KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA DALAM KITAB AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh: Ryan Alfian NIM: 1110034000080
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H./2014 M.
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
J.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat,28 Oktober 2014
Ryan Alfian
KONSEF KEPE &{ I &4 p} hrAru &,g $i ru Lr g{ [ 1'g. sA'6 F] ggA q&, 1&/A DA{-A&{ K{?'ABrg-,4s.{s yf ag_-gars,gg* g}Aru
ae__Esg_Aw
Skripsi Diaj ukan kepada Fakultas Ushrrludclin
untuk Memenul:i lrersyaratan Meirper*lch Gelar Sarjana Theoi*gi lslarn {S.,Iii. l}
Cieh: Rya_n
NIM:
11
Alfieg
l0ci34000Sii
Perirbiinbing,
PROGRAN{ STUDI TAFSIR }IADiS FAKULTA S {ISH UL [iDDIhi_
trNlvERSrrAS rsLAM
GER| syARrF H{B,4,YAT[J n-LA,]{ JAKARTA 1436H.nar4 M" NE
FEIiIGESAHAF{ PANTTFA U.3SAN
skripsi
berjudul KoNsEF KHPEVI{&.{F$HAN e,FENuHe{i t- srt,?6} gAl}lryA DALAM KrrAB At--as.as ax-:ragEyg flpAro.*'&_rsn"6.,r.f relah
ri
diu.jikan dalain sidang mrinaclasl,ah Fakultas Usliujuddin Uil.i S;,;11jj, F{ida-yaiiiilair 'iakarta pada tanggal28 oktobei"20l4. sliripsi ini telah diterjrna sebagar salah sa.tra syara't memperoleh gelar sa{ana Thc*l+gr Islaie {s rh.i) pa.4a Fr+gran: *{tr:<_!i Tafsir-Hadis.
.jakarta, 28 Oktaber
20i4
Sidang ll{unaqasyah Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
l/b-
td NIP:
*
Jauhar Aziz_v" ir,,,tA 1982082i 20090 i
j 0l:
Anggota, Penguji I
Pengu.li
11
Ht
T'(L
Ahmad Rifqi Muchtar. MA NIP: 196908221997W t A{Jz
,Erra
tli,ei;d.
MA
1971{}6A7 199803
NIP: 19620624 200003 iii
1 001
I {i03
ABSTRAK Ryan Alfian KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA DALAM KITAB AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM Setelah Rasulullah Saw. wafat, banyak permasalahan yang muncul, baik permasalahan dalam bidang agama, sosial, politik, budaya, dan lail-lain. Salah satu permasalahan yang muncul adalah tentang kepemimpinan. Pasca wafatnya Rasulullah, tidak dijelaskan apakah Islam memerintahkan untuk mendirikan negara Islam atau tidak, serta tidak spesifiknya Islam di dalam mengatur urusan politik dan pemerintahan. Skripsi ini mempunyai tujuan membahas tentang kepemimpinan menurut Saʻîd Hawwa. Metode awal yang penulis lakukan adalah dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kepemimpinan, dengan merujuk kepada “Tafsir Al-Qur’an Tematik Kementrian Agama RI”. Setelah itu penulis mencoba untuk memasukan penafsiran Saʻîd Hawwa terhadap ayat-ayat tersebut dengan merujuk kepada kitabnya al-Asâs fî al-Tafsîr. Untuk memperluas pandangan Saʻîd Hawwa tentang kepemimpinan, penulis juga merujuk kepada salah satu karyanya yakni kitab alIslâm. Data yang didapat dideskripsikan, setelah itu menganalisanya secara proporsional sehingga akan didapat rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok pembahasan. Sa’îd Hawwa di dalam menjelaskan kepemimpinan, dimulai dengan membahas tema khilâfah. Pada pembahasan selanjutnya, adalah hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan dan pemimpin. Seperti, bagaimana cara mengangkat seorang pemimpin, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, bagaimana seorang pemimpin bisa diturunkan dari jabatannya, serta apa saja yang menjadi kewajiban dan hak dari seorang pemimpin. Setelah mendeskripsikan serta menganalisa data yang terdapat dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm, penulis mendapatkan beberapa poin penting dari kedua kitab tersebut, bahwa seorang pemimpin harus beragama Islam, tidak bisa seorang non-Muslim dijadikan seorang pemimpin. Selanjutnya, sekalipun banyak tugas yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin, tetapi jika dikelompokkan ada dua tugas utama dari seorang pemimpin, pertama adalah menegakkan agama Islam, kedua adalah melaksanakan tugas-tugas kenegaraan dalam lingkup ajaran yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Kemudian hal yang paling sering dibicarakan adalah, bahwa seorang pemimpin harus selalu menegakkan keadilan dalam menetapkan hukum dan aturan, serta harus selalu bermusyawarah di dalam mengambil sebuah keputusan.
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulillah penulis ucapkan sebagai rasa syukur yang tak terhingga kepada Tuhan seluruh alam, Allâh Swt atas segala limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA DALAM KITAB AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM. Salawat teriring salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad Saw. yang kehadirannya di dunia ini menjadi pelita bagi umat serta ajarannya yang senantiasa membimbing kita menuju kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga kita semua umatnya akan mendapat pertolongan dari beliau pada hari pembalasan nanti. Aamiin. Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan ini, banyak pihak yang turut membantu dan memberi andil, baik telah membarikan ilmunya maupun telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis, terutama kepada dosen pembimbing, sehingga tulisan ini dapat penulis selesaikan. Maka dari itu penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada berbagai pihak, diantaranya adalah: 1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA. Selaku rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu berupaya untuk menyediakan fasilitas yang terbaik bagi para mahasiswa di Fakultas Ushuluddin. 3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin. Bapak Jauhar Azizy, MA selaku Sekretaris Jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin, yang telah banyak memberikan waktunya bagi penulis untuk berkonsultasi tentang skripsi yang penulis angkat. 4. Bapak Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA. Selaku dosen pembimbing penulis yang sudah memberikan banyak ilmu, arahan dan masukan sehingga v
skripsi ini dapat selesai. Penulis memohon maaf jika selama masa bimbingan terdapat kesalahan, baik yang disengaja maupun tak disengaja. Semoga ilmu yang bapak berikan akan menjadi ilmu yang bermanfaat untuk penulis. 5. Bapak Eva Nugraha, MA dan Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku dosen penguji pada sidang skripsi penulis. Bimbingan, masukan, serta kritikan yang membangun sangat penulis rasakan untuk mengahasilkan skripsi yang lebih berkualitas. 6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Jurusan Tafsir Hadis yang telah memberikan ilmunya untuk penulis, semoga dengan ilmu yang diberikan ini dapat membimbing penulis pada jalan kebaikan. Penulis berharap semoga semua ilmu yang diberikan oleh seluruh dosen bernilai kebaikan di sisi Allâh Swt. 7. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, tempat-tempat yang selalu memberi kenyamanan, inspirasi dan menjadi saksi, serta banyak membantu
dalam
menyediakan
referensi-referensi
disaat
penulis
menyusun skripsi ini. 8. Kedua orangtua tua tercinta, yang jasanya tak akan pernah terbalas sepanjang masa, ibunda Tihani dan ayahanda Supriyanto Kustanto. Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan untuk keduanya. Terimakasih atas segala do’a, nasihat, semangat dan semuanya yang telah diberikan penulis, yang benar-benar penulis rasakan keberkahannya hingga saat ini. Tuhan, izinkan aku untuk meraih kesuksesan hidup sehingga aku dapat mengukir senyum di wajah keduanya. Semoga ayah dan umi selalu berada dalam lindungan Allâh Swt. 9. Kepada segenap keluarga, kerabat, kakanda Nurhaidah, “encang-encing” serta semuanya yang mohon maaf tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas segala dukungan doa dan semangatnya selama penulis menyusun skripsi ini.
vi
10. KH. Bahruddin, MA. Pimpinan pondok pesantren Dar El-Hikam, Pondok Ranji, yang telah banyak membantu penulis di dalam menterjemahkan kitab-kitab al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep. yang selalu menyemangati penulis dikala suka maupun duka, yang senantiasa sabar dan ikhlas serta banyak meluangkan waktunya untuk menemani penulis di dalam menyusun skripsi ini, serta untuk semua kebaikan yang telah diberikan, semoga skripsi ini menjadi hadiah istimewa untukmu. Terimakasih yang tulus penulis ucapkan kepadamu yang selalu ada untukku. Semoga apa yang menjadi harapan kita dikabulkan oleh Allâh Swt. 12. Kepada semua teman-teman jurusan Tafsir-Hadis 2010, khususnya kepada teman-teman TH-C 2010, penulis ucapkan terimakasih kepada semuanya. Semoga hari-hari yang pernah kita lewati bersama, akan menjadikan kita semua menjadi satu keluarga yang tak akan saling melupakan. Semoga kita semua menjadi individu yang berguna untuk agama dan masyarakat. 13. Teruntuk teman-teman terbaik yang selalu bersama-sama dan selalu ada untuk penulis, baik dari semenjak penulis masuk bangku perkuliahan hingga menyusun skripsi ini, yakni kepada sahabat Alamuddin Syah, Ahmad Ubaidillah, Aceng Aum Umar Fahmi, M. Lailu Ramadhona, M. Afwan Al-Muta’ali, Abdus Salam, Abdur Rijal, Januri, Cep Supriadi, Ilmawan
Hikmansyah,
Adi
Sunarya,
Aceng
Muchtar
Rosyadi,
Shalahuddin Al-Faruqi, Ahmad Ghazali, geng “Kuya Rangers” dan semuanya, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga persahabatan yang telah kita rajut, akan terus berlanjut untuk selamanya. 14. Kepada semua teman-teman yang tergabung dalam FORMABI (Forum Mahasiswa Bidik Misi) 2010, penulis ucapakan terimakasih atas persahabatan dan persaudaraan yang telah terbina selama berada di bangku perkuliahan. 15. Kepada seluruh sahabat Alfalah 36. Terimakasih atas segala doa dan motivasinya. Semoga kita semua menjadi manusia yang bermanfaat. Aamiin. vii
16. Kepada para sahabat yang tergabung dalam GEMMA (Generasi Muda Musholla Al-Amin), penulis ucapkan terimakasih atas segala doa dan semangat yang diberikan selama penulis menyusun skripsi ini. 17. Kepada semua kyai, ustadz, guru, kerabat, saudara, sahabat dan semua pihak yang telah membantu dan mendoakan penulis di dalam menyusun skripsi ini, dan mohon maaf tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga. Semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, bernilai kebaikan di sisi Allâh Swt.
Tangerang Selatan, Oktober 2014
Ryan Alfian
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
ب
b
be
ت
t
te
ث
ts
te dan es
ج
j
je
ح
h
h dengan garis bawah
خ
kh
ka dan ha
د
d
de
ذ
dz
de dan zet
ر
r
er
ز
z
zet
س
s
es
ش
sy
es dan ye
ص
s
es dengan garis di bawah
ض
ḏ
de dengan garis di bawah
ط
ṯ
te dengan garis di bawah
ظ
ẕ
zet dengan garis di bawah
ع
،
koma terbalik di atas hadap kanan
غ
gh
ge dan ha
ف
f
ef
ق
q
ki
ك
k
ka
ل
l
el
م
m
em
ن
n
en ix
و
w
we
ھ
h
ha
ء
ʼ
apostrof
ي
y
ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
-----َ
a
fathah
-----ِ
i
kasrah
-----ُ
u
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
ي-----َ
ai
a dan i
و-----َ
au
a dan u
Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
َا--
â
a dengan topi di atas
ْي-ِ
î
i dengan topi di atas
ْو-ُ
û
u dengan topi di atas
x
Kata Sandang Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu الdialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ّ ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh hurufhuruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورةtidak ditulis ad-darûrah melainkan aldarûrah, demikian seterusnya.
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN …...............……………….............…......…........ i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............…….……..….......... ii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii ABSTRAK .......................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ...................................................................................... v PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... ix DAFTAR ISI ………………….......………...............………………................. xii
BAB I: PENDAHULUAN …………...………………...................................… 1 A. Latar Belakang Masalah …………………..…………...................… 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………..……….………….... 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................... 10 D. Studi Pustaka …….......………………………..………....................11 E. Metodologi Penelitian...………................……...…….…………..... 13 F. Sistematika Penulisan …..…………………………....………....…. 15 BAB II: PROFIL SAʻÎD HAWWA DAN TAFSIRNYA …………................ 16 A. Saʻîd Hawwa........ …………………………….............………….... 16 1. Biografi Saʻîd Hawwa ...................................................................16 2. Karya-karya Saʻîd Hawwa ........................................................... 21 B. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr …..............................…………………. 25 1. Metode dan Corak Penafsiran ...................................................... 25 2. Sistematika Penulisan ................................................................... 29 3. Referensi Penulisan ...................................................................... 31 4. Kelebihan dan Kekurangan .......................................................... 33
xii
BAB III: KEPEMIMPINAN PERSPEKTIF SAʻÎD HAWWA ..................... 36 A. Khilafah …………………............................................................... 36 B. Al-Khilâfah Al-‘Uzma (Kepemimpinan Tertinggi) ........................... 41 1. Pengertian Khilafah .................................................................... 41 2. Mengangkat Seorang Pemimpin Hukumnya Wajib .................... 44 3. Dasar Kewajiban Pengangkatan Seorang Pemimpin .................. 45 C. Syarat-syarat yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin ................... 50 1. Islam ........................................................................................... 50 2. Laki-laki ...................................................................................... 53 3. Akil Balig .................................................................................... 54 4. Pandai ......................................................................................... 56 5. Adil ............................................................................................. 57 6. Mempunyai Kemampuan ............................................................ 60 7. Sehat Jasmani .............................................................................. 61 8. Keturunan Quraisy ...................................................................... 62 D. Pengangkatan Seorang Pemimpin ................................................... 64 1. Mekanisme Pengangkatan Pemimpin yang Sesuai dengan Aturan Agama ............................................................................................... 64 2. Masa Jabatan Seorang Pemimpin ................................................ 65 3. Pencopotan Seorang Pemimpin .................................................. 67 4. Cacatnya Keadilan ...................................................................... 67 5. Kecacatan Pada Tubuh ............................................................... 69 E. Kewajiban dan Hak-hak Seorang Pemimpin.................................... 71 1. Kewajiban-kewajiban Seorang Pemimpin ................................... 72 2. Hak-hak Seorang Pemimpin ........................................................ 77
BAB IV: PENUTUP ……….………………..................…................................ 83 A. Kesimpulan …….………………………………………………...... 83 B. Saran .............….………...................……….................................... 83 DAFTAR PUSTAKA
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur‟an bagi umat Islam adalah sebagai konstitusi (hukum dasar) untuk kehidupan di dunia dan akhirat, memuat prinsip-prinsip umum dan membiarkan rinciannya diterangkan oleh sunnah dan ijtihad para mujtahid sepanjang masa. Misalnya al-Qur‟an hanya menyebutkan teks atau lafalnya saja, namun dari redaksi dan lafal inilah para mujtahid atau mufasir dapat mengimplementasikan secara rinci makna lafal tersebut menjadi suatu konsep utuh yang dijadikan pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, seperti khalîfah (wakil, pengganti, pemimpin), syûrâ (permusyawaratan, demokrasi), al-„adl (keadilan), al-mulk (kedaulatan, kerajaan).1 Dalam firman Allâh Swt. dikatakan bahwa al-Qur‟an itu sudah bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah Saw. adalah pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya. Allâh Swt. berfirman dalam surah al-An‟âm/6: 115 sebagai berikut:
“Dan telah sempurnalah firman Tuhanmu (al-Qur‟an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”2
1
Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 180. 2 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2011), h. 142.
1
2
Hamka mengatakan tentang ayat di atas bahwa kebenaran wahyu Ilahi itu tidak perlu diragukan lagi. Kebenaran asli dari Dia dan keadilanpun dari Dia. Tidak ada hakim lain dan hukum lain yang dapat melebihi itu. Undang-undang kebenaran dan keadilan yang diwahyukan Allâh adalah untuk kepentingan umat manusia, bukan untuk mempertahankan kekuasaan Allâh.3 Al-Qur‟an membicarakan segala aspek kehidupan tentang manusia. Bagaimana cara manusia harus berhubungan dengan Allâh (hablun mina Allâh), serta bagaimana manusia berhubungan dengan manusia lain (hablun mina alNâs). Salah satu yang menjadi ajaran serta pembicaraan di dalam al-Qur‟an adalah tentang kepemimpinan.
Di dalam al-Qur‟an terdapat cukup banyak
petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, isyarah-isyarah, yang memberikan petunjuk bahwa masalah kepemimpinan dan pemimpin tersebut, adalah merupakan keharusan di dalam masyarakat dan umat. Setidak-tidaknya fardhu kifayah bagi setiap Muslim.4 Allâh Swt. berfirman dalam surah Âli „Imrân/3: 104 sebagai berikut:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”5 Di dalam ayat ini terkandung perintah Tuhan, kepada setiap Muslim, agar selalu menyeru kepada perbuatan baik dan selalu mencegah dan menjauhi 3
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 14. Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam (Palembang: Al-Mukhtar, 1997), h. 11. 5 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 63. 4
3
perbuatan munkar, keji dan jahat. Jadi intinya adalah memerintahkan setiap Muslim itu untuk memimpin manusia ke arah perbuatan baik, berfaedah, dan menjauhi kejahatan dan semua perbuatan munkar, buruk, keji, dan tercela.6 Kepemimpinan pada dasarnya adalah rahmat dan karunia Allâh pada seseorang dan sekaligus merupakan amanat Allâh dan umat kepadanya. Pemimpin adalah pemegang amanat dan harapan umatnya untuk memimpin, membelanya dan melindunginya yang semuanya harus dituntaskan dan dipertanggungjawabkan kepada Allâh dan umatnya.7 Suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan. Suatu ungkapan mulia yang mengatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan, merupakan ungkapan yang mendudukkan posisi pemimpin pada suatu organisasi pada posisi yang terpenting.8 Rasulullah juga membahas tentang kepemimpinan di dalam hadis yang beliau sabdakan yang berbunyi;
ًَض ِ َحَّدَثَنَب إِسًَْبعٍِمُ حَّدَثَنًِ يَبنِكٌ عٍَْ عَبّْدِ انهَوِ بٍِْ دٌِنَب ٍر عٍَْ عَبّْدِ انهَوِ بٍِْ عًَُزَ ر انهَ ُو عَنْيًَُب ِأٌََ رَسٌُلَ انهَوِ صَهَى انهَوُ عَهٍَْوِ ًَسَهَىَ قَبلَ أَنَب كُهُكُىْ رَاعٍ ًَكُهُكُىْ يَسْئٌُلٌ عٍَْ رَعٍَِتِو م ِ فَبنْإِيَبوُ انَذِي عَهَى اننَبسِ رَاعٍ ًَىٌَُ يَسْئٌُلٌ عٍَْ َرعٍَِتِوِ ًَانزَجُمُ رَاعٍ عَهَى أَ ْى ًَبٍَْتِوِ ًَىٌَُ يَسْئٌُلٌ عٍَْ رَعٍَِتِوِ ًَانًَْزْأَةُ رَاعٍَِتٌ عَهَى أَىْمِ بٍَْتِ سًَْجِيَب ًًََنَّدِهِ ًَ ِى
6
Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, h. 11. Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, h. 159. 8 Miftah Thoha, Kepemimipnan dalam Manajemen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 1. 7
4
ٍجمِ رَاعٍ عَهَى يَبلِ سٍَِّدِهِ ًَىٌَُ يَسْئٌُلٌ عَنْوُ أَنَب فَكُهُكُىْ رَاع ُ َيَسْئٌُنَتٌ عَنْيُىْ ًَعَبّْدُ انز 9
ٍِ رَعٍَِتِو ْ َل ع ٌ ًٌَُكُهُكُ ْى يَسْئ
“Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku Malîk dari „Abdullah bin Dinâr dari „Abdullâh bin „Umâr radiallahu 'anhuma, Rasûlullah Saw. bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."
