AKU PULANG
Hak Cipta © 2005, 2008, 2009 Dirgita Devina (
[email protected]) Lisensi: CC-by-NC-ND Rating: Remaja Terbit pertama kali di rubrik Cermin Cerpen Siswa, Kakilangit Horison 104/Agustus 2005. Ulasan cerpen juga ada di rubrik Ulasan Cermin oleh Joni Ariadinata.
Alen membuka matanya dengan sedikit tersentak. Ia ternyata ketiduran di depan komputernya yang menyala, menampilkan lambang Universe Federation yang berputarputar. Sesaat, ia lalu memejamkan mata dan merenung, mencoba tenang, dengan tangan kanan yang ditopangkan ke wajah. Bayangbayang mimpi yang menyentaknya bangun tadi masih jelas terasa. Matanya membuka lagi, kemudian menatap ke sebuah surat di atas meja, di samping layar komputer. Itu adalah surat ibunya, baru datang kemarin sore. Melihatnya, ia pun teringat akan mimpi yang sudah mulai ia lupakan itu. Buruburu, ia lalu melarikan dirinya ke kamar mandi dan membasuh wajahnya di sana. Untuk sesaat, ia pun merenung dengan wajah basah menunduk, masih mencoba untuk tenang. Sekali lagi ia membasuh wajahnya, lalu menatap dirinya di cermin yang berada tepat di depan. Lama menatap, bayangan mimpi itu mendadak muncul. Segera ia kembali membasuh wajahnya. Setelah agak tenang, ia pun keluar dari kamar mandi. Dihampirinya jendela kamar yang pada saat itu sedang tertutup gorden lebar. Ditekannya sebuah tombol. Gorden serta lempengan besi yang ada di baliknya kemudian perlahan terbuka. Tampak jelaslah apa yang ada di balik kaca jendela lebar tersebut. Pemandangan luar angkasa. Di hadapannya kini tampak beberapa pesawat Federasi yang melayang tenang dengan latar belakang satelit sebuah planet seperti bulan, memancarkan cahaya putih yang menerpa wajahnya. Dan mendadak, untuk yang kesekian kalinya, ia teringat akan mimpi itu kembali. Segera ia mengalihkan pandangannya,
1
sehingga matanya menatap tepat ke sebuah foto di atas meja. Foto ibu dan adikadiknya dengan latar belakang sebuah rumah sederhana.
***
Ini adalah hari terakhirnya di Federasi, sekaligus ingatan terakhirnya tentang semua yang ada serta yang pernah dialaminya di tempat kerjanya itu. Dengan seragam Unit 2nya di UFIna (Universe Federation Indonesia) di Divisi Pengaman Semesta, ia menjelajahi Nira, salah satu kapal induk Federasi Semesta Indonesia. “Kau yakin ingin pulang sekarang?” masih terngiang ucapan itu. Pertanyaan yang dilontarkan oleh pimpinannya ketika ia mengajukan niatnya untuk pulang kembali ke bumi. “Yakin, Pak.” “Kau tahu apa konsekuensinya?” “Tahu, Pak.” “Oke, kau tahu apa konsekuensinya. Sekali kau kembali ke bumi, semua ingatanmu tentang Federasi akan dihapus. Tapi kami akan tetap memberikan waktu untuk berpikir tentang hal ini. Kau baru lima tahun di sini dan kau adalah salah satu anggota Federasi yang terbaik. Aku harap kau memikirkannya masakmasak.” Tekad Alen sudah bulat. Aku ingin pulang. Masalah yang dihadapi oleh ibunya yang terungkap dalam surat itu begitu pelik. Uang yang dikirimnya selama ini, ternyata diambil oleh pamannya. Lima tahun sudah begitu, dan baru terungkap sekarang. Ibunya baru berani menceritakan setelah sekian lama menyimpannya. Dan kini, rumahnya terancam disita karena kasus hutang yang menggunung. Itu bukanlah hutanghutang ibunya, melainkan hutanghutang pamannya yang diatasnamakan ibunya. Licik, bukan? Walaupun begitu, Alen tetap berucap syukur. Kebijakan Federasi yang hanya membolehkan anggotanya mengirimkan uang maksimal Rp 5 juta setiap bulannya dari gaji, sementara sisanya ditabung di bank khusus milik Federasi, membuatnya masih memiliki kesempatan untuk membantu ibunya. Uang yang selama ini berada di Federasi takkan pernah berkurang, malah semakin bertambah. Setiap bulan ia mendapat gaji yang langsung 2
