ANALISIS PENERAPAN AKAD MURABAHAH DI BPR SYARIAH ALMADINAH TASIKMALAYA (Suatu Tinjauan Fiqh Muamalah) Tizar Ganjar Isepa Asep Suryanto Email :
[email protected] Email :
[email protected] Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Siliwangi Tasikmalaya
ABSTRACT The goal of this research is to determine the application of murabahah contract in BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya based on a review of Fiqh Muamalah. The research method used is descriptive method with qualitative approach. While data collection techniques by observation, documentation and interviews. The results showed that the application of murabahah contract in BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya there are some things that have not been according to the rules of Fiqh Muamalah, that is: 1)the time of purchase of goods at work order procedures, it‟s can be proved of work procedures that banks do murabahah contract before the bank bought the goods, means the bank was not / do not have the goods at the time of contract, whereas selling something that is not shared is forbidden. The time of purchase is should be done before the murabahah contract process after following terms and negotiations, so when the contract process has done the bank could legally and directly deliver goods to the customer. 2) determining the administration cost based on a percentage of plafond is likely to approach riba and gharar because the real administration costs to be paid is unclear. Besides, there are obscurity from the excess or shortage of the real administration cost. Keywords: contract, murabahah, fiqh muamalah ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya dalam tinjauan Fiqh Muamalah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, dokumentasi dan wawancara. Hasil penelitian tentang penerapan akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya menunjukan bahwa ada beberapa hal yang belum sesuai dengan aturan Fiqh Muamalah, yaitu: 1) waktu pembelian barang yang menjadi objek akad dalam urutan prosedur kerja, dapat dibuktikan dari prosedur pembiayaan murabahah bahwa bank melakukan akad murabahah sebelum bank membeli barang, berarti bank pada saat akad tidak/ belum memiliki barang. Padahal menjual sesuatu yang tidak dimiliki adalah dilarang. Seharusnya waktu pembelian barang dilakukan sebelum proses akad
1
murabahah yakni setelah persyaratan dan negosiasi agar ketika akad berlangsung bank bisa secara sah dan langsung menyerahkan barang kepada nasabah. 2) penentuan besarnya biaya administrasi berdasarkan persentase dari plafond cenderung mendekati riba dan gharar karena belum jelas besarnya biaya riil administrasi yang harus dibayarkan. Disamping itu, ada ketidakjelasan hak dari kelebihan atau kekurangan biaya riil administrasi. Kata kunci: akad, murabahah, fiqh muamalah PENDAHULUAN Bank sebagai lembaga keuangan dalam kegiatannya menyalurkan dana bagi masyarakat memberikan fasilitas pembiayaan. BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya sebagai BUMD milik Pemerintah Kota Tasikmalaya yang bergerak di bidang jasa keuangan syariah, fasilitas pembiayaannya dilakukan dengan beberapa cara akad, salah satunya akad murabahah. Akad murabahah (Munir Fuady, 2003:169) merupakan natural certainty contract, yaitu suatu jenis kontrak transaksi dalam bisnis yang memiliki kepastian keuntungan dan pendapatan, baik dari segi jumlah maupun dari segi penyerahannya. Sehingga, akad murabahah menjadi salah satu produk penyaluran dana di Bank Syariah termasuk BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya yang mendapat respon paling tinggi. Hal tersebut harus senantiasa diikuti dengan konsistensi terhadap aturan-aturan atau prinsip syariah yang sesungguhnya, agar tidak merusak atau mencederai status “Syariah” yang disandangnya. Jika terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan oleh BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya, maka bukan hanya citra perusahaan saja tetapi citra “Syariah” pun ikut rusak, apalagi berdasarkan studi pendahuluan fenomena masyarakat saat ini merasa kurang percaya dengan label-label “Syariah” dan menganggap bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Oleh karena itu, peran serta Dewan Pengawas Syariah, pemerintah dan masyarakat mutlak dibutuhkan dalam mengawal operasional lembaga-lembaga syariah, tidak hanya BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya, tapi semua lembaga yang menggunakan label “Syariah”. Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang patut diperhatikan adalah bagaimana tinjauan Fiqh Muamalah terhadap penerapan akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya sesuai dengan tinjauan Fiqh Muamalah.
