irinya sendiri dengan bermain logika. Menyadari hal ini, aku membayangkan akan terus bisa menemuinya. Dengan demikian aku mampu memahami pernyataan Ibnu Arabi tentang cinta sebagai kemampuan untuk membuat sesuatu yang tak terlihat menjadi tampak dan hasrat untuk selalu merasakan yang tak terlihat di dalam diri seseorang. Aku bisa menerka bahwa Shekure terusmenerus mengawasiku, karena aku mendengarkan suarasuara yang datang dari dalam rumah, dan mendengar gemeretak papan-papan kayunya. Pada satu titik, aku merasa amat yakin bahwa dia berada di kamar sebelah bersama aku dinamai hitam anakanaknya. Kamar yang terbuka menghadap ke lorong yang menghubungkannya dengan ruang antara. Aku bisa mendengar anakanak itu saling dorong dan berkelahi, sementara ibu mereka mungkin berusaha menenangkan mereka dengan gerak tubuhnya, pandangan mata mengancam, dan alis mata yang bertaut. Sesekali aku mendengar mereka berbisik tak wajar, bukan seperti bisikan agar tak mengganggu orang yang sedang salat, melainkan bisikan seperti yang dilakukan orangorang sebelum tertawa tergelak. Pada kesempatan lain, saat kakek mereka menjelaskan padaku tentang keistimewaan cahaya dan bayangan, Shevket dan Orhan memasuki ruangan dan dengan sikap tubuh sangat berhatihatikentara sekali mereka sudah berlatih sebelumnyamemegang nampan dan menyajikan kopi untuk kami. Upacara ini, yang pasti amat dicemaskan oleh Hayriye, sengaja dipersiapkan Shekure agar mereka bisa mengamati lelaki yang mungkin tak lama lagi akan menjadi ayah mereka. Karena itu, aku pun memuji Shevket, “Betapa indah bola matamu.” Lalu, aku segera menoleh ke arah adiknya, Orhanaku takut ia akan iri jika tak kusapa dan menambahkan, “Begitu juga bola matamu.” Lalu, aku meletakkan sehelai kelopak anyelir merah yang kukeluarkan dengan cepat dari lipatan jubahku ke atas nampan dan mencium pipi mereka. Kemudian, aku mendengar tawa terkekeh geli dari dalam ruangan itu. Sering aku penasaran, dari lubang atau sudut sebelah mana di dinding, pintu, atau langit-langit, mata Shekure sedang mengintipku. Sambil memandangi celah, simpul atau apa pun yang kuanggap bisa berbentuk lubang, kubayangkan Shekure sedang mengintip di sebaliknya. Tibatiba saja aku mencurigai sebuah titik hitam lainnya dan untuk memastikan apakah dugaanku benardengan risiko dianggap kurang ajar oleh Enishteku saat ia meneruskan ceritanya yang tiada hentiaku berdiri. Berpurapura menunjukkan sikap seorang murid penuh perhatian yang terserap dalam pikirannya untuk menunjukkan betapa aku memerhatikan kisah yang diceritakan Enishteku, aku mulai berjalan hilir mudik di dalam ruangan yang pengap itu, sebelum mendekati titik hitam yang kucurigai di dinding. Saat aku gagal menemukan mata Shekure yang bersarang di titik yang kusangka lubang intip itu, aku merasa amat kecewa, lalu aku didera rasa sepi dan tak sabar seorang lelaki yang tak tahu pasti ke mana hendak menuju. Sesekali, aku merasakan kesadaran yang kuat dan tibatiba, seakanakan Shekure sedang mengawasiku. Aku akan merasa begitu yakin bahwa dia memang sedang memandangiku, sehingga aku sengaja bertingkah seperti seorang lelaki yang mencoba menunjukkan bahwa ia lebih bijak, lebih tangguh, dan lebih cakap daripada yang sesungguhnya, hanya untuk membuat perempuan yang dicintainya terkesan. Aku sempat berkhayal Shekure dan anakanaknya sedang membandingbandingkan aku dengan suaminyaayah yang dirindukan anakanak itusebelum aku bias kembali memusatkan perhatian pada masalah para ilustrator terkemuka Venesia yang teknik melukisnya sedang diceritakan dengan berapiapi oleh Enishteku saat itu. Aku ingin menjadi salah satu dari para ilustrator ternama itu, karena Shekure sudah banyak mendengar tentang mereka dari ayahnya. Mereka adalah para ilustrator yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat luas, bukan dengan menderita sebagai martir di dalam sel-sel penjara
seperti orangorang suci, atau dengan menebas kepala tentara musuh dengan sebilah pedang tajam, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh suami Shekure yang sudah tiada itu, melainkan berdasarkan sebuah manuskrip yang telah mereka tuliskan atau selembar halaman yang mereka lukis. Aku berusaha sekuat tenaga membayangkan gambargambar menakjubkan yang telah diciptakan para ilustrator terkenal ini, yang menurut Enishteku, diilhami oleh kekuatan misterius dunia ini dan kegelapannya yang kasat mata. Aku berusaha keras membayangkannyasemua karya besar yang pernah disaksikan Enishteku dan kini sedang ia ceritakan satu persatu kepada orang yang tak pernah melihatnya. Akhirnya, saat imajinasiku gagal melakukannya, aku menjadi semakin sedih dan terpuruk. Aku mendongak dan melihat Shevket telah ada di hadapanku lagi. Ia mendekatiku dengan mantap, dan aku menyimpulkansebagaimana adat kebiasaan seorang anak lelaki sulung di suku-suku Arab tertentu di Transoxiana dan suku-suku Sirkasia di pegunungan Kaukasusbahwa ia tidak hanya mencium tangan tamunya di awal sebuah kunjungan, melainkan juga saat tamu itu hendak beranjak pergi. Tanpa sadar, aku menjulurkan tanganku ke arahnya untuk dicium. Seketika, dari sebuah tempat yang tak jauh, aku mendengar tawa Shekure. Apakah dia menertawakanku? Aku menjadi gugup dan salah tingkah. Untuk mencairkan keadaan, aku merengkuh Shevket dan mencium kedua pipinya, seolaholah itulah yang diharapkannya dariku, Kemudian aku tersenyum pada Enishteku sebagai permintaan maaf karena telah memotong perkataannya, sekaligus untuk meyakinkannya bahwa aku tidak bermaksud bersikap kurang menghargainya. Kurengkuh bocah itu dekat ke pipiku untuk mencari tahu apakah ia mewarisi wangi ibunya. Saat itu aku menyadari anak itu menjejalkan segumpal kecil kertas ke dalam telapak tanganku, lalu ia membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh ke arah pintu. Kugenggam erat gumpalan kertas itu dalam kepalan tanganku bagaikan sebongkah permata. Dan ketika aku sadar bahwa ini adalah sebuah pesan dari Shekure, dalam luapan kegembiraan aku nyaris tak mampu menahan seringai bodohku ke arah Enishteku. Tidakkah itu merupakan bukti yang menunjukkan bahwa Shekure juga mendambaku? Tibatiba saja, aku mengkhayalkan kami asyik bercumbu dengan liar. Sepertinya aku sangat yakin kejadian luar biasa yang kubayangkan itu akan segera terjadi, sehingga kejantananku mulai bangkit dengan tak senonohtepat di hadapan Enishteku. Apakah Shekure menyaksikan hal ini? Aku langsung memusatkan diri pada apa yang sedang dijelaskan oleh Enishteku untuk mengalihkan perhatian. Beberapa lama kemudian, ketika Enishteku mendekat untuk menunjukkan padaku lembaran ilustrasi yang lain dari bukunya, diamdiam aku membuka gumpalan kertas yang baunya seperti kamperfuli itu, dan aku hanya mendapatkan kertas yang dibiarkan kosong. Aku tak bisa memercayai mataku dan dengan bodoh kubolak-balik kertas itu untuk memeriksanya. “Sebuah jendela,” ujar Enishteku, “menggunakan teknikteknik perspektif, seolah olah menilai dunia dari sebuah jendelaapa itu yang kaupegang?” “Bukan apa-apa, Enishte Effendi,” sahutku. Saat ia menoleh ke arah lain, aku mendekatkan gumpalan kertas itu ke lubang hidungku, dan kuhirup wanginya dalam-dalam. Selepas rehat makan siang, karena aku tak ingin menggunakan pispot kamar Enishteku, aku mohon diri untuk pergi ke jamban di halaman. Cuaca dingin menggigit. Aku bergegas menyelesaikan urusan pribadiku itu tanpa harus membuat bokongku membeku terlalu lama, ketika aku melihat Shevket diamdiam muncul di depanku tanpa menimbulkan suara, menghadang jalanku seperti seorang bandit. Di kedua tangannya ia memegang pispot kamar sang kakek yang telah penuh. Ia masuk ke jamban setelah aku, dan mengosongkan pispot tersebut. Lalu, ia keluar dan menyorotkan sepasang bola mata indahnya tepat ke mataku sambil menggembungkan kedua pipinya dan tetap memegangi pispot yang telah kosong itu. “Anda pernah melihat mayat kucing?” tanyanya. Hidungnya persis seperti milik
