Fasiha: Akad Murabahah dan Permasalahannya ……..11
AKAD MURABAHAH DAN PERMASALAHANNYA DALAM PENERAPAN DI LKS Fasiha Abstract: Murabahah emphasis on margins that affect the formation of prices. If the margin is high, murabaha financing will not be attractive to customers, it should be a murabaha financing solutions for customers who have been doing a conventional bank loan. Murabaha financing has been the development of the concept of the classical fiqh. and Murabahah certainly not without the risks faced as a result of the business risk management procedures necessary to mitigate and minimize the risks arising Key Word: Akad Murabahah Pendahuluan Keunggulan sistem perbankan syariah terletak pada sistem yang berdasar atas prinsip bagi hasil dan kerugian (profit and lost sharing) dan berbagi resiko (risk sharing). Sistem ini dinyakini para ulama sebagai jalan keluar untuk menghindari penerimaan dan pembayaran bunga (riba). Bank pada hakikatnya adalah lembaga intermediasi yang menjadi perantara antara para penabung dan investor. Karena tabungan akan berguna bila diinvestasikan, sedangkan para penabung tidak dapat diharapkan untuk sanggup melakukan sendiri dengan terampil dan sukses, maka tidak diragukan lagi bahwa bank dapat melakukan fungsi yang berguna bagi masyarakat. Perbankan dan keuangan Islam telah dipahami sebagai perbankan dan keuangan yang sejalan dengan sistem etos dan nilai Islam. Istilah "interest-free banking" digunakan untuk menggambarkan sistem alternatif. Istilah "bebas bunga perbankan" adalah sebuah konsep yang menunjukkan sejumlah instrumen perbankan atau operasi yang menghindari bunga. Perbankan Islam, istilah yang lebih umum, diharapkan tidak hanya untuk menghindari bunga transaksi, tetapi juga untuk menghindari gharar, serta yang dilarang dalam syariat Islam.1 Perbankan dan keuangan Islam merupakan salah satu industri dengan partumbuhan tercepat di dunia saat ini. Survei pada tahun 2010 mengungkapkan bahwa partum1
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance (Chichester England: John Wiley & Sons Ltd The Atrium Southern Gate, 2007), p. 73.
buhan fenomenal pada tingkat 20 persen di seluruh dunia. Muslim maupun non Muslim semakin datang untuk berinvestasi di Bank Islam dan lembaga keuangan.2 Dilihat dari segi produk, sesungguhnya sistem keuangan dan perbankan Islam merupakan pengejewantahan mekanisme syariah Islam itu sendiri. Setidaknya terdapat 5 (lima) jenis model akad yang bisa diterapkan dalam skim pembiayaan Islam, meliputi mudarabah, musyarakat, Ijarah (leasing), Bay asSalam, Bay al-Murabahah (bay Bi Thasaman Adjil).3 Pada Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Syariah (BPRS) Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank syariah dapat memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudarabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina), akad salam, akad istisna, sewa2
Imamul Haque, A DATABASE of Islamic Banking and Finance (India: Universitas Aligarh Muslim, t.t), p. 41. 3
M, Fahim Khan, Essay in Islamic Economics (United Kingdom: The Islamic Foundation, 1995), p. 89
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
12
Fasiha: Akad Murabahah dan Permasalahannya ……..
menyewa yang diakhiri dengan kepemilikan (ijarah al-muntahiya bi tamlik), dan lainnya yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.4 Akad murabahah lebih ditekankan pada margin yang diharapkan sehingga berdampak pada harga yang terbentuk. Jika margin pembiayaan murabahah tinggi, maka pembiayaan murabahah akan cenderung tidak menarik bagi nasabah, maka seharusnya pembiayaan murabahah menjadi selusi bagi nasabah yang selama ini melakukan pin-jaman kredit di bank konvensional. Pengertian Murabahah Secara harfiah kata Murabahah merupakan istilah yang berasal dari bahasa arab dari akar kata ribhu yang diartikan untung5, dimana secara sederhana murabahah diartikan sebagai sebuah bentuk transaksi jual beli yang menyebutkan modal pedagang dan keuntungan yang diperoleh dalam transaksi jual beli tersebut. Sebagian ulama mengartikan murabahah adalah jual beli barang dengan tambahan yang telah disepakati.6 Udovitch menyatakan bahwa murabahah adalah suatu bentuk jual beli dengan komisi, dimana si pembeli biasanya tidak dapat memperoleh barang yang dia inginkan kecuali lewat seorang perantara, atau ketika si pembeli tidak mau susah-susah sendiri sehingga ia mencari jasa perantara7. Oleh itu salah satu hal yang senantiasa timbul dalam jual beli murabahah adalah si penjual harus memberitahukan keuntungan atau kelebihan yang diambil dari transaksi jual beli tersebut. Dalam murabahah pembeli akan mengetahui besar keuntungan yang akan diambil oleh seorang penjual dari barang.8
Muhammad Taqi Usmani menyatakan murabahah adalah salah satu bentuk jual beli yang lazim digunakan, lebih lanjut beliau menyatakan bahwa praktek murabahah merupakan salah satu bentuk perdagangan yang dilakukan oleh Rasulullah. Namun Sejak awal munculnya dalam fiqh praktek murabahah hanya digunakan dalam praktek jual beli atau perdagangan9. Tidak pernah murabahah dijadikan sebagai salah satu kontrak atau akad dalam sebuah model keuangan atau pembiayaan yang lazim sekarang digunakan dalam dunia perbankan Islam. Dari beberapa penjelasan, murabahah merupakan bentuk jual beli dengan menyatakan harga pokok yang ditambah dengan margin keuntungan sebagai harga jual dan disepakati kedua belah pihak. Adapun pembayaran dalam skim ini adalah dalam waktu yang disepakati baik dengan cicilan maupun sekaligus, dimana risiko menjadi tanggungan penjual sampai barang tersebut diterima pembeli.
