rip suara Ayah dan aku bertanya-tanya apakah ini terasa aneh baginya. Aku bertanya-tanya bagaimana jika suaraku ditekan lebih dalam lagi. Saat ayahku berbicara dan aku berbicara, kami akan terdengar seperti orang yang sama. "Ya, kau dapat terkenal," katanya datar. "Aku akan mendapat banyak uang dan kita pergi ke Air Terjun Niagara bersamasama," ucapku. "Ya." Ia belum menyantap sekeping biskuit pun. Maka aku memecahkan sekeping dan memberikan kepadanya. Ia mengunyah biskuit itu seakan terbuat dari kayu. Aku mencelupkan pecahannya ke dalam teh. Biskuit itu menjadi lembek dan ia mengunyahnya seakan tak memiliki gigi. Bibirnya membuka sedikit dan mengatup kembali disertai suara berdecap lembut. "Bagaimana caramu membuktikan bakat ini?" akhirnya ia bertanya, menunjukkan perhatiannya. "Mereka akan melakukan percobaan dan mengujiku." Ia tersenyum. "Kemudian mereka membayarmu berkeping-keping emas dan kita terbang ke Amerika dengan tiket kelas satu." "Kau tak memercayaiku bukan?" "Ini hal yang aneh. Sedikit sulit dipercaya begitu saja." Ia tidak yakin. Ia pikir aku ini konyol. Baik, kalau begitu, ini hanya masalah waktu. Ia akan melihatnya nanti. Aku tak akan hidup seperti ini. Mereka akan berubah pikiran. "Ayo makan," hanya itu yang ia ucapkan. Aku tidak suka bila orang bisa makan seakan sebelumnya tidak terjadi apa pun.
---oOo--Kami pergi ke dapur dan ia membuatkan keripik dan telur goreng serta untuk beberapa lama kami tak saling berbicara, tapi itu tidak penting. Ayahku tidak pulang dan ia tak mengatakan apa pun. Ia mengatakan kepadaku bahwa ia melakukan pekerjaan sukarela di Ballymun National School. Ia akan membantu mengantarkan susu dan membuat roti lapis selai. Aku menceritakan bahwa selai roti lapisnya hari ini terlalu kering dan ia setuju untuk menambahkan lebih banyak mentega. "Aku akan melambai saat melewati ruang kelasmu," katanya. "Dan aku akan balas melambai," sahutku. Kami kembali berhenti berbincang. Kami menyantap telur dan keripik seraya mendengarkan radio. Kemudian kami pergi ke ruang keluarga dan duduk bersama di bangku panjang. Ia merangkulkan lengannya di bahuku saat menyantap kue dan menonton film. Kemesraan ini terasa aneh dan seakan setiap bagiannya seperti cairan yang meleleh. Saat ia mengecup pipiku, aku meminta maaf tiga kali karena telah menyebutnya bodoh tiga kali. Ia mengatakan aku anak yang baik dan tak perlu khawatir.
"Aku hanya kesal," sahutku, "karena sekarang kita berada di bawah, sedangkan saat di Gorey kita masih di atas angin." Ia tertawa dan menutup wajahnya dengan tangan. Ini pertanda baik.
---oOo---
Kami menunggu Ayah pulang, tapi ia terlambat lagi, bekerja, dan pulang saat acara The Late Late Show hampir usai. Ia tersenyum saat melihat kami duduk bersama di bawah selimut di bangku panjang. Ia mengacak-acak rambutku. "Kau baik-baik saja?" ia bertanya. "Ya,” sahutku. "Mau secangkir teh?" ibuku bertanya. "Aku akan mengambilnya sendiri," sahutnya. "Lapar?" ibuku bertanya lagi. "Tidak, tadi aku makan roti lapis steik di kantin." Aku masuk ke kamarku dan mengambil panggung kotak apel baru dengan tirai yang dapat dibuka. Saat ayahku duduk di bangku panjang menikmati tehnya, aku berdiri di depannya. "Pa? Aku ingin memainkan sebuah pertunjukan boneka. Hanya lima menit." Ia tersenyum. Sedang merasa baik malam ini. "Baiklah, Nak. Kita lihat." "Kamu harus mematikan terlebih dulu televisinya." "Jangan mengatakan 'kamu'," sahut ayahku. "Itu kasar." Aku meletakkan panggungnya di meja kopi, menutupi kepalaku dengan kain hitam, dan membungkuk. "Selamat datang, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, di acara boneka istimewa kami. Berjudul "Boneka Filsuf Dunia". "Satu per satu Anda akan bertemu dengan empat filsuf terkenal yang menyamar dan Anda harus menebak siapa mereka. Jika tebakan Anda benar, Anda akan mendapat sepotong cokelat." Aku mulai memainkan boneka tangan, sebuah kaus kaki putih yang digambari wajah, dan mengenakan toga. Boneka kaus kaki itu berkata kepada boneka kaus kaki lainnya, "Kau bau. Kau mengganggu. Kau seorang idiot." Aku bertanya, "Dapatkah penonton yang terhormat menebak siapa filsuf ini?"
Ayahku tertawa dan berteriak, "Aku tahu! Aku mengenali wajah kaus kaki gendut itu!" Suaranya sangat keras seakan ia pikir aku tak dapat mendengarnya di bawah kerudung hitam ini, atau seakan boneka-bonekanya tak akan mengerti. "Dia Socrates!" teriaknya. "Aha," sahutku. "Kesimpulan yang pintar: Sock-ratease."
Aku memainkan tiga filsuf lainnya, termasuk Plato. Selembar karton sebesar ibu jari bermain sepak bola yang terbuat dari gulungan kapas berisi sebutir batu kecil. Ayahku dapat menebak dua dan ibuku menebak satu. Aku puas dan penasaran dengan filsuf terakhir yang telah kusiapkan. Aku mendapatkan namanya, seperti filsuf-filsuf sebelumnya, dari salah satu buku milik Pa. Filsuf terakhir yang menyamar adalah sebuah manusia Lego memegang sekop. Aku membuat si manusia Lego melakukan gerakan menggali setumpuk sedotan. "Siapa yang dapat menebak identitas filsuf terakhir ini?" aku bertanya. Tidak ada yang menjawab. "Anda memerlukan petunjuk?" aku bertanya. "Ia seorang penggali." Hening. "Ayolah, Tuan dan Nyonya!" seruku. "Dapatkah Anda mengenalinya? Pikirkan saja. Semua petunjuk ada di sini." "Kami menyerah," sahut ibuku. "Beritahu kami." "Tidak," sahutku, yang kegerahan dalam kerudung hitam. "Tidak terlalu sulit! Kalian hanya perlu berpikir. Berpikir lebih lama lagi. Berpikirlah!" Ayahku menyalakan televisi. "Jangan dulu," sergah ibuku. "Aku telah cukup berpikir malam ini," katanya. Aku keluar dari kerudung hitam. "Dia adalah Heidegger," sahutku seraya menendang kotak panggung ke seberang ruangan. "Hay digger." Ayahku melepaskan pandangan dari wajah Gay Byrne di televisi dan tersenyum ke arahku. "Pintar sekali," katanya. "Kau mendapat potongan cokelat yang terakhir." Aku masuk ke kamarku agar mereka tidak melihat wajah kecewaku.[]
28
Sepulang sekolah keesokan harinya, aku melihat geng di dasar tangga. Mereka bergerombol mengelilingi sebuah troli penuh barang belanjaan seseorang. Aku berbalik arah dan berjalan-jalan mengelilingi kompleks beberapa kali. Saat aku kembali mereka sudah pergi. Ibuku sedang duduk di ruang keluarga menambal kaus kaki. Ia mengenakan salah satu gaun terbaiknya. Gaun merah muda dan hitam yang ia kenakan saat menghadiri misa Minggu Paskah yang lalu. Ia terlihat cantik saat sedang menjahit dan mendengarkan radio. Aku menyapa dan langsung masuk ke kamarku. Aku berbaring dengan perut di bawah.
Aku harus memikirkan apa yang akan kulakukan untuk menghadapi geng. Waktu minum teh, Ibu masuk dan menanyakan kabarku. Aku mengatakan sedang memikirkan sesuatu yang kubaca di Guinness Book of Records. Ia mengikat rambutnya membentuk ekor kuda. "Waktunya minum teh." "Bolehkah aku tetap di kamar? Aku tidak lapar." "Jika itu maumu." Ia keluar dan aku menggaruk kepalaku di bagian yang selalu aku garuk. Tapi aku menggaruk terlalu keras lagi dan darah mengotori jemariku. Aku menyekakan darahnya ke celanaku. Kemudian melanjutkan berpikir dan menggaruk seraya memejamkan mata. Ibuku masuk kembali beberapa menit kemudian mengantarkan roti lapis ham dan duduk di ujung ranjangku. "Ini, kau harus memakan sesuatu." Aku menyambut piringnya dan memakan roti lapisnya. "Apa semua baik-baik saja?" "Semua baik-baik saja." Aku ingin bercerita tentang geng: tentang utangku memberikan bak cuci dan tentang cara aku menghindari mereka sepulang sekolah setiap malam. Ia berdiri di samping ranjang dan melihat ke atas kepalaku. "Kau berdarah!" "Aku tidak menyadarinya." "Aku akan memberi Dettol." Ia kembali membawa segumpal kapas dan duduk di sampingku di ranjang seraya mengusapkan Dettol ke lubang di tempurung kepalaku. "Apakah kau sedang dalam kesulitan?" ia bertanya. "Tidak, aku hanya sedang berpikir. Aku sedang banyak berpikir." "Kau tidak sedang berada di taman hiburan lagi kan? Taman hiburan yang dulu pernah kauceritakan?"
Setidaknya ia mengingat ceritaku. "Ya." Lalu, saat kami berbaring di ranjang, menatap langit-langit, kami berdua mendengar sebuah pesawat terbang menderu rendah, hendak mendarat di bandara Dublin. Erangan roda pendarat, rintihan lemah mesin. Aku beranjak ke jendela. "Aku dapat melihat ujung sayapnya," ujarku. "Sangat rendah." Aku sangat bersemangat saat mengatakan ini, bahkan meski aku sedang berbohong. Aku tak dapat melihat pesawatnya. Aku pembohong yang lebih lihai dibanding saat masih di Gorey. Tampaknya aku menjadi detektor kebohongan dan juga pembohong yang berbakat. Aku tak ingin berbaring di ranjang lagi, dan aku tak ingin menjadi penjahat ataupun orang licik. Tapi ini adalah sebuah tahap lanjut yang penting dalam keahlianku untuk dapat duduk di depan poligraf dan lolos uji.
