AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN IMUNOMODULATOR SEREALIA NON-BERAS
WILLY YANUWAR
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aktivitas Antioksidan Dan Imunomodulator Serealia Non-Beras adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2009
Willy Yanuwar
ii
ABSTRACT Willy Yanuwar, F251060261. Antioxidant Activity and Immunomodulator or non-rice cereal. Supervised by: Prof. Dr. Ir. Fransiska Zakaria Rungkat, M.Sc dan Ir. Sutrisno Koswara, M.Si. The eating pattern of Indonesians which make rice as the only calorie source is not an ideal eating pattern since it may bring risk to health and food security. The processing of non rice cereals is one of the strategic steps in providing food stuffs in the program of food diversification. Cereals like sorghum (Sorghum bicolor L.), millet (Pennisetum glaucum) and black sticky rice (Oryza sativa glutinosa) are potential commodities, not only as sources of carbohydrate but also as sources of bioactive compounds and important fiber for health. The shortage of data of health benefits concerning tropical cereal consumption in Indonesia has caused less promotion. Research including processing and health benefits of non-rice cereals is expected to increase consumption, production and cultivation of non-rice cereals such as sorghum, millet and black sticky rice. This study was aimed to investigate the effect of polishing process on sorghum, millet and black sticky rice and panelists preference based on water ratio and the optimization of cooking time of sorghum, millet and black sticky rice. In addition, it was expected that scientific data and information would be obtained related to the benefits of several cereals as of antioxidant and immunomodulators. The study was conducted in three stages. The first stage was polishing of cereal at different times followed by proximate, total fenol and antioxidant analysis. The second stage was the cooking, followed by organoleptic test. In the third stage, the test of immunomodulator activity in vitro was conducted which involved preparing the media of cell culture, isolating lymphocytes cells from fresh human blood and performing cell proliferation test in vitro using culture method. The results of analysis showed that the highest water content was obtained in black sticky rice, while the highest content of ash, protein and fat was obtained in millet. In the meantime ,the highest carbohydrate content was obtained in sorghum. The highest yield value was obtained from black sticky rice with 5 second time by 97%. The highest content of total fenol and antioxidant capacity was also obtained in black sticky rice with a time of 5 seconds, respectively 20,46 mg TAE/g grain and 35,96 mg vitamin C eq/g grain. The result of the organoleptic test showed that millet had benefits in different sensory attributes although there was no significant difference from oatmeal as control. The results of analysis of proliferation activity showed that the three cereal commodities can stimulate proliferation of human lymphocytes cell. Based on the result of the proliferation activity test of lymphocytes cell in vitro, it was found that sorghum water extract had stimulation index of 5,340. The best proliferation activity was obtained in water extract although aceton extracts could also stimulate proliferation of human lymphocytes cell. Based on the study, it can be concluded that sorghum, millet and black sticky rice are potential cereal commodity since they own health benefits with the presence of fenolic compound which can function as antioxidant and have activity and immunomodulator to support the system of body immunity. However, the best performance for immunomodulator activity was shown by sorghum. Keyword : antioxidant, immunomodulator, cereal 3
RINGKASAN Willy Yanuwar. F251060261. Aktivitas Antioksidan dan Imunomodulator Serealia Non-Beras. Dibimbing oleh : Prof. Dr. Ir. Fransiska Zakaria Rungkat, M.Sc dan Ir. Sutrisno Koswara, M.Si. Pola makan bangsa Indonesia yang menjadikan beras sebagai sumber utama kalori merefleksikan pola makan kurang ideal yang diprediksikan akan menimbulkan resiko terhadap kesehatan dan ketahanan pangan. Pengolahan terhadap serealia non beras dinilai merupakan salah satu langkah strategis dalam menyediakan bahan pangan pendukung program diversifikasi pangan. Serealia seperti sorgum (Sorghum bicolor L), jewawut (Pennisetum glaucum) dan ketan hitam (Oryza sativa glutinosa) merupakan komoditi potensial, tidak saja sebagai sumber karbohidrat tetapi juga sebagai sumber antioksidan, senyawa bioaktif dan serat yang penting bagi kesehatan. Kurangnya data manfaat kesehatan serealia tropikal Indonesia menyebabkan konsumsinya belum dapat dipromosikan secara intensif. Penelitian yang mencakup pengolahan dan manfaat kesehatan serealia non beras diharapkan dapat mendorong peningkatan konsumsi, produksi dan budidaya serealia lain selain beras seperti sorgum, jewawut dan ketan hitam. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penyosohan pada komoditi serealia sorgum, jewawut dan ketan hitam serta memperoleh produk yang disukai panelis berdasarkan perbandingan air dan optimasi waktu pemasakan dari sorgum, jewawut dan ketan hitam. Selain itu diharapkan akan didapatkan data dan informasi ilmiah mengenai khasiat serealia sumber karbohidrat berupa aktivitas antioksidan dan aktivitas imunomodulatornya. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pengaruh proses penyosohan serealia pada beberapa waktu terhadap hasil analisa proksimat, fenol total serta aktivitas antioksidan. Dari hasil analisis fenol total dan aktivitas antioksidan dipilih dua waktu sosoh terbaik untuk tahap selanjutnya. Pada tahap kedua, dilakukan proses pemasakan yang dilanjutkan dengan uji organoleptik. Dari hasil uji organoleptik, selanjutnya dipilih dua waktu sosoh terbaik untuk penelitian tahap tiga. Pemilihan perlakuan terbaik untuk uji organoleptik adalah berdasarkan parameter rasa yang terbaik. Penelitian tahap ketiga meliputi pengujian aktivitas imunomodulator secara in vitro yang meliputi persiapan media kultur sel, isolasi sel limfosit dari darah manusia dan uji proliferasi sel in vitro menggunakan metode pewarnaan (MTT). Hasil analisa proksimat sebelum serealia disosoh menunjukkan bahwa ketan hitam memiliki kadar air tertinggi, jewawut memiliki kadar abu, protein dan lemak tertinggi sedangkan karbohidrat tertinggi didapat pada sorgum. Nilai rendemen tertinggi didapat pada ketan hitam dengan waktu sosoh 5 detik sebesar 97,9%. Kadar total fenol dan aktivitas antioksidan tertinggi juga ditunjukkan oleh ketan hitam dengan waktu sosoh 5 detik masing-masing sebesar 20,46 mg TAE/gr 4
biji dan 35,96 mg vitamin C eq/gr biji. Hasil uji fenol total dan aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa sorgum, jewawut dan ketan hitam memiliki senyawa fenolik yang dapat berperan sebagai antioksidan. Semakin lama waktu penyosohan, semakin rendah kandungan fenol total serealia. Senyawa fenolik serealia berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan. Semakin besar jumlah fenol total, akan semakin besar pula aktivitas antioksidannya. Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan kandungan fenol total dan aktivitas antioksidan pada sorgum adalah waktu sosoh 20 dan 100 detik, jewawut waktu sosoh 100 dan 300 detik, serta ketan hitam waktu sosoh 5 dan 15 detik. Hasil uji organoleptik menunjukkan jewawut memiliki keunggulan pada berbagai atribut sensori dan tidak berbeda nyata dengan kontrol yaitu oatmeal. Dari hasil uji aktivitas proliferasi sel limfosit secara in vitro diketahui ketiga komoditi serealia dapat menstimulasi proliferasi dari sel limfosit manusia. Aktivitas proliferasi terbaik didapat pada sorgum ekstrak air dengan nilai indeks stimulasi 5,340. Nilai indeks stimulasi ekstrak air ketiga jenis serealia lebih baik dibanding ekstrak aseton walaupun ekstrak aseton juga dapat menstimulasi proliferasi sel limfosit manusia. Dari hasil penelitian ditarik suatu kesimpulan bahwa sorgum, jewawut dan ketan hitam adalah komoditi serealia yang potensial karena memiliki nilai nutrisi yang baik dan memiliki berbagai manfaat kesehatan dengan adanya senyawa fenolik yang dapat berperan sebagai antioksidan serta memiliki aktivitas immunomodulator sebagai penunjang sistem imunitas tubuh. Hasil penelitian menunjukkan dari segi aktivitas imunomodulator sorgum adalah serealia terbaik. Kata kunci : antioksidan, imunomodulator, serealia
5
© Hak Cipta mlik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
6
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN IMUNOMODULATOR SEREALIA NON-BERAS
WILLY YANUWAR
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Science Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 7
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis
:
Nama NRP Program Studi
: : :
Aktivitas Antioksidan Serealia-Non Beras Willy Yanuwar F251060261 Ilmu Pangan
dan
Immunomodulator
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat-Zakaria, MSc Ketua
Ir. Sutrisno Koswara, MSi Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 23 Juni 2009
Tanggal Lulus :
8
PRAKATA Segala Puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala rahmat dan hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Tesis berjudul Aktivitas Antioksidan Dan Imunomodulator Serealia Non-Beras ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Science pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada : 1. Ibu Prof.Dr.Ir.Fransiska Zakaria Rungkat, MSc selaku ketua komisi Pembimbing yang telah memberikan berbagai bimbingan, arahan, ilmu dan pengetahuan kepada penulis. 2. Bapak Ir. Sutrisno Koswara, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang juga telah bersedia memberikan berbagai bimbingan, arahan dan ilmu pengetahuannya kepada penulis. 3. Ibu Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, MSc selaku penguji luar komisi atas berbagai masukan dan saran yang sangat berarti dalam penyelesaian tesis ini. 4. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti, MSc selaku Ketua Program Studi Ilmu Pangan. 5. Bapak Dr. Ir. Ridwan Thahir, MSc dan Bapak Ir. Suismono, MSi selaku staf Balai Pasca Panen yang telah memberikan berbagai fasilitas serta arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini. 6. Ayahanda Warno mawardi, ibunda Yaya hitayati, adik-adikku Widdy dan Yoshi atas segala dukungan dan kepercayaan yang begitu besar serta doa dan perhatian yang begitu berarti untuk penyelesaian tesis ini. 7. Oke Anandika Lestari, STP, Msi atas bantuan dan dukungannya baik secara moralitas, tenaga serta berbagai masukan dan saran yang sangat berarti hingga tesis ini dapat terselesaikan. 8. Teman-teman IPN angkatan 2006, tim peneliti serealia atas dukungan serta kerjasamanya serta semua pihak yang telah berperan dalam proses penyusunan tugas akhir ini. Penulis menyadari adanya keterbatasan pengetahuan, referensi dan segi pengalaman sehingga diharapkan adanya berbagai masukan dan saran agar tesis ini dapat menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis berharap agar kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2009
Willy Yanuwar
9
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 17 Juni 1983 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari ayah Warno Mawardi dan Ibu Yaya Hitayati. Tahun 1997 penulis masuk ke SMUN 3 Pontianak. Penulis melanjutkan pendidikan Diploma III di Politeknik Negeri Pontianak pada Program Study Teknologi Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan jenjang pendidikan Strata-1 Program Study Teknologi Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian di Universitas Brawijaya Malang dan lulus pada tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB pada program studi Ilmu Pangan dan lulus pada tahun 2009. Selama menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk berbagai seminar, pelatihan, kegiatan keorganisasian yang salah satunya adalah Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB serta berbagai program kegiatan riset unggulan IPB. Penulis juga aktif dalam kegiatan olahraga kemahasiswaan khususnya tenis meja.
Bogor, Juni 2009
Willy Yanuwar
10
DAFTAR ISI Teks Halaman DAFTAR ISI ….................................................................................................... i DAFTAR TABEL …............................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR …………………………………..……………………… vi DAFTAR LAMPIRAN …...................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ……………………………...………………………… 1 1.1 Latar Belakang …................................................................................... 1 1.2 Tujuan …............................................................................................... 2 1.3 Hipotesa …....………………………………………...……………….. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….………………………………………… 3 2.1 Serealia Tropikal Indonesia ….................................................................... 3 2.1.1 Sorgum (Sorghum bicolor L) .........................…………………… 3 2.1.2 Jewawut (Pennisetum glaucum) ………......……………………… 9 2.1.3 Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa) …………………………… 12 2.2 Antioksidan ……………………………………………………….……… 17 2.3 Sistem Imun …………………………………………………....…...…… 19 2.4 Sel Limfosit ……………………………………………...….…………… 21 2.4.1 Sel Limfosit T ……………………………………………………… 21 2.4.2 Sel Limfosit B ……………………………………………………… 22 … 22 2.5 Peranan Senyawa Fenolik dalam Stimulasi Aktivitas Imunomodulator 2.6 Proliferasi Sel Limfosit …………………………………………...……… 23 2.7 Kultur Sel ……………………………………………..…………………… 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...………………...…………………… 28 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian …..………………………………………… 28 3.2 Bahan dan Alat …………………………………………………………… 28 3.2.1 Bahan ……………………………….……………………………… 28 3.2.2 Alat ……………………...………………………………………… 28 3.3 Tahapan Penelitian ……...……….………………………………………… 29 ..……...……………...…… 32 3.3.1 Penentuan Dua Waktu Sosoh Serealia 3.3.2 Penentuan Satu Waktu Sosoh Serealia …………………………… 32 3.3.3 Evaluasi Aktivitas Imunomodulator Serealia ……………………... 33 ……………………………………………………….. 34 3.4 Parameter Analisis …………………………………………. 34 3.4.1 Penghitungan Rendemen 3.4.2 Analisis Proksimat ....……………………………………………… 34 a. Pengukuran kadar air metode oven (AOAC, 1984) ………………... 34 b. Pengukuran kadar abu metode pengabuan kering (AOAC, 1984) ..... 35 c. Pengukuran kadar lemak metode ekstraksi soxhlet (AOAC, 1984)... 35 d. Pengukuran kadar protein metode mikro kjeldahl (AOAC, 1984) … 36 e. Pengukuran karbohidrat dengan ”by difference” (AOAC, 1984) ….. 37 3.4.3 Fenol Total (Kamath et al, 2004) ………..………………………… 37 ...………….. 38 3.4.4 Uji Anti Radikal Bebas DPPH (Kubo et al, 2002) 3.4.5 Uji Organoleptik (Adawiyah et al, 2007) …………………..…… 38 3.5 Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro …………………… 39 3.5.1 Pembuatan Ekstrak Serealia ……………………………...…...…… 39 a. Ekstraksi dengan Pelarut Air Bebas Ion ……………………….….. 39 b. Ekstraksi dengan pelarut aseton (Awika et al, 2003) ………..…...... 39 3.5.2 Persiapan Media Kultur Sel (Erniati et al, 2007) …….…………… 41 .................……… 41 3.5.3 Isolasi sel limfosit manusia (Erniati et al, 2007) i
3.5.4 Penghitungan sel limfosit Manusia dengan Biru Trifan (Erniati et al, 2007) ………………………………………………………............ 3.5.5 Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia dengan MTT (Erniati et al, 2007) ……………………………………………………………… 3.6 Analisis Data ……….………….………………………………………….. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………… 4.1 Penentuan Dua Waktu Sosoh Terbaik ………………………………… 4.1.1 Komposisi Proksimat Serealia pada Berbagai Waktu Sosoh …… 4.1.2 Rendemen Penyosohan Serealia pada Berbagai Waktu Sosoh … 4.1.3 Pengaruh Penyosohan Terhadap Kadar Fenol Total ...………… a. Sorgum …………….....………...……………………………… b. Jewawut ………………………………………………………… c. Ketan hitam ………………………………………………… 4.1.4 Pengaruh Penyosohan Terhadap Aktivitas Antioksidan …..…… a. Sorgum …………….....………...……………………………… b. Jewawut ………………………………………………………… c. Ketan hitam …………………………………………………… 4.1.5 Korelasi antara Senyawa Fenolik dengan Aktivitas Antioksidan … 4.2 Penentuan Satu Waktu Sosoh Terbaik dengan Uji Organoleptik …...… 4.2.1 Rasa ..…………………………………………………………… 4.2.2 Warna …………………………………………………………… 4.2.3 Aroma …………………………………………………………… 4.2.4 Tekstur ………………………………………………………… 4.3 Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro ……………………. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 5.1 Kesimpulan …………………………………………………………… 5.2 Saran ..............................……………………………………………… DAFTAR PUSTAKA …………………...……………………………………
ii
42 43 44 45 45 46 49 50 51 53 54 55 56 58 59 60 61 64 65 66 67 68 76 76 77 78
DAFTAR TABEL Tabel Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6.
Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12.
Teks
Halaman
Komposisi kimia biji sorgum ………..………………………… Komposisi kimia biji jewawut ...…………………..….………… Komposisi kimia butir beras dan ketan …………..…………… Perbandingan sifat-sifat fisik beras dan ketan .....……………… Waktu sosoh serealia (detik) ………………...……………………. Kombinasi perlakuan (detik waktu sosoh, menit waktu pemasakan, dan perbandingan air) masing-masing serealia pada penelitian tahap dua …………………………………………………………………. Kombinasi perlakuan jenis serealia dan pelarut pada penelitian tahap tiga ………………………………………………………….. Konsentrasi larutan kerja ekstrak serealia untuk uji proliferasi sel limfosit ............................................................................................... Jumlah ekstrak serealia konsentrasi 200 mg/ml yang diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak serealia .............................................. Hasil analisa proksimat sorgum, jewawut dan ketan hitam sebelum dan sesudah disosoh …………………….………………………… Skor nilai rerata untuk berbagai atribut sensori pada sorgum, jewawut dan ketan hitam ..…………………...…………………...... Konsentrasi ekstrak serealia pada sumur kultur dengan volume total 100 µl ……………………………………………………………….
iii
4 11 13 14 31
33 34 40 40 46 63 72
DAFTAR GAMBAR Gambar Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20.
Teks
Halaman
Struktur biji sorgum (Suarni dan Singgih, 2002) .....………… Struktur asam fenolik pada sorgum yaitu asam benzoat dan asam sinamat (Awika dan Rooney, 2004) …………………………….. Struktur antosianin pada sorgum yaitu apigenidin dan luteolinidin (Awika dan Rooney, 2004) ……………………………………… Struktur proantosianidin atau tanin pada sorgum (Rooney dan Serna, 2000) ……………………………………………………... Struktur biji jewawut (Anonymousa, 2008) ...……………… … Struktur flavonoid jewawut (Dykes dan Rooney, 2006) ……… b Struktur biji ketan hitam (Anonymous , 2008) ………………… Proses pembentukan komponen antosianin, struktur dan turunannya (Nakajima et al, 2001) ………………………………. Struktur antosianin ketan hitam (Ryu et al, 1998) ………………. Reaksi reduksi terhadap warna dari senyawa DPPH (Vaya dan Aviram, 2001 ) …………………………………………………… Diagram alir proses penelitian pada sorgum ………………… Diagram alir proses penelitian pada jewawut …………...… Diagram alir proses penelitian pada ketan hitam ……………. Rerata rendemen akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan Rerata Kadar Fenol Total Ekstrak Sorgum, Jewawut dan Ketan Hitam Akibat Pengaruh Perlakuan Waktu Penyosohan …………. Rerata Aktivitas Antioksidan Ekstrak Sorgum, Jewawut dan Ketan Hitam Akibat Pengaruh Perlakuan Waktu Penyosohan ...……..… Grafik korelasi antara total fenol dengan aktivitas antioksidan pada serealia ……………………………………………………... Proses perubahan struktur MTT menjadi kristal formazan (James et al, 1994) …………………………………………………………… Nilai indeks stimulasi (IS) sel limfosit berbagai ekstrak serealia dengan kontrol dan mitogen ........................................................... Struktur β-1,3 glucan (Roubroeks et al, 2001) ………………
iv
3 5 6 7 10 11 13 15 16 19 28 29 30 50 51 56 60 69 70 74
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12..
Teks
Halaman
Kurva Standar Analisa Fenol Total ………………….……… Kurva Standar Analisa Aktivitas Antioksidan ………….....… Kuesioner uji organoleptik ……………………….…...…… Lembar Kerja Uji Organoleptik …………………………….... Komposisi media RPMI-1640 ……………………..………... Gambar peta sumur pada microplate ....................................... Data hasil analisis fenol total dan uji statistik ……………… Data hasil analisis aktivitas antioksidan dan uji statistik …..… Data hasil analisis statistik uji organoleptik sorgum ..….…… Data hasil analisis statistik uji organoleptik jewawut ………... Data hasil analisis statistik uji organoleptik ketan hitam …… Data hasil analisis statistik uji proliferasi sel limfosit ………...
v
88 89 90 93 99 100 101 103 105 107 109 111
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai jenis komoditas serealia tropikal sebagai sumber karbohidrat yang tumbuh di Indonesia sangat beragam jenisnya, tapi yang dibudidayakan secara intensif untuk memenuhi kebutuhan kalori penduduk Indonesia masih terbatas pada padi dan jagung. Hal tersebut akan menimbulkan resiko bagi ketahanan
pangan,
karena
dari
segi
keseimbangan
pangan,
terutama
keseimbangan karbohidrat, pola makan bangsa Indonesia dinilai kurang ideal akibat tingginya konsumsi beras sebagai satu-satunya sumber kalori. Menyikapi permasalahan tersebut, pemerintah menerapkan program diversifikasi pangan yang dimulai tahun 1972, tetapi implementasinya masih belum menghasilkan perubahan pola makan yang diharapkan (Suarni, 2004)a. Diversifikasi pangan yang meliputi keragaman konsumsi sumber-sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral masih kurang optimal karena terbatasnya produksi komoditas pertanian pangan yang beragam. Berdasarkan fakta tersebut muncul suatu pemikiran untuk mencari sumber karbohidrat baru, yaitu serealia non beras. Budidaya, produksi dan teknologi serealia non beras masih sangat sedikit sehingga belum dapat mensubstitusi konsumsi beras penduduk Indonesia. Pengolahan serealia dinilai merupakan suatu langkah strategis dalam menyediakan bahan pangan baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai bahan baku industri pangan lain. Hubungan antara pangan dan kesehatan yang makin banyak diteliti dan terbukti sangat erat telah menstimulir munculnya produk-produk pangan fungsional. Serealia dan produk-produknya merupakan salah satu kelompok pangan yang banyak digunakan dan diproduksi sebagai pangan fungsional. Serealia seperti sorgum (Sorghum bicolor L), jewawut (Pennisetum glaucum) dan ketan hitam (Oryza sativa glutinosa) merupakan komoditi yang sangat potensial sebagai sumber karbohidrat, antioksidan, senyawa bioaktif dan serat yang penting bagi kesehatan (Rooney dan Serna, 2000). Sayangnya data manfaat kesehatan mengenai serealia tropikal Indonesia yang masih terbatas menyebabkan budidaya dan konsumsinya masih belum dapat dipromosikan secara intensif. 1
Penelitian yang mencakup pengolahan serelia lokal dan manfaat kesehatan serealia lain selain beras diharapkan dapat mendorong peningkatan konsumsi, produksi dan budidaya serealia non beras seperti sorgum, jewawut dan ketan hitam. Serealia yang banyak mengandung karbohidrat jika diolah secara tepat dapat menghasilkan produk sumber karbohidrat yang mengandung zat-zat gizi lain seperti vitamin, mineral, serat dan antioksidan. Komponen serat dan antioksidan serealia telah mulai banyak dipublikasikan sebagai komponen yang berdampak positif terhadap kesehatan, misalnya “oatmeal”
yang telah
dikomersialisasikan secara besar-besaran sebagai imunomodulator dan anti aterosklerosis dan digunakan baik sebagai makanan langsung maupun sebagai bahan mentah untuk produk lain (Delaney et al, 2003). Sorgum, jewawut dan ketan hitam mengandung komponen fenolik yang memiliki sifat antioksidan. Bahkan ekstrak berbagai jenis sorgum telah diteliti dapat menghambat pertumbuhan sel kanker kolon (Dykes and Rooney, 2006). Komponen-komponen fenolik serealia tersebut sering ditemukan terdapat pada bagian kulit ari serealia yaitu pada lapisan pericarp & testa (Dykes & Rooney, 2006). Lapisan tersebut biasanya terbuang pada proses penyosohan yang merupakan salah satu proses pengolahan paling mendasar pada serealia. Dengan menemukan cara penyosohan yang tepat, diharapkan kehilangan berbagai komponen bioaktif serealia yang memiliki berbagai sifat fungsional tersebut dapat diminimalisasi sehingga manfaat kesehatannya tetap dapat dinikmati oleh setiap masyarakat pengkonsumsinya. 1.2 Tujuan Mempelajari pengaruh penyosohan pada komoditas serealia sorgum, jewawut dan ketan hitam serta memperoleh produk yang disukai panelis berdasarkan perbandingan air dan optimasi waktu pemasakan dari sorgum, jewawut dan ketan hitam. Selain itu diharapkan akan didapatkan data dan informasi ilmiah mengenai khasiat serealia sumber karbohidrat berupa aktivitas antioksidan dan aktivitas imunomodulatornya. 1.3 Hipotesa Sorgum, jewawut dan ketan hitam sebagai serealia sumber karbohidrat diduga memiliki aktivitas antioksidan dan aktivitas imunomodulator melalui mekanisme peningkatan proliferasi sel limfosit pada manusia.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Serealia Tropikal Indonesia 2. 1. 1 Sorgum (Sorghum bicolor L) Sorgum (Sorghum bicolor L) adalah tanaman serealia yang potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia. Sorghum termasuk dalam : Kingdom
: Plantae
Kelas
: Monocotyledon
Keluarga
: Graminae
Genus
: Sorghum Sumber : Suprapto & Mudjisihono, 1987
Biji sorgum berbentuk bulat lonjong dengan ukuran sekitar 4 x 2,5 x 3,5 mm. Biji sorgum mempunyai struktur yang hampir sama dengan serealia lainnya. Komponen utama biji sorgum adalah perikarp, testa, endosperm dan embrio (Suarni dan Singgih, 2002). Untuk lebih jelasnya struktur penampang melintang dari biji sorgum disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur biji sorgum (Suarni dan Singgih, 2002)
3
Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, perlu input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain seperti jagung dan gandum. Selain itu, tanaman sorgum memiliki kandungan nutrisi yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak alternatif. Biji sorgum memiliki kandungan karbohidrat tinggi dan sering digunakan sebagai bahan baku industri bir, pati, gula cair atau sirup, etanol, lem, cat, kertas dan industri lainnya. Tanaman sorgum telah lama dan banyak dikenal oleh petani Indonesia khususnya di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, NTB dan NTT. Di Jawa sorgum dikenal dengan nama cantel, dan biasanya petani menanamnya secara tumpang sari dengan tanaman pangan lainnya (Nurmala, 1997). Menurut Suarni (2004)a, sorgum termasuk famili Graminae dan merupakan tanaman musim panas meskipun beberapa varietasnya dapat beradaptasi dengan iklim setempat. Sorgum tumbuh secara efektif pada daerah tropis dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, suhu 23-300C, kelembaban udara 20-40 persen, curah hujan 375-425 mm/tahun, dan kisaran pH 5,5-8,5. Komposisi kimia dari biji sorgum dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia biji sorgum Komposisi Kimia Biji Sorgum (%)
Bagian Biji Biji utuh Endosperm Kulit biji Lembaga
Pati 73,8 82,5 34,6 9,8
Protein 12,3 12,3 6,7 13,4
Lemak 3,60 0,63 4,90 18,9
Abu 1,65 0,37 2,02 10,36
Serat 2,2 1,3 8,6 2,6
Sumber : Hubbard et al, 1969
Pentosan adalah salah satu karbohidrat utama yang terdapat didalam perikarp dan lembaga dan berjumlah sebesar 2,6-10,2% dari bobot biji kering. Lembaga biji sorgum mengandung lebih dari 8% lemak biji (Hubbard et al, 1969). Fraksi protein yang ada di sorgum adalah albumin yang bersifat larut air, globulin yang larut pada garam, prolamin larut di alkohol dan glutelin yang bersifat larut basa. Albumin dan globulin terdapat di dalam lembaga dan lapisan aleuron. Asam 4
amino pada sorgum sangat bervariasi, tergantung pada lingkungan saat penanaman. Seperti halnya dengan serealia lainnya, kandungan asam amino lisin pada sorgum juga tergolong rendah (Rooney et al, 1980). Sorgum
mengandung
berbagai
senyawa
bioaktif
yang
beberapa
diantaranya adalah komponen fenolik, sterol tanaman dan polisakanol. Fenol membantu dalam pertahanan alami tanaman melawan hama dan penyakit, sedangkan sterol tanaman dan polisakanol merupakan komponen penting dari lilin dan minyak tanaman. Senyawa fenolik pada sorgum memiliki aktivitas antioksidan, sifat menurunkan kolestrol dan kegunaan lain untuk kesehatan. Fenol dalam sorgum dibagi menjadi dua kategori yaitu asam fenolat dan flavonoid. Asam fenolat merupakan turunan asam sinamat dan benzoat, sedangkan flavonoid meliputi tanin dan antosianin sebagai konstituen yang paling banyak diisolasi dari sorgum (Awika dan Rooney, 2004). Struktur asam fenolik dari sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur asam fenolik pada sorgum yaitu asam benzoat dan asam sinamat (Awika dan Rooney, 2004)
Antosianin merupakan salah satu kelas utama dari flavonoid yang paling banyak dipelajari dari sorgum (Awika dan Rooney, 2004). Awika et al (2004) melaporkan bahwa antosianin dari sorgum tidak seperti antosianin pada umumnya. Antosianin pada sorgum dinilai unik karena strukturnya tidak memiliki gugus hidroksil pada cincin karbon (C) nomor 3 sehingga dinamakan 5
3-deoksiantosianin. Keunikan tersebut menyebabkan antosianin pada sorgum lebih stabil pada pH tinggi dibanding antosianin yang diisolasi dari buah-buahan atau sayur-sayuran pada umumnya sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai pewarna alami makanan. Antosianin pada sorgum yang telah diidentifikasi adalah apigenidin dan luteolinidin (Wu dan Prior, 2005). Struktur apigenidin dan luteolinidin dapat dilihat pada Gambar 3.