ibunya. Apakah Shekure sedang mengamati kami? Aku melihat ke sekelilingku. Daundaun jendela tertutup rapat di lantai dua tempat pertama kalinya aku melihat Shekure setelah bertahuntahun. “Tidak.” “Maukah kuperlihatkan pada Anda mayat kucing di rumah seorang Yahudi yang dihukum gantung?” Ia keluar menuju jalanan tanpa menunggu jawabanku. Aku membuntutinya. Kami berjalan sekitar empat puluh atau lima puluh langkah sepanjang jalan yang berlumpur dan berlumur es sebelum kami memasuki sebuah taman yang berantakan tak terurus. Di sini bau dedaunan busuk dan aroma jamur terasa menyengat. Dengan keyakinan seorang bocah yang mengenal betul tempat tersebut, ia melangkah mantap dan berirama, masuk melewati pintu sebuah rumah berwarna kuning yang berdiri di depan kami nyaris tersembunyi di belakang kerumunan pohon ara dan badam. Rumah itu benarbenar kosong, tetapi kering dan hangat, seakanakan ada seseorang yang tinggal di dalamnya. “Rumah siapa ini?” tanyaku. “Keluarga Yahudi. Ketika lakilaki itu mati, istri dan anakanaknya pindah ke perkampungan Yahudi di seberang dermaga tempat para penjual buah. Mereka meminta Esther si penjaja pakaian menjualkan rumah mereka.” Ia pergi ke sudut ruangan dan kembali lagi. “Kucing itu tak ada, menghilang,” serunya. “Ke mana kira-kira perginya mayat kucing itu?” “Kakekku bilang mereka yang sudah mati bergentayangan.” “Bukan mayatnya,” ujarku. “Sukma mereka yang bergentayangan.” “Bagaimana Anda tahu?” tanyanya. Ia sedang memegangi pispot itu erat-erat di pangkuannya dengan sikap amat serius. “Pokoknya tahu. Apakah kau selalu datang kemari?” “Ibuku datang kemari bersama Esther. Mayat hidup yang bangkit dari kuburnya datang ke tempat ini di malam hari, tetapi aku tidak takut pada tempat ini. Apakah Anda pernah membunuh seseorang?” “Ya.” “Berapa banyak?” “Tidak banyak. Dua.” “Dengan pedang?” “Dengan pedang.” “Apakah jiwa mereka gentayangan?” “Aku tidak tahu. Menurut yang ditulis di bukubuku, mereka bergentayangan.” “Paman Hasan memiliki sebilah pedang merah. Pedang itu sangat tajam, hingga dapat memotong Anda bila menyentuhnya. Dan ia juga punya sebilah belati dengan pegangan yang berhiaskan batu merah delima. Apakah kau yang membunuh ayahku?” Aku mengangguk tanpa memberi tanda “ya” atau “tidak.” “Bagaimana kautahu kalau ayahmu sudah mati?” “Ibuku mengatakannya kemarin. Ayah tidak akan kembali. Ibu melihatnya dalam mimpinya.” Andai diberi kesempatan, kita akan memilih melakukan sesuatu atas nama sebuah tujuan mulia untuk keburukan yang sedang kita siapkan demi kepentingan kita
sendiri, demi hasrat cinta yang membara di dalam diri, atau demi cinta yang menghancurkan hati. Oleh karena itu, sekali lagi aku memantapkan hati untuk menjadi ayah bagi anakanak yang terlantar ini. Ketika aku kembali ke rumah itu, aku mendengarkan lebih cermat cerita kakek Shevket ketika ia menjelaskan buku yang teks dan ilustrasinya harus kuselesaikan. Mari kumulai dengan ilustrasiilustrasi yang ditunjukkan Enishteku padaku, gambar kuda itu misalnya. Di halaman ini tidak ada gambar manusia, dan daerah sekitar si kuda juga kosong. Bahkan dengan kekosongan seperti itu sekalipun, aku tak bisa mengatakan gambar itu sederhana dan hanya berisi seekor kuda saja. Ya, kuda itu memang ada di sana, meski tampaknya si penunggang kuda sudah turun ke sampingnya, atau mungkin si penunggang itu baru akan muncul dari balik semak yang digambarkan dengan gaya Kazvin. Inilah yang akan segera dipahami dari pelana di atas kuda yang menyiratkan hiasan dan jejak kemuliaan: Mungkin seorang lelaki dengan pedangnya sedang bersiap-siap muncul di samping kuda perkasa itu. Jelas sekali Enishte telah memerintahkan pembuatan kuda ini pada seorang empu ilustrator yang diamdiam dipanggilnya dari bengkel seni. Karena ilustrator itu, yang datang di malam hari, hanya bisa melukis seekor kudayang telah terpatri dalam benaknya bagai sebuah cetakanjika itu merupakan bagian dari sebuah kisah, maka begitulah ia akan membuka kisahnya: dengan pengulangan. Ketika menggambar kuda, yang sudah ribuan kali ia saksikan dalam adegan percintaan dan peperangan, Enishteku, terilhami oleh metode yang digunakan para empu Venesia, lalu memberi instruksi pada ilustratornya. Misalnya, ia mungkin akan berkata seperti ini, “Lupakan pengendaranya, gambarlah sebatang pohon di sana. Namun, buatlah sebagai latar belakang dengan ukuran yang lebih kecil.” Ilustrator itu akan duduk di depan meja kerjanya bersama Enishteku dan dengan penuh semangat ia melukis dalam cahaya lilin sebuah gambar yang aneh dan tidak lazim, yang tidak menyerupai adegan-adegan yang biasa dilukis dan diingatnya. Tentu saja, Enishteku membayarnya sangat mahal untuk setiap lukisan yang dibuatnya. Namun sejujurnya, metode khusus dalam melukis ini juga memiliki daya pikat tersendiri. Entah bagaimana, seperti juga Enishteku, setelah beberapa lama, sang illustrator tidak lagi menentukan kisah apa yang akan disertai ilustrasi yang harus ia sempurnakan. Yang diinginkan Enishteku dariku adalah memeriksa semua ilustrasi yang dibuat dengan gaya setengah Venesia setengah Persia ini, dan menuliskan sebuah kisah yang tepat untuk menyertai setiap lukisan tersebut pada halaman sebelahnya, Jika aku ingin mendapatkan Shekure, tentu saja aku harus menuliskan kisahkisah ini. Namun, yang terpikir di benakku hanyalah kisah yang diceritakan si pendongeng di kedai kopi itu.[] Bab 23 Vilaku akan disebut seorang pembunuh —1*)^— DETIK DEMI detik berlalu, jam menunjukkan bahwa hari telah malam. Azan belum berkumandang, tetapi lama sebelumnya aku sudah menyalakan lilin di samping meja kerja lipatku. Aku segera menyelesaikan gambar seorang pecandu opium dari ingatanku. Aku sedang membenamkan pena buluhku ke dalam tinta hitam Hasan Pasha dan memainkannya dengan lincah di atas kertas yang berkilauan dan indah itu, ketika aku mendengar suara yang memanggilku keluar sebagaimana yang terjadi setiap malam. Aku menolaknya. Aku merasa yakin tak akan keluar, hanya berada di rumah dan bekerja. Aku bahkan berupaya untuk memaku pintuku untuk sementara waktu. Buku yang harus buruburu kuselesaikan ini adalah pesanan dari seorang Armenia
yang datang jauh-jauh dari Galata. Ia mengetuk pintu rumahku pagi tadi sebelum ada orang yang terjaga. Lakilaki ini adalah seorang pemandu dan penerjemah, meskipun ia berbicara gagap. Ia terus memburuku kapan pun seorang pelancong Frank atau Venesia menginginkan sebuah “buku tentang busana” dan melibatkanku dalam sebuah baku tawar yang alot. Setelah pagi itu menyepakati sebuah buku tentang busana dengan kualitas rendahan seharga dua puluh keping perak, aku meneruskan membuat ilustrasi selusin orang Istanbul yang sedang duduk bersama saat salat isya, dengan memberi perhatian lebih pada detail pakaian mereka. Aku menggambarkan seorang ulama, seorang penjaga gerbang istana, seorang pendakwah, seorang serdadu Turki, seorang sufi, seorang anggota pasukan kavaleri, seorang hakim, penjual hati, seorang algojoalgojo yang tengah beraksi menyiksa orang adalah gambar yang sangat larisseorang pengemis, seorang perempuan yang bekerja di pemndian umum, dan seorang pecandu opium. Aku mengerjakan banyak sekali bukubuku semacam ini hanya untuk mendapatkan beberapa keeping perak tambahan, hingga aku mulai menemukan permainan-permainan bagi diriku sendiri, untuk melawan kebosanan ketika aku menggambarnya. Misalnya saja, aku memaksa diri menggambar si hakim tanpa mengangkat penaku dari halaman itu, atau aku menggambarkan si pengemis dengan mata tertutup. Segenap bandit, penyair, dan orangorang yang selalu merana, tahu bahwa ketika salat malam dilaksanakan, para jin dan setan di dalam diri mereka akan merasa sangat tersiksa dan merontaronta, lalu dengan kompak berseru, “Keluar! Keluar!” Suara dari dalam yang tiada henti-hentinya ini menuntut, “Carilah orang lain untuk menemanimu, carilah kegelapan, kepedihan, dan kehinaan.” Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk memuaskan semua jin dan setan ini. Aku sudah melukis banyak gambar yang sebagian besar dianggap sebagai keajaiban yang keluar dari tanganku dengan bantuan roh-roh jahat ini. Namun, kini sudah tujuh hari selepas senja, sejak aku membunuh bajingan itu, aku tidak mampu lagi mengendalikan para jin dan setan di dalam diriku. Mereka mengamuk sejadijadinya, hingga aku memberi tahu diriku sendiri bahwa mereka akan sedikit lebih tenang andai aku mau berjalan-jalan keluar selama beberapa saat. Usai mengatakannya, seperti yang selalu terjadi, entah bagaimana kutemukan diriku menggelandang menyusuri malam. Aku berjalan dengan cepat, melewati jalanan bersalju, gang-gang berlumpur, lereng-lereng yang tertutup es, dan trotoar sunyi, seolaholah aku tidak akan pernah berhenti berjalan. Saat aku berjalan, menuruni jalan memasuki kegelapan malam yang pekat, memasuki bagian paling terpencil dan terlantar di kota itu, aku berjalan selangkah demi selangkah meninggalkan jiwaku. Dan ketika aku menyusuri jalanan yang sempit, dengan langkah kakiku bergema di tembok-tembok batu penginapanpenginapan, sekolah sekolah dan masjid-masjid yang kulewati, ketakutanketakutanku akan mereda. Sesuai keinginan mereka sendiri, sepasang kakiku membawaku ke jalanan sunyi di pinggiran kota, tempat aku biasa datang setiap malam, di mana para hantu dan jin akan gemetaran menyusurinya. Aku mendengar kabar bahwa setengah dari seluruh lelaki di daerah ini telah terbujur kaku dalam peperangan melawan Persia dan sisanya melarikan diri dengan menyatakan bahwa tempat ini membawa kesialan. Namun, aku tidak memercayai takhayul seperti itu. Satusatunya tragedi yang menimpa perkampungan ini dari peperangan Safawiyah, adalah ditutupnya rumah sufi Kalenderi empat puluh tahun lalu, karena dicurigai sebagai tempat persembunyian musuh. Aku berjalan memutar ke balik semak dan rumpun pohon salam yang meruapkan aroma menyenangkan, bahkan di tengah cuaca terdingin sekalipun. Lalu aku menegakkan papan-papan dinding di antara reruntuhan cerobong asap dan jendela yang rusak. Aku masuk, bau wewangian dan jamur berusia seratus tahun kuhirup dalam-dalam ke paru-paruku. Berada di sana membuatku merasa diberkahi. Kurasakan air mataku hendak menetes dari kedua sudut mataku.
