Akhirnya Tari Mau Makan Tempe Sharing pengalaman mendampingi anakanak Asrama Putri van Lith. Pefgulatan hidup di asrama Niat atau janji itu gampang dibuat dan diucapkan. Namun dalam pelaksanaan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Begitulah sering terjadi dalam hidup ini, juga dalam hidup anak-anak Asrama Putri van Lith. Sebelum diterima mereka sudah diberi gambaran sedikit tentang latihanlatihan untuk hidup sederhana dan mandiri, dan mereka berjanji melaksanakannya. Namun pada awalnya tidak mudah melaksanakan apa yang telah mereka janjikan. Salah satu latihan adalah membersihkan dan mengurus kepentingan unit masing-masing. Secara bergilir mereka harus menyapu, mengepel, melap mebel, menguras bak kamar mandi, menyikat lantai WC dan closed, membersihkan selokan, membersihkan dan mengisi kompor, mencuci alat masak dan alat makan serta lap piring, merebus air minum dan membuat teh. Selain itu mereka masih harus menyelesaikan urusan pribadi seperti merapikan tempat tidur, mencuci pakaian, menyeterika dan mengatur rapi di almari pribadi. Dulu di rumah mereka anggap semuanya itu adalah tugas ibu atau pembantu. Waktu masih di SMP mereka terbiasa bangun agak siang, terburubum mandi, dandan, sarapan lalu pergi ke sekolah. Pulang sekolah rumah sudah bersih dan makan siang sudah terhidang di meja makan. Dan sekarang? Belum lagi merasa bosan di asrama, kinLharus bangun pagi-pagi, mengerjakan tugas yang mereka anggap kotor bahkan menjijikkan. "Menyikat closed. . " iiih jijik, membersihkan dan menyikat selokan, aduh kotor dan baunya ..." menguras bak air kamar mandi . . . aduh capainya, ... baru kali ini aku pegang kain pel... idiiih dekilnya! Ngapain suster suruh ngerjakan ini semua. Kan ada Pak Jo, Mas Bi, Bang Sla, Bu Sih, Bu Sumi, Bu Marni dan lainnya." Diperlukan pergulatan mengatasi ego dan kemalasan untuk melaksanakannya. Dan semuanya itu menambah rasa rindu untuk pulang ke rumah. Namun bukankah mereka ingin menjadi kader-kader katolik yang beriman kokoh mandiri dan tangguh? Maka kini mereka bergulat untuk
mengalahkan ego dan mengatasi kemalasan. Kadang-kadang ada juga yang membandel tidak mau merapikan tempat tidurnya. Bila sudah diperingatkan namun tetap membandel, maka tempat tidur itu kami acak-acak untuk membuatnya lebih morat-marit, maka ketika teman-temannya sudah lama menikmati tidur siang, dia masih sibuk mengatur tempat tidumya. Kapokmu kapan! Juga kalau ada unit yang ditinggal pergi sekolah dalam keadaan berantakan, maka makan siang semua warga unit itu kami tunda. Aduh laparnya mak ... Dan jatah makan baru kami berikan setelah mereka selesai membersihkan unit itu. Apakah benih nilai-nilai hidup yang ditabur dengan latihan itu tumbuh dan berkembang? Berbagai upaya kami tempuh untuk memberi motivasi mereka dengan contoh, teguran, sanksi, pujian dan renungan bersama. Apakah ada artinya semua itu? Kadang-kadang kami merasa ragu sampai ada kejadian-kejadian sepele yang meneguhkan harapan kami.
Semuanya sudah bersih... Pada suatu hari Minggu sore Bu Mul, ibu dari seorang siswi klas I, sambil bercucuran air mata, bercerita: ". . . tadipagi sepulang dariMisa kedua, kami mendapati dapur sudah disapu dan dipel alat-alat masak. dan alat-alat makan sudah dicuci dan diatur rapi . . . Trima kasih suster. . ." Ketika itu Bu Mul mengantar Yus, anaknya yang bungsu, kembali ke asrama sesudah ber weekend untuk pertama kalinya di rumah. Sebulan sebelumnya Bu Mul juga menangis ketika mengantar Yus masuk asrama. Meski hidup di desa namun orangtua Yus kerja di kota dengan penghasilan cukup. Dan sebagai anak bungsu Yus pasti manja dan dimanjakan. Dua kali Bu Mul menangis dimuka saya, dua tangis yang berbeda artinya. Yang pertama karena sedih harus berpisah dengan Yus, yang kedua karena terharu dan bahagia. Si bungsu yang dulunya manja, kini membuat kejutan. la membersihkan dapur, mencuci alat-alat masak serta alat-alat makan kemudian mengatumya dengan rapi sebelum ortunya pulang dari gereja. la mau mengungkapkan cintakasih dan penghargaannya kepada orangtua. Dan ia tidak lagi meremehkan pekerjaan rumah tangga.Trima kasih Tuhan. Semoga benih nilai-nilai hidup yang Kau tabur tumbuh dan bertunas dalam hati teman-teman Yus lainnya.
