ALTERNATIF KEBIJAKAN PENINGKATAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
SRI YUNIATI PUTRI KOES HARDINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
Dengan Ini Saya Menyatakan Bahwa Tugas Akhir “Alternatif Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Kota dan Kabupaten Bogor” Adalah Karya Saya Sendiri dan Belum Diajukan dalam Bentuk Apapun Kepada Perguruan Tinggi Manapun. Semua Informasi Yang Berasal atau Disebutkan dalam Teks Dicantumkan Dalam Daftar Pustaka Dibagian Akhir Tugas Akhir Ini.
Bogor, April 2008
Sri Yuniati Putri Koes Hardini A153050025
ABSTRACT SRI YUNIATI PUTRI KOES HARDINI. The policy alternatives to upgrade the education of elementary school teachers, in city and regency of Bogor. Supervised by FREDIAN TONNY NASDIAN and HENY K. DARYANTO.
Elementary school teacher education in the era of autonomy is undergoing tremendous change, because of the recent implementation of the Law for Teachers and Lecturers which has required teachers to have a minimum education level of S1 or ‘Sarjana’ degree. This significant changing has been responded by local government in various ways, depending on politcal, economic and social conditions of the region. The city of Bogor has six subdistricts, and including 68 villages. Since 1996 government of Bogor municipality has paid serious attention to in-service teacher education by providing scholarships, especially for elementary shool teachers. The condition of local government budget for Bogor municipality is inadequate to cover the needs for educating all in-service teachers through scolarship scheme, because the large number of under-qualified teachers with only high school level of education (2,810 teachers or 79.33%). Other reasons relate to the priority of development priority of the municipality of Bogor which is not yet for the in-service teacher eduction. Instead, the development priority of Bogor municipality focuses on ensuring participation in compulsory education and free primary education for all citizens. Different from the conditions of the city of Bogor, the regency of Bogor is 28 times larger in size, and the area covers 40 subdistricts, including 426 villages. It is the regency with the highest level of regional income in the West Java province. The regency of Bogor has 9,488 teachers with education level lower than S1, or 82.58%. Until the end of the year of 2006, the government of Bogor regency never allocated scholarships for elementary school teachers. But in 2007, scholarships were given to 1,060 teachers to upgrade their education from high school level to S1 level. The development priority of Bogor Regency is not for the education of in-service teachers, but for achieving compulsory education, renovating school buildings and other infrastucture, and also to improve the level of human development index (HDI). Results of the research from the two areas indicate that respondents choose the alternatives to upgrade the education of elementary school teachers through distance education, although Bogor is a small town and there is no geographic barrier in the area for teachers to further their education. Bogor regency has two alternatives and choose both of these alternatives through distance learning system and studying in local private university to upgrade the elementary school teachers. There is disparity caused by private universities around Bogor regency areas (Sukabumi, Cianjur, and Depok), which offer “facilities”, such as easy to pass the examination and to graduate. Budget is one of the important factors influencing the policy to upgrade the education of in-service elementary school teachers, and education development priority in both areas is not yet for upgrading the qualifications of teachers.
RINGKASAN
SRI YUNIATI PUTRI KOES HARDINI. Alternatif Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, di Kota dan Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh FREDIAN TONNY NASDIAN dan HENY K. DARYANTO.
Pendidikan guru SD di era otonomi sedang mengalami perubahan yang besar, karena munculnya UU Guru dan Dosen yang menghendaki seluruh guru memiliki pendidikan minimal S1. Perubahan yang sangat besar ini ditanggapi oleh pemerintah daerah dengan berbeda-beda, sesuai dengan kondisi daerah tersebut yang juga berbeda. Kota dan Kabupaten Bogor menanggapi munculnya UU Guru dan Dosen yang mengharuskan pendidikan minimal guru adalah S1 dengan berbeda pula, hal ini disebabkan oleh keadaan wilayah, ekonomi dan sosial, serta politik yang berbeda. Kota Bogor memiliki 6 Kecamatan dan 68 Kelurahan. Pemerintah Kota Bogor sudah sejak tahun 1996 memperhatikan pendidikan guru SD, dengan memberi bea siswa meskipun tidak besar jumlahnya. Namun demikian banyak juga guru-guru yang membiayai pendidikan mereka secara swadana. Keadaan APBD dan besarnya jumlah guru yang belum S1 (2.810 orang) tidak memungkinkan pemerintah Kota Bogor untuk memberi bea siswa untuk seluruh guru yang ada. Alasan lain adalah prioritas pembangunan pendidikan di Kota Bogor belum mengutamakan peningkatan pendidikan guru SD, namun masih terfokus pada penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) dan pelaksanaan sekolah dasar gratis. Kabupaten Bogor memiliki kondisi wilayah yang sangat berbeda dengan Kota Bogor, selain wilayahnya 28 kali lebih besar dari Kota Bogor, terdapat 40 Kecamatan dan 426 Desa/Kelurahan, Kabupaten Bogor memiliki PAD yang terbesar di Jawa Barat. Jumlah guru yang belum S1 di Kabupaten Bogor juga sangat banyak (9.488 orang) atau setara dengan 82,58 persen. Sejak dari sebelum otonomi daerah, sampai tahun 2006 Kabupaten Bogor hampir tidak pernah memberikan bea siswa kepada guru yang ada diwilayahnya untuk meningkatkan pendidikannya sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Bantuan dalam jumlah cukup banyak (1.060 orang guru) diberikan pada tahun 2007, untuk meningkatkan pendidikannya menjadi S1, meskipun guru yang meningkatkan pendidikannya secara mandiri cukup banyak. Prioritas pembangunan pendidikan Kabupaten Bogor selain mengentaskan Wajar Dikdas, adalah perbaikan sarana dan infrastruktur sekolah yang banyak mengalami kerusakan parah dan meningkatkan nilai IPM. Hasil kajian di kedua wilayah ternyata menunjukkan bahwa meskipun Kota Bogor merupakan kota kecil yang tidak terkendala oleh kondisi geografis bagi guru-gurunya untuk meningkatkan pendidikannya, namun ternyata responden di Kota Bogor memilih sistem pendidikan jarak jauh (PJJ) sebagai alternatif yang paling sesuai untuk meningkatkan pendidikan guru SD. Sedangkan Kabupaten Bogor dengan wilayah yang sangat luas ternyata tidak hanya memilih PJJ, namun juga memilih perguruan tinggi swasta (PTS) setempat yang menjadi alternatif paling sesuai bagi peningkatan pendidikan guru SD. Perbedaan ini disebabkan
oleh adanya tawaran PTS yang terletak di wilayah terdekat dengan Kabupaten Bogor, yaitu Depok, Sukabumi dan Cianjur dengan menawarkan banyak kemudahan antara lain mudah lulus. Faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan peningkatan pendidikan guru SD di kedua wilayah ternyata sama, yaitu faktor keterbatasan dana dan prioritas pembangunan pendidikan yang ternyata belum begitu memperhatikan nasib pendidikan guru SD yang belum S1. Faktor dana dapat diatasi dengan digulirkannya dana dekonsentrasi yang dahulu berasal dari bea siswa PMPTK. Sejak tahun 2007 bea siswa PMPTK disalurkan melalui dana dekonsentrasi yang dikelola oleh provinsi untuk meningkatkan pendidikan guru SD di kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Kuota guru yang diberi bea siswa berdasarkan peta penyebaran guru yang ada di Depdiknas. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya adalah adanya aturan yang jelas tentang pengelolaan dana dekonsentrasi sehingga tidak bertentangan dengan azas otonomi daerah.
© Hak Cipta milik IPB Tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ALTERNATIF KEBIJAKAN PENINGKATAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
SRI YUNIATI PUTRI KOES HARDINI
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Dosen Penguji Luar Komisi :
Judul Tugas Akhir Nama NIM
: Alternatif Kebijakan PeningkatanPendidikan Guru Sekolah Dasar di Kota dan Kabupaten Bogor : Sri Yuniati Putri Koes Hardini : A153044015
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Ketua
Dr. Heny K Daryanto, M.Ec Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M. S
Tanggal Ujian : 8 April 2008
Tanggal Lulus :
PRAKATA Tugas akhir ini ditulis sebagai syarat untuk penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Manajemen Pendidikan IPB, dan juga sebagai salah satu kontribusi yang dapat penulis sampaikan untuk Universitas Terbuka, dimana penulis mengabdikan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil untuk pengembangan pendidikan terutama pendidikan jarak jauh (PJJ) di era Otonomi. Kajian yang berjudul Alternatif Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor ini, dapat penulis selesaikan selama satu tahun dengan mengambil lokasi di Kota dan Kabupaten Bogor, serta beberapa Kota dan Kabupaten di sekitarnya sebagai data pendukung pelaksanaan PJJ di lapangan. Tugas akhir ini ini mengkaji permasalahan pendidikan yang dilaksanakan untuk meningkatkan pendidikan guru SD agar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Undang-undang Guru dan Dosen yaitu dengan pendidikan minimal S1. Hasil kajian ini penulis harapkan dapat dijadikan masukan baik bagi Dinas Pendidikan Kota atau Kabupaten serta Perguruan Tinggi yang terkait dengan pendidikan guru, dan terutama bagi penyelenggara PJJ untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat yang membutuhkan layanan pendidikan tanpa diskriminasi. Semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi pendidikan terutama PJJ yang harus berjalan beriringan dengan pendidikan tatap muka.
Bogor, April 2008 SRI YUNIATI PUTRI KOES HARDINI
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih, karena penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berupa kajian dengan judul Alternatif Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah membantu dan mendukung sehingga kajian ini dapat selesai, terutama kepada: 1.
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS dan Dr. Ir. Heny K. Daryanto M.Ec yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan kajian ini.
2.
Ir. A. Faroby Falatehan, MS yang sangat membantu dan membimbing dalam mengolah data.
3.
Suami tercinta Tonny Manurung, anak-anak terkasih: Bobby Christianto Manurung dan Febrina Christanti Putri Manurung yang sangat membantu dengan doa dan dukungan yang memberi semangat pada penulis untuk segera menyelesaikan studi.
4.
Seluruh dosen, teman MPD, dan kolega di instansi tempat penulis bekerja yang telah membantu dan mendukung penulis. Semoga
Kajian
sederhana
ini
dapat
berguna
bagi
semua
yang
memerlukan.
Bogor, April 2008.
Sri Yuniati Putri Koes Hardini
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 12 Juni 1959, sebagai anak kelima dari dari pasangan almarhum R. Boengsoe Soedjono dan almarhumah Siti Koestarnijah. Penulis belajar Kota Banjarnegara sejak dari Sekolah Dasar sampai menyelesaikan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1977. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, melalui undangan seleksi dan lulus tahun 1982. Dari tahun 1982 – 1985 penulis bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang peternakan di Kota Sukabumi. Tahun 1989 penulis bekerja sebagai staf edukatif di Universitas Terbuka (UT). Pada tahun 2000 – 2004, selain tetap sebagai staf akademik, penulis mendapat kepercayaan sebagai Kepala Bidang Kearsipan Bahan Ajar pada Pusat Penerbitan UT, dan dari tahun 2004 sampai sekarang penulis dipercaya sebagai Koordinator Bidang Pengendalian Kualitas, di Pusat Jaminan Kualitas UT. Dari tahun 2006 sampai 2008 penulis meneruskan studi S2 di Sekolah Pasca Sarjana IPB pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah. Selama penulis bekerja di UT, penulis membantu penulisan beberapa materi bahan ajar untuk mata kuliah Agama Katolik dan Ilmu Alamiah Dasar, dan Inseminasi Buatan.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL …………………………….………........……....… DAFTAR GAMBAR …………………………………………...........… DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………….........…
Halaman xii xiii xiv
I. PENDAHULUAN ……………………………………….......……… 1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1.2. Perumusan Masalah .............................................................. 1.3. Tujuan dan Manfaat ..............................................................
1 1 6 8
II. PENDEKATAN KAJIAN ...........…………………………........……… 2.1. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 2.1.1. Otonomi Daerah dan Pendidikan .................................. 2.1.2. Pengembangan Pendidikan ........................................... 2.1.3. Anggaran Pendidikan ................................................... 2.1.4. Kronologis Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru Sebelum Otonomi Daerah .......................................... 2.1.5. Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru di Era Otonomi Daerah ..........................................................................
9 9 9 14 15
2.2. Kerangka Pemikiran ..................................................................
24
III. METODE KAJIAN ................................................................ 3.1. Lokasi dan Waktu .................................................................... 3.2. Sumber dan Cara Pengumpulan Data .................................... 3.3. Analisis Data ......................................................................... 3.4. Metode Perancangan Program ............................................
29 29 29 30 33
IV. GAMBARAN UMUM KONDISI PENDIDIKAN GURU SD DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR....................................................... 4.1. Kota Bogor 4.1.1. Profil Pendidikan Guru .................................................. 4.1.2. Anggaran Pendidikan untuk Guru SD ......................... 4.1.3. Pengembangan Pendidikan Guru SD .......................... 4.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru di Kota Bogor .......................................... 4.2. Kabupaten Bogor 4.2.1. Profil Pendidikan Guru .................................................... 4.2.2. Anggaran Pendidikan untuk Guru SD ............................ 4.2.3. Pengembangan Pendidikan Guru SD ............................ 4.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru di Kota Bogor .......................................... 4.3. Ikhtisar ........................................................................................ V. ALTERNATIF KEBIJAKAN YANG SESUAI UNTUK PENINGKATAN PENDIDIKAN GURU SD ................................................................... 5.1. Kota Bogor ................................................................................. 5.1.1. Faktor Pendorong Utama Peningkatan Pendidikan Guru SD 5.1.2. Pelaku yang Berperan dalam Peningkatan Pendidikan
18 22
36 36 39 41 44 46 49 52 56 57
59 62 62
Guru SD ............................................................................ 5.1.3. Kendala yang Dihadapi dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD ............................................................................... 5.1.4. Alternatif Sistem Pendidikan yang Digunakan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD .................................... 5.1.5. Implikasi Terhadap Kebijakan di Kota Bogor..................... 5.2. Kabupaten Bogor 5.2.1. Faktor Pendorong Utama Peningkatan Pendidikan Guru SD 5.2.2. Pelaku yang Berperan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD .............................................................................. 5.2.3. Kendala yang Dihadapi dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD ............................................................................... 5.2.4. Alternatif Sistem Pendidikan yang Digunakan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD .................................... 5.2.5. Implikasi Terhadap Kebijakan di Kabupaten Bogor...........
64 66 69 71
73 74 76 78 80
5.3. Ikhtisar ........................................................................................
81
VI. PERANCANGAN PROGRAM ........................................................ 6.1. Kota Bogor ............................................................................... 6.1.1. Lingkungan Internal......................................................... 6.1.2. Lingkungan Eksternal ..................................................... 6.1.3. Strategi ........................................................................... 6.2. Kabupaten Bogor ..................................................................... 6.2.1. Lingkungan Internal dan Eksternal .................................. 6.2.2. Strategi ... ....................................................................... 6.3. Pelaksanaan di Kota dan Kabupaten Bogor..............................
83 84 84 86 87 90 90 91 94
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................
97
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... LAMPIRAN ........................................................................................
101 105
DAFTAR TABEL No
Halaman
1.
Matriks Perbandingan Berpasangan ........................................
32
2.
Skala Banding Secara Berpasangan .........................................
33
3.
Analisis SWOT ...........................................................................
34
4.
Kondisi Pendidikan Guru SD di Kota Bogor Tahun 2004 - 2005
36
5.
APBD Kota Bogor Tahun 2006 ...................................................
39
6.
Bidang Kegiatan yang Dibiayai DAK Kota Bogor (2006)............
41
7.
Kondisi Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor Tahun 2004 – 2005
46
8.
APBD Kabupaten Bogor Tahun 2006 ...............................................
49
9.
Bidang Kegiatan yang Dibiayai DAK Kabupaten Bogor 2006 ...........
51
10.
Bobot dan Tingkat Penting Alternatif yang Dipilih untuk Faktor Pendorong Utama Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota Bogor
63
Bobot dan Alternatif yang Dipilih untuk Pelaku yang Paling Berperan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota Bogor .....................
65
Bobot dan Alternatif Tingkat Kendala yang Dihadapi dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota Bogor...............................
67
Bobot dan Prioritas Alternatif Sistem Pendidikan yang Digunakan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota Bogor .....................
69
Bobot dan Tingkat Penting Alternatif yang Dipilih untuk Faktor Pendorong Utama Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor ...............................................................................
73
Bobot dan Alternatif yang Dipilih untuk Pelaku yang Paling Berperan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor ...........
75
Bobot dan Alternatif Tingkat Kendala yang Dihadapi dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor ....................
76
Bobot dan Prioritas Alternatif Sistem Pendidikan yang Digunakan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor .........
78
Hasil Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal UT sebagai Penyelenggara PJJ di Kota Bogor ......................................................
85
11.
12.
13
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Rancangan Program Peningkatan Pendidikan Guru SD dengan Menggunakan PJJ-UT di Kota Bogor ............................................
88
Hasil Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal UT sebagai Penyelenggara PJJ di Kabupaten Bogor ........................................
91
Rancangan Program Peningkatan Pendidikan Guru SD dengan Menggunakan PJJ-UT di Kabupaten Bogor ..................................
92
DAFTAR GAMBAR
No 1.
Halaman Kepala Sekolah dan Guru SD Menurut Kelayakan Mengajar dan Pendidikan Akhir Tahun 2004/2005 ...................................
2
Jumlah Kepala Sekolah dan Guru Menurut Ijazah Tertinggi Di Jawa Barat dan Indonesia Tahun 2003 – 2004......................
4
3.
Kerangka Pikir Kajian .................................................................
28
4.
Hirarki pada Metoda AHP .............................................................
32
5.
Persentase Guru SD yang Belum S1 di Kota Bogor Tahun 2005..
38
6.
Perkembangan Jumlah Guru SD yang Diberi Beasiswa di Kota Bogor dari Tahun 1996 – 2005 ...........................................
43
7.
Persentase Guru SD yang Belum S1 di Kabupaten Bogor 2005..
48
8.
Perkembangan Jumlah Guru SD yang Diberi Beasiswa di Kabupaten Bogor dari Tahun 1996 – 2005 .................................
53
9.
Model AHP yang Digunakan dalam Kajian ...............................
61
10.
Bobot Komponen Alternatif Sistem Pendidikan yang Dipilih Untuk Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota Bogor .............
62
Bobot Komponen Alternatif Sistem Pendidikan yang Dipilih Untuk Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor ......
72
2.
11.
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1.
Kuesioner .................................................................................
105
2.
Diagram Pohon Hasil olahan model AHP untuk Guru SD Kota Bogor ................................................................................
108
Diagram Pohon Hasil olahan model AHP untuk Kepala Sekolah Kota Bogor ................................................................................
110
Diagaram Pohon Hasil olahan model AHP untuk Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor ..............................................................
112
Diagaram Pohon Hasil olahan model AHP untuk Ketua Komisi D DPRD Kota Bogor .......................................................................
114
Diagaram Pohon Hasil olahan model AHP untuk Guru SD Kabupaten Bogor ........................................................................
116
Diagaram Pohon Hasil olahan model AHP untuk Kepala Sekolah Kabupaten Bogor .........................................................................
118
Diagaram Pohon Hasil olahan model AHP untuk Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor ......................................................
120
Diagaram Pohon Hasil olahan model AHP untuk Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bogor ..............................................................
122
Contoh Check List Pertanyaan ....................................................
124
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Setelah lebih dari 60 tahun bangsa Indonesia merdeka, masih terdapat masalah besar yang belum dapat diatasi oleh pemerintah, yaitu masalah pendidikan. Sampai saat ini, belum semua penduduk di Indonesia memperoleh pendidikan yang memadai, pendidikan tidak dapat dijangkau oleh semua orang, meskipun dalam UUD 1945 pendidikan dinyatakan sebagai hak seluruh masyarakat bahkan semestinya diperoleh secara gratis. Menurut kemerdekaan, keamanan,
Indra terjadi
dan
(2005)
lebih
dari
setengah
perubahan-perubahan
ekonomi
yang
mendominasi
situasi
abad, politik,
program
sejak
perang
pertahanan,
nasional
namun
pembangunan sosial budaya dan pendidikan belum pernah diutamakan, meskipun disadari bahwa manusia berposisi sentral sebagai ujung tombak pembangunan. Pendidikan adalah jalan utama untuk mencapai sebuah pembangunan, karena dengan pendidikan warga masyarakat dapat menjaga unsur-unsur yang aktif dalam membangun masyarakat baru yang lebih baik. Data yang bersumber dari Depdiknas (2006) menunjukkan bahwa ternyata kalayakan mengajar guru SD Negeri di Indonesia pada tahun 2004/2005 masih belum dapat dikatakan baik, sebab hanya 67,46 persen saja yang layak mengajar, sementara sisanya tidak layak mengajar. Ketidaklayakan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para guru tersebut masih rendah. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Perkembangan
kondisi
politik,
ekonomi,
dan
sosial
di
Indonesia,
menggeser sistem sentralisasi menjadi desentralisasi dengan diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 mengenai Pembagian Kewenangan di Pemerintah Daerah serta UU No 25 tahun 1999 mengenai Pembagian Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Kedua UU ini disempurnakan menjadi UU No 32 dan 33 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang menjadi pijakan utama dalam implementasi kebijakan otonomi daerah di seluruh
Republik Indonesia.
Perubahan sistem pemerintahan ini berpengaruh pada sistem pengembangan pendidikan dasar yang selama ini dilakukan di Pusat yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dalam
UU No 32 dan 33 tahun 2004
dinyatakan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah adalah yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pengembangan pendidikan dasar. <= D1 32,54%
Tidak Layak 32,54%
S2/S3 0,12%
Layak 67,46% D2 49,26%
S1 Keg 15,12% D3/SM Keg 2,96%
Sumber: Depdiknas 2007 (http://www.depdiknas.go.id/index.php?option=com_wrapper&Itemid=129
Gambar 1. Kepala Sekolah dan Guru SD Menurut Kelayakan Mengajar dan Pendidikan Akhir . Tahun 2004/2005
Pada tahun 2005, terbit UU No 14 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan isinya yang mengatur standar pendidik dan tenaga kependidikan untuk guru SD harus memiliki kualifikasi akademik minimal D-IV atau S1 dan memiliki sertifikat profesi guru untuk SD/MI. Depdiknas juga menyatakan bahwa dalam sepuluh tahun mendatang, guru SD wajib memiliki pendidikan minimal S1. Hal ini tentunya berpengaruh pada kebijakan pemerintah kabupaten/kota dalam meningkatkan pendidikan guru SD yang ada di wilayahnya, karena tidak hanya meningkatkan kualitas pendidikan guru SD menjadi setara dengan DII namun meningkat menjadi S1. Gambar 2 menunjukkan bahwa masih banyak guru SD baik negeri maupun swasta yang memiliki pendidikan di bawah S1 dan memperlihatkan bahwa level DII merupakan pendidikan guru SD yang terbanyak baik di Indonesia maupun di Jawa Barat, kondisi ini merupakan hasil kebijakan sebelum diberlakukan otonomi daerah, karena pada masa itu Depdiknas memiliki program untuk memberi bea siswa (ada yang dilakukan secara swadana, namun sangat sedikit) kepada seluruh guru di Republik Indonesia, untuk ditingkatkan pendidikannya menjadi DII, yang merupakan pendidikan minimal yang harus dimiliki guru saat itu. Kebijakan ini dilaksanakan dengan menggunakan sistem pendidikan jarak jauh (PJJ), mengingat lokasi guru tersebar dari daerah di pusat perkotaan sampai ke daerah pelosok/terpencil yang sulit dijangkau oleh pendidikan tatap muka. Sebelum
otonomi
daerah
pengembangan
pendidikan
guru
SD
dilaksanakan oleh Depdiknas, dan salah satu cara untuk menanggulangi ketidaklayakan dalam mengajar ini dilakukan peningkatan pendidikan guru yang menjangkau ketersebaran guru yang sangat luas di seluruh pelosok negeri (kendala geografis) dengan memberikan pendidikan secara massal yaitu dengan
menggunakan sistem pendidikan jarak jauh (PJJ).