R1 = H1R2 = H1R3 = H :apigenidin R1 = OH1R2 = H1R3 = H : luteolinidin
Gambar 3. Struktur antosianin pada sorgum yaitu apigenidin dan luteolinidin (Awika dan Rooney, 2004)
Komponen flavonoid yang lain dari sorgum selain antosianin adalah senyawa tanin. Tanin adalah senyawa fenolik yang larut dalam air dengan berat molekul antara 500-3000. Senyawa tanin pada sorgum memiliki berbagai peranan, antara lain untuk melindungi biji dari predator burung, serangga, kapang (Fusaarium tapsinum dan Aspergillus flavus) serta dari cuaca (Waniska et al, 1989). Tanin dari sorgum menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat tinggi secara in vitro (Riedl dan Hagerman, 2001). Menurut Hagerman et al (1998), tanin dengan berat molekul tinggi memiliki aktivitas antioksidan terbaik dibandingkan antioksidan alami lainnya. Hal tersebut berhubungan dengan banyaknya jumlah cincin aromatik dan gugus hidroksil yang dimiliki oleh tanin, dimana semakin banyak jumlah cincin aromatik dan gugus hidroksil akan semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Selain itu, penelitian dari Hagerman et al (1998) juga melaporkan bahwa tanin tidak dapat berperan sebagai prooksidan sehingga dinilai merupakan salah satu antioksidan yang potensial. Struktur tanin pada sorgum dapat dilihat pada Gambar 4. 6
Gambar 4. Struktur proantosianidin atau tanin pada sorgum (Rooney dan Serna, 2000)
Sorgum memiliki berbagai efek positif bagi kesehatan yang berkaitan erat dengan berbagai komponen bioaktif terutama senyawa fenolik yang dimilikinya (Dicko et al, 2005; Awika dan Rooney, 2004). Peranan sorgum dalam mencegah cardiovascular disease (CVD) dilaporkan oleh Cho et al (2000) yang menyatakan bahwa ekstrak heksan sorgum dapat menghambat pembentukan 3-hidroksi-3metilglutaril CoA (HMG-CoA) reduktase pada sel hati tikus. Penelitian dari Lee dan Pan (2003) juga melaporkan bahwa senyawa tanin sorgum dapat menghambat 63-97% oksidasi asam linoleat pada hemoglobin dibandingkan kedelai (13%) dan dedak padi (78%). Kemampuan sorgum dalam menurunkan kadar kolestrol darah juga dilaporkan oleh Rooney et al (1992) yang menyatakan bahwa dedak sorgum memiliki kemampuan menurunkan kadar kolestrol darah lebih baik dibanding gandum dan jagung. Manfaat kesehatan sorgum lainnya adalah peranannya dalam membantu ketersediaan pangan bagi penderita diabetes militus dan obesitas yang dibuktikan oleh penelitian Awika dan Rooney (2004) yang menyatakan bahwa senyawa tanin pada sorgum menyebabkan sorgum dicerna lebih lambat dibanding serealia lain. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Suarni (2004)a yang menyatakan bahwa komponen protein dan pati pada sorgum lebih lambat dicerna daripada serealia lain sehingga komoditi ini dinilai potensial untuk diaplikasikan pada makanan penderita diabetes dan obesitas. 7
Menurut Muriu et al (2002), mekanisme yang terjadi disebabkan senyawa tanin yang terdapat pada sorgum akan menurunkan nilai nutrisi dari makanan yang dikonsumsi dengan cara berikatan dengan protein (Hagerman dan Butler, 1981) dan karbohidrat (Lizardo et al, 1995) membentuk suatu komplek yang sulit didegradasi oleh enzim-enzim pencernaan. Mekanisme peranan sorgum dalam menghambat obesitas lainnya adalah kemampuan senyawa tanin pada sorgum untuk berikatan dengan enzim-enzim pencernaan seperti sukrase, amylase, tripsin, kimotripsin dan lipase (Al-Mamary et al, 2001; Lizardo et al, 1995). Aktivitas anti mutagenik sorgum dibuktikan oleh penelitian Grimmer et al (1992) yang menunjukkan bahwa senyawa tanin pada sorgum memiliki aktivitas anti mutagenik lebih tinggi dibanding senyawa tanin dengan berat molekul lebih rendah. Sebuah studi yang dilakukan oleh Turner et al (2006) melaporkan bahwa tanin dari dedak sorgum dapat mereduksi kanker kolon pada tikus percobaan, dimana studi dilakukan dengan cara pemberian diet berupa dedak sorgum hitam, selulosa dan sorgum putih. Aktivitas antikanker kolon terbaik didapat pada dedak sorgum hitam dimana hasil yang didapat diduga berkorelasi dengan adanya aktivitas antioksidan dari sorgum. Mekanisme anti kanker kolon dari sorgum memiliki hubungan erat dengan senyawa tanin pada sorgum. Mekanisme tersebut mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Rios et al (2002) yang melaporkan bahwa senyawa tanin tidak terdegradasi setelah melewati saluran pencernaan pada manusia. Menurut Rios et al (2002), tanin baru akan terdegradasi oleh mikroflora yang terdapat di kolon menjadi asam fenolik yang dapat berperan sebagai antioksidan di dalam sistem pencernaan di kolon. Produksi sorgum Indonesia masih sangat rendah, bahkan secara umum produk sorgum belum tersedia di pasar-pasar. Proses pengolahan sorgum di Indonesia masih sangat sederhana. Salah satu kendala adalah belum tersedianya mesin pemecah kulit yang baik untuk komoditi sorgum. Mesin pemecah yang ada belum dapat memecahkan kulit dari sorgum secara optimal (Mudjisihono et al, 1991). Beberapa varietas sorgum yang telah dikenal di Indonesia adalah Malang 26, Birdproof, Ketengu, Pretoria, Darsa dan Cempaka. Varietas-varietas yang
8
dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor diantaranya adalah varietas UPCA-S1, UPCA-S2, No.46, No.6c dan No. 7c (Mudjisihono et al, 1991). Menurut Suarni (2004)a, balai penelitian tanaman serealia Indonesia pada tahun 2001 telah melepas dua varietas sorgum unggul baru yaitu Kawali dan Numbu yang berasal dari India. Potensi hasil kedua varietas tersebut masingmasing 4,76 ton/ha dan 5,05 ton/ha dengan rata-rata hasil 3,0 ton/ha dan berumur 90 hari. Varietas Kawali dan Numbu memiliki tangkai yang kompak dan besar, tahan terhadap rebah, penyakit karat serta penyakit bercak daun. Kedua varietas ini ditanam di beberapa daerah antara lain di Demak dan Gunungkidul (Jawa tengah) serta daerah Bantul (Yogyakarta).
2. 1. 2 Jewawut (Pennisetum glaucum) Jewawut atau millet adalah salah satu jenis serealia yang merupakan famili Poaceae. Tiga jenis jewawut yang populer di Indonesia yaitu jenis brownstop, pearl millet, dan jenis proso atau Italian millet. Menurut Olivieri dan Hauser (1997), pearl millet memiliki jumlah kromosom 14 pasang dengan potensi hasil 3,5 ton per hektar. Jenis pearl millet tersebut termasuk tanaman serealia ekonomi minor penting dari golongan tanaman semusim. Klasifikasi dari jewawut disajikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Kelas
: Monocotyledon
Keluarga
: Poaceae
Genus
: Pennisetum Sumber : Nurmala, 1997
Biji jewawut mudah dijumpai di kios maupun di pasar-pasar burung walaupun terkadang masih diimpor dari luar negeri (Widyaningsih dan Mutholib, 1999). Menurut Andoko (2001) biji jewawut sangat disukai burung pemakan biji dan paling sering diberikan oleh penangkar burung karena dipercayai dapat meningkatkan kualitas suaranya. Jumlah kebutuhan jewawut dari tahun ke tahun
9
terus meningkat seiring dengan semakin banyaknya penangkar burung lokal dan burung impor. Pada tahun 2007, permintaan jewawut di Indonesia bahkan mencapai angka 10000 ton/bulan (Suherman et al, 2006). Struktur dari biji jewawut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur biji jewawut (Anonymousa, 2008)
Biji jewawut biasa digunakan sebagai makanan manusia di berbagai negara Asia, Eropa bagian tenggara dan Afrika utara, biasanya diolah dengan cara dimasak dan dimakan seperti beras, baik utuh maupun dengan dihancurkan. Di Cina, jewawut dianggap sebagai suatu makanan yang bergizi dan sering direkomendasikan untuk wanita-wanita yang hamil dan orang tua. Sejak tahun 1990 jewawut juga telah digunakan di Cina untuk membuat keripik, jewawut gulung kering dan tepung untuk makanan bayi. Di Cina bagian utara, tepung jewawut menjadi bagian dari bahan makanan pokok untuk membuat adonan roti dan mi. Rusia dan Burma (Myanmar) menggunakan jewawut sebagai bahan untuk membuat cuka, bir dan alkohol (Dykes and Rooney, 2006). Menurut Suherman et al (2006), jewawut memiliki nilai nutrisi yang kompleks bahkan biji jewawut memiliki kandungan karbohidrat dan protein lebih baik dibanding beras. Komposisi kimia biji jewawut dapat dilihat pada Tabel 2. 10
Tabel 2. Komposisi kimia biji jewawut Komponen Kadar air (%) Bahan kering (%) Kadar abu (%) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Ca (mg/100gr) P (mg/100gr) Mg (mg/100gr) Fe (mg/100gr) Zn (mg/100gr) Vitamin A (mg/100gr) Vitamin C (mg/100gr)
Jewawut 12.51 87.49 3.86 11.38 2.53 5.64 19.80 50.00 12.10 7.80 3.60 0.023 26.40
Sumber : Nurmala, 1997
Senyawa antioksidan terdapat pada jewawut, antara lain senyawa flavonoid. Menurut Dykes dan Rooney (2006), flavonoid terbukti memiliki kemampuan dalam menangkal radikal bebas dengan baik. Salah satu jenis senyawa flavonoid yang terdapat pada jewawut adalah tanin yang terdapat pada bagian testa dari biji jewawut. Semakin gelap warna testa, akan semakin tinggi kandungan taninnya. Selain tanin, adanya senyawa flavonoid pada jewawut yang telah teridentifikasi diantaranya adalah orientin dan vitexin (Hilu et al, 1978), luteolin dan tricin (Watanabe, 1999) serta apigenin (Sartelet et al, 1996). Struktur flavonoid pada jewawut dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur flavonoid jewawut (Dykes dan Rooney, 2006) 11
Selain dapat digunakan sebagai sumber antioksidan potensial, jewawut juga memiliki aktivitas antimikroba. Aktivitas antimikroba dari jewawut dibuktikan oleh penelitian Viswanath et al (2009) yang melaporkan bahwa senyawa polifenol yang diekstrak dari lapisan kulit ari jewawut menggunakan metanol dan Hcl 1% selain dapat digunakan sebagai sumber antioksidan potensial, juga memiliki aktivitas antimikroba terhadap Bacillus cereus pada minimum inhibitory concentration (MIC) sebesar 30% dengan luas zona penghambatan sebesar 15 mm. Peranan jewawut dalam mencegah cardiovascular disease (CVD) dilaporkan oleh Cho et al (2000) yang menyatakan bahwa ekstrak heksan jewawut dapat menghambat pembentukan 3-hidroksi-3-metilglutaril CoA (HMG-CoA) reduktase pada sel hati tikus. Manfaat kesehatan jewawut lainnya dilaporkan oleh Rooney et al (1992) yang menyatakan bahwa dedak jewawut memiliki kemampuan menurunkan kadar kolestrol lebih baik dibanding jagung dan gandum. Aktivitas antikarsinogenik dari jewawut juga dibuktikan oleh penelitian Rensburg (1981) yang melaporkan bahwa populasi masyarakat di Eropa yang mengkonsumsi jewawut memiliki resiko kanker esorphagus lebih rendah dibanding populasi masyarakat Eropa yang mengkonsumsi serealia seperti jagung dan gandum.
2. 1. 3 Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa) Ketan hitam merupakan salah satu komoditi pertanian yang telah dikenal dan dibudidayakan secara luas di Indonesia. Komoditi pertanian ini dikenal di indonesia melalui berbagai bentuk olahannya seperti bubur ketan dan tape ketan. Berikut disajikan deskripsi dari beras ketan : Kingdom
: Plantae
Kelas
: Monocotyledon
Keluarga
: Graminae
Genus
: Oryza sativa Sumber : Nurmala, 1997
12
Ketan secara visual dapat dibedakan dari beras biasa, yaitu butir patinya berwarna gelap dan lunak, sedangkan beras biasa butir patinya berwarna putih bening dan lebih keras. Struktur biji dari ketan hitam dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Struktur biji ketan hitam (Anonymousb, 2008)
Ketan memiliki nilai nutrisi yang lengkap dan tidak kalah dibandingkan beras, sehingga komoditi pertanian ini memang layak untuk dipromosikan secara intensif sebagai pangan alternatif untuk mendukung program diversifikasi karbohidrat. Komposisi kimia dari butir beras dan ketan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia butir beras dan ketan Komponen
Beras Biasa
Energi (cal) Protein (gr/100 gr) Lemak (gr/100 gr) Karbohidrat (gr/100 gr) Kalsium (mg/100 gr) Fosfor (mg/100 gr) Besi (mg/100 gr) Vitamin B1 (mg/100 gr) Air (%)
360,00 6,80 0,70 78,90 6,00 140,00 0,80 0,12 13,00
Beras Ketan Ketan Hitam 356,00 7,00 0,70 78,00 10,00 148,00 0,80 0,20 13,00
Ketan Putih 362,00 6,70 0,70 79,40 12,00 148,00 0,80 0,16 12,00
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 2000
13
Pati merupakan karbohidrat utama pada ketan. Pati adalah homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosida. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, dimana fraksi terlarut adalah amilosa sedangkan fraksi yang tidak larut adalah amilopektin. Secara kimia beras dan ketan dapat dibedakan dari komposisi amilosa dan amilopektinnya. Di dalam ketan kadar amilosanya hanya sekitar 1-2 persen, sedangkan didalam beras biasa berkisar antara 7-38 persen (Winarno, 1991). Komposisi pati pada ketan yang hampir semuanya terdiri dari amilopektin menyebabkan ketan mempunyai sifat lengket, tidak mengembang dalam pemasakan dan tidak banyak menyerap air serta tetap lunak setelah dingin (Darmadjati, 1983). Protein sebagai penyusun terbesar kedua setelah pati mempunyai ukuran granula 0,5-5,0 µm terdiri dari 5% fraksi albumin, 10% globulin, 5% prolamin dan 80% glutelin. Fraksi protein yang paling dominan adalah glutelin, yang bersifat tidak larut air, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan pengembangan butir pati selama pemanasan (Kadirantau, 2000). Sifat-sifat kimia dari ketan akan mempengaruhi sifat-sifat fisiknya. Sifat fisik beras dan ketan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan sifat-sifat fisik beras dan ketan Sifat Fisik Suhu gelatinisasi (0C) Ukuran granula (nm) Densitas (dengan xilen) Viscositas gel (cp)
Beras 58 – 79 1,6 – 8,7 1,49 - 1,51 140 – 2200
Ketan 58 – 78,5 1,9 – 8,1 1,48 – 1,50 64 – 1890
Sumber : Juliano, 1972
Suhu gelatinisasi adalah suhu saat granula pati mulai mengembang dalam air panas bersamaan dengan hilangnya bentuk kristal dari pati tersebut. Juliano (1972) menyatakan bahwa suhu gelatinisasi ketan berkisar antara 58-78,50C. Suhu ini tidak berbeda jauh dengan suhu gelatinisasi beras biasa yaitu 58-790C. Konsistensi gel sebagai ukuran kecepatan relatif dari retrogradasi pada gel pati ketan mempunyai korelasi dengan suhu gelatinisasi, tetapi pada beras tidak menunjukkan adanya korelasi. Sifat konsistensi dan viscositas gel pati beras lebih besar dibanding ketan karena dipengaruhi oleh adanya kadar amilosa yang lebih tinggi. (Juliano, 1972). 14
Ketan hitam memiliki potensi sebagai pembawa antosianin yang merupakan salah satu senyawa fenolik. Misnawi et al (2003) menyatakan bahwa kedua senyawa ini diketahui mempunyai manfaat bagi kesehatan karena bersifat sebagai antioxidan yang dapat melindungi kolesterol darah dari serangan oxidasi oleh radikal bebas dan senyawa radikal lainnya yang dapat memicu aterosklerosis. Proses pembentukan komponen antosianin, struktur dan turunannya dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Proses pembentukan komponen antosianin, struktur dan turunannya (Nakajima et al, 2001)
Adanya senyawa antosianin pada ketan hitam telah dibuktikan oleh penelitian Aligitha (2007) yang mengisolasi senyawa antosianin dari ketan hitam dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol yang mengandung 1% asam
15
hidroklorida pekat dan isolat yang diperoleh merupakan antosianin terasilasi jenis sianidin 3-glikosida. Adanya senyawa antosianin pada ketan hitam juga dilaporkan oleh Ryu et al (1998) yang mengidentifikasi senyawa antosianin dari beberapa varietas ketan hitam menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan mendapatkan jenis antosianin pada ketan hitam adalah sianidin 3-glikosida dan peonidin 3-glikosida. Penelitian lainnya dilakukan oleh Hu et al (2003) yang yang mengisolasi senyawa antosianin ketan hitam menggunakan metode filtrasi gel dan mendapatkan turunan antosianin ketan hitam yaitu senyawa sianidin 3-glukosida dan peonidin 3-glukosida. Struktur antosianin pada ketan hitam dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Struktur antosianin ketan hitam (Ryu et al, 1998)
Menurut Hu et al (2003), pigmen antosianin yang terdapat pada ketan hitam dapat menekan resiko kerusakan oksidatif dari low density lipoprotein (LDL) pada manusia. Selain itu Hu et al (2003) juga melaporkan bahwa pigmen antosianin pada ketan hitam dapat mereduksi pembentukan nitrit oksida dengan menekan aktivitas nitric oxide synthetase pada sel-sel makrofag dan secara signifikan mencegah kerusakan DNA yang disebabkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species).
16
2. 2 Antioksidan Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas. Antioksidan dinyatakan sebagai senyawa yang secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah dibanding substrat yang dapat dioksidasi (Pokorny et al, 2008). Antioksidan mempunyai arti perlawanan oksidasi. Pada saat radikal bebas menerima elektron dari antioksidan, maka senyawa ini tidak reaktif lagi dan tidak merusak sel akibat proses oksidasi telah terputus (Widyawati, 2002). Menurut Pokorny et al (2008), antioksidan sangat beragam jenisnya, berdasarkan sumbernya antioksidan digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik yang diperoleh dari sintesa reaksi kimia dan antioksidan alami. Antioksidan alami didalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan atau yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan kemakanan sebagai bahan tambahan pangan. Menurut Pokorny et al (2008), golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin dan flavonol. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam fenolat, asam klorogenat dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini bersifat multifungsional dan dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal, pengkelat logam dan peredam terbentuknya singlet oksidan. Kira-kira 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya, sehingga flavonoid merupakan salah satu golongan fenol yang terbesar. Lebih lanjut disebutkan bahwa sebenarnya flavonoid terdapat dalam semua jenis tumbuhan, sehingga pastilah ditemukan pula pada setiap ekstrak tumbuhan. Kebanyakan golongan flavonoid dan senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-sifat antioksidan.
17
Menurut Gordon (1990), proses oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut ; Inisiasi
→ R• + H• : R• + O2 → ROO• : ROO• + RH → ROOH + R• : RH
Propagasi
Terminasi
: ROO• + ROO•
(1) (2) (3) (4)
R• + ROO• R• + R• Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan senyawa radikal yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen (reaksi 1). Pada tahap propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (reaksi 2). Radikal peroksi akan menyerang asam lemak menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru (reaksi 3). Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami terminasi dengan membentuk kompleks radikal bebas (reaksi 4). Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil kemudian terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida, keton dan alkohol. Tang (1991) menyatakan bahwa senyawa fenolik dapat mencegah terjadinya autooksidasi yang disebabkan radikal bebas karena termasuk golongan antioksidan. Peranan senyawa fenolik sebagai antioksidan berkaitan dengan peranannya sebagai donor atom hidrogen pada senyawa radikal. Menurut Fuhrman (2002), antioksidan akan bereaksi dengan senyawa radikal, terutama radikal peroksi (ROO•), reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut ;
→ ROOH + AH• AH• + AH• → A + AH2 ROO• + AH2
(5) (6)
Senyawa fenolik akan bertindak sebagai donor hidrogen (reaksi 5) atau akseptor radikal peroksi (reaksi 6) terhadap senyawa radikal. Setelah terjadi reaksi antara antioksidan fenolik dengan senyawa radikal, akan terbentuk radikal fenolik yang tidak cukup aktif untuk melakukan reaksi propagasi. Radikal fenolik ini pada umumnya akan diinaktivasi menggunakan radikal lainnya sehingga membentuk produk yang tidak aktif. 18
Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menentukan kapasitas antioksidan suatu bahan adalah metode DPPH. DPPH (2,2-dyphenyl-1picrylhydrazil) merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dalam larutan metanol yang berwarna ungu tua. Reaksi reduksi terhadap warna dari senyawa DPPH dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Reaksi reduksi terhadap warna dari senyawa DPPH (Vaya dan Aviram, 2001 )
Mekanisme reaksi yang terjadi adalah proses reduksi senyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer. Reaksi yang terjadi adalah pembentukan α, α-diphenyl-βpicrylhydrazine, melalui kemampuan antioksidan menyumbang hidrogen. Semakin pudarnya warna DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula (Benabadji et al, 2004).
2. 3 Sistem Imun Sistem imun adalah suatu sistem yang merupakan interaksi kompleks dari beragam jenis sel imunokompeten yang bekerjasama dalam proses identifikasi dan eliminasi mikroorganisme patogen dan zat-zat berbahaya lainnya yang masuk kedalam tubuh. Respon imun menjalankan tiga fungsi yaitu fungsi pertahanan yang bertujuan melawan invasi mikroorganisme dan senyawa asing lainnya. Fungsi hemostasis untuk mempertahankan diri dari jenis sel tertentu dan memusnahkan sel-sel yang rusak. Fungsi lainnya adalah fungsi pengawasan yang bertujuan memonitor jenis sel yang abnormal atau sel mutan (Belanti, 1993). 19
Respon imunologik terdiri dari respon imun spesifik dan non spesifik. Respon imun non spesifik merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan mikroorganisme secara langsung, walaupun tubuh sebenarnya belum pernah terpapar zat asing tersebut. Sistem tersebut disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap antigen tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Komponen-komponen sistem imun non spesifik dapat dibagi menjadi pertahanan fisik, mekanik serta pertahanan biokimiawi (Baratawidjaya, 1991). Menurut Parslow dan Bainton (1997), respon imun spesifik timbul sebagai reaksi terhadap serangan mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis oleh neutrofil dan monosit (makrofag), barier kimia melalui sekresi internal dan eksternal (lisozim dalam jaringan mucus, air mata, laktoperoksidase dalam saliva) serta protein darah (interferon, sistem kinin, komplemen) serta sel natural killer (NK). Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada. Secara fungsional antigen dapat dibagi menjadi imunogen dan hapten (Garvey et al, 1977). Menurut Baratawidjaya (1991), imunogen adalah bahan yang dapat menimbulkan respon imun, sedangkan hapten adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada secara langsung, tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung. Respon imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya. Respon imun spesifik meliputi respon imun seluler dan humoral. Leukosit khususnya limfosit berperan penting dalam respon imun spesifik. Respon imun seluler memberikan pertahanan terhadap mikroorganisme intra dan ekstraseluler melalui sekresi limfokin seperti interferon (IFN) dan interleukin (IL), sedangkan respon imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antibodi terhadap antigen spesifik (Roitt, 1991). Menurut Collegate (1993), beberapa golongan senyawa yang dapat berperan sebagai imunomodulator adalah golongan karbohidrat, terpen, steroid, flavonoid, glikoprotein, alkaloid dan beberapa senyawa organik lain yang mengandung nitrogen. Tingkat imunitas dari setiap individu dalam menentang infeksi ataupun merespon adanya antigen akan berbeda-beda (Roitt, 1991). Menurut Bellanti (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imunitas antara lain adalah faktor genetis, umur, kondisi metabolik, anatomi tubuh, status gizi, fisiologi tubuh dan sifat dari benda asing yang masuk ke dalam tubuh. 20
2. 4 Sel Limfosit Limfosit adalah sel darah putih atau leukosit yang berbentuk bulat dengan diameter 7-15 µm. Sel limfosit selain terdapat di dalam darah perifer, terdapat juga pada organ limfoid seperti limfa, kelenjar limfe dan thymus. Limfosit manusia berjumlah sekitar 30% dari persentase normal sel darah putih (Kuby, 1992). Tizard (1988) menyatakan bahwa sel limfosit memiliki fungsi yang kompleks dengan fungsi utama adalah memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang terikat oleh makrofag. Menurut Kuby (1992), sel limfosit mampu menghasilkan respon imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Sel limfosit merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik, sel limfosit dapat mengenali antigen melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari komponen tubuhnya sendiri. Sel limfosit dibentuk didalam sumsum tulang belakang. Sel limfosit berdiferensiasi menjadi sel limfosit T dan B yang keduanya berperan dalam respon imun spesifik untuk mengenali antigen melalui reseptor antigen. Limfosit T dibentuk didalam sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi didalam kelenjar timus, dimana sel limfosit B berbeda dengan sel limfosit T yang terdiri
atas
beberapa
subset
dengan
beberapa
fungsi
yang
berlainan
(Bellanti, 1993). Menurut Roitt (1991), populasi sel limfosit memiliki reseptor antigen yang beragam, namun setiap sel limfosit hanya dapat mengenali satu jenis antigen, sehingga dalam proses respon imun, sel limfosit saling bekerjasama untuk mengeliminasi beragam antigen yang masuk ke dalam tubuh. 2. 4. 1 Sel Limfosit T Menurut Roitt (1991), sel limfosit T merupakan 65-85 % dari semua limfosit dalam sirkulasi. Dibawah mikroskop, morfologi sel T tidak dapat dibedakan dengan sel B. Limfosit T berasal dari sel hematopoetik sumsum tulang, sel ini kemudian pindah ke thymus dan menjadi dewasa. Di organ thymus, sel T sangat cepat membelah diri. Pada proses pendewasaannya sel ini mengalami diferensiasi menjadi sel T helper (Th), T supressor (Ts) dan sel T cytotoxic (Tc). Sel limfosit berproliferasi menjadi sel limfosit T memori dan berbagai sel efektor yang mensekresi berbagai limfokin yang dapat berperan sebagai mediator dalam sistem imunitas. Limfokin ini berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel 21
NK dan sel lain yang terlibat dalam respon imun. Limfosit T berperan penting dalam imunitas seluler dengan cara merespon benda asing melalui reseptor permukaan secara langsung. Setelah interaksi antara benda asing dengan sel limfosit T, terjadi suatu seri peristiwa morfologik, biologik dan biokimia dimana sel dapat berfungsi secara langsung melalui pelepasan produk limfokin (Bellanti, 1993). 2. 4. 2 Sel Limfosit B Sel limfosit B adalah sel yang dapat membentuk immunoglobulin (Ig) dan merupakan 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah. Sel limfosit B bisa menjadi satu sel besar dengan metabolisme aktif, menjadi sel blast atau limfoblast dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Sel B berperan dalam reaksi imun humoral dan akan berproliferasi dengan adanya antigen. Adanya antigen akan merangsang sel limfosit B membentuk sel plasma yang dapat mensekresi antibodi, selain itu, sel limfosit B juga dapat berdiferensiasi membentuk sel memori (Baratawidjaya, 1994). Sel limfosit B perawan yang terangsang oleh antigen, dengan bantuan sel Th (sel T helper), akan mengalami proses perkembangan melalui 2 jalur, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk immunoglobulin dan membelah lalu kembali beristirahat sebagai sel limfosit B memori. Bila sel limfosit B memori terstimulasi dengan antigen yang sama, maka akan mengalami proliferasi lebih cepat membentuk sel plasma untuk membentuk antibodi spesifik. Satu sel plasma dapat mensekresi beribu-ribu molekul antibodi setiap detik. Sel limfosit B yang teraktivasi di dalam darah mengalami serangkaian proses pembelahan dan diferensiasi sel setiap 24 jam selama periode 5 hari (Albert et al., 1994). 2. 5 Peranan Senyawa Fenolik dalam Stimulasi Aktivitas Imunomodulator Senyawa fenolik merupakan salah satu komponen bioaktif yang dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi topik penelitian penting karena dapat memberikan fungsi-fungsi fisiologis yang berkaitan dengan pencegahan terhadap penyakit degeneratif. Senyawa fenolik meliputi fenol sederhana, asam fenolat, turunan asam hidroksinamat dan flavonoid. Senyawa fenol terdiri dari monofenol,
22
difenol dan trienol. Turunan asam hidroksinamat berasal dari p-koumarin, asam kafeat dan ferulat, sedangkan flavonoid terdiri dari katekin, prantosianidin, antosianidin, flavon, flavonol dan glikosidanya (Ho et al, 1991). Fungsi senyawa fenolik sebagai antioksidan berhubungan dengan proses perlindungan membran sel limfosit dari oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Fungsi lainnya adalah menstimulasi proliferasi sel limfosit karena dapat memicu pembentukan interleukin (IL). Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, senyawa fenolik dapat menyebabkan kematian sel karena kemampuannya untuk berikatan dengan protein membran. Protein yang berikatan akan berubah fungsi dan menyebabkan kerusakan membran (Tang, 1991). Flavonoid adalah komponen regular dari diet, terdapat juga pada buah dan sayuran. Flavonoid bersifat non toksik, inert atau semi essensial untuk kesehatan (Middleton dan Kandaswarni, 1993). Penelitian untuk melihat aktivitas imunomodulator dari senyawa fenol telah banyak dilakukan. Menurut Rizzi et al (1993), senyawa flavonoid, triterpen atau alkaloid pada tanaman kumis kucing (Uncaria tomentosa) memiliki aktivitas imunostimulan. Senyawa triterpenoid yang termasuk senyawa fenol dari akar licorice yaitu glycyrrhizin dapat menginduksi aktivitas interferon dan meningkatkan aktivitas sel NK (Abe et al, 1992).
