AKTIVITAS ANTIBAKTERI FUNGI ENDOFIT Thievalia polygonoperda, ISOLAT DARI TUMBUHAN AKAR KUNING (Fibraurea chloroleuca Miers) ANTIBACTERIAL ACTIVITY PRODUCED BY Thievalia polygonoperda, AN ENDOPHYTIC FUNGI FROM AKAR KUNING (Fibraurea chloroleuca, Miers) Widyati Prihatiningtias 1, S.M. Widyastuti2, Subagus Wahyuono3 Fakultas Farmasi UGM1, Fakultas Kehutanan UGM2, Fakultas Farmasi UGM3 INTISARI Thievalia polygonoperda merupakan fungi endofit yang diisolasi dari tumbuhan akar kuning dari Hutan Baka, Kalimantan Tengah. Tumbuhan akar kuning ini merupakan tumbuhan obat yang sudah digunakan secara tradisional oleh masyarakat sekitar Bukit Bakauntuk mengobati penyakit kuning dan penyakit mata. Seperti tumbuhan inangnya, T. polygonoperda juga mampu menghasilkan senyawa antibakteri yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Shigella dysentri dan Micrococcus luteus. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh senyawa bioaktif dari fungi endofit T. polygonoperda dan mengetahui aktivitas antibakterinya. Produksi senyawa antibakteri ini dapat diperbanyak melalui proses fermentasi. Pada akhir proses fermentasi, media fermentasi diekstrak dengan etil asetat untuk menghasilkan ekstrak etil asetat. Hasil uji bakteri dengan metode difusi menunjukkan bahwa pada konsentrasi ekstrak 100, 200, dan 300 µg/disk mampu menghambat pertumbuhan Micrococcus luteus dan Shigella dysentri. Hasil bioautografi menunjukkan bahwa senyawa aktif ekstrak etil asetat T. polygonoperda memiliki Rf. 0,35, identifikasi dengan pereaksi Serium (IV) sulfat, Vanilin-H2SO4, dan Lieberman Burchard mengarah pada golongan terpenoid. GC-MS menunjukkan bahwa kemurnian senyawa tersebut adalah 76%, memiliki berat molekul m/z 578. Kata kunci : Thievalia polygonoperda, endophytic fungi, antibakteri, akar kuning
ABSTRACT Thievalia polygonoperda is an endophytic fungi obtained from akar kuning plant. T. polygonoperda produces antibacterial compound. The antibacterial compounds, inhibited the growth of M. luteus and S. dysentri. This study was aimed to obtain bioactive compounds as antibacterial agent, produced by T. polygonoperda, an endophytic fungi from akar kuning plant, and study its antibacterial activity. To producing antibacterial compound in large scale, fermentation process was used. After the end of fermentation process, fermentation medium was extracted with ethyl acetat to obtained ethyl acetat extract. This extract was used for antibacterial assay by difussion methode. On the antibacterial assay results, ethyl acetat extract from fermentation medium of T. polygonoperda inhibited growth of Micrococcus luteus at concentration 50 µg/disk and Shigella dysentri at concentration 100 µg/disk. On the GC-MS result, demonstrated that the active compound appeared as a major peak (76%) having molecular weight at m/z 578 , and it was identified as a terpenoid compound based on TLC visualized by specific reagents. Key words : Thievalia polygonoperda, endophytic fungi, antibacterial agent, akar kuning plant