Membicarakan kepemimpinan memang menarik, dan dapat dimulai dari sudut mana saja ia akan diteropong. Dari waktu ke waktu kepemimpinan menjadi perhatian manusia. Ada yang berpendapat masalah kepemimpinan itu sama tuanya dengan sejarah manusia. Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Di satu pihak manusia memiliki kemampuan terbatas untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin. Di sinilah timbulnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.10 Kepemimpinan di bidang apapun berhubungan dengan ketaatan dan loyalitas. Dalam kepemimpinan rumah tangga, loyalitas pertama adalah kepada Allâh dalam menjalankan hukum di dalam keluarga. Pria sebagai suami adalah pemimpin yang harus ditaati oleh seorang istri dan anak-anaknya sebagai anggota keluarga. Ketaatan kepada
suami dan ayah dalam batas-batas yang telah
Muẖammad bin Ismâ‟il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Juz 9 (Mesir: Dâr Ṯuq al-Najâh, 2001), h. 42. 10 Miftah Thoha, Kepemimipnan dalam Manajemen, h. 3. 9
5
ditetapkan hukum Allâh, sebagai kepala rumah tangga, merupakan suatu keharusan. Rumah tangga adalah unit terkecil masyarakat.11 Begitu juga di dalam masyarakat, ada yang disebut dengan pemimpin formal seperti lurah, camat, bupati, gubernur, dan presiden; dan warga atau rakyat harus taat kepada pemimmpinnya. Keberhasilan pemimpin sangat ditentukan oleh kepemimpinan informal di rumah tangga dan keberhasilan kepemimpinan rumah tangga adalah anak tangga dasar menuju kepemimpinan masyarakat yang berhasil. Realitas di berbagai negara di seluruh dunia berbicara, kepemimpinan pada umumnya dimulai dari bawah. Keberhasilan dari bawah inilah yang membuat masyarakat memilih seseorang untuk kepemimpinan yang lebih tinggi.12 Di dalam al-Qur‟an, minimal terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan kepemimpinan manusia atas manusia lainnya. Kata tersebut adalah khalîfah, imâmah dan imârah/amîr. Kata imâmah atau imâm terambil dari kata ammaya‟ummu, yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Ibu, dinamai dengan umm, karena anak selalu menuju kepadanya; depan dinamai amâm karena mata selalu tertuju kepadanya dan sebab ia berada di depan. Demikian juga seorang imam dalam salat adalah orang yang posisinya berada di depan makmum dan gerak-geriknya diteladani oleh para makmum. Dengan demikian, secara umum dipahami bahwa seorang imam (pemimpin) adalah orang yang diteladani oleh masyarakatnya
sekaligus
selalu
berada
di
depan
dalam
membimbing
masyarakatnya.13
11 12
Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, h. 182. Rifyal Ka‟bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), h.
70. 13
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 387.
6
Beberapa hal penting yang berkaitan dengan kepemimpinan, bahwa setelah kematian Rasulullah Saw. tidak dijelaskan secara pasti apakah Islam memerintahkan umatnya untuk membentuk dan mendirikan negara Islam. Hal penting lain ialah kurang spesifiknya ketentuan-ketentuan Islam dalam mengatur sistem politik dan pemerintahan.14 Melihat begitu pentingnya peran pemimpin di tengah-tengah masyarakat, penulis ingin membahas bagaimana konsep kepemimpinan yang telah diajarkan Allâh di dalam al-Qur‟an, dengan mengangkat salah seorang tokoh ulama yaitu Saʻîd Hawwa, dengan merujuk pada kitab tafsirnya yang diberi nama al-Asâs fî alTafsîr dan kitab al-Islâm. Beberapa alasan penulis mengangkat tokoh Saʻîd Hawwa untuk membahas tema tentang kepemimpinan ialah, Saʻîd Hawwa merupakan tokoh yang terlibat langsung dalam politik dan banyak menulis buku-buku yang banyak membicarakan masalah politik dan kepemimpinan dalam karya-karyanya, serta Saʻîd Hawwa merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh dalam jamaʻâh Ikhwân al-Muslimîn.15 Saʻîd Hawwa memiliki nama lengkap Syaikh Saʻîd bin Muẖammad Dib Hawwa. Beliau dilahirkan di kota Hamat, Suriah, pada tahun 1935 M. Ibunya meninggal dunia ketika usianya baru dua tahun, lalu diasuh oleh neneknya. Di bawah bimbingan bapaknya yang termasuk salah seorang mujahidin pemberani melawan Prancis, Saʻîd Hawwa muda berinteraksi dengan banyak pemikiran.
14
Mhd. Yunus RKT, Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam (Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014), h.3. 15 Muhammad Pisol, Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Sa ʻîd Hawwa (Disertasi: Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2000). h. I.
7
Tetapi akhirnya Saʻîd Hawwa bergabung ke dalam jamâ‟ah Ikhwân al-Muslimîn pada tahun 1952 M, ketika masih duduk di kelas satu SMA.16 Bergabungnya Saʻîd Hawwa ke dalam jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn membawanya masuk ke dalam banyak perseteruan dengan rezim pemerintah yang berkuasa saat itu. Saʻîd Hawwa semasa kuliah pernah mengikuti tiga kali demonstrasi, pertama ketika Ikhwân al-Muslimîn Suriah menuntut dimasukannya kepanduan di sekolah tsanawiyah, kedua pembelaan terhadap pembantaian Ikhwân al-Muslimîn di Mesir, ketiga peringatan duka atas perjanjian Belfour. Dalam ketiga aksi demonstrasi ini Saʻîd Hawwa menjadi pembicara resmi dari Ikhwân al-Muslimîn.17 Ikhwân al-Muslimîn, yang kalau disalin secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti Saudara-saudara Sesama Muslim, adalah organisasi yang didirikan di Ismailiyah, sebelah Timur Laut Kairo, pada tahun 1928 oleh seorang tokoh agama yang karismatis, Syeikh Hasan al-Banna. Dalam sepuluh tahun pertama sejak didirikan, organisasi itu memusatkan perhatiannya kepada kegiatankegiatan reformasi moral dan sosial.18 Seiring berjalannya waktu, akhirnya Ikhwân al-Muslimîn terlibat secara langsung dalam pergolakan politik di Mesir lewat kegiata-kegiatannya menentang kekuasaan pendudukan Inggris dan berdirinya negara Israel di atas bumi Palestina.
16
Saʻîd Hawwa, Mensucikan Jiwa – Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. (Jakarta: Robbani Press, 1995) (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 6. 17 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemprer, Penerjemah Fachruddin (Jakarta: al-I‟tisham Cahaya Umat, 1998), h. 406. 18 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993), h. 145.
8
Aspirasi politiknya juga makin terkristalisasi, yakni secara jelas mendambakan berdirinya negara Islam di Mesir.19 Pandangan keagamaan serta politik dari Ikhwân al-Muslimîn yang paling sentral dan mendasar adalah: Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, ekonomi dan sosial; oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, al-Qur‟an dan Sunah Nabi, mencontoh pola hidup Rasul dan umat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat.20 Setelah membahas secara singkat tentang Ikhwân al-Muslimîn, tentu akan menjadi hal yang menarik jika meneliti lebih jauh tentang sosok Saʻîd Hawwa, yang di atas telah dikatakan bahwa ia mempunyai latar belakang yang berasal dari jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn. Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa ada salah satu kata dalam al-Qur‟an yang beruhubungan dengan kepemimpinan, yakni kata imâmah/imâm. Salah satu ayat al-Qur‟an yang di dalamnya terdapat kalimat tersebut adalah surah al-Baqarah/2: 124:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allâh berfirman: 19 20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 146. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 148.
9
"Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak berlaku bagi orang yang zalim.”21 Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa imâm adalah orang yang ditakuti dan dijadikan suri tauladan. Keimaman Ibrahim adalah keimaman yang langgeng, yang didukung oleh semua pengikut agama kitabi. Nampaknya, pelaksanaan Ibrahim secara sempurna atas beberapa kalimat yang diberikan Rabbnya tersebut merupakan faktor utama yang menjadikannya layak sebagai imâm. Seolah-olah, beliau pada mulanya adalah seorang nabi, kemudian karena beliau melaksanakan dengan sempurna semua “kalimat”. Maksudnya adalah perintah dan larangan yang diberikan Allâh kepadanya, maka beliau diberi jabatan rasul pembawa risalah, sebagai imbalan atas kepatuhannya itu. Jadi, mematuhi semua perintah dan larangan Allâh secara sempurna dapat mencalonkan seseorang untuk menduduki jabatan imâm dalam agama Allâh. Betapa kelirunya orang-orang yang merampas jabatan imam dengan cara-cara yang tidak benar. Kemudian, kata janji pada kalimat tersebut dapat diartikan dengan imâmah atau kepemimpinan. Dengan demikian, maka ayat itu berarti, “Orang zalim tidak akan memegang imâmah atau kepemimpinan dalam agama Allâh.”22 Itulah merupakan sekilas gambaran penafsiran Saʻîd Hawwa terhadap ayat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Maka selanjutnya, penelitian yang akan dilakukan adalah ingin mengetahui bagaimana konsep kepemimpinan yang ditawarkan oleh Saʻîd Hawwa, dengan merujuk pada kitab tafsir al-Asâs fî al-
21
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 14. Saʻîd Hawwa, Tafsir al-Asas, Penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 346-347. 22
10
Tafsîr karyanya, dengan lebih banyak menggali ayat-ayat al-Qur‟an lain yang berkaitan dengan konsep kepemimpinan. Setelah melihat begitu pentingnya peran pemimpin di tengah-tengah masyarakat, serta setelah kita mengetahui secara sekilas tentang tokoh Saʻîd Hawwa yang merupakan seorang ulama yang memiliki latar belakang jamâʻah Ikhwân al-muslimîn, maka dari itu penulis ingin mengangkat sebuah penelitian dengan judul “Konsep Kepemimpinan Menurut Saʻîd Hawwa Dalam Kitab AlAsâs Fî Al-Tafsîr dan Al-Islâm”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Penafsiran yang dikaji pada penulisan ini dikhususkan pada ayat-ayat yang membicarakan tentang kepemimpinan, baik itu kriteria dan syarat-syarat seorang pemimpin, pengangkatan seorang pemimpin, serta hak dan kewajiban dari seorang pemimpin. Untuk memudahkan pembahasan ini, diperlukan adanya perumusan masalah yang menjadi tema pokok pembahasan, perumusan masalah yang ingin dibahas dalam penulisan ini adalah, Bagaimana penafsiran Saʻîd Hawwa terhadap ayat-ayat tentang kepemimpinan dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna dan pesan tentang konsep kepemimpinan, dengan menjadikan kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm karya Saʻîd Hawwa sebagai rujukan. Penelitian ini juga bertujuan untuk memenuhi syarat akhir guna memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program
11
Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan demikian, penelitian ini memiliki manfaat atau kegunaan akademis dan praktis. Kegunaan akademis yaitu dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang bagaimana konsep kepemimpinan di tengah masyarakat dalam pandangan Saʻîd Hawwa. Sedangkan kegunaan praktis dalam penelitian ini dapat menjadi solusi alternatif atau dapat dijadikan khazanah pengetahuan dalam membangun masyarakat yang lebih baik dengan cara mengikuti konsep kepemimpinan yang telah diajarkan Allâh Swt. melalui kitab suci al-Qur‟an.
D. Studi Pustaka Penelitian mengenai konsep kepemimpinan bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia akademis. Penelitian tentang konsep kepemimpinan dalam berbagai perspektif juga bervariasi. Ada beberapa karya yang berkaitan dengan kajian mengenai konsep kepemimpinan, baik dalam bentuk makalah, skripsi, maupun disertasi, diantaranya adalah: 1. Annas Khairullah, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009, skripisnya yang berjudul “Ulil Amri Dalam Al-Qur‟an, Analisis Terhadap Tafsir Hamka Dalam Tafsir alAzhar Surat an-Nisa ayat 59,” skripsi ini menjelaskan bagaimana penafsiran Hamka tentang arti dari ulil amri dalam surat an-Nisa ayat 59. Dimana term ulil amri juga masuk pada pembahasan yang
12
berkaitan dengan kepemimpinan. Pembahasannya hanya difokuskan kepada pengertian tentang ulil amri.23 2. Noor Rohman, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009, skripsinya yang berjudul “Konsep Kepemimpinan (Qiwamah) Perempuan Dalam Al-Qur‟an; Analisis Tafsir Muhammad Syahrur,” skripsi ini menjelaskan bagaimana konsep kepemimpinan perempuan dalam al-Qur‟an, serta tentang konsep kepemimpinan dalam ranah keluarga dan sosial politik, dengan menjadikan kitab Tafsir Muhammad Syahrur sebagai rujukan utama.24 3. Masfufah, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2014, skripsinya yang berjudul “Konsep Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian Atas Q.S. AnNisa‟ (4): 34,” skripsi ini berusaha untuk mengetahui bolehkah seorang perempuan menjadi pemimpin di dalam keluarga dengan bersumber kepada Q.S. an-Nisa ayat 34 dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir, buku-buku, dan literatur-literatur lainnya.25 4. Septiawadi, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
Jakarta,
2010,
dengan
disertasi
berjudul
“Penafsiran Sufistik Saʻîd Hawwa dalam Al-Asâs Fî Al-Tafsîr”, kesimpulan besar dari penelitian disertasi ini adalah, penafsiran sufistik terhadap al-Qur‟an yang dilakukan oleh para mufassir adalah dengan 23
Annas Khairullah. “Ulil Amri Dalam Al-Qur‟an, Analisis Terhadap Tafsir Hamka Dalam Tafsir al-Azhar Surat an-Nisa ayat 59”, (Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009). 24 Noor Rohman. “Konsep Kepemimpinan (Qiwamah) Perempuan Dalam Al-Qur‟an; Analisis Tafsir Muhammad Syahrur”, (Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009). 25 Masfufah. “Konsep Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian Atas Q.S. AnNisa‟ (4): 34”, (Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2014).
13
menggunakan makna isyâri dengan tetap mengacu kepada makna zâhir, termasuk mufassir di dalamnya adalah Saʻîd Hawwa.26 5. Mhd. Yunus RKT, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014, dengan judul skripsi “Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam.” Skripsi ini mengupas secara mendalam tentang masa jabatan atau batas waktu jabatan dari seorang pemimpin.27 6. Muhammad Pisol, Mahasiswa Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2000, dengan judul disertasi “Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Saʻîd Hawwa.” Disertasi ini membahas pandangan politik Saʻîd Hawwa, di mana Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa keterlibtan seseorang dalam politik termasuk urusan kerja jihad yang akan diberi pahala. Saʻîd Hawwa juga membagi negara ke dalam tiga kelompok, yakni negara Islam yang adil, negara Islam yang menyeleweng, dan negara kafir. 28 Dari penelitian-penelitian terdahulu, sejauh penelusuran penulis, belum menemukan suatu karya yang membahas tentang konsep kepemimpinan secara umum, baik itu bagaiamana kita harus memilih seorang pemimpin, apa saja yang menjadi syarat-syarat untuk menjadi seorang pemimpin, serta apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari seorang pemimpin, dengan bersumber kepada
Septiawadi. “Penafsiran Sufistik Saʻîd Hawwa dalam Al-Asâs Fî Al-Tafsîr”, (Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 27 Mhd. Yunus RKT. “Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam”, (Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014). 28 Muhammad Pisol. “Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Sa ʻîd Hawwa”, (Disertasi Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2000). 26
14
kitab suci al-Qur‟an. Maka dari itu penulis menilai hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
E. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (Library Research). Secara operasional, kajian ini menggunakan dua langkah penelitian: 1. Metode pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencari informasi yang diperlukan melalui perujukan ke referensi primer dan referensi sekunder. Referensi primer adalah kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr (1999) dan al-Islâm (1993) karya Saʻîd Hawwa, serta buku-buku yang berkaitan dengan Saʻîd Hawwa. Sementara referensi sekunder adalah buku-buku yang di dalamnya membicarakan tentang kepemimpinan dan hal-hal yang diperlukan didalam membahas penelitian ini, buku-buku tersebut antara lain, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (2012), Kementrian Agama RI. Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam (1997), karya Mochtar Effendy. Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (2013), karya M. Quraish Shihab. Kepemimpinan dalam Manajemen (2006), karya Miftah Thoha. Islam dan Tata Negara (1993) karya Munawir Sjadzali. Teori Politik Islam (2001) karya M. Dhiauddin Rais. Leadhership (2006) karya Andrew J. Dubrin. Etika Politik Qur‟ani: Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap Ayat-ayat Kekuasaan (2010) karya Muhammad Iqbal. 2. Metode pembahasan
15
Adapun dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode Deskriptif Analisis Isi, yaitu mendeskripsikan data yang ada, kemudian menganalisanya secara proporsional sehingga akan didapat rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok pembahasan. Secara teknis, skripsi ini merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Desertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010-2011.”
F. Sistematika Penulisan Penulisan laporan penelitian dalam skripsi ini akan disusun dalam beberapa bab, dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang sesuai dengan keperluan kajian. Bab pertama akan memberikan informasi kenapa pembahasan tentang kepemimpinan penulis angkat, serta apa saja tujuan serta manfaat dari pembahasan skripsi ini. Bab pertama terdiri dari pendahuluan, terbagi menjadi enam sub bahasan, yaitu: pertama, latar belakang masalah. Kedua, pembatasan dan perumusan masalah. Ketiga, tujuan dan manfaat penelitian. Keempat, studi pustaka. Kelima, metodologi penelitian. Keenam, sistematika penulisan. Bab kedua akan menjelaskan bagaimana profil Saʻîd Hawwa serta kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr, dengan membaca bab yang kedua ini, penulis berharap pembaca dapat mendapatkan informasi yang jelas mengenai sosok Saʻîd Hawwa sehingga dapat lebih memahami kenapa tokoh tersebut yang penulis angkat. Bab kedua berisi tentang profil Sa‟îd Ḥawwa dan tafsirnya. Pembahasannya meliputi: pertama, biografi dan karya-karya dari Saʻîd Ḥawwa. Kedua, metode, corak,
16
sistematika penulisan, referensi penulisan, serta kelebihan dan kekurangan dari kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr. Bab ketiga merupakan bab yang akan membahas pandangan serta pemikiran Saʻîd Hawwa terhadap masalah kepemimpinan. Bab ketiga ini membahas kepemimpinan perspektif Saʻîd Ḥawwa. Pembahasannya meliputi tentang khilafah atau kepemimpinan, al-Khilafah al-Uzma (Kepemimpinan tertinggi), Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang imam atau pemimpin, pengangkatan seorang khalifah, serta pemilihan imam atau khalifah. Bab keempat, terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dan penelitian ini dan saran.
BAB II PROFIL SAʻÎD HAWWA DAN TAFSIRNYA A. Saʻîd Hawwa 1. Biografi Saʻîd Hawwa Saʻîd Hawwa memiliki nama lengkap Saʻîd bin Muhammad bin Dib Hawwa. Beliau merupakan seorang tokoh yang berasal dari Hamah, Suriah yang lahir pada tahun 1935 M. Saʻîd Hawwa lahir ketika kondisi politik Suriah di bawah kekuasaan Prancis. Ibunya meninggal ketika Saʻîd Hawwa berusia dua tahun. Kemudian Saʻîd Hawwa pindah ke rumah neneknya dengan bimbingan dari ayahnya yang seorang pejuang pemberani yang berjihad melawan Prancis. 1 Darah pejuang dalam dirinya mengalir dari ayahnya ditambah situsasi kota Suriah yang berada di bawah kekuasan Prancis, membuat ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang tegar dan pemberani.2 Di masa kecil, keluarga Saʻîd Hawwa hidup dalam kesederhanaan. Ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar, ayahnya terpaksa mengeluarkannya dari sekolah, karena biaya. Waktu itu usia Saʻîd Hawwa baru berusia 8 tahun.3 Pada masa muda Saʻîd Hawwa, berkembang beberapa pemikiran, seperti pemikiran Nasionalis, Baʻats, dan Ikhwân al-Muslimîn. Tahun 1952, ketika masih berada di bangku „Aliyah, Saʻîd Hawwa memilih untuk bergabung dengan barisan jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn. Beberapa tahun setelah itu, ia mengikuti kuliah di Al-Mustasyar ʻ Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer. Penerjemah Fachruddin (Jakarta: al-I‟tisham Cahaya Umat, 2003), h. 400. 2 Saʻ îd Hawwa, Mensucikan Jiwa – Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terjemahan (Jakarta: Robbani Press, 1995), h. IX. 3 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 25 1
17
18
Universitas Syria dan lulus pada tahun 1961. Kemudian mengikuti wajib militer dan lulus sebagai perwira pada tahun 1963. Setahun kemudian ia melakukan pernikahan dan dikaruniai empat orang anak.4 Dalam perjalanan intelektualnya, Saʻîd Hawwa banyak berguru dan belajar kepada beberapa ulama dan Syaikh yang terdapat di kota Hamah. Di antara ulama yang menjadi guru beliau adalah Syaikh Muhammad al-Hamîd, Syaikh Muhammad al-Hasyimi, Syaikh „Abdul Wahhab Dabuz Wazit, Syaikh „Abdul Karîm al-Rifa‟i, Syaikh Aẖmad al-Murad, dan Syaikh Muẖammad „Ali alMurad.5 Al-Mustasyar „Abdullah al-„Aqil6 yang sempat bertemu dengan Saʻîd Hawwa mengatakan, bahwa Saʻîd Hawwa dikenal sebagai seseorang yang penyabar, ramah dan memiliki sifat tawadu‟, wara‟ dan zuhud. Sikap kesederhanaan sangat tampak seperti dalam penampilan ataupun di tempat kediamannya yang bersahaja yang jauh dari kemewahan. Sikapnya yang ramah dan wara‟ membuatnya bersikap longgar bagi siapa saja yang ingin mencetak bukunya atas izin atau tanpa izin.7 Kiprah Saʻîd Hawwa di dunia pendidikan dimanifestasikan dalam lembagalembaga pendidikan, seperti pada al-Ma‟had al-„Ilmi di kota al-Hufuf wilayah ihsa selama dua tahun. Selain itu Saʻîd Hawwa juga mengajar di Madinah tiga tahun 4
Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 401. 5 Al-Mustasyar „Abdullah „Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 401. 6 Ia juga sebagai penulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Mereka telah Pergi. Al-Mustasyar al-„Aqil adalah alumnus fakulstas Syari‟ah al-Azhar tahun 1954. Sebelumnya ia belajar di Irak (negeri kelahirannya al-Zubair). Sekembali dari pendidikan al-Azhar Kairo ia pernah mengajar di al-Zubair dan kemudian banyak memegang jabatan di berbagai negara. Terakhir ia menjabat sebagai sekjen OKI. Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangun Gerakan Islam Kontemporer, vii. 7 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 403.
