ALTERNATIF DASAR PERHITUNGAN PEMBERIAN TUNJANGAN KEHILANGAN PENDAPATAN WARGA TERKENA DAMPAK PEMBANGUNAN WADUK Allowance Income Substitution on Impacted Residents of Dam Construction M. Andri Hakim1, Andi Suriadi2 Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang, Kementerian PUPR Jl. Pattimura No. 20 Gedung Heritage, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 1
[email protected],
[email protected] ABSTRACT
Tanggal diterima: 19 November 2015; Tanggal disetujui: 15 januari 2016
The regulations related to the handling of social problems of impacted residents by infrastructure development imply the necessity to provide compensations as consequence of the loss of allowance income. The problem is what basic is used to calculate the appropriate financial compensation so that permanent residents can live well in the new location. This article offers a basic calculation of the cost of living for residents affected at the construction site Jatigede (West Java) and analysis of farming at the construction site Jabung Ring Dike (East Java). The research used random sampling survey multistratified proportionally. Data were analyzed using descriptive statistics with SPPS. The results show that the amount needed by household is Rp 1.382.483,00 – Rp 2.202.614,00 per mounth and analysis of farming is Rp 4.487.892,00 - Rp 16.006.790,00 per harvest. This data may be worthwhile to be used as references in determining the amount of compensation It is expected that on one hand the level of life of impacted residents is not getting worse, and on the other hand the use of government finances becomes more effective. Keywords: compensation, the necessities of life, farming, Jatigede, Jabung Ring Dike, impacted residents
ABSTRAK Terbitnya berbagai peraturan yang terkait dengan penanganan masalah sosial warga yang terkena dampak pembangunan infrastruktur membawa implikasi terhadap perlunya pemberian uang santunan, khususnya tunjangan kehilangan pendapatan. Permasalahannya adalah dasar apa yang digunakan dan bagaimana cara menghitung jumlah tunjangan kehilangan pendapatan agar warga tetap dapat hidup layak di lokasi yang baru. Untuk itu, tulisan ini menawarkan dasar perhitungan berupa biaya kebutuhan hidup terhadap warga terkena dampak di lokasi pembangunan Waduk Jatigede (Jawa Barat) dan analisis usaha tani di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike (Jawa Timur). Untuk mendapatkan hasil perhitungan, dilakukan survei multistratified random sampling secara proporsional. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dengan bantuan SPPS. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan hidup per kepala keluarga Rp 1.382.483,00 – Rp 2.202.614,00 per bulan serta analisis usaha tani Rp 4.487.892,00 - Rp 16.006.790,00 per ha sekali panen. Oleh karena itu, dibutuhkan kecermatan dan kearifan dalam menentukan jumlah santunan yang mengacu pada kebutuhan dan kondisi usaha tani secara empiris dengan metode yang objektif. Dengan demikian, diharapkan di satu sisi warga yang terkena dampak tingkat kehidupannya tidak semakin terpuruk, tetapi di sisi lain penggunaan keuangan negara juga menjadi lebih efektif. Kata Kunci : santunan, kebutuhan hidup, usaha tani, Waduk Jatigede, Jabung Ring Dike, warga terkena dampak
PENDAHULUAN Pembangunan infrastruktur pada dasarnya dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, seringkali sulit dihindari adanya masalah sosial yang menyertai
terutama pada tahap prakonstruksi khususnya terhadap kelompok masyarakat yang berada dan/atau terkait dengan lokasi pembangunan infrastruktur. Untuk meminimalkan kerugian warga yang terkena dampak, selain skema pemberian ganti kerugian (tanah dan benda di atasnya), permukiman
) Sebagian gagasan dalam tulisan ini pernah dipresentasikan pada Seminar Bendungan Besar, 28 Mei 2015 di Kupang, NTT
1
15
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 15 - 23
kembali, juga telah diupayakan pemberian santunan untuk menjamin agar kehidupan warga terkena dampak tetap normal dan kondisinya tidak semakin terpuruk.
Dalam hal pemberian kompensasi pengadaan tanah di Indonesia, telah dilakukan berbagai kajian, baik komponen, dasar perhitungan, maupun faktor-faktor penghambat. Okada dan Arvian (2015) meneliti tentang penentuan komponen kerugian nonfisik dalam pengadaan tanah untuk pembangunan jalan. Mereka menemukan 48 komponen kerugian nonfisik yang secara garis besar ke dalam 4 kategori, yakni biaya transaksi dan administrasi, biaya pindah, kerugian perubahan lokasi, dan kerugian perubahan aset. Suriadi dan Andri (2013) meneliti tentang alternatif dasar perhitungan nilai tanah dalam pembangunan waduk. Mereka menemukan tiga alternatif dasar perhitungan yang berdimensi sosial kultural, yakni religius-magis, cara memperoleh tanah, dan durasi memiliki tanah. Bambang dan Andi (2010) meneliti tentang faktor-faktor penghambat pengadaan tanah jalan tol untuk penggantian tanah kawasan hutan ruas Unggaran – Bawen Kab. Semarang. Mereka menemukan bahwa terdapat tiga faktor penghambat, yakni eksistensi makelar tanah, senjangnya nilai ganti rugi, dan proses pembayaran yang bermasalah.
