Wahyudi Fajar Firmansyah
AKAD MURA>BAH}AH PADA BANK SYARI’AH DAN KESESUAIANNYA DENGAN FATWA DSN-MUI Oleh : Wahyudi Fajar Fimansyah* Abstract Contract agreement in Shariah banking, globally, including contract of mura>bah}ah adopt the principle of profit and loss sharing based on profit margins. In most practical of shariah banking the implementation of contract of mura>bah}ah performed in conjunction with the purchase of goods in wakalah contract. In accordance to shari'ah, the process should be preceded with the agreement of the customer to the bank for facilitated buy something, then wakalah contract to purchase goods, and ended with transaction to sale and purchase agreement with mura>bah}ah contract. The most important point is about wakalah contract. Mura>}bahah contract conducted by Shariah banking in practice if not in accordance with the DSN-MUI fatwas as a legal supervisory institution in the contract formation of mura>bah}ah, it can be *
Dosen Tetap Fakultas Syari’ah UNHASY Tebuireng, Jombang.
99
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
categorized as a form of disobedience of citizens against the rules made by the government. Keywords: contract of mura>bah}ah, shari'ah banking, DSN-MUI fatwas
100
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
Pendahuluan Pada awal terbentuknya bank Mu’amalat sebagai bank syari'ah pertama di Indonesia pada tahun 1992, banyak yang memprediksi bahwa bank syari'ah tidak akan berkembang di Indonesia karena tidak akan dapat bersaing dengan bank konvensional. Hal tersebut juga sejalan dengan tidak adanya dukungan pemerintah dengan tidak adanya undang-undang yang khusus mengatur bank syari'ah. Pada saat itu hanya ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang di dalamnya hanya disebutkan mengenai bank dengan prinsip bagi hasil. Walaupun pada perkembangannya bank-bank syari'ah keberadaannya kini telah menjamur di Indonesia, sebagian masyarakat masih banyak yang berasumsi bahwa bank syari'ah hanyalah sebuah label yang digunakan untuk menarik simpati masyarakat muslim di bidang perbankan. Mereka berpendapat bahwa bank syari'ah merupakan bank konvensional dengan istilah-istilah perbankan Islam, dengan kepala akad yang dibubuhi kalimat bismillahhirrahmaanirrahiim dan pegawai yang mengenakan busana islami dan mengucap salam. Akan tetapi, dalam pelaksanaan akad, bank syari'ah masih menggunakan cara-cara yang dilarang oleh agama. Hal ini merupakan salah satu bentuk sikap skeptis dari masyarakat tentang adanya perbankan syari'ah karena memang tidak dapat dipungkiri bahwa konotasi perbankan sejak dahulu memang terpisah secara nyata dengan syari'ah sehingga pada awal mula pembentukan perbankan syari'ah banyak yang tidak percaya akan adanya keberhasilan para ekonom Islam dalam menyatukan institusi perbankan dengan syari'ah. Salah satu akad di perbankan syari'ah yang banyak mendapat penilaian tentang kehalalan pelaksanaanya adalah akad mura>bah}ah, yaitu akad jual beli dengan 101
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
harga jual terdiri dari harga beli dan keuntungan yang sudah disepakati.1 Sejauh ini mayoritas portofolio pembiayaan oleh bank syari'ah didominasi oleh pembiayaan mura>bah}ah. Salah satu parameter untuk menilai apakah suatu produk telah memenuhi prinsip syari'ah atau tidak adalah dengan memperhatikan akadakad dan berbagai ketentuannya yang digunakan dalam produk tersebut. Hal itu sudah dijawab oleh Bank Indonesia sebagai regulator wakil dari pemerintah dengan meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memberikan batasanbatasan berupa fatwa tentang akad-akad di perbankan syari'ah yang selanjutnya melahirkan lembaga Dewan Syari'ah Nasional (DSN) yang merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia yang khusus menangani perbankan syari'ah dan lembaga keuangan syari'ah di Indonesia. Tulisan ini akan melihat (1) bagaimana semestinya proses akad mura>bah}ah yang sesuai syari’ah; (2) jika tidak sesuai bagaimana status ketidaksesuaian tersebut. A. Akad Mura>bah}ah 1. Pengertian Salah satu konsep fiqh mu'amalah yang banyak dipraktekkan oleh perbankan syari’ah adalah akad jual beli mura>bah}ah. Jual beli mura>bah}ah masuk dalam kategori jual beli amanah. Jual beli amanah adalah jual beli yang dilakukan di mana penjual harus menyampaikan secara transparan harga pokok dan kemungkinan keuntungan yang akan didapatkan. Jual beli amanah dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu jual beli altawliyah, jual beli al-wad}i’ah dan jual beli Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek. (Jakarta: Gema Insani Pers, 1998), 101. 1