2
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah ingin menggambarkan realita empirik tentang penerapan akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya secara mendalam, rinci dan tuntas. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian, meliputi kata-kata dan tindakan (kerja) dari direksi dan karyawan BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya. Sedangkan data sekunder adalah datadata yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat kabar, buku-buku, dokumen, modul-modul, majalah dan lain yang berhubungan dengan akad murabahah. Adapun langkah-langkah dalam analisis data adalah sebagai berikut: 1) Data reduction (reduksi data); 2) Display data (penyajiaan data); dan 3) Conclusion drawing / verification (penarikan kesimpulan dan verifikasi).
PEMBAHASAN Secara etimologi, kata akad berasal dari bahasa Arab yaitu عَقَدَ َٗعْقِدُ عَقْدًاyang berarti perjanjian atau persetujuan. Dalam kitab fiqh sunah (Sayyid Sabiq, 2004:122), kata akad diartikan dengan hubungan (ُُ )الرّبْطdan kesepakatan (ْ)االِجِفَاق. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV (Depdiknas, 2008:24), kata akad diartikan janji, perjanjian, kontrak; _ jual beli. Secara istilah, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy (2009:23), “Akad adalah perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara' yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak.” Kata/istilah murabahah (al-murabahat) diambil dari bahasa Arab dari kata alribhu (ُ )الرِبْحyang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Menurut Muhy al-Din (Jaih Mubarok, 2004:62) kata al-murabahat dibentuk dengan wazan (pola pembentukan kata) mufa‟alat (dalam ilmu bahasa Arab, sharaf) yang menunjukan arti “saling”. Oleh karena itu, arti al-murabahat secara bahasa adalah saling memberi keuntungan.
3
Sedangkan secara istilah, kata murabahah didefinisikan oleh para ulama dan para ahli dengan redaksi yang berbeda-beda, namun semuanya sama menyatakan bahwa murabahah termasuk dalam salah satu transaksi jual beli. Menurut Muhammad Ibnu Rusyd (Syafi‟i Antonio, 2001:101) „Bai‟ al-murabahat adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.‟ Adiwarman A. Karim (2009:113) juga mendefinisikan “murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.” Definisi tersebut sama dengan Sri Nurhayati dan Wasilah (2011:168) yang menyebutkan bahwa “murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli baik pembayarannya dilakukan secara tunai (bai‟ naqdan) atau tangguh (bai‟ muajjal/ bai‟ bi tsaman ajil). Dasar Hukum Murabahah Murabahah termasuk salah satu bentuk jual beli, maka dasar hukumnya pun menggunakan dasar hukum jual beli. Sebagaimana jual beli disyariatkan berdasarkan Alquran, sunah, dan ijmak yakni: 1. Alquran, diantaranya: a. Q.S. al-Baqarah [2] ayat 275:
... ... Artinya: “...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” Menurut Ibnu Katsir (2000:142) makna ayat di atas dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan dari kalam sebelumnya untuk menyanggah protes yang orang musyrik katakan padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan jual beli dan riba secara hukum. Ayat ini juga merupakan landasan tersurat yang secara jelas menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. b. Q.S. al-Nisâa [4] ayat 29:
....
