Aleastri
The Magic Of Little Fairy
The Magic of Little Fairy Oleh: aleastri Copyright © 2010 by Aleastri
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Daftar Isi Prolog Part 1: Kamar no 13 dan kelas 10.2 Part 2: Topeng si pangeran salju Part 3: Cerita dari princess Part 4: Salju itu meleleh Part 5: Soulmate sementara Part 6: Jangan bertengkar lagi Part 7: Ketika rasa itu datang Part 8: Cerita hujan Part 9: Ada apa peri kecil? Part 10: Aku bukan peri Part 11: Special untukmu Part 12: Kau di larang pergi Part 13: Selamat tinggal semua Epilog
3
“Impian terbesarku, bermain musik di panggung internasional, dan membuat ayah ibu bangga karena hal itu…” - Raissa -
Prolog Gadis mungil itu terpaku menatap bangunan besar di depannya. Megah. Mata gadis itu berbinar cerah, membaca tulisan dipapan yang terpajang di depan bangunan cokelat elit tersebut. "INTERNATIONAL SCHOOL OF ART". Sebuah senyuman merekah perlahan di wajah manis gadis itu. Tangan kanannya memegangi tali tas selempang oranyenya, sementara tangan kirinya tetap memegang koper hitam besarnya. Ia menggigit bibir bawah. Menegaskan bahwa ini bukan mimpi. Dan gigitan itu dapat di rasakannya. Ini nyata. Beasiswa yang kuang lebih dua tahun didambakannya, akhirnya ia dapat. Dan setelah lulus dari sekolah menengah pertama, akhirnya ia bisa memasuki sekolah impiannya ini. Tahun ini, peresmiannya sekolah baru itu. Ini memang sekolah seni pertama di Balikpapan. Dan yang membangunnya memang badan internasional. Untuk mencari bakat terpendam anak bangsa dan membawanya ke mancanegara. Yang memasuki sekolah ini hanyalah siswa-siswa pilihan. Dan mereka di wajibkan menjadi murid asrama di sana. Gadis itu, Raissa. Seorang siswi dari salah satu daerah terpelosok di Penajam, kabupaten di seberang Balikpapan. Saat berlibur ke Balikpapan beberapa tahun lalu, ia memang mendapat kabar bahwa akan di bangun sekolah internasional di Balikpapan. Dan sekolah itu adalah sekolah seni. Betapa semangatnya Raissa saat tahu akan hal itu. Ia lalu meminta orang tuanya agar dapat memasuki sekolah itu saat lulus SMP nanti. Tapi karena biaya masuk sekolah itu sangat besar, orang tua Raissa kurang menyetujui. Tapi bukan Raissa kalau tidak berusaha. Ia mendapat informasi bahwa badan pendiri sekolah itu membuka beasiswa. Dan dari saat itu, mati-matian Raissa berjuang agar ia bisa masuk ke sekolah elit ini. TIIINN Klakson sebuah mobil membuat Raissa terlonjak dan berhenti mengagumi bangunan sekolah itu. Ia lalu berbalik, memandang sebuah Mercedes Benz hitam di belakangnya. Sang pengemudi, menatap Raissa datar dari dalam mobil. Ia menekan klakson kembali. Menyuruh Raissa minggir dari tengah jalan tempatnya berdiri. Raissa mengangkat alis sejenak, lalu menggeser tubuhnya. Mercedes hitam itu lalu mulai masuk ke dalam halaman sekolah seni Balikpapan. Raissa menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya mantap. Ia lalu mulai melangkah masuk sambil menggeret koper hitam besarnya. *** Mercedes Benz hitam itu terpakir rapi di salah satu deretan parkiran mobilmobil lainnya. Pemiliknya lalu membuka pintu mobil, dan melangkah keluar. Sepatu kets hitam merahnya mulai terlihat. Dengan celana jins hitam
4
panjangnya dan kemeja merah kotak-kotak lengan panjang. Ia lalu menutup pintu mobil kembali. Laki-laki itu menekan tombol menyalakan alarm mobil, dan mulai melangkah masuk ke dalam bangunan elit di depannya itu. Namanya Farez. Cowok putih jangkung dengan rambut sedikit panjang di belakang leher. Pemuda tampan itu melangkah tenang di koridor sekolah barunya. International School Of Art sudah ramai. Kebanyakan para calon murid datang dan duduk bersama wali mereka masing-masing. Koper-koper besar terlihat di tangan setiap calon murid. Mereka sudah berkumpul di aula sekolah yang luas itu, yang berada di sudut sekolah. Di depan ruangan, terdapat panggung dengan seperangkat