Kajian Utama
Tuna-empati, Kelemahan Utama Pemimpin Indonesia Tjipta Lesmana abstract To be a leader, an individual is required to have a number of qualities to ensure the success of the leadership. There are ten qualities that ideally owned by a good leader. However, the one thing that is rarely touched and discussed in relation with leadership is empathy. Imitation and simulation are two ways to practice empathy. Empathy is “understanding so intimate that feelings, thoughts, and motives of one are readily comprehended by another”. As a leader it is important to understand what the people needs, and empathy can make a leadership more effective. In Indonesia, the way the leader raise to power is also effecting the way he/she shows empathy to his/her people. The reality that we have at these past years, every presidential administration ended with bad reputation, this proves that our nation is lack of empathy. We sincerely hope that the current national leader will succeed, absorb aspirations of the people, especially the middle and low level society.
I. Pendahuluan
A
Tjipta Lesmana Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan; Dosen Tamu Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia (SESKO TNI); ex. Anggota Komisi Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); kolumnis.
leader is a person who influences a group of people towards the achievement of a goal”, begitu definisi sederhana tentang pemimpin (leader). Jadi, pemimpin memiliki 3 (tiga) unsur pokok yang bisa disingkat 3P, yaitu, individu (person), orang banyak (people) dan tujuan (purpose, goal). Individu mempengaruhi orang banyak untuk sama-sama bekerja mewujudkan tujuan bersama. Pemimpin ada di mana-mana, dalam lingkup kecil seperti Ketua RT, lingkup sedang seperti menteri, lingkup besar seperti presiden sebuah negara, hingga lingkup paling besar seperti Sekretaris Jenderal PBB. 63
Tjipta Lesmana: Tuna-empati, Kelemahan Utama Pemimpin Indonesia
Masalah kepemimpinan (leadership) sudah sejak ribuan tahun yang lalu menjadi wacana di kalangan para ahli filsafat. Trio filsuf amat kondang pada era Yunani kuno –Socrates, Plato dan Aristotle– membahas panjanglebar tentang pemimpin dan kepemimpinan. Para ahli filsafat Cina kuno idem ditto. Sun Tzu, Kong Tzu dan puluhan lain juga mengajarkan rakyat, bahkan kalangan istana bagaimana menjadi pemimpin yang baik dan dicintai rakyat. Di negeri kita pun, soal kepemimpinan sudah menjadi wacana publik sejak satu abad yang lalu. Setelah RI merdeka pada 17 Agustus 1945, masalah kepemimpinan nasional tiada henti-hentinya menjadi perdebatan nasional? Bagaimana sesungguhnya pemimpin bangsa yang baik, efektif, dan dicintai rakyatnya? Soekarno, Hatta, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri sampai Susilo Bambang Yudhoyono tiada habishabisnya menjadi topik perbincangan ramai, bahkan kontroversial, di kalangan akademisi, pengamat politik sampai orang awam.....
II. Kualitas Pemimpin Untuk bisa jadi pemimpin, invidu dituntut memiliki sejumlah kualitas untuk menjamin keberhasilan kepemipinannya. Tanpa kualitas tersebut, keberhasilan pemimpin dalam menjalankan amanahnya amat diragukan.