5
Landasan Hukum Murabahah Ketika kita merujuk kepada AlQur’an sebagai sumber tertinggi Islam, bagaimanapun Al-Qur’an itu sendiri tidak pernah membicarakan secara langsung tentang murabahah, dalam arti kata tidak satupun ayat yang secara jelas menyinggung praktik jual beli dengan sistem murabahah. Atau bahkan tidak ditemukan satu katapun dalam Al-Qur’an istilah Murabahah ini. Secara umum Al-Qur’an hanya ber bicara tentang jual beli (al-bai’). Sehingga menentukan sumber hukum praktik mura bahah ini ulama mengaitkan praktik mura bahah dengan jual beli. Dimana dalil yang menjadi landasan hukum Murabahah adalah,
6
Terjemahnya:
4
Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 19 Asad M, Al-Kalali, Kamus Indonesia Arab (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Hal. 587 Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance (Pakistan: Idratul Ma’arif, 2000), Hal. 103 7
Abdullah Saeed, Islamic Banking And Introduction a Studi Of Riba And It Contemporary Interpretation Terj. Arif Maftuhi, (Jakarta: Paramadina), Hal. 119. 8
M, Fahim Khan, Economics, 1995. Hal. 83
Essay in Islamic
َوأَ َح َّل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ بَا
“………. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”(QS. AlBaqarah:275) Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman, Hai orang-orang yang beriman, 9
Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance, Hal. 101
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
Fasiha: Akad Murabahah dan Permasalahannya ……..13
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan per niagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa’:29) Berbeda dengan Al-Qur’an, hadis Rasulullah SAW sangat jelas membicarakan tentang murabahah. Hal ini karena praktik Murabahah merupakan salah satu praktik perdagangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa “Dari Suhaib ArRumi r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda; tiga hal yang didalamnya terdapat keber kahan meliputi jual beli tangguh, muqa radah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untukkeperluan rumah, bukan untuk dijual (H.R Ibnu Madjah). Terkait dengan jual beli Murabahah itu sendiri para ulama awal seperti imam syafi’i dan imam malik membolehkan prak tik murabahah ini. Adapun alasan yang diambil oleh imam malik adalah mengacu pada praktik penduduk madinah dimana praktik murabahah yang disamakan dengan jual beli telah dilakukan oleh penduduk madinah. Adapun ulama lain dari madzhab hanafi, marghinani membenarkan keabsahan murabahah dengan alasan “Syarat-syarat yang penting bagi keabsahan jual beli dalam murabahah. Atau dengan kata lain marghinani menyamakan praktik jual beli dengan murabahah. A.
Keuntungan dalam Murabahah Murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli, merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari keuntungan, dimana salah satu yang menjadi pembeda antara Mura bahah dengan bentuk jual beli lainnya adalah ketentuan pengambilan keuntungan yang transparan dalam praktik jual beli. Dalam pengambilan keuntungan ter sebut besarnya keuntungan yang diharapkan harus jelas dan transparan, dengan menya takan harga perolehan dan keuntungan yang diharapkan. Sehingga keuntungan tersebut merupakan lebih bersifat margin atau se suatu yang disepakati bukan dalam bentuk mark up tambahan yang lebih dekat pada
bentuk pendzaliman, ditentukan sepihak tanpa analisis yang rasional. Besarnya keuntungan tersebut sendiri bisa ditentukan dalam nominal nilai uang (Red: rupiah) atau dalam bentuk persentase dari pokok harga barang. Untuk menentukan besar kecilnya komisi atau tambahan ter sebut para ulama madzhab berbeda pendapat dalam menentukan biaya-biaya yang diperbolehkan sebagai tambahan nilai pokok. Golongan maliki membolehkan biaya-biaya yang terkait langsung dan biaya biaya yang terkait secara tidak langsung untuk menambah harga pokok. Berbeda dengan pendapat Maliki, ulama Syafi’i menyatakan bahwa yang dimaksud dengan biaya tambahan dalam murabahah adalah biaya-biaya yang timbul dari transaksi tersebut termasuk keutungan yang diharapkan dari nilai barang, namun biaya tenaga kerja tidak boleh dilim pahkan sebagai tambahan. Ulama hanafi juga menyatakan seorang penjual hanya men cantumkan tambahan pada biaya transkasi jual beli tersebut tanpa harus mencantumkan biaya produksi yang menjadi tanggung jawab penjual. Sementara ulama maliki menyatakan bahwa semua biaya langsung maupun biaya tidak langusung dapat di bebankan pada harga jual selama biayabiaya tersebut akan menambah harga barang.10 B. Pembiayaan Murabahah dalam Perbankan Syariah Hukum Islam melarang riba pinjaman untuk keperluan konsumsi dan produksi. Hikmah di balik larangan ini adalah untuk mendukung sistem ekonomi yang didasar kan pada gagasan kesetaraan dan keadilan. Hal ini karena riba telah dilihat oleh para ahli hukum klasik sebagai akar penyebab eksploitasi ekonomi. Hal ini memungkinkan kreditur kaya untuk memanipulasi debitur miskin. Untuk mengatasi masalah kredit kon sumsi, Muslim didorong untuk menawarkan uang muka kebajikan kepada mereka yang membutuhkan bantuan keuangan. Uang Muka yang ditawarkan murni berdasarkan semangat kebaikan dan persaudaraan. Pem 10
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani, 2001), Hal. 86-87
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
14
Fasiha: Akad Murabahah dan Permasalahannya ……..
beri pinjaman dengan uang muka tersebut dilarang menerima kompensasi apapun. Mereka hanya dijanjikan imbalan besar di akhirat. Sementara itu, untuk menghindari ketidakadilan pinjaman produksi, Hukum Islam merekomendasikan prinsip pembagian risiko dalam memobilisasi sumber daya keuangan Islam. Uang (modal) tidak diakui sebagai faktor produksi dalam kerangka ekonomi Islam. Para ahli hukum klasik menolak gagasan bahwa 'uang bisa menghasilkan uang' tanpa memiliki risiko apapun. Untuk menghasilkan, pemberi pinjaman dan pengusaha diwajibkan untuk menanggung tingkat tertentu kemungkinan kerugian.11 1. Prosedur Pembiayaan Murabahah Skim murabahah merupakan salah satu skim pembiayaan yang dilakukan dalam bank Syariah, dimana produk ini merupakan aplikasi dari akad jual beli yang diprak tikkan pada umumnya. Pada kenyataanya tentu saja bank bukanlah sebuah Showroom yang memamerkan barang-barang kebu tuhan untuk di jual pada pelanggan atau toko serba ada yang menyediakan setiap kebu tuhan pelanggan. Sehingga dalam praktiknya bank senantiasa menyertakan akad tambahan untuk mempermudah kegiatan transaksi, adapun akad penyertaan dalam proses pembiayaan murabahah adalah akad wakalah. Murabahah itu sendiri dalam praktiknya dapat dilakukan dengan pesanan atau pun tanpa pesanan. Dengan kata lain bank melakukan pembelian barang setelah ada pesanan dari nasabah. Dalam kategori ini biasanya pesanan yang dilakukan oleh nasabah mengikat dan tidak mengikat nasabah untuk membeli kembali barang pesanan tersebut. Namun kenyataan dilapangan sangat kecil sekali kemungkinan pembatalan terhadap barang yang telah dipesan. Dalam praktik murabahah pesanan ini, bank boleh meminta Hamish ghadiyah (uang tanda jadi) ketika ijab-kabul. Hal ini hanya sekedar untuk menunjukkan keseriusan si pembeli. Dalam proses pembayarannya, akad Murabahah dapat dilakukan secara tunai ataupun cicilan. Dalam murabahah juga di-