Di negara lain pun masalah kompensasi pengadaan tanah juga mendapat banyak perhatian. Omar dan Mazlam (2009) meneliti tentang unsurunsur ketidakpuasan dalam pengadaan tanah di Kedah Malaysia. Hasilnya, dia menawarkan model Kotaka yang dapat memahami unsurunsur kompensasi. Famuyiwa dan Modupe (2011) meneliti tentang pengadaan tanah di Nigeria yang temuannya mengatakan pemerintah Nigeria dapat menggunakan kekuatan paksa untuk mengambil tanah demi kepentingan umum yang dinilainya kurang bijaksana. Shan dan Fangzhou (2015) melakukan penelitian komparatif dalam hal konsolidasi lahan dengan Jerman, Jepang, Cina-Taiwan, dan Korea Selatan. Berdasarkan studi komparatif tersebut, mereka berusaha menyediakan referensi bagi negara Cina sebagai instrumen penyesuaian kembali konsolidasi lahan. Zhang dan Ruiping (2011) meneliti nilai nonpasar lahan budidaya yang kurang diperhatikan dalam pengambilalihan tanah di Cina. Mereka menemukan bahwa tidak adanya nilai nonpasar pada lahan budidaya bukan hanya merugikan hak-hak petani, tetapi juga kesejahteraan sosial secara keseluruhan. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, tampak bahwa selama ini belum banyak yang mengkaji tentang pemberian santunan bagi
16
yang terkena dampak pembangunan. Meskipun demikian, untuk mendukung upaya tersebut, sudah ada beberapa peraturan yang mendorong agar dilakukan pemberian santunan, baik oleh lembaga donor maupun pemerintah termasuk pemerintah daerah. World Bank 2007 dalam kerangka kebijakan permukiman kembali penduduk berusaha meminimalkan dampak bagi penduduk yang terkena pembebasan lahan dengan menerapkan kebijakan melalui pemberian tunjangan pendapatan minimal selama 1 tahun (12 bulan). Demikian pula ADB 2012 tentang perlindungan permukiman kembali penduduk yang terkena pengadaan tanah menetapkan bahwa periode pemberian tunjangan pendapatan transisi minimal 3 bulan. Sementara itu, di tingkat pemerintah daerah, sudah ada Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No 614/Kep.1427Bappeda/2013 tentang Standar Harga Satuan Untuk Pengosongan Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rehabilitasi Saluran Tarum Barat yang menyebutkan bahwa tunjangan masa transisi diberikan tunai setara dengan 12 kg (6.000/kg) beras per anggota keluarga selama 3 bulan. Terakhir, Perpres No. 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede. Dalam Perpres tersebut, ada dua kategori penduduk yang terkena dampak sebagaimana pada Pasal 2 ayat (1) Masyarakat yang terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 2 adalah: (a) penduduk yang berada di area Waduk Jatigede yang telah dibebaskan tanah dan/atau bangunannya untuk pembangunan Waduk Jatigede namun belum memperoleh tempat penampungan permukiman baru berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang KetentuanKetentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah; dan (b) penduduk lainnya yang berada di area Waduk Jatigede yang tidak termasuk huruf a. Kedua kategori penduduk tersebut akan diberikan santuan uang tunai untuk tunjangan kehilangan pendapatan (Puslitbang Sosekling, 2014a dan 2014b). Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana model perhitungan yang objektif sebagai dasar pemberian santunan. Hal ini sangat penting karena dalam berbagai kasus hal tersebut menimbulkan kontroversi karena model perhitungannya cenderung bersifat subjektif tanpa melalui suatu riset yang mengedepankan nilai-nilai ilmiah, instrumen dan metodologi yang digunakan kurang valid dan kurang reliabel sehingga hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Untuk itu, tulisan ini berusaha menawarkan model perhitungan sebagai alternatif pemberian
Alternatif Dasar Perhitungan Pemberian Tunjangan Kehilangan Pendapatan Warga Terkena Dampak Pembangunan Waduk Jatigede M. Andri Hakim dan Andi Suriadi santunan dengan mengedepankan nilai-nilai scientific dan metode yang objektif yang diujicoba pada dua lokasi yang tingkat permasalahan sosialnya relatif cukup tinggi, yakni lokasi pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat dan Jabung Ring Dike di Kab. Tuban dan Kab. Lamongan, Provinsi Jawa Barat. Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah:
(a) Bagaimana model perhitungan biaya kebutuhan hidup di lokasi pembangunan Waduk Jatigede dan analisis usaha tani di lokasi Jabung Ring Dike? (b) Bagaimana model perhitungan tersebut dapat menjadi alternatif dasar pemberian santunan untuk tunjangan kehilangan pendapatan warga yang terkena dampak?
Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan alternatif kepada pengambil kebijakan tentang perhitungan biaya hidup masyarakat dalam rangka pemindahan penduduk keluar areal genangan Waduk Jatigede dan perhitungan hasil usaha tani di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike. Di samping itu, dapat memberi gambaran range perhitungan kebutuhan biaya hidup dan usaha tani yang hilang berdasarkan kondisi empiris di lapangan sekaligus dapat menjadi alternatif dasar pemberian santunan berupa tunjangan kehilangan pendapatan sehingga kebutuhan hidup di lokasi yang baru dapat terpenuhi.
LANDASAN KONSEPTUAL
Dalam konteks pembangunan infrastruktur menurut Yanti, dkk. (2013) dampak sosial ekonomi, dapat dibagi ke dalam dua kategori: positif dan negatif. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak positif pembangunan infrastruktur di lokasi permukiman kembali telah meningkatkan kualitas prasarana dan sarana, seperti kualitas rumah meningkat serta prasarana jalan menjadi lebih baik di lokasi yang baru. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri terdapat kelompok masyarakat yang paling besar merasakan dampak negatif terutama dari sisi penurunan pendapatan (Puslitbang Sosekling, 2014a dan 2014b). Secara konseptual, biaya kebutuhan hidup sering mengacu pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Dalam Permen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, dijelaskan bahwa KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
Namun demikian, dalam tulisan ini biaya kebutuhan hidup bukan diukur pada kebutuhan seorang saja, melainkan dalam satu unit rumah tangga untuk satu bulan. Sementara itu, usaha tani pada dasarnya merupakan salah satu jenis yang diusahakan oleh petani untuk memperoleh hasil atau pendapatan dengan cara memanfaatkan berbagai sumber daya, tenaga, dan modal dalam suatu usaha di bidang pertanian.
Menurut Adiwilaga dalam Isyanto (2012), usaha tani adalah kegiatan manusia mengusahakan lahan dengan maksud memperoleh hasil tanaman atau hewan tanpa mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah yang bersangkutan untuk mendatangkan hasil selanjutnya. Sementara itu, tipologi usahatani dapat dilihat, baik dari sisi pola jenisnya. Dilihat dari sisi polanya, usahatani dapat dibagi dua, yakni usahatani di lahan basah dan usahatani di lahan kering. Sedangkan berdasarkan jenisnya, usahatani dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, yakni usahatani padi, usahatani palawija, usahatani khusus, usahatani campuran, dan usahatani tanaman ganda (Isyanto, 2012).
METODOLOGI PENELITIAN
Kajian perhitungan biaya hidup menggunakan metode kuantitatif. Untuk mengumpulkan data, digunakan teknik survei dengan instrumen kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 22. Selain itu, data dipilah ke dalam dua ukuran kategori, yakni data mengelompok dan data menyebar. Agar informasi dapat menggambarkan populasi yang ada, maka sampel dipilih secara random dengan multistratified random sampling, namun dengan pertimbangan yang dapat menggambarkan heterogenitas sosial ekonomi masyarakat. Untuk lokasi di Waduk Jatigede sampel dipilih secara acak di desa-desa sekitar genangan Waduk Jatigede. Mengingat jumlah desa di sekitar genangan cukup banyak (19 desa yang sebagian tergenang dan 33 desa berbatasan dengan desa yang tergenang), maka dilakukan pemilihan terhadap 9 desa yang dipandang dapat mewakili desa-desa yang mengelilingi Waduk Jatigede (sektor utara, timur, selatan, dan barat). Teknik pemilihan 9 desa dilakukan dengan pola menyebar. Dari populasi dari 9 desa tersebut sebesar 7.316 KK, berdasarkan Rumus Slovin kemudian diperoleh jumlah sampel 102 responden (lebih dari jumlah yang dipersyaratkan Slovin). Untuk lokasi di Jabung Ring Dike sampel dipilih secara acak di 8 (delapan) desa (Mlangi, Mrutuk, Kujung, Simorejo, Sumberejo, Jabung, Dateng,
17
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 15 - 23
dan Gelap) yang dianggap sebagai populasi yang mencakup 2 kecamatan (Widang dan Laren) dan 2 kabupaten (Tuban dan Lamongan). Dari jumlah populasi 8 desa tersebut sebanyak 6.365 kemudian diambil sampel/responden sebanyak 147 orang (lebih dari jumlah yang dipersyaratkan Slovin). Jumlah tersebut didasari oleh pengambilan sampel menggunakan rumus Slovin (Puslitbang Sosekling 2014d dan 2014b), dengan menggunakan nilai kritis 10% atau dengan kata lain tingkat kepercayaan (level of confidience) 90 %, yakni:
dengan jumlah total pengeluaran seluruh responden sebesar Rp 184.009.956. Artinya, setiap responden mengeluarkan biaya secara rata-rata dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebesar Rp 1.804.019 per KK/bulan.