64
Penulis telah mempelajari begitu ba-nyak tinjauan tentang kualitas pemimpin yang bisa dikatakan bagus. Kalau dirangkumkan, inilah 10 (sepuluh) kualitas yang perlu dimiliki seorang good leader: 1. Keteladanan. Anak buah biasanya melihat, memperhatikan dan mencontoh perilaku pemimpin. Jika pemimpinnya kotor, anak-buah cenderung melakukan tindakan tercela serupa. Jika pemimpin tidak tegas dan peragu, anak-buah pun akan ikut-ikutan lelet. Maka, pemimpin harus selalu memberikan teladan yang baik kepada anak-buah. 2. Percaya diri. Pemimpin harus punya ‘PD” yang besar. Ia tidak pernah ragu untuk mengambil keputusan mengenai masalah sesulit apa pun; tentu setelah dianalisis secara cermat permasalahan dan terkumpul dulu data serta informasi akurat mengenai masalah itu. 3. Competence/kapabel. Pemimpin, tentu, harus memiliki kompetensi tertentu. Jika ia praktis tidak mengetahui apa-apa, ia akan menjadi pemimpin boneka yang distir oleh orang lain, seringkali oleh wakilnya. 4. Tegas dan konsisten. Pemimpin hebat di seluruh dunia memiliki sifat tegas. Ia tidak bertele-tele dalam mengambil keputusan. Dan sekali keputusan diambil, ia konsisten melaksanakannya, tidak plintat-plintut. Para Presiden Amerika dari Partai Republik, umumnya, sangat diakui dengan kualitas “tegas, berani dan
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
konsisten”. Lihat misalnya, Ronald Reagan, Richard Nixon dan George W. Bush, semua dijuluki “hawk” alias “burung rajawali” karena keberanian dan ketegasannya dalam bertindak terhadap lawan maupun kawan. 5. Berani ambil risiko. Tentu, sebagai manusia, pemimpin bisa salah. Putusan yang diambil bisa meleset dan keliru. Tapi, ini merupakan risiko yang harus diambil seorang pemimpin. Pemimpin yang jelek adalah yang takut mengambil risiko, dan lebih suka mengambil jalan aman atau “jalur popular”. Pemimpin yang tidak ambil risiko adalah pemimpin yang senantiasa dihantui citra. Ia amat takut citranya jatuh. Maka, yang terjadi adalah politik pencitraan. Ia lupa justru citranya anjlok manakala rakyat melihatnya sebagai sosok yang peragu dan penakut untuk ambil risiko.
Ibukota sering banjir dan macet, lalu cepat-cepat melempar wacana memindahkan Ibukota. Ini contoh pemimpin yang melarikan diri dari permasalahan! Kenapa bukan masalah kemacetan dan banjir itu yang sungguh-sungguh dipikirkan, dianalisis, dicarilkan solusinya, lalu get the things done ?! 8. Selalu berpikir analitis. Pemimpin yang baik tidak tipis telinganya, tidak mudah digosok atau dipengaruhi oleh siapa pun, dan tidak pernah mengambil keputusan berdasarkan faktor-faktor irasional. Ia selalu berpikir kritis dan analitis. Ia bukan hanya mampu melihat suatu permasalahan secara keseluruhan, tapi juga mampu break-down ke bagianbagian, hingga yang terkecil pun.
6. Tidak suka ambiguitas Pemimpin yang baik selalu jelas ucapan dan tindakannya, tidak menimbulkan ambiguitas (kebingungan) di kalangan rakyatnya. Pernyataan pemimpin yang selalu terbuka interpretasi, apalagi kebingunan publik adalah pemimpin yang buruk.
9. Tidak menyalahkan anakbuah. Pemimpin yang bagus, kecuali selalu siap ambil risiko seburuk apa pun, tidak suka mencari kambing hitam. Pemimpin yang suka menyalahkan anak-buahnya sendiri adalah pemimpin yang buruk. Apa pun kesalahan anak-buah, pada ahirnya, harus diambil-alih oleh pemimpin. Pemimpin yang memang harus disalahkan, minimal secara moral!