PENDAHULUAN Fungi endofit merupakan fungi yang hidup di dalam jaringan tumbuhan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tumbuhan inangnya. Fungi endofit mampu menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif misalnya senyawa antibakteri, antifungi, antivirus, antikanker, antimalaria dan sebagainya (Strobel, 2003). Sebagai contoh adalah fungi endofit Taxomyces andreanae yang mampu menghasilkan senyawa antikanker, yaitu taxol. Senyawa ini ternyata juga dihasilkan oleh tumbuhan inangnya yaitu Taxus brevifolia. Fungi endofit mampu menghasilkan senyawa yang sama dengan senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan inangnya, namun hal ini jarang terjadi. Senyawa yang dihasilkan fungi endofit umumnya berbeda dengan senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan inangnya (Strobel 2004). Fungi endofit menghasilkan berbagai senyawa yang memiliki aktivitas biologi, diantaranya alkaloid, terpenoid, fenolik, dan sebagainya (Tan, 2001). Fungi endofit yang tumbuh pada jaringan tumbuhan obat, juga dapat menghasilkan senyawa yang memiliki khasiat sama dengan tumbuhan inangnya, walaupun jenis senyawanya berbeda. Bahkan, senyawa yang dihasilkan fungi endofit seringkali memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan aktivitas senyawa dari tumbuhan inangnya (Prihatiningtias, 2005). Fungi T. polygonoperda merupakan fungi endofit yang diisolasi dari tumbuhan akar kuning. Akar kuning merupakan tumbuhan obat yang telah banyak digunakan secara tradisional oleh masyarakat sekitar bukit Baka, Kalimantan Tengah, untuk mengobati diare, sakit mata, dan penyakit kuning (Wahyuono et al., 2003). Akar kuning mampu menghasilkan senyawa antibakteri, sehingga fungi endofit dari tumbuhan ini juga memiliki aktivitas yang sama dengan senyawa dari tumbuhan inangnya (Prihatiningtias, 2005). T. polygonoperda mampu menghasilkan senyawa bioaktif sebagai antibakteri. Senyawa bioaktif ini mampu
dihasilkan dalam jumlah besar dengan proses fermentasi. Setelah fermentasi berakhir, media fermentasi diekstrak dengan etil asetat untuk menghasilkan ekstrak. Dari ekstrak yang mengandung senyawa bioaktif, digunakan untuk uji antibakteri. METODOLOGI Bahan Fungi endofit, bakteri uji (M. luteus dan S. dysentri), media fermentasi (sukrosa, 30 g/l, malt ekstrak 20 g/l, Bacto Pepton 2 g/l, yeast ekstrak 1 g/l, KCl 0,5g/l, MgSO4. 7H2O 1 g/l, KH2PO41 g/l, akuades 1000ml), etil asetat. Alat : Mikropipet, timbangan elektrik. Cara Penelitian 1.Fermentasi fungi endofit. Masing-masing spesies fungi endofit yang memiliki daya antimikroba difermentasi dengan shake culture, namun sebelum dilakukan proses fermentasi terlebih dahulu dibuat inokulum dari fungi endofit tersebut. Inokulum fungi endofit sebanyak 50 ml, diinokulasikan ke dalam 250 ml media M102b. Dalam media fermentasi fungi endofit ditambahkan infusa dari daun tumbuhan akar kuning sebanyak 2,5% ( v/v ). Infusa yang ditambahkan berasal dari 3 gram daun akar kuning per 100 ml akuades. Fermentasi dilakukan selama 18 hari pada suhu kamar. 2. Penentuan Profil Pertumbuhan Fungi endofit Selama proses fermentasi, miselia fungi dipanen setiap 24 jam untuk mendapatkan profil pertumbuhan fungi endofit. Profil pertumbuhan fungi endofit dibuat berdasarkan pertambahan berat sel kering miselia fungi. Setiap 24 jam, miselia fungi dari kultur fungi dalam media fermentasi dipanen sebanyak 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf, selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 6000 rpm pada suhu kamar selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang, sehingga yang tertinggal adalah miselia fungi, selanjutnya akuades ditambahkan ke dalam