Sistem PJJ juga dapat
menanggulangi kendala waktu yang membatasi guru dalam meningkatkan pendidikannya karena tidak boleh meninggalkan pekerjaannya.
Indonesia Jawa Barat 3%
2%
9%
9%
0%
42%
0% 23%
1%
44% 2%
65%
SLTA
PGSLP/DI
PGSLA/DII
Sarmud/D3
Sarjana
Pasca Sarjana
Sumber : Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas 2006
Gambar 2. Jumlah Kepala Sekolah dan Guru Menurut Ijazah Tertinggi di Jawa Barat dan Indonesia Tahun 2003-2004 Sukartawi (2005) mengatakan bahwa pembelajaran massal dengan menggunakan sistem belajar jarak jauh, merupakan alternatif yang baik untuk meningkatkan keterjangkauan dan
peningkatan mutu pendidikan,
di seluruh
wilayah Indonesia. Hasil laporan tematik kajian tentang Pelayanan Pendidikan, yang dilakukan oleh German Technical Cooperation (GTZ) dan CLEAN-Urban Project (2001) juga memberi rekomendasi akan perlunya dikembangkan PJJ Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) untuk meningkatkan guru dan sukarelawan yang masih setingkat SPG, usulan ini untuk segera dilaksanakan pada tahun 2001. Meskipun fakta menunjukkan bahwa di Jawa Barat lebih dari 91 persen guru SD belum memiliki kualifikasi pendidikan memadai (belum S1), namun
ternyata tidak semua daerah kabupaten/kota memiliki kebijakan yang sama dalam peningkatan pendidikan untuk guru SD yang ada di wilayahnya. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya bantuan pemerintah daerah baik berupa dana maupun kemudahan akses untuk memperoleh pendidikan kepada guru dalam meningkatkan pendidikannya. Setelah diberlakukan otonomi daerah, kebijakan pengembangan pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor terlihat masih belum jelas arahnya. Banyak faktor yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Kota atau Kabupaten Bogor dalam memutuskan pengembangan pendidikan guru SD, antara lain perbaikan infrastruktur gedung sekolah yang parah, ketiadaan biaya, dan lokasi atau domisili guru SD tidak semuanya berada di daerah perkotaan yang memiliki kemudahan akses untuk masuk perguruan tinggi. Selain itu terdapat aturan yang melarang
guru
untuk
meninggalkan
tugasnya
bila
ingin
melanjutkan
pendidikannya. Keadaan ini sangat tidak mendukung guru-guru SD untuk meningkatkan potensi dirinya sendiri apalagi bila dilakukan secara swadana. Jika pemerintah kabupaten/kota tidak begitu peduli dengan kondisi pendidikan guru yang ada, dan atau mungkin masih mencari sistem pendidikan yang seperti apa yang dapat membantu menanggulangi keadaan guru, usaha pemerintah untuk dapat menjadikan seluruh guru sudah memiliki ijazah S1 dalam sepuluh tahun mendatang akan sia-sia belaka. Kebijakan pendidikan yang merupakan prioritas pemerintah Kota
dan
Kabupaten Bogor adalah untuk penuntasan pendidikan anak usia sekolah dasar, yaitu program nasional wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas). Selain merupakan program nasional, wajar dikdas merupakan salah satu indikator untuk menentukan nilai Indeks Pengembangan Manusia (IPM) dari suatu daerah yang merupakan kegiatan prioritas.
Kondisi peningkatan pendidikan guru SD di Kota dan kabupaten Bogor setelah otonomi daerah dan setelah diberlakukan UU Guru dan Dosen, terlihat ‘berjalan di tempat’. Antara keinginan untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan dengan kendala domisili (ketersebaran lokasi) dan dana, serta sulitnya meninggalkan tempat tugas, membuat perencanaan pengembangan pendidikan guru SD ke jenjang S1 tidak
berjalan seperti yang diharapkan. Hal ini
memunculkan pertanyaan kajian sebagai berikut. Bagaimana memberikan alternatif sistem pendikan yang sesuai untuk peningkatan pendidikan guru SD menjadi S1 di Kota dan Kabupaten Bogor?
1.2. Perumusan Masalah Kualitas SDM suatu bangsa dapat dilihat dari keberhasilan bangsa tersebut dalam mendidik masyarakatnya. Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu guru yang merupakan gerbang utama pencetak generasi muda
tentu harus
didukung dengan kebijakan, kemampuan, dan fasilitas yang memadai. Banyak guru yang ingin meningkatkan pendidikannya agar menambah nilai kompetensi yang diperlukan dalam mengajar, namun ternyata banyak faktor yang menjadi kendala untuk mewujudkan keinginan tersebut. Faktor yang menjadi kendala di antaranya adalah masalah biaya,
akses untuk masuk
perguruan tinggi yang sesuai, dan ketiadaan waktu atau kesempatan. Waktu yang dimiliki seorang guru habis tersita untuk mengajar dan mencari tambahan untuk biaya hidup. Kendala ini semakin berat bagi guru yang domisilinya jauh dari pusat perkotaan sehingga kemudahan untuk memperoleh fasilitas perguruan tinggi yang sesuai dengan kompetensi yang diperlukan menjadi sangat terbatas.
Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, alternatif untuk menanggulangi kendala tersebut adalah dengan mengikuti pendidikan jarak jauh (PJJ). Dengan menggunakan sistem PJJ, guru-guru tersebut dapat tetap bekerja karena tidak harus pergi ke kampus dan waktu kuliah serta program yang ditawarkan pun sesuai dengan yang dibutuhkan oleh guru SD. Selain itu, biaya yang dibutuhkan relatif murah dibandingkan dengan perguruan tinggi tatap muka. Sesuai dengan kewenangan yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota setelah diberlakukannya otonomi daerah, diharapkan pemerintah daerah akan lebih mengetahui tentang kondisi guru yang ada sehingga dalam pengembangan pendidikan guru akan lebih terjamin keterlaksanaannya. Namun ternyata tidak semua daerah memiliki kebijakan yang sama dalam meningkatkan pendidikan guru SD. Data dari Balitbang Diknas menunjukkan bahwa 52,2 persen dari guru SD yang layak mengajar di Indonesia pada tahun 2005 belum memiliki pendidikan
S1.
Kondisi
seperti
ini
memunculkan
pertanyaan
spesifik
bagaimanakah kondisi pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor saat ini? Kondisi guru di setiap wilayah tidaklah sama baik kesejahteraan maupun fasilitas lain yang diperoleh, namun sebenarnya dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 sudah jelas disebutkan bahwa pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat termasuk guru SD. Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengharuskan bagi tenaga pendidik untuk memiliki tingkat pendidikan minimal S1, dan dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan diperlukan uji kelayakan dan sertifikasi kompetensi bagi yang tidak berijazah S1. Dalam Undang-undang No 32-33 tentang Otonomi Daerah, dijelaskan kewajiban dan peran pemerintah daerah dalam meningkatkan dan pembiayaan untuk pendidikan guru. Namun dalam pelaksanaannya, nasib
pengembangan pendidikan guru sepertinya tidak terlalu banyak perubahan, bahkan cenderung semakin menurun. Pemda secara khusus tidak memiliki rencana atau kebijakan yang diperuntukkan untuk menata pendidikan yang dimiliki oleh guru SD di wilayahnya agar sesuai dengan perundangan yang berlaku dan kondisi guru itu sendiri. Bahkan secara finansial masih belum terlihat disediakannya anggaran khusus untuk peningkatan pendidikan guru, meskipun dalam Undang-undang Sisdiknas, maupun UU No 32-33 jelas disebutkan kewajiban
pemda dalam pembiayaan pendidikan.
Dari penjelasan di atas,
permasalah yang timbul adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendidikan guru SD?
1.3. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari kajian ini adalah: 1. Menganalisis kondisi pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor. 2. Mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan pemerintah
daerah dalam peningkatan pendidikan guru SD 3. Memformulasikan
alternatif
sistem
pendidikan
yang
sesuai
untuk
meningkatkan pendidikan guru SD Manfaat dari kajian ini adalah 1. sebagai sumbangan pemikiran kepada pemda dalam meningkatkan mutu pendidikan
dengan
sistem
yang
sesuai
terutama
bagi
peningkatan
pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor 2. sebagai sumbangan pemikiran bagi guru dengan memberi gambaran tentang kondisi guru dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah kabupaten/kota dalam peningkatan pendidikan guru SD.
II. PENDEKATAN KAJIAN
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Otonomi Daerah dan Pendidikan Pengembangan pendidikan guru SD di Indonesia mengalami pasang surut sejak dari jaman penjajahan Belanda sampai saat ini. Selama itu pula nasib guru tidak menjadi lebih baik bila dibandingkan pada zaman Belanda (Tilaar, 2002). Dikatakan bahwa pada zaman Belanda, guru lebih dihormati sebagai orang yang benar-benar dapat ditiru (sebagai teladan) dalam masyarakat. Nasib guru juga lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi politik yang terjadi pada setiap zaman. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, banyak pro dan kontra yang mengiringinya, terutama bila dihubungkan dengan pelaksanaan pendidikan. Dalam UU nomor 32 dan 33 tahun 2004, dinyatakan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah adalah yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar. Otonomi daerah memberi harapan dapat mengurangi masalah pendidikan, karena pemerintah daerah dengan anggaran yang dimilikinya yaitu sebesar 20 persen, sesuai UU No 20 Tahun 2003, Pasal 49, akan dapat mempercepat peningkatan potensi/kualitas guru SD sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan wilayahnya. Kadir (2002) menerangkan bahwa otonomi daerah yang diiringi dengan desentralisasi pendidikan merupakan saat yang tepat dalam meningkatkan pendidikan daerah, karena dengan desentralisasi pendidikan,
kewenangan esensial Bupati yang
pelaksananya Dinas Pendidikan (Disdik) menjadi sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan di daerah.
Dalam Mustafa (2002) Desi Fernanda, 2002 menyatakan bahwa ada beberapa karakteristik legal yang tampaknya perlu dipahami oleh masyarakat luas dengan adanya otonomi daerah antara lain: 1. Meletakkan otonomi daerah sebagai wujud pengakuan kedaulatan rakyat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas daerah tertentu dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. 2. Daerah Otonom Kabupaten dan Kota tidak lagi merangkap sebagai wilayah administrasi pusat, sehingga tidak lagi ada perangkapan jabatan Kepala Daerah dan sekaligus Kepala Wilayah. 3. Menempatkan
seluruh
kewenangan
pemerintahan
pada
Derah
Kabupaten dan Kota yang lebih dekat dengan masyarakat, kecuali kewenangan-kewenangan tertentu yang ditetapkan sebagai kewenangan Propinsi dan kewenangan Pusat. Kewenangan Propinsi terbatas pada bidang-bidang kewenangan
yang yang
bersifat belum
lintas
dapat
Daerah
Kabupatan/Kota,
dilaksanakan
oleh
atau
Daerah/Kota.
Kewenangan Pusat antara lain meliputi lima bidang strategis, yaitu politik luar negeri, agama, ekonomi moneter, pertahanan dan keamanan, dan hukum/peradilan . 4. Tidak ada hubungan hirearki antara daerah otonom Kabupaten dan Kota dengan daerah otonom Propinsi. Jadi Daerah otonom Kabupaten/Kota bukanlah bawahan daerah otonom Propinsi. 5. Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD setempat. Artinya Kepala Daerah wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran, dan akhir masa jabatan.
6. Kedudukan keuangan daerah otonom menjadi lebih kuat dengan adanya desentralisasi fiskal, di mana daerah tidak lagi mendasarkan pengelolaan keuangannya kepada ketentuan alokasi dari Pusat, melainkan memilki otonomi penuh untuk mengelola keuangan daerah , dengan kewajiban melaporkannya kepada DPRD, sebagai bentuk akuntabilitas. 7. Struktur perangkat pemerintahan daerah tidak lagi seragam, melainkan boleh bervariasi sesuai dengan potensi dan keanekaragaman daerah. Sedangkan Kecamatan dan Kelurahan tidak lagi merupakan perangkat pemerintahan wilayah tetapi menjadi perangkat daerah otonom. Pengawasan oleh Pusat lebih bersifat preventif daripada represif, sehingga terdapat keleluasaan bagi daerah untuk melaksanakan otonominya tanpa campur tangan Pusat, kecuali jika
ternyata terdapat kebijakan daerah
yang bertentangan dengan kebijakan nasional atau yang lebih tinggi. Secara teoritis banyak sisi positif yang dapat diharapkan dari adanya otonomi
daerah
pendidikan. dampak
yaitu
langkah
menuju
dilaksanakannya
desentralisasi
Alhumam (2000) melakukan sejumlah studi yang menunjukkan positif dari dilaksanakannya kebijakan desentralisasi pendidikan
sebagai berikut. 1. Peningkatan mutu, karena adanya kewenangan penuh pada sekolah, maka akan dapat meningkatkan kapasitas dan manajemen sekolah, sehingga dapat diharapkan mutu pendidikan juga akan meningkat 2. Efisiensi keuangan, desentralisasi dapat untuk menggali penerimaan tambahan bagi pendidikan, dengan memanfaatkan sumber pajak lokal dan juga dapat mengurangi biaya operasional
3. Efisiensi administrasi,
karena desentralisasi memotong mata rantai
panjangnya birokrasi, dengan dihilangkannya prosedur yang melibatkan tiga institusi terkait dengan pendidikan yaitu Depdiknas, Depdagri dan Depag. 4. Perluasan/pemerataan,
karena
desentralisasi
membuka
peluang
bagi
penyelenggara pendidikan untuk berekspansi sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan di daerah. Alisjahbana (2000) menjelaskan bahwa desentralisasi kewenangan sektor pendidikan dalam hal kebijakan dan aspek pendanaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah merupakan konsep desentralisasi pendidikan yang sesuai dengan otonomi daerah. Konsep ini berimplikasi pada pemberian kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pusat ke pemda. Namun Ahmad (2005) justru mengatakan sebaliknya. Menurutnya adalah suatu kekeliruan yang telah dibuat oleh pemerintah, bila wewenang pendidikan yang begitu luas diberikan kepada kabupaten dan kota, karena di daerah-daerah belum tersedia tenaga-tenaga pendidikan yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pendidikan sendiri. Kondisi di atas didukung oleh Cholisin (2003), menurutnya otonomi daerah seharusnya dapat mendistribusikan kekuasaan ke daerah termasuk pendidikan, namun kenyataannya otonomi daerah belum sepenuhnya diberikan oleh pusat ke daerah, hal ini memunculkan banyak kendala yang justru berasal dari Pusat yaitu pemerintah pusat tidak dapat lagi mengendalikan pendidikan di daerah meskipun otonomi menghasilkan pendidikan yang sesuai dengan potensi daerah, karena pendidikan yang sesuai dengan kondisi daerah ternyata belum tentu
sesuai
bahkan mungkin berseberangan dengan kebijakan pusat dan hal inilah yang
dapat memunculkan dilema di daerah, dan hal ini juga menunjukkan bahwa pemberian otonomi daerah dari pusat dilakukan dengan setengah hati. Otonomi juga memunculkan masalah baru di bidang pendidikan yaitu: minimnya anggaran pendidikan; kebijakan pendidikan tidak jelas, partisipasi masyarakat cenderung berorientasi bisnis sehingga biaya pendidikan mahal, dan adanya ujian nasional (UN) yang bertentangan dengan prinsip otonomi karena berarti daerah belum memiliki hak otonomi untuk meluluskan siswanya. Menurut Manullang (2006) ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu : 1)
Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota.
2)
Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai.
3)
Dana pendidikan dan APBD belum memadai.
4)
Kurangnya perhatian pemerintah kota maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan.
5)
Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama.
6)
Kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam
penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.
2.1.2. Pengembangan Pendidikan Selama ini nasib guru tidak terlalu banyak berubah, apalagi bila guru tersebut berdinas di daerah yang jauh dari pusat perkotaan (daerah terpencil). Selain kondisi geografis yang sulit untuk dijangkau dengan transportasi, kesempatan untuk mengembangkan diri pun sangat terbatas, bahkan mungkin dapat dikatakan berhenti di tempat. Toyamah dan Usman (2004), memperkuat pendapat Ahmad (2005) yaitu, selain masalah anggaran hambatan di bidang pendidikan yang dihadapi daerah sejak sebelum otonomi daerah hingga kini masih tetap sama, yaitu pada sarana dan prasarana pendidikan yang tidak lengkap, jumlah dan mutu tenaga yang kurang dengan ketersebaran yang tidak merata. Hal ini menyebabkan sulit terwujud upaya perbaikan hasil belajar. Bahkan banyak yang menilai pelayanan pendidikan dasar di era otonomi menunjukkan kecenderungan yang semakin memburuk. Hal ini adalah akibat dari otonomi yang meniadakan otoritas provinsi dalam pendistribusian guru-guru ke daerah sesuai dengan kebutuhan nyata, hasilnya guru-guru dengan kualitas baik cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Mutasi guru sulit dilakukan meskipun birokrasi diperpendek, hal ini disebabkan gaji mereka sudah ada dalam Dana Alokasi Umum (DAU) masingmasing kabupaten/kota. Perlakuan diskriminatif pada guru SD di beberapa daerah seperti perbedaan insentif antara guru SD dengan SMP atau SMU, yang memperlihatkan bahwa guru SD dan TK memperoleh insentif lebih kecil, dan upaya peningkatan pendidikannya pun masih kurang begitu diperhatikan.
Gunaryadi (2004) menjelaskan bahwa distribusi guru yang tidak seimbang dan penumpukan jumlah guru pada bidang studi tertentu menyebabkan terjadinya kekurangan tenaga guru di lapangan. Jadi masalahnya bukan pada rasio guru dan siswa namun justru pada distribusi dan kompetensi guru. Salah satu penyebab rendahnya kompetensi guru adalah kesejahteraan yang masih rendah. Tidak ada guru yang sanggup bertahan dengan hanya dari gaji yang tidak mencukupi untuk membiayai hidup bersama keluarganya, sehingga mereka ’nyambi’ ke mana-mana seperti yang dilaporkan oleh Husin dan Sasongko (2003) dalam penelitiannya di Bengkulu, bahwa penerapan otonomi daerah pada wilayah yang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) rendah, dinilai para guru berdampak negatif terhadap kesejahteraan, karena perbaikan kualitas guru berjalan lambat akibat kurang adanya dukungan dana yang memuaskan. Kurangnya dukungan dana ini menyebabkan para guru mencari usaha di luar profesinya sehingga konsentrasi guru terpecah dan hasil belajar siswa kurang memuaskan.
2.1.3. Anggaran Pendidikan Anggaran pendidikan 20 persen, memang belum bisa dilaksanakan secara penuh. Priyono (2004) melakukan studi terhadap 100 kabupaten/kota dan hasilnya pada tahun 2001 rata-rata persentase anggaran pembangunan pendidikan terhadap APBD hanyalah 3,4 persen dan persentase tertinggi hanya mencapai 10 persen, sangat jauh dari target 20 persen yang diamanatkan undang-undang. Penggunaan anggaran pendidikan ini juga masih dibagi lagi menjadi beberapa keperluan pembangunan. Menurut Isdijoso dan Wibowo (2002), terjadi penurunan alokasi dana pendidikan di Kota Surakarta dari sebelum otonomi tahun 2000 dan setelah otonomi tahun 2001. Keberpihakan
pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan terutama yang menyangkut anggaran pembangunan, pada awal pelaksanaan otonomi daerah mengalami penurunan. Prioritas utama sektor pendidikan diarahkan
untuk terpenuhinya
belanja pegawai, untuk kenaikan gaji dan rapel guru, agar tidak terjadi pemogokan. Mereka juga melaporkan bahwa meskipun penyusunan APBD melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan program/kegiatan, namun ternyata skala prioritas pengeluaran pembangunan di Kota Surakarta untuk sektor pendidikan dan kebudayaan justrru turun dari peringkat kelima menjadi peringkat kedelapan. Penurunan skala prioritas ini disebabkan oleh pemerintah kota Surakarta masih memfokuskan pada pengalihan personil, peralatan, pembiayaan, dan dokumen, sehingga pemerintah menunda alokasi anggaran pembangunan yang belum mendesak. Kondisi keuangan dari para guru yang masih belum mencukupi dan prioritas pengembangan pendidikan guru SD di setiap daerah yang berbedabeda terkendala dengan anggaran, merupakan salah satu penyebab mengapa pendidikan guru masih belum dapat dituntaskan dalam singkat. Sementara salah satu kesimpulan yang diberikan oleh Wibowo (2004) dalam penelitiannya tentang Potret Fiskal Daerah Sebelum dan Pada Era Desentralisasi
ternyata sektor
pendidikan tetap menduduki peringkat ketiga dalam skala prioritas belanja pembangunan daerah baik sebelum maupun pada era desentralisasi. Hasil penelitian Isdijoso dan Wibowo (2002) menunjukkan bahwa di Kota Surakarta keberpihakan pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan terutama pada anggaran pembangunan pada awal pelaksanaan otonomi daerah justru menurun. Priorotas utama sektor pendidikan adalah terpenuhinya belanja pegawai, untuk kenaikan gaji dan rapel guru.
Temuan Toyamah dan Usman (2004) menyatakan bahwa terjadi ketidaksesuaian tanggung jawab terhadap pelimpahan kewenangan dan anggaran
dekonsentrasi 1
dengan
kewenangan
dan
anggaran
tugas
pembantuan 2 . Pelimpahan anggaran yang terkait dengan dekonsentrasi dilakukan oleh Depdiknas kepada Gubernur yang pelaksanaannya diserahkan kepada Dinas Pendidikan provinsi. Sementara pelimpahan kewenangan dan anggaran tugas pembantuan dilakukan Depdiknas ke Dinas Pendidikan Provinsi, atau Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, atau langsung ke tingkat desa. Mengingat sebagian besar kewenangan bidang pendidikan dasar dan menengah sudah
diserahkan
ke
pemerintah
kabupaten/kota,
sudah
seharusnya
penanganan pendidikan dan pengalokasian dana menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota sehingga kemajuan pendidikan nasional akan sangat tergantung pada perhatian pemkab/pemkot terhadap sektor pendidikan. Menurut Depdiknas (2006) bantuan anggaran dekonsentrasi tahun 2005 untuk Provinsi Jawa Barat mencapai Rp 1.498,2 milyar dan merupakan anggaran dekonsentrasi tertinggi bila dibandingkan dengan anggaran dekonsentrasi provinsi lain di Indonesia. Anggaran DAU dan DAK provinsi Jawa Barat juga merupakan tertinggi ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang mencapai Rp 13,48 trilyun, jauh di atas rata-rata anggaran provinsi sebesar 4, 65 trilyun rupiah (Depdiknas, 2006). Namun ternyata, Kabupaten dan Kota Bogor yang berada di wilayah Jawa Barat memiliki jumlah DAU dan DAK yang sangat kontras, Kabupaten Bogor memiliki jumlah DAU dan DAK ketiga terbesar di jawa
1
2
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah Pusat Tugas pembantuan adalah penugasan pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, prasarana dan sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan
Barat, yaitu 815,4 milyar sedangkan Kota Bogor hanya memiliki jumlah DAU dan DAK sebesar 302,5 milyar. Anggaran yang besar menunjukkan ketergantungan kabupaten Bogor terhadap anggaran dari Pusat masih sangat besar karena penggunaan DAK adalah untuk membiayai
pembangunan/renovasi gedung
sekolah yang sudah rusak, dan DAU digunakan untuk membayar gaji guru. Kondisi ini memperlihatkan juga betapa peningkatan pendidikan guru SD masih menjadi suatu cita-cita yang menggantung di atas awan.