7. Get the things done. Pemimpin baik harus memiliki sifat “get the things done”. Setiap kali menghadapi masalah, ia tampil dimuka, mempunyai dorongan kuat untuk secepatnya menyelesaikan permasalahan itu. Pemimpin yang buruk adalah yang suka lari dari persoalan. Melihat
10. Tidak emosional, tapi “dingin”. Pemimpin, seperti sudah dikatakan di atas, adalah manusia juga. Ia bisa marah, bisa gembira, sedih, stress dan lain sebagainya. Tapi, pemimpin yang bagus adalah yang selalu mampu mengendalikan dirinya dalam situasi apa pun; mampu 65
Tjipta Lesmana: Tuna-empati, Kelemahan Utama Pemimpin Indonesia
menyembunyikan perasaan sesungguhnya. Presiden Soeharto salah satu contoh klasik dalam hal ini. Ia selalu tampak cool, dingin, tenang, tidak emosional walaupun dikritik dan diejek-ejek banyak orang. Ahok, Gubernur Jakarta, adalah contoh kebalikannya: ia telalu sering emosional, suka mengobral amarah di mana pun, bahkan menghardik keras anak-buahnya di depan orang banyak. Pemimpin yang sering sewot bisa kehilangan kemampuannya untuk berpikir kritis dan analitikal dalam memecahkan persoalan. Dan ia pun pasti akan kehilangan respect dari anak-buahnya. Jusuf Kalla kerap diberikan predikat negarawan yang memiliki kepemimpinan yang hebat, sehingga Universitas Indonesia pun 2 (dua) tahun yang lalu “harus” memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Jusuf Kalla karena kepemimpinan efektif yang telah dibuktikannya, khususnya selama ia menjabat Wakil Presiden R.I. 2004-2009. Padahal, Universitas Indonesia tercatat univesitas negeri yang paling “pelit” menganugerahkan gelar Honoris Causa kepada warganegara Indonesia, apalagi warganegara asing. Kenyataan ini berbeda dengan kebanyakan univesitas negeri kita yang suka “mengobral” gelar Doctor Honoris Causa..... Sebetulnya, masih ada satu kualitas pemimpin yang nyaris tidak pernah disentuh dan dibahas oleh para pakar kepemimpinan, empati (em66
phaty). Padahal, faktor empati amat sangat penting bagi keberhasilan seorang pemimpin nasional. Bahkan faktor empati inilah yang membuat banyak pemimpin kita gagal, atau tidak prima kinerjanya —sehingga mengecewakan rakyat— dalam melaksakan misi kepemimpinannya. Tulisan ini akan fokus membahas soal empati dalam kepemimpinan nasional yang efektif.
III. Empati dan Tuna-Empati American Heritage Dictionary mengartikan istilahempathy: “Understanding so intimate that feelings, thoughts, and motives of one are readily comprehended by another”. Bisa dikatakan bahwa empati terjadi manakala “Apa yang dirasakan, dipikirkan dan diinginkan orang lain juga dirasakan, dipikirkan dan diinginkan oleh saya”. Lebih sederhana lagi, empati adalah: - Apa yang Anda rasakan juga saya rasakan, - Apa yang Anda pikirkan juga saya menjadi pemikiran saya, dan - Apa yang menjadi motivasi tindakan Anda juga motivasi tindakan saya. Secara praktis bisa juga dikatakan, saya berpikir, berpendapat dan bertindak sebagaimana engkau berpikir, berpendapat dan bertindak atau “Putting yourself into someone’s else shoes or walking a mile in those shoes”, tulis Prof. Tom Bruneau Dari
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Radford University seperti dikutip oleh Littlejohn and Foss (2009:336337). Empati terjadi manakala “aku dan engkau” seakan-akan menyatu, seiring dan sehati. Empati hanya bisa terjadi manakala hubungan bathin dua manusia sungguh dekat, bahkan “lengket”, sehingga “Aku betul-betul dapat merasakan apa yang dia rasakan, aku dapat menjelajahi alam pikirannya, dan aku dapat memahami apa yang dia pahami tentang permasalahan tertentu”. Teori komunikasi mengajarkan bahwa komunikasi antar-pribadi akan efektif apabila terjadi “shared meaning” antara komunikator dan komunikan. Tentu, kesamaan makna tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang kadang tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang. Kalau komunikator (dalam hal ini pemimpin) memiliki empati atas rakyatnya, maka share-meaning mudah sekali dan cepat terjadi. Kenyataannya, pemimpin kita kerapkali berjarak jauh dengan rakyatnya. Pemimpin sungguh tidak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Fakta ini tercermin dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering tidak dirasakan manfaatnya, bahkan menyengsarakan rakyat. Ketika pemerintah SBY menjelang akhir masa kerjanya menyediakan mobil Mercedes Benz untuk semua