102
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
mura>bah{ah. Yang disebut terakhir merupakan akad jual beli paling banyak dipraktekkan oleh perbankan syari’ah. Dalam akad mura>bah{ah faktor keamanan dan minimnya resiko bagi bank syari’ah lebih kecil dibanding akad mud}a>rabah dan musha>rakah. Mura>bah}ah merupakan jenis jual beli dengan ketentuan yang lebih spesifik dibanding dengan jual beli pada umumnya. Ada beberapa karakteristik tertentu yang membedakan antara jual beli pada umumnya dengan akad mura>bah}ah. Pengeritan mura>bah}ah secara bahasa berasal dari mas}dar ribh} (keuntungan).2 Mura>bah}ah adalah mas}dar dari ra>bah}a – yura>bih}u – mura>bahatan (memberi keuntungan).3 Sedangkan secara istilah, Wahbah al-Zuhayli mengutip beberapa definisi yang diberikan oleh para Imam mujtahid. Diantaranya ulama’ Hanafiyah mengatakan, mura>bah}ah adalah memindahkannya hak milik seseorang kepada orang lain sesuai dengan transaksi dan harga awal yang dilakukan pemilik awal ditambah dengan keuntungan yang diinginkan. Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat mura>bah}ah adalah jual beli yang dilakukan seseorang dengan mendasarkan pada harga beli penjual ditambah keuntungan dengan syarat harus sepengetahuan kedua belah pihak.4 Sedangkan Wahbah al-Zuhayli sendiri mendefinisikan mura>bah}ah dengan jual beli yang dilakukan seseorang dengan harga awal ditambah dengan keuntungan. Penjual menyampaikan harga beli kepada 2
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh 'ala al-Madzhahib al-Arba’ah, juz 2, (Mesir : Darul Hadits, 1994), 218. 3 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia. (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan PP. alMunawwir, 1984), 498. 4 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatu, (Damaskus : Dar al-Fikr, 2000), 420
103
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
pembeli ditambah dengan permintaan keuntungan yang dikehendaki penjual kepada pembeli. Seperti ungkapan penjual kepada pembeli: “saya menjual barang ini kepada anda dengan harga beli sepuluh dinar. Mohon anda memberi kami keuntungan satu dirham”.5 Dalam Tuh}fat al-T}ullab disebutkan:
املراحبة وهو أبن خيرب املشرتي بثمن ما اشرتاه وبيعه مبثله بربح "Mura>bah}ah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan tsaman (harga perolehan) dan ribh (keuntungan/margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.6 Beberapa definisi di atas secara substansial memberikan pengertian yang sama meskipun diungkapkan dalam redaksi yang berbeda-beda. Hal yang paling pokok, bahwa mura>bah}ah adalah jenis jual beli. Sebagaimana jual beli pada umumnya, akad ini meniscayakan adanya barang yang dijual. Di samping itu, akad mura>bah}ah merupakan akad jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu. Yaitu keharusan adanya penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada calon pembeli sekaligus keuntungan yang diinginkan oleh penjual. Keuntungan yang diinginkan oleh penjual tersebut harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Hal spesifik seperti inilah yang membedakan mura>bah}ah dengan jual beli pada umumnya. Berangkat dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya dalam mura>bah}ah, pola pembayaran barang yang ditransaksikan (diangsur, tangguh atau pembayaran cash) tidak menjadi pembahasan. Maka, pembayaran seseorang menggunakan akad mura>bah}ah 5
Ibid. Zakariya al-Anshari, Tuhfat al-Tullab bi Syarh Tahrir Tanqih alLubab dalam Dumairi Nor, Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Pasuruan : Pustaka Sidogiri, 2007), 40. 6
104
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
bisa dengan cara diangsur, cash atau tangguh. Tidak selamanya mura>bah}ah dibayar dengan cara diangsur seperti yang terjadi di bank-bank syari’ah dewasa ini. Jika sebagian besar atau bahkan mungkin seluruh perbankan syari’ah menggunakan cara diangsur, hal tersebut lebih dikarenakan kemudahan yang diberikan bank kepada nasabah. Selain itu, ketika akad mura>bah}ah sudah terjadi tetapi pembayaran belum dilakukan, maka hubungan penjual dan pembeli menjadi hubungan hutang piutang. Pembeli mempunyai hutang kepada penjual yang harus diselesaikan (dilunasi). Untuk melunasinya ada alternatif untuk dicicil atau dibayar tangguh. 2. Dasar Hukum Akad Mura>bah}ah Akad mura>bah}ah adalah salah satu jenis dari jual beli. Jenis jual beli terdekat dengan akad mura>bah}ah adalah jual beli amanah. Maka, landasan syar’i akad mura>bah}ah adalah keumuman dalil syara’ tentang jual beli. Di antaranya adalah: 7
..... وأحل هللا البيع وحرم الراب.....