2.1.4. Kronologis Kebijakan Peningkatan Pendidikan Otonomi Daerah
Guru Sebelum
Sebelum otonomi daerah diberlakukan, peningkatan pendidikan guru SD dilaksanakan oleh Depdiknas. Pada zaman orde lama, untuk menjadi seorang guru cukup menggunakan ijazah Sekolah Pendidikan Guru (SPG) saja. Pada tahun 1990 pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan kualitas guru SD, saat itu kualifikasi guru SD ditingkatkan dari lulusan SPG yang setaraf dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) menjadi lulusan Diploma DII. Peningkatan pendidikana guru ini dilaksanakan secara merata di seluruh Indonesia. Menurut Sukartawi (2005) penduduk Indonesia yang berjumlah besar dan tersebar di berbagai pulau yang demikian luas, tidak memungkinkan untuk mengatasi masalah pendidikan dengan cara-cara konvensional. Diperlukan keberanian melaksanakan perubahan dengan cara pendidikan massal yang menggunakan
kecanggihan
teknologi
informasi
(TI)
atau
information
communication technology (ICT) Pendidikan massal yang dimaksud di atas adalah dengan menggunakan sistem pendidikan jarak jauh (PJJ), yang meskipun belum populer, tetapi sebenarnya sudah lama dilaksanakan di Indonesia. Sistem PJJ pada mulanya
merupakan bentuk pendidikan korespondensi, yang dikenal pada awalnya di Eropa
pada
tahun
1720-an
yang
pembelajarannya
dilakukan
secara
korespondensi dengan menggunakan bahan ajar cetak yang dikenal dengan self-instruction texts, dikombinasikan dengan komunikasi tertulis antara pengajar dengan
siswa (Pannen, 2002). Pendidikan korespondensi ini berkembang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan namanya pun berkembang sesuai dengan media yang digunakan dalam proses belajar mengajar tersebut, seperti misalnya independent study (belajar mandiri), home study (belajar di rumah) atau external study (belajar di luar sekolah) dan lain-lainnya. Perkembangan pendidikan jarak jauh biasanya diikuti oleh sifatnya yang terbuka, sehingga orang sering mengistilahkan menjadi pendidikan terbuka dan jarak jauh (PTJJ). Pannen (2002) mengutip Keegan (1990) memberikan komponen yang merupakan ciri khas dari pendidikan jarak jauh, yaitu: 1.
Terpisahnya pengajar dan siswa oleh jarak;
2.
Ada pengaruh dari suatu organisasi pendidikan (organisasi pengelola);
3.
Menggunakan media teknis, seperti media cetak, audio, video atau komputer yang menyatukan pengajar dan siswa;
4.
Tersedia komunikasi dua arah, untuk membahas masalah akademik maupun administrasi
5.
Adanya sesekali pertemuan, untuk keperluan sosialisasi dan pengajaran
6.
Partisipasi dalam bentuk industri pendidikan, karena pendidikan jarak jauh merupakan proses yang panjang, dari penyediaan dan bahan ajar cetak atau non cetak.
7.
Evaluasi belajar sampai dengan sertifikasinya.
pendistribusian
Suparman dan Zuhairi (2004) mengutip penjelasan MacKenzie, Postage dan Schupham tentang pengertian pendidikan jarak jauh sebagai berikut: ... adalah suatu ide dalam menciptakan kesempatan belajar bagi orangorang yang terhalang untuk memasuki sekolah biasa karena berbagai alasan seperti keterbatasan memperoleh pendidikan formal, keterbatasan lowongan tempat duduk, keterbatasan biaya, tinggal di daerah terpencil, bekerja dan lain sebagainya.
Di Indonesia, PJJ sudah lama dikenal. Menurut Tilaar (2002) pada zaman kolonial Belanda, PJJ dilaksanakan dalam bentuk kursus tertulis melalui jasa pos. Tahun 1950-an Departemen Pendidikan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jarak jauh bagi SD, SLTP dan SLTA. Program siaran radio pendidikan untuk penataran guru dan calon guru SD/Madrasah Ibtidaiyah mulai dirintis tahun 1976. SLTP Terbuka dirintis pada tahun 1979, kemudian pada tahun 1984 Universitas Terbuka (UT) didirikan yang sampai saat ini merupakan satu-satunya perguruan tinggi penyelenggara sistem PJJ di Indonesia. Dari pengertian dan ciri serta tujuan dibentuknya sistem pendidikan terbuka jarak jauh, maka sistem PJJ digunakan oleh Depdiknas sebagai salah satu cara untuk meningkatkan pendidikan guru, yang mempermudah peningkatan akses, partisipasi serta pemerataan kesempatan pendidikan bagi masyarakat. Menurut Suparman dan Zuhairi (2004) pertimbangan penggunaan PJJ sudah jelas karena masalah pendidikan tidak dapat dipecahkan hanya dengan pendidikan yang biasa. PJJ dipilih dan dilaksanakan untuk menutup kekurangmampuan daya jangkau pendidikan biasa. Sasarannya pun jelas diperuntukkan bagi mereka yang tidak terjangkau oleh pendidikan biasa. Jadi keberadaan PJJ sifatnya komplementer, tanpa salah satu di antaranya, sistem pendidikan di Indonesia tidak lengkap.
Namun
dalam
kenyataannya,
bukanlah
hal
yang
mudah
dalam
menerapkan PJJ , karena PJJ merupakan sistem yang baru, meskipun PJJ UT sudah diterapkan selama lebih dari 20 tahun. Sistem PJJ juga memiliki kendala seperti yang dikatakan oleh Suparman dan Zuhairi (2004), antara lain: a.
Masyarakat menganggap bahwa system PJJ merupakan cara belajar kelas dua
b.
Pendidikan jarak jauh membutuhkan disiplin dan kemandirian siswa lebih banyak dari pada pendidikan tatap muka
c.
Jumlah yang putus sekolah dari PJJ lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan tatap muka
d.
Pengembangan paket instruksional yang efektif tidak mudah untuk dilakukan, karena diperlukan keahlian khusus. Depdiknas sebagai pimpinan tertinggi dunia pendidikan menggunakan PJJ
untuk mengembangkan pendidikan guru SD di seluruh pelosok Indonesia. Diawali dengan penyetaraan guru SD dari lulusan SPG menjadi DII, dan sekarang untuk mencapai amanat UU Guru dan Dosen, PJJ masih merupakan sistem yang terbaik untuk digunakan dalam meningkatkan pendidikan guru SD menjadi S1, terutama bagi guru-guru yang tinggalnya di pelosok yang sulit dijangkau oleh perguruan tinggi tatap muka. Hal ini sesuai dengan Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004, tentang Pembangunan Pendidikan, salah satu programnya adalah menerapkan alternatif layanan pendidikan, khususnya bagi masyarakat kurang beruntung (masyarakat miskin, berpindah-pindah, terisolasi, terasing, minoritas, dan di daerah bermasalah, termasuk anak jalanan), seperti SD dan MI kecil satu guru, guru kunjung/sistem tutorial, SD Pamong, SD-MI terpadu, kelas jauh, serta SLTP-MTs terbuka.
Kondisi ini sesuai dengan tujuan didirikannya UT yaitu memperbesar daya tampung perguruan tinggi, meningkatkan kemampuan tenaga terdidik yang tersebar di seluruh Indonesia dan secara terpadu dan berkesinambungan memberi kesempatan kepada para tenaga terdidik tersebut untuk melanjutkan pendidikannya sambil bertugas. (Keputusan Presiden RI Nomor 41 Tahun 1984)
2.1.5. Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru di Era Otonomi Daerah Pendidikan
ternyata
tidak
hanya
semata-mata
bagaimana
menyekolahkan anak didik dengan infra struktur yang memadai. Hal penting lainnya yang merupakan inti dari diselenggarakannya pendidikan adalah meningkatkan mutu SDM yang dimiliki oleh suatu negara. Pendidikan adalah aset masa depan dalam menciptakan SDM yang berkualitas. Sudah banyak kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam undang-undang, peraturan pemerintah maupun surat keputusan dan kerja sama, yang intinya adalah mengatur pengembangan pendidikan dan kesejahteraan guru, namun ternyata tidak semua daerah menanggapi kebijakan pemerintah pusat sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Raksasataya dalam Kismartini (2005) mengartikan kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Jadi dalam suatu kebijakan termuat tiga elemen penting yaitu: (1) identifikasi dari tujuan yang akan dicapai; (2) taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; (3) penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi. Kebijakan meningkatkan pendidikan guru SD baik di pemerintah pusat, kabupaten, maupun kota setelah otonomi daerah memang masih belum jelas dan belum dapat diukur keberhasilannya. Kondisi ini disebabkan oleh banyak
faktor antara lain ketidaksiapan daerah melaksanakan otonomi, dan karena mutu SDM yang dimiliki memang masih rendah terutama SDM yang bertanggung jawab terhadap pendidikan. Keadaan seperti ini memunculkan adanya peluang untuk memanfaatkan rendahnya pendidikan guru dengan membuka bisnis pendidikan Sekolah Tinggi atau Perguruan Tinggi yang menawarkan kemudahan mendapatkan gelar S1, meskipun tidak diakui oleh Depdiknas sehingga guru dalam waktu yang singkat dan tidak terlalu sulit dapat memperoleh ijazah yang diinginkan, hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Ahmad (2005). Ananda (2002) dalam penelitiannya di daerah Malang dan Trenggalek mengatakan bahwa permasalahan yang mendasar yang ada di daerah adalah kualitas sumber daya manusia, di samping itu kualitas DPRD sangat penting dalam memberi arah dan penentuan skala prioritas pembangunan. Kondisi ini ternyata sudah diperkirakan oleh Asshiddiqie (2002) dalam tulisannya Nasib Pendidikan di Daerah, yang mempertanyakan harapannya terhadap apresiasi mengenai pentingnya pendidikan dari para anggota DPRD yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan memadai sehingga akan memungkinkan pembangunan pendidikan di daerah terabaikan. Dengan otonomi, setiap daerah dapat meningkatkan kualitas SDM sesuai dengan kebutuhannya, masalahnya adalah terdapat perbedaan kemampuan antarwilayah baik SDM maupun SDA, yang dapat mempengaruhi kebijakan daerah dalam memanfaatkan otonomi untuk
menjadikan pendidikan menjadi
prioritas utama, sehingga tidak terjadi penurunan mutu SDM. Menurut Jalal (2004) selaku Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, heterogenitas kemampuan daerah memunculkan penggolongan kabupaten kota sebagai berikut. 1. Daerah kaya dan memiliki kepedulian tinggi terhadap pendidikan
2. Daerah kaya tetapi kurang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan. 3. Daerah miskin dan kurang memiliki kepedulian untuk membangun pendidikan 4. Daerah miskin tetapi memiliki kepedulian yang tinggi dalam bidang kependidikan. Dari kondisi di atas, hal yang perlu untuk dijadikan pertimbangan, adalah pemilihan sistem pendidikan yang sesuai dengan kondisi guru. Salah satu cara menjembatani ketimpangan yang terjadi dalam pembangunan pendidikan, adalah menggunakan sistem PJJ, karena sistem PJJ dapat meniadakan kendala jarak dan waktu yang dialami oleh para guru. Saat ini pemerintah sudah menciptakan sistem PJJ dengan tiga modus, yaitu PJJ-UT, PJJ dengan IT-base, dan PJJ dengan KKG-base (Kelompok Kerja Guru). Pelaksanaan IT-base dan KKG-base ternyata
masih terkendala oleh
adanya pertemuan yang dikonsentrasikan di suatu tempat untuk waktu tertentu, hal ini dirasakan berat oleh guru-guru terutama yang tinggal di daerah terpencil karena kegiatan pertemuan ini mengharuskan guru meninggalkan tugasnya untuk waktu yang cukup lama. Jadi sampai saat ini yang dapat digunakan sebagai sistem pendidikan massal yang paling efisien adalah dengan menggunakan PJJ– UT
karena kegiatan pertemuan (tutorial) dilaksanakan dengan tidak harus
meninggalkan tugas mengajar.
2. 2. KERANGKA PEMIKIRAN Sejak diberlakukannya otonomi daerah
terjadi perubahan kewenangan
yang diberikan oleh Pusat ke Daerah. Otonomi yang memberikan banyak kewenangan ini mengubah posisi kabupaten/kota sebagai garda terdepan dalam
pelaksanaan atau implementasi otonomi daerah secara keseluruhan termasuk dalam pembangunan pendidikan. Kemandirian daerah kabupaten/kota karena berlakunya otonomi diharapkan mempercepat penyelesaian tujuan yang ingin dicapai yaitu meningkatkan pendidikan seluruh guru yang ada. Dalam kaitannya dengan bidang pendidikan, pemerintah daerah dituntut untuk memajukan pendidikan masyarakat yang ada di wilayahnya. Satu hal penting yang berhubungan dengan pengembangan kualitas SDM adalah pengembangan pendidikan untuk guru SD. Heterogenitas yang tinggi dalam kepemilikan SDA dan kualitas SDM di daerah, pada masa otonomi justru memunculkan perbedaan yang mencolok antardaerah dalam melaksanakan pembangunan di bidang pendidikan. Hal ini merupakan tantangan baru bagi pemerintah, karena akan memunculkan kreativitas dalam membuat kebijakan yang dapat menunjukkan kepedulian pejabat terkait di suatu wilayah dalam peningkatan pendidikan guru. Kondisi lain yang harus diperhatikan adalah peranan badan legislatif daerah, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun paradigma dan visi pendidikan di daerahnya masing-masing. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah dan DPRD yang mendukung peningkatan pendidikan saat ini adalah pengentasan wajib balajar sembilan tahun karena merupakan program nasional yang menjadi kewajiban daerah untuk merealisasikannya. Selain itu
terdapat kebijakan untuk
memprioritaskan peningkatan nilai indeks prestasi manusia (IPM) , dan gratifikasi bagi siswa SD. Kebijakan yang khusus diperuntukkan untuk meningkatkan pendidikan guru SD sampai saat ini masih
belum terencana dengan jelas.
Selama ini peningkatan pendidikan guru SD ditangani langsung oleh Depdiknas melalui program pemberian bea siswa dengan menggunakan sistem PJJ,
sedangkan setelah otonomi pemerintah daerah tidak semuanya meneruskan program dari Depdiknas, kalau pun ada jumlah yang ditingkatkan pendidikannya sangatlah tidak memadai untuk Kota Bogor hanya membiayai rata-rata 30 orang dan tidak selalu ada setiap tahunnya, sedangkan Kabupaten Bogor sampai tahun 2006 tidak pernah memberikan bea siswa kepada guru SD yang ada di wilayahnya, sehingga pencapaian tingkat pendidikan sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen tidak mungkin tercapai dalam waktu 15 tahun ke depan. Dalam mencari sistem pendidikan yang paling sesuai untuk meningkatkan pendidikan guru SD, terdapat beberapa keadaan yang harus diperhitungkan, antara lain yang berhubungan dengan: Kondisi keuangan dapat dilihat dari dana atau anggaran yang dimiliki oleh pemerintah daerah tersebut dan juga oleh para guru SD. Anggaran pendidikan 20 persen ternyata masih dalam angan-angan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa kondisi ekonomi para guru SD belum dapat
dikatakan cukup untuk hidup sehari-hari dengan layak. Perlu menjadi perhatian khusus bila pemerintah ingin meningkatkan pendidikan guru SD yang pelaksanaannya dilakukan secara swadana atau pun bea siswa, karena berarti pemerintah harus memfasilitasi para guru untuk mendapatkan perguruan tinggi (PT) yang sesuai dengan kebutuhan dan biayanya murah. Sekolah Dasar merupakan sekolah yang memiliki tingkat ketersebaran paling luas di seluruh wilayah Indonesia. Dampaknya adalah guru SD pun memiliki domisili yang terpencar di wilayah kota sampai desa yang terpencil. Ketersebaran
wilayah yang sangat luas ini masih belum memungkinkan
dijangkau oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan khusus untuk guru SD yang umumnya dilakukan dengan cara tatap muka. Hal ini merupakan kendala yang sulit dihindari saat ini, namun harus dapat
dipecahkan karena nasib guru sudah dipastikan dengan munculnya UU Guru dan Dosen. Kendala lain adalah guru tidak diberi kesempatan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai pengajar, karena akan mengganggu proses belajar mengajar siswa. Bila perguruan tinggi yang ada memiliki keterbatasan dalam menjangkau para guru yang berdomisili di daerah terpencil, sementara kondisi keuangan juga tidak memungkinkan untuk guru meningkatkan pendidikannya, ditambah kesibukannya sebagai pengajar tidak boleh diabaikan, kondisi ini perlu diatasi dengan menawarkan sistem pendidikan yang dapat meniadakan kendala di atas. Suparman
dan
Zuhairi
(2004)
menawarkan
penggunaan
sistem
pendidikan belajar jarak jauh (PJJ) untuk mengatasi masalah pendidikan di Indonesia. Pertimbangan penggunaan PJJ sudah jelas karena masalah pendidikan tidak dapat dipecahkan hanya dengan pendidikan yang biasa. PJJ dipilih dan dilaksanakan untuk menutup kekurangmampuan daya jangkau pendidikan biasa. Sasarannya pun jelas diperuntukkan bagi mereka yang tidak terjangkau oleh pendidikan biasa. Jadi keberadaan PJJ sifatnya komplementer, tanpa salah satu di antaranya, sistem pendidikan di Indonesia tidak lengkap Banyak para guru yang merasa bahwa bila dia melanjutkan studinya di PT manapun, sementara kegiatan mengajar tidak ditinggalkan akan mempersulit mereka dalam menyelesaikan studinya. Ada ketakutan dari sebagian guru, kepala sekolah, dinas dan DPRD bahwa mereka akan memerlukan waktu lebih lama untuk dapat menyelesaikan studi, karena berdasarkan pada pengalaman mengikuti PTJJ dan PT tatap muka, kedua-duanya memiliki tingkat kesulitan yang sama untuk lulus.
Dari pemikiran di atas diperoleh kerangka pikir yang dapat dikembangkan seperti Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Kerangka Pikir Kajian
III. METODE KAJIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Data kajian ini dikumpulkan dengan mengambil sampel
pemerintah
kabupaten/kota, secara purposif yaitu Kota Bogor yang mewakili kota kecil dan Kabupaten Bogor yang mewakili kota besar, dari bulan Mei sampai November 2007 . Pemilihan Kota dan Kabupaten Bogor ini berdasarkan pada : 1.
Kedua daerah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam melaksanakan peningkatan pendidikan guru SD baik yang dilaksanakan sebelum otonomi maupun saat otonomi.
2.
Kedua
wilayah
ini
memiliki
anggaran
yang
diprioritaskan
untuk
melaksanakan pembangunan pendidikan yang berbeda. 3.
Kedua daerah juga memiliki perbedaan yang mencolok dilihat dari APBD dan pendapatan asli daerah (PAD)
yang diklasifikasikan besar untuk
Kabupaten Bogor dan kecil untuk Kota Bogor.
3.2. Sumber dan Cara Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan untuk menganalisis identifikasi kondisi pendidikan guru dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor berasal dari data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang berkaitan dengan APBD dan sumber lain yang relevan yang menjabarkan bagaimana anggaran dan semua informasi yang berhubungan dengan pendidikan guru SD digunakan untuk mengembangkan suatu kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan di Kabupaten dan Kota Bogor.
Sedangkan untuk menganilisis alternatif dalam memilih sistem pendidikan yang sesuai untuk peningkatan pendidikan guru di Bogor, digunakan data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung untuk memperoleh informasi mengenai bagaimana perhatian pembuat kebijakan terhadap peningkatan pendidikan guru SD, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi dalam memutuskan suatu kebijakan. Sasaran utama dari wawancara untuk memperoleh informasi ini adalah guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor sebagai subjek yang akan ditingkatkan atau dikembangkan pendidikannya. Karena menyangkut kebijakan maka sasaran pendukung utama yang diwawancarai harus berhubungan dengan pemerintah daerah kota dan kabupaten yang diwakili oleh Dinas Pendidikan, DPRD komisi D yang membidangi bidang pendidikan, dan Kepala Sekolah sebagai pelaksana teknis dalam membina pengembangan pendidikan guru SD di sekolah yang dipimpinnya. Sampel Guru SD diambil satu dari sejumlah guru yang ada di Kota dan Kabupaten Bogor. Seorang guru dapat dianggap mewakili keseluruhan guru yang memiliki pendidikan belum S1 dan berkeinginan untuk meningkatkan pendidikannya.
Responden
lainnya
adalah
Kepala
Sekolah
dan
Dinas
Pendidikan yang diwakili oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Bidang Pendidikan Dasar yang mengelola secara teknis peningkatan pendidikan guru di setiap wilayah. Dari anggota DPRD diwakili oleh Ketua Komisi D.
3.3.
Analisis Data Kajian untuk memilih alternatif sistem pendidikan yang sesuai dalam
peningkatan pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor merupakan suatu studi yang bersifat deskriptif eksploratif. Untuk mengidentifikasi kondisi
pendidikan guru SD, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam peningkatan pendidikan guru SD dilakukan dengan memasukkan data yang diperoleh dalam tabulasi sederhana, untuk memudahkan dalam membaca dan dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Pengolahan data untuk pemilihan alternatif sistem pendidikan yang dapat digunakan dalam peningkatan pendidikan guru SD di Kabupaten dan Kota Bogor dilakukan dengan menggunakan
metode analitical hirarchy process (AHP),
suatu metode yang didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada skala preferensi di antara berbagai alternatif. Langkah-langkah dalam analisis data menggunakan pendekatan AHP adalah sebagai berikut. (Falatehan, 2006). 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusinya Definisi masalah dilakukan dengan mempelajari masalah yang berhubungan dengan pendidikan guru SD, apa yang menjadi masalah utama, siapa pelaku yang berperan dalam menentukan peningkatan pendidikan guru SD, dan kendala yang dihadapi dan alternatif sistem pendidikan yang memungkinkan untuk meniadakan kendala serta sesuai dengan kondisi yang ada dalam meningkatkan pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor. 2. Membuat struktur hierarki Hirarki dibentuk dengan memiliki level-level yang menunjukkan faktor-faktor yang saling berkaitan yang hendak diteliti. Hierarki disusun berdasarkan sasaran utama yang akan dicapai, pelaku yang berperan, kendala yang dihadapi dan faktor yang pengaruhinya serta terkahir adalah alternatif yang sesuai yang dapat dipilih, seperti Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 4. Hirarki pada Metoda AHP
3. Membuat matriks perbandingan atau komparasi berpasangan (Tabel 1), untuk menggambarkan pengaruh setiap elemen terhadap tujuan yang setingkat di atasnya. Penentuan tingkat kepentingan pada hirarki dilakukan dengan teknik perbandingan
berpasangan
berdasarkan
pendapat
dari
individu
dan
gabungan individu. Tabel 2 adalah skala banding secara berpasangan dalam AHP Tabel 1. Matriks Perbandingan Berpasangan C
A1
A1
I
A2 ... An
A2
...