menteri kabinet Jokowi-Jusuf Kalla, itulah salah satu bentuk sederhana dari pemimpin yang tidak punya empati. Bayangkan, untuk menteri-menterinya saja, pemerintah SBY pada 2009 “hanya” menyediakan mobil Toyota Camry buat para menterinya yang akan bekerja dari 2009 hingga 2014. Ketika itu pun sudah timbul heboh di masyarakat. Publik menggugat mengapa menteri naik Toyota Camry yang harganya Rp 1,8 milyar per unit di tengah-tengah sekian puluh juta rakyat yang hidup sangat miskin?1 Di Malaysia, Perdana Menteri dan semua menterinya diwajibkan menggunakan mobil buatan lokal, Proton Saga Khusus untuk Perdana Menteri, 3 tahun yang lalu ketika kami mengunjungi Malaysia, Proton yang disediakan sebagai mobil dinas jenis yang paling mewah seharga kuranglebih Rp 600 juta. Sedang para menteri Indonesia pada waktu yang sama mendapat mobil dinas seharga Rp 1,8 milyar. Padahal Malaysia lebih kaya dan lebih makmur dari Indonesia. Beruntung, Jokowi cepat bereaksi, meminta pemerintah SBY membatalkan pembelian mobil Mercy untuk para menteri. Jokowi minta agar
1
Sial harga Camry, Menteri Keuangan Sri Mulyani kemudian meratat. Kata Sri, Toyota Camry untuk menteri Kabinet SBY jilid II cuma Rp 1,2 milyar, bukan Rp 1,8 milyar setelah harganya dipotong dari bea masuk impor barang mewah yang dibebaskan oleh pemerintah. Sebuah penjelasan abal-abalan! Faktanya, harga mobil itu di pasar memang Rp 1,8 milyar waktu itu! 67
Tjipta Lesmana: Tuna-empati, Kelemahan Utama Pemimpin Indonesia
semua menterinya menggunakan Toyota Camry ex. para Menteri SBY. Konkretnya, mobil bekas. Setelah terjadi polemik yang cukup panas, pihak Sekretariat Negara akhirnya membatalkan tender pembelian mobil Mercy senilai Rp 91 milyar itu. Dan Presiden SBY dalam rapat kabinet 11 September 2014 pun menyatakan telah membatalkan pembelian mobil Mercy itu. (Kompas, 12-09-2014)
IV. Teori Empati Dalam ilmu sosial dan ilmu jiwa banyak dibahas tentang proses empati dan bagaimana seseorang akhirnya bisa berempati pada orang-orang tertentu, baik dalam tindak-tanduk, pandangan maupun keyakinan. Bahkan kaum perempuan pun sering berempati, mengikuti perilaku orang yang disenanginya. Imitation dan simulation adalah 2 (dua) cara kita berlatih untuk berempati. Semenjak kecil tiap-tiap orang cenderung menirukan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh significant others, orang-orang yang dekat dengan kita, khususnya orang tua ketika kita masih kanak-kanak. Perhatikan anak perempuan yang bermainmain seolah ia seorang ibu, lengkap dengan seperangkat mainanya. Ia berusaha menghayati peran ibu, lalu melaksanakan peran itu dalam imaginasinya. Jika proses ini berlangsung lama, tanpa kita sadari, anak perempuan itu akan berperilaku dan berpandangan seperti ibunya. 68
Role-playing juga cara populer melatih dan memupuk empati. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita kerap memiliki tokoh idola. Jika proses interaksi tidak langsung dengan tokoh idola itu berlangsung lama, kita pun akan “seperti dia dalam segala aspek kehidupan”. Tanpa sengaja, di mana pun kita memainkan peran tokoh idola itu dalam berbagai kesempatan. Lihatlah gaya berpidato Prabowo Subianto. Jelas sekali, ia berusaha meniru gaya pidato Bung Karno. Aksentuasi suara, intonasi suara, gaya non-verbal, pengualangan kata-kata dan kalimat, bahkan cara berpakaian dan berkopiah pun, Prabowo memiripkan dirinya dengan Bung “Karno. Prabowo benar-benar menghayati image Bung Karno. Prabowo seperti “masuk” dalam sosok Bung Karno. Konsep kepemimpinan dan konsep pembangunan yang kerap didengung-dengungkan dalam kampanye pemilu yang lalu seolah-olah replikasi dari Soekarno! Dalam situasi demikian, kita bisa mengatakan bahwa shared-meaning, imitation, simulation, dan role taking Prabowo terhadap Bung Karno nyaris sempurna...... Publik pun mendapat kesan kuat kalau mau tahu Bung Karno, lihat saja penampilan Prabowo ketika berkampanye politik. Jelas sekali, empati sangat tergantung pada tokoh yang Anda idolakan, tokoh yang Anda tirukan. Jika Anda meniru, atau mengidolakan tokoh seperti Jengis Khan, maka Anda pun
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
akan tampil seperti Jengis Khan. Jika Ahmadinejad yang Anda terus-menerus mainkan perannya (role-taking), maka tanpa disadari semua aspek kehidupan Anda akan mirip-mirip mantan Presiden Iran itu.