perkenankan adanya perbedaan harga, dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda12. Sebagai contoh harga barang untuk tunai (Naqdan) lebih kecil ketimbang harga barang dengan model skim murabahah Lump-Sum diakhir (Mu’ajjal). Dan harga barang dengan skim murabahah cicilan dengan angsuran (Taqsith) lebih mahal dari harga barang Murabahah Naqdan dan Murabahah Mu’ajjal. Namun dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Sehingga hal ini seringkali menjadi kritik terhadap praktik di perbankan Syariah. Berdasarkan sumber dana yang digunakan pembiayaan murabahah dalam praktiknya, pembiayaan murabahah dapat dibedakan secara garis besar menjadi tiga kelompok13: a. Pembiayaan murabahah yang didanai dari URIA (Unrestricted Investment Account = Investasi tidak terikat) b. Pembiayaan murabahah yang didanai dari RIA (Restricted Investment Account = Investasi terikat) c. Pembiayaan Murabahah yang didanai modal Bank Bonus atau potongan dapat diberikan bank pada nasabah dalam aplikasi praktik murabahah ketika nasabah mempercepat pembayaran cicilan atau melunasi piutang murabahahnya sebelum jatuh tempo. Hal ini memberikan kemungkinan berkurangnya jumlah harga jual dari nilai barang, dari awalnya kontak yang dilakukan. Namun bonus atau potongan tersebut pada dasarnya bukanlah bagian dari kontrak atau akad dalam transaksi. 2. Ketentuan Umum dalam Murabahah Dalam aplikasinya Murabahah pada bank syariah merupakan salah satu model pembiayaan pada nasabah. Dimana pembiayaan tersebut diaplikasikan dalam bentuk penyediaan pembeliaan barang-barang investasi maupun barang konsumsi. Skim ini merupakan bentuk pembiayaan jangka pendek yang relative aman dibanding skim pembiayaan lainnya. Beberapa ketentuan 12
11
Amir Shaharuddin, A Study on Mudarabah in Islamic Law and Its Application in Malaysian Islamic Banks..., p. 257.
Adiwarman A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, edisi ke-3 2007) Hal. 115 13
Ibid, Hal. 116
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
Fasiha: Akad Murabahah dan Permasalahannya ……..15
umum yang menyertai akad murabahah di atur dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah meliputi14; a. Jaminan Pada dasarnya jaminan bukanlah satu rukun atau prasyarat yang harus dipenuhi dalam akad murabahah. Jaminan ini di bolehkan untuk diambil oleh sebagai bentuk antisipasi terjadinya penyimpangan dalam penggunaan dana. Jaminan juga dimaksud sebagai bentuk keseriusan nasabah dalam proses pemesanan barang pada Bank. b. Ketentuan Hutang Secara prinsip hutang yang terjadi dalam transaksi Murabahah adalah antara nasabah (pemesan) dan Bank (penyedia barang). Nasabah tidak ada hubungannya dengan orang ketiga (mitra Bank) yang menyediakan barang. Oleh itu bila terjadi keuntungan atau kerugian nasabah tetap mempunyai kewajiban pada Bank untuk menyelesaikan hutangnya. c. Penundaan Pembayaran Ketika seorang nasabah mempunyai kemampuan membayar hutang, maka ia mempunyai kewajiban untuk membayar hutang tersebut tepat waktu. Bila pembeli menunda pembayaran hutang maka pembeli (bank) berhak untuk mengambil prosedur hukum untuk mendapatkan kembali hutang dan mengklaim kerugian financial yang terjadi akibat penundaan. Atau jika sudah tidak tercapainya musyawarah maka penyelesain dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah. d. Keadaan bangkrut Jika pemesan yang berutang dianggap pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya bank harus menunda tagihan hutangnya sampai ia menjadi sanggup kembali. Atau bisa ditempuh jalan lain meliputi: 1) Mela kukan pembiyaan ulang 2) Penundaan pem bayaran 3) Perbaikan akad (remedial) 4) Memperkecil angsuran dengan memperpan jang waktu akad dan margin baru (Resche duling) 5) Memperkecil margin keuntungan. 3. Menentukan Harga Jual dan Margin Keuntungan
Dalam operasional perbankan syariah model pembiayaan dengan akad jual beli murabahah merupakan salah satu pilihan yang paling aplikatif. Dalam konsep ini hal yang harus dititikberatkan agar terjaga keislaman produk ini adalah menentukan harga jual yang efisien dan adil. Mekanisme penentuan harga jual yang diterapkan dalam praktik jual beli murabahah hendaknya tidak menjadikan tingkat suku bunga sebagai patokan akhir. Tingginya tingkat margin yang diambil oleh perbankan syariah merupakan bentuk antisipasi terhadap naiknya suku bunga dipasar. Namun disisi lain besar nya tingkat margin akan membawa dampak pada tingginya inflasi. Penentuan harga juga hendaknya mengacu pada mekanisme dagang yang dilakukan Rasulullah. Dalam menentukan harga jual, beliau secara transparan menjelaskan harga beli, biaya yang dikeluarkan dan keuntungan wajar yang diharapkan. Cara ini sangat tepat untuk menentukan nilai harga jual sebuah komoditas dalam praktik perbankan. Secara matematis harga jual dapat di hitung dengan rumus. 15 HJ = HBB + CR + K CR = PBPO TVP MP = CR + K X 100 HBB Keterangan HJ = Harga jual HBB = Harga beli bank CR = Cost Recovery K = Keuntungan PBPO = Proyeksi Biaya Produksi Operasional TVP = Target Volume Pembiayaan MP = Margin dalam persentase
Biaya yang dikeluarkan dan harus dikembalikan (cost recovery) bisa didekati dengan membagi proyeksi biaya operasional bank, dengan target volume pembiayaan murabahah di bank syariah. Angka-angka tersebut dapat diperoleh dari rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP). Angka yang diperoleh kemudian ditambahkan dengan harga beli dari pemasok dan keuntungan yang diinginkan, sehingga didapatkan harga 15
14
Rifqi Muhammad, Akuntansi Keuangan Syaria,( Yogyakarta: P3EI Press, 2008), Hal. 159
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, edisi revisi (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2005), Hal. 140
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
16
Fasiha: Akad Murabahah dan Permasalahannya ……..
jual. Margin dalam konteks ini adalah cost recovery ditambah keuntungan bank. Apabila margin ingin dihitung persentasenya tinggal dibagi dengan harga barang dikali 100 %. Setelah angka tersebut diperoleh barulah persentase margin ini disbandingkan dengan suku bunga, jadi suku bunga disini hanya dijadikan benchmark, agar pembiyaan perbankan syariah kompetitif. Dimana margin murabahah diupayakan untuk lebih kecil dari bunga pinjaman. Jika masih lebih besar yang harus diubah adalah cost recovery dan keuntungan yang diharapkan.