An
I I I
4. Menghitung matriks pendapat individu (MPI) 5. Menghitung matriks pendapat gabungan (MPG), untuk membentuk suatu matriks yang dapat mewakili matriks individu yang ada. 6. Pengolahan horizontal, untuk menyusun prioritas elemen keputusan pada hirarki keputusan. Dilakukan dengan menentukan vektor prioritas, uji konsistensi dan revisi bila diperlukan.
7. Revisi pendapat, dilakukan bila nilai CR cukup tinggi (lebih dari 0,1) dengan mencari Rood Mean Square (RMS) dan merevisi pendapat pada baris yang memiliki nilai besar. 8. Pengolahan vertikal, digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau tujuan. Hasil akhirnya adalah bobot prioritas setiap elemen pada sasaran akhir yang dituju. Pengumpulan pendapat responden dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur. (Contoh kuesioner pada Lampiran 1) sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Expert Choice 2000.
Tabel 2. Skala Banding secara Berpasangan Intensitas
Keterangan
1
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen lain
7
Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain
9
Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain
2,4,6,8
a. Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan b. Jika untuk aktivitas ke-I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas ke-j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
3.4. Metode Perancangan Program Hasil kajian ini akan digunakan sebagai masukan bagi pemerintah kabupaten/kota dalam memilih alternatif untuk peningkatan pendidikan guru SD dengan menggunakan sistem pendidikan yang paling sesuai dengan tidak meninggalkan tugasnya dan sebagai wujud pelaksanaan otonomi daerah. Sedangkan bagi UT selaku penyelenggara PJJ apa pun pilihannya dapat
digunakan sebagai masukan dalam meningkatkan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh yang lebih baik dalam melayani guru SD sebagai mahasiswa. Metoda perancangan yang digunakan adalah dengan menggunakan ANALISIS SWOT yang dapat dilihat pada Tabel 3. Sedangkan strategi yang dikembangkan dibuat dari perbandingan kondisi internal dan eksternal. yang dilaksanakan dengan melihat hal-hal sebagai berikut: 1.
Lingkungan Internal, adalah apa yang dimiliki oleh suatu organisasi untuk melakukan suatu kegiatan.
Lingkungan internal terdiri dari kekuatan
(Strength) yaitu apa yang menjadi kekuatan utama
atau yang dapat
membantu suatu organisasi dalam mencapai tujuan, dan kelemahan (Weakness) yang merupakan kelemahan internal yang ada pada suatu organisasi yang ada sejak dari dahulu sampai saat ini dapat mengganggu organisasi dalam mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Strengths dan weaknesses intelektual,
dapat dan
terdiri
lokasi),
dari sumber dana/biaya,
daya krativitas
yang
dimiliki(finansial,
(kemampuan
untuk
mengembangkan suatu produk, nilai aset yang dimiliki, kemampuan kompetitif, keuntungan kompetitif, dan lain-lain.
Tabel 3. Analisis SWOT Internal STRENGTHS
WEAKNESSES
Eksternal
OPPORTUNITIES
TRHREATS
Strategi SO: menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi WO: Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Strategi ST: Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Strategi WO: Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
2. Lingkungan eksternal adalah segala sesuatu yang berasal dari luar organisasi yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan suatu organisasi. Lingkungan eksternal terdiri dari
peluang (Opportunity) yaitu kesempatan
eksternal apa yang dapat diperoleh atau dapat membantu pencapaian tujuan suatu organisasi, dan ancaman (Threat) yaitu apakah ancaman eksternal utama yang mungkin dapat mengganggu pencapaian tujuan pada suatu organisasi. Lingkungan eksternal dapat dilihat dari kecenderungan pasar, kondisi politik, ekonomi dan sosial, perkembangan teknologi, harapan publik, kondisi lingkungan global, dan lain-lain sebagainya. 3. Strategi dilaksanakan dengan melihat kesesuaian analisis SWOT dengan hasil kajian, dan perkembangan kebijakan yang ada di lapangan.
IV. GAMBARAN UMUM KONDISI PENDIDIKAN GURU SD DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
4.1. KOTA BOGOR 4.1.1. Profil Pendidikan Guru Kota Bogor merupakan wilayah yang terletak di dalam Kabupaten Bogor, seluruh wilayah Kota Bogor berbatasan dengan Kabupaten Bogor, dan lokasinya berdekatan dengan Jakarta. Jumlah penduduk 884.778 orang menghuni wilayah seluas 11.850 Ha terbagi menjadi 6 kecamatan dan terdiri dari 68 kelurahan (Bakorwil Bogor, 2006). Sebagai kota kecil, Kota Bogor memiliki wilayah yang hampir seluruh kecamatannya berdekatan dengan pusat kota, dan memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi yaitu 7.129 jiwa per km2.
Tabel 4. Kondisi Pendidikan Guru SD di Kota Bogor Tahun 2004-2005 Kondisi Guru SD
Jumlah
Jumlah Guru SD (orang)
3.542
Jumlah Guru SD yang belum S1 (orang)
2.810
Wilayah ketersebaran guru (kelurahan)
68
Rasio Murid dengan Guru
25,43
Sumber : Profil Pendidikan Jawa Barat Tahun 2005
Dari Tabel 4 dapat dilihat kondisi pendidikan guru SD di Kota Bogor, dimana jumlah guru SD di Kota Bogor pada tahun ajaran 2004/2005 adalah 3.542 orang dan mengajar di 312 SD yang tersebar di 68 kelurahan. Kota Bogor memiliki rasio Murid dengan Guru 25,43 sedikit lebih tinggi dibandingkan rasio murid/guru di Jawa Barat yaitu 25. Kondisi ruang kelas SD di Kota Bogor juga termasuk yang cukup bagus, karena persentase kerusakannya hanya 3,1 persen dari seluruh ruang kelas SD yang ada. (Depdiknas, 2006)
Berdasarkan Perda No.1 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Tahun 1999-2009) salah satu fungsi Kota Bogor adalah sebagai Kota Pendidikan. Bila disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yang mengatur kompetensi guru dan rencana pemerintah dalam sepuluh tahun mendatang, guru SD wajib memiliki pendidikan minimal S1, namun ternyata kondisi pendidikan guru SD di Kota Bogor masih belum menunjukkan seperti yang diharapkan, hal ini dapat dilihat pada besarnya jumlah guru yang masih belum memiliki pendidikan sampai jenjang S1. Dari 3.542 orang guru yang mengajar di kota Bogor, terdapat 2.810 orang atau 79,33 persen yang pendidikannya belum mencapai S1, walaupun demikian Kota Bogor bila dilihat pada Peta Persebaran Guru SD/MI Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 (Depdiknas, 2006) merupakan kota nomor tiga di Jawa Barat yang memiliki jumlah guru SD dengan pendidikan S1 cukup besar (15,8 persen) setelah Kota Bekasi (20,4 persen) dan Kota Bandung (16,3 persen). Gambar 5 memperlihatkan persentase guru SD di Kota Bogor (tidak termasuk guru MI) yang tingkat pendidikannya belum S1 yaitu 79,33 persen dan terdiri dari guru berpendidikan <SLTA (21,30 persen), DI (1,60 persen), DII (73,30 persen), dan DIII atau Sarjana Muda sebanyak 3,80 persen (Profil Pendidikan Jawa Barat, 2005). Dari data ini terlihat bahwa daerah perkotaan (Kota Bogor terletak
di
dalam Kabupaten Bogor) merupakan wilayah yang memiliki keuntungan tersendiri bagi pengembangan pendidikan, karena wilayahnya tidak luas yang tidak terkendala oleh kondisi geografis. Fasilitas pendidikan yang tersedia lebih banyak dan memiliki perguruan tinggi yang memudahkan masyarakat untuk memperoleh pendidikan.
Sumber: Profil Pendidikan Jawa Barat. Tahun 2005
Gambar 5. Persentase Guru SD yang Belum S1 di Kota Bogor Tahun 2005
Di Kota Bogor terdapat perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang menyediakan banyak pilihan program studi, namun untuk keperluan peningkatan pendidikan khusus guru SD hanya ada di Universitas Pakuan dan Ibnu Khaldun yang dapat memfasilitasi, meskipun masih belum memperoleh kejelasan izin dari Dikti dalam penyelenggaraannya. Oleh karena hampir seluruh wilayahnya terletak di pusat perkotaan, kondisi ini mempengaruhi tingkat kesejahteraan guru yang lebih baik dibandingkan dengan guru yang berada di daerah yang jauh dari pusat perkotaan. Perhatian pemerintah Kota Bogor juga terrlihat dari adanya stimulus dana untuk meningkatan kesejahteraan guru SD antara lain adalah pemberian bea siswa untuk guru berprestasi yang dilombakan setiap tahun, dan tunjangan untuk guru yang diseleksi oleh Disdik karena prestasi tertentu dan tunjangan lain-lainnya)
4.1.2. Anggaran Pendidikan untuk Guru SD Prioritas pembangunan pendidikan dapat dilihat dari anggaran yang dialokasikan untuk bidang pendidikan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 5. Total penerimaan daerah sebesar Rp 501,706 milyar dan PAD sebesar Rp 60,263 milyar ternyata tidak diprioritaskan pada pengembangan pendidikan guru SD. Sebagian besar dana dalam
APBD tahun 2006, digunakan untuk biaya Belanja Pegawai, yang di
dalamnya termasuk administrasi rutin, yang meliputi pembayaran gaji pegawai, dan biaya pembangunan.
Tabel 5. APBD Kota Bogor Tahun 2006 URAIAN TOTAL PENERIMAAN • BAGIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH
• •
Pos Dana Alokasi Umum Pos Dana Alokasi Khusus
TOTAL BELANJA
• • • • • • • •
Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Perjalanan Dinas Belanja Pemeliharaan Belanja Lain-lain Belanja Modal Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Belanja Tidak Tersangka
JUMLAH (Milyar Rupiah) 501,706 60,263 302,515 7,620 545,381 227,390 128.,723 0,660 4,867 0 148,004 28,577 7,160
Sumber : http://www.sikd.djapk.go.id/
Sebenarnya dalam APBD dialokasikan juga anggaran
khusus untuk
pengembangan pendidikan guru SD yang salah satunya adalah dengan pemberian beasiswa, namun jumlahnya sangat sedikit (hanya kira-kira untuk 30 orang guru SD dan TK), dan dana ini tidak disediakan setiap tahun. Biaya bea siswa guru per orang per tahun adalah Rp 1,5 juta. Peningkatan kualitas dan kompetensi
guru
dilakukan
dengan
mengikuti
pelatihan
rutin
yang
pelaksanaannya dilakukan setiap tahun dan anggarannya sudah masuk dalam biaya administrasi umum/rutin. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor termasuk yang tidak besar hanya Rp 60,263 milyar atau hanya 12,01 persen dari total penerimaan. Dana Alokasi Umum (DAU) ternyata jumlahnya sangat besar Rp 302,515 milyar, yang menunjukkan bahwa Kota Bogor sebenarnya belum dapat dikatakan mandiri secara finansial meskipun sudah dilaksanakan otonomi daerah selama lebih dari enam tahun.
Kondisi seperti ini juga menggambarkan bahwa Kota Bogor
sebenarnya masih sangat tergantung pada bantuan pemerintah Pusat, meskipun sudah mulai banyak usaha yang dilakukan pemerintah kota untuk meningkatkan PAD dengan mengefektifkan pemasukan dari pajak yang dapat diambil dari banyak sektor yang ada. Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan transfer yang bersifat khusus (specific grant) untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan khusus Daerah dan/atau kepentingan Nasional. DAK untuk Kota Bogor tidak besar jumlahnya (Rp 7,620 milyar) dan kegiatan yang dibiayai dari DAK tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 6 yang memperlihatkan bahwa bidang pendidikan memang diprioritaskan dengan dikucurkannya DAK yang jumlahnya paling besar bila dibandingkan dengan bidang lainnya, namun sasaran penggunaan DAK bukanlah untuk peningkatan pendidikan guru SD, melainkan lebih diutamakan pada rehabiltasi gedung/ruang kelas SD yang ada. Menurut Ketua Komisi D DPRD, Pemkot Bogor termasuk daerah yang memprioritaskan anggaran pembangunan pendidikan, karena prosentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran untuk dinas-dinas yang lain. Namun karena peningkatan pendidikan guru SD di Kota masih belum menjadi prioritas utama, dan yang menjadi prioritas utama adalah pendidikan gratis untuk SD,
serta rehabilitas gedung maka pemerintah Kota Bogor lebih mementingkan pada peningkatan kesejahteraan guru-guru yang ada di wilayahnya.
Tabel 6. Bidang Kegiatan yang Dibiayai DAK Kota Bogor Tahun 2006 BIDANG KEGIATAN JUMLAH ( x Jutaan Rp) Pendidikan Kesehatan Infrastruktur • jalan • irigasi • air bersih Kelautan dan Perikanan Pertanian Prasarana pembangunan Lingkungan hidup Total
2,39 1,99 1,50 0,00 0,41 0,00 1,33 0,00 0,00 7,62
Sumber : http://www.sikd.djapk.go.id/dp/dak/DAK_2006.htm
Pemerintah Kota Bogor juga mengeluarkan beberapa Peraturan Daerah (Perda) tentang penyelenggaraan pendidikan di Kota Bogor yang menyangkut pembebasan biaya sekolah untuk SD/MI, dan pembebasan biaya sekolah ini tidak mengurangi kesejahteraan guru, karena pungutan dari murid ini diganti oleh pemerintah kota. Pada tahun 2006, Komisi D DPRD mengembangkan peraturan daerah (Perda)
tentang Pendidikan SD yang akan dilaksanakan pada tahun
2007. Perda ini berisikan tentang pembebasan biaya sekolah untuk 60% dari SD/Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang ada di Kota Bogor. Kriteria gratis dengan melihat kelayakan dari sekolah dan indikator ekonomi rata-rata orang tua di sekolah tersebut. Maksud dari Perda ini adalah membantu peningkatan keterjangkauan pendidikan yang baik dan murah.
4.1.3. Pengembangan Pendidikan Guru SD. Menurut informasi dari Kepala Bidang Pendidikan Dasar,
Kantor Dinas
Pendidikan Kota Bogor, memprioritaskan pembangunan pendidikan khusus pada
anak usia sekolah dari keluarga miskin (AUSKM) yang merupakan program yang digulirkan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat. Program ini hanya dilaksanakan oleh beberapa pemkab/pemkot, dan salah satunya adalah Kota Bogor yang cukup berhasil dalam pelaksanaannya. Dengan adanya dana BOS, maka AUSKM dihapuskan namun menuntaskan wajib balajar 12 tahun tetap menjadi prioritas utama dalam anggaran. Meskipun peningkatan pendidikan guru SD belum menjadi prioritas utama pembangunan pendidikan Kota Bogor, namun sejak tahun 1996 pemerintah Kota Bogor sudah berusaha untuk melaksanakan kebijakan pemerintah tentang pendidikan minimal yang harus dimiliki guru SD. Karena saat itu otonomi belum diberlakukan, program peningkatan guru SD yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota berasal dari Depdiknas dengan memberi bea siswa untuk guru SD agar pendidikannya ditingkatkan menjadi DII dan dilaksanakan dengan menggunakan sistem PJJ. Pemberian bea siswa ini tidak selalu direspon oleh pemerintah daerah, namun Kota Bogor sudah melaksanakannya dan memanfaatkan dana bea siswa dengan memberikan dana pendamping yang berasal dari anggaran pemerintah Kota Bogor meskipun jumlahnya tidak banyak (rata-rata untuk 30 mahasiswa per tahun), dan tidak selalu ada setiap tahunnya. Menurut Ketua Komisi D DPRD Kota Bogor, peningkatan pendidikan guru SD memang belum diprioritaskan, karena masih mengejar pengentasan Wajar Dikdas 9 tahun, namun Kepala Dinas Pendidikan menegaskan bahwa peningkatan pendidikan guru SD merupakan prioritas, meskipun dana yang dianggarkan untuk bea siswa masih sangat jauh dari memadai. Gambar 6 menunjukkan perkembangan jumlah guru SD yang diberi bea siswa oleh Depdiknas (Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan atau PMPTK) dan dari APBD Kota Bogor, dari sebelum otonomi (tahun 1996 sampai
dengan tahun 2001) sampai saat otonomi tahun 2007.
Bea
siswa
yang
berasal dari pemkot ternyata tidak muncul lagi sejak tahun 1997 sampai tahun 2003. Pemerintah Kota Bogor baru aktif memberi bea siswa untuk S1 sebanyak 30 orang sejak tahun 2004 hal ini dilakukan untuk mengantisipasi perubahan kebijakan yang sudah disosialisasikan yaitu UU No 14 tentang Guru dan Dosen dimana pendidikan minimal untuk guru adalah S1, dengan dana yang berasal dari pemerintah Provinsi Jawa Barat (dana Dekonsentrasi). Dana bea siswa diberikan untuk guru yang sudah menyelesaikan pendidikan DII pada masa sebelum otonomi, sehingga pemkot menanggung bea siswa yang tidak besar karena hanya membiayai 5 semester masa studi yang harus ditempuh untuk mencapai jenjang S1. Tahun 2005 dengan stimulan dari Depdiknas (PMPTK) untuk S1 sebanyak 30 guru SD, Kota Bogor memberi pendamping 30 guru SD untuk diberi bea siswa. Setelah absen pada tahun 2006, tahun 2007 pemkot Bogor memberikan bea siswa kepada 70 orang guru SD untuk dididik menjadi S1. Jadi otonomi di Kota Bogor berpengaruh terhadap peningkatan jumlah guru SD yang mendapatkan bea siswa baik dari PMPTK maupun pemerintah Kota Bogor.
o r a n g
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
PMPTK
Pemkot
Gambar 6. Perkembangan Jumlah Guru SD yang Diberi Bea Siswa di Kota Bogor dari Tahun 1996 - 2007
Untuk menyelesaikan masalah mendasar yaitu meningkatkan kualitas pendidikan guru dengan meningkatkan potensi akademik dan profesionalisme guru, pemerintah Kota Bogor merencanakan untuk tahun-tahun mendatang tidak hanya guru SD yang diberi bea siswa, namun juga guru TK. Kriteria yang digunakan oleh Disdik dalam menyeleksi guru untuk diberi bea siswa adalah yang pendidikannya sudah DII (tidak berlaku untuk guru TK karena bagi guru TK pendidikan akhirnya adalah SLTA), kemampuan secara ekonomi dan masa kerja minimal 10 tahun. Komisi D DPRD kota Bogor sangat mendukung program bea siswa untuk guru SD ini, bahkan ada stimulus bagi guru yang berprestasi , yang dilombakan setiap tahun untuk diberi bea siswa. Peningkatan pendidikan guru SD juga dilakukan secara swadana, yaitu guru SD yang memiliki masa kerja masih panjang berusaha untuk meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi setempat atau menggunakan sistem PJJ dengan menggunakan dana sendiri. Jadi sebenarnya Kota Bogor yang hanya memiliki 6 Kecamatan, dan secara geografis letaknya sangat dekat dengan pusat perkotaan, akses guru untuk memperoleh peningkatan pendidikan lebih mudah, disamping itu kondisi ekonomi, fasilitas, dan perhatian pemerintah kota sangat mendukung, sehingga tingkat pendidikan mereka yang masih belum S1, relatif lebih baik.
4.1.4.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Guru SD di Kota Bogor
Kebijakan
Peningkatan
Beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan peningkatan pendidikan Guru di Kota Bogor agar sesuai dengan yang dikendaki UU Guru dan Dosen dan sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh UU No 33 dan 34 tentang Pemerintah Daerah antara lain adalah:
a.
Kondisi keuangan Kota Bogor. Sebagai kota kecil dengan PAD yang juga kecil, Kota Bogor termasuk pada kota yang masih sangat tergantung pada bantuan pusat. Kondisi keuangan ini berpengaruh pada kondisi guru yang secara ekonomi keadaannya tidak selalu dapat menunjang untuk meningkatkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi, bila tidak ada bantuan dari pemerintah.
b.
Prioritas pembangunan pendidikan Prioritas pembangunan pendidikan saat ini adalah terlaksananya wajar dikdas 12 tahun yang merupakan program nasional dan terlaksananya SD gratis. Sedangkan peningkatan pendidikan guru SD masih diupayakan masuk dalam skala prioritas karena merupakan tuntutan UU Guru dan Dosen.
c.
Penggunaan sistem belajar yang tepat bagi guru Meskipun guru wajib meningkatkan pendidikannya minimal S1, namun mereka juga terkendala oleh aturan yang diberlakukan untuk tidak meninggalkan tugasnya. Sebelum otonomi kendala ini dapat diatasi oleh Depdiknas dengan menggunakan sistem PJJ. Meskipun demikian ketakutan akan sulit lulus karena dalam sistem PJJ diperlukan kemandirian perlu dijadikan pertimbangan khusus. Setelah otonomi pembangunan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah harus dapat memberikan alternatif yang paling sesuai untuk memilih sistem pendidikan yang paling cocok bagi guru SD apakah dengan PJJ ataukah dengan tatap muka. Namun karena wilayahnya yang tidak terlalu luas dan letaknya yang berada di antara Bogor dan Jakarta, guru di Kota Bogor tidak terlalu terkendala dengan aturan ini, yang harus diperhatikan adalah bagaimana keinginan guru untuk meningkatkan pendidikannya dipenuhi
dengan menyediakan sistem pendidikan yang cocok sehingga aturan ini dapat diatasi tanpa merugikan siapa pun.
4.2. KABUPATEN BOGOR 4.2.1. Profil Pendidikan Guru Kabupaten Bogor merupakan wilayah yang terletak bersebelahan dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Provinsi Banten. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor menurut Survei Sosial Ekonomi Daerah 2005 (BPS) adalah 4.100.934 orang dan tinggal dalam wilayah seluas 335.792 Ha, terbagi dalam 40 kecamatan dan terdiri dari 426 desa/kelurahan (Bakorwil Bogor, 2006). Kabupaten Bogor memiliki wilayah yang sangat luas (lebih dari 28 kali luas Kota Bogor), dengan kepadatan penduduk 1.221 jiwa per km2 tidak sepadat Kota Bogor yaitu 7.129 jiwa per km2. Jumlah guru SD di Kabupaten Bogor pada tahun ajaran 2004/2005 adalah 11.423 orang dan mengajar di 1.649 SD dengan rasio Murid dan Guru 32,50; dan tersebar di 426 desa/kelurahan (Tabel 7) yang menunjukkan
betapa
luas
ketersebaran
letak
SD
yang
otomatis
ketersebaran guru yang mengajar di Kabupaten Bogor.