eppendorf yang berisi miselia fungi, disentrifuse kembali selama 10 menit dengan kecepatan 6000 rpm pada suhu kamar, kemudian supernatan (akuades) kembali dibuang. Pencucian miselia fungi dengan akuades dilakukan dua kali ulangan. Selanjutnya, miselia fungi dioven semalam pada suhu 100 0C untuk memperoleh berat kering sel. Penambahan berat kering miselia selama proses fermentasi menunjukkan pertumbuhan fungi, sehingga dapat dibuat profil pertumbuhan fungi endofit. Penambahan berat kering diplotkan pada sumbu Y, sedangkan waktu fermentasi diplotkan pada sumbu X. Dari grafik tersebut dapat diperoleh profil pertumbuhan fungi. 3. Ekstraksi media fermentasi Setelah proses fermentasi berakhir, media fermentasi fungi dipisahkan dari miselia fungi dengan cara disaring menggunakan kertas saring. Media fermentasi tersebut diekstrak sebanyak tiga kali dengan etil asetat. Media fermentasi dan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian digojok perlahan selama kurang lebih 5 menit. Setelah digojok, campuran media fermentasi dan pelarut didiamkan beberapa saat untuk memisahkan bagian media dan pelarut yang telah tercampur selama proses penggojokan. Setelah dua bagian tersebut telah terpisah kembali, pelarut yang mengandung senyawa bioaktif terlarut dituang ke dalam cawan porselin, selanjutnya pelarut diuapkan untuk menghasilkan ekstrak. 4. Identifikasi senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh kultur fungi endofit a. Bioautografi Untuk menentukan senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak media fermentasi, dilakukan uji bioautografi dengan menggunakan metode Rahalison, yaitu bioautographic overlay assay (Gibbons, 1998). b. Isolasi senyawa aktif Hasil uji bioautografi dapat menunjukkan posisi spot senyawa bioaktif, sehingga mudah untuk dilakukan isolasi senyawa murni. Isolasi senyawa bioaktif dilakukan menggunakan metode KLT preparatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Fermentasi fungi T. Polygonoperda (Gambar 1) dilakukan selama 18 hari. Fungi tersebut menghasilkan senyawa bioaktif selama proses fermentasi pada fase stasioner. Penentuan fase stasioner dilihat pada kurva pertumbuhan T. Polygonoperda. Profil pertumbuhan T. polygonoperda menunjukkan lag phase yang berlangsung sekitar 3 hari, sedangkan exponential phase berlangsung selama 7 hari, yang ditandai dengan meningkatnya berat sel kering fungi. Gambar 2 menunjukkan bahwa setelah mencapai pertumbuhan yang maksimal pada hari ke-11, pertumbuhan fungi mulai memasuki stationer phase yang hanya berlangsung selama dua hari, yaitu pada hari ke-11 sampai hari ke-12. Pada hari ke-13 mulai terjadi penurunan proses pertumbuhan fungi, ditandai dengan menurunnya biomassa fungi dan akhirnya memasuki death phase pada hari ke-17. Terjadinya penurunan biomassa fungi disebabkan nutrisi yang tersedia telah habis, dan biomassa fungi yang terbentuk selama exponential phase mulai terdegradasi (Gambar 2). Setelah proses fermentasi berakhir, media fermentasi diekstrak dengan etil asetat dan diperoleh ekstrak etil asetat.
Gambar 1. Koloni T. polygonoperda
Berat Sel Kering (gram)
0,03 0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Waktu (hari)
Gambar 2. Profil pertumbuhan T. polygonoperda pada media M102b .
Tabel 1. Zona hambatan pada bakteri uji dengan empat konsentrasi ekstrak etil asetat dari polygonoperda. Bakteri uji
media fermentasi T.
Diameter zona hambatan (mm) 50 µg/disk
100 µg/disk
200 µg/disk
300 µg/disk
S. dysentri
-
1,75
2,08
3,25
M. luteus
9,30
15,12
18,58
22,30
1,00
0,50 0,35
0,35
0,00
(a) (b) Gambar 3. (a) Hasil uji bioautografi ekstrak media fermentasi T. polygonoperda pada S. dysentri (b) Spot yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. dysentri dengan nilai Rf 0,35.