Rumus Slovin:
Di mana:
n : besaran sampel
Gambar 1. Pola Data Jumlah Pengeluaran Responden
e : nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan
b. Rata-rata Kebutuhan Kebutuhan
N : besaran populasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model Perhitungan Biaya Kebutuhan Hidup di Lokasi Waduk Jatigede
Bila dilihat besaran biaya hidup yang dibutuhkan oleh setiap Kepala Keluarga (KK) di sekitar pembangunan Waduk Jatigede, maka dapat dicermati berdasarkan tiga basis. Ketiga basis tersebut dapat dicermati berdasarkan kecenderungan data mengelompok dengan menggunakan rata-rata (mean). Ketiga basis tersebut adalah (a) rata-rata kebutuhan responden, (b) rata-rata kebutuhan responden per desa, (c) rata-rata kebutuhan berdasarkan 6 kategori dengan 25 subkategori.
a. Rata-rata Kebutuhan Berdasarkan Responden Berdasarkan jumlah pengeluaran untuk pemenuhan biaya hidup responden tampaknya cukup bervariasi. Dari 102 responden terdapat rentang pengeluaran yang sangat lebar yakni Rp 376.000 – Rp 6.666.500. Artinya, responden yang pengeluarannya paling rendah sebesar Rp 376.000 per KK/bulan dan pengeluaran paling tinggi sebesar Rp 6.666.500. Adapun pola persebaran jumlah pengeluaran responden dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. Akan tetapi, bila dilihat kecenderungan data mengelompok, hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengeluaran responden diperoleh rata-rata sebesar Rp 1.804.019 dan median Rp 1.618.625
18
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014a
Berdasarkan
Item
Jika dilihat berdasarkan item sebanyak 6 kategori dengan 25 subkategori, terlihat bahwa subkategori kebutuhan yang rendah adalah biaya cukur rambut sebesar Rp 7.893, sedangkan subkategori kebutuhan yang paling tinggi adalah pembelian beras sebesar Rp 277.382 per KK/bulan. Hal ini menunjukkan kebutuhan pembelian beras merupakan salah satu jenis subkategori kebutuhan yang paling besar “menyedot” anggaran belanja rumah tangga penduduk di sekitar pembangunan Waduk Jatigede. Namun demikian, jika dilihat secara keseluruhan, diperoleh rata-rata (mean) setiap subkategori sebesar Rp 1.804.019. Adapun rinciannya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Rata-rata Kebutuhan Berdasarkan Item Kebutuhan Tiap KK per Bulan
No. Uraian Kategori dan Subkategori Kebutuhan I Kebutuhan Sandang 1. Pembelian Pakaian II. Kebutuhan Pokok Sehari-hari 2. Beras 3. Gula Putih/Pasir 4. Kopi, Teh, dan Susu 5. Gula Merah 6. Minyak Goreng 7. Bumbu Dapur 8. Sayur-mayur 9. Lauk-pauk
Rata-rata (Rp) 64.727,88
277.382,35 23.303,92 54.970,59 23.848,04 60.232,84 63.480.39 148.950,98 224.387,25
Alternatif Dasar Perhitungan Pemberian Tunjangan Kehilangan Pendapatan Warga Terkena Dampak Pembangunan Waduk Jatigede M. Andri Hakim dan Andi Suriadi No.
III.
IV.
V. VI.
Uraian Kategori dan Subkategori Kebutuhan 10. Gas Elpiji 11. Biaya Listrik Kebutuhan Pendidikan 12. Biaya Transportasi 13. Biaya kosan/sewa 14. Biaya Alat Tulis dan Pendidikan Kebutuhan Kesehatan 15. Pemeriksaan dan Obat-obatan 16. Sabun Mandi 17. Sabun Cuci 18. Pasta Gigi 19. Kosmetik 20. Cukur Rambut Kebutuhan Dapur 21. Piring, Gelas, Sendok, Garpu, dll. Kebutuhan Sosial 22. Sumbangan Hajatan 23. Biaya Komunikasi 24. Iuran Kemasyarakatan 25. Kerohanian Total
Rata-rata (Rp) 57.553,92 73.995,10
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014a
168.382,35 41.250,00 150.413,37 66.183,00 14.053,92 26.289,22 14.026,96 33.704,73 7.550,17 13.973,18
64.650,47 110.176,47 7.893,36 12.638,69 1.804.019,15
c. Rata-rata Kebutuhan Setiap Desa Jika dilihat berdasarkan kebutuhan per desa, terlihat Desa Sirnasari merupakan desa yang paling rendah dengan rata-rata kebutuhan hidup sebesar Rp 1.382.483, sedangkan yang paling tinggi adalah Desa Cisitu sebesar Rp 2.202.614. Namun demikian, secara umum dari 9 desa diperoleh rata-rata biaya kebutuhan hidup sebesar Rp 1.813.540 per KK/ bulan. Secara visual, variasi rata-rata pengeluaran responden per desa dari yang terkecil sampai terbesar secara berurutan, dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. Rata-Rata Kebutuhan Hidup
Rp.2.500.000.00
Rp. 1,813,540,07
Rp.2.500.000.00 Rp.2.500.000.00 Rp.2.500.000.00 Rp.2.500.000.00
i a n a n h sar ema ujay rasih Des jaga pura eung ggo Ciutu r d J Pa Suka eunt Ran Ke Meka ta Pe i C a r taRa
na Sir
Gambar 2. Grafik Rata-Rata Kebutuhan Hidup Tiap KK per Desa Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014a
Secara spasial, variasi rata-rata pengeluaran responden berdasarkan desa dapat dilihat pada peta berikut ini.
