STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN SERTA SISTEM PERAKARAN TUMBUHAN PADA KAWASAN KARST DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG-BULUSARAUNG, RESORT PATTUNUANG-KARAENTA
AJI NURALAM DWISUTONO
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur dan Komposisi Tegakan serta Sistem Perakaran Tumbuhan pada Kawasan Karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015 Aji Nuralam Dwisutono NIM E44100082
ABSTRAK AJI NURALAM DWISUTONO. Struktur dan Komposisi Tegakan serta Sistem Perakaran Tumbuhan pada Kawasan Karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta. Dibimbing oleh ISTOMO. Tumbuhan pada kawasan karst memiliki ciri-ciri yang berbeda serta khas jika dibandingkan dengan tumbuhan pada ekosistem hutan lainnya. Tujuan penelitian adalah mengkaji komposisi dan struktur tegakan serta sistem perakaran tumbuhan pada kawasan karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta. Pembuatan Petak pengamatan ditentukan secara purposive sampling berdasarkan keterwakilan tegakan. Penelitian dilakukan di empat lokasi yaitu dasar, lereng, puncak bukit dengan banyak tanah, dan puncak bukit dengan sedikit tanah. Pada setiap lokasi penelitian dibuat tiga jalur petak contoh dengan masing-masing jalur berukuran 20 m x 100 m. Berdasarkan penelitian, jumlah jenis yang didapatkan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah yaitu 108 jenis, pancang 128 jenis, tiang 63 jenis dan pohon 78 jenis. Struktur horizontal membentuk kurva J-terbalik dan struktur vertikal tegakan terdiri atas 4 stratum yaitu B, C, D, dan stratum E. Secara keseluruhan, pola penyebaran ialah secara mengelompok. Pola penyebaran secara merata hanya ditemukan pada jenis Palaquium obovatum di lokasi lereng dengan tingkat pertumbuhan tiang dan jenis Dracontomelon dao di lokasi dasar dengan tingkat pertumbuhan pohon. Jenis Pterospermum celebicum memiliki nilai shoot-root ratio tertinggi pada lokasi dasar, nilai indeks cengkeram akar (ICA) tertinggi dengan kategori sedang (1.53.5) pada lokasi dasar dan nilai indeks jangkar akar (IJA) tertinggi dengan kategori tinggi (>1.0) pada lokasi puncak bukit dengan banyak tanah. Kata kunci: komposisi tegakan, sistem perakaran, struktur tegakan
ABSTRACT AJI NURALAM DWISUTONO. The Species Structure and Composition Stand with Root System of Plants in Karst Area Bantimurung-Bulusaraung National Park, Resort Pattunuang-Karaenta. Supervised by ISTOMO Plants in Karst Area have different characteristics and distinctive when compared with plants of other forest ecosystem. The purpose of research is to assessing the composition and stand structure and root system of plants in karst areas in Bantimurung-Bulusaraung National Park, Resort Pattunuang-Karaenta. This observation plots determined by purposive sampling based on the representation of the stand. Three sample plots lines with the size of 20 m x 100 m each were constructed in the research site. The research was spread out on four habitats that are on hill base, slopes, summit with considerable soil cover, and summit with very little soil cover. The number of species on the research area is amounted 108 species of seedlings and understorey plants, 108 species saplings, 63 species poles and 78 species trees. Horizontal structure inverted J-shaped and vertical structure of the stand consist of four strata (B, C, D, and E strata). Overall, the spatial distribution patterns have a clumped distribution pattern. Uniform distribution pattern is only found in Palaquium obovatum species of pole on slopes and Dracontomelon dao species of tree on base. Pterospermum celebicum has the highest value of shoot-root ratio on the hill base, index root binding highest value with category of moderate (1.5-3.5) on hill base and index root anchoring highest value with the high category (>1.0) on summits with considerable soil cover. Key Words: stand composition, root system, stand structure
STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN SERTA SISTEM PERAKARAN TUMBUHAN PADA KAWASAN KARST DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG-BULUSARAUNG, RESORT PATTUNUANG-KARAENTA
AJI NURALAM DWISUTONO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Struktur dan Komposisi Tegakan serta Sistem Perakaran Tumbuhan pada Kawasan Karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta”. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji komposisi dan struktur tegakan serta sistem perakaran tumbuhan pada kawasan karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini: 1. Dr. Ir. Istomo, M.S, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dukungan serta semangat kepada penulis. 2. Kedua orang tua penulis (H. Ir. Sutono, MM dan Hj. Dwi Endang Nurhayati, SH) dan kakak penulis (Achmad Yusuf V.) 3. Pihak di PT. Sarpatim (Pak Eva dan Pak Pungki) dan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung atas ilmu baru yang telah diberikan selama ini khususnya Pak Kamaja, Bu Siti, Bang Indra, dan Bang Yunus. 4. Rekan-rekan Fahutan 47 dan khususnya rekan-rekan di Silvikultur 47 (terima kasih atas segalanya), Anugrah P. serta Lastiti Sanubari 5. Abang-abang, Teteh-teteh, Adek-adek Fahutan (terima kasih atas pelajaran dan kebersamaannya) 6. Rekan-rekan perjuangan di rumah (Ian, Aan, Dias, Janar, Didit, dll) serta rekan-rekan di bangku sekolah (Ecan, Wawan, Hendra, Riza, Anton, Okta, Roche, Adi, Fery, Ageng, dll)
Bogor, Januari 2015 Aji Nuralam Dwisutono
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Alat dan Bahan
2
Jenis Data yang Dikumpulkan
2
Prosedur Penelitian
3
Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
8
Hasil
9
Pembahasan SIMPULAN DAN SARAN
21 25
Simpulan
27
Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
38
DAFTAR TABEL 1 Klasifikasi nilai indeks jangkar akar (IJA) dan indeks cengkeram akar (ICA) 2 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat semai dan tumbuhan bawah di berbagai lokasi penelitian 3 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat pancang di berbagai lokasi penelitian 4 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat tiang di berbagai lokasi penelitian 5 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat pohon di berbagai lokasi penelitian 6 Nilai koefisien kesamaan komunitas (IS) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian 7 Nilai kerapatan (ind/ha) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian 8 Pola penyebaran individu jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian 9 Nilai shoot-root ratio pada P.celebicum di berbagai lokasi penelitian 10 Nilai indeks jangkar akar (IJA) dan indeks cengkeram akar (ICA) pada P. celebicum di berbagai lokasi penelitian
8 11 11 12 13 15 16
19 20 20
DAFTAR GAMBAR 1 Ilustrasi metode pengambilan data untuk analisis vegetasi 2 Jumlah jenis tumbuhan pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta 3 Indeks kekayaan jenis (R1) pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta 4 Indeks dominansi (C) pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta 5 Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta 6 Indeks kemerataan jenis (E) pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta 7 Diagram profil tajuk pada berbagai lokasi penelitian di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta. (a) dasar, (b) lereng, (c) puncak dengan sedikit tanah, (d) puncak dengan banyak tanah
3 9
10 14
14
15
18
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta lokasi penelitian 2 Jenis tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian
31 32
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberadaan kawasan kapur yang belum diketahui secara luas dari segi fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya menyebabkan kawasan tersebut hanya dipandang sebagai penyedia bahan galian atau tambang. Hal ini yang menyebabkan hancurnya kawasan karst akibat penambangan, terutama dimanfaatkan sebagai bahan baku industri semen sehingga berdampak terhadap hilangnya sistem ekologi kawasan tersebut. Konservasi nilai ekologi di kawasan karst sangat dibutuhkan terutama di bidang keanekaragaman tumbuhan guna menjaga kawasan tersebut tetap utuh dari segala bentuk kerusakan yang terjadi oleh manusia. Tumbuh-tumbuhan yang terdapat di kawasan karst memiliki peranan yang sangat penting karena akan membentuk mikro habitat bagi biota lain yang terdapat di atas dan di dalam tanah serta dapat menjamin kelestarian di dalam goa. Sebagai daerah yang beriklim tropika basah, kawasan karst di Indonesia dapat dikatakan sebagai habitat bagi beragam jenis tumbuh-tumbuhan. Kondisi lingkungan yang sangat ekstrem, seperti tingginya kalsium dan magnesium tanah yang seringkali bersifat basa serta kondisi iklim yang berat (panas, dingin, hujan dan kering) menyebabkan tumbuhan yang ada di kawasan ini sudah dipastikan harus dapat tahan dengan kondisi tersebut. Namun, data yang menunjukkan jumlah jenis yang tumbuhan dapat tumbuh di kawasan karst di Indonesia hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Publikasi tentang keanekaragaman hayati kawasan karst di Indonesia masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan publikasi kawasan karst yang terdapat di kawasan Asia Tenggara yang lain (Vermeulen dan Whitten 1999 dalam Roemantyo dan Noerdjito 2006). Uniknya, keragaman, komposisi dan tingkat endemisitas jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi di kawasan karst diperkirakan cukup tinggi. Penelitian yang berkaitan dengan kawasan karst umumnya berkaitan dengan nilai ekonomi yang dapat digali atau dieksploitasi secara langsung dari daerah karst (Roemantyo dan Noerdjito 2006). Kurangnya informasi serta publikasi berkaitan dengan keanekaragaman tumbuhan di kawasan karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung menyebabkan diperlukan studi tentang “Komposisi dan Struktur Tegakan serta Sistem Perakaran Tumbuhan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan”. Hasil studi dapat digunakan sebagai acuan dalam menilai akan pentingnya keanekaragaman tumbuhan di kawasan karst dan dari segi pemanfaatan secara lestari Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1. Mengkaji komposisi dan struktur tegakan tumbuhan yang terdapat di kawasan karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta, Sulawesi Selatan.
2 2. Mengkaji sistem perakaran tumbuhan di kawasan karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta, Sulawesi Selatan. Manfaat Penelitian Hasil studi tentang komposisi dan struktur tegakan tumbuhan dapat dijadikan sebagai bahan acuan akan pentingnya nilai keanekaragaman tumbuhan guna menunjang sistem ekologis di kawasan karst. Selain itu, hasil studi juga dapat memberikan gambaran tentang terdapatnya tumbuhan yang dominan serta mampu beradaptasi dilihat dari sistem perakarannya di kawasan karst, sehingga berguna dalam pemilihan jenis tumbuhan ketika dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan di kawasan tersebut.
