The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
EPISTEMOLOGI ILMU DALAM KITAB RISÂLAH AL-LADUNNIYAH Oleh: Prof. Dr. H. Mukhtar Solihin, M.Ag.
A.
Sketsa dan Desain Penelitian Dalam khazanah intelektual muslim, nama al-Ghazâlî begitu akrab disebutkan dalam berbagai literatur, baik literatur klasik maupun modern. Pemikir besar abad ke 5 H., yang terkenal dengan julukan “hujjah alIslâm” ini tidak pernah sepi dari pembicaraan, baik yang bernada pro maupun kontra. Kemasyhuran namanya disamping karena pemikiran-pemikiran monumentalnya, juga karena petualangan panjangnya dalam upaya mengkaji, menilai dan merumuskan pengetahuan. Dalam kajian filsafat ilmu, upaya ini disebut epistemologi ilmu.1 Petualangan epistemologi al-Ghazâlî dilakukan dengan mempelajari aliran-aliran mutakallimin, bathiniyah, filosof, dan sufi. Ternyata semua ini membawa serangkaian keraguan, yang akhirnya ia baru menemukan ilmu yang diyakininya “benar” melalui paradigma tasawuf. Tasawuf yang digeluti itu ternyata tidak menyurutkan kebiasaannya dalam hal tulis menulis buku, bahkan ia lebih produktif menuangkan pemikiran-pemikirannya, baik yang membahas persolan-persoalan agama, maupun yang khusus membahas epistemologi. Salah satu karya monumental tentang ilmu pengetahuan yang dikaji dalam pandangan tasawufnya adalah kitab “Risâlah al-Ladunniyyah”. Berkenaan dengan topik kajian Risâlah al-Ladunniyyah itu, maka penelitian ini akan menjawab masalah: “Epistemologi ilmu menurut al-Ghazâlî dalam kerangka Kitab Risâlah al-Ladunniyyah, dan kaitan ilmu ladunnî dengan epistemologi itu”. Persoalan ini kemudian dilanjutkan pada pembahasan hirarki ilmu dalam kaitannya dengan struktur keilmuan Islam, dengan memasukkan ilmu ladunnî. Penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis, karena persoalan epistemologi ini adalah persoalan filsafat.2 Pendekatan ini juga tidak lepas dari –meminjam model John W. Creswell– biographical Study3, yakni kajian tentang kehidupan al-Ghazâlî yang mengalami evolusi. Pencarian data menggunakan library research, yang kemudian dianalisa dengan metode content analyzing (analisis isi), yakni dengan mengumpulkan datadata, kemudian mengelompokkannya melalui tahapan identifikasi, klasifikasi, kategorisasi, interpretasi, dan kemudian menarik kesimpulan. Penelitian ini berguna untuk mengembangkan teori-teori keilmuan dan sekaligus sebagai kerangka untuk menggali keilmuan-keilmuan dalam wacana sufistik. Hal ini memungkinkan untuk dikembangkan, mengingat kajian keilmuan yang bercorak sufistik lebih mendasari hakikat manusia sebagai pencari ilmu, dan Tuhan sebagai pemberi ilmu. Dari uraian di atas, maka sketsa penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Latar Belakang, Masalah, dan Tujuan Penelitian
Al-Ghazâlî dan Kitab Risâlah alLadunniyyah Temuan dan Kesimpulan
Hirarki Ilmu dan Ilmu
Metode: filosofis. Model: John W. Creswell– Biographical Study Pencarian data: library research Analisa Data: content analyzing (mengumpulkan data, mengelompokkan, identifikasi, klasifikasi, kategorisasi, dan interpretasi).
Penulis adalah Dosen dan Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung lulusan S-3 Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1 Istilah epistemologi pertama digunakan J.F. Ferrier (1854). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “episteme”, yang berarti ilmu, dan “logos” berarti ilmu sistematik atau teori, uraian dan alasan (A.M.W. Pranaka, Epistemologi Dasar Suatu Pengantar, CSIS, Jakarta, 1987, hlm. 3–4; Miska M. Amin, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Ilmu Islam, UI Press, Jakarta, 1983, hlm. 1–2; Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 10). 2 Jaques Waardenburg memasukkan pendekatan filosofis ini sebagai aspek dari pendekatan humanitis (Lihat Jaques Waardenburg, Humanities, Social Science, and Islamic Studies, dalam: Islam and Christian–Muslim Relations, Institute of Christian-Muslim Relations, Birmingham, 1990, hlm. 32). Namun dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan pendekatan filosofis saja. 3 John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition, Thousand Oaks London, Sage Publications, New Delhi, 1999, hlm. 47.
Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
B.
