Yudi Sast ro: Akuaponik: Budidaya Tanam an Terintegrasi dengan Ikan, Perm asalahan Keharaan
Akuaponik : Budidaya Tanaman Terintegrasi Dengan Ikan, Permasalahan Keharaan dan Strategi Mengatasinya Yudi Sastro Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jalan Raya Ragunan No. 30 Pasar Minggu Jakarta Selatan (12540) Email :
[email protected] ABSTRAK Budidaya terintegrasi antara tanaman dengan ikan, atau akuaponik, sudah lama diterapkan oleh sebagian masyarakat di berbagai belahan bumi. Seiring dengan berjalannya zaman, sistem budidaya tersebut semakin berkembang secara intensif melalui pemanfaatan berbagai inovasi teknologi ini, pendekatan sistem budidaya hidroponik konvensional seperti sistem media bed, NFT, dan DFT, telah umum digunakan dalam akuaponik. Dalam pengembangannya secara intensif, akuaponik menghadapi beberapa permasalahan, khususnya terkait dengan kalsium (Ca), dan besi (Fe). Strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut diantaranya adalah (1) melalui pengaturan pH melalui penambahan kalium dan kalsium hidroksida (KOH/(Ca(OH)2), kalium karbonat atau kalsium karbonat (K2CO3 atau CaCO3), dan bahan alternatif seperti tepung kulit telur, kulit kerang, dan kapur ke dalam kolam ikan; (2) pengaturan rasio pemberian pakan ikan (feeding rate ratios); (3) pemberian Fekhelat: (4) pemberian pupuk pelengkap cair yang mengandung K, Ca, dan Fe; dan (5) pemberian pupuk organik cair hasil fermentasi bahan organik. Kata kunci : hara ABSTRACT Integrated cultivation between plants with by some communities in various parts of the world. Over the ages, the culture system is growing intensively through the use of various technological innovations in order to
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
conventional hydroponic cultivation system approaches such as media bed system, NFT and DFT, have been commonly used in aquaponics. In the intensive development, aquaponics faced several problems, nitrogen (N), potassium (K), calcium (Ca) and iron (Fe). Strategies to overcome these problems include (1) by adjusting the pH by adding potassium and calcium hydroxide (KOH/(Ca(OH)2), potassium carbonate or calcium carbonate (K2CO3 or CaCO3), and pond; (2) setting of feeding feed ratios (FRR) complementary liquid fertilizer containing K, Ca, and Fe; and (5) the provision of liquid organic fertilizer from fermented organic matter. Key word : aquaponics, hidroponics, nutrient
PENDAHULUAN Akuaponik adalah teknik budidaya tanaman yang terintegrasi dengan budidaya hewan air, seperti ikan, udang serta moluska (Rakocy et al., 2006). Teknik budidaya akuaponik serupa dengan yang digunakan dalam budidaya hidroponik secara konvensional (Somerville et al., 2014). Perbedaan keduanya adalah terkait dengan sumber nutrisi tanaman. Hidroponik konvensional menggunakan sumber nutrisi kimia, sedangkan akuaponik memanfaatkan feses dan ammonia hasil metabolisme ikan, sebagai sumber nutrisi (Graber dan Junge, 2007; Lund, 2014). Berdasarkan aspek hasil tanaman, budidaya akuaponik dan hidroponik
33
Yudi Sast ro: Akuaponik: Budidaya Tanam an Terintegrasi dengan Ikan, Perm asalahan Keharaan