"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
ايأيها الذين امنوا ال أتكلوا أموالكم بينكم ابلباطل إال أن تكون جتارة عن 8 تراض منكم "Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian makan harta diantara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang didasarkan pada rela sama rela diantara kalian. Dua ayat di atas menegaskan akan keberadaan jual beli pada umumnya. Keduanya tidak merujuk pada salah satu model jual beli. Ayat pertama berbicara tentang 7 8
QS al-Baqarah : 275 Al-Nisa : 29
105
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
halalnya jual beli tanpa ada pembatasan dalam pengertian tertentu. Sedangkan ayat kedua berisi tentang larangan kepada orang-orang beriman untuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil, sekaligus menganjurkan untuk melakukan perniagaan yang didasarkan rasa saling ridla. Oleh karena itu, akad mura>bah}ah tidak didasarkan pada sebuah ayat spesifik dari al-Qur’an, akan tetapi didasarkan pada keumuman dalil jual beli dalam al-Qur’an. Adapun hadits yang dapat dijadikan landasan adalah:
إبتاع أبو بكر رضي هللا،صح ان النيب صلى هللا عليه وسلم ملا أراد اهلجرة هو: فقال، ولين أحدمها: فقال له النيب صلى عليه وسلم،عنه بعريين .9 أما بغري مثن فال: فقال عليه الصالة والسالم،لك بغري شيء "Benar, bahwa ketika Nabi menghendaki hijrah, Abu Bakar RA membeli dua ekor unta. Kemudian Nabi berkata kepada Abu Bakar: juallah dengan cara “tauliyah” salah satunya kepada saya. Abu Bakar menjawab: salah satunya untuk engkau gratis (Rasul). Maka dijawab oleh Nabi: jika tidak dengan harga, maka tidak usah saya beli.
وده،روي عن ابن مسعود رضي هللا عنه أنه كان ال يرى أبسا بده ايزده 10 . وكل عشرة رحبها درمهان، أي كل عشرة رحبها درهم،دوازده "Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud RA bahwa ia tidak memandang masalah terhadap jual beli yang dilakukan dengan menghitung setiap sepuluh mendapatkan laba satu atau dua dirham. Hadits di atas mengisyaratkan tentang bentuk jual beli dengan cara menghitung antara harga pokok dan laba 9
Hadits di atas dikutip oleh Wahbah al-Zuhailiy dari kitab shahihnya Imam Bukhari, kitab Musnadnya Imam Ahmad, kitab Thabaqatnya Ibn Sa’ad dan kitab Sirahnya Ibn Ishaq. Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam. Juz 5, 421. 10 Ibid.