METODE Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan September 2014 di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta, Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya peta kerja/peta lokasi untuk mengetahui kondisi lapangan, pita ukur 30 meter untuk mengukur areal penelitian, phiband meter untuk mengukur diameter pohon, GPS untuk menentukan titik-titik koordinat suatu lokasi, haga hypsometer untuk mengukur tinggi pohon, kompas untuk mengukur azimuth, menentukan arah rintisan dan kemiringan lereng, tali rafia dan tambang untuk menandai petak pengamatan, patok untuk menandai batas-batas petak pengamatan, sasak, kertas koran, kantong plastik besar dan alkohol 70% untuk pembuatan herbarium, jangka sorong untuk mengukur diameter akar, dan alat-alat bantu lainnya seperti alat tulis, penggaris, kantong plastik, kertas label, tally sheet, parang, cangkul, buku identifikasi tumbuhan dan kamera digital. Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh di lapangan baik melalui pengukuran maupun pengamatan. Data ini meliputi data vegetasi, data parameter pengukuran akar primer sesuai variabel yang digunakan dan data fisik lapangan. Data fisik lapangan berupa data lingkungan yang meliputi altitude atau ketinggian tempat, suhu dan kelembaban di lapangan, sedangkan untuk data vegetasi meliputi data pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah. Data semai, pancang, dan tumbuhan bawah diambil nama jenis dan jumlah individunya, sedangkan untuk data tiang dan pohon diambil nama jenis, jumlah individu, serta
3 diukur diameter setinggi dada (dbh) dan tinggi totalnya. Jenis tumbuhan yang tidak diketahui nama jenisnya, diambil contoh herbariumnya. Setiap spesimen herbarium yang dikoleksi diberi nomor koleksi serta dilakukan pencatatan data dan informasi lapangannya. Data dan informasi yang dicatat antara lain morfologi tumbuhan, nama lokal, lokasi pengambilan, tanggal pengambilan dan keterangan lain yang diperlukan dalam kegiatan identifikasi tumbuhan. Proses pembuatan herbarium dilakukan dengan cara basah dan identifikasi dilakukan di Herbarium Bogoriense dan Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Variabel yang digunakan dalam mengetahui karakteristik perakaran ialah shoot-root ratio dan indeks jangkar akar serta indeks cengkeram akar. Data sekunder merupakan data pendukung terkait dengan kondisi vegetasi dan keadaan lingkungan biofisik lokasi penelitian. Prosedur Penelitian Penentuan lokasi sampling Lokasi sampling ditentukan secara purposive sampling berdasarkan keterwakilan tegakan. Tanaman contoh yang digunakan dalam mengamati distribusi perakaran ialah sebanyak tiga tumbuhan yang ditentukan secara simple random sampling di tiap lokasi penelitian dengan tahap pertumbuhan tiang (diameter 10-20 cm) dan merupakan tumbuhan dengan jenis yang sama serta termasuk sebagai salah satu jenis tumbuhan yang kerap ditemukan. Pembuatan petak contoh analisis vegetasi Petak contoh yang digunakan yaitu metode kombinasi antara jalur dan garis berpetak. Lokasi penelitian dibedakan menjadi empat yaitu (1) dasar bukit (base of hills), (2) lereng, (3) puncak bukit dengan banyak tanah (summits with considerable soil cover), dan (4) puncak bukit dengan sedikit tanah (summits with very little soil cover). Pada setiap lokasi penelitian dibuat tiga jalur petak contoh. Setiap jalur memiliki ukuran 20 m x 100 m. Wyatt-Smith (1959) dalam Soerianegara dan Indrawan (2002) menganggap bahwa ukuran petak contoh dengan luasan 0.6 ha sudah cukup mewakili. Jalur tersebut kemudian dibagi menjadi subpetak menggunakan metode nested sampling Metode pengambilan data yang dilakukan untuk analisis vegetasi disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Ilustrasi metode pengambilan data untuk analisis vegetasi. (A) tingkat semai dan tumbuhan bawah, (B) tingkat pancang, semak, dan perdu, (C) tingkat tiang, (d) tingkat pohon.
4 Stratifikasi Tajuk Stratifikasi bertujuan untuk mengetahui dimensi (bentuk) atau struktur vertikal dan horizonal suatu vegetasi dari hutan yang dikaji. Adapun prosedur kerja yang dilakukan yaitu membuat petak contoh berbentuk jalur dengan arah tegak lurus kontur (gradien perubahan tempat tumbuh) dengan ukuran lebar 20 m dan panjang 60 m, menerapkan lebar jalur (20 m) sebagai sumbu Y dan panjang jalur (60 m) sebagai sumbu X, memberi nomor pohon diameter > 10 cm atau tinggi total > 4 m yang ada di dalam petak contoh, mencatat nama jenis pohon dan mengukur posisi masing-masing pohon terhadap titik koordinat X dan Y, mengukur diameter batang pohon setinggi dada (130 cm) atau bila pohon berbanir, diameter diambil pada ketinggian 20 cm diatas banir, tinggi total dan tinggi bebas cabang serta menggambar bentuk percabangan dan bentuk tajuk, mengukur luas proyeksi (penutupan) tajuk terhadap permukaan tanah paling tidak dari dua arah pengukuran yaitu arah tajuk terlebar dan tersempit, menggambar bentuk profil vertikal dan horizontal (penutupan tajuk) pada kertas milimeter blok dengan skala 1:400, dan menentukan jenis dan jumlah pohon yang termasuk lapisan A, B dan C. Pengukuran Variabel Karakteristik Perakaran Variabel karakteristik perakaran yang diamati dalam penelitian ini ialah shoot-root ratio, indeks jangkar akar dan indeks cengkeram akar. Setiap contoh tanaman diukur diameter akar horizontal, akar vertikal dan diameter batang. Suatu akar diklasifikasikan sebagai akar horizontal apabila sudut antara akar dan bidang vertikal lebih dari atau sama dengan 45˚, sedangkan apabila kurang dari 45˚ diklasifikasikan sebagai akar vertikal. Diameter akar, baik horizontal maupun vertikal, diukur pada jarak 1 cm dari pangkal akar tersebut. Diameter batang tanaman contoh diukur pada ketinggian 130 cm. Shoot-root ratio dapat dikemukakan melalui perbandingan antara total luas penampang melintang akar dengan luas penampang melintang batang atau basal area (Murniati 2009). Analisis Data Indeks nilai penting (INP) Indeks nilai penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan komposisi jenis, dan dominanasi suatu jenis di suatu tegakan. Nilai INP dihitung dengan menjumlahkan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominansi relatif (DR) (Soerianegara dan Indrawan 2002). Jumlah individu suatu jenis Kerapatan (K) =Σ Luas petak contoh Kerapatan suatu jenis Kerapatan Relatif (KR) = x 100% Kerapatan seluruh jenis Jumlah plot ditemukan suatu jenis Frekuensi (F) =Σ Jumlah seluruh plot Frekuensi suatu jenis Frekuensi Relatif (FR) = x 100% Frekuensi seluruh jenis Jumlah LBDS suatu jenis Dominansi (D) = Σ Luas petak contoh
5 Dominansi Relatif (FR)
=
Indeks Nilai Penting (INP)
=
Indeks Nilai Penting (INP)
=
Dominansi suatu jenis
x 100% Dominansi seluruh jenis KR + FR (untuk tingkat semai, pancang dan tumbuhan non pohon) KR + FR + DR (untuk tingkat tiang dan pohon)
Indeks dominansi (C) Indeks dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis di dalam komunitas untuk menentukan dimana dominansi dipusatkan (Soerianegara dan Indrawan 2002). Indeks dominansi ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: C = Σ (Ni/N)² Ket: C = Indeks dominansi Ni = INP tiap jenis N = Total INP seluruh jenis
Indeks kekayaan jenis Margalef (R1) Untuk mengetahui besarnya kekayaan jenis digunakan indeks Margalef (Ludwig dan Reynold 1988): S-1 R1 = ln (N) Ket: R1 = Indeks kekayaan jenis Margalef S = Jumlah jenis N = Jumlah total individu Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1 < 3.5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, 3.5< R1 < 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 > 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong tinggi. Keanekaragaman jenis (H’) Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis. Indeks keanekaragaman Shannon – Wiener (H’) merupakan indeks yang paling banyak digunakan dalam ekologi komunitas (Ludwig dan Reynold 1988). Indeks keanekaragaman dari Shannon – Wiener adalah sebagai berikut : ni
ni
H’ = - ∑si=1 [( ) ln ( )] N N
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon - Wiener s = Jumlah jenis ni = Kerapatan jenis ke - i N = Total kerapatan Terdapat tiga kriteria dalam analisis indeks keanekaragaman jenis yaitu jika nilai H’ < 2, maka termasuk kedalam kategori rendah, nilai 2 < H’ < 3, maka termasuk kedalam kategori sedang dan akan dimasukkan kedalam kategori tinggi bila H’ > 3 (Magurran 1988). Ket:
6 Kemerataan jenis (E)
E=
H' ln (S)
Ket:
E = Indeks kemerataan jenis H’ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis Berdasarkan Magurran (1988) besaran E < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis rendah, 0.3 < E< 0.6 menunjukkan tingkat kemerataan jenis tergolong sedang dan E > 0.6 menunjukkan tingkat kemerataan jenis tergolong tinggi. Koefisien kesamaan komunitas Koefisien kesamaan komunitas merupakan nilai yang digunakan untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua komunitas yang dibandingkan (Soerianegara & Indrawan 2002). Adapun rumus yang digunakan adalah: 2W C (IS) = a+b Ket: C (IS) = Koefisien kesaman komunitas W = Jumlah nilai kuantitatif yang sama atau terendah ( ≤ ) dari dua jenis-jenis yang terdapat dalam dua komunitas berbeda a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat dalam komunitas pertama yang dibandingkan b = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat dalam komunitas kedua yang dibandingkan Pola Penyebaran Individu Jenis Penyebaran jenis dalam suatu komunitas tumbuhan dapat diketahui dengan rumus Indeks Penyebaran Morisita. Rumus ini digunakan untuk mengetahui pola penyebaran jenis tumbuhan yang meliputi penyebaran merata (uniform), mengelompok (clumped), dan acak (random). Adapun rumus Indeks Penyebaran Morisita menurut Morisita (1962) dalam Krebs (2014) adalah sebagai berikut:
Iδ=n( Ket:
∑xi2 -∑xi (∑xi)2 -∑xi
)
Iδ = Derajat penyebaran Morisita n = Jumlah petak ukur 2 ∑xi = Jumlah kuadrat dari total individu suatu jenis pada suatu komunitas ∑xi = Jumlah total individu suatu jenis pada suatu komunitas Selanjutnya dilakukan Uji Chi-Square, dengan rumus:
Derajat Keseragaman
Ket: x20.975 ∑xi n
x2 0.975-n+∑xi Mu= ∑xi-1 = Nilai Chi-Square dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 97.5% = Jumlah individu dari suatu jenis pada petak ukur ke-i = Jumlah petak ukur
7 Derajat Pengelompokan x2 0.025-n+∑xi ∑xi-1 2 Ket: x 0.025 = Nilai Chi-Square dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 2.5% ∑xi = Jumlah individu dari suatu jenis pada petak ukur ke-i n = Jumlah petak ukur Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut: Bila Iδ≥Mc>1.0, maka dihitung: iδ-Mc ) Ip=0.5+0.5( n-Mc Bila Mc>Iδ≥1.0, maka dihitung: iδ-1 Ip=0.5( ) Mc-1 Mc=
Bila 1.0>Iδ>Mu, maka dihitung: Ip=-0.5( Bila 1.0>Mu>Iδ, maka dihitung:
iδ-1 ) Mu-1
iδ-1 ) Mu-1 Perhitungan nilai Ip akan menunjukkan pola penyebaran jenis tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai dan pola penyebaran jenis tersebut adalah sebagai berikut: Ip = 0, Jenis tumbuhan memiliki penyebaran acak (random) Ip > 0, Jenis tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok (clumped) Ip < 0, Jenis tumbuhan memiliki penyebaran merata (uniform). Ip=-0.5+0.5(
Shoot-root Ratio Shoot-root ratio dihitung dari kuadrat diameter batang (d2) dan jumlah kuadrat semua diameter akar (∑dr2, H+Vroots) dari setiap individu pohon (Murniati 2009). Adapun rumus yang digunakan adalah: Shoot-root ratio=
D2
∑Dr2
Indeks Jangkar Akar (IJA) dan Indeks Cengkeram Akar (ICA) IJA merupakan perbandingan diameter akar-akar vertikal dan diameter batang, sedangkan ICA adalah perbandingan antara diameter akar-akar horizontal dan diameter batang (Hairiah et al. 2008)
IJA = Ket: IJA ICA dv dh db
∑DV2
∑DH2
∑DB
∑DB2
2 dan ICA =
: Indeks Jangkar Akar : Indeks Cengkeram Akar : Diameter akar vertikal : Diameter akar horizontal : Diameter batang
8 Berdasarkan nilai IJA dan ICA, selanjutnya dikelaskan berdasarkan kategori yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi Nilai Indeks Jangkar Akar (IJA) dan Indeks Cengkeram Akar (ICA)* Kelas (Class) IJA ICA Rendah (Low) <0.1 <1.5 Sedang (Moderate) 0.1-1.0 1.5-3.5 Tinggi (High) >1.0 >3.5 *Sumber: (Hairiah et al. 2008)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Salah satu di antara sekian banyak kawasan konservasi yang ada di wilayah Republik Indonesia adalah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Taman nasional ini ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan BantimurungBulusaraung seluas ±43 750 ha terdiri atas Cagar Alam seluas ±10 282.65 ha, Taman Wisata Alam seluas ±1 642.25 ha, Hutan Lindung seluas ±21 343.10 ha, Hutan Produksi Terbatas seluas ±145 ha, dan Hutan Produksi Tetap seluas ±10 355 ha terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara administrasi terletak di wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis areal ini terletak antara 119˚ 34’01 17” - 119˚ 55’ 13” Bujur Timur dan antara 4˚ 42’ 49” - 5˚ 06’ 42” Lintang Selatan. Secara kewilayahan batas-batas TN Bantimurung Bulusaraung diantaranya adalah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Baru dan Bone, sebelah Timur berbasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten Bone, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep. Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berbatasan atau berhimpitan dengan Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Bone. Kawasan taman nasional ini terletak di dalam 10 wilayah administrasi kecamatan dan 40 wilayah administrasi kelurahan/ desa. Berdasarkan perhitungan data curah hujan yang dikumpulkan dari beberapa stasiun yang ada di sekitar kawasan Taman Nasional, diketahui adanya empat zona curah hujan, yakni pada wilayah timur masing-masing yaitu curah hujan 2 250 mm, 2 750 mm, dan pada wilayah barat masing-masing yaitu 3 250 mm dan 3 750 mm. Pada wilayah bagian Selatan terutama bagian yang berdekatan ibukota Kabupaten Maros, seperti Bantimurung termasuk ke dalam iklim D (Schmidt dan Ferguson) sedangkan Bengo-Bengo, Karaenta, Biseang Labboro, Tonasa dan Minasa Te’ne termasuk kedalam iklim tipe C, sementara pada bagian utara, terutama wilayah Kecamatan Camba dan Mallawa termasuk kedalam tipe B.
