AKTIVITAS DAN KARAKTER SENYAWA INHIBITOR ACE Streptomyces sp. AEP-1 ENDOFIT TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica)
ANNA MARIAM FADHILAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aktivitas dan Karakter Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 Endofit Tanaman Pegagan (Centella asiatica) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 29 Agustus 2012
Anna Mariam Fadhilah G351090211
ABSTRACT ANNA MARIAM FADHILAH. ACE Inhibitor Activities and Characterities of Endophytic Streptomyces sp. AEP-1 from Pegagan (Centella asiatica). Under direction of YULIN LESTARI and SRI BUDIARTI. Centella asiatica has long been used to control hypertension. Endophytic Streptomyces sp. AEP-1 from Centella asiatica has been proven to have Angiotensin Converting Enzyme inhibitor activity, which is one of mechanism to control hypertension. This study aimed to assess the ability of Streptomyces sp. AEP-1 to produce ACE inhibitor and characterize the ACE inhibitor compound. The AEP-1 was grown on YMA, WA, YSA, and OM media and incubated at room temperature for 28 days. To find the optimum ACE inhibitor activity over the growth period, the AEP-1 was cultured on YMB medium and harvested at day 5, 10, 15, and 20 for the crude extract and biomass. Crude extract contained ACE inhibitor compound was assessed for its in vitro activity based on ACE inhibitor assay using hypuryl-hystidyl-leucin as substrate. Protein in the crude extract was precipitated using 80% acetone and then fractionationated using gel filtration chromatography. Its molecular weight was measured using SDS-PAGE. The results showed that AEP-1 grew well on YMA medium within 14 days incubation. ACE inhibitor activity was optimally obtained at day-10 with 86,8% activity and become 127,7% after precipitation using acetone. From the protein fractionation, there were 9 fractions obtained which have various absorption peaks. The no. 74 fraction produced the highest ACE inhibitor activity of 86,6%. SDS-PAGE of the fractions showed a protein molecular weight of 30,42 kDa and 58,76 kDa with 39,04% and 53,07% activity. Based on the activity of ACE inhibitors on the two protein bands were suspected acting as an ACE inhibitor is a protein complex. Keywords: endophytic actinomycetes, Centella asiatica, hypertension, ACE inhibitor.
RINGKASAN ANNA MARIAM FADHILAH. Aktivitas dan Karakter Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 Endofit Tanaman Pegagan (Centella asiatica). Dibimbing oleh YULIN LESTARI dan SRI BUDIARTI. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas normal, yaitu 140/90 mmHg. Obat kimia paten yang digunakan sebagai obat hipertensi antara lain adalah obat dari golongan inhibitor Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Inhibitor ACE bekerja dengan menghambat ACE dalam membentuk angiotensi II dan mendegradasi bradikinin sebagai substrat kompetitif. ACE meregulasi keseimbangan antara penyempitan pembuluh oleh angiotensin II dan pelebaran pembuluh darah oleh bradikinin. Pegagan (Centella asiatica) telah lama digunakan sebagai obat herbal untuk mengatasi hipertensi. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa mikrob endofit mampu menghasilkan senyawa yang sama seperti yang dihasilkan oleh inangnya. Streptomyces sp. AEP-1 endofit tanaman pegagan terbukti mampu menghasilkan senyawa inhibitor ACE dengan aktivitas yang tinggi sebesar 279,2%, sehingga potensial untuk digunakan sebagai obat anti hipertensi. Namun demikian, karakterisasi senyawa inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 belum dikaji. Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan Streptomyces AEP-1 endofit tanaman Pegagan dalam menghasilkan inhibitor ACE melalui kajian aktivitas dan karakterisasi. Isolat AEP-1 ditumbuhkan pada media YMA, WA, YSA, OM dan diinkubasi pada suhu ruang selama 28 hari. Untuk mencari aktivitas inhibitor ACE optimum, isolat dikulturkan pada media YMB dan di panen pada hari ke-0, 5, 10, 15, dan 20 untuk diambil supernatan dan biomassanya. Supernatan yang didapat diukur aktivitas inhibisinya terhadap ACE secara in vitro menggunakan metode inhibitor ACE assay dengan HHL sebagai substrat. Protein dalam ekstrak kasar diendapkan menggunakan aseton 80% kemudian di fraksinasi menggunakan kromatografi filtrasi gel dan diukur bobot molekulnya dengan SDS-PAGE. Hasil menunjukkan bahwa isolat AEP-1 tumbuh baik pada media kaya YMA dengan waktu inkubasi 14 hari. Pada media cair YMB, waktu inkubasi yang dibutuhkan lebih cepat, hanya dalam 5 hari inkubasi isolat sudah menghasilkan biomassa yang cukup banyak, hal ini dikarenakan ketersediaan oksigen yang lebih banyak pada media cair yang digoyang. Senyawa inhibitor ACE yang dihasikan oleh AEP-1 merupakan ekstraseluler metabolit sekunder. Hal ini terlihat dari waktu optimum produksi biomassa dan aktivitas tertinggi inhibitor ACE yang terdapat pada fase awal stasioner. Aktivitas inhibitor ACE optimum didapat pada hari ke-10 dengan aktivitas sebesar 86,8%. Pengujian keberadaan flavonoid pada ekstrak kasar AEP-1 menunjukkan hasil negatif, sehingga kuat dugaan bahwa senyawa inhibitor ACE yang dihasilkan berupa protein. Aktivitas inhibitor ACE dapat ditingkatkan menjadi 127,7% dengan pengendapan menggunakan aseton 80%. Fraksinasi terhadap protein hasil pengendapan mendapatkan 9 fraksi yang memiliki serapan puncak. Fraksi no.74 merupakan fraksi dengan aktivitas inhibitor ACE tertinggi sebesar 86,6%, aktivitas ini lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol positif Captopril
0,01 mg/ml dan 0,02 mg/ml yang memiliki aktivitas sebesar 39,3% dan 53,1%. SDS-PAGE terhadap fraksi tersebut menunjukkan bobot molekul protein sebesar 30,42 kDa dan 58,76 kDa dengan aktivitas inhibitor ACE masing-masing sebesar 39,04% dan 53,07%. Berdasarkan adanya aktivitas inhibitor ACE pada kedua pita tersebut, diduga protein yang berperan sebagai inhibitor ACE merupakan komplek protein. Aktivitas inhibitor ACE gabungan kedua protein pada fraksi 74 lebih besar jika dibandingkan dengan aktivitas protein dalam keadaan terpisah. Hal ini menunjukkan bahwa kedua protein tersebut memiliki situs aktif yang dapat berikatan dengan ACE pada kondisi tunggal, namun aktivitasnya akan lebih optimal jika protein tersebut membentuk komplek. Kata kunci: aktinomiset endofit, Centella asiatica, hipertensi, inhibitor ACE
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
AKTIVITAS DAN KARAKTER SENYAWA INHIBITOR ACE Streptomyces sp. AEP-1 ENDOFIT TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica)
ANNA MARIAM FADHILAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Hasim Danuri, DEA.