106
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
yang akan diperoleh. Hadits pertama menuturkan tentang kejadian saat Rasulullah SAW mau melakukan hijrah. Abu Bakar menyiapkan unta dengan membeli dua unta. Rasulullah SAW pun berkeinginan untuk memilikinya. Kemudian Rasulullah menghubungi Abu Bakar untuk memiliki salah satunya dengan pembelian “tawliyah”.11 Abu Bakar menawarkan unta dengan gratis, Rasulullah menolaknya. Sebuah preseden dalam jual beli yang mempraktekkan penyebutan harga pokok dan laba yang akan diperoleh oleh penjual. Sedangkan hadits kedua menceritakan tentang persetujuan Ibn Mas’ud terhadap jual beli yang dilakukan dengan menghitung harga pokok ditambah labanya. Dikatakan oleh Ibn Mas’ud bahwa menjual barang dengan menyebutkan harga pokoknya dan meminta keuntungan tertentu dari barang yang dijual tersebut merupakan jual beli yang diperbolehkan. Jual beli dengan cara seperti inilah yang disebut dengan jual beli mura>bah}ah. Poin penting yang menghubungkan antara hadits ini dan akad mura>bah}ah adalah bahwa dari hadits tersebut didapatkan informasi tersirat tentang keniscayaan jual beli yang dilakukan dengan menyebut harga pokoknya. Meskipun hadits pertama lebih tepat dijadikan dasar dari jual beli tawliyah, namun ia tetap dapat dijadikan landasan jual beli mura>bah}ah, karena antara jenis ini sama-sama mengharuskan menyebutkan harga pokok. Sementara itu, hadits kedua jelas sekali bahwa preseden tersebut merujuk pada akad jual beli mura>bah}ah. 3. Rukun dan Syarat Mura>bah}ah
11
Jual beli al-Tawliyah adalah salah satu jenis jual beli amanah; di mana penjual dan pembeli mengetahui harga pokonya, dan penjual bersedia untuk tidak mendapatkan laba. Ia hanya menghendaki harga pokoknya.
107
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
Oleh karena mura>bah}ah adalah salah satu jenis jual beli, maka rukun mura>bah}ah adalah seperti rukun jual beli pada umumnya, Menurut jumhur ulama’ rukun jual beli adalah 'aqidayn, obyek jual beli, s}i>ghat, dan harga yang disepakati. Jika keempat hal tersebut ditemukan, maka jual beli dianggap memenuhi rukunnya. Sedangkan syarat-syarat sebagai berikut:12
mura>bah}ah
adalah
a. Harga awal harus dimengerti oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Dalam akad mura>bah}ah, penjual wajib menyampaikan secara transparan harga beli pertama dari barang yang akan ia jual kepada pembeli. Sedangkan pembeli mempunyai hak untuk mengetahui harga beli barang. Persyaratan ini juga berlaku bagi jual beli yang sejenis, seperti al-Isyra>k , al-tawliyah, al-wadi>’ah. b. Besarnya keuntungan harus diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak; penjual wajib menyampaikan keuntungan yang diinginkan dan pembeli mempunyai hak untuk mengtahui bahkan menyepakati keuntungan yang akan diperoleh oleh penjual. Jika salah satu dari kedua belah pihak tidak sepakat terhadap keuntungan penjual, maka akad mura>bah}ah tidak terjadi. c. Harga pokok dapat diketahui secara pasti satuannya. Seperti satu dirham, satu dinar, seratus ribu rupiah, satu kilogram gandum, satu kwintal beras dan lainlain. Sebab dalam mura>bah}ah, dan juga dalam jual beli amanah lainnya, yang dikehendaki adalah adanya transparansi antara harga pokok dan kemungkinan laba yang akan diperoleh. Jika barang yang akan ditransaksikan tidak diketahui satuannya, maka akan
12
al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam. Juz 5, 421.
108
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
sulit menentukan keuntungan yang akan diperoleh. Sehingga mura>bah}ahpun tidak terjadi. d. Mura>bah}ah tidak bisa dicampur dengan transaksi ribawi. Pada jual beli barter misalnya, sebuah barang yang dijual dengan timbangan atau takaran tertentu kemudian dibeli oleh orang lain dengan jenis barang yang sama dengan pembelian pertama tetapi dengan takaran yang lebih banyak, maka hal demikian disebut sebagai riba. Dalam transaksi mura>bah}ah kelebihan bukan disebut sebagai keuntungan, tetapi tetap dikatakan sebagai riba. Lain halnya jika barang tersebut dibeli dengan mata uang kemudian dijual lagi dengan barang dengan jenis tertentu, kemudian dibeli lagi oleh orang lain dengan barang yang tidak sejenis. Maka ia tidak disebut sebagai riba. e. Akad pertama dalam mura>bah}ah harus shahih. Jika pada pembelian pertama tidak dilakukan dengan cara yang shahih, maka transaksi mura>bah}ah dianggap batal. Senada dengan beberapa persyaratan di atas, Syafi’i Antonio menetapkan persyaratan mura>bah}ah sebagai berikut:13 a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah. b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. c. Kontrak harus bebas dari riba. d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian. e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
13
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, 102.