miskin. Ia pun cenderung anti-orang kaya.
Fenomena empati mempunyai kemiripan dengan interaksi simbolisme (symbolic interactionsm, SI). Teori SI mengajarkan bahwa (a) manusia bertindak terhadap sebuah obyek sosial selalu dipengaruhi oleh makna obyek sosial itu bagi dirinya. (b) Makna obyek banyak ditentukan oleh interaksi sosial yang Anda sering lakukan terkait obyek itu, dan (c) makna obyek tidaklah konstan, tapi bisa berubah berdasarkan proses inperpretif. Jika Anda terus-menerus berinteraksi dengan obyek X –baik interaksi langsung maupun tidak langsung, seperti lewat buku, tontonan film atau cerita dari orang lain– maka Anda dipastikan akan memberikan makna positif terhadap obyek tsb. Bukan hanya positif, lama-kelamaan Anda pun akan menirukan segala asek kehidupan X, apabila obyek X adalah orang.
Di Amerika, presiden dari Partai Demokrat biasanya lebih berempati pada orang miskin, kaum Black American, Latino dan kelompok perempuan. Kebijakan-kebijakan publiknya selalu pro kelas menengah ke bawah. Mengenai pajak penghasilan, misalnya, Presiden Obama berusaha “memeras” orang kaya dengan mengenakan pajak penghasilan yang tinggi. Hasil dari pajak itu, sebagian besar, kemudian diberikan kepada kaum menengah ke bawah dalam berbagai bentuk public services, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan lain-lain.
Teori SI juga mengajarkan jika seseoran sehari-hari dan selama puluhan tahun bergaul dengan lingkungan kaya, boleh jadi ia tidak lagi mempunyai kepekaan terhadap kesusahan komunitas miskin. Sebaliknya, jika selama puluhan tahun ia bergaul akrab dengan orang-orang kelas bawah, ia akan bersimpati, bahkan selalu siap menolong orang-orang
V. Empati dan Kepekaan Pemimpin
Sebaliknya, kebijakan-kebijakan pemimpin dari Partai Republik selalu berkiblat ke orang kaya, dan kaum industriawan. Mereka cenderung menentang bantuan gratis kepada kaum papa. Terhadap industri militer, mereka menggenjot habis. Maka, kebijakan luar negeri pemimpin Republik selalu memperlihatkan wajah keras (hawk) dan non-kompromistis, mereka bahkan “senang” perang..... Empati mereka terhadap kaum papa dan kaum minoritas sangat kurang. Bagaimana di Indonesia? Kecuali faktor-faktor psikologis dan sosiologi yang disinggung di atas, cara pemimpin berempati kepada 69
Tjipta Lesmana: Tuna-empati, Kelemahan Utama Pemimpin Indonesia
rakyatnya, tampaknya, juga dipengaruhi oleh bagaimana ia naik dalam singgasana kekuasaan. Sebagaimana kita ketahui, kepemimpinan tidak pernah lepas dari konteks sosial-politik ketika itu. Kepemimpinan seseorang, termasuk empatinya kepada rakyat dipengaruhi juga dengan cara ia naik ke kursi kekuasaan. Maka, perlu dibahas sedikit bagaimana 6 (enam) pemimpin Indonesia naik ke panggung kekuasaan.