alat band di belakangnya. Kursi-kursi berderet rapi dan memanjang ke belakang -yang kini mulai dipenuhi para calon murid dan juga beberapa wali mereka-. Di lantai atas, terdapat balkon yang berisi kursi-kursi juga, untuk menonton dari atas. Aula ini adalah tempat mempertunjukan bakat para muridnya. Seklah seni. Di dalamnya ada seni musik, seni tari, seni vokal, seni drama, dan juga yang lain. Farez berdiri di ambang pintu aula. Ia menatap keseluruhan aula. Aula berdinding merah dengan garis-garis putih itu sudah penuh dengan para murid dan para walinya. Para guru-guru berada di balkon lantai dua, menyisakan banyak kursi kosong. “Misi!” kata seseorang yang sudah berada di belakang Farez membuat Farez tersentak kaget dan menoleh. Kedua mata mereka bertemu. Cewek berambut gelombang di bawah pundak dengan tangan kiri memegangi koper besarnya itu seperti Farez pernah lihat. Farez mengangkat alis. Oh, ya. Dia yang ada di depan gerbang tadi. Cewek itu, Raissa, mendecak karena tidak mendapat respon dari Farez. Ia lalu segera menarik kopernya memasuki aula. Sementara Farez hanya memandangnya dalam diam, tapi kemudian ikut melangkah masuk dan duduk di salah satu kursi. Bu Dwi, kepala sekolah International School of Art, melangkah ke atas panggung. Ia lalu berdiri di depan standing mik yang berada di tengah panggung. Aula hening. Menunggu kepala sekolah itu membuka mulut. Setelah mengucap salam pembuka, sambutan dari kepala sekolahpun di mulai. Raissa menopang dagunya dengan tangan yang di tenggerkan di atas pahanya. Kenapa harus ada sambutan dengan pidato seperti ini sih? Kenapa tidak langsung menuju ke topik pembicaraan? Membosankan. Peresmian sekolah ini sudah berlangsung kemarin. Dengan Bu Dwi yang memotong pita merah di depan gerbang, dan acara-acara lainnya. Dan hari ini, adalah hari pertama di bukanya International School of Art. Bu Dwi mulai menjelaskan kurikulum dan cara pengajaran di sekolah ini. Karena tahun ini adalah angkatan pertama, jadi belum ada kakak kelas. International School of Art adalah sekolah asrama tingkat SMA. Saat masih kelas satu, kelas masih di acak dan belajar seperti biasanya. Tapi saat kelas dua nanti, baru akan di bagi jurusan menjadi kelas musik, kelas tari, dan kelas drama. Sistem pembelajarannya masih sama seperti sekolah lain. Masih
5
mengutamakan Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggirs, Agama, Olahraga, IPA, serta IPS. Mungkin lebih banyak jam pelajaran kesenian. Yang terbagi menjadi seni musik, seni vokal, seni drama, dan seni tari setiap harinya dengan jadwal berbeda setiap kelas. International School of Art terbagi menjadi tiga bangunan. Bangunan di bagian barat, terdapat sekolah seutuhnya. Sementara bangunan timu dan utara, adalah kelas ekskul dan beberapa fasilitas sekolah. Fasilitasnya memang lengkap. Namanya juga sekolah elit. Ada kolam renang, ruang kelas ber-AC, kafetaria, lift menuju lantai atas, ruang musik dengan segala alat musik lengkap, UKS, perpustakaan, masjid, radio sekolah, dapur, dan yang lainnya. Bangunan di bagian barat terbagi menjadi empat lantai. Lantai teratas, lantai empat, terdapat asrama sekolah. Seperti pada umumnya, asrama di bagi menjadi dua. Asrama laki-laki berada di bagian utara, sementara asrama perempuan berada di bagian selatan. Setiap kamar berisikan empat sampai lima murid. Dan di tambah satu kamar mandi di setiap kamarnya. Setiap asrama terdapat ruang tengah untuk berkumpul di tambah satu televisi dan sebuah balkon. Asrama lakilaki di bimbing Pak J, guru olahraga. Sedangkan asrama perempuan di bimbing Bu Ratna, guru tari. Di lantai tiga, terdapat perpustakaan lengkap dengan bukubuku berbagai jenis, radio sekolah, ruang tari, ruang drama, labotarium, dan ruang multimedia. Sedangkan di lantai dua, ruang guru, ruang kepala sekolah, ruang tata usaha, dan beberapa kelas berderet. Di lantai ini