9 Ada dua jenis tanah yang keduanya kaya akan kalsium dan magnesium ditemukan pada kawasan karst Maros-Pangkep. Tanah jenis Rendolls mempunyai warna kehitaman karena tingginya kandungan bahan organik, ditemukan pada dasar lembah lereng yang landai, terutama di bagian Selatan dari karst Maros. Eutropepts merupakan jenis tanah turunan dari Inceptisol, umumnya ditemukan pada daerah yang mempunyai kelerengan yang terjal dan puncak bukit kapur. Tanah ini sangat dangkal dan berwarna terang. Hasil Komposisi Tegakan Jumlah Jenis Ekosistem karst berada di atas batuan gamping (CaCO3) yang komponen penyusunnya memiliki daya larut yang sangat beragam, banyaknya variasi topografi, kandungan air permukaan yang relatif sedikit, serta lapisan tanah yang umumnya tipis sehingga hal ini menyebabkan hanya beberapa jenis tumbuhan yang mampu hidup di ekosistem tersebut. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di ekosistem karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta, didapatkan jumlah jenis yang berbeda-beda pada tiap lokasi penelitian dan tingkat pertumbuhan. Jumlah jenis yang didapatkan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah yaitu 108 jenis, pada tingkat pancang yaitu 128 jenis, pada tingkat tiang yaitu 63 jenis dan pada tingkat pohon yaitu 78 jenis. Secara rinci jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan dapat dilihat pada Lampiran 2. Jumlah jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan di tiap-tiap lokasi penelitian dapat dilihat di Gambar 2. =Dasar 60
=Lereng gg
=Puncak dengan Sedikit Tanah
=Puncak dengan Banyak Tanah
Jumlah Jenis
50 40 30 20 10 0 Semai dan Tumbuhan Bawah
Pancang
Tiang
Pohon
Gambar 2 Jumlah jenis tumbuhan pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa, jumlah jenis tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah terbanyak terdapat pada lokasi lereng yaitu 44 jenis, jumlah jenis tingkat pertumbuhan pancang terbanyak terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah yaitu 57 jenis, jumlah jenis tingkat pertumbuhan tiang terbanyak terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah
10 yaitu 22 jenis dan jumlah jenis tingkat pertumbuhan pohon terbanyak terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah yaitu 35 jenis. Indeks Kekayaan Jenis (R1) Jumlah jenis tumbuhan yang telah diketahui berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan kemudian dikaitkan dengan indeks kekayaan jenis Margalef (R1). Gambar 3 menyajikan hasil perhitungan nilai R1 pada berbagai tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian. =Dasar
=Lereng
=Puncak dengan Sedikit Tanah
=Puncak dengan Banyak Tanah
Indeks Kekayaan Jenis
12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 Semai dan Tumbuhan Bawah
Pancang
Tiang
Pohon
Gambar 3 Indeks kekayaan jenis (R1) pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah, lokasi lereng memiliki nilai R1 tertinggi yaitu 7.57. sedangkan pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang, dan pohon, nilai R1 tertinggi terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah dengan nilai masing-masing yaitu 11.42, 6.24, 7.57. Kekayaan jenis dengan nilai tergolong sedang hanya ditemukan di tingkat pertumbuhan tiang pada lokasi dasar dan puncak dengan tanah banyak serta di tingkat pertumbuhan pohon pada lokasi dasar. Nilai R1 yang terdapat di lokasi penelitian pada berbagai tingkat pertumbuhan lainnya tergolong memiliki nilai yang tinggi. Huston (1979) dalam Leps (2005) menggambarkan kebanyakan gangguan yang terjadi menyebabkan kerusakan berlebih terhadap jenis dominan, bahkan akibat gangguan yang sederhana, proporsi kehilangan keberadaan jenis tinggi (pohon) itu lebih dari proporsi kehilangan jenis yang lebih rendah atau tumbuhan bawah. Dominansi Jenis (INP) Berdasarkan hasil analisis vegetasi dapat diketahui Indeks Nilai Penting (INP) jenis tumbuhan tertinggi pada berbagai tingkat tumbuhan di lokasi penelitian. Sutisna (1981) dalam Hafazallah (2014) menyatakan bahwa suatu jenis memiliki peranan yang besar dalam komunitas apabila nilai INP jenis tersebut lebih dari 10% untuk tingkat semai dan pancang, atau 15% untuk tingkat tiang dan pohon. Jenis yang memiliki peranan utama dalam mengendalikan suatu komunitas berdasarkan ukurannya, jumlah, produktivitas atau hal lainnya disebut sebagai
11 dominan (Misra 1980). Tabel 2 menyajikan lima nilai INP tertinggi pada tingkat semai dan tumbuhan bawah di berbagai lokasi penelitian. Tabel 2 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat semai dan tumbuhan bawah di berbagai lokasi penelitian Nama Jenis Donax canniformis Cibatium sp. Clinacanthus nutans Aphanamixis polystachya Arenga pinnata Neuburgia celebica Codiaeum variegatum Ficus sp1. Pterospermum celebicum Leea indica Strobilanthes celebica Clerodendrum sp Caryota mitis Calamus cf. koordersianus Neuburgia celebica Psychotria sp.
Dasar 17.63a) 15.31b) 14.64 14.29 11.65 -
Indeks Nilai Penting (%) Lereng PU 17.18a) 14.40b) 12.90 12.30 11.48 27.52a) 17.83b) 14.73 12.79 11.24 -
PB 16.84 16.84 22.66a) 20.94b) 16.33
PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah; a) Jenis dominan; b) Jenis kodominan.
Berdasarkan Tabel 2, jenis D. canniformis mendominasi di daerah dasar dan lereng, sedangkan jenis P. celebicum mendominasi lokasi puncak dengan sedikit tanah dan jenis C. koordersianus mendominasi lokasi puncak dengan banyak tanah. Tabel 3 menyajikan lima nilai INP pada tingkat pancang. Tabel 3 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat pancang di berbagai lokasi penelitian Nama Jenis Leea indica Strobilanthes celebica Phaleria capitata Aphanamixis polystachya Actinodaphne angustifolia Codiaeum variegatum Dracontomelon dao Siphonodon celastrineus Knema cinerea Planchonella nitida Drypetes neglecta Ardisia elliptica Cleistanthus myrianthus Psychotria sp. Endiandra rubescens
Dasar 18.46 a) 14.74 b) 11.31 10.50 7.96 -
Indeks Nilai Penting (%) Lereng PU 14.94 b) 19.24 a) 10.60 8.70 10.60 9.16 15.15 a) 9.19 b) 8.44 8.44 -
PB 9.91 18.88 b) 13.74 28.53 a) 10.87
PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah; a) Jenis dominan; b) Jenis kodominan.
12 Tabel 3 menunjukkan bahwa pada lokasi dasar, L. indica merupakan jenis yang kerap ditemukan atau dominan di tingkat pancang. Pada lokasi lereng, C. variegatum merupakan jenis dominan dengan nilai INP tertinggi. L. indica juga merupakan jenis kodominan di lokasi lereng. Pada lokasi puncak dengan sedikit tanah, P. nitida merupakan jenis yang dominan, sedangkan pada lokasi puncak banyak tanah, Psychotria sp. merupakan jenis yang dominan. Lima nilai INP tertinggi pada tingkat tiang di berbagai lokasi penelitian disajikan di Tabel 4. Tabel 4 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat tiang di berbagai lokasi penelitian Nama Jenis Lagerstroemia ovalifolia Litsea forstenii Pisonia umbellifera Mallotus floribundus Ficus congesta Palaquium obovatum Ficus sp.1 Spathodea campanulata Schefflera polybotrya Pimeleodendron amboinicum Cordia sp. Cleistanthus myrianthus Drypetes neglecta Dracontomelon dao Macaranga involucrata Baccaurea javanica Villebrunea rubescens Diospyros celebica Aphanamixis polystachya Morinda citrifolia
Dasar 44.24 a) 29.28 b) 27.45 25.61 24.21 -
Indeks Nilai Penting (%) Lereng PU PB 47.75 a) 25.76 b) 23.33 23.20 14.61 -
34.54 a) 23.45 b) 21.63 21.04 20.26 -
36.25 a) 33.41 b) 30.60 26.57 21.20
PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah; a) Jenis dominan; b) Jenis kodominan.
Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa jenis-jenis yang mendominasi pada berbagai lokasi penelitian merupakan jenis-jenis yang berbeda atau tidak ditemukannya jenis yang mampu mendominasi lebih dari satu lokasi. Pada lokasi dasar, jenis yang mendominasi ialah L. ovalifolia dengan nilai INP sebesar 44.24%. Pada lokasi lereng, jenis yang mendominasi ialah P. obovatum dengan nilai INP sebesar 47.75%. Pada lokasi puncak dengan sedikit tanah, jenis yang mendominasi ialah Cordia sp. dengan nilai INP sebesar 34.54% dan pada lokasi puncak dengan banyak tanah jenis yang mendominasi ialah B. javanica dengan nilai INP sebesar 36.25%. Pada tingkat pohon, lima nilai INP tertinggi disajikan di Tabel 5.