adalah sebanding (Savidov et al., 2007; Pantanella et al., 2011). Namun demikian, dari aspek pengelompokan, budidaya hidroponik konvensial merupakan teknik budidaya non organik, sedangkan akuaponik merupakan teknis budidaya organik (Diver, 2006; Roosta dan Hamidpour, 2011). Apabila dibandingkan dengan budidaya konvensional berbasis tanah, terdapat beberapa keunggulan akuaponik, diantaranya adalah tidak memerlukan pupuk serta air; dapat dilakukan pada lahan non pertanian; produktivitas tinggi; menghasilkan dua produk sekaligus yakni tanaman dan ikan; produk yang dihasilkan terkategori organik tenaga kerja serta dapat dilakukan oleh setiap orang pada berbagai lapisan umur (Somerville et al., 2014). Oleh sebab itu, pengembangan akuaponik tersebut sangat sesuai pada tempat dimana tanah dan air langka serta mahal contohnya di wilayah perkotaan, di daerah kering dan padang pasir serta pulaupulau kecil (Rakocy, 2007; Bernstein, 2011; Tokunaga et al., 2015). Penerapan akuaponik juga akan terhindar dari masalah-masalah klasik seperti pemadatan tanah, salinisasi, polusi, penyakit dan kelelahan tanah akibat pemanfaatan yang intensif (Pantanella et al., 2012). Namun demikian, terdapat beberapa permasalahan
dalam pengembangan akuaponik, khususnya (N), kalium (K), kalsium (Ca), dan besi (Fe). Tulisan ini membahas bagaimana sistem keharaan dalam akuaponik, apa saja permasalahan serta strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. MODEL AKUAPONIK Sebagaimana hidroponik konvensional, model yang umum digunakan dalam sistem akuaponik meliputi deep water culture (DWC), (NFT), dan media bed (Lennard dan Leonard, 2006; Pantanella et al., 2012). Model media bed sangat popular dan direkomendasikan sebagai model akuaponik skala kecil, khususnya untuk pemula yang pengetahuannya masih terbatas mengenai akuaponik (Connolly dan Trebic, 2010). serta biaya pembuatan relatif murah. Media yang digunakan berperan dalam mendukung sistem perakaran tanaman sekaligus sebagai tanaman sayuran, dapat ditanam, baik secara tunggal atau campuran. Kelemahannya adalah sangat sulit untuk dikembangkan skala besar karena memerlukan struktur yang kuat dan media tanam dalam jumlah relatif banyak, adanya resiko penyumbatan pada media, serta tingginya laju evaporasi (Rakocy et al., 2006
Gambar 1. Ilustrasi akuaponik model media bed (Somerville et al., 2014)
34
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
Yudi Sast ro: Akuaponik: Budidaya Tanam an Terintegrasi dengan Ikan, Perm asalahan Keharaan
dan 2007; Somerville et al., 2014) (Gambar 1). Model NFT adalah model akuaponik yang menggunakan pipa yang dipasang secara horizontal (Somerville et al., 2014). Pada pipa tersebut dialirkan secara tipis air yang berasal dari kolam pemeliharaan ikan. Tanaman ditempatkan pada lubang di atas pipa dengan bantuan pot-net yang diisi dengan media tanam seperti pecahan zeolit, genteng, atau kerikil. Model NFT biasanya digunakan dalam pengembangan akuaponik secara komersial. Pengaturan sistem dengan cara vertikal sangat sesuai untuk dikembangkan di perkotaan yang memiliki keterbatasan lahan. Kelemahannya adalah tingkat kompleksitas cukup tinggi terutama terkait dengan sistem media bed, serta terbatas untuk tanaman sayuran daun yang secara morfologi relatif kecil (Tyson et al., 2011; Somerville, et al., 2014; Mc Guire dan Popken, 2015) (Gambar 2). Deep water culture adalah termasuk ke dalam model rakit (raft technique). Tanaman ditanam di dalam pot-net yang dimasukan ke dalam lubang di atas rakit polystyrene. Akar menggantung ke dalam aliran air yang berasal dari kolam pemeliharaan ikan dan telah umum digunakan dalam pengembangan akuaponik skala besar dan komersial, khususnya komoditas selada, kemangi, dan beberapa jenis sawi. Namun demikian, serupa dengan model NFT, tingkat kompleksitas