Gambar 3. Peta Rata-Rata Kebutuhan Hidup Per KK per Bulan di Desa-desa Wilayah Studi
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014a
Jika dilihat secara spasial, ada kecenderungan bahwa desa-desa yang berdekatan dengan jalan raya lebih tinggi rata-rata kebutuhan hidupnya dibanding dengan desa-desa yang berada di pelosok. Keberadaan jalan poros dari ibukota Sumedang yang melewati Cisitu, Cienteung, Ranggon, dan Sukapura tampaknya menjadi salah faktor penyebabnya.
Model Perhitungan Analisis Usaha Tani di Jabung Ring Dike Sebenarnya ada berbagai jenis usaha tani yang dikembangkan oleh masyarakat di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike. Namun demikian, secara garis besar yang dominan digeluti sebagai mata pencaharian dan sumber pendapatan keluarga adalah usaha padi dan usaha tambak. Sementara itu, untuk mata pencaharian pendukung (yang bersifat musiman) adalah usaha tanaman rosella, usaha tanaman semangka, dan usaha tananam jagung. a. Usaha Budidaya Padi
Pada umumnya, warga di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike mengandalkan mata pencaharian pada usaha tani khususnya jenis budidaya tanaman padi. Dari 147 responden, ternyata 95 % (petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani) yang mengandalkan sumber mata pencahariannya dari
19
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 15 - 23
usaha budidaya padi. Perolehan panen (gabah) rata-rata setiap desa dari para petani pemilik dan penggarap memiliki variasi, yakni 5,6 – 7,9 ton/ ha dengan rata-rata keseluruhan 6,59 ton/ha. Berdasarkan data lapangan, terlihat bahwa Desa Dateng (5,6 ton/ha) merupakan yang paling rendah, sedangkan Desa Mrutuk (7,9 ton/ha) merupakan desa yang paling tinggi hasil panennya. Hasil panen tersebut, bila dihitung secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa rata-rata petani di 8 desa tersebut memperoleh keuntungan sebesar Rp 16.006.790 per ha sekali panen. Adapun rincian usaha tani padi secara rata-rata dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Rincian Rata-rata Hasil Usaha Tani Padi Satu Kali Panen per Hektar (dalam Rupiah) No.
Uraian
I.
Pengeluaran Rata-rata per ha (dalam rupiah)
a. b. c. d. e. f. g. h. i. II.
Biaya benih/ha Pupuk/ha Pestisida/ha Pengolahan tanah/ha Penanaman/ha Pemupukan/ha Penyiangan/ha Pemberian air/ha Panen/perontokan/ha Penghasilan Rata-rata per ha (dalam rupiah) Hasil panen kotor/ha III. Keuntungan Rata-rata ( II – I) Keuntungan bersih/ha
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014a
Jumlah
1.311.595 1.345.363 2.125.419
Keuntungan rata-rata per desa (4 desa) di atas, bila dilihat secara keseluruhan tentang uraian yang lebih dirinci berupa biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh, dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Rincian Rata-rata Hasil Usaha Tambak Satu Kali Panen per Hektar (dalam Rupiah) No. I.
Uraian Pengeluaran Rata-rata per ha (dalam rupiah)
a. Biaya benih/ha b. Biaya OP/ha II. Penghasilan Rata-rata per ha (dalam rupiah) Hasil panen kotor/ha III. Keuntungan Rata-rata (Rata-rata II – I) keuntungan bersih (Rupiah/ha)
Jumlah
1.427.407 2.439.312 11.051.081 7.184.362
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014b
16.006.790
b. Usaha Budidaya Tambak Ikan Selain usaha tani padi, warga di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike mengandalkan mata pencaharian sebagai petani tambak. Umumnya pola tanam yang diterapkan adalah Padi + Ikan. Artinya, setelah menggunakan sawah untuk padi, pada periode yang kedua mereka mengisi sawah mereka dengan ikan atau sebaliknya. Yang unik di lokasi tersebut adalah lahan mereka tidak dikhususkan untuk tambak seperti halnya daerah pada umumnya, melainkan multifungsi, yakni setelah ditanami padi kemudian diisi ikan atau sebaliknya tergantung ketersediaan air. Dari 147 responden 21 responden yang menjawab melakukan usaha tambak ikan, namun hanya 4 desa, yakni Desa Dateng, Jabung, Mlangi, dan Simorejo.