VI. Bagaimana Mereka Berkuasa Soekarno sosok born to be a leader, atau a leader by nature. Sejak berusia 20 tahun ia sudah berjuang, dan keluar-masuk penjara. Ia sangat anti-penjajah, sangat mencintai rakyatnya. Sejak muda ia sudah memperlihatkan tanda-tanda bakal pemimpin bangsa Indonesia. Berdasarkan perjuangannya yang keras melawan kaum penjajah dan interaksinya dengan banyak pemimpin dunia, Soekarno muncul sebagai pemimpin nasional yang berani (termasuk tidak takut mati), keras kepala, berani mengambil risiko dan memiliki empati kuat terhadap kesengsaraan rakyatnya. Soeharto adalah a leader by situation. Soeharto tampil ke panggung kekuasan Indonesia karena kepiawaiannya memanfaatkan situasi politik pasca-G30S/PKI. Setelah Menteri/ Panglima Angkatan Darat Letnan
70
Jenderal A. Yani tewas dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal A.H. Nasution luka cukup serius, hanya Soeharto perwira tinggi Angkatan Darat yang terisa untuk memimpin Angkatan Bersenjata. Ia tidak menyia-nyiakan peluang itu, dan segera saja mengambil-alih kekuasaan. Tapi, Soeharto berkuasa tidak lepas dari bantuan Amerika, sehingga selama 30 tahun lebih berkuasa, ia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh Washington. Akibatnya, empati Soeharto pada rakyat tidak kuat. Begitu banyak kebijakan perekonomiannya yang kapitalistis dan lebih menguntungkan kelompok kaya dan asing. Sentimen anti-asing dan kesenjangan antara kaya-miskin akhirnya memberikan kontribusi paling besar bagi gerakan menjungkir-balikkan regime Soeharto yang mencapai klimaks pada 21 Mei 1998 ketika ia mengumumkan pengunduran dirinya. BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputri adalah 2 (dua) leaders by constitution, sosok yang otomatis menjadi Presiden, setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri karena tekanman dahsyat dari rakyat dan Gus Dur diturunkan oleh MPR, mengingat kedudukan mereka sebelumnya sebagai Wakil Presiden. Habibie orang genius, hampir 20 tahun tinggal di Jerman (Barat). Dua faktor ini membuat Habibie kurang dekat dengan rakyat. Kebijakan Habibie tentang referendum Timtim yang berujung pada lepasnya Timtim dari
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
NKRI merupakan indikasi kuat kurangnya empati pemimpin kita yang satu ini dengan rakyat. Perihal Bu Mega, statusnya sebagai puteri tertua Pemimpin Besar Rakyat, Soekarno, berakibat Mega tidak pernah hidup susah, sangat berbeda dengan kehidupan Bapaknya. Akibatnya, kebijakan-kebijakan pemerintah Mega juga kurang berorientasi pada rakyat awam. Penjualan BUMN-BUMN blue-chips dan pasca penyelesaian lewat BPPN menuai kritik keras dari banyak kalangan. Bagaimana dengan SBY? SBY adalah a leader by people, pemimpin yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. Bahkan SBY satusatunya (sampai 2004) pemimpin nasional yang dipilih langsung oleh rakyat. Maka, legitimasinya tinggi. Tapi, empati SBY pada rakyat juga tidak kuat. Kebijakan impor yang sangat massif, kejahatan korupsi yang semakin menggurita meski ditindak keras oleh KPK, terjeratnya pemerintahan dalam jebakan utang besarbesaran, regime subsidi BBM yang lost control dan kesenjangan kaya-miskin yang jauh lebih besar dibandingkan era Soeharto akhirnya membuat SBY dipinggirkan oleh rakyat. Popularitasnya menjelang Pilpres 2014 turun amat drastis. Semua itu terbukti dari perolehan suara Partau Demokrat dalam Pilpres 2014 yang hana berkisar 10%.