Hasil pengujian antibakteri ekstrak media fermentasi menunjukkan bahwa pertumbuhan S. dysentri terhambat pada konsentrasi ekstrak 100 µg/disk dengan diameter hambatan sebesar 1,75 mm, pada konsentrasi ekstrak 200 µg/disk zona hambatan yang terbentuk sebesar 2,08 mm, dan pada konsentrasi ekstrak 300 µg/disk zona hambatan yang terbentuk adalah 3,25 mm (Tabel 1). Pada bakteri uji M. luteus, makin tinggi konsentrasi ekstrak, makin besar zona hambatan yang terbentuk. Pertumbuhan M. luteus sudah mulai terhambat pada konsentrasi 50 µg/disk dengan zona hambatan yang terbentuk sebesar 9,30 mm, pada konsentrasi 100 µg/disk zona yang terbentuk sebesar 15,12 mm. Zona hambatan yang terbentuk pada konsentrasi 200 µg/disk adalah 18,58 mm, dan pada konsentrasi 300 µg/disk, zona yang terbentuk sebesar 22,30 mm (Tabel 1). Pada M. luteus, dengan konsentrasi ekstrak 50 µg/disk sudah dapat menghambat pertumbuhan, namun pada S. dysentri pertumbuhannya baru dapat dihambat pada konsentrasi yang lebih besar, yaitu 100 µg/disk. Hal ini disebabkan karena M. luteus merupakan bakteri Gram positif yang memiliki struktur dinding sel lebih sederhana dibandingkan dengan struktur dinding sel bakteri Gram negatif. Struktur yang sederhana pada Gram positif menyebabkan senyawa antibakteri mudah masuk ke dalam sel bakteri dan menyebabkan kerusakan komponen sel, dan pada kadar senyawa antibakteri yang relatif kecil, sudah mampu membunuh sel bakteri (Atlas, 1998). Untuk melakukan uji bioautografi, komponen senyawa dalam ekstrak etil asetat media fermentasi T. polygonoperda dipisahkan dengan KLT menggunakan plat KLT Silica GF 254 menggunakan fase gerak kloroform-etil asetat (25:2 v/v). Hasil uji bioautografi (Gambar 3b) menunjukkan bahwa komponen senyawa dalam ekstrak yang aktif sebagai antibakteri memiliki nilai Rf 0,35, ditandai dengan terbentuknya zona jernih yang sangat jelas dan dengan penyemprotan dengan Serium (IV) Sulfat senyawa tersebut memberikan warna merah. Kromatogram menunjukkan bahwa senyawa tersebut
memberikan intensitas warna yang jelas dan memiliki spot besar (Gambar 3b), sehingga dapat dikatakan senyawa tersebut merupakan komponen utama dalam ekstrak etil asetat. Senyawa aktif yang telah diketahui letak spotnya pada plat KLT, selanjutnya diisolasi menggunakan metode KLT preparatif, yang akan menghasilkan isolat senyawa bioaktif murni. Sebelum senyawa bioaktif diidentifikasi, terlebih dahulu dilakukan identifikasi golongan senyawa menggunakan pereaksi semprot yang spesifik (Tabel 2). Penyemprotan dengan Dragendorf yang spesifik untuk senyawa alkaloid, memberikan hasil negatif, dan penyemprotan dengan FeCl3 yang khas untuk senyawa fenol juga menunjukkan hasil yang negatif, sedangkan penyemprotan dengan Serium (IV) sulfat yang merupakan pereaksi semprot untuk senyawa secara umum, memberikan warna merah. Penyemprotan dengan vanilin-H2SO4 memberikan warna biru kehijauan, dan penyemprotan menggunakan pereaksi Lieberman Burchard menunjukkan warna merah muda keunguan (Gambar 4). Pereaksi semprot vanilin-H2SO4 dan Lieberman Burchard merupakan pereaksi semprot yang spesifik untuk senyawa-senyawa golongan terpenoid, sehingga senyawa bioaktif diidentifikasi sebagai golongan terpenoid. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tan dan Zou (2001) yang menyatakan bahwa senyawasenyawa terpenoid juga banyak dihasilkan oleh fungi endofit. Hasil identifikasi isolat senyawa bioaktif dengan spektrofotometri GC-MS menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki kemurnian 76% dan memiliki berat molekul m/z 578 hal ini didukung oleh munculnya dua puncak pada spektrum GC-MS (Gambar 5), sehingga isolat senyawa yang secara KLT telah murni, ternyata masih merupakan campuran dengan senyawa lain. Munculnya dua puncak pada spektrum GCMS dapat dimungkinkan karena isolat senyawa bioaktif terurai oleh uap panas dalam sistem alat GC-MS, sehingga memutus ikatan yang kurang tahan terhadap panas, dan memunculkan dua puncak pada detektor.