13 Tabel 5 Lima Nilai Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkat pohon di berbagai lokasi penelitian Nama Jenis Dracontomelon dao Spathodea campanulata Alstonia scholaris Millingtonia hortensis Vatica rassak Palaquium obovatum Litsea mappacea Pterospermum celebicum Artocarpus elasticus Bischofia javanica Pterocarpus indicus Melochia umbellata Pterocymbium tinctorium Aleurites moluccana Vitex cofassus Polyscias nodosa Albizia saponaria
Dasar 3 37.52a) 30.97b) 26.96 26.70 24.82 -
Indeks Nilai Penting (%) Lereng PU 34.23 55.35 a) b) 34.78 27.50 40.06 a) 19.49 29.41 b) 25.88 19.76 17.90 -
PB 32.66 b) 72.59 a) 19.36 15.35 13.92
PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah; a) Jenis dominan; b) Jenis kodominan.
Data Tabel 5 menunjukkan bahwa pada lokasi dasar, jenis D. dao memiliki nilai INP tertinggi (37.52%) dan jenis S. Campanulata merupakan jenis kodominan dengan nilai INP yaitu 30.97%. Pada lokasi lereng, jenis P. obovatum memiliki nilai INP tertinggi (55.35%) dan jenis L. mappacea merupakan jenis kodominan dengan nilai INP yaitu 34.78%. Pada lokasi puncak dengan sedikit tanah, jenis P. celebicum memiliki nilai INP tertinggi (40.06%) dan juga merupakan jenis kodominan pada lokasi puncak dengan banyak tanah dengan nilai INP yaitu 32.66%. Jenis B. javanica merupakan jenis kodominan pada lokasi puncak dengan sedikit tanah dengan nilai INP yaitu 29.41%. Pada lokasi puncak dengan banyak tanah, jenis dominannya ialah jenis A. moluccana dengan nilai INP (72.59%). Indeks Dominansi (C) Indeks dominansi (C) memiliki keterkaitan terhadap keanekagaman jenis di dalam komunitas. Sebagai contoh, jika hanya terdapat dua individu di dalam komunitas yang termasuk dengan jenis yang sama, maka keanekaragaman dalam komunitas tersebut tergolong rendah (Ludwig dan Reynolds 1988). Pada hutan tropis, terdapat banyak jenis yang mampu mendominasi di hutan tersebut (Odum 1993). Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, didapatkan nilai indeks dominansi (C) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah dalam lokasi penelitian yang disajikan pada Gambar 4.
14
Indeks dominansi
=Dasar
=Lereng
=Puncak dengan Sedikit Tanah
=Puncak dengan Banyak Tanah
0,10 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0,00 Semai dan Tumbuhan Bawah
Pancang
Tiang
Pohon
Gambar 4 Indeks Dominansi (C) pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta Berdasarkan Gambar 4, nilai indeks dominansi (C) pada berbagai tingkat tumbuhan dalam lokasi penelitian tergolong rendah atau mendekati nilai nol. Sehingga hal ini dapat menggambarkan bahwa hampir tidak terdapat pemusatan oleh suatu jenis. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) Analisis data yang dilakukan selanjutnya ialah mengenai keanekaragaman jenis (H’) di lokasi penelitian. Gambar 5 menyajikan nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian.
Indeks Keankeragaman Jenis
=Dasar
=Lereng
=Puncak dengan Sedikit Tanah
=Puncak dengan Banyak Tanah
4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Semai dan Tumbuhan Bawah
Pancang
Tiang
Pohon
Gambar 5 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta Berdasarkan data pada Gambar 5, umumnya keanekaragaman jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian tergolong tinggi (H’ > 3). Nilai H’ tergolong sedang (2 < H’ < 3) terdapat pada beberapa lokasi di antaranya yaitu dasar dengan tingkat tiang dan pohon, lereng dengan tingkat tiang dan pohon serta puncak dengan banyak tanah pada tingkat semai dan tumbuhan bawah serta tiang.
15 Indeks Kemerataan Jenis (E) Kemerataan jenis menunjukkan kelimpahan suatu jenis terdistribusi diantara jenis-jenis lainnya. Gambar 6 menyajikan nilai indeks kemerataan jenis (E) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian. =Dasar
=Lereng
=Puncak dengan Sedikit Tanah
=Puncak dengan Banyak Tanah
Indeks Kemerataan Jenis
1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 Semai dan Tumbuhan Bawah
Pancang
Tiang
Pohon
Gambar 6 Indeks Kemerataan Jenis (E) pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta Berdasarkan Gambar 6, pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian, memiliki tingkat kemerataan jenis yang tergolong tinggi (E > 0,6). Nilai kemerataan jenis tertinggi terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah dengan tingkat pertumbuhan tiang. Koefisien kesamaan komunitas (IS) Koefisien kesamaan komunitas (IS) menggambarkan tingkat kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua komunitas yang dibandingkan. Hasil perhitungan nilai IS pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Nilai Koefisien Kesamaan Komunitas (IS) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian Habitus Semai dan Tumbuhan bawah
Lokasi Dasar Lereng PU
Lereng 30.76
PU 26.75 30.64
PB 46.12 31.22 33.89
Pancang
Dasar Lereng PU
24.92
22.83 22.44
20.96 22.02 26.00
Tiang
Dasar Lereng PU
13.51
10.22 15.50
10.36 21.28 4.32
Pohon
Dasar Lereng PU
49.34
23.78 32.89
27.55 30.56 42.91
PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah
16 Nilai IS berkisar antara 0-100% yang berarti bahwa semakin tinggi nilai IS, maka komposisi jenis diantara dua komunitas yang dibandingkan semakin sama. Berdasarkan Tabel 5, vegetasi yang terdapat di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Resort Pattunuang mempunyai komunitas tumbuhan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Nilai IS tertinggi terdapat pada komunitas antara dasar dan lereng di tingkat pertumbuhan pohon. Struktur Tegakan Struktur Horizontal Meyer et al. (1961) memakai istilah struktur tegakan untuk menerangkan sebaran jumlah pohon per satuan luas (hektar) dalam berbagai kelas diameternya, dalam hal ini merupakan struktur tegakan horizontal. Tabel 7 menyajikan nilai kerapatan (ind/ha) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian. Tabel 7 Nilai kerapatan (ind/ha) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian Lokasi No Tingkat Pertumbuhan Dasar Lereng PU PB (ind/ha) (ind/ha) (ind/ha) (ind/ha) 1 Semai dan tumbuhan 50 166.67 49 000.00 43 000.00 32 500.00 bawah 2 Pancang 2 106.67 2 773.33 3 600.00 4 373.33 3 Tiang 206.67 173.33 193.33 200.00 4 Pohon 55.00 75.00 148.33 140.00 PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah
Berdasarkan data pada Tabel 7, nilai hasil kerapatan individu (ind/ha) tertinggi terdapat pada lokasi dasar dengan tingkat pertumbuhan semai yaitu dan tumbuhan bawah 50 166.67 (ind/ha) serta tingkat tiang yaitu 206.67 (ind/ha). Sedangkan pada tingkat pancang, nilai tertinggi terdapat pada lokasi puncak dengan banyak tanah 4 373.33 (ind/ha). Pada tingkat pohon, nilai kerapatan individu (ind/ha) tertinggi terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah yaitu 148.33 (ind/ha). Jumlah pohon yang tersebar dalam kelas diameter terkecil dan jumlahnya menurun seiring dengan bertambahnya ukuran sehingga hanya tersisa sedikit pohon-pohon yang berdiameter besar (Daniel et al. 1987). Stratifikasi Tajuk Stratifikasi tajuk dapat digunakan untuk melihat pola pemanfaatan cahaya serta dapat pula digunakan untuk melihat jenis-jenis pohon dominan dan jenisjenis pohon yang dapat tumbuh di bawah naungan (toleran) (Mulyasana 2008). Metode yang diperkenalkan pertama kali dalam mendeskripsikan stratifikasi vegetasi hutan adalah oleh Richards (1934) dalam Khersaw (1973). Menurut Richards (1964), hutan tropis biasanya dibagi kedalam lima lapisan A, B, C, D dan E. Gambar 8 merupakan stratifikasi tajuk pada berbagai lokasi penelitian di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta.
17 Keterangan: 1, 4. Alstonia scholaris 2. Dracontomelon dao 3, 5. Kleinhovia hospita 6. Ficus ribes 7. Chisocheton ceramicus 8. Arthocarpus heterophyllus 9. Glycosmis pentaphylla 10. Litsea forstenii
(a) Keterangan: 1, 11. Palaquium obovatum 2. Pimelodendron amboinicum 3, 4, 5. Litsea mappacea 6. Lagerstroemia ovalifolia 7. Syzygium sp.1 8, 9. Myristica impressa 10. Belalambasi 11. Palaquium obovatum 12, 13. Celtis philippensis 14, 17. Spathodea campanulata 15. Kleinhovia hospita 16. Spondias pinnata
(b)
18 Keterangan: 1. Mallotus floribundus 2. Polyscias nodosa 3. Unidet. 1 4, 5, 7, 9, 10, 14, 20. Pterospermum celebicum 6. Schefflera polybotrya 8. Buchanania arborescens 11, 12, 15. Pterocarpus indicus 13, 16, 17, 22. Cordia sp. 18. Dracontomelon dao 19. Albizia saponaria 21. Carallia brachiata 23. Sterculia insularis 24. Melochia umbellata 25. Bridelia insulana 26. Ficus septica
(c)
Keterangan: 1, 9, 12, 14, 15, 18. Aleurites moluccana 2, 11, 13, 16, 22. Villebrunea rubescens 3. Harpulia cupanoides 4. Albizia saponaria 5, 7. Pterospermum celebicum 6. Pterocarpus indicus 8, 10. Cryptocarya zollingeriana 17. Baccaurea javanica 19. Ficus ribes 20. Antiaris toxicaria 21. Myristica elliptica 23. Leea aculeata 24. Vitex cofassus 25. Polyalthia celebica 26. Toona sureni 27. Arthocarpus elasticus
(d) Gambar 7 Diagram profil tajuk pada berbagai lokasi penelitian di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta. (a) dasar, (b) lereng, (c) puncak dengan sedikit tanah, (d) puncak dengan banyak tanah
19 Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Gambar 7, secara keseluruhan di berbagai lokasi penelitian tergolong memiliki 4 stratum yaitu stratum B, stratum C, stratum D, dan stratum E. Pada lokasi dasar, jenis Alstonia scholaris, Arthocarpus heterophyllus, dan Kleinhovia hospita merupakan jenis yang terdapat pada lapisan teratas dan tergolong kedalam stratum B, C, D, dan E walaupun stratum B dan C di lokasi dasar tidak memiliki jumlah pohon yang banyak. Pada lokasi lereng, jenis Litsea mappacea, L. ovalifalia, Belalambasi, dan C. philippensis merupakan jenis yang terdapat pada lapisan teratas. Pada lokasi puncak dengan sedikit tanah, P. celebicum merupakan jenis yang kerap kali ditemukan terutama pada stratum B dan C. Pada lokasi puncak dengan banyak tanah, jenis A. Moluccana merupakan jenis yang ditemukan pada stratum B dan C dan juga jenis yang melimpah di tingkat pertumbuhan pohon. Pola Penyebaran Individu Jenis Hulrbert (1990) menyatakan bahwa indeks Morisita merupakan salah satu indeks penyebaran terbaik. Tabel 8 menyajikan pola penyebaran individu jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian. Tabel 8 Pola penyebaran individu jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian Habitus
Lokasi
Jenis Dominan
Se dan Tb
Dasar Lereng PU PB Dasar Lereng PU PB Dasar Lereng PU PB Dasar Lereng PU PB
D. canniformis D. canniformis P. celebicum C. koordersianus L. indica C. variegatum P. nitida Psychotria sp. L. ovalifolia P. obovatum Cordia sp. B. javanica D. dao P. obovatum P. celebicum A. moluccana
Pancang
Tiang
Pohon
Indeks Morisita 0.58 0.57 0.53 1.00 0.54 0.71 0.38 0.50 0.73 -0.18 1.00 0.62 -0.18 0.50 0.54 0.51
Pola Penyebaran Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Merata Mengelompok Mengelompok Merata Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Se dan Tb: semai dan tumbuhan Bawah; PB: puncak dengan banyak tanah; PU: puncak dengan sedikit tanah
Berdasarkan data pada Tabel 8, di lokasi penelitian pada berbagai tingkat pertumbuhan serta tumbuhan bawah, umumnya memiliki pola penyebaran secara mengelompok. Pola penyebaran secara merata hanya ditemukan pada jenis P. obovatum di lokasi lereng dengan tingkat pertumbuhan tiang dan jenis D. dao di lokasi dasar dengan tingkat pertumbuhan pohon. Pola penyebaran dikatakan mengelompok apabila memiliki nilai Indeks Morisita > 0, sedangkan dikatakan merata apabila memiliki nilai Indeks Morisita < 0.