cukup tinggi, serta terbatas untuk tanaman sayuran daun yang secara morfologi relatif kecil (Lennard dan Leonard, 2006; Somerville et al., 2014) (Gambar 3). MEKANISME KEHARAAN SISTEM AKUAPONIK Sama dengan sistem budidaya konvensional di tanah, tanaman dalam sistem akuaponik juga membutuhkan 13 jenis unsur hara, ditambah karbon, oksigen dan hidrogen yang diperoleh dari udara dan air (Somerville et al., 2014; Roosta dan Hamidpour, 2013; Roosta, 2014). Berdasarkan jumlah kebutuhan tanaman, unsur hara tersebut dibagi dalam dua kelompok, yakni unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah cukup banyak atau dinamakan unsur hara makro, meliputi nitrogen (N), fosfor (P), Kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan sulphur (S), serta unsur hara mikro yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, meliputi besi (Fe), mangan (Mn), boron (B), aluminium (Al), molybdenum (Mo), kobal (Cu), dan seng (Zn) (Rakocy et al., 2006; Wortman, 2015; Roosta dan Afsharipoor, 2015) Sumber hara utama dalam sistem akuaponik berasal dari pellet pakan yang diberikan kepada ikan. Ikan selanjutnya memproduksi feses dan ammonia (NH3) (Rakocy et al., 2006; Rakocy, 2007; Somerville et al didekomposisi dalam media oleh mikroba
Gambar 2. Ilustrasi akuaponik model NFT (Somerville et al., 2014)
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
35
Yudi Sast ro: Akuaponik: Budidaya Tanam an Terintegrasi dengan Ikan, Perm asalahan Keharaan
Gambar 3. Ilustrasi akuaponik model DWCT (Somerville et al., 2014) heterotrof dan terkadang bersama cacing (dalam sistem aquavermiculture) menjadi berbagai unsur hara. Demikian juga halnya dengan ammonia (NH3), diubah menjadi nitrit (NO2) oleh Nitrosomonas dan selanjutnya menjadi nitrat (NO3) oleh Nitrobacter (Rakocy et al., 2006, Rakocy, 2007; Somerville et al.,
yang terpisah dari sub sistem pertanaman. ion hara yang selanjutnya dialirkan menuju area perakaran untuk digunakan oleh tanaman (Shete et al., 2013; Sace dan Fitzsimmons, 2013) (Gambar 4).
PERMASALAHAN KEHARAAN Sistem keharaan akuaponik adalah sistem yang setimbang antara sub sistem pemeliharaan ikan sebagai produsen hara,
sub sistem tanaman sebagai pengguna, dan ditengahnya adalah sub sistem mikroba sebagai pengurai substansi organik serta ammonia (Somerville et al., 2014) (Tabel 1). Input keharaan tanaman dalam akuaponik hanya berasal dari pakan ikan yang diberikan. Secara kualitas, pakan ikan mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Namun demikian, kebutuhan tersebut berbeda dengan kebutuhan tanaman. Pakan ikan umumnya mengandung K, Ca, dan Fe dalam jumlah yang rendah tanaman (Graber dan Junge, 2009; Roosta dan Hamidpour, 2013; Roosta, 2014). juga dapat terjadi pada unsur N, terutama pada sistem akuaponik baru. Penyebabnya adalah tidak berimbangnya antara jumlah ikan dengan jumlah tanaman sehingga feeding rate ratios (FRR) juga kecil. Nilai
Gambar 4. Mekanisme keharaan pada sistem budidaya akuaponik (Somerville et al., 2014)
36
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
Yudi Sast ro: Akuaponik: Budidaya Tanam an Terintegrasi dengan Ikan, Perm asalahan Keharaan
Tabel 1. Karakteristik ideal yang harus dipenuhi oleh masing-masing sub sistem dalam akuaponik. Sub sistem Tanaman Mikroba Ikan
Suhu (oC) 16-30 14-34 22-32
pH 5.5-7.5 6.0-8.5 6.0-8.5
Amonia (mg/l) <30 <3 <3
Nitrit (mg/l) <1 <1 <1
Nitrat (mg/l) <400 -
Oksigen (mg/l) >3 4-8 4-6
Sumber : Somerville et al., 2014
FRR menentukan seberapa besar suplai hara dan pertumbuhan serta hasil tanaman (Rakocy et al., 2006; Endut et al., 2010). Selain itu, belum optimalnya kinerja sub sistem mikroba sehingga laju dekomposisi bahan