109
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
Pada prinsipnya beberpa persyaratan di atas ditetapkan agar transaksi dianggap sah. Maka jika persyaratan di atas tidak dipenuhi, pembeli mempunyai pilihan; yaitu melanjutkan pembelian apa adnya, kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang ia jual atau membatalkan kontrak. Hak memilih sebagaimana di atas bagi pembeli tersebut merupakan jaminan keadilan bagi pembeli. Dalam konteks keharusan untuk menjelaskan harga awal pada jual beli mura>bah}ah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika ditemukan cacat pada barang yang akan dijual setelah di tangan penjual. Menurut sebagian Ulama’ Hanafiyah jika cacat tersebut akibat sesuatu di luar kemampuan penjual, penjual bisa menjual dengan cara mura>bah}ah dan tidak perlu menuturkan cacat yang ada, meskipun tetap dilarang untuk menyembunyikannya. Sedangkan Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa penjual tidak bisa menjual dengan cara mura>bah}ah kecuali ia menjelaskan cacatnya. Hal ini untuk mengghindari kemungkinan munculnya khiyanat dari penjual. B. Profil MUI dan DSN 1. Profil Singkat Majelis Ulama Indonesia Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama’ dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkahlangkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan citacita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.14
14
www.mui.or.id
110
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "Piagam Berdirinya MUI" yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I. Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (warathat al-anbiya>). Maka, mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penajajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam. Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu: 111
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
a. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (wara>tsat alanbiya>) b. Sebagai pemberi fatwa (mufti) c. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (ri'a>yat wa kha>dim al-ummah) d. Sebagai gerakan is}la>h wa al-tajdi>d e. Sebagai penegak amar ma'ru>f dan nahi munkar Dalam perannya, Majelis Ulama Indonesia membentuk beberapa bidang dalam fatwa, yaitu bidang aqidah dan aliran keagamaan, bidang ibadah, bidang sosial dan budaya, serta bidang pangan, obat-obatan dan iptek. 2. Profil Singkat Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air akhir-akhir ini dan adanya Dewan Pengawas Syariah pada setiap lembaga keuangan, dipandang perlu didirikan Dewan Syariah Nasional yang akan menampung berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam penanganannya dari masing-masing Dewan Pengawas Syariah yang ada di lembaga keuangan syariah Pembentukan Dewan Syariah Nasional merupakan langkah efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Dewan Syariah Nasional diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. Dewan Syariah Nasional berperan secara pro-aktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidangn ekonomi dan keuangan. Dewan Syariah Nasional melaksanakan tugas yang menjadi kewajibannya, yaitu :
112
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
a. Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya. b. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan. c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah. d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. Dewan Syariah Nasional dalam melaksanakan tugas yang menjadi kewajibannya mempunyai kewenangan : a. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan syari'ah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait. b. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. c. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah. d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri. e. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. f. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan. Dewan Syariah Nasional dalam melaksanakan tugas dan dalam pelaksanaan kewenangannya menempuh kekanisme kerja :
113
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
a. Mengesahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN. b. Melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan, atau bilamana diperlukan. c. Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bahwa lembaga keuangan syariah yang bersangkutan telah/tidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional menjalankan kegiatan DSN dengan mekanisme sebagai berikut : a. Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu produk lembagakeuangan syariah. Usulan ataupun pertanyaan ditujukan kepada sekretariat Badan Pelaksana Harian. b. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah menerima usulan/pertanyaan harus menyampaikan permasalahan kepada Ketua. c. Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat-lambatnya 20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi telaah dan pembahasan terhadap suatu pertanyaan/usulan. d. Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan ke dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan. e. Fatwa atau memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Dewan Syariah Nasional. Dewan Syariah Nasional memperoleh dana operasional yang dipertanggungjawabkan kepada Majelis Ulama Indonesia. Dewan Syariah Nasional memperoleh dana operasional dari : 114
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
a. Pemerintah (Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan) serta sumbangan masyarakat. b. Iuran bulanan dari setiap lembaga keuangan syariah yang ada. 3. Fatwa DSN-MUI tentang Mura>bah}ah Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No. 04/DSNMUI/IV/2000 Tentang Mura>bah}ah yang ditetapkan di Jakarta Tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H / 1 April 2000 M adalah sebagai berikut15: Menimbang : a. Bahwa masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli. b. Bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan bank syari’ah perlu memiliki fasilitas mura>bah}ah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. c. Bahwa oleh karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang Mura>bah}ah untuk dijadikan pedoman oleh bank syari’ah. Mengingat : 1. Firman Allah QS. Al-Nisa’(4):29 : Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”. 2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275: 15
H Abdul Ghafur Anshori, Payung Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 2007), hal. 81.
