AL-QURAN DAN KONSERVASI LINGKUNGAN (Suatu Pendekatan Maqâsid al-Syarî’ah)
TESIS Diajukan Kepada Program Magister Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Agama Islam (M.Ag)
Pembimbing Dr. Abd. Moqsith Ghazali, M.Ag Dr. M. Suryadinata, M.A
Disusun oleh Mamluatun Nafisah NIM: 21140340000003
PRODI KONSENTRASI TAFSIR PROGRAM MAGISTER FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 1438/2017
i
gkjkjhkjhkhklh
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur alhamdulillah kepada Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, dengan judul Al-Quran dan Konservasi Lingkungan (Suatu Pendekatan Maqâsid alSyarî’ah), yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Konsentrasi Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad saw., juga kepada keluarga, para sahabat, dan pengikut setia hingga akhir zaman. Dalam kesempatan ini penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam
menyelesaikan
tesis
ini.
Karena
itu,
pertama-tama
saya
ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pembimbing I, Dr. Abd. Moqsith Ghazali, M.Ag, yang dengan sangat teliti mengoreksi dan berdiskusi mengenai substansi dari isi penulisan tesis ini, sehingga menghasilkan suatu karya ilmiah yang layak. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada pembimbing II, Dr. M. Suryadinata, M.A, yang memberikan penguatan argumen dalam tesis ini. Juga kepada para penguji; Dr. Yusuf Rahman, M.A, Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A, Dr. Bustamin, M.Si. Terima kasih juga saya sampaikan kepada pimpinan Program Magiter Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Atiyatul Ulya, M. Ag, dan Sekretaris Program Magiter Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Drs. Maulana, M.Ag.
v
Penulisan tesis ini, harus saya akui, menjadi mungkin karena berkat bimbingan yang selama ini saya terima dari sejumlah guru dan dosen, seperti; Prof. Dr. M. Darwis Hude, M.Si, Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A, Dr. Syamsul Bahri Tanrere, MA, dan Dr. Muhammad Ulinnuha Khusnan, M.A. Berkat mereka, saya belajar banyak mengenai bagaimana membuat sebuah karya ilmiah yang layak, melalui event-event Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), baik tingkat Provinsi maupun Nasional. Kepada mereka saya sampaikan terima kasih. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman angkatan 2014 Konsentrasi Tafsir Hadis Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Mabrur, Azwar, mba Zukhruf, Helmi, Fasjud, Masrukhin, dan kang Wahyudi atas dukungan dan semangat yang telah diberikan selama ini. Dengan penuh cinta dan kasih, penulis sampaikan terima kasih kepada orang tua, Bapak M. Mughni Labib (Alm), Ibu Nur Hidayah, dan Bapak Asrori, karena berkat bimbingan dan dukungannya, baik moril ataupun materil, tesis ini bisa diselesaikan. Untuknya, saya berdoa agar Allah tetap memberinya kesehatan, agar kuat beribadah dan mampu menjalankan amanah yang diberikan kepadanya dengan penuh kesabaran. Dan penghargaan yang terindah, tentu saya alamatkan kepada Miftakhul Arif al-Mahbub, M.Pd, karena telah menjadi sumber dukungan, terutama pada saat sulit dan berat sepanjang penulisan tesis ini. Kepadanya, tesis ini saya persembahkan. Ciputat, 14 Maret 2017 Penulis
Mamluatun Nafisah
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku Pedoman Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2012 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Konsonan Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ا
alif
tidak dilambangkan
ب ث د ج ح ر د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ
ba‟ ta‟ tsa‟ jim ha kha dal dzal ra zai sin syin sad dad ta za „ain
tidak dilambangkan b t ts j ẖ kh d dz r z s sy s ḏ ṯ ẕ
ع غ ف ق ك ه م ى و
ghain
ʹ
be te te dan es je ha (dengan garis di bawah) ka dan ha de de dan zet er zet es es dan ye es (dengan garis di bawah) de (dengan garis di bawah) te (dengan garis di bawah) zet (dengan garis di bawah) koma di atas menghadap ke kanan ge dan ha
lam mim
gh f q k l m
nun
n
en
wau
w
we
fa‟ qaf kaf
vii
ef qi ka el em
ه ء ي
ha
h
ha
hamzah
` y
apostrop
ya‟
ye
2. Vocal Vocal Tunggal Tanda َ َ َ
Nama fathah kasrah dammah
Huruf Latin a i u
Nama a i u
Nama fathah dan ya fathah dan wau
Tanda Vocal Latin ai au
Keterangan a dan i a dan u
Nama fathah dan alif kasrah dammah
Tanda Vocal Latin â î û
Keterangan a (dengan topi di atas) i (dengan topi di atas) u (dengan topi di atas)
Vocal Rangkap Tanda َي َو
3. Maddah Tanda َا َي َو
4. Kata Sandang Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu “ ”اهdialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
viii
5. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( َ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tandah syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضَّرورةtidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
6. Tâ’ Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tâ’ marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na„t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: No 1 2 3
Kata Arab طريقت الجاهعت اإلسالهيت وددة الىجىد
Alih Aksara tarîqah al-jâmi„ah al-islâmiyyah Wahdat al-wujûd
7. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
ix
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
x
Kata Arab
Alih Aksara
ذهة اْلسخاذ ثبج اْلجر الذرمت العصري َّت أشهد أى َل إله إ ََّل هللا هىَلنا هلل الصالخ يؤثِّرمن هللا الوظاهر العقليَّت اآلياث النىنيَّت الضَّرور حبيخ الوذظىراث
dzahaba al-ustâdzu tsabata al-ajru al-harakah al-„Asriyyah asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh Maulânâ Malik al-Sâlih yu‟atstsirukum Allâh a-mazâhir al-„aqliyyah al-âyât al-kauniyyah al-darûrat tubîhu al-mahzûrât
xi
ABSTRAK Mamluatun Nafisah, “Al-Quran dan Konservasi Lingkungan (Suatu Pendekatan Maqâsid al-Syarî’ah)”, tesis Konsentrasi Tafsir Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam perspektif alQuran tentang konservasi lingkungan. Penelitian ini berbentuk library research, dengan sumber primer al-Quran dan kitab-kitab tafsir (klasik maupun kontemporer). Sementara sumber sekundernya adalah buku-buku, jurnal, dan artikel yang terkait dengan obyek penelitian ini. Metode yang dipakai adalah metode maudu’i, dengan pendekatan maqasîd al-syarî’ah. Pendekatan ini digunakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana teknis operasional pemanfaatan potensi bumi dan sejauh mana kadar dikatakan berlebih-lebihan, dengan lebih menitikberatkan pada kemaslahatan. Lingkungan merupakan sebuah lingkup di mana manusia hidup, baik yang bersifat dinamis seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, maupun yang statis seperti alam (tabî’ah) yang diciptakan Allah Swt. dan industri (sinâ’iyyah) yang merupakan kreasi manusia. Dalam menyikapi lingkungan, al-Quran menggariskan nilai dasar dan hukum praktis yang substantif dalam pengelolaannya, meliputi prinsip yang mendasari pemanfataan potensi bumi dan prinsip pemeliharaannya. Dalam rangka memanfatkan potensi bumi, al-Quran memerintahkan manusia untuk melakukan ‘imârat al-ard,(huwa ansya’akum min al-ard wasta’marakum fîhâ) yaitu menjadikan bumi atau lingkungan sebagai media mewujudkan kemaslahatan hidup makhluk secara keseluruhan di muka bumi. Al-Quran memerintahkan kepada manusia untuk menggali potensi bumi (fantasyirû fî al-ard wabtaghû min fadl al-Allâh) agar dapat memberikan manfaat untuk kehidupannya. Untuk itu, agar tetap memberikan kemaslahatan (sesuai dengan tujuan penciptaannya), manusia dalam memanfaatkan potensi bumi, tidak diperkenankan mengeksploitasinya secara sewenang-wenang, terutama sumber daya umum yang tidak dimiliki perorangan (al-muslimûn syurakâ’ fî tsalâtsin fî al-kalâ’ wa al-mâ’ wa al-nâr). Aset-aset publik merupakan benda-benda umum yang Allah berikan untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan, baik untuk memenuhi kebutuhan darûriyyah maupun hâjiyah-nya. Oleh karena itu aktivitas privatisasi merupakan bentuk penindasan hak asasi manusia (HAM) atas sumber daya umum, karena bertentangan dengan maqâsid al-syarî’ah yang menitikberatkan pada hifz al-mâl. Sementara prinsip pemeliharaannya, al-Quran menekankan pentingnya memperlakukan lingkungan dengan baik (anna al-arda yaritsûhâ ‘ibâdiya alsâlihûn). Salah satu prinsip yang mendasari hubungan antara manusia dengan alam adalah semua makhluk mempunyai status hukum muhtaram (wa mâ min dâbbatin fî al-ard wa lâ tairin yatiru bi janâhaihi illâ umamun amtsâlukum), yakni dihormati eksistensinya dan dilarang membunuh ataupun merusaknya. AlQuran dengan sangat tegas melarang manusia melakukan kerusakan di bumi (wa lâ tufsidû fi al-ardi ba’da islâhihâ), terlebih tindakan tersebut akan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan, sehingga akan mempengaruhi kualitas
xii
kehidupan manusia. Larangan ini menjadi jelas, jika dianalisis melalui pendekatan maqâsid al-syarî’ah; pertama, hifz al-dîn (menjaga agama), artinya perilaku perusakan lingkungan sangat mengancam keagamaan seseorang, baik dari segi akidah maupun dalam pelaksanaan yang menjadi kewajibannya. Kedua, hifz alnafs (menjaga jiwa), artinya perilaku perusakan lingkungan akan mengancam jiwa, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti terpenuhinya kebutuhan air, udara, dan pangan. Apabila kebutuhan dasar tersebut tidak terpenuhi, baik secara kualitas maupun kuantitas, maka kehidupan itu sendiri akan terancam eksistensinya dan terganggu kesehatannya. Ketiga, hifz al-nasl (melindungi keturunan), artinya perilaku perusakan lingkungan mengancam keberlangsungan hidup generasi manusia, Keempat, hifz al-‘aql (menjaga akal), artinya perilaku perusakan lingkungan akan mengancam akal seseorang. Banyak orang kehilangan kesadarannya setelah dilanda bencana. Kelima, hifz al-mâl (menjaga harta), artinya perilaku perusakan lingkungan akan mengancam harta seseorang. Singkatnya, segala prilaku yang mengarah kepada perusakan lingkungan, semakna dengan perbuatan mengancam agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Sebagai mandataris Tuhan di bumi (innî jâ’il fî al-ard khalîfah), amanat pengelolaan lingkungan hendaknya dibaca dalam kerangka istikhlâf (tugas kekhalifahan), yaitu mengantarkan alam memenuhi tujuan penciptaannya. Sehingga, pengelolaan lingkungan yang dapat mendatangkan maslahah (kebaikan), maka hal itu dibolehkan, bahkan diwajibkan. Sementara pengelolaan yang dapat menghilangkan fungsi penciptaannya yaitu menimbulkan mafsadah (kerusakan), maka hal itu dilarang, bahkan diharamkan. Pelakunya berhak mendapat hukuman dan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Karena pada prinsipnya, lingkungan menjadi kata kunci dalam membangun tatanan masyarakat yang religius. Begitupun tentang hak dan kewajiban selalu terkait dengan lingkungan alam sekitar. Kewajiban memeliharanya berbanding lurus dengan pemeliharaan tujuan pokok syariat Islam (memelihara agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta). Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan pemeliharaan lingkungan menjadi doktrin utama (usûl) syariat Islam. Hasil penelitian ini menguatkan kesimpulan yang diberikan oleh beberapa pengkaji sebelumnya, seperti Yusuf al-Qardawi yang berusaha membangun sebuah paradigma fikih berbasis lingkungan yang sarat dengan akhlak. Hal senada juga dilakukan oleh Ali Yafi dan Mudhofir Abdullah yang dengan argumennya ingin menjadikan pemeliharaan lingkungan sebagai bagian dari maqâsid alsyarî’ah dengan menambahkannya menjadi enam. Namun, yang perlu digarisbawahi di sini, dalam penelitian sebelumnya tidak dijelaskan bagaimana teknis operasional pemanfaatan potensi bumi dan sejauh mana kadar dikatakan berlebih-lebihan dalam eksplorasinya.
xiii
ABSTRACT Mamluatun Nafisah, "Al-Quran and Environmental Conservation (Maqâsid al-Syarî'ah Approach)", thesis Concentration Interpretation Master Program in the Faculty of Islamic Theology UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, in the Year 2017 This research aims to determine the Quran in depth perspective about environmental conservation. This research is library research, the primary source of the Quran and books of tafsir (classical and contemporary). While secondary sources are books, journals, and articles related to the object of this research. The method used is a method maudu’i, with the approach of maqasîd al-syarî’ah. This approach is used in order to determine the extent to which technical and operational utilization of the earth and the extent to which content is said to be exaggerated, with more emphasis on welfare. The environment is a sphere in which man lives, whether they are dynamic such as humans, animals, and plants, as well as static as nature (tabî'ah) created by Allah. and industrial (sinâ'iyyah) which is a human creation. In addressing the environment, the Quran outlines the basic values and practical substantive law in its management, including the principle underlying the utilization potential of the earth and the principle of maintenance. In order to take advantage of the potential of the earth, the Quran commands people to do the ‘imârat al-ard,(huwa ansya’akum min al-ard wasta’marakum fîhâ) that made the earth or the environment as a medium to realize the benefit of overall living creatures on earth. The Quran commands human to explore the potential of the earth (fantasyirû fî al-ard wabtaghû min fadl al-Allâh) in order to provide benefits for life. Therefore, in order to keep providing the benefit (in accordance with the purpose of its creation), man to harness the potential of the earth, are not allowed to exploit it arbitrarily, especially common resources that are not owned by individuals (al-muslimûn syurakâ’ fî tsalâtsin fî al-kalâ’ wa al-mâ’ wa al-nâr). Public assets are common objects that God has given for the benefit of humanity as a whole, both to meet the needs of its darûriyyah and hajiyyah. Therefore, privatization activity is a form of oppression of human rights on common resources, as opposed to maqâsid al-syarî'ah which focuses on hifz al-mâl. While the principle of its maintenance, the Quran emphasizes the importance of treating the environment well (anna al-arda yaritsûhâ ‘ibâdiya alsâlihûn). One of the principles underlying the relationship between humans and nature are all beings have legal status muhtaram (wa mâ min dâbbatin fî al-ard wa lâ tairin yatiru bi janâhaihi illâ umamun amtsâlukum), which honored its existence and should not kill or hurt it. Quran very firmly forbidden them to damage the earth (wa lâ tufsidû fi al-ardi ba’da islâhihâ), especially those actions will have an impact on environmental degradation, so it will affect the quality of human life. This prohibition became clear, when analyzed through maqâsid approach al-syarî'ah; First, hifz al-dîn (keeping religion), meaning that the behavior of the environment is very threatening a person's religious, both in terms of faith as well as in the implementation of which it was his duty. Second, hifz al-
xiv
nafs (keeping the soul), meaning that the behavior of the environment will be lifethreatening, especially in order to meet their basic needs, such as the requirement for water, air, and food. When basic needs are not met, both in quality and quantity, then life itself would be threatened their existence and their health impaired. Third, hifz al-nasl (protecting offspring), meaning that the behavior of environmental destruction threatening the survival of human generation, Fourth, hifz al-'aql (keep sense), meaning that the behavior of the environment will threaten the reasonable person. Many people lost consciousness after being hit by the disaster. Fifth, hifz al-mâl (maintain the property), meaning that the behavior of environmental destruction would threaten someone's property. In short, all the behaviors that lead to destruction of the environment, to convey the same threatening acts of religion, life, lineage, intellect, and property. As the mandatory of God on earth (innî jâ’il fî al-ard khalîfah), environmental management mandate should be read within the framework of istikhlâf (task Caliphate), which deliver natural fulfill the purpose of creation. Thus, environmental management can bring maslahah (goodness), then it is permissible, even obligatory. While management can eliminate the function of creation which cause mafsadah (damage), it is prohibited, even forbidden. The culprit is entitled to penalties and sanctions in accordance with the level of errors made. Because, in principle, the environment became the keywords in order to build a religious community. As well as the rights and obligations are always linked to the surrounding natural environment. Liabilities directly proportional to the care of the maintenance of the ultimate goal of Islamic law (preserve religion, life, lineage, intellect, and property). So it is not an exaggeration to say to preserve the major doctrines (usûl) of Islamic law. The results of this research reinforce the conclusions given by some previous reviewers, such as Yusuf al-Qaradawi is trying to build an environmentbased paradigm of fiqh are loaded with character. The same thing was done by Ali Abdullah Yafi and Mudhofir want to make the argument that the maintenance of the environment as part of maqâsid al-syarî’ah by adding them to six. However, that should be highlighted here, the previous studies have not explained how the technical and operational utilization of the earth and the extent to which content is said to be effusive in his exploration.
xv
الملخص مملوءة النفيسة" ,القرآن والحفاظ على البيئة :بحث من منظور مقاصد الشريعة" ،أطروحة برنامج الماجستير ،تركيز التفسير في كلية أصول الدين في جامعة شريف هداية اهلل في جاكرتا ،سنة .7102 يهدف ىذا البحث اىل معرفة القيم القرآنية للحفاظ على البيئة .واعتمدت الباحثة يف مجع ادلعلومات عن طريق حبث مكتيب على كتب التفسري القدمية واحلديثة كمصدر أساسي والكتب األخرى الىت ذلا عالقة بادلوضوع كادلقاالت والًتاث وغريىا كمصدر ثاين للبحث .ومن خالل البحث والتحليل قامت الباحثة بتطبيق منهج التفسري ادلوضوعي ,وعالج ادلوضوع على أساس مقاصد الشريعة. ومفهوم البيئة ىي العامل اليت تعيش فيها ادلخلوق كاإلنسان واحليوان والنباتات .وجاء ىف القرأن الكرمي ادلبادي واألحكام التطبيقي لالستفادة فيها واحلفاظ عليها .فأمر اهلل اإلنسان عمارة األرض كوسيلة لتخقيق ادلصلحة لإلنسان ,كما أمر اهلل اإلنسان القيام باكتشافات الثروة الطبيعية واالستفادة منها. وللحفاظ على سالمة البيئة منع اهلل اإلنسان استغالل الثروة الطبيعية عشاويا دون حتطيط وخاصة فيما حيتاج اليها اجلميع كالكالء وادلاء والنار (وادلسلمون شركاء يف ثالث يف الكالء وادلاء والنار ..لذال تعتر اخلصخصة إىدار حلقوق االنسان. وأكد القرأن أمهية معاملة طيبة مع البيئة .ومبدأ من مبادئ االسالم الىت تنظم عالقة اإلنسان بالبيئة ان تكون حقوق اإلنسان مبحاذاة حبقوق ادلخلوق األخرى اليت تعيش يف البيئة معا .فالقرأن حرم اإلنسان القيام بإفساد األرض وتدمريىا ,ألنو يؤدى إىل اخنفاض مستوى الطيبة للبيئة وتؤثر على حياة اإلنسان .والتحرمي لو عالقة واضحة مبقاصد الشريعة ,منها ,أوال حفظ الدين مبعٌت أنو القيام بإفساد البيئة لو عالقة باعتقاده من القيم الدينية ادلفروضة على اإلنسان حفظها .ثانيا حفظ النفس ,فإنو افساد البيئة ختالف مبدأ حفظ النفس الىت حتتاج توافر احلاجة الضرورية مثل ادلاء واحلواء والغداء .إذا مل تتوفر ىذه الثالثة فيها ,فالبيئة معرضة للهالك .ثالثا حفظ النسل ,بسبب البيئة الفاسدة أصبح بقاء اإلنسان يف العامل واستمرار وجودىا جيال بعد جيل عرضو لالنقراض .رابعا حفظ العقل ,إنو إفساد البيئة بسبب حدوث الكوارث الطبيعية مما جيعل اإلنسان معرضة لإلكتئاب واضطراب النفس .خامسا حفظ ادلال ,إنو إفساد البيئة يؤدي إىل فساد مصادر األموال .من ىنا تقول إن أي نشاط تفسد البيئة خمالفة دلقاصد الشريعة من حفظ الدين والنفس والعقل والنسل وادلال.
xvi
فحفظ البيئة إذا أمانة على اإلنسان كخليفة اهلل يف األرض لتحقيق مصاحل اجلميع ودلن قام بإفساد البيئة فعليو عقوبة صارمة جزاء ما فعلو من افسادىا ,ألن البيئة احلجر االساس لبناء اجملتمع ادلثايل الذي يتوفر فيو حفظ الدين والنفس والنسل والعقل وادلال .فاصبح حفظ البيئة من أصول الشريعة. هبذا توصلنا إىل نتيجة البحث اليت تؤيد ما ذىب إليو يوسف القرضاوي الذي حاول لتأسيس منهج عن فقو البيئة كما حاول على ياىف ومظافر عبد اهلل الذان يريدان ان جتعال حفظ البيئة جزء اليتجزأ من مقاصد الشريعة .واجلدير بالذكر أن البحوث القدمية توضح فيو عملية اإلستفادة من الثروة الطبيعية وضوابطها حىت ال تكون ىناك استغالل مبالغة يف اإلستفادة منها.
xvii
DAFTAR ISI Judul ..........................................................................................................................i Persetujuan Pembimbing ........................................................................................ii Persetujuan Penguji .................................................................................................iii Pernyataan Keaslian ................................................................................................iv Kata Pengantar ........................................................................................................v Pedoman Transliterasi .............................................................................................vii Abstrak ......................................................................................................................xii Daftar Isi ...................................................................................................................xviii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................................1 B. Identifikasi Masalah .......................................................................................11 C. Pembatasan dan perumusan Masalah .............................................................12 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................................14 E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...............................................................15 F. Metodologi Penelitian ....................................................................................21 G. Kerangka Teori...............................................................................................23 H. Sistematika Penulisan ....................................................................................30
BAB II: DISKURSUS ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. Problematika Lingkungan Hidup ...................................................................33 1. Pengertian Lingkungan Hidup .................................................................34 2. Fenomena Kerusakan Lingkungan Hidup ................................................37 3. Akar Krisis Lingkupan Hidup ..................................................................50 B. Pandangan Islam Tentang Lingkungan Hidup ...............................................64 1. Lingkungan sebagai Ruang Kehidupan Manusia .....................................65 2. Kesetaraan Manusia dan Lingkungan sebagai Makhluk Tuhan ..............69
xvii
3. Kesetaraan Manusia dan Lingkungan dalam Aspek Spiritual .................74
BAB
III:
KONSERVASI
LINGKUNGAN
DAN
PARADIGMA
PENGEMBANGAN KONSEP MAQÂSID AL-SYARÎ’AH A. Pengertian Maqâsid al-Syarî’ah ....................................................................80 B. Kajian Maqâsid al-Syarî’ah dalam Lintas Sejarah ........................................82 C. Menimbang Hifz al-Bî’ah dalam Maqâsid al-Syarî’ah .................................91 1. Basis Ontologi Paradigma Hifz al-Bî’ah ..................................................92 2. Basis Epistmologii Paradigma Hifz al-Bî’ah ...........................................94 3. Basis Aksiologi Paradigma Hifz al-Bî’ah ................................................95
BAB IV: PEMELIHARAAN LINGKUNGAN SEBAGAI USÛL AL-SYARÎ’AH DALAM AL-QURAN A. Rekonstruksi Ayat-ayat Lingkungan 1. Prinsip-Prinsip Pemanfaatan Lingkungan a) Penundukan Alam sebagai Pemenuhan Kebutuhan Manusia di Bumi ...............................................................................................103 b) Manusia Makhluk yang Diperintahkan untuk Memakmurkan Bumi ...................................................................................................110 2. Prinsip-Prinsip Pemeliharaan Lingkungan a) Bumi sebagai Warisan Hamba Tuhan yang Saleh .............................121 b) Larangan Melakukan Kerusakan di Bumi..........................................130 3. Rekonstruksi Makna Khalîfah sebagai Wakil Tuhan di Bumi.................139 B. Konservasi Lingkungan sebagai Doktrin Utama Syariat Islam 1. Lingkungan sebagai Basis Fundamental Keimanan ................................149 2. Lingkungan sebagai Basis Kelangsungan Hidup .....................................153 3. Hukuman Setimpal bagi Pelaku Pelanggaran Lingkungan ......................165
xviii
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................................175 B. Saran ...............................................................................................................177
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................179
xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Persoalan krisis lingkungan yang melanda dunia saat ini sudah pada taraf yang sangat mengkhawatirkan.1 Perubahan iklim akibat dari global warming menyebabkan bumi tidak lagi seimbang. Rentetan bencana, seperti banjir, tanah longsor, pencemaran air, tanah, dan udara, kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan dan lahan, serta gempa bumi seakan sudah menjadi rutinitas musibah di negeri ini, bahkan sudah menjadi musibah dunia. Manusia sebagai mandataris Tuhan di bumi, yang diberi kepercayaan untuk memelihara dan memakmurkan bumi, tampaknya justru menjadi aktor utama kerusakan bumi. Manusia dengan segala kegiatan dan tindakannya, sudah semakin
tidak
selaras
dengan
alam.
Dengan
keserakahannya
mereka
mengeksploitasi alam dengan terus menguras energi yang ada di dalamnya. Mereka menjadikan alam sebagai objek nilai, ekonomi, dan kebutuhan hidup pragmatis. Di sisi lain pengaruh paham materialisme dan kapitalisme serta pemanfaatan teknologi yang tidak tepat guna dan ramah lingkungan, mengakibatkan rusaknya lingkungan yang semakin masif.2
1
Selama tahun 2016, berdasarkan data sementara dari awal Januari sampai 30 September 2016, telah terjadi 1.707 kejadian bencana di Indonesia yang menyebabkan 411 orang meninggal dunia dan hilang, sebanyak 2.214.256 korban menderita dan mengungsi, dan banyaknya kerusakan pemukiman sebanyak 25. 578. Lihat Pusat Data Informasi dan Humas-BNPB di dibi.bnpb.go.id 2 Muhammad Harfin Zuhdi, Rekonstruksi Fiqh al-Bî‟ah Berbasis Maslahah, dalam Jurnal Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2015, h. 43
1
2
Namun ironisnya, manusia seakan tidak pernah merenung dan mengambil pelajaran, apalagi merasa jera di balik bencana yang terjadi. Padahal sebelumnya, manusia sangat mematuhi dan menghargai alam sebagai karunia Tuhan, hingga dalam peradaban sebelumnya harmonisme alam dan manusia terasa begitu kental.3 Kebudayaan yang dihasilkan manusia tidak pernah lepas dari inspirasi alam. Namun, setelah manusia menciptakan mesin-mesin canggih, lambat laun perubahan semakin terlihat jelas. Alam, bumi, atau lingkungan menjadi objek manusia untuk dieksploitasi secara besar-besaran. Pertanyaannya kemudian, bagaimana manusia begitu mudahnya mengabaikan lingkungan hidup dan bersikap sangat merusak? Padahal perilaku yang mereka kerjakan tidak lepas dari campur tangan keyakinan atas agama yang dianutnya.4 Hal ini mengingat perilaku manusia (mode of conduct) tidak bisa dipisahkan dengan pola pikir (mode of thought), sementara pola pikir juga dipengaruhi oleh tafsiran atas teks-teks keagamaan, yang kemudian menjadi sistem etika teologi yang mereka yakini. Ini artinya, pendekatan agama melalui rekonstruksi penafsiran al-Quran terhadap persoalan lingkungan memang tidak bisa dielakkan.5 Al-Quran yang merupakan sumber ajaran agama Islam memiliki posisi yang strategis. Umat Islam di seluruh dunia meyakini bahwa petunjuk al-Quran 3
Etika lingkungan sesungguhnya telah lama dianut oleh nenek moyang manusia secara tradisional dengan bersumber pada agama, mitologi, dan legenda, termasuk cerita-cerita rakyat. Jejak tersebut mungkin masih bisa dikenali dalam bentuk berbagai kearifan tradisional. Di Indonesia masih ada sebagian kecil dari suku-suku bangsa yang kuat memegang etik lingkungan kuno seperti pada suku Nias, Mentawai, Dayak, Baduy dan yang lebih modern dan mengesankan adalah Bali. Lihat Eka Budianta, Eksekutif Bijak Lingkungan, (Jakarta: Dana Mitra Lingkungan, 1997), h. 3 4 Ahmad Sururi, Menggapai Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia: Studi Perbandingan Etika Islam dan Etika Ekofeminisme, dalam Jurnal Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014, h. 97 5 Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, (Jakarta: paramadina, 2001), h. 16
3
wajib diikuti dalam kehidupan sehari-hari. Ia bukan sekedar sumber untuk merumuskan ajaran teologi dan hukum, tetapi juga konsep etika dalam kehidupan manusia. Banyak ayat al-Quran memberikan perhatian besar terhadap kelestarian lingkungan. Term lingkungan dalam al-Quran disebutkan dalam bentuk yang variatif, seperti al-„âlamîn (spesies), al-samâ‟ (langit), al-ard (bumi), dan al-bî‟ah (lingkungan). Varian-varian yang disebutkan dalam al-Quran ini pada prinsipnya mengilustrasikan tentang spirit rahmatan li al-„âlamîn. Artinya, lingkungan tidak saja diafiliasikan kepada bumi, tetapi mencakup semua alam, seperti planet bumi, ruang angkasa, dan angkasa luar. Konsep ini tentunya mengacu pada pentingnya pemeliharaan keseimbangan ekosistem di bumi dan sekaligus juga memiliki hubungan dengan ekosistem yang ada di luar bumi. Allah berfirman: .. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu. (QS. al-Baqarah [2]: 22) Ada dua kata kunci yang menjadi pesan ekologis dalam ayat di atas. Pertama, bumi sebagai hamparan. Bumi diciptakan dan didesain Allah sebagai tempat yang sangat ideal bagi makhluk hidup. Kedua, langit sebagai atap, artinya langit diciptakan Allah sebagai pelindung kehidupan. Dalam terminologi meteorologi, yang menjadi pelindung bagi kehidupan di bumi adalah lapisan atmosfer. Oleh karenanya, ungkapan والسماء بناءdalam ayat ini dapat dipahami dengan lapisan atmosfir, yang
merupakan lapisan pelindung seluruh alam
4
(spesies).6 Eksistensi bumi berhubungan erat dengan eksistensi atmosfir. Pengrusakan terhadap ekosistem langit akan berimplikasi langsung terhadap kerusakan spesies yang ada di bumi dan ekosistemnya.7 Untuk itu, Allah sangat melarang dan memberikan batasan kepada manusia untuk tidak melakukan kerusakan terhadap ekosistem langit dan bumi, demi untuk kemaslahatan kelangsungan hidup manusia. Banyak peristiwa yang digambarkan al-Quran tentang keserakahan manusia terdahulu yang menyebabkan kerusakan bumi, misalnya kisah kaum Saba‟. Kaum Saba‟ membangun peradaban selama satu milenium sebelum datangnya agama Islam. Mereka maju dalam bidang urbanisme dan irigasi. Pada masa itu, kota Saba‟ dijuluki sebagai kota metropolitan, paling makmur, dan sejahtera. Di setiap sudut kota terdapat tanaman dan kebun buah-buahan. Di kerajaan ini telah dikenal adanya lingkungan alam dan lingkungan buatan. Lingkungan alamnya yang subur, ditandai turunnya hujan secara teratur. Sedangkan lingkungan buatan, merupakan kota yang menjadi pusat pemerintahan, yang dikenal dengan nama al-Ma‟rib. Tidak hanya itu, bangsa Saba‟ juga membangun bendungan yang digunakan untuk menampung air hujan, sehingga hujan tidak mengalir habis menyusuri tanah terjal.8 Namun, kaum Saba‟tidak lama menikmati kemajuan tersebut, Allah mengirimkan banjir besar yang memorakporandakan bendungan Ma‟rib, sekaligus membinasakan mereka.9 Hal ini
6
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, h. 93 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 1, h. 231 8 Meizer Said Nahdi, Kerusakan Lingkungan Kaum Saba‟: Studi Analisis Kaum Saba‟ dalam al-Quran, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2001, h. 89-91 9 QS. Sabâ‟ [34]: 16 7
5
disebabkan karena bangsa Saba‟ tidak memperhatikan etika pemeliharaan lingkungan. Pada dasarnya, unsur-unsur upaya pemeliharaan lingkungan dalam Islam dapat dilacak pada diri Nabi Muhammad. Sebagai contoh, Nabi pernah mengajarkan cara konservasi alam melalui pencanangan konsep himâ,10 yakni lahan konservasi yang dalam konteks sekarang sepadan dengan istilah taman kota, kawasan terbuka hijau, atau suaka marga satwa dan sejenisnya. Kawasan tersebut tidak dipergunakan untuk penduduk, terutama untuk kepentingan yang sifatnya eksploitatif.11 Ini menunjukkan adanya kepedulian dan sensitivitas yang besar dari Nabi dalam menjaga lingkungan. Apa yang telah dilakukan Nabi kala itu, merupakan sebuah lompatan pemikiran yang luar biasa dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup manusia. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa ajaran Islam mengandung kerangka dasar etika konservasi lingkungan yang relevan. Namun persoalannya, selama ini para intelektual muslim belum mengelaborasi lebih dalam tentang kajian lingkungan. Misalnya, dalam kitabkitab tafsir al-Quran yang ada sekarang, sedikit sekali menjelaskan secara rinci dan sistematik tentang bagaimana manusia sebaiknya mengelola dan membangun
10
Himâ merupakan salah satu bentuk konservasi lingkungan. Istilah ini muncul dalam tradisi arab yang oleh Rasulullah direvitalisasi sebagai konsep integral ajaran Islam. Konsep ini oleh fikih didefinisikan suatu tempat berupa tanah kosong (mati) di mana pemerintah (penguasa) melarang orang untuk menggembala di situ. Selain definisi di atas, himâ juga didefinisikan sebagai area yang dibangun secara khusus untuk konservasi satwa liar hutan yang merupakan inti dari undang-undang Islam tentang lingkungan hidup. Dengan demikian konsep himâ bukan hanya memperoleh basis historis dalam peradaban awal dunia Islam, akan tetapi juga memiliki basis teologis dalam syariat. Lihat Muhammad Rawwas Qalahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 159 11 M. Hasan Ubaidillah, Fiqh al-Bî‟ah (Formulasi Konsep al-Maqâsid al-Syarî‟ah dalam Konservasi dan Restorasi Lingkungan), dalam Jurnal al-Qânûn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010, h. 29
6
pola relasi dengan alam.12 Demikian halnya ketika penulis menelusuri kitab-kitab tafsir modern, seperti al-Manâr, al-Marâghi, dan al-Tahrîr wa al-Tanwîr juga kurang mendapati uraian yang memadai tentang persoalan lingkungan.13 Hal ini disebabkan kitab-kitab tafsir sesungguhnya merupakan produk dari anak zamannya, yang pada masa itu kerusakan lingkungan belum semasif sekarang. Banyak ayat-ayat yang berkaitan dengan konsep hakikat hubungan manusia dengan alam dipahami secara parsial. Ada empat konsep dasar hidup manusia menjadi simpul-simpul teologi yang bias antroposentris. Pertama, konsep manusia sebagai makhluk yang paling istimewa.14 Kedua, ayat-ayat yang menggambarkan manusia sebagai makhluk berakal.15
Ketiga, ayat-ayat yang
menggambarkan manusia sebagai paling kuasa atas sumber daya alam dan lingkungan.16 Keempat, ayat-ayat tentang kedudukan manusia sebagai manifestasi
12
Lihat misalnya penafsiran terhadap surah ar-Rum [30]: 41:
Penafsiran ayat di atas dalam lintasan tafsir klasik cenderung seragam. Misalnya, Ibn Katsîr dalam Tafsîr Ibn Katsîr, dan Abu Bakr al-Jazâ`irî, dalam Aisîr al-Tafâsîr, ketika menafsirkann ayat di atas, keduanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerusakan (fasad) dengan perbuatan syirik, pembunuhan, maksiat, dan segala pelanggaran terhadap Allah. Hal ini disebabkan, pada saat itu belum terjadi kerusakan lingkungan seperti sekarang, sehingga fasad dimaknai sebagai kerusakan sosial dan kerusakan spiritual semata. Lihat Abu al-Fida‟ Ismail bin Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm, (t.tp: Dar al-Tîbah li al-Nasyr, 1999), jilid 6, h. 319 13 Lihat misalnya penafsiran terhadap surah al-A‟râf [7]: 56 Penafsiran ayat di atas, baik Râsyid Ridhâ, al-Marâghî, maupun Ibnu „Âsyur memahami kata ifsâd (kerusakan atau pengrusakan), bermakna teologis (non-fisik), seperti menyekutukan Allah swt., membunuh, mencuri, melakukan kemaksiatan, dan mengikuti hawa nafsu, dsb. Lihat Muhammad Râsyid Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Mesir: al-Hay‟ah al-Mishriyyah, 1990), juz 8, h. 410. Lihat juga Ahmab bin Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Mesir: Musthafa al-Babî alHalâbî, 1946), juz 8, h. 178. Lihat juga Muhammad Tahir Ibn „Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunis: al-Dâr al-Tûnisiyyah, 1984), juz 8, h. 173-174. 14 QS. al-Isra‟ [17]: 70, al-Taghâbun [64]: 3, al-Infitar [82]: 7-8, al-Tin [95]: 4 15 QS. al-Baqarah [2]: 75, al-Nahl [16]: 78, al-Rûm [30]: 7, al-Anfâl [8]: 21, al-Hajj [22]: 46, al-Ra‟d [13]: 2, Hûd [11]: 123, dan lain-lain 16 QS. al-Baqarah [2]: 22, 29, al-Jâtsiyah [45]: 13, Luqmân [31]: 20
7
wakil Allah di bumi.17 Dari keempat dasar keagamaan inilah yang kemudian dipahami bahwa, manusia merupakan makhluk terbaik karena dibekali akal. Dengan akalnya manusia dapat mengembangkan teknologi untuk menguasai sumber daya alam dan lingkungan, bahkan menjelajah angkasa luar. Pemahaman inilah yang selanjutnya diduga melebur menjadi satu dalam bingkai teologi lingkungan yang terkesan antroposentris.18 Oleh sebab itu, menafsirkan kembali ayat-ayat lingkungan menjadi sebuah keniscayaan. Jika selama ini dikenal slogan habl min al-Allâh (relasi dengan Allah) dan habl min al-nâs (relasi dengan manusia), maka sudah saatnya juga dikumandangkan slogan habl min al-bî‟ah (relasi yang baik dengan lingkungan). Dengan kata lain, trilogi (tigal hal yang saling terkait) relasi Tuhan sebagai Pencipta, manusia sebagai khalifah, dan lingkungan sebagai tempat untuk menjalankan misi kekhalifahan, perlu dilakukan berdasarkan aturan-aturan etis yang komprehensif, sehingga ketimpangan-ketimpangan yang memunculkan bencana alam bisa diminimalisir. Menurut Yusuf al-Qardawi (l. 1245 H/1926 M)19 dalam bukunya, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, bahwa Islam meletakkan pemeliharaan lingkungan
17
QS. al-Baqarah [2]: 30, al-An‟âm [6]: 165, dan Sad [38]: 26 Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Ayat-ayat Antroposentrisme, dalam Jurnal Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, h. 68 19 Yusuf Qardhawi lahir di sebuah desa di Republik Arab Mesir, yaitu desa Shafth Turab pada tahun 1926. Desa ini dikenal sebagai desa ramai, di desa inilah salah satu sahâbiyyât Rasulullah SAW, Abdullah bin Al-Harits bin Jaz al-Zubaidi dikuburkan, sebagaimana yang ditulis oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dan yang lainnya. Ia lahir pada tanggal 9 September 1926 dalam keadaan yatim. Oleh karena itu tanggung jawab kepengasuhan dan pendidikan diambil alih oleh pamannya. Sang paman inilah yang selalu menemani Qardawi kecil ke surau tempat mengaji. Di sana ia mampu menghafal al-Quran dan menguasai hukum-hukum tajwid dengan sangat baik, di usianya yang masih belia, 10 tahun. Penduduk di desa itu telah menjadikannya sebagai imam dalam usianya yang relatif muda, khususnya pada shalat Subuh. Lihat Ishom Talimah, Al-Qardawi 18
8
sebagai basis terhadap pemeliharaan tujuan pokok agama (al-darûriyyât alkhams).20 Sederhananya dapat dikatakan bahwa, lingkungan adalah prasyarat untuk mewujudkan tujuan pokok agama. Pertama, menjaga lingkungan sama dengan hifz al-dîn, artinya segala usaha pemeliharaan lingkungan sama dengan menjaga agama, karena perbuatan dosa pencemaran lingkungan sama dengan menodai substansi keberagamaan, yang secara tidak langsung meniadakan eksistensi manusia sebagai khalîfah fi al-ard. Oleh karena itu, manusia tidak boleh lupa bahwa ia diangkat sebagai khalifah karena kekuasaan Allah di atas bumi milik-Nya. Penyelewengan terhadap lingkungan secara implisit, telah menodai perintah Allah untuk menjaga dan memelihara alam dan lingkungan,21 Kedua, menjaga dan melestarikan lingkungan sama dengan menjaga jiwa, yaitu menjaga kehidupan dan keselamatan manusia. Pencemaran lingkungan dan eksploitasi berlebihan, mengakibatkan timbulnya ancaman dan bahaya bagi kehidupan
manusia.
Syariat
Islam
menaruh
perhatian
besar
terhadap
keberlangsungan kehidupan manusia.22 Ketiga, menjaga lingkungan sama dengan hifz al-nasl, yaitu menjaga keberlangsungan hidup generasi manusia di muka bumi. Perbuatan menyimpang terkait lingkungan hidup akan berakibat pada kesengsaraan generasi berikutnya. Upaya menjaga kesinambungan generasi tercermin dalam ajaran dan anjuran untuk bersatu dan bersaudara membangun solidaritas, yang teraplikasi secara konkrit dalam menjaga segala bentuk
Faqîhan: Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardawi, terj. Samson Rahman, (Jakarta Timur: Pustaka AlKautsar, 2001), p. 3-4. 20 Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000), h. 39 21 Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fi Syarî‟at al-Islâm, h. 47 22 Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fi Syarî‟at al-Islâm, h. 48-49
9
eksploitasi sumber-sumber rizeki yang menjadi hak bagi generasi yang akan datang.23 Keempat, menjaga lingkungan sama dengan menjaga akal, dalam artian bahwa beban taklîf untuk menjaga lingkungan di-khitâb-kan untuk manusia yang berakal. Hanya orang yang tidak berakal saja yang tidak terbebani untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Upaya menjaga keberlangsungan hidup manusia tidak akan berjalan kecuali kalau akalnya dijaga, sehingga apabila ada manusia yang melakukan perusakan terhadap lingkungan, maka manusia tersebut telah kehilangan akalnya. Terkait dengan hal itu, Umar ibn al-Khattab berpesan, “Barang siapa yang melindungi lingkungan sama dengan menjaga keseimbangan dalam berfikir, keseimbangan antara hari ini dan hari esok, antara yang maslahah dan mafsadah, antara kenikmatan dan kesengsaraan, antara kebenaran dan kebatilan. Sebab tidaklah layak perilaku para pemabuk (orang yang kehilangan akal) diterapkan dalam pola interkasi dengan lingkungan. Karena ketika peran akal telah ditiadakan, maka manusia tidak akan pernah memahami manakah yang hak dan manakah yang batil.24 Kelima, menjaga lingkungan sama dengan hifz al-mâl. Allah Swt., telah menjadikan harta sebagai bekal dalam kehidupan manusia di atas bumi. Harta bukan hanya uang, emas, dan permata, melainkan semua yang menjadi kebutuhan manusia, seperti pepohonan, binatang, air, udara, serta seluruh yang ada di atas
23 24
Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 49-50 Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 50
10
maupun di dalam perut bumi adalah harta kekayaan yang tak terhingga, yang diberikan Allah untuk kebutuhan makhluk-Nya.25 Dengan demikian memelihara lingkungan sama hukumnya dengan memelihara maqâsid al-syarî‟ah, merusak lingkungan dengan menghilangkan prinsip ekosistemnya, sama halnya dengan menghilangkan maqâsid al-syarî‟ah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa wâjib (sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib). Jelasnya pemeliharaan lingkungan menjadi hal yang sangat wajib, mengingat pemeliharaan lingkungan merupakan basis pemeliharaan maqâsid alsyarî‟ah. Untuk itu mewacanakan lingkungan sebagai doktrin utama (usûl) syariat Islam menjadi sebuah keniscayaan. Karena kerusakan lingkungan dewasa ini telah mencapai taraf yang memprihatinkan, yang jika tidak diatasi secara serius akan mengancam eksistensi dan kemaslahatan hidup manusia. Pemikiran ini memiliki landasan dalam al-Quran, yaitu firman Allah: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. al-Rûm [30]: 41 Dalam ayat ini Allah mengungkapkan munculnya kerusakan lingkungan (al-fasâd) akibat ulah manusia. Ini artinya krisis lingkungan hidup akan terjadi bila manusia sudah tidak memperhatikan kelestarian ekologi secara keseluruhan ketika mengeksploitasi alam. Munculnya kerusakan fisik lingkungan hidup ini, 25
Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 51
11
pada hakekatnya juga diakibatkan adanya krisis mental manusia. Untuk menghindari bencana yang bakal terjadi, sebenarnya manusia dianjurkan kembali kepada metode al-Quran dan sekaligus mengadakan penelitian terhadap ekosistem lingkungan hidupnya, sambil membandingkan dengan peristiwa kehancuran lingkungan hidup yang pernah terjadi pada bangsa-bangsa terdahulu. Oleh sebab itu, munculnya wacana ekologi sebagai doktrin utama dalam Islam patut dipertimbangkan. Hal ini berdasarkan pada pertama, situasi dan kondisi lingkungan yang makin kritis baik di negara-negara muslim maupun di level global, sehingga memerlukan partisipasi dari ajaran agama Islam sebagai agama rahmatan lil „âlamîn. Kedua, adanya kenyataan bahwa terpeliharanya aldarûriyyât al-khams pada dasarnya tidak akan tercapai tanpa lingkungan hidup yang baik yang menjadi prasyarat kehidupan. Ketiga, lingkungan alam adalah amanah, bukan aset yang terus dieksploitasi tanpa memikirkan visi keberlanjutan bagi generasi manusia di masa mendatang. Untuk itu manusia harus memanfaatkan alam secara baik, serta merawat dengan penuh tanggung jawab. Dari ketiga landasan inilah menunjukkan bahwa merumuskan kembali wacana ekologi menjadi hal yang sangat urgen.
B. Identifikasi Masalah 1.
Krisis lingkungan yang melanda dunia saat ini, mulai dari longsor, banjir, kebakaran hutan, telah menjadi ancaman kehidupan manusia.
2.
Ada yang salah dari cara pandang manusia terhadap teks-teks keagamaan tentang relasi manusia dengan alam, sehingga yang berkembang, alam
12
semesta ini disediakan oleh Tuhan hanya untuk kemakmuran manusia. Akibatnya, eksploitasi besar-besaran atas sumber daya alam tidak bisa dielakkan. 3.
Kitab-kitab tafsir tidak menjelaskan secara rinci dan sistematik tentang bagaimana manusia sebaiknya mengelola dan membangun pola relasi dengan alam. Hal itu bisa dimengerti, karena boleh jadi problem krisis lingkungan saat kitab-kitab tafsir itu lahir tidaklah semasif sekarang.
4.
Konstruksi konsep lingkungan perlu dirumuskan kembali dengan mengkaji ayat-ayat lingkungan dengan pendekatan maqâsid al-syarî‟ah, mengingat pemeliharaan lingkungan merupakan basis pemeliharaan maqâsid al-syarî‟ah (menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta)
5.
Memformulasikan konsep lingkungan sebagai doktrin utama (usûl) syariat Islam, karena dimungkinkan mampu mempengaruhi dan merubah mainstream
manusia
untuk
berprilaku
baik
terhadap
eksistensi
lingkungan. Kewajiban memeliharanya, berbanding lurus dengan pemeliharaan tujuan pokok syariat Islam (memelihara agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta)
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dalam penelitian ini, penulis membatasi kajian lingkungan pada term-term tertentu, yaitu al-„âlamîn, al-samâ‟, al-ard, dan al-bî‟ah. Pada penelitian ini penulis memfokuskan pada dua objek
13
kajian. Pertama, merekonstruksi penafsiran ayat-ayat al-Quran terhadap persoalan lingkungan melalui pendekatan maqâsid al-syarî‟ah. Adapun ayat-ayatnya, untuk term al-„âlamîn diantaranya QS. al-A‟raf [7]: 54, al-Mu‟min [40]: 64-66. Sedangkan term al-samâ‟; QS. al-An‟am [6]: 99, QS. al-A‟râf [7]: 96, QS. Yûnus [10]: 6, 31, QS. al-Ra‟d [13]: 2, 15, QS. Ibrahîm [14]: 32-34, QS. al-Nahl [16]: 49, 65, QS. al-Anbiyâ‟ [21]: 16, 30-33, QS. al-Nûr [24]: 41, QS. al-Furqân [25]: 48-50, QS. al-Naml [27]: 60-61, QS. al-„Ankabût [29]: 44, QS. al-Ahzâb [33]: 72, QS. Fâtir [35]: 27-28, QS. al-Zukhruf [43]: 11-12, QS. al-Dukhân [44]: 3839, QS. Qaf [50]: 6-12, QS. al-Qamar [54]: 11-12, QS. al-Hadîd [57]: 4. Untuk term al-ard; QS. Baqarah [2]: 29, 30, 36, 60, 164, 168, 205, Ali „Imrân [3]: 137, al-Mâidah [5]: 32, 33, al-An‟âm [6]: 6, 38, 165, al-A‟râf [7]: 10, 24, 56, 74, 85, 128, Hûd [11]: 85, ar-Ra‟d [13]: 3, 4, al-Nahl [16]: 10-14, al-Isrâ‟ [17]: 37, alKahfi [18]: 7, Taha [20]: 53-54, QS. al-Anbiyâ‟ [21]: 31, 105, al-Hajj [22]: 18, 63, 65, al-Mu‟minûn [23]: 18, al-Syu‟arâ‟ [26]: 7-8, 181-183, al-Naml [27]: 61-63, al-„Ankabût [29]: 61-63, al-Rûm [30]: 8-9, 22-24, Luqmân [31]: 10-11, 20, Shad [38]: 26, 27-28, al-Zumar [39]: 21, al-Mu‟mîn [40]: 64, al-Syurâ [42]: 27-30, alJâtsiyah [45]: 5, 13, al-Ahqâf [46]: 4, al-Dzâriyât [51]: 20-23, al-Najm [53]: 31, al-Hadîd [57]: 17, al-Jumu‟ah [62]: 10, al-Mulk [67]: 15, Nûh [71]: 15-20. Sedangkan term al-bî„ah diantaranya QS. al-A‟râf [7]: 74 dan al-Nahl [16]: 41. Kedua, merekonstruksi wacana ekologi sebagai doktrin utama (usûl) syariat Islam, mengingat pemeliharaan lingkungan sebagai basis fundamental keimanan dan sebagai jaminan terhadap kelangsungan hidup manusia.
