masyarakat di kota Sorong - Mengurangi penangkapan ikan dengan cara menggunakan bom (illegal fishing) - Kontribusi sektor perikanan bagi PAD Pemerintah Kota Sorong - Mekanisme perdagangan ikan HTS di Kota Sorong - Surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak menjelaskan tentang low enforcementnya.
12
Surat Himbauan Walikota Sorong, No. 523/1320/2004, tahun 2004
Himbauan untuk membawa ikan samping kapal pukat udang.
- Kebutuhan ikan bagi masyarakat di kota Sorong - Himbauan mendaratkan jumlah tertentu ikan hasil tangkapan sampingan - Surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak wajib untuk dipatuhi. - Hanya mengharapkan tanggung jawab secara moral (moral obligation) dari pengusaha atau ABK kapal pukat udang.
Berdasarkan hasil analisis di atas (Tabel 16) diketahui bahwa cukup banyak peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan, akan tetapi tidak ditemukan pasal atau klausal yang tegas dan rinci tentang pengelolaan hasil tangkapan sampingan serta sanksi hukum yang dapat dijadikan dasar hukum untuk pengelolaan maupun pemberian sanksi terhadap pelanggaran peraturan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan tersebut. Peraturan perundangan pada Tabel 16 di atas, seluruhnya memuat dan menyinggung pengelolaan dan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan, akan tetapi hanya memuat dan menjelaskan tentang mendaratkan dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan, di dalamnya tidak secara rinci mengatur dan menjelaskan bagaimana mekanisme penerapan atau penyelenggaraannya baik bagi pemerintah sebagai regulator maupun bagi pengusaha dan anak buah kapal penangkapan udang.
67
Dengan status dan kondisi peraturan perundangan yang ada saat ini menyebabkan terjadinya kendala pengeloaan karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dari instansi terkait sehinga banyaknya terjadi pembuangan ikan hasil tangkapan sampingan di tengah laut. Memperhatikan permasalahan di atas, dengan hasil tangkap sampingan di perairan Laut Arafura yang diperkirakan mencapai 332.186,40 ton/tahun, agar potensi
ikan
hasil
tangkapan
sampingan
yang
demikian
besar
dapat
dimanfaatkan maka memerlukan pengelolaan secara optimal. Guna mencapai pengelolaan yang optimal yang berarti dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
diperlukan
membuat
suatu
kebijakan
dan
perencanaan
pemanfaatan yang memungkinkan untuk dilaksanakan di Provinsi Papua. Dalam merencanakan dan me mbuat kebijakan, beberapa hal yang sangat penting untuk menjadi perhatian dalam upaya pengelolaan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura diantaranya : (1)
Kebijakan tentang perikanan pukat udang yang jelas dan pasti, meliputi tugas pokok dan fungsi pihak-pihak terkait. Hal ini sangat penting karena dalam kegiatan perikanan pukat udang melibatkan berbagai pihak yang terkait langsung seperti pengusaha penangkapan, anak buah kapal, instansi pengawas dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat.
(2)
Peraturan pemanfataan hasil tangkapan sampingan yang mengatur tentang spesies dan jumlah (berapa persen) ikan hasil tangkapan sampingan yang harus didaratkan serta mekanisme (aspek teknis) pendaratannya.
(3)
Data dan informasi (perkiraan) yang akurat tentang potensi hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan oleh perikanan pukat udang pada waktu atau satuan waktu tertentu. Hal ini sangat penting untuk diketahui, khususnya bagi investor yang ingin memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan, serta untuk mengitung suplai dan kebutuhan (daya serap) pasar terhadap produksi ikan hasil tangkapan sampingan.
68
5.3 Pola dan Model Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan 5.3.1 Pola kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan Kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan pukat udang diperlukan dalam pelaksanaan pengelolaan hasil tangkapan sampingan. Kebijakan yang paling kompromistis dan dapat diterima para stakeholder diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan.
Untuk menentukan kebijakan yang tepat,
sepatutnya me ndapat masukan dan berdasarkan presepsi stakeholder tentang pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan.
Agar lebih sederhana, dalam
menentukan pilihan kebijakan yang tepat dan dapat diterima dibuat 3 (tiga) alternatif pola kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan yaitu : (1)
Pola 1. Mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan yang dapat dimanfaatkan seluruhnya (100 %), yaitu hasil tangkapan sampingan yang tertangkap dipilih berdasarkan kriteria tertentu (spesies dan ukuran) dibawa semuanya ke darat sesuai dengan kapasitas kapal yang ada untuk dimanfaatkan.
(2)
Pola 2 Mendaratkan spesies dan ukuran tertentu minimum sebanyak 50% dari seluruh ikan hasil tangkapan sampingan. Ikan hasil tangkapan sampingan dipilih dan dikumpulkan untuk selanjutnya didaratkan.
(3)
Pola 3 Diserahkan kepada pengusaha penangkapan udang dan ABK untuk menentukan kebijakan mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan. Pola ini memberikan kebebasan kepada perusahaan untuk menentukan kuantitas ikan hasil tangkapan sampingan yang boleh didaratkan untuk dimanfaatkan tanpa mengganggu kualitas dan kuantitas produksi udang. Untuk mendapatkan pola kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan
di Laut Arafura Provinsi Papua yang paling optimum, dilakukan analisis terhadap 3 pola alternatif pemanfaatan sebagaimana dijelaskan di atas.
Memper-
timbangkan kompleksitas permasalahan yang ada serta untuk mempermudah penulis, maka proses analisis hierarki (AHP) digunakan sebagai alat bantu (tool) analisis. Dalam menentukan pilihan dan proses analisis menggunakan 4 (empat) kriteria yang secara signifikan mempengaruhi kegiatan pengelolaan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura Provinsi Papua yaitu ; (a) aspek biologi, (b) aspek ekologi, (c) aspek ekonomi dan (c) aspek sosial.
Selanjutnya, untuk
mempermudah pengolahan data dalam proses analisis hierarki (AHP) ini,
69
dilakukan dengan menggunakan alat bantu software Expert Choice. Hierarki dari pola pendaratan hasil tangkapan sampingan ini secara ringkas disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18. Proses hirarki analisis untuk pemilihan pola terbaik pendaratan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura (1)
Hasil analisis pengolahan data horizontal Pengolahan data pada tingkat 2 dilakukan untuk melihat prioritas dari berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pola kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura Provinsi Papua. Hasil pengolahan data horizontal tingkat 2 yang diperoleh berdasarkan analisis gabungan pendapat para responden dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 2 Eigen Faktor
Bobot
Prioritas
- Biologi
0,466
1
- Ekologi - Ekonomi
0,143 0,338
3 2
- Sosial
0,052
4
Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,07 Dari hasil analisis pengolahan data horizontal hierarki tingkat 2 di atas, diketahui bahwa aspek biologi merupakan faktor yang memiliki bobot paling besar pengaruhnya terhadap kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, yaitu sebesar 0,466.
Selanjutnya secara
berurutan diikuti oleh aspek ekonomi (0,338), aspek ekologi (0,143) dan aspek sosial (0,053).
70
Berikutnya adalah analisis terhadap hierarki tingkat 3, data diolah untuk memperoleh satu pola prioritas diantara alternatif pola yang tersedia, yaitu kebijakan mendaratkan hasil tangkapan sampingan yang dianalisis berdasarkan aspek-aspek di atasnya.
Hasil analisis pengolahan data
horizontal pada hierarki tingkat 3 disajikan pada Tabel 18. Tabel 18.
Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 3 Alternatif
Aspek
RI Pola 1
Pola 2
Pola 3
- Biologi
0,528
0,333
0,140
0,05
- Ekologi
0,559
0,352
0,089
0,05
- Ekonomi
0,143
0,286
0,571
0,04
- Sosial
0,637
0,258
0,105
0,04
Melalui hasil analisis di atas (Tabel 18) dapat dilihat bahwa alternatif kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura adalah pola 1 yang merupakan pilihan sebagai prioritas pertama ditinjau dari aspek biologi (0,528); aspek ekologi (0,604); aspek sosial (0,628). Jika dilihat dari aspek ekonomi, maka pilihan kebijakan dengan bobot terbesar adalah alternatif pola 3 dengan bobot nilai 0,576. (2)
Hasil analisis pengolahan vertikal Hasil analisis pengolahan data vertikal pada tingkat 2 memberikan nilai yang sama dengan hasil pengolahan data horizontal pada tingkat yang sama, karena pada tingkat ini langsung berada dibawah tingkat pertama atau fokus dari model hierarki sistem keputusan.
Secara lebih lengkap
hasil analisis pengolahan data vertikal tingkat 2 pola pendaratan hasil tangkapan sampingan pukat udang disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 2 Eigen Faktor
Bobot
Prioritas
- Biologi
0,466
1
- Ekologi
0,143
3
- Ekonomi - Sosial
0,338 0,052
2 4
Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,07
71
Analisis selanjutnya adalah pengolahan data vertikal pada tingkat 3. Dilakukan untuk memperoleh alternatif pola kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan yang dipilih berdasarkan persepsi para stakeholder. Secara lebih lengkap, hasil analisis pengolahan data vertikal pada tingkat 3 dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 3
Elemen Alternatif
Bobot
Prioritas
- Pola 1
0,408
1
- Pola 2
0,316
2
- Pola 3
0,276
3
Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,06 Berdasarkan hasil analisis vertikal di atas, terlihat bahwa urutan prioritas alternatif pola kebijakan pendaratan yaitu kebijakan pola 1 dengan bobot nilai sebesar 0,408 sebagai prioritas pertama, prioritas kedua yaitu pola 2 dengan bobot nilai sebesar 0,316, dan prioritas ketiga atau alternatif terakhir yaitu kebijakan pola 3 dengan nilai 0,276. Dengan telah diketahui urutan prioritas pola kebijakan seperti di atas, maka diperoleh
pola 1 merupakan pola kebijakan pendaratan hasil
tangkapan sampingan yang diinginkan oleh para stakeholder dan masyarakat yang berhubungan langsung dengan kegiatan perikanan pukat udang untuk diterapkan di Laut Arafura, Provinsi Papua. Selain terlihat dari bobot nilai prioritas yang relatif tinggi dibandingkan dengan kebijakan pola 2 dan 3, pola 1 juga merupakan keinginan dan harapan dari pembuat kebijakan pada sektor perikanan di Provinsi Papua untuk dapat mengelola ikan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang agar sebanyakbanyaknya didaratkan untuk konsumsi pangan. Bila ditinjau dari aspek ekonomi, kebijakan pola 1 memang tidak efisien, hal ini disebabkan karena dibutuhkan biaya tambahan untuk mendaratkan 100% hasil tangkapan sampingan serta waktu untuk penyortiran. Selain itu, dengan jumlah ikan hasil tangkapan yang relatif banyak di dalam palka dihawatirkan dapat mengurangi kualitas udang, sehingga harga udang menjadi lebih murah yang implikasinya akan menurunkan pendapatan perusahaan penangkapan.
72
5.3.2 Model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan Sesunguhnya belum ada metode yang baku ataupun desain standar untuk mengelola hasil tangkapan sampingan di laut. Menentukan model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan struktur kegiatan penangkapan udang setempat (Slavin 1981), karena masing-masing tempat penangkapan memiliki karakteristik dan struktur perikanan yang berbedabeda, ada yang menggunakan alat mekanis untuk penyortiran, ada yang menyediakan volume palka dan ruang pendingin yang lebih besar, dan ada yang memanfaatkan hanya sebagaian ikan hasil tangkapan sampingan, oleh sebab itu dengan mengkombinasikan contoh-contoh yang telah dilaksanakan di berbagai tempat di luar negeri, diharapkan diperoleh metode yang paling sesuai untuk pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, Provinsi Papua. Merencanakan model pemanfaatan yang paling sesuai untuk Laut Arafura di antaranya harus mempertimbangkan kondisi geografis, karakter pengusaha, keinginan anak buah kapal dan harapan pemerintah sebagai regulator pengelolaan sumberdaya
perikanan.
Ada 4 model pendekatan teknis
pengelolaan untuk memanfaatkan hasil tangkapan sampingan pukat udang yang memungkinkan dapat dikembangkan dan dilaksanakan di Laut Arafura, Provinsi Papua, yaitu: (1)
Model 1 Kapal pukat udang sebagai penghasil ikan hasil tangkapan sampingan beroperasi sebagai kapal penangkap sekaligus sebagai kapal pengumpul ikan hasil tangkapan sampingan, tetapi di kapal tersebut tidak dilakukan pengolahan. Pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan akan dilakukan di darat.
(2)
Model 2 Ikan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang akan ditampung oleh kapal pengumpul khusus yang dioperasikan untuk menampung sekaligus melakukan pengolahan di atas kapal. Pada kapal penampung khusus ini tentunya dilengkapi dengan sarana pengolahan ikan, seperti mesin pemisah tulang (meatbone machine),
dengan demikian ikan
hasil
tangkapan yang didaratkan sudah dalam bentuk daging lumat (minced fish).
73
(3)
Model 3 Ikan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang ditampung oleh kapal pengumpul, tetapi pengolahan tidak dilakukan di atas kapal seperti Model 2. Pada model ini, kapal penampung hanya berfungsi sebagai pengumpul dan tidak difungsikan sebagai kapal pengolah. Pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan akan dilakukan di darat seperti pada Model 1.
(4)
Model 4 Kapal pukat udang sebagai penghasil ikan hasil tangkapan sampingan dioperasikan sekaligus sebagai kapal pengumpul dan pengolahan. Perbedaannya pengolahan.
dengan Model 1 yaitu tidak dilengkapi dengan sarana Model ini, kapal pukat udang dilengkapi dengan sarana
pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan sehingga pengolahannya dapat dilakukan langsung di atas kapal. Secara umum model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang tersebut dapat disarikan dalam bentuk diagram seperti ditunjukkan dalam Gambar 19. Jenis model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan manapun, tentunya akan banyak melibatkan pemenuhan kebutuhan input, proses produksi, distribusi dan proses pemasaran produk tersebut, oleh sebab itu aspek teknologi, modal awal (investasi finansial), kelembagaan pengelolaan juga harus mendapat perhatian serta dipersiapkan dengan baik. Khusus aspek kelembagaan, pada tahap awal pengembangannya sebaiknya dibangun oleh pemerintah daerah melalui pendekatan kemitraan dengan perusahaan pukat udang yang ada dan industri pengolahan baik industri berskala besar maupun industri rumah tangga.
74
Gambar 19.
Diagram model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap kapal pukat udang (trawl) untuk menggunakan alat pemisah ikan (API) untuk mengatasi permasalahan hasil tangkapan sampingan, tetapi kenyataannya hasil tangkapan sampingan masih tetap ada, apalagi dalam pelaksanaan peraturan tersebut diduga terjadi pelanggaran-pelangaran oleh kapal-kapal pukat udang.
Secara umum diketahui bahwa kelompok ikan demersal merupakan
kelompok dominan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura. Sebagaimana dijelaskan terdahulu, secara kuantitatif potensi ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di perairan ini menunjukkan jumlah yang cukup besar (332.186 ton pertahun). Dengan jumlah yang demikian besar sangat memungkinkan untuk dikelola, sehingga akan memberikan manfaat bagi semua pihak terutama masyarakat Papua yang tinggal di pesisir Laut Arafura serta tercapainya pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal dan lestari. Skema pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura secara sederhana disajikan pada Gambar 20.