19
dan disampaikan lewat ceramah, diskusi dan juga dituangkan dalam beberapa buku. Ia termasuk penulis besar pada modern ini, kemampuan menulisnya mengambil tema; dakwah dan gerakan, fiqih, tentang pembinaan jiwa (rûhiyyahtasawuf).8 Selain memberikan kuliah, Saʻîd Hawwa dikenal juga sebagai daʻi. Aktifitas dakwahnya tidak hanya di wilayah Suriah, tapi pada umumnya meliputi negaranegara Arab seperti Mesir, Qatar, Yordania dan seterusnya bahkan pernah sampai ke Jerman dan Amerika. Hal itu dilakukan ketika ia berkunjung ke Amerika dan daerah-daerah Eropa. Semangat dakwahnya sangat melekat pada dirinya apalagi ia termasuk sebagai pemimpin Ikhwân al-Muslimîn Suriah.9 Dari sini bisa terlihat bahwa kegiatan dakwahnya yang ia lakukan dapat berkaitan dengan hal kepemimpinan, karena kegiata Ikhwân al-Muslimîn juga mengurusi masalah politik. Saʻîd Hawwa pernah memimpin demonstrasi menentang undang-undang Suriah pada tahun 1973. Konsekuensinya ia ditangkap dan dipenjara sejak 5 Maret 1973-29 Januari 1978. Dalam masa tahanan ini digunakan untuk menulis kitab tafsir dan buku-buku dakwah ataupun buku-buku gerakan. Pada waktu itu pemerintahan al-Asad membuat undang-undang baru yang menghilangkan penyebutan Islam sebagai agama negara. Ketidakpuasan Ikhwân al-Muslimîn bukan saja pada hal yang demikian, namun yang lebih utama lagi al-Asad berasal dari golongan sekte Alawiyah yang dianggap sesat.10
8
Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 402. 9 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 402. 10 Jonh L. Esposito, Enksilopedi Oxford Dunia Islam Modern, penerjemah Eva Y.N dkk, (Bandung: Mizan, 2002), jilid 5, Cet. Ke-2, h. 272.
20
Selesai menjalani kurungan, pada tahun 1979 Saʻîd Hawwa mengadakan perjalanan ke Pakistan, ke Iran. Sewaktu kunjungan kedua di Pakistan, ia menghadiri pemakaman Abul A‟lâ al-Maudûdi. Pada kesempatan lain Saʻîd Hawwa bersama delegasi Islam Suriah bertemu Khomeini serta Menteri Luar Negeri Iran Ibrahim Yazdi untuk membicarakan bantuan terhadap saudarasaudara muslim di Suriah. Ia sampaikan keadaan yang sesungguhnya yang diperjuangkan oleh Ikhwân al-Muslimîn di Suriah kepada Khomeini dalam rangka mempererat Ukhuwah Islamiyah.11 Pada tahun 1980 atas prakarsa Saʻîd Hawwa, dibentuklah Front Islam Syria (FIS) sebagai sarana untuk menata dan mengevaluasi perjuangan Ikhwân alMuslimîn yang gagal menentang rezim al-Asad karena sudah banyak anggota Ikhwân al-Muslimîn yang jadi korban. Kekuatan Ikwân al-Muslimîn dan FIS waktu itu sudah kurang berpengaruh sebagai gerakan oposisi. Iran dengan terangterangan justru mendukung pemerintahan rezim al-Asad. Baik FIS dan Ikhwân alMuslimîn, tokoh-tokohnya banyak di pengasingan karena diburu oleh tentara rezim al-Asad. Di samping itu dekrit pemerintah mengancam keberadaan Ikhwân al-Muslimîn. Peristiwa demikian dipicu oleh demonstrasi dan pemboikotan besarbesaran tahun 1980 di Aleppo, Hamah, Homs serta ada upaya pembunuhan terhadap al-Asad.12
11
Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 403. 12
277.
Jonh L. Esposito, Dunia Islam Modern Enksilopedi Oxford (Terj), jilid 2, Cet. Ke-2, h.
21
Pada pertengahan tahun 1980-an aktifitas Saʻîd Hawwa dengan Ikhwân alMuslimîn tidak terdengar lagi. Apalgi setelah kecewa terhadap sikap Khomeini yang kurang menguntungkan bagi Ikhwân al-Muslimîn dan FIS.13 Pada tahun 1978 Saʻîd Hawwa terserang stroke hingga sebagian anggota tubuhnya lumpuh. Ia juga mengalami komplikasi penyakit; tekanan darah, gula, ginjal dan sakit mata. Keadaan demikian membuat ia tidak dapat hadir bersama masyarakat lagi karena diopname. Pada bulan Desember tahun 1988 tak kunjung membaik dan masih dirawat di rumah sakit. Tiga bulan kemudian tepatnya tanggal 9 Maret 1989 sang pejuang itu wafat di rumah sakit Amman, Yordania. 14 Tokoh pembela Islam, seorang Sufi, pejuang berhati lembut tersebut sudah pergi selama-lamanya dengan banyak meninggalkan buku-buku karyanya yang dapat dikembangkan dan dipelajari. Ustadz Zuhair al-Syawisy di surat kabar al-Liwa’, yang terbit di Yordania pada tanggal 15 Maret 1989, berkata, “Allah menetapkan takdir-Nya dan tidak ada seorangpun mampu menolak takdir-Nya. Allah mengakhiri hidup Saʻîd bin Muhammad bin Dib Hawwa, di Rumah Sakit Islam Amman, Kamis pagi, 9 Maret 1989. Jenazahnya dishalatkan setelah Jum‟at di Masjid Al-Faiha‟ Al-Syumaisani dan dikebumikan di pemakaman Sahab, wilayah selatan Amman. Jenazahnya dihadiri dan diiringi puluhan ribu orang. Diantaranya, ustadz Yûsuf al-Adam, Syaikh „Ali „Al-Faqîr, penyair Abu al-Hasan, Syaikh „Abdul Jalîl Rizq, ustadz Fâruq al-Masyuh dan sastrawan „Abdullah at-Tantâwi. Masyarakat Yordania yang mulia memperlakukan orang asing yang meninggal dunia di negeri mereka dengan hormat, sama seperti penghormatan mereka kepada orang-orang yang hidup dan singgah di tempat mereka. Ini kedermawanan, keindahan ucapan dan antusias yang simpatik.”15
13
Septiawadi, “Penafsiran Sufistik Sa’îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr”, (Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 39. 14 Al-Mustasyar ʻ Abdullah Al-ʻ Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 409. 15 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 402.
22
2. Karya-karya Saʻîd Hawwa Pada usianya masih muda, Saʻîd Hawwa untuk pertama kalinya berkenalan dengan pergerakan jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn. Pikiran-pikiran dari gerakan ikhwân al-Muslimîn sangat membentuk pola dan kepribadian Saʻîd Hawwa yang kemudian hari ia ikut terlibat bahkan sebagai tokoh dalam pergerakan Ikhwân al-Muslimîn di Suriah. Selain itu, pemikirannya di manifestasikan lewat buku-buku yang tersebar dan dapat dibaca dan dijangkau oleh siapapun. Dari beberapa karya Saʻîd Hawwa bisa dikategorikan bahwa pandangan gerakan Islam Saʻîd Hawwa sealiran dengan tokoh pendiri Ikhwân alMuslimîn Hasan al-Banna. Faktor guru yang mendidik Saʻîd Hawwa juga berpengaruh membentuk pemikiran keagamaannya. Secara umum pemikiran keagamaan Saʻîd Hawwa bagian dari kelompok Islam Sunni yang dikenal sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah. Pola pemikiran Saʻîd Hawwa dapat dilihat melalui penafsirannya tentang fiqh, aqidah, tasawuf dalam kitab tafsir yang terdiri dari 11 jilid besar.16 Kegemaran Saʻîd Hawwa untuk menorehkan hasil pemikirannya dalam sebuah buku tidak dapat dipungkiri lagi. Publikasi terhadap bukunya tahun 1968 membuatnya digolongkan dalam pemikir Suriah yang menonjol. Semasa dalam tahanan akibat peristiwa Dastur, beliau menulis tafsir yang diberi judul al-Asâs fî al-Tafsîr yang terdiri dari sebelas jilid.17
Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr, 2010, h. 39-40. 17 Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 1 (Kairo: Dar al-Salam, 1985), h. 30. 16
23
Saʻîd Hawwa adalah seorang penulis yang produktif, hasil karyanya meliputi berbagai macam keilmuan. Diantara buku-buku karya Saʻîd Hawwa yang dikutip dari disertasi Septiawadi adalah sebagai berikut:18 1. Al-Islâm Di dalam buku ini Saʻîd Hawwa mengupas seluk-beluk Islam yang didasarkan kepada sebuah hadis Nabi. Hadis yang dimaksud adalah hadis yang menerangkan tentang rukun Islam, rukun Iman dan Ihsan. Menurut analisis Saʻîd Hawwa, dalam Islam memuat aqidah yang meliputi syahadat serta pilar iman. Kedua, ibadah yang tercermin pada pilar Islam. Dua hal ini disebutnya sebagai rukun Islam sedangkan bangunan Islam berada di atas rukun-rukun yang disebut tadi. Bangunan Islam meliputi berbagai sistem perihal kehidupan seperti sistem politik, ekonomi, militer, akhlak, sosial, pendidikan dan seterusnya. Aspek Islam satu lagi yaitu kekuatan bangunan Islam agar tetap berdiri kuat yang mencakup jihad, amar ma’rûf nahi munkar serta penegakan hukum. Tema pokok yang disebut di atas, diuraikan dengan kajian mendalam yang disusun dalam empat bab. Buku al-Islâm ini merupakan satu dari tiga karya lain Saʻîd Hawwa yang membahas seputar prinsip kehidupan muslim. Dua buku yang dimaksud yaitu dengan judul Allâh dan al-Rasûl. Buku ini menjadi bagian penting dalam pembahasan skripsi ini, karena banyak pemikiran Saʻîd Hawwa yang berhubungan dengan kepemimpinan yang menjadi pembahasan di dalam skripsi ini.
Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr, 2010, h. 46-50. 18
24
2. Al-Asâs Fî Al-Sunnah Sistematika penulisan buku ini dibagi ke dalam lima qism (tema kajian). Qism pertama, tentang sejarah kehidupan nabi Muhammad sejak berita kelahiran sampai tahun ke 39 H. Dikemukakan kegiatan nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul dan peristiwa yang dialami dalam penyebaran Islam serta peperangan-peperangan dalam Islam. Setelah itu dikemukakan biografi para sahabat, ada tercatat sebanyak 62 sahabat yang disusun pada bagian dari akhir qism ini. Qism kedua tentang persoalan akidah yaitu hal-hal yang berkaitan dengan keimanan sebagai misi utama nabi menegakkan akidah Islamiyah. Qism ketiga tentang ibadah seperti ibadah pokok yang tercakup dalam rukun Islam dan yang terkait dengannya. Qism keempat tentang akhlak, persoalan pergaulan hubungan sosial. Qism kelima tentang hukum keperdataan dan persoalan muamalah. Karakteristik buku ini terletak dari sumber dan cara pembahasannya. Dalam membahas tema atau sub judul, selalu menggunakan hadis atau berdasarkan riwayat nabi, sahabat, tabi‟in dan pendapat ulama. Saʻîd Hawwa tidak sekedar mengemukakan riwayat tapi ada juga disertai dengan komentarnya atau komentar ulama lain. Penyajian sumber khusus dari nabi diberi tanda dan diberi penomoran. Berkenaan dengan cara pembahasan demikian, sangat tepat bukunya dinamai al-Asâs fî al-Sunnah. Artinya semua keterangan pada buku tersebut berasal dan bersumber pada sunnah nabi Muhammad Saw. Pembahasan-pembahasan seperti mengenai sejarah pertumbuhan Islam dijelaskan dengan sunnah, perkara menyangkut ibadah semuanya dijelaskan
25
dengan menyajikan sunnah apa adanya. Dari sini terlihat bahwa Saʻîd Hawwa selain mengusai bidang tafsir, ia juga menguasai bidang hadis. Hal ini ini berbanding lurus dengan uraian pada kitab tafsirnya yang juga banyak diperkuat oleh hadis. 3. Jundullâh Tsaqafatan wa Akhlâqan Di dalam kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr, Saʻîd Hawwa menjelaskan secara sekilas tentang kitab Jundullâh Saqafatah wa Akhlâqan, dimana salah satu tujuan buku atau kitab tersebut yakni dijelaskan di dalamnya pentingnya al-walâ (saling tolong-menolong antara umat Islam), juga dijelaskan batasan-batasan alwalâ tersebut.19 Dalam buku ini, Saʻîd Hawwa menyebutkan bahwa tsaqafah seorang Muslim harus mencakup sebelas materi. Seorang da‟i yang ulung seharusnya punya bekal yang cukup dari materi-materi ini. Materi-materi itu bisa diringkas menjadi sepuluh: ilmu al-Qur‟an, ilmu hadis, ilmu bahasa Arab, ilmu ushul fikih, ilmu akidah, ilmu fikih, ilmu akhlak, ilmu sejarah, ilmu tentang tiga pokok (Allâh, Rasul dan Islam), dan ilmu fikih dakwah.20 4. Hâdzihi Tajrîbat wa Hâdzihi Syahâdatî Di dalam buku ini diceritakan pengalaman hidup Sa‟îd Hawwa, seperti dalam satu jam ia dapat membaca buku sebanyak enam puluh halaman. Di dalam buku ini juga diceritakan kegiatan demosntrasi yang pernah diikuti Sa‟îd Hawwa. Juga diceritakan dalam buku ini adalah revolusi militer Amerika di Suriah.21
19
Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid III (Kairo: Dâr al-Salâm, 1985), h. 1426. Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, h. 29 21 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 405 dan 407. 20
26
Karya-karya lain dari Saʻîd Hawwa adalah sebagai berikut:22 Tarbiyatuna al-Rûhiyyah, Al-Rasûl Sallallâhu ‘Alaihi Wasallam, Al-Mustkhlâs Fî Tazkiyah al-Anfûs, Allâh Jalla Jalâluhu. Al-Asâs Fî Al-Tafsîr, Min Ajli Khutuwat ilal Amâm ‘ala Tarîqi al-Jihâd al-Mubârak, Durus Fil ‘Amâl Al-Islâmi AlMu’asir, Fî Afaqi al-Ta’alîm, Iẖyâ Al-Rabbaniyyah, Qawaninu al-Bait alMuslimîn, Al-Ijâbah, Jundullâh Takhtitan wa Tanzîman, , Al-Sirah bi Lughah AlHubb. Itulah beberapa karya-karya yang dihasilkan oleh Saʻîd Hawwa. Sehingga dapat dikatakan beliau merupakan salah satu ulama yang cukup produktif dengan melihat hasil karya yang telah dihasilkannya cukup banyak.
B. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr 1. Metode dan Corak Penafsiran Metode atau metodologi berasal dari dua kata; method dan logos. Dalam bahasa Indonesia Method dikenal dengan metode yang artinya, cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.23 Secara historis setiap penafsiran telah menggunakan satu atau lebih metode dalam menafsirkan al-Qur‟an. Pilihan metode-metode tersebut tergantung kepada kecenderungan dan sudut pandang mufasir, serta latar belakang keilmuan 22
Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 405. 23
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 580-581.
27
dan aspek-aspek lain yang melingkupinya. Secara tegas dapat pula dikatakan, metode-metode tafsir tertentu telah digunakan secara aplikatif oleh para penafsir itu untuk kebutuhan penafsir dimaksud. Hanya saja metode-metode tersebut tidak disebutkan dan dibahas secara eksplisit. Setelah ilmu pengetahuan Islam nantinya berkembang pesat, barulah metode ini dikaji sehingga melahirkan apa yang dikenal dengan metodologi tafsir.24 Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas dan merefleksikan kandungan al-Qur‟an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang representatif. Metodologi tafsir merupakan alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang terkandung dalam kitab suci umat Islam itu. Hasil upaya keras dengan menggunakan alat dimaksud terwujud sebagai tafsir. Konsekuensinya, kualitas setiap karya tafsir sangat tergantung kepada metodologi yang digunakan dalam melahirkan karya tafsir tentunya.25 Di dalam penulisan kitab tafsir, ada beberapa metode yang seringkali digunakan penafsir dalam menulis kitabnya. Diantaranya adalah metode tahlîlî,26 ijmâlî,27muqâran,28 dan juga metode maudû’î.29
24
Abdul Mu‟in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 37-38. Abdul Mu‟in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 38. 26 Yakni salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat alQur‟an dari seluruh aspeknya. Penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat alQur‟an secara runtun dari awal hingga akhirnya, dan surat-surat sesuai dengan mushaf „Utsmani. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î (Kairo: al-Hadârah al-„Arabiyah, 1977,) h. 23.) 27 Yakni metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan cara mengemukakan makna global. Dengan metode ini penafsir menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain seperti apa yang dikehendaki. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr alMawdûʻ î, h. 42.) 28 Yakni metode tafsir yang menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al-Qur‟an. Penafsiran yang menggunakan menggunakan metode ini pertama sekali menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur‟an, kemudian mengkajinya dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir mengenai ayat-ayat tersebut dalam karya mereka. Melalui cara ini penafsir 25
28
Tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa dapat dikatakan di dalam pembahasannya menggunakan metode tahlîli. Dimana pada penjelasan di atas telah dijelaskan bahwa metode tahlîli yaitu suatu metode penafsiran yang dimulai dari surat al-Fâtihah sampai surat tekahir al-Nâs. Penjelasan uraian penafsiran dikemukakan secara rinci dan panjang. Penerapan tahlîli sebagai metode yang digunakan tafsir ini, misalnya penafsiran surah al-Baqarah. Pertama, Saʻîd Hawwa membagi surah al-Baqarah dalam tiga kelompok yaitu mukaddimah, kandungan surat dan penutup. Untuk mukaddimah terdiri dari dari 20 ayat pertama, bagian isi dari ayat 21 sampai ayat 284, sedangkan 2 ayat terakhir sebagai penutup surat. Mukaddimahnya terdiri dari tiga faqrah. Untuk faqrah ketiga mengandung tiga majmû’ah. Bagian tengah alBaqarah terdiri dari tiga qism, yang mengandung beberapa maqta’ dan faqrah. Ayat yang ditafsirkan disusun dalam kelompok-kelompok
ayat untuk
memudahkan uraiannya.30 Rangkaian metode penafsiran Saʻîd Hawwa dapat dirumuskan sebagai berikut:31 1. Menampilkan beberapa ayat sesuai kelompok munasabahnya. Beberapa ayat tersebut bisa tergabung dalam satu maqta’ dengan beberapa faqrahnya. Pada setiap surat terlebih dahulu dijelaskan keberadaan mengetahui posisi dan kecenderungan para penafsir sebelumnya yang dimaksudkan dalam objek kajiannya. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î, h. 45) 29 Disebut juga dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Ada dua cara dalam tata kerja metode tafsir maudû‟î: pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang masalah (maudu/tema) tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama, sekalipun turunnya berbeda dan tersebar dalam berbagai surah al-Qur‟an. Kedua, penafsiran yang dilakukan berdasarkan surat al-Qur‟an. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î, h. 61-62.) 30 Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr, 2010, h. 54-55. 31 Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr, 2010, h. 55.
29
surat tersebut baik menyangkut identifikasi surat, tema surat, hubungan dengan surat lain atau kandungan surat secara global. Biasanya disini ditampilkan riwayat bila menyangkut sebab turun dari suatu surat. 2. Menafsirkan ayat. Bentuk penafsiran yang dikemukakan Sa‟îd Hawwa mengenai ayat yang sudah disusun dalam kelompok ayat yaitu dengan menjelaskan makna secara umum atau memberikan pengertian secara global kemudian menerangkan pengertian teks ayat ( makna harfi ) dengan tinjauan bahasa serta uslub ayat. Dalam hal ini ia sering menggunakan rujukan dari kitab tafsir al-Nasâfî dan Ibnu katsîr juga tafsir Sayyid Qutb dan al-Alusi. Dengan demikian makna harfi yang dijelaskan cukup panjang berbeda dengan tafsir Jalalain yang sangat singkat. Penjelasan
makna
umum
dan
makna
harfi
dengan
terlebih
dahulu
mencantumkan ayat atau potongan ayat yang ditulis dalam kurung. 3. Menjelaskan hubungan susunan ayat (munasabahnya) Disini Sa‟îd Hawwa mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya hubungan dalam satu kelompok ayat seperti hubungan kesamaan tema dalam satu maqta’, atau satu faqrah. Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar maqta’ bahkan dijelaskan hubungan dengan ayat lain pada surat yang berbeda. 4. Menjelaskan hikmah ayat Bagian ini dikenal dalam rangkaian penafsirannya dengan fawaid. Dalam poin ini ada juga dibahas tentang munâsabah ayat khususnya hubungan suatu ayat dengan beberapa ayat lain atau dengan hadis nabi. Poin ini merupakan penafsiran yang lebih luas dan komprehensif oleh Saʻîd Hawwa dengan memahami ayat berdasarkan konteks.