115
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
"…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…." 3. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” 4. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…” 5. Hadis Nabi SAW.: Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka."(HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah: “Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib) 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf). 8. Hadis Nabi riwayat jama’ah: “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…” 9. Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad: 116
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” 10. Hadis Nabi riwayat `Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam: “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.” 11. Ijma' Mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara Mura>bah}ah (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz 2, hal. 161; lihat pula al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, juz 5 Hal. 220-222). 12. Kaidah fiqh: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H./1 April 2000. Dewan Syariah Nasional Menetapkan: FATWA TENTANG MURA>BAH}AH Pertama : Ketentuan Umum Mura>bah}ah dalam Bank Syari’ah: 1. Bank dan nasabah harus melakukan akad mura>bah}ah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. 117
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli mura>bah}ah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank. Kedua : Ketentuan Mura>bah}ah kepada Nasabah: 1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank. 2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. 3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. 5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang 118
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
muka tersebut. 6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. 7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya. Ketiga : Jaminan dalam Mura>bah}ah: 1. Jaminan dalam mura>bah}ah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. 2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang. Keempat : Hutang dalam Mura>bah}ah: 1. Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi mura>bah}ah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank. 2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya. 3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan. 119
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
Kelima : Penundaan Pembayaran dalam Mura>bah}ah: 1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya. 2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Keenam : Bangkrut dalam Mura>bah}ah: Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan. 4. Obyek Material pengawasan Syariah atas Pembiayaan Mura>bah}ah Tujuan pelaksanaan pengawasan syariah yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah adalah untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa16: a. Pembiayaan berdasarkan prinsip mura>bah}ah yang diberikan bank kepada nasabah penerima dana telah memenuhi prinsip Syariah b. Akad penyaluran dana berdasarkan prinsip mura>bah}ah telah disusun dengan mengacu pada fatwa DSN-MUI yang berlaku tentang mura>bah}ah serta ketentuan lainya yang berlaku. c. Potongan tagihan mura>bah}ah (al-khasm fi almura>bah}ah) yang diberikan oleh bank bukan dimaksudkan untuk menyesuaiakan dengan suku bunga kredit tetapi diberikan untuk nasabah yang memenuhi kriteria telah melakukan kewajiban 16
Direktorat Perbankan Syariah, Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata cara Pelaporan Hasil Pengawasan Bagi Dewan Pengawas Syariah, (Jakarta : Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2006), 22.
120
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran. Sedangkan yang merupakan pengujian substantif atas transakasi pembiayaan berdasarkan prinsip mura>bah}ah oleh Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai berikut: a. Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam. b. Memastikan bank menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga plus marjin. Dalam hal nasabah membiayai sebagian dari harga barang tersebut, maka akan mengurangi tagihan bank kepada nasabah. c. Meneliti apakah akad waka>lah telah dibuat oleh bank secara terpisah dari akad mura>bah}ah. Apabila bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang tersebut dari pihak ketiga, akad jual beli mura>bah}ah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi pemilik bank yang dibuktikan dengan faktur atau kuitansi jual beli yang dapat dipertanggungjawabkan. d. Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip mura>bah}ah dilakukan setelah adanya permohonan nasabah dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank. C. Praktek Akad Mura>bah}ah Perbankan Syari’ah dan Fatwa Dsn-Mui Fatwa DSN-MUI tentang Mura>bah}ah Pada fatwa tentang akad mura>bah}ah yang dikeluarkan oleh Dewan Syari'ah Nasional di atas menunjukkan adanya fungsi bank sebagai penjual barang. Bank membeli barang dan kemudian menjualnya lagi kepada nasabah dengan sejumlah keuntungan. Bentuk akad mura>bah}ah ini mengharuskan bank 121
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