14
2. Perumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana pandangan al-Quran tentang pola interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya? Dan bagaimana memformulasikan wacana pemeliharaan lingkungan sebagai doktrin utama (usûl) syariat Islam?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Beradasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a) Mengetahui pesan-pesan al-Quran mengenai prinsip pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan, dalam rangka meminimalisir kerusakannya b) Mengembangkan wacana pemeliharaan lingkungan sebagai doktrin utama syariat Islam c) Memenuhi tugas akademik guna melengkapi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Magister Agama Islam (M.Ag) prodi Konsentrasi Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, secara konseptual memberikan kontribusi ilmiah dalam khazanah keislaman, sebagai respon dalam mengatasi krisis lingkungan. Sedangkan secara operasional, kajian ini diharapkan
15
dapat memberikan panduan terhadap perilaku yang seimbang bagi komunitas masyarakat secara luas.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan Pembahasan mengenai konsep lingkungan dalam kajian Islam dapat dikatakan bukanlah hal baru. Beberapa karya ilmiah baik berupa buku, jurnal, disertasi,
tesis,
telah
membahas
lingkungan
hidup,
sebagai
kontribusi
penanggulangan krisis lingkungan, di antaranya: 1. Karya Yusuf al-Qardawi dengan judul Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at alIslâm, yang dicetak oleh Dâr al-Syurûq, Kairo pada tahun 2000. Secara umum dalam kitab tersebut, Yusuf al-Qardawi berusaha membangun sebuah paradigm fikih berbasis lingkungan yang sarat dengan akhlak, sehingga tidak berlebihan ketika beliau disebut sebagai penggagas fikih ramah lingkungan. Menurutnya, fikih yang ada selama ini cenderung hanya menjerat dengan hukum atas hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia. Melalui fikih ramah lingkungan ala Yusuf al-Qardawi ini, diharapkan hubungan manusia dengan alam terjalin harmonis. Adapun prinsip-prinsip yang dapat diambil dari pemikiran etika lingkungan Yusuf al-Qardawi adalah prinsip hormat terhadap alam, kasih sayang dan kepedulian, tanggung jawab, kesederhanaan, keadilan, dan kebaikan. Prinsip-prinsip tersebut setidaknya dijadikan landasan etis manusia dalam berperilaku terhadap lingkungannya.26
26
Yusuf al-Qardawi, Ri‟ayat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 3
16
2. Jurnal yang ditulis oleh La Jamaa dalam jurnal Asy-Syir‟ah: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum tahun 2011, dengan judul Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani
dalam
Maqâsid
al-Syarî‟ah.27
Dalam
karyanya,
beliau
menyimpulkan bahwa konsep maqâsid al-syarî‟ah pada hakekatnya didasarkan pada wahyu untuk mewujudkan kemasalahatan hidup umat manusia. Dalam maqâsid al-syarî‟ah sebenarnya terdapat dimensi ilahi dan dimensi insani. Dimensi ilahi tersebut adalah nilai-nilai ketuhanan karena bersumber dari Tuhan serta bernilai ibadah. Sedangkan dimensi insaninya adalah nilai kemaslahatan bagi kehidupan manusia bagi di dunia maupun di akherat. Namun selaras dengan kemajuan zaman yang tidak hanya membawa dampak positif, namun juga menimbulkan negatif bagi kehidupan manusia, seperti penipisan lapisan ozon yang menimbulkan kerusakan lingkungan, maka menambah dan memperluas maqâsid alsyarî‟ah dengan pemeliharaan lingkungan menjadi suatu keharusan. Karena kerusakan lingkungan dewasa ini telah mencapai taraf yang sangat memprihatinkan, yang jika tidak diatasi secara serius akan mengancam eksistensi dan kemaslahatan hidup manusia. 3. Jurnal yang ditulis oleh Abrar dalam jurnal Ilmu Sosial Mamangan tahun 2012, dengan judul „Islam dan Lingkungan‟.28 Dalam tulisannya, Abrar merumuskan bahwa kajian tentang lingkungan dalam Islam harus dilihat dari berbagai perspektif, karena lingkungan menjadi kata kunci dalam
27
La Jamaa, Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqâsid al-Syarî‟ah, dalam Jurnal al-Syir‟ah, Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol. 45 No. II, Juli-Desember 2011. 28 Abrar, Islam dan Lingkungan, dalam jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Edisi, 1, Tahun 1, Juli 2012
17
membangun tatanan masyarakat yang religius. Betapa tidak, keyakinan terhadap pencipta harus dimulai dari pengenalan terhadap alam semesta. Begitupun tentang hak dan kewajiban selalu terkait dengan lingkungan alam sekitar. Dengan demikian memposisikan aspek lingkungan sebagai ajaran Islam yang utama menjadi sebuah keharusan. Karena dengan menjadikan doktrin utama ajaran Islam, dimungkinkan mampu merubah mainstream
umatnya
untuk
berperilaku
baik
terhadap
eksistensi
lingkungan.Disertasi yang telah diterbitkan dan dicetak oleh Paramadina tahun 2001 dengan judul Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, yang ditulis oleh Mujiyono Abdillah. Dalam karyanya, ia menegaskan bahwa perspektif tentang ekologi yang berkembang, cenderung bersifat antroposentris, sekularistik, bahkan ateis. Implikasi dari pemikiran antroposentris ini menjadi biang keladi munculnya kerusakan-kerusakan ekosistem. Oleh sebab itu, menurutnya dibutuhkan paradigma ekologi yang bernuansa rasional dan ekoreligi Islam, yaitu pemahaman yang holistik integeralistik, yang mensinergikan antara teknologi, ekologi, dan spiritul relegius. Menurutnya prilaku ekologi sangat ditentukan oleh bentuk keyakinan yang dianut oleh masyararakat ekologi itu sendiri. Keyakinan yang dimaksud adalah keyaninan yang holistik dan sempurna sehingga penting untuk mengkonstruk konsep ekoteologi Islam.29 Menurutnya teologi lingkungan dalam konsep Islam dikembangkan melalui dasar-dasar keberimanan yang meliputi tentang: 1) tidak sempurna
29
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, h. 222-223
18
iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. 2) peduli lingkungan adalah sebagian dari iman, 3) perusak lingkungan adalah kafir ekologis, 4) Pemboros energi adalah teman syaitan. 5. Banjir adalah fenomena ekologis bukan fenomena teologis. 4. Disertasi yang telah diterbitkan dan dicetak oleh Dian Rakyat pada tahun 2010, dengan judul Argumen Konservasi Lingkungan sebagai Tujuan Tertinggi Syariat,30 yang ditulis oleh Mudhofir Abdullah. Dalam disertasinya, dia menyimpulkan bahwa; Pertama, krisis lingkungan yang sedang melanda dunia saat ini disebabkan oleh cara pandang postivistikdevelopmentalisme. Paradigma ini telah melahirkan era modernitas yang bertumpu
pada
perkembangan
ilmu
pengetahuan,
teknologi
dan
industrialisasi. Krisis lingkungan semakin lengkap seiring menguatnya kapitalisme global yang mempengaruhi perilaku lingkungan seseorang. Bagi Mudhofir, akar-akar krisis juga disebabkan karena manusia dilanda krisis spiritual, krisis alamiah dan krisis-krisis multidimensional. Kedua, aspek krisis lingkungan sangat variatif, fikih adalah salah satu jawaban, terutama dalam pendekatan agama. 5. Disertasi yang telah diterbitkan dan dicetak oleh Mizan pada tahun 2014, dengan judul „Wawasan Gender Dalam Ekologi Alam Dan Manusia Perspektif Al Quran‟, yang ditulis Nur Arfiyah Febriani. Kajian ini dilatarbelakangi karena ada cara pandang yang mempermasalahkan lakilaki sebagai aktor pemicu berbagai bentuk kerusakan lingkungan. Pola 30
Mudhofir Abdullah, Argumen Konservasi Lingkungan sebagai Tujuan Tertinggi Syariat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010). h. v
19
interaksi laki laki yang arogan, diskriminatif, dan dominatif terhadap perempuan, disinyalir juga bertindak sama terhadap bumi, karena keduanya memiliki kesamaan karakter yang pasif dan submisif.31 Cara pandang inilah yang menurut Febriani mengakibatkan pola pikir yang sangat sempit dalam memandang dan mengklasifikasi antara karakter lakilaki dan perempuan. Padahal di dalam al-Quran setiap ayat yang mengisyaratkan tentang karakter manusia didapati dalam bentuk umum sebagai indikasi bahwa ayat itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Dalam ekologi alam, terdapat deskripsi al-Quran tentang keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap entitas makhluk. Hanya saja, alam raya tidak memiliki sisi negatif dalam karakternya. Artinya, keseluruhan alam raya patuh pada ketentuan Allah Swt. dalam menjalankan fungsi dan perannya tanpa membelot sedikitpun. Kepatuhan alam raya dengan ketentuan Allah adalah sebagai bentuk ibadah alam raya kepada-Nya. Manusia yang menyadari tujuan penciptaan-Nya adalah untuk beribadah, tentu dapat belajar dari ketundukan alam raya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Keseimbangan karakter feminin dan maskulin yang memiliki nilai dan sisi positif dalam setiap makhluk di alam raya ini, dapat menjadi pelajaran bagi manusia untuk dapat menyeimbangkan karakter feminin dan maskulin yang memiliki nilai positif dalam dirinya. Untuk itu stereotip karakter laki laki dan perempuan seharusnya tidak menjadi penyebab bagi manusia untuk saling 31
Nur Arfiyah Febriani, Wawasan Gender Dalam Ekologi Alam Dan Manusia Perspektif Al Quran. (Jakarta: Mizan, 2014), h. 8
20
menyalahkan dan merasa lebih dominan dalam berbagai pola interaksi sosialnya termasuk dalam upaya konservasi lingkungan. 6. Tesis Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2008 dengan judul Etika Lingkungan dalam al-Quran yang ditulis Muhirdan. Dalam kajiannya, Muhirdan mencoba menganalisa tentang bagaimana etika lingkungan hidup melalui perspektif al-Quran dengan pendekatan tafsir tematik.
Untuk
komprehensif,
menghasilkan
Muhirdan
konsep
melakukan
etika
lingkungan
penelusuran
secara
term-term
yang
digunakan al-Quran dalam menjelaskan tentang lingkungan, yaitu term alsamâ‟, al-ard, dan al-bî‟ah. Muhirdan menyimpulkan bahwa terdapat etika
lingkungan
hidup
yang
perlu
diterapkan
untuk
menjaga
keseimbangan ekosistem alam, yaitu pertama, etika konservasi lingkungan hidup secara menyeluruh. Kedua, etika pembersihan dan penyehatan lingkungan hidup. Ketiga, etika menjaga lingkungan hidup dari perusakan. Keempat etika pengelolaan lingkungan hidup dengan cara tidak mengeksploitasi sumber daya alam dan meminimalisir penggunaan sesuai neraca kebutuhan.32 7. Tesis Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2009 dengan judul „Ekosofi Islam: Kajian Pemikiran Ekologi Sayyed Hossein Nasr‟, yang ditulis oleh Muhammad Ridhwan. Dalam tesisnya, ia menyimpulkan bahwa krisis lingkungan sudah sangat masif. Hal ini disebabkan bersumber pada kesalahan fundamentalis-filosofis cara 32
Muhirdan, Etika Lingkungan dalam al-Quran, dalam tesisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2008, h. iv
21
pandang manusia terhadap diri dan alamnya. Kesalahan pola pikir manusia tersebut mengakibatkan perilaku eksploitatif besar-besaran. Paham materialisme,
kapitalisme,
dan
pragmatisme
semakin
menambah
kerusakan lingkungan. Menurutnya kesalahahpahaman tersebut akibat krisis moral dan spiritual manusia. Adapun untuk pengendaliannya, menurut Nasr dengan menempuh jalan sufisme yang kelak mengarah pada harmonisasi manusia dengan alam.33 Dari semua literatur yang disebutkan di atas, belum ada yang melakukan kajian lingkungan melalui pendekatan maqâsid al-syarî‟ah untuk mengetahui sejauh mana teknis operasional pemanfaatan potensi bumi dan kadar dikatakan berlebih-lebihan, dengan lebih menitikberatkan pada kemaslahatan. Kebanyakan penelitian yang ada, mengkaji seputar konsep lingkungan Islam pada aspek teologi. Ada penelitian yang memang melakukan kajian terhadap fikih lingkungan, namun baru sebatas hukum lingkungan yang sarat dengan akhlak. Dengan demikian jelaslah bahwa kajian lingkungan dengan pendekatan maqâsid as-syarî‟ah belum dilakukan. Karena, ketika sebuah penelitian memiliki perbedaan dalam sudut pandang dan pendekatan, tentu saja akan melahirkan kesimpulan dan implikasi yang berbeda pula.
F. Metodologi Penelitian Dilihat dari jenis penelitian, kajian ini termasuk dalam penelitian pustaka (library research). Sumber datanya meliputi kitab-kitab tafsir sebagai sumber 33
Muhammad Ridhwan, Ekosofi Islam: Kajian Pemikiran Ekologi Sayyed Hoosein Naser, dalam karya tesisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 2009, h. vi
22
primernya, sementara sumber sekundernya meliputi kitab-kitab, buku-buku, jurnal, dan artikel tentang lingkungan dan maqâsid al-syarî‟ah serta yang berhubungan dengan keduanya, baik dari karya-karya ulama klasik maupun modern. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis34 dengan pendekatan maqâsid alsyarî‟ah. Metode analisis yang digunakan adalah gabungan antara deduktif dan komparatif. Deduktif digunakan dalam rangka memperoleh gambaran detail konsep lingkungan dalam al-Quran, dengan menggunakan metode tafsir maudu‟i, yakni dengan mengumpulkan ayat-ayat setema, untuk mendapatkan gambaran secara utuh, holistik, dan komprehensif mengenai tema yang dikaji, kemudian mencari makna yang relevan dan aktual untuk konteks kekinian. Sedangkan komparatif digunakan untuk membandingkan pendapat mufasir antara satu dengan penafsir lainnya, mengenai kajian ayat-ayat lingkungan dalam al-Quran. Adapun pendekatan maqâsid al-syarî‟ah digunakan dalam rangka menyingkap dan menjelaskan prinsip ekologi al-Quran, mengenai sejauh mana teknis operasional pemanfaatan potensi bumi dan sejauh mana kadar dikatakan berlebih-lebihan, dengan lebih menitikberatkan pada kemaslahatan manusia. Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa semua kewajiban dan larangan (taklîf)
34
Deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti kemudian dideskripsikan, sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas. Sedangkan analitis adalah sebuah tahapan guna menguraikan data-data yang terkumpul dan tersusun secara sistematis. Jadi, metode Deskritif Analitis adalah sebuah metode pembahasan untuk memaparkan data yang telah tersusun dengan melakukan kajian terhadap data-data tersebut, kemudian menganalisanya secara proporsional. Lihat Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada, 2009) Cet.ke-I, h. 73
23
diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.35
G. Kerangka Teori Salah satu teori tafsir menyatakan taghayyur al-tafsîr bi taghayyur alazmân wa al-amkân, bahwa perubahan penafsiran dipengaruhi oleh perubahan zaman dan tempat.36 Berangkat dari teori ini maka tafsir sebagai sebuah produk dialektika antara teks al-Quran dan konteks, sesungguhnya harus selalu mengalami perkembangan sesuai dengan gerak waktu, tempat, bahkan juga perubahan lingkungan. Jika dulu tafsir sering hanya berkutat bagaimana memaknai ayat-ayat secara deduktif-normatif, bahkan terkesan hanya mengulangulang (al-qirâ‟ah al-mutakarrirah) atas pemaknaan masa lalu, maka sudah saatnya produk tafsir harus mampu membaca secara produktif dan kreatif agar bisa menjadi solusi atas problem sosial keagamaan kontemporer.37 Artinya, fungsi tafsir harus dikembalikan kepada fungsi al-Quran sebagai solusi atau obat (syifâ‟) bagi problem sosial masyarakat modern, tidak terkecuali masalah lingkungan yang dewasa ini semakin memperlihatkan tingkat kerusakannya. Oleh sebab itu, paradigma tafsir lingkungan menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Untuk merumuskan konsep lingkungan berbasis al-Quran, perlu adanya sebuah 35
Abû Ishâq al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî„ah, (Beirut: Dar al-Ma„rifah, t.t.), Juz 2, h.195. Lihat juga „Izz al-Dîn ibn „Abd al-Salâm, Qawâ„id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyâh al-Azhariyyah, 1994), Juz ke-1, h.5. Lihat juga Ibn al-Qayyim alJauziyyah, I„lâm al-Muwaqqi„în „an Rabb al-„Âlamîn, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1425 H/2004 M), Juz ke-3, h.5. Baca juga Tâhir ibn „Âsyûr, Maqâsid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah, (Tunis: Dâr Suhnun, Kairo: Dar al-Salâm, 1427 H/2006 M), h.12. 36 Muhamad Syahrûr, Nahwa Usûl al-Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî, (Damaskus: al-Ahali li al-Tibâ‟ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 2000), h. 95 37 Lebih lanjut baca Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 78
24
pendekatan baru sebagai pisau analisis dalam memahami sebuah teks, yaitu dengan pendekatan maqâsid al-syarî‟ah yang dalam hal ini tema utamanya adalah maslahah.38 Berbicara mengenai maslahah dalam konteks maqâsid al-syarî‟ah, alSyâṭibi (w. 790 H/1388 M)39 mengatakan bahwa, tujuan pokok pembuat undangundang (Syâri‟) adalah taḥqîq maṣâlih al-khalq (merealisasikan kemaslahatan makhluk). Oleh sebab itu setiap doktrin dan nilai-nilai yang diwahyukan, baik itu berbentuk perintah ataupun larangan, keduanya selalu berorientasi pada kemaslahatan manusia (human welfare). Pertanyaannya kemudian bagaimana 38
Dalam kajian teori hukum Islam (usûl al-fiqh), maslahah diidentifikasi dengan sebutan (atribut) yang bervariasi, yakni prinsip (al-asl, al-qâ„idah, al-mabda‟), sumber atau dalil hukum (masdar, dalîl), doktrin (al-dâbit), konsep (al-fikrah), metode (al-tarîqah), dan teori (alnazâriyyah). Lihat „Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasyrî„ al-Islâmi fîmâ lâ Nass fîh, (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1392 H/1972 M). Lihat juga Zakariyya al-Birri, Masâdir al-Ahkâm alIslâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Ittihâd al-„Arabi, 1395 H/1975 M); dan Mustafa Dîb al-Bughâ, Atsâr al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ au Masâdir al-Tasyrî„ al-Taba„iyyah fi al-Fiqh al-Islâmi, (Damaskus: Dâr al-Imâm al-Bukhâri, t.th.). Baca juga Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî„ al-Islâmi, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jâmi„i, 1403 H/1983 M), h.16. Secara etimologis, arti al-maslahah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, dan kepatutan. Kata al-maslahah dilawankan dengan kata al-mafsadah yang artinya kerusakan. Lihat Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ, Mu„jam Maqâyîs alLughah, (Kairo: Maktabah al-Khânjî, 1403 H/1981 M), Juz ke-3, h.303; dan Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Mandzûr al-Ifrîqi, Lisân al-„Arab, (Riyad: Dâr „Âlam al-Kutub, 1424 H/2003 M), Juz ke-2, h.348. Sementara secara terminologis, maslahah telah diberi muatan makna oleh beberapa ulama usûl al-fiqh. Al-Ghazâli (w. 505 H), misalnya, mengatakan bahwa makna genuine dari maslahah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb al-manfa„ah atau daf„ al-madarrah) Menurut alGhazâli, yang dimaksud maslahah, dalam arti terminologis syar‟i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara‟ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ditegaskan oleh al-Ghazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu dapat dikualifikasi sebagai maslahah. Lihat Abû Hâmid Muhammad alGazâli, al-Mustasfâ min „Ilm al-Usûl, tahqîq wa ta„lîq Muhammad Sulaimân al-Asyqâr, (Beirut: Mu‟assasat al-Risâlah, 1417 H/1997 M), Juz ke-1, h.416-417. 39 Nama lengkap al-Syâtibî adalah Abû Ishâq Ibrâhim bin Mûsa al-Gharnati al-Syâtibî. Ia dilahirkan di Granada pada tahun 730 H dan wafat pada tahun 790 H di tempat yang sama. AlSyâtibî, nama populer yang ada dibelakang nama lengkapnya, adalah nama kota kelahiran keluarganya. Keluarga al-Syâtibî awalnya tinggal di Syâtiba, tetapi karena situasi politik waktu itu, keluarga al-Syâtibî tidak memungkinkan untuk tinggal di Syâtiba. Mereka pun terpaksa harus tinggal di Granada. Lihat Imam Rosyadi, Pemikiran al-Syâtibî tentang Maslahah Murasalah, dalam jurnal Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2013, h. 79
25
mengetahui maslahah dalam sebuah teks? Menjawab hal ini, al-Syâtibi menggagas pemikiran bahwa maslahah dapat diketahui dengan cara sebagai berikut: Pertama, memahami tujuan legislasi suatu hukum melalui logika kebahasaan, al-amr dan al-nahy dari teks-teks syariat. Kedua, memahami secara tekstual sekaligus kontekstual „illah perintah dan larangan. Ketiga, memahami tujuan-tujuan primer (al-maqâsid al-asliyyah) dan tujuan-tujuan sekunder (almaqâsid al-tabâ„iyyah). Keempat, tidak adanya keterangan Syâri‟ (sukût alSyâri‟).40 Sementara menurut Yûsuf al-Qardawi (l. 1245 H/1926 M), cara untuk mengetahui maslahah, yaitu: Pertama, meneliti setiap „illah (baik mansûsah maupun ghairu mansûsah) pada teks al-Quran dan Hadis. Misalnya, QS. al-Hadîd [57]:25, ayat ini sesungguhnya menjadikan keadilan sebagai tujuan seluruh doktrin agama samawi. Hal ini merupakan simpulan dari adanya lâm ta„lîl yang menyertai frase “li yaqûm al-nâs bi al-qist”. Hal yang sama juga terdapat pada QS. al-Hasyr [59]:7 (li kai lâ yakûna dûlatan bain al-aghniyâ‟ minkum), dan QS. al-Anbiyâ‟ [21]: 107 (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan li al-„âlamîn). Kedua, mengkaji
dan
menganalisis
hukum-hukum
partikular,
untuk
kemudian
menyimpulkan cita pikiran hasil pemaduan hukum-hukum partikular tersebut.41 Sedangkan menurut Ibn „Âsyur (w. 1325 H/1907 M),42 ada tiga cara untuk mengetahui maslahah. Pertama, melalui metode induktif (istiqra‟), yakni
40
Abû Ishâq al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî„ah, Juz 2, 393-414 Yusuf al-Qardawi, Fiqih Maqâsid Syarî‟ah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, terj. Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h.23-25. 42 Nama lengkapnya adalah Muhammad al-Tâhir Ibnu Muhammad bin Muhammad alThâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Syâdzili bin al-„Alim Abd al-Qâdir bin Muhammad bin „Âsyur. Ibnu „Âsyur dilahirkan di pantai La Marsa sekitar 20 kilometer dari kota Tunisia pada 41
26
mengkaji syariat dari semua aspek berdasar ayat partikular. Cara ini dibagi dalam dua klasifikasi: 1) Meneliti semua hukum yang diketahui kausalnya (al-„illah). Contoh: larangan meminang perempuan yang sedang dalam pinangan orang lain, demikian pula larangan menawar sesuatu barang dagangan yang sedang ditawar orang lain. „Illah dari larangan ini adalah keserakahan dengan menghalangi kepentingan orang lain. Dari „illah ini dapat ditarik satu maslahah, yaitu kelanggengan persaudaraan antar saudara seiman. 2). Meneliti dalil-dalil hukum yang sama „illah-nya, sampai yakin bahwa „illah tersebut adalah maslahah-nya. Misalnya, larangan membeli produk makanan yang belum ada di tangan, dan larangan memonopoli produk makanan. Keduanya mempunyai „illah yang sama, yaitu larangan menghambat peredaran produk makanan di pasaran. Dari „illah ini dapat diketahui adanya maslahah, yaitu bertujuan bagi kelancaran peredaran produk makanan, dan mempermudah orang memperoleh makanan.43 Kedua, maslahah dapat ditemukan secara langsung dari dalil-dalil alQuran secara sarîh (jelas), serta kecil kemungkinan untuk dipalingkan dari makna zahir-nya, seperti bunyi ayat 183 surat al-Baqarah tentang kewajiban puasa „kutiba „alaikum al-siyâm.‟ Pada ayat ini, sangat kecil kemungkinan mengartikan kata „kutiba‟ dengan arti selain “diwajibkan,” dan tidak mungkin dimaknai sebagai „ditulis.‟ Ketiga, maslahah dapat ditemukan langsung dari dalil-dalil Sunah yang mutawatir, baik mutawatir ma„nawi yaitu pengalaman sekelompok sahabat yang menyaksikan perbuatan Nabi saw., seperti disyariatkannya khutbah tahun 1296 H bertepatan dengan 1879 M. Ia meninggal di Tunisia pada hari Ahad 3 Rajab tahun 1393 H bertepatan 12 Juni 1973 M. Lihat Safriadi, Kontribusi Ibnu „Âsyur dalam Kajian Maqâsid al-Syarî‟ah, dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. 15. No. 2, Februari 2016, h. 289 43 Muhammad al-Tahir Ibn „Asyur, Maqâsid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Tunisia: Maktabah al-Istiqâmah, 1366 H), h. 15-17
27
pada dua hari raya, maupun mutawatir „amali yaitu praktik seorang sahabat yang melakukan secara berulang kali pada masa hidup Nabi saw., dan Nabi mendiamkannya.44 Dari semua langkah yang dilakukan di atas, pada dasarnya hanya satu yang dicari, yaitu kemaslahatan yang terkandung dalam syariat Islam. Sementara dalam kajian ini, penulis menggunakan teori maslahah al-Syâtibi. Menurut al-Ghazâli (w. 505 H/1111 M), ada tiga konsep maslahah manakala ditilik dari objeknya, yaitu: 1) maslahah yang mendapat ketegasan justifikasi Syâri‟ terhadap penerimaannya (maslahah mu„tabarah). Dalam hal ini, dalil yang secara khusus menjadi dasar dari bentuk kemaslahatan, baik secara langsung maupun tidak terdapat indikator dalam syara‟; 2) maslahah yang mendapat ketegasan justifikasi Syâri‟ terhadap penolakannya (maslahah mulghah). Jenis maslahah ini biasanya berhadapan secara kontradiktif dengan bunyi nas baik al-Quran maupun hadis; dan 3) maslahah yang tidak mendapat ketegasan justifikasi Syâri‟, baik terhadap penerimaannya maupun penolakannya (maslahah mursalah), tapi cakupan makna nas terkandung dalam substansinya. Muhammad Muslehuddin melihat bahwa kategorisasi maslahah dengan trilogi
44
Ibn „Âsyur mencontohkan dengan sebuah Hadis yang dibukukan dalam Sahih alBukhari. Diriwayatkan dari al-Azraq ibn Qays, ia menceritakan: “Kami berada di sebuah tepi sungai yang sedang kekeringan di daerah Ahwaz, lalu Abu Barzah datang dengan mengendarai seekor kuda. Kemudian mengistirahatkan kudanya untuk salat, lalu tiba-tiba kudanya lari. Maka ia pun menghentikan salat dan mengejar kudanya, lalu ia kembali mengerjakan salatnya. Di antara kami ada yang berkomentar: lihat Abu Barzah, dia telah merusak salatnya demi seekor kuda. Abu Barzah kemudian menjawab: semenjak saya berpisah dengan Nabi saw. belum ada seorang pun yang pernah menghinaku. Rumahku sangat jauh, seandainya saya salat dan membiarkan kuda itu pergi, saya tidak akan tiba ke keluargaku hingga malam hari. Diriwayatkan bahwa Abu Barzah itu adalah salah seorang sahabat Nabi saw. yang mendahulukan dimensi taysir dalam ijtihad, berdasarkan penglihatannya terhadap perbuatan Nabi saw. Dari riwayat ini dapat dipahami bahwa salah satu dari konsep maqâsid al-syarî„ah adalah konsep taysîr. Lihat Muhammad al-Tahir Ibn „Asyur, Maqâsid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah, h. 17-18
28
maslahah mu„tabarah, maslahah mulghah, dan maslahah mursalah tetap harus mempertimbangkan dimensi kepentingan masyarakat dan realitas sosial yang terus berubah, sehingga hukum Islam harus bergerak seiring sejalan dengan perubahan realitas sosial yang terjadi, yang pada gilirannya fleksibilitas hukum Islam dapat dipertahankan.45 Bagaimana dengan konservasi lingkungan? Menjaga lingkungan hidup bisa merupakan maslahah mu'tabarah dan dapat juga masuk dalam bingkai maslahah mursalah. Al-Quran hanya menyinggung tentang prinsip-prinsip konservasi dan restorasi lingkungan, semisal larangan perusakan, larangan berlebih-lebihan (isrâf) dalam pemanfaatannya. Prinsip-prinsip ini dinamakan maslahah mu'tabarah. Namun, sejauh mana kadar berlebih-lebihan serta teknis operasional penjagaan, sama sekali tidak didapatkan dalam al-Quran. Prinsip inilah yang dinamakan maslahah mursalah. Berbicara mengenai maslahah mursalah, mayoritas ahli usûl fiqh menerima metode tersebut asalkan memenuhi beberapa syarat. Imam Malik misalnya, memberikan persyaratan sebagai berikut: pertama, maslahah harus tedas makna (reasonable/ma'qûl) dan relevan (munâsib) dengan kasus hukum yang ditetapkan. Kedua, maslahah tersebut harus dijadikan dasar untuk memelihara sesuatu yang al-darûriyyâh dan menghilangkan kesulitan (raf'u alharaj), dengan cara menghilangkan kesulitan (masyaqqah) dan bahaya (madarrah).
45
Ketiga,
maslahah
tersebut
harus
sesuai
dengan
maksud
Abu Hâmid Muhammad al-Ghazâli, al-Mustasfa min „Ilm al-Usûl, Juz ke-1, h. 417.
29
disyari'atkannya hukum (maqâsid al-syarî'ah), dan tidak bertentangan dengan dalil syara' yang qat'î.46 Pada prinsipnya, menurut al-Syatibî, maslahah ini akan diwujudkan kepada tiga kebutuhan, yaitu kebutuhan darûriyyâh, kebutuhan hâjiyyâh, dan kebutuhan tahsîniyah. Pertama, kebutuhan darûriyyâh yaitu kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Menurutnya, ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan, serta harta. Untuk memelihara lima pokok tersebut, syariat Islam diturunkan. Setiap ayat apabila diteliti, akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima pokok di atas. Kedua, kebutuhan hâjiyyâh, yaitu kebutuhankebutuhan sekunder, yang jika tidak terwujud, tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Ketiga, kebutuhan tahsîniyâh, yaitu kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi, tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan.47 Berbicara mengenai tingkatan maslahah sebagaimana yang diutarakan di atas, maka pemeliharaan lingkungan dapat dimasukkan dalam kategori maslahah al-darûriyyâh, mengingat keberadaannya merupakan bagian komponen untuk menopang kehidupan makhluk. Dengan ungkapan lain, lingkungan merupakan tempat berlangsungnya pemenuhan kebutuhan al-darûriyyâh. Yusuf Qardawi (l. 1245 H/1926 M) dalam Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm menjadikan 46
Lihat al-Syâtibî, al-I'tisâm, (Kairo: al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubra, t.th.), jilid 2, h.
47
Abû Ishâq al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî„ah, jilid 2, h. 324
364-367.
30
pemeliharaan lingkungan sebagai bagian yang setara dengan kewajiban darûriyyât al-khams, bahkan menjadi dasar dari kewajiban dan larangan bagi tujuan pokok syariat Islam.48 Ali Yafi juga merumuskan tentang kewajiban memelihara lingkungan sebagai bentuk dari teorisasi al-maslahah (Human-welfer).49
H. Sistematika Penelitian Agar dapat memberikan gambaran utuh mengenai konten dari penelitian ini, maka penulis perlu mengemukakan sistematika penelitian. Pembahasan dalam tesis ini terdiri dari V bab. Masing-masing bab terdapat sub bab yang memiliki penjelasan yang terkait satu sama lain. Adapun sistematikanya sebagai berikut: Bab pertama, berupa pendahuluan. Di dalamnya, diuraikan latar belakang masalah, kemudian diidentifikasi, dibatasi dan dirumuskan sebuah rumusan utama. Kemudian menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian, dilanjutkan menjelaskan metode penelitian, kemudian mengemukakan kajian terdahulu yang relevan guna mendapatkan distingsi peneltian. Selanjutnya dijelaskan bagaimana kerangka teori yang digunakan, dan pada bagian akhir uraian dijelaskan terkait sistematika penelitian. Bab kedua, membahas seputar persoalan lingkungan yang menjadi tema global dewasa ini. Pembahasan diawali dengan mengenal apa itu lingkungan hidup, kemudian dipaparkan fenomena kerusakan lingkungan hidup, setelah itu mencari akar permasalahan krisis lingkungan. Setelah jelas apa yang terjadi dan apa akar dari 48 49
kerusakan lingkungan hidup, penulis mencoba memaparkan
Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 51 Ali Yafi, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup (Jakarta: Ufuk Press, 2006), h. 154
31
bagaimana Islam memandang lingkungan hidup, meliputi; lingkungan hidup sebagai ruang kehidupan, kesetaraan lingkungan dan manusia sebagai makhluk Tuhan yang tidak untuk saling mendominasi, dan kesetaraan lingkungan dan manusia dalam aspek spiritual. Singkatnya, inti dari pembahasan ini, mengkaji problem lingkungan hidup yang menghadapi masalah cukup kompleks dan dilematis, akibat dari cara pandangan manusia modern yang parsial dan reduksionis terhadap alam, seperti budaya materialisme, antroposentrisme, dan kapitalisme. Hal ini berbeda dengan Islam, yang menganggap alam tidak lain adalah ummah sebagaimana manusia. Pengakuan ini akan melahirkan penghormatan manusia kepada eksistensi setiap makhluk dalam lingkungannya. Bab ketiga, mengulas tentang paradigma pengembangan maqâsid alsyarî‟ah dalam konteks kekinian. Pemabahasan ini meliputi; pengertian maqâsid al-syarî‟ah, kajian maqâsid dalam lintas sejarah dan menimbang hifz al-bî‟ah (menjaga lingkungan) dalam maqâsid al-syarî‟ah.
Pembahasan mengenai
pengembangan maqâsid al-syarî‟ah ini sangat diperlukan, mengingat munculnya fenomena global warming, penipisan lapisan ozon, adanya hujan asam, dan lainlain menimbulkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan dewasa ini, sudah pada taraf mengancam kehidupan global yang jika tidak diatasi secara serius akan mengancam eksistensi dan kemaslahatan hidup manusia ke depan. Bab keempat, yang merupakan kajian pokok dalam penelitian ini, mengfokuskan pada dua objek kajian, Pertama, merekonstruksi penafsiran ayatayat lingkungan melalui pendekatan maqâsid al-syarî‟ah, meliputi: prinsip-prinsip pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan. Kajian ini bermaksud untuk
32
mengetahui sejauh mana teknis operasional pemanfaatan potensi bumi dan sejauh mana kadar dikatakan berlebih-lebihan, dengan lebih menitikberatkan pada kemaslahatan. Hal ini menjadi penting mengingat sebagai khalifah, manusia berkewajiban mengantarkan alam (binatang) memenuhi tujuan penciptaannya. Kedua, merekonstruksi wacana ekologi sebagai doktrin utama (usûl) syariat Islam. Lingkungan menjadi kata kunci dalam membangun tatanan masyarakat yang religius. Begitupun tentang hak dan kewajiban selalu terkait dengan lingkungan alam sekitar. Kewajiban memeliharanya berbanding lurus dengan pemeliharaan tujuan pokok syariat Islam (memelihara agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta). Penelitian tesis ini berakhir di bab kelima. Sebagai penutup, bab ini akan menyimpulkan pokok-pokok penelitian, yang sekaligus menjadi jawaban bagi permasalahan yang menjadi inti dari kajian ini. Bagian ini juga akan mengemukakan beberapa saran yang perlu dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut.
BAB II DISKURSUS ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
A. Problematika Lingkungan Hidup Problem lingkungan hidup dewasa ini menghadapi masalah yang cukup kompleks dan dilematis. Keberhasilan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya alam, menyisakan kerusakan lingkungan yang kian hari makin kritis. Hutan-hutan yang menyuplai oksigen dari hari ke hari kian menciut, air laut dan sungai mulai tercemar, tanah terkontaminasi zat-zat yang berbahaya, lapisan ozon semakin menipis, gumpalan gunung es di kutub utara dan selatan mencair, yang menyebabkan naiknya permukaan air laut, dan masih banyak masalah lainnya. Semua ini berakibat fatal yang akan mengancam keberlangsungan semua spesies makhluk hidup, terutama kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Banyak pihak yang menuding manusia sebagai dalang dari rusaknya lingkungan. Rakusnya manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam, membuat ekosistem alam tidak lagi seimbang. Padahal ketika manusia mampu berinteraksi dengan baik terhadap lingkungan, maka lingkungan pun akan memberikan nilai kebaikan untuk kehidupan manusia. Sebaliknya, ketika ritmik lingkungan mengalami ketidakseimbangan, maka ia akan mengganggu sistem keseimbangan kehidupan. Hal ini sejalan dengan teori para filosof, seperti alFarâbî (w. 339 H/950 M), Ibn Sînâ (w. 1037 M), Nasîruddin at-Tûsî (w. 1274
33
34
M),1 yang meyakini adanya sebuah doktrin kausalitas dan menganggap semua fenomena di alam semesta, merupakan akibat dari serangkaian sebab akibat. Dengan kata lain, sejumlah bencana lingkungan yang terjadi di bumi ini, berkorelasi erat dengan tindak-tanduk, tingkah laku manusia sebagai makhluk bumi. Untuk itu, sudah saatnya manusia kembali merenung bahwa lingkungan hidup sebagai sumber daya alam mempunyai daya lestari terbatas. Masalah lingkungan hidup harus mendapat perhatian serius, terutama ketika lingkungan dieksploitasi secara berlebihan. Untuk itu, mengkaji lingkungan menjadi sebuah keniscayaan, mulai dari apa itu lingkungan hidup, bagaimana fenomena kerusakan lingkungan hidup, dan apa yang menjadi akar kerusakan lingkungan hidup.
1. Pengertian Lingkungan Hidup Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata lingkungan adalah keadaan sekitar yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku makhluk hidup.2 Dalam Undang-Undang RI No. 4 tahun 1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang RI No 23 tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup, dikatakan bahwa Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan mahluk hidup, termasuk
manusia
dan
perilakunya,
yang
mempengaruhi
kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.3
1
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, (London: George Allen, dan Unwin Ltd, 1981), h. 97 2 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 877 3 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
35
Otto Soemarno, seorang pakar lingkungan juga mendefinisikan lingkungan hidup, yaitu jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang mempengaruhi kehidupan manusia.4 Pengertian lain juga disebutkan oleh Emil Salim dalam bukunya: Lingkungan Hidup dan Pembangunan, yaitu segala benda, daya, kondisi, keadaan, dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempunyai hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia.5 Dengan demikian lingkungan merupakan sebuah lingkup di mana manusia hidup, baik biotik (makhluk hidup), seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, maupun abiotik (tidak hidup), seperti alam. Sementara dalam linguistik Arab, istilah lingkungan dikenal dengan albî‟ah. Secara etimologi, kata al-bî‟ah diambil dari bentuk kata kerja bawwa‟a yang artinya berhenti, menetap atau yang berarti tempat tinggal. Adapun secara terminologi, kata al-bî‟ah menurut Yusuf al-Qardawi (l. 1245 H/1926 M) sebuah lingkup di mana manusia hidup, ia tinggal di dalamnya, baik ketika bepergian ataupun mengasingkan diri, sebagai tempat ia kembali, baik dalam keadaan rela atau terpaksa. Lingkungan ini meliputi lingkungan yang bersifat dinamis (lingkungan hidup), seperti manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, dan lingkungan statis (mati), seperti alam semesta dan berbagai bangunan. 6 Sedangkan
dalam
perspektif
al-Quran,
pengertian
lingkungan,
diperkenalkan dengan beragam term, yaitu al-„âlamîn, as-samâ‟, al-ard, dan albî‟ah. Pertama, kata al-„âlamîn, di dalam al-Quran disebutkan sebanyak 71 kali 4
Harum M. Husein, Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993), h. 6 5 Amos Neolaka, Kesadaran Lingkungan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), h. 27. 6 Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000), h. 12
36
(46 berkonotasi seluruh spesies dan 25 hanya berkonotasi spesies manusia).7 Kedua, al-samâ‟.8 Al-Quran memperkenalkan alam jagad raya ini dengan kata alsamâ‟ dan al-samâwât. Secara kuantitas kata al-samâ‟ dan derivasinya digunakan dalam al-Quran sebanyak 387 kali (210 dalam bentuk tunggal dan 177 bentuk plural).9 Kata al-samâ‟ di dalam al-Quran disebutkan dengan berbagai konotasi yaitu berkonotasi jagad raya,10 ruang udara,11 dan ruang angkasa.12 Dengan demikian cukup landasan untuk menyatakan bahwa jagad raya yang meliputi ruang atmosfer dan biosfer merupakan salah satu term yang digunakan al-Quran untuk mengungkapkan istilah lingkungan.13 Ketiga, al-ard. Kata al-ard digunakan dalam al-Quran sebanyak 485 kali dengan memiliki dua variasi makna, yaitu: 1) bermakna lingkungan planet bumi yang sudah jadi, dengan konotasi tanah sebagai ruang tempat organisme. 2) bermakna lingkungan planet bumi dalam proses penciptaan dan kejadiannya.14
7
Muhammad Fuad Abd al-Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz al-Qurân al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Hadîs, 1996), h. 589-591 8 Secara etimologi term al-samâ‟ dan derivasinya berakar pada kata samâ‟, yasmû, sumûwan wa samâ‟an yang berarti meninggi, menyublim, dan sesuatu yang tinggi. Sedangkan secara terminologis, berarti langit, jagad raya, ruang angkasa dan ruang waktu. Lihat Lisân al„Arâb, Jilid VIII, h. 79 9 Muhammad Fuad Abd al-Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz al-Qurân al-Karîm, h. 445-450 10 Diantaranya dalam QS al-Baqarah [2]: 22). Allah berfirman: 11
Diantaranya dalam QS. al-Nahl [16]: 79. Allah berfirman:
12
Diantaranya dalam surah al-Furqân [25]: 61. Allah berfirman:
13
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 44 14 Muhammad Fuad Abd al-Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz al-Qurân al-Karîm, h. 33-40
37
Kata al-ard dalam al-Quran disebutkan dengan berbagai konotasi, yaitu: lingkungan hidup,15 ekosistem bumi,16 dan daur ulang dalam ekosistem bumi.17 Keempat, al-bî‟ah. Kata al-bî‟ah disebutkan dalam al-Quran sebanyak 18 kali, namun hanya 6 ayat yang berkonotasi lingkungan sebagai ruang kehidupan.18 Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa, makna lingkungan hidup menurut al-Quran adalah lingkungan dalam arti luas yakni meliputi planet bumi, ruang angkasa, dan angkasa luar. Singkatnya, lingkungan dipahami bukan hanya meliputi lingkungan hidup manusia, melainkan lingkungan seluruh spesies, baik yang ada di ruang bumi maupun di ruang angkasa luar. Sebab pada kenyataannya, keseimbangan ekosistem di ruang bumi juga memiliki hubungan dengan ekosistem di luar ruang bumi. Oleh karena itu, manusia sebagai mandataris Tuhan di bumi sudah selayaknya menjaga kelestarian daya dukung lingkungan.
2. Fenomena Kerusakan Lingkungan Hidup Sejak mengenal peradaban, manusia selalu berusaha meningkatkan kualitas hidupnya dengan tujuan untuk mendapatkan kenyamanan dan kenikmatan hidup. Pada abad 19 M, ketika revolusi industri menguasai sebagian besar benua Eropa, usaha peningkatan kualitas hidup manusia ini sangat terasa gaungnya
15
Diantaranya dalam surah al-A‟râf [7]: 24. Allah berfirman: ....
16
Diantaranya dalam surah al-Nahl [16]: 15. Allah berfirman:
17
Diantaranya dalam surah al- Hajj [22]: 5. Allah berfirman: ....
18
QS. Ali Imrân [2]: 21, QS. al-A‟râf [7]: 74, QS. Yûnus [10]: 93, QS. Yûsuf [12]: 56, QS. al-Nahl [16]: 41, dan QS. al-„Ankabût [29]: 58
38
hingga menyebar ke Amerika. Mereka berlomba menciptakan mesin-mesin pengolah bahan mentah, menjadi bahan jadi dan setengah jadi. Perlombaan itu juga melanda bidang pertanian dan perkebunan, dengan cara membuka lahanlahan baru di Amerika, Asia, Australia, dan Afrika, melalui mesin-mesin pertanian dan industri yang mampu mempercepat proses produksi. Bahan-bahan tambang juga tidak luput menjadi sasaran usaha peningkatan kesejahteraan manusia, sehingga kekayaan alam yang tersimpan dalam perut bumi ikut terkuras. Apalagi dengan penambahan penduduk dunia yang semakin meningkat.19 Usaha peningkatan kesejahteraan manusia ini, dari satu sisi memunculkan kemajuan teknologi dan industri yang sangat didambakan oleh setiap bangsa, namun pada saat yang sama, aktivitas industrialisasi dan teknologi ini memberikan dampak yang sangat merugikan bagi kelestarian lingkungan. Misalnya, rusaknya lingkungan udara akibat polusi dari aktivitas industri dan transportasi, yang apabila dihirup secara terus menerus akan mengancam keselamatan manusia, hewan, dan tanaman. Di sisi lain juga terjadi kerusakan di hutan akibat kepentingan produksi perusahaan yang mengeksploitasi secara besarbesaran, sehingga menyebabkan hilangnya lahan resapan air, rusaknya kadar produktif tanah, dan habitat-habitat satwa langka. Selain itu juga terjadi pencemaran lingkungan air, baik air sungai, air tawar, maupun air laut yang disebabkan oleh pembuangan limbah yang berasal dari bahan kimia berbahaya dan sisa-sisa dari radioaktif. Akibatnya lingkungan pun terkorbankan. Beragam bencana baik di darat maupun di laut menjadi pemandangan yang menjadi 19
Wisnu Arya Wardana, Dampak Pencemaran Lingkungan (Yogyakarta: Andi Offset, 1999), h.1-2
39
rutinitas di negeri ini, dengan menyisakan beragam penderitaan dan kerugian. Allah berfirman: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum [30]: 41) Secara leksikal, menurut al-Asfahani kata al-fasâd bermakna خروج الشيئ عه ( اإلعتدال قليال كان الخروج عىً أو كثيراkeluar dari keseimbangan, baik pergeseran itu sedikit maupun banyak).20 Al-fasâd merupakan antonim dari kata al-salâh yang berarti manfaat atau berguna. Para mufasir konservatif memahami kata ini hanya sebatas kerusakan sosial dan kerusakan spiritual semata, misalnya Ibn Katsîr (w. 1373 M) dalam Tafsîr Ibn Katsîr, memahami al-fasâd dengan perbuatan syirik, pembunuhan, maksiat, dan segala pelanggaran terhadap Allah.21 Semantara para ulama progresif memahami al-fasâd sebagai krisis lingkungan secara fisik yang mengakibatkan berbagai bencana, seperti penyebaran penyakit, krisis pangan, krisis sumber daya alam, perubahan musim, pencemaran lingkungan yang membahayakan
seluruh
spesies
bumi.22
Ini
menunjukkan
bahwa
ada
perkembangan penafsiran, namun keduanya dapat disintesiskan menjadi satu penafsiran yang lebih konkrit, bahwa krisis lingkungan hidup secara fisik merupakan akibat dari krisis spiritual manusia yang berkepanjangan. Menurut 20
Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qurân, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h.
393 21
Abu al-Fida‟ Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qurân al-Azim, (t.tp: Dar Thibah li an-Nasyr, 1999), jilid 6, h. 319 22 Yusuf al-Qardawi, Ri‟ayat al-Bî‟ah fi Syarî‟at al-Islâm, h. 29
40
Sayyed Hossein Nasr (l.1933 M), krisis lingkungan disebabkan adanya krisis spiritual manusia modern. Manusia modern telah menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya telah tereduksi dan terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang kurang manusiawi. Menurutnya, aspek spiritual yang dipinggirkan, membuat manusia modern berpandangan bahwa manusia dapat menggunakan segala aset alam tanpa batas.23 Akibatnya, alam mengalami beban eksploitasi yang jauh di luar batas kemampuannya. Berbagai bencana alam pun terjadi di berbagai belahan dunia. Al-Quran menginformasikan kepada manusia bahwa bencana-bencana alam sering kali diawali dengan terjadinya penyimpangan perilaku manusia di dalam masyarakat. Dengan kata lain, menurut Nasaruddin Umar, bahwa perilaku makrokosmos seringkali berbanding lurus dengan perilaku mikrokosmos. Misalnya, bencana banjir bandang24 umat Nabi Nuh yang keras kepala dan diwarnai berbagai kezhaliman.25 Umat Nabi Syu‟aib yang penuh dengan korupsi dan
kecurangan,26
dihancurkan
dengan
gempa
yang menggelegar
dan
mematikan.27 Umat Nabi Shaleh yang kufur dan dilanda hedonisme dan cinta dunia yang berlebihan,28 dimusnahkan dengan keganasan virus yang mewabah dan gempa.29 Umat Nabi Luth yang dilanda kemaksiatan dan penyimpangan seksual30 dihancurkan dengan gempa bumi dahsyat.31 Penguasa Yaman, Raja 23
Sayyed Hossein, Man and Nature, The Spiritual Crisis in Modern Man, (London: George Allen & Unwin, 1976), h. 14 24 QS. Hûd [11]: 40 25 QS. al-Najm [53]: 52 26 QS. al-A‟râf [7]: 85, Hûd [11]: 84-85 27 QS. Hûd [11]: 94 28 QS. al-Syu‟âra‟ [26]: 146-149 29 QS. Hûd [11]: 67-68 30 QS. Hûd [11]: 78-79
41
Abrahah yang berambisi mengambil alih Ka‟bah sebagai bagian dari ambisinya untuk memonopoli segala sumber ekonomi, juga dihancurkan dengan cara mengenaskan sebagaimana dilukiskan dalam surah al-Fil [105]: 1-5.32 Sikap egoisme dan egosentrisme manusia inilah yang menjadi penyebab krisis lingkungan. Allah berfirman: Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (QS. al-Mu‟minun [23]: 71) Kata al-haqq pada ayat di atas dapat berarti Allah al-Quran, atau dapat berarti kebenaran secara umum. Dengan demikian yang dimaksud ayat di atas adalah apabila sebuah kebenaran berjalan mengikuti keinginan dan hawa nafsu manusia, tentu saja tata aturan yang melandasi langit dan bumi serta makhlukmakhluk lainnya, tidak akan berjalan dengan baik bahkan akan menjadi kacau.33 Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa hidup manusia sebagai individu dan masyarakat, akan hancur apabila masing-masing mengikuti hawa nafsu dan keinginannya. Begitu juga dengan fenomena krisis lingkungan yang merupakan akibat dari sikap egoisme, keserakahan, dan kelalaian manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam.