75
Gambar 20.
Skema pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura
Pengelolaan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura merupakan suatu sistem kegiatan yang terintegrasi. Agar dapat berjalan efektif dan efisien serta memberikan manfaat yang optimal harus mendapat dukungan dari para stakeholder. Beberapa alternatif model pemanfaatan dianalisis menggunakan alat bantu (tool) proses analisis heirarki (AHP). Tidak disebutkan bahwa dalam proses penyusunan hierarki diperlukan suatu aturan khusus. Hierarki diperlukan hanya untuk dapat memahami permasalahan dan menstrukturnya ke dalam bagian-bagian sehingga menjadi elemen pokok yang cukup rinci untuk pengambilan keputusan yang logis. Yang terpenting fokus proses analisis harus ditentukan. Dalam melakukan pemilihan model pengelolaan yang paling sesuai mengacu pada empat kriteria yang sangat mempengaruhi pelaksanaan pengelolaan, yaitu modal awal (investasi), infrastruktur, biaya operasional (modal kerja), hukum dan kelembagaan.
Hierarki dari model pengelolaan hasil
tangkapan sampingan ini secara ringkas disajikan pada Gambar 21.
Untuk
mempermudah dalam pengolahan data dan menganalisis AHP terhadap elemenelemen tersebut, penulis menggunakan alat bantu software Expert Choice.
76
Gambar 21. Proses hierarki analisis untuk pemilihan model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura Dari keempat kriteria tersebut, modal awal merupakan hal yang penting diperhatikan. Hal ini disebabkan implementasi pemanfaatan hasil tangkapan sampingan tergantung pada ketersediaan dan kesiapan sarana dan prasarana, dimana pengadaan
komponen-komponen
sarana
dan
prasarana
sangat
ditentukan oleh ketersediaan modal awal. Model pengelolaan yang memerlukan sarana dan prasarana yang cukup banyak dengan tingkat teknologi yang tinggi tentunya akan memerlukan modal awal yang cukup besar. Di samping modal awal, tiga kriteria lainnya yaitu infrastruktur, biaya operasi (modal kerja), hukum dan kelembagaan sesungguhnya merupakan elemen-elemen yang saling memiliki keterkaitan. (3)
Hasil analisis pengolahan data horizontal Pengolahan data horizontal pada tingkat 2 dilakukan untuk melihat prioritas dari berbagai aspek yang berpengaruh terhadap model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura Provinsi Papua. Hasil pengolahan data horizontal tingkat 2 berdasarkan analisis gabungan para responden dapat dilihat pada Tabel 21.
77
Tabel 21.
Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 2
Aspek
Bobot
Prioritas
- Modal Awal
0,204
3
- Infrastruktur
0,386
1
- Biaya Operasional
0,168
4
- Hukum dan Kelembagaan
0,242
2
Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,07 Berdasarkan hasil analisis pengolahan data horizontal di atas terlihat bahwa Infrastruktur merupakan aspek yang memiliki bobot paling besar pengaruhnya, yaitu 0,386. Selanjutnya secara berurutan diikuti oleh aspek hukum dan kelembagaan (0,242), aspek modal awal (0,204) dan aspek biaya operasional (0,168). Analisis hierarki tingkat selanjutnya adalah pada tingkat 3.
Pengolahan
data horizontal pada tingkat ini untuk memperoleh model prioritas pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan berdasarkan pertimbangan faktor-faktor di atasnya. Hasil analisis pengolahan data horizontal pada tingkat 3 disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22.
Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 3
Alternatif Aspek
RI
Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
- Modal Awal
0,157
0,414
0,135
0,295
0,08
- Infrastruktur
0,147
0,449
0,228
0,176
0,06
- Biaya Operasional - Hukum & Kelembagaan
0,123 0,256
0,432 0,108
0,137 0,472
0,309 0,164
0,03 0,02
Dari hasil analisis di atas (Tabel 22) terlihat bahwa model 2 adalah model prioritas pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura karena berdasarkan aspek-aspek modal awal (0,414); infrastruktur (0,449); biaya operasional (0,432) merupakan pilihan dengan prioritas pertama. Jika dilihat dari faktor hukum dan kelembagaan, maka pilihan alternatif dengan bobot terbesar adalah model 3 dengan bobot nilai 0,472.
78
(4)
Hasil analisis pengolahan vertikal Pengolahan data vertikal adalah menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap target utama atau tujuan utama. Pengolahan data vertikal dilakukan setelah matriks pendapat
responden
diolah
secara
horizontal.
Adapun
analisis
pengolahan data vertikal dilakukan juga pada setiap tingkat, seperti yang dilakukan pada pengolahan data horizontal tingkat 2 dan tingkat 3. Hasil analisis pengolahan data vertikal pada tingkat 2 akan memberikan nilai yang sama
dengan hasil pengolahan data horizontal pada tingkat
yang sama, karena pada tingkat ini langsung berada dibawah tingkat pertama atau fokus dari model hierarki sistem keputusan. Hasil analisis pengolahan data vertikal tingkat 2 dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23.
Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 2
Eigen Faktor
Bobot
Prioritas
- Modal Awal
0,204
3
- Infrastruktur - Biaya Operasional
0,386 0,168
1 4
- Hukum dan Kelembagaan
0,242
2
Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,06 Selanjutnya analisis pengolahan data vertikal pada tingkat 3 untuk menentukan alternatif kebijakan pemanfatan hasil tangkapan yang akan dipilih.
Secara lebih lengkap hasil analisis pengolahan vertikal pada
tingkat 3 dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24.
Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 3
Alternatif Pemanfaatan
Bobot
Prioritas
- Model 1
0,171
4
- Model 2 - Model 3
0,357 0,252
1 2
- Model 4
0,220
3
Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,06
79
Berdasarkan hasil analisis vertikal di atas, maka dapat diketahui bahwa prioritas pertama diantara alternatif model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, Provinsi Papua adalah Model 2 dengan bobot nilai sebesar 0,357, prioritas kedua yaitu Model 3 dengan bobot nilai sebesar 0,252, prioritas ketiga yaitu Model 4 dengan bobot nilai 0,220 dan prioritas keempat atau terakhir yaitu Model 1 dengan bobot nilai (0,171). Hasil akhir dari analisis, diperoleh Model 2 merupakan model yang paling efisien untuk dilaksanakan, karena memiliki nilai prioritas tertinggi dibandingkan dengan ketiga model lainnya. Tingkat efisiensi model 2 tersebut ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur, biaya operasi yang memadai serta modal awal yang cukup. Meskipun bila dilihat dari sisi hukum dan kelembagaan Model 2 memiliki bobot nilai lebih kecil, karena
tetapi masih memungkinkan untuk diimplementasikan,
aspek hukum dan kelembagaan dapat dibangun dan dikembangkan
secara bertahap seiring dengan pelaksanaan Model 2 ini. Dengan demikian, pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, Provinsi Papua dilakukan dengan kapal pengumpul dan penampung khusus yang dilengkapi dengan sarana pengolah ikan di atas kapal. 5.4
Strategi Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura Berdasarkan hasil analisis terhadap efektivitas penerapan kebijakan
pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan di atas, bahwa masih sangat banyaknya permasalahan dalam pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan dari Laut Arafura yang diantaranya kurangnya infrastruktur yang mendukung kegiatan perikanan yang memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan, aturan hukum dan perundangan yang kurang jelas dan kurang tegas serta pengawasan dan penegakan hukum terhadap kegiatan perikanan pukat udang belum mencukupi.