30
Demikian langkah dari metode penafsiran Saʻid Hawwa yang lebih banyak menyorot aspek munasabah dalam tafsirnya. Dua poin terakhir ini merupakan keunggulan dari tafsir Saʻid Hawwa yang membedakannya dengan mufasir lain baik dari sisi ide ataupun metode. Selanjutnya untuk mengetahui corak dari kitab tafsir al-Asâs fi al-Tafsîr, maka tidak terlepas dari beberapa corak kitab tafsir yang menjadi rujukan dalam penulisan kitab tafsir ini. Kitab tafsir yang menjadi rujukan dalam penulisan ini adalah kitab tafsir Ibnu Katsîr, tafsir al-Nasâfî, tafsir Rûh al-Ma’ani dan kitab tafsir fî Zilâl al-Qur’ân. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr menampakkan corak tasawuf, aqidah, adabi ijtimâ’i (sosiologis), pola ra’yi dan ma’tsûr juga memperkaya memperkaya corak penafsiran Saʻîd Hawwa. Tafsir Ibnu Katsîr termasuk tafsir jenis ma’tsûr, sedangkan tafsir al-Nasâfî tergolong tafsir bi al-Ra’yi. Selain itu tafsir al-Nasafi berorientasi aqidah dan tasawuf, sementara itu tafsir Rûh al-Ma’âni merupakan corak tafsir tasawuf. Sedangkan tafsir Sayyid Qutb termasuk tafsir modern yang berorientasi politik, sosial dan dakwah.32
2. Sistematika Penulisan Kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr merupakan kitab tafsir yang terdiri dari 11 (sebelas) jilid besar. Kitab tafsir yang dijadikan penelitian dalam kajian ini merupakan terbitan dari penerbit Dâr al-Salâm, Mesir, dengan tahun terbit 1985 M/ 1405 H. Dalam jilid pertama kitab tersebut dicantumkan kata pengantar penerbit oleh „Abdul Qâdir Maẖmûd al-Bukâr yang terdiri dari dua halaman. Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr, 2010, h. 58. 32
31
Kemudian disusul pengantar penyusun (al-Asâs fî al-Manhaj) tentang metode pembahasan mengenai uraian kitab tafsir yang digunakan oleh penulisnya. Masih di dalam jilid satu dikemukakan pengantar kitab tafsir al-Asâs (Muqaddimah alAsâs fî al-Tafsîr) yang memberikan tentang karakteristik kitab tafsir ini serta keistimewaannya dibandingkan dengan kitab tafsir lain. Kitab tafsir al-Asâs ini disusun seperti kitab tafsir besar yang lain dengan menguraikan penafsiran secara mendalam dan rinci yang mencapai 11 jilid tebal. Penulisan kitab tafsir ini seperti diterangkan oleh Saʻîd Hawwa dalam pendahuluan kitabnya yaitu ketika ia menjalani masa tahanan politik semasa pemerintahan Hafiz al-Asad dalam kurun waktu 1973-1978 M.33 Secara umum, sistematika penulisan kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr yaitu dalam setiap jilid Saʻîd Hawwa selalu mengemukakan pendahulan sebelum masuk dalam penafsiran surat-surat al-Qur‟an. Paparan menyangkut kategori surat sesuai yang dibagi menurut jumlah ayat oleh Saʻîd Hawwa. Setiap surat yang ditafsirkan terlebih dahulu pada awal surat dijelaskan munasabahnya dengan surat-surat lainnya. Biasanya dikutip dari penjelasan Sayyid Qutb dalam kitab tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân dan al-Alusi dalam kitab tafsir Rûh al-Ma’âni. Runtutan penafsiran disesuaikan dengan urutan surat-surat seperti yang terdapat di dalam mushaf. Untuk memudahkan penyajiannya sistematika dengan membagi kelompok-kelompok surat dalam al-Qur‟an. Saʻîd Hawwa memberikan pengkategorisasian pada 4 macam atau qism: pertama; Tiwâl, yaitu (surah alBaqarah samapi dengan surah Barâah), kedua, Mi-in yaitu (surah Yunus sampai dengan surah al-Qasâs), kelompok ini dibagi pula oleh Saʻîd Hawwa menjadi 33
21.
Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid I (Mesir: Dâr al-Salâm, 1993 M/ 1414 H), h.
32
tiga bagian yang disebutnya dengan al-Majmu’ât berdasarkan kepada makna yang dikandungnya. Ketiga; Matsâni yaitu (surah al-„Ankabût sampai dengan surah Qâf). Keempat; Mufassal yaitu (surah al-Dzâriyât sampai surah al-Nâs). Pembagian seperti ini merupakan suatu cara bagi Saʻîd Hawwa menyajikan susunan surat dengan pertimbangan melihat aspek munasabahnya.34
3. Referensi Penulisan Saʻid Hawwa di dalam menyusun kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr, menjadikan beberapa kitab tafsir lain serta mengambil pendapat dari beberapa mufassir sebagai rujukan atau referensi. Baik itu penafsir kontemporer maupun penafsir-penafsir salaf. Diantara mufassir salaf yang pendapatnya banyak diambil oleh Saʻîd Hawwa adalah Ibnu Katsîr dan al-Nasafî. Alasan Saʻîd Hawwa mengambil kedua tafsir ini, lebih disebabkan pada keterbatasan bahan yang tersedia dan apa adanya. Karena penulisan tafsir ini, yaitu ketika Saʻîd Hawwa berada di dalam tahanan. Namun hal ini bukan berarti Saʻîd Hawwa mengambil bahan seadanya, akan tetapi Saʻîd Hawwa mempunyai alasan dari pengambilan kedua tafsir ini. Hal ini dapat kita lihat pada akhir muqaddimah kitab tafsirnya, Saʻîd Hawwa mengatakan: “Dan bukan hasil dari ikhtiarku untuk menguatkan bagian pertama aku berpegangan hanya pada dua tafsir, yaitu tafsir Ibnu Katsîr dan tafsir al-Nasafi. Tidak banyak bahan yang ada ketika aku berada di penjara ketika aku mulai menulis tafsir ini kecuali kitab tafsir ini. Dan keduanya adalah tafsir yang terkenal, yang pertama adalah tafsir bi al-Ma’tsûr yang terkenal, sedangkan yang kedua adalah tafsir yang unggul dalam masalah-masalah ringkas dalam hal i’tiqadiyah dan madzhabiyah. Dari kedua tafsir ini mencukupi untuk makna harfiyyah dalam kitab Allâh.”35 Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr, 2010, h. 53-54. 34
35
Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 1, h. 11.
33
Di samping dari kedua mufassir tersebut, Saʻîd Hawwa juga banyak mengambil pendapat dari al-Alusi dan juga Sayyid Qutb. Saʻîd Hawwa banyak mengambil dari kedua mufassir ini yang berhubungan dengan masalah munâsabah.36 Dijelaskan oleh Iyazi mengenai penyusunan tafsir yang dikerjakan oleh Saʻîd Hawwa bahwa dalam menggunakan rujukan atau referensi penafsirannya menempuh dua tahap. Pertama ia menggunakan sumber utama penafsirannya pada kitab tafsir Ibnu Katsîr dan tafsir al-Nasafî. Hal ini dilakukannya ketika ia masih berada dalam penjara. Pada tahap berikutnya Saʻîd Hawwa menggunakan kitab tafsir Rûh al-Ma’âni karya al-Alûsi dan tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb disamping dua kitab tafsir terdahulu.37 Maka disini terlihat, dua tafsir pertama tergolong ke dalam kitab tafsir klasik, sedangkan dua tafsir terakhir tergolong ke dalam tafsir modern. Saʻîd Hawwa memadukan pemahamannya melalui empat kitab tafsir tersebut dalam karya kitab tafsirnya. Itulah beberapa kitab yang dijadikan rujukan atau referensi oleh Saʻîd Hawwa di dalam menyusun kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr. Dengan adanya referensi penulisan tersebut, maka kita akan sering menemui pendapat atau komentar-komentar dari ulama-ulama tersebut di dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr.
36
Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 2, h. 978. Iyazi, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum (Teheran: Wazarah al-Taqâfah wa al-Irsâd, 1992), h. 134. 37
34
4. Kelebihan dan Kekurangan Setiap kitab tafsir karya dari seorang ulama, tidak akan terlepas dari kelebihan dan kekurangan, baik itu dari segi isi, metode, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan penulisan kitab tafsir tesebut. Jika meneliti kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa, dapat ditemukan beberapa kelebihan kitab tafsir ini jika dibandingkan dengan kitabkitab tafsir yang lain. Salah satu yang menjadi kelebihan tafsir ini adalah banyak menyorot aspek munasabah dalam tafsirnya. Di dalam menjelaskan hubungan susunan ayat (munâsabah), Saʻîd Hawwa mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya hubungan dalam satu kelompok ayat seperti hubungan kesamaan tema dalam satu maqta’, atau satu faqrah. Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar maqta’, bahkan dijelaskan hubungan dengan ayat lain pada surat yang berbeda. Selain menjelaskan aspek munasabah, Saʻîd Hawwa juga menjelaskan hikmah ayat. Menjelaskan aspek munasabah dan menjelaskan hikmah ayat secara mendalam, merupakan beberapa kelebihan kitab tafsir ini dibanding dengan kitab tafsir lain. Tentunya masih banyak kelebihan-kelebihan yang terdapat di dalam tafsir ini. Beberapa kelebihan atau keistimewaan dari kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr ini, di antaranya adalah:38
38
Saʻ îd Hawwa, Tafsir Al-Asas, Penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 23-29.
35
1. Bahwa untuk pertama kali diketengahkan teori baru tentang kesatuan al-Qur‟an dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr, berdasarkan teori komprehensif yang mencakup segala dimensi kesatuan al-Qur‟an. 2. Kitab tafsir ini sangat rinci didalam menjelaskan kesatuan al-Qur‟an secara keseluruhan, sehinga kita akan mengetahui mengapa ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai kandungan yang sama tidak dicantumkan secara berdampingan, serta hikmah turunnya al-Qur‟an secara berangsur-angsur akan lebih jelas dan terang untuk kita ketahui. 3. Kitab tafsir ini juga berusaha memanfaatkan berbagai literatur berupa buku-buku agama klasik, dan berupaya menyederhanakan dan mempermudah redaksi-redaksi dari literatur-literatur klasik tersebut. 4. Di dalam tafsir ini tidak akan ditemukan hal-hal yang tidak ada hubungannya
dengan
inti
persoalan,
karena
Saʻîd
Hawwa
mengesampingkan semua persoalan yang dianggap tidak ilmiah. 5. Tafsir ini berupaya secara maksimal untuk memanfaatkan kenunggulan zaman sekarang, yaitu ketelitian dan kecenderungan spesialisasi dalam melakukan kajian terhadap satu sisi kehidupan, alam dan manusia, 6. Tafsir ini juga merupakan buku ilmu pengetahuan, dakwah, pendidikan dan jihad sekaligus. Itulah beberapa kelebihan dan keistimewaan dari kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr. Setelah membahas beberapa kelebihan dari kitab tafsir al-Asâs fi al-Tafsîr, adapula kekurangan dalam kitab tafsir ini. Kekurangan di dalam sebuah hasil karya, merupaka hal yang niscaya terjadi, karena hal ini tidak terlepas dari kodrat
36
manusia yang hanya manusia biasa. Di antara beberapa kekurangan yang menjadi catatan untuk kitab tafsir ini adalah: 1. Penulisan kitab tafsir ini dilakukan Saʻîd Hawwa ketika ia sedang berada di dalam penjara atau tahanan. Hal ini diakui Saʻîd Hawwa menjadi penghalang untuk mencapai kesempurnaan tafsir ini, karena pada saat berada di dalam penjara, pada mulanya ia hanya mengandalkan dua tafsir saja, yakni tafsir Ibnu Katsîr dan tafsir alNasafî. Sehingga harus diakui bahan-bahan rujukan untuk menulis tafsir ini sangat terbatas. 2. Saʻîd Hawwa berkata bahwa ia menyesalkan dan merupakan suatu ketidakadilan jika ada yang mengatakan tafsir karyanya merupakan ringkasan dari tafsir Ibnu Katsîr dan al-Nasafî. Di sini dapat dipahami bahwa ada sebagian orang yang mengatakan bahwa tafsir al-Asâs fî alTafsîr tidak lain merupakan ringkasan dari dari tafsir Ibnu Katsîr dan al-Nasafî. Itulah beberapa kekurangan yang menjadi catatan terhadap kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr.
BAB III KEPEMIMPINAN PERSPEKTIF SAʻÎD HAWWA A. Khilafah Kepemimpinan secara luas memilki arti yakni proses memengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok budayanya. 1 Jadi dapat dikatakan kepemimpinan merupakan cara untuk memimpin, sedangkan pemimpin adalah orang yang diteladani oleh masyarakatnya sekaligus selalu berada di depan dalam membimbing masyarakatnya. Quraish Shihab mengatakan bahwa seorang pemimpin bukan hanya harus mampu menunjukkan jalan meraih cita-cita rakyat yang dipimpinnya, tetapi juga harus dapat mengantarkan mereka ke pintu gerbang kebahagiaan. Seorang pemimpin tidak sekedar menunjukkan, tetapi mampu memberi contoh aktualisasi, sebagaimana halnya dengan pemimpin (imâm) shalat.2 Selain itu, kepemimpinan dan keteladanan harus berdasarkan pada keimanan, ketakwaan, pengetahuan dan keberhasilan dalam menghadapi berbagai tantangan dan ujian.3 Saʻîd Hawwa menjelaskan, bahwa umat Islam sama sekali tidak boleh berada dalam kondisi vacuum of caliphate (kosong dari seorang pemimpin atau khalifah). Karena dasar kekuatan hukum wajibnya pembentukan institusi adalah
1
Veithzal Rivai dan Dedi Mulyadi, kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 2. 2 M. Quraish Shihab. Menabur Pesan Ilahi (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 387. 3 M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol. 1, h. 318.
36
37
ijma‟nya umat. Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibn Khaldun yang mengatakan bahwa:4 “Sesungguhnya pengangkatan seorang imam, hukumnya adalah wajib. Hukum wajibnya didasarkan atas ijma‟ para sahabat dan tabiʻin. Setelah Rasulullah Saw. meningal dunia, para sahabat bergegas untuk mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin dan memasrahkan segala urusan mereka kepadanya. Demikian pula dalam setiap generasi setelah masa sahabat. Pada setiap masa, umat tidak dibiarkan dalam kondisi chaos atau kacau-balau. Jadilah hal tersebut sebagai ijma‟ yang bisa dijadikan dasar atas kewajiban pengangkatan imam.” Saʻîd Hawwa berpendapat dan mengatakan bahwa bentuk kepemimpinan yang disepakati oleh umat Islam adalah khilafah. Sistem khilafah ini berbeda dengan sistem-sitem pemerintahan lainnya di dunia. Memang, ada beberapa bagian yang sama dengan sistem pemerintahan lain, namun secara keseluruhan perbedaan sistem khilafah dengan sistem-sistem lainnya adalah perbedaan yang sangat substantif. Hal ini karena sumber institusi khilafah adalah dari Allâh Swt. yang diberikan kepada Rasulullah. Allâh Swt. berfirman dalam surah Sâd/38: 26 sebagai berikut:5
“Hai Dâwud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allâh akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”6
4
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, Penerjemah Abdul Hay al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 461. 5 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 462. 6 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2011), h. 454.
38
Kepemimpinan yang diterangkan di atas adalah khilâfah al-nubuwwah. Abu Bakar menegaskan masalah ini setelah ia di baiat di al-Saqîfah. Ketika ada seseorang yang memanggilnya, “wahai khalifatullah,” Abu Bakar langsung berkata, “Saya bukanlah khalifatullah, saya adalah khalifatu Rasulillah Saw.” demikianlah Abu Bakar dipanggil dengan panggilan ini selama masa pemerintahannya.7 Saʻîd Hawwa di dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat Imâm al-Nasafî, yang mengatakan bahwa Allâh mengangkat nabi Dâwud sebagai raja atau khalifah bagi orang-orang yang sebelumnya. Nabi Dâwud diperintahkan untuk memberi hukuman sesuai dengan hukuman Allâh, karena Nabi Dâwud adalah khalifah, dan jangan mengikuti hawa nafsu di dalam membuat ketetapan hukum.8 Pada mulanya kepemimpinan adalah tugas para Rasul. Allâh Swt. berfirman dalam surah al-Baqarah/2: 124 sebagai berikut:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allâh berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak berlaku bagi orang yang zalim.”9 Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa imâm adalah orang yang ditakuti dan dijadikan suri tauladan. Keimaman Ibrahim adalah keimaman yang langgeng, yang didukung oleh semua pengikut agama kitabi. Nampaknya, pelaksanaan Ibrahim secara sempurna atas beberapa kalimat yang diberikan Rabbnya tersebut 7
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 462. Saʻîd Hawwa, al-asâs fî al-Tafsîr, jilid VIII (Kairo: Dâr al-Salâm, 1985), h. 4775. 9 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 14. 8
39
merupakan faktor utama yang menjadikannya layak sebagai imâm. Seolah-olah, beliau pada mulanya adalah seorang nabi, kemudian karena beliau melaksanakan dengan sempurna semua “kalimat”. Maksudnya adalah perintah dan larangan yang diberikan Allâh kepadanya, maka beliau diberi jabatan rasul pembawa risalah, sebagai imbalan atas kepatuhannya itu. Jadi, mematuhi semua perintah dan larangan Allâh secara sempurna dapat mencalonkan seseorang untuk menduduki jabatan imâm dalam agama Allâh. Betapa kelirunya orang-orang yang merampas jabatan imam dengan cara-cara yang tidak benar. Kemudian, kata janji pada kalimat tersebut dapat diartikan dengan imâmah atau kepemimpinan. Dengan demikian, maka ayat itu berarti, “Orang zalim tidak akan memegang imâmah atau kepemimpinan dalam agama Allâh.”10 Sistem khilafah pada dasarnya adalah pengganti kenabian. Khalifah mempunyai tugas sebagai pewaris kenabian dengan menegakkan hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh para Nabi. Saʻîd Hawwa memberikan beberapa contoh ayat yang terkait dengan tugas khalifah:11 1. Allâh Swt. menyebutkan tugas Rasulullah dalam firman-Nya surah alBaqarah/2: 151:
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan 10
Saʻîd Hawwa, Tafsir al-Asas, penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 346-347. 11 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 462-463.
40
mengajarkan kepadamu al-Kitâb dan al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”12 Dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa tugas khalifah adalah mengajari dan mendidik manusia untuk memahami dan mengamalkan al-Qur‟an dan al-Sunnah. 2. Di antara tugas Rasulullah adalah menegakkan keadilan Allâh dan melaksanakan hukum-hukum Allâh. Allâh Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisâs berkenaan dengan orang-orang yang dibunu....” (Q.S. al-Baqarah/2: 178). Di ayat lain Allâh Swt. berfirman, “(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukukm-hukum yang ada di dalam) nya....”(Q.S. al-Nûr/24: 1). Demikian juga tugas seorang khalifah. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah pengganti Rasulullah Saw. dalam menegakkan syariat-syariat Allâh Swt.. Poin inilah yang membedakan sistem khilafah dari sistem-sistem lainnya. Seorang khalifah harus diangkat dengan cara pemilihan yang dilakukan oleh umat Islam dan juga atas dasar kerelaan mereka. Seorang khalifah sama sekali tidak boleh dipaksakan kepada umat Islam dengan tanpa adanya pemilihan dan kerelaan dari mereka. Karena pemilihan merupakan hak setiap umat Islam. Allâh Swt. menyifati umat Islam dalam firman-Nya, “.... Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (al-Syûrâ/42: 38). Maksud dari ayat ini adalah segala urusan umat Islam harus diselesaikan lewat mekanisme
12
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 23.