memberitahukan secara jujur harga pokok barang berikut biaya yang diperlukan dan menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan transaksi jual beli barang kepada nasabah. Sebagai penjual barang, bank syari'ah dalam praktiknya kerap tidak mau dipusingkan dengan langkahlangkah pembelian barang. Pada dasarnya kegiatan pokok perbankan adalah transaksi antar-data, bukan data dengan barang. Karenanya, perbankan pada umumnya, dalam hal ini bank syari'ah menggunakan media akad waka>lah, yaitu memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang tersebut. Dari Fatwa DSN-MUI tentang akad mura>bah}ah di atas dapat dipahami bahwa dalam akad mura>bah}ah proses yang dilalui harus melalui kegiatan transaski atau akad sebagai berikut : 1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau suatu aset kepada bank. 2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia (nasabah) membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang atas nama bank (dengan akad wakalah). 3. Bank menawarkan barang atau aset yang telah dibeli oleh bank kepada nasabah. 4. Nasabah harus menerima (membeli)nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati di awal. 5. Bank dan nasabah membuat kontrak jual beli. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. 6. Jika nasabah menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. 7. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. 122
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
8. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun17 sebagai alternatif dari uang muka, maka : a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya. 9. Jika pembayaran nasabah kepada bank disepakati dengan cara kredit, nasabah secara rutin membayar angsuran kepada bank. Secara ringkas, dalam akad mura>bah}ah terdapat tiga akad yang harus dilakukan, yaitu : 1. Akad/perjanjian dari nasabah kepada bank untuk difasilitasi membeli sesuatu 2. Akad wakalah untuk pembelian barang jika bank mewakilkan pembelian kepada nasabah atas nama bank 3. Akad jual beli dengan mura>bah}ah: a. Bank menawarkan barang atau aset yang telah dibeli oleh bank kepada nasabah dan menentukan keuntungan yang diminta bank kepada nasabah. b. Nasabah membeli sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati di awal. 4. Jika pembayaran nasabah kepada bank disepakati dengan cara kredit, nasabah secara rutin membayar angsuran kepada bank. Langkah pemberian waka>lah kepada nasabah itulah yang oleh sebagian akademisi dianggap bahwa bank 17
Seperempat dari estimasi harga barang yang akan dibeli
123
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
syari'ah terkadang kurang bijak dan tidak hati-hati menerapkan media waka>lah pembelian barang ini. Karena Fatwa MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000 (26 Dzulhijah 1420 H) telah menetapkan bahwa jika bank hendak mewakilkan kepada Nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, maka akad jual beli mura>bah}ah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank. Dengan kata lain, pemberian kuasa (waka>lah) dari bank kepada nasabah atau pihak ketiga manapun, harus dilakukan sebelum akad jual beli mura>bah}ah terjadi. Dalam kenyataannya, akad mura>bah}ah sering kali mendahului pemberian waka>lah dan dropping dana pembelian barang. Bagaima bisa dikatakan barang telah menjadi milik bank, jika droping dana pembelian barang saja dilakukan setelah akad mura>bah}ah ditanda-tangani. Bank Indonesia (BI) nampaknya cukup tegas dalam hal ini. Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/46/PBI/2005 tanggal 14 Nopember 2005 tentang standarisasi akad, BI menegaskan kembali penggunaan media waka>lah dalam akad mura>bah}ah pada pasal 9 ayat 1 butir d yaitu dalam hal bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang, maka akad mura>bah}ah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank. Bahkan dalam bagian penjelasan PBI tersebut ditegaskan bahwa akad waka>lah harus dibuat terpisah dengan akad mura>bah}ah. Lalu ditegaskan, yang dimaksud secara prinsip barang milik bank dalam akad waka>lah pada akad mura>bah}ah adalah adanya aliran dana yang ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan kwitansi pembelian. Dengan penegasan melalui PBI tersebut, maka pada bank syari’ah terjadi perubahan paradigma dalam operasional terkait pembiayaan mura>bah}ah ini. Dalam paradigma lama, bank syari'ah akan melakukan pencairan 124
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
dana setelah akad mura>bah}ah ditanda-tangani. Dalam paradigma baru dimana bank syari'ah harus mencairkan dananya untuk membeli barang yang diperlukan nasabah sebelum akad mura>bah}ah ditanda-tangani. Hal ini akan dibuktikan melalui adanya aliran dana yang ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan kwitansi pembelian yang mendahului akad mura>bah}ah. Jika nantinya ada rekayasa-rekayasa yang dilakukan bank untuk sekedar menunjukan kepatuhannya terhadap aturan tersebut, aturan Bank Indonesia tersebut telah sejalan dengan Fatwa MUI mengenai akad mura>bah}ah, dimana BI dan MUI kembali menempatkan posisi bank dalam kedudukannya sebagai penjual barang. Bukan hanya sekedar lembaga keuangan saja. Hal inilah yang sangat membedakan antara pembiayaan mura>bah}ah di bank Syari'ah dengan kredit pembelian barang biasa di bank konvensional. Apa yang telah ditetapkan pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia melalui DSN-MUI, merupakan implementasi tas}arruf al-ima>m manu>t} bi almas}lahah (apa yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya bergantung pada kebaikan bersama) sehingga ketetapan ini bersifat h}ukm al-ha>kim yurfi’ wa yulzim (keputusan pemerintah bersifat demi meniadakan perselisihan dan bersifat mengikat). Ulama fiqh menggunakan term tas}arruf dalam tas}arruf al-ima>m yang artinya menurut Ibn Mandhu>r dalam Lisa>n al-’Arab adalah : 18
18
ف الشيءَ أ َْعمله يف غري وجه كأَنه يَص ِرفُه عن وجه إىل وجه َ وصَّر َ
Al-Mandzur, Ibn. Lisān al-Arab, (Beirut : Dar Shadir, t,th.), juz ix, 189.