31
QS. Hûd [11]: 82 Nasaruddin Umar, Islam Fungsional, (Jakarta: Rahmat Semesta Center, 2010), h. 275. 33 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. VIII, h. 392 32
42
Secara global, krisis lingkungan tergambar dalam lima bentuk kerusakan yaitu, global warming, menipisnya lapisan ozon, hujan asam (acid rain), deforestasi
(penebangan
hutan)
dan
penggurunan,
serta
punahnya
keanekaragaman hayati. Berikut penjelasannya: a) Global warming (Pemanasan Global) Pemanasan global (global warming)34 menjadi salah satu isu utama yang dihadapi dunia saat ini. Isu tersebut timbul mengingat pemanasan global akan berdampak sangat besar terhadap lingkungan. Dampak tersebut dapat berupa perubahan iklim,35 sehingga diperkirakan akan terjadi perubahan pola hujan, yaitu ada daerah yang curah hujannya naik dan di daerah lain justru curah hujannya berkurang. Hal ini menurut Otto Soemarwoto, 36 akan meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem,37 mengacaukan sistem pertanian,38 meningkatnya intensitas badai,39 dan punahnya berbagai jenis hewan.40
34
Pemanasan global adalah kenaikan suhu bumi yang berskala global dan bersifat antropogenik. Artinya, kenaikan suhu bumi yang berskala global diakibatkan oleh perilaku manusia dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan. Peningkatan suhu permukaan bumi ini dihasilkan oleh adanya radiasi gelombang pendek, termsuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba di permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca, antara lain: uap air, karbondioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Lihat Ahmad Sururi, Menggapai Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, dalam Jurnal Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014 35 Menurut Kepala Pusat data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan resmi, pada Sabtu 18/6/2016 bahwa, lebih dari 95 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi yaitu bencana yang dipengaruhi oleh faktor cuaca dan iklim. 36 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1997), h. 143 37 Secara global, jumlah bencana alam yang berhubungan dengan cuaca dilaporkan naik hingga tiga kali lipat, sejak tahun 1960-an. Setiap tahun, bencana ini mengakibatkan lebih dari 60.000 kematian, terutama di negara-negara berkembang. Naiknya permukaan laut dan kejadian cuaca ekstrem akan menghancurkan tempat tinggal, fasilitas medis, dan layanan penting lainnya. Lebih dari separuh populasi dunia hidup di wilayah yang hanya berjarak 60 km dari laut. Mereka
43
Pemanasan global juga akan berdampak pada naiknya permukaan laut. Kenaikan permukaan laut ini disebabkan oleh memuainya air laut dan melelehnya akan terpaksa pindah, dan pada gilirannya, risiko berbagai efek kesehatan akan semakin tinggi, termasuk gangguan mental dan penyakit menular. Naiknya variabel curah hujan, air hujan, dan air tanah yang mengandung asam akibat polusi, secara langsung memengaruhi suplai air bersih di seluruh dunia. Kurangnya air bersih terbukti dapat meningkatkan risiko penyakit diare, yang membunuh sekitar 760.000 anak-anak berusia di bawah usia 5 tahun, pada setiap tahunnya. Dalam kasus ekstrem, kelangkaan air menyebabkan kekeringan dan kelaparan. Pada akhir abad ke-21, perubahan iklim cenderung meningkatkan frekuensi dan intensitas kekeringan dalam skala regional dan global. Frekuensi dan intensitas banjir juga meningkat, begitupun dengan curah hujan yang ekstrem. Banjir mencemari persediaan air tawar, meningkatkan risiko penyakit yang terbawa air, dan menciptakan tempat berkembang biak bagi serangga pembawa penyakit seperti nyamuk dan tikus. Banjir juga menyebabkan luka-luka fisik dan mental yang tidak terhitung, rumah-rumah rusak, mengganggu pasokan medis, makanan, dan pelayanan kesehatan. Meningkatnya suhu dan variabel curah hujan, cenderung menurunkan produksi makanan pokok di banyak daerah. Hal ini akan meningkatkan prevalensi gizi buruk, yang sampai saat ini menyebabkan 3,1 juta kematian setiap tahun. Lihat Dahsyatnya Efek Pemanasan Global terhadap Kesehatan, dalam Kompas.com, pada hari Senin, 21 Desember 2015 pukul 09:01 WIB. 38 Contoh kecil misalnya di wilayah Jawa Tengah. Buruknya cuaca yang melanda sebagian besar wilayah Jawa Tengah sepanjang tahun 2016, memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pertanian. Cuaca ekstrem itu membuat siklus masa panen petani menjadi terganggu, bahkan hingga menyebabkan kegagalan panen. Kepala seksi (Kasi) Observasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jateng, Reni Kraningtyas, mengungkapkan dari hasil penelitian yang dilakukan BMKG Jateng bersama dinas-dinas terkait dan akademisi di sejumlah perguruan tinggi di Jateng, hampir setiap petani di Jateng mengalami gagal panen akibat cuaca ekstrem yang ditandai curah hujan yang sangat tinggi. Curah hujan yang sangat tinggi itu tentunya sangat berdampak kepada petani. Apalagi dengan kondisi cuaca saat ini yang sering kita sebut kemarau basah. Saat musim panen yang seharusnya tidak membutuhkan curah hujan tinggi, justru hujan turun dengan intensitas tinggi. Cuaca semacam ini akhirnya tidak bisa dijadikan patokan petani untuk memanen padi maupun palawija. Akibatnya siklus panen pun jadi berantakan. Lihat Imam Yuda Saputra, Cuaca Ekstrem Sepanjang 2016, Siklus Panen Petani Terganggu, di Semarangpos.com, pada hari Selasa, 01 September 2016. 39 Pakar perubahan iklim Institut Teknologi Bandung, Armi Susandi, mengatakan penyebab cuaca ekstrem di Indonesia adalah masuknya dua badai tropis atau pusaran angin yang berada di kawasan utara dan selatan. Dengan demikian, iklim di Indonesia menjadi ekstrem karena perubahan pola awan yang dinamis di Indonesia. Armi mengungkapkan, masuknya dua badai tropis tersebut karena pemanasan global, sehingga terjadi penekanan yang sangat ekstrem terhadap iklim di Indonesia. Sebab, sebelumnya penekanan suhu di Indonesia cukup rendah dan sekarang menjadi tinggi. Buntutnya, pertumbuhan badai yang sudah masuk ke Indonesia dan telah berkembang menyebabkan dampak cuaca ekstrem dengan curah hujan tinggi dan angin kencang. "Banjir dan longsor akan terjadi di mana-mana bila tidak diantisipasi. Lihat Imam Hamdi, Cuaca Ekstrem, Ada Dua Badai Tropis Baru Masuk ke Indonesia, dalam Tempo.com, pada hari Jumat, 25 November 2016 40 Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan global, karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah. Lihat Made Suarsana dan Putu Sri Wahyuni, Global Warming: Ancaman Nyata Sektor Pertanian Dan Upaya Mengatasi Kadar Co2 Atmosfer, dalam jurnal Widyatech: Jurnal Sains dan Teknologi, Vol. 11, No. 1 Agustus 2011, h. 36
44
es abadi di pegunungan tinggi dan di daerah kutub, sehinga volume air laut bertambah. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)41 dalam 100 tahun terakhir, permukaan laut telah naik antara 10-25 cm. Dengan adanya pemanasan global, pada tahun 2100 permukaan laut diperkiraan akan 38-55 cm lebih tinggi daripada sekarang. Kenaikan permukaan laut ini tentulah terjadi secara gradual. Berdasarkan perkiraan Houghton pada tahun 2019 permukaan laut mungkin akan naik 10-15 cm. Menurut Dalil Bruun setiap kenaikan 1 cm pada permukaan laut, garis pantai akan mundur dengan rata-rata 1 m yang disebabkan oleh naiknya laju abrasi pantai. Dengan demikian kenaikan permukaan laut 10-15 cm akan menyebabkan mundurnya garis pantai yang landau dengan 10-15 m. Artinya, daerah seluas 10-15 m sepanjang garis pantai akan tergenang laut. Bersamaan dengan itu, salinitas air estuari juga naik dan bergerak ke arah daratan, sehingga kenaikan salinitas akan lebih luas daripada 10-15 m. Luas dampak salinitas ini terutama akan terasa dalam musim kemarau pada waktu curah hujan lokal dan debit air sungai turun. Intrusi air laut ke dalam air tanah akan makin luas. Hutan mangrove akan terkena dampak pula. Dampak sosial-ekonominya ialah tergenangnya tambak, sawah, pemukiman, jalan, pantai wisata, dan prasarana lain yang terletak dalam daerah 10-15 m dari garis pantai.42 Dengan
41
IPCC adalah badan dunia yang didirikan oleh dua organisasi internasional yaitu, WMO (World Meteorologycal Organization) dan UNEP (United Nations Environment Program) yang bertujuan untuk memberikan prediksi secara periodik sains, dampak dan sosial ekonomi dari perubahan iklim dengan memberikan pilihan beradaptasi atau melakukan pengurangan. Lihat Armi Susandi, Bencana Perubahan Iklim Global dan Proyeksi Perubahan Iklim Indonesia, artikel Kelompok Keahlian Sains Atmosfer Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral Institut Teknologi Bandung. 42 Otto Soemarwoto, Dampak Lingkungan terhadap Kesehatan, (Bandung: PT. Alumni, 2007), h. 44
45
demikian dampak dari fenomena pemanasan global benar-benar sangat membahayakan kehidupan manusia ke depan. Pada hakikatnya, pemanasan global ini merupakan proses panjang hasil konsumsi energi berlebih dan tidak berkelanjutan oleh negara-negara industri. Sejak
dilangsungkannya
revolusi
industri,
lingkungan
global
menderita
pencemaran udara yang berdampak besar pada perubahan situasi bumi. Penggunaan teknologi dalam rangka eksploitasi alam memainkan peran yang esensial dalam mempengaruhi situasi tersebut. Salah satu akibatnya adalah peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) secara tidak alami di atmosfer bumi, yang kemudian berdampak pada memanasnya suhu bumi. Tentu saja dalam kasus ini, industri dan kendaraan bermotor memainkan peranan yang besar. Bayangkan, dalam satu tahun diperkirakan ada lima milyar ton karbondioksida dilemparkan ke dalam atmosfer, yang mengakibatkan es dan salju di kutub utara dan selatan mencair dan permukaan laut akan naik.43 b) Menipisnya Lapisan Ozon Bumi di kelilingi lapisan ozon (O3)44 dalam atmosfer yang mempunyai fungsi penting, yaitu melindungi kehidupan dari sinar ultraviolet. Hasil pemantauan melalui satelit menunjukkan bahwa, menipisnya lapisan ozon telah terjadi semenjak tahun 1970-an, yakni terbentuknya lubang ozon di atas Antartika (kutub selatan). Fakta yang mengejutkan, pada tahun 1997, lubang lapisan ozon 43
Ismi Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan Sebuah Pengantar, dalam Jurnal Prisma, Vol. 29. No. 2 April 2010, h. 4-5 44 Ozon merupakan gas yang secara alami terdapat di dalam atmosfer. Lapisan ozon mulai dikenal oleh seorang ilmuwan dari Jerman, Christian Friedrich Schon bein pada tahun 1839. Ozon adalah ahsil reaksi antara oksigen dengan sinar ultraviolet dari matahari. Ozon di udara berfungsi menahan radiasi sinar ultraviolet dari matahari pada tingkat yang aman untuk kesehatan kita semua. Lihat Otto Soemarwoto, Dampak Lingkungan terhadap Kesehatan, h. 35
46
mencapai luas 25 juta kilometer persegi, 60 persen lebih besar dari hasil pengukuran pada tahun 1980. Perusakan lapisan ozon diakibatkan oleh beberapa sebab, salah satu penyebab yang paling berpengaruh yakni pelepasan bahan chloroflourcarbon (CFC)45 ke dalam udara. Bahan kimia ini banyak dipakai dalam kaleng penyemprotan aerosol, lemari es, dan AC (penyejuk ruangan). Selain itu, diungkapkan Tri Widayati, dari Bidang Atmosfer Kementerian Lingkungan Hidup (LH), selain propellant berbagai senyawa kimia perusak ozon buatan manusia (halon, metil bromida, dan lain-lain) masih juga banyak digunakan.46 Penipisan lapisan ozon akan menyebabkan lebih banyak sinar radiasi ultra ungu memasuki bumi. Radiasi ultra ungu ini dapat menimbulkan efek pada kesehatan manusia, memusnahkan kehidupan laut, ekosistem, mengurangi hasil pertanian dan hutan. Efek utama yang ditanggung manusia, antara lain peningkatan penyakit kanker kulit, kerusakan mata (termasuk katarak) dan melemahkan sistem imunisasi badan. Para pemerhati lingkungan sudah lama membicarakan seriusnya masalah menipisnya lapisan ozon. Berbagai kampanye lingkungan hidup, sosialisasi tentang pentingnya menjaga lapisan ozon telah pula dilakukan. Sayangnya, hingga kini belum nampak respon yang berarti, karena masih banyak orang yang belum sadar untuk terlibat menjaga lapisan ozon agar tidak semakin parah.
45
Chloroflourcarbon (CFC) adalah senyawa organik yang mengandung karbon, klorin, dan flour, diproduksi sebagai turunan dari metana dan etana. CFC banyak digunakan sebagai pendingin, propelan (dalam semprotan aerosol), dan pelarut. 46 Robin Attfield, Etika Lingkungan Global, terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), h. 126
47
c) Hujan Asam Istilah hujan asam pertama kali digunakan oleh Robert A. Smith (1872) dalam bukunya, Air and Rain: The Beginnings of Chemical Technology, yang menguraikan tentang keadaan di Manchester, sebuah daerah industri di bagian utara Inggris. Pencemaran udara akibat aktivitas industrialisasi dan transportasi yang menjadikan batubara sebagai sumber energi, menimbulkan berbagai masalah lingkungan.47 Pembakaran batubara dan bahan bakar fosil lainnya yang terus meningkat dari waktu ke waktu, menimbulkan pelepasan polutan gas-gas asam yang dikeluarkan melalui cerobong asap dan akan tersebar serta berubah menjadi asam yang terlarut dalam air hujan, sehingga menimbulkan hujan asam pada kawasan yang sangat luas. Asam yang terbawa oleh air hujan tersebut dapat memunculkan berbagai macam gangguan terhadap lingkungan, seperti kerusakan hutan, ketandusan tanah, kematian ekosistem air, dan kerusakan konstruksi. Bagi manusia, hujan asam bisa mengakibatkan gangguan saluran pernafasan dan paruparu.48 d) Deforestasi49 dan penggurunan Penebangan hutan secara tidak terkendali, baik terkait kebutuhan akan kayu maupun membuka lahan baru, telah menyebabkan hutan semakin cepat
47
Pembakaran bahan bakar menghasilkan berbagai jenis gas, antara lain, berbagai senyawa belerang dan nitrogen. Di dalam atmosfer SO2, hidrogen sulfide dan sulfide organic serta NOx mengalami perubahan kimia menjadi berturut-turut asam sulfat dan asam nitrat. Asam tersebut sebagian larut dalam butir-butir air awan dan turun ke bumi sebagai deposisi basah di dalam hujan. Sebagian lagi tinggal di atmosfer dan dapat mengalami deposisi kering atau terbawa oleh hujan sebagai deposisi basah. Lihat Otto Soemarwoto, Dampak Lingkungan terhadap Kesehatan, h. 40 48 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius,2000) h. 313 49 Deforestasi adalah proses penghilangan hutan alam dengan cara penebangan untuk diambil kayunya atau mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan. Bisa juga dsebabkan oleh kebakaran hutan baik yang disengaja atau terjadi secara alami.
48
berkurang. Menurut Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, Kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,1 juta hektare pertahun. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena masalah tersebut akan memicu bencana lain seperti pemasanan global.50 Bahkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat angka tersebut pernah mencapai 3,4 juta hektar pertahun. Kerugian akibat illegal loging (penebangan liar) mencapai 40-65 triliun setiap tahunnya. Tahun 2003, laju kerusakan hutan menurun menjadi 3,2 juta hektar dan Tahun 2005 berkisar 2,4 juta hektar.51 Konsekuensi dari eksploitasi dan penebangan hutan
(deforestasi) secara besar-besaran, membawa sejumlah dampak yang
serius. Hutan berfungsi
menyerap karbondioksida
yang dihasilkan oleh
pembakaran bahan bakar fosil, sehingga deforestasi mempercepat terjadinya efek rumah kaca. Di sisi lain deforestasi juga mengakibatkan berkurangnya peresapan air ke dalam tanah dan naiknya volume air larian, yaitu air hujan yang mengalir di atas
permukaan
tanah.
Berkurangnya
peresapan
air
ke
dalam
tanah,
mengakibatkan menurunnya permukaan air tanah pada musim kemarau dan makin banyaknya mata air yang mengering, sehingga debit air sungai menurun dengan tajam. Penurunan debit air menyebabkan naiknya kadar zat pencemar. Sedangkan naiknya volume air larian meningkatkan risiko terjadinya banjir.52 Banjir yang
50
Martha Herlinawati Simanjuntak, FWI: Laju Deforestasi Indonesia Tertinggi, dalam Antarnews.com, pada hari Kamis, 15 Januari 2015 51 Abdul Quddus, Ecotheology Islam: Teologi Konstruktif Atasi Krisis Lingkungan, dalam Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, Vol.16, No. 2, Desember 2012, h. 316 52 Otto Soemarwoto, Dampak Lingkungan terhadap Kesehatan, h. 24
49
terjadi sering merusak tanaman, sehingga penduduk yang kebanjiran mengalami kesulitan pangan dan kerentanan terhadap serangan penyakit.53 e) Punahnya Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati (biodiversity), yang meliputi jenis-jenis kehidupan (spesies),54 punya peranan penting dalam ekosistem. Manusia membutuhkan berbagai sumber makanan, obat-obatan dan kebutuhan hidup lainnya yang sangat bergantung pada ketersediaan keanekaragaman hayati. Hilangnya satu spesies dari muka bumi berarti berkurangnya kekayaan alam. Salah satu akibat besar dari kerusakan lingkungan hidup adalah kepunahan spesies yang semakin bertambah setiap waktu. Ini sebagian besar disebabkan oleh penggunaan pestisida dan herbisida yang semakin intens dan diperparah oleh penebangan hutan. Kita tahu hutan merupakan salah satu sumber keanekaragaman hayati. Dan kepunahan suatu spesies yang menjadi mangsa atau pemangsa dalam suatu ekosistem, berdampak pada peningkatan atau penurunan jumlah populasi spesies lain, begitu seterusnya Jika semua spesies musnah dan ekosistem menjadi rusak tentu tidak bisa kembali seperti semula.55 Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa, kondisi dunia saat ini disergap oleh sebuah krisis global dalam arti yang sesungguhnya, karena menyangkut hajat hidup seluruh penghuni bumi tanpa kecuali, yang lintas batas 53
Banjir menjadi bencana yang kerap terjadi di Indonesia. menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional, selama Januari-September 2016 telah terjadi 1.704 bencana , 584 kali diantaranya adalah banjir, dan sebanyak 47 kali banjir disertai longsor. Lihat http://databoks.katadata.co.id?datapublish/2016/10/26/584-bencana-banjir-melanda-ndonesia. 54 Keanekaragaman hayati diartikan sebagai keanekaragaman spesies tumbuhan dan hewan di suatu kawasan di muka bumi. keberadaan spesies-spesies tersebut merupakan bagian integral dari ekosistem yang ikut serta menjaga kelestarian lingkungan. lihat John S. Masjhur, Manusia, Kesehatan dan Lingkungan, (Bandung: PT. Alumni, 2007), h. 9 55 Ahmad Sururi, Menggapai pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, dalam Jurnal Fikrah, vol. 2, No. 1, Juni 2014, h. 102
50
negara, etnis, ideologi, budaya, dan agama. Krisis itu adalah krisis lingkungan (environmental crisis), yang dalam pembahasan ilmiah filosofis disebut juga dengan krisis ekologi (ecological crisis).
3. Akar Krisis Lingkupan Hidup Dari sudut evolusi dan ekologi, manusia berasal dan tergantung pada alam. Karena itu, apapun yang dilakukan manusia pada lingkungannya niscaya akan berbalik menimpanya. Ketika manusia merusak keseimbangan alam, maka alam pun akan memberikan dampak fatal yang akan menyengsarakan manusia. Untuk menghindari hal tersebut, masyarakat modern perlu menangani empat karakter destruktif peradaban modern, yang disinyalir sebagai akar terjadinya krisis lingkungan, yaitu: a) Paradigma Dominasi Paradigma (cara pandang) suatu kelompok masyarakat sangat berpengaruh dalam menentukan sikap dan perilaku mereka terhadap alam dan lingkungannya. Sebagian pakar berpendapat bahwa timbulnya masalah-masalah lingkungan disebabkan oleh paradigma yang menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta, atau yang dikenal dengan istilah antroposentrisme. Menurut Resmussen –sebagaimana dikutip oleh Mary Evelyn dan John A. Grim– bahwa akar dari segala permasalahan lingkungan berawal dari filsafat antroposentrisme.56 Ia mendefinisikan antroposentrisme sebagai teori etika lingkungan yang memandang pusat alam semesta adalah manusia, sehingga 56
Mary Evelyn dan John A. Grim , Agama Filsafat dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 217-21
51
kepentingan manusia paling menentukan dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan alam.57 Karena itu, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian, sejauh dapat menunjang dan demi kepentingan manusia. Manusia dianggap sebagai penguasa alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam, termasuk melakukan eksploitasi alam dan segala isinya, karena alam dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri.58 Cara pandang inilah yang pada akhirnya manusia mengganggap dirinya superior dan bersikap hegemonik terhadap inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung bersifat konsumtif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam. Banyak para sarjana menyadari bahwa kompleksitas krisis ekologi ini tidak dapat dipisahkan dari cara pandang manusia modern. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dari pernyataan-pernyataan para sarjana diantaranya: 1) Langdon Gilkey menyatakan: „relasi-relasi modern terhadap alam semesta, bahkan sikap dan pandangan manusia modern terhadap alam, telah mendorong berbagai bencana yang terjadi dewasa ini‟.59 57
Terdapat beberapa teori etika lingkungan; etika egosentris, etika homosentris, antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, dan ekofeminisme. Etika egosentris adalah etika lingkungan yang mendasarkan diri pada kepentingan-kepentingan individu. Sedangkan etika homosentris adalah etika lingkungan yang mendasarkan pada kepentingan sebagian masyarakat. Lihat Eka Budianta, Eksekutif Bijak Lingkungan, (Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, 1997), h. 5. Selanjutnya etika biosentrisme adalah teori lingkungan hidup yang menganggap bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Sehingga semua makhluk hidup pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Berbeda dengan teori biosentrisme yang hanya memusatkan pada kehidupan seluruhnya. Ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang mati.. Lihat Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas, 2002), h. 76. Terakhir etika Ekofeminisme yaitu sebuah teori dan gerakan etika, sebagaimana halnya Biosentrisme dan Ekosentrisme yang ingin mendobrak etika Antroposentrisme yang lebih mengutamakan manusia daripada alam. Namun, lebih dari itu, ekofeminisme juga menggugat Androsentrisme yaitu teori etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki. Etika kepedulian yang ditawarkan dalam teori ini. Lihat Sonny Keraf, Etika Lingkungan, h. 189 58 Sonny Keraf, Etika Lingkungan, h. 34 59 Langdon Gilkey, Nature, Reality and the Sacred the Nexus of Science and Religion, (Minneapolis: Augsburg Fortress, 1993), h. 79
52
2) Gregory Bateson dalam Steps to An Ecology of Mind menyatakan: Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan epistemologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antartika.‟60 3) Fritjof Capra menyatakan, “krisis-krisis global dimuka bumi dapat dilacak pada cara pandang dunia manusia modern”.61 Pandangan para sarjana di atas melukiskan kecenderungan problem kemanusiaan global yang makin terkait satu sama lain sebagaimana halnya kesalinghubungan dan kesalingketergantungan berbagai aspek dan dimensi kehidupan itu sendiri.62 Hal ini bermula pasca renaisans yang ditandai dengan kebangkitan industrialisasi di Barat. Manusia menemukan kesadaran baru, kesadaran sebagai makhluk yang sangat penting di muka bumi ini. Kesadaran ini menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang unik, yang menduduki posisi tertinggi di tengah jagad semesta ini. Manusia berbeda dengan makhluk- makhluk lain di alam, bahkan terpisah dari alam. Kesadaran ini melandasi perkembangan ilmu pengetahuan pasca renaisans sampai sekarang.63 Akibatnya paham antroposentrisme tidak hanya bersifat individual, tetapi juga terlekat pada ilmu pengetahuan, teknologi, sistem ekonomi, dan struktur kekuasaan para pemegang kekuasaan dan otoritas.
60
Mehdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut al-Quran, (Jakarta: Mizan, t.th), h. 7 Fritjof Capra, Jaring-Jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, diterjemahkan oleh Saut Pasaribu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001), h. 32 62 Yohanes I Wayan Marianta, Akar Krisis Lingkungan Hidup, dalam Jurnal Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011, h. 236 63 Sejak masa renaisans- masa kelahiran sains modern- tujuan sains yakni untuk memberikan tempat pada manusia sebagai penguasa alam, sehingga manusia bisa bebas mengeksploitasinya demi kepentingan manusia sendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Baca Sejarah Filsafat Barat tentang Renaissance dalam Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), h. 357. Baca juga Filsafat Sains al-Quran Mehdi Gulshyani dalam pengantarnya yang ditulis oleh Haidar Bagir dan Zainal Abidin Bagir. 61
53
Oleh karena itu, bisa dipahami mengapa isu lingkungan sekarang sangat tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang notabenenya wilayah politik?, Hal ini disebabkan adanya hubungan erat dengan antroposentrisme yang memunculkan kebijakan yang selalu saja mengabaikan lingkungan. Dan anehnya para pelaku perusak lingkungan melegalkan perbuatannya dengan legetimasi kitab suci. Walhasil kitab suci sering dituding sebagai faktor penyebab manusia memiliki paradigma antroposentrisme. Memang ada beberapa prinsip dasar ajaran Islam mengenai konsep hakikat manusia yang dipahami secara parsial, sehingga menjadi simpul-simpul teologi yang bias antroposentris, yaitu manusia sebagai makhluk istimewa (super being),64 manusia sebagai makhluk yang diberi akal (rasional),65 manusia makhluk yang paling kuasa atas alam (sukhriya‟)66 dan konsep khalîfah fî alard.67 Keempat dasar keagamaan inilah yang kemudian diduga melebur menjadi satu dalam bingkai teologi lingkungan yang terkesan antroposentris. Gejala-gejala demikian nampak ketika dijumpai dalam kehidupan nyata akan perilaku masyarakat yang tidak mencerminkan perilaku ekologis. Mulai dari eksplorasi alam tanpa batas, boros energi, pencemaran dan sebagainya. Keyakinan 64
Diantaranya terdapat dalam surah al-Isrâ‟ [17]: 70
65
Diantaranya terdapat dalam surah al-Nahl [16]: 78
66
Diantaranya terdapat dalam surah al-Jâtsiyyah [45]: 13
67
Diantaranya terdapat dalam surah al-An‟âm [6]: 165
54
antroposentris inilah yang sudah saatnya ditafsir ulang dan dibongkar dengan ayat-ayat ekologis secara komprehensif. b) Ledakan Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk juga merupakan faktor krusial yang menjadi akar krisis lingkungan. Kesenjangan dua kutub antara pertumbuhan penduduk (population) dan kebutuhan selalu menjadi perbincangan para ilmuwan dan negarawan di berbagai belahan dunia. Manusia sebagai subsistem dari ekosistem, pada hakekatnya di-supplay secara kontinyu oleh subsistem lainnya. Dari korelasi ini akan menimbulkan masalah lingkungan apabila terjadi ketidakharmonisan. Jika manusia sebagai subsistem mengalami tingkat massa (populasi) yang melampui supply, maka dalam waktu tertentu kebutuhan pokok manusia yang bersumber dari ekosistemnya (natural resources) akan mengalami kemerosotan. Pernyataan ini diperkuat dengan teori Malthus yang mengatakan bahwa, jarak tingkat pertumbuhan penduduk akan semakin meloncat jauh ke atas, yang dapat digambarkan dengan deret ukur. Sedangkan tingkat pertumbuhan kebutuhan penduduk mempunyai batas-batas pertumbuhan tertentu yang hanya meningkat secara deret hitung. Hal inilah yang dapat mengakibatkan kegoncangan di bidang pengadaan bahan pangan sehingga memberi tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan.68 Kaitan antara krisis lingkungan dan pertumbuhan penduduk mudah dimengerti. Populasi yang lebih besar berarti lebih banyak „perut‟ yang harus dikenyangkan. Pertambahan penduduk menyebabkan kenaikan level konsumsi. 68
102.
NHT Siahaan, Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2004), h.
55
Pembengkakan level konsumsi menuntut kenaikan level produksi. Keduanya akan mengakibatkan lebih banyak polusi. Kerusakan dan eksploitasi alam mejadi meningkat seiring adanya persaingan atas sumber-sumber daya alam yang terbatas. Untuk itu ledakan penduduk perlu dicegah. Prinsip ekologis menggariskan bahwa populasi manusia, sama seperti spesies lain, tidak bisa terus tumbuh tanpa batas dalam sebuah lingkungan yang terbatas. Pertumbuhan manusia tunduk pada prinsip ekologis sejauh manusia tetap tergantung pada sumber-sumber daya alam untuk kelangsungan hidupnya. Pertumbuhan populasi manusia, pada akhirnya akan dibatasi oleh ketersediaan pasokan sumber-sumber daya alam, antara lain untuk kebutuhan energi.69 Melihat pertumbuhan penduduk dan tingginya tingkat konsumsi energi masyarakat modern, seorang ahli ekologi pasti akan khawatir bahwa keruntuhan sedang membayangi peradaban manusia. Peringatan akan bahaya pertumbuhan penduduk bukan hal baru. Dalam bukunya An Essay on the Principle of Population (1798), Thomas Robert Malthus (1766-1834)
mengingatkan
publik
bahwa
populasi
manusia
memiliki
kecenderungan alamiah bertumbuh lebih cepat daripada suplai makanan. Tanpa pembatasan yang memadai, pertumbuhan populasi akan melampaui suplai makanan. Skenario alamiah terburuk yang akan terjadi adalah bencana kelaparan.70 c) Teknologi Modern Sebagian besar krisis lingkungan dewasa ini dipicu oleh penerapan teknologi, khususnya teknologi berskala besar. Kemajuan teknologi yang semula 69 70
Yohanes I Wayan Marianta, Akar Krisis Lingkungan Hidup, h. 241 Yohanes I Wayan Marianta, Akar Krisis Lingkungan Hidup, h. 241
56
ingin menyelesaikan problematika kehidupan manusia, namun nyatanya justru membuat problem kehidupan menjadi semakin pelik, tidak terkecuali masalah menurunnya kualitas lingkungan hidup. Sejak terjadinya revolusi di bidang ilmu pengetahuan alam (misalnya fisika dan kimia), telah mendorong perubahanperubahan besar di bidang teknologi yang kemudian diterapkan dalam sektor industri, pertanian, transportasi, dan komunikasi.71 Mulai saat itulah aktivitas ekonomi manusia berdampak pada kondisi dasar kehidupan di bumi. Produk ekonomi kapitalistik yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar menghasilkan berbagai produk sintetik yang tidak dapat terurai secara natural (biodegradable). Produksi dan pemakaian produk-produk sintetis dalam skala besar telah mengganggu siklus ekologis planet ini secara menyeluruh. Menurut John Bellamy Foster bahwa era pasca Perang Dunia kedua, sebagai era sintetis. Produk-produk sintetik, seperti plastik, pupuk dan pestisida kimia, deterjen, dan lain-lain membanjiri pasar. Mengutip pendapat Barry Commoner, Foster menulis: „Kita tahu ada sesuatu yang salah di negara ini setelah
71
Pada zaman Plato, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tergabung satu sama lain. Menurut Plato, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah dua aspek dari sesuatu yang sama. Tidak ada pengetahuan yang bebas nilai (value free), demikian juga tidak ada nilai-nilai yang hampa dari ilmu pengetahuan. Tahapan berikutnya, yakni pada abad pertengahan, ilmu pengetahuan digabung dengan nilai-nilai, tetapi pada saat yang sama pengetahuan di bawah nilai-nilai gereja. Pengetahuan berfungsi melayani nilai-nilai dan harus setuju dengan nilai-nilai yang secara apriori dianggap sebagai kebenaran tertinggi. Baru pada masa setelah abad pencerahan (renaissance), nilai-nilai dan ilmu pengetahuan mulai dipisahkan, tetapi berlaku hubungan dominasi. Tahapan terakhir, yakni pendirian yang dianut oleh emperisme klasik dengan perluasan-perluasan mutakhir. Dari positivism abad ke-19 dan empirisme logis abad ke-20 memiliki pendirian bahwa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah terpisah. Nilai-nilai bukanlah ilmu pengetahuan sejati dan keunggulan ilmu pengetahuan justru sebarapa jauh ia bisa memutuskan nilai-nilai. Singkatnya, kedudukan ilmu pengetahuan di atas nilai-nilai. Lihat Henry Skolimowski, Filsafat Lingkungan: Merancang Taktik Baru untuk Menjalani Kehidupan, (Yogyakarta: Bentang, 2004), h. 9. Paham empirisme seperti ini yang didukung Francis Bacon (abad ke-17), di mana ia menyatakan bahwa tujuan ilmu pengetahuan tidak lebih untuk mengungkap misteri-misteri alam. Sains harus digunakan untuk menguasai, mengendalikan, dan bahkan sebisa mungkin menaklukan alam. Lihat Rachmad K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 60
57
Perang Dunia II... karena masalah serius, yaitu polusi, mulai pasca perang.” Penyebabnya tiada lain karena terjadinya transformasi menyeluruh atas teknologi produktif. Singkatnya, krisis lingkungan adalah hasil tak terelakkan dari pola pertumbuhan yang melawan kelestarian ekologis (counter ecological).”72 Daya rusak manusia terhadap lingkungan melonjak drastis sejak era 1940an. Persoalan smog tercatat pertama kali muncul di Los Angeles tahun 1943. Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane (DDT)73 mulai dipakai secara luas pada tahun 1944. Bahaya nuklir menjadi nyata pada tahun 1945. Nuklir dipakai dalam industri energi pada tahun 1950-an. Pemakaian deterjen meluas pada tahun 1946. Plastik menjadi persoalan sampah pada era setelah Perang.74 Catatan krisis lingkungan ini, menunjukkan fakta bahwa, dalam banyak kasus, industri memasarkan aplikasi teknologi secara luas sebelum dampak-dampak jangka panjangnya diketahui berkat penelitian saksama. Bahaya DDT bagi kelangsungan hidup berbagai macam spesies dan juga kesehatan manusia baru disadari publik pada tahun 1960-an, berkat buku Rachel Carsons yang berjudul The Silent Spring (1962). CFC ditemukan pada tahun 1920-an dan kemudian digunakan secara luas. Kesepakatan
global
dalam
Montreal
Protocol
(1987)
untuk
melarang
penggunaannya muncul setelah pada tahun 1974, Frank Sherwood Rowland dan
72
John Bellamy Foster, The Vulnerable Planet, dalam Leslie King dan Deborah McCarthy, eds., Environmental Sociology: From Analysis to Action, (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 2009), h. 28-29 73 DDT adalah salah satu yang dikenal pestisida sintesis. Ini merupakan bahan kimia yang panjang, unik, dan berbahaya. 74 John Bellamy Foster, The Vulnerable Planet, h. 29
58
Mario J. Molina menemukan dampak buruknya terhadap kerusakan lapisan ozon.75 Dampak
destruktif
penerapan
teknologi
berskala
besar
terhadap
keseimbangan ekologis sebetulnya mudah dipahami. Akal sehat mengingatkan bahwa kita tidak dapat memasukkan sesuatu secara masif ke dalam sebuah ekosistem tanpa menggganggu ekuilibriumnya (keseimbangannya). Bayangkan saja kalau kita menelan obat terlalu banyak, persoalan kesehatan pun akan muncul karenanya. Demikian pula, sangat naif jika kita mengira penggunaan pupuk kimia secara masif tidak akan mengganggu kualitas tanah. Sulit dimengerti bahwa masih ada ilmuwan yang berpendapat masifnya emisi bahan bakar fosil ke atmosfer sejak revolusi Industri tidak akan berpengaruh pada iklim global. d) Sistem Ekonomi Kapitalistik Ekonomi kapitalistik yang mengejar pertumbuhan telah menjadi biang keladi krisis lingkungan.76 Modus produksi modern, yakni penggunaan alam untuk keperluan manusia, menurut Joel Kovel, secara sistematik merusak ekosistem. Hardin dalam The Tragedy of the Commons melihat bahwa alasanalasan ekonomi seringkali menggerakkan perilaku manusia secara perorangan maupun dalam kelompok, terutama dalam hubungannya dengan pemanfaatan
75
Yohanes I Wayan Marianta, Akar Krisis Lingkungan Hidup, h. 235 Prinsip kapitalisme memandang alam dan segala sumber daya alam sebagai objek eksploitasi tanpa batas. Ada lima prinsip fundamental kapitalisme yang kalau dianalisa lebih lanjut sebenarnya tidak pro terhadap konservasi lingkungan. Pertama; pengakuan penuh pada hak milik individual tanpa batas-batas tertentu, kedua; pengakuan penuh untuk melakukan kegiatan ekonomi demi meningkatkan status sosial dan ekonomi, ketiga, pengakuan adanya motivasi dan inspirasi dalam ekonomi untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin, keempat; pengakuan terhadap kebebasan dalam melakukan kompetisi dengan individu lain dan kelima; pengakuan terhadap berlangsungnya hukum ekonomi pasar bebas atau mekanisme pasar. Lihat Y. Eko Santoso, Menuju keselarasan Lingkungan; Pandangan Teologis Terhadap Pencemaran Lingkungan (Malang: Averroes Press, 2003), h. 26 76
59
common property. Common property adalah sumber-sumber daya alam yang tidak dapat menjadi hak perorangan, tetapi setiap orang dapat menggunakan atau memanfaatkannya, meliputi sungai, padang rumput, udara, laut. Karena sumber daya itu dapat dan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang, maka setiap orang berusaha untuk memanfaatkan atau mengeksploitasi sumber daya semaksimal mungkin guna memperoleh keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Jadi adanya kebebasan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, membawa kehancuran bagi masyarakat.77 A. Sonny Keraf dengan tegas menyebut bahwa ekonomi global telah melahirkan krisis lingkungan. Secara jitu ia menunjukkan bagaimana negaranegara maju menerapkan strategi ekonominya untuk terus menjajah dunia ketiga melalui organisasi-organisasi ekonomi dunia. Pada awalnya strategi itu dimainkan oleh World Bank dan IMF dengan strategi utang luar negerinya.78 Kemudian
77
Abdul Quddus, Ecotheology Islam: Teologi Konstruktif Atasi Krisis Lingkungan, dalam Jurnal Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2 (Desember) 2012, h. 325. Selanjutnya lihat Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Mutiara, 1979), Lihat Juga Emil Salim, Pembangunan berwawasan Lingkungan, (Jakarta: LP3ES, 1986). 78 Menurut Prof. Joseph Stiglitz, mantan ketua ekonom Bank Dunia dan mantan ketua penasehat eknonomi presiden Bill Clinton, pernah mengungkapkan tentang 4 Langkah Stretegi Bank Dunia dalam memperbudak negara demi keuntungan bankir, yaitu: pertama, Privatisasi. Pemimpin nasional akan ditawarkan 10 persen komisi dari hasil penjualan aset-aset nasional suatu negara. Uang tersebut akan disimpan aman di rekening mereka di Swiss. Privatisasi yang dilakukan ini bertujuan untuk mengebiri hak-hak negara pada satu BUMN atau perusahaan swasta nasional oleh yang kita sebut Asing. Kedua, Liberalisasi Pasar Modal. Stiglitz menyebutnya siklus uang panas (hot money). Dana luar negeri harus dibiarkan bebas masuk untuk berspekulasi di real estate dan valas. Uang panas yang telah terserap di dua pasar tersebut, setiap saat bisa ditarik dengan smooth dari pasar uang yang sudah teracuni oleh agenda neo liberal. Ketiga, Penentuan Harga Pasar. Dalam bahasa yang lebih sederhana adalah mencabut subsidi pada layanan-layanan yang seharusnya menjadi hak rakyat, contoh-nya adalah BBM dan Gas, Tarif dasar listrik, serta Tarif dasar air. Barang kebutuhan paling mendasar penggerak ekonomi rakyat ini, mulai diarahkan menuju harga pasar yang luar biasa mahal. Keempat. Perdagangan Bebas. Jika kita mendengar MEA, AFTA, NAFTA, WTO . itu semua adalah boneka bentuk World Bank atas keinginan bankir dunia menguasai dunia. Pada tahap ini perusahaan internasional akan memasuki pasar-pasar negara berkembang (emerging markets), caranya adalah dengan menukarkan utang dengan kemudahan kebijakan dalam bentung penghapusan hambatan-hambatan perdagangan ke negaranegara miskin yang memiliki sumber daya alam dan kaya populasi manusia sebagai pasar
60
melalui organisasi perdagangan dunia (WTO) dengan berbagai institusinya (GAAT, TRIPS, dan GAT),79 mereka mengeruk kekayaan alam dan kekayaan intelektual dunia ketiga dengan menciptakan ekonomi global dan pasar bebas. Lembaga-lembaga tersebut tidak ramah terhadap manusia penghuni dunia ketiga karena akhirnya berkembang menjadi polisi dagang dunia yang hanya menjaga agar tidak ada “pemain” yang dirugikan, bukan menjaga agar tidak ada yang dirugikan. 80 Dengan demikian, nampak jelas bahwa ekonomi kapitalisme tidak memberikan ruang pada prinsip-prinsip nilai, moral, dan etika, bahkan kapitalisme potensial untuk produk-produk kapitalis. Lihat tulisan Tahukah anda „4 Langkah strategi‟ Bank Dunia Memperbudak Sebuah Negara ? yang diupload pada 1 Februari 2016 di http://lingkarannews.com/tahukah-anda-4-langkan-strategi-bank-dunia-memperbudak-sebuahnegara/ 79 Di dalam dunia ekonomi, kegiatan perdagangan adalah hal yang sangat penting. Perdagangan tidak hanya dilakukan di dalam negeri saja tetapi di luar negeri juga. Sementara WTO adalah organisasi internasional yang mengawasi banyak persetujuan yang mendefinisikan aturan perdagangan di antara anggotanya. Yang pada intinya WTO merupakan organisasi dunia yang khususnya mengatur permasalahan perdagangan dunia atau internasional. WTO secara resmi dibentuk sejak tahun 1995, lebih tepatnya yaitu pada tanggal 1 Januari 1995. WTO merupakan penerus dari Organisasi Perdagangan Internasional (ITO, International Trade Organization). Yang bermula pada saat GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) ditunjuk untuk membentuk ITO (International Trade Organization) suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). GATT sendiri merupakan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan yang telah membuat aturan-aturan mengenai perdagangan dunia sejak tahun 1948-1994. Markas WTO terletak di Jenewa, Swiss. Pada Juli 2008 organisasi ini memiliki 153 negara anggota, dimana 117 negara diantaranya adalah negara berkembang. Tujuan dibentuknya WTO adalah untuk mensejahterakan negara-negara anggotanya dengan perdagangan internasional yang lebih bebas. WTO mempunyai berbagai perjanjian perdagangan yang telah dibuat. Tujuan dari perjanjian-perjanjian tersebut adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir serta importir dalam melaksanakan kegiatannya. Struktur dasar perjanjian WTO, meliputi: Barang/ goods (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT), Jasa/ services (General Agreement on Trade and Services/ GATS, Kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/ TRIPs, dan Penyelesaian sengketa. Namun perjanjian-perjanjian tersebut bukanlah perjanjian yang sebenarnya. Karena perjanjian tersebut seakan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh empat kubu besar WTO yaitu Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa yang memaksakan kehendak kepada negara anggota lainnya untuk mematuhi perjajian yang telah WTO sepakati. Dalam rangka perdagangan bebas, WTO memaksa negara dunia bagian ketiga untuk membuka akses pasar bagi negara-negara maju tersebut dengan mengeluarkan perjanjian yang akan mengikat diantara negara-negara anggota WTO. Lihat tulisan Sepsipsep: World Trade Organization, dalam http://septirahmaw.blogspot.co.id/2016/05/world-tradeorganization-wto.html, diakses pada Sabtu, 28 Mei 2016 80 A. Sony Keraf, Etika Lingkungan,h. 225.
61
melihat segala sesuatu dengan cara pandang (worldview) serba materi. Kapitalisme membuat negara-negara kecanduan pertumbuhan. Mereka berlombalomba mengejar pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan perhitungan PDB (Produk Domestik Bruto) atau PNB (Produk Nasional Bruto). Herman Daly, seorang ekonom yang peduli lingkungan hidup, menyebut karakter ekspansif itu dengan istilah kegilaan akan pertumbuhan (growthmania).81 Kegilaan akan pertumbuhan ekonomi ini, mendorong pemerintah mengambil krisis lingkungan hidup sebagai risiko. Karena itulah izin eksploitasi hutan, pembukaan tambang, dan pendirian usaha-usaha lain yang cenderung merusak lingkungan diberikan. Pemerintah sering enggan membela gerakan kelestarian lingkungan karena takut hal itu akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Sistem ekonomi yang gila pertumbuhan jelas memicu krisis ekologi. Polusi air, udara, dan tanah makin parah seiring dengan semakin membesarnya volume aktivitas ekonomi dunia. Penurunan kualitas tanah, misalnya, terjadi ketika masyarakat dunia menggenjot produksi pangan melalui Revolusi Hijau.82 Ancaman perubahan iklim global makin nyata karena masyarakat dunia belum mampu keluar dari kerakusan mereka memakai bahan bakar fosil untuk 81
Herman E. Daly, Steady-State Economics versus Growthmania: A Critique of the Orthodox Conceptions of Growth, Wants, Scarcity, and Efficiency, dalam Policy Sciences, Vol. 5, No. 2, June 1974, h. 150 82 Vandana Shiva mengritik pedas Revolusi Hijau berdasarkan pengalaman India. Dia memandang Revolusi Hijau sebagai manifestasi ambisi penaklukan alam. Proyek ini mendorong pertanian monokultur dan penggunaan bahan-bahan kimia secara masif. Kesuburan tanah merosot karena penggunaan pupuk kimia secara berlebihan. Lihat Vandana Shiva, The Violence of Green Revolution, Penang, (Malaysia: Third World Network,1991), h. 19. Penggunaan pupuk kimia secara berlebihan menurunkan kesuburan tanah. Polusi lingkungan terjadi akibat penggunaan pestisida kimiawi secara masif. Intensifikasi pertanian menyedot penggunaan air dan memicu sengketa air. Proyek konstruksi bendunganbendungan raksasa untuk tujuan irigasi menggusur orang miskin, menyuburkan korupsi, dan mengganggu ekosistem air. Revolusi hijau menyebabkan reorganisasi sistem pertanian negara-negara miskin secara radikal. Petani menjadi tergantung pada bibit, pupuk, dan pestisida yang harus dibeli. Lihat Yohanes I Wayan Marianta, Akar Krisis Lingkungan Hidup h. 244
62
mendukung roda ekonomi dan gaya hidup modern. Ambisi Indonesia dewasa ini untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit dan batu bara mengakibatkan semakin luasnya kerusakan hutan. Saat ini, diperkirakan 2-3 juta hektar hutan Indonesia rusak setiap tahun.83 Berbagai paparan di atas mengisyaratkan adanya krisis ekologi yang tengah terjadi hari ini, merupakan buah pahit dari pandangan dunia Barat dan peradaban modern yang parsial dan reduksionis terhadap alam, seperti budaya materialisme, antroposentrisme, dan kapitalisme. Dalam gejala yang demikian, manusia modern telah mengidap penyakit akut yang menyebabkan rusaknya keseimbangan ekosistem kehidupan di bumi. Keadaan ini digambarkan al-Quran sebagai karakter manusia yang sangat zalim dan kufûr. Allah berfirman: Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). Pokok pikiran ayat ini terdapat pada kalimat yang artinya: “Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”. Ada dua sifat buruk yang diidentikkan dengan manusia, yaitu sangat zalim dan sangat kufûr. Dikatakan sangat zalim karena keegoisan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Sedangkan dikatakan sangat kufûr, karena manusia tidak bersyukur,
83
A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 28
63
dalam arti tidak mengolah dan mengelola nikmat Allah dengan baik dan penuh tanggung jawab. Falsafah yin-yang84 tepat untuk mentipologisasikan sifat dan karakter manusia ini. Manusia lebih menyukai yang daripada yin; lebih suka maskulin ketimbang feminim, lebih suka pengetahuan rasional ketimbang intuitif; lebih suka bersaing dan kompetisi ketimbang kerjasama dan koordinasi, dan lebih suka ekspansif dan eksploitatif terhadap alam ketimbang melestarikannya. Dalam konteks inilah menjadi jelas, mengapa manusia lebih mengeksploitasi alam ketimbang melestarikannya? Karena, manusia lebih suka berpikir rasional yang linier, ketimbang pengetahuan intuitif yang nonlinier. Padahal, pengetahuan intuitif yang nonlinier itu, merupakan dasar bagi kearifan ekologis, sementara pengetahuan rasional yang linier cenderung mengakibatkan sikap-sikap yang antiekologis.85 Akibat dari serentetan sikap di atas, berbagai bencana pun tidak bisa dielakkan dan menjadi ancaman global kehidupan manusia di bumi. Namun lagilagi karena saking zalim dan kufurnya manusia, adanya bencana tidak menyadarkannya akan arti penting pemeliharaan alam, bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Dan yang lebih miris, adanya bencana tersebut, dipahami oleh sebagian besar masyarakat sebagai takdir Tuhan (teologi teosentris), bukan dipahami sebagai krisis lingkungan sebagai imbas dari krisis kemanusiaan yang 84
Hampir dalam kepustakaan ilmiah yang mengkaji falsafah Taoisme di Cina, seperti Fritjof Capra dalam The Turning Point, The Tao of Physics, atau Sayyed H. Nasr dalam Religion and The Order of Nature, dan tidak ketinggalan The Tao of Islam karya ahli sufi Islam terkemuka Sachiko Murata, laki-laki selalu dilukiskan sebagai yang, yang bersifat maskulin, mengembang, menuntut, agresif , kompetetif, rasional, dan analitis; sementara perempuan dilukiskan sebagai yin, yang bersifat feminim, menyusut, konservatif, responsive, kooperatif, intuitif dan sintetis. 85 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), h. 228-229
64
gagal dalam memahami hukum alam (sunnatullah). Mereka kemudian menghadapi bencana ini hanya dengan ritual berdoa, mohon ampun, istighasah, menggelar zikir nasional dan seterusnya, bukan dengan pendekatan sains (ilmu pengetahuan). Padahal Tuhan sendiri menyuruh manusia untuk memahami fenomena alam dan fenomena sosial berdasarkan informasi ilmu pengetahuan serta hidup berdampingan secara harmoni bersama alam dengan jalan menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di dalamnya.86
B. Pandangan Islam Tentang Lingkungan Hidup Dalam sejumlah ayat al-Quran, Allah menjelaskan bahwa seluruh alam semesta (lingkungan) adalah milik-Nya (QS. al-Baqarah [2]: 284). Ini adalah prinsip sosio-ekonomi dalam Islam. Manusia diberi izin tinggal di dalamnya untuk sementara, dalam rangka memenuhi tujuan yang telah direncanakan dan ditetapkan.87 Dengan begitu lingkungan bukanlah milik hakiki manusia. Kepemilikan manusia terhadap lingkungan hanyalah amanat, titipan, atau pinjaman yang pada saatnya harus dikembalikan,88 karena itulah, manusia harus memelihara dan mengelola lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Sebagai wakil Allah di bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi, dalam artian menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah. Untuk itu mengharmonisasikan manusia dengan lingkungan menjadi sebuah keniscayaan. Dalam upaya harmonisasi antar
86
Muhammad Harfin Zuhdi, Rekonstruksi Fiqih al-Bî‟ah Berbasis Maslahah, dalam Jurnal Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2015, h. 45 87 QS. al-Ahqâf [46]: 3 88 QS. al-Ahzâb [33]: 72
65
manusia dengan lingkungan, ada beberapa hal penting untuk dilakukan, diantaranya: Pertama, bagaimana manusia mengintegrasikan dirinya dengan lingkungan, karena pada dasarnya lingkungan merupakan ruang kehidupan manusia. Kedua, bagaimana manusia memahami hakikat alam raya sebagai sesama makhluk Tuhan yang tidak saling mendominasi. Ketiga, bagaimana manusia menghormati eksistensi alam raya, karena pada dasarnya semua yang ada di alam raya beribadah kepada Allah. Untuk lebih jelasnya, berikut pembahasan hubungan ekologis manusia dengan lingkungannya:
1. Lingkungan sebagai Ruang Kehidupan Manusia Dalam ajaran Islam terdapat keyakinan bahwa bumi merupakan salah satu planet yang diciptakan Allah sebagai tempat hidup yang ideal bagi manusia dan makhluk lain. Keyakinan ini didasarkan pada firman Allah: Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu penggantipengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan. (QS. al-A‟raf [7]: 74) Secara literal kata bawwa‟akum terambil dari kata bâ‟a yang berarti kembali. Maksudnya, Allah menjadikan bumi sebagai tempat tinggal yang nyaman untuk kembali beristirahat, setelah melakukan aneka kegiatan.89 Ini artinya, bumi merupakan tempat ideal yang siap huni bagi kehidupan makhluk 89
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 4. 1, h. 180
66
secara keseluruhan, tidak terkecuali manusia. Bumi memiliki seluruh komponen yang diperlukan bagi kehidupan.90 Misalnya, Allah melengkapi bumi ini dengan tumbuh-tumbuhan, yang fungsinya tidak hanya sebagai sumber makanan, energi, dan obat, tetapi juga menghasilkan oksigen.91 Oksigen adalah bahan bernapas bagi semua makhluk hidup. Apabila keberadaan tumbuhan semakin berkurang bahkan hampir habis, maka persediaan oksigen di udara pun berkurang, dan hal tersebut akan mengancam semua makhluk hidup di bumi. Contoh lain, Allah melindungi seluruh spesies yang berada di bumi dengan lapisan atmosfer.92 Perubahan dan kerusakan lapisan atmosfer akan berpengaruh dan mengancam keberadaan spesies bumi.93 Allah berfirman: Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang melindungi, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. (QS. al-Anbiya‟ [21]: 32) Pesan ekologis ayat di atas terletak pada kalimat yang artinya „Kami jadikan langit sebagai atap yang melindungi‟. Dengan kata lain langit diciptakan Allah sebagai pelindung kehidupan manusia dan makhluk lain. Dalam terminologi meteorologi, yang menjadi pelindung kehidupan di bumi adalah lapisan atmosfer. Sehingga tidak berlebihan jika istilah yang digunakan al-Quran sebagai pelindung
90
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 4. 1, h. 180 Tumbuhan dapat memproduksi oksigen karena sel tumbuhan, tidak sebagaimana sel manusia dan binatang, dapat menggunakan secara langsung energi matahari. Tumbuhan akan mengubah energi matahari menjadi energi kimia dan menyimpannya dalam bentuk nutrient dengan cara yang khusus. Proses ini dinamakan fotosintesis. 92 Atmosfer berasal dari kata Yunani yaitu atmos yang berarti uap dan sphaira yang berarti bulatan. Jadi atmosfer adalah lapisan gas yang menyelubungi bulatan bumi. Ilmu yang mempelajari atmosfer dan gejala-gejala cuaca disebut meteorology. Lihat Bayong Tjasyono HK, Iklim dan Lingkungan, (Bandung: Cendekia Jaya Utama, 1987), h. 1 93 Hasan Basri Jumin, Sains dan Teknologi dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 171 91
67
kehidupan adalah lapisan atmosfer. Dengan demikian bumi dapat menjadi tempat hidup bagi manusia dan makhluk lain karena dilindungi oleh lapisan atmosfer. Pengrusakan terhadap lapisan atmosfer akan berimplikasi langsung terhadap kerusakan spesies yang ada di bumi dan ekosistemnya.94 Ada sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Harun Yahya „Atap yang Terpelihara‟. Dalam artikel ini Yahya menyatakan akan adanya pengaruh yang diberikan planet lain di luar angkasa dengan kondisi bumi. Ia mengutip ayat yang artinya „Demi langit yang mengandung hujan‟ (QS. al-Thariq [86]: 11). Kata yang ditafsirkan dengan „mengandung hujan‟ juga bermakna mengirim kembali atau mengembalikan. Sebagaimana diketahui, atmosfer yang melingkupi bumi terdiri dari sejumlah lapisan. Setiap lapisan memiliki peran penting bagi kehidupan. Penelitian
mengungkapkan
bahwa
lapisan-lapisan
ini
memiliki
fungsi
mengembalikan benda-benda atau sinar yang mereka terima ke ruang angkasa atau ke arah bawah yakni ke bumi. Harun Yahya mengajak manusia mencermati sejumlah contoh fungsi pengembalian dari lapisan-lapisan yang mengelilingi bumi:95 a) Lapisan troposfir, 13 hingga 15 km di atas permukaan bumi, memungkinkan uap air yang naik dari permukaan bumi menjadi terkumpul hingga jenuh dan turun kembali ke bumi sebagai hujan b) Lapisan ozon, pada ketinggian 25 km, memantulkan radiasi berbahaya dan sinar ultraviolet yang datang dari ruang angkasa dan mengembalikan keduanya ke ruang angkasa. 94
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, h. 93 Harun Yahya, Atap yang Terpelihara: Keajaiban al-Quran. Diakses pada Desember 2016 di http://www.keajaibanalquran.com/astronomy_roof.html. 95
68
c) Ionosfir, memantulkan kembali pancaran gelombang radio dari bumi ke berbagai belahan bumi lainnya, persis sperti satelit komunikasi pasif, sehingga memungkinkan komunikasi tanpa kabel, pemancaran siaran radio dan televise pada jarak yang cukup jauh d) Lapisan
magnet
memantulkan
kembali
partikel-partikel
radioktif
berbahaya yang dipancarkan Matahari dan bintang-bintang lainnya ke ruang angkasa sebelum ke bumi. Dari temuan ilmiah ini dipahami bahwa terdapat pengaturan yang sangat rapi antara fungsi seluruh elemen yang membungkus dan melindungi bumi, dengan pengaruh sinar dan partikel radio aktif yang berbahaya yang dipancarkan matahari terhadap bumi. Singkatnya sebuah sistem telah dirancang Allah untuk melindungi bumi. Untuk itu Allah sangat melarang dan memberikan batasan kepada manusia untuk tidak melakukan kerusakan terhadap ekosistem langit dan bumi, demi untuk kemaslahatan kelangsungan hidup manusia. Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Komponen yang ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya, merupakan lingkungan hidup manusia. Kelangsungan hidup manusia tergantung dari keutuhan lingkungannya, sebaliknya keutuhan lingkungan tergantung bagaimana kearifan manusia mengelolanya.96 Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak bisa hanya dipandang sebagai penyedia sumber daya alam yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup. 96
Baban Sobandi, Etika Kebijakan Publik; Moralitas-Profetis dan Profesionalisme Kinerja Birokrasi, (Bandung: Penerbit Humaniora, 2001), h. 77
69
Manusia sebagai khalifah Allah di bumi telah diberikan lisensi untuk mengelola alam dan memanfaatkannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan, Setiap bagian dari alam dan lingkungan yang diciptakan Allah swt tidak ada yang percuma. Untuk itu manusia sudah seharusnya menjadikan alam ini sebagai mitra hidup yang bisa meningkatkan kualitas pengabdian kepada Allah. Semakin baik hubungan manusia dengan lingkungan, akan semakin banyak manfaat yang bisa diperoleh manusia dari lingkungan itu.97 Pada dasarnya semua makhluk yang tercipta di alam raya ini hidup saling terkoneksi dan membutuhkan satu sama lain dalam mendukung eksistensinya di alam raya. Inharmonisasi yang dilakukan oleh manusia kepada makhluk lain, lambat laut akan memberi dampak negatif kepada ekosistem alam yang telah tertata dan tersusun rapi. Inilah prinsip etik yang merupakan landasan interaksi dan keharmonisan antara manusia dengan lingkungan.