Jika aku belum pernah mengatakan hal ini sebelumnya, aku ingin berkata bahwa aku tidak takut pada apa pun selain Allah, dan hukuman yang dijatuhkan di dunia ini menurutku sama sekali tidak berarti apa pun. Yang kutakutkan adalah berbagai siksaan yang akan diderita oleh seorang pembunuh seperti diriku di hari pembalasan nanti, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Alquran. Dalam bukubuku kuno yang jarang kubaca, kala aku melihat gambaran siksaan ini dalam segala warna dan kekejamannya yang menggambarkan adegan-adegan di neraka dengan begitu sederhana, kekanakkanakan, tetapi tetap mengerikan, digambar di atas kulit sapi muda oleh para miniaturis Arab tua, atau siksaan-siksaan yang digambarkan oleh senimanseniman terkemuka Cina dan Mongol, aku tidak tahan membandingkan dan mencermati logikanya: Apa yang dinyatakan dalam surat “Al-Isra” (Perjalanan Malam) ayat 33*? Tidakkah tertulis di sana bahwa kita tidak boleh mengambil nyawa orang yang telah dilarang Tuhan untuk dibunuh tanpa alasan yang benar? Baiklah: Si pendosa yang kukirim ke neraka itu bukanlah orang beriman yang dilarang Tuhan untuk dibunuh. Lagi pula, aku memiliki alasan yang bagus untuk meremukkan tengkorak kepalanya. Lelaki ini telah menipu sebagian di antara kami yang mengerjakan buku yang diperintahkan oleh Sultan secara diamdiam. Jika aku tidak membungkamnya, ia akan Ť“Janganlah kamu membunuh orang yang telah diharamkan oleh Allah (membunuhnya), kecuali dengan jalan yang hak…”
yang ia minta kubuatkan ilustrasinya seperti halnya bagian-bagian yang disepuh emas oleh Elok Effendi yang malang itu, seakanakan ia ingin menutupi sesuatu dariku dan para miniaturis lainnya. Aku ingin bertanya pada Enishte apa yang ia ilustrasikan dalam lukisan terakhir yang lebar itu, tetapi ada banyak hal yang menahanku. Jika aku bertanya padanya, ia tentu saja akan mencurigaiku sebagai pembunuh Elok Effendi, dan menceritakan kecurigaannya itu pada semua orang. Namun, ada hal lain yang juga merisaukanku. Jika aku bertanya padanya, Enishte akan menyatakan bahwa Elok Effendi justru benar dengan keyakinankeyakinannya. Terkadang kukatakan pada diriku sendiri bahwa aku harus bertanya padanya, berpurapura bahwa kecurigaan ini bukan berasal dari Elok Effendi, melainkan muncul begitu saja di benakku. Pada akhirnya, kedua pilihan itu sama-sama tidak menyenangkan bagiku. Tungkai-tungkai kakiku, yang selalu lebih cepat bergerak daripada kepalaku, telah membawaku ke arah jalan menuju rumah Enishte Effendi. Aku berjongkok di dalam sebuah tempat yang tersembunyi, dan selama beberapa lama sebisa mungkin aku mengamati rumah itu di tengah kepekatan malam. Aku mengamatinya dalam waktu yang cukup lama: Di antara pepohonan besar, terdapat sebuah rumah besar berlantai dua dengan gaya yang unik milik seorang lakilaki kaya! Aku tidak tahu di sisi mana kamar Shekure berada. Seperti dalam lukisan Tabriz di zaman kekuasaan Shah Tahmasp, aku membayangkan rumah dalam bentuk penampangseperti jika dibelah dua oleh sebilah pisaudan aku berusaha mengilustrasikan dengan mata batinku di mana aku akan menemukan Shekure, di balik daun jendela yang sebelah mana. Pintu terbuka. Aku melihat Hitam meninggalkan rumah itu dalam kegelapan. Sejenak Enishte memandanginya dengan penuh kasih sayang dari belakang gerbang halaman sebelum ia menutupnya. Benakku, yang sempat memanjakan diri dengan khayalankhayalan bodoh, dengan cepat membuat tiga kesimpulan berdasarkan apa yang kusaksikan itu: Satu: Karena Hitam lebih murah dan tidak begitu berbahaya, Enishte Effendi akan memintanya menyelesaikan buku kami. Dua: Si jelita Shekure akan menikah dengan Hitam. Tiga: Apa yang dikatakan oleh Elok Effendi yang malang itu memang benar, sehingga sia-sia saja aku telah membunuhnya. Dalam situasi seperti ini, secepat kepintaran kita yang tak berampun itu membuat kesimpulan pahit yang ditentang oleh hati kita, seluruh tubuh kita akan berontak melawan pikiran yang berkecamuk. Awalnya, setengah pikiranku dengan keras menentang kesimpulan ketiga yang menunjukkan bahwa diriku tak lebih dari sekadar pembunuh keji yang menjijikkan, Kakiku, sekali lagi, bertindak lebih cepat dan lebih rasional daripada kepalaku. Aku tibatiba saja sudah mengejar Hitam Effendi. Kami melintasi beberapa tepi jalan ketika terbersit di benakku betapa mudahnya jika aku ingin membunuhnya. Dengan puas dan penuh percaya diri ia berjalan di depanku, dan betapa sebuah kejahatan akan mencegahku menghadapi dua kesimpulan pahit pertama yang bersarang di benakku. Lebih jauh lagi, aku tidak akan menghancurkan tengkorak Elok Effendi tanpa alas an sama sekali. Kini, jika aku berlari mendahuluinya delapan atau sepuluh langkah, menyergapnya, dan mendaratkan sebuah pukulan ke kepalanya dengan sekuat tenaga, semuanya akan berlangsung kembali seperti biasa. Enishte Effendi akan mengundangku menuntaskan buku kami. Namun, sisi diriku yang lebih jujur (apa artinya kejujuran kalau bukan ketakutan?) dan lebih waras, terusmenerus mengatakan padaku bahwa bajingan yang kubunuh dan kulemparkan ke dalam sumur adalah seorang penipu tulen. Jika
memang demikian, aku tidak sia-sia membunuhnya, dan Enishte yang tidak perlu lagi menyembunyikan sesuatu demi buku yang sedang dibuatnya, pasti akan mengundangku kembali ke rumahnya. Saat aku mengamati Hitam berjalan di depanku, entah bagaimana, aku tahu dengan pasti bahwa tidak satu pun di antara semua itu yang akan terjadi. Semuanya hanyalah ilusi. Hitam Effendi lebih nyata dariku. Ini terjadi pada kami semua: Sebagai reaksi atas bersikap terlalu logis, kami memanjakan khayalan selama berminggu-minggu dan akhirnya bertahuntahun. Pada suatu hari kami melihat sesuatu, sebuah wajah, seperangkat pakaian, seseorang yang berbahagia, dan tibatiba saja tersadar bahwa mimpi kami tidak akan pernah menjadi kenyataan. Oleh karena itu, kami paham bahwa seorang perawan tidak akan diizinkan menikahi kami, atau bahwa kami tidak akan pernah mencapai keadaan seperti itu seumur hidup. Aku sedang mengamati naik turunnya bahu, kepala, dan leher Hitamcaranya berjalan amat memuakkan, seolaholah setiap langkahnya adalah berkah bagi dunia inidengan sebentuk kebencian yang amat kuat melilit hatiku. Lelaki seperti Hitam, bebas dari kesadaran moral yang membelenggu dan dengan masa depan yang menjanjikan, akan menganggap seluruh permukaan bumi ini rumahnya. Mereka bias membuka pintu manapun, laksana seorang Sultan yang memasuki kandang kuda pribadinya dan meremehkan kami yang berjongkok di dalamnya. Keinginan untuk mengambil sebongkah batu dan berlari di belakangnya nyaris terlalu kuat untuk kutahan. Kami adalah dua orang lelaki yang mencintai seorang perempuan yang sama. Ia berada di depanku dan sepenuhnya tidak menyadari kehadiranku, saat kami berjalan melewati jalanan Istanbul yang berkelok-kelok, menanjak dan menurun. Kami berjalan seperti dua orang bersaudara melintasi jalanan sunyi yang ditinggalkan untuk tempat berkelahi kawanan anjing liar, melewati reruntuhan bangunan yang terbakar tempat para jin bergentayangan, halamanhalaman masjid tempat malaikatmalaikat bersandar di kubah-kubahnya untuk tidur, di samping pepohonan cemara yang menggumamkan jiwajiwa mereka yang telah mati, menyusuri samping pekuburan berselimut salju yang penuh sesak oleh hantu, di luar pengamatan bandit-bandit yang sedang mencekik korban-korbannya, melewati jajaran toko, kandang kuda, rumahrumah para sufi, bengkel lilin, penyamakan kulit, dan dinding dinding batu. Ketika kami berhenti, aku merasa diriku ternyata bukan sedang membuntutinya, melainkan sedang menirunya.[] Bab 24 AKU ADALAH kematian, seperti yang bisa dengan jelas kaulihat. Namun, tak perlu takut, aku hanyalah sebuah ilustrasi. Menjadi sosok tersebut, aku bisa membaca kengerian di kedua bola matamu. Meskipun kautahu benar bahwa aku tidak nyata layaknya anakanak yang menyerahkan diri sepenuhnya pada sebuah permainan kau masih saja terkurung rasa takut, seakanakan kau bertemu langsung dengan kematian yang sesungguhnya. Ini membuatku senang. Saat kau melihatku, kau merasa dirimu akan merendahkan diri karena takut jika saat-saat terakhir yang tak terelakkan itu tiba, Ini bukan gurauan. Ketika berhadapan dengan maut, orang akan kehilangan kendali atas fungsi-fungsi tubuhnyakhususnya pada sebagian besar orang yang dikenal pemberani. Untuk alasan ini, mayatmayat yang bergelimpangan di medan perang yang kaulukiskan ribuan kali, tidak berbau darah, bubuk mesiu, dan panasnya senjata sebagaimana yang diperkirakan, melainkan bau tahi dan daging yang membusuk. Aku tahu ini adalah untuk pertama kalinya kau melihat penggambaran kematian. Setahun yang lalu, seorang lakilaki tua tinggi kurus yang misterius mengundang ke rumahnya seorang empu miniaturis muda yang tak lama kemudian membuat aku adalah kematian