125
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
”Mempergunakan sesuatu kepada keadaan yang lain seperti memindahkannya dari satu bentuk kepada bentuk lainnya” Dalam terma tasarruf, pengertian yang harus dimengerti adalah adanya perubahan dalam keadaan yang tidak sama. Artinya, adanya peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah terkait erat dengan hukum tata pemerintahan yang dinamis. Berbeda dengan hukum tata negara yang sifatnya statis. Dalam praktek bank syari’ah mengenai akad mura>bah}ah, jika ada, yang dalam prakteknya tidak sesuai dengan fatwa DSN-MUI tentang akad mura>bah}ah sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah yang sah, maka dapat dikategorikan sebagai bentuk ketidak-taatan warga negara terhadap aturan yang dibuat oleh pemerintahnya. D. Kesimpulan Dari paparan pokok pembahasan tentang akad mura>bah}ah pada perbankan syari’ah berkait dengan fatwa DSN-MUI tentang mura>bah}ah dan status DSNMUI sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Proses akad mura>bah}ah yang sesuai syari’ah adalah didahului dengan akad/perjanjian dari nasabah kepada bank untuk difasilitasi membeli sesuatu, dilanjutkan dengan akad wakalah untuk pembelian barang jika bank mewakilkan pembelian kepada nasabah atas nama bank, dan yang terakhir terjadi transaksi dengan akad jual beli mura>bah}ah: Poin paling pentingnya adalah mengenai akad wakalah. 2. Akad mura>bah}ah yang dilakukan oleh perbankan syari’ah jika dalam prakteknya tidak sesuai dengan fatwa DSN-MUI tentang akad mura>bah}ah, maka 126
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Wahyudi Fajar Firmansyah
dapat dikategorikan sebagai bentuk ketidak-taatan warga negara terhadap aturan yang dibuat oleh pemerintahnya.
127
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Akad Mura>bah}ah pada Bank Syari’ah
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Al-Karim al-Ans}ari, Zakariya. Tuhfat al-Tullab bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab dalam Dumairi Nor, 2007. Ekonomi Syariah Versi Salaf, Pasuruan : Pustaka Sidogiri. Anshori, H Abdul Ghafur. 2007. Payung Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta : UII Press. Antonio, Muhammad Syafi’i. 1998. Bank Syariah Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Pers. Direktorat Perbankan Syariah, 2006. Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata cara Pelaporan Hasil Pengawasan Bagi Dewan Pengawas Syariah, Jakarta : Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Ibn al-Mandhu>r, t.th. Lisa>n al-’Arab, Beirut : Dar Shadir. al-Ja>ziri, Abdurrahman. , 1994. al-Fiqh 'ala alMadzhahib al-Arba’ah, juz 2, Mesir : Darul Hadits. Munawwir, Ahmad Warson. 1984. al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan BukuBuku Ilmiah Keagamaan PP. al-Munawwir. www.mui.or.id al-Zuhaily, Wahbah. 2000. al-Fiqh al-Isla>miy wa Adillatuh, Damaskus : Dar al-Fikr.
128
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014