Jelas ini adalah kombinasi bakat yang akan membawa lebih banyak kemasyhuran. Aku menatap langit, tidak ada apa pun selain awan kelabu. Dan aku berkata, "Aku dapat melihat pesawatnya, Mam!" Aku membayangkan berada dalam pesawat itu, santapan malam di pangkuanku dan selimut untuk menghangatkan tidur. Aku menceritakan kepada Ibu soal headphone, sandal, dan penutup mata yang diberikan kepada para penumpang kelas satu di pesawat. "Sepertinya kau tahu banyak tentang pesawat bagi seorang yang belum pernah naik pesawat." "Itu karena aku tahu akan naik pesawat suatu saat nanti. Tidak seperti orangorang, seperti Pa. Aku tahu aku akan melakukan apa yang ingin kulakukan dan bukan hanya mengatakannya." Ia menarik selimut hingga ke bawah dagunya. "John, jika kau tak dapat mengatakan hal yang menyenangkan, lebih baik jangan mengatakan apa pun." "Bahkan jika itu adalah sebuah kenyataan?" "Kau bersikap tidak adil. Kupikir kau perlu belajar tenggang rasa. Bersikap baik terhadap orang lain seperti kau ingin orang lain bersikap baik terhadap dirimu." Demi Alkitab! Aku tak dapat berbicara, maka aku membuat suara melolong seperti anjing. "John? Apa yang merasuki dirimu?" Ia tidak terdengar seperti ini di Gorey. Ia membaca buku dan menggunakan katakata lugas serta menarik dan berbicara tentang pembuatan boneka. Dan sekarang ia sedih serta lemah tanpa alasan yang jelas. "Dapatkah kaubayangkan betapa konyol cara bicaramu?" aku berteriak. "Tiba-tiba saja kau terdengar seperti orang dungu! Seorang wanita dungu bersuara seperti nenek sihir tua di perhentian bus. Mengapa kau selalu berbicara dengan nada seperti itu kepadaku setiap saat? Kau ini dungu!" "Itu tidak adil." Ia memejamkan mata. "Ya. Ini adil dan nyata. Kau seperti zombie sejak pindah kemari." Ia membuka mata. "Kita semua sedang berusaha melalui cobaan dan masa-masa sulit." Aku tak tahu apa yang terjadi terhadap diriku tapi tiba-tiba aku berada di ranjang, berlutut, dan tanganku membekap mulut ibuku, menghentikan ia berbicara. Untuk menghentikannya bersikap seperti orang lemah. Mengulang semua yang ia dengar dan membodohi diri. "Diam, diam, diam! Jangan berbicara lagi." Aku tak dapat berhenti berteriak agar ia diam. Ia melawan, membuatku takut, tapi aku terlalu kuat, dan menahan tanganku di mulutnya setiap kali ia mencoba berbicara sementara ia memberontak berusaha melepaskan tanganku dan wajahnya. "Diam!" teriakku. "Berhenti berusaha berbicara!" Saat akhirnya ia terdiam, aku melepaskan tanganku dari mulutnya dan duduk di ranjang di sampingnya. Ia menjauh dariku, tapi tak beranjak dari ranjang. Ia menatapku. Tidak ada ekspresi di wajahnya, kosong. Hampa.
"Jangan berbicara kepadaku," ujarku. "Diam saja." Ia menatapku. Tak ada air mata, tak ada rasa takut. Kosong. "Jangan lakukan itu. Jangan menatapku. Aku hanya ingin kau diam." "Aku diam," sahutnya. Ia memejamkan mata seakan menunggu. Aku pun diam. Jantungku tak berhenti berdegup kencang, tapi ada rasa aneh di mulutku; seperti debu, tanah. Aku ingin ia membuka matanya. "Aku akan menonton televisi sekarang," seruku. Ia membuka matanya dan menatapku lagi. Aku meninggalkan kamar. Aku tak merasa tidak enak setelah apa yang kulakukan, hanya terkejut, seakan aku berada di tempat lain, atau tertidur untuk beberapa saat, dalam sebuah film atau drama. Aku pergi ke ruang keluarga dan ayahku tidak berada di sana. Aku sedang tidak peduli dengan keberadaannya.
---oOo--Aku menyantap beberapa potong biskuit lalu duduk di dapur menghadapi selembar kertas dan pena. Aku mulai menulis surat lagi untuk Guinness Book of Records. Pukul sepuluh ibuku masuk ke dapur. Ia berdiri canggung di ambang pintu. Kukira ia berharap aku tak ada di sini. "Aku minta maaf atas kelakuanku tadi," ujarku. "Bolehkah aku meminta selembar prangko?"
Ia tampak ragu dan gugup. Tubuhnya mengerut, pupil mata-nya terlalu hitam dan besar. Ia tampak lebih pendek dan mulutnya lebih kecil, terkatup rapat, tidak merah seperti biasanya. "Aku mempunyai alasan kuat untuk menamparmu," katanya, suaranya tercekat dan pelan. "Aku berusaha selama empat jam menenangkan diri agar tak melakukannya." Aku berdiri dan menghampirinya. "Ayo. Tampar saja aku." Tanpa ragu ia mengangkat tangannya di atas kepala dan menampar wajahku dengan keras. Aku tersengat seperti saat kakiku yang beku terkena tendangan bola sepak. Ia melangkah ke meja dan duduk. Aku mengikutinya. "Jangan pernah menyentuh aku lagi, John. Jangan berani-berani lagi." "Maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku berjanji." Kami duduk selama beberapa menit, menatap meja dapur. Ia membuka kulkas dan mengeluarkan kornet daging sapi. Ia mengirisnya dan merebusnya bersama kubis Brussel dan wortel. Aku memperhatikannya. Ia menawarkan roti lapis. Aku katakan kepadanya aku tidak lapar.
"Apakah prangko itu untuk suratmu ke Guinness Book of Records?" "Ya." "Kupikir kau harus melupakan masalah deteksi kebohongan ini. Kau setuju?" "Itulah yang selalu kaukatakan setiap kali kita membicarakan hal ini. Apakah kau tidak mengerti? Aku harus mengatakan kepadamu dua kali dan setiap kali kau selalu mengatakan hal yang sama. Apakah kau tak dapat memahami apa pun?" "Aku lelah," katanya. "Aku sangat lelah." Ia menjilat prangko itu untukku. Lidahnya terlihat membengkak, terlalu besar, dan merah. "Terima kasih," ucapku. "Aku akan tidur sekarang. Beritahu ayahmu saat ia pulang nanti, tehnya telah tersedia di dalam oven."[]
29
Dua hari kemudian, keluar karena geng menghajarku. Tapi, ingin ditertawakan
akhir pekan dan matahari bersinar cerah. Tapi, aku tak dapat mungkin masih menungguku di luar sana. Mereka ingin aku tetap lebih takut dipermalukan daripada dipukuli. Aku tak atau dipermalukan.
Aku diam di flat dan mengatakan kepada ibuku bahwa aku merasa tidak enak badan. Ia menawariku berjalan-jalan ke kebun binatang, mungkin menguji apakah sakitku hanya bualan. "Tidak," jawabku. "Aku tidak enak badan." Ia menawarkan mengukur suhu badanku. Aku mengatakan agar ia jangan khawatir. "Baik," katanya, "aku akan berjalan-jalan dengan bus ke Stephen's Green dan berjalan kaki menghirup udara segar. Bila sempat akan menonton film di bioskop." "Di mana Pa?" "Ia bekerja. Ia mendapat sebuah pekerjaan bersama Paman Jack hari ini. Ia akan pulang ketika waktu minum teh tiba." Aku berbaring di bangku panjang dan menyantap telur rebus tanpa kulit yang disiramkan ke roti panggang. Di televisi sedang disiarkan film tentang seorang anak sekolah di Inggris. Cara bicara yang baik dan si aktor yang berperan sebagai guru mengingatkanku kepada Pak Roche.
---oOo--Setelah menonton film, aku memutuskan mencari nomor telepon Pak Roche. Aku ingat kepala sekolah pernah menceritakan bahwa Pak Roche berasal dan Dublin, maka aku mencari di buku telepon Dublin. Banyak orang bernama Roche dan aku tak
tahu nama depannya. Lalu aku mencari nomor telepon Gorey National School. Aku tak mengira akan ada orang di sekolah pada Sabtu seperti ini, tapi seorang wanita menjawab telepon setelah dua kali dering. Aku mengatakan siapa aku, seorang mantan murid Pak Roche dan ingin berbicara dengannya. "Kau anak laki-laki Helen Egan," katanya. "Ya." Ia memberikan nomor telepon Pak Roche di Gorey. Saat aku berterima kasih, ia berkata, "Bagaimana kabar ibumu?" "Ia baik-baik saja," jawabku. "Kau beruntung aku yang menjawab telepon. Baru saja aku akan mengunci gedung. Katakan kepadanya aku menanyakan kabar." "Baik, aku akan menyampaikannya.” "Aku harus pergi. Dah."
Aku menutup telepon dan menarik napas panjang beberapa kali sebelum memutar nomor telepon. Saat mendengar suara lembut pelannya, "Halo, David Roche di sini," aku tiba-tiba gugup. Kerongkonganku mengering dan tanganku gemetar. Aku tak bermaksud melontarkan lelucon, tapi itulah yang terjadi. "Halo," sahutku, "ini Pak Roche." Ia berkata, "Ini Pak Roche." Aku menyahut, "Sepertinya aku adalah keluarga jauhmu dan aku hanya ingin bertanya apakah kau mau mengundangku ke rumahmu untuk secangkir teh." Ia menutup telepon. Aku tak mengerti kenapa aku melakukan itu. Aku langsung meneleponnya lagi. Jika aku menunggu, aku akan kehilangan keberanian. Aku berbicara terburu-buru. "Halo, Pak Roche. Ini John Egan, Tuan. Aku pernah mengikuti kelas Anda di Gorey National School." Hening beberapa saat. Lalu terdengar suara kertas bergemerisik, kemudian akhirnya ia berbicara, sepertinya ada makanan di dalam mulutnya. "Oh, anak lakilaki yang pergi di malam buta?" "Ya," sahutku senang ia masih mengingatku. Mungkin kami dapat bekerja sama. Ia dapat membantuku melakukan segalanya untuk menjadi terkenal. Ia akan membantuku menarik perhatian Guinness Book. "Kami pindah ke Dublin. Ke Ballymun, Tuan." Sekali lagi keheningan, sementara jantungku berdegup kencang. "Apakah kau yang menelepon beberapa menit yang lalu?" ia bertanya. "Bukan," jawabku. "Tidak. Aku baru menelepon sekarang. Pertama kalinya." Ini adalah kebohongan yang sangat buruk.