41
musyawarah. Pemilihan seorang pemimpin merupakan urusan umat yang sangat penting, sehingga pemilihan tersebut harus melibatkan mereka secara langsung.13
B. Al-Khilâfah Al-‘Uzma (Kepemimpinan Tertinggi) 1. Pengertian Khilafah Pengertian dari al-Khilâfah al-„Uzma atau al-Imâmah al-„Uzma adalah kepemimpinan tertinggi dalam agama Islam. Khalifah atau al-Imâm al-A‟zam adalah pemimpin negara Islam tertinggi.14 Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa negara Islam adalah negara yang berdiri atas ajaran Islam yang mengatur setiap individu dan kelompok, dan membimbing mereka dalam kehidupannya di dunia dalam berbagai bidang-bidang tertentu. Oleh karena itu, seorang khalifah mempunyai dua tugas, pertama, menegakkan agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya. Kedua, menjalankan politik negara sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama Islam.15 Saʻîd Hawwa juga menjelaskan bahwa tugas khalifah atau pemimpin adalah menegakkan Islam, karena Islam adalah agama dan negara. Menegakkan Islam berarti menegakkan ajaran-ajaran agama dan melaksanakan tugas-tugas kenegaraan dalam lingkup ajaran yang telah ditetapkan oleh agama Islam. 16 Definisi khalifah yang diberikan para ahli fiqih tidak keluar dari konsepsi di atas. Khalifah didefinisikan dengan “Kepemimpinan umum dalam masalahmasalah keagamaan dan keduniaan sebagai pengganti Nabi Muhammad Saw.” Definisi lainnya adalah, “Pengganti Rasulullah Saw. dalam menegakkan agama 13
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 463. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 15 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 16 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 14
42
dan menjaga semua hal yang termasuk agama dan mempunyai hak untuk dipatuhi dan ditaati oleh seluruh umat Islam.”17 Imam al-Mawardi mendefinisikan khalifah dengan, “Khalifah diangkat untuk mengganti tugas kenabian dalam hal menjaga agama dan mengurus masalah dunia.”18 Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang mendefinisikan khalifah dengan, “Mengantarkan umat untuk mencapai dan merealisasikan teoriteori syara‟ dalam hal kemaslahatan ukhrawi dan kemaslahatan-kemaslahatan duniawi yang ada kemaslahatan ukhrawinya. Karena menurut syara‟ semua urusan-urusan dunia harus dipertimbangkan kemaslahatan ukhrawinya. Sehinga khalifah pada hakikatnya adalah pengganti Rasulullah dalam menjaga agama dan mengatur masalah-masalah dunia dengan (panduan) agama.”19 Atas dasar pertimbangan tugas khalifah di atas juga maka, Abu Bakar dipanggil dengan sebutan khalîfah al-Rasûlillah Saw., dan sebagian sahabat menyebutnya dengan sebutan khalîfah Allâh, dengan pertimbangan bahwa sosok Rasulullah Saw. bergerak atas dasar perintah Allâh Swt., dan Abu Bakar juga melaksanakan perintah-perintah Allâh Swt. tersebut, sehingga keduanya (Rasulullah Saw. dan Abu Bakar) bisa dianggap sebagai khalîfatu Allâh. Namun, Abu Bakar memilih untuk dipanggil dengan khalîfatu Rasûlillâh Saw.20 Ketika Umar bin Khattab memegang kekhalifahan dia berpendapat agar pemimpin negara dipanggil dengan sebutan Amîr al-Mu‟minîn, agar lebih mudah dan
pendek 17
dibanding
menggunakan
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 19 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478. 20 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478. 18
panggilan
khalifah
yang
harus
43
disambungkan dengan nama khalifah sebelumnya hingga Rasulullah Saw.. Umat Islam dalam sejarah akhirnya mengenal istilah Amîr al-Mu‟minîn untuk memanggil pemimpin negaranya. Namun tugas Amîr al-Mu‟minîn masih tetap seperti tugas khilafah atau imamah.21 Khalifah juga kadang disebut dengan al-Imâm al-A‟zam. Penamaan alImâm al-A‟zam ini selaras dengan maksud firman Allâh Swt. dalam surah alQasas/28: 5:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).”22 Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa Allâh memberikan keistimewaan kepada bani Isrâil bahwa mereka menjadi pemimpin di dunia ini. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang diikuti dalam hal kebaikan atau pemimpin yang mengajak kepada kebaikan, serta Allâh menjadikan bani Isrâil pewaris kekuasaan dan kerajaan yang lainnya.23 Alasan lain mengapa seorang pemimpin negara Islam dipanggil dengan alImâm al-A‟zam adalah untuk membedakan dengan imam-imam lainnya seperti imam shalat.24
21
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478. Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 385. 23 Saʻîd Hawwa, al-asâs fî al-Tafsîr, jilid VII, h. 4060-4061. 24 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478. 22
44
2. Mengangkat Seorang Pemimpin Hukumnya Wajib Mengangkat khalifah atau pemimpin merupakan kewajiban kolektif (fardu kifâyah) sebagaimana kewajiban melakukan jihad dan mendirikan institusi pengadilan. Apabila ada orang yang memegang jabatan ini dan dia memang mampu, maka kewajiban tersebut gugur dari tanggung jawab seluruh umat. Namun apabila tidak ada seseorang yang memegang jabatan khalifah ini, maka semua umat Islam berdosa hingga mereka mengangkat orang yang mempunyai kemampuan untuk menjadi khalifah.25 Sebagian orang berpendapat bahwa yang menanggung dosa adalah dua kelompok umat saja, yaitu tokoh-tokoh umat yang pandai (ahl al-ra‟yu) hingga mereka memilih khalifah dan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk menjadi khalifah hingga mereka dipilih salah satunya untuk menjadi khalifah.26 Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa yang benar adalah dosa tersebut ditanggung oleh semua umat Islam, karena umat Islam semuanya menjadi objek perintah dan larangan syara‟ dan yang berkewajiban menegakkan khilafah adalah mereka semua.27 Terlihat sekali, dengan adanya beragam pendapat di atas, menunjukkan bahwa seorang pemimpin merupakan tokoh yang sangat penting keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, yang memang sudah sepatutnya sebuah negara memiliki seorang pemimpin.
25
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478-479. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479. 27 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479. 26
45
3. Dasar Kewajiban Pengangkatan Seorang Pemimpin Dasar utama bagi kewajiban pengangkatan khalifah adalah perintahperintah ajaran agama (syara‟). Menegakkan khilafah atau imamah merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh syara‟ kepada semua umat Islam. Syara‟ memerintahkan hal itu kepada semua umat Islam. Sehingga umat Islam wajib melakukan usaha hingga tercapainya dan terlaksananya kewajiban tersebut. Apabila kewajiban tersebut telah terlaksana, maka mereka telah lepas dari tanggung jawab dan kewajiban. Apabila khalifah tersebut turun atau meninggal, maka kewajiban itu kembali lagi di pundak semua umat Islam.28 Sa‟îd Hawwa memaparkan dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mendirikan khilafah sebagai berikut: Pertama, khilafah atau imamah merupakan sunnah fi‟liyyah yang dilakasanakan Rasulullah Saw. kepada kaum Muslim. Rasulullah membentuk kesatuan politik yang terdiri dari umat Islam seluruhnya. Dengan kesatuan politik umat Islam tersebut, Rasulullah membangun satu negara, dan Rasulullah sebagai pemimpinnya (al-imâm al-a‟zam). Pada prinsipnya Rasul mempunyai dua tugas, pertama menyampaikan risalah dari Allâh, kedua melaksanakan perintah-perintah Allâh dan mengarahkan politik negara sesuai dengan aturan dan batasan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam.29 Setelah wafatnya Rasulullah Saw., manusia tidak memerlukan lagi adanya tambahan risalah dari Allâh Swt. karena semua risalah sudah terkumpul dalam al28 29
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479.
46
Qur‟an dan Sunnah. Namun setelah Rasulullah membentuk kesatuan politik umat dan memimpin mereka semua, baik yang berada di belahan barat atau timur, maka umat manusia setelah wafatnya memerlukan orang yang menegakkan ajaranajaran al-Qur‟an dan Sunnah dan menyiasati penegakannya dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh agama. Bahkan atas dasar meneladani Rasululah Saw. dan mengikuti sunnahnya, umat Islam wajib membentuk kesatuan politik di antara mereka, mendirikan negara yang menyatukan mereka semua dan mengangkat pemimpin sebagai pengganti Rasulullah dalam tugasnya melaksanakan ajaranajaran agama dan mengurusi politik negara dengan menggunakan pedoman dan petunjuk-petunjuk agama Islam yang murni.30 Kedua, Ijma‟ umat Islam, khususnya para sahabat untuk mengangkat seseorang menjadi pemimpin negara yang menggantikan Rasulullah. Para sahabat adalah orang yang lebih tahu tentang petunjuk-petunjuk Islam. Sejenak setelah meninggalnya Rasulullah, Abu Bakar menemui orang-orang dan berkata kepada mereka, “Ketahuilah bahwa Nabi Muhammad Saw. telah meninggal dunia, dan agama ini harus ada yang mengurusnya.” Para sahabat meninggalkan urusan persiapan pemakaman Nabi, dan mereka mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah Saw. sebelum menyemayamkan jasad mulia Rasulullah. Ijma‟ merupakan salah satu dasar hukum dalam Islam dan mempunyai kekuatan laksana teks keagamaan, dan ijma‟ ini mengikat umat Islam secara hukum.31 Ketiga, banyak dari kewajiban-kewajiban keagamaan yang tidak bisa dilaksanakan kecuali apabila ada khalifah atau imam. Sesuatu yang tanpanya, menyebabkan sebuah kewajiban tidak bisa terlaksana dengan sempurna, maka 30 31
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479-480. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 480.
47
sesuatu tersebut hukumnya juga wajib. Dengan mengangkat pemimpin, maka bahaya-bahaya yang mengancam bisa ditanggulangi, dan mengatasi bahayabahaya yang mengancam hukumnya adalah wajib. Di ketahui bersama bahwa tujuan syara‟ menetapkan aturan-aturan dalam interaksi sesama manusia (muʻâmalah), pernikahan, jihad, hukum had, dan ritual-ritual lainnya adalah untuk kemaslahatan yang bisa dirasakan oleh umat, dan kemasalahan ini tidak bisa terwujud kecuali dengan adanya seorang pemimpin yang memutuskan perselisihan-perselihan yang terjadi di tengah umat. Tidak adanya pemimpin menyebabkan banyak terabaikannya urusan agama dan banyak kebijakan, keputusan dan langkah-langkah yang keluar dari ajaran Islam.32 Keempat, teks-teks al-Qur‟an dan al-Sunnah menetapkan bahwa mengangkat pemimpin untuk umat Islam adalah wajib.33 Di antaranya firman Allâh Swt. dalam suran al-Nisâ‟/4: 59:
..... “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu....”34 Rasulullah Saw. bersabda:
ُ ْْهَبٌُ بَٛ ابٍَْ دَبصِوٍ دَذَثََُب غُِْٙعَٚ ٌشِٚجش ٍ َ ْبَبٌُ بٍُْ َفشُٔرَ دَذَثََُبَٛدَذَثََُب ش َُِّ صَهَٗ انهِٙ َشةَ عٍَْ انَُبْٚ َ ُْشَِٙبحٍ عٍَْ أَبِْٚظِ بٍِْ سَٛ لِٙشٍ عٍَْ أَبِٚجش َ َعتَ َفًَبثَ يَبث َ جًَب َ ْعتِ َٔفَب َسقَ ان َ خشَجَ يٍِْ انّطَب َ ٍَِّْ َٔعَهَىَ أََُّ لَبلَ يْٛ َعَه ًَتِٛخَتً جَبِْهِٛي “Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farruh telah menceritakan kepada kami Jarir -yaitu Ibnu Hazim- telah menceritakan kepada kami Ghailan bin Jarir dari Abu Qais bin Riyah dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: Barangsiapa keluar dari ketaatan dan 32
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 480. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 480. 34 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 87. 33
48
memisahkan diri dari (kesatuan) jamaʻah, maka apabila ia mati, ia mati sebagaimana matinya orang jahiliyah.”35 Hadis lain dari Rasulullah yang berkaitan dengan pemimpin adalah:
ٍ ْ ٌَ ع َ ٍ عُثًَْب ُ َْٗ انًَْشَْٔصُِ٘ لَبلَ دَذَ َثَُب عَبْ ُذ انهَ ِّ بَْٛذٚ ٍ ُ ٍْ يُذًََذُ بٙأَخْبَشَََب أَبُٕ عَِه ُّ َ صَهَٗ انهٙ ُ ل انَُ ِب َ ْخٍ لَبلَ لَبٍَٚ عَشْفَجَ َت بٍِْ شُش ْ ٍَ عِهَبلَ َت ع ِ َْب ِد بٍِٚ ص ْ َ دًَْضَ َة عِٙأَب ًُُُِْٕخَِّْٚ فًٍََْ سَأََٚذٚ َث َٔسَفَع ٌ ٌ بَعْذِ٘ ََُْبثٌ َََُْٔبثٌ َََُْٔب ُ ُْٕ ِّ َٔعَهَ َى إِ ََٓب عَخَكَٛعَه ٍ ْ َعٌ فَبلْخُهُٕ ُِ كَبئًُِب يًَِْٛ ِّ َٔعَهَ َى َُْٔ ْى جَٛك أَيْ ِش أُيَ ِت يُذًََ ٍذ صَهَٗ انهَ ُّ عَه َ ِٚ ُذ حَفْشُِٚشٚ ٍِ انَُبط ْ ٌِ ي َ كَب “Telah mengabarkan kepada kami Abu Ali Muhammad bin Yahya Al Marwazi, Ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Utsman dari Abu Hamzah dari Ziyad bin 'Ilaqah dari 'Arfajah bin Syuraih, ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya akan terjadi setelahku fitnah dan fitnah -dan beliau mengangkat kedua tangannya- maka siapa yang kalian lihat telah ingin memecah belah keadaan umat sedang mereka telah bersatu maka bunuhlah dia siapapun dia.”36 Dari teks-teks di atas dapat disimpulkan bahwa umat Islam harus memilih seorang khalifah yang memimpin mereka. Apabila dalam hidupnya seorang Muslim tidak mempunyai khalifah, maka apabila dia meninggal akan meninggal dalam keadaan seperti orang jahiliyah. Dari beberapa teks tersebut juga dapat disimpulkan bahwa umat Islam harus mengangkat satu pemimpin, apabila ada dua khalifah dibaiat maka yang terakhir dibaiat harus diperangi apabila ia tidak mau menyerahkan kekuasaan kepada yang pertama. Begitu juga wajib bagi umat Islam memerangi orang atau kelompok yang ingin memecah belah persatuan umat Islam yang berada di bawah kekuasaan satu pemimpin.37
35
Abu Husain Muslim bin Hajjâj bin Muslim. Sahîh Muslim (Beirut: Dâr al-Jîl, t.th.) Juz
6, h. 20. 36
Ahmad bin Syuʻaib Abu Abd al-Rahman al-Nasâ‟i. Sunan al-Nasâ‟i (Beirut: Maktab alMatbûʻah al-Islâmiyah, 1986) juz 7, h. 93. 37 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 482.
49
Kelima, Allâh Swt. menetapkan bahwa umat Islam adalah umat yang satu, meskipun mereka berbeda bahasa, jenis dan bangsanya.38 Allâh Swt berfirman dalam surah al-Mu‟minûn/23: 52:
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.”39 Pada ayat lain Allâh Swt. berfirman:
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (Q.S. al-Anbiyâ/21: 92).40 Saʻîd Hawwa mengatakan tuntutan dari ayat-ayat ini adalah umat Islam harus menjadi umat yang satu, mempunyai kesatuan politik yang satu dan mempunyai negara yang satu yang didirikan oleh mereka sendiri.41 Keenam, sesungguhnya Allâh Swt. telah menetapkan bahwa umat Islam adalah umat yang satu, Allâh Swt. juga mewajibkan umat Islam untuk mendirikan satu negara yang dibentuk oleh mereka sendiri dan menetapkan bahwa masalah pemerintahan harus didasarkan atas syura. Allâh Swt. berfirman, “Dan urusanurusan mereka diselesaikan dengan cara syura di antara mereka.” Apabila umat Islam diharuskan menjadi umat yang satu dan diwajibkan memilih seseorang untuk memimpin pemerintahan, maka tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali memilih seorang pemimpin untuk memimpin negara Islam di saat memang belum
38
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 482. Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 345. 40 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 330. 41 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483. 39
50
ada pemimpinnya. Mereka harus mengangkat hanya satu pemimpin karena pertimbangan mereka adalah umat yang satu dan harus memiliki satu negara.42
C. Syarat-syarat yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin Tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, karena tugas sebagai pemimpin di samping memang memang merupakan tugas yang penting dan berat, ia juga mengharuskan orang tersebut memiliki sifat-sifat khusus. Saʻîd Hawwa menyebutkan ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:43 1. Islam Saʻîd Hawwa mengatakan tugas kekhalifahan dengan sendirinya mensyaratkan orang yang memegang jabatan khalifah harus beragama Islam. Tugas seorang khalifah adalah menegakkan agama Islam dan mengarahkan politik negara sesuai dengan aturan-aturan Islam. Tugas seperti itu tidak bisa dijalankan dengan benar kecuali oleh seorang Muslim yang meyakini agamanya dengan sungguh-sungguh, mengetahui dasar-dasar dan petunjuk Islam. Sehingga bisa disimpulkan, dengan sendirinya seorang pemimpin negara Islam haruslah seorang Muslim.44 Kemusliman seorang khalifah merupakan konsekuensi logis dari karakter negara Islam dan juga sesuai dengan logika normal. Islam sendiri melarang jabatan khalifah dipegang oleh non-Muslim.45 Jika dilihat pandangan Saʻîd Hawwa, pemimpin harus Muslim jika negara tersebut adalah negara Islam. 42
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483-484. 44 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484. 45 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484. 43
51
Syarat ini tentunya agak sulit terpenuhi jika negara tersebut bukanlah negara Islam. Namun, syarat ini terlihat akan lebih mudah terpenuhi jika negara tersebut mayoritas berpenduduk Muslim sekalipun negaranya tidak berbentuk negara Islam, seperti negara Indonesia yang ber-azaskan demokrasi. Saʻîd Hawwa menjelaskan hal ini dengan mengangkat firman Allâh Swt. surah Âli „Imrân/3: 28 sebagai berikut:
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat seperti itu, niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allâh, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allâh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allâh kembali (mu).”46 Dalam ayat ini ajaran Islam melarang seorang mukmin menjadikan nonMuslim sebagai penolong, begitu juga ajaran Islam melarang seorang mukmin menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin mereka, karena pemimpin juga termasuk penolong.47 Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa surah Âli „Imrân/3: 28 merupakan sebuah larangan bagi orang-orang mukmin agar mereka tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, baik itu karena faktor kekerabatan, persahabatan, ingin mendapatkan manfaat, karena faktor kecintaan ataupun karena rasa takut.48 Maka
46
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 53. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484. 48 Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II (Kairo: Dâr al-Salâm, 1985), h. 730. 47
52
jelas bahwa orang mukmin hanya boleh memilih orang yang beriman untuk dijadikan pemimpin mereka. Di dalam menafsirkan kata ٍُٛيٍ دٌٔ انًؤي, Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa orang-orang mukmin dipersilahkan untuk mengangkat sebagian dari mereka (orang mukmin) sebagai pemimpin, hal ini sebagai alternatif atau untuk menghindar dari menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, sehingga orang-orang mukmin tidak mengutamakan orang-orang kafir di atas orang-orang mukmin.49 Selanjutnya Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa bagi siapa saja yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, bahwa dia telah keluar dari wilayah Allâh. Karena menjadikan Allâh sebagai pemimpin dan sekaligus menjadikan musuh-Nya (orang kafir) sebagai pemimpin, merupakan dua hal yang bertentangan.50 Di sini akan terlihat sebuah pertentangan jika orang mukmin memilih orang kafir sebagai pemimpin, karena orang kafir adalah orang yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan orang mukmin di dalam hal keyakinan agama. Maka antara hukum atau aturan yang berasal dari Allâh dengan hukum aturan yang berasal dari orang kafir, sangat mungkin sekali untuk terjadi pertentangan. Kemudian Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibnu Katsîr dalam menafsirkan kalimat إال أٌ حخمٕا يُٓى حمبةdimana Ibnu Katsîr mengatakan; “kecuali orang mukmin yang khawatir terhadap kejahatan orang-orang kafir dalam sebagian negeri dan waktu, maka boleh bagi orang mukmin tersebut untuk menghindari kejahatan mereka secara lahiriyah/taqiyah (menyembunyikan identitas), tidak secara batin 49 50
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730.
