AKIBAT HUKUM PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK ATAS KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS BAGI PARA KREDITOR Stefanus Kurniawan Dharmadji Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Email :
[email protected]
ABSTRAK Perseroan Terbatas sebagai suatu badan usaha merupakan salah satu wajib pajak yang memiliki hak dan kewajiban di bidang perpajakan. Suatu perseroan terbatas yang mengalami pailit akan menimbulkan akibat hukum bagi para kreditor atas piutang-piutangnya terhadap perseroan terbatas tersebut. Kreditor berhak mendapatkan pemenuhan atas seluruh harta budel pailit debitor setelah adanya putusan pailit pengadilan niaga. Kreditor dalam Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdiri dari kreditor preferen, kreditor separatis dan kreditor konkuren. Utang pajak sebagai hak negara memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai kreditor preferen yang diprioritaskan mendapatkan pembagian harta budel pailit debitor yang pertama berdasarkan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pada dasarnya kedudukan kreditor preferen dan kreditor separatis adalah berbeda. Utang pajak memiliki kedudukan kedua atas harta budel pailit debitor dan mengesampingkan para kreditor lain. Penghapusan piutang pajak dapat dilakukan sebagai sarana untuk melindungi dan memberikan kepastian hukum kepada para kreditor yang juga berhak atas pemenuhan segala piutang-piutangnya terhadap harta budel pailit debitor. Kata kunci: kreditor, kepailitan, utang pajak, penghapusan piutang pajak.
ABSTRACT A Limited Company as a corporation is one of taxpayers obtaining the rights and obligations in taxation. A limited company in bankruptcy shall cause legal consequences for the creditors on their receivables against the questioned limited company. The creditor is entitled to obtain the satisfaction of all debtor’s
1
bankruptcy assets following the bankruptcy awards by the commercial court. The Law of Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligation divides creditor as preferential, separatist, and concurrent creditors. Tax payable is the right of the country, and the country is authorized to act as the preferential creditor obtaining the first priority of the debtor bankruptcy assets distribution subject to the Laws of Taxation General Condition and Procedures. The preferential and separatist creditors have basically different position. Tax payable has the second position on debtor bankruptcy assets and waives other creditors. Tax Receivables Write off is applicable as a mean to protect and give legal assurance to those creditors who are also entitled to all of their receivables satisfaction against debtor’s bankruptcy assets. Keywords: creditor, bankruptcy, tax payable, tax receivables write-off.
PENDAHULUAN Menjalankan sistem pemerintahan dan untuk mencapai tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam alenia ke 4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, maka diperlukan biaya atau anggaran untuk memenuhi kebutuhan negara serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Anggaran tersebut berasal dari berbagai macam sumber penerimaan negara, diantaranya pajak, kekayaan alam, bea dan cukai, retribusi, iuran, sumbangan, laba dari badan usaha milik negara, serta sumber lainnya. Dari berbagai macam sumber penerimaan negara tersebut, sumber penerimaan negara yang paling besar adalah berasal dari pajak. Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Semakin bertambah luasnya tugas-tugas negara, maka dengan sendirinya negara memerlukan biaya yang cukup besar. Sehubungan dengan itu maka pembayaran pajak yang tadinya bersifat sukarela berubah menjadi pembayaran yang ditetapkan secara terpisah oleh negara dalam bentuk
2
undang-undang dan dapat dipaksakan. Pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan oleh subjek pajak dilakukan dengan tata cara yang telah diatur oleh pemerintah dengan menetapkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Secara garis besar subjek pajak adalah pihak-pihak (orang maupun badan) yang akan dikenakan pajak, sedangkan objek pajak adalah segala sesuatu yang akan dikenakan pajak. Wajib pajak adalah subjek pajak yang telah memenuhi syaratsyarat objektif sehingga kepadanya diwajibkan membayar pajak. Dengan perkataan lain, setiap wajib pajak adalah subjek pajak (Suandy, 2011:1). Salah satu subjek pajak yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh) adalah badan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, perseroan, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Sebagai salah satu badan hukum, perseroan terbatas memiliki hak-hak serta kewajiban-kewajiban dalam perpajakan. Perseroan terbatas sebagai badan hukum dan juga merupakan subjek pajak wajib membayar pajak atas usaha maupun laba yang diperoleh kepada negara. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 mengakibatkan kondisi perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan. Keadaan tersebut berdampak pada badan usaha dalam negeri khususnya yang memiliki kewajibankewajiban yang tergolong besar pada kreditor. Banyak perusahaan yang tidak mampu membayar utangnya kepada kreditor mengakibatkan banyak perusahaan gulung tikar satu demi satu. Hal ini mempengaruhi perkembangan dunia usaha dalam negeri untuk memajukan usahanya dan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, sehingga pemasukan penerimaan negara menjadi tidak maksimal. Disamping itu, berbagai persoalan ekonomi yang mempengaruhi dunia usaha secara langsung mempengaruhi proses pencapaian target penerimaan negara
3