ilustrasi diriku. Di ruang kerja yang temaram di dalam rumah bertingkat dua itu, si lelaki tua menyajikan secangkir kopi kental yang amat nikmat pada si empu muda untuk menjernihkan benaknya yang belia. Lalu, di dalam ruangan yang remang remang berpintu biru itu, si lelaki tua membuat empu miniaturis itu bergairah dengan menunjukkan kertas terbaik dari Hindustan, kuas-kuas yang terbuat dari bulu cerpelai, beraneka lempengan tipis emas, segala jenis pena buluh, dan pisau pena bergagang koral, yang menandakan bahwa ia mampu membayar mahal miniaturis itu. “Nah, kini, gambarkanlah kematian untukku,” pinta si lelaki tua. “Aku tidak bisa menggambarkan kematian, karena sepanjang hayatku belum pernah satu kali pun aku melihat gambar kematian,” sahut miniaturis bertangan ajaib yang akhirnya menggambarkan apa yang diminta si lelaki tua. “Kau tidak perlu melihat sebuah ilustrasi sesuatu untuk menggambarkannya,” sanggah lelaki tua yang santun itu. “Ya, mungkin benar begitu,” ujar si empu ilustrator. “Namun, jika menginginkan gambar yang sempurna, seperti yang dibuat oleh para empu tua, gambar itu harus dibuat setidak-tidaknya seribu kali sebelum aku berupaya membuatnya. Sehebat apa pun seorang miniaturis, ketika ia melukiskan sebuah benda untuk pertama kalinya, ia harus mengerjakannya layaknya seorang murid, dan aku tidak akan pernah bias melakukannya. Aku tidak bias mengesampingkan keempuanku saat harus membuat ilustrasi tentang maut. Itu sama artinya aku sendiri yang mati.” “Kematian akan membuatmu bersentuhan dengan subjeknya,” timpal lakilaki tua itu. “Bukan dengan mengalami subjek lukisan yang membuat kami menjadi empu, justru tidak pernah mengalaminya yang membuat kami menjadi empu.” “Kalau begitu, maka keempuan itulah yang harus berkenalan dengan kematian.” Dengan kalimat itu mereka terlibat dalam sebuah perbincangan mengawang dengan pemahaman ganda dan serangkaian perumpamaan, dengan permainan kata kata, acuan yang sulit dipahami, dan kalimat-kalimat bersayap, sebagaimana para miniaturis yang menghormati empu-empu tua seperti mereka menghormati bakat mereka sendiri. Mengingat yang sedang mereka perbincangkan adalah keberadaanku, aku mendengarkan dengan saksama percakapan tersebut perbincangan yang kutahu akan membuat para miniaturis terkemuka yang kini berada di antara kami di kedai kopi yang nyaman ini merasa bosan. Biar kukatakan bahwa diskusi tersebut menyentuh hal-hal berikut ini: “Apakah ukuran bakat seorang miniaturis adalah kemampuannya melukis apa pun dengan kesempurnaan yang sama seperti para empu agung, atau kemampuannya memperkenalkan sesuatu yang belum pernah disaksikan siapa pun lewat lukisannya?” tanya ilustrator cemerlang bertangan terampil dan bermata jeli ini. Meskipun ia mengetahui jawaban pertanyaannya sendiri, ia tetap diam menanti jawaban. “Orangorang Venesia mengukur kehebatan seorang miniaturis berdasarkan kemampuannya dalam menemukan kebaruan suatu subjek dan teknik lukisan yang tak pernah digunakan siapa pun sebelumnya,” ujar lelaki tua itu bersikukuh dengan pendapatnya. “Orangorang Venesia akan mati dengan cara mereka,” ujar si ilustrator yang dengan cepat telah menggambar diriku, “Kematian kita serupa satu sama lain,” tukas lelaki tua itu. “Legenda dan lukisan menceritakan betapa manusia tidak ada yang sama, bukan
betapa mereka mirip satu sama lain,” lanjut si ilustrator. “Para empu miniaturis meraih keempuannya dengan menggambarkan legenda-legenda unik seakanakan kami mengenal baik legenda-legenda tersebut.” Perbincangan itu berubah arah membahas perbedaan antara kematian bangsa Venesia dengan bangsa Utsmaniyah, antara Malaikat Maut dengan malaikatmalaikat Allah lainnya, dan bagaimana mereka tidak pernah digambarkan dengan tepat melalui kesenian orangorang kafir. Empu muda yang saat ini tengah memandangiku dengan sepasang mata cemerlangnya di kedai kopi kesayangan kami saat itu merasa terganggu oleh katakata penuh tekanan ini. Tangannya menjadi tidak sabar. Ia ingin segera melukis diriku, meski ia tidak tahu seperti apa bentuk dan rupaku. Lelaki tua licik dan penuh perhitungan yang berniat mencurangi si empu muda menangkap aroma semangat lelaki muda itu. Di kamar yang temaram itu, si lelaki tua menancapkan sorot matanya yang berkilauan diterangi cahaya lampu minyak ke arah si empu muda bertangan ajaib. “Kematian yang digambarkan berwujud manusia oleh para seniman Venesia, bagi kita adalah sesosok malaikat seperti Izrail,” ujarnya. “Ya, dalam wujud seorang lelaki. Sama seperti Jibril yang berwujud seorang manusia ketika menyampaikan wahyu pada Nabi Muhammad. Kau paham, bukan?” Kusadari bahwa empu muda yang diberkahi Allah dengan bakat yang mengagumkan itu menjadi tidak sabar dan ingin membuat ilustrasi diriku, karena lelaki tua cerdik itu telah berhasil membangkitkan pikiran gila dalam dirinya: Apa yang pada dasarnya ingin kita lukis adalah sesuatu yang tidak kita ketahui dengan segala bayang-bayangnya, bukan sesuatu yang kita tahu kejelasannya. “Aku tidak mengenal kematian,” ujar si miniaturis. “Kita semua mengenal kematian,” sergah lelaki tua itu. “Kita takut padanya, tetapi kita tidak mengenalnya.” “Kalau begitu kau harus menggambarkan rasa takut itu,” ujar lelaki tua itu. Ia hendak menciptaku saat itu. Empu miniaturis yang hebat itu merasakan bagian belakang lehernya tersengat, otot-otot tangannya kaku, dan jemarinya merindukan sebatang pena buluh. Namun, karena ia empu agung tulen, ia bisa mengendalikan dirinya, mengetahui bahwa ketegangan yang dirasakannya akan semakin menambah dalam kecintaannya pada lukisan di dalam jiwanya. Lelaki tua yang cerdik itu mengerti betul apa yang terjadi dan ia berniat mengilhami si pemuda untuk mewujudkan diriku. Karena ia yakin empu muda itu akan menyelesaikannya tidak lama lagi, lelaki tua mulai membaca kalimat-kalimat tentang diriku dari bukubuku di hadapannya: Kitab Sukma karya El-Jevziyye, buku Al-Ghazali berjudul Kitab Penyingkapan, dan Suyuti. Maka kemudian, saat si empu miniaturis dengan sentuhan ajaibnya melukis potret yang kini kau pegang dengan rasa takut ini, ia menyimak cerita betapa Malaikat Maut memiliki ribuan sayap yang membentang dari surga ke bumi, dari titik terjauh di Timur hingga titik terjauh di Barat. Ia mendengar betapa sayap-sayap ini akan menjadi suaka bagi mereka yang sungguhsungguh beriman, adapun bagi para pendosa dan pembangkang akan terasa sama menyakitkannya dengan mata tombak yang menembus daging. Karena sebagian besar di antara kalian para miniaturis sudah tejerat masuk neraka, ia menggambarkanku dengan tubuh penuh mata tombak. Ia mendengarkan betapa malaikat yang dikirim Allah untuk mencabut nyawa kalian itu membawa buku catatan berisi daftar nama kalian, dan betapa sebagian dari nama itu akan dilingkari garis hitam. Hanya Allah yang tahu saat pasti datangnya kematian: Ketika saat itu tiba, sehelai daun akan jatuh dari sebuah pohon yang terletak di bawah singgasanaNya, dan siapa pun yang memegang helai daun ini bisa membaca kepada siapakah kematian akan datang. Dengan semua alasan ini, sang