Beragamnya permasalahan tersebut mendorong diperlukannya
perumusan strategi dalam menerapkan kebijakan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan dari Laut Arafura. Mengacu pada hasil identifikasi tentang peluang dan ancaman, kekuatan dan kelemahan, maka dapat dibuat dalam bentuk tabel dan matriks SWOT untuk menentukan strategi pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan seperti pada Tabel 25 dan Tabel 26 berikut ini:
80
Tabel 25. Hasil analisis faktor-faktor strategi internal Faktor-Faktor Strategi Internal
Bobot
Rating
Nilai
Potensi ikan hasil tangkapan sampingan sangat besar 332.186,40 ton/tahun
0.15
4
0,6
Kebijakan pemerintah Provinsi Papua tentang pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan untuk bahan pangan dan pakan (PERDA)
0,10
4
0,4
Dukungan dari pemerintah dalam pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dalam upaya peningkatan gizi masyarakat Papua
0,10
4
0,4
Kualitas lingkungan perairan masih baik
0,05
3
0,15
Sebagian besar ikan hasil tangkapan sampingan memiliki nilai ekonomis penting Kelemahan
0,05
2
0,1
Hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura belum dimanfaatkan secara optimal
0,15
1
0,15
Kualitas dan kuantitas SDM di Provinsi Papua dalam kegiatan pengelolaan hasil tangkapan sampingan masih rendah
0,10
1
0,1
Lokasi daerah penangkapan cukup jauh ke pangkalan pendaratan ikan sehingga biaya pengangkutan ikan hasil tangkapan sampingan ataupun produk olahan hasil tangkapan sampingan dari daerah penangkapan mahal
0,05
2
0,1
Prasarana dan sarana pendukung yang disediakan pemerintah untuk menunjang dalam kegiatan usaha pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan masih kurang
0,15
1
0,15
Preferensi masyarakat terhadap konsumsi olahan hasil tangkapan sampingan masih rendah, dan lebih menyukai produk ikan segar dibandingkan produk olahan
0,05
2
0,01
0,10
1
0,1
0,10
2
0,2
Kekuatan
Belum ada peraturan perundangan yang tegas tentang pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan serta masih lemahnya pengawasan dari instansi terkait menyebabkan banyaknya terjadi pembuangan ikan hasil tangkapan sampingan di tengah laut. Perusahaan penangkapan udang melarang ABK untuk mengumpulkan dan mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan
Total
1,00
2,46
81
Tabel 26. Hasil analisis faktor-faktor strategi eksternal Faktor-Faktor Strategi Eksternal
Bobot
Rating
Nilai
0,10
4
0,4
0,10
3
0,3
0,15
4
0,6
0,15
2
0,3
0,10
1
0,1
0,15
1
0,15
0,10
4
0,4
0,10
2
0,2
0,05
1
0,05
Peluang Permintaan terhadap produk perikanan masih sangat tinggi Keinginan pengusaha nasional maupun internasional membangun industri pengolahan ikan di Provinsi Papua Penyerapan tenaga kerja dibidang penangkapan ikan, pengolahan, dan pemasaran Terbukanya peluang pasar baik dalam negeri maupun luar negeri bagi produk olahan berbahan baku ikan hasil tangkapan sampingan Ancaman Persepsi Pengusaha pukat udang bahwa ikan hasil tangkapan sampingan tidak menguntungkan (nilai ekonomis ikan hasil tangkapan sampingan jauh lebih rendah dibandingkan tangkapan utama udang) Pelaksanaan peraturan perundangan dan himbauan dirasakan belum efektif dan disinyalir banyak terjadi pelanggaran dan dapat menyebabkan konflik Tidak saling terintegrasi aturan-aturan yang berhubungan dengan hasil tangkapan sampingan dan aturan-aturan yang mendukung pelaksanaannya. Pengoperasian kapal pukat udang di isobath < 10 m menyebabkan degradasi lingkungan. Maraknya kegiatan IUU fishing di Laut Arafura Total
1,00
2,50
82
Tabel 27. Matriks SWOT
83
Berdasarkan matriks analisis SWOT di atas, maka dapat dibuatkan prioritas strategi pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura seperti pada Tabel 28 dibawah ini. Tabel 28. Prioritas strategi pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan No. 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
Strategi Mendaratkan dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan sebanyak-banyaknya untuk konsumsi pangan dan pakan (S-O) S1+S2+S3+O1 Membangun industri pengolahan ikan di kota/daerah yang terdekat dengan daerah penangkapan (S-O) S4+S5+O2+O3+O4 Membangun dan meningkatkan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk mendukung kegiatan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan (W-O) W1+W3+W4+W6+W7+O1+O2+O4 Peningkatan kualitas SDM masyarakat Papua melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan serta pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir melalui kegiatan pengolahan hasil tangkapan sampingan di Provinsi Papua (W-O) W2+W5+O1 Membuat aturan perundangan dan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap kegiatan kapal pukat udang di Laut Arafura (W-T) W2+W3+W6+W7+T2+T3+T4+T5 Penguatan sistem kelembagaan pengelolaan ikan HTS di Laut Arafura (S-T) S2+S4+S5+T2+T3+T4+T5 Mengembangkan/melaksanakan proyek percontohan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan (S-T) S1+S3+T1 Hambatan utama
Skor 1,80
1,55
1,70
0,60
1,10 1,40 1,10
dalam upaya pengelolaan ikan hasil tangkapan
sampingan agar dapat didaratkan dan dimanfaatkan adalah keuntungan yang tidak menjanjikan bagi pengusaha penangkapan (termasuk ABK) dan pengusaha pengolahan.
Bagi pengusaha penangkapan, volume ikan hasil tangkapan
sampingan, variasi spesies dan ikan-ikan bernilai ekonomi rendah merupakan kombinasi yang menyebabkan pengumpulan dan pendaratan ikan hasil tangkapan sampingan menjadi tidak menguntungkan. Untuk dapat mengelola ikan yang berasal dari hasil tangkapan sampingan secara ekonomis, pengusaha penangkapan dan industri pengolahan harus dapat bekerja-sama dalam mendaratkan dan mengolah ikan hasil tangkapan sampingan menjadi produk yang laku dipasar dengan harga kompetitif, disamping itu untuk menjaga kelangsungan pasokan bahan baku, maka harga ikan hasil tangkapan
84
sampingan harus menarik bagi pengusaha penangkapan.
Tentunya tidak
mudah mencapai kondisi tersebut, karena di satu sisi harga produk olahan harus “murah” (competitive) di sisi lainnya harga ikan hasil tangkapan sampingan harus “mahal” (attractive), oleh sebab itu untuk memulai pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan dari Laut Arafura kepedulian dan intervensi pemerintah menjadi sangat vital dan sangat diperlukan. Setelah diketahui
prioritas strategi pemanfaatan ikan hasil tangkapan
sampingan di Laut Arafura seperti dijelaskan di atas, maka untuk merealisasikan strategi tersebut diantaranya dilaksanakan melalui program-program sebagai berikut: 1. Program untuk strategi pertama, mendaratkan dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan yaitu : (1)
Pemberian insentif dan kemudahan seperti pengurangan pungutan hasil perikanan (PHP) bagi pengusaha/perusahaan kapal pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura yang mendaratkan dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan samp ingan. Dengan pemberian insentif ini diharapkan para pelaku penangkapan kapal pukat udang menjadi terangsang untuk mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingannya.
(2)
Sesuai dengan model pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan yang paling cocok untuk dikembangkan di Laut Arafura yaitu pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dilakukan dengan kapal penampung khusus yang dilengkapi dengan sarana pengolah ikan di atas kapal, maka pada tahap awal pengembangan dibutuhkan inisiatif pemerintah untuk menyediakan kapal pengumpul sehingga dapat
mendorong
percepatan
realisasi
strategi
ini.