20 Distribusi Perakaran Shoot-root Ratio Analisis data selanjutnya yang dilakukan ialah perhitungan Shoot-root ratio. Shoot-root ratio digunakan untuk mengetahui apakah pohon melakukan pertumbuhan di bagian atas (batang) atau bagian bawah (akar). Tabel 9 menyajikan nilai Shoot-root ratio pada jenis Pterospermum celebicum di berbagai lokasi penelitian. Tabel 9 Nilai Shoot-root ratio pada P. celebicum di berbagai lokasi penelitian Lokasi
Shoot-root ratio
Dasar Lereng Puncak dengan sedikit tanah Puncak dengan banyak tanah
0.477 ± 0.035 0.490 ± 0.144 0.615 ± 0.295 0.829 ± 0.381
Berdasarkan data pada Tabel 9, diketahui bahwa di lokasi dasar memiliki nilai Shoot-root ratio terendah (0.477). Hal ini menunjukkan bahwa, jenis P. celebicum pada lokasi dasar lebih melakukan pertumbuhan di bagian penampang melintang akar. Shoot-root ratio tertinggi (0.829) terdapat pada lokasi puncak dengan banyak tanah. Hal ini menunjukkan bahwa, jenis P. celebicum pada lokasi puncak dengan banyak tanah lebih melakukan pertumbuhan di bagian batang. Indeks Jangkar Akar (IJA) dan Indeks Cengkeram Akar (ICA) Nilai IJA dan ICA merupakan nilai yang digunakan untuk menggambarkan distribusi perakaran. Nilai IJA digunakan untuk mengetahui kondisi perakaran vertikal, sedangkan perakaran horizontal didekati menggunakan nilai ICA. Tabel 10 menyajikan Nilai IJA dan ICA P. celebicum di berbagai lokasi penelitian. Tabel 10 Nilai indeks jangkar akar (IJA) dan indeks cengkeram akar (ICA) pada P. celebicum di berbagai lokasi penelitian Lokasi Dasar Lereng PU PB
IJA 0.411 ± 0.224 0.712 ± 0.310 1.167 ± 0.316 0.325 ± 0.252
Kategori Sedang Sedang Tinggi Sedang
ICA 1.693 ± 0.383 1.471 ± 1.031 0.695 ± 0.507 1.150 ± 0.642
Kategori Sedang Rendah Rendah Rendah
PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah
Berdasarkan analisis data IJA dan ICA pada Tabel 10, P. celebicum memiliki nilai IJA dengan kategori tinggi (1.167) pada lokasi puncak dengan sedikit tanah, sedangkan pada lokasi lain memiliki nilai yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut, akar pada jenis P. celebicum cenderung melakukan pertumbuhan pada akar vertikal yang relatif besar dan akar horizontal secara cukup. Nilai ICA pada lokasi dasar memiliki nilai dengan kategori sedang (1.693) sedangkan pada lokasi lainnya memiliki nilai dengan kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut, akar pada jenis P. celebicum cenderung melakukan pertumbuhan pada akar horizontal yang relatif besar dan akar vertikal secara cukup.
21 Pembahasan Jumlah jenis Pada tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah, jumlah jenis terbanyak terdapat pada lokasi lereng yaitu 44 jenis. Pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang, dan pohon, jumlah jenis terbanyak terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah yaitu 57, 22, dan 35 jenis. Tanah-tanah batu kapur yang dangkal mungkin mampu mendukung basal area pohon-pohon yang relatif tinggi, karena kondisi tanah yang relatif subur (Whitten et al. 1987). Hal ini diduga yang menyebabkan jumlah jenis di lokasi puncak dengan sedikit tanah tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Komposisi hutan di kawasan karst agak berbeda jika dibandingkan dengan hutan dataran rendah lainnya. Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan, bahwa pada batu kapur terdapat komunitas pohon-pohon yang khas (Whitten et al. 1987). Bila dibandingkan dengan tipe-tipe vegetasi yang lain, jenis-jenis tumbuhan yang mampu bertahan di kawasan batuan kapur lebih kaya dalam jumlah jenis (Wong 1998). Indeks Kekayaan Jenis (R1) Analisis data selanjutnya yang dilakukan ialah perhitungan indeks kekayaan jenis (R1). Sama halnya dengan jumlah jenis, berdasarkan Gambar 3 puncak dengan sedikit tanah memiliki nilai indeks kekayaan jenis tertinggi pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang, dan pohon. Pada tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah, lokasi lereng memiliki nilai R1 tertinggi. Hutan bukit kapur dicirikan oleh keanekaragaman jenis pohon yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan dataran rendah, meskipun jumlah jenis tumbuhan diperkirakan kurang lebih sama (Amran 2011). Lokasi dasar dan lereng tidak memiliki nilai R1 tertinggi diduga akibat lokasi tersebut termasuk sebagai kawasan wisata, sehingga lokasi ini memiliki potensi kerusakan tertinggi akibat aktivitas manusia yang berkunjung di lokasi tersebut. Dominansi Jenis (INP) Tingginya kadar kalsium dan magnesium, banyaknya variasi topografi, kandungan air permukaan yang relatif sedikit, serta lapisan tanah yang umumnya tipis menyebabkan hanya beberapa jenis tumbuhan yang mampu hidup dan mendominasi di ekosistem karst (Roemantyo dan Noerdjito 2006). Berdasarkan Tabel 2, pada tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah jenis D. canniformis mendominasi di daerah dasar dan lereng. Berdasarkan Whitten et al. (1987), D. canniformis merupakan jenis yang ditemukan didaerah Pattunuang. D. canniformis juga merupakan termasuk jenis vegetasi sekunder (Slik 2012), sedangkan jenis P. celebicum mendominasi lokasi puncak dengan sedikit tanah. P. celebicum merupakan jenis yang juga kerap ditemukan di wilayah Sulawesi (Whitten et al. 1987). Berdasarkan Tabel 3, pada lokasi dasar, L. indica merupakan jenis dominan di tingkat pancang dan juga jenis kodominan di lokasi lereng serta puncak dengan sedikit tanah dengan tingkat pertumbuhan semai. Berdasarkan (Amran 2001 dalam Amran 2011), L. indica merupakan jenis dominan yang mempunyai sebaran yang luas pada kawasan karst. Pada lokasi lereng, C. variegatum merupakan jenis dominan dengan nilai INP tertinggi. Pada lokasi
22 puncak dengan sedikit tanah, P. nitida merupakan jenis yang dominan, sedangkan pada lokasi puncak banyak tanah, Psychotria sp. merupakan jenis yang dominan. Tingkat pertumbuhan tiang hampir tidak terdapat jenis yang mampu mendominasi di berbagai lokasi penelitian yang diamati berdasakan Tabel 4. Pada lokasi dasar, jenis yang mendominasi dengan memiliki nilai INP terbesar ialah L. ovalifolia. Terdapatnya L. ovalifolia yang merupakan jenis dalam vegetasi sekunder (Whitten et al. 1987; Amran 2011) menduga bahwa di lokasi penelitian tersebut pernah terjadi gangguan. Pada lokasi puncak dengan sedikit tanah dan puncak dengan banyak tanah, jenis yang termasuk jenis dominan masing-masing ialah Cordia sp. dan B. javanica. B. javanica menggambarkan bahwa di lokasi tersebut merupakan hutan sekunder tua (Soerianegara dan Indrawan 2002). Pada lokasi lereng, jenis yang mendominasi ialah P. obovatum di tingkat pertumbuhan tiang dan pohon. Menurut Amran (2006), jenis P. obovatum merupakan jenis yang juga mendominasi di hutan bukit kapur Maros-Pangkep. Pada tingkat pertumbuhan pohon, data Tabel 5 menunjukkan bahwa pada lokasi dasar, jenis D. dao merupakan jenis dominan dan jenis S. campanulata merupakan jenis kodominan. D. dao sendiri merupakan jenis yang juga ditemukan melimpah di dalam hutan dataran rendah di Sulawesi (Whitten et al. 1987). Pada lokasi puncak dengan sedikit tanah, jenis P. celebicum memiliki nilai INP tertinggi (40.06%) dan juga merupakan jenis kodominan pada lokasi puncak dengan banyak tanah. Sedangkan jenis dominan pada lokasi puncak dengan banyak tanah ialah jenis A. moluccana dengan nilai INP (72.59%). Tingginya nilai INP A. moluccana menunjukkan bahwa jenis ini sangat mendominasi untuk tingkat pertumbuhan pohon di Puncak dengan Banyak Tanah. Jenis S. campanulata dan A. moluccana merupakan jenis yang ditanam oleh penduduk setempat ketika masih mengelola ladang. Jenis V. rassak dalam Tabel 5 menggambarkan bahwa terdapatnya jenis dari famili Dipterocarpaceae di Sulawesi. Jenis V. rassak termasuk sebagai jenis pohon Dipterocarpaceae yang diketahui dengan pasti dari Sulawesi (Ashton 1984 dalam Whitten et al. 1987). Indeks Dominansi (C) Nilai Indeks Dominansi (C) atau yang dikenal dengan indeks Simpson’s berkisar antara 0 ≤ C ≤ 1. Bila suatu tegakan hanya dikuasai oleh satu jenis saja maka nilai C akan mendekati 1, dengan kata lain telah terjadi pengelompokan/pemusatan suatu jenis tumbuhan. Sebaliknya, apabila nilai C mendekati nilai 0, maka tidak terjadi pemusatan jenis dimana terdapat beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama. Berdasarkan Gambar 4, diketahui bahwa di semua lokasi penelitian pada berbagai tingkat pertumbuhan, tidak terjadinya pemusatan oleh suatu jenis karena nilai C tergolong rendah. Nilai C tertinggi terdapat pada lokasi lereng dan puncak dengan banyak tanah pada tingkat pertumbuhan pohon. Nilai C terendah terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah pada tingkat pertumbuhan pancang. Hal ini juga terlihat dari nilai INP pada lokasi dengan tingkat pertumbuhan tersebut yang relatif rendah. Tumbuhan yang hidup pada batuan kapur mempunyai komposisi campuran dan tidak menujukkan adanya dominansi oleh salah satu suku tertentu di antara pohon-pohon, semaksemak dan terna (Vogel 1986 dalam Whitten et al. 1987).