miniaturis melukiskan aku sebagai sosok yang menakutkan, tetapi sekaligus juga penuh perhatian, bagaikan orang yang memahami semua permasalahan. Lelaki tua gila itu terus membaca: saat Malaikat Maut, yang berwujud manusia, merentangkan tangannya dan mencabut nyawa orang yang waktunya di bumi sudah berakhir, secercah cahaya yang melingkupi segalanya bagai cahaya matahari yang memancar, dan oleh karenanya miniaturis bijak itu melukiskanku bergelimang cahaya, karena ia juga tahu bahwa cahaya ini tidak akan terlihat oleh mereka yang berkumpul di sekitar orang yang sedang sekarat, Lelaki tua yang berapiapi itu membaca dari Kitab Sukma tentang para perampok kuburan kuno yang menyaksikan di tempat mayatmayat yang tubuhnya dipenuhi lubang bekas mata tombak hanya ada pijaran api dan tengkoraktengkorak yang berisi leburan timah. Sang ilustrator yang mengagumkan ini mendengarkan dengan saksama kisahkisah tersebut dan melukiskanku sebagai sosok yang akan menakutkan siapa pun yang melihatnya. Kemudian, ia menyesali apa yang diperbuatnya. Bukan karena kengerian ditambahkannya dalam lukisannya itu, melainkan karena ia berani melukisnya. Sementara bagiku, aku merasa seperti seseorang yang disesali keberadaannya oleh ayah kandungnya sendiri, dan menganggap dirinya amat memalukan. Mengapa miniaturis berbakat itu menyesal telah membuat ilustrasi diriku? 1. Karena aku, lukisan kematian, tidak digambar dengan segenap kemampuannya. Seperti yang kaulihat, aku tidak sesempurna yang dilukiskan oleh para empu Venesia, atau para empu tua Herat. Aku juga merasa malu dengan keburukan rupaku, Empu hebat itu tidak melukiskanku dengan gaya yang cocok dengan martabat kematian. 2. Setelah diperdaya dengan licik oleh lelaki tua itu, empu ilustrator yang menggambarku menemukan dirinya tibatiba saja telah meniru metode dan perspektif para empu Frank. Hal ini amat mengganggu jiwanya, karena ia merasa telah bersikap tidak hormat dan untuk pertama kalinya merasa berbuat kurang ajar terhadap empu-empu zaman dulu. 3. Pasti terbersit dalam benaknya, sebagaimana yang dirasakan orangorang tolol yang merasa bosan padaku dan tersenyum: Kematian bukan untuk ditertawakan. Sang empu miniaturis yang telah menciptakanku dengan segudang rasa sesal kini berkeliaran tak tentu arah di jalanan setiap malam. Seperti para empu Cina, ia yakin akan menjadi sesuatu yang telah dilukisnya.[] Bab 25 PEREMPUANPEREMPUAN dari daerah Menara-merah dan Kucinghitam telah memesan kainkain perca ungu dan merah dari kota Bilejik. Maka, pagi-pagi sekali kantung barangku yang besar kuisi penuh dan kuikat menjadi sebuah bundelan. Aku mengeluarkan kain sutra Cina hijau yang baru datang dari jauh dibawa oleh saudagar Portugis, namun tak terjual, kugantikan dengan sutra berwarna biru yang lebih mencolok. Untuk memeriahkan butiran salju di musim dingin tak berujung ini, dengan cermat kulipat banyak sekali kaus kaki berwarnawarni, selendang selendang tebal dan rompi berat yang semuanya terbuat dari kain wol. Aku mengepak mereka di tengahtengah buntalan. Ketika kubentangkan selimutku nanti, sebundel warna akan merekah bagai bunga warnawarni, membuat hati perempuan paling tak peduli sekalipun menjadi berbunga-bunga. Kemudian, aku mengepak beberapa bahan yang agak ringan, tetapi mahal; saputangan-saputangan sutra, dompet dan kain mandi berbordir, khusus bagi para perempuan yang memanggilku bukan untuk membeli pakaian, melainkan untuk bergunjing. Aku mengangkat semua barang bawaanku tersebut. Ya, Tuhan, semua ini terlalu berat untuk kupanggul, barangbarang ini bias mematahkan tulang punggungku. aku adalah esther Aku menurunkannya lagi dan membukanya. Saat aku memandangi isinya, dan berusaha memilih-milih mana yang bisa kutinggalkan, aku mendengarkan ketukan di pintu.
Nesim membukanya dan memanggilku. Ternyata itu adalah Hayriye si perempuan gundik yang merona dan tersipu. Dia menggenggam surat di tangannya. “Shekure yang mengirimkannya,” desisnya. Budak ini begitu salah tingkah, sehingga kau akan berpikir bahwa dialah yang sedang jatuh cinta dan ingin segera menikah. Dengan sangat serius, kusambar surat itu dari tangannya. Aku memperingatkan si tolol itu untuk pulang ke rumah tanpa diketahui oleh siapa pun, dan dia pun berlalu. Nesim menyorotkan pandangan bertanya ke arahku. Aku mengambil buntalan terbesar yang menjadi buntalan samaran, tetapi juga teringan, ini adalah buntalan yang biasa kubawa saat aku mengirimkan suratsurat. “Shekure, anak perempuan Tuan Enishte, sedang terbakar api asmara,” ujarku. “Gadis malang itu telah menjernihkan pikirannya.” Aku terkekeh dan berjalan keluar, tetapi kemudian aku terhenyak oleh perasaan malu. Jika kebenaran harus diungkapkan, aku ingin sekali mencucurkan air mata untuk kepedihan Shekure, daripada memuluskan jalan kasihnya. Betapa cantiknya perempuan itu, gadisku yang bermata gelap dan muram! Aku tidak pemukiman dinginnya buta yang
pernah berjalan secepat ini melewati rumahrumah bobrok di daerah Yahudi kami yang tampak lebih sunyi dan lebih menyedihkan ditelan pagi. Beberapa lama kemudian, ketika aku menangkap bayangan pengemis selalu mangkal
di sudut jalan rumah Hasan, aku berteriak sekencangkencangnya, “Pakaian!” “Nenek sihir gendut,” ujarnya. “Andai kau tidak berteriak sekalipun, aku tetap akan mengetahui kedatanganmu dari langkah-langkah kakimu.” “Kau si buta tak berguna,” sahutku. “Kau orang Tatar sial! Orangorang buta sepertimu akan dicambuk atas izin Allah. Semoga Allah memberimu hukuman yang setimpal.” Di masa lalu, pembicaraan seperti itu tak akan membuatku berang. Aku tidak akan menganggap serius hal-hal seperti itu. Ayah Hasan membuka pintu. Ia adalah seorang Abkhazia, seorang lelaki terhormat dan santun. “Mari kita lihat, apakah yang kaubawa kali ini?” tanyanya. “Apakah anak laki-lakimu yang malas itu masih terlelap?” “Bagaimana mungkin ia bisa terlelap? Ia sedang menunggu, menantikan kabar darimu.” Rumah ini begitu gelap, sehingga setiap kali aku datang, aku merasa seakanakan sedang memasuki sebuah liang kubur. Shekure tidak pernah bertanya apa saja yang mereka kerjakan, tetapi aku selalu menjelaskan secara rinci tentang tempat tersebut agar dia tidak terpikir untuk kembali ke ruang bawah tanah ini. Sulit sekali membayangkan Shekure yang jelita pernah menjadi nyonya di rumah ini dan tinggal di sini bersama putraputranya yang nakal itu. Di dalam rumah tercium aroma tidur dan kematian. Aku masuk ke ruangan sebelah, melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan yang pekat. Kau tidak bisa melihat tanganmu sendiri di depan wajahmu. Aku bahkan tidak mendapat kesempatan untuk memberikan surat itu langsung pada Hasan. Ia muncul dari balik kegelapan dan menyambar surat itu dari tanganku. Seperti yang selalu kulakukan, aku meninggalkannya sendirian untuk membaca surat itu dan memuaskan keingintahuannya. Tak lama kemudian ia mengangkat kepalanya dari halaman surat
itu. “Tidak adakah hal lainnya?” desaknya. Ia tahu tak ada kabar lain lagi. “Ini sebuah pesan singkat,” ujarnya dan membacanya: Hitam Effendi, kau sudah mengunjungi rumah kami, dan menghabiskan waktu berharihari di sini. Namun, kudengar kau masih juga belum menulis sebaris kalimat pun untuk buku ayahku. Jangan berharap banyak tanpa menuntaskan terlebih dahulu manuskrip itu. Dengan surat di tangan, ia menatap dengan sorot mata menuduh ke dalam mataku, seakanakan semua itu adalah kesalahanku. Aku tidak menyukai keheningan seperti ini di dalam rumah ini. “Tidak ada lagi katakata yang menyatakan bahwa ia sudah menikah dan suaminya akan kembali dari medan perang,” serunya. “Mengapa?” “Bagaimana aku tahu?” balasku. “Bukan aku yang menulis surat itu.” “Kadangkadang aku malah mempertanyakan hal itu,” tuduhnya sambil menyerahkan kembali surat tersebut dengan lima belas keping uang perak. “Sebagian orang menjadi semakin pelit kala mereka mendapat lebih banyak. Kau tidak seperti itu,” ucapku. Ada satu sisi yang menawan dalam diri lakilaki ini, sehingga di luar semua sisi gelap dan sifat jahatnya, orang bias melihat mengapa Shekure masih saja bersedia menerima suratsuratnya. “Apa isi buku ayah Shekure itu?” “Kautahu, mereka bilang Sultan mendanai keseluruhan proyek itu.” “Para miniaturis saling bunuh garagara lukisanlukisan dalam buku itu,” ungkapnya. “Apakah hal itu terjadi karena uang, atau karena buku itu melecehkan agama kita? Mereka bilang, sekali saja melihat isi halaman-halamannya, sudah cukup untuk membuat kita buta.” Ia mengatakan semuanya dengan tersenyum, seolaholah ia tahu bahwa aku tidak akan menganggap serius perkataannya. Bahkan, andai itu adalah masalah yang harus dimasukkan ke dalam hati, menurutnya aku tak akan menganggap serius masalah itu. Seperti sebagian besar lakilaki yang mengandalkan jasaku sebagai pengirim surat dan perantara, Hasan akan menyerangku secara lisan ketika harga dirinya terluka. Sementara aku, sebagai bagian dari pekerjaanku, akan berpurapura amat tersinggung untuk menyenangkannya. Para gadis, sebaliknya, mereka akan memelukku dan menangis tersedu-sedu ketika perasaan mereka terluka. “Kau seorang perempuan pintar,” puji Hasan untuk menenteramkan harga diriku yang menurutnya sudah ia lukai. “Kirimkan ini secepat mungkin. Aku ingin tahu jawaban si bodoh itu.” Sejenak aku merasa ingin berkata, “Hitam bukan orang bodoh.” Dalam situasi seperti itu, membuat sepasang orang yang bersaing saling cemburu akan menghasilkan lebih banyak uang bagi Esther si mak comblang. Namun, aku takut ia akan meledak tibatiba, “Kaukenal pengemis Tatar di ujung jalan ini?” tanyaku. “Yang satu itu sangat kasar.” Untuk menghindari lakilaki buta itu, aku berjalan menyusuri jalan lain, dan karenanya aku jadi melewati Pasar Ayam lebih pagi. Mengapa orangorang muslim