"Baik, siapa pun itu suaranya mirip sekali denganmu." "Baiklah, bukan saya, Tuan. Mungkin orang lain. Pasti hanya kebetulan." Aku memperhatikan sensasi saat aku berbohong: bagaimana akibatnya terhadap suhu tubuhku, suaraku, dan tubuhku. Aku memperhatikan tangan kiriku mengepal tapi tak tahu apa yang terjadi dengan tangan kananku karena sedang menggenggam gagang telepon. Aku juga memperhatikan aku berbicara lebih cepat daripada biasanya. "Kau tinggal di Ballymun sekarang." Aku tidak yakin itu sebuah pertanyaan atau pernyataan. "Ya," sahutku. "Cukup nyaman jika Anda telah terbiasa." Ia jelas sedang makan. Aku menunggunya mengunyah dan menelan. "Aku berdoa semoga kau tak terbiasa. "Aku berdoa semoga kau meninggalkan tempat itu secepatnya." "Ya," sahutku, "itu memang benar dan...." "Baik, John Muda, jadilah anak yang baik, dan yang terpenting, semoga beruntung." Ia menutup telepon.
Aku belum pernah menelepon seseorang yang tidak mengucapkan selamat tinggal. Aku mengucapkan selamat tinggal kepada bunyi tut, kemudian melihat ke sekeliling ruang keluarga, malu.
---oOo--Aku menatap dinding ruang keluarga di belakang bangku panjang beberapa saat kemudian meneleponnya lagi. "Tuan, ini saya lagi." "Ya." "Aku lupa mengatakan kepadamu bahwa aku memiliki sebuah bakat." "Sepertinya tidak perlu mengirimiku sebuah hadiah." "Bukan hadiah, Tuan. Bakat. Aku berbakat. Aku memiliki sebuah bakat." Napasnya terengah-engah tapi tak berbicara. Aku menunggu. "Bakat seperti apa?" Ia terdengar bosan. Aku tak yakin lagi apakah aku harus mengatakan kepadanya. "Aku tak dapat mengatakannya sekarang. Tapi, ini bakat sungguhan dan aku bertanya-tanya apakah kau bersedia membantuku mengirim surat ke...." "Kenapa menyebut bakat itu jika kau tak dapat memberitahu aku?" Kenapa aku tak mengatakannya saja? Kenapa aku tak dapat mengendalikan perkataanku dan bagaimana cara mengatakannya? Tidak mungkin aku ditolak begitu saja kan? Aku membenci diriku sendiri.
"Baik, Tuan. Aku akan terkenal satu saat nanti. Kupikir aku adalah seorang manusia pendeteksi kebohongan. Aku yakin tentang hal ini, tapi aku membutuhkan bantuan...." Ia mendeham. "Ya? Lanjutkan." Aku menceritakan kebohongan ayahku dan nenekku. Aku menceritakan soal "The Gol of Seil" dan buku-buku yang telah kubaca. "Ceritakan lebih banyak lagi," katanya. "Jelaskan kepadaku." Sekarang aku memiliki kesempatan membuktikan bahwa aku memiliki bakat dan akan menunjukkan apa yang telah kupelajan. "Aku memiliki sebuah naluri dan aku tahu bahwa kebohongan memengaruhi emosi tanpa disadari serta aku tahu emosi ini tak dapat disembunyikan dengan baik." Aku melanjutkan. Ia telah berhenti makan. "Dan aku dapat melihat emosi ini pada wajah orang serta apa yang terjadi pada tubuh mereka, bagaimana mereka mengepalkan tangan dan semacamnya. Aku dapat mengetahui saat seorang pembohong yang lihai berbohong karena 'satu tanda penting dari kebohongan adalah ketidakcocokan antara apa yang dikatakan orang dengan mimik wajah serta gerakan tubuhnya'." "Penjelasan yang cukup panjang. Kau jelas telah berhasil mengerjakan tugasmu. Tapi, apakah kau tahu bahwa sensasi seperti itu dapat disebabkan oleh rasa tersakiti dan dipermalukan? Emosi yang kaurasakan saat kau yakin seseorang yang dekat denganmu sedang berbohong?" "Karena ada bukti. Aku mengujinya pada Brendan dan aku mencatatnya di 'Log of Lies'." Ia tertawa. "Sepanjang yang kuketahui," sahutnya, "aku dengan senang hati mengatakan kepadamu bahwa Brendan adalah seorang pembohong yang sangat buruk yang pernah kuhadapi karena sejumlah kebohongan yang ia lontarkan kepadaku dan ia kurang dapat dipercaya." "Oh," sahutku. "Tapi...." Aku marah dan kehabisan napas, seakan aku sedang berlari. Aku memastikan tidak terdengar sedang kesal. Ia mulai makan lagi. "Kau mungkin ingin menguji bakat ini kepada beberapa temanmu yang mungkin lebih lihai berbohong." "Begini," sahutku, "aku bertemu dengan sebuah geng. Aku dapat mengujikannya kepada mereka. Mungkin lain kali aku dapat...." Ia terbatuk sangat keras untuk memotong kata-kataku. Apakah ini cara menyudahi perbincangan yang membosankan? Apakah ia bermaksud menyudahi pembicaraanku? Jika aku tak melakukan apa pun untuk mencegahnya, aku akan menjadi sangat marah untuk berkata-kata. Aku menarik napas panjang dan menghitung hingga sepuluh. "Oke, John, aku jadi penasaran. Jika kau masih memiliki bakat ini saat kau lulus sekolah, jangan ragu untuk menghubungiku." "Baik, Tuan." "Aku mengatakannya sungguh-sungguh, John. Aku ingin kau memiliki sesuatu yang dapat mengeluarkanmu dari tempat laknat itu." Ia mengucapkan kalimat terakhir dengan nada hangat dan tiba-tiba, sangat kuat, aku terdorong untuk menangis, tertawa, dan bertepuk tangan. Ia tak membenciku. "Aku juga," sahutku. "Aku pun berharap demikian."
Aku beranjak ke lemari dan mengambil spidol permanen warna hitam. Mami menggunakannya untuk menulis namaku di label baju baruku. Aku melepas baju lengan panjangku dan menuliskan nomor Pak Roche di lengan kiriku, tepat di bawah ketiak. Jika nomor ini memudar setelah aku mandi, aku akan menulisnya lagi. Aku akan menyimpan nomor ini setiap hari.[]
30
Di tengah malam yang sama ayahku berdiri di ambang pintu kamar tidur membisikkan namaku. Aku berpura-pura tak mendengar lalu kudengar ia berjingkat menghampiriku dan menguncang bahuku. "Bangun," katanya. "Aku tak ingin membangunkan ibumu." Ia mengenakan baju lengan panjang Aran kuning lusuh yang selalu ia kenakan sejak kami pindah ke Ballymun. "Aku ngantuk sekali." "Bangun," ujarnya. "Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu." Aku mengenakan jubah tidurku dan mengikutinya ke kamar tidur kecil yang dulu adalah kamarku. Bau saluran pembuangan sampah sangat menyengat. Suara bahan parasutnya berderak dan bergemerisik. Jarum jam yang menempel di dinding di atas ranjang menunjukkan pukul 3.15 pagi. Jarumnya tampak aneh, bertumpuk menjadi satu hingga terlihat sangat tebal dan gelap. Ia berbaring, sedangkan aku duduk di ujung ranjang. Pembuluh darah di tepi dahinya berdenyut seirama dengan jarum jam; cacing biru menggeliat setiap detik. Aku berpaling dan berharap saat aku menengok kembali, rambut poninya akan menutupi dahinya. "Apa kau telah benar-benar bangun?" ia bertanya. "Aku sangat sadar." "Bagus, karena aku ingin kau berkonsentrasi." "Kenapa?" "Karena aku harus memintamu berhenti berulah. Kata ibumu kau sangat nakal." "Aku tidak nakal." "Begini, yang kudengar kau sangat nakal dan aku yang harus mengatakan kepadamu." "Kenapa?" "Karena aku adalah ayahmu." "Oke," sahutku. "Apakah hanya itu?" Ia meletakkan tangannya di belakang kepala. "Ini sudah malam dan ayahmu agak mabuk. Sepertinya aku sedang melihat anak tunggalku." Pembuluh darah di sisi keningnya berdenyut semakin cepat. Dua denyut cacing per
detik. "Kau dari mana?" aku bertanya. "Minum beberapa gelas di pub setempat sepulang kerja." "Dengan siapa?" "Beberapa rekan kerjaku." Ia berbohong. "Ke mana kau pergi?" tanyaku. "Ke terminal." "Kenapa kau masih terjaga hingga tengah malam?" aku bertanya lagi.
"Banyak yang harus kami bicarakan. Bosku ingin kami kerja lembur. Kau tak pernah bertemu dengan orang menyebalkan seperti dia. Hari ini ia menyuruh kami membersihkan dapur. Lima orang dengan tangan dan lutut menggosok lantai." Kilasan mimik wajah penipu terlihat di wajahnya. "Lalu, bagaimana keadaanmu, muka ikan?" ia bertanya. "Jangan panggil aku muka ikan." Ia ayahku, dan seharusnya ia menganggapku tampan, bahkan jika aku memang berwajah buruk. "Kau memang muka ikan," katanya menyebut kata "muka" dan "ikan" bersamaan hingga terdengar seperti mukkan. Ia memegang lututku dan aku membiarkan tangannya tetap di sana. "Maaf, muka ikan, kau tidak sesungguhnya berwajah seperti ikan. Hanya karena kau menyantap begitu banyak ikan jari, aku memanggilmu demikian." "Kau pun menyantapnya," ucapku. "Baiklah. Jangan terlalu kesal." Kami saling berdiam diri sejenak. Ia memejamkan mata dan aku tetap duduk di ujung ranjang. Kemudian saat ia memindahkan tangannya kembali ke belakang kepala, aku mencium aroma parfum. "Pa? Kenapa kau selalu mengolok-olok tiga wanita buta di lantai atas? Apakah kau mengenal mereka?" "Tidak ada alasan," katanya. "Aku hanya ingin melucu." "Tapi apakah kau mengenal mereka?" "Tidak, kenapa aku harus mengenal mereka?" Wajahnya kaku seakan lumpuh. Sekarang aku akan berperan sebagai detektif. "Apakah kau sungguh tidak mengenal mereka?"
"Tidak. Aku baru saja melihat mereka saat bersamamu. Tapi aku tak mengenal mereka." "Apakah semua flat di sini bentuknya sama?" "Flat Nyonya McGahern serupa. Jadi sepertinya semua flat di sini hampir serupa. Mungkin hanya lebih besar atau lebih kecil." "Apakah kau pernah naik ke lantai tiga belas?" Ia duduk dan menyentuh wajahku. "Tidak, Nak. Aku tak punya alasan naik ke sana." Ia belum pernah memanggilku Nak, seraya menyentuh wajahku. "Apakah kau sungguh belum pernah naik ke flat mereka?" aku bertanya. "Flat tiga tikus buta?" "Mengapa kau mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan itu? Kenapa?" "Sepertinya kau tahu banyak tentang wanita-wanita itu." Sekarang ia berpikir. Berusaha menjawab dengan tenang. "Baik, jawabannya tidak. Aku tidak punya alasan pergi ke sana."