Transfaransi Kitab Risâlah al-Ladunniyyah Disamping kitab Mîzân al-Amâl dan Misykâh al-Anwâr, Kitab Risâlah Ladunniyyah banyak diakui keotentikannya oleh sumber-sumber muslim tradisional dan para sarjana modern. 4 Isi kitab ini menguraikan tentang epistemologi ilmu yang dikemas secara sitematis. Sistematika uraian berikut akan menggambarkan kerangka kitab Risâlah al-Ladunniyyah. Pada mukadimahnya ia menghantarkan tulisannya pada sebuah asumsi bahwa Allah adalah yang berhak dipuji karena telah menghias kalbu (hati) orang-orang khusus yang diistimewakan (khawwâsh) di antara hamba-hamba-nya dengan “cahaya kewalian”.5 Cahaya kewalian itu menurutnya dapat diperoleh manusia dengan cara-cara tertentu sebagai mana dilakukan oleh Wali Allah dan juga oleh para Nabi dengan melalui cahaya hidayah-Nya. Untuk itu pada paruh mukaddimah selanjutnya ia terkesan ingin menguraikan ilmu ladunni, sebagai sebuah jawaban atas orangorang yang mengingkari adanya ilmu ladunni, dan sekaligus ingin mengetengahkan sebuah epistemologi yang kevaliditasannya tidak diragukan. Menurutnya, ilmu ladunni tersebut merupakan sandaran dan harapan para khawwâsh dari kalangan sufi atau penempuh jalan spiritual. Dengan bersandarkan pada keyakinan para sufi ia mengatakan bahwa ilmu ladunni adalah ilmu yang secara epistemologis adalah paling kuat dan paling sarat hikmahnya di antara ilmu-ilmu yang diperoleh melalui proses belajar. 6 Dari itulah al-Ghazâlî menjelaskan keagungan ilmu-ilmu, karena ilmu merupakan gambaran jiwa yang berpikir tenang (al-nafs al-muthma’innah) tentang hakekat segala sesuatu. Pada uraian ini ia mengetengahkan bahwa ilmu berpusat pada jiwa manusia. Konsekuensi logis dari asumsinya tentang ilmu yang berpusat pada jiwa itu, kemudian al-Ghazâlî mengarahkan pembahasannya tentang jiwa itu sendiri. Uraian tentang jiwa ini memperlihatkan bahwa memori kefilsafatannya tertuang kembali dalam Risâlah al-Ladunniyyah, sehingga dari uraiannya itu menggambarkan bahwa ia adalah seorang filosof yang cukup arif memahami tentang jiwa berikut tingkatan-tingkatannya.7 Untuk melihat bagaimana ilmu itu menempat pada jiwa manusia, maka pada bagian selanjutnya al-Ghazâlî mengetengahkan uraian tentang hirarki (klasifikasi) ilmu berikut perkembangannya. Ia menguraikan ilmu dalam dua klasifikasi besar, yaitu ilmu syar`î dan ilmu `aqlî. Dari sini kemudian berkembanglah ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengetahui perkem-bangannya, maka ia melihat bahwa ilmu-ilmu itu diperoleh dengan berbagai metode. Dari sinilah kemudian ia menjelaskan tentang metode-metode untuk memperoleh ilmu. Ia menggarisbawahi bahwa metode untuk memperoleh ilmu itu ada dua macam, yaitu metode tafakkur dan ta`allum.8 Dalam menjelaskan tentang metode-metode itu, al-Ghazâlî membagi metode untuk memperoleh ilmu menjadi dua macam: Pertama dengan metode pengajaran manusia (ta`allum insâniyyah), dan kedua dengan metode pengajaran dari Tuhan (ta`allum rabbânî).9 Dari dua pembagian inilah kemudian ia menilai ilmu-ilmu mana yang sesungguhnya tingkat kevaliditasannya lebih tinggi dan ilmu mana yang lebih rendah. Dari sinilah kemudian ia menjelaskan tentang tingkatan-tingkatan jiwa dalam memperoleh ilmu. Uraian ini dilakukan dengan mensinambungkan pemikirannya dengan uraian tentang jiwa dan tingkatannya.10 Untuk menjelaskan tingkat kevaliditasan ilmu dan jiwa-jiwa mana saja yang menjadi tempat ilmu-ilmu itu, kemudian al-Ghazâlî mengetengahkan pemikirannya bahwa ilmu yang tingkat validitasnya tidak diragukan adalah ilmu ladunni. Tingkat validitas ilmu ladunni ini berbeda dengan ilmu-ilmu iktisâbî (yang diperoleh melalui rekayasa akal dengan pendekatan rasional).11 Mengingat ilmu ladunni tingkat kevaliditasannya tidak diragukan lagi, maka baru ia menjelaskan tentang ilmu ladunni. Pembahasan selanjutnya menjelaskan tentang hakikat dan sebab-sebab diperolehnya ilmu ladunni. Pada bagian ini, ia juga menjelaskan perolehan ilmu tersebut dengan metode-metode tertentu. C.
Sekilas Petualangan Epistemologi al-Ghazâlî
4 Perlu diketahui bahwa Kitab Risâlah al-Ladunniyyah ini diragukan keotentikannya oleh Montgomerry Watt. Namun tuduhan Watt tersebut disanggah oleh pemerhati al-Ghazâlî lainnya. Mereka banyak mengeluarkan argumentasi esensial dalam membantah tuduhan Watt, sehingga mereka menyimpulkan tuduhan Watt banyak mengandung kelemahan metodologis maupun substansi. Untuk lebih jelasnya tentang hal ini bisa disimak tulisan Osman Bakar yang berjudul “Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science”, terbitan Institute for Policy Research, Kuala Lumpur, 1992. 5
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, op.cit., hlm. 97.
6
Ibid.
7
Lihat Ibid., hlm. 100—106.
8
Ibid., hlm. 106 dan 112.
9
Ibid., hlm. 112—118.
10
Ibid., hlm. 118—121
11
Ibid., hlm. 114—116.
Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Pada masa al-Ghazâlî, dunia Islam tengah diwarnai perseteruan yang krusial antara para ahli pikir. 12 Masing-masing mengklaim kelompoknya-lah yang benar, dan cenderung menganggap kelompok lain sesat. Kondisi itu memancing al-Ghazâlî untuk terjun di dalamnya, karena ia meragukan klaim-klaim “kebenaran” yang diajukan oleh para ahli tersebut. Al-Ghazâlî menyelami empat kelompok manusia pencari kebenaran, yang masing-masing memiliki ciri khas. Keempat kelompok yang dimaksud adalah: Pertama, kelompok mutakallimîn (ahli teologi), yaitu mereka yang mengakui kelompoknya sebagai eksponen pemikir intelektual; kedua, kelompok bathîniyyah (sekte dari golongan Syi’ah), yang memiliki wewenang ta’lîm (pengajaran). Kelompok ini mengklaim telah mendapat kebenaran yang datang dari seorang guru yang memiliki pribadi sempurna dan tersembunyi; kelompok ketiga, para filosof yang menyatakan diri sebagai kaum logikus; keempat adalah kelompok sufi, yang mengaku mencapai tingkat kebenaran dengan Allah melalui penglihatan secara bathîniyah.13 Atas dasar keingintahuannya dan dorongan untuk mengatasi pertentangan itu maka al-Ghazâlî menyelami berbagai paham yang berkembang ketika itu. Upaya ini ternyata malah membuat al-Ghazâlî tenggelam dalam keraguan, hingga akhirnya ia baru menemukan keyakinan ketika memasuki dunia tasawuf. Di sinilah ia baru merasa menemukan apa yang dicari dari petualangan panjangnya.14 Pada epistemologi sufistik itu terkandung juga pemikiran tentang ilmu ladunnî. Untuk itu, karya al-Ghazâlî yang berjudul Risâlah al-Ladunniyyah banyak dinilai sebagai sebuah pemikiran epistemologi ilmu dalam wacana tasawuf yang mempunyai kedudukan sebagai kitab keilmuan yang komprehensif dan merupakan sebuah sinthesa dari kitab-kitab lain yang membahas tentang keilmuan. Kendati pemikiran tentang ilmu ladunnî dalam Risâlah al-Ladunniyyah itu bertendensi tasawuf, namun tidak bisa diklaim bahwa pemikiran itu mutlak pemikiran tasawuf, karena ternyata dalam Risâlah alLadunniyyah al-Ghazâlî menempatkan pemikiran ilmu ladunnî itu di tengah-tengah struktur keilmuan Islam. Berarti, kitab Risâlah al-Ladunniyyah posisinya penting di tengah kajian-kajian keilmuan yang telah banyak dijelaskan al-Ghazâlî dalam kitab-kitab lainnya. Apalagi, mengingat Kitab Risâlah al-Ladunniyyah ditulisnya pada periode akhir hidupnya. D. Kerangka Epistemologi Dalam Risâlah al-Ladunniyyah Mempelajari pemikiran epistemologi al-Ghazâlî memang agak unik, dalam arti mempelajari corak berfikir beliau yang sebenarnya. Di satu sisi, ia menyangsikan indera, di sisi lain ia meragukan akal. Dari sini jelas bahwa al-Ghazâlî tidak mengakui kebenaran ilmu inderawi. Begitu juga keraguannya terhadap akal, bisa dilihat ketika ia membahas tentang ilmu mahsus, dengan mengatakan: “Mungkin di belakang penetapan akal itu akan datang pertimbangan-pertimbangan lainnya, jika hal ini terjadi besar kemungkinan bahwa yang sudah ditetapkan akal itu akan disalahkan juga seperti ketetapan akal menjalankan yang mahsus”.15 Kitab Risâlah al-Ladunniyyah menampilkan gagasan epistemologi ilmu pengetahuan. Dalam kitab ini, ia menjelaskan bahwa epsitemologi ilmu terbagi menjadi dua sumber penggalian. Pertama, sumber insâniyah, dan kedua, sumber rabbâniyah.16 Sumber insâniyah adalah sumber pengetahuan yang bisa diusahakan oleh manusia berdasarkan kekuatan rekayasa akal.17 Sedangkan sumber rabbâniyah tidak dihasilkan melalui kemampuan akal, melainkan harus dengan informasi Allah, baik informasi langsung melalui ilhâm yang dibisikkan ke dalam hati manusia, maupun petunjuk yang datang lewat wahyu yang diturunkan kepada nabi dan rasul-Nya.18 Pada sumber rabbâniyah itu al-Ghazâlî membagi perolehan ilmu menjadi dua jalan, yakni dengan jalan wahyu, dan dengan melalui ilhâm. Ilmu yang diperoleh lewat wahyu datang tanpa melalui proses belajar dan berpikir. Ia hanya diturunkan kepada para Nabi, karena mereka memiliki akal kullî (akal universal).19 Oleh sebab itu, ilmu yang diperoleh lewat wahyu ini disebut ilmu nabawî, yakni ilmu yang berkisar rahasia ibadah maupun larangan Allah, tentang hari akhir, surga, neraka, serta termasuk juga masalah mengetahui Tuhan (metafisika), yang menurut al-Ghazâlî tidak bisa dicapai dengan akal, tetapi dengan wahyu al-Qur’an.20 Begitu pula tentang 12
Lihat: al-Ghazâlî, al-Munqidz min al-Dhalâl, Silislah Tsaqafat Islamiyah, Kairo, 1961, hlm. 13—17.
13
Amin, op.cit., hlm. 50.
14
Lihat Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl, op.cit.
15
l-Ghazâlî, Ibid.; Misykâh, Ibid.
16
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, dalam Qushur al-Awwali, yang dihimpun oleh Musthafa Muhammad Abu al-‘Ala, Maktabah al-Jundi, Mesir, 1970, hlm. 112. 17
Ibid., hlm. 112—114; Lihat juga: M. Bahri al-Ghazali, Konsep Ilmu Menurut al-Ghazali, Pedoman Ilmu Jaya, Yogyakarta, 1991, hlm. 80. 18
Ibid., hlm. 114—115.