Tidak ada hal yang istimewa Ada cerila lain lagi. Bu Rus ibunya Anik siswi klas II, ibu guru SD, pada hari besuk datang mencari saya. Dengan nada ketus ia mengungkapkan kekecewaannya bahwa tidak ada hal istimewa yang telah saya ajarkan kepada anak-anak asrama. Menurut dia telah hampir dua tahun Anik tinggal di asrama, tapi belum menunjukkan perubahan yang berarti. Ibu itu
menambahkan bahwa sejak kecil Anik sudah diajari berdoa, membantu pekerjaan rumah tangga, bersikap sopan dan sosial dalam pergaulan masyarakat. Jadi semua yang saya ajarkan itu bukanlah hal baru dan istimewa baginya. Lalu ia mempersoalkan apa kelebihannya tinggal di asrama selain hanya menambah beban pengeluaran? Saya jawab bahwa memang tidak ada hal istimewa danjiebat yang telah_saya ajarkan kepada mereka selain hal-hal yang seharusnya diajarkan seorang ibu kepada anaknya perempuan. Saya sarankan untuk membawa Anik pulang kembali ke rumah agar dapat dibina secara intensif sesuai yang diidamkannya. Mendengar saran saya, ia nampak terkejut, lalu dengan tersipu-sipu berkata: "Tetapi suster, Anik baru mau mengerjakan semua yang telah saya ajarkan sejak kecil; sesudah ia tinggal di asrama selama beberapa bulan . . ." Sejak saat itu kalau datang berkunjung, tidak terdengar lagi nada ketus dalam bicaranya. Memang benar dalam mengajarkan semua hal bahkan yang hebat sekalipun bila tidak ada pengor-banan, pendampingan, contoh, dorongan semangat, teguran, sapaan mau-. pun pujian tidak akan berhasil .
Sudah banyak berubah Sikap Bu Min, juga ibu dari siswi klas II, lain dari sikap Bu Rus tadi. Dia bercerita bahwa Tari, anak sulungnya, sudah banyak berubah. Dulu waktu masih di SMP judes, mau cari menangnya sendiri, tidak mau mengalah dan selalu ribut dengan adiknya. Selain judes ia juga malas, tidak pernah mau membantu ibunya. Kalau makan ia juga rewel, pilih-pilih makanan yang disukainya saja. Dia tidak pernah mau makan sayuran. Tempe dan tahu meskipun dimasak dengan bumbu apapun, tidak pernah disentuhnya. la tidak mau tahu bahwa penghasilan ayahnya hanya pas-pasan saja untuk hidup sederhana. Namun sejak liburan kenaikan kelas menunjukkan banyak perubahan. la menjadi lebih ramah dan mau mengalah dan ngemong adiknya. Juga tanpa disuruh, mau nyapu, ngepel lantai, cuci piring, dan pagi- - pagi bangun untuk merebus air. Ibu itu menambahkan ceritanya bahwa pada suatu sore ia mengintip apa yang sedang dikerjakan anakr anaknya karena suasana rumah begitu tenang. "Saja mendapati mereka berdua duduk berdampingan, nonton TV sambilmakan dengan lauk tempe..." demikianlah ia mengakhiri ceritanya sambil mengusap air matanya. Memang Tari sudah banyak berubah, ia tidak lagi malas dan judes lagi. la mau makan apa saja yang dihidangkan.Tuhan sendiri yang mengubahnya. Dalam hidup bersama di asrama ia banyak belajar dalam ber-relasi, berbagi hidup, mengalah dan memberi tempat pada teman,menerima rejeki Tuhan dengan syukur. Oseng-
oseng sawi lagi... ahh bosen! Selain membersihkan unit dan mengerjakan urusan pribadi, mereka juga belajar makan apa yang dihidangkan. Nasi dan lauk pauk sederhana dimasak di dapur besar. Anak-anak yang dapat giliran tugas refter wajib merebus air dan membuat teh, mengambil jatah makan unit masing-masing dari dapur dan menghidangkan di meja makan, menyisihkan bagi yang terlambat pulang, melayani yang sakit. Selain itu mereka juga mengembalikan sisa makanan ke dapur dan mencuci thermos nasi, panci sayur, tempat lauk dan menyusunnya di rak dapur. Setiap anak dapat giliran tugas refter. Jadi selain belajar hidup sederhana makan apa adanya, mereka juga belajar saling melayani, memperhatikan, bekerja sama dan berbagi hidup dengan yang lain. Beberapa anak mungkin sudah terbiasa makan sederhana di rumah, tetapi bagi kebanyakan anak terutama dari keluarga mapan yang suka pilih- pilih makanan, mereka harus berjuang mengatasi diri untuk dapat makan sesederhana itu. Nasi, sayur, sepotong lauk, sambel itulah menu seharihari.Tempe lagi, sayur terong lagi, tahu lagi, bakwan lagi, peyek lagi, krupuk lagi, oseng buncis lagi, oseng sawi lagi, sayur kangkung lagi. . . . ahh bosen! Nah... ini dia, daging ayam goreng . . . asyiiik deh! Sering-sering saja ya suster.. ? Kapan masak gado-gado, tongseng dan mi kuah lagi? Begitulah dari hari kehari mereka belajar hidup sederhana, makan apa adanya dan menerima dengan syukur rejeki Tuhan hari itu.