Langkah pertama adalah dengan menurunkan keuntungan, jika keuntungan sudah turun sampai batas minimun, dan ternyata marginnya masih lebih besar dari suku bunga, tentunya cost recovery harus ditinjau ulang. Artinya tingkat efisiensi perbankan harus diteliti ulang. Efisiensi yang rendah ini dapat ditingkatkan dengan mengurangi biaya operasional pada target volume pembiayaan yang sama. 4. Risiko dalam Pembiayaan Murabahah Bila dibandingkan antara resiko per bankan konvensional dan perbankan syariah dapat dilihat dari tabel 1 berikut ini
Tabel 1 Perbandingan Resiko pembiayaan antara bank konvensional dan bank Syariah Tipe Resiko Pembiayaan 1. Resiko Kredit 2. Resiko Pasar 3. Resiko Liquiditas 4. Resiko Operasional 5. Resiko Hukum
6. Struktur Modal (Resiko Solvabilitas)
Bagian yang di pertimbangkan Bank Konvensional Bank Islam Resiko kelalaian pembayaran Resiko kelalaian pembayaran Perkiraan pendapatan untuk pembiayaan yang berbasis PLS Berfluktuasinya pasar Pasar Lebih stabil Perhituang yang salah dan Perhituang yang salah dan terdapat pembiayaan alternatif terdapat pembiayaan alternatif Masalah sistem dan karyawan Masalah sistem dan karyawan Bertentangan dengan undangBertentangan dengan undangundang positif undang positif Bertentangan dengan prinsip syariah Besarnya tingkat kepemilikan Besarnya tingkat kepemilikan Komposisi modal untuk investasi tabungan
Sumber: Mohd Daud Bakar (2008) Mekanisme pembiayaan yang menggunakan teknik jual beli Murabahah ter nyata tidak selamanya menguntungkan dan mempunyai risiko yang aman bagi pihak bank. Hal ini merupakan konsekwensi dari proses bisnis yang dijalankan oleh pihak bank. Murabahah merupakan akad jual beli sebagai turunan dari konsep akad Natural Certanty Contracts. Dalam proses manajemen risikonya akad ini mempunyai karakteristik risiko yang memiliki persamaan dengan akad yang berbasis bunga, akad ini telah menjadi sebuah model pembiayaan yang disepakati oleh mayoritas ulama. Namun, pada praktiknya dan aplikasinya didunia perbankan jenis akad ini masih
diperdebatkan terutama oleh ulama fiqh. Perbedaan sudut pandang seperti ini merupakan akar terjadinya risiko sebagai hasil dari tidak efektifnya sistem peradilan. Persoalan ini merupakan awal dari kenyataan bahwa murabahah merupakan jenis akad kontemporer. Terdapat konsensus dari para ulama fiqh bahwa jenis akad ini disepakati sebagai jenis jual beli tangguh. Kondisi atas validitas didasarkan pada adanya objek kenyataan bahwa bank harus membeli (menjadi pemilik) objek transaksi terlebih dahulu, baru kemudian mentransfer hak kepemilikan pada nasabah. Pemesanan oleh nasabah bukanlah akad jual beli, namun
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
Fasiha: Akad Murabahah dan Permasalahannya ……..17
lebih pada sebuah janji untuk membeli.16 Konsekuensi dari bentuk akad seperti ini akan memunculkan tidak terpenuhinya karak teristik akad, hal ini merupakan celah yang dapat memicu perkara peradilan. Risiko seperti ini adalah bentuk risiko hukum syariah yang sangat rentan dihadapi dalam pembiayaan dengan skim murabahah. Masalah potensial yang juga harus diwaspadai oleh bank dalam akad ini adalah keterlambatan pihak ketiga untuk membayar sedangkan bank tidak dapat menuntuk kompensasi harga melebihi harga yang telah disepakati atas keterlambatan pembayaran tersebut. Risiko ini akan menjadi bertambah besar ketika diterapkan dalam pembiayaan jangka panjang. Tidak adanya kompensasi disini memberikan kesempatan pada nasa bah yang mempunyai itikad tidak baik untuk menunda pembayaran (Moral hazard). Besar nya risiko kredit seperti ini, mem butuhkan analisis kredit dan bentuk manajemen risiko yang tepat sasaran. Pergeseran harga di pasar tentunya sangat berkaitan dengan penurunan nilai dan tingkat suku bunga. Dalam konteks ini, biasanya perbankan syariah menggunakan suku bunga patokan (benchmark rate) untuk menilai (menentukan harga) beberapa instru men keuangan. Mark-up ditentukan dengan menambah risiko primium pada suku bunga patokan. Karena hal inilah, jika suku bunga yang menjadi patokan berubah, mark-up dalam kontrak berpendapatan tetap yang sudah diberjalan tidak dapat disesuaikan ulang. Sebagai akibatnya, perbankan syariah mengahadapi risiko karena pergerakan tingkat suku bunga dipasar.17 Risiko suku bunga juga terjadi pada pembiayaan murabahah yang diambil dari rekening investasi. Dimana, nasabah mengharapkan tingkat keuntungan yang sama dengan tingkat keuntungan suku bunga (ketika suku bunga masih dianggap sebagai patokan bagi nasabah yang rasional). Sehingga kenaikan suku bunga bisa menyebabkan investor menarik dananya ketika 16
Thariqul Khan dan Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah, Hal. 54 17
Ibid, Hal: 51
perbankan tidak menaikkan margin bagi nasabah. Hal ini menjadi dilematis bagi perbankan, di satu sisi nasabah penabung mengharapkan keuntungan yang meningkat sesuai dengan kondisi suku bunga, disisi lain perbankan tidak mungkin mengubah akad yang telah disepakati bersama. Risiko operasional juga sesungguhnya bagian dari risiko yang harus diperhitungkan secara matang oleh pihak manajemen untuk mengurangi besarnya kerugian. Hal ini dikarenakan sesungguhnya perbankan syariah merupakan institusi baru bila dibanding dengan bank konvensional. Risiko operasional bisa saja muncul akibat dari para pegawai yang tidak profesional dalam mengelola sistem keuangan syariah, maupun sistem interal yang belum tertata dengan rapi dan sistematis. 5. Meminimalisir Risiko Pembiayaan Murabahah Risiko merupakan sebuah akibat dari pengambilan keputusan dalam aktivitas bisnis. Dalam dunia investasi modern risiko ini disebabkan oleh dua hal meliputi risiko sistemik dan risiko non sistemik. Risiko sistemik ini merupakan jenis risiko yang tidak dapat dihindari dengan diversifikasi. Risiko ini disebabkan oleh faktor-faktor makro ekonomi seperti, kondisi ekonomi negara, perubahan tingkat suku bunga, kebijakan tingkat pajak, inflasi dan faktor-faktor lain yang bersifat makro. Sedangkan risiko non sistemik merupakan risiko yang dapat dihilangkan dengan diversifikasi, risiko tersebut disebabkan oleh faktor-faktor mikro yang terdapat pada suatu perusahaan industri. Untuk dapat menerapkan proses manajemen risiko, pada tahap awal bank syariah harus cepat tepat mengenal dan memahami serta mengidentifikasi seluruh risiko, baik yang sudah ada maupun yang akan timbul dari sebuah bisnis baru. Secara garis besar tahapan dalam proses manajemen risiko meliputi:18 a. Identifikasi risiko dilaksanakan dengan melakukan analisis terhadap: 1) Karakteristik risiko yang melekat pada aktivitas fungsional 18
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Hal. 260
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
18
Fasiha: Akad Murabahah dan Permasalahannya ……..