20
Mengingat jenis ikan dalam satu tambak bervariasi, misalnya bandeng, mas, mujair, dan bader, maka tentu hasil panen pada setiap jenis ikan yang diperoleh tidak sama. Namun demikian, secara umum, berdasarkan data yang ada, dapat dideksripsikan bahwa rata-rata keuntungan bersih dalam usaha tambak sebesar Rp 7.184.362 per ha. Dari keempat desa tersebut, terlihat bahwa Desa Dateng merupakan desa yang terendah rata-rata keuntungannya, (Rp 2.580.000 per ha) sedangkan Desa Mlangi merupakan yang tertinggi keuntungannya (Rp 8.766.305 per ha).
c. Usaha Budidaya Semangka Usaha tani untuk jenis tanaman semangka umumnya ditanam oleh petani pada saat musim kemarau. Jenis tanaman ini kurang produktif atau tidak cocok ditanam pada musim hujan. Dari 147 responden, terdapat 17 orang yang menjawab pernah menanam semangka. Dari usaha tanam semangka, petani mengeluarkan biaya dan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 8.496.563 per ha sekali tanam. Akan tetapi, dari data yang ada, hanya petani dari Desa Mlangi yang menjawab menanam semangka.Untuk melihat detail pengeluaran dan hasil panen, dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 4. d. Usaha Budidaya Rosela
Usaha tani rosella merupakan salah satu jenis tanaman yang juga diminati oleh beberapa warga sekitar pembangunan Jabung Ring Dike. Tanaman ini digunakan sebagai bahan dasar
Alternatif Dasar Perhitungan Pemberian Tunjangan Kehilangan Pendapatan Warga Terkena Dampak Pembangunan Waduk Jatigede M. Andri Hakim dan Andi Suriadi Tabel 4. Rincian Rata-rata Hasil Usaha Budidaya Semangka Satu Kali Panen per Hektar (dalam Rupiah) No. Uraian I. Pengeluaran Rata-rata per Ha (dalam Rupiah) a. Biaya benih/ha b. Biaya OP/ha II. Penghasilan Rata-rata per Ha (dalam Rupiah) Hasil panen kotor/ha III. Keuntungan Rata-rata ( II – I) Keuntungan bersih/ha
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014b
Jumlah
814,898 1,384,671
10,696,132 8,496,563
untuk pembuatan tas. Sebenarnya, tidak banyak petani yang membudidayakan rosella karena dari 147 responden, ternyata hanya 9 responden yang menanam rosella. Dari usaha tanaman rosella ini, rata-rata keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 4.487.892 per ha sekali panen. Adapun rincian pengeluaran dan hasil panen dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Rincian Rata-rata Hasil Usaha Rosela Satu Kali Panen per Hektar (dalam Rupiah) No. I.
Uraian Pengeluaran Rata-rata per ha (dalam rupiah)
Jumlah
a. Biaya benih/ha b. Biaya OP/ha II. Penghasilan Rata-rata per ha (dalam Hasil panenrupiah) kotor/ha III. Keuntungan Rata-rata ( II – I)
1,239,057 2,944,750
Keuntungan bersih/ha
4,487,892
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014b
8,671,699
e. Usaha Budidaya Jagung Usaha budidaya jagung juga menjadi salah satu alternatif bagi warga di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike sebagai sumber mata pencaharian. Tidak banyak responden yang menanam jagung karena dari 147, hanya 7 orang yang menjawab melakukan usaha budidaya jagung. Dari usaha budidaya tanaman jagung ini, rata-rata keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 6.517.500 per ha sekali panen. Rincian mengenai usaha budidaya jagung dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Rincian Rata-rata Hasil Usaha Budidaya Jagung Satu Kali Panen per Hektar (dalam Rupiah) No. Uraian I. Pengeluaran Rata-rata per ha (dalam Rupiah) a. Biaya benih/ha b. Biaya OP/ha II. Penghasilan Rata-rata per ha (dalam Rupiah) Hasil panen kotor/ha III. Keuntungan Rata-rata ( II – I) Keuntungan bersih/ha
Sumber : Puslitbang Sosekling, 2014b
Jumlah
750 1,570.36 8.837.857 6.517.500
Dari kelima usaha tani yang digeluti oleh warga di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike dapat dikatakan bahwa hasil usaha tani yang paling besar adalah budidaya padi, sedangkan yang paling kecil adalah budidaya rosella. Biaya Kebutuhan Hidup dan Analisis Usaha Tani sebagai Alternatif Dasar Pemberian Santunan sebagai Tunjangan Kehilangan Pendapatan
Berdasarkan data dan hasil analisis di atas, kedua model perhitungan di atas menunjukkan bahwa baik di lokasi Waduk Jatigede maupun di lokasi Jabung Ring Dike menunjukkan adanya variasi dalam suatu range. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan pemberian santunan untuk tunjangan kehilangan pendapatan bukanlah hal yang mudah. Bahkan, jika tidak hati-hati akan menimbulkan masalah sosial baru yang justru akan kontraproduktif terhadap upaya percepatan penggenangan Waduk Jatigede dan pembangunan Jabung Ring Dike.