melalui pajak. Persoalan pailit perusahaan menjadi salah satu fenomena perekonomian yang tidak dapat dihindari dalam dunia usaha. Selain pengaruhnya dalam berkurangnya ketersediaan lapangan kerja, hal lain adalah pengaruhnya pada berkurangnya penerimaan negara yang diperoleh dari pajak perusahaan perusahaan tersebut. Permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian adalah jika terjadi keadaan dimana perusahaan dalam hal ini perseroan terbatas mengalami pailit dan piutang pajaknya dihapuskan lalu apa akibat hukum bagi kreditor atas piutang-piutangnya terhadap perseroan terbatas tersebut. Terutama apabila pailit tersebut terjadi pada perseroan-perseroan besar yang memiliki kontribusi signifikan dalam penyetoran pajaknya. Agar utang pajak tersebut dapat dilunasi oleh wajib pajak maka dilakukanlah penagihan pajak melalui serangkaian tindakan berdasarkan tata cara penagihan pajak yang diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (selanjutnya disebut UU PPSP). Pada dasarnya pemerintah telah mengatur mengenai permasalahan hukum untuk kondisi penunggak pajak yang mengalami kepailitan sejak awal-awal kemerdekaan Indonesia, yaitu dengan menerbitkan Ordonantie Pajak Pendapatan 1944. Kini masalah tersebut diatur masing-masing dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP), UU PPSP dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU PP). Beberapa pasal dalam undangundang tersebut menyebutkan antara lain bahwa bisa dilakukan penagihan seketika dan sekaligus tanpa harus memperhatikan jatuh tempo dan juga untuk semua jenis pajak. Pengoperasian suatu perseroan terbatas pada setiap perseroan berpeluang mempunyai utang. Utang perseroan tersebut bukan merupakan suatu hal yang buruk bagi perseroan (debitor) apabila perseroan tersebut masih mampu untuk membayar kembali utang-utangnya. Sebaliknya, jika perusahaan terus mengalami kerugian dan kemunduran sampai pada suatu keadaan dimana perseroan berhenti membayar atau tidak mampu lagi membayar utang-utangnya, maka pihak debitor
4
ini melakukan kelalaian yang disebabkan karena ketidakmampuan (keterpaksaan). Selain itu juga terdapat kesengajaan debitor yang tidak mempunyai itikad baik untuk membayar utang-utangnya yang disebabkan karena ketidakmauan pihak debitor. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan membenahi sistem hukum mengenai pemenuhan kewajiban yang dilakukan oleh debitor kepada kreditor dengan mengupayakan penyelesaian yang adil, yaitu dengan jalan pembentukan peraturan kepailitan yang dapat digunakan secara cepat, adil, terbuka dan efektif, serta sesuai dengan perkembangan kondisi zaman yang terjadi saat ini. Peraturan kepailitan yang diatur dalam Faillissements Verordening 1905 Staatsblad 1905-217 juncto Staatsblad 1906-348 dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan diharuskan dilakukan amandemen sebagai sebuah agenda yang amat diprioritaskan saat itu. Menghadapi masalah pembayaran utang debitor tersebut, maka hukum telah menyiapkan jalan keluar untuk menyelesaikan perseolan tersebut, yakni melalui dua cara : 1. Melalui Kepailitan 2. Melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Kepailitan adalah merupakan sita umum terhadap semua kekayaan debitor yang nantinya masuk dalam budel pailit. Ini menggambarkan bahwa dengan adanya status pailit, maka secara otomatis debitor tidak lagi memiliki penguasaan atas harta kekayaannya (Manik, 2012:31-32) Ketentuan ini sejalan dengan prinsip dasar utang piutang yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan, “Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan” (Manik, 2012:32). Sebagai langkah antisipatif, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998, yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, yang telah dicabut oleh Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK-PKPU). UUK-PKPU menjelaskan bahwa dalam kondisi perusahaan pailit atau menunda kewajiban pembayaran
5
utang, kreditor yang lebih tinggi kedudukannya harus didahulukan dalam hal pembayaran. Disamping harus memperhatikan kedudukan kreditor, UUK-PKPU juga memperhatikan perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang, salah satunya adalah membayar pajak. Namun demikian dalam UUK- PKPU hanya terfokus pada aspek niaga dan tidak secara tegas (tersurat) menyinggung pajak melainkan hak mendahulu secara umum. Artinya, jika sebuah perusahaan mengalami pailit atau menunda kewajiban pembayaran utang, maka kedudukan Direktorat Jenderal Pajak harus didahulukan namun dengan pertimbangan hakim. Dalam praktiknya, tidak sedikit subjek pajak dalam hal ini perseroan terbatas yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Permasalahan baru muncul ketika apabila perseroan terbatas yang telah dinyatakan pailit ternyata penanggung pajak tidak memiliki harta atau aset yang cukup untuk membayar segala utang-utangnya termasuk utang pajak yang seharusnya dibayarkan terlebih dahulu setelah membayar biaya perkara dan biaya eksekusi. Maka untuk itu Direktur Jendral Pajak dapat menghapuskan piutang pajak melalui Keputusan Menteri Keuangan. Utang pajak merupakan aturan khusus, oleh karena itu negara melalui Direktorat Jenderal Pajak mempunyai hak mendahulu untuk melaksanakan sita atas barang-barang wajib pajak yang manjadikan barang-barang miliknya atau asetnya sebagai jaminan atas utang-utangnya. Dengan adanya utang ini maka hak mendahulu atas penagihan utang pajak lebih kuat daripada utang-utang lainnya. Artinya, apabila debitor mempunyai utang lebih dari satu, maka pemerintah sebagai pemegang hak mendahulu yang diutamakan. Apabila barang yang dijaminkan itu dilelang maka hasilnya akan digunakan untuk melunasi utang pajak debitor kepada pemerintah, baru kemudian utang-utangnya kepada kreditorkreditor lain. Namun di dalam praktiknya, tidak sedikit subjek pajak dalam hal ini perseroan terbatas yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Permasalahan baru muncul ketika apabila perseroan terbatas yang telah dinyatakan pailit ternyata penanggung pajak tidak memiliki harta atau aset yang cukup untuk membayar segala utang-utangnya termasuk utang pajak yang seharusnya dibayarkan terlebih dahulu setelah membayar biaya perkara dan biaya eksekusi.