23 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) Indeks keanekaragaman jenis menggabungkan indeks kekayaan jenis dan kemerataan kedalam nilai tunggal (Ludwig dan Reynold 1988). Jumlah jenis yang tinggi dapat meningkatkan nilai Indeks tersebut dan persebaran individu yang merata diantara jenis juga akan meningkatkan nilai yang dihitung menggunakan fungsi Shannon-Wiener (Krebs 1978). Berdasarkan data pada Gambar 5, keanekaragaman jenis tergolong tinggi (H’ > 3) terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah pada tingkat pertumbuhan pancang dan tiang serta lokasi lereng dengan tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah. Keanekaragaman jenis tergolong tinggi juga ditemukan pada lokasi Puncak dengan Banyak Tanah dengan tingkat pertumbuhan Pohon. Tingginya tingkat keanekaragaman jenis pada lokasi puncak dengan sedikit tanah pada tingkat pertumbuhan pancang dan tiang dapat disebabkan akibat lokasi tersebut belum pernah atau jarang mengalami gangguan. Tipisnya, bahkan hampir tidak ada lapisan tanah mengakibatkan masyarakat enggan untuk mengelola di lokasi tersebut. Meskipun tanah tanah ini relatif dangkal, mungkin mampu mendukung luas bidang dasar pohon yang relatif tinggi, karena kondisi tanah yang relatif subur (Amran 2011). Dengan keunikan lingkungan kawasan karst ini dapat dikatakan bahwa keragaman, komposisi dan tingkat endemisitas jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi di kawasan ini diperkirakan cukup tinggi (Roemantyo dan Noerdjito 2006). Perkembangan komunitas tumbuhan, dapat didekati menggunakan konsep perbandingan antara jumlah jenis dan jumlah individu pada setiap tahapan perkembangan komunitas, dapat memberikan petunjuk meskipun tidak terlalu akurat. Menurut Whitmore (1984), prinsip ini didasarkan pada teori perkembangan vegetasi, bahwa semakin tua suatu komunitas tumbuhan maka akan semakin banyak jenisnya, tetapi jumlah individu per jenis akan semakin kecil. Sebaliknya pada komunitas yang muda akan memiliki jumlah jenis yang sedikit, tetapi mempunyai jumlah individu yang besar pada setiap jenisnya. Berdasarkan hasil keanekaragaman pada tingkat pertumbuhan pohon, puncak dengan sedikit tanah dan puncak dengan banyak tanah memiliki nilai yang tertinggi (3.09 dan 3.10) jika dibandingkan dengan komunitas lainnya. Pada lokasi puncak dengan sedikit tanah juga memiliki keanekaragaman yang tinggi pada tingkat pertumbuhan pancang dan tiang. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas pada puncak dengan sedikit tanah, lebih dewasa dibandingkan dengan komunitas lainnya. Indeks Kemerataan Jenis (E) Tingkat kemerataan jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian tergolong tinggi (E > 0,6). Nilai indeks kemerataan jenis akan tergolong tinggi atau maksimal apabila kelimpahan individu pada tiap jenis hampir sama (Ludwig dan Reynold 1988). Penambahan jenis pada suatu komunitas, terutama jenis yang memiliki nilai individu yang rendah dapat berpengaruh signifikan terhadap nilai indeks kemerataan jenis (E) (Ludwig dan Reynold 1988). Nilai indeks kemerataan jenis tertinggi terdapat di lokasi puncak dengan sedikit tanah pada tingkat pertumbuhan tiang.
24 Koefisien kesamaan komunitas (IS) Koefisien kesamaan komunitas atau indeks kesamaan komunitas yang secara luas saat ini digunakan ialah indeks kesamaan yang berasal dari Sorensen (1948) yang kemudian dimodifikasi kembali oleh Motyka et al. (1950) dalam Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974). Sorensen (1948) dalam MuellerDombois dan Ellenberg (1974) menjelaskan bahwa, pada indeks kesamaan yang dia terapkan, nilai terkecil merupakan nilai yang hadir dua kali, karena nilai ini mengandung nilai terbesar di jenis yang sama pada tegakan yang dibandingkan. Tingkat pohon memiliki nilai koefisien kesamaan komunitas yang tertinggi pada lokasi dasar dengan lereng. Hal ini diduga dikarenakan tebalnya lapisan tanah yang menyebabkan tanaman mampu tumbuh dengan baik, sehingga pohon yang terdapat pada lokasi dasar dan lereng merupakan pohon yang mampu beradaptasi di lokasi tersebut namun tidak mampu beradaptasi di lokasi puncak dengan sedikit tanah dan puncak dengan banyak tanah. Pada tingkat pertumbuhan pancang, komunitas puncak dengan sedikit tanah dan puncak dengan banyak tanah memiliki nilai IS tertinggi. Komunitas yang terdapat pada lokasi dasar dan puncak dengan banyak tanah memiliki nilai IS tertinggi pada tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah. Pada tingkat pertumbuhan tiang, nilai IS tertinggi terdapat pada lokasi lereng dan puncak dengan banyak tanah. Namun, nilai Koefisien Kesamaan Komunitas pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa dari tiap komunitas memiliki jenis-jenis yang berbeda sehingga hal tersebut sesuai dengan penelitian Chin (1977) yang membagi habitat hutan kawasan batu kapur khususnya diantaranya dasar bukit, lereng mata kaki, punggung bukit dengan banyak tertutup tanah, dan punggung bukit dengan sedikit tanah. Struktur Horizontal Struktur tegakan memiliki pengertian yang berbeda-beda bergantung para ahli yang mengemukakan. Struktur tegakan terbagi menjadi dua, yaitu struktur tegakan horisontal dan struktur tegakan vertikal. Tabel 7 menyajikan nilai kerapatan individu (ind/ha) pada lokasi penelitian di berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah. Nilai hasil kerapatan individu (ind/ha) tertinggi terdapat pada lokasi dasar dengan tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah serta tingkat tiang. Pada tingkat pancang, nilai tertinggi terdapat pada lokasi puncak dengan banyak tanah. Pada tingkat pohon, nilai kerapatan individu (ind/ha) tertinggi terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah. Kelangsungan hidup, kelimpahan dan persebaran pada suatu jenis bergantung pada adaptasi terhadap lingkungan fisik dan organisme hidup lainnya yang mendiami lingkungannya (Kimmins 1987). Permudaan yang normal pada tegakan hutan tidak seumur mempunyai rasio yang konstan antara jumlah pohon dengan penurunan kelas diameter. Bentuk yang umum dari distribusi kelas diameter mengikuti bentuk kurva eksponensial J terbalik, artinya semakin besar kelas diameternya maka semakin kecil kerapatannya. Suhendang et al. (1995) dalam Saputra (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan tegakan hutan alam adalah termasuk dalam pertumbuhan yang dinamis karena seiring berjalannya waktu pertumbuhan selain disebabkan oleh bertambahnya dimensi-dimensi dari pohon penyusun tegakan juga disebabkan oleh munculnya individu-individu baru sehingga terjadi pergantian pohon-pohon penyusun tegakan.
25 Stratifikasi Tajuk Richards (1964) memakai istilah struktur tegakan untuk menerangkan sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk hutan untuk struktur tegakan vertikal. Secara lengkapnya, penjelasan strata tersebut dijelaskan Soerianegara dan Indrawan (2002) adalah sebagai berikut: 1. Stratum B: terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20-30 m, tajuknya pada umumnya kontinu, batang pohon biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan (toleran) 2. Stratum C: terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m, tajuknya kontinu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil, dan banyak bercabang. 3. Stratum D: lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4 m 4. Stratum E: lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah tingginya 0-1 m. Menurut Whitmore (1984), rapatnya penutupan tajuk dan tingginya pohon yang menduduki lapisan paling atas dari suatu tegakan hutan, menyebabkan tersedianya ruang di bagian bawah tajuk tersebut yang kemudian diisi oleh jenisjenis tertentu. Seperti dijelaskan sebelumnya, jenis seperti K. hospita merupakan jenis vegetasi sekunder sehingga diduga bahwa di lokasi tersebut pernah terjadi gangguan. Sama halnya dengan komunitas yang terdapat di lokasi dasar, pada lokasi lereng juga pernah mengalami gangguan dengan ditemukannya jenis L. ovalifalia. Namun, ditemukannya jenis P. obovatum yang merupakan jenis yang mendominasi pada hutan bukit kapur menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut sedang menuju komunitas klimaks walaupun hal tersebut akan berjalan sangat lambat. Laju dari perubahan komunitas sangat cepat setelah suksesi awal tapi akan menjadi sangat lambat ketika mendekati klimaks (Kimmins 1987). Lamanya waktu yang diperlukan untuk suksesi sekunder di hutan hingga mencapai klimaks bergantung terhadap lamanya hutan tersebut dalam keadaan terganggu (Ewusie 1980). Lokasi puncak dengan sedikit tanah merupakan lokasi yang memiliki nilai indeks kekayaan dan keanekaragaman jenis yang tergolong tinggi pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah sehingga menunjukkan bahwa lokasi tersebut merupakan komunitas tua. Namun ditemukannya jenis asli Sulawesi seperti P. Celebicum dan terdapatnya jenis pioneer seperti L. ovalifolia, Mallotus floribundus, dan Ficus septica menunjukkan bahwa komunitas tersebut mengalami stagnasi sehingga perkembangannya mendekati klimaks atau biasa disebut subklimaks. Hal ini dapat digolongkan ke dalam tipe klimaks edafik. Menurut Soerianegara dan Indrawan (2002), klimaks edafik disebabkan oleh adanya faktor pembatas dari kondisi tanah atau batuan. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa jenis A. moluccana merupakan jenis yang ditanam oleh penduduk setempat. Pola Penyebaran Individu Jenis Nilai indeks Morisita menunjukkan pola penyebaran jenis tumbuhan pada suatu komunitas. Secara keseluruhan, pola penyebaran individu jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian memiliki pola penyebaran mengelompok (clumped). Menurut Soegianto (1994), pola
26 penyebaran organisme di alam jarang yang ditemukan dalam pola yang seragam, tetapi pada umumnya mempunyai pola mengelompok. Ewusie (1980) juga mengemukakan, pada umumnya pengelompokkan dalam berbagai tingkat pertumbuhan suatu jenis merupakan pola yang paling sering ditemukan apabila mengkaji sebaran individu di alam. Tingkat pengelompokkan yang dijumpai di dalam populasi tertentu bergantung pada sifat khas dari suatu habitat, cuaca atau faktor fisik dan tipe pola reproduktif yang khas pada suatu jenis tumbuhan (Odum 1993). Tipe pola reproduktif dapat dilihat dari tersebarnya biji pada suatu jenis tumbuhan yang tidak jauh dari induknya. Pola penyebaran merata ditemukan pada jenis P. obovatum di lokasi lereng dan jenis D. dao di lokasi dasar. Pola penyebaran merata dapat terjadi ketika persaingan antara individu sangat tinggi yang menyebabkan terjadinya pembagian ruang yang sama di dalam komunitas (Odum 1993). Persaingan untuk memperoleh sinar matahari yang tinggi menyebabkan pohon-pohon cenderung tumbuh dengan interval jarak yang lebih teratur (Dice 1952 dalam Odum 1993). McNaughton and Wolf (1990) mengemukakan bahwa kondisi iklim dan faktor lingkungan yang paling berperan dalam penyebaran suatu jenis di alam. Shoot-root Ratio Shoot-root ratio dikemukakan melalui perbandingan antara luas penampang melintang akar dengan luas penampang melintang batang (basal area) (Murniati 2009). Pada kawasan karst, tanah yang tipis, unsur hara yang terbatas, air yang sangat terbatas, cuaca yang kurang bersahabat, kondisi panas terutama pada musim kemarau akan berpengaruh terhadap kebiasaan dalam kehidupan dan perilaku tumbuhan di kawasan ini. Tumbuh-tumbuhan yang tumbuh pada puncak bukit kapur dan karang biasanya membentuk sistem perakaran yang kuat yang akan dipakai untuk menarik air yang terdapat di dalam batuan tersebut (Roemantyo dan Noerdjito 2006). Tumbuhan yang tumbuh pada habitat seperti ini sebagian besar sumber makanan untuk akar mereka terdapat pada permukaan tanah (Misra 1980). Lokasi dasar memiliki nilai shoot-root ratio tertinggi dikarenakan jenis P. celebicum di lokasi tersebut melakukan pertumbuhan akar, terutama akar horizontal, hampir sama besar dibandingkan dengan pertumbuhan batang. Indeks Jangkar Akar (IJA) dan Indeks Cengkeram Akar (ICA) Variabel lainnya yang digunakan untuk mengamati distribusi perakaran yaitu indeks jangkar akar (IJA) dan indeks cengkeram akar (ICA). Pada Tabel 10, P. celebicum memiliki nilai IJA dengan kategori tinggi (>1.0) pada lokasi puncak dengan sedikit tanah. Sistem perakaran tanaman lebih dikendalikan oleh sifat genetis dari tanaman yang bersangkutan, tetapi telah pula dibuktikan bahwa sistem perakaran tanaman tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi tanah atau media tumbuh tanaman (Lakitan 2012). Faktor yang mempengaruhi pola penyebaran akar antara lain adalah penghalang mekanis, suhu tanah, aerasi, ketersediaan air, dan ketersediaan unsur hara (Lakitan 2012). Tanah yang terdapat pada kawasan karst biasanya berasal dari batuan kapur yang hancur dan tererosi baik secara mekanik, kimiawi maupun perubahan-perubahan iklim yang terjadi. Jika terjadi proses tersebut, lapisan tanahnya sangat tipis dan sebagian besar terkumpul pada tempat yang cekung (Roemantyo dan Noerdjito 2006). Hal inilah