Seperti
penjelasan Slavin dalam Report of a Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization di Georgetown, Guyana (Slavin, 1981), program pengumpulan ikan hasil tangkapan sampingan seperti ini telah berhasil dilaksanakan oleh pelaku penangkapan dengan pukat udang bersama-sama dengan pemerintah di Meksiko. 2. Program untuk strategi kedua, membangun dan meningkatkan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk mendukung kegiatan perikanan yang memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan. Untuk melaksanakan strategi ini dilaksanakan program sebagai berikut:
85
(1)
Pembangunan fasilitas (seperti pelabuhan pendaratan ikan dibangun pada lokasi yang tepat, pembangunan cold storage, pabrik es, sumber air bersih dan tenaga listrik).
Pembangunan dapat
menggunakan dana dekonsentrasi maupun APBD Pemerintah Provinsi
Papua
yang
tersedia
relatif
cukup
besar.
Dengan
tersedianya fasilitas-fasilitas tersebut diharapkan akan menarik investor untuk ikut mengembangkan dan menanamkan modalnya dalam bisnis pengolahan ikan khususnya yang memanfaatkan hasil tangkapan sampingan dari Laut Arafura. (2)
Rehabilitasi dan rasionalisasi pengelolaan fasilitas dan infrastruktur perikanan yang ada di Provinsi Papua saat ini. Di masa kejayaan kegiatan perikanan di Papua, banyak perusahaan perikanan yang memiliki fasilitas dan infrastruktur sendiri, tidak termasuk milik pemerintah seperti fasilitas dan infrastruktur miliki PT. (Persero) Usaha Mina di Kota Sorong.
Karena
berbagai problema,
menyebabkan perusahaan-perusahaan tersebut “bangkrut”
(tidak
beroperasi) sehingga aset berupa fasilitas menjadi terlantar dan kondisinya rusak.
Melalui program ini Pemerintah Provinsi Papua
dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas tersebut dengan merancang program
perbaikan,
namun
demikian,
sebelum
pelaksanaan
perbaikan terlebih dahulu perlu memperjelas status pengelolaannya nanti pada saat masuk tahap operasional. 3. Program untuk strategi ketiga, yaitu mengembangkan dan membangun industri pengolahan ikan di kota/daerah yang terdekat dengan lokasi penangkapan dengan program sebagai berikut : (1)
Inisiatif pemerintah untuk membangun industri pengolahan ikan berskala kecil (rumah tangga) maupun skala menengah melalui proyek percontohan (pilot project). Setelah sukses dengan proyek percontohan tersebut selanjutnya dikembangkan menjadi industri utama yang memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan. Pemerintah Meksiko, melalui Departemen Perikanan telah berhasil melaksanakan program ini yaitu diawali pada tahun 1980 telah membangun suatu fasilitas pengolahan skala proyek percontohan dengan nama Productos Pesqueros Mexicanos (PPM) di Xochimilco yang memproduksi ikan lumat yang disebut dengan Pepepez.
86
(2)
Promosi investasi yaitu pemerintah Provinsi Papua mempromosikan dan mengundang para investor (melalui safari investasi, pameran nasional
ataupun
internasional)
untuk
membangun
industri
pengolahan ikan dengan menyedikan berbagai fasilitas infrastruktur dan
kemudahan
prosedur
investasi.
Dengan
promosi
dan
ketersediaan informasi yang lengkap diharapkan para investor mengetahui dan tertarik dengan adanya potensi dan peluang bisnis memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan di Provinsi Papua. 4. Program untuk strategi keempat, penguatan sistem kelembagaan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura. Kegiatankegiatan yang dapat mendukung program tersebut dapat berupa: (1) Merintis sebuah lembaga yang mampu mengakomodasi kompleksitas pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Ararfura.
Sejauh ini belum ada satu lembaga yang telah benar-
benar menjadi figur dalam permasalahan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan, kalaupun ada lembaga tersebut masih terlalu kecil untuk menghadapi kompleksitas permasalahan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan, khususnya hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura. (2)
Mempermudah birokrasi perizinan bagi pihak-pihak yang akan masuk dalam bidang pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura.
Hampir semua kelembagaan
perikanan di Indonesia menerapkan birokrasi yang panjang dan rumit untuk sebuah perizinan. Hal tersebut akan berdampak pada lambatnya pembangunan perikanan khususnya dalam pengelolalaan ikan hasil tangkapan sampingan. 5. Program untuk strategi kelima adalah membuat aturan perundangan yang jelas, tegas dan kuat serta meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap kegiatan penangkapan di Laut Arafura. Cukup banyak kegiatan yang harus dilaksanakan dalam program ini, diantaranya : (1)
Meng-identifikasi peraturan dan perundangan yang tidak saling terintegrasi selanjutnya disempurnakan sehingga menjadi peraturan dan perundangan yang memiliki pasal-pasal ataupun klausal yang tegas dan rinci tentang pengelolaan hasil tangkapan sampingan serta sanksi hukum yang dapat dijadikan dasar hukum untuk
87
pengelolaan maupun pemberian sanksi terhadap pelanggaran peraturan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan. (2)
Meng-identifikasi
Lembaga-lembaga
yang
terlibat
dalam
pengawasan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada pada saat ini.
Menyempurnakan sehingga tidak terjadi tumpang tindih
(overlaping) tugas dan kewenangan diantara lembaga.
Dengan
penyempurnaan tersebut diharapkan kewenangan yang tersebar di berbagai lembaga selama ini dapat menjadi lebih fokus sehingga mengurangi peluang konflik antar lembaga dan memperlancar penegakan hukum. (3)
Meningkatkan pelaksanaan surveillance dan monitoring (patroli perairan dan inspeksi ke atas kapal pukat udang dan di pendaratan ikan hasil tangkapan sampingan) di perairan Laut Arafura serta mengefektifkan laporan kegiatan penangkapan termasuk pendaratan ikan-ikan hasil tangkapan sampingan.
(4)
Menindak tegas para perusahaan dan anak buah kapal yang melakukan pelanggaran seperti penahanan atau bahkan pencabutan ijin usaha penangkapan dan hukuman badan/denda material bagi para anak buah kapal.
6. Program untuk strategi keenam, mengembangkan dan melaksanakan proyek percontohan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan. Program ini dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1)
Diawali oleh pemerintah mengembangkan jenis dan jumlah produkproduk
perikanan
yang
memanfaatan
ikan
hasil
tangkapan
sampingan. Dilaksanakan melalui proyek percontohan dalam bentuk koperasi kerjasama pemerintah dengan masyarakat ataupun BUMD. Proyek seperti ini telah berhasil dilaksanakan di Meksiko melaui perusahaan yang dibangun oleh Pemerintah yaitu Productos Pesqueros Mexicanos (1981), pengolahan dan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Meksiko sudah menjadi industri. Jenis produk pun terus dikembangkan, selain memproduksi pepepez, khusus untuk kebutuhan pangan lokal PPM memproduksi ikan tanpa tulang (deboned fish), ikan kering dan daging ikan lumat asin (salted mince). Disamping itu juga diproduksi ikan kaleng, kue ikan, dan snack ikan.
Pemerintah Meksiko terus membantu dan
88
mengembangkan pengolahan dan pemanfaatan HTS, dengan membangun fasilitas-fasilitas pengolahan serta memberikan insentif serta kemudahan kepada pengusaha dan anak buah kapal pukat udang. (2)
Kerjasama pemerintah dengan pihak swasta mengembangkan produk-produk
perikanan
dan
membangun
industri
memanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan.
yang
Produk-produk
perikanan yang dihasilkan dapat berupa ikan olahan hasil industri maupun hasil olahan rumah tangga seperti ikan asin, ikan asap, terasi, kecap ikan dan ikan pindang. Negara Thailand telah berhasil melaksanakan
program
kerjasama
seperti
ini.