6
Maka untuk itu Direktur Jendral Pajak dapat menghapuskan piutang pajak melalui Keputusan Menteri Keuangan Penghapusan piutang pajak tersebut, pemerintah telah menyediakan aturan tentang penghapusan piutang pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan. Masalah baru muncul ketika apabila suatu perseroan terbatas yang telah dinyatakan pailit dan telah dikenakan penghapusan piutang pajak memiliki utang-uatng kepada kreditor lain yang belum terselesaikan atas piutang-piutang mereka kepada debitor pailit.
PERUMUSAN MASALAH Dari uraian latar belakang diatas, maka perumusan masalah adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana suatu perseroan terbatas dapat di putus pailit serta hak-hak kreditor pasca putusan pailit sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ? 2. Apa akibat hukum penghapusan piutang pajak atas kepailitan suatu perseroan terbatas bagi para kreditor ?
METODE PENELITIAN Metode Penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek. Metode pendekatan yang dipergunakan adalah Pendekatan Perudang-undangan (Statute Approach) dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Bahan Hukum yang digunakan adalah Bahan Hukum Primer yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan/atau badan-badan pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara (Soekanto, 2007:13). Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
7
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Teknik Kepustakaan. Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian ini disusun dan dianalisis secara interpretasi hukum.
PEMBAHASAN Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT), menegaskan bahwa perseroan merupakan badan hukum yang terjadi karena undang-undang. Hal ini berbeda dengan KUHD yang tidak tegas menyebutkan suatu perseroan merupakan badan hukum. Dikatakan suatu badan hukum apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Adanya harta kekayaan yang terpisah. 2. Mempunyai tujuan tertentu. 3. Mempunyai kepentingan sendiri; dan 4. Ada organisasi yang teratur. Salah satu alasan bentuk badan usaha perseroan sangat dinikmati adalah memiliki karakteristik yang khusus, perseroan merupakan asosiasi modal yang berbentuk badan hukum yang mandiri, yang memberikan pertanggung jawaban yang bersifat terbatas kepada para pemegang sahamnya. Dengan demikian, pemegang saham tidak perlu khawatir bahwa kekayaan pribadinya akan terserap ke dalam setiap perikatan yang dibuat oleh perseroan. PT dalam pendiriannya harus terlebih dahulu memperoleh status badan hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebelum menjalankan kegiatan usahanya. Hal ini menjadikan PT sebagai suatu subjek hukum yang berdiri sendiri dan disamakan kedudukannya dengan orang pribadi, sehingga dalam menjalankan kegiatan usahanya terpisah dari harta pribadi atau harta kekayaan milik pendiri atau pemegang sahamnya (Baryadi, 2011:5). Pemisahan harta kekayaan yang selanjutnya disertai dengan pemisahan kewajiban dan tanggung jawab hukum akan membuatnya memiliki tanggung jawab terbatas sebagai suatu badan hukum tersendiri. Dengan demikian, maka kumpulan modal ini selanjutnya berkembang menjadi suatu badan hukum yang
8
merupakan subjek hukum yang berbeda dengan mereka yang melakukan pengelolaan dan pengurusan harta kekayaan badan hukum, maupun mereka yang menyisihkan bagian harta kekayaannya tersebut (Widjaja, 2006:7). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Perseroan Terbatas sebagai badan hukum yang berarti merupakan subjek hukum yang dapat dibebani hak dan kewajiban berarti merupakan subjek hukum yang daseperti manusia pada umumnya (Supramono, 2007:2).
Kepailitan Tujuan dari kepailitan adalah untuk melakukan pembagian kekayaan milik debitor kepada para kreditornya dengan melakukan sitaan bersama dan kekayaan debitor dapat dibagikan kepada kreditor sesuai dengan haknya. Selain itu fungsi dari hukum kepailitan adalah untuk mencegah kreditor melakukan kesewenangwenangan untuk memaksa debitor agar membayar utangnya. Menurut Rudhi Prasetya yang dikutip oleh Ardytia, “adanya lembaga kepailitan berfungsi untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak kreditor yang memaksa dengan berbagai cara agar debitor membayar utangnya” (Ardytia, 2009:31). Syarat permohonan pernyataan pailit, yaitu: adanya dua kreditor atau lebih, adanya minimal satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Ketentuan Pasal 2 UU Nomor 37 Tahun 2004 dapat diketahui bahwa setiap permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor. Perkara-perkara kepailitan menurut UUK-PKPU telah menentukan jangka waktu pemeriksaannya di tingkat pengadilan niaga, di tingkat kasasi, maupun di tingkat peninjauan kembali. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan niaga tersebut dalam perkara kepailitan adalah langsung kasasi ke tingkat Mahkamah Agung tanpa upaya banding terlebih dahulu melalui pengadilan tinggi, dengan demikian perkara Kepailitan akan berjalan lebih cepat bila dibandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa di pengadilan negeri. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 termasuk ke dalam hukum materil, namun bila dipelajari seluruhnya maka akan diketahui bahwa sebagian besar dari Pasal-pasal undang-undang tersebut
9
merupakan hukum formil yang berisi pengaturan proses pengajuan permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang bahkan proses upaya hukumnya dari tingkat kasasi sampai peninjauan kembali. Salah satu hal baru yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak dijumpai dalam Faillisements Verordening Stb. 1905 Nomor 217 jo Stb 1906 Nomor 348 adalah tentang pengadilan niaga. Pembentukan pengadilan niaga ini menunjukan bahwa perkembangan sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti, darisegi struktur organisasi, kedudukan pengadilan niaga merupakan bagian khusus di dalam lingkungan peradilan umum (Susanti, 2013: 20-21). Berlakunya Undangundang Kepailitan Tahun 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari pengadilan umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan pengadilan niaga sebagai pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Pasal 2 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit adalah suatu pihak sebagai berikut: pihak debitor itu sendiri, salah satu atau lebih dari pihak kreditor, pihak Kejaksaan jika menyangkut dengan kepentingan umum, pihak Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank, pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debitornya adalah suatu perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pihak Menteri Keuangan jika debitornya adalah perusahaaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik. Sedangkan, pihak-pihak yang dapat diajukan permohonan pailit menurut ketentuan Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah debitor, debitor yang dimaksud adalah: orang-perorangan, debitor yang menikah, harta peninggalan, Perkumpulan perseroan (holding Company) dan anak-anak perusahaannnya, Penjaminan (guarantor), badan hukum, Perkumpulan bukan badan hukum, Bank, Perusahaan Efek, Perusahaan Asuransi, Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara.