Judul
: Aktivitas dan Karakter Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 Endofit Tanaman Pegagan (Centella Asiatica)
Nama
: Anna Mariam Fadhilah
NRP
: G351090211
Program Studi
: Mikrobiologi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yulin Lestari Ketua
Dr. dr. Sri Budiarti Anggota
Diketahui Ketua Mayor Mikrobiologi
Dekan Sekolah Pasacasarjana IPB
Prof. Dr. Anja Meryandini, MS.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 29 Agustus 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 hingga Maret 2012 ini adalah Aktivitas dan Karakter Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 Endofit Tanaman Pegagan (Centella Asiatica). Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Yulin Lestari dan Dr. dr. Sri Budiarti atas bantuan, bimbingan, dan sarannya kepada penulis selama menempuh pendidikan S2. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada DR. Ir. Yulin Lestari yang telah membiayai penelitian ini melalui Hibah Penelitian Pascasarjana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Tanoto Foundation yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama dua semester. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kepala dan staf laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA IPB, laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis PPSHB IPB, serta laboratorium Uji Biofarmaka IPB atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada bapak, ibu, suami, adikadik, dan anak-anak tercinta atas segala pengertian, semangat, doa, dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 29 Agustus 2012
Anna Mariam Fadhilah G351090211
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Januari 1985 sebagai anak dari pasangan DR. Ir. H. Suswono MMA dan Mieke Wahyuni. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Pada tahun 2008 penulis menikah dengan Jaya Dharwiniar Cipta S.Hut dan memiliki dua orang anak. Tahun 2002 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor, pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam IPB melalui jalur Undangan Seleksi masuk IPB. Pada tahun 2006 penulis meraih penghargaan emas dalam penulisan karya ilmiah pada Program Kreativitas Mahasiswa di Pekan Ilmiah Nasional XIX. Penulis menyelesaikan studi S1 pada tahun 2007 dan pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi pada Mayor Mikrobiologi, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Tanoto Foundation pada semester 3 dan 4.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................... 1 Tujuan ........................................................................................................ 2 Manfaat ...................................................................................................... 3 Waktu dan Tempat ..................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA Hipertensi ................................................................................................... 4 Angiotensin Converting Enzyme (ACE) .................................................... 5 Inhibitor Angiotensin Converting Enzyme ................................................. 6 Pegagan (Centella asiatica) ....................................................................... 8 Aktinomiset Endofit................................................................................... 9 BAHAN DAN METODE Bahan .........................................................................................................11 Metode .......................................................................................................11 Peremajaan Streptomyces sp. AEP-1 ...............................................11 Penentuan Waktu Produksi Senyawa Inhibitor ACE Terbaik .........11 Pengukuran Aktivitas Inhibitor ACE ...............................................12 Produksi dan Panen Ekstrak Kasar Senyawa Inhibitor ACE ...........12 Penentuan Jenis Senyawa Inhibitor ACE AEP-1 .............................12 Pengendapan Protein ........................................................................13 Pengukuran Konsentrasi Protein ......................................................13 Kromatografi Filtrasi Gel .................................................................14 Penentuan Fraksi Aktif .....................................................................14 Pendugaan Bobot Molekul (BM) Fraksi Aktif Dengan SDSPAGE ...............................................................................................14
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pertumbuhan Streptomyces sp. AEP-1 ...............................15 Aktivitas Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 .....................16 Karakteristik Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 ...............18 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ................................................................................................26 Saran ..........................................................................................................26 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................27 LAMPIRAN ........................................................................................................32
DAFTAR TABEL Halaman 1
Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC VII (JNC VII 2004) ...................... 5
2
Obat hipertensi golongan inhibitor ACE (Brown & Voughan 1998) ............ 7
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Regulasi ACE terhadap keseimbangan antara angiotensin II dan bradikinin (Brown & Vaughan 1998) ........................................................................... 6
3
Struktur Captopril ........................................................................................ 7
2
Pegagan (Centella asiatica) 8
4
Streptomyces sp. AEP-1 pada media YMA berumur 14 hari ...................... 15
5
Aktivitas inhibitor ACE (
) dan biomassa (
) pada hari panen ke-5,
10, 15, dan 20............................................................................................... 17 6
Hasil negatif keberadaan flavonoid pada ekstrak kasar AEP-1 ditunjukkan dari tidak adanya warna yang terbentuk pada lapisan amil alkohol ............ 18
7
Konsentrasi protein hasil pengendapan ...................................................... 19
8
Aktivitas inhibitor ACE hasil pengendapan ................................................ 19
9
Serapan fraksi hasil kromatografi filtrasi gel protein Streptomyces sp. AEP-1 pada panjang gelombang 215 nm ............................................... 20
10
Aktivitas inhibitor ACE 9 fraksi hasil kromatografi filtrasi gel yang memiliki serapan puncak pada panjang gelombang 215nm ....................... 21
11
Bobot molekul fraksi no.74 yang diduga sebagai inhibitor ACE ................ 22
12
Aktivitas inhibitor ACE dua pita protein hasil SDS-PAGE ........................ 23
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Komposisi media peremajaan Streptomyces sp. AEP-1 .............................. 33
2
Standar protein bovin serum albumin .......................................................... 34
3
Standar marker SpectraTM multicolor low range no. 26628 ....................... 35
PENDAHULUAN
Latar Belakang Darah tinggi atau hipertensi merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita penduduk di negara berkembang maupun negara maju. Penyakit ini cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kematian mendadak bagi penderitanya. Hipertensi merupakan penyakit gangguan sistem peredaran darah akibat adanya kenaikan tekanan darah di atas 140/90 mmHg yang dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa (JNC VII 2004). Obat kimia komersial yang biasa digunakan sebagai obat hipertensi antara lain adalah obat dari golongan inhibitor Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Inhibitor ACE bekerja dengan menghambat ACE dalam membentuk angiotensi II dan mendegradasi bradikinin sebagai substrat kompetitif. ACE meregulasi keseimbangan antara penyempitan pembuluh oleh angiotensin II dan pelebaran pembuluh darah oleh bradikinin (Brown & Vaughan 1998). Untuk mengurangi penggunaan obat-obatan kimia sintetis, sejak tahun 1990-an mulai dicari sumber senyawa alami baru yang memiliki fungsi sebagai penurun tekanan darah. Tumbuhan merupakan salah satu sumber senyawa alami potensial karena telah digunakan secara turun temurun sebagai alternatif pengobatan, khususnya bagi penduduk Indonesia yang biasa menggunakan jamu sebagai obat. Tempuyung (Sonchus arvensis), belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), mengkudu (Morinda citrifolia), sambiloto (Andrographis paniculata) dan pegagan (Centella asiatica) adalah beberapa contoh tanaman yang digunakan sebagai obat anti hipertensi (Wijayakusuma & Dhalimartha 2005). Kemampuan pegagan dalam menurunkan tekanan darah bahkan telah terbukti secara ilmiah. Hansen et al. (1995) berhasil mendapatkan dan menguji aktivitas inhibitor ACE senyawa kuersetin dari pegagan, sedangkan Loh dan Hadira (2011) mengekstrak senyawa yang diduga berupa protein yang juga memiliki aktivitas inhibitor ACE. Mikrob merupakan sumber potensial penghasil inhibitor ACE alami selain tanaman. Hal ini dikarenakan waktu yang dibutuhkan oleh mikrob dalam memperbanyak diri relatif singkat dan tidak membutuhkan lahan yang luas dalam
produksinya, sehingga akan lebih cepat dan mudah jika dibandingkan dengan mengambil senyawa aktif dari tanaman. aktinomiset, terutama dari genus Streptomyces mendapat perhatian besar sebagai penghasil senyawa baru inhibitor ACE karena kemampuanya dalam menghasilkan banyak senyawa metabolit, diantaranya antibiotik, enzim, enzim inhibitor, biopigmen, dan immunomodifier. Selain mikrob yang hidup bebas, mikrob endofit juga sangat potensial digunakan sebagai penghasil suatu senyawa baru, hal ini dikarenakan kemampuan mikrob endofit dalam menghasilkan senyawa metabolit yang serupa dengan metabolit inangnya (Tan & Zou 2001). Bacon dan White (2000) mendefinisikan endofit sebagai mikrob yang hidup berkoloni dalam jaringan tanaman yang tidak menimbulkan efek negatif bagi tanaman inangnya. Menurut Tan dan Zou (2001) setiap tanaman tingkat tinggi dapat mengandung sejumlah mikrob endofit, mikrob endofit ini dapat berupa cendawan dan bakteri termasuk aktinomiset. Beberapa penelitian
menunjukkan
bahwa
aktinomiset
endofit
tanaman
mampu
menghasilkan senyawa yang sama seperti yang dihasilkan oleh tanaman inangnya. Streptomyces NRRL 30566, yang berasal dari daun Gravillea pteridifolia, diketahui mampu menghasilkan antibiotik Kakadumycins sama seperti tanaman inangnya (Castillo et. al, 2003). Aktinomiset endofit penghasil senyawa antihiperlipidemia juga telah diisolasi dari Jati Belanda (Guazuma ulmifolia) (Wirawan 2009). Sari (2011) berhasil mengisolasi Streptomyces sp. AEP-1 endofit tanaman pegagan yang mampu menghasilkan senyawa inhibitor ACE dengan aktivitas yang tinggi sebesar 279,2%, sehingga potensial untuk digunakan sebagai obat anti hipertensi.
Namun demikian, karakterisasi senyawa inhibitor
ACE Streptomyces sp. AEP-1 belum dikaji. Langkah ini diperlukan sebagai dasar pengembangan potensinya lebih lanjut.
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan Streptomyces AEP-1 endofit tanaman pegagan dalam menghasilkan inhibitor ACE melalui kajian aktivitas dan karakterisasi senyawa aktifnya.
Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi ilmiah tentang peran Streptomyces sp. AEP-1 sebagai penghasil inhibitor ACE dan karakter senyawa yang dihasilkannya sebagai dasar pengembangan produk obat hipertensi.
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari 2011 hingga Maret 2012 di laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA IPB, laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis PPSHB IPB dan di laboratorium Uji Biofarmaka IPB.