4
Artinya : „‟Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu ...‟‟ Dalam ayat ini, Allah melarang orang beriman saling memakan harta dengan jalan batil, kecuali dengan jalan jual beli yang saling ridha. Menurut Ibnu Katsir (2000:38-39), lafadz tijaratan (jual beli) merupakan istisna munqati‟, sehingga berarti seakan-akan dikatakan “Janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan, tetapi berniagalah menurut peraturan yang diakui oleh syariat, yaitu perniagaan yang dilakukan suka sama suka diantara pihak pembeli dan pihak penjual; dan carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat.” 2. Sunah atau Hadis, diantaranya: Dari Abu Sa‟id Al-Khudri ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ٍِإًَوَا ا ْل َبْ٘عُ عَيْ جَرَاض Artinya: “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (H.R. AlBaihaqi, Ibnu Majah, dan shahih menurut Ibnu Hibban) Dari Abu Sa‟id Al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda:
ِالحَّاجِرُ الصَّدُّقُ األَهِ٘ي هَعَ ال ٌَّ ِبِّ٘٘يَ َّالصِّدِّٗقِ٘يَ َّالشَُِّدَاء Artinya: “Pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, para shiddiqin dan para syuhada‟.” (H.R. At-Tirmidzi) 3. Ijmak Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. (Rachmat Syafe‟i, 2001:75) 4. Kaidah Fiqh, yang menyatakan:
التِ اإلِبَاحَة ُ إِال َّ أَىْ َٗدُلَّ دَلِْ٘لٌ عَلَٔ جَحْرِْٗوَِِا َ ألصْلُ فِِٔ الوُعَا َه َا Artinya: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Dari kaidah di atas, dapat difahami bahwa hukum asal muamalah termasuk jual beli adalah boleh. Sehingga apapun yang dilakukan manusia dalam hal muamalah
5
selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka semua itu adalah boleh dilakukan. 5. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No.04/DSNMUI/IV/2000, tentang MURABAHAH. Rukun dan Syarat Murabahah Dari beberapa referensi yang membahas rukun jual beli akad murabahah (AzZuhaili, 1989; Rachmat Syafe‟i, 2001; Sulaiman Rasjid, 2006; Haroen, 2007; Suhendi, 2010; Sri Nurhayati dan Wasilah, 2011; Anwar Masluh, 2012) menunjukan bahwa rukun jual beli sebetulnya bisa dibagi menjadi tiga macam dan harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana yang diungkapkan para ahli fiqh muamalah: 1. Pelaku akad (al-muta‟aqidain), meliputi penjual dan pembeli. Syaratnya adalah cakap hukum, sukarela dan berbilang (lebih dari satu orang). 2. Objek akad (al-ma‟qud alaih), meliputi uang/harga dan barang. Syaratnya adalah halal, bermanfaat, hak milik penjual, jelas spesifikasinya dan dapat diserahkan. 3. Pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat), meliputi ijab dan qabul. Syaratnya adalah jelas pengertiannya (jala‟ul ma‟na), bersesuaian dan tidak terpisah (tawafuq), menggambarkan kerelaan (ridho) kedua belah pihak. Analisis Fiqh Muamalah Terhadap Penerapan Akad Murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya Pembiayaan Murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya menggunakan bentuk pernyataan akad dengan lafadz dan tulisan, yakni berupa draft perjanjian/ kontrak serta ijab qabul secara lisan. Hal tersebut adalah boleh dan sah menurut Fiqh Muamalah, karena uraiannya jelas dan mudah difahami pihak-pihak yang berakad. Apabila ada yang tidak jelas /kurang dimengerti oleh nasabah, maka pihak bank akan menjelaskannya terlebih dahulu. Penggunakan bentuk akad dengan lafadz dan dikuatkan dengan tulisan adalah sangat baik apalagi untuk transaksi-transaksi non-tunai yang sering dilakukan perbankan, hal itu sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. alBaqarah [2] ayat 282: “....apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...” Subjek/pelaku dalam akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya telah memenuhi syarat menurut Fiqh muamalah karena rata-rata usia nasabah 21-50 tahun adalah dinyatakan baligh dan cakap hukum. Begitu pula dengan objek akad