2. Kesetaraan Manusia dan Lingkungan sebagai Makhluk Tuhan Islam tidak membedakan eksistensi suatu makhluk yang ada di alam raya ini dengan pembedaan apakah ia dikatakan hidup dengan kriteria makhluk hidup, atau dikatakan mati hanya karena ia adalah makhluk yang dinilai statis. Al-Quran menekankan bahwa sesungguhnya makhluk ciptaan Allah yang ada di alam raya ini adalah sama seperti manusia, yaitu sebagai hamba Allah. Allah berfirman:
97
M. Hasan Ubaidillah, Fiqh al-Bî‟ah (Formulasi Konsep al-Maqasid al-Syari‟ah dalam Konservasi dan Restorasi Lingkungan), dalam Jurnal Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010, h. 35
70
Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS. al-An‟am [6]: 38) Ada pesan yang mendalam dari Ayat ini, bahwa seluruh makhluk ciptaan Allah yang ada di alam raya ini, tidak lain adalah sama seperti manusia, yaitu sebagai hamba Allah. Keseluruhan ciptaan Allah pun pada akhirnya akan kembali kepada-Nya, begitu pula dengan manusia. Pengakuan kepada setiap eksistensi segala makhluk Allah sebagai sesama ciptaan-Nya yang memiliki potensi dan fungsi masing-masing, akan melahirkan penghormatan manusia kepada eksistensi setiap makhluk dalam lingkungannya. Dengan sikap ini manusia dapat menjalin ukhuwah makhlûqiyyah (persaudaraan sesama makhluk), yang akan memberikan kesadaran bahwa manusia bukan milik lingkungan, begitu pula sebaliknya.98 Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan ekologis sebagai karya cipta Ilahi yang memiliki interdependensi dan interkorelasi cukup ketat. Prinsip ekologi Islam inilah yang sangat berbeda jauh dengan paham antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta. Dalam ajaran Islam manusia ditempatkan pada posisi yang proporsional. Maksudnya, betapapun manusia memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain dalam lingkungan, namun manusia bukanlah sesuatu yang berada di luar lingkungan. Sebaliknya, manusia tetap berada dalam lingkungan
98
Nur Afiyah Febriani, Implementasi Etika Ekologis dalam Konservasi Lingkungan, dalam Jurnal Kanz Philosophia, Vol. 4, No. 1 Juni 2014, h. 36
71
dan merupakan bagian integral dari lingkungan. Semua komponen lingkungan dalam ekosistem memiliki hak asasi ekologis yang sama. Hak asasi ekologis tersebut meliputi hak hidup, hak berhabitat, hak berprofesi dalam lingkungan. Memang, sumber daya alam dan lingkungan tercipta untuk dapat didayagunakan oleh manusia, namun lingkungan bukan milik mutlak manusia. Sehingga manusia tidak dapat seenaknya mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan sesuai dengan kehendaknya. Sebaliknya, dalam mendayagunakan daya dukung lingkungan manusia tetap harus selalu menjaga tenggang rasa ekologis sesama komponen ekosistem.99 Tegasnya, pelaksanaan perilaku ekologis manusia dalam lingkungan, tetap harus berada dalam bingkai menjunjung tinggi hak-hak asasi ekologis sesama komponen lingkungan. Hal ini disebabkan karena bumi diciptakan tidak hanya untuk didayagunakan manusia, tetapi juga untuk seluruh spesies yang ada di bumi ini. Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di bumi dalam arti membimbing semua makhluk menuju tujuan penciptaannya. Ini berarti menuntut manusia untuk bersahabat dengan semua makhluk.100 Menurut Ali Yafie, ada dua ajaran dasar yang merupakan dua kutub kehidupan manusia
di muka bumi.
Pertama, rabb al-‟alamin, al-Quran menegaskan bahwa Allah swt adalah Tuhan semesta alam, bukan Tuhan manusia atau sekelompok manusia, sehingga manusia dan alam adalah sama di hadapan Tuhan. Kedua, rahmtanh li al-‟âlamîn, artinya manusia diberi amanat untuk mewujudkan segala perilakunya dalam rangka kasih sayang terhadap seluruh penghuni bumi/alam. Suri tauladan seperti ini secara 99
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, h. 154-155 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. XIII, h. 286 100
72
nyata terekam dalam ritual-ritual agama. Dalam pelaksanaan ibadah haji misalnya, seseorang yang berihram dilarang untuk mencabut (mematikan) pohon dan tidak boleh membunuh binatang.101 Islam mengajarkan manusia untuk menumbuhkan rasa cinta dan hormat terhadap alam sekitar. Rasulullah saw. pernah menegur sahabat yang sewaktu melakukan perjalanan menangkap anak burung yang berada di sarangnya. Merasa kehilangan anak, induk burung itu pun mengiringi Rasullullah saw. Ketika menyaksikan hal itu, beliau bersabda, “Siapakah yang menyusahkan burung itu dan mengambil anaknya? Cepat kembalikan anak burung itu ke induknya (HR. Abu Daud). Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat peduli terhadap hak-hak binatang.102 Dalam riwayat lain, Rasulullah saw juga bersabda, “Tak ada seorang muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi sedekah baginya, dan yang dicuri akan menjadi sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan oleh burung darinya, maka hal itu akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorangpun yang mengurangi, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya.”103
101
Ali Yafi, Menggagas Fiqh Sosial (Bandung: Mizan, 1994), h. 10-15 Menurut Yusuf al-Qardhawi alasan perhatian Islam terhadap kekayaan hewani dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, bagaimanapun hewan merupakan makhluk hidup yang dapat merasakan sakit dan perih. Hewan memiliki kebutuhan, keperluan dan hajat hidup yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, tidak selayaknya bagi siapa pun untuk mengurangi atau menghalanghalangi pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Kedua, hewan harus tetap dipandang sebagai asset kekayaan manusia, serta salah satu produksi alam atau lingkungan yang penting, terutama yang berasal dari berbagai jenis hewan yang jinak dan perlu dilindungi. Lihat Yusuf al-Qardawi, Ri‟ayât al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h.123-124 103 Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahîh Muslim, bab fadhl al-ghars wa al-zar‟a, (Beirut: Dâr Ihya‟ al-Turâts al-„Arabî, t.th), juz 3, h. 1188 . 102
73
Hadis-hadis di atas mendeskripsikan adanya sketsa hubungan yang mencerminkan ketulusan yang mendalam tentang kasih dan cinta terhadap lingkungan (alam). Bahkan, hadis yang terakhir disebut menunjukkan spirit Islam untuk mendorong pribadi setiap muslim supaya tidak pernah berhenti melakukan penghutanan (tasyjîr). Ini menunjukkan bahwa manusia secara ekologis merupakan bagian dari bumi (alam). Bumi inilah yang menyediakan berbagai sumber daya alam yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya. Keberlangsungan hidup manusia tergantung dari keutuhan bumi dan isinya. Sebaliknya, keutuhan lingkungan tergantung bagaimana kearifan manusia dalam mengelolanya. Karenanya, bumi dan lingkungan tidak sematamata dipandang sebagai penyedia sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan bumi serta lingkungannya.104 Dengan demikian, terutusnya manusia sebagai wakil Tuhan di bumi bukanlah memberi kebebasan mutlak baginya untuk berbuat sewenang-wenang dan melihat bumi lebih inferior darinya. Sebaliknya, sebagai wakil Tuhan, manusia ditugaskan memperlakukan alam dengan penuh kasih sayang. Dengan kasih sayang inilah, manusia dan bumi bisa bersanding secara harmonis. Apalagi manusia terbuat dari tanah, dan tanah itu sendiri berasal dari bumi, sehingga
ُ َما ِم ْه ُم ْسلِ ٍم يَ ْغ ِرس:ّلَّل للاُ َعلَ ْي ًِ َو َسلَّ َم َ ِ قَا َل َرسُى ُل للا: قَا َل، ع َْه َجابِ ٍر، ع َْه َعطَا ٍء،ك ِ ِ َح َّدثَىَا َع ْب ُد ْال َمل، َح َّدثَىَا أَبِي،َح َّدثَىَا ابْهُ وُ َمي ٍْر َّ َ َ ٌ ٌ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َّ ،ٌّ َدقَة ً ل ى ه ف ر ي الط ت ل ك أ ا م و ، ة ق د ّ ً ل ى ه ف ً ى م ع ب س ال ل ك أ ا م و ، ة ق د ّ ً ل ً ى م ق ُر ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ ًَُغَرْ سًا إِ ََّّل َكانَ َما أُ ِك َل ِم ْىًُ ل ِ ِ ِ ِ َو َما س،ًّ َدقَة َ َ َ َ َ َ ٌّ َدقَة َ ًََُو ََّل يَرْ َز ُؤيُ أَ َح ٌد إِ ََّّل َكانَ ل 104 Yusuf al-Qardawi, Ri‟ayât al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 135
74
antara manusia dan bumi memiliki ketergantungan satu sama lain, sebagaimana penegasan al-Quran.
3. Kesetaraan Manusia dan Lingkungan dalam Aspek Spiritual Secara eksistensial manusia tetaplah ciptaan (makhluk) layaknya ciptaanciptaan Allah Swt. yang lainnya. Eksistensi manusia sebagai makhluk tidak pernah berubah hanya karena ia telah diangkat oleh Allah sebagai khalifah-Nya. Pada titik ini manusia dan alam adalah dua hal yang sama; makhluk ciptaan Allah yang sama-sama menjadi bukti eksistensi ketuhanan (QS. al Fushshilat [41]: 53). Sebagai sesama makhluk, manusia dan alam sama-sama tunduk pada kekuasaan Allah, bertasbih dan bersujud kepada-Nya. Allah berfirman: Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. (QS. al-Hajj [22]: 18) Ada pesan teologis yang terkandung pada ayat ekologis di atas. Pertama, segala apa yang ada di alam raya, semuanya bersujud dan bertasbih kepada Allah (QS. ar-Ra‟ad [13]: 15, QS. an-Nahl [16]: 49 dan QS. an-Nur [24]: 41) Kata yasjûd pada ayat di atas dipahami dalam arti kepatuhan alam raya kepada sistem yang ditetapkan Allah bagi masing-masing. Allah memerintahkan air untuk
75
membeku atau mendidih pada derajat tertentu. Api pun diperintahkan panas dan membakar, dan itu dipatuhi oleh api. Jika Allah pada suatu ketika memerintahkan api tidak panas, api pun akan sujud yakni patuh, sebagaimana halnya dalam peristiwa Nabi Ibrahim ketika dibakar oleh penguasa raja Namrud (QS. alAnbiya‟ [21]: 69).105 Hal senada juga didapati pada tumbuhan. Ikhwan al-Safa menuturkan bahwa gerakan-gerakan yang tumbuhan tampakkan, gerakan meliuknya ke kanan dan ke kiri akibat hembusan angin, merupakan ekspresi ketundukan dan ibadahnya kepada Tuhan. Mereka mengagungkan dan menyucikan Allah melalui gemerisik dedaunan, gerakan cabang-cabang, kesemarakan bunga-bunga dari tangkai-tangkai anugerah, dan aneka buah-buahan yang mereka persembahkan kepada makhluk lain. Keseluruhan ini adalah bentuk ibadah tumbuhan kepada Tuhannya.106 Selain tumbuhan, binatang juga beribadah kepada Tuhannya, melalui pelayanan mereka kepada manusia; kepatuhan dalam mengikuti perintah kemana pun dikehendaki, dan kesabaran dalam bekerja demi membantu menyelesaikan hajat utama sang tuannya, manusia. Semua itu adalah ekspresi ibadah yang ditujukan binatang kepada Rabb, melalui perantara ketundukannya kepada manusia. Dengan demikian cara beribadah makhluk selain manusia adalah dalam bentuk berserah diri dan patuh kepada ketentuan Allah. Ibadah kosmik ini merupakan suatu pengukuhan relasi kosmik segenap ciptaan. Segenap makhluk, baik dikategorikan hidup maupun tidak hidup, dipandang sebagai makhluk 105 106
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. VIII, h. 177 Ikhwan al-Safa, Rasâil Ikhwân al-Safa, (Beirut: Dâr al-Islamiyah, 1992), vol. 4, h. 211
76
religius Ilahiah. Dalam arti bahwa, segenap eksistensinya, nyata ataupun tidak, ditujukan untuk meneguhkan peran kosmiknya sebagai hamba Tuhan. Tidak ada realitas apa pun yang tidak mengabdi kepada Pencipta. Eksistensi kehidupan makhluk pada dasarnya merupakan ekspresi peribadatannya kepada Tuhan. Pandangan metafisik inilah yang tidak didapati dalam tradisi keilmuan Barat, sehingga relasi ekosistem yang ada hanya berlaku hukum produsen dan konsumen, penyedia pangsa dan pemangsa. Berbeda dalam ekologi Islam yang memiliki relasi yang lebih holistik dan progresif. Kedua, bahwa alam raya merupakan makhluk yang juga mempunyai potensi jiwa, dikarenakan alam raya juga beribadah kepada Tuhan. Ini menunjukkan ada unsur spiritual yang ditekankan al-Quran sebagai penyamaan hak dan potensi beribadah antara manusia dan alam raya. Oleh karena itu, sangat tidak beralasan apabila manusia menafikan religiusitas segenap makhluk dengan memperlakukannya secara kasar hingga pada batas eksploitasi dan penghancuran. Eksploitasi terhadap makhluk adalah sebuah pengingkaran, penyelewengan terhadap simbol-simbol ketuhanan, dan penghancuran atas segenap manifestasiNya. Aktivitas eksploitasi tersebut, dianggap merusak atau memutuskan tali penghubung segenap makhluk kepada Penciptanya.107 Dengan demikian cukuplah alasan bahwa manusia harus dapat menghormati eksistensi alam raya yang juga sama-sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
107
Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia, (Ciputat: Impressa Publishing, 2013), h. 115
77
Dalam kajian teologi Islam, alam diciptakan Tuhan tidak hanya sebagai pemanis (zinah)108 dan pemenuhan kebutuhan makhluk belaka,109 melainkan ada tujuan yang lebih prinsip, yaitu sebagai tanda kebesaran dan keagungan Tuhan. Menurut Tanthawi Jauhari, dalam al-Quran terdapat penjelasan mengenai alam semesta dan fenomena-fenomenya, tidak kurang dari 750 ayat yang kesemuanya memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan, mempelajari dan menelitinya.110 Perintah ini bertujuan membangunkan kesadaran manusia bahwa dibalik tirai alam semesta ini ada Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Esa, yaitu Allah Swt. Allah berfirman: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. alBaqarah [2]: 164) Sebab turun ayat ini adalah adanya pengingkaran dari para penyembah berhala terhadap keesaan Allah pada ayat sebelumnya. Ayat ini dengan sendirinya menjadi jawaban sekaligus menjadi hujjah yang sangat jelas terhadap penolakan Islam pada keyakinan politeisme dan memperkenalkan tauhid murni. Hanya Allah
108
QS. 2: 212, QS. 3: 14, QS. 16: 6, 8, QS. 38: 6, QS. 41: 12, QS. 67: 5, QS. 15: 16, dan
109
QS. 2: 57, 58, 60, 168, 172, QS. 4: 4, 88, dan masih banyak lainnya Tanthawi Jauhari, al-Jawâhir fi Tafsîr al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), jilid 1, h. 3
lain-lain 110
78
satu-satunya yang menciptakan seluruh alam ini dan mengaturnya sedemikian rupa, sehingga manusia dengan mudah mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dan mengambil pelajaran dari keteraturan alam yang sedemikian sistematis dan harmonis.111 Singkatnya, keteraturan alam semesta ini menjadi media atau sarana untuk sampai kepada Tuhan. Inilah yang menurut al-Thabârî (w. 923 M) bahwa konsep taskhîr al-„alam terkait erat dengan tauhîd, karena penciptaan dan penundukkan alam semesta dapat mengantarkan kepada Realitas yang Hakiki, yaitu Tuhan yang Maha Esa.112 Ketika manusia memahami bahwa yang menjadi tujuan utama (main goal) penciptaan alam semesta adalah pengetahuan Tuhan tentang diri-Nya, maka hal ini menuntut manusia untuk mampu menegakkan kehendak Allah dan menerapkan semua ketetapan-ketetapan-Nya. Terhadap alam, manusia harus tetap menjaga kehendak Allah dan tetap mengawasi berbagai ketetapan-Nya atas alam. Bahkan Ibn „Arabî menegaskan, alam dan segala isinya, meskipun wujudnya bermacam-macam pada dasarnya satu, yaitu irâdah (kehendak tuhan).113 Sumber ini bisa menjelaskan bahwa semua unsur alam semesta memiliki nilai dan manfaat sehingga menuntut manusia untuk berbaik kepada alam. Dengan demikian dari pemaparan di atas, sudah saatnya manusia melihat bahwa alam bukanlah entitas-entitas yang tidak mempunyai nilai sakral. Manusia harus meyakini bahwa alam dan segala makhluk yang menghuninya merupakan satu kesatuan baik dari segi asal maupun tujuan. Dalam konteks krisis lingkungan, 111
Lihat Ibn Jarîr al-Thabârî, Jami‟ al-Bayân fi Ta‟wîl al-Qurân, (t,tp: Muassasah alRisalah, 1420 H), Juz 3, h. 268 112 Lihat Ibn Jarîr al-Thabârî, Jami‟ al-Bayân fi Ta‟wîl al-Qurân,, Juz 18, h. 568. Lihat juga Ibn Katsîr, Tafsîr Ibn Katsîr, jilid 3, h. 451. 113 Ibn „Arabî, Syajarat al-Kaun, (Riyâḍ: Riyâḍ Abdi Allâh, 1985), h. 21.
79
tauhid harus menjadi nilai dasar manusia dalam memahami alam ini. Alam harus dilihat sebagai ayat atau simbol yang dapat mengantarkan manusia untuk sampai pada Realitas Mutlak dan Hakiki. Merusak alam berarti sama dengan menghilangkan ayat-ayat Tuhan. Sebaliknya, memelihara dan merawatnya menjadi salah satu indikator ketakwaan seseorang, sebagaimana disyaratkan dalam surah Yunus bahwa pergantian siang malam dan keanekaragaman ciptaan Allah benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa (QS. Yunus [10]:6). Dengan demikian, dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dengan merubah secara fundamental pola pikir manusia terhadap alam, akan dapat mempengaruhi pola interaksi manusia dengan alam. Semakin dalam pemahaman seseorang terhadap esensi dan eksistensi alam, maka akan semakin menambah kecintaannya terhadap lingkungan. Ini berarti pola pikir dan empati manusia sangat mempengaruhi aksinya.
BAB III KONSERVASI LINGKUNGAN DAN PARADIGMA PENGEMBANGAN KONSEP MAQÂSID AL-SYARÎ’AH
A. Pengertian Maqâsid al-Syarî’ah Secara etimologi
maqâsid al-syarî‟ah, tersusun dari dua kata yaitu
maqâsid dan al-syarî‟ah. Kata maqâsid1 menurut Louis Ma’luf adalah bentuk plural dari maqsid yang merupakan kata jadian (masdar) dari qasada yang bermakna bermaksud atau menuju sesuatu.2 ‘Ali al-Fayumi dalam bukunya alMisbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarî‟ah al-Kabîr li al-Râfi‟î, mengatakan bahwa, makna al-qasdu dari sisi bahasa berakar dari tiga huruf, yaitu qâf, sâd, dan dâl, yang apabila dirangkai menjadi sebuah kata „qasdu‟, yang bermakna al-i‟tizâm (berkehendak), al-tawajjuh (menuju) dan al-nuhûd nahwa al-syai‟ (bangkit menuju sesuatu).3 Dengan demikian, maqâsid secara etimologi dapat diartikan sebagai tujuan, sasaran, objek, maksud, dan cita-cita. Adapun yang dimaksud al-
1
Dalam al-Quran kata maqâsid dan padanannya digunakan sebanyak enam kali dan masing-masing terdapat pada ayat yang berbeda. Pertama, kata مقتصدyang artinya moderat, adil, dan tengah-tengah (QS. Fathir [35]: 32, Luqman [31]: 32). Kedua, kata مقتصدةartinya sama dengan kata مقتصدhanya saja yang kedua ini bentuknya mu‟annats (QS. al-Maidah [5]: 66). Ketiga, kata قصد, menurut Ibnu Manzur kata ini memiliki arti jalan lurus (QS. al-Nahl [14]: 9). Lihat Ibn Manzur, Lisân al-„Arab, (Bairut: Dâr Shad, t.t.), Cet, ke-1, Vol. 3, h. 353. Keempat, kata قاصدا. Menurut Ibnu ‘Âsyur kata tersebut bermakna tengah-tengah (QS. al-Taubah [9]: 42). Lihat Muhammad Tâhir bin ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Kairo: Dar at-Turas, 1999), Cet, ke-3, Vol. 1, h. 40-41. Kelima, اقصدdengan bentuk perintah. Menurut al-Qurtubi, kata ini bermakna adil, seimbang dan sederhana, tidak terlalu cepat dan tidak pula terlalu lambat (QS Luqman [31]: 9). Lihat Muhammad ibn Hamd al-Qurtûbi, al-Jâmi‟ li Ahkâm al-Qurân, (Riyadh: Dar al-Jail, t.t.), h. 545. 2 Louis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughah wa al-„Alâm (Beirut: Dâr al-Mashriq, 1986), h. 632. Lihat juga Atabik Ali dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak, 1996), h. 1208. 3 Ali al-Fayyûmi, al-Misbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syari‟ah al-Kabîr li al-Râfi‟i (Lebanon: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1987), h. 504.
80
81
syarî‟ah, secara etimologi berarti jalan menuju sumber air.4 Ungkapan tersebut mengandung konotasi keselamatan. Dalam al-Quran kata al-syarî‟ah dipakai untuk arti agama, sebagai jalan lurus yang ditetapkan Allah untuk diikuti oleh manusia agar mendapatkan keselamatan. Dalam perkembangan terakhir, kata alsyarî‟ah digunakan untuk merujuk makna pokok-pokok agama dan hukum sekaligus.5 Dengan demikian maqâsid al-syarî‟ah secara etimologi adalah tujuan segala ketentuan agama yang disyariatkan kepada umat manusia. Sedangkan secara terminologi makna maqâsid al-syarî‟ah mengalami perkembangan. Di kalangan ulama sebelum abad 5 H, pemaknaan maqâsid alsyarî‟ah cenderung mengikuti makna bahasa dengan menyebutkan padanan maknanya, misalnya al-Bannani memaknainya dengan hikmah hukum, al-Asnawi mengartikanya dengan tujuan-tujuan hukum.6 Sementara pada abad ke-5-8 H pemaknaan maqâsid adalah pernyataan alternatif untuk masâlih (kemaslahatankemaslahatan). Misalnya, ‘Abd al-Mâlik al-Juwaini (w.478 H/1185 M), –salah seorang kontributor paling awal terhadap teori maqâsid– menggunakan istilah almaqâsid dan al-masâlih al-„âmmah secara bergantian,7 atau Abu Hamîd alGhazali (w. 505 H/1111 M) yang mengkategorikan maqâsid dengan al-masâlih al-mursalah,8 begitu juga Fakhr al-Dîn al-Râzi (w. 606 H/1209 M) dan al-Âmidî
4
Ibn Manẓûr, Lisân Al-„Arab (Mesir: Dâr al-Miṣriyyah li al-Ta’lîf wa al-Tarjamah, t.th),
h. 40. 5
Syufa’at, Implementasi Maqâṣid al-Syarî'ah dalam Hukum Ekonomi Islam, dalam Jurnal al-Ahkam: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 23, No. 2, Oktober 2013, h. 146 6 Ahmad Imam Mawardi, Evolusi Maqâṣid al-Syarî'ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: Lkis, 2010), h. 180. 7 ‘Abd al-Mâlik al-Juwaini, Ghiyâts al-Umâm fî al-Tiyâts al-Zulâm, (Qatar: Wazarah alSyu’ûn al-Dîniyyah, 1400 H), h. 253 8 Al-Ghazali, al-Mustasfâ min „Ilm al-Usûl, (Beirut: Dar al Kutub al-‘Ilmiyah, 1980), vol. 1, h. 172
82
(w. 631 H/1234 M) yang mengikuti terminologi al-Ghazâli.9 Singkatnya, perkembangan definisi ini mengindikasikan adanya kaitan erat antara maqâsid alsyarî‟ah dengan hikmah, tujuan, dan kemaslahatan.10 Menurut Imam al-Syatibî, maqâsid al-syarî‟ah adalah tujuan disyariatkanya hukum Allah yang berintikan kemaslahatan.
Setiap
pensyariatan
hukum
mengandung
maqâsid
yakni
kemaslahatan bagi umat manusia.11
B. Kajian Maqâsid al-Syarî’ah dalam Lintas Sejarah Secara historis, penggunaan maqâsid al-syarî‟ah sebagai landasan dalam berijtihad, pada hakikatnya telah dipraktekkan oleh para sahabat sejak periode awal Islam, akan tetapi mereka belum menyebutkan terma maqâsid al-syarî‟ah secara jelas, apalagi model aplikasinya terhadap proses penetapan hukum suatu kasus. Misalnya, pada masa pemerintahan Umar ra. mengenai penerapan penangguhan hukum atas pidana pencurian pada musim kelaparan di Madinah. Umar berpandangan bahwa menerapkan hukuman pencurian yang ditentukan nash, ketika dalam situasi paceklik, tentu bertentangan dengan prinsip umum keadilan.12 Contoh lain mengenai keputusan Umar untuk memasukkan kuda ke dalam kategori kekayaan yang wajib dizakati, meskipun sabda Nabi saw. mengecualikan kuda. Rasionalisasi Umar adalah bahwa kuda pada masa
9
Jasser Auda, Maqâsid al-Syarî‟ah as Philosopy Of Islamic Low, diterjemahkan oleh Rosidin dan Ali ‘Abd al-Mun’in, (Bandung: PT. Mizan, 2015), h. 33 10 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqasid alSyarî‟ah dari konsep ke pendekatan, (Yogyakarta: Lkis, 2010), h. 180. 11 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqâṣid al-Syarî'ah menurut al-Syatibî, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), h. 5 12 Muhammad Biltâjî, Manhaj Umar Ibn al-Khattab fi al-Tasyrî‟, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2002), h. 190
83
kekhalifahannya, secara signifikan sudah melebihi nilai unta yang oleh Nabi dimasukkan ke dalam objek wajib zakat pada masa hidup beliau. Dengan kata lain, Umar memahami maksud zakat dalam kaitannya sebagai bentuk bantuan sosial yang harus dibayar oleh orang kaya untuk kepentingan orang miskin, dengan mengesampingkan tipe kekayaan baku yang disebutkan dalam Sunnah.13 Ini menunjukkan bahwa pada era sahabat dalam menerapkan sebuah hukum tidak melulu berdasarkan dilâlat al-lafz, tetapi juga menerapkan implikasi praktis yang didasarkan pada dilâlat al-maqâsid. Namun, yang perlu digarisbawahi di sini, bahwa Umar tidak menerapkan pendekatan berbasis maqâsid pada seluruh keputusan hukum Islam. Hal ini terbukti ketika beliau ditanya mengenai atribut yang dipakai ketika tawaf dengan bahu terbuka. 14 Umar menjawab bahwa ‘kita tidak akan berhenti melakukan apa pun yang sudah pernah dilakukan pada masa Nabi. Ini menunjukkan bahwa wilayah maqâsid hanya pada urusan mu‟amalah (sosial kemasyarakatan), bukan pada tataran ibadah.15 Secara literatur, istilah maqâsid digulirkan dan menjadi subjek karya ilmiah tersendiri pada akhir abad ke-3 H. Misalnya, al-Tirmidzi al-Hakîm (w. 296 H/908 M) mendedikasikan karya pertamanya dengan judul al-Salâh wa Maqâsiduhâ, yang berisi sekumpulan hikmah dan rahasia spiritual di balik setiap
13
Yusuf al-Qardâwi, Fiqh al-Zakâh, (Mesir: al-Risâlah, 1985), vol. 1, h. 229 Cerita dibalik pertanyaan ini adalah mengenai peristiwa penaklukan kota Mekkah (fath Mekkah), penduduk Mekkah mengklaim bahwa kesehatan Nabi dan para sahabatnya mengalami penurunan setelah lama tinggal di Madinah. Maka, Nabi memerintahkan para Sahabat bertawaf di Ka’bah dengan bahu terbuka untuk menunjukkan kekuatan. Lihat Sahih al-Bukhâri, Kitab al-Hajj 15 Al-Syatîbî juga mengemukakan dalam tulisannya mengenai pembatasan wilayah kajian maqâsid yaitu pengamalan literal adalah metodologi baku pada urusan ibadah, sedangkan pertimbangan maqâsid adalah metodologi baku pada urusan mu‟amalah. Lihat al-Syatibî, alMuwafaqât, vol. 2, h. 6 14
84
gerakan shalat dengan kecenderungan sufi.16 Abû Zaid al-Balkhî (w. 322 H/933 M) dengan karyanya al-Ibânah „an „Ilal al-Diyânah, yang berisi menelaah maqâsid dibalik hukum-hukum Islam.17 Selanjutnya al-Qaffâl al-Kabîr (w. 365 H/975 M) menulis manuskrip terkait maqâsid, Mahâsin al-Syarâ‟i (Keindahankeindahan Hukum Syariat). Ibn Babâwaih al-Sadûq al-Qummî, salah seorang fâqih terkemuka syiah abad ke-4 H, yang menulis buku „Ilal al-Syarâ‟i (Alasanalasan dibalik Hukum Syariat) dan al-Âmirî al-Failasûf (w. 381 H/991 M) yang mengajukan klasifikasi teoritik pertama terhadap maqâsid dalam karyanya alI‟lâm bi Manâqib al-Islâm (Pemberitahuan tentang Kebaikan-kebaikan Islam), namun klasifikasi al-Âmirî hanya sebatas hukum pidana dalam hukum Islam.18 Demikian tokoh-tokoh abad ke-3 sampai 4 H yang mengkaji maqâsid, tapi belum menawarkan maqâsid al-syarî‟ah sebagai sebuah konsep. Selanjutnya pada abad 5 H ada Imam al-Harâmain al-Juwainî (w. 478 H/1085 H) atau dapat dikatakan sebagai ahli usul pertama yang menekankan pentingnya memahami maqâsid al-syarî‟ah dalam menetapkan hukum Islam, melalui karyanya al-Burhân fi Usûl al-Fiqh. Dalam karyanya, al-Juwaini secara tegas menyatakan bahwa, seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum Islam, sebelum dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah dan larangan-Nya.19 Kemudian beliau mengelaborasi lebih lanjut maqâsid al-syarî„ah itu dalam kaitannya dengan pembahasan „illah pada masalah qiyâs. Menurut pendapatnya, dalam kaitannya dengan „illah, asl dapat dibedakan menjadi lima 16
Jasser Auda, Maqâsid al-Syarî‟ah as Philosopy Of Islamic Low, h. 45-49 Muhammad Kamal Imam, al-Dalîl al-Irsyad ila Maqâṣid al-Syarî'ah al-Islâmiyyah, (London: al-Maqashid Research Center, 2007), h. 3 18 Jasser Auda, Maqâṣid al-Syarî‟ah as Philosopy Of Islamic Low, h. 47 19 Al-Juwainî, Al-Burhân fî Usûl Fiqh, (t.t.p.: Dâr al-Anshâr, 1400 H), jilid 1, h. 295. 17
85
tingkatan, yaitu darûrah, al-hâjjah al-„âmmah (kebutuhan publik), al-makrumâh (perilaku moral), al-mandubâh (anjuran-anjuran), dan apa yang tidak dapat dicantumkan pada alasan khusus. Dia mengemukakan bahwa maqâsid hukum Islam adalah kemaksuman (al-„ismah) atau penjagaan keimanan, jiwa, akal, keturunan, dan harta.20 Selanjutnya pemikiran al-Juwaini dikembangkan oleh muridnya, Abû Hâmid al-Ghazâlî (w. 505 H/1111 M) melalui karyanya al-Mustasfâ. Al-Ghazali mengurutkan maslahah yang disarankan al-Juwaini sebagai berikut: 1) agama, 2) jiwa, 3) akal, 4) keturunan, dan 5) harta. Al-Ghazali juga mencetuskan istilah alhifz (perlindungan) terhadap teori maslahahnya.21 Kemudian pandangan alGhazâli tentang usûl al-khams ini, disempurnakan lagi oleh Syihâb al-Dîn alQarafi (w. 684 H), dengan menambahkan satu prinsip dasar, yakni memelihara kehormatan diri (hifz al-„ird), meskipun diakui sendiri oleh al-Qarafi bahwa hal ini menjadi bahan perdebatan para ulama. Pandangan ini nampaknya cukup berdasar, lantaran adanya nas al-syara„ yang secara eksplisit melarang al-qadzf (tindakan melemparkan tuduhan palsu zina terhadap orang lain) (QS. al-Nûr [24]:4 dan 23). 22 Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqâsid al-syarî‟ah adalah ‘Izz al-Dîn Ibn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H/1209 M). Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahah secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadah dan menarik manfaat (dar‟u al20
Al-Juwainî, Al-Burhân fî Ushûl Fiqh, jilid 1, h. 923-930 Al-Ghazâlî, Syifâ al-Ghîl fî Bayân al-Syibh wa al-Mukhil wa Masâlik al-Ta‟lîl (Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1971), h. 159. 22 Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, dalam Jurnal Salam; Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum, h. 320. 21
86
mafâsid wa jalbu al-manâfi‟).23 Baginya, maslahah duniawi tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu darûriyyât, hâjiyyât dan tatimmât atau takmilât. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa taklîf harus bermuara pada terwujudnya kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.24 Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa ‘Izz al-Dîn Ibn ‘Abd al-Salâm telah berusaha mengembangkan konsep maslahah yang merupakan inti pembahasan dari maqâsid al-syarî‟ah.25 Puncak kematangan teori maqâsid ada di tangan Abû Ishâq al-Syâtibî (w. 790 H/1388 M) melalui karyanya al-Muwâfaqât fî Usûl al-Syarî‟ah. Al-Syâtibî memprakarsai sistematisasi konsep maqâsid al-syarî‟ah tentang tiga prioritas kebutuhan (kemaslahatan); dharûriyyât, hâjiyyât, dan taḥsîniyyât. Dikatakan masâlih al-darûrî karena maqâsid ini tidak bisa dihindarkan dalam menopang masâlih al-dîn, artinya jika maslahah ini dirusak, maka stabilitas kehidupan dunia pun menjadi rusak. Maqâsid al-darûrî ini terangkum dalam lima hal yaitu hifz aldîn (menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-nasl (menjaga keturunan), hifz al-mâl (menjaga harta), dan hifz al-„aql (menjaga akal). Sedangkan cara untuk melestarikannya adalah dengan 2 cara yaitu; hifzuhâ min nahiyat al-wujûd (menjaga hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya) dan
hifzuhâ
23
min
nahiyat
al-„adam
(mencegah
hal-hal
yang
dapat
Ibn Abd al-Salâm, Qawâ‟id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, (Kairo: al-Istiqamat, t.t), jilid 1, h. 9. 24 Ibn Abd al-Salâm, Qawâ‟id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, jilid 1, h. 60-62 25 Amir Mu'alim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta, UII Press, 2001), h. 51
87
menghilangkannya).26 Sementara untuk hâjiyyât adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk menghindari kesulitan dalam melaksanakannya, seperti shalat jama’ dan qasar bagi musafir. Sedangkan taḥsîniyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada, demi melestarikan akhlak yang baik. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu, juga tidak akan menimbulkan masyaqqah dalam melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak menurut ukuran tata krama dan kesopanan.27 Singkatnya, konsep maqâsid al-syarî‟ah yang dikembangkan al-Syâtibî, menggambarkan sebuah hukum dengan lebih menitikberatkan pada substansi (maqâsid) sebuah teks (alsyarî‟ah), yang kemudian disinkronkan dengan sebuah kasus dan realita. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan pada masa al-Syâtibî inilah, teori maqâsid al-syarî‟ah mencapai kematangan. Karya al-Syâtibî menjadi referensi standar maqâsid al-syarî‟ah di kalangan ulama hingga abad ke-20 M. Pada abad ke-20 M teori maqâsid mengalami perkembangan. Para ulama kontemporer mengkonstruk ulang konsep maqâsid lama yang bersifat protection and preservation (penjagaan dan perlindungan), menuju pada teori yang mengacu pada development and rights (pengembangan dan hak asasi).28 Teori modern mengkritik klasifikasi maqâsid klasik dengan beberapa alasan, yaitu pertama, jangkauan maqâsid klasik meliputi seluruh hukum Islam, tetapi upaya para penggagas maqâsid klasik itu tidak memasukkan maksud khusus dari suatu atau sekelompok nas/hukum yang meliputi topik fikih tertentu. Kedua, maqâsid klasik 26
Al- Syâthibî, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî‟ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), jilid II, h. 2-3 27 Nurnazli, Penerapan Kaidah Maqâsid Syariah Dalam Produk Perbankan Syariat, dalam jurnal al-Ijtimaiyyah, Vol. 7, no. 1 Februari 2014, h. 47 28 Jasser Auda, Maqâsid al-Syarî‟ah as Philosopy Of Islamic Low, h. 56
88
lebih berkaitan dengan individu, dibandingkan keluarga, masyarakat, dan umat manusia. Ketiga, klasifikasi maqâsid klasik tidak memasukkan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan. Keempat, maqâsid klasik dideduksi dari kajian literatur fikih, ketimbang sumber-sumber syariat (al-Quran dan Sunnah).29 Singkatnya pada abad 20 M ini, para cendekiawan muslim ingin mengembangkan teori maqâsid klasik yang jangkauannya hanya bersifat individu, menuju jangkauan yang lebih luas, yaitu masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia. Misalnya, teori maqâsid klasik, hifz al-nasl (perlindungan keturunan) yang hanya dipahami sebatas menjaga kemaluan, berkembang menjadi teori yang berorientasi keluarga. Al-Tâhir Ibnu ‘Asyur (w. 1325 H/1907 M) misalnya, menjadikan peduli keluarga sebagai maqâsid hukum Islam.30 Selanjutnya teori hifz al-„aql yang juga hingga akhir-akhir ini masih terbatas pada maksud larangan minum-minuman keras, para teoritikus maqâsid kontemporer mengembangkan dengan memasukkan pengembangan pikiran ilmiah, perjalanan menuntut ilmu, melawan mentalitas taklid, dan mencegah mengalirnya tenaga ahli keluar negeri.31 Demikian pula hifz al-„ird dan hifz al-nafs berkembang menjadi perlindungan harkat dan martabat manusia atau perlindungan hak-hak asasi manusia, teori inilah yang dikembangkan oleh Yusuf al-Qardawi (l. 1245 H/1926
29
Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R dan H. Hasni Noor, Konsep Maqâsid alSyarî‟ah dalam Menentukan Hukum Islam Perspektif al-Syatibi dan Jasser Auda, dalam Jurnal AlIqtishadiyyah: Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, Vol. 1, Issue 1, Desember 2014, h. 56 30 Ibn ‘Âsyur, Usûl al-Nizâm al-Ijtimâ‟i fi al-Islâm, h. 206 31 Jasser Auda, Maqâsid al-Syarî‟ah as Philosopy Of Islamic Low, h. 57
89
M)
pada
teori
maqâsid-nya.32
Cakupan
hifz
al-dîn
juga
mengalami
pengembangan, dari yang hanya dipahami sebagai perlindungan akan keyakinan yang benar, menjadi konsep yang sama sekali berbeda, yaitu kebebasan kepercayaan (freedom of faiths) menurut istilah Ibn ‘Asyur33 atau kebebasan berkeyakinan dalam ungkapan ulama kontemporer lain. Terakhir, hifz al-mâl yang pada mulanya dipahami hanya sebatas hukuman bagi pencurian, berkembang cakupannya menjadi pengembangan ekonomi, seperti bantuan sosial, distribusi uang, masyarakat sejahtera dan pengurangan perbedaan antar kelas sosialekonomi.34 Untuk lebih jelasnya, berikut diantara pemikiran para cendekiawan modern yang melakukan pengembangan cakupan maqâsid al-syarî‟ah, yaitu: Hasan Hanafi. Hanafi mencoba menformulasikan maqâsid al-syarî‟ah, sebagai berikut: Pertama, memelihara kehidupan (hifz al-nafs) yang berarti menjaga kelestarian umat dari ancaman yang datang baik dari dalam ataupun luar negeri. Kedua, menjaga akal (hifz al-„aql) berarti menggalakkan rasionalitas, pendidikan, dan memerangi kebodohan. Ketiga, menjaga agama (hifz al-dîn) berarti memberi kebebasan beragama kepada pemeluk agama untuk meyakini dan melaksanakan ajaran agamanya. Keempat, menjaga kehormatan (hifz al-„ird) yakni menjaga harga diri umat dan negara, baik dari penjajahan maupun tekanan pihak luar.
32
Jasser Auda, Maqâsid al-Syarî‟ah as Philosopy Of Islamic Low, h. 39 Ibn ‘Asyur, Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islamiyyah, h. 292 34 Jasser Auda, Maqâsid al-Syarî‟ah as Philosopy Of Islamic Low, h. 59 33
90
Kelima, menjaga harta (hifz al-mâl) yakni melindungi sumber daya alam negara dan memanfaatkannya demi kepentingan rakyat.35 Selain Hassan Hanafi, ada juga Jasser Auda yang juga melakukan kontekstualisasi Sebagaimana
maqâsid
dikutip
oleh
al-syarî‟ah M.
Amin
dengan
konteks
Abdullah,
ia
zaman
sekarang.
merumuskan
lima
kontekstualisasi maqâsid al-syarî‟ah sebagai berikut: Pertama, menjaga keturunan (hifz al-nasl) diartikan sebagai perlindungan keluarga; kepedulian yang lebih terhadap institusi keluarga. Kedua, menjaga akal (hifz al-„aql) diartikan sebagai upaya untuk melipatgandakan pola pikir dan riset ilmiah, mengutamakan perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan, menghindari upaya-upaya yang meremehkan kerja otak. Ketiga, menjaga kehormatan: menjaga jiwa (hifz al-„ird; hifz al-nafs) berarti menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan; menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia. Keempat, menjaga agama (hifz al-dîn) berarti menjaga, melindungi, dan menghormati kebebasan beragama dan kepercayaan. Kelima, menjaga harta (hifz-al-mâl) berarti mengutamakan kepedulian sosial, menaruh perhatian pada pembangunan ekonomi, mendorong kesejahteraan manusia, dan menghilangkan jurang antara miskin dan kaya.36 Demikian contoh kecil pengembangan cakupan maqâsid al-syarî‟ah pada era kontemporer, dan sebenarnya masih banyak pemikiran cendekiawan lain yang melakukan kajian maqâsid al-syarî‟ah, baik dalam bentuk penelitian disertasi atau dalam bentuk buku, seperti Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, dalam bukunya 35
Hasan Hanafi, Maqâsid al-Syarî‟ah wa Ahdâf al-Ummah: Qira‟at fi al-Muwâfaqât li
al-Syatibi, 36
M. Amin Abdullah, Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam dalam Merespon Globalisasi, dalam Jurnal asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 46, No. 2, Juli-Desember 2012, h. 363-364
91
dawâbit al-Maslahah, Husain Hamid Hassan, ‘Abd al-Mun’im Idris, dan ahli-ahli syariat lainnya. Ini menunjukkan bahwa konsep maqâsid al-syarî‟ah merupakan salah satu metodologi yang terpenting dalam mereformasi hukum Islam, terutama dalam menetapkan hukum yang tidak tercantum dalam al-Quran dan al-Sunnah. Maqâsid al-syarî‟ah merupakan sebuah metode yang akan menjadikan hukum Islam selalu compatible dalam segala situasi, kondisi zaman, sosio-kultural masyarakat modern yang terus berkembang.
C. Menimbang Pemeliharaan Lingkungan (Hifz al-Bî’ah) dalam Maqâsid alSyarî’ah Berkaitan dengan konsep maqâsid al-syarî‟ah yang dijadikan kerangka teori oleh para mujtahid, –sebagaimana yang telah dijelaskan pada point sebelumnya (point B)–
dalam memaknai dan mengimplementasikan ajaran al-
Quran dan Sunnah, maka dalam konteks kemajuan zaman yang tidak hanya membawa perubahan positif, namun juga menimbulkan negatif bagi kehidupan manusia, keberadaan lima maqâsid al-syarî‟ah perlu diperluas dan dikembangkan. Munculnya fenomena global warming, akibat dari life style (gaya hidup) manusia, berupa konsumerisme dan hedonistik, menimbulkan berbagai bencana alam di berbagai belahan dunia. Kerusakan alam berserta ekosistemnya semakin hari semakin menjadi-jadi, bahkan sudah pada taraf mengancam kehidupan global. Fenomena ini tentu memerlukan solusi secara holistik, tidak terkecuali melalui pendekatan agama yaitu pendekatan maqâsid al-syarî‟ah, yang merupakan koridor relevan dalam menjawab persoalan kontemporer yang dinamis.