Tabel 7. Kondisi Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2005 Kondisi Guru SD
Jumlah
Jumlah Guru SD (orang)
11.423
Jumlah Guru SD yang belum S1 (orang) Wilayah ketersebaran guru (kelurahan) Rasio Murid dengan Guru Sumber : Profil Pendidikan Jawa Barat Tahun 2005
9.488 426 32,50
juga
Menurut Ketua Komisi D Kabupaten Bogor, masalah penting yang ada di Kabupaten Bogor adalah kekurangan guru SD. Data dari Depdiknas (2006) rasio Murid dengan Guru di
Kabupaten Bogor (32,5) lebih tinggi dari Kota Bogor
(25,43) yang merupakan rasio murid/guru tertinggi di Jawa Barat serta lebih tinggi dari rasio murid dengan guru di Indonesia (21). Bila hanya melihat tingginya nilai rasio murid dengan guru, hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor memang kekurangan jumlah guru, namun sebenarnya masalah tersebut harus lebih dicermati dari sisi pendistribusian guru ke daerah-daerah yang sangat luas, sehingga nilai rasio murid dan guru tidak dapat dijadikan satu-satunya indikator penyebab kekurangan guru di Kabupaten Bogor. Luasnya Wilayah Kabupaten Bogor berakibat pada ketidakseimbangan distribusi guru SD untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di setiap desa atau kelurahan yang ada. Masalah yang muncul adalah terjadi kekurangan di desa tertentu (terutama yang letaknya di wilayah terpencil) dan terjadi kelebihan jumlah guru di wilayah lain terutama yang berada di dekat pusat perkotaan. . Jalan keluar yang diambil oleh Disdik Kabupaten Bogor adalah dengan mengangkat guru honorer atau guru kontrak, dan ternyata kesejahteraannya masih sangat memprihatinkan terutama bagi mereka yang ditempatkan di daerah terpencil. Di era otonomi daerah terlihat adanya kecenderungan guru-guru yang berkualitas terkonsentrasi di pusat kota, hal ini akibat dari fungsi Disdik Provinsi untuk memutasikan guru sudah tidak ada lagi. Kesejahteraan guru yang mengajar di pusat perkotaan terlihat lebih baik dibandingkan dengan rekan mereka yang mengajar di daerah terpencil. Kondisi ini menambah terpuruknya kondisi guru di Kabupaten Bogor, tidak hanya dilihat dari sisi kesejahteraannya namun terlebih lagi pada nasib peningkatan pendidikannya.
Di samping masalah kekurangan tenaga guru, di Kabupaten Bogor terdapat 3.828 unit SD yang kondisinya rusak dan perlu diperbaiki. Menurut Depdiknas (2006) jumlah ruang kelas SD/MI dengan kondisi rusak parah di Kabupaten Bogor ini mencapai 8,6 persen dari total ruangan yang ada, menduduki peringkat kedua di Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung (10,3 persen). Jumlah guru yang belum S1 yaitu 9.433 orang atau 82,58 persen terdiri dari yang yang pendidikannya < SLTA sebanyak 22,98 persen, DI 1,38 persen, DII sebanyak 73,27 persen, dan DIII atau Sarjana Muda sebanyak 2,37 persen. Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Sumber: Profil Pendidikan Jawa Barat. Tahun 2005
Gambar 7. Persentase Guru SD yang Belum S1 di Kabupaten Bogor Tahun 2005
Bukan
hal yang mudah bagi pemerintah kabupaten Bogor untuk
meningkatkan jumlah guru sampai pendidikan minimal S1. Anggaran pendidikan daerah yang terbatas, oleh pemerintah digunakan untuk banyak prioritas sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.
Di Kabupaten Bogor terdapat
perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang menyediakan banyak pilihan program studi, namun untuk keperluan peningkatan pendidikan khusus untuk
guru SD, perguruan tinggi yang paling dekat adalah Universitas Pakuan dan Ibnu Khaldun yang berlokasi di Kota Bogor dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang berlokasi di Jakarta. Banyak perguruan tinggi yang menawarkan program kependidikan (bukan untuk guru SD) yang menawarkan bidang studi tertentu dan mereka beroperasi tanpa izin dari DIKTI di Kota Depok, Sukabumi, dan Cianjur dengan menawarkan banyak kemudahan untuk lulus. Perguruan Tinggi ini biasanya didirikan dengan bendera organisasi PGRI yang merupakan wadah para guru, sehingga sangat mudah untuk menarik guru untuk studi di situ.
4.2.2. Anggaran Pendidikan Untuk Guru Penggunaan APBD untuk pembangunan pendidikan di Kabupaten Bogor saat ini masih terfokus pada pengentasan Wajar Dikdas 9 tahun. Tabel 8 memperlihatkan bahwa APBD tahun 2006, sebagian besar digunakan untuk biaya belanja pegawai, yang didalamnya termasuk biaya administrasi rutin, meliputi pembayaran gaji pegawai, dan biaya pembangunan.
Tabel 8. APBD Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam jutaan Rupiah) URAIAN TOTAL PENERIMAAN • BAGIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH • Pos Dana Alokasi Umum • Pos Dana Alokasi Khusus TOTAL BELANJA • Belanja Pegawai • Belanja Barang dan Jasa • Belanja Perjalanan Dinas • Belanja Pemeliharaan • Belanja Lain-lain • Belanja Modal • Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan • Belanja Tidak Tersangka Sumber : http://www.sikd.djapk.go.id/
JUMLAH (dalam milyar Rupiah) 1.271,641 202,199 806,900 22,710 1.374,744 599,278 178,272 38,325 42,682 0 345,141 146,047 25,000
Dalam APBD tahun 2006 Kabupaten Bogor tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk pengembangan pendidikan guru SD. Peningkatan kualitas dan kompetensi
guru
dilakukan
dengan
mengikuti
pelatihan
rutin
yang
pelaksanaannya dilakukan setiap tahun dan anggarannya sudah masuk dalam biaya administrasi umum/rutin. Peningkatan pendidikan guru SD dilakukan secara swadana oleh para guru yang mampu dan tinggal di kecamatan yang letaknya dekat dengan pusat kota, dan mengikuti kuliah di PTS yang terdekat, atau dengan mengikuti studi di UT dengan menggunakan sistem PJJ. Kabupaten Bogor termasuk daerah kaya karena memiliki PAD terbesar se Jawa Barat namun ternyata kebijakan pemerataan pendidikan terutama peningkatan pendidikan guru SD justru tidak ada. Pembangunan pendidikan di kabupaten Bogor diprioritaskan pada penuntasan wajib belajar pendidikan dasar serta perbaikan sarana dan prasarana sekolah. Disamping itu prioritas pendidikan juga ditujukan untuk meningkatkan nilai IPM, karena ternyata nilai rata-rata IPM pemerintah Kabupaten Bogor lebih kecil dari rata-rata IPM provinsi Jawa Barat. Menurut Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bogor, di wilayahnya terdapat lebih dari 1.500 unit SD yang rusak dan perlu perbaikan segera dan dibiayai dengan menggunakan anggaran DAK, di samping itu PAD yang berkisar 12 – 15% dari APBD belum dapat mencukupi untuk pembangunan pendidikan secara menyeluruh. Bagi guru SD, yang lebih diutamakan bukan peningkatan pendidikannya, namun kepada peningkatan kesejahteraan, dengan diberikannya tunjangan kesehatan. Meskipun Kabupaten Bogor
memiliki PAD yang paling besar se Jawa
Barat, namun ternyata Kabupaten Bogor juga memiliki DAU yang sangat besar (50 persen lebih dari total penerimaan dalam APBD). Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun pendapatan daerahnya sangat besar Kabupaten Bogor juga masih sangat
tergantung
pada
bantuan
finansial
dari
pemerintah
Pusat.
Ketidakmandirian secara finansial ini dialami oleh banyak daerah yang biasanya memiliki PAD kecil, namun ternyata tidak berlaku untuk Kabupaten Bogor. Rincian
kegiatan
yang
dibiayai
dengan
menggunakan
DAK
untuk
Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 9, yang menggambarkan bahwa bidang pendidikan menjadi prioritas utama dengan diberikannya 36,99 persen dana DAK yang digunakan terutama untuk rehabilitasi gedung/ruang kelas, karena bagi Kabupaten Bogor kondisinya sangat kritis, bahkan menduduki peringkat ketiga terparah se-Jawa Barat, yang harus segera ditanggulangi.
Tabel 9. Bidang Kegiatan yang Dibiayai DAK Kabupaten Bogor Tahun 2006 BIDANG KEGIATAN JUMLAH (%) Pendidikan Kesehatan Infrastruktur • jalan • irigasi • air bersih Kelautan dan Perikanan Pertanian Prasarana pembangunan Lingkungan hidup Total
36,99 20,34 21,54 0,00 3,35 2,95 9,33 3,30 2,20 100
Sumber : http://www.sikd.djapk.go.id/dp/dak/DAK_2006.htm (dengan pengolahan)
Kondisi
seperti
ini
menunjukkan
bahwa
pemda
masih
belum
memprioritaskan pengembangan peningkatan pendidikan guru SD, meskipun UU No 14 menghendaki adanya kualitas S1 yang menjadi standar pendidikan minimal yang harus dimiliki oleh guru. Bahkan kebijakan untuk peningkatan pendidikan guru SD juga belum jelas apakah meneruskan sistem lama yang dilaksanakan oleh Depdiknas dengan menggunakan sistem PJJ dengan tanpa atau diberi bea siswa, atau mungkin menggunakan kebijakan lain.
Bila dilihat dari sumber dana yang ada meskipun tidak selalu tersedia setiap tahun yaitu dana Dekonsentrasi, ternyata ada keengganan pemkot atau pemkab menggunakan dana Dekon tersebut sebagai dana untuk peningkatan pendidikan guru SD. Hal ini disebabkan karena masalah pembagian dan tanggung jawab, dimana dana Dekon adalah hak provinsi yang pelaksanaan kegiatannya diturunkan ke daerah, namun jumlah dana yang mengucur ke pemkot/pemkab sebagai
pelaksana
sangat
sedikit
sehingga
pemkot/pemkab
enggan
melaksanakan.
4.2.3. Pengembangan Pendidikan Guru SD. Sebelum otonomi penanggung jawab pengembangan guru SD di seluruh Indonesia dilaksanakan oleh Depdiknas dan berada dalam naungan Ditjen PMPTK dengan cara memberi bea siswa untuk penyetaraan guru SD ke jenjang DII (sesuai dengan peraturan pemerintah saat itu) dan dilaksanakan dengan menggunakan sistem PJJ. Penggunaan sistem PJJ adalah cara untuk dapat menjangkau seluruh guru yang tidak hanya berdomisili
di pusat perkotaan
namun juga menjangkau ke seluruh pelosok wilayah Indonesia, jadi PJJ oleh Depdiknas digunakan sebagai alat pemerataan pendidikan. Pemberian bea siswa ini dimaksudkan untuk dijadikan stimulan bagi pemerintah daerah agar ikut berperan serta dengan menambah dana (sebagai dana pendamping) guna membiayai guru di daerahnya. Perkembangan pemberian bea siswa di Kabupaten Bogor disajikan pada Gambar 9 yang menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Bogor dari tahun 1996 sampai tahun 2000 hanya sedikit memberikan bea siswa bagi guru, dan yang terbesar dilakukan oleh PMPTK (sesuai kewenangan pada saat itu). Bea siswa dari PMPTK yang diberikan kepada pemerintah Kabupaten Bogor dari
tahun 1997 sampai 2000 adalah data gabungan dari Kabupaten Bogor, Depok yang pada saat itu masih masuk dalam Kabupaten Bogor, dan wilayah Tangerang, Lebak, dan Serang sebelum memisahkan diri masuk ke Provinsi Banten.
1200 1000 800 600 400 200 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
PMPTK
Pemkab
Gambar 8. Perkembangan Jumlah Guru SD yang Diberi Bea Siswa di Kabupaten Bogor dari Tahun 1996 – 2007
Dari tahun 1998 sampai 2006, di Kabupaten Bogor tidak terlihat adanya peningkatan pendidikan untuk guru SD yang dilakukan dengan pemberian bea siswa dari pemda, yang ada adalah beasiswa pemberian PMPTK meskipun jumlahnya semakin menurun, bahkan berhenti dari tahun 2001 sampai tahun 2003. Tahun 2001 sampai 2003 merupakan tahun peralihan dari sentralisasi menuju ke otonomi daerah dengan diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah, sehingga belum terjadi kejelasan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh daerah dan pusat dan juga merupakan tahun persiapan daerah dalam menerapkan undang-undang yang baru. Pada tahun 2004 dan 2005, guru SD di pemerintah Kabupaten Bogor memperoleh bea siswa dari PMPTK sebagai stimulan (pemancing agar pemda
memberi bea siswa), sebanyak 30 dan 60 orang, namun ternyata pemkab Bogor belum memprioritaskan peningkatan pendidikan guru SD yang ada. Pada tahun 2006 tidak ada bea siswa bagi guru SD di Kabupaten Bogor. Jadi otonomi daerah di Kabupaten Bogor berpengaruh menurunkan jumlah guru SD yang diberi bea siswa baik dari PMPTK maupun Pemda. Otonomi daerah juga tidak memberi ruang penambahan pendidikan bagi guru SD yang berada di Kabupaten Bogor sampai tahun 2006, padahal bila dilihat dari salah satu misi yang diemban oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor yaitu meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dan salah satu tujuan yang tertuang di dalamnya adalah meningkatkan mutu guru, pada kenyataannya nasib pendidikan guru SD tidak mengalami perubahan yang nyata, meskipun UU Guru dan Dosen dapat digunakan sebagai pressure untuk mencapai hal tersebut. Pada tahun 2004, pemerintah Kabupaten Bogor pernah melakukan usaha untuk meningkatkan pendidikan guru SD dengan cara memberi beasiswa yang sangat terbatas bagi guru-guru untuk mengikuti studi di UPI dan UNJ. Namun hasilnya ternyata para guru tersebut tidak dapat menyelesaikan studinya karena biaya yang tidak mencukupi dan ketiadaan waktu untuk meninggalkan pekerjaannya guna mengikuti perkuliahan yang dilaksanakan di Cibinong dan Jakarta. Akhirnya sampai saat ini guru-guru tersebut masih belum dapat menyelesaikan pendidikan S1-nya. Sedangkan bea siswa pemda untuk guru mengikuti
pendidikan dengan sistem PJJ masih diragukan, karena dengan
sistem PJJ menurut Dinas dan Kepala Sekolah serta DPRD guru akan mendapat kesulitan dalam menyelesaikan pendidikannya (tidak cepat lulus). Hal ini disebabkan oleh kondisi guru yang tidak biasa belajar secara mandiri, dan ketidaktahuan dalam pelaksanaan akan sistem PJJ.
Perkembangan yang sangat mengejutkan terjadi pada tahun 2007, dimana pemerintah Kabupaten Bogor tiba-tiba memberi bea siswa S1 kepada 1.160 guru SD, dan dibiayai oleh dana murni dari APBD. Jumlah ini mencakup 15,40 persen dari jumlah guru SD yang pendidikannya belum S1. Guru-guru yang diberi dana beasiswa ini diambil dari guru SD yang sudah memiliki pendidikan DII, sehingga dapat mengurangi biaya karena waktu studi yang diperlukan untuk mencapai S1 hanya tinggal 4-5 semester lagi. Peningkatan pendidikan guru SD tetap menggunakan sistem PJJ, meneruskan kebijakan Depdiknas sebelum otonomi. Pemerintah Kabupaten Bogor sudah merencanakan pemberian bea siswa ini untuk tahun 2008, dan tahun berikutnya, sehingga diprediksi dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun mendatang, tidak ada lagi guru SD yang pendidikannya belum mencapai S1. Perubahan yang sangat signifikan ini disebabkan oleh desakan kebutuhan guru SD yang berpendidikan S1 yang harus segera dipenuhi serta adanya kesadaran akan
pentingnya pendidikan guru SD sebagai pembentuk generasi
penerus. Meskipun ternyata target ini belum Depdiknas, dimana target
sesuai dengan kebijakan
guru yang memenuhi kualifikasi S1/D4 yang ingin
dicapai pada tahun 2007 adalah 34 persen. (Depdiknas 2007). Munculnya
bantuan
bea
siswa
pada
tahun
2007,
dan
dalam
pelaksanaannya tetap memilih untuk menggunakan sistem PJJ, dapat mengatasi keterbatasan akses guru untuk meningkatkan pendidikan, seperti yang ditulis oleh Suparman dan Zuhairi (2004): penggunaan PJJ sudah jelas karena masalah pendidikan tidak dapat dipecahkan hanya dengan pendidikan yang biasa. PJJ dipilih dan dilaksanakan untuk menutup kekurangmampuan daya jangkau pendidikan biasa, dan sasaran adalah mereka yang tidak terjangkau oleh
pendidikan biasa. Jadi keberadaan PJJ sifatnya komplementer, tanpa salah satu di antaranya, sistem pendidikan di Indonesia tidak lengkap.
4.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Pemerintah. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor untuk meningkatkan pendidikan guru SD di wilayahnya agar sesuai dengan yang dikendaki UU Guru dan Dosen antara lain adalah: a. Kondisi keuangan Meskipun Kabupaten Bogor termasuk dalam daerah yang kaya dengan PAD terbesar di Jawa Barat, namun ternyata ketergantungan akan dana dari pemerintah pusat sangat besar, terlihat dari jumlah DAU yang sangat besar. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah keuangan memang menjadi kendala dalam pengembangan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor b.
Prioritas pembangunan pendidikan Prioritas pembangunan pendidikan Kabupaten Bogor saat ini adalah
terlaksananya wajar dikdas 12 tahun yang merupakan program nasional dan harus dilaksanakan dan peningkatan nilai IPM. Selain itu prioritas perbaikan infra struktur juga masuk dalam salah satu aspek yang diprioritaskan. Pada tahun 2007 peningkatan pendidikan guru SD sudah masuk dalam prioritas karena merupakan tuntutan UU Guru dan Dosen. c.
Kendala Jarak dan waktu Meskipun guru wajib meningkatkan pendidikannya minimal S1, namun
mereka juga terkendala oleh jarak dan waktu dalam mengakses pada lembaga pendidikan yang sesuai. Tidak tersedianya perguruan tinggi yang sesuai dan jarak yang jauh serta aturan yang diberlakukan untuk tidak meninggalkan tugas,
serta adanya keraguan untuk lulus tepat waktu mempersulit para guru untuk meningkatkan pendidikannya. Hal ini perlu dicarikan sistem yang sesuai untuk mengatasi kendala jarak dan waktu. Pemberian bea siswa oleh pemerintah daerah dan digunakan sistem PJJ sebagai pilihan guru yang berada di wilayah yang luas ini, merupakan salah satu cara untuk menanggulangi kendala jarak dan waktu.
4.3. IKHTISAR Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa kondisi kedua derah kajian memiliki ciri yang berbeda yang dapat dilihat sebagai berikut. a. Profil pendidikan guru. Wilayah kerja guru Kota Bogor (6 kecamatan) lebih kecil dan letaknya masih terdapat di dalam kota, dibandingkan dengan Kabupaten Bogor yang memiliki 40 kecamatan dan letaknya tersebar sangat luas. Persentase Jumlah guru SD yang belum S1 di Kota Bogor (79,33 persen) lebih kecil dibandingkan Kabupaten Bogor (82,58 persen). b. Anggaran dan Pengembangan pendidikan guru SD Meskipun Kota Bogor mewakili kota kecil dengan PAD yang juga kecil, namun ternyata perhatian terhadap peningkatan pendidikan guru SD sudah ada sejak tahun 1996. Hal sebaliknya terjadi di Kabupaten Bogor, dengan PAD terbesar se Jawa Barat, ternyata perhatian terhadap peningkatan pendidikan guru SD tidak sebaik Kota Bogor, keadaan ini dapat dilihat dari pemberian bea siswa untuk guru yang baru diadakan pada tahun 2007 Prioritas pembangunan pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor ada yang sama yaitu pengentasan wajar dikdas, namun di Kota Bogor masih ditambah dengan pendidikan gratis untuk anak SD, sedangkan di Kabupaten
Bogor
masih
ditambah
lagi
dengan
meningkatkan
nila
IPM
dan
pembangunan infra struktur gedung yang sudah memerlukan perbaikan. c. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kebijakan
pemerintah
dalam
yang
dalam
mengembangkan pendidikan guru SD Kedua
daerah
kajian memiliki
faktor
pembatas
sama
mengembangkan pendidikan guru SD. Faktor-faktor tersebut meliputi kondisi keuangan, membedakan
prioritas adalah
pembangunan Kota
Bogor
pendidikan. memerlukan
Sedangkan penggunaan
yang sistem
pendidikan yang sesuai untuk guru SD, sedangkan Kabupaten Bogor terkendala oleh Jarak dan waktu.
V. ALTERNATIF KEBIJAKAN PENINGKATAN PENDIDIKAN GURU SD
Untuk
mengetahui
sistem
pendidikan
yang
paling
sesuai
untuk
meningkatkan pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor, dapat dilihat dari beberapa hal yang paling atau saling berpengaruh terhadap kondisi besarnya jumlah guru SD yang belum S1. Keadaan ini dianalisis dengan pengambilan alternatif menggunakan Analisis Hierarchy Process (AHP) dengan menyusun suatu model hierarki alternatif sistem pendidikan yang sesuai. Struktur hirarki diawali dengan tujuan yang ingin dicapai, yaitu mencari sistem pendidikan yang sesuai yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendidikan guru SD di kedua daerah kajian, kemudian faktor-faktor yang mendorong ditingkatkannya pendidikan guru SD, para pelaku yang berperan dalam peningkatan pendidikan guru SD, kendala yang dihadapi, dan kemungkinan alternatif sistem pendidikan yang dapat digunakan. a.
Faktor
utama yang mendorong ditingkatkannya pendidikan guru yaitu
jumlah guru SD yang belum S1 sangat banyak (lebih dari 80 persen) dan munculnya UU Guru dan Dosen yang dapat digunakan sebagai landasan hukum
bagi pemda agar meningkatkan pendidikan guru yang ada di
wilayahnya. b.
Pelaku yang berperan penting dalam peningkatan pendidikan di suatu wilayah adalah 1. Guru SD yang belum S1 yang jumlahnya sangat banyak, tentunya mereka paling menentukan apakah mereka menginginkan perubahan dalam karirnya sebagai guru dengan meningkatkan pendidikannya sesuai dengan yang dikehendaki oleh UU Guru dan Dosen.
2. Kepala Sekolah karena beliaulah yang mengetahui kondisi pendidikan guru dan keadaan ekonomi serta keberadaan sekolah tempat para guru mengajar. 3. Pemerintah daerah diwakili oleh Kepala Dinas Pendidikan (Ka Disdik) atau Kepala Bidang Pendidikan Dasar (Kabid Dikdas) yang menangani seluruh kegiatan yang berhubungan dengan guru SD.
Dari Dinas
Pendidikan juga dapat diketahui sumber-sumber dana yang dapat diperoleh untuk meningkatkan pendidikan para guru selain yang dilakukan oleh guru dengan cara swadana (biaya sendiri). Disdik juga menyusun rencana anggaran yang akan digunakan untuk peningkatan pendidikan atau kesejahteraan guru SD, dan diserahkan ke pemda untuk disetujui oleh DPRD dan ditentukan sumber dana yang akan digunakan. 4. DPRD yang diwakili oleh Komisi D yang membidangi bidang pendidikan. c.
Kendala yang dihadapi oleh guru SD atau pemerintah daerah dalam meningkatkan pendidikan menjadi S1 adalah 1. dana, seperti sudah diketahui bahwa kondisi APBD Kota dan Kabupaten Bogor masih belum terlalu menyentuh kesejahteraan guru secara merata. Banyak guru yang mencari tambahan untuk menutupi biaya hidup keluarganya. Guru juga lebih mengutamakan untuk meneruskan pendidikan anak-anaknya terlebih dahulu, sebelum memutuskan untuk meningkatkan pendidikan dirinya sendiri karena masalah dana yang terbatas yang dimilikinya. 2. lokasi tugas guru, untuk Kota Bogor dan Kabupaten Bogor yang tersebar dari wilayah sempit (dekat perkotaan) sampai meliputi wilayah
yang sangat luas dan jauh dari keberadaan perguruan tinggi (yang menyediakan program pendidikan untuk guru SD), hal ini merupakan kendala bagi guru SD untuk mengembangkan pendidikannya. 3. Kendala lain adalah ketakutan akan sulit bahkan tidak lulus karena dalam waktu yang terbatas guru tidak mungkin berkonsentrasi pada keadaan rumah tangga, pekerjaan yang tidak boleh ditinggalkannya dan mengikuti pendidikan dengan suatu target untuk cepat lulus. d.