Tabel 2. Identifikasi senyawa bioaktif dengan berbagai penyemprot spesifik Penyemprot Dragendorf FeCl3 Serium(IV) Sulfat Vanilin-H2SO4 Liebarman Burchard
Rf
Hasil Penyemprotan Tidak menghasilkan warna Tidak menghasilkan warna Warna merah Warna hijau Warna merah keunguan
A
Keterangan Menunjukkan bukan senyawa alkaloid Menunjukkan bukan senyawa fenol Menunjukkan senyawa bioaktif Menunjukkan senyawa terpenoid Menunjukkan senyawa terpenoid
B C
Gambar 4. Penyemprotan dengan berbagai pereaksi semprot yang spesifik A. Serium (IV) sulfat memberikan warna merah pada senyawa bioaktif ( Rf 0,35) B. Vanilin-H2SO4 memberikan warna biru kehijauan pada senyawa bioaktif (Rf 0,35) C. Lieberman Burchard memberikan warna merah keunguan pada senyawa bioaktif (Rf 0,35) Hasil identifikasi isolat senyawa bioaktif dengan spektrofotometri GC-MS
Gambar 5. Spektrum GC-MS isolat senyawa bioaktif T. polygonoperda
Gambar 6. Spektrum ultraviolet isolat senyawa bioaktif T. polygonoperda dalam kloroform
Gambar 7. Spektrum inframerah (KBr) isolat senyawa bioaktif T. polygonoperda
Hasil spektrum ultraviolet isolat senyawa bioaktif menunjukkan panjang gelombang (λ) maksimal pada 260 nm, sedangkan serapan pada panjang gelombang 241 nm menunjukkan panjang gelombang kloroform sebagai pelarutnya (gambar 6). Spektrum infra merah (IR) menunjukkan bahwa isolat senyawa bioaktif menunjukkan adanya puncak serapan karakteristik pada 3348, 2970, 2916, 1743, 1685, 1373, dan 1230 cm-1. Puncak serapan pada 3348 cm-1 adalah puncak serapan gugus OH, puncak serapan 2916 cm-1 dan 2970 cm-1 merupakan puncak serapan gugus C-H alifatik. Adanya gugus C = O ditandai dengan puncak serapan pada 1685 cm-1 dan1743 cm-1, sedangkan gugus CH3 memiliki puncak serapan 1373 cm-1 dan gugus C – O – C memiliki puncak serapan pada 1230 cm-1 (Gambar 7) KESIMPULAN : Dari hasil-hasil yang telah diperoleh, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Konsentrasi ekstrak : a). 100 µg/disk menghambat pertumbuhan S. dysentri dengan diameter hambatan 1,75 mm. b). 50 µg/disk menghambat pertumbuhan M. luteus dengan diameter hambatan 9,30 mm. 2.
Identifikasi senyawa bioaktif T. Polygonoperda adalah golongan terpenoid.
UCAPAN TERIMA KASIH PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Barat atas semua fasilitas yang telah diberikan untuk pengambilan sampel. DAFTAR PUSTAKA Atlas, R.M. 1998. Principles of Microbiology. 2nd edition. Mc.Grawhill Inc. pp 108-109 . Gibbon, S and A.I Gray. 1998. Isolation by Planar Chromatography. Natural Product Isolation. Cannell, RJP (ed). Humana Press, New Jersey. pp. 240-241. Prihatiningtias,W. 2005. Senyawa Bioaktif Fungi Endofit Tumbuhan Akar Kuning (Fibraurea chloroleuca Miers) Sebagai Agensia Antimikroba. Tesis. Program Studi Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana UGM. Strobel, G.A. 2003. Endophytes as sources of bioactive products. Review of Microbiology. pp.11 Strobel, G.A. 2004. Natural Products from Endophytic Microorganism. J.Nat.Prod.. 67: 257-268. Tan, R.X., and W.X. Zou. 2001. Endophytes : a rich source of functional metabolites. Nat. Prod. Rep. 18: 448-459. Wahyuono, S., S.M. Widyastuti, dan Soekotjo. 2003. Identifikasi potensi hutan sebagai sumber senyawa bioaktif. Laporan Penelitian Dephut-Farmasi UGM.