Ia berbohong. Aku yakin ia berbohong. Ia bersiap beranjak dari ranjang. "Jadi kau belum pernah naik ke lantai atas?" "Ya, aku hanya naik ke flat Mark untuk minum teh sepulang bekerja. Ia tinggal di lantai lima belas. Jadi, ya, aku pernah naik ke lantai atas." "Bolehkah aku menanyakan sesuatu yang penting?" "Tentu saja boleh, Nak. Kau dapat menanyakan semua hal sialan yang ingin kautanyakan." "Apakah kau telah melakukan sesuatu yang kotor bersama mereka?" Ia bangkit berdiri tepat di samping dengan kakinya merapat ke kakiku. Wajahnya memerah dan ia terengah-engah. Aku pikir ia akan memecutku dengan sabuknya. Tapi aku tidak takut. Aku benar dan ia salah. Aku tahu ia melakukan sesuatu dengan wanita-wanita itu. Kebohongannya telah menunjukkan kebenaran kepadaku. Alih-alih menendangku ia malah menendang pintu kamar dan aku takut suara berisik itu akan membangunkan Mami. Aku berharap ia keluar kamar, tapi ia berbalik menghadapku dan berdiri dengan tangan mengayun di sisi tubuhnya seakan sedang menunggu. Aku menatapnya tanpa berkata-kata dan ia membuka mulut tapi tak ada suara yang keluar darinya. Ia berjalan ke arah dinding dan berbalik, wajahnya menunduk. "Aku menyerah," katanya. "Aku menyerah." Kemudian, tanpa berkata-kata lagi, ia pergi. Aku kembali ke ranjang ibuku dan merapatkan diri ke tubuhnya. Meski aku menyukai berdekatan seperti ini, dadaku menempel ke punggungnya yang hangat. Aku menjauh dan tidur di sisi ranjangku.
---oOo---
Malam harinya, alih-alih menonton televisi sepulang sekolah, aku pergi keluar. Setiap malam selama lima hari aku mengatakan kepada ibuku bahwa aku pergi ke basement mengikuti kursus bermain gitar. Tapi aku tidak pergi ke ruang bawah tanah. Aku naik ke flat di lantai atas kami. Tempat tinggal tiga tikus buta. Aku berjalan mondar-mandir di gang dekat pintu mereka hingga hampir pukul sembilan. Saat ayahku keluar, aku akan menangkap basah dirinya. Namun, ayahku tidak keluar dan aku tak mendengar suaranya di balik pintu. Pukul sepuluh aku turun ke flat kami. Di malam kelima, aku memutuskan menunggu di dasar tangga balkon lantai dua belas. Aku duduk di anak tangga terbawah dan menatap ke atas. Dan saat aku melihatnya, aku hampir tak percaya. Ia turun dari lantai tiga belas, membawa tas hitam yang selalu ia bawa saat berangkat kerja. Ia mengenakan celana terusan biru lusuhnya. "Halo," sapanya saat melihatku seakan tidak ada yang salah di dunia ini.
Aku meraih pegangan tangga dan menatapnya. "Dari mana kau?" "Sama sekali bukan urusanmu," sahutnya, "tapi aku baru dari tempat Mark minum secangkir teh." "Tidak. Aku melihatmu turun dari lantai tiga belas." Ia mendorongku ke sisi dan kakinya menendang lututku. "Masalahmu adalah kau ingin melihat apa yang ingin kau lihat." Aku menunggu hingga ia masuk sebelum aku mengikutinya. Aku masuk ke kamar mandi sejenak, memuntahkan isi perutku hingga tak ada yang tersisa. Sudah lama sekali aku tak merasa mual dan kebohongannya pasti sangat parah hingga aku merasakan kembali reaksi seperti ini. Jantungku berdegup kencang dipenuhi amarah saat aku mendengar Ayah berbincang seperti biasa tanpa ada rasa bersalah dengan ibuku.
---oOo---
Waktu minum teh, satu hari setelah aku memergokinya turun dan lantai tiga belas. Malam ini Ayah tidak pulang. Aku berada di dapur membuat tepung semolina dan ibuku di meja mengeringkan rambutnya dengan pengering rambut yang tabungnya disambung dengan semacam tudung plastik. Ia mencolokkan stekernya dan tabung itu menderu memenuhi tudung plastik dengan udara panas hingga menggembung seperti balon di kepalanya. "Bagaimana menurut kau?" ia bertanya. "Bagaimana pengering rambut model kuno ini menurut kau?" "Menurut aku bagus," sahutku. "Sungguh berkepribadian. Seperti dirimu."
Ia tertawa dan melepaskan tudung plastiknya lalu meletakkannya di lutut. "Ibuku selalu menggunakan pengering rambut ini untuk mengeringkan ayam. Kau tahu itu?" "Tidak." "Ia memelihara banyak ayam. Suatu hari seekor ayam jatuh ke genangan lumpur dan ia ingin membersihkannya. Ia memandikan si ayam lalu membawanya ke ruang keluarga dan menggunakan alat itu untuk mengeringkan bulunya." "Berhasilkah?" "Tunggu," katanya. Ia kembali beberapa menit kemudian membawa selembar foto hitam-putih bergambar ayam di dalam pengering rambut dengan kepala dan paruh melongok keluar. "Jadi," katanya, "ini satu lagi yang dapat kaupikirkan. Kau dapat menambahkannya di taman hiburanmu." "Terima kasih," sahutku. "Beri aku kecupan," katanya, dan saat aku mengecup keningnya, aku merasa seperti suaminya.
"Mam? Ada sesuatu yang penting yang harus kukatakan kepadamu." "Berhentilah menggaruk kepalamu." "Bolehkah aku memberitahu kau." "Ya." "Aku akan menunggu hingga kau siap dan mendengar dengan saksama." "Katakan sekarang. Aku akan mendengarkannya." "Kurasa Pa melakukan sesuatu yang lucu di lantai atas." "Demi Tuhan!" "Bukan, Mami. Dengar. Kurasa kau harus mengetahuinya. Dengarkan aku sebentar saja." Aku menceritakan saat Pa datang ke kamar pukul 3.15 dini hari dalam keadaan mabuk. Ia berbaring di ranjangnya. Aku menceritakan bahwa ayah baru saja berada di lantai atas bersama mereka. "Ini hal gila," katanya. "Siapa kau?" "Aku mengatakan yang sebenarnya." "Tidak, kali ini tidak. Ayahmu tak akan pernah melakukan hal seperti itu. Tidak pernah. Ia mungkin linglung karena mabuk, tapi aku yakin, ia tidak berada di lantai atas bersama wanita-wanita itu." "Kenapa kau tak memercayaiku? Kenapa kau tak mau mendengar?" "Aku tak ingin membicarakannya sedikit pun." "Jika kau tak memercayaiku, kenapa kau tidak naik ke lantai atas dan menanyakan sendiri kepada wanita-wanita itu? Tanyakan apakah Pa kemarin ada di sana."
Ia berdiri. "Aku tak akan melakukannya. Dan kau harus mencuci mulut kotormu." Aku protes dan memintanya memercayai kata-kataku. Ia memegang kepalaku dengan kedua tangannya. "Oke. Malam ini kau tidur di kamarmu sendiri. Seorang anak laki-laki kotor seperti dirimu dapat tidur dengan bau busuk dan saluran pembuangan sampah." "Aku tidak kotor. Aku kebalikannya! Aku mengetahui kebenaran!" "Kau tidak kotor di Gorey, tapi sekarang kau kotor." Aku meraih jaketku dan pergi ke bawah. Aku berharap bertemu dengan geng. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Aku ingin melampiaskan kekesalan untuk menggantikan masalah dan drama yang kuharapkan dan ibuku. Tapi, aku tak bertemu dengan geng, maka aku berjalan sendirian ke perumahan baru menyusuri parit-parit beton. Di genangan semen yang baru mengering terlihat sebuah sepatu bot Wellington merah yang tenggelam sebagian.
---oOo--Saat aku pulang, ayahku berada di dapur bersama ibuku, menyantap kornet daging sapi, wortel, dan kentang tumbuk.
"Makan malammu di sana," seru ibuku. Piringku dihangatkan dengan cara diletakkan di atas mangkuk berisi air panas. "Dan mana saja kau?" ayahku bertanya. "Hanya ke ruang bawah tanah, melihat-lihat kalau-kalau ada kegiatan." "Apakah ada kegiatan?" tanya ibuku. "Hanya mengecat dinding dan anak-anak kecil bermain ular-ularan dan karton pembungkus telur." "Itu lucu," ujar ayahku. "Aku baru saja dari bawah dan ruangannya di tutup karena sedang dibersihkan. Tulisan di pintunya mengatakan begitu." Aku tertangkap basah tapi ia melepaskanku. "Lagi pula, kau terlalu tua untuk bermain ular-ularan," katanya tersenyum seraya menepuk tanganku. "Kurasa begitu." "Ingat, Michael," sahut ibuku, "betapa John dulu senang sekali pada buku mewarnai angka. Oh, dan Fuzzy Felt. Ingatkah betapa ia menyukainya?" "Aku tak menyukai Fuzzy Felt," sahutku. "Aku membencinya." Mereka tertawa. "Aku tahu apa yang kusukai dan yang tak kusukai. Kalian jangan tertukar dengan orang lain." Mereka masih tertawa, dan ibuku mencoba membuatku geli dengan menggelitik bagian
bawah ketiakku. "Jangan!" aku berseru. Setelah apa yang ia katakan, aku tak memahami kegembiraannya. Aku beranjak setelah menghabiskan makananku dan pergi menonton televisi di ruang keluarga. Aku mengecilkan volumenya hingga aku masih dapat mendengar perbincangan Ayah dan Ibu. Mereka membahas soal pemanas terpusat, tentang flat yang terlalu panas, kulkas yang selalu berbau busuk, naiknya harga bahan bakar, kemungkinan minyak bumi akan habis suatu saat nanti, dan luasnya Phoenix Park; mengatakan bahwa itu adalah taman kota terbesar di dunia. Aku tahu itu. "Apa menu pencuci mulut kita?" aku berseru. "Kacang!" teriak ayahku dan mereka tertawa. Aku kembali ke dapur. "Aku harus ke dokter gigi lagi minggu depan," kataku. "Gigiku sakit lagi." Aku ingin ia bersimpati. Tapi aku tak mendapatkannya. "Ya, Tuhan," seru ayahku, "kau menjadi satu-satunya anak di muka bumi ini yang rela pergi ke dokter gigi." "Aku tak peduli," sahutku. "Aku menyukai dokter giginya." "Kupikir ia menyukai dr O'Connor karena ia pria berpakaian mewah dan berbicara sopan," kata ibuku. "Ia seperti seorang pengacara yang memberikan usul kepada gigi."