Pada kasus Jabung Ring Dike, dasar pemberian santuan dapat diperoleh dengan melihat seberapa besar pendapatan mereka yang hilang akibat lahan yang selama ini mereka garap digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Dalam konteks ini, analisis usaha tani dapat diterapkan sebagai dasar perhitungan untuk pemberian santuan untuk tunjangan kehilangan pendapatan sebagaimana yang dapat diterapkan di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike. Hal ini disebabkan lokasi pembangunan Jabung Ring Dike (yang diklaim warga sebagai tanah turun-temurun walaupun sebenarnya merupakan tanah yang dikuasai oleh negara) hanya digunakan untuk budidaya tani. Dengan demikian, santunan untuk tunjangan kehilangan pendapatan akibat digunakannya lahan yang selama ini digarap dapat dihitung berdasarkan usaha tani yang mereka geluti selama ini dengan berbagai jenis budidaya usaha tani (Isyanto, 2012).
21
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.8 No.1, April 2016, hal 15 - 23
Akan tetapi, menjadi masalah ketika kelompok sosial lainnya yang tidak mengandalkan mata pencaharian yang berkaitan dengan tanah, misalnya pedagang, karyawan, atau PNS/TNI/Polri (dengan asumsi hanya mengandalkan gaji), maka pendapatan mereka tidak terganggu atau hilang dengan keluarnya dari area genangan. Namun demikian, mereka tetap berhak mendapatkan santunan berupa tunjangan kehilangan pendapatan berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2015. Untuk itu, salah satu jalan keluar adalah melihat bagaimana kebutuhan hidup mereka setelah pindah ke lokasi yang baru. Dalam konteks ini, sebagaimana yang terjadi di Waduk Jatigede, maka tampaknya perhitungan biaya kebutuhan hidup dapat menjadi alternatif pilihan. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang harus diberi santuan sangat besar jumlahnya yang meliputi 28 desa dan 5 kecamatan yang diperkirakan masih ada 10.447 KK di areal genangan. Selain itu, meskipun masih dominan pola mata pencaharian sebagai petani, tetapi ada beberapa KK yang tidak menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, misalnya menjadi pekerja atau buruh di kota dan karyawan/ pegawai. Masalah selanjutnya yang muncul adalah kira-kira berapa lama mereka dapat diberikan tunjangan. Mengacu beberapa hasil riset dan fenomena kehidupan sosial ekonomi terutama di kawasan perdesaan, maka pemberian tunjungan perlindungan pendapatan dapat mengikuti siklus masa tanam untuk jenis tanaman pangan dan palawija dengan pertimbangan sosial ekonomi sebagai berikut:
(a) K elompok yang paling rentan (vurnerable) dalam pengadaan tanah adalah petani, maka sebaiknya dasar rentang waktu pemberian tersebut mengikuti siklus aktivitas yang dilakukan oleh petani dalam memperoleh pendapatan. (b) S iklus aktivitas yang dapat dijadikan acuan adalah siklus waktu yang paling singkat, dalam hal ini petani yang menanam jenis tanaman pangan dan palawija dengan kategori tanaman semusim (bukan jenis tanaman tahunan).
(c) M engingat dominan petani semusim di Jatigede adalah petani padi, maka aktivitas usahatani yang dilakukan selama ± 4 bulan. (d) Karena lahan pertanian pengadaan tanah, maka:
22
mereka
terkena
(1) O tomatis para petani membutuhkan waktu untuk mencari lahan pengganti yang sesuai. Pada umumnya pencarian lahan pengganti sulit dapat dilakukan dalam waktu hitungan hari, maka tentu diperlukan beberapa waktu
lamanya, termasuk mengecek status dan legalitas tanah yang akan dibelinya.
(2) Jika petani belum sempat membeli lahan pengganti, maka pilihan yang dapat ditempuh adalah menjadi penyewa lahan. Secara otomatis juga, waktu untuk mencari lahan yang dapat disewa tidak singkat. Tidak semua orang dengan begitu saja mau menyewakan lahannya kepada pihak lain sehingga diperlukan alokasi waktu mencari lahan, termasuk melakukan negosiasi.
(3) Bila mencari lahan pengganti untuk dibeli sulit, mencari lahan untuk disewa juga sulit, maka peluang yang dapat digunakan adalah menjadi petani penggarap. Artinya, petani mencari lahan dari pemilik lahan untuk dikerjakan dengan sistem bagi hasil. Mencari lahan untuk garapan ini pun tidak mudah karena waktu untuk meyakinkan dan membangun kepercayaan yang tinggi kepada pemilik lahan.
Jika dibandingkan dengan pemberian tunjangan dari World Bank tahun 2007 selama 12 bulan, maka dapat dikatakan pemberian dengan mengikuti siklus tanam lebih singkat, tetapi dibandingkan dengan ADB tahun 2012, maka hal tersebut dapat dikatakan relatif lebih lama. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Merujuk pada data dan analisis di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
(a) Besaran kebutuhan biaya hidup masyarakat di sekitar pembangunan Waduk Jatigede, berdasarkan rata-rata kebutuhan per responden diperoleh angka dengan rentang Rp 1.382.483 – Rp 2.202.614 per KK per bulan.