TINJAUAN PUSTAKA
Hipertensi Penyakit hipertensi atau darah tinggi merupakan penyakit tidak menular yang perlu diwaspadai dan diperhatikan dengan serius karena hipertensi merupakan penyebab kematian nomor tiga terbesar setelah stroke dan tuberkulosis, yakni mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia (Riskesdas 2007). Dilaporkan bahwa sebesar 31,7% penduduk dewasa di Indonesia menderita penyakit ini. Penyakit ini juga banyak diderita oleh penduduk dunia, di negara-negara Afrika sekitar 30% dari populasi penduduk dewasanya terindikasi menderita penyakit ini (Addo et al. 2007), sedangkan di Amerika Serikat penyakit ini diderita oleh 25% orang dewasanya (Field et al. 2004). Hipertensi diindikasikan dengan kondisi tekanan darah sistolik seseorang diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Hal ini terjadi akibat menyempitnya pembuluh darah sehingga menaikkan tekanan darah. Hipertensi dikategorikan menjadi hipertensi esensial dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial terjadi dengan sebab yang belum diketahui, sedangkan hipertensi sekunder terjadi akibat dari penyakit ginjal, kelainan endokrin, penurunan fungsi organ tubuh, atau karena pemakaian obat (Howel et al. 2004). Joint National Committee on the Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure VII (JNC VII 2004) mengklasifikasikan hipertensi menjadi tiga tahap (Tabel 1). Semakin tinggi tahap hipertensi yang diderita, resiko kematiannya akan semakin besar. Pengklasifikasian ini juga berfungsi untuk penentuan jenis pengobatan yang dilakukan karena tiap tahapan membutuhkan terapi pengobatan yang berbeda (Howel et al. 2004). Penyakit hipertensi dapat menimbulkan komplikasi dengan munculnya penyakit lain. Penyakit tersebut ialah kerusakan otak karena pecahnya pembuluh darah (stroke) akibat tekanan yang tinggi, kerusakan jantung akibat pembesaran otot jantung kiri karena harus bekerja memompa darah dengan lebih kuat, kerusakan ginjal akibat tekanan darah yang tinggi pada pembuluh darah, dan
kerusakan mata karena tekanan darah yang tinggi menekan pembuluh darah mata dan syaraf sehingga penglihatan terganggu.
Tabel 1 Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC VII (JNC VII 2004) Tekanan Sistolik
Tekanan Diastolik
(mmHg)
(mmHg)
Optimal
100 – 120
75 - 80
Normal
120 – 129
80 - 84
Perbatasan (High Normal)
130 – 139
85 - 89
Tahap 1
140 – 159
90 - 99
Tahap 2
160 – 179
100 - 109
Tahap 3
>180
<110
Kategori
Hipertensi
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) ACE atau kinase II (bivalent dipeptidyl carboxyl metalopeptidase) (EC 3.4.15.1) adalah ektoenzim multifungsi yang berperan dalam regulasi peredaran darah. Enzim ini terikat pada membran sel endothelial, epitel, epitel syaraf, dan otak, terlarut dalam darah dan cairan tubuh (Brown & Vaughan 1998). ACE mengkatalisis pelepasan dipeptida histidil-leusin dengan mengikat dipeptida pada ujung C dari angiotensin I sehingga menghasilkan oktapeptida angiotensin II, yang berpotensi sebagai vasoconstrictor (penyempit pembuluh) (Riordan 2003) dan juga menghidrolisa serta menginaktivasi vasodilatory (pelebar pembuluh) bradikinin. Angiotensin II berfungsi untuk sekresi aldosteron yang menyebabkan retensi sodium sehingga meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang mengakibatkan salah satu faktor terjadinya hipertensi. Angiotensin II juga berfungsi untuk kontraksi jaringan vaskuler sehingga meningkatkan resistensi periferal yang mengakibatkan hipertensi, sedangkan bradikinin berfungsi untuk melemaskan otot pembuluh darah (Hansen et al. 1995). ACE meregulasi keseimbangan antara vasodilatory dan natriuretic properties dari bradikinin dan vasoconstrictive dan salt-retentive properties dari
angiotensin II (Gambar 1). ACE akan teraktivasi bila berikatan dengan seng dan klorida (Brown & Vaughan 1998).
Gambar 1 Regulasi ACE terhadap keseimbangan antara angiotensin II dan bradikinin (Brown & Vaughan 1998).
Inhibitor Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor ACE telah digunakan secara luas dalam mengobati penyakit darah tinggi. Penggunaan inhibitor ACE sebagai agen terapi dalam pengobatan hipertensi telah mengurangi angka kematian yang disebabkan oleh penyakit ini. Inhibitor ACE bekerja dengan menghambat ACE dalam membentuk angiotensi II dan mendegradasi bradikinin sebagai subtrat kompetitif bagi ACE (Brown & Vaughan 1998). Obat kimia paten golongan inhibitor ACE, dapat diklasifikasikan kedalam tiga grup berdasarkan struktur kimianya yaitu inhibitor ACE yang mengandung gugus sulfhydryl, carboxyl, dan phosphinyl (Tabel 2). Captopril (Gambar 2) merupakan inhibitor ACE dengan gugus sulfhidril yang paling umum digunakan saat ini. Penggunaan obat kimia sintetis secara terus menerus dikhawatirkan dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh, sehingga pencarian terhadap senyawa alami dengan aktivitas inhibitor ACE perlu terus ditingkatkan. Beberapa sumber makanan yang mengandung protein seperti ikan, gelatin, kedelai, dan protein susu dilaporkan mengandung peptida aktif yang dapat berfungsi sebagai inhibitor ACE (Ariyoshi 1993). Kasokinin dan laktokinin merupakan inhibitor ACE hasil dari hidrolisis enzimatik selama fermentasi kasein dan gandum (Meisel & Schimme 1994; Fitzgerald & Meisel 1999). Saat ini sudah
Tabel 2 Obat hipertensi golongan inhibitor ACE (Brown & Vaughan 1998) Jenis Obat
Captopril
Enalapril Lisinopril Benazipril Quinamipril
Zinc ligand
Sulfhydryl Carboxyl
Ramipril
Trandonapril Moexipril
Fisinopril
Carboxyl
Carboxyl
Carboxyl
Carboxyl
Carboxyl
Carboxyl
Phosphinyl
Prodrug
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
TmaxActivedrug
0.7 – 0.9
2-8
6-8
1-2
2
3
4-10
1.5
3
Rute Eliminasi
Ginjal
Ginjal
Ginjal
Ginjal
Ginjal
Ginjal
Ginjal, Hati
Ginjal
Hati,Ginjal
Dosis, mg
6.25-300
60
6-60
>37
>60
50-60
70
13
36
Gambar 2 Struktur Captopril.
ada produk makanan yang mengandung inhibitor ACE sebagai suplemen untuk menjaga keseimbangan peredaran darah agar tidak terjadi hipertensi. Contoh dari produk yang mengandung peptida inhibitor ACE ialah Ameal S (Calpis Co. Ltd., Tokyo, Jepang), yaitu tablet susu asam yang mengandung inhibitor ACE hasil dari fermentasi kasein oleh Lactobacillus helveticus dan Saccharomyces cerevisiae (Nakamura et al. 1995). Senyawa inhibitor ACE yang diperoleh dari hasil fermentasi bakteri berupa protein, namun senyawa inhibitor ACE yang diekstrak dari tanaman umumnya berupa flavonoid. Goretta et al. (2003) mendapatkan senyawa flavan3-ols dari tanaman coklat, sedangkan Hansen et al. (1995) mendapatkan kuersetin dari tanaman pegagan.
Pegagan (Centella asiatica) Pegagan (Centella asiatica) merupakan terna menahun yang mempunyai batang pendek, berbentuk roset, dan stolon-stolon yang merayap dengan panjang 10-80 cm. Tinggi tumbuhan ini berkisar 10-50 cm, memiliki daun satu helaian yang tersusun roset akar terdiri dari 2-10 helai daun. Daunnya berwarna hijau, berbentuk seperti kipas, atau ginjal, permukaan dan punggunngnya licin, tepinya agak melengkung ke atas, bergerigi, dan kadang berambut. Tulang daunnya berpusat di pangkal dan tersebar ke ujung, berdiameter 1-7 cm (Gambar 3). Tumbuhan ini tersebar di daerah dataran rendah sampai dengan ketinggian 2500 m dpl. Pegagan menyukai tanah agak lembab, cukup sinar matahari atau agak terlindung (Heyne 1987; Dalimarta 2000).
Gambar 3 Pegagan (Centella asiatica).
Pegagan diklasifikasikan ke dalam ordo Monocotyledonae, family Umbelliferae, genus Centella. Beberapa nama daerahnya di Indonesia antara lain kaki kuda (Sumatra), pegagan (Jawa), antanan (Sunda), kos tekosan (Madura) dan kisu-kisu (Sulawesi). Nama asingnya adalah gotu kola (Amerika), indian hydrocotyle (Inggris), dan ji xue cao (Cina) (Heyne 1987). Tumbuhan yang umumnya tumbuh liar ini, berasal dari kawasan asia terutama pada daerah tropis. Khasiat pegagan tidak hanya terkenal di Indonesia, tumbuhan ini juga digunakan sebagai obat herbal di negara lain seperti Malaysia, Thailand, China, dan India. Selama ratusan tahun, pegagan telah digunakan sebagai obat berbagai macam penyakit, seperti asma, epilepsi, bronkitis, lepra, amnesia, alzeimer, anti depresi dan darah tinggi (Vohra et al. 2011). Dalam kaitannya dengan terapi penyakit hipertensi, pegagan telah terbukti secara ilmiah menghasilkan senyawa antihipertensi. Hansen et al. (1995), mendapatkan senyawa kuersetin, sedangkan Loh dan Hadira (2011) menguji senyawa yang diduga berupa protein yang memiliki akifitas inhibitor ACE sebesar 48,45%.