2) Risiko dari produk dan kegiatan usaha b. Pengukuran risiko dilaksanakan dengan melakukan: 1) Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko. 2) Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi dan faktor risiko yang bersifat material c. Pemantauan risiko dilaksanakan dengan melakukan: 1) Evaluasi terhadap eksposure risiko 2) Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, faktor risiko, teknologi informasi dan sistem informasi manajemen risiko yang bersifat material d. Pelaksanaan proses pengendalian risiko, digunakan untuk mengelola risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank. Dalam operasional perbankan, besar kecilnya sebuah risiko yang terjadi juga sangat ditentukan oleh empat hal. Pertama, kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana. Kedua, ketetapan dalam mengatur struktur dana, termasuk kecukupan dana-dana untuk jual beli. Ketiga, ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas. Keempat, kemampuan menciptakan akses pasar antar bank atau sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort. Penutup Kajian terhadap praktik pembiayaan murabahah merupakan salah satu hal yang paling pokok ketika berbicara tentang keuangan dan perbankan Islam. Karena bagaimanapun mekanisme pembiayaan murabahah dalam praktik perbankan diterapkan secara ganda. Selain sebagai sebuah akad, Murabahah juga digunakan sebagia sebuah produk pembiayaan. Penulis menyimpulkan beberapa benang merah dari tulisan ini meliputi;
1. Bahwa penerapan pembiayaan murabahah telah mengalami pengembangan dan kondifikasi dari konsep fiqh klasik. Hal ini dimaklumi karena perkembangan zaman, dan kebutuhan konsep keuangan dalam dimensi global sekarang ini. 2. Dalam aplikasinya pada lembaga keuangan syariah, akad murabahah selanjutnya menjadi sebuah sistem baku yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan system keuangan dan perbankan saat ini. 3. Ketika dijadikan sebagai sebuah akad sekaligus produk pembiayaan, Murabahah tentunya tidak terlepas dari risiko yang dihadapi akibat dari bisnis itu sendiri. untuk itu, perlu dilakukan sebuah prosedur manajemen risiko dalam upaya untuk mengurangi dan memperkecil risiko yang ditimbulkan dari mekansime murabahah ini. Daftar Pustaka Asad M, Al-Kalali, Kamus Indonesia Arab, Jakarta: Bulan Bintang, 1987 Azwar Karim Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001 ………………., Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, edisi ke-3 2007 Frank E. Vogel and Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance, Religion, Risk and Return, Terj. M. Sobirin Asnawi, Bandung: Nusamedia 2007 M.
Fahim Khan, Essay in Islamic Economics, United Kingdom: The Islamic Foundation, 1995.
Mervin K. Levis & Lativa M. Algaoud, Islamic Banking, Massachussetts: Edward Elgar, 2001 Saeed Abdullah, Terj. Arif Maftuhi, Islamic Banking And Introduction a Studi Of Riba And It Contemporary Interpretation, Jakarta: Paramadina 2004 Taqi Usmani Muhammad, An Introduction to Islamic Finance Pakistan: Idratul Ma’arif, 2000
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
Fasiha: Akad Murabahah dan Permasalahannya ……..19
Mamduh M. Hanafi, Manajemen Risiko (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2006)
Muhammad Muslich, Manajemen Risiko Operasional (Jakarta: Bumi Aksara, 2007)
Mohd Daud Bakar Essensial Reading In Islamic Financial,( Kuala Lumpur: CERT Publications, 2008)
Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syari’ah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka SM, 2007)
Muhammad, Manajemen Bank Syariah,edisi revisi (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2005)
Thariqul
Khan dan Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah, Terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
20
Abdain: Pengelolaan Zakat Perspektif Hukum Islam Kontemporer
PENGELOLAAN ZAKAT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM KONTEMPORER Abdain
Abstract: Islam provides guidance to its adherents who face problems of social inequality by placing charity as one of the main pillars of the Islamic establishment, especially in anticipation of the dynamics of growth and economic equality in society. As a source of funds, zakat potential to be used as capital for the development of Muslims, and will be very effective in anticipating the social gap in the middle of society. Classical scholars generally categorize that the taxable property zakat are: cattle, gold and silver, merchandise, treasure excavation and the latter is the result of agriculture. But in contemporary ijtihad today one represented by Yusuf Qardawi book, he breaks down a lot of models of wealth are subject to zakat, as many models and forms of wealth that was born from the more complex the economic activities. Yusuf Qardawi split into nine categories of zakat category; Farm animal charity, zakat of gold and silver which also includes money trade wealth zakat, zakat agricultural output includes land agricultural, honey and animal production zakat, alms minerals and marine products, zakat investment in plant, buildings and others, zakat search, services and professions and zakat stocks and bonds. Keywords: Management of Zakat, Islamic Law, Islamic Law Contemporary Pendahuluan Islam mengakui setiap individu sebagai pemiliki apa yang diperolehnya melalui suatu proses usaha dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan berhak untuk menukar miliknya dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam hukum Islam. Sistem perekonomian dalam Islam tidaklah berdasarkan atas kebebasan hak milik perorangan tanpa batas seperti yang ada dalam paham kapitalis, juga tidak didasarkan atas hak milik bersama sebagaimana terdapat dalam paham sosialisme komunisme. Terdapat batasan-batasan dan persyaratan-persyaratan terhadap hak miliki dalam ajaran Islam, yaitu dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua yang terlibat di dalamnya. Hak milik perorangan didasarkan pada kebebasan individu yang wajar dan kodrati, sedangkan kerjasama didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan bersama. Bagi Islam manfaat dan kebutuhan atas dasar materi adalah untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Karena terdapat dua prinsip utama: Pertama, tak seorang pun atau sekelompok orang pun yang berhak untuk mengeksploitir orang lain. Kedua, tak seorang pun atau sekelompok orang pun boleh memisahkan diri dari orang lain
dengan tujuan untuk membatasi kegiatan ekonomi dikalangan mereka saja.1 Pengembangan konsep kerangka ekonomi Islam (upaya untuk mengatasi kesenjangan sosial) diperlukan adanya sistem ekonomi yang di dalamnya terdapat lima nilai instrumental (hal-hal pokok) yang strategis yang mempengaruhi tingkah laku ekonomi seorang muslim, masyarakat dan pembangunan ekonomi. Nilai-nilai instrumental tersebut adalah: kerjasama ekonomi, jaminan sosial, peran negara, pelarangan riba dan pelaksanaan ajaran zakat.2 Infak dan sedekah dapat dimasukkan dalam sistem ini. Zakat merupakan salah satu prinsip ajaran Islam yang terdapat dalam rukun Islam. Posisi zakat ditempatkan sebagai sendi ketiga, tiang tengah bangunan Islam, adalah tempat bersandar semua perangkat bangunan yang berhubungan dengan perekonomian. Kewajiban menunaikan zakat tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban menegakkan shalat. Keduanya selalu 1
Ismail L. al-Fauqi, Tauhid:Its Implication for Thought and Life, (Wahsinton DC: The Internastional Institute of Islamic Thuoght, 1982), h. 204-206 2
M. Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), h. 9.