masuk ke dalam rekeningnya di bank Federasi, dan keperluan sehari harinya sudah disiapkan oleh Federasi sendiri. Tapi tindakan yang diambilnya untuk pulang, harus dibayar mahal olehnya. Ia akan kehilangan semua ingatannya tentang Federasi, termasuk kenangan bersama temantemannya yang ada di sana. Semua itu akan hilang esok hari. Ia sudah memutuskan. Terakhir kali pula ia ingin mengingat asal mula ia menjadi anggota Federasi. Waktu itu UAN baru saja usai. Organisasi yang bersifat sangat sangat rahasia tersebut mendadak mengundangnya ke sebuah gedung untuk menghadiri sebuah pertemuan. Penasaran, ia pun pergi. Ternyata, di sana sudah berkumpul yang lainnya, pemudapemudi seusianya yang juga samasama diundang oleh Federasi. “Terima kasih telah hadir. Maaf telah membuat kalian menunggu,” ucapan itu membuat suasana di ruang pertemuan menjadi hening. Semua pandangan tertuju ke seorang wanita yang berdiri di depan. “Kami adalah perwakilan UF, Universe Federation, atau Federasi Semesta Seksi Indonesia. Ini adalah organisasi sangat rahasia. Terpisah dari pemerintahan negara mana pun. Kami tidak bekerja sama dengan NASA, LAPAN, maupun lembaga sejenis lainnya. Kami tegaskan sekali lagi, kami terpisah. Tujuan kami mengundang kalian adalah untuk mencari anggota anggota baru yang nantinya akan menjadi anggota umum Federasi Semesta, yang sekaligus akan menjadi anggota khusus Federasi Semesta Seksi Indonesia di Divisi Pengaman Semesta, Unit 1 hingga 15. Namun sebelumnya, kalian akan mendapatkan pendidikan di akademi kami selama dua tahun. Kami sudah menyelidiki siapa kalian sebenarnya. Dan kami yakin, kalian adalah orang yang paling cocok dalam bidang ini. Tapi jika suatu saat kalian ingin lintas bidang di Federasi, silakan. Asal, bidang itu sesuai dengan kalian. Tapi ingat, kami tidak memaksa. Ini adalah tugas yang sangatsangat beresiko. Masalah yang akan kalian hadapi selama di Federasi adalah Teroris Angkasa. Semacam organisasi terorisme baru. Mengumpulkan anggota dan menyusun kekuatan secara besarbesaran yang lokasinya bisa di mana saja di alam semesta ini. Mereka berencana untuk menghancurkan segala macam pemerintahan di bumi. Dan kalau mungkin, seluruh pemerintahan di alam semesta ini juga akan mereka hancurkan. Pikirkan dulu masakmasak tawaran ini, lalu jawab ya atau tidak. Jika ya, kami ucapkan selamat datang. Jika tidak, kalian tidak akan ingat
3
apa yang telah kalian dengar dan lihat di ruangan ini. Ingatan tentang apa yang kalian alami di sini akan dihapus.” Alen tidak tahu harus ikut atau tidak pada mulanya. Yang ia pikirkan hanyalah ibu dan adikadiknya. Jika ikut, mereka pasti berpisah. Namun karena tergiur akan gaji yang juga dibeberkan di sana jika menjadi anggota, ia memutuskan untuk ikut. Bukan karena ia mata duitan, tapi karena ia ingin memberikan sesuatu kepada ibu dan adikadiknya yang sudah lama ditinggal mati ayahnya. Sekarang, sudah lima tahun dia di Federasi. Ia ingin pulang karena masalah yang dialami ibunya. Uang yang ia kirim melalui kurir khusus Federasi ternyata disabet oleh pamannya untuk hurahura. Ia pun dihadapkan dengan dua pilihan, pekerjaan atau keluarga. Dan ia lebih memilih keluarganya dengan pertimbangan masih banyak generasi baru yang akan menggantikannya di Unit 2 dan meneruskan perjuangan Federasi Semesta. Ia sadar, sedikit banyak karena ego ia memilih pilihan kedua. Dan dalam sekejap, pipi gadis itu langsung basah oleh air mata yang mengalir turun tanpa dapat ia tahan. Segera ia berhenti memainmainkan kendali Dolphin, pesawat angkasa kesukaannya yang sedang terparkir tenang di hanggar. Ia kini sedang berada di kokpit pesawat tersebut. Ia lalu melepaskan sarung tangan dan segera menyeka air matanya. “Selamat tinggal, Dolphin…,” ucapnya hendak menangis, lalu buru buru pergi meninggalkan kokpit pesawat tersebut sebelum air matanya keluar lebih banyak lagi. “We will miss you…,” Corel ternyata menyambutnya di luar sana bersama tiga teman yang lain di Unit 2, Ayi, Jay, dan Maha. Gadis berambut pirang yang bernama lengkap Corellina itu walaupun asli dari Australia, dia malah lebih memilih menjadi anggota UFIna. “Aku minta maaf,” balas Alen pula. Dan mendadak, Corel memeluknya dan menangis. “Kami akan merasa sangat kehilanganmu…,” ujar gadis itu di sela isak tangisnya. “Tenanglah, Core…. Masih ada satu hari lagi untuk kita bersama,” Alen mencoba menenangkannya. “That is not enough!” “Ayolah, hentikan tangismu. Prajurit tidak boleh cengeng. Setidaknya…, tidak kelihatan cengeng.”