tidak makan kepala dan kaki ayam? Karena kepala dan kaki ayam itu menjijikkan! Nenekku, semoga beliau beristirahat dalam damai di alam baka, menceritakan padaku betapa kaki ayam amat murah harganya ketika keluarganya tiba di sini dari Portugal, sehingga dia akan merebusnya untuk dimakan. Di Kemeraralik, aku melihat seorang perempuan berkuda dengan budaknya, duduk tegak di atas punggung kuda seperti seorang lakilaki. Dia tampak sangat sombong, mungkin dia adalah istri seorang pasha yang kaya raya atau anak perempuannya. Aku menghela napas. Andai ayah Shekure tidak terlalu mencurahkan hidupnya sepenuhnya pada buku, andai suami Shekure telah kembali dari perang Safawiyah dengan semua harta rampasan perangnya, Shekure mungkin akan hidup seperti perempuan sombong ini. Lebih dari siapa pun, Shekure pantas mendapatkannya. Saat aku kembali ke jalan menuju rumah Hitam, jantungku berdegup kencang. Apakah aku menginginkan Shekure menikahi lakilaki ini? Aku sudah berhasil menjaga hubungan Shekure dengan Hasan, sekaligus membuat mereka berdua tetap terpisah. Namun, bagaimana dengan si Hitam ini? Ia seakanakan menjejakkan kedua kakinya di atas bumi ini dalam segala hal, kecuali mengenai cintanya pada Shekure, “Pakaian!” Tidak ada yang ingin kugadaikan demi kesenangan mengirimkan surat pada pasangan-pasangan kekasih yang dibingungkan oleh kesunyian hatinya, atau karena tidak adanya suami atau istri. Bahkan jika mereka sudah yakin akan mendapatkan kabar yang paling buruk sekalipun, ketika mereka baru akan membaca surat tersebut, sebuah getaran penuh harap mendera mereka. Tanpa kuceritakan apa pun tentang kembalinya suaminya, dengan mengikatnya dengan peringatan “Jangan berharap terlalu banyak” saja, Shekure tentu sudah memberi Hitam lebih dari sekadar alasan untuk berharap. Dengan suka hati, aku memandangi Hitam membaca surat itu. Ia begitu berbahagia hingga ia terguncang, bahkan ketakutan. Saat ia menulis surat balasan, sebagai seorang penjaja pakaian yang peka, aku membuka buntalan barang dagangan “samaran”-ku dan dari dalamnya aku mengambil sebuah dompet berwarna gelap yang akan kutawarkan pada nyonya pemilik rumah Hitam yang selalu ingin tahu urusan orang itu. “Dompet ini terbuat dari beludru Persia terbaik,” bujukku. “Putraku meninggal dunia di medan perang di Persia,” sahutnya. “Surat siapa yang kaukirimkan pada Hitam?” Aku bisa membaca dari wajahnya bahwa dia sedang berencana menjodohkan anak perempuannya sendiri yang kurus kering itu, atau entah anak perempuan siapa, dengan si Hitam berhati singa ini. “Bukan dari siapa-siapa,” jawabku. “Salah seorang kerabatnya yang miskin sedang sekarat di rumah sakit Bayrampasha dan membutuhkan uang.” “Ya, ampun,” serunya tak teryakinkan, “siapakah lakilaki malang itu?” “Bagaimana putramu tewas di medan peperangan?“tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya. Kami mulai bertukar pandangan sinis. Dia seorang janda dan sendirian, Hidupnya pasti sangat sulit. Jika kau pernah menjadi seorang penjaja pakaian dan pengirim pesan seperti Esther, kau akan tahu bahwa hanya kekayaan, kekuasaan, dan kisah cinta legendaris yang memancing keingintahuan orang. Hal-hal lainnya hanyalah kecemasan, perpisahan, kecemburuan, kesendirian, kekejaman, curahan air mata, gunjingan, dan kemiskinan tiada akhir. Beberapa hal tidak pernah berubah, seperti perabotan yang menghiasi sebuah rumah: sehelai permadani tua yang sudah memudar, seperangkat mangkuk sup, dan sebuah panci tembaga kecil yang diletakkan di atas sehelai kain untuk memanggang yang kosong, penjepit dan sebuah kotak abu yang disimpan di samping tungku, dua buah peti lapuksatu kecil, satu besardan sebuah gantungan turban bisa terus menjaga kehidupan sunyi seorang
janda, dan sebilah pedang tua untuk menakut-nakuti pencuri. Hitam segera kembali dengan dompet uangnya. “Perempuan penjaja pakaian,” ujarnya dengan suara nyaring agar didengar si nyonya rumah yang suka ikut campur itu, “ambil ini dan bawalah kepada pasien kita yang menderita itu. Jika ia sudah mempunyai balasannya untukku, aku akan menantikannya. Kau bisa menemuiku di rumah Tuan Enishte, tempat aku akan menghabiskan waktu sepanjang hari.” Semua permainan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan. Tak ada alasan bagi seorang lelaki tangguh seperti Hitam menyembunyikan siasat asmaranya, isyarat yang diterimanya, atau saputangan dan surat yang dikirimkannya untuk mengejar seorang perempuan. Atau sesungguhnya ia mengincar anak perempuan si nyonya rumah? Kadang kala, aku benarbenar tidak memercayai Hitam dan merasa takut ia sedang memperdaya Shekure. Bagaimana mungkin, meski ia menghabiskan waktu sepanjang hari dengan Shekure di rumah yang sama, ia tidak mampu memberikan tanda apa pun pada perempuan itu? Begitu aku sudah berada di luar, aku membuka dompet itu. Isinya dua belas keping perak dan sepucuk surat. Aku sangat penasaran mengenai isi surat itu, sehingga aku nyaris berlari ke rumah Hasan. Para penjual sayuran telah memajang kubis, wortel, dan semua jenis sayuran di depan kedaikedai mereka. Namun, aku bahkan tidak terpikir untuk menyentuh daun-daun bawang gemuk yang ditawarkan padaku itu, sekadar untuk menyenangkan mereka sekalipun. Aku berbelok memasuki jalan samping dan melihat si Tatar buta itu ada di sana menunggu untuk bisa mencemoohku lagi. “Cuih,” aku meludah ke arahnya. Hanya itu yang kulakukan. Mengapa hawa dingin menusuk ini tidak membekukan gelandangan itu sampai mati? Ketika Hasan membaca surat itu dengan berdiam diri, aku tidak mampu mengendalikan kesabaranku. Akhirnya, karena tak tahan, tibatiba saja aku berkata “Ya?” dan ia pun mulai membaca dengan suara keras: Shekureku tersayang, kau ingin aku menyelesaikan buku ayahmu. Kau bias memastikan aku tidak memiliki tujuan lain lagi. Aku mendatangi rumahmu untuk alasan ini, bukan untuk mengganggumu seperti yang semula kauduga. Aku cukup mengerti bahwa rasa cintaku padamu adalah masalahku sendiri. Meski demikian, karena cintaku ini, aku tidak cukup mampu mengangkat penaku dan menuliskan apa yang ayahmupamanku tersayangminta padaku untuk bukunya. Setiap kali kurasakan keberadaanmu di rumah itu, aku melayang dan tak mampu memusatkan perhatian pada ayahmu. Aku terbuai memikirkannya, dan untuk itu hanya ada satu alasan: Setelah dua belas tahun, aku hanya sempat sekali saja melihat wajahmu, saat kau memperlihatkan dirimu di jendela itu. Kini, aku merasa takut kehilangan pemandangan itu. Andai aku bisa sekali lagi saja melihat wajahmu dari dekat, aku tidak akan lagi merasa takut kehilangan dirimu, dan aku bisa dengan mudah menyelesaikan buku ayahmu. Kemarin, Shevket membawaku ke sebuah rumah kosong milik keluarga Yahudi yang dihukum gantung. Tak ada seorang pun yang melihat kami di sana. Hari ini, kapan pun kau punya waktu, aku akan pergi ke tempat itu dan menunggumu. Kemarin, Shevket menceritakan padaku bahwa kau bermimpi suamimu telah meninggal dunia. Hasan membaca surat itu dengan nada mencemooh, pada beberapa kalimat ia meninggikan suaranya yang sudah dalam nada tinggi seperti suara seorang perempuan, dan beberapa kali suaranya bergetar bagai seorang kekasih yang frustasi dan hilang akal. Ia merendahkan apa yang ditulis Hitam sebagai keinginannya “untuk melihatmu sekali lagi saja” dalam bahasa Persia. Ia menambahkan, “Begitu Hitam melihat Shekure memberinya harapan, ia akan segera membuat penawaran. Siasat semacam itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang kekasih sejati.” “Ia sungguhsungguh kasmaran pada Shekure,” tukasku dengan naif.