Gelas teman kurang isi kolaknya Suatu sore hari waktu makan snack, saya jalan-jalan keliling unit-unit. Ada 9 unit, masing-masing dihuni 20 anak. Saya mampir ke unit Caecilia, salah satu unit klas 1. Baru satu semester mereka tinggal di asrama. Mereka duduk mengelilingi meja, di tengah meja ada 20 buah gelas kosong. Saya kemudian ingat bahwa hari itu mereka mendapat kolak. Anak yang bertugas refter datang dari dapur membawa sebuah panci berisi kolak. Tidak ada yang saling berebut untuk didahulukan. Mereka dengan sabar menanti sampai "si ibu kecil" itu selesai membagi kolak itu dengan adil. Disana-sini terdengar suara memberi masukan bahwa gelas teman-temannya belum cukup diisi: "... gelas Tri kurangpisangnya, gelas Nita kurang ubinya, gelas Sri kurang kuahnya . . ." Meskipun sudah selesai dibagi, mereka tidak mengambil jatahnya sebelum dipersilahkan oleh "si ibu kecil" tadi. Lalu mereka memakannya dengan penuh syukur. Saya menyaksikan semua kejadian itu dengan rasa" haru dan kagum. Di rumah mungkin tersedia berbagai macam snack, kapan saja mereka boleh memakannya. Tapi di asrama mereka belajar menahan diri dan berbagi dengan teman-teman. Trima kasih Tuhan. Mereka telah Kau ajari untuk bersikap sabar, berbagi hidup, adil, bertanggungjawab, melayani teman, memperhatikan teman dan menerima rejeki-Mu sore itu.
Cotot buatan sendiri Latihan hidup sederhana itu juga didukung oleh program sekolah: home-stay selama tiga hari untuk anak-anak klas I dan live-in selama 1 minggu untuk klas II. Untuk home-stay mereka dikirim ke desa-desa di sekitar Muntilan dan untuk live-in mereka dikirim ke daerah kumuh dan marginal serta desa nelayan yang miskin. Mereka secara langsung dapat melihat dan terlibat dalam hidup sederhana dan kerja keras masyarakat pedesaan, menjalin relasi dengan orang-orang sederhana dan miskin di sekitarya. Dengan melihat pergulatan hidup orang miskin dan sederhana itu, kami harapkan akan timbul sikap sosial, bela rasa, solidaritas, menghargai kerja keras dan kasar, menjalin relasi persaudaraan dengan masyarakat sekitarya. Dan yang paling penting bersyukur atas kasih kurnia hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Sepulangnya dan home-stay selama 3 hari di sebuah desa dekat Muntilan, May, Cina dari Jakarta, dengan wajah berseri-seri datang menemui saya. Sambil menyerahkan oleh-oleh satu kantung plastik makanan, ia berkata: "Suster, silahkan mendcipi.. . ini cotot suster, ini cotot buatan soya sendiri. Enak Iho suster. Simbok telah mengajari soya membuat cotot dan berbagai kue. Simbok dan bapak melarang saya ikut ke sawah. .Mereka takut, sayajadi kotor dan masuk angin. Saya disuruh membersihkan rumah, memasak lalu menjaga warung. Saya krasan tinggal di situ. Bapak dan simbok sangat baik. Para tetanggajuga baik pada saya." Cotot adalah makanan terbuat dari ubi kayu yang direbus dulu, dilumat untuk dibuat getuk, dibentuk bulat/ lonjong, dalamnya diisi gula merah, lalu digoreng. Kantung plastik itu saya terima lalu saya keluarkan sebuah cotot. Agak gosong dan bentuknya kurang bagus. Namun itu suatu prestasi besar bagi May, si anak gedongan dari Jakarta, dapat membuat kue makanan desa. Sebelumnya ia belum pemah melihat dan makan cotot, tapi kini ia dapat membuatnya setelah "kursus" 3 hari pada simbok angkatnya. la menatap dengan mata berbinar ketika melihat saya menggigit dan mengunyah cotot itu. la yang terbiasa hidup mapan di Jakarta, dapat menyesuaikan diri dan menikmati hidup sederhana di desa. la juga dapat menangkap ungkapan kasih sayang orangtua angkat, orang-orang sederhana dan baik hati, yang dihormati dan dibanggakannya. Dan ia juga menjalin relasi persaudaraan dengan para tetangga sekitamya. Semuanya itu tak pemah saya bayangkan akan terjadi pada diri May kalau melihat penampilan anak itu ketika baru datang. Trima kasih Tuhan, Engkau telah berkarya dalam diri May.