2. 6 Proliferasi Sel Limfosit Limfosit merupakan sel tunggal yang bertahan baik saat dikultur dalam media sintetik lengkap. Sel limfosit sesuai dengan peranannya dapat berproliferasi. Proses proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar pada sel limfosit, meliputi proses diferensiasi dan pembelahan sel. Aktivitas proliferasi sel limfosit merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status imunitas karena proliferasi menunjukkan kemampuan dasar dari sistem imun (Roitt, 1991). Uji proliferasi limfosit dapat dilakukan melalui pengukuran kemampuan sel limfosit yang ditumbuhkan dalam kultur sel jangka pendek yang mengalami proliferasi klonal ketika dirangsang secara in vitro oleh antigen atau mitogen (Rosse et al, 1994). Menurut Kresno (1991), respon sel limfosit terhadap mitogen
23
dianggap menyerupai respon sel limfosit terhadap antigen, sehingga uji proliferasi dengan rangsangan mitogen banyak digunakan untuk menguji fungsi sel limfosit. Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel limfosit T maupun sel limfosit B dalam persentase tinggi. Beberapa mitogen hanya mampu mengaktivasi sel B, beberapa lagi hanya mampu mengaktivasi sel T tapi ada pula mitogen yang mampu mengaktivasi populasi keduanya. Sebagai contoh mitogen concanavalin A (Con A) yang berasal dari bibit jack bean (Canavalia ensiformis) dapat merangsang proliferasi dari sel T, sedangkan mitogen lipopolisakarida (LPS) yang berasal dari dinding sel bakteri gram negatif dapat merangsang proliferasi dari sel B. Untuk mitogen pokeweed (PWM) yang berasal dari tanaman pokeweed (Phytolacca americana) dapat menstimulasi proliferasi dari sel T maupun sel B (Kuby, 1992).
2. 7 Kultur Sel Teknik kultur sel adalah salah satu teknik yang digunakan untuk mengembangbiakkan sel diluar tubuh atau dikenal sebagai salah satu teknik in vitro. Pada teknik kultur, spesifisitas sel harus diperhatikan karena pada awalnya didalam tubuh, sel-sel bekerja secara integritas dalam suatu jaringan, sedangkan dalam kultur, sel terpisah-pisah. Selain itu, teknik ini harus dilakukan dalam kondisi steril karena sel tumbuh lebih lambat daripada kontaminan (Freshney, 1994). Untuk pertumbuhan sel dalam kultur dibutuhkan lingkungan yang kompleks seperti di dalam tubuh. Malole (1990) menyatakan bahwa dalam teknik ini, sel-sel memerlukan media penumbuh yang dapat membuat sel tetap bertahan hidup, berkembang dan berdiferensiasi. Jumlah dan kualitas media menentukan jumlah sel yang dapat ditumbuhkan dalam kultur. Pemilihan media harus didasarkan pada kebutuhan sel yang ditumbuhkan dan disesuaikan dengan tujuan studi yang menggunakan sel tersebut. Walau demikian, menurut Freshney (1994), teknik kultur sel memiliki kelebihan karena lingkungan tempat hidup sel seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2 dapat dikontrol dan diatur sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan.
24
Terdapat beberapa perbedaan karakteristik sel di dalam kultur dengan sel di dalam tubuh, antara lain hilangnya interaksi spesifik antar sel pada jaringan secara in vitro karena sel tersebar dan mudah bergerak. Selain itu siklus pertumbuhan sel akan meningkat karena adanya kemungkinan sel berproliferasi. Lingkungan kultur kekurangan beberapa komponen yang mempengaruhi pengaturan homeostatik tubuh seperti sistem syaraf dan sistem endokrin. Tanpa pengaturan ini, metabolisme selular in vitro menjadi lebih konstan dari in vivo. Kondisi ini kurang mewakili jaringan tempat sel tersebut berasal sehingga dibutuhkan penambahan hormon dalam kultur. Energi yang dibutuhkan dalam metabolisme sel yang dikultur secara in vitro berasal dari glikolisis sedangkan metabolisme sel didalam tubuh berasal dari glikolisis, daur Krebs dan transport elektron (Freshney, 1994). Fungsi utama media pada teknik kultur sel adalah untuk mempertahankan pH dan osmolalitas essensial untuk viabilitas sel serta penyedia nutrisi dan energi yang dibutuhkan untuk multiplikasi dan pertumbuhan sel (Cartwright dan Shah, 1994). Media untuk pertumbuhan sel harus mengandung asam amino, vitamin, glukosa, garam, berbagai suplemen organik seperti protein, peptida, nukleosida dan lipid serta hormon dan faktor pertumbuhan. Media Roswell Park Memorial Institute atau media RPMI-1640 adalah media kultur sel terbaik untuk menumbuhkan sel limfosit tikus atau mencit dan sel limfosit manusia untuk jangka pendek. (Junge et al., 1970). Menurut Cartwright dan Shah (1994), serum merupakan suplemen peningkat pertumbuhan yang efektif untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyaknya faktor pertumbuhan, perlindungan sel dan faktor nutrisi yang dikandungnya. Kandungan tersebut dapat dibagi dalam beberapa polipeptida spesifik yang menstimulasi pertumbuhan sel (growth factor), protein pengangkut, agen pelindung sel, faktor pelekatan dan nutrisi. Beberapa faktor pertumbuhan bersifat essensial karena ketidakberadaannya dapat menginisiasi peristiwa apoptosis. Menurut Junge et al. (1970), ada lima faktor yang harus diperhitungkan untuk memilih serum sebagai suplemen media, antara lain : a.
Makromolekul yang dapat melindungi atau mendorong pertumbuhan dalam kondisi yang kurang menguntungkan.
25
b.
Mikromolekul seperti nukleotida, vitamin, hormon, ko-enzim sebagai nutrisi esensial yang tidak terdapat dalam media.
c.
Faktor
yang menetralisir atau berkombinasi dengan stimulan, termasuk
antibodi. d.
Kehadiran antibodi ke sisi antigen dengan permukaan reseptor antigen pada antibodi, dimana hal tersebut bisa bersifat sebagai stimulator atau sitotoksik.
e.
Adanya Antigen asing, dimana serum heterolog akan memberikan banyak tenaga untuk antigen potensial. Penambahan antibiotik pada media kultur sel dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya kontaminasi. Faktor utama untuk memilih jenis antibiotik untuk kultur sel adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba luas, ekonomis dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Agen antibakteri yang banyak digunakan adalah campuran penicilin (100 IU/ml) dan streptomycin (50 µg/ml). Gentamycin 50 µg/ml sering digunakan untuk mencegah kontaminasi mikroba yang daya tahannya lebih besar. Agen antifungi yang banyak digunakan adalah amphotericin B (2,5 µg/ml) dan nystatin sebanyak 25 µg/ml (Cartwright dan Shah, 1994). Kultur sel secara in vitro membutuhkan kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan di dalam tubuh. Kondisi tersebut akan mempengaruhi proses biologis yang terjadi dalam kultur sel, sehingga dapat berlangsung mendekati keadaan sebenarnya. Pendekatan terhadap kondisi lingkungan tubuh tersebut diperoleh dengan aplikasi media pertumbuhan, pH serta fase gas yang sesuai untuk pertumbuhan sel (Malole, 1990). Pengamatan terhadap proses pertumbuhan sel secara in vitro memiliki beberapa kelebihan dibanding metode in vivo antara lain; keadaan lingkungan pertumbuhan dapat stabil karena diamati secara langsung, selain itu karakteristik dari sel yang ingin ditumbuhkan dapat diatur (Harrison dan Freshney, 1997). Sel limfosit diperoleh dari darah donor pria sehat yang diambil oleh seorang suster di klinik secara aseptis menggunakan tabung vacutainer steril. Pemisahan sel limfosit sebagian besar berdasarkan pada densitas sel yaitu proses sentrifugasi dan penggunaan larutan ficoll-hystopaque. Sel limfosit yang memiliki densitas lebih rendah dibanding komponen darah perifer akan berada pada bagian atas dan dapat dibedakan secara visual sehingga mudah untuk dipisahkan. Setelah
26
sel limfosit berhasil diisolasi, dilakukan proses penghitungan jumlah sel limfosit secara manual dan visual dengan bantuan mikroskop pada perbesaran 400x, hemasitometer dan pewarna biru trifan. Jumlah sel limfosit yang didapat ditepatkan menjadi 2x106 sel/ml dengan cara diencerkan menggunakan media RPMI standar. Dengan jumlah tersebut, diharapkan sel limfosit akan dapat bertahan hidup serta melewati siklus pertumbuhannya selama waktu inkubasi 72 jam. Inkubasi selama 72 jam terhadap sel limfosit bertujuan untuk menyesuaikan siklus pertumbuhan dengan ketersediaan nutrisi dari medium Freshney (1994). Menurut Freshney (1994), medium pertumbuhan (RPMI) untuk sel limfosit berfungsi maksimal selama tiga hari. Untuk kulturisasi lebih lama harus dilakukan penyegaran media serta penambahan glutamin. Pernyataan tersebut didukung oleh Paul (1972), yang mengemukakan bahwa kultur sel limfosit manusia harus dihitung dalam waktu tidak lebih dari tiga hari, karena bila melewati waktu tersebut akan terjadi kematian pada sel secara perlahan. Jumlah sel limfosit hidup setelah ditambahkan ekstrak akan dibandingkan dengan jumlah sel limfosit hidup tanpa penambahan ekstrak dengan melihat peningkatan ataupun penurunan jumlahnya selama 72 jam. Penelitian yang menggunakan teknik kultur sel telah diterapkan pada berbagai komoditi pangan. Salah satunya adalah penelitian dari Tejasari (2000) yang meneliti efek proteksi komponen bioaktif oleoresin rimpang jahe terhadap fungsi limfosit secara in vitro. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komponen bioaktif dari jahe yaitu oleoresin, gingerol dan shogaol pada kondisi normal dapat meningkatkan proliferasi sel B secara optimal pada konsentrasi 50 µg/ml, sedangkan peningkatan proliferasi sel T hanya ditunjukkan oleh senyawa gingerol. Pada kondisi stres oksidatif, senyawa oleoresin, gingerol dan shogaol dapat meningkatkan proliferasi sel T pada konsentrasi 50-100 µg/ml, tetapi peningkatan proliferasi sel limfosit B hanya ditunjukkan oleh senyawa gingerol pada konsentrasi 50 µg/ml dengan persentase peningkatan sebesar 90%. Penelitian lain yang menggunakan teknik kultur sel adalah penelitian dari Amirghofran et al (2000) yang melaporkan bahwa ekstrak tanaman Echium amoneum dengan konsentrasi 10 µg/ml mampu meningkatkan proliferasi sel limfosit, sedangkan pada konsentrasi di atas 700 µg/ml, ekstrak Echium amoneum akan menghambat proliferasi dari sel limfosit.
27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Departemen Pertanian Bogor, serta Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor dari bulan April sampai November 2008. 3. 2 Bahan dan Alat 3. 2. 1 Bahan Serealia jenis sorgum varietas Kawali dan ketan hitam varietas Setail dibeli dari petani di daerah Gunung Kidul, Jawa Tengah. Untuk jewawut varietas Pearl dibeli di pasar burung Bogor, Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi adalah air bebas ion dan aseton 70% sebagai pelarut. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat adalah K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH-Na2S2O3, asam borat, HCl 0,02 N dan indikator metil merah serta metil biru. Untuk analisis fenol total dan aktivitas antioksidan bahan-bahan yang digunakan adalah larutan DPPH atau 2,2dypheny-1-picrylhydrazil (Sigma, USA), metanol, HPO3, asam tanat, asam askorbat dan sodium bikarbonat. Untuk uji aktivitas imunmodulator bahan-bahan yang digunakan adalah darah dari donor yang sehat, media RPMI-1640 (Sigma, USA), aquades, etanol 70%, antibiotik gentamycin, ficoll-histopaque (Sigma, USA), mitogen concanavalin A (Con A) dan lipopolisakarida (LPS), serum darah AB, phosphat buffer saline (PBS), NaHCO3 anhidrous, EDTA 0,1%, Aquabides, pereaksi MTT atau 3-[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide (Sigma, USA) dan HCl-isopropanol 0,04 N. 3. 2. 2 Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian meliputi alat penyosoh (Satake Grain Mill) kapasitas 200 gram, alat persiapan sampel antara lain blender kering (Maspion) kapasitas 100 gram, peralatan gelas, kompor, panci, kain saring, kertas saring Whatman no. 42, syringe, membran steril (Sartoril) dan tabung eppendorf. Alat-alat untuk analisa proksimat antara lain oven kering, oven vakum, gegep, neraca analitik, erlenmeyer 100 ml, cawan alumunium, labu Kjeldahl, pipet 5 ml, 28
3 ml dan 10 ml, alat destruksi, alat destilasi, buret, gelas piala, sudip dan gelas pengaduk. Alat-alat untuk analisis fenol total dan aktivitas antioksidan antara lain spektrofotometer (Spectronic), kuvet, tabung reaksi, gelas piala, botol gelap, mikropipet, pipet 5 ml dan vorteks. Alat-alat yang digunakan untuk isolasi limfosit dan kultur sel adalah tabung vacutainer steril, sentrifuse CR412, tabung sentrifuse steril 15 ml disposible (Nunc), mikropipet, mikrotip, vorteks, hemasitometer (Bright-line), mikroskop (Olympus CH 20), lempeng mikrokultur 96 sumur (Costar), laminar flow hood, inkubator CO2 (VWR Scientific) dan spektrofotometer Microplate Reader (Bio-Rad model 550). 3. 3 Tahapan Penelitian Penelitian dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu (1) Tahap penentuan dua waktu sosoh serealia, (2) Tahap penentuan satu waktu sosoh serealia, (3) Tahap evaluasi aktivitas immunomodulator serealia. Untuk lebih jelasnya diagram alir proses penelitian untuk sorgum, jewawut dan ketan hitam disajikan pada Gambar 11, 12 dan 13. Biji sorgum
Dedak
Penyosohan (0, 20, 60, 100 detik)
Dua waktu sosoh terbaik
Analisa meliputi ; 1. Penghitungan Rendemen 2. Analisis proksimat (Kadar Air, Protein, Karbohidrat, Lemak, Abu). 3. Fenol total 4. Aktivitas antioksidan (DPPH)
Optimasi waktu pemasakan dan Perbandingan air (Tabel 6)
Uji Organoleptik (Rasa, warna, aroma, tekstur)
Biji sorgum sosoh
Satu waktu sosoh terbaik Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia secara In Vitro meliputi : 1. Persiapan media kultur sel 2. Isolasi sel limfosit manusia 3. Penghitungan sel limfosit manusia dengan biru trifan 4. Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia secara in vitro dengan MTT Gambar 11. Diagram alir proses penelitian pada sorgum 29
Gambar 11 menunjukkan bahwa berdasarkan tiga waktu sosoh pada sorgum, yaitu 20, 60 dan 100 detik, diperoleh dua waktu sosoh terbaik dari penelitian tahap satu yaitu berdasarkan analisa fenol total dan aktivitas antioksidan. Hasil analisis mendapatkan waktu sosoh terpilih untuk sorgum adalah waktu sosoh 20 dan 100 detik, selanjutnya dua waktu sosoh terpilh diuji organoleptik dengan perlakuan waktu pemasakan dan perbandingan air yang berbeda sehingga diperoleh waktu sosoh 20 detik sebagai waktu sosoh terbaik untuk dilakukan uji aktivitas immunomodulator.
Biji jewawut
Dedak
Penyosohan (0, 100, 200, 300 detik)
Dua waktu sosoh terbaik
Analisa meliputi ; 1. Penghitungan Rendemen 2. Analisis proksimat (Kadar Air, Protein, Karbohidrat, Lemak, Abu). 3. Fenol total 4. Aktivitas antioksidan (DPPH)
Optimasi waktu pemasakan dan Perbandingan air (Tabel 6)
Uji Organoleptik (Rasa, warna, aroma, tekstur)
Biji jewawut sosoh
Satu waktu sosoh terbaik Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia secara In Vitro meliputi : 1. Persiapan media kultur sel 2. Isolasi sel limfosit manusia 3. Penghitungan sel limfosit manusia dengan biru trifan 4. Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia secara in vitro dengan MTT Gambar 12. Diagram alir proses penelitian pada jewawut
Gambar 12 menunjukkan bahwa berdasarkan tiga waktu sosoh pada jewawut, yaitu 100, 200 dan 300 detik diperoleh dua waktu sosoh terbaik dari penelitian tahap satu yaitu berdasarkan analisa fenol total dan aktivitas antioksidan. Hasil analisis mendapatkan waktu sosoh terpilih untuk jewawut
30
adalah waktu sosoh 100 dan 300 detik, selanjutnya dua waktu sosoh terpilh diuji organoleptik dengan perlakuan waktu pemasakan dan perbandingan air yang berbeda sehingga diperoleh waktu sosoh 100 detik sebagai waktu sosoh terbaik untuk dilakukan uji aktivitas immunomodulator. Ketan Hitam
Dedak
Penyosohan (0, 5, 15, 25 detik)
Biji ketan hitam sosoh Dua waktu sosoh terbaik Optimasi waktu pemasakan dan Perbandingan air (Tabel 6)
Analisa meliputi ; 1. Penghitungan Rendemen 2. Analisis proksimat (Kadar Air, Protein, Karbohidrat, Lemak, Abu). 3. Fenol total 4. Aktivitas antioksidan (DPPH) Uji Organoleptik (Rasa, warna, aroma, tekstur)
Satu waktu sosoh terbaik Uji proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro meliputi : 1. Persiapan media kultur sel 2. Isolasi sel limfosit manusia 3. Penghitungan sel limfosit manusia dengan biru trifan 4. Uji Proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro dengan MTT Gambar 13. Diagram alir proses penelitian pada ketan hitam
Gambar 13 menunjukkan bahwa berdasarkan tiga waktu sosoh pada ketan hitam, yaitu 5, 15 dan 25 detik, diperoleh dua waktu sosoh terbaik dari penelitian tahap satu yaitu berdasarkan analisa fenol total dan aktivitas antioksidan. Hasil analisis mendapatkan waktu sosoh terpilih untuk ketan hitam adalah waktu sosoh 5 dan 15 detik, selanjutnya dua waktu sosoh terpilh diuji organoleptik dengan perlakuan waktu pemasakan dan perbandingan air yang berbeda sehingga diperoleh waktu sosoh 5 detik sebagai waktu sosoh terbaik untuk dilakukan uji aktivitas immunomodulator. 31
3.3.1 Penentuan Dua Waktu Sosoh Serealia Penelitian tahap pertama dilakukan untuk menentukan dua waktu sosoh terbaik berdasarkan analisis kimia, yaitu fenol total dan aktivitas antioksidan. Waktu sosoh yang digunakan adalah 3 waktu sosoh untuk masing-masing serealia, yaitu sorgum disosoh selama 0, 20, 60 dan 100 detik, jewawut disosoh selama 0, 100, 200 dan 300 detik, sedangkan ketan hitam disosoh selama 0, 5, 15 dan 25 detik. Waktu sosoh pada masing-masing serealia dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Waktu sosoh serealia (detik) Waktu sosoh Sorgum 1 0 2 20 3 60 4 100
Jewawut 0 100 200 300
Ketan Hitam 0 5 15 25
Setelah disosoh, serealia dianalisa meliputi ; penghitungan rendemen, analisis proksimat (kadar air, protein, karbohidrat, lemak, abu), fenol total dan aktivitas antioksidan (DPPH). Dari parameter fenol total dan aktivitas antioksidan dipilih dua waktu sosoh terbaik dari masing-masing serealia. Dua waktu sosoh terpilih selanjutnya diuji organoleptik pada penelitian tahap dua.
3.3.2 Penentuan Satu Waktu Sosoh Serealia Penelitian tahap kedua dilakukan untuk menentukan satu waktu sosoh terbaik serta optimasi waktu pemasakan dan perbandingan air berdasarkan uji organoleptik. Tahap ini diawali dengan menyosoh serealia berdasarkan dua waktu sosoh terbaik (hasil tahap satu), kemudian diolah lebih lanjut menjadi bubur dengan proses pemasakan yang meliputi perbandingan air dan optimasi waktu pemasakan. Proses pemasakan dilanjutkan dengan uji organoleptik yang meliputi rasa, warna, aroma dan tekstur. Dari hasil uji organoleptik dipilih satu waktu sosoh dengan perbandingan air serta waktu pemasakan terbaik sesuai dengan parameter yang diinginkan dari masing-masing serealia. Kombinasi perlakuan pada masing-masing serealia untuk penelitian tahap dua dapat dilihat pada Tabel 6. 32
Tabel 6. Kombinasi perlakuan (detik waktu sosoh, menit waktu pemasakan, dan perbandingan air) masing-masing serealia pada penelitian tahap dua Kombinasi perlakuan Sorgum (S) Jewawut (J) Ketan Hitam (K) 1 20, 40, 1:10 100, 20, 1:7 5, 25, 1:7 2 20, 40, 1:11 100, 20, 1:8 5, 25, 1:8 3 20, 45, 1:10 100, 25, 1:7 5, 30, 1:7 4 20, 45, 1:11 100, 25,1:8 5, 30, 1:8 5 100, 40, 1:10 300, 20, 1:7 15, 25, 1:7 6 100, 40, 1:11 300, 20, 1:8 15, 25, 1:8 7 100, 45, 1:10 300, 25, 1:7 15, 30, 1:7 8 100, 45, 1:11 300, 25, 1:8 15, 30, 1:8
Proses pemasakan dilakukan dengan perlakuan optimasi waktu pemasakan dan perbandingan air yang berbeda. Sorgum menggunakan waktu pemasakan 40 dan 45 menit, serta perbandingan air 1:10 dan 1:11. Jewawut menggunakan waktu pemasakan 20 dan 25 menit, serta perbandingan air 1:7 dan 1:8. Ketan hitam menggunakan waktu pemasakan 25 dan 30 menit, serta perbandingan air 1:7 dan 1:8. Satu waktu sosoh terbaik dari masing-masing serealia selanjutnya diuji aktivitas imunomodulatornya pada penelitian tahap tiga.
3.3.3 Evaluasi Aktivitas Imunomodulator Serealia Penelitian tahap tiga meliputi pengukuran aktivitas imunomodulator secara in vitro terhadap sorgum, jewawut dan ketan hitam untuk melihat aktivitas stimulasinya terhadap proliferasi sel limfosit manusia sehat yang meliputi : Persiapan media kultur sel, isolasi sel limfosit darah manusia, penghitungan sel limfosit manusia dengan biru trifan dan persiapan ekstrak serealia untuk kultur sel limfosit dan uji proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro dengan 3-[4, 5dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyl-tetrazolium
bromide
(MTT).
Kombinasi
perlakuan jenis serealia dan pelarut pada penelitian tahap tiga dapat dilihat pada Tabel 7.
33
Tabel 7. Kombinasi perlakuan jenis serealia dan pelarut pada penelitian tahap tiga
Simbol
Jenis serealia
SA JA KA SC JC KC
Sorgum Jewawut Ketan hitam Sorgum Jewawut Ketan hitam
Kombinasi perlakuan Jenis Waktu Perbandingan air Waktu pelarut sosoh (gr serealia/ml air) pemasakan (detik) (menit) Air 20 1 : 10 45 Air 100 1:7 20 Air 5 1:7 25 Aseton 20 1 : 10 45 Aseton 100 1:7 20 Aseton 5 1:7 25
Masing-masing serealia yaitu Sorgum (S) waktu sosoh 20 detik, perbandingan air 1 : 10 gr/ml dan waktu pemasakan 45 menit. Jewawut (J) dengan waktu sosoh 100 detik, perbandingan air 1 : 7 gr/ml dan waktu pemasakan 20 menit, sedangkan ketan hitam (K) dengan waktu sosoh 5 detik, perbandingan air 1 : 7 gr/ml dan waktu pemasakan 25 menit diekstrak dengan mengunakan dua jenis pelarut, yaitu air (A) dan aseton (C). Tahap penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu informasi mengenai jenis pelarut dan jenis serealia yang memiliki aktivitas immunomodulator terbaik. 3.4 Parameter Analisis 3.4.1 Penghitungan Rendemen Rendemen hasil penyosohan
serealia
dihitung
berdasarkan
perbandingan antara jumlah biji serealia bersih yang didapat setelah disosoh dengan jumlah biji serealia yang disosoh. Jumlah rendemen dihitung dengan rumus : Rendemen (%) =
Berat biji serealia setelah disosoh Berat biji serealia sebelum disosoh
x 100%
3.4.2 Analisis Proksimat a. Pengukuran Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1984) Cawan aluminium kosong dimasukkan kedalam oven selama 3 jam, kemudian dimasukkan kedalam desikator 15 menit dan ditimbang (hal ini dilakukan berulang-ulang hingga berat cawan konstan dua angka di belakang koma). Biji serealia yang telah dihaluskan dengan blender ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan kedalam cawan kering yang telah diketahui berat konstannya. Sampel dimasukkan kedalam oven pada suhu 105 oC selama 6 jam 34
kemudian dimasukkan kedalam desikator 15 menit dan ditimbang. Sampel dimasukkan kembali kedalam oven selama 1 jam, kemudian dimasukkan kedalam desikator 15 menit dan ditimbang (hal ini dilakukan berulang-ulang hingga berat sampel konstan dua angka dibelakang koma). Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kadar air basis kering (%) =
berat sampel awal – berat sampel kering berat sampel kering
x 100%
b. Pengukuran Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC, 1984) Cawan pengabuan dimasukkan kedalam oven selama 3 jam, kemudian dimasukkan kedalam desikator 15 menit dan ditimbang (hal ini dilakukan berulang-ulang hingga berat cawan konstan dua angka di belakang koma). Biji serealia yang telah dihaluskan dengan blender ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan kedalam cawan pengabuan yang telah diketahui berat konstannya. Sampel dimasukkan kedalam tanur dengan suhu 300 oC selama 1 jam, kemudian suhu tanur dinaikkan hingga 450
o
C selama 6 jam. Sampel
didinginkan kedalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang (hal ini dilakukan hingga berat kontan, bila belum konstan masukkan kembali kedalam tanur). Bila sampel lama tidak berwarna putih maka dapat ditambahkan 1-2 ml HNO3 pekat kepada sampel yang telah dingin, kemudian sampel diuapkan hingga kering dan dimasukkan kembali kedalam tanur. Kadar abu sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar abu (%) =
berat abu x 100% berat sampel
c. Pengukuran Kadar Lemak Metode Ekstraksi Soxhlet (AOAC, 1984) Labu lemak dikeringkan dalam oven, kemudian dikeringkan dalam desikator dan ditimbang. Biji serealia yang telah dihaluskan dengan blender dibungkus dengan menggunakan kertas saring bebas lemak sebanyak 5 gram. Sampel dalam kertas saring (timbel) diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet, kemudian alat kondensor dipasang di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Refluks dilakukan minimal 5 jam dengan pelarut dietil eter hingga pelarut yang
35
turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan pelarutnya ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105
o
C, kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang (hal ini dilakukan hingga berat konstan). Persentase kadar lemak dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar lemak (%) =
berat lemak x 100% berat sampel
d. Pengukuran Kadar Protein Metode Mikro Kjeldhal (AOAC, 1984) Biji serealia yang telah dihaluskan dengan blender ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan kedalam labu Kjeldhal 30 ml, kemudian sampel dalam labu ditambahkan 1,9 + 0,1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO, 6,7 + 0,1 ml H2SO4 dan batu didih. Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih, kemudian didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air perlahan-lahan dan didinginkan. Isi labu dipindahkan kedalam alat destilasi, kemudian labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan kedalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H2BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0,2 % dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor (ujung tabung harus terendam dalam larutan H2BO3). Sampel ditambahkan 8-10 ml NaOHNa2S2O3, kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dengan erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan ditampung bilasannya dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCL 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Persentase kadar nitrogen dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
N (%) =
(ml HCI – ml blanko) x N HCL x 14,007 mg sampel
x 100%
% protein = % N x faktor konversi
36
e. Pengukuran Kadar Karbohidrat secara ”By Difference” (AOAC, 1984) Kadar karbohidrat dihitung dengan menjumlahkan kadar air, abu, lemak dan protein, kemudian mengurangkan 100 dengan jumlah tersebut. % karbohidrat = 100 – (% air + % abu + % lemak + % protein)
3.4.3
Fenol Total (Kamath et al, 2004) Sampel halus serealia sebanyak 10 gram ditempatkan dalam botol
sentrifuse, selanjutnya ditambahkan 100 ml aseton 70%. Sampel di shaker dengan kecepatan 35 rpm selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian disimpan pada suhu 20oC ditempat gelap selama 24 jam. Setelah 24 jam larutan di equilibrium selama 1 jam pada suhu ruang. Larutan selanjutnya disentrifuse selama 30 menit pada 3000 rpm. Residu sampel selanjutnya dicuci sebanyak 2 kali dengan cara menambahkan aseton 70%, selanjutnya di shaker selama 1 jam dan disentrifuse kembali selama 30 menit pada 3000 rpm. Tiga supernatan yang diperoleh ditampung pada erlenmeyer, disaring dengan kertas Whatman no. 4 dengan bantuan pompa vakum, kemudian di keringkan dengan rotary evaporator pada suhu 400C untuk menguapkan aseton. Larutan sisa pengeringan dengan rotary evaporator selanjutnya dikeringkan kembali dengan menggunakan freeze dryer pada suhu -750C. Ekstrak kering hasil freeze dryer yang didapat selanjutnya dibuat sebagai larutan stok uji konsentrasi 200 mg/ml pelarut aseton 70%. Ekstrak serealia sebanyak 0,5 ml ditambahkan dengan 0,5 ml etanol 95% didalam tabung reaksi, selanjutnya ditambahkan 0,25 ml reagen folin calcioteu dalam air destilasi (1:1). Campuran larutan selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 5 menit dan ditambahkan 0,5 ml Na2CO3 5%. Larutan diinkubasi kembali selama 60 menit pada suhu ruang sambil diaduk dengan shaker. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 720 nm. Kurva standar disiapkan dengan menggunakan asam tanat dalam etanol 95%. Larutan standar asam tanat dibuat dengan konsentrasi 0, 6.25, 12.5, 25, 50 dan 100 mg/ml. Kurva standar pengukuran fenol total dengan standar asam tanat dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil pengujian kadar fenol total dibaca sebagai mg TAE/g biji. Nilai tersebut menunjukkan kesetaraan jumlah fenol total 1 gram serealia dengan 1 mg asam tanat yang dinyatakan sebagai TAE yaitu tannic acid equivalent.