Aktinomiset Endofit Aktinomiset, terutama dari genus Streptomyces mendapat perhatian besar untuk diteliti karena kemampuannya menghasilkan banyak senyawa metabolit, diantaranya antibiotik, enzim, enzim inhibitor, biopigmen, dan immunomodifier. Berdasarkan analisis 16S rRNA aktinomiset diklasifikasikan ke dalam domain Bakteria, filum Actinobacteria, kelas Schizomycetes dan ordo Actimomycetales (Hayakawa 2003). Aktimomiset adalah bakteri gram positif yang kaya kandungan GC, yaitu sekitar 57-75% (Lo et al. 2002). Aktinomiset mudah dibedakan dengan bakteri lainnya karena bentuk koloninya yang keras yang tumbuh seperti akar di dalam medium agar. Koloni Aktinomiset berbentuk bulat cembung dengan tepian rata dan tidak beraturan dengan permukaan bertepung, licin, kasar, atau keriput (Miyadoh 2003). Siklus hidup aktinomiset dimulai dengan berkecambahnya spora dan membentuk miselium vegetatif diikuti dengan pembentukan hifa yang masuk ke dalam medium. Hifa aerial terbentuk pada permukaan medium dan mengalami fragmentasi membentuk spora. Secara morfologi aktinomiset lebih mirip dengan
cendawan daripada dengan bakteri pada umumnya karena membentuk miselium, namun miselium cendawan lebih tebal dari miselium aktinomiset (Miyadoh 2003). Aktinomiset banyak ditemukan di dalam tanah terutama pada bagian topsoil dan jumlahnya semakin berkurang seiring dengan bertembahnya kedalam tanah. Populasinya pada tanah rizosfer (sekitar perakaran) rumput mendekati 40% dari total mikroflora tanah. Pertumbuhan optimum aktinomiset tercapai pada pH netral dengan kisaran suhu 25-300C. Aktinomiset umumnya tergolong bakteri aerob yang bersifat saprofit, dorman dalam bentuk spora yang akan berkembang menjadi miselium apabila nutrisi, suhu, kelembaban, dan kondisi lainnya sesuai dengan syarat tumbuhnya (Alexander 1961; Miyadoh 2003). Selain di tanah, telah ditemukan juga aktinomiset endofit pada tanaman. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa mikrob endofit mampu menghasilkan senyawa yang sama seperti yang dihasilkan oleh inangnya. Streptomyces NRRL 30566, yang berasal dari daun Gravillea pteridifolia yang tumbuh di Australia sebelah utara, diketahui mampu menghasilkan antibiotik kakadumisin sama seperti tanaman inangnya (Castillo et. al, 2003). Antibiotik berspektrum luas munumbisin, dihasilkan oleh Streptomyces sp. Strain NRRL 30562, yang endofit pada Kennedia nigricans. Munumbisin dapat menghambat dan membunuh bakteri gram positif seperti Bacillus antrachis dan bakteri yang resisten terhadap berbagi obat Mycobacterium tuberculosis (Castillo et. al, 2002). Irawan (2009) mendapatkan isolat aktinomiset endofit Temulawak (Curcuma xanthorhiza) yang menghasilkan senyawa antidiabetes, sedangkan Wirawan (2009) mengisolasi aktinomiset endofit penghasil senyawa antihiperlipidemia dari Jati Belanda (Guazuma ulmifolia). Aktinomiset endofit telah dapat diisolasi dari beberapa tanaman yang biasa digunakan sebagai obat darah tinggi yaitu pegagan dan belimbing wuluh (Sari 2011). Dari kedua tanaman tersebut diperoleh 12 isolat aktinomiset endofit yang memiliki kemampuan menghasilkan inhibitor ACE. Salah satu isolat diantaranya yaitu Streptomyces sp. AEP-1 yang diisolasi dari daun pegagan memiliki aktivitas yang sangat baik, yaitu sebesar 279,2%. Isolat ini sangat potensial sebagai penghasil senyawa inhibitor ACE alami.
BAHAN DAN METODE
Bahan Bahan-bahan yang digunakan antara lain, isolat Streptomyces sp. AEP-1, media Yeast Malt Agar (YMA), Water Agar (WA), Yeast Soluble Starch Agar (YSA), Oatmeal Agar (OM), dan Yeast Malt Broth (YMB), hypuryl-histidylleucin (HHL) (Sigma Aldrich Co.), enzim ACE (ACE-A6778, Sigma Aldrich Co.), dapar sodium borat pH 8,3, HCl, etil asetat, Captopril, aseton, amonium sulfat, dapar fosfat 0,1 m pH 7, sephadex G-25, sodium dodesil sulfat, perak nitrat, dan marker protein SpectraTM multicolor low range no. 26628.
Metode
Peremajaan Streptomyces sp. AEP-1 Streptomyces sp. AEP-1 diremajakan pada empat media berbeda yaitu YMA, WA, YSA dan OM (Lampiran 1). Isolat diinkubasi pada suhu ruang selama 28 hari.
Media dengan pertumbuhan koloni terbaik dan tercepat
digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya.
Penentuan Waktu Produksi Senyawa Inhibitor ACE Terbaik Sebanyak tiga lup isolat Streptomyces sp. AEP-1 pada media YMA berumur 14 hari diinokulasikan ke dalam 30 ml media YMB. Isolat diinkubasi selama 20 hari. Pada hari ke-0, 5, 10, 15 dan 20 biakan dipanen. Supernatan dan biomassa dipisahkan dengan disentrifugasi pada 1432 x g, 4°C, selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh digunakan untuk uji aktivitas inhibitor ACE, sedangkan biomassanya dikeringkan di dalam oven pada suhu 80oC selama 24 jam dan kemudian ditimbang. Aktivitas inhibitor ACE pada setiap hari panen dibandingkan dengan biomassanya, hari panen dengan aktivitas tertinggi digunakan sebagai hari optimum untuk produksi senyawa inhibitor ACE. Masingmasing perlakuan dibuat ulangan tiga kali.
Pengukuran Aktivitas Inhibitor ACE Aktivitas inhibitor ACE diukur dengan menggunakan metode Hayes et al. (2007). Sebanyak 200 µl larutan HHL (5mM HHL dalam 0,1 M dapar sodium borat mengandung 0.3 M NaCl, pH 8.3) ditambahkan 80 µl ekstrak inhibitor dan diinkubasi selama 3 menit pada suhu 370C. Larutan kemudian ditambahkan 20 µl ACE (0,05 unit/ml), dan diinkubasi selama 1 jam pada 370C. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 250 µl HCl 1 M. Untuk menghilangkan fase airnya larutan di evaporasi, namun sebelumnya ke dalam larutan ditambahkan 1,7 ml etil asetat. Fraksi yang terbentuk dilarutkan kembali dengan 1 ml akuades, kemudian diukur absorban konsentrasi substrat HHL pada λ 228 nm. Aktivitas inhibitor ACE dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hayes et al. 2007): Aktivitas ACE inhibitor (%) = 100 – [100 x (C – D) / (A – B)] A = Absorban ACE tanpa ACE inhibitor B = Absorban tanpa ACE dan ACE inhibitor C = Absorban dengan ACE dan filtrat D = Absorban filtrat tanpa ACE
Produksi dan Panen Ekstrak Kasar Senyawa Inhibitor ACE Dengan menggunakan sedotan plastik steril berdiameter 10 mm isolat AEP-1 pada media YMA yang berumur 14 hari diinokulasikan ke dalam 100 ml media YMB dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari dengan aerasi 100 rpm. Pada umur biakan tujuh hari, biakan dituang ke dalam 1 l media YMB untuk produksi senyawa inhibitor ACE, inkubasi dilakukan selama 10 hari. Untuk mendapatkan ekstrak kasar, biakan disentrifugasi pada 1432 x g, 4°C, selama 10 menit. Supernatan dipisahkan untuk kemudian digunakan dalam uji aktivitas dan karakterisasi inhibitor ACE.
Penentuan Jenis Senyawa Inhibitor ACE AEP-1 Keberadaan flavonoid di dalam ekstrak kasar diuji menggunakan metode Harborne dan William (2000). Sebanyak 0,1 ml ekstrak dimasukkan kedalam gelas piala kemudian ditambahkan 10 ml air panas dan didihkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat yang didapat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 0,5 g serbuk Mg, 1 ml HCl pekat, dan 1 ml amil alkohol kemudian dikocok kuat. Uji positif flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol. Pendugaan protein aktif dilakukan dengan pengukuran aktivitas inhibitor ACE melalui serangkaian metode pemurnian protein.