... malu pada diri sendiri. . . Lain lagi pengalaman Tina, siswi klas II, yang baru pulang dari live-in di perkampungan miskin. Si gendut pendek itu sambil nangis tersedu- sedu berkata:
"Saya malu suster..," "Lho, ada apa ini? Pulang-pulangkak nangisl" tanya saya dengan kaget. "Saya malu pada diri sendiri. Pengalaman selama live-in ini menyadarkan bahwa selama ini saya rakus. Adik-adik angkat dimana saya live-in, sebelumpergi sekolah hanya sarapan nasi sisa semalam dengan lauk seperempat bagian supermi. Saya melihat sendiri suster, satu mangkuk, supermi dibagi empat. Mereka makan tanpa mengluh, bahkan kalau tidak adil uang untuk beli supermi, simbok hanya memberi sarapan dengan kuah sayur sisa kemarin. Dan denganpakaian seragam yang sudah butut, mereka jalan kaki berangkat sekolah. Sedangkan di asrama saya kalau masak supermi satu bungkus dengan satu telor untuk diri saya sendiri, bahkan sering saya dapat menghabiskan dua mangkuk. Itupun hanya sebagai makanan selingan saja disamping makanan dari asrama danjajan. Lehih malu lagi ketika saya lihat bapak atau simbok beli lauk untuk saya ......Bapak jadi kuli srabutan dan simhok bikin sapu lidiuntuk dijualdipasar. Saya malu suster ....". "Lalu sekarang kamu mau buat apa? tanya saya. "Saya mau bertobat suster, mengurangi jajan dan ngemil Saya tidak akan menuntut minta tambah uangjajan pada ortu. Kasihan bapak simbok dan adik-adik angkat saya di kampung kumuh itu, dan kasihan juga orang tua saya." Sambil mengusap air mata, ia pamit pergi ke Unitnya. Tina itu memang agak bandel dan punya hobi makan. Dia pandai cari waktu luang untuk jajan atau masak supermi. Makin lama makin tambah gendut seperti tong pendek. Belajar sambil ngemil itulah hobinya. Kalau salah seorang suster lewat unitnya, cepat-cepat kacang goreng atau marning itu disembunyikannya. Lalu ia pura-pura sibuk membaca. Tapi anak itu lucu, ramah dan baik hati. Pengalaman live-in membuka matanya akan penderitaan sesama. Melihat kemiskinan keluarga dimana dia tinggal selama live-in menyadarkannya untuk ikut bela rasa dan "bertobat" mengurangi jajan dan kesukaan-.nya ngemil juga membuka mata hatinya untuk melihat cintakasih dan jerih payah orangtuanya mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya. Namun itu juga memerlukan suatu perjuangan keras untuk 'memerangi' hobinya makan dan ngemil. . .
Ikan hidup untuk alat peraga Selain home-stay dan live-in, sekolah juga mempunyai program latihan berkatekese. Anak-anak diberi kesempatan secara bergilir dua minggu • sekali mengajar agama/berdoa pada adik-adik sekolah Minggu di desa-desa sekitar Muntilan. Tugas berkatekese berlangsung setahun mulai dari klas II semester genap sampai dengan klas III semester ganjil. Beberapa desa letaknya sangat jauh dari asrama. Turun dari angkudes mereka masih harus jalan kaki lebih dari satu jam lewat jalan sempit dan terjal. Dan Ria, siswi klas II, untuk pertama kali mendapat giliran berkatekese ke salah satu
desa yang jauh itu. Sepulangnya ia mengeluh: "Aduh capai sekali, rasanya kakikaki ini mau copot. Dan hasilnya tak sebanding denvan jerih pajah!" "LJ)o mensapa tidak sebanding?" tanya saya. "Bayangkan suster. . . naik turun angkudes, lalu bolak balik jalan kaki jauh sekali. Dan berapayang datang? Delapan anak, itupun rumahnya saling berjauhan. Ah, rasanya malas kalau harus datang ke situ lagi..." gerutunya. Dasar anak gedongan yang tak terbiasa jalan kaki jauh. Air mata mulai mengambang di pelupuk matanya. Saya katakan bahwa justru 8 anak kecil dari desa itu sangat membutuhkan perhatian, kasih sayang, pelajaran agama serta kehadirannya. Saya tambahkan juga bahwa kehadirannya akan menjadi hiburan bagi mereka yang hidup di daerah terpencil itu. Ria diam mendengarkan sambil meremas-temas sapu tangan lalu mengusap air matanya. Kemudian tanpa berkata sepatah pun, ia pergi ngeloyor ke unitnya. Saya tidak tahu apa yang dipikirkannya waktu itu. Dua minggu kemudian ia datang lagi membawa ember berisi air setengahnya. Kali ini wajahnya nampak cerah. Dengan sikap membujuk ia minta ikan dari kolam di muka gua Maria. "Ikan? Untuk apa?" tanyaku. "Untuk alat peraga mengajar agama adik-adik sekolah Minggu. Habis itu dibagikan pada mereka untuk dihawa pulang lalu di goreng untuk lauk" jawabnya dengan agak malu. Saya lalu teringat kembali peristiwa dua minggu sebelumnya. Ketika itu ia mengeluh tentang pengalamannya mengajar agama pertama kali. Bukankah ia kesal dan kecewa karena hasilnya tidak sebanding dengan jerih payahnya? "Kamu mau mengajar tentang apa?" tanya saya dengan heran. "Ada deh.. suster mau tau aja. ^abasia dong. ..". Begitu dapat ijin, ia bersorak lalu lari mencari Pak Jo untuk minta tolong mengambilkan ikan-ikan dari kolam. Dan benarlah keesokan harinya ia pergi berkatekese, membawa ember berisi air dan ikan hidup. Dua minggu sebelumnya ia mengeluh harus jalan kaki jauh..Kini dengan gembira ia pergi menemui adikadik sekolah Minggu di desa terpencil itu. Kalau dulu ia mengeluh karena harus berjalan jauh, kini ia berjalan jauh sambil meneteng sebuah ember berisi air dan ikan hidup.Tugas yang semula dirasanya berat, melelahkan dan mengecewakan, kini dijalaninya dengan riang karena mau memberi perhatian, kasih sayang dan hiburan kepada adik-adik di desa terpencil itu. la tahu bahwa adik-adik kecil di desa itu mengharapkan kehadirannya. Tuhan sendiri yang berkarya menumbuh kembangkan nilai-nilai hidup dalam had anak itu.