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
Abdain: Pengelolaan Zakat Perspektif Hukum Islam Kontemporer
terangkai sebagai indikator dominan dalam kegiatan amal ibadah. Jika shalat tekanan pelaksanaannya adalah langsung kepada Tuhan, maka zakat tekanannya langsung pada masyarakat. Firman Allah dalam alQur'an surah al-Baqarah (2) ayat 110 sebagai berikut:
Terjemahnya: Dan laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.3 Zakat merupakan suatu ajaran dasar Islam yang ampuh dalam menjawab tantangan kontelasi sosial umat manusia. Ajaran zakat mewajibkan orang-orang Islam yang mampu untuk mengeluarkan sebahagian harta bendanya dan disampaikan kepada fakir miskin dan orang lain yang berhak menerimanya. Pemahaman tentang zakat dan pengelolaannya baik dalam cara pengumpulan maupun sistem pendayagunaannya, administrasi pengelolaan dan pendekatan terhadap masyarakat agar terpanggil menunaikan kewajibannya membayar zakat, masih memerlukan perbaikan sehingga zakat dapat menjadi salah satu sumber pendapatan negara, untuk sebesar-besarnya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat. Berdasarkan uraian dan penjelasan yang telah dikemukakan, maka masalah pokok yang akan dibahas adalah bagaimana pengelolaan zakat persepektif hukum kontemporer. Pengertian Zakat Ditinjau dari segi etimologi, mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakah (keberkahan), al-nama' (pertumbuhan dan
21
perkembangan), al-Thaharah (kesucian), alshalah (baik).4 Pendapat lain mengatakan bahwa zakat merupakan akar kata dari zaka-wa, yang berubah menjadi zakat dengan menghilangkan huruf 'illah (sakit) waw yang berarti bertambah dan tumbuh, sehingga dapat dikatakan kalu tanaman itu zakat artinya tumbuh, sedangkan setiap yang bertambah disebut zakat artinya bertambah.5 Menurut Terminologi syar'i (fiqh) mempunyai pemaknaan yang berbeda-beda antara satu ulama dengan ulama lainnya, walaupun pada prinsipnya sama. Misalnya, al-Hawi dikutip oleh al-Nawawi mengatakan bahwa zakat adalah nama atau sebutan untuk mengambil dari sebahagian harta yang tertentu menurut sifat-sifat tertentu untuk diberikan kepada golongan-golongan tertentu pula.6 Al-Syaukani dalam kitabnya Nail alAwtar, mendefinisikan zakat ialah memberikan sebahagian dari harta yang sudah sampai nisabnya kepada para fakir dan setaraf dengannya, tanpa ada larangan syara' yang melarang memberikan kepadanya.7 Ensiklopedia al-Qur'an, zakat ialah mengeluarkan sebagian harta, diberikan kepada yang berhak menerimanya, supaya harta yang tinggal menjadi bersih dan orang yang mempunyai harta menjadi suci jiwa dan tingkah lakunya.8 Pengertian zakat yang telah disebutkan di atas dapat dipahami bahwa hubungan antara makna bahasa dengan pengertian istilah, sangat nyata dan erat sekali, yaitu bahwa harta yang dikeluarkan zakat akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, suci dan baik. 4
Majma' al-Lugah al-'Arabiyyah, alMu'jam al-Washith, (Mesir: Dar al-Ma'arif, 19720, h. 396 5
Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakat, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1969), h. 38. 6
Abu Zakariyah Mahyu al-Din bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhazzab Jilid V (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 325. 7
3
Kementerian Agama RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h.20
Al-Syaukani, Nail al-Autar, Jilid IV, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.th.), h. 129. 8
H. Fachruddin, Ensiklopedia al-Qur'an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 619
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
22
Abdain: Pengelolaan Zakat Perspektif Hukum Islam Kontemporer
B. Sumber Zakat Zakat pada hakikatnya ada dua macam, yang keduanya memiliki substansi yang berbeda, yaitu zakat harta (mal), dan zakat fitrah. Zakat harta, al-Qur'an secara global menyatakan bahwa zakat diambil dari setiap harta yang kita miliki, seperti yang tertuang dalam Q.S. at-Taubah (9): 103
Terjemahnya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.9 Al-Qur'an juga menyatakan bahwa zakat diambil dari setiap hasil usaha yang baik dan halal, seperti digambarkan dalam QS. AlBaqarah (2): 267
Terjemahnya: Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan
sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.10 Kedua ayat tersebut, menurut Ahmad Mustafa al-Maraghi bahwa: Perintah Allah untuk orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan zakatnya dari hasil usaha yang terkait, baik yang berupa mata uang, barang dagangan, hewan ternak, mauppun yang berbentuk tanaman, buah-buahan, dan biji-bijian, dengan syarat dari harta yang baik, terpilih dan halal.11 Yusuf Qardawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan harta (amwal) merupakan bentuk plural dari kata mal yang berarti segala sesuatu yang sangat dinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya.12 Ulama lain, seperti Mustafa Ahmad Zarqa', menyatakan bahwa harta yang wajid dikeluarkan zakatnya adalah segala harta yang secara konkrit bernilai dalam pandangan manusia dan dapat digunakan menurut galibnya.13 Sejalan dengan pendapat para ulama tersebut, dalam penetapan harta menjadi sumber atau obyek zakat yang wajib dikeluarkan zakat adalah: 1. Uang tunai (alat pembayaran, emas dan perak 2. Harta benda perdagangan. Mencakup segala sesuatu yang dipersiapkan untuk mendapatkan keuntungan. 3. Hewan ternak, mencakup antara lain: unta, sapi dan domba atau kambing dan sebagainya. 4. Segala macam hasil pertanian 5. Hasil tambang yang berasal dari peut bumi seperti, besi, logam, dan tembaga dan sebagainya.14 10
Ibid, h.55
11
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir alMaragi, Jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), h. 39 12
Yusud al-Qardawi, Fiqh al-Zakat, (Beirut: Muassasah al-Risasalh, 1991), h. 126 13
Mustafa Ahmad Zarqa, al-Fiqh al-Islami fi Tsaubihi al-Jadid, (Damaskus: Jami'ah Damaskus, 1964), h. 118