10
Akibat Hukum bagi Debitor Pailit Perseroan Terbatas (PT) yang dinyatakan pailit tentu membawa akibat hukum terhadap usaha dan hubungan antara debitor dan kreditor. Menurut Munir Fuady yang dikutip Tyassari, akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitor dengan 2 (dua) model pemberlakuan, yaitu sebagai berikut (Tyassari, 2008:110111): a. Berlaku demi hukum Akibat yang paling besar dari berlakunya demi hukum adalah berlaku sitaan umum atas seluruh harta debitor (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 21 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dan debitor kehilangan hak mengurus (Pasal 24 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Adanya akibat hukum yang besar tersebut, selayaknya hakim benar-benar cermat dalam mengambil keputusan pailit suatu perusahaan, apalagi menyangkut kewajiban perpajakan suatu perseroan terbatas yang berhubungan dengan penerimaan Negara. b. Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku rule of reason. Akibat-akibat hukum yang lain yang merupakan dampak kepailitan tersebut adalah menyangkut pembayaran kompensasi pada pegawai/pekerja. Pembayaran kompensasi akan dilakukan dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 95 ayat (4) yang berbunyi: “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”. Sebuah perusahaan dinyatakan pailit atau bangkrut harus melalui putusan pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan itu, berarti perusahaan menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi. Satu-satunya kegiatan perusahaan adalah melakukan likuidasi atau pemberesan yaitu menagih piutang, menghitung seluruh asset perusahaan, kemudian menjualnya untuk seterusnya dijadikan pembayaran utang-utang perusahaan (Lumowa, 2013: 19).
11
Hak Kreditor Pasca Putusan Pailit Tanpa adanya kreditor didalam proses kepailitan maka kepailitan tidak akan terjadi. Kreditor merupakan subjek hukum yang mempunyai hak untuk menagih kepada debitor dan debitor wajib membayar utang tersebut kepada kreditor (schuld). Namun apabila, debitor wanprestasi maka seluruh harta benda debitor merupakan objek pelunasan dari perikatan mereka (haftung) berdasarkan Pasal 1311 KUH Perdata. Permasalan bagi kreditor separatis dan kreditor preferen dalam pemenuhan prestasi atas harta budel pailit debitor. Dalam frase kalimat: “Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan”, pada frase kalimat tersebut menafsirkan bahwa kedudukan kreditor separatis dan kreditor preferen memiliki kedudukan yang sama atas seluruh agunan dan harta budel pailit debitor. Dengan adannya hal tersebut, maka memunculkan suatu masalah atas siapa kreditor yang berhak untuk didahulukan terhadap agunan dan harta budel pailit debitor, apakah kreditor separatis ataukah kreditor preferen. Bila dihubungkan dengan Pasal 1134 KUH Perdata, Pasal 21 UU KUP dan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan serta peraturan perundangundangan lainnya maka pada dasarnya membedakan kedudukan mendahulu antara kreditor separatis dan kreditor preferen. Kreditor
separatis
adalah
kreditor
pemegang
jaminan
kebendaan
berdasarkan Pasal 1134 KUH Perdata yaitu Gadai dan Hipotik. Sedangkan yang dimaksud kreditor preferen adalah kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditor preferen terdiri dari kreditor preferen khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan kreditor preferen umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUH Perdata. Selain kreditor separatis dan kreditor preferen, terdapat kreditor konkuren yang mendapatkan pemenuhan prestasi terakhir setelah kredeitor separatis dan kreditor preferen mendapatkan prestasinya (Pasal 1131 – Pasal 1132 KUH Perdata). Berdasarkan Pasal 1134 KUH Perdata diatas sebagai lex generalis, maka jelas membedakan antara kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yaitu disebut juga kreditor separatis dengan kreditor preferen yang di
12
atur berdasarkan undang-undang. Ketentuan Pasal 1134 KUH Perdata memberikan kesempatan bagi kreditor preferen untuk didahulukan pelunasan atas piutangnya kepada debitor.