dibagikan pada teman-teman yang tidak pulang ke ortu karena rumahnya jauh. Acara harian sudah berjalan lagi seperti biasa dari bangun pagi sampai tidur malam. Anak-anak klas I dan II sudah harus tidur jam 21.00 dan anak-anak klas III boleh meneruskan belajar sampai jam 23.00. Kami bergilir keliling unit-unit_untuk mengontrol apakah anak-anak klas I dan II sudah pada tidur dan anak-anak klas III sungguh belajar atau hanya bacabaca saja. Suatu malam ketika giliran saya mengontrol, saya mendapati bahwa unit-unit klas I, pintu-pintunya sudah dikunci, lampu-lampu sudah (lipadamkan kecuali lampu malam di ruang tidur, dan suasana sepi. Mereka feudah tidur semua. Lalu saya keliling ke unit-unit klas II. Lampu-lampu ieon di ruang tidur dan ruang studi juga sudah dipadamkan. Tetapi hai ada disitu? Di unit Theresia ada cahaya lemah di lorong tengah. Terdengar jsuara bisik-bisik dan gemeresik kertas yang dilipat lalu dipotong. Ada apa gerangan? Saya dekati dan mencoba masuk unit itu.Temyata pintu depan oelum dikunci. Beberapa anak dengan "baju kebesaran" (baju tidur). Duduk di lantai di terangi lilin sedang sibuk bekerja. Ada yang memo-|tong kertas , ada yang membungkus barang dengan kertas itu, ada yang nengikat bungkusan-bungkusan itu dengan -pita merah. Mereka kaget nelihat saya masuk. "He,jangan berisik! Mengapa kalian belum tidur? Bukan di mu, ayo smi kembali ke Unit masing-masing dan cepat tidurl" saya berbisik marah menyuruh mereka tidur. " Suster. . . kami minta waktu sedikit lagi. Tadi mngerjakan banyakp.r. untuk besok. Ualu kami belum selesai membungkus kado dan membicarakan permainan-permainan untuk perayaan Natal bagi adik-adik sekolah Minggu di desa besok lusa" jawab ketua unit. Saya tidak jadi marah. Mereka saya ijinkan dengan pesan agar tidak berisik mengganggu temanteman di unit itu yang sudah pada tidur. Mereka itu beberapa anak dari tiga unit klas II yang akan merayakan Natal bersama adik-adik sekolah Minggu di desa-desa. Rupanya mereka menyisihkan sebagian uang saku mereka dan secara patungan membeli barang-barang untuk kado dan alat-alat permainan untuk perayaan Natal itu. Suatu pengorbanan berat untuk tidak beli bakso atau mi ayam demi adik-adik di desa-desa. Dalam diri mereka mulai tumbuh benih kasih sayang, perhatian pada adik-adik sekolah Minggu di desa-desa itu. Mereka akan membagikan kegembiraan Natal kepada anakanak kecil yang terbiasa hidup sederhana, jauh dari gebyar pesta-pesta dan kerlap-kerlip lampu hias pohon Natal.
Hadiah Natal buat adik-adik
Kado ultah pernikahan
Sudah beberapa hari mereka kembali dari liburan Natal dan terbiasa lagi dengan hidup rutin di asrama dan sekolah. Mereka masih punya persediaan makanan kecil yang dibawa dari rumah. untuk dimakan sendiri dan sebagian
Sudah agak lama saya mengamati tingkah laku Eni agak lain dan biasanya. Sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan. Kadang-kadang ia mengangguk dan tersenyum sendiri. Sedang jatuh cintakah dia? Sepertinya
J~ OJ
~f
O
O
-
/
-
i
~
"
^
tidak la siswi klas III yang rajin dan tekun, Tak ada tamunya yang istimewa di malam Minggu. Dan selama ini studinya lancar-lancar saja. Beberapa kali ia tidak pulang ber week-end ke rumah ortu. Kalau saya tanya apa sebabnya, dengan tersenyum ia selalu menjawab kalau mau belajar untuk mempersiapkan ujian. Saya tidak yakin akan jawabannya. Juga tidak nampak lagi kebiasaannya membawa sebungkus mie atau nasi goreng sepulangnya dari Misa Sabtu sore. Semua tingkah lakunya itu menjadi teka—teki bagi saya. Namun saya biarkan asal tidak mengganggu studi dan hidup bersama di asrama. Teka-teki itu terjawab ketika pada suatu hari, bapak dan ibunya datang. Dengan terharu dan bangga mereka bercerita bahwa Eni telah mempersiapkan sebuah kado Ulang Tahun Pernikahan mereka yang ke 20. la secara diam-diam meletakkannya di ruang tengah sebelum kembali ke asrama. Bungkusan kado ini berisi sebuah fbto keluarga yang diperbesar dan diberi bingkai yang sangat indah, sebuah kemeja batik bagi bapak dan sebuah blus indah bagi ibunya. Mereka tak habis pikir dari mana Eni dapat uang untuk membeli kado seindah itu. Uang saku yang mereka berikan tidak besar. Pasti berbulan-bulan ia menghemat uang transport dan jajan untuk dapat menbeli kado itu. Mereka sungguh terharu karena pengorbanan, perhatian dan kasih sayang yang telah diungkapkan'Eni. Belum pernah sebelumnya mereka mendapat perhatian dan ungkapan kasih sayang seperti itu. Dengan terbata-bata karena haru sang bapak bertanya: "Apakah suster mengajari anak-anak asrama memberi perhatian kepada orang tua seperti iti Tidak Pak ", jawab saya. Memang tidak. Tuhan sendiri yang mengajari mereka melalui berbagai latihan yang mereka jalani. Tuhan sendiri yang menumbuh kembangkan benih nilai-nilai hidup yang ditabur Kami ini ibaratnya hanya sebagai lanjaran bagi tanaman menjalar agar merambat lurus untuk mendapat cukup sinar matahari, sehingga dapat berkembang dan menghasilkan buah.