9
Kementerian Agama RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 273
14
Abdullah Nasih Ulwan, Ahkamu al-Zakat 'Ala Daw al-Mazahib al-'Arbai'ah, diterjemahkan oleh Abdullah Audah, Hukum Zakat dalam
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
Abdain: Pengelolaan Zakat Perspektif Hukum Islam Kontemporer
Pedoman pelaksanaan zakat yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama telah merumuskan empat butir prinsip sumber atau obyek zakat, yaitu: 1. Bahwa zakat itu terdapat pada semua harta yang mengandung illat kesuburan, atau berkembang, baik berkembang dengan sendirinya atau dikembangkan dengan jalan diternakkan atau diperdagangkan. 2. Bahwa zakat itu dikenakan pada semua jenis tumbuh-tumbuhan dan buahbuahan yang bernilai ekonomis. 3. Bahwa zakat itu terdapat di dalam segala harta yang dikeluarkan dari perut bumi, bak yang berbentuk cair, maupun yang berwujud padat. 4. Bahwa gaji, honor dan uang jasa, yang kita terima, di dalamnya ada harta zakat yang wajib ditunaikan.15 Pengelolaan Zakat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dinyatakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Upaya untuk mewujudkan fungsi dan peran zakat dalam mensejahterakan masyarakat, maka undang-undang pengelolaan zakat yang dikeluarkan oleh pemerintah, pada prinsipnya adalah untuk memfasilitasi, memotivasi dan mengukuhkan pengelolaan zakat yang dikeluarkan oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat. Menurut pandangan Islam, pemerintah bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya, salah satu wujud dari pelaksanaan tanggung jawab tersebut adalah menjaga keseimbangan agar tidak terdapat jurang pemisah yang dalam antara yang kaya dengan yang miskin, dengan jalan Pandangan Empat Mazhab, (Jakarta: Litera Antarnusa, 1985), h. 7.
23
pengelolaan terhadap dana zakat. Tanggung jawab pemerintah mengelola zakat dalam Islam berdasarkan kepada isyarat QS. alTaubah (9) ayat 103 Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa sedikitnya ada beberapa faktor yang mendasari keberhasilan suatu lembaga pengelolaan zakat: 1) Memperluas cakupan harta wajib zakat dengan dalil umum, sebagai strategi dalam “fundraising” (penghimpunan dana) yang hal tersebut mencakup harta yang nampak “Dhahirah” dan yang tidak nampak “bathinah” 2) Manajemen yang profesional 3) Distribusi yang baik. Ulama-ulama klasik pada umumnya mengkategorikan bahwa harta yang kena zakat adalah: binatang ternak, emas dan perak, barang dagangan, harta galian dan yang terakhir adalah hasil pertanian. Tetapi dalam ijtihad kontemporer yang saat ini salah satunya diwakili oleh bukunya Yusuf Qardhawi, beliau merinci banyak sekali model-model harta kekayaan yang kena zakat, sebanyak model dan bentuk kekayaan yang lahir dari semakin kompleknya kegiatan perekonomian. Yusuf Qardhawi membagi katagori zakat ke dalam sembilan katagori; zakat binatang ternak, zakat emas dan perak yang juga meliputi uang, zakat kekayaan dagang, zakat hasil pertanian meliputi tanah pertanian, zakat madu dan produksi hewani, zakat barang tambang dan hasil laut, zakat investasi pabrik, gedung dan lain-lain, zakat pencarian, jasa dan profesi dan zakat saham serta obligasi. Merujuk ke jumlah katagori tersebut, kita akan dapatkan bahwa hasil ijtihad fiqh zakat kontemporer jumlanya hampir dua kali lipat katagori harta wajib zakat yang telah diklasifikasikan oleh para ulama klasik. Katagori baru yang terdapat pada buku tersebut adalah, zakat madu dan produksi hewani, zakat investasi pabrik, gedung dan lain-lain. Zakat pencarian dan profesi serta zakat saham dan obligasi. Bahkan Yusuf Qardhawi juga menambah dengan zakat hasil laut yang meliputi mutiara dan lainlain.16
15
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag, Pedoman Pengelolaan Zakat, (Jakarta: Depag, 2003), h.
16
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, (Alih bahasa Salman Harun dkk) Pustaka Lintera AntarNusa, Bogor, 2002)
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
24
Abdain: Pengelolaan Zakat Perspektif Hukum Islam Kontemporer
Salah seorang pakar ekonomi Islam Mundzir Qahf juga mengungkapkan hal senada bahwa: Ajaran Islam dengan rinci telah menentukan, syarat katagori harta yang harus dikeluarkan zakatnya, lengkap dengan tarifnya. Maka dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah (pengelola zakat) untuk merubah tarif yang telah ditentukan. Akan tetapi pemerintah (pengelola Zakat) dapat mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang pada nash-nash umum yang ada dan pemahaman terhadap realita modern.17 Kaidah yang digunakan oleh ulama kontemporer dalam memperluas katagori harta wajib zakat adalah, bersandar pada dalil-dalil umum, disamping berpegang pada syarat harta wajib zakat yaitu tumbuh dan berkembang. Baik tumbuh dan berkembang melalui usaha atau berdasarkan pada zat harta tersebut yang berkembang.18 Dalam zaman modern ini yang ditumbuhkan dan dikembangkan untuk memperoleh hasil yang memiliki nilai ekonomis yang luar biasa memang banyak sekali, manusia bukan hanya mampu mengeksploitasi potensi eksternal dirinya tapi manusia modern dapat juga mengekploitasi potensi yang ada dalam dirinya untuk dikembangkan dan diambil hasilnya dan kemudian mengambil untung dari keahliannya tersebut seperti para dokter, pengacara, dosen, dan lain-lain. Berdasarkan definisi inilah maka ijtihad kontemporer khususnya Yusuf Qardhawi mengembangkan empat katagori baru pada katagori harta yang wajib dizakati. Dan semua katagori baru yang muncul dapat dilihat relevansinya dengan kontek ekonomi modern. Peran kemajuan teknologi juga turut berperan dalam mengembang tumbuhkan harta kekayaan, maka barang-barang yang diproduksi melalui proses teknologi tersebut juga tidak dapat luput dari kewajiban zakat, baik hal tersebut berupa produk pertanian ataupun produk peternakan.