4
***
Ini saatnya, Alen sudah berada di depan alat penghapus ingatan milik Federasi yang sedang dipersiapkan. Dengan kemajuan teknologi yang mereka miliki, melebihi tingkat teknologi di bumi, Federasi akan menghapus semua ingatan Alen tentang mereka dan menatanya kembali, sesuai skenario yang disusun oleh sebuah tim khusus yang dimiliki Federasi, dan tentu saja sudah disetujui oleh Alen. “Jadi, kau tetap lebih memilih pulang dibanding untuk tetap tinggal di sini?” tanya pimpinannya kembali. “Ya, Pak. Tidak sekarang, kapan lagi bisa membalas jasa ibuku. Ia sekarang sedang ada masalah, Pak. Aku ingin membantunya. Aku yakin, Federasi pati akan mendapatkan penggantiku dalam waktu singkat.” “Memang. Tapi, tidak akan sama seperti dirimu,” balas pimpinannya. “Oh, iya. Ngomongngomong, apa rencanamu dengan uang tabunganmu setelah kembali ke bumi?” tanya pimpinannya lagi. “Aku berencana untuk membuka usaha kecilkecilan. Mencoba memperbaiki kehidupan ekonomi keluargaku. Sudah kuajukan itu kepada Federasi.” “Uang tabunganmu di Federasi sudah lebih dari cukup untuk membuka usaha kecilkecilan. Saldonya lebih dari lima ratus juta.” Seorang petugas menghampiri pimpinannya dan memberitahukan sesuatu. Setelah ia pergi, pimpinannya itu berkata, “Oke, Alen. Alatnya telah siap. Kuharap kau juga telah siap.” “Pasti, Pak.” Ia pun melangkah. “Alen!” panggil seseorang. Sontak, Alen berhenti dan berbalik. “Core? Kalian? Kupikir….” “Kami pasti datang,” ujar Jay. “Kami ingin bertemu denganmu untuk yang terakhir kali,” sambung Maha. “Jangan katakan ‘untuk yang terakhir kali’!” tegur Ayi seraya menyikut pemuda itu. 5
“Maaf!” balas Maha pula. “Aku sebenarnya tak ingin menangis…,” ujar Core. “Tapi…, aku rasanya ingin menangis kembali.” Segera ia memeluk Alen dan menangis lagi seperti kemarin. Alen memejamkan mata dan menarik napas dalamdalam. Ia mencoba untuk tetap tenang. Ia pun menghela. “Sudahlah, Core. Jangan menangis. Kemarin, kan, sudah. Jangan anggap pertemuan ini adalah pertemuan terakhir kita.” Corel tetap terisak ketika Alen melepaskan peluknya. Gadis itu memang paling dekat dan manja kepada Alen. Walaupun secara postur Alen masih kalah tinggi beberapa senti dari dia, Corel itu setidaknya tiga tahun lebih muda dari usia Alen, dan jiwanya sepuluh tahun lebih muda dari usianya sekarang. “Aku akan selalu mengingat kalian, terutama kau. Tapi dalam kenangan yang berbeda,” ujar Alen. Ia mencoba meminta pengertian temannya yang satu itu. “Aku ingin ikut denganmu….” Alen menggeleng. “Teman yang lain memerlukanmu. Jika tidak ada kau, Unit 2 akan sepi.” “Alen….” “Jaga dirimu.” Alen lalu melanjutkan langkah menuju alat penghapus ingatan Federasi. “Tapi aku akan kehilangan teman curhat…,” balas Corel. Alen terhenti. Ia kembali berbalik. “Satu hal dariku, Core. Jangan sekalikali lagi kau mengecat rambutmu. Pirang sudah bagus.” Alen pun melanjutkan langkahnya dengan meneteskan air mata dan menjalani prosedur untuk pulang ke bumi.