19
Ibid., hlm. 115.
20
Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, editor: Sulaiman Dunia, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1966, hlm. 256, 287, Lihat: al-Ghazâlî, Ma`ârif al-Quds fî Madârij Ma`rifah al-Nafs, hlm. 166—167. Lihat juga: Yasir Nasuton, Manusia Menurut al-Ghazali, Rajawali Press, Jakarta, 1988, hlm. 102.
Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
syari’at agama, menurutnya manusia tidak mengetahui rahasia yang terkandung dalam setiap pernyataan ajaran agama itu.21 Sedangkan ilmu yang datang melalui ilhâm yang masuk ke dalam hati disebut “Ilmu ladunnî”. Dalam Risâlah al-Ladunniyyah-nya, al-Ghazâlî mengartikan ilmu ladunnî adalah ilmu yang menjadi terbuka dalam rahasia hati “tanpa perantara” karena ia datang langsung dari Tuhan ke dalam jiwa manusia.22 Dengan kata lain, ilmu ladunnî merupakan ilmu yang didatangkan dari Tuhan secara langsung tanpa sebab, yang membuat hati terbuka dalam memahami atau mengetahui sesuatu tanpa perantara atau tanpa sebab.23 Selanjutnya, dari kedua sumber perolehan ilmu pengetahuan itu (wahyu dan ilhâm), al-Ghazâlî memasukkan jalan ta’allum dan tafakkur sebagai metode untuk memperoleh ilmu. Persoalan ini menjadi terkait dengan uraian al-Ghazâlî tentang ilmu insânî yang menurutnya diperoleh melalui ta’allum dan tafakkur. Tafakkur berbeda dengan ta’allum. Kalau tafakkur adalah proses berpikir secara bathini dengan melalui nafs kullî (jiwa universal) yang kemudian menghasilkan ilmu-ilmu universal yang bersifat metafisik, sedangkan ta’allum adalah proses berfikir secara zhahiri dengan menggunakan akal yang kemudian menghasilkan ilmuilmu secara juz’i yang material.24 Aktivitas tafakkur pada ilmu insani itu, pada akhirnya menyentuh juga kawasan ilmu-ilmu yang metafisik, karena dalam ber-tafakkur melibatkan aktivitas jiwa manusia, terutama ketika sedang menganalisa dan mempersepsi segala sesuatu di balik alam yang real (nyata). Sudah tentu ber-tafakkur seperti ini akan menyentuh kawasan metafisik di balik apa yang dipikirkannya. Lebih lanjut al-Ghazâlî membagi ilmu menjadi dua macam, yaitu ilmu syar’î dan ilmu ‘aqlî. Menurut alGhazâlî bahwa kebanyakan ilmu syar’î itu adalah ilmu ‘aqlî bagi orang yang ‘âlim. Sedangkan kebanyakan ilmu ‘aqlî merupakan ilmu syar’î bagi orang yang ‘ârif.25 Dari sini al-Ghazâlî ingin membedakan antara ilmu syar’î dengan ilmu ‘aqlî, seperti halnya juga membedakan jalan tafakkur antara ilmu insânî dan ilmu rabbânî. Ketika dikaji lebih lanjut, pembedaan-pembedaan hal tersebut di atas dikarenakan al-Ghazâlî cenderung menampilkan pemikirannya dalam wacana yang lain, yakni pemikiran tentang ilmu ladunnî. Kecenderungan ini terlihat dalam Kitab Risâlah al-Ladunniyyah-nya. Oleh sebab itulah kitab Risâlah al-Ladunniyyah lebih merupakan keinginan al-Ghazâlî untuk memasukkan ilmu ladunnî sebagai bagian dari epsitemologi keilmuan yang dikajinya. Dalam hal ini, kitab Risâlah al-Ladunniyyah mengupas persoalan-persoalan ilmu, baik yang direkayasa manusia maupun ilmu yang diberikan Tuhan. Konsekuensi logisnya, hal ini tentunya akan lebih memperjelas tentang hirarki ilmu yang diklasifikasikan oleh al-Ghazâlî. Dalam penjelasan tentang bagaimana ilmu diperoleh manusia, maka di dalam kitab Risâlah al-Ladunniyyah dijelaskan bahwa ilmu itu datang dari Tuhan melalui ilhâm, tetapi ilhâm bukan merupakan wahyu.26 Wahyu, adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi dengan perantaraan Malaikat Jibril. Isi wahyu berupa ilmu yang diturunkan Allah kepada manusia yang telah ditunjuk-Nya, yakni Nabi atau Rasul. Ilhâm, adalah bisikan atau petunjuk yang datang ke dalam hati, yang diberikan kepada manusia secara langsung.27 Ilhâm merupakan informasi dari Tuhan tanpa diusahakan melalui belajar, berfikir atau dalil-dalil tertentu.28 Lebih lanjut al-Ghazâlî membedakan, antara wahyu dan ilhâm, kalau wahyu diberikan hanya kepada Nabi atau Rasul Allah. Sedangkan ilhâm diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki.29 Jadi ilhâm merupakan proses datangnya informasi sedangkan ilmu ladunnî, adalah produk ilmunya. Al-Ghazâlî jelas membedakan antara wahyu dengan ilhâm. Ilmu yang didatangkan lewat wahyu disebut ilmu nabawî, sedangkan ilmu yang didatangkan lewat ilhâm disebut ilmu ladunnî. Ilmu ladunnî, menurut al-Ghazâlî diperoleh manusia lewat ungkapan langsung (mukâsyafah). Untuk memperoleh mukâsyafah, memerlukan proses panjang yang harus dijalani manusia. Hal ini, karena Tuhan (sebagai pemberi ilmu) adalah Dzat Yang Maha Suci, yang akan memberikan ilmu ladunnî itu hanya kepada 21
M. Basri al-Ghazali, loc.cit.
22
Al-Ghazâlî, op.cit, hlm. 116.