(b) Berdasarkan hasil analisis usaha tani di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike terdapat 5 jenis tanaman budidaya yang digeluti oleh warga di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike. Hasil keuntungan budidaya terhadap kelima jenis tanaman budidaya tersebut, memiliki perbedaan. Dengan demikian, dapat dibuat rentang (range) keuntungan penggarapan lahan 1 hektar di sekitar pembangunan Jabung Ring Dike dengan menanam berbagai jenis usaha budidaya adalah antara Rp. 4.487.892 - Rp. 16.006.790 per hektar per sekali panen. Jenis budidaya paling rendah rosela dan tertinggi adalah padi. Tinggi nilai budidaya padi terkait dengan kesesuaian tingkat kesuburan tanah
Alternatif Dasar Perhitungan Pemberian Tunjangan Kehilangan Pendapatan Warga Terkena Dampak Pembangunan Waduk Jatigede M. Andri Hakim dan Andi Suriadi dan harga beras yang relatif stabil.
(c) Kebutuhan biaya hidup cukup potensial menjadi dasar alternatif pemberian santunan untuk tunjangan kehilangan pendapatan bagi warga terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede karena selain jumlah KK cukup banyak juga pola mata pencaharian warga cukup heterogen (meskipun tetap dominan petani). Sementara itu, analisis usaha tani cukup potensial menjadi dasar alternatif pemberian santunan khususnya di lokasi pembangunan Jabung Ring Dike karena pola pemanfaatan lahan homogen, yakni hanya untuk bertani.
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat disarankan bahwa penggunaan model perhitungan biaya kebutuhan hidup seperti di Waduk Jatigede dengan tetap mempertimbangkan bahwa masih dominan masyarakat bekerja sebagai petani, maka lamanya pemberian tunjangan kehilangan pendapatan paling tidak, dapat mengikuti siklus tanam. Sementara itu, penggunaan model perhitungan analisis usaha tani seperti di Jabung Ring Dike dapat diterapkan pada kasus yang pola pemanfaatan lahan yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur cenderung homogen.
Besaran range biaya kebutuhan hidup dan hasil analisis usaha tani hanya merupakan gambaran sebagai dasar pemberian terutama pada level yang minimal. Dengan kata lain, dalam rangka menjaga agar kehidupan warga tidak terpuruk, maka pemberian kebutuhan biaya hidup sebaiknya tidak di bawah dari rentang tersebut. Namun demikian, mengingat meningkatnya harga berbagai jenis kebutuhan pokok, maka rentang tersebut dapat berubah seiring dengan tingkat inflasi. Untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas dasar perhitungan tersebut, perlu dilakukan ujicoba dengan mengambil sampel lokasi lain mengingat pembangunan waduk masih terus, bahkan target pembangunan periode 2014-2019 sebanyak 65 waduk. DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank (ADB). 2012. Involuntary Resettlement Safeguards: A Planning and Implementation Good Practice Sourcebook – Draft Working Document. Famuyiwa, Funlalo dan Modupe M. Omirin. 2011. Infrastructure Provision and Private Land Acquisition Grievances: Social Benefits and Private Costs. Dalam Journal of Sustainable Development 4. (6) 6: 169 – 180.
Isyanto, Agus Yuniawan. 2012. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Produksi pada Usahatani Padi di Kabupaten Ciamis. Cakrawala Galuh I. (8). Okada, Heniko dan Arvian Zanuardi. 2015. Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 7 (1) : 1 -13. Omar, Ismail dan Mazlam Ismail. 2009. Kotaka’s Model in Land Acquisition for Infrastructure Provision in Malaysia. Journal of Financial Management of Property and Construction 14. (3) : 194 - 207. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede Puslitbang Sosekling, Balitbang Kementerian PU. 2014a. Laporan Advis Validasi Kebutuhan Biaya Hidup Warga di Sekitar Waduk Jatigede. Puslitbang Sosekling, Balitbang Kementerian PU. 2014b. Laporan Advis Validasi Kebutuhan Biaya Hidup Warga di Sekitar Waduk Jatigede Perhitungan Biaya Konversi Garapan di Tanah Negara Pembangunan Jabung Ring Dike (Tuban – Lamongan, Jawa Timur). Shan, Yusia dan Fangzhou Xia. 2015. The Experience of Foreign Land Readjusment for China’s Construction Land Consolidation. Asian Agriculture Research 7 (7) : 68 – 70. Sudjatmiko, Bambang dan Andi Suriadi. 2010. Faktor-faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol: Studi Kasus pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran – Bawen Kab. Semarang, jawa Tengah. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 2(3) : 177 -185. Suriadi, Andi dan Andri Hakim. 2013. Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 5 (2) : 97 -109. Yanti, dkk. 2013. Dampak Kebijakan Pembangunan Jembatan Suramadu terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat dalam Pengembangan Wilayah Jembatan Suramadu: Studi di Desa Sukolilo Barat Kecamatan Labang Kabupaten Bangkalan. Jurnal Administrasi Publik (JAP)1 (2) . Zhang, Yangjing dan Ruiping Ran. 2011. The Analysis of Land Expropriation Compensation Based on Non-Market Value of Cultivated Land Resources. Journal of Agricultural Science 3 (1) : 233 – 238.
23
24