27 yang menyebabkan jenis P. celebicum cenderung melakukan pertumbuhan pada akar vertikal guna mendapatkan air dan unsur hara yang terdapat di cekungan batuan karst. Pada pengamatan variabel ICA, Tabel 10 menyajikan bahwa jenis P. celebicum memiliki nilai ICA tertinggi dengan kategori sedang (1.5-3.5) pada lokasi Dasar. Kondisi fisik dan kimia tanah yang optimal, sisem perakaran tanaman sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor genetis (Lakitan 2012). Tebalnya lapisan tanah pada lokasi dasar menyebabkan jenis P. celebicum cenderung melakukan pertumbuhan pada akar horizontal sesuai dengan sifat genetis jenis tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Jenis-jenis yang mendominasi lokasi penelitian umumnya terdiri dari jenis hutan sekunder atau sekunder tua seperti D. canniformis, B. javanica, dan L.ovalifolia serta jenis asli Sulawesi seperti P. celebicum, P. obovatum, dan D. dao. Lokasi Puncak dengan sedikit tanah memiliki nilai R1 tertinggi pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon. Sedangkan lokasi lereng memiliki nilai R1 tertinggi pada tingkat semai dan tumbuhan bawah. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada berbagai tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian umumnya tergolong tinggi (H’>3). Nilai H’ tergolong sedang (2
0.6). Nilai Kerapatan (ind/ha) tertinggi terdapat pada lokasi dasar dengan tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah. Secara keseluruhan di berbagai lokasi penelitian tergolong memiliki 4 strata yaitu strata B, C, D, dan E. Pola penyebaran individu jenis umumnya memiliki pola penyebaran mengelompok. Pola penyebaran secara merata hanya ditemukan pada jenis P. obovatum di lokasi lereng dengan tingkat pertumbuhan tiang dan jenis D. dao di lokasi dasar dengan tingkat pertumbuhan pohon. Jenis P. celebicum memiliki nilai shoot-root ratio tertinggi di lokasi puncak dengan banyak tanah, IJA tertinggi dengan kategori tinggi di lokasi puncak dengan sedikit tanah, dan ICA tertinggi dengan kategori sedang di dasar Saran Berdasarkan hasil penelitian, perlu adanya kegiatan penanaman kembali jenis tumbuhan asli pada lokasi dasar dan lereng guna meningkatkan nilai keanekaragaman tumbuhan di lokasi tersebut. Jenis P. celebicum dapat dijadikan
28 sebagai salah satu jenis dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi di kawasan Karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung.
DAFTAR PUSTAKA Amran A. 2006. Sebaran jenis tumbuhan pada empat fasies batuan karbonat di Kawasan Kars Maros Pangkep Sulawesi Selatan. Gun Sew J. 2(2): 105-112. Amran A. 2011. Rahasia Ekosistem Hutan Bukit Kapur. Surabaya: Brilian Internasional. Daniel TW, Baker FS, Helms JA. 1979. Prinsip-prinsip Silvikultur. Marsono D, penerjemah; Soseno OH, editor. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr. Terjemahan dari: Principles of Silviculture. Ed ke-2. Chin SC. 1977. The limestone hill flora of Malaya I. Gar Bull. 30: 165-219 Ewusie JY. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Tanuwidjaja U, penerjemah; Sasanti, editor. Bandung (ID): Penerbit ITB Bandung. Terjemahan dari: Elements of tropical ecology. Ed ke-1. Hafazallah K. 2014. Keanekaragaman Tumbuhan di Kawasan Lindung Areal IUPHHK-HT PT. Wana Hijau Pesaguan Provinsi Kalimantan Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hairiah K, Widianto, Suprayogo D. 2008. Adaptasi dan Mitigasi Pemanasan Global: Bisakah Agoroforestri Mengurangi Resiko Longsor dan Emisi Gas Rumah Kaca?. Pendidikan Agroforestri sebagai Strategi Menghadapi Perubahan Iklim Global. Prosiding Seminar (bunga rampai) INAFE; 2008 3-5 Maret; Surakarta, Indonesia. Surakarta (ID): Universitas Negeri Sebelas Maret. Hulrbert SH. 1990. Spatial distribution of the montane unicorn. Oikos. 58:257-271. Kershaw KA. 1973. Quantitative and Dynamic Plant Ecology. London: Edward Arnold (Publisher) Limited. Kimmins J P. 1987. Forest Ecology. New York: Macmillan Publishing Company. Krebs CJ. 1978. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Haper and Row Publishing. Krebs CJ. 2014. Ecological Methodology. Ed ke-3. New York: Haper and Row Publishing. Lakitan B. 2012. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Rajawali pers. Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical Ecology. New York: John Wiley and Sons. Leps J. 2005. Diversity and Ecosystem Function. Maarel EVD, editor. Australia: Blackwell Publishing. Magurran AE. 1998. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Croom Helm Ltd. McNaughton SJ, Wolf LL. 1990. Ekologi Umum. Pringgoseputro S, penerjemah; Soedarsono, editor. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr. Terjemahan dari: General Ecology. Ed ke-2. Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Bartoo RA. 1961. Forest Management. Ed ke-2. New York: The Ronald Press Company.
29 Misra KC. 1980. Manual of Plant Ecology. New Delhi: Mohan Primlani, Oxford and Publishing Co. Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. Canada (US): J Wiley. Mulyasana D. 2008. Kajian Keanekaragaman Jenis Pohon Pada Berbagai Ketinggian Tempat di Taman Nasional Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Murniati. 2009. Arsitektur pohon, distribusi perakaran, dan pendugaan biomassa pohon dalam sistem agroforestry. J Pen Hut dan Kons Al. 7(2):103-117. Odum EP. 1973. Dasar-dasar Ekologi. Samingan T, penerjemah; Srigandono B, editor. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology. Ed ke-3. Roemantyo, Noerdjito M. 2006. Keanekaragaman Flora Kawasan Karst di Indonesia. Maryanto I, Noerdjito M, Rosichon U, editor. Bogor (ID): LIPI Pr. Richards PW. 1964. The Tropical Rain Forest, an Ecologycal Study. Ed ke-3. Cambridge: University Press. Saputra HE. 2009. Keragaman Struktur Tegakan Hutan Alam Tanah Kering Bekas Tebangan di Kalimantan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Slik F. 2012. Donax canniformis [Internet]. [diunduh 2015 Jan 5]. Tersedia pada: http://www.asianplant.net/Maracanthaceae/Donax_canniformis.htm. Soegianto A. 1994. Ekologi kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Jakarta: Penerbit Usaha Nasional. Soerianegara I, Indrawan A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East. Ed ke-2. Oxford: Oxford University Press. Whitten AJ, Mustafa M, Henderson GS. 1987. Ekologi Sulawesi. Tjitrosoepomo G, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr. Terjemahan dari: Ecology of Sulawesi. Wong KM. 1998. Pattern of plant endemism and rarity in Borneo and the Malay Peninsula. Rar, Thre, and Enda Flo of Asia and the Pac Rim. 16: 139-169.
30
LAMPIRAN
31 Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
32 Lampiran 2 Jenis tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian No
Jenis
Nama Lokal
Famili
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Actinodaphne angustifolia Nees Aglaia elliptica (C.DC.) Blume Aglaia odorata Lour. Ailanthus integrifolia Lam. Alangium salviifolium (L.f.) Wangerin Albizia saponaria (Lour.) Miq. Aleurites moluccana (L.) Willd. Allophylus cobbe (L.) Raeusch. Alstonia scholaris (L.) R. Br. Antiaris toxicaria Lesch. Antidesma montanum Blume Antidesma sp. Aphanamixis polystachya (Wall.) R.N. parker Ardisia carnea Mez Ardisia elliptica Thunb. Ardisia teysmanniana Scheff. Arenga pinnata (Wurmb) Merr. Aristolochia tagala Cham. Artocarpus elasticus Reinw. Ex Blume Artocarpus heterophyllus Lam. Asplenium sp. Asystasia sp. Baccaurea javanica (Blume) Müll.Arg. Baccaurea sp. Bauhinia purpurea L. Beilschmiedia gemmiflora (Blume) Kosterm. Beilschmiedia madang Blume Bischofia javanica Blume Buchanania arborescens (Blume) Blume Calamus cf. koordersianus Becc Calophyllum soulattri Burm.f. Cananga odorata (Lam.) Hook.f. & Thomson Canarium asperum Benth. Canthium glabrum Blume Capparis sp. Carallia brachiata Merrill Caryota mitis Lour. Cassia sp.
Lasu-lasune Katabo
Lauraceae Meliaceae Meliaceae Simaroubaceae Cornaceae Leguminosae Euphorbiaceae Sapindaceae Apocynaceae Moraceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae Meliaceae Primulaceae Primulaceae Primulaceae Arecaceae Aristolochiaceae Moraceae Moraceae Aspleniaceae Acanthaceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae Fabaceae Lauraceae Lauraceae Phyllanthaceae Anacardiaceae Arecaceae Clusiaceae Annonaceae Burseraceae Rubiaceae Capparaceae Rhizophoraceae Arecaceae Fabaceae
Lada-lada Langiri Kemiri Talu-talu raung Ritah Ficus kellong
Rao rao Pada'ka Pada'ka Pada'ka Pinang-rapo Ganjeng Tokka Nangka Sarang burung Bunga kebo Ropisi Ropisi Bunga kupu kupu Nato Nato Polo Tepaidare Rotan Kenanga Rao eja Kopi-kopi Kaleleng-katinting Sala-sala Baru'
33 No
Jenis
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
Celtis philippensis Blanco Celtis wightii Planch. Chionanthus cordulatus Koord. Chionanthus cuspidatus Blume Chionanthus nitens Koord. & Valeton Chionanthus ramiflorus Roxb. Chionanthus sp. Chisocheton ceramicus Miq. Chromolaena odorata (L.) R.M.King & H.Rob. Claoxylon longifolium (Blume) Endl. ex Hassk. Cleistanthus myrianthus (Hassk.) Kurz Cleistanthus sp.1 Clerodendrum paniculatum L. Clerodendrum sp Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau Codiaeum variegatum (L.) Rumph. ex A.Juss. Coffea sp. Cordia sp. Croton tiglium Linn. Cryptocarya ferrea Blume Cryptocarya zollingeriana Miq. Dacryodes sp. Dehaasia caesia Blume Dendrocnide sp. Diospyros celebica Bakh. Diospyros ferrea (Willd.) Bakh. var. buxifolia Diospyros sp.1 Donax canniformis (G.Forst.) K.Schum. Dracaena angustifolia Roxb. Dracontomelon dao (Blanco) Merr. & Rolfe Drypetes celebica Pax & K. Hoffm. Drypetes neglecta (Koord.) Pak & K. Hoffm. Drypetes sp.1 Elaeagnus triflora Roxb. Elatostema sesquifolium Hassk. Elatostema sp. Elattostachys verrucosa (Blume) Radlk. Endiandra rubescens (Blume) Miq. Euphorianthus sp. Ficus ampelas Burm.f.