92
Pada hakikatnya, setelah era al-Syâtibi, banyak pemikir Islam yang mencoba mengembangkan lebih lanjut konsep maqâsid al-syarî‟ah, salah satunya, Fazlur Rahman. Jika al-Syâtibi merumuskan maslahah pada lima unsur pokok: agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta, maka Rahman menetapkan dua unsur; yaitu tauhid (monoteisme) dan keadilan sosial. Menurut Rahman, nilai-nilai sentral ajaran Islam terletak pada nilai tauhid. Tauhid mengandung pengertian sentralitas dan urgensitas Tuhan bagi kehidupan manusia. Tuhan dibutuhkan sebagai pencipta, penopang, pemberi petunjuk, dan terakhir sebagai hakim. Selain tauhid, pesan sentral al-Quran juga terletak pada konsep keadilan sosial. Sejak pertama kali al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad, berperan sebagai petunjuk masalah-masalah moral, spiritual, dan problem-problem sosial tertentu, terutama politeisme dan ketimpangan sosial ekonomi yang berlangsung dalam komunitas pedagang Makkah.37 Salah satu prinsip keadilan sosial yang diletakkan al-Quran adalah kekayaan tidak boleh beredar hanya di kalangan orang-orang kaya saja,38 sebagai pengejawantahan prinsip ini, al-Quran menetapkan zakat. Namun demikian, baik al-Syâtibi maupun Rahman sama-sama tidak menyinggung hifz al-bî‟ah sebagai bagian dari maqâsid al-syarî‟ah. tetapi semangat moral al-Quran –seperti yang ditunjukkan Rahman dalam konsep monoteisme dan keadilan sosial ini– memberi ruang yang terbuka untuk merumuskan konsep dan hukum pemeliharaan lingkungan dalam kajian maqâsid al-syarî‟ah. Ada beberapa landasan yang mendasari pentingnya paradigma pemeliharaan lingkungan (hifz al-bî‟ah) dalam kajian maqâsid al-syarî‟ah, yaitu: 37
Fazlur Rahman Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: Chicago University Press, 1980), h. 5. 38 QS. al-Hasyr [59]:7
93
1. Basis Ontologi Paradigma Hifz al-Bî’ah Secara ontologis,39 paradigma hifz al-bî‟ah dibangun atas landasan yang memandang Tuhan, manusia, dan alam sebagai aspek yang memiliki hubungan yang bersifat integratif. Pola hubungan ini terbangun atas dasar konsep tauhid. Secara harfiah, tauhid berarti kesatuan (unitas), yang secara absolut berarti mengesakan Allah dan sekaligus membedakannya dari makhluk-Nya. Akan tetapi tauhid juga dapat diartikan secara luas sebagai kesatuan (unitas) seluruh ciptaan– baik manusia maupun alam– dalam relasi-relasi kehidupan.40 Dengan kata lain, tauhid mengandung pengertian tentang kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam. Untuk itu relasi antara ketiganya harus berjalan selaras, seimbang, dan harmonis. Penghilangan salah satu kutub tersebut akan menyebabkan kepincangan. Penghilangan kutub Tuhan akan menyebabkan sekulerisme yang mengeksploitasi alam dan berujung pada krisis lingkungan. Penghilangan kutub alam, akan menjadikan manusia miskin pengetahuan dan miskin peradaban. Dalam buku Major Themes of The Quran, Fazlur Rahman menjelaskan mengenai relasi Tuhan-manusia-alam dalam tiga gagasan utama. Pertama, Tuhan merupakan satu-satunya eksistensi yang menciptakan alam dan manusia. Kedua, Tuhan menciptakan alam sebagai sebuah kosmos atau tatanan yang teratur yang tidak statis, melainkan berkembang secara dinamis. Ketiga, alam bukan suatu permainan yang sia-sia, tetapi ia memiliki tujuan dan manusia harus mempelajari
39
Kata Ontologi berasal dari kata ontos yang berarti ada. Jadi Ontologi membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang ada. Dengan perkataan lain bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan. Lihat Bahrum, Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, dalam jurnal Sulesana, Vol. 8 No. 2 Tahun 2013, h. 36 40 Nurcholis Madjid, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), h. 276.
94
hukum-hukum alam ini yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan (sunnatullah) dan menjadikannya sebagai panggung aktivitas manusia.41 Relasi penting selanjutnya adalah alam sebagai pemenuhan kebutuhan. Tidak sedikit aya-ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa alam semesta ini dicipkatan untuk memenuhi kebutuhan manusia.42 Hal ini nyata di dalam realitas kehidupan. Pada dasarnya manusia dalam relasi ini sebagai elemen kecil dari sistem kehidupan. Maka dalam hukum kausalitas, keberadaan manusia sangat bergantung pada eksistensi makhluk yang lain (alam). 43 Demikian relasi antara Tuhan-manusia-alam dalam pandangan Islam. Dalam hubungan ini, manusia dan alam sama-sama menempati posisi yang sejajar. Manusia diberi hak memanfaatkan alam, tetapi pada saat yang sama Allah memerintahkan manusia untuk memelihara keseimbangannya dengan baik. 2. Basis Epistemologi Paradigma Hifz al-Bî’ah Secara epistemologis,44 paradigma hifz al-bî‟ah dibangun atas dasar konsep maslahah45 yang merupakan inti daripada konsep maqâsid al-syarî‟ah
41
Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), h.
2-3. 42
Diantaranya: QS. al-Baqarah [2]: 2, al-An‘am [6]:96,97, al-A‘raf [7]:10 Kalau dirunut, kronologi kejadian manusia sampai pada kehidupan selalu membutuhkan eksistensi alam semesta. Sebut saja tanah, dari awal jasad manusia berasal dari mineral yang terkandung dalam tanah. Demikian juga manusia hidup ditanah. Sebagaian besar jenis makanan yang dikonsumsi manusia berasal dari tanah. Oleh karenanya, manusia pada hakikatnya adalah saripati tanah yang tidak bisa hidup tanpa tanah. Selain tanah, air juga merupakan partikel penting dalam penyusunan manusia. Air bahkan merupakan unsur utama penyusunan manusia, karena asal mula kehidupan dikatakan berawal dari air. Dari air lah awal mula kejadian semua eksistensi yang hidup, selanjutnya terjadilah kehidupan seperti tumbuhan, hewan dan manusia. Lihat Suwito NS, Eko-Sufisme, (Purwokerto:Stain Press, 2011), h. 84. 44 Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu, pikiran, percakapan). Jadi epistemologi berarti ilmu, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Pokok persoalan dari kajian epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas jangkauan pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi adalah; apakah pengetahuan itu, apakah yang menjadi sumber dan dasar 43
95
yang terformulasikan dalam al-kulliyyât al-khams (Lima kemaslahatan dasar) yang menjadi tegaknya kehidupan umat manusia; yaitu menjaga agama (hifz aldîn), menjaga jiwa (hifz al-nafs), menjaga keturunan (hifz al-nasl), menjaga akal (hifz al-„aql), dan menjaga harta (hifz al-mâl). Kelima hal tersebut merupakan keharusan untuk menegakkan kemaslahatan, yang jika ditinggalkan, maka kemaslahatan dunia tidak akan pernah terwujud. Korelasi al-kulliyyât al-khams dalam menegakkan kemaslahatan umat manusia, tidak dapat terlepaskan dari persoalan pemeliharaan lingkungan yang merupakan medan manusia melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Secara spesifik korelasi al-kulliyyât al-khams yang terkait dengan konservasi lingkungan diuraikan oleh Yusuf al-Qardawi dalam karyanya Ri‟ayât al-Bî‟ah fî Syari‟at alIslâm, yaitu pertama, pemeliharaan lingkungan sama dengan menjaga agama, karena perbuatan dosa pencemaran lingkungan sama dengan menodai subtansi keberagamaan yang benar, yang secara tidak langsung meniadakan eksistensi manusia sebagai
khalîfah fi al-ard.
Kedua,
menjaga lingkungan dan
melestarikannya sama dengan menjaga jiwa, dalam artian perlindungan terhadap kehidupan psikis manusia dan keselamatan mereka. Ketiga, menjaga lingkungan termasuk dalam kerangka menjaga keturunan, yaitu keberlangsungan hidup pengetahuan? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan? Lihat Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta; Kanisius, 2002), cet-6, h. 38 45 Maslahah memiliki relasi yang signifikan dengan syarì’ah dalam beberapa rumusan diantaranya: Pertama, Syarì’ah dibangun atas dasar kemaslahatan dan menolak adanya kerusakan di dunia dan akhirat, Allah memberi perintah dan larangan dengan alasan kemaslahatan; Kedua, Syarì’ah selalu berhubungan dengan kemaslahatan, sehingga Rasulullah SAW mendorong umatnya untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kerusakan; Ketiga, tidak ada kemungkinan adanya pertentangan antara syarì’ah dan kemaslahatan; dan Keempat, Syarì’ah selalu menunjukkan pada kemaslahatan meskipun tidak diketahui keberadaan letak kemaslahatannya, dan Allah memberi kepastian bahwa semua kemaslahatan yang ada dalam syarì’ah tidak akan menimbulkan kerusakan. Lihat Muhammad bin Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, I‟lam al-Muwaqqi‟ìn „an Rabb al-„Àlamìn, (Beirut: Dàr al-Jail, tt.), Juz III, h. 3.
96
generasi manusia di muka bumi. Perbuatan menyimpang terkait lingkungan hidup akan berakibat pada kesengsaraan generasi berikutnya. Keempat, menjaga lingkungan sama dengan menjaga akal, dalam artian bahwa beban taklîf untuk menjaga lingkungan di-khitâb-kan untuk manusia yang berakal. Hanya orang yang tidak berakal saja yang tidak terbebani untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Kelima, menjaga lingkungan sama dengan hifz al-mâl. Allah Swt., telah menjadikan harta sebagai bekal dalam kehidupan manusia di atas bumi. Air, pepohonan, mineral bumi, dan segala jenisnya, menjadi harta kekayaan yang tak terhingga, yang diberikan Tuhan untuk kebutuhan makhluk-Nya.46 Singkatnya, dapat dikatakan bahwa pemeliharaan lingkungan (hifz albî‟ah) pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan sebagai tujuan utama dari aktivitas kemanusiaan. Segala prilaku yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan hidup, semakna dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, keturunan, dan agama, dan ini bertentangan dengan beberapa kaidahkaidah, diantaranya: lâ darâra wa lâ dirâra (Tidak boleh melakukan kemudaratan terhadap diri sendiri dan orang lain), al-darar yuzâlu biqadr al-imkân (kemudaratan harus dihilangkan semampunya), al-darar lâ yuzâlu bidarari mitslihi (kemudaratan tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yang mendatangkan mudharat yang sama), yatahammalu al-darar al-adnâ li daf‟i al-darar al-a‟lâ (boleh melakukan mudarat yang lebih ringan untuk mengatasi mudarat yang lebih besar), yatahamalu al-darar al-khâs li daf‟i al-darar al-„âm (melakukan mudarat yang khusus demi mencegah mudarat umum), idzâ ta‟âradâ mafsadatâni ru‟iya 46
h. 47-51
Yusuf al-Qardawi, Ri‟ayât al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000),
97
a‟zamahumâ darâran birtikâbi akhfâhumâ (apabila terjadi pertentangan dua hal yang membahayakan, maka boleh melakukan yang lebih ringan bahayanya), dar‟u al-mafâsid muqaddamun „alâ jalb al-mashâlih (menolak kerusakan lebih diutamakan dari mengharapkan kemaslahatan)47 Dengan demikian prinsip yang mendasari pertimbangan paradigma hifz albî‟ah adalah kemaslahatan manusia dengan menghindari kemadaratan. Dalam mazhab Maliki, suatu hal yang meski tidak ditetapkan oleh nas secara eksplisit, tetapi memiliki kemanfaatan adalah dianjurkan, bahkan wajib, karena ada kaidah “mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib” (sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib) dan ada kaidah lain yang menyebutkan “hukm al-maqâsid li al-wasâil” (sarana memiliki status hukum yang sama dengan perbuatan yang menjadi tujuan).48 Kedua kaidah ini sangat tepat, karena jika pemeliharaan lingkungan menjadi isu krusial, maka status hukumnya bukan sebagai pelengkap lagi, melainkan sebagai bagian dari tujuan pokok agama, dan ini penting dilakukan karena dimungkinkan mampu mempengaruhi dan merubah mainstream umat manusia untuk berperilaku baik terhadap eksistensi lingkungan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ada dua hal yang perlu di sampaikan mengenai pemeliharaan alam semesta. Pertama, pemeliharaan lingkungan (hifz al-bî‟ah) dipandang sebagai bagian dari maqâsid al-syarî‟ah, di samping memelihara agama (al-dîn), jiwa (al-nafs), keluarga (al-nasl), akal (al-
47
Muhammad Khalid Mas’ud, Fislafat Hukum Islam, Studi tentang kehidupan dan pemikiran Abu Ishaq al-Syatibî, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1996), h. 200 48 Wardani, Menformulasikan Fiqh al-Bî‟ah: Prinsip-Prinsip Dasar Membangun Fiqih Ramah Lingkungan, dalam Jurnal al-Mustawa Vo.1 No. 1, Februrai, 2009, DPPAI UII.
98
„aql), dan harta (al-mâl), sehingga menjadi enam hal pokok dalam agama (aldarûriyyah al-Sittah). Kedua, tanpa merubah struktur (al-kulliyyàt al-khams), sebagaimana digagas al-Syatibî, tetapi pemeliharaan lingkungan dijadikan sebagai syariat tertinggi, mengingat al-kulliyyât al-khams tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila pemeliharaan lingkungan diabaikan. Karena lingkungan menjadi kata kunci dalam membangun tatanan masyarakat yang religius. Betapa tidak, keyakinan terhadap pencipta harus dimulai dari pengenalan terhadap alam semesta. Begitupun tentang hak dan kewajiban, selalu terkait dengan lingkungan alam sekitar. 3. Basis Aksiologi Paradigma Hifzh al-Bî’ah Diskursus tentang paradigma hifz al-bì‟ah, secara aksiologis49 berisi norma-norma yang mengatur dan mengontrol pemeliharaan alam semesta ini melalui dua instrumen, yaitu halal dan haram. Sebuah aksi atau tindakan dipandang halal, jika ia mengandung unsur adanya kebaikan, menguntungkan, menenteramkan hati, atau yang berakibat baik bagi seseorang, masyarakat maupun lingkungan. Sebaliknya, suatu aksi atau tindakan dipandang haram, jika ia mengandung unsur kejelekan, membahayakan atau merusak seseorang, masyarakat, dan lingkungan. Konsep halal dan haram dalam paradigma hifz al-bî‟ah pada dasarnya berakar pada basis teologis yang berhubungan dengan konsep tauhid, khalîfah,
49
Secara etimologi kata aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai atau manfaat dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, ajaran dan teori. Sementara secara terminologi, kata Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan. Dengan ungkapan lain aksiologi adalah kajian tentang nilai ilmu pengetahuan. Lihat Bahrum, Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, dalam jurnal Sulesana, Vol. 8 No. 2 Tahun 2013, h. 36
99
dan amanah. Tauhid adalah poros segala aktivitas kehidupan.50 Islam memandang bahwa alam (lingkungan hidup) bersifat menyatu (holistik) dan saling berhubungan, yang komponennya adalah Sang Pencipta alam dan makhluk hidup termasuk manusia. Artinya, konsep yang berkaitan dengan penyelamatan dan konservasi lingkungan menyatu dan tidak terpisahkan dengan konsep keesaan Tuhan (tauhid). Setiap tindakan manusia yang berhubungan dengan makhluk lain, harus dilandasi keyakinan tentang keesaan dan kekuasaan Allah yang mutlak. Dari konsep tauhid inilah timbul konsep khalîfah dan amanah. Manusia tidaklah bebas begitu saja dari Tuhan, tetapi harus bertanggung jawab kepada Tuhan atas segala aktivitasnya. Bumi berserta isinya adalah amanat dari Tuhan yang harus dijaga dan dikelola dengan penuh tanggung jawab.51 Al-Quran dengan sejumlah ayatnya, seringkali mengingatkan manusia bahwa seluruh perbuatannya di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.52 Karena itu, umat manusia harus memanfaatkan alam ini menurut cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Menjaga alam dari kerusakan bukan hanya memiliki implikasi positif bagi manusia sekarang dan generasi mendatang, tetapi sekaligus sebagai sarana menjaga martabat manusia sebagai ciptaan Allah dengan jalan mensyukuri nikmat-Nya, dalam bentuk perbuatan yang positifkonstruktif. Selain itu, dalam upaya memanfaatkan alam ini, manusia juga harus mempertimbangkan 50
prinsip
keadilan,
keseimbangan,
keselarasan,
dan
Rusli, Islam dan Lingkungan Hidup Meneropong Pemikiran Ziauddin Sardar, dalam Jurnal Hermenia, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2004, h. 183 51 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Luqman Hakim (Bandung: Pustaka, 1987), h. 103-105. 52 QS. al-Jâtsiyyah [45]:15
100
kemaslahatan umat. Jika konsep tauhid, khalîfah, amanah, kemudian digabungkan dengan konsep keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan, maka terbangunlah suatu kerangka yang lengkap dan komprehensif tentang etika lingkungan dalam perspektif Islam. Konsep etika lingkungan ini mengandung sebuah penghargaan yang sangat tinggi terhadap alam, yaitu pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan persaudaraan semua makhluk. Konsep etika lingkungan inilah yang harus menjadi landasan dalam setiap perilaku dan penalaran manusia.53 Berdasarkan etika lingkungan tersebut, maka tidak seorangpun baik secara individu maupun kelompok, yang mempunyai hak mutlak untuk menguasai sumber daya alam. Konsep penguasaan alam yang dipelopori oleh pandangan Barat yang sekuler dan materialistik, tidak dikenal dalam Islam. Islam menegaskan bahwa yang berhak menguasai dan mengatur alam adalah Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur yakni Rabb al-‟âlamîn. Manusia wajib menjaga amanah yang telah diberikan oleh-Nya. Dalam konteks ini, alam merupakan arena ujian bagi manusia. Agar manusia bisa berhasil dalam ujiannya, ia harus bisa membaca tanda-tanda (ayat-ayat) alam yang ditunjukan Tuhan dengan menggunakan pengetahuan dan ilmu yang memadai dalam mengelola alam semesta. Menurut Seyyed Hossein Nasr, signifikansi alam ini setara dengan signifikansi al-Quran. Bila al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dengan lambang bahasa tulisan dan kata yang terhimpun (the recorded Quran), maka 53
Muhammad Harfin Zuhdi, Rekonstruksi Fiqh al-Bì‟ah Berbasis Maslahah: Solusi Islam Terhadap Krisis Lingkungan, dalam Jurnal Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2015, h. 59
101
sesungguhnya alam juga merupakan hamparan wahyu atau Quran of creation yang mempunyai nilai yang sama dengan the recorded Quran. Karenanya, keduanya sama-sama disebut sebagai ayat-ayat Tuhan. Ayat di sini bisa menunjuk pada bagian dari surat-surat al-Quran, tetapi juga bisa menunjuk pada kebesaran Tuhan yang terhampar di alam semesta dan manusia.54
54
Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: Unwin Paperbacks, 1979), h. 55
BAB IV PEMELIHARAAN LINGKUNGAN SEBAGAI USÛL AL-SYARÎ’AH DALAM AL-QURAN
A. Rekonstruksi Ayat-ayat Lingkungan Mainstream yang berkembang bahwa alam semesta disediakan Tuhan hanya untuk kemakmuran manusia, membuat eksplorasi atas sumber daya alam makin brutal tak terkendali. Pemanfaatan dan eksploitasi yang berlebihan, mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam di berbagai belahan dunia. Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai perspektif, termasuk perspektif agama, dengan mengkaji ayat-ayat lingkungan melalui pendekatan maqâsid al-syarî‟ah. Pendekatan ini merupakan terobosan baru untuk melahirkan konsep hukum lingkungan secara lebih praktis, dengan memberikan patokan-patokan dan regulasi mengenai hukum lingkungan yang berasaskan kemaslahatan. Menurut Qadir Gassing,1 kerangka yuridis pengelolaan lingkungan dijabarkan dalam norma-norma hukum taklîfi yang terdiri dari ibâhah (kebolehan), awâmir (perintah) dan nawâhi (larangan), yang ketiganya terkait dengan prilaku mukallaf terhadap lingkungan hidup.2 Ibâhah adalah kebolehan memanfaatkan seluruh isi alam (sumber daya alam), artinya, hukum dasar mengelola lingkungan adalah boleh (mubah). Namun, hukum tersebut dapat saja
1
Guru Besar Jurusan Hukum Acara Peradilan dan Kekeluargaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alaudin Makasar 2 A.Qadir Gassing, Etika Lingkungan Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Mapan, 2007), h. 110-124
102
103
berubah menjadi terlarang (haram), jika pengelolaannya cenderung eksploitatif. Sebaliknya, jika pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi suatu kewajiban, maka hukum yang asalnya mubah dapat berubah menjadi wajib. Berikut prinsip-prinsip hukum pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan.
1. Prinsip-Prinsip Pemanfaatan Lingkungan Dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang menegaskan, bahwa alam semesta diciptakan Tuhan bukan dengan tanpa tujuan,3 melainkan di antaranya untuk kepentingan makhluk-Nya.4 Berbagai keanekaragaman hayati dan non hayati, Tuhan tundukkan hanya semata-mata untuk kemaslahatan manusia, sebagai mandataris Tuhan di muka bumi ini. Pertanyaannya kemudian, apa prinsip dasar yang dapat dijadikan landasan hukum pemanfaatan potensi bumi? dan seberapa jauh teknis operasional pemanfaatan bumi? Pertanyaan inilah yang menjadi pembahasan utama dalam bagian ini.
a) Penundukan Alam sebagai Pemenuhan Kebutuhan Manusia di Bumi Beragam ciptaan dengan berbagai keanekaragamannya, Tuhan tundukkan untuk memenuhi kebutuhan semua makhluk hidup, terutama manusia sebagai mandataris Tuhan di bumi. Atas dasar ini, manusia patut mengabdi kepada Allah Swt. dan bersyukur kepada-Nya, dengan cara memanfaatkan seluruh potensi alam dengan baik dan benar. Allah berfirman:
3 4
QS. al-Dukhân [44]: 38-39 QS. al-Rahmân [55]: 10
104
Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintahNya. dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. al-Hajj [22]: 65) Secara literal, kata sakhkhara, menurut M. Quraish Shihab (l. 1944 M), dipahami dalam arti penundukkan sesuatu agar dapat dimanfaatkan, padahal sebenarnya sesuatu itu dilihat dari sifat dan keadaannya, enggan tunduk tanpa penundukan Allah. Penundukan itu antara lain melalui pengilhaman manusia tentang sifat, ciri, bawaan sesuatu, sehingga pada akhirnya ia dapat tunduk dan dimanfaatkan manusia.5 Fakhr al-Dîn al-Râzi (w. 606 H) memahami makna „apa yang ditundukkan Allah di bumi‟, berupa berbagai makhluk ciptaan Allah untuk menunjang keberlangsungan hidup manusia.6 Sementara pemahaman „dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya‟, ditafsirkan Ibn „Asyur (w. 1973 M), bahwa Allah menentukan karakter air laut dan angin yang aktif, sehingga kapal bisa berlayar di atasnya.7 Selanjutnya makna „dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, menurut al-Râzi (w. 606 H), bahwa Allah menyempurnakan berbagai nikmat dengan menahan posisi langit –semua yang
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati,, 2002), vol. 8, h. 276 6 Muhammad Fakhr al-Dîn al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dâr Ihya‟ al-Turâts al-„Arabi, 1420 H), Juz XII, h. 63 7 Muhammad al-Tahir Ibn Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunis: al-Dâr al-Tûnisiyyah li al-Nasyr, 2000), Jilid 12, h. 258
105
ada di atas kita– semuanya tetap pada posisinya, agar manusia dapat hidup nyaman dan aman di dunia.8 Berbagai makhluk ciptaan Allah baik biotik maupun abiotik, senantiasa tunduk pada ketentuan-Nya, untuk dapat memberikan manfaat kepada manusia. Inilah bukti kasih sayang-Nya, bahwa Ia tidak akan menciptakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, sehingga dapat menunjang interaksi seluruh makhluk yang saling terkait dan membutuhkan.9 Adanya keteraturan dan keterkaitan ini, menuntut adanya penjagaan yang maksimal, dengan membatasi interaksi yang berlebihan antara manusia dengan lingkungannya. Prinsip penjagaan ini semakin dalam, jika ditinjau lebih jauh dari aspek penafsiran kata lakum (untuk kalian). Menurut para mufasir, kata tersebut ditujukan kepada seluruh umat manusia, kapan dan di mana pun mereka berada. Ini berarti, alam raya, terutama bumi dengan segala isinya, diciptakan Allah Swt. bukan hanya untuk satu masyarakat atau satu generasi tertentu, tetapi untuk seluruh masyarakat dan generasi sepanjang masa.10 Dengan kata lain, bumi dan alam raya, disamping diciptakan untuk dimanfaatkan setiap generasi, juga sebagai titipan agar generasi berikutnya dapat pula menggunakan dan memanfaatkannya dengan baik. Tiap generasi memiliki peluang yang sama untuk menikmati dan memanfaatkan alam semesta. Oleh sebab itu, masyarakat pada suatu tempat dan masa tertentu, tidak boleh memberi beban kepada yang lain, dan tidak juga mengambil melebihi kebutuhannya. Inilah prinsip keseimbangan dalam
8
Muhammad Fakhr al-Dîn al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, Juz XII, h. 64 Sakirman, Urgensi Maslahah Dalam Konsep Ekonomi Syariah, dalam Jurnal Palita: Journal of Social-Religi Research, Vol 1, No.1, April 2016, h. 23 10 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2000), h. 272 9
106
memanfaatkan sumber daya alam. Tegasnya, pelaksanaan perilaku ekologis manusia dalam lingkungan, harus berada dalam bingkai menjunjung tinggi hakhak asasi ekologis sesama manusia. Prinsip keseimbangan ini juga ditegaskan di ayat lain, bahwa planet bumi yang Allah tundukkan, tidak hanya untuk manusia saja, melainkan juga untuk makhluk lain. Allah berfirman: Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk(Nya). Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. (QS. al-Rahman [55]: 10) Kata al-anâm dalam ayat ini menurut al-Qurtubi (w. 671 H) adalah kullu mâ dabba „alâ wajh al-ard, yaitu setiap yang merayap yang hidup di atas bumi.11 Hal senada juga dipahami oleh al-Syinqiti (w. 1393 H) bahwa yang dimaksud dengan al-anâm adalah al-khalqu, yaitu semua ciptaan Allah (seluruh spesies),12 Selanjutnya, telaah lebih dalam terletak pada huruf lâm pada kata li al-anâm. Lâm tersebut memiliki arti hak memanfaatkan, lâm li al-tanfi‟,13 bukan lâm yang berarti hak memiliki, lâm li al-tamlîk. Oleh karena itu, ayat di atas dapat dimaknai bahwa, manusia diberi hak dan wewenang oleh Allah untuk memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan dalam batas-batas kewajaran ekologis. Sebab, manusia bukan pemilik hakiki lingkungan, pemilik hakiki lingkungan adalah
11
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurthubi, al-Jâmi‟ li Ahkâm alQurân, Juz 17, h. 155 dalam CD-Room Maktabah Syamilah 12 Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqiti, Adwâ‟u al-Bayân fî Îdâh al-Qur‟ân bi al-Qurân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz 7, h. 492 13 Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, (Jakarta: Paramadian, 2001), h. 156
107
Allah.14 Dengan ungkapan lain, kepemilikan manusia hanyalah bersifat amanah, titipan, atau pinjaman yang pada saatnya harus dikembalikan kepada Pemiliknya. Untuk itu, manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam, tidak diperkenankan mengeksploitasi secara sewenang-wenang, terutama sumber daya umum yang tidak dimiliki perorangan,15 seperti air, sungai, laut, hutan, dan lain-lain.16 Nabi bersabda: 17
ٍ الْمسلِمو َن ُشرَكاء ِِف ثَََل ) َوالنَّا ِر (رواه ابو داود، َوالْ َم ِاء،ث ِِف الْ َك ََِل ُ َ ُ ُْ
Orang Islam berbagi bersama dalam tiga hal: rumput, air, dan api (HR. Abu Daud) Hadis ini mentakhsis keumuman ayat-ayat sebelumnya, bahwa meskipun pada dasarnya segala apa yang terbentang di bumi ini dapat digunakan oleh manusia, tetapi dalam pemanfaatannya terdapat aturan-aturan, yaitu bahwa segala sesuatu yang menjadi kepentingan umum (aset-aset publik), tidak boleh dimiliki
14
Lihat QS. al-Baqarah [2]: 284, Ali Imran [3]: 109,129, 180, 189, QS. al-Nisa [4]: 126, 131, 132, 170, 171,, QS. al-Maidah [5]: 17-18, 40, 120, QS. al-A‟raf [7]: 157, QS. al-Taubah [9]: 116, QS. Yunus [10]: 55, 66, dan masih banyak yang lain. 15 Kepemilikan menurut pandangan ekonomi Islam dibedakan menjadi tiga, yaitu: kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah), kepemilikan umum (al-milkiyah al-„âmah) dan kepemilikan negara (al-milkiyah al-daulah). Pertama, Kepemilikan individu ialah kekayaan yang dapat dimiliki oleh setiap individu masyarakat melalui sebab-sebab kepemilikan yang disyariatkan oleh Allah seperti hak hasil bekerja, waris, dan pemberian harta negara kepada rakyatnya. Kedua, kepemilikan umum adalah izin al-Syâri‟ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda yang telah dinyatakan oleh al-Syâri‟ bahwa benda tersebut untuk suatu komunitas, dimana mereka saling membutuhkan, dan al-Syâri‟ melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok kecil orang. Menurut Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1977 M), sesuatu yang merupakan kepentingan umum dan akan menimbulkan sengketa untuk memperolehnya, maka benda itu disebut sebagai fasilitas umum, karena itu tidak boleh dimiliki secara pribadi. Lihat Taqiyuddin alNabhani, al-Nizâm al-Iqtisadi fi al-Islâm, (Beirut: Dar al-Ummah, 1990), h. 182. 16 Menurut Emil Salim, kebanyakan sumber daya alam yang relevan bagi (krisis) lingkungan, pada umumnya tidak dimiliki oleh manusia perorangan. Keadaan inilah yang kemudian timbul kecenderungan untuk menggunakannya secara boros dan tidak bertanggung jawab. Mereka mengambil seenaknya tanpa memperdulikan akibat yang ditimbulkan. Islam sangat mengecam sikap tersebut, karena akan membahayakan sebagian besar manusia yang tidak berdosa. Lihat Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 170 17 Lihat Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats bin Ishaq bin Basyir al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 2, h. 278, no. hadis 3477, dalam CD-Room Maktabah Syamilah
108
oleh individu atau kelompok tertentu (privatisasi). Dalam Ushul Fiqh, sighat pada hadis ini merupakan jumlah khabariyah (kalimat berita) yang bermakna perintah, yaitu
air, rumput, dan api merupakan kebutuhan umum, yang hendaknya
dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama. Menurut al-Mawardi dalam al-ahkâm al-sultaniyyah, yang dimaksud dengan air pada hadis di atas adalah air yang belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir di sungai atau danau, bukan air yang dimiliki oleh perorangan di rumahnya.18 Sementara yang dimaksud al-kala' adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau, maupun rumput kering yang tumbuh di tanah, gunung atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya.19 Sedangkan yang dimaksud al-nâr adalah bahan bakar, sumber energi, dan segala sesuatu yang terkait dengannya, termasuk di dalamnya kayu bakar, minyak bumi, gas alam, timah, dan batubara, yang kesemuanya
termasuk
dalam
kepemilikan
umum
yang
tidak
boleh
diprivatisasikan.20 Perintah hadis di atas juga diperkuat oleh hadis lain, mengenai larangan nabi atas kepemilikan lahan tambang yang tidak terbatas, yaitu:
ِ ِ ِ ٍ ال ابْ ُن َ َ ق- استَ ْقطَ َعوُ الْ ِم ْل َح َ ََع ْن أَبْي ْ َصلَّى اهللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم ف َ ض بْ ِن ََحَّال أَنَّوُ َوفَ َد إِ ََل َر ُسول اللَّو ِ ِ ِ ِال َر ُج ٌل ِم َن الْ َم ْجل ت َ َ فَلَ َّما أَ ْن َوََّل ق- ُب فَ َقطَ َعوُ لَو َ أَتَ ْد ِري َما قَطَ ْع:س َ الَّذي ِبَأْ ِر:الْ ُمتَ َوّْك ِل 21 )ع ِمْنوُ (رواه ابو داود َ َ ق،َّت لَوُ الْ َماءَ الْعِد َ فَانْتَ َز:ال َ لَوُ؟ إََِّّنَا قَطَ ْع Dari Abyadh bin Hammal, bahwa ia datang kepada Rasulullah saw. meminta (tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau:"Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya 18
Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah wa al-Wilâyah al-Diniyyah (Beirut: Dar alFikr, 1960), 180-184 19 al-Syaukani, Nail al-Autâr (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jil. 6, h. 49 20 Abd al-Rahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, terj. Ibn Sholah (Bangil: al-Izzah, 2001), 91 21 Lihat Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats bin Ishaq bin Basyir al-Sijistani, Sunan Abî Daud, juz 3, h. 174, no. hadis 3064, dalam CD-Room Maktabah Syamilah
109
engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir". Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya" (HR. Abu Daud) Larangan kepemilikan lahan tambang garam secara pribadi dalam hadis di atas, karena lahan tambang yang tidak terbatas masanya, merupakan milik publik. Larangan ini juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang yang tidak terbatas, baik yang tampak di permukaan bumi, seperti garam, batu mulia, atau tambang yang berada dalam perut bumi, seperti emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah, dan sejenisnya.22 Barang tambang semacam ini menjadi milik umum, sehingga tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Sementara barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas, dapat dimiliki oleh perorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi yang mengizinkan kepada Bilâl ibn Hârits al-Muzani memiliki barang tambang yang ada di Najd dan Tihamah. Hanya saja mereka wajib membayar khumûs (seperlima) dari yang diproduksinya kepada bayt al-mâl.23 Dengan demikian dari hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa, segala sesuatu yang menjadi fasilitas umum dan merupakan kebutuhan manusia secara keseluruhan, serta tidak terbatas jumlahnya, maka tidak dapat diprivatisasikan.24 Aset-aset publik merupakan benda-benda umum yang Allah berikan untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan, baik untuk memenuhi kebutuhan daruriyyah maupun hajiyah-nya. Oleh karena itu aktivitas privatisasi merupakan
22
Abd al-Rahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, h. 80 Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah wa al-Wilâyah al-Dîniyyah,h. 264 24 Privatisasi merupakan proses pemindahan kepemilikan aset dari yang awalnya dikelola oleh negara dan lembaga-lembaga publik, dialihkan menjadi kepemilikan yang sifatnya perseorangan dan individual yang berakibat pada berpindahnya kekuasaan dan kemanfaatan satu usaha. 23
110
bentuk penindasan HAM atas sumber daya umum, karena bertentangan dengan maqâsid al-syarî‟ah yang menitikberatkan pada hifz al-mâl. Efek adanya privatisasi adalah menciptakan kekacauan sosial yang dapat menimbulkan biaya sosial (social cost) yang tinggi, hal ini dikarenakan aset-aset publik telah dimutilasi menjadi barang komersil. Untuk itu, proyek privatisasi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah terhadap aset-aset publik kepada pihak swasta, berdasarkan hadis di atas, maka kebijakan tersebut harus ditinjau kembali, mengingat aktivitas tersebut yang awalnya diharapkan mendorong pendapatan negara dan dapat mensejahterakan masyarakat, ternyata berdampak sebaliknya. Kemiskinan semakin merajalela, kesejahteraan semakin memprihatinkan, bahkan di tengah melimpahnya energi, Indonesia malah krisis energi, sehingga tarif dasar listrik selalu naik, BBM mahal dan sangat tergantung pada pasar internasional, dan dampak kerusakan lingkungan akibat ekspolarasi dan eksploitasi perusahaan-perusahaan yang tidak mengenal batas-batas hukum alam. Pemerintah seharusnya memiliki alat dan sarana, salah satunya dengan mendirikan badan-badan yang mengeksplorasi dan memproduksi barang-barang vital yang menjadi hajat hidup orang banyak demi kemaslahatan bersama.
b) Manusia Makhluk yang Diperintahkan untuk Memakmurkan Bumi Sebagai makhluk Tuhan, manusia memiliki keunikan yang membedakan dengan makhluk lain.25 Manusia merupakan makhluk dua dimensi; di satu sisi
25
QS. al-Isrâ‟ [17]: 70
111
terbuat dari tanah (tîn) yang menjadikannya makhluk fisik, di sisi lain manusia juga makhluk spiritual karena ditiupkan ke dalam dirinya ruh yang berasal dari Tuhan. Dengan demikian, manusia menduduki posisi yang unik antara alam semesta dan Tuhan, yang memungkinkan berkomunikasi dengan keduanya.26 Kombinasi yang sempurna inilah, sehingga Tuhan sendiri menyebut manusia sebagai sebaik-baik ciptaan,27 dan dipandang layak untuk memakmurkan bumi. Allah berfirman: Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." (QS. Hud [11]: 61) Pesan ekologis pada ayat ini terletak pada kalimat ٓبٛ( ٔاعزؼًشكى فdan menjadikan kamu pemakmurnya). Secara literal kata ista‟mara terambil dari kata „amara yang berarti kekekalan, zaman yang panjang,28 memanjangkan usia, memakmurkan, membangun, dan mengurus sesuatu dengan baik.29 Sementara penambahan huruf alif, sîn, dan tâ` pada „amara, dipahami dengan beragam makna. Pertama, sisipan tersebut bermakna tuntutan. Pendapat ini antara lain, dikemukakan oleh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî (w. 1998 M). Menurutnya,
26
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 12. 27 QS. al-Tîn [95]: 4 28 Ibn Faris, Mu‟jâm Maqâyis al-Lughah, (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halaby wa alSyarîkah, 1972), jilid 4, h. 140-141 29 Muhammad Ismail Ibrahim, Mu‟jâm Alfâz al-Qurân, (Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabî, 1969), jilid 2, h. 632
112
kata ista‟mara bermakna talab al-ta‟mîr. yang menuntut dua hal, yaitu mempertahankan agar tetap baik, atau mewujudkan keadaan yang lebih baik.30 Kedua, bermakna sebagai penguat, pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibn „Âsyûr (w. 1973 M). Menurutnya, kata ista‟mara (isti‟mâr) bermakna „amara (i‟mâr), yaitu menjadikan kamu pemakmur bumi. Tambahan hurup alif, sîn, dan tâ` adalah untuk menguatkan arti (mubâlaghah).31 Ketiga, dipahami dalam arti menjadikan kamu mendiaminya.32 Terlepas dari perbedaan tersebut, yang disepakati oleh semua pakar tafsir, bahwa langit dan bumi dan segala yang dikandungnya, tercipta dengan kondisi yang siap dieksplorasi, dikelola, dan dimakmurkan melalui pembangunan, pengairan, pertanian, dan amal usaha produktif lainnya.
Dan Allah memilih manusia untuk melaksanakan tugas
tersebut („imârat al-ard). 33 Secara konseptual, tugas „imârat al-ard tidak dapat dipisahkan dan sangat melekat secara sinergis dengan dua tugas lainnya, yaitu tugas „ubûdiyah34 dan tugas khalîfah.35 Bahkan, tugas „imarâh merupakan bentuk nyata dari aplikasi tugas „ubûdiyah dan khalîfah yang tidak dapat dipisahkan. Justru hasil dan nilai dari „amaliah ibadah dan khalîfah, ada pada aktifitas memakmurkan bumi. Oleh
30
»كٌٕ يؼُٗ كهًخ «اعزؼًشٚ ْٔكزا،ٍ ٔانزبء فبػهى أَٓب نهطهتّٛ كهًخ {اعزؼًشكى} ٔعبػخ رشٖ األنف ٔانغَٛجذ ف ٗ انُبط األيش انصبنح ػهٙجمٚ ٌ أ:ٍٍُٛ اثٚزطهت أيشٚ ْٔزا، غهت يُكى ػًبسرٓب:َ٘ٓب} أِٛ {ٔاعزؼًشكى ف.شًْٕٛ غهت انزؼ .ًذِٔ صالحبٚضٚ ٔ أ،ّ صالحLihat Muhammad Mutawalli al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, jilid 11, h. 6528 dalam CD-Room Maktabah Syamilah 31 بس أَََُّٓ ْى ِ ْ َُٗ َٔ َي ْؼ.َ ا ْعزَ ْجمَٗ َٔا ْعزَفَبقِٙ فٍُِٙ َٔانزَّب ُء نِ ْه ًُجَبنَ َغ ِخ كَبنَّزِّٛ فَبنغ،ُٓبٚ أَ٘ جؼه ُك ْى ػبيش،ُاْل ْػ ًَبس ِ ْ :َُٔ ِاِل ْعزِ ْؼ ًَبس ِ ًَ اْل ْػ َ َ ْ ْ ُ ْ ْان َحشَٙ ًِّ ض َحزَّٗ ُع ْ َّ َ ً َّ ُّ َ ْس ْ ْس َْش س ِػ ًَب َسحً ِألَ ٌَّ ْان ًَ ْمصُٕ َد ِي ُُّْ َػ ًْ ُش ْل ن ًا ش ٛ ً ؼ ر ذ ؼ ٚ ك ن ر ٌ أل ع ض ان ٔ ط غ ان ٔ ء َب ُ ج بن ث ح ش ي َب ػ ض ُ َ َ َ َ َْج َؼهُٕا ْاألَس ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ َ ِ ِ ِ ِ ِ َ ْ ض Ibn „Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Jilid 5, h. 108. ِ ْ األسLihat 32 .بركىٛبو حٚٓب أٛ أعكُكى ف:ّٛ فكبٌ انًؼُٗ ف،ٓبٛ ٔجؼهكى ُػ ًَّبسًا ف:مٕلٚ ، )ٓبٛ (ٔاعزؼًشكى فLihat Ibn Jarîr alThabarî, Jâmi‟ al-Bayân, ed. „Abdullâh bin „Abd al-Muhsin al-Turkî (Cairo: Hajr li al-Thibâ‟ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî‟ wa al-I‟lân, 2001), jilid 12, h. 453. 33 Lihat Ibn „Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Jilid 5, h. 108. 34 QS. al-Dzâriyât [51]: 56 35 QS. al-Baqarah [2]: 30
113
karena itu, pelaksanaan pemakmuran ini, merupakan sebuah tugas suci, bahkan, merupakan amanah taklîf syar‟i36 (amanah yang diembankan oleh syariat) yang wajib dilakukan manusia, yaitu menjadikan alam semesta sebagai media mewujudkan kemaslahatan hidup makhluk secara keseluruhan di muka bumi.37 Islam memberikan beberapa panduan kepada manusia dalam rangka mengelola alam demi kemaslahatan bersama (konsep „imârat al-ard), di antaranya: pertama, menggali potensi bumi dengan kebaikan. Allah berfirman: Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. al-Jumu‟ah [62]: 10) Secara leksikal kata ibtaghû berasal dari kata baghâ yang berarti mencari. Pencarian yang ditunjukkan kata ini, menurut Ma‟luf dalam kamus al-Munjidnya, adalah pencarian yang bersifat progresif.38 Ini artinya, manusia diperintahkan untuk aktif, kreatif, dan tidak menyia-nyiakan kesempatan dalam mengeksplorasi kekayaan bumi. Namun, perintah ini bukan berarti wajib, tetapi bersifat mubâh. Dalam Ushul Fiqh, ungkapan perintah yang datang setelah larangan adalah mubâh
36
Allah telah menjadikan ketaatan terhadap syariatnya sebagai batu ujian kehambaan َّ ٌَّ ِإ seseorang kepada-Nya. Rasulullah bersabda: د فَ َال ٍ َٔ َح َّش َو ُح ُش َيب, ِّؼَُْٕبٛع َ ُط فَ َال ر َ ض فَ َشا ِئ َ َّللاَ َػ َّض َٔ َج َّم فَ َش َب ٌٍ فَ َال رَ ْج َحُُٕا َػ َُْٓبٛ ِْش َِ ْغََٛ ٍْ َب َء ِيْْٛ َ َٔ َعكَذَ ػ ٍَْ أ, َٔ َّح َذ ُحذُٔدًا فَ َال رَ ْؼزَذَُْٔب, ( رَ ُْزَ ِٓ ُكَْٕبSesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian mengabaikannya; telah menentukan batasan-batasan hukum, maka janganlah kalian melanggarnya; telah pula mengharamkan beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya, Dia juga mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang kepada kalian dan bukan karena lupa, maka janganlah engkau mencarinya). Lihat Abu al-hasan Ali bin Amr bin Ahmad bin Mahdi al-Baghdadi al-Daruquthni, Sunan alDaruqutni, juz 5, h. 325, no. hadis 4396 dalam CD-Room Maktabah Syamilah 37 Abu Sana‟ Syihab al-Dîn al-Sayyid Mahmud al-Fandi al-Âlusî, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qurân al-Âzîm wa Sab‟i al-Matsânî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), jilid 4, h. 479 38 Louis Ma‟luf, Al-Munjîd fî al-Lughah wa al-A„lâm, (Beirut: Dar al-Mashriq, 1986), h. 44
114
(boleh). Dalam hal ini berlaku kaidah اْلثبحخُٙٓاأليش ثؼذ ان.39 Dengan demikian manusia boleh mengeksplorasi kekayaan bumi agar dapat memberikan manfaat untuk kehidupannya dan manusia secara keseluruhan.40 Hal ini sesuai dengan tujuan awal penciptaan alam, yaitu memberikan kemaslahatan kepada manusia. Untuk itu, agar tetap memberikan kemaslahatan (sesuai dengan tujuan penciptaannya), manusia dalam mengeksplorasi hasil bumi, harus dengan sikap ramah dan tidak merusak. Itulah mengapa dalam ayat di atas, setelah memerintahkan manusia untuk menggali sebanyak-banyaknya potensi bumi, dilanjutkan perintah mengingat Allah. Hal ini menurut Hamka (w. 1981 M) bertujuan agar manusia dalam melakukan eksplorasi bumi, tidak lupa akan adanya Tuhan sebagai pencipta, yang telah memberikan amanat untuk mengelola bumi, yang pada gilirannya dapat melandasi setiap tingkah lakunya, untuk tidak melakukan kerusakan terhadap sumber daya alam.41 Nabi bersabda:
ِ ِ ِ ف تَ ْع َملُو َن (رواه مسلم عن أيب َ فَيَ ْنظُُر َكْي، َوإِ َّن اهللَ ُم ْستَ ْخل ُف ُك ْم ف َيها،ٌإِ َّن الدُّنْيَا ُح ْل َوةٌ َخضَرة 42 )سعيد اخلدري Sesungguhnya dunia ini barang segar dan sudah tersedia, dan sesungguhnya Allah menunjuk kalian sebagai khalifah untuk mengelolanya, lalu Allah senantiasa mengawasi apa yang kalian lakukan. (HR. Muslim dari Abi Sa‟id al-Khudri) Hadis di atas menuntut manusia dalam mengeksplorasi dan mengelola sumber daya alam harus sesuai dengan batas kontrak kekhalifahan. Artinya,
39
Abdul Wahab Khallaf, „Ilmu Usul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da‟wah al-Islamiyyah, t.th), h. 105 40 Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa al-Syarî‟ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1418 H), jilid 14, h. 195 41 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 28, h. 197-198. Lihat juga Ibn „Âsyûr, al-Tahrîr wa alTanwîr, juz 28, h. 227 dalam CD-Room Maktabah Syamilah 42 Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahîh Muslim, juz 4, h. 2098, no. hadis 2742, dalam CD-Room Maktabah Syamilah
115
eksplorasi sumber daya alam dapat dibenarkan jika mendatangkan kemaslahatan bagi manusia secara keseluruhan. Namun, jika eksplorasi
alam akan
mengakibatkan bencana dan malapetaka, sangat dilarang. Islam memberikan batasan atas eksplorasi alam, di antaranya: tidak berlaku isrâf (berlebih-lebihan). Allah berfirman: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) masjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. al-A‟raf [7]: 31) Secara literal, menurut al-Râzi, kata isrâf adalah َُّفؼهٚ ك ِّم فؼ ٍمٙرَجبٔ ُص ان َح ِّذ ف ٌُ( اْلَغبsikap melampaui batas dalam setiap perbuatan).43 Sikap berlebih-lebihan dalam aspek konsumsi atau yang diistilahkan dengan konsumerisme, dilarang dalam Islam. ketidakbolehan sikap konsumerisme ini dapat dimengerti melalui bahwa, konsumsi merupakan satu tali dengan produksi. Produksi yang berlebihan akan merusak siklus alam. Semakin alam diekploitasi, semakin rusak. Dan, kerusakan alam akan menimbulkan bencana yang mengancam kehidupan manusia.44 Sebagai contoh, produksi bahan bakar di negara-negara industri mampu mengeksplorasi dari bumi sebanyak 2/3 produksi dunia, padahal penduduknya hanya 1/3 penghuni bumi. Konsumsi berlebihan terhadap bahan bakar pada masyarakat industri telah menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK).
43
Muhammad Fakhr al-Dîn al-Razi, Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, jilid 11, h. 450 Sakirman, Urgensi Maslahah Dalam Konsep Ekonomi Syariah, dalam Jurnal Palita: Journal of Social-Religi Research, Vol 1, No.1, April 2016, h. 23 44
116
Pada saat yang sama jumlah pepohonan berkurang, yang semakin memperparah terjadinya pemanasan global.45 Pada prinsipnya, sikap isrâf merupakan salah satu sikap ketika seseorang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya, maka ia akan cenderung melampaui batas-batas kebenaran dan kewajaran, yang dicirikan, antara lain, bersifat serakah, tidak pernah puas, selalu ingin lebih dari orang lain –dalam maknanya yang negatif–. Sikap inilah yang pada akhirnya akan melahirkan sosok-sosok manusia yang anarkis terhadap alam, yang pada gilirannya akan merusak lingkungan. Selanjutnyadalam rangka eksplorasi alam, manusia tidak diperkenankan berlaku tabdzîr. Allah berfirman:
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. al-Isra‟ [17]: 26-27) Secara literal kata tabdzîr pada mulanya identik dengan كٚ( رفشmemisahmisah), yang asal maknanya adalah ُُّزس ٔغَشْ ح ِ ( إنمب ُء انجmenabur benih dan melemparnya). Kemudian kata ini dipakai untuk menunjukkan segala bentuk perbuatan menghambur-hamburkan harta.46 Menurut al-Râzi (w. 606 H), tabdzîr adalah ف ِ انغ َشٙ( إفغب ُد انًب ِل ٔإَفبلُّ فmerusak fungsi harta dan membelanjakannya
45
Bobi Setiawan, Kearifan Lingkungan Budaya Indonesia, dalam Detik.com pada hari Kamis, 19 Nopember 2015 46 Raghib al-Ashfahani, al-Mufradât fî al-Alfâzh al-Qurân, h. 40
117
secara berlebihan).47 Sedangkan Ibn „Âsyur (w. 1973 M) memaknai tabdzîr sebagai adalah setiap tindakan yang menyangkut harta, seperti membelanjakannya di jalan yang tidak diridai Allah, maupun membiarkan harta tidak diberdayakan atau tidak berfungsi secara wajar.48 Sementara dalam konteks lingkungan, perilaku tabdzîr berarti tindakan tidak memanfaatkan potensi alam demi kemaslahatan bersama. Mereka menghambur-hamburkan harta, hanya demi life style (gaya hidup)nya. Misalnya, kegiatan alih fungsi hutan untuk pembangunan vila, perumahan, dan bangunan lain yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, dibanding ketika digunakan untuk yang lebih produktif. Life style ini yang akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Kedua, menanam pohon dan melakukan penghijauan. Sebagaimana yang dipahami oleh Ibn „Asyur (w. 1973 M) dalam pemaknaan „imârah yaitu aktivitas meramaikan bumi dengan menanam pohon dan bercocok tanam, sehingga semakin panjang usia kehidupan bumi ini dengan seluruh penghuninya.49 Nabi bersabda:
ِ ِ الساعةُ وبِي ِد أ ِ ِ وم َح ََّّت يَ ْغ ِر َس َها فَ ْليَ ْف َع ْل (رواه َ َاستَط ْ فَِإ ْن،ٌَحد ُك ْم فَسيلَة َ اع أَ ْن ََل يَ ُق َ َ َ َ َّ إ ْن قَ َامت 50 )أَحد عن أنس بن مالك Sekiranya kiamat datang, sedang ditanganmu ada bibit kurma, maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat maka hendaklah dikerjakan (pekerjaan menanam itu). (HR. Ahmad dari anas bin Malik)
47
Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, jilid 10, h. 38 Muhammad al-Thahir Ibn „Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, jilid 8, h. 214 49 ض َ ع ِألَ ٌَّ َر ِن َ ْبس أَََُّٓ ْى َج َؼهُٕا ْاألَس ِ ْ َُٗ َٔ َي ْؼLihat Ibn ِ ْض ػَب ِي َشحً ثِ ْبنجَُِب ِء َٔ ْانغَش ِ ًَ اْل ْػ ِ ْشًا نِ ْْلَسًِٛ ُ َؼ ُّذ رَ ْؼٚ ك ِ ْط َٔان َّضس „Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 12, h. 108 dalam CD-Room Maktabah Syamilah 50 Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz. 20, h. 296, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 48
118
Hadis di atas menunjukkan betapa pentingnya kegiatan menanam pohon. Dalam hubungan ini menarik untuk dikemukakan komentar Muhammad Quthb terhadap hadis ini, yang dikutip oleh Zainal Abidin Ahmad, bahwa sangatlah mengesankan perintah menanam bibit kurma yang umumnya memakan waktu tahunan, padahal kiamat sudah berada di ambang pintu.51 Ini artinya betapa penting kegiatan menanam (bibit) pohon, sekalipun kesempatannya sangat terbatas, asal masih sempat, maka ia harus melakukannya. Dalam konsepsi hukum Islam, kalimat yang menggunakan bentuk amr sebagaimana yang terdapat dalam hadis di atas, „فؼمٛ‟فه, yaitu fi‟il mudhâri‟ yang disertai lam amr, mengindikasikan makna perintah.52 Hanya saja, perintah ini tidak memfaedahkan wajib, tetapi sunnat, karena ada qarînah (petunjuk) dalam nas lain, yaitu sabda Nabi:“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang, ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat”.53 Kata sadaqah dalam nas tersebut, menunjukkan
bahwa aktivitas menanam pohon hukumnya sunnah.