37
3.4.4
Uji Anti Radikal Bebas DPPH (Kubo et al, 2002) Buffer asetat 100 mM (pH 5,5) sebanyak 1,5 ml ditempatkan pada tabung
reaksi, kemudian ditambahkan 2,805 ml etanol PA, 0,15 ml DPPH 10 mM dalam metanol dan 0,045 ml ekstrak serealia yang digunakan untuk pengujian kadar fenol total. Campuran di vorteks dan disimpan pada ruang gelap dengan suhu kamar selama 20 menit. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 517 nm. Sebagai standar digunakan asam askorbat dengan konsentrasi 0, 6.25, 12.5, 25, 50 dan 100 mg/ml. Aktivitas penangkapan radikal bebas dihitung sebagai persentase berkurangnya warna DPPH dengan menggunakan persamaan : Abs kontrol – Abs sampel Aktivitas antioksidan = Absorbansi kontrol Dibuat kurva standar asam askorbat dengan perbandingan antara kapasitas antioksidan (%) dan konsentrasi asam askorbat (ppm). Antioksidan pada ekstrak serealia dinyatakan dalam mg vitamin C eqivalen/g biji. Nilai tersebut menunjukkan kesetaraan aktivitas antioksidan 1 gram serealia dengan 1 mg vitamin C. Kurva standar pengukuran aktivitas antioksidan dengan standar vitamin C dapat dilihat pada Lampiran 2. 3.4.5
Uji Organoleptik (Adawiyah et al, 2007) Sebelum dilakukan uji organoleptik, serealia yang telah disosoh dimasak
secara konvensional hingga menjadi bubur siap konsumsi. Waktu pemasakan untuk sorgum adalah 40 dan 45 menit dengan perbandingan air 1:10 dan 1:11 gr/ml. Untuk jewawut, waktu pemasakan adalah 20 dan 25 menit dengan perbandingan air 1:7 dan 1:8 gr/ml. Sedangkan untuk ketan hitam waktu pemasakan adalah 25 dan 30 menit dengan perbandingan air 1:7 dan 1:8 gr/ml. Pada uji organoleptik panelis membandingkan bubur serealia dengan bubur oatmeal yang dikenal oleh masyarakat. Uji organoleptik dilakukan dengan uji deskripsi untuk mengidentifikasi karakteristik sensori yang penting pada serealia. Uji organoleptik dilakukan dengan 20 orang panelis. Parameter organoleptik yang diujikan adalah rasa, warna, aroma dan tekstur. Pada uji organoleptik bubur serealia akan dibandingkan dengan bubur oatmeal, untuk melihat perbedaan karakteristik sensori dari bubur serealia dengan produk bubur oatmeal yang telah dikenal masyarakat. Untuk lebih jelasnya kuesioner penilaian dan lembar kerja untuk uji organoleptik disajikan pada Lampiran 3 dan 4. 38
3.5 Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro 3.5.1 Pembuatan Ekstrak Serealia untuk Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia a. Ekstraksi dengan Pelarut Air Bebas Ion Sampel halus serealia sebanyak 10 gram ditempatkan dalam botol sentrifuse, selanjutnya ditambahkan 100 ml air bebas ion. Sampel di shaker dengan kecepatan 35 rpm selama 24 jam pada suhu kamar. Larutan kemudian disentrifuse selama 30 menit pada kecepatan 3000 rpm. Supernatan yang diperoleh ditampung di erlenmeyer. Residu sampel selanjutnya dicuci sebanyak 2 kali dengan cara menambahkan air bebas ion, selanjutnya di shaker selama 1 jam dan disentrifuse kembali selama 30 menit pada 3000 rpm. Tiga supernatan yang diperoleh ditampung pada erlenmeyer kemudian disaring dengan kertas Whatman no. 4 dengan bantuan pompa vakum. Larutan selanjutnya dikeringkan dengan freeze dryer pada suhu -750C. Ekstrak kering hasil freeze dryer yang didapat selanjutnya dibuat sebagai larutan stok uji dengan konsentrasi 200 mg/ml pelarut. Contoh pembuatan larutan stok ekstrak serealia dapat dilihat pada Lampiran 5. b. Ekstraksi dengan Pelarut Aseton (Awika et al, 2003) Sampel halus serealia sebanyak 10 gram ditempatkan dalam botol sentrifuse, selanjutnya ditambahkan 100 ml aseton 70%. Sampel di shaker dengan kecepatan 35 rpm selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian disimpan pada suhu -20oC ditempat gelap selama 24 jam. Setelah 24 jam larutan di equilibrium selama 1 jam pada suhu ruang. Larutan selanjutnya disentrifuse selama 30 menit pada 3000 rpm. Residu sampel selanjutnya dicuci sebanyak 2 kali dengan cara menambahkan aseton 70%, selanjutnya di shaker selama 1 jam dan disentrifuse kembali selama 30 menit pada 3000 rpm. Tiga supernatan yang diperoleh ditampung pada erlenmeyer, disaring dengan kertas Whatman no. 4 dengan bantuan pompa vakum, kemudian di keringkan dengan rotary evaporator pada suhu 400C untuk menguapkan aseton. Larutan sisa pengeringan dengan rotary evaporator selanjutnya dikeringkan kembali dengan menggunakan freeze dryer pada suhu -750C. Ekstrak kering hasil freeze dryer yang didapat selanjutnya dibuat sebagai larutan stok uji konsentrasi 200 mg/ml pelarut. 39
Ekstrak masing-masing serealia dengan konsentrasi 200 mg/ml selanjutnya dibuat menjadi konsentrasi larutan kerja ekstrak serealia seperti yang terdapat pada Tabel 8.
Tabel 8. Konsentrasi larutan kerja ekstrak serealia untuk uji proliferasi sel limfosit Jenis Serealia Sorgum Jewawut Ketan Hitam
Konsentrasi Larutan Kerja Ekstrak Serealia (mg ekstrak/ml pelarut) Aquadest Aseton 3,50 2,61 3,83 2,64 5,33 4,62
Larutan kerja ekstrak serealia dengan konsentrasi seperti pada Tabel 8 tersebut dibuat sebanyak 1 ml. Pembuatan larutan kerja ekstrak serealia dilakukan dengan cara mengambil ekstrak serealia konsentrasi 200 mg/ml dengan jumlah yang ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah ekstrak serealia konsentrasi 200 mg/ml yang diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak serealia Jenis Serealia Sorgum Jewawut Ketan Hitam
Jumlah Ekstrak Serealia Konsentrasi 200 mg/ml yang diambil untuk membuat larutan kerja (µl) Aquadest Aseton 17 13 19 13 27 23
Ekstrak serealia konsentrasi 200 mg/ml yang diambil tersebut (Tabel 9) selanjutnya ditepatkan dengan masing-masing pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi yaitu aseton 70% dan air bebas ion hingga 1 ml dalam tabung ependorf sehingga didapat ekstrak serealia dengan konsentrasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8. Konsentrasi ekstrak pada Tabel 8 adalah konsentrasi larutan kerja ekstrak serealia yang ditambahkan ke sumur kultur pada uji proliferasi sel limfosit manusia, dimana jumlah ekstrak yang ditambahkan adalah sebanyak 20 µl. Sebelum ditambahkan ke sumur kultur, ekstrak disterilisasi terlebih dahulu dengan penyaring membran 0,22 μm. 40
3.5.2 Persiapan Media Kultur Sel (Erniati et al, 2007) Media yang digunakan untuk kultur sel adalah RPMI-1640 yang sudah mengandung glutamin 10 mM. Komposisi dari media RPMI-1640 yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Lampiran 6. Cara pembuatan larutan media RPMI standar adalah dengan melarutkan bubuk RPMI sebanyak satu sachet sebanyak 16,2 gram ke dalam 1 liter aquabides. Kemudian ditambahkan 2 gram NaHCO3 sebagai buffer dan 10 ml penicilin streptomycin (1%) sebagai antibiotik untuk mencegah kontaminasi. Jika digunakan sebagai media pertumbuhan, digunakan media lengkap dengan cara menambahkan 10% serum darah AB manusia. Campuran larutan tersebut kemudian disterilkan dengan membran steril 0,22 µm. Serum darah AB diperoleh dari seorang donor darah sehat yang bergolongan darah AB. Pengambilan darah dilakukan oleh seorang asisten transfusi darah dengan menggunakan jarum precisionglide
TM
steril sekali
pakai yang dihubungkan dengan tabung vacutainer. Darah tersebut selanjutnya disentrifuse pada kecepatan 4000 rpm selama 30 menit. Serum dipisahkan dari endapan sel-sel darah dengan menggunakan mikropipet. Serum tersebut kemudian dipanaskan dalam waterbath selama 30 menit pada suhu 560C, kemudian disterilisasi dengan membran steril berukuran 0,22 µm. 3.5.3 Isolasi Sel Limfosit Manusia (Erniati et al, 2007) Langkah awal yang dilakukan adalah pengambilan darah manusia yaitu seorang pria dewasa sehat yang dilakukan di klinik Farfa kampus IPB Darmaga oleh seorang suster. Darah diambil dari seorang responden secara aseptis dengan syringe dan jarum butterfly no. 23 sekali pakai yang dihubungkan dengan tabung vacutainer yang mengandung antikoagulan EDTA. Sampel darah secepatnya dibawa ke laboratorium untuk pengerjaan prosedur isolasi sel limfosit. Tahap pertama dari prosedur isolasi sel limfosit adalah pemisahan komponen seluler dengan sentrifugasi sampel darah pada 1500 rpm selama 10 menit. Bagian darah yang lebih berat (eritrosit) berada di bagian bawah (warna merah), sedangkan serum darah terpisah di bagian atas (warna kuning). Lapisan buffy coat yang sebagian besar berisi sel limfosit dan berada diantara kedua lapisan itu diambil (±2 ml). Sel limfosit selanjutnya dilewatkan diatas 3 ml larutan ficoll-hystopaque (densitas 1,77 ± 0,001 g/ml) secara perlahan dengan cara dialirkan melalui dinding tabung sehingga terbentuk dua lapisan.
41
Tabung sentrifuse selanjutnya disentrifugasi lagi pada 2500 rpm selama 30 menit. Sel darah putih yang tidak bergranula atau agranulosit seperti limfosit dan monosit mempunyai densitas lebih rendah dari larutan ficollhystopaque sehingga berada sebagai lapisan di atas permukaan larutan ficollhystopaque dan terlihat seperti lapisan cincin putih. Sedangkan sel darah merah dan granulosit terpisah di dasar tabung sentrifus karena berdensitas lebih tinggi. Lapisan cincin putih yang berisi sel limfosit diambil dengan mikropipet secara perlahan, dipindahkan ke tabung sentrifuse kemudian dicuci sebanyak 2 kali dengan menambahkan media RPMI kemudian disentrifugasi pada 1500 rpm selama 10 menit. Setelah proses sentrifuse yang kedua, supernatan dibuang kemudian suspensi sel limfosit ditambahkan media RPMI standar sebelum dilakukan penghitungan jumlah sel limfosit. 3.5.4 Penghitungan
Sel
Limfosit
Manusia
dengan
Biru
Trifan
(Erniati et al, 2007) Sebelum dilakukan kultur sel limfosit, terlebih dahulu dilakukan penghitungan sel limfosit dengan menggunakan pewarna biru trifan dengan perbandingan 1:1 (10µl suspensi sel : 10µl pewarna biru trifan). Campuran suspensi sel dan pewarna biru trifan ditempatkan pada sumur lempeng mikrokultur. Setelah didiamkan selama 1 menit, jumlah sel dihitung dengan menggunakan hemasitometer di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Jumlah sel limfosit yang hidup lebih besar dibanding yang mati, sel limfosit yang hidup akan berwarna jernih pada dinding selnya sedangkan sel yang mati terlihat biru seluruhnya. Jumlah sel yang hidup dan mati dihitung dalam 2 bidang pandang. Penghitungan sel hidup dilakukan dalam waktu kurang dari 3 menit untuk mencegah adanya penyerapan warna oleh sel yang hidup karena adanya afinitas yang kuat dari pewarna biru trifan pada DNA. Penghitungan
sel
limfosit
dilakukan
dengan
hemasitometer
menggunakan rumus : N = V/2 x FP x 104 sel/ml Keterangan : N
= Jumlah sel limfosit/ml
V/2 = Rata-rata jumlah sel hidup terhitung dari dua bidang pandang FP = Faktor pengenceran (2), diperoleh dari penambahan pewarna biru trifan : suspensi sel yaitu 1:1
42
Perhitungan jumlah sel dimaksudkan untuk menentukan viabilitas sel yang akan diuji. Sebelum dilakukan pengujian, sel harus berada dalam kondisi hidup sebesar 95%. Jumlah sel limfosit ditepatkan menjadi 2 x 106 sel/ml suspensi dengan cara diencerkan menggunakan media RPMI standar. Sel limfosit yang diperoleh digunakan untuk analisis proliferasi sel limfosit dengan metode MTT. 3.5.5 Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia dengan MTT (Erniati et al, 2007) Suspensi limfosit dalam media lengkap (2 x 106 sel/ml suspensi) sebanyak 80 µl dimasukkan ke dalam masing-masing sumur pada lempeng mikrokultur, kemudian masing-masing sumur ditambah dengan 20 µl larutan kerja ekstrak serealia dengan konsentrasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8. Untuk kontrol positif, sel limfosit dikultur dengan 20 µl lipopolisakarida (LPS) maupun pokeweed (PKW) dengan konsentrasi mitogen 50 µg/ml. Sebagai kontrol standar, suspensi sel limfosit dikultur dengan media RPMI standar, lalu semuanya diinkubasi dalam inkubator pada 370C, CO2 5%, O2 95% dan RH 96% selama 3 x 24 jam. Pada penelitian ini setiap perlakuan termasuk kontrol positif dan standar yang digunakan dibuat dalam 3 ulangan. Agar mudah diingat, pada waktu peletakan kultur ke sumur dilakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap jenis ekstrak serealia, mitogen dan kontrol standar untuk menghindari kesalahan pada waktu pembacaan absorbansi. Peta sumur pada microplate dapat dilihat pada Lampiran 8. Empat jam sebelum masa inkubasi berakhir, pada masing-masing sumur kultur sel ditambahkan 10 µl larutan pereaksi garam tetrazolium (MTT) 0,5% pada setiap sumur. Larutan MTT 0,5% dibuat dengan melarutkan bubuk MTT sebanyak 0,25 gr dalam 50 ml PBS dan diaduk hingga homogen. Larutan kemudian disterilisasi dengan membran sterilisasi diameter 0,22 µm. Inkubasi dilanjutkan kembali hingga tercapai masa inkubasi 3 x 24 jam. Setelah masa inkubasi berakhir, pada masing-masing sumur kultur sel ditambahkan larutan HCl dalam isopropanol 0,04 N sebanyak 80 µl untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk. HCl-isopropanol 0,04 N dibuat dengan cara menambahkan HCl 37% sebanyak 23,4 µl pada 8,97 ml isopropanol PA. Tahap akhir
adalah
pengukuran
nilai
absorbansi
dengan
menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 570 nm. Dari hasil pengukuran 43
absorbansi dapat dihitung aktivitas proliferasi yang dinyatakan sebagai nilai IS (indeks stimulasi) menggunakan persamaan berikut ; IS =
Absorbansi Ekstrak Absorbansi Kontrol
3. 6 Analisis data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap satu adalah rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor, yaitu waktu sosoh dengan 4 level serta 3 kali ulangan. Model liner rancangan acak lengkap yang digunakan sebagai berikut: Yij = µ + Ai + έij Keterangan: Yijk
= nilai pengamatan akibat faktor A (waktu sosoh) level ke i dan ulangan ke j.
µ
= nilai tengah
Ai
= pengaruh waktu sosoh level ke i
έijk
= galat percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap dua adalah
RAL satu faktor, yaitu kombinasi perlakuan dengan 9 level. Model liner rancangan acak lengkap yang digunakan sama seperti pada tahap satu. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap tiga menggunakan RAL faktorial dua faktor dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah jenis serealia (Sorgum, Jewawut, Ketan hitam), dan faktor kedua adalah jenis pelarut (air dan aseton). Rancangan faktorial acak lengkap dengan model linier sebagai berikut: Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + έijk Keterangan: Yijk
= nilai pengamatan akibat faktor A (Jenis seralia) level ke i, faktor B (Jenis pelarut) level ke j, dan ulangan ke k.
µ
= nilai tengah
Ai
= pengaruh jenis seralia level ke i
Bj
= pengaruh jenis pelarut level ke j
(AB)ij = pengaruh interaksi faktor A dan B έijk
= galat percobaan
44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Penentuan Dua Waktu Sosoh Terbaik Tahapan penyosohan pada penelitian ini akan memberikan suatu informasi baru terhadap aspek penyosohan dari ketiga jenis komoditi serealia yaitu sorgum, jewawut dan ketan hitam. Penelitian menggunakan sorgum dengan varietas Kawali karena varietas ini banyak digunakan dibeberapa daerah penghasil sorgum. Selain itu, varietas ini mudah dibiakkan dan memiliki potensi hasil yang tinggi (Suprapto & Mudjisihono, 1987). Ketan hitam yang digunakan adalah varietas Setail karena varietas ini dinilai cukup tahan terhadap hama wereng coklat, hawar daun bakteri, sesuai untuk lahan sawah irigasi dan telah banyak dibudidayakan di Indonesia khususnya di daerah Jawa Tengah (Anonymousc, 2008). Sedangkan untuk jewawut, digunakan varietas Pearl dengan pertimbangan varietas ini dinilai cukup produktif dan cukup banyak ditanam di Indonesia. Selain itu varietas ini tidak perlu diairi dan dipupuk secara intensif (Anonymousd, 2008). Pada proses penyosohan, ketiga komoditi serealia disosoh berdasarkan pengamatan secara visual dan waktu, cara tersebut merupakan metode konvensional yang paling mudah, murah dan hingga saat ini paling banyak digunakan di beberapa negara penghasil serealia (Sudaryono et al, 2001). Dalam penelitian ini masing-masing serealia disosoh dengan 3 waktu penyosohan. Untuk sorgum waktu penyosohan yang digunakan adalah 0, 20, 60 dan 100 detik. Untuk jewawut 0, 100, 200 dan 300 detik dan untuk ketan hitam waktu penyosohan adalah 0, 5, 15 dan 25 detik. Waktu sosoh yang berbeda antar serealia disebabkan karakteristik fisik dari setiap serealia berbeda. Penggunaan mesin penyosoh yang sama juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan waktu sosoh antar serealia harus berbeda. Apabila waktu penyosohan disamakan untuk setiap serealia, perbedaan bentuk, ukuran serta berat serealia akan menyebabkan proses penyosohan tidak dapat berjalan optimal. Serealia yang berukuran lebih kecil akan melewati saringan mesin penyosoh dan tidak tersosoh secara sempurna. Pembedaan waktu penyosohan untuk masing-masing serealia dimaksudkan untuk mengetahui tingkat efisiensi penyosohan terhadap aktivitas antioksidan
45
setelah disosoh. Mujisihono et al (1991) menyatakan bahwa pada lapisan testa dalam perikarp pada sorgum, banyak terdapat senyawa fenolik. Ditambahkan oleh Rooney et al (1980), yang mengemukakan bahwa ada dua jenis pigmen pada biji sorgum dan jewawut yaitu senyawa karotenoid dan senyawa polifenol yang terdapat pada lapisan testa. Pembedaan waktu penyosohan juga dimaksudkan untuk melihat tingkat penerimaan panelis pada berbagai tingkat penyosohan dan pengaruh penyosohan terhadap aktivitas imunomodulator ketiga komoditi serealia. Berdasarkan hal tersebut, maka dinilai perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan metode penyosohan dan alat penyosohan yang lebih spesifik untuk masing-masing serealia. Untuk mengetahui kondisi awal serealia setelah disosoh, dilakukan analisa meliputi penghitungan rendemen, analisa proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat), fenol total serta aktivitas antioksidan (DPPH). 4. 1. 1 Komposisi Proksimat Serealia pada Berbagai Waktu Sosoh Dilakukannya analisis proksimat bertujuan untuk mengetahui kondisi awal serealia secara kimia baik sebelum disosoh maupun setelah disosoh. Perbandingan hasil analisa proksimat dari ketiga jenis serealia baik yang telah disosoh maupun yang belum disosoh disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil analisa proksimat sorgum, jewawut dan ketan hitam sebelum dan sesudah disosoh Waktu Komposisi kimia (%) Jenis sosoh serealia Kadar abu Protein Lemak Karbohidrat (detik) Kadar air 0 11,42 1,77 6,55 0,99 79,27 20 10,34 1,49 6,23 0,98 80,96 Sorgum 60 8,62 1,17 5,91 0,88 83,42 100 7,31 0,97 5,39 0,82 85,51 0 8,59 3,02 7,64 2,03 78,71 100 7,61 1,77 7,29 1,63 81,52 Jewawut 200 5,93 1,07 7,11 1,46 84,35 300 5,12 0,95 7,01 1,39 85,49 0 13,14 1,77 5,65 1,28 78,09 5 12,53 1,51 5,22 1,23 79,51 Ketan 15 10,70 1,03 5,05 1,09 82,14 hitam 25 8,14 0,92 4,44 0,98 85,52 Keterangan : Setiap data merupakan rerata dua kali ulangan
46
Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sorgum, dan ketan hitam non sosoh memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan jewawut non sosoh, hal ini mungkin disebabkan jewawut yang dibeli di pasar burung Bogor disimpan di tempat terbuka dan terkena sinar matahari secara langsung. Sedangkan sorgum dan ketan hitam dibeli di daerah Jawa Tengah secara langsung dari petani setelah proses pemanenan. Adanya intensitas panas dari sinar matahari tersebut diduga berpengaruh menguapkan air pada biji jewawut non sosoh. Menurut Viraktamath et al (1991), pengeringan dengan menggunakan sinar matahari selama 6 jam dapat menurunkan kadar air dari biji sorgum sebanyak 2-6 % dengan kadar air awal biji sorgum 18 %. Setelah dilakukan penyosohan terjadi penurunan kadar air pada masingmasing serealia (Tabel 10). Penurunan kadar air disebabkan gesekan antara biji serealia dengan batu gerinda pada mesin penyosoh. Gesekan tersebut akan menimbulkan panas dan menguapkan sebagian kecil air pada biji serealia. Proses penyosohan juga menyebabkan sebagian air yang terdapat pada lapisan kulit ari yang terkikis ikut terbuang sehingga mempengaruhi jumlah air pada biji serealia. Faktor lain yang mempengaruhi persentase kadar air serealia setelah disosoh adalah kadar air awal dari biji serealia. Desroiser (1988) menyatakan bahwa kadar air suatu produk dipengaruhi oleh bentuk dan sifat bahan serta kadar air awal. Walaupun demikian kadar air dari serealia baik sebelum disosoh maupun setelah disosoh tidak melewati batas toleransi SNI 01-3157-1992 untuk biji sorgum yaitu 14%. Ditambahkan oleh Nurmala (1997), yang menyatakan bahwa kadar air serealia tidak boleh melebihi batas toleransi maksimal 14% karena serealia akan cepat rusak dalam proses penyimpanan. Untuk level industri kadar air maksimal dari serealia ditetapkan 14 %. Hasil analisa kadar abu pada Tabel 10 menunjukkan adanya penurunan kadar abu dari serealia setelah disosoh. Proses penyosohan akan menurunkan kadar abu dari serealia karena proses penyosohan mengikis bagian kulit ari dari serealia yang memiliki komponen gizi termasuk mineral seperti Ca, P, Fe dan Zn. Dykes dan Rooney (2006) menyatakan bahwa pada bagian kulit ari dari sorgum dan jewawut terdapat berbagai komponen gizi seperti lemak, protein, vitamin dan mineral.
47
Hasil analisa kadar abu (Tabel 10) menunjukkan bahwa jewawut non sosoh memiliki kadar abu tertinggi, diikuti oleh sorgum dan ketan hitam non sosoh. Rao dan Deosthale (1983) menyatakan bahwa jewawut memiliki kandungan mineral yang lebih baik dibanding beberapa serealia lain seperti beras, jagung dan sorgum. Menurut Sudaryono et al (2001) kadar abu dari biji sorgum non sosoh adalah 2,3%, ditambahkan oleh Nurmala (1997) yang menyatakan bahwa kadar abu dari biji jewawut non sosoh adalah 3,86%, sedangkan Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2000) menyatakan bahwa kadar abu dari ketan hitam non sosoh adalah 2%. Dari data-data tersebut diketahui bahwa jewawut memang memiliki kadar abu lebih tinggi dibanding sorgum dan ketan hitam, tetapi data hasil analisa (Tabel 10) menunjukkan kadar abu pada ketiga jenis serealia sedikit lebih rendah dari literatur. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh perbedaan varietas dari serealia yang digunakan. Sudaryono et al (2001) menyatakan bahwa perbedaan varietas pada serealia dapat menyebabkan perbedaan sifat-sifat fisik maupun komposisi kimianya. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian dari Suarni dan Patong (2002) yang mendapatkan kadar abu dari 10 jenis varietas sorgum yang dianalisa menunjukkan nilai yang berbeda antar setiap varietas. Teow (2005) menambahkan bahwa perbedaan komposisi kimia pada berbagai varietas tanaman dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: lokasi tanam, iklim, tipe tanah, musim panen, lama tanam dan kondisi genetik. Kadar protein dan lemak serealia juga menunjukkan penurunan setelah disosoh (Tabel 10). Proses penyosohan dinilai akan menurunkan nilai gizi serealia karena mengikis lapisan kulit ari yang mengandung komponen gizi termasuk lemak dan protein. Menurut Li et al (2007), protein dari beras pecah kulit sebagian besar terdapat pada lapisan aleuron dan sebagian kecil tersebar pada lapisan embrio dan endosperm. Ditambahkan oleh Earp et al (2004) yang menyatakan bahwa sebagian besar dari komponen nutrisi dari sorgum berupa vitamin dan mineral berada pada lapisan aleuron dan embrionya. Perlakuan penyosohan dalam intensitas tinggi akan menyebabkan sisa lapisan aleuron dan embrio menjadi sedikit sekali atau bahkan hilang sehingga secara langsung akan menurunkan nilai nutrisi dari serealia.
48
Tabel 10 menunjukkan jewawut non sosoh memiliki kadar protein dan lemak lebih tinggi dibanding sorgum dan ketan hitam non sosoh. Menurut Sudaryono et al (2001) kadar protein dan lemak dari biji sorgum non sosoh adalah 9,5% dan 3%, ditambahkan oleh Nurmala (1997) yang menyatakan bahwa kadar protein dan lemak dari biji jewawut non sosoh adalah 11,38% dan 2,53%, sedangkan Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2000) menyatakan bahwa kadar protein dan lemak dari ketan hitam non sosoh adalah 7% dan 0,70%. Adanya perbedaan data-data tersebut dengan data hasil analisa (Tabel 10) diduga disebabkan adanya perbedaan varietas dari serealia. Penyebab lainnya adalah faktor pra panen seperti teknik penanaman, tingkat kesuburan tanah, faktor lingkungan seperti radiasi matahari dan suhu. Frekuensi dan intensitas pemupukan nitrogen, pengontrolan gulma serta pengelolaan air juga termasuk faktor yang perlu diperhatikan (Arief, 2007). Adanya perubahan kimiawi pada masa penyimpanan juga dinilai memiliki pengaruh terhadap kadar protein dan lemak dari serealia. Menurut Djafaar dan Rahayu (2007), proses penyimpanan yang kurang baik dapat menurunkan nilai gizi suatu bahan pangan termasuk memicu timbulnya radikal bebas yang bisa terbentuk dari lemak. Kadar karbohidrat tertinggi didapat pada sorgum non sosoh yaitu sebesar 79,27%. Setelah sorgum serealia yang memiliki kadar karbohidrat tertinggi adalah jewawut non sosoh yaitu sebesar 78,71%, diikuti oleh ketan hitam non sosoh yaitu sebesar 78,09%. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Nurmala (1997) yang menyatakan bahwa jumlah karbohidrat pada biji serealia berkisar antara 72% - 80%.
4. 1. 2 Rendemen Penyosohan Serealia pada Berbagai Waktu Sosoh Pengukuran rendemen hasil penyosohan pada serealia bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kehilangan pada biji serealia akibat pengaruh proses penyosohan. Rerata rendemen serealia akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan dapat dilihat pada Gambar 14.