Mereka menertawakan lelucon pintar ibuku dan aku berpura-pura tertawa. Aku tidak akan menjadi orang yang tidak diikut-sertakan. "Ya," sahutku. "Seorang pengacara yang memberi usul kepada gigi dan membuat kalian membayar lewat hidung." Seringai ayahku tertahan dan mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku. Aku menyambut jabat tangannya. Aneh sekali aku tidak memperhatikan sebelumnya kalau kulitnya selembut kulit ibuku.
---oOo---
Aku masuk ke kamar tidur yang berbau sampah dan berbaring di ranjang. Berbaring tengkurap, menyamping, telentang, tapi tak kunjung mengantuk. Rasa mual menyedihkan bergolak dan perutku saat memikirkan Brendan. Aku merindukannya dan tak hentinya membayangkan ia tertawa bersama Kate, menertawakanku. Aku berbaring telentang dan pikiran yang sama datang lagi ... dalam kegelapan dan kesedihan terkurung kehitaman masa lalu ... dalam kegelapan dan kepedihan terkurung kehitaman masa lalu.
Aku kembali berbaring tengkurap saat ayahku mengetuk pintu. Aku menyuruhnya masuk dan ia mengendap-endap, berjingkat seperti seorang pencuri. Ia menutup pintu perlahan dan duduk di ujung ranjang. Aku menutup buku sekolahku dan duduk bersila. Ia duduk di sampingku, kakinya tetap di sisi ranjang. "Hai, muka ikan," katanya. "Kita belum berbincang hari ini. Bagaimana kabarmu?" "Apa?" ujarku. "Bukankah kita berbincang-bincang dini hari tadi?" "Oke, maafkan soal itu. Aku sedikit mabuk dan kau tahu bagaimana aku. Aku bukan seorang peminum yang baik. Aku minta maaf telah membangunkanmu. Seharusnya tidak kulakukan." "Tidak apa-apa." "Kali ini aku ingat hadiahmu." Aku tak melihat ia membawa hadiah. "Tapi bila aku memberikannya kepadamu, aku ingin kau memaafkan kealpaanku di masa lalu. Maukah kau melakukannya? Karena sekarang aku ingat, maukah kau memaafkanku?" Sudah terlambat, kupikir, tapi berikan hadiahnya dan biar aku lihat seperti apa bentuknya. "Oke," sahutku. Ia mengeluarkan sepasang kaus kaki berwarna cokelat yang sangat besar dan sebuah kantong kertas. "Baiklah, Nak, inilah dia! Sepasang kaus kaki terkenal untukmu dan kau dapat membuat sebuah boneka atau apa pun yang kauinginkan." Ia menyeringai dan tampak sangat puas. Aku memegang kaus kaki cokelat itu. Kaus kaki itu sangat besar, berlubang di bagian jempol kanan dan kiri, berlubang besar di tumit kiri, serta kain di bagian telapak kaki telah menipis hingga hampir tembus pandang.
"Aku tidak mengerti." Ia berbisik. "Ini adalah kaus kaki manusia tertinggi yang pernah ada. Ini adalah sepasang kaus kaki yang digunakan manusia tertingi di dunia." Aku terpukau. Mulutku ternganga lebar dan mataku berair. "Robert Pershing Wadlow? Ini dulu milik Robert Pershing Wadlow?" "Ya, dialah orangnya. Ukuran kakinya 37AA. Delapan belas setengah inci," katanya. "Ia mengenakannya pada tahun terakhir hidupnya. Kaus kaki ini adalah harta miliknya yang terakhir dan disimpan oleh ayahnya." Aku menegakkan posisi dudukku, senang, kagum, tapi lebih banyak senang. Aku memegang kaus kaki itu tinggi-tinggi dan memeriksanya. Bagian kaki satu kaus kaki itu panjangnya hampir sepanjang lenganku. Mulai siku hingga ujung jari tengah. Keseluruhan kaus kaki itu sepanjang lenganku. "Bagaimana?" tanya ayahku. "Kaus kaki ini sangat tua, sedikit kotor, dan lapuk. Tapi itu menunjukkan keasliannya."
Tiba-tiba kebahagianku hancur berkeping-keping. Aku tidak menyadari sebelumnya. Aku terlalu sibuk dengan kegembiraan. Tapi sekarang aku menyadarinya: ia berbohong. Aku terlalu sedih untuk mengujinya. Aku tak percaya ia melakukannya lagi. Aku ingin tidur, masuk ke dalam selimut, tidur, dan ingin ia keluar. "Ya," sahutku memaksakan senyuman. "Hadiah yang hebat." "Tidak semudah mendapatkannya, seperti kataku, lubang dan kerapuhan kaus kaki ini menunjukkan bahwa benda ini asli." Aku memiliki dua pilihan, menangis atau berpikir. Aku memilih berpikir. Biasanya pembohong akan mendukung kebohongannya dengan perkataan seperti, "Janji pramuka", "Belah dadaku", dan "Demi kuburan ibuku". Pernyataan ayahku tentang kerapuhan kaus kaki sebagai bukti keotentikan adalah contoh yang disebut salah satu buku sebagai "sumpah yang justru mengungkap dusta". "Bagaimana kau mendapatkannya?" aku bertanya. “Aku mencarinya selama berbulan-bulan. Akhirnya aku bertemu dengan seseorang di tempat bekerja yang mengetahui seorang di Amerika yang membeli kaus kaki itu di Illinois pada sebuah acara lelang beberapa tahun yang lalu." Ayahku tidak hanya berbohong satu kali, tapi berkali-kali, seperti seseorang yang hidungnya mengisap merica dan bersin tanpa terkendali. Aku marah dan malu. "Kaus kaki ini pasti mahal," ujarku. "Ya dan tidak. Sebenarnya aku menginginkan sepatunya. Tapi harganya dua kali usia hidupku." "Aku lebih suka kaus kakinya," sahutku. "Terima kasih." "Beribu terima kasih kembali, anak tunggalku." Kali ini aku akan lebih berhati-hati agar tidak "mencemari kejadian perkara" karena detektor kebohongan tidak boleh menciptakan atmosfer yang membuat pembohong menunjukkan tanda-tanda stres. Tanda-tanda stres dapat tertukar dengan tanda-tanda kebohongan. Detektor kebohongan harus netral dan sabar. Aku tak boleh memberinya petunjuk bahwa aku mengetahui ia berbohong. Aku akan melupakan dulu masalah kaus kaki palsu ini dan membicarakan hal lain. Aku meletakkan kaus kakinya. "Aku senang kau bahagia menerimanya," katanya. "Aku akan keluar. Kau boleh mengerjakan tugas sekolahmu lagi. Oke?" Aku duduk bersandar pada bantal. "Tunggu, Pa. Aku ingin menanyakan sesuatu untuk tugas sekolah." "Silakan." "Apakah kau meraih nilai tertinggi saat lulus? Minggu depan kami akan menjalani tes IQ di sekolah dan guru mengatakan jika kami mengetahui nilai IQ orangtua kami, itu akan membantu." "Ya," jawabnya, "aku menjatuhkan lawan-lawanku dengan telak dan cepat. Tidak ada debu berterbangan di arena. Seperti pertarungan Milo melawan Croton, aku adalah pemenang tanpa debu." Aku tersenyum, membiarkan keyakinan dirinya. "Tapi berapakah nilai IQ-mu? Berapa nilai IQ
yang kaubutuhkan untuk masuk Mensa?" "Kau mengetahuinya. Kau ada saat aku menerima surat dari Mensa." Ia menggaruk kakinya. Cara menggaruk yang sama seperti ketika ia berbohong tentang kartu ucapan selamat Paskah. "Ceritakan lagi. Aku lupa dan aku sungguh ingin tahu." "Seratus empat puluh lima," katanya. Suaranya serak dan melengking. "Lebih dari seratus empat puluh pokoknya. Dan aku hanya membutuhkan seratus tiga puluh tiga untuk masuk Mensa." Ia tak cukup pandai untuk menutup mulut, untuk menyadari bahwa aku sedang menjebaknya. Apakah ia tak menyadari kemampuanku? "Sudah lama sekali sejak aku mengikuti ujian," ia menambahkan, "dan mungkin aku harus mengikuti ujian ulang." Itu adalah klarifikasi dan penyempurnaan pernyataan si pembohong hingga kebohongannya menjadi sangat jelas. Aku tak dapat percaya betapa buruknya ia berbohong. Aku tak mengerti kenapa ia berharap dapat lolos dan semua ini dan mengapa ia tak berhenti. Aku tak memahaminya. Ia pasti mengira aku ini bodoh. Bersamanya dalam satu ruangan rasanya seperti sedang sendirian, benar-benar sendirian, tapi bukan dalam kedamaian. "Terima kasih, Pa. Sekarang aku ingin minum segelas susu." Aku beranjak dari ranjang dan ia mengikuti hingga ke lorong, seperti Crito mengikutiku. "Kau baik-baik saja, Nak," katanya seraya menepuk bahuku, tapi wajahnya tampak lelah dan sedih. Aku takut ia akan mengatakan bahwa ia mencintaiku.[]
31
Ketika aku tak melihat ibuku di sekolah keesokan harinya, aku tahu sesuatu yang buruk telah terjadi. Biasanya ia lewat di depan jendela kelasku pukul setengah sepuluh bersama ibu-ibu lainnya, membawakan susu dan roti lapis selai, lalu biasanya aku melambaikan tangan dan bangku tempat aku duduk. Aku meminum susuku dan membuka kertas lilin pembungkus roti selaiku, tapi aku tak ingin makan. Aku akan pulang mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya. Saat pelajaran matematika, aku tak mengacungkan tangan terlebih dulu. Aku langsung melangkah ke depan kelas dan berkata, "Nona? Aku merasa tidak enak badan dan harus pulang." Aku meninggalkan kelas sebelum guruku sempat menjawab. Sialnya, ia mengejarku sesaat sebelum aku keluar dan gedung utama. "John Egan Muda!" serunya dengan suara berat seperti pria. "Kau tak dapat meninggalkan sekolah begitu saja. Kembali dan temui perawat." Aku berbalik sempoyongan seakan aku sedang sekarat. Kumasukkan jari tengahku dalam-dalam ke belakang lidah untuk memancing muntah.
Aku terkejut melihat banyaknya roti yang keluar bersama cairan muntahku, terlebih sarapanku hanyalah semangkuk Ready Brek. "Aku harus pulang," jeritku dan berlari meninggalkannya secepat kakiku mampu membawaku. "Ya, Tuhan, anak yang malang!" serunya tiba-tiba bernada kasihan.