53
dan niat”.51 Di sini diperbolehkan jika memiliki pemimpin kafir, dikarenakan mayoritas penduduk negeri itu adalah orang kafir, atau karena orang yang beriman takut atau khawatir terhadap kejahatan yang dilakukan orang kafir. Namun menjadikan mereka sebagai pemimpin, hanya sebatas lahiriyah saja, namun di dalam hati tetap beriman kepada Allâh dan selalu mengikuti aturan-aturan-Nya. Saʻîd Hawwa mengutip sebuah hadis dari Imâm Bukhâri yang meriwayatkan dari Abû Dardâ bahwa ia berkata: “sesungguhnya kita bermanis-manis di hadapan beberapa kaum (orang kafir), padahal hati kami melaknat mereka”. Imâm Bukhâri berkata yang berasal dari Imâm Hasan bahwa taqiyah diperbolehkan sampai hari kiamat.52 Imâm al-Nasafî mengomentari dalam makna pengecualian berikut: “kecuali kamu khawatir terhadap orang-orang kafir akan satu perkara yang wajib menghindarinya, maksudnya adalah kecuali bila orang kafir tersebut mempunyai kekuasaan atasmu. Jika kamu khawatir terhadap jiwa dan hartamu, maka ketika itu dibolehkan bagimu untuk menampakkan muwâlah (bersahabat/persahabatan) dan menyembunyikan permusuhan”.53 Saʻîd Hawwa mengatakan Allâh telah memperingatkan siksaan-Nya terhadap kita di dalam menentang Allâh. Dia juga telah memperingatkan siksaan dan azab-Nya terhadap orang-orang yang menolong musuh-Nya dan memusuhi para kekasih-Nya. Karena hanya kepada Allâh kita kembali dan siksaan tersebut telah dipersiapkan di sisi-Nya.54
51
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. 53 Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. 54 Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730-731. 52
54
2. Laki-laki Seorang pemimpin disyaratkan harus seorang laki-laki, karena tabiat wanita tidak memungkinkannya memegang kepemimpinan negara, yang menuntutnya untuk bekerja secara terus-menerus, memimpin tentara dan mengatur segala urusan. Tugas-tugas ini tentunya sangat berat dan melelahkan bagi wanita.55 Saʻîd Hawwa mengangkat sebuah hadis yang menjadi dalil untuk melarang kepemimpinan wanita. Rasulullah Saw. bersabda:
َْ ِّ َٔعَهَىَٛ صَهَٗ انهَ ُّ عَهٙ ِ ٍ انَُ ِب ْ َ بَكْشَةَ عٍِٙ أَب ْ َ عِٙ أَبََُُِْٙ َت دَذَثََُٛٛٗ عٍَْ عَْٛذٚ دَذَثََُب ٍُفْهِخَ لَْٕ ٌو أَعَُْذُٔا أَيْشَُْ ْى إِنَٗ ايْشَأَةٚ ٍ ْ َل ن َ لَب “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Uyainah, telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Abu Bakrah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: Tidak akan sukses suatu kaum yang menyandarkan urusan (kepemimpinan) mereka pada wanita.”56 Pada bagian ini, Saʻîd Hawwa tidak menjelaskan panjang lebar bahwa syarat seorang pemimpin haruslah laki-laki. Namun jika dilihat negara-negara di dunia, terdapat beberapa negara yang memiliki pemimpin atau pernah dipimpin oleh seorang wanita, termasuk salah satunya adalah negara Indonesia. Boleh jujur dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan ketika Indonesia dipimpin baik oleh laki-laki maupun perempuan.
3. Akil Balig Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa seorang pemimpin disyaratkan harus sudah mukallaf atau akil balig. Anak kecil, orang gila dan orang ayan sudah barang tentu tidak mampu untuk menjadi seorang pemimpin negara. Maksud 55 56
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484. Imâm Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 5, h. 38.
55
utama dari kepemimpinan adalah mengurusi wilayah orang lain, sedangkan orangorang tersebut (orang gila dan ayan) tidak ada kemampuan untuk mengurusi diri mereka sendiri, sehingga tidak mungkin mereka diserahkan tugas untuk mengurusi orang lain.57 Anak kecil, orang gila dan orang ayan secara syara‟ tidak dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw:
ٍ ْ ٌَ أَخْبَشَََب دًََبدُ بٍُْ عَهًََ َت ع َ ٍُٔ َْبس ُ ْ ُذ بَِٚضٚ ْبَ َت دَذَثََُبَٛ شٍِٙ أَب ُ ْدَذَثََُب عُثًَْبٌُ ب َض ِ ٍَ عَبئِشَ َت س ْ ٍَ انْأَعَْٕ ِد ع ْ َ َى عٍِْٛ إِبْشَا ْ َدًََب ٍد ع َٗل انهَ ِّ صَه َ ٌُٕ سَع َ َ انهَ ُّ عََُْٓب أٙ ٍَٗ انًُْبْخَه ْ َظ َٔع َ ِْمََٛغْخٚ ٍَٗ انَُبئِ ِى دَخ ْ ٍَ ثَهَبثَ ٍت ع ْ َل سُفِ َع انْمَهَ ُى ع َ ْ ِّ َٔعَهَىَ لَبَٛانهَ ُّ عَه ََكْبُشٚ َٗ دَخٙ ِ ٍِ انّصَب ْ ََبْشَأَ َٔعٚ َٗدَخ “Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun berkata, telah mengabarkan kepada kami Hammad bin Salamah dari hammad dari Ibrahim dari Al Aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Pena (pencatat amal) di angkat (tidak digunakan untuk mencatat amal) tiga golongan: anak kecil hingga ia sampai masa akil balig, orang yang tidur hingga ia bangun dan dari orang gila hingga ia sadar.”58
Orang yang tidak bertanggung jawab atas dirinya sendiri, sudah barang tentu tidak akan mungkin bertanggung jawab atas diri orang lain. Dasar utama kepemimpinan adalah mengemban tanggung jawab penuh (al-Masʻûliyyah alTâmmah). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
َٙض ِ ََُب ٍس عٍَْ عَبْذِ انهَِّ بٍِْ عًَُشَ سِٚ يَبنِكٌ عٍَْ عَبْذِ انهَِّ بٍِْ دَُِٙمُ دَذَثِٛدَذَثََُب إِعًَْبع انهَ ُّ عًََُُْٓب ِّ َِخِِّْٛ َٔعَهَىَ لَبلَ أَنَب كُهُكُىْ سَاعٍ َٔكُهُكُىْ يَغْئُٕلٌ عٍَْ سَعَٛأٌََ سَعُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَه م ِ ْْ َجمُ سَاعٍ عَهَٗ أ ُ ََخِِّ َٔانشِٛفَبنْئِيَبوُ انَزِ٘ عَهَٗ انَُبطِ سَاعٍ ََُْٕٔ يَغْئُٕلٌ عٍَْ َسع 57
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 485. Abu Dâwud Sulaimân bin al-Asyʻats al-Sajastani. Sunan Abî Dâwud (Beirut: Dâr alKitâb al-ʻArabî, t.th) Juz 4, h. 243. 58
56
َ ِْ َٔ ِ ِْجِ صَْٔجَِٓب ََٔٔنَذََٛتٌ عَهَٗ أَ ْْمِ بَِٛخِِّ َٔانًَْشْأَةُ سَاعِْٛخِِّ ََُْٕٔ يَغْئُٕلٌ عٍَْ سَعَٛب ٙ ٍِذِ ِ ََُْٕٔ يَغْئُٕلٌ عَُُّْ أَنَب فَكُهُكُىْ سَاعَٛجمِ سَاعٍ عَهَٗ يَبلِ ع ُ َيَغْئُٕنَتٌ عَُُْٓىْ َٔعَبْذُ انش َِِّخٍِٛ سَع ْ َل ع ٌ َُٕٔكُهُكُ ْى يَغْئ “Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku Malîk dari „Abdullah bin Dinâr dari „Abdullâh bin „Umâr radiallahu 'anhuma, Rasûlullah Saw. bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”59 Dapat dikatakan bahwa seseorang yang sudah akil balig, sudah bisa membedakan antara yang baik dan buruk, dapat membedakan antara yang benar dan salah, tentunya akan mempunyai pemikiran yang matang jika diserahkan tanggungjawab untuk memimpin sebuah negara. Maka dikhawatirkan jika negara dipimpin oleh seseorang yang belum akil balig, negara tidak mempunyai tujuan yang jelas, sehingga akan timbul kekacauan.
4. Pandai Seorang pemimpin disyaratkan harus seorang yang pandai. Ilmu yang pertama-tama harus diketahui oleh seorang pemimpin adalah ilmu tentang hukumhukum Islam, karena ia berkewajiban untuk melaksanakan dan menerapkan hukum-hukum tersebut dan mengarahkan politik negara agar sesuai dan selaras dengan aturan-aturan Islam. Apabila seseorang tidak mengetahui hukum-hukum Islam, maka ia tidak boleh diajukan untuk menjadi pemimpin.60
Muẖammad bin Ismâ‟il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Juz 9 (Mesir: Dâr Ṯuq al-Najâh, 2001), h. 42. 60 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 485. 59
57
Sebagian ulama berpendapat bahwa tingkat kemampuan keilmuan seorang pemimpin dalam masalah hukum harus tinggi, tidak boleh hanya taklid kepada ulama-ulama pendahulunya, karena taklid termasuk kekurangan, sehingga disyaratkam harus sudah sampai pada taraf mujtahid.61 Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa seorang pemimpin tidak hanya harus ahli dalam masalah hukum Islam, ia juga harus mempunyai wawasan
dan
cakrawala pengetahuan yang luas. Mengetahui dengan baik cabang-cabang ilmu yang berkembang pada masanya, meskipun ia tidak sampai pada taraf ahli dalam setiap spesialisasi ilmu-ilmu tersebut. Pemimpin juga disyaratkan harus mengetahui sejarah dan pengetahuan tentang negara-negara di dunia, mengetahui undang-undang internasional, perjanjian-perjanjian internasional, dan juga pengetahuan tentang hubungan-hubungan politik, sejarah dan perdagangan di antara negara-negara di dunia.62 Kepandaian adalah syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Kepandaian dari seorang pemimpin adalah bekal serta jaminan bagi sebuah negara untuk terus maju. Jika melihat realita yang terjadi sekarang ini, persaingan antara negara yang satu dengan negara lain terjadi, maka apabila seorang pemimpin tersebut adalah orang yang pandai, ia dapat memenangi persaingan tersebut dengan cara yang sehat dan bijak. Tentunya pemimpin harus memiliki kepandain, terutama dalam hal agama. Sehingga nilai-nilai agama akan selaras dan sejalan dengan arah tujuan negara tersebut.
5. Adil 61 62
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486.
58
Saʻîd Hawwa memberikan syarat bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat adil, karena dia membawahi jabatan-jabatan yang harus dipegang oleh orang-orang yang mempunyai sifat adil juga, oleh karena itu sudah barang tentu apabila jabatan pemimpin harus dipegang oleh orang-orang yang mempunyai sifat adil.63 Saʻîd Hawwa mengutip standar adil menurut para ahli fiqih yakni apabila seseorang telah melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya dan juga keutamaan-keutamaan dalam agama, meninggalkan kemaksiatan, hal-hal yang hina dan semua hal yang bisa menghilangkan kehormatan. Sebagian ulama mensyaratkan sifat adil harus muncul dari kebiasaan diri bukan karena keterpaksaan. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa meskipun sifat adil berawal dari keterpaksaan, namun akhirnya nanti juga akan menjadi kebiasaan pribadi seseorang.64 Bersikap adil merupakan sebuah etika yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin. Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang diserap dari bahasa Arab “‟adl”. Kata „adl terambil dari kata „adala yang terdiri dari huruf „ain, dal dan lam. Rangkaian huruf-huruf ini mengandung dua makna yang bertolak belakang yaitu, “lurus dan sama” serta “bengkok dan berbeda.”65 Seorang yang adil adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran
63
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. 65 Abu Husain Ahmad bin Fâris, Mu‟jam Maqâyis al-Lughah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994/1415), h. 745. 64
59
yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seroang yang adil tidak berpihak kepada yang salah.66 Salah satu ayat al-Qur‟an yang mebicarakan tentang keadilan adalah surah al-Nisâ/4: 58, yang menjelaskan bahwa apabila menetapkan hukum harus dengan adil. Berikut surah al-Nisâ/4: 58:
“Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”67 Al-Baidhâwi menyatakan bahwa al-„adl bermakna al-insâf wa al-sawiyyat, “berada di pertengahan dan mempersamakan.”68 Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al-Râghib69 dan Rasyîd Ridhâ.70 Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Qutb menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimilki setiap orang.71 Ini berarti bahwa manusia mempunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Pengertian yang berbeda dikemukakan
66
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “adil” diartikan: (1) tidak berat sebelah/ tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran dan (3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Lihat Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 7. 67 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 87 68 Nasruddin Abu Al-Khair „Abdullâh bin „Umar Al-Baidhâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‟wîl, jilid I (Mesir: Mustaf al-Bâb al-Halabi, 1939), h. 191. 69 Abi Al-Qâsim Husain Al-Râghib Al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‟ân (Kairo: Mustafâ al-Bâbi al-Halabi, 1412 H) h. 235. 70 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsir al-Manâr, jilid V, h. 174. Ridhâ menyatakan bahwa keadilan yang diperintahkan dalam ayat itu dikenal oleh ahli bahasa Arab, dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. 71 Sayyid Qutb, Fî Zilâl Al-Qur‟ân, jilid V (Beirut: Dâr al-„Arabiyah, 2000), h. 118; Sayyid Qutb menyatakan bahwa dalil di atas menhendaki keadilan yang menyeluruh di antara sesama manusia, bukan keadilan di antara sesama muslim atau sesama ahli kitab dan tidak pula atas sebagian manusia saja. Keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia, dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
60
oleh al-Marâghî. Ia tidak meilhat keadilan dari segi persamaan hak, tetapi menekankan aspek terselenggaranya atau terpenuhinya hak-hak yang telah ditetapkan menjadi milik seseorang. Konsep al-Marâghî ini lebih relevan dengan kata al-qist dari pada kata al-„adl.72 Saʻîd Hawwa menjelaskan tentang makna keadilan pada ayat tersebut, bahwa di dalam menetapkan hukum antar sesama manusia, maka harus memutuskan dengan sama rata, tidak dicampuri atau tidak disertai dengan hawa nafsu dan kecurangan, dan memutuskannya dengan menggunakan hukum Allâh.73 Itulah pendapat Saʻîd Hawwa di dalam menjelaskan tentang makna “menetapkan hukum dengan adil.” 6. Mempunyai Kemampuan Saʻîd Hawwa memberikan syarat bahwa seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing masyarakat di samping tentunya harus mempunyai keahlian dalam melaksanakan tugas-tugas administratif dan perpolitikan. Barangsiapa mengerjakan hal itu dengan adil maka ia telah melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.74 Tidak dijelaskan oleh Saʻîd Hawwa secara spesifik bagaimana kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin. Namun, sudah menjadi keniscayaan bahwa seorang pemimpin harus mempunayi kemampuan di dalam memimpin. Negara merupakan sebuah institusi besar, yang di dalamnya hidup manusia yang banyak terdiri dari berbagai agama, suku, kebudayaan, adat-istiadat,
72
Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik , h. 190. Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 1088. 74 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486 73
61
dan lain-lain. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan beragam masalah, baik itu permasalahan dalam bidang agama, ekonomi, sosial, budaya serta permasalahanpermasalahan lain yang lazimnya muncul dari sebuah negara. Makan menjadi keharusan bagi seorang pemimpin, untuk memiliki kemampuan mengahadapi setiap permasalahan, serta mengatur segala hal yang berhubungan dengan negara, sehingga negara akan terus menjadi lebih baik.
7. Sehat Jasmani Saʻîd
Hawwa
memasukkan
pendapat
sebagian
ulama
yang
mensyaratkan seorang pemimpin harus berbadan sehat dan tidak cacat. Orang yang buta, tuli, bisu, dan hilang sebagian anggota badannya tidak boleh menjadi seorang pemimpin. Argumentasi ulama yang berpendapat seperti ini adalah, kecacatan seseorang akan mengurangi kemampuan kerja atau paling tidak pekerjaannya tidak akan terselesaikan dengan sempurna.75 Jika seseorang secara jasmani tidak sehat atau cacat, bisa dikhawatirkan hal tersebut akan menjadi penghambat bila ia ditugaskan untuk memimpin sebuah negara. Namun hal ini bisa jadi menimbulkan pertentangan, karena tidak menutup kemungkinan seseorang yang tidak sehat secara jasmani, tetapi memiliki kemampuan untuk memimpin sebuah negara dikarenakan memiliki illmu yang luas, gagasan-gagasan besar yang bisa menjadi solusi untuk kemajuan sebuah negara. Sehingga harus dikaji lebih dan spesifik syarat seorang pemimpin dalam poin ini.
75
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486-487.
62
8. Keturunan Quraisy Pada syarat yang terakhir ini untuk dipenuhi seorang pemimpin, Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa syarat ini masih banyak yang memperdebatkan. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa seorang khalifah harus dari keturunan Quraisy, argumentasi mereka adalah hadis-hadis Rasulullah yang berkaitan dengan masalah ini. Sabda nabi Muhammad Saw. yang menyangkut masalah ini adalah sebagai berikut:76
ٍَْد ع ِ ٍِ انْذَبس ِ ٍْ انْمَبعِ ِى ب ِ َج ع ٍ ِ ثَببٍِٙ أَب ِ ْبِ بٌِٛ عٍَْ دَب ُ َبْْٛ ٍى دَذَثََُب عُفَٛدَذَثََُب أَبُٕ َُع ْ ِّ َٔعَهَ َىَٛل انهَِّ صَهَٗ انهَ ُّ عَه ُ ُٕل سَع َ يَغْعُٕدٍ لَبلَ لَبٍِٙ أَب ْ ٍَ عُخْبَ َت ع ِ ْعَبْ ِذ انهَ ِّ ب ط َ َكُ ْى َٔأََْخُ ْى ُٔنَبحُُّ يَب نَ ْى حُذْذِثُٕا فَئِرَا فَعَهْخُ ْى رَنِكَ عَهَِٛضَالُ فٚ ٌ َْزَا انْأَيْ َش نَب َ ِش إ ٍ ْٚ َنِمُش ُبُِٛهْخَذَٗ انْمَضٚ ْكُىْ شِشَا َس خَهْمِِّ َٔانْخَذَْٕكُ ْى كًََبَٛانهَ ُّ عَه “Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah bercerita kepada kami Sufyan dari Habib bin Abu Tsabit dari Al Qosim bin Al Harits dari 'Abdullah bin 'Utbah dari Abu Mas'ud berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda kepada kaum Quraisy; Masalah kekuasaan ini akan tetap ada pada kalian dan kalian yang menguasainya selama kalian tidak membuat-buat hal-hal baru. Bila kalian melakuannya, Allah akan memberi kuasa pada makhlukNya yang jahat untuk menguasai kalian lalu mereka akan menguliti kalian laksana pedang tajam menguliti.”77 Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibnu Khaldun, yang memberikan alasan bahwa keharusan kepemimpinan dipegang oleh Quraisy adalah karena soliditas dan fanatisme suku Quraisy yang sangat kuat.78 “Sesungguhnya kaum Quraisy merupakan kaum yang paling kuat solidaritasnya dalam komunitas bani Mudhir, dia juga merupakan asal-usul keberadaan komunitas ini dan ia jga kaum yang paling kuat dalam komunitas ini. 76
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 487. Ahmad bin Hanbal Abu „Abdullâh al-Syaibâni. Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo: Mu‟assasah Qurtbah, t.th) Juz 5, h. 274. 78 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 489. 77
63
Orang-orang Arab selain suku Quraisy mengakui keistimewaan Quraisy tersebut. Kalau seandainya para pemimpin diangkat dari selain kaum Quraisy, maka hampir dipastikan akan muncul perpecahan karena suku Quraisy pasti menentang dan tidak mau tunduk kepadanya. Suku-suku lainnya yang masih dalam komunitas bani Mudhir juga tidak mampu menghalangi atau memaksa kaum Quraisy ini untuk menghentikan pembangkangan ini. Maka akan muncul banyak kelompok dan kekuatan akan terpecah belah. Padahal syara‟ melarang hal itu dan sangat mengharapkan adanya persatuan.” Dari uraian Ibnu Khaldun, Saʻîd Hawwa menyimpulkan bahwa alasan disyaratkanya seorang khalifah atau pemimpin harus dari keturunan Quraisy adalah karena kaum Quraisy mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Hak mereka untuk diprioritaskan menjadi khalifah hilang dengan sendirinya di saat kekuatan mereka melemah.79 Saʻîd Hawwa mengingatkan untuk perlu diperhatikan bahwa kelompok yang masih tetap mensyaratkan khalifah harus dipegang oleh keturunan Quraisy, membolehkan kekhalifahan atau kepemimpinan tersebut dipegang oleh orang yang menang dalam perebutan kekuasaan, walaupun ia bukan orang Quraisy. Namun mereka membolehkan hal itu karena darurat.80 Demikianlah delapan syarat menurut pandangan Saʻîd Hawwa yang harus dimiliki dan dipenuhi oleh seorang pemimpin. Kemudian Saʻîd Hawwa juga mengatakan, apabila kondisi menuntut ditambahnya beberapa syarat karena pertimbangan kemaslahatan umum, maka boleh menambahkan syarat-syarat tersebut. Seperti, persyaratan pemimpin harus dipegang oleh seseorang yang sudah mencapai umur tertentu, juga diperbolehkan. Boleh juga mensyaratkan pemimpin harus sudah mencapai tingkatan akademis tertentu. Al-hasil, syaratsyarat lain boleh ditetapkan apabila memang kondisi yang berubah dan
79 80
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490.