49
Rendemen sosoh (%)
120
100 100
100
100
97.9
94.5
91.1
KNS
KS1
KS2
KS3
85.6
80
72
62.6
59.4
52.2
60
50.8
40 20 0 SNS
SS1
SS2
SS3
JNS
JS1
JS2
JS3
Perlakuan Gambar 14. Rerata rendemen akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan Keterangan : Setiap data merupakan rerata dua kali ulangan SNS SS1 SS2 SS3
= Sorgum non sosoh = Sorgum sosoh 20 detik = Sorgum sosoh 60 detik = Sorgum sosoh 100 detik
JNS JS1 JS2 JS3
= Jewawut non sosoh = Jewawut sosoh 100 detik = Jewawut sosoh 200 detik = Jewawut sosoh 300 detik
KNS KS1 KS2 KS3
= Ketan hitam non sosoh = Ketan hitam sosoh 5 detik = Ketan hitam sosoh 15 detik = Ketan hitam sosoh 25 detik
Data pada Gambar 14 menunjukkan rerata rendemen sorgum, jewawut dan ketan hitam dengan tiga waktu penyosohan berkisar antara 50,2% hingga 97,9%. Menurut Mudjisihono et al (1991), penyosohan biji sorgum dengan kadar air 13% menggunakan mesin penyosoh Satake Grain Mill akan menghasilkan rendemen giling sebesar 50-70% atau kehilangan bahan 30-50%. Semakin tinggi intensitas penyosohan yang dilakukan, semakin rendah jumlah rendemen dari serealia (Gambar 14). Hal tersebut dinilai wajar karena proses penyosohan akan menghilangkan atau mengurangi lapisan kulit ari yang otomatis akan menurunkan berat akhir dari biji serealia. Mudjisihono et al (1991) menyatakan bahwa penyosohan biji sorgum mempunyai dua aspek, yaitu menghilangkan kulit biji dan memoles daging biji sehingga lapisan bekatulnya terlepas. 4. 1. 3 Pengaruh Penyosohan Terhadap Kadar Fenol Total Fenol adalah senyawa yang mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol dapat berperan sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid. Aktivitas fenol sebagai antioksidan berhubungan dengan kemampuannya untuk menyumbangkan atom hidrogen (Singh et al, 2002). Pengukuran kadar 50
fenol total dimaksudkan untuk menentukan 2 waktu penyosohan dari masingmasing serealia untuk proses pemasakan dan uji organoleptik. Asam tanat digunakan sebagai standar dimana hasil pengujian dibaca sebagai mg TAE/g biji. Nilai tersebut menunjukkan kesetaraan jumlah fenol total 1 gram serealia dengan 1 mg asam tanat yang dinyatakan sebagai TAE yaitu tannic acid equivalent. Kadar fenol total dari ekstrak serealia akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan disajikan pada Gambar 15.
Fenol Total (mg TAE/g biji)
25.00 20.46 a 20.00
16.12 b 15.41 bc
15.00
14.63 c
10.00 6.31 a
5.12 a 3.38 b
5.00
2.26 c 2.13 c
3.51 b 1.78 c 1.56 c
0.00 SNS
SS1
SS2
SS3
JNS
JS1
JS2
JS3
KNS
KS1
KS2
KS3
Perlakuan
Gambar 15. Rerata kadar fenol total sorgum, jewawut dan ketan hitam akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan Keterangan : Setiap data merupakan rerata dua kali ulangan Angka pada gafik yang mempunyai huruf beda pada masing-masing serealia menyatakan beda nyata (BNT α = 5%) SNS = Sorgum non sosoh JNS = Jewawut non sosoh KNS = Ketan hitam non sosoh SS1 = Sorgum sosoh 20 detik JS1 = Jewawut sosoh 100 detik KS1 = Ketan hitam sosoh 5 detik SS2 = Sorgum sosoh 60 detik JS2 = Jewawut sosoh 200 detik KS2 = Ketan hitam sosoh 15 detik SS3 = Sorgum sosoh 100 detik JS3 = Jewawut sosoh 300 detik KS3 = Ketan hitam sosoh 25 detik
a. Sorgum Hasil analisis fenol total menunjukkan bahwa sorgum non sosoh memiliki kandungan fenol total sebesar 6.31 mg TAE/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran fenol total menjadi 2.13 hingga 3.38 mg TAE/g biji (Gambar 15). Kandungan fenol total sorgum non sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan fenol total rye, barley, dan gandum hasil penelitian Ragaee et al (2006), yaitu berurutan 1.026, 0.879, dan 0.562 mg TAE/g biji. Senyawa fenolik
51
yang dominan terdeteksi pada sorgum adalah senyawa golongan tanin yang biasa terdapat pada tanaman jenis serealia. Awika (2003) menyatakan bahwa sorgum mengandung berbagai komponen bioaktif yang salah satunya adalah senyawa fenolik yang biasanya berperan dalam pertahanan alami tanaman melawan hama dan penyakit. Ditambahkan oleh Awika dan Rooney (2004) yang mengemukakan bahwa jenis komponen fenolik yang terdapat pada biji sorgum terdiri dari asam fenolik, flavonoid dan tanin. Menurut Mudjisihono (1990), diantara bahan pangan jenis serealia, sorgum memiliki kandungan tanin tertinggi, dari 24 varietas sorgum kandungan tanin berkisar dari 0,05-3,67 katekin ekivalen. Analisis anova pada Lampiran 9 menunjukan adanya pengaruh waktu penyosohan terhadap kandungan fenol total sorgum. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki fenol total yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan sorgum tanpa sosoh. Kandungan fenol total terendah adalah pada perlakuan waktu penyosohan 100 detik, dimana nilainya tidak berbeda nyata dengan waktu penyosohan 60 detik, sedangkan fenol total tertinggi pada sorgum sosoh adalah pada waktu penyosohan 20 detik (Gambar 15). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin lama waktu penyosohan akan menyebabkan penurunan kandungan fenol total pada sorgum. Sorgum diduga memiliki komponen fenolik yang mayoritas merupakan senyawa tanin yang sebagian besar berada pada lapisan testa dari biji sorgum (Earp et al, 2004). Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa komponen fenolik seperti tanin yang dominan terdeteksi pada ekstrak sorgum berada pada bagian kulit luar dari serealia yaitu pada lapisan testa yang terkikis pada proses penyosohan. Menurut Rooney et al (1980) kandungan senyawa fenolik golongan tanin yang terdapat pada lapisan testa dan perikarp biji sorgum kadarnya cukup tinggi yaitu berkisar antara 3,6-5,4%. Adanya senyawa tanin pada biji sorgum juga dilaporkan oleh Awika et al (2003) yang menyatakan bahwa senyawa polifenol yang terdapat pada bagian testa dari biji sorgum terdiri dari antosianidin, leukoantosianidin dan tanin. Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan kandungan fenol total pada sorgum adalah 20 dan 100 detik. Hal tersebut berdasarkan pada kandungan fenol total tertinggi sorgum setelah penyosohan adalah 20 detik, sedangkan kandungan fenol total sorgum terendah adalah pada waktu sosoh 100 detik yang tidak berbeda nyata dengan 60 detik. 52
b. Jewawut Hasil analisis fenol total menunjukkan bahwa jewawut non sosoh memiliki kandungan fenol total sebesar 5.12 mg TAE/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran fenol total menjadi 3.51 hingga 1.56 mg TAE/g biji (Gambar 15). Kandungan fenol total jewawut non sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan kadar fenol total rye, barley, dan gandum hasil penelitian Ragaee et al (2006), yaitu berurutan 1.026, 0.879, dan 0.562 mg TAE/g biji. Senyawa fenolik yang dominan terdeteksi pada jewawut adalah senyawa golongan tanin yang biasa terdapat pada tanaman jenis serealia. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rooney et al (1980) bahwa beberapa bahan makanan yang mengandung condensed tanin antara lain adalah biji sorgum, jewawut, lobak, fava bean dan beberapa biji-bijian lain yang mengandung minyak. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Rooney dan Serna (2000) yang melaporkan bahwa pada jewawut terdapat senyawa tanin yang merupakan golongan senyawa fenolik. Analisis anova pada Lampiran 9 menunjukan adanya pengaruh perlakuan waktu penyosohan terhadap kandungan fenol total jewawut. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki fenol total yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan sorgum non sosoh. Kandungan fenol total terendah adalah pada perlakuan waktu penyosohan 300 detik, dimana nilainya tidak berbeda nyata dengan waktu penyosohan 200 detik, sedangkan fenol total tertinggi pada jewawut sosoh adalah pada waktu penyosohan 100 detik (Gambar 15). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin lama waktu penyosohan akan menyebabkan penurunan kandungan fenol total pada jewawut. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa komponen fenolik seperti tanin yang dominan terdeteksi pada ekstrak jewawut juga berada pada bagian kulit luar dari jewawut yaitu pada lapisan testanya yang terkikis pada proses penyosohan. Hal tersebut dipertegas oleh Dykes dan Rooney (2006) yang melaporkan adanya senyawa flavonoid dan tanin pada jewawut, dimana senyawa tanin dan flavonoid tersebut berada pada bagian testa dari biji jewawut utuh. Senyawa flavonoid pada jewawut yang telah teridentifikasi diantaranya adalah orientin dan vitexin (Hilu et al, 1978), luteolin dan tricin (Watanabe, 1999) serta apigenin (Sartelet et al, 1996).
53
Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan kandungan fenol total pada jewawut adalah 100 dan 300 detik. Hal tersebut berdasarkan pada kandungan fenol total tertinggi jewawut setelah penyosohan adalah 100 detik, sedangkan kandungan fenol total jewawut terendah adalah pada waktu sosoh 300 detik yang tidak berbeda nyata dengan 200 detik.
c. Ketan Hitam Hasil analisis fenol total menunjukkan bahwa ketan hitam non sosoh memiliki kandungan fenol total sebesar 20.46 mg TAE/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran fenol total menjadi 14.63 hingga 16.12 mg TAE/g biji (Gambar 15). Kandungan fenol total ketan hitam non sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan fenol total rye, barley, dan gandum hasil penelitian Ragaee et al (2006), yaitu berurutan 1.026, 0.879, dan 0.562 mg TAE/g biji. Berbeda dari sorgum dan jewawut, untuk ketan hitam komponen fenolik yang dominan terdeteksi adalah senyawa antosianin. Adanya senyawa antosianin pada ketan hitam dibuktikan oleh penelitian dari Aligitha (2007) yang melakukan isolasi antosianin dari ketan hitam dengan cara ekstraksi secara maserasi menggunakan pelarut metanol yang mengandung 1% asam hidroklorida pekat dan mendapatkan bahwa isolat yang diperoleh dari hasil ekstraksi pada ketan hitam merupakan antosianin terasilasi jenis sianidin 3 – glikosida. Analisis anova pada Lampiran 9 menunjukan adanya pengaruh waktu penyosohan terhadap kandungan fenol total ketan hitam. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki fenol total yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan ketan hitam tanpa sosoh. Kandungan fenol total terendah adalah pada perlakuan waktu penyosohan 25 detik, dimana nilainya tidak berbeda nyata dengan waktu penyosohan 15 detik, sedangkan fenol total tertinggi pada ketan hitam sosoh adalah pada waktu penyosohan 5 detik (Gambar 15). Fenomena yang didapat tidak jauh berbeda dengan sorgum dan jewawut yaitu proses penyosohan pada ketan hitam akan menyebabkan penurunan nilai fenol total dari ekstrak aseton ketan hitam secara nyata, dimana semakin tinggi intensitas waktu penyosohan yang dilakukan pada ketan hitam, semakin rendah nilai fenol total dari ekstak ketan hitam. Data tersebut menunjukkan bahwa
54
komponen fenolik golongan antosianin yang dominan terdeteksi pada ekstrak ketan hitam berada pada bagian kulit luar dari ketan hitam yaitu pada lapisan aleuronnya yang terkikis pada proses penyosohan. Adanya antosianin pada lapisan aleuron ketan hitam dibuktikan oleh penelitian dari Hanum (2000) yang melakukan isolasi senyawa antosianin dari bekatul ketan hitam menggunakan metode HPLC dengan pelarut metanol dan mendapatkan dua komponen antosianin pada ketan hitam yang teridentifikasi sebagai apigenidin dan apigenin. Adanya senyawa antosianin pada ketan hitam juga dilaporkan oleh Ryu et al (1998) yang mengidentifikasi senyawa antosianin dari beberapa varietas ketan hitam menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan mendapatkan jenis antosianin pada ketan hitam adalah sianidin 3-glukosida dan peonidin 3-glikosida. Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan kandungan fenol total pada ketan hitam adalah 5 dan 25 detik. Hal tersebut berdasarkan pada kandungan fenol total tertinggi ketan hitam setelah penyosohan adalah 5 detik, sedangkan kandungan fenol total ketan hitam terendah adalah pada waktu sosoh 25 detik yang tidak berbeda nyata dengan 15 detik. 4. 1.4 Pengaruh Penyosohan Terhadap Aktivitas Antioksidan Antioksidan didefinisikan sebagai inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil (Pokorny et al, 2008). Pengukuran aktivitas antioksidan pada penelitian ini juga dimaksudkan untuk menentukan 2 buah waktu penyosohan dari masing-masing serealia untuk proses pemasakan dan pengujian secara organoleptik. Asam askorbat digunakan sebagai standar dimana hasil pengujian dibaca sebagai mg vitamin C eqivalen/g biji, dimana nilai tersebut menunjukkan kesetaraan aktivitas antioksidan 1 gram biji serealia dengan 1 mg vitamin C. Vitamin C digunakan sebagai pembanding terhadap aktivitas antioksidan dari ekstrak serealia, dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan kemampuan antioksidan ekstrak bila dinyatakan dalam daya peredaman radikal bebas oleh vitamin C. Semakin tinggi konsentrasi dari vitamin C, semakin rendah nilai absorbansinya (Lampiran 2). Menurut Pokorny (2008), vitamin C mudah 55
dioksidasi menjadi asam dehidroaskorbat. Dengan demikian maka vitamin C dinilai berperan dalam menghambat reaksi oksidasi yang berlebihan dalam tubuh dengan cara bertindak sebagai antioksidan. Nilai aktivitas antioksidan dari ekstrak serealia akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan disajikan pada Gambar 16.
Aktivitas Antioksidan (mg vitamin C eqivalen/ g biji)
40.00
35.96 a
35.00 27.86 b
30.00 25.00 20.00 16.45 a
16.46 c 12.33 d
12.27 a
15.00 10.00
6.88 b
5.00
5.34 b 4.73 bc 3.90 c
4.25 c 3.80 c
0.00 SNS
SS1
SS2
SS3
JNS
JS1
JS2
JS3
KNS
KS1
KS2
KS3
Perlakuan
Gambar 16. Rerata aktivitas antioksidan sorgum, jewawut dan ketan hitam akibat pengaruh perlakuan waktu penyosohan Keterangan : Setiap data merupakan rerata dua kali ulangan Angka pada gafik yang mempunyai huruf beda pada masing-masing serealia menyatakan beda nyata (BNT α = 5%) SNS SS1 SS2 SS3
= Sorgum non sosoh = Sorgum sosoh 20 detik = Sorgum sosoh 60 detik = Sorgum sosoh 100 detik
JNS JS1 JS2 JS3
= Jewawut non sosoh = Jewawut sosoh 100 detik = Jewawut sosoh 200 detik = Jewawut sosoh 300 detik
KNS KS1 KS2 KS3
= Ketan hitam non sosoh = Ketan hitam sosoh 5 detik = Ketan hitam sosoh 15 detik = Ketan hitam sosoh 25 detik
a. Sorgum Hasil analisis aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa sorgum non sosoh memiliki aktivitas antioksidan sebesar 16.45 mg vitamin C eq/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran aktivitas antioksidan menjadi 3.80 hingga 6.88 mg vitamin C eq/g biji (Gambar 16). Nilai aktivitas antioksidan sorgum non sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan aktivitas antioksidan gandum, oat, dan beras yaitu berurutan 13.57, 13.21, dan 9.87 mg vitamin C eq/g biji (Fardet et al, 2008), tetapi lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yaitu 31.89 mg vitamin C eq/g biji (Fardet et al, 2008).
56
Analisis anova pada Lampiran 10 menunjukan adanya pengaruh waktu penyosohan terhadap nilai aktivitas antioksidan sorgum. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki nilai aktivitas antioksidan yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan sorgum tanpa sosoh. Aktivitas antioksidan terendah adalah pada perlakuan waktu penyosohan 100 detik, dimana nilanya tidak berbeda nyata dengan waktu penyosohan 60 detik, sedangkan aktivitas antiosidan tertinggi pada sorgum sosoh adalah pada waktu penyosohan 20 detik (Gambar 16). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin lama waktu penyosohan akan menyebabkan penurunan aktivitas antioksidan pada sorgum. Aktivitas antioksidan dari sorgum diduga berasal dari adanya komponen fenoliknya yang mayoritas merupakan senyawa tanin dan antosianin. Menurut Awika et al (2005) sorgum memiliki aktivitas antioksidan dengan adanya senyawa tanin yang dimilikinya, dimana tanin pada sorgum yang berwarna coklat dan hitam diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi, yaitu sepuluh kali lebih kuat dibanding sorgum yang berwarna putih atau merah. Penurunan aktivitas antioksidan sorgum setelah disosoh tersebut diduga karena ikut terbuangnya komponen fenolik pada bagian kulit, Kesesuaian ditunjukkan dari hasil analisis fenol total (Gambar 15) yaitu terjadinya penurunan fenol total pada sorgum dengan semakin tingginya waktu sosoh. Menurut Suarni (2004)b, Proses penyosohan pada biji sorgum menyebabkan terlepasnya lapisan pericarp, tegmen, sebagian besar lapisan aleuron dan embrio sehingga secara tidak langsung mengikis pula berbagai komponen gizi dan komponen bioaktif sorgum yang menurut Dykes dan Rooney (2007) terdapat pada lapisan kulit luar dari biji sorgum yaitu pada lapisan pericarp dan testa. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Earp et al (2004) yang menyatakan bahwa senyawa fenolik golongan tanin pada sorgum yang memiliki aktivitas antioksidan berada pada lapisan testanya. Sehingga semakin tinggi intensitas penyosohan pada biji sorgum akan semakin banyak terjadinya kehilangan komponen bioaktif yang memiliki berbagai fungsi biologis termasuk komponen fenoliknya yang dapat berperan sebagai antioksidan. Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan aktivitas antioksidan pada sorgum adalah 20 dan 100 detik. Hal tersebut berdasarkan pada aktivitas antioksidan tertinggi sorgum setelah penyosohan adalah 20 detik, sedangkan nilai aktivitas antioksidan sorgum terendah adalah pada waktu sosoh 100 detik yang tidak berbeda nyata dengan 60 detik.
57
b. Jewawut Hasil analisis aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa jewawut non sosoh memiliki aktivitas antioksidan sebesar 12.27 mg vitamin C eq/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran aktivitas antioksidan menjadi 3.90 hingga 5.34 mg vitamin C eq/g biji (Gambar 16). Nilai aktivitas antioksidan jewawut non sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan aktivitas antioksidan beras yaitu 9.87 mg vitamin C eq/g biji (Fardet et al, 2008), tetapi lebih rendah dibandingkan jagung, gandum, dan oat yang nilainya berurutan adalah 31.89, 13.57, dan 13.21 mg vitamin C eq/g biji (Fardet et al, 2008). Analisis anova pada Lampiran 10 menunjukan adanya pengaruh waktu penyosohan terhadap nilai aktivitas antioksidan jewawut. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki nilai aktivitas antioksidan yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan jewawut non sosoh. Aktivitas antioksidan terendah adalah pada perlakuan waktu penyosohan 300 detik, dimana nilanya tidak berbeda nyata dengan waktu penyosohan 200 detik, sedangkan waktu penyosohan 200 tidak berbeda nyata dengan 100 detik (Gambar 16). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin lama waktu penyosohan akan menyebabkan penurunan aktivitas antioksidan pada jewawut. Aktivitas antioksidan dari jewawut berasal dari komponen fenoliknya yang mayoritas merupakan senyawa tanin. Menurut Dykes dan Rooney (2006), jewawut memiliki aktivitas antioksidan dengan adanya senyawa tanin yang dimilikinya, dimana jewawut yang berwarna gelap memiliki kandungan tanin lebih banyak dan memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi dibanding jewawut yang berwarna putih. Dengan demikian penurunan aktivitas antioksidan akibat penyosohan tersebut diduga disebabkan karena ikut terbuangnya komponen fenolik bersama dengan kulit atau dedak. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Dykes dan Rooney (2006) yang melaporkan bahwa komponen fenolik pada jewawut selain berada pada endosperm juga berada pada bagian kulit, yaitu pada bagian perikarp dan testa. Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan aktivitas antioksidan pada jewawut adalah 100 dan 300 detik. Hal tersebut berdasarkan pada aktivitas antioksidan tertinggi jewawut setelah penyosohan adalah 100 detik, sedangkan nilai aktivitas antioksidan jewawut terendah adalah pada waktu sosoh 300 detik yang tidak berbeda nyata dengan 200 detik.
58
c. Ketan Hitam Hasil analisis aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa ketan hitam tanpa sosoh memiliki aktivitas antioksidan sebesar 35.96 mg vitamin C eq/g biji, sedangkan setelah diberi perlakuan penyosohan kisaran aktivitas antioksidan menjadi 12.33 hingga 27.86 mg vitamin C eq/g biji (Gambar 16). Nilai aktivitas antioksidan ketan hitam tanpa sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan aktivitas antioksidan jagung, gandum, oat, dan beras berurutan adalah 31.89, 13.57, 13.21, dan 9.87 mg vitamin C eq/g biji (Fardet et al, 2008). Analisis anova pada Lampiran 10 menunjukan adanya pengaruh waktu penyosohan terhadap nilai aktivitas antioksidan ketan hitam. Uji lanjut BNT menunjukkan semua perlakuan waktu sosoh memiiki nilai aktivitas antioksidan yang berbeda nyata pada α=0,05 dengan ketan hitam tanpa sosoh, begitu pula dengan masing-masing waktu penyosohan memiliki nilai aktivitas antioksidan yang saling berbeda nyata. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai aktivitas antioksidan ketan hitam mengalami penurunan yang nyata dengan semakin tingginya intensitas waktu penyosohan (Gambar 16). Adanya aktivitas antioksidan pada ketan hitam berasal dari senyawa antosianin yang dimilikinya. Aktivitas antioksidan dari senyawa antosianin pada ketan hitam dibuktikan oleh Hu et al (2003) yang mengisolasi senyawa antosianin ketan hitam menggunakan metode filtrasi gel dan mendapatkan turunan antosianin ketan hitam yaitu senyawa sianidin 3-glukosida dan peonidin 3-glukosida. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa penurunan aktivitas antioksidan pada ketan hitam dikarenakan penyosohan menghilangkan antosianin pada lapisan luar ketan hitam yang ikut terbuang akibat penyosohan. Senyawa antosianin yang memiliki aktivitas antioksidan pada lapisan aleuron, dibuktikan oleh penelitian dari Chung dan Woo (2001) yang mengisolasi dan mengidentifikasi aktivitas antioksidan senyawa quinolone alkaloid yang merupakan turunan dari antosianin pada lapisan aleuron dari ketan hitam. Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan aktivitas antioksidan pada ketan hitam adalah 5 dan 10 detik. Hasil tersebut didapat berdasarkan dua aktivitas antioksidan tertinggi pada ketan hitam setelah dilakukannya proses penyosohan.
59
4.1.5 Korelasi antara Senyawa Fenolik dengan Aktivitas Antioksidan Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi (r = 0.89) antara fenol total dan aktivitas antioksidan pada serealia (Gambar 17). Hasil tersebut sesuai dengan Xin et al (2004) yang melaporkan bahwa senyawa fenolik berkonstribusi secara langsung terhadap aktivitas antioksidan. Korelasi positif antara aktivitas antioksidan dan fenol total tanaman berasal dari efektivitas donor hidrogen dalam senyawa fenolik. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Awika et al (2003), yang melaporkan adanya korelasi (r = 0.98) antara nilai fenol total dan aktivitas antioksidan pada sorgum. Grafik korelasi antara fenol total dengan aktivitas antioksidan pada serealia disajikan pada Gambar 17.
Aktivitas Antioksidan (mg vitamin C eqivalen/g biji)
40.00
y = 1.346x + 2.119 R² = 0.799
35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00
0.00 0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Fenol Total (mg TAE/g biji)
Gambar 17. Grafik korelasi antara fenol total dengan aktivitas antioksidan pada serealia
Gambar 17 menunjukkan semakin tinggi fenol total serealia, semakin tinggi aktivitas antioksidannya, sehingga hubungan antara fenol total dengan aktivitas antioksidan adalah berkorelasi positif. Fenol total memberikan pengaruh sebesar 79,9% terhadap perubahan aktivitas antioksidan, yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi R2 = 0,799. Aktivitas antioksidan dari masing-masing serealia diduga berhubungan dengan ketersediaan senyawa fenolik.
60
Menurut Widyawati (2002), hingga saat ini belum diketahui metabolisme senyawa fenol secara pasti, tapi beberapa ilmuan sepakat bahwa jenis fenol flavonoid dapat membantu reaksi redoks terhadap fungsi vitamin C pada dinding pembuluh darah dan sebagai antioksidan yang aktivitasnya tergantung pada bentuk, dosis, sistem enzim atau deoksidasinya. Hal tersebut juga didukung oleh Tahir et al (2003) yang menyatakan bahwa jumlah senyawa fenol berpengaruh secara langsung terhadap aktivitas antioksidan. Dengan teridentifikasinya komponen-komponen kimia yang terdapat pada serealia yang merupakan komponen senyawa dari golongan fenolik dan flavonoid memberi suatu ulasan bahwa pada serealia terdapat senyawa-senyawa fenolik yang dapat memberikan kontribusi sebagai antioksidan potensial. Scalbert et al (2005)a menyatakan bahwa senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik polifungsional. Ditambahkan oleh Scalbert et al (2005)b, golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin dan flavonol. Sementara turunan asam fenolik meliputi asam kafeat, asam ferulat dan asam klorogenat. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa senyawa-senyawa antioksidan alami yang telah diketahui sebagian besar merupakan senyawa-senyawa dari golongan fenolik dan flavonoid. Data hasil analisa fenol total dan aktivitas antioksidan mengindikasikan bahwa sebagian besar komponen fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan pada serealia sebagian besar berada pada lapisan aleuron atau lapisan kulit ari yang dikenal juga sebagai lapisan dedak, sehingga dinilai perlu dilakukan penelitian lebih spesifik terhadap lapisan aleuron atau dedak serealia untuk melihat peranannya lebih mendalam berkaitan dengan aktivitas antioksidannya dan pengaruhnya terhadap kesehatan manusia. Hasil Analisis fenol total dan aktivitas antioksidan dipilih dua waktu sosoh terbaik untuk tahap selanjutnya. Waktu sosoh terpilih untuk sorgum adalah 20 dan 100 detik, jewawut waktu sosoh 100 dan 300 detik, serta ketan hitam waktu sosoh 5 dan 15 detik.
61
4. 2 Penentuan Satu Waktu Sosoh Terbaik dengan Uji Organoleptik Sebelum dilakukan uji organoleptik, masing-masing serealia dimasak terlebih dahulu hingga menjadi bubur. Proses pemasakan pada penelitian ini dilakukan secara konvensional, bertujuan untuk melakukan pengolahan minimal pada serealia hingga menjadi bubur yang siap untuk dikonsumsi. Proses pembuatan bubur serealia pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan bubur nasi dari beras, hanya pada pelaksanaannya dilakukan pembedaan terhadap waktu pemasakan dan perbandingan air. Untuk sorgum waktu pemasakan adalah 40 dan 45 menit dengan perbandingan air 1:10 dan 1:11 g/ml. Untuk jewawut, waktu pemasakan adalah 20 dan 25 menit dengan perbandingan air 1:7 dan 1:8 g/ml. Sedangkan untuk ketan hitam waktu pemasakan adalah 25 dan 30 menit dengan perbandingan air 1:7 dan 1:8 g/ml. Waktu pemasakan dan perbandingan air masing-masing serealia berbeda-beda karena bentuk, ukuran, struktur sel, umur serta berbagai sifat fisik dan kimianya berbeda-beda. Menurut Subeki (1998) pada bahan pangan perbedaan jenis, bentuk, ukuran, struktur sel, umur serta sifat fisik dan kimia lainnya akan mempengaruhi cara dan waktu pemasakan dari suatu bahan pangan. Proses pemasakan dilakukan dengan menggunakan panci stainles steel dan kompor gas dengan besaran api yang sama. Hal tersebut dimaksudkan agar difusi panas terjadi secara merata sehingga kontak langsung bahan dengan medium air panas menjadi lebih baik. Menurut Winarno (2004), proses pemasakan yang baik terjadi dengan adanya panas yang merata pada bahan sehingga proses degadasi dinding sel dan kehilangan sifat turgor sel yang menyebabkan air dapat berdifusi kedalam sel akan berlangsung lebih cepat. Uji organoleptik pada penelitian ini merupakan jenis uji deskripsi, bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap suatu produk tertentu. Pada uji organoleptik bubur serealia dibandingkan dengan bubur oatmeal untuk melihat perbedaan karakteristik sensori dari bubur serealia dengan produk bubur oatmeal yang telah dikenal masyarakat. Skor nilai rerata untuk berbagai atribut sensori dari sorgum, jewawut dan ketan hitam disajikan pada Tabel 11.