VII. Jokowi dan Tingkat Empatinya Kecuali Soekarno, 5 (lima) pemimpin nasional kita yang lain mengakhiri kekuasaannya dengan nama yang kurang harum, kalau kita mau jujur. Hal itu terjadi karena mereka memimpin dengan kadar empati yang kurang, atau kurang merakyat, sehingga sebagian besar rakyat kurang merasakan manfaat kepemimpinan mereka. Kalau dikatakan mereka pemimpin yang tuna-empati, tudingan itu mungkin terasa berlebihan. Soekarno sebenarnya juga jatuh in disgrace, penuh kedukaan. Tapi, kejatuhan Soekarno disebabkan konspirasi politik jahat dari berbagai kekuatan politik anti-Soekarno dibawah kepemimpinan militer dengan Jenderal Soeharto sebagai tokoh sentralnya. Joko Widodo adalah Presiden Indonesia ke-7. Sama seperti SBY, Jokowi juga a leader by constitution, pemimpin yang memenangkan pertempuran dengan bedarah-darah melalui proses pemilihan presiden yang panjang, alot dan menegangkan. Bagaimana kira-kira kadar empati Jokowi pada rakyat Indonesia nanti? Jokowi memiliki kualitas kepemimpinan yang berbeda dibandingkan dengan 6 (enam) presiden sebelumnya. Ia sosok yang merakyat, gemar blusukan, dan sederhana penampilannya, tutur kata maupun kehidupannya. Maka, dari perspektif
71
Tjipta Lesmana: Tuna-empati, Kelemahan Utama Pemimpin Indonesia
empati, Jokowi dipastikan paling kuat/paling besar, sampai ketika tulisan ini disusun, 12 September 2014. Bagaimana dalam perjalanan pemerintahannya lima tahun ke depan, wallahualam..... Masih harus dibuktikan. Tapi, penulis percaya ada harapan besar Jokowi bakal menjadi pemimpin Indonesia yang berhasil. Berhasil terutama dari sudut-pandang kemampuannya menyerap aspirasi dan mewujudkan aspirasi rakyat, khususnya rakyat kelas menengah ke bawah. Harapan kita, Jokowi benar-benar sudah menghayati kesulitan hidup rakyat Indonesia. Hal itu harus dibuktikan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahnya yang berorientasi pada kalangan bawah, tidak mengedepankan ke-
pentingan kelompok pedagang besar, apalagi pihak asing. Jika ia dan Jusuf Kalla konsisten menjalankan visi-misi dan program kerja yang kerap didengungkan dalam kampanye-kampanye pemilunya, mereka sungguh akan dieluk-elukkan rakyat pada akhir kepemimpinannya. Dalam keadaan demikian, Jokowi memiliki peluang besar untuk terpilih lagi pada pemilihan presiden 2019. Sebaliknya, Jokowi akan mengalami nasib serupa dengan Soeharto, Megawati, SBY dan pemimpin Indonesia lainnya yang turun dengan legacy jelek manakala ia gagal total berpihak dan berempati – alias tuna-empati — pada lebih dari 100 juta rakyat Indonesia yang sehari-hari harus bergelut dengan kesulitan hidupnya!.
Daftar Pustaka Baldoni, John. GreatCommunication Secrets of Great Leaders. New York: McGraw-Hill, 2003. Barnes, Jonathan (ed.). The Complete Works of Aristotle. The Revised Oxford Translation. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1984. Curtis, Michael (ed.). The Great Political Leaders. Vol. 1. New York: An Avon Library Book, 1961. Descartes, Rene. Meditations and Other Metaphysical Writings. New York: Penguin Books, 2000. Gardner, John W. On Leadership. New York: The Free Press, 1990. Lesmana, Tjipta. Dari Soekarno sampai SBY. Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009. Littlejohn, Stephen W., Karen A. Foss. Encyclopedia of Communication Theory. Thousand Oaks, California: SAGE Publication Inc., 2009. Manning, George & Kent Curtis. The Art of Leadership. Boston: McGrawHill Irwin, 2007. Masciulli, Joseph, Mikhail A. Molchanov, W. Andy Knight. “Political Leadership in Context” dalam jurnal The Ashgate Research Companion to Political Leadership. Diundu: 10-09-2014. 72