“Komentar itu membuktikan bahwa kau berada di pihak Hitam,” sahutnya. “Jika Shekure menulis dia bermimpi kakakku sudah mati, artinya dia menerima kematian suaminya.” “Tapi itu hanya mimpi,” sahutku seperti orang tolol. “Aku tahu sepandai dan secerdik apa Shevket. Kami pernah tinggal bersama selama bertahuntahun! Tanpa izin dan dukungan ibunya, ia tidak akan pernah membawa Hitam ke rumah Yahudi yang digantung itu. Jika Shekure berpikir bahwa dia sudah selesai dengan kakakkudengan kamidia sungguh keliru! Kakakku masih hidup dan ia akan kembali dari medan perang.” Sebelum ia sempat membuat kesimpulan, ia masuk ke kamar sebelah, di mana ia bermaksud untuk menyalakan sebatang lilin, tetapi malah membakar tangannya sendiri. Ia melolong kesakitan. Lalu sambil menjilati bagian tangannya yang terbakar, ia berhasil juga menyalakan sebatang lilin dan meletakkannya di samping sebuah meja kerja lipat. Ia mengeluarkan pena buluh dari wadahnya, membenamkannya ke dalam wadah tinta, dan dengan marah mulai menuliskan sesuatu di atas secarik kertas kecil. Aku merasa ia senang melihatku mengamatinya menulis, dan untuk menunjukkan bahwa aku tidak takut, aku tersenyum lebar. “Kau pasti tahu, siapa Yahudi yang digantung ini?” tanyanya. “Di seberang komplek perumahan ini ada sebuah bangunan bercat kuning. Orang bilang namanya Moshe Hamon, dokter kesayangan Sultan yang terdahulu, dan juga dokter bagi orangorang kaya. Selama bertahuntahun ia menyembunyikan istri simpanannnya dari Amasya yang orang Yahudi, beserta adik lelakinya. Bertahun tahun yang lalu di Amasya, di malam Passover*, ?Hati raya kaum Yahudi yang berlangsung tujuh hari tujuh malam, dimulai pada hari ke-14 bulan Nisan (bulan ketujuh dalam kalender bangsa Yahudi, disebut juga ketika seorang pemuda Yunani dinyatakan ‘hilang’ di perkampungan Yahudi, orang lantas menuduh pemuda itu telah dicekik agar roti tanpa ragi bisa dibuat dari darahnya. Saat para saksi palsu dihadapkan, hukuman mati terhadap kaum Yahudi dimulai. Namun, dokter kesayangan Sultan membantu menyelamatkan perempuan Yahudi cantik itu dan adiknya, lalu menyembunyikan mereka atas seizin Sultan. Setelah Sultan wafat, musuhmusuh Sultan tidak bisa menemukan si perempuan cantik, tetapi mereka berhasil menggantung adiknya yang ternyata tinggal di tempat itu sendirian.” “Jika Shekure tidak menunggu kakakku kembali dari medan perang, mereka akan menghukumnya,” tegas Hasan, sambil menyerahkan surat itu padaku. Tidak ada kemarahan atau kekesalan yang tampak di wajahnya, hanya gurat kesialan dan kepedihan yang muncul dari cinta yang terluka. Tibatiba saja aku melihat di matanya betapa cinta telah membuatnya cepat menua. Uang yang dihasilkannya dengan bekerja di bea cukai sama sekali tidak mempertahankan kemudaannya. Setelah melihat seringai jahat dan ancamannya, mulai terbersit dalam diriku bahwa ia mungkin akan bertanya lagi padaku bagaimana cara memenangkan hati Shekure. Namun, ia telah makin dekat pada kejahatan, hingga ia tidak lagi bertanya. Begitu seseorang menerima kehadiran iblis dalam dirinya dan cinta yang ditolak adalah alasan utama untuk melakukannya kekejian akan menyeruak begitu saja. Aku jadi takut dengan semua pikiranpikiranku dan bayangan pedang merah mengerikan yang dibicarakan oleh anakanak lelaki itu yang akan melukai siapa pun yang menyentuhnya. Aku ingin segera bulan Aviv^ untuk memperingati eksodus orangorang Yahudi dari penahanan mereka di Mesir pada zaman Nabi Musa meninggalkan tempat itu. Dengan pikiran yang nyaris gila, aku tergopoh-gopoh keluar.
Aku menjadi korban tak berdosa kutukan si pengemis Tatar itu. Namun, aku segera memulihkan diriku sendiri. Perlahanlahan aku menjatuhkan sebongkah batu kecil yang kuambil dari tanah ke saputangan pengemis itu, dan berkata, “Untukmu, Tatar buduk.” Tanpa tertawa, aku melihat tangannya menggapai penuh harap ke arah batu yang ia kira kepingan uang. Lalu dengan mengabaikan sumpah serapahnya, aku melangkah mantap menuju “anak perempuan”-ku yang akan kunikahkan dengan seorang suami yang baik. “Putriku” yang manis itu menyajikan sepotong kue bayam yang sebetulnya merupakan sisa-sisa, tetapi masih terasa renyah. Untuk makan siang dia menyiapkan daging domba rebus campur saus dan telur cacah, dibumbui prem masam, seperti yang kusuka. Agar tidak mengecewakannya, aku menyantap dua sendok besar hidangan itu dengan roti segar. Dia juga membuatkan campuran lezat manisan anggur. Tanpa ragu lagi, aku meminta sesendok makan penuh selai kelopak mawar yang kemudian kuaduk rata di dalam manisan anggur, sebelum kububuhkan di atas makananku. Setelah itu, aku pergi untuk mengantarkan surat kepada Shekureku yang murung. [] Bab 26 – AKU, SHEKURE i AKU TEMGAH melipat dan menaruh pakaian yang ; sudah dicuci dan digantung sampai kering kemarin, ketika Hayriye berseru bahwa Esther I datang … atau, inilah yang ingin kuceritakan padamu. Namun, mengapa aku harus berdusta? Baiklah, sesungguhnya ketika Esther datang, aku sedang mengintip ayahku dan Hitam lewat lubang di lemari. Dengan penasaran aku menunggu surat dari Hasan dan Hitam, oleh karena itu benakku memang selalu memikirkan Esther. Saat kusadari bahwa ketakutan ayahku terhadap kematian itu cukup beralasan, aku juga tahu bahwa ketertarikan Hitam padaku tidak selamanya. Ia kasmaran sepanjang ia menginginkan pernikahan, dan karena ia ingin menikah, dengan mudah ia jatuh cinta. Andai bukan terhadapku, ia tetap akan mencintai perempuan lain. Andai bukan aku, ia akan menikahi perempuan lainnya, dan berupaya jatuh cinta pada perempuan tersebut. Di dapur, Hayriye mendudukan Esther di salah satu sudut dan memberikannya segelas air mawar dingin, sambil menyorotkan pandangan bersalah ke arahku. Kusadari, sejak Hayriye menjadi gundik ayahku, dia mungkin telah melaporkan pada ayah semua yang tela dilihatnya. Aku takut hal ini akan menjadi masalah. “Gadisku yang bermata hitam, si jelita yang bernasib buruk, yang paling cantik di antara yang cantik, aku terlambat karena Nesim, suamiku yang babi itu menyibukkanku dengan segala macam hal tak berguna,” celoteh Esther. “Kau tidak memiliki seorang suami yang mempersulit hidupmu, dan kuharap kau menyadari nilainya.” Dia mengeluarkan suratsurat itu. Aku menyambarnya dengan cepat dari tangannya. Hayriye mundur ke salah satu sudut dapur, tempat dia tidak akan mengganggu kami, tetapi masih bias mendengar semua yang kami bicarakan. Agar Esther tidak bias melihat ekspresi wajahku, aku memunggunginya, dan membaca surat Hitam terlebih dahulu. Saat aku memikirkan rumah Yahudi yang digantung itu, sejenak aku menggigil. “Jangan takut, Shekure, kau bisa mengendalikan situasinya,” kukatakan itu pada diriku sendiri, dan mulai membaca surat Hasan. Tampaknya ia sedang murka saat menuliskannya: Shekure, aku terbakar gairah, meski kutahu kau sama sekali tidak memikirkannya. Dalam mimpiku, aku melihat diriku mengejarmu melintasi padang pasir hingga ke puncakpuncak bukit. Setiap kali kau membiarkan salah satu suratkuyang kutahu sudah kaubacatanpa membalasnya, sebatang anak panah menembus jantungku. Aku menuliskan ini dengan harapan kali ini kau akan membalasnya. Katakata sudah
terucap, semua orang membicarakannya, bahkan anakanakmu mengatakannya: kau sudah memimpi kan suamimu tewas, dan kini kau menyatakan dirimu bebas tak terikat. Tak bias kukatakan apakah itu benar atau salah. Yang kutahu kau masih menikah dengan kakakku, dan terikat dengan keluarga ini. Kini ayahku memihakku dan kami berdua akan menghadap hakim untuk mengembalikanmu ke rumah ini. Kami akan datang dengan sekelompok orang yang kami kumpulkan untuk memperingatkan ayahmu. Siapkan barang-barangmu, kau akan pulang kembali ke rumah ini. Kirimkan balasanmu lewat Esther secepat mungkin. Usai membaca surat itu untuk kedua kalinya, aku menguatkan diri dan memandangi Esther dengan sorot mata bertanyatanya, tetapi dia tidak memberitahukan hal-hal baru tentang Hasan atau Hitam padaku. Aku mengeluarkan pena buluh yang kusembunyikan di sebuah sudut dapur, meletakkan selembar kertas di atas papan alas untuk membuat roti, dan bersiap menuliskan sepucuk surat untuk Hitam, saat kemudian aku terpaku. Sesuatu terbersit dalam benakku. Aku menoleh ke arah Esther; Dia sedang asyik menikmati air mawar dingin dengan keriangan seorang anak kecil, hingga tampak menggelikan bagiku bahwa dia bisa saja menyadari apa yang sedang berkecamuk dalam benakku. “Lihatlah betapa cantiknya kala kau tersenyum, sayang,” ujarnya. “Jangan cemas, pada akhirnya semuanya akan baikbaik saja. Istanbul penuh sesak oleh lakilaki kaya dan para pasha yang rela menyerahkan jiwa mereka untuk bisa menikah dengan seorang perempuan cantik yang memiliki begitu banyak bakat seperti dirimu.” Kau mengerti apa yang sedang