Kado ultah bagi kakak angkat Dari jendela susteran saya lihat Yani, siswi klas I, dan Vita, siswi klas II, duduk berdua di pojok halaman asrama. Mereka habis makan malam dan menunggu bel berbunyi untuk studi malam. Jadi masih ada waktu luang sedikit untuk ngobrol. Tapi mereka hanya berbicara dengan berbisik-bisik. Nampaknya mereka membicarakan sesuatu yang dirahasiakan bagi orang lain. Kadangkadang mereka melihat sekitar kalau-kalau ada yang lewat dan mendengarkan. Bel berbunyi dan dua anak itu menuju unitnya masing-masing untuk studi malam. Empat hari kemudian sehabis makan siang ada "perayaan" kecil di bawah pohon nangka dekat susteran. "Happy birthday to you, happy birthday to you" Yani dan Vita menyanyikan lagu itu sambil bertepuk tangan di hadapan Rina, siswi klas III. Rupanya Rina hari itu berulang tahun. Sehabis nyanyi
kedua anak itu memberi selamat pada Rina. Lalu ada "upacara" jabat tangan, peluk cium dan penyerahan kado. Kado buat sang kakak angkat yang mereka beli secara patungan. "Oh . . . bagus sekali, benar-benar indah . . ., terima kasih adik-adik" seru Rina ketika membuka bungkusan kado itu. Dan sekali lagi dipeluknya Yani dan Vita. Kedua adik itu sangat gembira dapat menyenangkan hati sang kakak angkat. Lalu mereka makan kue-kue yang juga dibeli oleh Yani dan Vita secara patungan. Pesta kecil itu berakhir ketika bel tidur siang berbunyi. dan mereka pergi ke unit masing-masing. Yani, Vita dan Rina adalah kelompok kecil terdiri dari seorang siswi klas I, seorang siswi klas II dan seorang siswi klas III dalam sistem kakak -adik. Dalam mendampingi para siswi kami membentuk kelompok-kelompok semacam itu. Tujuannya agar mereka saling membantu, saling menghibur, saling memperhatikan, saling menya-yangi dan saling meneguhkan. Cara membentuk kelompok-kelompok itu sederhana saja. Setiap awal Tahun Ajaran Baru, para siswi klas II kami kumpulkan di kapel. Setelah berdoa bersama dan kami beri pengarahan singkat, mereka satu per satu boleh mengambil gulungan-gulungan kecil yang berisi nama-nama siswi klas I. Mereka yakin bahwa nama yang diambil itulah nama adik klas I yang diberikan Tuhan. Adik baru itu menggantikan kakak klas III yang telah lulus. Menurut pengalaman kami banyak segi positifnya yang muncul dari sistem kakak-adik ini. Nilai-nilai kasih sayang persaudaraan, saling menghibur, saling melayani, saling meneguhkan, saling memperhatikan, solidaritas, muncul dan sungguh dihayati dalam kelompok-kelompok kecil ini. Sungguh mengharukan melihat bagaimana mereka menyisihkan uang saku yang pas-pasan dan waktu luang yang singkat, untuk membeli buah atau rod bagi kakak atau adik angkat yang baru sakit. Secara sembunyisembunyi mereka berunding untuk memilih kado apa yang akan mereka berikan kepada adik atau kakak angkat. Seringkali juga terjadi relasi antar keluarga dari kelompok-kelompok kecil ini. Misalnya sang kakak bersama keluarganya minta ijin untuk membawa sang adik, yang tidak mendapat besuk, untuk jalan-jalan dan makan-makan diluar. Demikian juga sang adik minta ijin untuk mengajak sang kakak berweek-end di rumahnya karena rumah sang kakak sangat jauh. Antar keluarga kelompok kecil saling memperkenalkan, saling memperhatikan, saling menjalin relasi.