6
berupa barang / komoditas halal adalah sesuai dengan salah satu syarat ma‟qud alaih dalam Fiqh muamalah. Rata-rata margin pembiayaan murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya adalah 11,5% - 18% per-tahun dari harga dasar barang (plafond). Hal tersebut diperbolehkan, karena pada dasarnya tidak ada larangan yang jelas mengenai batasan pengambilan keuntungan oleh penjual, yang penting adanya saling ridho antara penjual dan pembeli sebagaimana firman Allah SWT:
.... Artinya : „‟Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu ...‟‟ (Q.S. al-Nisâa [4]: 29) Dalam etika bisnis Islam dianjurkan agar kita tidak terlalu tinggi dalam mengambil keuntungan, sewajarnya saja untuk menjaga daya beli masyarakat tetap tinggi. Allah SWT berfirman:
. Artinya: “kamu tidak (boleh) menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 279) Keterlambatan pembayaran, dalam perjanjian (kontrak/akad) BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya, menetapkan denda Rp 1.000,-/ hari. Berdasarkan Fatwa DSN MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 hal tersebut adalah boleh asal dilaksanakan sesuai aturan fatwa tersebut, yakni dikenakan hanya bagi orang mampu yang lalai terhadap hutangnya. Sabda Nabi SAW:
.َََُلُٖ الَْْاجِدِ ُٗحِلُ عِرْضََُ َّعُقُ ْْ َبح Artinya: “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” (H.R. An-Nasa‟i, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad) Pada kenyataannya BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya belum memberlakukan denda tersebut, karena masih memberi keringanan dan mengutamakan sistem kekeluargaan, dan hal tersebut dianjurkan dalam Islam. 7
Adanya jaminan dalam pelaksanaan akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya adalah boleh karena merupakan pelaksanaan dari prinsip kehati-hatian bank dalam menyalurkan dana. Hal ini sesuai dengan Fatwa DSN MUI No.04/DSNMUI/IV/2000 bagian ketiga tentang jaminan dalam murabahah. Dalam Alquran Allah SWT berfirman:
... Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...”(Q.S. al-Baqarah [2]: 283) Dan juga dalam hadis Rasulullah SAW:
ٍشحَرَٓ هِيْ َُِْٗدٍِٕ طَعَاهًا إِلَٔ َأجَل ْ عٌَِْا أَىَ ال ٌَ ِبَٖ صَلَٔ اللََُ عََلَِْ٘ َّسَلَنَ ا َ ََُضَٖ الل ِ َعَيْ عَا ِئشَةَ ر َََُّرَ ٌَََُُ دِرْع Artinya: “Dari 'Aisyah r.a. bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran tunda sampai waktu yang ditentukan, dan Beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besi Beliau” (H.R. Bukhari dan Muslim) Biaya administrasi dalam akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya adalah sebesar 2% dari plafond pembiayaan. Dari fatwa-fatwa DSN MUI yang sudah ada sebelumnya, sebetulnya tidak ada fatwa yang secara spesifik membahas tentang boleh tidaknya bank syariah memungut biaya administrasi dalam presentase dari plafond pada saat dilakukan akad pembiayaan di bank syariah. Yang ada kaitannya dengan pengenaan biaya pada akad pembiayaan adalah Fatwa DSN MUI No.04/DSNMUI/IV/2000 point 6: "Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan". Berdasarkan hasil wawancara saya dengan Bapak Rudyono selaku Direktur Operasional BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya, sebelum dilakukan suatu akad pembiayaan dengan seorang nasabah, bank syariah banyak mengeluarkan biaya-biaya yang berkaitan dengan proses pembiayaan bukan hanya biaya alat tulis dan biaya kertas tetapi biaya yang paling besar adalah biaya studi kelayakan (survey) nasabah untuk
8