Nama Lokal
Jambu-jambu Jambu-jambu Pala-pala Bunga-bunga Londrong Bunga-bunga Pala-pala Tera-terasa Pagoda Amballung Balung-balung Kopi-kopi Ca'na
Bu'ne Balung-balung Lalatan Eboni
Bu'rung Bo'ja bojalu Rao Jambu aer Bera-berasa Pala-pala Katilapuru Lolorupa Bitontong lompo Impalasa
Famili Cannabaceae Cannabaceae Oleaceae Oleaceae Oleaceae Oleaceae Oleaceae Meliaceae Asteraceae Euphorbiaceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae Lamiaceae Lamiaceae Acanthaceae Euphorbiaceae Rubiaceae Borraginaceae Euphorbiaceae Lauraceae Lauraceae Burseraceae Lauraceae Urticaceae Ebenaceae Ebenaceae Ebenaceae Maracanthaceae Liliaceae Anacardiaceae Putranjivaceae Putranjivaceae Putranjivaceae Elaeagnaceae Urticaceae Urticaceae Sapindaceae Lauraceae Sapindaceae Moraceae
34 No
Jenis
Nama Lokal
Famili
79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118
Ficus callosa Willd. Ficus congesta Roxb. Ficus drupacea Thunb. Ficus fistulosa Reinw. ex Blume Ficus miquelii King Ficus obscura Blume Ficus racemosa Linn. Ficus ribes Reinw. ex Blume Ficus septica Burm.f. Ficus sp.1 Ficus sp.2 Ficus subulata Blume Ficus tenuicuspidata Corner Ficus variegata Blume Finschia sp. Flacourtia inermis Roxb. Galearia filiformis (Blume) Boerl. Garcinia balica Miq. Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Garcinia picorhiza Miq. Garcinia riedeliana Pierre Garcinia sp. 2 Garcinia sp.1 Garcinia tetrandra Pierre Gendarussa vulgaris Nees. Glochidion philippinense Benth. Glycosmis pentaphylla (Retz.) DC. Gnetum gnemon L. Grewia acuminata Juss. Gymnacranthera farquahariana Warb. Haplolobus moluccanus H.J.Lam Harpullia arborea (Blanco) Radlk. Harpullia cupanioides Roxb. Harpullia sp. Heritiera sp. Homalomena occulta (Lour.) Schott. Hydnocarpus heterophylla Blume Kleinhovia hospita L. Knema cinerea Warb.
Nato Biraen Ficus Samu-samu Lambiri
Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Proteaceae Flacourtiaceae Euphorbiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Acanthaceae Phyllanthaceae Rutaceae Gnetaceae Tiliaceae Myristicaceae Burseraceae Sapindaceae Sapindaceae Sapindaceae Malvaceae Araceae Achariaceae Malvaceae Myristicaceae
Lalatan Tambung-tambung Ficus
Kayu ara Kayu ara Kaligendrang Tepaidare Lobi-lobi Kacala
Kacala
Kirasa Pada'ka Kadaru buku
Arisi Pala-pala Rao eja Mapala' Bitontong ca'ne Kalo-kalor Pacok-pacok Tera-terasa Paliasa Pala-pala
35 No
Jenis
119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155
Knema latericia Elmer Knema sp.1 Koordersiodendron pinnatum Merr. Lagerstroemia ovalifolia Teijsm. & Binn. Lansium domesticum Corrêa Laportea stimulan (L.f.) Gaud. Ex Miq. Leea aculeata Blume ex Spreng. Leea indica (Burm. F.) Merr. Lepiniopsis ternatensis Valeton Lepionurus sylvestris Blume Lindera thomsonii C.K. Allen Litsea forstenii Boerl. Litsea mappacea Boerl. Lygodium circinatum (Burm. F.) Sw. Macaranga hispida (Blume) Müll.Arg. Macaranga involucrata (Roxb.) Baill. Macaranga sp. Mallotus floribundus (Blume) Müll.Arg. Mallotus peltatus (Geiseler) Müll.Arg. Mallotus sp.1 Mangifera minor Blume Medusanthera laxiflora (Miers) R.A.Howard Melochia umbellata Stapf. Millingtonia hortensis L.f. Morinda citrifolia L. Myristica elliptica Wall. Myristica impressa Warb. Myxopyrum nervosum Blume Neonauclea sp. Neuburgia celebica (Koord.) Leenh. Oplismenus compositus (L.) P.Beauv. Orophea sp.1 Palaquium obovatum (Griff.) Engl. Pandanus sp. Pangium edule Reinw. Pavetta indica L. Phaleria capitata Jack
156 Phytocrene hirsuta Blume 157 Picrasma javanica Blume
Nama Lokal
Pala-pala Orisi Langocing Kerri Lalatan Mali-malisi Mali-mali Ritah Sirih Jambu-jambu Bakkang-bakkang Pangi
Lambu-lambu Lambu-lambu Pangi-pangi Jambu-jambu Paci-paci dare Mengkudu hutan Bata-bata Kaleleng Bintawan
Famili Myristicaceae Myristicaceae Anacardiaceae Lythraceae Meliaceae Urticaceae Leeaceae Leeaceae Apocynaceae Opiliaceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lygodiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Anacardiaceae Stemonuraceae Malvaceae Bignoniaceae Rubicaeae Myristicaceae Myristicaceae Olacaceae Rubiaceae Loganiaceae Poaceae Annonaceae Sapotaceae Pandanaceae Achariaceae Rubiaceae Thymelaceae
Pala-pala Nato Pandan Pangi Balung-balung Kaleleng susuang Kalelelng-Paci-paci Icacinaceae dare' Bitontong Simaroubaceae
36 No
Jenis
Nama Lokal
Famili
158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197
Pimelodendron amboinicum Hassk. Piper caninum Blume Piper sp.1 Pipturus argenteus Wedd. Pisonia umbellifera (J.R. Forst. & G. Forst.) Seem. Pittosporum moluccanum Miq. Planchonella nitida (Blume) Dubard Planchonia valida (Blume) Blume Plumeria sp. Polyalthia celebica Miq. Polyalthia sp.1 Polyscias nodosa (Blume) Seem. Pseuderanthemum sp. Psychotria leptothyrsa Miq. Psychotria sp. Psydrax dicoccos Gaertn. Pterocarpus indicus Willd. Pterocymbium tinctorium Merr. Pterospermum celebicum Miq. Pterospermum diversifolium Blume. Pycnarrhena celebica Diels Randia sp. Reinwardtiodendron humile (Hassk.) Mabb. Rhysotoechia acuminata Radlk. Rhysotoechia sp. Rinorea horneri Kuntze Rinorea sp. Rourea minor (Gaertn.) Alston Salacia chinensis Linn. Salacia ovalis Korth. Salacia sp.1 Saurauia sp. Schefflera polybotrya (Miq.) R.Vig. Selaginella sp. Siphonodon celastrineus Griff. Spathodea campanulata P. Beauv. Spondias pinnata (L.f.) Kurz Staurogyne sp. Sterculia insularis R. Br. Strobilanthes celebica (Bremek.) J.R.I. Wood
Bitontong Ganjeng
Euphorbiaceae Piperaceae Piperaceae Urticaceae Nyctaginaceae Pittosporaceae Sapotaceae Lecythidaceae Apocynaceae Annonaceae Annonaceae Araliaceae Acanthaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Leguminosae Malvaceae Malvaceae Malvaceae Menispermaceae Rubiaceae Meliaceae Sapindaceae Sapindaceae Violaceae Violaceae Connaraceae Celastraceae Celastraceae Celastraceae Actinidiaceae Araliaceae Selaginellaceae Celastraceae Bignoniaceae Anacardiaceae Acanthaceae Malvaceae Acanthaceae
Langkiang poce Pa'ja Tambung kamboja Dangang-dangang Pala-pala Lento-lento Rotan Amballung Amballung Angsana Gami Banyuru Banyuru Kaleleng didi Maya-maya Caramentu Nato Kaleleng Kerri Maya-maya
Pangka-pangka Jambu-jambuan Spathodea Karunrung Amballung
37 No
Jenis
Nama Lokal
Famili
198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237
Syzygium cf. malaccense (L.) Merr. & L.M.Perry Syzygium littorale (Blume) Amshoff Syzygium polycephaloides (C.B.Rob.) Merr. Syzygium sp.1 Syzygium sp.2 Tamarindus indica L. Tarennoidea wallichii (Hook.f.) Triveng & Gastre Terminalia bellirica (Gaertn.) Roxb. Terminalia sp.1 Tetrastigma lanceolarium (Roxb.) Planch. Toona sureni (Blume) Merr. Trigonostemon sp. Trivalvaria sp. Unidet. 1 Unidet. 2 Unidet. 3 Unidet. 4 Unidet. 5 Unidet. 6 Unidet. 7 Vatica rassak Blume Villebrunea rubescens (Blume) Blume Vitex cofassus Reinw. Ex Blume Walsura pinnata Hassk. Xanthophyllum tenuipetalum Meijden
Jambu-jambuan Jambu je'ne Jambu-jambuan Jambu-jambuan Jambu-jambuan
Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Leguminosae Rubiaceae Combretaceae Combretaceae Vitaceae Meliaceae Euphorbiaceae Annonaceae
Cibotium sp.
Ficus Marapao Pucak Suren Banga Pala-pala
Kunyi Bukkang-bukkang Bi'ti
Belalambasi Bunga doa Cakuku Ficus Gallingar Ganjeng Kelong Pakis Paku Sirih hutan 1 Sirih hutan 2 Sirih hutan 3
Dipterocarpaceae Urticaceae Verbenaceae Meliaceae Polygalaceae
Cibotiaceae
Fabaceae Leguminosae Rubiaceae
38
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, 6 April 1993 dari pasangan Sutono dan Dwi Endang Nurhayati. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMAN 3 Bandar Lampung dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Talenta Mandiri IPB (UTM) dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti di berbagai organisasi, sebagai anggota pengurus Keluarga Mahasiswa Lampung (Kemala), ketua Seedling group dan ketua Divisi Scientific Improvement di Himpunan profesi TGC (Tree Grower Community), dan sebagai koordinator Badan Pengawas dan Konsultasi Pengurus Himpro (BPKPH) TGC. Pada bulan Juli 2012, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Jawa Barat dengan Jalur Sancang Timur – Gunung Papandayan, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi tahun 2013. Kemudian penulis juga melakukan Praktek Kerja Profesi (PKP) di IUPHHK-HA PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah. Guna memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Struktur dan Komposisi Tegakan serta Sistem Perakaran pada Kawasan Karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta di bawah bimbingan Dr. Ir. Istomo, MS.