Strategi pertama yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur pH air kolam pemeliharaan ikan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatur pH pada kolam pemeliharaan ikan, yaitu dengan menambahkan bahanbahan yang bersifat basa kuat, seperti kalium (Somerville et al., 2014). Tingginya kadar dan kalsium hidroksida (KOH/(Ca(OH)2), ammonia dan massa bahan organik dalam atau sumber basa lemah seperti kalium kolam menyebabkan suasana air kolam dalam karbonat atau kalsium karbonat (K2CO3 atau kondisi masam (Tyson, 2008). Hal demikian CaCO3) (Rakocy et al., 2004; Rakocy et al., menyebabkan sebagian unsur hara makro 2006; Somerville et al., 2014). Selain itu, kurang tersedia untuk tanaman. Sama dengan peningkatan pH dapat juga dilakukan dengan budidaya di tanah, nilai pH ideal untuk memanfaatkan sumber basa yang lebih murah, ketersediaan berbagai hara tanaman berkisar seperti tepung kulit telur, kulit kerang, dan 5.5 hingga 7.0 (Tyson, 2007) (Gambar 5). kapur( Somerville et al., 2014). Strategi kedua adalah melalui pemberian unsur K dan Ca. Penambahan unsur K dan Ca STRATEGI MENGATASI DEFISIENSI umumnya bersamaan dengan pengaturan pH kolam melalui pemberian KOH atau K2CO3 serta Ca(OH)2 atau CaCO3 sebagaimana sistem akuaponik dilakukan melalui sub dijelaskan dalam paragrap sebelumnya. sistem ikan sebagai penyuplai sumber hara. Pemberian unsur K dan Ca dapat juga dilakukan melalui pemberian pupuk pelengkap cair yang diaplikasikan melalui daun (Ghaly et al., 2005; Roosta dan Hamidpour, 2011; Roosta, 2014). Pengaruh penambahan unsur K melalui daun dapat dilihat pada Tabel 2. Hal yang paling penting dalam mengatasi Gambar 5. Hubungan pH dengan ketersediaan hara tanaman permasalahan (https://ogoodend.wordpress.com/tag/aquaponics/,26 April 2015)
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
37
Yudi Sast ro: Akuaponik: Budidaya Tanam an Terintegrasi dengan Ikan, Perm asalahan Keharaan
Tabel 2. Pengaruh pemberian unsur Kalium terhadap pertumbuhan mint, lobak, seledri, dan coriander pada sistem akuaponik (Roosta, 2014) Jenis tanaman Mint Lobak Seledri Coriander
Pemberian Kalium -K +K -K +K -K +K -K +K
Tinggi tanaman (cm) 47,0 a 47,7 a 16,7 c 16,0 e 19,0 cd 22,7 b 14,3 e 21,3 bc
BKA (g.m-1) 76 d 121 c 165b 205 a 112 c 154 b 44 e 60 de
BSA (g.m-1) 463 ef 731 d 1.498 b 1.988 a 1.265 c 1.219 c 408 f 612 e
BKT (g.m-1) 302 c 334 b 248 c 376 a 174 f 255 de 236 e 277 cd
BST (g.m-1) 1.477 d 1.754 c 2.183 b 3.186 a 757 e 1.247 d 1.385 d 1.754 c
Indeks luas daun 7,15 b 7,82 a 4.73 cd 4.52 d 6,80 b 6,75 b 5,27 c 5,07 cd
Keterangan: Berat kering akar (BKA), Berat segar akar (BSA), Berat kering trubus (BKT), Berat segar
Tabel 3. Kesetimbangan feeding rate ratio, luasan tanaman, dan jumlah ikan dalam sistem akuaponik (Somerville et al., 2014) Jenis Tanaman
Sayuran daun Sayuran buah
Kebutuhan pellet pakan per meter tanaman (g) 40-50 50-80
Kebutuhan pellet per kg bobot ikan (%) 2 2
Jumlah ikan (kg)
8 -10 10-18
Sumber : Somerville et al., 2014
sistem akuaponik adalah melalui pendekatan perhitungan feeding rate ratios (FRR) (Endut et al., 2009; Connoly dan Trebic, 2010; Lennard, 2012). Perhitungan tersebut menggambarkan seberapa luas tanaman yang dapat dicukupi kebutuhan haranya berdasarkan jumlah pemberian pakan ikan harian. Rasio tersebut sangat tergantung pada jenis tanaman yang di tanam. Untuk sayuran daun lebih rendah dibandingkan sayuran buah (Tabel 3) (Rakocy et al., 2006; Somerville et al., 2014). Rasio pemberian pakan untuk sayuran daun per meter per segi sebesar 40 hingga 50 gram pakan per hari, sedangkan sayuran buah mencapai 80 hingga 100 gram per hari (Somerville et al., 2014). atasi dengan cara menambahkan unsur besi khelat, diantaranya Fe-EDTA, Fe-DPTA, FeEDDHA, dan Fe-HEDTA. Jumlah pemberian Fe-khelat tersebut umumnya berkisar 1-2 mg per liter air (Ghaly et al., 2005; Treadwell et al., 2010; Roosta dan Mohsenian, 2012;
38
Roosta dan Mohsenian, 2015). Namun demikian, tingkat pemberian Fe tetap harus disesuaikan dengan tingkat kekahatan Fe, sumber yang digunakan, serta pH pada air kolam pemeliharaan ikan. Pola hubungan
Gambar 6.