Prioritas Pembayaran Utang Dalam Kepailitan 1. Upah Pekerja atau Buruh Definisi upah sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 39 UUK-PKPU adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 39 ayat (2) UUK-PKPU. Suatu perusahaan yang pailit dapat saja memang tidak mampu untuk membayar kreditornya sehingga sekaligus dapat pula mempunyai utang upah terhadap pekerjanya. Dalam hal terjadi pailit tersebut, maka Bab X UU Ketenagakerjaan yaitu pada Pasal 95 ayat (4) dan Penjelasannya telah mengatur perihal kedudukan utang upah pekerja atau karyawan debitor pailit sebagai berikut :”Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.67/PUU-XI/2013 dalam pokok permohonan pengujian konstitusionalitas frasa “yang didahulukan pembayarannya” dalam pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada dasarnya antara kreditor separatis dan pekerja dasar hukumnya sama yaitu perjanjian, namun ketika dilihat dari aspek lain maka terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya secara konstitusional. Dari aspek subjek hukum, perjanjian gadai, hipotik dan fidusia merupakan perjanjian yang dilakukan pengusaha dan pemodal. Secara sosial ekonomis para pihak itu dapat dikatakan sama, terlebih lagi pemodal yang bisa jadi juga pengusaha.
13
Sebaliknya, perjanjian kerja dilakukan oleh subjek hukum yang berbeda yaitu pengusaha dan pekerja. Secara sosial ekonomis, kedudukan mereka tidak sejajar karena posisi pengusaha lebih kuat dan tinggi ketimbang buruh. Maka dari itu diperlukan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak-hak para pekerja/buruh tersebut. 2. Utang Pajak Kedudukan utang pajak dalam KUH Perdata telah menempatkan utang pajak untuk didahulukan daripada kreditor lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1134 dan 1137 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 1134 dan 1137 KUH Perdata tersebut maka kedudukan utang pajak sebagai pemegang hak istimewa dengan hak mendahulu yang merujuk pada pengaturan dalam undang-undang khusus, yaitu Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sebelum membahas mengenai bagaimana undang-undang mengatur mengenai kedudukan utang pajak dalam kepailitan, perlu kita ingat lagi mengenai utang dalam kepailitan. Dilihat dari pengertian utang dalam UUK-PKPU secara luas, utang adalah kewajiban yang dapat timbul dari perjanjian atau dari perikatan yang lahir berdasarkan undang-undang. Utang atau tagihan pajak harus dilunasi oleh wajib pajak atau penanggung pajak. Wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diwakili antara lain badan oleh pengurus. Badan yang telah dinyatakan pailit maka kurator bertugas untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit debitor. Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak tersebut atas segala harta milik debitor. Hak mendahulu tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU KUP, yang berbunyi: “Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak”. Hak mendahulu dalam Pasal 21 ayat (1) UU KUP ini juga menetapkan negara sebagai kreditor preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang dimuka umum. Pembayaran kepada kreditor lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak (Fernandez, 2012:38).
14
UU KUP memberikan kedudukan istimewa untuk utang pajak melebihi kedudukan semua kreditor dalam kepailitan, termasuk hak jaminan kebendaan, biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator serta hak kreditor konkuren kecuali atas biaya pelelangan atau penyelesaian warisan dan upah pekerja/buruh. 3. Utang dengan Hak Jaminan Kebendaan Timbulnya hak kebendaan harus dengan melalui perjanjian accessoir yaitu perjanjian tambahan dari perjanjian awalnya (induknya), dengan kata lain, harus diperjanjikan terlebih dulu mengenai benda yang akan dijaminkan secara khusus (Pasal 1132 KUH Perdata) (Putra, 2013:33). Ciri-ciri yang istimewa yang dimiliki oleh hak jaminan kebendaan yaitu: 1) bersifat mutlak, hak itu dapat ditegakkan terhadap siapa pun juga, termasuk rekan-rekan sekontrak atau pihak-pihak lain yang ikut terkait di kemudian hari; 2) droit de suite, hak tersebut akan tetap mengikuti (melekat) bendanya ke tangan siapa pun benda itu berada. Jika benda tersebut berpindah tangan, maka yang bersangkutan juga wajib menghormati hak kebendaan tersebut; 3) terdapat preferensi (Pasal 1132 KUH Perdata). Jika obyek jaminan telah laku dilelang, maka kreditor preferen harus didahulukan pelunasannya
daripada
piutang
kreditor-kreditor
lainnya
(konkuren);
4)
mengandung asas prioritas, hak kebendaan yang lahir terlebih dahulu akan didahulukan untuk pelunasan piutangnya daripada hak kebendaan yang mana lahir belakangan, yang tentunya pelunasan piutangnya akan dibayar belakangan. Asas prioritas ini digunakan apabila terjadi benturan antara sama-sama pemegang hak kebendaan; 5) mengandung asas separatis. Hak jaminan khusus yang diberikan oleh undang-undang sesuai Pasal 1134 KUH Perdata adalah hak istimewa. Sedangkan hak jaminan khusus yang timbul karena diperjanjikan adalah: gadai, hipotek (kapal dan pesawat serta helikopter), hak tanggungan, fidusia dan hak jaminan atas resi gudang. Berikut ini akan dijelaskan masing-masing mengenai hak jaminan khusus yang diperjanjikan, yaitu: a. Hak Gadai; b. Hipotik; c. Fidusia; d. Hak Tanggungan;
15
e. Hak Jaminan Atas Resi Gudang. 4. Biaya Kepailitan dan Imbalan Jasa Kurator Menurut Rachmadi Usman yang dikutip oleh Fernandez, pengaturan tentang imbalan kurator terdapat dalam Pasal 75 dan Pasal 76 UUK-PKPU yang pada intinya menyatakan bahwa imbalan jasa kurator ditentukan setelah kepailitan berakhir dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri yang ruang lingkup dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan perundang-undangan. Saat ini, besarnya imbalan jasa kurator ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.09/HT.05.10/1998 tanggal 12 Desember 1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Bagi Kurator dan Pengurus. Sedangkan bagi kurator yang dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan, sebelumnya telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02-UM.01.06 Tahun 1993 tentang Penetapan Biaya Pelayanan Jasa Hukum di Lingkungan Kantor Balai Harta Peninggalan (Fernandez, 2012:49). Selain itu pembayaran biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator dilaksanakan melalui penetapan eksekusi oleh Ketua Pengadilan atas permohonan Kurator yang diketahui oleh Hakim Pengawas sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) UUK dan PKPU. 5. Utang pada Kreditor Konkuren Menurut Sutan Remi Sjahdeini yang dikutip oleh Aruan, kreditor konkuren adalah kreditor yang harus berbagi dengan para kreditor lain secara proporsional, atau disebut juga pari passu prorata parte, yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan mereka, dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan hak jaminan (Aruan, 2010:147). Kreditor konkuren atau Unsecured Creditors adalah kreditor selain kreditor preferen dan kreditor dengan hak istimewa. Sesuai Pasal 1136 KUH Perdata: “Para kreditor dengan hak didahulukan yang mempunyai tingkatan sama, dibayar secara berimbang”. Kedudukan kreditor konkuren menempati kedudukan paling akhir setelah kreditor preferen dan separatis, yang artinya pelunasan atas piutangnya adalah setelah piutang kedua jenis kreditor tersebut dilunasi, dan pelunasan piutang kreditor konkuren tersebut dilakukan pembagian secara proporsional diantara mereka.