64
kemaslahatan umat menuntut itu. Namun, semuanya harus ditetapkan melalui prosedur penetapan Dewan Tinggi Permusyawaratan Muslimin.81
D. Pengangkatan Seorang Pemimpin 1. Mekanisme Pengangkatan Pemimpin yang Sesuai dengan Aturan Agama Sa‟îd Hawwa mengatakan bahwa hanya ada satu prosedur legal pengangkatan seorang khalifah atau pemimpin, yaitu dengan pemilihan yang dilakukan oleh para tokoh yang mewakili umat (ahl al-halli wa al-ʻaqdi) dan kesanggupan yang dinyatakan oleh orang yang dipilih menjadi pemimpin.82 Pengangkatan seorang pemimpin harus dilakukan dengan mekanisme kontrak. Pihak pertama adalah orang yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin dan pihak kedua adalah para tokoh yang mewakili umat Islam. Sebuah kontrak (aqad) tidak akan sempurna kecuali dengan al-ijâb, penyerahan tanggung jawab, dan al-qabûl, yaitu penerimaan tanggung jawab. Al-Ijâb dilakukan oleh ahl alhalli wa al-„aqdi atau ahl al-syura. Al-Ijâb pada hakikatnya adalah proses pemilihan pemimpin itu sendiri. Adapun al-qabûl datang dari pihak orang yang terpilih menjadi pemimpin. Mekanisme inilah yang dipraktikkan oleh para sahabat setelah meninggalnya Rasulullah Saw.. Khulafa al-Rasyidîn dipilih dan diangkat dengan mekanisme seperti ini.83 Namun, jika dilihat dari realita yang ada, sebagian besar negara di dunia menggunakan sistem pemilu dengan multi-partai, atau hanya beberapa partai, yang boleh dikatakan tetap bisa menghasilkan seorang pemimpin yang berkualitas. 81
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 491. 83 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490. 82
65
Inti dari mekanisme yang dijelaskan oleh Saʻîd Hawwa adalah pengangkatan seorang pemimpin dengan cara musyawarah. Saʻîd Hawwa mengangkat surah al-Syûra/42: 38 untuk menjelaskan hal ini. Berikut bunyi surah al-Syûra/42: 38:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka.”84 Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa masalah pemerintahan adalah masalah umat yang penting yang harus diselesaikan lewat mekanisme musyawarah. Umat Islam harus memilih orang yang akan memegang kepemimpinan yang bertugas menangani urusan-urusan mereka dan melaksanakan perintah-perintah Allâh Swt. agar mereka memang betul-betul sesuai dengan sifat yang diberikan oleh Allâh Swt. kepada mereka, yaitu urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.85
2. Masa Jabatan Seorang Pemimpin Menurut syara‟ seorang khalifah atau pemimpin adalah wakil resmi umat dalam menjalankan perintah-perintah Allâh dan mengatur urusan-urusan umat dengan pedoman aturan-aturan Allâh. Kedua tugas ini merupakan tugas permanen umat Islam. Khalifah atau pemimpin sebagai wakil umat tidak dibatasi dengan
84 85
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 487. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 492.
66
waktu tertentu untuk menjalankan tugas ini, namun tugas tersebut tetap harus dijalankan
oleh
pemimpin
hinga
akhir
umurnya
selagi
ia
mampu
melaksanakannya dan selagi ia tidak melakukan hal-hal yang bisa dijadikan alasan untuk mencopotnya dari jabatannya. Pembatasan waktu pemberian tugas terhadap pemimpin tidak artinya di saat tugas tersebut masih menjadi kewajibannya, karena masih mampu melaksankannya dan masih layak menjadi pemimpin.86 Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa praktik kekhalifahan pada masa awal Islam
juga
menunjukkan
bahwa
jabatan
khalifah
berlangsung
hingga
meninggalnya khalifah tersebut, selagi ia tidak memutuskan untuk mengundurkan diri, seperti yang dilakukan oleh al-Hasan bin „Ali dan Muʻawiyah bin Yazîd, dan selagi ia tidak diturunkan dari jabatannya karena suatu sebab, sebagaimana yang terjadi pada diri Ibrahim bin Walîd dan Marwan bin Muhammad pada masa kekhalifahan Muʻawiyah.87 Pengalaman sejarah
menegaskan bahwa jabatan khalifah hingga
meninggalnya pemegang jabatan lebih menjamin stabilitas berbagai urusan umat; mencegah terjadinya perselisihan dalam menentukan seorang khalifah dan mencegah terjadinya kompetisi untuk merebut kekuasaan. Pergantian khalifah hanya bisa dilakukan dalam kondisi darurat. Keadaan darurat tersebut hanya terjadi pada tiga kondisi, yaitu ketika khalifah meninggal dunia, ketika khalifah dicopot dari jabatannya, dan ketika khalifah menyatakan sendiri pengunduran dirinya dari jabatan.88
86
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498. 88 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498. 87
67
Sebenarnya tidak ada nas yang menyatakan bahwa seorang khalifah atau pemimpin harus bertugas hingga meninggalnya, namun ijma‟ umat Islam sudah cukup untuk dijadikan dalil mengenani masalah ini.89 Karena ijma‟ merupakan salah satu dasar syariat Islam.
3. Pencopotan Seorang Pemimpin Memegang tugas sebagai pemimpin hingga mati merupakan hak seorang pemimpin, namum pencopotan pemimpin dari jabatannya juga merupakan hak umat apabila pemimpin tersebut melakukan penyimpangan-penyimpangan. Hal ini karena pengangkatan seseorang untuk menjadi pemimpin disertai dengan syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Apabila dia masih sanggup memenuhi syarat-syarat tersebut maka ia masih berhak memegang jabatannya, namun apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka ia berhak untuk dicopot dari jabatannya.90 Seorang pemimpin bisa dianggap berubah dan berhak untuk dicopot dari jabatannya apabila terjadi kecacatan dalam keadilannya atau terjadi kecacata pada tubuhnya. Saʻîd Hawwa menjelaskan hal ini dengan mengutip pendapat alMawardi.91
4. Cacatnya Keadilan
89
Ijma‟ di sini hanya menetapkan kebolehan seorang khalifah bertugas hingga akhir masa hidupnya. Ijma‟ ini tidak bisa dipahami sebagai pelarangan pembatasan masa tugas khalifah atau pemimpin. Jika umat Islam mensyaratkan pembatasan waktu, maka harus dijalankan karena syarat yang ditetapkan oleh umat Islam harus dipenuhi. 90 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498. 91 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499.
68
Hal yang bisa menyebabkan keadilan seseorang rusak atau cacat adalah karena ia telah melakukan kefasikan. Kefasikan ada dua macam. Pertama, kefasikan-kefasikan yang disebabkan menurut hawa nafsu. Kedua, kefasikakefasikan yang termasuk kategori syubhat, yakni hal-hal yang belum jelas status hukumnya.92 Bentuk kefasikan yang pertama berhubungan dengan kerja anggota tubuh. Yaitu di saat anggota tubuh melakukan hal-hal yang diharamkan atau hal-hal yang munkar karena menuruti syahwat dan hawa nafsu, seperti melakukan perzinaan, meminum khamr atau mengambil sesuatu tanpa izin. Apabila seseorang melakukan bentuk kefasikan ini, maka ia tidak bisa diangkat menjadi pemimpin. Apabila seseorang sudah menjadi pemimpin dan ia melakukan kefasikan ini, maka ia harus diberhentikan dari jabatannya. Apabila ia bertaubat dan keadilannya kembali lagi, maka tidak bisa menjadi pemimpin lagi secara otomatis, melainkan harus dengan akad baru lagi, pendapat seperti ini dikemukakan oleh al-Mawardi dan sebagian ahli fiqih.93 Adapun bentuk kefasikan yang kedua berhubungan erat dengan masalah keyakinan. Orang yang melakukan penakwilan-penakwilan dengan berdasarkan hal-hal yang masih belum jelas (syubhat) akan terjerumus pada kesalahan. Orang yang melakukan jenis kefasikan ini dihukumi sebagaimana orang yang melakukan kefasikan jenis pertama. Ia tidak bisa diangkat sebagai pemimpin dan harus dicegah untuk melakukan kefasikan itu lagi. Adapun sebagian ulama lain berpendapat bahwa kefasikan yang berhubungan dengan keyakinan ini tidak sampi menyebabkan dicopotnya seorang pemimpin dari jabatannya. Bahkan ada 92 93
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499.
69
yang berpendapat bahwa dua jenis kefasikan tersebut sama sekali tidak berpengaruh apapun bagi jabatan pemimpin selagi tidak sampai pada tingkatan kafir.94 Di antara dalil yang digunakan oleh kelompok terakhir ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh „Ubadah bin al-Samit, ia berkata:
ٍٍِْ عُبَبدَةَ ب ِ ْ ِذ بٍِٛ انَْٕن ُ ْ عُبَبدَ ُة بََِٙل أَخْبَش َ ذٍ لَبَِٛٗ بٍِْ عَعَْٛذٚ ٍ ْ َ عٍَْ يَبنِك عَُِٙدَذَث َْٗ ِّ َٔعَهَ َى عَهَٛل انهَ ِّ صَهَٗ انهَ ُّ عَه َ َُٕعَُْب سَعٚ ِّ عٍَْ جَذِ ِ لَبلَ بَبٍِٛ أَب ْ َج ع ِ ِانّصَبي ُّ َع انْأَيْ َش أَْْه َ ٌ نَب ََُُب ِص ْ َط َٔانًَْكْشَِ َٔأ ِ َُغْ ِش َٔانْعُغْشِ َٔانًَُْْشْٛ انِٙانغًَْ ِع َٔانّطَبعَتِ ف ٍ انهَ ِّ نَْٕيَ َت نَبئِىِْٙثًَُب كَُُب نَب َخَبفُ فَٛل أَْٔ َمُٕ َو بِبنْذَكِ د َ ٌُٕ َم ْ ََٔأ “Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Sa'id berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Ubadaah bin Al Walid bin Ubadah bin Ash-Shamit dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata, "Kami telah berbai'at kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk selalu mendengar dan taat, baik pada waktu mudah ataupun sulit, dalam keadaan semangat ataupun terpaksa, untuk tidak menentang pemerintahnya, serta selalu berkata atau menegakkan kebenaran di mana pun kami berada, untuk tidak takut dalam menegakkan urusan karena Allah meskipun mendapat celaan.”95
5. Kecacatan Pada Tubuh Hal-hal yang menyebabkan kondisi pemimpin berubah, dan karenanya bisa dicopot dari jabatannya, Saʻîd Hawwa mengutip pendapat al-Mawardi yang mengatakan bahwa ada tiga macam yang menyebabkan seorang pemimpin dapat diturunkan dari jabatannya karena disebabkan kecacatan tubuh yang ada pada diri seorang pemimpin.96 Pertama, hilangnya daya pancaindra (naqsu al-hawâs). Orang yang tidak mempunyai kemampuan melihat, tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, begitu juga jika kecacatan tersebut terjadi ketika ia sedang menjadi pemimpin, maka ia harus turun dari jabatannya. Adapun kecacatan tuli atau bisu, para ula ulama 94
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, 499. Imâm Muslim. Sahîh Muslim, Juz 6, h. 16. 96 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 500. 95
70
sepakat bahwa orang yang tuli dan bisu tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, namun para ulama berbeda pendapat apabila kecacatan tersebut terjadi ketika ia sedang menjabat sebagai pemimpin, sebagian mengkategorikannya sebagai hal yang membatalkan kepemimpinannya, dan sebagian lagi menganggapnya tidak, sehingga ia masih berhak menjadi pemimpin.97 Kedua, hilangnya anggota badan (naqsu al-a‟dâ). Hilangnya sebagian anggota badan ada yang menyebabkan pengangkatan seorang pemimpin menjadi tidak sah, baik kecacatan tersebut terjadi sebelum atau sesudah pengangkatan. Termasuk ke dalam kategori ini adalah hilangnya anggota badan yang meyebabkan pekerjaan dan tugas tidak bisa dilaksanakan, seperti hilangnya kedua tangan atau yang menyebabkan seseorang sama sekali tidak bisa bergerak dengan aktif, seperti hilangnya kedua kaki. Ada perbedaan pendapat di antara ulama, apabila anggota badan yang hilang tersebut tidak menyebabkan terhentinya pekerjaan dan aktivitas secara total; sebagian berpendapat apabila kecacatan seperti ini terjadi dalam masa kepemimpinannya, maka hal itu menyebabkan gugurnya hak kepemimpinan, dan sebagian ulama yang lain berpendapat hal itu tidak menggugurkan hak kepemimpinan sama sekali.98 Ketiga, tidak mempunyai kebebasan untuk menjalankan aktivitas (naqsu al-tasarruf). Kondisi ini adakalanya disebabkan oleh adanya pihak lain yang mengendalikannya (al-hijr) atau karena adanya tekanan dan paksaan dari pihak lain (al-qahr). Maksud dari al-hijr adalah, adanya pihak-pihak lain semisal kawan pemimpim
yang
mengendalikan
dan
berperan
secara
dominan
dalam
melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan, namun orang-orang tersebut tidak 97 98
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 500. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501.
71
melakukan kemaksiatan-kemasiatan dan juga tidak mengangkat perselisihan dan penentangan terhadap pemimpin. Apabila terjadi kondisi seperti ini, maka seorang pemimpin tidak harus diturunkan dari jabatannya, namun harus dilihat terlebih dahulu aksi-aksi yang dilakukan oleh orang-orang yang mengendalikannya. Apabila aksi-aksianya sesuai dengan hukum-hukum agama dan selaras dengan semangat keadilan, maka pemimpin terus berada pada jabatannya, namun, apabila aksi-aksinya melanggar hukum-hukum agama dan tidak sesuai dengan semangat keadilan, maka pemimpin harus meminta bantuan dari pihak lain untuk melepaskan diri dari kendali orang-orang tersebut.99 Adapun yang dimaksud dengan al-qahr adalah, suatu kondisi di mana seseorang berada di bawah tekanan dan paksaan musuh, dan dia tidak bisa lepas dari tekanan tersebut. Orang yang seperti ini tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, karena ia tidak mampu memikirkan urusan-urusan umat. Apabila kondisi ini terjadi di tengah masa kepemimpinan, maka umat boleh mencopotnya dari jabatan dan memilih pengganti yang lainnya, karena untuk melepaskan diri dari tekanan dan paksaan musuh tersebut merupakan masalah yang sangat sulit.100
E. Kewajiban dan Hak-hak Seorang Pemimpin Apabila ahl al-syura telah memilih dan membaiat seorang pemimpin, maka ia secara resmi menjadi pemimpin dengan pembaiatan tersebut. Ketika pemimpin memegang jabatannya tersebut, ia mendapatkan tugas dan kewajibankewajiban dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya tersebut. Pemimpin juga dibebani tanggung jawab-tanggung jawab yang 99
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501.
100
72
jumlahnya tidak terhitung. Namun di sisi lain, ia juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh umat Islam, selagi ia melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan tidak ceroboh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya tersebut.101
1. Kewajiban-kewajiban Seorang Pemimpin Saʻîd Hawwa mengatakan, bahwa kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin sangat banyak, namun secara umum bisa dikelompokkan kepada dua tugas utama, menegakkan ajaran agama Islam dan mengatur urusan negara sesuai dengan ajaran-ajaran yang ditetapkan oleh Islam.102 Pemimpin berkewajiban mengatur urusan-urusan negara sesuai dengan ajaran yang ditetapkan oleh Islam. Maksud dari uraian tersebut adalah dalam mengatur urusan-urusan negara, seorang pemimpin harus menggunakan mekanisme musyawarah, karena agama Islam menetapkan bahwa musyawarah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh semua umat Islam. Seorang pemimpin harus mengajak musyawarah pihak-pihak yang dipimpinnya dalam segala permasalahan yang beruhubungan dengan pemerintahan. Pemimpin harus mengambil pendapat atau sebagian besar pendapat dari mereka apabila memang mereka tidak sepakat dalam suatu masalah.103 Musyawarah merupakan sebuah ungkapan yang sering diidentikkan dengan kata demokrasi di era modern. Meskipun ada perbedaan, dalam pandangan Yûsuf al-Qardâwî, musyawarah dan demokrasi memiliki titik persamaan. Di
101
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 505. Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506. 103 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506. 102
73
antaranya adalah bahwa substansi demokrasi adalah memberikan bentuk dan beberapa sistem yang praktis seperti pemilu untuk meminta pendapat rakyat, kebebasan berpendapat dan lain-lain. Hal-hal tersebut jelas adalah bagian penting dari musyawarah yang diajarkan Islam.104 Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab musyâwarah yang merupakan bentuk isim masdar dari kata kerja syâwara, yusyâwiru. Kata ini terambil dari akar kata syin, wau, dan ra yang bermakna pokok mengambil sesuatu, menampakkan dan menawarkan sesuatu.105 M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata tersebut pada mulanya bermakna dasar mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Kata ini pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas.106 Salah satu ayat yang mengajarkan bahwa seseorang pemimpin harus bermusyawah di dalam mengambil keputusan adalah surah Âli „Imrân/3: 159.
“Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka 104
Yûsuf al-Qardâwî, Min Fiqh al-Daulah fî al-Islâm (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1997), h.
125. 105
Al-Râghib Al-Asfahânî, al-Mufradât, h. 270; Ibnu Faris. Mu‟jam Maqâyis, h. 541. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid II, h. 244; Bandingkan dengan Al-Râgib al-Asfahânî. al-Mufradât, h. 270. 106
74
bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”107 Ayat ini turun berkenaan denga peristiwa perang Uhud yang terjadi pada tahun ketiga hijrah. Dalam peperangan tersebut pada mulanya pasukan muslim di bawah pimpinan Nabi Muhammad Saw. memperoleh kemenangan. Namun, karena sebagian pasukan Islam tidak disiplin, maka akhirnya kaum kafir Quraisy berhasil memporak-porandakan pasukan Nabi. Beliau sendiri menderita luka agak serius dalam pertempuran tersebut dan bahkan sempat beredar kabar di kalangan pasukan muslim bahwa Nabi sudah wafat. Akhirnya, berkat pertolongan Allâh, pasukan muslim berhasil mengusai keadaan dan memenangkan pertempuran kembali.108 Ayat ini menjelaskan bagaimana Rasulullah diajarkan oleh Allâh untuk melakukan musyawarah dengan para sahabat atau pasukan Islam dalam peristiwa perang Uhud. Saʻîd Hawwa menjelaskan makna bermusyawarah pada kalimat di atas adalah bahwa Rasulullah harus bermusyawarah dengan para sahabat dan pasukan muslim, dalam seluruh urusan yang khusus ada pada mereka, baik berupa urusan peperangan, perdamaian dan lain-lain. Saʻîd Hawwa juga menerangkan bahwa termasuk harus mengadakan musyawarah terhadap hal-hal yang belum diturunkan wahyu atas nabi Muhammad, hal ini untuk menyenangkan hati mereka (pasukan Muslim), menggembirakan jiwa mereka, mengangkat derajat mereka, memberikan kesadaran kepada mereka terhadap pernyataan-pernyataan yang mereka sampaikan di dalam musyawarah dan menggerakkan mereka ke arah yang membuat mereka merasa puas, karena musyawarah adalah hal yang maslahat, 107
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 71. Abû Al-Hasân „Ali bin Ahmad Al-Wâhidi Al-Naisaburi, Asbâb al-Nuzûl (tkp: Maktabah wa Mathba‟ah al-Manâr, t.t.), h. 112. 108
75
sehingga mereka dapat mengeluarkan kemampuan akal terbaik mereka untuk hal yang lebih baik bagi kelompok mereka dengan diadakannya musyawarah.109 Pada bagian akhir, Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa jika telah diputuskan satu pendapat atas sesuatu (telah sepakat) beradasarkan hasil musyawarah, maka hal yang harus dilakukan adalah bertawakkal atau berserah diri kepada Allâh. Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa orang yang bertawakkal adalah orang-orang yang bersandar dan orang-orang yang menyerahkan urusan mereka hanya kepada Allâh. Tawakkal mereka disertai dengan menjalankan serta menunaikan hak-hak Allâh, melaksanakan perintah-Nya dengan mencurahkan seluruh kemampuan, dan mereka tidak bersandar kecuali hanya kepada Allâh.110 Dalam menyebutkan tugas-tugas seorang pemimpin, Saʻîd Hawwa merujuk kepada al-Mawardi yang menyebutkan bahwa tugas-tugas seorang pemimpin terdiri dari sepuluh hal. Tugas-tugas tersebut adalah sebagai berikut:111 1. Menjaga agama berdasarkan dasar-dasar yang telah disepakati oleh pendahulu-pendahulu umat Islam, atau dengan kata lain melaksanakan ajaran-ajaran agama dengan benar. 2. Melaksanakan hukum dan menetapkan hukum bagi orang-orang yang bersengketa. Dengan kata lain, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat dan melaksanakan hukum dengan benar. 3. Menjaga keamanan sehingga manusia bisa hidup dan bepergian dengan aman, dan menjaga stabilitas keamanan dalam negeri.