Namun, meskipun sunnah, tetapi sangat diutamakan, jika melihat pertimbangan maqâsid al-syarî‟ah, di mana kegiatan penghijauan dapat dikategorikan sebagai salah satu upaya untuk memelihara dan mempertahankan fungsi tanaman (flora) sebagai pendukung sistem kehidupan. Itu sebabnya aktivitas menanam pohon
51
Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.
36-37 52
Abdul Wahab Khallaf, „Ilmu Usul al-Fiqh, h. 110 ط َْ َزا َ َي ٍْ ََ َش،ب أُ َّو َي ْؼجَ ٍذَٚ « : فَمَب َل، ِّ َٔ َعهَّ َى َػهَٗ أُ ِّو َي ْؼجَ ٍذ َحب ِئطًبْٛ َصهَّٗ َّللاُ َػه َ ُّٙ ِ َد َخ َم انَُّج:َُمُٕلٚ ،َّللا ِ َجبثِ َش ثٍَْ َػ ْج ِذ ْ ْ ٌ ًص َذلَخ َّ ْ ْ ْ ْ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ٌٌب ْ َّ َْش ْ ْ ْم ّ ن ك ِل إ ،ٌ ش ٛ غ ِل ٔ ، خ ث َا د ِل ٔ ، غ َ إ ّ ُ ي م ك أ ٛ ف ،ًب ع َ ى ه غ ً ان ش غ ٚ ال ف « : ل ب ل ، ى ه غ ي ث : ذ ن ب م ف » ؟ ش ٌ ف َب ك ُ ُ ُط ٌَب َ َ ِ ِ َ َ َ ٌِ ُ َ ِ انَُّ ْخ َم؟ أَ ُي ْغهِ ٌى أَ ْو ُِ ُ َ َ ِ ِ َ َب َي ِخَِْٕٛ ِو ْانمٚ َٗ إِنLihat Muslim bin Hajjaj, Sahîh Muslim, juz 3, h. 1543, nohadis 1955, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 53
119
dapat dimasukkan dalam kategori حفع انُفظdalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup dan memelihara kemaslahatan manusia. Nabi pernah bersabda: “Barang siapa menebang pohon (tanpa alasan yang membenarkan), Tuhan akan mengirimnya ke neraka”. Hukuman yang berat bagi para perusak pohon atau hutan, mencerminkan kedalaman makna, karena akibat dari kerusakan hutan atau hilangnya pohon-pohon akan menimbulkan hilangnya keselamatan manusia.54 Banjir, longsor, dan pemanasan global dengan segala
dampak
yang
menyertainya
adalah
contoh-contoh
dari
akibat
penggundulan hutan atau deforestasi. Untuk itu gerakan penghijauan atau reboisasi harus mulai digalakkan demi keberlanjutan generasi masa depan. Terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Abu al-Darda‟. bahwa: “Seseorang berjalan di depan Abu al-Darda‟, ketika itu ia sedang menanam pohon asam, dan orang itu berkata, “Mengapa engkau menanam pohon ini sedang kamu sudah lanjut usia, sedang pohon itu akan berbuah dalam rentang waktu yang sangat lama?” Maka abu al-Darda‟ menjawab: “Saya hanya mengharap pahalanya, dan biarlah orang lain yang memakan buahnya”.55 Jawaban Abu al-Darda‟ adalah cermin dari sebuah visi keberlanjutan untuk generasi yang akan datang. Islam sangat mendorong pribadi setiap muslim, untuk tidak pernah berhenti melakukan penghutanan (tasyjîr) dan reboisasi (takhdîr). Gerakan reboisasi ini seharusnya digalakkan di Indonesia. Mengingat, tingkat penebangan hutan sangat tinggi tanpa dibarengi dengan upaya peremajaan yang memadai. Hal ini dapat menyebabkan rusaknya tanah perbukitan sehingga menyebabkan 54 55
Hadi S. Ali Kodra, Global Warming: Banjir dan Tragedi Pembalakan Hutan, h. 94 Yusuf al-Qardhawi, al-Halâl wa al-Harâm, h. 123
120
besarnya kemungkinan terjadi longsor. Ditambah lagi terjadinya kebakaran hutan, yang semakin menambah tinggi tingkat kerusakan hutan. Padahal keberadaan hutan sangat berguna bagi keseimbangan hidrologik dan klimatologik termasuk sebagai tempat berlindungnya binatang. Dengan demikian keberadaan hutan menjadi kebutuhan darûriyyah dalam rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan manusia ()حفع انُفظ.
2. Prinsip-Prinsip Pemeliharaan Lingkungan Dalam sejumlah ayat al-Quran, Allah berkali-kali menegaskan bahwa hanya Dialah pemilik hakiki atas alam semesta.56 Artinya, Allah merupakan pemilik yang menguasai secara mutlak hak kepengurusan dan pengelolaan terhadap alam. Manusia hanya diberi izin tinggal di dalamnya untuk sementara waktu, dalam rangka mengemban amanat sebagai wakil-Nya di bumi. Singkatnya, kepemilikan manusia atas alam semesta hanyalah amanat atau titipan yang pada saatnya harus dikembalikan kepada pemiliknya. Untuk itu sebagai penerima titipan, sudah sepantasnya mengembalikan titipan tersebut dalam keadaannya seperti semula. Bahkan, manusia yang baik justru akan mengembalikan titipan tersebut dalam keadaan yang lebih baik dari ketika dia menerimanya. Pertanyaannya kemudian, apa prinsip dasar yang dapat dijadikan landasan hukum pemeliharaan lingkungan? Dan seberapa jauh teknis operasional pemeliharaan lingkungan? Pertanyaan inilah yang menjadi pembahasan utama dalam bagian ini.
56
QS. Ali Imran [3]: 109,129, 180, 189, QS. al-Nisa [4]: 126, 131, 132, 170, 171,, QS. alMaidah [5]: 17-18, 40, 120, QS. al-A‟raf [7]: 157, QS. al-Taubah [9]: 116, QS. Yunus [10]: 55, 66, dan masih banyak yang lain.
121
a) Bumi sebagai Warisan untuk Hamba yang Saleh Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa krisis lingkungan saat ini telah berada dalam kondisi akut dan sangat mengkhawatirkan. Sebagai agama yang menekankan akhlak dan etika, Islam turut andil dalam merespon wacana global tersebut. Mustafa Abu Sway (l. 1958 M) misalnya, menyatakan bahwa melindungi dan merawat lingkungan dengan kesalehan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, bahkan menjadi tujuan utama demi tegaknya syariat Islam.57 Berbicara mengenai prinsip kesalehan dalam mengelola lingkungan, menarik untuk diperhatikan dan dikaji pesan al-Quran mengenai kewarisan bumi yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang saleh. Allah berfirman: Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. (QS. al-Anbiya‟ [21]: 105) Ide pokok ayat di atas terletak pada kalimat yang artinya: “bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.” Secara literal kata al-ard dipahami oleh sebagian mufasir sebagai „bumi surga‟ (ard al-jannah). Itu artinya, janji Tuhan tentang kewarisan dan kemenangan orang-orang beriman adalah janji kehidupan di akhirat (janji eskatologis).58 Namun, diantara mufasir, ada yang menafsirkan dengan makna „planet bumi‟. Ini artinya, janji tersebut berlaku di dunia, bukan di akhirat. Jika dipahami demikian, ayat di atas memuat janji penguasaan bumi dan 57
Lihat lebih lanjut penjelasannya Mustafa Abu Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment, dalam http://homepages.iol.ie/~afifi/Articles/environment.htm, yang diakses pada 15 Nopember 2016 58 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 8, h. 129-130.
122
hak pemanfaatannya hanya diperuntukkan bagi hamba-hamba Allah yang saleh.59 Sementara makna saleh pada ayat di atas, secara literal bermakna baik, benar, valid, tepat, kompeten, cakap, berbudi luhur, bermanfaat.60 Dengan demikian, hanya orang-orang yang mampu berbuat baik, berbudi luhur, memiliki kompetensi, dan mampu hidup damai dengan alam, yang berhak tinggal dan mengelola bumi ini. Dengan demikian pernyataan bahwa bumi diwariskan kepada orang saleh, pada dasarnya bukan merupakan jaminan yang secara otomatis terwujud, melainkan sesuatu yang bersifat imperatif (perintah), yaitu agar bumi dikelola dengan kesalehan, yaitu tidak boros (tabdzîr), tidak berlebihan (isrâf) dan tidak bermewah-mewahan (itrâf). Dengan ungkapan lain pengelolaan lingkungan dengan kesalehan adalah pengelolaan yang dilakukan secara seimbang. Sikap seimbang inilah yang akan memberikan kemaslahatan bagi kehidupan generasi sepanjang masa dan juga untuk seluruh spesies makhluk. Allah berfirman: “… Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik…” (QS. al-Nahl [16]: 97) Pokok pikiran ayat di atas memiliki tiga variable, yaitu amal saleh (berbuat baik), religiusitas (iman) dan hayatan tayyibah (hidup berkualitas). Pertama, amal saleh. Berbuat baik merupakan perilaku yang dilakukan oleh manusia secara sadar yang memberikan manfaat nyata bagi kehidupan manusia dan makhluk lain. 59
Al-Raghîb al-Ashfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qurân (Kairo: al-Maktabah alTawfîqiyyah, 2003), h. 233. 60 Rohi Baalbaki, Al-Maurid a Modern Arabic-English Dictionary, (Beirut: Dâr al-Îlm li al Malayîn, 1995), h. 656
123
Manfaat tersebut baik berupa manfaat fisik material maupun nonfisik spiritual. Dengan ungkapan lain, manfaat tersebut dapat berupa pemenuhan kebutuhan dasar, primer, ataupun kebutuhan sekunder.61 Jika kalimat ini dikonotasikan dalam konteks ekologi, maka berbuat baik artinya memperlakukan alam dengan penuh kasih sayang. Dengan kasih sayang inilah, manusia dan bumi bisa bersanding secara harmonis. Semakin baik hubungan atau interaksi manusia dengan lingkungan, akan semakin banyak manfaat yang bisa diperoleh manusia dari lingkungan. Kedua, Iman. Menurut Raghib al-Asfahani (w. 1108 H) makna iman adalah membenarkan yang tidak hanya melalui lisan, tetapi juga diiringi dengan pembenaran hati dan perbuatan anggota badan.62 Sementara Iman dalam konteks ekologi adalah keyakinan yang tidak hanya mengakui Tuhan sebagai pencipta alam, melainkan juga diiringi perbuatan nyata, yaitu dengan memelihara keseimbangan dan mengelola lingkungan. Ketiga, hayatan tayyibah (kehidupan yang berkualitas). Artinya, ketika seseorang mengelola lingkungan dengan kesalehan melalui interaksi secara harmonis, maka akan mendapatkan kehidupan yang berkualitas, yakni aman, nyaman, dan terhindar dari bencana lingkungan. Secara aplikatif, upaya pengelolaan lingkungan dengan kesalehan telah diajarkan Nabi Muhammad, di antaranya: pertama, memelihara binatang dengan kesalehan. Dalam Islam, kewajiban memelihara dan melindungi binatang63 didasarkan pada firman Allah:
61
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, h. 70 Al-Raghîb al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qurân, h. 22 63 Al-Quran dalam mengungkapkan istilah binatang menggunakan dua terma, yaitu dâbbah ( )داثخyang disebutkan sebanyak 18 kali dan al-an‟âm ( )األَؼبوyang disebutkan sebanyak 12 62
124
Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS. al-An‟am [6]: 38) Ada pesan yang mendalam dari Ayat ini, bahwa seluruh makhluk ciptaan Allah yang ada di alam raya ini, tidak lain adalah ummah sebagaimana manusia. Pengakuan kepada setiap eksistensi segala makhluk Allah ini, memberikan konsekuensi adanya penghormatan manusia kepada eksistensi setiap makhluk, tidak terkecuali binatang.64 Prinsip inilah yang kemudian dalam hukum Islam dikenal istilah bahwa semua makhluk mempunyai status hukum muhtarâm65 yakni dihormati eksistensinya dan dilarang membunuhnya ataupun merusaknya. Prinsip dasar tersebut dijabarkan dalam suatu ilustrasi bahwa barang siapa melihat seekor binatang sedang terancam pembunuhan dari seseorang yang berbuat sewenang-wenang (tidak dibenarkan oleh hukum), atau binatang tersebut hampir tenggelam, maka orang yang mengetahuinya, seharusnya berusaha untuk bertindak membebaskannya atau menyelamatkannya, walaupun dengan menunda
kali. Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz al-Qurân al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Hadîs, 1996), h. 309-310 dan h. 802. Kata dâbbah makna dasarnya adalah binatang yang merangkak, melata. Juga diartikan hewan, binatang, dan ternak. Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 123. Lihat juga A.W Munawir, Kamus al-Munawwir, h. 383. Sementara M. Quraish Shihab mengartikan dâbbah dengan yang bergerak. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, h. 450. Sedangkan kata al-an‟âm bermakna ternak, meliputi unta, lembu, kambing, dan kerbau. Mahmud Yunus, Kamus ArabIndonesia, h. 459. Lihat juga A.W Munawir, Kamus al-Munawwir, h. 1438. 64 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 3 h.413 65 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial (Bandung: Mizan, 1994), h. 135-138
125
shalat (kalau sudah masuk waktu shalat) atau bahkan membatalkan shalatnya (ketika berlangsung).66 Dalam kaitannya dengan status muhtarâm yang melekat pada hewan, maka seseorang yang mempunyai binatang pemeliharaan seharusnya memiliki kewajiban untuk menyediakan dan memberikan makanan dan minuman pada binatang tersebut.67 Jika hal tersebut tidak dilakukannya, maka dalam konteks fikih lingkungan, dia harus memilih alternatif yakni harus menjual binatang tersebut, diberikan makanan yang cukup, atau menyembelihnya untuk dimakan.68 Dalam rangka prinsip muhtarâm ini, Nabi membuat himâ, yaitu area berupa tanah kosong di mana pemerintah (penguasa) melarang orang untuk menggembala di tempat tersebut atau area yang dibangun secara khusus untuk konservasi satwa. Nabi bersabda:
ِ َ إِ َّن رس َّ ال بَلَغَنَا أ َ َال َلَ َِحَى إََِّل لِلَّ ِو َولَِر ُسولِِو َوق َ َصلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َّ َِن الن َ َِّب َ ول اللَّو ُصلَّى اهلل َُ 69 ِ ِ َّ َوأ،يع ) (رواه البخاري عن ابن عباس.الربَ َذ َة َّ ف َو َ السَر َّ َن عُ َمَر ََحَى َ َعلَْيو َو َسلَّ َم ََحَى النَّق Dari Sa‟ab bin Jutstsamah, bahwa nabi saw. bersabda:Tidak ada cagar alam selain milik Allah dan Rasul-Nya, dan Sa‟ab berkata, telah sampai kepada kami, bahwa nabi saw. menjadikan Naqie‟ sebagai cagar alam, dan Umar menjadikan Syaraf dan Rabazah sebagai cagar alam (pula). (HR. Bukhari dari Ibn Abas)
66
Abu Bakar bin Muhammad Syatha‟ al-Dimyati, I‟anat al-Tâlibîn, (Kairo: Matba‟ah alMasyhad al-Hasani, 1967), juz 2, h. 15 67 ْ ك ظَ ْٓ ُشُِ ثِ َج َّ «ارَّمُٕا: فَمَب َل،ِّ ُِط َّ َي َّش َسعُٕ ُل: لَب َل،َّ ِخِٛػ ٍَْ َع ْٓ ِم ا ْث ٍِ ْان َح ُْظَه َِّٙللاَ ف َ ش لَ ْذ نَ ِحٛ َ َِّللا ٍ ِّ َٔ َعهَّ َى ثِجَ ِؼْٛ َصهَّٗ َّللاُ َػه ًصبنِ َحخ َ َٔ ُكهَُْٕب،ًصبنِ َحخ َ فَبسْ َكجَُْٕب، َْ ِز ِِ ْانجََٓبئِ ِى ْان ًُ ْؼ َج ًَ ِخLihat Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats bin Ishaq bin Basyir al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 3, h. 23, no. hadis 2548, dalam CD-Room Maktabah َّ َٙ ظ Syamilah. Lihat juga ِْ َّش ٍحِٙذ ا ْي َشأَحٌ انَُّب َس ف َ ِّٙ ِ َػ ٍِ انَُّج،َّللاُ َػ ُُْٓ ًَب ِ َ « َد َخه: لَب َل، ِّ َٔ َعهَّ َىْٛ َصهَّٗ َّللاُ َػه ِ َػ ٍِ ا ْث ٍِ ُػ ًَ َش َس ْ ْ ُ فَهَ ْى ر،َسثَطَ ْزَٓب َ َّ َ ْ َّ ِّٙ ِ َػ ٍِ انُج،َ َشحْٚ ُْ َشِٙ ػ ٍَْ أث،ِّ٘ ٍذ ان ًَمج ُِشٛ ػ ٍَْ َع ِؼ،ِ ُذ َّللاْٛ َ َٔ َح َّذثََُب ُػج:بل َ َض» ل ِ َٔنَ ْى رَ َذ ْػَٓب رَأ ُك ُم ِي ٍْ َخش،ط ِؼ ًَْٓب ِ َْبػ األس َُّ ِّ َٔ َعهَّ َى ِي ُْهْٛ َصهَّٗ َّللاُ َػه َ Lihat Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahîh al-Bukhari, juz 4, h. 130, no. hadis 3318, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 68 Syamsy al-Din Muhammad bin Ahmad al-Khatîb al-Syirbînî, Mughni al-Muhtâj ilâ Ma‟rifat Ma‟anî Alfâzh al-Manhâj, (t.tp: Dâr al-Kutûb al-„Âlamiyyah, 1994), juz 3, h. 462 69 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahîh al-Bukhari, juz 2, h. 113, no. hadis 2370, dalam CD-Room Maktabah Syamilah
126
Hadis di atas memberikan sebuah gambaran bahwa Islam telah mengenal prinsip dasar konservasi lingkungan atau apa yang biasa disebut dengan istilah cagar alam. Upaya menjadikan Naqie pada masa Nabi di kota Madinah, dan juga menjadikan Syaraf dan Rabazah pada masa Umar,70 sebagai cagar alam, berarti melarang tempat itu dikelola agar rerumputan bisa tumbuh subur dan digunakan untuk menggembala ternak. Hal ini bermakna bahwa perlindungan dan pemeliharaan binatang, menjadi perhatian Islam dan telah dipraktekkan oleh Nabi saw. dan para sahabatnya dalam kehidupan nyata.71 Pada hadis lain disebutkan:
ِ ِ ِ ِ َّ أ ك َ صْت ْ َُح ِرق ْص ْ فَأ ََمَر بَِق ْريَة الن َّْم ِل فَأ،ت نَبِيِّا م َن ْاْلَنْبِيَاء َ أَِِف أَ ْن قَ َر: فَأ َْو َحى اهللُ إِلَْيو،ت َ َن َّنَْلَةً قَ َر 72 ) ت أ َُّمةً ِم َن ْاْل َُم ِم تُ َسبّْ ُح؟ (رواه مسلم عن أيب ىريرة َ َّنَْلَةٌ أ َْىلَ ْك Nabi bersabda: sesungguhnya pernah seekor semut betina menggigit seorang nabi, maka nabi itu menyuruh kaumnya untuk membakar seluruh sarang semut betina tersebut. Maka Allah memberi wahyu kepada sang Nabi: Apakah hanya dikarenakan gigitan seekor semut betina saja, lalu kamu harus membinasakan sekelompok makhluk Allah yang gemar bertasbih? (HR. Muslim dari Abi Hurairah). Hadis ini memberikan kesan betapa pentingnya mengasihi binatang, sekalipun semut. Dan bahwasannya semut, oleh Tuhan, disebut sebagai umat (sama dengan manusia), yang gemar bertasbih.73 Dengan demikian jelaslah bahwa
70
Khalifah Umar Ibn al-Khattab menetapkan himâ al-Syaraf dan himâ al-Rabazhah, dan kemudian khalifah Usman bin Affan memperluas himâ kedua (al-Rabazhah), sehingga mampu menampung 1000 binatang ternak sepanjang tahun. Sardar menambahkan bahwa sejumlah himâ yang ditetapkan di Arabia Barat ditanami rumput sejak awal Islam dan dianggap oleh Organisasi Pangan dan Pertanian, Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) sebagai contoh yang paling lama bertahan dalam pengelolaan padang rumput secara bijaksana (berwawasan lingkungan) di dunia. Lihat Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), h. 241 71 Fakhruddin Mangunjaya, Aspek Syariah: Jalan Keluar dari Krisis Ekologi, dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 1, vol. VIII, Tahun 1998, h. 56 72 Lihat Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahîh Muslim, juz 4, h. 1759, no. hadis 2241, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 73 QS. al-Nur [24]: 41
127
tidak ada alasan lagi bagi manusia untuk bertindak semena-mena, melakukan pengrusakan terhadap alam, dan menzalimi mahluk hidup lainnya, karena hal tersebut sama halnya melanggar hak hidupnya. Sementara dalam rangka memeliharaan binatang dari kepunahannya, Nabi bersabda: Janganlah kalian memakai kain sutera berwool dan pakain dari kulit harimau (HR. Abu Daud).74 Pada hadis lain disebutkan bahwa Nabi melarang memakai kulit binatang buas (HR. al-Nasa‟i).75 Hadis ini menegaskan pelarangan berburu binatang buas, karena termasuk dalam kategori hewan langka. Larangan ini mempertimbangkan akibat dari berburu hewan langka adalah dapat mengakibatkan kepunahan salah satu spesies dan hal ini juga akan membuat hilangnya keseimbangan alam, maka berburu hewan langka tidak dibenarkan oleh syara‟. Kedua, memanfaatkan tanah dengan kesalehan. Dalam al-Quran istilah tanah menggunakan terma al-ard yang berarti bumi.76 Allah berfirman:
Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gununggunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk
َّ لَب َل َسعُٕ ُل: لَب َل،ََخٚٔب َّللاِ صهّٗ َّللا ِ ػ ٍَْ ُي َؼ، ٍَٚشٛ ِ َػ ٍِ ا ْث ٍِ ِع، ْان ًُ ْؼزَ ًِ ِشِٙ ػ ٍَْ أَث،غٛ ِ َح َّذثََُب ََُّْب ُد ثٍُْ انغ ٍ ػ ٍَْ َٔ ِك، َِّّ٘ش َٔ َِل انُِّ ًَب َس، « َِل رَشْ َكجُٕا ْان َخ َّض:ّ ٔعهىٛ ػهLihat Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats bin Ishaq bin Basyir alSijistani, Sunan Abi Daud, juz 4, h. 67, no. hadis 4129, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 75 َّ ُذْٛ َأَ ْخجَ َشََب ُػج ُصهَّٗ َّللا َ ٙ َّ ِ «أَ ٌَّ انَُّج،ِّ ِٛ َػ ٍْ أَث،حٛ ِ ِ ْان ًَهِٙ ػ ٍَْ أَث،َ ػ ٍَْ لَزَب َدح،َ َػشُٔثَخِٙ ػ ٍَْ ا ْث ٍِ أَث،َٗٛ َْحٚ ٍَْ ػ، ٍذَّٛللاِ ثٍُْ َع ِؼ َّ ُ َ بع ِ َ ِّ َٔ َعه َى َََٓٗ ػ ٍَْ ُجهٕ ِد ان ِّغجْٛ َػهLihat Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Syu‟aib bin Ali al-Khurasani alNasa‟i, al-Sunan al-Sughrâ li al-Nasa‟i, juz 7, h. 176, no. hadis 4253 dalam CD-Room Maktabah Syamilah 76 Kata tersebut disebutkan al-Quran sebanyak 485 kali. Banyaknya jumlah tersebut, menunjukkan bahwa keberadaan bumi atau tanah sangat penting dalam kehidupan. Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz al-Qurân al-Karîm, h.33-40 74
128
kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. (QS. al-Nazi‟at [79]: 30-33) Dalam ayat ini disebut dua fungsi bumi atau tanah yaitu memancarkan air dan menumbuhkan tanam-tanaman, disamping sebagai tempat terpancangnya gunung-gunung. Kedua fungsi tersebut merupakan hal yang prinsip bagi berlangsungnya kehidupan manusia. Untuk itu, manusia hendaknya mengelola tanah dengan baik dan tidak menelantarkannya. Dalam upaya pengelolaan tanah, atau yang dikenal dengan lahan kritis, sebagai langkah penanggulangannya, antara lain dilakukan dengan menanaminya atau tidak membiarkannya menganggur. Dalam hukum Islam, kegiatan ini dikenal dengan istilah ihyâ‟ al-mawât (menghidupkan tanah mati/lahan kritis).77 Konsep ihyâ‟ al-mawât merupakan syariat Islam dalam memakmurkan dan memanfaatkan bumi untuk kepentingan kemaslahatan manusia baik secara individu maupun kolektif. Semangat ini tercermin dengan penguasaan dan upaya memberikan nilai pada sebuah kawasan yang tadinya tidak mempunyai manfaat sama sekali (lahan kosong) menjadi lahan produktif, karena dijadikan ladang, ditanami buah-buahan, sayuran dan tanaman yang lain.78 Semangat ihyâ‟ (menghidupkan) al-mawât (kawasan yang tadinya tidak hidup: atau mati), merupakan anjuran kepada setiap muslim untuk mengelola lahan supaya tidak ada kawasan yang terlantar (tidak bertuan) dan tidak produktif. Nabi bersabda:
77
Fakhruddin Mangunjaya, Aspek Syariah: Jalan Keluar dari Krisis Ekologi, dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 1, vol. VIII, Tahun 1998, h. 91 78 Ulin Ni‟am Masruri, Pelestarian Lingkungan dalam Perspektif Sunnah, dalam Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014, h. 421
129
79
)ضا َمْيتَةً فَ ِه َي لَوُ (رواه البخاري عن عمر َ َ ق،صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ً َحيَا أ َْر ّْ َِع ِن الن ْ ال َم ْن أ َ َِّب Nabi saw. bersabda: Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka (tanah itu) menjadi miliknya. (HR. Bukhari dari Umar ). Hadis di atas memberikan sebuah gambaran bahwa Islam sangat peduli
terhadap konservasi tanah. Semangat menghidupkan tanah yang terlantar (tidak mempunyai pemilik) atau lahan kritis yang hilang kesuburan tanahnya, mungkin akibat erosi yang merubah lapisan tanah atau akibat pencemaran tanah yang menurunkan kualitas tanah, penting sebagai landasan untuk memakmurkan bumi. Adapun cara untuk menghidupkan lahan mati tersebut dapat dilakukan dengan bertani, bercocok tanam, serta penghijauan. Perintah ini juga diperkuat oleh hadis lain:
ِ ِ ُ ال رس فَِإ ْن ََلْ يَ ْستَ ِط ْع أَ ْن يَ ْزَر َع َها،ض فَ ْليَ ْزَر ْع َها ْ َ َم ْن َكان:صلَّى اهللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم ٌ ت لَوُ أ َْر َ ول اهلل ُ َ َ َق 80 ) َوََل يُ َؤ ِاج ْرَىا إِيَّاهُ (رواه مسلم عن جابر،َخاهُ الْ ُم ْسلِ َم َ فَ ْليَ ْمنَ ْح َها أ،َو َع َجَز َعْن َها Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang memiliki tanah, hendaklah dia menanaminya. Apabila dia tidak mampu menanaminya, maka hendaklah dia memberikannya kepada saudaranya sesama muslim, dan tidak boleh mengambil biaya atas pemberiannya itu. (HR. Muslim dari Jabir) Hadis di atas memerintahkan kepada pemilik tanah untuk menggarap tanahnya dengan menanami buah-buahan, sayuran dan tanaman yang lain (penghijauan). Dalam konsepsi hukum Islam, kalimat yang menggunakan bentuk amr sebagaimana yang terdapat dalam hadis di atas, „ضسػٓبٛ‟فه, yaitu fi‟il mudâri‟ yang disertai lâm amr, mengindikasikan makna perintah.81 Hanya saja, perintah
79
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahîh al-Bukhari, Juz. 2, h.106 , no. hadis 2335, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 80 Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahîh Muslim, Juz. 2, h.1176, no. hadis 1536, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 81 Abdul Wahab Khallaf, „Ilmu Usul al-Fiqh, h. 113
130
ini tidak memfaedahkan wajib, tetapi sunnah, karena ada qarînah (petunjuk) dalam hadis lain, bahwa aktivitas penghijauan merupakan sadaqah. Namun, meskipun sunnah, aktivitas ini sangat dianjurkan, jika melihat pertimbangan maqâsid al-syarî‟ah, di mana kegiatan penghijauan dapat dikategorikan sebagai salah satu upaya untuk memelihara dan mempertahankan fungsi tanaman (flora) sebagai pendukung sistem kehidupan ()حفع انُفظ. Itu mengapa dalam hadis di atas, ketika
si
pemilik
tanah
tidak
mampu
mengerjakannya
sendiri,
Nabi
memerintahkan untuk diserahkan kepada orang yang bisa menggarapnya tanpa dipungut biaya. Perintah ini bertujuan agar tanah dapat memberikan fungsinya yaitu sebagai penopang kehidupan makhluk secara keseluruhan.82
Semangat
inilah yang seharusnya dapat diambil dan diterapkan oleh manusia modern dalam kerangka konservasi tanah, sehingga terus berkelanjutan tanpa pencemaran. Demikian sebagai kecil upaya pengelolaan lingkungan dengan kesalehan yang terdapat dalam al-Quran dan hadis.
Perintah berbuat kebaikan dengan
seluruh komponen lingkungan, apabila dilihat dari hukum Islam, maka menghasilkan hukum wajib dan sunnah. Hukum ini sesuai dengan prinsip dasar yang telah disebutkan, bahwa selaku khalifah, manusia mempunyai tugas mengantarkan alam memenuhi tujuan penciptaannya.
b) Larangan Melakukan Kerusakan di Bumi Dalam sejumlah ayat al-Quran, Allah seringkali memerintahkan kepada manusia untuk memahami, menyelidiki dan mengkaji alam semesta, agar dapat 82
Muhammad Abdul Aziz, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h. 382-383
131
memberikan manfaat yang dapat menunjang keberlangsungan hidup umat manusia. Namun pada saat yang sama, Allah juga seringkali mengingatkan manusia untuk tidak melakukan kerusakan dalam menggali sumber dayanya. Allah berfirman: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-A‟râf [7]: 56) Larangan merusak alam dalam ayat ini diungkapkan dengan lâ tufsidû fî al-ard ba‟da islâhihâ (janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya). Larangan yang sama terulang kembali dalam surah yang sama, yaitu al-A‟râf ayat 85, dalam konteks ucapan yang disampaikan oleh Nabi Syu‟aib kepada penduduk Madyan agar menyembah Allah, menyempurnakan takaran dan timbangan, serta tidak membuat kerusakan di bumi. pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud dengan kerusakan (fasâd)? Menurut al-Râghib al-Asfahânî (w. 1108 H), fasâd adalah keluarnya sesuatu dari batas keseimbangan, baik ketidakseimbangan tersebut sedikit atau banyak (khurûj alsyai‟ „an al-i‟tidâl, qalîlan kâna al-khurûj „anhu au katsîran). Sementara lawan dari fasâd adalah shalâh yang artinya baik, seimbang, atau harmonis.83 Pada dasarnya, kata al-fasâd dalam al-Quran dipahami dengan beberapa konteks. Pertama, dalam konteks keganasan peperangan tentara Thâlût dan
83
Al-Raghîb al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qurân. h. 381.
132
Jâlût.84 Kedua, dalam konteks kaum Tsamûd, di mana sembilan orang dari mereka membuat kerusakan di bumi.85 Ketiga, dalam konteks kehancuran Bani Isrâ`îl yang disebabkan mereka membuat kerusakan dua kali: pertama, menentang hukum Taurat, membunuh Nabi Syu‟ya, dan memenjarakan Amia, kedua, membunuh Nabi Zakariya dan Nabi Yahyâ serta bermaksud membunuh Nabi „Îsâ, sehingga Yerusalem kemudian dihancurkan.86 Keempat, dan dalam konteks orang-orang munafik yang menghasut orang-orang kafir agar memusuhi orangorang Islam.87 Kelima, sebagai salah satu ciri orang-orang fasik: ingkar janji, memutuskan silaturahim, dan membuat kerusakan di bumi.88 Keenam, mengikuti hawa nafsu dianggap sebagai pendorong perusakan di bumi.89 Ketujuh, mencuri sebagai salah satu bentuk perusakan di bumi.90 Kedelapan, dalam konteks pengacauan yang dilakukan oleh orang munafik disertai dengan merusak tanaman dan binatang ternak.91 Kesembilan, dalam konteks orang-orang kafir dan musyrik yang menyembah selain Allah.92 Kesepuluh, perusakan di bumi sebagai salah satu ciri orang-orang Yahudi yang ingin menghalangi penyebaran agama Allah.93 dan kesebelas, menyembelih anak laki-laki dan membiarkan hidup anak perempuan yang dilakukan oleh Fir‟aun, sebagai salah satu bentuk perusakan.94
84
QS. al-Baqarah [2]: 251. QS. al-Naml [27]: 48. 86 QS. al-Isrâ‟ [17]: 4 87 QS. al-Baqarah [2]: 4 88 QS. al-Baqarah [2]: 26-27 89 QS. al-Mu‟minûn [23]: 71 90 QS. Yûsuf [12]: 73 91 QS. al-Baqarah [2]: 205 92 QS. al-Nahl [16]: 88 93 QS. al-Mâidah [5]: 64 94 QS. al-Qasas [28]: 4 85
133
Dari seluruh konteks penggunaan term al-fasâd dalam al-Quran, hampir seluruhnya bermakna teologis (non-fisik), seperti menyekutukan Allah, mengikuti hawa nafsu, dsb. Namun, jika hanya kerusakan non-fisik, tidak terkait dengan bumi, mengapa al-Quran menyebut kerusakan hampir selalu disertai dengan ungkapan di bumi? Ini artinya pemaknaan al-fasâd dapat juga dipahami sebagai kerusakan yang bersifat fisik. Pemaknaan inilah yang juga dipahami oleh Ibn Asyur, bahwa membuat kerusakan di setiap bagian dari bumi sama dengan membuat kerusakan terhadap seluruh bumi (al-ifsâd fî kull juz‟ min al-ard huwa ifsâd li majmû‟ al-ard),95 Hal senada juga diutarakan oleh al-Râzi, menurutnya ungkapan larangan berbuat kerusakan yang disebutkan dalam ayat di atas, bersifat umum meliputi segala yang menimbulkan mudârât, baik yang terkait dengan jiwa, akal, keturunan, harta dan agama, semuanya terlarang.96 Menurutnya segala yang menimbulkan mudârat, hukum perbuatannya adalah haram. Dalam kaidah ushul disebutkan “ىٚ نهزحشُٙٓ انٙ( ”األصم فhukum asal dari larangan adalah haram). Dengan demikian dapat dipahami bahwa segala tindakan perusakan dalam bentuk apapun di muka bumi hukumnya haram dan terlarang. Secara aplikatif, larangan merusak lingkungan telah dilakukan oleh Nabi, di antaranya: Pertama, tidak mencemari air. Dalam ajaran Islam ada prinsip dasar yang harus selalu dipegangi bahwa Allah sangat menyukai orang-orang yang ّ ٌَّ ِإ bersih. Dalam al-Quran, Allah secara berulangkali menyatakan: ٍَُِٛ ِحتٌّ انزَّّٕاثٚ َّللا ٍُٚ ِحتٌّ ان ًُزَطَِّٓشٚٔ (Sesungguhnya Allah suka kepada orang yang kembali (taubat) dan 95
Muhammad al-Thâhir Ibn „Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 8, h. 175 dalam CDRoom Maktabah Syamilah 96 Muhammad Fakhr al-Din al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, Juz 11, h. 283
134
suka kepada orang yang bersih).97
Ayat ini menghendaki manusia untuk
berperilaku bersih, tidak terkecuali dalam hal kebersihan air. Hal senada juga terdapat dalam hadis Nabi: ِّٛ ْغزَ ِغ ُم فَٚ ثُ َّى،َ٘جْ ِشٚ َ ان ًَب ِء ان َّذائِ ِى انَّ ِز٘ ِلِٙجُٕنَ ٍَّ أَ َح ُذ ُك ْى فَٚ َِل (Janganlah salah seorang diantara kamu buang air kecil ke dalam air yang tergenang, kemudian mandi pula di situ).98 Hadis yang semakna: :َارَّمُٕا ْان ًَ َال ِػٍَ انَُّ َالثَخ ِّ َٔانظِّم،كٚ ِ بس َػ ِخ انطَّ ِش ِ َ َٔل،اس ِد ِ َٕ ًَ ْانِٙ( ْانجَ َشا َص فjauhilah tempat-tempat penyebab laknat yang tiga, yaitu berak (buang kotoran) di tempat-tempat air, di jalan-jalan raya dan di pernaungan).99 Penggunaan kata ِلpada hadis pertama dan kalimat ارمٕاyang dihubungkan dengan laknat pada hadis kedua, mengisyaratkan larangan buang air kecil dan besar di air. Sementara penyebutan buang air (berak), tidak menyebutkan limbah atau bahan buangan beracun, ini dapat dimengerti karena pada zaman Nabi saw., bahan buangan beracun atau limbah, belum banyak ditemukan dan belum menjadi masalah dalam realitas sosial masyarakat pada waktu itu. Penyebutan berak dalam hadis di atas dapat dimengerti karena kotoran yang paling tinggi posisinya, pada waktu itu, mungkin adalah berak.100 Di samping itu, berak sangat dekat dengan kehidupan manusia sehari-hari, sehingga mudah dikenal. Dengan alasan („illat) sama-sama dapat mencemari lingkungan, maka analogi (qiyâs) berak kepada bahan buangan beracun dewasa ini, menjadi logis. Dan karena itu, membuang bahan buangan beracun sama hukumnya dengan membuang air besar di tempat97
QS. al-Baqarah [2]: 222 Lihat Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahîh al-Bukhari, juz 1, h. 57, no. hadis 239, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 99 Lihat Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats bin Ishaq bin Basyir al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 1, h. 7, no. hadis 26, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 100 Sayyed Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Libanon: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1977), jilid 1, h. 3435 98
135
tempat air, yaitu terlarang. Larangan ini menjadi jelas, jika melihat pertimbangan maqâsid al-syarî‟ah, di mana air merupakan sumber kehidupan101 dan sebagai sarana
pelaksanaan
ibadah.102
Sehingga
penjagaan
terhadap
air
dapat
dikategorikan sebagai salah satu upaya menjaga jiwa ( )حفع انُفظdan menjaga agama (ٍٚ)حفع انذ. Kedua, tidak menggunakan air secara berlebihan. Hal ini berdasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Sa‟ad, bahwa Nabi pada suatu saat pernah bepergian bersama Sa‟ad bin Abi Waqqash. Ketika Sa‟ad berwudlu, Nabi menegurnya, “Jangan menggunakan air berlebihan!” Sa‟ad bertanya, “apakah di dalam berwudlu juga dilarang (menggunakan air) berlebihan?” Nabi menjawab, “Ya, sekalipun kamu melakukannya di sungai yang mengalir”.103 Pelajaran yang dapat diambil dari hadis tersebut, bahwa prinsip hemat harus menjadi bagian dari akhlak manusia dalam keadaan apapun, termasuk dalam pemakaian air.
101
Secara normatif, al-Quran menggambarkan bahwa dari airlah tercipta segala sesuatu yang hidup (QS. al-Anbiyâ‟ [21]: 30), baik manusia (QS. al-Furqân [25]: 54, al-Sajdah [32]: 8, alMursalât [77]: 20, dan al-Tariq [86]: 6), hewan (QS. al-Nur [24]: 45), maupun tumbuhan (QS. alBaqarah [2]: 164). Ini artinya bahwa air merupakan kebutuhan mutlak makhluk hidup secara keseluruhan. Tanpa air manusia dan seluruh makhluk hidup tidak mungkin bisa hidup. 102 Lihat QS. al-Mâidah [5]: 6. Air digunakan sebagai sarana bersuci dalam rangka ibadah (shalat), baik dengan jalan mandi maupun dengan berwudlu‟. Sementara air yang digunakan ini dalam Istilah hukum Islam, harus air mutlak, yaitu air yang secara hukum, suci dan mensucikan. Ini artinya penjagaan (proteksi) air dari ketidaksuciannya menjadi sebuah keniscayaan. Singkatnya, keberadaan air menjadi hal yang sangat vital dalam rangka memelihara agama ( حفع ٍٚ)انذ. Air yang tercemari oleh sesuatu yang menghilangkan kemutlakannya, maka secara otomatis akan menghalangi manusia dalam menjalankan perintah agamanya (shalat misalnya). 103 َبٚ ُ " َيب َْ َزا ان َّغ َشف:بل َ َ فَم،َُزَ َٕظَّأٚ َٕ َُْٔ ِّ َٔ َعهَّ َى َي َّش ثِ َغ ْؼ ٍذْٛ َصهَّٗ َّللاُ َػه َ ٙ َّ ِ أَ ٌَّ انَُّج،ٙص ِ ػ ٍَْ َػ ْج ِذ َّللاِ ْث ٍِ َػ ًْ ِشٔ ْث ٍِ ْان َؼب ْ َ ْ ُ َ َ َ ْ ٌف َ َذ َ ْ بس ج ْش ٓ َ ٗ ه ػ ُ ك ٌ إ ٔ ، ى ؼ َ " : ل ب ل ؟ ) 1 ( ش ع ء ُٕ ظ ٕ ان ٙ ف أ : ل ب ل " ُ؟ ذ ؼ ع Lihat Abu Abdillah Ahmad bin َ ُ َ َ َ ِ َ ِ َ َِ َْ ٍ َ ٍ Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, juz 11, h. 637 no. hadis 8065, dalam CD-Room Maktabah Syamilah
136
Ketiga, memelihara udara dari pencemaran. Pada tataran yang lebih praktis, Islam sebenarnya telah menjelaskan prinsip konservasi udara,104 melalui sabda Nabi tentang hak-hak tetangga:
)يح (رواه الطرباين ّّ َ َوََل تَ ْرفَ ْع بِنَاءَ َك فَ ْو َق بِنَائِِو ف... ّْ شر َعلَْي ِو َ الر
Dan janganlah kamu meninggikan bangunanmu di atas bangunannya (tetanggamu), yang menghalangi masuknya udara ke dalamnya (HR. Tabrani) Penggunaan kata syarr ()ْ ّش, yang bermakna jelek, buruk, dan tidak baik,105 menunjukkan bahwa bangunan yang ditinggikan (lebih tinggi dari rumah tetangganya) itu, disamping dapat menghalangi masuknya udara segar ke dalamnya, juga dapat menyebabkan sirkulasi udara terhalang. Larangan ini
mengisyaratkan bahwa setiap orang berhak atas udara bersih dan segar. Menghalangi orang untuk memperoleh udara segar dan membuat udara menjadi kotor, hukumnya terlarang. Singkatnya, segala sesuatu yang dapat menghalangi orang untuk mendapatkan udara yang bersih dan segar, dilarang dalam Islam. Larangan ini juga diperkuat oleh hadis lain. Nabi bersabda:
104
Dalam al-Quran istilah udara dalam pengertian angin disebut sebanyak 28 kali. 104 AlQuran menggambarkan angin sebagai salah satu dari tanda-tanda kekuasan Tuhan (QS. al-Rûm [30]: 40). Angin ditundukkan Tuhan untuk kepentingan manusia sebagai nikmat (QS. Shad [38]: 36, al-Anbiyâ‟ [21]: 18, dan Sabâ‟ [34]: 12), diantaranya sebagai proses daur air dan hujan (QS. alBaqarah [2]: 164, al-Rûm [30]: 48, dan Fâthir [35]: 9), proses penyerbukan/mengawinkan tumbuhtumbuhan (QS. al-Hijr [15]: 22), dan melayarkan bahtera laut (QS. Yûnus [10]: 22 dan al-Syura [42]: 33). Namun, disamping sebagai nikmat, angin juga dapat menjadi adzab (QS. al-Ahqâf [46]: 24). Itu semua terjadi dengan perintah Allah. Hal ini juga disebutkan dalam hadis Nabi yang artinya: “janganlah kalian mencela angin, karena sesungguhnya ia berasal dari ruh Allah yang datang membawa rahmat dan azab. Tetapi mohonlah kepada Allah dari kebaikan angin tersebut dan berlindunglah kepada Allah dari kejahatannya.”104 Ayat dan hadis tersebut memberi kerangka perintah etis untuk menghormati udara dan melindunginya dari hal yang membahayakan, yaitu polusi. Jika udara terlindungi, maka ia akan menjadi rahmat yang membawa keberkahan. Jika ia tercemar maka ia bisa menjadi azab. Fungsi ganda udara seperti disebut di atas menunjukkan bahwa udara bisa menjadi rahmat atau azab, tergantung bagaimana manusia memperlakukannya. 105 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawir, h. 708
137
ِ َ َن رس ِ َ وما اللَّعَّان:ْي قَالُوا ِ ْ َال اتَّ ُقوا اللَّعَّان ال َ ان يَا َر ُس َ َول اهللِ؟ ق َ َصلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َ ول اهلل ََ ُ َ َّ أ 106 ِ الَّ ِذي يَتَ َخلَّى ِِف طَ ِر ِيق الن ) أ َْو ِِف ِظلّْ ِه ْم (رواه مسلم عن أيب ىريرة،َّاس Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: jauhilah (perbuatan) dua orang yang menyebabkan laknat. Para sahabat bertanya, siapakah dua orang itu ya Rasulullah? Beliau bersabda: orang yang berbuat hajat di jalan atau di tempat berteduh. (HR. Muslim dari Abi Hurairah) Larangan Nabi saw. mengenai buang air besar di bawah pohon berbuah, atau di tempat perteduhan dalam hadis di atas, dapat dimengerti karena buang air besar akan menghasilkan berak atau tinja, yang akan menimbulkan bau busuk di tempat itu dan sekitarnya. Ini berarti yang bersangkutan telah membuat dua kesalahan, yaitu membuat udara menjadi tercemar (bau busuk), dan membuat orang yang ada di situ terganggu oleh pencemaran. Artinya, ia menzalimi orang lain dan menzalimi udara itu sendiri. Larangan ini juga berlaku bagi semua aktivitas manusia yang menyebabkan polusi udara, misalnya pembakaran bahan bakar fosil (BBF) melalui transportasi. Pada prinsipnya, dengan adanya jasa transportasi akan memudahkan seseorang bekerja (mencari uang), memudahkan pergi ke sekolah menuntut ilmu bagi para pelajar dan seterusnya. Dalam konteks ini berarti, bahwa adanya jasa transportasi dapat melindungi aspek darûriyyah harta (hifz al-mâl) dan darûriyyah akal (hifz al-„aql). Namun di sisi lain, transportasi yang tidak berkualitas dapat menyebabkan polusi udara dari emisi knalpotnya. Ini berarti adanya transportasi yang tidak layak pakai dapat mengancam kesehatan pernafasan (jiwa). Jika kesehatan korban terganggu, maka secara tidak langsung korban akan kehilangan aktivitasnya (tidak bisa beraktivitas), seperti kalau 106
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahîh Muslim, juz 1, h. 226, no. hadis 68, dalam CD-Room Maktabah Syaamilah
138
mahasiswa ia tidak bisa pergi ke kampus mengikuti perkuliahan (akal), aktivitas ubudiyah (agama), dan bahkan kalau sampai meninggal sebelum menikah maka ia tidak
bergenerasi
(keturunan).
Jadi
yang
diperlukan
bukan
melarang
transportasinya, melainkan melarang pengoperasian transportasi yang sudah tidak layak pakai. Dalam hal ini berlaku kaidah „خٚ‟انًصهحخ انؼبيخ يمذو ػهٗ انًصهحخ انفشد (kemaslahatan
umum/kolektif
harus
didahulukan
dari
kepentingan
individu/khusus).107 Artinya, larangan pengoperasian transportasi yang tidak layak pakai, karena pengoperasian tersebut hanya untuk kemashlahatan pribadinya, sementara menjaga dampak emisi kendaraannya (polusi udara) adalah menyangkut kepentingan orang banyak. Demikian contoh kecil upaya pemeliharaan lingkungan dari pencemaran. Larangan merusak lingkungan, menghasilkan hukum haram dan makruh. Hukum ini sesuai dengan prinsip dasar yang telah disebutkan, bahwa selaku khalifah, manusia bertugas mengantarkan alam (binatang) memenuhi tujuan penciptaannya.