62
Tabel 11. Skor nilai rerata berbagai atribut sensori pada sorgum, jewawut dan ketan hitam Perlakuan
Sorgum Atribut Sensori Rasa Warna Aroma Tekstur
Perlakuan
Jewawut Atribut Sensori Rasa Warna Aroma Tekstur
Perlakuan
Ketan Hitam Atribut Sensori Rasa Warna Aroma Tekstur
S1
4.83a
5.50c
5.24c
4.54b
J1
6.64a
9.61a
6.32b
6.64ab
K1
4.81a
5.53b
5.47b
6.39a
S2
4.97a
5.65bc
5.30c
4.69b
J2
6.12a
9.12a
6.07b
6.48abc
K2
4.42a
5.77b
5.41b
5.97a
S3
5.25a
7.33a
5.91bc
4.83ab
J3
6.10a
8.86a
6.45b
5.78bc
K3
4.02a
5.92b
4.95b
5.71a
S4
4.97a
5.97abc
5.80bc
4.73b
J4
5.87a
8.63a
6.33b
5.30c
K4
4.24a
6.00b
4.95b
6.20a
S5
5.07a
5.93abc
5.50c
5.59ab
J5
5.73a
9.57a
6.51b
7.10ab
K5
4.41a
4.85b
4.36b
5.40a
S6
5.07a
7.13ab
5.74c
5.41ab
J6
6.46a
9.19a
6.30b
7.30a
K6
4.33a
4.74b
4.56b
5.31a
S7
5.22a
6.86abc
6.20bc
5.22ab
J7
6.22a
9.60a
6.60ab
7. 24a
K7
4.40a
5.19b
4.47b
5.31a
S8
5.22a
6.99abc
6.21bc
5.60ab
J8
6.34a
9.45a
6.81ab
7.04ab
K8
4.28a
4.88b
4.74b
5.56a
Oatmeal
5.96a
7.44a
7.13a
6.28a
Oatmeal
6.78a
7.28b
7.87a
6.49abc
Oatmeal
4.92a
7.63a
7.74a
5.74a
Keterangan : Perlakuan untuk sorgum - S1 = waktu sosoh 20 detik, waktu pemasakan 40 menit, perbandingan air 1:10 - S2 = waktu sosoh 20 detik, waktu pemasakan 40 menit, perbandingan air 1:11 - S3 = waktu sosoh 20 detik, waktu pemasakan 45 menit, perbandingan air 1:10 - S4 = waktu sosoh 20 detik, waktu pemasakan 45 menit, perbandingan air 1:11 - S5 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 40 menit, perbandingan air 1:10 - S6 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 40 menit, perbandingan air 1:11 - S7 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 45 menit, perbandingan air 1:10 - S8 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 45 menit, perbandingan air 1:11
Perlakuan untuk ketan hitam - K1 = waktu sosoh 5 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:7 - K2 = waktu sosoh 5 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:8 - K3 = waktu sosoh 5 detik, waktu pemasakan 30 menit, perbandingan air 1:7 - K4 = waktu sosoh 5 detik, waktu pemasakan 30 menit, perbandingan air 1:8 - K5 = waktu sosoh 15 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:7 - K6 = waktu sosoh 15 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:8 - K7 = waktu sosoh 15 detik, waktu pemasakan 30 menit, perbandingan air 1:7 - K8 = waktu sosoh 15 detik, waktu pemasakan 30 menit, perbandingan air 1:8
Perlakuan untuk Jewawut - J1 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 20 menit, perbandingan air 1:7 - J2 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 20 menit, perbandingan air 1:8 - J3 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:7 - J4 = waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:8 - J5 = waktu sosoh 300 detik, waktu pemasakan 20 menit, perbandingan air 1:7 - J6 = waktu sosoh 300 detik, waktu pemasakan 20 menit, perbandingan air 1:8 - J7 = waktu sosoh 300 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:7 - J8 = waktu sosoh 300 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:8
63
4. 2. 1 Rasa Rasa merupakan komponen penting yang timbul pada perasaan seseorang setelah mencicipi suatu makanan. Umumnya makanan tidak terdiri dari satu rasa tetapi merupakan gabungan berbagai macam rasa secara terpadu sehingga menimbulkan rasa yang utuh (Kartika, 1989). Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh indra pencicip (lidah) dan merupakan faktor yang paling penting dalam keputusan terakhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Walaupun warna, aroma dan tekstur baik, namun jika rasanya kurang disukai maka konsumen akan menolak makanan tersebut. Rerata nilai rasa terbaik didapat pada bubur sorgum perlakuan S3 dengan skor 5,25 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai rasa bubur sorgum dengan waktu sosoh lebih cepat, waktu pemasakan lebih lama dengan perbandingan air lebih rendah. Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa pada semua perlakuan untuk atribut sensori rasa bubur sorgum tidak terdapat perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan kontrol oatmeal. Jadi diketahui bahwa panelis menilai bubur sorgum memiliki rasa yang tidak berbeda dengan oatmeal untuk semua perlakuan. Untuk bubur jewawut rerata nilai rasa terbaik didapat pada perlakuan J1 dengan skor 6,64 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai rasa bubur jewawut dengan waktu sosoh lebih cepat, waktu pemasakan sebentar dengan perbandingan air yang rendah. Hasil analisis ragam pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa pada semua perlakuan untuk atribut sensori rasa jewawut tidak terdapat perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan kontrol oatmeal. Jadi diketahui bahwa panelis menilai jewawut memiliki rasa yang tidak berbeda dengan oatmeal untuk semua perlakuan. Pada bubur ketan hitam perlakuan terbaik didapat pada K1 dengan skor sebesar 4,81 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai bubur ketan hitam dengan waktu sosoh lebih cepat, waktu pemasakan sebentar dengan perbandingan air yang rendah. Seperti pada bubur sorgum dan jewawut, bubur ketan hitam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan kontrol oatmeal pada semua perlakuan (Lampiran 13). Jadi dapat disimpulkan bahwa panelis menilai ketan hitam memiliki rasa yang tidak berbeda dengan bubur oatmeal untuk semua perlakuan.
64
4. 2. 2 Warna Warna memegang peranan penting dalam penerimaan suatu makanan, karena warna dapat memberikan petunjuk perubahan kimia dalam makanan (Kartika, 1988). Kesan pertama yang didapat dari bahan pangan adalah parameter warna. Terkadang warna akan menentukan diterima atau tidaknya suatu produk oleh konsumen. Rerata skor warna terbaik didapat pada bubur sorgum perlakuan S3 dengan skor 7,33 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai warna bubur sorgum dengan waktu sosoh lebih cepat, waktu pemasakan lebih lama dengan perbandingan air lebih rendah. Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa pada perlakuan S3, S4, S5, S6, S7 dan S8 untuk atribut sensori warna pada bubur sorgum tidak terdapat perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Jadi diketahui bahwa panelis menilai bubur sorgum memiliki rasa yang tidak berbeda dengan bubur oatmeal untuk perlakuan S3, S4, S5, S6, S7 dan S8. Perbedaan yang nyata (α=0,05) dengan bubur oatmeal didapat pada bubur sorgum perlakuan S1 dan S2 (Lampiran 11). Data tersebut menunjukkan bahwa bubur sorgum pada perlakuan S1 dan S2 memiliki warna yang berbeda dari bubur oatmeal. Dimana warna bubur oatmeal lebih disukai oleh panelis dibanding bubur sorgum perlakuan S1 dan S2. Untuk bubur jewawut, rerata skor warna terbaik didapat perlakuan J1 dengan rerata skor warna sebesar 9,61 (Tabel 11). Dari data tersebut diketahui bahwa panelis menyukai warna bubur jewawut dengan waktu sosoh lebih cepat, waktu pemasakan lebih singkat dengan perbandingan air lebih rendah. Hasil analisa data untuk bubur jewawut pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa semua perlakuan bubur jewawut memiliki perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Data tersebut menunjukkan bahwa bubur jewawut pada semua perlakuan memiliki warna yang berbeda dan lebih disukai dibanding bubur oatmeal. Hal tersebut diduga karena panelis cenderung lebih menyukai warna kuning cerah yang merata pada jewawut. Untuk bubur ketan hitam, rerata skor warna terbaik didapat pada perlakuan K4 dengan skor 6,00 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai warna bubur ketan hitam dengan waktu sosoh lebih singkat, waktu pemasakan lebih lama dengan perbandingan air lebih banyak. Semua perlakuan
65
bubur ketan hitam memiliki perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal (Lampiran 13), dimana secara keseluruhan bubur ketan hitam memiliki skor warna lebih rendah dibanding bubur oatmeal. Data tersebut menunjukkan bahwa bubur oatmeal pada semua perlakuan memiliki warna yang berbeda dan lebih disukai dibanding bubur ketan hitam. Lebih disukainya warna bubur oatmeal dibanding ketan hitam diduga karena panelis cenderung lebih menyukai warna putih cerah pada oatmeal dibanding warna hitam pada ketan hitam yang terkesan buram. 4. 2. 3 Aroma Bau atau aroma merupakan suatu senyawa yang dapat menimbulkan kesan tertentu bila dicium (Kartika, 1988). Menurut Winarno (2004), syarat terjadinya bau atau senyawa yang menghasilkan bau harus dapat menguap dan mengadakan kontak dengan penerima berupa reseptor pada sel olfaktori didalam rongga hidung. Aroma atau bau bahan makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Tabel 11 menunjukkan rerata skor aroma terbaik bubur sorgum didapat pada perlakuan S8 dengan skor 6,21. Data tersebut menunjukkan bahwa panelis cenderung menyukai aroma bubur sorgum dengan waktu sosoh lama, waktu pemasakan
lama dan perbandingan air lebih banyak. Hasil analisis ragam
(Lampiran 11) menunjukkan bahwa pada semua perlakuan untuk atribut sensori aroma bubur sorgum berbeda nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menilai bubur sorgum berbeda dengan bubur oatmeal, dimana aroma bubur oatmeal lebih disukai oleh panelis dibanding aroma bubur sorgum. Untuk bubur jewawut rerata skor aroma terbaik didapat pada perlakuan J8 dengan skor 6,81 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis cenderung lebih menyukai bubur jewawut dengan waktu sosoh lama, waktu pemasakan lebih lama dan perbandingan air lebih banyak. Hasil analisis ragam pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa pada perlakuan J7 untuk atribut sensori aroma bubur sorgum tidak terdapat perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan kontrol oatmeal. Jadi diketahui bahwa pada perlakuan J7 panelis menilai bubur sorgum memiliki rasa yang tidak berbeda dengan bubur oatmeal. Perbedaan yang
66
nyata (α=0,05) didapat pada perlakuan J1, J2, J3, J4, J5 dan J6 (Lampiran 12). Pada perlakuan-perlakuan tersebut panelis menilai bahwa bubur jewawut memiliki aroma yang berbeda dengan bubur oatmeal, dimana aroma bubur oatmeal lebih disukai oleh panelis dibanding aroma bubur jewawut. Tabel 11 menunjukkan pada ketan hitam rerata skor aroma terbaik didapat pada perlakuan K1 dengan skor 5,47. Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai warna bubur ketan hitam dengan waktu sosoh singkat, waktu pemasakan singkat dengan perbandingan air yang rendah. Semua perlakuan bubur ketan hitam memiliki perbedaan yang nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal (Lampiran 13). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menilai aroma bubur ketan berbeda dengan bubur oatmeal, dimana aroma bubur oatmeal lebih disukai oleh panelis dibanding aroma bubur ketan hitam. 4. 2. 4 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang penting dari tingkat mutu suatu makanan. Tekstur mempengaruhi citra makanan karena dapat menilai makanan yang lunak dan renyah (Kartika, 1988). Penilaian terhadap tekstur dapat berupa kekerasan, elastisitas dan kerenyahan. Tabel 11 menunjukkan rerata nilai tekstur terbaik didapat pada sorgum perlakuan S8 dengan skor 5,60. Data tersebut menunjukkan bahwa panelis cenderung menyukai bubur sorgum dengan waktu sosoh lama, waktu pemasakan lama dan perbandingan air lebih banyak. Hasil analisis data pada bubur sorgum (Lampiran 11) menunjukkan bahwa pada perlakuan S3, S5, S6, S7 dan S8 bubur sorgum tidak berbeda nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Tetapi pada perlakuan S1, S2 dan S4 bubur sorgum berbeda nyata (α=0,05) dengan bubur oatmeal. Data tersebut menunjukkan bahwa bubur sorgum perlakuan S1, S2 dan S4, bubur sorgum memiliki tekstur berbeda dengan bubur oatmeal, dimana tekstur bubur oatmeal lebih disukai panelis dibanding tekstur bubur sorgum pada perlakuan S1, S2 dan S4. Untuk jewawut rerata skor tekstur terbaik didapat pada perlakuan J6 dengan skor 7,30 (Tabel 11). Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai tekstur bubur jewawut yang disosoh lebih lama, waktu pemasakan yang singkat dengan perbandingan air lebih banyak. Hasil analisa ragam pada lampiran 12 untuk tekstur bubur jewawut menunjukkan bahwa pada bubur jewawut perlakuan 67
J1, J2, J5, J6, J7 dan J8 tidak berbeda nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Perbedaan yang nyata (α=0,05) antara tekstur bubur jewawut dengan bubur oatmeal didapat pada perlakuan J3 dan J4 (Lampiran 12). Hal tersebut menunjukkan bahwa tekstur bubur jewawut perlakuan J3 dan J4 berbeda dengan tekstur bubur oatmeal dimana panelis lebih menyukai tekstur bubur oatmeal dibanding bubur jewawut perlakuan J3 dan J4. Tabel 11 menunjukkan bahwa rerata skor tekstur terbaik untuk bubur ketan hitam didapat pada perlakuan K1 dengan skor 6,39. Data tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai tekstur bubur ketan hitam dengan waktu sosoh singkat, waktu pemasakan singkat dan perbandingan air yang rendah. Hasil analisa ragam pada Lampiran 13 menunjukkan bahwa pada semua perlakuan untuk tekstur bubur ketan hitam tidak berbeda nyata pada α=0,05 dengan bubur oatmeal. Jadi diketahui bahwa panelis menilai bubur ketan hitam memiliki tekstur yang tidak berbeda dengan bubur oatmeal. Dari hasil uji organoleptik, didapat sorgum dengan perlakuan S3 (waktu sosoh 20 detik, waktu pemasakan 45 menit, perbandingan air 1:10), jewawut perlakuan J1 (waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 20 menit, perbandingan air 1:7) dan ketan hitam perlakuan K1 (waktu sosoh 5 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:7) untuk dilanjutkan ke uji in vitro proliferasi sel limfosit manusia. Pemilihan perlakuan terbaik untuk uji sel limfosit berdasarkan parameter rasa yang terbaik.
4.3 Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro Salah satu parameter untuk melihat aktivitas imunomodulator suatu komponen adalah kemampuan stimulasi yang dapat diberikannya terhadap aktivitas proliferasi dari sel limfosit. Proses proliferasi pada sel limfosit adalah proses pendewasaan dan perbanyakan sel melalui pembelahan sel atau mitosis. Pada proses pembelahan tersebut, akan dihasilkan sel-sel efektor aktif yang berperan pada respon imun spesifik dan non spesifik untuk eliminasi mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya. Proliferasi merupakan fungsi dasar biologis limfosit dan respon stimulasi secara in vitro yang dapat menggambarkan fungsi limfosit (Rosse et al, 1994). Aktivitas sel limfosit T dan B yang berproliferasi ini dapat diukur melalui nilai indeks stimulasi (IS) dengan bantuan mitogen (Zakaria et al, 2000). 68
Pengujian
aktivitas
proliferasi
dilakukan
secara
spektrofotometri
menggunakan reagen MTT. Penggunaan metode ini didasarkan pada penyerapan warna biru dari kristal formazan yang dihasilkan dari reaksi antara enzim suksinat dehidrogenase dengan garam tetrazolium (MTT). Metode MTT digunakan untuk melihat aktivitas proliferasi dari sel limfosit yang hidup, selain itu metode ini juga dapat digunakan untuk melihat aktivitas proliferasi dari sel kanker (James et al, 1994). Proses perubahan struktur MTT menjadi kristal formazan dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Proses perubahan struktur MTT menjadi kristal formazan (James et al, 1994).
Pada penelitian ini juga digunakan senyawa mitogen untuk memicu terjadinya proliferasi non spesifik dari sel limfosit, dimana mitogen digunakan sebagai pembanding dalam melihat aktivitas stimulasi sel limfosit terhadap ekstrak serealia. Stimulasi limfosit dengan antigen atau mitogen akan mengakibatkan berbagai reaksi biokimia didalam sel, diantaranya fosforilasi nukleoprotein, pembentukan DNA dan RNA serta peningkatan metabolisme lemak dan lain-lain yang dapat memicu aktivitas proliferasi sel (Freshney, 1994). Mitogen yang digunakan pada penelitian ini adalah lipopolisakarida (LPS) dan pokeweed (PKW). LPS yang digunakan berasal dari dinding sel bakteri gram negatif Salmonella typhii, sedangkan pokeweed yang merupakan golongan lektin berasal dari tumbuhan Phytolacca Americana. Pemilihan mitogen LPS dan pokeweed pada penelitian ini didasarkan pada kemampuan spesifik dari mitogen yang mampu menginduksi pembelahan sel T dan sel B. Pokeweed dapat berikatan dengan N-acetylchitobiose dan bersifat mitogenik terhadap sel T dan B, sedangkan lipopolisakarida dapat berungsi sebagai mitogen bagi sel B (Kuby, 1992). Konsentrasi mitogen yang ditambahkan pada tiap sumur adalah 50 µg/ml. Penentuan konsentrasi mitogen ini didasarkan
69
pada penelitian Watzl et al (1999) yang menyimpulkan bahwa kultur sel dengan penambahan mitogen LPS dan pokeweed konsentrasi 50 µg/ml sebanyak 20 µl pada sumur kultur dengan waktu inkubasi 72 jam akan memberikan aktivitas proliferasi terhadap sel limfosit. Nilai indeks stimulasi dari berbagai ekstrak serealia yang dibandingkan dengan kontrol dan mitogen disajikan pada Gambar 19. 6.000
5.340 a
Indeks Stimulasi
5.000 4.000
2.614 b
3.000 2.000 1.000
1.301 bc
1.000 c
1.646 bc 1.358 bc 1.318 bc 1.425 bc
1.100 c
0.000 Kontrol
LPS
PKW
SA
JA
KA
SC
JC
KC
Kontrol, Mitogen, dan Ekstrak Serealia
Gambar 19.
Nilai indeks stimulasi (IS) sel limfosit ekstrak serealia dengan kontrol dan mitogen
Keterangan : Setiap data merupakan rerata dua kali ulangan Angka pada gafik yang mempunyai huruf beda pada masing-masing serealia menyatakan beda nyata (BNT α = 5%) Kontrol = Media RPMI SA = Ekstrak air sorgum SC = Ekstrak aseton sorgum LPS = Lipopolisakarida JA = Ekstrak air jewawut JC = Ekstrak aseton jewawut Con A = Concanavalin A KA = Ekstrak air ketan hitam KC = Ekstrak aseton ketan hitam
Gambar 19 menunjukkan mitogen memiliki nilai indeks stimulasi lebih tinggi dibandingkan kontrol standar berupa media RPMI. Rerata nilai mitogen tertinggi didapat pada LPS sebesar 1,301 diikuti oleh PKW yaitu sebesar 1,100. Data tersebut menunjukkan bahwa mitogen LPS dan Con A yang digunakan masih memiliki kemampuan yang baik dalam menginduksi aktivitas proliferasi dari sel limfosit. Sebagai pembanding, Krismawati (2007) melaporkan bahwa nilai indeks stimulasi dari mitogen LPS adalah 1,54. Nilai indeks stimulasi pada Gambar 19 juga menunjukkan bahwa perlakuan SA, JA, KA, SC, JC dan KC memiliki nilai indeks stimulasi lebih tinggi dibanding kontrol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semua perlakuan dapat menstimulasi aktivitas proliferasi sel
70
limfosit lebih baik dibanding kontrol. Aktivitas imunomodulator ekstrak serealia salah satunya diduga berasal dari adanya senyawa fenolik yang dimilikinya. Awika et al (2003) melaporkan bahwa jenis senyawa polifenol yang terdapat pada biji sorgum terdiri dari antosianin, leukosianidin dan tanin terkondensasi. Ditambahkan oleh Hulse et al (1980) yang melaporkan bahwa jewawut memiliki senyawa polifenol golongan flavonoid dan tanin terkondensasi. Untuk ketan hitam, penelitian yang dilakukan oleh Aligitha (2007) membuktikan bahwa senyawa fenolik pada ketan hitam adalah dari golongan antosianin. Senyawasenyawa fenolik tersebut dapat berperan sebagai antioksidan dan meningkatkan fungsi dari sistem imun. Sesuai dengan yang dilaporkan oleh Craig (2001) bahwa senyawa flavonoids, triterpenes atau alkaloid yang terdapat pada akar, kulit kayu dan juga herba yang kaya flavonoid dan karoten dapat meningkatkan fungsi dari sistem imun. Fungsi senyawa fenolik sebagai imunomodulator diduga berhubungan dengan peranannya sebagai antioksidan dalam proses perlindungan membran sel limfosit dari oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Meydani et al (1995) menyatakan bahwa keseimbangan oksidan dan antioksidan adalah salah satu hal yang menentukan fungsi sel-sel imun. Keseimbangan oksidan dan antioksidan memiliki peran penting dalam menjaga keutuhan dan fungsi membran lipid, protein dan asam nukleat karena persentase tertinggi dari membran plasma adalah asam lemak yang mudah teroksidasi. Fungsi lain dari senyawa fenolik adalah menstimulasi proliferasi sel limfosit melalui peningkatan sekresi berbagai sitokin seperti pembentukan interleukin (IL). Menurut Paraskevas dan Forester (1999), pembentukan senyawa fenolik dengan kompleks protein dapat berperan sebagai antigen yang selanjutnya akan dikenali oleh reseptor sel T maupun sel B. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Erniati et al (2007) yang melaporkan bahwa komponen flavonoid bubuk kakao bebas lemak dapat berperan sebagai komponen yang dapat menstimulasi proliferasi sel limfosit T melalui peningkatan produksi sitokin, terutama IL-1, IL-2 dan IL-4. Ditambahkan oleh Mao et al. (2000) yang melaporkan bahwa prosianidin dari kakao dalam bentuk oligomer yang dimurnikan mampu mengakibatkan ekspresi mRNA dan sekresi sitokin seperti IL-1, IL-2 dan IL-4 dimana produksi IL-4 mengakibatkan peningkatan respon oleh sel T efektor. 71
Penentuan konsentrasi ekstrak serealia pada sumur kultur didasarkan pada asumsi perhitungan konsentrasi ekstrak serealia yang berada didalam darah setelah mengkonsumsi 100 gram serealia. Konsentrasi ekstrak serealia pada sumur kultur dengan volume 100 µl dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Konsentrasi ekstrak serealia pada sumur kultur Jenis Serealia Sorgum Jewawut Ketan Hitam
Konsentrasi ekstrak serealia pada sumur kultur (µg/ml) Aquadest Aseton 700 521 765 529 1066 924
Tabel 12 menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi ekstrak masingmasing serealia pada sumur kultur. Perbedaan konsentrasi ekstrak serealia tersebut disebabkan karena adanya perbedaan jumlah rendemen ekstrak serealia. Nilai konsentrasi ekstrak pada sumur kultur berbanding lurus dengan nilai rendemen ekstrak serealia, artinya semakin tinggi nilai rendemen ekstrak maka konsentrasi ekstrak pada sumur kultur juga semakin tinggi. Konsentrasi ekstrak serealia pada Tabel 12 juga menunjukkan bahwa ekstrak serealia pada konsentrasi tersebut dapat menstimulasi aktivitas proliferasi sel limfosit manusia yang berada pada sumur kultur (Gambar 19). Berdasarkan nilai indeks stimulasi yang didapat pada Gambar 19, ekstrak serealia pada konsentrasi tersebut (Tabel 12) tidak bersifat toksik terhadap sel limfosit manusia. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai indeks stimulasi ekstrak serealia yang lebih tinggi dibandingkan nilai indeks stimulasi kontrol standar, walaupun dinilai masih perlu dilakukan uji ketahanan sel limfosit terhadap pengaruh ekstrak serealia dengan ruang lingkup konsentrasi yang lebih luas agar dapat diketahui efek toksisitas dari ekstrak serealia terhadap sel limfosit secara lebih spesifik. Hasil analisis data pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa perlakuan jenis pelarut memberikan pengaruh yang nyata pada α=0,05 terhadap nilai indeks stimulasi.
Hasil
tersebut
menunjukkan
jenis
pelarut
yang
digunakan
mempengaruhi nilai indeks stimulasi yang didapat. Gambar 19 menunjukkan bahwa ekstrak air serealia memiliki kemampuan lebih baik dibanding ekstrak aseton dalam menstimulasi proliferasi sel limfosit. Penggunaan pelarut aquadest diharapkan dapat mewakili komponen bioaktif serealia yang bersifat polar seperti
72
senyawa tanin. Menurut Hart (1990), senyawa fenolik dapat larut dalam air maupun etanol karena senyawa fenolik memiliki gugus hidroksil yang melekat pada cincin aromatik. Pemilihan pelarut aquadest juga dinilai dapat memudahkan dalam proses kultur sel limfosit karena media kultur yaitu media RPMI yang digunakan bersifat polar. Roitt (1991) menjelaskan bahwa sifat polar yang dimiliki pelarut air dapat membawa komponen protein dan peptida yang dapat terdenaturasi oleh etanol atau senyawa polar lain yang tidak dapat larut dalam etanol dimana senyawa peptida ini secara umum memiliki efek farmakologis terhadap sistem imun. Alasan keamanan juga merupakan salah satu faktor dalam penggunaan ekstrak air pada penelitian ini. Selain itu, untuk proses ekstraksi suatu bahan pangan yang komponen
kimianya belum diketahui secara jelas disarankan menggunakan
pelarut air untuk alasan keamanan (Depkes, 2000). Sedangkan penggunaan pelarut aseton dimaksudkan untuk mendapatkan ekstrak yang mewakili komponen non polar dari serealia. Menurut Waterman dan Mole (1994), pelarut aseton dinilai mampu mengekstrak komponen-komponen antioksidan dari serealia termasuk senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan. Tingkat kelarutan berbagai senyawa fenolik pada masing-masing serealia diduga menjadi salah satu penyebab ekstrak air serealia pada perlakuan SA, JA dan KA memiliki nilai indeks stimulasi lebih tinggi dibanding ekstrak aseton. Lee dan Yoon (2005) menyatakan bahwa senyawa fenolik dapat larut dalam air maupun etanol karena senyawa fenolik memiliki gugus hidroksil yang melekat pada cincin aromatik. Diperkirakan sebagian besar komponen fenolik pada ekstrak serealia bersifat lebih larut air sehingga proses ekstraksi dengan pelarut air menghasilkan nilai indeks stimulasi yang lebih tinggi. Hal tersebut didukung oleh Pratt (1995) yang menyatakan bahwa senyawa fenolik sering ditemukan berikatan dengan protein atau gula glikosida sehingga cenderung bersifat mudah larut air karena mempunyai gugus hidroksil (OH) yang cenderung mudah larut air. Hasil analisis data pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa perlakuan jenis serealia, jenis pelarut dan interaksi antara kedua perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (α=0,05) terhadap nilai indeks stimulasi. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa perlakuan JA berbeda nyata dengan semua perlakuan termasuk kontrol dan mitogen pokeweed tetapi tidak berbeda nyata dengan LPS, Sedangkan perlakuan SA berbeda nyata (α=0,05) dengan perlakuan lainnya termasuk terhadap kontrol dan mitogen LPS maupun pokeweed. Perlakuan SA 73
dan JA memiliki nilai indeks stimulasi lebih tinggi dibanding perlakuan KA walaupun nilai aktivitas antioksidannya lebih rendah dari ketan hitam (Gambar 19). Nilai indeks stimulasi yang tinggi pada perlakuan SA dan JA diduga berasal dari aktivitas senyawa bioaktifnya yang lain selain senyawa fenolik yang dimilikinya. Salah satu senyawa yang diduga berperan besar dalam peningkatan indeks stimulasi sorgum adalah β-glukan. Almatsier (2005) menyatakan bahwa βglukan dapat menurunkan kadar kolestrol darah dan sering ditemukan pada bijibijian serealia. Menurut Vetvicka dan Vetvickova (2007), β-glukan dikenal sebagai biopolisakarida yang merupakan suatu golongan polimer unik yang disintesis dari dinding tumbuhan, yeast, bakteri dan jamur. Struktur β-glukan merupakan rantai panjang molekul polisakarida yang tersusun dari monomer glukosa dengan ikatan β-glikosida atau secara teknis β-glukan adalah molekul polisakarida yang sebagian besar dibuat dari glukosa. Sebagai suplemen nutrisi, β-1,3 glukan termasuk dalam kategori GAS (Generally Regarded as Save) oleh Dept. Food and Drug Organization (FDA) di USA sehingga aman digunakan dan dikonsumsi manusia. Struktur β-1,3 glukan disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20. Struktur β-1,3 glukan (Roubroeks et al, 2001)
Adanya β-glukan pada sorgum dibuktikan oleh penelitian dari Niba and Hoffman (2003) yang melaporkan bahwa kadar β-glukan pada sorgum adalah sebesar 0,12%. Penelitian lain mengenai β-glukan serealia dilakukan oleh Ramesh dan Tharanathan (2000) yang melaporkan bahwa β-glukan sorgum adalah β-D-glukan yang terdapat pada lapisan aleuron biji sorgum, dimana β-D-glukan tersebut dapat mengaktivasi 30% sel makrofag peritoneal tikus pada konsentrasi 100 µg/ml. Berbagai penelitian telah mengklaim peranan β-glukan sebagai biological defence modifier yang berpotensi mengaktifkan sistem imun tubuh
74
melalui sel makrofag imun. Agar berfungsi secara imunologi, makrofag harus melewati kondisi aktivasi yang melibatkan berbagai perubahan morfologi dan perubahan metabolik yang memproduksi sitokin sebagai regulator internal dari sistem imun (Vetvicka dan Vetvickova, 2005). Stone dan Clarke (1992) melaporkan bahwa riset aplikasi oral dari β-1,3-glukan menunjukkan aktivitas antidiabetes β-glukan pada sitokin IL-1 sehingga meningkatkan produksi insulin dan menyebabkan penurunan kadar gula darah. Ditambahkan oleh Novak & Vetvicka (2008) yang menyatakan bahwa studi efek sistem glukan spesifik yang pertama kali dilakukan pada manusia yang terkena
infeksi HIV dilakukan pada pertengahan tahun 1980. Walaupun
seseorang menderita defisiensi imun yang sangat parah akibat HIV akan tetapi tetap terjadi peningkatan serum sitokin IL-1 dan IL-2 serta interferonnya. Li et al (2006) mengemukakan beberapa mekanisme biologis β-glukan dari dinding sel Saccharomyces cereviciae adalah sebagai berikut ; (1) Aktivasi makrofag, menunjukkan peningkatan kemampuan fagosit nonspesifik yang membuat makrofag mampu menghancurkan patogen lebih efisien, dan melindungi terhadap penyakit. (2) Melepaskan sitokin penting, seperti IL-1 dan IL-2 lebih daripada yang lain. Mengawali reaksi bertingkat sistem immun dan memicu produksi sel lain yang berhubungan seperti sel limfosit T dan sel limfosit B. (3) Melepaskan faktor penstimulasi koloni yang meningkatkan produksi sumsum tulang. (4) Menurunkan kolesterol melalui aktivasi sel dan perlindungan sel dari radikal bebas. Dengan adanya dugaan komponen lain yang berperan dalam tingginya indeks stimulasi pada sorgum yaitu β-glukan, maka dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang deteksi terhadap senyawa β-glukan dan komponen bioaktif lain serta sinergisme antar berbagai senyawa tersebut pada sorgum, jewawut dan ketan hitam untuk menemukan berbagai mekanisme lain yang terjadi pada proses proliferasi sel limfosit. Berdasarkan hasil uji proliferasi terhadap sel limfosit yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa diantara ketiga jenis serealia tersebut yang memiliki IS tertinggi adalah perlakuan SA diikuti oleh perlakuan JA. Pemilihan didasarkan pada nilai IS yang berbeda nyata dengan kontrol standar. Untuk melihat pengaruh aktivitas proliferasi sel limfosit secara lebih spesifik terhadap sel darah manusia maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara in vivo pada ketiga jenis serealia terutama pada sorgum dan jewawut.