Hubungan pH dan tingkat ketersediaan beberapa bentuk Fe-khelat (Bernstein, 2011)
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
Yudi Sast ro: Akuaponik: Budidaya Tanam an Terintegrasi dengan Ikan, Perm asalahan Keharaan
Tabel 4. Pengaruh pemberian Fe-khelat terhadap pertumbuhan dan hasil tomat dalam sistem akuaponik (Roosta dan Mohsenian, 2015) Sumber Unsur besi (Fe) Kontrol FeSO4 Fe-EDTA Fe-EDDHA
TT (cm) 38,25 b 53,20 a 49,48 ab 40,08 b
DB (mm) 6,24 b 8,40 a 7,37 a 7,75 a
BSD (g.tan-1) 12,24 b 23,28 a 20,29 a 19,00 a
BSB (g.tan-1) 14,83 b 27,92 a 23,95 ab 26,53 b
BSA (g.tan-1) 8,71 c 19,43 a 13,49 b 16,44 ab
JB (bh.tan-1) 2,00 c 5,96 a 5,00 b 4,83 b
BB (g.tan-1) 59,62 c 186,51 a 119,63 b 146,02 ab
Keterangan : Tinggi tanaman (TT), Diameter batang (DB), Berat segar daun (BSD), Berat segar batang (BSB), Berat segar akar (BSA). Jumlah buah (JB), Berat buah (BB). Angka yang diikuti huruf yang sama
PENUTUP
pH, jenis sumber Fe-khelat dapat dilihat pada Gambar 6 dan Tabel 4.
Budidaya tanaman melalui sistem akuaponik memiliki peluang sangat baik untuk dikembangkan. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh beberapa keunggulan yang dimiliki akuaponik dibandingkan budidaya tanaman secara konvensional. Namun demikian, pengembangan budidaya akuaponik di Indonesia masih sangat terbatas. Hal tersebut diantaranya disebabkan masih kurangnya informasi dan inovasi teknis yang tersedia. Oleh sebab itu, desiminasi teknologi akuaponik secara lebih luas melalui berbagai metode dan media masih sangat diperlukan.
akuaponik, khususnya unsur hara mikro, juga dapat diatasi dengan menambahkan ekstrak hasil fermentasi kompos atau disebut compost tea, baik melalui aplikasi di media tanam maupun melalui penyemprotan pada tanaman (Fox et al., 2012; Somerville et al., 2014). Ekstrak kompos kaya unsur hara, khususnya unsur hara mikro. Treadwell et al. (2010) dan Bethe (2014) telah melaporkan peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman akuaponik yang diaplikasikan ekstrak kompos, diantaranya disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Berat daun dan akar kangkung pada sistem akuaponik yang diaplikasikan ekstrak vermicompos (Bethe, 2014) Tanggal Panen 10-04-13 10-05-13 10-06-13 10-07-13 10-08-13 Rata-rata
Bagian tanaman
Molase
Daun Akar Daun Akar Daun Akar Daun Akar Daun Akar Daun Akar
15,32 38,63 156,21 59,2 113,45 52,95 85,53 69,39 291,81 71,63 132,47 58,36
Perlakuan Ekstrak vermicompos 15,97 21,81 168,06 111,26 128,77 80,76 154,16 114,59 314,87 51,28 156,37 75,94
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
Kontrol tanpa perlakuan 15,53 24,96 132,15 89,75 141,48 106,87 88,00 103,92 236,13 24,3 122,66 69,96
Hasil uji statistik ns ** ns ** ns * ** ** ns ns
39
Yudi Sast ro: Akuaponik: Budidaya Tanam an Terintegrasi dengan Ikan, Perm asalahan Keharaan
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi awal bagi peminat akuaponik agar lebih mudah dalam memahami akuaponik secara lebih mendalam.
UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan dan ucapan terima kasih disampaikan kepada Sheila Savitri, Fungsional Pustakawan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta, atas bantuannya dalam mengumpulkan berbagai literatur yang dibutuhkan dalam penulisan naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA Bernstien, S. 2011. Aquaponic Gardening: a step-by-step guide to raising vegetables New Society Publishers. Bethe, L.A. 2014. Effect of Foliar Spray of Compost Tea on Water Spinach (Ipomea aquatic) in Aquaponis System. MS Thesis. Department of Aquaculture Bangladesh Agricultural University Mymensingh. Connoly, K. and T. Trebic. 2010. Optimization of a Backyard Aquaponic Food Production System. Faculty of Agricultural and Environmental Sciences, McGill University. Diver, S. 2006. Aquaponics–Integration of Hydroponics and Aquaculture. Appropriate Technology Transfer for Rural Areas (ATTRA). Endut, A., A. Jusoh, N. Ali, W.B. Wan Nik, A. Hassan. 2010. A study on the optimal hydraulic loading rate and plant ratios in recirculation aquaponic system. Bioresource Technology 101:1511– 1517. Fox, B.K., C.S. Tamaru, J. Hollyer, L.F. Castro, J.M. Fonseca, M. Jay Russell, and T. Low. 2012. A Preliminary Study of Microbial Water Quality Related to Food Safety in Recirculating Aquaponic Fish and Vegetable Production
40
Systems. Food Safety and Technology. FST-51. Oktober 2012. Ghaly A.E, M. Kamal, and N.S. Mahmoud. 2005. Phytoremediation of aquaculture wastewater for water recycling and proInternational Journal of Environmental Science 31:1–13. Graber, A., and R. Junge. 2009. Aquaponic wastewater by vegetable production. Desalination 246:147–156. Lennard, W.A. and B.V. Leonard. 2006. A comparison of three different hydroponicsub-systems (gravel bed, an aquaponictest system. Aquac. Int. 14:539–550. Lennard, W. 2012. Aquaponics System Design Parameters : Fish to plant ratio (Feeding Rate Ratios). Aquaponics Fact Sheet Series. izer in Hydroponic Cultivation : A Case Study Comparing Nutritional and Microbiological Properties. Swedish University of agricultural Science. McGuire, T.M. and G.A Popken. 2015. Comparative Analysis of Aquaponic Grow Beds. University of Nebraska-Lincoln. Pantanella, E, M. Cardarelli, P.P. Danieli, A. MacNiven and G. Colla. 2011. Integrated Aquaculture - Floating Agriculture: Is It a Valid Strategy to Raise Livelihood?. Proc. XXVIIIth IHC–IS on Horticulture for Development. Acta Hort. 921. Pantanella, E., M. Cardarelli, G. Colla, E. Rea, and A. Marcucci. 2012. Aquaponics vs.hydroponics: production and quality of lettuce crop. Acta Hortic. (ISHS) 927:887–893. Rakocy, J. E., R.C. Shultz, D. S. Bailey, and E.S. Thoman. 2003. Aquaponic production of tilapia and basil: comparing a batch and staggered cropping system. ActaHortaculturae (ISHS) 648:63–69. Rakocy, J.E., T.M. Losordo, and M.P. Masser. 2006. Recirculating aquaculture tank and plant culture. Southern Region
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
Yudi Sast ro: Akuaponik: Budidaya Tanam an Terintegrasi dengan Ikan, Perm asalahan Keharaan
Aquaculture Center Publication 454:1– 16. Rakocy, J.E., M.P. Masser, and T.M. Losordo. 2006. Recirculating Aquaculture TankProduction systems: Aquaponics— Integrating Fish and Plant Culture. SRAC Publication No. 464. Rakocy, J. 2007. Ten Guidelines for Aquaponics System. Aquaponics Journal 46 3rd quarter :14-17. Roosta, H.R. 2011. Interaction between water alkalinity and nutrient solution pH on the vegetative growth, chlorophyll Zn concentrations in lettuce. Journal of Plant Nutrition 34:717–731. Roosta. H.R. 2014. Effects of Foliar Spray of K on Mint, Radish, Parsley and Coriander Plants in Aquaponic System. Journal of Plant Nutrition, 37:2236– 2254. Roosta, H.R. and M. Hamidpour. 