sebagian kegiatan belajar mengajar berlangsung setiap harinya. Di lantai satu, juga terdapat deretan kelas, ruang osis, ruang mading, dan ruang BK. Di belakang bangunan barat, terdapat lapangan futsal dan taman sekolah dengan pohon-pohon besar tumbuh di sekitarnya. Di tengah sekolah, terdapat lapangan basket yang juga digunakan sebagai lapangan upacara dan lapangan olahraga yang luas. Bangunan bagian timur, adalah aula besar tempat acara itu berlangsung. Di atasnya terdapat ruang musik yang luas dan juga sebuah ruang vokal. Di belakang bangunan terdapat masjid berlantai satu yang cukup luas. Bangunan bagian utara, terdapat UKS dan kafetaria serta dapur di belakangnya. Bangunan ini hanya bertingkat satu. Di belakangnya terdapat kolam renang untuk olahraga. Bu Dwi menjelaskan tentang peraturan asrama sekolah. Para murid di bolehkan keluar malam dengan batas waktu yang telah di janjikan sebelumnya dan tentu saja di sertai alasan kuat dan jelas. Para murid juga di bolehkan keluar sekolah saat akhir pekan atau hari libur. Bu Dwi menutup penjelasan tentang sekolah baru ini dengan salam pula. Lalu, seorang guru muda sekitar berumur dua puluh lima tahunan, melangkah menuju tengah panggung dan menuju ke standing mik. “Sebagai hiburan, kami akan membawakan sebuah lagu untuk kalian semua,” ucap guru itu sambil tersenyum. Ia Bu Luna, salah satu guru vokal. Pak Gilang, naik ke atas panggung dengan sebuah gitar di tangan. Ia lalu duduk di salah satu kursi yang baru saja di siapkan di atas panggung. Bu Luna duduk di sampingnya. Pak Deni, salah satu guru vokal juga, ikut duduk di samping Pak Gilang.
6
Pak Gilang mulai memetik gitarnya membuat mata Raissa melebar berbinar. Ia lalu mengubah posisi duduk dan memandang tiga guru di atas panggung itu. Petikan gitar Pak Gilang mulai menjadi intro sebuah lagu familiar. Para penonton mulai menikmatinya. Tidak lama kemudian, Pak Deni mendekatkan mulut ke arah mik yang di pegangnya, ia lalu mulai bernyanyi merdu. Raissa tersenyum mengetahui lagu itu. Tanpa Bintang dari Anang dan Aurel. Ayah Raissa sering menyanyikan lagu ini bersama Raissa. Ayah Raissa memang yang menumbuhkan bakat seni ke Raissa. Khususnya musik. Ayah muda itu dulunya adalah vokalis band lokal. Raissa selalu bangga dengan masa muda ayahnya itu. Farez tersentak dan mendongak mendengar lirik lagu yang di nyanyikan Pak Deni. Lagu itu…. Farez menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dan berusaha mencoba tidak mendengar atau tidak tahu menahu tentang lagu itu. Bu Luna mulai bernyanyi dengan suara lembutnya. Guru vokal satu itu pernah menyanyi sampai ke negara luar. Singapura, Brunei, Filipina, dan bahkan Australia. Jadi tidak heran kalau para pendengar suara lembutnya itu mendesah kagum. Mata Raissa sampai bersinar-sinar menatap Bu Luna. Seperti saat Himawaru di serial Sinchan melihat sebuah berlian atau laki-laki tampan. Perpaduan suara Bu Luna dan Pak Deni, di tambah petikan gitar Pak Gilang benar-benar membuat penonton hanyut. Tidak sedikit yang ikut bernyanyi bersama mereka. Tidak dapat di pungkiri, Farez bisa mendengar jelas lagu itu. Walau ia dengan keras mencoba agar tak mendengar, tapi tetap saja lagu itu menancap ke gendang telinganya. Orang yang duduk di sampingnya pun juga ikut bernyanyi kecil. Sebenarnya bukan karena lagu itu ataupun lirik dari lagu tersebut. Tapi mengingat siapa yang menyanyi dan video klip dari lagu tersebut. Pasangan ayah dan anak yang akrab dan dekat. Harus di akui, perasaan iri datang perlahan ke hati Farez. Yang membuat Farez sangat enggan mendengarkan lagu tersebut. Tepuk tangan riuh menggema di aula saat Bu Luna, Pak Deni, dan Pak Gilang mengakhiri aksi mereka. Raissa bertepuk tangan paling heboh sambil berdiri. Farez sedikit melirik ke arah gadis bertubuh anak SMP itu. Sekilas, ada sesuatu di rasakan Farez saat melihat Raissa. Entah apa.
7