Dikutip
dari
Kungsuwan (1996) menjelaskan, negara Thailand telah lama memanfaatkan
hasil
tangkapan
sampingan,
yaitu
sejak
dideklarasikannya Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil (ZEE), berawal dari deklarasi tersebut operasi armada-armada perikanan Thailand di perairan negara tentangga menjadi dibatasi. Untuk tetap dapat memenuhi permintaan pasar industri pengolahan ikan, Thailand meningkatkan
pemanfaatan
hasil
tangkapan
sampingan
dari
perikanan pukat udang khususnya untuk konsumsi manusia. 7. Program
untuk
strategi
ketujuh
yaitu
Peningkatan
kualitas
SDM
masyarakat Papua melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan serta pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir melalui kegiatan pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan di Provinsi Papua. Program ini dilaksanakan dengan (1)
Memberikan bantuan dengan menempatan tenaga ahli dan tenaga teknis perikanan di sentra-sentra perikanan tangkap di Papua. Melalui pendampingan tenaga ahli dan tenaga teknis secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu diharapkan terjadi transfer of knowledge, perubahan attitude dan paradigma. Namun demikian, perlu perhatian khusus dari pemerintah bila menempatkan tenaga ahli dan tenaga teknis, agar para tenaga ahli tersebut siap bekerja dengan terjun langsung ke lapangan dan dapat bertahan sesuai waktu yang ditetapkan.
89
(2)
Pelaksanaan pelatihan teknis perikanan terutama pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan sehingga menjadi produk yang memiliki nilai tambah (added value).
Meskipun sudah pernah dilaksanakan,
akan tetapi frekuensi dan jumlah personil yang dilatih masih sangat sedikit. Oleh sebab itu program pelatihan seperti ini dapat dijadikan program rutin tahunan dengan materi yang berbeda-beda. Teknis pelaksanaan dapat dilakukan dengan program Training of Trainers (TOT) yaitu beberapa kelompok pengolah atau individu yang diberikan pelatihan khusus untuk selanjutnya dapat melatih anggota kelompok pengolah tersebut.
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan
1. Diantara 3 pola kebijkan pendaratan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura yang dirancang, terpilih pola 1 sebagai pola kebijakan yang paling optimum dan sebagai prioritas kebijakan pendaratan ikan hasil tangkapan sampingan, yaitu mendaratkan ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang dapat dimanfaatkan seluruhnya (100%).
2. Dari 4 model alternatif pemanfaatan hasil tangkapan sampingan yang dibuat, terpilih model 2 sebagai model yang paling optimum dan sebagai prioritas model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, yaitu ikan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang ditampung oleh kapal pengumpul
khusus
yang
dioperasikan
melakukan pengolahan di atas kapal.
untuk
menampung
sekaligus
Selanjutnya ikan hasil tangkapan
sampingan yang sudah diolah dibawa ke darat dalam bentuk bubur ikan (minched fish).
3. Mendukung penerapan kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan disusun strategi sebagai berikut: (1) Mendaratkan dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan sebanyak-banyaknya untuk konsumsi pangan dan pakan, (2) Membangun dan meningkatkan fasilitas (infrastruktur) untuk mendukung
kegiatan
pemanfaatan
hasil
tangkapan
sampingan,
(3)
Membangun industri pengolahan ikan di kota/daerah yang terdekat dengan daerah penangkapan, (4) Penguatan sistem kelembagaan pengelolaan ikan hasil
tangkapan
sampingan
di
Laut
Arafura,
(5)
Membuat
aturan
perundangan dan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap
kegiatan
kapal
pukat
udang
di
Laut
Arafura,
(6)
Mengembangkan/melaksanakan proyek percontohan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan, (7) Peningkatan kualitas SDM masyarakat Papua melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan serta pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir melalui kegiatan pengolahan hasil tangkapan sampingan khususnya di Provinsi Papua
91
6.2
Saran
1. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk meneliti jenis produk, pasar, distribusi dan teknologi serta lokasi industri yang memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan dari Laut Arafura, sehingga jumlah ikan hasil tangkapan sampingan yang demikian besar benar-benar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat khususnya masyarakat di Provinsi Papua serta sekaligus memenuhi Code of Conduct for Responsible Fisheries. 2. Diperlukan aturan perundangan yang jelas dan tegas yang membolehkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan kapal pukat udang serta mengatur pengumpulan dan pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan dengan kapal khusus pengumpul (special boat).
DAFTAR PUSTAKA
Allsopp W.H.L. 1981. Use of Fish By-Catch from Shrimp Trawling; Future Development, Report of a Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization in Georgetown, Guyana, 1981, Hlm. 7 – 36. Alverson D.L., Murawski M.H., Pope J.G. 1994. Fisheries Technical Paper 339. A Global Assesment of Fisheries By-catch and Discards, Rome. 233 hlm. Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan.Yayasan Dewi Sri, Bogor. 97 hlm. Bostock T and Ryder J (1995) By-catch usage in India: an NRI/ODA BOBP project experience. In Report and Proceedings of TCDC Workshop - Utilisation of by-catch from Shrimp Trawlers, 6 - 8 June 1995. Nose Bé, Madagascar. Govt of Madagascar/UNDO/FAO 1995, Hlm. 17 – 20. Departemen Pertanian. 1999. Surat Keputusan Menteri Pertanian. Nomor: 995/Kpts/IK.210/9/99, tahun 1999, tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Jakarta, 12 hlm. Dinas Perikanan dan Kelautan, Provinsi Papua. 2003. Papua Dalam Angka 1988 2002. Statistik Perikanan Provinsi Papua, Jayapura. Hlm. 4 – 57. Dinas Perikanan dan Kelautan, Pemerintah Provinsi Papua. 2003. Potensi dan Peluang Usaha Perikanan Provinsi Papua, Jayapura. 24 hlm. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. 2004. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Merauke Tahun 2003, Merauke, 74 hlm. Diniah. 2001. TRAWL : Suatu Tinjauan Terhadap Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor, Bogor. 10 hlm. Ditjen Perikanan Tangkap. DKP. 2004. Daftar Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Agustus 2004, Jakarta. 122 hlm. Ditjen Perikanan Tangkap. DKP. 2005. Daftar Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Desember 2005, Jakarta. 122 hlm. DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan). www. dkp. go. Id. 23 November 2006, Jakarta. Hlm. 9. (FAO) Food and Agricultural Organization. 2002. Code of Conduct for Responsible Fisheries, Article 7, 46 hlm. (FAO) Food and Agricultural Organization, Fisheries Technical Paper 339. 1996. A Global Assesment of Fisheries By-catch and Discards, Rome. 233 hlm. Kungsawan, 1996. The Thai shrimp industry, A report prepared for FAO , Hlm. 20 – 27.