109
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 916. Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 916. 111 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506. 110
76
4. Menegakkan hukuk-hukum had untuk menjaga kehormatan hak-hak Allâh Swt. agar tidak dilanggar dan juga hak-hak manusia agar tidak direndahkan dan dicampakkan. 5. Menjaga benteng dengan persiapan yang matang dan kekuatan yang mantap, sehingga musuh tidak bisa melewatinya dan melakukan pelanggaran-pelanggaran dan pembunuhan terhadap umat Islam, atau dengan kata lain, menjaga keamanan daerah perbatasan dengan sarana dan persiapan yang mantap. 6. Berjihad melawan orang-orang yang memusuhi Islam setelah mendakwahi mereka dengan baik, hingga mereka masuk Islam. 7. Mengumpulkan harta al-fai‟ (harta yang diperoleh dari orang kafir tanpa melalui peperangan), dan harta sedekah sesuai dengan aturanaturan yang ditetapkan oleh agama, baik aturan yang didasarkan atas teks keagamaan atau atas dasar ijtihad, serta menjauhi kelaliman dalam mengumpulkan harta tersebut. 8. Menetapkan ukuran pemberian (gaji) dan
harta-harta lain yang
berhubungan dengan bait al-mâl dengan tanpa berlebih-lebihan dan tidak ceroboh. Serta tepat waktu ketika memberikan harta tersebut kepada orang yang berhak. 9. Memilih orang-orang yang terpercaya (amânah) ketika hendak memberi suatu tugas. 10. Hendaknya pemimpin melaksanakan tugas-tugasnya secara langsung dan meneltinya dengan seksama, agar ia berkonsentrasi dan
77
bersungguh-sungguh dalam mengurusi umat dan menjaga ajaran-ajaran agama. Inilah kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan oleh seorang pemimpin. Semua kewajiban-kewajiban tersebut, tercakup dalam tugas utamanya, yaitu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dan mengatur urusan-urusan negara sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh ajaran Islam.
2. Hak-hak Seorang Pemimpin Saʻîd Hawwa mengatakan, bahwa seorang pemimpin mempunyai dua hak sebagai imbalan atas keseriusannya dalam melaksankan tugas-tugasnya. Yang pertama adalah hak yang menjadi kewajiban rakyat untuk melaksanakannya, dan yang kedua adalah hak untuk mendapatkan sebagian harta umat Islam.112 1. Hak yang Menjadi Kewajiban Rakyat Hak seorang pemimpin adalah ditaati dan dipatuhi oleh rakyatnya. Saʻîd Hawwa mengangkat surah al-Nisâ/4: 59 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”113
112
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 507.
113
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 87
78
Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ulil amr adalah pemimpin yang Muslim. Adapun pemimpin yang bukan Muslim, maka seorang muslim tidak boleh taat dan tidak boleh menjadikannya sebagai pemimpin.114 Kemudian Saʻîd Hawwa menukil pendapat dari Ibn „Abbas yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ulil amr adalah mereka para ahli fiqih dan ahli agama. Tidak ada kontradiksi terhadap pendapat di atas, karena pada dasarnya umarâ atau pemimpin harus juga seorang ulama lagi fuqaha.115 Maka jika dilihat dari pendapat Saʻîd Hawwa, bisa disimpulkan bahwa tidak ada kewajiban untuk taat terhadap pemimpin yang bukan berasal dari Islam (non-Muslim). Sayyid Qutb mengatakan tentang ayat ini, bahwa Allâh Swt. menjelaskan syarat iman dan batasan Islam. Dalam waktu yang sama dijelaskan pula kaidah nizam asasi (peraturan pokok) bagi kaum muslimin, kaidah hukum, dan sumber kekuasaan. Semuanya dimulai dan diakhiri dengan menerimanya dari Allâh saja, dan kembali kepada-Nya saja mengenai hal-hal yang tidak ada nashnya, seperti urusan-urusan parsial yang terjadi dalam kehidupan manusia sepanjang perjalanannya dan dalam generasi-generasi berbeda yang notabene berbeda-beda pula pemikiran dan pemahaman dalam menanggapinya. Untuk itu semua, diperlukan timbangan yang mantap, agar menjadi tempat kembalinya akal, pikiran, dan pemahaman mereka.116 Sayyid Qutb menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ulil amr adalah orang-orang yang berasal dari kalangan orang-orang mukmin sendiri, yang telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang dijelaskan ayat itu, yaitu ulil amri 114
Saʻîd Hawwa. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr, jilid II, h. 1102. Saʻîd Hawwa. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr, jilid II, h. 1102. 116 Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilâl al-Qur‟an: Di bawah Naungan al-Qur‟an, Penerjemah As‟ad Yasin, dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 399. 115
79
yang taat kepada Allâh dan Rasul. Juga ulil amri yang mengesakan Allâh swt sebagai pemilik kedaulatan hukum dan hak membuat syariat bagi seluruh manusia, menerima hukum dari-Nya saja (sebagai sumber dari segala sumber hukum) sebagaimana ditetapkan dalam nash, serta mengembalikan kepada-Nya segala urusan yang diperselisihkan oleh akal pikiran dan pemahaman mereka yang tidak terdapat nash padanya untuk menerapkan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam nas.117 Ayat ini menetapkan bahwa taat kepada Allâh merupakan pokok. Demikian juga taat kepada Rasul, karena beliau diutus oleh Allâh. Sedangkan taat kepada ulil amri minkum hanya mengikuti ketaatan kepada Allâh dan Rasûl. Karena itulah, lafal taat tidak diulangi ketika menyebut ulil amr, sebagaimana ia diulangi ketika menyebut Rasul Saw. untuk menetapkan bahwa taat kepada ulil amr ini merupakan pengembangan dari taat kepada Allâh dan rasûl, sesudah menetapkan bahwa ulil amr itu adalah “minkum” dari kalangan kamu sendiri dengan catatan dia beriman dan memenuhi syarat-syarat iman.118 Hamka mengatakan bahwa ayat ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa masyarakat manusia, dan di sini dikuhususkan masyarakat orang yang beriman, mestilah tunduk kepada peraturan. Peraturan yang maha tinggi ialah peraturan Allâh. Inilah yang pertama wajib ditaati. Allâh telah menurunkan peraturan itu dengan mengutus Rasul-rasul, dan penutup segala Rasul ialah Nabi Muhammad Saw. Rasul-rasul membawa undang-undang Tuhan yang termaktub di dalam kitab-kitab suci, Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur‟an. Maka isi kitab suci itu
117
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilâl al-Qur‟an: Di bawah Naungan al-Qur‟an, Penerjemah As‟ad Yasin, dkk, h. 399. 118 Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilâl al-Qur‟an: Di bawah Naungan al-Qur‟an, Penerjemah As‟ad Yasin, dkk, h. 399.
80
semuanya, pokoknya ialah untuk keselamatan dan kebahagiaan kehidupan manusia. Ketaatan kepada Allah mengenai tiap-tiap diri manusia walaupun ketika tidak ada hubungannya dengan manusia lain. Umat beriman disuruh terlebih dahulu taat kepada Allah, sebab apabila dia berbuat baik, bukanlah semata-mata karena segan kepada manusia, dan bukan pula semata-mata mengharapkan keuntungan duniawi. Kemudian itu orang yang beriman diperintahkan pula taat kepada Rasul. Sebab taat kepada Rasul adalah lanjutan dari taat kepada Tuhan. Banyak perintah Tuhan yang wajib ditaati, tetapi tidak dapat dijalankan kalau tidak melihat contoh teladan. Maka contoh teladan itu hanya ada pada Rasul. Dengan taat kepada Rasul barulah sempurna beragama.119 Saʻîd Hawwa menjelaskan, jika para umarâ atau pemimpin tidak seperti ulama dan fuqaha, maka wajib atas mereka (pemimpin) untuk kembali kepada para ulama dalam segala urusan kepemiminan mereka. Oleh karena itu para ulama berada di atas mereka (umarâ). Akan tetapi bila mereka pemimpin yang adil dan orang-orang yang adil, maka kewajiban mereka hanya taat kepada para ulama dalam hal selain kepemimpinan.120 Selanjutnya, Saʻîd Hawwa menjelaskan, rakyat hanya wajib taat kepada pemimpin dalam hal-hal yang sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allâh Swt.. Kewajiban yang tidak mutlak ini didsarkan atas dalil bahwa apabila ada hala yang diperselisihkan, maka hak tersebut harus dikembalikan kepada aturan Allâh dan Rasul-Nya. Apabila pemimpin memerintahkan hal-hal yang sesuai dengan aturan Allâh Swt., maka menaatinya adalah wajib. Namun, apabila
119 120
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz V (Jakarata: Pustaka Panjimas, 1983) h. 127-128. Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 1102.
81
pemimpin memerintahkan hal-hal yang bertentangan dengan yang diajarkan Allâh dan Rasul-Nya, maka rakyat tidak boleh mematuhinya.121 Rasulullah Saw. menerangkan dengan jelas batas-batas ketaatan kepada seorang pemimpin, beliau bersaba:
َٙض ِ َ ََبفِعٌ عٍَْ عَبْذِ انهَِّ سَُِْٙذِ انهَِّ دَذَثَٛذٍ عٍَْ عُبَِٛٗ بٍُْ عَعَْٛذٚ دَذَثََُب يُغَذَدٌ دَذَثََُب َُُّْانهَ ُّ ع ًَبِِّْٛ َٔعَهَىَ لَبلَ انغًَْعُ َٔانّطَبعَتُ عَهَٗ انًَْشْءِ انًُْغْهِىِ فَِٛ صَهَٗ انهَُّ عَهِٙعٍَْ انَُب ََتٍ فَهَب عًَْ َع َٔنَب طَبعَتَِٛتٍ فَئِرَا أُيِشَ بًَِعّْصُِٛؤْيَ ْش بًَِعّْصٚ ب َٔكَشَِِ يَب نَ ْى َ َأَد “Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Ubaidullah Telah menceritakan kepadaku Nafi' dari Abdullah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "mendengar dan taat adalah wajib bagi setiap muslim, baik yang ia sukai maupun yang tidak ia sukai, selama ia tidak diperintahkan melakukan kemaksiatan, adapun jika ia diperintahkan melakukan maksiat, maka tidak ada hak mendengar dan menaati.”122 Saʻîd Hawwa juga mencamtumkan sabda Rasulullah Saw. sebagai berikut:
أَبُٕ سَجَب ٍءٌَُِٙ دَذَث َ عُثًَْبٍِٙ انْجَعْ ِذ أَب ْ َْ ٍذ عٍَٚ ص ُ ٌْ دَذَثََُب دًََبدُ ب ِ دَذَثََُب أَبُٕ انُعًَْب َِّْٛ صَهَٗ انهَ ُّ عَهٙ ِ ٍ انَُ ِب ْ َ انهَ ُّ عًََُُْٓبعٙ َض ِ َط س ٍ ٍ عَبَب َ ْج اب ُ ْانْعُّطَبسِدُِ٘ لَبلَ عًَِع ق انْجًََبعَ َت َ َِّْ فَئِ َ ُّ يٍَْ فَبسََّٛصْبِشْ عَهَْٛكْشَُُّْ فَهٚ ْئًبَٛشِ ِ شٍِٛ أَي ْ ٍِ سَأَٖ ي ْ َل ي َ َٔعَهَىَ لَب ًَتِٛخَتً جَبِْهِٛث ي َ ث إِنَب يَب َ شِبْشًا فًََب “Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Alja'd Abi Utsman telah menceritakan kepadaku Abu Raja' Al 'utharidi mengtakan, aku mendengar Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda; "Siapapun yang melihat sesuatu dari pemimpinnya yang tak disukainya, hendaklah ia bersabar terhadapnya, sebab siapa yang memisahkan diri sejengkal dari jama'ah, kecuali dia mati dalam jahiliyah.”123 Dari beberapa penjelasan di atas, telah dijelaskan bahwa al-Qur‟an dan alSunnah menegaskan bahwa ketaatan kepada pemimpin tidak menjadi kewajiban,
121
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 507. Imâm Bukhâri. Sahîh al-Bukhârî, Juz 9, h. 78. 123 Imâm Bukhâri. Sahîh al-Bukhârî, Juz 9, h. 78. 122
82
kecuali dalam hal-hal yang termasuk dalam ketaatan kepada Allâh Swt.. juga ditegaskan bahwa seseorang tidak boleh menaati pemimpin dalam hal-hal yang bertentangan dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah.
2. Hak Pemimpin Mendapatkan Sebagian Harta Umat Islam Seorang pemimpin merupakan wakil rakyat. Kontrak perwakilan tidak dengan sendirinya menuntut adanya gaji bagi pihak yang menjadi wakil. Namun, karena sebagian besar waktu pemimpin dihabiskan untuk melaksanakan tugastugas kenegaraan yang menyebabkan ia tidak bisa bekerja untuk menghasilkan finansial, Saʻîd Hawwa menjelaskan, maka sebagai gantinya ia mendapatkan harta dari baitul mal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga yang menjadi tanggungannya, di samping ia juga sebagai individu warga negara, maka mendapatkan bagian harta umum yang dibagi untuk semua rakyat, misalnya bagian harta al-fai‟ (harta yang diperoleh dari orang kafir dengan tanpa melalui peperangan) dan pemberian (al-„atâ‟).124 Sudah menjadi hal yang sangat wajar, bahwa seorang pemimpin juga merupakan seorang pekerja yang harus mendapatkan bayaran atau gaji. Beban tanggungjawab serta memikul amanah yang sangat berat, harus melayani masyarakat, harus menguras tenaga serta pikiran di dalam mengurus sebuah negara, hal-hal yang demikian menjadi sebuah kewajaran bahkan menjadi hak dari seorang pemimpin untuk mendapatkan upah di dalam menjalankan tugasnya.
124
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 508.
BAB IV PENUTUP A.
Kesimpulan Pada pembahasan dalam tulisan ini telah dijelaskan bahwa kepemimpinan
merupakan sesuatu yang sangat penting di tengah masyarakat. Suatu kepemimpinan akan menentukan nasib ke depan bagi orang-orang atau bangsa yang dipimpinnya. Hal ini amat bergantung kepada individu yang memimpin tersebut. Menurut Saʻîd Hawwa berdasarkan dua kitab hasil karyanya, yakni al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm,
didapatkan kesimpulan bahwa seorang pemimpin
haruslah orang yang beragama Islam. Seseorang yang beragama selain Islam, tidak boleh dijadikan pemimpin. Hal yang paling sering diangkat oleh Saʻîd Hawwa, bahwa seorang pemimpin harus bermusyawarah di dalam setiap mengambil keputusan, serta berlaku adil di dalam menetapkan hukum dengan menggunakan hukum Allâh. Seorang pemimpin mempunyai dua tugas utama, pertama menegakkan ajaran agama Islam, kedua adalah melaksanakan tugastugas kenegaraan dengan tetap berpedoman pada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Pemimpin dapat diturunkan dari jabatannya, apabila ia telar melanggar syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh agama.
B. Saran Pembahasan yang penulis angkat, merupakan pembahasan yang selalu menarik untuk dibicarakan walaupun telah banyak orang yang menulis tentang kepemimpinan ini. Jika dikemudian hari ada peneliti yang ingin mengadakan 83
84
penelitian lebih lanjut, penulis berharap peneliti tersebut dapat lebih membahas secara detail dari setiap bagian bahasan, serta dapat memberi informasi baru yang mungkin belum pernah dibahas. Sehingga hal tersebut dapat menambah khazanah bagi para pembaca, khususnya bagi yang ingin mengetahui lebih jauh bagaimana konsep kepemimpinan yang diajarkan oleh agama, serta berbagai konsep kepemimpinan baru yang terus bermunculan di atas bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA al-‘Aqil, Al-Mustasyar ʻAbdullah. Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer. Penerjemah Fachruddin. Jakarta: al-I’tisham Cahaya Umat, 2003. al-Asfahânî, Abi Al-Qâsim Husain Al-Râghib. al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Kairo: Mustafâ al-Bâbi al-Halabi, 1412 H. al-Baidhâwî, Nasruddin Abu Al-Khair ‘Abdullâh bin ‘Umar. Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, jilid I. Mesir: Mustaf al-Bâb al-Halabi, 1939. al-Bukhâri, Muẖammad bin Ismâ’il. Sahîh al-Bukhâri, Juz 9. Mesir: Dâr Ṯuq alNajâh, 2001. al-Dârimî, Imâm. Sunan al-Dârimî. Riyad: Dâr al-Mughni, 1421 H. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro, 2011. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Effendy, Mochtar. Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam. Palembang: AlMukhtar, 1997. Esposito, John L. Dunia Islam Modern-Ensiklopedi Oxford. Penerjemah Eva Y.N dkk, jilid 1, 5. Bandung, Mizan: 2002. Fâris, Abu Husain Ahmad Ibnu. Mu’jam Maqâyis al-Lughah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994/1415. al-Farmâwi, ‘Abdu al-Hay. Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdû’î. Kairo: alHadârah al-‘Arabiyah, 1977. Hamka. Tafsir al-Azhar, juz V. Jakarata: Pustaka Panjimas, 1983. ---------. Tafsir al-Azhar, juz 8. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Hawwa, Saʻîd. al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 1. Kairo: Dar al-Salam, 1985.
------------------. al-Asâs fî al-Sunnah, jilid I, Cet. Ke-3. Kairo: Dâr al-Salâm, 1995. ------------------. al-Islâm, cet. Ke. 2. kairo: Maktabah Wahbah, 2004/1425. ------------------. al-Islâm, Penerjemah Abdul Hay al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
------------------. Mensucikan Jiwa – Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. Jakarta: Robbani Press, 1995. ------------------. al-Rasûl. Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.
Hawwa, Saʻîd. Tafsir al-Asas. Penerjemah Syafril Halim. Jakarta: Robbani Press, 1999. ------------------. Tarbiyatuna al-Rûhiyyah, Cet. Ke-9. Kairo: Dar Al-Salâm, 2007. Iyazi. Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum. Teheran: Wazarah al-Taqâfah wa al-Irsâd, 1992. Jazuli, Ahzami. Fiqh Al-Qur’ân. Jakarta: Kilau Intan, t.t. Ka’bah, Rifyal. Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta: Khairul Bayan, 2005. Katsîr, Imâduddîn Abû Fidâ’ Ismâ’il Ibnu. Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm, jilid I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1980. Kementrian Agama RI. Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik. Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012. al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsir al-Marâghî , jilid V. Beirut: Dâr al-Fikr, 2001. Mohammad, Herry. dkk. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani, 2006. Muslim, Abu Husain bin Al-Hajjaj. Sahîh Muslim, jilid II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994/1414.
Mustafa, Ibrâhîm. al-Mu’jâm al-Wasit. Mesir: Dâr al-Maʻârif, 1972. al-Naisâbûrî, Abû Al-Hasân ‘Ali bin Ahmad Al-Wâhidi. Asbâb al-Nuzûl. tkp: Maktabah wa Mathba’ah al-Manâr, t.t. al-Nasâ’i, Ahmad bin Syuʻaib Abu Abd al-Rahman. Sunan al-Nasâ’i, juz 7. Beirut: Maktab al-Matbûʻah al-Islâmiyah, 1986. al-Nawawî. Sahîh Muslim bi Syarhi al-Nawawî, jilid XI. Mesir: Al-Mataba’at alMisriyah, 1392 H. al-Qurtûbî, Syaikh Imâm. Tafsir Al-Qurtûbî. Penerjemah Amir Hamzah, vol. 11. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Qutb, Sayyid. Fî Zilâl Al-Qur’ân, jilid V. Beirut: Dâr al-‘Arabiyah, 2000. -----------------. Tafsir fi Zhilâl al-Qur’an: Di bawah Naungan al-Qur’an, Penerjemah As’ad Yasin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Ridâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Manâr, jilid V. Kairo: Maktabah al-Qâhirah, 1990. Rivai, Veithzal dan Mulyadi, Dedi. kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali Press, 2011). al-Sajastani , Abu Dâwud Sulaimân bin al-Asyʻats. Sunan Abî Dâwud, juz 4. Beirut: Dâr al-Kitâb al-ʻArabî, t.th. Salim, Abdul Mu’in. Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 2002. --------------------------. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005. Septiawadi. “Penafsiran Sufistik Sa’îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr”. Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Shihab, M. Quraish. Menabur Pesan Ilahi. Jakarta: Lentera Hati, 2006. -------------------------. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian AlQur’an, Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press, 1993. al-Syaibâni, Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdullâh. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 5. Kairo: Mu’assasah Qurtbah, t.th. al-Syaukânî, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad. Fath al-Qadîr, jilid I. al-Ṯabarî, Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr. Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîli al-Qur’ân, jilid V. Kairo: al-Halabi, 1954. -----------------------------. Tafsir Al-Tabarî, penerjemah Ahsan Askan, vol. 18. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Taimiyyah, Taqîuddîn Ibnu. al-Siyâsah al-Syar’iyyah fî Islâh al-Râ’i wa alRâ’iyyah. Arab Saudi: Dâr al-Ma’rifah, 1418 H.. Thoha, Miftah. Kepemimipnan dalam Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.