Pengendapan Protein Ekstrak kasar diendapkan dengan menggunakan dua metode pengendapan, yaitu dengan menggunakan aseton dan ammonium sulfat (Scopes 1994). Pengendapan menggunakan aseton dilakukan secara bertahap mulai dari konsentrasi 50, 60, 70, dan 80%. Sebanyak 200 ml ekstrak kasar ditambahkan aseton dingin sedikit demi sedikit sambil diaduk perlahan menggunakan pengaduk magnetik. Campuran tersebut disimpan selama 24 jam dalam lemari pendingin, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1432 x g pada suhu 4°C selama 15 menit. Untuk pengendapan menggunakan ammonium sulfat, sebanyak 100 ml ekstrak kasar ditambahkan ammonium sulfat secara bertahap mulai dari konsentrasi awal 0-10 % hingga konsentrasi akhir 70-80 % pada suhu 4°C. Campuran tersebut disimpan selama 24 jam dalam lemari pendingin, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1432 x g pada suhu 4°C selama 15 menit. Endapan protein yang terbentuk dari kedua metode tersebut diambil dan dilarutkan dalam 20 ml dapar fosfat 0,1 M pH 7.0. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas inhibitor ACE pada hasil pengendapan untuk melihat aktivitas tertinggi, yang digunakan untuk uji selanjutnya.
Pengukuran Konsentrasi Protein Penentuan kadar protein dilakukan berdasarkan metode Bradford (1976), dengan cara mencampur 0,4 ml ekstrak dengan 4 ml reagen Bradford lalu dikocok dengan vortex dan didiamkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbansi pada λ=595. Sebagai blanko digunakan 0,4 ml akuades yang direaksikan dengan pereaksi yang sama. Standar protein yang digunakan ialah bovin serum albumin (BSA) pada kisaran konsentrasi 0-0,1 mg/ml dengan selang 0,02 mg/ml.
Kromatografi Filtrasi Gel Sebanyak 3,5 g Sephadex G-25 dikembangkan (swelling) dalam 20 ml dapar fosfat 10 mM pH 7, dan diinkubasi semalam. Sebelum dimasukkan ke dalam kolom, gel divakum untuk menghilangkan gelembung udara sehingga tidak mengganggu proses kromatografi. Kolom dengan tinggi 30 cm dan diameter 1,5 cm diisi dengan gel secara perlahan hingga diperoleh tinggi kemasan yang diinginkan. Protein hasil pengendapan sebanyak 1 ml diaplikasikan ke dalam kolom dan dielusi dengan laju air fase gerak 1 ml/menit. Sephadex G-25 sebagai fase diam dan larutan dapar fosfat 1 mM pH 7 sebagai fase gerak (Kim et al. 2004, Ma et al. 2006). Fraksi-fraksi yang diperoleh ditampung setiap 3 ml dan diukur serapannya menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 215 nm.
Penentuan Fraksi Aktif Fraksi-fraksi yang diperoleh dari kromatografi filtrasi gel dikelompokkan berdasarkan waktu retensi dalam kolom. Kelompok fraksi tersebut kemudian diuji aktivitas inhibitor ACE. Kontrol positif yang digunakan adalah Captopril 0,01 mg/ml dan 0,02 mg/ml.
Pendugaan Bobot Molekul (BM) Fraksi Aktif Dengan SDS-PAGE Bobot molekul fraksi aktif diduga menggunakan sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dengan konsentrasi gel pemisah 15% dan gel penahan 5% (Bollag et al. 1996). Elektroforesis dilakukan pada tegangan 70 mVolt selama 3 jam.
Setelah itu, gel direndam dalam larutan
pewarna perak nitrat sambil digoyang perlahan selama 20 menit. Marker yang digunakan adalah SpectraTM multicolor low range no. 26628. Pita yang terbentuk kemudian dipotong untuk diuji aktivitas inhibitor ACE untuk memastikan protein tersebut merupakan protein target.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pertumbuhan Streptomyces sp. AEP-1 Isolat Streptomyces sp. AEP-1 hanya dapat tumbuh baik pada media YMA (Gambar 4), dengan waktu inkubasi 7-14 hari, sedangkan pada media WA, YSA, dan OM isolat tersebut tidak tumbuh hingga 28 hari masa inkubasi. Pada media cair YMB, waktu inkubasi yang dibutuhkan lebih cepat, hanya dalam 5 hari inkubasi isolat sudah menghasilkan biomassa yang cukup banyak.
Gambar 4 Streptomyces sp. AEP-1 pada media YMA berumur 14 hari.
Komposisi media tumbuh yang berbeda berpengaruh pada pertumbuhan Streptomyces. Isolat AEP-1 tumbuh baik pada media kaya gula YMA, media ini mengandung ekstrak malt, ragi, dan glukosa tapi tidak mengandung mineral. Menurut Shirling dan Gottlieb (1966) YMA merupakan media standar bagi pertumbuhan Streptomyces. Media YSA, dan OM juga merupakan media kaya hanya saja gulanya masih dalam bentuk polisakarida. Media WA adalah media miskin yang tidak mengandung gula maupun mineral. Komposisi media dapat menjadi selektif terhadap aktinomiset endofit yang ditumbuhkan (Araujo et al. 1999). Tidak semua aktinomiset endofit tumbuh baik pada media kaya, ada beberapa aktinomiset endofit yang justru tumbuh lebih baik pada media miskin hara (El-Shatoury et al. 2006), bahkan ada yang mampu tumbuh pada substrat yang sulit didegradasi seperti pektin, lignin, kitin, lateks, dan senyawa aromatik (Prescott 1999). Aktinomiset endofit yang memiliki kemampuan tumbuh pada
media miskin untuk peremajaannya di luar tanaman inang akan lebih menguntungkan, karena dapat mencegah tumbuhnya bakteri atau cendawan kontaminan. Waktu inkubasi yang dibutuhkan isolat AEP-1 untuk mendapatkan kultur yang bagus adalah 7-14 hari. Hal ini menguatkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa aktinomiset endofit umumnya tumbuh dalam waktu 5-10 hari masa inkubasi (Araujo et al. 2000, Tian et al 2004, El-Shatoury et al. 2006, Gangwar et al. 2012). Streptomyces merupakan bakteri aerob, yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Ketersediaan oksigen yang lebih banyak pada media YMB yang digoyang membuat isolat AEP-1 lebih baik dan lebih cepat tumbuh pada media ini dibandingkan pada media agar cawan. Lamanya waktu yang dibutuhkan isolat AEP-1 untuk mencapai pertumbuhan yang baik membuat media sering terkontaminsi oleh bakteri dan cendawan yang tumbuh lebih cepat dari isolat AEP-1.
Aktivitas Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 Pengukuran terhadap aktivitas inhibitor ACE yang dihasilkan AEP-1 dipengaruhi oleh umur biakan. Pada hari ke-5 isolat sudah menghasilkan senyawa inhibitor ACE dengan aktivitas sebesar 36,2%. Aktivitas optimum terdapat pada hari panen ke-10 dengan aktivitas sebesar 86,8%. Aktivitas kemudian menurun pada hari ke-15 dan 20 menjadi 41,3% dan 33,9% (Gambar 5). Tingginya aktivitas inhibitor ACE berkorelasi positif dengan biomassa yang dihasilkan. Pada hari ke-5 biomassa yang dihasilkan sebesar 0,036 g, lalu meningkat pada hari ke10 menjadi 0,060 g dan kemudian turun lagi menjadi 0,037 g dan 0,042 g pada hari ke-15 dan 20 (Gambar 5). Aktivitas inhibitor ACE yang diatas 85% menunjukkan tingginya aktivitas penghambatan ACE yang dihasilkan isolat AEP-1 sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Beberapa penelitian mengenai inhibitor ACE yang diperoleh dari mikrob maupun tanaman memiliki aktivitas yang beragam, ada yang dibawah 80%, ada pula yang memiliki aktivitas di atas 80%.
Inhibitor ACE yang
dihasilkan oleh khamir memiliki aktivitas antara 40%-80% (Roy et al. 2000; Kim et al. 2004). Aktivitas inhibitor ACE yang tinggi sebesar 85,5% dihasilkan oleh
Lactobacillus animalis DPC6134 (Hayes et al. 2007). Senyawa inhibitor ACE dari tanaman pegagan dapat berupa kuersetin (Hansen et al. 1995) dan protein (Loh & Hadira 2011) yang masing-masing memilki aktivitas inhibitor ACE
120
0.07
100
0.06 0.05
80
0.04 60 0.03 40
Bobot (g)
Aktivitas (%)
sebesar 73% dan 48,4%.
0.02
20
0.01
0
0 0
5
10
15
20
Periode Panen Filtrat (Hari ke-) Gambar 5 Aktivitas inhibitor ACE (
) dan biomassa (
) pada hari panen ke-
5, 10, 15, dan 20.
Senyawa inhibitor ACE yang dihasikan oleh AEP-1 nampaknya merupakan metabolit sekunder ekstraseluler. Hal ini terlihat dari waktu optimum produksi biomassa dan aktivitas tertinggi inhibitor ACE setelah biakan berumur 10 hari, dan kemudian diikuti penurunan produksi biomassa dan aktivitas ACE. Metabolit yang dihasilkan pada fase ini kemungkinan merupakan metabolit yang berperan dalam pertahanan diri atau adaptasi pada kondisi lingkungan yang hanya dihasilkan pada jangka waktu tertentu, bukan untuk pertumbuhan. Mikrob endofit diketahui bersinergi dengan tanaman inang dalam menghasilkan metabolit sekunder yang digunakan untuk melindungi tanaman inang dari serangan penyakit (Taechowisan et al. 2005). Aktinomiset sendiri dikenal akan kemampuannya dalam menghasilkan beragam senyawa bioaktif baik sebagai antibakteri, antifungi, maupun senyawa pengatur pertumbuhan tanaman (Gangwar et al. 2012).