2011. Effects of foliar application of some macro- andmicro-nutrients on tomato plants in aquaponic and hydroponic systems. Sci.Hortic. 129:396–402. Roosta, H.R. and J.K. Schjoerring. 2007. Effects of ammonium toxicity on nitrogen metabolism and elemental Cucumis sativus L., cv. Styx) plants. Journal of Plant Nutrition 30 : 1933–1951. Roosta, H.R., A. Sajjadinia, A. Rahimi, J.K. Schjoerring. 2009. Responses of cucumber plant to NH4+ and NO3 nutrition: the relative addition rate technique vs. cultivation at constant nitrogen concentration. Scientia Horticulturae 121:397–403. Roosta, H.R. and S. Afsharipoor. 2012. Effects of different cultivation media on vegetative growth, ecophysiological traits and nutrients concentration in strawberry under hydroponic and aquaponic cultivation systems. Advances in Environmental Biology 6(2): 543-555. Roosta, H. R. and Y. Mohsenian. 2012 Effects of foliar spray of different Fe sources on pepper (Capsicum annum
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
L.) plants in aquaponic system. Scientia Horticulturae 146: 182–191. Roosta H.R. and M. Hamidpour. 2013. Mineral nutrient content of tomato plants in aquaponic and hydroponic system: Effect of foliar application of some macro- and micro-nutrients. Journal of Plant Nutrition 36:2070-2083. Roosta, H.R. and Y. Mohsenian. 2015. Alleviation of alkalinity-induced Solanum melongena L.) by foliar application of different Fe sources in recirculating system. Journal of Plant Nutrition 38 (11): 1768-1786. Sace, C.F. and K.M. Fitzsimmons. 2013. Resirculating aquaponic system using Nile tilapia (Oreochromis nilocotus) and freshwater prawn (Macrobrachium rosenbergii) polyculture and the productivity of selected leafy vegetable. Merit Research Journal of Business and Management 1 (1):11-29. Savidov, N.A., E. Hutchings, J.E. Rakocy. 2007. Fish and plant production in arecirculating aquaponic system: a new approach to sustainable agriculture inC anada. Acta Hortic. (ISHS) 742:209– 221. Shete A.P, A.k. Verma, R.S. Tandel, C. Prakash, V.K. Tiwari, and T. Hussain. 2013. Optimization of Water Circulawith Spinach in Aquaponic System. Journal of Agricultural Science 5 (4). Somerville, C., M. Cohen, E. Pantanella, A. Stankus, and A. Lovatelli. 2014. Smallscale Aquaponics Food Production : Integrated Fish and Plant Farming. FAO. Rome. Tokunaga, K., C. Tamaru, H. Ako, and P. Leung. 2015. Economics of smallscalecommercial aquaponics in Hawai’i. J. World Aquac. Soc. 46 : 20– 32. Treadwell, D., S. Taber, R. Tyson, and E. Simonne. 2010. Foliar-Applied Micronutrients in Aquaponics: A Guide to Use and Sourcing. University of Florida.
41
Yudi Sast ro: Akuaponik: Budidaya Tanam an Terintegrasi dengan Ikan, Perm asalahan Keharaan
Tyson, R.V., E.H. Simonne, J.M. White, and E.M. Lamb. 2004. Reconciling water qualityparameters impacting levels. Proc. Fla. State Hortic. Soc. 117: 79–83. Tyson R.V, E.H. Simonne, M. Davis, E.M. Lamb, J.M. White, and D.D. Treadwell. 2007. Effect of nutrient solution, nitrate-nitrogen concentration, and pH . Journal of Plant Nutrition 30:901-913. Tyson, R.V., E.H. Simonne, D. Treadwell, D.M. Davis, and J.M. White. 2008. Effect
42
of water pH on yield and nutritional status of greenhouse cucumber grown in recirculating hydroponics. Journal of Plant Nutrition 31: 2018–2030. Tyson, R.V., D.D. Treadwell, and E.H. Simonne. 2011. Opportunities and challenges tosustainability in aquaponic systems. Hort Technology 21: 6–13. Wortman, E. 2015. Crop physiological response to nutrient solution electricalconductivity and pH in an ebbScientia Horticulturae 194:34–42.
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015