93
Mansoben. 2003. Konservasi Sumberdaya Alam Ditinjau dari Aspek Budaya, Universitas Cendrawasih, 2003. Jayapura, 9 hlm. Marine Work Group, Friend of the Irish Environment, Ireland. 2002. Marine Fisheries By-catch and Discards, 30 hlm. Mulyana. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya. Januari 2002. Bandung, 78 hlm. Mulyono S. 1996. Teori Pengambilan Keputusan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. 137 hlm. Nedelec J. C. and Prado J. 1990. Definition and Classification of Fishing Gear (Categories). FAO Fisheries Technical Paper, no. 222 Rev 1, Hlm. 41 – 55. Nikijuluw Victor P.M. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Pusat Pengembangan dan Pembangunan Regional dengan PT Pustaka Cidesindo, Jakarta. 253 hlm. (NOAA) National Oceanic and Atmospheric Administration, Library Centre. 2004. Managing the Nation's Bycatch. Priorities, Programs and Actions for The Marine and Fisheries Service. Washington, D.C. 187 hlm. Nomura M and Yamazaki T. 1977. Fishing Techniques (1). Tokyo. Japan International Cooperation Agency, 206 hlm. Productos Pesqueros Mexicanos. 1981. Pepepez - A New Frozen Minced Product, Report of a Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization in Georgetown, Guyana, 1981, Hlm. 101 – 103. Purbayanto A. SH. Wisudo, J Santoso, RI Wahyu, Dinarwan, Zulkarnain, Sarmintohadi, AD Nugraha, DA Soeboer, B Pramono dan A Marpaung, M Riyanto. 2004. Pedoman Umum Perencanaan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil Tangkap Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura Provinsi Papua. Jakarta. Dinas Perikanan Dan Kelautan Provinsi Papua dan PT. Sucofindo. 68 hlm. Purbayanto A. dan Riyanto M. 2005. Pengaruh Pengoperasian Pukat Udang pada Siang dan Malam Hari terhadap Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura. Maritek, vol 5, Maret 2005. Bogor, Hlm. 16 – 21 Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT Teknis Membedah Kasus Bisnis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 188 hlm. Saaty TL.1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin (Proses Hierarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Kompleks). (Terjemahan). PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 268 hlm. Sadhotomo, B. P. Raharjo dan Wedjatmiko. 2003. Pengkajian Kelimpahan dan Distribusi Sumberdaya Demersal dan Udang di Perairan Laut Arafura. Presiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut. DKP. Jakarta, Hlm. 33 – 43. Sainsburry, J. C. 1986. Commercial Fishing Methods. An Introduction to Vessels and gears. Second edition. Fishing News Books Ltd. Farnham, Surrey, England, 359 hlm.
94
Saisithi. 1981. Regional and Country Developments (Thailand), Report of a Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization in Georgetown, Guyana, 1981, hlm 143 – 146. Slavin J.W. 1981. Utilization of the Shrimp By-Catch, Report of a Technical Consultation on Shrimp Bycatch Utilization in Georgetown, Guyana, 1981, Hlm. 21 – 28. Subani dan Barus. 1988. Alat Penangkap Ikan Laut dan Udang di Perairan Indonesia. Jakarta. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Perikanan Laut No. 50. Departemen Pertanian, Hlm. 1 – 3. Suhardiman, I. 2005. Atlas Indonesia dan Dunia Edisi 33 Provinsi. Penerbit Lintas Media. 2005. Jombang, 65 hlm. Sumiono, B dan B. Sadhotomo. 1985. Perbedaan Hasil Tangkapan Pukat Udang dan Trawl di Perairan Teluk Bintuni, Irian Jaya. Jurnal Perikanan Laut No. 35, Hlm. 61 – 67. Zuwendra, Paul Erftemeijet and G. Allen. 1991. Inventarisasi Sumberdaya Alam Teluk Bintuni dan Rekomendasi untuk Menejemen dan Konservasi PHPA/AWB-Indonesia-Bogor, 151 hlm.
95
Lampiran 1. Foto kegiatan penelitian
Foto 1. Di Pelabuhan Paomako, Timika, sebelum mulai berlayar
Foto 3. Persiapan trawling
Foto 5. Hasil tangkapan sampingan
Foto 2. Persiapan jaring di atas kapal Baramundi milik DKP
Foto 4. Hauling
Foto 6. Hasil tangkapan (tiger prawn)
96
Foto 7. Hauling malam hari
Foto 9. Pemilahan dan identifikasi hasil tangkapan
Foto 8. Hasil tangkapan
Foto 10.
Hasil tangkapan sampingan yang sudah dipilah
Foto 11. Hasil tangkapan yang sudah di-identifikasi
97
Foto 12. Meng-identifikasi hasil tangkapan sampingan
Foto 13. Pemilahan hasil tangkapan sampingan
Foto 14. Kapal pukat udang sedang trawling di Laut Arafura
Foto 15. Kapal pukat udang sedang trawling di Laut Arafura
Foto 16. Kapal pukat udang sedang lego jangkar di Laut Arafura
Foto 17. Kapal pukat udang menuju fishing ground di Laut Arafura
98
Lampiran 2. Running program expert chioce untuk pemilihan pola pendaratan HTS
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS
Abbreviation
Definition
Biologi Ekologi Ekonomi
Biologi Ekologi Ekonomi
Pola 1 Pola 2
Mendaratkan HTS 100% Mendaratkan HTS 50%
Pola 3 Sosial
Diserahkan kepada pengusaha Sosial (Priorities shown are 'Local' -- relative to parent node.)
For Student Use Only
99
Lampiran 2. Running program expert chioce untuk pemilihan pola pendaratan HTS (lanjutan)
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS Node: 0 Compare the relative IMPORTANCE with respect to: GOAL
1 2 3 4 5
1=EQUAL Biologi Biologi Biologi Ekologi Ekologi
6
Ekonomi
3=MODERATE 9 8 7 6 9 8 7 6 9 8 7 6 9 8 7 6 9 8 7 6
5=STRONG 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
7=VERY STRONG 2 3 4 5 6 7 2 3 4 5 6 7 2 3 4 5 6 7 2 3 4 5 6 7 2 3 4 5 6 7
9=EXTREME 8 9 8 9 8 9 8 9 8 9
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Abbreviation
Definition
Goal Biologi Ekologi Ekonomi Sosial
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS Biologi Ekologi Ekonomi Sosial
Biologi
,466
Ekologi
,143
Ekonomi
,338
Sosial
,053 Inconsistency Ratio =0,07
For Student Use Only
Ekologi Ekonomi Sosial Ekonomi Sosial Sosial
100
Lampiran 2. Running program expert chioce untuk pemilihan pola pendaratan HTS (lanjutan)
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS Node: 10000 Compare the relative IMPORTANCE with respect to: Biologi < GOAL
1 2 3
1=EQUAL Pola 1 Pola 1 Pola 2
3=MODERATE 5=STRONG 9 8 7 6 5 4 3 2 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Abbreviation
7=VERY STRONG 9=EXTREME 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9
Definition
Goal Biologi Pola 1 Pola 2 Pola 3
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS Biologi Mendaratkan HTS 100% Mendaratkan HTS 50% Diserahkan kepada pengusaha
Pola 1
,528
Pola 2
,333
Pola 3
,140 Inconsistency Ratio =0,05
For Student Use Only
Pola 2 Pola 3 Pola 3
101
Lampiran 2. Running program expert chioce untuk pemilihan pola pendaratan HTS (lanjutan)
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS Node: 20000 Compare the relative IMPORTANCE with respect to: Ekologi < GOAL
1 2
1=EQUAL Pola 1 Pola 1
3
Pola 2
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Abbreviation
Definition
Goal Ekologi
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS Ekologi
Pola 1 Pola 2 Pola 3
Mendaratkan HTS 100% Mendaratkan HTS 50% Diserahkan kepada pengusaha
Pola 1
,559
Pola 2
,352
Pola 3
,089 Inconsistency Ratio =0,05
For Student Use Only
Pola 2 Pola 3 Pola 3
102
Lampiran 2. Running program expert chioce untuk pemilihan pola pendaratan HTS (lanjutan)
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS Node: 30000 Compare the relative IMPORTANCE with respect to: Ekonomi < GOAL
1 2 3
1=EQUAL Pola 1 Pola 1 Pola 2
3=MODERATE 9 8 7 6 9 8 7 6 9 8 7 6
Abbreviation
Goal Ekonomi Pola 1 Pola 2 Pola 3
5=STRONG 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
7=VERY STRONG 9=EXTREME 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9
Definition
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS Ekonomi Mendaratkan HTS 100% Mendaratkan HTS 50% Diserahkan kepada pengusaha
Pola 1
,143
Pola 2
,286
Pola 3
,571 Inconsistency Ratio =0,0
For Student Use Only
Pola 2 Pola 3 Pola 3
103
Lampiran 2. Running program expert chioce untuk pemilihan pola pendaratan HTS (lanjutan)
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS Node: 40000 Compare the relative IMPORTANCE with respect to: Sosial < GOAL
1
1=EQUAL Pola 1
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2
Pola 1
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pola 3
3
Pola 2
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pola 3
Abbreviation
Definition
Goal Sosial
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS Sosial
Pola 1 Pola 2 Pola 3
Mendaratkan HTS 100% Mendaratkan HTS 50% Diserahkan kepada pengusaha
Pola 1
,637
Pola 2
,258
Pola 3
,105 Inconsistency Ratio =0,04
For Student Use Only
Pola 2
104
Lampiran 2. Running program expert chioce untuk pemilihan pola pendarataan HTS (lanjutan)
Memilih Pola Terbaik Pendaratan HTS Synthesis of Leaf Nodes with respect to GOAL Distributive Mode OVERALL INCONSISTENCY INDEX = 0,05
Pola 1
,408
Pola 2
,316
Pola 3
,276
Abbreviation Pola 1 Pola 2 Pola 3
Definition Mendaratkan HTS 100% Mendaratkan HTS 50% Diserahkan kepada pengusaha
For Student Use Only
105
Lampiran 3. Running program expert chioce untuk pemilihan model pemanfaatan HTS
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS
Abbreviation
Definition
Biaya Op
Biaya Operasional
Huk&Lemg
Hukum dan Kelembagaan
Infrastr
Infrastruktur
Modal
Modal Awal
Model 1
Kapal sebagai penangkap sekaligus pengumpul
Model 2
Ada kapal penampung khusus sekaligus pengolah ikan
Model 3
Ada kapal pengumpul khusus tanpa pengolahan
Model 4
Kapal sebagai penangkap, pengumpul sekaligus pengolah (Priorities shown are 'Local' -- relative to parent node.)