menerima suatu pembiayaan. Rincian dari biaya administrasi adalah untuk: 1)Biaya fotocopy dan kertas; 2)Biaya survey A/O baik terhadap usaha, keluarga/tempat kerja maupun asset yang dijaminkan nasabah di lapangan; 3)Biaya Komunikasi via telepon; 4)Biaya Akad; dan 5)Biaya Lainnya. Sehingga, bank syariah akan mengalami kerugian jika ternyata proses pembiayaan nasabah dinyatakan tidak layak (tidak disetujui) karena akan menanggung semua biaya-biaya tersebut. Pada pembiayaan murabahah keempat mazhab fiqh terkenal (Maliki, Safi'i, Hanafi dan Hambali) membolehkan pembebanan biaya – biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual-beli kecuali biaya tenaga kerja sendiri karena komponen ini termasuk dalam margin keuntungannya. (Adiwarman A. Karim, 2009: 114) Berdasarkan fatwa DSN dan pendapat empat mazhab fiqh terkenal tersebut bank syariah diperbolehkan memungut biaya administrasi, namun hanya sebatas biaya yang secara riil dikeluarkan. Dalam prakteknya teramat sulit untuk menghitung secara tepat berapa biaya administrasi yang riil dikeluarkan untuk setiap pembiayaan. Karenanya, hampir semua bank syariah menentukan besarnya biaya administrasi berdasarkan presentase dari plafond. Dan biasanya, besar persentase biaya administrasi tersebut benar-benar tidak jauh berbeda dengan besarnya biaya-biaya riil yang ditanggung bank syariah pada saat memproses suatu pembiayaan seperti 5 jenis biaya yang telah disebutkan di atas. Dampak negatif dari pembebanan biaya administrasi berdasarkan persentase dari plafond adalah cenderung mendekati riba dan gharar karena belum jelas/ belum pasti besarnya biaya riil administrasi yang harus dibayarkan. Selain itu, kelebihan atau kekurangan dari biaya administrasi yang diperkirakan dengan biaya riil yang digunakan tidak jelas menjadi hak atau kewajiban siapa? Hal-hal tersebut tentunya dapat menyebabkan persepsi negatif di kalangan masyarakat bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Sehingga perkara biaya administrasi bisa dikatakan masih perkara syubhat (antara boleh dan haram). Oleh karena itu, dalam rangka menjaga kehati-hatian terhadap prinsip syariah, maka kebijakan yang sebaiknya diambil adalah menghindari memungut biaya administrasi berdasarkan persentase dari plafond, bahkan lebih bagus lagi membebaskan nasabah dari biaya administrasi. Ada suatu kaidah fiqh yang menyatakan:
9
درء الوفاسد هقدَم علٔ جلب الوصالح Artinya: “Menolak mudharat lebih diutamakan dari pada mengambil faedah (manfaat)” Sehingga dari kaidah tersebut bisa dianalogikan bahwa menolak rusaknya nama baik bank syariah (ekonomi Islam) lebih diutamakan daripada memungut biaya administrasi dari plafond. Pembelian barang dilakukan oleh bank atau oleh nasabah (dengan akad wakalah) adalah boleh menurut Fiqh muamalah. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW:
َ فَزَ َّجَاٍُ َهْ٘وُ ًَْْةَ ِبٌْث،ِألًْصَار َ جالً هِيَ ْا ُ إِىَ َرسُْْلَ اهللِ صَلَٔ اهللُ عََلَِْ٘ َّآلَِِ َّسَلَنَ بَعَدَ َأبَا رَافِعٍ َّ َر )ا ْلحَارِخِ (رّاٍ هالل فٖ الوْطأ Artinya: “Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi‟ dan seorang Anshar untuk mengawinkan (qabul perkawinan Nabi dengan) Maimunah r.a.” (H.R. Malik) Potongan bagi nasabah yang melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo dalam akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya adalah boleh, karena tidak diperjanjikan dalam akad. Hal ini sesuai dengan Fatwa DSN MUI No.23/DSNMUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah: “Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad.” Apabila ada nasabah yang tidak mampu lagi membayar utang karena bangkrut maka utangnya ditangguhkan adalah perbuatan yang sesuai dengan fiqh muamalah berdasarkan firman Allah SWT:
... Artinya: “dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan...”(Q.S. al-Baqarah [2]: 280) Kemudian melakukan reschedulling dan/atau menjual barang jaminan juga adalah perkara yang boleh, sebagaimana firman Allah SWT:
... Artinya: “Hai orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...” (Q.S. al-Maidah [5]: 1)