23
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, op.cit., hlm. 116; Lihat juga: Al-Ghazâlî, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III, Dar al-Ihya’ wa al-Kutub al-‘Arabiyah, Indonesia, t.t., hlm. 23. 24
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, Ibid dan hlm. 116; al-Ghazâlî, Ihya’, op.cit., Jilid III, hlm. 23.
25
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, op.cit., hlm. 102.
26
Menurut Harun Nasution, istilah wahyu berasal dari Bahasa Arab “al-wahy”, dan bukan pinjaman dari bahasa asing. Kata itu mengandung arti suara, api dan kecepatan (Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1982, hlm. 15). 27
Miska Muhammad Amin, op.cit., hlm. 20 dan 25; W.J.S. Poerwadarminta, Logat Kecil Bahasa Indonesia, J.B. Wolters’ Uitgeversmaatschappij NV, Jakarta, 1949, hlm. 38; Miska Muhammad Amin, op.cit., hlm. 25. 28
Al-Ghazâlî, Ihyâ’, Ibid., hlm. 17; Lihat: Yasir Nasution, Manusia Menurut al-Ghazali, Rajawali Press, Jakarta, 1988, hlm.
110. 29 Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, op.cit., hlm. 115; Lihat: Ali Isa Ottoman, The Concept of Man in Islam in The Writing of al-Ghazali, terj: Johan Smith, et.al., 1987, hlm. 67.
Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
orang-orang tertentu yang jiwanya telah tersucikan. Manusia yang ingin memperoleh ilmu ladunnî, maka harus memiliki cara-cara atau prasyarat-prasyarat tertentu. Salah satunya adalah dengan proses “pensucian jiwa”, yang oleh al-Ghazâlî dibahasakan dengan istilah “Tazkiyah al-Nafs”. Dalam proses pensucian jiwa itu memerlukan langkah-langkah antara lain: Pertama, dengan melakukan takhallî, yakni upaya pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela; Kedua, dengan tahallî, yakni mengisi jiwa yang telah terkosongkan itu dengan ahklak-akhlak terpuji; dan Ketiga adalah tajallî, yakni ketersingkapan dan atau hasil yang nampak berupa karunia keistimewaan atau karâmah yang dimiliki manusia setelah melalui dua proses takhallî dan tahallî. Pada tahap tajallî inilah ilmu ladunnî singgah. Ilmu yang diperoleh lewat pendekatan rabbânî di atas berbeda dengan ilmu yang diperoleh lewat rekayasa akal manusia. Ilmu hasil rekayasa ini dapat berupa teori-teori keilmuan praktis dalam berhubungan (mu`âmalah) antara manusia dengan manusia atau dengan alam sekitarnya. Al-Ghazâlî mengistilahkan ilmu semacam ini adalah ilmu mu'âmalah. Disamping membicarakan sumber-sumber, kitab Risâlah juga membicarakan alat yang dimiliki manusia untuk memperoleh ilmu, seperti panca-indera, akal, dan qalb (hati). Kitab Risâlah ini juga membahas hirarki atau klasifikasi ilmu, yang dijelaskan dalam pembicaraan dua klasifikasi besar, yaitu ilmu syar’î (agama) dan ilmu ‘aqlî (rasional atau intelektual). Kitab Risâlah al-Ladunniyyah menggambarkan sebuah interaksi pemikiran-pemikiran keilmuan al-Ghazâlî secara umum yang dibicarakan dalam Maqâshid al-Falâsifah, Mîzân al-‘Amâl, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Jika Epistemologi dalam Risâlah al-Ladunniyyah ini merupakan sebuah interaksi pemikiran keilmuan al-Ghazâlî, maka untuk mengungkap epistemologinya perlu melihat sejauh mana interaksi pemikirannya dengan konsep keilmuan Islam secara umum, terutama versi al-Farâbî. Al-Farâbî merupakan orang pertama yang berpengaruh dalam dunia Islam, yang menyebabkan dia digelari “Guru Besar Kedua” (al-Mu’allim al-Tsânî). Ini tentunya menjadi model bagi setiap penggagas keilmuan Islam setelah al-Farâbî, termasuk al-Ghazâlî. Ia banyak mengambil referensi dari al-Farâbî, sehingga al-Ghazâlî dipandang berperan dalam melanjutkan pemikiran keilmuan al-Farâbî. Dari kerangka pikir di atas, kelihatan bahwa pemikiran al-Ghazâlî tentang ilmu dan termasuk di dalamnya tentang ilmu ladunnî dalam Risâlah al-Ladunniyyah merupakan sebuah epistemologi yang mencakup pembagian ilmu, sumber-sumber, dan manfaatnya. E.