Isolat AEP-1 terbukti mampu mengasilkan senyawa inhibitor ACE seperti tanaman inangnya. Menurut Tan dan Zou (2001) tanaman tingkat tinggi dapat mengandung sejumlah mikrob endofit yang mampu menghasilkan senyawa bioaktif atau metabolit sekunder serupa dengan tanaman inangnya yang diduga sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik (genetic recombination) dari tanaman inang ke dalam mikrob endofit.
Karakteristik Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 Pengujian kualitatif terhadap keberadaan flavonoid dalam ekstrak kasar AEP-1 menunjukkan hasil negatif (Gambar 6). Isolat AEP-1 tidak menghasilkan senyawa flavonoid seperti tanaman inangnya. Pada awalnya diduga bahwa senyawa inhibitor ACE yang dihasilkan oleh isolat AEP-1 merupakan senyawa flavonoid dan protein. Hal ini berdasarkan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa tanaman pegagan menghasilkan senyawa kuersetin yang termasuk golongan flavonoid yang dapat menghambat aktivitas ACE (Hansen et al. 1995), sedangkan pada penelitian lain inhibitor ACE yang diproduksi dari bakteri merupakan suatu peptida (Kim et al. 2004, Hayes et al. 2007). Berdasarkan keberadaan flavonoid yang negatif, kemungkinan besar senyawa dalam ekstrak kasar AEP-1 yang berperan sebagai inhibitor ACE ialah peptida atau protein sehingga dilakukan isolasi protein untuk mendapatkan protein spesifik inhibitor ACE. Ekstrak AEP-1
Kontrol positif
Gambar 6 Hasil negatif keberadaan flavonoid pada ekstrak kasar AEP-1 ditunjukkan dari tidak adanya warna yang terbentuk pada lapisan amil alkohol.
Pengendapan ekstrak kasar dengan menggunakan amonium sulfat 80% dan aseton 80% dapat meningkatkan kadar protein yang terdapat dalam sampel uji. Hal ini terlihat dari kadar protein yang meningkat dari 0,060 mg/ml pada ekstrak kasar menjadi 0,126 mg/ml setelah diendapkan dengan aseton 80% dan 0,105 g jika menggunakan amonium sulfat
80% (Gambar7) (Lampiran 2).
Aktivitas inhibitor ACE meningkat setelah diendapkan dengan menggunakan aseton, dari 86,8% menjadi 127,6%, namun dengan pengendapan menggunakan amonium sulfat aktivitas inhibitor ACE justru menurun menjadi 44,2% (Gambar 8). 140
0.14
120
0.12
Aktivitas (%)
Kadar Protein mg/ml
0.16
0.10 0.08 0.06 0.04
100 80 60 40
0.02
20
0.00
0
Ekstrak Kasar
Ekstrak Kasar
Aseton Amonium Sulfat
Gambar 7 Konsentrasi protein hasil
Aseton Amonium Sulfat
Gambar 8 Aktivitas inhibitor ACE
pengendapan.
hasil pengendapan.
Kedua metode pengendapan yang digunakan merupakan metode pemisahan protein berdasarkan kelarutannya dengan prinsip salting out. Ketika ditambahkan asam amino atau aseton ke dalam ekstrak, air yang ada akan berikatan lebih kuat dengan amonium sulfat atau aseton, sehingga protein akan kehilangan air dan terpisahkan. Kedua metode itu tidak mengubah struktur kimia protein, sehingga protein yang terendapkan dapat dengan mudah larut kembali di dalam air atau larutan dapar (Burgess 2008). Pengendapan dengan menggunakan aseton merupakan metode yang baik untuk mengisolasi protein yang berfungsi sebagai inhibitor ACE pada ekstrak AEP-1. Protein dapat terendapkan tanpa mempengaruhi aktivitas inhibitor ACE. Metode pengendapan menggunakan ammonium sulfat ternyata kurang tepat
untukdigunakan sebagai pemurnian senyawa inhibitor ACE isolat AEP-1. Garam amonium sulfat ataupun pengadukan yang lama tidaklah merusak struktur protein yang ada, namun dalam kasus ini hal tersebut dapat mengganggu aktivitas inhibitor ACEnya. Proses pengadukan yang terlalu lama dan kuat dapat menyebabkan hilangnya atau berkurangnya aktivitas suatau enzim (Bollag et al.1996, Burgess 2008). Penentuan fraksi aktif yang spesifik sebagai inhibitor ACE pada ekstrak yang dihasilkan oleh isolat AEP-1 dengan menggunakan kromatografi filtrasi gel menunjukkan adanya sembilan puncak serapan (Gambar 9). Daerah puncak serapan menunjukkan kelompok protein dengan nisbah konsentrasi lebih tinggi dari daerah lainnya. Kromatografi filtrasi gel menggunakan sephadex merupakan metode pemisahan protein berdasarkan bobot molekulnya. Kelompok protein dengan ukuran sama akan keluar menjadi satu fraksi, ukuran protein akan berbeda pada setiap fraksi yang diperoleh.
0.700
60
Absorban
0.600
13
35
0.500 0.400
94
15 10-12
74
37
0.300
44-45
0.200 0.100 0.000 10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95 100
No Fraksi Gambar 9 Serapan fraksi hasil kromatografi filtrasi gel protein Streptomyces sp. AEP-1 pada panjang gelombang 215 nm.
Pemisahan suatu protein dari campuran beragam protein dapat dilakukan karena beragamnya sifat kimia maupun fisik yang dimiliki oleh setiap protein. Sifat ini sebagai akibat dari berbedanya sekuen dan jumlah asam amino pada masing-masing protein. Residu asam amino yang menempel pada polipeptida dapat bermuatan positif atau negatif, netral dan polar, atau netral dan hidrofobik.
Selain itu polipeptida juga dapat melipat membentuk struktur sekunder atau tersier yang membuatnya sangat berbeda dari ukuran, bentuk, dan distribusi residu asam amino pada permukaannya (Bollag et al. 1996, Burgess 2008). Dengan mengetahui sifat protein seperti ukuran, bentuk, muatan, hidrofobisitas, kelarutan, ligan dan logam yang berikatan, serta sekuennya dapat memudahkan dalam menyusun metode isolasi suatu protein yang diinginkan. Masing-masing protein memiliki sifat yang unik, sehingga untuk mengisolasinya membutuhkan penanganan yang berbeda untuk setiap protein. 100 90 80
Aktivitas (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 10,11,12
13
15
35
37
44,45
60
74
94
cap 0,01 cap 0,02 mg/ml mg/ml
Fraksi Gambar 10 Aktivitas inhibitor ACE 9 fraksi hasil kromatografi filtrasi gel yang memiliki serapan puncak pada panjang gelombang 215nm.
Hasil uji aktivitas inhibitor ACE terhadap kesembilan fraksi, menunjukkan adanya aktivitas.
Empat fraksi yaitu fraksi 35, 44-45, 60, dan 74 memiliki
aktivitas inhibitor ACE yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol positif Captopril 0,01 mg/ml dan 0,02 mg/ml yang memiliki aktivitas sebesar 39,3% dan 53,1%, sedangkan lima fraksi lainnya memiliki aktivitas yang lebih rendah dari kontrol positif. Dosis Captopril yang biasanya diresepkan dokter bagi penderita
hipertensi adalah 25 mg atau setara dengan 0,005 mg/ml. Rendahnya aktivitas Captopril pada pengujian ini disebabkan Captoptril yang digunakan bukanlah Captopril murni, melainkan Captopril yang dijual sebagai obat umum sehingga masih terdapat bahan-bahan lain yang digunakan untuk membentuknya, sehingga walaupun konsentrasi yang digunakan tinggi namun aktivitasnya masih lebih kecil. Aktivitas inhibitor ACE terbaik dimiliki fraksi nomor 74 sebesar 86,6% (Gambar 10).
Protein yang berfungsi sebagai inhibitor ACE sudah terpisah
dengan protein-protein lainnya dan terkumpul pada fraksi ini. Marker
Fraksi No. 74 58,76 kDa
40 25
30,42 kDa
15
10 4,6 Gambar 11 Bobot molekul fraksi no.74 yang diduga sebagai inhibitor ACE.