For Student Use Only
106
Lampiran 3. Running program expert chioce untuk pemilihan model pemanfaatan HTS (lanjutan)
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS Node: 0 Compare the relative IMPORTANCE with respect to: GOAL
1 2 3 4
1=EQUAL Modal Modal Modal Infrastr
5 6
Infrastr Biaya Op
3=MODERATE 9 8 7 6 9 8 7 6 9 8 7 6 9 8 7 6
7=VERY STRONG 9=EXTREME 2 3 4 5 6 7 8 9 Infrastr 2 3 4 5 6 7 8 9 Biaya Op 2 3 4 5 6 7 8 9 Huk&Lemg 2 3 4 5 6 7 8 9 Biaya Op
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Abbreviation
Goal Modal Infrastr Biaya Op Huk&Lemg
5=STRONG 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
Definition
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS Modal Awal Infrastruktur Biaya Operasional Hukum dan Kelembagaan
Modal
,204
Infrastr
,386
Biaya Op
,168
Huk&Lemg
,242 Inconsistency Ratio =0,07
For Student Use Only
Huk&Lemg Huk&Lemg
107
Lampiran 3. Running program expert chioce untuk pemilihan model pemanfaatan HTS (lanjutan)
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS Node: 10000 Compare the relative IMPORTANCE with respect to: Modal < GOAL
1
1=EQUAL Model 1
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Model 2
2 3 4
Model 1 Model 1 Model 2
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Model 3 Model 4 Model 3
5 6
Model 2 Model 3
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Model 4 Model 4
Abbreviation
Goal Modal Model 1 Model 2 Model 3 Model 4
Definition
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS Modal Awal Kapal sebagai penangkap sekaligus pengumpul Ada kapal penampung khusus sekaligus pengolah ikan Ada kapal pengumpul khusus tanpa pengolahan Kapal sebagai penangkap, pengumpul sekaligus pengolah
Model 1
,157
Model 2
,414
Model 3
,135
Model 4
,295 Inconsistency Ratio =0,08
For Student Use Only
108
Lampiran 3. Running program expert chioce untuk pemilihan model pemanfaatan HTS (lanjutan)
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS Node: 20000 Compare the relative IMPORTANCE with respect to: Infrastr < GOAL 1
1=EQUAL Model 1
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2
Model 1
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Model 3
3 4
Model 1 Model 2
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Model 4 Model 3
5 6
Model 2 Model 3
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Model 4 Model 4
Abbreviation
Definition
Goal Infrastr Model 1 Model 2
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS Infrastruktur Kapal sebagai penangkap sekaligus pengumpul Ada kapal penampung khusus sekaligus pengolah ikan
Model 3 Model 4
Ada kapal pengumpul khusus tanpa pengolahan Kapal sebagai penangkap, pengumpul sekaligus pengolah
Model 1
,147
Model 2
,449
Model 3
,228
Model 4
,176 Inconsistency Ratio =0,06
For Student Use Only
Model 2
109
Lampiran 3. Running program expert chioce untuk pemilihan model pemanfaatan HTS (lanjutan)
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS Node: 30000 Compare the relative IMPORTANCE with respect to: Biaya Op < GOAL
1
1=EQUAL Model 1
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Model 2
2 3 4
Model 1 Model 1 Model 2
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Model 3 Model 4 Model 3
5 6
Model 2 Model 3
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Model 4 Model 4
Abbreviation
Goal Biaya Op Model 1 Model 2 Model 3 Model 4
Definition
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS Biaya Operasional Kapal sebagai penangkap sekaligus pengumpul Ada kapal penampung khusus sekaligus pengolah ikan Ada kapal pengumpul khusus tanpa pengolahan Kapal sebagai penangkap, pengumpul sekaligus pengolah
Model 1
,123
Model 2
,432
Model 3
,137
Model 4
,309 Inconsistency Ratio =0,03
For Student Use Only
110
Lampiran 3. Running program expert chioce untuk pemilihan model pemanfaatan HTS (lanjutan)
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS Node: 40000 Compare the relative IMPORTANCE with respect to: Huk&Lemg < GOAL
1 2 3 4 5 6
1=EQUAL Model 1 Model 1 Model 1 Model 2 Model 2 Model 3
3=MODERATE 9 8 7 6 9 8 7 6 9 8 7 6 9 8 7 6 9 8 7 6 9 8 7 6
Abbreviation
Goal Huk&Lemg Model 1 Model 2 Model 3 Model 4
5=STRONG 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
7=VERY STRONG 2 3 4 5 6 7 8 2 3 4 5 6 7 8 2 3 4 5 6 7 8 2 3 4 5 6 7 8 2 3 4 5 6 7 8 2 3 4 5 6 7 8
9=EXTREME 9 9 9 9 9 9
Definition
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS Hukum dan Kelembagaan Kapal sebagai penangkap sekaligus pengumpul Ada kapal penampung khusus sekaligus pengolah ikan Ada kapal pengumpul khusus tanpa pengolahan Kapal sebagai penangkap, pengumpul sekaligus pengolah
Model 1
,256
Model 2
,108
Model 3
,472
Model 4
,164 Inconsistency Ratio =0,02
For Student Use Only
Model 2 Model 3 Model 4 Model 3 Model 4 Model 4
111
Lampiran 3. Running program expert chioce untuk pemilihan model pemanfaatan HTS (lanjutan)
Pemilihan Model Pemanfaatan HTS Synthesis of Leaf Nodes with respect to GOAL Distributive Mode OVERALL INCONSISTENCY INDEX = 0,06
Model 2
,357
Model 3
,252
Model 4
,220
Model 1
,171
Abbreviation
Definition
Model 2
Ada kapal penampung khusus sekaligus pengolah ikan
Model 3 Model 4 Model 1
Ada kapal pengumpul khusus tanpa pengolahan Kapal sebagai penangkap, pengumpul sekaligus pengolah Kapal sebagai penangkap sekaligus pengumpul
For Student Use Only