10
Mengenai prosedur akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya, penulis menilai masih belum sesuai aturan Fiqh Muamalah, karena pembelian barang dilakukan setelah akad atau dengan kata lain akad jual beli dilakukan sebelum bank memiliki barang. Padahal dalam fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 point 4 dijelaskan bahwa “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan pembelian ini harus sah dan bebas riba”, dilanjutkan dalam point 6: “Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)...”. Lebih jelas lagi dalam point 9 disebutkan bahwa “Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip milik bank” Pada bagian kedua point 2: “Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu asset yang dipesannya secara sah dengan pedagang”. Selain itu, jika akad jual beli dilaksanakan sebelum bank memiliki barang, maka hukumnya dilarang sebagaimana hadis Nabi SAW:
َعٌْ َدك ِ َالَ َجبِعْ هَا َلْ٘س Artinya: “Janganlah engkau jual sesuatu yang bukan milikmu.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibnu Majah) Saat ini murabahah yang banyak dipraktekkan perbankan syariah adalah murabahah taqsith, yakni pembayaran tangguh dengan sistem cicilan. Apabila bank melakukan akad murabahah sebelum membeli barang, maka penyerahan barang dan pembayaran oleh nasabah sama-sama ditangguhkan (belakangan) dan ini termasuk transaksi yang dilarang. Adiwarman A. Karim (2009: 117) dalam box kasus murabahahnya menyatakan bahwa “jual beli dapat dilakukan dengan tiga cara pembayaran: barang diserahkan saat ini, uang dibayar saat ini (ba‟i naqdan); barang diserahkan saat ini, uang dibayar belakangan (ba‟i bi tsaman ajil / mu‟ajjal); barang diserahkan belakangan, uang dibayar saat ini (ba‟i salam). Yang tidak boleh dilakukan adalah barang diserahkan belakangan, uang dibayar belakangan; dalam fiqih transaksi ini disebut transaksi kali bi kali.” Dari berbagai penjelasan di atas, jelaslah bahwa seharusnya bank menjual (melakukan akad jual beli) setelah membeli dan memiliki barang terlebih dahulu. Berikut adalah skema pembiayaan murabahah yang penulis rekomendasikan:
11
1. Pemesanan, Negosiasi & Persyaratan
3. Akad Jual-Beli
BANK
4a. Serah Terima Barang
NASABAH
6. Bayar 5. Terima Barang & Dokumen 2. Beli Barang
SUPPLIER /PENJUAL
4b. Kirim
Gambar 1 : Skema Murabahah di Perbankan Sesuai Fiqh Muamalah Demi menjaga citra syariah penulis menyarankan agar pihak bank senantiasa melakukan akad jual beli setelah bank resmi memiliki barang pesanan nasabah. Apabila bank takut akan resiko sebelum barang tersebut terjual, maka sebaiknya pihak bank mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah sebagaimana fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 point 8: “Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.” Apabila bank tidak membeli terlebih dahulu dan selanjutnya tidak menjual barang kepada nasabah karena memang terikat dengan regulasi bahwa bank hanya berperan sebagai badan intermediasi dan tidak dibenarkan melakukan perniagaan praktis. Artinya bank hanya berperan dalam pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Jika memang demikian, maka sesungguhnya Akad Murabahah tidak boleh dan tidak mungkin ada dalam produk transaksi perbankan, karena murabahah adalah jelas-jelas akad jual beli. Akad Murabahah hanyalah sebagian kecil dari ekonomi syariah, yang pada awalnya merupakan konsep jual beli yang sama sekali tidak ada hubungannnya dengan pembiayaan. Namun demikian, bentuk jual beli ini kemudian digunakan oleh perbankan syariah dengan menambah beberapa konsep lain, sehingga menjadi bentuk pembiayaan. (Ascarya, 2008:82) Kita harus senantiasa menjaga akad tersebut agar diterima secara syariah, bebas bunga/riba dan benar-benar berbeda dengan kredit konvensional.