Berdasarkan pita yang terlihat dari hasil SDS-PAGE fraksi 74, bobot molekul protein dari AEP-1 yang berperan sebagai inhibitor ACE adalah 30,42 kDa dan 58,76 kDa (Gambar 11) (Lampiran 3). Penggunaan sephadex-G25 sebagai gel pemisah pada kromatografi ekstrak Streptomyces sp. AEP-1 bertujuan untuk mengisolasi protein dengan bobot melekul kecil antara 1-5 kDa sebagaimana karakter gel tersebut yang diperuntukkan bagi pemisahan protein kecil. Namun demikian protein inhibitor ACE yang di dapat dari hasil fraksinasi bukanlah protein kecil, melainkan memilki bobot yang cukup besar. Menurut Burgess (2008), hal ini dapat terjadi karena protein besar juga dapat keluar melewati kolom secara eksklusi melewati pori antar gel, bukan di dalam gel. Sementara itu, protein dengan ukuran kecil terpisah melalui pori gel. Protein
dengan bobot melekul besar akan keluar terlebih dahulu baru kemudian diikuti protein yang lebih kecil. Protein-protein dengan BM kecil kemungkinan terdapat pada fraksi-fraksi akhir kromatografi, namun SDS-PAGE pada fraksi-fraksi tersebut tidak dilakukan pada penelitian ini. Pengujian aktivitas inhibitor ACE terhadap kedua pita dilakukan untuk memastikan bahwa protein pada pita tersebut merupakan protein target. Hasil uji menunjukkan adanya aktivitas pada kedua pita protein (Gambar 12). Protein dengan BM 30,42 kDa memiliki aktivitas sebesar 39,04%, sedangkan protein dengan BM 58,76 memiliki aktivitas sebesar 53,07%. Berdasarkan adanya aktivitas inhibitor ACE pada kedua pita tersebut diduga protein yang berperan sebagai inhibitor ACE merupakan komplek protein. Komplek protein pada umumnya terbentuk dari interaksi antar protein, namun ada juga yang terbentuk dari interaksi protein dengan molekul non protein seperti DNA, RNA, atau metabolit lain. Interaksi yang sangat menentukan fungsi biologisnya ini dapat bersifat sementara ataupun tetap. Suatu komplek protein dapat memiliki aktivitas biologis yang sama dengan fungsi pada kondisi tunggalnya namun dapat juga berbeda dan membentuk aktivitas baru (Gingras et al. 2005). 60
Aktivitas (%)
50 40 30 20 10 0 30.42
58.76
Bobot Molekul Protein Gambar 12 Aktivitas inhibitor ACE dua pita protein hasil SDS-PAGE.
SDS-PAGE merupkan salah satu teknik yang biasa digunakan untuk memisahkan komplek protein. Sodium dodesil sulfat merupakan deterjen ionik yang dapat menghambat interaksi hidrofobik dan merusak ikatan hidrogen dan
disulfida pada struktur sekunder, tersier, dan kuartener protein, sehingga komplek protein terdenaturasi menjadi struktur primernya berupa polipeptida (Scopes 1994, Gingras et al. 2005). Proses separasi menggunakan metode ini memisahkan komplek protein inhibitor ACE pada fraksi 74 menjadi dua molekul protein seperti yang terlihat pada penampakan pita. Aktivitas inhibitor ACE gabungan kedua protein pada fraksi 74 lebih besar jika dibandingkan dengan aktivitas protein dalam keadaan terpisah. Hal ini menunjukkan bahwa kedua protein tersebut memiliki situs aktif yang dapat berikatan dengan ACE pada kondisi tunggal, namun aktivitasnya akan lebih optimal jika protein tersebut membentuk komplek. Struktur dan tingkat aktivitas interaksi ACE dengan inhibitornya sangat dipengaruhi oleh residu tripeptida pada C-terminal (Ondetti & Cushman 1982). ACE lebih menyukai substrat yang mengandung residu asam amino hidrofobik seperti prolin, fenilalanin, dan tirosin. Sebagian besar peptida inhibitor ACE alami mengandung prolin pada Cterminalnya (Cheung et al. 1980). Salah satu protein inhibitor ACE isolat AEP-1 yang berhasil diisolasi memiliki bobot melekul sekitar 30 kDa, hal ini menguatkan penelitian Roy et al. (2000) yang memperoleh protein inhibor ACE dari fermentasi susu skim oleh khamir dengan BM 33 kDa. Namun demikian, kebanyakan inhibitor ACE yang telah diteliti baik dari bakteri, tanaman, maupun hewan memiliki BM yang kecil karena berupa oligopeptida (Byun & Kim 2002, Kim et al. 2004, Quiro’s et al. 2005, Hayes et al. 2007, Gao et al. 2010). Kim et al. (2004) mendapatkan inhibitor ACE dari Saccharomyces cerevisiae berupa dekapeptida dengan BM 1,178 kDa, inhibitor ACE berupa tetrapeptida dengan BM 10 kDa diperoleh dari fermentasi Lactobacillus animalis DPC6134 (Hayes et al. 2007), sedangkan Gao et al. (2010) mengisolasi inhihitor ACE dari biji kapuk dengan BM 0,82-2,43 kDa. Sampai saat ini belum dilaporkan adanya inhibitor ACE berupa komplek protein seperti yang didapatkan pada penelitian ini. Senyawa inhibitor ACE yang dihasilkan oleh AEP-1 bukanlah senyawa kuersetin seperti yang dihasilkan oleh pegagan sebagai tanaman inangnya (Hansen et al 1995) melainkan berupa protein. Tan dan Zou (2001) menyatakan bahwa kemampuan mikrob dalam menghasilkan senyawa yang sama dengan
tanaman inang merupakan hasil koevolusi atau transfer genetik. Uji yang dilakukan Sari (2011) terhadap tanaman pegagan hasil kultur jaringan, menunjukkan tidak adanya aktivitas inhibitor ACE pada pegagan bebas endofit, yang mengindikasikan bahwa aktinomiset endofit tanaman pegagan berperan penting dalam menghasilkan senyawa inhibitor ACE. Mekanisme lain kemungkinan melalui interaksi antara tanaman inang dengan mikrob endofitnya. Dalam keadaan terpisah baik tanaman maupun mikrob endofitnya tidak mampu menghasilkan senyawa tersebut. Fenomena ini terjadi pada proses terbentuknya bau harum khas strowberry. Bau harum strawberry tersebut tidak dapat terbentuk pada tanaman strawberry tanpa adanya mikrob endofit, dan mikrob endofit pun juga tidak mampu menghasilkan bau khas tersebut dalam keadaan hidup bebas. Tanaman membutuhkan senyawa prekursor yang dihasilkan mikrob endofit untuk kemudian dapat memproduksi senyawa yang diinginkan (Zabetakis 1997).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Streptomyces sp. AEP-1 endofit tanaman pegagan menghasilkan senyawa inhibitor ACE berupa protein. Fraksinasi dan pendugaan bobot molekul terhadap protein spesifik yang berperan sebagai inhibitor ACE menunjukkan bahwa protein tersebut terdapat pada fraksi no.74 dengan aktivitas inhibisi terhadap ACE yang lebih tinggi dari kontrol positif Captopril. Pita hasil SDS-PAGE menunjukkan adanya dua protein dengan bobot molekul yang berbeda. Adanya aktivitas pada kedua pita menguatkan dugaan bahwa inhibitor ACE yang dihasilkan oleh isolat AEP-1 berupa komplek protein.
Saran Protein yang diperoleh secara in vitro pada penelitian ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu obat alami baru penurun tekanan darah. Namun demikian, perlu dilakukan pengujian secara in vivo untuk mengetahui kemampuannya sebagai inhibitor ACE. Disamping itu, untuk pengembangan produk perlu dilakukan uji toksisitas dan formulasi.
DAFTAR PUSTAKA Addo J, Smeeth L, Leon DA. 2007. Hypertension in Sub-Saharan Africa: A Systematic Review. Hypertension 50:1012-1018. Alexander M. 1961. Introduction to Soil Microbiology. Tokyo: John Wiley and Sons Inc. Araujo JM, da Silva AC, Azevedo JL. 2000. Isolation of endophytic actinomycetes from roots and leaves of maize (Zea mays L.). Braz Arch Biol Technol 43(4). [terhubung berkala]. http://www.scielo.br/pdf/babt/ v43n4/v43n4a16.pdf [30 Apr 2012]. Ariyoshi Y. 1993. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors derived From Food Protein. Trends Food Sci Technol 4:139-144. Bacon CW, White JF. 2000. Microbial Endophytes. New York: Marcel Dekker Inc. Bollag DM, Rozycki MD, Edelstein SJ. 1996. Protein Methods. New York: Wiley-liss. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantification of microgram quantities of protein utilizing the principles of protein-dye binding. Anal Biochem 72:248-254. Brown NJ, Vaughan DE. 1998. Angiotensin converting enzyme inhibitors. Circulation 97:1411-1420. Burgess R. 2008. Proteomics of the Nervous System. Weinheim:Wiley-VCH Byun HG,
Kim SK. 2002. Structure and activity of angiotensin converting
enzyme inhibitory peptides derived from Alaskan Pollack skin. J Biochem Mol Biol 35:139-243. Castillo U et al. 2002. Munumbicins, wide-spectrum antibiotics produced by Streptomyces NRRL 30562, endophytic on Kennedia nigriscans. J Microbiol 148: 2675–2685. Castillo U et al. 2003. Kakandumycins, novel antibiotic from Streptomyces sp. NRRL 30566, an endophyte of Grevillea pteridifolia. FEMS Lett 224:183-190.