Sumber, Metode, dan Hirarki Ilmu Risâlah al-Ladunniyyah menekankan dua sumber penggalian ilmu yaitu sumber insânîyah dan rabbâniyah. Sumber insânîyyah diusahakan berdasarkan rekayasa akal. Sedangkan sumber rabbâniyah melalui informasi Allah, baik langsung melalui ilhâm, maupun lewat wahyu. Wahyu diturunkan kepada para Nabi atau Rasul, karena mereka memiliki akal universal (‘aql kullî). Ilmu yang diperoleh lewat wahyu disebut ilmu nabawi, dan ilmu yang diperoleh melalui ilhâm dan kasyaf disebut “Ilmu ladunnî”. Dari kedua sumber itu, al-Ghazâlî memasukkan ta’allum dan tafakkur sebagai metode untuk memperoleh ilmu. Ta’allum sebagai proses pembelajaran secara lahiriah dan mempotensikan individu juz’i, sedangkan tafakkur bersifat bathiniyah dan melibatkan nafs kullî (jiwa universal); Metode ta'allum disebut proses berfikir induktif, sedangkan metode tafakkur disebut proses deduktif. Ilmu yang dihasilkan nafs kullî lebih universal, valid, dan tidak sparatis. Untuk memfungsikan nafs kullî, maka metode tafakkur-lah yang digunakan karena mempotensikan indera luar dan dalam. Peranan qalb (hati) sangat penting dalam perolehan ilmu. Ilmu yang diperoleh qalb ini mendekati ilmu hakikat-hakikat, lewat ilhâm. Kemampuan menangkap hakikat dengan jalan ilhâm digantikan oleh intuisi (aldzawq), yang sebelumnya pada buku-buku filsafatnya diperoleh dengan ‘aql al-mustafâd. Otak berhubungan dengan akal, dan qalb berhubungan dengan dzawq. Al-Ghazâlî memposisikan dzawq lebih tinggi dari pada indera dan akal. Dzawq adalah daya tangkap yang sekaligus “merasakan” kehadiran yang ditangkap, sehingga dzawq menghasilkan ilmu meyakinkan (‘ilm al-yaqîn). Selanjutnya, dalam Risâlah al-Ladunniyyah, al-Ghazâlî juga menjelas-kan hirarki atau klasifikasi ilmu, yang menurutnya dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yaitu: ilmu syar’î (ilmu religius), dan ilmu ‘aqlî (ilmu intelektual). Menurut al-Ghazâlî, validitas ilmu syar’î tidak diragukan lagi ketimbang ilmu yang diperoleh dengan rekayasa akal. Persoalan klasifikasi (hirarki) ilmu menjadi sangat signifikan untuk melihat keutuhan dan kesinambungan pemikiran epistemologinya. Dari analisis Risâlah al-Ladunniyah ditambah dengan kitab-kitab lain, ditemukan empat basis klasifikasi: (1) klasifikasi ilmu syar’îyah (agama) dan ‘aqlîyah (akal, intelektual); (2) fardhu ‘aîn, dan fardhu kifâyah; (3) ilmu teoritis dan prkatis; (4) ilmu yang dihadirkan (hudhûrî) dan ilmu yang diusahakan (hushûlî). Uraian klasifikasi hudhûrî-hushûlî menjadi sangat penting karena basis ini didasarkan perbedaan mendasar dalam cara mengetahui. Ilmu hudhûrî (ilmu ladunnî) bersifat kasyf, supra-rasional, intuitif dan kontemplatif. Sedangkan ilmu hushûlî bersifat tak langsung, logis, dan diskursif. Ilmu hudhûrî lebih unggul daripada hushûli, dan terbebas dari kesalahan. Uraian basis keempat itu juga dimaksudkan untuk menganalisis kesan kontradiktif antara ilmu syar’î dan ilmu ‘aqlî ketika al-Ghazâlî mengungkapkan, “Sebagian besar ilmu syar’î dinilai sebagai ‘aqlî dalam persepsi orang ‘âlim; dan sebaliknya sebagian besar ilmu ‘aqlî menjadi bagian ilmu syar’î, dalam persepsi orang ‘ârif”. Analisis persoalan ini menggambarkan bahwa Risâlah al-Ladunniyyah merupakan konsepsi epistemologi alGhazâlî yang menggabungkan ilmu dalam paradigma esoteris dan eksoteris. Paradigma ini kemudian diarahkan Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
pada pemikiran ilmu ladunnî, dengan mendasarkan pada argumen dari Qur'an-Hadits dan argumen empiris. Ini menggam-barkan bahwa ilmu ladunnî sebagai bagian tak terpisahkan dari kajian epistemologinya. F.
Ilmu Ladunni dalam Kitab Risâlah al-Ladunniyyah Selanjutnya, penelitian ini juga menemukan sebab-sebab memper-oleh ilmu ladunnî dalam Risâlah alLadunniyyah. Rumusan ini menggunakan kerangka pikir dari Q.S. al-Syams [91]: 7 :
(Demi jiwa serta penyempurnaannya). Pemahan al-Gazâlî terhadap makna ayat itu melahirkan empat metode perolehan ilmu ladunnî: (1) metode riyâdhah dan murâqabah; (2) metode tafakkur; (3) metode pencarian ilhâm; (4) metode tazkiyah al-nafs. Uraian tentang metode tazkiyah al-nafs mewarnai metode lainnya. Alasannya: (1) ilhâm bisa berkembang dari nafs kullî ke nafs juz’i berdasarkan kadar kejernihan, kekuatan, dan kesiapan penerimaannya; (2) jiwa yang memperoleh ilmu ladunnî adalah jiwa yang tersucikan dari noda dan akhlak jelek, sehingga dapat menembus alam malakût, dan di sana ia memperoleh ilmu ladunnî dari Tuhan. Al-Ghazâlî yakin, jiwa yang tersucikan bisa dekat dengan-Nya secara batini, karena Tuhan Maha Suci dan bisa didekati oleh jiwa yang suci pula. Semua ini bisa didapat melalui tazkiyah al-nafs, ditambah metode-metode lainnya. Tazkiyah al-nafs dilakukan melalui tahap-tahap takhallî, tahallî, dan tajallî. Selanjutnya, dalam mengemukakan epistemologi ilmu ladunnî, al-Ghazâlî mendasarkan pada argumenargumen naqliyah (baik al-Qur'an maupun Hadits) dan argumen-argumen berdasarkan empiris dari orang-orang tertentu. Argumen-argumen yang didasarkan kepada dalil-dalil naqliyah, ia sebut sebagai “kesaksian syara'”, sedangkan argumen-argumen kedua ia sebut “kesaksian pengalaman”.30 Kesaksian syara' yang diketengahkan al-Ghazâlî, seperti yang dijelaskan dalam Kitab Risâlah Ladunniyahnya,31 antara lain adalah: Sabda Rasulullah:
"Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum dia ketahui." 32 Untuk menguatkan hadits itu, ia juga mengutif hadits (artinya): "Barangsiapa yang ikhlas beribadah kepada Allah selama 40 pagi, niscaya Allah menghadirkan hikmah di hatinya, yang diucapkan lewat lidahnya". Selain hadits di atas, al-Ghazâlî juga mengetengahkan firman-firman Allah, antara lain:
. "Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami sesunggunya kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami" (Q.S. al-`Ankabût [29]:69).