Alternatif sistem pendidikan yang sesuai untuk peningkatan pendidikan guru SD yang dapat digunakan sebagai solusi masalah adalah peningkatan pendidikan guru dapat dilakukan dengan cara mengikuti pendidikan dengan menggunakan sistem PJJ, berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang menawarkan program khusus untuk guru SD yang berlokasi di dekat Kota/Kabupaten Bogor. Model AHP yang digunakan untuk memilih alternatif sistem pendidikan
yang paling sesuai untuk guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini.
Gambar 9. Model AHP yang Digunakan dalam Kajian
5.1. KOTA BOGOR
Dari hasil pengolahan data diperoleh besarnya nilai (bobot) komponen yang dipilih sebagai alternatif yang diberikan untuk peningkatan pendidikan guru SD sebagai berikut.
Gambar 10. Bobot Komponen Alternatif Sistem Pendidikan yang Dipilih untuk Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota Bogor
5.1.1. Faktor Pendorong Utama Peningkatan Pendidikan Guru SD Hasil analisis untuk faktor pendorong utama ditingkatkannya pendidikan guru SD menurut pelaku yang berhubungan langsung dengan pengembangan pendidikan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 10, yang menggambarkan besarnya bobot dan tingkat penting responden dalam memilih elemen yang
dianggap mewakili alternatif faktor pendorong utama diperlukannya peningkatan pendidikan guru SD di Kota Bogor.
Tabel 10. Bobot dan Tingkat Penting Alternatif yang Dipilih untuk Faktor Pendorong Utama Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota Bogor Jumlah Guru yang belum S1 besar
Elemen alternatif
UU Guru dan Dosen
Responden
Bobot
Tingkat Penting
Bobot
Tingkat Penting
DPRD
0,25
2
Ka DISDIK
0,75
1
0,75 0,25
1 2
Kep Sekolah
0,75
1
0,25
2
Guru
0,75
1
0,25
2
Rata-rata
0,63
1
0,37
2
Dari hasil analisis di atas dapat dilihat bahwa responden yang berasal dari satu institusi yaitu Departemen Pendidikan (Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, dan Guru), memberi bobot yang sama dalam menentukan alternatif faktor pendorong utama peningkatan pendidikan guru pada tingkat paling penting, yaitu adanya UU Guru dan Dosen sebagai landasan yang memiliki kekuatan hukum dalam meningkatkan kompetensi yang dimiliki guru. Disamping itu dalam UU Guru dan Dosen tertulis adanya perbaikan pendidikan ini juga akan berpengaruh besar terhadap
nasib sebagai guru dengan adanya jaminan
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan bila sudah berpendidikan S1 dan mengikuti sertifikasi. Perbedaan penentuan prioritas antara jajaran pendidik dengan DPRD dalam memandang faktor pendorong utama untuk peningkatan pendidikan guru SD dimana DPRD menilai bahwa besarnya jumlah guru SD yang belum S1 merupakan pendorong utama dalam peningkatan pendidikan guru SD dan bukan UU Guru dan Dosen, hal ini disebabkan karena sejak tahun 1996, DPRD Kota
Bogor sudah memiliki komitmen untuk meningkatkan pendidikan guru SD dengan adanya pemberian bea siswa meskipun jumlahnya sedikit. Perhatian terhadap peningkatan pendidikan guru SD sudah dilaksanakan oleh
pemerintah Kota
Bogor didukung DPRD sebelum UU Guru dan Dosen lahir. Jadi sudah sangat jelas bahwa tanpa UU Guru dan Dosen, DPRD akan mendukung pemerintah Kota Bogor dalam meningkatkan pendidikan guru SD dan yang dijadikan alternatif pendorong utamanya adalah jumlah guru yang sangat besar dan harus segera dituntaskan sesuai dengan target dalam UU Guru dan Dosen. Rataan tertinggi dari alternatif terpenting yang dipilih untuk menjadi faktor pendorong utama dalam peningkatan guru SD adalah UU Guru dan Dosen (bobot 0,63) dan berikutnya adalah besarnya jumlah guru SD yang belum S1 (bobot 0,37), hal ini berarti secara umum para pelaku pendidikan memilih alternatif yang dapat dijadikan sebagai alasan utama pentingnya peningkatan pendidikan guru SD di Kota Bogor yaitu adanya UU Guru dan Dosen.
5.1.2. Pelaku yang Berperan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD Tabel 11 menunjukkan bobot dan tingkat peran yang diperoleh dari pemilihan alternatif oleh responden dalam menentukan elemen yang dianggap mewakili pelaku yang berperan dalam peningkatan pendidikan guru SD di Kota Bogor. Hasilnya ternyata rata-rata bobot alternatif pelaku yang paling berperan dalam peningkatan guru SD adalah guru itu sendiri (bobot 0,36). Kondisi ini menggambarkan bahwa kemauan untuk maju haruslah berasal dari diri guru sendiri. Sebesar apa pun bantuan fasilitas dan keuangan diberikan, bila guru tidak memiliki keinginan untuk maju, maka bantuan tersebut akan sia-sia. Kemajuan guru SD memang bergantung pada situasi di lingkungan Diknas sendiri dan aturan-aturan negara yang ada yang pastinya memikirkan nasib dan
kesejahteraan guru, namun bila tidak dibantu oleh keinginan guru tersebut untuk maju maka peningkatan pendidikan guru tidak akan tercapai meskipun sudah diberlakukan dalam bentuk undang-undang.
Tabel 11. Bobot dan Alternatif yang Dipilih untuk Pelaku yang Paling Berperan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota Bogor Elemen alternatif
DPRD
DISDIK
Kep Sek
Guru
Responden
Bobot
Tingkat Peran
Bobot
Tingkat Peran
Bobot
Tingkat Peran
Bobot
Tingkat Peran
DPRD
0,06
4
0,12
3
0,26
2
0,56
1
Ka DISDIK
0,06
4
0,12
3
0,26
2
0,56
1
Kep Sekolah
0,06
4
0,56
1
0,12
3
0,26
2
Guru
0,26
2
0,56
1
0,12
3
0,06
4
Rata-rata
0,11
4
0,34
2
0,19
3
0,36
1
Alternatif kedua yang dipilih untuk pelaku yang paling berperan dalam peningkatan pendidikan guru SD di Kota Bogor dengan bobot rata-rata 0,34 adalah Dinas Pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Dinas sebagai instansi yang memayungi guru, peran Dinas Pendidikan sangat diharapkan dalam meningkatkan nasib guru. Saat ini di lapangan masih terdapat ketidakpastian akan nasib guru SD yang sudah terlanjur menyelesaikan S1, namun bukan mengikuti program khusus untuk guru SD, melainkan program kependidikan dengan bidang studi. Hal ini menunjukkan bahwa setelah UU Guru dan Dosen diberlakukan, harus segera diikuti Peraturan Pemerintah (PP) yang menjelaskan teknis pelaksanaan di daerah yang menyangkut nasib guru tersebut. Sebagai contoh adalah bagaimana nasib guru SD yang sudah terlanjur mengambil S1 namun bukan dari program PGSD? Apakah harus menjadi guru bidang studi yang hanya ada di SMP atau SMA? Bagaimana cara mutasinya?. Apakah sudah ada guru penggantinya bila ia dipindahkan ke SMP, dan seterusnya. Banyak
pertanyaan yang harus dijawab sehingga para guru sangat bergantung pada instruksi
dari
instansi
yang
memayunginya
ini
untuk
mematuhi
dan
melaksanakan UU Guru dan Dosen tersebut. Perlu diketahui bahwa otonomi daerah berakibat pada tidak berperannya fungsi Disdik Provinsi, yang sebelumnya berperan sangat besar dalam memutasi (mendistribusikan) para guru SD. Kondisi ini menimbulkan keresahan bagi guru S1 non PGSD, karena secara fungsional seharusnya mereka mengajar di SMP atau SMA, dan apakah kondisi ini dihargai sama seperti guru S1 PGSD, sampai saat ini belum ada kepastian peraturannya. Secara umum rata-rata bobot yang tertinggi adalah 0,36 untuk guru sebagai pelaku yang berperan paling penting dalam peningkatan pendidikan guru SD di Kota Bogor, sedangkan Dinas Pendidikan merupakan pelaku yang berperan penting kedua (bobot 0,34), sedangkan pilihan peran pelaku ketiga adalah Kepala Sekolah (bobot 0,19), dan terakhir adalah DPRD.
5.1.3. Kendala yang Dihadapi dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD Dari Tabel 12 terlihat rata-rata bobot dan alternatif tingkat kendala yang dihadapi
responden dalam memilih elemen yang dianggap mewakili kendala
yang dihadapi dalam peningkatan pendidikan guru SD di Kota Bogor. Rata-rata nilai alternatif tingkat kendala tertinggi yang dihadapi guru atau pemerintah dalam meningkatkan pendidikan guru adalah dana (bobot 0,54). Dana merupakan kendala utama, baik dana bantuan dari pemerintah berupa bea siswa maupun dana pribadi. Walaupun pemerintah Kota Bogor sudah memberikan bea siswa kepada para guru, namun beasiswa ini tidak diberikan setiap tahun dan jumlahnya pun sangat terbatas. Ketua Komisi D DPRD Kota Bogor yang lama, sangat mendukung program beasiswa untuk para guru karena latar belakang
beliau sebagai pengajar dan kepala sekolah sehingga sangat memahami kondisi keuangan untuk para guru muda yang masih lebih mementingkan pendidikan anak-anaknya dibandingkan dirinya sendiri. Namun Ketua Komisi D yang baru meskipun tidak menolak program beasiswa ini, beliau lebih menekankan pada pandangannya bahwa saat ini pemerintah kota masih memprioritaskan pada pengentasan wajar dikdas, dan SD gratis belum sampai pada
peningkatan
pendidikan guru SD.
Tabel 12. Bobot dan Alternatif Tingkat Kendala yang Dihadapi dalam PeningkatanPendidikan Guru SD di Kota Bogor Elemen Alternatif
Dana
Lokasi Tugas
Bobot
Tingkat Kendala
DPRD
0,64
1
Ka DISDIK
0,64
Kep Sekolah
Responden
Bobot
Sulit Lulus
Tingkat Kendala
Bobot
Tingkat Kendala
2
0,10
3
1
0,26 0,26
2
0,10
3
0,26
2
0,64
1
0,10
3
Guru
0,64
1
0,26
2
0,10
3
Rata-rata
0,54
1
0,35
2
0,10
3
Guru SD lebih mengharapkan akan adanya kucuran dana berupa bea siswa seperti yang dahulu pernah mereka nikmati pada saat menyelesaikan pendidikan DII. Mereka sangat terbantu, karena hanya memikirkan belajar dan tidak terlalu banyak memikirkan dana yang harus ditanggung. Dana yang dikucurkan untuk guru SD ini berasal dari Depdiknas melalui Dirjen PMPTK, yang mulai dikurangi pada saat otonomi daerah diberlakukan. Sejak tahun 2006, dana dari Depdiknas ini sebenarnya masih ada tetapi dikucurkan tidak langsung dari Depdiknas ke Disdik, melainkan disalurkan menjadi dana dekonsentrasi yaitu dana yang dikucurkan melalui provinsi dan kemudian disalurkan ke kota atau kabupaten yang memerlukan. Penyaluran
dana dalam prakteknya ternyata tidak begitu diminati oleh pemda meskipun jumlahnya cukup besar, hal ini disebabkan oleh pembagian yang tidak merata. Pemerintah Kota atau Kabupaten sebagai pelaksana tidak mendapat dana pengelolaan yang cukup, karena pertanggungjawaban dana Dekonsentrasi adalah langsung ke Provinsi. Selain pembagian dana yang dirasa tidak adil itu, pencairannya pun tidak selalu tepat waktu. Hal ini ditanggulangi dengan dana swadana yang sifatnya sementara (bila dana dekonsentrasi cair, akan dikembalikan) dari mahasiswa. Hal ini memunculkan masalah baru, karena jumlah guru yang ikut serta tersebar di seluruh wilayah Kota pengembalian dana ini menjadi
tidak mudah dilakukan. Dana sebagai kendala tertinggi dalam
meningkatkan pendidikan guru, dan prioritas pembangunan pendidikan yang masih ditujukan pada wajar Dikdas menunjukkan bahwa Kota Bogor masih memerlukan waktu yang lama untuk dapat meningkatkan mutu guru SD. Kendala yang kedua adalah lokasi tugas dari guru tersebut (bobot 0,35), hal ini menunjukkan bahwa wilayah yang tidak terlalu luas dan posisi dari Kota Bogor sangat membantu untuk para guru dalam meningkatkan pendidikannya dengan tidak meninggalkan tugasnya. Kendala sulit lulus merupakan kendala terakhir, keadaan ini menunjukkan bahwa ternyata guru dengan tugas yang harus tetap dijalankan masih dapat menyisihkan waktunya untuk belajar sehingga dapat lulus pada waktunya. Namun hal lain yang ikut berpengaruh adalah karena guru yang mendapat bea siswa hanya diberi dana untuk maksimal 5 semester, mereka menjadi terpacu untuk belajar, agar tidak menanggung resiko membayar sendiri studinya. Keadaan ini berlaku sama untuk guru-guru yang melanjutkan studinya dengan cara swadana.
5.1.4. Alternatif Sistem Pendidikan yang Digunakan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD Hasil analisis alternatif sistem pendidikan yang dipilih untuk peningkatan pendidikan guru SD digambarkan pada Tabel 13, yang menunjukkan bobot dan prioritas alternatif yang dipilih oleh responden dalam memilih elemen yang dianggap mewakili alternatif perguruan tinggi yang sebaiknya digunakan untuk peningkatan pendidikan guru SD di Kota Bogor adalah: seluruh responden mengutamakan untuk memilih menggunakan sistem PJJ (yang diselenggarakan oleh UT dengan bobot 0,61). Pilihan kedua adalah menggunakan PTS setempat (bobot 0,22), dan alternatif ketiga yang dipilih oleh responden untuk meningkatkan pendidikan guru SD di Kota Bogor adalah PTN (bobot 0,17).
Tabel 13. Bobot dan Prioritas Alternatif Sistem Pendidikan yang Digunakan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota Bogor Elemen Alternatif RESPONDEN
PJJ
PTN
PTS Setempat
Bobot
Prioritas
Bobot
Prioritas
Bobot
Prioritas
DPRD
0,54
1
0,22
3
0,24
2
DISDIK
0,64
1
0,26
2
0,10
3
Kep Sekolah
0,64
1
0,10
3
0,26
2
Guru
0,64
1
0,10
3
0,26
2
Rata-rata
0,61
1
0,17
3
0,22
2
Alternatif ini dipilih dengan beberapa keterangan yang mendukung yaitu dengan menggunakan sisitem PJJ, dapat menyelesaikan beberapa kendala yang tidak bisa diselesaikan bila peningkatan pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan
sistem tatap muka baik yang dilakukan oleh PTS setempat
maupun oleh PTN yang terdekat dengan lokasi, yaitu:
a. Lokasi tugas Secara geografis, Kota Bogor dengan hanya memiliki 6 Kecamatan terletak sangat strategis karena berada di pusat perkotaan. Keadaan ini sangat menguntungkan karena dengan fasilitas kemudahan yang dimiliki para guru dapat lebih mudah dalam balajar secara mandiri. Karena posisinya yang strategis tersebut, para kepala sekolah lebih mudah dalam memberikan keleluasaan untuk memberi izin kepada guru mengikuti tutorial dan ujian yang dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu karena sesuai dengan peraturan guru tidak boleh meninggalkan tugas pada saat mengikuti pendidikan. Lokasi Kota Bogor juga mengurangi biaya transportasi karena tutorial dan ujian dapat dilakukan di pusat kegiatan belajar yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah tempat mengajar dan sangat mudah dijangkau dengan transportasi yang tersedia. Bahkan tuturial mengambil tempat di sekolah-sekolah tertentu yang
tentunya
sangat
menguntungkan
bagi
guru,
karena
tidak
harus
meninggalkan tempat tugasnya. b. Dana Bila dibandingkan dengan biaya pendidikan di PTN maupun PTS, biaya di perguruan tinggi dengan sistem PJJ adalah yang paling murah dan terjangkau. Alternatif kedua yang dipilih seluruh responden adalah PTS setempat, dengan alasan karena PTS setempat lebih terjangkau dilihat dari jarak dan biasanya memberi peluang
lebih mudah lulus bagi mahasiswa yang juga pekerja,
meskipun dalam penyelenggaraannya belum
ada izin dari DIKTI bahkan
program yang ditawarkan juga bukan program PGSD, namun program S1 kependidikan (hanya diselenggarakan oleh Universitas Pakuan) Kondisi seperti ini dihindari oleh Dinas Pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan di daerah, agar tidak memunculkan masalah di masa yang akan datang yang justru
mempersulit guru yang bersangkutan, sehingga lebih memilih untuk mengambil PTN (namun tidak ada di Kota Bogor) yang sudah memiliki kejelasan akan izin khusus untuk penyelenggaraan program PGSD.
5.1.5. Implikasi Terhadap Kebijakan di Kota Bogor. a.
Guru menurut responden merupakan alternatif yang dipilih sebagai pelaku utama yang sangat berperan dalam peningkatan pendidikan guru SD, dan diikuti oleh Dinas Pendidikan, sebagai payung dari pelaku pendidikan yang bertanggung jawab terhadap pembangunan pendidikan di daerahnya.
b.
Dalam pembangunan pendidikan perlu memperhatikan masalah dana, karena rata-rata responden menilai bahwa kendala utama yang dihadapi dalam meningkatkan pendidikan guru SD adalah dana. Kendala dana dapat ditanggulangi dengan memilih PT yang sesuai dan murah yaitu PJJ. Selain itu kendala dana ini masih dapat diatasi dengan adanya dana yang berasal dari Depdiknas (PMPTK), dimana penyalurannya saat ini melalui dana dekonsentrasi yang dikelola oleh provinsi dan disalurkan ke Kabupaten untuk memilih PT yang sesuai bagi guru di Kabupaten tersebut. Aturan pelaksanaan dana dekonsentrasi ini memang belum begitu jelas, namun dengan dikeluarkannya kebijakan baru dimana guru membayar secara swadana terlebih dahulu, dan dibayar kemudian bila dana dekonsentrasi
tersebut
cair,
dapat
membantu
dan
mempermudah
pelaksanaan peningkatan pendidikan bagi guru SD di Kota Bogor. Pembagian kuota jumlah guru bagi PT yang ada juga tidak terlalu bermasalah, karena PT tatap muka yang menyelenggarakan program PGSD tidak terlalu banyak. Bila PT tersebut tidak terlalu berminat karena biaya yang diberikan memang murah, sedang daya tampung PT tersebut
terbatas, tentu bukan hal yang mudah untuk mengelola penyelenggaraan pendidikan guru, hal ini akan berbeda bila dilakukan oleh PTJJ yang memiliki daya tampung massal. c.
Kota Bogor meskipun terletak di pusat perkotaan, namun ternyata rata-rata responden masih memilih sistem PJJ sebagai alternatif terbaik untuk meningkatkan pendidikan guru SD.
5.2. KABUPATEN BOGOR Dari hasil pengolahan data diperoleh besarnya nilai (bobot) komponen yang dipilih sebagai alternatif yang diberikan untuk peningkatan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor seperti pada Gambar 11.
Gambar 11. Bobot Komponen Alternatif Sistem Pendidikan yang Dipilih untuk Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor
5.2.1. Faktor Pendorong Utama Peningkatan Pendidikan Guru SD Hasil analisis untuk mengetahui bobot dan tingkat penting elemen yang dipilih sebagai faktor pendorong utama ditingkatkannya pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor terlihat pada Tabel 14. Bobot yang ditunjukkan dalam tabel diperoleh dari pengolahan terhadap seberapa penting elemen yang dipilih oleh responden dapat
mewakili alternatif faktor pendorong utama diperlukannya
peningkatan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor.
Tabel 14. Bobot dan Tingkat Penting Alternatif yang Dipilih untuk Faktor Pendorong Utama Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor Elemen Alternatif RESPONDEN
Jumlah Guru yang belum S1 besar
UU Guru dan Dosen Bobot
Tingkat penting
Bobot
Tingkat penting
DPRD
0,25
2
1
DISDIK
0,75
1
0,75 0,25
Kep Sekolah
0,75
1
0,25
2
Guru
0,75
1
0,25
2
Rata-rata
0,63
1
0,37
2
2
Hasil yang diperoleh dengan bobot rata-rata 0,63, responden memilih UU Guru dan Dosen sebagai alternatif yang paling penting yang mendorong perlunya peningkatan pendidikan guru SD. Jumlah guru SD yang sangat besar yang ada di Kabupaten Bogor ternyata hanya dipilih sebagai alternatif pilihan penting kedua. Hal ini disebabkan oleh karena
UU Guru dan Dosen merupakan
kekuatan pendorong yang secara hukum UU memiliki kekuatan tertinggi, dan diharap dapat mengubah nasib guru menjadi lebih baik. Hanya DPRD memilih besarnya jumlah guru SD yang pendidikannya belum S1 merupakan alternatif terpenting yang mendorong peningkatan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor atau dalam rata-rata ini merupakan pilihan kedua.
Alasannya adalah berdasarkan pada kenyataan bahwa Kabupaten Bogor termasuk daerah yang memiliki guru dengan pendidikan akhir belum S1 sangat banyak (82,58 persen). Kabupaten Bogor memang memiliki banyak sekali masalah meskipun termasuk daerah kaya karena memiliki PAD terbesar se Jawa Barat. Salah satu masalah yang ada dalam bidang pendidikan adalah besarnya jumlah guru yang belum S1 dengan pendistribusian atau ketersebarannya yang mencapai wilayah sangat luas. Menurut DPRD adanya UU Guru dan Dosen akan secara otomatis memicu usaha untuk meningkatkan pendidikan guru SD, namun yang menjadi perhatian untuk dapat dijadikan alternatif pendorong terpenting bagi peningkatan pendidikan guru adalah jumlah guru SD yang belum S1 sangat besar Menurut DPRD besarnya jumlah guru SD yang belum S1, merupakan hal yang perlu diprioritaskan untuk segera ditanggulangi. Hal ini dibuktikan bahwa perlu waktu bertahun-tahun
untuk memperjuangkan munculnya dana bagi
peningkatan pendidikan guru SD ini, dan akhirnya pada tahun 2007 DPRD berhasil menyetujui anggaran khusus yang digunakan untuk memberi bea siswa bagi 1160 orang guru SD untuk mengikuti pendidikan S1 di UT. Anggaran ini direncanakan untuk selalu diadakan di tahun-tahun mendatang, sehingga jumlah guru SD yang belum S1 dapat ditiadakan sebelum 10 tahun yang akan datang.
5.2.2. Pelaku yang Berperan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD Tabel 15 menunjukkan bobot dan tingkat peran yang dipilih oleh responden terhadap elemen yang dianggap mewakili alternatif pelaku yang paling berperan dalam peningkatan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor. Menurut respnden alternatif pelaku yang paling berperan dalam peningkatan pendidikan guru SD adalah Dinas Pendidikan (bobot 0,45).
Sedangkan guru merupakan alternatif pelaku kedua yang paling berperan dalam peningkatan pendidikan dirinya.