Cheung H et al.
1980. Binding of peptide substrates and inhibitors of
angiotensin-converting enzyme importance of the COOH-terminal dipeptide sequence. J Biol Chem 225:401-407. Dalimarta S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2. Jakarta: Trubus Agriwidya. El-Shatoury S, Abdulla H, El-Karaaly O, El-Kazzaz W, Dewedar A. 2006. Bioactivities of endophytic Actinomycetes from selected medicinal plants in the world heritage site of Saint Katherine, Egypt. Int J Bot 2:307-312. Fields LE, Burt VL, Cutler JA, Rocella EJ, Sorlie P. 2004. The burden of adult hypertension in united states 1999 to 2000: a rising tide. Hypertension 44:398-404. Fitzgerald RJ, Meisel. 1999. Lactokinins: Whey Protein-derived ACE-inhibitory Peptidas. Nahrung 43:165-167. Gangwar M, Rani S, Sharma N. 2012. Diversity of endophytic actinomycetes from wheat and its potential as plant growth promoting and biocontrol agents. J Adv Lab Res Bio III:16-24. Gao D, Chang T, Li H, Cao Y. 2010. Angiotensin I-converting enzyme inhibitor derived from cottonseed protein hydrolysate. Afr J Biotechnol 9: 89778993. Gingras AC, Aebersold R, Raught B. 2005. Advance in protein complex analysis using mass spectrometry. J Physiol 1:11-21. Goretta A, Ottaviani JI, Keen CL, Fraga CG. 2003. Inhibition of Angiotensin Converting Enzyme (ACE) Activity by Flavan-3-ols and Procyanidins. FEBS Lett 555:597-600. Hansen K, Nyman U, Smith UW, Adersen A, Gudiksen L, Rajasekharan S, Pushpangadan P. 1995. In vitro screening of traditional medicines for anti-hypertensive effect based on inhibition of the angiotensin converting enzyme (ACE). J Ethnopharmacol 48:43-51. Harborne JB, Williams CA. 2000. Advance in Flavonoid Research since 1992. Phytochem 55:481-504.
Hayakawa M. 2003. Selective Isolation of Rare Actinomycetes Genera Using Pretreatment Techniques. Queensland: Ipek Kurtboke (ed.) Faculty of Science University of The sunshine Coast. Hayes M, Stanton C, Slattery H, O’sullivan O, Hill C et al. 2007. Casein fermentate of Lactobacillus animalis dpc6134 contains a range of novel propeptida angiotensin-converting enzyme inhibitors. Appl Environ Microbiol 73: 4658-4667. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia jilid 1, 2, 3, 4. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan, Departmen Kehutanan. Howell SJ, Sear JW, Foex P. 2004. Hypertension, hipertensive heart disease and perioperative cardiac risk. British J Anest 92:570-583. Irawan D. 2009. Isolasi aktimomiset endofit tanaman obat yang berpotensi sebagai antidiabetes melalui kajian aktivitas α-glukosidase. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [JNC VII] The Seventh Report of The Joint National Committee. 2004. Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Washington DC: Department of Health and Human Services. Kim et al. 2004. Characterization of antihypertensive angiotensin I-converting enzyme inhibitor from Saccharomyces cereviseae. J Microbiol Biotechnol 14:1318-1323. Lo CW, Cheah HY, Wong NKI, Ho CC. 2002. Actinomycetes Isolated from Soil Samples from The Crocker Range Sabah. Di dalam ASEAN Riview of Biodeversity and Enviromental Conservation (ARBEC) July-September 2002. Sabah: School of Science and Technology University Malaysia. Loh SP, Hadira O. 2011. In vitro inhibitory potential of selected Malaysian plants against key enzymes involved in hyperglycemia and hypertension. Mal J Nutr 17:77-86. Ma et al. 2006. Purification and identification of angiotensin I-converting enzyme inhibitory peptide from buckwheat (Fagopyrum esculentum Moench). Food Chemist 96:36-42.
Meisel H, Schlimme E. 1994. Inhibitor of Angiotensin-I-Converting Enzyme derived from Bovine Casein (Casokinins). Weinheim: Wiley VCH, p. 2733. Miyadoh. 2003. Prosedur karakterisasi dan Identifikasi Aktinomisetes. Di Dalam Training Course on Identification of Bacteria, Bogor, 1-5 April 2003. Bogor:LIPI. Nakamura Y, Yamamoto N, Sakai K, Takano T. 1995. Antihipertensive effect of sour milk and peptidas isolated from it that are inhibitors to angiotensinI-converting enzyme. J Dairy Sci 78:1253-1257. Ondetti MA, Cushman DW. 1982. Enzymes of the reninangiotensin system and their inhibitors. Ann Rev Biochem 51:283-308. Prescott LM, Harley JP, Klein DA. 1999. Microbiology. New York:The McGrawHill. Quiro´ s A, Herna´ndez LB, Ramos M, Amigo L, Recio I. 2005. Angiotensinconverting enzyme inhibitory activity of peptides derived from caprine kefir. J Dairy Sci 88:3480-3487.mu Riordan JF. 2003. Angiotensin-I-converting enzyme and its relatives. Genome Biol 4:225. Riskesdas.
2007.
Hipertensi
http://digilib.litbang.
di
Indonesia.
[terhubung
berkala].
depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2009-
ekowatirah-3195&q=hipertensi +riskesdas+2007 [27 April 2011]. Roy MK, Watanabe Y, Tamai Y. 2000. Yeast protease B-digested skimmed milk inhibits angiotensin I-converting. Biotechnol Appl Biochem 31:95-100. Sari WK. 2011. Aktivitas Antihipertensi Aktinomiset Endofit Asal Tanaman Pegagan dan Belimbing Wuluh. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Scopes RK. 1994. Protein Purification: Principle and Practice. Edisi ke-3. New York: Springer. Shirling EB, Gottlieb D. 1966. Methods of characterization of Streptomyces species. Int J Syst Bacteriol 16:313-349.
Taechowisan T, Lu C, Shen Y, Lumyong S. 2005. Secondary metabolites from endophytic Streptomyces aureofaciens CMUAc130 and their antifungal activity. Microbiol 151:1691-1695. Tan RX, Zou WX. 2001. Endophytes: a rich source of functional metabolites. Nat Prod Rep 18:448-459. Tian XL et al. 2004. Study on the community of endophytic fungi and endophytic actinomycetes from rice and their antipathogenic activities in vitro. J Microbiol Biotechnol 20:303-309. Vohra K et al. 2011. An insight on Centella asiatica linn: a rivew on recent research. Pharmacology 2:440-462. Wijayakusuma H, Dhalimartha S. 2005. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Darah Tinggi. Bogor: Penebar Swadaya. Wirawan B. 2009. Potensi bakteri endofit tanaman obat sebagai penghasil senyawa antihiperlipidemia melalui aktivitas lipase. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Zabetakis I. 1997. Enhancement of flavour biosynthesis from strawberry (Fragaria xananassa) callus cultures by Methylobacterium species. Plant Cell Tiss Org Cult 50:179-183.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Komposisi media peremajaan Streptomyces sp. AEP-1 Nama Media
Komposisi
Jumlah (g/l)
Yeast Malt Agar
Glukosa
4
Ekstrak Ragi
4
Ekstrak Malt
10
Agar Bakto
15
Agar Bakto
20
Yeast Soluble Starch Agar
Ekstrak Ragi
2
pH 7,5
Pati
10
Agar Bakto
15
Oat meal
23
Agar Bakto
15
Water Agar pH 10,25
Oat Meal Agar
Lampiran 2 Standar protein bovin serum albumin Absorban standar bovin serum albumin Absorban 1
Absorban 2
Absorban 3
Rata-Rata
Absorban Terkoreksi
0,252
0,250
0,260
0,254
0
0,02
0,342
0,344
0,340
0,342
0,088
0,04
0,409
0,415
0,405
0,409
0,155
0,06
0,440
0,475
0,468
0,461
0,207
0,08
0,526
0,526
0,525
0,525
0,271
0,1
0,593
0,588
0,589
0,590
0,336
Absorban
Konsentrasi BSA (mg/ml) 0
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
y = 3.260x + 0.013 R² = 0.994
0
0.02
0.04
0.06
0.08
Konsentrasi Protein (mg/ml) Kurva standar protein
0.1
0.12
Lampiran 3 Standar marker SpectraTM multicolor low range no. 26628 Pita Marker
Jarak Marker
RF Marker
BM Marker
Log BM
1
1,3
0,21
40
1,60
2
2,2
0,36
25
1,40
3
3,2
0,52
15
1,18
4
4,5
0,74
10
1,00
5,5
0,90
4,6
0,66
5 Jarak CBB: 6,1 cm
1.80 1.60
y = -1.292x + 1.875 R² = 0.983
1.40 Log BM
1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0.00
0.20
0.40 0.60 Rf Marker Kurva Standar Marker
0.80
1.00