17
Mundzir Qohf, op.cit, h.37
18
Ibid
Ijtihad-ijtihad kotemporer mengenai zakat yang muncul sekarang ini pada dasarnya tetap berpedoman pada karya-karya klasik dan pada nash-nash yang ada bukan merupakan ijtihad yang tanpa dasar. Hal tersebut dapat kita lihat pada pembukaan buku fiqh zakat Yusuf Qardhawi yang menjelaskan rujukan-rujukan yang digunakannya dalam ijtihadnya. Pemberlakuan UU NO 23 th 2011 mengenai pengelolaan zakat, diharapkan tidak kaku dalam menilai masalah zakat, karena kekakuan atau kefanatismean kita hanya mau menggunakan satu madzhab fiqh misalnya, justru akan cukup menghambat terealisasinya tujuan-tujuan disyariatkannya zakat yang memiliki dimensi ekonomi dan sosial. Ruh ketidakkakuan dan menerima ijtihad-ijtihad kontemporer yang berdasar pada kaidah-kaidah umum Islam inilah yang akan semakin mendorong keefektifan pengelolaan zakat, dan bahkan akan melahirkan Undang-undang zakat tambahan yang bukan hanya mengurus para pengelolanya saja tetapi merumuskan harta-harta yang terkena zakat. Al-Qur’an secara implisit menyebutkan bahwa keterlibatan negara dalam pengelolaan zakat sangat diperlukan. Hal ini disebabkan pemerintah dipandang memiliki ketentuan yang lebih dalam hal untuk menghimpun dan menyalurkan zakat. Pengelolaan zakat dalam fiqh Islam, disurvei oleh Qardhawi sebagai berikut: Pertama, pengelolaan zakat adalah bagian dari otoritas pemerintah Muslim. Kedua, negara harus mempertahankan neraca terpisah untuk zakat dari penerimaan dan pengeluaran negara lainnya. Ini yang umum dikenal sebagai bail al mal yang terpisah untuk zakat. Ketiga, pemerintah diizinkan mengumpulkan zakat dari seluruh jenis harta. Masyarakat harus menyerahkan zakat ke pemerintah sepanjang pemerintah menyalurkan zakat tersebut kepada golo-ngan yang telah ditetapkan syariat. Keempat, kegagalan pemerintah mengelola kewajiban zakat tidak menghapus tanggung jawab individu dari pembayaran zakat.19 Wajib zakat namun 24 Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakat, (Beirut: Muassasah al-Risasalh, 1991), h. 1
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
Abdain: Pengelolaan Zakat Perspektif Hukum Islam Kontemporer
25
tetap harus menilai zakat yang harus dibayarnya dan menyalurkannya sebagaimana ketentuan syariah.
Al-Qardlawi, Yusuf (2002), Hukum Zakat, (Alih bahasa Salman Harun dkk) Pustaka Lintera Antar Nusa, Bogor
Simpulan
Al-Syaukani, Nail al-Autar, Jilid IV, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.th H. Fachruddin, Ensiklopedia al-Qur'an, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Zakat merupakan harta yang wajib dikeluarkan agar dengan harta tersebut akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang serta bertambah. Zakat pada hakikatnya ada dua macam, yang keduanya memiliki substansi yang berbeda, yaitu zakat harta (mal), dan zakat fitrah. Zakat harta, al-Qur'an secara global menyatakan bahwa zakat diambil dari setiap harta yang kita miliki, seperti yang tertuang dalam Q.S. at-Taubah (9): 103. AlQur'an juga menyatakan bahwa zakat diambil dari setiap hasil usaha yang baik dan halal, seperti digambarkan dalam QS. AlBaqarah (2): 267 Pengelolaan zakat di negara muslim kontemporer menjadi sangat beragam. Terdapat dua bentuk pengelolaan zakat di masyarakat muslim kontemporer. Pertama, sistem pembayaran zakat secara wajib (obligatory system) seperti di Arab Saudi, Sudan, dan Pakistan, serta Malaysia. Kedua, sistem pembayaran zakat secara sukarela (voluntary system) seperti di Kuwait, Bangladesh, Yordania, Indonesia, Mesir, Afrika Selatan dan negara-negara dimana muslim adalah minoritas. Daftar Pustaka Abdullah Nasih Ulwan, Ahkamu al-Zakat 'Ala Daw al-Mazahib al-'Arbai'ah, diterjemahkan oleh Abdullah Audah, Hukum Zakat dalam Pandangan Empat Mazhab, Jakarta: Litera Antarnusa, 1985. Abu Zakariyah Mahyu al-Din bin Syaraf alNawawi, al-Majmu' Syarah alMuhazzab Jilid V, Beirut: Dar alFikr, t.th Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, cet. ke-3 Bandung: Mizan, 1994 Ahmad
Mustafa al-Maragi, Tafsir alMaragi, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, 1984
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag, Pedoman Pengelolaan Zakat, Jakarta: Depag, 2003 Ensiklopedi Islam, Cet. Ke-5 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hjoeve, 1994 Fatkhurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos wacana Ilmu,1997 Ibnu Rusyid, Bidāyah al-Mujtāhid wa Nihāyah al-Muqtasid,cet. ke-2 Mesir: Mustafa al-Ba>bi al-Halabi, 1950 Kementerian Agama RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012. M .Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997 Majma' al-Lugah al-'Arabiyyah, al-Mu'jam al-Washith, (Mesir: Dar al-Ma'arif, 19720 Mas’udi , Masdar Farid(2005), Pajak itu Zakat Uang Allah untuk kemaslahatan Rakyat, (Mizan, Bandung.), h.151 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Edisi II cet. VII (Malang, 1994, ttp Muhammad Hadi, Problema Zakat Profesi dan Solusinya (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum Islam), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Mustafa Ahmad Zarqa, al-Fiqh al-Islami fi Tsaubihi al-Jadid, Damaskus: Jami'ah Damaskus, 1964. Yusud al-Qardawi, Fiqh al-Zakat, Beirut: Muassasah al-Risasalh, 1991.
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015
26
Abdain: Pengelolaan Zakat Perspektif Hukum Islam Kontemporer
Yūsuf
al-Qaradawī, Syari’at Islam Ditantang Zaman, terj. Abu Zaky, Surabaya: Pustaka Progresif, 1990.
---------------------, Fiqh al-Zakat, Beirut: Dar al-Irsyad, 1969.
Jurnal Muamalah: Volume V, No 1 Juni 2015