107
Kaedah ini dimunculkan oleh ulama-ulama ushul pada saat memberikan kilasan komentar terhadap klasifikasi bentuk maslahah versi al-Ghazàli. Sebagaimana termaktub dalam kitabnya, Syifà' al-Ghalìl, al-Ghazàli membagi maslahah dari segi daya cakupnya kepada tiga bentuk, yaitu: a) maslahah umum (public interest), berupa kepentingan umat manusia secara keseluruhan yang harus ditegakkan bersama (ma yata„allaq bi maslahah „ammah fi haqq al-khalqi kaffàh); b) maslahah yang berkaitan dengan mayoritas umat manusia (majority interest/ ma yata„allaq bi maslahah al-aghlab); c) maslahah yang berhubungan dengan perorangan dan hanya terjadi pada peristiwa maupun keadaan tertentu (private interest/ma yata„allaq bi maslahah syahsyin mu„ayyanin fi waqi„atin naziratin). Lihat al-Ghazàli, Syifà' al-Ghalìl, (Baghdad: Matba„ah al-Irsyàd, 1971), h. 210-211. Juga bisa dilihat dalam Husain Hamid Hasan, Nazariyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islàm, (Beirut: Dàr al-Nahdah al-„Arabiyyah, 1971), h. 444-445. Terkait dengan klasifikasi ini, para ulama ushul umumnya, hanya memberikan komentar terhadap bentuk maslahah tersebut ketika mereka terlibat secara inen dalam pembahasan tentang tarjih terhadap antagonism beberapa maslahah. Dalam hal ini mereka memprioritaskan maslahah umum ketimbang maslahah individu atau perorangan
139
3. Rekonstruksi Makna Khalîfah sebagai Wakil Tuhan di Bumi Kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi menjadi perhatian utama para sarjana Muslim di abad lalu. Akan tetapi, kebanyakan dari pembahasan mereka masih parsial, yang hanya terlalu menekankan hak keistimewaan dan kemuliaan yang dikandung istilah tersebut. Menurut Lellweyn, pemaknaan khalifah selama ini terperangkap pada pemahaman sebagai mandat untuk mengeksploitasi dan membangun dunia atas nama Tuhan.108 Pemaknaan ini bisa dimengerti, karena pada waktu itu, para sarjana Muslim berada di bawah pengaruh humanisme Barat, sebagai respon atas tuduhan kalau ajaran Islam kurang memberi nilai dan otoritas kepada manusia. Pada dasarnya, Islam memandang manusia dari dua arah, yaitu sebagai wakil Tuhan yang cenderung agresif-aktif, dan sekaligus hamba Tuhan yang bersifat pasif dalam pengertian yang sebenarnya.109 Apabila konsep ini hanya dipahami secara parsial, maka tidak mengherankan jika lahir praktek-praktek anarkisme wakil Tuhan yang hanya menekankan kepentingannya sendiri dalam menguasai alam. Akibatnya, alam mengalami beban eksploitasi yang jauh di luar batas kemampuannya, karena tangan-tangan manusia yang tidak lagi menganggap dirinya sebagai „abd Allâh (hamba Tuhan) lagi. Untuk itu perlu adanya pemahaman yang holistik mengenai konsep khalifah. Allah berfirman:
108
Othman Abd al-Rahman Lellweyn, The Basis for a Discipline of Islamic Environmental Law, dalam Ricard C. Foltz, Islam and Ecology (The President and Fellows of Harvard College, 2003), h. 185 109 Lihat (QS. al-A‟râf [7]: 172). Ahmad Cholil Zuhdi, Krisis Lingkungan Hidup dalam Perspektif al-Quran, dalam Jurnal Mutawâtir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol.2, No.2, JuliDesember 2012, h. 142
140
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al-Baqarah [2]: 30) Pesan ekologis ayat di atas terletak pada kalimat yang artinya: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Kata kunci pada kalimat ini terdapat pada kata khalîfah. Secara literal kata khalîfah berarti orang yang datang (ada) belakangan, yang menggantikan orang sebelumnya.110 Sedangkan secara terminologi, memiliki makna fungsional, yaitu manusia sebagai pihak yang diberi tanggung jawab oleh pemberi mandat, yaitu Tuhan.111 Ini artinya, manusia sebagai khalîfah bukanlah penguasa bumi, melainkan wakil Tuhan yang diberi tugas dan wewenang untuk memelihara dan memakmurkan bumi. Muhammad Bâqir al-Sadr (w. 1980 M) sebagaimana dikutip Quraish Shihab mengemukakan bahwa, makna khalifah pada ayat ini, mempunyai tiga unsur yang saling terkait, kemudian ditambah unsur keempat yang berada di luar, namun sangat menentukan arti kekhalifahan. Pertama, manusia, yang dalam hal ini dinamai khalifah. Kedua, alam raya yang ditunjuk oleh Allah sebagai bumi (alardh). Ketiga, hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk
110
Abu Ja‟far al-Thabari, Jamî‟ al-Bayân fi Ta‟wîl al-Qurân, (t.t: Muassasah al-Risalah, 2000), jilid 1, h. 449-450. 111 Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, h. 204
141
manusia, (istikhlaf atau tugas-tugas kekhalifahan). Sementara unsur keempat sebagaimana yang digambarkan oleh ayat ini, dengan ungkapan innî jâ‟il/innâ ja‟alnâka khalîfah (QS. Shad [38]: 26), yaitu yang memberi penugasan, yaitu Allah Swt. Dialah yang memberi penugasan itu dan dengan demikian yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya.112 Dengan demikian dari keempat unsur ini mengindikasikan bahwa dalam konsep kekhalifahan, terkandung tugas mengurus dan mengelola potensi bumi dan seisinya, untuk dijadikan sarana takwa kepada Allah. Pertanyaannya kemudian, apakah mandat kekhalifahan yang dimaksud pada ayat ini, hanya ditujukan kepada Adam, atau kepada seluruh umat manusia? Untuk merespon pertanyaan ini, perlu diperhatikan pendapat Thaba‟thaba‟i (w. 1981 M) dalam Tafsir al-Mizânnya, bahwa makna khalifah dalam ayat ini tidak berkonotasi politis individual,113 melainkan berkonotasi kosmologis komunal. Artinya, term khalifah yang operasionalnya dilakukan Adam, sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai seorang diri, melainkan sebagai simbol komunitas spesies manusia. Dengan ungkapan lain, sesungguhnya term Adam sebagai penyandang mandataris, dimaksudkan sebagai spesies manusia. Singkatnya, penyandang predikat khalifah adalah seluruh spesies manusia.114
112
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1993), h. 156 Term khalifah yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 30 ini tidaklah berkonotasi politis, sebab diungkapkan dalam bentuk tunggal (inni/sungguh Aku). Hal ini dapat dimengerti karena ketika peristiwa ini terjadi, memang tidak ada pihak lain yang terlibat dalam pengangkatan tersebut. Berbeda dengan pengangkatan Daud sebagai khalifah dalam bentuk jamak (QS. Shad [38]: 26) yang melibatkan dua pihak yaitu Tuhan dan pihak Masyarakat. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, h. 156-159 114 M. Husen Thaba‟thaba‟i, Tafsîr al-Mîzân, Jilid 1, h. 116-117 113
142
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa term khalifah yang diungkapkan dalam surah al-Baqarah ayat 30 cenderung berkonotasi kultural ekologis. Artinya, manusia diangkat sebagai khalifah diberi mandat mengemban misi ekologis.115 Adapun mandat ekologis yang diberikan oleh Allah Swt. kepada manusia adalah mandat untuk mengelola lingkungan secara lestari. Sebab, kemahapengelolaan Tuhan terhadap lingkungan bersifat potensial, sehingga aktualisasinya dipercayakan kepada manusia. Singkatnya, Tuhan sebagai pengelola potensial lingkungan dan manusialah sebagai pengelola aktual lingkungan. Inilah bentuk kerjasama Tuhan dengan manusia dalam mengelola lingkungan. Berbicara mengenai konsep mandataris Tuhan di bumi, menarik untuk diingat bahwa tugas sebagai khalifah bukanlah hak istimewa semata, tetapi lebih merupakan kepercayaan yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya, dengan sikap responsibility terhadap bumi (lingkungan). Pemahaman inilah yang dilakukan oleh Mustafa Abu Sway (l. 1958 M) dalam memaknai konsep khalîfatullah fi alard.116 Pendapat senada dikemukakan Yusuf al-Qardawi (l. 1245 H/1926 M) yang
115
Secara eksistensial, seluruh makhluk adalah sama. Namun, secara esensial hanya manusia yang dapat mendeklarasikan diri sebagai „abd Allah (hamba Allah). Kemanusiaan yang sesungguhnya adalah sisi manusia sebagai „abd Allah. Baginya konsep „abd Allah berkaitan dengan taklif (beban pelaksanaan) syariat. Dalam konteks ini, hanya manusialah yang mampu menjalankan taklif syriat. Taklif tidak mungkin dibebankan kepada tumbuhan, hewan atau makhluk yang lain. lihat Suwito, Eko-Sufisme: Konsep, Strategi dan Dampak, h. Fase tertinggi manusia adalah di saat manusia dapat menciptakan kreasi-kreasi untuk kebaikan semesta. Dalam konteks ini, jika Tuhan menciptakan malam, maka dia akan menciptakan lilin dan menyalakannya. Ini berbeda dengan kambing dan tumbuh-tumbuhan yang mana jika Tuhan menciptakan malam, mereka akan tetap dalam kegelapan. Hanya manusia yang sebagai khalifah sajalah yang dapat memaknai yâ Khâliq (Maha Pencipta), yâ Bâri (Maha Pengada dari Tiada), yâ Mushawwîr (Maha Pendesain). Lihat penjelasan Quraish Shihab, Menyingkap Tabir asma‟ al-Husna (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. III, h. 74-80. 116 Mustafa Abu Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment, dalam http://homepages.iol.ie/~afifi/Articles/environment.htm, yang diakses pada 15 Nopember 2016
143
menghubungkan khalîfatullah fi al-ard dengan ibadah yang mencakup menanam, membangun, memperbaiki, menghidupi, serta menghindarkan dari hal-hal yang merusak.117 Jadi, pemaknaan khalîfatullah fi al-ard dalam kerangka ekologis bersifat lebih universal, membumi, dan merangkul semua keluarga besar biotik dunia yang diikat oleh nilai-nilai etika yang terdapat dalam ajaran agama. Dengan demikian, konsep khalîfatullah fi al-ard sangat dekat dengan konsep amanah. Kata amanah adalah sebuah konsep penting dalam suatu kepemimpinan, karena di dalamnya mengandung tugas membangun peradaban di muka bumi sekaligus upaya memeliharanya. Bumi dan berbagai sumber dayanya adalah amanah yang dipercayakan Allah kepada manusia sebagai khalîfatullah fi al-ard. Merusak lingkungan dan mengeksploitasinya tanpa rasa tanggung jawab adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanah, dan ini menandai sebuah kelalaian terhadap sebuah kepemimpinan dalam kerangka khalîfatullah fi al-ard. Allah berfirman: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan (QS. Shad [38]: 26) Pesan ekologis ayat ini terletak pada kalimat yang artinya:“maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu.” Dalam perspektif Islam, seorang khalifah diperintahkan 117
Yusuf al-Qardawi, Ri‟ayât al-Bi‟ah fi Syarî‟at al-Islâm, h. 58-63
144
untuk berbuat adil. Menurut al-Jurjânî yang dimaksud pemimpin yang adil adalah pemimpin yang memiliki integritas moral yang tinggi.118 Senada dengan alJurjânî, al-Mâwardî menyatakan bahwa pemimpin yang adil adalah pemimpin yang bersih dari hal-hal yang diharamkan, selalu menunjukkan sikap kriteria baik dalam soal agama maupun dalam masalah dunia.119 Singkatnya, pemimpin adil adalah pemimpin yang selalu berada di jalan kebenaran. Sementara adil dalam konteks ekologi berarti berbuat secara seimbang, berbuat baik kepada semua komponen lingkungan dengan tidak berlaku aniaya.120 Ini artinya, daya dukung lingkungan yang telah disediakan oleh Allah., wajib dijaga kelestariannya. Sebab, kelestarian daya dukung lingkungan tergantung dari partisipasi semua komponen lingkungan. Sedangkan komponen ekosistem yang paling bertanggung jawab dalam pelestarian daya dukung lingkungan adalah manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan „jangan mengikuti hawa nafsu‟, artinya, sebagai wakil Allah di bumi, tidak diperkenankan bertingkah dan berbuat untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Tuhan dan kehendak-Nya. Manusia sebagai khalifah, harus memelihara dan mengasuh alam beserta segala isinya sebagaimana Tuhan telah memelihara dan mengasuhnya.121 Dengan ungkapan lain, tugas kekhalifahan menuntut adanya interaksi harmonis antar sesama makhluk, yang pada gilirannya akan memberikan kemaslahatan kepada semua makhluk di bumi.
118
Al-Jurjânî, al-Ta‟rîfât, (Beirut: „Alam al-Kutub, 1987), h. 192 Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah, (Beirut: Dar alKitab al-„Arabi, t.th), h. 66 120 Sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. al-Qamar [54]: 49). Ini artinya Allah sendiri telah membagi peran dan fungsi ekologis semua komponen ekosistem 121 Abdul Quddus, Respon Tradisionalisme Islam terhadap Krisis Lingkungan, dalam Disertasi Universitas Islam Negeri (UIN) Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 139 119
145
Hal ini sesuai dengan aksioma yang diformulasikan oleh Imam Syafi‟i yaitu: ّخ يُٕغ ثبنًصهحخٛ( رصشف اْليبو ػهٗ ان ّشػtindakan pemimpin (khalîfah fi al-ard) bagi rakyatnya (seluruh makhluk) harus berorientasi pada kemaslahatan) .122 Dengan demikian membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan bagi semua makhluk, menjadi tugas utama manusia sebagai khalîfah di bumi. Ajaran Nabi saw. mengenai konservasi alam melalui pencanangan konsep himâ,123 dapat dilakukan dan diterapkan, mengingat kondisi saat ini, angka kepunahan keanekaragaman hayati sangat tinggi. Untuk mewujudkan potensi ini, negara perlu membangun sebuah sistem himâ (kawasan lindung) yang komprehensif, berdasarkan inventarisasi dan analisa akurat mengenai sumber-sumber biologinya. Sistem ini harus melestarikan dan memulihkan
tempat-tempat
produksi
biologis
penting
dan
kepentingan
ekologisnya,124 seperti lahan basah, pegunungan, hutan-hutan dan kawasan hijau, terumbu karang, mangrove, rumput laut, dan populasi satwa langka. Sementara lahan yang digunakan untuk himâ (lokasi cagar alam), boleh menggunakan tanah negara dan juga boleh memakai tanah milik pribadi, dengan catatan negara harus mengganti rugi. Hal ini berdasarkan pada kebijakan Umar ra. mengenai kasus laki-laki dari Tsa‟labah, sebagai berikut:
122
Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h. 5 Pada masa Rosulullah, beliau pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai himâ guna melindungi lembah, padang pasir rumput dan tumbuhan yang ada didalamnya. Lahan yang beliau lindungi luasnya sekitar enam mil atau lebih di 2049 hektar. Bahkan Nabi juga melarang masyarakat mengolah tanah tersebut karena lahan itu untuk kemaslahatan umum dan kepentingan pelestarian. Kebijakan tersebut tidak berhenti ketika Beliau wafat namun tetap berlanjut. Ketika roda pemerintahan islam dipimpin oleh Khulafaur Rosyidin juga melakukan hal yang sama dengan menentukan beberapa areal tertentu yang dinyatakan sebagai areal perlindungan dan konversi ( harim ) dan diumumkan kepada semua masyarakat islam ketika itu. 124 Othman Abd al-Rahman Lellweyn, h. 216 123
146
“Seorang laki-laki dari Tsa‟labah berkata kepada Umar: Wahai Amir alMukminin, negeri kami dibuat himâ. Dulu pada zaman jahiliah, kami berperang di sana, kemudian kami masuk Islam dan bertempat tinggal di sana. Orang itu mengulang-ngulang katanya. Umar hanya bisa menundukkan kepalanya, kemudian mengangkatnya dan berkata: Sebuah negeri adalah negeri Allah, dan hamba adalah hamba Allah. Demi Allah, jika saya tidak memerlukan untuk di jalan Allah, maka saya tidak akan membuat himâ, meskipun hanya satu jengkal dari tanah ini.”125 Dari peristiwa di atas, menunjukkan bahwa, Umar tidak terlalu memperhatikan tanah yang dibuat himâ, apakah tanah itu tanah kosong atau tanah pembagian seperlima dari rampasan perang. Yang terpenting bagi Umar, memilih tanah yang strategis untuk dijadikan himâ, meskipun tanah itu milik seorang penduduk. Hal ini dilakukan oleh Umar, demi kemaslahatan yang lebih besar (umum). Selain konsep himâ, terdapat ijtihad ulama salaf yang juga dapat diterapkan dalam rangka konservasi lingkungan, yaitu konsep iqta‟ dan ihyâ‟. Iqtâ' merupakan pemanfaatan lahan yang dipelopori oleh pemerintah. Pemerintah meminjamkan lahan (lahan garap) kepada para investor atau pengembang dengan perjanjian kesanggupan untuk mengadakan reklamasi (perbaikan pada lahan yang digarap). Oleh karena itu, dalam penggarapan iqta‟ harus ada jaminan tanggung jawab yang dapat memberikan keuntungan baik untuk investor, negara, maupun masyarakat.126 Sementara lahan yang digunakan untuk iqta‟ adalah lahan yang didalamnya tidak ada kepentingan publik, misalnya sumber daya air atau
َّ ثِئ ِ ْعَُب ِد ِِ ػ ٍَْ ػَب ِي ِش ث ٍِْ َػ ْج ِذ، ٍذْٛ ََٔ َس َٖٔ أَثُٕ ُػج ُّ ٍِ َّللاِ ْث َشَٛب أَ ِيٚ : فَمَب َل، ُػ ًَ َشٌّٙ ِ أَرَٗ أَ ْػ َشاث: لَب َل،ِّ ِٛ أَحْ ِغجُُّ ػ ٍَْ أَث، ِْشَٛانضث ْ َ ْ ُ ْ ْ ُ َ َ َ ٌَ َٔ َكب،ََُّبسث َ َٓب؟ فأغ َشًِٛ ْ ػ ََال َو رَح،اْلع َْال ِو ِ َِٙٓب فْٛ َٔأَ ْعه ًَُْب َػه،َّ ِخِٛ ْان َجب ِْهَِٙٓب فْٛ َ ثِ َال ُدََب لَبر َْهَُب َػه، ٍَُِْٛان ًُ ْؤ ِي ِ ْ َفزِ ُمَٚٔ ،َُفخٚ َٔ َج َؼ َم،ُق ُػ ًَش َّ َّ ْ َّ ْ َ َ َ َ َ َ ُ ُ ُ ُ ِّ ََّٔللاِ نْٕ ِل َيب،ِ َٔان ِؼجَبد ِػجَبد َّللا،ِ ان ًَب ُل َيب ُل َّللا:ُبل ػ ًَش َ فم،َُ َشدد رنِكٚ َيب ثِ ِّ َج َؼ َمُّٙ ِ َََٔفَ َخ فَهَ ًَّب َسأَٖ ْاألَ ْػ َشاث،ََُّبسث ِ ْ إ َرا َك َشثَُّ أَ ْي ٌش فَزَ َم َ َّ َ ْ َ ْ ْس ْ ْ ْح ِْج ٍْشِٙض ف األ ٍ ي ا ش ج ْ ْذ ٛ ً ح ب ي َّللا م ٛ ج ع ٙ ف ّ ٛ ه ػ م ً أ Lihat Ibn Qudamah, al-Mughnî li Ibn al-Qudâmah, ً ُ ِ ِ َ َ َ ِ ِ َِ ِ ِ َ ِ ِ (Kairo: Maktabah al-Qâhirah, t.th.), juz 5, h. 429 126 Fakhruddin Mangunjaya, Konservasi Alam dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 4 125
147
keuntungan publik lain yang seharusnya dikuasai oleh pemerintah untuk kemaslahatan orang banyak.127 Selanjutnya ihyâ al-mawât, yaitu mengolah dan memanfaatkan tanah kosong atau lahan terlantar (tidak produktif) untuk kepentingan kemaslahatan manusia baik secara individu maupun kolektif. Semangat ini tercermin dengan penguasaan dan upaya memberikan nilai pada sebuah kawasan yang tadinya tidak mempunyai manfaat menjadi lahan produktif karena dijadikan ladang, ditanami buah-buahan, sayur-sayuran dan tanaman lain. Semangat menghidupkan lahan ini penting sebagai landasan untuk memakmurkan bumi.
B. Konservasi Lingkungan sebagai Doktrin Utama Syariat Islam Kelalaian dan ketidakmampuan manusia, menjadi salah satu sebab utama kerusakan lingkungan. Untuk mengatasinya, manusia harus mengubah perilaku dan cara pandangnya terhadap alam. Sonny Keraf dalam pendahuluan bukunya „Etika Lingkungan‟, dengan tegas menyatakan: “Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya”.128 Mandat Tuhan kepada manusia, hendaknya dibaca dalam kerangka istikhlâf (tugas kekhalifahan), yaitu mengelola bumi dengan penuh tanggung jawab. Menurut A. Qadir Gassing perintah mengelola lingkungan, hendaknya dipahami sebagai taklîf (pembebanan) Tuhan kepada manusia (mukallaf) meliputi kewajiban memelihara dan larangan merusak lingkungan yang harus ditaati.129
127
Fakhruddin Mangunjaya, Aspek Syariah: Jalan Keluar dari Krisis Ekologi, dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 1, vol. VIII, Tahun 1998, h. 92 128 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. xv. 129 A.Qadir Gassing, Etika Lingkungan Dalam Islam, h. 110-124
148
Di dalam ajaran Islam, sumber daya alam harus dikelola sesuai dengan kemaslahatan dan tidak dibenarkan menimbulkan kerusakan (la darara wala dirara). Kemaslahatan menjadi guide line dari seluruh aktivitas manusia. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengelola alam, tetapi kebebasan itu adalah kebebasan yang bertanggungjawab dan berkeadilan. Alam sebagai resorsis ekonomi tidak hanya untuk dieksploitasi dan dijadikan sumber kekayaan pribadi, melainkan harus dipelihara dan dijadikan sarana untuk berbagi dan memberdayakan kelompok-kelompok miskin dan lemah. Karena konsep keadilan pada prinsipnya merupakan pemberdayaan terhadap kaum miskin dan kaum tertindas untuk memperbaiki nasib mereka dalam sejarah manusia. Keadilan terhadap lingkungan juga merupakan manifestasi untuk keadilan Tuhan. Karena pada dasarnya Tuhan adalah Maha Pemelihara, yang kemudian otoritas pemeliharaan tersebut didelegasikan kepada manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri.130 Menurut Yusuf al-Qardawi (l. 1245 H/1926 M), Islam meletakkan pemeliharaan lingkungan sebagai basis pemeliharaan tujuan pokok agama (aldharûriyyât al-khams).131 Kemaslahatan lingkungan tidak hanya berimplikasi positif terhadap kelangsungan hidup manusia, tetapi juga untuk lingkungan itu sendiri. Karena, bagaimanapun alam memiliki masa dan kapasitas yang terbatas. Meskipun ada asumsi bahwa alam itu akan kembali membangun ekosistemnya kembali menjadi baik, namun harus disadari bahwa alam juga bersifat nonremovable, yang tidak mungkin tergantikan. Dalam kaidah Ushul Fiqh 130 131
Abrar, Islam dan Lingkungan, h. 23-24 Yusuf al-Qardhawi, Ri‟âyat al-Bi‟at fi Syari‟at al-Islam, h. 39
149
disebutkan mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa wâjib (sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib). Dengan demikian memposisikan aspek lingkungan sebagai doktrin utama (ushûl) syariat Islam menjadi sebuah keniscayaan, Kewajiban memeliharanya berbanding lurus dengan pemeliharaan tujuan pokok syariat Islam.
Berikut
argumen mengenai pemeliharaan lingkungan sebagai basis pemeliharaan tujuan pokok agama.
1. Lingkungan sebagai Basis Fundamental Keimanan Berbicara mengenai konsep keimanan, tidak dapat terlepas dari keyakinan adanya Tuhan yang Maha Esa, yaitu Allah Swt. Sementara untuk meyakini-Nya, Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan ayat-ayat kauniyyah yang terbentang luas di alam semesta; lautan dan samudra yang luas, binatang yang tidak terhitung jumlahnya, bahkan perangkat-perangkat dalam tubuh manusia sendiri, seperti darah, DNA, dan otak, yang kesemuanya merupakan bukti keMahabesaran-Nya. Allah berfirman: Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (QS. al-„Ankabut [29]: 61) Pesan inti ayat ini terletak pada kalimat yang artinya: Siapakah Pencipta lingkungan (alam semesta)? Jawabannya adalah Allah. Penggunaan gaya retorik pada ayat ini memiliki makna bahwa kebenaran pesan yang disampaikan oleh komunikator tidak terbantahkan oleh komunikan. Ini, karena komunikan
150
sesungguhnya sudah tahu dan tidak dapat membantah akan kebenaran pesan yang diterimanya, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang menciptakan lingkungan dengan sangat teratur dan harmonis..132 Keteraturan dan keharmonisan lingkungan ini memberikan sinyalemen, bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan lingkungan agar tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah. Pada prinsipnya, landasan pemeliharaan lingkungan bermuara pada prinsip dasar kehidupan manusia, yaitu menyangkut menjaga agama (hifz al-dîn). Lingkungan menjadi kata kunci dalam membangun tatanan masyarakat yang religius. Betapa tidak, keyakinan terhadap pencipta harus dimulai dari pengenalan terhadap alam semesta.133 Itulah mengapa yang melakukan perusakan terhadap alam berarti melakukan pengingkaran terhadap Tuhan, yang dalam terminologi tauhid disebut „kafir‟ atau yang dalam konteks ekologi sebagai kufur ekologis. Sebaliknya, memelihara kelestarian alam adalah maslahat, sebagai wujud dari iman, dan orang yang melakukannya di sebut mukmin. Dengan ungkapan lain bahwa, “tidak sempurna iman seseorang, jika orang tersebut tidak memelihara lingkungan.” Ungkapan ini didasarkan pada firman-Nya: ….” “….dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betulbetul kamu orang-orang yang beriman". (QS. al-A‟raf [7]: 85) Sepenggal ayat di atas berbentuk kalimat bersyarat terbalik, yakni terdiri dari kalimat syarat berupa: “Jika memang kamu beriman” dan kalimat jawabnya 132 133
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 11, h. 501-502 Abrar, Islam dan Lingkungan, h. 23
151
berupa: “Janganlah merusak lingkungan”. Oleh karena itu dapat dimaknai bahwa salah satu syarat untuk melengkapi unsur keberimanan seseorang adalah harus peduli terhadap lingkungan.134 Dengan ungkapan lain peduli lingkungan merupakan sebagian dari iman (islâh al-bî‟ah min al-îmân). Ungkapan ini dirumuskan untuk mendampingi ungkapan sejenis yang lebih dahulu populer yaitu al-nazâfah min al-îman (kebersihan adalah sebagian dari iman). Sebagai implikasi dari paham teologi di atas dapat dikembangkan satu pilar hukum lingkungan bahwa memelihara lingkungan hukumnya wajib, fardu „ain. Artinya, semua manusia yang sudah dibebani oleh aturan syariat, wajib memelihara lingkungan sebagai wujud dari pemeliharaan terhadap agama. Pemeliharaan ini tidak hanya memelihara akidahnya saja, tetapi juga pelaksanaan yang menjadi rukun Islam pun adalah kewajiban, seperti shalat.135 Nabi bersabda:
ِ َ ََن النَِِّب صلَّى اهلل علَي ِو وسلَّم ق ِ ِ ِ الر ْع َب َم ِس َرية ُّ ِت ب ُ نُص ْر:َح ٌد قَ ْبلي ُ ال أ ُْعط َ يت َخَْ ًسا ََلْ يُ ْعطَ ُه َّن أ َ َ َ ْ َ ُ َ َّ َّ أ ِ ِ ت َّ ُ فَأَُُّّيَا َر ُج ٍل ِم ْن أ َُّم ِِت أ َْد َرَكْتو،ض َم ْس ِج ًدا َوطَ ُه ًورا ْ َّ َوأُحل،ص ّْل ْ َ َو ُجعل،َش ْه ٍر ُ ت ِِل اْل َْر َ ُالصَلَةُ فَ ْلي ِ ٍ ِِل املغ ِاِن وََل ََِت َّل ِْل ِ َّ ث إِ ََل قَوِم ِو خ ِ ت َّ يت ُ َِّب يُْب َع ُّ ِ َوَكا َن الن،َاعة َ الش َف ُ ْاصةً َوبُعث ُ َوأ ُْعط،َحد قَ ْبلي َ ْ ْ َ ُ ََ َ 136 ِ إِ ََل الن )َّاس َع َّامةً (رواه البخاري عن جابر بن عبد اهلل Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Saya diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun dari para Nabi yang datang sebelumku, yaitu: (1) saya dimenangkan Allah dengan menggetarkan hati musuhmusuhku sejauh sebulan perjalanan (2) Bumi dijadikan bagiku (dan bagi umatku) sebagai suatu tempat shalat (masjid) dan sebagai sarana bersuci. Karena itu siapapun di antara umatku di mana saja berada sewaktu saat shalat tiba padanya, bisa melakukan shalat di atasnya; (3) dihalalkan bagiku harta rampasan perang; (4) Setiap nabi diutus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia, dan (5) 134
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, h. 137 Tim Kemenag RI, Maqasid al-Syarî‟ah: Memahami Tujuan Utama Syariah, (Jakarta: lajnah Pentashihan al-Quran, 2013), h. 182 136 Lihat Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahîh al-Bukhari, juz 1, h. 74, no. hadis 335, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 135
152
diberikan Allah kepadaku syafaat (pertolongan dan perlindungan) (HR. Bukhari dari Jabir bin Abdillah) Inti dari pada hadis di atas terletak pada point kedua yaitu fungsi bumi sebagai sarana melaksanakan perintah Tuhan.
Ibadah shalat misalnya,
memerlukan perangkat, sarana, dan prasarana untuk melaksanakannya. Kebutuhan air misalnya, sebagai bagian penting dalam melaksanakan shalat, yaitu untuk mandi dan berwudlu.137 Ini artinya memelihara air agar tetap bersih dan suci merupakan kewajiban setiap orang beriman. Sementara jika tidak didapati air, dapat diganti dengan tanah (tayamum). Keberadaan tanah pun demikian, harus suci. Tanah yang kotor atau tercemari oleh sampah atau bahan pencemar lainnya, tentu tidak layak dijadikan sebagai sarana bersuci (tayamum). Singkatnya, Lingkungan yang bersih sebagai sarana untuk menjalankan shalat merupakan salah satu faktor yang menentukan sah atau tidaknya sholat seseorang. Apabila lingkungan tercemari, baik berupa air/tanah untuk berwudhu‟/bertayamum atau tempat untuk melaksanakan shalat kotor dan sebagainya, maka secara otomatis pemeliharaan terhadap agama pun terabaikan Misalnya lagi ibadah zakat. Para petani mengeluarkan zakat jika berhasil memanen hasil pertaniannya. Sementara untuk menghasilkan panen yang berkualitas, petani memerlukan air secara konsisten untuk mengairi lahan-lahan pertaniannya. Ini artinya, memelihara air dan sumber-sumbernya menjadi sebuah keniscayaan. Dengan ungkapan lain, keberadaan lingkungan menjadi pra syarat pemeliharaan agama. Dalam ushul fiqih terdapat kaidah زى انٕاجت اِل ثّ فٕٓ ٔاجتٚ يب ِل 137
Air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah air mutlak, yaitu air yang secara hukum suci mensucikan. Artinya, ia suci pada dirinya dan mensucikan pada yang lainnya. Lihat Sayyed Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 1, h. 29
153
(sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia juga menjadi wajib). Ini artinya memelihara lingkungan adalah wajib dalam rangka memelihara agama.
2. Lingkungan sebagai Basis Kelangsungan Hidup Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia sebagai khalifah Allah di bumi telah diberikan lisensi untuk mengelola alam dan memanfaatkannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan, dari yang profan seperti pemenuhan hajat hidup, sampai yang sakral seperti menjadi media untuk beribadah kepada sang Pencipta. Semua telah didesain Tuhan, lengkap dengan manfaat dan kegunaannya, demi keberlangsungan hidup manusia. Namun, yang perlu digarisbawahi bahwa, dalam mengelola alam dan memanfaatkannya, manusia tidak boleh melampaui batas, karena alam memiliki batas tertentu. Allah berfirman: Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka. (QS. al-Ahqâf [46]: 3) Pesan inti ayat ini terletak pada kalimat yang artinya: Allah menciptakan alam semesta dalam batas tertentu. Kebanyakan para mufasir tidak terkecuali M. Quraish Shihab, memahami ayat ini dalam arti kefanaan alam dunia.138 Ini artinya alam semesta yang diciptakan Tuhan akan punah pada waktu tertentu. Sementara 138
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 12, h. 386
154
punah dalam konteks ekologi, artinya sumber daya alam yang Allah sediakan memiliki batas tertentu.139 Keterbatasan ini memberikan sinyalemen kepada manusia untuk tidak mengeksploitasi alam dan lingkungan secara berlebihan, yang pada gilirannya akan mengancam keselamatan jiwa manusia. Dengan ungkapan lain memelihara lingkungan berarti memelihara jiwa manusia ( انًحبفظخ )ػهٗ انُفظ. Secara konseptual, memelihara jiwa dirumuskan berdasarkan nas al-Qurân surat al-Baqarah [2]: 179 tentang qisâs: “Dan dalam qisâs itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang berakal”. Memelihara jiwa ini kemudian menjadi salah satu prinsip dalam mewujudkan maslahat. Prinsip ini tidak terbatas lagi keberlakuannya dalam masalah qisâs saja, tetapi juga masalahmasalah lain, bahkan berlaku secara umum, untuk seluruh masalah.140 Termasuk dalam
prinsip
ini
ialah
memelihara
jiwa
dengan
memenuhi
seluruh
keperluan/kebutuhan hidup, terutama kebutuhan dasar, seperti terpenuhinya kebutuhan air, udara, dan kebutuhan pangan. Selain faktor keterpenuhan, faktor kualitas juga sangat dibutuhkan. Air, udara, dan pangan yang tercemar juga akan
139
Dalam perspektif ekologi, sumber daya alam (energi) ada dua macam, yaitu energi yang terbaharui dan tak terbaharui. Keyakinan akan keterbatasan energi tak terbaharui lebih mudah dipahami oleh semua pihak. Sebab, kenyataan menunjukkan bahwa minyak bumi, batu bara, dan mineral adalah habis terpakai. Padahal terbentuknya minyak bumi, batu bara perlu waktu lama, tidak cukup seusia manusia. Sebaliknya, keyakinan akan keterbatasan energi terbaharui lebih sulit dipahami oleh semua pihak, bahkan cenderung ditolak. Karena kenyataan menunjukkan bahwa energi terbaharui semisal flora, fauna, air, angin surya dapat terpulihkan secara alami sehabis dipakai. Hanya saja, jika dieksploitasi secara berlebihan berakibat terjadinya kelangkaan, bahkan berpeluang terjadi kepunahan. Dengan ungkapan lain, dapat dipertegas bahwa energi terbaharui sesungguhnya juga terbatas. Untuk itu manusia harus lebih efisien dan hemat dalam memanfaatkan sumber daya alam. Lihat Irawan dan M. Suparmoko, Ekonomika Pembangunnan, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1997), h. 114-115 140 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: al-Ma‟arif, 1997), h. 344-347
155
berakibat pada terganggunya kesehatan.141 Gangguan kesehatan dapat secara langsung, mengancam keselamatan jiwa. Jadi, dalam perspektif lingkungan, manusia harus memperoleh air, udara, dan pangan dalam jumlah cukup dan kualitas yang baik (tidak tercemar). Apabila kebutuhan dasar tersebut tidak terpenuhi, baik secara kualitas maupun kuantitas, maka kehidupan itu sendiri akan terancam eksistensinya, terganggu kesehatannya dan terabaikan tugas-tugas kehidupannya. Allah berfirman:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolaholah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.(QS. al-Maidah [5]: 32) Pada ayat di atas ungkapannya sangat tegas, yaitu hubungan antara kerusakan dan pembunuhan. Pembunuhan adakalanya langsung dan tidak langsung. Pembunuhan langsung dapat terjadi karena persaingan, pertengkaran, permusuhan. Sementara pembunuhan tidak langsung adalah dengan merusak sumber-sumber kehidupan, baik berkaitan dengan air, udara, maupun dengan pangan, sehingga manusia atau makhluk hidup apa pun akan mengalami
141
Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bi‟ah fî Syari‟at al-Islâm, h. 109
156
kekeringan, kelaparan, kehausan, bahkan kematian.142 Untuk itu, melakukan kerusakan terhadap lingkungan dilarang secara mutlak, karena akibatnya akan mencelakakan apa pun dan siapa pun. Singkatnya, seluruh unsur alam/lingkungan (pendukung kehidupan), bukan hanya air, udara, pangan, tetapi juga unsur lingkungan lainnya, semuanya terlarang merusaknya dan mengganggu fungsinya, sehingga tidak bisa mencapai tujuan penciptaannya. Bahkan, dari sudut hukum Islam, larangan itu bukan hanya bersifat represif, dalam arti setelah terjadi kerusakan baru diberi sanksi, tetapi jauh sebelumnya sudah harus dilakukan tindakan preventif atau mencegah sebelum terjadinya kerusakan. Metodologi penetapan hukum Islam yang bertujuan mencegah sebelum terjadinya kerusakan dalam ushul fiqh, dikenal dengan istilah sadd al-dzarî‟ah.143 Sadd al-dzarî‟ah diartikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap satu kasus hukum yang pada dasarnya mubah. AlSyaukani menjelaskan, bahwa (sadd) al-dzarî‟ah adalah sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun akan membawa kepada perbuatan yang terlarang.144 Berikut contoh penerapan metode ini dalam kasus lingkungan:
142
Tim Kemenag, Maqâsid al-Syarî‟ah: Memahami Tujuan Utama Syariah, (Jakarta: Lajnah Pentashihan al-Quran, 2013), h. 183 143 Secara etimologi al-dzarî‟ah berarti al-wasîlah. Secara terminologi, ulama mendefinisikan al-dzarî‟ah sebagai jalan yang menyampaikan kepada sesuatu, atau jalan yang menyampaikan atau membawa kepada keharusan atau kehalalan. Dari definisi ini, ulama membagi al-dzarî‟ah itu kepada kedua bentuk, yaitu fath al-dzarî‟ah dan sadd al-dzarî‟ah. Fath al-dzarî‟ah artinya membuka jalan atau wadah yang dapat membawa kepada suatu kemaslahatan. Sedangkan sadd al-dzarî‟ah adalah menutup atau menghambat jalan atau wadah yang dapat diduga membawa kepada kerusakan atau mafsadat. Lihat Wahbah Zuhaili, al-Wasît fi Usûl al-Fiqh al-Islamî, (t.tp: al-Maktabah al-Islamiyyah, 1965), h. 423. Lihat juga Ibn Qayyim al-Jauziyah, I‟lam alMuwaqqi‟in „an rabb al-„Alamîn, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiah, 1996), h. 141 144 Lihat al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min „Ilmi al-Usul, (t.tp: Maktabah Ahmad bin Sa‟ad Ibn Nabhan, t.th), h. 246
157
Pertama, contoh kasus kerusakan hutan akibat penebangan yang melampuai batas. Dari sudut ekologi/lingkungan, kerusakan hutan dapat berakibat hidrologi, erosi tanah, kepunahan jenis, pemanasan global, dan lubang ozon. Melihat akibatnya yang demikian besar, maka dipandang dari sudut syariat/hukum Islam, dapat dianalisis dari tiga pola (pendekatan/metodologi), yaitu: pola bayani, yaitu memberikan penjelasan terhadap nas, karena masalah yang dibahas telah ada nas-nya. Dalam contoh di atas terlihat, bahwa larangannya sangat tegas yaitu haram hukumnya merusak hutan, berdasarkan ayat:
األسضِٙلرفغذٔا ف, larangan
merusak di sini berlaku umum, tidak khusus merusak hutan. Oleh karena itu, perlu digunakan pola kedua yaitu pendekatan/metode ta‟lîl. Metode ini digunakan dengan memperhatikan „illah hukum yang terdapat dalam nas, baik yang mansûsah maupun yang mustanbatah. Seperti telah diuraikan terdahulu, pada kasus himâ, yang dilakukan oleh Nabi saw., adalah upaya nabi untuk mengadakan cagar alam dengan maksud untuk melindungi air dan padang rumput sebagai pakan kuda kaum muslimin.145 Yang dicagar (dilindungi) dalam hadis adalah rumput dan air. di sini terlihat, bahwa „illat-nya adalah melindungi binatang, dengan cara melindungi rumput dan sumber air. Kebijakan ini dilanjutkan oleh para sahabat. Pada waktu pemerintahan Umar ibn al-Khattab, ia membuat himâ untuk penggembalaan hewan ternak (tidak hanya kuda) masyarakat. Dalam hadis disebutkan larangan khalifah Umar kepada keluarga khalifah, yang menggembalakan ternaknya di himâ, ditunjukkan pada
ُ فَمُ ْه:ٌ ِم " لَب َل َح ًَّبدْٛ َ َغ نِ ْهخِٛ ِّ َٔ َعهَّ َى َح ًَٗ انَُّمْٛ َصهَّٗ َّللاُ َػه ِمْٛ " َِل نِ َخ:هِ ِّ؟ َلب َلْٛ َ نِخ:َُّذ ن َ ٙ َّ ِ " أَ ٌَّ انَُّج:َػ ٍِ ا ْث ٍِ ُػ ًَ َش ًٍَِٛ ِ ْان ًُ ْغهLihat Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, juz 10, h. 476, no. hadis 6438, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 145
158
hadis yang berkaitan dengan kasus Abdullah bin Umar. Dalam hadis itu disebutkan, bahwa Abdullah membeli sapi/unta yang kurus, kemudian menggembalakannya di himâ, lalu gemuk, kemudian dijual di pasar. Melihat hewan itu, khalifah Umar bertanya siapa pemiliknya dan bagaimana ia memelihara hewannya sehingga menjadi gemuk. Setelah Abdullah (pemilik hewan) menjelaskan seluruh permasalahannya, khalifah Umar lalu berkata: jual hewannya, ambil modalmu, dan sisanya masukkan ke Bait al-Mal.146 Kasus ini menunjukkan sikap tegas seorang khalifah terhadap larangan menggembala di himâ bagi keluarga khalifah. Pada hadis yang lain, Umar meminta kepada penjaga himâ, agar mengambil tali dan kampak yang digunakan oleh orang yang akan menebang pohon di dalam himâ. Ini artinya, larangan keras menebang pohon yang berada dalam kawasan himâ.147 Dari kasus-kasus di atas terlihat, bahwa prinsip-prinsip dasar tentang perlindungan sumberdaya lingkungan sudah dilakukan dalam praktek sejak zaman Nabi saw. kemudian dilanjutkan oleh para khalifah pengganti beliau. Sumberdaya lingkungan yang dilindungi mula-mula hanya air dan rumput, kemudian berkembang
menjadi
tanam-tanaman
dan
pohon-pohonan
atau
hutan.
Peruntukannya juga berkembang, mulai untuk kepentingan khusus yaitu kuda ْ ًُِ فَهَ ًَّب َع،ًَٗ ْذ إِثِ ًال َٔأَ َْ َج ْؼزَُٓب إِنَٗ ْان ِح ُ َذ لَ ِذ ْي ُ ٚ ا ْْزَ َش:لَب َل َػ ْج ُذ َّللاِ ثٍُْ ُػ ًَ َش ة ِ فَ َذ َخ َم ُػ ًَ ُش ثٍُْ ْانخَطَّب: لَب َل،ذ ثَِٓب ُ ْ ً ِق فَ َشأَٖ إِث ً َ َ َ َ ْ ُ ُ ْ ْ ْ خ ث ش ً ػ ث َّللا ذ ج ػ ب ٚ " :ُ ل ٕ م ٚ م ؼ ج ف : ل ب ل ، ش ً ػ ٍ ث َّللا ذ ج ؼ ن : م ٛ ل " ُ؟ م ث اْل ِ ز ْ ٍ ً ن " : ل ب م ف ب َ ب ً ع ال ٍَْ َ َ َ َ ُّٕ َّللاُ َػ ُُّْ انغَٙ ظ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َس َ َ َ َ ِ ِِ ٍ َ ُ لُ ْه:اْلثِمُ؟ " لَب َل ُ فَ ِج ْئزُُّ أَ ْع َؼٗ فَمُ ْه: لَب َل، ٍَُِٛش ْان ًُ ْؤ ِيٛ زَُٓبْٚ عب ُء ا ْْزَ َش ي أ ث ا خ َ َ َيب ن:ذ ٍَْ َ َْ َ إِثِ ٌم أ:ذ ِ ِ ْ ِِ " َيب َْ ِز:ٍَ ؟ لَب َلُِٛ َش ْان ًُ ْؤ ِيَٛب أَ ِيٚ ك ِ ٍ َث ُ ََُٔثَ َؼ َب َػ ْج َذٚ ٍَُِٛش ْان ًُ ْؤ ِيٛ ِ ا ْعمُٕا إِثِ َم ا ْث ٍِ أَ ِي، ٍَُِٛش ْان ًُ ْؤ ِيٛ ِ " اسْ ػَْٕ ا إِثِ َم اث ٍِ أَ ِي: فَمَب َل: لَب َل، ًٌَُٕ ِ ْان ًُ ْغهَٙ ْجزَ ِغٚ َيبٙذ ثَِٓب إِنَٗ ْان ِح ًَٗ أَ ْثزَ ِغ ْ ًٍَِٛ ِذ َيب ِل ْان ًُ ْغه َ ِط َيبن ِ ْٛ َ ثَُِّٙ فِٛك َٔاجْ َؼمْ ثَبل ِ َّللاِ ثٍَْ ُػ ًَ َش ا َْ ُذ َػهَٗ َسأLihat Ahmad bin Husen bi Ali bin Musa alKhurasani al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubrâ, juz 6, h. 243, no. hadis 11811, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 147 Lihat Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad alSyaibani, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, juz 8, h. 69 no. hadis 865, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 146
159
kaum Muslimin, kemudian untuk kepentingan hewan ternak secara keseluruhan. Dan terakhir –pada kasus larangan menebang pohon/hutan –tidak disebutkan lagi untuk apa. Mempertahankan hutan, menurut penelitian ilmiah, memang bukan hanya untuk satu tujuan atau kepentingan, tetapi untuk banyak kepentingan. Kemungkinan, itulah sebabnya Umar tidak menyebut untuk apa ia melarang menebang pohon/hutan. Karena ternyata kemudian, bahwa hutan memang sangat penting untuk dipelihara dan dilindungi. Pola ta‟lîl juga digunakan ketika memahami 10 wasiat Abu bakar kepada salah seorang komandan pasukan yang akan berangkat ke medan perang. Dua di antara wasiat itu adalah jangan memotong pohon yang sedang berbuah, dan jangan membakar pohon kurma atau menenggelamkannya (memusnahkannya).148 Dari hadis ini dapat dipahami, bahwa larangan menebang pohon yang sedang berbuah dan atau memusnahkan pohon (kebun) kurma, tetap berlaku dan harus dijunjung tinggi oleh kaum Muslim, sekalipun dalam keadaaan perang. Penyebutan pohon yang sedang berbuah dan pohon kurma, dalam hadis ini, dapat dianalogikan kepada hutan. Sedangkan keadaan perang, juga menjadi analogi (qiyas aulawi) terhadap keadaan normal. Jika dalam keadaan perang saja, memusnahkan hutan tidak dibolehkan, terlebih lagi bila dalam keadaan normal. Pola ketiga yang dapat digunakan adalah pola istislahi, dalam hal ini metode dzari‟ah. Dzari‟ah terbagi dua yaitu fath al-dzarî‟ah dan sadd al-dzarî‟ah. Termasuk fath al-dzarî‟ah dalam pengelolaan hutan, antara lain adalah penghijauan, reboisasi, eco-lebelling (lebel ramah lingkungan), dan penyediaan َ َِٔل، َِٔلَ رُ َخشِّ ثَ ٍَّ ػَب ِيشًا، َِٔلَ رَ ْمطَ َؼ ٍَّ َْ َج ًشا ُي ُْ ًِشًا،شًا ْ َِش ًيبِٛ َِٔلَ َكج،ًّبٛص ِج َ ٛص َ َ َِٔل،ً ِلَ رَ ْمزُهَ ٍَّ ا ْي َشأَح:ك ثِ َؼ ْش ٍش ِ ٕ ُيََِِّٙٔإ ٍُْ َِٔلَ رَجْ ج, ْ َِٔلَ رَ ْغهُم،ََُّّ َِٔلَ رُ َغ ِّشلَ ٍَّ ََحْ الً َِٔلَ رَحْ ِشل، إِِلَّ نِ ًَأْ َكهَ ٍخ،شًاٛ َِٔلَ ثَ ِؼ،ً رَ ْؼمِ َش ٌَّ َْبحLihat Malik bin Anas, Muwatta‟ al-Imam Malik, (t.tp: Muassasah al-Risalah, 1412 H), juz 1, h. 358 148
160
perangkat aturan kehutanan. Sedangkan sad al-dzarî‟ah, termasuk di antaranya adalah ladang berpindah, pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) dan perangkat aturan kehutanan. Jalan pikiran yang dikembangkan pada metodologi fath dan sad aldzarî‟ah adalah membuka seluruh jalan yang akan mengarah kepada kebaikan dan perbaikan hutan, serta mencegah seluruh kegiatan yang akan mengarah kepada kerusakan atau pengrusakan hutan. Reboisasi dan penghijauan, misalnya, dapat menjadi upaya ke arah perbaikan hutan, dan akan memelihara serta mempertahankan keberadaan dan kemanfaatannya. Demikian juga eco-lebelling terhadap komoditas hutan dan produk-produk hutan lainnya, yang dimaksudkan sebagai upaya untuk memperhatikan aspek lingkungan dalam pemanfaatan hutan. Sebaliknya, kegiatan ladang berpindah dan pemberian HPH, pada dasarnya hukumnya boleh (mubah), tetapi kebolehan di sini dibatasi sepanjang tidak menimbulkan kerusakan pada hutan. Namun dalam kenyataannya, sebagian besar kegiatan perladangan berpindah dan HPH, merusak hutan. Dan karena itu kegiatan ini harus dilarang, berdasarkan sad al-dzarî‟ah. Pertanyaannya kemudian adalah apabila HPH dilarang, maka itu berarti melarang pembangunan, karena HPH adalah bagian penting dari usaha pembangunan. Jawabannya, HPH tidak dilarang, yang dilarang adalah merusak hutan atau menyebabkan kerusakannya. Pembangunan memang perlu, karena itu akan mendatangkan maslahat. Tetapi merusak hutan juga dilarang karena itu mendatangkan mafsadat. Bila maslahat dan mafsadat bertemu, maka menurut kaidah fikih, menghindari mafsadat lebih didahulukan ketimbang menarik
161
manfaat. Itu berarti bahwa, HPH jika menimbulkan mafsadat harus dihentikan. Hal ini berlaku kaidah ( دسء انًفبعذ يمذو ػهٗ جهت انًُبفغmenolak kerusakan lebih didahulukan daripada menarik kemanfaatan). Kedua, contok kasus pencemaran. Penyebab utama pencemaran (udara) adalah pembakaran bahan bakar fosil (BBF) melalui transportasi dan asap pabrik/industri. Hal ini dapat mengakibatkan pencemaran udara, menaikkan kadar gas rumah kaca (GRK) dan hujan asam, dengan seluruh implikasinya. Sedang pencemaran air/tanah, terutama berasal dari limbah pabrik, limbah, rumah tangga, dan limbah pertanian. Hal ini dapat berakibat terhadap pencemaran air/tanah, sungai dan laut, dengan seluruh implikasinya. Bila ditinjau dari segi syariat dengan menggunakan ketiga pola yang telah disebutkan, maka uraiannya dapat dilihat sebagai berikut: tahap pertama, pola bayani. Pola ini menghendaki interpretasi nas yang menunjuk perintah atau larangan terhadap pencemaran. Secara umum, pencemaran masuk ke dalam kategori mafsadat, yang dilarang oleh ayat األسضِٙلرفغذٔا ف, dengan pengertian, bahwa pada tingkat tertentu pencemaran itu dapat menghancurkan sistem kehidupan, dan karenanya harus dicegah atau dikendalikan. Pada tahap kedua, pola ta‟lîl, hadis-hadis yang telah dikemukakan terdahulu, dapat dianalisis kembali dengan melihat „illat hukum yang dikandungnya, baik yang mansûsah maupun yang mustanbatah, mengenai larangan mencemari tanah (sampah), udara, air (sungai dan laut). Tentang sampah ditunjuk oleh hadis dengan pernyataan: “Allah berterima kasih kepada orang yang menyingkirkan pohon yang menghalangi jalan, dan
162
memasukan orang itu ke dalam surga.”149 Dalam ushul fiqh, sighat seperti ini biasanya digunakan oleh nas dalam memerintahkan sesuatu, yaitu menyebut perbuatan itu baik sambil menjanjikan pahala atau surga. Jadi sesungguhnya ini termasuk sighat amr, yang memfaedahkan wajib.150 Sedang pada hadis kedua, disebutkan bahwa “menyingkirkan duri di jalan adalah sadaqah”.151 Ini jelas memperkuat kesimpulan sebelumnya tentang posisi perbuatan membuang sampah dari jalanan itu sebagai suatu amr. Hanya saja, amr-nya di sini tidak memfaedahkan wajib, tetapi sunnat, karena ada qarinah (petunjuk) dalam nas yaitu kata sadaqah, dan sadaqah hukumnya sunnah. Walaupun sunnat tetapi sangat diutamakan, karena pada hadis lain, membuang sampah itu dimasukkan pada salah satu cabang dari iman. Iman itu banyak cabangnya, yang paling atas adalah kalimat tauhid, dan yang paling bawah adalah membuang sampah dari jalanan.152 Sekalipun posisinya disebut paling bawah, tetapi tetap dalam kotak iman, sedang posisi iman dalam Islam sangatlah penting, karena menjadi pondasi dari Islam itu sendiri.