---oOo--Saat aku pulang, pintu terbuka lebar dan ibuku sedang duduk di lantai lorong. Telepon terlempar dari mejanya dan tergeletak di lantai dekat kaki Ibu. Gagang telepon terlepas dari kaitannya. Ibu mengenakan baju tidur, yang berlubang besar di ketiak dan sikunya, dan rambutnya acak-acakan. Ia menoleh saat aku menghampirinya tapi tak mengeluarkan suara. Wajahku terasa sangat dingin. "Ya," akhirnya ia mengeluarkan suara, tapi tanpa menatapku, "kau telah mengatakan yang sesungguhnya dan sekarang kau tak memiliki ayah." Aku membeku. Darah mengalir deras ke atas kepala dan menghambur ke seluruh lenganku menyebabkan rasa tersengat mulai bahu hingga ke ujung jemari. Darah yang bergolak ini membuatku takut, seakan lenganku akan terdesak lepas dan jatuh ke lantai. "Sekarang kau tak mampu bicara, ya?" seru ibuku, wajahnya menampakkan kegusaran. "Apakah kucing ini telah menggigit lidahnya sendiri?"
Aku ketakutan dan ingin menghentikan semua ini. Aku ingin duduk di lantai dan melakukan sesuatu untuk menghiburnya. Aku menelan ludah dan mencoba membasahi mulutku yang kering agar aku dapat bicara. "Apa yang terjadi?" aku bertanya. "Di mana Pa?" Ia menyeka hidungnya menggunakan lengan baju tidur. "Aku menelepon tempat kerjanya." Ia menceritakan bahwa ia menelepon pabrik dan si mandor yang menerima mengatakan hanya dapat memanggil pekerja bila ada keadaan genting. Maka Ibu harus berbohong mengalami keadaan genting. "Keadaan genting seperti apa yang kaukatakan kepadanya?" tanyaku. "Apa yang kaukatakan?" "Tak usah pedulikan keadaan genting macam apa. Aku terlalu malu kepada diriku untuk mengarang kebohongan. Aku hanya mendengar si mandor memanggil ayahmu dan pengeras suara, "Michael Egan. Michael Egan. Ditunggu di kantor ada panggilan telepon penting." Kemudian ayahmu datang terengah-engah. Aku menceritakan semua yang kaukatakan kepadaku kemarin, dan kau tahu apa jawabannya?" "Tidak." Aku tak ingin ia diam di lantai seperti ini. Aku ingin ia berdiri. Ia tidak seharusnya duduk di lantai mengenakan baju tidur compang-camping. "Ia berkata, "Ya, turuti saja apa kata bocah itu, jika kau memercayainya. Tanyakan saja sendiri." Dan ia menutup telepon." "Lalu?" tanyaku.
Ia menghunjamkan tinjunya ke lantai menimbulkan suara buk pelan karena teredam karpet. "Kemudian aku naik ke lantai atas. Aku naik saat masih mengenakan pakaian tidurku. Aku dapat mencium bau alkohol saat wanita itu membuka pintu. Lalu aku menanyakan soal ayahmu, dan kau tahu apa yang ia katakan?" "Tidak." "Ia tertawa dan berkata, "Ia laki-laki yang pandai bercinta. Suamimu itu!" Aku hampir saja terjatuh, tak mampu berpikir. Ia tak seharusnya mengatakan ini kepadaku. Ia seharusnya tak menceritakan ini. Aku meraih pintu di belakangku, mencoba menghindari suara tangisnya, amarahnya. Aku takut mendengar kata-katanya lagi. "Aku akan kembali ke sekolah," kataku. "Kau tidak akan kembali ke sekolah! Kau harus membereskan semua kekacauan ini. Kemasi barang-barang ayahmu. Ia akan mengambil kopernya pukul tiga nanti." "Kenapa?" "Kenapa?" Kami terdiam. Suara tangisan bayi di flat sebelah terdengar semakin keras dan menambah kepanikan. Aku menatap telepon yang tergeletak di sisi ibuku. Aku ingin telepon itu berdering. Aku ingin wanita di lantai atas menelepon ibuku untuk mengatakan bahwa tadi ia hanya bercanda. Aku ingin semua ini berakhir. Aku ingin menjadi yang benar dan aku ingin menjadi yang salah. "Kenapa?" aku bertanya lagi. "Kenapa ia harus mengepak kopernya?" "Karena aku memintanya pergi. Kau ingin aku memercayaimu, dan sekarang aku percaya. Kau seharusnya senang. Sekarang keinginanmu terkabul. Aku harus ke kamar mandi. "Tapi aku hanya ingin mengetahui kebenarannya." "Dan kau pikir apa yang akan terjadi saat kebenarannya terungkap?" "Aku tidak tahu," bisikku, berharap kami dapat duduk di dapur dan berbicara dengan normal, bukan seperti ini di lorong. "Kau tidak tahu?" ucapnya. "Kau tidak tahu?" "Maafkan aku." "Kau minta maaf?" Kami terdiam lagi dan seseorang menendang kaleng kosong di sepanjang koridor. "Kemasi barang-barang ayahmu dan juga barang-barangmu, jika kau ingin." Ia bangkit dari lantai, berjalan masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
---oOo---
Aku pergi ke toilet dan berjalan mengelilingi flat selama beberapa menit. Foto pernikahan di atas lemari telah dipindahkan dan di tempat itu sekarang
diletakkan sekotak tisu. Aku masih merasa bahwa kalau mau, aku dapat membuat segalanya kembali seperti dulu. Aku dapat mengembalikan semuanya. Aku berniat menelepon nenekku dan memintanya datang serta tinggal bersama kami untuk beberapa lama, berbaikan dengan ayahku, atau mengizinkan kami kembali ke Gorey. Di perjalanan pulang ke Gorey, kami dapat singgah di sebuah festival atau sirkus Duffy. Di sana mungkin ada miniatur kereta uap dan kuda poni serta orang-orang berkostum hewan. Aku tak akan beranjak dan tempat itu. Kami berempat dapat singgah di sebuah sirkus dan menyantap gula-gula kapas dan menonton pawang singa serta pemain akrobat yang berjalan di atas tali. Dan aku duduk di antara ayah dan nenekku. Saat mereka meletakkan tangan di pangkuanku, aku mengaturnya agar mereka saling berpegangan tangan. Aku meraih telepon dan menghubungi nomor Nenek di Gorey. Tidak ada jawaban. Aku mengangkat tanganku menutup mata dan keluar ke lorong lalu berdiri di samping pintu kamar ibuku, bertanya-tanya apakah ia berniat berpisah dengan ayahku. Aku masuk ke kamarku dan duduk di ranjang memukul-mukul kaki dengan tinjuku agar meninggalkan memar sampai keesokan harinya. Kotak apel panggung boneka sudah tidak ada. Aku bergegas ke dapur memeriksa tumpukan sampah dan kotaknya memang ada di sana. Di meja dapur tergeletak secarik catatan dari ibuku untuk ayahku, tertulis pada selembar kertas surat:
Michael Ambil barang-barang milikmu dan pergilah. Dan bila kau telah mendapat tempat tinggal, pastikan kau memberitahu anakmu di mana kau tinggal. Helen
Aku memungut catatan itu dan kembali ke kamarku. Bayi yang menangis di flat sebelah terdengar semakin nyaring. Aku menyumpalkan jari ke telingaku dan menelungkupkan wajah ke bantal. Aku ingin pergi, tapi juga ingin tetap tinggal. Aku ingin berada di dua tempat yang berbeda: di sini bersama ibuku dan pergi bersama ayahku, serta aku ingin pergi ke mana pun Ayah pergi. Mungkin kami dapat kembali ke Gorey dan aku dapat bertemu dengan Pak Roche lagi. Aku memejamkan mata dan membayangkan tinggal bersama ayahku di hotel dekat gerbang Phoenix Park, hotel yang letaknya berdekatan dengan kebun binatang itu. Atau kami tinggal bersama di sebuah hotel mewah, seperti di Shelbourne, sebuah hotel yang pelayannya mengenakan mantel panjang, dan aku dapat meminta apa pun yang kubutuhkan kepadanya. Kami dapat memesan makan malam dan kamar dan menyantapnya di pangkuan kami di atas ranjang besar di kamar hotel dan menikmati sarapan yang dibawa menggunakan troli. Kemudian turun di malam hari dan duduk di bar menyantap keripik. Lalu aku dapat meminum limun merah seraya menonton televisi berlayar besar yang ada di sana. Tapi bukankah ia pihak yang salah? Bukankah ia yang membuat semua kekacauan ini? Ya, semua masalah ini adalah kesalahan ayahku dan aku tak akan pergi bersamanya. Aku akan tinggal di sini. Di tempat aku berada. Bersama ibuku. Ini bukan kesalahan ibuku. Ayah harus pergi meninggalkan kami dan tak menambah masalah lain.
---oOo---
Pukul tiga sore, ayahku pulang. Aku mendengarnya membuka pintu, berbicara dengan seseorang di luar. Aku bangun dan menghampirinya. Ia datang bersama Paman Jack dan Paman Tony serta mereka semua mengenakan celana terusan biru. Aku tak pernah melihat ayahku mengenakan celana terusan ini. Ia lebih pantas mengenakan jaket hitam dan kaus oblong putih. Tanpa jaket, kepribadiannya seakan lenyap, karena ia tak dapat dengan sengaja memasangkan kancing dengan urutan yang salah dan ia tak dapat melipat salah satu lengan bajunya lebih panjang daripada yang lain. "Kau di rumah," katanya. "Bukankah kau seharusnya berada di sekolah?" "Aku sakit," sahutku. "Aku pulang lebih awal." "Ia selalu sakit, ya?" kata Paman Jack kepada Paman Tony, seakan aku adalah seekor anjing yang harus dibuang. "Aku tidak selalu sakit," sahutku. Ayahku berlalu dan masuk ke kamar tidur. Paman Jack menghampiri dan memelukku. Dan balik bahunya aku memperhatikan Paman Tony yang sedang meletakkan telepon kembali ke mejanya di lorong. "Ayo ke dapur dan kita minum bir yang paling keras," kata Paman Jack. "Baiklah," sahutku. Aku duduk di meja dapur. Saat Paman Jack selesai membuatkan teh, ia menghampiri dan berdiri di belakangku. Ia meletakkan tangannya di bahuku dan menatap ke arahku dan atas. Aku tidak suka bila orang menatapku dan atas seperti ini. Ia dapat saja duduk di sampingku. "Lepaskan aku!" seruku. "Tenanglah," kata Paman Tony. "Ia hanya mencoba membantu." "Aku tak memerlukan bantuan. Aku tahu apa yang terjadi. Akulah yang memberitahukan kebenarannya kepada Mami." Mereka saling memandang. Mereka pasti mengetahui keterlibatanku dalam masalah ini. Mereka pasti mengetahui bakat deteksi kebohonganku. "Baiklah, kalau begitu," kata Paman Jack, membuat dirinya nyaman di kursi yang biasa ditempati ibuku, "kau tak memerlukan penjelasan apa pun dari kami." "Tidak," sahutku. "Aku mengetahui segalanya." "Sepertinya kau akan tetap tinggal di sini," ujar Paman Tony seraya menengok ke lemari mencari sesuatu untuk dimakan. "Ya. Tapi aku dapat berubah pikiran dan tinggal bersama Pa jika aku menginginkannya." "Itu pasti," sahut Paman Jack. "Apakah ada biskuit di tempat ini?" tanya Paman Tony. Terdengar suara pintu depan dibanting. Ibuku pergi.