***
6
Bingung. Itu yang dirasakan Alen. Mendadak, ia berada di suatu tempat entah di mana. Dengan pakaian berwarna putih serupa seraga yang biasa ia kenakan sewaktu masih menjadi anggota Unit 2 di Federasi, namun tanpa tulisan setitik pun, ia berada di suatu tempat yang seluruhnya diselimuti warna putih bercahaya. Tak dapat ditentukan mana batasnya. Terus ia memperhatikan sekeliling, hingga pandangannya kemudian terkunci hanya ke satu arah. Samarsamar jauh di depan, matanya menangkap sosok wanita berpakaian sama dengannya sedang melangkah tenang. Segera, ia pun mengejarnya. “Maaf, permisi. Boleh tahu ini tempat apa? Kita sedang berada di mana?” sapanya setelah dekat. Wanita itu tak membalas. “Maaf. Permisis…! Excuses me! Hallo?” Wanita itu tetap melangkah dengan tenang. Sementara Alen hanya bisa bingung memikirkan harus menyapa dengan bahasa negara mana agar wanita yang ada di depannya itu merespon. Akhirnya, wanita itu berhenti. Ia tetap membelakangi Alen. “Maaf…. Permisi…. Boleh tahu…, ini di mana…, ini di tempat apa?” Alen akhirnya memilih untuk mengulang pertanyaannya dengan bahasa Indonesia. Wanita itu tetap tak menjawab. Ia kemudian hanya berbalik dan tersenyum. Pada saat itulah, Alen tersentak. Itu ibunya! Segera ia pun bergerak untuk menggapai, tapi tak bisa. Jarak antara ia dan wanita itu dipisahkan oleh sebuah dinding yang tak tampak oleh mata. Ia pun berteriak memanggilmanggil ibunya seraya menggedorgedor dinding tersebut. Namun, tetap saja wanita itu diam. Dan masih terpasang senyum di bibirnya, ketika ia kembali berbalik dan melangkah. Ditinggalkannya sendiri Alen di sana.
***
Suara gelegar petir yang begitu keras menyentak Alen hingga terbangun dari tidurnya. Pada saat itu, sedang turun hujan lebar dan ia 7
sedang menaiki taksi. Sekarang, ia sudah tidak ingat lagi kalau pernah bekerja di Federasi. Yang ia ingat hanyalah kalau ia pernah bekerja di sebuah perusahaan di daerah. Ia pulang karena kontraknya dengan perusahaan itu telah habis. Ia pulang dengan membawa uang senilai lima ratus juta rupiah lebih, hasil tabungannya selama lima tahun, untuk membuka usaha di tempat tinggalnya. Di depan sebuah gang kecil, taksi yang ia tumpangi berhenti. Alen membuka pintu dan mengembangkan payungnya. Segera ia keluar dari mobil. Taksi pun segera pergi setelah ia membayar sejumlah ongkos. Dan di tengah hujan lebat itulah, Alen menyusuri gang tersebut. Seorang wanita tampak berlari terburuburu menghampiri teras sebuah rumah di depannya sana. Spontan, Alen berhenti. Ditatapnya wanita itu lekatlekat. Diingatingatnya wajah itu. Dan sebelum wanita itu membuka pintu rumahnya, ia pun berseru, “Ibuuu…!” Wanita itu berbalik. Sesaat ia terpaku. “Alen…?” “Ibu…,” lirih di ucapannya. Segera ia melepaskan payungnya yang ia pegang dan berlari ke arah ibunya. Begitu pula ibunya yang segera meninggalkan teras rumah. Mereka bertemu dan berpelukan di bawah terpaan hujan yang begitu lebat. “Aku pulang…!”
** TAMAT **
http://www.dirgitadevina.web.id
8
Tentang Penulis
Dirgita Devina (atau hanya Dirgita) adalah nama pena dari Citra Paska. Hampir semua kegiatannya adalah menulis. Mulai dari menulis cerpen, novel, hingga terjemahan program-program bebas terbuka (free and open source software). Fiksi ilmiah dan laga adalah genre cerita yang paling sering dikembangkan oleh Dirgita. Sementara tema yang paling sering diangkat, tidak begitu jauh dari isu kemanusiaan. Informasi lebih lanjut mengenai Dirgita bisa dijumpai di Rumah Tulis Dirgita dan Dapur Dirgita.
9
Sekilas Lisensi
Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 Unported Anda bebas untuk menggandakan maupun menyebarluaskan karya ini. Dengan ketentuan sebagai berikut. 1. Bukan untuk kepentingan komersial. 2. Tidak dalam kondisi diubah dari aslinya. Lebih lengkap, lihat di http://www.creativecommons.org.
10