12
PENUTUP Simpulan Sesuai dengan rumusan masalah tentang bagaimana tinjauan Fiqh Muamalah terhadap penerapan akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya dan telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan akad murabahah di BPR Syariah Almadinah Tasikmalaya ada beberapa hal yang belum sesuai dengan aturan Fiqh Muamalah, yaitu: 1) waktu pembelian barang yang menjadi objek akad dalam urutan prosedur kerja, dapat dibuktikan dari prosedur pembiayaan murabahah bahwa bank melakukan akad murabahah sebelum bank membeli barang, berarti bank pada saat akad tidak/ belum memiliki barang. Padahal menjual sesuatu yang tidak dimiliki adalah dilarang. Seharusnya waktu pembelian barang dilakukan sebelum proses akad murabahah yakni setelah persyaratan dan negosiasi agar ketika akad berlangsung bank bisa secara sah dan langsung menyerahkan barang kepada nasabah. 2) penentuan besarnya biaya administrasi berdasarkan persentase dari plafond cenderung mendekati riba dan gharar karena belum jelas besarnya biaya riil administrasi yang harus dibayarkan. Disamping itu, ada ketidakjelasan hak dari kelebihan atau kekurangan biaya riil administrasi. Oleh karena itu, memungut biaya administrasi berdasarkan persentase dari plafond sebaiknya ditinggalkan. Saran 1. Sebagai salah satu bank yang berlandaskan Syariah Islam, maka pihak bank hendaknya senantiasa konsisten untuk menggunakan dan menjaga Syariah Islam, dengan kata lain tidak melakukan praktek yang melanggar Syariah Islam dan/atau merusak citra bank syariah, ekonomi Islam dan agama Islam tentunya. Sehingga, kepercayaan nasabah, umumnya masyarakat terhadap bank syariah akan terjaga. 2. Perlunya peran dan kinerja Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan DSN MUI yang maksimal, didukung oleh para ulama dan akademisi serta masyarakat dalam mengawasi dan menjaga bank syariah agar senantiasa berjalan sesuai ketentuan Fiqh Muamalah dan Syariah Islam. 3. Perlunya sosialisasi yang optimal oleh semua pihak kepada masyarakat luas tentang keberadaan bank syariah dan perbedaannya dengan bank konvensional, karena masih banyak masyarakat yang tidak tahu dan bahkan menganggap bank syariah sama saja dengan bank konvensional.
13
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an Dan Terjemahan. Semarang : CV. Toha Putra Semarang. Antonio, Muhammad Syafi‟i. (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press Ascarya. (2008). Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. (2009). Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang: Pustaka Rizki Putra Az-Zuhaili, Wahbah. (1989). Al-Fiqh Islami wa Adillatuhu. Beirut: Darul Fikri Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Dewan Syariah Nasional (DSN) - MUI. (2006). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia Fuady, Munir. (2003). Hukum Perbankan Modern. Bandung: Citra Aditya Bakti Haroen, Nasrun. (2007). Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama Ibnu Katsir, Al-Imam Abul Fida Isma‟il. (2000). Tafsir Ibnu Katsir Juz 3. Bandung: Sinar Baru Algesindo ________. (2000). Tafsir Ibnu Katsir Juz 5. Bandung: Sinar Baru Algesindo Karim, Adiwarman. (2009). Bank Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada Masluh, Anwar. (2012). Persepsi Nasabah tentang Penentuan Margin Akad Murabahah di Bank Jabar Banten Syariah Cabang Tasikmalaya. Skripsi Sarjana pada FAI UNSIL Tasikmalaya. tidak diterbitkan. Mubarok, Jaih. (2004). Perkembangan Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy Nurhayati, Sri dan Wasilah. (2011). Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat Rasjid, Sulaiman. (2006). Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo Sabiq, Sayyid. (2004). Fiqhus Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara Suhendi, Hendi. (2010). Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers Syafe‟i, Rachmat. (2001). Fiqh Muamalah Untuk UIN, STAIN, PTAIS, dan Umum. Bandung: Pustaka Setia
14