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan keluar baginya. Dan memberi rizki dari arah yang tidak disangka”.
"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Di akan menjadikan bagi kamu furqan (pembeda)." (Q.S. Al-Anfâl [8]:29). Yang dimaksud furqân ini adalah cahaya yang dipergunakan untuk membedakan antara yang haqq dan yang bâthil, dan dengan bantuannya dapat mengeluarkan dari berbagai syubhat (perkara yang masih samar hukumnya).33 Oleh karena itulah, maka Nabi saw. sering berdo'a meminta nûr (cahaya), seperti dalam sabdanya (artinya): "Ya Allah berilah aku cahaya, tambahkanlah aku cahaya, dan jadikanlah dalam hatiku cahaya, dalam kuburku cahaya, dalam pendengaranku cahaya, dalam penglihatanku cahaya," hingga beliau membaca, "Dalam rambutku, kulitku, dagingku, darahku dan tulang belulangku".34 Al-Ghazâlî juga mengemukakan firman Allah swt.:
30
Al-Ghazâlî, Ihyâ' , Jilid III, op.cit., hlm. 22.
31
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, op.cit., hlm. 122.
32
Al-Hâfizh al-‘Irâqî berkata, “Dikeluarkan oleh Abû Nu`aim dalam al-Hilyah dari hadits Anas, dan al-‘Irâqî menyatakan hadits tersebut dha`îf. 33
Al-Ghazâlî, Ihyâ', op.cit., Jilid III, hlm. 22.
34
Al-‘Irâqî berkata: “Hadits ini muttafaq ‘alaih dari hadits Ibnu `Abbâs”.
Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
"Maka Kami memberikan kepahaman hal itu kepada Sulaiman". Abû Dardâ' pernah berkata, seperti dikutip al-Ghazâlî: "Orang mu'min itu melihat dengan cahaya Allah dari balik tirai yang tipis, demi Allah sesungguhnya cahaya itu adalah kebenaran yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hati mereka dan mengalir pada lisan mereka."35 Sebagian dari generasi salaf berkata: "Bahwa dugaan atau sangkaan orang mu'min itu adalah pemberitaan ghaib sebelum terjadi". Nabi saw. bersabda (artinya): "Berhati-hatilah kalian terhadap firasat orang mu'min karena ia melihat dengan cahaya Allah Ta'ala."36 Rasulullah juga bersabda (artinya): “Sesungguhnya dari kalangan umatku terdapat muhaddatsûn (orang yang diajak bicara rahasia oleh Allah) dan mu`allamûn (orang-orang yang diberi ilmu oleh Allah), serta mukallamûn (orang-orang yang diajak bicara langsung oleh Allah), dan sesungguhnya `Umar adalah salah satu dari mereka”.37 Menurut Ibnu Atsîr, seperti dikutip Yusuf Qardhawi: Penafsiran kata “muhaddatsûn” pada hadits itu adalah “mulhamûn” (orang-orang yang mendapat ilhâm), dan pengertian mulham (bentuk tunggal mulhamûn) adalah orang yang disusupkan sesuatu ke dalam jiwanya, lalu dengan sesuatu tersebut dia mengabarkan firasat, dan firasat tersebut merupakan salah satu jenis dari wahyu yang Allah istimewakan kepada hamba-hamba pilihanNya, seperti `Umar, seakan-akan diberi ilhâm, kemudian ia mengatakannya.38 Dalam al-Qur’an, Allah juga telah berfirman:
“Dan Kami telah mengajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (Q.S. al-Kahfi [18]:65). Semua dalil yang disebutkan di atas merupakan kesaksian naqliah yang dijadikan argumentasi oleh alGhazâlî untuk menjelaskan ilmu ladunnî. Disamping argumen syara’ seperti di atas, al-Ghazâlî juga menyodor-kan argumen berdasarkan pengalaman (hikayat). Misalnya, Abû Bakar Shiddîq tatkala akan wafat berkata kepada ‘Âisyah, “Hanya dua itulah saudara laki-laki dan saudara perempuanmu.” Ketika itu isteri beliau sedang hamil, lalu melahirkan anak perempuan. Jadi, Abû Bakar, sebelum isterinya melahirkan sudah mengetahui anaknya yang akan lahir itu adalah perempuan. Umar r.a. di tengah-tengah khutbahnya, pernah berkata, “Wahai pasukan, naiklah ke gunung! Karena di hati `Umar telah mengetahui (tersingkap) bahwa musuh telah mendekati pasukannya, maka beliau memperingatkannya setelah mengetahui hal tersebut. Kemudian terdengarnya suara beliau oleh pasukan adalah termasuk karamah. Anas bin Mâlik pernah berkata, “Aku memasuki rumah `Utsmân. Sebelumnya ketika di tengah jalan, aku berjumpa seorang wanita, lalu aku terkesima kecantikannya. Dan ketika aku masuk, `Utsmân berkata, “Salah seorang di antara kamu yang hadir, tampak kedua matanya bekas dari zina. Tahukah kamu bahwa zina kedua mata itu adalah dengan melihat? Hendaknya kamu bersungguh-sungguh dalam bertobat ataukah aku akan menghukummu? Maka Anas bin Mâlik bertanya, “Adakah wahyu sesudah Nabi?” `Utsmân menjawab, “Tidak!”. Tetapi yang ada hanyalah pandangan batin (bashîrah). G.