16
Tanggung Jawab Perseroan Terbatas Terhadap Piutang Pajak Mekanisme Penghapusan Piutang Pajak Penghapusan piutang pajak dapat dilakukan dalam hal hak menagih Direktorat Jenderal Pajak telah melampaui jangka waktu dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesuai Pasal 21 ayat (4) UU KUP terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Selain itu menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK. 03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan, menyebutkan bahwa piutang pajak yang dapat dihapuskan untuk wajib pajak badan adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena: a. wajib pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan; b. hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; c. dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundangundangan di bidang perpajakan; atau d. hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan
pertimbangan
yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. Khusus untuk suatu badan dalam hal ini Perseroan Terbatas (PT) yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka secara formil dapat dikenakan penghapusan piutang pajak. Penghapusan piutang pajak ini diajukan oleh kurator sebagai pengampu dari debitor pailit sebagai wajib pajak badan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak badan tersebut. Sesuai Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor 68/PMK. 03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan: “untuk memastikan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi sebagaimana dimaksud dalam
17
Pasal 1, wajib dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi oleh Kantor Pelayanan Pajak”. Kepala Kantor Wilayah DJP menyampaikan daftar usulan penghapusan piutang pajak yang telah dilakukan penelitian kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak memberikan arahan pelaksanaan bimbingan teknis kepada Kantor Wilayah DJP dalam proses pengusulan penghapusan piutang pajak dan melanjutkan usulan penghapusan piutang pajak kepada Menteri Keuangan. Berdasarkan usulan penghapusan piutang pajak yang diusulkan oleh Direktur Jenderal Pajak, selanjutnya Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penghapusan piutang pajak. Keputusan Menteri Keuangan mengenai penghapusan piutang pajak untuk menghapuskan piutang pajak dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK Nomor 68/PMK. 03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penghapusan piutang pajak tersebut, Direktur Jenderal Pajak melakukan : a. penetapan mengenai rincian atas besarnya penghapusan piutang pajak; dan b. hapus tagih dan hapus buku atas piutang pajak tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan yang berlaku. Selanjutnya menurut Pasal 6 PMK Nomor 68/PMK. 03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan: “Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan atas penugasan dari Menteri Keuangan melakukan reviu atas usulan penghapusan piutang pajak yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak”.
Akibat Hukum Penghapusan Piutang Pajak Bagi Kreditor Dalam hal suatu perseroan terbatas (wajib pajak badan) dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, maka kedudukan piutang pajak menempati kedudukan kedua setelah upah pekerja/buruh. Dari hal ini dapat ditemukan suatu permasalahan apabila seluruh harta budel pailit debitor telah habis digunakan untuk membayar segala utang pajaknya kepada fiskus, maka tentu membawa
18
akibat kepada para kreditor lain dalam pemenuhan segala utang-utangnya terhadap harta debitor pailit. Baik kreditor pemegang jaminan hak kebendaan (kreditor separatis), biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator, serta utang kepada kreditor konkuren mempunyai hak atas pemenuhan utang-utang terhadap harta debitor pailit. Kedudukan piutang pajak ini berdasarkan Pasal 1137 KUH Perdata yang memberikan kedudukan piutang pajak sebagai pemegang hak istimewa dengan hak mendahulu yang merujuk pada peraturan perundang-undangan khusus, yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang. Hal ini tidak lepas dari piutang pajak yang lahir berdasarkan undang-undang sesuai Pasal 1233 KUH Perdata. Utang atau tagihan pajak harus dilunasi oleh wajib pajak atau penanggung pajak. Wajib pajak badan yang dinyatakan pailit diwakili oelh kurator yang bertugas mengurus dan membereskan seluruh harta budel pailit debitor. Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak tersebut atas barang-barang milik penanggung pajak. Hak mendahulu tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU KUP terkecuali untuk Pasal 21 ayat (3) UU KUP (Fernandez, 2012:39). Tidak dipenuhinya utang-utang kreditor dan kewajiban-kewajiban lainnya yang lebih mengutamakan pelunasan utang pajak tentu sangat merugikan para kreditor dan melanggar hak-hak mereka didalam pemenuhan prestasi mereka. Selain
itu
ketidakserasian
antar
peraturan
perundang-undangan
juga
mempengaruhi konsistensi penerapan aturan hukum didalam pembagian harta budel pailit debitor yang pada akhirnya merugikan para kreditor. Oleh karena itu, menurut penulis agar menjamin kepastian hukum dan hakhak para kreditor maka majelis hakim pengadilan niaga didalam memutus suatu perkara kepailitan harus mempertimbangkan segala putusannya dengan adil dan bijaksana. Selain itu menurut penulis walaupun debitor pailit mempunyai harta budel pailit yang cukup untuk membayar seluruh utang pajaknya, sebaiknya untuk
19
pejabat pajak pada tingkat Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak, Direktorat Jendral Pajak sampai pada tingkat Kementerian Keuangan dapat menghapuskan sebagian utang pajak wajib pajak setidaknya atas sanksi administrasi perpajakan berdasarkan ketentuan Pasal 16 jo Pasal 36 UU KUP untuk memenuhi pemenuhan prestasi atas pembayaran utang-utang debitor pailit kepada para kreditor.