Berbela rasa Edwi, siswi klas III, jatuh sakit dan berbaring di kamar sakit unit Monika. Badannya panas dan ia mengeluh sangat pusing kepala. Semula kami kira ia kena flu, maka kami beri obat turun panas dan pusing kepala. Tetapi pada hari ketiga panasnya belum turun dan kaki kanannya tidak bisa digerakkan, seakan
lumpuh. Dengan cemas kami bawa anak itu ke R.S. Panti Rapih untuk diperiksa dokter. Dokter mengatakan bahwa Dewi kena virus kucing dan harus segera dirawat di rumah sakit. Anak itu lalu di rawat di Carolus (sekarang diganti nama Elisabeth) lantai tiga klas tiga. Menurut para perawat Edwi harus diinfus dengan obat yang hafganya sangat mahal. Dibutuhkan sejumlah besar uang untuk membayar beaya perawatan, obat infus dan obat-obatan lain. Sepulangnya dari rumah sakit saya menelpon mamanya untuk memberi tahu bahwa anaknya dirawat di Panti Rapih. Teman-teman Edwi mengatakan bahwa seandainya mamanya bisa dating toh tidak bisa berbuat apa-apa, karena ekonomi keluarga itu lemah. Untuk membayar uang sekolah dan asrama kerapkali kesulitan. Tidak mungkin mama itu dapat menyediakan sejumlah besar uang dalam waktu yang singkat. Maka saya mencari jalan untuk mendapatkan sejumlah uang yang diperlukan untuk perawatan Edwi. Saya serahkan pada Tuhan bagaimana saya mendapatkan uang itu. Malam harinya kami kumpulkan semua anak asrama untuk berdoa malam bersama. Sesudah doa malam saya ceritakan kepada mereka keadaan sakit Edwi, biaya besar untuk merawat dan mengobatinya, kesulitan saya dan keluarganya mendapatkan sejumlah besar uang dalam waktu singkat, dan kemungkinan yang terjadi bila ia tidak diobati segera. Lalu saya "khotbah" singkat ten tang bela rasa. Mereka diam mendengarkan. Saya tidak tahu apa yang berkecamuk dalam hati mereka waktu itu. Pertemuan selesai sesudah saya mengucapkan " Goodnight, and... have a nice dream!". Mereka pulang ke unit masing-masing dan kami para suster kembali ke susteran. Tak lama kemudian anak -anak itu datang ke susteran. Ada yang sudah menggenggam uang, ada yang minta uang saku yang dititipkan pada suster pendamping dan diberikan kepada saya untuk menyumbang Edwi. Ada yang memberi banyak, ada yang memberikan sebagian uang saku, bahkan ada yang memberikan seluruh uang saku yang dimilikinya waktu itu. Malam itu juga terkumpul uang sebanyak Rp.l .500.000,-, jumlah yang cukup besar untuk ukuran tahun 1995. Mendengar hal itu, hari berikutnya pada waktu sore beberapa anak perwakilan Asrama Putra datang menyerahkan uang sumbangan sebesar Rp, 900.000,- Jadi semuanya terkumpul uang sejumlah Rp.2.400.000,-, jumlah yang cukup besar untuk membantu biaya perawatan Edwi. U ang itu kami berikan kepada mamanya yang dengan penuh syukur dan terharu menerimanya. Trima kasih Tuhan, anak-anak telah Kau tunjukkan bagaimana berbela rasa dengan teman dan sesama yang menderita. Semoga benih yang telah Kau tabur dan tumbuh | dalam hati anak-anak itu, mereka hidupi dan kembangkan.
If Uanghasiljerihpayahpertama if
Progtam lain dari sekolah adalah mencari uang untuk beaya bakti
:
sosial. Kegiatan itu tidak mengganggu jam-jam effektif studi karena i dilakukan pada waktu luang sesudah ulangan umum. Anak-anak klas II disuruh mencari uang entah dengan memburuh atau berjualan. Dalam hal ini anak-anak putri biasanya lebih jeli mencari pekerjaan yang dapat menghasikan uang. Ada yang buruh mencuci dan menyetrika baju temanteman sendiri, ada yang menjualkan gorengan ibu-ibu dapur atau tetangga asrama, ada yang membuat roti panggang untuk dijual, ada yang jual mi goreng yang dibuat tetangga, ada yang buruh mencuci piring di restoran, ada yang membuat es buah untuk dijual, ada yang memburuh membersihkan bawang merah di pasar. Tiap sore mereka harus melaporkan dan menyerahkan uang hasil kerja mereka sehari itu kepada salah seorang pendamping di sekolah. Tujuan mencari dan mengumpulkan uang selain untuk bakti sosial, juga untuk menyadarkan mereka betapa susahnya orang mencari uang untuk beaya hidup. Dengan demikian mereka akan menghargai jerih payah orangtua. Berbagai pengalaman tentang mencari uang mereka ceritakan pada saya. Segala jerih payah dilupakan karena mendapat uang untuk bakti sosial. Susi, si bongsor, memilih jualan gorengan yang dibuat oleh salah satu ibu yang kerja di dapur. Ibu itu memberi harga Rp 75,-untuk sebuah gorengan dan Susi menjualnya Rp 100,- per buah. Jadi ia mengambil untung Rp 25,- untuk setiap gorengan. Pada hari pertama berjualan, dengan kenesnya ia membawa sebuah nampan besar berisi gorengan, mondar-mandir berpanas-panas di jalan dan menawarkan pada setiap orang yang lewat. Caranya menawarkan sungguh lihai sehingga banyak orang tertarik membeli gorengan jualannya. Saya pun kena bujuk rayunya untuk membeli jualannya. Sore harinya ia datang ke susteran sambil berteriak: " Suster .... Apalagi maunya si brengsek yang braok ini. Saya keluar melihat ia menari-nari sambil mengacung-acungkan uang Rp. 3.000,terdiri dari 2 lembar uang lima ratusan, 2 lembar uang seribuan yang sudah agak lusuh. "Suster, ini untung saya berjualan gorengan hari ini. Akan saya setrika dan saya surub laminating kemudian saya simpan sebagai kenangan basil jerih pay ah pertama". "Lho, kan harus diserahkan pada pendamping di sekolah." kata saya mengingatkan. "Uang Rp.3.000,- ini sudah saya ganti dengan saku saya dan sudah saya serahkan kepada bruder disekolah tadi. Uang ini meski agak keek akan saya simpan sehagai kenangan. Susahjuga can uang itu ya suster . . . " jawabnya kemayu sambil ngeloyor pergi. Etty dan Rkin mendapat pekerjaan sebagai pelayan dan pencuci piring di restoran. Rasa malu mendapat tatapan sinis dan curiga dari pengunjung ditepisnya demi mendapatkan uang untuk baksos. Bukannya tanpa pergulatan dalam batin mereka. Kedua anak itu berasal dari keluarga cukup.