kubicarakan: Kadang kala kau hendak mengatakan sesuatu yang kauyakini, tetapi kemudian kau mempertanyakannya kembali sebelum katakata itu tuntas terucap dari mulutmu, “Mengapa aku mengatakannya dengan setengah hati, meskipun sudah kupastikan berulangulang?” Itulah yang terjadi ketika aku mengatakan hal berikut ini, “Tapi Esther, demi Tuhan, siapa yang mau menikahi seorang janda beranak dua?” “Seorang janda sepertimu? Banyak sekali, ada serombongan lelaki yang mau,” sahutnya, sambil menerjemahkan kalimatnya dengan gerakan tangan. Aku menatap ke dalam bola matanya, memikirkan bahwa aku tidak menyukainya. Aku merasa membeku, karena dia tahu aku tak akan memberikan padanya sepucuk surat, dan bahkan akan lebih baik kalau dia pergi saja. Setelah Esther pergi, aku mengurung diri di sudut pribadiku di rumah itu, meski aku merasakan kesunyianbagaimana aku mengatakannyadalam jiwaku. Sambil bersandar ke dinding selama beberapa waktu, aku berdiri diam ditelan kegelapan. Aku merenungi apa yang harus kulakukan, memikirkan rasa takut yang semakin besar menjalari tubuhku, Sementara itu, aku bisa mendengar Shevket dan Orhan sedang saling berceloteh di lantai atas. “Kau lemah seperti anak perempuan,“ujar Shevket. “Kau hanya bisa menyerang dari belakang.” “Gigiku copot,” seru Orhan. Pada saat yang sama, bagian lain pikiranku sedang memusatkan diri pada apa yang terjadi antara ayahku dan Hitam. Pintu biru bengkel kerja terbuka, dan aku bisa dengan mudah mendengarkan pembicaraan mereka. Ayahku berkata, “Setelah melihat lukisan potret karya para empu Venesia, kita menyadari dengan sejuta ketakutan bahwa, dalam lukisan, mata tidak bias lagi menjadi sebentuk lubang di wajah yang selalu sama, melainkan harus menyerupai mata kita sendiri yang memantulkan cahaya bagai sebuah cermin dan menyerap sinar bagai sebuah sumur. Bibir tidak bisa lagi hanya berupa celah di tengah wajah dan datar seperti kertas, melainkan
harus terlihat padat berisi ekspresimasingmasing dengan bayangan merah yang berbedayang sepenuhnya menggambarkan kegembiraan, kesedihan, dan semangat kita, lewat gerakan paling samar otot yang tegang atau santai. Hidung kita tidak bisa lagi hanya berupa dinding yang membelah wajah, melainkan harus hidup dan menjadi bagian tubuh yang menunjukkan keingintahuan, dengan bentuk masingmasing yang unik.” Apakah Hitam terkejut seperti aku, saat ayahku menyebut orangorang kafir yang telah dilukis wajahnya itu sebagai “kita”? Saat aku melihat ke dalam lubang tempat aku mengintip, aku menemukan wajah Hitam menjadi sangat pucat, hingga beberapa saat aku merasa cemas. Kekasihku yang berkulit gelap, pahlawanku yang sedang gundah, apakah kau mampu terlelap memikirkanku sepanjang malam? Itukah sebabnya rona menghilang dari wajahmu? Mungkin kau tak tahu bahwa Hitam adalah seorang lelaki tampan yang tinggi dan ramping, Ia memiliki jidat yang lebar, sepasang mata berbentuk buah badam, serta batang hidung yang kuat, lurus dan bagus. Seperti saat masih kanakkanak, tangannya panjang dan kurus, dan jemarinya lincah. Tubuhnya ramping tapi liat, dengan sepasang bahu yang lebar, meski tidak selebar para pengangkut air. Ketika ia masih remaja, tubuh dan wajahnya masih belum terbentuk. Dua belas tahun kemudian, ketika untuk pertama kalinya aku melihat lagi sosoknya yang berkulit gelap, aku langsung melihat betapa ia telah mencapai kesempurnaan. Kini, saat aku memicingkan mataku ke lubang intip di lemari dinding itu, aku melihat wajahnya membiaskan kecemasan yang sedang menderanya. Aku merasa bersalah sekaligus bangga, karena ia menderita akibat memikirkanku. Hitam menyimak apa yang dikatakan ayahku, sambil menatap ilustrasiilustrasi yang dibuat untuk buku itu dengan pandangan polos bagaikan seorang anak kecil. Barulah kemudian, ketika aku melihat ia akan membuka mulutnya yang merah jambu seperti anak kecil, tak kuduga aku merasa seperti ingin menyumpalkan payudaraku ke dalam mulutnya. Dengan jemariku merayap di belakang lehernya, bermainmain dengan rambutnya, Hitam akan meletakkan kepalanya di antara sepasang buah dadaku. Seperti yang pernah dilakukan anakanakku, ia akan membeliakkan bola matanya ke atas karena rasa nikmat saat ia mengisap putting susuku: Setelah memahami bahwa hanya lewat kasih sayangku saja ia akan menemukan kedamaian, ia akan sepenuhnya terikat padaku. Aku bernapas terengahengah dan membayangkan Hitam terpukau melihat ukuran payudaraku yang besar dengan takjub dan penuh gairahdaripada mempelajari lukisan Iblis yang saat itu sedang ditunjukkan oleh ayahku padanya. Bukan hanya payudaraku, seakan akan mabuk ia juga akan memandangi rambutku, leherku, dan sekujur tubuhku. Ia begitu tertarik padaku, hingga ia akan merayuku, sesuatu yang tak bisa dilakukannya saat masih seorang pemuda. Dari pandangan matanya, aku menyadari betapa ia mengagumi sikap angkuhku, perilakuku, carak membawa diri, kesabaran dan ketegaranku dalam menanti suamiku, dan keindahan surat yang kutulis untuknya. Aku merasa marah pada ayahku yang telah merancang segalanya sedemikian rupa sehingga aku tidak bisa menikah lagi. Aku juga merasa muak dengan semua ilustrasi yang ditiru para miniaturis suruhannya dari karya empu-empu Frank, dan aku sebal dengan kenangan kenangannya tentang Venesia. Saat aku mengatupkan kelopak mataku lagiAllah, ini bukan keinginanku sendiri terbayang olehku Hitam telah mendekatiku dengan sedemikian indah, hingga di tengah kegelapan aku bias merasakannya di sampingku. Tibatiba saja, aku merasa ia mendatangiku dari arah belakang. Ia menciumi belakang leherku, bagian belakang telingaku, dan bias kurasakan betapa kuatnya ia. Ia begitu kokoh, besar dan keras, dan aku bisa bersandar di tubuhnya. Aku merasa begitu aman. Tengkukku meremang, putingputing payudaraku menegang. Sepertinya di tengah kegelapan itu, dengan kedua mata terkatup, aku bias merasakan organ tubuhnya yang membesar di belakangku, menempel ke tubuhku. Kepalaku berputar. Posisi apa yang disukai
Hitam? Aku bertanyatanya. Sesekali dalam mimpiku, suamiku dengan penderitaannya menunjukkan zakarnya padaku. Aku sadar bahwa suamiku sedang berjuang mempertahankan setiap tetes darah di tubuhnya yang telah ditembus tombak dan dipenuhi anakanak panah pasukan Persia, mencoba berjalan tegak mendekatiku. Namun sialnya, ada sebuah sungai di antara kami. Saat ia memanggilmanggilku dari seberang sungai dengan berlumuran darah dan tampak amat kesakitan, kuperhatikan bahwa ia mengalami ereksi. Jika benar yang dikatakan oleh pengantin Georgia di pemandian umum dan celoteh perempuanperempuan tua yang binal itu, “Ya, benda itu bisa membesar sampai sebesar itu,” maka kelamin suamiku tidak terlalu besar. Jika milik Hitam lebih besar, jika benda besar yang kusaksikan di balik sabuknya ketika ia meraih kertas kosong yang kukirimkan lewat Shevket kemarin itu memang benarbenar batang zakarnyadan sepertinya memang demikianaku takut nanti akan merasa kesakitan, bila benda itu masuk ke kelaminku. “Ibu, Shevket mengejekku,” Aku meninggalkan sudut gelap di lemari dinding itu dan diamdiam melintas masuk ke ruangan di seberang lorong tempat aku mengambil sebuah rompi katun merah dari peti dan mengenakannya. Mereka membentangkan kasur alas tidurku dan terus berteriak-teriak sambil bermainmain di atasnya. “Bukankah sudah Ibu peringatkan, setiap kali Hitam dating berkunjung, kalian tidak boleh saling berteriak?” “Mengapa Ibu mengenakan rompi merah itu?” tanya Shevket. “Tapi Ibu, Shevket tadi mengejekku,” seru Orhan. “Bukankah Ibu sudah memberitahumu agar jangan mengejek adikmu? Dan untuk apa benda ini ada di sini?” di pinggir ruangan tampak sepotong kulit binatang, “Itu bangkai,” sahut Orhan, “Shevket menemukannya di jalanan.” “Cepat ambil dan lemparkan kembali ke tempat kau menemukannya, sekarang!” “Biar Shevket saja yang melakukannya.” “Ibu bilang sekarang!” Seperti yang biasa kulakukan sebelum memukul pantat mereka, aku menggigit bibir bawahku menahan marah. Begitu melihat betapa seriusnya aku, mereka segera berlari ketakutan. Kuharap mereka segera kembali agar tidak terserang demam. Di antara semua miniaturis, aku paling menyukai Hitam. Ia menyukaiku lebih dari yang lainnya, dan aku mengerti isi kalbunya. Aku mengambil sebatang pena dan sehelai kertas. Begitu aku duduk, tanpa berpikir panjang aku menuliskan kalimat berikut ini: Baiklah kalau begitu, sebelum Azan isya berkumandang, aku akan menemuimu di rumah orang Yahudi yang digantung itu. Rampungkan buku ayahku secepat mungkin. Aku tidak membalas surat Hasan. Bahkan jika ia memang sungguhsungguh akan pergi ke pengadilan hari ini, aku tidak percaya serombongan orang yang dikumpulkan olehnya dan ayahnya akan segera mengepung rumah ini. Jika ia memang benarbenar hendak melakukan tindakan seperti itu