ْ َ " كَب: ِّ َٔ َعهَّ َى لَب َلْٛ َصهَّٗ َّللاُ َػه ٍِ فَمَطَ َؼَٓب َس ُج ٌم فََُحَّبَْب َػ،كٚ َ ِّٙ ِ َػ ٍِ انَُّج،َ َشحْٚ ُْ َشِٙػ ٍَْ أَث ِ َذ َْ َج َشحٌ رُ ْؤ ِر٘ أَ ْْ َم انطَّ ِش َّ فَأ ُ ْد ِخ َم ثَِٓب ْان َجَُّ َخ،كٚ ش انط Lihat Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad alِ ِ Syaibani, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, juz 13, h. 407, no. hadis 8039, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 150 Abdul Wahab Khallaf, „Ilmu Usul al-Fiqh, h. 113 151 ْ َْٕ ٍو رٚ ُك َّم،ٌص َذلَخ ٍُِٙ ان َّش ُج َم فٛ َٔرُ ِؼ،ٌص َذلَخ َ ٍِ ْٛ ٍََُْ ِاِل ْثَٛ «رَ ْؼ ِذ ُل ث: ِّ ان َّش ًْظُ » لَب َلَِٛطهُ ُغ ف َ ِّ ْٛ َبط َػه ِ َُُّكمُّ ع َُال َيٗ ِيٍَ ان ْ َّ ْ ُػًِٛ ُ َٔر،ٌص َذلَخ ٌ ٌ ُ ُ َ َٓب إِنَٗ انص ََّال ِحٛ َٔ ُكمُّ ُخط َٕ ٍح رَ ًْ ِش،ص َذلَخ َ ِّجَخٛ « َٔان َكهِ ًَخ انط:ص َذلَخ» لَب َل َ َُّٓب َيزَب َػْٛ َ أَْٔ رَشْ فَ ُغ نَُّ َػه،َٓبْٛ َدَاثَّزِ ِّ فَزَحْ ًِهُُّ َػه ٌص َذلَخ َ كٚ ِ ْاألَ َرٖ َػ ٍِ انطَّ ِشLihat Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahîh Muslim, juz 2, h. 669, no. hadis 56, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 152 ً ، ُْ ْؼجَخ- ٌَُّٕ أَْٔ ثِعْ ٌغ َٔ ِعز- ٌَٕ ًَبٌُ ثِعْ ٌغ َٔ َع ْج ُؼٚاْل َ ِ لَب َل َسعُٕ ُل َّللا: لَب َل،َ َشحْٚ ُْ َشِٙػ ٍَْ أَث ِ ْ « : ِّ َٔ َعهَّ َىْٛ َصهَّٗ َّللاُ َػه َّ َ َ َ ُ ْ ِْ ٍَب ُء ُْ ْؼجَخٌ ِيَٛ َٔ ْان َح،كٚ ْ ُ َّ َ َ َ َ َ ْ َ ٌِ ًَبٚاْل ش انط ٍ ػ ٖ ر األ خ غ ب ي إ َب ْ َب َ د أ ٔ ، َّللا ِل إ ّ ن إ ِل ل ل ب ٓ ه ع ف أ ف Lihat Muslim bin al-Hajjaj Abu ُ َ ْٕ ُ َ َ َ َِ ِ َ ِ ِ ِ ِ al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahîh Muslim, juz 1, h. 63, no. hadis 58, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 149
163
Tentang pencemaran udara, dalam hadis diisyaratkan oleh larangan Nabi saw. buang air besar di bawah pohon berbuah, atau di tempat perteduhan.153 Dikatakan demikian karena buang air besar akan menghasilkan berak atau tinja, yang akan menimbulkan bau busuk di tempat itu dan sekitarnya. Ini berarti yang bersangkutan telah membuat dua kesalahan, yaitu membuat udara menjadi tercemar (bau busuk), dan membuat orang yang ada di situ terganggu oleh pencemaran itu. Artinya, ia menzalimi orang lain dan menzalimi udara itu sendiri. Tentang pencemaran air, dalam hadis disebut beberapa kali tentang larangan Nabi saw. buang air di air yang tergenang,154 dan larangan buang air di air yang mengalir.155 Larangan ini jelas menunjuk pada tingkat tidak bolehnya mengotori badan-badan air, baik yang tergenang seperti rawa, waduk, dan danau maupun yang mengalir seperti sungai dan laut. Dalam hadis-hadis ini, yang disebut oleh Nabi adalah buang air (berak) dan tidak menyebutkan limbah atau bahan buangan beracun, ini dapat dimengerti karena pada zaman Nabi saw., bahan buangan beracun atau limbah itu belum banyak ditemukan dan belum menjadi masalah dalam realitas sosial masyarakat. Tetapi penyebutan berak dalam hadis di atas dapat dimengerti karena kotoran yang paling tinggi posisinya, pada waktu itu, mungkin adalah berak.156 Di samping itu, berak sangat dekat dengan kehidupan manusia sehari-hari, jadi, sangat mudah dikenal. Dengan alasan („illah) sama:َب َسعُٕ َل َّللاِ؟ لَب َلٚ ٌِ َٔ َيب انهَّؼَّبََب: ٍِْ» لَبنُٕاََٛ «ارَّمُٕا انهَّؼَّب: ِّ َٔ َعهَّ َى لَب َلْٛ َصهَّٗ َّللاُ َػه َ ِ أَ ٌَّ َسعُٕ َل َّللا،َ َشحْٚ ُْ َشِٙػ ٍَْ أَث َّ َّ َّ َ َ ِظهِّ ِٓ ْىِٙ أَْٔ ف،بط ُ ان كٚ ش غ ٙ ف ٗ َه خ ز ٚ ٘ ز ان « Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, َ ِ ِ ِ ِ ِ Sahîh Muslim, juz 1, h. 226, no. hadis 68, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 154 َِّٛ ْغز َِغ ُم فٚ ثُ َّى،َ٘جْ ِشٚ َ ان ًَب ِء ان َّذائِ ِى انَّ ِز٘ ِلَِٙجُٕنَ ٍَّ أَ َح ُذ ُك ْى فٚ َ ِلLihat Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahîh al-Bukhari, juz 1, h. 57, no. hadis 239, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 155 ِّ ِّ َٔانظم،كٚ ِ بس َػ ِخ انطَّ ِش ِ َ َٔل،اس ِد ِ َٕ ًَ ْانٙ ْانجَ َشا َص ِف:َ ارَّمُٕا ْان ًَ َال ِػٍَ انَُّ َالثَخLihat Abu Daud Sulaiman bin alAsy‟ats bin Ishaq bin Basyir al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 1, h. 7, no. hadis 26, dalam CDRoom Maktabah Syamilah 156 Sayyed Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid 1, h. 34-35 153
164
sama dapat mencemari lingkungan (air, tanah, udara), maka analogi (qiyas) berak kepada bahan buangan beracun dewasa ini, menjadi sangat logis. Dan karena itu, membuang bahan buangan beracun sama hukumnya dengan membuang air besar di tempat-tempat itu, yaitu terlarang (haram). Larangan mencemari lingkungan ini akan lebih jelas lagi bila dianalisis dari pola istislahi, khususnya dengan menggunakan metode dzarî‟ah. Untuk mencegah terjadinya pencemaran, maka seluruh upaya yang (akan) menuju kepada terhindarnya dan atau berkurangnya pencemaran, termasuk kategori fath al-dzarî‟ah. Buang air di kakus (WC), penggunaan bensin tanpa timbal, efisiensi penggunaan energi, buang sampah pada tempatnya, daur ulang sampah, pembersihan limbah pabrik (sebelum dibuang ke lingkungan), dan sebagainya, merupakan tindakan yang dapat membantu ke arah terwujudnya lingkungan yang bersih dari pencemaran. Sebaliknya, menutup seluruh jalan menuju ke arah terjadinya pencemaran lingkungan, adalah perintah dan karena itu, terlarang membukanya. Beberapa contoh berikut merupakan perbuatan yang pada dasarnya mubah (boleh), tetapi karena pertimbangan menghindari mudarrah, maka dilarang. Tindakan-tindakan itu antara lain adalah: menggunakan pestisida di luar batas, menggunakan mobil yang tidak layak lingkungan, menyetujui perindustrian (rumah tangga atau pabrik besar) yang tidak lolos AMDAL (diketahui atau diduga kuat dapat menimbulkan pencemaran), dan sebagainya. Larangan-larangan ini bertujuan untuk menghindari mafsadah yang ditimbulkan darinya yang membahayakan orang lain, bahkan seluruh makhluk hidup yang ada.
165
Demikian dua contoh penetapan hukum Islam mengenai lingkungan hidup yang menjadikan aspek maslahah sebagai basis metodologinya. Segala tindakan yang berkaitan dengan lingkungan apabila mendatangkan maslahah (kebaikan) bagi kehidupan manusia secara keseluruhan, maka hal itu dibolehkan, bahkan diwajibkan. Namun, jika tindakan tersebut justru menimbulkan mafsadah (kerusakan) maka hal itu dilarang, karena akan membahayakan dan mengancam kehidupan itu sendiri. Itulah sebabnya, segala aktivitas yang akan mengancam kehidupan manusia masuk dalam peringkat darûriyyâh dalam hirarki maqasîd alsyarî‟ah.
3. Hukuman Setimpal bagi Pelaku Pelanggaran Lingkungan Ada yang menengarai di negeri ini, penguasa, pembuat hukum dan penegaknya terjebak dalam banalitas.157 Hal ini dapat dilihat misalnya kasus penebangan liar (illegal loging),158 yang pelakunya melibatkan oknum petugas/pejabat kehutanan, bea cukai, kepolisian, TNI, pelayaran rakyat, pemerintah daerah, kejaksaan, pengadilan serta politisi.159 Ratusan kasus illegal
157
Istilah banalitas berasal dari banality of evil (meminjam Hannan Arendt), yakni penjahat perang atau penjahat kemanusiaan karena telah membunuh banyak orang. Namun kemudian, istilah ini, bagi analis politis maupun aktivis lingkungan, terlanjur menyukai penafsiran bahwa dalam diri penguasa memiliki unsur banalitas atau kejahatan dalam praksis kekuasaan mereka. Tak heran jika penguasa yang seharusnya mengupayakan Bonum Commune (kesejahteraan bersama) malah menghasilkan malum commune (keburukan bersama). Keburukan itu bukan hanya menyangkut tata hidup bersama antara manusia, tapi juga keburukan terhadap lingkungan dan relasi dengan alam. Eksplorasi lebih lanjut lihat Goei Tiong Ann Jr, "Ironi PP Nomor 2/2008, Hutan Lindung Tak Dilindungi", Jawa Pos (6 Maret 2008), h. 4. 158 Menurut World Resources Institute (WRI) menempatkan kerusakan hutan akibat penggundulan hutan sebagai masalah lingkungan utama di Indonesia. 159 Aktivitas illegal loging saat ini berjalan dengan lebih terbuka, transparan dan banyak pihak yang terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktifitas pencurian kayu, modus yang biasanya dilakukan adalah dengan melibatkan banyak pihak, di mana dilakukan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya, mereka yang berperan adalah buruh/penebang, pemodal
166
loging terjadi di seluruh wilayah kehutanan di Indonesia, baik di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa, Maluku, dan Papua, dengan kerugian mencapai puluhan triliyun rupiah per-tahun. Akibatnya, keberadaan hutan lindung makin hari makin berkurang, bahkan mulai terancam.160 Hutan yang sejak lama menjadi sumber kehidupan, kini menjadi sumber malapetaka. Daerah-daerah di luar pulau jawa yang dahulu menjadi penyanggah bencana, sekarang menjadi sumber malapetaka. Yang lebih menyedihkan, masyarakat kecil yang menanggung bencana tersebut. Ribuan jiwa melayang dan triliun harta benda milik mereka, mulai dari bangungan hingga lahan pertanian lenyap. Dalam konteks Nasional, Indonesia sebenarnya telah mempunyai beberapa Undang-Undang tentang pemeliharaan lingkungan hidup. Diantaranya: UU No. 32 tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem; UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda CagarBudaya; PP No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan; PP No. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air; dan UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan UndangUndang yang lainnya. Adanya Undang-Undang tersebut, ternyata, belum menyurutkan niat jahat manusia terhadap alam. Hal ini disebabkan berbagai hal diantaranya, kecerdikan pelaku memutar balikkan fakta, kelemahan aparat
(cukong), penyedia angkutan dan pengaman usaha (seringkali sebagai pengaman usaha adalah dari kalangan birokrasi, aparat pemerintah, polisi, TNI). 160 Laporan Bank Dunia pada 2002 menyebutkan penyusutan hutan Indonesia mendekati angka 3,6 juta hektar per tahun. Ini berarti setiap 12 detik terjadi penghilangan hutan yang setara dengan luas satu lapangan bola. Hal senada juga dilaporkan oleh Departemen Kehutanan bahwa, pembalakan liar menyebabkan sekitar 59,2 juta hektar hutan gundul. Dari jumlah itu, 40 juta hektar di antaranya merupakan hutan lahan kosong tanpa pepohonan atau 13 persen dari luas hutan saat ini.
167
penegak hukum untuk menjerat pelaku kejahatn sesuai Undang-Undang, serta hukuman yang kurang memberi efek jera.161 Dalam sudut pandang hukum Islam, hukuman bagi pelaku kejahatan lingkungan, termasuk dalam kategori pidana ta‟zîr,162 hal ini dikarenakan ketentuan sanksi dan hukuman terhadap pelaku kejahatan lingkungan tidak diterangkan secara jelas dalam al-Quran dan hadis.163 Oleh karena itu, penetapan dan putusan hukum berada di tangan penguasa (ulil amri).
161
Hal senada juga diutarakan oleh banyak peneliti, diantaranya: penelitian jurnal Mas Achmad Santosa dan Margaretha Quina berjudul Gerakan Pembaruan Hukum Lingkungan Indonesia Dan Perwujudan Tata Kelola Lingkungan Yang Baik Dalam Negara Demokrasi, menjelaskan bahwa dalam kerangka hukum lingkungan di Indonesia, teridentifkasi empat permasalahan yang perlu untuk dibenahi: 1) Peraturan perundang-undangan memberikan diskresi terlalu besar kepada Pemerintah untuk melakukan konversi dan konsesi tanpa adanya perimbangan kekuasaan (checks and balances); 2) Peraturan perundang-undangan (di berbagai sektor memiliki banyak kekurangan, celah, tumpang tindih mengakibatkan praktek-praktek pengelolaan SDA-LH yang tidak berkelanjutan; 3) Peraturan perundang- undangan tidak mendukung penerapan pengambilan keputusan yang mengutamakan penerapan tata kelola yang baik (misal dalam izin, program, dan pembuatan kebijakan); dan 4) Peraturan perundang-undangan tidak mendukung kelangsungan hidup masyarakat yang bergantung pada hutan, termasuk masyarakat adat. Dengan kata lain, penelitian tersebut mengungkap bahwa hukum lingkungan hidup saat ini masih belum cukup komprehensif sekaligus masih memerlukan pengembangan dan dukungan dari berbagai instrumen. Lihat Mas Achmad Santosa, Margaretha Quina, Gerakan Pembaruan Hukum Lingkungan Indonesia Dan Perwujudan Tata Kelola Lingkungan Yang Baik Dalam Negara Demokrasi, dalam Jurnal “Hukum Lingkungan” Vol. 01 Issue 1. Januari 2014, hal. 51 162 Dalam kajian hukum pidana Islam, istilah ta„zîr secara bahasa merupakan masdar dari „azzara yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta„zîr juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta„zîr, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali melakukan, atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqaha‟ mengartikan ta„zîr dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al-Quran dan hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan men-cegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta„zîr sering juga disamakan oleh fuqaha dengan hukuman terhadap setiap maksiat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kafarat.
حمٚ أكم يبِلٚ ٔجبْش ثال جًبع أٚ ٔخ أٛمجم انصجٗ ٔانًشأح األجُجٚ ٖٓب حذ يمذس ِٔل كفبسح كبنزٛظ فٛانًؼبصٗ انزٗ ن ٗشاِ انٕانٚ جب ثمذس يبٚال ٔرأرٛشا ٔرُكٚؼبلجٌٕ رؼضٚ فٓؤِلء... زخًٛكبنذو ٔان Lihat Ibn Taymiyyah, al-Siyâsah al-Syar‟iyyah (Cairo: Maktabah Ansâr al-Sunnah alMuhammadiyyah. 1961), h. 112. 163 Ada tiga kategori tindak pidana dalam hukum pidana Islam: hudûd, qisâs, dan ta‟zîr. Pertama, hudûd adalah kejahatan terhadap hak-hak Allah yang hukumannya telah ditentukan dalam al-Quran dan Hadis. Ada tujuh macam kejahatan yang masuk kategori hudud, yaitu: pencurian (sariqah), perampokan (hirabah), makar (baghy), perzinaan (zina), tuduhan berzina (qadzaf), murtad (riddah), meminum minuman beralkohol (sharb al-khamr). Kedua, qisâs adalah kejahatan terhadap orang dalam bentuk penyerangan fisik dan pembunuhan yang dihukum sama
168
التعزير ىو العقوبات الِت َل يرد من الشارع ببيان مقدارىا وترك تقديرىا لوِل اْلمر او القاضي آّاىدين Ta‟zîr adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumnya oleh syara‟ dan menjadi kekuasaan waliyy al-amr atau hakim.164 Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menganalogikan pelaku kejahatan lingkungan dengan pidana (jarimah) yang sudah ada hukumnya di dalam Islam. Dua cara ini adalah dengan melihat dari sisi modus operandi (praktek atau cara) dan dampak yang ditimbulkan dari pidana tersebut. Jika dilihat dari sudut modus operandinya, kejahatan lingkungan seperti beberapa kasus yang sering terjadi yaitu penebangan liar (illegal loging), merupakan tindakan pencurian, Allah berfirman:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. al-Mâidah [5]: 38) Secara literal, kata sâriq/sâriqah berasal dari sarîqah yaitu mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi (akhdz al-syai‟ khufyatan).165 Menurut alQurtubi, bahwa yang dimaksud sarîqah adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi (mustatirran).166 Hal senada juga diungkapkan oleh Abu Syuhbah, bahwa, sarîqah adalah tindakan pengambilan seorang mukallaf terhadap harta dengan kejahatan yang dilakukan. Ketiga ta‟zîr adalah kejahatan yang hukumannya tidak ditentukan oleh al-Quran dan Hadis. Kategori ketiga ini meliputi seluruh perbuatan dosa yang bisa membahayakan keamanan negara atau tatanan publik, hukumannya ditetapkan oleh pemerintah. Mayoritas fuqaha sepakat bahwa tanggung jawab penuntutan kejahatan ta‟zîr berada di tangan negara, karena tugas negaralah untuk memelihara tatanan dan kesejahteraan umum. Lihat Soeharno, Benturan antara Hukum Pidana Islam dengan Hak-Hak Sipil dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Dalam Jurnal Lex Crimen Vol.I, No.2, Apr-Jun 2012, h. 88-89 164 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 141 165 Al-Raghîb al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qurân, Jilid 1, h. 408 166 Al-Qurtubi, al-Jâmi‟ li Ahkâm al-Qurân, jilid 6, h. 160, dalam CD-Room Maktabah Syamilah
169
milik orang lain dengan diam-diam, dan sampai kadar nisab (batas minimal).167 Sementara nisab-nya, berdasarkan hadis Nabi: “Tidak ada potong tangan kecuali pada seperempat dinar atau lebih”168. Dengan demikian pengambilan harta yang dilakukan oleh pelaku sarîqah sangat mirip dengan tindakan illegal loging saat ini. Salah satu modus operandinya adalah mencuri harta secara diam-diam tanpa seizin pemilinya, dalam hal ini adalah negara. Pidana illegal loging dapat dihukum dengan jarimah sarîqah, ketika barang yang dicuri mencapai seperempat dinar atau sepadan dengan harga emas 93,6 gram.169 Sementara jika dilihat dari sisi dampaknya, pidana kejahatan lingkungan (dalam hal ini illegal loging) mirip atau bahkan lebih berbahaya dari dampak yang diakibatkan pidana hirâbah. Allah berfirman: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, (QS. al-Maidah [5]: 33) Menurut Ibn Katsir (w. 1373 M), kata hirâbah berarti tindakan perlawanan, karenanya perampokan, pembegalan, teror, termasuk dalam pidana 167
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, al-Hudûd fî al-Islâm wa Muqâranatuhâ bi al-Qawânin al-Wad‟iyyah, (Kairo; Dar al-Fikri, 1974), h. 216 168 ُّ ٍِ ػ ٍَْ ػُشْ َٔحَ ْث،ة ٍَْ ػ،َ َٔ َػ ًْ َشح، ِْشَٛانضث ٍ َػ ٍِ ا ْث ٍِ َِْٓب،ظ ٍ ْْ َٔ ٍِ َػ ٍِ ا ْث،ظ َ َُُٕٚ ٍَْ ػ،ت ٍ ْٚ َٔ ُ أِٙ ُم ثٍُْ أَثَٛح َّذثََُب إِ ْع ًَب ِػ َّ َّ ْ َّ َ ُ َ َ َ َ ُ َبس َ ِّٙ ِ َػ ٍِ انُج،ػَبئِشخ. Lihat Muhammad bin Ismail Abu ٍ ُٚ ُسثُغِ ِدِٙق ف ِ َّبس ِ َذ انغٚ «رمط ُغ: لب َل، ِّ َٔ َعه َىْٛ صهٗ َّللاُ َػه Abdillah al-Bukhari, Sahîh al-Bukhari, juz 8, h. 160, no. hadis 6790, dalam CD-Room Maktabah Syamilah 169 Bukhori Abdul Somad, Nilai-nilai Maslahah dalam Hukum Potong Tangan, dalam Jurnal Madania, Vol. 19, No. 1, Juni 2015, h. 78
170
hirâbah. Sedangkan ifsâd berarti segala macam perbuatan yang merusak dan mengganggu ketenteraman di muka bumi.170 Hal senada juga disampaikan Muhammad Husain Thaba‟thaba‟i (w. 1981 M) dalam tafsir al-Mizan, bahwa, kata hirâbah memiliki makna hakiki dan majazi (metafor), yaitu tindak perlawanan, yang tidak saja bersifat fisik seperti membunuh, merampok, dan menteror, tapi juga bersifat mental seperti mengingkari nikmat dan kufur kepada Allah. Sementara kata ifsâd adalah tindakan kelaliman di muka bumi seperti penguasaan harta atau wilayah orang lain.171 Dari penjelasan di atas, maka pengertian hirâbah merupakan perilaku pencurian besar (al-sariqah al-kubra),172 sebagaimana didefinisikan dalam kitabkitab fikih klasik, namun kejahatan di sini tidak harus dibatasi pada kejahatan pembegalan, perampokan, atau pembrontakan, melainkan bisa dikembangkan sesuai dengan perkembangan tindak kriminal pada setiap masa. 173 Yang terpenting, tindakan kejahatan yang akan dijaring dengan ketentuan pidana hirâbah, memiliki dua unsur pokok, yakni memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi. Seperti dinyatakan oleh para ahli tafsir, sesuai dengan kaidah sastra Arab, pengertian memerangi Allah dan Rasulnya adalah memerangi orang-orang yang
170
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-„Âzîm, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1999), h. 135 M. Hosen Thaba‟tba‟i, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, (Beirut: Mu‟assat al-A‟lâm li alMathbû‟at, 1991), h. 124 172 Di kalangan ahli fikih, hirâbah disebut juga qat„u al-tarîq (menyamun) atau alsarîqah al-qubrâ (pencurian besar). Kalangan ulama fikih menyebut hirâbah sebagai al-sarîqah al-qubrâ, karena hirâbah tersebut me-rupakah upaya mendapatkan harta dalam jumlah besar dengan akibat yang dapat me-nyebabkan kematian atau keganggunya keamanan dan ketertiban. Lihat Abdurrahman Idoi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam (Jakarta: Rajawali Press. 2009), hlm. 73. 173 A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam (Bandung: Pustaka Setia. 2005), hlm. 19. 171
171
dikasihi Allah atau orang-orang yang tidak berdosa.174 Apabila hal ini dihubungkan dengan tindakan illegal loging (penebangan liar), illegal fishing, korupsi lingkungan, dan kejahatan ekologi lainnya, maka tindakan-tindakan tersebut, jelas merupakan perang terhadap nasib jutaan rakyat yang tidak berdosa. Adapun terkait dengan kerusakan di muka bumi, maka tindakan kejahatan lingkungan, sudah sangat jelas termasuk aktivitas yang menyebabkan rusaknya lingkungan secara fisik, dan mengakibatkan bencana besar yang akan mengancam ratusan juta jiwa tidak berdosa. Dengan demikian, dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa secara dampak yang ditimbulkan, tindakan kejahatan illegal loging, mirip dengan pidana hirâbah. Sementara bentuk hukumannya terdiri dari hukuman mati, salib, potong tangan dan kaki secara bersilang dan pengasingan (penjara). Menurut Imam Abu Hanifah, al-Syafi‟i, dan Ahmad bin Hanbal, hukuman atas tindak pidana hirâbah berbeda-beda, tergantung pada perbuatan yang dilakukan. Hal ini berdasarkan pada huruf aw ( َْٔ )أdalam ayat di atas dimaksudkan untuk bayân (penjelasan) dan tafsîl (rincian). Dengan ungkapan lain, hukuman-hukuman tersebut diterapkan sesuai dengan berat ringannya perbuatan.175 Berbeda halnya dengan Imam Malik dan Zhahiriyah, menurutnya huruf aw ( َْٔ )أpada ayat di atas, dimaksudkan untuk takhyîr (pilihan). Ini artinya, hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang dipandangnya paling tepat dan sesuai dengan jenis jarîmah yang dilakukan oleh pelaku. Hanya saja Imam Malik
174
Abu Sana‟ Syihab al-Dîn al-Sayyid Mahmud al-Fandi al-Âlusî, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qurân al-Âzhîm wa Sab‟i al-Matsânî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), h. 194 175 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami Muqaranan bil Qanûn al-Wad‟i, Terjemahan: Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (t.tp: Kharisma Ilmu, 2007), jilid 5, h. 205
172
membatasi pemilihan hukuman untuk tindak pidana pembunuhan, antara hukuman mati dan salib. Alasannya adalah karena pada awalnya setiap pembunuhan hukumannya adalah dibunuh (hukuman mati), sehingga tidaklah tepat apabila tindak pembunuhan dalam perampokan dihukum dengan potong tangan dan kaki atau pengasingan. Sementara Zhahiriyah dalam menerapkan ayat tersebut menganut khiyâr mutlaq sehingga hakim diberi kebebasan penuh untuk memilih hukuman-hukuman yang dilakukan oleh pelaku.176 Dengan demikian hukuman bagi pelaku kejahatan lingkungan, dengan menganalogikan kepada pidana hirâbah, dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan. Pertama, hukuman mati, apabila perbuatan merusak lingkungan mengakibatkan dampak yang sangat besar, seperti penebangan pohon secara besar-besaran (illegal loging) yang mengakibatkan banjir, longsor, gempa, dan musibah lainnya, maka dapat dijatuhkan hukuman ta‟zîr yang paling berat, yaitu hukuman mati, karena bukan saja mengakibatkan kerugian secara ekonomis yang nilainya sangat besar, tetapi meninggalkan kerusakan hutan yang sangat parah, yang pada gilirannya akan membahayakan jiwa manusia, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Allah berfirman: … ... Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-
176
207
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami Muqaranan bil Qanûn al-Wad‟i, h.
173
olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. al-Maidah [5]: 32) Ayat ini menunjukkan bahwa menghilangkan satu nyawa dengan tanpa alasan sama halnya membunuh manusia secara keseluruhan. Namun, jika membunuh satu nyawa dengan alasan, karena telah melakukan kerusakan di bumi, itu dapat dibenarkan untuk menjaga kehidupan manusia secara keseluruhan. Dengan ungkapan lain hukum pidana mati bagi pelaku berat kejahatan lingkungan, adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia secara keseluruhan. Kedua, hukuman potong tangan dan kaki secara silang, apabila perusakan lingkungan dilakukan dalam jumlah yang tidak besar, misalnya kerusakan yang terjadi hanya mengakibatkan kerugian material keuangan negara. Ketiga, hukuman yang paling ringan, yaitu apabila perusakan lingkungan dilakukan dalam jumlah yang sedikit, seperti penebangan atau pencurian kayu dalam jumlah yang sedikit,
maka
hukumannya
diasingkan
(al-nafy).
Sementara
pengertian
pengasingan (al-nafy) tidak ada kesepakatan di kalangan para ulama. Menurut Malikiyah, pengertian pengasingan (al-nafy) adalah dengan dipenjarakan. Sementara menurut madzhab Syafi‟i, mengartikan pengasingan (alnafy) dengan penahanan (al-habs). Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa pengertian pengasingan (al-nafy) adalah pengusiran pelaku dari daerahnya, dan ia tidak diperbolehkan kembali sampai ia jelas telah bertaubat. Sementara untuk jangka waktu hukuman, menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam
174
Syafi‟i tidak terbatas. Artinya, tidak ada batas waktu tertentu untuk penahanan seorang pelaku hirâbah.177 Pada dasarnya, prinsip penegakan hukum pidana Islam, jika dihubungan dengan konsep tujuan utama syariat Islam (maqâsid al-syarî„ah) adalah menjaga dan melindungi kemanusiaan. Untuk itu, penegakan hukum kejahatan lingkungan menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan dalam upaya mencapai tujuan syariat (al-maqâsid al-khams), yakni perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn), perlindungan terhadap jiwa (hifz al-nafs), perlindungan terhadap akal (hifz al„aql), perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl). Tindakan illegal loging jelas merupakan perlawanan terhadap tujuan kelima, yaitu hifz al-mâl. Apabila dalam kepustakaan hukum Islam, misalnya, perbuatan melawan tujuan hifz al-mâl adalah kejahatan mencuri milik perorangan, maka tindakan illegal loging sebagai kejahatan mencuri harta milik bangsa dan negara, lebih layak lagi untuk dicatat sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap prinsip hifz al-mâl. Tindakan illegal loging bukanlah pencurian biasa dengan dampaknya yang bersifat personal-individual, melainkan ia merupakan bentuk pencurian besar dengan dampaknya yang bersifat massal-komunal. Bahkan ketika tindakan illegal loging sudah merajalela dalam suatu negara sehingga negara tidak berdaya lagi dalam mensejahterakan kehidupan rakyatnya, tidak mampu menyelamatkan rakyatnya dari ancaman gizi buruk dan busung lapar yang
177
Ahmad Syarif Abdillah, Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan, dalam Jurnal al-Jinâyah: Jurnal Hukum Pidana Islam, vol. 1, No. 2, Desember 2015, h. 292-293
175
mendera, maka tindakan illegal loging lebih jauh dapat dianggap sebagai ancaman bagi tujuan syariat dalam melindungi jiwa manusia (hifz al-nafs).
175
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah melakukan kajian mengenai ayat-ayat lingkungan dalam al-Quran, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Al-Quran menggariskan nilai dasar dan hukum praktis yang substantif dalam pengelolaan lingkungan, meliputi prinsip yang mendasari pemanfataan potensi bumi dan prinsip pemeliharaannya. Dalam rangka memanfatkan potensi bumi, al-Quran memerintahkan manusia untuk melakukan ‘imârat al-ard, yaitu menjadikan bumi atau lingkungan sebagai media mewujudkan kemaslahatan hidup makhluk secara keseluruhan di muka bumi, sehingga, dalam pemanfaatannya manusia harus selalu memperhatikan aspek keseimbangan alam. Sementara prinsip
pemeliharaannya,
al-Quran
menekankan
pentingnya
memperlakukan lingkungan dengan baik tanpa melakukan kerusakan. Hal ini didasarkan pada beberapa ayat al-Quran, di antaranya: pertama, bumi diwariskan kepada orang-orang saleh. Artinya, hanya orangorang yang berbuat baik, berbudi luhur, dan mampu hidup damai dengan alam, yang berhak tinggal dan mengelola bumi. Kedua, seluruh makhluk yang ada di alam raya ini, tidak lain adalah ummah sebagaimana manusia. Ketiga, manusia sebagai khalîfah fî al-ard mempunyai
tugas
mengantarkan
alam
memenuhi
tujuan
176
penciptaannya,
sehingga,
pengelolaan
lingkungan
yang
dapat
mendatangkan maslahah (kebaikan), maka hal itu dibolehkan, bahkan diwajibkan. Sementara pengelolaan yang dapat menghilangkan fungsi penciptaannya, yaitu menimbulkan mafsadah (kerusakan), maka hal itu dilarang, bahkan diharamkan. 2. Al-Quran memiliki perhatian terhadap kelangsungan lingkungan hidup, baik dari segi pemanfaatannya maupun pemeliharaannya. Namun, aspek pemeliharaannya menjadi kajian penting dalam alQuran. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ayat mengenai perintah memelihara
lingkungan,
daripada
ayat
yang
memerintahkan
pemanfaatannya. Banyaknya ayat mengenai pemeliharaan lingkungan, pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang universal. Konsep keadilan universal al-Quran adalah meletakkan kemaslahatan sebagai tujuan utama dari aktivitas kemanusiaan. Peduli terhadap kelestarian lingkungan tidak saja berorientasi pada kemaslahatan lingkungan itu sendiri, akan tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai jaminan terhadap
kelangsungan
hidup
manusia.
Bahkan,
pemeliharaan
lingkungan, jika dianalisis melalui konsep maqâsid al-syarî’ah menjadi hal yang penting, bahkan berhukum wajib, karena adanya kenyataan, bahwa terpeliharanya maqâsid al-syarî’ah pada dasarnya tidak akan tercapai tanpa lingkungan hidup yang baik.
177
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Penelitian ini belum sampai pada tahap yang sempurna, namun diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah, sekalipun hanya dalam bentuk low level probability (teori kemungkinan yang berperingkat rendah) mengenai konsep lingkungan dalam Islam. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan dunia keilmuan, khususnya dalam disiplin ulumul Quran dan pemikiran Islam, sehingga bisa dijadikan pegangan dan inspirasi bagi lahirnya penelitian lanjutan. 2. Untuk mencapai cita-cita kehidupan yang aman, tentram, dan sejahtera, maka diperlukan tafsir lingkungan sebagai salah satu mata kuliah di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di seluruh Indonesia seperti halnya tafsir akidah, tafsir ahkam, tafsir ayat-ayat sosial, tafsir ayat-ayat ekonomi, dan lain-lain. Adanya mata kuliah ini bertujuan agar masyarakat Indonesia, sebagai mayoritas muslim, mempunyai wawasan tentang lingkungan, karena pada dasarnya prinsip lingkungan dalam al-Quran lebih holistik dan progresif. Berbeda dengan prinsip lingkungan Barat yang menganggap alam sebagai alat pemuas manusia, sehingga relasi ekosistem yang ada, hanya berlaku hukum produsen dan konsumen, penyedia pangsa dan pemangsa.
178
3. Untuk para pemuka agama, sudah saatnya mengarahkan dakwahnya pada aspek pelestarian lingkungan. Pelestarian lingkungan merupakan lahan ibadah yang masih ditelantarkan oleh manusia. Dakwah lingkungan
ini
untuk
menyadarkan
manusia
bahwa
masalah
lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawabnya sebagai mandataris Tuhan di bumi. 4. Untuk para praktisi pemerintah, penulis mengharapkan agar segera dilakukan peninjauan ulang mengenai Undang-Undang Pemeliharaan Lingkungan. Proyek privatisasi yang selama ini dilakukan pemerintah atas asset-aset publik kepada pihak swasta, sudah saatnya ditinjau kembali demi kesejahteraan dan kemaslahatan bersama. Di sisi lain pemerintah juga diharapkan tegas atas tindak pidana kejahatan lingkungan. Penegakan dan pemberian hukuman bagi kejahatan lingkungan, menjadi solusi tepat agar memberikan efek jera kepada pelakunya.
179
DAFTAR PUSTAKA Abd al-Bâqî, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qurân alKarîm, Kairo: Dâr al-Hadîs, 1996 Abdillah, Junaidi, Dekonstruksi Ayat-ayat Antroposentrisme, dalam Jurnal Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014 Abdillah, Mujiyono, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, Jakarta: paramadina, 2001 Abdullah, M. Amin, Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam dalam Merespon Globalisasi, dalam Jurnal asy-Syir‟ah: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 46, No. 2, Juli-Desember 2012 Abdullah, Mudhofir, Argumen Konservasi Lingkungan sebagai Tujuan tertinggi Syariah, Jakarta: Dian Rakyat, 2010 Abrar, Islam dan Lingkungan, dalam jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Edisi, 1, Tahun 1, Juli 2012 Abu Abdullah, Muhammad bin Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam alMuwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Àlamîn, Beirut: Dàr al-Jail, t.th. Ali, Atabik, dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak, 1996 Al-Alusî, Abu Sana‟ Syihab al-Dîn al-Sayyid Mahmud al-Fandi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qurân al-Âzîm wa Sab’i al-Matsânî, Beirut: Dâr al-Fikr, 2000 Asad, Muhammad, The Message of the Quran, Gibraltar: Dâr al-Andalus, 1980 Al-Ashfahani, Ar-Raghib, Mufradât Alfâz al-Qurân, Beirut: Dar al-Fikr, t.th Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, dalam Jurnal Salam; Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum, Attfield, Robin, Etika Lingkungan Global, terj. Saut Pasaribu, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010 Auda, Jasser, Maqâsid al-Syarî’ah as Philosopy Of Islamic Low, terj. Rosidin dan Ali „Abd al-Mun‟in, Bandung: PT. Mizan, 2015 Baalbaki, Rohi, Al-Maurid a Modern Arabic-English Dictionary, Beirut: Dâr alÎlm li al Malayîn, 1995
180
Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqâṣid al-Syarî'ah menurut al-Syatibî, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996 Bertens, Kees, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius,2000 Biltâjî, Muhammad, Manhaj Umar Ibn al-Khattâb fi al-Tasyrî’, Kairo: Dâr alSalâm, 2002 Budianta, Eka, Eksekutif Bijak Lingkungan, Jakarta: Dana Mitra Lingkungan, 1997 Capra, Fritj, Jaring-Jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, diterjemahkan oleh Saut Pasaribu, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001 Daly, Herman E., Steady-State Economics versus Growthmania: A Critique of the Orthodox Conceptions of Growth Evelyn, Mary dan John A. Grim , Agama Filsafat dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2003 al-Fayyûmi, Ali, al-Misbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarî’ah al-Kabîr li al-Râfi’i Lebanon: Maktabah al-„Ilmiyah, 1987 Febriani, Nur Afiyah, Implementasi Etika Ekologis dalam Konservasi Lingkungan, dalam Jurnal Kanz Philosophia, Vol. 4, No. 1 Juni 2014 _____, Wawasan Gender Dalam Ekologi Alam Dan Manusia Perspektif Al Quran, Jakarta: Mizan, 2014 Foster, John Bellamy, The Vulnerable Planet, dalam Leslie King dan Deborah McCarthy, eds., Environmental Sociology: From Analysis to Action, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 2009 al-Ghazâli, Abû Hamîd Muhammad, Syifâ al-Ghîl fî Bayân al-Syibh wa al-Mukhîl
wa Masâlik al-Ta’lîl, Baghdad: Mathba‟ah al-Irsyad, 1971 _____, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl, Beirut: Dar al Kutub al-„Ilmiyah, 1980 Ghulsyani, Mehdi, Filsafat Sains menurut al-Quran, Jakarta: Mizan, t.th Gilkey, Langdon, Nature, Reality and the Sacred the Nexus of Science and Religion, Minneapolis: Augsburg Fortress, 1993 Hadad, Ismi, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan Sebuah Pengantar, dalam Jurnal Prisma, Vol. 29. No. 2 April 2010
181
Hamdi, Imam, Cuaca Ekstrem, Ada Dua Badai Tropis Baru Masuk ke Indonesia, dalam Tempo.com, pada hari Jumat, 25 November 2016 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985 Hasan, Husain Hamid, Nazariyat al-Maslahah fî al-Fiqh al-Islàm, Beirut: Dàr alNahdhah al-„Arabiyyah, 1971 Husein, Harum M., Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993 ibn „Abd al-Salâm, Izz al-Din, Qawâ‘id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, Beirut: Dâr al-Jail, 1400 H/1980 M Ibn „Âsyur, Muhammad Tahir, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Tunis: ad-Dar alTûnisiyyah, 1984 _____, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah Tunisia: Maktabah al-Istiqamah, 1366 H Ibn Hajjaj, Muslim, Sahîh Muslim, dalam CD-Room Maktabah Syamilah Ibn Katsîr, Abu al-Fida‟ Ismail bin Umar, Tafsîr al-Qurân al-Azîm, t.tp: Dar alThîbah li al-Nasyr, 1999 Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Bairut: Dâr Shad, t.th. Ibn Taimiyyah, Fatawâ Ibn Taimiyah, Beirût:Dâr al-„Arabiyah, 1398 Imam, Muhammad Kamal, al-Dalîl al-Irsyadi ila Maqâṣid al-Syarî'ah alIslâmiyyah, London: al-Maqashid Research Center, 2007 Irawan dan M. Suparmoko, Ekonomika Pembangunnan, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1997 Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Gaung Persada, 2009 Izutsu Toshihiko, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantic Analysis of Îmân and Islâm, terj. Agus Fahri Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994 J.E. Lovelock, Bumi yang Hidup: Pandangan Baru Kehidupan di Bumi, terj. Bambang Suryobroto, Jakarta: Obor, 1988 Jumin, Hasan Basri, Sains dan Teknologi dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2012
182
Jum‟ah, Ali, Ri’ayât al-Qurân bi Ḥuqûq al-Insân, Cairo: Dâr al-Ḥadîṡ, 2010 Al-Jurjânî, al-Ta’rîfât, Beirut: „Alam al-Kutub, 1987 Al-Juwainî, „Abd al-Mâlik, al-Burhân fî Usûl Fiqh, t.t.p.: Dâr al-Anshâr, 1400 H _____, Ghiyâs al-Umâm fî Iltiyas al-Zulâm, Qatar: Wazarah al-Syu‟ûn alDîniyyah, 1400 H Kartanegara, Mulyadhi, Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, Jakarta: Erlangga, 2007 Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002 _____, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yogyakarta: Kanisius, 2010 Khitam, Husnul, Kontekstualisasi Teologi sebagai Basis Gerakan Ekologi, dalam Jurnal Dinika, Vol. 1, No. 2, May - August 2016 Khusnan, M. Ulinnuha, Hukuman Mati bagi Koruptor, dalam Jurnal Suhuf: Jurnal Kajian al-Quran dan Kebudayaan, vol. 5, No. 1, 2012 La Jamaa, Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqâsid al-Syarî’ah, dalam Jurnal Asy-Syir‟ah, Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol. 45 No. II, JuliDesember 2011. Lellweyn, Othman Abd al-Rahman, The Basis for a Discipline of Islamic Environmental Law, dalam Ricard C. Foltz, Islam and Ecology, The President and Fellows of Harvard College, 2003 Madjid, Nurcholis, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1998 al-Mâlikî, Ahmad al-Shâwî, Hâsyiyat al-‘Allâmah al-Shâwî ‘alâ Tafsîr alJalâlain, edisi Shidqî Muhammad Jamîl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993 Ma‟luf, Louis, al-Munjid fî al-Lughah wa al-‘Alam, Beirut: Dâr al-Mashriq, 1986 Mas‟ud, Muhammad Khalid, Fislafat Hukum Islam, Studi tentang kehidupan dan pemikiran Abu Ishaq Al-Syatibi, Bandung : Penerbit Pustaka, 1996 al-Marâghî, Ahmab bin Musthafâ, Tafsîr al-Marâghî, Mesir: Musthafa al-Babî alHalâbî, 1946
183
Marianta, Yohanes I Wayan, Akar Krisis Lingkungan Hidup, dalam Jurnal Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011 Masjhur, John S., Manusia, Kesehatan dan Lingkungan, Bandung: PT. Alumni, 2007 Mas‟ud, Muhammad Khalid, Fislafat Hukum Islam, Studi tentang kehidupan dan pemikiran Abu Ishaq al-Syatibi, Bandung : Penerbit Pustaka, 1996 Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah wa al-Wilayât al-Dîniyyah, Beirut: Dâr alKitab al-„Arabi, t.th Mawardi, Ahmad Imam, Evolusi Maqâṣid al-Syarî'ah dari Konsep ke Pendekatan, Yogyakarta:Lkis, 2010 Mu'alim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta, UII Press, 2001Muhirdan, Etika Lingkungan dalam al-Quran, dalam tesisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2008 Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2010 al-Nabhani, Taqiyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, judul asli; al-Nizam al-Iqtisâd fi al-Islâm, Surabya:Risalah Gusti.2002 Nahdi, Meizer Said, Kerusakan Lingkungan Kaum Saba’: Studi Analisis Kaum Saba’ dalam al-Quran, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2001 al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi, Sahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihya‟ al-Turâts al-„Arabî, t.th. Nashrullah, Galuh, Kartika Mayangsari dan H. Hasni Noor, Konsep Maqâsid alSyarî’ah dalam Menentukan Hukum Islam Perspektif al-Syathibi dan Jasser Auda, dalam Jurnal Al-Iqtishadiyyah: Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, Vol. 1, Issue 1, Desember 2014 Nasr, Sayyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, London: Unwin Paperbacks, 1979 _____, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Luqman Hakim, Bandung: Pustaka, 1987 _____, Islamic Life and Thought, London: George Allen, dan Unwin Ltd, 1981 _____, The Garden of Truth; Mereguk Sari Tasawuf, Bandung: Mizan, 2010
184
Neolaka, Amos, Kesadaran Lingkungan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008 Neufeldt, Vicotoria, Webster’s New World College Dictionary, USA: Macmillan, 1996 Nurnazli, Penerapan Kaidah Maqâsid al-Syarî’ah Dalam Produk Perbankan Syariah, dalam jurnal al-Ijtimaiyyah, Vol. 7, no. 1 Februari 2014 Qalahji, Muhammad Rawwas, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999 Al-Qardhâwi, Yusuf, Fiqh al-Zakâh, Mesir: al-Risâlah, 1985 _____, Ri’âyat al-Bî’ah fî Syarî’at al-Islâm, Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000 _____, Fiqih Maqâsid al-Syarî’ah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, terj. Arif Munandar Riswanto, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007 Al-Qâsimî, Jamâl al-Dîn, Tafsîr al-Qâsimî al-Musammâ bi Mahâsin al-Ta`wîl, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003 al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, Riyadh: Dar al-Jail, t.t. Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zilâl al-Qurân, Beirut: Dar asy-Syuruq, 1412 H Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: Chicago University Press, 1980 _____, Major Themes of The Quran Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980 al-Razi, Muhammad Fakhr al-Din, Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, Beirut: Dâr Ihya‟ al-Turâts al-„Arabi, 1420 H Reflita, Eksploitasi Alam dan Perusakan Lingkungan, dalam Jurnal Substantia, Vol. 17 No. 2, Oktober 2015 Ridhâ, Muhammad Râsyid, Tafsîr al-Manâr, Mesir: al-Hay‟ah al-Mishriyyah, 1990Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002 Ridhwan, Muhammad, Ekosofi Islam: Kajian Pemikiran Ekologi Sayyed Hoosein Naser, dalam karya tesisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 2009
185
Rusli, Islam dan Lingkungan Hidup Meneropong Pemikiran Ziauddin Sardar, dalam Jurnal Hermenia, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2004 Sâbiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Dâr al-Salâm, 1998 Sahtouris, Elisabet, Expanding our Worldview to Other Dimensions, dalam artikelnya yang dipresentasikan pada seminar internasional pada 27-29 Mei 1995 Sakirman, Urgensi Maslahah Dalam Konsep Ekonomi Syariah, dalam Jurnal Palita: Journal of Social-Religi Research, Vol 1, No.1, April 2016 Salim, Emil, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Mutiara, 1979 _____, Pembangunan berwawasan Lingkungan, Jakarta: LP3ES, 1986 Santoso, Y. Eko, Menuju keselarasan Lingkungan; Pandangan Teologis Terhadap Pencemaran Lingkungan, Malang: Averroes Press, 2003 Santosa, Achmad, dan Margaretha Quina, Gerakan Pembaruan Hukum Lingkungan Indonesia Dan Perwujudan Tata Kelola Lingkungan Yang Baik Dalam Negara Demokrasi, dalam Jurnal “Hukum Lingkungan” Vol. 01 Issue 1. Januari 2014 Saputra, Imam Yuda, Cuaca Ekstrem Sepanjang 2016, Siklus Panen Petani Terganggu, di Semarangpos.com, pada hari Selasa, 01 September 2016. Setiawan, M. Nur Kholis, Pribumisasi al-Quran, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012 Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1996 _____, Menyingkap Tabir asma’ al-Husna, Jakarta: Lentera Hati, 2000 _____, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2002 Shiva, Vandana, The Violence of Green Revolution, Penang, Malaysia: Third World Network,1991 Simanjuntak, Martha Herlinawati, FWI :Laju Deforestasi Indonesia Tertinggi, dalam Antarnews.com, pada hari Kamis, 15 Januari 2015 Siahaan, NHT, Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta: Erlangga, 2004 al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman Sulaiman al-Asy‟ats, Sunan Abi Daud, Beirut: al-Maktabah al-„Ashriyyah, t.th
186
Skolimowski, Henry, Filsafat Lingkungan: Merancang Taktik Baru untuk Menjalani Kehidupan, Yogyakarta: Bentang, 2004 Sobandi, Baban, Etika Kebijakan Publik; Moralitas-Profetis dan Profesionalisme Kinerja Birokrasi, Bandung: Penerbit Humaniora, 2001 Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan, 1997 _____, Dampak Lingkungan terhadap Kesehatan, Bandung: PT. Alumni, 2007 Solomon, Robert C., dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002 Suarsana, Made, dan Putu Sri Wahyuni, Global Warming: Ancaman Nyata Sektor Pertanian Dan Upaya Mengatasi Kadar Co2 Atmosfer, dalam jurnal Widyatech: Jurnal Sains dan Teknologi, Vol. 11, No. 1 Agustus 2011 Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah & Undang-undang Dasar NRI 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2012 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001 Sururi, Ahmad, Menggapai Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia: Studi Perbandingan Etika Islam dan Etika Ekofeminisme, dalam Jurnal Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014 Suseno, Franz Magnis, Kuasa dan Moral, Jakarta: Pustaka Gramedia, 2001 Susilo, Rachmad K. Dwi, Sosiologi Lingkungan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008 Sway, Mustafa Abu, Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment, dalam http://homepages.iol.ie/~afifi/Articles/environment.htm, yang diakses pada 15 Nopember 2016 Syahrûr, Muhamad, Nahwa Usûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: al-Ahali li ath-Thiba‟ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 2000 al-Sya‟râwî, Muhammad Mutawalli, Tafsîr al-Sya’râwî, dalam CD-Room Maktabah Syamilah Al- Syâthibî, al-Muwâfaqât fi Usûl al- Syarî’ah, Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.
187
Al-Syinqiti, Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adwâ’u al-Bayân fî Îdâh al-Quran bi al-Quran, Beirut: Dar al-Fikr, 1995 Syufa‟at, Implementasi Maqâṣid al-Syarî'ah dalam Hukum Ekonomi Islam, dalam Jurnal al-Ahkam: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 23, No. 2, Oktober 2013 Al-Thabarî, Ibn Jarîr, Jâmi’ al-Bayân, ed. „Abdullâh bin „Abd al-Muhsin al-Turkî, Cairo: Hajr li al-Thibâ‟ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî‟ wa al-I‟lân, 2001 Thaba‟tba‟i, M. Husein, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, Beirut: Mu‟assat al-A‟lâm li al-Mathbû‟at, 1991 Tim Kemenag RI, Tafsir al-Quran Tematik: Pelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, 2009 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005 Tjasyono, Bayong, Iklim dan Lingkungan, Bandung: Cendekia Jaya Utama, 1987 Ubaidillah, M. Hasan, Fiqh al-Bî’ah (Formulasi Konsep al-Maqâsid al-Syarî’ah dalam Konservasi dan Restorasi Lingkungan), dalam Jurnal Al-Qânûn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010 Umar, Nasaruddin, Islam Fungsional, Jakarta: Rahmat Semesta Center, 2010 Wardana, Wisnu Arya, Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta: Andi Offset, 1999 Wardani, Menformulasikan Fiqh al-Bi`ah: Prinsip-Prinsip Dasar Membangun Fiqih Ramah Lingkungan, dalam Jurnal Al-Mustawa Vo.1 No. 1, Februrai, 2009 Wardani Dan Mulyani, Eko-Teologi Al-Quran: Sebuah Kajian Tafsir Al-Quran dengan Pendekatan Tematik, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 12, No. 2, Juli 2013 Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994 _____, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, Jakarta: Ufuk Press, 2006 Yahya, Harun, Atap yang Terpelihara: Keajaiban al-Quran. Diakses pada Desember 2016 di http://www.keajaibanalquran.com/astronomyroof.html. Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawamid al-Tanzil, Bairut: Dâr alKutb, 1407 H
188
al-Zuhaylî, Wahbah, Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‟âshir dan Damaskus: Dâr al-Fikr, 1991 Zuhdi, Ahmad Cholil, Krisis Lingkungan Hidup dalam perspektif al-Quran, dalam Jurnal Mutawâtir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol.2, No.2, JuliDesember 2012 Zuhdi,
Muhammad Harfin, Rekonstruksi Fiqh al-Bi’ah Berbasis Mashlahah, dalam Jurnal Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2015