75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan 1. Proses penyosohan dapat menurunkan kandungan nutrisi serealia. Semakin lama intensitas waktu penyosohan, semakin rendah kandungan nutrisi serealia karena lapisan kulit ari serealia mengandung berbagai komponen nutrisi. 2. Sorgum, jewawut dan ketan hitam memiliki senyawa fenolik yang dapat berperan sebagai antioksidan. Semakin lama waktu penyosohan, semakin rendah kandungan fenol total serealia. Senyawa fenolik serealia berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan. Semakin besar jumlah fenol total, akan semakin besar pula aktivitas antioksidannya. Dua waktu sosoh terpilih berdasarkan kandungan fenol total dan aktivitas antioksidan pada sorgum adalah waktu sosoh 20 dan 100 detik, jewawut waktu sosoh 100 dan 300 detik, serta ketan hitam waktu sosoh 5 dan 15 detik.
3. Dari hasil uji organoleptik, didapat sorgum dengan perlakuan S3 (waktu sosoh 20 detik, waktu pemasakan 45 menit, perbandingan air 1:10), jewawut perlakuan J1 (waktu sosoh 100 detik, waktu pemasakan 20 menit, perbandingan air 1:7) dan ketan hitam perlakuan K1 (waktu sosoh 5 detik, waktu pemasakan 25 menit, perbandingan air 1:7) untuk dilanjutkan ke uji in vitro proliferasi sel limfosit manusia.
4. Berdasarkan uji aktivitas imunomodulator secara in vitro diketahui sorgum, jewawut dan ketan hitam dapat menstimulasi proliferasi sel limfosit manusia. Aktivitas proliferasi terbaik didapat pada sorgum ekstrak air dengan nilai indeks stimulasi sebesar 5,340. 5. Sorgum, jewawut dan ketan adalah komoditi serealia potensial dan layak untuk dikomersialisasikan
sebagai
pangan
pendukung
program
diversifikasi
karbohidrat karena dinilai cocok dengan iklim pertanian indonesia. Selain itu ketiga jenis serealia ini memiliki kandungan senyawa bioaktif golongan antioksidan serta aktivitas imunomodulator.
76
5. 2 Saran 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan metode penyosohan dan alat penyosohan yang lebih spesifik untuk masing-masing serealia. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih spesifik terhadap lapisan aleuron atau dedak serealia untuk melihat peranannya lebih mendalam berkaitan dengan aktivitas antioksidannya dan pengaruhnya terhadap kesehatan manusia. 3. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap komponen β-glukan dan komponen bioaktif lain serta sinergisme antar berbagai senyawa tersebut pada sorgum, jewawut dan ketan hitam untuk menemukan berbagai mekanisme lain yang terjadi pada proses proliferasi sel limfosit. 4. Diperlukan penelitian secara in vivo terhadap ketiga komoditi serealia yang berkaitan dengan aktivitas proliferasi dari sel limfosit untuk melihat pengaruhnya secara lebih spesifik dari uji in vitro yang telah dilakukan. 5. Berdasarkan nilai indeks stimulasi yang didapat dinilai perlu dilakukan uji ketahanan sel limfosit terhadap pengaruh ekstrak serealia dengan ruang lingkup konsentrasi yang lebih luas agar dapat diketahui efek toksisitas dari ekstrak serealia terhadap sel limfosit.
77
78
DAFTAR PUSTAKA Abe N, Ebina T, Ishida N. 1982. Interferon Induction by Glycyrrhizin and Glycyrrhetinic Acid in Mice. J. Microbiology Immunology. 26 (6):535539. Adawiyah D R, Waysima, Indrasti D. 2007. Penuntun Praktikum Evaluasi Sensori. Dept. ITP. FATETA. IPB. Bogor. Albert B, Bray D, Lewis J, Raff M, Roberts K, Watson J D. 1994. Molecular Biology of the Cell. Garland Publishing. New York. Aligitha W. 2007. Isolasi Antosianin dari Ketan Hitam (Oriza Sativa L Forma Glutinosa). J. Farmasi. 31(1): 26-27. Departemen Farmasi ITB. Al-Mamary M, Al-Habori M, Al-Aghbari A, Al-Obeidi A. 2001. In Vivo Effects of Dietary Sorghum Tannins on Rabbit Digestive Enzymes and Mineral Absorbtion. J. Nutrition Research. 21 (1): 1393-1401. Amirghofran Z, Azadbakht M, Keshavarzi F. 2000. Echium amoneum Stimulate of Lymphocyte Proliferation and Inhibit of Humoral Antibody Synthesis. Iran Journal Medicine Science. 25 (1): 119-124. Andoko A. 2001. Bertanam Millet untuk Pakan Burung. Penebar Swadaya. Jakarta. Anonymousa. 2008. Schema of Pearl Millet Seed Structure. www.fao.org. Diakses 30 Juni 2009. Anonymousb. 2008. Oryza Sativa Glutinosa Structure. www.paradisemoon.com. Diakses 20 Februari 2008. Anonymousc. 2008. Deskripsi Varietas Tanaman www.Puslitbangtan.Com. Diakses 22 Februari 2008.
Pangan.
Anonymousd. 2008. Varietas Millet. www.uns.ac.id. Diakses 24 Februari 2008. Arief R A. 2007. Analisis Kualitas Relatif Protein Jagung secara In Vivo dengan Metode Pdcaas. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 10(2): 95-104. AOAC. 1984. Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry. Washington D. C. Awika J M. 2003. Antioxidant Properties of Sorghum. Disertasi. A and M University. Texas.
79
Awika J M, Rooney L W. 2004. Sorghum Phytochemicals and Their Potential Impact on Human Health. J. Science Phytochemistry. 65 (9): 1199-1221. Awika J M, Rooney L W, Wu X, Prior L R, Zevallos L C. 2003. Screening Methods To Measure Antioxidant Activity of Sorghum (Sorghum bicolor) and Sorghum Products. J. Agricultural Food Chemistry. 51 (23): 6657−6662. Awika J M, McDonough C.M, Rooney L W. 2005. Decorticating Sorghum to Concentrate Healthy Phytochemicals. J. Agricultural and Food Chemistry 53 (1):6230-6234. Baratawidjaya K G. 1991. Imunologi Dasar. Edisi kedua. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta. Barber S. 1975. Methods for Rice. Bulog. Jakarta. Bellanti J A. 1993. Imunologi III. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Benabadji S H, Wen R, Zheng J B, Dong X C, Yuan S G. 2004. Anticarcinogenic and Antioxidant Activity of Diindolylmethane Derivatives. J. Acta Pharmacologica Sinica. 25 (5): 666-671. Cartwright T, Shah G P. 1994. Culture Media. Davis J M (ed). Basic Cell Culture, a Practical Approach. Oxford University Press. New York. Chang S S, Matijasevic B O, Hsieh O A L, Huang C L. 1997. Natural Antioxidant From Rosemary and Sage. J. Food Science. 42 (4):11021106. Cho S H, Choi Y, Ha T Y.2000. In Vitro and In Vivo Effects of Proso Millet, Buckwheat and Sorghum on Cholesterol Metabolism. J. Federation of American Societies for Experimental Biology. 14 (4): A249. Chung H S, Woo W S. 2001. A Quinolone Alkaloid with Antioxidant Activity from the Aleurone Layer of Anthocyanin-Pigmented Rice. J. Natural Products. 64 (12): 1579-1580. Craig W J. 2001. Herbal Remedies that Promote Health and Prevent Disease. Watson R R (ed). Vegetables, Fruits, and Herbs in Health Promotion. CRC. London. Darmadjati D S. 1983. Physical, Chemical Properties and Protein Characteristics of Some Indonesian Rice Varieties. Disertasi. IPB. Bogor. Delaney B, Nicolosi R J, Wilson T A, Carlson T, Frazer S, Zheng G H, Hess R, Ostergren K, Haworth J, Knutson N. 2003. β-glucan Fractions from
80
Barley and Oats are Similarly Antiatherogenic in Hypercholesterolemic Syrian Golden Hamsters. J. Nutrition. 133(2):468-75. Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-3157-1992 Sorgum. Davidek J, Velisek J, Pokorny J. 1990. Chemical Changes During Food Processing. Elsevier Science Publishing Company. New York. Dicko M H, Gruppen H, Traore A S, Berkel V W J H, Voragen A G J. 2005. Evaluation of The Effect of Germination on Phenolic Compounds and Antioxidant Activities in Sorghum Varieties. J. Agricultural and Food Chemistry. 53 (1): 2581-2588. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 2000. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara. Jakarta. Djaafar T F, Rahayu S. 2007. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian, Penyakit yang Ditimbulkan dan Pencegahannya. J. Litbang Pertanian. 26(2): 67-75. Dykes L, Rooney L W. 2006. Sorghum and Millet Phenols and Antioxidants. J. Cereal Science. 44 (3):236-251. Dykes L, Rooney L W. 2007. Phenolic Compounds in Cereal Grains and Their Health Benefits. J. Cereal Foods World 52:(3)105-111. Earp C F, McDonough C M, Awika J M, Rooney L W. 2004. Testa Development in the Caryopsis of Sorghum bicolor (L.) Moench. J. Cereal Science. 39(2): 303-311. Erniati, Misnawi, Zakaria F R, Priosoeryanto B P. 2007. Efek Konsumsi Minuman Bubuk Kakao Bebas Lemak terhadap Aktivitas Antioksidan dan Proliferasi Limfosit pada Subjek Manusia Sehat. Makalah Seminar Nasional PATPI 17 Juli 2007. 1437-1459. Fardet A, Edmond R, Christian R. 2008. Is The In Vitro Antioxidant Potential of Whole-Grain Cereals and Cereals Products Well Reflected In Vivo. J. Cereal Science. 48 (1); 258-276. Faridah D N, Nora Z, Muchtadi D, Palupi N S. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus. Makalah Seminar Nasional PATPI 17 Juli 2007. 1571 – 1583. Freshney I R. 1994. Culture of Animal Cells. Willey-Liss Inc. Singapore
81
Garvey J S, Cremer N A, Sussdorf D H. 1997. Methods in Immunology. Addison Wesley Publishing. New York. 347-371. Gordon M H. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action In Vitro. Hudson B J F (ed). Food Antioxidant. Elsevier Applied Science. London. Grimmer H R, Parbhoo V, McGrath R M. 1992. Antimutagenicity of Polyphenol Rich Fractions from Sorghum bicolor Grain. J. Science of Food and Agriculture. 59 (1): 251-256. Hagerman A E, Butler L G. 1981. The Specificity of Proanthocyanidin-Protein Interactions. J. Biological Chemistry. 256 (1): 4494-4497. Hagerman A E, Riedl K M, Jones G A, Sovik K N, Ritchard N T, Hartzfeld P W, Riechel T K. 1998. High Molecular Weight Plant Polyphenolic (Tannins) as Biological Antioxidants. J. Agricultural and Food Chemistry. 46 (1): 1887-1892. Hanum T. 2000. Ekstraksi dan Stabilitas Zat Pewarna Alam dari Katul Beras Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa). J. Teknologi dan Industri Pangan. 1(1) : 11-19. Harrison M A, Freshney I R. 1997. General Techniques of Cell Culture. Cambridge University Press. London. Hilu K W, De Wet J M J, Seigler D. 1978. Flavonoid Patterns and Systematics in Eleusine. J. Biochemical Systematics and Ecology. 6(1): 247-249. Ho CT, Lee C Y, Huang M T. 1991. Phenolic Compounds in Food and their Effect on Health. American Chemical Society. Washington. Hubbard J K., Hall H H, Earle F R. 1969. Composition of the Component Parts of Sorghum Kernel. J Cereal Chemistry. 27(5) : 415-420. Hu C, Zawitowski J, Ling W, Kitts D D. 2003. Black Rice (Oryza sativa L. indica) Pigmented Fraction Supresses Both Reactive Oxygen Species and Nitric Oxide in Chemical and Biological Model Systems. J. Agricultural and Food Chemistry. 51(1): 5271-5277. Hulse J M, Laing E M, Pearson C E. 1980. Sorghum and Millets; their Composition and Nutritive Value. Academic Press. New York. James A, Davis J, Carter M. 1994. Basic Cell Culture Technique and the Maintenance of Cell Lines. Oxford University Press. New York. 131133.
82
Junge V, Hoekstra J, Wolfe L, Deinhardt F. 1970. Methods of Culturing Lymphocyte : Growth Media. North-Holland Publishing Company. Amsterdam. Juliano, B O. 1972. The Rice Caryopsis and its Composition. Houston D F (ed). Rice Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemistry. Minnesota. 16-74. Kadirantau D M E. 2000. Kajian Isothermisorpsi Air (ISA) dan Stabilitas Tepung Ketan Selama Penyimpanan. Skripsi. IPB. Bogor. 8-9. Kamath V G, Arun C, Rajini P S. 2004. Antiradical Properties of Sorghum (Sorghum bicolor L. Moench) Flour Extracts. J. Cereal Science. 40 (1); 283-288. Kartika B. 1989. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. Kresno S B. 1991. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. UI Press. Jakarta. Kuby J. 1992. Immunology. W H Freeman and Company. New York. Lee S M, Pan B S. 2003. Effects of Dietary Sorghum Distillery Residue on Hematological Characteristics of Cultured Grey Mullet (Mugil cephalus) an Animal Model for Prescreening Antioxidant and Blood Thinning Activities. J. Food Biochemistry. 27 (1): 1-18. Lee Y, Yoon J. 2005. Oxidation of Phenolic Contaminants during Water Treatment with Ferrate (Fe4): A Kinetic Study. J. Applied Chemistry. 9(1): 205-208. Li G H, Qu M R, Wan J Z, You J M. 2007. Antihypertensive Effect of Rice Protein Hydrolysate with in vitro Angiotensin I-converting Enzyme Inhibitory Activity in Spontaneously Hypertensive Rats. J. Clinical Nutrition. 16 (1):275-280. Li J, Li D F, Xing J J, Cheng Z B, Lai C H. 2006. Effects of ß-glucan Extracted from Saccharomyces cerevisiae on Growth Performance, and Immunological and Somatotropic Responses of Pigs Challenged with Escherichia coli Lipopolysaccharide. J. Animal Science. 84 (1):23742381. Lizardo R, Peiniau J, Aumaitre A. 1995. Effect of Sorghum on Performance, Digestability of Dietary-Components and Activities of Pankreatic and Intestinal Enzymes in The Weaned Piglet. J. Animal Feed Science and Technology. 56 (1): 67-82. Mao T K, Powel J J, De Water J V, Keen C L, Schmitz, Gerswin M E. 2000. 83
Effect of Cocoa Procyanidin on the Secretion of Interleukin-4 in Peripheral Blood Mononuclear Cells. J. Food Medicine 2 (3) : 107 – 114. Malole M B M. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. IPB. Bogor. Meydani S N, Dayang S S, Michelle S S, Michael G H. 1995. Antioxidant and Response in Aged Person: Overview of Present Evidence. J. Clinical Nutrition 62 (6): 1462 – 1476. Middleton E, Kandaswarni C. 1993. Plant Flavonoid Modulation of Immune and Inflammatory Cell Functions. Plenum Press. New York. Misnawi, Selamat J, Jamilah B, Nazamid S. 2003. Effects of Incubation and Polyphenol Oxidase Enrichment on Colour, Fermentation Index, Procyanidins and Astringency of Unfermented and Partly Fermented Cocoa Beans. J Food Science and Technology. 38 (3):285-295. Moskaug J, Carlsen H, Myhrstad M C W, Blomhoff R. 2005. Polyphenols and Glutathione Synthesis Regulation. J Clinical Nutrition. 81 (1): 277-283. Mudjisihono R. 1990. Struktur dan Karakter Biji Sorgum serta Pemanfaatannya untuk Bahan Makanan. Reflektor Balai Pasca Panen Bogor. 3 (2): 11-19. Mudjisihono R, Sutrisno S J, Munarso. 1991. Kajian Komparasi Mesin Penyosoh Biji Sorgum. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Malang. Muriu J I, Njoka-Njiru E N, Tuitoek J K, Nanua J N. 2002. Evaluation of Sorghum (Sorghum bicolor) as Replacement for Maize in The Diet of Growing Rabbits (Oryctolagus cuniculus). Asian-Australian Journal of Animal Science. 15 (1): 565-569. Myhrstad M C, Carlsen H, Nordstrom O, Blomhoff R, Moskaug J O. 2002. Flavonoids Increase the Intracellular Glutathione Level by Transactivation of the γ-Glutamylcysteine synthetase Catalytical Subunit Promoter. J Free Radical Biology Medicine. 32 (5): 386 – 393. Nakajima J I, Tanaka Y, Yamazaki M, Saito K. 2001. Reaction Mechanism from Leucoanthocyanidin to Anthocyanidin 3-Glucoside, a Key Reaction for Coloring in Anthocyanin Biosynthesis. J. Biology Chemistry. 276 (28): 25797-25803. Niba L L, Hoffman J. 2003. Resistant Starch and β-glucan levels in grain sorghum (Sorghum bicolor M.) are influenced by soaking and autoclaving. J Food Chemistry. 81 (1): 113-118.
84
Novak M, Vetvicka V. 2008. β-Glucans, History and the Present: Immunomodulatory Aspects and Mechanisms of Action. J. Immunotoxicology. 5 (1): 47-57. Nurmala, Tati. 1997. Serealia. Rineka Cipta. Jakarta. Olivieri J, Hauser C. 1997. Anaphylaxis to Millet. Wiley Interscience Article. www.interscience.wiley.com. Diakses 1 Oktober 2008. Paraskevas F, Foerster J. 1999. The Lymphatic System. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. Parslow T G, Bainton D F. 1997. Innate Immunity. Stites D P, Terr A I, Parslow T G (ed). Medical Immunology. Prentice Hall-International. California. 25-42. Pokorny J, Yanishlieva N, Gordon M. 2008. Antioxidants in Food : Practical Application. Woodhead Publishing Limited. London. Pratt D E, Watts B M. 1995. The Antioxidant Activity of Vegetable Extract. J. Food Science. 29 (1): 27-33. Ragaee S, El-Sayed M, Maher N. 2006. Antioxidant Activity and Nutrient Composition of Selected Cereals for Food Use. J. Food Chemistry. 98 (1): 32-38. Ramesh H P, Tharanathan R N. 2000. Non-Cellulosic Mixed Linkage Beta-DGlucan in Sorghum, Sorghum bicolor L. Moench-Localization and Biological Activities Studies. J. Indian Experience Biology. 38 (2): 155159 Rao D S S, Deosthale Y G. 1983. Mineral Composition, Ionizable Iron and Soluble Zinc in Malted Grains of Pearl Millet and Ragi. J. Food Chemistry 11 (3): 217-223. Resureccion A V. 1998. Consumer Sensory Testing for Product Development. Aspen Publishers Inc. Maryland. Riedl K M, Hagerman A E. 2001. Tannin-Protein Complexes as Radical Scavengers and Radical Sinks. J. Agricultural and Food Chemistry. 37 (1): 4917-4923. Rios L Y, Bennett R N, Lazarus S A, Remesy C, Scalbert A, Williamson G. 2002. Cocoa Procyanidins are Stable During Gastric Transit in Humans. American Journal of Clinical Nutrition. 76 (1): 1106-1110. Rizzi R, Re F, Bianchi A, Feo V D, Simone F D, Bianchi L, Stivala L A. 1993. Mutagenic and Antimutagenic Activities of Uncaria tomentosa and It’s Extracts. J. Ethnopharmacology. 38 (1): 63-77.
85
Roitt I M. 1991. Essential Immunology. Blackwell Scentific Publications. Melbourne. Reinsburg V. 1981. Epidemiological and Dietary Evidence for a Specific Nutritional Predisposition to Esophageal Cancer. J. National Cancer Institute. 67 (1): 243-251. Roubroeks J P, Andersson R, Mastromauro D I, Christensen B E, Aman P. 2001. Molecular Weight, Structure and Shape of Oat (1→3), (1→4)-b-Dglucan Fractions Obtained by Enzymatic Degradation with (1→4)-bD-glucan 4-glucanohydrolase from Trichoderma reesei. J. Carbohydrate Polymers. 46 (3) 275-285. Rooney T K, Rooney L W, Lupton J R. 1992. Physiological Characteristics of Sorghum and Millet Brans in The Rat Model. J. Cereal Foods World. 37 (1): 782-786. Rooney L W, Khan M N, Earp C F. 1980. The Technology of Sorghum Products. Academic Pres. New York. Rooney L W, Serna S. 2000. Handbook of Cereal Science and Technology. Marcel Dekker. New York. 149–175. Rosse N R, Demacario E C, Fahey J L, Friedman H dan Penn G M. 1994. Manual Clinical Laboratory Immunology. American Society for Microbiology. Washington. Ryu S N, Park S Z, Ho C T. 1998. High Performance Liquid Chromatographic Determination of Anthocyanin Pigments in Some Varieties of Black Rice. J. Food and Drug Analysis. 6 (4): 729-736. Sandberg S A. 2002. Bioavailability of Minerals in Legumes. J. Nutrition. 88 (3): 281–285. Sartelet H, Serghat S, Lobstein A, Ingenbleek Y, Anthony R, Petitfrere E, Eguie A G, Martiny L, Haye B. 1996. Flavonoids Extracted from Fonio Millet (Digitaria exilis) Reveal Potent Antithyroid Properties. J. Nutrition. 12 (1): 100-106. Scalbert A, Johnson T I, Saltmarsh M. 2005a. Polyphenol : Antioxidant and Beyond. J. Clinical Nutrition. 81 (1): 215 – 229. Scalbert A, Manach C, Morand C, Remesy C. 2005b. Dietary Polyphenols and the Prevention of Diseases. J. Food Science and Nutrition 45 (10): 287– 306. Singh R P, Chidambara K N, Jayaprakasha G K. 2002. Studies on the Antioxidant Activity of Pomegranate (Punica Granatum) Peel and Seed Extract Using in Vitro Models. J. Agricultural Food Chemistry. 50 (17): 4791-4795.
86
Stone B A, Clarke A E. 1992. Fungal, Yeast and Lichen (1,3) -Glucans. La Trobe University Press. Victoria. Suarni. 2004a. Pemanfaatan Tepung Sorgum untuk Produk Olahan. J. Litbang Pertanian. 23 (4): 145-150. Suarni, 2004b. Evaluasi Sifat Fisik dan Kandungan Kimia Biji Sorgum Setelah Penyosohan. J. Stigma. 12 (1): 88-91. Suarni, Patong R. 2002. Komposisi Kimia Tepung Sorgum Sebagai Bahan Substitusi Terigu. J. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 21(1): 43-47. Suarni, Singgih S. 2002. Karakteristik Sifat Fisik dan Komposisi Kimia Beberapa Varietas/Galur Biji Sorgum. J. Stigma 10 (2): 127-130. Subeki. 1998. Pengaruh Cara Pemasakan terhadap Kandungan Antioksidan Beberapa Macam Sayuran serta Daya Serap dan Retensinya pada Tikus Percobaan. Thesis. IPB. Bogor. Sudaryono, Yayuk A B, Atang S. 2001. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agro-Industri. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Malang. Suherman O, Zairin M, Awaluddin. 2006. Keberadaan dan Pemanfaatan Plasma Nutfah Jewawut di Kawasan Lahan Kering Pulau Lombok. Laporan Tahunan Pusat Penelitian Serealia Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. Suprapto, Mudjisihono R. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Penebar Swadaya. Jakarta. Sutrisno, Mudjisihono R, Munarso S J. 1996. Kajian Komparasi Penyosohan Biji Sorgum. (Ed) Sudaryono, Atang S. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agro-Industri No. 4. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Sukamandi. 273-277. Tang C. 1991. Phenolic Compounds in Food. American Chemical Society. Washington DC. Tahir I, Karna W, Dinni W. 2003. Terapan Analisis Hansch untuk Aktivitas Antioksidan Senyawa Turunan Flavon/Flavonol. Makalah Seminar Khemometri 25 Januari 2003. UGM. Yogyakarta. Tejasari. 2000. Efek Poteksi Komponen Bioaktif Oleoresin Rimpang Jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap Fungsi Limfosit Secara In Vitro. Disertasi. IPB. Bogor.
87
Tizard. 1988. Immunology Veteriner. CRC Press. London. Turner N D, Diaz A, Taddeo S S, Vanamala J, McDonough C M, Dykes L, Murphy M E, Caroll R J, Rooney L W. 2006. Bran from Black or Brown Sorghum Supresses Colon Carsinogenesis. J. Science of Food and Agriculture. 20 (1): 599-610. Vaya J, Aviram M. 2001. Nutritional Antioxidants Mechanisms of Action, Analyses of Activities and Medical Applications. Bisgaier C (ed). Current Medicinal Chemistry, Immunology, Endocrine & Metabolic Agents. Bentham Science Publishers. 99-117. Vetvicka V, Vetvickova J. 2005. Immunostimulating Properties of Two Different β-Glucans Isolated from Maitake Mushrooms (Grifola frondosa). J. American Nutraceutical Associations. 8 (3): 33-39. Vetvicka V, Vetvickova J. 2007. An Evaluation of the Immunological Activities of Commercially Available β-1, 3-glucans. J. Immunotoxicology. 10 (1): 25-31. Viraktamath C S, Raghavendra G, Desikachar H S R. 1991. Use of Rice Milling for Commercial Pearling of Grain Sorghum Products. J. Food Science and Technology. 8 (1): 11-13. Viswanath V, Asna U, Malesshi N G. 2009. Evaluation of Antioxidant and Antimicrobial Properties of Finger Millet Polyphenols (Eleusine coracana). J. Food Chemistry. 114 (1): 340-346. Waniska R D, Poe J H, Bandyopadhyay R. 1989. Effect of Growth Condition on Grain Molding and Phenols in Sorghum Caryopsis. J. Cereal Science. 10 (1) 217-225. Watanabe M. 1999. Antioxidative Phenolic Compounds From Japanese Barnyard Millet (Echinochloa utilis) Grains. J. Agricultural and Food Chemistry. 47 (1): 4500-4505. Widyaningsih S, Mutholib A. 1999. Pakan Burung. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Winarno F G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta. Watzl B, Bub A, Brandstatter B R, Rechkemmer G. 1999. Modulation of Human T-lymhocyte Functions by The Consumption of Carotenoid-rich Vegetables. J. Nutrition. 82 (1): 383–389. Waterman P G, Mole S. 1994. Analysis of Plant Metabolites. Alden Press. California.
88
Widyawati P S. 2002. Peranan Senyawa Bioaktif Flavonoid sebagai Antioksidan dalam Sistem Biologi. J. Teknologi Pangan dan Gizi. 3(1):12-17. Wu X, Prior R L. 2005. Identification and Characterization of Anthocyanins by High-performance Liquid Chromatography-electro-spray Ionization-tandem Mass Spectrometry in Common Foods in The United States: Vegetables, Nuts and Grains. J. Agricultural and Food Chemistry. 53 (1): 3101-3113. Xin Z, Song K B, Kim M R. 2004. Antioxidant Activity of Salad Vegetables Grown in Korea. J. Food Science Nutrition. 9 (4):289-294. Zakaria F R, Irwan B, Pramudya S M, Sanjaya. 2000. Intervensi Sayur dan Buah Pembawa Vitamin C dan Vitamin E meningkatkan Sistem Imun Populasi Buruh Pabrik di Bogor. Buletin Teknologi Dan Industri Pangan. 11(2): 21-27.