PENUTUP Kesimpulan Pernyataan pailit dapat diputus oleh pengadilan niaga apabila memenuhi syarat-syarat : adanya dua kreditor atau lebih, adanya minimal satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Pada dasarnya kedudukan antara kreditor separatis, kreditor preferen dan kreditor konkuren berbeda. Berdasarkan Pasal 1134 KUH Perdata sebagai lex generalis, Pasal 21 UU KUP maka jelas membedakan antara kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yaitu disebut juga kreditor separatis dengan kreditor preferen yang di atur berdasarkan undangundang. Ketentuan Pasal 1134 KUH Perdata memberikan kesempatan bagi kreditor preferen untuk didahulukan pelunasan atas piutangnya kepada harta budel pailit debitor mengesampingkan kreditor separatis dan kreditor konkuren. Pada saat perseroan terbatas (wajib pajak badan) dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, maka kedudukan piutang pajak menempati kedudukan kedua setelah upah pekerja/buruh dan diatas kreditor-kreditor
lainnya.
Namun
penerapan hak mendahulu yang dimiliki negara dalam atas piutang pajak ternyata tidaklah serta merta dapat dilaksanakan apabila terjadi kepailitan terhadap debitor yang masih memiliki utang pajak. Salah satu alasannya adalah belum ada keseragaman pemahaman mengenai hak mendahulu yang dimiliki negara atas piutang pajak di kalangan para hakim. Walaupun debitor pailit mempunyai harta budel pailit yang cukup untuk membayar seluruh utang pajaknya, sebaiknya pejabat pajak pada tingkat Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak, Direktorat Jendral Pajak sampai pada tingkat Kementerian Keuangan dapat menghapuskan sebagian utang pajak wajib pajak setidaknya atas sanksi administrasi perpajakan berdasarkan ketentuan Pasal 16 jo Pasal 36 UU
20
KUP untuk memenuhi pemenuhan prestasi atas pembayaran utang-utang debitor pailit kepada para kreditor sesuai PMK Nomor 68/PMK.03/2012.
Rekomendasi Saran bagi Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat, serta pihakpihak yang terkait harus meneliti kembali dan merubah isi Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, untuk memperjelas kedudukan masing-masing kreditor. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat, serta pihak-pihak yang terkait harus meneliti kembali dan merubah peraturan perundangan-undangan yang memberikan multi tafsir yang berbeda dan tidak seragam dengan peraturan perundang-undangan lainnya khususnya tentang kedudukan kreditor dalam hal terjadi kepailitan untuk memberikan kepastian hukum pada masyarakat. Selain itu, Pemerintah bersama pihak-pihak yang terkait agar mensosialisasikan kepada masyarakat terkait Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK. 03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan. Bagi Majelis hakim pengadilan niaga serta pihak-pihak terkait harus memberikan putusan yang adil dan bijaksana serta dengan penuh tanggung jawab dalam menangani dan menyelesaikan perkara kepailitan. Selain itu dalam menangani suatu perkara kepailitan yang berhubungan dengan pajak, maka majelis hakim pengadilan niaga harus berkoordinasi dengan lingkungan peradilan pajak serta pejabat pajak yang berwenang.