Pasti bekerja seperti itu belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Beberapa hari telah mereka jalani sebagai buruh pencuci piring di restoran. Mereka berangkat pagi dan pulang sore. Pada suatu malam sesudah makan, kedua anak itu mencari saya. "Suster, apakah ibupemilik restoran itu tidak rugi karena kehadiran kami berdua?" tanya Etty ragu-ragu. "Lho, mengapa rugi? Kalian fob kerja di sana dan pant as dapat imbalan? Apa karena kalian malas atau kerja lamban? saya balik bertanya. "Eukan itu soalnya suster. Kami merasa dimanjakan oleh ibu tadi. Jam 10 siang kami diberi snack dan minum,jam \ siang kami diberi makan soto dengan minum es buah. Sotonya itu Iho suster, kayaknya ibu tadi dengan sengaja memasukkan daging ayam banyak sekali di dalamnya. Dan es buahnya enak sekali dan banyak isinya. Jam 4 sesudah diberinya minum, kami disuruh pulang dan masing-masing diberi uang saku Rp. 5.000,-. Bukan hanya ini suster, tapi sejak datang ibu tadi selalu memperlakukan kami dengan baik dan murah hati Apa tidak rugi? Cerita Etty dan Ririn secara bergantian. "Ah, terima saja semuanya itu denganpenuh syukur. Itu semua adalah rejeki dan kasih sayang Tuhan yang diberikan-Nya kepada kamu berdua lewat ibu tadi. Tidak usah khawatir, ibu tadi tidak akan rugi karena Tuhan akan membalas kebaikannya. Sudah sana pulang ke unit dan istirahat." jawab saya. Kali ini Tuhan mengajar mereka untuk menangkap dan merasakan kebaikan, kemurahan hati dan kasih sayang ibu tadi, bersyukur atas kebaikannya dan mengkhawatirkan apakah ibu tadi menjadi rugi karenanya.
Empat kali ditolak... Lain lagi pengalaman Ana dan Popi dalam mencari uang. Dengan wajah cemberut, kesal dan menahan tangis kedua anak itu bercerita: "Kami jengkel, malu dan sakit hati, suster.....! idiiihjudes dan kikirnya ibu tadi..." "Hei ada apa ini kok pagi-pagi sudah menggerutu dan marah-marah? Kalau cemberut macam itu nanti Hang ayune Iho " canda saya. "Suster tidak merasakan sib. Sudah empat kali kami ngebelpintu rumah gedong, cari kerja membersihkan rumah, cud piring, cud dan setrika baju. Empat kali pula kami ditolak dan caranya itu Iho suster, sungguh menyakitkan hati. Dengan muka masam atau cemberut atau sinis dijawabnya bahwa mereka tidak membutuhkanpembantu,yang terakhir ini sungguh keterlaluan. Selain sinis ibu itu menggebrak menutuppintu di muka kami. Mendingan tidak usah kerja cari uang. Kami ambilkan saja sedikit uang saku dan diserahkan tiap sore di sekolab." demikian gerutu mereka bergantian. "U>o belum-belum kok sudah putus asa. Kalian ditolak empat kali, Ibu Maria dan Bapa Yosef ditolak beberapa kali waktu cari pmginapan, mereka mungkin lebih diremehkan daripada kalian. Ya begitulah cari kerja itu susah. Cobalah sekali lagi ke tempat lain. Mungkin ibu-ibuyang empat itu sungguh tidak memerlukan pembantu. Siapa tahu di tempat lain kalian beruntung. Masih ada waktu untuk mencoba lagi. Danjanganpakai uang saku untuk disetorkan. itu namanya menipu din dan menipu pendamping sekolah. Kalau dapat uang dari basiljerih pajah, itu akan memberi kepuasan tersendiri. . ." saya mencoba membujuk dan menyemangati
mereka. Mereka diam dan pergi untuk mencoba cari kerja lagi. Keesokan harinya mereka mengatakan sudah dapat kerja di suatu keluarga yang baik dan menganggap mereka sebagai anak sendiri. Pengalaman ditolak dan diremehkan mengajar mereka untuk rendah hati, ulet, tahan uji dan tidak putus asa. Masih banyak cerita semacam itu, tetapi terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Saya diutus mendampingi para siswi van Lith selama 7 tahun dan kini sudah genap 5 tahun saya meninggalkan Aspi van Lith. Tentunya sudah banyak siswi yang sukses dalam studi, kerja atau membina keluarga, Apakah mereka masih menghidupi, memelihara, dan menumbuhkembangkan nilai-nilai hidup yang mereka temukan semasa hidup bersama di asrama dan di SMA Van Lith? Apakah mereka juga menjadi garam masyarakat di lingkungan mereka? Saya tidak tahu, tetapi mengharapkan demikian. Semoga benih nilai-nilai hidup yang ditabur dan tumbuh semasa mereka tinggal di asrama dan bersekolah di SMA van Lith, tetap diskami agar hidup, berkembang dan berbuah. Demikianlah sharing saya tentang bunga rampai kehidupan di Aspi van Lith.lSr Ursula.CB)