89
Lampiran 1. Kurva Standar Analisa Fenol Total Absorbansi 0 0.104 0.202 0.418 0.833 1.762
Absorbansi
Konsentrasi Asam Tanat (mg/ml) 0 6.25 12.5 25 50 100
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 -0.2 0
y = 0.017x - 0.015 R² = 0.999
20
40
60
80
100
Konsentrasi Asam Tanat (mg/ml) Contoh perhitungan fenol total pada ekstrak aseton sorgum waktu sosoh 20 detik : Fenol total setara konsentrasi asam tanat (mg/ml) Absorbansi (y) : 0.184 Persamaan kurva standar : y = 0.017 x - 0.015 Konsentrasi asam tanat mg/ml (x) : 11.706 mg/ml Jumlah fenol total setara asam tanat per 0.5 ml (A) : 5.85 mg Berat sampel (biji) yang digunakan Konsentrasi ekstrak Rendemen ekstrak Berat sampel yang digunakan per ml ekstrak Berat sampel yang digunakan per 0.5 ml ekstrak (B)
: 200 mg/ml : 2.89% : 6920.42 mg = 6.92 g : 3.46 g
Fenol total (mg TAE/g biji) Jumlah fenol total setara asam tanat per 0.5 ml (A) Berat sampel yang digunakan per 0.5 ml ekstrak (B) Faktor pengencer (FP) Fenol total (mg TAE/g biji)
: 5.85 mg : 3.46 g :2 : 3.38 mg TAE/g biji 90
Lampiran 2. Kurva Standar Analisa Aktivitas Antioksidan
Aktivitas Antioksidan
Konsentrasi Vitamin C (mg/ml) 0.00 6.25 12.50 25.00 50.00 100.00 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0.000 0.00
Absorbansi
Kontrol-Absorbansi
0.413 0.256 0.158 0.119 0.068 0.037
0.000 0.157 0.255 0.294 0.345 0.376
Aktivitas Antioksidan 0.000 0.613 1.614 2.471 5.074 10.162
y = 0.100x + 0.067 R² = 0.998
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
Konsentrasi Vitamin C (mg/ml) Contoh perhitungan aktivitas antioksidan sosoh 20 detik : Aktivitas antioksidan Absorbansi kontrol Absorbansi sampel Aktivitas antioksidan (y)
pada ekstrak aseton sorgum waktu
: 0.413 : 0.284 : 0.312
Konsentrasi vitamin C yang aktivitas antioksidannya setara dengan (y) Aktivitas antioksidan (y) : 0.312 Persamaan kurva standar : y = 0.100 x + 0.067 Konsentrasi vitamin C mg/ml (x) : 2.45 mg/ml Jumlah vitamin C per 0.045 ml (A) : 0.11 mg Berat sampel (biji) yang digunakan Konsentrasi ekstrak Rendemen ekstrak Berat sampel yang digunakan per ml ekstrak Berat sampel yang digunakan per 0.045 ml ekstrak (B)
: 200 mg/ml : 2.89% : 6920.42 mg = 6.92 g : 0.31 g
Aktivitas antioksidan (mg vitamin C eq/g biji) Jumlah vitamin C per 0.045 ml (A) Berat sampel yang digunakan per 0.045 ml ekstrak (B) Faktor pengencer Aktivitas antioksidan (mg vitamin C eq/g biji)
: 0.11 mg : 0.31 g : 20 : 7.09 mg vit C/g biji 91
Lampiran 3. Kuesioner uji organoleptik Uji Organoleptik Sampel
: Bubur Sorgum + Oatmeal
Nama
:
Kriteria
: Keseluruhan (rasa, warna, aroma, tekstur)
Tanggal :
Di hadapan anda terdapat sembilan sampel bubur. Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap tingkat kesukaan Anda terhadap keseluruhan (warna, rasa, aroma, tekstur) sampel ini. Instruksi : 1. Tuliskan kode setiap sampel (dari kiri ke kanan). 2. Cicipilah sampel secara berurutan dari kiri ke kanan dengan tidak membandingkan tingkat kesukaan antar sampel. 3. Ciciplah sampel yang paling kiri terlebih dahulu. Lalu berikan penilaian dengan menarik garis vertikal di antara garis horisontal yang berisi keterangan tidak suka dan sangat suka. Kode sampel:
Tidak suka
Sangat suka
Kode sampel:
Tidak suka
Sangat suka
Kode sampel:
Tidak suka
Sangat suka
Komentar: .................................................................................................................................... ................................................................................... .................................................................................................................................... ...................................................................................
92
Uji Organoleptik Sampel
: Bubur Jewawut + Oatmeal
Nama
:
Kriteria
: Keseluruhan (rasa, warna, aroma, tekstur)
Tanggal :
Di hadapan anda terdapat sembilan sampel bubur. Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap tingkat kesukaan Anda terhadap keseluruhan (warna, rasa, aroma, tekstur) sampel ini. Instruksi : 1. Tuliskan kode setiap sampel (dari kiri ke kanan). 2. Cicipilah sampel secara berurutan dari kiri ke kanan dengan tidak membandingkan tingkat kesukaan antar sampel. 3. Ciciplah sampel yang paling kiri terlebih dahulu. Lalu berikan penilaian dengan menarik garis vertikal di antara garis horisontal yang berisi keterangan tidak suka dan sangat suka. Kode sampel:
Tidak suka
Sangat suka
Kode sampel:
Tidak suka
Sangat suka
Kode sampel:
Tidak suka
Sangat suka
Komentar: .................................................................................................................................... ................................................................................... .................................................................................................................................... ...................................................................................
93
Uji Organoleptik Sampel
: Bubur Ketan Hitam + Oatmeal
Nama
:
Kriteria
: Keseluruhan (rasa, warna, aroma, tekstur)
Tanggal :
Di hadapan anda terdapat sembilan sampel bubur. Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap tingkat kesukaan Anda terhadap keseluruhan (warna, rasa, aroma, tekstur) sampel ini. Instruksi : 1. Tuliskan kode setiap sampel (dari kiri ke kanan). 2. Cicipilah sampel secara berurutan dari kiri ke kanan dengan tidak membandingkan tingkat kesukaan antar sampel. 3. Ciciplah sampel yang paling kiri terlebih dahulu. Lalu berikan penilaian dengan menarik garis vertikal di antara garis horisontal yang berisi keterangan tidak suka dan sangat suka. Kode sampel:
Tidak suka
Sangat suka
Kode sampel:
Tidak suka
Sangat suka
Kode sampel:
Tidak suka
Sangat suka
Komentar: .................................................................................................................................... ................................................................................... .................................................................................................................................... ...................................................................................
94
Lampiran 4. Lembar Kerja Uji Organoleptik
LEMBAR KERJA UJI ORGANOLEPTIK Tanggal pengujian Jenis sampel
: ............................................ : Bubur Sorgum + Oatmeal
Identifikasi Sampel Bubur sorgum sosoh 20 detik, waktu masak 40 menit, perbandingan air 1: 10 Bubur sorgum sosoh 20 detik, waktu masak 40 menit, perbandingan air 1: 11 Bubur sorgum sosoh 20 detik, waktu masak 45 menit, perbandingan air 1: 10 Bubur sorgum sosoh 20 detik, waktu masak 45 menit, perbandingan air 1: 11 Bubur sorgum sosoh 100 detik, waktu masak 40 menit, perbandingan air 1: 10 Bubur sorgum sosoh 100 detik, waktu masak 40 menit, perbandingan air 1: 11 Bubur sorgum sosoh 100 detik, waktu masak 45 menit, perbandingan air 1: 10 Bubur sorgum sosoh 100 detik, waktu masak 45 menit, perbandingan air 1: 11 Bubur oatmeal
Penyajian: Booth I
Booth II
Kode A B C D E F G H I
Panelis 1, 11
Sampel A 459 B 123 C 476 D 946 E 821 F 321 G 745 H 534 I 474
Booth VI
Panelis 6, 16
Sampel A 519 B 334 C 732 D 654 E 333 F 876 G 753 H 427 I 474
Panelis 2, 12
Sampel A 314 B 563 C 388 D 245 H 954 G 537 F 829 E 113 I 474
Booth VII
Panelis 7, 17
Sampel A 434 B 541 C 481 D 662 H 489 G 824 F 967 E 172 I 474
95
Booth III
Panelis 3, 13
Sampel H 415 G 218 F 641 E 755 D 421 C 878 B 593 A 636 I 474
Booth VIII
Panelis 8, 18
Sampel H 349 G 973 F 752 E 395 D 524 C 881 B 469 A 647 I 474
Booth IV
Panelis 4, 14
Sampel E 321 F 367 G 216 H 138 D 135 C 339 B 143 A 165 I 474
Booth IX
Panelis 9, 19
Sampel E 319 F 447 G 513 H 222 D 655 C 532 B 862 A 797 I 474
Booth V
Panelis 5, 15
Sampel A 415 B 264 E 495 F 798 C 662 D 787 G 112 H 487 I 474
Booth X
Panelis 10, 20
Sampel A 551 B 311 E 721 F 861 C 658 D 272 G 919 H 526 I 474
96
LEMBAR KERJA UJI ORGANOLEPTIK Tanggal pengujian Jenis sampel
: ............................................ : Bubur Jewawut + oatmeal
Identifikasi Sampel Bubur Jewawut sosoh 100 detik, waktu masak 20 menit, perbandingan air 1: 7 Bubur Jewawut sosoh 100 detik, waktu masak 20 menit, perbandingan air 1: 8 Bubur Jewawut sosoh 100 detik, waktu masak 25 menit, perbandingan air 1: 7 Bubur Jewawut sosoh 100 detik, waktu masak 25 menit, perbandingan air 1: 8 Bubur Jewawut sosoh 300 detik, waktu masak 20 menit, perbandingan air 1: 7 Bubur Jewawut sosoh 300 detik, waktu masak 20 menit, perbandingan air 1: 8 Bubur Jewawut sosoh 300 detik, waktu masak 25 menit, perbandingan air 1: 7 Bubur Jewawut sosoh 300 detik, waktu masak 25 menit, perbandingan air 1: 8 Bubur oatmeal
Penyajian: Booth I
Booth II
Kode A B C D E F G H I
Panelis 1, 11
Sampel A 519 B 334 C 732 D 654 E 333 F 876 G 753 H 427 I 474
Booth VI
Panelis 6, 16
Sampel A 459 B 123 C 476 D 946 E 821 F 321 G 745 H 534 I 474
Panelis 2, 12
Sampel A 434 B 541 C 481 D 662 H 489 G 824 F 967 E 172 I 474
Booth VII
Panelis 7, 17
Sampel A 314 B 563 C 388 D 245 H 954 G 537 F 829 E 113 I 474
97
Booth III
Panelis 3, 13
Sampel H 349 G 973 F 752 E 395 D 524 C 881 B 469 A 647 I 474
Booth VIII
Panelis 8, 18
Sampel H 415 G 218 F 641 E 755 D 421 C 878 B 593 A 636 I 474
Booth IV
Panelis 4, 14
Sampel E 319 F 447 G 513 H 222 D 655 C 532 B 862 A 797 I 474
Booth IX
Panelis 9, 19
Sampel E 321 F 367 G 216 H 138 D 135 C 339 B 143 A 165 I 474
Booth V
Panelis 5, 15
Sampel A 551 B 311 E 721 F 861 C 658 D 272 G 919 H 526 I 474
Booth X
Panelis 10, 20
Sampel A 415 B 264 E 495 F 798 C 662 D 787 G 112 H 487 I 474
98
LEMBAR KERJA UJI ORGANOLEPTIK Tanggal pengujian Jenis sampel
: .................................................. : Bubur Ketan Hitam + oatmeal
Identifikasi Sampel Bubur Ketan Hitam sosoh 5 detik, waktu masak 25 menit, perbandingan air 1: 7 Bubur Ketan Hitam sosoh 5 detik, waktu masak 25 menit, perbandingan air 1: 8 Bubur Ketan Hitam sosoh 5 detik, waktu masak 30 menit, perbandingan air 1: 7 Bubur Ketan Hitam sosoh 5 detik, waktu masak 30 menit, perbandingan air 1: 8 Bubur Ketan Hitam sosoh 15 detik, waktu masak 25 menit, perbandingan air 1: 7 Bubur Ketan Hitam sosoh 15 detik, waktu masak 25 menit, perbandingan air 1: 8 Bubur Ketan Hitam sosoh 15 detik, waktu masak 30 menit, perbandingan air 1: 7 Bubur Ketan Hitam sosoh 15 detik, waktu masak 30 menit, perbandingan air 1: 8 Bubur oatmeal
Penyajian: Booth I
Booth II
Panelis 1, 11
Sampel A 314 B 563 C 388 D 245 H 954 G 537 F 829 E 113 I 474
Booth VI
Panelis 6, 16
Sampel A 434 B 541 C 481 D 662 H 489 G 824 F 967 E 172 I 474
Panelis 2, 12
Sampel A 459 B 123 C 476 D 946 E 821 F 321 G 745 H 534 I 474
Booth VII
Panelis 7, 17
Sampel A 519 B 334 C 732 D 654 E 333 F 876 G 753 H 427 I 474
99
Kode A B C D E F G H I
Booth III
Panelis 3, 13
Sampel A 415 B 264 E 495 F 798 C 662 D 787 G 112 H 487 I 474
Booth VIII
Panelis 8, 18
Sampel A 551 B 311 E 721 F 861 C 658 D 272 G 919 H 526 I 474
Booth IV
Panelis 4, 14
Sampel E 319 F 447 G 513 H 222 D 655 C 532 B 862 A 797 I 474
Booth IX
Panelis 9, 19
Sampel E 321 F 367 G 216 H 138 D 135 C 339 B 143 A 165 I 474
Booth V
Panelis 5, 15
Sampel H 415 G 218 F 641 E 755 D 421 C 878 B 593 A 636 I 474
Booth X
Panelis 10, 20
Sampel H 349 G 973 F 752 E 395 D 524 C 881 B 469 A 647 I 474
100
Lampiran 5. Komposisi media RPMI-1640 Komponen Asam Amino Arginin Asparagin Asam Aspartat Sistin Asam Glutamat Glutamin Glisin Histidin Hidroksiprolin Isoleusin Leusin Lisin HCL Metionin Phenilalanin Prolin Serin Threonin Tryptophan Tyrosin Valin
Konsentrasi (mg/l) 700 50 20 50 20 300 10 15 20 50 50 40 15 15 20 30 20 5 20 20
Komponen Vitamin Biotin D-Ca Pantothenat Kolin Klorida Asam Folat I-Inositol Nikotinamide Riboflavin Thiamin HCL Vitamin B12 Piridoksin HCL Asam P-aminobenzoat Garam Anorganik KCL MgSO4.7H2O NaCl NaHCO3 Na2HPO4 dan H2O
Konsentrasi (mg/l) 0,2 0,25 3 1 35 1 0,2 1 0,005 1 1
400 100 6000 2200 1512
101
Lampiran 6. Gambar peta sumur pada microplate 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
A B C D E F G H Keterangan : Lambang
Kode peta
Sampel
A1, B1, C1
Ketan hitam ekstrak aseton
D2, E2, F2
Ketan hitam ekstrak air
A3, B3, C3
Sorgum ekstrak aseton
D4, E4, F4
Sorgum ekstrak air
A5, B5, C5
Jewawut ekstrak aseton
D6, E6, F6
Jewawut ekstrak air
A9, B9, C9
Pokeweed (PKW)
D10, E10, F10
RPMI
A 11, B11, C11
Lipopolisakarida (LPS)
102
Lampiran 7. Data hasil analisis fenol total dan uji statistik Sorgum Waktu sosoh 0
20
60
100
Absorbansi 0.324 0.299 0.313 0.184 0.188 0.179 0.124 0.133 0.116 0.118 0.126 0.113
Source Model Error Corrected Total
DF 3 8 11
Tukey Grouping A B C C
Total fenol (mg TAE/g biji) 6.54 6.06 6.33 3.38 3.45 3.30 2.26 2.40 2.13 2.11 2.24 2.03 Sum of Squares 33.976 0.186 34.162
Mean 6.31 3.38 2.26 2.13
N 3 3 3 3
Fenol Total Rata2 (mg TAE/g biji)
SD
Notasi
6.31
0.24
A
3.38
0.08
B
2.26
0.14
C
2.13
0.10
C
Mean Square 11.325 0.02325
F Value 467.11
Pr > F <.0001
treat 0 20 60 100
Fenol Jewawut Waktu Absorbansi sosoh 0.255 0 0.252 0.242 0.212 100 0.207 0.203 0.098 200 0.105 0.091 0.107 300 0.115 0.128
Fenol Total (mg TAE/g biji) 5.23 5.17 4.97 3.58 3.50 3.44 1.78 1.89 1.67 1.44 1.54 1.69
Fenol Total Rata2 (mg TAE/g biji)
SD
Notasi
5.12
0.13
A
3.51
0.07
B
1.78
0.11
C
1.56
0.13
C
103
Source Model Error Corrected Total
DF 3 8 11
Sum of Squares 25.0098 0.1028 25.126
Tukey Grouping A B C C
Mean 5.12 3.51 1.78 1.56
N 3 3 3 3
Mean Square 8.3366 0.01285
F Value 648.76
Pr > F <.0001
treat 0 100 200 300
Fenol Ketan Waktu sosoh 0
5
15
25
Absorbansi 0.848 0.881 0.888 0.728 0.711 0.738 0.739 0.694 0.723 0.712 0.729 0.702
Source Model Error Corrected Total Tukey Grouping A B C B C
DF 3 8 11
Fenol Total (mg TAE/g biji) 19.90 20.66 20.82 16.17 15.80 16.39 15.83 14.89 15.50 14.58 14.92 14.38 Sum of Squares 61.31 1.265 62.575
Mean 20.46 16.12 15.41 14.63
N 3 3 3 3
Fenol Total Rata2 (mg TAE/g biji)
SD
Notasi
20.46
0.49
A
16.12
0.30
B
15.41
0.48
BC
14.63
0.27
C
Mean Square 20.437 0.158
F Value 129.25
Pr > F <.0001
treat 0 5 15 25
104
Lampiran 8. Data hasil analisis aktivitas antioksidan dan uji statistik Antioksidan Sorgum Waktu sosoh 0
20
60
100 Kontrol
Absorbansi
Aktivitas Antioksidan
Aktivitas Antioksidan (mg vitamin C eq/gbiji)
0.216
0.477
17.06
0.228
0.448
15.85
0.222
0.462
16.45
0.284
0.312
7.09
0.296
0.283
6.25
0.281
0.320
7.30
0.316
0.235
4.21
0.311
0.247
4.52
0.319
0.228
4.03
0.327
0.208
3.43
0.320
0.225
3.84
0.315
0.237
4.14
Aktivitas Antioksidan Rata2 (mg vitamin C/g biji)
SD
Notasi
16.45
0.60
A
6.88
0.56
B
4.25
0.25
C
3.80
0.35
C
0.413
Source Model Error Corrected Total Tukey Grouping A B C C
DF 3 8 11
Sum of Squares 312.809 1.7264 314.5356 Mean 16.45 6.88 4.25 3.80
N 3 3 3 3
Mean Square 104.2697 0.2158
F Value 483.18
Pr > F <.0001
treat 0 20 60 100
Antioksidan Jewawut Waktu sosoh 0
100
200
300 Kontrol
Aktivitas Antioksidan (mg vitamin C eq/gbiji) 11.99
Aktivitas Antioksidan Rata2 (mg vitamin C eq/g biji)
SD
Notasi
0.259
Aktivitas Antioksidan 0.372
0.256
0.379
12.27
12.27
0.29
A
0.253
0.387
12.56
0.306
0.259
5.15
0.294
0.288
5.93
5.34
0.52
B
0.309
0.252
4.95
0.305
0.262
4.71
0.310
0.249
4.41
4.73
0.32
BC
0.299
0.276
5.06
0.317
0.232
3.82
0.310
0.249
4.21
3.90
0.29
C
0.320
0.225
3.65
Absor bansi
0.413
105
Source Model Error Corrected Total
DF 3 8 11
Tukey Grouping A B C B C
Sum of Squares 133.784 1.075 134.859 Mean 12.27 5.34 4.73 3.90
Mean Square 44.595 0.1344
N 3 3 3 3
F Value 331.79
Pr > F <.0001
treat 0 100 200 300
Antioksidan Ketan Waktu sosoh 0
20
60
100 Kontrol
Absor bansi
Aktivitas Antioksidan
Aktivitas Antioksidan (mg vitamin C eq/gbiji)
0.042
0.898
35.58
0.024
0.942
37.45
0.049
0.881
34.85
0.080
0.806
27.35
0.045
0.891
30.49
0.098
0.763
25.74
0.210
0.492
15.24
0.182
0.559
17.67
0.196
0.525
16.46
0.239
0.421
12.47
0.232
0.438
13.07
0.251
0.392
11.45
Aktivitas Antioksidan Rata2 (mg vitamin C eq/g biji)
SD
Notasi
35.96
1.34
A
27.86
2.41
B
16.46
1.22
C
12.33
0.82
D
0.413
Source Model Error Corrected Total
Tukey Grouping A B C D
DF 3 8 11
Sum of Squares 1044.4599 19.562 1064.022
Mean 35.96 27.86 16.46 12.33
N 3 3 3 3
Mean Square 348.153 2.445
F Value 142.38
Pr > F <.0001
treat 0 5 15 25
106
Lampiran 9. Data hasil analisis statistik uji organoleptik sorgum One-way ANOVA: Rasa Sorgum versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 17.10 2.14 0.35 0.946 Error 171 1053.68 6.16 Total 179 1070.78 S = 2.482 Perlakuan S1 S2 S4 S5 S6 S7 S8 S3 Oatmeal
R-Sq = 1.60%
R-Sq(adj) = 0.00%
Kesukaan Rasa 4.830 4.970 4.970 5.065 5.072 5.217 5.218 5.250 5.963
A A A A A A A A A
One-way ANOVA: Warna Sorgum versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 93.22 11.65 2.09 0.040 Error 171 955.26 5.59 Total 179 1048.48 S = 2.364 Perlakuan S1 S2 S5 S4 S7 S8 S6 S3 Oatmeal
R-Sq = 8.89%
R-Sq(adj) = 4.63%
Kesukaan Warna 5.495 5.650 5.930 5.970 6.855 6.988 7.132 7.327 7.440
A A A A A A A
B B B B B B
C C C C C C
107
One-way ANOVA: Aroma Sorgum versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 53.82 6.73 1.61 0.126 Error 171 715.93 4.19 Total 179 769.75 S = 2.046 Perlakuan S1 S2 S5 S6 S4 S3 S7 S8 Oatmeal
R-Sq = 6.99%
R-Sq(adj) = 2.64%
Kesukaan Aroma 5.240 5.298 5.498 5.735 5.803 5.905 6.197 6.205 7.130
B B B B
C C C C C C C C
A
One-way ANOVA: Tekstur Sorgum versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 51.74 6.47 1.17 0.318 Error 171 943.09 5.52 Total 179 994.83 S = 2.348 Perlakuan S1 S2 S4 S3 S7 S6 S5 S8 Oatmeal
R-Sq = 5.20%
R-Sq(adj) = 0.77%
Kesukaan Tekstur 4.537 4.688 4.725 4.830 5.218 5.412 5.585 5.598 6.282
A A A A A A
B B B B B B B B
108
Lampiran 10. Data hasil analisis statistik uji organoleptik jewawut One-way ANOVA: Rasa Jewawut versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 19.07 2.38 0.34 0.949 Error 171 1200.00 7.02 Total 179 1219.07 S = 2.649 Perlakuan J5 J4 J3 J2 J7 J7 J6 J1 Oatmeal
R-Sq = 1.56%
R-Sq(adj) = 0.00%
Kesukaan Rasa 5.725 5.865 6.095 6.123 6.215 6.343 6.455 6.643 6.783
A A A A A A A A A
One-way ANOVA: Warna Jewawut versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 88.38 11.05 1.78 0.084 Error 171 1061.22 6.21 Total 179 1149.60 S = 2.491 Perlakuan Oatmeal J4 J3 J2 J6 J8 J5 J6 J1
R-Sq = 7.69%
R-Sq(adj) = 3.37%
Kesukaan Warna 7.277 8.630 8.857 9.115 9.190 9.445 9.570 9.600 9.610
B A A A A A A A A
109
One-way ANOVA: Aroma Jewawut versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 44.32 5.54 1.04 0.408 Error 171 911.03 5.33 Total 179 955.35 S = 2.308 Perlakuan J2 J6 J1 J4 J3 J5 J7 J8 Oatmeal
R-Sq = 4.64%
R-Sq(adj) = 0.18%
Kesukaan Aroma 6.068 6.295 6.315 6.330 6.448 6.505 6.595 6.808 7.870
B B B B B B A B A B A
One-way ANOVA: Tekstur Jewawut versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 74.91 9.36 1.20 0.300 Error 171 1331.39 7.79 Total 179 1406.30 S = 2.790 Perlakuan J4 J3 J2 Oatmeal J1 J8 J5 J7 J6
R-Sq = 5.33%
R-Sq(adj) = 0.90%
Kesukaan Tekstur 5.298 5.775 6.475 6.492 6.635 7.040 7.098 7.243 7.298
A A A A A A A
C B C B C B C B B B
110
Lampiran 11. Data hasil analisis statistik uji organoleptik ketan hitam One-way ANOVA: Rasa Ketan Hitam versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 12.42 1.55 0.32 0.959 Error 171 838.71 4.90 Total 179 851.13 S = 2.215 Perlakuan K3 K4 K8 K6 K7 K5 K2 K1 Oatmeal
R-Sq = 1.46%
R-Sq(adj) = 0.00%
Kesukaan Rasa 4.015 4.235 4.280 4.325 4.395 4.410 4.415 4.805 4.915
A A A A A A A A A
One-way ANOVA: Warna Ketan Hitam versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 127.86 15.98 3.24 0.002 Error 171 844.50 4.94 Total 179 972.37 S = 2.222 Perlakuan K6 K5 K8 K7 K1 K2 K3 K4 Oatmeal
R-Sq = 13.15%
R-Sq(adj) = 9.09%
Kesukaan Warna 4.740 4.845 4.875 5.190 5.525 5.770 5.915 5.995 7.625
B B B B B B B B A
111
One-way ANOVA: Aroma Ketan Hitam versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 171.37 21.42 4.63 0.000 Error 171 790.91 4.63 Total 179 962.28 S = 2.151 Perlakuan K5 K7 K6 K8 K3 K4 K2 K1 Oatmeal
R-Sq = 17.81%
R-Sq(adj) = 13.96%
Kesukaan Aroma 4.360 4.465 4.555 4.735 4.945 4.950 5.405 5.470 7.740
B B B B B B B B A
One-way ANOVA: Tekstur Ketan Hitam versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 8 24.77 3.10 0.48 0.872 Error 171 1111.45 6.50 Total 179 1136.22 S = 2.549 Perlakuan K6 K7 K5 K8 K3 Oatmel K2 K4 K1
R-Sq = 2.18%
R-Sq(adj) = 0.00%
Kesukaan Tekstur 5.305 5.310 5.400 5.555 5.710 5.735 6.030 6.195 6.390
A A A A A A A A A
112
Lampiran 12. Data hasil analisis statistik uji proliferasi sel limfosit Absorbansi
Indeks stimulasi Jenis serealia
Pelarut Aseton
Rata2 Air
Rata2 Blanko
Rata2 LPS
Rata2 PWT
Rata2
Ketan Hitam 0.859 1.045 1.096 1.000 1.001 1.133 1.332 1.155 0.640 0.721 0.745 0.702 1.022 0.840 0.878 0.913 0.869 0.765 0.683 0.772
Source Sereal Pel Sereal*Pel
DF 5 3 6
Sorgum 0.925 0.992 0.944 0.954 3.777 3.759 3.711 3.749
Jenis serealia jewawut 0.933 0.898 0.944 0.925 1.109 3.016 1.381 1.835
Pelarut Aseton
Rata2 Air
Rata2 Blanko
Rata2 LPS
Rata2 PWT
Rata2
Type III SS 10.62 15.89 12.23
Mean Square 2.12 5.30 2.04
Tukey Grouping A B B
Mean 3.3495 1.9660 1.5352
N 6 6 6
Sereal S J K
Tukey Grouping A B
Mean 3.2001 1.3670
N 9 9
Pel A C
Ketan Hitam Sorgum 1.224 1.318 1.489 1.413 1.561 1.345 1.425 1.358 1.426 5.380 1.614 5.355 1.897 5.286 1.646 5.340 0.912 1.027 1.061 1.000 1.456 1.197 1.251 1.301 1.238 1.090 0.973 1.100
F Value 8.21 20.47 7.88
jewawut 1.329 1.279 1.345 1.318 1.580 4.296 1.967 2.614
Pr > F 0.0019 <.0001 0.0018
113
Tukey Grouping A B C B C B C B C B C B C C
Source JS Pel JS*Pel
DF 5 1 2
Mean 5.3403 2.6143 1.6457 1.4247 1.3587 1.3177 1.3013 1.1003 1.0000
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Type I 0.70565416 1.34086688 0.22315159
inter S_A J_A K_A K_C S_C J_C LPS_0 PKW_0 Kontrol_0
SS 0.14113083 1.34086688 0.11157580
F Value 2.56 24.33 2.02
Pr > F 0.0642 0.0001 0.1610
Pengaruh Jenis Serealia LSD Grouping A A B A B A B A B
Mean 1.5567 1.4611 1.3513 1.3337 1.2649 1.0000
N 6 3 3 6 6 3
JS Sorgum Kontrol LPS Kontrol Con A Jewawut Ketan Kontrol std
Pengaruh Pelarut LSD Grouping A B A B A C B C C
Mean 1.6580 1.4611 1.3513 1.1121 1.0000
N 9 3 3 9 3
Pel Air LPS ConA Aseton Kontrol std
Interaksi LSD Grouping A B C B C B D C B D C B D C B D C D D
Mean 1.9851 1.5502 1.4611 1.4387 1.3513 1.1282 1.1171 1.0911 1.0000
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Inter S_A J_A Kn+_LPS K_A Kn+_ConA S_C J_C K_C Knstd_(RPMI)
114