DAFTAR BACAAN Buku-Buku : Binoto Nadapdap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas (Berdasarkan Undangundang Nomor 40 Tahun 2007), Jala Permata Aksara, Jakarta. Irawan, Bagus, 2007, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, Alumni, Bandung. Jono, 2008, Hukum Kepailitan, Jakarta, Sinar Grafika. Khairandy, Ridwan, 2009, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundangundangan, dan Yurisprudensi, Total Media Yogyakarta, Yogyakarta. Khairandy, Ridwan dan Camelia Malik, 2007, Good Corporate Govermence, Kreasi Total Media, Yogyakarta. Manik, Edward, 2012, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung, Mandar Maju. 21
Mardiasmo, 2011, Perpajakan, Yogyakarta, Andi Offset. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti. Mulyadi, Lilik, 2010, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Bandung, Alumni. Nating, Imran, 2005, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Saidi, Muhammad Djafar, 2007, Pembaruan Hukum Pajak, Jakarta, RajaGrafindo Persada. Shubhan, M. Hadi, M., 2008. Hukum Kepailitan, Cet. 2, Jakarta, Kencana. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penilitian Hukum Normatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Suandy, Erly, 2011, Hukum Pajak, Ed. 5, Jakarta, Salemba Empat. Supramono, Gatot, 2007, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek dalam Gugatan Perdata di Pengadilan, Cet. 1, Rineka Cipta, Jakarta. ───────, 2007, Hukum Perseroan Terbatas, Cet. 4, Djambatan, Jakarta. Usman, Rachmadi, 2004, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Waluyo, 2009, Perpajakan Indonesia, Ed. 9, Jakarta, Salemba Empat. Widjaja, Gunawan, 2006, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis, Cet. 2, Penada Media Group, Jakarta. Harahap, M. Yahya, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta, Sinar Grafika. Jurnal : Billy, Andy Lumowa, Tanggung Jawab Perusahaan yang Dinyatakan Pailit Terhadap Pihak Ketiga, Lex Privatum, Vol. I, 3 Juli 2013. Ginting, Jamin, 2005, Kedudukan Pemegang Saham (Investor) Dalam Kepailitan Perusahaan Go Public, Jurnal Law Review, Vol. IV No. 3, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Lumowa, Ardy Billy, 2013, Tanggung Jawab Perusahaan Yang Dinyataklan Pailit Terhadap pihak ketiga, Jurnal Lex Privatum, Vol.1/No.3/Juli/2013. Rambing, Nicky Yitro Mario, 2013, Syarat-syarat Sahnya Pendirian Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia. Lex Privatum, Vol. 1, No. 2. Retnowati, Tutik dan Sylvia, Setjoatmadja, 2010, Tinjauan Yuridis Upaya Penyelesaian Sengketa Utang Pajak Melalui Pengadilan Pajak, Jurnal Hukum, Vol. XIX No. 19. Putra, Fani Martiawan Kumara, 2013, Benturan Antara Kreditor Privilege Dengan Kreditor Preferen Pemegang Hipotek Kapal Laut Terkait Adanya Force Majeure, Jurnal Perspektif, Vol. XVIII No. 1, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Purwadi, Ari, 2011, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah, Jurnal Perspektif, Vol. XVI No. 3, Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.
22
Tesis/Disertasi : Ardytia, Wisnu, 2009, Perlindungan Hukum Kreditor dalam Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Peninjauan Kembali Reg. No. 07PK/N/2004), Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Aruan, Albert Richi, 2010, Kedudukan Negara Atas Utang Pajak PT. Artika Optima Inti dalam Kasus Kepailitan, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Baryadi, Juniarty, 2011, Perubahan Bentuk Persekutuan Komanditer (CV) Menjadi Perseroan Terbatas, Tesis, Program Studi Kenotariatan Universitas Indonesia. Fernandez, 2012, Tinjauan Yuridis Hak Mendahulu Pelunasan Utang Pajak Atas Harta Pailit dan Penyelesaian Utang Pajak dalam Kepailitan, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depoi. Kurniawan, 2007, Pemberesan Harta Pailit Pada Perusahaan Perorangan (Studi Kasus Pada PT. Sierad Produce Tbk), Tesis, Program Pascasarjana, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang. Niffari, Hanifan, 2012, Akibat Hukum Bagi Kreditur Yang Tidak Mendaftarkan Piutangnya Kepada Kurator Untuk Dilakukan Pencocokan Piutang Pda Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 192. K/PDT.SUS/2011, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Rahmadewi, Maria Regina Fika, 2007, Penyelesaian Utang Debitor Terhadap Kreditor Melalui Kepailitan, Tesis, Program Pascasarjana, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang. Susanti, 2013, Penolakan Permohonan Kasasi dalam Perkara Kepailitan (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung), Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Tyassari, Yudaning, 2008, Akibat Hukum Putusan Pailit Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Dirgantara Indonesia (Persero), Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Website : Hukum Online, 2010, Ada Lembaga Baru dalam Revisi UU Sistem Resi Gudang, http://www. hukumonline.com/ berita/ baca/lt4c52c8de65 ccb/adalembaga- baru- dalam- revisi- uu- sistem- resigudang, Akses tanggal 19 Oktober 2014. Legal Akses, 2014, Hukum Kepailitan, http://Hukum Kepailitan_Legal Akses.htm, Akses tanggal 23 Juni 2014. P. Sofie Widyana, Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum yang Didirikan Berdasarkan Perjanjian, http://www. Hukumperseroan terbatas.com/2011/12/15/ perseroan- terbatas- sebagai– badan–hukum –yang didirikan berdasarkan-perjanjian-2/, Akses tanggal 1 Oktober 2014. Siregar, Nien Rafles, 2012, Perbedaan Antara Kreditur Separatis dengan Kreditur Konkuren, http://www.hukumonline.com/ klinik/ detail/ cl1998/ perbedaan –antara –kreditur –separatis –dengan –kreditur-konkuren, Akses tanggal 23 Oktober 2014.
23
Task Force Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Pedoman Tentang Komisaris Independen, Bab II angka 6, http://www. governanceindonesia.com, Akses tanggal 2 Oktober 2014. Peraturan Perundang-undangan : Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. ───────, Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847, Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata). ───────, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043. ───────, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312. ───────, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632. ───────, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan. Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778. ───────, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889. ───────, Undang-undang Nomor 19 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987. ───────, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279. ───────, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443. ───────, Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740. ───────, Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756. ───────, Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893.
24
───────, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5231. ───────, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan besarnya Penghapusan, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 480. ───────, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor Se-13/Pj/2013 Tanggal 26 Maret 2013 tentang Tata Cara Pengusulan dan Tindak Lanjut Penghapusan Piutang Pajak. ───────,Putusan Mahkamah Konstitusi No.67/PUU-XI/2013.
25