---oOo--Ayahku masuk ke dapur saat hari mulai gelap. Tak ada yang menyalakan lampu. Ia tampak tua dan sedih. Mulutnya menekuk ke bawah, matanya mengecil. "Baiklah,"
katanya. "Sudah waktunya aku pergi." "Lebih baik membawa ini juga," ujar Paman Tony.
Ayahku tersenyum dan membungkuk di depanku. Ia mengecup pipiku dan berbisik, "Tidak apa-apa." Napasnya berbau busuk. Aku membalas senyumannya tapi ia menjauh dariku. Aku belum pernah mencium bau napas sebusuk itu. Bagaimana jika ini terakhir kalinya ia mencium pipiku? Bagaimana jika ini adalah terakhir kali aku melihatnya, dan kenangan terakhirku adalah napas busuknya? "Di mana kau akan tinggal?" aku bertanya kepadanya. "Bersama Paman Tony, dan masih tersedia tempat untukmu jika kau ingin berkunjung. Kita tak akan saling mengucapkan selamat tinggal, karena kita tidak sungguh-sungguh mengucapkan selamat tinggal, dan hanya...." "Hanya apa?" kataku. "Maksudmu, kau tak akan mengucapkan selamat tinggal dan pergi begitu saja?" Ayahku mundur dan menatapku dari atas ke bawah. "Kau ini dua orang yang berbeda, anak kecil dan pria dewasa. Dengan siapa aku berbicara sekarang?" Aku menundukkan kepala merasa malu dan merasa dipermalukan. Aku ingin ia pergi. "Berapa nomor teleponmu?" aku bertanya dengan suara setenang mungkin. "Sama dengan nomorku," sahut Paman Tony. "Oh, ya," sahutku. "Baiklah, kalau begitu...." "Ya, baiklah...." "Selamat tinggal, John." Mereka pergi.
---oOo---
Aku masuk ke kamarku dan meringkuk di bawah selimut, menunggu hingga ibuku pulang. Ia langsung masuk ke kamarnya. Aku membuatkan secangkir teh dan membawakan untuknya. Ia sedang duduk di ranjang mendengarkan radio yang volumenya diputar sangat nyaring. "Apakah ia sudah pergi?" ibuku bertanya, meski ia pasti sudah tahu Ayah telah pergi. "Ya." "Baik, sekarang bagaimana?"
"Aku tidak tahu," sahutku. "Ayahmu pasti tidak memberimu uang?" Kedengarannya ia menyebut "si sialan", bukan "ayahmu", dan aku bingung harus menjawab apa. "Apakah ia memberimu uang?" "Ya. Ia memberiku sepuluh pound. Paman Jack dan Paman Tony masing-masing memberiku lima pound. Dan Nenek dapat mengirimi kita uang, kan? Kita tidak akan jatuh miskin." "Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan."
"Bagus, lalu apa?" Ia mengangkat bahu dan tersenyum lemah. "Maukah kau ke dapur membuat makan malam untukmu sendiri? Aku tidak akan memasak." "Baiklah. Kau ingin makan apa?" "Pergi saja. Bila telah minum teh, kerjakan pekerjaan rumahmu,"
---oOo--Pagi harinya ibuku menelepon kepala sekolah dan mengatakan bahwa aku menderita demam dan tidak akan masuk selama beberapa hari. "Kau boleh diam di rumah, tapi jangan terlalu ribut. Aku akan tidur sejenak," katanya. "Tapi kau baru bangun." "Aku terjaga sepanjang malam." Aku mengikutinya ke kamar dan berdiri di dekatnya di samping ranjang. "Tahukah kau jika kau tidak tidur selama sebelas hari berturut-turut, kau bisa mati?" ujarku. "Ya," sahutnya. "Tidak tidur dapat membunuhmu lebih cepat dibanding tidak makan. Manusia biasa dapat bertahan dua belas hari tanpa makanan." Ia seperti orang yang berbeda, suaranya terdengar datar, wajahnya seakan berkerut mengelilingi mulutnya. "Berapa hari tanpa air?" aku bertanya. "Aku tidak tahu." Ia menanggalkan jubah tidurnya dan memejamkan mata. Kepalanya terkulai dan giginya bergemeletuk. "Kau hampir tertidur sambil berdiri!" "Kau akan berbaring nanti." "Mungkin aku harus tidur di sini bersamamu lagi agar dapat membuatmu tidur." "Kurasa lebih baik aku sendiri di ranjang." "Apakah kau akan menerima Ayah kembali bila ia meminta maaf?"
"Aku terlalu lelah untuk membicarakannya sekarang dan kau sudah terlalu jauh." "Tapi dapatkah kau memberitahu apa yang akan terjadi?" "Cukup, John. Tinggalkan aku sendiri. Aku akan mencoba tidur sekarang."[]
32
Tengah malam ibuku melongok dan pintu kamarku. Ini malam keempat ia melakukan hal yang sama, hanya melongok, tidak lebih-tidak kurang. "Aku tidak bermaksud membangunkanmu. Hanya ingin mengetahui keadaanmu. Aku hanya ingin melihat apakah kau pun sulit tidur." "Aku tidur." "Maaf. Kembalilah tidur kalau begitu." Dua malam pertama aku bangun bersamanya dan pergi ke dapur membuat susu hangat. Malam ketiga kami bermain permainan dadu selama sejam lebih, hingga ia mengaku cukup mengantuk dan kembali ke ranjang.
---oOo---
Tapi malam ini berbeda. Ia menyalakan lampu dan bersandar di ambang pintu seakan tak mampu menopang tubuhnya. "Mami, ada apa?" "Oh, hanya perasaanku. Aku merindukan Michael." "Apa kau ingin aku tidur bersamamu?" aku bertanya. "Jika kau mau," jawabnya. "Oke," sahutku. Aku beranjak dari ranjangku dan mengikutinya ke kamarnya. Aku menyukai harum seprainya setelah ayahku tidak ada. Seprainya beraroma seperti tanah setelah terguyur hujan. "Aku akan membiarkan lampunya menyala sejenak karena aku ingin membaca buku. Apakah itu mengganggumu?" "Tidak," sahutku, dan segera kembali tertidur.
---oOo--Pagi harinya ia tidak membangunkan aku. Saat aku masuk ke dapur pukul setengah sembilan ia duduk di sana memegang secarik surat. "Surat dari nenekmu," katanya. "Ayahmu pulang ke Gorey." "Kapan surat itu tiba?"
"Kemarin." "Mengapa kau tak langsung membacanya?" "Aku tidak berani." "Tapi itu kan dari Nenek. Kau harus membukanya. Surat itu dari Nenek." "Aku sangat tahu siapa pengirim surat ini. Tak perlu kau-beritahu." Belum pernah ia marah kepadaku sejak aku pulang dari sekolah dan menemukannya terduduk di lantai lorong. "Dan siapa yang peduli kapan surat ini datang? Aku telah membacanya sekarang. Isinya hanya berita bahwa Michael pulang kepada ibunya. Bukankah itu yang kauinginkan? Bukankah kau ingin ia pulang ke sana?" Ini tidak masuk akal bagiku dan hatiku mulai diamuk amarah. Jika ada yang kembali ke Gorey, itu seharusnya adalah kami, bukan hanya dia. "Kenapa ia kembali ke Gorey?" aku bertanya. Aku hampir kehabisan napas. "Ayahmu telah berjanji akan terus bekerja, maka nenekmu mau menerimanya." "Jadi kapan kita dapat pulang ke Gorey?" "Mendekatlah kemari," katanya. "Mendekatlah dan duduk." "Aku tidak mau." "Terserah." Aku memungut surat dan meja dan membacanya. "Tapi Nenek bilang ingin bertemu dengan kita. Bukankah itu berarti kita akan kembali ke Gorey juga?" "Aku tidak tahu." "Tapi apa maksudnya?" "Mengapa kau tidak meneleponnya dan mencari tahu? Setelah itu, aku ingin kau pergi ke sekolah." "Tapi aku akan terlambat." "Terlambat sedikit."
---oOo---
Telepon Nenek berdering lama sekali sebelum akhirnya dijawab. "Halo, Nyonya Egan di sini," sahutnya. "Halo, Nenek? Ini aku, John."
"Halo, John. Bagaimana kabarmu?" "Aku berangsur membaik." "Dan ibumu? Bagaimana keadaannya?" "Ia juga baik." "Itu bagus." "Bagaimana Crito?" Aku membayangkan Crito duduk di ranjangku, menatap pepohonan di balik jendela seraya menjilati kakinya. Hidungnya mendengus. "Crito baik-baik saja. Ia tertidur di dekat perapian sambil mendengkur." "Apakah Pa ada di sana?" "Ya, ia ada di sini. Ia tiba Sabtu malam." "Tapi katanya ia akan tinggal bersama Paman Tony." "Ya, nyatanya ia kemari, dan ia selamat, itu yang terpenting." Napasku pendek dan dangkal. Untuk berbicara tanpa terengah-engah aku harus mengucapkan perlahan-lahan, satu kata demi satu kata.
"Tapi... apakah... ia... menceritakan... kepada... mu... apa... yang... telah... ia... lakukan? Apakah... ia... mengatakan... kepada... mu... apa... yang... telah... ia... lakukan... terhadap... ku... dan... Mami?" Ia menghela napas. "Kau harus berbicara dengan ayahmu mengenai masalah itu." Aku tak dapat berbicara. Kata-kata seakan tertelan kembali. Aku ingin ia berbicara untuk mengisi kekosongan dengan menanyakan pertanyaan sederhana. Pertanyaan seperti, "Apakah kau baik-baik saja?", tapi ia pun terdiam dan aku dapat mendengar deru napasnya di telepon. Aku merasa ia akan menyudahi pembicaraan. Kukatakan "Tahukah kau bahwa aku yang memberitahukan Mami apa yang sesungguhnya terjadi? Tahukah kau aku dapat mengetahui bahwa seseorang sedang berbohong?" "Sudah, sudah. Sekarang bukan saatnya membicarakan itu. Ini bukan opera sabun tempat orang menghamburkan isi hati bila mereka merasa kesal." Aku mendengar suara laki-laki di belakangnya. "Apakah itu Pa? Apa yang ia katakan?" "Ya, itu ayahmu. Ia baru saja memberitahu aku bahwa tukang pos telah datang." "Apakah ia mau berbicara denganku?" "Biar kutanyakan. Tunggu sebentar." Ia memanggil ayahku dan mengatakan sesuatu yang lain, sesuatu tentang Dublin. Mereka berbicara dalam bahasa Irlandia agar aku tak dapat memahaminya. Aku menunggu dan menunggu tapi telepon tetap hening dan aku mengira ia telah
menutupnya. Aku menunggu dan menunggu lagi, dan saat ia kembali, akhirnya ia terdengar berbicara dengan napas yang memburu. "Ia bilang ia menyayangimu." "Apakah ia tak ingin mengucapkan halo?" "Ya, tapi ia harus melakukan sesuatu saat ini." "Oh." "Kau mau mendengar ceritaku tentang seekor tikus di Gorey?" "Tidak!" sahutku. "Aku tak ingin mendengar ceritamu tentang seekor tikus di Gorey." "Aku yakin kau tak bermaksud kasar seperti itu, John." Aku tak menjawab, tak mampu berkata-kata. "Selamat tinggal, John." "Tunggu. Maukah kau melihat apakah ada surat yang datang untukku? Aku menunggu surat balasan dari Guinness Book of Records." "Aku akan meneleponmu jika ada. Bagaimana?" "Kau yakin tidak ada surat untukku?" "Aku yakin." "Baiklah."