Tabel 15. Bobot dan Alternatif yang Dipilih untuk Pelaku yang Paling Berperan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor Elemen Alternatif
DPRD
Disdik
Kep Sek
Guru
RESPONDEN
Bobot
Tingkat Peran
Bobot
Tingkat Peran
Bobot
Tingkat Peran
Bobot
Tingkat Peran
DPRD
0,06
4
0,12
3
0,26
2
0,56
1
DISDIK
0,26
2
0,56
1
0,06
4
0,12
3
Kep Sekolah
0,06
4
0,56
1
0,26
2
0,12
3
Guru
0,26
2
0,56
1
0,12
3
0,06
4
Rata-rata
0,16
4
0,45
1
0,17
3
0,22
2
Adanya perbedaan alternatif pertama dan kedua ini disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada tahun 2007, di mana perjuangan pemda dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan dapat merealisasikan turunnya bea siswa bagi guru SD yang sudah lama diperjuangkan. Pada tahun 2007, sebanyak kira-kira 1.060 guru SD yang tersebar di Kabupaten Bogor memperoleh bea siswa untuk meningkatkan pendidikannya menjadi S1. Hal ini menunjukkan bahwa Dinas Pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan pendidikan guru di Kabupaten Bogor. Tabel 15 juga memperlihatkan bahwa nilai rata-rata tertinggi untuk pelaku yang paling berperan dalam peningkatan pendidikan adalah pemerintah daerah dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan (bobot 0,45). Pilihan kedua dengan bobot 0,22 adalah guru, ketiga Kepala Sekolah (0,17), dan keempat adalah DPRD (0,16).
Hal ini sesuai dengan tugas dan wewenang Dinas Pendidikan untuk
meningkatkan kompetensi guru SD yang ada di wilayah Kabupaten Bogor, dalam
kondisi dan situasi apa pun yang dihadapi oleh Dinas Pendidikan nasib pendidikan para guru harus bisa dijadikan prioritas dalam pengembangannya.
5.2.3. Kendala yang Dihadapi dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD Tabel 16 memperlihatkan bobot dan tingkat kendala yang dihadapi responden dalam memilih elemen alternatif yang dianggap paling menjadi kendala dalam peningkatan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor.
Tabel 16. Bobot dan Alternatif Tingkat Kendala yang Dihadapi dalam PeningkatanPendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor Elemen Alternatif
Sulit Lulus
Dana
Lokasi Tugas
Bobot
Tingkat kendala
Bobot
Tingkat kendala
Bobot
Tingkat kendala
DPRD
0,26
2
0,64
1
0,10
3
DISDIK
0,26
2
0,64
1
0,10
3
Kep Sekolah
0,64
1
0,10
3
0,26
2
Guru
0,10
3
0,26
2
0,64
1
Rata-rata
0,31
2
0,41
1
0,28
3
RESPONDEN
Bobot rata-rata yang tertinggi untuk alternatif yang dipilih sebagai elemen yang paling menjadi kendala yang dihadapi dalam peningkatan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor adalah dana (bobot 0,41), sulit lulus (0,31) dan kendala yang terakhir adalah lokasi tugas (0,28). Kendala dana dapat dijelaskan sebagai berikut. Bila dilihat dari tahun 1997 sampai 2006, pemerintah Kabupaten Bogor tidak pernah merencanakan anggaran untuk memberi bea siswa kepada guru, karena ketiadaan dana, prioritas untuk pengembangan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor masih terfokus pada pengentasan Wajar Dikdas, renovasi gedung sekolah, dan peningkatan nilai IPM yang masih tertinggal dibandingkan dengan kabupaten lain di Jawa Barat (Depdiknas, 2006). Meskipun pada tahun 2007 kendala dana ini
sudah mulai bisa diatasi dengan adanya kucuran dana bagi guru untuk melanjutkan pendidikannya ke
S1, namun
masih ada keraguan akan
kesinambungan kucuran dana untuk bea siswa berlanjut pada tahun-tahun yang akan datang. Kendala sulit lulus dapat dijelaskan dengan melihat bahwa guru yang dahulu diberi beasiswa oleh PMPTK tidak selalu lancar dalam menyelesaikan kuliahnya (sulit lulus) dan responden juga memperoleh informasi yang salah bahwa mahasiswa akan sulit lulus bila kuliahnya dengan menggunakan PJJ. Hal ini adalah akibat dari Kepala Sekolah yang kurang memahami konsep belajar dengan sistem PJJ, yang sangat memerlukan kemandirian dalam belajar. Bila cara belajar yang selama ini tidak mengajarkan kemandirian siswa/mahasiswa, karena selalu diajarkan cara belajar yang ’hanya menerima apa yang diajarkan guru/dosen’
maka hasilnya adalah siswa yang tidak mandiri, harus selalu
dibimbing untuk mendapatkan sesuatu. Padahal pada cara belajar dengan PJJ, mahasiswa harus benar-benar mandiri, karena hanya sedikit bimbingan yang akan diterima dari Tutor dan hanya pada saat tutorial . Pilihan lokasi tugas sebagai kendala terakhir dalam peningkatan pendidikan guru dapat dijelaskan dengan melihat bahwa meskipun di Kabupaten Bogor tidak ada PTS apalagi PTN yang menyediakan program studi yang sesuai bagi guru SD, namun di daerah yang bersebelahan dengan Kabupaten Bogor, seperti misalnya di Depok, Sukabumi, Cianjur, dan Jakarta banyak PTS tanpa izin yang menawarkan program Kependidikan (Sekolah Tinggi Ilmu Kependidikan atau STIKP) dan diselenggarakan oleh yayasan di bawah naungan PGRI. PTS ini menawarkan kemudahan untuk lulus dengan cepat dan karena ada embel-embel PGRI, para guru SD banyak yang tertipu karena ijazahnya tidak diakui oleh pemerintah.
5.2.4. Alternatif Sistem Pendidikan yang Digunakan untuk Peningkatan Pendidikan Guru SD Dari Tabel 17 digambarkan bobot dan prioritas responden dalam memilih elemen yang dianggap mewakili alternatif perguruan tinggi
yang sebaiknya
digunakan untuk peningkatan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor.
Tabel 17. Bobot dan Prioritas Alternatif Sistem Pendidikan yang Digunakan dalam Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor Elemen Alternatif
PJJ UT
PTN
PTS Setempat
RESPONDEN
Bobot
Prioritas
Bobot
Prioritas
Bobot
Prioritas
DPRD
0,26
2
0,10
3
1
DISDIK
0,64
1
0,10
3
0,64 0,26
2
Kep Sekolah
0,64
1
0,26
2
0,10
3
Guru
0,10
3
0,26
2
0,64
1
Rata-rata
0,41
1
0,18
2
0,41
1
Rata-rata nilai yang diperoleh untuk kebijakan dalam memilih PT dalam upaya meningkatkan pendidikan guru SD, ternyata nilai alternatif pertama dan kedua yang digunakan untuk peningkatan pendidikan guru SD bobotnya sama yaitu 0,41 dan alternatif
ini dipilih untuk PJJ dan PTS setempat. Kondisi ini
menunjukkan bahwa meskipun Kabupaten Bogor memiliki wilayah yang sangat luas, namun ternyata kondisi geografis ini tidak menjadi kendala utama, hal ini disebabkan karena di kota-kota yang bersebelahan dengan Kabupaten Bogor (Depok, Cianjur, Sukabumi, dan Jakarta) memberikan kemudahan dengan adanya PTS swasta yang tanpa izin menawarkan kemudahan untuk lulus meskipun tidak menyediakan program yang khusus diperlukan oleh guru SD. Alasana memilih PTS sebagai alternatif pertama adalah berdasarkan pengalaman pribadi responden bahwa belajar di beberapa keuntungan selain mendapat
sebuah PTS
diperoleh
keleluasaan diperoleh juga beberapa
kemudahan dalam belajar bagi mahasiswanya yang kuliah sambil bekerja.
Di
samping itu pengalaman guru yang telah menyelesaikan S1-nya di PTS yang ada di Bogor, meskipun tidak mengikuti program khusus untuk PGSD namun ternyata
tidak mengalami kesulitan dalam penempatannya karena peraturan
dalam UU Guru dan Dosen belum dilaksanakan sepenuhnya (belum ada PP yang mengaturnya). Sedangkan alasan memilih PJJ sebagai alternatif
pertama adalah,
disebabkan pada aturan bahwa untuk peningkatan pendidikan guru SD, diperlukan program khusus yang pelaksanaannya diatur oleh adanya izin dari DIKTI dan penyelenggaranya pun disyaratkan dengan adanya izin yang dikeluarkan oleh Depdiknas. Salah satu perguruan tinggi yang sudah memiliki izin
tersebut
adalah
UT
yang
penyelenggaraannya
dilakukan
dengan
menggunakan sistem PJJ. Status PJJ UT adalah PT Negeri dan sistem PJJ ini menurut Dinas dan Kepala Sekolah sangat membantu dalam meningkatkan pendidikan guru SD, karena meskipun guru SD sedang mengikuti pendidikan mereka tetap menjalankan tugasnya sebagi guru, karena waktu tutorial dan ujiannya dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu. Di Kabupaten Bogor tidak ada PTS yang menyelenggarakan program PGSD, sedangkan di Kota Bogor (merupakan wilayah yang paling dekat) terdapat PTS yang sudah menyelenggarakan program kependidikan untuk guru (Fakultas Keguruan di UNPAK dan Ibnu Khaldun), meskipun yang secara khusus untuk guru SD (program PGSD) masih belum ada. Sementara PTN (nilai 0,32) merupakan
alternatif terakhir yang dipilih
responden dalam menentukan perguruan tinggi yang paling sesuai dengan situasi guru bila ingin meningkatkan pendidikannya. Hal ini disebabkan oleh pengalaman Kabupaten Bogor yang memberikan dana terbatas untuk guru
mengikuti studi di UNJ (PTN sesuai yang terdekat terdapat di Jakarta ), namun tidak seorang pun yang dapat menyelesaikan studinya karena kendala jarak dan dana. Kondisi ini menggambarkan bahwa diperlukan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang dapat memfasilitasi kebutuhan guru akan ilmu yang akan digunakan dalam mengajar dan diperlukan legalitas dalam penyelenggaraannya.
5.2.5. Implikasi Terhadap Kebijakan di Kabupaten Bogor a. Dari hasil analisis di atas, maka yang perlu dilakukan oleh pemerintah Kabupaten pelaksanaan
Bogor
adalah
pembangunan
mengadakan pendidikan
perubahan terutama
prioritas
yang
dalam
menyangkut
pendidikan guru SD. UU Guru dan dosen merupakan alternatif pertama yang dipilih oleh seluruh responden sebagai alasan utama untuk meningkatkan pendidikan guru yang domisilinya tersebar di wilayah yang sangat luas di Kabupaten Bogor dan dengan kondisi yang juga sangat heterogen. b. Dinas Pendidikan dipilih oleh responden sebagai pelaku utama yang sangat berperan dalam peningkatan pendidikan guru SD, diikuti dengan motivasi dari guru itu sendiri untuk meningkatkan kompetensi dan pendidikannya. Keadaan ini menunjukkan bahwa dalam suatu wilayah yang sangat luas, diperlukan organisasi pemersatu yaitu Dinas Pendidikan untuk melaksanakan ketercapaian target yang ada dalam UU Guru dan Dosen dalam meningkatkan pendidikan guru SD. c. Dalam pembangunan pendidikan, Dinas Pendidikan perlu memperhitungan masalah anggaran, karena menurut responden alterntif yang dipilih untuk kendala utama yang dihadapi dalam meningkatakan pendidikan guru SD adalah dana.
d. Kabupaten Bogor yang wilayahnya tersebar sangat luas meliputi 40 kecamatan, ternyata responden memilih alternatif utama perguruan tinggi yang paling cocok untuk meningkatkan pendidikan guru adalah PJJ dan PTS setempat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem PJJ memang sangat cocok untuk mengatasi ketersebaran guru yang ada di Kabupaten Bogor disamping PTS yang menawarkan kemudahan dalam kelulusan.
5.3. IKHTISAR DarI uraian di atas dapat dirangkum hasil dari alternatif kebijakan yang sesuai untuk peningkatan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor sebagai berikut. 1.
Faktor pendorong utama peningkatan pendidikan guru SD. Untuk Kota dan Kabupaten Bogor memilih UU Guru dan Dosen sebagai faktor utama yang digunakan sebagai pendorong dalam meningkatkan pendidikan guru SD, karena undang-undang merupakan keharusan yang tidak bisa dihindari dan harus dilaksanakan.
2.
Pelaku yang paling berperan dalam peningkatan pendidikan guru SD Kota Bogor memilih Guru sebagai alternatif pelaku yang paling berperan terhadap peningkatan pendidikan guru SD, Kabupaten Bogor ternyata memilih Dinas Pendidikan. Alasan Kota Bogor adalah sebaik apa pun fasilitas diberikan tetapi bila guru tersebut tidak memiliki kemauan untuk maju,
maka
Sedangkan
peningkatan
pendidikan
untuk
mereka
akan
sia-sia.
Kabupaten Bogor memiliki pengalaman pada tahun 2007
dalam memperjuangkan diadakannya bea siswa untuk 1060 guru sehingga Dinas Pendidikan dipilih sebagai alternatif pelaku yang paling berperan dalam peningkatan pendidikan guru SD. 3.
Kendala yang dihadapi dalam peningkatan pendidikan guru SD
Kedua daerah kajian memilih dana sebagai kendala utama yang dihadapi dalam peningkatan pendidikan guru SD. Meskipun Kota dan Kabupaten Bogor mewakili dua daerah dengan kondisi PAD kecil dan sangat besar, namun
ternyata
dana
masih
merupakan
kendala
utama
dalam
pengembangan pendidikan guru SD. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sudah otonomi namun ternyata kemandirian daerah dalam pengelolaan dan pengadaan dana masih belum otonom bahkan ketergantungan daerah akan dana kepada pusat masih sangat tinggi, 4.
Alternatif sistem pendidikan yang digunakan dalam peningkatan pendidikan guru SD. Kota Bogor memilih PJJ-UT sebagai alternatif sistem pendidikan yang digunakan dalam peningkatan pendidikan guru SD, karena dengan sistem PJJ para guru lebih mudah menyesuaikan saat untuk registrasi, kuliah, dan ujian (tutorial dan ujian dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu). Kota Bogor tidak terkendala oleh letak (kondisi geografis) karena berada di kota, memilih PJJ karena sudah sejak lama mengikuti perkuliahan dengan sistem PJJ. Kabupaten Bogor memilih alternatif PJJ-UT dan PTS setempat (bobot sama yaitu 0,41) sebagai alternatif sistem pendidikan yang dapat digunakan dalam meningkatkan pendidikan guru SD di wilayahnya, karena selain meliputi wilayah yang ketersebaran tempat guru bekerja sangat luas (kendala geografis) ternyata daerah di sekitar Kabupaten Bogor terdapat PT swasta (yang meskipun tidak berijin dan tidak ada program PGSD yang diperlukan untuk guru SD) yang dapat menjembatani kendala geografis dan menawarkan kemudahan kelulusan.
VI. PERANCANGAN PROGRAM Dalam merancang program kebijakan yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan
pendidikan
guru
di
Kota
dan
Kabupaten
Bogor,
harus
diperhitungkan keadaan yang mendukung agar dapat dilaksanakan pada saat diimplementasikan. Rancangan yang dibuat untuk kedua daerah kajian adalah dengan menggunakan analisis SWOT. Dengan analisis SWOT akan dilihat kondisi internal baik yang berupa kekuatan maupun kelemahan, dan kondisi ekternal yang meliputi peluang dan ancaman bagi Universitas Terbuka (UT) sebagai penyelenggara PJJ di Indonesia, termasuk di Kota dan Kabupaten Bogor. Dari analisis SWOT dapat dibuat strategi peningkatan pendidikan guru di Kota dan Kabupaten Bogor. Strategi yang dibuat untuk Kota Bogor tentunya akan berbeda dengan strategi yang dibuat untuk Kabupaten Bogor, karena kondisi internal dan eksternal di kedua daerah tersebut berbeda. Dari hasil yang diperoleh terdapat persamaan dan perbedaan kondisi internal dan ekternal yang ada di Kota dan Kabupaten Bogor. Persamaannya adalah kedua daerah memilih UU Guru dan Dosen sebagai faktor pendorong utama untuk peningkatan pendidikan guru SD, dan dana sebagai kendala utama dalam peningkatan pendidikan guru SD. Sedangkan pelaku yang berperan terhadap peningkatan pendidikan guru SD dan alternatif sistem pendidikan yang dipilih oleh kedua daerah merupakan hal yang membedakan dari Kota dengan Kobupaten Bogor. Kota memilih guru sedangkan Kabupaten memilih Dinas Pendidikan sebagai pelaku utama. Kota memilih PJJ sedangkan Kabupaten memilih PJJ dan PTS sebagai alternatif sistem pendidikan yang paling sesuai untuk peningkatan pendidikan guru SD di daerahnya.
6. 1. KOTA BOGOR Berdasarkan hasil kajian mengenai alternatif kebijakan peningkatan pendidikan guru SD di Kota Bogor yang memilih alternatif menggunakan sistem PJJ dalam meningkatkan pendidikan guru SD, maka dengan menggunakan analisis
SWOT
disusun
rancangan
program
yaitu
strategi
peningkatan
pendidikan guru SD dengan menggunakan sistem PJJ di Kota Bogor. Dalam analisis SWOT kekuatan dan kelemahan yang ada di UT sebagai penyelenggara PJJ termasuk dalam lingkungan internal, sedangkan peluang dan ancaman terdapat dalam lingkungan eksternal. Tabel 18 menunjukkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dimiliki UT sebagai penyelenggara PJJ untuk guru SD di Kota Bogor sebagai berikut. 6.1.1. Lingkungan Internal Dalam lingkungan internal diuraikan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh UT sebagai penyelenggara PJJ yang digunakan untuk modal membangun bidang pendidikan untuk guru SD yang ada di Kota Bogor, Selain kekuatan yang dimiliki UT harus dilihat pula kelemahan yang ada untuk mengetahui keadaan yang berpotensi mengganggu tujuan yang direncanakan untuk mengembangkan pendidikan di Kota Bogor a. Kekuatan Kekuatan yang dimiliki oleh UT adalah sangat berpengalaman sebagai penyelenggaraan PTJJ, memiliki jaringan kerjasama yang luas dalam dan luar negeri (termasuk dengan pemerintah Kota Bogor). UT juga memiliki kantor layanan bagi mahasiswa (kantor UPBJJ) yang luas tersebar di 37 daerah di Indonesia, dan salah satunya ada di Kota Bogor yang melayani Kota dan Kabupaten Bogor, serta beberapa daerah di sekitarnya. PJJ UT merupakan sistem belajar yang fleksibel khususnya bagi mereka yang sudah bekerja.
Tabel 18. Hasil Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal UT sebagai Penyelenggara PJJ di Kota Bogor Kekuatan Kelemahan 1. Kondisi sumberdaya manusia dan 1. Pengalaman penyelenggara PJJ ketersiapan teknologi penunjang dengan Jaringan kerjasama yang di setiap daerah yang ada di luas termasuk dengan Kota Bogor UPBJJ seringkali tidak sama 2. Adanya kantor UPBJJ di seluruh kecepatannya wilayah Indonesia dan salah satunya di Kota Bogor. 3. Merupakan wadah resmi (ada izin DIKTI) untuk pendidikan jarak jauh bagi guru. 4. Sistem belajar yang fleksibel terutama bagi mereka yang sudah bekerja 5. Biaya termurah Peluang 1. UU Guru dan Dosen yang mengharuskan pendidikan guru S1 2. Populasi guru yang belum S1 besar. 3. Respon pemerintah Kota Bogor sangat positif. 4. Perkembangan IT (Jardiknas) 5. Pilihan Kota Bogor adalah PJJ sebagai alternatif utama
Ancaman 1. Prioritas pembangunan pendidikan masih untuk Wajar Dikdas dan SD gratis, bukan pada peningkatan pendidikan guru SD 2. Mahasiswa belum terbiasa dengan belajar mandiri sehingga pada sistem PJJ, jumlah yang tidak lulus relatif besar 3. Ketidak pahaman dinas dan guru akan prinsip PJJ
Biaya pendidikan di UT termasuk yang sangat murah dibandingkan PTN atau PTS, dan untuk menjadi mahasiswa UT juga tidak sulit, dan UT merupakan PTN yang resmi diijinkan oleh DIKTI untuk menyelenggarakan program PGSD yang dikhususkan untuk guru SD dengan menggunakan sistem PJJ dengan tujuan memfasilitasi para guru yang tersebar di seluruh Indonesia dan tidak dapat dijangkau oleh PTN tatap muka. UT juga memungkinkan menerima mahasiswa dengan kapasitas yang
tidak terbatas, karena PJJ-UT dibentuk untuk
menyelenggarakan pendidikan massal, sehingga dapat menjangkau mereka yang memerlukan pendidikan dan terkendala oleh dana, ruang, dan waktu.
b. Kelemahan Kelemahan UT sebagai penyelenggara PJJ adalah kualitas sumberdaya yang dimiliki di setiap daerah (UPBJJ) tidak sama. Teknologi penunjang yang merupakan alat bantu utama (misalnya internet) juga tersedia secara tidak merata di setiap wilayah, hal ini dapat menghambat komunikasi dan pelayanan terhadap mahasiswa. Karena tidak semua guru dapat berkomunikasi langsung dengan pengurus UPBJJ, tetapi diwakilkan pada ketua kelompoknya, seringkali informasi tidak cepat sampai ke sasaran disebabkan karena lokasi.
6.1.2. Lingkungan Eksternal Dalam lingkungan eksternal, diuraikan peluang dan ancaman. Peluang adalah
seluruh
kemungkinan
yang
ada
yang
dapat
membantu
untuk
dikembangkannya pendidikan guru SD, sedangkan ancaman adalah segala sesuatu yang dapat membahayakan pelaksanaan pengembangan pendidikan guru SD di Kota Bogor. a. Peluang Peluang yang dimiliki oleh UT dalam meningkatkan pendidikan guru SD dengan sistem PJJ adalah adanya UU Guru dan Dosen yang dapat digunakan untuk memaksa peningkatan pendidikan guru SD menjadi S1. Populasi guru SD yang belum S1 yang besar, merupakan peluang bagi UT untuk menyediakan program yang dikehendaki yaitu PGSD. Hal ini didukung oleh pemerintah yang merespon keberadaan PJJ dengan sangat baik, dengan sudah dilaksanakannya kerja sama sejak sebelum otonomi. Perkembangan IT yang sangat pesat dan adanya kewajiban untuk menggunakan sistem Jardiknas dapat membantu percepatan penyampaian informasi ke seluruh jaringan UPBJJ. Selain
itu responden Kota Bogor memilih sistem PJJ sebagai alternatif sistem pendidikan yang paling sesuai untuk meningkatkan pendidikan guru SD b. Ancaman Prioritas pembangunan pendidikan di Kota Bogor adalah mengentaskan Wajar Dikdas dan SD gratis bukan pada peningkatan pendidikan guru SD, hal ini merupakan ancaman bagi penyelenggaraan PJJ. Selain itu tidak semua guru memiliki kemandirian dalam belajar, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip PJJ yaitu kemandirian. Dalam PJJ para guru dimungkinkan untuk dapat mengatur dan menentukan nasib studinya secara mandiri (kapan dia akan mulai, belajar,
dan
menyelesaikan
studinya).
Kondisi
ketidakmandirian
ini
mengakibatkan pada pendidikan dengan sistem PJJ jumlah yang tidak lulus cenderung besar.
6.1.3. Strategi Dari hasil analisis kondisi internal dan eksternal yang ada di UT, disusun rancangan program (Tabel 19) dan hasilnya berupa strategi yang akan digunakan oleh UT dalam peningkatan pendidikan guru SD di Kota Bogor, sebagai berikut. a.