Kesimpulan Akhirnya dari penelitian ini terumuskan tiga kesimpulan: Pertama, epistemologi dalam Risâlah alLadunniyyah menekankan superioritas wahyu dan ilhâm atas akal, karena keduanya berhubungan dengan intelek universal yang lebih sempurna daripada akal. Keunggulan itu dikemukakan dalam term-term esoterik. Wahyu dan akal dilihat sebagai perwujudan mikrokosmik dari intelek universal (al-‘aql al-kullî) dan jiwa universal (al-nafs al-kullî). Al-Ghazâlî yakin pada superioritas wahyu, ilhâm dan dzawq (intuisi) atas akal. Atas dasar ini Kitab Risâlah al-Ladunniyyah merupakan epistemologi ilmu berparadigma komprehensif. Kedua, epistemologi dalam Risâlah al-Ladunniyyah menyiratkan sebuah interaksi keilmuan al-Ghazâlî, yang dalam karya-karya sebelumnya lebih bersifat teoritis, kemudian berinteraksi dengan pemikiran praktisnya dalam tasawuf, sehingga dalam Risâlah al-Ladunniyyah menjadi pemikiran esoteris dan eksoteris. Rumusan ini menjadikan epistemologi Risâlah al-Ladunniyyah lebih komprehensif ketimbang pemikiran keilmuan al-Farâbî, yang lebih menekankan aspek ‘aqlî di hadapan aspek syar’î. Ketiga, pemikiran ilmu ladunnî yang menjadi “final interest” dalam Risâlah al-Ladunniyyah didasari keyakinan al-Ghazâlî bahwa manusia dapat memperoleh ilmu ladunnî. Hanya saja, kadar kemanusiaan itu sendiri yang menentukannya. Kalau wahyu kadarnya untuk Nabi dan Rasul, sedang-kan ilhâm adalah untuk manusia yang mencukupi “kadar kemanusiaan” terpilih, seperti wali dan orang saleh yang suci jiwanya. Al-
35
Al-Ghazâlî, Ihyâ', Jilid III, op.cit., hlm. 23.
36
Ditakhrij oleh al-Turmudzî dari hadits Abû Sa`îd.
37
Dikeluarkan oleh al-Bukhârî dari hadits Abû Hurairah, dan diriwayatkan pula oleh Muslim dari hadits ‘Âisyah,
38
Qardhawi, op.cit., hlm. 15.
Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Ghazâlî yakin bahwa epistemologi ilmu ladunnî paling kuat dan sarat hikmah ketimbang ilmu yang diperoleh melalui proses belajar.[]
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Miska M., Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Ilmu Islam, UI Press, Jakarta, 1983. Creswell, John W., Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition, Thousand Oaks London, Sage Publications, New Delhi, 1999. Jaques, Waardenburg, Humanities, Social Science, and Islamic Studies, dalam: Islam and Christian-Muslim Relations, Institute of Christian-Muslim Relations, Birmingham, 1990. Ghazâlî, al-, Al-Munqidz min al-Dhalal, Silislah Tsaqafat, Kairo, 1961. __________, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Jilid III, Dar al-Ihya’ wa al-Kutub al-‘Arabiyah, Indonesia, t.t. __________, Ma`ârif al-Quds fî Madârij Ma`rifah al-Nafs. __________, Risâlah al-Ladunniyyah, dalam: Qushûr al-Awwali, dihimpun Musthafâ Muhammad Abû al-‘Alâ, Maktabah Jundi, Mesir, 1970. __________, Tahâfut al-Falâsifah, editor Sulaiman Dunia, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1966. Ghazali, M. Bahri, Konsep Ilmu Menurut al-Ghazali, Pedoman Ilmu Jaya, Yogyakarta, 1991. Muzani, Syaiful, ed., Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, Mizan, Bandung, 1995. Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1982. __________, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973. Nasuton, Yasir, Manusia Menurut al-Ghazali, Rajawali Press, Jakarta, 1988 Ottoman, Ali Isa, The Concept of Man in Islam in The Writing o f al-Ghazali, terj: Johan Smith, et.al., 1987 Poerwadarminta, W.J.S., Logat Kecil Bahasa Indonesia, J.B. Wolters’ Uitgeversmaatschappij NV, Jakarta, 1949. Pranaka, A.M.W., Epistemologi Dasar Suatu Pengantar, CSIS, Jakarta, 1987. Simuh, dalam: Yustiono (ed.), et.al., Islam dan Kebudayaan Indonesia, Yayasan Festival Istiqlal, Jakarta, 1993.
Surakarta, 2-5 November 2009