"Jika Tuhan menghendaki, semuanya akan terjadi dengan sendirinya. Berdoalah untukku, jadilah anak yang baik, dan berdoalah untuk ayah dan ibumu. Dan untukmu sendiri, jika kau memiliki waktu." Aku menutup telepon tanpa mengucapkan selamat tinggal.
---oOo--Aku menyampaikan kepada ibuku semua perkataan nenekku dan Ibu tampak kesal, tapi tak mengucapkan apa pun. Ia merapatkan kedua tangannya ke cangkir teh. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" aku bertanya. "Ini sudah dingin," katanya. "Apakah kau peduli? Apakah kau tidak marah?" tanyaku. "Tidak ada gunanya." "Aku akan berangkat sekolah sekarang," ujarku.
---oOo---
Tapi aku tidak pergi ke sekolah. Aku membuka pintu depan sejenak dan menutupnya kembali, lalu diam-diam aku masuk ke kamarku dan duduk di ranjang. Setengah jam kemudian ibuku menyerbu masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. "Kukira kau pergi sekolah," serunya. "Ya," sahutku. "Tapi mereka sedang mengadakan studi ke luar sekolah. Dan karena aku tidak membawa surat izin darimu, guru memulangkan aku." Ia mengernyit. "Kau pembohong yang buruk untuk orang yang mengaku sebagai detektor kebohongan." Amarahku muncul kembali. Leherku sakit dan membengkak. Membuatku sulit bernapas. Aku menggerakkan kakiku dan memasukkan tangan ke saku seraya menatap ibuku. "Aku akan sekolah besok," sahutku. "Besok. Besok adalah hari pertama sisa hidupmu." Apakah ia berusaha memancing reaksiku dengan perkataan bodoh lainnya? "Aku akan menonton televisi sekarang," kataku. "Aku akan tidur," dia membalas. "Lagi?" "Aku tidak tidur tadi malam. Aku sangat lelah." "Kenapa kau tak dapat tidur?" "Aku tidak tahu." Aku beranjak dan duduk di bangku panjang. Alih-alih menyalakan televisi, aku membungkuk, menyandarkan kepalaku di lutut, dan mengguncangkan lututku naik turun. Aku sangat menginginkan ia kembali. Aku ingin ia seperti dulu lagi. Ia tak mungkin terus-terusan bersikap bodoh dan aneh seperti sekarang. Ini masalah yang harus dipecahkan sebelum terlambat.[]
33
Sebuah acara komedi sedang diputar Aku pernah merasa seperti ini saat Brendan. Sekarang aku merasakannya karena tak ada pengalih perhatian, untukku dan menyadari segalanya.
di televisi, tapi aku tak dapat menikmatinya. berada di bangsal penjaga sekolah bersama lagi, tidak dapat menghindar. Dan sekarang, dan aku sendirian, seakan semuanya terbuka
Aku menjadi sangat bersemangat, terlalu, dan meledak-ledak. Ketukan di pintu membuatku beranjak dan membukanya, tapi tak ada siapa pun di sana. Kupikir tadi itu Ayah. Masuk akal bila ia kembali sekarang. Aku duduk di lantai, dekat dengan layar televisi, tapi kenangan buruk datang. Kejadian teraneh dalam ingatanku, hal yang kukira telah kulupakan. Aku ingat saat aku berada di toilet rumah Brendan. Lama aku berada di dalam
toilet karena sulit buang air. Brendan berdiri di luar, menunggu. Aku dapat mendengarnya ia mengganti tumpuan kaki dan menarik napas. Akhirnya ia berseru, "Cepatlah," dan aku menjawab, "Aku sedang membuang yang sangat besar." Aku tak tahu mengapa aku mengatakan sedang membuang yang sangat besar, dan ia tertawa. Aku harus tetap berada di dalam toilet seperti di penjara hingga rona merah di wajahku berangsur pudar. Aku tak melihat apa yang lucu, tapi Brendan tetap tertawa dan berlari menceritakan apa yang baru saja kuucapkan kepada kakak perempuannya. Ia menggodaku sepanjang hari. Aku ingat kejadian itu dan wajahku memerah meski tak ada orang di ruang keluarga. Seakan otakku memutar film seramnya dengan suara sangat nyaring; sebuah film pikiran buruk, kenangan buruk, dan masing-masing pikiran lebih buruk dari yang muncul sebelumnya. Dan tak ada yang mampu menghentikan pemutaran film tersebut. Aku mendengar suara bel pintu dan membukanya. Tak ada orang. Aku memanggil. "Halo?" Apakah itu Ayah? "Halo?" Aku kembali ke ruang keluarga dan meninggikan volumenya, tapi otakku lebih kuat dan aku tak dapat mengendalikannya. Aku masuk ke dapur. Tidak ada yang dapat dimakan, tidak ada susu, roti, biskuit, atau Weetabix. Aku masuk ke kamar ibuku untuk mengambil beberapa keping koin dari dompetnya. Aku akan membeli makanan. Perlahan-lahan aku membuka pintu. Ia terjaga, duduk di ranjang, punggungnya bersandar ke papan di hulu ranjang. Ia sedang menatap dinding. "Kukira kau tidur," ujarku. "Aku tak dapat tidur."
"Kenapa?" "Sudah tujuh hari," katanya. "Tujuh hari dan aku hanya tidur sejenak. Aku dulu pernah. Kau percaya? Ibumu dulu pernah." Air mata bergulir di pipinya, tapi ia tak bersuara. "Apa maksudmu dulu pernah?" Lututku gemetar dan hampir terjatuh. "Aku dulu cantik. Tapi, hari tercantikku telah lewat. Aku tidak tahu kapan itu terjadi. Mungkin bulan kemarin atau musim dingin kemarin? Mungkin hari ulang tahun terakhirku atau yang sebelumnya?" Aku melipat lenganku demi melakukan sesuatu agar tidak terlihat gugup. Aku tak memahami maksud perkataan tentang penampilannya. Ia tidak buruk rupa dan ia tidak tua. "Hari terakhir aku terlihat cantik telah lewat dan tidak ada peringatan.
Dan itu telah terlewat." Ia meraih gelas berisi air di ranjang dan meneguknya sedikit. Bibirnya kering dan terkelupas. "Suatu saat nanti tidak penting lagi cermin seperti apa yang kugunakan, tidak penting lagi cahaya yang ada, terang atau gelap, aku akan tampak tua." "Tapi kau tidak tua," ucapku. "Kau tak pernah buruk rupa. Itu hanya karena akhir-akhir ini rambutmu acakacakan dan tumbuh sedikit uban." "Kemarilah sebentar." "Tidak," sahutku. Aku sedang tidak ingin berada di dekatnya. "Apakah kau merindukan ayahmu?" "Semacam itulah." "Aku berbicara dengannya hari ini. Aku mengatakan bahwa aku memaafkannya, tapi ia tak mau kembali. Ia berkata bahwa kita telah mempermalukannya. Ia berkata bahwa ia telah disingkirkan." "Kenapa kita tidak pergi saja ke Gorey?" "Kita tidak diterima di sana." "Ya, kita diterima di sana." "Tidak. Kita tidak diterima. Kita tidak diterima di sana." "Kenapa?" "Karena kita telah mencemarkan nama baik keluarga ayahmu, dan itu tidak termaafkan." "Itu adalah kebenaran. Kau berharap apa yang akan kukatakan? Aku melindungimu." Ia tertawa. Tawa yang aneh, seperti menyalak atau batuk berulang-ulang. "Melindungiku dan apa? Sifilis? Gonore?" Ia tertawa lagi. "Lihat dirimu. Seorang anak berumur sebelas tahun dengan tubuh pria dewasa yang memaksakan kebenaran konyol dan terjebak dalam kebiasaan berbohong yang buruk." Aku melangkah mendekati ranjang dan ia menarik selimut hingga menutupi lehernya.
"Aku bukan pembohong. Ayahlah yang pembohong," seruku. "Kau seharusnya mengatakan bahwa kebenaran ada di atas segalanya." "Aku ingin menghindari penderitaan bila aku mampu. Kurasa itulah yang diinginkan semua orang." "Itu pikiran yang bodoh." "Tentu saja. Tapi lebih baik tidak tahu daripada harus merasakan sakit hati." "Kau bodoh," sahutku. "Aku tidak mengerti kenapa kau begitu bodoh." "Mungkin aku memang bodoh. Kenapa kau tidak membuat sendiri roti lapis?" "Tidak ada roti," sahutku seraya meninggalkan ruangan tanpa ingat mengambil
uang.
---oOo--Keesokan harinya aku tidak pergi sekolah. Aku diam di rumah dan menyantap spageti langsung dari pancinya, bubur beras dari kalengnya, dan menonton televisi seharian. Aku turun ke toko di bawah, membeli roti dan teh. Aku membawakan sepoci teh dan sepiring roti panggang untuk ibuku. Saat aku mengatakan khawatir karena ia tidak dapat tidur, ia menjawab jangan mencemaskan dirinya. Ia bilang ini hanya flu, flu berat, hanya itu. "Tapi kau tidak tidur. Dan kau selalu kelelahan. Tak dapatkah kau beranjak dan ranjang? Kita lakukan sesuatu." "Apa yang akan kaulakukan?" "Apa pun. Mungkin berjalan-jalan ke Jalan Grafton atau mengunjungi kebun binatang." "Mungkin besok." "Dulu kau selalu ingin melakukan sesuatu. Dulu kau ingin pergi ke pantai dan berjalan-jalan." "Dan nanti aku akan melakukannya lagi. Sekarang aku hanya lemah karena flu." "Kau tak pernah menderita flu berat sebelumnya. Dan flu tidak mengubah orang menjadi berbeda seperti ini." "Baiklah, aku lebih tua sekarang." Aku ingin menghentikannya berkata sudah tua. Aku ingin memecahkan vas di sampingn