Dengan kekuatan UT sebagai PTN yang resmi mendapatkan izin untuk menyelenggarakan program PGSD yang khusus digunakan oleh guru SD dalam meningkatkan pendidikannya, maka UT harus lebih meningkatkan kualitas pelayanan bagi mahasiswa (akreditasi dan sertifikasi). Peningkatan pelayanan ini akan mudah dilaksanakan oleh UT karena memiliki kantor unit program belajar jarak jauh (UPBJJ) yang berlokasi di Kota Bogor dan sudah memperoleh Sertifikat ISO 9001:2000 untuk sistem manajemen kualitas. Selain itu UT juga harus dapat memanfaatkan perkembangan IT
(Jardiknas) yang disediakan oleh Depdiknas untuk memperluas jangkauan pembelajaran dan dalam upaya meningkatkan jumlah mahasiswa. Tabel 19. Rancangan Program Peningkatan Pendidikan Guru SD dengan Menggunakan Sistem PJJ-UT di Kota Bogor
LINGKUNGAN
LINGKUNGAN INTERNAL
EKSTERNAL
Kekuatan (Strengths)
Kelemahan (Weaknesses)
1. Pengalaman penyelenggara PJJ dengan Jaringan kerja sama yang luas termasuk dengan Kota Bogor 2. Adanya kantor UPBJJ di seluruh wilayah Indonesia (termasuk di Kota Bogor). 3. Merupakan wadah resmi (ada izin DIKTI) untuk pendidikan jarak jauh bagi guru. 4. Sistem belajar yang fleksibel terutama bagi mereka yang sudah bekerja
1. Kondisi sumberdaya manusia dan ketersiapan teknologi penunjang di setiap daerah yang ada di UPBJJ seringkali tidak sama kecepatannya
5. Biaya termurah Peluang (Opportunities)
SO alternatif
WO alternatif
1. UU Guru dan Dosen yang mengharuskan pendidikan guru S1 2. Populasi guru belum S1 besar. 3. Respon pemkot Bogor sangat positif. 4. Perkembangan IT (Jardiknas) 5. Pilihan Kota Bogor adalah PJJ sebagai alternatif utama
1. UT harus lebih meningkatkan kualitas pelayanan bagi mahasiswa dan calon mahasiswa (akreditasi dan sertifikasi).
1. Pelatihan untuk meningkatkan keterampilan SDM UT
Ancaman (Threats)
ST alternatif
WT alternatif
1.
UT harus memperkuat promosi untuk menaikkan citra.
1.
2.
Memberdayakan jaringan dan kemitraan, untuk meyakinkan akan pentingnya peningkatan pendidikan guru dengan menggunakan PJJ yang sangat sesuai dengan kondisi guru Sosialisasi tentang PJJ
1. Prioritas pembangunan untuk Wajar Dikdas dan SD gratis, bukan pada pendidikan guru SD 2. Mahasiswa belum terbiasa belajar mandiri sehingga jumlah yang tidak lulus relatif besar 3. Belum paham prinsip PJJ
2. Meningkatkan penggunaan fasilitas IT (Jardiknas) untuk meningkatkan layanan, memperluas jangkauan dan meningkatkan jumlah mahasiswa
3.
2. Meningkatkan komunikasi dengan menggunakan seluruh fasilitas dan jaringan untuk meningkatkan jumlah mahasiswa yang lulus
Pemberdayaan SDM untuk menggunakan seluruh fasilitas jaringan yang ada untuk antisipasi hambatan komunikasi dan sosialisasi untuk meningkatkan kemandirian mahasiswa
b.
UT harus selalu memperkuat promosi untuk meningkatkan citra diri (brand image) dengan menunjukkan prestasi yang sudah dicapai dan diakui secara internasional (sertifikat ISO 9001:2000 Sistem Manajemen Mutu yang diperoleh untuk proses Pengembangan Bahan Ajar dan bahan Ujian, Layanan Bahan Ajar, Layanan Administrasi Akademik, dan Manajemen Layanan di 11 UPBJJ termasuk UPBJJ Bogor dan akreditasi internasional untuk penyelenggaraan pendidikan jarak jauh dari ICDE: International Council for Distance Education. Memberdayakan jaringan dan kemitraan, untuk meyakinkan pentingnya peningkatan pendidikan guru dengan PJJ dalam rangka melaksanakan UU Guru dan Dosen. Disamping itu UT harus selalu menyosialisasikan dan meyakinkan perlunya menggunakan sistem PJJ yang sangat sesuai bagi kondisi guru SD.
c.
Perlunya dilakukan pelatihan untuk meningkatkan fasilitas yang diperlukan serta kemampuan atau kompetensi SDM yang ada di UPBJJ. Selain itu UT harus meningkatkan komunikasi dengan menggunakan seluruh fasilitas dan jaringan yang tersedia untuk meningkatkan sosialisasi tentang kemandirian dan jumlah mahasiswa sehingga dapat diharapkan jumlah mahasiswa yang lulus baik yang studinya diberi bea siswa atau secara swadana akan meningkat.
d.
UT juga perlu untuk melakukan pelatihan SDM-nya untuk menggunakan seluruh fasilitas yang dimiliki guna menanggulangi hambatan komunikasi baik dengan mitra maupun mahasiswa, dan dapat meyakinkan mahasiswa akan dapat meningkatkan cara belajar mandiri yang harus dilakukan oleh mahasiswa, hal ini berdampak pada meningkatkan jumlah kelulusan.
6.2. KABUPATEN BOGOR
6.2.1. Lingkungan Internal dan Eksternal Rancangan program untuk Kabupaten Bogor berupa strategi peningkatan pendidikan guru SD dengan menggunakan sistem PJJ-UT di Kabupaten Bogor. Analisis dilakukan setelah melihat lingkungan internal dan eksternal UT. Lingkungan internal
UT sebagai penyelenggara PJJ di Kota dan
Kabupaten Bogor sebenarnya banyak memiliki kesamaan, yang membedakan dengan Kota Bogor adalah lingkungan eksternal yaitu pada peluang dan ancaman. Peluang untuk mengembangkan pendidikan guru di wilayah Kabupaten Bogor yang sangat luas (lebih dari empat kali luas Kota Bogor, bahkan jumlah desa yang ada di Kabupaten Bogor lebih dari enam kali lipat jumlah kelurahan yang ada di Kota Bogor). Kondisi ini memerlukan perhatian khusus dalam meningkatkan pendidikan guru SD, dan sangat cocok jika menggunakan sistem belajar jarak jauh, karena dapat mengatasi kendala ruang dan waktu, apalagi para guru dibatasi oleh aturan untuk tidak meninggalkan tugasnya. Ancaman yang ada di Kabupaten Bogor adalah prioritas pembangunan pendidikan tidak untuk peningkatan guru SD, tetapi untuk mengentaskan wajar dikdas dan meningkatkan nilai IPM. Selain itu juga terlihat dari peluang guru untuk memilih PTJJ-UT sama besarnya dengan peluang guru SD memilih PTS, karena meskipun Kabupaten Bogor wilayahnya sangat luas ternyata daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor menawarkan kemudahan akses untuk dapat melanjutkan studi pada PTS yang ada di sana dan PTS ini meskipun tanpa izin dan menyediakan program yang bukan khusus untuk guru SD, namun menawarkan kemudahan dalam kelulusan. Sedangkan pada sistem PJJ terdapat kecenderungan banyaknya mahasiswa yang tidak lulus merupakan ancaman lain yang dapat menjadikan keberadaan PTS menjadi lebih disukai dari pada UT. Selain itu UT sebagai PTJJ tidak begitu baik di mata pemerintah Kabupaten
Bogor, karena mahasiswanya sulit untuk lulus. Tabel 20 menunjukkan hasil analisis linkungan internal dan eksternal yang ada di Kabupaten Bogor.
Tabel 20. Hasil Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal UT sebagai Penyelenggara PJJ di Kabupaten Bogor Kekuatan Kelemahan 1. Pengalaman penyelenggara PJJ dengan Jaringan kerjasama yang luas termasuk dengan Kabupaten Bogor 2. Adanya kantor UPBJJ di seluruh Indonesia termasuk di Kota Bogor yang melayani Kabupaten Bogor 3. Merupakan wadah resmi untuk pendidikan jarak jauh bagi guru. 4. Sistem belajar yang fleksibel terutama bagi mereka yang sudah bekerja 5. Biaya termurah
1. Kondisi sumberdaya manusia dan ketersiapan teknologi penunjang di setiap UPBJJ tidak sama 2. Sering terjadi hambatan komunikasi dalam melayani mahasiswa karena jangkauan mahasiswa di Kabupaten Bogor yang luas
Peluang
Ancaman
1. UU Guru dan Dosen yang mengharuskan pendidikan guru S1 2. Populasi guru yang belum S1 besar 3. Perkembangan IT (Jardiknas) 4. Wilayah Kabupaten Bogor sangat luas sangat cocok dengan sistem PJJ
1. Prioritas pembangunan pendidikan di daerah bukan pada peningkatan pendidikan guru SD. 2. Dengan sistem PJJ jumlah yang tidak lulus cenderung besar, karena mahasiswa belum terbiasa mandiri . 3. PTS tanpa izin menyelenggarakan PGSD, menawarkan kelulusan dengan mudah dan cepat, 4. Peluang guru memilih PTJJ UT sama besarnya dengan guru yang memilih PTS 5. Citra UT sebagai PTJJ di mata pemerintah Kabupaten Bogor tidak terlalu baik.
6.2.2. Strategi Strategi yang disusun oleh UT sebagai penyelenggara PJJ, adalah peningkatan pendidikan guru SD dengan menggunakan PJJ yang dapat diterapkan di Kabupaten Bogor, dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Rancangan Program Peningkatan Pendidikan Guru SD dengan Menggunakan Sistem PJJ-UT di Kabupaten Bogor
Kelemahan (Weaknesses)
1. Pengalaman penyelenggara PJJ dengan Jaringan kerjasama yang luas termasuk dengan Kabupaten Bogor 2. Adanya kantor UPBJJ di seluruh Indonesia termasuk di Kota Bogor yang melayani Kabupaten Bogor 3. Merupakan wadah resmi untuk pendidikan jarak jauh bagi guru. 4. Sistem belajar yang fleksibel terutama bagi mereka yang sudah bekerja 5. Biaya termurah
1. Kondisi sumberdaya manusia dan ketersiapan teknologi penunjang di setiap UPBJJ tidak sama 2. Sering terjadi hambatan komunikasi dalam melayani mahasiswa karena jangkauan mahasiswa di Kabupaten Bogor yang luas
SO alternatif
WO alternatif
1. UU Guru dan Dosen yang mengharuskan pendidikan guru S1 2. Populasi guru yang belum S1 besar 3. Perkembangan IT (Jardiknas) 4. Wilayah Kabupaten Bogor sangat luas sangat cocok dengan sistem PJJ
1. UT harus meningkatkan kualitas pelayanan bagi mahasiswa, mitra dan calon mahasiswa (akreditasi dan sertifikasi).
1. Pelatihan meningkatkan kompetensi SDM
Ancaman (Threats)
ST alternatif
WT alternatif
1.
Memberdayakan jaringan dan kemitraan, untuk sosialisasi pentingnya PJJ sebagai sistem yang legal dan paling sesuai bagi guru seperti yang dikehendaki UU Guru dan Dosen.
1.
2.
Sosialisasi secara terus-menerus ke pemda akan keuntungan penggunaan sistem PJJ, sehingga pemahaman akan PJJ dan minat guru akan penggunaan PJJ akan meningkat.
3.
UT harus memperkuat promosi untuk menaikkan citra dengan layanan untuk mengurangi kesan buruk pemkab terhadap UT
LINGKUNGAN
LINGKUNGAN INTERNAL
Kekuatan (Strengths)
EKSTERNAL Peluang (Opportunities)
1. Prioritas pembangunan bukan pada peningkatan pendidikan guru SD. 2. Jumlah yang tidak lulus pada sistem PJJ besar, karena belum mandiri 3. PTS tanpa izin penyelenggara PGSD, menawarkan kelulusan dengan mudah dan cepat, 4. Peluang memilih PTJJ UT sama besarnya dengan guru yang memilih PTS 5. Citra UT sebagai PTJJ di mata pemerintah Kabupaten Bogor tidak terlalu baik
2. Meningkatkan penggunaan fasilitas IT (Jardiknas) untuk memperluas jangkauan pembelajaran bagi mahasiswa dan upaya meningkatkan jumlah mahasiswa
2. Meningkatkan komunikasi dengan menggunakan seluruh fasilitas dan jaringan untuk meningkatkan layanan dan jumlah mahasiswa yang lulus
UT harus lebih responsif terhadap kebutuhan pasar dengan melakukan pelatihan untuk menanggulangi hambatan komunikasi dan keterbatasan PJJ .
a.
Dengan kekuatan UT sebagai PTN yang resmi mendapatkan izin untuk menyelenggarakan program PGSD yang khusus digunakan oleh guru SD dalam meningkatkan pendidikannya, UT harus lebih meningkatkan kualitas layanan
bagi
mahasiswa
(akreditasi
dan
sertifikasi).
Peningkatan
pelayanan ini akan mudah dilaksanakan oleh UT dengan memanfaatkan jaringan IT (Jardiknas) untuk memperluas jangkauan pembelajaran bagi mahasiswa dan upaya menjaring serta meningkatkan jumlah mahasiswa. b.
Memberdayakan jaringan dan kemitraan, terutama dengan pemda untuk sosialisasi pentingnya PJJ sebagai sistem yang paling sesuai dan legal bagi guru SD. UT harus selalu meng-update seluruh informasi yang diperlukan bagi aparat yang bertanggung jawab terhadap pendidikan guru di Kabupaten Bogor, dan melakukan pendekatan kerja sama yang efektif untuk menawarkan program PJJ sebagai pilihan utama dan paling sesuai untuk meningkatkan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor. UT juga harus meningkatkan citra diri dengan menunjukkan prestasi nasional maupun internasional yang sudah dicapai. UPBJJ-UT Bogor sudah memperoleh sertifikat ISO 9001:2000 sistem manajemen mutu untuk pengelolaan belajar jarak jauh, serta akreditasi internasional dari ICDE (International Council for Distance Education). UT harus melakukan sosialisasi akan keuntungan menggunakan PJJ, serta pentingnya PJJ sebagai sistem yang diciptakan untuk saling bersubtitusi dengan sistem pendidikan tatap muka, karena kedua sistem tersebut tidak dapat berjalan sendiri, dan PJJ adalah solusi untuk mereka yang terkendala oleh ruang dan waktu dalam meningkatkan pendidikan.
c.
UT juga harus melakukan promosi untuk meningkatkan citra diri, dengan memberikan pelayanan yang prima bagi mahasiswa serta mitra kerja.
Dengan layanan prima dan akreditasi dari ICDE serta sertifikat ISO 9001:2000 tentang sistem manajemen mutu yang bertaraf internasional, diharapkan citra pemeritah daerah terhadap keberadaan UT dapat dihapus menjadi lebih baik. d.
Perlunya dilakukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan atau kompetensi SDM yang ada di UPBJJ. Meningkatkan komunikasi dengan menggunakan seluruh fasilitas dan jaringan untuk meningkatkan jumlah mahasiswa dan jumlah yang lulus.
6.3. PELAKSANAAN DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR Dalam meningkatkan pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor diperlukan usaha yang berbeda karena adanya perbedaan dalam prioritas yang dipilih oleh guru dalam menggunakan sistem pendidikan, yaitu Kota Bogor memilih PJJ sedangkan Kabupaten Bogor memilih tidak hanya PJJ namun pada prioritas yang sama justru guru lebih memilih PTS. Sedangkan kendala yang dihadapi oleh kedua daerah adalah sama, menyangkut dana. Untuk mengatasi masalah dana, saat ini dana bea siswa yang dahulu disalurkan lewat Dirjen PMPTK untuk membiayai guru di seluruh Indonesia, sekarang disalurkan lagi lewat dana dekonsentrasi yang disalurkan lewat pemerintah
provinsi.
Masalah
yang
muncul
berkenaan
dengan
dana
dekonsentrasi ini adalah diperlukan adanya aturan yang jelas tentang penggunaan secara teknis di lapangan. Bila sebagian besar kewenangan bidang pendidikan dasar dan menengah sudah diserahkan ke pemerintah kota atau kabupaten, sudah seharusnya pengalokasian dana dekonsentrasi ini juga mengikuti aturan ini, bukan dikelola oleh provinsi sedangkan dilapangan sebagai
pelaksana adalah kota/kabupaten yang tidak memperoleh bagian dari dana yang dikucurkan hal ini tentunya menimbulkan rasa ketidakadilan. Saat ini penggunaan dana dekonsentrasi untuk membiayai pendidikan guru SD dilaksanakan dengan menggunakan sistem kuota sesuai dengan peta penyebaran guru di setiap provinsi, sampai ke kota dan kabupaten. Bila kuota sudah disepakati, maka dinas pendidikan membagikannya kepada guru yang belum S1 untuk memilih PT yang sesuai dan berizin untuk menyelenggarakan program PGSD. Jadi bagi Kota Bogor, strategi peningkatan pendidikan guru SD menggunakan
sistem
PJJ
dilaksanakan.
Pengalaman
dengan Kota
kendala
Bogor
dana
yang
akan
selama
ini
mudah
untuk
meningkatkan
pendidikan guru dengan menggunakan sistem PJJ merupakan fakta yang sangat mendukung penyelesaian masalah pendidikan guru saat ini. Bagi Kabupaten Bogor, masalah dana dapat diatasi dengan menggunakan dana dekonsentrasi, sedangkan penggunaan PJJ masih memiliki keunggulan untuk dijadikan alternatif utama peningkatan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor, hal ini dapat dilakukan dengan cara memperbaiki pelayanan dan peningkatan
citra
diri,
dengan
membuktikan
diperolehnya
pengakuan
internasional ICDE serta sertifikat ISO 9001:2000 untuk manajemen sistem kualitas bagi pengelolaan UPBJJ Bogor. Hal lain yang menjadi ciri khas PJJ-UT menyangkut pada keistimewaannya dalam menanggulangi kendala ruang dan waktu, serta biayanya yang sangat murah. Alternatif lain adalah dengan menggunakan dua sistem yaitu tatap muka maupun PJJ. Bila PJJ secata legal memang diperuntukkan untuk menanggulangi masalah pendidikan guru SD dengan program PGSD, dan segala kendalanya, maka untuk PTS yang masih ilegal ini yang paling penting dilakukan adalah
meningkatkan status PTS menjadi PTS yang secara hukum memiliki legalitas sebagai penyelenggara program PGSD.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai alternatif kebijakan peningkatan
pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor diperoleh kesimpulan : 1.
Kondisi pendidikan guru SD di Kota Bogor masih lebih baik dibandingkan dengan guru di Kabupaten Bogor hal ini dapat dilihat dari persentase guru yang belum S1 di Kota Bogor (79,33%) lebih sedikit dibandingkan dengan Kabupaten Bogor (82,58%).
2.
Ada faktor yang sama yang mempengaruhi kebijakan pemerintah di Kota dan Kabupaten Bogor dalam peningkatan pendidikan guru SD yaitu keterbatasan dana, prioritas pembangunan pendidikan Kota Bogor adalah untuk menuntaskan Wajar Dikdas dan SD Gratis, sedangkan Kabupaten Bogor selain menuntasan Wajar Dikdas, adalah untuk merenovasi gedung sekolah yang rusak serta meningkatkan nilai IPM.
3. Alternatif kebijakan peningkatan pendidikan guru SD dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Kota Bogor 1. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa yang perlu dilakukan oleh pemerintah Kota Bogor adalah mengadakan perbaikan dalam prioritas pelaksanaan pembangunan pendidikan terutama yang menyangkut pendidikan guru. Diundangkannya UU Guru dan dosen merupakan faktor pendorong utama untuk meningkatkan pendidikan guru SD menjadi S1. 2. Guru merupakan pelaku yang sangat berperan dalam peningkatan pendidikan guru SD, yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah dalam
hal ini Dinas Pendidikan, sebagai payung dari lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembangunan pendidikan di daerahnya. 3. Dalam pembangunan pendidikan, pemerintah Kota
Bogor perlu lebih
memperhitungan masalah anggaran secara khusus, karena kendala utama yang dihadapi para guru dalam meningkatkan pendidikannya adalah dana. 4. Dengan beberapa alasan di atas, untuk Kota Bogor meskipun terletak di pusat perkotaan, ternyata masih memilih UT dengan sistem PJJ sebagai pelaksana untuk meningkatkan pendidikan guru SD.
b. Kabupaten Bogor 1. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa diundangkannya UU Guru dan dosen merupakan faktor utama yang menjadi alasan untuk peningkatan pendidikan guru SD menjadi S1. 2. Bila di Kota Bogor Guru merupakan pelaku yang paling berperan,
di
Kabupaten Bogor ternyata Dinas Pendidikan merupakan pelaku yang sangat berperan dalam peningkatan pendidikan guru SD, diikuti dengan dari guru itu sendiri untuk meningkatkan kompetensi dan pendidikannya. 3. Kendala utama dalam pembangunan pendidikan, yang perlu diperhatikan adalah dana, sehingga pemerintah daerah perlu memperhitungkan secara khusus dalam menyusun anggaran pendidikan bagi daerahnya. 4.
Kabupaten Bogor yang wilayahnya tersebar sangat luas meliputi 40 kecamatan, ternyata memilih PJJ UT dan PTS setempat untuk meningkatkan pendidikan guru SD.
7.2. Saran Berdasarkan hasil pembahasan, terdapat beberapa saran yang dapat direkomendasikan yaitu: 1. Kedua
daerah
kajian,
Kota
dan
Kabupaten
perlu
memperbaiki,
meningkatkan, atau menambah prioritas pembangunan pendidikan terutama yang berhubungan dengan peningkatan pendidikan guru, karena banyaknya jumlah guru SD yang belum S1 di masing-masing daerah dan terutama di Kabupaten Bogor. 2. Bagi pemerintah kabupaten/kota diperlukan perhatian khusus dalam peningkatan pendidikan guru SD terutama yang berdomisili di wilayah terpencil, agar kualitas pendidikan baik di wilayah kota maupun terpencil tidak terdapat perbedaan yang menyolok. 3. Perlu dipertimbangkan bahwa ternyata PJJ merupakan alternatif terbaik yang diperuntukkan bagi peningkatan pendidikan guru SD, sebab bila dibandingkan dengan PTN atau PTS untuk Kota dan Kabupaten Bogor, maka PJJ UT yang merupakan perguruan
tinggi negeri, memiliki
keunggulan yang meliputi: biaya lebih murah, daya jangkau, izin Dikti dalam menyelenggarakan program khusus untuk guru SD, dan dengan memberi kesempatan pada guru tidak harus meninggalkan tempat tugas. 4. Adanya dana dekonsentrasi yang dapat digunakan untuk memberi bea siswa kepada guru (PMPTK), dapat digunakan semaksimal mungkin dengan memotong jalur birokrasi dan memberi lebih banyak peluang kepada guru untuk dapat meningkatkan pendidikannya dengan biaya yang lebih ringan. 5. Karena
sudah
banyak
didirikan
PTS
yang
belum
berizin
menyelenggarakan program PGSD, padahal lokasinya memungkinkan
untuk dijangkau oleh guru-guru yang tersebar di seluruh wilayah, disarankan agar pemda harus ikut serta membina dan memfasilitasi PTS yang sudah ada untuk meningkatkan statusnya sebagai penyelenggara program pendidikan khusus guru SD yang memiliki izin, dan mengawasi pelaksanaannya
sehingga
peningkatan
dipertanggung-jawabkan kualitasnya.
pendidikan
guru
dapat